12 ESKALASI KESEJAHTERAAN SOSIAL MELALUI SAMPAH

advertisement
ESKALASI KESEJAHTERAAN SOSIAL MELALUI SAMPAH
Barotun Mabaroh
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pasuruan
[email protected]
Abstrak: Beragam cara dilakukan oleh manusia untuk mencapai tingkat
kesejahteraan hidup yang layak. Salah satunya adalah inisiasi sampah
dalam proses eskalasi kesejahteraan sosial. Eskalasi kesejahteraan sosial
melalui sampah tidak hanya membantu masyarakat Indonesia untuk
mendapatkan hak kesejahteraan tetapi juga menjadi solusi atas timbunan
limbah sampah yang mampu mengemisikan gas metana ke atmosfer
sekitar 9500 ton per tahun. Namun, dalam pelaksanaan program
pengelolaan sampah demi kesejahteraan sosial terdapat banyak hal yang
patut direfleksikan sehingga target program ini menjadi tepat sasaran.
Kata kunci: kesejahteraan sosial, sampah.
orang per hari adalah sebesar 2,1 kg.
Dengan jumlah penduduk yang terus
meningkat, maka diperkirakan juga
pada tahun 2020 akan dihasilkan
volume sampah mencapai 500 juta
kg per hari atau sekitar 190 juta ton
per tahun. Dengan volume sampah
yang
demikian
besar,
maka
Indonesia akan mengemisikan gas
metana ke atmosfer sekitar 9500 ton
per tahun.
Pendahuluan
Kegiatan manusia dalam
segala aspek selalu menghasilkan
sampah. Semakin padatnya jumlah
manusia, maka semakin banyak pula
sampah
yang
tertimbun
dan
mengganggu
kebersihan
serta
kenyamanan lingkungan sekitar.
Sehingga,
sampah
merupakan
masalah besar yang harus dapat
ditangani secara tepat dan cepat.
Suparmoko (2012:312) mengutip
data dari Kementerian Lingkungan
Hidup menyatakan bahwa pada
tahun 1995 rata-rata orang di
perkotaan menghasilkan sampah 0,8
kg per hari dan terus meningkat
hingga 1 kg per orang per hari pada
tahun 2000.
Uraian
data
di
atas
mengindikasikan bahwa jika sampah
kota saja tidak dikelola dengan baik
maka laju pemanasan global akan
semakin cepat mengingat potensi
pemanasan global akibat emisi
metana (CH4) dua puluh satu kali
lipat lebih besar dari pada pemanasan
global akibat emisi karbondioksida
(CO2). John Harte menyebutkan
bahwa
beberapa
riset
telah
Diperkirakan
timbunan
sampah pada tahun 2020 untuk tiap
12
menunjukkan dampak buruk dari
pemanasan global akibat emisi
metana sampah yaitu kondisi iklim
yang tidak stabil, meningkatnya
permukaan air laut, beragam
penyakit pancaroba, banjir, dan
berbagai dampak ekologis lainnya.
(Suparmoko
&
Suparmoko,
2000:59).
Ironisnya, jenis sampah yang
disyaratkan oleh lembaga pengelola
hanya bisa didapatkan oleh para
pemulung dari sisa konsumsi
kalangan menengah ke atas. Tetapi,
individu-individu dari kalangan
tersebut kini telah semakin gemar
berpartisipasi untuk menyimpan lalu
menyetorkan
langsung
sampah
mereka ke bank sampah dan
sejenisnya. Hal ini menyebabkan
merosotnya
pendapatan
tiap
pemulung
untuk
mencukupi
kebutuhan sehari-hari, dan memicu
mereka untuk enggan bekerja
memungut sampah.
Upaya
penanggulangan
sampah
untuk
memperlambat
klimaks pemanasan global telah
dilakukan oleh berbagai pihak. Salah
satu lakon peduli sampah tersebut
menamakan diri sebagai pemulung.
Secara literal menurut KBBI,
“pemulung adalah orang yang
memungut barang-barang bekas atau
sampah tertentu untuk proses daur
ulang”. Meski hanya barang bekas
atau sampah tertentu yang dipungut,
tetapi pemulung telah mampu
membuka cakrawala bahwa barang
bekas atau sampah masih memiliki
potensi sebagai sumber daya yang
dapat
dimanfaatkan.
Sosok
pemulung juga telah menginspirasi
terbentuknya
lembaga
sosial
berwawasan lingkungan seperti bank
sampah, asuransi sampah, klinik
sampah, dan sejenisnya yang telah
banyak mendapatkan penghargaan
dari berbagai pihak di sejumlah
negara.
Secara
konstitusional,
pemerintah
telah
mengatur
pengelolaan sampah melalui Permen
LH RI No.13 Tahun 2012 tentang
Bank Sampah dan sejenisnya dengan
tujuan utama untuk menciptakan
suasana lingkungan yang sejuk,
bersih, terhindar dari polusi sampah,
serta memanfaatkan sampah sebagai
sumber peningkatan kesejahteraan
sosial. Akan tetapi, lembaga-lembaga
tersebut tidak memiliki daya yang
cukup untuk memperhatikan dan
meningkatkan
kesejahteraan
kelompok
pemulung.
