PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK

advertisement
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM
PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS TERKAIT
TINDAKAN ULTRA VIRES
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Imam Machdi
NIM: 109048000073
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM
STUDI
ILMU
HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435H/2014M
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM
PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS TERKAIT
TINDAKAN ULTRA VIRES
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Imam Machdi
NIM: 109048000073
KONSENTRASI
HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435H/2014M
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi
berjudul
Perlindungan
Hukum
Terhadap
Pihak
Investor
Dalam
Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Terkait Tindakan Ultra Vires telah
diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada
Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 23 Januari 2014
Mengesahkan
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri ( UIN )
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
semua dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplak orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
ABSTRAK
Imam Machdi. NIM 109048000073. PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM PERTANGGUNGJAWABAN
DIREKSI PERSEROAN TERBATAS TERKAIT TINDAKAN ULTRA VIRES.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. x +
84 halaman + halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar
atau landasan perlindungan hukum terhadap Pihak Ketiga dalam hal Direksi
Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires. Penulis ingin mengetahui
bagaimana upaya yang dapat dilakukan terhadap pemulihan hak Pihak Ketiga atas
tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas.
Penulis dalam menyusun skripsi ini menggunakan metode dalam kategori
jenis Penelitian Hukum Normatif, dimana pemilihan pada jenis Penelitian Hukum
Normatif didasarkan pada alasan karena perlindungan hukum terhadap Pihak Ketiga
dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan wanprestasi (ultra vires)
merupakan permasalahan kesenjangan hukum.
Hasil ini menunjukan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas mengatur perlindungan hak-hak para pemegang saham secara
lebih terperinci akan tetapi perlindungan hukum terhadap pihak investor yang
sebenarnya sangat berperan penting demi kelangsungan hidup perseroan terbatas
tidak ada pengaturannya atau walaupun ada maka sifatnya kurang jelas atau tidak
adanya pengaturan yang rinci yang mengatur perlindungan pihak investor atau
pemegang saham.
: Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Investor dan
Ultra Vires
Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H,M.H
H.M.Yasir,S.H,M.H
Daftar Pustaka : Tahun 1956 s.d Tahun 2009
Kata kunci
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb
Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan rahmat, berkah dan nikmat-Nya. Shalawat serta salam
dipanjatkan kepada Nabi Muhammad SAW serta pengikutnya, sehingga pada
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM
PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS TERKAIT
TINDAKAN ULTRA VIRES“ ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan, bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H,M.H,M.M. Selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H,M.H dan Drs. Abu Tamrin,
S.H,M.Hum. Selaku ketua dan sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah
memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses
penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H,M.H. Selaku dosen
Pembimbing 1 dan Bapak H. M. Yasir, S.H,M.H. Selaku dosen
Pembimbing 2 yang dengan sabar telah memberikan arahan dan masukan
serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4. Orang tua ayahanda Sumardi dan ibunda Dahlia yang penulis sayangi dan
hormati, terima kasih tak terhingga atas kasih sayang, do’a, bimbingan,
materi maupun moril dan segala yang telah diberikan untuk penulis.
v
5. Adik-adik penulis Apis Mawardi, Ahmad Permadi, Amelia Yuniardi dan
Siti Saufia yang penulis sayangi serta banggakan atas dukungan dan do’a
yang diberikan kepada penulis.
6. Ayu Sulistiya Ningsih, Adit Madewa dan Kinanti yang selalu memberikan
perhatiannya kepada penulis, memberikan dorongan, dukungan dan do’a
dalam proses penyusunan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum (Gagat Rahino, Ariawan Zaki,
Maulana Ichsan Setiadi, Sadam As’ad, Zakaria Zakim, Samsul, Farhan
Bestiardi, Roma Rizky, Arif Prasetiyo, Nauval, dkk) dan kawan-kawan
karib (Agung Jago, Wildan Nurasalim, Syarifudin dkk) khususnya prodi
Ilmu Hukum angkatan 2009 terima kasih yang tak terhingga yang sudah
membantu, motivasi, dan yang selalu menghibur penulis dikala penulis
sedang ada masalah.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu,semoga Allah
SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan
mereka (Amin).
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karna itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan
skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr,Wb.
Jakarta, 23 Januari 2014
Penulis,
Imam Machdi
vi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1
B. Identifikasi Masalah…………………………………… ………..... .8
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ....................................................8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................9
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................10
F. Kerangka Teoridan Konseptual ........................................................11
G. Metode Penelitian…………………………………………………..17
H. Sistematika Penulisan………………………………………………21
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN BERTINDAK
PERSEROAN TERBATAS DAN ULTRA VIRES ...............................
A. Pengertian Perseroan Terbatas dan Unsur-unsurnya……………….23
B. Eksistensi Organ-organ Perseroan Terbatas……………………… 34
C. Kompetensi Perseroan Terbatas…………………………………… 37
vii
BAB III HAK PIHAK INVESTOR ATAS PERLINDUNGAN HUKUM
AKIBAT TINDAKAN DIREKSI ULTRA VIRES ................................
A. Pengertian dan Perkembangan serta Pengaturan Ultra Vires……… 44
B. Prinsip Dasar Perlindungan Hukum……………………………..... .52
C. Urgensi Perlindungan Hukum……………………………….……….….58
BAB IV UPAYA REMEDIAL TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM
PERSPETIF SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN
PERSEROANTERBATAS .....................................................................
A. Sistem Pertanggungjawaban Dalam Perseroan ……………… …... 65
B. Pelaksanaan Upaya Remedial Terhadap Pihak Investor ..………... .76
BAB V
PENUTUP ................................................................................................
A. Kesimpulan………………………………………………………… 85
B. Saran……………………………………………………………… 88
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perekonomian yang diselenggarakan bedasarkan demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, untuk lebih meningkatkan
pembangunan perekonomian nasioanal dan sekaligus memberikan landasan yang
kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan
kemajuan ilmu pegatahuan dan teknologi pada era globalisasi sekarang dan akan terus
berlanjut pada masa mendatang, juga perlu dukungan lembaga perseroan terbatas
yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif yang
tentunya digerakan dalam kerangka yang kokoh dari undang-undang yang mengatur
tentang perseroan terbatas.1
Perseroan terbatas (selanjutnya disebut dengan perseroan) sebagai salah satu
pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum yang
kuat untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama
bedasarkan asas kekeluargaan, dengan tetap memunculkan prinsip-prinsip keadilan
1
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.1.
1
2
dalam berusaha. Perseroan terbatas merupakan badan hukum yang didirikan
bedasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Kegiatan usaha dari perseroan harus
sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya perseroan, serta tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan,ketertiban umum , dan atau kesusilaan.
Perseroan terbatas merupakan subjek hukum yang berhak menjadi pemegang
hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau kekayaan
tertentu. Hanya subjek hukum yang merupakan individu orang perorangan yang
dinilai memiliki
kecakapan melakukan perbuatan hukum serta mempertahankan
haknya di dalam hukum, juga badan hukum yang merupakan artificial person, yaitu
sesuatu yang diciptakan oleh hukum untuk memenuhi perkembangan kebutuhan
kehidupan masyarakat. Ketentuan yang diatur dalam pasal 519 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHAPdt) yang berbunyi “Ada barang yang bukan milik siapa pun,
barang lainnya adalah milik Negara, milik perekutuan atau milik perorangan”.2
Hukum positif di Indonesia pada pokoknya mengenal bentuk-bentuk
perusahaan seperti Firma (Fa), Commanditair Vennootschap (CV), Perseroan
Terbatas (PT) dan Koperasi. Akan tetapi bentuk-bentuk seperti itu, selain koperasi
yang memang didorong perkembangannya, maka yang banyak didirikan adalah
Perseroan Terbatas (PT). Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini frekuensi
2
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.2.
3
pendirian perseroan terbatas mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini`dapat
disimak dari pandangan bahwa dari berbagai bentuk perusahaan yang ada di
Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebagainya, maka
bentuk perusahaan perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan
sering dikatakan bahwa perseroan terbatas merupakan bentuk perusahaan yang
dominan.3
Ditinjau dari aspek hukum perjanjian perbuatan mendirikan, memiliki dan
mengelola Perseroan Terbatas (PT) tidaklah merupakan perbuatan tunggal, melainkan
sejak bentuk badan hukum perusahaan dikenal sudah menjadi perbuatan yang
melibatkan lebih dari satu orang bahkan banyak orang. Di dalam PT terdapat berbagai
hubungan hukum yaitu antara pemegang saham yang satu dengan yang lain, antara
perseroan dengan direksi, komisaris, pegawai, dan antara perseroan dengan pihak
investor.
Keberadaan berbagai hubungan tersebut merupakan suatu indikator atau suatu
pertanda yang menunjukan bahwa PT sejak mulai dari perancangan pendiriannya,
tahap operasional sampai dengan berakhirnya jangka waktu untuk PT itu didirikan
sebenarnya penuh dengan berbagai perjanjian. Oleh karena itu dikemukakan bahwa
PT merupakan perwujudan dari perjanjian-perjanjian. Bertumpu pada uraian singkat
tersebut semakin jelaslah di dalam suatu PT terdapat suatu proses yang didukung oleh
berbagai perjanjian. Keberadaan perjanjian-perjanjian itu bersifat menghidupkan,
3
http://mhugm.wikidot.com, Irna Nurhayati, Ulasan Tentang Status Badan Hukum
PerseroanTerbatas Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
H.1.Magister Hukum UGM, diakses tanggal 16/07/2013 jam 19:43.
4
memelihara kelangsungan hidup PT yang bersangkutan, bahkan dapat juga
mengantarkan menuju pada proses yang mengakhiri eksistensi PT itu sendiri.
Perjanjian diantara para pemegang saham pada pokoknya bersifat menghidupkan dan
sebaliknya mengakhiri, sedangkan perjanjian dengan direksi, stake holder terutama
karyawan serta pihak investor mengandung sifat yang bertujuan memelihara
kelangsungan hidup PT.
Berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan dalam rangka kelangsungan
hidup atau operasional PT, maka pertama terlihat pentingnya kedudukan pemegang
saham termasuk Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan direksi, komisaris
termasuk pula para staf serta pegawai yang dipekerjakan pada PT dan tidak
ketinggalan pihak investor, misalnya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Direksi
sebagai wakil PT dengan pihak lain seperti perjanjian dagang. Seluruh komponen
yang telah disebutkan itu pada pokoknya memberikan kontribusi yang tidak kecil
berupa kewajiban-kewajiban dan peranan sesuai porsinya masing-masing dalam
rangka memajukan dan meningkatkan perkembangan PT. Oleh karena itu agar
tercipta suatu keseimbangan, maka dipandang perlu untuk memberikan perhatian
mengenai aspek perlindungan hukumnya.
Sehubungan dengan pandangan bahwa PT merupakan suatu bentuk yang paling
dikenal, banyak digunakan sebagai bentuk dominan dari perusahaan, maka
perkembangan pemanfaatan PT yang pesat ini memperoleh perhatian secara yuridis.
Hal ini dapat dilihat dengan adanya pengaturan PT yang cukup berkembang.
5
Pengaturan yang pada awalnya dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (pasal 26 s/d pasal 56 KUHD) diganti dengan Undang-undang No. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas yang kemudian diganti dengan Undang-undang No.
40 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106) atau
yang disingkat dengan UUPT. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Pasal 75 ayat (1)
UUPT yang menentukan : “RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan
kepada Direksi atau Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang
ini dan Anggaran Dasar”. Disamping itu juga hak-hak lain seperti hak untuk
memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari
Direksi dan Komisaris. Sedangkan yang berkaitan dengan pengurusan perseroan,
Pasal 92 ayat (1) UUPT.4
Mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 92 ayat 1 UUPT tersebut
sebenarnya Direksi sudah dibatasi wewenangnya dimana Direksi dalam menjalan
pengurusan Perseroan harus tetap berpedoman dan tidak bertentangan dengan maksud
sertatujuan Perseroan sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar.
Jika dirinci, maka Direksi dalam menjalankan pengurusan Perseroan tunduk
pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Direksi dalam pengurusan harus memegang prinsip kehati-hatian dalam
bertindak,
UUPT Pasal 92 ayat 1“ Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Penjelasan pasal tersebut menyatakan,
bahwa ketentuan tadi menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi
pengurusan kegiatan dari perseroan”.
4
6
2. Direksi harus mengutamakan kepentingan-kepentingan Perseroan dari pada
kepentingan pribadinya,
3. Tindakan-tindakan Direksi haruslah tetap sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan yang tertuang dalam Anggaran Dasar. Apabila Direksi menyimpang
dari prinsip ini terutama terhadap yang ketiga, maka Direksi secara tidak
langsung telah menempatkan Perseroan dalam posisi melakukan tindakan yang
melampaui kewenangan yang telah diberikan. Dalam berbagai kepustakaan
hukum, tindakan ini disebut dengan ultra vires. Tindakan ultra vires itu dapat
menimbulkan kerugian pada Perseroan yang berarti kerugian pula bagi para
pemegang saham.
Di samping itu ultra vires juga dapat merugikan pihak investor. Sebagai contoh
dapat dikemukakan disini misalnya Direksi sebuah Perseroan Terbatas Perbankan
yang justru lebih banyak mengalirkan dana kepada pemegang saham sehingga
mengakibatkan PT Perbankan itu bangkrut atau dilikuidasi serta merugikan nasabah
penyimpan. Dalam hal ini timbul tidak sesuaianya antara norma hukum (dassollen)
pada satu sisi dengan kenyataannya dalam praktek (dassein) pada sisi lain. Dalam hal
ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan pemegang saham, maka UUPT telah
menyediakan norma-norma hukum yang dapat dimanfaatkan dalam rangka
memberikan perlindungan hukum kepada pemegang saham baik yang mayoritas
maupun minoritas.
Norma hukum yang dimaksud adalah ketentuan yang mengatur hak pemegang
saham melalui RUPS meminta pertanggungjawaban Direksi, dan ketentuan mengenai
7
hak pemegang saham minoritas untuk meminta dilakukannya pemeriksaan atas
jalannya Perseroan. Akan tetapi apabila ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan
pihak ketiga, maka pertanggungjawaban Direksi tidaklah jelas dan UUPT tidak
mengaturnya secara tegas atau tidak jelas mengaturnya. Bab VII Bagian Kesatu
UUPT mulai dari Pasal 92 sampai dengan Pasal 107 tidak dijumpai ketentuan yang
secara tegas mengatur mengenai pertangungjawaban tersebut.
Akan tetapi apabila mengacu pada ketentuan di dalam Pasal 97 ayat (1) yang
menentukan Direksi bertanggungjawab atas pengurusan perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) bahwa Direksi menjalankan pengurusan perseroan
untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, maka
pada satu sisi dapat dikemukakan terdapat pengaturan tanggungjawab direksi tetapi
pada sisi lain pengaturan itu tidak jelas dan lebih menekankan tanggungjawab
terhadap Perseroan.
Tidak jelasanya pengaturan tersebut merupakan suatu permasalahan hukum
yang harus dicarikan kejelasannya. Di samping dalam rangka keperluan memperjelas
hukum perseroan juga berkaitan dengan upaya menciptakan kepastian hukum dan
rasa aman kepada pihak investor yang sangat berperan dalam kemajuan Perseroan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis berkeinginan untuk
meneliti dan hasilnya dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Perlindungan
Hukum Terhadap Pihak investor Dalam Pertanggungjawaban Direksi Perseroan
Terbatas Terkait Tindakan Ultra Vires.
8
B.
Identifikasi Masalah
1) Bagaimana pendirian suatu Perseroan Terbatas.
2) Apakah tujuan dari Perseroan Terbatas.
3) Bagaimanakah kewenangan direksi Perseroan Terbatas.
4) Apa peran RUPS terkait tindakan wanprestasi (ultra vires).
5) Bagaimanakah tanggungjawab direksi apabila melakukan tindakan ultra vires
terhadap pihak investor.
C.
Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Batasan masalah ini penulis membatasi permasalahan yang ada di dalam
pendahuluan yang berkaitan dengan latar belakang permasalahan dan Sehubungan
dengan maksud memperoleh hasil analisis yang fokus, maka terhadap permasalahan
di atas perlu diberikan batas-batas atau ruang lingkupnya.
Permasalahan yang pertama yang akan dibahas berkisar pada pertanyaan
bagimana hak-hak pihak pemegang saham, apakah terhadap tindakan ultra vires
Direksi PT terdapat dasar hukum untuk memberikan perlindungan bagi Pihak
investor. Di samping itu relevan pula dibahas adalah mengenai kondisi dasar hukum
tersebut apakah memadai dan dapat diterapkan, serta bagaimana pula bentuk-bentuk
perlindungan hukumnya.
Sehubungan dengan permasalahan yang kedua yakni berkisar mengenai bentuk
dan proses pelaksanaan perlindungan hukumnya bagi Pihak investor, apakah
diberikan secara langsung atau melalui perseroan dan atau pemegang saham
9
mengingat direksi itu diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada pemegang saham
melalui Rapat Umum Pemagang Saham.
2. Rumusan Masalah
Mengingat dari uraian mengenai latar belakang masalah dan batasan masalah
diatas dapatlah dirumuskan masalah sebagai berikut:
a. Apa dasar perlindungan hukum terhadap Pihak investor dalam hal Direksi
Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires?
b. Bagaimanakah upaya pemulihan hak-hak Pihak investor atas tindakan ultra vires
Direksi Perseroan Terbatas?
D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar-dasar atau landasan
perlindungan hukum terhadap Pihak investor dalam hal Direksi Perseroan
Terbatas melakukan tindakan ultra vires
b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dapat dilakukan terhadap
pemulihan hak Pihak investor atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan
Terbatas.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi
pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai Perseroan Terbatas dalam berbagai
hubungan hukumnya dengan berbagai pihak.
