SIKAPAN TERHADAP PERISAKAN TRAUMATIK PADA PELAJAR Muhibbu Abivian Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] Muhammad Kamaluddin Universitas Muhammadiyah Cirebon Abstrak Perisakan atau bullying seringkali menjadi buah bibir di dunia pendidikan. Utamanya bagi guru dan pelajar di level pendidikan dasar dan menengah. Hal ini tidak dapat dipungkiri menjadi berita dari masa ke masa. Seolah ada yang salah dalam penyikapannya, hal tersebut kini sepertinya terdengar sebagai hal yang dimaklumi bahkan terus terjadi. Seperti halnya yang terjadi pada seorang pelajar berinisial FF di sekolah yang berada di Bandung. Konseli sebuah sekolah swasta ini mengalami trauma akibat perisakan. Ujaran perisakan yang dilontarkan secara verbal kepadanya membuatnya malu dan rendah diri. Akibat dari perlakuan teman-temannya tersebut berdampak pada prestasi belajarnya yang merosot di sekolah. Di sinilah guru BK berperan memberikan penyikapan melalui bimbingan dan konseling agar motivasi belajarnya kembali tumbuh dan bergairah. Kata kunci: perisakan, ujaran, sikapan. Abstract Perisakan or bullying is often be popular topict in education world. Primarily for teachers and students in primary and secondary education levels. It can not be denied be the ne ws from time to time. As there are mistakes in the case, now seems to be heard as a matter of understandable even continue to occur. As was the case in the initials FF a student from some school in Bandung. Counselee a private school is severely traumatized by perisakan (bullying). Bullying speech posed verbally made him embarrassed and inferior. As a result of treatment of her friends has an impact on academic achievement is declining in schools. This is where the guidance and counseling teacher role in giving attitude through guidance and counseling in order to re-grow learning motivation and passionate. Keywords: Perisakan (bulliying), speech, attitude. A. Pendahuluan Peristiwa trauma merupakan peristiwa kehidupan yang dapat dialami oleh setiap orang. Banyak dampak yang diakibatkan oleh kejadian trauma, salah satunya adalah gangguan kejiwaan yang berpengaruh terhadap kondisi psikososial dalam kelangsungan hidup seseorang. Kejadian trauma tersebut dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa seperti adanya peristiwa bencana alam, ulah manusia dan peristiwa lainnya. Beberapa bentuk peristiwa alam yang sering kali dapat menimbulkan berbagai pengalaman traumatik bagi seseorang yakni gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, dan sebagainya. Sementara beberapa kejadian trauma akibat dari ulah manusia atau peristiwa lainnya yaitu kecelakaan pesawat terbang, kecelakaan mobil, perkosaan, perampokan, pembegalan, perisakan „bullying’, bahkan sampai pada aksi kekerasan dan terorisme. Dalam konteks dunia pendidikan, kekerasan dalam lingkungan sekolah atau institusi pendidikan tersebut dapat ditemui dalam bentuk bullying (Riauskina, dkk. 2005:15). Bullying merupakan bentuk-bentuk perilaku di mana terjadi pemaksaan atau usaha dengan tujuan menyakiti secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang/sekelompok orang yang lebih 'lemah', oleh seseorang/sekelompok orang yang lebih 'kuat' (Rigby, 2003:583-590). Istilah bullying merujuk pada perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok pelajar yang memiliki kekuasaan, terhadap pelajar lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut (Olweus, 2005; Coloroso, 2006). Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying sebenarnya telah sangat meluas di dunia pendidikan tanpa terlalu disadari bentuk dan akibatnya. Telah sejak lama dunia pendidikan mengenal istilah perpeloncoan, gencetgencetan, pemalakan, penindasan, intimidasi, dan sebagainya. Persentase terbesar kejadian bullying berada pada lingkungan sekolah pertama dan sekolah menengah atas/sederajat (Gunawan, 2006). Olweus (2005) bahkan mengungkapkan “bullying behavior is evident even in preschool and the problem peaks in middle school.” Meskipun tidak ada peraturan yang mewajibkan sekolah harus memiliki kebijakan program antibullying, tetapi dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 Pasal 54 dinyatakan; "Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya." Dengan kata lain, pelajar mempunyai hak untuk mendapat pendidikan dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut. Pengelola sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan mempunyai tugas untuk melindungi pelajar dari intimidasi, penyerangan, kekerasan atau gangguan. FF (inisial nama konseli) merupakan contoh pelajar salah satu sekolah swasta di kota Bandung yang diduga mengalami pengalaman traumatis akibat ujaran bullying. Informasi terkait masalah yang dialami oleh FF bersumber dari guru Bimbingan dan Konseling. Terkait hal tersebut dia mengatakan bahwa FF merupakan salah satu pelajar yang sering menjadi korban perisakan sehingga dia merasa malu. Informasi tersebut dikuatkan oleh pengamatan peneliti selama kegiatan Bimbingan dan Konseling baik kegiatan bimbingan klasikal maupun dan bimbingan kelompok di kelasnya. Selama pengamatan oleh peneliti, FF terlihat merupakan korban perilaku perisakan secara verbal di kelasnya yang sering dijuluki sebagai “babon”. Dia terlihat murung dan menjadi tidak semangat dalam kegiatan belajar di kelasnya. Beberapa indikator yang terlihat selama pengamatan di dalam kelas yang dialami olehnya antara lain yakni: 1. Sering dijadikan bahan ejekan teman sekelasnya. 2. Selalu menyendiri dan tidak dilibatkan belajar dengan teman-temannya. 3. Hasil dari observasi di kelas menunjukkan; a) duduk sendiri bangku paling depan dekat dengan guru; dan b) jarang bertanya pada temannya ketika waktu belajar dan meminta bantuan pada temannya seperlunya. 4. Waktu istirahat selalu sendiri dan tidak ada yang menemani. Biasanya mengisi waktu istirahat dengan mendengarkan musik atau bermain game di gadgetnya. 5. Hasil penyebaran sosiometri yang dilakukan oleh guru BK menunjukkan bahwa dia sebagai orang yang diabaikan (neglected). 6. Jarang berkumpul dengan teman kelas (takut dicela). Satu hal yang menyebabkan perisakan berdampak mengerikan adalah pelakunya benar-benar meniatkan untuk melakukan tindakan tersebut. Namun, itu pun sebenarnya masih bisa dikendalikan. Pada saat yang bersamaan ketika kasus perisakan benar-benar diniatkan dan kemudian diketahui, maka para guru bisa sedini mungkin mencegahnya. Hal inilah yang paling tidak bisa mereka lakukan untuk mengendalikan dan mencegah maraknya kasus perisakan pada pelajar. Oleh karena itu perlu suatu kesadaran bersama untuk senantiasa berusaha sejak dini mencegah lahirnya perilaku perisakan ala premanisme di lingkungan sekolah. B. Metode Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi kasus yang berparadigma kualitatif. Data didapatkan peneliti dari sebuah kasus pada sebuah sekolah di Bandung. Dalam sekolah ini terdapat pelajar sebagai konseli yang terindikasi sebagai korban perilaku perisakan yang dilakukan oleh teman-temannya. Berdasarkan beberapa indikator yang muncul, konselor sebagai peneliti utama menyimpulkan masalah utama yang dialami oleh FF adalah terkait dengan kepercayaan dirinya. Kepercayaan diri tersebut berhubungan dengan kemampuannya mengatasi tekanan dalam lingkungannya belajar dan kecemasannya dalam bergaul bersama dengan temantemannya. Dalam hal ini, konseli menanggung trauma akibat rasa malu karena menjadi bahan olok-olokan temannya dengan ujaran verbal “babon”. Ujaran itu dikaitkan dengan rupa tubuh konseli yang secara signifikan dianggap berbeda (gemuk dan berkulit hitam) dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Penelitian ini dilakukan sebagai contoh penyikapan terhadap korban kasus perisakan yang menimpa pelajar. C. Hasil dan Pembahasan Dalam suatu institusi pendidikan, dalam hal ini misalnya sekolah tempat konseli FF belajar, semua orang bisa menjadi korban atau bahkan menjadi pelaku perisakan. Untuk mengatasinya diperlukan kebijakan yang bersifat menyeluruh di