etika profesi hakim di indonesia dalam perspektif hukum islam

advertisement
ETIKA PROFESI HAKIM DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Ahmad Hafidz Syafrudin
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Faqih Asy’ari Kediri
[email protected]
Abstrak
Hakim merupakan profesi khusus yang dimiliki seseorang yang
mempunyai keahlian dalam bidang hukum, namun hakim juga dituntut
untuk mengaplikasikan norma-norma etik (moralitas). Etika sendiri
merupakan landasan suatu profesi sehingga menjadi perhatian
bersama. Karena seringnya terjadi gejala-gejala penyalahgunaan
terhadap profesi dan mengabaikan nilai-nilai moralitas maka munculah
wacana pemikiran tentang kode etik profesi hakim. Dan berangkat dari
realitas para penegak hukum (khususnya hakim), meskipun para pelaku
professional (hakim) sudah memilki kode etik profesi hakim sebagai
standar moral, ternyata belum memberikan dampak yang positif,
terutama belum bisa merubah image masyarakat terhadap wajah
peradilan untuk menjadi lebih baik.
Ketika kode etik profesi hakim yang sudah ada belum
memberikan nilai kepada terwujudnya tujuan hukum, maka perlu
dikaji kembali atau direvisi untuk disesuaikan dengan perubahan
situasi. Salah satu jalan untuk menegakkan supremasi hukum adalah
dengan cara menegakkan etika, profesionalisme, dan disiplin, karena
rendahnya etika dan moralitas hakim akan berdampak pada
terlaksananya nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran serta
pertanggungjawaban sebagai nilai yang harus ditegakkan oleh seorang
hakim.
Kata kunci: etika, profesi hakim dan hukum Islam
Pendahuluan
Pada era reformasi sekarang ini krisis multidimensi ada di segala bidang,
tidak terkecuali dalam bidang hukum. Publik prihatin atas karut marutnya
penegakan hukum di Indonesia yang disebabkan antara lain oleh penurunan
kualitas hakim dan pengabaian terhadap kode etik, serta tidak adanya konsistensi,
el-Faqih: Jurnal Pemikiran & Hukum Islam,
Volume 1, Nomor 2, Desember 2015
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
arah dan orientasi dari penegak hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan adanya
ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, dan pihak yang sering disalahkan adalah
aparat penegak hukum itu sendiri yang meliputi hakim, jaksa, pengacara dan
polisi.1
Hakim2 sebagai salah satu aparat penegak hukum (legal aparatus) sudah
memiliki kode etik sebagai standar moral atau kaidah seperangkat hukum formal.
Namun realitanya tidak sedikit hakim yang belum mampu menghayati dan
melaksanakan kode etik profesi dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari
sehingga profesi ini kerapkali menjadi sorotan publik. Khusus berkenaan dengan
pemutusan perkara di pengadilan yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan
maka hakimlah yang mendapat cacian, dan apabila memenuhi harapan masyarakat
maka hakimlah yang mendapat sanjungan. Dengan kata lain masyarakat
memandang wajah peradilan sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh sikap atau
perilaku hakim. Data Transparansi Internasional (TI) dan Catatan Political
Economi Risk Concultanty Ltd. (PERC) menunjukkan bahwa korupsi di lembaga
peradilan menempati peringkat ketiga setelah lembaga Kepolisian dan Bea Cukai.3
Indikasi tersebut menunjukan hal yang serius dalam penegakkan standar profesi
hukum di Indonesia. Kode etik tampaknya belum bisa dilaksanakan dan nilai-nilai
yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh pengembannya sendiri.
Dari dasar pemikiran di atas, maka sewajarnya bila muncul harapan dan
tuntutan terhadap pelaksanaan profesi hakim yang didasarkan pada nilai moralitas
umum (common morailty) seperti nilai kemanusiaan (humanity), nilai keadilan
(justice), dan kepastian hukum (gerechtigheid). Nilai-nilai tersebut diharapkan
dapat mengarah kepada perilaku anggota profesi hakim, sehingga perlu adanya
1
Semua masing-masing mempunyai tugas yang saling tergantung dan saling
melengkapi seperti hakim yang memutuskan perkara. Jaksa sebagai wakil dari kepentingan
umum yang menjalankan tugas sebagai penuntut. Pengacara sebagai wakil rakyat yang
terkena tuduhan, dan polisi yang melakukan pemeriksaan atau penyilidikan yang akan
dicantumkan dalam BAP sebelum ke pengadilan.
2
Hakim adalah sebuah gelar bagi orang yang mempunyai pengetahuan tentang
masalah-masalah yang tinggi nilainya. Dalam literatur Islam, istilah hakim sering disebut dan
digunakan untuk filsuf. Lihat: Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta : Gramedia 1983), 1208.
3
PERC merupakan sebuah lembaga independent yang berkedudukan di Hongkong
yang memantau tingkat resiko investasi di Negara-negara Asia. Lihat,Wasingatu Zakiyah
(et.al), Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, (Jakarta : ICW, 2002), 9-11.
103
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
penegasan dalam bentuk yang lebih kongkrit yang lebih kita kenal dengan istilah
kode etik.4 Dengan adanya nilai-nilai dalam kode etik tersebut, pelaksanaan profesi
kehakiman akan dapat diminimalisir dari gejala-gejala penyalahgunaan wewenang.
Hal ini penting karena nilai-nilai tersebut tidak akan berguna bagi aparat penegak
hukum (hakim) saja, melainkan juga bagi kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat.5
Hakim, sebagai profesi terhormat (offilium nobile),
mempunyai tugas
sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan
Kehakiman, yaitu wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.6 Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Di sini terlihat jelas seorang
hakim dalam menjalankan tugasnya selain dibatasi norma hukum atau norma
kesusilaan yang berlaku umum juga harus patuh pada ketentuan etika profesi yang
terdapat dalam kode etik profesi.
Kode etik sendiri merupakan penjabaran tingkah laku atau aturan hakim baik
di dalam menjalankan tugas profesinya untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran
maupun pergaulan dalam masyarakaat, yang harus dapat memberikan contoh dan
suri teladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.
