BAB 1 PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Judul merupakan salah satu hal penting dalam sebuah tulisan, baik ilmiah maupun non ilmiah. Adanya judul bertujuan untuk memudahkan pembaca untuk mengetahui fokus dan wilayah tulisan. Judul penelitian dalam tulisan ini adalah “Memulung Sebagai Pekerjaan Pokok di TPA Jeruklegi Desa Tritih Lor, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap”. Judul penelitian biasanya berkaitan dengan bidang yang digeluti serta adanya aktualitas dan orisinalitas. Adapun alasan-alasan yang mendasari pemilihan judul di atas adalah sebagai berikut: 1. Orisinalitas Merujuk pada orisinalitas penelitian maka suatu penelitian haruslah suatu karya asli dari peneliti dan bukanlah hasil jiplakan atau plagiasi dari hasil karya penelitian lain. Penelitian ini terinspirasi dari penelitian yang dilakukan oleh Tim Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2015 mengenai “Studi Pemetaan Sosial Pemulung TPA Jeruklegi Kabupaten Cilacap”. Penelitian terkait sebelumnya berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Penelitian yang dilakukan Tim Jurusan PSdK memiliki tujuan untuk melakukan stakeholder analisis di wilayah studi, dalam hal 1 ini terkait dengan pemetaan pemulung di TPA Jeruklegi dan penyusunan program pemberdayaan untuk pemulung di area TPA Jeruklegi Cilacap. Penelitian lain yang membahas mengenai pemulung diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Ana Martiana tahun 2009 Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada yang membahas tentang “Pengepul dan Pembeli Barang Bekas (Studi Mengenai Hubungan Pengepul, Pembeli Barang Bekas dan Pemulung di Tempat Pengepulan Dusun Ngepringan, Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah)”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara pemngepul, pembeli barang bekas dan pemulung dan membentuk pola patronclient di tempat pengepulan. Selanjutnya ada penelitian milik Dahrun Sarif tahun 2009 Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada yang membahas tentang “Strategi Bertahan Hidup Komunitas Pemulung di TPA Tamangapa Makassar”. Penelitian tersebut mengkaji bagaimana strategi bertahan hidup pemulung di TPA Tamangapa Makassar. Selanjutnya ada penelitian dari Rita Dewi Triastianti Jurusan Studi Kependudukan Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada yang membahas tentang “Kondisi Demografi, Sosial Ekonomi dan Kesehatan Pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Yogyakarta”. Diantara empat penelitian yang telah disebutkan di atas, penelitian ini memiliki fokus yang berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini memiliki fokus pada pekerjaan memulung yang dijadikan sebagai pekerjaan pokok dan faktor-faktor apa saja yang membuat bekerja memulung bisa bertahan hingga saat ini. Sehingga keberadaan pemulung di area TPA Jeruklegi bisa tetap 2 bertahan hingga sekarang. Berdasarkan penelusuran judul, tema dan objek tersebut belum ditemukan penelitian yang serupa. Sehingga penelitian ini menjadi hal baru dan orisinil sehingga menarik untuk diteliti secara mendalam. 2. Aktualitas Selama kehidupan ini masih berlangsung maka manusia biasanya akan tetap menghasilkan sampah pada keseharian mereka. Dari hari ke hari permasalahan sampah semakin kompleks saja dan memerlukan peran dari berbagai macam pihak untuk proses pengurangan volume sampah di muka bumi. Berbicara tentang sampah tentunya akan berkaitan dengan pemulung. Mereka yang biasanya beraktivitas memungut barang-barang bekas dari sampah-sampah yang sudah terbuang. Di sisi lain mereka termasuk dalam aktor yang berperan penting dalam alur pendistribusian sampah. Mereka bisa membantu proses enguraian sampah dengan cara memilah sampah mana yang bisa diolah kembali dan sampah yang akan terurai dengan sendirinya di tanah. Di sisi lain pemulung adalah pekerjaan yang sering dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang karena pekerjaan yang rendah, kotor maupun menjijikan. Pemulung sering mendapat stigma negatif karena bisa juga mereka dicurigai untuk mengambil barang-barang yang bukan miliknya. Sehingga pemulung sampai saat ini masih sangat menarik sekali untuk diteliti. Penelitian ini membahas lebih dalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan mereka yang masih bisa bertahan hingga sekarang di tengah perubahan dan hambatan yang dihadapi. 