Bahkan,
lembaga-lembaga tersebut seakan
menjadi ‘eksekutor’ yang berupaya
mem-PHK-kan pemulung karena
semakin sedikitnya sampah yang
bisa pemulung setorkan ke bank
sampah dan sejenisnya. Tanpa
sampah para pemulung juga tidak
akan memperoleh penghasilan dan
penghidupan yang cukup setiap
harinya. Maka, secara tersirat janji
eskalasi kesejahteraan dengan hanya
bermodal sampah seperti yang
dimotori oleh bank sampah dan
sejenisnya tidak berpihak kepada
Meski pemulung merupakan
pelopor ekonomika kualitas sampah,
lembaga
sosial
berwawasan
lingkungan seperti bank sampah atau
sejenisnya hanya memberdayakan
segelintir tenaga kerja dari kalangan
pemulung.
Bahkan,
mayoritas
pemulung berstatus dan diperlakukan
sama sebagai nasabah atau anggota
yang
menyetorkan
sampahnya.
13
para
pemulung
dan
hanya
diperuntukkan
bagi
kalangan
masyarakat yang lebih beruntung.
konsep berpikir kualitatif. Data yang
didapatkan dalam grounded research
ini berfungsi sebagai bangunan teori.
Dengan
tetap
mempertimbangkan itikad baik dari
pendirian
bank
sampah,
dan
sejenisnya
bagi
mayoritas
masyarakat meskipun tidak bagi
pemulung, maka penulis merasa
perlu untuk mengkaji gejala sosial ini
secara kritis dan memadai dengan
merujuk kepada al-Quran dan hadis.
Selain itu, penulis juga menganalisis
dan
mewacanakan
sistem
pemberdayaan pemulung di tengah
arus popularitas bank sampah dan
sejenisnya. Dengan demikian, para
pemulung dapat merasakan realisasi
peningkatan kesejahteraan yang
selama ini telah diupayakan dengan
memungut sampah yang kini
semakin ‘langka’.
Disosiasi
dalam
Dilarang Masuk!”
“Pemulung
Praktik ketidak-berpihakan terhadap
pemulung sudah lama dilakukan oleh
masyarakat
Indonesia
bahkan
sebelum adanya legitimasi kebijakan
bank sampah dan sejenisnya. Hal ini
terungkap berdasarkan fakta interaksi
sosial yang terjadi di antara
masyarakat
dengan
kelompok
pemulung. Dalam suatu lingkup
sosial akan senantiasa dihasilkan dua
jalur proses interaksi yaitu asosiasi
dan disosiasi. Menurut Charles H
Cooley, asosiasi merupakan sebuah
proses interaksi yang melibatkan
setiap orang dalam masyarakat
menyadari
bahwa
mereka
mempunyai
kepentingankepentingan yang sama dan pada saat
yang bersamaan mempunyai cukup
pengetahuan
dan
pengendalian
terhadap
diri
sendiri
untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan
tersebut (Soekanto & Sulistyowati,
2012:66). Interaksi asosiatif ini dapat
mendorong
terjadinya
beragam
bentuk kerja sama, akomodasi, dan
asimilasi antar individu, kelompok,
bahkan komunitas yang lebih besar
dalam masyarakat.
Metode
Kajian ini dilakukan dengan
menggunakan
desain
grounded
research. Nazir (dalam Prastowo,
2011:65)
menyatakan
bahwa
grounded research merupakan suatu
metode
penellitian
yang
mendasarkan diri kepada fakta dan
menggunakan analisis perbandingan
yang
bertujuan
mengadakan
generalisasi empiris, menetapkan
konsep-konsep, membuktikan teori,
dan mengembangkan teori ketika
pengumpulan data dan analisis data
berjalan pada waktu yang bersamaan.
Disosiasi
sebaliknya,
merupakan proses interaksi yang
menghasilkan oppositional traits and
attitudes sehingga masing-masing
orang akan bersaing, berkontravensi,
dan berkonflik atau bertentangan satu
dengan lainnya. Dalam berbagai
riset, Indonesia tercatat sebagai
sebuah negara yang sangat kental
dengan nilai dan interaksi asosiatif.
Muhadjir (dalam Prastowo,
2011:68)
menambahkan
bahwa
metode grounded research lebih
banyak memberi sumbangan pada
14
Dengan kata lain bahwa pada
umumnya masyarakat Indonesia
bersifat kooperatif karena sistem
nilai Indonesia lebih menghargai
bentuk kerja sama ketimbang bentuk
persaingan (disosiatif) sebagaimana
yang terjadi di negara-negara Barat
(Soekanto & Sulistyowati, 2012:82).
