SIKAPAN TERHADAP PERISAKAN TRAUMATIK

advertisement
SIKAPAN TERHADAP PERISAKAN TRAUMATIK PADA PELAJAR
Muhibbu Abivian
Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Muhammad Kamaluddin
Universitas Muhammadiyah Cirebon
Abstrak
Perisakan atau bullying seringkali menjadi buah bibir di dunia pendidikan. Utamanya bagi
guru dan pelajar di level pendidikan dasar dan menengah. Hal ini tidak dapat dipungkiri
menjadi berita dari masa ke masa. Seolah ada yang salah dalam penyikapannya, hal tersebut
kini sepertinya terdengar sebagai hal yang dimaklumi bahkan terus terjadi. Seperti halnya
yang terjadi pada seorang pelajar berinisial FF di sekolah yang berada di Bandung. Konseli
sebuah sekolah swasta ini mengalami trauma akibat perisakan. Ujaran perisakan yang
dilontarkan secara verbal kepadanya membuatnya malu dan rendah diri. Akibat dari perlakuan
teman-temannya tersebut berdampak pada prestasi belajarnya yang merosot di sekolah. Di
sinilah guru BK berperan memberikan penyikapan melalui bimbingan dan konseling agar
motivasi belajarnya kembali tumbuh dan bergairah.
Kata kunci: perisakan, ujaran, sikapan.
Abstract
Perisakan or bullying is often be popular topict in education world. Primarily for
teachers and students in primary and secondary education levels. It can not be denied be the ne
ws from time to time. As there are mistakes in the case, now seems to be heard as a matter of
understandable even continue to occur. As was the case in the initials FF a student from some
school in Bandung. Counselee a private school is severely traumatized by perisakan
(bullying). Bullying speech posed verbally made him embarrassed and inferior. As a result of
treatment of her friends has an impact on academic achievement is declining in schools. This
is where the guidance and counseling teacher role in giving attitude through guidance and
counseling in order to re-grow learning motivation and passionate.
Keywords: Perisakan (bulliying), speech, attitude.
A. Pendahuluan
Peristiwa trauma merupakan peristiwa
kehidupan yang dapat dialami oleh setiap
orang. Banyak dampak yang diakibatkan
oleh kejadian trauma, salah satunya adalah
gangguan kejiwaan yang berpengaruh
terhadap
kondisi
psikososial
dalam
kelangsungan hidup seseorang. Kejadian
trauma tersebut dapat disebabkan oleh
berbagai peristiwa seperti adanya peristiwa
bencana alam, ulah manusia dan peristiwa
lainnya.
Beberapa bentuk peristiwa alam yang
sering kali dapat menimbulkan berbagai
pengalaman traumatik bagi seseorang yakni
gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, dan sebagainya. Sementara beberapa
kejadian trauma akibat dari ulah manusia
atau peristiwa lainnya yaitu kecelakaan
pesawat
terbang,
kecelakaan
mobil,
perkosaan,
perampokan,
pembegalan,
perisakan „bullying’, bahkan sampai pada
aksi kekerasan dan terorisme.
Dalam konteks dunia pendidikan,
kekerasan dalam lingkungan sekolah atau
institusi pendidikan tersebut dapat ditemui
dalam bentuk bullying (Riauskina, dkk.
2005:15). Bullying merupakan bentuk-bentuk
perilaku di mana terjadi pemaksaan atau
usaha dengan tujuan menyakiti secara
psikologis
ataupun
fisik
terhadap
seseorang/sekelompok orang yang lebih
'lemah', oleh seseorang/sekelompok orang
yang lebih 'kuat' (Rigby, 2003:583-590).
Istilah bullying merujuk pada perilaku
agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh
seorang atau sekelompok pelajar yang
memiliki kekuasaan, terhadap pelajar lain
yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti
orang tersebut (Olweus, 2005; Coloroso,
2006). Berdasarkan definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa perilaku bullying
sebenarnya telah sangat meluas di dunia
pendidikan tanpa terlalu disadari bentuk dan
akibatnya.