3 3. Relevansi dengan Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) merupakan cabang dari ilmu sosial yang mempelajari berbagai aspek kehidupan sosial dalam masyarakat. Aspek-aspek tersebut penting untuk dikaji untuk dapat mewujudkan kesejahteraan pada masyarakat. Berdasarkan website Jurusan PSdK, terdapat tiga fokus studi yang dipelajari yaitu: Kebijakan Sosial atau Social Policy, Pemberdayaan Masyarakat atau Community Empowerment dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaanatau Corporate Social Responsibility (CSR). Penelitian mengenai pemulung ini tentunya berkaitan dengan studi yang dipelajari di Jurusan PSdK. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemulung merupakan mereka yang dianggap mempunyai status sosial rendah dan sering dikategorikan ke dalam kategori orang miskin. Hal tersebut kemudian menjadi masalah sosial yang mungkin hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk melakukan pemberdayaan terhadap pemulung. Sehingga penelitian ini tentunya aka menjadi hal menarik dengan melihat fakta-fakta yang terjadi di lapangan.Memulung diianggap sebagai pekerjaan yang memiliki upah rendah dan tak mampu meningkatkan kesejahteraan pekerjanya secara signifikan, pemulung sering dijadikan objek program pemberdayaan masyarakat sehingga memiliki relevansi dengan studi Jurusan PSdK yang berfokus pada program-program pemberdayan masyarakat 4 B. LATAR BELAKANG Negara Indonesia termasuk negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan berdasarkan data Susenas 2014 dan 2015, jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Jumlah tersebut naik dari 2014 yang berjumlah 252 juta jiwa. Banyaknya jumlah penduduk tentunya berkaitan dengan kebutuhan akan lapangan kerja yang mencukupi bagi penduduk Indonesia. Namun, seperti diketahui bersama bahwa sampai saat ini belum semua penduduk Indonesia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Sampai saat ini penyediaan lapangan kerja masih menjadi permasalahan klasik pemerintah untuk diselesaikan. Melambatnya ekonomi Indonesia mengakibatkan jumlah pengangguran dalam negeri bertambah. Kepala BPS Suryamin seperti dikutip dari situs sindonews.com Selasa, 5 Mei 2015 mengatakan bahwa angka penggangguran bertambah 300.000 orang sehingga total pengangguran menjadi 7,45 juta orang pada Februari 2015. Data BPS lebih lanjut menjabarkan bahwa tingkat pengangguran terbuka didominasi penduduk lulusan Sekolah Menegah Kejuruan(SMK) sebesar 9,05%, disusul lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) 8,17% dan Diploma I/II/III sebesar 7,49%. Effendi (1993) dalam Triastianti (2007) mengemukakan bahwa peningakatan jumlah tenaga kerja tersebut diperlukan upaya perluasan kerja terutama sektor formal. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sektor formal yang ada sekarang sangat terbatas, sehingga angakatan kerja yang baru berusaha masuk pasar kerja menemui kesukaran untuk mendapatkan pekerjaan yang 5 diharapkan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka memilih untuk masuk ke sektor informal. Dan sektor informal yang berkembang dicirikan oleh rendahnya produktivitas dan pendapatan yang masih rendah. Jika dilihat lebih dalam, mereka yang memiliki pendidikan saja belum semuanya bekerja. Lalu bagaimana dengan masyarakat yang tidak sekolah atau tidak tidak lulus sekolah maupun yang tidak memiliki ketrampilan kerja? Biasanya mereka akan tesingkir dari persaingan pasar kerja dan sulit untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak. Masyarakat-masyarakat dengan pendidikan dan ketrampilan yang rendah seringkali kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka karena ketiadaan pekerjaan yang mengakibatkan ketiadaan penghasilan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tak jarang banyak masyarakat memilih sumber penghidupan dan pekerjaan utama dengan cara menjadi pemulung. Meskipun sampai saat ini banyak orang yang memandang pemulung dengan pandangan negatif, pekerjaan yang kumuh dan menjijikkan. Tetapi jika kita lihat lebih jauh keberadaan pemulung ini akan membantu lingkungan dalam rangka pengurangan sampah melalui daur ulang. