jurnal ilmiah - perpustakaan udur

advertisement
ISSN 1907-3046
JURNAL ILMIAH
PANNMED
(Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwifery, Environment, Dentist)
VOL. 6, NO. 1, MEI – AGUSTUS 2011
TERBIT TIGA KALI SETAHUN (PERIODE JANUARI, MEI, SEPTEMBER)
Penanggung Jawab:
Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes.
Redaktur:
Riyanto Suprawihadi, SKM, M.Kes.
Penyunting Editor:
Drg. Ngena Ria, M.Kes.
Nelson Tanjung, SKM, M.Kes
Desain Grafis & Fotografer:
Yusrawati Hasibuan, SKM, M.Kes.
Dra. Safrida, MS
Hamdan Syah Alam, S.Kom.
Sekretariat:
Drg. Herlinawati Daulay, M.Kes.
Sri Utami, SST, S.Pd, M.Kes.
Mardan Ginting, S.Si, M.Kes.
Rina Doriana Pasaribu, SKM
Susi Adrianelly, SKM
Alamat Redaksi:
Jl. Let Jend Jamin Ginting KM 13.5
Kelurahan Laucih Kec. Medan Tuntungan
Telp: 061-8368633
Fax: 061-8368644
DAFTAR ISI
Editorial
Analisis Faktor Penyebab Ketergantungan
Pemakaian Narkoba Pada Penderita di Panti
Rehabilitasi Sibolangit Tahun 2010 oleh Mardan
Ginting, Zuraidah Nasution, Ngena Ria ........... 1–6
Perilaku Masyarakat (Pemilik Anjing) terhadap
Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan
Tuntungan Kota Medan Tahun 2010 oleh
Suprapto, Irma Erlina, Nelson Tanjung.......... 7–14
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Ketidaklengkapan Imunisasi Tetanus Toxoid
(TT) Pada Ibu Hamil di Desa Klumpang
Kampung
Kecamatan
Hamparan Perak
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 oleh
Rina Doriana Pasaribu ................................. 15–20
Pengetahuan dan Persepsi Bidan terhadap
Stigma dan Diskriminasi pada Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) di Kota Medan Tahun 2010
oleh Bebaskita br Ginting, Samsider Sitorus,
Efendi Sianturi ............................................. 21–26
Analisa Jenis Leukosit Pada Penderita
Tuberculosis Paru di Balai Laboratorium
Kesehatan Medan oleh Azhar Johan dan
Nelma .......................................................... 27–31
Gambaran Pola Pencarian Pelayanan Kesehatan
Pada Masa Kehamilan, Persalinan dan Nifas Ibu
Melahirkan di Kabupaten Simalungun Tahun
2010 oleh Yusliana Nainggolan, Dame Evalina
Simangunsong, dan Risnawati Tanjung ....... 32–45
Faktor–Faktor yang Berhubungan Dalam
Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui di
Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun
2010 oleh Susy Adrianelly Simaremare ....... 46–52
Pengaruh Perbaikan Postur Kerja Dalam Upaya
Pencegahan Terjadinya Nyeri Punggung Bawah
Pada Perawat di Instalasi Perawatan Intensif
Dewasa RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun
2010 oleh Netty Panjaitan, Mariaty Silalahi, dan
Ch. Ready Sitorus ....................................... 53–59
i
Hubungan Antara Faktor Pengetahuan dan Sikap
Pus terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi di
Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan
Sumbul Kabupaten Dairi oleh Masrah dan
Rosmayani Silitonga .................................. 60–64
Hubungan Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan
yang Mengandung Sukrosa dengan OHI-S pada
Siswa Siswi Kelas X A SMA Pencawan Medan
Tuntungan Tahun 2010 oleh Netty Jojor
Aritonang ..................................................... 65–68
Perbedaan Prevalensi Karies pada Murid Kelas
III SDN 101816 Pancur Batu dengan SDN
060868 Krakatau Medan yang Memiliki UKGS
Tahun 2011 oleh Rawati Siregar .................. 69–72
Hubungan Penggunaan Baby Walker dengan
Kecepatan Bayi Berjalan di Kelurahan Cengkeh
Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010 oleh
Elizawarda .................................................... 73–78
Gambaran Pengetahuan Remaja tentang
Bahaya Perokok Pasif di SMA Sri Langkat
Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011
oleh Fatmasari dan Ismajadi ....................... 79–83
Pengaruh Promosi Kesehatan tentang Bahaya
Merokok oleh Peer Educator terhadap
Perubahan Perilaku Merokok pada Remaja
oleh Marina br Karo, Makmur Jaya Meliala,
dan Maju Sembiring.................................... 84–87
Efektivitas Ekstrak Daun Mindi (Melia
azedarach L.) Dalam Membunuh Nyamuk Culex
oleh Haesti Sembiring .................................. 88–94
Efek Ekstrak Herba Pegagan (Centellae herba)
Terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia
coli oleh Nelson Tanjung ................................... 95-98
Hubungan Citra Tubuh dengan Aktifitas Fisik dan
Asupan Energi Siswa SMP yang obes dan tidak
Obes di Kota Lubuk Pakam oleh Ginta Siahaan,
Novriani Tarigan, Harifin Togap Sinaga ..... 99-106
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal PANNMED merupakan salah satu wadah untuk menampung hasil penelitian Dosen Politeknik
Kemenkes Medan.
Jurnal PANNMED Edisi Mei – Agustus 2011 Vol. 6 No. 1 yang terbit kali ini menerbitkan sebanyak 17
Judul Penelitian.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Direktur atas supportnya sehingga Jurnal ini dapat terbit
2. Dosen-dosen yang telah mengirimkan tulisan hasil penelitiannya dan semoga dengan terbitnya jurnal
ini dapat memberi semangat kepada dosen yang lain untuk berkreasi menulis hasil penelitian sehingga
bisa diterbitkan ke Jurnal Pannmed ini.
Akhir kata, kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar jurnal ini dapat menjadi jurnal yang
berkualitas seperti harapan kita bersama.
Redaksi
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KETERGANTUNGAN
PEMAKAIAN NARKOBA PADA PENDERITA DI PANTI REHABILITASI
SIBOLANGIT TAHUN 2010
Mardan Ginting, Zuraidah Nasution, Ngena Ria
Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan
Abstrak
Penggunaan Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lain (NAPZA) atau yang lebih dikenal dengan
istilah NARKOBA (Narkotika dan Obat-obat berbahaya) kini semakin menjadi dilema dan telah mencapai
proporsi yang meresahkan. Pemakaian Narkoba telah menyentuh semua elemen masyarakat, yang paling
mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa kalangan pelajar maupun mahasiswa yang merupakan generasi
penerus bangsa telah menjadi korban ketergantungan Narkoba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor penyebab ketergantungan pemakaian Narkoba pada penderita di Panti Rehabilitasi. Metodologi
penelitian menggunakan rancangan cross sectional untuk mengetahui faktor penyebab ketergantungan
pemakaian Narkoba pada penderita dilakukan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner sebagai
panduan wawancara. Teknik pengambilan sampel dengan total sampling yang dilakukan pada seluruh
penderita di Panti Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit yang dapat dan telah diperbolehkan untuk dilakukan
wawancara berjumlah 39 orang. Dari hasil penelitian karakteristik pengguna narkoba yang mengikuti
program rehabilitasi persentase tertinggi pada kelompok umur 22-38 tahun yaitu 76.9%. Persentase
pendidikan responden lebih banyak dengan pendidikan perguruan tinggi (23.1%) dan pekerjaan terutama
pelajar/ mahasiswa (33.3%). Faktor-faktor penyebab ketergantungan narkoba yang paling dominan adalah :
faktor individu, terutama seluruh responden mempunyai kebiasaan merokok (100%), faktor keluarga,
terutama disebabkan karena responden selalu memiliki uang yang lebih/ banyak (92.3%) dan selalu terjadi
konflik dalam keluarga (82.1%), faktor teman/ lingkungan, terutama karena diajak/ dirayu oleh teman
(66.7%), faktor ketidaktahuan, terutama karena coba-coba (82.1%) dan untuk mendapatkan perasaan tenang
dan gembira (82.1%). Penyalahgunaan narkoba akan memberikan pengaruh yang dianggap menyenangkan
bagi pemakai, namun hanyalah bersifat sementara karena kebutuhan menggunakan sulit dihentikan dan
menimbulkan efek ketergantungan, bila tidak menggunakan akan menimbulkan penderitaan fisik maupun
jiwa pemakai. Penyalahgunaan narkoba menimbulkan efek terhadap kesehatan dikarenakan narkoba
memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat juga daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual
(kebiasaan) yang sangat tinggi sehingga bila seseorang sudah memulai menggunakan akan sulit untuk
melepas dan menjadi ketergantungan.
Kata kunci : Penyebab Ketergantungan, Pemakaian Narkoba
PENDAHULUAN
Penggunaan Narkotika, Alkohol, Psikotropika
dan Zat Adiktif lain (NAPZA) atau yang lebih dikenal
dengan istilah NARKOBA (Narkotika dan Obat-obat
berbahaya) kini semakin menjadi dilema dan telah
mencapai proporsi yang meresahkan. Pemakaian narkoba
telah menyentuh semua elemen masyarakat, yang paling
mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa kalangan
pelajar maupun mahasiswa yang merupakan generasi
penerus bangsa telah menjadi korban ketergantungan
narkoba. Tahun 1997, Indonesia sudah termasuk salah satu
negara yang menjadi sasaran utama peredaran dan berada
pada daftar negara-negara yang tingkat peredarannya
sangat tinggi. Cepatnya peredaran narkoba, baik di dunia
maupun di Indonesia sangat menggiurkan orang untuk
terlibat menjadi pengedar karena dapat mendatangkan
untung yang besar. Oleh karena itu gencarnya peredaran
sangat sulit dibendung. Dalam jangka waktu 30 tahun,
jumlah pemakai naik 150 kali lipat. Pada tahun 1970
jumlah pemakai Narkoba diperkirakan 130.000 orang dan
pada akhir tahun 2000, jumlahnya menjadi lebih dari 2 juta
orang.
Pemakaian narkoba telah mempengaruhi
pelbagai kelompok umur dan golongan penduduk. Banyak
hal yang telah dilakukan dalam memerangi narkoba
khususnya di Indonesia, namun peredaran dan korbannya
semakin bertambah yang meliputi semua tahapan umur
(anak, remaja, dewasa) dan meluas ke semua sektor
lingkungan kehidupan (individu, keluarga, sekolah dan
masyarakat), bahkan tidak mengenal tingkat sosio
ekonomi, sehingga banyak menimbulkan implikasi yang
tidak diinginkan di masyarakat seperti merusak hubungan
kekeluargaan,
menurunkan
kemampuan
belajar,
menurunkan produktivitas kerja yang menyebabkan karir
hancur, ketidakmampuan membedakan hal yang baik atau
1
buruk, perilaku anti sosial, gangguan kesehatan secara fisik
maupun mental, mempertinggi angka kriminalitas dan
kecelakaan lalu lintas bahkan mengakibatkan kematian.
Terjadinya perubahan gaya hidup yang didukung
dengan semakin meluasnya perdagangan narkoba,
memungkinkan seseorang terlibat ketergantungan narkoba.
Ketergantungan ini merupakan kondisi yang diakibatkan
karena penyalahgunaan pemakaian dengan dosis yang
berlebihan. Setiap tanggal 26 Juni telah ditetapkan dan
diperingati sebagai Hari Anti Narkoba Internasional
dengan salah satu kegiatannya kampanye anti narkoba
secala luas, tetapi khususnya di Indonesia jumlah pemakai
terus meningkat. Fenomena penyalahgunaan narkoba
bagaikan gunung es yang tampak di permukaan lebih kecil
dibandingkan dengan yang tidak tampak. Menurut data
dari Badan Narkotika Nasional (BNN) jumlah pemakai
narkoba di Indonesia tahun 2009 telah mencapai 3,6 juta
orang yang diantaranya 1,1 juta orang adalah golongan
pelajar. Untuk daearah Sumatera Utara diperoleh data
bahwa 60% pemakai narkoba adalah usia sekolah 6-25
tahun. Penyalahgunaan narkoba setiap saat mengancam
lewat rayuan, bujukan, ajakan maupun paksaan. Usaha
untuk mengatasi permasalahan penyalahgunaan narkoba
merupakan hal yang tidak mudah dilakukan.
Jalur distribusi narkoba ke dan dari Indonesia
memperlihatkan sebuah jaringan peredaran gelap yang
semakin meluas. Peredaran bukan lagi sebagai daerah
transit, tetapi sudah merupakan daerah tujuan dan produksi.
Upaya pencegahan meluasnya pemakaian narkoba sudah
menjadi target pemerintah. Beberapa langkah yang telah
ditempuh untuk merangkul dan mencegah pemakaian
telah dilakukan, mulai dari pedekatan individu/ kelompok
pelajar dan mahasiswa, peningkatan peran orang tua dalam
mengawasi perkembangan perilaku anak, peran sekolah/
guru yang mengontrol prestasi belajar dan kedisiplinan
siswa, peran masyarakat, peran aparat penegak hukum/
kepolisian dan pihak lain yang dapat menyentuh berbagai
kalangan yang memungkinkan dapat mencegah
penyalahgunaan narkoba.
Dari beberapa kepustakaan, pecandu narkoba
memiliki berbagai alasan yang menjadi penyebab
penyalahgunaan. Secara umum, situasi rumah dan
kebersamaan yang kurang harmonis dalam keluarga ikut
berpengaruh. Sebagai kompensasi, suasana rumah yang
dianggap tidak menjadi tempat yang aman baginya, korban
mencari kesenangan sendiri di luar rumah. Selain itu,
pecandu juga mengaku terjebak narkoba karena faktor
teman agar dapat diterima dalam lingkungan pergaulan.
