PIDANA DENGAN SYARAT DALAM SPPA Syarifa Yana Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam Pendahuluan Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia. Anak juga merupakan generasi keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Untuk menjamin keberlangsungan generasi tersebut, Indonesia memberikan payung hukum sebagai bentuk perlindungan hukum atas anak. Upaya perlindungan tersebut dapat dilihat salah satunya dalam konstitusi Negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya dalam Pasal 28 B ayat (2) yang berbunyi “setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dari hal tersebut diartikan bahwa Negara mempunyai tanggungjawab untuk menjaga dan melindungi kepentingan anak sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (2) tersebut adalah perlu adaya tindaklanjut dari pemerintah untuk membuat aturan yang yang bertujuan melindungi anak. Selain diatur dalam konstitusi, upaya perlindungan tersebut terwujud dengan ikut sertanya Indonesia dalam konvensi dunia yaitu Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan telah meratifikasi Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak-Hak Anak) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Anak sebagai unsur penting kehidupan masa depan memerlukan pembinaan dan bimbingan khusus agar dapat berkembang baik fisik, mental dan spiritualnya secara 1 maksimal. Anak yang masih dalam pencarian jati diri mempunyai mental yang sangat mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya, sehingga jika lingkungan tempat anak berada tersebut buruk dapat berpengaruh pada tindakan yang buruk juga. Wagiati Soetodjo menyatakan bahwa kesalahan anak yang ringan dapat berkembang menjadi kenakalan anak yang apabila dibiarkan tanpa adanya pengawasan dan pembinaan yang tepat, serta terpadu oleh semua pihak maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada tindakan kriminalitas, menjadikan anak sebagai pelaku tindak pidana.1 Bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan oleh anak semakin menggejala di masyarakat, baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Perbuatan atau tingkah laku anak yang menyalahi hukum disebut kenakalan remaja (juvenile delinquency). Dalam kamus Inggris Indonesia, Juvenile Delinquency diartikan sebagai kenakalan remaja yang melanggar hukum, berprilaku anti sosial, melawan orang tua, berbuat jahat sehingga sampai diambil tindakan hukum.2 Menurut Fuad Hassan yang dikatakan Juvenile Delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.3 Kenakalan anak setiap tahunnya meningkat. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini baik dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan, kadang-kadang tindakan pelanggaan yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang tua. Kenakalan yang dilakukan anak tidak berbanding lurus dengan usia anak tersebut.4 Untuk itu selain memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah upaya mencegah dan menanggulangi kenakalan anak. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak. Jika ditinjau dari sejarah terbentuknya pidana anak di Indonesia serta perkembangannya di Indonesia, sejak tahun 1954 di Jakarta sudah terbentuk Hakim khusus yang mengadili anak-anak dengan dibantu oleh pegawai prayuwana, tetapi penahanan pada umumnya masih disatukan dengan orang-orang dewasa. Tahun 1957 perhatian pemerintah terhadap kenakalan anak membaik, terbukti dengan dikirimkannya beberapa ahli dari berbagai departemen (kepolisian, kejaksaan, kehakiman) ke luar negeri untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan juvenile delinquency, terutama sejak dalam tahap penyelidikan 1 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 16 Peter salim, Ninth Collegiate English Indonesia Dictionary Cetakan 3, Modern English Press, Yogyakarta, 1987, hlm. 321. 3 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung, 1983, hlm. 22. 4 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 103. 