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa saat ini masalah sampah menjadi persoalan kita semua. Pemulung memiliki peran besar dalam perjalanan pengolahan sampah sehingga bisa diolah kembali. Di Indonesia sendiri sampah tengah hangat diperbincangkan. Baru saja diterapkan kebijakan pemerintah pusat terkait pengurangan kantong plastik untuk mengurangi sampah plastik melalui surat edaran dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:SE-06/PSLB36 PS/2015, tentang Antisipasi Penerapan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar Pada Usaha Retail Modern mulai 21 Februari hingga 5 Juni 2016 seperti dikutip dari situs mongabay.co.id Rabu, 24 Februari 2016. Berdasarkan berita yang dilansir dari situs berita CNN Indonesia, pada Selasa, 23 Februari 2016 Indonesia merupakan penyumbang sampah palstik kedua di dunia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai persoalan sampah sudah meresahkan. Indonesia bahkan masuk dalam peringkat kedua di dunia sebagai penghasil sampah plastik ke Laut setelah Tiongkok. Hal itu berkaitan dengan data dari KLHK yang menyebut plastik hasil dari 100 toko atau anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam waktu satu tahun saja, sudah mencapai 10,95 juta lembar sampah kantong plastik. Jumlah itu ternyata setara dengan luasan 65,7 hektare kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepak bola. Padahal, KLHK menargetkan pengurangan sampah plastik lebih dari 1,9 juta ton hingga 2019. Dirjen Pengelolan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Tuti Hendrawati Mintarsih menyebut total jumlah sampah Indonesia di 2019 akan mencapai 68 juta ton, dan sampah plastik diperkirakan akan mencapai 9,52 juta ton atau 14 persen dari total sampah yang ada. Menurut dia, target pengurangan timbunan sampah secara keseluruhan sampai dengan 2019 adalah 25 persen, sedangkan 75 persen penanganan sampahnya dengan cara 'composting' dan daur ulang bawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Berdasarkan data Jambeck (2015) yang dilansir dari situs CNN, Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil 7 sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton. Terlepas dari adanya kebijakan pengurangan sampah plasik dengan penerapan kantor plastik berbayar, sebenarnya dari dulu sudah ada peran mereka pemulung dalam membantu pengurangan sampah melalui proses daur ulang. Mereka yang memungut sampah, memilah, dijual kepada pengepul kemudian dari pengepul akan disalurkan ke tempa-tempat daur ulang hingga bisa menghasilkan barang yang kembali yang bersifat ekonomis. Tulisan ini bermula dari rasa penasaran peneliti ketika pertama kali berkunjung ke TPA Jeruklegi. Di sana peneliti melihat cukup banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari hasil memulung di TPA tersebut. Peneliti kemudian bertanya-tanya mengapa masyarakat sekitar TPA banyak yang menjadi pemulung, mereka mau bekerja di persampahan yang tentunya kotor, aroma tak sedap, panas dan resiko-resiko yang tidak mengenakkan lainnya tentu dialami oleh mereka. Padahal menurut peneliti di daerah tersebut masih banyak lahan sawah maupun ladang. Cilacap juga merupakan kota industri karena di sana ada pabrik semen Holcim maupun PT. Pertamina dan lokasi masyarakat sekitar juga tidak jauh dengan ibu kota Kabupaten Cilacap, mengapa mereka tidak bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut atau bekerja di sektor lain di kota? Mengapa juga mereka tidak menjadibekerja di sawah maupun ladang? Peneliti juga menemukan banyak pemulung yang sudah bekerja di TPA hingga belasan