Islampun menjelaskan bahwa hakim adalah seorang yang diberi amanah
untuk menegakkan keadilan dengan nama Tuhan atas sumpah yang telah
diucapkan. Dalam pandangan Islam kalimat tauhid adalah amalan yang harus
diwujudkan dalam bentuk satu kata dan satu perbuatan dengan niat lilla>hi ta'a>la.7
Sehingga pada setiap putusannya benar-benar mengandung keadilan dan
kebenaran.
4
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), 8.
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-Norma bagi Penegak Hukum,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), 31.
6
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28
Ayat (1).
7
Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995), 18.
5
104
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Gambaran Umum Peranan Hakim
a.
Pengertian Hakim
Hakim berasal dari kata
‫ حكم – يحكم – حاكم‬sama artinya dengan qa>d}i> yang
berasal dari kata ‫ قضى – يقضى – قا ض‬yang artinya memutus. Secara bahasa hakim
adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan
menetapkannya.8 Adapun pengertian hakim menurut shara’ adalah orang yang
diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan,
perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat
menyelesaikan tugas peradilan,9
b.
Dasar dan Syarat Pengangkatan Hakim
Lembaga peradilan merupakan lembaga negara yang bertugas menerapkan
hukum (izhar al-hukm) terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan
adanya hakim sebagai pelaksana dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang
Pokok-pokok
Kekuasaan
Kehakiman,
ketetapan
Majelis
Permusyawarakatan Indonesia Nomor X/MPR/1998 yang menyatakan perlunya
reformasi di bidang hukum untuk penanggulangan dibidang hukum, dan ketetapan
Majlis Permusyawatan Rakyat Nomor III/MPR/1978 Tentang Hubungan Tata
Kerja Lembaga Tinggi Negara .
Dalam al-Quran di jelaskan :
             
   
Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan
adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah.10
8
Muhammad Salam Madkur, al-Qad}a> Fil Isla>m, (t.tp. : tp., tt.) , 11.
Muhammad Hasbi Ash S{idiqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT
Pustaka Rizki Putera, 1997), .39.
10
S}a>d (38) : 26.
9
105
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Dalam ayat lain di sebutkan :
            
     
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu.11
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan Daud sebagai khalifah
di muka bumi supaya menghukumi diantara manusia dengan benar. Sedangkan
ayat selanjutnya menegaskan keharusan memutuskan perkara sesuai dengan apa
yang telah Allah turunkan. Dalam konteks ini, orang yang menghukumi tersebut
adalah hakim. Dalil hadis antara lain
12
‫اجتهد فأ ْخطأ ف لو أ ْجر‬
ْ ‫إذاحكم‬
ْ ‫اجتهد ثم أصاب ف لو أ ْجران و إذاحكم ف‬
ْ ‫الاكم ف‬
Ketika seorang hakim memutus, lalu ia berijtihad dan benar, maka baginya
dua pahala. Namun, ketika ia memutus, lalu ia berijtihad dan ternyata salah,
maka baginya satu pahala.
Dari hadis tersebut dijelaskan tentang keutamaan ijtihad, kemuliaan ijtihad
yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, baik benar atau salah akan mendapat
pahala. Maksudnya seorang hakim dalam memutus perkara yang dihadapinya itu
melalui qiya>s yang mengacu kepada al-Quran dan Sunah, bukan berdasarkan
pendapat pribadi yang terlepas dari keduanya.
Hal ini sebagai salah satu usaha menggali hukum guna melindungi
kepentingan-kepentingan orang-orang yang teraniaya dan untuk mernghilangkan
11
QS. al-Ma>'idah [5]: 49.
Muslim Bin al-Hajja>j al-Qushayri> al-Naysa>buri>, al-Ja>mi' al-S}ah}ih}, Vol. 5, (Beirut:
Da>r al-Fikr, t.t.), 131. Lihat juga: Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni, Bulu>g}ul Mara>m, (Semarang : Toha
Putra, t.t.), 315.
12
106
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat, sehingga menempatkan hakim
sebagi sosok yang sangat diperlukan dan mempunyai peranan penting.
Adapun syarat menjadi hakim secara umum adalah :
1) Warga Negara Indonesia
2) Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa
3) Setia Pada Pancasila dan Undang-undang
4) Bukan anggota organisasi terlarang
5) Pegawai Negeri
6) Sarjana hukum
7) Berumur serendah-rendahnya 25 tahun
8) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.13
c.
Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim
Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat
keputusan, terlepas dari pengaruh penguasa ataupun lainnya.14 Hakim mempunyai
kewajiban ganda, di satu pihak ia merupakan pejabat negara yang memiliki tugas
menerapkan hukum (iz}har al-hukum) atas perkara yang tengah dihadapi, dan di
lain pihak ia dituntut untuk dapat menggali serta memahami nilai-nilai yang hidup
di masyarakat.
Dalam undang-undang disebutkan bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Dalam hal ini, pengadilan tetap
berkewajiban untuk memeriksa dan mengadilinya.15 Artinya hakim sebagai unsur
pengadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
13
Undang-Undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Pasal 14 Ayat (1) dan
Ketentuan tersebut dipakai secara umum di lingkungan peradilan tingkat pertama sampai
Mahkamah Agung, tetapi ada persyaratan khusus atau persyaratan lain yang ditentukan oleh
masing-masing undang-undang di tingkat peradilan masing-masing.
14
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung :
Rosda Karya , 1997), 104.
15
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16
Ayat (1). Lihat juga: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama
Pasal 56 Ayat (1).
107
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
keadilan yang hidup dalam masyarakat.16 Nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat tersebut seperti persepsi masyarakat tentang tentang keadilan,
kepastian, hukum dan kemanfaatan. Hal ini menjadi tuntutan bagi hakim untuk
selalu meningkatkan kualitas dirinya sehingga dalam memutus perkara benar-benar
berdasarkan hukum yang ada dan keputusannya dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguhnya dari
apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau
menguranginya, terutama yang berkaitan dengan perkara perdata. Sedangkan
dalam perkara pidana, mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak
terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, melainkan harus diselidiki
dari latar belakang perbuatan terdakwa.17 Artinya hakim mengejar kebenaran
materil secara mutlak dan tuntas.
Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya
segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua
itu akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih terdapat
pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak.
