PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI IDENTITAS POLITIK “GEREJA SUKU” DI RUANG PUBLIK (Studi Tentang Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) ”Talenta” Berdasarkan Perspektif Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe) TESIS Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) Oleh: Mardison SM Simanjorang NIM: 106322005 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI TESIS IDENTITAS POLITIK “GEREJA SUKU” DI RUANG PUBLIK (Studi Tentang Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) ”Talenta” Berdasarkan Perspektif Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe) Oleh: Mardison SM Simanjorang NIM: 106322005 Telah disetujui oleh: Dr. St. Sunardi Pembimbing I Dr. Gregorius Budi Subanar.SJ Pembimbing II ………………….……………… 27 Agustus 2015 ………………………………… 27 Agustus 2015 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI TESIS IDENTITAS POLITIK “GEREJA SUKU” DI RUANG PUBLIK (Studi Tentang Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) ”Talenta” Berdasarkan Perspektif Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe) Oleh: Mardison SM Simanjorang NIM: 106322005 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal, 27 Agustus 2015 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat Tim Penguji: Ketua :Dr. Gregorius Budi Subanar.SJ .………………. Sekretaris/Moderator :Dr. des. Vissia Ita Yulianto .…...…………. Anggota : 1. Dr. St.Sunardi …………….… 2. Dr. Gregorius Budi Subanar.SJ .……………… 3. Y.Tri Subagya.MA ………………. Yogyakarta, 27 Agustus 2015 Direktur Porgram Pasca Sarjana Prof.Dr.A. Supratiknya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Maridison SM Simanjorang Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya NIM Universitas : 106322005 : Sanata Dharma Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis ini: Judul Pembimbing Tanggal diuji : Identitas Politik Gereja Suku di Ruang Publik (Studi Tentang Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) “Talenta” Berdasarkan Perspektif Politik Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe : 1. Dr. St. Sunardi : 2. Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J : 27 Agustus 2015 Adalah benar-benar hasil karya saya. Di dalam tesis ini, tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya. Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh. Yogyakarta, 27 Agustus 2015 Yang memberikan pernyataan Mardison SM Simanjorang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Nama NIM Program : Mardison SM Simanjorang : 106322005 : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul: IDENTITAS POLITIK “GEREJA SUKU” DI RUANG PUBLIK (Studi Tentang Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) ”Talenta” Berdasarkan Perspektif Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe) Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Dibuat di: Yogyakarta Pada tanggal: 27 Agustus 2015 Yang menyatakan Mardison SM Simanjorang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Daftar Singkatan BMT-PAS : Baitul Maal wat Tamwil Projo Artha Sejahtera BRI-UD : Bank Rakyat Indonesia Unit Desa BPR-PPK : Bank Perkreditan Rakyat Indonesia-Pijer Podi Kekelengen CU : Credit Union CUM : Credit Union Modifikasi DGD : Dewan Gereja Dunia GB : Grameen Bank GBKP : Gereja Batak Karo Protestan GKPI : Gereja Kristen Protestan Indonesia GKPPD : Gereja Kristen Pak-pak Dairi GKPS : Gereja Kristen Protestan Simalungun HKI : Huria Kristen Indonesia HKBP : Huria Kristen Batak Protestan JWS : Jaulung Wismar Saragih LGBT : Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender LKM : Lembaga Keuangan Mikro LM : Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe PB : Perjanjian Baru PGI : Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia PL : Perjanjian Lama PELPEM : Pelayanan Pembangunan PT : Perseroan Terbatas RAT : Rapat Anggota Tahunan RMG : Rheische Mission Gesselschaft SB : Sinode Bolon UMR : Upah Minimum Regional PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR TABEL Tabel 1: Tiga jenis Lembaga Keuangan Mikro Tabel 2: Tiga Jenis Lembaga Keuangan Mikro: Persamaan dan Perbedaannya Tabel 3: Perbedaan CU dengan Bank Komersial dan BPR Tabel 4: Materi Pendidikan dan Pelatihan CUM Tabel 5: Gambaran Umum Pertumbuhan unit, calon unit dan bakal calon unit Komunitas CUM “Talenta” hingga tahun 2011 Tabel 6: Jumlah anggota Komunitas CUM “Talenta” per 31 Desember 2011 Tabel 7: Pertumbuhan dan Perkembangan Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) Talenta 2007-2011 Tabel 8: Tuntutan dan Konstruksi Rantai Ekuivalensi (chain Of equivalence) dalam Pembentukan Komunitas CUM “Talenta” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Tesis Identitas Politik “Gereja Suku” di Ruang Publik, yang memaparkan bagaimana sebuah Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) “Talenta” merepresentasikan kedirian subjek “Gereja Suku” yakni Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di ruang publik ini ditulis untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Proses penelitian dan penulisan tesis ini telah melibatkan banyak pihak lewat serangkaian diskusi di ruang Palma maupun di berbagai tempat lainnya di seputar kota Yogyakarta, Semarang, Klaten. “Cepat ada yang dituju, lambat ada yang ditunggu”. Pepatah ini mewakili keseluruhan persaan saya dalam melakukan proses penyelesaian penulisan tesis ini. Tanpa kehadiran dan bantuan dari berbagai pihak, tentu penelitian ini tidaklah mungkin dapat diselesaikan. Karena itulah saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana IRB Universitas Sanata Dharma Yogyakarta angkatan 2010; Mas Benny Setiawan, Irfan, Zuhdi, Nelly, Lisis, Gintani, Pongkot, Mando, Alwi, Windarto, Amsa Saefuddin. 2. Mas Jun, (Junior Hafij Hery) untuk diskusi postmarxis LM, Lacan dan Zizek yang kita lakukan berdua dan berkali-kali di rumah yang tenang di Klaten itu. 3. Pak St. Sunardi (Pembimbing), Romo. G. Budi Subanar (Penguji sekaligus Ka.Prodi IRB Universitas Sanata Dharma), Pak Y.Tri Subagya (Penguji) dan ibu Des Vissia Ita Yulianto yang menjadi moderator dalam pengujian tesis ini. 4. Rekan-rekan Pendeta (muda) GKPS pendiri dan manajer Komunitas CUM “Talenta”: Pdt. Liharson Sigiro, Pdt. Syahrudin Sinaga, Pdt. Kelurenca Rumahorbo dari mereka saya telah memperoleh data-data (awal) primer tambahan dan datadata sekunder. Teman-teman pegawai kantor Komunitas CUM “Talenta” di Saribudolok viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Bapak Damanik (Bandar Purba), ibu LS (Saribudolok), bapak RP (Buah Bolon), bapak Sianipar (Saribudolok), bapak Sutrisno beserta ibu, semuanya adalah anggota Komunitas CUM “Talenta” yang telah bersedia diwawancarai terutama untuk mengetahui manfaat kehadiran Komunitas CUM “Talenta”. 5. Bapak MP.Ambarita, meski telah berusia lanjut tetapi tampak masih bertenaga dan bersemangat dalam mendidik dan melatih para pelayan gereja (Pendeta dan Diakones). 6. Sekretariat IRB (mbak Desy), atas kesabarannya setiap waktu mengingatkan penyelesaian tesis ini. 7. Pimpinan Pusat GKPS di Pamatang Siantar yang telah sudi memberi rekomendasi untuk studi lanjutan ini. 8. Martin Lukito Sinaga, saudara dan juga teman berdiskusi di seputar cultural studies dan kaitannya dengan pergulatan gereja. 9. Orang tuaku, T.Simanjorang/N br Saragih di Berastagi, yang senantiasa memberi dorongan dan doa untuk penyelesaian tesis ini. 10. Istriku (Melly Damanik) dan anak-anakku (Pauline Mard Manjorang dan adiknya Palma Ernesto Laclau Simanjorang) atas dukungannya. 11. Setiap orang yang terlibat dalam membantu penulisan tesis ini yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Tentu, tidak ada gading yang tak retak. Demikian juga tesis ini mengandung sejumlah kelemahan. Meskipun disadari, tesis ini memiliki kelemahan dan tidak sempurna, kiranya pembaca dapat memperoleh manfaat dari isinya. Keseluruhan isi tesis (penulisan teknis, maupun substansi) sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis. Terima kasih. Selamat membaca. Yogyakarta, Mardison SM Simanjorang ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRAK Penelitian ini (Identitas Politik “Gereja Suku” di Ruang Publik) memapar Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) “Talenta” dalam mengartikulasikan identitas politik GKPS sebagai sebuah “gereja suku” di ruang publiknya di pedesaan Simalungun. Persoalan bermula dari ketidakmampuan GKPS untuk memberi respon etis terhadap krisis sosial ekonomi (solidaritas sosial jemaat di pedesaan yang mulai melorot dan kesulitan dalam mengakses fasilitas permodalan dari Lembaga Keuangan Mikro formal (seperti: BRI-UD, BPR, dan lain sebagainya) yang beroperasi di pedesaan Simalungun. Tujuan penelitian dilakukan untuk mengetahui tiga persoalan utama yakni:1). Apa dan bagaimana latar belakang kemunculan wacana CUM sebagai sebuah sistem pemberdayaan ekonomi jemaat versi kristiani,2). Sejauhmana Komunitas CUM “Talenta” mampu mengartikulasikan identitas politik GKPS di ruang publiknya di pedesaan Simalungun, 3). Perjuangan-perjuangan demokratik baru yang seperti apa yang dilakukan Komunitas CUM “Talenta” sehingga tercipta “ruang politis” di ruang publiknya di pedesaan Simalungun. Metode pengumpulan data dikerjakan dengan melakukan studi lapangan: mengumpulkan dokumen, observasi, wawancara, dan studi literatur, sedangkan metode analisis dikerjakan mengikuti kaidah hermeneutik-etnografis dengan menggunakan teori hegemoni yang dikembangkan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe sebagai piranti analisisnya. Penelitian ini telah mengungkap keberadaan UU Bank No. 10 tahun 1998 dan UU Perseroan Terbatas (PT) No. 1 tahun 1995, yang membuat institusi gereja secara legal formal tidak diijinkan mendirikan Bank serta ketidakfelksibelan wacana BPR untuk digunakan sebagai instrumen pelayanan pemberdayaan eknomi jemaat hingga pelosok pedesaan di mana gereja berada, telah mendorong kemunculan wacana CUM sebagai wacana alternatifnya. Meskipun secara legal formal Komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari “rahim” institusi GKPS namun ia berhasil menciptakan “ruang politis” dengan mengklaim diri sebagai “bidang diakonia” GKPS. Selain itu, “ruang politis” lain juga berhasil diciptakannya melalui pendirian perusahaan bersama (berbadan hukum: CV.Talenta), padahal Komunitas CUM “Talenta” sendiri tidak atau belum berbadan hukum. Godaan dari Rabo Bank untuk memberi suntikan dana (walau kemudian ditolak) serta keputusannya mengubah nama dirinya menjadi Komunitas “Credo Union Modifikasi” (menghindarkan diri dari pungutan pajak) menunjukkan keberhasilannya menciptakan ruangpolitis di ruang publiknya di pedesaan Simalungun. Kata-kata kunci: identitas, politik, hegemoni, antagonisme, subjek politik, ruang publik, wacana, titik nodal, penanda utama, penanda kosong, rantai persamaan, credit union modifikasi, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRACT The research (Identitas Politik “Gereja Suku” di Ruang Publik, The Political Identity of "The Church of Etnic” in the Public Sphere) elaborates the “Talenta” Community of Credit Union Modification (CUM) on the articulating of political identity of GKPS as a "church rate" in the public sphere in the countryside of Simalungun. The problem is start to emerge by the inability of GKPS to give ethically respond to the crisis of the socio-economic (social solidarity of the church in the countryside began to sag and there is a difficulty in accessing capital facilities of formal Microfinance Institutions (BRI-UD, BPR, etc.) operating in the countryside of Simalungun. The aim of this research was conducted to determine three main issues namely: 1). What and how the background emergence of discourse CUM as a Christian church version of economic empowerment system. 2). The extent of Community CUM "Talenta" GKPS’s ability to articulate a political identity in the public sphere in rural Simalungun, 3). What kind of new democratic struggles done by the Community CUM "Talenta", in order to create "political space" in the public space in the countryside Simalungun. Methods of data collection is done by conducting field studies: collecting documents, observation, interview, and literature study, whereas the method of analysis is done by following the rules of hermeneutics-ethnographic by using the theory of hegemony developed by Ernesto Laclau and Chantal Mouffe as a tool of analysis. This study has revealed the existence of the Law of Bank No. 10 of 1998 and the Law of Perseroan Terbatas (P.T.) ( Limited Liability Company ) No. 1 of 1995, which made the church institutions are legally not allowed to establish a Bank and also the inflexibility of the BPR’s (Public Bank of Credit) discourse to be used as an instrument of economics empowerment services that reach to remote rural area in which a church is located. It has prompted the emergence of CUM’s discourse as an alternative discourse. Although formally and legally the Community CUM "Talenta" was not born from the “womb" of GKPS, it has managed to create a "political space" by a self-proclaimed act of being an "institution of diakonia" of GKPS. In addition, another "political space" is also successfully created through the establishment of joint companies (incorporated: CV.TALENTA), although the Community CUM “Talenta” itself is not yet a legal entity. The temptation of Rabo Bank to give an injection of funds (although being rejected later on) as well as the decision to rename itself into the Community of "Credo Union Modifications" (for avoiding the tax) showed a success of CUM “Talenta” in creating political space in public spaces in the rural of Simalungun. Key words: identity, politics, hegemony, antagonism, the subject of politics, the public sphere, discourse, nodal point, master signifier, empty signifier, chain of equivalence, modification of credit union. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR ISI Halaman Judul……………………………………………… ……..……………..………...i Lembar Persetujuan…..……………………………………..……………………………..ii Lembar Pengesahan….…………………….……………………………………………....iii Pernyataan Keaslian …………………………….………………………………………...iv Pernyataan Persetujuan Publikasi ………………………..…………………………….…v Daftar Singkatan……………..………………………………………………………….…vi Daftar Tabel……………………………………………………………………………….vii Kata Pengantar ………………………..............................................................................viii Abstrak ………………………...............................................................................................x Daftar Isi..……………………………………………………………………………….….xi BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan…………………………………………..………….…....1 1.2. Rumusan Permasalahan……………..…………………………….…..………....…......18 1.3. Tujuan Penelitian…..……………………..………………………………….................19 1.4. Manfaat Penelitian.….………………………………………………………….…........19 1.5. Tinjauan Pustaka………………………………………………………………..….......19 1.6. Kerangka Teori…..…………………….……………………………….….……...........25 1.6.1. Identitas Politik: Hegemoni, Antagonisme, dan Pembentukan Subjek Dalam Pemikiran Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe…..…………………….25 1.6.1.1. Hegemon-Artikulasi……………………………………………………….….25 1.6.1.2. Antagonisme…………………………………..…………………………..….33 1.6.1.3. Pembentukan Subjek ….………………….….………………………………36 1.6.1.4. Pengertian “Gereja Suku” dan “Ruang Publik”……………………………...39 1.7. Metode Penelitian………………………………………………………………...........45 1.7.1. Posisi Peneliti.……………………………………………………………..…...45 1.7.2. Sumber Data dan Teknik Memperoleh Data..………………………………....46 1.7.3. Pengolahan Data/Analisis……………………………………..…………….....49 1.8. Sistematika Penulisan………………………………………………………………….49 xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB II : Gereja di Era Kapitalisme Neoliberal: Urgensi Menghadirkan Sistem Ekonomi Mikro Alternatif 2.1. Pengantar………………………………………………………………………………51 2.2. Gereja di Era Globalisasi Kapitalisme Neoliberal: Urgensi Menghadirkan Sistem Ekonomi Mikro Alternatif…………………………..………………………...51 2.2.1. Konteks Oikumenis.……………………………………………………………51 2.2.2. Sejarah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia: Pengertian, Perkembangan, Peta Persoalan dan Jenis-jenisnya……………..……..............59 2.2.2.1. Pengertian LKM……..………………………………………..………..…….59 2.2.2.2. Perkembangan dan Peta Persoalannya….……………..……………………..60 2.2.2.3. Jenis-Jenisnya..................……….……………………………………………70 2.3. Perdebatan Seputar Credit Union (CU): Antara Gerakan Ekonomi atau Gerakan Sosial………………………………………………………………………...73 BAB III. Gereja Suku di Ruang Publik: Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Dalam Diri Komunitas CUM “Talenta” 3.1. Pengantar……………………………………………………………..………………..82 3.2. Mengenal Wacana CUM Sebagai Sistem Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Alternatif……… ……………………………………………………….…..…………..83 3.2.1. MP. Ambarita dan Kisah Awal Munculnya Wacana CUM...………………...…….83 3.2.2. Posisi wacana CUM di antara LKM yang ada di Indonesia.………………..…..…88 3.2.3. Pola Hubungan Komunitas CUM dengan Gereja.………………………………….91 3.2.4. Ideologi dan Masyarakat Yang Dicita-citakan……....……………………...……...94 3.2.5. Pendidikan dan Pelatihan Calon Pengelola (Manajer) CUM…..……………….….98 3.3. Konkretisasi Wacana CUM ke Dalam Konteks GKPS..…………………………......102 3.3.1. Sekilas Tentang GKPS………………………………………..….………........102 3.3.2. GKPS: Kisah Awal GKPS Mengenal Wacana CUM…....…………………....104 3.3.3. Pembentukan Komunitas CUM “Talenta”………..……………………….......108 xii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3.3.4. Memperluas Keanggotaan Komunitas CUM “Talenta”: Membangun Kelompok (unit) di Basis Jemaat........………...…….…………………………………….112 3.4. Hubungan Komunitas CUM “Talenta” Dengan GKPS………………………………118 3.4.1. Klaim Sebagai Bidang Pelayanan GKPS....……………………………….......118 3.4.2. Program Dan Aktivitas Yang Dilakukan..……………………………………..121 3.4.2.1. Menciptakan Modal Bersama: Melawan Bank Dan Rentenir..………..….....121 3.4.2.2. Memaknai (ulang) Haroan Bolon Simalungun…………………….….…….122 3.4.2.3. Memotong route Pemasaran Kopi: Mendirikan Perusahaan (CV.Talenta)....124 3.5. Perkembangan Komunitas CUM Talenta dan Manfaat yang Dirasakan Anggota.…..125 3.5.1. Dinamika Organisasi… .……………………………………….……….....…..128 3.5.1.1. Internal……………………………….………………………........................128 3.5.1.2. Eksternal………………………………………….…………..………….…..130 3.6. Keterbatasan Dana Pinjaman dan Godaan Rabo Bank.………….……..…….…….131 BAB IV: Identitas Politik “Gereja Suku”: Dari Gerakan Ekonomi Ke Gerakan Politik 4.1. Pengantar.………………………………………………………………………….…133 4.2. Hegemoni, Antagonisme dan Persoalan Identitas Subjek Dalam Konteks Kemunculan Wacana CUM....………………………………………………………………..…….135 4.2.1. Identitas (posisi subjek) MP.Ambarita Sebagai Penemu Gagasan CUM....…..135 4.2.2. Pendidikan dan Pelatihan Calon Pengelola (Manajer) CUM: Strategi Diskursif Membangun Formasi Hegemoni Tandingan..……………………………..….148 4.3. Artikulasi Identitas Politik “Gereja Suku” (GKPS) dan Representasinya Oleh Komunitas CUM “Talenta”…………………………………………………………..153 4.3.1. Tuntutannya (demands).……………………………………….……………...155 4.3.2. “Diakonia” Sebagai “Penanda Kosong” ……………………..…..…………..161 4.3.3. Logika Persamaan Dan Logika Perbedaan Dalam Formasi Hegemonik Komunitas CUM “Talenta”……………..…………..……...............................164 4.3.4. Identitas Politik dan Representasinya…..….…………………………….……167 4.3.4.1. Menciptakan Modal Bersama: Siasat Melawan Rentenir..…………………167 xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4.3.4.2. Memaknai (ulang) Haroan Bolon Simalungun: Siasat Melawan Individualisme……………………………………………………………....168 4.3.4.3. Menolak Rayuan Agen Neolib (Rabo Bank)…..……………………….…..170 4.3.4.4. Mendirikan Perusahaan (CV.Talenta): Memotong Jalur Pemasaran Kopi...172 4.3.4.5. Mengubah Tanda Pengenal Diri: Dari komunitas “Credit” ke Komunitas “Credo”: Siasat melawan intervensi Pemerintah…………..……………….174 BAB V: Penutup: Kesimpulan dan Refleksi 5.1. Kesimpulan…………………………….………………………………….…………176 5.2. Refleksi ....……..……………………………………………………………..……...178 Daftar Pustaka………………………………………..……….…………………………180 Lampiran-Lampiran: (foto dokumentasi penelitian)…………………………….……...185 xiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dalam sebuah laporan dan analisisnya (tahun 2006) mengenai identitas gereja-gereja di Indonesia, John A. Titaley menyimpulkan bahwa gereja-gereja di Indonesia pada umumnya merupakan gereja pada tataran identitas primordial saja. Akibatnya, gereja lalu menjadi introvert, tidak partisipatif dan reaktif seperti tampak dalam sikapnya terhadap Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas)”.1 Masih dalam keprihatinan yang hampir sama, Martin Lukito Sinaga melihat bahwa di masa reformasi ini, kita orang Kristen seolah gagap dan gugup melihat perkembangan Islam. Kerepotan kita saat ini melulu pada upaya membela hak-hak mendirikan rumah ibadah, sehingga energi kita habis untuk membela diri, walaupun memang ada soal yang genting di situ, yakni soal masa depan dan eksistensi kekristenan di Indonesia”.2 Apa yang dikatakan John A. Titaley dan Martin Lukito tersebut di atas menunjukkan bahwa pada umumnya gereja-gereja di Indonesia masih cenderung 1 John A Titaley,”Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi Menuju Teologi Indonesia yang Kontekstual” (dalam),Jeffrie A.A.Lempas, eds (2006),Format Rekonstruksi Kekristenan:“Menggagas TeologiMisiologi, dan Ekklesiologi Kontekstual di Indonesia”,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm, 192. Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003,Pasal 12 ayat (1) RUU Sisdiknas menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subyek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.Item dalam UU Sisdiknas tersebut tentu saja mendapatkan resistensi dari umat Kristen. Mereka keberatan dengan item tersebut yang dipandang merusak ciri khas sekolah dan berbagai persoalan administrasi sebagai konsekuensinya. Kalangan Kristen, terutama dari sekolah-sekolah Kristen, melakukan demonstrasi untuk menolak Sisdiknas. Alasan yang dikemukakan oleh kalangan Kristen, seperti B.S. Mardiatmaja, adalah bahwa negara tidak berhak untuk memberikan pendidikan agama dan pendidikan suara hati model tertentu. Ia juga menilai bahwa Sisdiknas tidak mengatur pendidikan secara utuh, melainkan terbatas mengenai pendidikan formal (sekolah).(http://wmc-iainws.com/artikel/12-konflikislam-kristen-di-era-reformasi, diakses, 5 Februari 2015). 2 Martin Lukito Sinaga, “Kata Pengantar: Iman yang membangun struktur rahmat” (dalam), Albert Nolan 2011) Harapan di Tengah Kesesakan Masa Kini: Mewujudkan Injil Pembebasan, terj, Jakarta, BPKGunung Mulia, hlm, ix 1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bertahan dan berkutat hanya pada tataran identitas primordialnya sebagai “gereja suku”. Dengan kata lain, banyak gereja-gereja di Indonesia belum mampu mengekspresikan identitasnya ke dalam konteks sosial yang lebih luas sehingga pergulatan identitasnya juga tampak baru bisa memperlihatkan sisi “defensif”-nya saja. Kenyataan seperti ini telah ikut memberi kesan bahwa identitas primordial sebagai “gereja suku” hanya menjadi tanda pengenal diri suatu komunitas agama yang terisolir dari lingkungan sekitarnya. Apa yang menjadi permasalahan kontekstual yang sedang dihadapi publiknya tampaknya belum dijadikan sebagai bagian dari kehidupan bergereja. Bahkan, kalau mempertimbangkan apa yang disebut Martin Lukito tersebut di atas, maka secara tersirat memunculkan kesan bahwa kristianitas tampaknya masih cenderung dimaknai dalam kerangka “aspirasi” komunitas daripada sebagai “inspirasi” yang dapat mendorong hadirnya “kebaikan bersama” (the common good)3 di masyarakat baik dalam konteks partikular maupun konteks yang universal di mana gereja berada. Memang, secara psikologis, sikap bertahan dan berkutat hanya pada identitas primordial sebagai “gereja suku” sepertinya bisa memberikan rasa aman dan menumbuhkan “solidaritas” atau perasaan satu keluarga di antara anggotanya. Namun kalau ditelisik secara lebih mendalam, sikap bertahan dan berkutat hanya pada identitas primordial sebagai “gereja suku”, sesungguhnya bisa jadi hanya merupakan selubung dari sektarianisme, atau dalam istilah religious studies disebut sebagai fundamentalisme atau ultra konservatisme agama yang memahami “makna” ataupun identitas bersifat 3 Common Goods diartikan sebagai sesuatu yang hendak dicapai oleh seluruh warga seluas-luasnya melalui sarana-sarana politik dan aksi kolektif dari warga Negara yang berpartisipasi dalam tata pemerintahan mereka sendiri (self government). Dengan kata lain, kesejahteraan, kesetaraan, kebebasan dsb, merupakan hasrat publik yang bisa dicapai melalui politik kewargaan (citizenship), aksi kolektif dan partisipasi aktif dalam praksis politik dan pelayanan publik. Selanjutnya lihat: Hasrul Hanif, (dalam) Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Volume 11 No. 1 Juli 2007 2 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tunggal dan statis (fixed). Menurut Leonardus Samosir, kalau fundamentalisme ataupun ultra-konservatisme dalam agama menjadi mayoritas dalam realitas sosial yang nyata maka cita-citanya yang terdalam adalah menjadi penguasa, tentunya dengan cara menyingkirkan “yang lain” (the other). Perlu juga ditambahkan bahwa menjadi kelompok mayoritas atau minoritas, identitas statis akan membuntungi gerak kelompok sehingga tinggal di masa lalu”.4 Kehidupan bergereja yang seperti ini tentu saja sangat memprihatinkan. Sebabnya, bukan saja karena disitu kristianitas dihayati tanpa memiliki relevansi dengan problematika sosial yang terjadi di masyarakat tetapi juga karena sikap bertahan dan berkutat hanya pada tataran identitas primordial itu sesungguhnya hanya akan menyuburkan isolasi dirinya dari lingkungan sekitarnya. Jauh-jauh hari sebelumnya teolog politik J.B. Metz sebenarnya, pernah mengingatkan bahwa Kristianitas yang dihayati tanpa relevansi merupakan Kristianitas tanpa identitas. Identitas kristianitas itu, seperti kata J.B. Metz akan tampak kalau kristianitas (baca: orang kristen: pen) tidak menarik diri dari wilayah publik”.5 Itu artinya, persoalan menemukan identitas komunitas kristen “gereja suku” dalam konteks sosial yang lebih luas merupakan persoalan bagaimana subjek komunitas kristen “gereja suku”itu keluar dari penjara identitas primordialnya dan membentuk ulang perspektif etisnya dalam terang tantangan dan pergulatan yang dihadapi masyarakatnya serta pada saat yang sama ia juga harus masuk ke ruang publik”.6 4 Leonardus Samosir (2010) Agama dengan Dua Wajah “ Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks”, Jakarta, Obor,hlm, 74 5 Ibid 6 Martin Lukito Sinaga (2004) Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi Tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun, Yogyakarta, LKiS,hlm,129 3 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kalau memang dalam rangka menemukan identitas politiknya tersebut, subjek komunitas kristen “gereja suku” harus masuk ke ruang publik, pertanyaan selanjutnya adalah mekanisme apa atau jalur apa yang harus ditempuhnya agar ia dapat menembus tataran publiknya tersebut? Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebab dari pengalaman empiris gereja-gereja di Indonesia di masa lalu yang memilih jalur ideologi – Pancasilasebagai pintu masuk dan strategi kerja untuk melakukan pembelaan terhadap publiknya - bukan hanya telah membuat gereja-gereja di Indonesia menjadi kehilangan kemampuan untuk menangkap permasalahan kontekstual yang sedang dihadapi masyarakatnya tetapi juga telah membuat identitasnya menjadi mangkir dalam konteks yang lebih luas.. Di masa lalu (masa orde baru), pilihan gereja-gereja di Indonesia yang menjangkarkan diri pada ideologi-Pancasila sebagai strategi kerja untuk melakukan pembelaan atas publiknya justru telah membuat identitas subjek komunitas kristen “gereja suku” sebagai salah satu representasi subjek “yang lokal” atau “yang partikular” menjadi terserap ke dalam “apa yang nasional” yang telah dikonstruksi secara hegemonik oleh penguasa (Pemerintah). Hal inilah yang telah membuat identitas komunitas kristen “gereja suku” menjadi mangkir dalam pentas nasional. Untuk mengatasi persoalan itu maka apa yang ditawarkan Martin Lukito Sinaga berikut ini tampaknya bisa menjadi strategi alternatif. Kalau komunitas kristen “gereja suku” berniat menembus tataran publiknya maka ia harus bertranformasi menjadi sebentuk komunitas etis (moral community). Di samping itu, komunitas kristen “gereja suku” juga harus melanjutkan dan meluaskan identitas barunya tadi secara radikal dengan hadir membela ruang publiknya, dengan memanfaatkan mekanisme masyarakat sipil lainnya, yaitu lewat gerakan-gerakan sosial baru”.7 7 Ibid, hlm, 129 4 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dengan melakukan transformasi (peralihan) jati dirinya menjadi sebentuk komunitas etis (moral community) dan pemanfaatan gerakan-gerakan sosial baru sebagai strategi kerja untuk menembus tataran publik sekaligus sebagai cara untuk melakukan pembelaan atas kehidupan publiknya maka (meminjam istilah Haryatmoko:2006) akan menciptakan perubahan orientasi politik gereja dari politik yang selama ini sangat bias pada Negara menjadi politik yang memihak warga negara. Haryatmoko menambahkan bahwa tolak ukur keberhasilan politik semacam ini ialah pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya warga negara”. 8 Selain itu, kualifikasi utama tindakan politis semacam ini juga cukup jelas yakni perubahan sosial dan perluasan kebebasan yang hendak diwujudkan di ruang publik,tidak diartikulasi dengan menggunakan cara-cara revolusioner yang menggemparkan sebagaimana dalam pandangan gerakan sosial lama yang diasuh oleh Marxisme klasik. Tetapi perubahan sosial dan perluasan kebebasan di ruang publik itu dilakukan justru dengan cara memanfaatkan daya persuasi rasional dan moral yang dimilikinya selaku komunitas agama untuk mempengaruhi opini masyarakat umum”.9 Politik semacam inilah, dalam istilah Martin Lukito Sinaga disebut sebagai arah baru atau jalan baru politik kristen di Indonesia yaitu sebentuk politik memompakan pengaruh (politic of influence) atau politics of the commons di mana kekristenan tidak lagi dilihat sebagai sumber kuasa di kotak suara tetapi justru melihat dan memaknai kekristenan sebagai “inspirasi” yang dapat mendorong terwujudnya the common (“yang baik untuk publik”). Kalau politik via masyarakat ini yang ditempuh gereja sebagai cara untuk mengekspresikan identitas atau tindakan politiknya maka jati diri komunitas kristen “gereja suku” sebagai komunitas etis akan tampak dalam aktualitas respons dan 8 Haryatmoko, “Peran Gereja di Indonesia Ketika Neo-Liberalisme Semakin Mendikte”, (dalam) Jeffrie A. A.Lempas, eds (2006),Op.cit, hlm, 110. 9 Ibid 5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sikap kritisnya terhadap problematika sosial politik dan ekonomi yang terjadi di masyarakatnya”.10 Secara ideal, ruang publik itu dapat diartikan sebagai ruang diskursif. Dengan begitu, ruang publik bukan saja merupakan tempat atau arena di mana antar individu dapat bertemu, berkomunikasi dan berinteraksi tetapi juga merupakan tempat di mana terjadi upaya hegemonisasi antar wacana”.11 Di situ, wacana (si)apa saja berhak untuk masuk dan berkontestasi, termasuk wacana agama.Jurgen Habermas, sebagaimana dikemukakan A.Sunarko mengatakan: Dalam ruang publik informal/umum (diluar parlemen misalnya) pihak beragama menurut Habermas harus tetap diperkenankan mengungkapkan gagasangagasannya dalam bahasa religius masing-masing yang khas. Mereka juga harus diperkenankan untuk mengungkapkan keyakinan-keyakinan mereka serta berargumentasi dengan bahasa religiusnya bila mereka tidak mampu mengungkapkannya dalam bahasa sekular”.12 Dengan berpijak pada perspektif Habermas, Martin Lukito Sinaga menegaskan, bahwa komunitas agama (baca:”gereja suku”) sepenuhnya berhak memasuki ruang publik dan berhak mengajukan traditional-life-world-nya ke tengah-tengah konteks sosial”.13 Hal yang sama juga ditegaskan oleh Muhammad A.S. Hikam bahwa wacana agama di ruang publik dirasa begitu penting bahkan mendesak lantaran wacana agama dapat hadir sebagai “diskursus tandingan” atau “kontra hegemoni” terhadap segala bentuk ideologi atau tindakan-tindakan dominatif yang terjadi.Muhammad A.S. Hikam menambahkan bahwa sebagai seperangkat struktur makna khusus, agama memiliki kemampuan untuk 10 Martin Lukito Sinaga, “Kristiani dan Agama Publik: Peta Persoalan dan Prospeknya di Indonesia”, (dalam) Majalah Tatap, 25 Mei 2010 11 Boni Hargens (2006) Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern dalam Perspektif Postmarxis-Postmodernis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Jakarta, Parhesia, hlm, 62 12 A.Sunarko, “Ruang Publik dan Agama Menurut Habermas” (dalam) F.Budi Hardiman, ed, (2010) Ruang Publik: Melacak “partisipasiDemokrastis” dari Polis sampai Cyberspace, Yogyakarta, Kanisius, hlm, 231 13 Martin Lukito Sinaga (2004), Op.cit, hlm, 129 6 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menjelaskan dan mengkonstruksi kenyataan sosial di dalam waktu dan tempat yang berbeda”.14 Agar pergulatan identitas komunitas kristen “gereja suku” dapat memperlihatkan sisi “ofensif”-nya maka ia perlu bertindak politis. Dengan bertindak politis, komunitas kristen “gereja suku” dapat terlibat (engaging) dalam mengelola kerangka hidup bersama sehingga kehidupan di ruang publik di mana ia berada dapat ditata menjadi lebih adil dan mendatangkan kesejahteraan dan kebaikan bagi semua. Politik dapat memberi keleluasaan untuk memproses konflik kepentingan menjadi proses saling memperhitungkan dan saling memberi ruang satu kelompok dengan kelompok lain. Politik adalah komunikasi demi mengarahkan dan mentransformasikan kekuasaan (power) menjadi pemberdayaan (empowerment) dan hanya dengan politiklah kehadiran orang lain dapat terus menerus diperhitungkan sebagai kehadiran yang menuntut namun juga berkontribusi”.15 Dalam konteks pergulatan dan perspektif urgensi permasalahan seperti itu, penelitian ini berniat memperbincangkan bagaimana subjek komunitas kristen “gereja suku” menghadirkan dirinya di ruang publik di mana hegemonisasi nilai-nilai kapitalisme neoliberal di ruang publik sudah menjadi kenyataan tak terbantahkan. Di sana ideologi kapitalisme neoliberal tidak hanya telah mengonstruksi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan masyarakat di perkotaan tetapi juga masyarakat tradisional di pedesaan di mana ekonomi-uang tampak kokoh menjadi struktur pemaknaan yang utama. Uang bahkan telah menjelma menjadi berhala (fetish). Akibatnya, tidak jarang upaya untuk mengejar kemakmuran dilakukan dengan 14 Muhammad A.S.Hikam (1996) Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES, hlm, 133 Martin Lukito Sinaga, (makalah) ”Hidup yang Dibangun di atas Batu (Matius :2:24-27) Refleksi Teologis Memperkuat Masyarakat Sipil”, disampaikan pada Rapat Umum Anggota (RUA) Perhimpunan Kelompok Studi Pengembangan Masyarakat (PKSPPM), Parapat, 21-23 Februari 2014 15 7 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menghalalkan segala cara, termasuk penguasaan atas (si)apa saja yang dianggap “liyan” (the other) baik manusia maupun alam. Uang yang tadinya dimaksudkan sebagai agen netral (baca: sarana, pen) perdagangan, kini sudah menjadi majikan neurotik”.16“Hepeng do mangatur Negara on!” (Uanglah yang mengatur Negara-segalanya), begitulah ungkapan orang Batak menggambarkan status hegemonik uang saat ini. Uang tidak hanya mendominasi sistem ekonomi produksi, kepemilikan, tenaga kerja, dan konsumsi tetapi juga mempunyai pengaruh besar nyaris pada semua aspek kehidupan pribadi”.17 Hasrat, selera, cita-cita, relasi sosial bahkan pelaksanaan ritus-ritus keagamaan (gereja) juga tidak luput dari determinasi uang. Uang telah mengubah apa saja yang ada di masyarakat. Di Bali misalnya: Posisi uang telah menjadi kesadaran hidup mereka. Kenyataan itu mengakibatkan terjadinya pasarisasi atau monoterisasi hampir segala bidang, terutama pertanian. Bahkan, banyak tradisi yang berlawanan dengan asas pasarisasi perlahan mulai tergusur. Tradisi pelayanan kredit sosial lewat resiprositas (matulungan, ngopin, maselisi dan lain-lain) mulai semakin langka, karena tergantikan oleh sistem upah. Pergantian ini dilandasi oleh pemikiran bahwa kredit sosial dianggap tidak praktis dan tidak ekonomis, baik dari pihak pengguna tenaga maupun penyedia tenaga. Begitu pula asuransi ekonomi, misalnya meminjam uang-nyilih pipis- tanpa bunga - semakin langka dan tergantikan oleh sistem kredit informal (rentenir) dan formal (bank, LPD)”.18 Hegemonisasi nilai-nilai kapitalisme neoliberal itu tentu tidak hanya terjadi di Bali tetapi juga terjadi di berbagai tempat di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Di tanah Simalungun misalnya, hegemonisasi nilai-nilai kapitalisme neoliberal itu, ditandai dengan mulai menghilangnya kosa kata marharoan dalam percakapan sehari-hari masyarakatnya bahkan di warung-warung kopi sekalipun. Ajakan marharoan nyaris tak terdengar. Budaya mar-haroan yang tadinya akrab sebagai sistem kerjasama timbal 16 Jack Weatherford (2005) Sejarah Uang“Dari zaman Batu hingga era Cyberspace”, terj, Yogyakarta, Bentang Pustaka, hlm, 374 17 Ibid. 18 Nengah Bawa Atmadja,(2010),Ajeg Bali: “Gerakan,Identitas Kultural dan Globalisasi”, Yogyakarta, LKiS, hlm, 17 8 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI balik (reciprocity) dalam dunia pertanian masyarakat Simalungun kini tergantikan oleh sistem kerja upahan yang disandarkan pada prinsip pertukaran tenaga dengan uang. Tidak hanya itu, mar-haroan juga kini terdesak oleh gempuran penemuan dan penggunaan teknologi dalam dunia pertanian. Hal ini tidak hanya membuat budaya masyarakat Simalungun berubah menjadi individualistik tetapi jugatelah membuat kebutuhan akan uang juga menjadi sangat tinggi. Malangnya, dalam keadaan seperti itu akses masyarakat marjinal di pedesaan Simalungun terhadap fasilitas permodalan (finansial) dari Lembaga Keuangan Mikro formal (LKM) seperti BRI-UD, BPR, Bank Sumut yang ada di daerah pedesaan Simalungun, malah tidak dapat diperoleh dengan mudah. Selain harus menyertakan jaminan (agunan) serta memenuhi tuntutan persyaratan administratif yang rumit, masyarakat marjinal di pedesaan di Simalungun juga masih harus menghadapi birokrasi yang panjang dan berbelit-belit.Akses Usaha Kecil Mikro (UKM), Koperasi terhadap lembaga perbankan, termasuk BRI Unit Desa dan BPR tampak masih belum memihak kaum marjinal. Hal itu terjadi, karena lembaga perbankan yang menerapkan manajemen bank secara ketat dalam kenyataannya justru telah membuat masyarakat pemilik Usaha Kecil Mikro (UKM) bahkan keluarga miskin mengalami kesulitan mengembangkan usahanya karena ketiadaan modal. Salah satu persoalan yang paling menyulitkan adalah keharusan menyerahkan agunan bagi semua masyarakat untuk memperoleh kredit dari bank.Fenomena seperti tampaknya merupakan fenomena umum yang juga terjadi di tempat lain di Indonesia. Tidak heran kalau Didik J.Rachbini kemudian menyimpulkan bahwa kehadiran lembaga ekonomi formal dan birokrasi […] tidak pernah menjadi 9 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI representasi kepentingan mereka bahkan cenderung mempersulit kedudukannya yang sudah inferior dan subordinatif”.19 Persoalan kesulitan permodalan yang dialami masyarakat marjinal di pedesaan menjadi semakin parah lantaran nilai jual hasil produksi pertanian mereka seringkali tidak mampu mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Mubyarto mengungkapkan bahwa selalu ada kecenderungan menurunnya nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor non-pertanian. Perkembangan komoditi pertanian secara relatif, lebih kecil dibandingkan dengan perkembangan harga komoditi di luar pertanian. Kenyataan ini menimbulkan rasa “frustasi”di dalam diri petani terutama petani kecil dan petani tak bertanah yang bekerja keras memproduksi berbagai komoditi. Komoditas yang dihasilkan petani secara relatif makin rendah nilainya sehingga pendapatan petani dari hari ke hari secara relatif juga lebih rendah”,20. Selain telah memposisikan ekonomi-uang sebagai struktur makna yang utama, ideologi sistem kapitalisme neoliberal juga tampak telah mengokohkan “kompetisi” sebagai satu-satunya etos dominan demi meraih martabat (dignity) dan kemakmuran manusia. Dengan semata-mata “kompetisi”, tentu tidak sulit untuk memprediksi apa yang menjadi konsekuensinya di dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Moral Darwinisme (survival of the fittest) menjadi satu-satunya norma yang mengatur relasi sosial masyarakat di mana hanya yang kuat atau yang punya akses pada kekuasaan sajalah yang bisa survive. Selebihnya, individu atau kelompok sosial yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan segera saja menerima penderitaannya sebagai takdir yang sudah ditentukan. 19 Didik J.Rachbini, “Dimensi Ekonomi dan Politik Pada Sektor Informal”, (dalam) Hadi Soesatro, dkk, peny, (2005), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia Dalam Setengah Abad Terakhir, Yogyakarta, Kanisius, hlm, 209 20 Ibid, hlm, 203-204 10 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pengalaman tragis yang dialami keluarga Sumarsih di Bantul Yogyakarta misalnya, memperlihatkan bagaimana masyarakat miskin terpaksa menempuh jalan berhutang untuk mengatasi himpitan kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya. Berhutang yang pada awalnya dibayangkan sebagai “jalan ke kehidupan”, dalam kenyataannya justru telah membuat Sumarsih harus kehilangan Pardiyu suami yang dikasihinya untuk selamanya. Ketidakmampuan keluarganya untuk membayar hutang (kredit) kepada Baitul Maal wat-Tamwil Projo Artha Sejahtera (selanjutnya disingkat:BMT-PAS),21 telah membuat Pardiyu mengalami tekanan psikologis sangat berat yang akhirnya telah membuatnya memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di pohon yang ada di sawah di depan rumah mereka”.22 Keadaan hidup seperti yang dialami keluarga Sumarsih ini, telah membuat banyak masyarakat marjinal di pelosok pedesaan menjadi terjebak ke dalam jerat praktik bank plecit (rentenir). Ironisnya, meskipun Negara memandang praktik bank plecit atau rentenir ini sebagai sebentuk illegal banking namun dalam kenyataannya, praktik bank plecit (rentenir) ini justru surivive karena turut dikondisikan oleh adanya persekongkolan (konspirasi) yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan (Mikro) formal (formal microfinance) dengan para rentenir. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Heru Nugroho terhadap masyarakat marjinal di Bantul Yogyakarta misalnya terungkap 21 Baitul Maal wat-Tamsil (BMT) adalah sebentuk lembaga keuangan mikro (semi formal) yang memadukan prinsip-prinsip keuangan syariah dan keuangan mikro. BMT berfungsi mengumpulkan tabungan dari masyarakat dan menyediakan berbagai skema investasi, kredit, serta modal kerja berdasarkan prinsip syariah kepada perorangan dan usaha mikro di sektor informal dengan target fakir miskin. Selanjutnya lihat: Bagus Aryo (2012) Tenggelam dalam Neoliberalisme? “Penetrasi Ideologi Pasar Dalam Penanganan Kemiskinan”, Depok-Jawa Barat, Kepik, khususnya hlm, 59-61 22 Tentang Kisah tragis yang dialami keluarga Sumarsih selengkapnya lihat: Litbang Kompas, (15/2/2010], (dalam), T.Handono eko Prabowo, (2010), Pengembangan Kekuatan-kekuatan Transformatif untuk Kedaulatan Sosial Ekonomi (sebuah refleksi sosial ekonomi), Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, hlm,10 11 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI adanya kompetisi antara bank dan rentenir dalam hal nasabah dan ada juga kerjasama dalam hal distribusi kredit di dalam masyarakat Bantul”.23 Keadaan ini kemudian diperparah lagi oleh kenyataan banyaknya koperasi berbadan hukum tetapi justru melakukan praktik rentenir. Suroto, ketua koalisi Organisasi non Pemerintah (Ornop) untuk Demokratisasi Ekonomi (pemohon uji materi UU Perkoperasian) mengatakan: 70% dari 200.000 unit koperasi berbadan hukum melakukan praktik rentenir”.24 Artinya, “Badan Hukum” (koperasi) itu, ternyata hanya kedok dan untuk mengecoh sebab dalam kenyataannya koperasi ber “Badan Hukum” itu, justru tidak sedikit yang digunakan sebagai selubung bagi penyelenggaraan praktik rentenir secara legal dan melembaga. Itu artinya, di era globalisasi kapitalisme neoliberal saat ini, praktik (ber)koperasi tidak lagi berpijak dan bersandar pada prinsip atau nilai-nilai kekeluargaan dan kegotongroyongan. Semangatnya bukan lagi semangat saling membantu, saling berbagi dan bekerjasama (kolektifitas). Pantas saja, istilah “koperasi” dewasa ini seringkali diplesetkan menjadi “kuperasi”. Logika koperasi tidak lagi berpijak pada logika sosial tetapi kini justru memusat pada logika ekonomi (uang). Menurut Haryatmoko, logika ekonomi selalu didasarkan pada logika persaingan sebagai pendorong efektivitas. Logika ini dipisahkan dari logika sosial yang justru sangat menekankan aturan keadilan. Selain itu, logika ekonomi juga tertutup terhadap wacana lain. Padahal wacana lain sering memberi pemecahan atas permasalahan ekonomi, meski dalam skala kecil”.25 Gambaran tersebut di atas, merupakan potret buram kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat pedesaan di era globalisasi kapitalisme neoliberal saat ini. 23 Heru Nugroho (2001) Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm, 183 24 Sumber: Harian Nasional, A6, Opini, Sabtu, 23 Agustus 2014 25 Haryatmoko, “Peran Gereja di Indonesia Ketika Neo-LIberalisme Semakin Mendikte”, (dalam) Jeffrie A. A.Lempas, eds (2006),Op.cit,hlm, 112. 12 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tantangan ini, bagaimanapun juga membutuhkan jawaban etis dari siapa saja, baik oleh negara maupun lembaga sosial keagamaan seperti gereja sebab ada aspek etis di dalam dirinya yang mesti diartikulasikan ke dalam konteks sosialnya yang lebih luas. Upaya gereja untuk menghentikan praktik “penjagalan” di bidang ekonomi di era kapitalisme neoliberal saat ini tidak cukup hanya dilakukan dengan mempraktikkan “cara hidup alternatif” tetapi juga harus dibarengi dengan menghadirkan “sistem ekonomi alternatif”. Pendirian “Grameen Bank” di Bangladesh misalnya menjadi salah satu contoh bagaimana menghadirkan gagasan (sistem ekonomi) alternatif yang lebih dari sekedar logika ekonomi-uang. Kelompok masyarakat marjinal yang miskin yang tidak memiliki kekuasaan untuk mengakses fasilitas permodalan bisa memperoleh modal berkat pemikiran Muhammad Yunus yang memperhitungkan aspek budaya”. 26 Bagaimanapun juga, sebagai lembaga sosial keagamaan, tentunya institusi gereja (termasuk komunitas kristen “gereja suku”) memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memberi respons etis terhadap kesulitan yang dialami warga jemaat dan juga masyarakat marjinal dalam mengakses fasilitas permodalan. Di tengah harapan dan tuntutan terhadap gereja-gereja di Indonesia yang seperti itu, justru ada hal yang sering luput dari perhatian sehingga respon etis tersebut tidak dapat diartikulasikan. Banyak institusi gereja mengalami kesulitan bahkan tidak mampu memberi respon etis tersebut justru karena gereja-gereja di Indonesia justru tidak memiliki instrumen untuk mengartikulasikan aspek etisnya tersebut. Beberapa gereja-gereja di Indonesia, memang berniat untuk menggunakan wacana BPR sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etis gereja.Namun kalau dilihat dari aspek yuridis (legal formal) keinginan gereja untuk mendirikan dan 26 Ibid. 13 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menggunakan wacana BPR tersebut seolah-olah seperti sesuatu yang terlarang. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari pengalaman empiris MP. Ambarita yang terlibat dalam proses perencanaan dan pendirian PT.BPR-PPK (sebuah bank milik GBKP) namun dibalik kesuksesannya tersebut, MP. Ambarita justru berpendapat bahwa sesungguhnya berdasarkan Undang-Undang Bank (UU No.7 tahun 1992) dan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU No.1 tahun 1985) secara yuridis formal gereja tidak diijinkan mendirikan bank”.27 Berdasarkan pengalaman empirisnya mengelola, mengoperasikan dan mengembangkan pelayanan PT. BPR-PPK sejak tahun 199-2010, MPA sampai pada kesimpulan bahwa wacana BPR itu sebenarnya tidak cocok digunakan sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etis gereja di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat dan masyarakat. Sebab sebagai sebuah Lembaga Keuangan Mikro formal, pemaknaan wacana BPR bagaimanapun juga sudah ditentukan dan hanya bisa direartikulasi dalam kerangka yuridis yang legal-formal berdasarkan regulasi yang sedang berlaku yang justru sering sekali tidak sejalan dengan tuntutan jemaat dan masyarakat. Kenyataan seperti itulah yang membuat sehingga wacana BPR (milik gereja) itu tidak dapat diartikulasi secara fleksibel demi pemberdayaan ekonomi jemaat di seluruh wilayah administratif pelayanan gereja. Bertolak dari pengalaman empirisnya serta keprihatinannya atas kesulitan yang dialami gereja-gereja di Indonesia dalam memberi respons etis terhadap kesulitan warga jemaat dan masyarakat marjinal karena ketiadaan instrumen untuk mengartikulasikannya, MP. Ambarita lantas mengajukan wacana Credit Union Modifikasi (CUM) sebagai wacana alternatif untuk mengisi ketiadaan instrumen 27 E.P. Ginting dan MP.Ambarita (2001), PT. Bank Perkreditan Rakyat Pijer Podi Kekelengen Desa Simalem, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, hlm, 148 14 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI artikulasi tersebut. MP.Ambarita mengklaim bahwa wacana CUM ini merupakan sebentuk sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif (versi kristiani) sebab berpijak pada nilai-nilai etik kristiani yang bersifat universal.Secara teknis, sistem manajemennya merupakan perpaduan dari sistem manajemen CU konvensional dan sistem manajemen BPR. Jadi, kalau gereja-gereja di Indonesia menggunakan wacana CUM sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etisnya di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat dan masyarakat maka keinginannya untuk menggunakan wacana BPR (dalam arti hanya menginginkan sistem manajemennya) sesungguhnya otomatis dapat diwujudkan. Memang, gairah yang dirasakan mungkin tidak sama sebab dalam wacana CUM tersebut, sistem manajemen wacana BPR dialihkan status dan identitasnya menjadi bersifat informal (informal microfinance). Dalam status ontologisnya yang seperti itu, praktik pengartikulasian wacana CUM itu menjadi menarik untuk dikaji. Disebut menarik, bukan saja karena di dalam wacana CUM identitas sistem manajemen BPR ditransformasi menjadi bersifat informal tetapi karena dalam statusnya sebagai sebentuk informal microfinance seperti itu, wacana CUM tampak diterima dan berkembang secara masif sebagai sebuah sistem pemberdayaan ekonomi kerakayatan versi kristiani. Hal itu tampak dari berkembangnya Komunitas CUM di berbagai denominasi gereja khususnya “gereja suku” yang ada di Sumatera Utara. Tercatat institusi gereja-gereja yang telah menggunakan dan mengembangkan wacana CUM dalam konteks partikularitas di wilayah pelayanannya masing-masing antara lain: “Huria Kristen Batak Protestan” (HKBP), “Gereja Batak Karo Protestan” (GBKP), “Gereja Kristen Protestan Indonesia” (GKPI) dan “Gereja Kristen Protestan Simalungun” (GKPS) dan berbagai komunitas kristen “gereja suku” lain yang ada di Sumatera Utara. 15 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dalam konteks GKPS, wacana CUM ini tampak telah mewujud menjadi sebentuk kesatuan sosial yang disebut dengan Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) “Talenta”. Pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini tergolong unik sebab secara legal formal, komunitas ini justru tidak lahir dari “rahim” institusi GKPS sendiri. Komunitas CUM “Talenta” justru lahir melalui mekanisme formal melainkan dibentuk oleh para Pendeta (muda) GKPS (di Distrik III Saribudolok) yang didahului dengan sejumlah pertemuan-pertemuan (diskusi) informal yang memperbincangkan tentang berbagai problem sposial ekonomi yang dialami oleh jemaat di wilayah partikular pelayanannya masing-masing. Meskipunkomunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari “rahim” institusi GKPS tetapi komunitas ini tampak mengklaim bahwa dirinya merupakan perpanjangan tangan institusiGKPS di bidang pelayanan (diakonia) ekonomi. (Lihat:foto papan nama yang dipajang di depan kantor pusatnya di Jl. Sutomo 15 di Saribudolok, Kecamatan Silimakuta Simalungun dibawah ini): (Sumber foto: dok. pribadi). Klaimnya berbunyi: Kantor Pusat Credit Union Modifikasi (CUM) “Talenta”. “Bidang Pelayanan GKPS”. Pengakuan Pemerintah RI. Dep.Agama No. 28 Tgl 12 Oktober 1972 16 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dan No.149 tgl 10 Juli 1989. Pengakuan pemerintah RI yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pengakuan Pemerintah terhadap GKPS sebagai lembaga sosial keagamaan yang dikeluarkan Departemen Agama. Singkat kata, Badan Hukum Komunitas CUM “Talenta”berlindung dibawah payung Badan Hukum GKPS sebagai lembaga sosial keagamaan. Kehadiran komunitas CUM “Talenta” yang senyatanya bukan lahir dari “rahim” institusi GKPS secara legal formal menarik untuk dikaji sebab Pimpinan Pusat GKPS dikemudian hari telah memberi “pengakuan” atas keberadaan komunitas CUM “Talenta” ini. Hal itu terlihat misalnya dari diberinya ruang kepada komunitas CUM “Talenta” untuk menggunakan struktur kelembagaan GKPS sebagai media pengorganisasian untuk merekrut anggota dan pengembangan wilayah pelayanannya. Selain itu, Pimpinan pusat GKPS juga tampak memberi pengakuan melalui kesediaannya menugaskan tenaga pelayannya yakni para pendeta yang memiliki sertifikat (lulus) sebagai manajer CUM, (melalui suatu Surat Keputusan (SK) penugasan dan penempatan) di komunitas CUM “Talenta”. Meskipun dengan “pengakuan” seperti itu, tidak berarti komunitas CUM “Talenta” menjadi lembaga pelayanan in-subordinasi dalam struktur kelembagaan GKPS. Kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” dan GKPS adalah dua entitas sosial yang berbeda meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan secara dikotomis. Anggota Komunitas CUM “Talenta”, melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT)merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam komunitas CUM “Talenta”. Seluruh harta kekayaannya adalah milik anggota. Dengan kata lain, GKPS secara kelembagaan bukanlah pemilik komunitas CUM “Talenta”. Dengan latar belakang permasalahan dan perspektif relasi komunitas CUM “Talenta” dengan GKPS sebagaimana diungkapkan di atas penelitian ini akan 17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memperbincangkan pengartikulasian identitas politik GKPS sebagai “gereja suku” di ruang publik, yang direpresentasikan oleh Komunitas CUM “Talenta”. Politik tentulah punya arti dan defenisi yang sangat luas sehingga pengertian politik tidak mungkin dibatasi dan hanya terkait dengan lembaga politik, partai politik, pemilu, kampanye, caleg dan lain-lain. Dalam konteks penelitian ini, politik adalah ihwal menata hidup bersama agar menjadi lebih baik dan lebih adil. Bertolak dari hal tersebut, maka mempertanyakan identitas politik seseorang atau kelompok sosial (agama) tertentu, itu sama artinya dengan mempertanyakan tindakan apa yang dilakukannya dalam memberi respons terhadap kondisi krisis yang sedang dihadapinya publiknya. Dengan pengertian politik yang seperti itu maka perbincangan tentang identitas politik “gereja suku” di ruang publik merupakan perbincangan tentangihwal pembentukan masyarakat. Karena itulah, penelitian ini menggunakan perspektif politik hegemoni sebagaimana dikembangkan oleh duet pemikir postmarxis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985). 1.2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang sudah digambarkan di atas, maka permasalahan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Apa dan bagaimana latar belakang munculnya wacana CUM sebagai sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif- versi kristiani? 2. Sejauhmana Komunitas CUM “Talenta” mampu mengartikulasi identitas politik “gereja suku” (GKPS) di ruang publiknya di Simalungun? 3. Perjuangan-perjuangan demokratik baru(new democratic struggles) yang seperti apa yang dilakukan“komunitas CUM Talenta” di ruang publik sehingga tercipta political space di ruang publiknya di pedesaan Simalungun? 18 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1.3. Tujuan Penelitian Bertolak dari rumusan permasalahan tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: pertama, apa dan bagaimana latar belakang munculnya wacana CUM sebagai sistem ekonomi kerakyatan alternatif (versi kristiani), kedua sejauhmana komunitas CUM Talenta mampu mengartikulasi identitas politik “gereja suku” di ruang publik di pedesaan Simalungun, dan ketiga perjuangan-perjuangan demokratik baru (new democratic struggles)yang seperti apa yang dilakukan “komunitas CUM Talenta” di ruang publiksehingga tercipta political space di ruang publik pedesaandi Simalungun. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini, secara khusus disandarkan pada displin religious and cultural studies yang dikenal dengan pendekatannya yang interdispliner. Oleh karena itu penelitian ini sebenarnya dapat bermanfaat kepada siapa saja yang berniat untuk menjadikannya sebagai referensi untuk penelitian-penelitian lanjutan dalam berbagai perspektif keilmuan yang lain. Karena tema penelitian ini terkait dengan identitaspolitik “gereja suku”, maka penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi komunitas kristen “gereja suku” di Indonesia yang berniat merepresentasikan dirinya di tengah-tengah “permasalahan kontekstual” yang sedang dihadapi masyarakat di wilayah partikular dimana gereja berada. Selain itu, bagi para pengambil keputusan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi pembuatan kebijakan politik ekonomi yang lebih baik, lebih adil, manusiawi dan memihak kaum marjinal. 1.5. Tinjauan Pustaka Sebelum melakukan penelitian ini lebih jauh, rasanya perlu untuk memaparkan penelitian-penelitian sebelumnya dengan tema yang (hampir) sama sehingga posisi dan 19 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perbedaan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat terlihat dengan jelas. Sejauh ini, ada beberapa penelitian dengan tema yang hampir sama,dapat disebutkan antara lain:pertama, penelitian yang dilakukan oleh Saut Sirait (2001), “Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan etis”, yang diterbitkan oleh BPK-Gunung Mulia Jakarta. Kedua, Leonardus Samosir (2010), Agama dengan Dua Wajah, “ Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks, diterbitkan oleh Obor-Jakarta. Ketiga, Martin Lukito Sinaga (2004), Identitas Poskolonial “gereja suku” dalam Masyarakat Sipil, Studi tentang Jaulung wismar Saragih dan komunitas Kristen Simalungun, diterbitkan oleh LKiS-Yogyakarta. 1.5.1. Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis Penelitian ini semula merupakan tesis penulis (Saut Sirait) yang diajukan pada program studi Magister Teologi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1999 dengan judul: Menuju Kota yang Setia. Penelitian ini merupakan kajian teologi dengan pendekatan analisis kritis-praktis berdasarkan kritik-historis; biblika-etika. Studi yang dilakukan Saut Sirait, menyimpulkan bahwa perhatian gereja-gereja di Indonesia terhadap realitas sosial tampak begitu tipis, kecuali pada hal-hal yang bersifat karitatif, insidental dan sporadis. Saut Sirait mengatakan bahwa model perhatian gereja terhadap realitas sosial masih berorientasi kepada latreia yakni yang berkaitan dengan “pelayanan Allah”, “ibadah Allah” dan belum dalam arti diakonia yakni yang berhubungan dengan pelayanan kepada sesama manusia. Dengan kata lain, Saut melihat bahwa praksis hidup menggereja masih berkutatpada aspek kultis atau latreia semata dan kurang menyentuh dunia etis atau diakonia”. Hal ini menurut Saut Sirait telah membuat ekspresi politik Kristen di Indonesia cenderung berorientasi kepada kekuasaan (“istana sentris”) seperti tampak dalam sikapnya ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997 di 20 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mana saat itu pemimpin gereja di Indonesia (PGI) justru pergi ke istana Negara membawa emas sebagai tanda solidaritas dan keprihatinan komunitas kristen di Indonesia atas krisis ekonomi yang sedang terjadi. Catatan penting lainnya yang diangkat Saut Sirait adalah pengalaman empiris gereja-gereja di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga runtuhnya rezim Orde Baru, dianggap belum mampu memberikan pencerahan dan pengaruh nilai-nilai etis-kristiani dalam dunia perpolitikan Indonesia. Keterlibatan masyarakat agama dalam dunia politik telah secara jelas dirumuskan dalam ketetapan MPR tahun 1993, bahwa fungsi agama untuk memberikan sumbangan etis, moral dan spiritual dalam pembangunan nasional merupakan hak dan kewajiban konstitusional agama-agama di Indonesia. 1.5.2. Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi Dalam Konteks Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari penulisnya (Leonardus Samosir) di mana terdapat satu bab yang khusus membahas tentang identitas kristianitas, tepatnya “Identitas Kristiani: Tegangan antara Tradisi dan Relevansi”. Dengan melacak mundur ke belakang, Leonardus Samosir menemukan apa yang menjadi “biang kerok” yang menjadi penyebab terjadinya “privatisasi iman” dalam kehidupan bergereja. Leonardus Samosir menyimpulkan bahwa sikap bertahan hanya pada wilayah privat gereja dan menolak masuk ke wilayah publik merupakan dampak dari masih begitu bertenaganya “subjek pencerahan” yang membanjiri kehidupan spiritual komunitas Kristen dengan kata “aku” (me). Hal itu telah membuat adanya penolakan terhadap “gerak di luar” diri dan persentuhan dengan “yang lain” (the other). Keadaan seperti ini membuat gereja menjadi terdesak ke pinggir dan akhirnya menjadi sektarian. Bagaimanapun juga, gereja adalah bagian dari masyarakat demikian pula sebaliknya, masyarakat adalah bagian dari gereja. Meskipun begitu, Leonardus Samosir 21 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengingatkan bahwa pertemuan gereja dengan lingkungan jangan menyerap pesan Kristiani menjadi jawaban atas kebutuhan sosiologis. Sebaliknya, memegang tradisi tidak boleh pula menjadi hambatan untuk bertemu dengan realitas sosial yang aktual. Posisi seimbang hanya mungkin kalau identitas kristianitas tidak dilihat secara statis demikian pula halnya dengan tradisi agar tidak dilihat sebagai sesuatu yang statis. 1.5.3. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” Dalam Masyarakat Sipil: Studi Tentang Jaulung Wismar Saragih Dan Komunitas Kristen Simalungun Penelitian ini merupakan penelitian yang dianggap “lebih dekat” atau bahkan dapat dikatakan merupakan titik tolak dari penelitian yang hendak saya dilakukan. Penelitian ini mengambil tema “identitas poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil” Sebagaimana tampak dari judulnya, penelitian ini menggunakan tafsir poskolonial sebagai alat analisis atas hidup seorang perintis kekristenan di Simalungun bernama Jaulung Wismar Saragih (selanjutnya disingkat JWS). Sementara unit analisisnya adalah: 1). Teks-teks teologis dan 2). Gerakan-gerakan sosial alternatif yang diajukan JWS dalam menghadapi penetrasi wacana dan institusi modern misi/zending yakni Rheische Missions Gessellschaft(RMG) dan pengecer lokalnya orang Toba lewat institusinya “Huria Kristen Batak Protestan” (selanjutnya disingkat: HKBP).Secara lugas Martin Lukito Sinaga menyingkap bagaimana seorang JWS sebagai representasi dari liyan “yang lokal” dan juga sebagai representasi dari komunitas orang Kristen Simalungun yang subaltern (tersubordinasi) berhasil menjadi subjek politik baru di mana JWS berhasil menegosiasikan identitas kelokalannya. Proses negosiasi itu ditempuh JWS dengan pertama-tama melakukan retakan (rupture) terhadap (1). wacana (teks) kekristenan yang diterimanya sudah dalam ritme pietisme. Pietisme adalah corak rohani yang menekankan kesalehan pribadi dan 22 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI penghayatan iman dan sebagai segi-segi iman Kristen disamping ajaran yang benar. Upaya melakukan retakan (rupture) itu dilakukan JWS dengan membawa setiap hal baru yang diterimanya ke dalam konteks pergulatan suku dan konteks manfaatnya bagi kehidupan etnik dan dirinya sendiri. Setiap penerimaan keyakinan baru akan dihadapkan pada tuntutan nyata dalam persoalan sehari-hari dalam lokasi sosial kulturalnya”. Dengan basis kedirian seperti itulah JWS juga melakukan retakan (rupture) terhadap (2) “sosial agency” yang melakukan hegemonisasi dan dominasi struktural dan kultural atas dirinya dan komunitasnya (orang Kristen Simalungun) yakni RMG dan HKBP. Hal itu ditempuhnya dengan pertama-tama menerjemahkan “Allah” dalam Alkitab setara dengan “Naibata” dalam konsep (bahasa) orang Simalungun. Dengan cara seperti itu, JWS sekaligus menegaskan bahwa konsep “Naibata” berbeda dengan konsep “Debata” yang dikenal dalam istilah orang Toba. Perjuangan yang dilakukan JWS dengan menggunakan “politik bahasa” (menerjemahkan Alkitab) ke dalam bahasa ibunya itulah yang membuat ia dan komunitasnya, orang kristen Simalungun berhasil meraih identitas poskolonial “gereja suku”-nya yang mewujud dalam bentuknya sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Selanjutnya (di Bab III) Martin Lukito Sinaga memperbincangkan tentang sosok baru identitas poskolonial “gereja suku” sebagai hasil perjumpaannya dengan problematika yang dihadapi oleh masyarakat sipil. Maksudnya,“ruang publik” merupakan konteks baru identitas poskolonial ”gereja suku”. Kalau komunitas kristen “gereja suku” berniat meluaskan (makna) identitas poskolonialnya ke dalam konteks barunya di ruang publik tersebut maka jalur atau mekanisme yang paling tepat yang harus digunakannya adalah dengan bertransformasi menjadi sebentuk komunitas etis (moral community) sebagaimana sudah disinggung sebelumnya. Selanjutnya, di sana ia 23 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI juga harus meluaskan identitasnya tersebut secara radikal dengan hadir membela publiknya melalui mekanisme masyarakat sipil lainnya yakni lewat gerakan-gerakan sosial baru. Dengan peralihan identitas poskolonial “gereja suku” menjadi sebentuk komunitas etis dan memanfaatkan mekanisme masyarakat sipil sebagai carauntuk membela publiknya maka hal itu akan membuat komunitas kristen “gereja suku” memperoleh sebentuk identitas baru dalam kategori politik. Bagaimanakah komunitas kristen “gereja suku” (GKPS) hasil bentukan JWS itu kemudian menghadirkan dirinya di tengah-tengah konteks barunya di ruang publik? Ke arah itulah penelitian ini saya kerjakan. Dengan kata lain, penelitian yang hendak saya lakukan ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang sudah dilakukan Martin Lukito Sinaga. Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan Martin Lukito Sinaga tidak hanya terletak pada kerangka teori atau alat analisis yang digunakan tetapi juga pada jenis data dan unit analisisnya. Martin Lukito Sinaga menggunakan tafsir poskolonial sebagai alat analisis untuk membaca dua unit analisis yang diajukannya yakni: teks-teks teologis dan gerakan-gerakan sosial alternatif yang diajukannya untuk menghadapi penetrasi wacana dan institusi modern misi/zending sebagaimana terdapat dalam biografi Jaulung Wismar Saragih. Sedangkan penelitian ini, menggunakan teori politik hegemoni sebagaimanadikembangkan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe,dengan tiga konsep lain yang mengiringinya yakni:artikulasi, antagonisme dan subjek politik.Teori hegemoni sebagaimana yang dikembangkan LM tersebut akan digunakan untuk membaca tiga unit analisis dalam penelitian ini yakni:1). Teks atau dokumen yang bisa menggambarkan latar belakang sosio historis dan politis yang mendasari munculnya wacana Credit Union Modifikasi sebagai sebuah sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif versi kristiani, 2). Bentuk-bentuk pengartikulasian identitas politik 24 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI GKPS di ruang publik sebagaimana direpresentasikan oleh Komunitas CUM “Talenta”, 3).Perjuangan-perjuangan demokratik baru yang dilakukan komunitas CUM “Talenta”di ruang publik pedesaan di Simalungun. 1.6. Kerangka Teori 1.6.1. Identitas Politik: Hegemoni, Antagonisme dan Pembentukan Subjek Dalam Perspektif Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (LM) 1.6.1.1. Hegemoni-Artikulasi Sebelum memaparkan lebih jauh tentang teori hegemoni dengan tiga konsep yang mengiringinya yakni artikulasi, antagonisme dan subjek politik, penting untuk diketahui bahwa cara atau pendekatan yang digunakan Ernesto Laclau-Chantal Mouffe (selanjutnya disingkat: LM)untuk memahami dan mengkaji fenomena sosial (the social) dilakukan dengan menggunakan pendekatan “bahasa”. Artinya, akses kita pada realitas sosial hanya bisa dicapai melalui bahasa. Lalu, apa yang dimaksud LM dengan bahasa? Jawabannya, “bahasa” yang dimaksud LM dalam hal ini bukan sistem umum bahasa atau gramatika (struktur bahasa) tetapi bahasa sebagaimana dimanifestasikan dalam wujudnya sebagai wacana, atau dalam omongan”.28 LM adalah pasangan pemikir politik kiri sekaligus penggagas postmarxis yang menyandarkan paradigma teoritiknya pada tradisi linguistik strukturalis dan poststrukturalis. Kalaupun di kemudian hari, LM lebih cenderung menganut cara berpikir tradisi poststrukturalis, namun prinsip-prinsip dasar strukturalisme masih tetap mereka gunakan untuk memahami dan menggeledah fenomena sosial ataupun (pembentukan) masyarakat. Ada perbedaan yang cukup tajam antara tradisi linguistik srukturalisme dan poststrukturalisme. Boni Hargens mencatatkan perbedaan keduanya sebagai berikut: 28 St. Sunardi, Logika Demokrasi Plural Radikal, (dalam) Retorik, Jurnal Ilmu Humaniora Baru, vol.3 No. 1 Desember 2012, Program Studi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, hlm, 5 25 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kaum strukturalis, sangat percaya bahwa makna diproduksi oleh proses penandaan (signifikasi) dalam suatu sistem bahasa yang mensyaratkan secara mutlak adanya penanda (siginifier) dan petanda (signified). Hubungan stabil penanda (imaji, akustik, kata) dan petanda (konsep)_menentukan makna”. Sebaliknya, di tangan kaum poststrukuralis bahasa kehilangan kemutlakannya karena makna ternyata tidak diproduksi oleh struktur bahasa tetapi dipengaruhi oleh konteks”.Barthes bahkan secara radikal mengatakan bahwa subjek bebas memasuki teks dari berbagai sudut dan menemukan makna baru dalam setiap penelusurannya. Dengan kata lain, tidak ada makna mutlak, tidak ada konsep sentral dan tidak ada universalitas mutlak. Makna bersifat partikular dan kontekstual”.29 Merujuk pada perbedaan dari kedua tradisi linguistik tersebut maka dapat disimpulkan bahwa di tangan kaum strukturalis “makna”dipahami sebagai sesuatu yang tetap (fixed) dan final. Itu artinya, kaum strukturalis memahami “makna”bersifat universal. Sedangkan kaum poststrukturalis memahami sebaliknya, “makna”adalah sesuatu yang tidak tetap (unfixed). Dengan kata lain, “makna”bersifat partikular dan kontekstual bukan universal. Perlu juga ditambahkan, selain bersandar pada tradisi berpikir linguistik, LM juga memijakkan paradigma teoritiknya pada pemikiran Jacques Lacan, seorang filsuf psikoanalisa dari Perancis itu. Menurut Lacan tidak ada kata yang bebas dari metafora. Setiap upaya untuk memahami suatu penanda (kata) selalu memerlukan penanda yang lain dan penanda berikutnya juga memerlukan penanda yang lain sehingga membentuk suatu rantai penanda (chain of signifier) yang tidak terputus. Bagi Lacan, tidak ada kata yang tuntas dan tidak ada kalimat yang tertutup. Setiap kata atau kalimat selalu menuntut adanya kata atau kalimat yang lain sehingga makna juga tidak bersifat tertutup dan tetap. Baik penanda (kata) maupun petanda (makna) bersifat sementara”.30 29 Boni Hargen ((2006) Op.cit,hlm, 27 Ibid, hlm, 67 30 26 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Karena bahasa (makna) pada dasarnya tidak bisa sepenuhnya stabil, maka bagi LM identitas juga tidakakan pernah bisa bersifat tetap dan final (unfixed of all identities).All identity is relational, kata LM”.31 Dengan status ontologis seperti itu maka setiap identitas menjadi terbuka (contingent) untuk segala pemaknaan dan reartikulasi”.32 Identitas bukanlah sesuatu yang terberi (given) atau terbawa melainkan sesuatu yang dibentuk. Dibentuk melalui apa? LM mengatakan identitas adalah hasil dari konstruksi diskursif (discursive construction). Dalam istilahnya yang lain, LM mengatakan bahwa identitas itu merupakan hasil dari artikulasi diskursif (discursive articulation). Meskipun identitas adalah hasil dari artikulasi diskursif namunartikulasi diskursif itu tidak pernah bisa mencapai fiksasi makna yang utuh dan sempurna. Itu berarti identitas selalu merupakan hasil “kontestasi-sementara”. Dan, setiap reproduksi atau proses pembaharuan makna selalu merupakan tindakan politik sebab politik bagi LM melampaui dari sekedar lembaga-lembaga politik seperti partai politik, kelender pemilu dan sebagainya. Bagi LM, politik merupakan suatu konsep yang sangat luas sebab mengacu pada cara kita senantiasa menyusun fenomena sosial dengan cara-cara meniadakan cara-cara yang lain”.33 Chantal Mouffe membedakan politik itu dalam dua kategori yakni “yang politis” (the political) dan “politik” (politics). By “the political” I mean the dimension of antagonism which I take to be constitutive of human societies, while “politics” I mean the set of practices and institutions through which and order is created organizing of human coexistence in the context of conflictuality provided by the political”.34 31 Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, (1985) Hegemony& Socialist Strategy; Towards a Radical Democratic Politics, London-New York, Verso, hlm, 111 32 Boni Hargen, (2006), Op.cit, hlm, 22 33 Marianne W.Jorgensen dan Phillips.J. Louise, (2007) Analisis Wacana: Teori dan Metode, terj, Yogyakarta, Pustakan Pelajar, hlm, 68 34 Chantal Mouffe, (2005) On the Political: Thinking in Action, London-New York, Routledge, hlm, 9 27 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dalam perspektif seperti itulah, LM memahami (pembentukan) masyarakat atau realitas sosial. Masyarakat atau realitas sosial itu tidak pernah selesai atau tidak pernah sampai pada totalitasnya yang penuh dan sempurna. Dengan begitu maka masyarakat itu bersifat terbuka (contingent) dan tidak tetap (unfixed). Itulah sebabnya dalam dictumnya yang terkenal itu LM mengatakan: “Masyarakat itu tidak ada!” Maksudnya, masyarakat atau realitas sosial secara objektif tidak pernah selesai atau tepatnya tidak pernah bisa bersifat penuh dan total”.35 Masyarakat selalu merupakan hasil dari praktik diskursif yang beragam dan terus menerus. Masyarakat adalah cara subjek memberi makna padanya. Meskipun begitu harus diingat bahwa subjek dalam pandangan LM adalah subjek yang rentan, tidak pasti dan tidak otonom sebagaimana subjek cogitan (cogito ergo sum: aku berpikir maka aku ada) yang dipahami Descartes. Subjek dalam pandangan LM adalah subjek yang dikondisikan atau disituasikan. Karena itulah LM memahami masyarakat atau realitas sosial itu tidak memiliki pusat hegemonik, atau tidak memiliki semacam fondasi tetap yang tidak bisa berubah (semacam penyangga permanen dalam dunia sosial) sebagaimana dalam pandangan Gramsci ataupun Marxisme klasik. Karena masyarakat adalah wacanaatau tepatnya merupakan praktik wacana maka tidak ada elemen (kelompok sosial) yang lebih tinggi atau lebih unggul dalam ranah sosial. Karena itu, setiap unsur dalam realitas sosial memiliki potensi untuk menjadi wacana. Setiap elemen di dalam masyarakat yang dapat diartikulasikan ke dalam ruang sosial dengan sendirinya dapat diidentifikasi. Bertolak dari pemahaman seperti itu maka LM memahami bahwa hegemoni adalah hasil dari suatu praktik artikulasi yang 35 Boni Hargens, (206) Op.cit,hlm, 73 28 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bersifat terus menerus. Artikulasi itu selalu memberi identitas dan identitas itu akan selalu menempati posisi struktural tertentu dalam ruang sosial”.36 LM memahami bahwa munculnya hegemoni merupakan konsekuensi dari artikulasi diskursif dari elemen atau kelompok sosial tertentu yang mendominasi artikulasi elemen atau kekuatan sosial tertentu yang berlangsung secara terus menerus dalam ranah sosial. Sebaliknya, artikulasi diskursif yang dilakukan oleh elemen atau kekuatan sosial tertentu dalam masyarakat yang memandang dirinya lebih lemah dari kekuatan sosial yang mendominasi artikulasi diskursif dalam masyarakat dapat disebut sebagai hegemoni tandingan atau kontra hegemoni”.37 Untuk memahami masyarakat sebagai hasil dari praktik artikulasi diskursif, LM merumuskan empat konsep penting yang saling terkait: We will call articulation any practice establishing a relation among elements such that their identity is modified as a result of articulatory practice. The structured totality resulting from articulate practice, we will call discourse. The differential positions, in sofar as they appear articulated within a discourse, we will call moments. By contrast, we will call element any difference that is not discursively articulated”.38 Artikulasi dalam pemahaman LM adalah setiap praktik menghadirkan hubungan antar elemen sedemikian rupa sehingga identitas elemen-elemen tersebut berubah sebagai akibat dari praktik artikulatoris. Totalitas terstruktur sebagai hasil dari praktik artikulasi itulah yang disebut LM sebagai wacana. Posisi-posisi mereka yang berbeda selama terartikulasi ke dalam sebuah wacana disebut sebagai momen-momen. Dan secara kontras, setiap perbedaan yang tidak terartikulasikan secara diskursif disbeut dengan elemen . 36 Ibid, hlm, 65 Ibid 38 E.Laclau & Ch.Mouffe (1985) Hegemony & Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politics, London-New York, Verso, hlm, 105 37 29 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa identitas adalah hasil dari artikulasi diskursif sehingga formasi hegemonik pada dasarnya adalah juga formasi diskursif. Formasi hegemonik tidak terjadi secara spontan melainkan hasil kerja kepemimpinan moral dan intelektual. Artinya, formasi hegemonik dengan sendirinya meliputi pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial yang berfungsi sebagai “penanda mengambang” (floating signifier) sehingga menghasilkan hubungan-hubungan diferensial dalam suatu totalitas struktural”.39 Pengorganisasian itu dijalankan dengan menggunakan logika ekuivalensi atau logika persamaan (logic of equivalence). Logika persamaan ini meliputi cara orang mengelompokkan unsur-unsur yang sama (ekuivalen) sehingga bisa menjadi sebuah totalitas trstruktur dengan identitas tertentu”. Singkat kata, logika ekuivalensi adalah logika yang digunakan dalam rangka menghadapi musuh bersama”.40 Sementara itu, logika perbedaan (logic of difference) adalah logika yang digunakan untuk mengumpulkan dan mengelompokkan unsur-unsur dengan berbagai perbedaan. Logika perbedaan tidak menunjuk kepada perbedaan internal antar kekuatan sosial yang bersifat antagonistik tetapi justru merujuk kepada perbedaan dengan yang di luar (constitutive out side). Jadi, baik logika ekuivalen (the logic of equivalence) maupun logika perbedaan (the logic of difference), keduanya merupakan logika yang digunakan untuk menyatukan unsur-unsur yang bernilai sama dan juga menyatukan unsur-unsur yang berbeda dengan sesuatu yang di luar (eksternal) ke dalam apa yang disebut Gramsci dengan blok historis (historical block) yang merupakan manifestasi “kehendak bersama” (collective will). Sehubungan hal ini, Boni Hargens memberi penjelasan: 39 St.Sunardi “Logika Demokrasi Plural-Radikal”, Opcit, hlm, 13 Ibid, hlm, 8 40 30 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Di satu pihak para pelaku sosial (social actors) dalam masyarakat menempati posisi yang diferensial alias berbeda sama sama lain. Itu artinya, masing-masing aktor adalah partikularitas. Namun di pihak lain terdapat antagonisme sosial dalam masyarakat, antar kelompok sosial yang beragam. Antagonisme sosial inilah yang mendesak para pelaku sosial untuk membangun hubungan yang seimbang dan harmonis. Dengan kata lain, antagonisme mendorong terciptanya ekuivalensi sosial”.41 Tapi harus diingat bahwa agar hubungan-hubungan yang berbeda itu dapat menyatu dibutuhkan “penanda utama” (master signifier) atau nodal point. LM mengambil konsep ini dari psikoanalisa Lacanian. Itulah sebabnya, LM mengatakan bahwa hegemoni itu pada dasarnya merupakan praktik artikulasi membangun nodal points (point de capiton), yakni semacam titik temu dari sebuah rangkaian dalam suatu tenunan masyarakat yang terdiferensiasi”.42 Dalam istilah lain, nodal point atau “penanda utama” (master signifier) ini adalah sebauh “penanda kosong” (empty signifier) yakni penanda tanpa petanda. Begitu dikosongkan, penanda ini bebas dimaknai oleh “penanda mengambang” (floating signifier). Robertus Robet mengatakan bahwa semua pihak atau aktor yang bermanuver harus dipandang sebagai “penanda mengambang” (floating signifier), yakni penanda yang bergerak dalam kontestasi tanpa akhir untuk mengisi penanda kosong itu”.43 Perlu ditambahkan bahwa dalam rangka membangun hegemoni tersebut sebaiknya nodal point itu tidak berupa identitas konkret seperti buruh, gerakan perempuan, gerakan lingkungan melainkan penanda yang dikosongkan seperti tatanan, persatuan, reformasi atau nama lain sejauh bisa menyatukan dan membedakan dirinya 41 Boni Hargens (2006) Op.cit, hlm, 64 http://dyanuardy.wordpress.com/2008/01/16/jalan-hegemoni-meraba-arah-bagi-gerakan-sosial/ (Diakses, tgl.12-10.2011) 43 Robertus Robet,(2010) Manusia Politik:Subjek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj ZIzek, Tangerang, Marjin Kiri, hlm, 11 42 31 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dengan totalitas yang di luar sebagai kekuasaan yang represif”. 44 Dalam formasi hegemonik tersebut, “penanda utama” inilah yang berfungsi menjadi semacam “pusat hegemonik”, meskipun harus tetap diingat bahwa “pusat hegemonik” di ranah sosial dalam pandangan LM tidaklah tunggal melainkan plural. Karena tidak ada identitas yang bersifat tetap maka “penanda utama” (master signifier) dalam formasi hegemonik (blok historis) itu menurut LM, tidak harus dimainkan oleh “kelas pekerja” sebagaimana dalam pandangan Gramsci. Penanda utama (master signifier) dapat dimainkan oleh kelompok apa saja sejauh bisa mempersatukan kekuatan-kekuatan sosial yang ada sehingga memiliki common differentiation dengan kekuatan hegemonik tandingan yang dipandang eksploitatif dan otoritarian yang oleh karenanya dieksklusikan dari totalitas hegemonik”.45 Praktik diskursif yang menyertakan “penanda utama” (master signifier) dengan sendirinya akan menghasilkan identitas kolektif dan bukan lagi identitas “kelas pekerja” sebagaimana dalam pemahaman Marxisme klasik dan Gramsci. Identitas itu, baik secara individu maupun kolektif menurut LM selalu merupakan hasil dari proses politik yang bersifat kewacanaan”.46 Dalam ungkapan yang lebih padat Josep Lowndes mengatakan: Populist movements are thus successful to the degree that they can universalise their claims on behalf of the people, and yoke various social groups and discourses into one common identity. The success of this process is what political theorists Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, after Gramsci, call hegemony.Reigning political orders, they argue, present themselves as internally coherent, universal forms of truth and representation that transcend politics as such - this, in fact, is the source of their power. But any hegemonic order is actually a highly contingent product of dissimilar elements that get articulated together in political struggle.47 44 St. Sunardi, Op.cit, hlm, 15 Ibid, hlm, 13 46 M.W.Jorgensen & Louise J.Phillips (2008)Op.cit, terj, hlm, 64 47 Josep Lowndes, “From Founding Violence to Political Hegemony: The Conservative Populism of George Wallace (dalam) Fransisco Panizza, ed, (2005) Populism and Mirror Democracy, London-New York, Verso,hlm,146 45 32 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Jadi, identitas kolektif yang dihasilkan dari formasi hegemonik tersebut menghasilkan identitas yang terbuka sekaligus tertutup. Maksudnya, melalui praktik diskursif, kesatuan sosial memang dapat terbentuk namun kesatuan tersebut sekaligus bersifat mustahil sebab bagaimanapun juga hubungan yang berbeda dalam hubungan ekuivalensial yang terbangun tidak dapat diatasi secara tuntas. Selalu ada tegangan dalam hubungan diferensial antar unsur-unsur atau kekuatan-kekuatan sosial yang sudah terbentukitu meskipun mereka sudah masuk ke dalam suatu hubungan ekuivalensial tertentu. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka masyarakat sebagai praktik artikulatoris tidak hanya meliputi apa yang bisa diwacanakan tetapi juga meliputi apa yang tidak terwacanakan.Terjadi penyebaran wacana secara beraturan (dispersionin regularity)”.48 1.6.1.2. Antagonisme Sudah dijelaskanpada bagian sebelumnya bahwa formasi hegemonikitu meliputi pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial yang berfungsi sebagai floating signifier sehingga hubungan-hubungan yang berbeda dari setiap kelompok sosial menghasilkan suatu totalitas struktural. Di sini LM memberi catatan, walaupun unsur-unsur atau kekuatan-kekuatan sosial itu sudah disatukan ke dalam suatu totalitas struktural dengan identitas tertentu namun hal itu tidak dapat menghilangkan tegangan hubungan diferensial antar unsur-unsur yang ada dengan hubungan ekuivalensial yang sudah terbentuk. Dengan kata lain, dalam suatu formasi hegemoni yang terbentuk, antagonisme identitas dari setiap unsur secara internal tidak dapat dihilangkan. Antagonisme antar identitas dalam suatu formasi hegemonik selalu ada meskipun tidak 48 St.Sunardi, Op.cit, hlm, 12-13 33 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dapat dikatakan. Antagonisme antar identitas yang pluralinilah yang menjadi titik tolak munculnya gerakan sosial baru (LM lebih menyukai istilah perjuangan demokratik baru “new democratic strugles”) yang kemudian dikembangkan secara lebih luas sebagai gerakan demokrasi kerakyatan. (popular democratic). Dalam rangka membangun dan merayakan demokrasi plural radikal itulah,LM mendekonstruksi gagasan antagonisme dalam perspektif Marxisme klasik. Kalau Marxisme klasik memahami dan memaknai antagonisme tersebut bersifat eksternal maka LM justru memahami sebaliknya. LM melihat antagonisme itu sebagai sesuatu yang ada secara internaldan sekaligus yang menciptakan keterbatasan masyarakat. Antagonisme internal inilah yang membuat masyarakat itu tidak pernah stabil (fixed) atau tidak pernah bisa mencapai totalitasnya yang utuh dan sempurna secara objektif.Antagonisme memainkan peran penting dalam pembentukan identitas dan hegemoni lantaran antagonismemembuat setiap makna sosial selalu berkontestasi dan tidak akan pernah penuh/tetap (fixed). Keadaan inilah yang memunculkan antagonisme sosial yang kemudian membentuk “garis politik” (political frontier). Dengan munculnya, political frontier itu maka akan terjadi pertarungan hegemonik dengan rejim opresif yang dipandang atau dijadikan sebagai “musuh bersama” (common enemy). Keadaan seperti didorong oleh munculnya rantai ekuivalensi (chain of equivalence) di antara kelompok-kelompok sosial yang beragama yang melakukan resistensi terhadap rejim opresif. LM (sebagaimana diungkapkan Daniel Hutagalung)49 mengatakan kalau perjuangan hegemonik ingin berhasil maka yang harus diperhatikan adalah tidak menempatkan logika yang diartikulasikan oleh semua bentuk eksternal ke dalam ruang 49 Daniel Hutagalung, ”Hegemoni dan Demokrasi Radikal Plural: Membaca Laclau dan Mouffe” (dalam) Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (2008) Op.cit, terj, hlm, xxxvii-xxxix 34 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI partikular. LM memberi contohnya dari pengalaman Rosa Luxemburg, di mana dalam situasi penindasan yang ekstrim yang dilakukan rejim Tsar, kaum buruh memulai pemogokan dan menuntut kenaikan upah. Tuntutan kaum buruh ini sesungguhnya bersifat partikular, tetapi dalam perspektif rejim represif (Tsar) hal itu justru dilihat sebagai aktivitas menolak sistem rejim opresif (anti sistem). Makna dari tuntutan tersebut terbagi menjadi dua, dari yang paling awal, antara partikularitasnya sendiri dan sebuah dimensi yang lebih universal yakni anti sistem. Untuk memahaminya dengan lebih mudah berikut ini dikutipkan saja diagram yang dibuat Ernesto Laclau tentang apa yang menjadi pengalaman Rosa Luxemburg pada masa rejim Tsar tersebut:50 Ts D1 D1 0 = D2 0 = 0 D3 D4 = 0 = 0…….. D5….dst Rejim opresif Tsarism (Ts) dipisahkan oleh batas politik (political frontier) dari tuntutan-tuntutan sebagaian besar sektor dalam masyarakat (D1, D2, D3…dan seterusnya). Setiap tuntutan tersebut ada dalam partikularitasnya masing-masing sehingga masing-masing tuntutan itu berbeda dengan tuntutan-tuntutan lainnya. Meskipun demikian, semuanya memiliki kesamaan (ekuivalen) satu dengan lainnya yakni adanya kesamaan sikap beroposisi dengan rejim opresif, yakni rejim Tsar. Melalui pembangunan rantai ekuivalensi (chain of equivalence), satu dari semua tuntutan 50 Ernesto Laclau (2005) On Populist Reason, London - New York, Verso, hlm, 130 35 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI partikular yang beragam itu kemudian dijadikan atau ditampilkan untuk memimpin atau mengambil tempat menjadi penanda (signifier) dari keseluruhan rantai tuntutan yang beragam – suatu tendensi empty signifier. Akhirnya, D1 di atas lingkaran ekuivalen mewakili tuntutan dari mereka yang anti sistem secara general. Dalam hal ini, LM memberi catatan penting bahwa keseluruhan model ini sangat tergantung pada kehadiran dichotomic frontier; tanpa hal ini relasi equivalential (kesamaan) tersebut akan runtuh dan identitas dari setiap tuntutan-tuntuan tersebut akan tergerus ke dalam keberbedaan dan partikularitasnya sendiri-sendiri. Harus diingat bahwa pada saat ada upaya untuk membentuk sebuah political frontier maka pada saat yang sama rejim opresif juga akan melakukan praktek mempertahankan proyek hegemoninya dengan cara mencoba menyerap dan (meminjam istilah Gramsci) mentransformasi beberapa dari tuntutan kaum oposisi tersebut. Dengan begitu, maka garis batas yang memisahkan rejim opresif dengan kelompok yang berseberangan sangatlah tidak stabil atau tidak permanen. Jika, rejim opresif mengakomodir sebagian dari tuntutan-tuntuan tersebut maka implikasinya, chain of equivalence yang sudah terbangun dengan sendirinya akan segera buyar. Dalam keadaan seperti itu, masingmasing tuntutan-tuntutan partikular itu akan (dipaksa) kembali ke kondisi semula atau yang disebut LM sebagai kondisi logic of difference, yakni kondisi seperti sebelum ada ikatan pemersatu. 1.6.1.3. Pembentukan Subjek Selain mengadopsi sejumlah konsep dari tradisi linguistik (strukturalis/poststrukturalis) LM juga mengambil sejumlah konsep dari psikoanalisa Lacanian dalam mengembangkan teorinya terutama terkait dengan (pembentukan) subjek. Menurut St. Sunardi: 36 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lacan memahami seseorang menjadi subjek hanya setelah ia berbahasa. Dengan berbahasa orang mengambil posisi sebagai subjek (subject position) dalam masyarakat karena dia menyerahkan (subject) dirinya pada sistem bahasa sebagai sistem perbedaan. Dia mengalami dirinya secara sosial dalam tatanan bahasa. Lacan memandang kesuluruhan bahasa itu sebagai liyan, karena bahasa yang ia pakai bukanlah bahasanya sendiri melainkan bahasa yang sudah ada di masyarakat, yaitu bahasa orang lain, nilai-nilai yang dalam bahasa itu bukanlah nilai-nilainya sendiri melainkan nilai-nilai orang lain. Dalam arti inilah liyan merupakan nama untuk totalitas bahasa yang dipakai seseorang saat dia memasuki masyarakat”. Dengan demikian orang mengalami dirinya saat berhubungan dengan Liyan.51 Dengan berpijak pada perspektif psikonalisa Lacanian yang seperti itu, LM kemudian memahami bahwa identitas setara dengan identifikasi terhadap sesuatu, dan sesuatu itu merupakan posisi subjek yang ditawarkan wacana kepada individu”. 