tahun dan ada juga generasi pertama semenjak TPA dibuka. Lalu faktor apa yang membuat mereka bisa tetap mempertahankan pekerjaan memulung tersebut? Bagi peneliti 8 pertanyaan-pertanyaan itu tadi kemudian menyebabkan peneliti ingin mengetahui jawaban-jawaban tersebut yang akhirnya dilakukan melalui penelitian di tulisan ini. Setelah melakukan observasi dan wawancara dengan beberapa pemulung, masyarakat yang memutuskan menjadi pemulung disebabkan bukan karena ketiadaan pekerjaan, mereka bisa saja bertani tetapi secara sadar mereka memilih menjadikan pemulung sebagai pekerjaan dan menyebutnya sebagai pekerjaan pokok, karena mereka merasakan ada manfaat besar yang di dapat. Pekerjaan pokok yang bisa peneliti lihat di sini adalah sebuah pekerjaan yang tidak hanya terbatas pada ketrampilan, ijazah yang mereka punya, pendidikan sekolah yang tinggi tetapi lebih kepada aktivitas memulung dengan sadar mereka lakukan. Aktivitas yang dilakukan berulang-ulang, menjadi sumber penghasilan utama mereka dan aktivitas tersebut telah langgeng dilakukan dari generasi ke generasi. Seperti dalam penelitian ini mengupas lebih jauh masyarakat pemulung yang berada di sekitaran Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jeruklegi Kabupaten Cilacap ProvinsI Jawa Tengah. Mereka memilih menjadikan pemulung sebagai pekerjaan pokok mereka sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Para pemulung ini biasa memungut sampah di TPA Jeruklegi, Kecamatan Jeruklegi, Cilacap dari pagi hari sampai menjelang sore hari. Lokasi TPA berada dipinggiran kota Cilacap dan merupakan akumulasi sampah dari seluruh tempat pembuangan sementara yang berada di Kota Cilacap. Masyarakat yang memulung di TPA Jeruklegi berasal dari dua desa, yaitu Desa Jangrana dan Tritih Lor. Kedua desa tersebut letaknya bersebelahan dengan lokasi TPA Jeruklegi. 9 Dari hasil observasi dan wawancarapeneliti kondisi sosial pemulung di TPA Jeruklegi rata-rata berpendidikan rendah. Hampir tidak ditemukan lulusan SMA. Rata-rata mereka tidak lulus SD dan banyak juga yang tidak bersekolah. Sekilas kondisi pendidikan tersebut juga pasti akan turut mempengaruhi kondisi ekonomi mereka. Minimnya pengetahuan dan ketiadaan ketrampilan kerja membuat mereka tidak bisa bersaing di pasar kerja. Hampir semua pemulung yang bekerja di sana beralasan karena untuk menjadi pemulung tidak butuh modal atau ketrampilan kerja apapun. Penuturan para pemulung tersebut sekilas menunjukkan dua hal. Pertama seperti ungkapan kepasrahan karena mereka tidak mempunya pilihan pekerjaan lain. Kedua seperti ungkapan kenyamanan, mereka menikmati bekerja sebagai pemulung. Biasanya ketika orang tua memulung, maka si anaknya akan mengikuti apa yang dilakukan orang tua mereka. Sehingga hal tersebut kemudian menjadi budaya di kalangan para pemulung. Secara tidak sadar pola kehidupan orang tua yang menjadi pemulung mempengaruhi anak-anak mereka. Sedari masih anakanak mereka bisa saja bermain di kawasan TPA hingga remaja dan pada akhirnya mereka terbiasa dengan lingkungan pemulung. Sehingga yang terjadi bisa saja ada anak-anak pemulung yang tidak meneruskan sekolah atau tidak mau bersekolah lebih memilih memulung seperti jejak orang tua mereka. Hingga saat ini masih banyak masyarakat sekitar TPA Jeruklegi yang menggantungkan nafkah mereka di tempat tersebut. Masih banyak mereka yang bertahan dengan menjadi pemulung di tempat tersebut meskipun di sisi lain banyak pandangan negatif tentang pekerjaan memulung. 10 C. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengapa memulung dijadikan sebagai pekerjaan pokok oleh pemulung TPA Jeruklegi? 2. Faktor apa yang membuat pemulung di TPA Jeruklegi bisa tetap bertahan? D.TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Substansial Tujuan substansial dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengapa memulung dipilih menjadi pekerjaan pokok dan faktor apa saja yang membuat pemulung di TPA Jeruklegi hingga saat ini masih tetap bertahan di tengah perubahan dan kemajuan yang saat ini terjadi. 