Cermin Dunia Kedokteran

advertisement
No. 49, 1988
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Diterbitkan oleh:
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma
Daftar Isi :
2. Editorial
Artikel:
Karya Sriwidodo
Alamat redaksi:
Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp.4892808
Penanggung jawab/Pimpinan umum:
Dr. Oen L.H.
Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani, Dr.
Budi Riyanto W.
Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bambang Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR.
Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. Victor
Siringoringo.
Redaksi Kehormatan: Prof. DR. Kusumanto
Setyonegoro, Dr. R.P. Sidabutar, Prof. DR.
B.Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, Prof.
Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. Sadrach.
No. Ijin : 151/SK/Dit Jen PPG/STT/1976, tgl.3
Juli 1976.
Pencetak : PT. Temprint.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak
selalu merupakan pandangan atau kebijakan
instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis
3. Masalah Penyakit Tidak Menular serta Kebijaksanaan
Penanganannya dalam Pelita IV
8. Registrasi Kanker
13. Karsinogen Kimiawi dan Mikokarsinogen
18. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan terjadinya Kanker
Payudara Pada Wanita di Beberapa Rumah Sakit di Jakarta
22. Pengukuran "Output" Radiasi Pesawat Radioterapi Pada
Rumah Sakit di Seluruh Indonesia
25. Penelitian Radiasi dan Kesehatan
27. Penelitian Bidang Radiologi dan Kesehatan
30.
33.
37.
41.
44.
47.
49.
55.
57.
59.
60.
Aktivitas Iodium Sebagai Germisida
Taman Penitipan Anak
Kelainan Jantung Pada Penyakit Kawasaki
Ilmu Kedokteran Pencegahan dalam Upaya Pemberantasan
Diare di Puskesmas Kabupaten Malang
Malaria Berat
Pengamatan Virus Dengue di Beberapa Kota di Indonesia,
1986
Pehanganan, Pengelolaan dan Pengembangbiakan Hewan
Percobaan
Pengalaman Praktek
Humor Ilmu Kedokteran
Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran
Abstrak-abstrak
Penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan yang terpenting di
negara-negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Akan tetapi,
dengan berubahnya pola kehidupan masyarakat yang berwujud sebagai
urbanisasi, meningkatnya sarana pendidikan; disertai tindakan-tindakan di
bidang kesehatan seperti perbaikan transportasi antara desa dan kota, masuknya listrik ke desa, makin efektifnya usaha-usaha pencegahan seperti imunisasi, perbaikan gizi dan pencegahan lingkungan; maim kasus-kasus penyakit
menular secara relatif akan berkurang, dan penyakit penyakit yang tergolong
tidak menular cenderung untuk meningkat.
Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, telah
mengadakan Seminar Penyakit Tidak Menular selama enam hari, yaitu dari
tanggal 5 Oktober 1987 sampai dengan 7 Oktober 1987, dan dari tanggal 21
Oktober 1987 sampai dengan 14 Oktober 1987. Topik-topik yang diseminarkan itu akan dimuat dalam majalah Cermin Dunia Kedokteran secara bersambung.
Untuk bagian pertama ini, akan dibahas tujuh topik, antara lain
– Masalah Penyakit Tidak Menular serta Kebijaksanaan Penanganannya
dalam Pelita IV
– Registrasi Kanker
– Karsinogen Kimiawi dan Mikokarsinogen
– Faktor-faktor yang berhubungan dengan Terjadinya Kanker Payudara
Pada Wanita di Beberapa Rumah Sakit di Jakarta
– Pengukuran "Output" Radiasi Pēsawat Radioterapi Pada Rumah Sakit di
Seluruh Indonesia
– Penelitian Radiasi dan Kesehatan
– Penelitian Bidang Radiologi dan Kesehatan.
Selamat membaca !
Redaksi
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 49, 1988
Artikel
Perkembangan Masalah AIDS
Suriadi Gunawan
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan salah satu segi dari kualitas hidup
yang tercermin pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia
yang meliputi sandang, pangan, perumahan, kesehatan, kesempatan memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak,
kebebasan dari rasa takut dan rasa tidak tentram, kebebasan
memeluk agama/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
kesempatan untuk mengembangkan daya cipta serta berkreasi,
yang sesungguhnya merupakan tujuan dan sasaran pokok
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Derajat kesehatan merupakan hasil interaksi dari empat
faktor: yakni faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan
dan keturunan.
Upaya kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan
penderita, secara berangsur-angsur berkembang ke arah
kesatuan upaya kesehatan yang mencakup upaya peningkatan
(promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan
pemulihan (rehabilitatif) yang terpadu dan berkesinambungan.
Upaya kesehatan dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
social budaya, ekonomi dan biologik yang bersifat dinamis dan
kompleks.
Untuk menghadapi tanīangan upaya kesehatan ini, perlu
disusun Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang merupakan
tatanan yang mencerminkan upaya bangsa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan mencapai derajat kesehatan yang
optimal, sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti
dimaksud dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Dasar-dasar pembangunan kesehatan nasional menurut
SKN adalah:
1) Semua warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan
yang optimal, agar dapat bekerja dan hidup layak sesuai dengan
martabat manusia.
2) Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam
memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat.
3) Penyelenggara upaya kesehatan diatur oleh pemerintah dan
dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan
masyarakat, serta dilaksanakan terutama melalui upaya
peningkatari dan pencegahan yang dilakukan secara terpadu
dengan upaya penyembuhan dan pemulihan yang diperlukan.
4) Setiap bentuk upaya kesehatan harus berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan -Ketuhanan Yang Maha Esa,
dengan mengutamakan kepentingan nasional, rakyat banyak
dan bukan semata-mata kepentingan golongan atau perorangan.
5) Sikap, suasana kekeluargaan, kegotong-royongan serta
semua potensi yang ada diarahkan dan dimanfaatkan sejauh
mungkin untuk pembangunan di bidang kesehatan.
6) Sesuai- dengan asas adil dan merata, hasil-hasil yang
dicapai dalam pembangunan kesehatan harus dapat dinikmati
secara merata oleh seluruh penduduk.
7) Semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum
dan wajib menjunjung tinggi dan mentaati segala ketentuan
perundang-undangan dalam bidang kesehatan.
8) Pembangunan kesehatan nasional berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepribadian bangsa.
POLA PENYAKIT DAN KECENDERUNGANNYA MENJELANG TAHUN 2000
Menurut survai kesehatan rumah tangga 1980, sebabsebab kematian yang terpenting ialah radang saluran pernafasan, diare, tetanus, tuberkulosis dan penyakit kardio-vaskulerr .
Kurang lebih separuh dari semua kematian di Indonesia
terjadi pada bayi dan anak di bawah lima tahun (balita).
Angka kematian bayi di Indonesia telah menurun. akan
tetapi masih cukup tinggi, kira-kira 90 per 1000 kelahiran
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
3
hidup. Sedangkan angka kematian balita umur 1–4 tahun masih
kira-kira 20 per 1000.
Lebih dari 70% kematian bayi disebabkan radang saluran
nafas, diare dan tetanus yang sebenarnya dapat dihindar kan'
dengan usaha preventif yang lebih efektif, antara lain meliputi
imunisasi, perbaikan gizi dan penyehatan lingkungan.
Pelayanan kuratif/pengobatan dalam hal ini sangat ter-baths
peranannya. `
Usaha-usaha menurunkan angka kematian telah mulai
menunjukkan hasilnya dan hal ini antara lain dilihat dari
meningkatnya umur harapan hidup waktu lahir yang kini
mencapai 55,5 tahun pada pria dan 57,2 tahun untuk wanita.
Faktor penting yang akan mempengaruhi kesehatan ialah
terjadinya perubahan pola kehidupan masyarakat yang makin
4cepat. Listrik dan televisi sudah/akan masuk desa, transportasi
yang lebih baik akan mendekatkan desa dengan kota dan
kesempatan memperoleh pendidikan menimbulkan harapanharapan buru.
Pulau Jawa dalam tahun 2000 akan menyerupai Island
City. Ditambah dengan pusat-pusat urbanisasi di luar Jawa,
Indonesia akan mengalami pengaruh urbanisasi. Perubahan
gaya hidup yang terjadi akibat urbanisasi dan meningkatnya
umur harapan hidup waktu lahir akan merubah polapenyakit.
Penyakit menular secara relatif akan berkurang, tetapi penyakit
tidak menular antara lain penyakit kardiovaskuler, kw-ricer,
diabetes, kecelakaan, keracunan, penyakit jiwa, penyakit sendi, degeneratif cenderung untuk meningkat.
Menurut survai kesehatan rumah tangga, dalam kurun
waktu tersebut telah terjadi kenaikan yang nyata dari penyakit
tidak menular (tabel 1 dan 2).
Tabel 1.
Pola sebab kematian penduduk menurut survai Kesehatan
Ramah Tangga tahun 1972 dan 1980.
No.
1.
DIAGNOSA
1972 (%)
1980 (%)
12,0
16,9
19,9
18,8
Radang akut saluran pernapasan bagian
bawah
. 2. Penyakit diare
3.
Penyakit kardiovaskuler
5,1
9,9
4.
Tuberkulosis
6,0
8,4
5.
Tetanus
4,6
6,5
6.
Penyakit susunan saraf
5,1
5,0
7.
Kelainan hati
8.
Cedcra dan kecelakaan
9.
Neoplasma/kanker
10. Tifus perut
11. Penyakit tnfeksi dan parasit lain
–
4,2
2,1
3,5
1,3
3,4
2,1
3,3
–
3,0
12. Komplikasi kehamilan dan persalinan
2,2
2,5
11. Penyakit neonatal
2,4
14. Lain-lain
40,0
6,8
15. Tidak jelas
–
4,8
Jumlah
100,0
100,0
• Penyakit kardiovaskuler,. menyebabkan 9,9% dari semua
kematian, dan prevalensinya 5,9 per 1000 penduduk. Tahun
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
Tabel 2.
Perbandingan pola penyakit yang prevalen menurut Survai
Kesehatan Ruttish Tangga dalam Tahun 1972 dan 1980.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Penyakit
1972
Jumlah
per
Pende100
rita
Radang saluran pernafasan
bagian atas
Penyakit kulit
Radang saluran pernafasan
bagian bawah
Penyakit diare
Tuberkulosis
Radang mata
Penyakit kardiovaskuler
Penyakit susunan otot rangka
dan jaringan ikat lain
Malaria
Anemia
Penyakit susunan saraf
Penyakit rematik
Penyakit gigi dan jaringan
penyangga
Penyakit infeksi dan parasit
Kecelakaan
Lain-lain
Jumlah
5.547
1980
Jumlah
Per
Pende100
rita
980
721
0,9
0,6
3.796
1.013
3,1
0,8
422
297
577
244
120
0,4
0,3
0,5
0,2
0,1
1.041
947
732
451
717
0,9
0,8
0,6
0,4
.0,6
26
279
182
74
94
0,0
0,2
0,2
0,1
0,1
442
219
250
254
321
0,4
0,2
0,2
0,2
0,3
70
170
55
1.319
0,1
0,1
0,1
1,2
293
268
248
2.937
0,2
0,2
0,2
2,4
13.929
1980 diperkirakan terdapat 855.000 penderita penyakit
kardiovaskuler dan 177.000 kematian. Sejak tahun 1970 terjadi
perubahan pola penyakit kardiovaskuler, di mana penyakit
jantung iskemik menggeser penyakit jantung rematik pada
tempat pertama. Di suatu desa di Jawa Tengah, prevalensi
penyakit jantung 1,8% dari penduduk; 46,4% penyakit jantung
iskemik; 17,9% penyakit jantung rematik; 14,3% penyakit
jantung hipertensi; 10,7% Penyakit jantung bawaan dan 7,1%
penyakit jantung pulmonik .
Faktor risiko penting untuk penyakit jantung iskemik ialah
merokok, hipertensi, hiperkolesterolemi, obesitas, diabetes dan
ketegangan jiwa/stres. Faktor-faktor tersebut di atas cenderung
meningkat dhnasa yang akan datang. Hipertensi cukup luas
terdapat di Indonesia, di man berbagai survai menghasilkan
prevalensi yang berkisar antara 6 – 15%. Prevalensi tersebut
meningkat dengan umur, sehingga pada golongan usia di atas
50 tahun mencapai lebih dari 20%. Diabetes mellitus juga
menjadi faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung. Survai
Universitas Diponegoro menunjukkan, 1,46% dari penduduk di
atas 14 tahun di Semarang menderita diabetes3. Penyakit
jantung pulmonik masih sering dijumpai dan faktor
pen3iebabnya ialah penyakit paru-paru menahun, merokok dan
polusi udara. Penyakit jantung bawaan diperkirakan
mempunyai insidensi sebesar 0,8% dari jumlah kelahiran.
Diperkirakan setiap tahun lahir sekitar 45.000 bayi dengan
kelainan jantung bawaan.
• Penyakit kanker, mempunyai insidensi minimal 50 per
100.000 penduduk. Insidensi yang lebih realistik untuk
Indonesia diperkirakan 100 per 100.000 penduduk4. Diperkirakan akan terjadi 10.000 kasus kanker baru dalam tahun
1985. Jumlah kasus seluruhnya diperkirakan sekitar
400.000 orang. Dalam survai kesehatan rumah tangga tahun
1972, ditemukan 1,4% dari kematian disebabkan kanker,
sedangkan dalam tahun 1980 angka tersebut mencapai 3,9%.
Lokasi kanker yang paling sering ditemukan ialah: leher rahim,
payudara, kulit, nasofaring, hati, kelenjar getah bening, paruparu, indung telur, usus besar/rektum dan kelenjar gondok.
Dengan perkembangan sisio-ekonomi dan peningkatan umur
harapan hidup, pola penyakit 1 anker akan berubah. Secara
relatif kanker paru, payudara, indung telur, badan rahim, usus
besar, pankreas dan prostat akan bertambah. Sebaliknya kanker
hati, leher rahim, mulut dan kulit akan berkurang. Di Rumah
Sakit Soetomo Surabaya penderita kanker merupakan 2,3%
dari semua penderita yang dirawat dan dalam tahun 1974 –
1978 terjadi kenaikan rata-rata 20% pertahun. Sebagian besar
penderita datang dalam stadium lanjut, dan. yang datang
stadium dini (stadium II ke bawah) hanya 17,4% untuk kanker
payudara dan 23,3% untuk kanker leher rahims.
• Kecelakaan/cedera, prevalensinya diperkirakan 2 per
1000 penduduk, sedangkan kematian akibat kecelakaan/ cedera
merupakan 3,5% dari semua kematianl. Kecelakaan lalu lintas
terus bertambah setiap tahun antara 9,1% sampai 13,8% (1970–
.
1980). Dalam tahun 1980 terjadi 51.387 kecelakaan lalu lintas
yang mengakibatkan 11.456 kematian dan 59.771 luka-luka6.
Penderita kecelakaan/cedera yang dirawat di Rumah Sakit
merupakan 10% dari semua pen: derita yang dirawat dalam
tahun 1980 dan 4% dari morbiditas di Lombok dan 7% di
Yogjakarta disebabkan kecelakaan.
Penderita yang dirawat di bagian bedah rumah-sakit
Karyadi Semarang akibat kecelakaan lalu lintas adalah : cedera
otak 60%, patah lengan atas 9%, patah tulang tengkorak/
punggung/dada 7,5% dan cedera bagian dada/perut/pinggul
2%7. Penelitian di 11 rumah sakit di Jakarta dalam tahun 1972
menemukan 437 kasus keracunan dengan case fatality rate
4,2%. Sebab-sebab keracunan terpenting yang ditemukan ialah
jenf,kol, minyak tanah, barbiturat, singkong, salisilat dan
pestisida .
• Psikosis, diperkirakan prevalensinya 1–3 per 1000 penduduk dan Neurosis 40–60 per 1000 penduduk9. Penelitian di
Kecamatan Tambora, Jakarta menunjukkan sekitar 20% dari
pengunjung Puskesmas menderita gangguan mental emosional.
• Karies dentis, sangat tinggi prevalensinya, 57% pada
penduduk berumur 8 tahun (DMFT rata-rata 1,23) dan
meningkat menjadi 83% pada penduduk usia 35–44 tahun
(DMFT rata-rata 5,27)9.
UPAYA PEMBERANTASAN PENYAKIT TIDAK MENULAR
Salah satu pokok upaya kesehatan menurut SKN ialah pencogahan dan pemberantasan penyakit yang bertujuan untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah
akibat buruk lebih .lanjut dari penyakit10. Dalam menentukan
penyakit mana yang diberantas dipertimbangkan halhal sebagai
berikut :
a. Angka kesakitan atau angka kematian yang tinggi
b. Yang dapat menimbulkan wabah
c. Yang terutama menyerang anak-anak, ibu dan angkatan
kerja
d. Yang terutama menyerang daerah-daerah pembangunan
sosial ekonomi
e. Adanya metode dan teknologi efektif
f. Adanya ikatan internasional.
Tujuan dan sasaran upaya pemberantasan penyakit tidak menular dalam Repelita IV ialahll
1) Mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler, kanker, kecelakaan dan penyakit tidak menular
lainnya.
2) Meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat
untuk hidup sehat dan menolong dirinya sendiri dalam bidang
kesehatan.
3) Peningkatan sarana kesehatan untuk mengatasi penyakit
tidak menular.
4) Perbaikan mutu lingkungan hidup yang menjamin kesehatan/mencegah penyakit.
Kebijaksanaan yang perlu ditempuh ialah sebagai berikut:
1) Upaya didasarkan pada preventif dan promotif.
2) Kegiatan pelayanan kuratif dan rehabilitatif diutamakan
pada pengobatan jalan.
3) Upaya kesehatan dilakukan dengan menggunakan hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat
guna, dan biayanya dapat dipikul oleh masyarakat dan negara.
4) Pelayanan kesehatan diutamakan untuk golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dengan peran serta aktif dari
masyarakat.
5) Upaya dilaksanakan dalam kerjasama lintas sektoral dengan
semua bidang yang berkaitan dengan kesehatan/masalah penyakit tidak menular.
Langkah-langkah yang perlu diambil meliputi :
1) Pengumpulan data dan penelitian tentang masalah penyakit
tidak menular.
2) Menyiapkan wadah dalam struktur Departemen Kesehatan
untuk menanggulangi masalah penyakit tidak menular.
3) Pengaturan dan koordinasi berbagai kegiatan penyuluhan
untuk memberantas penyakit tidak menular, antara lain usaha
untuk mengurangi kebiasaan merokok, mengurangi kecelakaan
dan sebagainya.
4) Peningkatan sarana untuk menanggulangi penyakit tidak
menular.
5) Mengadakanpilot project screeningselektif untuk menemukan golongan risiko tinggi antara lain untuk hipertensi, kanker
tertentu, diabetes dan penyakit lainnya pada Puskesmas di
daerah tertentu.
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
Upaya penelitian dan pengembangan kesehatan bertujuan
untuk memberikan sarana cipta ilmiah dan teknologi yang diperlukan dalam pembangunan kesehatan dan diharapkan
mampu memberi masukan berupa :
1) Pengertian yang lebih baik mengenai masalah-masalah kesehatan di negara kita.
2) Saran mengenai kebijaksanaan untuk mengatasi masalahmasalah kesehatan yang ada atau yang mungkin timbul.
3) Teknologi yang lebih efisien dan efektif dari pada yang
dipakai sekarang.
4) Pemikiran yang inovatif di bidang pemberian pelayanan
kesehatan supaya lebih merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
5
5) Informasi mengenai segala sesuatu yang akan menghambat
atau dapat mempercepat pencapaian tujuan dan sarana pembangunan kesehatan.
Upaya litbang kesehatan juga merupakan salah satu
komponen sistem ilmu pengetahuan dan teknologi nasional.
Semua langkah yang diambil harus searah dengan kebijaksanaan Menteri Negara Riset dan teknologi dalam mengembangkan
kemampuan nasional di bidang riset dan teknologi dalam
rangka menunjang transformasi masyarakat agraris menuju
industrialisasit 2
Masalah penelitian yang perlu ditangani dapat dikelompokkan dalam permasalahan yang menyangkut derajat kesehatan, upaya kesehatan- serta manajemen upaya kesehatan
dan partisipasi masyarakat, yang meliputi antara lain :
1)1Conseptualisasi dan pengertian kualitas hidup dalam
konteks pembangunan kesehatan.
2) Monitoring derajat kesehatan untuk mengetahui kecenderungannya.
3) Perkiraan masalah dan gangguan kesehatan pada waktu ini
dan masa yang akan datang dan perumusan strategi penanggulangannya.
4) Pengembangan berbagai teknologi atau metode untuk
menanggulangi masalah kesehatan yang menyangkut rakyat
banyak.
5) Pengkajian cara-cara tradisional mengenai penggunaan obat
dan pengobatan untuk dipadukan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern guna mempercepat tercapainya sasaran
pembanguhan kesehatan.
6) Pengkajian mengenai kondisi sosial budaya dan potensi
swadaya masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatannya
sendiri.
7) Penelitian untuk memperoleh pengertian tentang proses
pengambilan keputusan di berbagai tingkat pemerintahan
maupun masyarakat.
8) Penelitian mengenai sistem pelayanan kesehatan serta
pembiayaannya.
9) Telaah mengenai peranan hukum di bidang kesehatan yang
meliputi hak, kewajiban dan keadilan yang menyangkut
kesehatan.
10) Pengembangan usaha preventif/promotif dan cara-cara
hidup sehat yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakatl3.
PENELITIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR
Penelitian penyakit tidak menular diarahkan untuk mengetahui besarnya masalah dan mengembangkan metodologi
penanggulangannya yang dilaksanakan dengan mengutamakan
pertibahan perilaku masyarakat, perbaikan lingkungan hidup
dan periggunaan teknologi secara tepat guna.
Langkah-langkah yang perlu diambil meli puti antara lain:
1) Mengembangkan standardisasi, klasifikasi dan registrasi
penyakit.
2) Melaksanakan studi epidemiologi (deskriptif dan analitik).
3) Mengembangkan studi intervensi misalnya dalam bentuk
proyek panduan.
4) Mengembangkan studi evaluatif program dan kegiatan yang
dilaksanakan.
Beberapa kelompok penyakit yang perlu mendapat perhatian ialah :
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
1. Penyakit kanker.
2. Penyakit kardiovaskuler.
3. Penyakit endokrin dan metabolik antara lain diabetes
dan penyakit kelenjar tiroid.
4. Penyakit gigidan mulut.
5. Kecelakaan dan penyakit akibat pekerjaan.
6. Penyakit jiwa dan syaraf.
7. Penyakit alatpancaindera.
8. Penyakit respiratorik kronik.
9. Penyakit sendi dan rernatik.
10. Penyakit bawaan & keturunan.
11. Penyakit akibat radiasi.
12. Lain-lain penyakit dan gangguan kesehatan kronik.
Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular (PPPTM) dibentuk dengan SK Menteri Kesehatan No. 558/Menkes/SK/
1984 tanggal 31 Oktober 1984 sebagai lanjutan dari Pusat
Penelitian Kanker dan Pengembangan Radiologi.
PPPTM bertugas melaksanakan penelitian penyakit tidak
menular berdasarkan kebijaksanaan. teknis Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan peraturan perundang-undangan yang bt:rlaku. Pada saat ini PPPTM mempunyai lima puluh orang pegawai yang setengahnya adalah
tenaga teknis (sarjana dan sarja muda) tetapi baru tiga orang
yang berstatus fungsional peneliti.
Anggaran rutin PPPTM tahun 1985/1986 berjumlah Rp.
81,8 juta dan Rp. 58,8 juta di antaranya ialah untuk belanja
pegawai.
Anggaran pembangunan (proyek penelitian penyakit tidak
menular) tahun 1985/1986 berjumlah Rp. 45.887.000,00 dan
ini merupakan 5% dari DIP Badan Litbang Kesehatan sebesar
Rp. 841.275.000,00.
Untuk meningkatkan kegiatan penelitian penyakit tidak
menular perlu dikembangkan suatu jaringan kerjasama antara
Departemen Kesehatan, Universitas/Konsorsium Ilmu Kesehatan, dan badan-badan lain, baik pemerintah maupun swasta.
Lampiran
Proyek Penelitian 1982–1985
Pusat Penelitian penyakit Tidak Menular
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
1.
2.
Penelitian epidemiologi kecelakaan lalu lintas di Jakarta.
Penelitian 131–I uptake dan scanning normal kelenjar gondok di
Sukabumi.
3. Survai penyakit periodontal pada penduduk usia produktif di
Jawa Barat.
4. Penelitian registrasi kanker Population Based di Yogjakarta.
5. Survai beberapa• faktor risiko dari penyakit jantung koroner di
Jakarta.
6. Penelitian kalibrasi output pesawat radioterapi.
7. Penelitian kesehatan pegawai negeri yang menduduki jabatan
eselon I, II dan III di Jakarta.
8. Survai kesehatan kerja pada industri kecil dan petani di wilayah Jabotabek.
9. Penelitian frekuensi dan jenis gangguan mental emosional pada
pengunjung Puskesmas Tambora, Jakarta.
10. Penelitian pola penyakit pada penduduk di daerah slum Jakarta.
11. Penelitian gangguan metabolisme pada pasien retardasi mental
di Jakarta.
12. Survai kesehatan gigi pada anak SD UKGS dan Non UKGS di
Jawa Tengah dan di DKI Jakarta.
13. Survai penyakit jantung pada masyarakat pedesaan di Ungaran Jawa
Tengah.
14. Penelitian pengobatan otitis media akutadengan H2O2 di Surabaya.
15. Penelitian prevalensi hipertensi di Depok.
16. Penelitian pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga mengenai
kanker di Cimanggis, Jawa Barat.
17. Penelitian eksplorasi terhadap sebab-sebab terjadinya kebiasaan
merokok pada masyarakat Surakarta.
18. Penelitian registrasi kanker Hospital Based di Bandung, Jogjakarta
dan Surabaya.
19. Penelitian registrasi kanker di 17 laboratorium patologi.
20. Penelitian pengaruh erobik terhadap derajat kesehatan jasmani
pada beberapa kelompok masyarakat di Surakarta.
21. Penelitian penyakit jantung koroner pada dokter RSCM/FKUI.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
Rencana pokok Program Pembangunan Jangka Panjang Bidang
Kesehatan 1983/1984 – 1988/1989: Departemen Kesehatan RI
Jakarta, 1983.
Rencana Pembangunan 5 tahun ke empat 1984/1985 – 1988/
1989. Buku III khususnya Bab. 22 (Ilmu Pengetahuan, teknologi
dan penelitian) dan Bab. 23 (kesehatan). Departemen Penerangan
RI, Jakarta 1984.
Kebijaksanaan dan rencana Jangka Panjang Pengembangan Penelitian
bidang Kesehatan, Konsorsium Ilmu Kedokteran. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI Jakarta, 1982.
Pola Dasar Pengembangan Kemampuan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Badan Litbang Kesehatan, Jakarta
1985.
Loedin AA. Pendekatan baru dalam penelitian kesehatan badan
Litbangkes. Jakarta, 1981.
6. Ratna P Budiarso click. Laporan Survai Kesehatan Rumah Tangga
1980. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan,
Jakarta, 1981.
7. Djokomoeljanto R et al. A Community study of diabetes mellitus
in an urban population in Semarang, Indonesia Second Symposium of
Diabetes in Asia, Japan, 1975.
8. Boedhi Darmojo R. Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia Makalah
Seminar. Penyakit Kardiovaskuler, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta,
28 – 29 September 1981.
9. Suriadi Gunawan; Laporan Hasil Penelitian Bidang Penyakit Tidak
Menular dan Radiologi 1975 – 1983. Pusat Penelitian Kanker dan
Pengembangan Radiologi Badan Litbang Kesehatan, Jakarta,
1983.
10. Sistem Kesehatan Nasional. Departemen Kesehatan R.I. Jakarta,
1982.
11. Suriadi Gunawan. Program Penelitian Penyakit Tidak Menular. Makalah
Penataran Tenaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Badan
Litbang Kesehatan, 10 Februari – 1 Maret 1986.
12. Munir R dkk. Morbiditas dan Mortalitas di Indonsia; Suatu penelitian pada
6 desa di Yogjakarta dan Lombok, 1980. Lembaga Demografi FEUI,
Jakarta.
13. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran : Penelitian sebab sebab
kematian
di
masyarakat,
Kotamadya
Bandung.
Laporan
Penelitian Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Universitas
Padjadjaran 1981/1982, Bandung.
14. Sukarja IDG. Masalah Kanker di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya.
Naskah Seminar Kanker Badan Litbangkes., tanggal 28–29
Agustus 1980, Jakarta.
5.
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
7
Registrasi Kanker
Dr Marwoto Partoatmodjo
Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular Badan Penelitfan dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Jakarta.
Penanggulangan penyakit kanker di Indonsia belum dimasukkan dalam program yang diprioritaskan dalam upaya
kesehatan nasional, karena masih banyak masalah-masalah lain
yang lebih mendesak yang harus ditanggulangi seperti penyakit
infeksi, angka kematian yang tinggi pada anak balita, dan lain
sebagainya.
Ini tidak berarti bahwa masalah kanker tidak ada di Indonesia, sebab di kemudian hari bila masalah-masalah penyakit
infeksi, dan lain-lainnya sudah dapat diatasi, maka masalah
kanker akan tampak lebih menonjol. Tidaklah benar anggapan
yang berpendapat, kanker adalah suatu penyakit di negaranegara industri Barat saja. Diperkirakan setengah dari insidensi
kanker setiap tahun, yang.berjumlah 5,8 juta kasus di seluruh
dunia, berasal dari negara sedang berkembang dan bagian ini
dperkirakan akan terus bertambah, antara lain karena perubahan demografik (pertambahan penduduk, pertambahan
golongan manula) dan'perubahan lingkungan (bertambahnya
urbanisasi dan meniru-niru cara hidup dan kebiasaan Barat).
Sebelum dapat direncanakan suatu program penanggulangan penyakit kanker yang lebih baik, pertama-tama hells ada
gambaran dari pola penyakit tersebut untuk itu perlu data
statistik dari penyakit kanker yang diperoleh dari registrasi.
Statistik yang baik dapat membantu menentukan programprogram mana yang harus diprioritaskan dalam menanggulangi
masalah kesehatan, apakah itu penyakit kanker atau masalah
kesehatan yang lain. Sedangkan untuk masalah kanker sendiri,
jenis jenis mana yang harus diprioritaskan dalam penanggulangannya. Selain itu juga dipakai untuk mengidentifikasi
kelompok-kelompok masyarakat yang menanggung risiko
tinggiuntuk suatu jenis kanker tertentu, yang perlu program
penanggulangan khusus. Juga dapat dipakai sebagai dasar
dalam penilaian keberhasilan suatu program penanggulangan.
Variasi pola penyakit kanker sangat dipengaruhi oleh
lingkungan, masyarakat (manusianya) dan waktu. Maka bila.
registrasi sudah dapat dilakukan dengan baik, tidaklah mus-
8
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
tahil jika nanti dijumpai variasi pola kanker yang berbedabeda untuk daerah-daerah di Inaonesia.
Suatu registrasi yang dapat mencerminkan insidensi sebenarnya dari suatu penyakit adalah suatu Population Based
Registration. Suatu Population Based Cancer Registration di
Indonesia yang bersifat nasional masih terlalu sulit pelaksanaannya, baik yang menyangkut segi biaya, tenaga
maupun sarana.
Suatu Hospital Based Cancer Registration tampaknya
lebih mudah dikerjakan karena biayanya akan lebih sedikit
namun, masih diperlukan tenaga yang berdedikasi dan kerjasama yang baik. Bagian Catatan Medik suatu rumah sakit akan
dapat membantu banyak dalam pelaksanaan registrasi ini, bila
mendapat tambahan tenaga tersebut dan ada kerja sama yang
baik antara bagian-bagian dengan bagian Catatan Medik dari
rumah sakit. Namun angka yang diperoleh bukanlah angka
insidensi nasional. Data yang diperoleh lebih banyak dipakai
untuk keperluan rumah sakit itu sendiri, antara lain untuk
memudahkan follow up, memperoleh data mengenai penderita
yang sembuh mengenai cara pengobatan dan riwayat
penyakitnya, untuk merencanakan rumah sakit itu sendiri,
namun juga untuk membantu penyelenggaraan registrasi yang
lebih luas (Population Based Registries) dan sebagainya.
Registrasi yang lebih sederhana ialah Pathology Based
Cancer Registration. Lebih sederhana karena jumlah laboratorium masih terbatas, dan data hasil pemeriksaannya telah tersedia. Namiin, kegunaannya juga terbatas yaitu minimum
insidensi frekuensi relatif, distribusi geografis jenis-jenis
tumor, dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi masalah
kanker di suatu daerah atau untuk menilai hasil dari suatu
program penanggulangannya. Agar diperoleh-hasil yang lebih
baikperlu diikutsertakan juga bagian-bagian sitologi dan
hematologi.
Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, bekerja sama dengan peneliti
dari bagian lain di luar Badan Litbang telah melakukan
penelitian registrasi kanker, baik Population Based maupun
Hospital Based dan Pathology Based.
REGISTRASI KANKER DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO TAHUN 1975–1978
Penelitian registrasi ini bersifat prospektif dan dilakukan
selama 3 tahun. Data diambil dari flap Bagian atau Unit di
RSCM. Untuk melaksanakan tugas tersebut telah dibentuk
suatu panitya yang susunannya ditentukan oleh Kepala RSCM
dan Dekan FKUI. Oleh panitia dibuat suatu forn}ulir registrasi
yang mencatat 30 variabel mengenai kasus kanker. Formulir
dikumpulkan sebulan sekali.
Hasilnya adalah sebagai berikut :
– Tahun 1975–1976 tercatat 492 kasus.
– Tahun 1976–1977 tercatat 962 kasus.
– Tahun 1977–1978 tercatat 1152 kasus.
– Jumlah seluruhnya ada : 2606 kasus, laki-laki ada 846 dan
perempuan 1760.
Urutan kelompok umur penderita adalah sebagai berikut umur
40-49 tahun (20,87%) umur 30-39 tahun (15,54%) dan umur
50–59 tahun (13,28%).
Berdasarkan lokasi urutannya adalah serviks uteri (ICD 180)
24,3%, payudara (ICD 174) 14,7% dan nasofaring (lCD 147)
4,8%. Data tersebut di atas belum lengkap, karena variabel
dalam formulir yang tersedia tidak dapat diisi sepenuhnya
hanya sebagian saja dari data yang dapat diisi. Hal ini disebabkan karena data yang ada di catatan medik belum lengkap,
antara lain karena koordinasi antara Bagian-bagian dengan
Catatan Medik Pusat belum berjalan sebagaimana mestinya.
Untuk registrasi kanker yang baik di rumah sakit-rumah saldt
perlu sarana yang lengkap di Catatan Medik Pusat dengan
petugas-petugas yang dididik/terlatih, penuh dedikasi dan biaya
yang cukup.
SURVEI KANKER DI 17 RUMAH SAKIT DI JAKARTA
Telah dilakukan survei penyakit kanker yang bersifat
retrospektif pada tahun 1978 di 17 rumah sakit di Jakarta
untuk penderita yang dirawat selama tahun 1977 berdasar data
dari Catatan Medik Pusat dan dilakukan di bawah pengawasan
dokter (Lihat Tabel 1).
Hasilnya adalah sebagai berikut :
Variabel yang dapat diisi hanya 30–40%. Kasus yang dilaporkan berjumlah 2056 kasus, ini merupakan 1,2% dari
semua penderita, untuk semua penyakit yang dirawat. Perbandingan penderita wanita : pria, kurang lebih 3 : 2 (1183 :
873). Kelompok umur berkisar antara 0 . sampai lebih dari 80
tahun. Kasus terbanyak, pada kelompok umur 30 sampai 59
tahun, dengan puncak pada umur 45 sampai 50 tahun (Lihat
Tabel 2). Dari semua kasus hanya 747 kasus mendapat
pemeriksaan histopatologik, 202 kasus sitologik dan 147
kasus hematologik. Pada wanita, kanker serviks uteri merupakan yang terbanyak 36.5%, payudara 15,3%, dan ovarium
5,6%. Sedang pada pria kanker paru menduduki tempat teratas 18,1%, hati 17.9%, dan nasofaring 14,3%. Urutan sepuluh
macam kanker terbanyak berdasarkan lokasi dan umur dapat
dilihat pada Tabel 2.