Telah sejak lama dunia pendidikan
mengenal istilah perpeloncoan, gencetgencetan, pemalakan, penindasan, intimidasi,
dan sebagainya. Persentase terbesar kejadian
bullying berada pada lingkungan sekolah
pertama dan sekolah menengah atas/sederajat
(Gunawan, 2006). Olweus (2005) bahkan
mengungkapkan “bullying behavior is
evident even in preschool and the problem
peaks in middle school.”
Meskipun tidak ada peraturan yang
mewajibkan
sekolah
harus
memiliki
kebijakan program antibullying, tetapi dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23
Tahun 2002 Pasal 54 dinyatakan;
"Anak di dalam dan di lingkungan
sekolah wajib dilindungi dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh guru,
pengelola sekolah atau teman-temannya di
dalam sekolah yang bersangkutan, atau
lembaga pendidikan lainnya."
Dengan kata lain, pelajar mempunyai
hak untuk mendapat pendidikan dalam
lingkungan yang aman dan bebas dari rasa
takut. Pengelola sekolah dan pihak lain yang
bertanggung jawab dalam penyelengaraan
pendidikan
mempunyai
tugas
untuk
melindungi
pelajar
dari
intimidasi,
penyerangan, kekerasan atau gangguan. FF
(inisial nama konseli) merupakan contoh
pelajar salah satu sekolah swasta di kota
Bandung
yang
diduga
mengalami
pengalaman traumatis akibat ujaran bullying.
Informasi terkait masalah yang dialami
oleh FF bersumber dari guru Bimbingan dan
Konseling. Terkait hal tersebut dia
mengatakan bahwa FF merupakan salah satu
pelajar yang sering menjadi korban perisakan
sehingga dia merasa malu. Informasi tersebut
dikuatkan oleh pengamatan peneliti selama
kegiatan Bimbingan dan Konseling baik
kegiatan bimbingan klasikal maupun dan
bimbingan kelompok di kelasnya.
Selama pengamatan oleh peneliti, FF
terlihat merupakan korban perilaku perisakan
secara verbal di kelasnya yang sering dijuluki
sebagai “babon”. Dia terlihat murung dan
menjadi tidak semangat dalam kegiatan
belajar di kelasnya. Beberapa indikator yang
terlihat selama pengamatan di dalam kelas
yang dialami olehnya antara lain yakni:
1. Sering dijadikan bahan ejekan teman
sekelasnya.
2. Selalu menyendiri dan tidak dilibatkan
belajar dengan teman-temannya.
3. Hasil
dari
observasi
di
kelas
menunjukkan; a) duduk sendiri bangku
paling depan dekat dengan guru; dan b)
jarang bertanya pada temannya ketika
waktu belajar dan meminta bantuan pada
temannya seperlunya.
4. Waktu istirahat selalu sendiri dan tidak
ada yang menemani. Biasanya mengisi
waktu istirahat dengan mendengarkan
musik atau bermain game di gadgetnya.
5. Hasil penyebaran sosiometri yang
dilakukan oleh guru BK menunjukkan
bahwa dia sebagai orang yang diabaikan
(neglected).
6. Jarang berkumpul dengan teman kelas
(takut dicela).
Satu hal yang menyebabkan perisakan
berdampak mengerikan adalah pelakunya
benar-benar meniatkan untuk melakukan
tindakan tersebut. Namun, itu pun
sebenarnya masih bisa dikendalikan. Pada
saat yang bersamaan ketika kasus perisakan
benar-benar diniatkan dan kemudian
diketahui, maka para guru bisa sedini
mungkin mencegahnya. Hal inilah yang
paling tidak bisa mereka lakukan untuk
mengendalikan dan mencegah maraknya
kasus perisakan pada pelajar. Oleh karena itu
perlu suatu kesadaran bersama untuk
senantiasa berusaha sejak dini mencegah
lahirnya perilaku perisakan ala premanisme
di lingkungan sekolah.