2. Tujuan Operasional a. Memberikan tambahan referensi bagi civitas akademika, baik oleh peneliti umum maupun yang berasal dari Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan b. Dapat memberikan tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya terkait dengan isu pemulung c. Memberikan gambaran secara mendalam mengapa memulung dipilih menjadi pekerjaan pokok oleh pemulung TPA Jeruklegi Kabupaten Cilacap 11 d. Memberikan gambaran secara mendasar bagaimana kehidupan pemulung di TPA Jeruklegi Kabupaten Cilacap sehingga bisa tetap bertahan sampai sekarang. E.TINJAUAN PUSTAKA 1. Memulung Menurut Soetardi, Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dalam seminar pembinaan pemulung di IKIP Malang pada bulan Juni 1990, dalam Sugiyanta (2009) memberikan ciri-ciri pemulung sebagai berikut: a. Menurut jenis kegiatannya pemulung dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) Pemulung yang berjalan keliling memungut atau menyeleksi sampah bekas dari rumah ke rumah 2) Pemulung yang mencari sampah barang bekas di lokasi pembuangan sampah sementara 3) Pemulung yang mengais sampah narang beks di lokasi pembuangan akhir b. Menurut jenis peralatan yang digunakan: 1) Membawa keranjang gendong di belakang punggung dengan membawa jepitan bambu atau besi pengais 2) Membawa gerobak dorong beroda dua dengan sepeda bonceng 12 c. Menurut organisasi usahanya: 1) Pemulung yang bekerja mandiri terlepas dari kelompok dan bergerak sendiri-sendiri tidak bergabung dengan pemulung lain sedaerah asal 2) Pemulung yang diorganisir lapal (penampung/pengepul) 3) Pemulung yang bekerja di bawah pembina panti sebelum ditransmigrasikan d. Menurut tempat tinggal: 1) Pemulung yang bertempat tinggal pada bedeng-bedeng di dalam lokasi pembuangan akhir 2) Pemulung yang bertempat tinggal di luar lokasi pembuangan akhir terpencar, tinggal pada rumah-rumah sewaan yang relatif tidak berjauhan dengan pekarangan pemungutan barang atau tempat tinggal lapak/pengepul 3) Pemulung yang tinggal di panti-panti, di bawah tanggungan pengelola Selanjutnya menurut Sugiyanto (2001) dalam Sugiyanta (2009) mengklasifikasikan pemulung ke dalam tiga kelompok yaitu: a. Pemulung mayeng adalah pemulung yang langsung memungut aneka barang bekas dari tempat-tempat sampah dari satu tempat ke tempat lain sengan cara berjalan kaki, bersepeda onthel atau becak dengan waktu kerja tidak terbatas atau tidak menentu 13 b. Pemulung pengepul adalah pemulung yang pekerjaannya mengumpulkan dengan cara membeli barang-barang bekas yang berhasil dikumpulkan oleh pemulung mayeng. Apabila hasil yang dikumpulkan dari pemulung myeng kurang, maka pengepul masih mencari sendiri dar rumah ke rumahdengan cara membeli barang bekas. Pemulung mayeng memiliki tempat tinggal ang menetap dan bekerja secara berkemlompok c. Pemulung agen adalah pengumpul barang bekas yang diambil dari para pengepul atau langsung dari pemulung. Pemulung agen biasanya memiliki tempat usaha yang menetap, armada angkutan dan pekerja minimal 5 orang. Kadang-kadang juga menyediakan tempat menginap yang disediakan untuk para pemulung. Menurut Twikromo (1999), pemulung berdasarkan tempat tinggalnya dibagi menjadi dua, yaitu: a. Pemulung tidak menetap atau pemulung gelandangan atau pemulung liar adalah pemulung yang tidak mempunyai tempat tinggal relatif menetap dan hidup atau tinggal di jalanan. Biasanya disebut pemulung jalanan. b. Pemulung menetap adalah pemulung yang mempunyai tempat tinggal dan hidup atau tinggal di suatu tempat atau kampung tertentu dan mempunyai pekerjaan tetap sebagai pemulung. Biasanya pemulung menetap menyewa rumah bersama-sama di suatu tempat tertentu, pemulung yang tinggal di rumah permanen atau semi permanen yang berlokasi di suatu tempat pembuangan akhir atau sekitarnya, atau penduduk yang mempunyai mata pencaharian sebagai pemulung. 