(‫ )ﻋﺼﻤﺔ‬yang berarti pegangan atau
ikatan, dan disosiasi dalam lafadz
 (‫ )ﻓﺮﻗﺔ‬yaitu percerai-beraian
atau pemisahan. Ayat tersebut juga
menganjurkan kepada setiap muslim
untuk berasosiasi dan menyatukan
visi dan misi sosial yang dapat
menyelamatkan manusia dari api
neraka. Sebaliknya, ayat tersebut
memberi peringatan agar seorang
muslim tidak memisahkan diri dan
berdisosiasi terhadap muslim lainnya
yang demikian dapat memicu
permusuhan
(persaingan)
dan
mendorong untuk berbuat hal yang
mendekatkan kita pada neraka.
Allah SWT mendeklarasikan
konsep asosiasi dan disosiasi sosial
dalam QS. Ali Imran ayat 103 yang
berbunyi:
      
      
Rujukan tentang apakah
masyarakat
Indonesia termasuk
kelompok sosial yang asosiatif
ataupun disosiatif berdasarkan riset
tidak bisa dibenarkan begitu saja.
Alasannya jelas karena setiap hasil
riset hanya dibatasi oleh cakupan dan
fokus tertentu sehingga tidak akan
dapat memberi keputusan yang
absolut. Walhasil, dalam beberapa
aspek akan dapat disimpulkan bahwa
fakta
mendukung
masyarakat
Indonesia
tergolongkan
dalam
kelompok sosial yang asosiatif.
Namun, penulis telah mengungkap
praktik disosiasi yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat di kota X dalam
slogan
“Pemulung
Dilarang
Masuk!”.
    
      
      
   
Artinya: “Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai,
dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka
Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat
Allah,
orang-orang
yang
bersaudara; dan kamu telah berada
di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk”.
Ayat
asosiasi
diatas
dalam
lafadz
Instruksi
preventif
“Pemulung Dilarang Masuk!” ini
tidak hanya ditemui di kota X tapi
juga di beberapa lokasi hunian serta
akses publik di Indonesia. Menurut
keterangan warga/ sumber yang
berada di sekitar lokasi yang terkait,
slogan ini
ditujukan untuk
menuturkan

15
membatasi kehadiran pemulung di
tempat yang dimaksud karena adanya
oknum pemulung yang melakukan
kriminalitas selain menjalankan
tugas matapencahariannya. Hal ini
tentu dapat diterima lantaran tidak
ada seorang pun yang mau
memperoleh kerugian sekecil apapun
itu manakala ia merasa sudah
menyediakan sumber sampah yang
bermanfaat bagi pemulung. Pendapat
yang lain menyatakan bahwa
“Pemulung Dilarang Masuk!” adalah
karena sudah tersedianya beberapa
petugas resmi yang memungut
sampah dan mengelola kebersihan
lingkungan sekitar. Sehingga, dapat
diterima jika para pemulung dibatasi
akses masuknya pada lingkungan
tertentu dengan alasan formasi
struktur yang sudah mapan dan
dikhawatirkan terjadi ketimpangan
tugas antara petugas dan pemulung
yang
sedang
beroperasi
di
lingkungan tersebut.
Kriminalitas dapat terjadi
dengan sengaja dan tidak sengaja.
Kesengajaan yang dimaksud adalah
ketika seseorang memang memiliki
rencana dan tujuan untuk melakukan
kriminalitas terhadap target atau
obyek
tertentu.
Sedangkan
ketidaksengajaan yang dimaksud
adalah
manakala
seseorang
melakukan tindakan kriminal karena
adanya kesempatan yang minim
resiko dan strategis, kesempatan
untuk melindungi diri, atau karena
paksaan pihak tertentu. Seorang
pemulung yang menjadikan kegiatan
memungut sampah sebagai kedok
untuk mencuri barang berharga yang
berada di sekitar rumah tertentu
maka jelas ia termasuk oknum yang
secara sengaja bertujuan merugikan
orang lain. Namun, jika kegiatan
mengambil barang di sekitar rumah
tertentu adalah dengan asumsi bahwa
barang tersebut sudah tidak lagi
digunakan sehingga diterlantarkan
begitu saja maka inilah yang
mungkin bisa dikategorikan sebagai
kriminalitas yang dilakukan dengan
tidak sengaja.
Tindak kriminal yang sering
ditudingkan
kepada
oknum
pemulung
sesungguhnya
tidak
menjadi jaminan keamanan yang
akan diperoleh warga jika menutup
akses pemulung di area tinggalnya.
Meminimalisir tindak kejahatan
adalah mungkin, tapi apabila ditelaah
kembali
sesungguhnya
slogan
“Pemulung Dilarang Masuk!” ini
akan semakin mengakumulasi pelaku
kriminalitas yang lebih banyak dan
beragam. Demikian juga adanya
petugas yang resmi dari pemerintah
ataupun dari manajemen area hunian
tertentu tidak secara sederhana benar
akan menciptakan overlapping tugas
antara petugas dan pemulung.
Hasil wawancara kepada dua
pemulung purposive menghasilkan
data bahwa 30% dari pemulung
cenderung menyimpulkan bahwa
barang-barang yang diterlantarkan
oleh empunya adalah termasuk
sampah yang berhak untuk dipungut.
