IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Asal Usul dan Perkembangan Suku Moronene Suku Moronene merupakan suku tertua yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara berdalnpingan dengan Suku Tolaki dan Suku Mekongga. Nama Moronene berasal dari suatu jenis tumbuhan dengan ciri-ciri fisik kulit batangnya dapat dikupas untuk dijadikan tali, daunnya digunakan untuk pembungkus nasi atau sejenis kue yang disebut lemper (Tarimana dalartz SHK 2001; Tahyas, 1999). Gambar pohon nene dapat dilihat pada Lam piran 4. Secara etimologis, kata Moronene terdiri atas dua suku kata yakni Moro yang berarti serupa dan Nene berarti pohon resam (Gleichenia linearis). Sehingga Moronene berarti orang (yang menyerupai) Moro yang tinggal di sekitar pohon resam, Sebagaimana pohon resam yang biasanya hidup mengelompok di daerahdaerah subur seperti lembah atau pinggiran sungai yang kaya akan sumber air, maka nama Moronene melambangkan peradaban leluhur yang hidup mengelolnpok sebagai peramu, petnburu dan petani tradisional di daerah-daerah yang subur, dekat dengan sungai dan aman dari gangguan musuh (Tahyas, 1999). Daerah sebaran pernukiman Suku Moronene merupakan salah satu wilayah yang subur dan kaya akan sumberdaya alam di Sulawesi Tenggara. Dari ciri-ciri fisiknya, orang Moronene dapat diidentifikasi sebagai suku bangsa yang tergolong rumpun Melayu Tua, yanz datang dari Hindia Belakang pada zaman pra sejarah atau zaman batu muda kira-kira 2000 sebelum Masehi (Monografi Sultra, 1975). Sumber lain yang dikutip dari Tengku Solihin dari Johor dalanz Monografi Sultra (1 975) niengungkapkan bahwa Suku Moronene berasal dari Hindia Belakang yang masuk melalui Jawa tepatnya di sekitar Mataram, kemudian menyebar ke Timur dan masuk daratan Sulawesi dan bermukim di sekitar Danau Matana pada waktu kira-kira tahun 719 Masehi. Sehingga kedatangan Suku Moronene di Sulawesi Tenggara (Sultra) diduga berlangsung dalam dua tahap: a. Tahap pertama, mereka datang dari Hindia Belakang melalui sebelah utara Sulawesi, masuk ke Sulawesi Tengah bersama-sama suku lainnya seperti Suku Mori, Suku Bungku, dan Suku Menui. Selama di Sulawesi Tengah terdapat beberapa daerah yang diduga menjadi tempat tinggal mereka sebelum melanjutkan perjalanan ke arah selatan yaitu kampung Molore (sekarang Desa Molore Sultra). Istilah Molore berasal dari bahasa Moronene yang berarti 1icin. Demikian pula dengan nama daerah disekitar danau Matano (Matana) berasal dari Moronene yang berarti hulu sungai. Dari Sulawesi Tengah kemudian menyebar ke selatan (Sulawesi Tenggara). Mereka menyebar dengan berjalan kaki atau menggunakan rakit menyelusuri Sungai Konawe dan Sungai Eha. Beberapa nama sungai, bukit, gunung, kampung yang dapat dijadikan petunjuk bahwa nenek moyang Suku Moronene dahulu pernah mendiami atau melalui beberapa wilayah di Kabupaten Kendari dan Kolaka (sekarang didiami Suku Tolaki di Kendari dan Suku Mekongga di Kolaka). Melihat persamaan nama, maka cukup mendasar jika dikatakan bahwa yang memberi nama tersebut adalah penduduk yang pertama kali mendiami daerah tersebut. Tahap inilah yang diduga paling akurat sebagai proses masuknya Suku Moronene di Sulawesi Tenggara. Menurut Tahyas (1999) Suku Moronene seketurunan dengan Suku Moro di Filipina Selatan yang datang melalui daratan Sulawesi Utara dan bergeser ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah di sekitar Danau Towuti, Sungai Lasolo dan Danau Matana b. Tahap kedua, mereka datang melalui Pulau Jawa dan kemudian mendarat di pantai barat (di Labu'a-wilayah pantai timur Poleang sekarang). Kemudian mereka rnenyebar ke pedalaman dan pesisir pantai untuk mencari daerahdaerah subur dan tempat perburuan dan kemudian menjadi perkampungan. Tahyas (1999) mengatakan disamping menyebar di daratan Sulawesi, orang Moronene kemudian setelah itu ada yang menyebar ke pulau-puiau disekitarnya seperti Pulau Kabaena sejak abad XVI yang mendiami pesisir pantai Kabaena Timur seperti di Desa Tapuhaka dan Dongkala. Kemudian setelah itu disusul kedatangan Suku Bugis-Selayar dan Suku Bajo sekitar awal abad XX. Suku Moronene mempunyai pertalian darah dengan Suku Mori di Malili, Bungku (Sulawesi Tengah), Toraja (Sulawesi Selatan), Laiwui, Mekongga dan Tolaki (Sulawesi Tenggara) yang mendiami daratan Kendari, Pulau Wawonii, Pulau Menui dan daratan Kulisusu. Mereka yang mendiami daratan besar Sulawesi lazim disebut to Wite Ea (orang yang tinggal di daratan besar) dan yang tinggal di pulau disebut to Wite Ate (orang yang tinggal di pulau atau daratan kecil). Menurut beberapa riwayat bahwa mereka yang menyebrang ke Pulau Kabaena konon mereka yang tidak bersedia membayar upeti kepada Belanda. Secara ekologis saat ini orang Moronene tinggal dan menyebar di sebagian wilayah Kecamatan Tinanggea Kabupaten Kendari hingga Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, yaitu mulai dari Pu'u Olo (pantai timur 33 Tinanggea) dengan melalui Sungai Eha, Sungai Pohara, Sungai Rumbia sampai pantai sebelah barat (Teluk Bone). Kemudian dari Watubangga di sebelah Timur Sungai Toari Kolaka hingga Sungai Oko-Oko di Tangketada Kabupaten Kolaka. Secara adminsitratif pemukiman orang Moronene menyebar di tujuh wilayah kecamatan, yakni enam wilayah di Kabupaten Buton yaitu Kecamatan Kabaena dan Kabaena Timur (Pulau Kabaena), Rumbia, Poleang, Poleang Timur dan Rarowatu. Satu wilayah di Kabupaten Kolaka yaitu Kecamatan Watubangga. Ketujuh wilayah tersebut merupakan wilayah kerajaan "cultur area" Moronene yang berpusat di Taubonto (Kecamatan Rarowatu sekarang). Namun karena hubungan perkawinan atau alasan lain sehingga orang Moronene ada yang menyebar di wilayah sekitarnya (Kabupaten Kendari). Untuk jelasnya peta penyebaran Suku Moronene dapat dilihat pada Lampiran 1. Wilayal~sebaran Suku Moronene mempunyai luas keseluruhan kira-kira 3.973 krn2 yang saat ini telah dihuni oleh penduduk kurang lebih 121.448 jiwa yang berasal dari berbagai etnis dan merupakan wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Buton-Kolaka-Kendari (Kapet Bukari) (Anonim, 2001). 