B. Metode
Penelitian
ini
dilakukan
dengan
pendekatan studi kasus yang berparadigma
kualitatif. Data didapatkan peneliti dari
sebuah kasus pada sebuah sekolah di
Bandung. Dalam sekolah ini terdapat pelajar
sebagai konseli yang terindikasi sebagai
korban perilaku perisakan yang dilakukan
oleh teman-temannya. Berdasarkan beberapa
indikator yang muncul, konselor sebagai
peneliti utama menyimpulkan masalah
utama yang dialami oleh FF adalah terkait
dengan kepercayaan dirinya. Kepercayaan
diri
tersebut
berhubungan
dengan
kemampuannya mengatasi tekanan dalam
lingkungannya belajar dan kecemasannya
dalam bergaul bersama dengan temantemannya. Dalam hal ini, konseli
menanggung trauma akibat rasa malu karena
menjadi bahan olok-olokan temannya
dengan ujaran verbal “babon”. Ujaran itu
dikaitkan dengan rupa tubuh konseli yang
secara signifikan dianggap berbeda (gemuk
dan berkulit hitam) dibandingkan dengan
teman-temannya yang lain. Penelitian ini
dilakukan sebagai contoh penyikapan
terhadap korban kasus perisakan yang
menimpa pelajar.
C. Hasil dan Pembahasan
Dalam suatu institusi pendidikan, dalam
hal ini misalnya sekolah tempat konseli FF
belajar, semua orang bisa menjadi korban
atau bahkan menjadi pelaku perisakan. Untuk
mengatasinya diperlukan kebijakan yang
bersifat menyeluruh di sekolah. Sebuah
kebijakan yang melibatkan komponen dari
guru sampai pelajar, dari kepala sekolah
sampai orang tua murid. Akan tetapi,
kebijakan hanya akan berlangsung baik
apabila ada langkah yang nyata dari sekolah
untuk menyadarkan seluruh komponen
sekolah betapa perisakan sangat mengganggu
proses belajar mengajar. Untuk itu salah satu
yang bisa dipilih adalah membuat sebuah
program anti perisakan di sekolah yang
terimplementasikan
dalam
layanan
Bimbingan dan Konseling.
Peran dan kontribusi layanan Bimbingan
dan Konseling sangat diperlukan dalam
mencegah perilaku perisakan berkembang di
sekolah. Konselor/guru BK bisa membantu
dalam upaya untuk menanamkan nilai-nilai
luhur dalam berperilaku terhadap pelajar
untuk menghindarkan pelajar dari tindakan
dan situasi terkait perisakan, agar mereka
tidak menjadi pelakunya. Upaya untuk
mencegah berkembangnya perilaku perisakan
bisa diaplikasikan dalam bentuk layanan
Bimbingan dan Konseling yang terdiri dari
layanan dasar, layanan responsif, layanan
perencanaan individual dan dukungan sistem.
Adapun yang dimaksud dengan hal-hal
tersebut yakni;
1. Layanan Dasar
Layanan dasar merupakan layanan
Bimbingan
dan
Konseling
yang
membangun kapasitas pelajar dalam hal
melindungi dirinya dari pelaku perisakan
dan tidak menjadi pelakunya. Untuk itu
pelajar bisa diikutkan dalam pelatihan
antiperisakan serta berpartisipasi aktif
dalam kampanyenya di sekolah. Dalam
tahap ini, metode dari pelajar untuk
pelajar
dapat
diterapkan
dalam
kampanye dan pelatihan. Adapun hal-hal
yang bisa dilakukan oleh guru
pembimbing atau konselor adalah
sebagai berikut:
a. Memberi pemahaman pada pelajar
bahwa rasa aman adalah milik semua
orang, dengan demikian tidak
diperkenankan ada orang yang
membuat kita merasa tidak nyaman.
Mengenalkan pada pelajar apa saja
yang membuat kita menjadi tidak
nyaman sehingga pelajar dapat
melindungi serta mengenali gejala
awal adanya bahaya di sekitar
mereka.