Namun, lebih dari itu, 70% lainnya
menyangsikan status barang terlantar
tersebut
dan
memilih
hanya
memungut sampah bernilai jual yang
jelas berada di dalam atau dekat
tempat sampah. Dengan demikian,
maka dapat ditarik benang merah
bahwa pihak-pihak yang melakukan
tindak kriminal di sekitar rumah
16
yang dipungut sampahnya adalah
tindakan
oknum
yang
tidak
bertanggungjawab
dan
hanya
menjadikan aktifitas memulungnya
sebagai
tameng
kejahatannya.
Terlalu apatis juga jika kita
memaksakan tudingan kriminalitas
dilakukan oleh 30% pemulung jika
pada kenyataannya mereka merasa
mengambil barang yang sudah
diterlantarkan karena sudah tidak
berdaya-guna bagi pemiliknya.
Masuk!” bukan merupakan alternatif
yang proposional.
Overlapping peran antara
petugas yang ditentukan oleh Dinas
Kebersihan dan Pertamanan (DKP)
dan
pemulung
juga
bukan
merupakan alasan yang kuat untuk
menerapkan sistem disosiatif dalam
“Pemulung
Dilarang
Masuk!”.
Pasalnya, seorang petugas DKP
berkewajiban
mengangkut
keseluruhan sampah dan menjaga
kebersihan lingkungan. Sedangkan
seorang pemulung hanya akan
memilah sampah yang bernilai jual
dan masih bisa didaur ulang. Maka,
secara singkat dapat disimpulkan
bahwa
munculnya
peraturan
“Pemulung Dilarang Masuk!” dibuat
oleh pemegang kebijakan dengan
latar kondisi emosional yang
menuduhkan terjadinya kriminalitas
dilakukan oleh pemulung. Timbalbalik aturan tersebut tidak akan
menghasilkan kebaikan sebagaimana
yang diharapkan. Keputusan dan
kebijakan yang tidak berkualitas
seperti realitas slogan “Pemulung
Dilarang Masuk!” sebenarnya hanya
merupakan ekspresi emosional yang
subyektif sehingga tidak dapat
mengakomodir prinsip keadilan
untuk semua pihak.
Larangan
memutuskan suatu perkara dalam
keadaan emosi telah diperingatkan
oleh Rasulullah SAW dalam sebuah
hadis yang berbunyi:
Slogan “Pemulung Dilarang
Masuk!” juga bukan merupakan
solusi
meminimalisir
tindakan
kriminal yang terjadi di area tertentu.
Pasalnya, manakala seseorang yang
sebelumnya
bekerja
sebagai
pemulung dan kemudian dilarang
memasuki beberapa kawasan tertentu
yang
kemudian
semakin
memperkecil pendapatan pemulung
akan secara terpaksa menjadikan
mereka pengangguran atau bahkan
beralih profesi sebagai pelaku copet,
gendam, dan sebagainya. Dalam
sorot martabat bangsa, meningkatnya
jumlah pengangguran dari kalangan
mantan pemulung akan semakin
menurunkan indeks pembangunan
manusia Indonesia di mata dunia.
Tentu ini sangat mempermalukan
bangsa Indonesia yang diakui sangat
kaya dengan sumber daya alam
namun terpuruk dalam membangun
warga negaranya sekalipun hanya
dengan memberikan kesempatan
kerja bagi pemulung. Bertambahnya
jenis kejahatan yang dimotori oleh
mantan pemulung akan dapat
menciptakan suasana semakin tidak
aman dan kacau di segala bidang.
Dengan demikian, maka patut ditarik
kesimpulan bahwa slogan dan
kebijakan
“Pemulung
Dilarang
‫ﻋﻦ اﺑﻰ ﺑﻜﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل‬
‫ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﯾﻘﻮل ﻻﯾﺤﻜﻢ أﺣﺪ ﺑﯿﻦ‬
(‫اﺛﻨﯿﻦ وھﻮ ﻏﻀﺒﺎن )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ‬
Artinya:
Dari
Abu
Bakrah
mengabarkan, saya mendengar Nabi
Muhammad
SAW
bersabda
”Seorang Hakim tidak boleh
17
memutuskan persengketaan diantara
dua orang dalam keadaan marah”. (
HR. Bukhari-Muslim).
batasan usia tertentu, mempunyai
keahlian tertentu, dan mampu
bekerja dalam durasi waktu tertentu
ketika menjadi pemulung. Maka,
berdasarkan deskripsi ini tentu
profesi pemulung harusnya dapat
menjadi trending kerja karena sangat
mudah
dilakukan
dan
hanya
bermodal kemauan. Namun, di
lapangan lebih banyak ditemukan
orang-orang yang bekerja sebagai
pengemis dan pengamen yang juga
bisa dilakukan dengan sangat mudah
dan tanpa modal dari pada menjadi
pemulung yang lebih mandiri dan
tidak berpangku tangan pada uluran
orang lain.