52Subjek dalam pemikiran LM selalu berarti “posisi subjek”(subject position).Perbincangan tentang proses pembentukan subjek pada dasarnya merupakan soal identifikasi diri. Dalam esainya The Minding Gap: The Subject Politics yang ditulis oleh Ernesto Laclau bersama dengan Lilian Zac dijelaskan bahwa pembentukan subjek politik itu start from the constitutive split of all political identity and try to ground, on that basis, both the notion of an original lack and that of 'identification' as the central categories for politics”.53 Cukup jelas bahwa, LM memandang bahwa “identifikasi” merupakan kategori utama dalam politikdan ihwal “identifikasi” ini sejajar dengan apa yang disebut Pierre Bordieu terma “mengambil posisi” (taking position) dalam suatu masyarakat. Robertus Robet, kemudian menegaskan bahwa “subjek” dalam pandangan LM muncul dari gerakan mensubversi realitas sosial yang nyata atau dalam istilah Lacan disebut sebagai “tatanan simbolik”. Dengan kata lain, subjek muncul dari struktur yang terdislokasi 51 Ibid, hlm, 9-10 M.W.Jorgensen & Louise J.Phillips (2008)Op.cit, hlm, 81 53 Ernesto Laclau, ed (1994) The Making of Political Identities, London-New York,Verso,hlm, 6 52 37 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang kemudian membentuk dari luar dirinya (constitutive outside)”.54 Dan harus diingat, meskipun sudah mengambil posisi, namun subjek tidak akan pernah bisa menjadi subjek yang utuh. Subjek senantiasa selalu membawa original lack di dalam dirinya sehingga subjek dalam pandangan LM diidentifikasi sebagai subjek yang terdislokasi, split dan decentred. Subjek yang terdislokasi maksudnya adalah subjek yang mengidentifikasikan dirinya itu senantiasa merasa tidak berada di dalam totalitas terstruktur yang dimasukinya. Lebih lanjut LM menjelaskan bahwa dislokasi merupakan subversi diskursus hegemonik oleh peristiwa-peristiwa yang tidak berhasil didomestifikasi, disimbolisasi atau diintegrasikan ke dalam diskursus. Pada akhirnya, dislokasi-dislokasi itulah yang menjadi fondasi bagi terbentuknya identitas-identitas politik baru. Dengan kata lain, benturan-antagonisme pada dirinya merupakan jalan menuju suatu arah baru identifikasi identitas politik”.55 Dalam teori (pembentukan) subjek Lacanian, sejak dari bayi hingga dewasa, seseorang (anak) senantiasa tidak pernah merasa cukup sesuai dengan citra-citra yang disematkan kepadanya. Itulah sebabnya, Lacan mengatakan subjek itu pada dasarnya adalah subjek yang split (terbelah) atau subject of lack. Subjek Lacanian adalah subjek yang senantiasa merasa tidak pernah cukup untuk bisa untuk menjadi dirinya sendiri. Jadi, subjek itu adalah subjek decentred. Kalau disebut bahwa subjek adalah subjek yang decentreditu artinya, subjek memperoleh identitasnya diwakili oleh wacana. Di dalam wacana (discourse) atau praktik kewacanaan tertentu itulah subjek atau posisi subjek ditentukan. Oleh karena itu, seorang individu dapat saja memiliki lebih dari satu kategori identitas yang melekat pada dirinya; tergantung kepada wacana apa yang mengonstruksi dirinya pada momen tertentu. Subjek dalam pandangan LM bukanlah 54 Robertus Robet,(2010), Op.cit, hlm, 102-103 Ignasius Jaques Juru, Radikalisasi Pluralisme Sebagai Usaha Pengarusutamaan Politik Agonisme (dalam) Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP), Volume 14 No.2 Novemberi 2010, hlm, 189 55 38 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI subjek yang otonom dan mandiri yang ditentukan oleh pusat kesadarannya sebagaimana dipahami Descartes dengan subjekego cogitan-nya itu. Sebagaimana sudah disinggung pada bagian sebelumnya, formasi hegemonik menurut LM harus meliputi pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial yang mengalami bentuk-bentuk subordinasi baru dalam realitas sosial yang nyata (tatanan simbolik). Dalam menghadapi berbagai bentuk subordinasi baru itulah, subjek akan mengalami transformasi. Di sana ideologi memiliki peran dalam membentuk subjek baru politik. Ideologi menurut LM berfungsi untuk menyatukan berbagai unsur-unsur atau antagonisme identitas yang plural itu ke dalam sebuah totalitas yang terstruktur walau sifatnya selalu sementara (temporer). LM memberi peringatan bahwa selalu ada jarak antara subjek dan struktur. Subjek lantas mengalami apa yang disebut dengan dislokasi (dislocation). Kalau Marxisme klasik atau Gramsci memahami adanya kelas utama (kelas pekerja) sebagai agen utama perubahan sosial maka LM melihat bahwa subjek baru politik atau agen perubahan itu dicirikan oleh adanya pluralitas identitas seperti kaum buruh, feminis, gay, lesbian. Pendek kata subjek politik dalam arti agen (aktor) perubahan dalam perjuangan demokrasi plural radikal bukan lagi “kelas-pekerja” tetapi agen-agen dengan pluralitas identitasatau semacam asosiasi-asosiasi bebas, seperti gerakan feminisme, LGBT, gerakan lingkungan hidup, gerakan masyarakat adat, gerakanmasyarakat sipil (civil society) dan lain sebagainya”.56 1.6.1.4. Pengertian “Gereja Suku” dan “Ruang Publik” Sebelum memperbincangkan lebih jauh tentang ruang publik tersebut, maka perlu mendefenisikan apa yang dimaksud dengan “gereja suku”. Secara etimologi, istilah “gereja” berasal dari Bahasa Portugis igreja. Istilah ini dipakai untuk menerjemahkan 56 Ignasius Jaques Juru, Radikalisasi Pluralisme Sebagai Usaha Pengarusutamaan Politik Agonisme (dalam) Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP), Volume 14 No.2 Novemberi 2010, hlm, 189 39 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kata ekklêsia(bahasa Yunani) yang berarti dipanggil keluar (ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Ekklesiaatau gereja (igreja) berarti kumpulan orang-orang yang dipanggil ke luar. Setidaknya ada tiga komponen yang terkandung dalam pengertian gereja tersebut yakni kumpulan orang-orang (lembaga/komunitas), ada subjek yang memanggil (Tuhan) dan transformasi atas kondisi orang-orang yang dipanggil atau dikumpulkan. “Gereja Suku” diartikan suatu komunitas orang kristen yang secara historis terbentuk sebagai buah dari pekerjaan penginjilan (zending) yang dilakukan terhadap etnis tertentu. Keanggotaaan komunitas kristen “gereja suku” merupakan jaringan yang saling mengenal dan merupakan bagian dari satu keluarga (etnis) tertentu.Etnis atau etnisitas, seperti kata Daniel Perret adalah “perasaan menjadi bagian dari” yang dibawa seolah-olah sejak lahir dan yang mendasari sebuah identitas budaya ”primordial”.57 Dalam statusnya yang seperti itu, subjek “gereja suku” adalah subjek “yang lokal” atau “yang partikular”. Sebagai sebuah komunitas agama, komunitas kristen ”gereja suku” bagaimanapun juga memiliki apa yang disebut Habermas dengan tradisi “dunia-kehidupan” (labenswelt), good life (konsep solidaritas warga demi keadilan) serta intuisi-moral (weltanschuung). Sebagai komunitas agama, yang didirikan pada alas etnisitas maka dalam derajat tertentu ihwal labenswelt, good life dan weltanschuung yang ada di dalam dirinya, tentulah dihayati bersamaan dengan penghayatan pada nilainilai atau tradisi kebudayaan etnisnya. Persis dalam kerangka pemikiran seperti itulah keberadaan subjek komunitas “gereja suku” memiliki keterkaitan dengan pemikiran LM yang mana mereka memperkenalkan pertanyaan-pertanyaan seputar moralitas dan keadilan ke dalam politik 57 Daniel Perret ( 2010) Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu Sumatera Utara, Jakarta, Kepustakaan Popular Gramedia, hlm,4-6 40 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI untuk melawan konsepsi demokrasi yang disandarkan pada ekonomi dan partisipasi politik yang bersifat skeptis. Mereka mencari makna-makna baru dari gagasan demokrasi tradisional seperti otonomi, kedaulatan rakyat dan kesetaraan yang tujuannya tidak lain adalah untuk merumuskan ulang gagasan klasik mengenai ruang publik dan menjadikannya sebagai pusat proyek politik. Selengkapnya, Chantal Mouffe mengatakan: Against interest-based conception of democracy, inspired by economicsand skeptical about the virtues of political participation, they wantto introduce questions of morality and justice into politics. Theyare looking for new meanings of traditional democratic notionslike autonomy, popular sovereignty, and equality'. Their aim is toreformulate the classical idea of the public sphere, giving it a central place in the democratic project”.58 Apa yang dikemukakan Mouffe tersebut di atas memperlihatkan adanya pergeseran politik-demokrasi dari model ekonomi ke moral. Dalam perspektif seperti itulah LM mengembangkan konsepsi politik demokrasi deliberatif-nya (deliberative democracy) di mana konsep ruang publik akan dielaborasi secara penuh. Dengan begitu, maka cukup jelas sebagaimana Habermas tidak hanya memahami ruang publik sebagai locus artikulasi politik tetapi sekaligus juga merupakan tempat menicptakan ruang politis (political space) demi terwujudnya demokrasi radikal kewarganegaraan (radical democratic citizenship). Memang, ada begitu banyak versi dari demokrasi deliberatif tersebut. Namun, Chantal Mouffe mencatat bahwa salah satu gagasan teoritik yang dirumuskan Habermas adalah salah satu yang paling jitu. Demokrasi deliberatif itu bertolak dari tesis yang berlaku umum tentang fungsi hukum sebagai mediator integrasi sosial. Sumber legitimasi hukum sebagai produk politik diperoleh dengan menjadikannya 58 Chantal Mouffe, Deliberative Democracy or Agonistic Pluralisme (dalam) Jurnal Social Research, Vol.66, No.33 (fall1999). 41 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI terlebih dahulu sebagai diskursus publik. Di Indonesia, wujud material model demokrasi deliberatif ini dikenal sebagai demokrasi permusyawaratan di mana sumber legitimasinya tidak lagi disandarkan pada kumpulan kehendak individu atau “kehendak umum” rakyat tetapi melalui proses pencapaian keputusan-keputusan politik yang berlangsung secara diskursif, argumentatif dan deliberatif”. 59 Dengan kata lain, legitimasi hukum sebagai produk politik (yang berfungsi sebagai mediator integrasi sosial) dipahami tidak lagi sebagai sarana yang terpisah dari warga negara itu sendiri sebab diskursus hukum itu sendiri lahir melalui proses seleksi publik secara rasional. Singkat kata, demokrasi deliberatif itu sudah mengandaikan adanya ruang publik”.60 Menurut Habermas, istilah “ruang publik” (public sphere) hadir untuk membedakan dirinya dengan ruang privat. Dalam perspektif kekuasaan Habermas membagi ruang publik tersebut menjadi dua bagian: Pertama, ruang publik yang tidak dikooptasi kekuasaan yaitu ruang publik yang tumbuh dari dunia-kehidupan dan kedua adalah ruang publik yang dikooptasi oleh kekuasaan. Masing-masing ruang publik ini dikuasai oleh aktor-aktor tertentu. Aktor dalam ruang publik yang tidak dikooptasi oleh kekuasaan adalah para pribumi, karena mereka berasal dari publik itu sendiri dan memiliki akar yang mendalam pada dunia-kehidupan (labenswelt). Sementara aktor yang ada di dalam ruang publik yang dikooptasi oleh kekuasaan didominasi oleh aktor pemakai, yaitu aktor-aktor yang tidak tumbuh dalam publik melainkan hadir di depan publik dan menduduki ruang publik di mana mereka memanfaatkan medium uang serta kuasa untuk memperalat publik. Mereka biasanya memiliki identitas sosial yang mapan dan diakui dalam masyarakat Pemikiran Habermas mengenai ruang publik tersebut menyiratkan bahwa sifat dari ruang publik adalah eksklusif. Ia menempati posisi yang tunggal (singular), yaitu borjuis”. 61 Berbeda dengan pemikirannya yang pertama, Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms (1996) menempatkan ruang publik sebagai ruang yang plural. 59 Istilah Deliberatif berasal dari bahasa Latin deliberatio yang berarti menimbang-nimbang secara rasional, berkonsultasi, atau bermusyawarah secara terbuka. Selanjutnya lihat: Gusti A.B. Menoh (2015) Agama Dalam Ruang Publik, Yogyakarta, Kanisius,hlm,81 60 Ibid, hlm, 84 61 Obed Bima Wicandra, Merebut Kuasa Atas Ruang Publik: Pertarungan Ruang Komunitas Mural di Suarabaya, Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Kristen Petra Surbaya,hlm,2 42 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Setiap komunitas dan kelompok masyarakat dapat membentuk ruang publiknya sendiri. Pemikiran ini sebagai reaksi atas kritik kaum posmodernisme yang melihat pemikiran ruang publik pertama (borjuis) sebagai ruang yang cenderung eksklusif. Sedangkan formula inti dari pemikiran ruang publik yang kedua ini adalah varian dari demokrasi yang memfokuskan dirinya pada isu legitimasi politik. Keputusan bisa bersifat legitim apabila keputusan tersebut memperoleh persetujuan rasional melalui partisipasi di dalam pertimbangan mendalam (deliberation) yang otentik oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap keputusan tersebut. Menurut Habermas, arena untuk berpartisipasi dalam deliberasi tersebut adalah ruang publik”.62 Sementara itu, HannahArendt, (sebagaimana diungkapkan Eddie S. Riyadi Langgut Tere)mendefenisikan “ruang publik” (public sphere) sebagai berikut: Sebagai “ruang penampakan” dan sebagai “ruang bersama”.Ruang publik sebagai “ruang penampakan” berarti ruang di mana saya sebagai manusia dikenali sebagai manusia oleh yang lain karena saya “berada di antara manusia” (inter homines esse). Ruang publik sebagai ruang penampakan akan memisahkan apa-apa yang tidak relevan dengan kehidupan bersama itu sebagai “masalah privat”, dan karena itu “cahaya kepublikan”, itulah yang menyinari apa yang privat,tetapi bukan sebaliknya”.Sedangkan, ruang publik dalam pengertiannya sebagai “ruang bersama” adalah “dunia bersama” (common world), dunia dalam arti dunia yang kita pahami bersama, hidupi bersama, adalah dunia “yang adalah umum atau sama bagi kita semua, yang berbeda dari tempat kita yang privat di dalamnya. Dunia tidaklah sama dengan bumi atau alam. Kalau bumi atau alam adalah ruang bagi seluruh makhluk hidup, maka dunia adalah sebuah kategori khas bagi manusia. Dunia menghubungkan dan sekaligus memisahkan manusia pada waktu yang sama.Ruang publik sebagai dunia bersama menyatukan kita bersama dan mencegah kita untuk saling menelikung. Ruang publik sebagai dunia bersama adalah ruang “di antara” (in-between). Dunia bersama memungkinkan manusia untuk hidup bersama dalam arti bahwa “pada esensinya adalah sebuah dunia yang berada di antara mereka yang memilikinya sebagai milik bersama, sebagaimana halnya sebuah meja yang ditempatkan di antara mereka yang duduk mengitarinya. Jika meja itu hilang, maka hilanglah kebersamaan itu”.63 Menurut Habermas, ruang publik merupakan arena diskursif yang berbeda dan terpisah dari ekonomi dan negara. Di sanalah para warga negara berpartisipasi dalam politik dengan bertindak melalui dialog dan debat. Habermas juga menambahkan bahwa 62 Ibid Eddie S.Riyadi Langgut Tere, (makalah) Manusia Politis Menurut Hannah ArendtPertautan antara Tindakan dan Ruang Publik, Kebebasan dan Pluralitas, dan Upaya Memanusiawikan Kekuasaan”. Disampaikan pada Kuliah Umum Filsafat Salihara, Totalitarianisme Menurut Hannah Arendt, 20 April 2011. Komunitas Salihara Jakarta, hlm, 5 63 43 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ruang publik merupakan ruang otonom yang berbeda dari negara dan pasar. Ia otonom karena tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalis melainkan dari labenswelt atau civil society”.64 Di ruang publik itu, tidak ada satu tradisi atau budaya (agama) apapun yang boleh mengklaim komitmen etisnya sendiri sebagai satu-satunya norma bagi semua pihak. Yang dimungkinkan adalah masing-masing tradisiatau dunia-kehidupan (labenswelt) sebuah komunitas agama diperkenankan masuk ke sana dan diskursus labesnwelt-nya bisa hanya bisa diterima menjadi diskursus publik kalau diskursus keagamaan yang hendak diajukan itu memiliki argumentasi rasional-universal, mengandung good life dan intuisi moral (weltanschuung) yang bisa mendorong tumbuhnya solidaritas sosial diantara beragam elemen masyarakat sipil yang ada di dalamya. Tumbuhnya solidaritas sosial di ruang publik yang diekspresikan lewat perjuangan-perjuangan demokratik baru (new democratic strugles) merupakan momen penciptaan “ruang politis” (political space) atau pembentukan masyarakat. Pemahaman ruang publik ini, menjadi dasar untuk mendeskripsikan bagaimana subjek komunitas kristen “gereja suku” – GKPS - (yang direpresentasikan oleh Komunitas CUM “Talenta”) membentuk suatu masyarakat di ruang publiknya di pedesaan Simalungun. Adapun “ruang publik” (public sphere) yang dimaksud dalam konteks penelitian ini adalah ruang publik yang informal yakni dunia kehidupan masyarakat sipil yang tidak dikooptasi negara ataupun pasar. 64 Gusti A.B.Menoh (2015) Op.cit, hlm, 85 44 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Posisi peneliti Sebagai seorang Pendeta di Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) (salah satu “Gereja Suku” di Sumatera Utara) dan juga sebagai salah seorang yang terlibat dalam proses pembentukan Komunitas CUM “Talenta” maka tujuan saya melakukan penelitian adalah untuk mengembangkan pemahaman secara teoritik tentang praktik pengartikulasian identitas politik gereja-gereja di Indonesia khususnya “Gereja Suku” dalam konteks barunya di “ruang publik”. Dengan posisi subjektif seperti itu, posisi peneliti dalam penelitian ini adalah “orang dalam”. Tentulah ada keuntungan dan kerugian dengan identitas ganda saya sebagai seorang Pendeta yang terlibat dalam mendirikan Komunitas CUM “Talenta” dan sebagai peneliti yang meneliti justru apa yang saya lakukan sendiri. Identitas saya sebagai Pendeta di GKPS dan juga sebagai salah seorang pendiri Komunitas CUM “Talenta” tahun 2007 telah memberikan saya pemahaman dan pengetahuan dasar tentang arti dan makna istilah-istilah yang terdapat dalam gerakan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang terdapat dalam wacana CUM. Dengan menyatakan hal ini, saya tidak mengklaim bahwa saya memiliki semacam monopoli atas kebenaran tentang wacana CUM yang digunakan sebagai instrumen untuk mengartikulasikan aspek etis gereja di bidang diakonia pemberdayaan ekonomi rakyat-jemaat. Pernyataan tentang posisi saya sebagai peneliti dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan bahwa posisi (identitas ganda) tersebut justru memungkinkan saya untuk melakukan penelitian atas sebuah komunitas yang justru saya sendiri terlibat di dalamnya. Sangat disadari bahwa posisi peneliti sebagai “orang dalam” potensial menimbulkan bias karena subjektifitas saya masuk terlalu jauh mempengaruhi proses 45 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pengumpulan data-data dan pengolahannya. Oleh karena itu, penelitian ini dikerjakan dan bersandar semata-mata pada kaidah-kaidah penelitian yang objektif dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 1.7.2. Sumber dan Teknik Memperoleh Data Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan makauntuk mendapatkan data yang dibutuhkan guna menjawab rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan digunakan metode etnografis yang difokuskan untuk mendeskripsikan sekaligus menginterpretasikan praktik-praktik kebudayaan yang dilakukan oleh subjek penelitian ini, yakni komunitas CUM “Talenta”. Untuk menggali data-data yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan setting sosiohistoris keagamaan yang meliputi urgensi keterlibatan gereja dalam menghadirkan sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan di era kapitalisme neoliberal. Selain itu, studi kepustakaan juga dilakukan untuk mendeskripsikan sejarah dan perkembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia hingga perdebatan seputar wacana Credit Union (CU) antara gerakan ekonomi dan gerakan sosial. Sedangkan untuk memperoleh data-data yang dibutuhkanguna menjawab rumusan permasalahan dan tujuan penelitian ini, dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Untuk memperoleh data-data tentang apa dan bagaimana latar belakang historis munculnya wacana Credit Union Modifikasi sebagai wacana allternatif bagi pemberdayaan ekonomi rakyat-jemaat, maka dibutuhkan data-data primer antara lain Buku Pedoman Umum Pengelolaan CUM, buku Bank Perkreditan Rakyat: PT. Pijer Podi Kekelengen. Sebagai seorang yang sudah pernah 46 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengecap “Pendidikan dan Pelatihan” calon pengelola (manajer) yang diselenggarakan oleh MP. Ambarita, data primer tersebut sebelumnya sudah ada di tangan penulis. Data-data primer lain yang dibutuhkan diperoleh dengan melakukan wawancara MP.Ambarita sebagai penemu gagasan CUM.Karena alasan alasan jarak tempuh yang cukup jauh dan waktu yang tidak meungkinkan (kini domisili MP.Ambarita sekarang di desa Sirait Uruk Kecamatan Porsea Toba Samosir) maka wawancara dilakukan melalui telepon. Data-data sekunder yang dibutuhkan diperoleh melalui pelacakan dari internet. 2. Untuk memperoleh data-data primer tentang sejauhmana komunitas CUM “Talenta” mampu mengartikulasi identitas politik GKPS sebagai “gereja suku” di ruang publiknya di pedesaan Simalungun, dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Komunitas CUM “Talenta” edisi tahun 2009 dan edisi revisi tahun 2012 yang menggambarkan dapat menggambarkan konstruksi pola relasi atau hubungan Komunitas CUM “Talenta” dengan institusi GKPS. Selain itu, dibutuhkan data-data primer lainnya seperti Tata Gereja (TG) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT) GKPS serta risalah dan Keputusan-keputusan Sinode Bolon GKPS tahun 2000 dan tahun 2005 untuk mengkonfrontasi klaimklaim yang dilakukan Komunitas CUM “Talenta”. Sebagai “orang dalam” datadata ini sebelumnya sudah ada di tangan penulis. 3. Untuk memperoleh data-data tentang “Perjuangan-perjuangan demokratik baru yang seperti apa yang dilakukan komunitas CUM “Talenta” di ruang publiknya di pedesaan Simalungun, dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen (rencana program kerja Komunitas CUM “Talenta” tahun 2011), 47 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Laporan Pertanggung jawaban pelaksanaan program oleh Badan Pengurus dan Badan Pengawas Komunitas CUM “Talenta” kepada Rapat Anggota Tahunan (RAT) tahun 2012. Selain itu, data-data primer juga diperoleh dengan cara melakukan observasi (pengamatan langsung di lapangan) yakni di kelompokkelompok basis di mana perjuangan-perjuangan demokratik baru itu diartikulasikan. Data-data yang diperoleh kemudian didokumentasikan dalam bentuk foto. Sementara itu untuk memperoleh data-data tentang untuk mengukur keberhasilan perjuangan-perjuangan demokratik baru yang dilakukan komunitas CUM “Talenta” tersebut data-data yang dibutuhkan diperoleh melalui dokumen dan wawancara terhadap lima orang anggota Komunitas CUM “Talenta”. Semua data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan dan diklasifikasi secara tematis sesuai dengan rumusan permasalahan penelitian sehingga proses analisis data secara teknis dapat dikerjakan dengan lebih mudah. Deskripsi tentang sumber data dan teknik memperoleh data penelitian ini dapat digambarkan bentuk matrik berikut ini: No 1. Kategori Data Gereja dan urgensi menghadirkan Sistem Ekonomi Mikro Alternatif di Era Kapitalisme Neoliberal(setting sosio historis keagamaan) 2. Proses menciptakan identitas politik “GKPS” di Jenis Data Konteks Oikumenis Lembaga Keuangan Mikro (LKM): Pengertian, Sejarah, Perkembangan dan peta persoalan LKM di Indonesia Sumber Data Literatur/Internet Jenis-jenis LKM Perdebatan seputar CU: antara LKM dan gerakan sosial Latar belakang munculnya wacana CUM: Mengenal MP.Ambarita sebagai penemu gagasan dan kisah awal kemunculan wacana CUM Konkretisasi wacana CUM ke dalam Buku Bank Perkreditan Rakyat Kekelengen Pijer Podi Desa Simalem Buku Pedoman Umum Pengelolaan CUM MP. Ambarita Liharson Sigiro AD/ART komunitas 48 Prosedur Memperoleh Data Studi literatur dan media elektronik (internet) Ada di tangan penulis Wawancara (hasil wawancara ditranskripsi dan diterjemahkan secara bebas oleh penulis) Wawancara (hasil wawancara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ruang Publik dan representasinya oleh Komunitas CUM “Talenta” konteks GKPS CUM “Talenta” (2009/2012) Hubungan kelembagaan Komunitas CUM “Talenta” dengan GKPS Menciptakan modal bersama TG/PRT GKPS Risalah Sinode Bolon GKPS tahun 2000/2005 Memaknai (ulang) Haroan Bolon 2 Komisariat/ (kelompok basis)/pengurus komisariat Manajer Komunitas CUM “Talenta” Saribudolok/P. Raya dan P.Siantar Keputusan RAT tahun 2012 4 orang anggota Komunitas CUM “Talenta” AD/ART Komunitas CUM “Talenta” Manajer 3. Perjuanganperjuangan demokratik baru yang dilakukan Komunitas CUM “Talenta” dan ruang politis (political space) yang tercipta Mendirikan perusahaan (CV.Talenta) Perkembangan organisasi dan manfaat yang dirasakan anggota ditranskripsi dan diterjemahkan secara bebas oleh penulis) Ada di tangan penulis Wawancara (hasil wawancara ditranskripsi dan diterjemahkan secara bebas oleh penulis) Observasi (didokumentasikan dalam bentuk foto)l Wawancara (hasil wawancara ditranskripsi dan diterjemahkan secara bebas oleh penulis) Wawancara (hasil wawancara ditranskripsi dan diterjemahkan secara bebas oleh penulis) 1.7.3. Pengolahan Data dan Analisis Data-data yang diperoleh kemudian diklasifikasi dan dinarasikan mengikuti kerangka rumusan permasalahan. Setelah itu, data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan perspektif teoritis tentang politik hegemoni yang dikembangkan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (LM). Sebagaimana sudah disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa LM juga mengembangkan perspektif teoritiknya dengan mengadopsi sejumlah perspektif psikoanalisa Lacanian maka analisis dalam penelitian ini, juga menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian. 1.8. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini menggunakan sistematika sebagai berikut: Bab I memaparkan latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, sumber data dan teknik memperoleh data, sistematika penulisan, Kemudian Bab II memaparkan setting sosio historis keagamaan 49 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang dibingkai dalam judul pembahasan: “Gereja di era Kapitalisme Neoliberal: Urgensi menghadirkan sistem ekonomi mikro alternatif. Sub pembahasannya meliputi: konteks oikumenis, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), pengertian, sejarah, perkembangannya dan peta persoalannya, dan jenis-jenis LKM, perdebatan seputar Credit Union (CU): gerakan ekonomi atau gerakan sosial. Bab III merupakan paparan data-data tentang proses menciptakan Identitas Politik “Gereja Suku” (GKPS) di Ruang Publik dan representasinya oleh Komunitas CUM “Talenta. Pembahasannya dibagi menjadi tiga sub bagian. Sub bagian pertama membahas pengenalan terhadap wacana CUM, konkretisasinya ke dalam konteks GKP, Hubungan Komunitas CUM “Talenta” dengan GKPS, Perkembangannya dan manfaat yang dirasakan anggota. Bab IV merupakan bagian analisis terhadap atas proses penciptaan identitas politik “gereja suku” dan representasinya oleh komunitas CUM “Talenta”. Pembahasannya akan dibagi menjadi dua bagian: bagian pertama, hegemoni, antagonisme dan persoalan identitas subjek dalam konteks kemunculan wacana CUM. Bagian kedua, membahas artikulasi identitas politik yang direpresentasikan oleh komunitas CUM “Talenta”. Sub pembahasannya meliputi: tuntutannya (demands), diakonia sebagai “penanda kosong” (empty signifier), logika persamaan dan logika perbedaan dalam formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta”, ekspresi identitas politik dan representasinya; menciptakan modal bersama: melawan rentenir, memaknai (ulang) haroan bolon; menolak individualisme, menolak rayuan agen neoliberal (Rabo Bank), mendirikan perusahaan (CV.Talenta): memotong jalur pemasaran kopi, Dari Komunitas Credit menjadi Komunitas Credo”: siasat melawan hegemoni negara. Bab V merupakan bagian penutup berisi Kesimpulan dan Refleksi. 50 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB II GEREJA DI ERA KAPITALISME NEOLIBERAL: URGENSI MENGHADIRKAN SISTEM EKONOMI MIKRO ALTERNATIF 2.1. Pengantar Bab II ini merupakan paparan tentang setting sosio historis keagamaan. Bagian pertama memaparkan konteks oikumenis urgensi keterlibatan gereja dalam menghadirkan sistem ekonomi (mikro) alternatif di era kapitalisme neoliberal. Lalu, pembahasan pada bagian kedua akan menampilkan pengenalan lembaga keuangan mikro (LKM) di Indonesia. Subpembahasannya meliputi: pengertian, sejarah dan perkembangannya, peta persoalannya, jenis-jenisnya dan terakhir perdebatan seputar Credit Union (CU): gerakan ekonomi atau gerakan sosial. 2.2. Gereja Di Era Globalisasi Kapitalisme Neoliberal: Urgensi Menghadirkan Sistem Ekonomi Mikro Alternatif 2.2.1. Konteks Oikumenis Sudah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan bahwa cengkeraman hegemoni sistem ekonomi konglomerasi yang diasuh oleh ideologi kapitalisme neoliberal tampak semakin kokoh dan tak tergoyahkan. Meskipun begitu, masyarakat dunia tidak lantas menerima begitu saja kenyataan hegemonik hegemonik tersebut. Di berbagai belahan dunia tampak telah terjadi berbagai aksi protes (demonstrasi) untuk menolak hegemonisasi yang diciptakan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal tersebut. Bahkan masyarakat agama juga telah berkali-kali menyuarakan bahaya yang diakibatkan oleh sistem ekonomi neoliberal tersebut. Dalam konteks oikumenis (global), perbincangan mengenai urgensi keterlibatan Gereja untuk menghadirkan sistem ekonomi (mikro) alternatif yang lebih adil dan 51 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI manusiawi sesungguhnya sudah menjadi diskursus oikumenis yang cukup serius yang dipergumulkan Dewan Gereja Dunia (DGD) sejak Sidang Raya-nya di HarareZimbabwe pada tahun 1998. Pada saat itu, mengemuka sebuah pertanyaan reflektif: “Bagaimanakah kita menghayati iman kita dalam konteks globalisasi?”. Tentu saja, pertanyaan reflektif ini menuntut tanggapan etis, pastoral, teologis dan spiritual dari gereja-gereja baik pada aras global, regional, nasional maupun lokal. Logika globalisasi perlu ditantang dengan suatu cara hidup alternatif bermasyarakat dalam keberagaman”.65 Menurut Duchrow dan Hinkelammert tuntutan agar gereja-gereja di seluruh dunia memberikan respon etis tersebut, karenaproperty-based capitalism is not just an economic or political phenomenon but a religious one […], On the other, the Churches can be forceful actors in civil society once they work together with social movements”.66 Apa yang dikatakan Duchrow dan Hinkelammert di atas mengindikasikan bahwa globalisasi sistem ekonomi kapitalisme neoliberal sekaligus telah menyodorkan tantangan yang lebih besar tidak hanya bagi gereja-gereja tetapi juga bagi seluruh masyarakat dunia di muka bumi ini. Kebutuhan untuk menghadirkan dan mengembangkan sistem ekonomi (mikro) alternatif semakin mendesak sebab sistem ekonomi kapitalisme neoliberal itu hanya memupuk kesenjangan sosial (kemiskinan) ekonomi masyarakat global yang semakin subur dan melebar. Itulah sebabnya, pada Sidang Raya-nya tahun 2006 di Porto Allegre, Dewan Gereja Dunia (DGD) mengajak semua gereja-gereja di semua aras serta masyarakat oikumenis lainnya untuk tidak hanya bersikap kritis terhadap globalisasi kapitalisme neoliberal tetapi juga didesak 65 Tim Keadilan, Perdamaian Dan CIptaan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD),(2006) Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat Dan Bumi: Sebuah dokumen Latar Belakang, terj, Jakarta, PMK-HKBP, hlm, 1-2 66 Ulrich Duchrow dan Franz J. Hinkelammert (2004) Property for People Not for Profit ; Alternatives to the global tyranny of capital, London-New York, Zed Books, hlm, 205 52 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI agarmampu menghadirkan sistem ekonomi yang dapat menjadi alternatifnya. Dalam perspektif keprihatinan dan urgensi permasalahan seperti itulah sehingga DGD merumuskan tema Sidang Raya-nya di Porto Allegre itu: “Tuhan, dalam RahmatMu, Ubahlah Dunia”.67 Upaya untuk menghadirkan tatanan kehidupan sosial, ekonomi, politik masyarakat dunia yang lebih adil dan manusiawi, tidak cukup kalau hanya dilakukan dengan mempraktikkan “cara hidup alternatif”. Gereja-gereja dan masyarakat oikumenis dunia harus didorong untuk mengajukan “sistem ekonomi (mikro) alternatif”. Hal itu mendesak sebab sistem ekonomi kapitalisme neoliberal dipandang tidak mungkin dapat mengubah kesenjangan sosial ekonomi masyarakat dunia dewasa ini menjadi lebih adil dan manusiawi. Bagaimanapun juga, sistem kapitalisme neoliberal akan selalu membuat relasi manusia-manusia maupun relasi manusia-alam, kokoh dalam relasi penghisapan dan penaklukan tiada henti. Tidak hanya itu, “kompetisi” pun telah dipancang sebagai satu-satunya etos dominan untuk meraih martabat kemanusiaan (human dignity). Di situ manusia telah disituasikan menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Persoalannya kemudian menjadi semakin pelik sebab di sana uangjuga tampak telah kokoh sebagai struktur makna yang utama dalam relasi sosial, budaya, ekonomi dan politik di masyarakat. Pendek kata, uang adalah segalanya. Dengan watak dasar seperti itu, sistem ekonomi kapitalisme neoliberal akan selalu menghancurkan segala bentuk struktur kolektif yang ada di masyarakat, mulai dari unit yang terkecil (keluarga) sampai dengan unit yang terbesar yakni Negara. Haryatmoko, bahkan menggambarkan budaya masyarakat yang diciptakan oleh sistem ekonomi kapitalisme neoliberal itu sebagai berikut: 67 Tim Keadilan, Perdamaian Dan CIptaan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD),(2006) Op.cit, hlm, 2 53 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Neoliberal telah mengubah tatanan dunia menjadi hanya berpusat pada ekonomiuang. Masyarakat yang menekankan pada ekonomi merupakan masyarakat yang hanya mengenal satu pola hubungan yaitu bertarung dalam persaingan. Masyarakat seperti ini menjadi arena di mana kelompok-kelompok dan individuindividu bertarung tanpa ada yang menengahi. Hanya prestasi dan kompetensilah yang menentukan. Pragmatisme lalu menjadi ideologi pokok dari masyarakat seperti itu. Dalam sistem kapitalisme neoliberal, logika ekonomi dipisahkan dari logika sosial. Logika ekonomi didasarkan pada persaingan sebagai pendorong efektifitas. Logika ini dipisahkan dari logika sosial yang sangat menekankan aturan keadilan. Logika ekonomi tertutup terhadap wacana lain, padahal wacana lain sering memberi pemecahan atas suatu permasalahan ekonomi meskipun dalam skala yang kecil”.68 Perlu ditambahkan bahwa sistem ekonomi kapitalisme neoliberalisme itu pada dasarnya mau mengubah manusia menjadi komoditi dan mereduksi peran pemerintahpemerintah nasional dalam menjaga pembangunan sosial yang harmonis dan lestari. Neoliberalisme memberi perhatian maksimum pada modal swasta dan apa yang dinamakan dengan “pasar tak terkekang” (unfettered market) untuk mengalokasikan sumber daya untuk menaikkan pertumbuhan”.69 Neoliberalisme telah menjadi selubung ideologis bagi proyek globalisasi ekonomi yang memperluas kekuasaan dan dominasinya melalui jalinan jaringan institusi internasional, kebijakan nasional, praktik perusahaan dan investor serta perilaku individual. Akibatnya, neoliberalisme menghapuskan fungsi negara sebagai penyelenggara kesejahteraan sosial”,70 bagi warganya. Albert Nolan mendefenisikan sistem ekonomi neoliberal ini sebagai sebuah cara pandang yang sepenuhnya materialistik yang didasarkan pada prinsip kemenangan bagi mereka yang kuat, sebuah budaya yang menghancurkan kebudayaan lain, 68 Haryatmoko, “Peran Gereja di Indonesia Ketika Neo-liberalisme Semakin Mendikte” (dalam) Jeffrie A.A.Lempas, eds (2006),Format Rekonstruksi Kekristenan:“Menggagas TeologiMisiologi, dan Ekklesiologi Kontekstual di Indonesia”,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm, 112. 69 Tim Keadilan, Perdamaian Dan CIptaan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD),(2006) Op.cit, hlm, 3-4 70 Ibid, hlm, 4 54 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menghancurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan asli dan menjadikan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin”.71 Dalam keprihatinan seperti itulah, gereja diajak untuk memperjuangkan suatu tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat global, yang lebih adil dan manusiawi. Dalam perspektif gereja, perjuangan itu dapat dilakukan lewat diakonia gereja baik dalam skala lokal, nasional, regional maupun global. Dalam hal ini, gereja harus mengingat apa yang pernah dikemukakan Leonardus Samosir bahwa: Gereja tidak pernah lepas dari lingkungan di mana ia hidup. Gereja bukan sebuah instansi abstrak-universal yang tidak tersentuh oleh pertanyaan dan jawaban lokal.[...] Gereja dibentuk di dalam partikularitas dan kelokalan. Gereja adalah bagian dari masyarakat di mana Gereja berada. Karena itu, masyarakat adalah “milik” Gereja; sebaliknya Gereja adalah “milik” masyarakat. Segala keprihatinan masyarakat adalah keprihatinan Gereja. Oleh karena itu, mau tidak mau Gereja harus tampil dalam panggung masyarakat; masuk ke dalam wilayah publik”.72 Kalau memang demikian halnya, maka diakonia gereja tidak cukup dijalankan hanya secara karitatif saja. Gereja dipanggil untuk memulihkan kegiatan diakonia menjadi pelayanan konkret yang mencerminkan kesetiakawanan manusia”,73 sehingga mampu mentransformasi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan religiusitas warga gereja dan masyarakat menjadi lebih otentik. Diakonia gereja seharusnya dijalankan untuk mentransformasi tidak hanya dimensi kultural-personal tetapi juga harus menohok ke dimensi struktural (politik). Meskipun begitu, ikhtiar Gereja untuk melakukan perubahan atau mentransformasi kehidupan sosial ekonomi masyarakat sehingga menjadi lebih adil, tidak boleh membuat gereja larut kepada sistem yang justru hendak ditentangnya”.74 71 Albert Nolan (2009) Jesus Today : “Spiritualitas Kebebasan Radikal”, Yogyakarta, Kanisius, hlm, 60 Leonardus Samosir,(2010), Op.cit, hlm, 83 73 Ulrich Duchrow dan Franz J. Hinkelammert (2004) Op.cit, hlm, 8-9 74 Leonardus Samosir (2010), Op.cit, hlm, 83 72 55 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Apa yang dikemukakan Leonardus tersebut di atas, menjadi penting untuk dicatat sebab Gereja pernah terjerembab lantaran keliru dalam mengambil posisi (taking position) di tengah-tengah kondisi krisis sosial ekonomi dan politik yang dialami masyarakat di mana ia berada. Hal itu terlihat misalnya dari catatan kritis yang dibuat oleh Ulrich Duchrow yang mengkritik cara gereja (Barat) memosisikan (taking position) dirinya di tengah-tengah sistem kekuasaan yang bersifat totaliter di Eropa di masa lalu: Bercermin dari akibat nyata sejarah gereja Barat, kami juga bisa menyimpulkan bahwa tidaklah cukup hanya dengan upaya melemahkan sistem-sistem kekuasaan. Gereja-gereja dengan struktur kekuasaan politik dan ekonomi, yang mula-mula muncul sebagai gereja-gereja imperialis, kemudian sebagai gerejagereja nasional atau regional, dan juga keuskupan gereja besar, telah gagal dalam berbagai usaha untuk melemahkan struktur-struktur kekuasaan dan uang dengan mempertegas suara kenabian mereka. Sistem-sistem kekuasaan telah muncul penuh kemenangan dan celakanya, gereja telah menyesuaikan diri dengan kapitalis atau teologi negara, atau telah mengikuti “teologi gereja” sehingga gereja berada dalam situasi kekuasaan asimetris, mengkompromikan diri mereka dengan Injil agar tidak membahayakan lembaga mereka sendiri”.75 Salah satu contoh kekeliruan gereja-gereja di Indonesia dalam mengambil posisi di tengah-tengah konteks krisis sosial ekonomi dan politik yang terjadi pada tahun 1997/1998 adalah ketika sekelompok elite gereja yang memiliki kekuasaan ekonomis dan politis, bersama-sama dengan Ketua umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) masa bakti 1994-1999, pergi ke istana untuk mempersembahkan uang dan emas. Pada hal saat itu masyarakat luas, khususnya mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan gerakan-gerakan pro-demokrasi telah melakukan perlawanan dan menyatakan: tidak pada Suharto”.76 Tidak heran kalau Emanuel Gerrith Singgih (sebagaimana dikutip Martin Lukito Sinaga) kemudian mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ketidakmampuan gereja75 Ulrich Duchrow, (1999), Mengubah Kapitalisme Dunia “Tinjauan Sejarah-Alkitabiah bagi Aksi Politis”, Jakarta, BKP Gunung Mulia, hlm, 323 76 Saut Sirait, (2001), Politik Kristen di Indonesia “Suatu Tinjauan etis”, Jakarta, BPK- Gunung Mulia, hlm, 242 56 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI gereja di Indonesia melihat bahwa momen tahun 1998 itu sebagai kairos, yakni momen tindakan ilahi yang kreatif”.77 Dunia, adalah tempat dimana gereja dan masyarakat lainnya berada bersama sehingga semuanya merupakan satu keluarga di dalam “rumah tangga Allah”. Oleh karena itu, Gereja memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan menata “rumah tangga Allah” tersebut. Gereja ditantang untuk bergabung dalam perjuangan melawan ketidakadilan dan kekuatan yang merusak dengan berkarya untuk membangun suatu masyarakat AGAPE (Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth), lintas iman, budaya dan gerakan-gerakan sosial, apakah itu perjuangan lokal, regional, kontinental atau global”.78 Lalu, “sistem ekonomi alternatif” yang seperti apa yang dapat menjadi alternatifnya? Tentu jawababan yang dapat dipastikan adalah tidak ada satu alternatif yang tunggal. Sistem ekonomi alternatif itu dapat muncul sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dalam konteks partikularitas masing-masing. Penting untuk mengingat apa dikatakan Ulrich Duchrow bahwa sistem “ekonomi mikro alternatif” yang hendak diajukan semestinya adalah sistem ekonomi mikro yang berorientasi kepada: 1). Kehidupan semua orang zaman sekarang, yaitu harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, 2). Kehidupan semua makhluk dunia lainnya, 3). Kehidupan generasigenerasi yang akan datang. Duchrow juga menambahkan bahwa ciri dari “sistem ekonomi alternatif” itu adalah “ekonomi dari bawah” yang berlawanan dengan ekonomi penimbunan”.79 Duchrow menambahkan bahwa “ekonomi mikro alternatif” itu beranjak dari “komunitas ragi” di tingkat komunitas lokal dan daerah skala kecil”. 80 77 Martin Lukito Sinaga, “Kata Pengantar”, (dalam) Albert Nolan, (2011), Harapan di Tengah Kesesakan Masa Kini “Mewujudkan Injil Pembebasan”, terj, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, hlm, ix 78 Tim Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan DGD,(2006) Op.cit, hlm, 8-9 79 Ulrich Duchrow (1999) Op.cit, hlm, 280 80 Ibid, hlm, 287 57 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dalam perspektif Dewan Gereja Dunia (DGD), sistem “ekonomi alternatif” itu merupakan sebentuk “ekonomi kehidupan” atau “ekonomi Allah” (divine economy) yang rincian ciri-cirinya dirumuskan sebagai berikut: - Rahmat ekonomi Allah yang ramah (oikonomia tou theou) membawa dan melestarikan kelimpahan bagi semua - Ekonomi Allah yang ramah menuntut kita agar mengelola kelimpahan hidup dengan cara yang adil, partisipatif dan bersifat melestarikan; - Ekonomi Allah adalah suatu ekonomi kehidupan yang mengedepankan semangat saling berbagi, solidaritas yang mengglobal, martabat manusia, cinta kasih dan pemeliharaan keutuhan ciptaan; - Ekonomi Allah adalah suatu ekonomi untuk keseluruhan ekumenekeseluruhan komunitas bumi; - Keadilan Allah dan keberpihakan-Nya pada kaum miskin adalah tanda dari “ekonomi Allah”.81 Berdirinya Grameen Bank (GB) di Bangladesh, yang digagas oleh Muhammad Yunus (1976), merupakan salah satu contoh hadirnya gagasan atau sistem ekonomi alternatif lebih dari Sekadar logika ekonomi. Dalam mekanisme di Grameen Bank, kelompok miskin yang tidak mempunyai jaminan menjadi bisa memiliki akses ke modal berkat pemikiran yang memperhitungkan aspek budaya”.82 Selain itu, model Accion Intrnational di Amerika Latin dan Self-employed Women Association Bank (SEWA) di India83 atau Ecobank yang berkantor di Frankfurt dan Ecumenical Development Cooperative Society (EDCS) yang berkantor di Amersfoot yang memiliki kantor cabang di beberapa negara adalah contoh lain dari bagaimana menghadirkan sistem ekonomi 81 Tim Keadilan, Perdamaian Dan CIptaan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD),(2006) Op.cit, hlm, 5-6 Dalam mekanisme Grameen Bank, peminjam harus membentuk kelompok terdiri dari lima orang. Pada tahap pertama, hanya dua orang mendapat pinjaman. Bila dalam waktu lima minggu mereka mampu mengembalikan pijaman maka tiga orang lain akan diberi pinjaman. Selanjutnya lihat: Haryatmoko,”Peran Gereja di Indonesia ketika Neoliberalisme semakin mendikte”, (dalam) Jeffrie A.A.Lempas, dkk, eds (2006) Op.cit, hlm, 112. Penjelasan lebih lanjut tentang Grameen Bank, lihat juga, Ulrich Duchrow (1999), Op.cit, khususnya, hlm, 302 83 Bagus Aryo (2012) Tenggelam Dalam Neoliberalisme: Penetrasi Ideologi Pasar Dalam Penanganan Kemsiskinan, Depok-Jawa Barat, Kepik, hlm, 15 82 58 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI alternatif yang berbasis pada masyarakat setempat”.84 Dalam konteks Indonesia, sistem ekonomi alternatif yang berbasis pada masyarakat setempat itu telah dihadirkan oleh Bina Swadaya di Jawa dan Pancur Kasih di Kalimantan. 2.2.2. Sejarah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia: Pengertian, Perkembangan, Peta persoalannya dan Jenis-jenisnya 2.2.2.1. Pengertian LKM Untuk menghindari salah pengertian, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan institusi atau lembaga dalam konteks penelitian ini. Bagi banyak orang istilah lembaga atau institusi sering dipahami hanya dalam perspektif organisasi sehingga dalam penggunaannya seringkali terjadi kerancuan. Frank Knight, sebagaimana dikemukakan Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, mengkategorisasi institusi menjadi dua bagian: Pertama, institusi yang dibentuk oleh “tangan yang tak terlihat”. Institusi dalam kategori ini bukan organisasi atau lembaga. Kedua, institusi yang sengaja dibuat. Kategori ini mengacu pada pengertian institusi sebagai sebuah organisasi atau lembaga. Institusi pada dasarnya memiliki nilai-nilai untuk masyarakat umum lebih dari orang-orang yang memegang peranan (stakeholder) tertentu dari institusi itu sendiri. Institusi memiliki kumpulan stakeholder yang tersebar, sementara stakeholder dari suatu organisasi lebih sempit dan spesifik. Institusi merupakan kumpulan norma dan tingkah laku yang tahan lama dan mempunyai sejumlah tujuan yang dinilai secara kolektif, sedangkan organisasi atau lembaga merupakan struktur dari peranan-peranan yang dikenal dan diterima baik secara formal maupun informal”.85 Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pengertian lembaga atau institusi keuangan mikro yang hendak diperbincangkan tidak hanya dalam pengertiannya sebagai organisasi atau badan tetapi juga terkait dengan pengertiannya sebagai perilaku yang 84 Ulrich Duchrow (1999) Op.cit, hlm, 305-306 Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, “LKM: Beberapa Catatan Sejarah”. (dalam) Jurnal Analisis Sosial, Volume 6, No.3 Desember 2001, Akatiga-Bandung, 85 59 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI terorganisir, dalam hal ini terkait dengan kepentingan masyarakat maupun negara untuk mengatasi kesulitan keuangan (finansial). Dengan kata lain, LKM yang hendak dbicarakan dalam penelitian ini terkait juga dengan LKM dalam perspektif norma ataupun sistem yang menghasilkan dan membentuk perilaku seseorang maupun organisasi. A. Budisusila mengatakan bahwa sistem ekonomi adalah keseluruhan lembaga (formal maupun informal) yang hidup di tengah masyarakat yang dijadikan tuntutan masyarakat untuk berpikir, berasa dan bertindak untuk mencapai tujuan memenuhi kebeutuhan dan tujuan hidup mendasar lainya. Dalam konteks Indonesia, dinamailah sebagai sistem ekonomi kerakyatan yang tercermin dalam UUD 1945 pasal 33 dan pasal 27”.86 Munculnya, sistem ekonomi kerakyatan sebagaimana yang digariskan dalam konstitusi Indonesia tersebut dimaksudkan bukan hanya untuk mengoreksi sistem dan struktur ekonomi yang bercorak kolonial tetapi merupakan jalan baru penyelenggaraan perekonomian Indonesia”.87 2.2.2.2. Perkembangan dan Peta Persoalannya Sejarah kehadiran lembaga keuangan mikro (LKM) di Indonesia, bagaimanapun juga memiliki akar historis yang cukup panjang di masa lalu yakni pada praktik sosial ekonomi yang dilakukan berbagai suku-bangsa yang ada di nusantara jauh sebelum Indonesia lahir sebagai sebuah Negara bangsa (nation-state). Sebutlah misalnya, praktik lumbung beras desa, arisan, jimpitan (pengumpulan beras secara sukarela untuk kegiatan sosial) yang dilakukan berdasarkan tradisi yang sudah ada secara turun 86 Antonius Budisusila, “Ekonomi, Garis Massa, dan Pendidikan: Perspektif Ekonomi Institusional” (dalam), Antonius Budisusila, ed (2009), Rakyat, Pendidikan dan Ekonomi:Menuju Pendidikan Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hlm, 49 87 Revrisond Baswir (2010) Manifesto Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm, 22, 44 60 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI temurun. Praktik-praktik sosial ekonomi seperti ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kohesi sosial sehingga motifnya tidak didasarkan semata-mata pada pengembangan ekonomi (uang) tetapi justru pada ekonomi sosial”.88 Jadi, pada mulanya atau secara tradisional praktik keuangan mikro itu dikelola pada basis keluarga dan komunitas sehingga cirinya bersifat informal di mana kesepakatan bersama merupakan norma tertinggi yang mengatur dan mengikat keseluruhan praktik-praktik sosial ekonomi yang dilakukan. Secara formal, kehadiran lembaga keuangan mikro di Indonesia diawali dengan berdirinya Hulp en Spaar Bank Der Inlandesch Bestuurs Ambtenaren pada awal abad ke-19 (1895) yang sering juga disebut sebagai Bank Bantuan dan Tabungan Pegawai”. 89 Bank Ambtenaren ini didirikan oleh seorang patih di Purwokerto Jawa Tengah bernama Raden Wiriaatmadja (Desember 1895)”.90 Menurut Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani tujuan utama pendirian lembaga kredit formal ini adalah untuk membebaskan para pegawai pemerintahan dari rentenir dan pengijon. Bank Purwokerto inilah yang dianggap sebagai cikal bakal perkembangan bank di Indonesia. Bank ini memberikan pelayanan kredit bagi pegawai negeri pribumi, tukang, dan petani. Catatan yang menarik pada fase ini adalah bank menetapkan persyaratan penggunaan uang kepada para nasabahnya. Syaratnya, kredit tidak boleh dipinjamkan lagi kepada orang lain untuk mencaribunga yang lebih tinggi, tidak boleh digunakan untuk membiayai pesta yang tidak perlu, dan tidak boleh digunakan untuk membeli perhiasan. Kredit harus digunakan untuk kegiatan produktif. Dengan kata lain, pada tahapan ini lembaga keuangan sudah mulai “memisahkan” kredit untuk kebutuhan produktif dan kebutuhan 88 Bagus Aryo (2012) Op.cit, hlm, 19-20 I Gde Kajeng Baskara, “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia” (dalam) Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Vol. 18, No. 2, Agustus 2013, hlm, 116 90 Bagus Aryo (2012) Op.cit, hlm, 47 89 61 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI konsumtif. Sayangnya tidak ada informasi yang menjelaskan bagaimana membangun mekanisme untuk memastikan pengguna kredit menggunakan kreditnya sesuai ketentuan bank dan respons-respons apa yang muncul dari pengguna akibat pemisahan kebutuhan tersebut”.91 Lalu, pada tahun 1896, gagasan atau ide Raden Wiriaatmadja ini dikembangkan oleh seorang administrator kolonial Belanda bernama Sieburgh yang kemudian mengembangkannya menjadi sebentuk koperasi kredit desa. Selanjutnya, seorang administrator kolonial lainnya yakni Wolf van Westerrode, kemudian mengembangkan koperasi kredit desa ini menjadi Bank Perkreditan Umum”.92 Pada periode sekitar tahun 1898, desa-desa di pulau Jawa terutama desa-desa yang menjadi sentra penghasil beras mulai mendirikan Lumbung Desa. Lumbung Desa merupakan lembaga simpan pinjam yang menggunakan komoditas padi sebagai instrumen simpan-pinjam-nya. Lalu, seiring dengan berkembangnya wilayah pedesaan serta peredaran uang yang semakin meluas dan semakin dikenal masyarakat desa, pada tahun 1904 didirikanlah Bank Desa, yang kemudian dikenal sebagai BadanKredit Desa (BKD)”.93 Sejak saat itu, di berbagai daerah mulai bermunculanberbagai bentuk bank perkreditan rakyat. Implikasinya, subsidi pemerintah terhadap perbankan menjadi meningkat. Keadaan ini, membuat pemerintah harus mengontrol bank-bank tersebut. Upaya pemerintah kolonial untuk mengendalikan bank-bank tersebut dilakukan dengan cara mendirikan Central Kas pada tahun 1934 di mana semua bank-bank perkreditan rakyat umum itu kemudian disatukan ke dalam Algemene Volkscredietbank (AVB) atau 91 Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, “LKM: Beberapa Catatan Sejarah”. (dalam) Jurnal Analisis Sosial, Volume 6, No.3 Desember 2001, Akatiga-Bandung, 92 Bagus Aryo (2012) Op.cit, hlm, 48 93 I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm, 116 62 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Bank Rakyat Umum. Algemene Volkscredietbank (AVB) inilah yang menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang dikenal saat ini”. 