14 Berdasarkan beberapa ciri-ciri pemulung yang telah disebutkan di atas makan peneliti menyimpulkan pemulung adalahmanusia yang pekerjaannya memungut sampah khususnya sampah yang memiliki nilai ekonomi. Sedangkan memulung adalah tindakan yang dilakukan oleh pemulung dalam aktivitas mengumpulkan sampah, memilah sampah hingga proses menjual sampah kepada pengepul. Kurang lebih aktivitas usaha memulung seperti itu tiap harinya dan berlangsung secara berulang-ulang. Dalam penelitian ini, pemulung TPA Jeruklegi biasanya mereka yang tiap hari memungut barang bekas, mengumpulkan dan memilah barang bekas di TPA tersebut dari pagi hari hingga sore hari. Pemulungtinggal di desa yang berbatasan langsung dengan TPA Jeruklegi yaitu Desa Tritih Lor dan Desa Jangrana. Sehingga seperti yang disebutkan Twikromo di atas, pemulung di TPA Jeruklegi termasuk kategori pemulung menetap. Mereka tinggal di suatu desa dan bermata pencaharian sebagai pemulung di TPA Jeruklegi. 2. Pekerjaan Pokok Menurut Wallman (1979) dalam Baiduri (2015) kerja adalah berkenaan mengenai kontrol fisik dan psikologis sosial dan simbolik yang dilakukan manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Tujuan utama dari kerja bagi manusia untuk memenuhi kebutuha manusia dengan cara mengontrol lingkungan lewat kebudayaannya. Kerja berkenaan dengan enrgi fisik dan psikis yang dikerahkan seorang pekerja dalam memproduksi, mengatur atau mengubah sumber daya ekonomi. Tetapi pilihan, keputusan dan penghargaan para pekerjaan didasarkan pada sistem logis di mana dia kerja. Sehingga menurut Wallman (1979) dalam 15 Baiduri (2015) makna kerja bisa dianalisis melalui empat fakta yaitu sebagai berikut: a. Transformasi fisik. Transformasi fisik berhubungan dengan berpindahnya seseorang atau pekerja secara fisik dari tempat ia tinggal kemudian berpindah ke tempat di mana ia bekerja. Ada perbedaan fisik tempat di mana pekerja itu tinggal dan tempat di mana ia melakukan aktivitas kerja. b. Transaksi sosial. Transaksi Sosial berhubungan dengan adanya transaksi antara peran (role) dan status sosial seseorang (pekerja) dari tempat ia tinggal kemudian mengalami perbedaan peran dan status sosial saat seseorang (pekerja) melakukan aktivitas kerjanya. c. Aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi yang dilakukan seseorang tentunya dapat diharapkan dapat memberikan pemasukan ekonomi dalam rangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka sehari-hari sebagai manusia. d. Identitas personal. Dengan bekerjanya seseorang dalam satu atau lebih pekerjaannya ini tentunya akan membentuk identitas dirinya yang melekat pada pekerjaannya. Pemulung dalam penelitian ini menjadikan memulung sebagai pekerjaan pokok atau pekerjaaan utama. Peneliti mengkategorikan memulung sebagai pekerjaan sektor informal. Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Hunt (1996) dalam Baiduri (2015) sebagai bagian angkatan kerja yang berada di luar pasar tenaga organisasi. Ciri-ciri kegiatan sektor informal menurut Breman (1996) dalam Baiduri (2015) dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Manajemen sederhana 16 b. Tidak memerlukan izin usaha c. Modal rendah d. Padat karya e. Tingkat produktivitas rendah f. Tingkat pendidikan formal biasanya rendah g. Penggunaan teknologi yang sederhana h. Sebagian pekerja adalah keluarga dan pemilikan usaha oleh keluarga i. Mudahnya keluar masuk usaha j. Kurangnya dukungan dan pengakuan dari pemerintah Kelebihan sektor informal yaitu memiliki kontribusi dalam menekan angka penganguran khususnya di Indonesia. Menurut Breman (1994) dalam Baiduri (2015) terdapat kaitan antara sekor informal dan penyerapan tenaga kerja yaitu sebagai berikut: a. Persyaratan masuk. Angkatan kerja mudah terserap pada sektor informal karena sektor informal memberikan kebebasan pada angkatan kerja untuk masuk dan keluar tanpa adanya persyaratan seperti pada sektor formal. Artinya siapapun yang berminat dapat langsung terserap sesuai dengan jenis yang diminati. b. Waktu kerja. Memberikan kebebasan waktu kepada angkatan kerja sehinga lebih fleksibel dalam menjalankan usahanya c. Umur. Sektor ini relatif tidak memberikan batasan umur. Artinya tidak ada istilah produktif dan non produktif. 