Secara sekilas, penyalahgunaan narkoba memang
memberikan pengaruh yang menyenangkan bagi si
pemakai. Namun, kesenangan itu hanya bersifat sesaat dan
sementara. Seolah-olah hidup penuh kesenangan
dan kebahagiaan, tetapi kenyataannya pemakai akan
terjebak dalam ketergantungan dan sulit untuk
menghentikannya dan menimbulkan penderitaan fisik
maupun jiwa dan berpengaruh buruk bagi si pemakai
dalam pendidikan/ pekerjaan, keluarga maupun
masyarakat.
2
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah survey rancangan
cross sectional yang bersifat deskriptif untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan faktor penyebab
ketergantungan pemakaian narkoba pada Penderita di Panti
Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Tahun 2010. Populasi
berjumlah 51 orang dengan sampel penelitian berjumlah
39 orang, dikarenakan beberapa
penghuni panti
rehabilitasi masih belum dapat diajak berkomunikasi
secara normal dan belum diizinkan oleh pihak panti untuk
ikut sebagai responden.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang
diberikan kepada penghuni panti rehabilitasi. Hasil
kuesioner yang telah diisi, dianalisis peneliti untuk
mengetahui faktor-faktor penyebab ketergantungan
narkoba, kemudian data disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Karakteristik Penderita di Panti Rehabilitasi Al
Kamal Sibolangit
Tabel 1.
Distribusi Karakteristik Penderita di Panti
Rehabilitasi Sibolangit
Karakteristik Responden
1. Jenis Kelamin
- Laki-laki
- Perempuan
2. Umur
- 17 – 21 tahun
- 22 – 38 tahun
- 39 – 53 tahun
3. Pendidikan
- SD
- SMP
- SMU
- Akademi
- Perguruan Tinggi
4. Pekerjaan
- Tidak bekerja
- Pelajar/ Mahasiswa
- Wiraswasta
- Supir
- Pegawai Negeri/ ABRI
- Pegawai Swasta
N
(orang)
Persentase
(%)
39
0
100
0
3
30
6
7.7
76.9
15.4
5
4
4
2
9
12.9
10.3
10.3
5.1
23.1
4
13
11
1
4
6
10.3
33.3
28.2
2.6
10.3
15.3
Dari Tabel 1 Karakteristik pengguna narkoba
yang mengikuti program rehabilitasi dilihat dari jenis
kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan. Pada penelitian
ini seluruh responden dengan jenis kelamin laki-laki. Panti
rehabilitasi Al Kamal pada mulanya memang menerima
penderita dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan,
tetapi pada kenyataannya yang datang mengikuti program
rehabilitasi seluruhnya jenis kelamin laki-laki. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1990) diperoleh
bahwa pengguna narkoba terutama adalah berjenis kelamin
laki-laki (90%). Pada penelitian ini dari 39 orang
responden, persentase tertinggi pada kelompok umur 22-38
tahun yaitu 76.9%. Persentase pendidikan responden lebih
banyak dengan pendidikan perguruan tinggi (23.1%) dan
pekerjaan terutama pelajar/ mahasiswa (33.3%). Dari hasil
penelitian diperoleh bahwa pengguna narkoba lebih
bervariasi dan telah meluas pada berbagai golongan usia,
jenjang pendidikan dan pekerjaan, bahkan yang menjadi
korban selain pejabat dan eksekutif juga dari Pegawai
Negeri/ ABRI, wiraswasta dan terutama pada kalangan
pelajar/ mahasiswa. Menurut Roesli Thaib (2003), dari
800.000-2.000.000 populasi Indonesia
terutama
masyarakat usia produktif telah terjerat oleh
ketergantungan narkoba yang tersebar pada berbagai
tingkat sosio ekonomi sehingga banyak menimbulkan
implikasi negatif, antara lain kriminalitas, kerugian
ekonomi dan pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan
hasil penelitian Badan Koordinasi Narakoba Daerah
(BKND) Jawa Barat, hampir 90% yang menjadi korban
dan sasaran pengedar narkoba adalah remaja. Remaja
memang rentan terhadap bujukan dan rayuan para
pengedar narkoba. Sifat remaja yang dinamis, enerjik dan
cenderung
suka
mengambil
resiko,
seringkali
dimanfaatkan sehingga terjerumus tindakan kriminalitas.
Gambaran Distribusi Pengalaman Penderita dalam
Penyalahgunaan Narkoba
Pada Tabel 2 terlihat pengguna narkoba yang
mengikuti program rehabilitasi lebih banyak menyatakan
bahwa relatif masih belum lama (kurang dari satu tahun)
menggunakan narkoba yaitu 35.9%. Dari hasil penelitian,
seluruh responden menyatakan bila menggunakan narkoba
akan timbul perasaan bahagia dan bersemangat, demikian
sebaliknya bila tidak mengkonsumsi narkoba akan merasa
kelelahan, mual/ muntah, kedinginan/ menggigil, sakit
kepala dan tidak bisa tidur. Dalam bidang kedokteran,
jenis narkotika bila digunakan dengan baik dan benar dapat
menyembuhkan banyak penyakit dan
mengakhiri
penderitaan pasien, seperti sebagai obat bius pada kasus
pembedahan, obat bagi penderita gangguan jiwa maupun
penderita stres, sebagai pereda rasa sakit dan masih
banyak kasus yang lain. Pada kenyataannya saat ini
pemakaian narkotika, psikotropika maupun bahan adiktif
lainnya menjadi berkonotasi negatif dan disalahgunakan.
Pemakaian narkoba jenis narkotika memiliki daya adiksi
(ketagihan) yang sangat berat dengan daya toleran
(penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat
tinggi. Dari ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan
pengguna narkoba sangat sulit untuk lepas dari
ketergantungan.
Tabel 2. Gambaran Distribusi Pengalaman Penderita
dalam Penyalahgunaan Narkoba di Panti
Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit
Pengalaman Penderita Panti Rehabilitasi
Jumlah dan Persentase
N
Persentase
(%)
1. Lama/ waktu telah menggunakan narkoba
- < 1 tahun
- 1 tahun
- 1 – 5 tahun
- 6 – 10 tahun
- 11 – 15 tahun
- 16 – 20 tahun
- > 22 tahun
14
3
5
8
7
1
1
35.9
7.7
12.8
20.5
17.9
2.6
2.6
2.
Hal yang dirasakan setelah menggunakan
narkoba : gembira dan bersemangat
39
100
3.
Hal yang dirasakan bila tidak
menggunakan narkoba : kelelahan, mual/
muntah, kedinginan/ menggigil, sakit
kepala, tidak bisa tidur
39
100
Faktor-faktor Penyebab Ketergantungan Pemakaian Narkoba
Tabel 3. Faktor Individu sebagai Penyebab Ketergantungan Pemakaian Narkoba pada Penderita di Panti Rehabilitasi Al
Kamal Sibolangit
No.
Penyebab Ketergantungan Narkoba
N
Persentase
1.
Mempunyai kebiasaan merokok
39
100
2.
Mempunyai kebiasaan minum alkohol
23
59
3.
Suka kebebasan
26
66.7
4.
Suka mencari perhatian/ sensasi dengan orang lain
23
59
5.
Mempunyai hubungan yang tidak harmonis (mempunyai masalah)
23
59
dengan orang lain
6.
Selama mengikuti pendidikan (saat masih sekolah/ kuliah) selalu
30
76.9
berusaha mendapat nilai baik dan bersungguh-sungguh
7.
Dalam melakukan pekerjaan/ kegiatan yang telah menjadi tanggung
31
79.5
jawab, selalu berusaha melakukannya dengan baik
8.
Rajin beribadah
12
30.8
3
Dari Tabel 3 diperoleh hasil penelitian yang
menunjukkan adanya profil karakter individu yang
cenderung untuk menjadi pengguna narkoba yaitu
mempunyai kebiasaan merokok, suka minum alkohol, suka
kebebasan dan suka mencari sensasi/ perhatian orang lain
dan memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan orang
lain. Dari data dapat dilihat, seluruh penderita mempunyai
kebiasaan merokok (100%). Menurut Subagyo
Partodiharjo (2007) proses menjadi pecandu hanya
bermula dari kebiasaan merokok. Rokok disebutkan
sebagai jembatan emas menuju narkoba. Dari hasil
penelitian diperoleh lebih dari separuh responden (59%)
adalah peminum alkohol. Sebagian besar masyarakat
tentunya telah memahami bahwa efek alkohol secara
medis dapat menimbulkan dampak yang negatif. Efek
alkohol selain menyebabkan ketagihan juga dapat
menimbulkan gangguan fungsi berfikir, berperasaan dan
berperilaku. Sifat adiktif alkohol tanpa disadari orang yang
meminumnya akan menambah takaran/ dosis sampai pada
dosis intoksikasi (mabuk). Majelis Ulama Indonesia (MUI)
telah mengeluarkan fatwa bahwa setetes alkohol saja
dalam minuman hukumnya sudah haram tetapi
kenyataannya masih banyak juga terjebak dengan
kebiasaan minum alkohol. Dari data juga terlihat bahwa
59% responden mempunyai hubungan yang tidak
harmonis (bermasalah) dengan orang lain. Adanya
hubungan (interaksi) dan masalah dengan orang lain
tentunya akan menjadi beban bagi seseorang. Subagyo
Partodiharjo (2007) menyatakan bahwa bila seseorang
mempunyai hubungan yang tidak harmonis (masalah)
dengan orang lain dapat menimbulkan rasa kesal dan
kecewa yang pada akhirnya orang tersebut akan mencari
pelampiasan. Dalam hal ini responden menyatakan dengan
menggunakan narkoba dapat menyebabkan fikiran menjadi
tenang dan timbul rasa damai.
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa
pengguna narkoba bervariasi, bukan saja berasal dari
individu yang berantakan, tetapi juga pada individu yang
kualitas tanggungjawab baik, terlihat bahwa lebih dari
separuh responden berasal dari individu yang bersungguhsungguh dalam pendidikan maupun pekerjaan yang telah
menjadi tanggungjawabnya. Dari hasil penelitian diperoleh
hanya 30.8% responden menyatakan rajin beribadah.
Moore (1990) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa
orang yang tidak mempunyai komitmen agama akan
beresiko 4 kali lebih besar terlibat dalam penyalahgunaan
dan ketergantungan narkoba. Demikian juga untuk
rehabilitasi bagi penderita yang menggunakan narkoba,
dari penelitian yang dilakukan Cancerellaro (1982) terapi
keagamaan (bersandar pada Tuhan) membawa hasil yang
jauh lebih baik dari pada terapi medik-psikiatrik.
Pada Tabel 4 terlihat lebih dari separuh
responden mengalami hubungan yang tidak harmonis
dengan orang tua/ keluarga. Lingkungan keluarga yang
tidak baik menempati urutan pertama sebagai penyebab
anak terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Latar
belakang keluarga yang tidak kondusif yaitu tidak adanya
interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga menjadi
alasan anak untuk mencari kompensasi ketenangan di luar
rumah dengan melakukan hal-hal yang negatif termasuk
menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Hawari (2009)
menyatakan bahwa adanya hubungan/ komunikasi yang
buruk antara anak dengan orang tua dapat disebabkan
karena orang tua/ keluarga yang terlalu sibuk sehingga
akan menimbulkan kesalahpahaman. Kurangnya rasa
kasih sayang akibat kesibukan orang tua/ keluarga dengan
pekerjaan maupun kegiatannya masing-masing menjadi
peluang seseorang mencari pelarian dengan cara
menggunakan narkoba. Selain itu orang tua juga sering
berpendapat dengan memberikan uang yang lebih sudah
dianggap memberi perhatian, padahal karena diketahui
anak/ seseorang yang mempunyai uang lebih akan menjadi
incaran pengedar narkoba yang memungkinkan untuk
menjadi konsumen/ pemakai tetap. Menurut Nugroho
Djajoesman (1999), konflik horizontal dalam keluarga
terjadi karena orang tua yang kurang bijaksana dalam
menghadapi anak sehingga anak merasa kurang mendapat
perhatian, merasa tidak dihargai dan disudutkan. Konflik
dalam keluarga dapat mendorong anggota keluarga merasa
frustrasi sehingga terjebak memilih narkoba sebagai solusi.
Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa ada 25.9%
responden menggunakan narkoba didorong karena meniru
anggota keluarga yang telah lebih dahulu menggunakan.
Menurut Anggadewi Moesono (2003), resiko menjadi
pengguna narkoba terutama adalah karena modelling atau
mencontoh orang tua atau anggota keluarga yang
menggunakan narkoba.
Erwin Pohe (2002) menyatakan untuk mencegah
bahaya narkoba dimulai dengan hidup dalam kedamaian
yang harmonis serta membangun kerohanian dalam
keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan
seorang anak untuk dapat tumbuh secara benar dan sesuai
dengan ajaran agama.
Tabel 4. Faktor Keluarga sebagai Penyebab Ketergantungan Pemakaian Narkoba pada Penderita di Panti Rehabilitasi Al
Kamal Sibolangit
No.
Penyebab Ketergantungan Narkoba
N
Persentase
1.
Kurang mendapat perhatian/ kasih sayang dari orang tua/ anggota keluarga 29
74.4
2.
Merasa tidak dihargai/ selalu dianggap salah di keluarga
27
69.2
3.
Sikap orang tua/ anggota keluarga selalu menekan dan menyudutkan
21
53.8
4.
Dalam keluarga (orang tua/ keluarga) selalu sibuk.
31
79.5
5.
Sering terjadi konflik/ pertengkaran dalam keluarga
32
82.1
6.
Selalu memiliki uang dalam jumlah yang lebih/ banyak
36
92.3
7.
Komunikasi antar anggota keluarga baik
8
20.5
8.