94 Meskipun bank-bank perkreditan umum yang bermunculan itu sudah disatukan ke dalam AVB atau Bank Rakyat Umum, namun penggabungan itu tidak lantas membuat Badan Kredit Desa menghentikanusahanya. Badan Kredit Desa tetap berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Dalam perkembangan selanjutnya, Badan Kredit Desa yang terdiri dari Bank Desa dan Lumbung Desa bertransformasi menjadi lembaga-lembaga perkreditan rakyat sepertiLembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) dan Bank KaryaProduksi Desa (LKPD) di Jawa Barat, Badan KreditKecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kredit Usaha RakyatKecil (KURK) di Jawa Timur. Lalu, beberapa lembaga kemudian bertransformasimenjadi lembaga keuangan yang berdasarkan ikatanadat seperti Lembaga Perkreditan Desa di Bali danLumbung Pitih Nagari di Sumatera Barat”.95 Di era kemerdekaan (1945-1966), dapat dikatakan merupakan era kemunduran Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. I Gde Kajeng Baskara mencatat, pada kurun periode 1957 sampai 1965, sistem keuangan formal sangat dikekang. Hal ini terutama dipengaruhi oleh adanya kebijakan untuk menghapus segala kepemilikan atau keterlibatan orang asing dalam sistem perbankan dan nasonalisasi bank-bank yang dulu menjadi milik Belanda”.96 Selain karena alasan itu, kemunduran lembaga keuangan mikro juga dipengaruhi oleh situasi sosial, politik-ekonomi nasional yang mulai dikaitkan dengan beberapa persoalan seperti munculnya desakan untuk membuat kebijakan afirmatif bagi pemberdayaan pengusaha pribumi. Keadaan ini telah membuat 94 Bagus Aryo (2012) Op.cit, hlm, 48 I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm 116 96 Ibid 95 63 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sistem keuangan nasional menjadi tertekan (depresi) sebab untuk menopang kebijakan afirmasi tersebut Pemerintah lantas menjadi sangat tergantung kepada Bank Central. Akibatnya, terjadi hiperinflasi yang cukup tinggi sehingga merusak kepercayaan masyarakat terhadap mata uang yang sekaligus juga menurunkan nilai mata uang yang sedang beredar. Pada tahun 1966 sistem keuangan Indonesia secara finansial runtuh bahkan tidak ada karena krisis ekonomi dan politik yang parah selama periode tersebut”.97 Masa Orde Baru, dapat dikatakan merupakan masa keemasan sistem keuangan mikro di Indonesia. Di era Orde Baru, lembaga keuangan mikro mampu menyediakan layanan tabungan dan kredit dengan prinsip berkelanjutan dan dapat diakses oleh sebagian besar penduduk Indonesia di pedesaan. Upaya pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Suharto untuk memulihkan krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang terjadi pada tahun 1967, dilakukan dengan cara mendirikan Bank Pembangunan Daerah (BPD) di setiap provinsi sehingga dapat mendorong pertumbuhan jasa keuangan, terutama di sektor perbankan”.98 Pada tahun 1970, pemerintahan Orde Baru menciptakan program kredit “Binmas dan Inmas”,99 melalui BRI cabang pedesaan untuk meningkatkan pembangunan pertanian dengan tujuan mewujudkan swasembada beras. Menurut Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, program inilah yang menjadi cikal bakal BRI-Unit Desa yang kemudian menjadi lembaga keuangan yang cukup dominan di pedesaan di Indonesia. Dalam hal ini, unit desa dimaknai sebagai keadaan agro ekonomi 97 Bagus Aryo (2012), Op.cit, hlm, 48 Ibid, hlm, 49 99 Binmas (Bimbingan massa) merupakan rencana penyetujuan paket kredit, di mana Inmas (intensifikasi pertanian) merupakan program intensifikasi pertanian. Selanjutnya lihat: ibid 98 64 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI masyarakat desa yang memiliki fungsi penyuluhan, perkreditan, penyaluran sarana produksi, pengelolaan, dan pemasaran hasil pertanian.Pada awalnya, BRI-UD ini hanya menjadi penyalur kredit Bimas. Seluruh dana BRI-UD berasal dari pemerintah. Namun pada tahun 1974, BRI-UD diberi tugas tambahan unutk menyalurkan paket kredit mini dan paket kredit midi. Penambahan tugas ini secara perlahan kemudian menggiring BRI-UD menjadi lebih mirip BPR.Kemiripan ini setidaknya terlihat dari dua sisi. Pertama, paket kredit mini dan midi yang diberikan BRI jelas menyasar kelompok-kelompok kredit yang diberikan dalam masyarakat kedua paket berpenghasilan tersebut rendah. Plafon antara Rp.200.000 s/d. Rp.500.000 dengan tingkat suku bunga rata-rata 12% per tahun. Kedua, BRI menyederhanakan prosedur pelayanannya menjadi lebih fleksibel sehingga menjadi lebih mudah untuk diakses nasabahnya”.100 Hasilnya, hingga tahun 1984, BRI telah berhasil mendirikan lebih dari 3600 BRI-Unit Desa di tingkat kecamatan di seluruh penjuru negeri yang dirancang untuk menyalurkan pinjaman secara langsung kepada para petani yang berpartisipasi dengan program kredit yang terkait. Tetapi malangnya, pada tahun itu juga program kredit Binmas dan Inmas itu terpaksa harus dihentikan sebab sejumlah kredit Binmas mengalami kegagalan. Setelah meninjau ulang kinerja BRI dan pelaksanaan program kredit Binmas dan Inmas tersebut, Pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem BRI Unit Desa menjadi sistem perbankan komersial berkelanjutan di tingkat lokal. Implikasinya, BRI dimungkinkan menerapkan bunga deposito dengan tingkat bunga yang cukup tinggi supaya orang-orang tertarik untuk menabung dan membebankan suku bunga pinjaman yang cukup tinggi untuk menutupi biaya pendanaan dan operasional. 100 Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani,”LKM: Beberapa Catatan Sejarah” (dalam), Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6, No.3, Desember 2001, AkatigaBandung, 65 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dalam perspektif seperti itu, BRI kemudian menawarkan program baru ke seluruh unit jaringannya yaitu kredit untuk berbagai tujuan, KUPEDES (Kredit Umum Pedesaan), tabungan pedesaan, SIMPEDES (Simpanan Pedesaan), tabungan perkotaan, SIMASKOT (Simpanan Masyarakat Kota)”.101 Lalu, pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan reformasi sektor perbankan dan keuangan yang dikenal dengan sebutan Pakto 88 (paket oktober 1988). Pakto 88 ini, menandai lahirnya satu jenis lembaga keuangan mikro yang baru yakni Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Melalui kebijakan Pakto 88 ini, Pemerintah memberi kesempatan selama dua tahun kepada lembaga keuangan non bank yang tumbuh subur di banyak daerah (seperti Bank Kredit Desa (BKD), Bank Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali) untuk bertransformasi menjadi BPR. Tetapi, peraturan ini dianggap cukup menyulitkan lembaga kredit di pedesaan. Merespon, kesulitan yang dialami lembaga kredit pedesaan tersebut, Pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan Maret 1989 atau yang dikenal dengan sebutan “pakmar 89”, yang menghapus aturan tersebut untuk mengurangi kesulitan yang dihadapi lembaga kredit pedesaan dan BPR yang berasal dari transformasi lembaga tersebut”.102 Salah satu Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) yang bersedia bertransformasi menjadi BPR adalah Lembaga Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat. Tetapi, tidak semua LKM yang dikategorikan sebagai LDKP bersedia bertransformasi 101 Bagus Aryo (2012) Op.cit, hlm, 49 I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm, 117 102 66 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menjadi BPR. LPD di Bali misalnya, mereka menyatakan keberatannya atas kebijakan tersebut. Alasan penolakannya sebab perubahan itu juga akan mengakibatkan terjadinya perubahan prosedur dan mekanisme yang khas wilayah ke prosedur dan mekanisme yang sesuai dengan ketentuan Pemerintah. Dari sisi pemerintah, perubahan tersebut tentu akan memudahkan pengawasan. Namun, dari sisi masyarakat perubahan ini menyebabkan mereka harus berhadapan dengan prosedur perbankan yang kerap menjauhkan mereka dari sumber kredit yang dibutuhkan”.103 Merespon keberatan masyarakat Bali tersebut, Bank Indonesi (BI) akhirnya, memberikan persetujuan dengan membuat keputusan bahwa LPD merupakan lembaga keuangan non bank yang khusus beroperasi di wilayah Bali. Dalam Undang-undang No.1 tahun 2013 tentang LKM, keberadaan LPD kemudian diakui sebagai sebuah lembaga keuangan berbasis adat, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai LKM yang paling sukses di Indonesia. Regulasi yang mengatur keberadaan LPD di Bali kemudian diatur secara tersendiri oleh Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Bali No.8 tahun 2002, yang kemudian mengalami perubahan melalui Perda Nomor 3 tahun 2007”.104 Alasan penolakan Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) untuk bertransformasi menjadi BPR pada umumnya adalah karena perubahan itu akan berdampak pada perubahan prosedur dan mekanisme pencairan kredit yang sebelumnya didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal atau adat istiadat masyarakat di suatu daerah menjadi berubah ke prosedur dan mekanisme sesuai dengan ketentuan pemerintah (perbankan) yang justru mendasarkan pengelolaan dan pengembangannya pada prinsip manajemen kehati-hatian. Dalam hal ini, memang ada perbedaan kepentingan antara 103 Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani,”LKM: Beberapa Catatan Sejarah” (dalam), Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6, No.3, Desember 2001, AkatigaBandung, 104 I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm, 121 67 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pemerintah dan Masyarakat dalam memahami keberadaan LKM di Indonesia. Bagi masyarakat (adat), perubahan itu akan membuat mereka harus berhadapan dengan prosedur (birokrasi) perbankan yang justru kerap menjauhkan mereka dari sumber kredit yang dibutuhkan. Sementara itu, bagi Pemerintah perubahan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan mereka untuk melakukan pengawasan”.105 Menurut I Gde Kajeng Baskara, institusi yang terlibat dalamkeuangan mikro di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yakni: institusi Bank, Koperasi, serta Non Bank/Non Koperasi. Institusi bank termasuk di dalamnya bank umum, yang menyalurkan kredit mikro atau mempunyai unit mikro serta bank syariah dan unit syariah”.106 Sementara itu, kalau mengacu pada undang-undang No. 7 tahun 1992 atau undang-undang hasil amandemen No.10 tahun 1998 maka ada dua kategori bank yang ada di Indonesia yakni: bank komersial (bank umum) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang sering juga disebut sebagai bank pedesaan”. 107 Perlu juga ditambahkan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, lembaga keuangan mikro di Indonesia juga ikut diramaikan dengan hadirnya Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Secara etimologis, Baitul Maal yang berarti “rumah uang” dan Baitul Tamwil dengan pengertian “rumah pembiayaan”. Rumah uang dalam artian ini adalah pengumpulan dana yang berasal dari infaq, zakat,ataupun shodaqah, dan pembiayaan yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip bagi hasil, yang berbeda dengan sistem perbankan konvensional yang mendasarkan pada sistem bunga”. 108 Sejarah keberadaan BMT di Indonesia diinisiasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Bank Muamalat 105 Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, “LKM: Beberapa Catatan Sejarah”. (dalam) Jurnal Analisis Sosial, Volume 6, No.3 Desember 2001, Akatiga-Bandung, 106 I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm, 115 107 Bagus Aryo (2012) Op.cit, hlm, 50 108 I Gde Kanjeng Baskara, Op.cit, hlm, 122 68 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Indonesia yang mendirikan Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK) yang kemudian membentuk juga Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). Pada bulan Desember tahun 1995, secara legal formal Presiden Suharto mendeklarasikan BMT sebagai sebuah gerakan nasional untuk pemberdayaan usaha kecil, dan pada tahun yang sama BI memberi ijin atau mengakui BMT sebagai lembaga keuangan yang dapat diberikan bantuan pendanaan dan masuk dalam program linkage dengan bank umum. Sejak disahkannya UU No. 1 tahun 2013, BMT kemudian diklasifikasi sebagai sebuah LKM yang memang sudah lama dinantikannya”.109 Berdasarkan data Bank Indonesia tahun 2000, setidaknya terdapat 53.644 LKM di Indonesia mulai dari varian bank, koperasi, lembaga kredit, BMT, dan pegadaian sedangkan LKM non bank berjumlah 42.186 unit. LKM tersebut mampu memberikan pelayanan kredit terhadap lebih kurang 27.000.000 nasabah dengan total jumlah pinjaman Rp. 24.443.594.000. Namun demikian, masih banyak kelompok usaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang belum terlayani. Kenyataan ini pada satu sisi memperlihatkan betapa sangat kecilnya akses dan pelayanan bagi usaha kecil tetapi di sisi lain kondisi ini juga menjadi peluang bagi LKM untuk berkembang apalagi keberadaannya sangat dekat dengan masyarakat sehingga bisa dengan mudah direplikasi apalagi cenderung juga mendapat dukungan dari berbagai lembaga keuangan baik di dalam maupun di luar negeri. Seharusnya dengan jumlah sebesar itu permasalahan yang dihadapi pelaku ekonomi kecil dan mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah bisa memenuhi kebutuhannya dan 109 Ibid 69 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memiliki akses terhadap sumber-sumber kredit bagi kelangsungan hidup maupun usahanya”.110 2.2.2.3. Jenis-jenisnya Bertolak dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan LKM sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari strategi pembangunan untuk mengatasi kemiskinan khususnya dalam rangka mengatasi kesulitan finansial atau permodalan yang dialami oleh warga negara Indonesia. Memang ada berbagai macam bentuk lembaga keuangan mikro (LKM) yang beroperasi di Indonesia. Kalau dilihat dari segi fungsinya maka LKM di Indonesia pada umumnya berfungsi memberi layanan intermediasi keuangan (finansial) dan intermediasi sosial, berupa pendidikan dan pelatihan-pelatihan keterampilan. Menurut Bagus Aryo, kalau dilihat dari segi jenisnya maka LKM di Indonesia dapat diklasifikasi menjadi tiga bagian yakni lembaga keuangan mikro formal (formal microfinance), lembaga keuangan mikro semiformal (semiformal microfinance) dan lembaga keuangan mikro informal (informal microfinance). Bagus Aryo juga telah mengidentifikasi bentuk-bentuk LKM yang termasuk dalam ketiga jenis LKM lembaga keuangan mikro tersebut seperti tampak dalam tabel berikut ini”,111: 110 Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani,”LKM: Beberapa Catatan Sejarah” (dalam), Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6, No.3, Desember 2001, Akatiga Bandung, 111 Bagus Aryo, (2012) Op.cit, hlm, 51 70 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tabel 1: Tiga jenis Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Lembaga keuangan mikro formal - Bank Komersial: Bank Rakyat Unit Desa dan Bank Dagang Bali - Bank Desa: Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Lembaga keuangan mikro semi formal - Proyek Pemerintahan: Proyek keuangan mikro lembaga kementerian dan pemerintahan - Koperasi: koperasi, koperasi simpan pinjam, dan koperasi unit desa - Proyek LSM: Pola Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat Lembaga keuangan mikro informal - Arisan - Pinjaman pribadi tanpa jaminan - Hutang warung - Gadai - Pemberi pinjaman informal (rentenir/ lintah darat) Ketiga jenis lembaga keuangan mikro (LKM) yang beroperasi di Indonesia itu menurut Bagus Aryo memiliki sejumlah perbedaan dan persamaan seperti yang dapat dilihat dalam tabel berikut ini:112 Tabel 2: Tiga Jenis Lembaga Keuangan Mikro: Persamaan dan Perbedaannya Lembaga keuangan mikro formal - Lembaga keuangan mikro Lembaga keuangan mikro informal semiformal Persamaan - Dipandang sebagai lembaga keuangan Memberikan layanan intermediasi keuangan ke keluarga berpenghasilan menengah dan rendah Perbedaan - Menggunakan pendekatan keberlanjutan institusional - Memenuhi kategori yang tercantum dalam undangundang Perbankan 1992 112 - Rata-rata menggunakan pendekatan kesejahteraan - Lembaga-lembaga didaftarkan atau sah dibawah otoritas negara/ kementerian - Bagian dari strategi pembangunan untuk mengikis kemiskinan Ibid, hlm, 52 71 - - Rata-rata menggunakan pendekatan kesejahteraan Lembaga keuangan mikro informal beroperasi di luar struktur regulasi dan pengawasan pemerintah Ikatan sosial atau tradisional memperkokoh lembaga terkait Bunganya merentang dari tidak berbunga hingga berbunga 100 persen (pemberi pinjaman atau lebih) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Berdasarkan kedua tabel tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa BRI-Unit Desa dan BPR digolongkan sebagai LKM formal. Bagus Aryo menambahkan bahwa BRI-UD dan BPR adalah LKM yang bersandar pada UU Perbankan tahun 1992 yang memusatkan perhatiannya pada keberlanjutan (pendekatan) institusional atau dalam literatur keuangan mikro disebut LKM yang bersandar pada Mazhab Ohio. LKM yang berpijak pada pendekatan institusional atau Mazhab Ohio ini adalah LKM yang memberi penekanan pada keberlanjutan finansial di mana keluasan jangkauan (yang berarti jumlah nasabah) lebih diutamakan daripada kedalaman jangkauan (yang berarti tingkat kemiskinan yang dijangkau), dan dampak positif bagi nasabah diasumsikan ada. Singkat kata, kesuksesannya diukur dari kemajuan lembaga dalam mencapai swasembada finansial sehingga pendekatan ini selalu berupaya menyingkirkan subsidi dalam bentuk apapun”.113 Sementara itu, semua proyek-proyek pemerintah-kementerian, koperasi baik koperasi “simpan-pinjam”, koperasi unit desa maupun proyek-proyek lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta Pola Hubungan Bank (PHBK) dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) digolongkan sebagai LKM semi formal. Pendekatan LKM semiformal memberi titik tekan pada pendekatan kesejahteraan (welfarist) yakni penanganan kemiskinan melalui kredit yang acapkali diberikan bersamaan dengan layanan sosial seperti pelatihan keterampilan, pelatihan melek keuangan, kegiatan membangun kesadaran, pelayanan kesehatan dan gizi dan lain-lain. Berbeda dengan LKM formal, LKM semi formal memberikan kredit bersubsidi sehingga bunganya berada dibawah tingkat suku bunga pasar”.114 Cukup jelas terlihat adanya perbedaan yang cukup mencolok antara LKM formal dengan LKM informal. Kalau LKM formal 113 Ibid, hlm, 23 Ibid 114 72 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI beroperasi di dalam struktur regulasi dan pengawasan pemerintah maka LKM informal justru sebaliknya ia beroperasi di luar struktur regulasi dan pengawasan pemerintah. Pendekatannya juga berbeda secara diametral. LKM informal menekankan pendekatan kesejahteraan (welfarist) sedangkan LKM formal menekankan pendekatan institusional atau keberlanjutan finansial. LKM yang termasuk dalam kategori LKM informal, menurut Bagus Aryo antara lain: arisan, pinjaman pribadi tanpa jaminan, hutang warung, gadai dan pemberi pinjaman informal (rentenir). 2.2.3. Perdebatan Seputar Credit Union (CU): Antara Gerakan ekonomi atau Gerakan Sosial Salah satu lembaga keuangan mikro non bank atau non koperasi yang cukup berkembang di Indonesia adalah Credit Union (CU). Tetapi, diantara para pegiat CU itu sendiri tampaknya terdapat pandangan yang berbeda dalam memahami keberadaan CU. Pada satu pihak ada yang memahami bahwa CU merupakan sebentuk lembaga keuangan mikro pada pihak yang lain ada yang memahami bahwa CU tidak tepat disebut sebagai lembaga keuangan mikro sebab di dalam CU, aktivitas simpan-pinjam hanya merupakan salah satu dari beragam aktivitas CU. Mereka yang tidak setuju mengasosiasikan CU sebagai suatu LKM, lebih memahami CU sebagai bagian dari gerakan sosial. Istilah credit union berasal dari bahasa Latin, credere, atau credo yang artinya percaya dan unus berarti kumpulan atau persatuan(union). Jadi, “credit union” dapat diartikan sebagai kumpulan orang yang saling percaya dalam suatu ikatan pemersatu dan sepakat menabungkan uang mereka sehingga menciptakan modal bersama untuk 73 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dipinjamkan kepada anggota dengan tujuan produktif dan kesejahteraan”.115 Dalam kenyataan aktualnya di Indonesia, CU dianggap merupakan bagian dari koperasi apalagi asosiasinya disebut sebagai Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit). Meskipun begitu, harus dicatat bahwa ada perbedaan yang sangat fundamental antara CU dan Koperasi pada umumnya bahkan dengan lembaga keuangan mikro yang lain seperti bank. Manfaat CU bagi anggota adalah mengubah pola pikir dari yang terbiasa instan - langsung memanfaatkan uang saat mendapat pinjaman - menjadi menciptakan modal dahulu dengan menabung secara rutin – baru kemudian meminjam. Di dalam CU, modal atau tabungan diciptakan terlebih dahulu baru kemudian anggota dapat memanfaatkannya atau meminjam. Hal seperti inilah yang tidak ditemukan dalam praktik perkoperasian pada umumnya. CU dapat mengubah kebiasaan seseorang dari tidak biasa menabung menjadi biasa menabung. Di dalam CU, setiap anggota selalu mempunyai uang dalam bentuk tabungan yang terus meningkat, dan selalu bisa memanfaatkan tabungan untuk meningkatkan jumlah aset. Di dalam CU, seorang anggota mesti menabung untuk meningkatkan modal. Menabung dalam sistem CU berbeda dengan menabung secara ‘tradisional’ di lembaga lain, misalnya bank, di mana setelah menabung, uang kemudian ditarik untuk dipergunakan. Tetapi di dalam CU ada yang khas, karena anggota yang meminjam tetap memiliki dana yang tersimpan”.116 Artinya, kalaupun seorang anggota meminjam dari CU dan ia memiliki kewajiban membayar jasa (bunga) pinjamannya, namun ia sendiri juga mendapatkan hasil dari jasa (bunga) pinjaman ia berikan lewat pembagian deviden atau keuntungan. Besarnya jumlah deviden yang akan diterima 115 T.Handono Eko Prabowo (2010) Pengembangan Kekuatan-Kekuatan Tranformasi Untuk Kedaulatan Sosial Ekonomi “Sebuah Refleksi Sosial Ekonomi”, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, hlm, 55 116 http://widodo07.blogspot.com/2012/11/apa-perbedaan-dan-persamaan-koperasi.html, (diakses tgl, 31 Juli 2014) 74 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI masing-masing anggota disesuaikan dengan besarnya jumlah dana (saham) yang dimiliki (dana yang tersimpan) di CU tersebut. Kini wacana Credit Union (CU) tidak dipahami hanya sebagai lembaga keuangan mikro tetapi gerakan CU telah menjelma menjadi sebentuk model gerakan sosial ekonomi yang berdampak besar dan luas. Berdasarkan data dari Induk Koperasi Kredit jumlah anggota secara keseluruhan dari tahun 1970 sampai 2011 mengalami peningkatan yaitu tahun 1970 sebanyak 733 anggota dan pada tahun 2011 sebanyak 1.808.329 anggota dengan total jumlah kekayaan sebesar Rp12,823 triliun. Saat ini Induk Koperasi Kredit (Inkopdit memiliki jaringan 30 Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit)/ Pra Puskopdit/ BK3D yang tersebar di beberapa Propinsi di seluruh Indonesia (Inkopdit, 2012)”.117 Sejarah kemunculan gagasan tentang CU bermula pada tahun 1848 di Jerman”, 118 yang mana Jerman ketika itu sedang mengalami krisis sosial ekonomi yang hebat. Turunnya badai salju yang melanda seluruh negeri telah mengakibatkan para petani menjadi gagal panen. Akibatnya, kelaparan terjadi di mana-mana. Dalam keadaan seperti itu, para rentenir justru memanfaatkan keadaan dengan semakin merajalela meminjamkan uangnya kepada kaum miskin dan mematok bunga yang sangat tinggi. Akibatnya, masyarakat miskin terpaksa menjual harta bendanya. Urbanisasi besarbesaran menjadi tak terhindarkan. Persoalan ini kemudian diperumit lagi oleh kenyataan di mana tenaga manusia mulai digantikan oleh tenaga teknologi (mesin) sebab tidak lama berselang terjadi revolusi industri. Perubahan tersebut telah memantik perubahan manajemen pabrik dengan mengadopsi manajemen efisiensi. Akibatnya, pemutusan 117 Monica Carollina, Ag. Edi Sutarta, “Peranan Credit Union Sebagai lembaga pembiayaan Mikro” : “Studi Kasus: Pada Usaha UMKM Di Desa Tumbang Manggo Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2013” (dalam) Jurnal CU, 2013 118 http://www.cu-cintamulia.or.id/?aapro=sejarah.html, (diakses tgl, 24 Mei 2011) 75 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana yang kemudian membuat terjadi pengangguran besar-besaran. Dalam kondisi krisis seperti itu, Walikota Flammersfield, Frederich Wilhelm Raiffeisen, mencoba mengatasinya dengan cara menghimpun dana dari dermawan dan membagikannya kepada kaum miskin sebagai modal usaha(mirip dengan program Bantuan Langsung Tunai – BLT-nya Indonesia). Cara seperti itu ternyata tidak berhasil untuk mengatasi kondisi krisis yang sedang terjadi sebab orang-orang miskin merasa apa yang diberikan Pemerintah tersebut selalu kurang atau tidak cukup. Belajar dari kenyataan tersebut Wilhelm Raiffeisen kemudian mengubah pendekatannya. Kali ini Raiffeissen tidak lagi memberikan uang tetapi membeli roti dari pabrik-pabrik, lalu membagikannya kepada kaum miskin.Malangnya, upaya tersebut juga tidak dapat mengatasi kondisi krisis yang sedang terjadi. Dari pengalaman itu, Wilhelm Raiffeisen akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kesulitan kaum miskin hanya dapat diatasi oleh kaum miskin itu sendiri. Ia kemudian mencoba mengorganisasi masyarakat dan mengumpulkan modal (uang) yang ada pada mereka untuk dijadikan sebagai modal bersama. Uang yang terkumpul tersebut, kemudian dipinjamkan kepada orang-orang miskin dengan jumlah tertentu untuk dapat digunakan sebagai modal usaha untuk mengatasi kondisi krisis yang sedang terjadi. Pendekatan ini ternyata cukup berhasil mengatasi kondisi krisis sosial ekonomi yang sedang terjadi. Dari keberhasilan itulah, filosofi CU dikenal dengan “People helping, people help themselves”.119 119 http://www.cu-cintamulia.or.id/?aapro=sejarah.html, (diakses tgl, 24 Mei 2011) 76 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sejak saat itulah, konsep CU dikenal sebagai sebuah sistem ekonomi informal yang kemudian menyebar dan berkembang ke seantero dunia”. 120 Gerakan CU mulamula menyebar ke Kanada dan Amerika Serikat. Lalu, pada tahun 1934, ketika Amerika Serikat dipimpin oleh Rossevelt, dibentuklah Biro pengembangan Credit Union se dunia dengan nama World Council of Credit Union (WOCCU) dan di Asia dibentuk “The Asia Confederation of Credit Union” (ACCU). Pada tahun 1963, sebuah seminar mengenai “Social Economic Life in Asia” dan “Social Action Leadership Course” diselenggarakan di Bangkok yang juga diikuti oleh delegasi dari Indonesia. Di situ, gagasan mengenai CU juga mulai diperkenalkan kepada peserta seminar. Di Indonesia, wacana CU sebagai sebuah sistem ekonomi mikro mulai diperkenalkan secara formal ketika perwakilan dari WOCCI diundang secara resmi ke Indonesia untuk memperkenalkan detail konsep CU tersebut: Pada tahun 1967, Mr.A.A.Baily, perwakilan WOCCU diundang ke Indonesia untuk memperkenalkan CU. Sejak saat itulah beberapa tokoh seperti, Pater Albretch Karim Arbi, SJ, Ir.Ibnoe Soedjono, Margono Djojohadikusumo, Mokhtar Lubis, Prof. Dr. Fuad Hasan, Prof.Dr. A.M. Kadarman, SJ dan Roby Tulus mulai memperkenalkan gagasan tentang CU kepada masyarakat Indonesia. Gerakan Credit Union mulai dirintis melalui Konpernas PSE/Delsos di Bandung pada tahun 1968 dan Konpernas PSE (Pelayanan Sosial Ekonomi)/ Delsos (Delegatus sosial) di Sukabumi pada tahun 1969, yang diselenggarakan oleh gereja Katolik”.121 Dari situlah, gerakan CU mulai bertumbuh di Indonesia bahkan mengalami perkembangan dan kemajuan yang cukup pesat yang ditandai dengan banyaknya CU primer yang berdiri. Karena perkembangannya yang begitu pesat dan untuk 120 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg105221.html. (Diakses, tgl, 27 Okt 2011) 121 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg105221.html. ( Diakses, tgl, 27 Okt 2011) 77 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memperkenalkan gagasan tentang CU secara lebih meluas, pada tahun 1970,122 Pater Albretch dan kawan-kawan, membentuk sebuah asosiasi untuk mewadahi CU yang sudah ada dengan mendirikan Credit Union Counseling Office (CUCO). CUCO inilah kemudian yang menjadi cikal bakal dari “Badan Kordinasi Koperasi Kredit Indonesia” (BK3I) atau yang saat ini dikenal dengan “Induk Koperasi Kredit” (Inkopdit). Sejak saat itulah CUCO semakin gencar memasyarakatkan CU kepada masyarakat Indonesia khususnya kepada masyarakat lokal di pedesaan. Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai inovasi untuk mengembangkan gerakan pelayanan CU di Indonesiasemakin banyak dilakukan. Sistem CU pada dasarnya bukanlah perkumpulan uang melainkan perkumpulan orang-orang yang saling percaya. Dalam status ontologisnya sebagao perkumpulan orang atau perkumpulan sosial, CU dapat dimaknai dengan berbagai cara dan bentuk yang berbeda-beda. Harus diingat bahwa aktivitas generik simpan-pinjam di dalam suatu perkumpulan CU hanyalah salah satu dari beragam bentuk kegiatan yang dapat dilakukan. Sebagai sebuah diskursus sosial ekonomi, CU menjadi terbuka (contingent) untuk segala kemungkinan pemaknaan dan reartikulasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berniat menggunakannya. Karena sifatnya yang terbuka seperti itu maka bentuk atau model CU yang dikembangkan masyarakat di Indonesia juga menjadi beragam. Di berbagai tempat, gerakan CU tidak selalu memfokuskan aktivitasnya semata-mata pada “uang” tetapi telah menjadi bagian dari gerakan pemberdayaan, penyadaran sosial, ekonomi politik, dan kebudayaan masyarakat (adat) lokal. Sebutlah misalnya, CU model Kalimantan, yang tidak dapat lagi dipandang sebagai gerakan “ekonomi uang” saja tetapi sudah menjelma menjadi sebentuk gerakan sosial. Bahkan, CU model Kalimantan 122 Ibid 78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang berada dibawah naungan Badan Kordinasi Credit Union (BKCU) Kalimantan ini telah diakui bahkan digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai salah satu model alternatif bagi pemberdayaan masyarakat adat (lokal) di dunia”.123 Rahasia sukses CU model Kalimantan ini, menurut AR.Mecer, karena BKCU Kalimantan berhasil memformulasikan empat filosofi (nilai-nilai) kehidupan masyarakat adat Dayak ke dalam pelayanan dan produk-produk CU. Filosofi itu disebut dengan "Empat Jalan Keselamatan" yakni konsumsi, benih, sosial, ritual.Ke empat filosofi tersebut mewujud sebagai produk CU model Kalimantan dalam bentuknya sebagai: produksimpanan bunga harian (konsumsi); simpanan jangka panjang, deposito(benih); ada solidaritas sosial--seperti kesehatan, pendidikan (sosial); adasolidaritas kematian, tabungan hari raya (ritual): agar dapat dilihat secara lebih terperinci, berikut ini dikutipkan saja “Empat Jalan Keselamatan” yang menjadi filosofi mayarakat adat Dayak Kalimantan: 1) Konsumsi: penting sekali memenuhi kebutuhan makan-minum, meliputi kebutuhanpokok manusia yaitu makan-minum sehari-hari, sandang, papan, pendidikan,kesehatan, air bersih, dan lain sebagainya agar memenuhi karya penciptaanTuhan di bumi ini dari generasi ke generasi. 2) Benih: menyisihkan hasil sebagai benih untuk ditanam kembali, yang eratkaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam/hayati dankonsep menghemat dari hasil kerja agar ekologi dan kehidupan ini dapatlestari. 3) Sosial: pentingnya kebutuhan sosial-budaya untuk menyokong kualitas hiduppribadi yakni kesadaran untuk partisipasi dan emansipasi dalam bentuksumbangan materi maupundoa dan restuuntuk membangun dan mempertahankankeutuhan relasi sosial di antara sesama manusia. Di sini terdapat nilai danspirit kebersamaan dan sosial. 4) Ritual: pentingnya kebutuhan ritual untuk menyeimbangkan hubungan denganTuhan (vertikal) dan hubungan dengan sesama dan lingkungan alamnya(horizontal). Konsep ritual ini memberikan partisipasi horizontal yangmenekankan keseimbangan hubungan antara alam-sesama-Tuhan. 123 Ibid 79 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tidak mengherankan kalau ada yang menyatakan ketidaksetujuannya jika CU digolongkan hanya semata-mata sebentuk lembaga keuangan. Yohanes Agus Setyono CM, misalnya mengatakan pandangan yang menyebut Credit Union hanya merupakan sebentuk lembaga keuangan bukan saja merupakan pandangan yang fatal dan keliru tetapi terlalu menyempitkan gerakan credit union. Di banyak tempat, gerakan Credit Union mengalami kegagalan dan kekacauan, justru karena gerakan dan perikatan kesatuan sosialnyahanya didasarkan pada ekonomi-uang”.124 Lalu, kalau tidak bisa disebut hanya semata-mata sebagai lembaga keuangan, lantas apa sebenarnya yang menjadi identitas credit union? Yohanes menambahkan bahwa credit union pertama-tama adalah alat gerakan sosial. Logika gerakannya pertama-tama dimaksudkan sebagai wadah atau forum pendidikan dan pemberdayaan berbagai aspek kehidupan manusia. Uang merupakan instrumen atau sarana sehingga bukan menjadi tujuan utama dalam gerakan CU. Dengan kata lain, CU bukanlah sebuah perkumpulan uang tetapi merupakan perkumpulan orang (sosial) sehingga tidak tepat untuk menggolongkan CU sebagai lembaga keuangan mikro formal. Terdapat sejumlah perbedaan prinsip yang cukup mencolok antara CU dengan lembaga keuangan seperti Bank komersial termasuk dengan Bank Perkreditan Rakyat. Berikut ini dikutipkan perbedaan antara Credit Union dengan Bank komersial dan juga BPR:125 124 http://solidaritasburuh.blogspot.com/.(Diakses, tgl, 24 Mei 2011) http://idabangeet-hidayati.blogspot.com/2010/12/perbedaan-koperasi-simpan-pinjam-dan. html (Diakses, 31 Juli 2014) 125 80 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tabel 3: Perbedaan CU dengan Bank Komersial dan BPR Unsur Susunan Credit Union Bank Komersial Lembaga Keuangan Mikro a.l. BPR Bukan untuk mencari keuntungan, Lembaga (keuangan) yang Lembaga (keuangan) yang dimilikioleh para Anggotanya, dimiliki oleh para pemegang pada umumnya didanai didanai dari simpanan-simpanan saham, bertujuan mencari oleh/dari sumber luar Anggota bersifat sukarela keuntungan. lembaga yakni para pemberi-pinjaman, hibah dan atau para investor Nasabah/Anggota (Credit Union) Anggota (“nasabah”) punya kesamaan ikatan; seperti tempat tinggal, tempat kerja atau tempat beribadah. Pelayanan kepada yang miskin dicampurkan kepada kelompok masyarakat lebih luas, hingga tingkat balas jasa dan biaya menjadi kompetitif. Pada umumnya melayani Pada umumnya melayani nasabah kelas menengah ke nasabah / anggota kelas atas. Tidak ada batasan bawah (biasa) khususnya untuk nasabah khusus. perempuan dari sebuah komunitas yang sama. Tata Kelola Anggota Credit Union memilih Badan Pengurus (bersifat relawan) dengan prinsip satu orang satu suara, tanpa memperhitungkan jumlah simpanan atau sahamnya. Para pemegang saham Lembaga dikendalikan memilih Dewan Direksi dan dikuasai oleh Dewan yang digaji, yang bisa bukan Direksi yang ditunjuk atau berasal dari masyarakat staf yang digaji. atau dari nasabah. Suara ditentukan oleh besar kecilnya saham yang dipunyai. Pendapatan Pendapatan bersih (SHU) dipakai untuk menciptakan balas jasa simpanan lebih tinggi daripada balas jasa pinjaman, atau memperkenalkan produk layanan baru, atau pengembangan pelayanan lain-lain yang bermanfaat bagi Anggota. Pemegang saham menerima dividen atau pembagian imbal balik dari saham (bagian keuntungan) Pendapatan bersih dipergunakan untuk memupuk modal atau dibagi di antara para investor. Produk dan pelayanan. Berbagai macam bentuk pelayanan keuangan sesuai kebutuhan Anggota, utamanya simpanan, kredit, pengembalian jasa dan asuransi Berbagai macam bentuk pelayanan keuangan termasuk peluang-peluang investasi Berkonsentrasi pada produk kredit kecil. Beberapa lembaga keuangan mikro menawarkan produk simpanan dan balas jasa pelayanan. Sarana Pelayanan Punya kantor pusat, juga cabang, ATM, pelayanan transfer elektronik, akun debet credit antar tingkat daerah, nasional, internasional Punya kantor, layanan simpan pinjam, dan layanan keuangan lain serta kunjungan reguler pada komunitas nasabah. Punya kantor pusat, punya cabang atau tempat pelayanan, punya ATM, jasa pengiriman uang lewat perangkat elektronik, akun debet kredit antar CU di satu Pusat CU sekunder tingkat daerah, nasional maupun regional. 81 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB III “GEREJA SUKU” DI RUANG PUBLIK: GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN (GKPS) DALAM DIRI KOMUNITAS CUM “TALENTA” 3.1. Pengantar Pembahasan pada bab III ini dengan topik “Gereja Suku” di Ruang Publik merupakan deskirpsi data penelitian. Paparannya dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, mengulas tentang gambaran umum wacana CUM sebagai sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif versi kristiani. Sub pembahasan meliputi: mengenal MP.Ambarita sebagai penemu gagasan dan kisah awal munculnya wacana CUM, posisi wacana CUM diantara LKM yang ada di Indonesia, pola hubungan Komunitas CUM dengan Gereja, Ideologi dan Masyarakat yang dicita-citakan CUM, Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM. Dari situ pembahasan dilanjutkan pada bagian kedua yang mengulas tentang bagaimana wacana CUM itu dikonkretisasi (dimaterialisasi) ke dalam konteks GKPS. Sub pembahasannya meliputi: mengenal sekilas GKPS, kisah awal GKPS mengenal (menerima) wacana CUM, pembentukan Komunitas CUM “Talenta”, memperluas keanggotaan: membangun kelompok basis (unit). Lalu, bagian ketiga mengulas tentang hubungan Komunitas CUM “Talenta” dengan GKPS. Sub pembahasannya meliputi: klaim komunitas CUM “Talenta” sebagai bidang diakonia GKPS, program dan aktivitas yang dilakukan; Menciptakan modal bersama, memaknai (ulang) haroan bolon, memotong route pemasan kopi. Bagian akhir membahas dinamika organisasi baik secara internal maupun eksternal hingga perjumpaannya dengan Rabo Bank. 82 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3.2. Mengenal Wacana CUM Sebagai Sistem Ekonomi Kerakyatan Alternatif 3.2.1. MP. Ambarita dan Kisah Awal Munculnya Wacana CUM126 MP.Ambarita (selanjutnya disingkat MPA) adalah penemu gagasan CUM. Ia adalah seorang mantan (pensiunan) pegawai Bank Rakyat Indonesia (BRI). MPA lahir di Parapat, 20 September 1934. Ia adalah anak dari seorang guru Zending bernama J.Ambarita dan ibu (Bidan Zending) D. br Sirait. Beliau menikah dengan J.B.R br Pardede pada tahun 1963 dan dikaruniai enam orang anak. MPA adalah warga gereja HKBP. MPA adalah salah satu aktor yang terlibat dalam perencanaan dan pendirian PT. Bank Perkreditan Rakyat-Pijer Podi Kekelengan (selanjutnya disingkat: PT.BPR-PPK) sebuah “bank pedesaan” milik “Gereja Batak Karo Protestan” (selanjutnya disingkat: GBKP). MPA adalah direktur utama PT.BPR-PPK sejak berdiri pada tahun 1992 hingga tahun 2010. MPA dikenal memiliki integritas moral-dan spiritualitas yang tinggi. Rincian hidup rohaninya sehari-hari selalu diisinya dengan: berdoa - membaca Firman Tuhan – bekerja/mengajar - berdoa. Tidak heran, kalau kemudian ia dikenal sebagai seorang yang saleh, pendoa dan taat beragama. Setelah menamatkan pendidikan SMP dan SMA (1950-1956), MPA kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPG-KI) Satya Wacana di Salatiga pada tahun 1956-1959”.127 Setelah menyelesaikan studi dari Satya Wacana, ia sempat mengabdi sebagai direktur SMA Kristen bersubsidi Malang 1959-1961. Sebelum diterima menjadi pegawai BRI, ia juga sempat berwiraswasta di Jakarta (1962-1964). Pada tahun 1965-1967, MPA menjadi staf di 126 Riwayat hidup MPA: diolah berdasarkan buku E.P.Ginting & MP.Ambarita, (2001) Bank Perkreditan Rakyat PT.Pijer Podi Kekelengen Desa Simalem, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, hlm, 185 127 Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPGKI) Satya Wacana yang diresmikan tgl, 30 November 1956 merupakan cikal bakal dari berdirinya Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. (Sumber:http://www.uksw.edu/id.php/tentang) 83 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kantor Pusat BRI. Sejak diterima menjadi staf atau pegawai BRI, MPA berkali-kali diutus mengikuti berbagai pendidikan khusus bagi karyawan BRI seperti: pendidikan khusus staf BRI (1967), Pendidikan khusus staf pemimpin I tahun 1976, Pendidikan khusus staf pemimpin II tahun 1983, dan pendidikan staf pemimpin III pada tahun 1986. Selain itu MPA juga aktif mengikuti berbagai seminar yang terkait dengan pembangunan koperasi, pembangunan Kabupaten Karo (1995), seminar pendirian BPR Gereja-gereja PGI di Jakarta tahun 1999 dan seminar-seminar yang secara rutin dilaksana Bank Indonesia setiap tahun. Dengan segudang pengalaman mengikuti pendidikan dan pelatihan staf pemimpin seperti itu maka tidak mengherankan kalau di sepanjang karirnya sebagai pegawai di BRI, MPA diberi kepercayaan untuk menjadi pimpinan di berbagai lembaga struktural di BRI. Perlu juga ditambahkan bahwa MPA adalah seorang warga gereja yang cukup aktif mengikuti berbagai kegiatan pelayanan gereja khususnya yang berkaitan dengan pengembangan pelayanan di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat. MPA bahkan sudah ber-nazar (baca: berjanji) kepada Tuhan bahwa ia akan mengabdikan dirinya untuk melakukan pengembangan pelayanan (diakonia) pemberdayaan ekonomi jemaat dan masyarakat melalui gereja pasca ia pensiun sebagai pegawai BRI”.128 Hal itu kemudian dibuktikkannya dengan terlibat dalam membidani kelahiran PT.BPR-PPK (1992) sebuah bank pedesaan milik GBKP. MPA tidak hanya berhasil mendirikan PT. BPRPPK tetapi juga berhasil memperoleh ijin operasionalnya dari Bank Indonesia (BI) pada tanggal, 11 Januari 1993”.129 Bahkan, MPA juga berhasil membuat GBKP pada akhirnya memiliki PT.BPR-PPK itu secara yuridis formal setelah menempuh mekanisme akuisisi sebagaimana diatur dalam UU No. 7 tahun 1992. Selengkapnya, 128 Sumber: Wawancara dengan MPA via telepon tanggal, 24 April 2012. (dicatat secara manual dan diterjemahkan secara bebas:ms). 129 E.P.Ginting dan MP.Ambarita, (2001) Op.cit, hlm, xi 84 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berikut ini dikutipkan saja route yang ditempuh GBKP dalam mendirikan dan memiliki PT.BPR-PPK tersebut: PT. BPR-PPK dibuat atas nama 6 orang pemegang saham dan secara di bawah tangan melalui akte notaris sudah diserahkan haknya kepada Deparpem (Departemen Partisipasi Pembangunan, pen) Moderamen GBKP. Deparpem Moderamen GBKP tunduk secara langsung kepada Moderamen GBKP dan keputusan-keputusan Sidang Sinode GBKP/ Sidang BPL (Badan Pekerja Lengkap, pen) GBKP. [...] Yayasan Ate Keleng dibentuk oleh Deparpem GBKP untuk pelayanan masyarakat umum secara luas dan dalam upaya lebih meningkatkan status hukum PT.BPR-PPK dan atas persetujuan GBKP maka dibuatlah permohonan kepada menteri keuangan untuk mengakuisisi PT.BPRPPK (akuisisi ialah pengambil alihan secara hukum terhadap suatu perusahaan dan hanya bisa diakuisisi bila sudah diijinkan oleh Bank Indonesia). Izin mengakuisisi PT.BPR-PPK diperoleh Yayasan Ate Keleng GBKP yang ada dalam sub bagian pelayanan Parpem Moderamen GBKP. Izin tersebut telah diterima pada tahun 1999 (No.1/28/DPBR /IDBPR /Medan, tanggal 24 November 1999) dan diterapkan mulai tahun 2000”.130 Meskipun GBKP dikatakan berhasil mendirikan dan memiliki PT.BPR-PPK tersebut tetapi MPA tetap memberi catatan penting bahwa secara yuridis formal berdasarkan UU No.7 tahun 1992,131 dan UU Perseroan Terbatas, No.1 tahun 1985 gereja tidak diijinkan mendirikan bank”.132 Oleh karena itu, keberhasilan GBKP mendirikan dan memiliki PT.BPR-PPK itu merupakan hasil dari sebuah “kerja paksa”. Artinya, MPA memang menerima “kebenaran” wacana BPR itu untuk digunakan sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etis gereja di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat-rakyat tetapi wacana BPR itu tidak sepenuhnya hegemonik dalam dirinya. Sejak awal berdirinya PT.BPR-PPK tersebut sesungguhnya sudah ada semacam gairah di dalam dirinya untuk melakukan retakan (rupture) terhadap wacana hegemonik 130 Ibid, hlm, 148-149 UU Bank No. 7 tahun 1992 sudah diamandemen menjadi UU No.10 tahun 1998. Dalam pasal 25 UU No.10 tahun 1998, disebutkan bahwa Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. 132 E.P.Ginting dan MP.Ambarita (2001), Op.cit,hlm, 148 131 85 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sistem ekonomi kerakyatan yang diasuh oleh negara ini. Gairah itu kemudian semakin membuncah sebab berdasarkan pengalamannya dalam mengelola dan mengoperasikan PT.BPR-PPK itu (sejak tahun 1992), MPA melihat bahwa wacana BPR itu sebenarnya kurang cocok untuk digunakan sebagai instrumen artikulasi aspek etis gereja di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat. Wacana BPR menurut MPA memiliki keterbatasan sebab ia tidak dapat menjangkau seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosokpelosok pedesaan”.133 Keterbatasan wacana BPR itu menjadi persoalan yang cukup serius, sebab dalam kenyataannya GBKP sebagai “pemilik” PT.BPR-PPK secara yuridis formal tidak dapat secara bebas untuk memaknai wacana BPR tersebut sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan pelayanan gereja. Sebagai sebuah lembaga keuangan mikro formal, pemaknaan wacana BPR (khususnya ihwal pengembangan dan perluasan wilayah pelayanannya)hanya bisa dilakukan dalam kerangka yang sudah ditentukan oleh regulasi (undang-undang) dan peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) selaku pemangku otoritas moneter di Indonesia. Berdasarkan undang-undang No.7 tahun 1992 (yang sudah diamandemen menjadi UU No.10 tahun 1998 itu) maka kepemilikan atas suatu BPR yang didirikan dalam bentuk hukum Perseroan Terbatas (PT) adalah kepemilikan atas sahamnya. Artinya, saham pemiliknya hanya dapat diterbitkan sebagai saham atas nama. Selain itu, pemilik suatu BPR juga tidak diperbolehkan atau tidak diijinkan untuk menentukan sendiri wilayah pelayanan atau perluasan wilayah pelayanannya. UU Bank No.10 tahun 1998, pasal 19 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa: 1. Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia. 133 MP.Ambarita (2007) Pedoman Pengelolaan CUM, (untuk kalangan sendiri), hlm, 4 86 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan oleh Bank Indonesia. Keberadaan UU inilah yang membuat wacana BPR tidak dapat digunakan secara fleksibel oleh institusi gereja untuk merespons berbagai kesulitan warga gereja yang berada di wilayah pelayanannya di pelosok-pelosok pedesaan. Bagi seorang MPA, ketidakfleksibelan wacana BPR sebagai instrumen artikulasi aspek etis gereja di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat-jemaat menjadi persoalan yang cukup serius sebab di berbagai wilayah pelayanan gereja di pelosok-pelosok pedesaan itu, justru banyak jemaat dan masyarakat sekitar sedang mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas permodalan dari lembaga keuangan mikro formal yang ada. Akibatnya, tidak sedikit warga gereja dan masyarakat marjinal di pedesaan terpaksa menempuh “jalan ke keselamatan” yang ditawarkan oleh para rentenir atau para tengkulak. Celakanya, di tengah-tengah kesulitan sesamanya sebagai warga gereja dalam mengakses fasilitas permodalan, praktik rentenir diantara sesama warga gereja juga berlangsung sebagai cara untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi. Hal ini menunjukkan bahwa suasana persekutuan (koinonia) gereja sesungguhnya sedang bermasalah. Persoalan ini kemudian menjadi semakin sulit sebab praktik rentenir itu kini tidak lagi dilakukan secara perseorangan tetapi sudah melibatkan lembaga keuangan mikro yang ada. MPA mengatakan sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak praktik rentenir yang berlangsung di masyarakat justru dilakukan berkedok koperasi”. 