sekolah. Sebuah kebijakan yang melibatkan komponen dari guru sampai pelajar, dari kepala sekolah sampai orang tua murid. Akan tetapi, kebijakan hanya akan berlangsung baik apabila ada langkah yang nyata dari sekolah untuk menyadarkan seluruh komponen sekolah betapa perisakan sangat mengganggu proses belajar mengajar. Untuk itu salah satu yang bisa dipilih adalah membuat sebuah program anti perisakan di sekolah yang terimplementasikan dalam layanan Bimbingan dan Konseling. Peran dan kontribusi layanan Bimbingan dan Konseling sangat diperlukan dalam mencegah perilaku perisakan berkembang di sekolah. Konselor/guru BK bisa membantu dalam upaya untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam berperilaku terhadap pelajar untuk menghindarkan pelajar dari tindakan dan situasi terkait perisakan, agar mereka tidak menjadi pelakunya. Upaya untuk mencegah berkembangnya perilaku perisakan bisa diaplikasikan dalam bentuk layanan Bimbingan dan Konseling yang terdiri dari layanan dasar, layanan responsif, layanan perencanaan individual dan dukungan sistem. Adapun yang dimaksud dengan hal-hal tersebut yakni; 1. Layanan Dasar Layanan dasar merupakan layanan Bimbingan dan Konseling yang membangun kapasitas pelajar dalam hal melindungi dirinya dari pelaku perisakan dan tidak menjadi pelakunya. Untuk itu pelajar bisa diikutkan dalam pelatihan antiperisakan serta berpartisipasi aktif dalam kampanyenya di sekolah. Dalam tahap ini, metode dari pelajar untuk pelajar dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan. Adapun hal-hal yang bisa dilakukan oleh guru pembimbing atau konselor adalah sebagai berikut: a. Memberi pemahaman pada pelajar bahwa rasa aman adalah milik semua orang, dengan demikian tidak diperkenankan ada orang yang membuat kita merasa tidak nyaman. Mengenalkan pada pelajar apa saja yang membuat kita menjadi tidak nyaman sehingga pelajar dapat melindungi serta mengenali gejala awal adanya bahaya di sekitar mereka. Kegiatan ini dapat dilaksanakan terintegrasi pada mata pelajaran yang sebelumnya konselor atau guru pembimbing terlebih dahulu bekerjasama dengan guru mata pelajaran dan atau wali kelas. b. Mengadakan kegiatan talk show tentang perisakan. Di sini konselor dapat bekerjasama dengan mengundang ahli tentang masalah tersebut sebagai narasumber seperti pihak pakar pendidikan ataupun praktisi dan dosen-dosen serta peneliti dalam bidangnya yang ahli dalam bidang prisakan. Kegiatan tersebut tentu tidak hanya melulu mengenai pemberian informasi, akan tetapi dapat dikreasikan dengan berbagai kegiatan simulasi dan permainan seperti pembagian kuisioner tentang perisakan dan sebagainya. c. Meningkatkan rasa percaya diri pelajar sehingga mereka mampu mengembangkan diri dan kemampuan sosialnya agar tidak takut terhadap intimidasi yang dilakukan oleh pelaku perisakan. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan bimbingan teman sebaya. Dalam kegiatan bimbingan teman sebaya (peer guidance) akan ada interaksi dan muncul dinamika kelompok yang dapat membantu peserta didik untuk lebih terbuka dan menerima apa yang telah disepakati oleh kelompok. Pengalamanpengalaman individu dari hasil berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan yang lebih luas inilah yang akan menyebabkan perubahan yang positif pada diri individu. Selain dari itu pada kegiatan bimbingan teman sebaya akan terjadi komunikasi antara pemimpin dengan anggota kelompok atau antara sesama anggota kelompok sehingga terjadi interaksi yang menimbulkan pengalaman baru yang dapat memperkuat keyakinan pada diri seseorang bahwa ia mampu dan dapat menumbuhkan kepercayaan diri pelajar. Penelitian yang dilakukan oleh Buhrmester (via Santrock, 2003) mununjukkan pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya meningkat secara dramatis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan remaja dengan orangtua menurun secara dramatis pula. Hasil penelitian Buhrmester diperkuat oleh penelitian Nickerson & Nagel (Setya, 3:2011) bahwa