17 d. Jenjang pendidikan. Sektor ini tidak memerlukan pendidikan khusus untuk menjalaninya. Dengan pendidikan apapun setiap orang dapat memasuki usaha sektor informal. Dari penjelasan Breman (1994) dalam Baiduri (2015) peneliti memasukkan pemulung sebagai pekerjaan sektor informal karena ciri-ciri bekerja menjadi pemulung masuk seperti yang dikemukakan oleh Breman. Walaupun pekerjaan memulung sering dipandang sebagai pekerjaan rendahan tetapi di sisi lain menjadi pemulung juga bisa mengurangi angka pengangguran seperti yang dikemukakan oleh Breman (1994) dalam Baiduri (2015). Menurut Sugiyanta (2009) sistem kerja persampahan yang dijalankan oleh pemulung ummnya merupakan pekerjaan sektor informal. Secara umum, sektor informal yaitu suatu pola produksi masyarakat yang cenderung bersifat setengah subsisten, di mana produksi yang dilakukansedikit sekali memiliki orientasi pada penumpukan kapital. Kemudian secara umum sektor informal didefinisikan sebagai unit usaha masyarakat di luar institusi formal yang telah melembaga pada kegiatan ekonomi yang muncul sebagai akibat dari keterlibatan yang dapat dilakukan oleh negara untuk menyeimbangkan struktr produksi dan struktur ketenagakerjaan yang ada.Menurut Evers (1991) dalam Sugiyanta (2009) sektor informal masih memegang peranan penting dalam menampung angkatan kerja, terutama yang belum berpengalaman atau kata lain angkatan kerja yang baru pertama kali masuk pasar kerja. Keadaan ini mempunyai dampak positif untuk mengurangi tingkat pengangguran terbuka. Akan tetapi di sisi lain menunjukkan gejala tingkat 18 produktifitas yang rendah karena masih bersifat penggunaan alat tradisional dengan tingkat pendidikan serta ketrampilan yang rendah. Sugiyanta (2009) mengatakan bahwa pemulung sebagai salah satu pelaku ekonomi sektor informal dalam kaitannya dengan ekonomi modern sebenarnya nasibnya sama dengan para pekerja kasar atau buruh yang ada di industri manufaktur. Bedanya kalau pekerja industri manufaktur bergerak dalam bidang produksi dengan pendapatan atau penghasilan yang pasti, sedangkan pemulung bergerak dalam pengumpulan limbah berupa barang bekas sisa konsumsi ekonomi. Pemulung kerja tanpa adanya gaji tetap, kecuali uang hasil penjualan barang bekas yang mereka kumpulkan. Mereka tidak memperoleh jaminan sosial seperti asuransi, biaya perawatan kesehatan, pesangon dan lain-lain. Menurut Sunyoto Usman (1994) dalam Sugiyatna (2009) dalam mencukupi kebutuhan hidupnya orang-orang yang tidak memiliki penghasilan cukup akan mengembangkan informal social support network yang membuat mereka menjadi saling tergantung. Dalam Sugiyanta (2009)kegiatan ekonomi sektor informal umumnya dilakukan secara tidak resmi yang ditandai dengan tidak adanya akta pendirian, lokasi usaha tidak jelas, tidak ada izin usaha, tidak tercatat/terdaftar oleh pemerintah. ketika berhubungan dengan administrasi pemerintahan dan kependudukan mereka seringkali terabaikan, bahkan rentan penggusuran. Dalam kondisi sepeti ini pilihan paling aman bagi mereka yang bekerja di sektor informal adalah membangun hubungan patron klien dengan orang atau pihak yang dianggap dapat melindunginya dari urusan pemerintah. 19 Dari pemaparan tersebut pekerjaan pokok adalah aktivitas fisik dan psikis yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan merupakan sumber aktivitas yang utama. Kemudian aktivitas tersebut akan menghasilkan juga aktivitas ekonomi yang kemudian menyebabkan manusia bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Masayarakat sekitar TPA Jeruklegi Cilacap pada faktanya banyak yang menjadikan memulung sebagai pekerjaan pokok dan menggantungkan pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari dari memulung. Sehingga dari pekerjaan pokok menjadi pemulung tersebut akan menghasilkan aktivitas fisik dan psikis yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dari aktivitas tersebut akan menghasilkan aktivitas ekonomi melalui pengumpulan sampah, memilah sampah dan menjual sampah yang kemudian menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. 