4.2. Sejarah Singkat Terbentuknya Kecamatan Rarowatu Ibukota Kecamatan Rarowatu adalah di Kelurahan Taubonto, merupakan salah satu kecamatan dari 14 kecamatan di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara yang terbentuk secara resmi pada tanggal 7 Mei 1999 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1999, tanggal 25 Maret 1999 Tentang Pemekaran Wilayah Kecamatan di Seluruh Indonesia. 34 Monografi Kecamatan Rarowatu (2000) mencatat bahwa sejarah terbentuknya Kecamatan Rarowatu tidak terlepas dari sejarah keberadaan Suku Moronene yang mempunyai latar belakang pemerintahan kerajaan dibawah Kesultanan Buton pada abad ke-19 dan Kecamatan Rumbia sebagai kecamatan induk. Sebagai bagian dari kerajaan Kesultanan Buton yang berpusat di Wolio (Bau-Bau), masyarakat Moronene membentuk penvakilan pemerintahan yang disebut dengan Dewan Perwakilan (Bonto) yang awal pemerintahannya dipusatkan di Lakomea dan tidak lama kemudian secara resmi pemerintahan kerajaan Moronene dipindahkan ke Taubonto (ibukota Kecamatan Rarowatu sekarang). Di Rarowatu, pemerintahan raja (Mokole) mulai berlangsung dengan Raja I bernama Sangia Iweli, Raja I1 bernama Sangia Ngkinale, Raja I11 bernama Sangia Rahawatu, Raja IV bernama Munara, Raja V bernama H. Ipimpie dan tahun 2002 telah dialihkan kepada Sahrun Munara sebagai pemangku adat (Mokole) Suku Moronene. Pada awalnya Kecamatan Rarowatu berinduk pada Kecamatan Rumbia. Kemudian sejak tahun 1994, Rarowatu dibentuk menjadi kecamatan perwakilan sebagai persiapan pembentukan kecamatan baru. Berdasarkan hasil evaluasi pemerintah terhadap dinamika kependudukan, luas wilayah dan potensi sumberdaya alam, maka pada tahun 1999 tepatnya tanggal 7 Mei Kecamatan Rarowatu reslni menjadi kecamatan baru yang terpisah dari Kecamatan Rumbia dengan camat pertama sampai sekarang Nasrun Mbolu, SE (Monografi Rarowatu, 2000). 4.3. Letak dan Luas Wilayah 4.3.1. Letak Wilayah Kecamatan Rarowatu yang secara astronomi terletak pada 23,03'- 44,51° Lintang Selatan dan 12 1,43O - 122,06' Bujur Timur, dengan batas-batas adininistratif wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tinanggea (Kabupaten Kendari) - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Poleang Timur - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Poleang Barat - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Rumbia dan Selat Tiworo Secara geografis, Kecamatan Rarowatu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara yang terletak di jazirah selatan daratan Sulawesi Tenggara (Pulau Sulawesi). Kecamatan Rarowatu adalah pemekaran dari Kecamatan Rumbia mempunyai luas 649,lO kilometer persegi (km2) atau 64.910 hektar (Ha) dan saat ini merupakan salah satu dari delapan kecamatan yang menjadi lokasi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Buton-Kolaka-Kendari (Kapet Bukari) yang berpusat di Kecamatan Poleang Timur. Untuk mencapai ibukota kecamatan, jarak yang harus ditempuh dari ibukota Propinsi (Kendari) adalah 208 km yang dapat dicapai dengan kendaraan darat sekitar empat sampai lima jam perjalanan. Dari ibukota kabupaten (BauBau) dapat di tempuh dengan perjalanan laut dengan menggunakan kapal motor selama 10 jam melalui Kasipute (ibukota Keca~natanRumbia), dan selanjutnya menggunakan kendaraan darat sekitar 17 k n ~ . 4.3.2. Luas Wilayah Kecamatan Rarowatu mempunyai wilayah seluas 649,lO km2 atau 64.9 10 Ha, yang terbagi atas sebelas desa dan satu kelurahan dengan garnbaran luas wilayah yang dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1: Luas Wilayah Kecamatan Rarowatu Menurut Desa dan Kelurahan Luas (Ha) DesaIKelurahan No. Prosentase (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 10,09 10,53 13,94 4,62 3,46 9,02 4,65 12,05 10,32 9,82 6,89 Taubonto Rau-Rau Pangkuri Lakomea Rarowatu Ladumpi Lantawua Hukaea Wumbubangka Aneka Marga Lomba Kasih Lantari Jumlah I 2.982 64.910 I I Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) Dari Tabel 1, nampak bahwa ada beberapa desa yang mempunyai luas wilayah yang cukup besar disebabkan oleh luasnya wilayah sementara penduduknya kecil. Dari sebelas desa dan satu kelurahan yaitu Taubonto terdiri dari sembilan desa tertinggal. Desa tertinggal umumnya mudah dicapai karena kondisi jalan yang cukup baik. Dua desa lainnya tergolong desa terpencil sehingga sulit dicapai karena keterbatasan transportasi dan prasarana jalan seperti Desa Wumbubangka dan Desa Rau-Rau. Kondisi ini juga berakibat pada koordinasi pemerintahan yang relatif lambat karena kondisi geografis yang luas. 4.4. Gambaran Umum Kawasan 4.4.1. Keadaan Agroekologi Secara umum wilayah Kecamatan Rarowatu mempunyai kondisi topografi yang cukup beragam dengan kemiringan berkisar antara 0' - 40' dengan pembagian sebagaimana pada Tabel 2 berikut : Tabel 2: Topografi Kecamatan Rarowatu I 1 1 1 Kemiringan 0-2 2-15 15-40 > 40 I 1 1 1 Luas(Ha) 6.491,O 22.069,4 32.455,O 3.894,6 I Jumlah I / 1 1 % 10 34 50 6 I 64.910 / Keterangan Landai 1 Berombak 1 Berombak berbukit 1 Bergunung I 100 Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) Dari Tabel 2 nampak bahwa topografi Kecamatan Rarowatu mempunyai kemiringan terbesar antara 15' - 40' yang berarti sebagian besar daerah ini mempunyai topografi berombak berbukit. Ini karena hampir seluruh wilayah Kecainatan Rarowatu berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Roraya mempunyai gunung yang tinggi dan sumber mata air bagi wilayah di sekitarnya misalnya Kecamatan Poleang Timur, Poleang Barat dan Ruinbia. Sedangkan daerah landai sekitar 10 % berada disekitar pantai yang berbatas dengan laut (Selat Tiworo). Gunung