Pengetahuan Lokal Suku Moronene Dalam Sistem

advertisement
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Asal Usul dan Perkembangan Suku Moronene
Suku Moronene merupakan suku tertua yang mendiami daratan Sulawesi
Tenggara berdalnpingan dengan Suku Tolaki dan Suku Mekongga. Nama
Moronene berasal dari suatu jenis tumbuhan dengan ciri-ciri fisik kulit batangnya
dapat dikupas untuk dijadikan tali, daunnya digunakan untuk pembungkus nasi
atau sejenis kue yang disebut lemper (Tarimana dalartz SHK 2001; Tahyas, 1999).
Gambar pohon nene dapat dilihat pada Lam piran 4.
Secara etimologis, kata Moronene terdiri atas dua suku kata yakni Moro
yang berarti serupa dan Nene berarti pohon resam (Gleichenia linearis). Sehingga
Moronene berarti orang (yang menyerupai) Moro yang tinggal di sekitar pohon
resam, Sebagaimana pohon resam yang biasanya hidup mengelompok di daerahdaerah subur seperti lembah atau pinggiran sungai yang kaya akan sumber air,
maka
nama
Moronene
melambangkan
peradaban
leluhur
yang
hidup
mengelolnpok sebagai peramu, petnburu dan petani tradisional di daerah-daerah
yang subur, dekat dengan sungai dan aman dari gangguan musuh (Tahyas, 1999).
Daerah sebaran pernukiman Suku Moronene merupakan salah satu wilayah yang
subur dan kaya akan sumberdaya alam di Sulawesi Tenggara.
Dari ciri-ciri fisiknya, orang Moronene dapat diidentifikasi sebagai suku
bangsa yang tergolong rumpun Melayu Tua, yanz datang dari Hindia Belakang
pada zaman pra sejarah atau zaman batu muda kira-kira 2000 sebelum Masehi
(Monografi Sultra, 1975). Sumber lain yang dikutip dari Tengku Solihin dari
Johor dalanz Monografi Sultra (1 975) niengungkapkan bahwa Suku Moronene
berasal dari Hindia Belakang yang masuk melalui Jawa tepatnya di sekitar
Mataram, kemudian menyebar ke Timur dan masuk daratan Sulawesi dan
bermukim di sekitar Danau Matana pada waktu kira-kira tahun 719 Masehi.
Sehingga kedatangan Suku Moronene di Sulawesi Tenggara (Sultra) diduga
berlangsung dalam dua tahap:
a. Tahap pertama, mereka datang dari Hindia Belakang melalui sebelah utara
Sulawesi, masuk ke Sulawesi Tengah bersama-sama suku lainnya seperti
Suku Mori, Suku Bungku, dan Suku Menui. Selama di Sulawesi Tengah
terdapat beberapa daerah yang diduga menjadi tempat tinggal mereka sebelum
melanjutkan perjalanan ke arah selatan yaitu kampung Molore (sekarang Desa
Molore Sultra). Istilah Molore berasal dari bahasa Moronene yang berarti
1icin. Demikian pula dengan nama daerah disekitar danau Matano (Matana)
berasal dari Moronene yang berarti hulu sungai.
Dari Sulawesi Tengah kemudian menyebar ke selatan (Sulawesi Tenggara).
Mereka menyebar dengan berjalan kaki atau menggunakan rakit menyelusuri
Sungai Konawe dan Sungai Eha. Beberapa nama sungai, bukit, gunung,
kampung yang dapat dijadikan petunjuk bahwa nenek moyang Suku
Moronene dahulu pernah mendiami atau melalui beberapa wilayah di
Kabupaten Kendari dan Kolaka (sekarang didiami Suku Tolaki di Kendari dan
Suku Mekongga di Kolaka). Melihat persamaan nama, maka cukup mendasar
jika dikatakan bahwa yang memberi nama tersebut adalah penduduk yang
pertama kali mendiami daerah tersebut. Tahap inilah yang diduga paling
akurat sebagai proses masuknya Suku Moronene di Sulawesi Tenggara.
Menurut Tahyas (1999) Suku Moronene seketurunan dengan Suku Moro di
Filipina Selatan yang datang melalui daratan Sulawesi Utara dan bergeser ke
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah di sekitar Danau Towuti, Sungai
Lasolo dan Danau Matana
b. Tahap kedua, mereka datang melalui Pulau Jawa dan kemudian mendarat di
pantai barat (di Labu'a-wilayah pantai timur Poleang sekarang). Kemudian
mereka rnenyebar ke pedalaman dan pesisir pantai untuk mencari daerahdaerah subur dan tempat perburuan dan kemudian menjadi perkampungan.
Tahyas (1999) mengatakan disamping menyebar di daratan Sulawesi,
orang Moronene kemudian setelah itu ada yang menyebar ke pulau-puiau
disekitarnya seperti Pulau Kabaena sejak abad XVI yang mendiami pesisir pantai
Kabaena Timur seperti di Desa Tapuhaka dan Dongkala. Kemudian setelah itu
disusul kedatangan Suku Bugis-Selayar dan Suku Bajo sekitar awal abad XX.
Suku Moronene mempunyai pertalian darah dengan Suku Mori di Malili,
Bungku (Sulawesi Tengah), Toraja (Sulawesi Selatan), Laiwui, Mekongga dan
Tolaki (Sulawesi Tenggara) yang mendiami daratan Kendari, Pulau Wawonii,
Pulau Menui dan daratan Kulisusu.
Mereka yang mendiami daratan besar Sulawesi lazim disebut to Wite Ea
(orang yang tinggal di daratan besar) dan yang tinggal di pulau disebut to Wite Ate
(orang yang tinggal di pulau atau daratan kecil). Menurut beberapa riwayat bahwa
mereka yang menyebrang ke Pulau Kabaena konon mereka yang tidak bersedia
membayar upeti kepada Belanda.
Secara ekologis saat ini orang Moronene tinggal dan menyebar di sebagian
wilayah
Kecamatan
Tinanggea
Kabupaten
Kendari
hingga
Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka, yaitu mulai dari Pu'u Olo (pantai timur
33
Tinanggea) dengan melalui Sungai Eha, Sungai Pohara, Sungai Rumbia sampai
pantai sebelah barat (Teluk Bone). Kemudian dari Watubangga di sebelah Timur
Sungai Toari Kolaka hingga Sungai Oko-Oko di Tangketada Kabupaten Kolaka.
Secara adminsitratif pemukiman orang Moronene menyebar di tujuh
wilayah kecamatan, yakni enam wilayah di Kabupaten Buton yaitu Kecamatan
Kabaena dan Kabaena Timur (Pulau Kabaena), Rumbia, Poleang, Poleang Timur
dan Rarowatu. Satu wilayah di Kabupaten Kolaka yaitu Kecamatan Watubangga.
Ketujuh wilayah tersebut merupakan wilayah kerajaan "cultur area" Moronene
yang berpusat di Taubonto (Kecamatan Rarowatu sekarang). Namun karena
hubungan perkawinan atau alasan lain sehingga orang Moronene ada yang
menyebar di wilayah sekitarnya (Kabupaten Kendari). Untuk jelasnya peta
penyebaran Suku Moronene dapat dilihat pada Lampiran 1.
