ETIKA PROFESI HAKIM DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Ahmad Hafidz Syafrudin Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Faqih Asy’ari Kediri [email protected] Abstrak Hakim merupakan profesi khusus yang dimiliki seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum, namun hakim juga dituntut untuk mengaplikasikan norma-norma etik (moralitas). Etika sendiri merupakan landasan suatu profesi sehingga menjadi perhatian bersama. Karena seringnya terjadi gejala-gejala penyalahgunaan terhadap profesi dan mengabaikan nilai-nilai moralitas maka munculah wacana pemikiran tentang kode etik profesi hakim. Dan berangkat dari realitas para penegak hukum (khususnya hakim), meskipun para pelaku professional (hakim) sudah memilki kode etik profesi hakim sebagai standar moral, ternyata belum memberikan dampak yang positif, terutama belum bisa merubah image masyarakat terhadap wajah peradilan untuk menjadi lebih baik. Ketika kode etik profesi hakim yang sudah ada belum memberikan nilai kepada terwujudnya tujuan hukum, maka perlu dikaji kembali atau direvisi untuk disesuaikan dengan perubahan situasi. Salah satu jalan untuk menegakkan supremasi hukum adalah dengan cara menegakkan etika, profesionalisme, dan disiplin, karena rendahnya etika dan moralitas hakim akan berdampak pada terlaksananya nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran serta pertanggungjawaban sebagai nilai yang harus ditegakkan oleh seorang hakim. Kata kunci: etika, profesi hakim dan hukum Islam Pendahuluan Pada era reformasi sekarang ini krisis multidimensi ada di segala bidang, tidak terkecuali dalam bidang hukum. Publik prihatin atas karut marutnya penegakan hukum di Indonesia yang disebabkan antara lain oleh penurunan kualitas hakim dan pengabaian terhadap kode etik, serta tidak adanya konsistensi, el-Faqih: Jurnal Pemikiran & Hukum Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2015 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 arah dan orientasi dari penegak hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan adanya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, dan pihak yang sering disalahkan adalah aparat penegak hukum itu sendiri yang meliputi hakim, jaksa, pengacara dan polisi.1 Hakim2 sebagai salah satu aparat penegak hukum (legal aparatus) sudah memiliki kode etik sebagai standar moral atau kaidah seperangkat hukum formal. Namun realitanya tidak sedikit hakim yang belum mampu menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari sehingga profesi ini kerapkali menjadi sorotan publik. Khusus berkenaan dengan pemutusan perkara di pengadilan yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan maka hakimlah yang mendapat cacian, dan apabila memenuhi harapan masyarakat maka hakimlah yang mendapat sanjungan. Dengan kata lain masyarakat memandang wajah peradilan sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh sikap atau perilaku hakim. Data Transparansi Internasional (TI) dan Catatan Political Economi Risk Concultanty Ltd. (PERC) menunjukkan bahwa korupsi di lembaga peradilan menempati peringkat ketiga setelah lembaga Kepolisian dan Bea Cukai.3 Indikasi tersebut menunjukan hal yang serius dalam penegakkan standar profesi hukum di Indonesia. Kode etik tampaknya belum bisa dilaksanakan dan nilai-nilai yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh pengembannya sendiri. Dari dasar pemikiran di atas, maka sewajarnya bila muncul harapan dan tuntutan terhadap pelaksanaan profesi hakim yang didasarkan pada nilai moralitas umum (common morailty) seperti nilai kemanusiaan (humanity), nilai keadilan (justice), dan kepastian hukum (gerechtigheid). Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat mengarah kepada perilaku anggota profesi hakim, sehingga perlu adanya 1 Semua masing-masing mempunyai tugas yang saling tergantung dan saling melengkapi seperti hakim yang memutuskan perkara. Jaksa sebagai wakil dari kepentingan umum yang menjalankan tugas sebagai penuntut. Pengacara sebagai wakil rakyat yang terkena tuduhan, dan polisi yang melakukan pemeriksaan atau penyilidikan yang akan dicantumkan dalam BAP sebelum ke pengadilan. 2 Hakim adalah sebuah gelar bagi orang yang mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang tinggi nilainya. Dalam literatur Islam, istilah hakim sering disebut dan digunakan untuk filsuf. Lihat: Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta : Gramedia 1983), 1208. 3 PERC merupakan sebuah lembaga independent yang berkedudukan di Hongkong yang memantau tingkat resiko investasi di Negara-negara Asia. Lihat,Wasingatu Zakiyah (et.al), Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, (Jakarta : ICW, 2002), 9-11. 103 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 penegasan dalam bentuk yang lebih kongkrit yang lebih kita kenal dengan istilah kode etik.4 Dengan adanya nilai-nilai dalam kode etik tersebut, pelaksanaan profesi kehakiman akan dapat diminimalisir dari gejala-gejala penyalahgunaan wewenang. Hal ini penting karena nilai-nilai tersebut tidak akan berguna bagi aparat penegak hukum (hakim) saja, melainkan juga bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.5 Hakim, sebagai profesi terhormat (offilium nobile), mempunyai tugas sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.6 Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Di sini terlihat jelas seorang hakim dalam menjalankan tugasnya selain dibatasi norma hukum atau norma kesusilaan yang berlaku umum juga harus patuh pada ketentuan etika profesi yang terdapat dalam kode etik profesi. Kode etik sendiri merupakan penjabaran tingkah laku atau aturan hakim baik di dalam menjalankan tugas profesinya untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun pergaulan dalam masyarakaat, yang harus dapat memberikan contoh dan suri teladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Islampun menjelaskan bahwa hakim adalah seorang yang diberi amanah untuk menegakkan keadilan dengan nama Tuhan atas sumpah yang telah diucapkan. Dalam pandangan Islam kalimat tauhid adalah amalan yang harus diwujudkan dalam bentuk satu kata dan satu perbuatan dengan niat lilla>hi ta'a>la.7 Sehingga pada setiap putusannya benar-benar mengandung keadilan dan kebenaran. 