Dari 45 kelompok lokasi, kasus di sepuluh lokasi terbanyak
berjumlah 75% (1577/2056) dari seluruh kasus kanker yang
dilaporkan. Dari 1577 kasus ini, 454 penderita tidak ditantumkan suku bangsa (Lihat tabel 3).
Berdasarkan pekerjaan dari 1577 kasus, 647 penderita disertai
Tabel 1.
Jumlah kasus kanker berdasarkan jenis kelamin di 17 Rumah
Sakit di Jakarta tahun 1987.
Jumlah penderita
Nama rumah sakit
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
7.
Cipto Mangunkusumo
St. Carolus
Kanker
Sumber Waras
Persahabatan
Husada
Cikini
Gatot Subroto
Fatmawati
Pertamina
Pelni
Islam
Budi Kemulyaan
Jakarta
Mintoharjo
Koja
Atmajaya
Jumlah
Jumlah
Wanita
Pria
520
117
129
82
54
54
65
72
28
13
11
7
13
7
7
2
1
237
108
72
109
100
76
53
37
27
14
11
14
0
4
4
4
3
757
225
201
191
154
130
118
110
55
27
22
21
13
11
11
6
4
1.183
873
2.056
keterangan mengenai jenis pekerjaan, yang masih dicantumkan
sebagai status penderita, bukan jenis pekerjaan yang sebenarnya.
PENELITIAN REGISTRASI "HOSPITAL BASED" DI
RUMAH SAKIT-RUMAH SAKIT KABUPATEN JAWA
BARAT.
Penelitian ini bersifat retrospektif dengan mengumpulkan
penderita kanker yang dirawat di 7 rumah sakit selama tahun
1978.
Hasilnya adalah sebagai berikut :
1. RSU Bekasi (Kabupaten Bekasi)
2. RSU Kerawang (Kabupaten Kerawang)
3. RSU PMI (Kabupaten Bogor)
4. RSU Syamsudin (Kabupaten Sukabumi)
5. RSU Serang (Kabupaten Serang)
6. RSU Kebon Jati (Kabupaten Bandung)
7. RSU Tasikmalaya (Kabupaten Tasikmalaya)
Jumlah kasus
7 kasus
65 kasus
115 kasus
83 kasus
15 kasus
39 kasus
42 kasus'
367 kasus
Kanker terbanyak yang dilaporkan berdasarkan lokasi adalah
1. Payudara (ICD 174)
16,3%
2. Serviks uteri (ICD 180)
8,9%
3. Kulit (ICD 173)
5,1%
4. H a t i (ICD 155)
4,9%
5. Jaringan lunak (ICD 171)
5,1%
Berdasarkan umur penderita, kanker terbanyak pada wanita
adalah kelompok umur 40–49 tahun dan pria umur 50–59
tahun. Pengisian variabel dalam formulir hanya sekitar 35%
saja.
PENELITIAN REGISTRASI KANKER "PATHOLOGY
BASED" PADA TAHUN 1979 DI 13 PUSAT PATOLOGI
DI INDONESIA
Data yang diinginkan dikelompokkan menjadi 3 golongan
I. Data umum penderita,
II. Data klinis,
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
9
Tabel 2.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Jumlah kasus kanker terbanyak berdasarkan lokasi dan umur di 17 rumah sakit di Jakarta tahun
1977.
Umur
ICD
IX
180
162
155
174
175
147
154
208
200
183
153
Lokasi
10–
20–
30–
40–
50–
60–
70–
80+
N.S.
–
3
1
–
4
4,
2
10
5
10
5
109
15
46
47
136
50
39
56
105
66
55
45
56
57
36
18
8
19
16
6
8.
6
2
2
3
–
3
–
432
222
214
182
2
–
7
1
5
–
1-74
13
6
16
6
34
18
8
17
60
17
18
20
44
19
8
18
11
17
5
3
4
5
4
6
–
–
–
1
–
2
–
–
173
84
77
76
–
–
7
–
10
9
9
7
18
5
15
10
6
11
1
6
1
2
–
67
50
14
37
90
310
419
282
220
75
22
8
1577
Serviks Uteri
Paru-paru
Hati
Payudara
Nasofaring
Rektum
Lekemia
Limfosarkoma
dst
Ovarium
Kolon
Total
N.S.:
Not Specified (Tanpa keterangan).
2 Kanker payudara pada pria.
10 kasus terbanyak
1577
3
=
=
2056
4
semua kasus
Tabel 3.
No.
Jumlah kasus kanker terbanyak berdasarkan golongan etnik
di 17 rumah sakit di Jakarta tahun 1977.
Lokasi
ICD IX
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Cerviks Uteri
Paru-paru
Hati
Payudara
Nasofaring
Rektum
Lekemia
Limposarkoma
dst
9. Qvarium
10. Kolon
Jumlah
Etnik
Jawa
Sumatra Cina
Jumlah
Lain
N.S.
186
99
97
49
81
26
28
24
22
23
18
8
18
3
6
8
110
50
33
18
26
15
15
5
23
10
8
4
9
6
7
6
91
40
58
103
39
34
21
33
432
222
214
182
173
84
77
76
45
6
2
3
12
14
–
–
8
27
67
50
641
111 1
298
73
454
1577
N.S.: Not Specified (Tanpa keterangan).
454 Tanpa keterangan = 29%.
III. Data Bagian Patologi Anatomik, dengan kurang lebih 35
variabel.
Penelitian ini merupakan survei retrospektif untuk kasuskasus kanker tahun 1977; 1978 dan 1979. Jumlah kasus yang
terkumpul 24711 dengan perincian seperti tercantum dalam
Tabel 5.
Jumlah kasus terbanyak di 10 lokasi dapat dilihat pada
rabel 6. Pengisian formulir dinilai kurang, walaupun data
mengenai laboratorium asal, tahun diagnosa, jenis kelamin,
umur dan No.mor ICD dapat dilengkapi. Dari data ini masih
dapat diketahui frekuensi relatif dan insidensi minimum di
masingmasing daerah.
Suatu registrasi kanker population based pernah dilakukan
oleh Suripto dkk. dari Universitas Gajah Mada Jogjakarta
dengan Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan.
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
Total
0
Tempat penelitian adalah Kotamadya Jogjakarta dan Kabupaten Bantul. Semua Rumah sakit (6 buah) dokter praktek
swasta, Puskesmas-puskesmas, Laboratorium patologi anatomik (2 buah) dan fasilitas kesehatan lainnya diikutsertakan
dalam penelitian ini.
Di Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul (26.641 jiwa)
dilakukan survai dari rumah ke rumah terhadap semua
penduduk dengan mengerahkan tenaga mahasiswa Fakultas
Kedokteran tingkat akhir, dengan menggunakan formulir bagi
semua orang yang diperiksa. Bagi penduduk yang dicurigai
sebagai penderita kanker yang diketemukan di rumah sakit,
puskesmas, praktek swasta dokter dan fasilitas pelayanan
kesehatan yang lain, disiapkan pula formulir tersendiri untuk
diteliti lebih Ianjut. Pada mass persiapan diberikan penjelasan
dan latihan cara pengisian formulir pada semua pelaksana
registrasi ini.
Tujuan penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. menentukan insidensi di Kabupaten Bantul dan Jogjakarta
2. menentukan insidensi di Kecamatan Srandakan
3. menentukan insidensi secara intensif dengan mengikut
sertakan instansi formal dan informal.
Hasil yang diperoleh selama 1½ tahun adalah 19 kasus
kanker baru di Kotamadya Jogjakarta dan 384 kasus di Kabupaten Bantul. Dengan perhitungan ASR dikemukakan kesimpulan sebagai berikut (Soeripte et al) .
Insidensi Aged Standardised Rate (ASR) kanker wilayah
Kodya Jogjakarta dan Kabupaten Bantul (Hospital Based)
mempunyai pola distribusi yang tidak berbeda dengan di
Daerah Istimewa Jogjakarta.
Inidensi ASR kanker di Kecamatan Srandakan yang didapat dari survai Population Based mempunyai distribusi
mendekati pola kanker di wilayah Kotamadya Jogjakarta dan
Kabupaten Bantul (Tabel 7).
Studi intensif Population Based menunjukkan bahwa
insidensi ASR yang didapat jauh lebih tinggi dari pada yang
didapat dari studi Hospital Based (2 sampai 4 kali lebih tinggi).
TAHUN 1983 REGISTRASI KANKER "PATHOLOGY
BASED"
Formulir yang digunakan lebih sederhana sesuai petunjuk
UICC (Lyon) yang terdiri atas 7 variabel , 1. nomor registrasi,
o.
0
51
3
Tabel 4. Sepuluh jenis kanker terbanyak berdasarkan
Surabaya
9
6
3
6
23
4
1
15
Malang
83
2
1
4
pekerjaan penerita di 17 rumah sakit di Jakarta tahun
11
1
1
Denpasar
1
9
1
85
1977.
11
1
1
2
2
4
Ujung
12
Jenis Pekerjaan
62
7
1
1
Manado
9
4
50
10
1
1
1
Jakarta
1
1
84
Lokasi
I
P
S
B
P
T
D
L
N Ju
24
Jumlah
29
4
2
5
3
5
bu
ak. was- u- ela- ani ok- ain- .S. mlah
711
99ini adalah
829 829
034
t
j
R
l
t
k
r
* Angka-angka
jumlah
data432
dari585
3 tahun.
1
1
2
–
–
–
–
1
2
4322. jenis kelamin, 3. umur, 4. golongan etnik, 5. lokasi
Serviks
kanker,
62 – 4 3 1 2
9
16
Ut Parui
.
–
–
–
1
1
222 6. diagnosa patologi dan 7. sifat/penyebaran.
3
1
7
–
–
–
2
1
214Ikut serta dalam penelitian ini 15 Laboratorium Patologi
Hati
–
1
1
1
–
–
–
–
1
1 Ana
182 tomik : 12 dari Fakultas Kedokteran Negeri, dan 3
Payudar
2
2
–
–
2
–
3
7 Laboratoriurn
173
Nasofari
–
Patologi Anatomik lain yang tidak terkait dengan
Rektum
–
8
7
2
–
–
–
2
6
84
rumah
sakit pendidikan Fakultas Kedokteran Negeri. Ke 12
8
9
–
9
6
4
77
Lekemia
–
Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Negeri menjadi
Limfosar
–
1
8
–
2
–
2
5 Bagian
76
koordinator dalam pengumpulan data di wilayah masingkoma
1
3
2
3
3
;
3 masing.
67
Ovarium
Tidak semua laboratorium swasta ikutserta, yaitu dari
2
–
2
–
–
–
3
4
3
Kolon
50
laboratorium
swasta Medan, Bandung, dan Ujung Pandang.
2
1
1
1
1
2
3
1 9 9 Demikian
157
Jumlah
pula tidak diperoleh data dari Laboratorium Patologi
52 23 Tanpa
5 keterangan.
1
1
17 30 7 Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan
N.S. :05
(Not Specified)
930 Tanpa keterangan : 59%.
R.T.: Rumah tangga.
Semula, tujuan penelitian diharapkan dapat berlangsung
terus untuk memperoleh data kanker yang dapat
dipergunakan antara lain mengetahui insidens mini-mum,
frekuensi relatif, perubahan pola kanker dari tahun ke
tahun, menentukan daerah dengan masalah kanker
tertentu dan juga untuk mengetahui hasil usaha
penanggulangan kanker di suatu daerah.
Dalam Tabel 8 dapat dilihat 10 lokasi kasus kanker
terbanyak pada pria dan wanita. Pada 13 kasus tidak
dicantumkan jenis kelaminnya. Jumlah semua kasus 6386
dan 13 kasus yang tidak dicantumkan jenis kelaminnya
(6399).
Dui Surabaya baru diterima data satu triwulan,
sebanyak 419 kasus, jika pada triwulan-triwulan
berikutnya jumlah ka - .susnya sama karenayang belum
diterima adalah 1257 (3 x 419). Dengan demikian
Tabel 6. Lokasi terbanyak pada _hasil registrasi tahun
1977–1979 dari 13 Laboratorium Patologi di Indonesia.
label S. Jumlah penderita kanker yang telah
diregistrasi pada laboratorium Patologi menurut tempat
dan jenis kelamin pada tahun 1977 – 1979*
1977 1978 1979
o
Tempat
P
W
P
W
Medan
Padang
Palemba
Bandung
Jogjakart
Semaran
Solo
46
10 3
11
29
12
33
28
8
17
1
5
1
5
1
2
11
1
2
1
2
1
8
16
2
6
1
4
2
P
W Ju
mlah
1
5
39
1 01 14 85
1
1
87
2
5
26
1
78
1
22
2
4
3
1
94
Laboratorium swasta di Jakarta.
Lokasi
Jumlah
o.
Serviks uteri
4161
Payudara
Kulit
Nasofaring
Limfosarkoma
Ovarium
din
Limfe sekunder
Rektum
dan
Hati .
Jaringan ikat
Lain-lain
Jumlah
3152
1954
1397
1243 .
1150
960
911
900
.
476
8407
24711
Frekuensi
Relatif
16,8%
12,8%
7,9%
5,6%
4,7%
3,9%
3,7%
3,7%
3,6%
1,9%
34,1%
100,0%
Tabel 7. Age Standardised Rate (ASR) Kanker di
kecamatan Srandakan (Population Based) dibandingkan
dengan ASR kanker di wilayah Kotamadya Jogjakarta dan
Kabupaten Bantul (Hospital Based) di Propinsi Daerah
Istimewa Jogjakarta 1980-1981.
ICD
ASR
ASR
Lokasi
ASR
Kanker Kanker
Kanker
di
Kodya
di
kan
Jogjakart
Kabu
paten
a
Nasofa
9,21
3,01
Pria
4,95
147 ring ,
9,21
153
Kolon
2,08
0,85
Rektu
9,13
3,11
154
3,94
4,70
173
Kulit
18,26
4,54
Kulit "
8,17
3,71
Wani
3,41
ta
174
Payud
24,55
13,97
Wanit
6,67
180
Servik
uteri
8,17
11,32
7,69
Ovariu
5,42
183
6,53
2,89
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 11
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
Tabel 8.
Registrasi kanker Pathology Based di Indonesia 1983
dengan 20 urutan terbanyak jenis kanker berdasarkan lokasi.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19:
20.
Lokasi
Serviks uteri
Payudara
Kulit
Limfe sekunder
Nasofaring
Ovarium
Rektum
Limfo sarkoma dst
Jaringan ikat
Tiroid
Hati
Korpus uteri
Melanoma
Tulang
Hidung
Usus besai
Mata
Plasenta
Orofaring
Kandung kemih
Jumlah
ICD
1052
754
532
505
406
307
257
247
191
189
145
142
127
106
103
92
90
86
78
180
174
.173
190
147
183
154
200
171
193
155
182
172
170
160
153
190
181
146
69
188
jumlah semua kasus dalam 1 tahun ada 7643 kecuali yang 13.
Kanker terbanyak berdasarkan lokasi pada wanita ialah: serviks
uteri (ICD 180) : 1052, payudara (ICD 174) : 754 dan ovārium
(ICD 183) : 307. Pada pria urutannya ada-I'ah sebagai berikut :
limfe sekunder (ICD '196) 306, nasofaring (ICD 147) : 287 dan
kulit (ICD 173) : 285. (Tabel 9 dan 10). Hal yang menarik dari
hasil registrasi ml antara lain ialah tingginya kasus nasofaring
pada wanita yang menempati urutan pertama di Medan. Data
dari Medan ini.belum termasuk data'laboratorium swasta.
Tabel 9.
Registrasi kanker Pathology Based 1983 dengan 10 urutan
jenis kanker terbanyak berdasarkan lokasi pada wanita di
Indonesia.
No.
Lokasi
Jumlah
ICD
1.
Serviks uteri
1052
180
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Payudara wanita
Ovarium
Kulit
Limfe sekunder
Tiroid'
Korpus uteri
Nasofaring
Rektum
Limfo sarkoma dst
754
307
274
199
142
140
119
117
103
174
183
173
196
193
182
147
154
200
Tabel 10.
Registrasi kanker Pathology Based 1983 dengan 10 urutan
jenis kanker terbanyak berdasarkan lokasi pada pria di
Indonesia
No.
Lokasi
Jumlah
ICD
1.
Limfe sekunder
306
196
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Nasofaring
Kulit
Limfosarkoma dst
Rektum
Hati
Jaringan ikat
Melanoma
Hidung
Kandung kemih
287
258
144
140
109
94
64
59
59
147
173
200
154
155
171
172
160
188
KESIMPULAN
Secara keseluruhan terlihat bahwa (diluar kanker kulit)
kanker serviks dan payudara masih merupakan kanker yang
paling banyak diketemukan, baik dengan penelitian Pathology
Based, Hospital Based maupun penelitian Population Based,
sedang kanker nasofaring, termasuk dalam 5 jenis tumor terbanyak. Tetapi ada perbadaan dalam urutan dari kanker hati
pada penelitian Pathology Based dan Hospital Based. Pada
penelitian Hospital Based kanker ini menempati urutan ke 3,
sedang pada Pathology Based, kanker hati secara keseluruhan
tidak termasuk dalam 5 jenis tumor terbanyak. Perbedaan ini
tampak lebih nyata pada tumor ganas paru-paru, yang menempati urutan ke 2 di 17 rumah sakit di Jakarta, tetapi tidak
termasuk dalam 10 jenis tumor terbanyak pada penelitian
Pathology Based.
Mengingat keterbatasannya pada saat ini, penggunaan data
penelitian Pathology Based harus dilakukan dengan hatihati.
Banyak hambatan dijumpai dalam upaya mengumpulkan
data kanker ini. Bila penelitian tersebut akan ditingkatkan
menjadi suatu registrasi, perlu adanya biaya yang memadai,
kemauan dan kerjasama yang baik.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
Didit Tjindarbumi dkk. Registrasi Kanker di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo tahun 1975-1978. Rumah Sakit Ciptomangunkusumo/Pusat Penelitian dan Pengembangan Radiologi, Jakarta 1980.
Soeripto dkk. Penelitian • Registrasi Kanker Population Based di Daerah
Istimewa Jogyakarta. l,akultas Kedokteran Universitas Gajah Mada &
Kanwil Departemen Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Jogyakarta.
1985
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 13
Karsinogen Kimiawi
dan Mikokarsinogen
DR. Iwan T. Budiarso DVM., M.Sc *
Staf Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I, Jakarta
PENDAHULUAN
Telah diketahui, tubuh manusia atau hewan terdiri dari
berbagai alat tubuh dan jaringan. Alat tubuh atau jaringan tersebut tersusun dari unit-unit yang sangat kecil, disebut sel. Selsel ini mempunyai fungsi yang berlainan, akan tetapi mereka
memperbanyak jumlahnya dengan cara pembelahan yang sama.
Dalam keadaan normal, proses pembelahan itu diatur
sedemikian rupa sehingga jumlah sel barn yang dibentuk adalah sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan untuk menggantikan
sel-sel yang sudah usang atau mati, agar bentuk alat tubuh atau
jaringan tersebut tetap tersusun dalam proporsi yang seimbang
dan serasi. Bilamana proses pembelahan sel itu menyimpang
dan tidak dapat dikendalikan, akan menimbulkan pertumbuhan
yang abnormal. Pertumbuhan abnormal ini disebut neoplasia
atau tumbuh ganda. Penyebab dan/atau faktor-faktor
penyelewengan proses pembelahan sel itu banyak macamnya,
di antaranya yang sekarang sering diperbincangkan ialah yang
disebabkan oleh bahan-bahan bersifat kimia dan mikotoksin.
Karsinogen Kimiawi
1) Teer
Tahun 1775, Percival Pott dengan sangat jeli dalam pengamatannya dapat menghubungkan bahwa karsinoma skrotum
tukang pembersih cerobong asap rumah'adalah akibat debu
jelaga cerobong yang menempel pada kulit skrotum, sehingga
ia adalah orang yang pertama mengetahui tentang bahan
karsinogenik.
Tahun 1918, Yamagiwa dan Ichikawa adalah tim peneliti
pertama yang melaporkan bahwa bila teer dioleskan pada telinga kelinci akan mengakibatkan karsinoma kulit.
Tahun 1933, Cook, Hewett dan Hieger dapat mengidentifikasikan bahwa 3,4 Benzopyrene adalah salah satu konstituen
ƒ
Staf Peneliti/Dosen Part Time, Bagian Patologi Anatomi, Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
karsinogenik yang terkandung di dalam teer.
Tahun 1981 kelompok keija dari IARC/WHO melaporkan,
sampai mat ini telah ditemukan lebih dari 500 bahan yang
bersifat karsinogenik pada hewan percobaan (IARC Monographs on the Evaluation of the Carsinogenic Risk of Chemicals to Humans Volume 1 – 28). Walaupun tidak mungkin
untuk mengekstrapolasikan hasil penelitian ini untuk menghitung risikonya terhadap manusia, akan tetapi ini adalah cukup
betalasan untuk mengambil kesimpulan bahwa sesuatu bahan
yang sudah menunjukkan sifat karsinogenik pada lebih dari
satu jenis hewan percobaan, dapat juga bersifat karsinogenik
pada manusia.
Antara 1971 dan 1981, kelompok kerja dari IARC telah
dapat mengumpulkan berbagai data hasil penelitian mengeiiai
beberapa jenis bahan kimiawi dan hasil ikutan industri yang
dapat bersifat karsinogenik pada manusia. Data tersebut setelah
dianalisis dan dikaji secara seksama, menunjukkan, dari jumlah
5672 bahan kimia yang dievaluasi ternyata 43 macam di
antaranya diduga kemungkinan besar berhubungan erat dengan
timbulnya kanker pada manusia. Ke 43 bahan tersebut terdapat
dalam tabel yang terlampir. Kebanyakan bahanbahan tersebut
di atas (label 1) diidentifikasikan berdasarkan padā penelitian
epidemiologik atau laporan kasus.
2) Sakarin (Saccharin)
Sakarin adalah bubuk kristal putih, tidak berbau dan sangat
manis, kira-kira 550 kali lebih manis dari pada gula biasa. Oleh
karena itu ia sangat populer dipakai sebagai bahan pengganti
gula.l
Tikus-tikus percobaan yang diberi makan 5% sakarin selama lebih dari 2 tahun, menunjukkan kanker mukosa kandung
kemih (dosisnya kira-kira setara 175 gram sakarin sehari untuk
orang dewasa seumur hidup).
Sekalipun hasil penelitian ini masih kontroversial, namun
kebanyakan para epidemiolog dan peneliti berpendapat, sakarin
memang meningkatkan derajat kejadian kanker kandung kemih
pada manusia kira-kira 60% lebih tinggi pada para pemakai,
khususnya p.ada lcaum laki-laki. Oleh karena itu,
Tabel 1 Chemicals. Groups of chemicals, industrial processes and
occupational exposures associated with (or strongly suspected
to be associated with) the induction of cancer in humans
(compiled from Volume 1–28 of the IARC Monographs on
the Evaluation of the -Carcinogenic Risk of Chemicvals to
Humans).
I.
Chemicals, group of chemicals, industrial processes and occupational
exposures that are carcinogenic for humans. -.
1. Aminobiphenyl
2. Arsenic and arsenic compounds
3. Asbestos
4. Auramino (manufacture of)
5. Benzene
6. Benzidine
7. N.N. Nis (2-chlorocthyl)–2 daphtylamina
8. Bis (chioromethyl) other and technical grade chloromethyl
methyl ether
9. Bood and shoe manefacture and repair (certain occupations)
10. Chromium and certain chromium compounds
11. Conjugated oestrogens
12. Diethylstilbestrol
13. The furniture and cabinet making industry (certain occu pations)
14. Haematite mining (radon?)
15. Isopropyl alcohol (manufacture of using the strong acid process)
16. Melphalan
17. Mopp
18. Mustard gas
19. 2 – Naphthylamine
20. Nickel refming
21. Rubber manufacturing industry (certain occupations)
22. Soots, tars and oils
23. Vinylchloride
II. Chemicals or groups of chemicals that are probably carcinogenic for
humans SUB GROUP A – HIGHER DEGREE OF HUMAN EVIDENCE.
1.
Alflatoxins
2.
Azathioprine
3.
Cadmium and certain cadmium compounds
4.
Chlorambucil
5.
Nickel and certain nickel compounds
6.
Tris (1–aziridinyl) phosphine sulphide (thiotepa)
7.
Treosulphan
SUB GROUP B – LOWER DEGREE OF HUMAN EVIDENCE
1. Acryloritrile
2. Amitrc ie
3. Auraminc
4. Beryllium and certain beryllium compounds
5. Carbon tetrachloride
6. Dimethyl carbamoyl chloride
7. Dimethyl sulphate
8. Ethylene oxide
9. Iron dextran complex
10. Oxymetholone
11. Phenacetin
12. Polychlorinated biphenyls
a. This table does not include known human carcinogens such an is
tobacco smoke, betel quid and alcoholic never a go since they have
not yet been included within the Monographs diagramme.
b. Added by the secretariat subsequent to the ad hoc IARC Working
Group held in January 1979.
c. Nitrogen mustard, vincristine and procarbasine.
Food and Drug Administation (FDA), AS menganjurkan untuk
membatasi penggunaan sakarin hanya bagi para penderita
kencing manis dan obesitas. Dosisnya agar tidak melampaui 1
gram setiap harinya.'
3) Siklamat (Cyclamate)
Siklamat adalah bubuk kristal putih, tidak berbau dan kirakira 30 kali lebih mains dari pada gula tebu (dengan kadar siklamat
kira-kira 0,17%). Bilamana kactar larutan dinaikkan sampai dengan
0,5%, maka akan terasa getir dan pahit.2
Siklamat dengan kadar 200 u gram per ml dalam medium
biakan sel leukosit dan monolayer manusia (in vitro) dapat
mengakibatkan krbmosom sel-sel tersebut pecah. Tetapi hewan
percobaan yang diberi sikiamat dalam jangka lama tidak me
nunjukkan pertumbuhan ganda.
Barkin dkk., disiter oleh Reynolds dan Prasod melapor kan
bahwa pada 3 orang laki-laki yang konsumsi sodium Siklamat
dengan dosis 50–75 mg/kg bb setiap han selama 18 bulan sampai
6 tahun mengakibatkan kanker kandung kemth dan tumor
multipel lain.
Di Inggris penggunaan Siklamat untuk makanan dan minum
an sudah dilarang, demikian pula di beberapa negara Eropah dan
Amerika Serikat.
4) Nitrosamin
Sodium nitrit adalah bahan kristal yang tak berwama atau
sedikit semu kuning. ra dapat berbentuk sebagal bubuk, butir
butir atau bongkahan dan tidak berbau. Garam mi sangat di
gemari sebagai bahan p dan untuk mempertahankan warna ash
daging serta memberikan aroma yang khas umpama nya seperti
sosis, keju, kornet, dendeng, ham d11
Untuk pembuatan keju dianjurkan supaya kandungan sodium
nitrit tidak melampaui 50 ppm, sedangkan untuk bahan pengawet
daging dan pemberi aroma yang khas ber variasi antara 150 – 500
ppm.
Sodium nitrit adahah precursor dan nitrosamines, dan
nitrosammes sudah dibuktikan bersifat karsinogenik pada
berbagai jenis hewan percobaan. Oleh karena itu, pemakaian
sodium nitrit harus hati-hati dan tidak boleh melampaui 500 ppm.
Makanan bayi sama sekali dilarang mengandung sodium nitrit.
5) Zat Pewarna Sintetis
Dari hasil pengamatan di pasar-pasar ditemukan 5 zat pewarna sintetis yang paling banyak digemari di Indonesia adalah
warna merah, kuning, jingga, hijau dan coklat. Dua dari lima4
zat pewarna tersebut, yaitu merah dan kuning adalah
Rhodamine-B dan metanil yellow. Kedua zat pewarna ini termasuk golongan zat pewarna industri untuk mewarnai kertas,
tekstil, cat, kulit dsb. dan bukan untuk makanan dan minuman. Hasil penelitian Sihombing–Nainggolan dkk4,5 menunjukkan bahwa pemberian kedua zat warna tersebut kepada tikus
dan mencit mengakibatkan limfoma.
6) Monosodium Glutamat
Monosodium glutamat (MSG) atau vetsin adalah penyedap
masakan dan sangat populer di kalangan para ibu rumahtangga,
waning nasi dan rumah makan. Hampir setiap jenis makanan
masa kini dari mulai mil-milan untuk anak-anak seperti chiki,
taro dan sejenisnya, mie bakso, masakan cina sampai makanan
tradisional sayur asam, lodeh dan bahkan sebagian masakan
padang sudah dibubuhi MSG/vetsin.
MSG/Vetsin pertama kali dilaporkan oleh DR. Hob dapat
menyebabkan Chinese Restaurant Syndrome. Sejak itu betpuluh-puluh laporan, baik bersifat anekdot maupun penelitian
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 15
menunjang laporan tersebut.7,8,9
MSG/Vetsin secara konsisten mengakibatkan degenerasi
dan nekrosi sel-sel neuron di dalam hipotalamus pada bayi
mencit, tikus, kera dan ayaml0-18. Ia juga mengakibatkan
retinopati pada mencit dan juga mengakibatkan degenerasi dan
nekrosis sel-sel syaraf lapisan dalam retina secara in vitro19,20.
Di samping itu, yang lebih penting dan berbahaya ialah bahwa
hasil- pirolisa MSG/vetsin menghasilkan 2 zat kimia baru,
yakni 2-amino 6 metil-dipirido-imidazole (Glu-P-1) dan 2
amino dipirido-imidazole (Glu-P-2)21. Kedua zat ini dibuktikan
oleh Matsumoto dkk22 menyebabkan mutagenik dengan uji
Ames pada strain Salmonella typhimurium TA 98.
Takayama dkk23 melaporkan, kedua zat tersebut dapat
mengakibatkan terutama kanker koloh dan hati, di samping
kanker ginjal, otak dan jaringan lemak pada tikus dan mencit.
Micokarsinogen
1) Islanditoksin dan Luteoskirin
Setelah perang dunia II selesai, Jepang sebagai negara
kalah perang terpaksa menerima bantuan dari negara
tetangganya, dan beras- bantuan yang diterima Jepang
seringkali kualitasnya kurang baik karena tercemar cendawan
sehingga berwarna kuning, dan disebut dengan nama Yellow
Rice Disease. Cendawan penyebabnya ialah Penicellium
islandicum. Bilamana tikus-tikus diberi makan beras kuning
ini, dalam waktu satu bulan saja akan mengalami radang hati.
Bila dibiarkan terus makan lebih lama, setelah lewat 4 bulan
banyak hewan percobaan tersebut mengidap kanker hati24.
P. Islandicum menghasilkan 2 macam metabolit beracun
dan diberi nama masing-masing islanditoksin dan luteoskirin.
Islanditoksin adalah siklopeptida yang mengandung gugusan
khlorin (cyclochloretin). Toksin ini menyebabkan degenerasi
perilobuler dan nekrosis pada hati. Sedangkan luteoskirin
adalah derivat hidroksiantrasinon dan mengakibatkan
degenerasi lemak dan nekrosi sentrolobuler. Dan kedua-duanya
dapat menimbulkan kanker hati.
2) Aflatoksin
Pada tahun 1960 di Inggris tiba-tiba dilanda suatu wabah
keracunan, makanan pada peternakan ayam kalkun dan menelan korban tidak kurang dari 100.000 ekor. Lancaster dkk.25
menemukan, penyebabnya adalah racun cendawan Aspergillus
flavus. Kemudian Nesbitt dkk.26 dapat mengisolir dan
memumikan racun tersebut dan diberi nama aflatoksin.
Aflatoksin terdiri dari 4 macam komponen, yaitu : B1, B2,,G 1
dan G2. Tiap-tiap komponen dapat dipisahkan satu sama lain
secara murni. Aflatoksin B disebut demikian karena memancarkan warna biru (blue) dan G karena bersinar hijau (green)
bila disinari dengan sinar ultra-violet. Struktur kimianya terdiri
dari inti counmarin yang disenyawakan dengan cincin bifuran.
Dari ke-4 komponen, BI adalah yang paling beracun dan
juga bersifat karsinogen yang ekstrim. Bilamana 15 ppb (part
per billion) B1 diberikan pada tikus, setelah 7–70 minggu akan
timbul kanker , haM. Hampir semua hewan percobaan seperti
bebek, kalkun, marmot, kelinci, anjing dan bahkan ikan sangat
peka terhadap aflatoksin. Mencit pun dapat kena, akan tetapi ia
jauh lebih resisten bila dibandingkan hewan lain.
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
Aflatoksin di samping dihasilkan oleh A. flavus, ia juga
dapat dihasilkan oleh A. oryzea, A. ochraceus, A. niger, Penicillium pubarum dan rhizopus sp.
Dari hasil penelitian epidemiologi di Mosambik27, Swazi28
lan , Thailand29,30 dan Uganda menunjukkan, jumlah aflatoksin yang termakan penduduk berkorelasi positif dengan
kejadian kanker hati. Umpamanya di Uganda di mana telah
dikumpulkan 480 contoh makanan rakyat dan setelah dianalisa
terhadap aflatoksinnya, 30% dari contoh tersebut adalah positif
aflatoksin dan di antaranya 4% kadarnya melebihi 400 ppm
(part.per million). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa distribusi kejadian kanker hati di antara penduduk
berbanding lurus dengan derajat pencemaran aflatoksin di
dalam makanan mereka. Di Indonesia, Pang31,32,33 telah
melaporkan mengenai hubungan pencemaran aflatoksin dalam
makanan terhadap kejadian kanker hati. Ia menyatakan, derajat
kontaminasi racun ini berbanding lurus dengan kejadian kanker
pada hati. Hasil analisa beberapa contoh bahan makanan yang
dikumpulkan dad beberapa pasar di Bogor (Tabel 2) dan
tempat lain (Tabel 3 dan 4) menunjukkan bahwa makanan yang
mengandung aflatoksin kadarnya sering kali jauh melampaui
safety margin. Safety margin di Indonesia belum diadakan,
akan tetapi di negara-negara barat ditetapkan berkisar antara 5–
20 ppb.
3) Sterigmatosistin
Mikotoksin ini dihasilkan oleh Aspergilies versicolor, A.
nidurans dan Bipolaris sp. Racun ini kira-kira berkekuatan
sepersepuluh aflatoksin. Hasil eksperimen menunjukkan,
sterigmatosistin dapat menimbulkan kanker hati pada berbagai
jenis hewan percobaan dalam waktu kira-kira 42 minggu,
dengan dosis berkisar antara 0,3 sampai 0,5 mg/kg/hari 4.
4) Patulin dan Penicillic Acid
Kedua mikotoksin ini dihasilkan oleh berbagai jenis Penicillium dan Aspergillus. LD 50-nya berkisar antara 10–25
mg/kg berat badan dan disuntikkan secara intravenus. Bilamana
toksin ini disuntikkan dengan dosis berulang secara subkutan
pada tikus, maka ia akan menimbulkan sarkoma di tern-pat
bekas suntikan35
5) Rugulosin
Mikotoksin ini dihasilkan Penicillium rugulosum dan P.
Brunneum36
Rumus bangun kimia dan sifat toksinnya mirip sekali
luteoskirin yang dihasilkan P. islandicium. Bilamana diberikan
pada hewan percobaan ia dapat menimbulkan kanker hati.
6) Griseofulvin
Griseofulvin adalah metabolit Penicillium griseofulvum. Ia
berkhasiat sebagai antibiotika dan sampai sekarang ' masih digunakan sebagai obat pemberantas infeksi cendawan superfisial
(superfical mycosis) terutama yang disebabkan trichophyta
pada jari jari kuku. Di lain pihak ia juga bersifat mikokarsinogen, karena bila disuntikkan secara subkutan atau dicampurkan
dalam makanan dan diberikan pada mencit-mencit dalam
jangka lama, akan menimbulkan kanker hati dengan incedence
rate tinggi37,38.
7) Penicillium viridicatum
P. viridicatum strain Purdue di samping dapat mengakibat-
Tabel 2 Kadar Aflatoksin pada beberapa jenis Bahan Makanan & Jamu
Jenis Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kadar Aflatoksin (ppb)*
Kacang tanah
Oncom
Tempe
Kecap
Tahu
Jamu
40–4100
5–1300
0–28
0–43
0
0–1190
t ppb = part per billion
Data Label ini diperoleh dari Pusat Penelitlan dan Pengembangan Gizi, Sedan
Litbang Kesehatan, Dep. Kes. Jalan Semboja, Bogor.