yang terdapat di wilayah Rarowatu dalam gugus pegunungan Tompobatu adalah Gunung Wumbubangka (605 m), Gunung Taubonto (53 1 m), dan Gunung Watuinohai (532 m) serta Gunung Medoke (1010 in) diperbatasan Kabupaten Kendari. Konsekuensi sebagai daerah berombak dan bergunung, wilayah pemukiman masyarakat Kecamatan Rarowatu mempunyai ketinggian antara 0-400 meter dari permukaan laut (dpl) sehingga mempunyai rejim suhu panas. Jenis tanah adalah mediteran dengan pH rata-rata netral sampai agak asam (5,5-6,7), ketebalan gambut sekitar 1,5 m dengan kondisi drainase baik-sedang. Morfologi wilayah secara umum dikelompokkan dalam 4 satuan yakni pegunungan, perbukitan, karts dan pendataran. Struktur geologi yang dijumpai adalah struktur lipatan, kekar dan sesar. Struktur lipatan merupakan lipatan lemah baik antiklin maupun siklin dijumpai pada batu-batauan neogen dengan arah dari sumbu lipatan relatif utara-selatan (Bukari, 2001). Kedalaman air tanah untuk air tanah dangkal antara 3-1 8 meter sedangkan air tanah dalam antara 175 meter. Sumber air di Kecamatan Rarowatu mempunyai potensi yang sangat besar yang terdiri dari sungai besar, sungai kecil dan kali. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3: Sungai dan Debit Air di Kecamatan Rarowatu No. Sungai Debit (m3/detik) 1 Tangkari Langkowala 2 Lausu 3 Doule 4 Laea 5 Lampopala 6 Mandumuadule 7 <umber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) 0,5 6,5 3,5 4 1,5 4 3,5 Disamping sungai-sungai yang cukup besar tersebut terdapat beberapa sungai kecil yang mempunyai debit dibawah 0,5 m3/detik seperti Sungai Kemata, Sungai Jawi-Jawi, Lantari, Sungai Watu-Watu, Sungai Le~nbululu, Sungai Membaho serta beberapa kali seperti Kali Lawaea, Kali Langkapa, KaJi Lampeantani. Hasil curah hujan yang diamati oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan tiga stasiun curah hujan setempat tercatat bahwa curah hujan rata-rata di wilayah Kecamatan Rarowatu berkisar antara 1500-2000 mm per tahun. Kecamatan Rarowatu mempunyai iklim panas-sedang dengan suhu berkisar 2733' C, dan mempunyai dua musim yaitu musim hujan (Desember-Juni) dengan tujuh bulan basah dan musim kemarau (Juli-Nopember) dengan lima bulan kering. Luas lahan di Kecamatan Rarowatu berdasarkan ekosistemnya terbagi empat hagian yaitu lahan sawah, lahan kering, wilayah pantai dan perairan umum. Adapun yang sudah diusahakan adalah lahan sawah, lahan kering dan sebagian wilayah pantai. Pembagian lahan menurut ekosistem dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4: Pola Penggunaan Lahan Menurut Ekosistem No I 1 / Lahan basah 1 1 ) 1 1 / I Luas (Ha) Tipe Ekosistem 2 Lahan kering 3 Pantai 4 Perairan umum Jumlah I I I I I Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) Dari Tabel 4 tergambar bahwa lahan kering merupakan ekosistem yang cukup luas yaitu 21.061 Ha atau 32,424 dari total wilayah Keca~natanRarowatu. Ini sangat potensial bagi pengembangan komoditas perkebunan dan usaha pemeliharaan ternak yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik. Ekosistem lahan basah (ekosistem pantai dan perairan) umumnya hampir sama, sisanya inerupakan hutan, bangunan dan pekarangan dan padang rumput. 40 Kondisi lahan kering yang cukup luas sebab sebagian Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang mempunyai luas 106.703 Ha, sekitar 20 % berada di wilayah Kecamatan Rarowatu. Ekosistem TNRAW ini terdiri atas hutan, rawa, padang rumput dan pantai. Luas lahan menurut penggunaannya di Kecamatan Rarowatu dapat dilihat pada Tabel 5: Tabel 5: Luas Lahan Menurut Penggunaannya I No 1 Penggunaan Lahan I 1 I Hutan 1 1 2 Sawah (irigasi & tadah hujan) 1 4 1 Perkebunan besar 1 / 5 I 1 Luas (Ha) I / I Perkebunan rakyat Padang rumput Tanah kosong Tambak Kolam Pekaranganltanah bangunan Lain-lain I I Jumlah Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) Dari Tabel 5 tampak bahwa luas lahan menurut pengunaannya, luas hutan menempati urutan terbesar dari seluruh luas Kecamatan Rarowatu yaitu 35.699 Ha (55,00%) disusul perkebunan besar 15.000 Ha (23,11%), perkebunan rakyat 1 769 Ha (2,72%), padang rumput 3.725 Ha (5,74%), sawah 3.244 (5,00%) dan lainlain (perairan umum) 3.1 18 Ha (4,80). Sisanya 221 8 Ha (3,73%) adalah ladang, tanah kosong, tambak, bangunan pekarangan. Hutan di Kecamatan Rarowatu termasuk Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Poleang-Rumbia rnerupakan hutan lindung. Perkebunan besar 41 adalah Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. Barito Pacific Timber. Potensi padang rumput cukup besar untuk peternakan, sawah merupakan mata pencaharian utama dan Suku Moronene. Potensi lain yang cukup besar dan belum tergarap adalah perairan umum untuk perikanan dan obyek wisata bahari. 4.4.2. Sosial A. Kependudukan - Jumlah Penduduk Dari luas wilayah 649,10 km2 dan jumlah penduduk 12.029 jiwa, Kecamatan Rarowatu memiliki kepadatan penduduk rata-rata 18,53 per km2 dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,8% pertahun. Kepadatan penduduk akan sangat menentukan seberapa ruang yang dapat dimanfaatkan oleh manusia di dalamnya untuk mendukung kehidupan. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6: Jumlah Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Jenis Kelamin dan KK I Kelurahan Jenis Kelamin Laki-Laki I Jurnlah % KK Perempuan Taubonto Rau-Rau Pangkuri Lakomea Rarowatu Ladumpi Lantawua Hukaea Wum bu bangka Aneka Marga Lomba Kasih Lantari Jumlah Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) Jurnlah 7,9 3,3 2,9 5,5 6,3 4,2 5,2 7,7 431 15,8 15,7 21,l 100 249 104 93 167 195 128 134 211 108 515 471 590 2965 Dari Tabel 6 menunjukan bahwa pada umumnya desa yang banyak penduduknya adalah desa transmigrasi seperti Desa Aneka Marga, Desa Lomba Kasih dan Desa Lantari. Sedangkan lainnya adalah desa yang ditempati oleh Suku Moronene mempunyai penduduk relatif sedikit kecuali Kelurahan Taubonto. - Komposisi Penduduk Menurut Umur Komposisi penduduk menurut umur Kecamatan Rarowatu menunjukan bahwa penduduk yang berusia muda jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk yang berusia tua. Untuk lebih jelasnya keadaan penduduk menurut umur dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7: Keadaan Penduduk Menurut Umur Umur Jumlah 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 >75 Jumlah 1.307 1.236 936 803 1.538 84 1 712 1.254 792 678 667 312 436 294 152 62 12.029 Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) - Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan Dari aspek pendidikan, sebagian besar penduduk Kecamatan Rarowatu berpendidikan SLTP, SD dan SLTA, sedangkan yang berpendidikan akademi dan perguruan tinggi jumlah sangat sedikit. Usia belum sekolah dan tidak sekolah tergolong cukup banyak. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8: Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Tingkat Pendidikan No ( Tingkat Pendidikan Jumlah YO Belum sekolah Tidak sekolah 40 18 SLTP SLTA AkademiJDiploma Perguruan Tinggi Jumlah 12.029 100 Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) Dari Tabel 8 menunjukan bahwa penduduk Kecamatan Rarowatu sebagian besar (70,26%) sudah melaksanakan wajib belajar sembilan tahun, sementara untuk akademi dan perguruan tinggi jumlahnya sedikit (1,05%). Hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi yang miskin dan tempat melanjutkan pendidikan mempunyai jarak yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka yaitu harus ke ibukota provinsi atau kabupaten. Jumlah penduduk yang tidak sekolah relatif sedikit (9,06%) dan mereka ini umumnya mempunyai usia yang sudah lanjut. Kondisi komposisi penduduk menurut pendidikan, terlihat bahwa masyarakat Rarowatu mempunyai kondisi sumberdaya manusia yang masih rendah sehingga perlu ada peningkatan melalui penambahan jumlah sarana dan prasarana pendidikan dan subsidi untuk keluarga tidak mampu. - Komposisi Penduduk Menurut Pekerjaan Mata pencahariaan utama kepala keluarga (KK) masyarakat Rarowatu terbanyak adalah bertani kemudian disusul peternak dan pegawai negeri sipil, tentara dan polisi (PNS/TNI/Polri). Sementara nelayan, pedagang, pensiunan, pengrajin dan sebagainya jumlahnya sangat sedikit. Untuk jelasnya komposisi penduduk menurut pekerjaan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9: Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Pekerjaan Pekerjaan Jumlah (KK) Petani 2230 242 Peternak Nelayan 208 35 Pengusahafpedagang 120 PNS/TNI/Pol ri 10 Tukang 52 Pensiunan 60 Lain-lain Jumlah 2965 Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) No 1 2 3 4 5 6 7 8 O/O 75,2 1 8,16 7,Ol 1,18 4,05 0,34 1,75 2,70 100 Data pada Tabel 9, menunjukan bahwa penduduk Kecamatan Rarowatu lebih besar yang menjadi petani (75.21%), disusul peternak (8,16%), nelayan (7,01%), PNS/TNI/Polri (4,05%). Selebihnya pedagang, tukang, pensiunan dan pekerjaan lain-lain (2,70%). Banyaknya petani dan peternak daerah ini sangat subur dan kaya akan sumberdaya alam serta potensi air besar dan lahan cukup luas. Nelayan umumnya berkerja membuka tambak dan mencari ikan di laut, sementara PNS,TNI/Polri umumnya berasal dari pendatang yang kemudian 45 menetap menjadi penduduk Kecamatan Rarowatu. Pekerjaan lainnya adalah pensiunan dan tukang yang jumlahnya kecil. Pekerjaan lain adalah mereka melakukan berbagai pekerjaan seperti buruh tani, tukang ojek atau sopir kendaraan umum. Pekerjaan ini dilakukan karena mereka tidak metnpunyai lahan pertanian atau modal untuk berdagang. - Komposisi Penduduk Menurut Suku Penduduk Kecamatan Rarowatu berasal dari berbagai daerah di tanah air dengan suku terbesar adalah Suku Moronene, Suku Jawa, Suku Bali, dan Suku Bugis-Makassar. Sementara yang kecil adalah Suku Tolaki, Suku Buton, Suku Muna, Suku Toraja dan Suku Manado. Untuk jelasnya komposisi penduduk menurut Suku dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10: Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Suku No 1 2 3 4 5 Suku Jumlah O h 7303 655 2490 1031 550 12.029 60,71 5,45 20,7 8,17 437 100 Moronene Bugis Makassar Jawa BaliILombok Lain-lain Jumlah Sumber : Kantor Canzat Rarowatu, (2002) Dari Tabel 10 tampak bahwa Suku Moronene merupakan suku terbesar atau 60,71 persen dari total penduduk Rarowatu, kemudian disusul Suku Jawa (20,70%), Suku Bali dan Suku Lombok (8,17%), Suku Bugis-Makassar (5,45%) dan sisanya dari berbagai suku. Suku Moronene terbesar karena daerah ini merupakan pusat kebudayaan dan sosial ekonomi secara turun temurun. Suku Moronene umumnya bertnukim di daerah pegunungan seperti Desa Rau-Rau, 46 Desa Pangkuri, Desa Lakomea, Desa Taubonto, Desa Wumbubangka, Desa Rarowatu dan Desa Ladumpi. Sedangkan Suku Jawa, Suku Bali dan Suku Lombok adalah transmigrasi yang datang secara masal pada tahun 1982-1984, sehingga komposisinya menduduki posisi kedua setelah penduduk asli. Mereka hidup dari pertanian dan sebagian kecil mengusahakan ternak dan kerajinan dan bermukim di lokasi transmigrasi seperti di Desa Lantari, Desa Lomba Kasih dan Desa Aneka Marga. Sedangkan Suku Bugis-Makassar merupakan pendatang di tanah Moronene sejak awal abad ke-20 dan mereka bermukim di sekitar pantai, umumnya bekerja sebagai nelayan, petani, berdagang. Mereka bermukim di Desa Hukaea, Desa Lantawua. Sedangkan Suku lain berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang berprofesi sebagai PNS, TNIIPolri, dan petani. - Komposisi Penduduk Menurut Agama Penduduk Kecamatan Rarowatu sebagian besar beragama Islam sedangkan sisanya beragama Kristen, Hindu dan Budha. Penganut agama di Kecamatan Rarowatu berjalan harmonis dan saling toleransi. Untuk jelasnya komposisi penduduk menurut agama dapat dilihat pada Tabel 1 1. Tabe! 