10
Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pedoman yang
komprehensif bagi semua pihak yang terkait pendirian, pemilikan, pengelolaan dan
pihak-pihak yang berhubungan atau mengadakan transaksi dengan Perseroan
Terbatas dalam pemecahan masalah tanggungjawab terhadap pihak investor berkaitan
dengan tindakan ultra vires.
E.
Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan dengan
peneltian yang kita kerjakan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda. Dari
penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang lebih dahulu
membahas terkait dengan tindakan Ultra Vires, diantaranya adalah:
1. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung 2012, yang disusun
oleh David Yacob Maruli, dengan judul “Penerapan Doktrin Ultra Vires
Terhadap Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas Ditinjau Dari UUD No
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan UUD No 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Penulis
membahas terkait bagaimana direksi bertanggungjawab sepenuhnya dalam
kepailitan Perseroan Terbatas akibat tindakan ultra vires.
Penelitian ini ditinjau dalam berbagai aspek hukum Perdata terkait dengan
sistem dalam perjanjian dan pertanggungjawaban sebuah perseroan terbatas dengan
subtansi eksistensinya hukum yang mengkaji tentang adanya kejahatan dalam suatu
perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
Dengan ini saya mengkaji bagaimana eksistensinya hukum di Indonesia mengenai
11
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak investor Dalam Pertanggungjawaban
Direksi Perseroa Terbatas Terkait tindakan ultra vires.
F.
Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Peningkatan pendirian perseroan dapat ditandai terjadinya hampir bersamaan
dengan mulai meningkatnya aktivitas perkenomian Indonesia setelah pertengahan
dasawarsa 1960an. Disusul dengan mengalirnya investasi asing yang masuk
Indonesia dan juga bangkitnya gairah para pemilik modal
nasional untuk
menanamkan modalnya baik secara mandiri maupun berpatungan dengan investor
asing. Peningkatan ini berdampak positif terhadap perkembangan pendirian PT.
Di samping itu turut pula memicu peningkatan pendirian PT di Indonesia adalah
semakin berkembangnya aspek yuridis berupa penyempurnaan pengaturan terhadap
bentuk perusahaan ini yang dimulai dengan dibuatnya Undang-undang No. 4 Tahun
1971 tentang Perubahan dan Penambahan atas Ketentuan pasal 54 KUHD.
Dilanjutkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
yang menggantikan pasal 21 sampai dengan Pasal 56 KUHD. Terakhir undangundang ini diganti dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Perkembangan pengaturan tersebut secara tidak langsung menunjukan
perkembangan pemahaman mengenai PT sehingga mengakibatkan banyak yang
memilih bentuk perusahaan ini.
Elemen-elemen di atas maka yang sangat perlu dicermati khususnya karena
menyangkut topik penelitian yang sedang digarap ini adalah elemen yang pertama,
12
yaitu perjanjian yang menurut Prof. Subekti merupakan suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.5
Apabila dicermati dalam kegiatan-kegiatan mendirikan, memiliki dan mengurus
Perseroan Terbatas ternyata terdapat perjanjian-perjanjian. Pada saat para pendiri
mengadakan kesepakatan mendirikan PT terdapat perjanjian yang kemudian
dituangkan dalam akte pendirian dan anggaran dasar. Sehubungan pemilikan saham
yang sebenarnya berarti pemilikan PT juga dijumpai adanya perjanjian, misalnya
perjanjian jual-beli saham.
Berdasarkan asas Pacta Sun Servanda yang berarti perjanjian harus ditaati para
pihak yang melakukan perjanjian seperti terkandung dalam Pasal 1338 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum tercermin, maka perjanjian itu
berlaku seperti undang-undang atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus
ditaati.6
Disamping asas itikad baik, asas kepastian hukum yang menunjuk kepada
berlakunya hukum yang jelas tetap konsisten dan konsekuen mengajarkan agar
5
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7
6
Kusumohamidjojo, 1986, Pacta Sun Servanda,http:// www.kamushukum.com, 18/07/2013,
14:25 WIB,h. 1
13
memberikan perlindungan terhadap hak-hak pihak investor yang sangat berperan
dalam menunjang perkembangan perseroan.7
2. Kerangka Konseptual
Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan
gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala
biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian merupakan
hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.8
Penulisan skripsi ini menggunakan definisi-definisi sebagai berikut:
a. Perlindungan Hukum
Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini
hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum,
terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh
manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan hukum.9
7
Raimond Flora Lamandesa, 2008, Penegakan Hukum, WWW.Scribb.com ,20/07/2013,22:25
WIB, h.1
8
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), h.132.
CST Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.h.35.
14
b. Pihak Investor
Berkaitan dengan pengertian perjanjian menurut Prof. Wirjono Projodjodikoro
perjanjian itu adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan
sesuatu hal dan untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak atas
pelaksanaan janji itu.10 Dapat disimpulkan dari pengertian tersebut dengan adanya
pihak lain yaitu pihak investor (pihak ketiga) yang berhak atas pelaksanaan
perjanjian.
c. Pertanggungjawaban
Terkait dengan pertanggungjawaban dalam judul skripsi ini yakni perlakuan
tindakan atas kesalahan yang dilakukan oleh direksi perseroan terbatas dalam
tindakan ultra vires.
d. Perseroan Terbatas
K.R.M.T Tirtodiningrat mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu
persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau
saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bagian secara memiliki satu atau
beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggungjawab atas pinjamanpinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang
dimiliki itu.11
Ditambahkan dengan pandangan bahwa Perseroan Terbatas atau yang
disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata yaitu perseroan dan terbatas. Perseroan
ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham, sedangkan
kata “terbatas” itu tertuju pada tanggungjawab pemegang saham atau persero yang
10
Syarif Basir, 2009, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, h. 1
11
K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,
Pembangunan,Jakarta, h. 132.
15
bersifat “terbatas” pada jumlah nominal saham-saham yang dimilikinya istilah
“perseroan terbatas” lebih tepat dari pada istilah “Naamloze Vennootschap”, sebab
arti istilah “perseroan terbatas” lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan
pada saat itu.12
e. Ultra Vires
Stephen H. Gifis mengemukakan seperti dikutip Munir Fuady pada pokoknya
menyatakan hukum disetiap negara tanpa melihat ke dalam sistem Perseroan tunduk
umumnya menghadapi masalah yuridis yang disebut dengan “pelampauan
kewenangan” (ultra vires) dari suatu perseroan.13
Terminologi ultra vires dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang
melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh Anggaran Dasarnya atau oleh
peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut. Pandangan tradisional
mengenai utra vires pada pokoknya memandang bahwa tindakan itu dapat
menimbulkan konsekuensi yuridis dimana tindakan tersebut batal demi hukum (null
and void) dan karena itu maka tindakan yang diklasifikan ultra vires itu tidak dapat
diratifikasi atau tidak dapat disahkan oleh perseroan melalui RUPS.
Pandangan secara tradisional juga menyediakan upaya-upaya hukum yang
merupakan konsekuensi yuridis antara lain sebagai berikut:14
12
H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk
Bentuk Perusahaan), Djambatan, Jakarta, h. 89.
13
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
DalamHukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 110.
14
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
DalamHukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 130.
16
a. Pihak kreditur mempunyai hak untuk membawa gugatan untuk memaksa
perseroan untuk tidak melaksanakan kontrak ultra vires tersebut jika kreditur
dapat membuktikan bahwa dengan kontrak yang ultra vires tersebut dapat
mengakibatkan tidak cukupnya aset perseroan untuk membayar utang-utangnya,
b. Pihak perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap direksi atau pejabat
perseroan yang melakukan perbuatan yang tergolong ultra vires tersebut,
c. Atas nama kepentingan umum, jaksa dapat melakukan gugatan yang disebut
dengan action in quo warranto untuk membubarkan perseroan.
Pandangan mengenai konsekuensi yuridis dari tindakan perseroan yang ultra
vires itu ternyata juga mengalami perkembangan dan dalam perkembangan tersebut
pada pokoknya dikemukakan, sebagai akibat dari berbagai modifikasi terhadap
konsepsi ultra vires, telah berkembang beberapa akibat hukum yang mungkin timbul
dari adanya ultra vires antara lain tanggungjawab pribadi. Tidak selamanya ultra
vires mengakibatkan pembebanan tanggungjawab pribadi dari direksi atau petugas
yang melakukan tindakan ultra vires tersebut.
Terlepas dari persoalan mekanisme tersebut menurut Teori Keadilan Distributif
yaitu keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya,
dengan ini dapat dikemukakan bahwa pihak ketiga merupakan pihak yang berjasa
dalam hal ini sebesar nilai transaksi. Sehingga berdasarkan teori ini harus diberikan
keadilan, dalam pengertian hak-haknya dapat dipulihkan.15
Dari uraian-uraian yang telah disajikan mengenai konsep yang berkaitan dengan
judul skripsi ini pada intinya menjelaskan pada satu hal yang sangat penting bahwa
pihak Perseroan Terbatas tetap bertanggungjawab terhadap kerugian-kerugian yang
dialami oleh pihak investor, dan kendati pun masih mengandung beberapa kekaburan
15
L.J. van Apeldoorn, 1978, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 23
17
pada berbagai aspeknya, akan tetapi uraian-uraian tersebut dapat digali lebih dalam
lagi untuk menemukan penjelasan atas permasalahan yang diangkat melalui skripsi
ini.
G.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi Program Studi Ilmu
Hukum dijelaskan Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian yakni Penelitian
Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Empiris. Usulan Skripsi ini termasuk dalam
kategori jenis Penelitian Hukum Normatif.16
Pemilihan pada jenis penelitian di atas didasarkan pada alasan karena
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Investor Terhadap Diresksi Perseroan Terbatas
Melakukan Tindakan ultra vires merupakan permasalahan kesenjangan hukum.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur
perlindungan hak-hak para pemegang saham secara lebih terperinci. Sedangkan
perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang sebenarnya sangat berperan demi
kelangsungan hidup PT tidak ada pengaturannya atau walaupun ada maka sifatnya
kurang jelas. Jadi disinilah terjadi kesenjangan dalam norma hukum.
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), h.129.
18
2. Pendekatan Masalah
Pembuatan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif
pada umumnya mengenal 7 jenis pendekatan,dalam hal ini penulis menggunakan
penelitian pendekatan-pendekatan masalah sebagai berikut:17
a. Pendekatan Kasus (The Case Approach)
b. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach)
c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
d. Pendekatan Analisis dan Konsep Hukum (Analitical &Conseptual Approach)
e. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach),
f. Pendekatan Sejarah (Historical Approach),
g. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Sejalan dengan tujuan dan
rumusan masalahnya, Usulan penelitian ini menggunakan 3 jenis pendekatan
yang terdiri dari:
1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)
2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (The Analitical & Conceptual Approach)
3. Pendekatan
Perbandingan
Hukum
(comparatif
Approach)
Pendekatan
Perundang-undangan bertujuan mengalisis peraturan perundangan dalam hal ini
Undang-undang Perseroan Terbatas terutama yang berkaitan dengan kekosongan
atau kekaburan norma hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum
terhadap pihak investor.
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), h.135.
19
Sedangkan Pendekatan Analisis Konsep Hukum pada pokoknya mengedepankan
analisis-analisis terhadap konsep-konsep hukum. Direksi PT, pihak investor dan ultra
vires merupakan konsep-konsep hukum. Analisis terhadap konsep-konsep ini
ditekankan pengertian, hak dan kewajiban (Direksi, PT, dan Pihak investor), serta
tidak ketinggalan adalah mengenai ruang lingkup dan perkembangan ultra vires.
Akan tetapi karena bahan-bahan yang dianalisis juga berkaitan dengan bahan-bahan
yang diperoleh dari sistem hukum yang berlaku di negara lain, maka tidak tertutup
kemungkinannya, usulan penelitian ini juga menggunakan Pendekatan Perbandingan
(The Comparative Approach).
3. Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif menggunakan Bahan Hukum Primer dan Bahan
Hukum Sekunder. Bahan Hukum Primer dalam hal ini terdiri dari Asas Itikad Baik,
Asas Pacta Sun Servanda dan norma-norma hukum yang tersusun terutama dalam
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan
pelaksanaannya,antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang
Nama Perseroan Terbatas. Sedangkan Bahan Hukum Sekunder meliputi buku teks
hukum (legal text book), Jurnal hukum,karya tulis hukum yang memuat pandangan
ahli hukum baik dalam bentuk buku maupun yang termuat dalam media masa,kamus
hukum, ensiklopedi hukum. Dalam penelitian ini digunakan juga bahan-bahan hukum
yang diperoleh dari media internet yang berkembang dengan pesat dewasa ini seperti
definisi-definisi hukum.
20
4. Bahan Hukum Penunjang Data
Di samping bahan-bahan hukum baik primer maupun sekunder maka dalam
penelitian ini digunakan pula bahan-bahan yang diperoleh dari praktisi hukum dalam
ini Notaris yang berpengalaman atau pihak lain yang memahami permasalahan
mengenai tatacara menyelesaikan tanggungjawab Perseroan Terbatas terhadap pihak
ketiga. Bahan Hukum Penunjang dapat diperoleh melalui penelusuran jaringan
internet yang menyediakan fasilitas informasi yang relevan dengan topik skripsi ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum atau Data
Penelitian ini tidak tertutup kemungkinan diperoleh bahan yang sudah tersusun
dengan rapi baik berupa buku, laporan maupun bentuk-bentuk lain yang bersifat
tertulis dan terhadap bahan-bahan seperti ini tetap diterapkan cardsystem yang
ditekankan pada pencatan mengenai informasi yang relevan dengan topik
permasalahan.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum atau Data
Untuk menganalisis data-data yang telah diterapkan teknik-teknik sebagai
berikut:
a. Teknik Interpretasi diterapkan terhadap norma-norma hukum yang tidak jelas
rumusannya sehingga harus ditafsirkan untuk memperoleh pemahaman yang
jelas dan dapat diaplikasikan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.
b. Teknik evaluasi yang berupa penilaian mengenai tepat atau tidak tepatnya suatu
informasi baik diperoleh dari Bahan Hukum Primer maupun Sekunder juga
21
diterapkan dalam penelitian ini untuk memperoleh hasil yang benar-benar sesuai
dengan topik yang dibahas.
c. Teknik argumentasi atau alasan-alasan yang merupakan hasil penalaran setelah
dilakukannya teknik evaluasi. Dalam pembahasan masalah penelitian ini sedapat
mungkin akan dilakukan teknik argumentasi menurut kemampuan yang serba
terbatas.
d. Teknik Sistematisasi yang merupakan upaya mencari hubungan suatu norma
hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang
tidak sederajat.
e. Teknik Deskripsi merupakan teknik yang paling mendasar dan bersifat mutlak.
Hal ini mengandung pengertian, teknik ini harus dilaksanakan dalam
pembahasan hukum agar pembahasan dapat dipahami oleh orang lain. Dalam
penelitian ini berdasarkan Teknik Deskripsi, isu-isu hukum digambarkan atau
diuraikan secara lengkap dan jelas sehingga dapat diketahui duduk persoalannya
dan dapat ditentukan arahnya untuk mencapai suatu solusi.
H.
Sistematika Penulisan
Penyajian skripsi ini akan disusun kedalam 5 (lima) bab. Dimana masing-masing
bab akan terdiri dari beberapa sub-bab agar pembahasan yang dibahas dapat
menjawab permasalahan-permasalahan yang diteliti secara jelas dan komprehensif.
Adapun urutan dan tata letak setiap bab dan pokok pembahasannya adalah
sebagai berikut:
22
1. Bab pertama dari penelitian ini adalah Bab Pendahuluan. Bab ini membahas
tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, serta sistematika penelitian.
2. Bab kedua dari penelitian ini berkenaan dengan tinjauan umum tentang
perseroan terbatas serta kewenangan bertindak perseroan terbatas yang mengenai
isi dari eksistensi organ-organ perseroan terbatas dan kompetensinya.
3. Bab investor dari penelitian ini berisikan peran hukum untuk melindungi hak
pihak investor dari tindakan ultra vires yang dilakukan oleh direksi perseroan
terbatas.
4. Bab keempat dari penelitian ini berisikan tentang upaya perseroan terbatas
melekukan remedial terhadap pihak investor dalam sistem pertanggungjawaban
perseroan terbatas terkait tindakan ultra vires.
5. Bab kelima berisikan kesimpulan dan saran terkait dengan penelitian yang
dibahas dalam skripsi.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN BERTINDAK PERSEROAN
TERBATAS DAN ULTRA VIRES
A.
Pengertian Perseroan Terbatas dan Unsur-unsurnya
Menurut Achmad Ichsan dalam pengertian perseroan “naamloos” merupakan
suatu sebutan pada zaman Hindia Belanda untuk perseroan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang Pasal 36 s/d 56. Sebutan “naamloos” dalam arti
tanpa nama ini disebabkan karena N.V itu tidak mempunyai nama seperti firma dan
pada umumnya juga tidak menggunakan salah satu nama dari anggota perseroannya
identifikasinya terletak dalam obyek perusahaan yang menjadi tujuan usahanya
seperti Perusahaan Dagang Beras.1
Hal ini dapat ditelusuri dari banyaknya definisi yang diberikan oleh para sarjana
yakni M.H. Tirta Amidjaja mengemukakan bahwa perseroan terbatas itu ialah
perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal yang
tertentu, yang terbagi atas saham-saham dan tiap-tiap persero pemegang saham turut
serta didalamnya sebanyak satu saham atau lebih dengan tidak bertanggungjawab
sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu.2
K.R.M.T Tirtodiningrat mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu
persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau
saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bagian secara memiliki satu atau
beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggungjawab atas pinjaman-
1
Achmad Ichsan, 1983, Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga,
Aturan-Aturan Angkutan, Pradnya Paramitha, Jakarta, h. 134.