Ada anggota keluarga yang menggunakan narkoba
10
25.6
4
Tabel 5. Faktor Teman/ Lingkungan Pergaulan sebagai Penyebab Ketergantungan Pemakaian Narkoba pada Penderita di
Panti Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Penyebab Ketergantungan Narkoba
N
Persentase
Menggunakan narkoba diajak/ dibujuk rayu teman
Menggunakan narkoba karena meniru teman
Menggunakan narkoba agar dapat diterima dalam kelompok pergaulan
Menggunakan narkoba karena rasa setiakawan/ senasib sepenanggungan
Menggunakan narkoba karena ingin dianggap lebih hebat/ lebih dewasa dibanding
teman
Menggunakan narkoba karena dipaksa teman/ dengan ancaman
Menggunakan narkoba diawali karena dijebak teman (melalui makanan/ minuman,
permen, dll yang mengandung narkoba)
Memakai narkoba karena mudah mendapatkannya
26
20
22
21
11
66.7
51.3
56.4
53.8
28.2
6
11
15.4
28.2
25
64.1
Pada Tabel 5 terlihat lebih dari separuh
responden menggunakan narkoba karena diajak/ dibujuk
teman, meniru teman, agar diterima dalam kelompok
pergaulan dan karena rasa kesetiakawanan/ senasib
sepenanggungan. Joan Rais (1983) menyatakan adanya
kondisi lingkungan global merupakan hal yang tersulit
dalam daur kehidupan. Menurut Anggadewi Moesono
(2003), faktor teman merupakan predictor yang paling kuat
bagi pengguna narkoba. Seseorang akan mudah tergelincir
pada kegagalan hidup, bila berada pada lingkungan
pergaulan yang negatif. Terutama pada kaum remaja,
rentannya kondisi kepribadian dan emosi yang labil sangat
berpotensi untuk mudah dipengaruhi oleh orang lain.
Banyaknya jumlah pengguna narkoba di kalangan remaja
Indonesia perlu ditangani secara serius oleh seluruh lapisan
masyarakat untuk menghindari The Lost Generation
(generasi yang hilang). Sejak tahun1980 Presiden Reagen
di Amerika Serikat
telah menciptakan strategi
penangkalan secara intensif dengan kampanye Just Say No.
Reagen menyatakan dengan menciptakan suatu norma
menentang pengguna narkoba merupakan salah satu cara
yang jitu untuk mencegah meluasnya penyalahgunaan
narkoba. Dari hasil penelitian, 64.1% responden
menyatakan
memakai
narkoba
karena
mudah
mendapatkannya. Dalam kenyataanya sindikat pengedar
narkoba memiliki strategi marketing yang berkembang dari
waktu ke waktu.
Saat ini setiap pelosok negeri telah terjamah oleh
para pengedar sehingga jumlah pemakai terus bertambah.
Pada Tabel 5 diketahui 82.1% menggunakan
narkoba diawali karena faktor ketidaktahuan sehingga
ingin coba-coba. Kalau narkoba berakibat buruk, mengapa
penggunanya terus meningkat? Juga, kalau narkoba
berbahaya mengapa orang tidak takut mengonsumsinya?
Responden menyatakan sebelumnya belum memahami
dampak negatif yang ditimbulkan akibat pemakaian. Dasar
dari seluruh alasan penyebab penyalahgunaan narkoba
adalah
ketidaktahuan.
Ketidaktahuan
tersebut
dimungkinkan akibat sosialisasi tentang penggunaan
narkoba yang belum tersebar secara meluas. Menurut
Nugroho Djajoesman (1999) motif ingin tahu
mengakibatkan seseorang mencoba sesuatau yang belum
atau kurang diketahui dampak negatifnya. Responden
menyatakan menggunakan narkoba
karena ingin
mengetahui rasa
dan membuktikan kenikmatannya
(71.8%), mendapatkan perasaan tenang dan gembira
(82.1%), mempunyai semangat dan enerjik (69.2%) dan
ingin tampil prima dan percaya diri (51.3%). Responden
menyatakan sebelumnya tidak mengetahui kenikmatan
yang diperoleh dari menggunakan narkoba hanya
kenikmatan sesaat dan menimbulkan khayalan yang
membuat orang terbelenggu dalam keinginan untuk terus
merasakan kenikmatan dan akhirnya tidak dapat terlepas
dari ketagihan. Selain itu sebagian besar dari responden
(69.2%) beralasan menggunakan narkoba karena ingin
menghilangkan stres/ frustrasi/ tekanan batin, untuk
menghalau rasa sakit pada anggota tubuh
(51.3%)
dan dianggap sebagai cara mudah melangsingkan tubuh
(20.5%). Pengedar narkoba sangat pandai memasarkan
narkoba. Bujukan dengan menawarkan narkoba sebagai
food supplement dan pil sehat menyebabkan orang tergiur
untuk menggunakannya. Penyalahgunaan narkoba bagi
kalangan tertentu terutama para artis maupun ibu rumah
tangga yang berbadan gemuk narkoba digunakan untuk
melangsingkan tubuh.
Penggunaan
narkoba pada
umumnya dapat menghilangkan nafsu makan, sekaligus
karena lebih bersemangat dan menambah aktivitas fisik
sehingga dapat menurunkan berat badan, dalam hal ini
pemakai memikirkan efek yang ditimbulkan.
KESIMPULAN
1. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa faktor-faktor
penyebab
ketergantungan narkoba yang paling
dominan adalah :
- Faktor Individu, terutama seluruh responden
mempunyai kebiasaan merokok (100%)
- Faktor Keluarga, terutama disebabkan karena
responden selalu memiliki uang yang lebih/ banyak
(92.3%) dan selalu terjadi konflik dalam keluarga
(82.1%).
- Faktor Teman/ lingkungan, terutama karena diajak/
dirayu oleh teman (66.7%)
- Faktor Ketidaktahuan, terutama karena coba-coba
(82.1%) dan untuk mendapatkan perasaan tenang
dan gembira (82.1%).
2. Penyalahgunaan narkoba akan memberikan pengaruh
yang dianggap menyenangkan bagi pemakai, namun
5
kesenangan itu hanyalah bersifat sementara karena
kebutuhan menggunakan sulit dihentikan dan
menimbulkan efek ketergantungan; bila tidak
menggunakan akan menimbulkan penderitaan fisik
maupun jiwa pemakai.
3. Untuk mencegah penyebaran dan peningkatan jumlah
pengguna narkoba dibutuhkan peran serta seluruh
lapisan, yang dimulai dari diri sendiri, orang tua,
lingkungan sekolah, aparat pemerintah, tokoh
masyarakat dan pemuka agama.
4. Penyalahgunaan narkoba menimbulkan efek buruk
terhadap kesehatan seseorang dikarenakan narkoba
memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat
juga daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual
(kebiasaan) yang sangat tinggi sehingga bila seseorang
sudah memulai menggunakan akan sulit untuk melepas
dan menjadi ketergantungan. Satu-satunya cara agar
tidak terjerumus dalam narkoba adalah dengan cara
jangan pernah mencoba menggunakan narkoba.
pengawasan terhadap siswa dengan melaksanakan
peraturan dan tata tertib sekolah secara konsisten. Guru
diharapkan selain mendidik juga mengamati dan
mengawasi perilaku, prestasi dan perkembangan siswa
agar siswa tidak terjerumus dalam penyalahgunaan
narkoba.
4. Bagi masyarakat, diharapkan peranannya dalam
mencegah meluasnya penggunaan narkoba dengan
melaporkan ke pihak barwajib bila dilingkungannya
diketahui terjadi penyalahgunaan narkoba. Tokoh
masyarakat/ organisasi pemuda sedapat mungkin
merangkul pemuda/ remaja untuk melakukan kegiatankegiatan yang positif.
5. Untuk keluarga yang anggota keluarganya terlibat
penyalahgunaan narkoba dituntut kerjasamanya untuk
bisa menerima keberadaan penderita narkoba dan
mendukung upaya kesembuhan dari ketergantungan
melalui rehabilitasi.
KEPUSTAKAAN
SARAN
1. Agar para orang tua senantiasa mengawasi
perkembangan perilaku anak dan meningkatkan
komunikasi, perhatian juga kasih sayang dengan
menciptakan hubungan yang harmonis dalam keluarga,
terlebih lagi orang tua hendaknya mengajak dan
mendidik anak untuk menguatkan spiritual keagamaan.
2. Kepada pemerintah
a. Agar dapat memutus mata rantai jaringan dan
peredaran narkoba agar tidak semakain meluas
korban yang terkena. Hendaknya lebih ditingkatkan
pengawasan terhadap tempat-tempat yang
memungkinkan dilakukannya transaksi jual beli
narkoba.
b. Hendaknya pemerintah lebih memfasilitasi upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba
melalui
kegiatan promotif dan pereventif dengan
melakukan pelatihan, dialog interaktif, kampanye
anti narkoba maupun penyuluhan tentang
pengenalan terhadap masalah narkoba pada
kelompok masyarakat agar masyarakat mengetahui
seluk beluk narkoba sehingga tidak tertarik untuk
menggunakannya.
3. Peran sekolah sangat mendukung pencegahan
penyalahgunaan
narkoba.
Sangat
diharapkan
6
Hadiman. 2003. Peran Lingkungan Pendidikan dan
Masyarakat dalam Pencegahan Bahaya Madat.
FK UI. Jakarta
Hawari, Dadang. 2003. Terapi Psikoreligius Pada
Penderita NAZA.FK UI Jakarta
________, 2009. Penyalahgunaan dan Ketergantungan
NAZA. Edisi Kedua. FK UI. Jakarta
Hikmat, Mahi. 2007. Awas Narkoba, Para Remaja
Waspadalah. PT. Grafitri Bandung
Moesono, Anggadewi. 2003. Peran Keluarga dan
Masyarakat sebagai Penangkal Penyalahgunaan
Narkoba. FK UI. Jakarta
Partodiharjo, Subagyo. 2007. Kenali Narkoba dan Musuhi
Penyalahgunaannya. PT. Gelora Aksara Pratama.
Jakarta
Sarwono. 2003. Psikologi Remaja. PT Raja Grapindo.
Jakarta
Sofyan S.2005. Remaja dan Masalahnya. Alfabeta.
Bandung
Sudirman.
2003.
Rehabilitasi
Klinik
Korban
Penyalahgunaan NAPZA. FK UI. Jakarta
Visimedia. 2006. Rehabilitasi bagi Korban Narkoba.
Praninta Offset. Jakarta
PERILAKU MASYARAKAT (PEMILIK ANJING) TERHADAP
PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI KECAMATAN TUNTUNGAN
KOTA MEDAN TAHUN 2010
Suprapto, Irma Erlina, Nelson Tanjung
Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Rabies adalah termasuk salah satu jenis penyakit yang berbahaya dan mematikan. Selama ini sudah banyak
orang dewasa dan anak-anak yang meninggal terkena virus rabies akibat digigit binatang piaraan. Binatang
yang sering menjadi penyebab penular penyakit rabies ( HPR ) adalah anjing. Menurut laporan dari Dinas
Kesehatan Kota Medan tahun 2008 kasus penyakit rabies tertinggi di Kecamatan Medan Tuntungan
sebanyak 63 kasus. Jenis penelitian ini adalah penelitian diskriptif (Survey) dengan Cross Sectional
Research. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, Sikap dan Tindakan masyarakat
(pemilik anjing) terhadap pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun
2010. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemilik anjing di Kecamatan Medan Tuntungan tahun
2010 sebanyak 156 kepala keluarga; sampel diambil sebanyak 40 % dari populasi yaitu 63 kepala keluarga
(diambil secara acak random sampling sederhana). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
Questioner dan observasi. Pengolahan data dilakukan dengan cara teknik manual, data disajikan dalam
bentuk tabel frekuensi. Analisa data dilakukan secara deskriptif. Hasil dari penelitian ini diperoleh perilaku,
tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat (pemilik anjing) adalah buruk terhadap pencegahan
penyakit rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan tahun 2010. Disarankan perlu penelitian
lanjutan untuk wilayah Kota/Kabupaten yang tinggi kasus gigitan hewan penular Rabies (HPR), Perlu
Petugas Puskesmas dan Dinas Peternakan Kecamatan bekerja sama melakukan penyuluhan tentang penyakit
Rabies dan pencegahannya sekali sebulan, Pihak Kelurahan harus menginformasikan kepada pemilik anjing
agar setiap tahun memvaksinasi rabies anjing peliharaannya ke Dinas Peternakan/ Dokter hewan
Kata kunci: Rabies, Pencegahan
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Kasus Rabies di Indonesia pertama kali
dilaporkan oleh Esser pada tahun 1884 pada seekor kerbau,
kemudian oleh Penning tahun 1889 pada seekor anjing,
sedangka kasus pada manusia dilaporkan oleh E.V. de Han
tahun 1894 semua kasus ini terjadi di Provinsi Jawa Barat.
Selama pendudukan Jepang situasi daerah tertular tidak
diketahui, namun setelah Perang Dunia II peta Rabies di
Indonesia berubah. Secara kronologis tahun kejadian
penyakit Rabies berturut-turut terjadi di Jawa Barat (1948),
Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953),
Sumatera Utara (1959), DI. Aceh (1970), Jambi dan
Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi
Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975),
Kalimantan Tengah (1979), Kalimantan Selatan (1983)
dan Flores (1998).
(Departemen Pertanian, 1982).