Perilaku Menyimpang Masyarakat
Akibat Sampah Banking
Dalam berbagai bidang pekerjaan,
kompetensi dibutuhkan sebagai
persyaratan mutlak yang harus
dimiliki seseorang untuk bergabung
dalam sebuah unit kerja. Di bidang
kesehatan, kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang tenaga
kesehatan
adalah
pengetahuan
tentang nutrisi, jenis penyakit,
perawatan,
pencegahan,
dan
penyembuhannya.
Kompetensi
tersebut tentu berbeda dengan
kompetensi seorang guru yang
dituntut untuk menjadi profesional
dalam penguasaan materi, penyajian,
penyampaian,
evaluasi,
serta
peningkatan semangat belajar para
murid. Begitu juga dengan tenaga
kerja di bidang transportasi, mereka
disyaratkan
untuk
lulus
uji
mengemudi dan harus banyak
menguasai medan jalan raya.
Seiring
dengan
berkembangnya zaman, berbagai
inovasi pun dilakukan menuju ke
arah efektifitas dan efisiensi daya.
Kini, dengan hadirnya lembaga
pengelola sampah seperti bank
sampah, asuransi sampah, klinik
sampah, dan sejenisnya menjadikan
profesi “pemulung” lebih mudah
dilakukan dan lebih banyak diminati.
Alasannya, sekarang semakin banyak
individu dari semua kalangan
keluarga tertarik menjadi pemulung
sampahnya
sendiri
dan
menyetorkannya
langsung
ke
lembaga pengelola sampah. Hal ini
mereka lakukan tentu bukan dengan
tanpa pamrih. Artinya, dengan
menjadi nasabah yang intens
melakukan setoran kepada bank
sampah, misalnya, dapat merubah
sampah menjadi nomina rupiah yang
terus meningkat secara berkala dan
dengan
kesan
yang
sangat
meringankan.
Dengan
semakin
besarnya saldo yang berasal hanya
dari hasil menyetor sampah yang
memang tidak dibutuhkan lagi,
Kompetensi
juga
harus
dimiliki oleh seseorang yang
memutuskan
untuk
menjadi
pemulung. Namun, tentu syarat
kompetensi untuk menjadi pemulung
dapat
dikategorikan
sederhana.
Untuk menjadi pemulung, seseorang
hanya harus memiliki kemauan keras
untuk menelusuri jalanan dan
mencari sampah tertentu dengan
keadaan bersih maupun kotor dan
saat kehujanan ataupun kepanasan.
Tidak ada persyaratan bahwa
seseorang harus menempuh strata
pendidikan tertentu, sedang dalam
18
seseorang akan memiliki hak yang
lebih leluasa atas fasilitas kesehatan,
pendidikan,
pariwisata,
dan
sebagainya.
memandang orang yang berada di
bawah kemampuan kita dan jangan
memandang orang yang berada di
atas kita dalam sisi perolehan harta
duniawi. Lebih dari pada itu, hadis
tersebut mengimplikasikan nilai
moral yang tinggi yaitu agar kita
menengok dan peduli terhadap nasib
orang yang berada di bawah
kemampuan ekonomi kita. Kita tidak
dianjurkan
mengidam-idamkan
kemewahan dan kemudahan fasilitas
yang
dimiliki
orang-orang
berkemampuan ekonomi di atas kita
jika dikhawatirkan kelak kita akan
melupakan
nasib
orang-orang
berkemampuan ekonomi di bawah
kita.
Para pemulung sungguhan
menyadari
sepenuhnya
bahwa
program seperti sampah banking
telah berhasil menarik minat
masyarakat untuk mempedulikan
sampah mereka masing-masing.
Akan tetapi, di sisi lain program
tersebut telah banyak mengurangi
bahkan meniadakan ketersediaan
sampah
yang
bisa
mereka
nominalkan untuk sesuap nasi.
Beberapa pemulung sungguhan tetap
memaksa untuk berangkat memulung
setiap hari meskipun hasil yang
didapat tidak setimpal. Sebagian
yang lain mulai banyak beralih
profesi menjadi pengemis, pencopet,
dan sebagian lainnya sebagai tenaga
serabutan. Melihat fenomena ini,
maka sangat penting bagi kita untuk
menyimak hadis Rasulullah berikut
ini.
Maka, berdasarkan hadis ini
sebagai masyarakat yang memeluk
agama Islam hendaknya kita dapat
mengamati,
merasakan,
dan
mempedulikan nasib para pemulung
yang semakin tidak beruntung
dengan program sampah banking.
Sebaliknya, hendaknya kita dapat
menyiasati bagaimana cara untuk
tetap
mengapresiasi
dan
berpartisipasi dalam program sampah
banking
namun
tidak
mengenyampingkan
pemulung
sungguhan sebagai kelompok sosial
yang
bermata-pencaharian
dari
sampah. Jika pada kenyataannya kita
sulit mengamalkan dan bertindak
sesuai dengan petunjuk hadis ini,
maka sebenarnya kita telah berpaling
dari Islam yang mengajarkan
kepedulian dan berbagi dan menolak
sikap acuh dan menang sendiri.