134 Apa yang dilansir MPA ini tampaknya sudah menjadi fenomena umum praktik ekonomi pedesaan di Indonesia. Dari hasil penelitian yang dilakukan Heru Nugroho misalnya terungkap bahwa “antara bank dan rentenir ada sebuah kompetisi dalam hal nasabah dan 134 Ibid 87 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ada juga kerjasama dalam hal distribusi kredit di masyarakat Bantul Yogyakarta”. 135 Bahkan, Heru Nugroho akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa praktik rentenir ini merupakan salah satu ciri ekonomi pedesaan di Indonesia”.136 Dalam keadaan seperti itu, MPA melihat banyak institusi gereja justru mangkir dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya untuk memberi respon etis terhadap kesulitan yang dialami warga gereja. MPA melihat bahwa salah satu yang menjadi penyebabnya lantaran gereja tidak memiliki instrumen artikulasi aspek etisnya di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat.Banyak institusi gereja berniat untuk mendirikan BPR sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etisnya tetapi karena persyaratan administratif dan mekanisme dan birokrasi yang cukup panjang dan berbelit-belit, banyak institusi gereja akhirnya “gagal” mendirikan BPR yang dicita-citakannya. GKPS adalah salah satu contoh dari sekian banyak institusi gereja yang “gagal” mendirikan BPR tersebut. Dalam kondisi keprihatinan dan urgensi permasalahan seperti itu, MPA datang dan mengajukan wacana “credit union modifikasi” (CUM) sebagai wacana alternatif untuk mengisi ketiadaan instrumen artikulasi aspek etis gereja yang cocok di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat-rakyat. 3.2.2. Posisi Wacana CUM di antara LKM Yang Ada Di Indonesia Secara lugas di atas telah dipetakan bagaimana kisah awal munculnya wacana CUM sebagai sebuah sistem ekonomi kerakyatan alternatif. Selanjutnya, pada sub bagian ini akan dipaparkan di mana posisi wacana CUM di antara lembaga keuangan mikro yang ada di Indonesia. 135 Heru Nugroho (2001) Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm, 183 136 Ibid 88 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Wacana CUM, seperti kata MPA merupakan kelanjutan dari wacana Credit Union (CU) konvensional yang selama ini sudah beroperasi di tengah-tengah masyarakat”.137Secara teknis, sistem akuntansi dan sistem manajemennya merupakan perpaduan antara sistem credit union (CU) konvensional dan sistem bank perkreditan rakyat (BPR). Perpaduan atau sintesa dari keduanya dilakukan MPA dengan cara “modifikasi”. Dan tindakan “modifikasi” ini kemudian membawa konsekuensi beralihnya status atau identitas wacana CU maupun BPR menjadi informal microfinance. Itulah sebabnya,MPA mengatakan bahwa wacana CUM ini adalah bagian dari informal microfinancesama seperti Grameen Bank yang didirikan dan dikembangkan Muhammad Yunus di Bangladesh”.138 Selain itu, MPA juga mengklaim bahwa identitas wacana CUM merupakan sebentuk sistem perekonomian kerakyatan versi Kristiani”. 139 Wacana CUM ini, menurut MPA lebih cocok untuk digunakan sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etis gereja di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat sebab prinsip pengelolaan dan tujuannya berpijak pada nilai-nilai etik kristianitas yang berlaku universal yakni nilai solidaritas yang manifestasinya terlihat dalam prinsip kerjasama saling membantu dan berbagi dan kepemilikan atas harta kekayaan komunitas sebagai “kepemilikan bersama”.. Wacana CUM menurut MPA memiliki keluwesan tersendiri dalam hal pengoperasiannya. Disebut memiliki keluwesan lantaran untuk menyelenggarakannya, suatu komunitas CUM tidak harus memiliki badan hukum tersendiri atau ijin operasional dari Pemerintah. Ledgerwood (sebagaimana dikemukakan Bagus Aryo) mengatakan bahwa lembaga keuangan mikro informal, (informal microfinance) 137 MP.Ambarita, (2007) Op.cit,hlm, 4 Ibid, 139 Ibid, 138 89 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI beroperasi di luar struktur regulasi dan pengawasan pemerintah”, 140 (lihat: Tabel 1 dan 2). Selain itu, untuk mendirikan dan menyelenggarakan praktik diskursif CUM tidak diperlukan banyak uang bahkan tidak pula diperlukan ahli hukum ataupun ahli pembukuan (berpendidikan formal) sebab praktik CUM justru perlu didirikan di kalangan orang-orang yang masih belum kuat keadaan ekonominya”.141 Dalam statusnya sebagai informal microfinance maka wacana CUM hanya dapat digunakan untuk pelayanan Gereja dan tidak diijinkan di luar kegiatan gereja. MPA telah memancang bahwa CUM merupakan sarana pelayanan atau perpanjangan tangan pelayanan gereja di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat”. 142 Oleh karena itu, praktik diskursif CUM hanya dapat diselenggarakan dalam struktur kelembagaan dan sebagai aktivitas gereja. Dengan kata lain, praktik diskursif CUM harus merupakan bagian dari aktivitas pelayanan (diakonia) sosial ekonomi gereja. Konsekuensinya, badan hukum gereja (sebagai lembaga sosial keagamaan) yang dikeluarkan oleh pemerintah cq Departemen Agama, otomatis menjadi payung hukum atau payung yuridis bagi penyelenggaraannya”.143 Wujud material wacana CUM adalah sebentuk komunitas. Sebagai sebentuk komunitas, status komunitas CUM sama dengan komunitas lainnya, seperti komunitas marga, komunitas olah raga, komunitas kesenian, komunitas profesi atau komunitaskomunitas lainnya, sehingga tidak perlu di atur dalam badan hukum tersendiri”. 144 Meskipun wacana CUM termasuk dalam kategori lembaga keuangan mikro informal 140 Bagus Aryo, (2012) Op.cit,hlm, 51-52. MP.Ambarita, “Ekonomi Kerakyatan Versi Kristiani Sebagai Kekuatan dalam Menghadapi Era globalisasi”, (dalam) Pdt.Martunas Manullang, (2010) Menuju HKBP Inklusif dan Misioner: Ekkelsiologi di Masyarakat Pluralis, L-Sapa STT HKBP Pematang Siantar dan Yayasan Nommensen HKBP Jambi, hlm, 149 142 MP.Ambarita, (2007) Op.cit, (dalam) “Kata Pengantar” 143 Ibid, hlm, 5 144 MP.Ambarita, ”Ekonomi Kerakyatan Versi Kristiani Sebagai Kekuatan Dalam Menghadapi Era Globalisasi” (dalam) Pdt. Martunas Manullang, ed (2010) Op.cit, hlm, 152 141 90 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (informal microfinance) yang tidak mengharuskan adanya badan hukum tersendiri untuk penyelenggaraannya, namun MPA tetap terbuka peluang atau kemungkinan untuk melembagakan wacana CUM itu secara yuridis formal sehingga bisa memiliki badan hukum tersendiri. Menurut MPA hal itu dapat dilakukan kalau suatu komunitas CUM yang terbentuk sudah bisa berkembang dan mandiri. Permohonan badan hukumnya dapat diajukan ke Departemen Kehakiman”.145 Mengapa ke departemen kehakiman? Menurut MPA, hal itu dilakukan karena di dalam CUM diwujudkan perserikatan kooperatif (gessellschaft) dan prinsip komunitas/persekutuan (gemeinschaft) sehingga tidak tepat untuk menyebut CUM sebagai bagian dari usaha koperasi atau sejenisnya”.146 MPA menambahkan, dalam hal suatu komunitas CUM belum berbadan hukum tersendiri maka kesepakatan subyek-subyek hukum untuk menggabungkan diri dalam suatu ikatan yang berkaitan dengan kebutuhan perikatannya, mengacu kepada KUH Perdata pasal 1338. Kesepakatan itulah yang menjadi undang-undang bagi masingmasing subyek dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak”.147 3.2.3. Pola Hubungan Komunitas CUM Dengan Gereja Untuk melihat secara bagaimana pola hubungan suatu komunitas CUM dengan Gereja dikonstruksi secara ideal maka pola hubungan atau relasi diantara keduanya lebih baik dilihat dari perspektif Pedoman Umum Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) CUM tahun 2007 yang dirumuskan MPA. 145 MP.Ambarita (2007), Op.cit, hlm, 30 Ibid, hlm, 6.Gemeinschaft merupakan ikatan sosial karena adanya factor unity of will. Bisa berupa ikatan kekerabatan (termasuk di dalamnya ikatan kinship, klan, marga dan lain-lain) sementara Gesselschaft lebih diikat oleh adanya kesamaan self interest. Realitasnya di dalam masyarakat, komunitas bisa dibangun atas campuran antara dua ciri ikatan di atas. 147 Ibid 146 91 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dalam Pedoman Umum Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) CUM yang mengatur tentang mekanisme internal dan struktur kelembagaan komunitas CUM terlihat dengan sangat jelas bahwa dalam struktur kelembagaannya, Gereja dalam arti “Pimpinan Gereja” yang menaunginya diposisikan sebagai Pembina. Sebagai Pembina, Gereja bertugas mengawal, mengawasi dan sekaligus mengarahkan komunitas CUM agar senantiasa berjalan pada visi dan misi gereja. Maksud dan tujuan memosisikan Gereja sebagai Pembina dimaksudkan agar aktivitas CUM senantiasa berjalan sesuai dengan program Gereja yaitu sebagai pemberdayaan jemaat”.148 Sebagai Pembina, Gereja memiliki kekuasaan atau otoritas untuk membubarkan suatu komunitas CUM yang diselenggarakan dalam struktur kelembagaan gereja yang mewadahinya. Dalam rumusan pedoman umum anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART CUM) pada bab XIV pasal 27 tentang “Pembubaran” komunitas CUM disebutkan bahwa: Pembubaran credit union modifikasi dapat dilakukan oleh Pembina (Gereja…) dengan alasan sebagai berikut: a. Credit union modifikasi tidak lagi menjalankan AD/ART yang disepakati. b. Dalam penilaian Pembina (Gereja…) Credit Union Modifikasi tidak dapat lagi melangsungkan hidupnya”.149 Selain itu, pola hubungan suatu komunitas CUM dengan Gereja juga tampak dikonstruksi dalam kaitannya dengan harta kekayaan komunitas CUM. MPA mengatakan bahwa: Kekayaan CUM adalah berdiri sendiri, tidak termasuk kekayaan gereja. Kekayaan CUM adalah milik anggota CUM, namun dari hasil usaha/kegiatan CUM maka sebagian dapat diserahkan untuk menunjang pelayanan gereja tetapi tidak boleh dianggap sebagai sumber Kas Umum Gereja. Gereja yang hidup adalah bila seluruh kegiatan Gereja yang dibiayai dari Kas Umum menjadi 148 Selanjutnya lihat: Pedoman umum Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) CUM, pasal 16 (dalam) MP.Ambarita (2007) Op.cit, hlm,17 149 Ibid, hlm, 19 92 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tanggungjawab jemaat, atau dengan kata lain jemaat harus bertanggungjawab atas kecukupan Kas Umum Gereja”.150 Bertolak dari penjelasan tersebut di atas, terlihat dengan jelas gereja tidak memiliki hak dan wewenang untuk memiliki dan mempergunakan harta kekayaan suatu komunitas CUM. Jadi, kedaulatan dalam hal kepemilikan dan penggunaan harta kekayaan suatu komunitas CUM hanya ada pada anggota. Namun, sesuatu yang kontradiktif bahkan ambigu dalam pola relasi suatu komunitas CUM dengan Gereja terlihat dalam konstruksi struktur kelembagaannya di mana kedaulatan anggota tampak direduksi ketika Pimpinan Gereja, diberi otoritas diberi kuasa untuk mensahkan siapa yang akan menjadi Penasehat Komunitas CUM yang diusulkan oleh anggota melalui rapat anggota. Dalam buku Pedoman Umum AD/ART CUM, bab VIII pasal 17 ayat 1 dictum-nya menyebutkan: bagi kepentingan CUM, rapat anggota dapat mengusulkan Penasehat yang disahkan oleh Majelis Gereja. Sementara itu, pada bagian lain dalam pedoman umum AD/ART CUM, bab XIII tentang “Rapat-rapat” (Rapat anggota) pasal 23, disebutkan bahwa: rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam Credit Union Modifikasi maka setiap anggota berhak dan berkewajiban menghadirinya”.151 Pola hubungan antara CUM dan Gereja sebagaimana yang sudah diceritakan di atas, menjelaskan bahwa pada satu sisi anggota melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT) disebut merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu komunitas CUM namun pada sisi yang lain, institusi Gereja (melalui pimpinannya) tampak memiliki hak atau otoritas yang justru melampaui kekuasaan (kedaulatan) anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sebab berdasarkan pasal 27 tersebut Gereja memiliki otoritas 150 Ibid, hlm, 6 Ibid 151 93 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (kekuasaan) untuk membubarkan suatu komunitas CUM. Dalam pedoman umum AD/ART komunitas CUM, pasal 25 tentang fungsi “Rapat anggota Tahunan” disebutkan bahwa instansi yang memiliki hak untuk menilai dan mensahkan laporan Pengurus dan Badan Pengawas adalah Rapat Anggota Tahunan (RAT). Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pola hubungan atau relasi suatu komunitas CUM (yang tidak berbadan hukum tersendiri) dengan Gereja yang menaunginya tampak dikonstruksi secara ambigu (dua wajah). Pada satu sisi, posisi institusi Gereja menjadi semacam “struktur mediasi” bagi penyelenggaraan praktik diskursif CUM di mana suatu komunitas CUM merupakan entitas yang otonom dan mandiri. Pada sisi yang lain, relasi di antara keduanya tampak dikonstruksi secara hirarkis-struktural (patron-client) di mana suatu komunitas CUM yang tidak atau belum berbadan hukum tersendiri merupakan komunitas yang berada dalam in-subordinasi institusi Gereja. 3.2.4. Ideologi dan Masyarakat yang Dicita-citakan Bagaimanapun juga, MPA sudah menegaskan bahwa wacana CUM ini adalah sebentuk sistem perekonomian kerakyatan versi Kristiani. Artinya, praktik diskursif CUM itu diselenggarakan dengan berpijak pada nilai-nilai etik kristianitas – kasih/solidaritas yang manifestasinya tampak dalam semangat kerjasama, saling membantu dan kepemilikan bersama. Secara ideal, MPA merumuskan cita-cita komunitas CUM tersebut adalah mewujudkan kesejahteraan lahir batin anggota jemaat dan masyarakat sehingga bisa menjadi warga negara yang memiliki etos kerja yang sehat dan berjiwa demokratis-pluralis”,152 berazaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan”.153 152 Ibid, hlm, 4 Ibid, hlm, 12 153 94 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dalam rangka menciptakan masyarakat yang dicita-citakannya tersebut, selain mengadakan aktivitas simpan-pinjam sebagai aktivitas generiknya, komunitas CUM juga mengusung sejumlah program utama yang rinciannya telah dirumuskan MPA sebagai berikut:154 1. Memfasilitasi anggota yang berjiwa wirausaha (entrepreneur) untuk mengembangkan potensinya dengan baik dan terarah. 2. Menciptakan wirausahawan-wirausahawan yang handal untuk lebih berkembang dan berkesinambungan 3. Menciptakan hubungan yang harmonis antara anggota-anggota baik si peminjam dan si penyedia dana sebagai prisnip saling menguntungkan dan berjiwa gotong royong. 4. Menciptakan sense of belonging (rasa kepemilikan bersama) atas CUM sebagai wadah perpanjangan tangan pelayanan gereja. 5. Membantu mewujudkan Teologi Pelayanan Holistik Gereja dimana pelayanan menghidupkan si pelayan serta mewujudkan pengertian syalom secara nyata sampai dalam kehidupan rumah tangga anggota jemaat. Dengan demikian pelayanan Gereja bukan hanya soal rohani saja tetapi harus secara holistik atau lahir dan batin sebagai perwujudan keselamatan oleh Yesus Kristus. 6. Sebagai wadah untuk mengarahkan hamba-hamba Tuhan bahwa pelayanan Gereja bukan hanya melalui mimbar Gereja tetapi juga pelayanan lanjutan yaitu pelayanan meja (Kisah Rasul 6:2-3). 7. CUM juga berperan untuk mencerdaskan jemaat dan masyarakat melalui: a. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pengelolaan usaha, baik usaha industri, dagang, pertanian, perikanan, kerajinan dan usaha-usaha rumah tangga yang menunjang ekonomi keluarga. b. Ceramah-ceramah tentang kesehatan, gender, hukum dan politikdemokrasi (politik) yang benar. c. Ceramah - ceramah peningkatan keimanan, dan lain-lain. Dari sejumlah program utama komunitas CUM sebagaimana dipaparkan tersebut di atas, dengan segera kita bisa menangkap bahwa pendekatan yang dijalankan untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakannya tidak hanya melakukan pendekatan kesejahteraan tetapi juga dengan pendekatan spiritual. Dengan kata lain, suatu komunitas CUM tidak hanya memberi layanan “intermediasi keuangan” tetapi juga 154 MP.Ambarita, (2007) Pedoman CUM (kalangan sendiri), 95 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memberi intermediasi layanan sosial, (pelatihan dan pendidikan) dan intermediasi layanan spiritual (pastoral). Dalam literatur keuangan mikro ada perdebatan klasik tentang mana cara yang paling jitu untuk membantu masyarakat miskin mendapatkan akses terhadap fasilitas permodalan dari Lembaga Keuangan Mikro (selanjutnya disebut: LKM). Perdebatannya adalah perdebatan antara yang memberi titik tekan pada aspek ekonomi dan aspek sosial. Bagus Aryo, telah merumuskan perbedaan dari keduanya sebagai berikut: LKM yang memberi titik tekan pada aspek ekonomi pada umumnya menjalankan pendekatan institusional atau Mazhab Ohio. Pendekatan institusional memberi penekanan yang kuat pada keberlanjutan finansial. Maksudnya, keluasan jangkauan (dalam arti jumlah nasabah) lebih diutamakan daripada kedalaman jangkauan (yang berarti tingkat kemiskinan yang dijangkau), dan dampak positif nasabah diasumsikan ada”. LKM yang menggunakan pendekatan institusional ini mengukur kesuksesannya dari kemajuan lembaga dalam mencapai swasembada finansial. Karena memberi penekanan pada keberlanjutan finansial, LKM jenis seperti ini menyingkirkan subsidi dalam bentuk apapun. Contoh LKM yang mengusung pendekatan isntitusional adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sementara itu, LKM yang memberi titik tekan pada aspek sosial mengusung pendekatan kesejahteraan (welfarist) di mana cara membantu masyarakat untuk dapat mengakses fasilitas permodalan seringkali diberikan bersamaan dengan pemberian layanan sosial sepeerti pelatihan keterampilan, pelatiha melek keuangan, kegiatan membangun kesadaran,pelayanan kesehatan, gizi dan lain-lain. Contoh LKM yang menggunakan pendekatan kesejahteraan yang paling terkenal adalah Grameen Bank di Bangladesh”.155 Kedua perbedaan tersebut di atas, memberi penjelasan bahwa tujuan utama LKM yang menggunakan pendekatan institusional adalah memastikan keberlanjutan finansial lembaga. Keberlanjutan lembagalah yang paling utama daripada kedalam jangkauan pelayanannya. Sedangkan, LKM yang mengusung pendekatan kesejahteraan (welfarist) tujuan utama pelayanannya adalah menciptakan dampak ekonomi dan dampak sosial kepada masyarakat. LKM dengan pendekatan institusional meyakini bahwa dengan 155 Bagus Aryo, (2012) Op.cit, hlm, 23-24. 96 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI membuka akses faslitas permodalan yang luas kepada masyarakat marjinal maka kemiskinan dengan sendirinya dapat teratasi. Dengan begitu, karakter LKM dengan pendekatan institusional bersifat pasif. Sementara LKM dengan pendekatan kesejahteraan meyakini bahwa menjangkau sebanyak-banyaknya orang miskinlah yang penting dan dengan begitu karakternya aktif”.156 Kalau merujuk pada sejumlah program utama yang diusung oleh suatu komunitas CUM sebagaimana yang dirumuskan MPA tersebut di atas, maka komunitas CUM ini dapat dikategorikan sebagai lembaga keuangan mikro informal (informal microfinance) dengan pendekatan kesejahteraan, sebab ia tidak hanya memberi layanan intrmediasi keuangan tetapi juga layanan sosial dan juga layanan spiritual. Jadi, kalaupun wacana CUM dikategorikan sebagai sebentuk informal microfinance, namun ia jelas berbeda dengan sistem ekonomi kelompok sosial yang sudah dikenal di masyarakat seperti arisan, hutang warung, gadai maupun bank plecit (rentenir). Dengan kata lain, apa yang dilakukan dalam suatu komunitas CUM adalah apa yang sesungguhnya menjadi tugas dan panggilan universal gereja. Suatu komunitas CUM adalah “gereja” dengan (warna) baju yang lain. Dalam pedoman umum anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) CUM yang dirumuskan MPA, pada bagian “Pembukaan” dengan jelas dinyatakan: kesejahteraan adalah hak asasi manusia. Untuk mencapai kesejahteraan itu kami sepakat menjadi komunitas kooperatif untuk menunjang usaha bersama dan tempat belajar bersama dan komunitas ini kami sebut komunitas Credit Union Modifikasi”.157 156 Ibid MP.Ambarita (2007) Op.cit, hlm, 12 157 97 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3.2.5. Pendidikan dan Pelatihan Calon Pengelola (Manajer) CUM MPA mengatakan bahwa identitas wacana CUM merupakan sebentuk sistem ekonomi kerakyatan versi kristiani. Dengan mengajukan wacana CUM ini kepada gereja-gereja untuk mengisi ketiadaan instrumen artikulasi aspek etis gereja di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat, MPA berniat untuk menjadikan wacana CUM ini sebagai wacana tanding (kontra hegmoni) terhadap wacana sistem ekonomi kerakyatan yang hegemonik (yang dominan) yang ada di masyarakat. Sebagaimana prinsip penyelenggaraan CU pada umumnya, MPA memijakkan prinsip dasar penyelenggaraan CUM pada tiga pilar atau trilogi komunitas CUM. Dalam salah satu dictum tiga pilar CUM tersebut disebutkan bahwa komunitas CUM dimulai dari pendididikan, dikembangkan dengan pendidikan dan dikontrol oleh pendidikan”.158 Atas dasar itu, MPA menyelenggarakan “Pendidikan dan Pelatihanbagi calon pengelola (manajer) CUM”. Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM ini sudah diselenggarakannya sejak tahun 2004”.159 Hingga kini (tahun 2012) MPA sudah menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan tersebut sebanyak 15 angkatan dan menghasilkan hampir 300 orang calon manejer CUM yang menyebar di berbagai denominasi gereja di Sumatera Utara, khususnya “gereja suku”. Gereja-gereja yang mengutus Pendetanya atau Diakonesnya untuk mengikuti pelatihan itu antara lain: Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Gereja Kristen Protestan Indonesia(GKPI),Gereja Kristen Pak-Pak Dairi (GKPPD), Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA), dan lain- 158 Ibid, hlm, 3-4 Komunitas CUM yang pertama sekali berdiri adalah Komunitas CUM yang diselenggarakan di HKBP Kedaton Lampung, berdiri 13 Januari 2005. Di HKBP saat ini ada 126 orang calon manajer CUM. Selanjutnya lihat: Pdt.Nelson F.Siregar, “HKBP menjadi Inklusif di Masyarakat Pluralis”, (dalam) Pdt. Martunas Manullang (2010) Menuju HKBP Inklusif dan Misioner:“Ekklesiologi di Masyarakat Pluralis”, Pematang Siantar, L.Sapa STT HKBP dan Yayasan Nomensen HKBP Jambi, hlm, 162 159 98 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lain. Sejauh ini gereja HKBP adalah gereja yang memiliki paling banyak calon manajer CUM, yakni lebih kurang 126 orang. Sedangkan GKPS sejauh ini memiliki 22 orang calon manajer. MPA mematok syarat yang boleh mengikuti “Pendidikan dan Pelatihan” itu adalah Pendeta atau Diakones”.160 Dengan syarat seperti itu, maka yang dapat menjadi pengelola atau manajer CUM adalah hanya Pendeta atau Diakones. Menurut MPA, hal itu dilakukan untuk menjaga agar wacana CUM tidak dijadikan sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi atau praktik rentenir. MPA sangat menyadari bahwa sebagai sebentuk informal microfinance, wacana CUM ini rentan disalahgunakan untuk mencari kepentingan pribadi atau sebagai praktik rentenir. MPA menginginkan pengelola atau manajer CUM adalah mereka yang memiliki kapasitas moral, intelektual, integritas dan jujur. MPA melihat subjek yang paling representatif untuk menjadi pengelola atau manajer suatu komunitas CUM adalah Pendeta atau Diakones. Sebagai Hamba Tuhan, Pendeta dan Diakones, dianggap memiliki kualifikasi tersebut. Karena itulah, MPA hanya memperuntukkan Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola CUM itu hanya bagi pelayan gereja (penuh waktu) yakni Pendeta atau Diakones. Meskipun terkesan sangat subjektif, syarat harus “Pendeta atau Diakones” merupakan bagian dari strategi MPA untuk membangun proyek hegemoninya agar wacana CUM tersebut dapat dengan cepat meluas dan menembus sampai ke lapisan struktur gereja yang paling bawah yakni jemaat.Melalui para Pendeta atau Diakones yang telah mengikuti Pendidikan dan Pelatihan itu, MPA berharap komunitas CUM dapat didirikan atau dibentuk di wilayah pelayanan di mana para Pendeta dan Diakones 160 Yang dimaksud dengan Pendeta adalah pelayan gereja yang memiliki pengetahuan teologi (formal) dalam arti memiliki pendidikan teologi formal (entah itu bergelar S1.S2 atau S3) Sedangkan yang dimaksud dengan Diakones, adalah pelayan gereja non-pendeta, yang memiliki tugas-tugas khusus di gereja dan memiliki pendidikan teologi formal. 99 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI itu menjalankan tugas-tugas pelayanan kegerejaannya sehari-hari. Dengan kata lain, para Pendeta atau Diakones itulah yang diharapkan MPA sebagai agen atau perpanjangan tangannya untuk memelopori pembentukan dan perluasan simpul-simpul komunitas CUM di berbagai wilayah pelayanan gereja. Dengan cara seperti, formasi hegemonik baru yang dicita-citakan MPA dalam wujud materialnya sebagai suatu komunitas CUM dapat terbentang dan meluas memasuki lapisan struktur gereja yang paling bawah. MPA mengatakan bahwa praktik CUM sebaiknya dimulai dengan minimal 20 orang. Tetapi kalau anggota benar-benar berhasrat besar untuk mendirikannya, dengan jumlah dibawah 20 orang juga dapat diselenggarakan. Adanya kemauan dan tekad untuk mendirikan suatu komunitas CUM sudah merupakan ikatan yang dapat mempersatukan, tetapi agar suatu komunitas CUM yang sudah berdiri dapat berkembang perlu ada unsur pemersatunya”.161 Dalam upayanya untuk mendidik dan melatih para Pendeta atau Diakones menjadi calon manajer CUM, MPA menjalin kerjasama dengan Pimpinan Gereja-gereja khususnya yang ada di Sumatera Utara. Setiap kali MPA mengadakan Pendidikan dan Pelatihan itu, MPA meminta kepada masing-masing Pimpinan gereja agar mengutus para Pendeta atau Diakones (dengan kuota tertentu) untuk menjadi pesertanya. Dalam konteks GKPS, LG adalah orang pertama (Pendeta pertama) yang mengikutinya pendidikan dan pelatihan tersebut. Melalui LG lah, GKPS pertama sekali mengenal wacana CUM. Sejak itu, GKPS kemudian mengutus Pendetanya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan tersebut yang diselenggarakan oleh MPA setiap tahun. Semula, Pendidikan dan Pelatihan tersebut diadakan MPA di komplek kantor pusat PT.BPR-PPK di desa Sukamakmur Kecamatan Sibolangit Deliserdang namun 161 MP.Ambarita,”Ekonomi Kerakyatan Versi Kristiani Sebagai Kekuatan Dalam Menghadapi globalisasi”, (dalam) Pdt. Martunas Manullang, ed, (2010) Op.cit,hlm, 148-149 100 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sejak ia menyatakan berhenti sebagai direktur utama PT.BPR-PPK pada tahun 2010, “Pendidikan dan pelatihan calon manajer CUM” dipindahkan ke Lumban Ambarita, desa Sirait Uruk, Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir. Di desa inilah (yang juga merupakan kampung halamannya), MPA berdomisili dan menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM. Adapun materi “Pendidikan dan pelatihan calon manajer CUM” yang diberikan MPA kepada para Pendeta dan Diakones itu adalah: Tabel 4: Materi Pendidikan dan Pelatihan CUM No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Materi Akuntansi Umum dan Akuntansi CUM Ekonomi Mikro Ekonomi Makro Moneter Manajemen Umum dan Manajemen CUM Hukum Perdata/Dagang Ceramah-ceramah agama (teologi) pelayanan holistik Session/jam 30 Session 20 Session 20 Session 15 Session 30 Session 10 Session 1-1,5 jam setiap hari 8. Evaluasi penguasaan materi dan Paper akhir Selain dididik dan dilatih untuk memahami dan menguasai pengetahuan teknis tentang sistem akuntansi dan manajemen CUM, MPA juga menekankan pentingnya mempraktikkan cara hidup berkomunitas. Itulah sebabnya, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan peserta selama masa pendidikan dan pelatihan seperti belanja, memasak, cuci peralatan makan, ibadah (refleksi), kebersihan, semuanya dilakukan secara bersama (bergiliran dan berkelompok) dengan tidak membedakan usia (tua-muda) dan jenis kelamin (laki-laki – perempuan), pendeta atau diakones”.162 Dengan memberi titik tekan pada praktik hidup berkomunitas, MPA berharap para 162 Dalam penyelenggaraan ibadah bersama, pelayanan Firman Tuhan, diselenggarakan dalam bentuk penelaahan Alkitab (PA), sehingga terselenggara sebentuk dialog dalam kesetaraan, berbagi pengalaman religiusitas sebagai cara untuk saling menguatkan komitmen sesama peserta. 101 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI manajer CUM senantiasa mengingat bahwa menyelenggarakan praktik diskursif CUM sesungguhnya merupakan cara untuk memaknai tri tugas panggilan universal gereja yakni bersaksi (marturia), bersekutu (koinonia), melayani (diakonia). Sejak MPA memutuskan bertempat tinggal di desa Sirait Uruk, MPA juga mengumpulkan para manajer CUM dari berbagai gereja itu dalam suatu pertemuan yang disebutnya sebagai konsolidasi manajer CUM yang dilakukan satu kali dalam enam bulan”.163 3.3. Konkretisasi wacana CUM ke Dalam Konteks GKPS 3.3.1. Sekilas Tentang GKPS Sebelum memaparkan bagaimana wacana CUM itu dikonkritisasi ke dalam konteks “Gereja Kristen Protestan Simalungun” (selanjutnya disingkat GKPS) maka ada baiknya dipaparkan secara sekilas tentang GKPS sebagai salah satu “gereja suku” yang ada di Sumatera Utara. GKPS berkedudukan di Pematang Siantar. Sebelum menjadi gereja mandiri, komunitas kristen Simalungun merupakan kelompok subordinasi gereja HKBP. Berada sebagai komunitas subordinasi HKBP membuat komunitas orang kristen Simalungun gerah. Hal itu terjadi sebab identitasnya sebagai orang kristen Simalungun dbuat mangkir oleh HKBP yang didukung oleh agen zending RMG. Komunitas orang kristen Simalungun yang dimotori Jaulung Wismar Saragih (JWS) kemudian menuntut manjae (mandiri) dari HKBP. Proses manjae itu ditempuh melalui perjuangan negosiasi panjang dan alot. Perjuangannya menuntut manjae itu akhirnya membuahkan hasil di mana pada tangga 01 September 1963 HKBP kemudian melepaskan HKBP-Simalungun menjadi gereja mandiri yang kemudian dikemudian dikenal dengan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). 163 Sumber: Wawancara dengan MPA via telepon tanggal, 24 April 2012. (dicatat secara manual dan diterjemahkan secara bebas:ms). 102 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sejauh ini jumlah warga GKPS yang tercatat lebih kurang 213.042 jiwa,164di mana 82% diantaranya berdomisili di wilayah pedesaan di Simalungun dan 18% lainnya berdomisili di berbagai wilayah diaspora di Indonesia”.165Dari sekitar 213.042 jiwa, jumlah keseluruhan warga jemaat GKPS,lebih kurang 53.004 jiwa (25%)diantaranya berdomisili di wilayah kordinasi pelayanan GKPS di distrik III. Secara geografis, wilayah pelayanan GKPS distrik III, terbentang meliputi daerah Kecamatan Purba Simalungun sampai ke sebagian daerah Kabupaten Karo dan sebagian kecil lainnya berada di daerah Kabupaten Dairi. Saribudolok, yang adalah pusat kordinasi pelayanan GKPS di distrik III yang juga merupakan tempat di mana Praeses sebagai kordinator distrik berdomisili. Daerah pelayanan GKPS di distrik III merupakan daerah dataran tinggi di mana sebagian besar identitas profesi warganya adalah petani dan sebagian lainnya adalah pegawai negeri sipil - guru, bidan – perawat – (PNS), wiraswasta (pengusaha lokal) dan lain-lain. Saribudolok adalah ibukota Kecamatan Silimakuta sehingga sekaligus merupakan pusat (administrasi) pemerintahan dan pusat perdagangan kebutuhan pokok masyarakat pedesaan. Bahkan pada setiap hari Rabu, di Saribudolok diselenggarakan pasar tradisional dan pasar sayur mayur skala besar, di mana nilai transaksi perdagangannya bisa mencapai milyaran rupiah. Tidak mengherankan kalau di setiap hari Rabu, Saribudolok sangat ramai dikunjungi oleh para pembeli sayur mayur yang datang dari berbagai daerah dan kota di Sumatera Utara bahkan dari daerah Riau dan Aceh. Tidak mengherankan kalau Saribudolok di sasar sebagai daerah ekspansi bisnis keuangan dari berbagai lembaga keuangan mikro yang ada di Sumatera Utara. Sejumlah 164 Selanjutnya lihat: Susukkara (Almanak) GKPS tahun 2013, hlm, 398 Juandaharaya Purba dan MartinLukito Sinaga, Peny, (2000) Tole ! Den Timor Landen Das Evangelium!” Sejarah Seratus Tahun Injil di Simalungun, 2 September 1903 – 2 September 2003, P.Siantar, Kolportase GKPS-Panitia Bolon Jubileum 100 tahun Injil di Simalungun, hlm, 287 165 103 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lembaga keuangan (mikro) yang beroperasi di sana seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Sumut, beberapa BPR dan sejumlah Koperasi simpan pinjam dan juga Credit Union (CU). Selain itu, daerah Saribudolok sekitarnya ini juga diramaikan oleh kehadiran Lembaga Keuangan Mikro Informal (informal microfinance) seperti para rentenir baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun yang dilakukan oleh lembaga berkedok koperasi. Selain itu, akhir-akhir ini suasana kehidupan sosial ekonomi masyarakat di daerah Saribudolok, turut diramaikan oleh kehadiran mini market, agenagen (distributor) sepeda motor. 3.3.2. GKPS: Kisah Awal Mengenal Wacana CUM Krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998,tidak hanya berdampak terhadap menurunnya daya beli masyarakat di perkotaan tetapi juga bagi masyarakat di pedesaan. Melonjaknya harga pupuk telah membuat biaya produksi pertanian masyarakat desa menjadi ikut melonjak. Sementara itu, harga jual produksi pertanian masyarakat desa tidak mampu menutupi biaya (modal) yang sudah dikeluarkan. Tidak sedikit petani yang mengalami kerugian. Kenyataan itu telah membuat banyak warga GKPS yang berprofesi sebagai petani mengalami kesulitan untuk melanjutkan usaha pertaniannya karena ketiadaan modal. Memang, kesulitan mengakses sumber permodalan dari lembaga keuangan mikro itu bukanlah satu-satunya keluhan yang dihadapi warga gereja GKPS di masa krisis. Kalau, hendak ditambahkan, tingginya biaya kebutuhan konsumsi, biaya pendidikan anak, biaya sosial (pesta), ketidakmenentuan iklim (cuaca) serta tidak adanya jaminan stabilitas harga produksi pertanian (karena diserahkan ke mekanisme pasar) dan lain-lain telah ikut menambah durasi keluhan (histeria) warga gereja. Persoalan ini menjadi semakin rumit sebab mereka juga mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas permodalan dari lembaga 104 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI keuangan mikro yang beroperasi di sana. Akibatnya, tidak sedikit warga gereja terpaksa menempuh “jalan ke keselamatan” yang ditawarkan oleh para rentenir di wilayah partikularitasnya masing-masing. Ironisnya, praktik penghisapan (rentenir) itu berlansung di antara sesama warga gereja sehingga suasana persekutuan (koinonia) gereja tampak bermasalah. Merespon kondisi krisis yang sedang dihadapi warganya tersebut, GKPS (melalui unit pelayanannya (“Pelpem GKPS”)166mencoba mengadakan “Konsultasi Gereja dan Masyarakat” (KGM) untuk mengidentifikasi sekaligus memetakan apa yang menjadi tuntutan (demand) utama dari warganya. KGM tersebut diadakan di Pematang Siantar pada tahun 2000 (sebelum pelaksanaan Sinode Bolon GKPS ke-35. KGM itu kemudian menghasilkan sebuah rekomendasi agar GKPS melakukan “pelayanan (diakonia) di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat”. Rekomendasi KGM tersebut kemudian diserahkan kepada Pimpinan Pusat GKPS, untuk dibawa ke forum Sinode Bolon GKPS sebagai lembaga pengambil keputusan tertinggi. Sinode Bolon (SB)167 GKPS ke 35 pada tahun 2000 itu kemudian memutuskan agar GKPS melakukan pelayanan pemberdayaan ekonomi rakyat dan merekomendasikan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etisnya. Menindaklanjuti keputusan SB GKPS tersebut, Pimpinan Pusat GKPS sebagai penanggungjawab penyelenggaran pelayanan (eksekutif) kemudian mencoba melakukan berbagai langkah persiapan untuk mendirikan BPR yang dimaksud, termasuk mengutus 166 Pelpem adalah singkatan dari Pelayanan Pembangunan yakni sebuah unit (lembaga) pelayanan GKPS yang berada di bawah naungan Departemen Diakonia. 167 Sinode Bolon adalah forum pengambil keputusan tertinggi di GKPS. SB diselenggarakan dua kali dalam satu periode (5 tahun). Selanjutnya lihat:Tata Gereja dan Peraturan Rumah Tangga GKPS tahun 2009 105 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LG(pada tahun 2001) untuk mengikuti orientasi pengelolaan dan pengoperasian suatu BPR milik gereja yang diselenggarakan oleh PT.BPR-PPK di kompleks Retreat Centre GBKP di desa Sukamakmur Kecamatan Sibolangit-Deli Serdang. Namun, keinginan GKPS untuk mendirikan BPR tersebut tampaknya tidak dapat diwujudkan karena berbagai hambatan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Secara internal, hambatan itu menurut LG terkait dengan regulasi perbankan dan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang tata cara, persyaratan pendirian dan kepemilikan sebuah BPR yang mana berdasarkan UU No.10 tahun 1998, pasal 23 :Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia yang seluruh pemiliknya adalah warga negara Indonesia, Pemerintah Daerah, atau dapat dimiliki bersama di antara ketiganya, (sic!)”.168 Apa yang dialami GKPS ini hampir sama dengan apa yang pernah dialami GBKP ketika mereka merencanakan mendirikan PT. BPR-Pijer Podi Kekelengen (PT.BPR-PPK). Perbedaannya, ketika itu GBKP diperhadapkan dengan UU No.7 tahun 1992, di mana ketentuan yang mengatur ihwal pendirian dan kepemilikan suatu BPR tidak berbeda dengan UU No. 10 tahun 1998. Kalau GBKP ketika itu memilih mengambil langkah menerbitkan kepemilikan GBKP atas PT.BPR-PPK dalam bentuk kepemilikan saham atas nama sebagaimana UU No. 7 tahun 1992 mengaturnya maka GKPS tampaknya tidak berniat memilih langkah tersebut. Bahkan, hingga penelitian ini dilakukan, GKPS tampaknya tidak berniat mendirikan BPR yang sudah diputuskan oleh lembaga pengambil keputusan tertingginya tersebut. Keputusan “menghentikan” rencana mendirikan BPR “milik” GKPS tersebut bukan karena GKPS memiliki wacana LG adalah salah seorang Pendeta (muda) GKPS yang menjadi motor penggerak dalam proses pembentukan Komunitas CUM “Talenta”. Ketika itu LG masih berstatus sebagai vikaris (masa persiapan sebelum ditahbiskan menjadi Pendeta). 168 Sumber: www.komisiinformasi.go.id (diakses tanggal 18 Juni 2013, 09:18). 106 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI alternatif untuk diajukan sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etisnya di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat/rakyat. Akibatnya, ada semacam kebuntuan yang dialami GKPS untuk memberi respons terhadap kesulitan ekonomi warganya khususnya, kesulitan warga jemaatnya dalam mengakses sumber permodalan dari lembaga Keuangan Mikro yang ada di wilayah partikularnya masing-masing. Dalam keadaan seperti itu, GKPS menjadi mangkir dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya etisnya sebagai gereja yang telah ia rumuskan sendiri yakni untuk: “mencerdaskan dan menyejahterakan warga gereja dan masyarakat”.169 Dalam konteks berada dalam situasi “kebuntuan” seperti itu, MPA kemudian datang dan mengajukan wacana alternatif untuk mengisi ketiadaan instrumen artikulasi aspek etis GKPS di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat/rakyat. Wacana alternatif yang diajukan MPA itu adalah wacana Credit Union Modifikasi (CUM). Agar dapat memahami dan mampu mengoperasikan wacana CUM tersebut, MPA mengundang Pimpinan Pusat GKPS agar mengutus tenaga pelayannya untuk dididik dan dilatih menjadi calon pengelola (manejer) CUM. Merespon undangan tersebut, GKPS kemudian mengutus LG untuk mengikuti “Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM” yang diselenggarakan MPA. Itu berarti, melalui LG lah GKPS mengenal dan menerima wacana CUM itu pertama sekali.Sejak itu, GKPS selalu mengutus para Pendetanya (sesuai dengan kuota yang diberi MPA) untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola CUM yang diselenggarakan setiap tahun tersebut. Sejauh ini (tahun 2012) setidaknya sudah ada sekitar dua puluh orang Pendeta GKPS yang telah mengikuti Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM yang diselenggarakan oleh MPA tersebut. 169 Lihat:Tata Gereja GKPS tahun 2009, 7 butir g 107 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3.3.3. Pembentukan Komunitas CUM “Talenta” Sebagaimana sudah diutarakan pada bab sebelumnya secara teknis sistem manajemen CUM merupakan perpaduan atau sintesa dari sistem manajemen CU konvensional dan sistem manajemen BPR. Sebagai seorang yang sudah pernah mengikuti pernah mengikuti orientasi tentang tata cara pengelolaan, pengoperasian dan pengembangan BPR milik gereja yang diselenggarakan oleh PT.BPR-PPK pada tahun 2001, maka wajar saja LG memiliki pengetahuan tentang pengelolaan dan pengoperasian credit union. Meskipun GKPS “gagal” mendirikan BPR (hingga LG selesai mengikuti orientasi di PT.BPR-PPK) tersebut, namun di tempat pelayanannya, sebagai Pendeta GKPS di GKPS Resort Batam, (persisnya di GKPS Batu Aji Batam) Kepulauan Riau, LG mencoba mendirikan komunitas “credit union” (CU) berbasis gereja. Sayangnya, komunitas CU yang didirikan LG tersebut belum sempat mekar dan berkembang, LG kembali harus pindah tugas pelayanan menjadi Pendeta Resort Gajapokki, sebuah wilayah pelayanan partikular GKPS Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Perpindahan tugas pelayanannya dari daerah kota (industri) ke daerah pedesaan (agraris) di Simalungun tidak membuat semangat dan gairah LG untuk mengkonkretkan wacana CUM itu ke dalam konteks gerejanya di GKPS menjadi surut. Sebaliknya, LG justru tampak semakin bersemangat. Di daerah pelayanannya yang baru di distrik III, upayanya untuk mengongkritkan wacana CUM tersebut dilakukannya dengan cara menyosialisasikan wacana CUM itu kepada para Pendeta, Penginjil maupun para Penetua gereja baik secara informal maupun secara formal. Sosialisasi wacana CUM secara formal, dilakukan LG pertama sekali pada saat penyelenggaraan rapat kordinasi GKPS distrik III yang diselenggarakan di Zentrum GBKP Kabanjahe,tanggal, 16-18 108 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI November 2006”.170 Sayangnya, wacana CUM yang diperkenalkan LG pada forum rapat kordinasi distrik III ini ternyata tidak dapat begitu saja diterima sebab di situ muncul sejumlah tanggapan dan perdebatan tentang status wacana CUM. Singkat kata, sosialisasi wacana CUM di forum rapat distrik III tersebut berujung pada munculnya penolakan (resistensi). Menurut LG, setidaknya ada tiga hal yang membuat wacana CUM tidak dapat diterima sebagai instrumen artikulasi aspek etis gereja di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat/rakyat. Pertama, secara legal formal wacana CUM tidak lahir dari “rahim” institusi GKPS. Maksudnya, wacana CUM bukan merupakan wacana yang diproduksi GKPS sehingga dianggap bukan merupakan “bahasa resmi” GKPS. Kedua, status wacana CUM sebagai sebentuk informal microfinancememberi kesan bahwa praktik diskursif CUM dianggap merupakan semacam praktik bank gelap (illegal banking) sehingga dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, masih adanya polarisasi pemahaman (teologi) dari kalangan para pelayan GKPS (Pendeta, Penginjil, Sintua) tentang keterlibatan gereja dalam melakukan pelayanan pemberdayaan ekonomi terhadap jemaat dan masyarakat. Pada satu pihak, ada yang memahami bahwa gereja memiliki tanggung jawab dalam melakukan pelayanan pemberdayaan ekonomi rakyat sedangkan pada pihak yang lain adapula yang memahami bahwa fokus pelayanan gereja atau Pendeta adalah pelayanan kerohanian sehingga para Pendeta tidak perlu terlibat dalam pelayanan ekonomi. 170 Rapat kordinasi distrik di GKPS adalah sebuah pertemuan antara para Pendeta, Penginjil dan Pimpinan Majelis Jemaat di suatu wilayah pelayanan GKPS yang disebut Distrik. Rapat kordinasi distrik biasanya diselenggarakan sekali setahun (biasanya bulan November). Tugas dan fungsi rapat kordinasi distrik GKPS adalah untuk mengevaluasi, dan merumuskan program pelayanan GKPS di tingkat distrik. Selain itu, Rapat Kordinasi Distrik juga merupakan wadah bagi Pimpinan Pusat GKPS untuk menyampaikan rencana Anggaran Belanja tahunan GKPS untuk satu tahun pelayanan berikutnya. 109 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Munculnya resistensi terhadap wacana CUM dari peserta rapat kordinasi distrik III itu, tidak membuat semangat dan gairah LG untuk mengongkritkan “unsur baru” pelayanan (diakonia) itu ke dalam konteks gerejanya menjadi surut. LG lantas “putar haluan”. Kali ini fokus sosialisasi wacana CUM itu, diarahkannya kepada kalangan Pendeta (muda) GKPS yang ada di distrik III. LG tampak cukup jeli melihat adanya kebiasaan beberapa orang Pendeta (muda) GKPS yang selalu berkumpul di setiap hari Rabu pasca pelaksanaan sermon hadomuan 8 resort,171 di GKPS Saribudolok. Biasanya dilakukan sambil makan siang atau minum kopi. Di situ, selalu ada perbincangan (diskusi) informal tentang berbagai hal (isu) mulai dari isu sosial, politik, ekonomi skala nasional dan lokal. Tidak ketinggalan, di situ para Pendeta muda GKPS ini juga memperbincangkan hal ihwal yang menyangkut kesulitan dan hambatan pelayanan di resort (wilayah) nya masing-masing. Dari beragam isu yang sering diperbincangkan, fenomena menurunnya tingkat partisipasi dan kehadiran warga gereja GKPS dalam mengikuti kegiatan-kegiatan gereja selalu menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Selain itu, perbincangan tentang kesulitan finansial yang dihadapi oleh masing-masing Pendeta dan Penginjil GKPS, turut juga mewarnai perbincangan di setiap “pertemuan informal hari Rabu” itu. Hal ini memang dapat dimaklumi, sebab perolehan (gaji) yang diterima para Pendeta dan Penginjil GKPS setiap bulan masih tergolong minim sementara biaya kebutuhan hidup dari waktu ke waktu terus meningkat. Dalam kondisi seperti itu, para Pendeta atau 171 Sermon hadomuan 8 resort adalah pertemuan para Pendeta, Penginjil, dan anggota majelis jemaat dari 8 resort GKPS yang ada di sekitar Kecamatan Silimakuta Saribudolok. Pertemuan ini, adalah pertemuan yang dilakukan untuk membahas dan mempersiapkan bahan khotbah kebaktian Minggu dan juga partonggoan (persekutuan doa antar keluarga). Dilaksanakan sekali seminggu bertempat di GKPS Saribudolok. Pertemuan ini bertigas untuk mendiskusikan bahan khotbah kebaktian Minggu dan Partonggoan (persekutuan do antar keluarga). Pesertanyaadalah para Pendeta, Penginjil, Sintua dan anggota Majelis jemaat GKPS lainnya khususnya yang akan bertugas sebagai pengkhotbah pada kebaktian hari Minggu digerejanya masing-masing dan Partonggoan (persekutuan doa antar keluarga). 