Masalah penyakit rabies di daerah Propinsi
Sumatera Utara dari tahun ketahun sampai tahun 2007
ditemukan 1.936 kasus gigitan dimana 1.456 kasus
diberikan VAR (virus anti rabies) dan 5 kasus dinyatakan
positif. Kelima kasus tersebut ditemukan di Kabupaten
Deli Serdang, Simalungun, Tapanuli Utara masing-masing
1 kasus dan Kabupaten Dairi sebanyak 2 kasus. Bila
dibandingkan dengan tahun 2006, kasus gigitan anjing di
Sumatera Utara ini sudah ada penurunan, namun jika
diteruskan dengan melihat data pada tahun 2008 terjadi
kenaikan lagi jumlah gigitan anjing sebanyak 2.634 kasus,
2.040 kasus telah diberikan VAR dan 7 kasus dinyatakan
positif. Dari 7 kasus tersebut ditemukan semuanya di Kota
Medan, lalu bila dilihat pada data tahun 2009, terhitung
sampai bulan September tercatat ada 1.660 kasus gigitan
anjing dan 1.117 kasus telah diberikan VAR dan 26 kasus
dinyatakan positif, dari 26 kasus tersebut 11 kasus berasal
dari kota Medan dan 5 kasus dari Kabupaten Samosir dan
1 kasus dari Kabupaten Langkat ( Profil Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2009).
Menurut laporan Dinas Kesehatan Kota Medan
Tahun 2008 kasus penyakit rabies tertinggi di Kecamatan
Medan Tuntungan sebanyak 63 kasus, di Kecamatan
Amplas sebanyak 45 kasus dan Kecamatan Hevetia
sebanyak 40 kasus. Peningkatan kasus penyakit rabies
kalau ditelusuri memang dapat disebabkan oleh banyak
faktor antara lain adanya peningkatan jumlah populasi
anjing, masih rendahnya kesadaran para pemiliknya untuk
7
menjaga kesehatan hewan piaraannya dan belum
terbinanya system kewaspadaan penyakit rabies di wilayah
kecamatan. Untuk mengantisipasi berkembangnya
penyakit rabies ini, ada beberapa langkah yang dapat
ditempuh dalam rangka untuk meningkatkan peran serta
aktif masyarakat untuk pencegahan dan penanggulangan
penyakit rabies. Berdasarkan latar belakang ini maka
penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “ Perilaku
masyarakat ( pemilik anjing ) terhadap pencegahan
penyakit rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota
Medan Tahun 2010 “
2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang temui
pada bab pendahuluan, maka dapat dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut : ” Bagaimana Perilaku
Masyarakat (pemilik anjing) terhadap pencegahan penyakit
Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan
Tahun 2010 ”
3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Perilaku Masyarakat (pemilik
anjing) terhadap pencegahan penyakit Rabies di
Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pemilik
anjing terhadap Pencegahan penyakit Rabies di
Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun
2010.
2. Untuk mengetahui tingkat sikap masyarakat
pemilik anjing terhadap pencegahan penyakit
Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota
Medan Tahun 2010.
3. Untuk mengetahui tingkat tindakan masyarakat
pemilik anjing terhadap pencegahan penyakit
Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota
Medan Tahun 2010.
4. Manfaat penelitian
a. Bagi Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan Kota
Medan atau instansi terkait, penelitian ini dapat
dijadikan sebagai masukan untuk menyusun
langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan
Rabies.
b. Bagi masyarakat khususnya pemilik anjing dapat
mengetahui
dan
melaksanakan
cara-cara
pencegahan dan penanggulangan penyakit Rabies.
c. Bagi
pembaca
untuk
meningkatkan
pengetahuan tentang penyakit Rabies, dan caracara pencegahan dan penanggulangannya.
B. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat Survei ( Diskriptif ) yaitu
hanya melihat gambaran perilaku masyarakat (pemilik
8
anjing) terhadap pencegahan penyakit Rabies di
Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010.
2. Desain Penelitian
Adapun desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Cross Sectional
yaitu
hanya
meneliti/melihat
keadaan
pada
saat
dilakukan
penyebaran Questioner di lokasi penelitian.
3. Populasi dan Sampel
a.. Populasi dalam penelitian ini adalah : seluruh kepala
keluarga
yang memelihara anjing berdomisili di
Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun
2010 sebanyak 157 kepala keluarga.
b. Sampel dalam penelitian diambil sebanyak 63
orang kepala keluarga pemilik anjing (40 % dari
populasi) (Arikunto,S, 2002).
Penentuan sampel menggunakan cara simple
random sampling dengan pembagian proporsional
berdasarkan data kasus gigitan anjing (laporan Dinkes
Kota Medan Tahun 2009) di Kecamatan Medan
Tuntungan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
Kel. Simpang Selayang
: 13 KK
Kel. Kemenangan Tani
: 10 KK
Kel. Tanjung Selamet
: 10 KK
Kel. Mangga
: 20 KK
Kel. Simalingkar B
: 10 KK
----------------------------------------------------Total
: 63 KK.
4. Analisa data
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara manual.
Penyajian data dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi dan analisis data dilakukan dengan cara diskriptif
dengan menggunakan teori-teori yang berhubungan
dengan permasalahan yang ditemukan.
.
5. Kerangka Konsep
Variabelbebas
Variabel terikat
Perilaku Masy.
(Pemilik-Anjing)
- Pengetahuan
- Sikap
- Tindakan
Pencegahan
Penyakit
Rabies
6. Definisi Operasional
a. Perilaku masyarakat (pemililik anjing)adalah gambaran
pengetahuan,sikap dan tindakan pemilik
anjing
terhadap pencegahan penyakit Rabies.
b. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui
kepala keluarga pemilik anjing terhadap Penyakit
Rabies dan Pencegahaan penyakit Rabies.
c. Sikap adalah respon atau tanggapan kepala keluarga
pemilik anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies.
d. Tindakan adalah upaya yang dilakukan kepala keluarga
pemilik anjing dalam memelihara, mengandangkan,
memberi makan, memvaksinasi, menjaga kebersihan
anjing dan mencegah penularan Rabies dari anjing
yang dipelihara.
e. Pencegahan penyakit Rabies adalah segala tindakan
yang dilakukan kepala keluarga pemilik anjing untuk
mencegah terjadinya gigitan anjing peliharaan terhadap
penularan penyakit Rabies kepada manusia.
7. Aspek Pengukuran :
a. Untuk menilai Pengetahuan.
1. Tingkat Pengetahuan Baik jika mendapat
total nilai skor : >75% -100%
2. Tingkat Pengetahuan Sedang jika
mendapat total nilai skor : 60 % - 75 %
3. Tingkat Pengetahuan Buruk jika men
dapat total nilai skor : < 60 %
Cara menilai jawaban aspek pengetahuan adalah
sebagai berikut :
Jumlah pertanyaan ada sebanyak 10 (sepuluh ) soal
dengan 4 option jawaban (a, b, c dan d)
Jika menjawab a diberi nilai = 1
Jika menjawab b diberi nilai = 2
Jika menjawab c diberi nilai = 3
Jika menjawab d diberi nilai = 0
b. Untuk menilai Sikap.
1. Sikap Baik jika mendapat total nilai
skor : >75% - 100%
2. Sikap Sedang mendapat total nilai
skor : 60 % - 75 %
3. Sikap Buruk jika mendapat total nilai
skor : < 60 %
Cara menilai jawaban aspek Sikap adalah sebagai
berikut :
Jumlah pertanyaan ada sebanyak 10 (sepuluh) soal
dengan 4 pilihan jawaban (TS, KS, S dan S)
Jika menjawab TS diberi nilai = 0
Jika menjawab KS diberi nilai = 1
Jika menjawab S diberi nilai = 2
Jika menjawab SS diberi nilai = 3
c. Untuk menilai Tindakan
1. Tindakan Baik jika mendapat total nilai
skor : >75% -100%
2. Tindakan Sedang jika mendapat total
nilai skor : 60% - 75 %
3. Tindakan Buruk jika mendapat total
nilai skor : < 60 % (Arikunto,S,2002)
Cara menilai jawaban aspek Tindakan adalah sebagai
berikut :
Jumlah pertanyaan ada sebanyak 5 (lima ) soal dengan
4 option jawaban ( a, b, c dan d )
Jika menjawab a diberi nilai = 1
Jika menjawab b diberi nilai = 2
Jika menjawab c diberi nilai = 3
Jika menjawab d diberi nilai = 0
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
1.1. Data Geografis
Luas wilayah Kecamatan Medan Tuntungan adalah : 21,58
Km2.
Wilayah Kecamatan terletak 12 m diatas permukaan air
laut.
Batas wilayah Kecamatan Medan Tuntungan adalah :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan
Selayang dan Johor
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli
Serdang.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli
Serdang.
Jarak wilayah Kecamatan Medan Tuntungan ke kota
Medan : 18 Km.
Kecamatan Medan Tuntungan terdiri dari 9 kelurahan
yaitu :
1. Kelurahan Baru Ladang Bambu
2. Kelurahan Sidomulyo
3. Kelurahan Laucih
4. Kelurahan Namu Gajah
5. Kelurahan Kemenangan Tani
6. Kelurahan Simalingkar B
7. Kelurahan Simpang Selayang.
8. Kelurahan Tanjung Selamat.
9. Kelurahan Mangga.
1.2. Data Demografi.
1.2.1. Jumlah penduduk
Jumlah penduduk di Kecamatan Medan
Tuntungan pada tahun 2009 dapat dilihat pada tabel
diabawah ini :
Tabel 1. Jlh Penduduk Kecamatan Medan Tuntungan
Menurut Jenis Kelamin Berdasarkan Kelurahan
Pada Tahun 2009
Jenis kelamin
Jlh
Lk
Pr
1.
Baru Ladang Bambu
1483
1308
2791
2.
Sidomulyo
707
920
1627
3.
Lau Cih
777
744
1521
4.
Namu Gajah
786
813
1599
5.
Kemenangan Tani
1627
1715
3342
6.
Simalingkar B
2176
2365
4541
7.
Simpang Selayang
7580
7550
15130
8.
Tanjung Selamat
4533
4563
9096
9.
Mangga
14042
15202
29244
Jumlah
33711
35180
68891
(Sumber : Kantor Kecamatan Medan Tuntungan, Tahun 2010 ).
No.
Kelurahan
9
1.2.2. Mata Pencaharian
Tabel 2. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut
Kelurahan di Kecamatan Medan Tuntungan
Tahun 2009
No. Kelurahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Mata Pencaharian
PNS Swasta ABRI Petani Pedagang
Baru Ladang Bambu 106 619
16
26
Sidomulyo
42
215
15
24
Lau Cih
39
87
15
54
67
Nam u Gajah
79
357
6
27
45
Kemenangan Tani 664 305
18
89
411
Simalingkar B
59
207
13
1727 62
Simpang Selayang 714 2156 19
630
95
Tanjung Selamat
398 1867 296 37
679
Mangga
1688 2016 192 24
705
Jumlah
3789 7832 590 2588 2114
Pensiu
nan
10
13
49
31
37
69
118
327
Wira
swasta
160
149
200
459
319
108
118
167
1680
(Sumber : Kantor Kecamatan Medan Tuntungan, Tahun 2010).
2. Hasil Penelitian
2.1.Jenis kelamin
Jenis kelamin kepala keluarga pemilik anjing
yang diteliti sebagai responden adalah dapat dilihat pada
tabel 3 diabawah ini.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi jenis kelamin kepala
keluarga pemilik anjing di Kecamatan Medan
Tuntungan Tahun 2010
No.
Jenis Kelamin
Jumlah
%
1.
Laki-Laki
52
82,54
2.
Perempuan
11
17,46
Jumlah
63
100,00
Pada Tabel 3 diatas terlihat bahwa jenis kelamin lakilaki yang paling banyak pada kepala keluarga pemilik
anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 yaitu
52 kepala keluarga ( 82,54 % )
2.2. Umur
Umur Kepala Keluarga Pemilik Anjing yang diteliti
sebagai responden untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel dibawah ini.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Kepala
Keluarga Pemilik Anjing di Kecamatan Medan
Tuntungan Tahun 2010
No. Kelompok Umur Jumlah
%
1.
21 – 30
2
3,20
2.
31 – 40
18
28,60
3.
41 – 50
23
36,50
4.
51 – 60
14
22,20
5.
61 – 70
6
9,50
Jumlah
63
100,00
Berdasarkan pada Tabel 4 diatas, terlihat bahwa
kelompok umur kepala
keluarga pemilik anjing di
Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 yang terbanyak
pada kelompok umur 41 – 50 tahun yaitu 23 KK ( 36,50
% ).
2.3. Pendidikan
Pendidikan Kepala Keluarga pemilik anjing yang
menjadi responden dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini
10
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Kepala
Keluarga Pemilik Anjing di Kecamatan Medan
Tuntungan Tahun 2010
No.
Tingkat
Jumlah
%
Pendidikan
1.
Tidak Tamat SD
2.
Tamat SD
6
9,50
3.
Tamat SLTP
2
3,20
4.
Tamat SLTA
29
46,00
5.
Akademi / PT
26
41,30
Jumlah
63
100,00
Berdasarkan pada Tabel 5 diatas, terlihat bahwa tingkat
pendidikan Kepala Keluarga pemilik anjing di Kecamatan
Medan Tuntungan Tahun 2010 yang terbanyak adalah
SLTAsebanyak 29 KK ( 46,00% ), dan yang terendah adalah
Tamat SLTP sebanyak 2 KK ( 3,20 % ).
2.4. Pendapatan / Penghasilan
Pendapatan / Penghasilan Kepala Keluarga Pemilik Anjing
yang ditelitisebagai responden dapat dilihat padaTabel 6
dibawah ini :
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Penghasilan Kepala
Keluarga Pemilik Anjing di Kecamatan Medan
Tuntungan Tahun 2010
No.
1.
2.
3.