‫ ﻗﺎل رﺳﻮل‬:‫ﻋﻦ أﺑﻰ ھﺮﯾﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل‬
‫ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﻧﻈﺮوا اﻟﻰ ﻣﻦ ھﻮ أﺳﻔﻞ‬
‫ ﻓﮭﻮ أﺟﺪر‬،‫ وﻻ ﺗﻨﻈﺮوا اﻟﻰ ﻣﻦ ھﻮ ﻓﻮﻗﻜﻢ‬،‫ﻣﻨﻜﻢ‬
(‫أن ﻻ ﺗﺰدروا ﻧﻌﻤﺔ ﷲ ﻋﻠﯿﻜﻢ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ‬
Artinya: Dari Abu Hurairah RA
berkata: Rasulullah SAW bersabda
“Pandanglah orang yang berada di
bawahmu (dalam masalah harta dan
dunia) dan janganlah engkau
pandang orang yang berada di
atasmu (dalam masalah ini). Dengan
demikian, hal itu akan membuatmu
tidak meremehkan nikmat Allah
padamu.” (HR.
Bukhari dan
Muslim).
Program sampah banking
bisa menjadi sebab eksternal dari
sikap acuh dan menang sendiri
terhadap pemulung. Namun, secara
Hadis di atas tidak sekedar
memberi
arahan
agar
kita
19
internal, kedua sikap tersebut
merupakan indikasi terjangkitnya
kita oleh penyakit hasud. Menurut
Ibnu Hajar Al Asqolani (2002: 117)
hasud adalah ‫ﻟﺘﻤﻨﻲ ﺑﺰوال ﻧﻌﻤﺔ اﻟﻐﯿﺮ‬١
yaitu
mengharapkan
lenyapnya
kenikmatan yang ada pada diri orang
lain. Dengan kata lain, partisipasi
kita yang tidak bijak dalam program
sampah banking merupakan upaya
mengharapkan
lenyapnya
kenikmatan
yang
selama
ini
diperoleh pemulung. Padahal, jika
kita dapat berpartisipasi secara lebih
bijak dan tidak memangkas peran
pemulung
dengan
tetap
mendermakan sebagian sampah kita
maka sesungguhnya kita telah
mensukseskan program sampah
banking juga telah memperbaiki citra
Islam sebagaimana yang Allah
firmankan dalam hadis qudsi-Nya
Hak Kesejahteraan bagi Pemulung
Sampah
Fakta
disosiasi
dan
gejala
masyarakat yang lebih berorientasi
terhadap materi duniawi
seperti
yang telah diulas pada dua sub
bahasan sebelumnya memaksa kita
untuk memikirkan nasib pemulung
selanjutnya.
Masyarakat
dan
kelembagaan sampah banking tidak
sepatutnya mem-PHK-kan para
pemulung dan memperkaya diri
sendiri dengan dalih gerakan peduli
terhadap lingkungan. Bahkan hanya
karena sampah yang merupakan sisa
akhir
dari
pemakaian
dan
penggunaan
konsumsi,
kita
kemudian harus menjadi manusia
yang acuh terhadap nasib X yang
dialami pemulung. Sikap acuh
tersebut dapat menjadi sumber
petaka dan bencana dari Allah
sebagaimana yang termaktub dalam
QS. Al Isra’ ayat 16:
‫ﻋﻦ أﻧﺲ وﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻗﺎل ﷲ ﺗﺒﺎرك وﺗﻌﺎﻟﻰ إن ھﺬا‬
ٔ ‫اﻟﺪﯾﻦ ارﺗﻀﯿﺘﮫ ﻟﻨﻔﺴﻲ وﻟﻦ ﯾﺼﻠﺤﮫ اﻻ الﲯ‬
‫وﺣﺴﻦ اﻟﺨﻠﻖ ﻓﺄﻛﺮﻣﻮه ﺑﮭﻤﺎ ﻣﺎﺻﺤﺒﺘﻤﻮه )رواه‬
‫اﻟﺮاﻓﻌﻲ ﻋﻦ أﻧﺲ واﺑﻦ ﻋﺪي واﻟﻌﻘﯿﻠﻲ‬
‫واﻟﺨﺮاﺋﻄﻲ واﻟﺨﻄﯿﺐ واﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ واﻟﻘﻀﺎ َﻋﻲ‬
(‫ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ‬
      
     
Artinya: Dari Anas dan Jabir, Allah
Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya agama ini (Islam)
adalah agama yang aku ridloi untuk
diriku.
Tidak
akan
dapat
membaguskan agamanya kecuali
orang yang dermawan dan berbudi
pekerti luhur, maka muliakanlah
agama ini (Islam) dengan kedua hal
itu, selama kamu memeluknya.”
(diriwayatkan Imam Rafi’I dari
Anas, Ibnu Adi, Al Aqili, Al
Kharaith, Ibnu Asakir, dan Al
Qudha’I dari Jabir).