2
M.H. Tirta Amidjaja, 1956, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Djambatan, Jakarta, h. 108.
23
24
pinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang
dimiliki itu.3
Pandangan-pandangan di atas secara tidak langsung menunjukkan perjalanan
sejarah dari istilah atau nama yang dipergunakan secara khusus dan resmi untuk
menggambarkan perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD) mulai dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Pada intinya istilah Perseroan
Terbatas tidaklah merupakan terjemahan dari istilah Naamloze Vennootschap, namun
demikian istilah Perseroan Terbatas disamping merupakan istilah yang dimaknai dari
perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut lebih relevan dan dapat
secara lebih tepat mendeskripsikan bentuk dan sifat perseroan yang diatur dalam
pasal-pasal KUHD itu.
Selain itu Prof. Soekardono mengemukakan bahwa pada dasarnya istilah
tersebut lebih sesuai dengan sifat-sifat bentuk perusahaan yang dijalankan.4
Ditambahkan dengan pandangan bahwa Perseroan Terbatas atau yang
disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata yaitu perseroan dan terbatas. Perseroan
ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham, sedangkan
kata “terbatas” itu tertuju pada tanggungjawab pemegang saham atau persero yang
bersifat “terbatas” pada jumlah nominal saham-saham yang dimilikinya istilah
“perseroan terbatas” lebih tepat dari pada istilah “Naamloze Vennootschap”, sebab
arti istilah “perseroan terbatas” lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan
pada saat itu.5
3
K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,
Pembangunan,Jakarta, h. 132.
4
R. Soekardono, 1983, Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), CV. Rajawali,
Jakarta,h. 127.
5
H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk Bentuk
Perusahaan), Djambatan, Jakarta, h. 89.
25
Sehubungan dengan penjelasan di atas maka makna dari istilah Perseroan
Terbatas menjadi semakin jelas dan pada akhirnya istilah tersebut dipergunakan
sebagai istilah resmi dalam berbagai keperluan baik yang menyangkut dokumen
notaris maupun dokumen-dokumen negara seperti Berita Negara Republik Indonesia
(BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI).
Kendati pun pengaturan mengenai Perseroan Terbatas yang dituangkan dalam
KUHD mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 56 secara berturut-turut sudah
digantikan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 dan Undangundang No. 47 Tahun 2007, penggunaan istilah Perseroan Terbatas masih tetap
dipertahankan. Disamping menggunakan Perseroan Terbatas sebagai nama atau titel,
kedua undang-undang tersebut secara khusus juga mencantumkan pengertian atau
definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan Perseroan Terbatas. Pengertian
tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 47 Tahun 2007 yang
menentukan Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham
dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.
Dari pengertian yang ditentukan secara yuridis di atas dapatlah diuraikan adanya
5 (lima) unsur yang pada pokoknya saling berkaitan sebagai berikut:
1. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
2. Didirikan berdasarkan perjanjian,
26
3. Melakukan kegiatan usaha,
4. Modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,
5. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal
Pernyataan yang dituangkan dalam Undang-undang No. 47 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT) bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal mengandung dua hal yakni; pertama,
memberikan ketegasan dan kedua, UUPT tidak menentukan secara rinci penegasan
Perseroan Terbatas sebagai badan hukum persekutuan modal. Mengenai hal yang
pertama, hendaknya patut diberikan apresiasi yang tinggi karena dengan
ditegaskannya bahwa Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, berarti UUPT telah memberikan suatu kepastian hukum
mengenai status hukum Perseroan Terbatas.
Di samping itu penegasan di atas merupakan langkah maju apabila
dibandingkan terutama dengan KUHD yang tidak menentukan secara tegas tentang
status Perseroan Terbatas sebagai badan hukum. Berkaitan dengan hal yang kedua,
perihal badan hukum dan persekutuan modal merupakan pilar-pilar penting bagi
Perseroan Terbatas yang menimbulkan keingintahuan untuk mendalaminya lebih jauh
lagi, akan tetapi UUPT justru UUPT tidak mengatur secara terperinci mengenai
pengertian istilah tersebut. Oleh karena itu pemahamannya dilakukan melalui
penelusuran terhadap sumber bahan hukum sekunder.
27
Menurut R. Subekti badan hukum adalah suatu perkumpulan/organisasi yang
oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak-hak
dan kewajiban-kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat
dimuka pengadilan.6 Selanjutnya ditambahkan perseroan terbatas atau NV sebagai
badan hukum atau rechtspersoon berarti bahwa perseroan terbatas mempunyai suatu
kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan para pesero atau pengurusnya.7
Perseroan Terbatas didirikan bedasarkan sebuah perjanjian sebagaimana telah
dikutip pada halaman terdahulu pada pokoknya merupakan suatu akumulasi atau
kumpulan dari berbagai perjanjian yang dibuat diantara berbagai pihak terutama
dengan para pemegang saham, direksi, tenaga kerja, para suplier dan pelanggan. Jadi
sebenarnya PT itu penuh dengan berbagai perjanjian. Diantara tahap-tahap pendirian
(konstruksi), beroperasi (operasional) dan berakhirnya jangka waktu keberadaan
Perseroan Terbatas (terminasi), maka keberadaan berbagai perjanjian itu memang
sangat dominan ketika PT berada pada tahap operasional.
Akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa perjanjian tidak terdapat pada
tahap-tahap yang lainnya. Keberadaan perjanjian dalam Perseroan Terbatas
sebenarnya sudah dimulai dan berperan ketika PT itu dirancang pendiriannya oleh
dua atau lebih calon pendiri. Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan melalui
perjanjian tersebut kemudian dituangkan ke dalam anggaran dasar PT yang
bersangkutan.
6
R. Subekti, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 14.
7
R. Subekti, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, h. 171.
28
Pasal 7 ayat (1) UUPT menentukan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau
lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan
penafsiran secara gramatikal, ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa
sebelum datang menghadap dihadapan notaris, para pendiri sebenarnya sudah
mempersiapkan kesepakatan-kesepakan yang dihasilkan dari perjanjian pendahuluan
diantara mereka sebelumnya. Adanya perjanjian pendahuluan yang sifatnya
konsensual atau suatu perjanjian yang didasarkan pada kata sepakat itu dan juga akta
notaris yang juga berisi anggran dasar sebagai tonggak awal berdirinya suatu
Perseroan Terbatas tersebut keduanya semakin memperlihatkan dengan pasti bahwa
Peseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Oleh karena itu dapat
dikemukakan pendirian dan eksistensinya PT sebenarnya merupakan implementasi
atau perwujudan dari perjanjian terutama yang terjadi diantara sesama pendiri.
Berkaitan dengan unsur di atas Pasal 2 UUPT menentukan Perseroan harus
mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pertama
yang patut dikemukakan pasal ini pada pokoknya merupakan suatu konsekuensi logis
dari pemikiran teoritis bahwa pendirian Perseroan Terbatas didasarkan pada
perjanjian dan sebagai hasil implementasi dari perjanjian. Oleh karena itu segala
sesuatunya dan dalam hal ini menyangkut maksud, tujuan serta kegiatan usaha
perseroan tidak boleh bertentangan dengan ketiga batasan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu.
29
Perlu pula dikemukakan bahwa untuk melakukan kegiatan usaha merupakan
kewajiban bagi Perseroan Terbatas. Kewajiban melaksanakan kegiatan usaha yang
dibebankan oleh Pasal 2 UUPT disamping karena dirumuskan dengan kata “harus”
sebagai pernyataan perintah yang terdapat dalam pasal itu sendiri, keharusan
melaksanakannya juga dikaitkan kewajiban mengisi format isian untuk memperoleh
Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan (Pasal 9 ayat (1)
Apabila tidak melaksanakan pasal ini maka berlakulah Pasal 10 ayat (4) dimana
sebagai sanksinya Menteri langsung memberitahukan penolakan pengesahan. Secara
ringkas dapatlah diuraikan mengingat Perseroan Terbatas juga merupakan wahana
bisnis, maka melaksanakan kegiatan usaha merupakan aktivitas yang pokok dan
mutlak sifatnya.
Berkaitan uraian mengenai dengan modal perseroan di atas perlu dijelaskan
pengertian tersebut murni merupakan pengertian yuridis tidak ada hubungannya
dengan pengertian ekonomi dan perihal modal perseroan itu praktis selalu
dicantumkan dalam anggaran dasar.8 Pendapat ini semakin relevan karena dalam
UUPT memang telah ditentukan kewajiban untuk mencantum jumlah modal dasar,
modal ditempatkan, dan modal disetor (Pasal 9 ayat 1 huruf d). Apabila ketentuan ini
tidak dipenuhi, maka Menteri dapat melakukan penolakan (Pasal 10 ayat 4). Dari
ketentuan Pasal 31 ayat (1) dapat diketahui modal perseroan terdiri atas seluruh nilai
8
Rudhi Prasetya, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti,
Bandung,h. 180.
30
nominal saham. Ketentuan ini sejalan dengan pendapat bahwa modal Perseroan
Terbatas itu selalu dibagi ke dalam saham-saham.9 Modal perseroan yang kemudian
dibagi ke dalam saham-saham tersebut adalah modal dasar sesuai dengan klasifikasi
saham menurut UUPT.
Sehubungan hal diatas dengan klasifikasi saham, Pasal 48 ayat (1) UUPT
menentukan, saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Dalam Penjelasan
pasal ini dinyatakan, yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Perseroan hanya
diperkenankan mengeluarkan saham atas nama pemiliknya dan Perseroan tidak boleh
mengeluarkan saham atas tunjuk. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) UUPT menentukan,
anggaran dasar menetapkan 1(satu) klasifikasi saham atau lebih. Pengertian yang
terkandung dalam ketentuan-ketentuan UUPT tersebut menunjukkan seluruh saham
yang dikeluarkan Perseroan merupakan saham atas nama, tidak ada jenis saham
lainya yang boleh dikeluarkan. Jadi setiap saham yang dikeluarkan Perseroan itu
menurut UUPT sebenarnya sama jenisnya dan hanya berbeda klasifikasinya seperti
yang ditentukan dalam Pasal 53 ayat (4) UUPT antara lain:
a. Selanjutnya berdasarkan Pasal 48 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan ayat (4),
Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama saham dengan
hak suara atau tanpa hak suara
b. Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris
c. Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan
klasifikasi saham lain
d. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen
lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara
kumulatif atau nonkumulatif
9
Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 133.
31
e. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih
dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan
Perseroan dalam likuidasi.
Dengan satu klasifikasi atau lebih, dimana menurut Penjelasan Pasal 53 ayat
(4), klasifikasi saham tidak berdiri sendiri tetapi dapat merupakan gabungan dua atau
lebih klasifikasi. Uraian tersebut di atas memperlihatkan kedudukan modal dalam
perseroan dan sehubungan dengan pentingnya peranan modal disetor dalam
menunjang operasional Perseroan, maka permasalahan mengenai penyetoran atas
modal saham Perseroan perlu pula diuraikan secara garis besarnya. Mengenai
penyetoran atas modal saham Perseroan, Pasal 34 UUPT menentukan:
a. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang atau dalam
bentuk lainnya,
b. Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan
nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak
terafiliasi dengan Perseroan,
c. Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam
1(satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah
akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham
tersebut.
Pasal 34 tersebut sebenarnya mengandung makna yang sangat luas dan
memberikan kesempatan yang luas pula kepada semua pihak yang berkeinginan
menanamkan modal melalui pemilikan saham Perseroan. Dalam hal ini Pasal 34 itu
memperbolehkan penyetoran atas modal saham perseroan tidak hanya dalam bentuk
uang, tetapi juga dalam bentuk lainnya yang penilaiannya berdasarkan harga wajar
sesuai harga pasar atau penilaian ahli yang independen.
32
Uraian di atas mengenai unsur modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham tersebut pada satu sisi memberikan makna bahwa dibaginya modal dasar
kedalam saham sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang luas
kepada khalayak khususnya investor yang berminat menanamkan modal dengan jalan
memiliki saham baik melalui partisipasi langsung ketika Perseroan Terbatas didirikan
maupun bursa efek.
Pada sisi lainnya, pembagian kedalam saham juga dimaksudkan seperti
diungkapkan oleh Mas Soebagio pada pokoknya adalah untuk mengetahui dan dapat
mengukur besarnya tanggungjawab dalam arti hak dan kewajiban setiap pemegang
saham dalam hubungannya dengan Perseroan Terbatas. Berdasarkan uraian tersebut
diatas jelaslah bahwa Perseroan Terbatas merupakan perjanjian-perjanjian dan berarti
tunduk pada Asas Kebebasan berkontrak.10
Di dalam asas tersebut yang dijelaskan di atas terkandung suatu pandangan
bahwa orang bebas melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa
yang mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk
menetapkan syarat-syarat perjanjian. Asas kebebasan berkontrak perlu didampingi
oleh asas yang lainnya yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan
kepantasan menurut hukum. Asas-asas ini dapat dijumpai di dalam undang-undang,
kepatutan dan ketertiban umum atau public policy dalam konsep Anglo-Amerikan.11
Pendapat di atas pada pokoknya mengemukakan setiap perjanjian haruslah
mengandung kepantasan dan kepantasan itu sendiri dapat dijumpai dalam undang-
10
Mas Soebagio, 1976, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang,
Alumni, Bandung, h. 135.
11
Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak dalam : Yuridika Vol
18, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 219.
33
undang baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu ditentukanlah bahwa
Perseroan Terbatas harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undangundang. Disamping itu pendapatan tersebut juga menyiratkan tentang pentingnya
kedudukan Undang-undang dalam hubungannya dengan perjanjian. Sehubungan
dengan sub bahasan ini sebenarnya terdapat dua istilah yaitu kewenangan dan
kompetensi.
Secara garis besar kedua istilah di atas memiliki pengertian yang hampir sama,
akan tetapi istilah kewenangan itu sendiri pada pokoknya merupakan suatu istilah
yang biasanya dipergunakan dalam Hukum Administrasi Negara. Hal ini dapat
disimak antara lain dari sebuah artikel yang disusun oleh Yosran yakni Pengertian
kewenangan adalah Sumber-sumber kewenangan terdiri atas :12
a. ATRIBUSI, yaitu Pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/ pejabat
negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk
Undang-Undang. Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk
membentuk Undang-Undang.
b. DELEGASI, yaitu Penyerahan atau Pelimpahan kewenangan dari badan
/lembaga pejabat tata usaha negara kepada Badan atau Lembaga pejabat tata
usaha negara lain dengan konsekwensi tanggung jawab beralih pada penerima
delegasi. Sebagai contoh : Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang pengajuan
calon wakil kepala daerah.
c. MANDAT, yaitu Pelimpahan kewenangan dengan tanggung jawab masih
dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh : tanggungjawab membuat
keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.
Istilah kewenangan dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari dalam hukum
administrasi negara, tampak pula istilah itu tidak ada relevansinya dengan topik
12
Yosran,2008,Teknik Pembuatan Keputusan Tata Usaha, http://ptunpdg.blogspot.com,
h,1,15/09/2013,08:45 WIB.
34
bahasan tesis ini. Sementara itu istilah kompetensi dapat dijumpai penerapannya
dalam Hukum Acara Perdata meliputi absolute kompetentie dan relatief
kompetentie.13 Absolute kompetentie atau kekuasaan mutlak menyangkut pembagian
kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat dari macamnya pengadilan
menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili sedangkan relatief kompetentie
atau kekuasaan relatif menyangkut batas wilayah dari satu macam pengadilan.14
Di samping itu istilah kompetensi atau competency dipergunakan baik dalam
hukum pembuktian yang menunjukkan kesempurnaan alat bukti dan dalam hukum
kontrak. Dalam bidang hukum ini, kompetensi pada pokoknya mengandung
pengertian bahwa suatu perjanjian dibuat oleh para pihak yang tidak memiliki cacat
mental atau tidak memiliki kapasitas.
B.
Eksistensi Organ-Organ Perseroan Terbatas.
Mengingat Perseroan Terbatas itu merupakan suatu badan yang diwajibkan
melaksanakan kegiatan usaha, dimana sejak mulai tahap perancangan, pendirian,
operasional, bahkan sampai dengan tahap Perseroan Terbatas itu berakhir jangka
waktu pendiriannya atau mengalami kepailitan atau likuidasi, maka sudah tentu
banyak sekali orang atau pun pihak yang turut berpartisipasi baik langsung maupun
tidak langsung dalam mewujudkan tahap-tahap tersebut. Untuk mengetahui orang
atau pihak mana yang merupakan organ Perseroan Terbatas sangat perlu dilakukan
13
R. Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur
Bandung,Bandung, h. 39.
14
h. 19.
Moh. Taufik Makarao, 2004, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta,
35
identifikasi terlebih dahulu. Identifikasi pertama-tama dilakukan terhadap istilah
corporate constituent dilanjutkan dengan stakeholder dengan menggunakan kriteria
organ sebagai tolok ukur.
Organ menduduki peranan yang sangat penting dan berkaitan dengan kedudukan
organ dalam perseroan tersebut. Pentingnya kedudukan itu dapat diuarikan pertama
dari pendapat mengenai kedudukan mandiri Perseroan Terbatas dan yang
dimaksudkan itu adalah Bahwa Perseroan Terbatas dalam hukum dipandang berdiri
sendiri otonom terlepas dari orang perorangan yang berada dalam Perseroan Terbatas
tersebut.