Wilayal~sebaran Suku Moronene mempunyai luas keseluruhan kira-kira
3.973 krn2 yang saat ini telah dihuni oleh penduduk kurang lebih 121.448 jiwa
yang berasal dari berbagai etnis dan merupakan wilayah Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu Buton-Kolaka-Kendari (Kapet Bukari) (Anonim, 2001).
4.2. Sejarah Singkat Terbentuknya Kecamatan Rarowatu
Ibukota Kecamatan Rarowatu adalah di Kelurahan Taubonto, merupakan
salah satu kecamatan dari 14 kecamatan di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
yang terbentuk secara resmi pada tanggal 7 Mei 1999 berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1999, tanggal 25 Maret 1999 Tentang
Pemekaran Wilayah Kecamatan di Seluruh Indonesia.
34
Monografi
Kecamatan
Rarowatu (2000) mencatat
bahwa
sejarah
terbentuknya Kecamatan Rarowatu tidak terlepas dari sejarah keberadaan Suku
Moronene yang mempunyai latar belakang pemerintahan kerajaan dibawah
Kesultanan Buton pada abad ke-19 dan Kecamatan Rumbia sebagai kecamatan
induk. Sebagai bagian dari kerajaan Kesultanan Buton yang berpusat di Wolio
(Bau-Bau), masyarakat Moronene membentuk penvakilan pemerintahan yang
disebut dengan Dewan Perwakilan (Bonto) yang awal pemerintahannya
dipusatkan di Lakomea dan tidak lama kemudian secara resmi pemerintahan
kerajaan Moronene dipindahkan ke Taubonto (ibukota Kecamatan Rarowatu
sekarang).
Di Rarowatu, pemerintahan raja (Mokole) mulai
berlangsung
dengan
Raja I bernama Sangia Iweli, Raja I1 bernama Sangia Ngkinale, Raja I11 bernama
Sangia Rahawatu, Raja IV bernama Munara, Raja V bernama H. Ipimpie dan
tahun 2002 telah dialihkan kepada Sahrun Munara sebagai pemangku adat
(Mokole) Suku Moronene.
Pada awalnya Kecamatan Rarowatu berinduk pada Kecamatan Rumbia.
Kemudian sejak tahun 1994, Rarowatu dibentuk menjadi kecamatan perwakilan
sebagai persiapan pembentukan kecamatan baru. Berdasarkan hasil evaluasi
pemerintah terhadap dinamika kependudukan, luas wilayah dan potensi
sumberdaya alam, maka pada tahun 1999 tepatnya tanggal 7 Mei Kecamatan
Rarowatu reslni menjadi kecamatan baru yang terpisah dari Kecamatan Rumbia
dengan camat pertama sampai sekarang Nasrun Mbolu, SE (Monografi
Rarowatu, 2000).
4.3. Letak dan Luas Wilayah
4.3.1. Letak Wilayah
Kecamatan Rarowatu yang secara astronomi terletak pada 23,03'- 44,51°
Lintang Selatan dan 12 1,43O - 122,06' Bujur Timur, dengan batas-batas
adininistratif wilayah sebagai berikut :
-
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tinanggea (Kabupaten Kendari)
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Poleang Timur
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Poleang Barat
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Rumbia dan Selat Tiworo
Secara geografis, Kecamatan Rarowatu merupakan salah satu kecamatan
di Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara yang terletak di jazirah selatan
daratan Sulawesi Tenggara (Pulau Sulawesi). Kecamatan Rarowatu adalah
pemekaran dari Kecamatan Rumbia mempunyai luas 649,lO kilometer persegi
(km2) atau 64.910 hektar (Ha) dan saat ini merupakan salah satu dari delapan
kecamatan yang menjadi lokasi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
Buton-Kolaka-Kendari (Kapet Bukari) yang berpusat di Kecamatan Poleang
Timur.
Untuk mencapai ibukota kecamatan, jarak yang harus ditempuh dari
ibukota Propinsi (Kendari) adalah 208 km yang dapat dicapai dengan kendaraan
darat sekitar empat sampai lima jam perjalanan. Dari ibukota kabupaten (BauBau) dapat di tempuh dengan perjalanan laut dengan menggunakan kapal motor
selama 10 jam melalui Kasipute (ibukota Keca~natanRumbia), dan selanjutnya
menggunakan kendaraan darat sekitar 17 k n ~ .
4.3.2. Luas Wilayah
Kecamatan Rarowatu mempunyai wilayah seluas 649,lO km2 atau 64.9 10
Ha, yang terbagi atas sebelas desa dan satu kelurahan dengan garnbaran luas
wilayah yang dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1: Luas Wilayah Kecamatan Rarowatu Menurut
Desa dan Kelurahan
Luas (Ha)
DesaIKelurahan
No.
Prosentase
(%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
10,09
10,53
13,94
4,62
3,46
9,02
4,65
12,05
10,32
9,82
6,89
Taubonto
Rau-Rau
Pangkuri
Lakomea
Rarowatu
Ladumpi
Lantawua
Hukaea
Wumbubangka
Aneka Marga
Lomba Kasih
Lantari
Jumlah
I
2.982
64.910
I
I
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
Dari Tabel 1, nampak bahwa ada beberapa desa yang mempunyai luas
wilayah yang cukup besar disebabkan oleh luasnya wilayah sementara
penduduknya kecil. Dari sebelas desa dan satu kelurahan yaitu Taubonto terdiri
dari sembilan desa tertinggal. Desa tertinggal umumnya mudah dicapai karena
kondisi jalan yang cukup baik.
Dua desa lainnya tergolong desa terpencil
sehingga sulit dicapai karena keterbatasan transportasi dan prasarana jalan seperti
Desa Wumbubangka dan Desa Rau-Rau. Kondisi ini juga berakibat pada
koordinasi pemerintahan yang relatif lambat karena kondisi geografis yang luas.
4.4. Gambaran Umum Kawasan
4.4.1. Keadaan Agroekologi
Secara umum wilayah Kecamatan Rarowatu mempunyai kondisi topografi
yang cukup beragam dengan kemiringan berkisar antara 0' - 40' dengan
pembagian sebagaimana pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2: Topografi Kecamatan Rarowatu
I
1
1
1
Kemiringan
0-2
2-15
15-40
> 40
I
1
1
1
Luas(Ha)
6.491,O
22.069,4
32.455,O
3.894,6
I
Jumlah
I
/
1
1
%
10
34
50
6
I
64.910
/
Keterangan
Landai
1 Berombak
1 Berombak berbukit
1
Bergunung
I
100
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
Dari Tabel 2 nampak bahwa topografi Kecamatan Rarowatu mempunyai
kemiringan terbesar antara 15'
-
40' yang berarti sebagian besar daerah ini
mempunyai topografi berombak berbukit. Ini karena hampir seluruh wilayah
Kecainatan Rarowatu berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Roraya mempunyai
gunung yang tinggi dan sumber mata air bagi wilayah di sekitarnya misalnya
Kecamatan Poleang Timur, Poleang Barat dan Ruinbia. Sedangkan daerah landai
sekitar 10 % berada disekitar pantai yang berbatas dengan laut (Selat Tiworo).
