ESKALASI KESEJAHTERAAN SOSIAL MELALUI SAMPAH Barotun Mabaroh Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pasuruan [email protected] Abstrak: Beragam cara dilakukan oleh manusia untuk mencapai tingkat kesejahteraan hidup yang layak. Salah satunya adalah inisiasi sampah dalam proses eskalasi kesejahteraan sosial. Eskalasi kesejahteraan sosial melalui sampah tidak hanya membantu masyarakat Indonesia untuk mendapatkan hak kesejahteraan tetapi juga menjadi solusi atas timbunan limbah sampah yang mampu mengemisikan gas metana ke atmosfer sekitar 9500 ton per tahun. Namun, dalam pelaksanaan program pengelolaan sampah demi kesejahteraan sosial terdapat banyak hal yang patut direfleksikan sehingga target program ini menjadi tepat sasaran. Kata kunci: kesejahteraan sosial, sampah. orang per hari adalah sebesar 2,1 kg. Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, maka diperkirakan juga pada tahun 2020 akan dihasilkan volume sampah mencapai 500 juta kg per hari atau sekitar 190 juta ton per tahun. Dengan volume sampah yang demikian besar, maka Indonesia akan mengemisikan gas metana ke atmosfer sekitar 9500 ton per tahun. Pendahuluan Kegiatan manusia dalam segala aspek selalu menghasilkan sampah. Semakin padatnya jumlah manusia, maka semakin banyak pula sampah yang tertimbun dan mengganggu kebersihan serta kenyamanan lingkungan sekitar. Sehingga, sampah merupakan masalah besar yang harus dapat ditangani secara tepat dan cepat. Suparmoko (2012:312) mengutip data dari Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan menghasilkan sampah 0,8 kg per hari dan terus meningkat hingga 1 kg per orang per hari pada tahun 2000. Uraian data di atas mengindikasikan bahwa jika sampah kota saja tidak dikelola dengan baik maka laju pemanasan global akan semakin cepat mengingat potensi pemanasan global akibat emisi metana (CH4) dua puluh satu kali lipat lebih besar dari pada pemanasan global akibat emisi karbondioksida (CO2). John Harte menyebutkan bahwa beberapa riset telah Diperkirakan timbunan sampah pada tahun 2020 untuk tiap 12 menunjukkan dampak buruk dari pemanasan global akibat emisi metana sampah yaitu kondisi iklim yang tidak stabil, meningkatnya permukaan air laut, beragam penyakit pancaroba, banjir, dan berbagai dampak ekologis lainnya. (Suparmoko & Suparmoko, 2000:59). Ironisnya, jenis sampah yang disyaratkan oleh lembaga pengelola hanya bisa didapatkan oleh para pemulung dari sisa konsumsi kalangan menengah ke atas. Tetapi, individu-individu dari kalangan tersebut kini telah semakin gemar berpartisipasi untuk menyimpan lalu menyetorkan langsung sampah mereka ke bank sampah dan sejenisnya. Hal ini menyebabkan merosotnya pendapatan tiap pemulung untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan memicu mereka untuk enggan bekerja memungut sampah. Upaya penanggulangan sampah untuk memperlambat klimaks pemanasan global telah dilakukan oleh berbagai pihak. Salah satu lakon peduli sampah tersebut menamakan diri sebagai pemulung. Secara literal menurut KBBI, “pemulung adalah orang yang memungut barang-barang bekas atau sampah tertentu untuk proses daur ulang”. Meski hanya barang bekas atau sampah tertentu yang dipungut, tetapi pemulung telah mampu membuka cakrawala bahwa barang bekas atau sampah masih memiliki potensi sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan. Sosok pemulung juga telah menginspirasi terbentuknya lembaga sosial berwawasan lingkungan seperti bank sampah, asuransi sampah, klinik sampah, dan sejenisnya yang telah banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak di sejumlah negara. Secara konstitusional, pemerintah telah mengatur pengelolaan sampah melalui Permen LH RI No.13 Tahun 2012 tentang Bank Sampah dan sejenisnya dengan tujuan utama untuk menciptakan suasana lingkungan yang sejuk, bersih, terhindar dari polusi sampah, serta memanfaatkan sampah sebagai sumber peningkatan kesejahteraan sosial. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki daya yang cukup untuk memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan kelompok pemulung. Bahkan, lembaga-lembaga tersebut seakan menjadi ‘eksekutor’ yang berupaya mem-PHK-kan pemulung karena semakin sedikitnya sampah yang bisa pemulung setorkan ke bank sampah dan sejenisnya. Tanpa sampah para pemulung juga tidak akan memperoleh penghasilan dan penghidupan yang cukup setiap harinya. Maka, secara tersirat janji eskalasi kesejahteraan dengan hanya bermodal sampah seperti yang dimotori oleh bank sampah dan sejenisnya tidak berpihak kepada Meski pemulung merupakan pelopor ekonomika kualitas sampah, lembaga sosial berwawasan lingkungan seperti bank sampah atau sejenisnya hanya memberdayakan segelintir tenaga kerja dari kalangan pemulung. Bahkan, mayoritas pemulung berstatus dan diperlakukan sama sebagai nasabah atau anggota yang menyetorkan sampahnya. 13 para pemulung dan hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat yang lebih beruntung. konsep berpikir kualitatif. Data yang didapatkan dalam grounded research ini berfungsi sebagai bangunan teori. Dengan tetap mempertimbangkan itikad baik dari pendirian bank sampah, dan sejenisnya bagi mayoritas masyarakat meskipun tidak bagi pemulung, maka penulis merasa perlu untuk mengkaji gejala sosial ini secara kritis dan memadai dengan merujuk kepada al-Quran dan hadis. Selain itu, penulis juga menganalisis dan mewacanakan sistem pemberdayaan pemulung di tengah arus popularitas bank sampah dan sejenisnya. Dengan demikian, para pemulung dapat merasakan realisasi peningkatan kesejahteraan yang selama ini telah diupayakan dengan memungut sampah yang kini semakin ‘langka’. Disosiasi dalam Dilarang Masuk!” “Pemulung Praktik ketidak-berpihakan terhadap pemulung sudah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia bahkan sebelum adanya legitimasi kebijakan bank sampah dan sejenisnya. Hal ini terungkap berdasarkan fakta interaksi sosial yang terjadi di antara masyarakat dengan kelompok pemulung. Dalam suatu lingkup sosial akan senantiasa dihasilkan dua jalur proses interaksi yaitu asosiasi dan disosiasi. Menurut Charles H Cooley, asosiasi merupakan sebuah proses interaksi yang melibatkan setiap orang dalam masyarakat menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingankepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut (Soekanto & Sulistyowati, 2012:66). Interaksi asosiatif ini dapat mendorong terjadinya beragam bentuk kerja sama, akomodasi, dan asimilasi antar individu, kelompok, bahkan komunitas yang lebih besar dalam masyarakat. Metode Kajian ini dilakukan dengan menggunakan desain grounded research. Nazir (dalam Prastowo, 2011:65) menyatakan bahwa grounded research merupakan suatu metode penellitian yang mendasarkan diri kepada fakta dan menggunakan analisis perbandingan yang bertujuan mengadakan generalisasi empiris, menetapkan konsep-konsep, membuktikan teori, dan mengembangkan teori ketika pengumpulan data dan analisis data berjalan pada waktu yang bersamaan. Disosiasi sebaliknya, merupakan proses interaksi yang menghasilkan oppositional traits and attitudes sehingga masing-masing orang akan bersaing, berkontravensi, dan berkonflik atau bertentangan satu dengan lainnya. Dalam berbagai riset, Indonesia tercatat sebagai sebuah negara yang sangat kental dengan nilai dan interaksi asosiatif. Muhadjir (dalam Prastowo, 2011:68) menambahkan bahwa metode grounded research lebih banyak memberi sumbangan pada 14 Dengan kata lain bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia bersifat kooperatif karena sistem nilai Indonesia lebih menghargai bentuk kerja sama ketimbang bentuk persaingan (disosiatif) sebagaimana yang terjadi di negara-negara Barat (Soekanto & Sulistyowati, 2012:82). ( )ﻋﺼﻤﺔyang berarti pegangan atau ikatan, dan disosiasi dalam lafadz ( )ﻓﺮﻗﺔyaitu percerai-beraian atau pemisahan. Ayat tersebut juga menganjurkan kepada setiap muslim untuk berasosiasi dan menyatukan visi dan misi sosial yang dapat menyelamatkan manusia dari api neraka. Sebaliknya, ayat tersebut memberi peringatan agar seorang muslim tidak memisahkan diri dan berdisosiasi terhadap muslim lainnya yang demikian dapat memicu permusuhan (persaingan) dan mendorong untuk berbuat hal yang mendekatkan kita pada neraka. Allah SWT mendeklarasikan konsep asosiasi dan disosiasi sosial dalam QS. Ali Imran ayat 103 yang berbunyi: Rujukan tentang apakah masyarakat Indonesia termasuk kelompok sosial yang asosiatif ataupun disosiatif berdasarkan riset tidak bisa dibenarkan begitu saja. Alasannya jelas karena setiap hasil riset hanya dibatasi oleh cakupan dan fokus tertentu sehingga tidak akan dapat memberi keputusan yang absolut. Walhasil, dalam beberapa aspek akan dapat disimpulkan bahwa fakta mendukung masyarakat Indonesia tergolongkan dalam kelompok sosial yang asosiatif. Namun, penulis telah mengungkap praktik disosiasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di kota X dalam slogan “Pemulung Dilarang Masuk!”. Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. Ayat asosiasi diatas dalam lafadz Instruksi preventif “Pemulung Dilarang Masuk!” ini tidak hanya ditemui di kota X tapi juga di beberapa lokasi hunian serta akses publik di Indonesia. Menurut keterangan warga/ sumber yang berada di sekitar lokasi yang terkait, slogan ini ditujukan untuk menuturkan 15 membatasi kehadiran pemulung di tempat yang dimaksud karena adanya oknum pemulung yang melakukan kriminalitas selain menjalankan tugas matapencahariannya. Hal ini tentu dapat diterima lantaran tidak ada seorang pun yang mau memperoleh kerugian sekecil apapun itu manakala ia merasa sudah menyediakan sumber sampah yang bermanfaat bagi pemulung. Pendapat yang lain menyatakan bahwa “Pemulung Dilarang Masuk!” adalah karena sudah tersedianya beberapa petugas resmi yang memungut sampah dan mengelola kebersihan lingkungan sekitar. Sehingga, dapat diterima jika para pemulung dibatasi akses masuknya pada lingkungan tertentu dengan alasan formasi struktur yang sudah mapan dan dikhawatirkan terjadi ketimpangan tugas antara petugas dan pemulung yang sedang beroperasi di lingkungan tersebut. Kriminalitas dapat terjadi dengan sengaja dan tidak sengaja. Kesengajaan yang dimaksud adalah ketika seseorang memang memiliki rencana dan tujuan untuk melakukan kriminalitas terhadap target atau obyek tertentu. Sedangkan ketidaksengajaan yang dimaksud adalah manakala seseorang melakukan tindakan kriminal karena adanya kesempatan yang minim resiko dan strategis, kesempatan untuk melindungi diri, atau karena paksaan pihak tertentu. Seorang pemulung yang menjadikan kegiatan memungut sampah sebagai kedok untuk mencuri barang berharga yang berada di sekitar rumah tertentu maka jelas ia termasuk oknum yang secara sengaja bertujuan merugikan orang lain. Namun, jika kegiatan mengambil barang di sekitar rumah tertentu adalah dengan asumsi bahwa barang tersebut sudah tidak lagi digunakan sehingga diterlantarkan begitu saja maka inilah yang mungkin bisa dikategorikan sebagai kriminalitas yang dilakukan dengan tidak sengaja. Tindak kriminal yang sering ditudingkan kepada oknum pemulung sesungguhnya tidak menjadi jaminan keamanan yang akan diperoleh warga jika menutup akses pemulung di area tinggalnya. Meminimalisir tindak