2 2 sampai pada tahap penyelesaian perkara di muka pengadilan. Sekembalinya dari luar negeri, maka dibentuk agreement secara lisan antara ketiga instansi tersebut untuk mengadakan perlakuan khusus bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana. Pada tanggal 30 Juli 2012 disahkanlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. UU SPPA digadang-gadang sebagai suatu model sistem peradilan pidana yang lebih ramah terhadap anak. Undang-undang tersebut bahkan diklaim telah memenuhi standar hak-hak anak dalam ketentuan internasional maupun nasional.5 Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana. Dalam menangani perkara pidana yang pelakunya anak-anak, Hakim harus sadar yang penting baginya bukanlah apakah anak-anak tersebut dapat dihukum atau tidak, melainkan tindakan yang bagaimana yang harus diambil untuk mendidik anak tersebut.6 Secara internasional, maksud penyelenggaraan sistem peradilan anak juga harus mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam United Nations Standartd Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice ( SMRJJ) atau yang lebih dikenal dengan sebutan The Beijing Rules. “The juvenile Justice System shall emphasize wel-being of the juvenile ang shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offender and offence” (sistem peradilan pidana bagi anak/ remaja akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan akan memastikan bahwa reaksi apa pun atas pelanggar-pelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya) Dalam UU SPPA telah ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acaranya, dari mulai saat penyidikan hingga proses pemeriksaan perkara pada sidang pengadilan anak. Dari segi pidana yang diancamkan pada anak pelaku tindak pidana juga berbeda dengan pidana untuk orang dewasa, dimana penjatuhan pidananya ditentukan paling lama 1/2 (satu 5 Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), UU SPPA berlaku Akhir Juli 2014, ICJR Desak Pemerintah Segera Buat Peraturan Pelaksana, http://icjr.or.id/uu-sppa-berlaku-akhir-juli-2014icjr-desak-pemerintah-segara-buat-peraturan-pelaksana/, diakses Senin 12 September 2016, Pukul. 13.15 WIB. 6 Wagiati Soetodjo, Op.Cit., hlm. 2 3 perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa, sedangkan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak. Adapun sanksi sebagaimana yang diatur dalam UU SPPA terdiri atas pidana dan tindakan. Undang-undang tersebut juga mengatur tentag usia pertanggungjawab anak, dimana usia pertanggunggungjawaban adalah ketika anak sudah berumur 12 tahun. Artinya dibawah 12 tahun, seorang anak tidak dapat dikenakan sanksi ataupun dimintai pertanggungjawabannya atas tindakan yang dilakukannya. Batas usia anak untuk dapat dijatuhi pidana adalah telah berumur 14 tahun, dibawah itu akan dikenai tindakan. Berbicara mengenai sanksi pidana dalam UU SPPA terdapat pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada anak, salah satunya pidana dengan syarat. Ada yang menarik dari pengaturan pidana dengan syarat dalam undang-undang tersebut, karena berbeda dengan ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai induk dari ketentuan pidana di Indonesia. Bertalian dengan adanya ketentuan pidana dengan syarat yang berbeda dari ketentuan induk pidana membuat topik ini menarik untuk diulas lebih dalam, dan akan penulis uraikan pada pembahsan selanjutnya dalam buku ini. A. Pembahasan 1. Dinamika pengaturan upaya perlindungan hukum bagi anak di Indonesia Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan tanpa diskriminasi. Pernyataan tersebut dimuat di dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (2). Upaya perlindungan tersebut merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang cerdas, memiliki jiwa dan akhlak yang baik serta dapat menjaga persatuan bangsa dan Negara. Upaya tersebut perlu dilakukan sedini mungkin dan bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif. Upaya perlindungan terhadap anak bukan saja menjadi tanggungjawab satu atau segelintir pihak,namun semua pihak. Perlindungan terhadap anak tidak terbatas pada pemerintah selaku kai tangan Negara akan tetapi harus dilakuakan juga oleh orang tua, keluarga dan masyarakat untuk bertanggungjawab menjaga dan memelihara hak asasi anak tersebut. Dalam hal ini pemerintah bertanggungjawab menyediakan 4 fasilitas dan aksesibilitas bagi anak terutama untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara optimal.7 Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke 19, dimana anak dijadikan objek yang dipelajari secara ilmiah. Di beberapa Negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, tokoh-tokoh terkenal mempelajari masalah anak-anak, bahkan tokoh pendidik (Johan Amos Comenius 1592-1671) yang banyak berjasa dalam pemikiran tentang hakekat anak dan perkembangan anak-anak. Johan menyatakan bahwa anak memiliki sifat-sifat khas yang berbeda dengan cirri dan sifat orang dewasa. Sejak dahulu para tokoh dan para ahli sudah memperhatikan perkembangan kejiwaan anak, karena anak adalah anak, anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki sistem penilaian kanak-kanak yang menampilkan martabat anak sendiri dan kriteria norma tersendiri, sebab sejak lahir anak sudah menampakkan cirri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini disebabkan taraf perkembangan anak itu memang selalu berlainan dengan sifatsifatnya dan cirri-cirinya, dimulai pada usia bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut, akan berlainan psikis maupun jasmaninya. Sejalan dengan perkembangan zaman, paling tidak terdapat sebelas peraturan perundang-undangan yang berkolerasi dengan anak. Akan tetapi dari berbagai peraturan perundang-undangan tersebut terdapat perbedaan mengenai definisi anak. Anak dalam perspektif hukum Indonesia lazim dikatakan seorang yang belum dewasa atau masih di bawah umur. Selain itu disebut juga orang yang di bawah perwalian. Perbedaan mengenai anak dalam hal ini berhubungan dengan umur dari anak tersebut. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa pengertian anak diberbagai peraturan perundang-undangan yang ada. a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam peraturan ini diungkapkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dari hal tersebut dapat disimpulkan kategori anak dalam peraturan ini adalah anak yang berusia antara 12 sampai 18 tahun. b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-undang ini adalah peraturan yang sebelumnya berlaku bagi tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Karena terdapat beberapa hal yang tidak relevan 7 Angger Sigit Pramukti & Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hlm. 5. 5 dengan keadaan yang terjadi dimasa sekarang maka peraturan ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang disebutkan diatas. Dalam undang-undang ini anak disebutkan merupakan orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun sampai sebelum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pasal 1 angka 8 huruf a, b dan c undang undang ini menyebutkan bahwa anak didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak Negara dan anak sipil untuk dapat dididik di Lapas Anak adalah paling lama sampai berusia 18 (delapan belas) tahun dan untuk anak sipil guna dapat ditempatkan di lapas anak maka perpanjangan penempatannya hanya boleh paling lama sampai berumumr 18 (delapan belas) tahun. d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) undang-undang ini menyebutkan bahwa batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-undang ini tidak secara ekplisit mengatur mengenai batas usia anak. Akan tetapi bila dilihat dalam Pasal 171 KUHAP menyebutkan bahwa batasan umur anak di sidang pengadilan yang diperiksa tanpa sumpah dipergunakan batasan umur dibawah 15 (lima belas) tahun. Pasal 153 menyebutkan bahwa dalam hal-hal tertentu hakim dapat menentukan anak yang belum mencapai umr 17 (tujuh belas) tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang. f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Menurut undang-undang ini anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. g. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Dalam Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah tiap mansia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya. h. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak8 Dalam Pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 8 Sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 6 i. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1998 tentang Tata Usaha Kesejahteraan Anak bagi Anak Yang Mempunyai Masalah Menurut peraturan ini, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun atau belum kawin. j. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Berdasarkan ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin k. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) KUHP tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kategori anak akan tetapi dapat dijumpai dalam Pasal 45 dan 72 yang memakan batasan umur 16 tahun dan Pasal 283 yang member batasan 17 tahun. Banyaknya definisi anak yang berbeda antara satu peraturan dengan lainya dalam sistem hukum Indonesia merupakan polemik tersendiri. Tidak ada ukuran pasti dalam menentukan batas seorang usia anak. Definisi anak yang ada dalam satu peraturan perundang-undangan baru akan digunakan atau dilihat bila seseorang terbentur dengan peraturan perundang-undangan itu sendiri, jika tidak definisi anak akan kembali majemuk. Kembali pada upaya perlindungan terhadap anak, menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindugan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.9 Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, Pemerintah menunjukkan iktikad baik dengan melakukan ratifikasi terhadap konvensi Internasional yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak yaitu Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989. Konvensi tersebut diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990. Dari ratifikasi yang dilakukan pemerintah terhadap KHA dengan hanya sebuah Keppers menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam upaya perlindungan anak. Walaupun pemerintah memberikan alasan “mendesaknya kepentingan akan perlunya meratifikasi konvensi hak anak, sementara prosedur meratifikasi dengan UU akan memakan waktu yang lebih lama”. Namun alasan yang demikian harus dipertanyakan kembali, apabila keterbatasan waktu yang menjadi masalah, mengapa KHA tidak diratifikasi dengan Peraturan Pemerintan Pengganti UU (perpu) saja. Bukankah 9 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 155. 7 membuat Perpu merupakan hak preogratif Presiden dalam hal ini sebagai kepala pemerintahan dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut di Indonesia, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara substantif, undang-undang tersebut mengatur beberapa hal antara lain persoalan Anak yang sedang berhadapan dengan hukum, Anak dari kelompok minoritas, Anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual, Anak yang diperdagangkan, Anak korban kerusuhan, Anak yang menjadi pengungsi dan Anak dalam situasi konflik bersenjata, Perlindungan Anak yang dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum dapat berjalan secara efektif, kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Perubahan Undang-Undang tersebut dipertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak korban dan/ atau anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Selain ketentuan perundang-undangan di atas, jauh sebelumnya pemerintah pada tahun 1979 mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Namun dalam perkembangannya, undang-undang tentang Kesejahteraan Anak ini sering terabaikan dalam praktek penegakkan hukum. Padahal undang-undang tersebut belum lah dicabut atau dibekukan keberlakuannya. Namun seringkali bila terjadi tindak pidana yang dilakukan terhadap anak, para penegak hukum lebih memilih menggunakan KUHP, seharusnya para penegak hukum melihat ke belakang kembali. Dalam perkembangannya, Mengenai perlindungan hukum terhadap anak masih terdapat di dalam beberapa undang-undang lain, misalnya pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Peratifikasian Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Anak Untuk Diperbolehkan Bekerja. Selain itu, terdapat pula ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap anak dari tindak pidana kekerasan seksual khusus yang berada dalam lingkungan rumah tangga, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini merupakan 8 pengaturan secara khusus di luar KUHP, mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang korbannya adalah anggota keluarga tersebut. Selain memberikan perhatian dan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dan lain sebagainya, pemerintah juga memberikan perhatian kepada anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku tindak pidana. Pada tanggal 3 Januari 1997, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah membentuk peraturan tentang hal tersebut, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 3668. Undang-Undang ini merupakan