Gunung yang terdapat di wilayah Rarowatu dalam gugus pegunungan
Tompobatu adalah Gunung Wumbubangka (605 m), Gunung Taubonto (53 1 m),
dan Gunung Watuinohai (532 m) serta Gunung Medoke (1010 in) diperbatasan
Kabupaten Kendari. Konsekuensi sebagai daerah berombak dan bergunung,
wilayah pemukiman masyarakat Kecamatan Rarowatu mempunyai ketinggian
antara 0-400 meter dari permukaan laut (dpl) sehingga mempunyai rejim suhu
panas. Jenis tanah adalah mediteran dengan pH rata-rata netral sampai agak asam
(5,5-6,7), ketebalan gambut sekitar 1,5 m dengan kondisi drainase baik-sedang.
Morfologi wilayah secara umum dikelompokkan dalam 4 satuan yakni
pegunungan, perbukitan, karts dan pendataran. Struktur geologi yang dijumpai
adalah struktur lipatan, kekar dan sesar. Struktur lipatan merupakan lipatan lemah
baik antiklin maupun siklin dijumpai pada batu-batauan neogen dengan arah dari
sumbu lipatan relatif utara-selatan (Bukari, 2001).
Kedalaman air tanah untuk air tanah dangkal antara 3-1 8 meter sedangkan
air tanah dalam antara 175 meter. Sumber air di Kecamatan Rarowatu mempunyai
potensi yang sangat besar yang terdiri dari sungai besar, sungai kecil dan kali.
Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3: Sungai dan Debit Air di Kecamatan Rarowatu
No.
Sungai
Debit (m3/detik)
1
Tangkari
Langkowala
2
Lausu
3
Doule
4
Laea
5
Lampopala
6
Mandumuadule
7
<umber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
0,5
6,5
3,5
4
1,5
4
3,5
Disamping sungai-sungai yang cukup besar tersebut terdapat beberapa
sungai kecil yang mempunyai debit dibawah 0,5 m3/detik seperti Sungai Kemata,
Sungai Jawi-Jawi, Lantari, Sungai Watu-Watu, Sungai Le~nbululu, Sungai
Membaho serta beberapa kali seperti Kali Lawaea, Kali Langkapa, KaJi
Lampeantani.
Hasil curah hujan yang diamati oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) dan tiga stasiun curah hujan setempat tercatat bahwa curah hujan rata-rata
di wilayah Kecamatan Rarowatu berkisar antara 1500-2000 mm per tahun.
Kecamatan Rarowatu mempunyai iklim panas-sedang dengan suhu berkisar 2733' C, dan mempunyai dua musim yaitu musim hujan (Desember-Juni) dengan
tujuh bulan basah dan musim kemarau (Juli-Nopember) dengan lima bulan kering.
Luas lahan di Kecamatan Rarowatu berdasarkan ekosistemnya terbagi
empat hagian yaitu lahan sawah, lahan kering, wilayah pantai dan perairan umum.
Adapun yang sudah diusahakan adalah lahan sawah, lahan kering dan sebagian
wilayah pantai. Pembagian lahan menurut ekosistem dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4: Pola Penggunaan Lahan Menurut Ekosistem
No
I 1 / Lahan basah
1 1
) 1
1 /
I
Luas (Ha)
Tipe Ekosistem
2
Lahan kering
3
Pantai
4
Perairan umum
Jumlah
I
I
I
I
I
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
Dari Tabel 4 tergambar bahwa lahan kering merupakan ekosistem yang
cukup luas yaitu 21.061 Ha atau 32,424 dari total wilayah Keca~natanRarowatu.
Ini sangat potensial bagi pengembangan komoditas perkebunan dan usaha
pemeliharaan ternak yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik. Ekosistem
lahan basah (ekosistem pantai dan perairan) umumnya hampir sama, sisanya
inerupakan hutan, bangunan dan pekarangan dan padang rumput.
40
Kondisi lahan kering yang cukup luas sebab sebagian Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang mempunyai luas 106.703 Ha, sekitar
20 % berada di wilayah Kecamatan Rarowatu. Ekosistem TNRAW ini terdiri atas
hutan, rawa, padang rumput dan pantai. Luas lahan menurut penggunaannya di
Kecamatan Rarowatu dapat dilihat pada Tabel 5:
Tabel 5: Luas Lahan Menurut Penggunaannya
I No 1
Penggunaan Lahan
I
1
I Hutan
1 1
2
Sawah (irigasi & tadah hujan)
1 4 1 Perkebunan besar
1 /
5
I
1
Luas (Ha)
I
/
I
Perkebunan rakyat
Padang rumput
Tanah kosong
Tambak
Kolam
Pekaranganltanah bangunan
Lain-lain
I
I
Jumlah
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
Dari Tabel 5 tampak bahwa luas lahan menurut pengunaannya, luas hutan
menempati urutan terbesar dari seluruh luas Kecamatan Rarowatu yaitu 35.699 Ha
(55,00%) disusul perkebunan besar 15.000 Ha (23,11%), perkebunan rakyat 1 769
Ha (2,72%), padang rumput 3.725 Ha (5,74%), sawah 3.244 (5,00%) dan lainlain (perairan umum) 3.1 18 Ha (4,80). Sisanya 221 8 Ha (3,73%) adalah ladang,
tanah kosong, tambak, bangunan pekarangan.
Hutan di Kecamatan Rarowatu termasuk Bagian Kesatuan Pemangkuan
Hutan (BKPH) Poleang-Rumbia rnerupakan hutan lindung. Perkebunan besar
41
adalah Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. Barito Pacific Timber. Potensi
padang rumput cukup besar untuk peternakan, sawah merupakan mata
pencaharian utama dan Suku Moronene. Potensi lain yang cukup besar dan belum
tergarap adalah perairan umum untuk perikanan dan obyek wisata bahari.
4.4.2. Sosial
A. Kependudukan
- Jumlah Penduduk
Dari luas wilayah 649,10 km2 dan jumlah penduduk 12.029 jiwa,
Kecamatan Rarowatu memiliki kepadatan penduduk rata-rata 18,53 per km2
dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,8% pertahun. Kepadatan penduduk akan
sangat menentukan seberapa ruang yang dapat dimanfaatkan oleh manusia di
dalamnya untuk mendukung kehidupan. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6: Jumlah Penduduk Kecamatan Rarowatu
Menurut Jenis Kelamin dan KK
I
Kelurahan
Jenis Kelamin
Laki-Laki
I
Jurnlah
%
KK
Perempuan
Taubonto
Rau-Rau
Pangkuri
Lakomea
Rarowatu
Ladumpi
Lantawua
Hukaea
Wum bu bangka
Aneka Marga
Lomba Kasih
Lantari
Jumlah
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
Jurnlah
7,9
3,3
2,9
5,5
6,3
4,2
5,2
7,7
431
15,8
15,7
21,l
100
249
104
93
167
195
128
134
211
108
515
471
590
2965
Dari Tabel 6 menunjukan bahwa pada umumnya desa yang banyak
penduduknya adalah desa transmigrasi seperti Desa Aneka Marga, Desa Lomba
Kasih dan Desa Lantari. Sedangkan lainnya adalah desa yang ditempati oleh Suku
Moronene mempunyai penduduk relatif sedikit kecuali Kelurahan Taubonto.