11: Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Agama Agama No Jumlah O h 10.530 87,54 1 Islam 2 Kristen 5 13 4,26 3 Hindu 967 8,04 4 Budha 19 0,16 12.029 100 Jumlah Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) 47 Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh penduduk Rarowatu (87,54%) dan masyarakat Moronene pada umumnya sebab sejak turun temurun penduduk di daerah ini sudah lama mengenal Agama Islam baik karena intensifnya da'wah maupun interaksi yang cukup lama dengan Suku BugisMakassar yang berdiam di Kecamatan Rarowatu dan sekitarnya. Agama Kristen umumnya dianut oleh penduduk asli Moronene. Agama Hindu dianut oleh masyarakat dari Suku Bali dan Agania Budha dianut oleh masyarakat yang berasal dari Suku Jawa. B. Sarana dan Prasarana Kondisi sarana dan prasarana sangat menentukan keberhasilan suatu wilayah dalam pembangunan termasuk di dalamnya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial maupun budaya. Penyajian kondisi sarana dan prasarana ditekankan pada aspek yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, seperti lembaga ekonomi pertanian, pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan pariwisata yang berada di wilayah Kecamatan Rarowatu. - Sosial Ekonomi Pertanian Kondisi kelembagaan ekonomi yang berada di Kecamatan Rarowatu masih dalam kategori kurang baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga perlu ada perhatian dan dukungan pemerintah serta partisipasi sektor swasta. Berikut ini disajikan kondisi kelembagaan ekonomi di wilayah Rarowatu sebagaimana tercantum dalam Tabel 12. Tabel 12: Banyaknya Lembaga Ekonomi Pertanian di Kecamatan Rarowatu Jumlah Bengkel 1 5 1 Koperasi tani 11 Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) Tabel 12 menunjukan jumlah kelembagaan sosial ekonomi pertanian yang paling banyak adalah koperasi tani sementara lainnya relatif kecil. Ini menunjukan tingkat perekonomian masyarakat lnasih rendah apalagi pasarnya adalah pasar tradisional yang dilakukan dua kali dalam seminggu. Di pasar dilakukan transaksi jual beli, dimana petani memasarkan hasil kebunnya dan membeli kebutuhan hidup seperti gula, garam, minyak tanah, rokok, pakaian dan ikan kering. - Pendidikan Kemajuan pendidikan di Kecamatan Rarowatu dapat dilihat dari sarana dan prasarana pendidikan tercermin dari kondisi murid dan guru serta sarana pendidikan seperti gedung sekolah, tenaga pengajar dan siswa yang dapat dilihat pada Tabel 13 berikut : Tabel 13: Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid di Kecamatan Rarowatu Jumlah Jenis Sekolah TK Sekolah Guru ( G ) Murid (M) Rasio G/M 1 2 47 1 : 23,5 2 SD 13 77 2095 1 : 27,2 3 SLTP 2 18 679 1 : 37,7 4 SLTA 1 5 54 1 : 10,s No 1 Sumber : Kantor Cangat Rarowatu, (2002) Dari Tabel 13 terlihat bahwa jumlah sekolah cukup sedikit kalau dibandingkan dengan jumlah usia sekolah. Rasio murid dan guru pada sekolah lanjutan pertama belum memadai, karena masih banyak guru dari luar daerah enggan untuk ditempatkan di daerah terpencil. Sedikitnya murid dan jumlah sekolah karena kesadaran masyarakat dan kemampuan ekonomi yang rendah. Setelah menamatkan di SLTP mereka memilih untuk kawin bagi wanita dan bekerja di kebun untuk laki-laki untuk membantu ekonomi keluarga. Demikian pula dengan letak sarana pendidikan yang cukup jauh sehingga tidak ada kelnauan untuk bersekolah. Kalau ingin sekolah harus pergi di daerah lain. - Transportasi Dari segi transportasi, kendaraan yang dimiliki oleh masyarakat Rarowatu adalah kendaraan roda dua, roda empat dan sepeda. Untuk jelasnya kondisi transportasi di Kecamatan Rarowatu dapat lihat pada Tabel 14. 1 I No. I Tabel 14: Banyaknya Transportasi di Kecamatan Rarowatu Jenis transportasi Jumlah I m a t Sepeda I :1 356 Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) Dari Tabel 14 menunjukan bahwa kendaraan terbanyak adalah jenis sepeda yang umumnya dimiliki oleh transmigrasi dari Jawa dan Bali. Kendaraan bermotor roda dua ada 81 unit yang terdiri dari kendaraan dinas dan milik masyarakat. Roda empat meliputi pick up, minibus dan truk, umumnya dimiliki oleh masyarakat dari Suku Bugis dan Suku Bali. Kendaraan yang masuk ke Kecamatan Rarowatu berasal dari kecamatan disekitarnya. - Kesehatan Dari segi kesehatan jumlah sarana dan prasarana kesehatan masih tergolong sedikit baik tenaga kesehatan, maupun fasilitas kesehatan. Sehingga untuk memenuhi pelayanan, tenaga kesehatan umumnya direkrut dari masyarakat yang dilatih seperti dukun bayi maupun kader kesehatan lainnya. Untuk lebih jelasnya kondisi sarana dan prasarana kesehatan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 : Banyaknya Fasilitas dan Tenaga Kesehatan di Kecamatan Rarowatu No Fasilitas Kesehatan 1 2 3 4 5 6 7 Puskesmas Puskesmas pembantu Posyandu Toko obat Pos obat Polindes Klinik KB Jumlah No Tenaga Kesehatan Jumlah 1 Dokter umum Perawat Bidan Dukun terlatih Sanitarian Pembantu ahli gizi Kader kesehatan Administrasi 1 5 7 16 1 1 112 1 1 5 30 1 4 2 2 3 4 5 6 7 8 Sumber : Kantor Carnat Rarowatu, (2002) Dari Tabel 15 terlihat bahwa Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) berjumlah 1 buah, sehingga pelayanan tiap desa dilakukan dengan mengaktifkan puskesmas pembantu. Keterhatasan fasilitas kesehatan ini mengakibatkan pelayanan kesehatan menjadi berkurang sehingga untuk menjangkau masyarakat di desa terpencil menjadi terbatas. Dokter umum 1 orang dan tenaga kesehatan lainnya dirasakan cukup memadai dengan meningkatkan jumlah kader kesehatan baik untuk pelayanan di Posyandu dan kesehatan lingkungan melalui pelatihan dan penyuluhan kesehatan. Penyakit yang diderita masyarakat Rarowatu umumnya adalah infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), alergi kulit, penyakit otot dan jaringan pengikat, malaria klinis, bronkhitis, gastritis, diare, asma dan hipertensi. 