110 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Penginjil GKPS (khususnya yang melayani di daerah pedesaan), masih harus menyediakan sendiri juga sarana dan prasarana pelayanan seperti sepeda motor, komputer (laptop) dan lain sebagainya. Itulah sebabnya sehingga masih ada Pendeta dan Penginjil GKPS yang masih meminta bantuan finansial setiap bulan kepada orang tua atau keluarganya. Bagi para orang tua atau keluarga Pendeta dan Penginjil GKPS yang memiliki kemampuan finansial yang cukup, tentu kesulitan itu dengan segera dapat diatasi. Namun, bagi para Pendeta atau Penginjil GKPS yang orang tua atau keluarganya tidak mampu, hal ini tentulah menjadi persoalan yang cukup serius dan menyesakkan. Maka, tidak sedikit pula dari antara para Pendeta yang terpaksa harus menempuh jalan berhutang (kredit) untuk mengatasi kesulitan ekonominya. Dalam konteks keprihatinan dan urgensi permasalahan seperti itu, LG kembali mengajukan wacana CUM sebagai wacana alternatif untuk mengatasi kesulitan finansial yang dialami oleh para Pendeta dan Penginjil GKPS itu. LG mengatakan bahwa melalui praktik diskursif CUM, para Pendeta dan Penginjil GKPS sebagai pemimpin umat dan pemimpin spiritual tidak hanya dapat mempraktikkan sikap saling membantu, tetapi sekaligus juga dapat memberi contoh dan teladan bagi upaya memaknai persekutuan (koinonia) gereja. Menurut LG, salah satu ciri utama persekutuan (koinonia) gereja adalah adanya sikap hidup yang mau saling berbagi dan bertolong-tolongan sebagaimana tertulis dalam Alkitab (Galatia 6:2): “Bertolong-tolonganlah kamu menanggung bebanmu! Demikianlah, kamu memenuhi hukum Kristus”.. Langkah “putar haluan” dengan fokus kepada Pendeta (muda) GKPS yang ditempuh LG itu, tampaknya merupakan langkah yang cukup jitu sebab setelah melakukan serangkaian sosialisasi secara informal di setiap “pertemuan hari Rabu” itu, kesadaran para Pendeta (muda) GKPS tampak mulai merekah. Pada tanggal, 27 111 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Desember 2006, sembilan orang Pendeta (muda) GKPS yang ada di Distrik III menyatakan kesediaannya untuk mendirikan komunitas CUM sebagai wadah bagi para Pendeta dan Penginjil GKPS di distrik III untuk mempraktikkan sikap hidup saling membantu dan berbagi di bidang keuangan. Pada tanggal 16 Januari 2007, bersamaan dengan penyelenggaraan acara “Refleksi dan Syukuran Tahun Baru 2007 Pendeta dan Penginjil GKPS distrik III” di rumah Praeses GKPS distrik III di Saribudolok, 16 orang Pendeta GKPS menyatakan komitmennya untuk mendirikan suatu komunitas CUM dalam konteks GKPS. Dan, pada hari yang sama, enam belas orang Pendeta (muda) GKPS itu mendeklarasikan berdirinya kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”.172 Deklarasi berdirinya komunitas CUM “Talenta” tersebut ditandai dengan membuat kesepakatan bahwa setiap anggota yang ingin menjadi anggota komunitas, diwajibkan membayar sebesar Rp.15.000,- sebagai uang pangkal, Rp.100.000,- sebagai simpanan pokok serta Rp. 20.000 sebagai simpanan wajib per bulan. Selain itu, setiap anggota juga diperkenankan untuk menyimpankan uangnya di komunitas CUM “Talenta” sebagai simpanan sukarela. LG kemudian ditunjuk menjadi kordinator sementara komunitas, utuk mengelola aktivitas awal, pembukuan serta pengembangan keanggotaan komunitas. 3.3.4. Memperluas Keanggotaan Komunitas CUM “Talenta”: Membangun Kelompok (unit) di Basis Jemaat Sambil mengelola aktivitas awal komunitas CUM “Talenta”, secara perlahan LG mulai memperluas keanggotaan komunitas CUM “Talenta” agar dapat melibatkan warga gereja (jemaat) dan masyarakat umum. Untuk kepentingannya tersebut, LG tampak 172 Pelaksanaan Refleksi dan Syukuran Tahun Baru Pendeta dan Penginjil GKPS distrik III itu dilaksanakan di rumah Praeses GKPS distrik III (Pdt.Jameldin Sipayung) di Saribudolok, Kecamatan Silimakuta. Hingga tanggal, 20 Januari 2010, jumlah Pendeta GKPS yang menjadi anggota komunitas CUM “Talenta” adalah 129 orang dari 170 orang jumlah pendeta GKPS secara keseluruhan. (Sumber: Dok, CUM Talenta, Data Anggota CUM Talenta; Pendeta se GKPS). 112 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tetap merawat “pertemuan informal setiap hari Rabu” yang dilakukan para Pendeta (muda) GKPS itu. LG tampak memosisikan para Pendeta (muda) GKPS itu menjadi semacam “kelompok inti” (core group) dalam komunitas CUM “Talenta”, sekaligus menjadi semacam serat penghubung agar LG dapat menyosialisasikan wacana CUM dan mendirikan unit-unit komunitas CUM “Talenta” di basis-basis jemaat di mana para Pendeta (muda) itu melayani. Selanjutnya, upaya LG untuk memperluas keanggotaan komunitas CUM “Talenta”, dilakukannya dengan menyosialisasikan ulang wacana CUM itu kepada para Sintua (penetua) dan anggota majelis jemaat GKPS. Momen pelaksanaan sermon hadomuan 8 resort yang diselenggarakan secara rutin di setiap hari Rabu di GKPS Saribudolok, dimanfaatkannya sebagai wadahnya. Sermon hadomuan delapan resort ini adalah sebuah pertemuan rutin untuk mendiskusikan bahan khotbah kebaktian Minggu dan khotbah kebaktian partonggoan (persekutuan doa antar keluarga) yang dilakukan oleh para Pendeta dan Penginjil GKPS di distrik III bersama dengan anggota majelis jemaat dari 8 resort GKPS yang berbeda. Kegiatan ini, dipimpin oleh Praeses GKPS distrik III di mana pengantar diskusi (bahan khotbah) dalam sermon hadomuan 8 resort dipersiapkan oleh Pendeta atau Penginjil GKPS secara bergiliran sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati bersama. Setiap kali, pelaksanaan sermon hadomuan 8 resort itu hendak diakhiri, di situlah LG selalu meminta waktu untuk menyosialisasikan ulang wacana CUM itu tersebut. Dari proses sosialisasi di sermon hadomuan 8 resort itulah, LG kemudian diminta kembali oleh Pimpinan Majelis jemaat tertentu bersama dengan Pendeta Resortnya, untuk mengadakan “sosialisasi lanjutan”, secara langsung di basis jemaat. Momen pelaksanaan “sosialisasi lanjutan” itu, dilakukan dengan memanfaatkan kegiatan rutin 113 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI GKPS yang sudah terstruktur yakni kebaktian partonggoan (persekutuan doa antar keluarga) yang dilaksanakan sekali dalam seminggu. Di daerah pelayanan GKPS di distrik III pelaksanaan partonggoan itu pada umumnya dilakukan pada malam hari. Maklum saja, sebab profesi warga GKPS di daerah pelayanan GKPS di distrik III ini, sebagian besar adalah Petani. Bahkan, tidak sedirikit warga GKPS yang berprofesi sebagai pegawai negari sipil seperti guru, perawat-bidan, dan lain-lain juga memiliki usaha pertanian. Biasanya, para petani di daerah ini, baru akan pulang ke rumahnya masing-masing pada sekitar jam enam sore (18.00 Wib). Setelah itu, masing-masing keluarga (pada umumnya perempuan;istri) masih harus memasak untuk makan malam keluarga. Jadi sangat dapat dimengerti mengapa partonggoan GKPS di wilayah distrik III pada umumnya baru dimulai pada jam 20.00. Rata-rata durasi penyelenggaraan partonggoan memakan waktu antara satu sampai satu setengah jam sehingga tidak mengherankan kalau partonggoan itu baru berakhir pada jam 21.30. Setelah berakhirnya, acara partonggoan itulah LG menyosialisasikan wacana CUM itu kepada warga jemaat.Itulah sebabnya, tidak jarang LG baru akan tiba kembali di rumahnya pada waktu tengah malam bahkan dinihari. Dinginnya udara malam yang menyelimuti daerah pedesaan Saribudolok sekitarnya (tidak jarang juga disertai turunnya kabut embun yang cukup tebal) tidak membuat semangat dan gairah LG menjadi surut. Setiap kali melakukan sosialisasi lanjutan di basis-basis jemaat itu, LG selalu mengutip Firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab sebagai dasar bagi praktik diskursif CUM. Salah satu ayat Alkitab yang dikutip LG sebagai penadasaran kegiatan sosialisasi itu adalah: Bertolong-tolonganlah kamu menanggung bebanmu! Demikianlah, kamu memenuhi hukum Kristus”. (Galatia 6:2). Dengan cara seperti itu, LG mau menegaskan 114 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kembali bahwa praktik ber-CUM tidak sama dengan ber-CU pada umumnya. Di dalam komunitas CUM “Talenta”, anggota tidak hanya mendapatkan manfaat ekonomi tetapi juga manfaat sosial dan spiritual. Dari proses sosialisasi lanjutan seperti itulah, LG membentuk “unit” (sering juga disebut komisariat) komunitas CUM “Talenta” di tingkat jemaat. Kalau wacana CUM yang diperkenalkan LG lewat sosialisasi lanjutan di partonggoan itu dapat diterima oleh jemaat maka di situ akan didirikan unit atau komisariat komunitas CUM “Talenta”. Syarat berdirinya sebuah unit atau komisariat CUM “Talenta” di basis jemaat tertentu apabila di sana sudah ada 15 orang anggota. Sebuah unit (komisariat) dipimpin oleh seorang kordinator yang disebut dengan komisaris. Dalam kedudukannya sebagai kordinator unit, seorang komisaris memiliki dua fungsi. Pertama, seorang komisaris merupakan pemimpin yang mengorganisasi kegiatan-kegiatan komunitas CUM “Talenta” di tingkat basis. Kedua, seorang komisaris adalah perpanjangan tangan Manajer di tingkat tingkat unit. Sebelum melaksanakan tugasnya, seorang komisaris terlebih dahulu dilantik pada suatu kebaktian Minggu di jemaat GKPS di mana unit itu terbentuk. Hal itu dilakukan sebab bagaimanapun juga komunitas CUM “Talenta” telah menyatakan dirinya sebagai alat pelayanan gereja di bidang keuangan sebagaimana dirumuskan dalam AD/ART tahun 2009, di mana dalam bab III pasal 4 disebutkan bahwa komunitas CUM adalah lembaga pelayanan gereja di bidang keuangan. Lalu, kalau dilihat dari AD/ART komunitas CUM “Talenta” edisi revisi tahun 2012, pada bab III pasal 4, dinyatakan bahwa bentuk dan jenis komunitas CUM “Talenta” adalah unit pelayanan gereja dalam bidang pemberdayaan ekonomi jemaat. Itu sebabnya, dalam struktur organisasi komunitas CUM “Talenta” di tingkat unit (komisariat), Pimpinan Majelis Jemaat GKPS diposisikan sebagai Penasehat. Hal ini dimaksudkan agar aktivitas 115 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI komunitas CUM ”Talenta” di tingkat unit senantiasa dapat dijalankan sesuai dengan visi dan misi gereja”.173 Dengan menempuh langkah sosialisasi sebagaimana yang diceritakan di atas, LG tampak berhasil mengembangkan dan memperluas keanggotaan komunitas CUM “Talenta” sehingga identitas keanggotaannya tidak hanya warga gereja GKPS tetapi juga warga gereja denominasi lain bahkan masyarakat agama yang lain. Dengan begitu, komunitas CUM “Talenta” adalah sebuah kesatuan sosial di mana keanggotaannya bersifat sukarela dan terbuka (inklusif). Berikut ini, ditampilkan gambaran umum perkembangan organisasi komunitas CUM “Talenta” berdasarkan laporan pertanggungjawaban pengurus komunitas CUM “Talenta” tahun buku 2011:174 Tabel 5: Gambaran Umum Pertumbuhan unit, calon unit dan bakal calon unit Komunitas CUM “Talenta” hingga tahun 2011 Jumlah No Kantor Cabang Unit Calon unit Bakal calon unit 1. Saribudolok 57 30 11 2. Pematang Raya 39 12 29 3. Pematang Siantar 8 4 6 104 46 46 Jumlah total Sementara itu, rincian pertumbuhan dan perkembangan jumlah anggota komunitas CUM “Talenta” sejak berdiri tahun 2007 hingga tahun 2011 dapat dilihat dalam tabel berikut ini: 173 Lihat: AD/ART komunitas CUM “Talenta” Bab X pasal 18 ayat 1d Diolah berdasarkan Laporan Hasil Pengawasan CUM “Talenta” Tahun buku 2011, Selanjutnya lihat: Laporan Pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas CUM “Talenta” tahun buku 2011 dan Program Kerja CUM “Talenta” Tahun 2012, hlm, 21 174 116 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tabel 6: Jumlah anggota Komunitas CUM “Talenta” per 31 Desember 2011 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Keterangan Jumlah anggota per 31 Desember 2010 Pertambahan anggota tahun 2011 Anggota yang keluar sejak tahun 2007 sampai tahun 2011 Jumlah anggota dimutasikan Jumlah anggota diterima (mutasi) Jumlah anggota aktif per 31 Des 2011 Kantor Cabang Saribudolok P.Raya P.Siantar 3209 1.306 0 Jumlah Total 4.515 1198 1.006 105 2.309 151 17 - 168 388 141 - 529 529 3.504 2.129 632 6265 Sebagai catatan tambahan, proses masuknya warga gereja dari gereja denominasi yang lain serta masyarakat agama yang lain (muslim) menjadi anggota komunitas CUM “Talenta”, tidak dilakukan lewat kerja pengorganisasian secara khusus melainkan hasil dari sosialisasi dan interaksi sosial yang dilakukan oleh anggota dan komisaris komunitas CUM “Talenta” di wilayah partikularnya masing-masing. Bapak Sutrisno (seorang muslim) misalnya mengungkapkan bahwa keputusannya untuk masuk menjadi anggota komunitas CUM “Talenta” unit Marihat Saribujandi, setelah ia mendengar paparan tentang wacana CUM dari anggota dan komisaris CUM “Talenta”. Lebih jauh bapak Sutrisno mengungkapkan bahwa ia dan keluarganya adalah kelompok minoritas dari sisi agama di komunitas CUM “Talenta” tetapi ia merasa diperlakukan sama dengan anggota lainnya. Saya sudah dua kali merasakan manfaat sosial dan finansial sebagai anggota komunitas CUM “Talenta”; yang pertama ketika hendak menikahkan 117 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI anaknya ia memperoleh pinjaman sebesar Rp.4 jt, dan kedua ketika hendak merenovasi rumah sebesar Rp.10 jt”.175 3.4. Hubungan Komunitas CUM “Talenta” Dengan GKPS 3.4.1. Klaim Sebagai Bidang Pelayanan GKPS Meskipun komunitas CUM “Talenta” memproklamasikan dirinya sebagai “unit pelayanan gereja dalam bidang pemberdayaan keuangan jemaat 176, namun secara legalformal, komunitas CUM “Talenta” sesungguhnya bukanlah unit pelayanan (diakonia) GKPS secara struktural. Hal itu terjadi sebab secara legal-formal komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari “rahim” institusi GKPS. Pembentukan komunitas CUM “Talenta” bukan merupakan produk kebijakan ataupun keputusan GKPS secara kelembagaan. Oleh karena itu, kedudukan komunitas CUM “Talenta” di dalam struktur kelembagaan GKPS dapat dikatakan merupakan sebentuk “persekutuan” (koinonia) informal warga gereja di bidang ekonomi. Komunitas CUM Talenta dan institusi GKPS adalah dua entitas yang berbeda dan memiliki otonominya sendiri-sendiri.Meskipun begitu, keduanya tidak dapat dipisahkan begitu saja sebab bagaimanapun juga sejarah berdirinya komunitas CUM “Talenta”tidak dapat dipisahkan dari komitmen pelayanan para Pendeta dan Penginjil GKPS untuk merespon persoalan (krisis) sosial, ekonomi yang dihadapi warga gereja dan masyarakat di wilayah partikular pelayanan mereka masing-masing. Untuk menelisik bagaimana pola hubungan dari keduanya secara ideal, maka perspektifnya akan didasarkan pada rumusan ideal sebagaimana dikonstruksi dalam AD/ART komunitas CUM “Talenta” baik yang lama (edisi 2009) maupun yang baru (edisi revisi 2012). Di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AR/ART) 175 Wawancara dilakukan di kantor Induk CUM “Talenta” di Saribudolok, Rabu, 07 Maret 2012 Lihat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga komunitas CUM Talenta tahun 2009 dan edisi revisi tahun 2012 176 118 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI komunitas CUM “Talenta” pada bab VI pasal 9 ayat 1dan 2 tahun 2012, disebutkan bahwa: 1. Hubungan antara CUM Talenta dan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) adalah sebagai Pembina agar dapat berjalan sesuai dengan program gereja yaitu sebagai pemberdayaan warga jemaat. 2. Komisaris CUM “Talenta” yang ada di jemaat berkordinasi dengan Badan Diakonia Sosial Gereja atau badan yang dihunjuk oleh Pimpinan Majelis jemaat setempat”.177 Sementara itu, pada bagian lain, yakni pada bab XVII tentang “Pembubaran dan Penyelesaian”, yakni pada pasal 31 ayat 2 disebutkan bahwa pembubaran CUM “Talenta” dapat dilakukan:” oleh Pembina (GKPS) dengan alasan:a). CUM “Talenta” tidak lagi menjalankan AD/ART yang disepakati, b). dalam penilaian Pembina (GKPS) CUM “Talenta” tidak dapat lagi melangsungkan hidupnya”. 178 Pada sisi yang lain, pada Bab XVI AD/ART-nya yang mengatur tentang “Rapat-Rapat”, pasal 26 (Rapat Anggota Tahunan: RAT) ayat 1 disebutkan bahwa: Rapat Anggota Tahunan (RAT) merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam CUM “Talenta”…”.179 Dengan memosisikan institusi GKPS sebagai Pembina, komunitas CUM “Talenta” tampak berharap agar GKPS dapat terlibat dalam memberi arah sehingga praktik diskursif CUM senantiasa dapat dijalankan sesuai dengan program gereja yaitu sebagai pemberdayaan ekonomi kerakyatan bagi jemaat dan masyarakat”.180Secara aktual, hubungan komunitas CUM “Talenta” dengan GKPS diekspresikan melalui: pelantikan pengurus komunitas CUM “Talenta” oleh Pimpinan Pusat GKPS dalam suatu kebaktian GKPS ( bab VII, pasal 10 ayat 4). 177 Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) CUM “Talenta” tahun 2012 Ibid 179 Ibid 180 Lihat Anggaran Dasar dan Anggara Rumah Tangga (AD/ART) komunitas CUM “Talenta” tahun 2012 178 119 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Selain itu, pola hubungannya juga tampak dalam kaitannya dengan pengangkatan Manajer maupun Top Manejer komunitas CUM “Talenta”. Berdasarkan bab VIII pasal 15 ayat 2 AD/ART CUM “Talenta” tahun 2012, bahwa yang dapat diangkat menjadi Manajer adalah mereka yang sudah menerima pendidikan CUM dan memiliki sertifikat serta sudah memiliki pengalaman mengelola CUM”.( ayat 3), Manajer yang memiliki latar belakang fultimer GKPS diangkat atau dimutasikan dan diberhentikan oleh pengurus sesuai dengan SK (surat keputusan) Pimpinan Pusat GKPS […]”.181 Disamping itu, hubungan komunitas CUM “Talenta” dengan GKPS juga tampak diekspresikan dengan mengalokasikan sebesar 2% dari 50% alokasi dana khusus komunitas yang disebut sebagai dana solidaritas untuk GKPS (bab XIV pasal 23 ayat 2i)”.182 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pola hubungan komunitas CUM “Talenta” dengan GKPS, tampak dikonstruksi secara ambigu. Pada satu sisi, komunitas CUM “Talenta” merasa dirinya adalah sebuah entitas sosial yang otonom dan mandiri tetapi pada saat yang sama, ia juga tampak tidak ingin terlepas begitu saja dari GKPS sebagai institusi yang menaunginya. Dengan kata lain, pada satu sisi komunitas CUM “Talenta” memandang GKPS sebagai semacam “struktur mediasi” (mediating structure) bagi keberadaannya terutama ketika berhadapan dengan kekuatan eksternal (kekuatan hegemonik; negara, rentenir, tengkulak). Dalam rangka menghadapi kekuatan eksternal itu, komunitas CUM “Talenta” mengkonstruksi hubungannya dengan GKPS dalam relasi patront-client (Ayah- anak). Namun, komunitas CUM “Talenta” tampaknya tidak menginginkan relasi patront-client itu berlaku secara mutlak (absolut) sebab ia juga ingin menjadi anak yang mandiri. 181 Lihat: Bab VIII pasal 15 ayat 2 AD/ART CUM “Talenta” tahun 2012 dan Laporan Pertanggungjawaban Pengurus CUM “Talenta” tahun 2012 182 Ibid, 120 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3.4.2. Program dan Akitvitas yang Dilakukan 3.4.2.1. Menciptakan Modal Bersama: Melawan Bank dan Rentenir Sejak awal, aktivitas pokok komunitas CUM “Talenta” adalah aktivitas “simpanpinjam”, di mana dana yang sudah terhimpun selanjutnya disalurkan kepada anggota lewat mekanisme pemberian kredit. Kepada penyimpan diberikan “jasa simpanan” dan kepada peminjam dikenakan “jasa pinjaman”. Di dalam komunitas CUM “Talenta”, dikenal apa yang disebut sebagai Sisa Hasil Usaha (SHU). SHU adalah pendapatan bersih komunitas yang diperoleh dalam satu tahun buku. 50% dari SHU dibagikan sebagai deviden kepada anggota dan 50% lainnya, dialokasikan sebagai dana-dana khusus. Tata cara pembagian SHU diatur dalam jasa pinjaman tersebut menjadi sumber deviden bagi komunitas CUM “Talenta” yang akan dibagikan pada akhir tahun bkepada anggota sesuai dengan besarnya saham masing-masing. Kalau dilihat dari segi jenisnya komunitas CUM “Talenta”dikategorikan sebagai sebentuk informal microfinance namun aktivitas “simpan-pinjam” yang dilakukannya tidak sama dengan praktek memungut riba sebagaimana yang dilakukan oleh para rentenir sebab di dalam komunitas CUM “Talenta”, si peminjam sesungguhnya memperoleh pertambahan jumlah saham dari “jasa pinjaman” yang ia berikan sendiri melalui pembagian sisa hasil usaha (SHU) pada setiap akhir tahun buku. Selain aktivitas “simpan-pinjam”, komunitas CUM Talenta juga menghimpun dana melalui sejumlah kegiatan perdagangan seperti penjualan buku-buku rohani bekerjasama (konsinyasi) dengan sejumlah pihak seperti kolportase GKPS, LAI (Lembaga Alkitab Indonesia), Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia dan lain-lain. Semua keuntungan dari aktivitas perdagangan dimasukkan sebagai hasil usaha, yang pada akhir tahun akan dibagi kepada setiap anggota sesuai besar saham masing-masing. 121 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3.4.2.2. Memaknai (ulang) Haroan Bolon Simalungun Tidak ketinggalan, dalam bidang pertanian komunitas CUM “Talenta” juga memfasilitasi pelatihan pembuatan pupuk bokasi (pupuk organik) bagi anggota komunitas dan masyarakat. Kelompok usaha pertanian bersama (haroan bolon) juga turut diselenggarakan. Modal awal usaha pertanian bersama ini dialokasikan dari posanggaran “pinjaman komunitas”. Praktek usaha pertanian bersama (haroan bolon) di Huta Saing diselenggarakan sejak tahun 2009 dan di desa Bandar Purba sejak tahun 2011 yang diberi nama “Haroan Bolon Talenta”. Dalam kosa kata orang Simalungun, haroan bolon adalah suatu sistem kerja yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama, yang anggotanya mendapat giliran untuk mengerjakannya ladangnya dengan berganti-ganti, yang hampir serupa sifatnya dengan gotong royong”.183 Kelompok “haroan bolon” di Huta Saing dibentuk pada tahun 2009. Usaha bersama yang mereka lakukan adalah menanam jahe seluas hampir 1 hektar (23 rante; 1 ha=25 rante). Praktik usaha pertanian bersama yang pertama ini tergolong berhasil (beruntung) sehingga mereka bisa mengembalikan “pinjaman komunitas” ke CUM Talenta. Lalu, pada awal tahun 2012 ini, mereka kembali mengerjakan lahan secara bersama dengan modal berasal dari “pinjaman komunitas” di CUM Talenta sebesar Rp.37.000.000. Ada juga, kelompok “haroan bolon Talenta” di Bandar Purba yang dibentuk pada tahun 2011. Usaha pertanian bersama ini dilakukan dengan modal berasal dari “pinjaman komunitas” di CUM Talenta sebesar Rp.20.000.000. Luas lahan yang diusahai komunitas seluas 12 rante. Namun, ada hal yang menarik dalam praktik haroan bolon di Bandar Purba dimana motivasi mereka melakukan usaha ini tidak semata-mata 183 Juandaha Raya Purba-Fredy P.Sidagambir,dkk,eds, (2012), Peradaban Simalungun,” inti Sari Seminar Kebudayaan Simalungun se Indonesia Pertama tahun 1964”,Pematang Siantar,KPBS, hlm, 46 122 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI demi kepentingan ekonomi uang tetapi juga demi makna sosial dan makna spiritual. Seorang anggota komunitas CUM “Talenta” yang turut membidani terbentukanya haroan bolon tersebut mengungkapkan latar belakang pembentukannnya sebagai berikut: . Dulu, semua dikerjakan bersama; ada “haroan marlajar” dan ada “haroan bolon”. Zaman sekarang ini, semuanya sudah sendiri-sendiri. Semua ingin menunjukkan kehebatannya masing-masing.Di kampung ini, anak-anakpun sudah bisa naik kareta [sepeda motor:ms], merokok, kecanduan internet [maksudnya game on line :ms]. Anehnya, walaupun sudah kenal internet tetapi banyak juga anak anak di kampung ini putus.Lalu, kredit sepeda motor yang murah juga telah membuat banyak anak-anak mengalami kecelakaan; ada yang patah tulang bahkan meninggal dunia. Kaum ibu juga senang sekali dengan acara gosip di televisi [gossip selebriti:ms], kaum bapa main judi toto gelap (togel). Semua kami dikampung ini mengatakan mencari pekerja (pekerja upahan:ms) di ladanglah yang susah sekarang ini. Tapi, di kelompok “haroan bolon” yang kami bentuk ini, kami bisa bercerita dan berbagi pengalaman tentang keluarga, anakanak terutama soal pendidikan dan sekolahnya”.184 Selain program yang sudah dipaparkan di atas, komunitas CUM “Talenta” juga melenyelenggarakan program Perlindungan jiwa (Linwa) dan program “Perlindungan kesehatan” (Linkes). Program “Linkes” ini adalah program yang dilaksanakan sejak tahun 2012. Sebelumnya, nama program ini adalah “Dana Pertanggungan Bersama” (Daperma). Pada AD/ART CUM tahun 2009, program ini, sesungguhnya tidak dikenal tetapi dalam kenyataan ia diadakan. Karena tidak memiliki pijakan konstitusi (AD/ART) komunitas maka bersamaan dengan keputusan Rapat Anggota Tahunan pada tahun 2012, program ini diubah namanya menjadi “Linwa” dan ditambah dengan “perlindungan kesehatan” (Linkes). Pada AD/ART komunitas CUM tahun 2012 bab V, pasal 13 yang mengatur tentang Linwa dijelaskan demikian: 1. Dalam rangka mewujudkan dana perlindugan jiwa (Linwa) terhadap anggota maka anggota wajib memberikan iuran tahunan perlindungan jiwa yang jumlahnya ditentukan oleh RAT 184 Bapak DD: adalah anggota CUM Talenta, ketua kelompok “haroan bolon” di desa Bandar Purba. Wacancara dilakukan tanggal, 05 Maret 2012, di lokasi perladangannya pukul.13.00 123 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Dana perlindungan jiwa ini diberikan kepada ahli waris apabila anggota CUM Talenta meninggal dunia 3. Pengaturan mengenai jumlah perkalian antara iuran dan manfaat yang diperoleh di ataur dalam peraturan khusus yang telah disepakati oleh RAT. Pada pasal 14 tentang Perlindungan Kesehatan (Linkes): 1. Dalam rangka memberikan Perlindungan Kesehatan (Linkes) bagi anggota maka semua anggota wajib memberikan iuran Perlindungan Kesehatan setiap tahun yang jumlahnya ditentukan oleh RAT 2. Dana Perlindungan Kesehatan ini diberikan kepada anggota apabila anggota mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit dengan ketentuan harus melampirkan surat keterangan rawat inap dari Rumah Sakit atau Puskesmas 3. Pengaturan mengenai jumlah perkalian antara iuran dan manfaat yang diperoleh diatur dalam peraturan khusus setelah disepakati olh RAT. Manajer komunitas CUM “Talenta” Saribudolok (SS) menjelaskan bahwa besarnya jumlah dana “Linwa” yang akan diberikan adalah sebagai berikut: yang telah menjadi anggota 1 – 3 tahun diberikan 1 juta rupiah, yang telah menjadi anggota 4-6 tahun 2,5 juta dan yang telah menjadi anggota 7-9 tahun diberikan 3,5 juta rupiah. Sementara itu besarnya jumlah untuk dana Linkes tidak mempertimbangkan lamanya masa keanggotaannya. Untuk rawat inap diberikan 500 ribu rupiah”.185 3.4.2.3. Memotong route Pemasaran Kopi: Mendirikan Perusahaan (CV.Talenta) Salah satu, persoalan yang dihadapi oleh kebanyakan anggota komunitas CUM “Talenta” adalah perihal tidak menentnya harga produksi (pasca panen) khususnya harga kopi. Setelah digumuli secara bersama dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) tahun 2012, komunitas CUM “Talenta” mendirikan unit usaha agribisnis, khususnya untuk menampung dan sekaligus memasarkan biji kopi anggota komunitas dan masyarakat untuk dipasarkan langsung ke produsen pengolah biji kopi (perusahaan). Keputusan ini merupakan salah satu keputusan Rapat Anggota Tahunan (RAT) tahun 2012, dimana sisa hasil usaha (SHU) tahun buku 2011 sebesar Rp.401.402.039 185 Percakapan dengan (SS) manajer Komunitas CUM “Talenta” Saribudolog. Percakapan dilakukan via telepon, 26 Maret 2012 (dicatat secara manual dan diterjemahkan secara bebas:ms) 124 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI diputuskan untuk “tidak dibagi” tetapi dijadikan sebagai modal awal (modal bersama) bagi pendirian unit usaha agribisnis”.186 Menindaklanjuti keputusan RAT tersebut, pengurus komunitas CUM “Talenta” kemudian mendirikan sebuah perusahaan dengan badan hukum CV. Pada tanggal tanggal 4 Agustus 2012 berdirilah unit agribisnis CV. CUM Talenta. Sejak itu, CV.CUM Talenta telah melakukan kerjasama dengan PT.Volkopi Indonesia yang merupakan anak perusahaan Volcafe Group ED & F Man yang berpusat di Amerika Serikat. Kerjasama yang telah dibangun adalah pemasaran kopi Simalungun ke Amerika. Sejak beroperasi, CV.CUM Talenta telah mengirimkan (menjual) sebanyak 15.000 kg produk biji kopi milik anggota komunitas CUM Talenta kepada PT.Volkopi Indonesia dan sudah dipasarkan ke Amerika Serikat. Dalam memori kerjasama tersebut disebutkan bahwa, PT.Volkopi memberikan fasilitas lahan, 80x 50m2, mesin pengosas, gudang, pelataran untuk penjemuran (terbuka dan tertutup; green house), tempat tinggal karyawan dan juga kantor bagi CV.CUM Talenta di Saribudolok. Salah satu poin penting dari kerjasama tersebut adalah PT.Volkopi Indonesia hanya memasarkan produk kopi dari Simalungun.”187 3.5. Perkembangan Komunitas CUM “Talenta” Dan Manfaat Yang Dirasakan Anggota Sebagai sebuah komunitas yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi kerakyatan versi Kristiani, komunitas CUM “Talenta” telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat baik dari sisi jumlah keanggotaannya (termasuk asetnya), maupun pengembangan kelembagaan serta aktivitas komunitasnya. Dalam laporan Badan Pengawas kepada Rapat Anggota Tahunan tahun 2012, yang disampaikan pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) tahun buku 2011, dijelaskan bahwa CUM Talenta kini memiliki 1 kantor induk, 2 kantor cabang dan 104 kelompok basis yang disebut unit ditambah 46 calon unit dan 36 bakal calon unit. dan lebih kurang 186 Lihat : Keputusan RAT CUM Talenta, tanggal 8 maret 2012 di GKPS Immanuel Saribudolok Kristendo Damanik, (direktur CV.CUM Talenta), “Memasarkan Kopi Arabika Simalungun Bersama CV.CUM Talenta” (dalam), Ambilan pakon Barita (AB) GKPS Edisi 466 Februari 2013, 25-26. (Ketika penelitian lapangan dilakukan, ihwal “unit agribisnis” ini masih dalam bentuk keputusan Rapat Anggota Tahunan (RAT) tahun 2012. Data ini dipandang perlu ditampilkan sebagai bagian dari update data. 187 125 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6.198 orang anggota [per 31 Desember 2011], dengan jumlah harta /total asset (aktiva) lebih dari Rp.8 milyar”.188 Berikut ini dikutipkan saja gambaran tentang pertumbuhan komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) “Talenta” selama empat tahun sejak berdiri 16 Januari 2007 sampai dengan laporan tahun buku 2011, berdasarkan laporan pertanggungjawaban badan pengurus komunitas CUM “Talenta” pada RAT tahun 2012:189 Tabel 7: Pertumbuhan dan Perkembangan Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) Talenta 2007-2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Uraian Jumlah anggota yang Masuk Jumlah anggota yang Keluar Jumlah anggota Kantor cabang Unit Pelayanan (Kelompok basis) Calon unit (calon kelompok basis) Jumlah Manager Jumlah personalia/staff Uang pangkal Simpanan Pokok Simpanan Wajib Simpanan sukarela Jumlah simpanan Simpanan saham berjangka Simpanan diakonia Saldo Pinjaman Saldo Pinjaman Komunitas Jumlah harta /asset (aktiva) Daperma Asuransi pinjaman Pendapatan 831 Tahun 2009 1.499 0 7 42 151 391 307 1.131 2.588 4.280 6.198 - 13 1 34 1 57 2 104 - - - - 46 1 1 2 2 - - 3 10 4.605.000 24.572.000 22.820.000 43.700.000 12.550.000 101.864.000 140.677.357 272.249.961 28.625.000 234.061.000 437.030.357 647.097.716 32.875.000 377.825.880 914.861.357 914.861.357 46.360.000 577.415.880 1.699.043.357 3.426.014.134 91.092.000 514.791.318 1.318.189.073 .2.207.548.594 5.702.473.371 - 90.000.000 307.000.000 747.100.000 1.746.319.200 - - - - 5.080.000 88.842.128 - 624.063.395 - 1.661.482.089 - 3.697.394.919 25.881.000 6.740.215.806 131.726.069 96.166.259 652.475.913 1.788.025.868 3.977.559.504 8.153.341.559 - 1.152.000 - 6.821.204 10.524.000 11.843.694 37.422.011 48.197.844 76.826.475 10.947.179 90.603.907 284.721.749 676.213.214 1.291.671.281 2007 307 2008 188 2010 1.843 2011 2.309 Lihat: Buku laporan Pertanggungjawaban Badan Pengurus dan Pengawas, tahun buku 2011 kepada Rapat Anggota Tahunan (RAT), tanggal 08 Maret 2012,di GKPS Immanuel Saribudolok. Hlm, 25 189 Ibid 126 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22 23 24 Pengeluaran SHU tahun lalu belum dibagi SHU 5.877.920 - 48.510.283 - 184.462.668 723.843 456.998.981 - 890.269.241 - 5.069.259 42.093.624 100.259.081 219.214.233 401.402.039 Perkembangan komunitas CUM Talenta sebagaimana tergambar dalam tabel tersebut di atas, tentu menjadi indikator hadirnya sejumlah manfaat yang dirasakan oleh anggotanya. Berikut ini, dikemukakan sejumlah manfaat dirasakan anggota komunitas CUM “Talenta”. Bapak Dosman Damanikmengatakan: Di CUM Talenta on taridah ma “ambilan na i horjahon, horja na iambilanhon” (terjemahan bebas: di CUM “Talenta” ini tampaklah khotbah yang dikerjakan dan kerja yang dikhotbahkan). Anggota bisa meminjam uang, tidak banyak urusan. Keuntungan dibagi bersama secara merata. Kita juga diajari menyimpan dan itu untuk membantu sesama. Inilah makna persekutuan (hasadaon-koinonia) ber-gereja bagi saya, jadi bukan hanya di-omong. Saya merasa “marharoan” itu hadir kembali lewat CUM Talenta ini. Memang, saya tidak mempunyai tanggungan lagi sebenarnya untuk anak-anak, sebab semua sudah tamat dan bekerja. Tapi saya mendapat pengetahuan dan wawasan di CUM Talenta ini. Di kampung ini, anggota CUM Talenta yang tadinya malas ke gereja (GKPS) sekarang sudah semakin rajin. Tetapi ada juga yang keberatan, karena hasil ladang anggota CUM “Talenta” tidak lagi di jual ke dia (rentenir,tengkulak:ms). Melalui CUM ini, “marharoan” yang sudah hilang itu seperti ada lagi. Jadi, terima kasihlah atas gagasan dan pelayanan para Pendeta GKPS ini. Naibata do marhorja ijon, (Allah yang bekerja di sini; ms) kalau tidak, tidak mungkin yang muslim pun ikut di dalamnya.190 Menurut bapak R.Purba (Bah bolon): Kami (keluarga) tidak lagi meminjam uang dari rentenir dan dari CU yang lain. Kini kami merasa bebas dari tekanan “bunga” rentenir. Dulu kami jadi anggota di CU .... (.sambil menyebut beberapa nama CU tertentu. Untuk kepentingan informan penelitian ini, nama CU tersebut tidak disebutkan) yang ada di kampung ini. Katanya koperasi, kita anggota disitu, kita menyimpan disitu, tetapi kita tidak tahu kemana hasil keuntungan CU tiap tahun. Tidak ada interaksi antara pengurus CU dengan kita. Anggota cuma stempel saja. Berbeda dengan di CUM Talenta ini, semua kita tahu, semua terbuka, dan setiap tahun kita tahu, kita mendapat SHU sesuai simpanan kita. Mungkin karena ini dilakukan di gereja ya dan Pendeta lagi pengurusnya”.191 190 Wawancara dilakukan tanggal, 05 Maret 2012 pukul 13.00. di lahan pertaniannya. (diterjemahkan secara bebas ke Bahasa Indonesia:ms,) namun beberapa ungkapan dalam bahasa Simalungun tidak diterjemahkan untuk menjaga kekhasan maknanya. Bapak DD, adalah seorang petani yang lebih suka membuat pupuk sendiri daripada membeli pupuk. Sudah empat tahun jadi anggota CUM Talenta (diterjemahkan secara bebas :ms) 191 Wawancara dilakukan tanggal 07 Maret 2012, pukul.10.00, di sebuah warung kopi di desa Buah Bolon Kecamatan Raya . Bapak RP sudah tiga tahun jadi anggota. (diterjemahkan seca bebas:ms) 127 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Menurut seorang ibu L.Saragih (Saribudolok): Saya merasa terbantu di CUM ini, sebab kita sekarang bebas membeli pupuk kemana kita mau. Selain itu, sekarang kita juga bisa bebas menjual hasil ladang kita kemana kita mau. Selama ini kami harus menjual hasil panen kami kepada agen pupuk karena kami mengambil pupuk dari dia.Perjanjiannya hasil panen di jual ke dia dan harga jual dia yang menententukan. Dulu hal itupun terpaksa dilakukan daripada tidak makan. Sekarang, kalau kami perlu modal untuk beli pupuk, bisa pinjam dari CUM Talenta “bunganya” (jasa:ms) tidak berat, lagi pula dibagi juga ke kita hasilnya pada akhir tahun. Pengurusnya pun terbuka, mungkin karena pendeta-pendeta semua pengurusnya. Sekarang kan ini sulit kita percaya sama orang lain, tetapi di CUM ini semua terbuka, jadi kita percaya”.192 Menurut bapak HC.Sianturi (Saribudolok): Saya memang belum pernah meminjam di CUM Talenta, tapi saya bisa merasakan kebersamaan apalagi sesama warga gereja GKPS. Saya baru menyimpan saja, dan belum banyak simpanan saya. Tapi satu yang menjadi pergumulan saya yaitu soal CUM ini yang tidak ber-“badan hukum”. Kalau terjadi apa-apa bagaimana nanti”.193 3.5.1. Dinamika Organisasi 3.5.1.1. Internal Dalam menjalankan roda organisasinya komunitas CUM “Talenta” juga menghadapi sejumlah persoalan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Secara internal, status dan posisi LG sebagai orang pertama dalam konteks GKPS mengenal wacana CUM menjadikannya tampak sangat dominan. Meskipun kedudukannya adalah sebagai manajer yang diangkat oleh Badan Pengurus namun karena kekurangpahaman Anggota Badan Pengurus tentang sistem akuntansi, sistem tata kelola dan sistem pengembangan CUM. membuat Anggota Badan Pengurus justru menjadi sangat tergantung kepada 192 Wawancara dilakukan tanggal 8 Maret 2012 pukul 22.00 (setelah selesai partonggoan keluarga;Persekutuan doa keluarga GKPS Immanuel Saribudolok), Ibu LS sudah tiga tahun jadi anggota CUM Talenta (diterjemahkan secara bebas:ms) 193 Wawancara dilakukan tanggal 8 Maret 2012, (selesai partonggoan keluarga;Persekutuan doa keluarga GKPS Immanuel Saribudolok) . Pukul: 22.00. Bapak HCS baru satu tahun menjadi anggota CUM Talenta (Diterjemahkan secara bebas:ms) 128 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI manajer yang diangkatnya sendiri. Badan Pengurus yang seharusnya memberi guidance kepada manajer CUM “Talenta”, yang terjadi justru sebaliknya, Anggota Badan Pengurus justru mengkuti langgam Manajer. Hal itu tampak misalnya dari pengakuan dari salah seorang anggota badan pengurus komunitas CUM “Talenta” ketika menuturkan perihal ketidaksetujuannya terhadap adanya struktur Top Manajer. Dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga komunitas CUM “Talenta” tahun 2009 yang berlaku hingga tahun 2011, sebenarnnya struktur “Top Manajer” belum dikenal, tetapi dalam kenyataannya, Badan Pengurus telah menunjuk LG sebagai Top Manajer. Mencuatnya struktur Top Manajer memang dilatarbelakangi oleh pertumbuhan dan perkembangan anggota serta pengembangan wilayah pelayanan Komunitas CUM “Talenta” yang tidak lagi cukup ditangani oleh hanya satu orang manajer. Oleh karena itu, pada tahun 2011 diangkatlah manajer untuk setiap Kantor Cabang yang baru. LG yang tadinya adalah manajer di kantor Saribudolok akhirnya diangkat oleh badan pengurus menjadi top manajer untuk memimpin keseluruhan operasional (konsolidasi) semua kantor baik induk maupun cabang CUM “Talenta”- meskipun tanpa mengubah AD/ART-nya terlebih dahulu. Hal ini sebenarnya tidak diterima oleh beberapa orang anggota badan pengurus dan juga manajer yang lain tetapi untuk menjaga agar tidak terjadi konflik antar sesama pengurus dan manajer lainnya, persoalan ini diendapkan meski hal ini melanggar konstitusi komunitas”.194 Selain itu, anggota komunitas CUM “Talenta”, mempersoalkan tidak adanya peluang bagi anggota untuk diangkat menjadi manajer sehingga hal ini dianggap tidak demokratis. Ibu (LS) misalnya mengatakan: di komunitas CUM “Talenta” semua 194 Wawancara dilakukan dengan salah seorang anggota badan pengurus dan manajer CUM. Untuk kepentingan keutuhan komunitas, yang bersangkutan meminta agar nama dan tempat di mana wawancara dilakukan tidak disebutkan. Wawancara dilakukan tgl,6 maret 2012 129 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI anggota disebutkan memiliki hak dan kewajiban yang sama, tetapi yang bisa menjadi manajer kan cuma Pendeta, meskipun hal itu tidak disebutkan secara jelas di AD/ART CUM”.195 Selain itu, persoalan tidak adanya badan hukum komunitas CUM “Talenta” ini, juga masih tetap dianggap menjadi persoalan yang mengganjal meskipun seseorang sudah menjadi anggota komunitas. Dari pernyataan bapak HCS pada kutipan di atas terlihat bahwa meskipun ia sudah menjadi anggota komunitas CUM, tetapi tampaknya ia masih menyimpan keraguan dan kebimbangan utamanya soal badan hukum komunitas ini”.196 3.5.1.2. Eksternal Persoalan lain yang dihadapi adalah adanya oknum aparatur pemerintah yang menagih pajak dari aktivitas yang diselenggarakan oleh komunitas CUM Talenta. Hal ini, mencuat terutama karena komunitas ini menggunakan nama “Credit Union Modifikasi”. Sejak adanya upaya oknum petugas pajak yang ingin menagih pajak dari komunitas CUM “Talenta”, melalui rapat anggota tahunan (RAT) tahun 2012, komunitas CUM Talenta kemudian mengubah namanya dari komunitas Credit Union Modifikasi menjadi komunitas Credo Union Modifikasi, Menurut LG, hal ini, dilakukan untuk menegaskan kembali bahwa komunitas CUM “Talenta” adalah sebentuk informal microfinance yakni sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan versi Kristiani, yang aktivitasnya adalah aktivitas kegerejaan”.197 195 Wawancara dilakukan tanggal 7 Maret 2012 pukul 22.00 (setelah selesai partonggoan keluarga;Persekutuan doa keluarga GKPS Immanuel Saribudolok), Ibu LS sudah tiga tahun jadi anggota CUM Talenta (diterjemahkan secara bebas:ms) 196 Wawancara dilakukan tanggal Maret 2012, (selesai partonggoan-Persekutuan doa keluarga di GKPS Immanuel Saribudolok) . Pukul: 22.00. Bapak HCS baru satu tahun menjadi anggota CUM Talenta (Diterjemahkan secara bebas:ms) 197 Wawancara dengan LG di Pematang Siantar tgl, 08 Maret 2012 130 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3.6. Keterbatasan Dana Pinjaman dan Godaan RABO BANK Perkembangan dan pertumbuhan komunitas CUM “Talenta” baik dari sisi keanggotaan maupun dari sisi keuangan tampaknya telah pula memunculkan sejumlah persoalan baru. Salah satu persoalan tersebut adalah ketidakmampuan komunitas CUM “Talenta” mencairkan dana pinjaman kepada anggota. Artinya, jumlah simpanan anggota tidak mampu mencukupi kebutuhan pinjaman (kredit) yang dimohonkan oleh anggota sendiri. Terjadi antrian peminjam yang cukup panjang karena permohonan pinjaman tidak dapat dengan segera dicairkan. Tidak jarang keadaan itu telah memicu timbulnya konflik antara anggota dan komisaris. Bahkan, sejak tahun 2008 hingga tahun 2011 trend anggota yang menarik sahamnya dan selanjutnya menyatakan diri keluar menunjukkan trend yang menaik. Dalam laporan pertanggungajawaban Badan Pengurus dan laporan Badan Pengawas pada RAT tahun 2012, meskipun jumlahnya tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan jumlah anggota yang masuk menjadi anggota komunitas CUM “Talenta”, namun jumlah anggota yang keluar sesungguhnya menunjukan trend menaik (lihat: Tabel 6: Pertumbuhan dan Perkembangan komunitas CUM “Talenta” 20072011). Dalam kondisi seperti itu, sebuah satu Bank Umum nasional yakni RABO BANK”,198 sempat menawarkan kerjasama dengan memberi pinjaman modal kepada komunitas CUM “Talenta” dengan jasa 0,5%. Setelah melalui perbincangan dan diskusi yang mendalam -(meskipun pada awalnya tawaran kerjasama tersebut sempat disetujui Pimpinan Pusat GKPS), namun kerjasama itu kemudian dibatalkan. Alasan 198 Rabo Bank adalah salah satu dari 23 Bank Umum Nasional yang sahamnya secara mayoritas telah dikuasai asing dan sedang beroperasi di wilayah pedesaan di Indonesia. Selanjutnya lihat: T.Handono Eko Prabowo (2010) Pengembangan Kekuatan-Kekuatan Transformatif Untuk Kedaulatan Sosial Ekonomi: Sebuah Refleksi Sosial Ekonomi, Yogyakarta, USD, hlm,7-6 131 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pembatalankerjasama tersebut lantaran dianggap melanggar prinsip kemandirian dan keswadayaan yang diatur dalam AD/ART komunitas CUM Talenta”.199 199 Wawancara dengan SS (manajer CUM Saribudolok) tanggal 05 Maret 2012, di kantor CUM “Talenta” Saribudolok. 132 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB IV IDENTITAS POLITIK “GEREJA SUKU” : DARI GERAKAN EKONOMI KE GERAKAN POLITIK 4.1. Pengantar Pada pembahasan di dua bab sebelumnya, secara deskriptif telah dipaparkan latar belakang historis kemunculan wacana “credit union modifikasi” (CUM) dan juga bagaimana wacana CUM dikonkretisasi ke dalam konteks GKPS yang mewujud menjadi kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”. Selain itu, sudah diceritakan juga sejumlah Aktivitas yang dilakukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” untuk merespon tuntutan-tuntutan dari beragam kesatuan sosial yang antagonistik yang membentuk komunitas tersebut. Penguraian pada bab sebelumnya masih sekadar memberi informasi dan belum membeberkan secara mendalam ihwal hegemoni yang dihadapi oleh MPA dan strategi diskursif yang dilakukannya untuk menciptakan formasi hegemoni tandingan yang dicita-citakannya. Demikian juga halnya dengan uraian tentang pembentukan kesatuan sosial Komunitas CUM “Talenta” belum membeberkan problematisasinya dari perspektif hegemoni LM. Oleh karena itu, uraian pada bab IV ini berisi analisis atas artikulasi identitas politik “gereja suku” di ruang publik tersebut sebagaimana direpresentasikan oleh Komunitas CUM “Talenta”. Dengan melakukan analisis dan porblematisasi atas datadata yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya, uraian pada bab ini dapat memberi gambaran menyeluruh tentang tujuan dan inti studi ini dilakukan yakni untuk mengetahui sejauhmana komunitas CUM “Talenta” mampu mengartikulasi identitas politik “gereja suku” (GKPS) di ruang publiknya di pedesaan di tanah Simalungun. 133 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pembahasan pada bagian analisis ini akan dibagi menjadi dua bagian: pertama, paparan data tentang konteks dan latar belakang kemunculan wacana CUM sebagaimana sudah dipaparkan pada bab III akan direkonseptualisasi dengan mengunakan perspektif politik hegemoni LM dan sejumlah konsep-konsep psikoanalisa Lacanian. Pembahasan pada sub bagian pertama ini meliputi: hegemoni, antagonisme dan identitas (posisi subjek) MPA sebagai penemu gagasan CUM dan pendidikan dan pelatihan calon pengelola CUM sebagai strategi diskursif membangun formasi hegemoni tandingan. Pada bagian kedua ini pembahasannya akan fokus pada analisis atas identitas politik “gereja suku” (GKPS) dan representasi sebagaimana diartikulasikan oleh komunitas CUM “Talenta”. Subpembahasannya akan meliputi: pertama, inventarisasi tuntutan-tuntutan (demand) dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang telah membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” tersebut. Kedua, setelah menginventarisasi apa saja yang menjadi tuntutan-tuntutanya maka akan dibahas apa yang dijadikan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini sebagai “penanda kosong” (empty siginifier) yaitu semacam alat pemersatu dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik tersebut. Ketiga, pembahasannya akan menampilkan bagaimana logika persamaan dan logika perbedaan dijalankan dalam kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” sehingga dapat memperlihatkan apa yang menjadi alasan beragam kekuatan sosial yang antagonistik itu bersatu. Dengan kata lain, beragam kesatuan sosial yang antagonistik itu bersatu karena berbeda dengan apa? Lalu, pada bagian keempat, yang merupakan inti dari studi ini dilakukan, analisisnya akan menukik memperbincangkan identitas politik “gereja suku” dan representasinya oleh komunitas CUM “Talenta”. Analisis pada bagian ini akan fokus untuk menggeledah dinamika dan ciri-ciri yang 134 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI khas yang digunakan oleh kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini untuk mengatasi hubungan-hubungan eksploitatif yang dihadapinya dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan cara seperti itulah kita akan melihat bagaimana logika demokrasi radikal plural itu bekerja dalam formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta”. Menurut Laclau-Mouffe, revolusi demokrasi merupakan prasyarat bagi bekerjanya logika demokrasi radikal-plural. Melalui revolusi demokrasi dibangunlah rantai ekuivalensi dan penciptaan rantai ekuivalensi itu bagaimanapun juga dimaksudkan untuk mengaktualisasikan kesetaraan (equality) dan kebebasaan (freedom) yang merupakan angan-angan politik (political imaginary). Aktualisasi kesetaraan (equality) dan kebebasaan (freedom) dilakukan dengan jalan mengeliminasi setiap bentuk hubungan sosial yang subordinatif, eksploitatif, dan bahkan opresif”.200 Kebebasan yang otentik itu menurut LM tidak pernah bersifat individual tetapi kolektif sebab menyangkut segi-segi relasional dari banyak orang”.201 Jadi, pembahasan tentang bagaimana logika demokrasi radikal-plural bekerja dalam formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta” merupakan perbincangan tentang perjuangan-perjuangan demokratik baru apa saja yang dilakukannya untuk mengatasi hubungan-hubungan eksploitatif, subordinatif dan opresif itu dalam kehidupannya sehari-hari. 4.2. Hegemoni, Antagonisme dan Persoalan Identitas Subjek Dalam Konteks Kemunculan Wacana CUM 4.2.1. Identitas (posisi subjek) MP. Ambarita Sebagai Penemu Gagasan CUM Mengawali analisis atas identitas politik “gereja suku” (GKPS) dan representasinya sebagaimana diartikulasi kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” maka akan 200 St. Sunardi, Logika Demokrasi Plural-Radikal” (dalam) Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Baru, Opcit, hlm, 18 201 Robertus Robert (2010),opcit,hlm, 227 135 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dikutipkan terlebih kembali sepotong konteks kemunculan wacana CUM sehingga pembacaan atas konteks hegemoni, antagonisme identitas yang dialami MPA sebagai penemu gagasan CUM dapat diungkap. Untuk memudahkan pembahasannya maka nukilan konteks hegemoni dan antagonisme identitas yang melatari kemunculan wacana CUM disajikan dengan menggunakan penomoran: 1. Sesuai dengan program Pemerintah untuk menyejahterakan bangsa Indonesia maka peranan Gereja untuk mendukung program tersebut merupakan bagian yang tidak bisa diabaikan. 2. Memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar merupakan kontribusi Gereja untuk menunjang program bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terlibat dalam perekonomian dunia, khususnya memperkuat grass root economy atau ekonomi kerakyatan. 3. Dalam mewujudkan hal tersebut di atas maka Gereja memprakarsai wadah sebagai sarana pelayanan diakonia melalui Credit Union Modifikasi atau CUM yang berlandaskan jiwa kooperatif dan persekutuan atau komunitas antara jemaat Gereja dan masyarakat sekitar lingkungan Gereja. 4. Credit Union Modifikasi ini adalah hasil dari Credit Union biasa yang sudah dimodifikasi untuk mengantisipasi kebutuhan khususnya masyarakat pinggiran kota besar dan pusat-pusat sentra ekonomi kerakyatan di daerahdaerah agraria atau industri-industri kerajinan rakyat[…]. 5. Pemikiran tentang CUM sebagai wadah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat berlandaskan perekonomian kerakyatan versi kristiani adalah berkat doa dari istri dan keluarga yang merelakan saya ambil bagian dalam pelaksanaan operasional PT.BPR-Pijer Podi Kekelengen sebagai bank Gereja murni di GBKP sejak tahun 1992 sampai sekarang (2007) sebagai formal microfinance. 6. Mengingat keterbatasan BPR gereja yang sulit menjangkau seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosok-pelosok maka CUM adalah wadah yang tepat karena keluwesan operasionalnya serta kemudahan-kemudahannya sebagai sarana/wadah perpanjangan tangan pelayanan gereja yang otomatis di bawah payung lembaga gereja c/q bidang diakonia”.202 Kisah awal munculnya wacana CUM tersebut di atas memperlihatkan bahwa MPA tampak memiliki dua identitas atau posisi subjek. Pada satu sisi, ia mengidentifikasikan dirinya sebagai “subjek gereja” yang memiliki tugas dan tanggungjawab etis “memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar”. Pada sisi yang 202 MP.Ambarita (2007) (dalam) Kata Pengantar: Pedoman Pengelolaan CUM, untuk kalangan sendiri 136 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lain MPA juga memiliki identitas atau posisi subjektif sebagai “pelaksana operasional” PT.BPR-PPK yakni sebuah bank pedesaan milik gereja “GBKP” (lihat nukilan 5). MPA adalah Direktur Utama PT.BPR-PPK (sejak berdiri pada tahun 1992-2010). Tampaknya MPA mengalami kedua identitasnya tersebut dalam relasi yang bertentangan (antagonis). Sebagai “subjek gereja” yang memiliki tugas dan tanggung jawab etis untuk “memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar” (subjek liyan) yang ada di seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosok-pelosok, MPA melihat bahwa subjek gereja tampak tidak memiliki sarana atau wadah yang tepat sehingga ia dapat menjangkau subjek liyan yang ada di seluruh wilayah pelayanan gereja (lihat: nukilan 6). Sementara itu, sebagai subjek “pelaksana operasional” PT.BPR-PPK, MPA melihat bahwa BPR milik gereja tersebut memiliki keterbatasan sehingga sulit untuk menjangkau seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosok-pelosok pedesaan. Meskipun tidak dijelaskan secara langsung apa yang dimaksudkan MPA dengan “mengingat keterbatasan BPR sehingga sulit menjangkau…”. Tetapi kalau nukilan tersebut di atas dibaca secara keseluruhan maka dengan segera kita bisa melihat bahwa MPA tampak sedang menegasikan wacana BPR dengan wacana CUM yang diajukannya sebagai wacana alternatif untuk mengatasi ketiadaan sarana atau wadah bagi institusi gereja untuk menjangkau subjek liyan yang ada di seluruh wilayah pelananan gereja sampai ke pelosok-pelosok itu. Hal tersebut terlihat dari ungkapan MPA yang mengatakan bahwa: “wacana CUM ini merupakan sarana dan wadah yang tepat karena memiliki keluwesan dan kemudahan operasionalnya (nukilan 6)”. Selain itu, MPA juga mengatakan bahwa wacana CUM yang diajukannya tersebut adalah sebentuk informal 137 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI microfinance sama seperti Grameen Bank yang dikembangkan Muhammad Yunus di Bangladesh. Kalau kita meminjam perspektif Ledgerwood sebagaimana diungkapkan Bagus Aryo yang telah dipaparkan pada bab II, sebagai lembaga keuangan mikro formal (formal microfinance) maka suatu BPR beroperasi di dalam struktur regulasi dan pengawasan pemerintah. Dan itu berarti, pengelolaan, pengoperasian dan pengembangan wilayah pelayanan sebuah BPR harus selalu mengacu pada regulasi dan ketentuan-ketentuan perbankan. Penetapan wilayah pelayanan maupun perluasannya harus senantiasa mengacu pada regulasi dan ketentuan-ketentuan perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI). Sementara itu, sebagai bagian dari informal microfinance maka praktik diskursif CUM beroperasi di luar struktur regulasi dan pengawasan Pemerintah. Dalam perspektif seperti inilah MPA mengatakan wacana CUM itu memiliki keluwesan dan mudah dalam hal pengoperasiannya. Pada titik inilah, kedua identitas MPA tersebut yakni sebagai “subjek gereja” dan sebagai “pelaksana operasional” PT.BPR-PPK” mengalami benturan. Keinginannya untuk menggunakan PT.BPR-PPK (meskipun adalah milik gereja) sebagai sarana-wadah untuk bisa menjangkau “jemaat dan masyarakat sekitar” (subjek liyan) yang berada di seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosok-pelosok pedesaan terhalang oleh aturan “bahasa” BPR yakni UU Bank No.10 tahun 1998 dan UU No. 1 tahun 1995 serta ketentuan-ketentuan perbankan lainnya yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Kalaupun, PT. BPR-PPK itu adalah bank milik gereja namun institusi gereja tidak dapat secara bebas melakukan pengembangan wilayah pelayanannya sendiri tanpa mengacu pada Undang-undang perbankan. Dalam pasal 19 ayat 1 dan 2, UU No. 10 tahun 1998 secara tegas dinyatakan bahwa: 138 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1. Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia. 2. Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kalau kita menggunakan pembacaan berdasarkan perspektif psikoanalisa Lacanian yakni ketika seorang anak yang memasuki fase bahasa (tatanan simbolik) maka ia harus taat dan patuh pada aturan bahasa atau kebudayaan yang sedang ia masuki. Dengan begitu maka ketaatan dan kepatuhan pada aturan bahasa BPR (regulasi) itu sesungguhnya merupakan konsekuensi alamiah yang harus diterima subjek gereja sebagai pengguna “bahasa BPR” sebab “bahasa BPR” yang sedang digunakan MPA (subjek gereja) itu memang bukanlah bahasanya sendiri tetapi bahasa orang lain (The Other). Kalau subjek gereja (masih) mau menggunakan “bahasa BPR” itu maka ia harus taat dan patuh pada aturan bahasa BPR itu sendiri. Dalam kenyataan seperti itu, subjek gereja tampaknya merasa seperti berada dalam bayang-bayang ancaman kolonialisasi lifeworld Negara”.203 Subjek gereja dibuat merasa tidak memiliki sarana atau wadah untuk menjangkau yakni “jemaat dan masyarakat sekitar” (subjek liyan) yang berada di seluruh wilayah pelayanannya yang sampai ke pelosok-pelosok pedesaan itu. Dalam hal ini, subjek gereja mengalami apa yang disebut Lacan dengan “kesalahpengenalan” (misrecognition). Ketika subjek gereja 203 Istilah Lifeworldatau“dunia-kehidupan” merupakan pemikiran yang dikemukakan Jurgen Habermas untuk menggambarkan adanya sumber-sumber “tradisi dunia kehidupan” dari kebudayaan ataupun agama tertentu. Konsepsi filosofis tentang lifeworld secara lebih lengkap dipaparkan oleh Jurgen Habermas (1983) Teory of Communicative Action, Vol 1, Boston, Beacon Press khususnya hlm, 330-331. Muhammad A.S. HIkam merumuskan defenisi lifeworld sebagai kesepakatan sosial yang telah terbentuk dalam tradisi, kebudayaan, bahasa yang dikomunikasikan dalam praktik keseharian dalam komunitas. Ia mencakup khazanah pengetahuan (stock of knowledge), sumber keyakinan-keyakinan (reservoir of convictions) solidaritas dan kemampuan yang dimiliki dan digunakan secara otomatis oleh para anggota komunitas. Hal ini terutama akan terjadi kalau monopoli interpretasi ideologis oleh negara cenderung mematikan kemampuan interpretif dari elemen-elemen dalam civil society. Yang terjadi lalu krisis lifeworld yang tampil dalam bentuk bentuk alienasi dan kecenderungan eskapisme, apatisme dan fundamentalisme. (Selanjutnya lihat juga: Muhammad A.S.Hikam,(1996)Demokrasi dan Civil Society, Jakarta,Pustaka LP3ES,hlm ,206) 139 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bercermin pada The Other yakni wacana BPR, “cermin” itu seolah-olah memanggil dirinya: “Hey, lihatlah kesini!”. Lalu, subjek gereja langsung mengidentifikasikan dirinya pada “cermin” itu; “Aha, itu aku!”. Tetapi, apa yang dilihatnya di “cermin” itu, sesungguhnya bukanlah dirinya sendiri tetapi merupakan pantulan atau citra kediriannya yakni “Itu aku!”. Inilah yang “disalah-kenali” subjek gerejasebagai kediriannya yang otentik dan otonom (mandiri). Kesalahanpengenalan itu dialami subjek gereja sebab dalam proses bercermin itulah logika ketidaksadaran bekerja yang dalam istilah Lacan disebut terstruktur seperti bahasa”. Dengan kata lain, hasrat subjek gereja untuk mendirikan dan memiliki PT.BPR-PPK itu sesungguhnya bukanlah hasrat otonom kediriannya. Belakangan subjek gereja baru menyadari bahwa bahasa BPR yang sedang ia gunakan itu ternyata tidak dapat memuaskan hasratnya. Memang, hasrat subjek gereja untuk mendirikan dan memiliki (want to have) PT.BPR-PPK atau dalam istilah Lacan disebut “hasrat anaklitik aktif” berhasil dipuaskan. Tetapi, subjek gereja itu ternyata tidak hanya memiliki “hasrat anaklitik aktif” itu. Subjek gereja juga ternyata memiliki hasrat yang lain yakni “hasrat anaklitik pasif”. “Hasrat anaklitik pasif” adalah sebentuk hasrat untuk dihasrati orang lain (want to be) yang dicirikan oleh adanya tuntutan subjek akan sebuah pengakuan atas eksistensi dirinya. Kalau kita membaca kembali nukilan kisah awal munculnya wacana CUM tersebut di atas maka MPA telah mengungkapkan hasrat anaklitik pasif subjek gereja itu lewat ketidasudiannya kalau perannya untuk terlibat dalam menyejahterakan rakyat Indonesia diabaikan begitu saja. 1. Sesuai dengan program Pemerintah untuk menyejahterakan bangsa Indonesia maka peranan Gereja untuk mendukung program tersebut merupakan bagian yang tidak bisa diabaikan. 140 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar merupakan kontribusi Gereja untuk menunjang program bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terlibat dalam perekonomian dunia, khususnya memperkuat grass root economy atau ekonomi kerakyatan. Gagasan tentang “kesejahteraan” ini sebenarnya adalah sebuah gagasan kosongmengambang dan diskursif sehingga maknanya juga ditentukan oleh tafsir antagonismeantagonisme sosial dan keberbedaan daripada hadir sebagai ide pra-konsepsi dan kanon/korpus tertutup. Kesejahteraan ini adalah imaji kolektif atau hasrat kolektif Indonesia sebagai sebuah bangsa untuk menampung the common goods,204 yang akan mempertautkansatu warga negara dengan warga negara lainnya dalam suatu tindakan kooperatif yang bersifat altruistik sebagaimana pernah dideklarasikan oleh Cicero: "Salus Populi Suprema Lex Esto" (kesejahteraan adalah hukum tertinggi)”.205 Mengacu pada hal tersebut di atas maka kesejahteraan itu bersifat kontingen di mana ia terbuka untuk segala pemaknaan dan reartikulasi. Kesejahteraan menjadi ranah yang sangat politis bagi kekuasaan, konflik dan antagonisme sosial. Dalam diskursus Nasionalisme Indonesia misalnya gagasan tentang kesejahteraan adalah sebuah “penanda kosong” (empty siginfier), yang dalam momen sosial tertentu bertransformasi menjadi penanda mengambang (floating siginifier) – yang kemudian kita pahami sebagai common goods – melalui artikulasi-artikulasi sosial (yang berlangsung dalam “arena pertarungan” bagi hegemoni) yang membentuk secara diskursif untuk menjadi 204 Common goods diartikan sebagai sesuatu hal yang hendak dicapai oleh seluruhwarga negara seluas-luasnya- melalui sarana-sarana politik dan aksi kolektifdari warga negara yang berpartisipasi dalam tata pemerintahan mereka sendiri(self government). Dengan kata lain, kesejahteraan, kesetaraan, kebebasan dsbmerupakan common goods, merupakan hasrat publik yang bisa dicapai melaluipolitik kewargaan (citizenship), aksi kolektif dan partisipisi aktif dalam praksispolitik dan pelayanan publik. (Selanjutnya lihat: Hasrul Hanif, Antagonisme Sosial, Diskonsensus, dan RantaiEkuivalensi: Menegaskan Kembali Urgensi ModelDemokrasi AgonistikJurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 1.1, Nomor 1, Juli2007(119-136)(sumber: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/61/52 (diakses15/8/2015) 205 Ibid 141 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI diskursus hegemonik secara parsial. Proses ini lahir dari berbagai antagonisme sosial yang berhasil menciptakan dislokasi sekaligus sendimentasi sosial, ekslusi sekaligus inklusi, ekuivalensi sekaligus keberbedaan”.206 Dalam perspektif MPA (sebagai representasi subjek gereja), gagasan tentang “kesejahteraan bangsa Indonesia” yang kosong itu ingin dimaknai dengan cara “memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar” yakni subjek liyan yang berada di seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosok-pelosok di pedesaan. Jenis pemberdayaan yang hendak dilakukannya adalah sebentuk penguatan “ekonomi kerakyatan” yang menurut Revrisond Baswir merupakan nama lain dari “demokrasi ekonomi” yang secara historis hadir untuk mengoreksi struktur ekonomi kolonial”.207 Secara aktual, wacana “ekonomi kerakyatan” (demokrasi ekonomi) sering juga disebut sebagai “ekonomi kekeluargaan”. “Ekonomi kekeluargaan” adalah negasi dari “ekonomi korporasi” yang menjadi watak dasar sistem ekonomi neoliberal yang hanya mengubah manusia menjadi komoditi dan mereduksi peran pemerintah-pemerintah nasional dalam menjaga pembangunan sosial harmonis dan lestari”. 208 Apa yang menjadi persoalan bagi MPA bukan pada wilayah pemaknaan wacana “kesejahteraan bangsa Indonesia” itu. Relasi konfliktual-antagonistis yang dialami MPA justru karena Sang Lain Besar (The Big Other) yakni Sang Penguasa (pemerintah) justru mendominasi “makna” wacana penguatan ekonomi kerakyatan tersebut. Wacana BPR yang ia gunakan selama ini untuk mengartikulasi aspek etisnya di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat itu, telah membuat dirinya mengalami dua identitasnya yang berhubungan secara antagonis. Alih-alih berharap wacana BPR dapat menghadirkan sesuatu yang ia cari sebagai objek hasratnya, bahasa BPR yang ia gunakan selama ini 206 Hasrul Hanif, ibid, hlm, 125 Revrisond Baswir (2010) Manifesto Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm, 8, 10 208 Tim Keadilan, Perdamaian dan Ciptaan DGD (2006) Op.cit, Jakarta, PMK – HKBP, hlm, 4 207 142 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI justru telah membuat dirinya mengalami disintegrasi atau dalam istilah LM disebut dengan split dan dislokasi. Artinya, MPA memang menerima “kebenaran” wacana BPR itu sebagai sebuah sistem “ekonomi kerakyatan” tetapi wacana BPR itu tampak tidak sepenuhnya hegemonik di dalam dirinya. Meskipun mengalami kondisi split dan terdislokasi namun ada semacam gairah di dalam diri MPA untuk melakukan retakan (rupture) terhadap dominasi wacana BPR (wacana tuan) yang telah menghalanginya untuk mendapatkan kepuasan hasrat anaklitik pasifnya tersebut. Dengan kata lain, kondisi split, dislokasi yang dialami MPA sebagai representasi subjek gereja itu justru telah mendorongnya mencari jalan alternatif untuk memuaskan hasratnya tersebut.Kondisi split, dislokasi yang dialaminya tidak lantas membuat MPA melihat ruang kontestasi atau perebutan makna “kesejahteaan bangsa Indonesia” menjadi tertutup. Dalam kondisi seperti itu, MPA justru melihat terbukanya ruang bagi identifikasi kediriannya secara baru dalam memberi makna terhadap “kesejahteraan bangsa Indonesia” itu. Seperti kata LM, antagonisme sosial merupakan salah satu cara untuk merespon dislokasi yang diproyeksikan sebagai “musuh”.209 MPA harus memilih salah satu di antara kedua identitasnya yang berelasi secara antagonis tersebut. Kalau ia tetap memilih bertahan pada identifikasi dirinya sebagai pengguna “bahasa BPR” (yang telah memberinya citra sebagai “pemilik” sebuah bank BPR), itu berarti ia tetap menduduki posisi sebagai subjek subordinasi (subjek histeris) dan itu berarti ia kehilangan subjek liyan jemaat dan masyarakat sekitar yang dihasratinya. Di sisi yang lain, apakah ia sebagai “subjek gereja” memilih mengidentifikasikan dirinya pada subjek liyan yakni memilih untuk menjangkau “jemaat dan masyarakat sekitar” yang berada di seluruh wilayah pelayanan gereja 209 Hasrul Hanif,Op.cit,hlm,hlm,125 143 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sampai ke pelosok-pelosok pedesaan maka konsekuensinya adalah ia harus menyediakan wacana tandingan. Dalam kenyataannya, MPA tampak telah melakukan intervensi hegemonis dengan cenderung memilih identitasnya sebagai “subjek gereja”. Hal itu dengan sangat jelas tampak dari pernyataan yang dikemukakan MPA sendiri yakni: “gereja memprakarsai wadah sebagai sarana pelayanan diakonia melalui “credit union modifikasi” (CUM) yang berlandaskan jiwa kooperatif dan persekutuan atau komunitas antara jemaat Gereja dan masyarakat sekitar lingkungan Gereja”.210 Wacana CUM, seperti kata MPA adalah sarana dan wadah yang tepat untuk digunakan sebagai perpanjangan tangan pelayanan (diakonia) gereja. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gagasan tentang CUM ini diadopsi dari wacana CU tradisional yang selama ini sudah beroperasi di tengah-tengah masyarakat. “tata bahasa” (manajemen), wacana CUM ini merupakan perpaduan atau sintesa dari sistem CU tradisional dan sistem BPR. Perpaduan kedua sistem itu dilakukan dengan tindakan “modifikasi” yang kemudian membawa implikasi beralihnya status ataupun identitas sistem BPR dari formal microfinance menjadi informal microfinance”.211 Dalam statusnya sebagai sebentuk informal microfinance itulah, MPA mengklaim wacana CUM adalah sebentuk sistem “perekonomian kerakyatan versi kristiani”.212 Wacana CUM berbeda dengan sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang diasuh oleh formal microfinance seperti bank; BRI, BPR, BMT, bank syariah dan lainlain. Perbedaan wacana CUM dengan wacana sistem ekonomi kerakyatan yang lain tidak hanya terletak pada sistem atau manajemen teknisnya tetapi juga pada nilai-nilai yang diusungnya atau ideologinya. Kalaupun MPA mengatakan bahwa wacana CUM 210 MP.Ambarita (2007) dalam “Kata Pengantar” Ibid, hlm, 4. 212 Ibid, 211 144 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI merupakan sebentuk informal microfinance, tetapi praktik diskursif CUM tidak sama dengan praktik rentenir, hutang - gadai, arisan dan lain sebagainya. MPA mengatakan di dalam suatu komunitas CUM, seluruh harta kekayaan adalah milik anggota. Meskipun wacana CUM merupakan alat atau perpanjangan tangan pelayanan institusi gereja namun harta kekayaan suatu komunitas CUM adalah berdiri sendiri dan tidak termasuk kekayaan gereja. Tetapi, untuk mengekspresikan relasinya dengan institusi gereja yang menaungi atau mewadahinya, maka sebagian dari hasil usaha komunitas CUM dapat dialokasikan untuk mendukung kegiatan pelayanan (diakonia) gereja. Namun begitu, MPA mengingatkan bahwa agar suatu komunitas CUM tidak dijadikan sebagai sumber Kas Umum Gereja, sesuatu yang hendak diberikan oleh suatu komunitas CUM itu kepada institusi gereja yang mewadahinya maka sesuatu itu harus diberikan berbasis kegiatan. Menurut MPA, Gereja yang hidup adalah bila seluruh kegiatan Gereja itu dibiayai oleh Kas Umum dan jemaat-lah yang bertanggungjawab atas kecukupan kas umum Gereja”.213 Berdasarkan hal tersebut di atas, tampak dengan jelas bahwa relasi suatu komunitas CUM dengan suatu Gereja yang menaunginya (sebagaimana yang ada di dalam pemikiran MPA), tidak dikonstruksi dalam relasi yang bersifat hirarkis-struktural (patront-client) tetapi dikonstruksi dalam struktur yang setara. Kalau meminjam perspektif Peter Berger dan Richard John Neuhaus sebagaimana dikutip Matius Ho, institusi gereja dapat memainkan peran atau bertindak sebagai “struktur mediasi” (mediating structured). Diagram Struktur mediasi itu dapat digambarkan sebagai berikut:214 213 Ibid, hlm, 9 Matius Ho, “Gereja dan Pemberdayaan Warga”, (dalam) Zakaria J Ngelow, dkk, eds, (2013), Teologi Politik: Panggilan Gereja di Bidang Politik Pasca Orde Baru, Makassar, Oase Intim, hlm, 196: Matius Ho menambahkan: Gereja ikut berperan sebagai struktur mediasi. Gereja membawa nilai-nilai moral 214 145 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Negara dan Lembaga- lembaga besar lainnya Institusi Gereja sebagai Struktur Mediasi (Mediating Structure) Individu (Komunitas CUM) LM mengatakan bahwa setiap wacana bersifat contingent sehingga makna juga tidak dapat sepenuhnya stabil (fixed). Wacana selalu potensial bias untuk digunakan demi kepentingan politik tertentu. Hal itu pulalah tampaknya yang disadari MPA sehingga wacana CUM yang diajukannya sebagai sebuah “penanda baru” diskursus ekonomi kerakyatan itu diarahkan hanya untuk pelayanan gereja”. 215 Sebagai alat pelayanan gereja maka praktik diskursif CUM dilakukan hanya untuk kemuliaan nama Tuhan sehingga penyelenggaraannya juga harus dilakukan di dalam struktur kelembagan gereja dalam arti dijadikan sebagai Aktivitas pelayanan (diakonia) gereja, sehingga tidak diijinkan digunakan di luar gereja”.216 Dalam posisinya yang seperti itu, praktik CUM otomatis berada di bawah payung lembaga gereja c/q bidang Diakonia”. Artinya, payung yuridis penyelenggaraan CUM adalah Badan Hukum Gereja sebagai lembaga keagamaan yang dikeluarkan Pemerintah”.217 Dalam rangka mewujudkan cita-cita politiknya untuk menciptakan suatu formasi hegemoni tandingan, MPA tampak telah menjadikan “diakonia gereja” sebagai nodal pointyakni sebagai “penanda utama” (master signifier) yang sekaligus berfungsi untuk menyatukan sistem makna atau “rantai signifikasi” dari keseluruhan praktik diskursif CUM. Tampilnya, “diakonia gereja” sebagai nodal point inilah yang menandai spiritual dalam masyarakat. Gereja juga selalu berhadapan dengan realita kehidupan sehari-hari di Masyarakat. Dalam konteks Negara Pancasila, lembaga-lembaga umat beragama lainnya juga perlu berfungsi sebagai struktur mediasi ini. Tanpa mereka, Negara dapat mengambil monopoli dalam menentukan dan menerapkan nilai-nilai hidup masyarakat. Oleh karena itu, gereja harus menjaga independensi dari lembaga lembaga pemerintah dan lembaga politik-ekonomi lainnya, agar dapat berperan efektif sebagai struktur mediasi. 215 MP.Ambarita (2007) Op.cit, hlm, 4 216 Ibid (dalam) “Kata Pengantar” 217 Ibid, hlm, 5 146 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pengambilan posisi-politik MPA secara baru di mana wacana CUM kini menjadi the other dihadapan hegemoni wacana tuan (wacana BPR) yang diasuh oleh penguasa sebagai pemilik “bahasa” BPR yang sesungguhnya. Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab pendahuluan, bagi LM, identitas itu setara dengan identifikasi subjek terhadap sesuatu. Dan sesuatu itu adalah posisi subjek yang ditawarkan wacana kepada individu.Dengan mengajukan wacana CUM, subjek gereja yang direpresentasikan oleh MPA tampak berniat berkontestasi dengan wacana CU dan wacana BPR yang sebelumnya secara hegemonik telah menguasai “makna” diskursus ekonomi kerakyatan nasional Indonesia. Kenyataan ini sekaligus sekaligus memperlihatkan keterbelahan subjek gereja.Subjek gereja menjadi subjek yang ambigu (split) yang berada di antara “menerima atau menolak” kebenaran wacana BPR yang selama ini ia gunakan.Artinya, pada satu sisi subjek gereja tampak menolak hegemonisasi makna pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang oleh wacana BPR (wacana tuan) karena itulah ia mengajukan wacana CUM sebagai wacana tandingan namun pada sisi yang lain, subjek gereja juga tampak tidak ingin melepaskan status atau posisinya sebagai “pemilik” PT.BPR-PPK itu. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa MPA memang menerima “kebenaran” (makna) wacana BPR itu sebagai diskursus ekonomi kerakyatan nasional-Indonesia tetapi wacana BPR itu tidak sepenuhnya hegemonik di dalam dirinya. Hegemoni wacana BPR yang dijalankan lewat mekanisme “pendisplinan” itu telah memunculkan hegemoni tandingan (kontra hegemoni) yakni munculnya wacana CUM yang menurut MPA merupakan sebentuk sistem perekonomian kerakyatan versi kristiani. Wacana “pemberdayaan ekonomi kerakyatan”tampak dimaknai MPA sebagai “penanda kosong” (empty signifier) yaitu semacam ruang kontestasi untuk membentuk 147 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI suatu formasi hegemoni tandingan (baru) untuk mengimbangi dominasi wacana BPR dan wacana bank pada umumnya yang selama ini menguasai “makna” diskursus pemberdayaan ekonomi kerakyatan nasional-Indonesia.Melalui wacana CUM, MPA berniat mengajukan sebentuk wacana pemberdayaan ekonomi kerakyatan versi kristiani yang selama ini mangkir dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan versi kristiani ini, dalam kosakata gereja dikenal sebagai “diakonia pemberdayaan ekonomi jemaat-masyarakat”. Kini MPA telah membuka ruang pertentangan (kontestasi) makna wacana politik pemberdayaan ekonomi kerakyatan antara wacana CUM dengan wacana BPR di ruang publik. Bagaimanakah MPA selanjutnya, mewujudkan angan-angan politiknya (political imaginary) untuk melampaui keadaan (krisis) yang dialami oleh “jemaat dan masyarakat sekitar” (subjek liyan) di dalam konteks partikularitasnya masing-masing. Bagian berikut ini akan fokus untuk melihat menganalsis strategi diskursif yang seperti apa yang ditempuh MPA untuk mewujudkan formasi hegemonik atau political imaginary yang dicita-citakannya tersebut. 4.2.2. Pendidikan Dan Pelatihan Calon Pengelola (Manajer) CUM: Strategi Diskursif Membangun Formasi Hegemoni Tandingan LM telah mengatakan bahwa hegemoni adalah hasil dari suatu proses artikulasi sehingga formasi hegemonik dengan sendirinya harus meliputi pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial (yang berfungsi sebagai floating signifier) sehingga menghasilkan hubungan-hubungan diferensial dalam suatu totalitas terstruktur”.218 Dalam rangka membangun sebuah formasi hegemoni tandingan yang dicitacitakannya tersebut strategi diskursif yang ditempuh MPA adalah dengan cara 218 St.Sunardi, Logika Demokrasi Plural-Radikal, (dalam) Retorik, Jurnal Ilmu Humaniora Baru, Vol.3 No.1,.Desember 2012, IRB-USD-Yogyakarta hlm, 13 148 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menyelenggarakan “Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM”. MPA mengundang Pimpinan-pimpinan gereja dari berbagai denominasi agar mengutus para Pendeta-nya atau Diakones-nya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan tersebut. MPA memancang syarat dan kriteria yang dapat mengikuti Pendidikan dan Pelatihan itu adalah “Pendeta atau Diakones”. Penetapan syarat bahwa hanya Pendeta dan Diakones lah yang dapat mengikuti Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM tersebut disebabkan karena yang boleh jadi pengelola (manajer) CUM juga hanya Pendeta atau Diakones. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan bukankah dengan memancang syarat dan kriteria hanya “pendeta dan diakones” yang dapat mengikuti Pendidikan dan pelatihan itu CUM itu, MPA sedang memperlihatkan bahwa wacana CUM sebagai sebuah wacana alternatif (analitik) ekonomi kerakyatan tidak memiliki logika demokrasi pada dirinya apalagi yang radikal-plural? Menurut MPA, penetapan syarat atau kriteria (hanya) “Pendeta dan Diakones” yang dapat mengikuti Pendidikan dan Pelatihan itu berkaitan dengan status wacana CUM yang disebut MPA sebagai sarana atau wadah perpanjangan tangan pelayanan diakonia gereja untuk memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar lingkungan gereja. Wacana CUM adalah wadah untuk mengarahkan hamba-hamba Tuhan bahwa pelayanan Gereja bukan hanya melalui mimbar gereja tetapi juga melalaui pelayanan lanjutan yaitu pelayanan meja (Kisah Rasul 6:2-3)”.219 Peran “Pendeta dan Diakones” sebagai pemimpin moral, spiritual dan intelektual menjadi sangat strategis sebab bisa memainkan fungsi mediasi agar hasrat subjek gereja (institusi gereja) untuk “memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar” (subjek liyan) yang ada di seluruh wilayah pelayanannya sampai ke pelosok-pelosok melalui penguatan “ekonomi 219 MP.Ambarita (2007) Op.cit, hlm, 5 149 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kerakyatan” itu dapat diartikulasikan. Gramsci mengatakan bahwaPendeta merupakan intelektual “tradisional” yang dapat menjadi serat penghubung dengan massa di pedesaan, [...] sekaligus yang dapat memainkan mediasi profesional yang erat kaitannya dengan fungsi politik”.220 Jadi, ada semacam angan-angan politik (political imaginary) di dalam diri MPA bahwa dengan mendidik dan melatih para “Pendeta dan Diakones” maka formasi sosial komunitas CUM dapat didirikan di setiap wilayah partikular di mana para “Pendeta dan Diakones” menjalankan pelayanan kegerejaannya sehari-hari. Selain karena alasan sebagaimana disebutkan di atas, MPA memandang secara subjektif bahwa “Pendeta dan Diakones” memiliki kapasitas moral-spiritual, intelektual serta integritas yang justru sangat dibutuhkan untuk memahami, mengoperasikan dan mengembangkan praktik-praktik diskursif CUM. MPA sangat menyadari bahwa sebagai bagian dari informal microfinance, wacana CUM rentan disalahgunakan sebagai praktik rentenir yang justru hendak dilawan. Sudah bukan rahasia lagi, belakangan ini banyak kegiatan yang berbau rentenir justru dilakukan berkedok koperasi-koperasi dengan menyalahgunakan ijin koperasi untuk melindungi kegiatannya”.221 Dengan menetapkan hanya “Pendeta atau Diakones” yang dapat menjadi manajer suatu komunitas CUM maka setiap manajer CUM tidak hanya diawasi oleh Badan Pengurus komunitas CUM tetapi sekaligus juga akan diawasi oleh institusi gerejanya (melalui pimpinannya) masing-masing. Hal itu penting untuk dilakukan agar praktik diskursif CUM senantiasa sejalan dengan visi dan misi gereja untuk kesejahteraan lahir batin jemaat dan masyarakat sekitar serta mendidik etos kerja yang sehat sebagai warga negara yang 220 Juandaharaya Purba dan MartinLukito Sinaga, Peny, (2000) Tole ! Den Timor Landen Das Evangelium!” Sejarah Seratus Tahun Injil di Simalungun, 2 September 1903 – 2 September 2003, P.Siantar, Kolportase GKPS-Panitia Bolon Jubileum 100 tahun Injil di Simalungun, 221 MP.Ambarita, (2007) Op.cit, hlm, 4 150 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berjiwa demokratis-pluralis”.222 Dengan perspektif seperti itu maka MPA tampak berniat menjadikan institusi gereja tidak hanya sebagai “struktur mediasi” (mediating structure) untuk menghadapi “Sang Lain Besar” (The Big Other) tetapi sekaligus berfungsi menjadi apa yang disebut Foucault, sebagai organisasi panopticon”,223 tepatnya untuk menjalankan semacam fungsi spiritual panopticon. Dalam perspektif wacana CUM, Gereja bertindak dan berfungsi untuk menjadi pengawa sehingga praktik diskursif CUM senantitasa dijalankan sesuai dengan mora-etik kristiani di mana nilainilai demokrasi-pluralisme, transparansi dan kejujuran dipastikan berjalan. Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM itu sudah diselenggarakan MPA sejak tahun 2004”.224 Pendidikan dan Pelatihan itu sendiri dilaksanakan selama tiga bulan. Materi Pendidikan dan Pelatihan yang diberikan kepada para Pendeta dan Diakonia itu tidak hanya memuat materi pengetahuan tentang sistem akuntansi dan manajemen CUM (lihat materi Pendidikan dan Pelatihan CUM pada bab III), tetapi juga dilatih mempraktikkan hidup berkomunitas. Selama masa Pendidikan dan Pelatihan berlangsung, segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan hidup bersama seperti belanja kebutuhan konsumsi, memasak, menghidang, membersihkan peralatan 222 Ibid Panopticon (penjara berbentuk bundar) yang diusulkan oleh Jeremy Bentham sebagai konsep penjara di abad ke-19. Panopticon (pan=semua, optic=melihat) adalah arsitektur yang terdiri dari dari sebuah menara tinggi yang menjadi pusat dan dapat mengamati semua sel. Seorang pengamat di menara yang tak terlihat tapi dapat melihat semuanya, pada prinsipnya dapat menempatkan apa pun yang berada pada jarak pandangnya ke dalam pengawasan. Idenya adalah “narapidana tak pernah tahu apakah setiap saat ia sedang diamati, tetapi ia harus dibikin yakin bahwa ia selalu diamati. Hal ini bisa dibandingkan dengan praktik keagamaan di mana “Tuhan” dalam penghayatan para pemeluk agama diyakini selalu “mengawasi”. Apa yang paling pentinga dari panoptiko ini bukanlah ihwall bagaimana instansi panoptik itu bekerja tetapi efek yang dapat dicapailah yang penting, yaitu subjektivasi di mana subjek terus meneris diawali meskipun dia melihar bahwa tidak ada pengawas yang tampak. Bagus Aryo (2012) Tenggelam dalam Neoliberalisme?: Penetrasi Ideologi Pasar Dalam Penanganan Kemiskinan, Depok, Kepik,hlm, 77. (Lihat juga: M.Foucault, (1977) Discipline and Punish, Harmonsworth, Penguin). 224 Komunitas CUM yang berdiri pertama sekali adalah Komunitas CUM yang diselenggarakan di HKBP Kedaton Lampung yang didirikan pada tanggal, 13 Januari 2005. Di HKBP saat ini sudah ada 126 orang calon manajer CUM. Selanjutnya lihat: Pdt.Nelson F.Siregar, “HKBP menjadi Inklusif di Masyarakat Pluralis”, (dalam) Pdt. Martunas Manullang (2010) Menuju HKBP Inklusif dan Misioner:“Ekklesiologi di Masyarakat Pluralis”, Pematang Siantar, L.Sapa STT HKBP dan Yayasan Nomensen HKBP Jambi, hlm, 162 223 151 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dapur, membersihkan ruang pelatihan, semuanya dikerjakan secara bersama-sama secara bergiliran dan berkelompok. Selama mengikuti pendidikan dan pelatihan selalu menekankan pentingnya menjalankan prinsip “semua dilakukan dari, oleh dan untuk semua, demi kemuliaan nama Tuhan”. Karena itulah tidak boleh ada yang merasa lebih senior, tidak boleh ada perbedaan tugas laki-laki dan perempuan, tua-muda, PendetaDiakones dan lain sebagainya. Rincian aktivitas di ruang kelas selama masa Pendidikan dan Pelatihan itu selalu diawali dengan: Doa - refleksi teologis - belajar bersama - dan diakhiri Doa. Tidak mengherankan kalau materi “ceramah keagamaan yang berkaitan dengan teologi holistik” memiliki alokasi waktu yang paling banyak yaitu hampir ratarata 1 sampai 1,5 jam setiap hari (lihat: materi pendidikan dan pelatihan pada bab III). Dengan cara seperti itulah, MPA menekankan bahwa inti gagasan CUM adalah “diakonia gereja” yang diekspresikan lewat sikap saling berbagi dan saling membantu sesama yang berkekurangan. Pilihan MPA mengorganisir para Pendeta dan Diakones sebagai jalan atau strategi diskursif untuk membentuk formasi hegemoni tandingan tampaknya cukup jitu. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari berdirinya kesatuan-kesatuan sosial komunitas CUM di berbagai konteks denominasi gereja khususnya di institusi gereja yang ada di Sumatera Utara. Sejauh ini, institusi gereja yang telah membentuk kesatuan sosial komunitas CUM dalam konteks gerejanya masing-masing adalah GBKP, HKBP, GKPS, GKPI dan GKPPD. Dan di tanah Simalungun, wacana CUM itu kini telah mewujud menjadi sebentuk kesatuan sosial yang disebut komunitas CUM “Talenta”. Oleh karena itu, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa proyek hegemoni MPA yang dijalankan lewat “Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM itu dapat dikatakan cukup berhasil. Keyakinan MPA bahwa “Pendeta dan Diakones” 152 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI adalah “kekuatan kultural” yang maha penting untuk mengeliminasi hubungan eksploitatif yang terjadi di dalam realitas sosial ekonomi yang dihadapi jemaat dan masyarakat marjinal di pedesaan terbukti cukuk efektif. Hal itu paling tidak, dapat dibuktikan dengan terbentuknya sejumlah kesatuan sosial komunitas CUM di berbagai konteks denominasi gereja yang ada di Sumatera Utara. Dengan mendidik dan melatih (hanya) ”Pendeta atau Diakones” gereja maka formasi hegemonik yang dicita-citakan MPA itu juga memposisikan Pendeta atau Diakones gereja menjadi semacam pusat hegemonik. Sayangnya, “pusat hegemonik” ini dalam pandangan MPA tempaknya bersifat tetap sehingga berbeda dengan pandangan LM yang meyakini bahwa masyarakat itu tidak memilik “pusat hegemonik” yang permanen (tetap) sebagaimana diyakini oleh Marx atau Marxisme klasik (yang memahami bahwa “kelas pekerja”-lah yang menjadi pusat hegemonik suatu masyarakat). Selanjutnya, analisis pada bagian yang berikut ini akan melihat bagaimana, proyek hegemoni MPA bekerja dalam konteks partikular di GKPS yang dalam kenyataannya telah mewujud menjadi sebuah formasi hegemonik kesatuan sosial komunitas CUM”Talenta”. 4.3. Artikulasi Identitas Politik “Gereja Suku” (GKPS) Dan Representasinya Oleh Komunitas CUM “Talenta” My minimal unit of analysis would be not the group as a referent but the socio-political demand. (Ernesto Laclau).225 Karena inti studi ini ingin mengetahui sejauhmana komunitas CUM “Talenta” mampu mengartikulasikan identitas politik “gereja suku” (GKPS) di ruang publik, maka analisisnya pertama-tama akan menyelidiki apa saja yang menjadi tuntutan dari beragam 225 Ernesto Laclau (2005) On Populist Reason, Verso, London-New York, hlm,224 153 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kekuatan sosial yang antagonistik dalam konteks GKPS yang telah membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” itu. Hal itu dilakukan sebab seperti kata LM, masyarakat itu coterminous dengan wacana. Masyarakat itu tidak hanya seperti wacana tetapi sebagai wacana tepatnya sebagai praktik wacana. Dengan begitu, (pembentukan) masyarakat itu ada karena tuntutan-tuntutannya (demand). Karena itu pembahasannya akan dibagi menjadi empat bagian. Pertama, inventarisasi apa saja yang menjadi tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik dalam konteks GKPS. Pada bagian ini akan diperlihatkan apa yang dijadikan sebagai “penanda” (signifier) atau representasi dari rantai tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” tersebut. Kedua, setelah menginventarisasi apa saja yang menjadi tuntutan-tuntutannya maka akan diidentifikasi apa yang yang dijadikan sebagai alat pemersatu yang dalam istilah LM disebut sebagai “penanda kosong” (empty signifier). Ketiga, analisisnya akan melihat bagaimana logika persamaan dan logika perbedaan bekerja dalam proses pembentukan formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta”. Keempat, analisisnya akan fokus pada artikulasi identitas politik “gereja suku” (GKPS) sebagaimana direpresentasikan oleh komunitas CUM “Talenta”. Analisis pada bagian ini akan menjelaskan perjuangan-perjuangan demokratik baru yang dilakukan yang mencerminkan bekerjanya logika demokrasi radikal plural dalam formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta”. Fokus analisis pada bagian keempat ini adalah untuk melihat bagaimana kesetaraan (equality) dan kebebasan (freedom) diaktualisasikan untuk mengeliminasi hubungan-hubungan sosial yang bersifat eksploitatif yang dialami beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang telah membentuk komunitas CUM “Talenta” tersebut. 154 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Bagi LM, aktualisasi “kesetaraan dan kebebasan” (equality and freedom) merupakan prasyarat bagi bekerjanya logika demokrasi radikal-plural dalam suatu komunitas. Singkat kata, apa yang akan dianalisis pada bagian keempat ini adalah ihwal siasatsiasat yang dilakukan oleh komunitas CUM “Talenta” untuk mengeliminasi hubunganhubungan yang eksploitatif, subordinatif dan opresif yang dialami oleh beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” dalam kehidupannya sehari-hari. Bertolak dari data-data yang sudah dipaparkan pada bab III maka perjuangan-perjuangan demokratik baru yang dilakukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” meliputi: Siasat melawan rentenir: penciptaan modal bersama, siasat mengatasi kesulitan mencari tenaga kerja upahan: pembentukan kelompok usaha pertanian bersama (haroan bolon: Huta Saing dan Bandar Purba), siasat mengatasi kelangkaan dan mahalnya harga pupuk) : pembuatan pupuk bokasi, berpijak pada prinsip keswadayaan: menolak tawaran agen neolib (Rabo Bank), memotong jalur pemasaran produk kopi: “lepas dari mulut singa masuk ke mulut buaya”, mengubah nama komunitas dari “Credit” ke “Credo” Union Modifikasi”: menyiasati pajak komunitas. 4.3.1. Tuntutannya (demands) Pada pembahasan di bab sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa GKPS pertama sekali mengenal wacana CUM itu melalui seorang Pendetanya (LG) yang diutus mengikuti Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM yang diselenggarakan MPA. Dan sejak itulah, wacana CUM itu mulai “diterima”226 sebagai unsur baru dalam bahasa diakonia GKPS. “Penerimaan” atas wacana CUM tersebut ditandai dengan 226 Istilah “diterima” diberi tanda kutip sebab hingga penelitian ini dilakukan keberadaan komunitas CUM “Talenta” yang mengklaim dirinya sebagai “bidang pelayanan GKPS” tampak tidak didukung oleh sebuah dokumen yang memiliki kekuatan yuridis yang dikeluarkan oleh GKPS. Hal ini, terjadi sebab Komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari “rahim” GKPS secara legal-formal. 155 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”, yang dideklarasikan pada tahun 2007 oleh para Pendeta (muda) GKPS yang ketika itu melayani di Distrik III. Inilah momen atau saat di mana kesatuan sosial Komunitas CUM “Talenta” mulai mengenal “bahasa” diakonia gereja. Deklarasi berdirinya komunitas CUM “Talenta” disandarkan pada keinginan untuk “bertolong-tolongan menanggung beban” sebagaimana perintah Firman Tuhan yang tertulis dalam Galatia 6:2. Adapun yang menjadi semacam angan-angan politik (political imaginary) dari Komunitas CUM “Talenta” ini dijelaskan sebagai berikut: Kesejahteraan adalah hak asasi setiap manusia.Untuk mencapai kesejahteraan itu kami sepakat membentuk komunitas kooperatif untuk menunjang usaha bersama, dan sebagai tempat belajar bersama dan komunitas ini sebut Credit Union Modifikasi (CUM). Dalam mencapai kesejahteraan tersebut secara bersama-sama kami membuat kesepakatan yang harus dijalankan oleh setiap anggota CUM”. 227 Bertolak dari deklarasi komunitas CUM “Talenta” tersebut di atas, ada dua hal yang dapat dijelaskan, pertama, dasar pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”. Cukup jelas, dasar pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” yakni dibentuk atas dasar keinginan untuk mewujudkan kesejahteraan yang merupakan hak asasi setiap manusia. Hal itu dilakukan sekaligus sebagai ikhtiar untuk berperan dalam melakukan perubahan (transformasi) kehidupan jemaat dan masyarakat agar lebih baik. Dasar pembentukan komunitas CUM “Talenta” ini tentulah harus kita lihat sebagai hasil dari proses bercermin yang dilakukan oleh Pendeta (muda) GKPS pada “yang lain” (the other). yakni “jemaat dan masyarakat sekitar” yang sedang mengalami krisis secara sosial dan ekonomidalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Dalam proses “bercermin” (menatap kondisi krisis yang dialami jemaat dan masyarakat marjinal di 227 Selanjutnya lihat : “Pembukaan” Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga komunitas CUM tahun 2009 156 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Simalungun), LG sebagai Pendeta GKPS yang pertama menerima wacana CUM kemudian mempersepsikan dirinya sesuai dengan krisis tersebut. Ada sebentuk imperatif di situ: “para Pendeta (gereja) perlu berperan!”. Inilah yang menjadi dasar identifikasi ‘diri’ komunitas CUM “Talenta” pertama sekali. Kalau kita mengacu pada data yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya terlihat dengan jelas bahwa ada beberapa faktor yang mendorong para Pendeta (muda) GKPS berinsiatif mendirikan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”. Fenomena menurunnya tingkat kehadiran dan partisipasi warga jemaat GKPS mengikuti ibadah (kebaktian Minggu) dan juga persekutuan doa keluarga menjadi keprihatinan tersendiri bagi para Pendeta (muda) GKPS yang berada di daerah pelayanan GKPS di distrik III. Berdasarkan Laporan Pertanggungjawaban Pimpinan Pusat GKPS kepada Sinode Bolon GKPS pada tahun 2005 disebutkan bahwa jumlah jemaat mengikuti kedua kegiatan gereja tersebut hanya sekitar 33% dari sekitar 200 ribu jiwa lebih jumlah anggota jemaat GKPS”.228 Fenomena menurunnya jumlah anggota jemaat GKPS mengikuti kebaktian Minggu dan berbagai aktivitas gereja lainnya juga dipicu oleh terjadinya konflik di antara sesama anggota majelis jemaat (pengurus gereja) yang menurut bapak Damanik diakibatkan oleh ketiadaan transparansi dalam hal pengelolaan keuangan jemaat yang tidak jarang berujung pada terjadinya konflik antara sesama anggota majelis jemaat. Turunnya jumlah jemaat mengikuti kebaktian Minggu dan kegiatan lainnya disebabkan karena menipisnya kasih dan solidaritas. Ada pengurus gereja yang memakai uang gereja (baca:“korupsi”:ms) untuk kepentingan dirinya atau keluarganya. Pengurus gereja tidak transparan, tidak jujur dalam hal pengelolaan keuangan jemaat. Akibatnya, terjadi konflik di antara sesama majelis. Situasi konflik inilah yang membuat orang malas ke gereja”.229 228 Selanjutnya lihat: Risalah Sinode Bolon GKPS tahun 2005 Wawancara dengan bapak Damanik dilakukan di Nagori (desa) Bandar Purba pada tanggal 5 Maret 2012 (diterjemahkan secara bebas:ms) 229 157 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Selain itu, karena ketiadaan transparansi dalam hal pengelolaan keuangan jemaat yang kemudian berakibat pada terjadinya konflik diantara sesama pengurus gereja, fenomena menurunnya tingkat kehadiran dan partisipasi jemaat dalam mengikuti kebaktian Minggu dan kegiatan gereja lainnya di GKPS menurut Damanik juga disebabkan karena menipisnya kasih dan solidaritas sosial. Gambaran tentang melorotnya solidaritas sosial warga jemaat GKPS di desanya diungkapkan bapak Damanik sebagai berikut: Dulu di kampung ini, semua dikerjakan bersama; ada haroan marlajar dan ada haroan bolon. Sekarang ini, semua dikerjakan sendiri-sendiri. Semua ingin menunjukkan kehebatan keluarganya masing-masing. Yang aneh, kampung (desa) kami ini tidak begitu luas tetapi hampir semua kami di kampung ini selalu mengatakan keluhan yang sama yaitu: “mencari pekerja upahanlah yang sulit sekarang ini”. Nggak tahu saya apa sebenarnya yang terjadi di jaman ini”. 