- Komposisi Penduduk Menurut Umur
Komposisi penduduk menurut umur Kecamatan Rarowatu menunjukan
bahwa penduduk yang berusia muda jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan
penduduk yang berusia tua. Untuk lebih jelasnya keadaan penduduk menurut
umur dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7: Keadaan Penduduk Menurut Umur
Umur
Jumlah
0-4
5-9
10-14
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
65-69
70-74
>75
Jumlah
1.307
1.236
936
803
1.538
84 1
712
1.254
792
678
667
312
436
294
152
62
12.029
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
- Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan
Dari aspek pendidikan, sebagian besar penduduk Kecamatan Rarowatu
berpendidikan SLTP, SD dan SLTA, sedangkan yang berpendidikan akademi dan
perguruan tinggi jumlah sangat sedikit. Usia belum sekolah dan tidak sekolah
tergolong cukup banyak. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8: Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut
Tingkat Pendidikan
No (
Tingkat Pendidikan
Jumlah
YO
Belum sekolah
Tidak sekolah
40 18
SLTP
SLTA
AkademiJDiploma
Perguruan Tinggi
Jumlah
12.029
100
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
Dari Tabel 8 menunjukan bahwa penduduk Kecamatan Rarowatu sebagian
besar (70,26%) sudah melaksanakan wajib belajar sembilan tahun, sementara
untuk akademi dan perguruan tinggi jumlahnya sedikit (1,05%). Hal ini
disebabkan oleh kondisi ekonomi yang miskin dan tempat melanjutkan
pendidikan mempunyai jarak yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka yaitu
harus ke ibukota provinsi atau kabupaten. Jumlah penduduk yang tidak sekolah
relatif sedikit (9,06%) dan mereka ini umumnya mempunyai usia yang sudah
lanjut.
Kondisi komposisi penduduk menurut pendidikan, terlihat bahwa
masyarakat Rarowatu mempunyai kondisi sumberdaya manusia yang masih
rendah sehingga perlu ada peningkatan melalui penambahan jumlah sarana dan
prasarana pendidikan dan subsidi untuk keluarga tidak mampu.
- Komposisi Penduduk Menurut Pekerjaan
Mata pencahariaan utama kepala keluarga (KK) masyarakat Rarowatu
terbanyak adalah bertani kemudian disusul peternak dan pegawai negeri sipil,
tentara dan polisi (PNS/TNI/Polri). Sementara nelayan, pedagang, pensiunan,
pengrajin dan sebagainya jumlahnya sangat sedikit. Untuk jelasnya komposisi
penduduk menurut pekerjaan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9: Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Pekerjaan
Pekerjaan
Jumlah (KK)
Petani
2230
242
Peternak
Nelayan
208
35
Pengusahafpedagang
120
PNS/TNI/Pol ri
10
Tukang
52
Pensiunan
60
Lain-lain
Jumlah
2965
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
O/O
75,2 1
8,16
7,Ol
1,18
4,05
0,34
1,75
2,70
100
Data pada Tabel 9, menunjukan bahwa penduduk Kecamatan Rarowatu
lebih besar yang menjadi petani (75.21%), disusul peternak (8,16%), nelayan
(7,01%), PNS/TNI/Polri (4,05%). Selebihnya pedagang, tukang, pensiunan dan
pekerjaan lain-lain (2,70%). Banyaknya petani dan peternak daerah ini sangat
subur dan kaya akan sumberdaya alam serta potensi air besar dan lahan cukup
luas. Nelayan umumnya berkerja membuka tambak dan mencari ikan di laut,
sementara PNS,TNI/Polri umumnya berasal dari pendatang yang kemudian
45
menetap menjadi penduduk Kecamatan Rarowatu. Pekerjaan lainnya adalah
pensiunan dan tukang yang jumlahnya kecil. Pekerjaan lain adalah mereka
melakukan berbagai pekerjaan seperti buruh tani, tukang ojek atau sopir
kendaraan umum. Pekerjaan ini dilakukan karena mereka tidak metnpunyai lahan
pertanian atau modal untuk berdagang.
- Komposisi Penduduk Menurut Suku
Penduduk Kecamatan Rarowatu berasal dari berbagai daerah di tanah air
dengan suku terbesar adalah Suku Moronene, Suku Jawa, Suku Bali, dan Suku
Bugis-Makassar. Sementara yang kecil adalah Suku Tolaki, Suku Buton, Suku
Muna, Suku Toraja dan Suku Manado. Untuk jelasnya komposisi penduduk
menurut Suku dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10: Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Suku
No
1
2
3
4
5
Suku
Jumlah
O h
7303
655
2490
1031
550
12.029
60,71
5,45
20,7
8,17
437
100
Moronene
Bugis Makassar
Jawa
BaliILombok
Lain-lain
Jumlah
Sumber : Kantor Canzat Rarowatu, (2002)
Dari Tabel 10 tampak bahwa Suku Moronene merupakan suku terbesar
atau 60,71 persen dari total penduduk Rarowatu, kemudian disusul Suku Jawa
(20,70%), Suku Bali dan Suku Lombok (8,17%), Suku Bugis-Makassar (5,45%)
dan sisanya dari berbagai suku. Suku Moronene terbesar karena daerah ini
merupakan pusat kebudayaan dan sosial ekonomi secara turun temurun. Suku
Moronene umumnya bertnukim di daerah pegunungan seperti Desa Rau-Rau,
46
Desa Pangkuri, Desa Lakomea, Desa Taubonto, Desa Wumbubangka, Desa
Rarowatu dan Desa Ladumpi. Sedangkan Suku Jawa, Suku Bali dan Suku
Lombok adalah transmigrasi yang datang secara masal pada tahun 1982-1984,
sehingga komposisinya menduduki posisi kedua setelah penduduk asli. Mereka
hidup dari pertanian dan sebagian kecil mengusahakan ternak dan kerajinan dan
bermukim di lokasi transmigrasi seperti di Desa Lantari, Desa Lomba Kasih dan
Desa Aneka Marga.
Sedangkan
Suku Bugis-Makassar
merupakan
pendatang di tanah
Moronene sejak awal abad ke-20 dan mereka bermukim di sekitar pantai,
umumnya bekerja sebagai nelayan, petani, berdagang. Mereka bermukim di Desa
Hukaea, Desa Lantawua. Sedangkan Suku lain berasal dari berbagai daerah di
Indonesia yang berprofesi sebagai PNS, TNIIPolri, dan petani.
- Komposisi Penduduk Menurut Agama
Penduduk Kecamatan Rarowatu sebagian besar beragama Islam sedangkan
sisanya beragama Kristen, Hindu dan Budha. Penganut agama di Kecamatan
Rarowatu berjalan harmonis dan saling toleransi. Untuk jelasnya komposisi
penduduk menurut agama dapat dilihat pada Tabel 1 1.