Dengan demikian tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas yang
menjadi tanggung jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua perkara
yang masuk, baik perkara tersebut telah diatur dalam undang-undang maupun yang
tidak terdapat ketentuannya. Di sini terlihat dalam menjalankan tanggung
jawabnya, hakim harus bersikap obyektif dan tidak boleh memiliki keberpihakan
terhadap salah satu pihak yang berperkara.
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos (bentuk
tunggal) yang berarti adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Sedang
dalam bentuk jamak, ta-etha, berarti adat kebiasaan, atau akhlak yang baik.18 Jadi
secara terminologis etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa
16
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28
Ayat (1).
17
18
Muhammad, Hukum Acara, 38.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia, 1996), 217.
108
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
dilakukan (adat kebiasaan) atau ilmu yang menentukan bagaimana patutnya
manusia hidup dalam masyarakat terhadap apa yang baik dan apa yang buruk.19
Dengan demikian, kata etika setidaknya mengandung tiga arti. Pertama, nilai-nilai
dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika dalam arti ini bisa dirumuskan
juga sebagai ‘sistem nilai’ yang berfungsi dalam hidup manusia perorangan
maupun pada taraf sosial. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral
(kode etik). Ketiga, etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika
di sini sama artinya dengan filsafat moral.20 Dari ketiga pengertian tersebut,
pengertian kedualah yang dimaksud dalam pembahasan di sini.
Adapun profesi sendiri berasal dari kata profession yang mengandung arti
pernyataan, kesanggupan, atau sumpah yang dibuat karena memasuki suatu
kepercayaan agama, dalam hal ini suatu profesi.21 Profesi memiliki beberapa
prinsip etika, antara lain: (1) Prinsip tanggung jawab, artinya seorang profesional
harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan dampak yang
ditimbulkannya. (2) Prinsip keadilan, Seorang profesional harus memberikan
kepada siapa saja yang menjadi haknya tanpa memandang status sosialnya. (3)
Otonom, artinya setiap profesional memiliki \kebebasan dalam menjalankan
profesinya selama masih dalam koridor kode etik.22 Karena kode etik merupakan
aturan-aturan susila atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama
oleh para anggota yang tergabung dalam suatu organisasi profesi. Jadi kode etik
berupa suatu ikatan, tatanan, kaidah atau norma yang harus diperhatikan yang
berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diperbuat oleh
anggota profesi dalam menjalankan profesinya, sebagai pencegahan munculnya
tindakan immoral yang pelanggarannya membawa akibat atau konsekuensi
tertentu.
19
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), 91.
20
K. Bertens, Etika, 6.
21
CT.Onions (ed), The Shorter Oxford English Dictionary, (London: Clarendon Press
Oxford, 1944), 1680.
22
Burhanuddin Salam, Etika Sosial; Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta:
Aneka Rineka Cipta, 1997), 143-144.
109
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Kode Etik Profesi Hakim dalam Islam
1. Pengertian Etika Islam
Pemahaman terhadap eksistensi kode etik profesi hakim dalam wacana
pemikiran hukum Islam adalah sistem etika Islam yang akan menjadi landasan
berfikir untuk melihat nilai-nilai yang ada dalam kode etik profesi hakim. Etika
dalam Islam disebut dengan akhlak. Akhlak berasal dari Bahasa Arab yang artinya
perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan, atau dalam pengertian sehari-hari
disebut budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun. Dengan demikian ahklak
merupakan gambaran bentuk lahir manusia.23
Etika mempunyai peranan penting karena lebih menekankan pada bentuk
batiniah yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum (shariah) yang berbentuk
batiniah. Lebih dari itu, etika merupakan aspek penting bagi penegak hukum,
khususnya profesi hakim. Karena moralitas atau etika sebagai dorongan terhadap
keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesinya.
2. Sistem Etika Islam dalam Penegakan Hukum
Agama dan etika mempunyai relasi yang erat. Agama biasanya dipahami
semata-mata membicarakan urusan spiritual, karenanya ada ketegangan antara
agama dan hukum. Hukum untuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya
mengabdi kepada masyarakat untuk mengontrolnya dan tidak membiarkannya
menyimpang dari kaidahnya, yaitu norma-norma yang ditentukan oleh agama.24
Agama di sini menekankan moralitas, perbedaan antara yang benar dan salah, baik
dan buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri kepada kesejahteraan
material dan kurang memperhatikan etika. Dari sini terlihat adanya perbedaan
fungsi antara etika dengan hukum. Etika dalam agama memerintahkan manusia
untuk berbuat apa yang berguna serta melarang segala perbuatan yang madarat.
Lain halnya dengan hukum yang cenderung berisi larangan, apa saja yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, bukan seruan untuk melakukan
yang baik dan
23
Salihun A Nasir, Tinjauan Akhlak, (Surabaya : al-Ikhlas, 1991), 14.
Muhammad Muslehuddin, Filsaafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi
Perbandingan , terj. Yudian Wahyudi Amin, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997). 70.
24
110
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
membawa manfaat. Dengan demikian, etika (akhlak) mendalami gerak jiwa
manusia secara batin walaupun tidak menimbulkan perbuatan lahiriah, berbeda
halnya dengan hukum yang cenderung melihat perbuatan manusia dari sisi
lahiriahnya saja.
Uraian di atas menunjukkan bahwa etika profesi dalam Islam merupakan
aktivitas yang bukan hanya bersifat duniawi, melainkan juga ukhrawi. Artinya
Islam melibatkan aspek transendental dalam setiap gerak manusia, sehingga
bekerja, misalnya, tidak hanya bisa dilihat sebagai perilaku ekonomi tetapi juga
ibadah. Dalam konteks ini, profesi yang dijalani hakim merupakan aktivitas yang
tidak hanya dipertanggungjawabkan di hadapan manusia, tapi juga akan
dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Dalam hadis\\ di sebutkan :
‫ال مق فقضى بو فهو ف ا ْْنمٌ و رجل‬
ْ ‫ رجل عرف‬: ٌ‫اْنم‬
ْ ‫ اثْنان ف النمار و واحد ف‬: ٌ‫القضاة ثل ث‬
‫ال ْكم فهو ف النمار و رجل لْ ي ْعرف ال مق فقضى للنماس على‬
ْ ‫ال مق فل ْم ي ْقض بو و جار ف‬
ْ ‫عرف‬
25
‫ج ْهل فهو ف النار‬
Hakim ada tiga macam, dua di antaranya masuk neraka dan yang satu masuk
surga. Pertama, seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu ia memutus
dengannya, maka ia masuk surga. Kedua, seorang hakim yang mengetahui
kebenaran, namun ia tidak memutus dengannya, sebaliknya ia berlaku curang
dalam menghukumi, maka dia di neraka. Ketiga, seorang hakim yang tidak
mengerti kebenaran, lalu ia memutus manusia dengan kebodohannya, maka
ia di neraka.
