Kajian Kritis terhadap Implementasi Pemenuhan Hak Anak di

advertisement
KHA telah menjadi bagian dari
hukum nasional, setelah
diratifikasi melalui Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990.
Pasca reformasi Pemerintah meratifikasi sejumlah
instrumen Hukum HAM internasional yang penting dan
banyak menginisiasi upaya menormakan HAM dengan
mengundangkan beberapa peraturan perundangundangan.
Setiap 3 menit di
suatu tempat di
Indonesia, seorang
anak meninggal
sebelum mencapai
umur 5 tahun (sekitar
190,000 kematian
Terdapat 31% anak
setiap tahun);
balita menunjukkan
gejala-gejala demam,
yang merupakan
indikator malaria dan
infeksi akut lainnya
Lebih dari 33% anak-anak tidak
mendapatkan imunisasi secara lengkap
Ratifikasi
Instrumen HAM
Internasional
Inisiasi
Peraturan
PerundangUndangan
mengenai HAM
Pelanggaran
Hak Anak
masih
terjadi
Reformasi legislasi yang dilakukan tidak
berlandaskan pada pendekatan berbasis hak
(human rights-based legislative reform
Upaya reformasi legislasi belum berhasil
mengurai akar permasalahan pemenuhan
hak anak. Akar masalah tersebut berada
pada lingkungan sosial yang melingkupi
kehidupan anak yang menjadi locus
beroperasinya relasi kuasa yang tidak setara
antara anak dengan orang dewasa.
Reformasi
legislasi
dengan
pendekatan
berbasis hak
anak
Lingkungan
sosial sebagai
konteks
ekologi
perkembangan
anak
Menghidupkan instrumen hukum HAM internasional
melalui harmonisasi legislasi nasional dengan
standar norma universal hak asasi manusia.
Menginkorporisasi perspektif gender dalam seluruh
tahapan reformasi legislasi.
Mencakup elemen reformasi kelembagaan dan
penegakan hukum melalui alokasi anggaran yang
efektif, pendidikan kewarganegaraan, pelatihan, dan
penghapusan buta hukum.
Mensyaratkan partisipasi dan kemitraan secara
luas untuk memastikan internalisasi dan kepatuhan
terhadap standar norma universal hak asasi
manusia.
Pemenuhan hak anak harus memperhatikan lingkungan sosial,
termasuk nilai-nilai sosial dan kultural, yang melingkupi
kehidupan anak. Menurut Urie Bronfenbrenner anak merupakan
bagian dari masyarakat luas sehingga ada kekuatan yang lebih
besar dalam masyarakat yang menjadi bagian penting dari
ekologi perkembangan anak.
Kewajiban harmonisasi secara eksternal dan
internal belum sepenuhnya dilakukan, pada
kewajiban ini dimandatkan Pasal 4 KHA.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang bersifat
diskriminatif karena menetapkan usia perkawinan secara
berbeda.
Pengaturan yang diskriminatif terhadap perempuan yang
juga berdampak pada anak, khususnya anak perempuan
dapat ditemukan dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi
UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (UU SPPA) masih berpotensi melanggar hak ABH:
masih merujuk pada KUHAP, usia minimal
pertanggungjawaban pidana masih terlalu rendah
Berdasarkan ketentuan Pasal 107 UU SPPA,
Pemerintah diwajibkan untuk mengaluarkan setidaknya 6
materi Peraturan pemerintah dan 2 materi Peraturan
Presiden yang harus ditetapkan paling lambat 1 (satu)
tahun sejak UU SPPA diberlakukan. Namun sampai saat
ini seluruh peraturan pelaksana UU SPPA belum
diterbitkan. Hal ini berdampak pada kepastian dan
kejelasan alokasi anggaran impelemnetasi UU SPPA .
Hasil identifikasi dan perhitungan di berbagai unit kerja pada
6 Kementerian/Lembaga inti pengampu implementasi UU
SPPA, diperoleh total kebutuhan anggaran untuk
implementasi UU SPPA dalam kurun waktu lima tahun ke
depan mencapai sekitar Rp 7.7 trilyun.
Isu anak-anak seringkali diberikan prioritas rendah
dalam anggaran negara.
Implementasi UU SPPA juga bisa berpotensi
melanggar hak-hak anak yang berhadapan dengan
hukum apabila paradigma aparat penegak hukum
belum berubah.
Yusman Telaumbauna Arif (16 tahun) yang dituntut
seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana.