Tabe! 11: Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Agama
Agama
No
Jumlah
O h
10.530
87,54
1
Islam
2
Kristen
5 13
4,26
3
Hindu
967
8,04
4
Budha
19
0,16
12.029
100
Jumlah
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
47
Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh penduduk
Rarowatu (87,54%) dan masyarakat Moronene pada umumnya sebab sejak turun
temurun penduduk di daerah ini sudah lama mengenal Agama Islam baik karena
intensifnya da'wah maupun interaksi yang cukup lama dengan Suku BugisMakassar yang berdiam di Kecamatan Rarowatu dan sekitarnya. Agama Kristen
umumnya dianut oleh penduduk asli
Moronene. Agama Hindu dianut oleh
masyarakat dari Suku Bali dan Agania Budha dianut oleh masyarakat yang berasal
dari Suku Jawa.
B. Sarana dan Prasarana
Kondisi sarana dan prasarana sangat menentukan keberhasilan suatu
wilayah dalam pembangunan termasuk di dalamnya peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial maupun budaya.
Penyajian kondisi sarana dan prasarana ditekankan pada aspek yang
berhubungan dengan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, seperti lembaga
ekonomi pertanian, pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan pariwisata yang
berada di wilayah Kecamatan Rarowatu.
- Sosial Ekonomi Pertanian
Kondisi kelembagaan ekonomi yang berada di Kecamatan Rarowatu
masih dalam kategori kurang baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga
perlu ada perhatian dan dukungan pemerintah serta partisipasi sektor swasta.
Berikut ini disajikan kondisi kelembagaan ekonomi di wilayah Rarowatu
sebagaimana tercantum dalam Tabel 12.
Tabel 12: Banyaknya Lembaga Ekonomi Pertanian
di Kecamatan Rarowatu
Jumlah
Bengkel
1 5 1 Koperasi tani
11
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
Tabel 12 menunjukan jumlah kelembagaan sosial ekonomi pertanian yang
paling banyak adalah koperasi tani sementara lainnya relatif kecil. Ini menunjukan
tingkat perekonomian masyarakat lnasih rendah apalagi pasarnya adalah pasar
tradisional yang dilakukan dua kali dalam seminggu. Di pasar dilakukan transaksi
jual beli, dimana petani memasarkan hasil kebunnya dan membeli kebutuhan
hidup seperti gula, garam, minyak tanah, rokok, pakaian dan ikan kering.
- Pendidikan
Kemajuan pendidikan di Kecamatan Rarowatu dapat dilihat dari sarana
dan prasarana pendidikan tercermin dari kondisi murid dan guru serta sarana
pendidikan seperti gedung sekolah, tenaga pengajar dan siswa yang dapat dilihat
pada Tabel 13 berikut :
Tabel 13: Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid di Kecamatan Rarowatu
Jumlah
Jenis Sekolah
TK
Sekolah
Guru ( G )
Murid (M)
Rasio G/M
1
2
47
1 : 23,5
2
SD
13
77
2095
1 : 27,2
3
SLTP
2
18
679
1 : 37,7
4
SLTA
1
5
54
1 : 10,s
No
1
Sumber : Kantor Cangat Rarowatu, (2002)
Dari Tabel 13 terlihat bahwa jumlah sekolah cukup sedikit kalau
dibandingkan dengan jumlah usia sekolah. Rasio murid dan guru pada sekolah
lanjutan pertama belum memadai, karena masih banyak guru dari luar daerah
enggan untuk ditempatkan di daerah terpencil. Sedikitnya murid dan jumlah
sekolah karena kesadaran masyarakat dan kemampuan ekonomi yang rendah.
Setelah menamatkan di SLTP mereka memilih untuk kawin bagi wanita dan
bekerja di kebun untuk laki-laki untuk membantu ekonomi keluarga. Demikian
pula dengan letak sarana pendidikan yang cukup jauh sehingga tidak ada kelnauan
untuk bersekolah. Kalau ingin sekolah harus pergi di daerah lain.
- Transportasi
Dari segi transportasi, kendaraan yang dimiliki oleh masyarakat Rarowatu
adalah kendaraan roda dua, roda empat dan sepeda. Untuk jelasnya kondisi
transportasi di Kecamatan Rarowatu dapat lihat pada Tabel 14.
1
I No. I
Tabel 14: Banyaknya Transportasi
di Kecamatan Rarowatu
Jenis transportasi
Jumlah
I
m
a
t
Sepeda
I
:1
356
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
Dari Tabel 14 menunjukan bahwa kendaraan terbanyak adalah jenis
sepeda yang umumnya dimiliki oleh transmigrasi dari Jawa dan Bali. Kendaraan
bermotor roda dua ada 81 unit yang terdiri dari kendaraan dinas dan milik
masyarakat. Roda empat meliputi pick up, minibus dan truk, umumnya dimiliki
oleh masyarakat dari Suku Bugis dan Suku Bali. Kendaraan yang masuk ke
Kecamatan Rarowatu berasal dari kecamatan disekitarnya.
- Kesehatan
Dari segi kesehatan jumlah sarana dan prasarana kesehatan masih
tergolong sedikit baik tenaga kesehatan, maupun fasilitas kesehatan. Sehingga
untuk memenuhi pelayanan, tenaga kesehatan umumnya direkrut dari masyarakat
yang dilatih seperti dukun bayi maupun kader kesehatan lainnya. Untuk lebih
jelasnya kondisi sarana dan prasarana kesehatan dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 : Banyaknya Fasilitas dan Tenaga Kesehatan
di Kecamatan Rarowatu
No Fasilitas Kesehatan
1
2
3
4
5
6
7
Puskesmas
Puskesmas pembantu
Posyandu
Toko obat
Pos obat
Polindes
Klinik KB
Jumlah
No
Tenaga Kesehatan
Jumlah
1
Dokter umum
Perawat
Bidan
Dukun terlatih
Sanitarian
Pembantu ahli gizi
Kader kesehatan
Administrasi
1
5
7
16
1
1
112
1
1
5
30
1
4
2
2
3
4
5
6
7
8
Sumber : Kantor Carnat Rarowatu, (2002)
Dari Tabel 15 terlihat bahwa Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
berjumlah 1 buah, sehingga pelayanan tiap desa dilakukan dengan mengaktifkan
puskesmas pembantu. Keterhatasan fasilitas kesehatan ini mengakibatkan
pelayanan kesehatan menjadi berkurang sehingga untuk menjangkau masyarakat
di desa terpencil menjadi terbatas. Dokter umum 1 orang dan tenaga kesehatan
lainnya dirasakan cukup memadai dengan meningkatkan jumlah kader kesehatan
baik untuk pelayanan di Posyandu dan kesehatan lingkungan melalui pelatihan
dan penyuluhan kesehatan. Penyakit yang diderita masyarakat Rarowatu
umumnya adalah infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), alergi kulit, penyakit
otot dan jaringan pengikat, malaria klinis, bronkhitis, gastritis, diare, asma dan
hipertensi.
51
Masalah yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan adalah letak geografis
yang terpencar seperti Desa Rau-Rau dan Desa Wumbubangka, tingkat
pengetahuan masyarakat dan kondisi ekonomi yang miskin sehingga mereka
umumnya mendatangi dukun atau mencari obat-obatan tradisional.