4 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), 8. E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-Norma bagi Penegak Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 31. 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28 Ayat (1). 7 Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 18. 5 104 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 Gambaran Umum Peranan Hakim a. Pengertian Hakim Hakim berasal dari kata حكم – يحكم – حاكمsama artinya dengan qa>d}i> yang berasal dari kata قضى – يقضى – قا ضyang artinya memutus. Secara bahasa hakim adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.8 Adapun pengertian hakim menurut shara’ adalah orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan,9 b. Dasar dan Syarat Pengangkatan Hakim Lembaga peradilan merupakan lembaga negara yang bertugas menerapkan hukum (izhar al-hukm) terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan adanya hakim sebagai pelaksana dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, ketetapan Majelis Permusyawarakatan Indonesia Nomor X/MPR/1998 yang menyatakan perlunya reformasi di bidang hukum untuk penanggulangan dibidang hukum, dan ketetapan Majlis Permusyawatan Rakyat Nomor III/MPR/1978 Tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tinggi Negara . Dalam al-Quran di jelaskan : Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.10 8 Muhammad Salam Madkur, al-Qad}a> Fil Isla>m, (t.tp. : tp., tt.) , 11. Muhammad Hasbi Ash S{idiqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putera, 1997), .39. 10 S}a>d (38) : 26. 9 105 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 Dalam ayat lain di sebutkan : Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.11 Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan Daud sebagai khalifah di muka bumi supaya menghukumi diantara manusia dengan benar. Sedangkan ayat selanjutnya menegaskan keharusan memutuskan perkara sesuai dengan apa yang telah Allah turunkan. Dalam konteks ini, orang yang menghukumi tersebut adalah hakim. Dalil hadis antara lain 12 اجتهد فأ ْخطأ ف لو أ ْجر ْ إذاحكم ْ اجتهد ثم أصاب ف لو أ ْجران و إذاحكم ف ْ الاكم ف Ketika seorang hakim memutus, lalu ia berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala. Namun, ketika ia memutus, lalu ia berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala. Dari hadis tersebut dijelaskan tentang keutamaan ijtihad, kemuliaan ijtihad yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, baik benar atau salah akan mendapat pahala. Maksudnya seorang hakim dalam memutus perkara yang dihadapinya itu melalui qiya>s yang mengacu kepada al-Quran dan Sunah, bukan berdasarkan pendapat pribadi yang terlepas dari keduanya. Hal ini sebagai salah satu usaha menggali hukum guna melindungi kepentingan-kepentingan orang-orang yang teraniaya dan untuk mernghilangkan 11 QS. al-Ma>'idah [5]: 49. Muslim Bin al-Hajja>j al-Qushayri> al-Naysa>buri>, al-Ja>mi' al-S}ah}ih}, Vol. 5, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), 131. Lihat juga: Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni, Bulu>g}ul Mara>m, (Semarang : Toha Putra, t.t.), 315. 12 106 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat, sehingga menempatkan hakim sebagi sosok yang sangat diperlukan dan mempunyai peranan penting. Adapun syarat menjadi hakim secara umum adalah : 1) Warga Negara Indonesia 2) Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa 3) Setia Pada Pancasila dan Undang-undang 4) Bukan anggota organisasi terlarang 5) Pegawai Negeri 6) Sarjana hukum 7) Berumur serendah-rendahnya 25 tahun 8) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.13 c. Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan, terlepas dari pengaruh penguasa ataupun lainnya.14 Hakim mempunyai kewajiban ganda, di satu pihak ia merupakan pejabat negara yang memiliki tugas menerapkan hukum (iz}har al-hukum) atas perkara yang tengah dihadapi, dan di lain pihak ia dituntut untuk dapat menggali serta memahami nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Dalam undang-undang disebutkan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Dalam hal ini, pengadilan tetap berkewajiban untuk memeriksa dan mengadilinya.15 Artinya hakim sebagai unsur pengadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa 13 Undang-Undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Pasal 14 Ayat (1) dan Ketentuan tersebut dipakai secara umum di lingkungan peradilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung, tetapi ada persyaratan khusus atau persyaratan lain yang ditentukan oleh masing-masing undang-undang di tingkat peradilan masing-masing. 14 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung : Rosda Karya , 1997), 104. 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 Ayat (1). Lihat juga: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama Pasal 56 Ayat (1). 107 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 keadilan yang hidup dalam masyarakat.16 Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut seperti persepsi masyarakat tentang tentang keadilan, kepastian, hukum dan kemanfaatan. Hal ini menjadi tuntutan bagi hakim untuk selalu meningkatkan kualitas dirinya sehingga dalam memutus perkara benar-benar berdasarkan hukum yang ada dan keputusannya dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya, terutama yang berkaitan dengan perkara perdata. Sedangkan dalam perkara pidana, mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, melainkan harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa.17 Artinya hakim mengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas. Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua itu akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih terdapat pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak. Dengan demikian tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua perkara yang masuk, baik perkara tersebut telah diatur dalam undang-undang maupun yang tidak terdapat ketentuannya. Di sini terlihat dalam menjalankan tanggung jawabnya, hakim harus bersikap obyektif dan tidak boleh memiliki keberpihakan terhadap salah satu pihak yang berperkara. Kode Etik Profesi Hakim Indonesia Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos (bentuk tunggal) yang berarti adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Sedang dalam bentuk jamak, ta-etha, berarti adat kebiasaan, atau akhlak yang baik.18 Jadi secara terminologis etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa 16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28 Ayat (1). 17 18 Muhammad, Hukum Acara, 38. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia, 1996), 217. 108 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 dilakukan (adat kebiasaan) atau ilmu yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat terhadap apa yang baik dan apa yang buruk.19 Dengan demikian, kata etika setidaknya mengandung tiga arti. Pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika dalam arti ini bisa dirumuskan juga sebagai ‘sistem nilai’ yang berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Ketiga, etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.20 Dari ketiga pengertian tersebut, pengertian kedualah yang dimaksud dalam pembahasan di sini. Adapun profesi sendiri berasal dari kata profession yang mengandung arti pernyataan, kesanggupan, atau sumpah yang dibuat karena memasuki suatu kepercayaan agama, dalam hal ini suatu profesi.21 Profesi memiliki beberapa prinsip etika, antara lain: (1) Prinsip tanggung jawab, artinya seorang profesional harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan dampak yang ditimbulkannya. (2) Prinsip keadilan, Seorang profesional harus memberikan kepada siapa saja yang menjadi haknya tanpa memandang status sosialnya. (3) Otonom, artinya setiap profesional memiliki \kebebasan dalam menjalankan profesinya selama masih dalam koridor kode etik.22 Karena kode etik merupakan aturan-aturan susila atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh para anggota yang tergabung dalam suatu organisasi profesi. Jadi kode etik berupa suatu ikatan, tatanan, kaidah atau norma yang harus diperhatikan yang berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diperbuat oleh anggota profesi dalam menjalankan profesinya, sebagai pencegahan munculnya tindakan immoral yang pelanggarannya membawa akibat atau konsekuensi tertentu. 19 A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), 91. 20 K. Bertens, Etika, 6. 21 CT.Onions (ed), The Shorter Oxford English Dictionary, (London: Clarendon Press Oxford, 1944), 1680. 22 Burhanuddin Salam, Etika Sosial; Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Aneka Rineka Cipta, 1997), 143-144. 109 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 Kode Etik Profesi Hakim dalam Islam 1. Pengertian Etika Islam Pemahaman terhadap eksistensi kode etik profesi hakim dalam wacana pemikiran hukum Islam adalah sistem etika Islam yang akan menjadi landasan berfikir untuk melihat nilai-nilai yang ada dalam kode etik profesi hakim. Etika dalam Islam disebut dengan akhlak. Akhlak berasal dari Bahasa Arab yang artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan, atau dalam pengertian sehari-hari disebut budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun. Dengan demikian ahklak merupakan gambaran bentuk lahir manusia.23 Etika mempunyai peranan penting karena lebih menekankan pada bentuk batiniah yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum (shariah) yang berbentuk batiniah. Lebih dari itu, etika merupakan aspek penting bagi penegak hukum, khususnya profesi hakim. Karena moralitas atau etika sebagai dorongan terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesinya. 2. Sistem Etika Islam dalam Penegakan Hukum Agama dan etika mempunyai relasi yang erat. Agama biasanya dipahami semata-mata membicarakan urusan spiritual, karenanya ada ketegangan antara agama dan hukum. Hukum untuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat untuk mengontrolnya dan tidak membiarkannya menyimpang dari kaidahnya, yaitu norma-norma yang ditentukan oleh agama.24 Agama di sini menekankan moralitas, perbedaan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri kepada kesejahteraan material dan kurang memperhatikan etika. Dari sini terlihat adanya perbedaan fungsi antara etika dengan hukum. Etika dalam agama memerintahkan manusia untuk berbuat apa yang berguna serta melarang segala perbuatan yang madarat. Lain halnya dengan hukum yang cenderung berisi larangan, apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan, bukan seruan untuk melakukan yang baik dan 23 Salihun A Nasir, Tinjauan Akhlak, (Surabaya : al-Ikhlas, 1991), 14. Muhammad Muslehuddin, Filsaafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan , terj. Yudian Wahyudi Amin, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997). 70. 