4. Landasan Teori Healt dan Barlet (1980) dalam Sarif (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Strategi Bertahan Hidup Komunitas Pemulung di TPA Tamangapa Makassar mengemukakan bahwa manusia diperhadapkan tiga macam pilihan dalam mengelola kebutuhannya, yaitu pilihan yang bersituasi pasti, pilihan mengandung resiko, dan pilihan pada situasi ketidakpastian. Atas dasar itu seseorang akan selalu bertindak rasional sesuai dengan kemampuannya. Suatu tindakan yang rasional, tidak selalu diartikan sebagai tindakan yang memberi hasil maksimal dalam arti penghasilan, melainkan justru dipandang sebagai tindakan yang memberikan manfaat atau kegunaan besar. Tindakan pengambilan keputusan tidak selalu didasarkan atas pilihan yang berorientasikan pada hasil maksimal 20 melainkan juga didasarkan atas penekanan terhadap ketidakpastian secara minimal. Max Weber mengatakan bahwa setiap tindakan manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan, sedangkan tujuan didasari oleh suatu keadaan atau situasi dan sasaran yang akan dicapai dalam Douglas dan Ritzer (2010). Menurut Khasanah (2015) untuk memahami lebih mendalam mengenai orientasi sebuah tindakan yang memiliki sasaran dan tujuan berarti menjelaskan mengapa seseorang atau pelaku menentukan pilihan. Pilihan tidak akan muncul serta merta secara tiba-tiba atau diluar daripada keinginan aktor, aktor berperan aktif dalam menentukan sebuah tindakan. Terciptanya tindakan dilatarbelakangi oleh berbagai macam kondisi aktor atau pelaku yang dipengaruhi oleh tujuan, keadaan dan nilai. Teori pilihan rasional memudahkan perhatian pada level individu yang selanjutnya tersusun pada level sistem. Landasan teori pilihan rasional adalah asumsi bahwa fenomena sosial yang kompleks dapat dijelaskan dalam kerangka dasar tindakan individu, sudut pandang ini menyatakan bahwa unit elementer kehidupan sosial adalah tindakan individu. Dalam Ritzer (2012) orientasi pilihan rasional Coleman jelas di dalam ide dasarnya bahwa “orang-orang bertindak secarak sengaja ke arah tujuan, dengan tujuan itu (dan dengan tindakan-tindakan itu) dibentuk nilai-nilai atau pilihan-pilihan”. Dalam teori pilihan rasional Coleman ada dua unsur utama yaitu aktor dan sumberdaya. Sumber-sumber daya adalah hal yang dikendalikan oleh aktor dan mereka berkepentingan padanya. Para pelaku sering dipandang sebagai entitas 21 yang memiliki tujuan atau maksud, yang berarti bahwa para pelaku memiliki batas akhir atau tujuan dari tindakan-tindakan mereka. Para pelaku juga memiliki pilihan atau preferensi (nilai-nilai, kegunaan). Teori pilihan rasional memusatkan perhatiannya pada level individu yang selanjutnya disusun pada level sistem. Landasan teori pilihan rasional adalah asumsi bahwa fenomena sosial yang kompleks dapat dijelaskan dalam kerangka dasar tindakan individu di mana mereka tersusun. Sudut pandang ini menyatakan bahwa unit elementer kehidupan sosial adalah tindakan individu. Inti perspektif Coleman dalam Ritzer dan Douglas (2010) adalah gagasan bahwa teori sosial tak hanya merupakan latihan akademis, tetapi harus dapat mempengaruhi kehidupan sosial melalui intervensi dalam diri aktor sebagai pelaku sehingga pada level individu tersebut dapat mempengaruhi tindakan manusia. Seperti yang terjadi di kalangan pemulung TPA Jeruklegi Cilacap, faktor yang mendorong masyarakat sekitar untuk menjadi pemulung di TPA Jeruklegi tidak lepas dari faktor yang mendorongnya untuk bekerja di TPA Jeruklegi. Misalnya saja adanya relasi yang mendorong masyarakat untuk menjadi pemulung di TPA Jeruklegi, relasi tersebut bisa merupakan tetangga mereka yang terlebih dahulu bekerja di sana. Hal lain yang turut menjadi pengaruh adalah pengalaman pekerjaan lain yang pemulung pernah rasakan membuat pemulung bisa membandingkan. Mereka membandingkan keuntungan ketika bekerja memulung dan ketika harus bekerja lain di luar memulung. Faktor kebutuhan hidup juga bisa menjadi pendorong mereka untuk menjadi pemulung di TPA Jeruklegi. 22