- Keagamaan
Sarana keagamaan adalah Mesjid, Gereja dan Pura. Gambaran mengenai
sarana peribadatan dapat dilihat pada Tabel 16 berikut :
Tabel 16: Banyaknya Sarana Peribadatan di Kecamatan Rarowatu
No.
Tempat ibadah
1
MesjidMushollah
Gereja
2
Pura
3
Wihara
4
Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002)
Jumlah
30
3
7
-
Tabel 16 menggambarkan bahwa 75% dari seluruh tempat ibadah di
Kecamatan Rarowatu adalah Mesjid. Hal ini sangat lumrah mengingat penduduk
terbesar kecamatan ini adalah beragama Islam. Kemudian Pura berjumlah 7 buah
yang dimiliki oleh suku Bali yang umumnya beragama Hindu dan Gereja tiga
buah. Meskipun ada Agama Budha namun Wihara tidak ada karena jumlah
penganutnya sangat sedikit.
- Obyek Wisata
Potensi pariwisata andalan di Kecamatan Rarowatu adalan Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang sebagian wilayahnya ada di
kecamatan ini. Luas TNRAW ini adalah 106.703 Ha yang memiliki sahva langka
(anoa, rusa,haya) dan puspa langka (anggrek serat puspa). Selain itu terdapat
Taman Buru Mata Osu di Desa Rau-Rau serta potensi wisata di wilayah pantai.
4.4.3. Ekonomi
Kondisi ekono~ni masyarakat umumnya tergolong miskin dengan
pendapatan rata-rata perbulan 250.0U0,- (lihat Tabel 24). Mata pencahariaan
utama adalah pertanian karena masyarakat Rarowatu memandang bahwa sistem
pertanian adalah bagian dari sistem kehidupan (way of life) (lihat Tabel 9).
Sehingga
daiam
pertumbuhan
ekonominya
didasarkan
pada
kondisi
perkembangan sektor pertanian.
A. Produksi Pertanian Utama
Pertumbuhan ekonomi Kecamatan Rarowatu tahun 2001 tercatat 20%
yang merupakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada saat krisis karena
hampir semua komoditas pertanian utama adalah produk ekspor seperti hasil
perkebunan dan perikanan. Komoditas pertanian utama dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17: Komoditas Utama Menurut Sub Sektor
Komoditas menurut
Sub sektor
Luas
(Ha)
Luas panen
(Ha, ekor)
Produksi
(ton, ekor)
Produktifitas
(tonlha,
kgle kor)
2760
100
69
5
8556
160
966
7,5
3,l
1,6
14,O
1,5
418
100
130
160
167
I5
80
80
0,4
0,15
0,5
03
6076
500
5 1.485
2500
1805
110
23.160
420
105
25
0,75
1
626
262
200
191
0,32
0,72
1. Tanaman pangan
2960
-Padi sawah
100
-Jagung
69
-Ubi kayu
5
-Kacang tanah
2. Perkebunan
880
-Jambu mete
119
-Kopi
136
-Kelapa
376
-Kakao
3. Peternakan
-Sapi
-Kambing
-Ayam buras
-1tik
4. Perikanan (tambak)
-Udang
-Bandeng
$umber : PPL Kecamatan Rarowatu,
(2002)
53
Luas tanaman pangan dari luas panen relatif sama, berarti bahwa hasil
pertanian pada umumnya dalam kondisi yang cukup baik. Produktifitas masih
cukup rendah karena ditangani secara tradisional padahal ada peluang untuk
ditingkatkan.
Tanaman
perkebunan
menunjukan
penurunan
luas
panen
dibandingkan luas lahan yang diusahakan dan produktifitasnya masih rendah
karena serangan hamalpenyakit seperti babi, walang sangit, busuk akar dan
kerusakan buah dan bij i.
Sub sektor peternakan dan perikanan masih diusahakan secara sambilan
sehingga produktifitasnya masih rendah. Padahal prospek peternakan cukup tinggi
mengingat luas lahan kering masih luas (21.061 Ha). Sektor perikanan dikelola
secara tradisional sehingga produktifitasnya rendah yaitu udang (320 kg/Ha) dan
ikan bandeng (720 kg/Ha). Sub sektor perikanan tambak tidak dapat ditingkatkan
luas Lahan karena keterbatasan lahan tambak. Kalau akan ditingkatkan, maka akan
merusak populasi mangrove yang ada karena dari luas pantai 2.913 Ha hanya
tinggal 500 Ha adalah hutan mangrove.
B. Pola Kepemilikan Lahan
Dari wawancara dengan dan Kepala Desa dan tokoh masyarakatladat
terungkap bahwa pola kepemilikan lahan di Kecamatan Rarowatu awalnya
bersumber dari warisan atau membeli, sehingga suku lokal semuanya memiliki
lahan untuk perurnahan maupun untuk pertanian. Kepemilikan lahan mulanya
adalah tanah negara dan hak ulayat, kemudian dialihkan menjadi ha1 milik.
Pendatang seperti Bugis-Makassar, pemilikan lahan bersumber dari
membeli dari penduduk lokal. Suku Bali dan Suku Jawa memiliki lahan karena
pembagian melalui program transmigrasi di Desa Lantari, Desa Aneka Marga dan
54
Desa Lomba Kasih dengan luas lahan rata-rata 2 Ha tiap KK. Sehingga suku lokal
inaupun pendatang sama memiliki lahan sendiri yang diperuntukan untuk kegiatan
pertanian sawah, tambak, kebun maupun ladang.
Pola bagi hasil yang terjadi bilamana seseorang mengerjakan atau
menggarap lahan orang lain, lnaka berlaku ketentuan adat melalui perjanjian yang
disepakati bahwa : (1) pihak penggarap akan rnemperoleh bagian dari hasil
sebesar 113, jika pemilik lahan yang menyediakan biaya pengolahan tanah,
penyediaan bibit, sarana produksi lainnya; (2) pihak penggarap akan menerima
bagian dari hasil sebesar 213, jika penggarap sendiri yang rnenyediakan biaya
pengolahan lahan, penyediaan bibit dan sarana produksi lainnya. Pola bagi hasil
ini berlaku secara umum pada semua kegiatan pertanian di Kecainatan Rarowatu.
Dari pengamatan lapangan dan wawancara dengan masyarakat terungkap
umumnya pola kepemilihan lahan di sekitar pantai umumnya dikuasai oleh
pendatang (Suku Bugis-Makassar) terutama yang berada dijalan poros yang
digunakan untuk kegiatan perdagangan dan perikanan (tambak). Penduduk asli
umumnya bermukim dan berusaha di daerah pegunungan. Suku Jawa-Bali
bermukim di lokasi transmigrasi.
Rata-rata luas lahan garapan petani dan keluarganya di Kecamatan
Rarowatu adalah 1,4 Ha dan status pemilikan lahan adalah sebagai pemilik dan
sebagian sewa gadai (sakap), sementara sebagai buruh tani hanya sebagian kecil.
Sehingga dilihat dari jumlah rumah tangga petani (2230 KK) dan potensi lahan
pertanian (25.159 Ha) adalah 1 berbanding 1 1,3, maka Kecamatan Rarowatu
masih sangat kekurangan tenaga kerja di bidang pertanian (Tabel 5 dan Tabel 9).