peraturan hukum acara yang khusus yang diberlakukan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum pidana, yang sebelumnya hukum acara pidana di Indonesia masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Setalah berjalan beberapa tahun, UU Nomor 3 Tahun 1997 dinyatakan dicabut dengan adanya pemberlakuan undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannnya yang masih panjang. Namun secara substansial dengan memperhatikan keseluruhan norma yang termuat dalam undang-undang tersebut banyak mengandung kelemahan yang pada akhirnya dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Dalam peradilan anak tidak mencerminkan peradilan yang lengkap bagi anak, melainkan hanya mengadili perkara pidana anak. Tujuan dari peradilan pidana yaitu resosialisasi dan rehabilitasi anak serta kesejahteraan sosial anak tidak melalui keadilan restorative dan diversi tidak menjadi substansi undang-undang tersebut. Akibatnya jika terjadi perkara anak, meskipun hanya melakukan tindak pidana ringan harus menghadapi Negara melalui aparat penegak hukumnya. Anak dipersonifikasikan sebagai orang dewasa dalam tubuh yang kecil sehingga sanksi yang dijatuhkan pada perkara anak cenderung masih didominasi sanksi pidana daripada sanksi tindakan. Konsekuensinya jumlah anak yang harus menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan semakin meningkat. Undang-undang yang lama dinilai tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan 9 pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain, mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam undangundang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. 2. Problematika pidana dengan syarat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Anak pelaku tindak pidana tidaklah sama dengan orang dewasa sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan hukum mengenai anak-anak khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, baik pembedaan perlakuan di dalam hukum acara maupun ancaman pidananya. Adanya ketentuan peraturan perundang-undang yang demikian dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak demi masa depannya yang masih panjang, dan pembedaan perlakuan antara pelaku tindak pidana anak dengan dewasa juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, dan Negara. Peradilan anak pada hakikatnya diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap juga perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini telah dilakukannya.10 Sudah sepatutnya untuk seterusnya Negara mengubah paradigma dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum atau anak pelaku tindak pidana. Hal ini dikarenakan anak adalah generasi penerus yang diharapkan kelak dan dimungkinkan masih dapat dibimbing lagi karena masih dalam tahap perkembangan. Di dalam UU SPPA diatur tentang jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, berupa pidana dan tindakan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya 10 Maidin, Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm 77 10 dapat dikenai tindakan.11 Artinya bahwa untuk jenis sanksi pidana baru dapat dikenakan kepada anak pelaku tindak pidana ketika usia anak tersebut 14 (empat belas) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Adapun sanksi dalam undang-undang tersebut diatur dalam Pasal 71 dan Pasal 82 sebagai berikut : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pidana Tindakan (Pasal 71) (Pasal 82) Pidana Pokok : a. pengembalian kepada orang tua/Wali; a. Pidana Peringatan; b. penyerahan kepada seseorang b. Pidana dengan syarat: c. perawatan di rumah sakit jiwa; 1) Pembinaan di luar lembaga d. perawatan di LPKS; 2) Pelayanan masyarakat e. kewajiban 3) Pengawasan mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh c. Pelatihan kerja pemerintah atau badan swasta; d. Pembinaan dalam lembaga f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau e. Penjara g. perbaikan akibat tindak pidana. Pidana Tambahan a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat Sanksi yang diatur dalam UU SPPA sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam KUHP, hanya saja dalam undang-undang tersebut pidana mati dan pidana seumur hidup tidak dapat diberlakukan terhadap anak, melainkan pidana tersebut diganti dengan pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 