Kegiatan
ini
dapat
dilaksanakan terintegrasi pada mata
pelajaran yang sebelumnya konselor
atau guru pembimbing terlebih dahulu
bekerjasama dengan guru mata
pelajaran dan atau wali kelas.
b. Mengadakan kegiatan talk show
tentang perisakan. Di sini konselor
dapat
bekerjasama
dengan
mengundang ahli tentang masalah
tersebut sebagai narasumber seperti
pihak pakar pendidikan ataupun
praktisi dan dosen-dosen serta peneliti
dalam bidangnya yang ahli dalam
bidang prisakan. Kegiatan tersebut
tentu tidak hanya melulu mengenai
pemberian informasi, akan tetapi
dapat dikreasikan dengan berbagai
kegiatan simulasi dan permainan
seperti pembagian kuisioner tentang
perisakan dan sebagainya.
c. Meningkatkan rasa percaya diri
pelajar sehingga mereka mampu
mengembangkan diri dan kemampuan
sosialnya agar tidak takut terhadap
intimidasi yang dilakukan oleh pelaku
perisakan. Hal ini dapat dilakukan
melalui kegiatan bimbingan teman
sebaya. Dalam kegiatan bimbingan
teman sebaya (peer guidance) akan
ada interaksi dan muncul dinamika
kelompok yang dapat membantu
peserta didik untuk lebih terbuka dan
menerima apa yang telah disepakati
oleh
kelompok.
Pengalamanpengalaman individu dari hasil
berinteraksi dengan orang lain dan
lingkungan yang lebih luas inilah
yang akan menyebabkan perubahan
yang positif pada diri individu. Selain
dari itu pada kegiatan bimbingan
teman sebaya akan terjadi komunikasi
antara pemimpin dengan anggota
kelompok atau antara sesama anggota
kelompok sehingga terjadi interaksi
yang menimbulkan pengalaman baru
yang dapat memperkuat keyakinan
pada diri seseorang bahwa ia mampu
dan dapat menumbuhkan kepercayaan
diri pelajar. Penelitian yang dilakukan
oleh Buhrmester (via Santrock, 2003)
mununjukkan pada masa remaja
kedekatan hubungan dengan teman
sebaya meningkat secara dramatis,
dan pada saat yang bersamaan
kedekatan hubungan remaja dengan
orangtua menurun secara dramatis
pula. Hasil penelitian Buhrmester
diperkuat oleh penelitian Nickerson &
Nagel (Setya, 3:2011) bahwa pada
masa remaja komunikasi dan
kepercayaan
terhadap
orangtua
berkurang dan beralih kepada teman
sebaya untuk memenuhi kebutuhan
dan kekuatan (attachment). Pendapat
yang dikemukakan oleh Laursen
(Setya, 3: 2011), teman sebaya
merupakan faktor
ang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan pada
masa-masa remaja. Pendapat Laursen
diperkuat oleh kenyataan yang terjadi
pada remaja pada masyarakat modern
seperti saat ini yang lebih banyak
menghabiskan waktunya bersama
dengan teman sebaya, sehingga teman
sebaya dapat dijadikan sebagai sarana
untuk memfasilitasi siswa agar
mampu meningkatkan kepercayaan
dirinya.
d. Membuat semacam kotak saran atau
kotak pengaduan di sekolah yang
bertujuan untuk menampung saran
dari pelajar yang dapat ditindaklanjuti
sehingga
mampu
mencegah
timbulnya korban-korban perilaku
perisakan di sekolah.
2. Layanan Responsif
Layanan responsif merupakan layanan
yang bersifat kuratif untuk menangani
pelajar yang menjadi korban maupun
pelaku perisakan. Layanan ini bisa
dilakukan dengan mengunakan metode
konseling individual maupun konseling
kelompok. Ada beberapa prinsip
penanganan suatu tindakan perisakan
yang perlu diidentifikasi sebelum kita
memulai
berhubungan
dengan
pelakunya. Beberapa diantaranya yakni;
a. Perisakan dalam bentuk apapun
merupakan tindakan yang tidak dapat
diterima.
b. Penyelidikan di awal sangat penting
dilakukan.
c. Para pelaku perisakan harus bisa
mempertanggungjawabkan
setiap
tindakannya.
d. Orang tua harus bertanggungjawab
dengan anak-anaknya.
e. Kegagalan mengatasi kasus perisakan
akan
menyebabkan
kasus-kasus
serupa timbul di masa yang akan
datang.