24 110 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 membawa manfaat. Dengan demikian, etika (akhlak) mendalami gerak jiwa manusia secara batin walaupun tidak menimbulkan perbuatan lahiriah, berbeda halnya dengan hukum yang cenderung melihat perbuatan manusia dari sisi lahiriahnya saja. Uraian di atas menunjukkan bahwa etika profesi dalam Islam merupakan aktivitas yang bukan hanya bersifat duniawi, melainkan juga ukhrawi. Artinya Islam melibatkan aspek transendental dalam setiap gerak manusia, sehingga bekerja, misalnya, tidak hanya bisa dilihat sebagai perilaku ekonomi tetapi juga ibadah. Dalam konteks ini, profesi yang dijalani hakim merupakan aktivitas yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di hadapan manusia, tapi juga akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Dalam hadis\\ di sebutkan : ال مق فقضى بو فهو ف ا ْْنمٌ و رجل ْ رجل عرف: ٌاْنم ْ اثْنان ف النمار و واحد ف: ٌالقضاة ثل ث ال ْكم فهو ف النمار و رجل لْ ي ْعرف ال مق فقضى للنماس على ْ ال مق فل ْم ي ْقض بو و جار ف ْ عرف 25 ج ْهل فهو ف النار Hakim ada tiga macam, dua di antaranya masuk neraka dan yang satu masuk surga. Pertama, seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu ia memutus dengannya, maka ia masuk surga. Kedua, seorang hakim yang mengetahui kebenaran, namun ia tidak memutus dengannya, sebaliknya ia berlaku curang dalam menghukumi, maka dia di neraka. Ketiga, seorang hakim yang tidak mengerti kebenaran, lalu ia memutus manusia dengan kebodohannya, maka ia di neraka. Menurut al-G{azali tujuan etika dalam Islam berpangkal dari pengabdian sepenuhnya pada Tuhan. Pemikiran etika al-Ghazali sangat menekankan pada keselamatan individu baik di dunia, ataupun di akhirat nanti. Adanya kewajiban bagi manusia pada hakikatnya dimaksudkan untuk keselamatan individu.26 25 Ibn H}ajar al-Asqola>ni, Bulu>g}ul Ma>ram, Kitab al-Qad}a>’, Hadis} nomor 1 (Semarang : Toha Putra, t.t.),.315. 26 M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah, (Bandung: Mizan, 2002), 202-205. 111 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 3. Prinsip Peradilan dalam Nilai Etika Islam Dikatakan oleh A. Hanafi, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep tauhid.27 Oleh karena itu bagi seorang hakim dalam melaksanakan profesinya harus taat pada prinsip-prinsip peradilan yang telah yang telah digariskan oleh al-Qur'an, sebagai pertimbangan dalam menjalani profesinya, karena ketaatan terhadap prinsip-prinsip akan memberikan jaminan terhadap terlaksananya tujuan hukum. Di samping prinsip-prinsip di atas, etika profesi dalam perspektif al-Qur'an juga dilandasi aksioma-aksioma yang menjadi bahan analisis untuk mengkaji kode etik profesi hakim. Aksioma nilai tersebut ialah: a. Keadilan Keadilan atau keseimbangan menggambarkan dimensi horisontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan hubungan antara alam semesta. Sifat keadilan atau keseimbangan bukan hanya karakteristik alami, melainkan merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.28 b. Kebenaran Kebenaran, di samping merupakan lawan dari kata kesalahan, juga mengandung pengertian kebajikan dan kejujuran. Nilai kebenaran merupakan nilai yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam konteks profesi hakim, kebenaran merupakan keharusan memenuhi perjanjian dalam melaksanakan profesi. Dalam menjalankan profesinya, seorang hakim dituntut berlaku benar, bijak dan jujur, mulai dari proses penerimaan perkara, pemeriksaan perkara hingga proses pemutusan perkara. Semuanya harus dijalankan sesuai hukum yang berlaku. c. Kehendak Bebas Manusia sebagai khalifah di muka bumi, sampai batas-batas tertentu, memiliki kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya pada tujuan pencapaian kesucian diri. Manusia dianugrahi kehendak bebas (free will) untuk 27 A. Hanafi mengemukakan bahwa tauhid adalah percaya tentang wujud Tuhan yang esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, baik zat, zifat maupun perbuatanNya. Lihat A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), 12. 28 Muhammad dkk, Visi al-Qur'an Tentang Etika Dan Bisnis,cet. ke-1, (Jakarta : Salemba Diniyah, 2002), 12. 112 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 membimbing kehidupannya sebagai khalifah.29 Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, seorang hakim dalam menjalankan profesinya memiliki kebebasan dalam menjalankan profesinya, apakah ia akan melaksanakan profesi itu dengan baik ataukah sebaliknya. Seorang muslim yang percaya terhadap Tuhannya, tentu akan menepati janjinya dalam melaksanakan profesinya secara baik dan amanah. d. Pertanggungjawaban Secara logis aksioma terakhir ini sangat berkaitan erat dengan aksioma kehendak bebas sebelumnya. Aksioma ini menetapkan batasan mengenai apa yang bebas (boleh) dilakukan oleh manusia dengan mengedepankan prinsip pertanggung jawaban atas segala apa yang diperbuat. Al-Qur'an menegaskan : م ْن ي ْشف ْع شفاعٌ حسنٌ يك ْن لو نصْيب مْنها و م ْن ي ْشف ْع شفاعٌ سيئٌ يك ْن لو ك ْفل مْنها و كان الل على كل شْيئ مقْيتا 30 Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tanggung jawab merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia, bahkan merupakan kekuatan dinamis individu untuk mempertahankan kualitas keseimbangan dalam masyarakat.31 Karena manusia yang hidup sebagai mahkluk sosial, tidak bisa bebas, dan semua tindakannya harus dipertanggungjawabkan. Dalam al-Qur'an disebutkan : 32 أ ْيسب ْالنْسان أ ْن يْترك سدى Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? 29 Muhammad (et al), Visi Al-Qur'an Tentang Etika Dan Bisnis, (Jakarta : Salemba Diniyah, 2002), 15. 30 QS. Al-Nisa> [4]: 85. 31 R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur'an, ( Yogyakarta --Tesis IAIN Sunan Kalijaga, 2001), 125. 32 QS. al-Qiya>mah [75]: 36. 