BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi nematoda usus khususnya yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminthiasis) merupakan penyakit cacing yang sering terjadi di negara tropis dan berkembang, di mana keadaan sanitasi dan kebersihan lingkungan kurang memadai (Brooker et al., 2006). Di antara nematoda usus yang menjadi masalah kesehatan adalah Ascaris lumbricoides. Pada tahun 2005 dilaporkan bahwa lebih dari 1,2 milyar populasi penduduk dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides. Jumlah ini hampir setara dengan 25 % penduduk dunia (Bethony et al., 2006). Askariasis merupakan penyakit yang kosmopolit di Indonesia. Beberapa penelitian epidemiologi askariasis telah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Delapan puluh empat persen anak usia 1-9 tahun ditemukan terinfeksi oleh Ascaris lumbricoides di Provinsi Kalimantan Barat (Waris dan Rahayu, 2009). Demikian juga Mardiana dan Djarismawati (2005) yang melakukan penelitian terhadap anak SD di Jakarta mendapatkan prevalensi askariasis sebesar 70 – 80%. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2007 di Kabupaten Tegal juga menunjukkan data sebanyak 40,3% anak SD terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides (Endriani et al., 2011). Infeksi Ascaris lumbricoides menimbulkan dampak kerugian dan komplikasi serius yang membutuhkan perhatian lebih. Larva cacing ini dapat 1 2 menyebabkan infiltrat pada pulmo dan eosinofili pada pembuluh darah perifer ketika larva bermigrasi melewati paru-paru (Sakai et al., 2006). Infeksi dari cacing dewasa, dimana kebanyakan mendiami jejunum dan ileum, biasanya menimbulkan manifestasi klinis berupa mual, muntah, anoreksia, nyeri periumbilikal menetap dan malnutrisi. Komplikasi paling berbahaya dari infeksi terjadi ketika jumlah cacing terbanyak berada di lumen usus, sehingga menyebabkan obstruksi dan perforasi usus (Das et al., 2007). Oleh karena manifestasi yang cukup serius ini, maka diperlukan terapi askariasis yang efektif dan efisien. Beberapa obat antihelmintik yang digunakan sebagai drug of choice penyakit askariasis adalah pirantel pamoat dan mebendazol. Akan tetapi, kebanyakan dari obat-obat cacing sintetik ini menimbulkan efek samping berupa gangguan saluran pencernaan seperti sakit perut dan diare serta dikontraindiasikan pada wanita hamil karena memiliki efek teratogen (Tjay dan Rahardja, 2007). Selain itu, masyarakat juga belum banyak menggunakan obat cacing secara periodik karena harganya yang cukup mahal (Mali dan Mehta, 2008). Oleh karena itu, perlu dicari bahan lain sebagai alternatif untuk pengobatan askariasis. Bahan alternatif tersebut dipilih dari bahan alami berupa tanaman obat sehingga diharapkan mempunyai efek samping yang lebih sedikit dari obat-obat kimiawi serta terjangkau oleh masyarakat. Salah satu tanaman obat yang dapat dipertimbangkan sebagai antihelmintik adalah daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.). Tanaman katuk merupakan herbal liar yang tumbuh secara kosmopolit pada berbagai 3 ketinggian sehingga mudah dan murah untuk didapat serta dibudayakan. Berdasarkan skrining fitokimia yang telah dilakukan, daun katuk mengandung senyawa steroid, tanin, saponin, alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan fenol (Selvi dan Basker, 2012). Tanin memiliki efek antihelmintik secara in vitro maupun in vivo di dalam tubuh kambing dan domba (Novobilsky et al., 2011). Tanin dapat mengikat protein bebas pada saluran pencernaan cacing (Hoste et al., 2006) atau glikoprotein pada kutikula cacing sehingga mengganggu fungsi fisiologis seperti motilitas, penyerapan nutrisi dan reproduksi (Githiori et al., 2006). Sedangkan, saponin memiliki efek menghambat kerja enzim kolinesterase (Chastity et al., 2015). Berbagai penelitian tentang pemanfaatan daun katuk telah banyak dilakukan. Namun, khasiat daun katuk sebagai antihelmintik belum banyak diketahui. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Razali et al. (2014) menyatakan bahwa pemberian ekstrak etanol daun katuk mampu menurunkan jumlah telur nematoda gastrointestinal pada ternak kambing secara in vivo lebih baik dibandingkan dengan pemberian ekstrak air daun katuk. Hal inilah yang menarik penulis untuk melakukan penelitian menggunakan ekstrak etanol daun katuk yang diharapkan mampu menarik senyawa yang lebih baik. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan jenis nematoda yang berbeda yaitu Ascaris suum Goeze yang didapatkan dari usus halus babi dan dilakukan uji penelitian dengan metode in vitro. 4 B. Perumusan Masalah Apakah ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgunus (L.) Merr.) memiliki efek antihelmintik terhadap mortalitas Ascaris suum Goeze in vitro? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antihelmintik ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgunus (L.) Merr.) terhadap mortalitas Ascaris suum Goeze in vitro. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) terhadap mortalitas Ascaris suum Goeze in vitro. 2. Manfaat Aplikatif Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan di bidang farmasi untuk penelitian lebih lanjut sebagai obat alternatif penyakit askariasis yang murah serta mudah didapat.