Adapun beberapa alternatif bantuan
yang
perlu
diperhatikan
dalam
menangani korban perisakan semisal FF,
yaitu:
a. Alternatif pertama adalah pertama
dengan
mengidentifikasi
faktor
penyebab pelajar melakukan perilaku
perisakan. Penanganan perilaku ini
bukan hanya terbatas pada pelajar
yang menjadi korban namun juga
perlu penanganan terhadap temantemannya yang menjadi pelaku. Cari
penyebab mereka melakukan hal
tersebut. Penyebab perilaku tersebut
tentu
saja
menjadi
penentu
penanganan. Anak yang menjadi
pelaku karena rasa rendah diri tentu
akan ditangani secara berbeda dengan
pelaku yang disebabkan oleh dendam
karena pernah menjadi korban.
Demikian juga bila pelaku disebabkan
oleh agresifitasnya yang berbeda.
b. Alternatif kedua adalah memasukan
korban perisakan semisal FF ke dalam
kelompok melalui setting bantuan
psychological debriefing dengan
melibatkan
beberapa
temannya
(pelajar lain) yang telah diberikan
pengarahan terkait dengan kegiatan
yang akan dilakukan. Hal ini
ditujukan
untuk
menumbuhkan
perasaan diterima baginya oleh
teman-temannya.
Kelompok
psychological debriefing ini terdiri
dari satu orang pemimpin dan satu
atau dua orang asisten pemimpin,
proses
psychological
debriefing
memerlukan pemimpin dan asisten
pemimpin yang telah dilatih dan
memiliki keterampilan praktik dalam
penggunaan
dan
pemahaman
permasalahan-permasalahan
yang
dimunculkan, seperti PTSD. Bantu
pelajar/anggota kelompok mengatasi
ketidaknyamanan yang dirasakan,
jelaskan apa yang terjadi dan
mengapa hal itu terjadi. Dalam hal ini
anggota
kelompok
diberikan
pemahaman terkait dengan perilaku
perisakan.
c. Alternatif berikutnya adalah dengan
mengggunakan teknik konseling RET
melalui konfrontasi. Konfrontasi
dilakukan
untuk
mengeliminasi
keyakinan irasional korban perisakan
semisal FF. Perasaan seolah tidak
diterima dan selalu diolok-olok
sehingga dia menjadi minder dan
tidak percaya diri. Konfrontasi
diharapkan
dapat
mengoreksi
keyakinan irasionalnya sekaligus
membantunya mengubah perilaku
berdasarkan
pengarahan
yang
diberikan.
d. Alternatif bantuan selanjutnya adalah
dengan menggunakan pendekatan
konseling CBT melalui teknik
coaching
(pelatihan
untuk
meningkatkan kepercayaan diri).
Masalah yang dialami korban
perisakan semisal FF tidak hanya
sebatas permasalahan merasa dan
berfikir tetapi juga berperilaku. Hal
ini bisa saja terjadi karena dia
memiliki kecemasan sosial untuk
berteman, maka diperlukan latihan
keterampilan sosial juga (latihan
bertindak).
e. Pemberian tugas kelompok dan
menetapkan
konseli
sebagai
pemimpin kelompok. Rasa berbeda
yang dimiliki konseli terutama dalam
kondisi fisik yang inferior apalagi
difabel (yakni pendek, gendut, pesek,
keriting,
hitam,
pincang
dan
sebagainya) yang dianggap berbeda
secara umum membuat konseli lebih
menyenangi menyendiri. Ditinjau dari
perspektif Adlerian, hal tersebut
merupakan
kesalahan
dalam
mencapai superioritas. Dalam teori
Adler dijelaskan bahwa seseorang
akan mencari upaya untuk menjadi
superior
sebagai
kompensasi
inferioritasnya dalam satu bidang.
Kesalahan dalam proses menjadi
superior ini akan berdampak pada
perilaku yang menyimpang. Konseli
memiliki potensi yang cukup baik
dalam belajar. Upaya kompensasi
untuk menjadi superior sebenarnya
dapat dilakukan dengan cara lebih
menonjolkan kemampuan belajarnya
itu dalam settingan kelompok.
Sehingga pemberian tugas kelompok
dan menetapkan konseli sebagai
pemimpin keompok dapat menjadi
alternatif bantuan.
f. Merubah lingkungan sosial pelajar.