Disatu pihak Perseroan Terbatas merupakan wadah yang menghimpun orangorang yang mengadakan kerjasama dalam Perseroan Terbatas, namun di lain pihak
segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerja sama dalam Perseroan Terbatas
itu oleh hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan badan itu sendiri. Karena
itu konsekuensinya, keuntungan yang diperoleh, dipandang sebagai hak dan harta
kekayaan badan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya bila terjadi suatu utang atau
kerugian dianggap sebagai beban Perseroan Terbatas sendiri yang dibayarkan dari
harta kekayaan Perseroan Terbatas. semata-mata. Sementara perorangan yang ada
dianggap lepas eksistensinya dari Perseroan Terbatas itu.15
Eksistensi organ-organ dalam suatu badan hukum merupakan sesuatu yang
sangat signifikan. Tanpa adanya organ-organ, suatu badan hukum itu tidak akan
15
Rudhi Prasetya, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti,
Bandung,h.9.
36
fungsional dan operasional. Organ-organ itulah yang membuat badan hukum yang
bersangkutan menjadi dinamis sehingga dengan demikian dapat dikatakan organ
tersebut terutama Direksi dalam struktur korporasi merupakan wakil yang
melaksanakan kehendak yang ada dalam badan hukum.
Struktur korporasi pada pokoknya menekankan pada aspek struktur yang
merupakan satuan kerja yang secara artifisial termuat atau tersusun dalam bagianbagian yang dirancang untuk bekerjasama dalam korporasi itu sendiri. Satuan kerja
atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam perseroan adalah organ-organ. Dengan
demikian struktur korporasi sebenarnya terdiri dari organ-organ, akan tetapi dalam
kaitan ini persoalannya, organ-organ apa saja yang dapat dimasukan ke dalam
struktur korporasi. Sistem common law dan civil law ternyata tidak secara seragam
mengatur mengenai struktur tersebut.
Cornelius dan Natalie Mulia yang mengutip Piarlie Koh dan Victor Yeo pada
intinya mengemukakan hukum korporasi menurut sistem common law seperti yang
dianut oleh Singapura menganut single-tier management structure dimana
manajemen perseroan di bawah kontrol penuh dari Direksi. Dalam hal ini ditegaskan
pula, Sistem common law tersebut tidak mengenal lembaga Dewan Komisaris.16
C.
Kompetensi Perseroan Terbatas
1. Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS)
Pasal 1 angka 4 UUPT menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham yang
selanjutnya disebut RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang
tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan
16
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar
Grafika,Jakarta, h. 1.
37
dalam Undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Pasal tersebut menentukan
pengertian RUPS itu sendiri dan apabila dibandingkan ternyata rumusan
pengertiannya berbeda dengan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 UU. No. 1
Tahun 1995 atau UUPT lama yang menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang
Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak
diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.
Dari rumusan pada UUPT lama tampak dengan jelas undang-undang
menempatkan RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan.
Sedangkan dalam rumusan UUPT yang baru hal tersebut tidak kelihatan. UUPT
tampak lebih menekankan perbedaan wewenang yang dimiliki RUPS dengan
wewenang organ-organ lainnya.
Penekanan di atas tidaklah mengurangi kedudukan RUPS sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi. Kedudukan ini menjadi nyata karena UUPT juga menentukan
pada pokoknya kekuasaan RUPS hanya dapat dibatasi oleh undang-undang Perseroan
Terbatas dan anggaran dasar Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Penelusuran
terhadap UUPT pun menunjukkan kompetensi RUPS memiliki ruang lingkup yang
luas. Dari hasil identifikasi terdapat sebanyak 34 pasal UUPT yang menentukan
mengenai kompetensi RUPS.
38
2. Direksi
Seperti halnya RUPS, maka pengertian mengenai Direksi juga dituangkan
dalam UUPT. Pengertian tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 5 yang menentukan
Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Dari pengertian di atas tercermin beberapa hal penting antara lain penegasan
yang mendasar seperti halnya terhadap RUPS maka Direksi pun juga dinyatakan
merupakan organ perseroan, Direksi memiliki tanggungjawab penuh atas pengurusan
perseroan, dan memiliki kewenangan mewakili perseroan.
Ketentuan bahwa direksi sebagai agen dari perseroan ini sejalan dengan yang
berlaku dalam sistem hukum common law. Selain direksi, karyawan (officer) atau
orang lain juga dapat mewakili perseroan. Sehubungan dengan itu, undang-undang
membatasi dengan ketentuan bahwa karyawan dapat mewakili perseroan dengan
dibuatkannya kuasa tertulis dari direksi kepada salah satu karyawan perseroan atau
lebih atau orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum
tertentu. Dalam hal ini, direksi bertindak selaku pimpinan dari karyawan atau orang
lain yang diberika kuasa.17
Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur direksi sebagai agen
dari perseroan, undang-undang No. 40 Tahun 2007 tidak mengatur lebih lanjut.
Secara umum, kewenangan direksi untuk memberikan kuasa atau mewakilkan
17
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.121.
39
tugasnya tersebut tersebut diatur dalam anggaran dasar perseroan, seperti pemberian
kuasa untuk tugas-tugas mengenai pengangkatan dan pemberhentian pegawai,
pemberian penghargaan, atau pengenaan sanksi.
Direksi tidak diperbolehkan melakukan hal-hal dengan atas nama perseroan
atau menggunakan perseroan yang bertujuan bukan untuk kepentingan perseroan atau
bertentangan dengan tujuan perseroan. Direksi tidak boleh mengedepankan
kepentingan pribadi atau pihak luar perseroan. Direksi tidak dapat melakukan
tindakan yang sekalipun untuk kepentingan perseroan sebagaimana tentukan dalam
anggaran dasarnya. Misalnya, suatu perseroan yang di dalam anggaran dasarnya
ditentukan bertujuan untuk melakukan kegiatan jasa pengerah tenaga kerja, tetapi
direksi melakukan kegiatan import. Sekalipun kegiatan tersebut yang dilakukan
direksi sangat menguntungkan perseroan, tetapi direksi dianggap melanggar
ketentuan perundang-undangan.18
Direksi yang pada dasarnya merupakan badan eksekutif atau manajer
perusahaan atau pelaksana kegiatan usaha agar perseroan dapat mewujudkan maksud
dan tujuannya memiliki kewajiban dan tanggungjawab dengan ruang lingkup yang
luas, dan dalam melaksanakan kewajibannya itu Direksi menjunjung prinsip
fiduciaries duties dimana pada pokoknya Direksi memegang sesuatu kepercayaan
kepengurusan untuk kepentingan perseroan.19
18
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.128.
19
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 33.
40
Sebagai manajer perusahaan, Direksi memiliki dua kewajiban pokok terhadap
perseroan yaitu Duty of Care dan Duty of Loyalty. Kewajiban yang pertama
menekankan standar minimal perhatian dan kebijaksanaan. Duty of care menentukan
standar-standar penilaian terhadap kememadaian dari keputusan-keputusan korporasi.
Kewajiban yang kedua menekankan keberpihakan terhadap perseroan bilamana
Direksi sebagai pemegang kepercayaan perseroan melakukan suatu transaksi yang
bertentangan dengan kepentingan perseroan. Intinya, Direksi dalam melaksanakan
fungsi kepengurusannya haruslah selalu mengutamakan kepentingan perseroan dari
pada kepentingan-kepentingan yang lainnya.20
Direksi perseroan merupakan pihak atau organ yang dapat dipercaya dan layak
untuk diberikan kewenangan mewakili. Dari uraian tersebut timbul persoalan
berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan yang dapat diberikan kepada Direksi
perseroan, dan untuk ini Pasal 98 ayat (3) UUPT menentukan bahwa Kewenangan
Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak
terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang tersebut,
anggaran dasar, atau keputusan RUPS.
Penjelasan di atas mengingat mewakili pada intinya juga merupakan
representasi, maka salah satu dari ruang lingkup kewenangan mewakili yang
dinyatakan tidak terbatas itu adalah kewenangan membuat atau mengikatkan
20
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 34.
41
perseroan dalam kontrak (to enter into a contract), dan mempertanggungjawabkan
pelaksanaan dan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.
3. Dewan Komisaris
Pengertian Dewan Komisaris dapat diketahui dari Pasal 1 angka 6 UUPT yang
menentukan bahwa Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar
serta memberi nasehat kepada Direksi. Berbeda halnya dengan negara-negara dengan
sistem common law yang Hukum Perseroannya menganut single-tier management
structure dimana eksistensi Dewan Komisaris sebagai organ bersifat relatif bahkan
tidak ada, maka Hukum Perseroan Indonesia seperti tertuang dalam UUPT, eksistensi
Dewan Komisaris dalam Perseroan baik dari aspek organisasional maupun fungsional
merupakan suatu kewajiban.21
Adanya Dewan Komisaris sebagai salah satu organ dalam struktur organisasi
Perseroan tersebut, maka dapatlah dikemukakan bahwa UUPT pada dasarnya
menuruti pola organisasi yang terdapat dalam suatu tatanan yang disebut dengan the
two-tier management system yang diterapkan dalam Hukum Perseroan pada negaranegara yang menganut sistem civil law pada umumnya.
Bila dikaji dari aspek fungsionalnya dapat dikemukakan kedua sistem tersebut
sebenarnya sama-sama memandang penting dewan tersebut, akan tetapi hanya the
two-tier management system yang menempatkan sebagai salah satu organ perseroan
21
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 78.
42
dan sehubungan dengan adanya Dewan Komisaris perlu dikaji lebih jauh lagi
mengenai apa maksud dan tujuan dari keberadaan organ tersebut dalam Perseroan.
Dalam hal ini baik The single-tier management structure maupun the two-tier
management system tidak menjelaskan persoalan itu.
A.Partomuan Pohan pada pokoknya mengemukakan persoalan tersebut dapat
dijelaskan menurut paham “het Contractuele Standpunt” yang dianut antara lain oleh
Molengraaf, Starbusmaan, Van Der Hayden yang berpendapat bahwa Perseroan
Terbatas adalah persetujuan diantara para pendiri yang termasuk dalam ruang lingkup
Buku III. BW dan Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk khusus dari Maatschap.
Sedangkan RUPS adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan Terbatas,
wewenang organ-organ lainnya dari perseroan dianggap bersumber dari RUPS.
Pengurus dianggap sebagai yang mendapat mandat dari RUPS, sedang Dewan
Komisaris dianggap melakukan pengawasan atas Direksi selaku mewakili atau atas
nama pemegang saham.22
Pandangan di atas sebenarnya hanya mengandung relevansi ketika pengaturan
mengenai Perseroan Terbatas masih bertumpu pada Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD) yang memberi kedudukan yang sangat istimewa kepada pemegang
saham. Sedangkan apabila bertumpu pada UUPT, maka pandanga tersebut sudah
tidak relevan lagi, karena Penjelasan atas Pasal 108 ayat (2) sudah menegaskan,
pengawasan oleh Dewan Komisaris dilakukan untuk kepentingan Perseroan secara
menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
Eksistensi Organ Dewan Komisaris dalam struktur organisasi Perseroan di
Indonesia sebagai kewajiban dapat disimak dari Pasal 15 ayat (1) huruf “f” yang pada
pokoknya menentukan, Anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya nama jabatan
22
A.Partomuan Pohan, 1990, Alokasi Wewenang & Kewajiban Antara Dewan Komisaris,
Direksi Dan Pemegang Saham, dalam : Beberapa Permasalahan Hukum Di Sekitar Penanaman Modal,
Pusat Pengkajian Hukum bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, h. 30.
43
dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris, dan Pasal 108 sampai dengan
Pasal 121 UUPT mengenai tugas-tugas Dewan Komisaris pada umumnya. Dengan
adanya kewajiban berdasarkan undang-undang tersebut maka keberadaan organ itu
semakin kuat sehingga harus dilaksanakan dalam setiap pendirian Perseroan. Fungsi
Dewan Komisaris dapat disimak dari Pasal 1 angka 6 UUPT dimana ditentukan organ
tersebut menjalan fungsi pengawasan baik umum maupun khusus dan fungsi
memberi nasehat. Mengenai rincian terhadap fungsi pengawasan dan pemberian
nasehat tersebut, UUPT tidak mengaturnya.
Berbeda halnya dengan kompetensi Dewan Komisaris, dimana dalam hal ini
UUPT mencantumkan pengaturan yang tegas seperti Pasal 117 ayat (1) yang
menentukan, Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada
Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam
melakukan perbuatan hukum tertentu, dan Pasal 118 ayat (1), bahwa berdasarkan
anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan
pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
BAB III
HAK PIHAK INVESTOR ATAS PERLINDUNGAN HUKUM AKIBAT
TINDAKAN DIREKSI ULTRA VIRES
A.
Pengertian dan Perkembangan serta Pengaturan Ultra vires
1. Pengetian Ultra Vires
Istilah ultra vires sebenarnya secara etimologis berasal dari Bahasa Latin. Secara
harfiah Ultra berarti sesuatu yang sangat besar dan melampaui ukuran yang
semestinya, dan vires berarti tindakan. Dengan demikian ultra vires dapat diartikan
sebagai tindakan yang melampaui ukuran yang telah ditetapkan. Dalam hubungan ini
perlu ditegaskan bahwa yang telah diuraikan tadi merupakan pengertian ultra vires
pada umumnya. Ultra vires ternyata dikenal baik dalam Hukum Tata Negara maupun
Hukum Administrasi Negara.1
Hukum Tata Negara kewenangan itu pada pokoknya menyangkut hubungan
antara negara dengan pemerintahnya yang diatur konstitusi. Apabila melampaui
konstitusi maka pemerintah federal, provinsi atau negara bagian dapat dinyatakan
telah melakukan ultra vires. Sementara itu Hukum Administrasi Negara memiliki
pandangan yang lebih beragam. Bidang hukum ini mengenal ultra vires dalam
pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, ultra vires terjadi bilaman
1
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.110.
44
45
pejabat tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan atau membuat
keputusan dengan prosedur yang cacat.2
Pengertian ultra vires yang luas berlaku apabila terdapat penyalahgunaan
wewenang. Dalam Hukum Perseroan baik yang berorientasi pada sistem common law
maupun yang menganut sistem civil law, wewenang atau kompetensi juga dikenal
dan diterapkan. Namun demikian menemukan uraian pengertian ultra vires dalam
perangkat sistem civil law termasuk dalam UUPT sangatlah sulit bahkan tidak
ditentukan sama sekali. Oleh karena itu uraian mengenai pengertian ultra vires lebih
banyak bertumpu pada sumber-sumber yang mengacu pada sistem common law.3
Dari perspektif Hukum Perseroan pada pokoknya terdapat berbagai pengertian dan
penjelasan yang diberikan bahwa ultra vires adalah sebagai berikut:
 Ultra vires menggambarkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu
korporasi dimana tindakan-tindakan tersebut bersifat melampaui ruang lingkup
kewenangan yang telah ditetapkan dalam anggaran dasarnya atau dalam suatu
ketentuan anggaran rumah tangganya.4
 Munir Fuady yang mengutip Stephen H. Gifis mengemukakan terminologi
“ultra vires” dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang melebihi
kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh anggaran dasarnya atau oleh
peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut.5
Pandangan-pandangan di atas pada dasarnya mengandung makna, bahwa
perseroan sebagai badan hukum memiliki kompetensi untuk bertindak. Berhubung
2
Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org. hal. 2, 3, 20/09/2013 8:45 WIB.
3
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.127..
4
5
Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org. hal. 2, 3, 20/09/2013 9:00 WIB.
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.110.
46
karena perseroan tidak dapat melakukan tindakan sendiri maka dibutuhkan Direksi
sebagai wakil perseroan yang mewujudkan tindakan-tindakan itu. Tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksinya haruslah memperoleh persetujuan
atau termasuk dalam ruang lingkup tindakan-tindakan yang diatur dalam ketentuanketentuan mengenai tujuan perseroan. Apabila tidak sesuai atau tidak tercantum
dalam ketentuan-ketentuan tersebut, maka terjadilah ultra vires atau tindakan yang
melampaui kompetensi.
Berdasarkan penelusuran di atas, maka dapatlah dikemukakan, ultra vires pada
intinya merupakan ajaran tentang penyelesaian akibat tindakan-tindakan yang
melampaui kewenangan yang telah diberikan baik yang dilakukan oleh perseroan.
Dasar pertimbangannya, perseroan dapat diberikan dan memiliki kewenangan atau
kompetensi mengandung pengertian bahwa perseroan itu dapat pula melakukan
tindakan yang melampaui kewenangan. Oleh karena itu subyek hukum tersebut dapat
ditundukkan pada doktrin ultra vires, dan sesuai dengan topik bahasan, maka dalam
tulisan ini uraian mengenai ultra vires secara khusus ditujukan pada tindakantindakan Direksi yang melampaui kewenangan perseroan.
bertumpu pada pengertiannya, Doktrin ultra vires,6
pada pokoknya dapat
diterapkan secara luas dan dari keluasan ruang lingkup tersebut dapatlah
diidentifikasi adanya tiga sifat tindakan ultra vires sebagai berikut:7
6
“ Doktrin ultra vires” adalah sebuah pemahaman dalam lingkup hukum perusahaan yang
mulanya berkembang di negara ”common Law”. Ultra vires adalah tindakan di luar batas kewenangan
yang tercantum dalam anggaran dasar perseroan bekenaan dengan maksud dan tujuan perseroan.
47
a. Tindakan ultra vires yang bersifat melampaui atau eksesif
Tindakan ultra vires yang bersifat eksesif mengandung pengertian bahwa
tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksi
merupakan aktivitas yang melampaui kewenangan atau kompetensi yang telah
ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan. Dalam hal ini
tindakan Direksi melebihi batas-batas kompetensi yang diberikan.
b. Tindakan ultra vires yang bersifat tidak beraturan atau iregularitas
Tindakan ultra vires yang bersifat iregularitas lebih menunjukkan pelaksanaan
kegiatan perseroan yang tidak teratur. Dalam hal ini perseroan pada dasarnya
memiliki kompetensi untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan, akan tetapi
perseroan melaksanakannya secara tidak beraturan atau tidak konsisten dan
cendrung spekulatif.
c. Tindakan ultra vires yang bersifat bertentangan atau konflik
Kedua sifat tindakan ultra vires seperti yang telah diuraikan di atas
menggunakan anggaran dasar sebagai acuan, apakah melampaui atau tidak
konsisten dengan anggaran dasar tersebut. Sedangkan untuk tindakan ultra vires
yang bersifat bertentangan atau konflik, di samping anggaran dasar juga
menggunakan peraturan hukum dan ketertiban umum sebagai acuan.