230 Selain itu, melorotnya solidaritas sosial jemaat GKPS di pedesaan di tanah Simalungun, ikut diperparah oleh berbagai bentuk krisis ekonomi yang dialami jemaat seperti: harga produksi pertanian (pasca panen) yang tidak stabil, harga pupuk yang mahal dan terkadang langka, kesulitan mengakses fasilitas permodalan dari lembaga keuangan mikro (LKM: BRI, BPR dan Koperasi simpan pinjam) dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak warga GKPS terpaksa menempuh “jalan ke keselamatan” yang ditawarkan oleh para tengkulak dan para rentenir.. Kondisi krisis sosial ekonomi yang seperti itulah yang diperhadapkan kepada Pendeta GKPS di daerah distrik III ketika ia menjalankan tugas pelayanan kegerejaannya sehari-hari. Sebagai representasi kehadiran institusi gereja GKPS di basis jemaat, para Pendeta GKPS harus memberi respons etis terhadap krisis sosial ekonomi yang dihadapi jemaatnya tersebut. Ketika para Pendeta GKPS diminta untuk memberi 230 Ibid 158 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI respons etis terhadap krisis sosial ekonomi yang dihadapi jemaatnya, para Pendeta GKPS itu sesungguhnya juga sedang mengalami krisis berbagai bentuk krisis sosial ekonomi yang dialami dalam bentuknya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Sekadar untuk perbandingan ketika komunitas CUM “Talenta” dibentuk (dideklarasikan) pada tahun 2007, upah minimum regional riil (UMR) Provinsi Sumatera Utara, adalah Rp.761.000,231sedangkan besarnya perolehan (gaji) seorang Pendeta GKPS (belum menikah) pada tahun 2007 dengan masa kerja nol tahun adalah Rp. 800.000”.232 Dengan kondisi perolehan (gaji) yang seperti itu, para Pendeta yang melayani di berbagai pelosok pedesaan masih harus menyediakan sendiri sarana dan prasarana pelayanannya seperti sepeda motor, komputer (laptop) dan lain sebagainya. Tidak jarang, para Pendeta GKPS masih harus meminta bantuan kepada orang tuanya (keluarga) untuk pengadaan sarana dan prasarana pelayanannya tersebut. Bagi Pendeta yang orang tua ataupun keluarganya memiliki kemampuan ekonomi yang memadai tentulah persoalan yang dihadapi Pendeta dengan segera dapat diatasi. Tetapi bagi seorang Pendeta yang kebetulan orangtuanya atau keluarganya tidak mampu hal ini tentu akan menjadi persoalan yang sulit diatasi. Seorang Pendeta GKPS (ASP) misalnya menyebutkan bahwa ia terpaksa menempuh jalan berhutang (kredit) untuk membeli sepeda motor sebagai sarana transportasi untuk mendukung tugas pelayanannya. Hal itu ia lakukan sebab orang tua dan keluarganya tidak mampu memberikan bantuan untuk membeli sepeda motor tersebut secara tunai (cash). Tidak jarang untuk membayar cicilan kredit sepeda motornya tersebut ia juga harus kembali menempuh jalan 231 http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Master-30705-8106162033%20Bab%20I.pdf (diakses: 3/8/2015) 232 Wawancara dengan salah seorang Pendeta GKPS (JA) yang ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 2007), tanggal 3/8/2015 159 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berhutang kepada sesama Pendeta. Hal-hal yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa para Pendeta GKPS dan subjek liyan (“jemaat dan masyarakat sekitar”) samasama berada dalam kondisi lack . Kalau menggunakan konsep rantai ekuivalensi (chain of equivalence) sebagaimana yang dirumuskan LM maka berbagai bentuk keluhan (krisis) sosial ekonomi dan tuntutan-tuntutan (demands) dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” itu dapat digambarkan dalam bentuk tabel (matrik) berikut ini: Tabel 8 Tuntutan dan Konstruksi Rantai Ekuivalensi (chain Of equivalence) Dalam proses Pembentukan Komunitas CUM “Talenta” Pluralitas Identitas Subjek / Aktor Perubahan Keluhan /Bentuk krisis yang dialami warga Tuntutan (Demand) Rejim opresif (“musuh”) yang dihadapi Institusi keuangan mikro formal (Bank Pedesaan: (BRI, BPR dll) Insitusi keuangan mikro informal: Rentenir, Tengkulak, dll Jemaat GKPS/ Petani A Kesulitan mengakses fasilitas modal usaha Kemudahan mengakses modal-usaha(finansial) Jemaat GKPS/ Petani B Harga pupuk yang tinggi Mudah mengakses Pupuk Jemaat GKPS/ Petani/perempuan C Ketiadaan jaminan harga produksi pasca panen Kepastian (stabilitas) harga produksi (pasca panen) Jemaat GKPS pns D Biaya kebutuhan pendidikan anak tidak mencukupi Peningkatan gaji/ pendapatan ekonomi Pemerintah Pendeta GKPS E Gaji (perolehan) yang minim Peningkatan gaji (perolehan) Institusi Gereja Pemerintah Pasar bebas Berdasarkan matrik tersebut di ats tampak dengan jelas beragam tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik dalam konteks GKPS. Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini pada awalnya 160 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI didirikan oleh beberapa orang Pendeta (muda) GKPS yang merasa memiliki tanggungajawab untuk memberi respon etis terhadap berbagai bentuk krisis sosial ekonomi yang dihadapi tidak hanya oleh para Pendeta tetapi juga oleh jemaat dan juga masyarakat sekitar di mana gereja GKPS berada. Para Pendeta (muda) GKPS yang menginisiasi pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” telah menjadikan tuntutan partikular (A) yakni “kemudahan mengakses modal usaha” menjadi penanda (signifier) dari keseluruhan rantai tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang ada dalam konteks GKPS. Dalam hal ini, tuntutan lainnya (B, C, D,dan E) teroverdeterminasi ke tuntutan (A). Dengan kata lain, tuntutan (A) inilah yang dijadikan sebagai penanda “kehendak kolektif”-nya (collective will). Dengan menjadikan tuntutan partikular (A) sebagai penanda (signifier) dari keseluruhan rantai tuntutan yang beragam dari jemaat GKPS maka“institusi keuangan mikro formal – formal microfinance” (seperti BRI, BPR, dll) dan institusi keuangan mikro informal – informal microfinance” (para rentenir baik yang individual maupun yang institusional termasuk para tengkulak) dipisahkan dari tuntutan-tuntutan sebagian besar jemaat dan masyarakat. Pemisahan seperti inilah yang disebut LM sebagai titik di mana muncul tapal batas politik (political frontier) yang menjadi implikasi dari tampilnya tuntutan partikular (A) sebagai penanda dari rantai keseluruhan tuntutan jemaat GKPS yang beragam di distrik III. Dengan bangunan rantai ekuivalensi yang seperti itu, komunitas CUM “Talenta” membedakan dirinya dengan lembagalembaga keuangan mikro lainnya seperti BMT, CU dan lain-lain. Setiap tuntutan tersebut di atas pada dasarnya bersifat partikular sehingga masing-masing tuntutan berbeda dalam arti bersifat antagonis dengan tuntutan-tuntutan lainnya. Meskipun begitu, semuanya memiliki kesamaan (ekuivalen) yakni beroposisi 161 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dengan “rejim rentenir baik yang individual maupun yang institusional” yang juga dianggap sebagai penanda dari tatanan sosial yang opresif. Penciptaan rantai ekuivalensi di mana tuntutan “kemudahan mengakses fasilitas modal usaha” tampil sebagai penanda dari keseluruhan rantai tuntutan yang beragam sekaligus memunculkan tapal batas politik (political frontier) di mana “rejim rentenir baik yang individual maupun yang institusional” diidentifikasi sebagai “musuh bersama” (common enemy) yang hendak dilawan. 4.3.2. Diakonia Sebagai “Penanda Kosong” Kalau tuntutan “kemudahan mengakses modal usaha” ini telah dijadikan sebagai penanda dari keseluruhan rantai tuntutan yang beragam, maka mengikuti perspektif LM, apa yang dijadikan sebagai “penanda kosong”-nya (empty signifier) in dalam komunitas CUM “TAlenta” yang berfungsi sebagai pemersatu beragam kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik untuk menentang tatanan yang opresif atau menentang rejim rentenir baik yang individual maupun yang institusional itu? Ketika kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” dideklarasikan pada tanggal 16 Januari 2007, para Pendeta (muda) GKPS itu tampak mendasarkan pembentukan komunitas CUM “Talenta” itu pada Firman Tuhan sebagaimana yang tertulis dalam Alkitab, Galatia 6:2: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus”. Dengan begitu cukup jelas apa yang menjadi alasan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang ada dalam konteks GKPS itu bersatu ke dalam kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” yakni untuk berbagai bentuk kesulitan (krisis) sosial ekonomi yang mereka alami. Sudah dijelaskan bahwa Aktivitas awal yang dilakukan komunitas CUM “Talenta” untuk mengatasi persoalan kesulitan mengakses krisis sosial ekonomi itu adalah dengan cara “bertolong-tolongan menanggung beban”. 162 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lalu, apa beban yang harus mereka tanggung tersebut? Jawabannya tentu: banyak dan beragam. Meskipun tuntutan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” itu banyak dan beragam namun sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, tuntutan “kemudahan mengkases modal usaha”, tampak dijadikan sebagai penanda (signifier) atau representasi dari rantai tuntutan yang beragam dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang ada dalam konteks GKPS. Sudah dijelaskan bahwa ketika kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” dideklarasikan mereka mereka juga mendeklarasikan “bahasa” “bertolong-tolongan menanggung bebanmu” sebagai bahasa bersama untuk mencapai cita-cita bersama mereka yakni mewujudkan kesejahteraan. Bahasa “bertolong-tolongan menanggung bebanmu” ini sesungguhnya merupakan nama lain dari solidaritas. Dalam kosakata gereja, solidaritas merupakan tindakan “diakonia” (pelayanan). Sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa tuntutan “kemudahan mengakses modal usaha” telah dijadikan representasi atau penanda (signifier) dari beragam tuntutan dari kekuatan sosial yang antagonistik. Untuk menjawab tuntutan “kemudahan mengakses modal usaha” inilah kesatuan sosial komunitas CUM menjangkarkan keseluruhan praktik diskursifnya pada bahasa “bertolong-tolongan menanggung bebanmu” yang dalam perspektif gereja merupakan cara untuk mengerjakan atau membahasakan “diakonia gereja”. Dengan begitu maka “diakonia gereja” lah yang dijadikan sebagai penanda utama (master signifier) untuk menentang rejim rentenir; baik yang individual maupun yang institusional, yang oleh kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” telah dijadikan menjadi semacam “musuh bersama”nya. Artinya, dalam praktik diksursif CUM tersebut wacana “diakonia gereja” 163 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dipertentangkan dengan wacana ekonomi penghisapan yang dipraktikkan oleh rejim rentenir baik yang individual maupun yang institusional itu. 4.3.3. Logika Persamaan Dan Logika Perbedaan Dalam Formasi Hegemonik Komunitas CUM “Talenta” Sejak formasi sosial komunitas CUM “Talenta” mengidentifikasi rejim rentenir (baik yang individual maupun yang institusional) sebagai “musuh bersama” maka logika persamaan tampak dijalankandengan mengidentifikasi semua identitas orang-orang yang tidak berprofesi sebagai rentenir sebagai orang-orang yang memiliki kesamaan dengan komunitas CUM “Talenta”. Artinya, kekhususan identitas orang-orang baik identitas denominasi gereja, identitas agama, etnis, gender, dan lain sebagainya dimasukkan ke dalam satu kategori yakni “ekonomi berbagi”. Dengan kata lain, “ekonomi rentenir” dipertentangkan dengan “ekonomi yang tidak rentenir”. Dengan cara seperti itu, kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” tampak membagi ruang sosial menjadi dua kutub yang bertentangan yakni kutub “ekonomi berbagi” dan kutub “ekonomi rentenir” (penghisapan). Kategori identitas keanggotaan komunitas CUM “Talenta” terlihat cukup jamak di mana warga gereja dari denominasi gereja yang berbeda dengan GKPS juga dapat diterima sebagai anggota dan memiliki kebebasan dan kesetaraan yang sama dengan warga GKPS. Tidak hanya itu, pluralitas identitas keanggotaan komunitas CUM “Talenta” juga ditandai dengan keterlibatan warga masyarakat dengan identitas agama yang berbeda dengan kristen. Seorang anggota komunitas CUM “Talenta” yang beragama Islam.Bapak Sutrisno misalnya menceritakan pengalamannya selama menjadi anggota komunitas CUM “Talenta”: Saya sudah dua kali merasakan pertolongan di komunitas ini.Pertama, ketika menikahkan anak. Ketika itu saya mendapat pinjaman konsumtif sebesar Rp. 4jt. Pinjaman kedua adalah untuk kebutuhan membangun (renovasi) rumah dengan pinjaman sebesar Rp. 10jt dan semua pinjaman tersebut sudah saya kembalikan 164 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dengan tepat waktu. Hal yang sangat menggembirakan hati saya adalah ketika pencairan pinjaman, di mana sesuai mekanisme penyerahan pinjaman selalu disertai dengan doa. Biasanya kalau peminjam adalah orang kristen maka Pendeta (manajer) secara langsung mendoakan uang yang akan diserahkan. Tetapi, karena saya adalah seorang muslim maka saya sendiri diminta oleh Pendeta untuk mendoakan uang yang dipinjam tersebut sesuai dengan keyakinan agama saya. Dan sebelum berdoa manajer (Pendeta) mengatakan kurang lebih seperti: uang ini adalah uang milik Allah/Tuhan yang bapak sembah dan yakini, oleh karena itu, kembalikanlah uang itu kepada Tuhan tepat pada waktu sebagaimana bapak menjanjikannya di hadapan Tuhan agar bisa digunakan oleh umatnya yang lain, yang juga adalah sesama kita. Itu adalah pengalaman pertama saya mendapat pinjaman dari komunitas CUM “Talenta” yang tak akan pernah mungkin saya lupakan”. Pinjaman pun dapat saya kembalikan melalui hasil penjualan kopi dan cabai yang saya tanam”. 233 Dengan menjalankan logika persamaan sebagaimana diceritakan di atas, kita bisa melihat grafik pertumbuhan dan pertambahan jumlah keanggotaan kesatuan komunitas CUM “Talenta” yang sangat signifikan sejak didirikan. Tidak hanya itu, wilayah pelayanannya juga semakin meluas yang ditandai dengan bertambahnya jumlah calon unit, unit dan juga kantor cabangnya. Meskipun, begitu harus juga dicatat bahwa ada juga anggota komunitas CUM “Talenta” yang menyatakan diri keluar. Meskipun jumlah anggota yang keluar tidak terlalu signifikan tetapi data menunjukkan jumlah anggota yang keluar dari tahun ke tahun justru memperlihatkan grafik yang menaik”.234 Alasan menyatakan diri keluar tampaknya bervariasi seperti: pencairan pinjaman terlalu lama, terjadi konflik dengan komisaris, tidak mampu mengembalikan pinjaman, pindah domisili dan lain sebagainya”.235 Bervariasinya alasan anggota komunitas CUM “Talenta” yang menyatakan diri keluar tersebut mengingatkan kita pada apa yang pernah dikatakan LM bahwa dalam 233 Wawancara dengan bapak Sutrisno dilakukan pada tanggal o3 Maret 2010, di Kantor Induk Komunitas CUM”Talenta”di Saribudolok. No.Anggota: 638. Bapak Sutrisno memiliki lahan seluas 2 ha (1 ha sudah ditanami kopi dan padi sedangkan selebihnya baru ditanami dengan kopi). 234 Lihat:Bab III (Tabel 5) 235 Diolah berdasarkan data jumlah anggota komunitas CUM “Talenta” yang keluar dan alasannya (tahun 2007-2011) 165 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI setiap pembentukan suatu formasi hegemoni selalu ada momen-momen yang menjadi unsur-unsur baru yang kemudian perlu menjadi reartikulasi hegemonik baru”.236Artinya, terbentuknya kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”, masih merupakan awal dari dimulainya perjuangan pembentukan formasi hegemonik yang hendak diwujudkan. Dengan kata lain, tapal batas politik (political frontiers) yang muncul sebagai akibat dari terciptanya rantai ekuivalensi dari beragam kekuatan sosial yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” itu sebenarnya tidak bersifat stabil sebab seperti kata LM, pada saat yang sama rejim opresif juga melakukan praktik hegemoni dan mencoba menyerap transformasi (menggunakan istilah Gramsci) beberapa dari tuntuan oposisi”.237Harapannya tentu saja agar rantai ekuivalensi yang sudah terbentuk itu bubar sehingga rejim rentenir baik yang individual maupun yang institusional kembali menjadi leluasa mengembangkan proyek hegemoninya. Maka, satu-satunya cara untuk menjaga agar rantai ekuivalensi yang sudah terbentuk itu tidak terputus adalah dengan cara mengaktualisasikan kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality) secara terus menerus untuk mengeliminasi hubungan-hubungan yang bersifat subordinatif, eksploitatif dan opresif dalam kehidupan komunitas CUM “Talenta” sehari-hari. Analisis pada bagian berikut ini akan menyoroti bagaimana logika demokrasi radikal-plural itu bekerja dalam formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta”. Apa yang akan dilihat adalah perjuangan-perjuangan demokratik baru yang seperti apa yang dilakukan komunitas CUM “Talenta” untuk mengatasi hubungan-hubungan subordinatif, eksploitatif dan opresif yang dialami oleh anggotanya. Perjuangan236 St.Sunardi, (2012) Op.cit, hlm, 18 Daniel Hutagalung,” Hegemoni dan Demokrasi Radikal-Plural: Membaca Laclau-Mouffe”, (dalam) Ernesto Laclau-Chantal Mouffe (2008) Hegemoni dan Strategi Sosialis: PosMarxisme dan Gerakan Sosial Baru, terj, Yogyakarta, Resist Book, hlm, xxxix 237 166 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perjuangan demokratik baru yang dilakukan komunitas CUM “Talenta” itulah yang akan dilihat sebagai representasi ataupun ekspresi diakonia gereja. Dalam perspektif seperti itulah identitas politik “gereja suku” (GKPS) itu dibicarakan. 4.3.4. Identitas Politik dan Representasinya 4.3.4.1. Menciptakan Modal Bersama: Siasat Melawan Rentenir Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dalam formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta” tuntutan “kesulitan mengakses modal usaha” telah dijadikan sebagai penanda dari keseluruhan rantai tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik dalam konteks GKPS. Karena itu, sejak terbentuknya kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” tersebut upaya yang dilakukan oleh merespon “kesulitan mengakses modal usaha” itu pertama-tama dilakukan dengan cara menciptakan modal bersama melalui Aktivitas simpan-pinjam uang yang bentuknya antara lain: simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela. Dalam perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk simpanan yang terdapat dalam kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” kemudian diperluas dengan membuka bentuk simpanan yang mirip dengan “deposito” yang dikenal dalam dunia perbankan. Komunitas CUM “Talenta” menyebutnya dengan istilah “simpanan diakonia”. Dalam perkembangan selanjutnya, komunitas CUM “Talenta” juga tampak mengadakan dana Perlindungan Jiwa (LINWA) dan dana Perlindungan Kesehatan (LINKES). Linwa dan Linkes adalah semacam “asuransi” untuk kematian dan kesehatan anggota. Telah secara lugas dipaparkan besarnya uang yang harus dibayarkan anggota untuk setiap bentuk simpanan diputuskan oleh anggota melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT). Di era globalisasi kapitalisme neoliberal yang sedang berlangsung dewasa ini, “uang” tampak secara hegemonik telah mengambil tempat sebagai struktur makna yang 167 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI utama dalam relasi sosial di masyarakat. Lalu, masih adakah kemungkinannya untuk mengubah (mentransformasikan) makna uang menjadi sesuatu yang lain sehingga uang bisa memiliki makna sosial? Uang tampak tidak lagi semata-mata sebagai alat tukar tetapi sudah merupakan tujuan. Tetapi, dengan pembentukan formasi sosial komunitas CUM “Talenta” ini tampaknya ada semacam cita-cita untuk menegaskan kembali konsepsi yang paling elementer dari pemikiran Marx bahwa uang merupakan produk relasi sosial dan bukan sebaliknya uang yang menciptakan relasi sosial. Kalau logika sistem ekonomi neoliberal yang mempertuankan “kebebasan pasar” (unfettered market) itu dicirikan oleh penghancuran terhadap segala bentuk struktur kolektif dari unitnya yang terkecil (keluarga) sampai terbesar (negara) maka formasi sosial komunitas CUM “Talenta” dengan seluruh kegiatan dan usaha-usaha bersama yang mereka lakukan sedang menunjukkan perlawanannya. Tidak hanya itu, kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” juga tampak sedang mengajukan sebentuk jenis masyarakat baru yang cirinya adalah adanya semangat berbagi (bertolong-tolongan menanggung beban). 4.3.4.2. Memaknai (ulang) Haroan Bolon di Simalungun: Siasat Melawan Individualisme Mencari pekerja upahanlah yang susah sekarang ini pak Pendeta? Kalau soal, modal usaha sudah bisa diatasi lewat komunitas CUM “Talenta” ini!. Demikian ungkapan salah seorang anggota komunitas CUM “Talenta” kepada saya ketika penelitan ini dilakukan. Ungkapan tersebut bagaimanapun juga menunjukkan bahwa tuntutan-tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” itu cukup beragam. Tuntutan “kemudahan mengakses modal usaha” hanyalah salah satu dari beragam tuntutan dari kekuatan sosial yang membentuk 168 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI komunitas CUM “Talenta” tersebut. Sudah dijelaskan juga bahwa untuk mengatasi persoalan kesulitan mengakses modal usaha tersebut sudah mereka upayakan dengan mengadakan atau menciptakan modal bersama. Dari sisi ekonom, upaya itu tampak cukup berhasil. Tetapi, kalau kita melihat pengakuan dari salah seorang anggota komunitas CUM “Talenta”tersebut jelas bahwa uang tidak dapat dapat menjawab segala persoalan. Sadar bahwa uang bukan merupakan jawaban dari segala persoalan, kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” menjawab persoalan kesulitan mengolah lahan pertanian dari masing-masing anggota dengan cara mereartikulasi kembali tradisi haroan bolon yang ada dalam budaya masyarakat Simalungun. Kali ini haroan bolon tersebut tidak lagi dilakukan secara bergilir sebagaimana dipraktikkan pada masa lalu. Dalam konteks komunitas CUM “Talenta”, haroan bolon itu tidak hanya diartikulasikan dengan mengadakan atau menciptakan modal bersama tetapi juga membentuk semacam “usaha pertanian bersama” (berkelompok). Sejauh ini ada dua kelompok basis (unit) komunitas CUM “Talenta” yang mempraktikkan kerja haroan bolon tersebut. Yang pertama adalah kelompok haroan bolon di unit (basis) komunitas CUM “Talenta” di desa Huta Saing dan desa Bandar Purba di Kabupaten Simalungun. Modal usaha kelompok haroan bolon ini merupakan pinjaman kelompok yang berasal dari komunitas CUM “Talenta”. Lahan yang mereka gunakan adalah lahan milik salah seorang anggota komunitas yang dipinjam-pakaikan untuk unit komunitas CUM “Talenta”. Usaha pertanian bersama yang dilakukan oleh kelompok haroan bolon unit komunitas CUM “Talenta” di Huta Saing, yang dilakukan tampaknya cukup berhasil sehingga mereka bisa mengembalikan pinjaman kelompok mereka kepada komunitas (Lihat: pembahasan pada bab III: hlm. 133). Sementara itu, kelompok “haroan bolon 169 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Talenta” di desa Bandar Purba yang dibentuk tahun 2011 meskipun dari sisi ekonomi, usaha pertanian bersama ini tidak beruntung namun mereka menemukan makna sosial dari marharoan tersebut sebab di sela-sela kerja bersama tersebut mereka bisa berbagi informasi dan pengalaman tidak hanya terkait dengan dunia pertanian tetapi juga terkait dengan pendidikan anak-anak mereka. (bab III:133). 4.3.4.3. Menolak Rayuan Agen Neolib (Rabo Bank) Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” yang terbilang cukup pelik adalah ihwal kecukupan dana pinjaman yang harus diberikan kepada anggota komunitas. Memang, ketika didirikan komunitas ini telah menyandarkan usaha bersama yang ingin mereka lakukan untuk mengatasi berbagai bentuk krisis sosial ekonomi yang mereka hadapi adalah dengan cara mengartikulasi bahasa “diakonia gereja” sebagai cara untuk mengartikulasi “bahasa” bertolongtolongan menanggung beban tersebut. Namun, dalam perjalanannya kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini tidak mampu mengatasi kebutuhan ataupun tuntutan pinjaman modal usaha tersebut. Dalam kenyataan seperti itu, sebuah bank umum nasional yakni Rabo Bank datang menawarkan “kerjasama” dengan kesediaan mengucurkan dana pinjaman sebesar Rp.2 milyar. Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, kerjasama ini nyaris ditandatangani dengan melibatkan Pimpinan Pusat GKPS sebagai “saksinya”. Namun, pada detik akhir menjelang penanda tanganan kerjasama tersebut, perjanjian dibatalkan sebab dianggap bertentangan dengan prinsip “keswadayaan” yang telah dipancang oleh komunitas ini dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga komunitas. Ketika ditanyakan kepada manajer maupun pengurus komunitas CUM “Talenta” bagaimana Rabo Bank bisa mengetahui adanya kesulitan dana yang dihadapi 170 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI oleh komunitas CUM, baik manajer maupun pengurusnya tidak bersedia memberikan jawabannya. Satu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa salah seorang dari pegawai Rabo Bank tersebut diketahui merupakan warga jemaat GKPS di daerah perkotaan Jakarta. Bahkan, ketika penulis menanyakan mengapa Rabo Bank bersedia mengucurkan dana pinjaman sebesar itu padahal komunitas ini adalah sebuah komunitas yang tidak (belum) berbadan hukum, maka jawaban dari salah seorang manajer CUM tersebut mengatakan karena ada semacam jaminan dari Pimpinan Pusat GKPS bahwa komunitas CUM “Talenta” merupakan unit (lembaga) pelayanan yang berada di bawah naungan GKPS, meskipun dalam kenyataannya sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari rahim institutsi GKPS. Kesadaran bahwa kesatuan sosial telah memijakkan prinsipnya pada “keswadayaan” menyadarkan manajer dan juga pengurus komunitas bahwa ketidakcukupan dana pinjaman itu sesungguhnya menunjukkan bahwa “penanda kosong” (empty signifier) yang juga merupakan “penanda utama” (master signifier) tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, bahasa “bertolongtolongan menanggung beban” yang dijadikan sebagai bahasa bersama untuk mengatasi berebagai bentuk krisis sosial ekonomi yang dihadapi tidak dapat menjadi ikatan pemersatu yang sempurna sebab telah mengakibatkan sejumlah orang anggota komunitas CUM “Talenta” menyatakan diri keluar karena need-nya tidak terpenuhi. Kenyataan seperti ini, tentu mengingatkan kita pada apa yang disebut LM bahwa dalam suatu formasi hegemonik selalu ada momen-momen yang menjadi unsur baru hegemoni yang mesti direartikulasikan secara terus menerus. 171 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4.3.4.4. Mendirikan Perusahaan (CV. Talenta): Memotong Jalur Pemasaran Kopi Tanaman kopi adalah salah satu produk pertanian andalan masyarakat Simalungun bagian atas (Barat) di samping produk sayur mayur dan buah-buahan. Masyarakat lokal Simalungun menyebut jenis (varietas) kopi mereka dengan sebutan kopi “sigarar utang” (kopi untuk bayar hutang). Sebagai daerah penghasil kopi, tidak heran kalau daerah ini diserbu oleh para pembeli kopi untuk kemudian dipasarkan kembali ke perusahaanperusahaan pengolah biji kopi. Di era teknologi informasi saat ini tidaklah sulit untuk mengetahui disparitas harga kopi di berbagai daerah. Apa yang ditemukan oleh komunitas CUM “Talenta” adalah adanya disparitas harga yang cukup mencolok di tingkat petani dengan harga kopi di tingkat perusahaan. Rendahnya harga kopi masyarakat di Simalungun ini diperparah lagi oleh kenyataan di mana para pembeli kopi juga masih harus membayar sejumlah uang kepada “preman” di daerah ini yang bahkan bisa mencapai Rp.500 per kilogram. Semuanya itu tentu akan dibebankan kepada petani. Akibatnya, petani sebagai produsen kopi justru hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit dibanding dengan para pembeli yang datang dari luar daerah sebab merekalah yang langsung menjual kopi tersebut ke perusahaan. Kesadaran akan adanya disparitas marjin harga komoditas kopi yang cukup mencolok itulah yang mendorong kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” membuat sebuah keputusan melalui rapat anggota tahunan pada tahun 2012 di mana hampir Rp. 400 jutaan Sisa Hasil Usaha (SHU) yang seharusnya dibagikan kepada anggota kemudian diputuskan secara bersama untuk tidak dibagi tetapi dialokasikan sebagai dana awal untuk mendirikan sebuah perusahaan milik anggota komunitas CUM “Talenta” secara kolektif. Pendirian perusahaan (CV.Talenta) ini termasuk unik sebab kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” sendiri adalah sebuah komunitas yang tidak 172 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berbadan hukum namun harus mendirikan sebuah perusahaan yang mempersyaratkan adanya badan hukum. Untuk mengatasi persoalan tersebut komunitas ini tampak menggunakan celah yuridis di mana perusahaan tersebut didirikan oleh representasi komunitas CUM “Talenta” dan dengan perjanjian yang ditandatangani dihadapan notaris bahwa CV.Talenta tersebut adalah milik anggota komunitas CUM “Talenta”. Melalui CV. Talenta inilah, komunitas CUM “Talenta” mulai mengumpulkan sendiri kopi anggota untuk dipasarkan secara langsung ke tingkat perusahaan. Dari sini komunitas CUM “Talenta” kemudian mengenal beberapa perusahan pengolah biji kopi seperti PT.Volkopi Indonesia dan dengan Tiga Raja International Coffee sebuah perusahaan pengolah biji kopi dari Australia yang memiliki perwakilan di daerah Silimakuta Saribudolok (Lisa and Leo’s organic coffee): We are buying coffee from a farmer group who are all members of one grower’s co-operative called Talenta. It has over 10,000 members; 7,000 members are coffee farmers and 5,000 of those members are attached to the Saribu Dolok office which covers the sub-regions of Silimakuta, Dolok Silau and Pematang Purba. These are the three regions from whom we will be buying our coffee.Talenta is a highly organised group. They have a total of 117 active ‘komisaris’. Komisaris are members who live in the villages and are employed to collect parchment coffee from the local member farmers”.238 Kerjasama yang dilakukan komunitas CUM “Talenta” dengan perusahaan dari Australia ini memang dapat mendongkrak harga kopi di tingkat petani. Terobosan yang dilakukan oleh komunitas CUM “Talenta” ini sempat membuat “preman desa” yang selama ini mendapatkan keuntungan dari “upeti” yang diberikan pembeli menjadi berang bahkan sempat mengancam Pendeta (manajer) dan pegawai komunitas CUM 238 (http://www.fivesenses.com.au/blog/2014/02/05/its-all-systems-go-at-tiga-raja-mill: (diakses: 12 Maret 2015). 173 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI “Talenta”. Menurut salah seorang manajer CUM “Talenta”, “preman desa” tidak dapat menerima, Pendeta mengelola bisnis. Meskipun, begitu seiring berjalannya waktu dan dengan mengadakan pendidikan dan penyadaran lewat Aktivitas kegerejaan yakni persekutuan doa antar keluarga dan khotbah-khotbah kebaktian Minggu, seklompok masyarakat yang tadinya merasa terganggu dengan kehadiran komunitas CUM “Talenta” lambat laun kini dapat memahaminya sebagai bagian dari tugas gereja. 4.3.4.5. Mengubah Tanda Pengenal Diri: Dari Komunitas “Credit” ke Komunitas “Credo” : Siasat Melawan Intervensi Pemerintah Sejak awal berdiri, hingga penelitian ini dilakukan komunitas CUM “Talenta” bukanlah sebuah komunitas yang memiliki badan hukum. Dari sejarah pembentukkannya juga cukup jelas diketahui bahwa pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini bertolak dari kesulitan institusi GKPS untuk memberi respons etis terhadap berbagai bentuk krisis sosial ekonomi yang dihadapi jemaatnya. Itulah sebabnya sejak awal komunitas CUM “Talenta” ini mengklaim dirinya sebagai bagian dari pelayanan (diakonia) gereja GKPS meskipun hal ini jelas merupakan klaim sepihak. Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari rahim institusi GKPS secara legal formal. Perlu ditambahkan bahwa persoalan atau tuntutan akan badan hukum komunitas CUM “Talenta” baru mengemuka sejak komunitas ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat baik dari sisi finansial maupun jumlah anggotanya. Tidak sedikit anggota komunitas CUM “Talenta” sejak ia menyatakan masuk sebagai anggota sudah mengetahui ihwal ketiadaan badan hukum komunitas ini tetapi mereka masih tetap bertahan menjadi anggota. Salah satu alasannya adalah kehadiran para Pendeta sebagai manajer ataupun pengurus komunitas yang dianggap bisa 174 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menghadirkan kepercayaan (trust) kepada anggotanya. Bapak Sianturi dan ibu Saragih (lihat: bab III) misalnya mempertanyakan ihwal badan hukum komunitas ini tetapi ia tetap tidak menyatakan diri keluar sebab trust dalam komunitas masih terjaga, mungkin karena manajer dan pengurusnya para Pendeta, demikian pak Sianturi mengatakannya. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan moral-spiritual yang dijalankan oleh pemimpin agama (Pendeta) dapat mengatasi budaya formalisme yang semakin merebak di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Selain itu, ketiadaan badan hukum komunitas CUM “Talenta”, lambat laun mulai dipersoalkan oleh “mereka” yang di luar komunitas termasuk institusi-institusi keuangan yang menjadi kompetitor komunitas ini termasuk petugas pajak. Tanda pengenal kedirian komunitas CUM “Talenta” sebagai “komunitas credit” telah mengundang aparatus pemerintah lokal untuk meminta pajak. Alasannya, karena komunitas ini adalah komunitas kredit. Tetapi, alasan bahwa komunitas CUM “Talenta” adalah komunitas yang berada dibawah naungan gereja membuat petugas pajak undur diri. Kehadiran petugas pajak membuat komunitas CUM”Talenta” ini akhirnya mengubah tanda pengenal kediriannya dari “Komunitas Credit” menjadi “Komunitas Credo” Union Modifikasi. Hal itu dilakukan sebagai strategi eskapis ataupun siasat untuk menghindari pungutan pajak yang dilakukan oleh oknum pegawai pemerintah. 175 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB V KESIMPULAN DAN REFLEKSI 5.1. Kesimpulan Studi tentang identitas politik “gereja suku” di ruang publik yang direpresentasikan oleh komunitas CUM “Talenta”, bertolak dari pengamatan dan keprihatinan subjektif penulis atas kondisi kegamangan bahkan “kebuntuan” yang dialami oleh gereja-gereja di Indonesia dalam merepresentasikan dirinya (identitasnya) di tengah-tengah konteks sosialnya yang lebih luas. Kegamangan gereja-gereja di Indonesia sebagaimana dilansir oleh para peneliti-peneliti sebelumnya (telah telah diungkapkan pada bab pendahuluan) telah membuat gereja-gereja di Indonesia cenderung menjadi introvert dan reaktif di mana ia tampak hanya mampu memperlihatkan sisi “defensif” dari identitasnya sementara sisi “ofensif” tampak menjadi mangkir. Bertolak dari keprihatinan seperti itulah studi terhadap komunitas CUM “Talenta” menarik untuk dilakukan. Berdasarkan data-data dan analisis yang sudah dilakukan terlihat dengan jelas bagaimana komunitas CUM “Talenta” mencoba menghadirkan dirinya sebagai representasi gereja tidak hanya bagi warga GKPS sendiri tetapi juga meluas melibatkan warga gereja denominasi yang lain. Tidak hanya itu, komunitas CUM “Talenta” juga tampak bisa menjadi rumah bersama bagi masyarakat beragama yang lain (muslim). Tidak ada sekat-sekat yang dibangun. Pengelolaan dan pengembangan komunitas dilakukan dengan prinsip demokrasi di mana keputusan yang diambil melibatkan partisipasi dari seluruh anggota. Kalaupun, pengelola ataupun manajer komunitas CUM “Talenta” sepertinya diplot hanya Pendeta namun hal itu tidak dimaksudkan dalam rangka mendominasi. Kesediaan anggota masyarakat dengan 176 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI beragam pluralitas identitasnya masuk menjadi anggota komunitas CUM Talenta ini justru karena kepemimpinan moral-spiritual yang dijalankan oleh Pendeta GKPS tersebut mampu menghadirkan apa yang justru dicari masyarakat luas dewasa ini yakni kepercayaan (trust) dan keterbukaan (transparancy). Aktualisasi kepercayaan dan transparansi dari para Pendeta GKPS itu tampak mampu mengatasi formalisme ataupun legalisme yang sering dipersyaratkan oleh demokrasi prosedural-liberal. Nilai-nilai etik kristiani yang diusung oleh komunitas CUM “Talenta” secara mantap telah diterjemahkan demi menghadirkan the common goods bagi anggotanya. Memang keberhasilannya tampak masih menunjukkan keberhasilan dari sisi ekonomi uang (finansial) tetapi berbagai upaya untuk melakukan gerakan pemberdayaan ke arah yang lebih politis juga terlihat telah dilakukan walau masih belum diartikulasikan secara serius dalam arti terstruktur dan berkesinambungan. Berbagai perjuangan-perjuangan demokratik baru untuk mengatasi hubungan-hubungan eksploitatif, subordinatif dan opresif yang dialami oleh anggota komunitas CUM “Talenta” dalam konteks partikularitasnya masing-masing tampak cukup berhasil dilakukan. Meskipun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada momen-momen atau unsur-unsur baru yang masih perlu diartikulasikan. Dan hal itu tampak dari fenomena adanya anggota komunitas CUM “Talenta” yang menyatakan diri keluar sebagai anggota, meskipun jumlahnya tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan jumlah anggota yang masuk. Fenomena seperti justru mengingatkan kita pada apa yang disebut LM bahwa di era globalisasi kapitalisme neoliberal bentuk-bentuk subordinasi, eksploitasi dan opresif juga berkembang dan tidak dapat diprediksi. Selain itu, fenomena itu juga sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat atau pembentukan 177 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI masyarakat itu tidak pernah mencapai totalitas struktural yang sempurna. Karena itulah LM mengatakan bahwa masyarakat itu adalah hasil dari praktik artikulasi terus menerus. Kehadiran kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” yang mengklaim dirinya sebagai bidang pelayanan (diakonia) gereja telah membuat terjadinya relasi konfliktual dengan GKPS sebagai institusi gereja yang menaunginya. Hal itu terjadi karena memang kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari “rahim” institusi GKPS. Meskipun begitu, GKPS sendiri juga tampak memberi pengakuan terhadap eksistensi komunitas CUM “Talenta”. Hal itu terlihat dari kebersediaan GKPS mengutus tenaga pelayannya (Pendeta) ditempatkan sebagai manajer di komunitas CUM “Talenta”. Penempatan Pendeta menjadi manajer di komunitas CUM “Talenta” tampaknya cukup efektif untuk memainkan fungsinya sebagai semacam “pusat hegemonik” sebab keberhasilan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini jelas karena kepemimpinan (leadership) dijalankan dengan cukup baik di mana trust dan transparansi menjadi indikator utama yang menjadi pegangan bagi anggota-anggotanya di tengah-tengah konteks tidak adanya badan hukum komunitas ini 5.2. Refleksi Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian kesimpulan di atas, secara umum konsentrasi atau poros utama aktivitas kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” tampak masih berpusat pada ekonomi-uang. Agar komunitas CUM “Talenta” dalam gerakan pemberdayaannya bisa bergerak ke arah yang lebih luas atau politis maka penelitian ini memberikan beberapa saran untuk dipertimbangkan: 1. Perihal badan hukum komunitas CUM “Talenta” dapat dipertimbangkan untuk diadakan, khususnya terkait dengan aktivitas mengumpulkan dana dari masyarakat. 178 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Hal ini terutama mengingat adanya undang-undang lembaga keuangan mikro (LKM) dan undang-undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 2. Kerjasama antar Komunitas CUM mendesak untuk dilakukan agar eksistensi wacana CUM sebagai sebuah diskursus sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif versi kristiani bisa memperoleh pengakuan dari Negara. 3. Pendidikan dan pelatihan yang dilakukan kepada anggota dan komisaris agar tidak semata-mata diarahkan pada aspek manajemen-keuangan tetapi bisa diarahkan menjadi lebih meluas meliputi aspek ideologis dan advokasi agar kesadaran politis anggotanya menjadi bertumbuh. Bagaimanapun juga kalau Komunitas CUM “Talenta” ingin mempertahankan proyek hegemoninya maka gerakan diakonia ekonomi kerakyatan versi kristiani yang dijadikan sebagia master signifier-nya tersebut harus bergerak ke arah yang lebih politis sehingga tampak bedanya dengan komunitas atau kelompok yang diidentifikasi sebagai kelompok penindas. 179 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Daftar Pustaka Referensi Buku: Aryo, Bagus (2012),Tenggelam dalam Neoliberalisme? “Penetrasi Ideologi Pasar Dalam Penanganan Kemiskinan”, Depok-Jawa Barat, Kepik, Atmadja, Nengah Bawa (2010)Ajeg Bali:“Gerakan,Identitas Kulturaldan Globalisasi”, Yogyakarta, LKiS. Baswir, Revrisond (2010) Manifesto Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Budisusila, Antonius ed (2009), Rakyat, Pendidikan dan Ekonomi:Menuju Pendidikan Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Duchrow,Ulrich,(1999),Mengubah Kapitalisme Dunia“Tinjauan Sejarah-Alkitabiah Bagi Aksi Politis”, terj,Jakarta, BKP Gunung Mulia Eko Prabowo, T.Handono (2010)Pengembangan Kekuatan-Kekuatan Tranformasi Untuk Kedaulatan Sosial Ekonomi“Sebuah Refleksi Sosial Ekonomi”, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma Ginting, E.P dan MP.Ambarita (2001), PT. Bank Perkreditan Rakyat Pijer Podi Kekelengen Desa Simalem, Jakarta, BPK-Gunung Mulia. Hardiman, F.Budi ed, (2010) Ruang Publik: Melacak “partisipasiDemokrastis” dari Polis sampai Cyberspace, Yogyakarta, Kanisius Hargens, Boni (2006) Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern dalam Perspektif Postmarxis-Postmodernis ErnestoLaclau dan Chantal Mouffe, Jakarta, Parhesia. Hikam, Muhammad A.S.(1996) Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES Hinkelammert Franz J dan Duchrow, Ulrich dan (2004) Property for People, Not for Profit Alternatives to the global tyranny of capital, London-New York, Zed Books Jorgensen, Marianne W dan Louise J. Phillips (2007) Analisis Wacana: Teori dan Metode, terj, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Laclau, Ernesto (2005) On Populist Reason, London - New York, Verso. _____________, dan Chantal Mouffe, (1985) Hegemony& Socialist Strategy; Towards a Radical Democratic Politics, London-New York, Verso. 180 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lempas, Jeffrie A.A. eds (2006), Format RekonstruksiKekristenan:“Menggagas TeologiMisiologi, dan Ekklesiologi Kontekstual di Indonesia”,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan Manullang, Martunas, (2010) Menuju HKBP Inklusif dan Misioner: Ekkelsiologi di Masyarakat Pluralis, Pamatang Siantar, L-Sapa, STT-HKBP dan Yayasan Nommensen HKBP Jambi Menoh, Gusti A.B. (2015) Agama Dalam Ruang Publik, Yogyakarta, Kanisius Mouffe,Chantal, (2005) On the Political: Thinking in Action, London-New York, Routledge. Nolan, Albert (2011) Harapan di Tengah Kesesakan Masa Kini: Mewujudkan Injil Pembebasan, terj, Jakarta, BPK- Gunung Mulia Nugroho, Heru (2001) Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Panizza, Fransisco, ed, (2005) Populism and Mirror Democracy, London-New York, Verso,hlm,146 Perret, Daniel (2010), Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu Sumatera Utara, terj, Jakarta, Kepustakaan Popular Gramedia. Robet, Robertus, (2010),Manusia Politik:Subjek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj ZIzek, Tangerang, Marjin Kiri. Samosir, Leonardus (2010)Agama dengan Dua Wajah “ Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks”,Jakarta, Obor. Sinaga,Martin Lukito dan Juandaha Raya Purba, Peny, (2000), Tole ! Den Timor Landen Das Evangelium!” Sejarah Seratus Tahun Injil di Simalungun,2 September 1903 – 2 September 2003, P.Siantar, Kolportase GKPS-Panitia Bolon Jubileum 100 tahun Injil di Simalungun. ______,Martin Lukito, (2004), Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil:“Studi Tentang Jaulung Wismar Saragih dan KomunitasKristen Simalungun”, Yogyakarta, LKiS. Sirait, Saut, (2001),Politik Kristen di Indonesia “Suatu Tinjauan etis”, Jakarta, BPKGunung Mulia. Soesatro, Hadi, dkk,peny, (2005),Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia Dalam Setengah Abad Terakhir, Yogyakarta, Kanisius. 181 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tim Keadilan, Perdamaian dan Ciptaan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (2006) Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat Dan Bumi:Sebuahdokumen Latar Belakang, terj, Jakarta, PMK-HKBP. Weatherford, Jack (2005), Sejarah Uang“Dari zaman Batu hingga era Cyberspace”, terj, Yogyakarta, Bentang Pustaka Referensi Jurnal, Majalah, Koran, dan Naskah Akademik: Baskara, I Gde Kajeng (2013) “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia” (dalam) Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Vol. 18, No. 2, Agustus Diana Handayani,A dan Ermawati Chotim, Erna, “LKM: Beberapa Catatan Sejarah”. (dalam) Jurnal Analisis Sosial, Volume 6, No.3 Desember 2001, AkatigaBandung Edi Sutarta, Ag dan Carollina, Monica (2013) ,“Peranan Credit Union Sebagai lembaga pembiayaan Mikro” : “Studi Kasus: Pada Usaha UMKM Di Desa Tumbang ManggoKecamatanSanaman Mantikei, Kabupaten Katingan,Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2013” (dalam) Jurnal CU Ignasius Jaques Juru, (2010), Radikalisasi Pluralisme Sebagai Usaha Pengarusutamaan Politik Agonisme (dalam) Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP), Volume 14 No.2 November I Gde Kajeng Baskara, (2013), “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia” (dalam) Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Vol. 18, No. 2, Agustus Langgut Tere Eddie S. Riyadi, , (makalah) Manusia Politis Menurut Hannah Arendt Pertautan antara Tindakan dan Ruang Publik, Kebebasan dan Pluralitas, dan Upaya Memanusiawikan Kekuasaan”. Disampaikan pada Kuliah Umum Filsafat Salihara, Totalitarianisme Menurut Hannah Arendt, 20 April 2011. Komunitas Salihara Jakarta, Mouffe, Chantal, Deliberative Democracy or Agonistic Pluralisme (dalam) Jurnal Social Research, Vol.66, No.33 (fall1999). Sinaga, Martin Lukito, (2010) “Kristiani dan Agama Publik: Peta Persoalan dan Prospeknya di Indonesia”, (dalam) Majalah Tatap, 25 Mei __________________, (makalah) ”Hidup yang Dibangun di atas Batu (Matius :2:2427)Refleksi Teologis Memperkuat Masyarakat Sipil”, disampaikan pada Rapat Umum Anggota (RUA) Perhimpunan Kelompok Studi Pengembangan Masyarakat (PKSPPM), Parapat, 21-23 Februari 2014 182 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sunardi, St, Logika Demokrasi Plural Radikal, 2012 (dalam) Retorik, Jurnal Ilmu Humaniora Baru, vol.3 No. 1 Desember Wicandra, Obed Bima,(artikel)Merebut Kuasa Atas Ruang Publik: Pertarungan Ruang Komunitas Mural di Suarabaya, Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Kristen Petra Surbaya. Referensi Majalah, Koran, dokumen-dokumen: Harian Nasional, A6, Opini, Sabtu, 23 Agustus 2014 Laporan Pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas CUM “Talenta” tahun buku 2011 dan Program Kerja CUM “Talenta” Tahun 2012 Majalah “Ambilan pakon Barita” (AB) GKPS Edisi 466 Februari 2013 Majalah Tatap, 25 Mei 2010 Susukkara (Almanak) GKPS tahun 2013 Tata Gereja dan Peraturan Rumah Tangga GKPS tahun 2009 Referensi Internet: http://dyanuardy.wordpress.com/2008/01/16/jalan-hegemoni-meraba-arah-bagi-gerakansosial/ (Diakses, tgl.12-10.2011) http://widodo07.blogspot.com/2012/11/apa-perbedaan-dan-persamaan-koperasi.html, (diakses tgl, 31 Juli 2014) http://www.cu-cintamulia.or.id/?aapro=sejarah.html, (diakses tgl, 24 Mei 2011) http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg105221. html. (Diakses, tgl, 27 Oktober 2011) http://solidaritasburuh.blogspot.com/.(Diakses, tgl, 24 Mei 2011) http://idabangeet-hidayati.blogspot.com/2010/12/perbedaan-koperasi-simpan-pinjamdan. html (Diakses, 31 Juli 2014) www.komisiinformasi.go.id diakses tanggal 18 Juni 2013. http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/61/52 (diakses15/8/2015) http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Master-30705-8106162033%20 .pdf (diakses: 3/8/2015) Bab%20I (http://www.fivesenses.com.au/blog/2014/02/05/its-all-systems-go-at-tiga-raja-mill: (diakses: 12 Maret 2015). 183 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (http://wmc-iainws.com/artikel/12-konflik-islam-kristen-di-erareformasi,diakses,5Februari 2016). 184 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lampiran-Lampiran (dokumen foto penelitian): komunitas CUM “Talenta: Kelompok Usaha Bersama Haroan Bolon “Talenta” Desa Bandar Purba Kec.Purba Simalungun (sumber foto: dok.CUM “talenta” Saribudolok) Kelompok Usaha Bertani Bersama (Haroan Bolon) “Huta Saing” (Sumber:FotoDok.Komunitas CUM “Talenta”) 185 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pelantikan Komisaris dalam sebuah Kebaktian Minggu (Sumber: Foto Dok. Komunitas CUM “Talenta”) Sumber: foto DokKomunitas CUM “Talenta” Pendidikan dan Pelatihan bagi Komisaris di Tongging-Kabupaten Karo 186 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sebagaian Peserta Pendidikan dan Pelatihan Pembuatan pupuk Bokasi (Sumber Foto Dok;komunitas CUM”TAlenta”) Sumber Foto.Dok: Komunitas CUM “Talenta” Pendidikan dan Pelatihan Manajemen ekonomi Rumah Tangga di Pelpem GKPS Pematang Siantar 187 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pdt. Liharson Sigiro ketika melakukan sosialisasi di salah satu jemaat GKPSdi distrik III Saribudolok (sumber foto: dok. komunitas CUM “Talenta”) Pengurus , Pegawai dan Anggota komunitas CUM “Talenta” Cabang Pematang Raya pada saat pembukaan Kantor Cabang Pematang Raya (sumber foto: dok.CUM “Talenta” Saribudolok) 188 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Manajer Komunitas CUM “Talenta” Saribudolok berfotobersama bapak Dosman Damanik (pemimpin kelompok Haroan Bolon nagori (desa) Bandar Purba (Sumber foto:dok pribadi) Acara Serah terima Manajer CUM “Talenta” Saribudolok dari Pdt.LIharson Sigiro kepada Pdt.Syahrudin Sinaga (sumber foto:dok.CUM “Talenta” Saribudolok) 189