meletakkan pidana penjara sebagai pidana pokok yang paling akhir sebagai (ultimum remidium), sebagai wujud pelaksanaan perbaikan, pembinaan, dan mendidik anak pelaku tindak pidana, serta memberikan sanksi tindakan yang jauh lebih banyak sebagai hal yang lebih mendukung tujuan pembinaan dalam undang-undang ini. 11 Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 11 Pasal 71 ayat (3) UU SPPA mengatur ketentuan khusus dalam perumusan sanksi, yakni apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Artinya, bahwa perumusan sanksi dalam undang-undang ini tergantung kepada hukum materiil yang telah dilanggar oleh Anak, apabila misalnya hukum materiil yang dilanggar oleh anak itu mengandung sistem sanksi alternatif, maka sanksi tersebutlah yang diberikan kepada anak, demikian pula pada perumusan sanksi secara tunggal, hal ini berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur di dalam UU SPPA. Tujuan pidana dari dahulu sampai sekarang telah berkembang kea rah yang lebih rasional, yang dulu hanya bertujuan pada pembalasan atau untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang menjadi korban kejahatan. Sekarang tujuan pidana mengalami pergeseran yaitu untuk kesejahteraan masyarakat ataupun perbaikan dari narapidana.Berbagai bentuk pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap anak pelaku tindak pidana selain bertujuan memberikan efek jera juga harus melindungi hak-hak anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dari ketentuan pidana dalam UU SPPA ada yang menarik untuk diulas, yaitu mengenai pencantuman pidana dengan syarat sebagai salah satu jenis pidana pokok yang dapat dikenakan kepada anak pelaku tindak pidana. Pidana dengan syarat diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1927 dengan staatblad 1926 No. 251 jo 486 yang kemudian diubah dengan Staatblad No 172.12 Istilah pidana dengan syarat dikenal di masyarakat Indonesia dengan istilah hukuman percobaan. Dalam kamus umum Inggris Indonesia istilah probation diterjemahkan dengan percobaan. Menurut Black Law Dictionary, probation berarti suatu putusan hakim pengadilan berupa penjatuhan pidana atas perbuatan jahat, namun terpidana tetap bebas bergaul dengan masyarakat dengan pengawasan petugas probation dengan kewajibab membuat laporan terhadap tingkah laku terpidana dalam jangka waktu percobaan. Dalam hukum pidana Indonesia yang bersumber pada KUHP, tidak menyebutkan atau mengatur pidana dengan syarat sebagai salah satu jenis pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP. Dalam aturan Pasal 10 KUHP hanya disebutkan bahwa jenis pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas pencabutan beberapa hak yang tertentu, 12 Muladi, Lembaga Pidana Bersayarat, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 63. 12 perampasan barang yang tertentu dan pengumuman keputusan hakim. Namun memang ketentuan pidana dengan syarat masih terkait dengan Pasal 10 KUHP. Penjatuhan pidana dengan syarat diatur dalam Pasal 14a-14f KUHP. Dalam Pasal 14a KUHP ditentukan bahwa hakim dapat menetapkan pidana dengan syarat dalam putusan pemidanaan apabila : a. hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun; b. hakum mejatuhkan pidana kurungan (bukan kurungan pengganti denda maupun kurungan perampasan barang); c. hakim menjatuhkan pidana denda dengan ketentuan : 1) apabila benar-benar ternyata pembayaran denda atau perampasan barang yang ditetapkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana, dan; 2) apabila pelaku tindak pidana yang dijatuhi denda bersyarat itu bukan berupa pelanggaran yang berhubungan dengan pendapatan Negara. Pada penjatuhan pidana bersyarat, harus mencantumkan alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim terhadap putusan yang dijatuhkan kepada terpidana. Alasan-alasan tersebut juga harus disertai oleh syarat-syarat. Di dalam pidana bersyarat terdapat syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah bahwa terpidana tidak boleh melakukan suatu tindak pidana atau yang sifatnya melanggar hukum selama masa percobaan yang telah ditentukan oleh hakim. Syarat khusus yang mengatakan bahwa harus mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat dari perbuatan yang sifatnya melanggar hukum, baik seluruhnya ataupun