Penghasilan / Bln (Rp) Jlh
%
< 965.000,2
3,20
965,000 s-d 1.500.000,- 24 38,10
> 1.500.000,37 58,70
Jumlah
63 100,00
Jumlah
2
24
37
63
%
3,20
38,10
58,70
100,00
Berdasarkan Tabel 6 diatas, terlihat bahwa
penghasilan Kepala Keluarga Pemilik Anjing di
Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 terbanyak
berpenghasilan > Rp. 1,500,000,- sebanyak 37 KK (58,70
%)
2.5. Pekerjaan
Pekerjaan Kepala Keluarga Pemilik Anjing yang
diteliti sebagai Responden dapat dilihat pada Tabel 7
dibawah ini:
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Kepala Keluarga
Pemilik Anjing di Kecamatan Medan Tuntungan
Tahun 2010.
No.
Pekerjaan
Jumlah
%
1. PNS / ABRI
14
22,20
2. Pegawai Swasta
7
11,10
3. Petani
7
11,10
4. Wiraswasta
33
52,40
5. Pensiunan
2
3,20
Jumlah
63
100,00
Berdasarkan Tabel 7 diatas, terlihat bahwa
pekerjaan
Kepala
Keluarga Pemilik Anjing di
Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 terbanyak
adalah Wiraswasta sebanyak 33 KK (52,40 % ), dan yang
terendah adalah Pegawai Swasta dan Petani sebanyak
7KK ( 11,10 % ).
2.6. Pengetahuan
Pengetahuan Kepala Keluarga pemilik anjing
terhadap
pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan
Medan Tuntungan Tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 8
dibawah ini :
Tabel 8.
No.
1.
2.
3.
Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan
Pemilik Anjing terhadap pencegahan Penyakit
Rabies di Kecamatan MedanTuntungan Tahun
2010
Tingkat Pengetahuan
Jlh
%
Baik
18
28,57
Sedang
18
28,57
Buruk
27
42,86
Jumlah
63
100,00
Berdasarkan Tabel 8 diatas, terlihat bahwa
Tingkat Pengetahuan Kepala Keluarga Pemilik Anjing
terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan
Medan Tuntungan Tahun 2010 adalah Buruk sebanyak
27 KK ( 42,86 % ).
2.7. Sikap
Sikap Kepala Keluarga pemilik anjing
terhadap pencegahan
penyakit Rabies di Kecamatan
Medan Tuntungan Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 9
di bawah ini :
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Tingkat Sikap Pemilik
Anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di
Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010
No. Tingkat Sikap
Jumlah
%
1.
Baik
3
4,76
2.
Sedang
20
31,75
3.
Buruk
40
63,49
Jumlah
63
100,00
Berdasarkan Tabel 9 diatas, terlihat bahwa
Tingkat Sikap Kepala Keluarga Pemilik Anjing
terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan
Medan Tuntungan Tahun 2010 terbanyak adalah Buruk
sebanyak 40 KK (63,49 %).
2.8. Tindakan
Tindakan Kepala Keluarga pemilik anjing
terhadap pencegahan
penyakit Rabies di Kecamatan
Medan Tuntungan Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 10
di bawah ini :
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Tingkat Tindakan Pemilik
Anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di
Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010
No. Tingkat Tindakan
Jumlah
%
1.
Baik
0
0
2.
Sedang
6
9,52
3.
Buruk
57
90,48
Jumlah
63
100,00
Berdasarkan Tabel 10 diatas, terlihat bahwa
Tingkat Tindakan Kepala Keluarga Pemilik Anjing
terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan
Medan Tuntungan Tahun 2010 terbanyak adalah Buruk
sebanyak 57 KK (90,48 %).
3. Pembahasan
Dalam rangka merubah pegetahuan, sikap dan
tindakan individu, kelompok dan masyarakat perlu adanya
intervensi atau tindakan-tindakan yang dapat memberi
dampak besar terhadap perubahan perilkau, disamping
dapat diterima dan layak dilaksanakan oleh masyarakat
sebagai suatu kegiatan yang berhasil guna dan berdaya
guna.
3.1. Pengetahuan Responden Terhadap Pencegahan
Penyakit Rabies.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari
pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Tingkat pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003)
didalam domain kognitif (pengetahuan) mempunyai 6
(enam) tingkatan yaitu : (1) Tahu, (2) Memahami
(3)Aplikasi, (4)Analisis, (5) Sintesis, (6) Evaluasi.
Pengetahuan responden tentang pencegahan
penyakit Rabies adalah untuk mengetahui sejauh mana
responden mengetahui tentang adanya penyakit Rabies,
dan sampai sejauhmana responden mengetahui cara-cara
pencegahannya sehingga penyakit tersebut dapat dihindari.
Penanggulangan dapat dilakukan dengan cara
pencegahan dan pemberantasan hewan penular rabies
(HPR) dengan melakukan vaksinasi terhadap anjing,
kucing, kera, mengurangi jumlah populasi anjing liar atau
anjing tak bertuan dengan jalan pembunuhan dan
pencegahan
perkembangbiakan,
menangkap
dan
melaksanakan observasi hewan yang menggigit orang
selama 10 – 14 hari.
Terhadap hewan yang mati selama observasi atau
yang dibunuh, harus diambil specimen untuk dikirimkan
ke laboratorium terdekat untuk didiagnosis. Mengawasi
dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan
sebangsanya; membunuh atau mengurung selama 4
(empat) bulan anjing, kucing penderita Rabies; menanam
hewan yang mati karena Rabies sekurang-kurangnya 1
(satu) meter atau dibakar dan melarang keras pembuangan
bangkai.
Hasil penelitian pada tabel 9 menunjukkan bahwa
dari 63 responden, 27 KK (42,86 %) pengetahuan
responden terhadap pencegahan penyakit Rabies masih
tergolong dalam kategori buruk dan 18 KK (28,57 %)
pengetahuan responden tergolong kategori sedang / baik.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sapura (2003) di
Kabupaten Lampung Selatan bahwa 53,5 % responden
mempunyai pengetahuan kurang, dan begitu juga pada
hasil penelitian Imelda Eka Shinta (2005) di Kota
Palangkaraya bahwa 53,5 % responden berpengetahuan
kurang terhadap penyakit Rabies. Hal ini menunjukkan
bahwa responden masih banyak yang belum memperoleh
informasi tentang Rabies. Sesuai dengan tingkat
11
pengetahuan, bahwa tingkat paling rendah adalah tahu,
seseorang yang pernah mendengar tentang Rabies diartikan
mengingat kembali informasi tersebut. Hal ini sebagai
acuan, sehingga tangkat tahu dapat dikategorikan sebagai
tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Tingkatan tahu
dikatakan paling rendah karena seseorang akan mampu
memahami Aplikasi-Analisis-Sintesis dan melakukan
Evaluasi apabilaorang tersebut memiliki pengetahuan.
Seseorang dikatakan mampu memahami tentang
Rabies apabila orang tersebut mampu menjelaskan secara
benar tentang Rabies, menginterpretasikan tentang Rabies
secara benar. Karena sebagian besar responden belum
mengetahui tentang Rabies tentunya belum mampu
menjelaskan secara benar bagaimana Rabies tersebut.
Berdasarkan pendapat Patriani yang dikutip oleh
Cendrawirda (2003) menyatakan bahwa pendidikan
berkaitan erat dengan penerimaan seseorang terhadap suatu
pengetahuan termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang
Rabies dan menurut penelitianyang dilakukan oleh
Widyana (2005) bahwa responden dengan tingkat
pengetahuan yang kurang merupakan faktor resiko
terhadap terjadinya penyakit Rabies.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden pendidikannya menengah ke atas
dan hal ini kemungkinan berkaitan dengan pengetahuan
yang dimiliki. Disamping itu sebagian besar responden
memiliki umur yang produktif (20 – 50) tahun seperti pada
tabel 5. Orang-orang yang umurnya dalam kategori
produktif biasanya masih mempunyai daya nalar yang
cukup sehingga pengetahuan responden tergolong dalam
kategori cukup. Oleh sebab itu untuk meningkatkan
pengetahuan responden, petugas Puskesmas bekerjasama
dengan Petugas Peternakan Kecamatan perlu tetap
melakukan penyuluhan tentang pencegahan dan
penanggulangan kasus Rabies secara secara berkala (sekali
dalam sebulan).
Peningkatan kasus Rabies di masyarakat
berkaitan erat dengan pengetahuan masyarakat tentang
penyakit Rabies, peningkatan populasi anjing peliharaan,
cara pencegahan dan penanggulangan penyakit Rabies.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang Rabies dapat
mengurangi tingginya kasus penyakit Rabies.
Lampung Selatan 51,2 % responden memiliki sikap
kurang, dan begitu juga hasil penelitian Imelda Eka Shinta
(2005) di Kota Palangkaraya bahwa 51,2 % responden
memiliki sikap kurang terhadap penyakit Rabies. Hal ini
menunjukkan bahwa responden mempunyai sikap negatif
(tidak menerima) tentang pencegahan dan penanggulangan
penyakit Rabies.
Sesuai dengan pendapat Allport yang dikutip
oleh Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai 3 (tiga) komponen pokok yaitu :
(1) Kepercayaan, ide dan konsep terhadap suatu objek, (2)
Kehidupan emosional terhadap suatu objek, (3)
Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini
secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh.
Keyakinan masyarakat terhadap terjadinya kasus Rabies
yang ditularkan melalui gigitan anjing dipengaruhi oleh
karakter individu dalam melakukan evaluasi. Penyakit
Rabies di masyarakat akan terjadi jika sikap masyarakat
terhadap kondisi tersebut tidak mendukung kearah
pencegahan dan penanggulangan.
Menurut Sumarmo (2002) bahwa sikap
masyarakat yang kurang mendukung dalam pencegahan
penyakit Rabies serta tidak menerima anjuran tentang
penanggulangan Rabies sangat erat kaitannya untuk
menjadi faktor resiko terhadap kejadian penyakit Rabies.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian kecil responden memiliki sikap baik. Terjadinya
penyakit Rabies bukan karena mempunyai sikap baik saja,
tetapi karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan tindakan.
Namun sikap ini mendukung masyarakat lebih mudah
untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
penyakit Rabies. Oleh sebab itu agar masyarakat mau
melakukan pencegahan dan penanggulangan penyakit
Rabies, maka pihak Kelurahan maupun Puskesmas perlu
memberikan informasi mengenai penyakit Rabies.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
manifestasi sikap masyarakat terhadap penyakit Rabies
tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih
dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap masyarakat
secara nyata merupakan reaksi yang emosional untuk
berperilaku. Kemungkinan terjadinya penyakit Rabies ini
ditentukan oleh sikap masyarakat dalam merespons
keadaan lingkungan.
3.2. Sikap Responden Terhadap Pencegahan Penyakit
Rabies.
Notoatmodjo (2003) menyatakan Sikap
merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih
tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak
dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial, dalam hal ini terhadap
pencegahan dan penanggulangan penyakit Rabies.
Hasil penelitian pada Tabel 10 menunjukkan
bahwa sebagian besar responden memiliki sikap yang
buruk yaitu 40 KK (63,49 %) terhadap pencegahan
penyakit Rabies, sedangkan sikap responden dengan sikap
yang sedang yaitu 20 KK (31,75 %). Jika dibandingkan
dengan hasil penelitian Sapura (2003) di Kabupaten
3.3. Tindakan Responden Terhadap Pencegahan
Penyakit Rabies.
Tindakan responden terhadap pencegahan
penyakit Rabies adalah merupakan bentuk nyata sudah
atau belum dilaksanakannya kegiatan untuk kesehatan
berupa tindakan tentang pencegahan penyakit Rabies
dalam kehidupan sehari-hari.
Tindakan mempunyai beberapa tingkatan
menurut Notoatmodjo (2003), yaitu : (1) Persepsi yaitu
mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil, (2) Respons terpimpin yaitu
dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar,
(3) Mekanisme yaitu apabila seseorang telah dapat
melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, (4) Adaptasi yaitu
tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya
12
tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan
bahwa sebagian besar responden memiliki tindakan yang
buruk yaitu 57 KK ( 90,48 % )terhadap pencegahan
penyakit Rabies, sedangkan responden yang memiliki
tindakan sedang yaitu 6 KK ( 9,52 % ). Jika dibandingkan
dengan hasil penelitian Sapura (2003) di Kabupaten
Lampung Selatan,bahwa 20,9 % responden mencuci luka
digigit anjing, 41,9 % responden memberi antiseptik di
rumah, 18,6 % responden membiarkan anjing lari, 11,6 %
responden membunuh anjing dan 13,9 % responden
mengobservasi anjing yang telah menggigit orang. Begitu
juga dengan hasil penelitian dari Imelda Eka Sinhta (2005)
di Kota Palangkaraya hampir sama. Hal ini menunjukkan
bahwa responden belum melakukan tindakan untuk
pencegahan penyakit Rabies dengan cara memvaksinasi
anjing setiap tahun, mengandangkan anjing dengan baik
dan menjaga kesehatan anjing serta memberi makan
anjingnya dengan makanan yang baik.