pada masa remaja komunikasi dan kepercayaan terhadap orangtua berkurang dan beralih kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan dan kekuatan (attachment). Pendapat yang dikemukakan oleh Laursen (Setya, 3: 2011), teman sebaya merupakan faktor ang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Pendapat Laursen diperkuat oleh kenyataan yang terjadi pada remaja pada masyarakat modern seperti saat ini yang lebih banyak menghabiskan waktunya bersama dengan teman sebaya, sehingga teman sebaya dapat dijadikan sebagai sarana untuk memfasilitasi siswa agar mampu meningkatkan kepercayaan dirinya. d. Membuat semacam kotak saran atau kotak pengaduan di sekolah yang bertujuan untuk menampung saran dari pelajar yang dapat ditindaklanjuti sehingga mampu mencegah timbulnya korban-korban perilaku perisakan di sekolah. 2. Layanan Responsif Layanan responsif merupakan layanan yang bersifat kuratif untuk menangani pelajar yang menjadi korban maupun pelaku perisakan. Layanan ini bisa dilakukan dengan mengunakan metode konseling individual maupun konseling kelompok. Ada beberapa prinsip penanganan suatu tindakan perisakan yang perlu diidentifikasi sebelum kita memulai berhubungan dengan pelakunya. Beberapa diantaranya yakni; a. Perisakan dalam bentuk apapun merupakan tindakan yang tidak dapat diterima. b. Penyelidikan di awal sangat penting dilakukan. c. Para pelaku perisakan harus bisa mempertanggungjawabkan setiap tindakannya. d. Orang tua harus bertanggungjawab dengan anak-anaknya. e. Kegagalan mengatasi kasus perisakan akan menyebabkan kasus-kasus serupa timbul di masa yang akan datang. Adapun beberapa alternatif bantuan yang perlu diperhatikan dalam menangani korban perisakan semisal FF, yaitu: a. Alternatif pertama adalah pertama dengan mengidentifikasi faktor penyebab pelajar melakukan perilaku perisakan. Penanganan perilaku ini bukan hanya terbatas pada pelajar yang menjadi korban namun juga perlu penanganan terhadap temantemannya yang menjadi pelaku. Cari penyebab mereka melakukan hal tersebut. Penyebab perilaku tersebut tentu saja menjadi penentu penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan ditangani secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena pernah menjadi korban. Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya yang berbeda. b. Alternatif kedua adalah memasukan korban perisakan semisal FF ke dalam kelompok melalui setting bantuan psychological debriefing dengan melibatkan beberapa temannya (pelajar lain) yang telah diberikan pengarahan terkait dengan kegiatan yang akan dilakukan. Hal ini ditujukan untuk menumbuhkan perasaan diterima baginya oleh teman-temannya. Kelompok psychological debriefing ini terdiri dari satu orang pemimpin dan satu atau dua orang asisten pemimpin, proses psychological debriefing memerlukan pemimpin dan asisten pemimpin yang telah dilatih dan memiliki keterampilan praktik dalam penggunaan dan pemahaman permasalahan-permasalahan yang dimunculkan, seperti PTSD. Bantu pelajar/anggota kelompok mengatasi ketidaknyamanan yang dirasakan, jelaskan apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Dalam hal ini anggota kelompok diberikan pemahaman terkait dengan perilaku perisakan. c. Alternatif berikutnya adalah dengan mengggunakan teknik konseling RET melalui konfrontasi. Konfrontasi dilakukan untuk mengeliminasi keyakinan irasional korban perisakan semisal FF. Perasaan seolah tidak diterima dan selalu diolok-olok sehingga dia menjadi minder dan tidak percaya diri. Konfrontasi diharapkan dapat mengoreksi keyakinan irasionalnya sekaligus membantunya mengubah perilaku berdasarkan pengarahan yang diberikan. d. Alternatif bantuan selanjutnya adalah dengan menggunakan pendekatan konseling CBT melalui teknik coaching (pelatihan untuk meningkatkan kepercayaan diri). Masalah yang dialami korban perisakan semisal FF tidak hanya sebatas permasalahan merasa dan berfikir tetapi juga berperilaku. Hal ini bisa saja terjadi karena dia memiliki kecemasan sosial