51 Masalah yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan adalah letak geografis yang terpencar seperti Desa Rau-Rau dan Desa Wumbubangka, tingkat pengetahuan masyarakat dan kondisi ekonomi yang miskin sehingga mereka umumnya mendatangi dukun atau mencari obat-obatan tradisional. - Keagamaan Sarana keagamaan adalah Mesjid, Gereja dan Pura. Gambaran mengenai sarana peribadatan dapat dilihat pada Tabel 16 berikut : Tabel 16: Banyaknya Sarana Peribadatan di Kecamatan Rarowatu No. Tempat ibadah 1 MesjidMushollah Gereja 2 Pura 3 Wihara 4 Sumber : Kantor Camat Rarowatu, (2002) Jumlah 30 3 7 - Tabel 16 menggambarkan bahwa 75% dari seluruh tempat ibadah di Kecamatan Rarowatu adalah Mesjid. Hal ini sangat lumrah mengingat penduduk terbesar kecamatan ini adalah beragama Islam. Kemudian Pura berjumlah 7 buah yang dimiliki oleh suku Bali yang umumnya beragama Hindu dan Gereja tiga buah. Meskipun ada Agama Budha namun Wihara tidak ada karena jumlah penganutnya sangat sedikit. - Obyek Wisata Potensi pariwisata andalan di Kecamatan Rarowatu adalan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang sebagian wilayahnya ada di kecamatan ini. Luas TNRAW ini adalah 106.703 Ha yang memiliki sahva langka (anoa, rusa,haya) dan puspa langka (anggrek serat puspa). Selain itu terdapat Taman Buru Mata Osu di Desa Rau-Rau serta potensi wisata di wilayah pantai. 4.4.3. Ekonomi Kondisi ekono~ni masyarakat umumnya tergolong miskin dengan pendapatan rata-rata perbulan 250.0U0,- (lihat Tabel 24). Mata pencahariaan utama adalah pertanian karena masyarakat Rarowatu memandang bahwa sistem pertanian adalah bagian dari sistem kehidupan (way of life) (lihat Tabel 9). Sehingga daiam pertumbuhan ekonominya didasarkan pada kondisi perkembangan sektor pertanian. A. Produksi Pertanian Utama Pertumbuhan ekonomi Kecamatan Rarowatu tahun 2001 tercatat 20% yang merupakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada saat krisis karena hampir semua komoditas pertanian utama adalah produk ekspor seperti hasil perkebunan dan perikanan. Komoditas pertanian utama dilihat pada Tabel 17. Tabel 17: Komoditas Utama Menurut Sub Sektor Komoditas menurut Sub sektor Luas (Ha) Luas panen (Ha, ekor) Produksi (ton, ekor) Produktifitas (tonlha, kgle kor) 2760 100 69 5 8556 160 966 7,5 3,l 1,6 14,O 1,5 418 100 130 160 167 I5 80 80 0,4 0,15 0,5 03 6076 500 5 1.485 2500 1805 110 23.160 420 105 25 0,75 1 626 262 200 191 0,32 0,72 1. Tanaman pangan 2960 -Padi sawah 100 -Jagung 69 -Ubi kayu 5 -Kacang tanah 2. Perkebunan 880 -Jambu mete 119 -Kopi 136 -Kelapa 376 -Kakao 3. Peternakan -Sapi -Kambing -Ayam buras -1tik 4. Perikanan (tambak) -Udang -Bandeng $umber : PPL Kecamatan Rarowatu, (2002) 53 Luas tanaman pangan dari luas panen relatif sama, berarti bahwa hasil pertanian pada umumnya dalam kondisi yang cukup baik. Produktifitas masih cukup rendah karena ditangani secara tradisional padahal ada peluang untuk ditingkatkan. Tanaman perkebunan menunjukan penurunan luas panen dibandingkan luas lahan yang diusahakan dan produktifitasnya masih rendah karena serangan hamalpenyakit seperti babi, walang sangit, busuk akar dan kerusakan buah dan bij i. Sub sektor peternakan dan perikanan masih diusahakan secara sambilan sehingga produktifitasnya masih rendah. Padahal prospek peternakan cukup tinggi mengingat luas lahan kering masih luas (21.061 Ha). Sektor perikanan dikelola secara tradisional sehingga produktifitasnya rendah yaitu udang (320 kg/Ha) dan ikan bandeng (720 kg/Ha). Sub sektor perikanan tambak tidak dapat ditingkatkan luas Lahan karena keterbatasan lahan tambak. Kalau akan ditingkatkan, maka akan merusak populasi mangrove yang ada karena dari luas pantai 2.913 Ha hanya tinggal 500 Ha adalah hutan mangrove. B. Pola Kepemilikan Lahan Dari wawancara dengan dan Kepala Desa dan tokoh masyarakatladat terungkap bahwa pola kepemilikan lahan di Kecamatan Rarowatu awalnya bersumber dari warisan atau membeli, sehingga suku lokal semuanya memiliki lahan untuk perurnahan maupun untuk pertanian. Kepemilikan lahan mulanya adalah tanah negara dan hak ulayat, kemudian dialihkan menjadi ha1 milik. Pendatang seperti Bugis-Makassar, pemilikan lahan bersumber dari membeli dari penduduk lokal. Suku Bali dan Suku Jawa memiliki lahan karena pembagian melalui program transmigrasi di Desa Lantari, Desa Aneka Marga dan 54 Desa Lomba Kasih dengan luas lahan rata-rata 2 Ha tiap KK. Sehingga suku lokal inaupun pendatang sama memiliki lahan sendiri yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian sawah, tambak, kebun maupun ladang. Pola bagi hasil yang terjadi bilamana seseorang mengerjakan atau menggarap lahan orang lain, lnaka berlaku ketentuan adat melalui perjanjian yang disepakati bahwa : (1) pihak penggarap akan rnemperoleh bagian dari hasil sebesar 113, jika pemilik lahan yang menyediakan biaya pengolahan tanah, penyediaan bibit, sarana produksi lainnya; (2) pihak penggarap akan menerima bagian dari hasil sebesar 213, jika penggarap sendiri yang rnenyediakan biaya pengolahan lahan, penyediaan bibit dan sarana produksi lainnya. Pola bagi hasil ini berlaku secara umum pada semua kegiatan pertanian di Kecainatan Rarowatu. Dari pengamatan lapangan dan wawancara dengan masyarakat terungkap umumnya pola kepemilihan lahan di sekitar pantai umumnya dikuasai oleh pendatang (Suku Bugis-Makassar) terutama yang berada dijalan poros yang digunakan untuk kegiatan perdagangan dan perikanan (tambak). Penduduk asli umumnya bermukim dan berusaha di daerah pegunungan. Suku Jawa-Bali bermukim di lokasi transmigrasi. Rata-rata luas lahan garapan petani dan keluarganya di Kecamatan Rarowatu adalah 1,4 Ha dan status pemilikan lahan adalah sebagai pemilik dan sebagian sewa gadai (sakap), sementara sebagai buruh tani hanya sebagian kecil. Sehingga dilihat dari jumlah rumah tangga petani (2230 KK) dan potensi lahan pertanian (25.159 Ha) adalah 1 berbanding 1 1,3, maka Kecamatan Rarowatu masih sangat kekurangan tenaga kerja di bidang pertanian (Tabel 5 dan Tabel 9). 