Menurut Depkes RI (2000) menyatakan bahwa
cara utama penanggulangan penyakit Rabies adalah
dengan
melakukan
tindakan
Pencegahan
dan
Pemberantasan hewan penular rabies (HPR) dengan
melakukan vaksinasi terhadap anjing, kucing, kera,
mengurangi jumlah populasi anjing liar atau anjing tak
bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan
perkembang biakan, menangkap dan melaksanakan
observasi hewan yang menggigit orang selama 10 – 14
hari. Terhadap hewan yang mati selama observasi atau
yang dibunuh, harus diambil specimen untuk dikirimkan
ke laboratorium terdekat untuk didiagnosis. Mengawasi
dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan
sebangsanya; membunuh atau mengurung selama 4
(empat) bulan anjing, kucing penderita Rabies; menanam
hewan yang mati karena Rabies sekurang-kurangnya 1
(satu) meter atau dibakar dan melarang keras pembuangan
bangkai.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian responden belum memiliki kesadaran terhadap
pencegahan penyakit Rabies, masih banyak responden
tidak memvaksinasi anjingnya secara rutin setiap tahun,
tidak memberi makan anjingnya dengan makanan yang
baik (masih memberi sisa-sisa makanan), anjing masih
dibiarkan berkeliaran dan tidak dikandangkan dengan baik,
kebersihan anjing belum terawat dengan baik dan anjing
dilepas dan tidak dipasang brangus atau brongsong anjing
seperti yang dinformasikan oleh Petugas Peternakan
Kecamatan atau Puskesmas. Oleh sebab itu disamping
Kelurahan, Prtugas Puskesmas dan Petugas Peternakan
Kecamatan mau mengajak masyarakat, pihak-pihak
tertentu juga harus ikut serta dalam memberikan informasi
mengenai pencegahan penyakit Rabies seperti organisasi
sosial (LKMD, PKK dan sebagainya). Dan pihak
Kelurahan juga mau mengajak masyarakat agar setiap
memelihara anjing harus melapor kepada Lurah/ petugas
Peternakan Kecamatan/ Dinas Peternakan, dan membuat
kandang anjing, memvaksinasi Rabies anjingnya ke
petugas Peternakan Kecamatan/ Dinas Peternakan, atau
Dokter Hewan secara rutin setiap tahun serta jika njing
keluar dari kandang memasangkan brangus/ brongsong
anjing, menjaga kesehatan anjing, memberi makanan
khusus anjing dan menjaga kebersihan anjing dengan baik.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
diatas dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1.1. Perilaku masyarakat (pemilik anjing) terhadap
pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan
Tuntungan dikategorikan masih buruk.
1.2. Tingkat pengetahuan masyarakat (pemilik anjing)
terhadap pencegahan penyakit
Rabies di
Kecammatan Medan Tuntungan sebagian besar
buruk.
1.3. Sikap masyarakat (pemilik anjing) terhadap
pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan
Tuntungan sebagian besar buruk.
1.4. Tindakan masyarakat (pemilik anjing) terhadap
pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan
Tuntungan sebagian besar buruk.
2. Saran
2.1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan wilayah
yang lebih luas seperti Kota / Kabupaten yang tinggi
kasus gigitan hewan penular Rabies (HPR).
2.2. Perlu Petugas Puskesmas dan Petugas Peternakan
Kecamatan bekerja sama melaksanakan penyuluhan
tentang pencegahan penyakit Rabies kepada
masyarakat (pemilik anjing) minimal sekali sebulan.
2.3. Pihak Kelurahan harus menginformasikan kepada
masyarakat (pemilik anjing) agar memvaksinasi
Rabies anjingnya secara rutin setiap tahun di Dinas
Peternakan/ Dokter Hewan.
2.4. Peran serta masyarakat dan Organisasi Sosial
(LKMD, PKK dan sebagainya) turut memberikan
informasi kepada masyarakat (pemilik anjing) untuk
melaporkan anjing peliharaannya, mengandangkan
anjingnya, atau memasang brangus/brongsong,
memberi makan anjing dengan makanan yang baik,
menjaga kebersihan dan kesehatan anjing
peliharaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,S, 2002, Prosedur Penelitian Suatu
pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta
Dep.Kes.RI, Dep.Pertanian RI, Mendagri, 1978,
Keputusan
bersama
Nomor:
279A/Menkes/SK/VIII/1978; No:143 Tahun
1978 Tentang Peningkatan Pemberantasan
dan Penanggulangan Rabies, Jakarta
Dep.Kes.RI, 1999, Visi dan Misi Departemen Kesehatan
”Indonesia Sehat 2010”, Jakarta.
----------------, 2000, Petunjuk Perencanaan dan
Penatalaksanaan
kasus
gigitan
hewan
tersangka/ Rabies di Indonesia, Jakarta
13
----------------, 2003, Petunjuk Pemberantasan
Rabies di Indonesia, Jakarta.
----------------, 2004, Sistem Kesehatan Nasional,
Jakarta.
Dep.Kes.RI, 2009, Pedoman Pelaksanaan Program
Penanggulangan Rabies di Indonesia, Depkes
RI, Direktorat Jenderal PP&PL , Jakarta.
Dep.Pertanian RI,1982, Keputusan Menteri Pertanian
RI No.363/Kpts/Um/5/1982 Tentang Pedoman
Khusus Pencegahan dan Pemberantasan
Rabies, Jakarta.
Dinkes Prov.Sum.Utara, 2009, Profil Kesehatan Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2009, Medan.
Dinkes Kota Medan, 2009, Profil Kesehatan Kota
Medan Tahun 2009, Medan
14
Imelda Eka Sintha, 2005, Upaya penanganan kasus
gigitan hewan penular Rabies oleh masyarakat
di Kota Palangka Raya.
Jawetz F, dkk, 2005, Mikrobiologi Kedokteran, Salemba
Medica, Jakarta.
Notoatmojo, Soekidjo, 2005, Ilmu Kesehatan
Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar, Penerbit
Rineka Cipta, Jakarta.
________, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Oswari O, 2003, Penyakit dan Penanggulangannya,
FKUI, Jakarta.
Sapura, 2003, Upaya penanganan kasus – kasus
gigitan hewan penular Rabies oleh masyarakat
di Kabupaten Lampung Tengah.
Soedarto, 2004, Sinopsis Virologi Kedokteran, UNAIR,
Surabaya
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKLENGKAPAN
IMUNISASI TETANUS TOXOID (TT) PADA IBU HAMIL
DI DESA KLUMPANG KAMPUNG KECAMATAN HAMPARAN PERAK
KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2009
Rina Doriana Pasaribu
Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) adalah proses untuk membangun kekebalan sebagai upaya pencegahan
terhadap infeksi tetanus (Idanati, 2005). Imunisasi Tetanus Toxoid, merupakan pemberian vaksin yang
sangat aman untuk wanita hamil dan tidak berbahaya pada janin. Dengan Angka Kematian Ibu akibat
infeksi nifas sebesar 12%, dan Angka Kematian Bayi akibat Tetanus Neonatorum sebesar 9,8% dapat
dicegah dengan pemberian imunisasi Tetanus Toxoid pada masa kehamilan. Penelitian ini bersifat
deskriptif analitik dengan metode pendekatan Cross Sectional yang menggunakan data primer dan
data sekunder. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Sampling Jenuh kemudian data diolah
dengan menggunakan uji statistik Chi-Square. Berdasarkan hasil tabel distribusi frekuensi dari 83
orang responden, jumlah ibu hamil yang tidak mendapatkan imunisasi TT sebanyak 32 orang
(38,55%), mayoritas berpengetahuan kurang sebanyak 22 orang (68,75%). Berdasarkan pendidikan
mayoritas responden dengan pendidikan dasar sebanyak 19 orang (59,37%). Berdasarkan pekerjaan
mayoritas responden dengan status bekerja sebanyak 18 orang (56,25%). Mayoritas responden
memiliki jarak tempat tinggal yang jauh dengan tempat pelayanan sebanyak 22 orang (68,75%).
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 0,05 maka diperoleh ada
hubungan pengetahuan, pendidikan, jarak tempat tinggal dan tempat pelayanan kesehatan dengan
ketidaklengkapan imunisasi TT, dan tidak ada hubungan pekerjaan ibu dengan ketidaklengkapan
imunisasi TT. Dari empat variabel yang diteliti ternyata yang memiliki hubungan hanya tiga variabel,
yaitu pengetahuan, pendidikan, jarak tempat tinggal dan tempat pelayanan kesehatan, dan variabel
pekerjaan tidak memiliki hubungan dengan ketidaklengkapan imunisasi TT Ibu hamil..
Kata kunci: Ibu Hamil, Ketidaklengkapan Imunisasi TT
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angka kematian Ibu bersama dengan Angka
Kematian Bayi menjadi indikator keberhasilan
pembangunan pada sektor kesehatan. Pada tahun 2005
angka kematian maternal di Negara maju adalah 9 per
100.000 kelahiran hidup dan di negara berkembang
mencapai 450 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan
angka kematian maternal di Indonesia sebesar 420 per
100.000 kelahiran hidup menempati urutan ke-12 dari
18 negara di ASEAN dan SEARO (World Health
Statistics, 2008).
Menurut Survei Demografi dan kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2007 bahwa Angka Kematian
Ibu (AKI) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Menurut Budihardja, Dirjen Bina Kesehatan
Masyarakat Depkes RI, AKI disebabkan oleh
perdarahan sebesar 30%, preeklamsi sebesar 25%, dan
infeksi masa nifas sebesar 12% (Budihardja, 2009)..
Diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang tidak
terimunisasi TT diseluruh dunia meninggal setiap tahun
karena terinfeksi clostridium tetani pasca partus
(Matsum, 2008).
Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik
estimasi Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2007
sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Salah satu
penyebab tingginya AKB adalah infeksi pada masa
neonatus sebesar 24% (tetanus neonatorum 12,5%,
pneumonia 7,5%, sepsis 4%) menempati urutan ketiga
setelah BBLR dan asfiksia (Depkes, 2007).
Diperkirakan 50.000 bayi di seluruh dunia
meninggal setiap tahun karena
ibu hamil tidak
mendapatkan imunisasi TT pada masa hamil (Matsum,
2008). Berdasarkan Incidence Series Immunization,
kasus tetanus banyak dijumpai di sejumlah Negara
tropis dan Negara berkembang yang masih memiliki
kondisi kesehatan yang rendah. Data Organisasi
Kesehatan dunia WHO menunjukkan kematian akibat
tetanus di Negara berkembang adalah 135 kali lebih
tinggi dibanding Negara maju (Depkes, 2007).
Pada tahun 2007 jumlah kasus tetanus
neonatorum diantara 8 negara ASEAN, angka tertinggi
terjadi di Filipina dan Indonesia (141 kasus). Menurut
Dadi, Sekertaris Jendral Depkes RI tahun 2002, bahwa
15
9,8% dari sekitar 184.000 bayi baru lahir yang
meninggal setiap tahun disebabkan oleh tetanus
neonatorum (Dadi, 2002). Sedangkan di Provinsi
Sumatera Utara jumlah kasus tetanus neonatorum yang
dilaporkan pada tahun 2007 adalah 17 kasus dan 3
kasus diantaranya terjadi di Kabupaten Deli Serdang
(Dinkes Sumatera Utara, 2007).
Di Sumatera Utara tahun 2008 dari jumlah
ibu hamil yang terdapat di Sumatera Utara sebesar
350.485 yang mengikuti TT1 sebanyak 171.676
(49,0%), TT2 sebanyak 155.284 (44,30%), TT3
sebanyak 90.720 (25,88%), TT4 sebanyak 74.882
(21,36%), dan TT5 sebanyak 63.642 (18,16%)
(Dinkes Sumatera Utara, 2008). Di Kota Medan dari
jumlah Ibu hamil 56.511 yang mengikuti TT1 sebanyak
9.086 (16,1%), TT2 sebanyak 7.938 (14,0%), TT3
sebanyak 5.154 (9,1%), TT4 sebanyak 4.622 (8,2%),
TT5 sebanyak 3.773 (6,7%) (Dinkes Sumatera Utara,
2008). Di Deli Serdang dari jumlah ibu hamil
sebanyak 43.805 yang mengikuti TT1 sebanyak 22.270
(50,8%) dan TT2 sebanyak 21.605 (49,3%), TT3
sebanyak 15.190 (34,7%), TT4 sebanyak 12.344
(28,2%), TT5 sebanyak 10.291 (23,5%) (Dinkes
Sumatera Utara, 2008).
Dari Survei pendahuluan Di Desa Klumpang
Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli
Serdang, didapati bahwa dari jumlah ibu hamil pada
tahun 2008 sebanyak 145 orang, yang mengikuti TT1
sebanyak 80 orang (55.17%), TT2 sebanyak 65 orang
(44.82%), TT3 sebanyak 57 orang (39,3), TT4
sebanyak 40 orang (27,6), TT5 sebanyak 26 orang
(17,9). Dari data tentang pemberian imunisasi TT di
atas perlu diadakan penelitian untuk megetahui faktorfaktor yang mempengaruhi ketidaklengkapan imunisasi
Tetanus Toxoid (TT) pada Ibu hamil.
Berdasarkan latar belakang permasalahan
diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi
Ketidaklengkapan Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada
Ibu Hamil di Desa Klumpang Kampung Kecamatan
Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun
2009?”.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
ketidaklengkapan Imunisasi Tetanus Toxoid (TT)
pada Ibu Hamil di Desa Klumpang Kampung
Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2009.
faktor
yang
mempengaruhi
Ketidaklengkapan
Imunisasi Tetanus Toxoid (TT).
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2009 s/d
Agustus 2009. Populasi dalam penelitian ini adalah
semua ibu hamil yang berada di Desa Klumpang
Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli
Serdang Periode Juni 2009 sebanyak 83orang. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan sampel jenuh yaitu dilakukan
dengan mengambil total populasi untuk dijadikan
sampel. Jenis dan sumber data yang diperlukan untuk
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Jenis dan sumber data yang diperlukan untuk penelitian
ini adalah data primer dan datasekunder.
Analisis data yang dilakukan adalah sebagai
berikut :
a. Analisis Data Univariat
Analisis data univariat ini digunakan untuk
mendapatkan distribusi frekuensi atau besarnya
proporsi dari variabel independen dan variabel
dependen sehingga dapat diketahui variasi dari masingmasing variabel (Notoatmodjo, 2005).
b. Analisis Data Bivariat
Analisis data bivariat ini digunakan untuk
mengerti bagaimana hubungan variable bebas dengan
variable terikat, dengan menggunakan uji statistik chisquare. Hipotesis pada derajat kemaknaan 0,05 atau 𝛼=
0,05 dengan derajat kepercayaan 95% (Budiarto, 2007).