2. Perkembangan Doktrin Ultra Vires
Perkembangan doktrin mengenai ultra vires berdasarkan perspektif hukum pada
umumnya terdapat tiga aspek pokok yang perlu mendapatkan perhatian yakni
pertama, sejak kapan ultra vires dikenal dalam perseroan, kedua, bagaimana
perkembangannya, dan ketiga bagaimana pengaruhnya.
Aspek pertama yang disebutkan di atas sebenarnya sangat sulit diuraikan karena
tidak dijumpai adanya sumber bahan hukum yang menyebutkan secara pasti sejak
kapan Hukum Perseroan mengenal Doktrin ultra vires. Namun demikian tidaklah
berarti aspek tersebut tidak dapat ditelusuri sama sekali.
7
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.114-115.
48
Sejarah doktrin ultra vires terdapat pandangan pada pokoknya yaitu pada awal
diakuinya suatu badan hukum sebagai badan dengan hak , kewajiban dan
tanggungjawab yang terpisah serta memiliki kekayaan yang terpisah pula dengan
pribadi dilandasi oleh berbagai dasar dan filosofi hukum. Akan tetapi, eksistensi
badan hukum dari perseroan terbatas diakui dengan sangat was-was oleh hukum salah
satu cara menjaga agar perseroan tidak menyimpang dari misinya semula, sehingga
selalu dapat diawasi adalah dengan membatasi dan mengawasi secara ketat
kewenangan-kewenangannya dalam melaksanakan kegiatan suatu perseroan tidak
diperkenankan ke luar dari kewenangan yang sudah ditetapkan dari latar belakang
filosofi seperti inilah kemudian muncul dan berkembang doktrin hukum yang disebut
dengan ultra vires itu.8
Pandangan di atas mengandung makna bahwa pemberian kewenangan atau
kompetensi terhadap perseroan sebagai badan hukum tidaklah bersifat tunggal dalam
pengertian yang diberikan itu tidak hanya kewenangan semata-mata, melainkan pula
diikuti dengan pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan itu sendiri.
Sistem hukum dalam hal ini common law dalam upayanya mengatur akibatakibat hukum ultra vires tersebut ternyata menunjukkan sifat yang dinamis.
Kedinamisan ini pada akhirnya memperlihatkan perkembangan yang signifikan
mengenai cara pandang hukum dalam menyelesaikan akibat-akibat tindakan ultra
vires.
8
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 114-115.
49
Doktrin ultra vires yang mengalami perkembangan atau yang disebut dengan
Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires pada pokoknya menganggap batal demi
hukum terhadap tindakan perseroan yang ultra vires.9 Ada pun alasannya adalah
karena perseroan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tidakan tersebut baik
menurut anggaran dasar maupun menurut hukum yang berlaku. Mengingat
konsekuensinya adalah batal demi hukum, maka tindakan ultra vires itu sama sekali
tidak dapat diratifikasi oleh pemegang saham. Dalam kondisi seperti itu, maka
Direksilah yang tetap dibebani tanggungjawab atas kerugian-kerugian yang timbul.
Sejalan dengan perubahan zaman, perkembangan pemahaman dan kebutuhan
akan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait serta berkepentingan dengan tindakan
ultra vires, maka apa yang disebut dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires
itu telah banyak mengalami modifikasi.
Apabila dikaji kembali Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires itu memang
tampak sangat kaku dimana dengan dinyatakannya suatu tindakan melampaui, tidak
beraturan dan bertentangan dengan anggaran dasar serta hukum yang berlaku, maka
dengan segera pula tindakan itu dapat dinyatakan sebagai ultra vires, dan sama sekali
tidak memberikan kesempatan baik kepada pemegang saham maupun terhadap
Direksi untuk merevisi dan membela diri. Dalam hal ini dirasakan tidak ada keadilan
bagi Direksi yang merupakan wakil perseroan itu. Adapun modifikasi atau
9
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.125.
50
perkembangan Doktrin Ultra Vires yang dimaksud di atas dapat dilihat dalam hal-hal
sebagai berikut : 10
a. Hak untuk Meratifikasi terdapatnya kasus yang memungkinkan diberikannya
hak untuk meratifikasi oleh pemegang saham terhadap tindakan yang tergolong
ultra vires tersebut. Meskipun secara tradisional, hak untuk meratifikasi tersebut
tidak dibenarkan.
b. Transaksi yang telah dieksekusi terhadap transaksi yang telah dieksekusi dengan
sempurna oleh kedua belah pihak tidak dapat lagi dibatalkan dengan alasan ultra
vires.
c. Peranan Jaksa di Negara-negara tertentu, Jaksa dapat memerintahkan perseroan
untuk menghentikan tindakan yang bersifat ultra vires atau bahkan meminta agar
perseroan dibubarkan.
d. Perbuatan melawan Hukum Perdata atau Pidana terhadap perbuatan melawan
hukum perdata atau pidana tidak dapat diajukan keberatan dengan jalan ultra
vires.
e. Tanggungjawabp ribadi tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan
tanggungjawab pribadi dari Direksi atau petugas yang melakukan tindakan ultra
vires tersebut.
Dari uraian yang merupakan pengembangan Konsep Tradisional Doktrin Ultra
Vires menuju Doktrin Ultra Vires yang Modern itu terdapat suatu poin inti yang perlu
diberikan penjelasan tambahan. Poin yang dimaksudkan adalah Hak untuk
Meratifikasi.
Meratifikasi sebenarnya mengandung pengertian memberikan konfirmasi
terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya dalam hal ini oleh pihak pemberi
konfirmasi sendiri. Dengan demikian sehubungan dengan Doktrin ultra vires, maka
meratifikasi berarti memberikan pengakuan terhadap tindakan yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Direksi.
10
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.126.
51
Meratifikasi pada pokoknya bertujuan menyatakan bahwa tindakan Direksi
tersebut sah, dan dengan adanya ratifikasi ini tanggungjawab atas tindakan itu dipikul
oleh perseroan. Ratifikasi tersebut diberikan oleh para pemegang saham melalui
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam RUPS seperti itu Direksi dapat
dihadirkan dan Direksi dapat memanfaatkan untuk memberikan penjelasanpenjelasan yang perlu mengenai tindakan-tindakan yang telah dilakukannya.
Pada proses tersebut tampak perkembangan pemahaman mengenai Doktrin ultra
vires tersebut telah memberikan suatu keadilan kepada Direksi untuk hadir dan
memberi penjelasan. Dibandingkan dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires
yang dengan segera dapat menyatakan bahwa tindakan Direksi adalah ultra vires
apabila melampaui kewenangan yang diberikan, maka adanya hak meratifikasi
menurut Doktrin Ultra Vires Modern.
Sebenarnya pada satu sisi merupakan suatu langkah maju yang progresif dan
menguntungkan Direksi, akan tetapi pada sisi lain menimbulkan persoalan yang sulit
dijelaskan. Adapun persoalan yang dimaksud pada pokoknya menyangkut tidak
ditentukannya kriteria mengenai tindakan Direksi yang bagaimana saja yang dapat
diratifikasi oleh pemegang saham. Apakah tindakan Direksi yang dalam
kenyataannya bertentangan dengan anggaran dasar perseroan juga dapat diratifikasi.
Solusi atas persoalan tersebut belum dijumpai dalam Doktrin Ultra Vires Modern. Di
samping memperkenalkan hak meratifikasi, Doktrin Ultra Vires Modern juga
52
membawa perkembangan yang cukup monumental yaitu perlindungan pihak ketiga
(pihak luar perseroan) yang bertransaksi dengan perseroan.11
B.
Prinsip Dasar Perlindungan Hukum
1. Pengaturan Ultra Vires Dalam Hukum Perseroan Dan Dasar Perlindungan
Hukum Terhadap Pihak Investor.
Sebelum menguraikan mengenai dasar perlindungan hukum terhadap pihak
ketiga yang dirugikan akibat perjanjian yang dibuat karena tindakan ultra vires, maka
terlebih dahulu diuraikan dasar penerimaan doktrin tersebut dalam sistem hukum
Indonesia. Penerimaan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek pengaturannya dalam
hukum perseroan.
Sebagaimana telah dikemukakan, Doktrin Ultra Vires itu berasal dari sistem
Common Law yang pada awalnya berkembang di Inggris. Namun demikian secara
bertahap doktrin tersebut pada akhirnya diterima dan diterapkan di berbagai negara
seperti Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, Amerika Serikat, Australia, dan
lain-lain.
Bagaimana halnya dengan Indonesia yang sampai saat ini sudah memperbarui
sistem hukum perseroannya secara berturut-turut dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Untuk mengetahui apakah di Indonesia juga berlaku atau diterapkan Doktrin Ultra
Vires yang berasal dari sistem common law itu, maka terlebih dahulu haruslah
11
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.127.
53
diketahui apakah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT) mengatur dalam pengertian menerima doktrin tersebut.
Berdasarkan
penelusuran
terhadap
Undang-undang
Nomor
40
Tahun
2007(UUPT) yang merupakan hukum perseroan positif di Indonesia, ternyata dalam
undang-undang tersebut tidak dijumpai satu ketentuan pun yang mengatur secara
tegas mengenai ultra vires terutama dari segi konsep atau peristilahannya. Namun
demikian hal tersebut tidaklah mengandung pengertian bahwa Indonesia tidak
menerima Doktrin Ultra Vires, semata-mata karena tidak dijumpai adanya aturan atau
norma dalam sistem hukumnya yang menentukannya secara tegas.
Suatu sistem hukum pada dasarnya tidaklah hanya terdiri dari komponen aturan
atau norma hukum berupa pasal-pasal yang bersifat eksplisit saja. Dalam kaitan
tersebut dimana sistem hukum perseroan juga terdiri dari perjanjian yang tertuang
dalam anggaran dasar dan pendapat-pendapat hukum yang relevan.
Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Doktrin- Doktrin Modern Dalam
Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, yang masih mendasarkan
pendapatnya pada Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995
mengemukakan bahwa secara prinsip, Doktrin Ultra Vires berlaku di Indonesia
dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Bahwa prinsip ultra vires ini sudah merupakan doktrin yang berlaku universal.
Bahkan di negeri Belanda sendiri, yang merupakan negara dari mana hukum
Indonesia berasal, juga memberlakukan Doktrin Ultra Vires ini.
b. Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 mengisyaratkan
berlakunya Doktrin Ultra Vires, yang antara lain menempatkan maksud dan
tujuan perseroan pada posisi yang penting. Konsekuensi logisnya adalah bahwa
pelanggaran terhadap maksud dan tujuan tersebut dapat menjadi masalah yang
serius.12
12
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.147.
54
Kendati pun masih mendasarkan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
yang sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, pendapat tersebut
pada pokoknya merupakan pendapat yang relevan dan dapat diterima. Hal ini
disebabkan karena kedua undang-undang itu sama-sama memandang bahwa
mengenai maksud dan tujuan perseroan merupakan aspek yang sangat penting
sebagai penentu arah bagi jenis dan jumlah kegiatan perseroan yang harus ditentukan
secara tegas dalam undang-undang dan dituangkan dalam anggaran dasar secara tegas
pula.
Secara implisit UUPT mengakui dan menerima Doktrin Ultra Vires. Pengakuan
dan penerimaan ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Sehubungan dengan ini dalam
UUPT terdapat sekitar 3 (tiga) kelompok ketentuan yang mengatur atau berkaitan
dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagai berikut:
1. Pasal 2 tentang keharusan memiliki maksud dan tujuan serta kegiatan usaha,
2. Pasal 15 ayat (1) yang mewajibkan untuk menyatakan secara tegas maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha perseroan dalam anggaran dasarnya,
3. Pasal 9, 10, 11, 19 sampai dengan Pasal 28 yang mencerminkan ketatnya
prosedur yang harus ditempuh apabila melakukan perubahan maksud dan tujuan
serta kegiatan usaha perseroan.
Dari pengertian dan pandangan di atas dapat diketahui bahwa fungsi-fungsi
anggaran dasar, disamping merupakan suatu wadah yang mengakomodasikan
berbagai ketentuan mendasar mengenai perseroan seperti nama, tempat kedudukan,
jangka waktu berdiri dan maksud serta tujuan pendiri, dalam hubungan ini anggaran
dasar berfungsi pula sebagai pedoman umum untuk mengukur terjadi atau tidaknya
55
tindakan ultra vires. Oleh karena itu adanya ketentuan mengenai maksud dan tujuan
serta kegiatan usaha perseroan sudah cukup membuktikan bahwa UUPT menerima
Doktrin Ultra Vires, dan dengan demikian terdapat pula dasar hukum untuk
menerapkan doktrin tersebut dalam kasus-kasus yang relevan.
Dicantumkannya tujuan perseroan di dalam anggaran dasar terutama adalah
untuk melindungi investor atau para pemegang saham13. Sehubungan dengan adanya
tindakan ultra vires yang berdampak merugikan pihak ketiga yang mengadakan
perjanjian dengan perseroan, maka sudah semestinya terdapat pula perlindungan
hukum terhadap pihak ketiga. Kendati pun perjanjian pihak ketiga dengan perseroan
yang bersifat ultra vires itu batal dan tidak dapat diratifikasi, hal ini tidaklah
merupakan dasar untuk mengabaikan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga
yang pada hakekatnya juga telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi
kelangsungan usaha perseroan. Dalam hubungan ini terdapat beberapa dasar yang
dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak
ketiga. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas Itikad Baik
Asas Itikad baik pada dasarnya juga mengandung unsur keadilan yaitu
keadilan perbaikan. Konsepsi keadilan ini dimaksudkan untuk mengembalikan
persamaan dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak yang bersangkutan.
Keadilan ini merupakan pula suatu titik tengah di antara keuntungan dan
13
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perseroan, Citra Aditya Bakri, Bandung, h.40.
56
kerugian. Konsepsi inilah yang kemudian menjadi pengertian keadilan sebagai
perbaikan terhadap kesalahan dengan memberikan ganti rugi kepada korban
kesalahan atau hukuman kepada pelakunya.14
Bertumpu pada uraian di atas dapat dikemukakan Asas Itikad Baik relevan
sekali dengan perlindungan terhadap pihak ketiga yang mengadakan perjanjian
dengan perseroan yang ultra vires. Dalam hubungan ini, pihak ketiga dapat
dipandang sebagai korban yang harus diberikan perlindungan hukum.
Keberadaan asas tersebut menjadi semakin relevan dengan adanya ketentuan
Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kalimat terakhir yang
menentukan, persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik,
dan Pasal 1341 paragraf kedua, bahwa hak-hak yang diperolehnya dengan itikad
baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok
perbuatan yang batal itu, diperlindungi. Jadi asas ini memang dapat melindungi
pihak ketiga.
b. Asas Pacta Sun Servanda
Sebagaimana pula telah diuraikan, asas Pacta Sun Servanda mengandung
pengertian, perjanjian harus ditaati para pihak yang melakukan perjanjian.
Keharusan tersebut diperkuat oleh Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, bahwa sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum tercermin, maka perjanjian itu berlaku
seperti undang-undang atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus
14
The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, Penerbit Super, Yogyakarta, 1979, h. 23.
57
ditaati. Asas dan ketentuan tersebut harus dikaitkan dengan pandangan bahwa
Pasal 1338 dan peraturan-peraturan dalam Buku III Kitab Undang-undang
Hukum Perdata adalah pada umumnya hanya merupakan “hukum pelengkap,
bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.15
Sehubungan uraian dia atas ditambahkan dengan kewajiban melaksanakan
berdasarkan itikad baik, kendati pun suatu perjanjian dinyatakan tidak sesuai
dengan undang-undang dan ultra vires, maka tidaklah dengan serta merta dapat
mengabaikan asas Pacta Sun Servanda. Pelaksanaan asas ini harus tetap
dikaitkan dengan asas Itikad Baik, sehingga pihak ketiga tetap memperoleh
perlindungan hukum minimal sebatas menyangkut hak-hak pokoknya, seperti
pemberian kompensasi atas modal dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan.
c. Doktrin Ultra Vires Modern.
Salah satu perkembangan dari doktrin ultra vires yang cukup monumental
adalah perlindungan pihak ketiga (pihak luar perseroan) yang bertransaksi
dengan pihak perseroan, bahkan tindakan yang tergolong ultra vires tetap
dianggap sah untuk kepentingan pihak lawan transaksi (pihak ketiga) asalkan
memenuhi syarat-syarat seperti pihak ketiga tersebut beritikad baik dan Pihak
ketiga tidak menyadari adanya unsur ultra vires tersebut.16
15
16
R. Subekti, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, h.106.
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.127.
58
Perkembangan di atas pada dasarnya bertolak belakang dengan substansi
doktrin ultra vires yang bersifat tradisional, dimana suatu tindakan ultra vires
berakibat batas demi hukum. Berdasarkan perkembangan yang bersifat sangat
progresif itu, perlindungan hukum terhadap pihak ketiga menjadi semakin
kokoh.
C.
Urgensi Perlindungan Hukum.