Tabel 3 Kadar Aflatoksin pada kacang tanah, bungkil kacang, minyak
kacang dan oncom Bandung*
Jenis Bahan
Jumlah Contoh
B1
G1
1. Kacang Tanah
20
180
353
2. Būngkil Kacang
3. Minyak Kacang
4. Oncom Mentah
20
20
39
126
61
67
174
82
120
5. Oncom Goreng
16
41
–
Tabel 4.
Kadar Aflatoksin pada makanan asal kacang tanah*
Jenis Makanan
1. Kacang Goreng
2. Kacang Goreng
Tepung
3. Enting-enting
Kacang
4. Tauco
5. Pindakaas
Jumlah Contoh
B1
G1
4
0
0
3
0
3
2
170
93
5
3
83
13
49
0
* Data pada Tabel 3 dan 4 berasal dari laporan Joint FAO/WHO/ UNDP
Cont. on Mycotxin. Kenyatta Center, Nairobi, Kenya 1977
kan hepatorenopati, bila ia dimakankan pada mencit-mencit
dalam kadar rendah dan jangka panjang (52–55 minggu) akan
menimbulkan adenoma dan adenokarsinoma pada paru-paru
dengan incidence rate lebih dari 50%3? P. viridicatum. strain
Purdue adalah tidak sama seperti strain Denmark, karena ia
tidak menghasilkan okratoksin A,aflatoksin atau sterigmatoistin
Jadi toksin yang dihasilkan strain Purdue pasti Jens ksin lain
dan sampai sekarang belum diketahui identitasnya.
KESIMPULAN
dengan hanya menyajikan beberapa contoh bahan kimia
rsinogenik, disamping bahan kimia industri lain, yang seharihari dipergunakan sebagai zat tambahan makanan (food
Meditives) dan dipakai secara meluas di kalangan masyarakat
banyak (karena harganya relatif sangat murah), maka bahaya
dalam jangka panjang sudah dapat diramalkan. Untuk pencegahan hal ini, lembaga yang berwenang harus sudah berani
melakukan tindakan preventif mulai sekarang dan jangan
menunggu-nunggu kalau sudah ada korban. Bahan-bahan kimia
yang dikemukakan .umumnya adalah bersifat hepatokarsinogenik, jadi tidak mustahil dalam 2 dasawarsa yang akan
datang kasus-kasus hematoma akibat food additives akan
sangat meningkat.
Hal lain yang perlu diingatkan, cara pemakaian MSG/
vetsin yang sudah sangat meluas dan berlebihan pada saat ini
perlu mendapat perhatian khusus, karena hasil pirolisa MSG
menghasilkan 2 zat kimia barn; Glu–P–I dan Glu-P-2, adalah
sangat mutagenik dan karsinogenik, khusus terhadap hati dan
kolon, disamping terhadap ginjal, otak dan lain-lain.
Demikian pula dengan beberapa contoh tentang mikokarsinogen, dapatlah dimengerti bahwa makanan yang diolah dan
disimpan secara sembarangan akan dicemari oleh berbagai
jenis cendawan. Hal ini disamping dapat membahayakan
manusia dan ternak, ia jugs dapat mengakibatkān kerugian
ekonomi dan man power yang besar.
Banyak kejadian tumbuh ganda di beberapa negara,
khiisusnya di daerah tropik, yang dahulu tidak diketahui
sebabnya, kemungkinan besar sekarang ialah akibat golongan
mikotoksin, apabila kausa agen lain seperti bakteri, virus, kimia
dan nutrisi sudah dapat disingkirkan.
Bilamana kita memperhatikan adat kebiasaan dan kegemaran di Indonsia akan makanan yang berasal daripada hasil
proses peragian seperti tempe, oncom, tauco, tape, dan
sebagainya dan hasil pengawetan makanan seperti trasi, ikan
asin, dendeng dan sebagainya, dimana seringkali cara pengolahannya begitu sederhana dan kurang memperhatikan soal
kebersihan, sehingga tidak mustahil bahwa makanan dan hasil
pengolahan tersebut tercemari oleh berbagai jenis cendawan
saprofit. Begitu juga cara proses pengeringan dan penyimpanan
hasil pertanian dan ikutannya seperti kacang tanah, bungkil
kacang, kopra, bungkil kopra, gaplek dan sebagainya, biasanya
kurang kering, sehingga bahan makanan yang demikian dimakan oleh manusia dan hewan dapat membahayakan kesehatannya.
Dengan demikian bila penelitian dapat diarahkan ke bahan
kimia khusus food additives dan mikotoksin, tidak mustahil
dalam waktu yang tidak lama akan ditemukan, bahwa kelainan
tumbuh ganda yang dahulu tidak tahu apa faktornya, sekarang
mungkin dapat diterangkan.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Reynolds JEF and Prasad AB. Saccharin, dalam buku: Martindale the
Extra Pharmacopocia, 28 th Ed. 1982. hal. 429 – 430.
Reynolds JEF and Prasad AB. Sodium Syclamate, dalam; buku:
Martindale the Extra Pharmacopoeia, 28 ch, ed. 1982 hal. 430 – 431.
Reynolds JEF and Prasad AB. Sodium Nitrite, dalam buku: Martindale the
Extra Pharmacopocia, 28 ch ed. 1982. hal. 392:
Sihombing G. .An Exploratory study on three Synthetie colouring matters
commonly used as food colours in Jakarta. M.Sc. thesis. Seameo and
Faculty of medicine, University of Indonesia, Jakarta, 1978.
Budiarso IT, Nainggolan Sihombing G, Oey Kam Nio. Kelainan Patologi
Pada Mencit dan tikus disebabkan zat warn Rhodamine-B dan Metanil
Yellow, Bulletin Penelitian Kesehatan, 1983; 11 = 36 – 43.
Ho Man Kwok R. Chinese restaurant sysdrome. New Engl J Med,
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 17
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
1968; 278 : 296.
KenneyRA & Tridball CS. Human susceptibility to oral monosodium
glutamate. AM J Clin Nurt. 1972; 25 : 140–146.
Schaumburg hh & Byck R. Sin cib-syn Accent on glutamate. New Engl J
Med 1968; 279: 105.
Schaumburg HH, Byck, Gerstl R. & Mashman JH. Monosodium glutamate
: its Pharmacology and role in the chinese restaurant syndrome. Science,
1969; 163 : 828.
Burde RM, B & J. Acute effect of oral and subcutaneous administration of
monosodium glutamate on the arcuate nucleus of the hypothalamus in
mice and rats. Nature, 1971; 233s: 58 – 60.
Lemkey–Johnson N, Reynold WA. Nature and extent of brain lesions
ingestion of monosodium glutamate. A light and electron microscope
study. J neuropath Exp Neuro. 1974; 33 : 74–97.
Mushahwar IK. & Koeppe RE. The texiciy of monosodium glutamate in
young rats. Biochem Biophys Acta, 1971; 244 : 318-321.
Onley JW & Sharpe LG. Brain lesion in an infant rhesus monkey treated
with monosidium glutamate. Science, 1969; 166–386–388.
Onley JW. Brain lesions, obesity and other distrubances in mice treated
with monosodium gluta mate. Science. 1969; 164 : 719–721.
Onley JW & Ho OL. Brain damage in infanct mice following oral intake
of glutamate, aspartate or cysteine. Natural, 1970; 277 : 609–610.
Onley JW, Sharpe LG & Feigin RD. Glutamate–induced brain damage in
infant primates. J Neuropath Exp Neuro, 1972; 31 : 464–488.
Robinson B, Snapir N & Perek M. Age–bependent sensitivity to
monosodium gluta nate including brain damage in the chicken. Poultry
Science. 1974; 53 : 1539 – 1542.
Snapir N, Robinson B & Perek M. Development of brain damage in the
male domestic fowl injected with monosodium glutamate at five days of
age. Path Europ. 1973; 8 : 265 – 275.
Lucas DR & Newhouse JP. The toxic effect of monosodium glutamate on
the inner layers of the retina. AMA Opth, 1957; 58 : 193 – 201.
Onley JW. Glutamate–induced ratinal degeneration in neonatal mice.
Electron microscopy of the acute evolving lesion. J Neuropath Expl Neuro.
1969; 28 : 455 – 474.
Yamamoto T. Tsuji K Kosuge T, et al. Isolation and Structure
determination of mutagenic substance in L–glutamic acid pyrolysate, Prec,
Japan Acad 54. Ser. B, 1978.
Matsumoto T Yoshida, D Migusaki S and Okamoto H. Mutagenic Activity
of amino Acid Pyrolyrates in salmonella typhimurium TA 98. Mutation
Research, 1977; 48 : 279 – 286.
Takaya S, Masuda M,-Mogami M, Ohgaji H, Sato S and Sugimura T.
Induction of cancers in the intestine, liver and various other Organs of
Rats' by feeding mutagens from glutamic acid pyrolysate. Gann 1984; 75 :
207 213.
Miyake M,. and Saito M. Liver injury and liver tumors induced by toxins
of Penicillium islandicium Sopp. growing on yellowed rice. Dalam buku
Mycotoxins in foods tuffs ED GN. Wogen the MIJ Press : 1965; Hal. 133
– 146.
Lancester MC, Jenkins FP and Philp JM. Toxicity associated with certain
samples of groundnuts. Nature, 1981; 192 : 1095.
Nesbitt BFL, Kolly. A Toxic metabolites of Aspergillus flevus. Nature,
1962; 195 : 1063.
Van Rensburg SJ, Vander Watt JJ, Purchase P, Cuotinbo L and Markam fl.
Primary liver cancer rate and aflatoxin in cake in a high area. So Afr Med
J. 1974; 48 : 2508a–2508d.
Keen P and Martin P. Is aflatoxin carcinogenic in man The avidence in
Swaziland. Trop Geog Med. 1971; 23 : 44–53.
Shank RC, Bourgeois CH, Keschamras N and Chedavimol P. Aflatoxins in
autopsy specimens from Thai children with an acute disease of unknown
aetiology, Fd Cosmet Toxicol, 1971; 9 : 501–607.
Shank RC, Bhamarapravati N, Gordon JE and Wogen GM. Dietery
aflatoxins and human liver. cancer In Incidence of primary liver cancer in
two municipal population of Thailand. Fd Cosmet, Toxicol 1972; 10 : 171
– 179.
Pang RTL, Purwokoesoemo SH and Karyadi D. Aflatoxin and primary
cancer of liver in men. A study on 9 cases. Paper presen-
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
ted at the 4th Asian Pacific Conprase of Gestroenterologi, 5–12
Februaria.
Pang RTL, Huseini and Karyadi F. Aflatoxin and primary hepatic cancer
in Indonesia. Paper presented at the V World Congress of
Gestroenterology, 13 – 19 October 1974, Mexico.
Pang RTL. Aflatoxin dalam epidemiologi karsinoma hati primer. Kertas
kerja yang disajikan pada Simposium Nasional Kanker Saluran Makanan,
Jakarta, 24 – 26 Nopember 1977.
Kurata H. Carcinogenic mycotoxin and sterigmatocyctin. Modern Media
1972; 18 : 546.
Dickens F and Jones HEH. Carcinogenic activity of series of reactive
lactones and related substaances, Brit J Cancer, 1961; 51: 85.
Breen J. Studies in the biochemistry of microorganisme. XIV. Rugulasin a
crustalline coloring matter of Penicillium rugulosum. Biochem J. 1955; 60
: 618 – 626.
- Epstein SS, Andreas J, Joshi S and Mantel N. Hepato carcinogenicity of
griseofulvin following parenteral administration to infanct mice. Cancer
Res 1967; 27 : 1900.
Hurst EW and Paget GE. Protoporphyrin, cirrhosis and hepatoma in the
livers of mice givin griseofulvin. Brit J Derm. 1963; 75:105.
Zwicker GM and Carlton WW. Prolonged administration of Penicillium
viridicatum to mice Prelimanary report of carcinogenicity. fd. Cosmet
Toxicol. 1973; 11 : 989 – 994.
Forgac .1 and Carll WT. Mycotoxicoses, Adv Vet Sci,1962; 7 : 273-382.
Greenberg SR. The Vascular effect of monosodium glutamate. Am J Clin
Nutr, 1973; 26 : 1 – 2.
Shibata S and Udagawa S. Metabolic products of fungi. XII Isolation of
rugulosin from Penicillium brunneum Udegawa. Chain. Pharm Bul.
1963;11: 402 – 403.
Ucapan Terima Kasih.
Penulis mengucapkan ban yak terima kasih kepada Bapak Kepala
Bagian Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara,
yang telah menyediakan dana untuk pengumpulan rufukanrujukan untuk
penulisan naskah inf.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Terjadinya Kanker Payudara pada Wanita
di Beberapa Rumah Sakit di Jakarta
Dra. Reflinar Rosfein, MSc
Staf Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang
penting dibandingkan dengan kanker lain yang banyak terdapat
pada wanita.
Di Amerilca Serikat, menurut the American Cancer
Society Inc. dalam tahun 1957 terdapat 22.459 wanita yang
meninggal karena kanker payudara dan pada tahun 1958
terdapat 60.000 yang menderita kanker tersebut. Dalam tahun
1980 lebih dari 108.000 wanita didiagnosa menderita kanker
payudara dan lebih dari 35.000 wanita meninggal disebabkan
kanker tersebut.
Angka insidensi kanker payudara (carcinoma mammae)
yang umurnya telah disesuaikan dengan penduduk dunia (ageadjusted world insidence) tidak sama pada semua negara;
seperti di Hawaii,Manitoba, Connecticut, 60 per 100.000 penduduk wanita, dan di Jepang di bawah 20 per 100.000 penduduk.
Kematian karena kanker payudara yang paling tinggi adalah
di Inggris, Belanda, Irlandia, Americka Serikat, sedangkan di
Asia Tenggara angka kematian rendah, kurang dan 10 per
100.0001.
Di Uni Soviet, kanker payudara wanita pada tahun 1979
menduduki urutan kedua terbanyak2, dan di Singapura merupakan urutan pertama dari 10 kanker terbanyak pada wanita3.
Di Indonesia angka insidensi kanker yang sesungguhnya
belum diketahui dengan pasti, namun data yang telah dikumpulkan di Rumah Sakit-Rumah Sakit besar menunjukkan peningkatan prevalensi 2–8% penderita kanker setahun4.
Hasil penelitian yang diadakan oleh Pusat Penelitian
Penyakit Tidak Menular (d/h. Pusat Penelitian Kanker dan
Radiologi), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di
17 Rumah Sakit di Jakarta tahun 1977 menunjukkan, kanker
payudara menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak
pada wanitas .
Data kanker payudara di beberapa Bagian Patologi Anatomi
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 : Data kanker payudara pada wanita di beberapa Pusat Patologi
Anatomi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Pusat Patologi
Anatomi
FK-UNAND Padang
FK-UI Jakarta
FK-UNHAS Ujung
Pandang
FK-UNPAD Bandung
FK-UNDIP Semarang
FK -UNBRAW Malang
FK-UGM Yogyakarta
FK-UNUD Bali
FK-UNSTRATManado
FK-USU Medan
Tahun
Urutan Terbanyak
1
2
3
4
1978
1968–1976
1977–1981
1
1
1
–
–
–
–
–
–
–
–
–
1970–1973
1977–1981
1977–1981
1970–1973
1977–1979
1977–1981
1977–1981
–
–
–
–
1
1
1
1
1
1
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
1
–
–
–
–
–
Data tersebut di atas hanya menggambarkan frekuensi
relatif kanker payudara pada wanita dan belum menggambarkan keadaan sebenarnya di masyarakat. Sampai saat ini belum
diketahui penyebab yang pasti kanker payudara, tetapi David
et. al menyebutkan beberapa faktor yang berhubungan dengan
etiologi kanker antara lain suku bangsa, status perkawinan,
umur melahirkan anak pertama, riwayat keluarga, status sosial
ekonomi, obesitas, usia haid pertama dan tumor jinak payudara6.
Penelitian yang pernah diadakan di negara-negara lain, secara deskriptif, studi kasus kontrol (retrospektif) dan prospektif, menunjukkan faktor-faktor yang diduga berhubungan
dengan terjadinya kanker payudara antara lain ialah hormonal,
reproduktif, genetik/riwayat keluarga, riwayat tumor jinak
payudara, radiasi pengion, trauma payudara, terpapar pada zatzat karsinogenik, virus, obesitas dan status sosial ekonomi.
Maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mempelajari
apakah faktor-faktor tersebut juga mempengaruhi wanita
Indonesia.
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 19
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui beberapa faktor
yang berhubungan dengan terjadinya kanker payudara pada
wanita dan faktor-faktor mana yang penting.
Definisi kasus
Kasus adalah semua penderita kanker payudara yang dikumpulkan atas dasar pemeriksaan klinik dan patologi anatomik baik yang dirawat maupun berobat jalan dan yang masih
hidup serta bertempat tinggal di wilayah D.K.I.
Definisi kontrol
Kontrol adalah penderita wanita yang pernah sakit
penyakit lain tetapi bukan kanker payudara yang sedang
dirawat atau berobat jalan di bagian bedah rumah sakit-rumah
sakit tersebut. Penderita dijodohkan menurut umur dengan
interval 5 tahun dan jenis kelamin.
Bahan dan Metoda
Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol yang
dilakukan di 12 rumah sakit di Jakarta dengan data yang dikumpulkan antara Januari 1984 – Juli 1985. Perhitungan
jumlah sampel dipakai rumus Two Sample Case Study' .
Setelah dilakukan perhitungan jumlah sampel yang
diperlukan berdasarkan penelitian terdahulu, maka jumlah
sampel minimum untuk masing-masing kelompok kasus dan
kontrol sebanyak 194 orang. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara wawancara melalui penggunaan kuesioner.
Analisa data dilakukan dengan Odds ratio, Mc Nemar Chi
Square Test dan regresi ganda binair menurut Feld-stein.
HASIL PENELITIAN
Dari Bagian Medical Record di 12 Rumah sakit (Januari
1984 - Juli 1985) diperoleh sebanyak 236 kasus. Kasus yang
berhasil ditemui di lapangan hanya - 77 orang (32,6%). Penderita yang tidak berhasil ditemukan karena rtieninggal dunia
87, pindah alamat 32, tidak dikenal sama sekali oleh Rt. 38 dan
tidak bersedia diwawancarai 2 orang. Untuk melihat
karakteristik sampel yang "hilang" dilakukan pengujian menurut umur, agama dan pekerjaan, dengan uji Chi Square. Hal
ini penting supaya sampel yang diperoleh dapat ,digeneralisir
untuk seluruh sampel. Karakteristik kasus yang ditemukan dan
"hilang" menurut umur, agama dan pekerjaan dengan uji Chi
Square tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.
Dari hasil uji kemaknaan Mc Nemar's test dari 15 faktor
yang diuji dan diperkirakan mempunyai hubungan atau pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya kanker payudara
ternyata hanya ada 4 faktor saja (Tabel 2) yaitu :
1. Umur antara 18–35 tahun mempunyai risiko tinggi daripada umur melahirkan di bawah 18 tahun.
2. Riwayat keluarga yang pernah menderita kanker payudara.
3. Riwayat menderita tumōr jinak payudara,
4. Riwayat pernah mengalami radiasi pengion.
Selanjutnya dilakukan analisa regresi ganda binair (Full model,
α = 0,05).
Hasil yang menunjukkan mempunyai hubungan yang bermakna
dengan kejadian kanker payudara adalah :
1. Usia melahirkan anak 18–35 tahun
2. Riwayat trauma
3. Riwayat tumor jinak
4. Radiasi pengion
Juga dilakukan perhitungan nilai ajusted rate, dan adjusted
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
ratio dari masing-masing variabel bebas berdasarkan nilai
koefisien regresi yang diperoleh untuk melihat dengan jelas
pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap terjadinya
kanker payudara.
Tabel 2 : Hull Analisa Odds ratio dan Uji Mc Memar Untuk Seluruh
Variabel Penderita Kanker Payudara Wanita Dari 12 Rumah
sakit di Jakarta 1984–1985
Keterangan Risiko
No.
Varlabel
Rendah
1.
2.
3.
4.
5.
Menarche
(Umur
haid I)
Status
Perkawinan
Melahirkan
anak
Jumlah anak
Tinggi
> 13 th
< 13 th
Kawin
Tak kawin
Pemah
Tak pernah
Banyak
Sedikit
<18 th
18–35 th
18–35 th
> 35 th
7.
Ya
Tidak
8.
Pil KB
Tidak
Ya
9.
Operasi
indung telur
Riwayat
Keluarga
Tumor
payudara
Obesitas
Ya
Tidak
Tidak ada
Ada
Tak pernah
Pernah
Negatif
Positif
Rendah
Tinggi
14.
Sosial
ekonomi
Trauma
Tak pernah
Pernah
15.
Radiasi
Tak pernah
Pernah
10.
11.
12.
13.
X2
0,67
(0,24–1,9)
Usia
melahirkan
Usia
melahirkan
Menyusukan
6.
odds Ratio
(Range)
2,33
(0,60–8,99)
1,67
(0,60–4,63)
0,7
(0,35–1,30)
5
(3,31–7,55)
1
(0,14–7,10)
1,25
(0,50–3,14)
1,375
(0,55–3,41)
1
(0,32–3,13)
8
(1,00–64,0)
5,2
(2,00–13,6)
1,13
(0,42–2,85)
0,94
(0,47–1,87)
0,71
(0,23–2,22)
0,34
(0,18–0,65)
0,27
0
0,56
0,74
4,08*
0
0,06
0,21
0
4*
12*
0
0
0,08
10,03*
* = Bermakna.
PEMBAHASAN
Dari 12 Rumah Sakit jumlah kasus yang tercatat dari
catatan medik sebanyak 236 penderita kanker payudara dan
yang ditemui_ sebanyak 77 kasus dan cukup representatif
untuk jumlah sampel minimum.
Dari 15 variabel dalam penelitian ini hanya 4 variabel yang
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian kanker
payudara yaitu :
1) Usia melahirkan anak pertama merupakan salah satu
faktor terjadinya kanker payudara.
Dari perhitungan adjusted rate dan ratio dari nilai-nilai
koefisien regresi, dapat dilihat, melahirkan anak pertama pada
umur 18–35 tahun mempunyai risiko 2,15 kali lebih besar dari
pada yang melahirkan anak pertama pada usia di bawah 18
tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulus.
Sastrawinata dan Bratakoesoema9 menemukan, perkawinan dan kehamilan pada usia di bawah 18 tahun mengakibatkan
antara lain : anemia, hipertensi, meningkatnya frekuensi
partus lama, meningkatnya frekuensi partus buatan dan tinggi-
Tabel 3 : Perhitungan Adjusted Rate dan Ratio dari Koefisien Regresi
Penderita Kanker Payudara Wanita di 12 Rumah Sakit di
Jakarta 1984-1985
Adjusted
Rate =
Ratio
Crude
Rate + 6
Variabel .
n1
bl
Jl. b1n1
Jl. b1n1
N
1
2
3
4
5
6,
7
8
15
139
–0,3917
0
–5,8755
–0,0382
–0,3535
0,0382
0,1465
0,8382
0,27
10
144
0,0435
0
–0,435
0,0029
0,0424
–0,0029
0,0424
0,4971
1,10
18
136
0,4622
0
8,3196
0,0542
0,4082
–0,054
0,9082
0,45
2,02
56
0,028
5,7568
0,0374
0,0654
0,0654
1,22
98
0
–0,0374
0,4626
119
0,3041
0,0692
0,8382
0,0701
–0,2382
–0,2349
0,265 1
Haid
pertama
X14 = 1
X34 = 0
Status
perkawinan
X1 = 1
X1 = 0
Melahirkan
anak
X15 = 1
X15 = 0
Jumlah anak
X2 = 1
X2 = 0
Usia
melahirkan
18–35 tahun
X3 = 1
X3 = 0
Usia
melahirkan
> 35 tahun
X4 = 1
X4 = 0
Menyusukan
anak
X5 = 1
X5 = 0
Makan pil
X6 = 1
X6 = 0
Operasi
indung telur
X7 = 1
X7 = 0
Riwayat
keluarga
X11 = 1
X11 = 0
Tumor jinak
X12 = 1
X12 = 0
Obesitas
X10 = 1 .
X 10 = 0
Sosial ekonomi
X9 = 1
X9 = 0
Trauma
X8 = 1
X8 = 0
Radiasi pengion
X13 = 1
X13 = 0
35
36,1879
0,2349
0
(3)–(5)
2,15
]
2
152
0,2546
0
0,5092
0,0033
0,2513
–0,0033
0,7513
0,4967
1,51
24
130
0,2202
0
–5,2848
–0,0343
–0,1879
–0,0343
0,3121
0,4657
0,67
21
133
–0,0106
0
–0,2226
–0,0145
–0,0915
+0,0145
0,49085
0,50145
0,98
142
12
–0,0206
0
–2,9252
0,019
–0,0016
0,019
0,4984
0,519
0,96
11
143
0,1834
0
2,0174
0,0131
0,1703
–0,0131
0,6703
0,4869
1,38
35
119
0,4390
0
15,365
0,0998
0,3392
–0,0998
0,8392
0,4002
2,10
17
137
0,1862
0
3,1654
0,0206
0,1656
–0,0029
0,6656
0,4794
1,39
91
63
–0,0598
0
–5,44186
0,0353
–0,0245
+0,0353
0,4755
0,5353
0,89
14
140
–0,3391
0
–4,7474
–0,0308
–0,2983
+0,0308
0,2017
0,5308
0,38
65
89
–0,3001
0
19,5065
–0,1267
–0,1834
+0,1267
0,3166
0,627
0,51
77
= 0,5
154
n l = frekwensi faktor penyebab ke/adian kanker payudara.
b1 = nilai regresi masing-masing faktor
Jl. b1n1 = /umlah b1 dikalikan n1
N = jumlah seluruh kejadian kanker dan kontrol 154 orang.
Keterangan : Crude rate =
nya angka kematian pada ibu. Dari penelitian ini diperoleh
juga hasil ibu-ibu yang melahirkan di atas 35 tahun
mempunyai risiko kanker payudara lebih rendah 1,51 kali,
melahirkan pada usia 18-35 tahun risiko 2,15 kali.
2) Riwayat menderita tumor jinak payudara merupakan
faktor terpenting untuk terjadinya kanker payudara pada
wanita dibandingkan variabel-variabel lainnya(Tabel 3).
Dari perhitungan adjusted rate dan ratio, terlihat, wanita
yang pernah menderita tumor jinak payudara mempunyai
risiko 2,10 kali lebih besar daripada wanita yang tak pernah
menderita tumor jinak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
di luar negeril .
3) Trauma pada payudara memberi kontribusi kurang lebih
34% terjadinya kanker payudara bila nilai variabelvariabel
independen lainnya tetap (koefisien regresi -0,3391). Dalam
penelitian ini ternyata trauma memperkecil risiko terjadinya
kanker payudara, hal ini mungkin karena dari hitungan
adjusted rate dan ratio wanita yang pernah mendapat trauma
pada payudara mempunyai risiko 0,38 kali lebih kecil
daripada wanita yang tidak pernah mendapatkan trauma.
Akan tetapi para ahli m_asih berbeda pendapat tentang hal
ini, bahwa trauma dapat memperbesar risiko terjadinya
kanker payudara'' . Mungkin definisi operasional trauma
kurang tepat dan jelas karena trauma bisa berbentuk macammacam.
4) Radiasi pengion memberikan kontribusi kurang lebih
30% terjadinya kanker payudara bila nilai variabelvariabel
lainnya tetap (koefisien regresi -0,30001). Dari perhitungan
adjusted rate dan ratio, bahwa wanita
yang
pernah
mendapat radiasi pengion mempunyai risiko 0,51 kali lebih
kecil untuk mendapatkan kanker payudara daripada wanita
yang tidak pernah diradiasi. Hal ini tidak sesuai dengan hasil
penelitian di luar negeri, di mana kenaikan frekuensi kanker
payudara barn terlihat setelah masa laten kurang lebih 16
tahun12. Dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara kasus dan kontrol, karena tidak diketahui
kapan penderita dan kontrol diradiasi dan berapa kali.
KESIMPULAN
Dari 12 Rumah sakit jumlah kasus yang tercatat dari
catatan medik sebanyak 236 penderita kanker payudara dan
yang ditemui.sebanyak 77 kasus.
Hanya ditemukan 4 faktor yang.terbukti mempunyai
hubungan yang bermakna terjadinya kanker payudara, yaitu
usia melahirkan anak, riwayat menderita trauma payudara,
riwayat tumor jinak payudara dan riwayat radiasi pengion.
KEPUSTAKAAN
1.
Doll R, Muir C, Waterhouse J. Cancer incidence in five
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 21
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
continents. Vol IL Springer-Verlag Berlin-Heidelberg-New York,
1970.
Parkin DM, M. Smans cs Muir, Cancer Incidence in the US SR,
International Agency for Research on Cancer Lion, 1962, Edited
in Lyon.
Shanmugaratnam KHP, Lee & NE Day W. Davis. Cancer Incidence
in Singapore 1958-1977.
Hoepoedio, RS. Penanggulangan kanker terpadu, Medika, Nomor
4, Tahun 11, April 1985.
Saleh, Soekoyo. Registrasi kanker di 17 Rumah Sakit di Jakarta
Tahun 1977, Pusat -Penelitian Kanker dan Radiologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
David, L. Levin, et. al. Cancer Rates and Risks, 2nd ED. US. Department of Health, Enducation and Welfare Public Health Service.
National Institutes of Health, 1974.
Sutrisna, Bambang MHS. Kuliah Epidemiologi Penyakit Kronis
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia 1984.
Mac Mahon, et al. Age at First Birth and Breast Cancer Risk, Bull
World Health Org. 1970, 43, p. 208.
Sastrawinata, Sulaiman dan Dinan S. Bratakoesoemah. Faktor-
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
faktōr dan Implikasi dari perkawinan dan kehamilan pada wanita
muda usia di •Indonesia, ditinjau dari sudut kesehatan ibu. IAKMI.
Jakarta, 1982.
10. Commbs LJ, Lilienfeld AM. A prospective study of the relationship between benign breast diseases and breast carcinoma. Prev
Med 1979; 8 : 40-52.
11. Lane-Claypon JE. A futher report on cancer of the breast, with
special reference to its assosiated antecedent condition. Report on the
Ministry of Health, London, No. 32, 1926.
12. Tokunaga M Norman JE, Asano M et al. Malignant breast tumors among
atomic bomb survivor, Hiroshima and Nagasaki. J. Natl Cancer Inst
1979:62 : 1347-1359.
Ucapan terima kasih
Terima kasih ban yak saya ucapkan kepada Dr. Suriadi Gunawan,
DPI!, Kepala Pusat penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Litbang
Kesehatan, kepada DR. ,Bucharl Lapau, Dr. Bambang Sutrisna, MHSc
yang telah memberi izin dan membimbing saya sehingga penelitian ini
dapat terlaksana, dan juga kepada seluruh staf FKM-UI, serta semua
pihak yang telah membantu saya sampai selesainya penelitian ini.
Pengukuran "Output" Radiasi
Pesawat Radioterapi
pada Rumah Sakit di Seluruh Indonesia
Wasono Sumosastro*, Mulyadi Rachmad**
*) Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
**) Badan Tenaga A torn Nasional, Pusat Dosimetri dan Standardisasi.
PENDAHULUAN
Radioterapi, dewasa ini hampir digunakan dalam pengobatan kanker dan mempunyai daya penyembuh cukup tinggi
jika digunakan secara tepat dan dalam stadium dini. Sebagian
besar penderita kanker di negara-negara berkembang jenisnya
radiosensitif dan banyak pasien mendapat manfaat. Maka,
radioterapi merupakan satu keharusan dalam program penyakit
kanker.
Pengobatan- kanker dengan radioterapi diperlukan upaya
untuk memperoleh hasil secara maksimal, dengan komplikasi
sekecil mungkin. Faktor-faktor yang perlu diketahui secara
tepat, ialah distribusi dosis, laju dosis, fraksi penyinaran, lama
pengobatan, macam jaringan/organ, volume tumor dan kualitas
radiasi.
Pengobatan kanker dengan radioterapi perlu data output
(keluaran) radiasi yang tepat dari setiap pesawat yang digunakan dan ini diperoleh melalui kalibrasi (peneraan) dengan
menggunakan dosimeter yang telah diukur terhadap alat acuan
tingkat nasional.
Pesawat radioterapi di Indonsia pada saat ini ada tiga
jenis,.
1) sinar–X,
2) teleterapi gamma dan
3) accelerator (Linac).
Pesawat radioterapi sinar–X, menurut energi yang dihasilkan ada 2 jenis
1) sinar–X dengan energi rendah, (10 – 125 KV) ini disebut
kontak terapi dan,
2) sinar–X energi menengah, (125 – 300 KV) dan dinamakan
sinar–X orthovoltage.
Menurut jenis isotop sebagai sumber sinar gamma,
pesawat telerapi gamma ada dua jenis:
1) teleterapi Co–60 dengan energi gamma, 1,33 Mev dan 1,17
Mev. dan
2) teleterapi Cs–137. dengan energi gamma : 0,662 Mev.
Linac merupakan pesawat radioterapi tercanggih di Indo-
nesia, yang dapat menghasilkan. dua macam radiasi bertenaga
tinggi secara bergantian, yaitu elektron dan sinar–X.
Pesawat teleterapi Co–60 dan Cs–137 setiap tahun terjadi
penyimpangan/error sebesar 5%. Selzab itu perlu di kalibrasi
setiap 6 bulan. Pesawat sinar–X penyimpangannya lebih besar
lagi, maka perlu dikalibrasi sekurang-kurangnya satu bulan
sekali.
Penyimpangan output radiasi pesawat teleterapi Co–60 dan
Cs–137 terjadi karena .
a. Geometri dari isotop berbentuk silinder, bukan bola.
b. Berkas radiasi yang digunakan ialah berkas terkolimasi.
Penyimpangan yang terjadi pada pesawat sinar–X disebabkan
oleh umur tabung pesawat yang menyebabkan berkurangnya
arus elektron dari filament akibat pemanasan terus-menerus.
Problema yang dihadapi oleh fasilitas-fasilitas radioterapi
di Indonsia, ialah tidak dilakukan kalibrasi rutin, tidak ada
sarana dosimeter yang terkalibrasi dan tidak tersedianya ahli
yang mampu melakukan kalibrasi. Maka, dipertanyakan apakah
selama ini tidak terjadi penyimpangan dosis penyinaran?
Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu
dilakukan pengukuran output radiasi terhadap semua pesawat
radioterapi di rumah sakit-rumah sakit yang memiliki fasilitas
radioterapi.
CARA PENGUKURAN
Pengukuran keluaran radiasi setiap pesawat radioterapi
harus disesuaikan dengan kondisi tabel penyinaran yang ada di
setiap fasilitas, misalnya, Kv, mA, filter, jarak sumber ke permukaan fantom (SSD), dan luas lapangan.
• Pengukuran Output Radiasi Pesawat Sinar–X Orthovoltage
Nilai output radiasi yang dihasilkan pesawat sinar–X berenergi menengah (orthovoltage), digunakan bagan eksperimen
seperti di bawah ini s (Lihat Gambar 1)
Selama pengukuran tabung detektor diletakkan di dalam
air. Penyinaran dilakukan pada kondisi harga KV, mA, filter
dan SSD, seperti tercantum pada tabel penyinaran yang ada
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 23
Gambar 1. Skema pengukuran keluaran radiasi untuk pesawat radioterapi sinar X berenergi menengah.
a = pusat sumber
b = fantom' air sebagai medium tempat pengukuran
c = posisi tabung detektor ionisasi dalam fantom air
d = Iarak antara permukaan fantom air dengan tabung detektor
SSD = jarak sumber/pesawat dengan permukaan fantom air
pada fasilitas bersangkutan. Pengukuran dilakukan sekurangkurangnya 3 kali ulangan. Pada awal dan akhir pengukuran
dicatat kondisi temperatur, tekanan dan kelembaban udara.
Data tersebut digunakan untuk menetapkan nilai faktor koreksi
Kpt dan fh pada hasil bacaan alat ukur.
Kpt = faktor koreksi perbedaan temperatur dan tekanan
udara tempat pengukuran output radiasi dengan tempat mengkalibarasi tabung detektor
= faktor koreksi perbedaan kelembaban udara tempat
fh
pengukuran keluaran radiasi dengan tempat mengkalibrasi tabung detektor.