Adapun rumus chi-square yang digunakan adalah
2
sebagai berikut: X2
=  0  E 
E
Dimana: X2 = Chi-square
O = nilai hasil observasi
E = nilai yang diharapkan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Data Univariat
Analisis data univariat digunakan untuk melihat
distribusi frekuensi dari variabel dependen dan variabel
independen, yaitu :
Tabel
Distribusi
Responden
mengenai
Ketidaklengkapan Imunisasi TT Ibu Hamil di Desa
Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009
No
Metode
Rancangan penelitian yang digunakan adalah
studi deskriptif analitik dengan desain penelitian “cross
sectional-survey” dengan meneliti variabel independen
dan variabel dependen secara bersamaan.
Penelitian ini dilakukan di Desa Klumpang
Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli
Serdang dengan berbagai pertimbangan, yaitu :
Banyaknya ibu hamil di Desa Klumpang Kampung
Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang
yang tidak mendapatkan Imunisasi TT secara lengkap
dan Belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor-
16
1.
2.
Ketidaklengkapan
Imunisasi TT
Tidak Lengkap
Lengkap
Jumlah
Frekuensi
%
32
51
83
38,55
61,45
100
Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan
Ibu Hamil Di Desa Klumpang Kampung Kecamatan
Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009
No
1.
2.
3.
Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
Frekuensi
22
24
37
83
%
26,50
28,92
44,58
100
Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Ibu Hamil di Desa Klumpang Kampung Kecamatan
Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009
No
1.
2.
3.
Pendidikan
Dasar
Menengah
Tinggi
Jumlah
Frekuensi
%
33
30
20
83
39,76
36,14
24,10
100
No
Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu
Hamil di Desa Klumpang Kampung Kecamatan
Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009
No
1.
2.
Pekerjaan
Tidak Bekerja
Bekerja
Jumlah
Frekuensi
44
39
83
Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Tempat
Tinggal dengan Tempat Pelayanan Kesehatan Di Desa
Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009
%
53,01
46,99
100
1.
2.
3.
Jarak Tempat Tinggal
Dengan Tempat
Pelayanan Kesehatan
Jauh
Sedang
Dekat
Jumlah
Frekuensi
%
34
26
23
83
40,96
31,33
27,71
100
Analisa Data Bivariat
Analisa data bivariat digunakan untuk melihat
kemaknaan hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen yang dilakukan dengan uji statistik
Chi-Square (X²)
Tabel Hubungan Ketidaklengkapan Imunisasi TT Ibu Hamil dengan Tingkat Pengetahuan Ibu di Desa Klumpang
Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009
No
Pengetahuan
1. Baik
2. Cukup
3. Kurang
Total
Status Imunisasi TT Ibu Hamil
Tidak Lengkap
Lengkap
f
%
f
%
2
6,25
20
39,22
8
25
16
31,37
22
68,75
15
29,41
32
100
51
100
Total
f
22
24
37
83
%
26,50
28,92
44,58
100
X²
Hitung
X²
Tabel
15,15
5,991
Tabel Hubungan Ketidaklengkapan Imunisasi TT Ibu Hamil dengan Pendidikan Ibu di Desa Klumpang Kampung
Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009
No
1.
2.
3.
Pendidikan
Dasar
Menengah
Tinggi
Total
Status Imunisasi TT Ibu Hamil
Tidak Lengkap
Lengkap
f
%
F
%
19
12
1
32
59,37
37,50
3,13
100
14
18
19
51
27,45
35,29
37,25
100
Total
f
%
33
30
20
83
39,76
36,14
24,10
100
X²
Hitung
X²
Tabel
14,56
5,991
Tabel Hubungan Ketidaklengkapan Imunisasi TT Ibu Hamil dengan Pekerjaan Ibu di Desa Klumpang Kampung
Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009
No
Pekerjaan
1.
2.
Tidak Bekerja
Bekerja
Total
Status Imunisasi TT Ibu Hamil
Tidak Lengkap
Lengkap
f
%
F
%
14
43,75
30
58,83
18
56,25
21
41,17
32
100
51
100
Total
f
44
39
83
%
53,01
46,99
100
X²
Hitung
X²
Tabel
1,79
3,841
17
Tabel Hubungan Ketidaklengkapan Imunisasi TT Ibu Hamil dengan Jarak Tempat Tinggal dan Tempat Pelayanan
Kesehatan di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hfmparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009
No
1.
2.
3.
Jarak Tempat Tinggal
Dengan Tempat
Pelayanan Kesehatan
Jauh
Sedang
Dekat
Total
Status Imunisasi TT Ibu Hamil
Tidak Lengkap
Lengkap
f
%
f
%
22
68,75
12
23,53
7
21,88
19
37,26
3
9,37
20
39,21
32
100
51
100
Berdasarkan uji stastistik Chi-Square (X²)
memperlihatkan adanya hubungan pengetahuan ibu
dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada ibu
hamil dengan ά = 0,05, maka diperoleh nilai df
= 2 dan hasil X² Hitung = 15,15, dan hasil X² Tabel
= 5,991, berarti X² Hitung > X² Tabel (15,15 > 5,991).
Hal tersebut sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Notoatmodjo (2005) bahhwa
pengetahuan adalah hasil dari tahu setelah manusia
melakukan penginderaan dan pengamatan terhadap
suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif
merupakan komponen yang sangat penting untuk
membentuk
tindakan
seseorang.
Pengetahuan
diperlukan sebagai dorongan psikis dalam menemukan
rasa percaya diri, sehingga dikatakan bahwa
pengetahuan merupakan stimulus terhadap tindakan
seseorang (Notoatmodjo, 2005).
Menurut Syahrul salah satu faktor yang
menyebabkan ibu tidak lengkap mendapat imunisasi
TT adalah faktor pengetahuan tentang imunisasi
tersebut. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa
terdapat kaitan antara pengetahuan ibu dengan angka
drop out imunisasi TT pada ibu hamil. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang
tidak lengkap imunisasi TT mempunyai pengetahuan
kurang sebanyak 68% (Sri Ratna, 1997).
Data diatas menunjang dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Fitriadi (2007) yang juga
menunjukkan ada hubungan bermakna antara tingkat
pengetahuan ibu dengan kelengkapan imunisasi TT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil dengan
pengetahun kurang cendrung beresiko tidak lengkap
mendapat imunisasi sebesar 13,357% dibanding ibu
yang mempunyai pengetahuan baik (Fitriadi, 2007).
Berdasarkan uji stastistik Chi-Square (X²)
memperlihatkan adanya hubungan pendidikan ibu
dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada ibu
hamil dengan ά = 0,05, maka diperoleh nilai df
= 2 dan hasil
X² Hitung = 14,56, dan hasil X²
Tabel = 5,991, berarti X² Hitung > X² Tabel (14,56 >
5,991).
Pendidikan adalah upaya pembelajaran, agar
ibu hamil mau melakukan tindakan-tindakan untuk
memelihara
dan
meningkatkan
kesehatannya
(Notoatmodjo, 2003). Menurut Slamet, semakin tinggi
tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka
semakin membutuhkan pusat pelayanan kesehatan.
Dengan berpendidikan tinggi, maka wawasan
18
Total
f
34
26
23
83
%
40,96
31,33
27,71
100
X² Hitung
X² Tabel
17,61
5 ,991
pengetahuan semakin bertambah dan semakin
menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi
kehidupan sehingga termotivasi untuk melakukan
kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan (Slamet,
2002).
Peran seorang ibu dalam program imunisasi
sangat penting. Karena suatu pemahaman tentang
program imunisasi amat diperlukan. Pemahaman atau
pengetahuan
ibu
terhadap
imunisasi
sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu (Ali,
Muhammad, 2002).
Salah satu penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu maka
semakin besar peluang untuk mendapatkan imunisasi.
Ibu yang berpendidikan mempunyai pengertian lebih
baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran lebih
tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan (Idwar,
2001).
Berdasarkan uji stastistik Chi-Square (X²)
memperlihatkan tidak ada hubungan status pekerjaan
ibu dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada ibu
hamil dengan ά = 0,05, maka diperoleh nilai df = 1
dan hasil X² Hitung = 1,79 dan hasil X² Tabel
=3,841, berarti X² Hitung < X² Tabel 1,79< 3,841. Oleh
karena itu terlihat adanya kesenjangan antara hasil
penelitian dan teori.
Menurut Syahrul, hubungan pekerjaan ibu
dengan kelengkapan imunisasi sangat terkait. Dimana
ibu yang bekerja akan lebih mudah untuk mendapatkan
informasi terkait dengan pemberian imunisasi Tetanus
Toxoid (TT) saat hamil. Pola pikir ibu yang bekerja
akan lebih luas, dimana ibu tersebut mempunyai
wawasan yang lebih. Ibu yang bekerja akan lebih
cermat mengamati setiap informasi yang didapatkan
sedangkan ibu yang tidak bekerja, pola pikir yang
dimilikinya sangat sedikit. Sehingga ibu yang bekerja
lebih besar kemungkinan mendapatkan imunisasi TT
dengan lengkap (Syahrul, 2003). Menurut hasil
kesimpulan penelitian Idwar (2000) ibu bekerja
mempunyai resiko 2,324 kali lebih besar untuk
memperoleh imunisasi dibandingkan dengan ibu yang
tidak bekerja disebabkan kurangnya informasi yang
diterima ibu rumah tangga dibandingkan dengan ibu
yang tidak bekerja (Idwar 2000).
Dari penelitian diketahui bahwa ibu hamil
yang tidak lengkap mendapatkan imunisasi TT paling
banyak, yaitu ibu hamil dengan jarak tempat tinggal
yang jauh dengan tempat pelayanan kesehatan
sebanyak 22 orang (68,75%) dan berdasarkan uji
stastistik Chi-Square (X²) memperlihatkan adanya
hubungan
jarak tempat tinggal ibu dan tempat
pelayanan kesehatan dengan
ketidaklengkapan
imunisasi TT pada ibu hamil dengan ά = 0,05, maka
diperoleh nilai df = 2 dan hasil X² Hitung = 17,61, dan
hasil X² Tabel = 5,991, berarti X² Hitung > X² Tabel
(17,61 > 5,991).
Hal tersebut sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa jarak merupakan panjang lintasan
yang ditempuh oleh ibu hamil mulai dari tempat tinggal
ibu sampai ibu berada di tempat pelayanan kesehatan
untuk mendapatkan imunisasi TT. Jarak rumah tempat
tinggal ibu dengan tempat mendapat pelayanan
kesehatan berhubungan dengan kelengkapan ibu
mendapatkan imunisasi TT saat hamil (Andi, 2007).
Menurut Sri Ratna lokasi atau jarak tempat
tinggal ibu yang jauh dengan tempat pelayanan
kesehatan menyebabkan ibu tidak mau untuk datang ke
tempat pelayanan kesehatan dikarenakan ibu merasa
kelelahan untuk menjangkaunya. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Sri Ratna (1997) terdapat kaitan
antara jarak tempat tinggal dan tempat pelayanan
kesehatan dengan angka drop out imunisasi TT pada
ibu hamil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden mempunyai jarak tempat
tinggal yang jauh sebesar 55% (Sri Ratna, 1997).
KESIMPULAN
1. Jumlah ibu hamil yang tidak lengkap mendapatkan
imunisasi TT di Desa Klumpang Kampung
Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2009 sebanyak 32 orang (38,55%)
dari 83 orang ibu hamil.
2. Ada hubungan pengetahuan ibu yang kurang
dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada Ibu
hamil. Dengan hasil uji statistic Chi-Square, dimana
X² Hitung > X² Tabel (15,15 > 5,991).
3. Ada hubungan pendidikan ibu yang rendah dengan
ketidaklengkapan imunisasi TT pada Ibu hamil.
Dengan hasil uji stastistik Chi-Square, dimana X²
Hitung > X² Tabel (14,56 > 5,991).
4. Tidak ada hubungan status ibu tidak bekerja dengan
ketidaklengkapan imunisasi TT pada Ibu hamil.
Dengan hasil uji stastistik Chi-Square, X²Hitung <
X²Tabel (1,78 < 3,841).
5. Ada hubungan jarak tempat tinggal dan tempat
pelayanan
kesehatan
yang
jauh
dengan
ketidaklengkapan imunisasi TT pada Ibu hamil.
Dengan hasil uji stastistik Chi-Square, dimana X²
Hitung > X² Tabel (17,61 > 5,991).
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengetahui
faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya
pengetahuan ibu hamil akan pentingnya imunisasi
TT.
2. Perlu dikembangkan suatu model pemberian
imunisasi TT pada ibu yang mempunyai jarak
tempat tinggal dan tempat pelayanan kesehatan
yang jauh.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M, 2002, Pengetahuan Sikap dan Prilaku Ibu
Bekerja dan Tidak Bekerja Tentang Imunisasi,
http://library.usu.ac.id/modules/php/op=modloa
d (16 Januari 2008).
Arikunto, S, 2006, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2007, Profil Kesehatan
Indonesia
Tahun
2007,
http://profilkesehatanindonesia.go.id/hqweb.htm
l.
BKKBN, 2004, Laporan Perkembangan Tujuan
Pembangunan
Millenium
Indonesia,
http://BKKBN.go.id/dib/lap/html.
Budiarto, E., 2007, Biostatistik Untuk Kedokteran dan
Kesehatan Masyarakat, EGC, Jakarta.
Budihardja, 2009, Faktor Penyebab Tingginya AKI.
24 April 2009. http://sumeks.co.id.
Dadi, 2002, Imunisasi TT Bagi WUS Untuk Tekan
Angka Kematian Bayi, 7 Febuari 2002,
http://kbigemari.go.id.html
Depkes RI, 2001, Rencana Strategi Nasional Making
Pregnancy Safer di Indonesia 2001-2010.
