I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional yang harus dikelola dengan baik. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan mampu mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perikanan sebagai penghasil devisa negara. Sesuai dengan sasaran yang diharapkan dalam Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan sebanyak 9,7 juta ton, nilai ekspor perikanan US$ 5 miliar, konsumsi ikan penduduk 32,29 kg per kapita per tahun, dan menyediakan kesempatan kerja kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) Pemanfaatan sumberdaya ikan di beberapa Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) di Indonesia saat ini dihadapkan pada persoalan kelangkaan sumberdaya ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). Fenomena penurunan produksi tangkapan telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan sumberdaya ikan di Indonesia, yang berakibat pada menurunnya kesejahteraan nelayan. Tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari pemenuhan atau aksesabilitas tiga kebutuhan utama yaitu sandang, pangan, dan papan. Dengan adanya kecenderungan turunnya hasil tangkapan, maka dikhawatirkan program peningkatan kesejahteraan nelayan sulit untuk tercapai. Sehingga diperlukan terobosan program yang implementatif dan aplikatif, diantaranya adalah pengembangan usaha budidaya ikan. 2 Penurunan hasil tangkapan ikan oleh nelayan yang salah satunya diakibatkan terjadinya over fishing dan meningkatnya biaya operasional penangkapan ikan menyebabkan nelayan mencoba cara lain, yaitu melakukan usaha budidaya perikanan. Seiring dengan semakin tingginya permintaan penduduk untuk berbagai jenis ikan, maka mendorong minat nelayan untuk berusaha sebagai pembudidaya ikan di perairan laut. Indonesia diperkirakan memiliki potensi perairan laut seluas 8,4 juta ha untuk budidaya perikanan laut, dengan 3,8 juta ha merupakan potensi efektif yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya laut, yang terdiri atas 775 ribu ha untuk pengembangan keramba jaring apung ikan, lobster, abalone (Gastropoda besar yang termasuk genus Haliotis); 37,2 ribu ha untuk pengembangan keramba jaring tancap ikan; 769,5 ribu ha untuk pengembangan budidaya rumput laut; 4,7 juta ha untuk budidaya kerang-kerangan; 174,6 ribu ha untuk pengembangan budidaya teripang dan 1,9 juta ha untuk pengembangan budidaya tiram mutiara. Dalam pemanfaatan perairan laut untuk usaha budidaya, sebagian provinsi baru memanfaatkan potensinya kurang dari 1%. Provinsi DKI Jakarta telah memanfaatkan potensi perairan laut untuk budidaya sebesar 23,79% (DKP, 2005). Cara-cara budidaya perairan yang ada saat ini masih dalam tingkat awal dan diharapkan timbulnya teknik-teknik pemeliharaan baru. Salah satu program budidaya yang dipandang dapat dijadikan alternatif untuk dapat meningkatkan produksi ikan laut dan mempertahankan kondisi lingkungan laut agar lebih baik adalah program sea farming. Program ini merupakan kegiatan perikanan yang lebih berwawasan lingkungan yaitu kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan, yang disebut sebagai sea farming. 3 Sea farming sudah dimulai sejak abad 17 di Jepang, Norwegia dan Amerika Serikat. Kegiatan pelepasan larva ikan yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887 dan kegiatan ini terus berlanjut sampai dengan tahun 1967. Kegiatan sea farming di Norwegia tidak diikuti dengan evaluasi keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut terhadap populasi ikan dan hasil tangkapan serta dampak ekologi dari aktivitas yang sudah dilakukan (PKSPL-IPB, 2004). Konsepsi sea farming di Indonesia pertama kali dikembangkan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Perikanan dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) pada tahun 2001 (Kusumastanto, komunikasi pribadi, 2011) dan telah mengalami beberapa perubahan semenjak konsep awal