MAKNA SIMBOL ADAT KAWIA ETNIS MORONENE KABAENA Oleh : * Herni Adriani **Masrul ***Jumrana Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi Tri Dharma Anduonohu, Kendari 93232 [email protected] ABSTRAK Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah prosesi adat kawia dan Apakah makna simbol adat yang terkandung dalam adat kawia pada masyarakat di Desa Tirongkotua Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui prosesi adat kawia serta untuk mengetahui makna simbol adat yang terkandung dalam adat kawia pada masyarakat di Desa Tirongkotua Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana. Manfaat secara teoritis memberikan masukan, pandangan dan pemahaman bagi masyarakat luar mengenai keanekaragaman adat perkawinan suku bangsa di Sulawesi Tenggara khususnya Suku Moronene Kabaena, secara metodologi sebagai bahan informasi tambahan bagi peneliti selanjutnya dalam rangka memperkaya literatur hasil penelitian khususnya yang berkaitan dengan simbol adat pernikahan Suku Moronene Kabaena, dan secara praktis hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat Moronene perantau untuk bisa memahami arti dari simbol adat pernikahan Suku Moronene Kabaena. Subjek dan Informan terdiri dari 4 orang yang mewakili masyarakat Kabaena yang berada di Desa Tirongkotua. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik observasi, interview dan studi pustaka serta dokumentasi yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa prosesi adat kawia etnis Moronene Kabaena terdiri dari Pongapia (pelamaran), pontangkia/mompetukanaiha (mengantar buah dan perlengkapan adat perkawinan/mempertanyakan ketersediaan calon isteri yang ingin dilamar), lumanga (penyerahan pokok adat langa), ijab qabul dan molangarako (mengantar kedua mempelai kerumah orang tua laki-laki) serta mohuletako alo (mengantar kembali kedua mempelai kerumah orang tua perempuan setelah tiga hari dan tiga malam dirumah orang tua laki-laki). Penggunaan benda adat merupakan simbol yang memiliki maksud, pesan dan harapan bermanfaat bagi kedua pengantin dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Benda adat perkawinan yang dianggap sangat sakral yaitu dalam proses adat lumanga (penyerahan pokok adat Langa) yang terdiri dari Kerbau (karambau), kain sarung (sawu), kain kafan (kaci) dan tikar (empe) yang memiliki makna prinsipal karena benda-benda tersebut merupakan personifikasi calon isteri yang akan dinikahi. Olehnya itu pembayaran langa adalah syarat utama untuk melaksanakan adat perkawinan pada etnis Moronene Kabaena. Kata kunci : simbol adat kawia Moronene Kabaena ABSTRACT The problem in this research is how the traditional procession Kawia and What does the custom symbol contained in Kawia in indigenous community in the village of the District Tirongkotua Kabaena Bombana. The purpose of this research was to determine the customary procession Kawia and to know the meaning of custom symbol contained in Kawia in indigenous community in the village of the District Tirongkotua Kabaena Bombana. The benefits theoretically provide input, insight and understanding for people about the marriage customs diversity of ethnic groups in Southeast Sulawesi especially of the Moronene Kabaena, and the practical results of this study are expected to provide input for the community Moronene to be able to understand the meaning of the symbol of marriage customs Tribe Moronene Kabaena. Subjects and informants consists of 4 people who represent the community in the village Tirongkotua Kabaena. Data were collected by using observation, interview and literature study and documentation then analyzed descriptively qualitative. The results of this study indicate that the traditional procession of ethnic Kawia Moronene Kabaena consists of Pongapia (applying), pontangkia/ mompetukanaiha (dropping fruit and traditional wedding supplies/ questioned the availability of prospective wives who want spoken), lumanga (principal submission langa's customary), ijab qobul and molangarako (escort the bride's to the groom's parents house) and mohuletako alo (escorted the bride back home her parents after three days and three nights on the groom's parents house). Using custom objects is a symbol that has a purpose, message and hope is beneficial to both the bride and groom in living life to settle down. Marriage custom objects that are considered very sacred that is in the process of lumanga customary (custom