55
C. Pola Usaha Tani
Pola usaha tani masyarakat Rarowatu umumnya berusaha di lahan basah,
mengusahakan tanaman padi dan atau kemudian diberokan. Sementara di lahan
kering petani mengusahakan ternak, tanaman perkebunan (kopi, kakao, kelapa dan
jambu mete), mengusahakan sayur-sayuran, kacang-kacangan dan ubi. Di pantai
yang ditumbuhi hutan mangrove mengusahakan ikan bandeng dan udang.
Jelasnya lihat pada Tabel 18.
Tabel 18: Pola Usaha Tani di Kecamatan Rarowatu
Pola Usaha Tani
Areallpopulasi
(Ha, ekor)
Lahan Basah
Tanam I : padi + padi
Tanam 11: padi + palawija
Tanam 111: padi + bero
Ternak
Sapi
Kambing
Ayam buras
Lahan kering
Tanam I: jagung + padi gogo
Tanam 11: kacang tanah
Tanam 11: Ubi kayu
Sayuran
Tambak u d a n ~& bandeng
Perkebunan
Kelapa + kakao
Jambu mete
Kopi
Sumber : PPL Kecamatan Rarowatu, (2002)
Petani yang
Mengusahakan
--
Dari Tabel 18 terlihat petani yang mengusahakan tanam padi dan bero
lebih banyak dibandingkan dengan sistem tanam dua kali setahun Hal ini terjadi
karena disamping pengelolaan lahan yang tradisional juga teknologi rendah dan
sumber air yang lnasih mengandalkan irigasi desa yang sederhana. Disamping
sebagai petani tanaman pangan, penduduk Rarowatu juga ada yang mengusahakan
56
ternak dan tanaman perkebunan, dan yang mengusakan tambak umumnya
berprofesi sebagai nelayan yang mencari ikan di laut.
Pada lahan kering petani disamping mengusahakan ternak juga menanam
tanaman perkebunan seperti kakao yang dipadukan dengan tanaman kelapa,
jalnbu mete dan kopi. Perpaduan kelapa dan kakao dimaksudkan untuk efisiensi
penggunaan lahan, disamping itu tanaman kelapa dapat dijadikan sebagai tanaman
naungan. Banyak petani yang
mengusahakan tanaman perkebunan karena
mempunyai harga yang cukup tinggi dipasaran lokal terutama kakao dan jambu
mete mempunyai harga rata-rata Rp. 5.000,- per kilogram, sementara di pasar
ekspor harga tanaman perkebunan lebih tinggi lagi. Dari pola usaha tani terlihat
bahwa komoditas yang diusahakan petani adalah komoditas pertanian yang
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
D. Tingkat Penerapan Teknologi
Tingkat penerapan teknologi pada petani di Kecamatan Rarowatu
umumnya rata-rata diatas 50 persen untuk tanaman yang menjadi komoditas
primadona seperti pada tanaman padi dan tanaman kakao dan jambu mete,
sementara pada peternakan dan perikanan penerapan teknologinya masih rendah.
Rendahnya penerapan teknologi tersebut mulai dari pemilihan bibitlbenih,
pengolahan tanah, pengendalian hama dan penyakit, pemeliharaan, pemupukan
sampai dengan pasca panen. Untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi pada
petani dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19: Tingkat Penerapan Teknologi Pada Petani di
Kecamatan Rarowatu
No
Kegiatan Pertanian
Tingkat Penerapan
(%)
1
Pembibitanlpembenihan
30-75
2
Pengolahan lahan
50-75
3
Pemupukan
60-80
4
Pengendalian hamdpenyakit
40-60
5
Pasca panen
50-75
Rata-rata
55
Sumber: PPL Kecamatan Rarowatu, (2002)
Dari Tabel 19 nampak bahwa penerapan teknologi yang paling tinggi
hanya pada kegiatan pemupukan (80%), sementara yang paling rendah kisarannya
adalah pada pemilihan bibit dan benih (30%). Namun secara umum penerapan
teknologi masih mempunyai fluktuasi yang cukup besar sehingga sangat
mempengaruhi produktifitas hasil pertanian. Rendahnya tingkat penerapan
teknologi yang menyebabkan adanya fluktuasi produksi disebabkan oleh kondisi
ekonomi masyarakat (petani) umumnya miskin dan tingkat pengetahuan yang
masih rendah serta keterampilan berusaha tani yang tidak merata. Penerapan
teknologi yang rendah umumnya dilakukan oleh petani lokal (suku asli),
sementara pendatang umumnya sudah lebih maju terutama dalam penerapan
teknologi dan keterampilan berusaha tani.
Rata-rata penerapan teknologi masih terbilang rendah karena sebagian
petani masih ada yang mengusahakan pertaniannya secara tradisional sementara
petani lain sudah mengadopsi teknologi walaupun belum memadai.
E. Karateristik Kelompok Tani
Karateristik kelompok tani menunjukan dinamika kehidupan pertanian dan
tingkat penyerapan dan penerapan teknologi yang diberikan oleh penyuluh. Untuk
mengetahui dinalnika dan tingkat inovasi teknologi pada masyarakat Rarowatu
terlihat pada karateristik kelompok tani pada Tabel 20.
Tabel 20: Karateristik Kelornpok Tani di Kecanlatan Rarowatu
1
Kelurahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Taubonto
Rau-Rau
Pangkuri
Lakomea
Rarowatu
Ladumpi
Lantawua
Hukaea
Wumbubangka
Aneka Marga
Lomba Kasih
Lantari
Jumlall
I
Kelas Kelompok Tani
No. Desal
Pemula
Lanjut
Madya
Utama
1
2
4
4
-
-
-
-
-
-
5
-
6
-
Total
-
3
2
2
2
3
6
4
9
2
-
-
8
7
10
4
3
2
-
31
49
9
-
-
Sumber : PPL Kecanlatan Raro~vatu,(2002)
Dari Tabel 20 nampak kelompok tani terbesar adalah kelas lanjut (49
kelompok) yang berarti bahwa kelolnpok ini sudah rnenerapkan teknologi yang
disalnpaikan oleh penyuluh namun masih tetap dalam pengawasan dan
bimbingan. Kelnudian kelas pelnula sebanyak 31 kelornpok berarti bahwa
kelompok ini penerapan teknologi baru dalam tahap sosialisasi dan perkenalaii
yang sampaikan ole11 penyuluh. Kelas Madya sebanyak sembilan kelompok yang
berarti bahwa baru sembilan kelompok tani yang benar-benar telah menyerap dan
rnenerapkan teknologi walaupun tetap dalanl bimbingan penyuluh pel-tanian
59
lapangan (PPL). Kelas Madya semuanya berada pada masyarakat desa dari Suku
Jawa dan Suku Bali yang merupakan transmigrasi dan umumnya suku ini sudah
lama mengenal sistem pertanian modern.