diterapkan, dimana kegiatan bukan saja penebaran bibit ikan tapi lebih kepada peningkatan pendapatan masyarakat dalam usaha ekonomi serta perbaikan kualitas sumberdaya dan lingkungan laut di wilayah sea farming. Kegiatan tersebut juga didukung oleh manajemen sea farming yang baik, yaitu penerapan konsep sea farming dalam upaya mengembangkan satu kawasan tertentu yang dibuat khusus dengan menggunakan jaring apung dan berbagai teknik budidaya lainnya sehingga kegiatan tersebut dapat dengan mudah dikontrol serta diikuti dengan program peningkatan kualitas sumberdaya ikan (stock enhancement) maupun perbaikan kualitas lingkungan pesisir dan laut. Salah satu daerah yang telah mengembangkan kegiatan sea farming adalah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu yang dimulai pertama kali pada tahun 2003. Kegiatan ini dilakukan atas kerjasama Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dengan pemerintah Kabupaten 4 Administratif Kepulauan Seribu, dimana kegiatan awalnya berupa kajian-kajian yang terkait aspek teknis terhadap penerapan sea farming. Setelah dilakukan kajian teknis, maka pada tahun 2005 baru dilakukan implementasi program sea farming. Implementasi program tersebut menggunakan teknologi keramba jaring apung yang ditempatkan pada daerah perairan Gosong Pulau Semak Daun di sekitar Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu serta program pengelolaan sumberdaya maupun lingkungan pesisir dan laut. Keramba jaring apung didisain sedemikian rupa sehingga dapat bertahan dalam kondisi alam di Kepulauan Seribu. Jenis komoditi ikan yang digunakan dalam kegiatan sea farming adalah ikan kerapu baik kerapu bebek maupun kerapu macan. Jenis ikan ini sangat sesuai untuk dikembangkan karena dari segi prospek ekonomi sangat menguntungkan dimana ikan kerapu memiliki pasar ekspor yang cukup menjanjikan, diantaranya Singapura dan Hongkong. Kondisi harga kerapu hidup cukup tinggi yakni mencapai Rp 100.000 sampai dengan Rp 350.000 per kg pada tingkat nelayan. Ikan kerapu juga sangat diminati karena memiliki tekstur daging yang lembut dan nilai gizi yang tinggi. Berdasarkan data produksi perikanan menurut komoditas utama dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi ikan kerapu meningkat sebesar 9,52 %. Secara rinci produksi perikanan tersebut disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut : 5 Tabel 1. Produksi Perikanan Menurut Komoditas Utama (Ton), Tahun 2004-2008 Kenaikan Rata-Rata (%) Tahun Rincian 20042006 20072008 52.479 23,02 42,76 1.728.475 1.944.800 52,75 12,52 169.390 206.904 220.900 23,96 6,76 25.442 28.710 35.708 37.100 12,05 3,90 241.438 254.067 212.883 263.139 253.000 2,19 -3,85 51.771 69.386 72.272 91.735 108.200 20,84 17,95 6.552 6.493 4.021 8.053 8.800 17,59 9,52 2004 2005 23.620 32.275 31.490 36.755 2. Rumput Laut 410.570 910.636 1.374.462 3. Nila 107.116 148.249 4. Gurame 23.758 5. Bandeng 1. Patin 6. Lele 7. Kerapu 2006 2007 2008 8. Kerang – Kerangan 9. Ikan Mas 12.991 16.348 18.896 15.623 16.200 6,95 3,69 192.462 216.920 247.633 264.349 290.100 10,84 9,74 10.Udang 238.857 280.629 327.610 358.925 410.000 14,50 14,23 11.Kakap 4.663 2.935 2.183 4.418 4.200 8,69 -4,93 12.Kepiting 3.015 4.583 5.525 6.631 7.750 27,36 16,88 13.Lainnya 161.955 195.411 182.321 172.668 178.200 2,96 3,09 Sumber : Statistik Kelautan dan Perikanan, 2009 Perairan Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah yang memiliki kontribusi dalam produksi ikan kerapu nasional. Kepulauan Seribu merupakan suatu wilayah khas yang terletak di wilayah Teluk Jakarta dengan berbagai potensi perikanan yang cukup beragam antara lain ikan konsumsi, ikan hias, terumbu karang, rumput laut, serta mangrove. Sebagai wilayah Kabupaten di dalam DKI Jakarta, maka Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu banyak memiliki karakteristik khas yang memerlukan pendekatan khusus dalam proses