Menurut al-G{azali tujuan etika dalam Islam berpangkal dari pengabdian
sepenuhnya pada Tuhan. Pemikiran etika al-Ghazali sangat menekankan pada
keselamatan individu baik di dunia, ataupun di akhirat nanti. Adanya kewajiban
bagi manusia pada hakikatnya dimaksudkan untuk keselamatan individu.26
25
Ibn H}ajar al-Asqola>ni, Bulu>g}ul Ma>ram, Kitab al-Qad}a>’, Hadis} nomor 1 (Semarang :
Toha Putra, t.t.),.315.
26
M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah, (Bandung: Mizan, 2002),
202-205.
111
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
3. Prinsip Peradilan dalam Nilai Etika Islam
Dikatakan oleh A. Hanafi, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep
tauhid.27 Oleh karena itu bagi seorang hakim dalam melaksanakan profesinya harus
taat pada prinsip-prinsip peradilan yang telah yang telah digariskan oleh al-Qur'an,
sebagai pertimbangan dalam menjalani profesinya, karena ketaatan terhadap
prinsip-prinsip akan memberikan jaminan terhadap terlaksananya tujuan hukum.
Di samping prinsip-prinsip di atas, etika profesi dalam perspektif al-Qur'an
juga dilandasi aksioma-aksioma yang menjadi bahan analisis untuk mengkaji kode
etik profesi hakim. Aksioma nilai tersebut ialah:
a. Keadilan
Keadilan atau keseimbangan menggambarkan dimensi horisontal ajaran
Islam yang berhubungan dengan keseluruhan hubungan antara alam semesta. Sifat
keadilan atau keseimbangan bukan hanya karakteristik alami, melainkan
merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim
dalam kehidupannya.28
b. Kebenaran
Kebenaran, di samping merupakan lawan dari kata kesalahan, juga
mengandung pengertian kebajikan dan kejujuran. Nilai kebenaran merupakan nilai
yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam konteks profesi hakim, kebenaran
merupakan keharusan memenuhi perjanjian dalam melaksanakan profesi. Dalam
menjalankan profesinya, seorang hakim dituntut berlaku benar, bijak dan jujur,
mulai dari proses penerimaan perkara, pemeriksaan perkara hingga proses
pemutusan perkara. Semuanya harus dijalankan sesuai hukum yang berlaku.
c. Kehendak Bebas
Manusia sebagai khalifah di muka bumi, sampai batas-batas tertentu,
memiliki kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya pada tujuan
pencapaian kesucian diri. Manusia dianugrahi kehendak bebas (free will) untuk
27
A. Hanafi mengemukakan bahwa tauhid adalah percaya tentang wujud Tuhan yang
esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, baik zat, zifat maupun perbuatanNya. Lihat A. Hanafi,
Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), 12.
28
Muhammad dkk, Visi al-Qur'an Tentang Etika Dan Bisnis,cet. ke-1, (Jakarta :
Salemba Diniyah, 2002), 12.
112
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
membimbing kehidupannya sebagai khalifah.29 Berdasarkan aksioma kehendak
bebas ini, seorang hakim dalam menjalankan profesinya memiliki kebebasan dalam
menjalankan profesinya, apakah ia akan melaksanakan profesi itu dengan baik
ataukah sebaliknya. Seorang muslim yang percaya terhadap Tuhannya, tentu akan
menepati janjinya dalam melaksanakan profesinya secara baik dan amanah.
d. Pertanggungjawaban
Secara logis aksioma terakhir ini sangat berkaitan erat dengan aksioma
kehendak bebas sebelumnya. Aksioma ini menetapkan batasan mengenai apa yang
bebas (boleh) dilakukan oleh manusia dengan mengedepankan prinsip pertanggung
jawaban atas segala apa yang diperbuat. Al-Qur'an menegaskan :
‫م ْن ي ْشف ْع شفاعٌ حسنٌ يك ْن لو نصْيب مْنها و م ْن ي ْشف ْع شفاعٌ سيئٌ يك ْن لو ك ْفل مْنها و كان الل‬
‫على كل شْيئ مقْيتا‬
30
Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan
memperoleh bagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi
syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) dari padanya.
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Tanggung jawab merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan
perilaku manusia, bahkan merupakan kekuatan dinamis individu untuk
mempertahankan kualitas keseimbangan dalam masyarakat.31 Karena manusia
yang hidup sebagai mahkluk sosial, tidak bisa bebas, dan semua tindakannya harus
dipertanggungjawabkan. Dalam al-Qur'an disebutkan :
32
‫أ ْيسب ْالنْسان أ ْن يْترك سدى‬
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban)?
29
Muhammad (et al), Visi Al-Qur'an Tentang Etika Dan Bisnis, (Jakarta : Salemba
Diniyah, 2002), 15.
30
QS. Al-Nisa> [4]: 85.
31
R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur'an, ( Yogyakarta --Tesis IAIN Sunan
Kalijaga, 2001), 125.
32
QS. al-Qiya>mah [75]: 36.