113 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 Pandangan Islam terhadap Kode Etik Profesi Hakim Indonesia 1. Pertanggungjawaban Hakim terhadap Perbuatan Manusia Secara filosofis ada beberapa pandangan mengenai manusia. Plato mengatakan, ‘manusia adalah jiwa atau pribadinya’.33 Dalam konsepsi Islam manusia diposisikan sebagai makhluk theomorfis, yaitu makhluk dengan potensi yang dimiliki serta berbuat menyerupai sifat-sifat Tuhan. Kegiatan moral, spiritual, dan keduniaan manusia harus diintegrasikan untuk direfleksikan secara bersama dengan kebebasannya. Kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan artinya kebebasan mutlak yang ada batasan terhadap dirinya dan orang lain. Dalam alQur’an dijelaskan : صالات إمّل المذيْن أمن ْوا و عملوا ال م. ثم رد ْدناه أ ْسفل سا فل ْي.لق ْد خل ْقنا ْالنْسان ف أ ْحسن ت ْقوْي 34 فله ْم أ ْجر غْير مْن ْون Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendahrendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih. Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa amal manusia harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum, manusia dan juga Tuhan. Manusia adalah makhluk yang memiliki sifat tanggungjawab karena ia memiliki kebebasan untuk memilih secara sadar. Sadar melakukan berarti sadar akan konsekuensi yang ditimbulkan. Secara normatif perbuatan manusia telah digariskan dalam al-Qur'an, dalam bahasa arab disebut amal ()عمل, sehingga menunjukkan bahwa tidak ada sedikitpun manusia yang lepas dari pengawasan Allah. Manusia akan memperoleh 33 Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisasi Whitehead, (Yogyakarta : Kanisius, 1966), 32. 34 QS. al-Ti>n [95] : 4-6. 114 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 akibat dari apa yang diperbuatnya.35 Karena yang demikian itu tidak dapat dipisahkan dari etika pertanggung jawaban.36 Dalam konteks profesi hakim, hakim merupakan profesi yang istimewa dan terhormat (offilium nobille) karena berupaya merumuskan dan menggali nilai-nilai hukum dengan menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan di masyarakat. Sehingga merupakan suatu perbuatan yang dilandasi etika yang harus dipertanggungjawabkan atas gagasan dan tindakannya baik terhadap dirinya, masyarakat dan Tuhan. Bertanggung jawab terhadap dirinya berarti memberikan pelayanan hukum berdasarkan integritas moral, intelektual dan profesionalisme. Bertanggung jawab terhadap masyarakat berarti dalam wujud pemberian putusanputusan yang mengandung nilai keadilan dan kebenaran. Tanggung jawab terhadap Tuhan adalah tanggung jawab moral atas tindakan sekecil apapun (zarrah). Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi dari aksioma kehendak bebas manusia yang dibatasi konsep tanggung jawab di hadapan Tuhan. Kode etik adalah perwujudan nilai etika yang merupakan pengontrol moral dan standar moral serta kaidah seperangkat hukum formal bagi aparat penegak hukum (legal aparatus).37 Dalam Islam, kode etik merupakan etika religius yang menggambarkan prinsip-prinsip moral. Kode etik dalam al-Qur'an diwujudkan secara sistematis dalam bentuk hukum-hukum moralitas dan etika, yang kemudian dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi al-Qur'an tentang manusia dan kedudukannya di muka bumi. Tujuan dari kode etik sendiri adalah sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter, pengawasan tingkah laku dan sebagai sarana kontrol sosial serta mencegah campur tangan ekstra yudisial, sehingga mencegah timbulnya kesalahpahaman dan konflik antar sesama anggota, masyarakat dan memberikan jaminan peningkatan moralitas hakim dan kemandirian fungsional serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.38 Terjadinya 35 Musa Asy'ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur'an, (Yogyakarta : LESFI, 1992), 89. 36 Ibid., 90. 37 Pasal 1 Ayat (1-2), Kode Etik Profesi Hakim Indonesia. 115 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 perbuatan immoral hakim diakibatkan kurangnya pemahaman mereka terhadap agama. Untuk itu diperlukan penafsiran-penafsiran terhadap ajaran agama tersebut sehingga bisa memahami fungsi dari etika agama dan hukum. Etika sebagai gerak jiwa manusia dalam bentuk batin sedangkan hukum sebagai sebuah sistem yang berakibat pada lahir. Hal ini menjadikan hakim faham akan profesinya yang tidak terpisahkan dari etika dan merupakan aktivitas yang mempunyai struktur fundamental dan menjadi pemahaman masyarakat. Dalam Islam tujuan tersebut terwujud dalam tujuan hukum Islam (syari'ah), yaitu untuk meraih kemaslahatan. Kemaslahatan dalam tujuan kehidupan manusia yaitu mencapai kebahagiaan. Dalam kaidah fikih ditegaskan : 39 Mencegah kerusakan kemaslahatan lebih د ْرء الْمفاسد مق مدم على جْلب اْلمصالح diutamakan daripada mendatangkan Dengan demikian adanya peraturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah terjadinya kerusakan. Sedangkan dari pembuat hukum (syari'ah) dapat diketahui melalui penalaran induktif atas sumber-sumber naqli baik al-Qur'an maupun sunnah. Yang dilihat dari sebuah jaminan terhadap kepentingan dari profesi hakim yang memiliki kode etik terhadap kepentingan umum, khususnya kepentingan manusia atas kebutuhan hidup dari profesi hakim sendiri sebagai suatu profesi dalam mewujudkan maqa>s}id al-syari'ah, yang salah satunya mencari nafkah (d}aruri), pemenuhan kepentingan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran (hajiy) dan terwujudnya etika moralitas hakim atas adanya kode etik (tahsi>ni), dan kemudian apa yang dinamakan konsep d}aruri secara umum akan terbentuk. Artinya pelaksanaan kode etik dalam mewujudkan tujuan hukum baik hukum positif maupun hukum Islam terhadap kehormatan diri dan profesi hakim ()عرض, gagasan hakim ()عقل, etika dan moralitas dalam agama ( ( د ين, pemenuhan nafkah hidup sebagai profesi ( )الما لserta jiwa yang 39 Ibid. 116 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 diwujudkan dalam tindakan () نفس. Sehingga apabila hakim dapat melaksanakan etika yang memenuhi aturan seperti di atas, maka setidaknya akan menghilangkan image buruk terhadap hakim sendiri dan kembali memandang peradilan sebagai benteng penegak keadilan dan kebenaran. Adapun terjadinya perilaku hakim yang jauh dari nilai-nilai moralitas mengharuskan adanya pemahaman terhadap struktur fundamental peran hakim dan eksistensinya yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. 