sebagian dari kerugian yang telah ditetapkan di dalam perintah penangguhan pelaksanaan pidana.13 Di dalam syarat-syarat khusus tersebut, hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana. Akan tetapi syarat-syarat tersebut tidak boleh menghalangi terpidana untuk beragama dan tidak boleh membatasi terpidana melakukan kegiatan yang sah menurut ketatanegaraan. Hal yang demikian berbeda dengan pidana dengan syarat dalam UU SPPA. Dalam undang-undang tersebut, pidana dengan syarat dimasukkan dalam salah satu jenis pidana, bahkan digolongkan dalam pidana pokok. Adanya ketentuan yang demikian dalam UU SPPA menimbulkan ketentuan baru dalam hukum pidana di Indonesia, yang sebelumnya tidak mengenal pidana dengan syarat sebagai salah satu 13 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Amrico, Bandung 1984, hlm 154 13 jenis pidana, setelah UU SPPA disahkan maka menimbulkan jenis pidana baru dalam stelsel pemidanaan di Indonesia. Dalam hukum pidana, bukan tidak dimungkinkan adanya perbedaan antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain, antara ketentuan yang bersifat umum dengan yang bersifat khusus. KUHP sendiri dalam Pasal 103 menjembatani hal yang demikian. Pasal 103 menyatakan bahwa “ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini (Buku I KUHP : penulis) juga berlaku bagi perbuatanperbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Dari ketentuan yang demikian dapat diartikan bahwa bila aturan hukum pidana di luar KUHP tidak mengatur secara lengkap, maka dapat mempergunakan ketentuan umum yang ada dalam Bab I sampai Bab VIII KUHP. Namun bila aturan di luar KUHP mengatur secara berbeda tidak mengapa. Permasalahannya adalah bila aturan diluar KUHP mengatur secara berbeda namun tidak mengatur secara lengkap. Hal demikian akan menimbulkan problematika dalam aplikasinya, muncul benturan aturan mana yang akan digunakan dalam mengatur sesuatu. Kembali pada aturan pidana dengan syarat dalam UU SPPA, aturan tersebut dirumuskan berbeda dengan aturan dalam KUHP. Pidana dengan syarat dimasukkan dalam stelsel pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 71 (1), sementara dalam KUHP bukan merupakan jenis pidana. Permasalahannya Pasal 71 ayat (5) dalam UU SPPA mengamanatkan untuk membentuk peratuan pelaksana dari ketentuan Pasal 71 ayat (1) tersebut. Namun kurang lebih sudah empat tahun UU SPPA dilahirkan, aturan pelaksana dari ketentuan tersebut tak kunjung muncul. Tidak adanya aturan pelaksana dari ketentuan pidana dengan syarat akan menyulitkan pelaksanaannya di masyarakat, apalagi ketentuan tersebut baru dan berbeda dari aturan induk hukum pidana yaitu KUHP. Sedikit menyinggung permasalah aturan pelaksana dalam UU SPPA, yang menarik untuk disoroti adalah berdasarkan Pasal 107 UU SPPA, Pemerintah diwajibkan untuk mengeluarkan setidaknya enam materi Peraturan Pemerintah (PP) dan dua materi Peraturan Presiden (Perpres) sebagai peraturan pelaksana UU SPPA yang harus ditetapkan paling lama satu tahun sejak UU SPPA diberlakukan atau tepat pada 30 Juli 2015. Kewajiban pemerintah tersebut diamanatkan dalam berbagai Pasal dalam UU SPPA. 14 No Peraturan Pelaksana Pasal dalam UU SPPA Peraturan 1 Pasal 15 pelaksanaan Pemerintah proses mengenai Diversi, tata pedoman cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi. Peraturan Pemerintah mengenai syarat dan tata cara 2 Pasal 21 ayat (6) pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana . Peraturan Pemerintah mengenai pedoman register 3 Pasal 25 ayat (2 4 Pasal 71 ayat (5) perkara Anak dan Anak korban Peraturan Pemerintah mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana. Peraturan Pemerintah mengenai Tindakan yang 5 Pasal 82 ayat (4) dapat dikenakan kepada Anak Peraturan 6 Pasal 94 ayat (4) Pemerintah mengenai tata cara pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan Peraturan Presiden mengenai pelaksanaan hak 7 Pasal 90 ayat (2) Anak Korban dan Anak Saksi Peraturan Presiden mengenai penyelenggaraan 8 Pasal 92 ayat (4) pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dan pihak terkait secara terpadu Seluruh peraturan pelaksana di atas sangat dibutuhkan untuk mengefektifkan UU SPPA. Dari delapan ketentuan yang membutuhkan aturan pelaksana, hanya satu yang berhasil dijawab pemerintah, yaitu mengeluarkan pedoman pelaksanaan diversi dan penanganan anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun sebagaimana yang diamanatkan Pasal 15 UU SPPA (PP No 65 Tahun 2015), selebihnya belum ada kejelasan. PP tersebut pun baru pada tahun 2015 dikeluarkan setelah tiga tahun mengalami keterlambatan. 