• Pengukuran Keluaran Radiasi pesawat radioterapi Cobalt60 dan Caesium-137
Pengukuran output radiasi pesawat radioterapi Co-60 dan
Cs-137 digunakan bagan eksperimen seperti Gambar 1.
Penyinaran tabung detektor dilakukan dengan dua variasi,
yaitu 1) luas lapangan dan 2) SSD. Pengambilan luas lapangan
dan SSD disesuaikan dengan tabel penyinaran yang tersedia.
Pengukuran keluaran radiasi dilakukan 3 kali ulangan.
Pada awal dan akhir pengukuran dilakukan pencatatan temperatur, tekanan dan kelembaban udara. Data ini digunakan
untuk menetapkan nilai faktor koreksi Kpt dan fh pada hasil
pembacaan ukur.
• Pengukuran Keluaran Radiasi Pesawat Radioterapi LINAC
Pesawat Linac menghasilkan berkas radiasi elektron yang
dipercepat atau foton sinar–X bertenaga tinggi. Sebelum melakukan pengukuran output perlu diketahui berkas mana akan
diukur, karena cara pengukuran kedua berkas tersebut tidak
sama, dalam metode maupun peralatan yang digunakan untuk
pengukuran.
Sebelum dilakukan pengukuran, perlu dilakukan pengecekan energi berkas, apakah sama dengan energi berkas pada
panel kontrol. Jika terdapat perbedaan maka perlu dilakukan
penyesuaian energi dengan memutar tombol pengatur.
Pengecekan energi foton yang dihasilkan pesawat Linac,
perlu dilakukan pengukuran dosis pada kedalaman 10 dan 20
cm dalam fantom air. Dari hasil pengukuran ini ditetapkan
nilai perbandingan D10/D20-nya, lalu dicari energi fotonnya
melalu kurva D10/D20 vs energi foton.
Pengukuran energi foton dilakukan pada 3 buah pesawat
Linac, 1 pesawat Varian di RS Gatot Subroto dengan energi
foton 10 MV dengan pengukuran pada SSD = 100 cm dan luas
lapangan 10 x 10 cm2 dan 2 buah pesawat Linac -di RSCM
(Mevatron 74 dan Mevatron 60), dengan energi foton 10 MV
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
dan 4 MV dengan pengukuran pada SSD = 80 cm dan luas
lapangan 10 x 10 cm2.
Pengecekan energi berkas elektron pada pesawat Mevatron
. 74 di RSCM dilakukan pada energi 5 Mev, 6 Mev, 7 Mev dan
8 Mev, dan dilaksanakan dalam medium fantom fleksi glas
dengan cara menentukan bentang (range) energi elektron di
dalam fantom tersebut. Dari bentang energi elektron tersebut,
ditetapkan energi elektron rata-rata dengan menggunakan
rumus
Ro . (Z/A)eff = 0,285 Eo-0,37 dan
E = Eo–3,51 . (Z/A)eff . t
Ro = jangkauan energi elektron makstmum (range energy) dalam
fantom padat (cm).
(Z/A)eff = perbandingan harga efektif Z dengan A medium fantom
padat.
E = energi rata-rata elektron (Mev)
Eo = energi elektron pada permukaan fantom padat (Mev)
t
= kedalaman elektron pada permukaan fantom padat (cm).
Sedangkan pada pesawat Linac Varian di RSGS tidak
dapat dilakukan pengukuran energi berkas elektron maupun
nilai keluarannya, karena kondisi pesawat dalam keadaan
rusak.
Penetapan. nilai keluaran berkas radiasi foton sinar–X
bertenaga tinggi dipergunakan metode seperti pesawat sinar–X
orthovoltage, hanya saja ada sedikit perbedaan,. yaitu letak
tabung detektor di dalam fantom air. Pada berkas foton dengan
tenaga kurang dari 11 MV, dilakukan pengukuran pada ke
dalaman detektor 5 cm di bawah permukaan fantom air. Sedang
untuk berkas foton dengan energi 11 MV s/d 25 MV dan 26
MV s/d 50 MV dilakukan pengukuran pada kedalaman detektor
7 cm dan 10 cm.
Penetapan nilai keluaran berkas elektron dari pesawat
Linac dilakukan pengukuran dosis serap pada energi elektron
5 Mev, 6 Mev, 7 Mev dan 8 Mev. Pengukuran nilai
keluaran, tabung detektor diletakkan pada kedalaman 9 mm
untuk energi elektron 5 Mev, 11 mm untuk energi elektron 6
Mev, 15 mm untuk energi elektron 7 Mev dan 166 mm untuk
energi elektron 8 Mev.
PEMBAHASAN
A. Pesawat Sinar–X
Harga output hasil pengukuran dari pesawat di Rumah
Sakit Cikini lebih kecil dari tabel penyinaran karena umur tabel
penyinaran lebih dad 5,5 tahun.
Menurut Waldeskog dan Seelentag, pesawat sinar-.X dapat
merubah nilai keluaran lebih dari 5% per tahunnya. Karena itu
dianjurkan agar pesawat sinar–X selalu dikalibrasi (minimal)
sekali dalam satu bulan. Data hasil
kalibrasi tersebut
digunakan untuk penyusunan tabel penyinaran pesawat yang
bersangkutan.
Perubahan nilai keluaran pada pesawat sinar--X terjadi
akibat umur tabung pesawat, yaitu target makin lama makin
aus, akibat ditembaki elektron berkecepatan tinggi, dan berkurangnya arus filamen dari proses pemanasan yang terusmenerus.
B. Pesawat Caesium–137
a) Hash pengukuran keluaran radiasi dari pesawat Caesium137 di Rumah Sakit Elisabeth, Medan, Rumah Sakit Yauri
Yusuf Putra, Ujung Pandang dan Rumah Sakit Cikini, Jakarta,
nilai keluaran lebth kecil dari pada tabel penyinaran. Menurut
buku acuan Waldeskog dan Seelentag, untuk pesawat radio-
terapi Co-60 dan Cs-137 dalam satu tahunnya dapat merubah
nilai keluaran kurang dari 5%, ternyata hasil nilai perbedaan
yang ditimbulkan pada 3 Rumah Sakit tersebut di atas melebihi
5% per tahun.Kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa
faktor sebagai berikut
1. Penyusunan tabel penyinaran tidak,didasarkan pada data
hasil pengukuran tetapi hanya secara perhitungan, dengan
menggunakan nilai faktor koreksi peluruhan isotop sewaktu penginstalasian pesawat, atau nilai faktor koreksi
peluruhan isotop berdasarkan data sertifikat.
2. Penyusunan tabel mungkin dilakukan dari data hasil pengukuran keluaran pesawat, tetapi dalam pengukurannya
menggunakan tabung detektor dengan masa kalibrasi yang
telah kadaluwarsa.
3. Pengukuran nilai keluaran pesawat mungkin tidak menggunakan metode yang baik, dengan menggunakan faktorfaktor koreksi yang dapat mempengaruhi hasil selama di
lakukan pengukuran..Seperti di Rumah Sakit Cikini Jakarta,
di man dalam 10 bulan saja telah te,jadi perbedaan nilai
keluaran antara hasil pengukuran dengan tabel penyinaran
antara 22,3% s/d 99,5%.
b) Untuk Rumah Sakit Umum Surakarta, Rumah Sakit Dr.
Sutomo dan Rumah Sakit Dr. Sardjito, nilai keluaran hasil
pengukuran lebih besar dari nilai keluaran tabel penyinaran. Ke
jadian ini mungkin disebabkan oleh penyusunan tabel penyi
naran yang tidak benar, yaitu menyusun tabel penyinaran dad
data hasil pengukuran, dengan menggunakan tabung detektor
yang telah kadaluwarsa masa kalibrasinya.
C. Pesawat Cobalt-60
Dari hasil pengukuran keluaran pesawat radioterapi Co-60
di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang dan Rumah Sakit Dr.
Sutomo Surabaya, data keluaran pesawat menurut tabel penyinaran pada kedua rumah sakit tersebut, lebih besar dad data
hasil pengukuran.
Hal ini mungkin disebabkan oleh :
1. Dalam melakukan pengukuran untuk menyusun tabel pe
nyinaran, tidak pernah dilakukan koreksi temperatur, tekanan dan kelembaban udara, karena pada setiap fasilitas
radioterapi tidak tersedia barometer, termometer dan
hygrometer.
2. Mungkin sebab yang lain adalah kondisi pengukuran yang
tidak benar, misalnya dalam menentukanjarak antara pusat
sumber dengan detektor, posisi detektor dalam medan
radiasi, jarak sumber dengan dinding/lantai sewaktu pengukuran keluaran pesawat dan juga pemakai data faktor kalibrasi untuk kondisi luas medan yang bervariasi kurang
diperhatikan.
D. Pesawat Linac
Pada pengukuran energi berkas, baik berkas foton maupun
elektron, ternyata berkas foton pada pesawat Varian (RSGS)
din Mevatron 74 (RSCM), terdapat kesamaan. energi antara
energi foton hasil pengukuran dengan energi foton pada panel
kontrol pesawat, yaitu sebesar 10 MV. Sedang untūk pengukuran energi foton pada pesawat Mevatron 60, diperoleh
energi foton yang tidak sama antara hasil pengukuran (3 MV)
dengan panel kontrol (4 MV).
Pengukuran energi berkas elektron pada pesawat Mevatron
74, didapat energi elektron hasil pengukuran tidak sama dengan energi elektron pada panel kontrol.
Pengukuran keluaran radiasi (baik radiasi foton maupun
elektron), diperoleh nilai keluaran yang tidak sama antara hasil
pengukuran dengan tabel penyinaran. Perbedaan energi berkas
(baik foton ataupun. elektron) dan juga nilai keluaran pesawat
antara hasil
pengukuran dengan panel kontrol/tabel
penyinaran, disebabkan oleh adanya perubahan nilai frekuensi
gelombang radio penggetar elektron dalam tabung pemercepat
elektron, sebagai akibat tidak dipenuhinya persyaratan ternperatur bagi pesawat tersebut.
KESIMPULAN
Untuk mendapatkan nilai keluaran pesawat yang benar,
perlu dilakukan pengukuran keluaran pesawat dengan menggunakan cara/metode yang baik serta menggunakan tabung
detektor yang telah terkalibrasi dan niasa kalibrasinya masih
berlaku. Disamping itu, perlu disediakan peralatan barometer,
termometer dan hygrometer untuk dipakai menentukan faktor
koreksi udara tempat pengukuran; Data tabel penyinaran
sebaiknya disusun dari data hasil pengukuran. Pengukuran
keluaran pesawat, untuk pesawat sinar–X sebaiknya dilakukan
satu minggu sekali, pesawat caesium dan Cobalt satu bulan
sekali dan pesawat linac sebelum digunakan untuk penyinaran.
Fasilitas-fasilitas radioterapi hendaknya memiliki alat pengukur
(dosimeter) sendiri dan harus selalu dikalibrasi ulang. Di
samping itu tempat penyimpanan dosimeter perlu mendapat
perhatian yang serius, agar terjamin keandalan dari alat
tersebut.
Penelitian Radiasi dan Kesehatan
C.J. Sugiarto Danusupadmo
Badan Tenaga Atom Nasional, Pusat Standardisasi Penelitian Kesehatan Radiasi, Jakarta.
PENDAHULUAN
Sumber radiasi pengion utama yang memapari penduduk
adalah
• Radiasi latar alamiah, dengan dosis seluruh tubuh ~ 100
mrem/tahun (= 1 mSv/tahun), sedang pada individu tertentu
dosisnya bervariasi dalam fungsi altitude maupun latitude.
Terdiri dari ~ 30% radiasi kosmik, ~ 30% radiasi tanah (k-40,
nuklida anak uranium dan torium), dan ~ 40% unsur radioaktif
penyusun tubuh manusia (BEIR, 1980).
• Radiasi buatan manusia natara lain dipakai dalam kedokteran, fasilitas nuklir dan industri tertentu, pekerjanya
secara profesi terpapari radiasi boleh jadi melampaui dosis
latas beberapa kali lipat (BEIR, 1980) (Tabel4).
• Radiasi dan radionuklida akibat ledakan nuklir, peperangan dan uji cobi.
Tabel 1
:
Paparan radiasi terhadap rata-rata anggota penduduk
di Amerika Utaxa akibat beberapa aktivitas hldupnya.
(MARKO, 1982).
Aktivitas
Dosis radius rata-rata
dalam mrem/th
Satu kali naik pesawat jet p.p./ tahun
Washington – San Pransisco
Hidup kurang dari 500 km dad stasiun
pembangkit daya berkekuatan 1000 MW
dengan bahan bakar batu bara
Menggunakan fosfat di USA untuk
– pupuk
– bahan bangunan
Mengunakan mated radioaktif untuk
jarum jam, keramik, detektor asap
Menggunakan alat elektronik mis. TV
3,0
0,1
0,0004
0,2
1,0
1,0
HASIL DAN PEMBAHASAN
Masalah yang dihadapi di Indonesia
Masalah yang dihadapi di Indonesia, yang berhubungan dengan
keselamatan adalah :
• Instalasi penelitian dan industri nuklir
Penggunaan radiasi maupun radionuklida dalam penelitian
(Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi = PAIR; Pusat Penelitian
Teknik Nuklir = PPTN; Pusat Penelitian Nuklir Yogyakarta =
PPNYJ dan operasi reaktor serta produksi isotop di pusat
industri nuklir Serpong, Pusat Reaktor Serba Guna = PRSG;
Pusat Elemen Bahan N.uklir = PEBN; Pusat Produksi Radioisotop = PPR; Pusat Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif
= PTPLR), sudah diatur sehingga paparan radiasi berlebih dan
cemaran radionuklida sangat kecil.
Apabila terjadi kecelakaan nuklir, khususnya yang
berkaitan dengan kompleks RSG di Serpong dan Pusat-pusat
pendukungnya, perlu mendapat perhatian khusus, sehingga
keadaan darurat nuklir tersebut dapat diatasi. Kecelakaan nuklir
yang mungkin terjadi adalah:
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
Tabel 2 : Paparan radiasi rata-rata pada epitel bonkhus (MARKO,.
1982)
Sumber radiasi
Sinai kosmik
Radiasi tanah (terestrial)
Menghirup nuklida anak radon
– 5 jam/hari di luar rumah
– 19 jam/hari di dalam rumah
K–40 dan radionuklida intern lain
31
32
0,005 WLM
0,16 WLM
25
88 mrem +
0,165 WLM
Total
WLM
Dosis radiasi rata-rata
dalam mrem/tahun
=
"Working level month" ditentukan dalam fungsi konsentrasi
nuklida anak randon dalam udara, penghiru pan udara yang
mengandung nuklida anak radon yang setara dengan >3,7 Bq
randon/1 oleh pekerja dewasaselama 170 jam.
1.
Kegagalan operasi reaktor
Umpamanya gangguan pada pendinginan salah satu perangkat elemen bahan bakar terjadi, mengakibatkan terlepasnya
sejumlah kecil radionuklida.
2. Gangguan produksi isotop
Dapat terjadi karena kegagalan pengambilan Mo–99 dan
hasil fisi lainnya dari U–235 di hot cell, sehingga sejumlah
radionuklida hasil fisi akan terlepas. Andaikata pada saat yang
sama sistem penyaring ventilasi tidak berfungsi, maka sejumlah
radionuklida akan keluar, khususnya radionuklida yang
lamban, yodium dan partikel lainnya.
3) Kegagalan operasi pengolahan limbah
Dapat terjadi karena kegagalan antara lain akibat tangki
evaporasi mengalami kebocoran atau pecah.
4) Kegagalan operasi fabrikasi elemen bakar.
Dapat terjadi karena terjadi reaksi fisi spontan dalam
waktu singkat sehingga menghasilkan radiasi gamma dan
neutron. Secara keseluruhan fabrikasi elemen bakar tidak
melepaskan radionuklida hasil fisi atau buatan. Keduanya tidak
memberi dampak yang berarti secara ekstern, tetapi dampak
radiasi intern cukup tinggi.
5) Kegagalan pengangkutan limbah radioaktif.
Kecelakaan dapat terjadi pada pengangkutan limbah cair,
sehingga zat radioaktif sebagian terlepas ke udara (aerosol/gas)
dan sebagian lain tersebar pada permukaan atau meresap ke
dalam tanah.
Tabel 3 . Paparan rata-rata radiasi dari unsur-unsur radioaktif penyusun tubuh (MARKO, 1982).
Dosis radiasi dalam mrem/
T 0,5
Radionuklida
tahun
(dalam
tahun)
Sumsum
Sumsum
Gonad
K-40 (primordia)
U-238 (primordia)
dart niklida anak
Th-232 (primordia)
dan nuklida anak
Rb-87 (primordia)
C-14 (kosmogenik)
Na-22 (kosmogenik)
H3 (kosmogenik)
1,3 x 109
27
15
4,5 x 109
19
15
14,0 x 109
60,0 x 109
5700
2,6
12
7
0,4
2,2
0,002
0,001
1,4
0,8
0,5
0,02
0,001
Tabel 4 : Paparan radiasi (di atas latar) yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugas (MARKO, 1982)
Paparan rata-rata radiasi pertahun
(negara-negara barat)
Pekerjaan
seluruh tubuh
Epitel bronkhus
(mrem)
(WLM)
Pekerja tambang uranium
Pckcrja tambang bukan uranium
Pckcrja reaktor nuklir
Pekcrja industri arloji yang
menggunakan tritium
Pekerja litbang nuklir
Penerbang jet dan awak pesawat
Radiografi industri
Pekerja medik (radiologi, terapi,
kedokteran nuklir)
1000
rendah
600 – 1000
1 –4
0,4 – 4
–
400 – 1500
100 – 750
250 – 500
40 – 600
–
–
–
–
10 – 500
–
Dari tabel, paparan. < 5 rem = 5000 mrem/th, artinya sesuai dengan
ketentuan ICRP.
ƒ
Aplikasi dalam kedokteran dan industri
Menurut data yang dikumpulkan para inspektur BATAN
(sebagai Ahli Proteksi Radiasi) pada rumah sakit-rumah sakit
yang melakukan radioterapi sering terdapat kekurangan dalam
hal:
1) Fasilitas (ruangan sinar X yang kurang luas, dinding kurang
tebal atau dengan bahan bangunan yang kurang memadai, flow
of personnel dan pasien tidak memenuhi syarat), dan
sebagainya.
2) Personil: kenyataannya para Petugas Proteksi Radiasi adalah
para operator pesawat itu sandhi yang kurang memenuhi
persyaratan teknis. Sehingga perlu ada medical/hospital
physicist yang khusus.
3) Peralatan, khususnya peralatan keselamatan (survey meter,
alat ukur output) pada umumnya tidak ada.
Timbul pertanyaan, apakah sampai demikian jauh belum
ada keluhan dari para petugas pekerja radiasi?
Dari kalangan pasien yang memperoleh radioterapi apakah
tidak timbul ekses, atau apakah ekses tersebut hanya dianggap
sebagai risiko yang tidak dapat dihindarkan?
Tetapi dari sudut pandang proteksi radiasi, kiranya, bila
ada, hārus mendapat perhatian yang cukup.
Dalam hubungan ini, kerjasama antara BATAN – DEPKES dalam Komisi Karma yang sudah ada perlu mendapatkan
perhatian yang lebih besar, sehingga dapat berhasil guna, disamping status radiologi yang lebih ditingkatkan.
Aplikasi dalam industri adalah: penggunaan torium oksid
dalam produksi kaos lampu, krom radioaktif untuk studi
hidrologi (pendangkalan pelabuhan, arus sungai, erosi, air
tanah, air dam), radiografi (uji talc merusak) dalam industri.
Sekalipun para petugas sudah dilatih dan diberitahu peraturan-peraturan yang harus ditaati, tetapi kecelakaan karena
kelalaian pernah terjadi sehingga harus dijaga agar tidak terulang lagi.
ƒ Industri non-nuklir
Diketahui bahwa fosfat alam yang diimpor dari Maroko,
USA, yang digunakan dalam produksi pupuk mengandung
radioaktivitas, begitu pula batubara. Penghirupan debu fosfat,
khususnya dalam bentuk tepung gips dan radon dari batubara
oleh para pekerja perlu mendapat perhatian.
ƒ Sumber lain = Radioaktivitas alam
KESIMPULAN
1. PSPKR khususnya dan BATAN umumnya tetap beranggapan, keselamatan pekerja radiasi dan penduduk harus secara
berkelanjutan diperhatikan, sekalipitn telah ada peraturanperaturan yang mencoba mengurangi paparan radiasi sampai
batas yang serendah-rendahnya.
2. Kerjasama BATAN–DEPKES–DEPNAKER sangat diperlukan sekali.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
BATAN--PPIN. Pedoman penanggulangan kedaruratan nuklir di RSGLP
di kawasan Puspitek Serpong, 1987 p. 73
Committee on The Biological Effects of Ionizing Radiations (BEIR). The
effects on population of exposure to low levers of ionizing radiation.
Washington: Nat Acad Press 1980 p. 524.
Marko AM (ed). Biological effects of ionizing radiation. AECL, 1982.
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 27
Penelitian Bidang Radiologi di
Indonesia
Marnansjah Daini Rachman, Sudarmo S. Purwohudoyo
dan Iwan Ekayuda
Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Penelitian berperanan sangat panting dalam usaha meningkatkan kesejahteraan manusia. Bila dibandingkan kehidupan
beberapa puluh tahun yang lalu dengan kehidupan sekarang
dirasakan ada perbedaan yang besar sekali.
Beberapa puluh tahun yang lalu life expectancy di berbagai
negara rata-rata antara 40 – 50 tahun, tetapi sekarang di negaranegara maju life expectancy naik sampai di atas 70 tahun.
Sebelum tahun 1930, apabila seseorang menderita luka
infeksi, kemungkinan besar ia meninggal karena septikemia,
karena belum ada obat yang dapat membunuh kuman-kuman
patogen. Dengan ditemukannya sulfonamide tahun 1932 dan
penisilin tahun 1928, maka penderita septikemia dapat tertolong.
Penghidupan manusia terus makin sejahtera, tetapi masih
juga banyak masalah yang menyebabkan penderitaan. Hal ini
terasa sekali di negara-negara berkembang. Untuk mengatasinya diperlukan orang-orang yang cerdas, berdedikasi, penuh
tanggung jawab, kreatif dan inovatif yang diberi tugas melaksanakan penelitian untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut
di atas. Dan disinilah terletak tantangan yang dihadapi oleh
para peneliti.
Di dalam bidang kedokteran dan kesehatan, khususnya
bidang radiologi masih banyak hal yang harus diselidiki dan
dikembangkan.
Lloyd. menulis sebagai berikut : "Research is mental,
laboratory work is the lesser important step in research.
Creative thinking, the conceiving of a new idea, is the essence
of research".
Penelitian dimulai di otak, bukan di perpustakaan maupun
di laboratorium. Penelitian dimulai dengan observasi suatu
fenomena yang menimbulkan suatu pertanyaan. Berdasarkan
pertanyaan ini kemudian disusun suatu hipotesis atau beberapa
hipotesis, yang merupakan dasar untuk menyusun suatu
rancangan percobaan. Setelah kita memilih rancangan percobaan yang paling sesuai, kita mulai melakukan eksperimeneksperimen untuk mengumpulkan data. Data yang terkumpul
ditata secara sistemik dan diolah secara statistik. Berdasarkan
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
data ini dibuatlah suatu interprestasi sehingga dapat ditarik
kesimpulan yang menunjang atau menolak hipotesa yang telah
dibuat. Seorang peneliti yang baik harus mempunyai daya
kreativitas atau inovasi yang kuat.
Kreativitas adalah suatu proses mental, proses berfikir
yang mengakibatkan timbulnya berbagai macam ide-ide
dengan gagasan-gagasan yang orisinil.
Inovasi adalah aplikasi praktis dari gagasan-gagasan
sehingga menghasilkan produk-produk atau cara kerja yang
lebih efisien. Sebagai contoh : orang yang sangat kreatif adalah
Leonardo da Vinci, ia sekaligus seorang seniman, ahli matematika, pelukis dan pemahat, ahli teknik mekanik dan seorang
pemikir.
Orang-orang Jepang adalah inovatif, tetapi kurang kreatif.
Mereka mengambil ide-ide yang dicetuskan oleh dunia barat
dalam berbagai produk misalnya alat potret, mobil dan lainlain. Melalui proses inovasi, mereka dapat menghasilkan produk-produk yang lebih sempurna, praktis, lebih mungil, lebih
efisien dan lebih murah.
Penelitian di bidang radiologi di Indonsia masih dalam
taraf permulaan, karena terbatasnya tenaga peneliti, fasilitas
radiologi, fasilitas alat-alat peneliti radiologi dan dana yang
tersedia.
Salah satu program Tri Darma Perguruan Tinggi adalah
penelitian, dan banyak aktivitas penelitian yang dilakukan oleh
ahli bidang radiologi baikyang bekerja di fakultas-fakultas
kedokteran negeri atau swasta.
Data dikumpulkan dengan bekerjasama Ikatan Ahli Radiologi Indonesia (IKARI)–Pusat, untuk menelaah hasil penelitian
dalam bidang ilmu radiologi sebagai bahan analisa dan tolok
ukur dalam penyusunan makalah ini.
MATERI DAN METODA
Telah disusun kuesioner singkat dan dibagikan ke seluruh
ahli radiologi di Indonesia untuk mendapat data penelitian serta
dilakukan wawancara para ahli-ahli dan peneliti radiologi,
khususnya di fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Dalam
angket kuesioner diperinci jabatan peneliti dalam 6 kelompok,
yaitu :
A. Ahli Radiologi :
– Bidang radiodiagnostik
– Bidang radioterapi
– Bidang ultrasonografi
– Bidang kedokteran nuklir
– Bidang CT-Scan dan imaging lainnya.
B. Ahli fisika
C Penata rontgen
D. Tenaga dokter bukan ahli radiologi
E. Tenaga paramedis bukan penata rontgen
F. Tenaga lainnya
Penelitian tersebut dibagi dalam 3 kelompok :
a. Penelitian yang sudah dilaksanakan
b. Penelitian yang sedang dilaksanakan
c. Penelitian yang akan dilaksanakan.
Setiap penelitian diperinci dengan mencantumkan :
1. Judul penelitian
2. Katagori penelitian yang meliputi :
Radiodiagnostik (d)
Radioterapi (Th)
Kedokteran Nuklir (KN)
Ultrasonografi (U)
CT-Scan dan imaging (CT)
3. Peneliti dan asisten peneliti
4. Jabatan peneliti; baik di fakultas Kedokteran atau di rumah
sakit-rumah sakit lainnya
5. Jumlah dana yang dibutuhkan
6. Sumber keuangan
7. Kendala (hambatan-hambatan)
8. Keterangan tambahan lainnya.
HASIL PENGUMPULAN DATA
Responden diambil secara acak sebanyak 200 orang.
Responden adalah orang-orang yang diduga melakukan penelitian di bidang radiologi.
Sistem pengumpulan data dilakukan 3 macam, yaitu :
a. Dengan sistem angket kuesioner
b. Dengan sistem wawancara, baik wawancara berhadapan
muka atau melalui telepon
c. Kombinasi sistem a & b.
Angket kuesioner dikirimkan melalui pos pada urinal 5
September dan-tanggal 27 September 1987 mendapat jawaban
kembali. Karena jawaban yang kembali hanya 35 buah, maka
dilakukan teknik wawancara, khususnya terhadap responden
yang berada di Jakarta.
Sistem pengumpulan data kombinasi (c) hanya dilakukan
di Jakarta tanggal 1 Oktober 1987 sampai 8 Oktober 1987
dengarl jawaban 20 responden.
Dari 200 responden yang dihubungi, jawaban yang
diterima kembali 87 responden (43,5%), di mana responden
yang meiakukan penelitian 39 responden (29,5%) dan yang
tidak memkukan penelitian 58 responden (24%).
Dari 39 kelompok peneliti dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
a Penelitian yang dilakukan sendiri (peneliti tunggal) : 12
bran&
b. Penelitian yang dilakukan berkelompok : 27 kelompok.
Analisa dari jabatan peneliti baik peneliti tunggal maupun peneliti kelompok :
Ahli radiologi
36 orang
Dokter spesialis lainnya
12 orang
Dokter umum, termasuk asisten ahli radiologi 18 orang
Penata rontgen
8 orang
Ahli fisika
2 orang
Tenaga paramedis lainnya
4 orang
Lain-lain
2 orang
Jabatan peneliti utama umumnya ahli radiologi, sedangkan
asisten peneliti adalah dokter spesialis, dokter umum, pinata
rontgen, ahli fisika, tenaga paramedis dan tenaga-tenaga lain.
Jenis penelitian, dibagi 2 kelompok, yaitu :
a. Penelitian retrbspektif
b. Penelitian prospektif.
Dari 39 kelompok peneliti telah dilaporkan 154 penelitian,
baik yang sudah, sedang dan akan dikerjakan, di mana penelitian dalam bidang radiodiagnostik dan bidang radioterapi mendapat perhatian cukup banyak.
KENDALA
Kendala yang sering dikemukakan responden adalah :
1. Masalah tenaga peneliti dan asistēn peneliti :
a. waktu terbatas
b. peminat penelitian kurang
c. pengetahuan metode penelitian masih kurang
d. tenaga pengunjung pasien terbatas.
2. Masalah manajemen & fasilitas :
a. terbatasnya fasilitas penelitian seperti : film rontgen
habis, peralatan yang rusak, zat kontras terbatas, zat
radioaktif sukar didapat dli.
b. data pasien (medical record) tidak lengkap
c. administrasi rumah sakit kurang memadai.
3. Masalah penderita :
a. penderita tidak mau melakukan pemeriksaan ulang
(kontrol)
b. penderita kontrol tidak teratur
c. penderita tidak sanggup membayar biaya pemeriksaan
d. alamat penderita berubah-ubah, sehingga menyulitkan
kontrol ulang.
4. Masalah dana :
a. kurang tersedia dana penelitian
b. penghentian dana sebelum proyek selesai
c. kurang informasi mengenai pusat-pusat yang menyediakan dana
d. penderita minta imbalan dana
e. dana penelitian pribadi terbatas.
5. Sumber dana :
Sumber dana responden didapat dari :
a. Dana pribadi
62%
b. W.H.O
4%
c. Litbang P & K
9%
d. Litbang DepKes
5%
e. Fakultas Kedokteran setempat
10%
f. BATAN
4%
g. Sponsor lainnya (Perusahaan Film, dll)
6%
PEMBICARAAN
Tinjauan hasil-hasil penelitian
Dari 200 responden yang memberikan jawaban kembali 87,
mungkin karena formulir yang dikirim tidak/terlambat sampai
–
–
–
–
–
–
–
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 29
.
ke alamat responden.
Sebagian responden yang tidak melakukan penelitian tidak
membalas kuesioner. Dari 87 responden ada 39 yang melakukan penelitian baik sebagai peneliti tunggal maupun peneliti
berkelompok. Dari seluruh hasil penelitian radiodiagnostik dan
radioterapi lebih banyak diteliti dibandingkan dengan
kedokteran nuklir, ultrasonografi dan CT-Scan, karena fasilitasfasilitas masih sangat terbatas. Ultrasonogrrafi meskipun sudah
banyak, tetapi penempatan alat tersebut di Bagian Radiologi
belum banyak dilakukan, terutama di rumah sakitrumah sakit
swasta.
Penelitian restrospektif sebanyak 84,41% sisanya 15,59%
penelitian prospektif. Dari 62% dana adalah dana pribcdi,
karena keterbatasan dana ini hanya penelitian retrospektif yang
dapat dilakukan. Karena ini cukup murah, sebab hanya
menganalisa film rontgen dari filing yang telah ada.
Kendala-kendala (hambatan) yang ditemukan antara lain
ialah:
1) Tenaga peneliti, khususnya dalam bidang ilmu radiology
masih sangat kurang, karena harus merangkap tugas-tugas
lain seperti tersurat dalam konsep Tridarma Perguruan
Tinggi.
2) Manajemen (pengelolaan) dan fasilitas penelitian masih tergantung pada rumah sakit-rumah sakit baik bagi alat-alat
biaya untuk maintenence pesawat dan pembelian maupun
tenaganya,. sehingga prioritas penelitian menempati urutan
kedua.
Untuk lebih meningkatkan pengorganisasian yang rapi antara
lain mencakup 3 aspek yaitu :
a. Bagian yang menghimpun para pemikir supaya melahirkan
ide-ide baru yang segar.
b. Bagian yang menghimpun para pekerja laboratorium dan di
lapangan.
c. Bagian yang mencari dana.
Materi penelitian adalah pasien yang umumnya golongan
ekonomi lemah yang banyak yang sering tidak disiplin untuk
melakukan kontrol ulang, dan alamatnya berubah-ubah dan
lain-lain. Untuk mengatasinya perlu dicarikan jalan keluar tersendiri. Dana merupakan suatu kendala yang cukup berat,
terlihat dari banyak ,proyek penelitian yang menggunakan dana
pribadi dengan nilainya tidak sampai 1 juta rupiah. Sedangkan
penggunaan dana dari sumber-sumber lain masih sangat
terbatas, karena : informasi yang disampaikan pada peneliti
sangat sedikit atau keterbatasan dana dari lembagalembaga
tersebut:
Kebutuhan penelitian pada mass yang akan datang
Dalam menghadapi penelitian pada masa-masa yang akan
datang diperlukan peningkatan-peningkatan berbagai faktor
antara lain .
1) Meningkatkan tenaga-tenaga peneliti khususnya tenaga
tenaga peneliti ilmu radiologi agar menjadi lebih profesio
nal :
– meningkatkan kualitas peneliti
– mengembangkan bakat kreatif & inovatif
2) Meningkatkan komunikasi antara Badan/Lembaga penelitian (baik pemerintah maupun swasta) dengan para peneliti.
3) Menata kembali jenjang karier para peneliti
4) Memberi penghargaan bagi para peneliti yang terbaik
5) Meningkatkan management intern Badan/Lembaga penelitian
6) Menyediakan sarana (fasilitas) penelitian antara lain mengembangkan sebuah rumah sakit penelitian baik yang diIola oleh pemerintah maupun swasta.
7) Mencari dan menghimpun dana untuk membiayai proyekproyek penelitian.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Hadi S. Metodologi Research, Jilid I, Gajah Mada Universitas Press,
Yogyakarta, 1978.
Koento I. Dasar Metodologi Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, Surabaya, 1978.
Oemijati S, Setiabudy, Budijanto A. Pedoman Etik Penelitian Kedokteran
Indonesia, Jakarta, 1987.
Santoso SI. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Sinai Hudaya,
Jakarta, 1977.
Surakhmad W. Dasar dan Teknik Research. Tarsito, Bandung, 1978.
Tjokronegoro A, Sudarsono S. Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1987.
Aktivitas lodium Sebagai Germisida
Sarkoidosis
Drs Usman Suwandi
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT Kalbe Farma, Jakarta
PENDAHULUAN
Germisida merupakan substansi yang mampu membunuh
mikroorganisme, sehingga substansi yang bersifat Germisida
harus mempunyai aktivitas anti mikroba. Banyak substansi
yang mempunyai kemampuan antimikroba, salah satu di
antaranya yaitu Iodium. Atas dasar sifat-sifat antimikroba yang
dimilikinya, iodium banyak dipakai untuk berbagai ma-cam
tujuan. Seperti dikatakan oleh Gershenfeld (1968) bahwa
iodium telah digunakan dalam berbagai hal, yaitu :
1. Antiseptik pada kulit, luka danmukosa permukaan tubuh.
2. Untuk sterilisasi udara dan benda-benda lain.
3. Sebagai pencegah dan terapi penyakit yang disebabkan
oleh bakteri; fungi dan virus.
4. Untuk disinfeksi berbagai pemakaian air seperti air minum
dan air kolam renang.
5. Untuk sanitasi alat-alat makan dan minum.
Sebagai Antiseptik, Iodium mempunyai peranan dalam
menciptakan kondisi aseptik, hal ini disebabkan oleh aktivitasnya sebagai antimikroba. Iodium merupakan antiseptik yang
diunggulkan, karena sifat-sifat yang dimilikinya. Seperti yang
telah dikemukakan oleh Harvey S.C. (1980), Iodium sebagai
antiseptik merupakan agen yang sangat berharga karena
efektivitasnya, nilai ekonomisnya dan toksisitasnya rendah
terhadap jaringan. Selain itu, larutan yang mengandung elemen
iodium merupakan antiseptik dengan aktivitas antimikroba
berspektrum luas, walaupun aktivitas mereka akan berkurang
dengan adanya substansi lain yang bersifat alkali dan adanya
zat organikl .