Kemudian oleh kuasa hukumnya diminta untuk
dihukum mati, dan dikabulkan oleh Majelis hakim
Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, Sumatera Utara,
Penilitian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
mengkonfirmasi bahwa aparat penegak hukum belum
memiliki perspektif hak anak. Penelitian yang dilakukan
IJCR terhadap 42 putusan terpidana mati yang
dikeluarkan pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung
menemukan fakta ada 3 terpidana mati yang pada saat
melakukan tindakan kejahatannya masih berusia anakanak atau remaja, 2 terpidana berusia 19 tahun, 1
terpidana berusia di bawah 18 tahun.
KPAI dalam menjalani peranannya lebih berorientasi pada
fungsi advokasi individual masyarakat yang pada
prakteknya telah dijalankan oleh organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan non-pemerintah lainnya.
KPAI menjalankan pelaksanaan teknis kegiatan
perlindungan anak seperti memberikan kebutuhan
pokok, menyediakan pendidikan dan sebagainya
Sekretariat KPAI merupakan unit Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Posisi ini akan mempengaruhi independensi dan
daya gerak KPAI secara keseluruhan
Kepentingan anak dalam demokrasi prosedural
dianggap cukup terwakili oleh orang dewasa yang
dilekati otoritas menetapkan kebijakan.
Produk peraturan perundang-undangan yang ada belum fokus pada upaya
pemberdayaan anak yang akan meningkatkan kapasitas anak untuk
berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan kebijakan dan mengajukan
tuntutan apabila haknya dilanggar. Produk peraturan perundangan selama
masa transisi diarahkan untuk memperkuat institusi negara.
Proses reformasi legislasi masih terhambat karena adanya anggapan para politisi, anakanak tidak memiliki kekuatan/kuasa (powerless) dalam proses politik.
Peran dan fungsi DPR belum terlihat dalam upaya
pemajuan, pemenuhan, dan penegakan hak asasi
manusia. Kelemahan ini dapat dilihat dari rendahnya
komitmen DPR dalam membuat undang-undang yang
ramah terhadap hak asasi manusia.
Koordinasi antar kementerian dan
lembaga di Indonesia belum terbangun,
padahal cakupan hak-hak anak dalam
KHA yang harus direspon melalui
kebijakan publik sangat luas. Luasnya
cakupan KHA mensyaratkan berbagai
bidang kebijakan perlu diintegrasikan dan
dikoordinasikan agar norma-norma dalam
KHA dapat ditegakkan.
Desentralisasi melahirkan 365 Perda yang
diskriminatif terhadap perempuan. Perda-perda
bermasalah ini menunjukkan adanya indikasi
fenomena disorientasi desentralisasi yang
disebabkan karena implementasi kebijakan
desentralisasi tidak diikuti dengan pergeseran
orientasi di kalangan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah telah salah memaknai
otonomi daerah.
Perluasan cakupan bisnis korporasi dalam sektor pelayanan publik seperti ,
air bersih, kesehatan, dan pendidikan, berpotensi menghambat akses bagi
anak-anak untuk menikmati hak-hak dasarnya tersebut. Perluasan cakupan
tersebut menunjukkan kekuasaan korporasi melebih negara. Intervensi
korporasi dalam perumusan kebijakan semakin menguat.
Paulo Sérgio Pinheiro, dalam
melakuan studi mengenai
kekerasan terhadap anak merujuk
pada model ekologis yang diinisiasi
oleh WHO. Model ekologis
dipergunakan sebagai alat analisis
untuk melihat dan memahami
keragaman level dan keragaman
aspek kekerasan pada setiap level.
Sebagai alat analisis, model
ekologis ini mengakui bahwa
berbagai faktor yang kompleks dan
luas berpotensi meningkatkan
risiko kekerasan sehingga dapat
mengekalkannya.
Efektivitas produk perundang-undangan yang
mengatur perlindungan anak sebenarnya dapat
dilihat ketika produk peraturan perundang-undangan
tersebut ditegakkan, terutama untuk merespon
kasus-kasus yang dialami anak-anak, baik dalam
lingkungan keluarga, komunitas, atau masyarakat.
Namun apabila melihat adanya kecenderungan
peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, maka
dapat dikatakan reformasi legislasi yang
dikembangkan pemerintah pasca ratifikasi KHA
gagal menyasar akar masalah mengapa pemenuhan
hak anak sangat sulit ditegakkan. Akar masalah
tersebut adalah relasi kuasa yang tidak setara antara
anak dengan orang dewasa yang menempati peranperan sosial di dalam setiap lingkungan sosial
tersebut.
Download