15 Tidak tersedinya peraturan pelaksana dari UU SPPA bukanlah masalah sederhana. Peraturan pelaksana merupakan regulasi penting untuk memaksimalkan peran dari sebuah undang-undang, dalam hal ini yaitu UU SPPA. Tanpa pengaturan yang baik dalam tataran pelaksanaan, maka implementasi UU SPPA tidak akan sejalan dengan tujuannya. Ada beberapa implikasi yang dapat terjadi apabila peraturan pelaksana tidak juga dirampungkan dengan kualitas yang baik diantaranya adalah Pertama, terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan suatu aturan. Kedua, tidak ada aturan yang mengikat aparat penegak hukum secara keseluruhan. Ketiga, UU SPPA semakin lama bisa diterapkan. Tidak adanya aturan pelaksana dalam pidana dengan syarat meyebabkan aturan tersebut tidak dapat dijalankan dengan baik. Apalagi aturan pidana dengan syarat dalam UU SPPA berbeda dengan ketentuan induk hukum pidana, KUHP. Padahal UU SPPA masih sangat umum, untuk itu diperlukan peraturan pelaksana untuk secara komprehensif menjelaskan suatu aturan dalam undang-undang. Tidak tercapainya tugas pemerintah dalam membentuk peraturan pelaksana menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam mengupayakan perlindungan terhadap anak sebagaimana yang diamanatkan. Norma dalam UU SPPA yang mengamanatkan bahwa untuk membentuk peraturan pelaksana baik berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres). Namun kenyataannya norma tersebut hanya merupakan bagian dari teks semata, karena pemerintah gagal menindaklanjutinya. B. Penutup Upaya perlindungan terhadap anak merupakan ketentuan yang terdapat dalam Konstitusi Negara, yaitu Pasal 28B ayat (2). Kemudian ketentuan tersebut ditindak lanjuti dengan pembentukan peraturan perundang-undang di bawahnya. Upaya perlindungan anak bukan saja diberikan kepada anak yang menjadi korban dari tindak pidana, tapi juga kepada anak yang justru sebagai pelaku tindak pidana. Dalam upaya melindungi anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku tindak pidana, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana. Salah satu yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah jenis pidana yang dapat dijatuhkan pada anak pelaku tindak pidana, yaitu pidana dengan syarat yang merupakan jenis pidana pokok dalam undang-undang tersebut. Pengaturan pidana dengan syarat sebagai salah satu jenis pidana merupakan hal baru dalam hukum pidana. Sebelumnya pidana dengan syarat dalam aturan induk yaitu KUHP bukanlah merupakan salah satu jenis 16 pidana. Pengaturan yang berbeda dari aturan induk bukanlah hal yang tidak diperbolehkan, asalkan aturan khusus tersebut mengatur secara jelas dan lengkap. Kenyataanya, aturan pidana dengan syarat dalam ketentuan UU SPPA membutuhkan aturan pelaksana sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 75 ayat (5) ketentuan tersebut mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana dengan sebuah Peraturan Pemerintah. Namun kenyataannya sejak UU SPPA anak dilahirkan sampai saat ini keberadaan aturan pelaksana tersebut tidak kunjung tiba. Hal yang demikian menyebabkan pertama, terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan suatu aturan. Kedua, tidak ada aturan yang mengikat aparat penegak hukum secara keseluruhan. Ketiga, UU SPPA semakin lama bisa diterapkan. 17 DAFTAR PUSTAKA Buku Atmasasmita, Romli, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung, 1983 Lamintang, P.A.F. Hukum Penitensier Indonesia, Amrico, Bandung 1984 Nawawi Arief, Barda, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998 Maidin, Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung Muladi, Lembaga Pidana Bersayarat, Alumni, Bandung, 1992 salim, Peter, Ninth Collegiate English Indonesia Dictionary Cetakan 3, Modern English Press, Yogyakarta, 1987 Sambas, Nandang, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta Sigit Pramukti, Angger & Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015 Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 18