Aktivitas Iodium pada beberapa kulit cenderung menyebabkan rasa panas dan membakar , apabila penanganannya
kurang hati-hati, akan dapat menyebabkan rasa panas sekali.
Disamping itu iodium berisfāt iritan terhadap inemb ran yang
halus. Walaupun demikian, beberapa penelitian yang telah
dilakukan dengan teknik biakan, pada kulit dan membran
manusia dan binatang, memperlihatkan bahwa iodium relatif
tidak toksik2.
AKTIVITAS IODIUM SEBAGAI ANTI–BAKTERI
Karakteristik yang menyolok dari Iodium sebagai bakteri-
sida antara lain, kurang selektifnya mereka memusnahkan
bakteri yang berbeda, sehingga hampir semua bakteri mati pada
konsentrasi yang hampir sama. Seperti pernah disebutkan oleh
McCulloch (1945), bahwa konsentrasi iodium yang dibutuhkan
sebagai desinfektan tidak terlalu bervariasi terhadap spesies
microorganisme yang berbeda, Ini telah dibuktikan dalam
penelitian Gershenfeld dan Witlin, (1949a), dengan
menggunakan larutan iodium babas 2% (1 ml) mampu mematikan secara efektif dalam waktu 1 menit terhadap staphylococcus aureus, Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa volume 20 ml serta Bacillus mesentericus
volume 10 ml dalam biakan "FDA broth" yang berumur 24
jam3.
Walaupun banyak senyawa-senyawa yang mempunyai
aktivitas antibakteri, namun hanya beberapa saja yang mempunyai aktivitas antibakteri memadai. Iodium merupakan salah
satu antibakteri yang baik, seperti telah dibuktikan oleh
Lebduska dan Pidra (1940), mereka telah memeriksa 128
senyawa untuk mengetahui kemampuan mereka menghambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang
diinokulasikan pada plate agar. Hasilnya didapatkan bahwa
iodium, trikhlorofenol dan salisilaldehide mampu menekan
pertumbuhan bakteri dengan sempurna. Sedangkan fenol, O–
kresol, timol, khloralhidrat, hidroksikuinolin dan karvakrol
hanya mampu menghambat sebagian2.
AKTIVITAS IODIUM SEBAGAI ANTI–FUNGI
Iodium sebagai antifungi telah ditunjukkan oleh banyak
peneliti. Mereka telah mencoba menggunakan berbagai spesies
fungi untuk menguji efektifitas. Iodium sebagai antifungi. Sebagai antifungi, Iodium ternyata efektip terhadap Trichophyton
gypseum, Monflia albicans, Epidermophyton inguinale,
Monilia, Torula dan fungi lainnya. Konsentrasi letal lodium
terhadap setiap spesies sedikit bervariasi. Sebagai contoh konsentrasi iodium yang diperlukan memusnahkan berbagai jenis
fungi yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti dapat dilihat
pada tabel 1.
Atas dasar kemampuannya sebagai antifungi, claim bidang
medis, iodium sering dipakai untuk pengbbatan infeksi
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 31
Konsentrasi iodium sebagai antifungi3.
Tabel 1.
Konsentrasi
Iodium
1 :
3000
1:
1 :
85000
715
1:
1430
Fungi
Peneliti
Trichophytin gypseum
Monilia albicans
Epidermophyton inguinale
Monilia
Tortilla
Epidermaphyton
Tricophyton
Emmons, 1933
Schamberget, 1931
Comez–vega, 1935
Saccharomycetes
Gomes–vega, 1935
jamur. Seperti yang dikatakan oleh Harvey S.C., (1980), bahwa
-tincture iodium dapat digunakan untuk pengobatan berbagai
bentuk mycoses superficial cutaneous4 kering dan larutan
iodium dapat dipakai untuk bentuk basah. Bahkan Vilanova
(1953), lebih spesifik lagi menyebutkan, larutan 1% iodium
dalam alkohol dapat dipakai untuk pengobatan Tinea versicolor
atau Panus .
AKTIVITAS IODIUM SEBAGAI GERMISIDA LAINNYA
Selain dapat membunuh bakteri dan fungi dari berbagai
macam jenis dengan konsentrasi bervariasi, iodium juga mempunyai sifat sporasida, virusida, protozoasida dan metazoasida.
Sebagai sporasida iodium termasuk efektip. Bahkan karena
aktivitasnya sebagai sporasida dan bakterisida yang efektip,
iodium pernah dianjurkan sebagai Emergency sterilizing Agent
untuk alat-alat bedah3. Banyak bukti aktivitas sporasida telah
ditunjukkan dengan berbagai percobaan. Beberapa peneliti
telah menggunakān beberapa jenis spora dan konsentrasi
iodium yang bervariasi. Untuk melihat aktivitas sporasida
iodium dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Waktu yang diperlukan untuk mem~asnahkan
beberapa spora dengan berbagai konsentrasi Iodium .
Konsentrasi
Iodium
Jenis
Spora
waktu untuk
Mematikan Spora
40 ppm
B. metiens
2,2 – 5 menit
288 ppm
B. metiens
5,1 menit
67 ppm
35 ppm
2%
B. metiens
B. metiens
B. subtilis
18 menit
33 menit
90 menit s/d
`lebih 5,5 jam
Peneliti
Wyss & strandskov (1945).
Allawala & Riegelman (1953).
Gershenfeld &
Witlin (1949 a).
B. anthracis
B. mesentericus
B. megatherium
Clostiridum
tetani
Sebagai virusida Iodium telah digunakan sebagai pencegah
terhadap virus influenza dan herpes, serta sebagai terapi
terhadap variola (small pox)dan varicela (chicken pox)3. Demi. 'kin juga chang dan Morris (1953) telah mengatakan,
beberapa PPM iodium akan mampu menginaktivasi virus polio
myelitis dalam waktu 5–10 menit2.
Sebagai protozoasida dan metazoasida, Iodium beserta
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
devirat dan kombinasinya telah digunakan terhadap amoeba,
trichomonad dan terhadap berbagai jenis cacing seperti
Strongyloides, trichuris dan oxyuris3.
CARA BEKERJANYA IODIUM DAN PENGHAMBAT
AKTIVITAS IODIUM
Banyak bukti-bukti yang menunjukkan iodium sebagai anti
mikroba yang efektip. Namun adanya zat-zat tertentu akan
dapat menghambat aktivitas iodium sebagai anti mikroba.
Seperti dikatakanoleh Kojima (1940), adanya zat-zat organik
dan anorganik tertentu akan menetralisir efek iodium. Senyawa
organik penetralisir efek iodium antara lain : serum, gliserin,
syrup, feses, telur, susu, urine, dahak dan sebagainya, sedang
substansi anorganik penetralisir efek iodium antara lain sodium
tiosulfat, logam merkuri dan ammonia. Selain zatzat tersebut,
keefektifan iodium juga dapat berubah dengan adanya protein
atau zat-zat organik yang lain3 .
Dengan adanya zat organik, iodium berikatan secara
kovalen, tetapi kebanyakan berikatan tidak kuat, sehingga
iodium dapat dilepaskan denan lambat. Oleh karena itu
efektifitasnya sedikit berkurang .
Cara bekerjanya Iodium membunuh bakteri belum dapat
diketahui dengan pasti. Namun demikian, McCulloch (1932)
percaya, iodium tnemusnahkan mikroorganisme dengan cara
membentuk garam dengan protein melalui halogenasi langsung.
Sedangkan Sollman (1948)mengatakan,elemen iodium akan
mempresipitasi protein sebagian iodium akan diabsorpsi,
sebagian iodium berikatan tidak kuat dan sebagian akan diubah menjadi ion-ion iodida. Karena ia berikatan tidak kuat, ia
akan terus menetrasi sehingga aktivitasnya meluas ke dalam3 .
PENGGUNAAN IODIUM SEBAGAI ANTIMIKROBA
Sebagai antiseptit kulit
Penggunaan iodium sebagai antiseptik kulit, merupakan
salah satu pemanfaatan sifat antimikroba yang dimilikinya.
Sebagai antiseptik kulit, sediaan iodium digunakan untuk
mendukung . keadaan aseptik yang dikehendaki, seperti dikatakan oleh Walter (1948). Sediaan tincture atau larutan
iodium merupakan antipseptik yang ideal dan aman untuk
keperluan disenfeksi kulit sebelum pengambilan darah untuk
transfusi atau tujuan penelitian3.
Selain itu larutan iodium 0,1% atau 0,05% telah digunakan
secara efektip sebagai antiseptik mouthwashes, gargling the
throat, Vaginal douch dan pencuci daerah badan lainnya.
Bahkan tincture atau larutan iodium juga dapat dipakai pada
waktu akan memberikan obat secara ' parenteral terutama
intravena, intrateka dan intramuscular3.
Pemakaian tunggal iodium 2% dalam alkohol 70% sebagai
disinfeksi kulit dapat dicapai dalam 15 - 20 detik. Bahkan
iodium 0,5% dalam air atau alkohol yang dipakai untuk mengusap kulit (swabbing) dan dibiarkan sampai kering, ternyata
masih bersifat lethal terhadap staphilococcus aureus setelah 2
jam2
Iodium tersedia dalam berbagai macam bentuk. Di antara
bentuk-bentuk sediaan Iodium, tingtur alkohol merupakan
sediaan yang paling baik, seperti disebutkan oleh Harvey S.C.
(1980)s bahwa iodium dalam bentuk tingtur dengan vehicle
alkohol adalah sediaan yang paling baik, ini disebabkan sifat
penetrasi dan penyebarannya. Sebagai contoh sediaan yang
digunakan untuk menangani infeksi kutan (kulit) yang di-
sebabkan oleh bakteri dan fungi dapat digunakan larutan
iodium atau tinctur iodium USP.
Potensi iodium sebagai anti mikroba selain tergantung
pada bentuk sediaannya, juga tergantung pada konsentrasinya.
Pada kulit, tingtur iodium 1% akan membunuh 90% bakteri
dalam waktu 90 detik, sedang larutan iodium 5% akan
membunuh dalam waktu 60 detik dan untuk tincture iodium
7% dalam waktu 15 detik4 .
Iodium sebagai disinfeksi air dan alat-alat lain
Sebagai desinfeksi air, Chang & Morris (1953)2 menganjurkan kandungan Iodium 8 ppm, karena dalam waktu 10
menit sudah mampu membunuh patogen water-borne,
termasuk amuba dan virus pada temperatur normal. Kemampuan iodium sebagai disenfeksi air, telah dimanfaatkan untuk
disinfeksi kolam renang. Penelitian yang pernah dilakukan
Campbell et. al. (1961) melaporkan iritasi mata menjadi
berkurang dari 80,2% pada air yang diklorinasi menjadi 23,4%
pada air yang diiodinasi. Selain itu dari penelitian Favero &
Drake (1964) mengatakan, iodium kelihatan lebih efektip dari
pada klorin terhadap indikator standar bakteri fekal, Coliform,
Enterococci dan Staphylococi3.
Sebagai disinfeksi air minum, iodium dapat digunakan
untuk membuat air minum menjadi aman untuk diminum,
seperti yang dikatakan oleh Harvey (1980), dengan menambah
3 tetes tingtur iodium per quart air, sudah mampu membunuh
amuba dan bakteri dalam 15 menit, tanpa menyebabkan air
menjadi tidak enak"4
Untuk peralatan tertentu, terutama alat-alat yang dipengaruhi oleh panas; iodium pernah dianjurkan sebagai
emergency sterilizing agent, karena efisiensi dan kecepatan
bakterisidanya. Untuk sterilisasi dingin termometer klinis
Gershetife'ld (1968) menyebutkan, tingtur iodium USP XIV
atau larutan iodium NF IX ternyata lebih efektip dari pada etil
alkohol atau isopropil alkohol4 .
PENUTUP
Sebagai Germisida, iodium telah terbukti efektip sebagai
bakterisida, fungisida, sporasida, virusida, protozoasida dan
metazoasida.
Iodium sebagai antimikroba memang dapat diandalkan dan
telah banyak dibuktikan dalam berbagai penelitian. Kemamptian tersebut telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai
tujuan, di antaranya untuk pencegahan atau terapi berbagai
infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri dan fungi. Bahkan
dengan memanfaatkan sifat Fungisidanya, tingtur iodium telah
digunakan untuk pengobatan infeksi jamur superfisial seperti
panu' atau tinea versikolor.
Larutan iodium lemah sering digunakan untuk petolongan
pertama luka-luka kecil atau lecet, namun bekerjanya akan
cepat diinaktifkan oleh substansi-substansi jaringan.
Pada saat ini, banyak sediaan yang mengandung iodium,
derivat atau kombinasinya secara resmi dicantumkan dalam
monograp berbagai farmakope. Sediaan tersebut biasanya
bertujuan sebagai antibakteri, antifungi, antiseptik ekstern dam
sebagainya6 .
Efek toksik iodium relatif rendah. Karena iodium mempunyai sifat korosif, maka efek toksik tersebut sebagian besar
mungkin disebabkan kegiatan lokal elemen-elemen dalam
saluran pencernaan2. Kebanyakan iodium bila diberikan pada
kulit, akan menimbulkan rasa panas, apalagi pemakaian tingtur
Iodium pada permukaan yang lecet, akan menimbulkan rasa
sangat lnenyengat.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
AMA Division Of Drugs, Dermatologic preparations dalam : AMA drug
Evaluation 5 th. ed. Philadelphia WB Saunders Company, 1983 : 1385 –
1386.
Sykes G. Disinfection and Sterilization. London , D. Van Nostrand
Company, Inc. 1958. 325 – 333.
Gershenfeld L. Iodine dalam Disinfection, sterilization and Preservation.
Editors Lawrence CA and SS Block. Philadelphia : Lea & Febiger 1968 :
529 – 343.
Harvey *SC. Antiseptics and Disinfectans Fungicides . Ectoparasiticides
dalam The Pharmacological Basic of Therapeutics 6 th. ed. editor : Gilman
AG et. at. New York . Memillian Publishing Co. Inc. 1980. 964 – 987.
Vilanova X and Cardenal C. Tinea versicolor dalam Handbook of Tropical
Dermatology and medical Mycology vol II. editor : RDG. Simons.,
Elsevier Publishing Company 1953. 1103 – 1112.
Farmakope Indonesia 3 ed., Departemen Kesehatan Republik Indonesia
1979.
DEPARTMEN OF PHARMACEUTICAL SCIENCES Iodine dalam
Martindale Extra Pharmacopoeia 28 th. ed., Editor : Reynolds, JEF The
Pharmaceutical Press. 1982: 862 – 863.
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 33
Taman Penitipan Anak
Dr Husain Albar dan Dr P. Palada
Lembaga 1/mu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/
RSU Ujung Pandang, Ujung Pandang
PENDAHULUAN
Dalam tahun 1965 di Amerika Serikat, dari 1 juta anak di
bawah umur 14 tahun, 40.000 balita tinggal di rumah tanpa
pēngasuh karena ibunya bekerja. Selama periode 1970–1980,
pekerja wanita mencakup ibu-ibu anak balita meningkat menjadi 2x lipat sehingga jumlah anak yang memerlukan tempat
penitipan sebagai sarana pengganti sementara peranan ibu bertambah sekitar 11 juta1,2.
Indonesia mempunyai angka kematian bayi dan anak yang
tinggi dan angka harapan hidup yang rendah. Hasil survey
Depkes RI (1980) menunjukkan angka kematian kasar berkisar
21,1 per 1000 penduduk dalam kurun waktu 1 tahun, di
antaranya 41,7% anak balita. Ini berarti kemungkinan balita
meninggal tiap tahun 3x lebih banyak daripada kelompok umur
lain3.
Dalam rangka peningkatan derajat kesehatan anak sekaligus menurunkan angka kematian, pemerintah berusaha meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan kesehatan, antara
lain: program pengembangan imunisasi, kesejahteraan ibu dan
anak, peningkatan gizi, penanggulangan diare, keluarga
berencana dan lain-lain yang dilakukan secara tervadu melalui
pos pelayanan kesehatan terpadu (pos yandu)4.
Dengan meningkatnya tenaga kerja wanita khusus ibu-ibu
anak balita, timbul kendala baru dalam upaya peningkatan kesejahteraan anak. Peter dan Mayling Gardiner (1980) .melaporkan, peran serta wanita Indonesia pada pendidikan dan tenaga
kerja berdasarkan standar Asia tergolong tinggi..
Sekitar 25% pegawai negeri dan 4,5 juta kepala keluarga
adalah wanitas . Sedangkan dari hasil sensus Biro Pusat Statistik (1981) terdapat tenaga kerja wanita umur 20–40 tahun
sebanyak 7.637.493 orang, sebagian besar ibu rumah tangga6 .
Selma kerja, kesempatan mengasuh dan membimbing anak
tersita sehingga anak akan tumbuh dan berkembang tanpa
asuhan, bhnbingan dan kasih sayang yang sangat diperlukan
dalam masa balita untuk pembentukan kepribadian6 .
Tulisan ini menguraikan sekedar perihal Taman Penitipan
Anak (TPA).
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
DEFINISI, MAKSUD DAN TUJUAN
TPA adalah suatu lembaga pelayanan kesejahteraan sosial
yang memberikan pelayanan kepada anak-anak ibu pekerja
dalam bentuk asuhan, bimbingan dan perawatan agar anak
terhindar dari keterlantaran serta terhambatnya perkembangan
fisik, mental dan sosial, dan memberikan bimbingan dan
konsultasi pada ibu pekerja2,5,6,7
Pengertian tersebut mencerminkan, pelayanan TPA tidak
saja untuk anak tetapi juga ibu sebagai suatu kesatuan keluarga
dalam mencapai kesejahteraan.
MAKSUD DAN TUJUAN TPA5,6,8,9
1) Merawat dan melindungi anak ibu pekerja sebagai pelayanan pengganti untuk meningkatkan kesejahteraan anak dalam
perkembangan fisik, mental dan sosial menuju pembentukan
kepribadian.
2) Membantu ibu pekerja agar memperoleh ketenangan kerja
dan mencapai prestasi kerja yang optimal.
3) Memberikan pelayanan pada anak sedemikian rupa
sehingga merasa berada dalam keluarganya sendiri.
4) Menumbuhkan dan memantapkan kerjasama masyarakat
sekitar TPA.
JENIS-JENIS TPA
TPA dapat digolongkan menurut status dan lokasi6°',a
A. Menurut status, TPA terdiri atas 3 jenis:
1. TPA Pemerintah
Pengelolaan dan pembiayaan oleh pemerintah pusat dan
daerah.
2. TPA swasta-bersubsidi
Pengelolaan oleh lembaga swasta dan pembiayaan
sebagian dibantu pemerintah.
3. TPA swasta
Pengelolaan dan pembiayaan secara penuh oleh lembaga
swasta yang menaunginya.
B. Pembagian TPA menurut lokasi
1. TPA Kantor
Lokasi di gedung perkatoran atau sekitarnya untuk melayani
anak ibu pekerja kantor.
2. TPA Pasar
Terdapat di sekitar pasar, melayani anak ibu pedagang
yang membawa anaknya ke pasar.
3. TPA Industri
Lokasi di sekitar industri untuk anak-anak pekerja industri.
4. TPA Perkebunan
Bertempat di daerah perkebunan, melayani anak ibu buruh
perkebunan yang membawa anaknya ke tempat kerja.
5. TPA Lingkungan
Terdapat di daerah pemukiman penduduk, melayani anak
anak pekerja di sekitar lokasi tersebut, misalnya pabrik
dan lain-lain.
6. TPA Keluarga
TPA yang bertempat di rumah pengasuh sendiri, khusus melayani 1–6 anak dan diasuh oleh ibu tidak terlatih. Selain
TPA ini, umumnya melayani 10–75 anak balita.
FUNGSI TPA
TPA merupakan sarana pembinaan kesejahteraan anak
yang berfungsi sebagai6 :
1) Pusat pelayanan kesejahteraan anak:
a. Pencegahan
Ditujukan untuk pembinaan lingkungan sosial anak agar
terhindar dari pola tingkah laku agresif dan tercapai tingkah
laku yang wajar.
b. Perlindungan
Melindungi anak dari keterlantaran, perlakuan kejam dan
eksploitasi orang tua serta meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengasuh dan melindungi perpecahan anak
dalam keluarga.
c. Pengembangan
Mengembangkan kepribadian anak mencakup peranan,
tanggung jawab dan kepuasan anak karena kegiatan yang
dilakukannya.
d. Pengganti
Sebagai pengganti sementara peranan ibu dalam mengasuh
anak meliputi perlindungan, perawatan, pengawasan dan
pemeliharaan anak.
2) Pusat informasi dan konsultasi kesejahteraan anak:
Ini merupakan fungsi jangka panjang yang bersifat memberikan informasi dan konsultasi mengenai kesejahteraan
sosial anak.
Kegiatan yang dilakukan:
a. Pengumpulan data
Meliputi pendataan secara menyeluruh keperluan anak,
masalah yang dihadapi dan peranannya dalam suatu kegiatan.
b. Penyebaran informasi tentang usaha kesejahteraan anak
Informasi yang disebarkan berkaitan erat dengan pelayanan
anak dan sumber pelayanan dalam masyarakat sekitarnya.
Maksud informasi untuk penyempurnaan kebijakan program pelayanan 'kesejahteraan anak di dalam maupun luar
TPA, pengembangan pengetahuan, ketrampilan dan peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam upaya
ppningkatan kesejahteraan anak, baik perorangan, kelompok maupun lembaga sosial swasta.
c. Peran serta aktif. dalam pemecahan masalah kerawanan
sosial lingkungan melalui pertemuan di dalam dan luar TPA.
d. Bimbingan dan konsultasi kepada ibu penitip untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pembinaan
kesejahteraan
keluarga
terutama
pengembangan
kepribadian anak.
3) Pusat pengembangan ketrampilan :
TPA berfungsi untuk pengembangan fisik dan kepribadian
anak, meningkatkan ketrampilan keluarga dalam pembinaan
dan pelaksanaan kesejahteraan anak serta menumbuhkan peran
serta aktif masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan
sosial, terutama anak.
SASARAN TPA
TPA bertujuan untuk pelayanan kesejahteraan sosial anakanak ibu pekerja dari umur 3 bulan sampai 5 tahun5,6,8
CARA DAN PELAKSANAAN PELAYANAN
Prinsip dasar TPA yaitu memberikan pelayanan kepada
anak sebagai sarana penunjang dalam menutupi kesenjangan
asuhan selama ibunya bekerja dan ibu agar memperoleh ketenangan kerja. Dalam proses pelayanan anak dan ibu digunakan beberapa cara yang meliputi fase pendekatan awal, penerimaan .dan bimbingan sosials,6,10
1) Fase pendekatan awal:
Selama fase dilakukan pengamatan terhadap masalah
keluarga, keadaan ekonomi dan sosial para calon penitip;
konsultasi dengan instansi berwenang; pengenalan masalah
anak dan ibu, keadaan dan tempat tinggal keluarga; motivasi
keluarga agar mengikuti pertemuan dan anjangsana yang bethubungan dengan masalah sosial anak; dan pertemuan calon
penitip yang diterima. Penitip selanjutnya mengisi formulir
pendaftaran, keterangan kesehatan anak, penghasilan dan keadaān lingkungan keluarga.
2) Fase penerimaan:
Rangkaian kegiatan yang dilakukan setelah anak diterima:
a. Registrasi.
b. Penelahaan/pengungkapan masalah anak dan ibu.
c. Penempatan anak dan ibu dalam sistem pelayanan yang
sesuai dengan masalah yang dihadapi.
3) Fase bimbingan sosial:
Selama fase ini dilakukan bimbingan sosial perorangan
atau kelompok terhadap:
a. Anak agar terhindar dari keterlantaran dan dapat mengembangkan kepribadian yang wajar.
b. Ibu dan keluarga agar terjamin ketenangan kerja, serta tercipta kondisi keluarga harmonis dan sejahtera.
c. Masyarakat agar aktif berperan serta .dalam menumbuhkan
minat dan meningkatkan pengetahuan dalam usaha kesejahteraan sosial.
PELAKSANAAN PELAYANAN TPA MELIPUTI5,6,10:
1) Pendidikan anak
Meningkatkan kemampuan anak dalam berinteraksi secara
verbal, penghayatan nilai-nilai sosial, pengembangan tingkah
laku dan sikap disiplin melalui kegiatan terjadwal.
2) Pekerjaan sosial
Meliputi bimbingan sosial perorangan, kelompok maupun
masyarakat, agar dapat memahami masalah anak atau keluarga
untuk peningkatan penyesuaian sosial antar keluarga, memCermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 35
berikan kesempatan saling menukar pengalaman para ibu penitip melalui diskusi kelompok dan dapat menciptakan jalur
hubungan saling menunjang melalui bantuan sosial dan penanggulangan dengan rujukan.
PELAYANAN TERHADAP ANAK DAN IBU
1) Pelayanan terhadap anak
a. Asuhan
Pemenuhan keperluan fisik dan psikik serta penanaman
disiplin hidup sehat, tertib pribadi dan sosialisasi.
b. Perawatan
Usaha mencegah dan pengobatan penyakit ringan.
c. Bimbingan sosial
Usaha peningkatan daya motorik, pengembangan inteligensia dan kepribadian anak serta penciptaan kelompok
bermain.
2) Pelayanan terhadap ibu
Pelayanan ini dilakukan dalam bentuk konsultasi, ceramah dan
pertemuan atau tukar informasi antar ibu penitip, keluarga dan
masyarakat agar mampu mengetahui masalah kesehatan anak
seutuhnya maupun mengasuh bayi dan anak di rumah sebagaimana cara TPA sehingga tercapai keseimbangan antara pelayanan di rumah dan TPA yang akan memantapkan tumbuh
kembang anak.
ORGANISASI, SARANA DAN PRASARANA
A. Struktur Organisasi dan Sistem Pelayanan TPA5-8,10 :
Sistem pelayanan TPA bersifat terbuka karena anak berada
di TPA hanya dalam waktu relatif singkat dan perlunya
penggunaan fasilitas diluar TPA. Juga dapat memberikan kesempatan pada masyarakat memakai fasilitas TPA, seperti
ruang pertemuan.
Struktur Organisasi TPA terdiri atas:
1. Pimpinan
Pimpinan harus mengetahui aspek perkembangan, pendidikan dan keperluan bayi dan anak serta bertanggung jawab
terhadap terlaksananya seluruh proses pelayanan TPA.
2. Petugas Tata-Usaha
Mengurus tata-usaha, kepegawaian, keuangan Ian rumah
tangga.
3. Pengasuh dan Pendidik
Bertugas dalam pengembangan fisik, perawatan dan pendidikan anak.
4. Pekerja Sosial
Melakukan bimbingan dan konsultasi dalam pemecahan
masalah serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
ibu dalam mengasuh anak.
5. Psikolog
Mengawasi tingkah laku dan menangani masalah perkembangan anak sehingga anak mampu menumbuhkan kepribadian, rasa percaya diri dan tertip pribadi/disiplin sesudah
keluar TPA. Selain itu, memberikan konsultasi pada ibu
penitip tentang tumbuh kembang anak agar mampu mengasuh dan merawat bayi dan anak sebagaimana mestinya.
Tenaga ini penting namun tidak berarti harus tetap berada
dalam TPA. Tenaganya bisa dipenuhi melalui kerjasama
dengan instansi lain.
6. Tenaga medis
Terdiri atas dokter, perawat dan bidan. Melakukan perawat
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
an kesehatan dalam bentuk pencegahan/imunisasi dan pengobatan penyakit ringan. Dokter Anak sangat penting tetapi
tidak selalu harus diperlukan. Tenaganya dapat dipenuhi
melalui konsultasi.
7. Tenaga pembantu
Terdiri atas tukang masak, tukang cuci, tukang kebun,
pesuruh, penaga malam dan pengemudi. Jumlah dan tugasnya diatur oleh pirnpinan.
Untuk mencapai daya dan tepat guna dalam pelayanan
TPA, perlu diperhatikan perbandingan antara jumlah pengasuh/petugas dan bayi/anak. Misalnya seorang pengasuh
untuk 4 orang bayi atau 10 anak, seorang pendidik untuk 20
anak dan seorang perawat untuk 10 bayi atau 25 anak.
B. Sarana dan Prasarana TPA2,3,4,5,7
Sarana fisik sebuah TPA meliputi luas bangunan sekitar
400–500 m2 di atas tanah seluas 1000–2000 m2. Lokasinya
disesuaikan dengan pemukiman yang mempunyai tenaga kerja
wanita padat khususnya ibu-ibu anak balita. Bangunan TPA
harus cukup luas yang terdiri atas ruang kantor berupa ruang
pimpinan, tata-usaha dan ruang tamu, :uang dokter termasuk
kamar periksa, ruang konsultasi, ruang serba guna atau pertemuan, ruang istirahat bayi dan anak, ruang makan, kamar
mandi dan WC, dapur dan gudang. Selanjutnya diperlukan pula
lapangan, perlengkapan bermain, air, tilpon dan mobil. Ventilasi dan peneranganruangan harus memenuhi syarat kesehatan.
Jam kerja pelayanan umumnya dimulai pk 07.00 sampai pk.
17.00 tiap hari kecuali jumat din sabtu berturut-turut sampai pk
11.30 dan 14.00, hari raya dan minggu tutup.
Biaya diperoleh dari pemerintah, uang pangkal dan iuran
bulanan penitip bagi TPA pemerintah. TPA swasta-bersubsidi
memperoleh biaya selain bantuan pemerintah juga uang pangkal dan iuran bulanan penitip serta sumbangan lembaga sosial
atau donatur syah yang tidak bertentangan dengan ketentuan
lembaga sosial yang menaunginya dan TPA swasta penuh
mendapat dana dari lembaga sosial yang menaunginya, donatur
tetap dan pungutan dari ibu penitip.
Syarat-syarat untuk mendirikan sebuah TPA ialah:
• Harus ada izin tertulis Departemen Sosial daerah berwenang.
• Luas bangunan 400–500 m2, di atas tanah seluas 1000 –
2000 m2.
• Bangunan harus memenuhi syarat kesehatan dan tidak
mudah terbakar.
• Mempunyai organisasi lengkap dan peralatan/perlengkapan
cukup.
• Perbandingan antara petugas dan jumlah bayi atau anak
harus sesuai, misalnya seorang petugas untuk 6 anak umur
kurang dari 2 tahun, 10 anak umur 2–4 tahun dan 15 anak
umur 4–5 tahun.
HAMBATAN-HAMBATAN TPA
Selain manfaat yang diperoleh baik anak maupun ibu penitip, ditemukan pula hambatan dan kerugian dalam pelayanan
TPA terutama bila diasuh oleh tenaga tidak terlatih. Hambatan
dan kerugian yang dapat dialami seorang anak dalam TPA
ialah1,7,,10,11 :
1) Anak akan tumbuh dan berkembang dengan respons emosional yang salah sehingga mengganggu pembentukan kepribadiannya.
2) Meskipun trampil petugas dan sempurna organisasi TPA
ini tidak sama dengan asuhan ibunya sendiri.
3) Anak akan mempunyai risiko relatif tinggi mendapat penularan penyakit yang biasanya terjadi karena petugas kurang/
tidak terlatih, kerja berlebihan dan tidak memperhatikan
higiene.
Yang pernah dilaporkan mewabah di lingkungan TPA
ialah diare ,oleh shigella/salmonella, virus dan giardia lamblia,
hepatitis virus A, radang saluran napas bagian atas oleh
Haemophilus influenzae dan streptokok grup A, juga batuk
rejan, campak, cacar air dan mumps.
PROSPEK MASA DEPAN TPA
Dengan bertambahnya tenaga kerja wanita oleh faktorfaktor, antara lain demografik dan sosiologik, kesempatan ibu
dalam mengasuh anak makin berkurang terutama dalam era
perkembangan teknologi yang pesat. Hal inilah yang menyebabkan animo masyarakat terhadap TPA makin meningkat
RINGKASAN
TPA mempunyai peranan penting dalam membantu ibuibu pekerja sebagai sarana pengganti sementara asuhan anak
titipan sehingga tercipta suasana kerja relaks dan bergairah.
Selain manfaat terdapat pula kerugian pada anak titipan terutama dalam asuhan petugas tidak terlatih, seperti gangguan
pembentukan kepribadian dan penyebaran penyakit menular.
Meskipun sarana TPA sudah sempurna, namun ini tidak
dapat menggantikan kedudukan ibu sendiri dalam hal asuhan.
KEPUSTAKAAN
1.
Bartlett AV. Public Health Consideration of Infectious Diseases. in Child
Day Cace Centers. J Pediatr 1984; 105 : 683. 697.
2. Peters AD. Day Care: A Child Development Service In: Maternal and
Child. Health Practices. Springfield Illinois, USA: Charles C Thomas
Publisher 1973; pp 744, 749, 753, 757.
3. Sampoerno D. Tolok Ukur Pelaksanaan Kesejahteraan Ibu dan Anak.
Majalah Kesehatan Masyarakat 1985; 3 : 170.
4. Utomo B dan Iskandar WB. Masalah Utama Kesehatan dan Penyebab
Kematiana Anak di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat 1985; 3 :
155.
5. Farid Kaspan M. Taman Pentipan Anak. Kursus Khusus Ilmu Kesehatan
Anak I FK–UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya 1985, hal 73–77, 87–
88.
6. Direktorat Bina Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Usia Lanjut Dirjen
Bina Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial R.I.: Petunjuk Teknik
Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Keluarga Melalui Sarana
Penitipan Anak, Jakarta 1986.
7. Li Ki, Dashefsky B and Wald ER. Haemophilus influenzae type B
Colonization in Household Contacts of Infected and Colonized Children
Enrolled in Day Care Pediatr 1986; 78 : 15–16.
8. BIKA FK–UI. Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, cetakan ke-2,
Bagian I 1974; hal 109–110.
9. Helmy D. Taman Penitipan Anak adalah satu cara untuk Mendukung
Program Tahun Anak-anak PBB. Majalah Kesehatan 1979; 77 26–27,40.
10. Fernandez JA. The Medical Day Care Centers. Kursus Khusus Ilmu
Kesehatan Anak I FK–UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya 1985; hal.
61–66.
11. Pickering LK, Woodward WE, Dupont HL and Sullivan P. Occurrence of
Giardia Lamblia in Children in Day Care Centers J Pediatr 1984; 104 :
522.
Kelainan Jantung Pada Penyakit Kawasaki
Dr Candra K. Siregar dan Dr J.M.Ch. Pelupessy
Lembaga Emu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/
RS Ujung Pandang, Ujung Pandang
PENDAHULUAN
Penyakit Kawasaki (PK) atau mucocutaneous lymphnodes
syndrome (MCLS) ialah suatu penyakit peradangan pada anak
yang ditandai oleh demam persisten, peradangan mucocutaneous dan adenopati servikalis' . Tomisaku Kawasaki yang pertama kali melaporkan di Jepang dalam tahun 1967. Sejak 1974,
penyakit ini sudah banyak dikenal di Amerika Serikat, Jerman
Barat, Kanada dan beberapa daerah Asia Timur2'3. Di Indonesia
belum pernah dilaporkan.
PK umumnya menyerang anak berusia kurang dari 5
tahun, terutama 1–2 tahun dan lebih sering pada lelaki daripada
perempuan, 1,5 : 12,3,4. Anak Jepang berpredisposisi untuk
penyakit ini2,3.
Di Jepang, insidensi lebih dari 15 kasus per 100.000 anak
di bawah umur 5 tahun. Di Amerika Serikat 1,6–5,6 kasus
(pada epidemi 13,5 – 16,4 kasus per 100.000 anak). Pada umur
kurang dari 8 tahun, ternyata anak Amerika–Asia lebih sering
diserang daripada anak kulit hutam (3:1), demikian pula lebih
sering daripada anak kulit putih, 6 : 12,3,5
Penyakit ini banyak menarik perhatian,. karena mengakibatkan lesi arteri koronaria asimtomatik sebagai sekuele
pada 5–10% kasus. Demikian pula, meskipun PK tidak disertai
sekuele iskhemik koronaria, namun dapat menjadi predisposisi
untuk mengalami obstruksi arteri koronaria pada usia dewasa6.
Makalah ini membahas secara singkat beberapa aspek,PK
serta kelainan jantung yang diakibatkannya.