113
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Pandangan Islam terhadap Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
1. Pertanggungjawaban Hakim terhadap Perbuatan Manusia
Secara filosofis ada beberapa pandangan mengenai manusia. Plato
mengatakan, ‘manusia adalah jiwa atau pribadinya’.33 Dalam konsepsi Islam
manusia diposisikan sebagai makhluk theomorfis, yaitu makhluk dengan potensi
yang dimiliki serta berbuat menyerupai sifat-sifat Tuhan. Kegiatan moral, spiritual,
dan keduniaan manusia harus diintegrasikan untuk direfleksikan secara bersama
dengan kebebasannya. Kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan artinya
kebebasan mutlak yang ada batasan terhadap dirinya dan orang lain. Dalam alQur’an dijelaskan :
‫صالات‬
‫ إمّل المذيْن أمن ْوا و عملوا ال م‬.‫ ثم رد ْدناه أ ْسفل سا فل ْي‬.‫لق ْد خل ْقنا ْالنْسان ف أ ْحسن ت ْقوْي‬
34
‫فله ْم أ ْجر غْير مْن ْون‬
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendahrendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal salih. Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Ungkapan
di
atas
menunjukkan
bahwa
amal
manusia
harus
dipertanggungjawabkan di hadapan hukum, manusia dan juga Tuhan. Manusia
adalah makhluk yang memiliki sifat tanggungjawab karena ia memiliki kebebasan
untuk memilih secara sadar. Sadar melakukan berarti sadar akan konsekuensi yang
ditimbulkan. Secara normatif perbuatan manusia telah digariskan dalam al-Qur'an,
dalam bahasa arab disebut amal (‫)عمل‬, sehingga menunjukkan bahwa tidak ada
sedikitpun manusia yang lepas dari pengawasan Allah. Manusia akan memperoleh
33
Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisasi Whitehead,
(Yogyakarta : Kanisius, 1966), 32.
34
QS. al-Ti>n [95] : 4-6.
114
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
akibat dari apa yang diperbuatnya.35 Karena yang demikian itu tidak dapat
dipisahkan dari etika pertanggung jawaban.36
Dalam konteks profesi hakim, hakim merupakan profesi yang istimewa dan
terhormat (offilium nobille) karena berupaya merumuskan dan menggali nilai-nilai
hukum dengan menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan di masyarakat.
Sehingga merupakan suatu perbuatan yang dilandasi etika yang harus
dipertanggungjawabkan atas gagasan dan tindakannya baik terhadap dirinya,
masyarakat dan Tuhan. Bertanggung jawab terhadap dirinya berarti memberikan
pelayanan hukum berdasarkan integritas moral, intelektual dan profesionalisme.
Bertanggung jawab terhadap masyarakat berarti dalam wujud pemberian putusanputusan yang mengandung nilai keadilan dan kebenaran. Tanggung jawab terhadap
Tuhan adalah tanggung jawab moral atas tindakan sekecil apapun (zarrah).
Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi dari aksioma kehendak bebas manusia
yang dibatasi konsep tanggung jawab di hadapan Tuhan.
Kode etik adalah perwujudan nilai etika yang merupakan pengontrol moral
dan standar moral serta kaidah seperangkat hukum formal bagi aparat penegak
hukum (legal aparatus).37 Dalam Islam, kode etik merupakan etika religius yang
menggambarkan prinsip-prinsip moral. Kode etik dalam al-Qur'an diwujudkan
secara sistematis dalam bentuk hukum-hukum moralitas dan etika, yang kemudian
dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi al-Qur'an tentang manusia dan
kedudukannya di muka bumi.
Tujuan dari kode etik sendiri adalah sebagai alat pembinaan dan
pembentukan karakter, pengawasan tingkah laku dan sebagai sarana kontrol sosial
serta mencegah campur tangan ekstra yudisial, sehingga mencegah timbulnya
kesalahpahaman dan konflik antar sesama anggota, masyarakat dan memberikan
jaminan peningkatan moralitas hakim dan kemandirian fungsional serta
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.38 Terjadinya
35
Musa Asy'ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur'an, (Yogyakarta :
LESFI, 1992), 89.
36
Ibid., 90.
37
Pasal 1 Ayat (1-2), Kode Etik Profesi Hakim Indonesia.
115
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
perbuatan immoral hakim diakibatkan kurangnya pemahaman mereka terhadap
agama. Untuk itu diperlukan penafsiran-penafsiran terhadap ajaran agama tersebut
sehingga bisa memahami fungsi dari etika agama dan hukum. Etika sebagai gerak
jiwa manusia dalam bentuk batin sedangkan hukum sebagai sebuah sistem yang
berakibat pada lahir. Hal ini menjadikan hakim faham akan profesinya yang tidak
terpisahkan dari etika dan merupakan aktivitas
yang mempunyai struktur
fundamental dan menjadi pemahaman masyarakat.
Dalam Islam tujuan tersebut terwujud dalam tujuan hukum Islam (syari'ah),
yaitu untuk meraih kemaslahatan. Kemaslahatan dalam tujuan kehidupan manusia
yaitu mencapai kebahagiaan. Dalam kaidah fikih ditegaskan :
39
Mencegah kerusakan
kemaslahatan
lebih
‫د ْرء الْمفاسد مق مدم على جْلب اْلمصالح‬
diutamakan
daripada
mendatangkan
Dengan demikian adanya peraturan tersebut adalah untuk menciptakan
kemaslahatan dan mencegah terjadinya kerusakan. Sedangkan dari pembuat hukum
(syari'ah) dapat diketahui melalui penalaran induktif atas sumber-sumber naqli
baik al-Qur'an maupun sunnah. Yang dilihat dari sebuah jaminan terhadap
kepentingan dari profesi hakim yang memiliki kode etik terhadap kepentingan
umum, khususnya kepentingan manusia atas kebutuhan hidup dari profesi hakim
sendiri sebagai suatu profesi dalam mewujudkan maqa>s}id al-syari'ah, yang salah
satunya mencari nafkah (d}aruri), pemenuhan kepentingan hukum untuk
mewujudkan keadilan dan kebenaran (hajiy) dan terwujudnya etika moralitas
hakim atas adanya kode etik (tahsi>ni), dan kemudian apa yang dinamakan konsep
d}aruri secara umum akan terbentuk. Artinya pelaksanaan kode etik dalam
mewujudkan tujuan hukum baik hukum positif maupun hukum Islam terhadap
kehormatan diri dan profesi hakim (‫)عرض‬, gagasan hakim (‫)عقل‬, etika dan moralitas
dalam agama (‫ ( د ين‬, pemenuhan nafkah hidup sebagai profesi (‫ )الما ل‬serta jiwa yang
39
Ibid.
116
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
diwujudkan dalam tindakan (‫) نفس‬.
Sehingga
apabila
hakim
dapat
melaksanakan etika yang memenuhi aturan seperti di atas, maka setidaknya akan
menghilangkan image buruk terhadap hakim sendiri dan kembali memandang
peradilan sebagai benteng penegak keadilan dan kebenaran. Adapun terjadinya
perilaku hakim yang jauh dari nilai-nilai moralitas mengharuskan adanya
pemahaman terhadap struktur fundamental peran hakim dan eksistensinya yang
harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
2.