kejahatan adalah mungkin, tapi apabila ditelaah kembali sesungguhnya slogan “Pemulung Dilarang Masuk!” ini akan semakin mengakumulasi pelaku kriminalitas yang lebih banyak dan beragam. Demikian juga adanya petugas yang resmi dari pemerintah ataupun dari manajemen area hunian tertentu tidak secara sederhana benar akan menciptakan overlapping tugas antara petugas dan pemulung. Hasil wawancara kepada dua pemulung purposive menghasilkan data bahwa 30% dari pemulung cenderung menyimpulkan bahwa barang-barang yang diterlantarkan oleh empunya adalah termasuk sampah yang berhak untuk dipungut. Namun, lebih dari itu, 70% lainnya menyangsikan status barang terlantar tersebut dan memilih hanya memungut sampah bernilai jual yang jelas berada di dalam atau dekat tempat sampah. Dengan demikian, maka dapat ditarik benang merah bahwa pihak-pihak yang melakukan tindak kriminal di sekitar rumah 16 yang dipungut sampahnya adalah tindakan oknum yang tidak bertanggungjawab dan hanya menjadikan aktifitas memulungnya sebagai tameng kejahatannya. Terlalu apatis juga jika kita memaksakan tudingan kriminalitas dilakukan oleh 30% pemulung jika pada kenyataannya mereka merasa mengambil barang yang sudah diterlantarkan karena sudah tidak berdaya-guna bagi pemiliknya. Masuk!” bukan merupakan alternatif yang proposional. Overlapping peran antara petugas yang ditentukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan pemulung juga bukan merupakan alasan yang kuat untuk menerapkan sistem disosiatif dalam “Pemulung Dilarang Masuk!”. Pasalnya, seorang petugas DKP berkewajiban mengangkut keseluruhan sampah dan menjaga kebersihan lingkungan. Sedangkan seorang pemulung hanya akan memilah sampah yang bernilai jual dan masih bisa didaur ulang. Maka, secara singkat dapat disimpulkan bahwa munculnya peraturan “Pemulung Dilarang Masuk!” dibuat oleh pemegang kebijakan dengan latar kondisi emosional yang menuduhkan terjadinya kriminalitas dilakukan oleh pemulung. Timbalbalik aturan tersebut tidak akan menghasilkan kebaikan sebagaimana yang diharapkan. Keputusan dan kebijakan yang tidak berkualitas seperti realitas slogan “Pemulung Dilarang Masuk!” sebenarnya hanya merupakan ekspresi emosional yang subyektif sehingga tidak dapat mengakomodir prinsip keadilan untuk semua pihak. Larangan memutuskan suatu perkara dalam keadaan emosi telah diperingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang berbunyi: Slogan “Pemulung Dilarang Masuk!” juga bukan merupakan solusi meminimalisir tindakan kriminal yang terjadi di area tertentu. Pasalnya, manakala seseorang yang sebelumnya bekerja sebagai pemulung dan kemudian dilarang memasuki beberapa kawasan tertentu yang kemudian semakin memperkecil pendapatan pemulung akan secara terpaksa menjadikan mereka pengangguran atau bahkan beralih profesi sebagai pelaku copet, gendam, dan sebagainya. Dalam sorot martabat bangsa, meningkatnya jumlah pengangguran dari kalangan mantan pemulung akan semakin menurunkan indeks pembangunan manusia Indonesia di mata dunia. Tentu ini sangat mempermalukan bangsa Indonesia yang diakui sangat kaya dengan sumber daya alam namun terpuruk dalam membangun warga negaranya sekalipun hanya dengan memberikan kesempatan kerja bagi pemulung. Bertambahnya jenis kejahatan yang dimotori oleh mantan pemulung akan dapat menciptakan suasana semakin tidak aman dan kacau di segala bidang. Dengan demikian, maka patut ditarik kesimpulan bahwa slogan dan kebijakan “Pemulung Dilarang ﻋﻦ اﺑﻰ ﺑﻜﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﯾﻘﻮل ﻻﯾﺤﻜﻢ أﺣﺪ ﺑﯿﻦ (اﺛﻨﯿﻦ وھﻮ ﻏﻀﺒﺎن )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ Artinya: Dari Abu Bakrah mengabarkan, saya mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda ”Seorang Hakim tidak boleh 