ETIOLOGI
Penyebab PK belum diketahui dengan pasti. Karena PK
tidak dapat menular dari, orang ke orang, maka bila penyebabnya agen infeksi, mungkin berhubungan dengan toksin atau
sebagai reaksi abnormal sistem imunolōgik terhadap agen
infeksi2.
Walaupun Rickettsia-like bodies telah ditemukan pada
jaringan beberapa penderita, tetapi uji serologik urnumnya
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
negatif, demikian pula biakan negatif. Penyebab lain yang juga
menjadi perkiraan antara lain strain Pro pionibacterium acnes
yang dipindahkan oleh tungau ke manusia, reaksi imun
abnormal terhadap virus Epstein-Barr, rubeola, rubella, hepatitis, parainfluensa, toksin yang diproduksi oleh atau reaksi
imunologik terhadap streptokokus sanguis, treponema pallidum, leptospira, brucella atau mycoplasma2.
Karena gambaran klinik dan hispopatologik PK hampir
sama dengan penyakit autoimun yang lain, maka telah dilakukan uji serologik terhadap antinuklear-antibodi, namun
hasilnya negatif, demikian pula 'tidak ditemukan peninggian
titer antistreptolisin ()I's .
Pengaruh faktor lain seperti polusi, toksin, bahan kimia,
pestisida, logam berat dan lain-lain belum dapat dibuktikan2 .
PATOLOGI
Pada _PK dijumpai radang akut dengan angitis kapiler,
arteri kecil dan sedang. Pada otopsi biasanya ditemukan
aneurisma dan trombosiskoronaria dengan atau tanpa disertai
kelainan arteri sistemik6.
Pada pemeriksaan biopsi jaringan yang meradang tidak
terdapat bakteri, hanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear9.
GAMBARAN KLINIK
Pada prinsipnya PK mempunyai 6 gejala karakteristik,
yaitu3 :
1. demam lebih dari 5 hari (38–40°C) tanpa respon terhadap
antibiotika.
2. kongesti bilateral konyungtiva bulbi.
3. kelainan bibir dan rongga mulut.
• bibir kering, kemerahan dan pecah-pecah.
• strawberry tonzue.
• hiperemi mukosa mulut dan farings.
4. perubahan bagian perifer anggota gerak.
• telapak tangan dan kaki kemerahan (stadium awal).
• udem dan indurasi (stadium awal).
• deskuamasi membrana ujung jari-jari tangan dan kaki
(stadium rekonvalesen).
5. Eksantema polimorf tanpa bentuk vesikel dan krusta pada
badan.
6. Pembesaran kelenjar limfa servikalis yang akut, non-purulen, besar diameter ≥ 1,5 cm.
Beberapa gejala lain yang sering ditemukan, ialah3,9:
a. Karditis terutama miokarditis dan perikarditis.
b. Arthralgia atau arthritis.
Nyeri sendi terutama kalau berjalan atau banyak bergerak,
sering mengenai sendi siku, pergelangan tangan, lutut; sendi
tidak bengkak & eritema tidak ditemukan.
c. Diare.
d. Proteinuria dan peninggian lekosit dalam urin.
e. Laboratorium darah:
• lekositosis dengan pergeseran ke kiri.
• penurunan kadar Hb dan jumlah eritrosit.
• laju endapan darah meninggi.
• protein C-reaktif positif.
• peninggian alpha-2 globulin.
• titer antistreptolisin 0 negatif.
f. Kadang-kadang dijumpai:
– Meningitis aseptik.
Selain tanda-tanda rangsang menigs dapat juga ditemukan
paresis saraf kranialis yang akan menghilang bila
penyakit sembuh. Kadar protein dan glukosa dalam likuor
normal, sel sedikit meninggi (12-43/mm3) dengan sel
polimorfonuklear yang dominan.
– Ikterus ringan atau transaminase serum sedikit meninggi.
Peninggian kadar bilirubin dalam darah karena gangguan
fungsi hati, kandung empedu atau penyumbatan saluran
empedu. Peninggian transaminase serum di-. sebabkan
oleh gangguan fungsi hati.
g. Manifestasi klinik yang lain:
– Sebagian penderita mengeluh batuk-batuk pada stadium
demam akut, tetapi padu foto toraks tidak dijumpai
tanda-tanda infiltrat.
– Otitis media.
Membrana timpani normal tanpa cairan di belakangnya
dan pertumbuhan bakteri.
– Pankreatitis.
Pernah dilaporkan Stoler dkk dengan gejala-gejala
muntah, nyeri perut dan punggung serta peninggian
amilase serum. Kelainan ini dapat dibuktikan dengan
ultrasonografil0
KELAINAN JANTUNG SEBAGAI SEKUELE PK
Kematian mendadak dan gangguan fungsi jantung serta
pembuluh darah yang berat merupakan masalah serius pada
anak6. Kelainan jantung yang paling serius ialah aneurisma,
obstruksi koronaria, infark miokard dan kelainan katup yang
berat.
1) Aneurisma Koronaria (AK)
Insidensi AK pada PK 7–40%1. Frekuensi sama pada anak
lelaki: dan perempuan, dapat ditemukan pada semua umur11
Timbulnya AK biasanya pada hari ke 8–15 perjalanan penyakitl. Demam pada penderita AK yang mendapat AK berlangsung lebih lamal,11 Kelainan ini dapat dideteksi dengan
ekokardiografi 2 dimensi atau angiografi6. Pada stadium akut,
lebih dari setengah penderita PK menunjukkan dilatasi koronaria, namun hanya 10–20% yang mendapat AK pada akhir
stadium akut. Timbulnya AK tidak berarti menyebabkan
gangguan iskhemik atau disfungsi jantung. Di antara penderita
AK tersebut, setengahnya menunjukkan perbaikan pada pemeriksaan angiografi berulang-ulang setelah 1–2 tahun. Hanya
3% yang mendapat sekuele dengan kemungkinan penyakit
jantung iskhemik .
Bentuk AK yang dapat menjadi faktor risiko obstruksi koronaria ialah:
• ukuran aneurisma (diameter lebih 8 mm).
• bentuk bola, sausage atau aneurisma multipel.
• kasus yang tidak diobati antitrombosis sejak stadium akut.
2) Obstruksi Arteri Koronaria (OK)
Kliniknya sangat bervariasi, dari asimtomatik sampai
gejala angina, infark miokard atau mati mendadak6. Kelainan
ini dapat dideteksi dengan ekokardiografi atau angiografi' koronaria6. Pada angiografi ternyata kebanyakan penderita infark
miokard yang meninggal menunjukkan obstruksi pada arteri
koronaria kiri atau kanan dan desendens anterior. Pada kasus
yang hidup obstruksi seringkali mengenai satu pembuluh darah,
terutama arteri koronaria kanan12 .
3) Infark Miokard (IM)
IM biasanya timbul dalam tahun pertama "onset" penyakit6
tetapi dapat juga setiap saat dan berhubungan dengan stenosis
A.koronaria6. Seringkali serangan IM timbul waktu tidur
malam atau istirahat, disertai tanda-tanda renjatan, pucat,
muntah-muntah, nyeri perut, sesak napas dan nyeri dada.
Sekitar 37% kasus IM tidak bergejala12.
Pada foto toraks dapat ditemukan pembesaran jantung.
EKG dapat menunjukkan perubanan gelombang Q dan lokasi
IM13. Pada ekokardiografi 2 dimensi dapat ditemukan gerakan
abnormal dinding ventrikel kiri13. Kateterisasi jantung dan
angiokardiografi merupakan pemeriksaan yang paling tepat
untuk mendeteksi lesi koronaria dan evaluasi fungsi ventrikel
kiri. Pada angiografi koronaria dapat dijumpai obstruksi arteri
koronaria. Kebanyakan penderita IM menunjukkan pembesaran
dan berkurangnya fungsi ventrikel kiri13
Dengan "thallium 201 myocardial scintigraphy" dapat
diperlihatkan defek perfusi miokardium13. Pemeriksaan ensim
jantung seperti kreatin kinase menunjukkan kadar yang meninggi 2.
Angka kematian IM akut ialah 20-30%, kematian terjadi
terutama pada kasus dengan obstruksi arteri koronaria kiri atau
stenosis berat pada arteri koronaria desendens anterior kiri dan
arteri koronaria kanan6.
4) Kelainan Katup Jantung
Pada PK k-adang-kadang ditemukan kelainan katup seperti
regurgitasi mitial (RM) dan aorta; yang terakhir ini sangat
jarang6,13 Insidensi RM 1%. RM yang ringan terdapat pada
stadium akut umumnya sembuh, sedangkan yang berat dapat
berakhir dengan payah jantung yang disertai gangguan miokard
dan koroner6.
Penyebab RM ialah valvulitis, peradangan atau iskhemik
otot-otot papilla dan dilatasi ventrikel kiri.
5) Miokarditis
Kebanyakan penderita PK menunjukkan tanda-tanda
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 39
miokarditis pada stadium akut, terutama pada minggu per-tams
dan kedua serta tidak bergantung kepada ada. tidaknya kelainan
arteri koronaria6.
Pada kelainan ini dijumpai irama gallop, bunyi jantung
melemah, aritmia pada EKG, ekografk yang abnormal dan
peninggian kreatin kinase dalam serum. Umumnya kelainan ini
akan sembuh sendiri sesudah stadium akut dan jarang menetap
atau bertambah berat6.
6) Perikarditis
Tigapuluh persen semua penderita PK mendapat perikarditis pada minggu pertama dan kedua. Pada kebanyakan penderita terdapat efusi perikard yang ringan dengan ekokardiografi. Tamponade jantung jarang ditemukan6.
7) Aneurisma Arteri Yang Lain
Aneurisms dapat pula terjadi pada arteri sistemik yang
lain. Insidensi kurang 3% dan predisposisi pada arteri axillaris,
iliaka, renalis, mammaria interna, femoralis dan subskapularis6''4. Umumnya gejala-gejala sangat kurang. Bila mengenai
arteri renalis, hal ini dapat menimbulkan hipertensi renalis6.
DIAGNOSIS
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang disusun oleh
"MCLS Research Committee 1980", yaitu: demam lebih 5 hari,
kongesti bilateral konyungtiva bulbi, kelainan bibir dan rongga
mulut; perubahan bagian perifer anggota gerak, eksantem
polimorf tanpa vesikel dan krusta pada badan, pembesaran
kelenjar limfa servikalis, harus terdapat sekurangkurangnya 5
dad 6 gejala utama3.
Sebagai diagnosis banding dipertimbangkan beberapa
penyakit infeksi laih seperti pascastreptokokus, pascastafilokokus dan sindroma Stevens–Johnson3. Untuk mengetahui
apakah ada kelainan kardiovaskuler dilakukan pemeriksaan
fisik, foto toraks, EKG, ekokardiografi, angiografi, kateterisasi,
thallium 201 myocardial scintigraphy dan ensim'"3'12
Bila dengan ekokardiografi kelainan arteri koronaria tidak
dapat ditentukan, dipakai sistem skor jantung menurut Asai &
Kusakawa atau modifikasinya (tabel 1). Menurut penelitian di
Jepang, pemeriksaan ekokardiografi labih dipercayai dari pada
sistem skor jantung untuk mendeteksi AK3.
Tabel 1.
Modifikasi Sistem Skor Jantung menurut Asai & Kusakawa11
Skor
gejala
umur < 1 tahun
kelamin
demam (hari)
LED (mm/jam)
kenaikan LED (hari)
Hb<100 g/1
lekosit (x 10./L)
aritmia
kardiomegali (CTR > 50%)
kelainan EKG
2
1
0
–
–
> 16
> 101
> 30
–
> 30
+
–
+
+
laki-laki
14–15
60-100
–
+
26–30
–
+
–
–
–
< 13
<60
–
–
<26
–
–
–
skor ≥ 6 : kemungkinan risiko tinggi AK
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
PENGOBATAN
Salisilat sangat bermanfaat untuk PK. Obat ini efektif sebagai anti–piretik dan anti–inflamasi pada stadium akut dan
sebagai anti–koagulasi dengan menghambat agregasi trombosit
pada masa subakut dan konvalesen15 . Ternyata komplikasi AK
kurang pada penderita yang diobati salisilat dari pada kortikosteroid atau antikoagulasi3.
Masih belum ada kesepakatan tentang dosis salisilat. Di
Jepang diberikan 30–50 mg/kg BB/hari pada masa demam
akut, kemudian dikurangi menjadi 10–30 mg/kg BB/hari
sampai hasil pemeriksaan darah dan EKG menjadi normal. Bila
terdapat vaskulitis koronaria, salisilat dilanjutkan 30 mg/ kg
BB tiap 2 hari atau 10 mg/kg BB/Ix/hari selama 4–6 minggu3.
Salisilat dosis tinggi dapat memperpendek masa demam,
sedangkan dosis rendah tidak menunjukkan efek anti–
inflamasi.
Salisilat dosis anti–inflamasi dapat mengurangi komplikasi
pada jantung' . Selain itu telah dipakai pub obat-obat anti–
trombotik seperti flurbiprofen, dipiridamol secara luas3. Akhirakhir ini gammaglobulin (GG) telah digunakan pada
pengobatan PK berdasarkan efek anti–inflamasi. Diberikan
dosis tinggi imunoglobulin sulfonat 400 mg/kg BB/hari selama 2–5 hari pada masa dini untuk memperoleh perbaikan
gejala dengan cepat serta mencegah AK yang berat15
Mekanisme kerja GG dosis tinggi untuk mencegah vaskulitis belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga dengan cara
menghambat aktivasi imunologik atau reaksi radang yang
langsung terhadap permukaan pembuluh darah, saturasi reseptor Fc pada trombosit atau sel-sel retikuloendotelial atau
menyiapkan suatu antibodi spesifik terhadap bahan penyebab
PK yang belum diketahui, GG dapat juga menurunkan demam
dengan cepat, mungkin karena sekurang-kurangnya bekerja
mengubah sistem imun.
Leung dkk telah menunjukkan bahwa sesudah infus GG
dosis tinggi terjadi aktivasi balik sel–T dan sel–B. Keadaan
tidak terjadi sesudah pemberian salisilat15
Bila ditemukan tanda-tanda IM, dianjurkan istirahat dan
diberikan 02, heparin 300–400 unit/kg BB/hari iv atau urokinase 10.000 unit/kg BB/hari3,6
Untuk mengatasi renjatan kardiogendc dan gagal jantung,
katekolamin (dopamine, dobutamine), vasodilator (nitrogleserin, nitroprussid) dan diuretik dapat digunakan. Aritmia
yang berat dapat diatasi dengan infus lidocaine6.
RM dengan gagal jantung dapat diobati dengan digitalis,
diuretik & vasodilator. Perikarditis ditanggulangi dengan diuretik atau perikardiosentesis6. Aortocoronary bypass merupakan tindakan bedah yang efektif terhadap obstruksi berat atau
lesi progresif pada bagian proksimal arteri koronaria. Operasi
plastik valvula dapat dilakukan.pada RM yang berat. Tindakan
bedah dapat Fula dikerjakan pada aneurisma ventrikel kiri dan
obstruksi arteri perifer yang lain6.
PROGNOSIS
PK ialah suatu penyak# yang dapat sembuh sendiri jika
tidak berkomplikasi. Biasanya penyakit itu berlangsung antara
2 minggu sampai beberapa minggu dengan kemungkinan rekuren 2–3%. Angka kematian 1–2% oleh komplikasi pada
arteri koronaria dan jantung3 .
RINGKASAN
Penyakit Kawasaki ialah suatu penyakit peradangan multisistem yang penyebabnya belum diketahui. Gejala-gejala utama
terdiri atās demam lebih 5 had, kongesti bilateral konyungtiva
bulbi, kelainan bibir dan rongga mulut, perubahan bagian
perifer anggota gerak, eksantem polimorf tanpa vesikel dan
krusta pada badan, dan limfadenopati servikalis.
Untuk diagnosis harus terdapat sekurang-kurangnya 5 dari
6 gejala tersebut ("MCLS Research Committee").
AK, OK, IM dari kelainan katup jantung yang berat merupakan komplikasi yang paling serius. Penderita yang diobati
dengan salisilat dan GG dosis tinggi kurang mendapat
komplikasi kardiovaskuler. Tindakan bedah dapat dikerjakan
pada kasus tertentu. Yang tidak disertai komplikasi, mempunyai prognosis baik.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
Daniels SR, Specker B, Capannani TE. Correlates of Coronary Artery
Aneurysm Formation in Patients with Kawasaki Disease Am J Dis Child
1987; 141 : 205–207.
Feigin RD, Barron KS. Treatment of Kawasaki Syndrome New Engl J
Med 1986; 7 : 388–390.
Lee DB. Kawasaki’s Disease: Symptoms, Diagnosis and Manage ment J
Pediatr Obat Gynaecol 1984; 10 : 7–10.
4.
Farmer K. Kawasaki ,Disease Mucocutaneous Lymph Nodes Syndrome J
Pediatr Obst Gynaecol 1987; 13 : 37–40.
4. Takahashi M, Mason W. Kawasaki Syndrome, Reye Syndrome, and
Aspirin Pediatrics 1986; 77 : 616–617.
5. Takao A. Kawasaki Disease: Introduction, International Survey and
Therapeutic Guidelina Naskah Lengkap Simposium dan Seminar
Kardiologi Anak Semarang 1986.
6. Dean AG,, Melish ME, Hicks R, Palumbo NE. An Epidemic of Kawasaki
Syndrome in Hawai J Pediatr 1982; 100 : 552–557.
7. Lee AL, Burns J, Glode M, Harmon C. No Autoantibodies to Nuclear
Antigens in the Kawasaki Syndrome New Engl J Med 1983; 308 : 1034.
8. Meade R, Brandt L. Manifestations of Kawasaki Disease in New England
Outbreak of 1980 J Pediatr 1982; 100 : 558–562.
9. Stoler J, Biller JA, Grand RJ. Pancreatitis in Kawasaki Disease Am J Dis
Child 1987; 141 : 306–308.
10. Koren G, Lavi S, Rose V, Rowe R. Kawasaki Disease: Review of Risk
Factors for Corpnary Aneurysms J Pediatr 1986; 108 : 338-392.
11. Kato H, Inhinose E, Kawasaki T. Myocardial Infarction in Kawasaki
Disease: Clinical Analysis in 195 Cases J Pediatr 1986; 108 : 923–927.
12. Kato H, Inhinose E, Kawasaki T. Myocardial Infarction in Ka wasaki
Disease: Clinical Analysis in 195 Cases J Pediatr 1986; 108 : 923–927.
13. Nakano H. Saito A, Ueda K, Nojima K. Clinical Characteristics of
Myocardial Infarction Following Kawasaki Disease: Report of 11 Cases J
Pediatr 1986; 108 : 198–203.
14. Sasaguni Y, Kato H. Regression of Aneurysms in Kawasal i Disease A
Pathological Study J Pediatr 1982; 100 : 225–231.
15. Newberger JW, Takahashi M, Burns J. The Treatment of Kawasaki
Syndrome with Intravenous Gammaglobulin New Engi I Med 1986; 315 :
341–347.
Ilmu Kedokteran Pencegahan Dalam Upaya
Pemberantasan Diare di Puskesmas
Kabupaten Malang
Dr. H. Bachtiar Azhari
Pegawai Dinas Kesehatan Daerah Tiingkat II, Kabupaten Malang
PENDAHULUAN
Ilmu kedokteran pencegahan telah berkembang lama dan
dikembangkan untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Pada tahap awal di Indonesia sebagai sarana pelayanan kesehatan memanfaatkan Puskesmas. Salah satu fungsi pokok puskesmas
adalah pemberantasan penyakit diare. Di Indonesia, penyakit
diare merupakan penyakit endemis dan menjadi masalah kesehatan. Upaya pemberantasan yang telah dilakukan meng
alami beberapa hambatan, khususnya yang berkaitan dengan
lingkungan dan perilaku masyarakat. Pendekatan yang dilakukan secara epidemiologi ditujukan pada penjamu = host, agent
= bibit penyakit dan lingkungan.
Menurut survey tahun 1980, angka kesakitan diare di
Indonesia 10.000 per 100.000 penduduk, dan 70–90% penderita banyak menyerang anak balita, dan 24.5% anak balita
meninggal karena diare.l Di Jawa Timur, upaya pemberantasan
dengan memanfaatkan semua sumber daya khususnya unsur
manusia meliputi upaya penemuan dan pengobatan secara dini,
peningkatan kesehatan dengan melibatkan unsur sektoral,
penyuluhan kesehatan berperilaku sehat, memasyarakatkan
penggunaan garam oralit, peningkatan jangkauan pelayanan
lebih mantap melalui posyandu, peningkatan mutu pelayanan,
meningkatkan kualitas lingkungan dengan penyediaan air
bersih dan sarana jamban keluarga. Harapan yang akan dicapai
dapat menurunkan angka kesakitan dan menurunkan angka
kematian di bawah 1%.2
Studi ini untuk melihat secara diskriptip pendaya gunaan
amber daya manusia disalah satu Puskesmas Kabupaten Dati Ii
Malang secara retrospektif3 .
BAHAN DAN CARA
Bahan tulisan ini diambil dari data sekunder di Puskesmas
Pakisaji Kabupaten Dati II Malang pada tahun 1985dan 1986
ewaktu penulis bekerja di Puskesmas tersebut. Data sekunder
tersebut meliputi kasus diare dari semua umur dan penanggulangannya di Puskesmas melalui pemanfaatan sumber daya
yang ada. Data diagnosis penyakit di Puskesmas disalin pada
tabulasi dan dilakukan pengolahan data sederhana dan disajikan dalam bentuk tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi Puskesmas Pakisaji terletak ± 11 km ke arah
selatan kota Malang terletak di jalan arteri Surabaya – Blitar
dengan luas wilayah 39.458.357 m2 terdiri 75.7% dataran
rendah dan 24.3% dataran tinggi, dengan kepadatan penduduk
1393 jiwa/ Km2. Sampai tahun 1986 jangkauan air bersih di
bawah 60%, karena sulitnya sumber atau air tanah. Air bersih
saat ini berasal dari sumber di luar kecamatan Pakisaji dialirkan
melalui perpipaan didistribusi pada konsumen, dan saat ini
telah dikelola PDAM. Pada kedaan sebelum 1985 penyakit'
diare merupakan urutan pertama sedangkan mulai tahun 1985
menempati urutan kedua dan selanjutnya pada tahun 1986
penyakit diare menempati urutan keempat dari 10 penyakit.
tabel 1. PoLA 10 besar penyakit di Puskesmas Pakisaji.
Tahun
Jenis
Influenza
Diare
Scabies
Penyakit pulpa & jaringan
apikal
Penyakit kulit & jaringan
bawah kulit
Conjunctivitis
Penyakit lain pada sistem
pencernaan
Karies gigi
Penyakit Gusi & Jaringan
periodental
Penyakit-penyakit lain/keadaan lain
1985
1986
Jumlah
Rank
Jumlah
Rank
10.065
3.777
2.086
1
2
3
8549
2499
2752
1
4
3
2.086
4
5
2312
1859
5
6
6
7
1368
1307
7
8
1.230
550
8
676
10
396
9
307
9
5.770
10
7667
2
1.594
1.517
Sumber data ktporan tahunan Puskesmas.
Tabel 3.
Penurunan penyakit diare melalui suatu konsep ihnu kedokteran pencegahan sebagai berikut
1) Penjamu (=host) dalam hal ini yang berperan adalah manusia, sehingga upaya kegiatannya berupa
a) Penyuluhan yang ditujukan pada perorangan dan keluarga.
Perorangan agar penderita mampu menolong dirinya sendiri
dan dapat membantu masyarakat. Keluarga agar membiasakan menolong dan memasyarakatkan penggunaan garam
oralit dalam keluarga.
b) Simulasi yang ditujukan pada kader kesehatan desa secara
langsung, sedangkan yang tidak langsung melalui lintas
sektoral.
2) Sumber infeksi dengan kegiatan menghilangkan sumber
infeksi dengan meningkatkan kebersihan lingkungan.
3) Lingkungan melalui peningkatan sarana air bersih atau
sarana jamban keluarga dan menghilangkan kebiasaan membuang kotoran di setiap tempat misalnya di sungai.
Kecenderungan penurunan pada tabel 1 di atas, menurut
Bachtiar Azhari, T. Haryanto dkk (1985), bahwa ketepatan
informasi tentang penyakit menular dan upaya pencegahannya
didapat dari tokoh informal : formal:68.72% : 31.28%
khususnya di pēdesaan lebih menonjol dan keterlibatan unsurunsur masyarakat dalam merujuk bila didapatkan kasus secara
dini ke Puskesmas` .
Pada tabel 2 nampak menurunnya rawat tinggal dari
33.75% BOR menjadi 14.86% BOR dengan memperpendek
hari perawatan dengan cara rehidrasi yang cepat dan tepat
dalam meningkatkan mutu pelayanan rawat tinggal sebagai
upaya rujukan pertama penderita diare dan pelayanan dasar
yang diberikan Puskesmas. Lama perawatan pada tahun 1985
rata-rata 5–6 hari, sedangkan pada tahun 1986 menjadi 4 hari
perawatan, sehingga nampak penggunaan RL yang lebih meningkat pada tahun 19865.
Tabel 2.
Penderita dime dan pemanfaatan sarana di Puskesmas Pakisaji
Macam
1. Prevalensi
2. C.F.R.
3. Cholera positip
4. Rawat tinggal
5. Pemakaian RL
6. Oralit
tahun 1985
tahun 1986
4.3%
<1%
0.03%
33.75% BOR
40
1129
3.5%
<1%
0.04%
14.86%,BOR
315
989
Sumber data laporan Puskesmas tahun 1985 dan 1986.
Dari tabel 3 nampak penurunan kader aktip tetapi mempunyai
daya guna yang optimal maka berarti kader makin sedikit tetapi
mempunyai daya guna maksimal. (Tabel 3).
Daya guna
=
keluaran 1
–––––––––
sarana 1
:
keluaran 2
––––––––––
sarana 2
Sedangkan penyuluhan yang effektip bila melalui penyuluhan
melalui kelompok at risk diare yang mencakup sasaran maupun
frekuensi penyuluhannya6,7.
Dukungan penyuluhan ditingkakan pada lintas sektoral
secara terpadu dengan metode lebih ditujukan pada penyuluhan
perorangan atau kelompok dengan jumlah frekwensi lebih ba-
Kader aktip dan jumlah posyandu.
Jumlah
tahun 1985
360
296
17,7%
24
1. Kader
2. Kader aktip
3. Kader drop out
4. Posyandu
tahun 1986
360
159
55.83%
24
Sumber data Laporan Puskesmas Pakisaji.
Tabel 4.
Penyuluhan kesehatan masyarakat tahun 1985–1986.
Kegiatan
tahun 1985
1. Lintas sektoral
2. Metode
14 X
Indiidu/Kelompok
3. Lokasi Posyandu
4. Pameran
5. Siaran keliling
6. Sasaran:
– Masyarakat umum
– Penduduk dengan
resiko
19 X
4X
24 X
15.423 (Frek=40X)
=
4.271 (Frek 101X)
tahun 1986
14 X
Individu/Kelompok
76 X
4X
33 X
11.439 (Frek =
37X)
5.165 (Frek =
112X)
Sumber data laporan Puskesmas Pakisafi.
nyak, akan tetapi cenderung sasaran masyarakat pada yang
risiko terkena diare. Metode yang dilakukan terhadap kader
berupa simulasi mengenai pencegahan diare, dengan penyediaan paket oralit pada setiap pos kesehatan desa dengan formulir
rujukan dan catatan penderita diare di pedesaan, sehingga
mempercepat pelacakan secara dini dan tindakan pemberantasannyaa. Perbaikan kesehatan lingkungan lebih mengupayakan peningkatan sarana fisik yang mendukung kebersihan
lingkungan melalui dua arah, berupa pemberian sarana secara
inpres, tetapi kemudian dengan menurunnya pembiayaan
berupa inpres, maka lebih diprioritaskan melalui peran serta
masyarakat untuk mengembangkan jumlah sarana bantuan
dengan cara swadaya melalui pendekatan edukatip, sehingga
masyarakat dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar dalam
upaya peningkatan kesehatan perorangan maupun keluarga,
khususnya agar angka kesakitan karena diare dapat menurun.
Dalam mengembangkan pendekatan edukatip peranan lintas
sektoral sangat berperan disamping peranan tokoh informal
yang ada di dalam. masyarakat, dengan demikian masyarakat
mampu mengidentifikasi kebutuhan serta mengorganisasi
kegiatan masyarakat serta mampu menumbuhkan kegiatankegiatan kesehatan yang menunjang pembangunan desa secara
keseluruhan yang pada akhirnya mampu meningkatkan
kesehatan lingkungan yang lebih baik9.
Penderita diare ternyata banyak diderita anak balita diperkirakan 70–90% dari angka kesakitan diare, dan 24.5%
anak balita meninggal karena diare. Tetapi di daerah penulis
CFR kurang dari 1% karena catatan ini kurang terekam secara
baik, hal ini disebabkan penderita diare kalau meninggal
biasanya di rumah atau di rumah sakit dengan pulang paksa,
sehingga sering terjadi tidak tercatat. Penanganan diare pada
anak balita dalam upaya penurunan angka kesakitan melalui
pendekatan posyandu dengan peran serta aktip PKK, agar ibu
balita mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 43
serta perilaku mengutamakan ASI sebagai makanan bayi
sampai dengan umur 2 tahun10
Tabel 5. Saran kesehatan lingkungan.
Sarana
tahun 1985
tahun 1986
1.1. Inpres
1.2. Pengembangan
2. SPAL
2.1. Inpres
2.2. Pembangunan
3. SABER
3.1. Inpres
123
289
10
127
11
123
14
16
28
28
3.2. Pembangunan
3
•)
1. Jaga
Sumber data lapdran kes. lingkungan Puskesmas Pakisaji.
*) Pengembangan mulai kenurun karena masuknya sarana air bersih
perpipaan yang dikelola PDAM Kabupaten Malang.
Lingkungan biologis yang berhubungan dengan iklim atau
cuaca maka nampak meningkat penderita diare pada bulanbulan Januari – Pebruari dan bulan Juni – Juli, sedangkan
gambaran secara Nasional pada bulan Nopember – DesemberJanuari dan pada bulan Mei Juni – Juli ( z <–1.44 atau z 1.44
atau p = 0.0793) sangat berarti, sehingga pada saat bulan yang
bersangkutan kewaspadaan perlu mendapat perhatian,
khususnya tim gerak cepat di tingkat kecamatan, serta
persiapan-persiapan pembagian oralit pada pos kesehatan desa
melalui ketua atau koordinator kader didesa yang di pantau
melalui Lembaga Kesehatan Masyarakat Desa (LKMD)" .
Upaya pemberantasan berpedoman petunjuk Dinas Kesehatan
Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur sebāgai berikut
a) Upaya penemuan dan pengobatan secara dini.
b) Peningkatan kewaspadaan terjdinya letupan diare dengan
melibatkan unsur sektoral dan pamong desa.
c) Upaya penyuluhan kesehatan masyarakat agar berperilaku
sehat untuk dirinya, keluarga dan masyarakat.
d) Pencegahan terjadinya dehidrasi dengan program rehidrasi
dengan memasyarakatkan pemakaian garam oralit, didukung
dengan penyediaan yang cukup, mudah didapat dan cepat
dimanfaatkan.
e) Strategi pendekatan keterpaduan program dan sektoral,
lebih diarahkan pada kelompok sasaran umur rawan melalui
posyandu.
f) Peningkatan jangkauan pelayanan melalui peningkatan
mobilitas pelayanan dan sarana pelayanan yang merata.
g) Meningkatkan kualitas lingkungan dengan penyediaan air
bersih dan kebersihan lingkungan, termasuk rumah, pembuangan kotoran hewan/manusia atau sampak sesuai dengan tempat
atau sarana yang tersedia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1) Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit diare ditujukan pada manusianya dengan sasaran perorangan, keluarga
dan masyarakat, khususnya yang dengan risiko pada anak di
bawah lima tahun atau anak balita.
2) Kegiatan ini harus simultan dengan penanganan peningkatan kualitas lingkungan secara terpadu, keterlibatan lintas
sēktoral dan peranan tokoh informasi masyarakat.
3) Masyarakat diharap mampu mendeteksi secara dini
kejadian diare, sehingga terhindar dari kejadian luar biasa atau
letupan penyakit diare, dengan memasyarakatkan penggunaan
garam oralit.
4) Peranan rujukan oleh kader sedini mungkin bila didapatkan
kasus diare untuk segera dikirim be,robat di Puskesmas,
sedangkan rujukan pengetahuan. kader berupa upaya tepat guna
dengan menggunakan sumberdaya yang ada pada masyarakat.
Saran
1) Perlu dipikirkan adanya pos kesehatan yang menyediakan
oralit disetiap RT dan PKK persepuluhan dapat berperanserta
dalam pemberantasan diare.
2) Untuk pemerataan, oralit pack yang saat ini beredar dapat
dibuat untuk 200 cc air matang.
KEPUSTAKAAN
1.
Adiyatma. Berita Epidemiologi Departemen Kesehatan. Jakarta Dirjen P–
2M dan PLP, 1986.
2. Jawa Timur. Dinas Kesehatan Daerah Tingkat I. Berita Epidemiologi.
Surabaya ; Sub Dins pemberantasan penyakit menular, 1986.
3. Malang. Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II. Pencatatan dan Pelaporan
Puskesmas Pakisaji. Sie P–2M, 1986.
4. Azhari B, Haryanto T dkk. Faktor kepemimpinan masyarakat desa dalam
program pencegahan penyakit menular di Puskesmas Pakisaji. Seminar
Penelitian laboratorium ilmu kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran.
Malang Universitas Brawijaya, 198S.
5. Moeloek FA dkk. Seminar ketrampilan klinik. (Ed. I) Jakarta PB IDI
Yayasan penerbit, 1985.36–39.
6. Jawa Timur. Dinas Kesehatan Daerah Tingkat I. Pembangunan Kesehatan
Masyarakat Desa. Surabaya : Proyek penyuluhan kesehatan masyarakat I–
II, 1981.
7. Lapau B. Peranan Epidemiologi dan Pelayanan Kesehatan. Majalah Ilmu
Kesehatan Masyarakat Indonesia; XV (19) Pebruari 1986.
8. Indonesia. Departemen Kesehatan. Pedoman pengamatan dan penanggulangan kejadian luar biasa di Indonsia. Jakarta : Depkes RI, 1985.
9. Solita Sarwono dkk. Pengantar pendidikan kesehatan masyarakat.
Disunting sebagai bahan kuliah fakultas pasca sarjana program studi
kesehatan masyarakat dan anthropologi kesehatan. Jakarta : FKMUI, 1984.
10. Ranuh IGN Gde. Pediatri sosial, suatu pendekatan yang tepat. dalam
menanggulangi infeksi pada anak. Continuing education ilmu kesehatan
anak. I. Surabaya . Bagian IKA–FK Unair, 1980; 33-39.
11. Azhari B, Haryanto T dkk. Evaluasi sistem distribusi bubuk oralit
dipedesaan, suatu studikasus kecamatan Pakisaji. Seminar penelitian lab.
ilmu kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran. Malang : Universitas
Brawijaya, 1985.
Malaria Berat
Dr Emiliana Tjitra, MSc
Pusat Penelitian PenyakitMenular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
PENDAHULUAN
Di Indonesia sudah banyak ditulis makalah-makalah
tentang malaria yang meliputi segi epidemiologi, entomologi,
resistensi terhadap obat-obat malaria atau insektisidanya, dan
lain-lain, tetapi tidak banyak yang membicarakan malaria klinis
terutama bentuk dari malaria berat. Selama ini mungkin banyak
kasus malaria berat yang terlupakan atau tak diketahui yang
sebenarnya tak perlu terjadi karena kekurang-telitian dan
keterbatasan pengetahuan kita. Oleh sebab itu malaria berat
perlu diketahui untuk dapat dibuat diagnosa sendini mungkin
sehingga tindakan yang tepat dapat segera dilakukan untuk
mencegah kematian. Hal ini penting terutama untuk tenaga
medis yang bekerja di daerah endemis malaria dan dirumah
sakit rujukan.
Definisi malaria berat
Menurut Hall (1977) malaria berat adalah malaria yang
menyebabkan kematian atau yang akan berakibat fatal jika
tidak diberi pengobatan yang cepat. Sedangkan menurut
Garnham (1980) malaria falsiparum adalah penyebab kesakitan
dan kematian tertinggi diantara jenis malaria lain. Jadi
umumnya malaria berat berhubt ngan dengan malaria
falsiparum.