untuk berteman, maka diperlukan latihan keterampilan sosial juga (latihan bertindak). e. Pemberian tugas kelompok dan menetapkan konseli sebagai pemimpin kelompok. Rasa berbeda yang dimiliki konseli terutama dalam kondisi fisik yang inferior apalagi difabel (yakni pendek, gendut, pesek, keriting, hitam, pincang dan sebagainya) yang dianggap berbeda secara umum membuat konseli lebih menyenangi menyendiri. Ditinjau dari perspektif Adlerian, hal tersebut merupakan kesalahan dalam mencapai superioritas. Dalam teori Adler dijelaskan bahwa seseorang akan mencari upaya untuk menjadi superior sebagai kompensasi inferioritasnya dalam satu bidang. Kesalahan dalam proses menjadi superior ini akan berdampak pada perilaku yang menyimpang. Konseli memiliki potensi yang cukup baik dalam belajar. Upaya kompensasi untuk menjadi superior sebenarnya dapat dilakukan dengan cara lebih menonjolkan kemampuan belajarnya itu dalam settingan kelompok. Sehingga pemberian tugas kelompok dan menetapkan konseli sebagai pemimpin keompok dapat menjadi alternatif bantuan. f. Merubah lingkungan sosial pelajar. Pemberian layanan/alternatif bantuan dengan cara merubah lingkungan sosial pelajar ini merupakan alternatif terakhir dengan cara memindahkan pelajar korban perisakan semisal FF ke kelas lain. Walaupun demikian, pelaksanaan layanan ini tidak dapat menjamin keberhasilannya tidak menjadi korban perisakan lagi, karena bisa saja di kelas barunya dia akan mendapat perlakuan yang sama dari teman-temannya. 3. Layanan Perencanaan Individual Layanan perencanaan individual dalam hal mencegah perilaku perisakan salah satunya adalah dengan menyalurkan dorongan energi yang dimiliki pelajar pada kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan minat dan ketertarikan mereka. Hal ini dapat diaplikasikan dalam bidang olah raga, pramuka, kesenian, keagamaan, kelompok ilmiah remaja, pecinta alam dan sebagainya. Dengan demikian mereka akan disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Adapun beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh konselor/guru BK dalam melaksanakan layanan perencanaan individual adalah konselor/guru BK bekerjasama dengan pihak penyelenggara psikotes untuk mengetahui minat, bakat, kecerdasan umum dan kepribadian pelajar untuk kemudian diinterpretasikan sebagai bahan atau masukan bagi pelajar dalam memilih kegiatan ekstrakulikuler yang sesuai dengan potensi dirinya dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi pelajar yang membutuhkan informasi terkait dengan minat, bakat, dan kepribadiannya yang tergambarkan dalam hasil interpretasi psikotes. Selain itu, konselor dapat membantu pelajar korban ataupun pelaku untuk menumbuhkan self-esteem yang baik. Pelajar yang memiliki self esteem yang baik akan bersikap dan berpikir positif, menghargai dirinya sendiri, menghargai orang lain, percaya diri, optimis, dan berani mengatakan haknya. Bentuk layanan perencanaan individual lainnya dapat dilaksanakan oleh konselor dengan mengembangkan keterampilan sosial pelajar untuk menghadapi perisakan, baik sebagai sasaran atau sebagai bystander serta bagaimana mencari bantuan jika mendapat perlakuan perisakan, misalkan saja datang langsung ke ruangan guru BK ataupun memanfatkan kotak pengaduan yang telah disiapkan di lingkungan sekolahnya. 4. Dukungan Sistem Penanganan perisakan ataupun usaha untuk mencegahnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak tertentu, misalkan konselor sekolah saja atau kepala sekolah saja, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak yang ada di sekolah termasuk berbagai stakeholdernya misalkan orangtua pelajar. Dalam dukungan sistem ini, konselor hendaknya mampu membangun komunikasi dan kerja sama dalam menciptakan lingkungan sekolah yang menunjang dalam pencegahan perilaku tersebut. Upaya pencegahannya di sekolah harus dimulai dengan membentuk budaya sekolah yang beratmosfer ”belajar tanpa rasa takut” misalnya melalui pendidikan karakter, menciptakan kebijakan pencegahan