17 memutuskan persengketaan diantara dua orang dalam keadaan marah”. ( HR. Bukhari-Muslim). batasan usia tertentu, mempunyai keahlian tertentu, dan mampu bekerja dalam durasi waktu tertentu ketika menjadi pemulung. Maka, berdasarkan deskripsi ini tentu profesi pemulung harusnya dapat menjadi trending kerja karena sangat mudah dilakukan dan hanya bermodal kemauan. Namun, di lapangan lebih banyak ditemukan orang-orang yang bekerja sebagai pengemis dan pengamen yang juga bisa dilakukan dengan sangat mudah dan tanpa modal dari pada menjadi pemulung yang lebih mandiri dan tidak berpangku tangan pada uluran orang lain. Perilaku Menyimpang Masyarakat Akibat Sampah Banking Dalam berbagai bidang pekerjaan, kompetensi dibutuhkan sebagai persyaratan mutlak yang harus dimiliki seseorang untuk bergabung dalam sebuah unit kerja. Di bidang kesehatan, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang tenaga kesehatan adalah pengetahuan tentang nutrisi, jenis penyakit, perawatan, pencegahan, dan penyembuhannya. Kompetensi tersebut tentu berbeda dengan kompetensi seorang guru yang dituntut untuk menjadi profesional dalam penguasaan materi, penyajian, penyampaian, evaluasi, serta peningkatan semangat belajar para murid. Begitu juga dengan tenaga kerja di bidang transportasi, mereka disyaratkan untuk lulus uji mengemudi dan harus banyak menguasai medan jalan raya. Seiring dengan berkembangnya zaman, berbagai inovasi pun dilakukan menuju ke arah efektifitas dan efisiensi daya. Kini, dengan hadirnya lembaga pengelola sampah seperti bank sampah, asuransi sampah, klinik sampah, dan sejenisnya menjadikan profesi “pemulung” lebih mudah dilakukan dan lebih banyak diminati. Alasannya, sekarang semakin banyak individu dari semua kalangan keluarga tertarik menjadi pemulung sampahnya sendiri dan menyetorkannya langsung ke lembaga pengelola sampah. Hal ini mereka lakukan tentu bukan dengan tanpa pamrih. Artinya, dengan menjadi nasabah yang intens melakukan setoran kepada bank sampah, misalnya, dapat merubah sampah menjadi nomina rupiah yang terus meningkat secara berkala dan dengan kesan yang sangat meringankan. Dengan semakin besarnya saldo yang berasal hanya dari hasil menyetor sampah yang memang tidak dibutuhkan lagi, Kompetensi juga harus dimiliki oleh seseorang yang memutuskan untuk menjadi pemulung. Namun, tentu syarat kompetensi untuk menjadi pemulung dapat dikategorikan sederhana. Untuk menjadi pemulung, seseorang hanya harus memiliki kemauan keras untuk menelusuri jalanan dan mencari sampah tertentu dengan keadaan bersih maupun kotor dan saat kehujanan ataupun kepanasan. Tidak ada persyaratan bahwa seseorang harus menempuh strata pendidikan tertentu, sedang dalam 18 seseorang akan memiliki hak yang lebih leluasa atas fasilitas kesehatan, pendidikan, pariwisata, dan sebagainya. memandang orang yang berada di bawah kemampuan kita dan jangan memandang orang yang berada di atas kita dalam sisi perolehan harta duniawi. Lebih dari pada itu, hadis tersebut mengimplikasikan nilai moral yang tinggi yaitu agar kita menengok dan peduli terhadap nasib orang yang berada di bawah kemampuan ekonomi kita. Kita tidak dianjurkan mengidam-idamkan kemewahan dan kemudahan fasilitas yang dimiliki orang-orang berkemampuan ekonomi di atas kita jika dikhawatirkan kelak kita akan melupakan nasib orang-orang berkemampuan ekonomi di bawah kita. Para pemulung sungguhan menyadari sepenuhnya bahwa program seperti sampah banking telah berhasil menarik minat masyarakat untuk mempedulikan sampah mereka masing-masing. Akan tetapi, di sisi lain program tersebut telah banyak mengurangi bahkan meniadakan ketersediaan sampah yang bisa mereka nominalkan untuk sesuap nasi. Beberapa pemulung sungguhan tetap memaksa untuk