Dalam beberapa buku dinyatakan bahwa malaria berat
merupakan komplikasi" malaria falsiparum (Manson dkk,
1983; Miller, 1984; dan WHO. 1986) atau sebagai malaria pernisiosa (Maegraith, 1980). Secara laboratorik malaria pernisiosa biasanya terjadi bila dari 5% eritrosit terinfeksi parasit
malaria, atau bila 10% dari eritrosit yang terinfeksi mengandung lebih dari satu parasit dalam satu eritrosit, atau bila
banyak sison dalam peredaran darah tepi (Maegraith, 1980).
Bentuk-bentuk malaria berat
Menurut Chongsuphajaisiddhi (198f), patofisiologi dari
malaria falsiparum berat adalah komplek dan tergantung
sistem organ yang terkena.
Malaria otak
Malaria otak sering timbul sebagai malaria berat yang menyebabkan kematian. Gejala yang timbul dapat tampak sebagai
penurunan kesadaran dari somnolen sampai koma, kejangkejang atau psikosis organik (Chipman dkk, 1967). Penyebab
malaria otak masih merupakan hipotesa yaitu akibat eritrosit
yang mengandung parasit menjadi lebih mudah melekat pada
dinding pembuluh kapiler (Miller, _ 1972). Hal ini disebabkan
karena menurunnya muatan listrik permukaan eritrosit (Conrad,
1969) dan pembentukan tonjolan-tonjolan kecil dipermukaan
eritrosit sehingga terjadi bendungan di pembuluh darah otak
kecil (Miller, 1972). Semakin matang parasit dalam eritrosit
semakin besar daya lekat eritrosit tersebut, terutama di organ
dalam tetapi tidak di peredaran darah, yang memungkinkan
penyakit menjadi berat walaupun konsentrasi eritrosit yang
terinfeksidi peredarandarah rendah (Hall, 1977). Melekatnya
eritrosit yang terinfeksi pada pembuluh darah kapiler dapat
mengakibatkan terhambatnya aliran darah otak dan oedema
(Maegraith, 1974). Oedema otak ini sering ditemukan pada
waktu otopsi, tetapi gejala klinik dari peningkatan tekanan
intrakranial jarang sekali ditemukan (Harinasuta dkk, 1982)
dan CT scan tidak menyokong oedema sebagai gambaran
primer dari malaria otak (Looareesuwan dkk, 1983).
Sedangkan Schmutzhard dkk (1984) menemukan gejala sisa
saraf yang cukup lama dari sindroma psikosaorganik,
heminaresia atau hemihipestesia dan epilepsi.
Kelainan darah
Hemolisis dapat disebabkan oleh malaria dan obat anti malaria.
Hemolisis dapat juga disebabkan karena meningkatnya fragilitas osmotik dari eritrosit yang terinfeksi dan tidak terinfeksi,
sehingga umur eritrosit menurun (Fogel, 1966). Pada penderita
dengan defisiensi glukosa–6–pospat dehidrogenase dan hemoglobin abnormal, hemolisis yang terjadi meningkat dalam pengobatan dengan anti malaria (Pinder, 1973). Sedangkan Black
Water Fever yang sebenarnya yaitu hemolisis tanpa adanya
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 45
defisiensi G6PD, jarang terjadi dan selalu disertai adanya
hemoglobinuria, hemolisis intravaskuler, kegagalan ginjal dan
infeksi berat malaria (Bell, 1983).
Anemia terjadi akibat meningkatnya eritrosit yang rusak
(hemolisis), fagositosis eritrosit dan penurunan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang (Srichaikul dkk, 1967).
Trombositopenia mungkin disebabkan oleh memendeknya
umur platelet (Skudowitz dkk, 1973), juga didūga karena
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) akibat
hemolisis (Fletcher dkk, 1972) sehingga menimbulkgn
perdarahan pada kulit, mukosa dan kadang-kadang pida retina
(Harinasuta, dkk, 1982). Perdarahan dapat jugs disebabkan
karena kerusakan berat_hati yang terinfeksi malaria sehingga
timbul gangguan koagulopati.
Edema paru
Edema paru merupakan komplikasi yang sering dan hampir
selalu menyebabkan kematian. Patogenesisnya belum jelas,
mungkin berhubungan dengan menurunnya volume aliran
darah yang efektif, tidak berfungsinya aliran pembuluh, darah
kecil paru-paru, meningkatnya permeabilitas kapiler, volume
cairan intravena yang berlebihan (Brooks dkk, 1968) DIC atau
uremia (Punyagupta dkk, 1974).
Kegagalan hati
Pembesaran hati, jaundice, dan kelainan fungsi hati sering terjadi pāda malaria falsiparum (Ramachandran dkk, 1976).
Jaundice yang timbul umumnya karena kelainan sel hati,
biasanya ringan, kadang-kadang berat. Transaminase yang
meningkat jarang melebihi 200 IU (WHO, 1980). Peningkatan
yang cukup tinggi dari beberapa kadar ensim serum dan
bilirubin mungkin sebagian disebabkan karena hemolisis (Hall
dkk, 1975). Sedangkan perpanjangan masa protrombin
disebabkan karena. DIC atau akibat efek dari kina (Pirk dkk,
1945).
Kegagabn ginjal
Kelainan fungsi ginjal sering ditemui pada malaria falsiparum
berat seperti proteinuria, oliguria, anuria dan uremia. Kef
gagalan ginjal hampir selalu disebabkan oleh nekrosis tubulus
akut yang diperkirakan akibat kelainan perfusi ginjal karena
hipovolemi atau berkurangnya peredaran darah pada pembuluh
darah kapiler ginjal (Sitprija dkk, 1967). Glomerulonefritis akut
terjadi sebagai komplikasi malaria falsiparum karena'terjadi
nefritis imun kompleks (Bhamarapravati dkk, 1973).
Diare
Kurang berfungsinya penyerapan usus pada malaria disebabkan
karena adanya kelainan mukosa berupa edema, kongesti,
perdarahan petechiae dan terdapat banyak eritrosit yang terinfeksi sehingga terjadi nekrosis dan ulserasi usus (Hall, 1977).
Malabsorpsi diketemukan selama fase akut malaria falsiparum
E oleh Karney dkk (1972).
Hipoglikemia
Sering ditemukan pada penderita malaria falsiparum sedang,
berat dan tersering pada wanita hamil. Kemungkinan penyebab
hipoglikemi adalah karena konsumsi glukosa oleh parasit dan
iangsangan pengeluaran insulin oleh obat anti malaria (White
dkk, 1983). Kelaparan yang timbul akibat tak mau makan dan
muntah-muntah serta penggunaan glikogen hati memungkinkan
terjadinya hipoglikemia tersebut.
46 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
Abortus, Kelahiran prematur, stillbirth dan bayi berat lahir
rendah
Keadaan-keadaan ini mungkin disebabkan karena berkurangnya aliran darah plasenta akibat kongesti dan timbunan eritrosit
yang terinfeksi serta makrofag di dalam villus-villus plasenta
dan sinus-sinus vena (McGregor dkk, 1983). Eritrosit yang
mengandung parasit banyak terdapat pada aliran darah bagian
maternal dan biasanya talc terlihat pada bagian fetal (Hall,
1977). Menurut McGregor (1984) hiperpireksia dapat juga
mengakibatkan terjadinya abortus.
Cara penanggulangan malaria bent
Mashaal (1986) membuat pedoman cara penanggulangan
malaria berat sebagai berikut :
• Penanggulangan malaria berat pada saat penderita datang.
1. Bila diperlukan dirawatdi ruanglntensive Care Unit.
2. Berikan kina (quinine dihidrochloride) 10 mg basa/kgBB
(maksimal 500 mg) dalam cairan garam isotonis 10 ml/
kgBB (maksmal 500 ml), intravena, dalam waktu 2–4
jam.
3. Ukur cairan yang masuk dan keluar, jika perlu dipasang
kateter dan diukur berat jenis urin.
4. Transfusi darah diberikan bila :
– parasitemia > 10%, sebanyak 5–10 unit darah.
– parasitemia > 50%, exchange blood transfusion.
5. Hemodialisa atau dialisa peritoneal dilakukan bila terjadi
gagal ginjal anuri.
6. IPPR (Intermittent Positive Pressure Respiration) dengan
intubasi endotrakea, bila terjadi koma yang dalam.
7. Infus plasma dan platelet bits terjadi perdarahan hebat.
Yang perlu diperhatikan pada pengobatan tahap ini, tidak
diperkenankan memberi deksametason, karena akan memperiambat penyembuhan dan meningkatkan komplikasi
(Warren dkk, 1982), dan juga pemberian antikoagulan tidak
dianjurkan.
• Penanggulangan malaria berat selanjutnya.
1. Pengobatan dengan kina
Diberikan 5–10 mg&kgBB (maksimal 500 mg) setiap 12–
24 jam tergantung pada :
– penurunan parasitemia, dimana perhitungan parasit darah
dilakukan dua kali sehari.
– efek samping atau keracunan kina, seperti tuli, tinitus,
muntah-muntah, sakit perut, penglihatan berkurang dan
koma.
– konsentrasi kina di dalam plasma, dibandingkan sebelum
dan sesudah pemberian kina intravena.
– fungsi hati seperti kadar bilirubin, albumin dan transaminase.
– fungsi ginjal seperti kadar ureum dan kreatinin.
Jadi dosis kina intravena perlu dikurangi bila parasitemia telah
menurun, penderita masih dalam keadaan koma, ada kelainan
fungsi hati, atau kelainan fungsi ginjal. Jika keadaan tersebut
sudah diatasi, pertimbangan untuk menaikkan dosis kina oral
dari tiap 12 jam menjadi tiap 8 jam, untuk mengurangi terjadinya rekrudesen.
2. Transfusi darah
Transfusi darah sebanyak 4 unit, dalam waktu lebih dari 12
jam bila, kadar I-lb < 7 g% dan parasitemia sudah negatif.
3. Bila hiperpireksia dikompres dan dianginkan.
4. Bila kejang-kejang dilakukan intubasi endotrakea dan
suntikan diazepam.
5. Bila terjadi edema paru akut, hentikan cairan infus, beri
oksigen dan suntikan diuretika intravena.
6. Bila terjadi hipoglisemia beri suntikan dekstrosa 50% dilanjutkan dengan infus dekstrosa 5–10%.
PENUTUP
Dengan mengetahui bentuk-bentuk dan cara penang
gulangan malaria berat, diharapkan angka kematian karena
penyakit ini dapat diturunkan dengan menegakkan diagnosa
sedini mungkin dan pemberian pengobatan yang tepat dan
adekwat.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Bell DR. Malaria In Lecture Notes on Tropical Medicine. ist ed. Oxford,
London, Edinburgh, Boston, Melbourne : Blackwell Scientific Publication,
1983; 9-10.
Bhamarapravati N, Boonpuncknavig S, Boonpuncknavig V, Yaemboonruang C. Glomerular change in acute Plasmodium falciparum
infection, an immunipathologic study.: Pathol 1973; 96: 289.
Brooks MH, Kiel FW, Sheehy TW, dan Barry KG. Acute pulmonary
edema in falciparum malaria. A Clinicopathological correlation. N Engl J
Med 1968; 279 : 732–737.
Chipman M, Cadigen FC, Benyapongse W. Involvement of the nervous
system in malaria in Thailand. Trop Geographi Med 1967; 19 : 8–14.
Chongsuphajaisiddhi T. Pathophysiology of malaria, Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1981; 12: 298-307.
Conrad ME. Pathophysiology of malaria : Hematologic observation in
human and animal studies. Ann Intern Med 1969; 70 : 134–141.
Fletcher JR, Butler T, Kpriva CJ, dkk. Acute Plasmodium falciparum
malaria : Vital capacity blood gases and coagulation. Arch Intern Med
1972i 129 : 617–619.
Fogel BJ, Shields CE, dan Doenhoff VAER. The osmotic fragility of
erythrocytes in experimental malaria. Am J Trop Med Hyg, 1966; 15 :
269–274.
Garnham PCC. Plasmodium falciparum. In : Krier JP Malaria I, eds
Epidemiology, Chemotherapy, Morphology and Metabilism. New York,
London, Toronto, Sydney, San Francisco : Academic Press, 1980; 104–
109.
Hall AP, Schneider RJ, Nanakom A, West HJ. Jaundice in Falciparum
malaria. Annual Report SEATO Medical Research Labotarory, 1975; 234236.
Hall AP. The treatment of severe falciparum malaria. Transanction; of the
Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 1977; 71 : 367–379.
Harinasuta T, Dixon KE, Warrel DA, dan Doberstyn. Recent advance in
malaria with special reference to Southeast Asia. Southeast Asia Journal of
Tropical Medicine and Public Health, 1,982;13 : 1–34.
Karney WW, Tong MJ. Malabsorption in Plasmodium falciparum malaria.
Am J Trop Med Hyg, 1972; 21 (1) : 1–5.
Looareesuwan S. Cerebral malaria : Management and Care. Far East
Health, 1984; 16–18.
Maegraith BG. Other pathological process in malaria. Bulletin of World
Health Organization, 1974; 50 : 187–193.
Maegraith BG. Malaria. In : Adams & Maegraith 7th ed. Clinical Tropical
Diseases. Oxford, London, Edinburgh, Melbourne : Blackwell Scientific
Publications, 1980; 240.
Manson–Bahr PEC & Apted FIC. Malaria and Babesiosin. In: .18th ed.
Manson's Tropical Disease. London: The English Language Book Society
and Bailliere Tindall, 1983; 38–69.
Mashaal H. Clinical Malariology : Southeast Asian Medical Information
Center. International Medical Foundation of Japan, 1986; 366-367.
19. McGregor IA, Wilson ME, Billewicz WZ. Malaria infection of the
placenta in the Gambia, West Africa, its incidence and relation-ship to
stillbirth, birthweight and placental weigth. Transanctions on the Royak
Society of Tropical Medicine and Hygiene, 1983; 77 : 232–244.
20. McGregor IA. Epidemiologu, Malaria and Pregnancy. Am J Trop Med
Hyg, 1984; 33 (4) : 517–525.
21. Miller LH, Chien S, Usami S. Decreased deformability of Plasmodium coatneyi-infected red cells and its possible realtion to cerebral malaria. Am J Trop Med Hyg, 1972; 21 : 133–137.
22. Miller LH. Malaria. In:. 1st eds. Tropical and Geographical Medicine. New York : Mc Graw-Hill Book Company, 1984; 223–239.
23. Pinder RM. Malaria Parasites. In: 1st ed. Malaria. Bristol : Scientechnica Ltd, 1973; 38–40.
24. Pirk LA, Engelberg R. Hypoprothrombinemic action of quinine sulphate. J
Am Med Ass 1945; 128: 1093.
25. Punyagupta S, Srichaikul T, Nitiyanat P, Petchclai B. Acute pulmonary insufficency in falciparum malaria: summary 12 cases
with evidence of DIC. J Trop Med Hyg, 1974; 23 (4) : 551–559.
26. Ramachandran S, Perera MV. Jaundice and hevatomeealy in
primary malaria. Am J Trop Med Hyg, 1999; 79: 207–210.
27. Schmutzhard E, Gerstenbrand F. Cerebral malaria in Tanzania.
Its epidemiology, clinical symptoms and neurological longterm
sequeleae in the light of 66 cases. Transanctions of the Royal of
Tropical Medicine and Hygiene 1984;'78 : 351-353.
28. Sitprija V. Renal involvement in malaria. Transactions of the Royal
Society of Tropical Medicine and Hygiene, 1970; 64 (5): 695–699.
29. Skudowitz RB, Katz J, Lurie A, Levin J. dan Metz J. Mechanisms of
thrombocytopenia in Malignant tertian malaria. Br Med J, 1973;2 : 515–
517.
30. Srichaikul T, Panikbutr N, dan Jeumtrakul P. Bone-marrow changes in
human malaria. Ann Trop Med Parasitol, 1967; 61 : 40–51.
31. Warrel DA, Looareesuwan S. Warrel MJ, et al. Dexamethasone
proves deleterious in cerebral malaria. A double blind trial in
100 comatous patients. The N Eng J Med, 1982; 306 : 313–319.
32. White NJ, Warrel DA; Chanthavanich P, dkk. Severe hypoglycemia
and hyperinsulinemia in falciparum malaria. N Eng J Med, 1983;
309 : 61–66..
33. WHO. The clinical management of acute malaria. WHO-SEARO 1980;9.
34. WHO. The clinical management of acute malaria. 2nd eds. New Delhi:
WHO Regional Publications, South-East Asia, 1986; 9 : 19–22.
Kalender Kegiatan Ilmiah
International Hospital Federation Regional Conference,
Indonesia Hospital Association 4th Congress, 5th International Hospital Expo.
Tanggal : .19 – 13 Juni 1988
Tempat : Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta
Sekretariat: OC – RS PGI "TJIKINI"
Jalan Raden Saleh 40
Jakarta 10330
Tel. 324663, 337104
Hospex 88 – RS SUMBER WARAS
Jalan Kyai Tapa, Grogol
Jakarta 11440
Tel. 596011 ext. 138
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 47
Pengamatan Virus Dengue
Beberapa Kota di Indonesia, 1986
Drh Suharyono Wuryadi, MPH
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta
PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue (PBD) yang pertama
kali dilaporkan dari Jakarta dan Surabaya pada tahun 1969, saat
ini telah menyebar ke 26 dari 27 provinsi di Indonesia. Kalau
mula-mula penyakit ini hanya dilaporkan dari kota-kota besar
saja, akhir-akhir ini penyakit DBD juga dilaporkan dari daerahdaerah pedesaan, bahkan dari daerah-daerah yang ter-pencil.
Jumlah kasus makin meningkat dari tahun ke tahun. Untuk
lima tahun terakhir kasus DBD dilaporkan antara 13.000
sampai 15.000 per tahunnya dengan angka kematian (CFR)
sekitar 4%.
Mekanisme terjadinya penyakit ini belum diketahui jelas.
Demikian juga mekanisme terjadinya wabah, endemisitas, dan
daerah bebas (DBB), masih belum jelas. Satu-satunya hal yang
diketahui dengan pasti adalah bahwa penyakit ini disebabkan
oleh virus Dengue dan ditularkan dari orang ke orang melalui
gigitan nyamuk Aedes egypti/Aedes albopictus, sehingga pemberantasannya dapat dilakukan dengan membasmi kedua
nyamuk tersebut, baik bentuk dewasanya maupun jentikjentiknya.
Per1u,diketahui pengamatan secara terus-menerus terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit tersebut,
baik dari segi penderita, vektor, maupūn virusnya sendiri agar
dapat membantu mengatasi masalah-masalah yang belum
diketahui.
Di slid kami akan melaporkan kegiatan pengamatan, terhadap virus Dengue, dengan jalan mengisolasi virus tersebut
dari penderita-penderita DBD dari berbagai tempat di Indonesia. Pengamatan ini merupakan lanjutan dari pengamatan
terhadap virus Dengue yang telah dilakukan sejak tahun 1975.
CARA KERJA
Untuk Jakarta contoh •dikumpulkan dari RSCM dan RS
Sumber Waras, bagian Ilmu Kesehatan Anak. Untuk Yogya
contoh dikumpulkan dari RS Dokter Sardjito juga Bagian Ilmu
Kesehatan Anak. Sedang untuk Medan, mengingat sulitnya di
dapatkan kasus-kasus DBD, maka contoh diambil dari
penderita-penderita panas yang tidak diketahui sebabnya
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
(kurang dari 5 had) dari poliklinik-poliklinik.
Untuk diagnosa klinik kasus-kasus di Jakarta dan Yogya
dipakai kriteria WHO sedangkan untuk kasus-kasus panas yang
tidak diketahui sebabnya (FUO, Fever of Unknown Origin)
diambil dari kriteria untuk FUO.
Contoh dari Jakarta dikirim langsung ke Puslit Penyakit
Menular dalam bentuk darah dalam termos yang berisi es,
sedang untuk Yogya dan Medan, setelah darah diambil dari
penderita, serumnya dipisahkan dan dimasukkan dalam vial
dan disimpan dalam liquid nitrogen container, yang kemudian
dikirim dengan pesawat ke Jakarta.
Contoh akut dan konvalesen dites secara bersama-sama
dengan metoda HI test (Haemagglutinasitnhibisi Test), dengan
menggunakan 4–8 unit antigen. Serum yang menunjukkan HI
positif dipakai untuk isolasi virus. Isolasi virus dilakukan
dengan menggunakan teknik penyuntikan pada nyatnuk. Di sini
dipakai nyamuk Toxorhynchites ambionensis. Identifikasi
flavivirus dilakukan dengan Teknik fluorescein antibody secara
langsung.Sedang identifikasi serotype dilakukan dengan teknik
fluorescein antibody secara tidak langsung dengan
menggunakan antibodi monoklonal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama periode 1986 dapat dikumpulkan sebanyak 875
contoh dengan perincian: Jakarta 662, Yogya 123, dan Medan
90. (Lihat Tabel 1). Hasil Tes HI menunjukkan bahwa dari
Jakarta terdapat 310 yang positif, Yogya 61 dan Medan 22.
Dari yang positif Tes HI, dari Jakarta 1,3% adalah reaksi
Tabel 1.
Jumlah contoh DBD/FUO yang terkumpul dari Jakarta, Yogya
dan Medan serta hasil Tes HI-nya, tahun 1986
Jumlah
Contoh
Tes HI
Positif
lnfeksi
Primer
Jakarta
Yogya
Medan
662
123
90
310
61
22
4 ( 1,3%)
2 ( 3,2%)
4 (18,2%)
Total
875
393
10 ( 3,0%)
Lokasi
primer. Sedangkan Yogya 3,2% adalah reaksi primer dan Medan 18,9%. Hal ini menunjukkan bahwa endemisitas di Medan
jauh lebih rendah. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan
mengapa di Medan tidak dijumpai banyak kasus DBD.
Apabila kita lihat hasil isolasi virus, dari ketiga kota tersebut terisolasi sebanyak 80 virus Dengue (Lihat Tabel 2).
Terlihat bahwa untuk Jakarta, Dengue 3 masih lebih dominan
dibanding serotipe yang lain, disusul oleh Dengue 2 dan kemudian Dengue 1 dan terakhir Dengue 4. Untuk Yogya,
Dengue 3 juga merupakan serotipe yang dominan, demikian
juga Dengue 1, bare disusul oleh Dengue 2 dan yang terakhir
Dengue 4. Sedangkan untuk Medan Dengue 2 merupakan
serotipe yang dominan disusul oleh Dengue 3 dan Dengue 1.
Pada periode ini di Medan tidak terisolasi Dengue 4. Kalau kita
lihat secara keseluruhan Dengue 3 tetap merupakan serotipe
yang dominan, disusul oleh Dengue 2, Dengue 1 dan terakhir
Dengue 4.
Tabel 2.
Hasil isolasi virus dan serotipe dad penderita DBD di Jakarta,
Yogya dan Medan, 1986
Serotipe
Lokasi
D1
D2
D3
D4
Total
Jakarta
Yogya
Medan
4
11
1
16
8
3
21
11
2
1
2
–
42
32
6
Total
16
27
34
3
80
Kalau kita lihat hubungan antara berat ringannya penyakit
dengan serotipe virus, kita dapati bahwa Dengue 3 dan Dengue
2 merupakan serotipe yang banyak berhubungan dengan kasuskasus yang berat, sedang Dengue 4 hanya berhubungan dengan
kasus-kasus yang ringan saja. (Lihat Tabel 3).
Tabel 3. Hubungan antara bent ringan penyakit dengan serotipe virus
dengue dad penderita DBD dari Jakarta, Yogya dan Medan, 1986
Serotipe
Derajat/grade
D1
D2
D3
D4
Total
Derajat 1/DF
Derajat 2
Derajat 3
Derajat 4
9
3
–
–
12
11
4
–
9
16
6
1
3
–
–
–
33
30
10
1
Total
12
27
32
3
74
Pada tahun 1986 terjadi kejadian luar biasa berupa wabah
DBD di Kotamadya Bandung, Jawa Barat. Selama periode
wabah tersebut (8 bulan), 'dilaporkan sebanyak 1331 kasus
dengan kematian 3,2%. Satu hal yang menarik dari wabah
tersebut, adalah diketemukannya kasus-kasus dewasa/remaja
(di atas 15 tahun). Adanya kasus DBD pada remaja/dewasa
sudah lama dilaporkan tetapi pada wabah di Bandung peningkatan penderita remaja/dewasa sangat menyolok (505
orang). Kasus-kasus dewasa banyak terdapat pada orang-orang
berumur 30 tahun ke atas, bahkan di atas 50 tahun. Meskipun
kasus-kasus dewasa meningkat, tetapi angka kematiannya
relatif rendah.
Hasil isolasi virus dari penderita remaja/dewasa dari
wabah di Bandung dapat dilihat pada label .
Tabel 4.
Hasil isolasi virus dan serotipe dad penderita DBD pada waktu
wabah di Bandung, Jawa Barat, 1986
Serotipe
Lokasi
Kodya Bandung
DI
D2
D3
D4
Total
1
6
5
1
13
Terliha bahwa keempat serotipe dapat diisolasi. Dengue 2
dan Dengue 3 merupakan serotipe yang dominan disusul oleh
Dengue 1 dan Dengue 4. Berhubung data klinis tidak dapat
diperoleh maka hubungan antara serotipe dengan berat
ringannya penyakit tidak dapat dilihat.
Kalau kita bandingkan dengan hasil pengamatan pada
kegiatan serupa dari tahun-tahun sebelumnya, temyata bahwa
virus Dengue pada periode 1986 mempunyai pola yang sama
dengan tallun-tahun sebelumnya, yaitu Dengue 3 merupakan
serotipe yang selalu dominan dibandingkan dengan serotipe
yang lain, diikuti oleh Dengue 2, Dengue 1 dan kemudian
Dengue 4. Dengue 2 pada waktu-waktu tertentu menyamai
Dengue 3 dalam predominansi, bahkan kadang-kadang melebihi. Dengue 4 selama pengamatan selalu merupakan serotipe
yang paling tidak dominan. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena infeksi Dengue 4 memperlihatkan manifestasi klinik
yang ringan. Sedang kalau kita lihat hubungan antara berat
ringannya penyakit dengan serotipe 'masih terlihat bahwa
Dengue 3 paling banyak berhubungan dengan kasus-kasus
yang berat, disusul oleh Dengue 2.
KESIMPULAN
1. Semua serotipe masih endemis di Indonesia.
2. Dengue 3 masih merupakan serotipe yang dominan disusul
Dengue 2, Dengue 1 dan kemudian Dengue 4.
3. Dengue 2 dan Dengue 3 juga masih merupakan serotipe
yang banyak berhubungan dengan kasus-kasus yang berat.
4. Semua serotipe, dapat menyebabkan Demam Berdarah
Dengue pada remaja/dewasa.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
Anon. Dengue Haemorrhagic Fever Diagnose, Treatment and Contro
WHO Geneve, 1986.
Anon. Laporan Hasil Pemberantasan Vektor DBD di Kodya Bandung. Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Jawa Barat,
1986.
Suharyono W. Surveillance Virus Dengue di Beberapa Kota di
Indonesia, 1986. Laporan Penelitian Pusat Penelitian Penyakit Menular,
Jakarta, 1987.
Suharyono W. Sepuluh Tahun Pengamatan Virus Dengue di Indonesia, 1975–1985. Simposium Demam Berdarah Dengue, Jakarta, 26 Juli
1986.
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 49
Peranan, Pengelolaan dan Pengembangbiakan
Hewan Percobaan
Edhie Sulaksono
Pusat Penelitian Penyalit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang
1imiliki ataupun yang dipakai sebagai Animal model oleh suatu
laboratorium medis baik itu dibidang fannasi, phisiologi,
ekologi, mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi
dan sebagainya di negara manapun merupakan suatu "modal
dasar" dan "model hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan
penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah
yang digunakan sebagai alat penilai atau merupakan "model
hidup" dal= suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan
laboratorium baik medis maupun non medis secara in vivo. Di
dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan flint' dan teknologi, kebutuhan akan sumber hayati ini
(hewan percobaan) makin hari makin meningkat terutama
untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan baik di
idalam maupun di luar negeri. Bahkan secara nasional negara
kita adalah salah satu negara pensuplai kebutuhan tersebut
(misalnya kera). Dipihak lain belum banyak usaha yang terpadu & programatis dalam penanganan hewan percobaan baik
dalam kwalitas maupun kwantitas, kecuali pada phak yang
benar-benar mengerti dan sadar akan kepentingan ini. Salah
satu hal yang nampaknya kontroversiil ialah pemanfaatan
hewan percobaan untuk kepentingan penejitian dan pendidikan
di Indonesia masih belum berkembang. Kera adalah alternatip
terakhir sebagai animal model yang masih diperlukan
penyempurnaan jaringan distribusi dart pengembangan-biakannya melalui beberapa alternatip seperti program pembiakan di
kandang (in captivity). Di negara yang sudah maju (Jepang,
Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa), masalah hewan
percobaan tidak hanya ditangani oleh pihak pemerintah tetapi
juga swasta (dengan berdirinya commercial breeder). Hal yang
lain adalah adanya sementara pihak yang menggunakan hewan
untuk percobaan, dimana hewan tersebut diperoleh dan pasar
hewan yang tidak diketahui asal usulnya apalagi sistim pengembangbiakkannya.Oleh karena itu usaha di dalam melawan
hal-hal yang nampaknya kontroversiil tersebut, merupakan
usaha yang mendesak dilakukan supaya sumber hayati ter-
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
sebut baik small laboratory animal maupun large laboratory
animal dapat dimanfaatkan secara optimal.
MACAM HEWAN PERCOBAAN(Terlampir pada Lampiran)
1) Peranan Hewan Percobaan
Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah
telah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola
kebijaksanaan pembangunan nasional bahkan internasional,
dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia adalah
adanya Deklarasi Helsinki.
Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang menggunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya diLampiran I.
Jenis hewan yang tergolong hewan percobaan
No.
Jenis hewan percobaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Mencit (Laboratory mince)
Tikus (Laboratory Rat)
Golden (Syrian) Haruster
Chinese Haruster
Marmut
Kelinci
Mongolian gerbil
Forret
Tikus kapas (cotton rat)
Anjing
Kucing
Kera ekor panjang (Cynomolgus)
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Barak
Lutung/monyet daun
Kera rhesus
Chimpanzee
Kera Sulawesi
Babi
Ayam
Burung dara
Katak
Salamander
Dan lain-lain
Spesies
Mus musculus
Rattus norvegicus
Mescoricetus auratus
Cricetulus griseus
Cavia porcellus (Cavia cobaya)
Oryctolagus cuniculus
Meriones unguiculatus
Mustela putorius furo
Sigmodon hispidus
Canis familiaris
Fells catus
Macaca fascicularis (Macaca
irus)
Macaca nemestrina
Presbytis ctistata
Macaca mulata
Pan troglodytes
Macaca nigra
Sus scrofa domestica
Gallus domesticus
Columba livia domestica
Rana sp.
Hynobius sp.
lakukan percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang
biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan
terhadap manusia, sehingga dengan demikian jelas hewan percobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya menunjang program keselamatan umat manusia melalui suatu
penelitian biomedis.
Selain itu berdasarkan deklarasi tersebut, cukup beralasan
pula bila penelitian lain misalnya tentang aspek fisiologis,
patologis, dan penyakit pada manusia, nutrisi, virus, penelitian
perilaku dan sebagainya, dapat dilakukan pada hewan
percobaan sebagai modelnya dengan segala persyaratan
tertentu.
Berdasrakan referensi data yang diperoleh dari National
Institute of Health Primate Research centers, 1978, syarat
utama dalam pemilihan hewan percobaan yang sesuai dan
dapat dipakai sebagai model adalah bahwa proses yang terjadi
pada hewan percobaan tersebut mirip atau banyak kesamaannya dengan proses yang terjadi pada manusia. Di-.
samping itu mudah didapat , mudah dikembang-biakkan dan
relatip murah harganya.
Secara terperinci peranan hewan percobaan berorientasi
kepada kegiatan penelitian maupun pemeriksaan laboratorium
medis, misalnya dalam hal :
1. Bio assay dari produk biologi (vaksin, sera dan sebagainya)
yaitu tentang dosis efektipnya, efek sampingannya (safety
test), pemeniksaan keracunan (toxicity test) dan lain sebagainya.
2. Pemeriksaan kemampuan suatu obat dan bahan makanan,
bahkan obat tradisionil.
3. Pembuatan vaksin dan produk biologi lainnya (antibiotik,
hormon, vitamin dan lain sebagainya).
4. Pemeriksaan penyakit (kanker).
5. Bahan praktek anatomi mahasiswa Kedokteran dan Biologi.
Pada dasarnya hewan percobaan dapat merupakan suatu kunci
dalam mengembangkan suatu vaksin dan telah banyak berjasa
bagi ilmu pengetahuan kedokteran, khususnya pengetahuan
tentang berbagai macam penyakit seperti: malaria, filariasis,
demam berdarah, TBC, gangguan jiwa dan semacam bentuk
kanker. Hewan percobaan tersebut adalah kera (Macaca fascicularis) oleh karena sebagai alternatip terakhir sebagai animal
model. Kara memiliki kemiripan dengan manusia bail(
anatomis maupun fisiologis. Satelah melihat beberapa kemungkinan peranan hewan percobaan, maka dengan berkurangnya atau bahkan tidak tersedianya hewan percobaan,
akan berakibat . penurunan standar keselamatan obat-obatan
dan vaksin, bahkan dapat melumpuhkan beberapa riset medis
yang sangat dibutuhkan manusia.
Pengelolaan Hewan Percobaan
Pada dasamya pengelolaan hewan percobaan dititikberatkan
pada:
1. Kondisi bangunan. Persyaratan ini sangat menentukan
kondisi hewan percobaan, karena bentuk, ukuran serta
bahan yang dipakai merupakan elemen dalam physical
environment bagi hewan percobaan. Bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga hewan dapat hidup
dengan tenang, tidak terlalu lembab, dapat menghasilkanperedaran udara yang baik, suhu cocok, ventilasi lengkap
dengan insect proof screen (kawat nyamuk).
2. Sanitasi. Dari bangunan tersebut diambil manfaatnya
dengan dapat terselenggaranya sistim sanitasi yang baik,
sistim drainase yang baik, tersedianya fasilitas desinfektan,
misalnya dengan jalan menempatkan tempat khusus yang
berisi desinfektan (lysol 3–5%) atau disebut dengan Foot
baths. (Macam bahan desinfektan lihat lampiran 2). Sanitasi
kandang atau peralatan lainnya dilakukan dengan teratiir.
Disamping itu bagi tenaga pengelola perlu mengenakan lab
jas (Protective clothing) atau peralatan proteksi lainnya
seperti masker dan sebagainya. Peralatan sanitasi lainnya
seperti halnya autoclave pembakar bangkai, fumigator
bahkan fasilitas shower dan toilet bila perlu diusahakan ada.
3. Tersedianya makanan hewan percobaan yang nitritiv dan
dalam jumlah yang cukup. Penyimpanannya harus baik,
terhindar dari lingkungan yang lembab, diusahakan bebas
dari insekta atau hewan penggerek lainnya, karena dengan
adanya ini dapat merupakan petunjuk adanya kerusakan
bahan makanan hewan dan sebagai usaha pencegahannya
adalah makanan ditempatkan dalam kantong-kantong
plastik yang waterproof, bila perlu dalam kondisi anaerob
(dengan menggunakan vaccum pump) dan tertutup rapat.
Bentuk makanan bila perlu diusahakan berbentuk pellet
(cetakan seperti pil atau berbentuk silinder) dengan diameter tertentu tergantung macam hewannya. Keuntungannya adalah dapat disimpan lama (lebih-lebih bila anaerob),
makanan bisa habis termakan (dibandingkan bila dalam
bentuk mess atau powder) serta kontrol terhadap makanan yang dimakan lebih mudah dan lain-lain keuntungan.
4. Kebutuhan air dapat diperoleh dengan mudah dan lancer
dan usahakan tidak terlalu tinggi kandungan mineralnya
serta bersih.
5. Sirkulasi udara. Dengan adanya sistim ventilasi yang baik,
sirkulasi udara dapat diatur lebih-lebih bila dipasang exhaust fan.
6. Penerangan diperlukan sekali terutama dalam pengaturan
proses reproduksi hewan Haruster, karena siklus estrus
(siklus reproduksinya) sangat tergantung oleh penerangan
dan bila tidak terdapat penerangan akan menyebabkan
terhambatnya proses reproduksi.