55 C. Pola Usaha Tani Pola usaha tani masyarakat Rarowatu umumnya berusaha di lahan basah, mengusahakan tanaman padi dan atau kemudian diberokan. Sementara di lahan kering petani mengusahakan ternak, tanaman perkebunan (kopi, kakao, kelapa dan jambu mete), mengusahakan sayur-sayuran, kacang-kacangan dan ubi. Di pantai yang ditumbuhi hutan mangrove mengusahakan ikan bandeng dan udang. Jelasnya lihat pada Tabel 18. Tabel 18: Pola Usaha Tani di Kecamatan Rarowatu Pola Usaha Tani Areallpopulasi (Ha, ekor) Lahan Basah Tanam I : padi + padi Tanam 11: padi + palawija Tanam 111: padi + bero Ternak Sapi Kambing Ayam buras Lahan kering Tanam I: jagung + padi gogo Tanam 11: kacang tanah Tanam 11: Ubi kayu Sayuran Tambak u d a n ~& bandeng Perkebunan Kelapa + kakao Jambu mete Kopi Sumber : PPL Kecamatan Rarowatu, (2002) Petani yang Mengusahakan -- Dari Tabel 18 terlihat petani yang mengusahakan tanam padi dan bero lebih banyak dibandingkan dengan sistem tanam dua kali setahun Hal ini terjadi karena disamping pengelolaan lahan yang tradisional juga teknologi rendah dan sumber air yang lnasih mengandalkan irigasi desa yang sederhana. Disamping sebagai petani tanaman pangan, penduduk Rarowatu juga ada yang mengusahakan 56 ternak dan tanaman perkebunan, dan yang mengusakan tambak umumnya berprofesi sebagai nelayan yang mencari ikan di laut. Pada lahan kering petani disamping mengusahakan ternak juga menanam tanaman perkebunan seperti kakao yang dipadukan dengan tanaman kelapa, jalnbu mete dan kopi. Perpaduan kelapa dan kakao dimaksudkan untuk efisiensi penggunaan lahan, disamping itu tanaman kelapa dapat dijadikan sebagai tanaman naungan. Banyak petani yang mengusahakan tanaman perkebunan karena mempunyai harga yang cukup tinggi dipasaran lokal terutama kakao dan jambu mete mempunyai harga rata-rata Rp. 5.000,- per kilogram, sementara di pasar ekspor harga tanaman perkebunan lebih tinggi lagi. Dari pola usaha tani terlihat bahwa komoditas yang diusahakan petani adalah komoditas pertanian yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. D. Tingkat Penerapan Teknologi Tingkat penerapan teknologi pada petani di Kecamatan Rarowatu umumnya rata-rata diatas 50 persen untuk tanaman yang menjadi komoditas primadona seperti pada tanaman padi dan tanaman kakao dan jambu mete, sementara pada peternakan dan perikanan penerapan teknologinya masih rendah. Rendahnya penerapan teknologi tersebut mulai dari pemilihan bibitlbenih, pengolahan tanah, pengendalian hama dan penyakit, pemeliharaan, pemupukan sampai dengan pasca panen. Untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi pada petani dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19: Tingkat Penerapan Teknologi Pada Petani di Kecamatan Rarowatu No Kegiatan Pertanian Tingkat Penerapan (%) 1 Pembibitanlpembenihan 30-75 2 Pengolahan lahan 50-75 3 Pemupukan 60-80 4 Pengendalian hamdpenyakit 40-60 5 Pasca panen 50-75 Rata-rata 55 Sumber: PPL Kecamatan Rarowatu, (2002) Dari Tabel 19 nampak bahwa penerapan teknologi yang paling tinggi hanya pada kegiatan pemupukan (80%), sementara yang paling rendah kisarannya adalah pada pemilihan bibit dan benih (30%). Namun secara umum penerapan teknologi masih mempunyai fluktuasi yang cukup besar sehingga sangat mempengaruhi produktifitas hasil pertanian. Rendahnya tingkat penerapan teknologi yang menyebabkan adanya fluktuasi produksi disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat (petani) umumnya miskin dan tingkat pengetahuan yang masih rendah serta keterampilan berusaha tani yang tidak merata. Penerapan teknologi yang rendah umumnya dilakukan oleh petani lokal (suku asli), sementara pendatang umumnya sudah lebih maju terutama dalam penerapan teknologi dan keterampilan berusaha tani. Rata-rata penerapan teknologi masih terbilang rendah karena sebagian petani masih ada yang mengusahakan pertaniannya secara tradisional sementara petani lain sudah mengadopsi teknologi walaupun belum memadai. E. Karateristik Kelompok Tani Karateristik kelompok tani menunjukan dinamika kehidupan pertanian dan tingkat penyerapan dan penerapan teknologi yang diberikan oleh penyuluh. Untuk mengetahui dinalnika dan tingkat inovasi teknologi pada masyarakat Rarowatu terlihat pada karateristik kelompok tani pada Tabel 20. Tabel 20: Karateristik Kelornpok Tani di Kecanlatan Rarowatu 1 Kelurahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Taubonto Rau-Rau Pangkuri Lakomea Rarowatu Ladumpi Lantawua Hukaea Wumbubangka Aneka Marga Lomba Kasih Lantari Jumlall I Kelas Kelompok Tani No. Desal Pemula Lanjut Madya Utama 1 2 4 4 - - - - - - 5 - 6 - Total - 3 2 2 2 3 6 4 9 2 - - 8 7 10 4 3 2 - 31 49 9 - - Sumber : PPL Kecanlatan Raro~vatu,(2002) Dari Tabel 20 nampak kelompok tani terbesar adalah kelas lanjut (49 kelompok) yang berarti bahwa kelolnpok ini sudah rnenerapkan teknologi yang disalnpaikan oleh penyuluh namun masih tetap dalam pengawasan dan bimbingan. Kelnudian kelas pelnula sebanyak 31 kelornpok berarti bahwa kelompok ini penerapan teknologi baru dalam tahap sosialisasi dan perkenalaii yang sampaikan ole11 penyuluh. Kelas Madya sebanyak sembilan kelompok yang berarti bahwa baru sembilan kelompok tani yang benar-benar telah menyerap dan rnenerapkan teknologi walaupun tetap dalanl bimbingan penyuluh pel-tanian 59 lapangan (PPL). Kelas Madya semuanya berada pada masyarakat desa dari Suku Jawa dan Suku Bali yang merupakan transmigrasi dan umumnya suku ini sudah lama mengenal sistem pertanian modern. Desa-desa transmigrasi merupakan desa yang paling banyak memiliki kelompok tani. Desa ini umumnya merupakan desa yang secara sosial ekonomi relatif maju dibanding daerah yang kelompok taninya