berangkat memulung setiap hari meskipun hasil yang didapat tidak setimpal. Sebagian yang lain mulai banyak beralih profesi menjadi pengemis, pencopet, dan sebagian lainnya sebagai tenaga serabutan. Melihat fenomena ini, maka sangat penting bagi kita untuk menyimak hadis Rasulullah berikut ini. Maka, berdasarkan hadis ini sebagai masyarakat yang memeluk agama Islam hendaknya kita dapat mengamati, merasakan, dan mempedulikan nasib para pemulung yang semakin tidak beruntung dengan program sampah banking. Sebaliknya, hendaknya kita dapat menyiasati bagaimana cara untuk tetap mengapresiasi dan berpartisipasi dalam program sampah banking namun tidak mengenyampingkan pemulung sungguhan sebagai kelompok sosial yang bermata-pencaharian dari sampah. Jika pada kenyataannya kita sulit mengamalkan dan bertindak sesuai dengan petunjuk hadis ini, maka sebenarnya kita telah berpaling dari Islam yang mengajarkan kepedulian dan berbagi dan menolak sikap acuh dan menang sendiri. ﻗﺎل رﺳﻮل:ﻋﻦ أﺑﻰ ھﺮﯾﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﻧﻈﺮوا اﻟﻰ ﻣﻦ ھﻮ أﺳﻔﻞ ﻓﮭﻮ أﺟﺪر، وﻻ ﺗﻨﻈﺮوا اﻟﻰ ﻣﻦ ھﻮ ﻓﻮﻗﻜﻢ،ﻣﻨﻜﻢ (أن ﻻ ﺗﺰدروا ﻧﻌﻤﺔ ﷲ ﻋﻠﯿﻜﻢ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ Artinya: Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Program sampah banking bisa menjadi sebab eksternal dari sikap acuh dan menang sendiri terhadap pemulung. Namun, secara Hadis di atas tidak sekedar memberi arahan agar kita 19 internal, kedua sikap tersebut merupakan indikasi terjangkitnya kita oleh penyakit hasud. Menurut Ibnu Hajar Al Asqolani (2002: 117) hasud adalah ﻟﺘﻤﻨﻲ ﺑﺰوال ﻧﻌﻤﺔ اﻟﻐﯿﺮ١ yaitu mengharapkan lenyapnya kenikmatan yang ada pada diri orang lain. Dengan kata lain, partisipasi kita yang tidak bijak dalam program sampah banking merupakan upaya mengharapkan lenyapnya kenikmatan yang selama ini diperoleh pemulung. Padahal, jika kita dapat berpartisipasi secara lebih bijak dan tidak memangkas peran pemulung dengan tetap mendermakan sebagian sampah kita maka sesungguhnya kita telah mensukseskan program sampah banking juga telah memperbaiki citra Islam sebagaimana yang Allah firmankan dalam hadis qudsi-Nya Hak Kesejahteraan bagi Pemulung Sampah Fakta disosiasi dan gejala masyarakat yang lebih berorientasi terhadap materi duniawi seperti yang telah diulas pada dua sub bahasan sebelumnya memaksa kita untuk memikirkan nasib pemulung selanjutnya. Masyarakat dan kelembagaan sampah banking tidak sepatutnya mem-PHK-kan para pemulung dan memperkaya diri sendiri dengan dalih gerakan peduli terhadap lingkungan. Bahkan hanya karena sampah yang merupakan sisa akhir dari pemakaian dan penggunaan konsumsi, kita kemudian harus menjadi manusia yang acuh terhadap nasib X yang dialami pemulung. Sikap acuh tersebut dapat menjadi sumber petaka dan bencana dari Allah sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al Isra’ ayat 16: ﻋﻦ أﻧﺲ وﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻗﺎل ﷲ ﺗﺒﺎرك وﺗﻌﺎﻟﻰ إن ھﺬا ٔ اﻟﺪﯾﻦ ارﺗﻀﯿﺘﮫ ﻟﻨﻔﺴﻲ وﻟﻦ ﯾﺼﻠﺤﮫ اﻻ الﲯ وﺣﺴﻦ اﻟﺨﻠﻖ ﻓﺄﻛﺮﻣﻮه ﺑﮭﻤﺎ ﻣﺎﺻﺤﺒﺘﻤﻮه )رواه اﻟﺮاﻓﻌﻲ ﻋﻦ أﻧﺲ واﺑﻦ ﻋﺪي واﻟﻌﻘﯿﻠﻲ واﻟﺨﺮاﺋﻄﻲ واﻟﺨﻄﯿﺐ واﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ واﻟﻘﻀﺎ َﻋﻲ (ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ Artinya: Dari Anas dan Jabir, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah agama yang aku ridloi untuk diriku. Tidak akan dapat membaguskan agamanya kecuali orang yang dermawan dan berbudi pekerti luhur, maka muliakanlah agama ini (Islam) dengan kedua hal itu, selama kamu memeluknya.” (diriwayatkan Imam Rafi’I dari Anas, Ibnu Adi, Al Aqili, Al Kharaith, Ibnu Asakir, dan Al Qudha’I dari Jabir). Artinya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orangorang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” 20 