1. Pihak-Pihak Yang Dapat Dirugikan Akibat Tindakan Ultra Vires
Seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, Perseroan Terbatas
merupakan a nexus of contracts yang pada pokoknya mengandung pengertian bahwa
Perseroan Terbatas dalam kaitannya dengan pendirian, pelaksanaan kegiatan-kegiatan
usaha dan sampai dengan berakhirnya jangka waktu berdirinya itu terdapat berbagai
perjanjian. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang dapat diterima berdasarkan
logika apabila banyak orang atau pihak yang terlibat dalam perjanjian-perjanjian
tersebut. Keterlibatan dari banyak pihak tersebut sebenarnya mencerminkan
banyaknya pula pihak-pihak yang berkompeten terhadap Perseroan Terbatas dan hal
ini secara tidak langsung menyiratkan pihak-pihak yang sangat berkepentingan agar
supaya tindakan yang merupakan ultra vires dilarang dengan tegas.
Munir Fuady mengemukakan, pihak yang berkepentingan tersebut yang disebut
juga dengan constituensies pada pokoknya adalah sebagai berikut17:
17
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.112.
59
a. Pihak Pemegang Saham
Pemegang saham sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat sentral dalam
Perseroan Terbatas, sehingga perlu diketahui deskripsinya kendati pun secara umum,
akan tetapi dalam hal ini UUPT tidak mengatur mengenai pengertian pemegang
saham tersebut. UUPT hanya menentukan pengertian Rapat Umum Pemegang Saham
sebagai Organ Perseroan. Oleh karena itu pengertiannya ditelusuri pada sumber
bahan hukum yang lainnya.
Keuntungan-keuntungan menjadi pemegang saham meliputi penerimaan dividen
yang ditentukan oleh Direksi, hak bersuara dalam RUPS bagi pemegang saham yang
memenuhi persyaratan anggaran dasar, dapat melakukan tindakan derivatif berupa
gugatan apabila perseroan tidak dijalankan dengan baik oleh Direksi, dan turut
memperoleh bagian dari sisa hasil likuidasi(apabila ada). Apabila dikaji dengan
menggunakan Theory of the Corporation yang menekankan pemisahan secara ketat
antara fungsi pendanaan dengan fungsi pengelolaan.18
maka dapat dikemukakan bahwa kedudukan hukum para pemegang saham
adalah sebagai pengembang fungsi pendanaan kegiatan usaha perseroan. Dengan
demikian sudah tersedia cukup pertimbangan untuk mengemukakan bahwa para
pemegang saham itu merupakan investor atau pemilik modal perseroan yang
dibuktikan dengan pemilikan saham, dan sebagai pemilik modal berarti para
pemegang saham itu merupakan pemilik perseroan yang bertanggungjawab terhadap
kewajiban-kewajiban terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya. Semakin
18
Shareholder, http://legal-dictionary.com 22/09/2013 : 10.31 WIB
60
besar jumlah saham yang dimilikinya maka semakin besar pula tanggungjawab yang
diembannya.
Uraian di atas sebenarnya menunjukkan tanggungjawab para pemegang saham
yang besar dan berat berkaitan dengan masalah keuangan perseroan.Kendati pun
demikian penelusuran selanjutnya menemukan bahwa besar dan beratnya
tanggungjawab para pemegang saham ternyata tidak seimbang dengan hak diperoleh
misalnya dalam hal pembagian aset perseroan, walaupun yang bersangkutan
merupakan pemegang saham dengan klasifikasi didahulukan. Sehubungan dengan
pembagian aset yang tersisa misalnya setelah dilakukan likuidasi, sistem common law
menempatkan para pemegang saham pada urutan bawah atau yang disebut dengan
tunduk pada hirarkhi yang dibangun oleh perseroan yang mewajibkan pemegang
saham menunggu setelah claim-claim yang lainnya terpenuhi.
Sistem hukum perseroan Indonesia juga dijumpai konstruksi hukum yang serupa
yaitu yang tertuang dalam Pasal 149 ayat(1) huruf c dan d. Ketentuan tersebut pada
pokoknya menempatkan para pemegang saham pada urutan setelah kreditur
perseroan. Ketidakseimbangan tersebut masih harus ditambahkan lagi dengan
persoalan yang dapat timbul dari kewenangan Direksi yang dikhawatirkan
dipergunakan secara tidak benar atau tidak layak atau setidak-tidaknya tidak
menguntungkan bagi para stakeholder dari suatu perseroan termasuk didalamnya para
pemegang saham.19
19
h. 71.
Munir Fuady, 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Jakarta,
61
Bertumpu pada uraian di atas dapat dikemukakan bahwa para pemegang saham
memiliki motivasi modal yang telah diinvestasi dalam saham dapat mendatangkan
hasil berupa dividen dan maksud tujuan serta kegiatan usaha perseroan dapat
dilaksanakan dengan baik oleh Direksi. Sehubungan dengan motivasi inilah maka
para pemegang saham sangat berkepentingan agar terdapat pembatasan atau pedoman
terhadap kewenangan Direksi supaya tidak menjadi ultra vires.
b. Pihak Kreditur
Setiap perseroan kecuali yang tidak aktif dapat dipastikan keterlibatannya dalam
menjalankan suatu kegiatan bisnis. Keterlibatan ini membutuhkan sejumlah uang
yang seringkali tidak dapat dipenuhi melalui pemupukan dana dengan jalan
mengeluarkan saham. Adanya kendala tersebut akhirnya menyebabkan perseroan
berpaling pada sumber lain berupa uang pinjaman. Dalam hal ini membiayai
kegiatan-kegiatannya dengan jalan membuat utang.
Uraian ringkas di atas pada pokoknya memperlihatkan latar belakang adanya
kreditur perseroan yang merupakan penanam modal atau investor yang meminjamkan
uangnya kepada perseroan dengan perjanjian memperoleh pembayaran bunga dan
utang pokok. Pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada perseroan juga
sangat berkepentingan agar perseroan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
ultra vires.20
20
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.112.
62
Kepentingan tersebut sangatlah beralasan karena perbuatan-perbuatan yang
bersifat ultra vires akan dapat menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi
kreditur. Disamping perjanjian kreditnya dapat dinyatakan batal demi hukum, untuk
pelunasan utang seperti itu kreditur secara tidak langsung dipaksa mengalokasikan
tenaga, perhatian, waktu yang panjang dan biaya yang tidak murah.
2. Dampak Tindakan Ultra Vires Terhadap Perjanjian Antara Perseroan Dan
Pihak Investor.
Mengenai dampak atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh Doktrin Ultra
Vires terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh perseroan pada dasarnya sudah
disinggung dalam uraian mengenai pengertian ultra vires itu sendiri, dimana
dikemukakan bahwa perjanjian yang demikian adalah tidak sah (ilegal).
Uraian di atas sebenarnya sudah tampak dengan jelas, dimana Doktrin Ultra
Vires memang memiliki pengaruh terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat
perseroan
dengan
pihak
ketiga.
Beberapa
kepustakaan
pada
pokoknya
mengemukakan, perjanjian ultra vires yang dinyatakan tidak sah itu adalah batal
demi hukum dan dapat dimohonkan pembatalan.
Namun yang menjadi persoalan, bagaimana uraiannya sehingga perjanjian
tersebut dapat dinyatakan demikian atau sebaliknya. Dalam Kasus PT Dhaeseng/PT
Interland Kontra PT Usaha Sandang terdapat fakta dimana pada pokoknya Presiden
Direktur membuat Surat Pernyataan Hutang kepada PT Usaha Sandang untuk dan
63
atas nama PT Dhaeseng/PT Interland (badan hukum) tanpa persetujuan Komisaris,
sesuai dengan ketentuan di dalam anggaran dasar.21
Selaku penjelasan di atas tindakan yang dilakukan oleh Presiden Direktur atau
Direksi sebenarnya sudah memenuhi unsur-unsur adanya tindakan melampaui
kompetensi atau ultra vires, karena dalam praktek sudah merupakan suatu kelaziman
menuangkan kedalam anggaran dasar ketentuan mengenai kewajiban Direksi untuk
memperoleh persetujuan Komisaris apabila hendak mengikatkan perseroan dalam
perjanjian hutang-piutang. Ternyata Direksi tidak menempuh prosedur tersebut
sehingga tindakannya itu dapat dikualifikasi sebagai ultra vires.
Pengadilan Negeri yang menangani kasus tersebut pada intinya memutuskan
memang benar bahwa hutang tersebut merupakan tanggungjawab pribadi Presiden
Direktur PT Dhasaeng, dengan hanya menyebutkan, oleh karena tindakan membuat
Surat Pernyataan Hutang itu tanpa persetujuan komisaris, maka hutang tersebut
menjadi tanggungjawab pribadi Presiden Direktur tersebut. Putusan itu sama sekali
tidak menyebut doktrin ultra vires.22 Terlepas dari penerimaan secara substansial, hal
ini dapat disebabkan karena istilah ultra vires belum begitu populer di Indonesia.
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi bahkan membatalkan Putusan Pengadilan
Negeri.
21
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perseroan, Citra Aditya Bakri, Bandung, h. 41
22
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perseroan, Citra Aditya Bakri, Bandung, h. 47
64
Contoh kasus di atas pada dasarnya sudah memperlihatkan dampak atau
pengaruh tindakan yang ultra vires terhadap perjanjian antara perseroan dengan pihak
ketiga. Ada pun dampak yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1. Karena tindakan ultra vires merupakan tindakan melampaui kompetensi dan
bersifat tidak sah sehingga batal demi hukum, maka perjanjian-perjanjian yang
merupakan hasil perwujudan nyata dari tindakan ultra vires juga bersifat tidak
sah.
2. Karena perjanjian-perjanjian yang pada awalnya dimaksudkan sebagai ikatan
antara perseroan dan pihak ketiga dinyatakan tidak sah, dimana hal ini
menimbulkan dampak berupa beralihnya tanggung jawab Direksi secara pribadi.
Dari setiap dampak tindakan ultra vires tersebut pada dasarnya dapat
menimbulkan kerugian pada pihak ketiga, baik yang menyangkut pelaksanaan
perjanjiannya sendiri maupun kelangsungan eksistensi. Oleh karena itu sangat
berdasar apabila pihak ketiga membutuhkan perlindungan hukum.
BAB IV
UPAYA REMEDIAL TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM
PERSPEKTIF SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PERSEROAN
A.
Sistem Pertanggungjawaban Dalam Perseroan
1. Kerugian Pihak Investor Akibat Tindakan Ultra Vires
Uraian ini berkisar pada kerugian yang dialami oleh pihak ketiga. Oleh karena
itu untuk memperjelas maknanya maka perlu diuraikan terlebih dahulu pengertian
kerugian itu sendiri. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian bahwa
kerugian atau damage pada pokoknya sebagai berikut:
a. Kerusakan atau cidera pada harta kekayaan atau orang yang mengakibatkan
pelemahan terhadap kemanfaatan atas kekayaan atau orang tersebut.1
b. Kehilangan atau kerusakan yang terjadi karena cidera atau kecacatan pada orang,
harta kekayaan atau nama baik.2
c. Cidera atau kerusakan pada orang, harta kekayaan atau nama baik, suatu
kehilangan yang mengurangi nilai kurang sempurna dan luka-luka.3
d. Kerugian atau damage pada dasarnya merupakan suatu kehilangan atau
pengurangan dari apa yang dimiliki orang yang terjadi karena kesalahan orang
lain.
e. Suatu kehilangan atau kekurangan yang disebabkan oleh seseorang terhadap
orang lain atau terhadap harta kekayaannya, baik dengan maksud mencederai,
karena kelalaian, dan kekuranghati-hatian, maupun karena kejadian yang tidak
dapat dielakkan.4
1
Damage, http://www.thefreedictionary.com. 30/09/2013 8:29 WIB.
2
Definition of Damage, http://www.merriam-webster.com. 30/09/2013 8:35 WIB.
3
Definition of Damage, http://www.brainyquote.com 30/09/2013 8:38 WIB.
4
Damage, http://www.lectlaw.com. 30/09/2013 8:45 WIB.
65
66
Pengertian-pengertian di atas dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu
pengertian yang bersifat umum yang diuraikan pada huruf a, b, c, dan pengertian
menurut hukum seperti diuraikan pada huruf d serta e. Kedua pengertian tersebut
pada dasarnya mengandung suatu persamaan dan perbedaan atau penekananpenekanan tersendiri. Dikaji dari aspek persamaannya, baik pengertian umum
maupun yang secara hukum, keduanya sama-sama memandang bahwa kerugian
merupakan suatu kehilangan atau pengurangan yang dapat menimpa sesuatu dari diri
pribadi atau harta kekayaan baik sudah ada maupun yang diharapkan akan ada
dikemudian hari. Inilah yang merupakan inti persamaan dari seluruh pengertian
kerugian.
Pengertian-pengertian di atas rata-rata menguraikan bahwa sasaran kerugian atau
obyek yang dapat dirugikan itu berkisar pada harta kekayaan berupa benda, dan
bentuk-bentuk seperti luka, cidera atau cacat pada orang. Namun demikian pengertian
yang diuraikan pada huruf b dan c, secara khusus mengemukakan dimana nama baik
juga dapat dirugikan.
Kehilangan atau pengurangan yang menyangkut harta kekayaan atau hak-hak
kebendaan dan cidera atau cacat fisik itu pada pokoknya memperkenalkan istilah
kerugian materil atau fisik.
Sementara itu kerugian yang berkaitan dengan nama baik atau reputasi seseorang
akhirnya menimbulkan istilah kerugian immateril. Dalam hal ini beracara di
pengadilan mengenai kasus-kasus tindakan wanprestasi misalnya selalu disyaratkan
agar identitas baik penggugat maupun tergugat haruslah jelas dan dapat dibuktikan
67
adanya. Pihak yang mengajukan gugatan atau tuntutan hak disebut penggugat, yakni
orang atau badan hukum yang memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan
hukum dan oleh karenanya ia mengajukan gugatan. Syarat mutlak untuk dapat
mengajukan gugatan adalah adanya kepentingan langsung atau melekat dari si
penggugat.5 .
Sehubungan dengan persoalan apakah dari setiap kerugian tersebut melahirkan
hak bagi pihak yang dirugikan untuk bertindak atau menuntut ganti kerugian haruslah
terlebih dahulu dikaji pertama, dari perspektif hak dan kedua, dari bentuk-bentuk
kerugian yang timbul baik dari peristiwa hukum maupun hubungan hukum. Kajian
yang pertama pada pokoknya memperlihatkan terdapatnya dua macam hak, yaitu hak
absolut dan hak relatif sebagai berikut:
a. Hak absolut memberi wewenang bagi pemegangnya untuk berbuat atau tidak
berbuat, yang pada dasarnya dapat melaksanakannya terhadap siapa saja dan
melibatkan setiap orang. Isi hak absolut ini ditentukan oleh kewenangan
pemegang hak. Kalau ada hak absolut pada seseorang maka ada kewajiban bagi
setiap orang lain untuk menghormati dan tidak menggangunya. Pada hak absolut
pihak ketiga berkepentingan untuk mengetahui eksistensinya sehingga
memerlukan publisitas.
b. Hak relatif adalah hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya
dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu. Jadi hanya berlaku bagi orangorang tertentu seperti kreditur tertentu dan debitur tertentu. Hak relatif ini tidak
berlaku bagi mereka yang tidak terlibat dalam perikatan tertentu. Jadi hanya
berlaku bagi mereka yang mengadakan perjanjian. Hak relatif ini berhadapan
dengan kewajiban seseorang tertentu antara kedua pihak terjadi hubungan hukum
yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan yang lain
wajib memenuhi prestasi.6
5
Darwan Prinst, 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya
Bakti,h. 2.
6
h.45.
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
68
Bertumpu pada pandangan pertama di atas dapatlah dikemukakan bahwa
kerugian yang timbul pada pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan
perseroan yang ultra vires pada pokoknya dapat melahirkan hak relatif.
Penyebutan dengan istilah “pihak ketiga” tidaklah dimaksudkan pihak tersebut
tidak terlibat dalam perjanjian. Penyebutan pihak ketiga dalam hubungannya dengan
ultra vires mengacu pada kreditur dan konstituen-konsituen korporasi lainnya seperti
pemasok dan pelanggan. Oleh karena itu pihak ketiga tersebut merupakan para pihak
dalam perjanjian. Dengan demikian apabila terjadi kerugian, pihak ketiga memiliki
hak relatif, yaitu menuntut ganti kerugian pada perseroan.
Uraian di atas juga diperjelas mengenai kerugian yang dialami oleh pihak ketiga
di dalam perjajian atas tindakan ultra vires juga didukung oleh satu ayat dalam kitab
suci Al-Qur‟an yakni surat At-taubah ayat 4 tentang perjanjian yaitu :
       
     
  
           
Artinya:
“kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian
(dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu
dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap
mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaqwa”.
Maksud yang diberi tangguh empat bulan itu ialah: mereka yang memungkiri
janji mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Adapun mereka yang tidak memungkiri
janjinya Maka Perjanjian itu diteruskan sampai berakhir masa yang ditentukan dalam
69
Perjanjian itu. sesudah berakhir masa itu, Maka tiada lagi perdamaian dengan orangorang musyrikin.
Surat at-Taubah ayat ke-4 ini Allah menyatakan, "Orang-orang Musyrik yang
telah menjalin perjanjian dengan kalian, meski mereka tidak konsekuen dengan
perjanjian tersebut, namun selama mereka tidak membantu musuh-musuh kalian,
mereka ini mendapat perkecualian. Mereka diberi kesempatan untuk tetap tinggal di
Mekah sampai berakhirnya waktu perjanjian yang telah mereka jalin dengan kaum
Muslimin. Setelah itu, barulah hukum pengusiran dari kota Mekah, itu akan
diperlakukan kepada mereka."
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
a. Komitmen dan setia terhadap janji sangat ditekankan Islam, termasuk janji
terhadap orang-orang Musyrik dan musuh-musuh sekalipun, selama pihak lain
juga komitmen dan setia terhadap janji tersebut.
b.Setia dan komitmen pada janji menunjukkan ciri-ciri ketakwaan, sehingga ukuran
orang bertakwa bukan saja rajin melaksanakan shalat dan puasa, namun juga
sikap menjunjung tinggi berbagai perjanjian yang dijalinnya dengan orang lain.