Desa-desa transmigrasi merupakan desa yang paling banyak memiliki
kelompok tani. Desa ini umumnya merupakan desa yang secara sosial ekonomi
relatif maju dibanding daerah yang kelompok taninya sedikit. Sejalan dengan
pernyataan PPL Kecamatan Rarowatu (Isnain, BSc), bahwa pada desa yang telah
maju perekonomian melalui pertanian akan ditandai dengan banyaknya kelompok
tani terutarna yang berada pada kelas yang levelnya lebih tinggi. Desa banyak
kelompok tani dan maju pertanian adalah desa transmigrasi seperti Desa Lomba
Kasih, Desa Lantari dan Desa Aneka Marga. Sedangkan yang pertanian masih
tradisional dan tingkat sosial ekonomi relatif rendah adalah Desa Rau-Rau dan
Desa Lantowua. Sedangkan desa yang tingkat kemajuan pertaniannya agak maju
adalah Desa Hukaea, Kelurahan Taubonto, Desa Rarowatu dan Desa Lakomea.
Jadi pada daerah yang dihuni oleh pendatang umumnya mempunyai pertanian
yang lebih maju dibandingkan dengan masyarakat asli.
F. Prospek dan Segmen Pasar Produk Pertanian
Prospek pasar komoditas pertanian di Kecamatan Rarowatu yang berasal
dari tanaman pangan adalah padi sawah. Dari tanaman perkebunan didominasi
kakao, kelapa dan jambu mete, dari peternakan umumnya adalah ternak sapi, dari
perikanan adalah udang dan bandeng.
Tanaman padi merupakan tanaman yang dominan diusahakan oleh Suku
Moronene maupun oleh pendatang karena mereka memang mempunyai keahlian
60
dalam sistem pertanian lahan basah. Luas lahan yang diusahakan untuk kegiatan
pertanian, padi sawah adalah yang terluas. Tanaman umbi-umbian pada lahan
kering diusahakan untuk kebutuhan konsumsi dan selebihnya untuk dijual. Kakao
dan jambu mete merupakan tanaman perkebunan dominan karena disamping
cocok dengan kondisi tanah dan iklim, juga merupakan tanaman yang mempunyai
peluang pasar cukup baik. Demikian pula dengan ternak sapi dan perikanan
mempunyai prospek pasar.
Segmen pasar pada tanaman pangan lebih diutamakan untuk kebutuhan
lokal sedangakan tanaman perkebunan, perikanan dan peternakan diutamakan
memenuhi permintaan antar pulau maupun untuk kebutuhan ekspor melalui
perusahaan di ibukota kabupaten dan ibukota propinsi.
4.4.4. Budaya
Kelembagaan dalam sistem pertanian Suku Moronene tidak dapat
dilepaskan dalarn kelembagaan adat yang ada sejak turun temurun. Walaupun
dalam berapa daerah sudah tidak efektif namun marsih ada daerah atau kampung
(Tobu) yang masih konsisten menggunakan kelembagaan adat dalam sistem
kemasyarakatan yang berdampingan dengan sistem pemerintahan.
Sistem adat masih berpedoman pada struktur dan pemerintahan Tobu yang
pernah ada. Walaupun masih terkesan feodalisme karena keputusan dari atas,
narnun pengambil keputusan adalah orang yang teruji kepernirnpinan dan
kemampuan, sehingga masyarakat masih mematuhi mekanisme yang lahir dari
pemimpin mereka. Dalam kesehariaan, peranan lembaga adat masih diakui
oleh masyarakat Moronene dan prakteknya masih dilakukan dibeberapa Tobu
61
seperti di Hukaea Laea. Untuk memahami kelembagaan adat Suku Moronene di
dapat dilihat pada struktur lembaga adat pada Gambar 2.
MOKOLEI
PUU TOBU
........................
BONTOI
........,.,................
,
TOLEA
WAKILI MOKOLEI
PUU T O B U
-
JURU
TULISI
INALAHI
-
TOTONGANO
LOMBO
L
TOTONGANO
KADADI
L
Kapala
Kapala
1
Serea
Serea
Serea
Serea
Ra'yati (rakyat)
....................
KAMOTUANO
KARlPO
Garis Struktural
Garis Koordinasi
Gambar 2: Struktur Lembaga Adat Suku Moronene
62
Secara garis besar, struktur pelnerintahan adat Suku Moronene terbagi
dalam beberapa bidang yang masing-masing bidang mempunyai tanggung jawab
secara otonom atas bidangnya masing-masing. Bidang tersebut adalah :
-
Mokole/Puu tobu bertugas membantu Apua (penasehat), menentukan Apua
(dewan kerajaan), mengatur dan menetukan wilayah kekuasaan tapal batas.
-
Wakili Mokole/Puu Tobu bertugas mewakili tugas-tugas Mokole/Puu Tobu
apabila berhalangan atau mendapat tugas khusus.
-
Bonto adalah dewan penvakilan yang bertugas memberi nasehat, mengatur
penyelesaian atas semua persoalan yang tidak selesai serta memutuskan denda
-
Limbo bertugas mematuhi dan menjalankan perintah Mokole dan Apua dengan
sungguh-sungguh sebagai panglima perang (Tamalaki).
-
Adati Pabitara sebagai juru damai dan mendamaikan segala perselisihan di
masyarakat baik perdata maupun pidana
-
Tolea, mengatur soal hukum adat perkawinan, mempersiapkan bahan, alat dan
memirnpin upacara perkawinan dan ritual upacara adat.
-
Totongano Lombo, bertanggungjawab menangani urusan kehutanan dan
lingkungan, mengatur pembagian dan penentuan lahan yang akan dijadikan
areal pertanian dan menentukan luas areal lahan setiap warga.
-
Totongano Inalahi, bertugas menentukan jumlah dan jenis hasil hutan yang
dapat diambil, menjaga kelestarian air dan mengawasi pengelolaan hutan.
-
Kalnotuano Kainpo bertugas rnernberi pengayoman dan ketertiban dalam
Kampung serta tempat bertanya oleh masyarakat berbagai masalah.
-
Totongano Kadadi bertanggung jawab menangani urusan yang berhubungan
dengan satwa atau hewan yang boleh diburu dan perlindungannya.
63
-
Kapala, adalah kepala kampung untuk menyampaikan dan menyebarluaskan
di wilayahnya sehubungan dengan kebijakan Mokole dalam pengelolaan
sumberdaya daya alam dan lingkungan serta pemerintahan adat
-
Serea, bertugas menyampaikan perintah kepala kampung kepada masyarakat
dari rumah-kerumah atau RT sekarang ini.
- Juru tulisi bertugas sebagai sekretaris untuk Inencatat segala ha1 yang
berkaitan dengan tugas bidang-bidang otonomi.
Untuk melaksanakan fungsi-fungsi lembaga adat, masyarakat Moronene
mempercayakannya pada turunan Raja (Mokole) untuk mengendalikan sistem adat
dalam melindungi segenap warga baik Suku Moronene maupun warga lain yang
bermukim di tanah Moronene. Untuk mengingkat persaudaraan antara warga asli
dan pendatang dilakukan suatu mekanisme adat yang bernama Tanduale yaitu
sumpah atau perjanjian persahabatan untuk saling membantu dan melindungi
dalam situasi apapun. Praktek Tanduale ini sampai saat ini masih dipegang teguh
oleh Suku Moronene dengan Suku Bugis.
Download