sedikit. Sejalan dengan pernyataan PPL Kecamatan Rarowatu (Isnain, BSc), bahwa pada desa yang telah maju perekonomian melalui pertanian akan ditandai dengan banyaknya kelompok tani terutarna yang berada pada kelas yang levelnya lebih tinggi. Desa banyak kelompok tani dan maju pertanian adalah desa transmigrasi seperti Desa Lomba Kasih, Desa Lantari dan Desa Aneka Marga. Sedangkan yang pertanian masih tradisional dan tingkat sosial ekonomi relatif rendah adalah Desa Rau-Rau dan Desa Lantowua. Sedangkan desa yang tingkat kemajuan pertaniannya agak maju adalah Desa Hukaea, Kelurahan Taubonto, Desa Rarowatu dan Desa Lakomea. Jadi pada daerah yang dihuni oleh pendatang umumnya mempunyai pertanian yang lebih maju dibandingkan dengan masyarakat asli. F. Prospek dan Segmen Pasar Produk Pertanian Prospek pasar komoditas pertanian di Kecamatan Rarowatu yang berasal dari tanaman pangan adalah padi sawah. Dari tanaman perkebunan didominasi kakao, kelapa dan jambu mete, dari peternakan umumnya adalah ternak sapi, dari perikanan adalah udang dan bandeng. Tanaman padi merupakan tanaman yang dominan diusahakan oleh Suku Moronene maupun oleh pendatang karena mereka memang mempunyai keahlian 60 dalam sistem pertanian lahan basah. Luas lahan yang diusahakan untuk kegiatan pertanian, padi sawah adalah yang terluas. Tanaman umbi-umbian pada lahan kering diusahakan untuk kebutuhan konsumsi dan selebihnya untuk dijual. Kakao dan jambu mete merupakan tanaman perkebunan dominan karena disamping cocok dengan kondisi tanah dan iklim, juga merupakan tanaman yang mempunyai peluang pasar cukup baik. Demikian pula dengan ternak sapi dan perikanan mempunyai prospek pasar. Segmen pasar pada tanaman pangan lebih diutamakan untuk kebutuhan lokal sedangakan tanaman perkebunan, perikanan dan peternakan diutamakan memenuhi permintaan antar pulau maupun untuk kebutuhan ekspor melalui perusahaan di ibukota kabupaten dan ibukota propinsi. 4.4.4. Budaya Kelembagaan dalam sistem pertanian Suku Moronene tidak dapat dilepaskan dalarn kelembagaan adat yang ada sejak turun temurun. Walaupun dalam berapa daerah sudah tidak efektif namun marsih ada daerah atau kampung (Tobu) yang masih konsisten menggunakan kelembagaan adat dalam sistem kemasyarakatan yang berdampingan dengan sistem pemerintahan. Sistem adat masih berpedoman pada struktur dan pemerintahan Tobu yang pernah ada. Walaupun masih terkesan feodalisme karena keputusan dari atas, narnun pengambil keputusan adalah orang yang teruji kepernirnpinan dan kemampuan, sehingga masyarakat masih mematuhi mekanisme yang lahir dari pemimpin mereka. Dalam kesehariaan, peranan lembaga adat masih diakui oleh masyarakat Moronene dan prakteknya masih dilakukan dibeberapa Tobu 61 seperti di Hukaea Laea. Untuk memahami kelembagaan adat Suku Moronene di dapat dilihat pada struktur lembaga adat pada Gambar 2. MOKOLEI PUU TOBU ........................ BONTOI ........,.,................ , TOLEA WAKILI MOKOLEI PUU T O B U - JURU TULISI INALAHI - TOTONGANO LOMBO L TOTONGANO KADADI L Kapala Kapala 1 Serea Serea Serea Serea Ra'yati (rakyat) .................... KAMOTUANO KARlPO Garis Struktural Garis Koordinasi Gambar 2: Struktur Lembaga Adat Suku Moronene 62 Secara garis besar, struktur pelnerintahan adat Suku Moronene terbagi dalam beberapa bidang yang masing-masing bidang mempunyai tanggung jawab secara otonom atas bidangnya masing-masing. Bidang tersebut adalah : - Mokole/Puu tobu bertugas membantu Apua (penasehat), menentukan Apua (dewan kerajaan), mengatur dan menetukan wilayah kekuasaan tapal batas. - Wakili Mokole/Puu Tobu bertugas mewakili tugas-tugas Mokole/Puu Tobu apabila berhalangan atau mendapat tugas khusus. - Bonto adalah dewan penvakilan yang bertugas memberi nasehat, mengatur penyelesaian atas semua persoalan yang tidak selesai serta memutuskan denda - Limbo bertugas mematuhi dan menjalankan perintah Mokole dan Apua dengan sungguh-sungguh sebagai panglima perang (Tamalaki). - Adati Pabitara sebagai juru damai dan mendamaikan segala perselisihan di masyarakat baik perdata maupun pidana - Tolea, mengatur soal hukum adat perkawinan, mempersiapkan bahan, alat dan memirnpin upacara perkawinan dan ritual upacara adat. - Totongano Lombo, bertanggungjawab menangani urusan kehutanan dan lingkungan, mengatur pembagian dan penentuan lahan yang akan dijadikan areal pertanian dan menentukan luas areal lahan setiap warga. - Totongano Inalahi, bertugas menentukan jumlah dan jenis hasil hutan yang dapat diambil, menjaga kelestarian air dan mengawasi pengelolaan hutan. - Kalnotuano Kainpo bertugas rnernberi pengayoman dan ketertiban dalam Kampung serta tempat bertanya oleh masyarakat berbagai masalah. - Totongano Kadadi bertanggung jawab menangani urusan yang berhubungan dengan satwa atau hewan yang boleh diburu dan perlindungannya. 63 - Kapala, adalah kepala kampung untuk menyampaikan dan menyebarluaskan di wilayahnya sehubungan dengan kebijakan Mokole dalam pengelolaan sumberdaya daya alam dan lingkungan serta pemerintahan adat - Serea, bertugas menyampaikan perintah kepala kampung kepada masyarakat dari rumah-kerumah atau RT sekarang ini. - Juru tulisi bertugas sebagai sekretaris untuk Inencatat segala ha1 yang berkaitan dengan tugas bidang-bidang otonomi. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi lembaga adat, masyarakat Moronene mempercayakannya pada turunan Raja (Mokole) untuk mengendalikan sistem adat dalam melindungi segenap warga baik Suku Moronene maupun warga lain yang bermukim di tanah Moronene. Untuk mengingkat persaudaraan antara warga asli dan pendatang dilakukan suatu mekanisme adat yang bernama Tanduale yaitu sumpah atau perjanjian persahabatan untuk saling membantu dan melindungi dalam situasi apapun. Praktek Tanduale ini sampai saat ini masih dipegang teguh oleh Suku Moronene dengan Suku Bugis.