pembangunannya. Beberapa karakteristik tersebut adalah : (1) Wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu adalah wilayah kepulauan yang terdiri dari 110 buah pulau-pulau sangat kecil dan perairan yang luas; (2) Penduduk menempati hanya 11 pulau pemukiman yang terpencar dari selatan ke utara dan hampir 6 semua warga pendatang; dan (3) Alternatif kegiatan pembangunan yang relatif terbatas yaitu utamanya perikanan tangkap dan pariwisata dan lain-lain (Sudin Perikanan dan Kelautan, 2009). Kepulauan Seribu merupakan daerah yang sangat berpotensi untuk bisnis ikan kerapu karena memiliki perairan berkarang yang luas. Perairan dengan karakteristik seperti ini merupakan habitat yang paling baik bagi ikan kerapu. Menurut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB, 2004), potensi pengusahaan ikan kerapu di Kepulauan Seribu seluas 359,49 ha yang tersebar di Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan, Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari, dan Kelurahan Pulau Panggang. Kondisi fisik di pulau-pulau tersebut sangat baik untuk bisnis ikan kerapu, terutama usaha dengan menggunakan keramba jaring apung. Pemanfaatan lahan ini diharapkan dapat menjadi alternatif mata pencaharian penduduk di Kepulauan Seribu yang mayoritas pekerjaannya adalah nelayan. Hal ini selaras dengan visi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dimana perikanan dan pariwisata bahari menjadi penggerak utama kegiatan ekonomi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Dalam mendukung program sea farming diperlukan adanya klasifikasi usaha potensial yaitu usaha budidaya ikan, hatchery, pendeder ikan, nelayan, pengumpul ikan hias, aktivitas atau pengelola kawasan wisata pulau dan pedagang ikan. Dasar dari klasifikasi ini adalah dengan melihat potensi dan karakteristik yang dimiliki Kepulauan Seribu. Usaha yang diterapkan pertama kali yaitu usaha budidaya dengan komoditas ikan kerapu, karena memiliki prospek dan peluang yang baik di masa yang akan datang. Jumlah produksi ikan kerapu secara nasional terus meningkat yakni 61.763 ton pada tahun 2009 yang terdiri dari ikan kerapu 7 macan, kerapu bebek, kerapu balong, kerapu lumpur, dan kerapu sunu, seperti terlihat pada Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2. Produksi Kerapu Nasional Berdasarkan Jenis (Ton), Tahun 20042009 Tahun Jenis Ikan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Kerapu Macan 48.400 53.743 14.392 28.577 36.094 41.461 Kerapu Bebek -- -- 5.807 6.076 4.589 6.271 Kerapu Balong -- -- 2.182 2.537 2.844 5.087 Kerapu Lumpur -- -- -- -- 1.020 1.117 Kerapu Sunu -- -- 19.162 8.666 5.642 7.827 45.856 50.189 61.763 Jumlah Keterangan Sumber 48.400 53.743 41.543 : -- (Data Tidak Tersedia) : Statistik Kelautan dan Perikanan, 2009 Dari data tersebut, produksi nasional yang terbesar adalah ikan kerapu jenis macan. Produksi ikan kerapu macan pada tahun 2009 adalah sebesar 41.461 ton diikuti dengan kerapu sunu sebesar 7.827 ton, kerapu bebek sebesar 6.271 ton, kerapu balong sebesar 5.087 ton dan kerapu lumpur sebesar 1.117 ton. Apabila ditinjau dari nilai produksinya, ikan kerapu juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat yakni Rp 762.473.559 pada tahun 2007 menjadi Rp 1.382.477.885 pada tahun 2009. Secara rinci nilai produksi kerapu tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. 