2. Jenis-Jenis Pertanggungjawaban
Pembahasan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam perseroan
menjadi semakin menarik, karena pertanggungjawaban tersebut dijadikan sebagai
salah satu pertimbangan mengapa kalangan pengusaha lebih memilih mendirikan
Perseroan Terbatas untuk menjadi badan hukum bagi perusahaannya. Pengutamaan
perseroan dalam pilihan tersebut tercermin pula dari pandangan, bahwa ada beberapa
70
faktor atau alasan mengapa seorang pengusaha memilih Perseroan Terbatas untuk
menjalankan usaha dibandingkan dengan bentuk perusahaan lain seperti Persekutuan
Perdata, Koperasi, Firma, CV, yaitu semata-mata untuk mengambil manfaat
karakteristik pertanggungjawaban terbatas.7
Namun
demikian
perlu
ditegaskan
dari
penjelasan
di
atas
bahwa
pertanggungjawaban perseroan terbatas yang pada dasarnya merupakan suatu
instrumen yang khas perseroan terbatas itu tidak semata-mata dimanfaatkan
kemudahannya apalagi disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang tercela dalam dunia
bisnis.
Untuk menuju kinerja perseroan yang efektif dan efisien, Pemegang Saham,
Direksi, Komisaris dan konstituen-konstituen perseroan lainnya harus memahami
tidak hanya pertanggungjawaban terbatas, tetapi juga komponen-komponen lain dari
sistem pertanggungjawaban perseroan pada umumnya. Secara garis besarnya sistem
pertanggungjawaban dalam perseroan terdiri dari :
a. Tanggungjawab Pemegang Saham
Sehubungan dengan uraian mengenai tanggung jawab pemegang saham terlebih
dahulu hendaknya dipisahkan antara Pemegang Saham dan Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) yang merupakan salah satu organ perseroan. Sementara itu Pemegang
saham pada dasarnya merupakan pribadi atau orang dan atau badan hukum yang
memiliki saham-saham suatu perseroan. Dengan demikian Pemegang Saham
7
Binoto Nadapdap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Jala Permata Aksara, Jakarta, h. 2.
71
bukanlah organ perseroan. Berbeda halnya dengan RUPS, Pemegang Saham tidak
memiliki kewenangan, melainkan kewajiban pokok yaitu melakukan penyetoran atas
modal saham yang diambilnya, dan suatu tanggungjawab. Adapun tanggungjawab
yang dimaksud adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 3 UUPT yakni
tanggungjawab tersebut meliputi tanggungjawab terbatas dan tanggungjawab pribadi.
Tanggungjawab terbatas mengandung pengertian, dimana pemegang saham
perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas
nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham
yang dimilikinya (Pasal 3 ayat 1).8
Tanggungjawab pribadi mengandung pengertian, pemegang saham perseroan
tidak dibatasi lagi tanggungjawabnya dalam hal persyaratan perseroan sebagai badan
hukum belum atau tidak terpenuhi,yang bersangkutan dengan itikad buruk
memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi, yang bersangkutan terlibat
dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan dan yang
bersangkuatan secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang
mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang
Perseroan (Pasal 3 ayat 2).9
8
(Pasal 3 ayat 2) “Pasal Pemegang saham Perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi
atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian Perseroan
melebihi saham yang dimiliki”.
9
berlaku”.
(Pasal 3 ayat 2)”ketentuan-ketentuan yang sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat 1 tidak
72
Tanggungjawab pribadi terhadap pemegang saham yang antara lain seperti
tertuang dalam ketentuan tersebut pada intinya merupakan suatu asas atau prinsip
dalam pengertian mengecualikan berlakunya asas tanggungjawab terbatas Pemegang
Saham.
Asas tanggungjawab pribadi bersifat adanya tanggungjawab yang keberadaan
prinsipnya yang selama ini membentengi dan menjadi kebanggaan bagi pemegang
saham. Oleh karena sifatnya yang menguak suatu hambatan, maka kinerja asas
tanggungjawab pribadi tersebut disebut pula dengan Piercing The Corporate Veil
Principle. Berdasarkan Piercing The Corporate Veil Principle, tanggungjawab
terbatas pemegang saham dapat menjadi hapus apabila terbukti telah terjadi
pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan,
sehinga perseroan yang didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan
pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.10
b. Tanggungjawab Komisaris
UUPT pada dasarnya menentukan tanggung jawab Komisaris secara limitatif dan
ketentuan-ketentuannya dapat dijumpai dalam Pasal 114 dan Pasal 115. Dari kedua
pasal tersebut dapat diketahui, bahwa ruang lingkup tanggung jawab Komisaris itu
meliputi dua hal yaitu:
1. Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan perseroan menyangkut kebijakan
pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan
maupun usaha perseroan, dan memberi nasehat kepada Direksi (Pasal 114 ayat 1
yang merujuk Pasal 108 ayat 1),
2. Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris
dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh
Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban
Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara
tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas
kewajiban yang belum dilunasi (Pasal 115).
10
Jamin Ginting, 2007, Hukum Perseroan Terbatas(UU. No. 40 Tahun 2007), Citra Aditya
Bakti,Bandung, h. 19
73
Jika Komisaris melaksanakan tanggungjawab yang kedua, berarti Komisaris
tunduk pada Sistem Majelis. Sistem Majelis ini dimaksudkan bahwa seseorang tidak
dapat bertindak sendiri terlepas satu sama lain dalam hal mewakili satu kelompok.
Melainkan haruslah selalu bertindak secara bersama-sama.11
Sistem Majelis adalah sesuai dengan Pasal 108 ayat (3) dan (4) yang pada
pokoknya menentukan Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau
lebih. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan
majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri,
melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.
UUPT menetapkan organ Komisaris tersebut sebagai dewan atau board, dan
apabila anggotanya lebih dari satu, maka dewan itu sudah merupakan suatu majelis
(assembly). Oleh karena karakteristik kinerja suatu assembly bertumpu pada
kebersamaan dari setiap anggota, maka Dewan Komisaris sebagai majelis harus
bertindak dan bertanggungjawab secara bersama-sama. Tanggungjawab inilah yang
dalam UUPT dikukuhkan dengan konsep Tanggungjawab Renteng.
c. Tanggungjawab Direksi
Seperti halnya Dewan Komisaris, tanggungjawab Direksi pun juga diatur secara
limitatif. Pengatuan mengenai tanggungjawab Direksi dapat dijumpai dalam Pasal 97
ayat (1) ayat (3), dan ayat (4). Ketentuan-ketentuan tersebut pada pokoknya
menentukan,
11
Direksi
bertanggungjawab
atas
pengurusan
Perseroan
untuk
Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga, Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 74.
74
kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan (Pasal 97 ayat
(1) yang merujuk Pasal 92 ayat 1). Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh
secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya (Pasal 97 ayat 3). Dalam hal Direksi terdiri atas 2(dua) anggota
Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku
tanggung jawab renteng bagi setiap anggota Direksi (Pasal 97 ayat 4).
Tidak seperti Dewan Komisaris yang dapat merupakan majelis, keberadaan
Direksi menurut UUPT tidak dirancang sebagai majelis, akan tetapi personalia atau
anggotanya dapat terdiri lebih dari 1(satu) orang. Oleh karena itu dari aspek
pertanggungjawaban, pada satu sisi Direksi menganut Sistem Individual
Representatif, dan pada sisi lainnya tunduk pada Sistem Kolegial. Sistem Individual
Representatif memperkenalkan semacam otoritas yang mana seseorang dapat
bertindak sendiri untuk mewakili satu kelompok.12
Implementasi sistem di atas dapat dijumpai dalam Pasal 98 ayat (2) yang pada
pokoknya menentukan, dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang
yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali
ditentukan lain dalam anggaran dasar. Dewan Komisaris melaksanakan tugas sesuai
karakteristik majelis, sedangkan Direksi menunaikan tugas-tugas yang dibebankan
berdasarkan model yang bersifat kolegial.13
Sistem kolegial di atas pada intinya juga dapat diterapkan terhadap Direksi yang
melakukan perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status
badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama
semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua
bertanggungjawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.14
12
Munir Fuady,Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga,h.74
13
Munir Fuady,Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga,h.76.
14
Pasal 14 ayat 1 UUPT No. 40 Tahun 2007.
75
d. Pertanggungjawaban Dalam Hubungannya Dengan Pihak Investor
Uraian mengenai sistem pertanggungjawaban perseroan yang telah ditentukan
secara limitatif dan telah pula disesuaikan dengan organ 156 organ perseroan tersebut
pada akhirnya menimbulkan persoalan siapakah yang bertanggung jawab dalam hal
pihak ketiga mengalami kerugian akibat perjanjiannya dengan perseroan yang ultra
vires.
Pemegang saham yang tanggungjawabnya juga dapat meliputi antara lain
perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh anggota
Direksi sebelum pengangkatannya batal (Pasal 95 ayat 3), pada dasarnya dapat
diminta memberikan pertanggungjawaban secara pribadi sepanjang dapat dibuktikan
bahwa tindakan ultra vires itu dilakukan untuk memenuhi tujuan pribadi pemegang
saham. Demikian pula halnya dengan Dewan Komisaris dan Direksi. Diantara
stakeholder perseroan yang telah disebutkan itu, Direksilah yang menjadi sasaran
yang paling relevan untuk diminta pertanggungjawaban dalam hal pihak ketiga
mengalami kerugian akibat perjanjiannya dengan perseroan yang ultra vires. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa oleh undang-undang Direksi sudah ditetapkan
sebagai wakil perseroan baik didalam maupun di luar pengadilan. Dengan demikian
Direksilah yang berhadapan langsung dengan pihak ketiga.
Prinsipnya, mengingat pihak ketiga yang beritikad baik dan tidak menyadari
adanya unsur ultra vires itu harus memperoleh perlindungan hukum, maka secara
logika haruslah ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawabanya, dalam
76
pengertian harus terdapat solusi atau upaya-upaya baik yang bertujuan mencegah
maupun yang bersifat remedial atau memulihkan.
B.
Pelaksanaan Upaya Remedial Terhadap Pihak Investor.
1. Bentuk-Bentuk Upaya Remedial
Fasilitas yang diberikan itu dapat dilaksanakan terhadap kesalahan pihak lawan
dalam perjanjian. Istilah Remedy pada dasarnya merupakan kata benda yang sudah
umum dipergunakan dalam uraian-uraian mengenai ultra vires sebagai konsep atau
istilah untuk upaya-upaya yang bertujuan memperbaiki dan atau memulihkan
kerugian-kerugian yang dialami oleh pihak ketiga akibat perjanjiannya dengan
perseroan dinyatakan ultra vires.
Dari uraian mengenai pengertian remedy tercermin dua tindakan, pertama,
tindakan yang mengandung aspek memperbaiki dan mencegah, serta yang kedua,
tindakan atau upaya yang mengandung aspek yang bertujuan memulihkan. Oleh
karena itu uraian selanjutnya mengenai bentuk-bentuk upaya remedial sudah tentu
akan disesuaikan dengan aspek-aspek tersebut yaitu :
a. Ratifikasi
Berdasarkan pengertian yang umum, ratifikasi merupakan suatu langkah
memberi konfirmasi terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya baik oleh
pihak pihak pemberi konfirmasi maupun yang lainnya sehingga dengan demikian
dapat pula dikemukakan, adanya ratifikasi tersebut sebenarnya menunjukkan adanya
suatu penerimaan atau pengakuan terhadap perjanjian-perjanjian yang sebelumnya
77
telah dibuat tanpa mengindahkan atau tidak sesuai dengan ruang lingkup wewenang
yang ada.
Perseroan pada umumnya Ratifikasi diberikan melalui RUPS atau merupakan
hasil atau keputusan RUPS. Dengan melaksanakan prosedur ratifikasi seperti itu,
maka segala tindakan dan kontrak yang diratifikasi menjadi sah bahwa itu menjadi
tanggung jawab perseroan. Ratifikasi tidak dapat diberikan semata-mata karena
tindakan atau kontrak yang telah dilakukan menguntungkan perseroan, melainkan
harus sesuai dengan kriteria tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan.
Dengan perkataan lain, penilaian dalam rangka ratifikasi tindakan Direksi masih
didasarkan kembali pada ukuran-ukuran apakah dalam melaksanakan tindakan
tersebut sudah dilandasi prinsip fiduciaries duties dimana Direksi memegang
kepercayaan dalam bertindak untuk kepentingan perseroan. Apabila tindakan yang
akhirnya dinyatakan ultra vires itu hendak diakui atau diterima sebagai tindakan yang
intra vires melalui ratifikasi, maka tindakan sebelumnya yang tidak tercantum itu
haruslah dimasukan dan menjadi bagian ketentuan maksud, tujuan serta kegiatan
usaha perseroan dalam anggaran dasar perubahan.
Di Indonesia mengubah anggaran dasar baik secara umum maupun khusus yang
meliputi maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan telah diatur dalam
peraturan undang-undang yaitu Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPT. Dalam
proses perubahan ini anggaran dasar perseroan diperiksa dan dinilai kembali oleh
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh pengesahan.
78
Dilakukannya ratifikasi terhadap tindakan Direksi yang ultra vires justru
memberikan keuntungan tersendiri bagi Direksi. Apabila sebelumnya Direksi karena
tindakan ultra vires yang dilakukannya diwajibkan untuk bertanggungjawab secara
pribadi dengan dilakukannya ratifikasi yang berarti pula merupakan pengesahan
terhadap perjanjian yang ultra vires sehingga menjadi tanggungjawab perseroan,
maka dengan demikian Direksi terbebaskan dari tanggungjawab tersebut. Disamping
Direksi, pihak ketiga pun memperoleh manfaat yang tidak kecil.
Sehubungan oleh itu, maka pihak ketiga dapat mengharapkan keuntungan dan
yang terpenting kerugian yang kemungkinan timbul karena perjanjian dihentikan
akhirnya dapat dicegah. Dari uraian di atas dapatlah dipetik makna bahwa langkah
perseroan dalam hal ini RUPS melakukan ratifikasi terhadap tindakan Direksi yang
ultra vires pada dasarnya merupakan upaya yang bersifat remedial dalam pengertian
ratifikasi tersebut bertujuan memperbaiki kondisi perjanjian dan mencegah kerugian.
b. Ganti rugi
Ganti rugi atau damages pada dasarnya merupakan suatu kompensasi dalam
bentuk pemberian sejumlah uang. Oleh karena itu pemberian ganti rugi juga
merupakan salah satu bentuk upaya remedial untuk menanggulangi kerugian yang
timbul sebagai akibat dihentikanya perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang
ultra vires. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa kajian hukum memang
mengenal lebih dari sekitar 25 (dua puluh lima) jenis ganti rugi. Akan tetapi untuk
menanggulangi kerugian yang timbul dari perjanjian yang ultra vires, tidak semua
jenis ganti rugi tersebut mengandung relevansi untuk dapat diterapkan.
79
Penerapan jenis-jenis ganti rugi yang efektif dan efisien dalam hubungannya
dengan akibat tindakan ultra vires harus disesuaikan dengan bentuk-bentuk kerugian
yang terjadi, dan sebagaimana telah diuraikan pada pokoknya terdapat dua bentuk
kerugian, pertama, kerugian berupa sumber-sumber yang telah dialokasikan untuk
menunjang sampai tahap pelaksanaan, akan tetapi perjanjianya sendiri dihentikan
sebelum berakhir jangka waktunya, dan kedua, kerugian karena tidak berhasil
memperoleh keuntungan yang terjadi dengan dilaksanakan perjanjian secara penuh.
2. Mekanisme Pelaksanaan
Akibat hukum yang timbul dari perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang
ultra vires sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian-uraian sebelumnya meliputi
konsekuensi-konsekuensi seperti perjanjian dinyatakan tidak sah, perjanjian batal
demi hukum, dan perseroan tidak bertanggungjawab. Dalam kondisi demikian,
Direksilah yang dibebani dan melaksanakan tanggungjawab secara pribadi terhadap
pihak ketiga sebagai yang dirugikan. Pembebanan tanggungjawab tersebut kepada
Direksi pada akhirnya menimbulkan persoalan apakah Direksi selalu harus
bertanggungjawab secara pribadi terhadap setiap tindakan ultra vires. Terhadap
persoalan tersebut terdapat pandangan, bahwa tidak selamanya ultra vires
mengakibatkan pembebanan tanggungjawab pribadi dari direksi yang melakukan
ultra vires. Memang umumnya tindakan ultra vires menyebabkan timbulnya
tanggungjawab pribadi direksi.
Pandangan tersebut berdasarkan pemahaman umum mengenai keadilan terutama
berhubungan dengan pernyataan bahwa Direksi tidak selamanya bertanggungjawab
80
secara pribadi terhadap tindakan ultra vires dapat diterima,yang intinya menekankan
tanggungjawab pribadi berdasarkan hukum positif dalam hal ini Pasal 3 ayat (2)
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sebenarnya
menunjukkan kewajiban untuk bertanggungjawab secara pribadi itu hanya
dibebankan kepada pemegang saham.
Dari pengertian di atas yang menjadi dasar untuk meletakkan tanggungjawab
pribadi pada Direksi terhadap tindakan ultra vires. Membebankan tanggungjawab
secara pribadi kepada Direksi tersebut sebenarnya merupakan upaya pamungkas,
suatu langkah yang tidak dapat diterapkan dengan begitu saja. Penelusuran terhadap
kepustakaan hukum menunjukkan adanya beberapa langkah yang dapat dilakukan
sebelum menerapkan tanggungjawab pribadi. Adapun langkah-langkah yang
dimaksud pada pokoknya adalah yang disebut dengan injunction dan tracing.