2. Aplikasi Kode Etik Profesi Hakim Indonesia Kode etik profesi hakim merupakan kumpulan asas-asas atau nilai moral yang disepakati oleh anggota hakim dan harus dilaksanakan agar tidak terjebak kepada pelanggaran norma, maka dibentuklah kode etik sebagai pengarah kesadaran moral di dalam organisasi profesi hakim. Hal ini terwujud dalam sifatsifat hakim yang dikenal dengan ‘Panca Dharma Hakim’ yaitu kartika, cakra, candra, sari, dan tirta, yang menempatkan sifat percaya dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa, memusnahkan kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan, memiliki sifat bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur dan tidak tercela, serta bersifat jujur. Profesi hakim adalah profesi yang mempunyai tugas menyelesaikan setiap perkara yang masuk ke pengadilan atau diajukan dari piahak yang bersengketa. Sedangkan para pihak adalah orang yang mencari perlindungan hukum terhadap lembaga peradilan. Karena itu kewajiban hakim untuk melindunginya.40 Seorang hakim dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman pada kode etik sebagai berikut:41 a. Dalam Persidangan. Pertama, dalam persidangan hakim harus memperhatikan azas-azas peradilan yang berlaku dalam hukum acara peradilan, yaitu : menjungjung tinggi hak para pihak, mulai dari pengajuan perkara, proses persidangan, baik meliputi pembelaan 40 Perlindungan disini adalah perlindungan hukum terhadap masyarakat (yang lemah) karena dalam Undang-undang semua hak warga negara adalah sama. Lihat Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Nomor 4 Tahun 2004, Pasal (37) mengatakan " Setiap orang yang tersdangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum". 41 Pasal 4 Ayat (1-5) Kode Etik Profesi Hakim Indonesia. 117 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 diri, pemeriksaan perkara, sampai pada keluarnya putusan yang benar-benar memuat alasan yang jelas, sistematis, serta dapat dipertanggungjawabkan (accountability). Kedua, memposisikan para pihak dalam keadaan sama tidak memihak salah satu pihak. Ketiga harus berbuat sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin persidangan baik ucapan maupun perbuatan. Keempat, menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa dan tidak melecehkan para pihak. Kelima,bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. Di sini terlihat integritas hakim diuji apakah mampu menjungjung hukum (keadilan dan kebenaran), apakah mementingkan pihak tertentu, jelas-jelas ini dilarang untuk menggunakan tugas di luar tujuan dan kewajiban yang seharusnya mendamaikan kedua belah pihak, sesuai proses peradilan yang telah di tentukan. Hakim juga mempunyai hak kebebasan artinya kebebasan hakim dan tidak terpengaruh dari apa dan siapapun. Dari kebeasan ini tercipta kehendak bebas dari seorang manusia (hakim) yang dianugerahi kehendak bebas (free will), yang berdasarkan aksioma kehendak bebas dari etika Islam. Kemudian dari kebebasan ini diharapkan akan terwujud keputusan-keputusan yang benar dan adil, bukan sekedar mengejar kepastian hukum (legal centainity). Islam menetapkan prinsip keadilan untuk seluruh umat manusia dan menjadi perhatian umat walaupun terhadap musuh yang menyerang kita hendaknya tetap berlaku adil. Dalam kosep nilai etika Islam kejujuran adalah merupakan suatu perkara yang terlahir dari kebenaran (aksioma kebenaran). b. Hubungan sesama hakim atau pegawai. Dalam kode etik profesi hakim, hakim harus menjaga kewibawaan korps yang diwujudakan dalam sikap kerjasama, kesadaran, saling menghargai dan tingkah laku atau martabat yang baik, baik dalam dinas maupun di luar dinas serta memberikan suri tauladan kepada bawahan. Hakim sebagai salah satu pilar penegak hukum, maka mempunyai tanggung jawab untuk saling tolong-menolong dalam menegakan keadilan dan kebenaran. Hal ini akan tercapai apabila hakim mampu menjalin hubungan dengan komponen 118 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 yang ada di bawahnya, baik antara hakim sendiri, panitera, serta juru sita karena mempunyai kewajiban yang saling berkaitan, sebagaimana dalam sumpah dan janji di pengadilan.42 Di sini perlunya kerjasama yang harus dilakukan demi tercapainya kewajiban seorang profesi. Dalam al-Qur'an di sebutkan : 43 وتعاون ْوا على الْب و التم ْقوى و ّل تعاون ْوا على ْال ْث و اْلع ْدوان Dan saling tolong menolonglah kalian dalam hal kebaikan dan takwa dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam hal dosa dan permusuhan Hal ini bisa dilakukan dengan saling mendiskusikan permasalahan (perkara) yang di hadapi dalam persidangan baik dengan sesama hakim ataupun dengan para pakar ilmu hukum sebelum membuat keputusan. Langkah tersebut pada masa masa peradilan sahabat sering dilakukan,44 karena musyawarah merupakan salah satu sumber setelah dari sumber-sumber lain tidak ada atau telah melakukan tingkatantingkatan pengambilan dalil. Karena hakim dalam memberikan pandangan harus rasional serta berdasarkan ijtihad yang ketat, maka apabila tidak tercapai haruslah dengan musyawarah.secara jujur. Dengan demikian musyawarah adalah merupakan salah satu bentuk solidaritas antara hakim. 