principal submission Langa), which consists of Buffalo (karambau), sheath (Sawu), shroud (kaci) and mat (Empe) which has a principal meaning for these objects is the personification of the candidate's wife to be married. By him that Langa payment is the main condition for implementing the marriage customs of ethnic Moronene Kabaena. Keyword: symbol of kawia ethnic Moronene Kabaena PENDAHULUAN Suku Moronene adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai beraneka ragam adat istiadat dan kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat sebagai warisan budaya leluhur yang terus menerus dilestarikan sampai saat ini. Salah satu tradisi adat Moronene yang menjadi ciri keunikan dengan suku lain adalah adat perkawinan (kawia). Adat kawia ini masih tetap di junjung tinggi dan dilaksanakan karena terikat dengan hukum-hukum adat yang wajib ditaati oleh segenap masyarakatnya. Juga merupakan salah satu pencerminan kepribadian atau penjelmaan dari pada suku Moronene itu sendiri dalam memperkaya budayabudaya di Indonesia. Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral dan paling indah bagi setiap pasangan yang akan menikah. Bagi setiap orang pernikahan merupakan suatu proses pendewasaan diri. Pernikahan merupakan proses menyatukan dua insan manusia menjadi satu. Hal ini merujuk pada pribadi yang berbeda sifat, watak, kepribadian, sikap, latar belakang, menjadi satu bagian utuh dalam mahligai pernikahan untuk membentuk keluarga baru. Pernikahan memiliki unsur-unsur terpenting di dalamnya, seperti agama dan budaya. Sebagai salah satu produk budaya, simbol benda-benda yang digunakan dalam adat perkawinan merupakan bentuk pengungkapan yang pada prinsipnya bertujuan untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Salah satu bentuk pengungkapan simbol sebagai produk budaya adalah folklor yaitu yang berbentuk ungkapan tradisional (James Danandjaja dalam Sirajudin. 1993: 2). Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda. Makna simbolik benda yang digunakan dalam prosesi adat kawia masyarakat Kabaena, ditinjau dari fungsinya adalah sebagai pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana kedua mempelai adalah dua insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun sama dalam titik hidup dan kehidupan. Dilihat dari lahiriahnya makna simbol dari benda-benda dalam adat perkawinan suku Moronene itu, di sesuaikan dengan proses atau tahapan-tahapan dalam prosesi adat perkawinan suku Moronene, mengenai bentuk dan jenis benda tersebut telah ditetapkan dalam ketentuan hukum adat suku Moronene yaitu: tahap Mongapi (peminangan) disini telah ditentukan benda yang digunakan yaitu pinca (piring), rebite (daun sirih), tagambere (gambir), ahu (tembakau). Alat dan bahan yang digunakan pada saat pompetukanaiha (mempertanyakan ketersediaan pengantin perempuan) dan pontangkia (mengantar buah) adalah nilapa (ikan salai yang dibungkus di pelepah pinang), punti (pisang), towu (tebu), nii mongura (kelapa muda), gola (gula merah), tagambere (gambir), wua (pinang), rebite (sirih), kompe (keranjang yang terbuat dari daun agel), duku (nyiru). Lumanga adapun benda-benda dalam (langa) yaitu karambau (kerbau), sawu (sarung) dan kaci (kain putih) serta empe (tikar yang terbuat dari daun pandan). Molangarako (mengantar kedua pengantin kerumah orang tua laki-laki), adapun benda yang digunakan adalah kain putih (kaci), beras (inisa), lesung (nohu), kampak (pali), peti (soronga). Namun, seiring berkembangnya zaman, generasi muda tidak memahami dengan jelas makna apa yang sebenarnya tersirat dalam benda-benda adat yang digunakan dalam proses adat perkawinan suku moronene kabaena sehingga nilainilai yang terkandung didalamnya hanya diketahui oleh kalangan tokoh-tokoh adat saja. Rumusan Masaalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuaraikan diatas, maka peneliti mengemukakan fokus permasaalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah prosesi adat kawia pada masyarakat di Desa Tirongkotua Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana? 2. Apakah makna simbol benda adat yang terkandung dalam adat kawia pada masyarakat di Desa Tirongkotua Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana? Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui prosesi adat kawia pada masyarakat di Desa Tirongkotua Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana. 2. Untuk mengetahui makna simbol-simbol adat yang terkandung dalam adat kawia pada masyarakat di Desa Tirongkotua Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana. Manfaat Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Secara Teoritis : Memberikan masukan, pandangan dan pemahaman bagi masyarakat luar mengenai keanekaragaman adat perkawinan suku bangsa di Sulawesi Tenggara khususnya Suku Moronene Kabaena. 2. Secara Metodologi : Sebagai bahan informasi tambahan bagi peneliti selanjutnya dalam rangka memperkaya literatur hasil penelitian khususnya yang berkaitan dengan simbol adat pernikahan Suku Moronene Kabaena. 3. Secara Praktis : Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat Moronene perantau untuk bisa memahami arti dari simbol adat pernikahan Suku Moronene Teori Simbol : Susanne Langer Menurut Langer semua binatang yang hidup didominasi oleh perasan, tetapi perasaan manusia dimediasikan oleh konsepsi simbol dan bahasa. Simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks dengan membuat seseorang untuk berpikir tentang sesuatu yang terpisah dari kehadirannya. Sebuah simbol adalah sebuah instrumen pemikiran. Simbol adalah konseptualisasi manusia tentang suatu hal; sebuah simbol ada untuk sesuatu. Kemudian simbol merupakan inti dari kehidupan manusia dan proses simbolisasi. Sebuah simbol atau kumpulan simbolsimbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola atau bentuk. Langer memandang makna sebagai sebuah hubungan kompleks diantara sebuh simbol, objek dan manusia yang melibatkan donotasi (makna bersama) dan konotasi (makna priadi). METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif untuk menghasilkan deskripsi yang orisinil dengan sudut pandang komunikasi. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat desa Tirongkotua yang berada di Desa Tirongkotua Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan empat jenis teknik pengumpulan data, yaitu observasi (penelitian lapangan), wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis interpretative merupakan suatu upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Secara umum pendekatan ini merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail dan terperinci. Metode interpretatif melihat sebuah fakta sebagai sesuatu yang menarik dalam memahami makna sosial. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini membahas dua hal tentang Adat perkawinan etnis Moronene Kabaena yaitu yang pertama tentang bagaimana proses adat perkawinan suku moronene Kabaena dan makna simbolik apa yang terkandung di dalam adat perkawinan suku moronene Kabaena. Dalam proses adat perkawinan suku moronene kabaena terdiri dari Podioha ninyapi (Melamar). Dalam proses adat ini terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu Modio hartia (Penyampaian Maksud), Petadoa (Penentuan Waktu), Pongapia (Melamar) dan Metarima (Menunggu hasil lamaran). Selanjutnya adat Pontangkia/Pompetukanaiha yaitu adat mengantar buah sekaligus menanyakan ketersediaan pihak perempuan. Didalamnya terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu Petadoa (penentuan waktu untuk membawa perlengkapan adat perkawinan), Montangki (membawa perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan untuk mompetukanai dalam hal ini lauk pauk dsb), Mompetukanai (menanyakan kesediaan perempuan untuk menjadi calon istri) dan terakhir Totolea (meminta beban yang akan dia pikul untuk dibawa dalam acara lumanga. Kemudian dilanjutkan dengan proses adat Lumanga/Kawia yang terdiri dari Morongo kompe/Mompinda raha (mengantar buah dan masuk dalam rumah pengantin perempuan), Tunduako langa (persembahan adat ditengah-tengah peserta musyawarah adat), montunu peahua (bakar rokok) dan terakhir Akad nikah. Setelah akad nikah dilaksanakan, dilanjutkan dengan acara Molangarako (pasangan pengantin diiringi arak-arakan keluarga menuju rumah pengantin lakilaki), dan Mohuletako alo (setelah 3 hari 3 malam dirumah orang tua laki-laki, kedua pasangan pengantin ini kembali kerumah orang tua perempuan). Makna simbolik benda-benda yang digunakan dalam seluruh rangkaian adat pernikahan suku Moronene Kabaena memiliki makna yang sangat prinsipil dan dianggap sakral oleh masyarakat Kabaena sehingga pantaslah benda-benda tersebut dijadikan sebagai satu syarat utama terlaksananya perkawinan yang wajib dipenuhi dan dilaksanakan oleh calon mempelai laki-laki. Contoh dari sistem perlambangan di sini adalah simbol-simbol adat perkawinan, yang melambangkan sesuatu berdasarkan sistem