8 Tabel 3. Nilai Produksi Kerapu Berdasarkan Jenis (Rp 1.000) Tahun 2007-2009 Tahun Jenis Ikan 2007 2008 Kerapu Macan 388.151.119 607.339.974 884.079.156 45,57 Kerapu Bebek 216.326.663 66.891.976 179.974.885 169,05 Kerapu Balong 58.010.799 59.792.670 105.085.866 75,75 Kerapu Lumpur 99.948.978 9.747.039 8.252.589 (15,33) 94.715.614 205.085.389 116,53 762.473.559 838.487.278 1.382.477.885 64,88 Kerapu Sunu Jumlah Keterangan Sumber 2009 Growth (%) : - (Data Tidak Tersedia) : Statistik Kelautan dan Perikanan, 2009 Dari data Tabel 3 tersebut, terlihat bahwa jenis ikan kerapu macan memberikan nilai yang tertinggi pada tahun 2009 yakni Rp 884.079.156.000 diikuti oleh kerapu sunu senilai Rp 205.085.389.000, kerapu bebek senilai Rp 179.974.885, kerapu balong senilai Rp 105.085.866.000 dan kerapu lumpur senilai Rp 8.252.589.000 Kegiatan sea farming yang telah dilakukan selama lebih dari lima tahun ini perlu terus dikembangkan dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Sea farming sebagai konsep baru perlu dikaji bagaimana kegiatan tersebut dapat meningkatkan pendapatan dan taraf ekonomi masyarakat pesisir melalui optimasi faktor produksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan alokasi faktor produksi yang optimal untuk memaksimumkan keuntungan pembudidaya ikan dan menghitung 9 kelayakan usaha budidaya ikan kerapu dengan penggunaan faktor-faktor produksi yang optimal tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Jumlah hasil tangkapan yang berasal dari laut dan penangkapan di perairan umum, pada periode 1997 sampai dengan 2007 meningkat rata-rata sebesar 2,59 % per tahun, yaitu tahun 1997 sebanyak 3.917.219 ton menjadi 5.044.737 ton pada tahun 2007 (Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2007). Besarnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap ikan hasil tangkapan alam dapat mengakibatkan punahnya suatu komoditas tertentu, oleh sebab itu pemerintah mengalihkan kegiatan penangkapan pada kegiatan budidaya. Kondisi overfishing diartikan sebagai kondisi yang sudah kelebihan dalam kegiatan penangkapan ikan dimana tangkapan telah melebihi batas tangkap lestari. Kondisi ini dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain disebabkan karena penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga ikan-ikan kecil juga ikut terambil, hal lain adalah dapat terjadinya kerusakan terumbu karang, mangrove dan lamun sebagai tempat ikan berkembang biak. Penurunan tangkapan dan stagnansinya menyebabkan nelayan mencoba hal baru yaitu sebagai pembudidaya ikan. Budidaya dianggap mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan perikanan tangkap. Misalnya, budidaya perairan adalah suatu cara memelihara stock, bukan memburu atau mengumpulkan, karena itu waktu dan daya upaya yang digunakan lebih efisien. Keadaan lingkungan juga dapat dikontrol dan diawasi. Dalam banyak kasus, ikan dapat dipelihara tanpa penambahan makanan yang berlebih dari apa yang tersedia 10 secara alami di lingkungannya ataupun sebagai akibat dari penyebaran pupuk. Mungkin juga permintaan pasar ikan hasil budidaya dapat ditingkatkan lebih mudah dibandingkan ikan hasil tangkapan. Melalui produksi yang terkontrol para pembudidaya ikan dapat menjamin kualitas dan kuantitas tertentu dari produksi. Para pembudidaya dapat memasarkan hasilnya ketika persediaan sedang rendah ataupun tidak tersedia dan pada beberapa kasus, pembudidaya mendayagunakan potensi untuk produksi tertentu guna memenuhi pilihan selera pada konsumen dan syarat-syarat pasar yang lain. Pengawasan seperti ini tidak mungkin ada di mayoritas kegiatan perikanan tangkap. Salah satu program yang menerapkan pembudidayaan ikan yaitu sea farming. Sea farming merupakan sebuah konsep yang awalnya diadopsi dari Jepang dan Norwegia, untuk mengatasi kelangkaan sumberdaya perikanan dengan menebar larva ikan, yang diharapkan akan dapat berkembang di suatu wilayah perairan sehingga dalam waktu tertentu dapat ditangkap oleh nelayan. Kegiatan sea farming di Kepulauan seribu merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan, dimana program ini diharapkan dapat mengatasi penurunan stok ikan di laut serta naiknya bahan bakar minyak (BBM) yang berakibat pada penurunan tingkat pendapatan nelayan. Kegiatan sea farming di Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki beberapa kegiatan utama yaitu budidaya ikan (pembenihan dan