Secara garis besarnya, dengan melakukan injunction, pihak ketiga dapat
mengupayakan suatu penetapan untuk mencegah perseroan membelanjakan pinjaman
dari pihak ketiga. Sementara itu melalui tracing, pemberi pinjaman dapat menarik
kembali pinjaman sepanjang dapat ditemukan dalam kondisi utuh. Disamping tampak
kurang memperhatikan faktor-faktor yang bersifat yuridis yang justru sangat
diperlukan dalam rangka menanggulangi akibat-akibat tindakan ultra vires, baik
injunction maupun tracing sebenarnya hanya relevan diterapkan untuk tindakan ultra
vires yang berkaitan dengan pihak ketiga yang berkedudukan sebagai kreditur atau
pemberi pinjaman kepada perseroan.
81
Injunction dan Tracing juga tidak dapat menghindarkan Direksi dari kewajiban
melakukan
tanggungjawab
secara
pribadi.
Dengan
demikian
dalam
hal
pertanggungjawaban terhadap kerugian-kerugian pihak ketiga akibat tindakan ultra
vires, pembebanan tanggung jawab pribadi pada Direksi tidak dapat dihindarkan.
Persoalannya, apakah Direksi yang merupakan pengurus perseroan memiliki
kemampuan untuk bertanggungjawab sementara tindakannya yang akhirnya
dinyatakan ultra vires itu dilakukan untuk kepentingan perseroan. Dalam kondisi
demikian langkah apa yang harus ditempuh agar kerugian pihak ketiga memperoleh
pemulihan. Pihak ketiga sebagai pihak yang dirugikan pada dasarnya tidak memiliki
kepentingan mengenai siapa yang harus bertanggungjawab atas kerugian yang
dialaminya apakah perseroan atau Direksi. Pihak ketiga hanya memaklumi bahwa
perjanjian yang dimaksudkan adalah hubungan hukum antara dirinya dengan
perseroan dan Direksi merupakan wakil perseroan.
Tidak ada relevansinya menarik pihak ketiga kedalam persoalan mengenai siapa
yang bertanggungjawab. Pihak ketiga hanya membutuhkan agar kerugian yang
dialaminya segera dapat dipulihkan. Pemulihan kerugian pihak ketiga akibat
perjanjianya dengan perseroan dinyatakan ultra vires, sementara Direksi yang
dibebani tanggungjawab pribadi tidak mampu bertanggungjawab misalnya karena
alasan tidak memiliki kekayaan yang cukup.
Uraian di atas terdapat pandangan bahwa pemulihan tersebut dapat dilakukan
dengan menempuh mekanisme atau tatacara antara lain seperti yang terdapat dalam
lembaga subrogasi Khusus berkaitan dengan uang yang dipinjam perseroan,
82
pandangan yang lainnya pada pokoknya mengemukakan, apabila uang yang dipinjam
itu sudah dipergunakan untuk membayar utang yang sah dari perusahaan, pemberi
pinjaman dapat menuntut hak subrogasi dan sebagai akibatnya, pemberi pinjaman
dapat menuntut informasi penggunaan uang selanjutnya, akan tetapi subrogasi ini
tidak memberikan prioritas yang sama dengan kreditur yang asli.
Jika berkaitan dengan hukum terutama yang menyangkut utang-piutang yang
tunduk pada sistem hukum perdata yang berlaku di Indonesia pada umumnya juga
terdapat lembaga subrogatie sebagaimana tercantum dalam Pasal 1400 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menentukan bahwa, subrogarsi
atau penggantian hak-hak pihak berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada
pihak berpiutang itu, terjadi baik dengan persetujuan maupun demi undang-undang.
Rumusan Pasal 1400 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada dasarnya
mengandung dua unsur yaitu penggantian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga, dan
pembayaran oleh pihak ketiga. Berkaitan dengan unsur yang pertama perlu diuraikan
yang dimaksud dengan „hak-hak kreditur‟ disini adalah hak-hak yang dipunyai oleh
kreditur terhadap debiturnya, sedangkan „pihak ketiga‟ adalah pihak yang bukan
kreditur maupun debitur (utama). Sementara itu berkaitan dengan unsur yang kedua,
diuraikan, pihak ketiga baru memperoleh hak-hak berdasarkan subrogasi apabila dan
hanya dalam hal utang-utang yang dilunasi.15
Sehubungan dengan subrogasi secara umum timbul persoalan apakah mekanisme
yang tersedia dalam lembaga subrogasi itu relevan untuk diterapkan dalam proses
pemulihan hak pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan yang
ultra vires. Persoalan tersebut menjadi semakin membingunkan sehubungan dengan
penyebutan istilah pihak ketiga. Terkait dengan subrogasi istilah itu sudah tepat untuk
15
J. Satrio, 1999, Cessie, Subrogattie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang,
Alumni,Bandung, h. 50-58.
83
menyebut yang menggantikan kreditur, akan tetapi apabila diterapkan dalam ultra
vires, maka istilah itu akan menghasilkan kebingunan karena dalam hubungannya
dengan perjanjian-perjanjian yang ultra vires, subyek-subyek seperti kreditur
perseroan, pemberi pinjaman terhadap perseroan, pemasok dan pelanggan sebenarnya
sudah menjadi pihak ketiga dan kreditur terlebih dahulu. Sehingga apabila kepada
mereka diberikan lagi kedudukan sebagai pihak ketiga, maka persoalannya hakhaknya siapa yang mereka gantikan.
Pandangan tersebut dapat dipahami karena memang terdapat faktor-faktor yang
mewajibkan untuk melakukan atau menempuh subrogasi. Faktor-faktor tersebut
adalah sesuai dengan Pasal 1401 dan 1402 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang pada pokoknya menentukan, subrogasi terjadi dengan persetujuan dan demi
undang-undang. Sepanjang pembayaran oleh pihak ketiga dilakukan tidak dalam
konteksnya dengan Pasal 1401 dan 1402 tersebut, dapatlah dikemukakan bahwa
pembayaran yang dilakukan itu tidak menimbulkan apa yang disebut dengan
subrogasi.
Secara umum dapat dikemukakan, gagasan dan mekanisme yang tercemin dari
subrogasi secara dengan perubahan dan penyesuaian seperlunya dapat diterapkan
dalam rangka pemulihan kerugian pihak ketiga karena perjanjiannya dengan
perseroan dinyatakan ultra vires. Namun demikian sehubungan dengan maksud itu
pula masih tersedia satu mekanisme lagi yang perlu dicermati dan diperbandingkan
karakteristik dan relevansinya.
84
Adapun mekanisme yang dimaksud adalah upaya yang disebut dengan
substitution, yang secara umum mengandung pengertian, melayani orang lain sebagai
pengganti. Dalam mekanisme substitution terdapat hubungan segitiga di antara
pengganti, yang digantikan dan pihak ketiga. Substitution atau penggantian pada
pokoknya merupakan prinsip yang telah diterima secara luas bahwa dengan prinsip
tersebut seseorang atau pengutang baru dapat menerima utang dari orang lain (debitur
atau debitur asli), dan dengan cara demikian pengutang baru itu kemudian
menggantikan kedudukan debitur.
Upaya penggantian tersebut tidaklah muncul dengan sendiri,melainkan harus
pula didasarkan pada adanya persetujuan penggantian dari krediturnya. Dalam upaya
pemulihan kerugian pihak ketiga akibat perjanjiannya dengan perseroan dinyatakan
ultra vires, persetujuan penggantian yang dimaksud harus diberikan oleh pihak
ketiga. Berdasarkan upaya penggantian atau substitution terjadilah peralihan
kewajiban dari debitur asli kepada debitur baru. Analog dengan pemulihan kerugian
sebagai diuraikan di atas, maka peralihan kewajiban terjadi dari Direksi yang
sebelumnya dibebani tanggungjawab pribadi itu kepada perseroan.
Apabila dibandingkan dari uraian di atas tampaklah suatu perbedaan yang cukup
signifikan, dan secara garis besarnya perbedaan tersebut dapat diuraikan dengan
kalimat proses dalam subrogasi pada pokoknya menghasilkan kreditur baru yang
disebut dengan pihak ketiga, sedangkan mekanisme dalam penggantian atau
substitution menciptakan adanya debitur baru yang berkewajiban sebagai pengganti
melaksanakan kewajiban debitur asli.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berkaitan
dengan
permasalahan
dalam
rumusan
masalah,
penulis
menyimpulkan mengenai permasalahan yang dijadikan pertanyaan dalam rumusan
masalah yakni :
1. Adapun dasar-dasar perlindungan hukum terhadap pihak investor dalam hal
Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires pada pokoknya dapat
diuraikan dari pandangan bahwa prinsip ultra vires ini sudah merupakan doktrin
yang berlaku secara universal. Di Indonesia dapat dikemukakan secara implisit
UUPT mengakui dan menerima Doktrin Ultra Vires. Pengakuan dan penerimaan
ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud
dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan.
Berdasarkan penelusuran terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007(UUPT) yang merupakan hukum perseroan positif di Indonesia, ternyata
dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai satu ketentuan pun yang mengatur
secara tegas mengenai ultra vires terutama dari segi konsep atau peristilahannya.
Namun demikian hal tersebut tidaklah mengandung pengertian bahwa Indonesia
tidak menerima Doktrin Ultra Vires, semata-mata karena tidak dijumpai adanya
aturan atau norma dalam sistem hukumnya yang menentukannya secara tegas.
85
86
Suatu sistem hukum pada dasarnya tidaklah hanya terdiri dari komponen
aturan atau norma hukum berupa pasal-pasal yang bersifat eksplisit saja. Dalam
kaitan tersebut dimana sistem hukum perseroan juga terdiri dari perjanjian yang
tertuang dalam anggaran dasar dan pendapat-pendapat hukum yang relevan.
Disamping itu terdapat pula beberapa dasar yang dapat dipergunakan
sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga. Dasardasar tersebut meliputi Asas Itikad Baik, Asas Pacta Sun Servanda dan Doktrin
Ultra Vires Modern. Dengan bertumpu pada dasar-dasar tersebut, maka dapatlah
diberikan perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
2. Bertumpu pada pemahaman mengenai perspektif hak dan bentuk-bentuk
kerugian yang timbul baik dari peristiwa hukum maupun hubungan hukum, maka
kerugian akibat tindakan Direksi perseroan yang ultra vires dapat melahirkan hak
bagi pihak yang dirugikan untuk bertindak atau menuntut ganti kerugian. Proses
penggantian kerugian tersebut meliputi upaya-upaya pemulihan atau upayaupaya remedial yang bertujuan untuk mengembalikan atau menggantikan hakhak dari pihak yang dirugikan baik yang secara nyata sudah terjadi maupun yang
diharapkan akan terwujud.
Pemahaman mengenai upaya pemulihan atau remedy mencerminkan dua
tindakan, pertama, tindakan yang mengandung aspek memperbaiki dan
mencegah, serta yang kedua, tindakan atau upaya yang mengandung aspek yang
bertujuan memulihkan. Dengan demikian dapat dikemukakan bentuk-bentuk
87
upaya remedial terhadap kerugian akibat tindakan ultra vires tersebut meliputi
tindakan ratifikasi dan pemberian ganti rugi.
(Pasal 3 ayat 2) “Pasal Pemegang saham Perseroan tidak bertanggungjawab
secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak
bertanggungjawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki”.
Ratifikasi berarti pengesahan terhadap perjanjian yang ultra vires sehingga
menjadi tanggungjawab perseroan, maka dengan demikian Direksi terbebaskan
dari tanggungjawab yang bertujuan memperbaiki kondisi perjanjian dan
mencegah kerugian.
Ganti rugi atau damages pada dasarnya merupakan suatu kompensasi
dalam bentuk pemberian sejumlah uang. Disamping itu pemberian ganti rugi juga
merupakan salah satu bentuk upaya remedial yang bersifat menanggulangi
kerugian yang timbul. Dalam hal pihak ketiga yang dirugikan merupakan
kreditur, maka mereka dapat melakukan injunction atau mencegah perseroan
membelanjakan pinjaman dari pihak ketiga, dan tracing atau menarik kembali
pinjaman sepanjang dapat ditemukan dalam kondisi utuh.
Direksi
yang
dibebani
tanggungjawab
pribadi
tidak
mampu
bertanggungjawab misalnya karena alasan tidak memiliki kekayaan yang cukup,
maka langkah yang dapat dipandang sebagai solusinya adalah melakukan proses
substitution. Dengan langkah ini, perseroan terlebih dahulu melakukan
penalangan terhadap kerugian pihak investor dan selanjutnya Direksi
88
berkewajiban mempertanggungjawabkannya kepada perseroan. Dalam hubungan
ini yang diutamakan adalah memulihkan hak-hak pihak investor.
B.
Saran
1. Prioritas utama dalam penerapan Doktrin Ultra Vires pada dasarnya adalah
pencegahan terhadap tindakan Direksi yang melampaui kewenangan perseroan.
Berkaitan dengan upaya mendukung pencegahan tersebut maka baik direksi
maupun pihak investor yang akan menjalin hubungan kontraktual dengan
perseroan hendaknya memahami terlebih dahulu ketentuan-ketentuan mengenai
maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan yang bersangkutan.
Pemahaman di atas antara lain dapat diperoleh melalui konsultasi hukum.
Dengan pemahaman tersebut akan dapat diketahui kesesuaian antara transaksi
yang hendak dilakukan dengan ketentuan-ketentuan mengenai maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha perseroan.
2. Upaya pemulihan hak-hak pihak investor atas tindakan ultra vires direksi
perseroan perlu diatur secara tegas dan terperinci dalam Undang-undang tentang
Perseroan Terbatas dan perlu adanya pengawasan yang lebih di dalam organ
perseroan agar terhindar dari tindakan ultra vires yang dapat merugian pihak
investor (pihak ketiga).
DAFTAR PUSTAKA
Kitab suci:
Al-Qur’an dan Terjemahan.
Buku-buku:
Ais, Chatamarrasjid. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual
HukumPerseroan, Bandung:Citra Aditya Bakri,2004.
Apeldoorn, L. J.Van. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.
Fuady, Munir. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
DalamHukum Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.
Gie, The Liang. Teori-Teori Keadilan, Yogyakarta: Penerbit Super, 1979.
Ginting, Jamin. Hukum Perseroan Terbatas (UU. No. 40 Tahun 2007), Bandung:
Citra AdityaBakti,2007.
Ichsan, Achmad. Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga,
Aturan-Aturan Angkutan, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983.
Kansil, CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 1989.
Makarao, Moh. Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta,
2004.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum(Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty,
1986.
Nadapdap, Binoto. Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Jala Permata Aksara,2009.
Purwosutjipto, H. M. N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (BentukBentuk Perusahaan), Jakarta: Djambatan,1984.
89
90
Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas,Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996.
Pramono, Nindyo. Bunga Rampai Hukum Bisnis, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2006.
Prodjodikoro, R.Wirjono. Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Bandung: Sumur
Bandung, 1980.
Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996.
Prinst, Darwan. Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986).
Subekti, R. Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
Soekardono, R. Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), Jakarta: CV.
Rajawali, 1983.
Subekti, R. Kamus Hukum, Jakarta:Pradnya Paramita, 1973.
Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT. Intermasa,1977.
Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia. Organ Perseroan Terbatas,Jakarta:Sinar
Grafika,2009.
Tirta Amidjaja, M.H. Pokok-Pokok Hukum Perniagaan,Jakarta:Djambatan, 1956.
Tirtodiningrat, K.R.M.T. Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,Jakarta:
Pembangunan,1963.
Wicaksono, Frans Satrio. Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia, 2009.
Makalah/Artikel:
A. Partomuan Pohan,Alokasi Wewenang & Kewajiban Antara Dewan Komisaris,
DireksiDan Pemegang Saham, dalam : Beberapa Permasalahan Hukum
DiSekitar Penanaman Modal,Pusat Pengkajian Hukum bekerjasama dengan
BadanKoordinasi Penanaman Modal, Jakarta, 1990.
91
J. Satrio, Cessie, Subrogattie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang,
Alumni, Bandung, 1999.
Mas Soebagio, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang,
Alumni, Bandung, 1976.
Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak :Yuridika Vol 18,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.
Majalah/Koran:
Syarif Basir, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, 2009.
Perundang-undangan:
Kitab Undang-undang Perdata.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 26 s/d 56 KUHD.
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998 Tentang Nama Perseroan Terbatas.
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Undang-undang No.4 Tahun 1971 Tentang Perubahan dan Penambahan Ketentuan
Pasal 54 KUHD.
INTERNET:
Irma Nurhayati,Ulasan Tentang Stasus Badan Hukum Perseroan Terbatas Menurut
Undang-undang Nomor 1Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas H.1.Magister
Hukum UGM, http://mhugm.wikidot.com diakses pada tanggal16/07/2013
19:43WIB.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan di akses pada
tanggal 11/1/2014 pada jam 20:20 WIB
Samuel Label, Perseroan Terbatas dan 15 Elemen Yuridisnya,
Kusumohamidjojo, Pacta Sun Servanda,1986,http:// www.kamushukum.com, diakses
pada tanggal 18/07/2013 14:25 WIB.
92
Flora Raimond Lamandesa, Penegakan Hukum,2008, WWW.Scribb.com diakses
pada tanggal 20/07/2013, 22:25 WIB.
Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org. hal. 2, 3, 20/09/2013
9:00WIB.
Shareholder, http://legal-dictionary.com 22/09/2013 : 10.31 WIB
Damage, http://www.thefreedictionary.com. 30/09/2013 8:29 WIB.
Definition of Damage, http://www.merriam-webster.com. 30/09/2013 8:35 WIB.
Definition of Damage, http://www.brainyquote.com 30/09/2013 8:38 WIB.
Damage, http://www.lectlaw.com. 30/09/2013 8:45 WIB.
Download