 
Artinya: “Dan jika Kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka
Kami perintahkan kepada orangorang yang hidup mewah di negeri
itu (supaya mentaati Allah) tetapi
mereka melakukan kedurhakaan
dalam negeri itu, Maka sudah
sepantasnya Berlaku terhadapnya
Perkataan
(ketentuan
kami),
kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya.”
20
Ayat di atas mengandung fakta dan
ancaman akan terjadinya kebinasaan
(‫ )ھﻠﻚ‬yang dipicu oleh perbuatan
durhaka masyarakat yang hidup
mewah di suatu daerah tertentu.
Dalam kajian ini, tentu perbuatan
durhaka dapat dicontohkan dengan
sikap acuh kelompok masyarakat
yang berkecukupan terhadap nasib
pemulung. Terma (‫ )ھﻠﻚ‬bukan
sekedar
mengimplikasikan
kebinasaan geo-biofisik saja, tetapi
juga bisa berupa kebinasaan ideologi,
budaya, psikologi, ekonomi, politik,
hukum, dan beragam aspek lainnya.
adalah 11,47%. Artinya, terdapat
sekitar 88,53% mutrafin yang
sesungguhnya harus bertanggung
jawab atas kesengsaraan yang
diderita para pemulung akibat
program sampah banking agar tidak
terjadi kebinasaan di Indonesia.
Imam Al Mahalli dan Imam
As Suyuti (1999:229) menyatakan
bahwa penggalan ayat  (‫)ﻓﺴﻖ‬
berarti perbuatan durhaka atau
berpaling dari ketaatan yang
dilakukan
seseorang
setelah
mengetahui hukum dan kebenaran
suatu hal tertentu. Kita semua
mengetahui bahwa pemulung adalah
kelompok sosial yang kurang
beruntung secara ekonomi. Namun,
kita semua telah berbuat fasik karena
telah bersikap disosiatif terhadap
pemulung dengan memasang slogan
“Pemulung
Dilarang
Masuk!”.
Begitu juga dengan sikap kita yang
terlalu
berorientasi
mengakumulasikan rupiah di bank
sampah dan sejenisnya tanpa
mempedulikan nasib pemulung juga
termasuk satu bentuk dari kefasikan.
Selanjutnya lafadz  dalam
penggalan bunyi ayat  atau
orang-orang yang hidup mewah dan
sebaliknya adalah orang-orang yang
miskin. Quraish Shihab (2013:591)
menerangkan bahwa orang yang
miskin ialah orang yang tidak
berharta benda, serba kekurangan
atau berpenghasilan rendah. Dengan
demikian,
maka

dalam
konteks Indonesia adalah kalangan
masyarakat yang tidak tergolong
dalam kategori masyarakat miskin
sesuai standar kebutuhan dasar pada
Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) Panel Modul Konsumsi
dan Kor (http://www.bps.go.id). Data
yang berhasil dikutip dari laman
Badan Pusat Statistika Indonesia
menyatakan bahwa garis kemiskinan
di
Indonesia
adalah
yang
berpenghasilan
per
kapita
Rp.308.826/bulan dengan hidup di
perkotaan atau Rp.275.779/bulan
dengan
hidup
di
pedesaan.
Presentase masyarakat miskin di
Indonesia per September 2013
Suatu kebijakan pemerintah
pasti bertujuan untuk memberikan
kebaikan bagi masyarakat dan tidak
fasik. Inisiatif bank sampah atau
lembaga sejenisnya tentu bukan
inovasi yang remeh dan memang
sangat membantu masyarakat dalam
peningkatan
kesejahteraan
lingkungan, ekonomi, pendidikan,
dan kesehatan. Akan tetapi, secara
struktural bank sampah atau lembaga
sejenisnya ini hendaknya perlu
meninjau
kembali
bagaimana
memberdayakan pemulung yang
21
merupakan lakon inspiratif dalam
mengelola sampah.
regulasi untuk menunjuk pengurus
kelompok binaan dari kalangan ketua
RT/RW,
guru/kepala
sekolah,
kepala/ dinas pasar, dan personalia
perkantoran/hotel/perusahaan. Fakta
ini sungguh semakin memperjelas
ketimpangan sosial yang membuat
kelompok mapan semakin mapan
dan pemulung semakin tertindas.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita
bersama menyadari dan memberi
kesempatan kepada para pemulung
untuk
mampu
menciptakan
kerjasama yang baik dengan
kelompok RT/RW, unit satuan
pendidikan, kelompok pedagang
pasar, dan kelompok pekerja kantor,
hotel, serta perusahaan dalam
menggalangkan
disiplin
peduli
lingkungan
dengan
menabung
sampah.
Mengupayakan
pemberdayaan
pemulung
di
samping
mengembangkan sisi positif program
bank sampah sesungguhnya akan
bermakna
mencegah
kefasikan
seperti yang dimaksudkan dalam QS.
Al Isra’ ayat 16. Pemberdayaan itu
bisa dilakukan dengan pertama,
mendaftar sampah yang disetorkan
oleh pemulung dan memberikan
harga yang jauh lebih tinggi dari
harga yang diberlakukan terhadap
setoran nasabah pada umumnya.