Aplikasi Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
Kode etik profesi hakim merupakan kumpulan asas-asas atau nilai moral
yang disepakati oleh anggota hakim dan harus dilaksanakan agar tidak terjebak
kepada pelanggaran norma, maka dibentuklah kode etik sebagai pengarah
kesadaran moral di dalam organisasi profesi hakim. Hal ini terwujud dalam sifatsifat hakim yang dikenal dengan ‘Panca Dharma Hakim’ yaitu kartika, cakra,
candra, sari, dan tirta, yang menempatkan sifat percaya dan takwa kepada Tuhan
yang Maha Esa, memusnahkan kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan, memiliki
sifat bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur dan tidak tercela, serta bersifat jujur.
Profesi hakim adalah profesi yang mempunyai tugas menyelesaikan setiap
perkara yang masuk ke pengadilan atau diajukan dari piahak yang bersengketa.
Sedangkan para pihak adalah orang yang mencari perlindungan hukum terhadap
lembaga peradilan. Karena itu kewajiban hakim untuk melindunginya.40 Seorang
hakim dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman pada kode etik sebagai
berikut:41
a.
Dalam Persidangan.
Pertama, dalam persidangan hakim harus memperhatikan azas-azas peradilan
yang berlaku dalam hukum acara peradilan, yaitu : menjungjung tinggi hak para
pihak, mulai dari pengajuan perkara, proses persidangan, baik meliputi pembelaan
40
Perlindungan disini adalah perlindungan hukum terhadap masyarakat (yang lemah)
karena dalam Undang-undang semua hak warga negara adalah sama. Lihat Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Nomor 4 Tahun 2004, Pasal (37) mengatakan " Setiap orang
yang tersdangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum".
41
Pasal 4 Ayat (1-5) Kode Etik Profesi Hakim Indonesia.
117
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
diri, pemeriksaan perkara, sampai pada keluarnya putusan yang benar-benar
memuat alasan yang jelas, sistematis, serta dapat dipertanggungjawabkan
(accountability). Kedua, memposisikan para pihak dalam keadaan sama tidak
memihak salah satu pihak. Ketiga harus berbuat sopan, tegas dan bijaksana dalam
memimpin persidangan baik ucapan maupun perbuatan. Keempat, menjaga
kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa dan
tidak melecehkan para pihak. Kelima,bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan
keadilan.
Di sini terlihat integritas hakim diuji apakah mampu menjungjung hukum
(keadilan dan kebenaran), apakah mementingkan pihak tertentu, jelas-jelas ini
dilarang untuk menggunakan tugas di luar tujuan dan kewajiban yang seharusnya
mendamaikan kedua belah pihak, sesuai proses peradilan yang telah di tentukan.
Hakim juga mempunyai hak kebebasan artinya kebebasan hakim dan tidak
terpengaruh dari apa dan siapapun. Dari kebeasan ini tercipta kehendak bebas dari
seorang manusia (hakim) yang dianugerahi kehendak bebas (free will), yang
berdasarkan aksioma kehendak bebas dari etika Islam. Kemudian dari kebebasan
ini diharapkan akan terwujud keputusan-keputusan yang benar dan adil, bukan
sekedar mengejar kepastian hukum (legal centainity). Islam menetapkan prinsip
keadilan untuk seluruh umat manusia dan menjadi perhatian umat walaupun
terhadap musuh yang menyerang kita hendaknya tetap berlaku adil.
Dalam kosep nilai etika Islam kejujuran adalah merupakan suatu perkara
yang terlahir dari kebenaran (aksioma kebenaran).
b.
Hubungan sesama hakim atau pegawai.
Dalam kode etik profesi hakim, hakim harus menjaga kewibawaan korps
yang diwujudakan dalam sikap kerjasama, kesadaran, saling menghargai dan
tingkah laku atau martabat yang baik, baik dalam dinas maupun di luar dinas serta
memberikan suri tauladan kepada bawahan.
Hakim sebagai salah satu pilar penegak hukum, maka mempunyai tanggung
jawab untuk saling tolong-menolong dalam menegakan keadilan dan kebenaran.
Hal ini akan tercapai apabila hakim mampu menjalin hubungan dengan komponen
118
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
yang ada di bawahnya, baik antara hakim sendiri, panitera, serta juru sita karena
mempunyai kewajiban yang saling berkaitan, sebagaimana dalam sumpah dan janji
di pengadilan.42 Di sini perlunya kerjasama yang harus dilakukan demi tercapainya
kewajiban seorang profesi. Dalam al-Qur'an di sebutkan :
43
‫وتعاون ْوا على الْب و التم ْقوى و ّل تعاون ْوا على ْال ْث و اْلع ْدوان‬
Dan saling tolong menolonglah kalian dalam hal kebaikan dan takwa dan
janganlah kalian saling tolong menolong dalam hal dosa dan permusuhan
Hal ini bisa dilakukan dengan saling mendiskusikan permasalahan (perkara)
yang di hadapi dalam persidangan baik dengan sesama hakim ataupun dengan para
pakar ilmu hukum sebelum membuat keputusan. Langkah tersebut pada masa masa
peradilan sahabat sering dilakukan,44 karena musyawarah merupakan salah satu
sumber setelah dari sumber-sumber lain tidak ada atau telah melakukan tingkatantingkatan pengambilan dalil. Karena hakim dalam memberikan pandangan harus
rasional serta berdasarkan ijtihad yang ketat, maka apabila tidak tercapai haruslah
dengan musyawarah.secara jujur. Dengan demikian musyawarah adalah merupakan
salah satu bentuk solidaritas antara hakim.
45
‫و أ ْمرى ْم ش ْورى بْينه ْم و مما رزْقنه ْم يْنفق ْون‬
Dan perkara itu dimusyawarhkan di antara mereka, dan mereka
menginfakkan sebagian dari rizki yang telah kami berikan.