pola hubungan masyarakat Moronene, falsafah hidup mereka dan status sosial mereka, yang tersaji mulai dari proses modio ningapi, montangki/pompetukanaiha sampai proses Lumanga dan Molangarako. Analisis Pembahasan Simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks dengan membuat seseorang untuk berfikir tentang sesuatu yang terpisah dari kehadirannya. Sebuah simbol adalah instrumen pemikiran; Simbol ada untuk sesuatu (Susanne Langer dalam Littlejohn & karen, 2009:154). Simbol tidak dapat disingkapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Walaupun demikian berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan makna. simbol atau lambang dapat diartikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok/masyarakat (Sobur, 2004 : 157). Begitu juga dalam proses pemaknaan benda-benda yang digunakan dalam adat perkawinan (kawia) masyarakat Moronene Kabaena. Sebuah simbol diciptakan mengandung makna. Makna tentang bagaimana menjalani kehidupan setelah berumah tangga. Ditinjau dari fungsinya adalah sebagai pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana kedua mempelai adalah dua insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun sama dalam titik hidup dan kehidupan. Suatu daerah tentunya memiliki simbol yang melambangkan identitas budaya di daerah tersebut. Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari sebuah etnik tertentu (Liliweri, 2011:87). Setiap suku bangsa ataupun etnis telah menetapkan simbolsimbol kebudayaan mereka masing-masing untuk menyatakan kepentingan tertentu. Suku moronene melalui adat pernikahan mengisyaratkan bahwa penggunaan alat benda dalam setiap proses adatnya merupakan wujud warisan dari leluhur yang harus dilestarikan keberadannya misalnya dengan menggunakan empe (tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan). Kenapa harus tikar yang terbuat dari daun pandan? Karena tikar tersebut merupakan kerajinan asli masyarakat Moronene. Dan jika tidak menggunakan tikar tersebut dalam proses adat perkawinan maka itu akan menyalahi aturan adat yang sudah ditetapkan. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa identitas budaya suatu kelompok masyarakat tercipta dari diwarisinya simbol-simbol, aturan serta norma yang secara turun temurun diciptakan dan ditetapkan oleh nenek moyang mereka. KESIMPULAN Proses adat pernikahan masyarakat Kabaena dianggap sah apabila terdiri dari rangkaian Modio niyapi (pelamaran), pontangkia/mompetukanaiha mengantar buah dan perlengkapan adat perkawinan/mempertanyakan ketersediaan calon isteri yang ingin dilamar), lumanga (penyerahan pokok Langa), ijab qabul dan molangarako (mengantar kedua mempelai kerumah orang tua laki-laki) serta mohuletako alo (mengantar kembali kedua mempelai kerumah orang tua perempuan setelah tiga hari dan tiga malam dirumah orang tua laki-laki). . Pernikahan adat perkawinan suku moronene Kabaena yang rangkaian pelaksanaannya memiliki suatu makna tertentu. Setiap tahapan upacara adat mengandung maksud, pesan dan harapan bermanfaat untuk kedua calon pengantin dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Benda-benda adat perkawinan yang dianggap sangat sakral yaitu dalam proses adat lumanga (penyerahan pokok adat Langa) yang terdiri dari Kerbau (karambau) adalah sebagai lambang kekeluargaan yang akan dibentuk keluarga yang lebih besar dan kokoh, kain sarung (sawu) sebagai lambang kasih sayang seorang ibu terhadap bayi atau anak yang lahir dari suatu perkawinan, kain putih/kain kafan (kaci) sebagai lambang kepedulian/penghormatan terhadap seorang yang telah meninggal dunia yang harus dikafani dengan kain putih dan kemudian dikuburkan dan tikar (empe) sebagai simbol bahwa dalam kehidupan berumah tangga kelak mempunyai rahasia tersendiri dalam kehidupan manusia. Selain itu agar dalam berumah tangga selalu hidup sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Ke empat benda adat ini memiliki makna prinsipal karena merupakan personifikasi calon isteri yang akan dinikahi. Olehnya itu pembayaran langa adalah syarat utama untuk melaksanakan suatu pernikahan pada etnis Moronene Kabaena DAFTAR PUSTAKA SUMBER PUSTAKA Aminuddin. 1997. Stilistika; pengantar memahami bahasa dalam karya sastra. Semarang: CV IKIP Semarang, hlm. 206 Berger, Arthur Asa. 2005. Sign in Contemporary Culture An Intruduction to Semitic Alih Bahasa M. Dwi Marianto. Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer; Suatu pengantar Semiotika. Jogjakarta.Tiara Wacana. Cangara, Hafied., 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi (Edisi Revisi). Jakarta: PT Raja grafindo Persada Chu, Godwin C. (1985). In Search of Asian Perspective of Communication Theory,in AMIC –Thammasat University Symposium on Mass Communication Theory: the Asian Perspective, Bangkok Dyer, Gillian. 1993. Advertising as Communication. London:Routledge. Effendi, Onong Uchjana. 2007. Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Hall, Edwart .T. 1982. The Hidden Dimension. New York: Doubleday. _____________Dan William Foote Whyte. 1996. “Komunikasi Antarbudaya: Suatu Tinjauan Antropologis.” Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat, ed. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hofstede, Geert. 1994. Cultures and Organization: Intercultural Cooperation and its Importance for Survival. London: HarperCollins. Hasan Mustapa. 1996. Adat Istiadat Sunda. Bandung : Alumni. Johannesen, Richard L, 1996. Etika Komunikasi. Bandung: Rosda Karya Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentaletit, Dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia _____________2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan. Littlejohn, Stephen W., Dan Foss,Karen A. 2009. Teori Komunikasi (Edisi 9).Jakarta: Salemba Humanika Leliweri, Alo. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS. ___________2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PustakaPelajar Liang Gie, The. 1975. Dictionary Of Logic. Yogyakaarta: KaryaKencana Mawardi, A. 1974. Hukum Perkawinan Dalam Islam.Jakarta: Departemen Agama Mulyana, Deddy., dan Rakhmat, Jalaludin. 2006. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya _____________, 2004. Dasar-Dasar Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Bandung: RemajaRosdakarya ____________2001. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: Rosdakarya Ogden, C. K. & Richards, I. A. 1923. The Meaning of Meaning-8th Ed. New York Harcourt, Brace & World, Inc. Peirce, C. S. 1958. Collected Writings Vol. VIII. (Ed. Charles Hartshorne, Paul Weiss & Arthur W Burks). Cambridge: MA Harvard University Press. Suparlan, Parsudi 1999, Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antarsuku Bangsa. Jakarta: Gramedia. Saussure, Ferdinand de. (1988). Course in General Linguistics (trans. Roy Harris). London: Duckworth. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,Hal 26) Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Edisi Kedua.Yogyakarta: Tiara Wacana Sobur, Alex. 2004. Semiotik Komunikasi. Bandung: Rosdakarya Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistic Umum. Yogyakarta: GadjahMada University Soerjono Soekanto. 1981. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : Rajawali. Thomas Wiyasa bratawidjaja. 2002. Upacara Perkawinan Adat Sunda. Jakarta : Sinar Harapan Tubbs, Stewart L, dan Sylvia Moss. 1996. Human Communication I dan II, edisi Bahasa Indonesia, Penerjemah Deddy Mulyana. Bandung: Remaja Rosdakarya. Zoest, Aart van (1930). 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya (penerjemah: Ani Soekawati). Jakarta: Yayasan Sumber Agung SUMBER ELEKTRONIK http://en.wikipedia.org/wiki/Edward_T._Hall Salim Alatas., 2013. Komunikasi Makna, dan Tanda. https://salimalatas.wordpress.com/2013/10/30 (diaksestanggal 10 juli 2015 padapukul 09:30 Wita) http://suku-dunia.blogspot.co.id/2014/08/adat-perkawinan-sukumoronene.html http://rintohacker.blogspot.co.id/2012/06/skripsi-makna-simbol-dalamadat.html http://fadilmukti.blogspot.co.id/2013/03/mengenal-suku-moronene.html https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=adat+pernikahan+suku+moronene http://fadilmukti.blogspot.co.id/2013/03/mengenal-suku-moronene.html HASIL PENELITIAN (Skripsi, Thesis, Disertasi) Proyek Inventarissasi Dan Dokumentasi Kebudayan Daerah Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Ditektorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Jawa Barat.1982. Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat. Jakarta : Depdikbud. Hasnawi. 2003. Leko Dalam Perkawinan Menurut Adat Bugis (Studi Dikecamatan Poleang Timur Kabupaten Buton. Skripsi. Kendari: Universitas Halu Oleo Nasruddin. 2003. Tata Cara Pelaksanaan Adat Perkawinan Suku Wawonii (19802003). Skripsi. Kendari: Universitas Halu Oleo Savitri, Vivi Ade. 2011. Adat Perkawinan Masyarakat Di Kalisusu Kabupaten Buton Utara (1960-2010).Skripsi. Kendari: Universitas Halu Oleo