Pemberian layanan/alternatif bantuan
dengan cara merubah lingkungan
sosial pelajar ini merupakan alternatif
terakhir dengan cara memindahkan
pelajar korban perisakan semisal FF
ke kelas lain. Walaupun demikian,
pelaksanaan layanan ini tidak dapat
menjamin keberhasilannya tidak
menjadi korban perisakan lagi, karena
bisa saja di kelas barunya dia akan
mendapat perlakuan yang sama dari
teman-temannya.
3. Layanan Perencanaan Individual
Layanan perencanaan individual dalam
hal mencegah perilaku perisakan salah
satunya adalah dengan menyalurkan
dorongan energi yang dimiliki pelajar
pada kegiatan ekstrakurikuler sesuai
dengan minat dan ketertarikan mereka.
Hal ini dapat diaplikasikan
dalam
bidang olah raga, pramuka, kesenian,
keagamaan, kelompok ilmiah remaja,
pecinta alam dan sebagainya. Dengan
demikian mereka akan disibukkan
dengan kegiatan-kegiatan yang positif.
Adapun beberapa langkah yang dapat
ditempuh oleh konselor/guru BK dalam
melaksanakan layanan perencanaan
individual adalah konselor/guru BK
bekerjasama
dengan
pihak
penyelenggara
psikotes
untuk
mengetahui minat, bakat, kecerdasan
umum dan kepribadian pelajar untuk
kemudian diinterpretasikan sebagai
bahan atau masukan bagi pelajar dalam
memilih kegiatan ekstrakulikuler yang
sesuai dengan potensi dirinya dan
membuka pintu selebar-lebarnya bagi
pelajar yang membutuhkan informasi
terkait dengan minat, bakat, dan
kepribadiannya yang tergambarkan
dalam hasil interpretasi psikotes. Selain
itu, konselor dapat membantu pelajar
korban
ataupun
pelaku
untuk
menumbuhkan self-esteem yang baik.
Pelajar yang memiliki self esteem yang
baik akan bersikap dan berpikir positif,
menghargai dirinya sendiri, menghargai
orang lain, percaya diri, optimis, dan
berani mengatakan haknya. Bentuk
layanan perencanaan individual lainnya
dapat dilaksanakan oleh konselor dengan
mengembangkan keterampilan sosial
pelajar untuk menghadapi perisakan,
baik sebagai sasaran atau sebagai
bystander serta bagaimana mencari
bantuan jika mendapat perlakuan
perisakan, misalkan saja datang langsung
ke
ruangan guru
BK ataupun
memanfatkan kotak pengaduan yang
telah
disiapkan
di
lingkungan
sekolahnya.
4. Dukungan Sistem
Penanganan perisakan ataupun usaha
untuk mencegahnya bukan hanya
menjadi tanggung jawab pihak tertentu,
misalkan konselor sekolah saja atau
kepala sekolah saja, tetapi merupakan
tanggung jawab semua pihak yang ada di
sekolah
termasuk
berbagai
stakeholdernya
misalkan
orangtua
pelajar. Dalam dukungan sistem ini,
konselor hendaknya mampu membangun
komunikasi dan kerja sama dalam
menciptakan lingkungan sekolah yang
menunjang dalam pencegahan perilaku
tersebut. Upaya pencegahannya di
sekolah
harus
dimulai
dengan
membentuk budaya sekolah yang
beratmosfer ”belajar tanpa rasa takut”
misalnya melalui pendidikan karakter,
menciptakan kebijakan pencegahan
perisakan di masing-masing sekolah
dengan melibatkan pelajar, menciptakan
sekolah
model
penerap
sistem
antiperisakan,
serta
membangun
kesadaran tentang perisakan dan
pencegahannya kepada stakeholders
sampai ke tingkat rumah tangga dan
RT/RW atau lingkungan sekitar sekolah.
Tingkat
keamanan
sekolah
dari
perisakan atau tindakan yang membuat
seseorang merasa teraniaya yang
dilakukan guru, sesama pelajar, senior
atau alumni bisa bergantung pada
bagaimana interaksi guru dan murid di
suatu sekolah dan aura lingkungan
sekolah tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sekolah yang
efektif mencegah tumbuhnya perisakan
adalah sekolah yang terdapat hubungan
antara guru dan pelajar yang sangat baik.