45 و أ ْمرى ْم ش ْورى بْينه ْم و مما رزْقنه ْم يْنفق ْون Dan perkara itu dimusyawarhkan di antara mereka, dan mereka menginfakkan sebagian dari rizki yang telah kami berikan. Islam memerintahkan musyawarah demi mencapai hasil yang tepat dalam membangun suatu putusan benar-benar tepat dalam azas musyawarah dan nilai 42 Keterkaitan tugas ini karena antara hakim dan pegawai lainnya merupakan rangkaian proses peradilan dari mulai pendaftaran perkara sampai pada eksekusi., maka dengan itu mereka disumpah dan janji. Lihat. Undang-undang Nomor 4 ., menyatakan sebelum memangku jabatan hakim, panitera, juru sita untuk msing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah dan janji menurut agamanya. 43 QS. al-Ma>'idah [5] : 2. 44 Tingkatan pengambilan dalil pada masa sahabat seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khatab yaitu al-Quran, as-Sunnah, dan penetapan-penetapan sahabat lainnya dan apabila tidak ada maka melakukan musyawarah. Lihat Atiyah Musrifah, al-Qada> fi al-Isla>m, (t.Tp : Syarkat al-Ausaq, 1996), 105. 45 QS. al-Shu>ra [42] : 38. 119 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 kepatutan terwujud dalam memberikan keputusan yang akan di bebankan kepada para pihak, walaupun sering terjadi diantara hakim banyak yang mengabaikan moralitas dan sering terjadi pengabaian terhadap kode etik yang mengakibatkan Pelanggaran-pelanggaran tersebut sangat mengaburkan idealisme profesi hukum yang mempunyai ciri-ciri pokok pengabdian kepada kemanusiaan, kebenaran dan kejujuran. Menurut Busyro Muqoddas, melemahnya motivasi pengabdian tersebut terjadi ketika iman dan independensi berada dalam keadaan krisis.46 Ketika iman dalam kondisi kokoh, maka ia akan memancar dalam segala aktivitasnya. Etika Islam tidak sekedar melihat aktivitas lahir, tetapi lebih jauh melihat dorongan terdalam dari motif (niyat) tindakan tersebut. Kode etik profesi hakim Indonesia merupakan alat pembinaan hakim dan pengawasan tingkah laku hakim47, dengan artian Profesi hakim merupakan kesatuan profesi yang diikat oleh suatu tata aturan tertulis dan kesadaran serta solidaritas diantara anggota korp untuk melaksanakan kode etik profesi hakim tersebut. Dalam korp hakim yang harus dibangun adalah kerjasama yang berlandaskan moral, iman dan taqwa karena apabila dibangun diatas tiga nilai tersebut akan melahirkan kejujuran (ama>nah) dan tanggung jawab. c. Tanggung Jawab Sosial Hakim terhadap Hukum Dalam kode etik profesi hakim didalam masyarakat hakim harus saling menghormati, menghargai, dan hidup sederhana, serta dalam keluarga hakim harus menjaga keluarga dari perbuatan tercela, menjaga ketentraman keluarga dan keutuhan keluarga dan menyelesaikan masalah keluarga dengan norma-norma hukum kesusilaan yang berlaku di masyarakat. Ketentuan di atas merupakan tanggung jawab hakim baik terhadap dirinya sendiri (keluarga) maupun masyarakat. Prinsip yang terkandung etika profesi di mana tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tanggung jawabnya di tuntut untuk bertanggungjawab terhadap pekerjaan, hasil serta dampak pekerjaan 46 Busyro Muqoddas, ‚Etika Profesi: fungsi dan Prospek‛, makalah Karya Latihan Hukum (Kartikum) XV yang diselenggarakan oleh Laboratorium Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 1997, 3. 47 Pasal 2 Ayat (1) butir (a) dan (b), Kode Etik Profesi Hakim. 120 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 terhadap kehidupan orang lain dan bertanggung jawab untuk kehidupan dengan tidak melanggar hak orang lain. Dalam Islam tanggung jawab merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan, artinya tanggung jawab sendiri yang diwujudkan dalam pola prilaku dalam hubungannya dengan masyarakat atau institusi, sedangkan terhadap masyarakat dengan memberikan hak kepada siapa saja yang menjadi haknya.48 Dalam al-Qur'an ditegaskan : 49 Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. dan Barangsiapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. 50 Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? Ayat di atas menjadikan perlunya kesadaran hukum bagi hakim. Karena keasadaran hukum adalah merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam diri manusia mengenai perilaku yang telah diatur dalam hukum.51 Sehingga hukum dipahami untuk memenuhi kebutuhan sosial sedangkan agama sebagai pengontrol dan tidak membiarkannya menyimpang dari kaidah norma-norma yang ditentukan oleh agama.52 48 Asafri Jaya Bakri, Konsep Syari'ah Menurut Syatibi, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996), 94. 49 QS. al-Nisa> [4] : 85. 50 QS. al-Qiya>mah [50] : 36. 51 Kesadaran lahir dari pengetahuan yang kemudian diperkuat oleh perilaku yang dilakukan secara terus menerus. Karena itu upaya merubah suatu kesadaran akan dapat berhasil bila diawali dengan suatu pengetahuan atau wawasan yang baru. Karena kesadaran adalah keinsyafan dan kadaan mengerti sedangkan hukum peraturan yang mengikat yang diteteapkan pemerintah atau yang mengatur pergaulan dalam masyarakat atau kaidah atau patokan mengenai peristiwa. lihat. Meretas kebekuan Ijtihad, 247. 52 Muhammad Muslehuddin, Filsaafat Hukum Islam dan pemikiran orientalis Studi Perbandingan, terj. Yudian Wahyudi Amin, cet. ke-3, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997), 70. 121 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 Dalam lembaga kehakiman terdapat komisi kehormatan, adanya komisi kehormatan adalah merupakan lembaga dari proses pertanggung jawaban hakim, namun komisi kehormatan ini kurang berperan karena berada dalam lembaga sendiri tidak secara independen yang di khawatirkan terjadi konspirasi di antara hakim sendiri. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya pelanggaran baik ringan, sedang dan berat yang di lakukan oleh hakim dalam melakukan profesinya serta pengabaian terhadap kode etik yang seharusnya menjadi pedoman. Komisi kehormatan ini sebenarnya merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban di dunia, sebelum nanti seorang hakim harus mempertangjawabkan di akhirat. Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan tentang etika profesi hakim di Indonesia dalam perspektif hukum Islam dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kode etik profesi hakim mengandung nilai nilai moral yang menjadi landasan kepribadian hakim secara professional yaitu: pertama, kebebasan artinya sebagai manusia mempunyai kebebasan baik kemandirian moral maupun keberanian moral yang dibatasi norma-norma yang berlaku. Kedua, keadilan, yaitu memperlakukan sama terhadap manusia dengan memberikan apa yang menjadi haknya. Ketiga, kejujuran yaitu dalam penegakan hukum harus dilandasi sifat kejujuran dalam hati nurani dan kebenaran akal (ratio) dari mulai pemeriksaan perkara, pencarian hukum sampai pada pemutusan perkara secara patut (equity) dengan melihat situasi, apa yang seharusnya diperbuat berdasarkan undang-undang yang mengandung keadilan dan kebenaran di masyarakat. 2. Etika profesi hakim dan hukum adalah merupakan satu kesatuan yang secara inheren terdapat nilai-nilai etika Islam yang landasannya merupakan pemahaman dari al-Qur'an, sehingga pada dasarnya Kode etik profesi hakim sejalan dengan nilai-nilai dalam sistem etika Islam. Etika hukum Islam dibangun di atas empat nilai dasar yaitu pertama, kebenaran yaitu adanya 122 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 konsep kebenaran menjadikan manusia percaya untuk berbuat baik karena taat akan hubungan makhluk dan khaliq. kedua, keadilan yaitu adanya penyemarataan (Equalizing) dan kesamaan (leveling) hak dalam bidang hukum yang dibangun dengan konsep keadilan mutlak dan sempurna secara transendental antara hukum dan moralitas. Ketiga, kehendak bebas yaitu manusia walaupun dibatasai oleh norma-norma yang ada tetapi mempunyai kehendak bebas / kebebasan (free Will). Keempat., pertanggung jawaban yaitu sebagai tuntutan dari kehendak bebas yaitu adanya pertangungjawaban sebagai batasan dari apa yang diperbuat manusia dan harus dipertanggungjawabkan baik didunia maupun diakhirat. Terjadinya penyalahgunaan dan pengabaian terhadap kode etik profesi hakim diakibatkan rendahnya etika dan moralitas hakim. Sehingga tidak terlaksananya nilai-nilai kebenaran, keadilan, kehendak bebas dan pertanggungjawaban sebagai profesi hakim. 123 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, ‚Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman pada Era Milenium Ketiga‛, Jurnal Al-Jamiah, No. 60/VI/2000. -------, Filsafat Etika Islam, alih bahasa Hamzah, cet. ke-1, Bandung: Mizan, 2002. Al-Asqolani, Al-Hafizh Bin Hajar Bulu>qul Ma>ram, Semarang : Toha Putra, t.t. Bakri, Asafri Jaya Konsep Syari'ah Menurut Syatibi, cet. ke-1, Jakarta : Raja Grapindo Persada, 1996. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia 1996. CT.Onions (ed) The Shorter Oxford English Dictionary, London : Clarendon Press Oxford, 1944. Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung, Lubuk Agung, 1985. Djamil, Faturrahman, Filsafat Hukum Islam, cet. ke-1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997. Ensiklopedia Indonesia, Jakarta : Gramedia 1983. Fauroni, R. Lukman, "Etika Bisnis dalam Al-Qur’an," tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001. Kompas, Etika Profesi Kunci Pas Penegakkan Hukum, 29 Mei 2002. K. Bertens, Etika, cet. ke-2, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.. Mukti, Takbir Ali, dkk, Membangun Moralitas Bangsa, Yogyakarta : Lembaga Penelitian Dan Pengamalan Islam Universitas Muhamadiyah Yogyakarta,1998. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992. --------, Etika Profesi Hukum, cet. ke-1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. M. Wahyudi, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebebasan hakim : Study analisis pasal 1 ayat (1) dan pasal 14 ayat (1) UU. Nomor 35 tahun 1999 tentang 124 Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015 Kekuasaan Kehakiman, Skripsi tidak di terbitkan, Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 2000. Muslehuddin, Muhammad, , Filsaafat Hukum Islam dan pemikiran orientalis Studi Perbandingan, (penerj.) Yudian Wahyudi Amin, cet. ke-3, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, alih bahasa Yudian Wahyudi Asmin, Yogyakarta: Tiara Wacana: 1991. Madkur, Muhammad Naisaburi, Imam Abi al-Husaini Muslim Bin al-Hujaj Ibn Muslim al-Qusairy an-, al-Jami’ as-Shahih, Bairut: Dar al-Fikr, tt. Muqoddas, Busyro, ‚Etika Profesi: Fungsi dan Prospek‛, makalah Karya Latihan Hukum (Kartikum) XV yang diselenggarakan oleh Laboratorium Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1997. Nasir, Salihun A, Tinjauan Akhlak, cet. ke-1, Surabaya : al-Ikhlas, 1991. Sajsatani, Abi Dawud Sulaiman bin al-'asy'as as-, Sunan Abi Dawud, Bairut: Dar al-Fikr, 1414/1994. Salam, Al-Qada> Fil Isla>m, Ttp : tt. Salam, Burhanuddin, Etika Sosial, Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia,Cet. ke1, Jakarta: Aneka Rineka Cipta, 1997. Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi Ash-, Peradilan dan Hukum Acara Islam, cet. ke-1, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. Siregar, Bismar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan, cet. ke-1 Jakarta : Gema Insani Press, 1995 Setiardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta : Kanisius, 1990. Sumaryono, E., Etika Profesi: Norma-norma Bagi Penegak Hukum, cet. ke-1, Yogyakarta: Kanisius, 1995. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman beserta penjelasannya, Bandung : Karina, 2004. Undang-undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. 125