Islam memerintahkan musyawarah demi mencapai hasil yang tepat dalam
membangun suatu putusan benar-benar tepat dalam azas musyawarah dan nilai
42
Keterkaitan tugas ini karena antara hakim dan pegawai lainnya merupakan rangkaian
proses peradilan dari mulai pendaftaran perkara sampai pada eksekusi., maka dengan itu
mereka disumpah dan janji. Lihat. Undang-undang Nomor 4 ., menyatakan sebelum
memangku jabatan hakim, panitera, juru sita untuk msing-masing lingkungan peradilan wajib
mengucapkan sumpah dan janji menurut agamanya.
43
QS. al-Ma>'idah [5] : 2.
44
Tingkatan pengambilan dalil pada masa sahabat seperti yang dilakukan oleh
Khalifah Umar Bin Khatab yaitu al-Quran, as-Sunnah, dan penetapan-penetapan sahabat
lainnya dan apabila tidak ada maka melakukan musyawarah. Lihat Atiyah Musrifah, al-Qada>
fi al-Isla>m, (t.Tp : Syarkat al-Ausaq, 1996), 105.
45
QS. al-Shu>ra [42] : 38.
119
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
kepatutan terwujud dalam memberikan keputusan yang akan di bebankan kepada
para pihak, walaupun sering terjadi diantara hakim banyak yang mengabaikan
moralitas dan sering terjadi pengabaian terhadap kode etik yang mengakibatkan
Pelanggaran-pelanggaran tersebut sangat mengaburkan idealisme profesi hukum
yang mempunyai ciri-ciri pokok pengabdian kepada kemanusiaan, kebenaran dan
kejujuran. Menurut Busyro Muqoddas, melemahnya motivasi pengabdian tersebut
terjadi ketika iman dan independensi berada dalam keadaan krisis.46 Ketika iman
dalam kondisi kokoh, maka ia akan memancar dalam segala aktivitasnya. Etika
Islam tidak sekedar melihat aktivitas lahir, tetapi lebih jauh melihat dorongan
terdalam dari motif (niyat) tindakan tersebut.
Kode etik profesi hakim Indonesia merupakan alat pembinaan hakim dan
pengawasan tingkah laku hakim47, dengan artian Profesi hakim merupakan
kesatuan profesi yang diikat oleh suatu tata aturan tertulis dan kesadaran serta
solidaritas diantara anggota korp untuk melaksanakan kode etik profesi hakim
tersebut. Dalam korp hakim yang harus dibangun adalah kerjasama yang
berlandaskan moral, iman dan taqwa karena apabila dibangun diatas tiga nilai
tersebut akan melahirkan kejujuran (ama>nah) dan tanggung jawab.
c.
Tanggung Jawab Sosial Hakim terhadap Hukum
Dalam kode etik profesi hakim didalam masyarakat hakim harus saling
menghormati, menghargai, dan hidup sederhana, serta dalam keluarga hakim harus
menjaga keluarga dari perbuatan tercela, menjaga ketentraman keluarga dan
keutuhan keluarga dan menyelesaikan masalah keluarga dengan norma-norma
hukum kesusilaan yang berlaku di masyarakat.
Ketentuan di atas merupakan tanggung jawab hakim baik terhadap dirinya
sendiri (keluarga) maupun masyarakat. Prinsip yang terkandung etika profesi di
mana tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tanggung jawabnya di tuntut
untuk bertanggungjawab terhadap pekerjaan, hasil serta dampak pekerjaan
46
Busyro Muqoddas, ‚Etika Profesi: fungsi dan Prospek‛, makalah Karya Latihan
Hukum (Kartikum) XV yang diselenggarakan oleh Laboratorium Fakultas Hukum UII
Yogyakarta, 1997, 3.
47
Pasal 2 Ayat (1) butir (a) dan (b), Kode Etik Profesi Hakim.
120
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
terhadap kehidupan orang lain dan bertanggung jawab untuk kehidupan dengan
tidak melanggar hak orang lain. Dalam Islam tanggung jawab merupakan amanah
yang harus dipertanggungjawabkan, artinya tanggung jawab sendiri yang
diwujudkan dalam pola prilaku dalam hubungannya dengan masyarakat atau
institusi, sedangkan terhadap masyarakat dengan memberikan hak kepada siapa
saja yang menjadi haknya.48 Dalam al-Qur'an ditegaskan :
                 
49
     
Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan
memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. dan Barangsiapa memberi
syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari
padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
50
    
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban)?
Ayat di atas menjadikan perlunya kesadaran hukum bagi hakim. Karena
keasadaran hukum adalah merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam diri
manusia mengenai perilaku yang telah diatur dalam hukum.51 Sehingga hukum
dipahami untuk memenuhi kebutuhan sosial sedangkan agama sebagai pengontrol
dan tidak membiarkannya menyimpang dari kaidah norma-norma yang ditentukan
oleh agama.52
48
Asafri Jaya Bakri, Konsep Syari'ah Menurut Syatibi, (Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 1996), 94.
49
QS. al-Nisa> [4] : 85.
50
QS. al-Qiya>mah [50] : 36.
51
Kesadaran lahir dari pengetahuan yang kemudian diperkuat oleh perilaku yang
dilakukan secara terus menerus. Karena itu upaya merubah suatu kesadaran akan dapat
berhasil bila diawali dengan suatu pengetahuan atau wawasan yang baru. Karena kesadaran
adalah keinsyafan dan kadaan mengerti sedangkan hukum peraturan yang mengikat yang
diteteapkan pemerintah atau yang mengatur pergaulan dalam masyarakat atau kaidah atau
patokan mengenai peristiwa. lihat. Meretas kebekuan Ijtihad, 247.
52
Muhammad Muslehuddin, Filsaafat Hukum Islam dan pemikiran orientalis Studi
Perbandingan, terj. Yudian Wahyudi Amin, cet. ke-3, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997), 70.
121
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Dalam lembaga kehakiman terdapat komisi kehormatan, adanya komisi
kehormatan adalah merupakan lembaga dari proses pertanggung jawaban hakim,
namun komisi kehormatan ini kurang berperan karena berada dalam lembaga
sendiri tidak secara independen yang di khawatirkan terjadi konspirasi di antara
hakim sendiri. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya pelanggaran baik ringan,
sedang dan berat yang di lakukan oleh hakim dalam melakukan profesinya serta
pengabaian terhadap kode etik yang seharusnya menjadi pedoman. Komisi
kehormatan ini sebenarnya merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban di
dunia, sebelum nanti seorang hakim harus mempertangjawabkan di akhirat.
Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan tentang etika profesi hakim di Indonesia
dalam perspektif hukum Islam dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kode etik profesi hakim mengandung nilai nilai moral yang menjadi landasan
kepribadian hakim secara professional yaitu: pertama, kebebasan artinya
sebagai manusia mempunyai kebebasan baik kemandirian moral maupun
keberanian moral yang dibatasi norma-norma yang berlaku. Kedua, keadilan,
yaitu memperlakukan sama terhadap manusia dengan memberikan apa yang
menjadi haknya. Ketiga, kejujuran yaitu dalam penegakan hukum harus
dilandasi sifat kejujuran dalam hati nurani dan kebenaran akal (ratio) dari
mulai pemeriksaan perkara, pencarian hukum sampai pada pemutusan
perkara secara patut (equity) dengan melihat situasi, apa yang seharusnya
diperbuat berdasarkan undang-undang yang mengandung keadilan dan
kebenaran di masyarakat.
2. Etika profesi hakim dan hukum adalah merupakan satu kesatuan yang secara
inheren terdapat nilai-nilai etika Islam yang landasannya merupakan
pemahaman dari al-Qur'an, sehingga pada dasarnya Kode etik profesi hakim
sejalan dengan nilai-nilai dalam sistem etika Islam. Etika hukum Islam
dibangun di atas empat nilai dasar yaitu pertama, kebenaran yaitu adanya
122
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
konsep kebenaran menjadikan manusia percaya untuk berbuat baik karena
taat akan hubungan makhluk dan khaliq. kedua, keadilan yaitu adanya
penyemarataan (Equalizing) dan kesamaan (leveling) hak dalam bidang
hukum yang dibangun dengan konsep keadilan mutlak dan sempurna secara
transendental antara hukum dan moralitas. Ketiga, kehendak bebas yaitu
manusia walaupun dibatasai oleh norma-norma yang ada tetapi mempunyai
kehendak bebas / kebebasan (free Will). Keempat., pertanggung jawaban
yaitu sebagai tuntutan dari kehendak bebas yaitu adanya pertangungjawaban
sebagai
batasan
dari
apa
yang
diperbuat
manusia
dan
harus
dipertanggungjawabkan baik didunia maupun diakhirat. Terjadinya
penyalahgunaan dan pengabaian terhadap kode etik profesi hakim
diakibatkan rendahnya etika dan moralitas hakim. Sehingga tidak
terlaksananya nilai-nilai kebenaran, keadilan, kehendak bebas dan
pertanggungjawaban sebagai profesi hakim.
123
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, ‚Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma
Keilmuan Keislaman pada Era Milenium Ketiga‛, Jurnal Al-Jamiah, No.
60/VI/2000.
-------, Filsafat Etika Islam, alih bahasa Hamzah, cet. ke-1, Bandung: Mizan, 2002.
Al-Asqolani, Al-Hafizh Bin Hajar Bulu>qul Ma>ram, Semarang : Toha Putra, t.t.
Bakri, Asafri Jaya Konsep Syari'ah Menurut Syatibi, cet. ke-1, Jakarta : Raja
Grapindo Persada, 1996.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia 1996.
CT.Onions (ed) The Shorter Oxford English Dictionary, London : Clarendon
Press Oxford, 1944.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung, Lubuk Agung,
1985.
Djamil, Faturrahman, Filsafat Hukum Islam, cet. ke-1, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1997.
Ensiklopedia Indonesia, Jakarta : Gramedia 1983.
Fauroni, R. Lukman, "Etika Bisnis dalam Al-Qur’an," tesis IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2001.
Kompas, Etika Profesi Kunci Pas Penegakkan Hukum, 29 Mei 2002.
K. Bertens, Etika, cet. ke-2, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994..
Mukti, Takbir Ali, dkk, Membangun Moralitas Bangsa, Yogyakarta : Lembaga
Penelitian Dan Pengamalan Islam Universitas Muhamadiyah
Yogyakarta,1998.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1992.
--------, Etika Profesi Hukum, cet. ke-1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
M. Wahyudi, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebebasan hakim : Study analisis
pasal 1 ayat (1) dan pasal 14 ayat (1) UU. Nomor 35 tahun 1999 tentang
124
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Kekuasaan Kehakiman, Skripsi tidak di terbitkan, Yogyakarta : IAIN
Sunan kalijaga, 2000.
Muslehuddin, Muhammad, , Filsaafat Hukum Islam dan pemikiran orientalis Studi
Perbandingan, (penerj.) Yudian Wahyudi Amin, cet. ke-3, Yogyakarta :
Tiara Wacana, 1997.
Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan
Sistem Hukum Islam, alih bahasa Yudian Wahyudi Asmin, Yogyakarta:
Tiara Wacana: 1991.
Madkur, Muhammad Naisaburi, Imam Abi al-Husaini Muslim Bin al-Hujaj Ibn
Muslim al-Qusairy an-, al-Jami’ as-Shahih, Bairut: Dar al-Fikr, tt.
Muqoddas, Busyro, ‚Etika Profesi: Fungsi dan Prospek‛, makalah Karya Latihan
Hukum (Kartikum) XV yang diselenggarakan oleh Laboratorium Fakultas
Hukum UII, Yogyakarta, 1997.
Nasir, Salihun A, Tinjauan Akhlak, cet. ke-1, Surabaya : al-Ikhlas, 1991.
Sajsatani, Abi Dawud Sulaiman bin al-'asy'as as-, Sunan Abi Dawud, Bairut: Dar
al-Fikr, 1414/1994.
Salam, Al-Qada> Fil Isla>m, Ttp : tt.
Salam, Burhanuddin, Etika Sosial, Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia,Cet. ke1, Jakarta: Aneka Rineka Cipta, 1997.
Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi Ash-, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
cet. ke-1, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Siregar, Bismar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan, cet. ke-1 Jakarta : Gema
Insani Press, 1995
Setiardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, Yogyakarta : Kanisius, 1990.
Sumaryono, E., Etika Profesi: Norma-norma Bagi Penegak Hukum, cet. ke-1,
Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman beserta penjelasannya, Bandung : Karina, 2004.
Undang-undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
125
Download