Ayat di atas mengandung fakta dan ancaman akan terjadinya kebinasaan ( )ھﻠﻚyang dipicu oleh perbuatan durhaka masyarakat yang hidup mewah di suatu daerah tertentu. Dalam kajian ini, tentu perbuatan durhaka dapat dicontohkan dengan sikap acuh kelompok masyarakat yang berkecukupan terhadap nasib pemulung. Terma ( )ھﻠﻚbukan sekedar mengimplikasikan kebinasaan geo-biofisik saja, tetapi juga bisa berupa kebinasaan ideologi, budaya, psikologi, ekonomi, politik, hukum, dan beragam aspek lainnya. adalah 11,47%. Artinya, terdapat sekitar 88,53% mutrafin yang sesungguhnya harus bertanggung jawab atas kesengsaraan yang diderita para pemulung akibat program sampah banking agar tidak terjadi kebinasaan di Indonesia. Imam Al Mahalli dan Imam As Suyuti (1999:229) menyatakan bahwa penggalan ayat ()ﻓﺴﻖ berarti perbuatan durhaka atau berpaling dari ketaatan yang dilakukan seseorang setelah mengetahui hukum dan kebenaran suatu hal tertentu. Kita semua mengetahui bahwa pemulung adalah kelompok sosial yang kurang beruntung secara ekonomi. Namun, kita semua telah berbuat fasik karena telah bersikap disosiatif terhadap pemulung dengan memasang slogan “Pemulung Dilarang Masuk!”. Begitu juga dengan sikap kita yang terlalu berorientasi mengakumulasikan rupiah di bank sampah dan sejenisnya tanpa mempedulikan nasib pemulung juga termasuk satu bentuk dari kefasikan. Selanjutnya lafadz dalam penggalan bunyi ayat atau orang-orang yang hidup mewah dan sebaliknya adalah orang-orang yang miskin. Quraish Shihab (2013:591) menerangkan bahwa orang yang miskin ialah orang yang tidak berharta benda, serba kekurangan atau berpenghasilan rendah. Dengan demikian, maka dalam konteks Indonesia adalah kalangan masyarakat yang tidak tergolong dalam kategori masyarakat miskin sesuai standar kebutuhan dasar pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor (http://www.bps.go.id). Data yang berhasil dikutip dari laman Badan Pusat Statistika Indonesia menyatakan bahwa garis kemiskinan di Indonesia adalah yang berpenghasilan per kapita Rp.308.826/bulan dengan hidup di perkotaan atau Rp.275.779/bulan dengan hidup di pedesaan. Presentase masyarakat miskin di Indonesia per September 2013 Suatu kebijakan pemerintah pasti bertujuan untuk memberikan kebaikan bagi masyarakat dan tidak fasik. Inisiatif bank sampah atau lembaga sejenisnya tentu bukan inovasi yang remeh dan memang sangat membantu masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan lingkungan, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Akan tetapi, secara struktural bank sampah atau lembaga sejenisnya ini hendaknya perlu meninjau kembali bagaimana memberdayakan pemulung yang 21 merupakan lakon inspiratif dalam mengelola sampah. regulasi untuk menunjuk pengurus kelompok binaan dari kalangan ketua RT/RW, guru/kepala sekolah, kepala/ dinas pasar, dan personalia perkantoran/hotel/perusahaan. Fakta ini sungguh semakin memperjelas ketimpangan sosial yang membuat kelompok mapan semakin mapan dan pemulung semakin tertindas. Oleh karena itu, sudah saatnya kita bersama menyadari dan memberi kesempatan kepada para pemulung untuk mampu menciptakan kerjasama yang baik dengan kelompok RT/RW, unit satuan pendidikan, kelompok pedagang pasar, dan kelompok pekerja kantor, hotel, serta perusahaan dalam menggalangkan disiplin peduli lingkungan dengan menabung sampah. Mengupayakan pemberdayaan pemulung di samping mengembangkan sisi positif program bank sampah sesungguhnya akan bermakna mencegah kefasikan seperti yang dimaksudkan dalam QS. Al Isra’ ayat 16. Pemberdayaan itu bisa dilakukan dengan pertama, mendaftar sampah yang disetorkan oleh pemulung dan memberikan harga yang jauh lebih tinggi dari harga yang diberlakukan terhadap setoran nasabah pada umumnya. Sistem