pembesaran), restocking sumberdaya ikan, aktivitas wisata bahari serta rehabilitasi sumberdaya dan lingkungan laut. Pada saat ini, budidaya ikan yang sudah dilakukan adalah kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan kerapu. Kegiatan pembenihan menjadi unsur yang penting 11 dalam program sea farming karena sangat menentukan bagi ketersediaan benih ikan. Program sea farming ini juga mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu dikarenakan program ini akan dijadikan pilot project dalam peningkatan pendapatan nelayan di Kepulauan Seribu. Peran pemerintah diantaranya mendukung pengembangan program dalam bentuk penyediaan beberapa fasilitas fisik seperti demplot (keramba jaring apung), benih dan penyuluhan. Pembudidaya ikan yang mencoba mengembangkan program sea farming ini pada umumnya melakukan usaha budidaya ikan kerapu untuk meningkatkan pendapatannya. Hal ini dilakukan karena perikanan tangkap bersifat tidak pasti (uncertainty). Di sisi lain, wilayah Kepulauan Seribu yang dikelilingi oleh laut sangat berpotensi untuk dijadikan tempat dalam mengembangkan usaha budidaya kerapu. Pemanfaatan daerah laut untuk usaha budidaya ini menggunakan sistem keramba jaring apung. Tingkat penggunaan faktor produksi yang digunakan pembudidaya berbeda-beda dan menghasilkan produksi yang berbeda juga, maka sangat perlu mengkaji pengoptimalan faktor produksi untuk menghasilkan produksi ikan kerapu yang optimal yang dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Pengoptimalan penggunaan keramba jaring apung ini kemudian dilanjutkan dengan pengoptimalan faktor-faktor produksi lainnya seperti benih, pakan dan sebagainya, untuk menghasilkan produksi optimal bagi pembudidaya. Dengan penggunaan faktor-faktor produksi yang optimal, maka diharapkan usaha 12 budidaya ikan kerapu dapat dikembangkan. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ingin ditelaah : 1) Berapa tingkat optimal faktor produksi yang digunakan dalam suatu usaha budidaya kerapu guna menghasilkan produksi optimal kelompok pembudidaya ikan sea farming di Pulau Panggang? 2) Bagaimana kelayakan pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dengan faktor-faktor produksi yang optimal tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1) Mengkaji faktor produksi optimal dalam budidaya ikan kerapu guna menghasilkan keuntungan maksimum bagi anggota kelompok pembudidaya ikan sea farming di Pulau Panggang. 2) Menganalisis kelayakan pengembangan usaha budidaya kerapu berdasarkan faktor-faktor produksi yang optimal pada kelompok pembudidaya ikan sea farming di Pulau Panggang. 1.4 Manfaat Penelitian 1) Bagi mahasiswa sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. 2) Bagi pemerintah daerah sebagai bahan masukan dalam melakukan kebijakan pengelolaan budidaya pengembangan usaha masyarakat. ikan kerapu yang tepat bagi 13 3) Memberikan informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Wilayah penelitian ini adalah Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Responden dalam penelitian ini adalah para pembudidaya yang merupakan angggota kelompok sea farming. Pembudidaya ikan pada kelompok sea farming merupakan orang-orang yang bermata pencaharian sebagai pembudidaya ikan yang mempraktekkan program sea farming khususnya usaha budidaya ikan kerapu dengan menggunakan keramba jaring apung. Penelitian ini difokuskan pada optimasi faktor-faktor produksi yang dapat menghasilkan produksi optimal guna meningkatkan pendapatan masyarakat yang mengusahakan kegiatan sea farming di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Optimasi merupakan alokasi sumberdaya yang optimal untuk menghasilkan keuntungan yang maksimum dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan. Analisis kelayakan digunakan untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya kerapu dengan penggunaan faktor-faktor produksi yang optimal.