perisakan di masing-masing sekolah dengan melibatkan pelajar, menciptakan sekolah model penerap sistem antiperisakan, serta membangun kesadaran tentang perisakan dan pencegahannya kepada stakeholders sampai ke tingkat rumah tangga dan RT/RW atau lingkungan sekitar sekolah. Tingkat keamanan sekolah dari perisakan atau tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya yang dilakukan guru, sesama pelajar, senior atau alumni bisa bergantung pada bagaimana interaksi guru dan murid di suatu sekolah dan aura lingkungan sekolah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah yang efektif mencegah tumbuhnya perisakan adalah sekolah yang terdapat hubungan antara guru dan pelajar yang sangat baik. Sekolahnya kecil dan nyaman, dalam arti hijau, para pelajarnya merasa bebas dan nyaman yang dapat dimulai dari lingkungan sekolah. Di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan pemahaman tentang perisakan dan dampaknya kepada semua stakeholder di sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga orang tua. Sosialisasi tentang program antiperisakan perlu dilakukan dalam tahap ini sehingga semua warga sekolah memahami dan mengerti apa itu perisakan dan dampaknya. D. Simpulan Pemberian bantuan bagi korban perisakan adalah untuk membantu pelajar pada umumnya dan FF pada khususnya agar memiliki perasaan diterima oleh temanteman di kelasnya. Hal ini diyakini akan mampu meningkatkan kembali rasa percaya diri mereka. Bantuan yang diberikan kepada pelajar korban perisakan khususnya dirancang dalam suasana kelompok, di mana dia belajar mengatasi masalahnya dalam suasana dinamika kelompok sehingga dapat membantu mengatasi masalahnya tersebut. Proses pemberian bantuan dapat diulang kembali apabila dia masih belum memahami permasalahan, belum menemukan solusi, dan belum dapat merencakanan tindakan yang akan dilakukannya di masa mendatang. Konselor/guru BK sejogjanya terus memantau perkembangan konseli (pelajar korban perisakan) dan memberikan tindak lanjut atas setiap perkembangan yang dicapainya. Tindak lanjut yang dapat dilakukan setelah dari proses pemberian bantuan kepada FF adalah dengan melakukan pemantauan secara berkala terhadap kondisinya. Untuk melihat perkembanganperkembangan positif yang dialaminya, tindak lanjut juga diberikan dengan cara membantunya untuk mengevaluasi diri berdasarkan pengalaman-pengalaman perilaku perisakan yang dialaminya. Misalnya, dengan bersama-sama meninjau perilaku interaksi dia bersama temantemannya selama di dalam kelas. Daftar Pustaka Coloroso, B. Penindas, Tertindas, dan Penonton; Resep Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU. Jakarta: 2006. Serambi Ilmu Pustaka.. Gunawan, A. W. Genius Learning Strategy. Jakarta: 2006. PT. Gramedia. Kinchin, D. A Guide to Psychological Debriefing: Managing Emotional Decompression and Post-Traumatic Stress Disorder. London: 2007. Jessica Kingsley Publishers. Rigby, K. Stop the Bullying: A Handbook for Schools. Camberwell: 2003. ACER. Santrock. J. W. Adolescence: Perkembangan Remaja. (Edisi keenam) Jakarta: 2003. Erlangga. Jurnal Olweus. Bullying at School Basic Fact and Effect of a School-based Intervention Program. Journal Child Psychol-Psych, 35 (1994): 1171-1190. Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. ”Gencet-Gencetan” di Mata Siswa/Siswi Kelas 1 SMA: Naskah Kognitif tentang Arti, Skenario, dan Dampak ”Gencet-Gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, 12.01 (2005): 1 – 13. Artikel Setya, B, A. Profil Kompetensi Pribadi Peer Helper yang Diharapkan oleh Siswa dan Guru Pada Siswa Sekolah Menengah Atas (Studi Pengembangan Instrument Pemilihan Peer Helper di SMA Negeri 3 Bandung Tahun Ajaran 2010/ 2011). Bandung: Skripsi Pada Jurusan PPB FIP UPI Bandung: Tidak diterbitkan. 2011. Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 Pasal 54. Sumber Online Hartiningsih, M. Bullying, Normalkah? Kompas [Online]. Tersedia: http://www.kompas.com/read/xml/2009/0 2/17/20025883/bullying.normalkah. 2009.