7. Kelembaban dan temperatur ruangan. Adapun kelembaban
dan temperatur ruangan yang direkomendasikan bagi
maiing-masing hewan percobaan adalah sebagai berikut:
(Lihat Tabel 1).
8. Keamanan. Maksud dari pada keamanan ini adalah menjaga
jangan sampai terjadi infeksi penyakit baik yang berasal
dari hewan maupun manusia. Sehingga sebagai usaha
pencegahan tidak diperkenankan semua orang keluar masuk
ruangan hewan (lebih-lebih bila hewannya adalah bebas
kuman atau yang disebut dengan Germ Free Animals tanpa
suatu keperluan apapun.
9. Training/kursus bagi personiL Dalam program pemeliharaan hewan percobaan diperlukan tenaga yang terlatih dan
berpengalaman yang cukup, karena ilmu yang menyangkut
hewan percobaan dapat melibatkan banyak aspek ilmu,
sehingga diperlukan sekali adanya kursus baik tenaga
administrasi maupun tenaga teknis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 51
Lampiran 2.
Desinfektan
(Zat kimia anti penularan penyakit)
Disinfektan
Konsentrasi
(ukuran kemampuan)
Tingkat kemajuan
Catatan dalam penggunaannya.
1
2
3
4
1. Formaldehyde
10–20%
2. Yodium tintur.
Yodium 0,5%
– Manjur terhadap bakteri dan virus
– Timbul karat pada logam.
Alkohol 70%
– Kurang manjur untuk kuman
tuberculi.
– Mewarnai padajaringan kulit dan
bahan-bahan lainnya.
– Manjur terhadap bakteri, kuman-
– Bekerja cepat.
3. Alkohol ethyle.
4. Isopropyl alkohol.
70–90%
– Manjur terhadap bakteri, kuman
tuberculi dan virus.
30–50%
– Dapat meracuni kulit.
– Rangsangan gatal.
– Penjeladan pada bahan-bahan organik.
kuman tuberculi dan beberapa
macam virus.
– Mudah menguap.
– Peka terhadap panas.
– s.d.a. –
– Timbul rangsangan terhadap mata
dan kulit.
– Meracuni lewat udara pernafasan.
5. C h I o r i n e.
6. P h e n o 1
500–5000 p.p.m.
1–3%
7. Benzolkonium chloride lebih
dari 0,01%.
Benzethonium chloride lebih
dari 0,01%.
Cetyl trimethylammonium
bronide 0,1 – 0,5%.
– Manjur terhadap bakteri dan'virus
– Kurang manjur bila bercampur
– Kurang manjur untuk pertumbuhan bakteri dan jamur.
– Tidak manjur terhadap kuman
tuberculi.
dengan bahan organik.
– Timbul karat pada logam.
– Timbul gatal pada kulit.
– Meinpunyai sifat memutihkan.
– Manjur terhadap bakteri dan ku-
– Mempunyai kemampuan sebagai
man tuberculi.
– Kurang manjur terhadap jamur
dan pertumbuhan bakteri.
– Tidak manjur terhadap virus.
disinfeksi yang tetap.
– Sedikit bau dan merangsang.
– Sangat manjur bila bercampur
dengan bahan organik.
Timbul karat pada logam.
Timbul gatal pada kulit.
– Makin ringan.
– Manjur terhadap bakteri grampositip (+).
– Kurang manjur terhadap bakteri
gram negatif (–).
– Tidak manjur terhadap pertumbuhan bakteri dan kuman tuberculi.
– Daya racun yang rendah.
– Tidak manjur bila dicampur dengan sabun.
– Tahan terhadap adanya serat.
8. Dan lain-lain.
Bidang Binatang Percobaan
Pusat Penelitian Penyakit Menula
Cara memegang hewan (handling) dan penentuan jenis kelamin
Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara
keseluruhan, cara memegang hewan serta cara penentuan jenis
kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari
masing-masing jenis hewan adalah ber,eda-beda dan ditentukan
oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta
tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan
kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan
menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan
darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya.
Adapun cara memegang dan penentuan jenis
kelamin untuk masing-masing hewan yang umum dipakai
dalam percobaan adalah seperti pada gambar berikut ini. (Lihat
gambar).
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
Tabel 1.
Kelembaban dan temperatur ruangan yang direkomendasikan
bagi hewan percobaan
Recommended
Relative
Relative
TemperaTemperaHumidity
Humidity
ture, F
ture, F
Percent
Percent
Species
Identiftikasi (Pemberian tanda pada hewan).
Tujuan dari pada pemberian tanda pada hewan adalah disamping untuk mencegah kekeliruan hewan dalam sistim
pembiakannya juga untuk mempermudah pengamatan dalam
percobaan. Bermacam-macam cara yang dipakai dalam identifikasi tergantung kepada selera dan juga lama tidaknya
hewan tersebut terpaki atau dipelihara. (marking, ear punching,
too clipping, ear tags, tattocing, coat colors).
Berikut ini adalah contoh dari pada identifkasi dengan cara
Ear punch (melobangi telinga dengan alat khusus).
Range of
Mouse (Mencit)
Rat (Tikus)
Cotton Rat
Mastomys
Gerbils
Haruster
Guinea pig (Marmut)
Ferret (Berang-berang)
Rabbit (Kelinci)
Cat (Kucing)
Dog (Anjing)
Monkeys (Kara)
From AfrikaCercopithecidae*
Baboons*
Chimpanzees*
From India and Far EastRhesus
Cynamolgus*
From the New WorldSpider monkey*
Capuchin*
72
72
72
72
72
72
70
63
65
63
60
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
68-72
65-75
65-75
65-75
65-75
65-75
65-75
60-65
62-68
60-65
55-65
45-55
45-55
45-55
45-55
45-55
45-55
45-55
45-55
45-55
45-55
45-55
80
75
80
55
55
58
78-85
65-78
78-82
50-60
50-60
55-60
70
80
50
58
68-72
78-85
45-55
55-60
80
80
55
55
78-82
78-82
50-60
50-60
(Short, D.J, 1963)
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 53
Pengembang Biakan (Breeding) Hewan Percobaan
Pada dasarnya cara pengembangbiakkan untuk semua jenis
hewan percobaan ada dua macam :
1. Berdasarkan ratio hewan jantan dan betina dalam koloni.
Terdiri dari tiga macam :
a) Perkawinan 1 : 1 (monogamous pair mating), yaitu bila 1
ekor jantan dikawinkan dengan 1 ekor betina dalam satu
koloni.
b) Perkawinan 1 : 3 (trio mating), yaitu bila 1 ekor jantan
dikawinkan dengan 3 ekor betina dalam satu koloni.
c) Perkawinan harem (harem mating), yaitu satu ekor jantan
mengawini lebih dari 4 ekor betina dalam koloni. Pada cara ini
biasanya dilakukan untuk efisiensi tempat/box dan ruangan,
hanya lebih riskan terjadi kanibalisme lebih-lebih bila terjadi
malnutrisi.
2. Berdasarkan sistim, dapat dibagi menjadi :
a) Pengembangbiakkan secara random/acak (Random breeding).
• Mencit
Misalnya suatu lab medis akan mendirikan lab hewan percobaan sebanyak 3 (tiga) unit/grup baik monogamous pair
mating, trio mating maupun harem mating.
Maka sistimnya adalah sebagai berikut :
Kemungkinan A
Unit 1 adalah terisi oleh d yang berasal dari unit 3 dan 9 dari
unit 2, demikian seterusnya sehingga akan diperoleh randomized animals. Adapun pengertian unit 1, 2 dan 3 adalah unit
tersebut dapat dalam satu ruangan atau terpisah satu sama
lainnya. Bila terpisah satu sama lainnya, maka sebagai resikonya dijaga jangan sampai terjadi kontaminasi penyakit dari unit
satu ke unit lainnya.
Kemungkinan B
diprogramkan sebagai berikut :
Hewan Terbagi 3 Kelompok (A, B dan C).
Adapun sebagai data reproduksi hewan-hewan percobaan
(betina) seperti yang terlampir. (Lihat Lampiran 3).
b) Pengembangbiakkan secara garis murni (Inbreeding).
Tujuan dari pada inbreeding ini adalah untuk mendapatkan
hewan yang homozygote (yang unggul dalam salah satu sifat,
misalnya mempunyai kemampuan yang tinggi dalam kenaikan
berat badan dan sifat ini menurun). Untuk itu diperlukan sistim
perkawinan yang sama sekali berlainan dengan random
breeding, yaitu dengan cara mengawinkan hewan yang
sekandung (atau disebut brother sister mating) dan dalam 20
generasi sudah didapatkan hewan yang inbred. Untuk
mengetahui hewan yang didapatkan sudah inbred atau belum
salah satu cara adalah dengan skin graft test, yaitu dengan
memindahkan kulit dari hewan situ ke hewan lainnya yang
jenis kelaminnya sama. Adapun gambaran sistim ini adalah
sebagai berikut :
– Parallel line system.
Misalnya terdapat 5 kelompok hewan, masing-masing dikawinkan monogamous pair mating dan dikembangbiakkan
menurut garis keturunan yang terpisah satu sama lainnya.
dan seterusnya
20 gen
Berbeda dengan kemungkinan A, pada kemungkinan B ini
hanya hewan betina saja yang berpindah dari ruangan/unit
satu ke unit lainnya.
• Marmut (Guinea Pig)
Pada hewan marmut pada prinsipnya adalah sama dengan cara
yang dilakukan pada mencit. Hanya yang perlu diingat adalah
dengan cara ini dapat dihindarkan kemungkinan terjadi perkawinan antara saudara sekandung (brother sister mating).
Demikian pula pada kelinci atau hewan-hewan lainnya, dan
agar produksi dapat diperoleh dengan teratur, maka harus
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
– Single line system
Dari ke 5 kelompok hewan dipilihi satu pasang yang menunjukkan sifat genetis yang baik, kemudian dari kelompok
dikembangkan menjadi 5 kelompok dimana masing-masing
kelompok masih mempunyai hubui1gan saudara. Hal ini
bisa dilakukan bila hewannya mencukupi. (Lihat gambar )
c) Pengembangbiakkan secara silang (Cross breeding).
Yaitu suatu sistim perkawinan dari 2 atau lebih hewan yang
berasal dari keluarga yang berbeda (tidak berkerabat). Tujuannya adalah untuk mendapatkan hewan yang unggul pada ke-
Lampiran 3.
Data Breeding hewan percobaan (betina)
Saat kemungkinan kawin kernbali (setelah partus).
Umur saat
dikawinkan
Berat rata-rata
saat dikawinkan
Lama kebuntingan
Jumlah kelahiran
(litter zise)
Umur saat di
disapih
Berat rata-rata
sapihan
Mencit (Mus musculus)
6 minggu
18–20 g.
19 – 21 hari
8–11
21 hari
10 – 12 gr
Rat (Rattus norwegicus).
Cavia Porcellus (Marmut)
Keānci (Dryctolgus)
70–80 hari
12 minggu
9 bulan
150 gr. 500–550 gr.
2,5–3,5 kg
20 – 22 hari
65 – 72 hari
32 hari
9–11
3–4
6–8
22 hari
14 hari
8minggu
35 – 40 gr
180 – 200 gr
1.500 gr.
Kelinci (type kecil)
Golden Haruster (Mesocricetus auratus).
6 minggu
6 minggu
1.500–2.00 gr
1.000 gr
30 hari
16 hail
6–8
5–7
6 minggu
21 hail
1.000 gr.
40 gram
Chinese Haruster (Cricetulusgriseus).
8–12 ming
gu
35–40 gr.
20 – 21 hari
4–8
25 hari
6 – 8 gr
Estrus sesudah
kelahiran.
Anjing (Canis familiaris).
14 bulan
Variable
60 hari
4–8
8 minggu
Variable
Kucing (Fells catus).
7–9 bulan
2,5 kg
64 – 66 hari
3–6
6 minggu
700 – 800 gr
Hp. Variable
Musim kawin berikutnya.
4 minggu menyusui.
Monyet (Macaca fascicularis).
0–4 tahun
0–3 tahun
4 kg.
2,5 kg
4 – 5 bulan
1
3–4 bulan
700 – 800 gr
3 bulan.
Spesies
Estrus setelah ke
lahiran.
– idem –
– idem –
3 minggu menyusui.
– idem –
28–32 hari sesudah melahirkan (akhir laktasi).
Bidang Binatang Percobaan
Pusat Penelitian Penyakit Menular
turunan yang pertama, hal ini biasanya dilakukan pada hewan
piaraan (livestock).
PENUTUP
Tanpa memalingkan perhatian sedikitpun dari waktu ke
waktu terasa cukup besar peranan hewan percobaan dalam
dunia ilmu dan teknologi khususnya dunia medis. Setelah
disadari benarbenar akan hal ini, maka kemungkinan akan
tercipta suatu hewan percobaan yang mempunyai bobot mutu
yang cukup tinggi apabila sistim pengelolaan maupun
pengembang biakannya dengan tersedianya sarana dan fasilitas
yang memadai, dapat dilakukan dengan baik (programatis),
sehingga secara
Gambar :
Kombinasi antara parallel dan single line system.
dan seterusnya
20 gen.
tidak langsung akan diperoleh hasil percobaannya yang benarbenar dapat dipercaya.
KEPUSTAKAAN
Daftar Kepustakaan dapat diminta pada penuils/redaksi
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 55
Pengalaman Praktek
Membanggakan Dosa
Pada suatu senja yang mendung sepasang merpati (dua remaja) yang nampaknya
tengah dimabuk kepayang dating ke tempat praktek saya. Keduanya adalah siswa pada
sebuah Sekolah Lanjutan Atas (SLA) Negeri di kota setempat.
Mereka memang mengaku sedang ngebet-ngebetnya berpacaran. Akibat hubungannya
yang terlalu intim maka sang putri kini terlambat haid 2 bulan. Dari hasil pemeriksaari
sementara dapat disimpulkan penderita sedang hmmil. Namun untuk memastikan
diagnosis, saya menganjurkan supaya penderita melakukan tes kehamilan.
Saya sudah menduganya, penderita akan menolak melakukan tes kehamilan bahkan
secara belak-belakan dia minta agar langsung disedot (istilah untuk MR). Walaupun
demikian, saya masih berusaha memberikan pengertian bahwa tindakan itu tidak
dibenarkan dari segi etika kedokteran ...
Belum selesai saya berbicara, penderita sudah menjegalnya.
"Rupanya dokter belum tahu bahwa saya sudah biasa melakukan hal seperti ini. Saya
pernah melakukan MR tiga kali. Yang mengerjakan adalah dokter 'X' langganan saya.
Sekarang beliau sedang cuti. Biasa-biasa saja, tidak ada apa-apanya, kok. Janganlah dokter
membesar-besarkan masalah yang sebenarnya kecil!"
Demikian gencarnya pasien menceracau kata-katanya meluncur seperti peluru meriam
menuju sasaran. Saya betul-betul merasa terpojok, .... dan belum sempat saya mengatur
napas untuk berbicara, penderita sudah memberondong lagi dengan pertanyaan.
"Apakah dokter tidak bisa membantu kami. Kalau memang tidak bisa, kami akan
mencari dokter lain yang dapat menolong kami !?"
"Saya bisa dan senang menolong orang .... tetapi maaf, kalau untuk urusan sedotmenyedot ataupun isap-mengisap saya tidak bisa melayaninya!" kata saya rada berkelakar.
"Wah, jika begitu kami salah alamat" gerutunya sambil berdiri lalu ngeloyor keluar. Di
ambang pintu mereka masih sempat menoleh kepada saya serta mengucapkan permisi dan
selamat sore. Di wajahnya tidak terbayang rasa penyesalan sama sekali, tetapi justeru rasa
banggalah yang terlihat. Ya, barangkali mereka bangga dengan dosadosanya.
Dr. Ketut Ngurah
Laboratorium Parasitologi FK-Unud, Denpasar
Sehidup Semati
Malam tak berbintang disertai dingin yang mencekam, karena akan turun hujan
pada malam itu, tak ketinggalan pula kesunyiin yang sepi, begitulah malam tersebut di
komplek Puskesmas Taktakan yang kami tempati, mungkin hal ini juga dialami di
Puskesmas yang ada di Pedesaan di seluruh Indonesia dengan waktu yang berbeda.
Malam itu membuat kita tidur nyenyak, ditambah lagi kecapekan oleh karena
siangnya kita met bina Pos Yandu. Pada saat titik kulminasi nyenyaknya tidur, rumah
kita diketok beberapa kali dari luar disertai ucapan "Assalamu'alaikum" kita terjaga
sambil membalasnya dengan ucapan "Alaikum salam Warohmatullohi Wabarokatuh"
terlihat saat itu jam menunjukkan pukul 4,00 pagi, tepatnya pada tanggal 11 Desember
1985. Pintu biasanya tidak terus kita bukakan, tapi dibangunkan dulu isteri tersayang,
setelah diperhatika.n situasi di luar dari jendela, lalu kita bukakan pintu dan ada
beberapa orang yang mengharapkan bantuan dokter. Kita lakukan anamnesa tentang
56 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
penderita dan kita dapati 2 hal yang meragukan dari mereka :
– Menyatakan perlunya bantuan, akibat terjadinya keracunan suami isteri yang sudah
sangat krisis.
– Menyatakan ingin mengetahui atau ingin diperiksa apakah keracunan suami isteri itu
sudah meninggal atau belum.
Dari hasil Anamnesa singkat itu, mereka sangat mengharapkan bantuan dokter, lalu kita
persiapkan alat-alat untuk bantuan tersebut. Kampung Bojong desa Sayar yang letaknya
kira-kira 25 Km dari Komplek Puskesmas menjadi Tujuan kita, yang dapat dicapai kirakira 1 jam dengan kendaraan sepeda motor.
Sesampainya di desa tersebut masyarakat telah berkumpul menantikan kedatangan
dokter, lalu kita lakukan Anamnesa singkat dengan keluarga terdekat, kemudian kita
lakukan pula pemeriksaan, ternyata penderita telah meninggal dunia.
Kita kumpulkan keluarga terdekat almarhum, tokoh masyarakat, dan kepala desa serta
aparatnya dan kita jelaskan tentang mayat tersebut serta langkah-langkah yang akan
dijalankan :
– Pada pemeriksaan kedua penderita, kita jelaskan, bahwa penderita sudah meninggal
dunia.
– Kasus ini harus segera dilaporkan kepada Polisi setempat.
– Mayat sementara tidak boleh dirubah posisinya serta barang-barang yang ada di
sekitarnya, karena perlu untuk pemeriksaan polisi dan Visum Et Repertum.
Sekitar jam 8.00 pagi hadir Tripida dan Polies dari Serang, terus dilakukan pemeriksaan
Intensif dan Visum Et Repertum lebih kita lengkapi, setelah selesai semuanya dianjurkan
segera dikubur.
Proses kejadian ini dapat kita simpulkan, yang kita perkirakan kemungkinan besar
bahwa adanya sosial ekonomi yang membuat resah keluarga tersebut, yang akhirnya
memilih jalan yang tidak baik..
Pada malam kejadian tersebut suami isteri berangkat ke kota sekitar jam 20.00 wib dan
membeli susu dan i iangkok plastik, setelah mereka kembali dan di rumah mereka minum
susu yang telah bercampur racun, seberapa banyak yang diminum, tidak dapat ditentukan,
tapi jelas adalah susu yang dicampur dengan racun serangga, hal ini kita perkirakan dari
hasil pemeriksaan di lapangan.
Akhirnya kita terkesima buat kasus ini apakah mereka berdua dengan rencana sehidup –
semati dengan pengertian mati bersama atau apakah yang satu ingin mati dan sekaligus
sebagai si pembunuh. Kasus ini tidak terungkap secara tuntas, karena proses kejadian ini
tidak sampai ke pengadilan, di mana pihak keluarga suami isteri tidak ada tuntutan di
belakang hari tentang kasus ini, sehingga Allah Subahan Wata' ala yang maha mengetahui.
(Wallohu 'aklam bissowab).
Dr. A.M. Hasibuan
Taktakan, Serang
HUMOR
ILMU KEDOKTERAN
OBAT PILEK
Suatu ketika seorang pekerja laboratonum meminta obat untuk menyembuhkan penyakit pileknya pada TS.
Seperti biasanya diambilnya satu bungkus sampel obat untuk keperluan tersebut. Namun TS tadi lupa bahwa
sampel yang berisi obat, sekarang ini
sudah tidak ada lagi. Memang bungkusnya masth persis seperti bungkus
sampel obat seperti yang lalu. Sehingga pekeija laboratorium tersebut
kembali pada teman sejawat dan menanyakan: “Lho isinya kok plester,
bukan obat pilek ?“
TS tadi agak malu juga waktu itu,
tetapi dengan agak diplomatis dia menjawab: “Ya sudah itu, plesternya kan
dapat dipergunakan untuk menutup
lubang hidung, untuk mencegah pileknya keluar”.
Adhi P.
Semarang
PEMANASAN
Ketika Dr Badrun sedang mempersiapkan obat yang hendak disuntikkan kepada penderita, tiba-tiba penderita
yang sedang berbaring ditempat tidurnya berteriak keras-keras. Karena heran dr Badrun bertanya: “Lho kenapa
berteriak-teriak? Apa takut disuntik?”
Jawab penderita: “Tidak dok, saya
berteriak sekedar untuk latthan pemanasan saja, sehingga apabila nanti
disuntik tidak usah berteriak lagi.”
Dokter : ?!??
Adhi P
Semarang
YANG DIKULTUR
Seorang ibu datang ke poliklinik pam sebuah rumah sakit. Ibu mi telah dua bulan mendapat obat anti tuberkulosis.
Dokter : “Ibu, mana hasil reak yang dikultur ?“
Pasien : “Maksud dokter bagaimana?”
Dokter : “Kan dua bulan yang lalu, waktu mulai diobati, Ibu disuruh memeriksa
reaknya, termasuk juga pemerlksaan reak yang ditanam yang dikultur.
Nah, setelah dua bülan ini harusnya sudah ada hasilnya itu reak yang ditanam. Apa Ibu sudah ambil ke laboratorium ?“
Pasien : “Memang dua bulan yang lalu dokter mengatakan bahwa reak saya
harus
ditanam. Tetapi ……..saya kira harus ditanam di rumah. Jadi sepulang
dan dokter dua bulan yang lalu langsung saya tanam reak saya di halaman
rumah !!“
Dokter : (Maksud saya mau menjelaskan bahwa dikultur itu hampir sama
dengan
ditanam, eh, malah ditanam di halaman).
Dr. Tjandra Yoga Aditama
Jakarta
TARIP DOKTER
Karena sudah agak lama usaha sang ayah untuk mengeluarkan biji jagung yang berada
di hidung anaknya tak berhasil, Sang anak montang-manting kesakitán, terpaksa
di
bawa ke Dokter Puskesmas. Setelah diperiksa sebentar, maka hidung yang tidak
kemasukan biji jagung ditutup, mulut dibuka sedikit dan disebul (ditiup agak keras) blupp
biji jagung keluar.
“Berapa pak dokter ?“ “Lima ribu”, jawab mas dokter kalem.
“Lho mak blupp gitu kok Rp. 5.000,– itu piye to”?.
“Ooo mak bluppnya cuma sepuluh rupiah, tapi yang Rp. 4.990,– adalah “ininya pak’
kata pak dokter sambil menekan kernng dengan ujung jan.
Pratomo
Ulujami
YANG DIPILIH
Seorang dokter mata menyuruh pasiennya mencoba beberapa macam kaca mata:
Mana yang paling cocok dan memuaskan hati nona ?‘
Jawab pasien: “Yang paling memuaskan ?......... waktu dokter memasangkan sendiri
kaca mata pada muka saya tadi
????????????????????????????
Juvelin
Jakarta
58 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992
K.B. dan I.P.
Dalam diskusi akademik di Fakultas
Kedokteran (F.K.) para dosen mengeluh bahwa Indeks Prestasi (I.P.)
mahasiswa F.K. sekarang mi agak
memprihatinkan. Namun salah satu
peserta diskusi dengan gaya humoristik menyeletuk bahwa K.B. dapat
membatasi I.P. Lho kok bisa Keluarga
Berencana dthubungkan dengan Indeks
Prestasi mahasiswa? Dengan sebagian
besar peserta masih bengong dengan
pemyataan itu, peserta tad! menerangkan bahwa yang dimaksud dengan IP
olehnya bukan indeks prestasi, tetapi
IP (baca: Ipe, Jawa), yang artinya
adalah ipar. Yah memang K.B. dapat
membatasi IP. Ada-ada saja!
Adhi P.
Semarang
KALAU DITRAPKAN
Di depan para mahasiswa kedokteran,
seorang dokter psikiatri memberi
kuliah:
Salah satu tanda-tanda sehat mental,
orang harus mau menerima kekecewaan tapi untuk pelajaran dan memperbaiki din di masa yang akan
datang“
Tiba-tiba seorang mahasiswa tunjuk
jan menanyakan: .
Jadi dok misalkan seorang pasien, kita
tarik rekening lima ribu rupiah, dan dia
kecewa sekali karena merasa mahal,
dia hams menerima keadaan
Kernudian untuk lain kali dia tidak
mau datang berobat pada dokter tersebut, . . . karena telah belajar keadaan !“
He?????????????????????
Juvelin
Jakarta
TARIP DOKTER I
Karena kurang puas ditarik mahal oleh seorang dokter maka berkatakan pasien :
“Dok, kenapa sth anak saya ditarik Rp. 10.000,– padahal anak-anak yang lain tadi
cuma sekitar Rp. 5.000,–”. Sambil menyilahkan duduk berkatalah dokter tadi
“Begini pak, anak bapak saya tarik Rp. 10.000 perinciannya adalah sebagai berikut:
– jasa saya Rp. 2.000,–
– obat yang kental (AB) Rp. 1.500,–
– obat turun panas Rp. 1.500,–
– Tadi anak bapak menangis sehingga membuat resah pasien yang lain sehingga terpaksa says menanik uang risih Rp. 1.500,–
– Tadi ketika saya peniksa anak bapaic ngompol, Iho in! kan bikin pembantu saya
sewot maka terpaksa saya tambah Rp. 1.500,–
– Bapak macuk kesini tad! memakal sepatu sehingga ruang in! jadi kotor, padahal
kebersihan pangkal kesehatan, maka ditambah Rp. 1.000,–
– Dan yang senbu saya tank karena bapak duduk di kursi depan saya mi
Pasien ??????!!!!!XXXX??????.
Pratomo
Ulujami
KILAH SEORANG DOKTER PUSKESMAS.
Pada waktu diadakan penutupan penataian ibu-ibu PKK mengenai gizi, maka dalam
sambutannya itu ketua team penggerak PKK berkata: “Ibu-ibu sekallan, tadi Dan
berbagal instansi telah menyanggupi untuk membenikan bantuan, maka kini Tiba
giliran pak dokter selaku kepala puskesmas kami mohon untuk memberikan petuah
sekalian saya harap bantuannya.”
Pak dokter yang memang saat itu betul-betul baru lulus, bahkan selain lulus dokter
juga lulus dani pondokan/alias betu1-b masth kere, maka dengan tergagap-gagap
tanpa meninggalkan otak sarjananya, berkalah beliau:
“Ibu-ibu, kalau tadi dari diperta membenikan bibit jeruk, dan llnas peternakan meberii bibit ayam, dan dinas perikanan member! bibit ikan, maka dan! puskesmas ya
biasanya memberi bibit. - . - penyakit. Nah kalah mau silahkan ambil.”
Ibu-ibu dan para undangan: “Woooooooooooo kacau!”
Pratomo.
Pemalang
HARI SENIN
Sewaktu seorang dokter TKHI (Team Kesehatan Haji Indonesia) hendak mengirim
rujukan ke numah sakit, lupa han! saat itu, karena kesibukannya. Untung saat itu ada
jemaah yang didekatnya, maka berkatalah pak Dokter : “Pak, tolong numpang tanya,
hari ini hari apa ya?”
Yang dltanya kiranya samimawon (sama saja), tengok sana tengok sin! tiba-tiba dengan
wajah cerah berkata: “Han! Senin pak dokter.”
“Apa betul ?“ tanya pak dokter. “Betul,. iha itu ada yang pakal KORPRI berarti kan
hari Senin” jawab jemaah mantap.
“Tobat-tobat, Pàk in! sih di Mekah bukan di Indonesia, mungkin saja baju Korpri
itulah yang masih banu buat Bapak tad!” kata pak Dokter sambil geli!.
Pratomo
Ulujami
ANDAIKAN DOK
Suatu ketika saya memeniksa pasien saya, stetoskop saya tempelkan di dadanya saya
snruh bemafas dalam-dalam. Baru saja saya mau menulis resep, tiba-tiba pasien
tersebut menanyakan:
“Apa dok sebabnya, stetoskop dokten wannanya hitam ?“ Saya berfikir sebentar baru
saya jawab:
“Oo, itu hanya kebiasaan saja, supaya kelihatap cakep.” Sambil melihat stetoskop saya t
ajam-tajam ia berkata:
“Andaikan dok coklat. ... . sudah saya makan habis !!!“ ?‘799999
.Juvelin
Jakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 59
Ruang Penyegar dan
Penambah Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini????
1. Tujuan dan sasaran upaya penyakit tidak menular dalam
Repelita IV ialah:
a) Mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler, kanker, kecelakaan dan penyakit tidak
menular lainnya
b) Meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat
untuk hidup sehat dan menolong dirinya sendiri dalam
bidang kesehatan
c) Peningkatan sarana kesehatan untuk mengatasi penyakit tidak menular
d) Perbaikan mutu lingkungan hidup yang menjamin kesehatan/mencegah penyakit
e) Semua benar
2. Yang tidak termasuk ke dalam jenis mikokarsinogen adalah:
a) Islanditoksin dan luteoskirin
b) Aflatoksin
c) Nitrosamin
d) Sterigmatosistin
e) Griseofulvin
3. Zat yang diduga dapat menyebabkan kanker kandung
kemih, yaitu:
a) Teer
b) Sakarin
c) Siklamat
d) Zat pewarna sintetis
e) Monosodium glutamat
4. Dari hasil penelitian terhadap kanker payudara, pengaruh
yang bermakna terhadap terjadinya kanker payudara
adalah sebagai berikut, kecuali:
a) Riwayat menderita tumor jinak payudara
b) Riwayat pernah mengalami radiasi pengion
c) Riwayat trauma pada payudara
d) Riwayat minum pil KB
e) Usia melahirkan anak 18—35 tahun
5. Aktivitas iodium sebagai antimikroba dapat dihambat oleh
adanya zat-zat baik zat organik maupun zat anorganik,
seperti di bawah ini:
a) Urin
b) Dahak
c) Susu
d) Sodium tiosulfat
e) Semua benar
6. Iodium terbukti tidak efektif sebagai:
a) Germisida
b) Fungisida
c) Sporasida
d) Protozoasida
e) Bukan salah satu di atas
7. Pada penyakit Kawasaki, pilih satu pernyataan yang tidak
benar:
a) Merupakan penyakit peradangan pada arak yang ditandai oleh demam persisten, peradangan mukokutaneus dan adenopati servikalis
b) Terutama mengenai anak-anak usia kurang dari 5 tahun
c) Wanita lebih sering daripada laid-laid
d) Anak-anak Jepang berpredisposisi untuk penyakit ini
e) Dapat mengakibatkan lesi arteri koronaria asimtomatik
sebagai sekuele
8. Syarat utama dalam pemilihan hewan percobaan yang sesuai dan dapat dipakai sebagai model adalah:
a) Mirip atau banyak kesemaannya dengan proses yang
terjadi pada manusia
b) Tidak perlu mirip dengan manusia, asalkan harganya
murah dan mudah didapat
c) Mudah dikembangbiakkan
d) A dan C benar
e) B dan C benar
9. Di antara desinfektan berikut di bawah ini, yang manjur
terhadap bakteri, kuman tuberkuli dan virus:
a) Formaldehida
b) Benzolkonium klorida
c) Klorine
d) Tingtur iodium
e) Semua benar
10. Pada penyakit demam berdarah dengue:
a) Hānya serotipe tertentu yang masih endemis di Indonesia
b) Dengue 4 berhubungan dengan kasus-kasus yang berat
c) Semua serotipe dapat menyebabkan demam berdarah
dengue pada remaja/dewasa
d) Dengue 2 dan 3 berhubungan dengan kasus-kasus yang
ringah
e) Bukan salah satu di atas
ABSTRAK –ABSTRAK
AIR SUSU IBU TIDAK SELALU YANG TERBAIK
Sejumlah obat dapat masuk dengan bebas dari plasma ke dalam air susu, sehingga akan
membahayakan bayi yang meminumnya. Acebutolol suatu β— adrenergic blocking agent
dengan indikasi untuk hipertensi berat, moderat dan ringan, angina pektoris, aritmia
kardiak serta metabolit aktifnya diacetolol dapat masuk ke dalam air susu ibu. Suatu
penelitian yang dilakukan terhadap 7 orang ibu penderita hipertensi yang minum acebutolol
200. sampai 1200 mg per hari menunjukkan bahwa konsentrasi acebutolol dan diacetolol
dalam. air susu lebih tingngi dibandingkan dengan konsentrasinya dalam plasma, bahkan
sampai 3 hari setelah tidak minum obat tersebut (European Journal of Clinical
Phamacology 30 737, 1986). Salah satu dari bayi tersebut menunjukkan gejala-gejala /3—
blockade. (hipotensi, bradikardia, transient tachypnoe). Oleh karena itu tidak dianjurkan
untuk ibu-ibu yang rninum acebutolol 400 mg per hari, terutama dengan gangguan fungsi
ginjal menyusui bayinya. (Medical Progress October 1987)
PAKISTAN MELARANG INJEKSI MULTIDOSIS
Sejak tanggal 31 Desember 1987 produksi injeksi multidosis telah dilarang oleh Kementerian Kesehatan Federal Pakistan. Larangan tersebut dimaksudkan untuk membantu
mencegah penyebaran penyakit AIDS, hepatitis dan penyakit-penyakit infeksi lainnya.
Adapun penjualan produk-produk tersebut mulai tanggal 30 Juni 1988 tidak akan diizinkan
lagi. Sementara itu Pakistan Chemist and Druggist Association (PCDA) dan Pakistan
Pharmaceutical Manufacturers Association (PPMA) telah mendesak pejabat yang
berwenang untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka. Menurut PCDA
keputusan tersebut dapat mengakibatkan Pakistan kekurangan injeksi, mengingat dewasa
ini kebutuhan akan ampul dosis tunggal per tahunnya mencapai 1000 juta, sedangkan
kapasitas produksi hanya 100 juta per tahunnya. Sejumlah produk seperti insulin diimpor
dandikemas dalam vial multidosis. Menurut PPMA dan PCDA untuk memproduksi injeksi
dalam kemasan dosis tunggal diperlukan biaya delapan sampai sembilan kali lebih tinggi
dibandingkan memproduksi injeksi dalam kemasan multidosis.
(SCRIP No. 1277, 1988)
TRANQUILLISER DARI JAMU TRADISIONAL CHINA
Menurut laporan dari South China Morning Post, peneliti pada Hong Kong Chinese
University's Chinese Medicinal Material Research Centre (CMMRC) telah berhasil
mengisolasi addiction free tranquilliser dari suatu jamu teradisional China yang nampaknya memiliki sifat-sifat yang sama dengan diazepam dan chlordiazepoxide, tetapi tanpa
efek samping seperti yang dimiliki oleh kedua obat tersebut. Selain tranquilliser, team yang
dipimpin oleh Dr Lee Chi-ming tersebut juga menemukan bahan yang berguna untuk
mengobati penyakit jantung koroner. Di RRC crude extracts tanaman tersebut telah
dipergunakan secara intra-vena untuk mengobati penyakit jantung koroner akut pads
sejumlah rumah sakit. Kedua bahan yang diketemukan di atas nampaknya mempunyai
prospek yang cerah untuk dikembangkan sebagai obat modern. Menurut Dr Lee sedang
dibicarakan tentang kemungkinan lisensi tranquilliser tersebut dengan sejumlah industri
faimasi. Penelitian lain yang sedang dilakukan terhadap jamu tradisionail yaifu
kemungkinan adanya bahan yang bekerja sebagai imunomodulator dan yang menurunkan
konsentrasi kolesterol darah.
(SCRIP No. 1278, 1988)
Download