Sekolahnya kecil dan nyaman, dalam arti
hijau, para pelajarnya merasa bebas dan
nyaman yang dapat dimulai dari
lingkungan sekolah. Di lingkungan
sekolah harus dibangun kesadaran dan
pemahaman tentang perisakan dan
dampaknya kepada semua stakeholder di
sekolah, mulai dari murid, guru, kepala
sekolah, pegawai sekolah hingga orang
tua. Sosialisasi
tentang program
antiperisakan perlu dilakukan dalam
tahap ini sehingga semua warga sekolah
memahami dan mengerti apa itu
perisakan dan dampaknya.
D. Simpulan
Pemberian
bantuan
bagi
korban
perisakan adalah untuk membantu pelajar
pada umumnya dan FF pada khususnya agar
memiliki perasaan diterima oleh temanteman di kelasnya. Hal ini diyakini akan
mampu meningkatkan kembali rasa percaya
diri mereka. Bantuan yang diberikan kepada
pelajar
korban
perisakan
khususnya
dirancang dalam suasana kelompok, di mana
dia belajar mengatasi masalahnya dalam
suasana dinamika kelompok sehingga dapat
membantu mengatasi masalahnya tersebut.
Proses pemberian bantuan dapat diulang
kembali apabila dia masih belum memahami
permasalahan, belum menemukan solusi, dan
belum dapat merencakanan tindakan yang
akan dilakukannya di masa mendatang.
Konselor/guru BK sejogjanya terus
memantau perkembangan konseli (pelajar
korban perisakan) dan memberikan tindak
lanjut atas setiap perkembangan yang
dicapainya. Tindak lanjut yang dapat
dilakukan setelah dari proses pemberian
bantuan kepada FF adalah dengan melakukan
pemantauan
secara
berkala
terhadap
kondisinya. Untuk melihat perkembanganperkembangan positif yang dialaminya,
tindak lanjut juga diberikan dengan cara
membantunya untuk mengevaluasi diri
berdasarkan
pengalaman-pengalaman
perilaku
perisakan
yang dialaminya.
Misalnya, dengan bersama-sama meninjau
perilaku interaksi dia bersama temantemannya selama di dalam kelas.
Daftar Pustaka
Coloroso, B. Penindas, Tertindas, dan
Penonton; Resep Memutus Rantai
Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga
SMU. Jakarta: 2006. Serambi Ilmu
Pustaka..
Gunawan, A. W. Genius Learning Strategy.
Jakarta: 2006. PT. Gramedia.
Kinchin, D. A Guide to Psychological
Debriefing:
Managing
Emotional
Decompression
and
Post-Traumatic
Stress Disorder. London: 2007. Jessica
Kingsley Publishers.
Rigby, K. Stop the Bullying: A Handbook for
Schools. Camberwell: 2003. ACER.
Santrock. J. W. Adolescence: Perkembangan
Remaja. (Edisi keenam) Jakarta: 2003.
Erlangga.
Jurnal
Olweus. Bullying at School Basic Fact and
Effect of a School-based Intervention
Program. Journal Child Psychol-Psych,
35 (1994): 1171-1190.
Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S.
R.
”Gencet-Gencetan”
di
Mata
Siswa/Siswi Kelas 1 SMA: Naskah
Kognitif tentang Arti, Skenario, dan
Dampak ”Gencet-Gencetan”. Jurnal
Psikologi Sosial, 12.01 (2005): 1 – 13.
Artikel
Setya, B, A. Profil Kompetensi Pribadi Peer
Helper yang Diharapkan oleh Siswa dan
Guru Pada Siswa Sekolah Menengah Atas
(Studi
Pengembangan
Instrument
Pemilihan Peer Helper di SMA Negeri 3
Bandung Tahun Ajaran 2010/ 2011).
Bandung: Skripsi Pada Jurusan PPB FIP
UPI Bandung: Tidak diterbitkan. 2011.
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23
Tahun 2002 Pasal 54.
Sumber Online
Hartiningsih, M. Bullying, Normalkah?
Kompas
[Online].
Tersedia:
http://www.kompas.com/read/xml/2009/0
2/17/20025883/bullying.normalkah. 2009.
Download