ini tentu merupakan apresiasi yang setimpal bagi para pemulung karena mereka mengalami kendala yang lebih berat dalam mengumpulkan sampah yang semakin langka. Kesimpulan Alternatif kedua adalah dengan mengangkat para pemulung untuk menjadi tenaga kerja pada lembaga pengelola sampah. Sebagai tenaga kerja pemungut sampah door to door atas nama bank sampah, misalnya, akan secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan sosial dan finansial para pemulung. Secara sosial, alternatif ini juga akan memberi kesan status yang sangat berbeda dengan saat para pemulung mencari sampah dari satu rumah ke rumah lainnya tanpa uniformitas lembaga terkait. Pembahasan dalam kajian ini telah mencoba untuk mengungkapkan bahwa pemulung merupakan sebuah profesi yang sejak lama mendapatkan respon disosiatif dari masyarakat. Disosiasi tersebut terwujud dalam slogan “Pemulung Dilarang Masuk!” yang kerap kita jumpai di beberapa area. Tentu karena worldview yang disosiatif tersebut, kehadiran lembaga pengelola sampah yang menjanjikan eskalasi kesejahteraan bagi masyarakat walau hanya dengan menukarkan sampah kepada pihak lembaga semakin membuat pemulung tersisihkan. Masyarakat seakan tidak mengenal lagi anjuran dan arahan dalam ajaran Islam untuk menyikapi dan menanggulangi kemiskinan. Mereka hanya memanfaatkan program sampah banking untuk menambah pundi- Selain menjadi tenaga kerja pemungut sampah door to door, lembaga pengelola sampah dapat memperkerjakan pemulung sebagai penanggung jawab nasabah kolektif bank sampah atau kelompok binaan bank sampah. Selama ini, bank sampah atau sejenisnya memiliki 22 pundi kekayaan mereka saja tanpa mempedulikan nasib kelompok pemulung. Setoran sampah yang diberikan oleh rumah tangga mengurangi secara signifikan jumlah sampah yang bisa dipungut oleh pemulung. Kondisi ini semakin memperkuat gejala bahwa masyarakat saat ini tidak memiliki kepedulian kepada nasib pemulung yang notabene merupakan kelompok lapisan bawah. ------ 2002. Bulughul Maram. (Surabaya: Maktabah Syekh Salim bin Sa’ad Nabhan) Hasan, Syamsi. 2013. Hadis Qudsi: Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala Selain Al Qur’an. (Surabaya: Amelia Computindo). Mahalli, Jalaluddin, & Suyuti, Jalaluddin. 1999. Tafsir alQuran al Karim lil Imamain al Jalilain. (Surabaya: Daar an Nasyr al Misriyah) Oleh karena itu, kajian ini merekomendasikan agar masyarakat dapat menyadari sikap disosiatifnya, dan kemudian dapat memberikan inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pemulung. Dengan kehadiran lembaga pengelola sampah bukan menjadi penghalang untuk tetap berderma kepada pemulung melalui sampah yang merupakan sumber penghidupan mereka. Bagi awak lembaga pengelola sampah, hendaknya dapat memberikan peluang kerja sebanyak-banyak bagi para pemulung. Dengan demikian, eskalasi kesejahteraan sosial sebagaimana yang dituju oleh lembaga pengelola sampah dapat tercapai dan dirasakan oleh semua kalangan termasuk oleh para pemulung. Mujib, A, & Mudzakir, J. 2001. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press. Salinan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, Dan Recycle Melalui Bank Sampah. Shihab, M. Quraish. 2013. Wawasan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan) Soekanto, S, & Sulistyowati, B. 2013. Sosiologi: Suatu Pengantar. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada). Suparmoko. 2012. Ekonomika Sumber Daya Alam dan Lingkungan. (Yogyakarta: BPFE). REFERENSI Alqur’an dan Terjemahnya. 2012. Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia. Suparmoko, & Suparmoko, MR. 2000. Ekonomika Lingkungan. (Yogyakarta: BPFE). Asqalani, Ibnu Hajar. 2002. Nashaihul Ibad Terjemah I.Solihin. (Jakarta: Pustaka Amani) www.bps.go.id 23