Sistem ini tentu merupakan apresiasi
yang setimpal bagi para pemulung
karena mereka mengalami kendala
yang
lebih
berat
dalam
mengumpulkan
sampah
yang
semakin langka.
Kesimpulan
Alternatif
kedua
adalah
dengan mengangkat para pemulung
untuk menjadi tenaga kerja pada
lembaga pengelola sampah. Sebagai
tenaga kerja pemungut sampah door
to door atas nama bank sampah,
misalnya, akan secara langsung dapat
meningkatkan kesejahteraan sosial
dan finansial para pemulung. Secara
sosial, alternatif ini juga akan
memberi kesan status yang sangat
berbeda dengan saat para pemulung
mencari sampah dari satu rumah ke
rumah lainnya tanpa uniformitas
lembaga terkait.
Pembahasan dalam kajian ini telah
mencoba untuk mengungkapkan
bahwa pemulung merupakan sebuah
profesi yang sejak lama mendapatkan
respon disosiatif dari masyarakat.
Disosiasi tersebut terwujud dalam
slogan “Pemulung Dilarang Masuk!”
yang kerap kita jumpai di beberapa
area. Tentu karena worldview yang
disosiatif
tersebut,
kehadiran
lembaga pengelola sampah yang
menjanjikan eskalasi kesejahteraan
bagi masyarakat walau hanya dengan
menukarkan sampah kepada pihak
lembaga
semakin
membuat
pemulung tersisihkan. Masyarakat
seakan tidak mengenal lagi anjuran
dan arahan dalam ajaran Islam untuk
menyikapi
dan
menanggulangi
kemiskinan.
Mereka
hanya
memanfaatkan program sampah
banking untuk menambah pundi-
Selain menjadi tenaga kerja
pemungut sampah door to door,
lembaga pengelola sampah dapat
memperkerjakan pemulung sebagai
penanggung jawab nasabah kolektif
bank sampah atau kelompok binaan
bank sampah. Selama ini, bank
sampah atau sejenisnya memiliki
22
pundi kekayaan mereka saja tanpa
mempedulikan
nasib kelompok
pemulung. Setoran sampah yang
diberikan oleh rumah tangga
mengurangi secara signifikan jumlah
sampah yang bisa dipungut oleh
pemulung. Kondisi ini semakin
memperkuat
gejala
bahwa
masyarakat saat ini tidak memiliki
kepedulian kepada nasib pemulung
yang notabene merupakan kelompok
lapisan bawah.
------
2002. Bulughul Maram.
(Surabaya: Maktabah Syekh
Salim bin Sa’ad Nabhan)
Hasan, Syamsi. 2013. Hadis Qudsi:
Firman Allah Tabaraka wa
Ta’ala Selain Al Qur’an.
(Surabaya:
Amelia
Computindo).
Mahalli, Jalaluddin, & Suyuti,
Jalaluddin. 1999. Tafsir alQuran al Karim lil Imamain
al Jalilain. (Surabaya: Daar
an Nasyr al Misriyah)
Oleh karena itu, kajian ini
merekomendasikan agar masyarakat
dapat menyadari sikap disosiatifnya,
dan kemudian dapat memberikan
inisiatif
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
bagi
pemulung.
Dengan
kehadiran
lembaga
pengelola sampah bukan menjadi
penghalang untuk tetap berderma
kepada pemulung melalui sampah
yang
merupakan
sumber
penghidupan mereka. Bagi awak
lembaga
pengelola
sampah,
hendaknya
dapat
memberikan
peluang kerja sebanyak-banyak bagi
para pemulung. Dengan demikian,
eskalasi
kesejahteraan
sosial
sebagaimana yang dituju oleh
lembaga pengelola sampah dapat
tercapai dan dirasakan oleh semua
kalangan termasuk oleh para
pemulung.
Mujib, A, & Mudzakir, J. 2001.
Nuansa-nuansa
Psikologi
Islam. Jakarta: Rajawali
Press.
Salinan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun
2012
Tentang
Pedoman
Pelaksanaan Reduce, Reuse,
Dan Recycle Melalui Bank
Sampah.
Shihab, M. Quraish. 2013. Wawasan
Al-Qur’an. (Bandung: Mizan)
Soekanto, S, & Sulistyowati, B.
2013.
Sosiologi:
Suatu
Pengantar. (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada).
Suparmoko.
2012.
Ekonomika
Sumber Daya Alam dan
Lingkungan.
(Yogyakarta:
BPFE).
REFERENSI
Alqur’an dan Terjemahnya. 2012.
Jakarta: Kementerian Agama
Republik Indonesia.
Suparmoko, & Suparmoko, MR.
2000.
Ekonomika
Lingkungan.
(Yogyakarta:
BPFE).
Asqalani,
Ibnu
Hajar.
2002.
Nashaihul Ibad Terjemah
I.Solihin. (Jakarta: Pustaka
Amani)
www.bps.go.id
23
Download