Jakarta.
, 2002, Pelatihan Tenaga Pelaksana
Imunisasi Puskesmas, Jakarta.
,
2005,
Pedoman
Penyelenggaraan
Imunisasi, Jakarta.
, 2005, Pedoman
Pemantauan dan
penanggulangan kejadian ikutan pasca
imunisasi , Jakarta.
, 2006, Isu Mutakhir Imunisasi,
http://www.ridwanamiruddin.wordpress.com.
Deswita, 2005, Imunisasi TT(Tetanus Toxoid) pada
ibu hamil, http://Deswita.wordpress.com.
Dinkes Kota Medan, 2007, Profil Kesehatan Kota
MedanTahun 2006, Medan.
Dinkes S.U, 2008, Profil Kesehatan Provinsi
Sumatera Utara tahun 2007, Medan.
, 2009, Hasil Rekapitulasi Imunisasi Bumil
& WUS Sumatera Utara Tahun 2008, Medan.
Fitriadi, A. L, 2003, Analisis Drop Out Imunisasi TT
Ibu
Hamil
Guna
Menyusun
Upaya
Peningkatan Kinerja Bidan Puskesmas Di
Kota Banjarmasin, 13 Januari 2005,
http://[email protected].
Idanati, R, 2005, Tetanus Toxoid Pregnancy,
http://iptunair-gdl-s2-2005-idanatirukna-1328ADLN Digitalcollections-GDL.4.0.
Idamaryati, 2009, Imunisasi TT, 25 Maret 2009,
http://idamaryati.wordpress.com.
Idwar, 2001, Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Status Imunisasi Hepatitis B Pada
Bayi (0-11 Bulan) di Kabupaten Aceh Besar
Proponsi
D.I.
Aceh
Tahun
1999,
http://diglib.litbang.depkes.go.id/go.html.
19
Lubis, C. P, 2004, Tetanus Neonatorum pada Anak,
diktak kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Penyakit
Infeksi, Balai Penerbit FK.USU, Medan.
Manuaba, I. B. G., 2002, Ilmu Kebidanan, Penyakit
Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan, EGC, Jakarta.
Matsum,
2008,
Tetanus,
http://matsum,or.id.wordpress.com.16 Agustus
2008.
Meliono,
2007,
Defenisi
Pengetahuan,
http://wikipedia.org.html.
Notoatmodjo, S, 2005, Pendidikan dan Prilaku
Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Rezeki, S, et all, 2008, Pedoman Imunisasi di
Indonesia edisi ketiga, Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI), Jakarta.
Saifuddin, A. B, Andriansz, G, Wiknjosastro, G. H,
Waspodo, D, 2001. Buku Acuan Nasional
Kesehatan Pelayanan Maternal dan Neonatal,
JNPKKR-POGI dan Yayasan Bina Pustaka
sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
San, 2002, Vaksinasi tetanus Toxoid Menghentikan
“Si Pembunuh Bayi”, http://sinarharapan.co.id,
27 Mei 2008.
20
Djaja, S, 2001, Penyakit Penyebab Kematian Bayi
Baru Lahir dan Sitem Pelayanan Kesehatan
Yang Berkaitan di Indonesia, 4 Januari 2003,
http://[email protected].
Sri, R, A, 1997, Faktor-faktor Yang Berkaitan
Dengan Drop Out Imunisasi TT Ibu Hamil di
Puskesmas Bangetayu Kecamatan Genuk
Kodya
Semarang
Tahun
1996,
http://sri.solpro.index.php.htm.
Syahrul, F, 2009, Faktor-faktor Yang Berhubungan
Dengan Status Imunisasi TT Ibu Hamil di
Kabupaten Lumajang, 14 Januari 2004.
http://[email protected].
Tawi, M, 2008, Imunisasi dan Faktor Yang
Mempengaruhinya,
http://syehaceh.wordpress.com
Vanessa,
I.
D.
A,
2008,
Tetanus,
http://tetanus.or.id.html.
Wahab, A.S, dkk, 2004, Sistem Imun, Imunisasi, dan
Penyakit Imun, Widya Medika, Jakarta.
Walgito, B, 2002, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar),
EdisiRevisi ANDI, Yogyakarta.
World Health Statistics, 2008, Angka Kematian
Maternal,
http://profilkesehatan
Indonesia.go.id/h
PENGETAHUAN DAN PERSEPSI BIDAN TERHADAP
STIGMA DAN DISKRIMINASI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
DI KOTA MEDAN TAHUN 2010
Bebaskita br Ginting, Samsider Sitorus, Efendi Sianturi
Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
HIV/AIDS adalah masalah global yang telah menjadi pandemi. Menurut data yang dikeluarkan Departemen
Kesehatan pengidap infeksi HIV/AIDS di Indonesia sampai Juni 2008 sebanyak 18.963 orang, 6277 orang
pengidap HIV dan 12686 orang penderita AIDS, 2479 orang diantaranya telah meninggal. Hingga akhir
Maret 2010, di Sumatera Utara terdapat 2.234 penderita HIV/AIDS, dibanding kabupaten/kota lainnya Kota
Medan merupakan daerah yang terbanyak, dengan total 1.515 penderita. Terdapat tiga (3) fase dalam
epidemi HIV/AIDS, yakni epidemi HIV, epidemi AIDS dan epidemi stigma, diskriminasi dan penolakan
(denial). Fase ketiga merupakan aspek yang sangat sulit dan krusial terkait dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan penyakit AIDS. Bidan seharusnya memiliki pengetahuan yang memadai tentang
HIV/AIDS, serta mempunyai sikap yang positif dan manusiawi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan pengetahuan dan persepsi bidan tentang HIV/AIDS terhadap stigma dan diskriminasi pada ODHA
di Kota Medan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan study crossectional
dengan subjek penelitian bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Medan yang memiliki
layanan Voluntary Counselling and Test (VCT). Pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling.
terhadap 158 orang responden. Data diukur menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan
reliabilitasnya. Selanjutnya data dianalisis secara univariat dengan tabel distribusi frekuensi, dilanjutkan
secara bivariat menggunakan uji statistik Chi Square dan secara multivariat menggunakan uji statistik regresi
logistic. Sebanyak 43,7% responden memiliki pengetahuan kurang baik tentang HIV/AIDS, 47,5%
responden memiliki persepsi kurang baik tentang HIV/AIDS dan sebanyak 48,7% responden memiliki
perilaku menstigma dan mendiskriminasi ODHA. Pengetahuan bidan memiliki hubungan bermakna dengan
stigma dan diskriminasi pada ODHA (RP=2,08; 95%CI= 1,43-3,03) demikian juga persepsi bidan memiliki
hubungan bermakna dengan stigma dan diskriminasi pada ODHA (RP=3,67; 95%CI= 2,34-5,75). Prevalensi
stigma dan diskriminasi pada ODHA lebih banyak terdapat pada bidan yang memiliki pengetahuan dan
persepsi yang kurang baik tentang HIV/AIDS dibandingkan dengan bidan yang memiliki pengetahuan dan
persepsi yang baik tentang HIV/AIDS.
Kata kunci: Stigma, Diskriminasi, Pengetahuan, Persepsi, HIV/AIDS
PENDAHULUAN
Permasalahan HIV/AIDS menjadi isu bersama
yang menyita perhatian berbagai kalangan,terutama sektor
kesehatan. HIV/AIDS merupakan masalah global yang
telah menjadi pandemic. WHO (World Health
Organization) mencatat sejak tahun 1981 sebanyak 65
juta orang yang telah terinfeksi HIV dan 25 juta
diantaranya meninggal dunia akibat penyakit yang terkait
dengan AIDS. Pada saat ini terdapat sekitar 39,5 juta
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh dunia1.
Jumlah pengidap HIV ini menganut fenomena gunung es
(ice berg phenomenon), yakni jumlah yang sebenarnya
jauh lebih banyak dibanding dengan yang diketahui.
Di Indonesia menurut data yang dikeluarkan
oleh Departemen Kesehatan (Depkes) secara kumulatif
pengidap HIV / AIDS dari Juli 1987 sampai dengan Juni
2008 terdapat sebanyak 18.963 orang, 6277 orang
pengidap HIV dan 12686 orang penderita AIDS, dimana
dari jumlah tersebut sebanyak 2479 orang diantaranya
telah meninggal2. Namun jumlah tersebut diyakini masih
jauh dari jumlah yang sebenarnya dan masih akan terus
meningkat. Berdasarkan estimasi Departemen Kesehatan
RI pada tahun 2006 terdapat sekitar 169.000 sampai
dengan 216.000 orang Indonesia yang telah tertular HIV3.
Hingga akhir Maret 2010,di Sumatera Utara terdapat 2.234
penderita HIV/AIDS, dibanding kabupaten/kota lainnya
Kota Medan merupakan daerah yang terbanyak ditemukan
penderita penyakit mematikan ini, dengan total 1.515
penderita (Dinkes Propinsi Sumut, 2010).
Pencegahan penularan HIV merupakan prioritas
global dan sikap petugas kesehatan merupakan dimensi
kunci untuk kesuksesan upaya pencegahan epidemi
HIV/ADS ini4. Munculnya stigma dan diskriminasi oleh
petugas kesehatan terhadap ODHA akan menghambat
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
ODHA tidak akan mau mencari pelayanan kesehatan dan
21
berobat karena mereka takut mendapatkan stigma dan
diskriminasi. Orang juga akan enggan untuk melakukan
testing HIV karena takut mendapat stigma dan
diskriminasi apabila hasil tesnya ternyata positif. Stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA digambarkan sebagai
”penghalang terbesar (greatest barrier)” dalam upaya
pencegahan HIV/AIDS dan untuk menyediakan pelayanan
kesehatan serta dukungan kepada ODHA5.
Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui
hubungan pengetahuan dan persepsi bidan tentang
HIV/AIDS terhadap stigma dan diskriminasi oleh petugas
kesehatan pada ODHA di Kota Medan. Hipotesis yang
diajukan adalah Persentasi Bidan melakukan stigma dan
diskriminasi pada ODHA lebih banyak terdapat pada
Bidan yang memiliki pengetahuan kurang dibandingkan
dengan Bidan yang memiliki pengetahuan baik tentang
HIV/AIDS dan Persentasi Bidan melakukan stigma dan
diskriminasi pada ODHA lebih banyak terdapat pada
Bidan yang memiliki persepsi kurang dibandingkan
dengan Bidan yang memiliki persepsi yang baik tentang
HIV/AIDS.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian observasional
dengan rancangan study Cross Sectional yang dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki layanan klinik
Voluntary Counselling and Test (VCT) di Kota Medan
Sumatera Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah
Bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan yang
memiliki layanan klinik Voluntary Counselling and Test
(VCT) yang ada di Kota Medan yaitu : RSUP H Adam
Malik, RSU Dr Pirngadi, RS Haji, RS Bayangkara, VCT
Bestari Medan, Puskesmas Padang Bulan, Puskesmas
Polonia, dan RS. Rumkitdam-I/BB dengan jumlah bidan
158 orang dan seluruhnya dijadikan sampel penelitian.
Variabel yang diteliti adalah Pengetahuan dan Sikap Bidan
sebagai variable bebas dan stigma dan diskriminasi
sebagai variable terikat. Alat ukur yang digunakan yaitu
untuk mengukur pengetahuan sebelumnya sudah pernah
digunakan di Indonesia dan diuji kesahihan dan
keterandalannya dengan nilai 0,873 untuk kuesioner
pengetahuan bidan, 0,885 untuk kuesioner persepsi bidan
dan nilai 0,863 untuk kuesioner stigma dan diskriminasi
pada ODHA.
Selanjutnya analisis data dilakukan melalui 3
tahapan, yaitu analisis univariabel menggunakan distribusi
frekuensi, analisis bivariabel menggunakan uji statistik
chi-square (χ2), dengan tingkat kemaknaan p<0.05 dan
Confidence Interval (95%) serta Rasio prevalens (RP) dan
analisis multivariabel menggunakan multiple logistic
regression (regresi logistik).
HASIL PENELITIAN
Pengetahuan Bidan Tentang HIV/AIDS
Total skor pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS
dihitung dari total jumlah jawaban yang benar terhadap 20
soal yang diberikan, sehingga total skor berada di kisaran
antara 0 -20. Dari hasil analisis didapatkan bahwa nilai
tertinggi 20 sedangkan nilai terendah adalah 7 dengan
Mean 16,18. Total skor pengetahuan tentang HIV/AIDS
22
dilakukan pengelompokan menjadi data nominal yang
terdiri dari skor pengetahuan HIV/AIDS baik dan skor
pengetahuan tentang HIV/AIDS kurang baik. Sebagai cut
off point yang dipergunakan adalah mean yaitu 16,18,
sehingga skor 16 keatas masuk kategori baik dan 15
kebawah masuk kategori kurang baik. Dari hasil
pengelompokan kategori pengetahuan tentang HIV/AIDS
didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS di
Kota Medan tahun 2010
Tingkat Pengetahuan
Jumlah (n)
%
Baik
89
56,3
Kurang Baik
69
43,7
Total
158
100
Berdasarkan tabel. 1 diatas dapat dilihat bahwa
mayoritas responden (56,3%) memiliki pengetahuan yang
baik tentang HIV/AIDS.
Persepsi Bidan Tentang HIV/AIDS
Total skor persepsi bidan tentang HIV/AIDS
dihitung dari total jumlah jawaban terhadap 22 soal yang
diberikan, sehingga total skor berada di kisaran antara 188. Dari hasil analisis didapatkan bahwa nilai tertinggi 77
sedangkan nilai terendah adalah 35, Mean 57,30. Total
skor pengetahuan tentang HIV/AIDS dilakukan
pengelompokan menjadi data nominal yang terdiri dari
skor persepsi tentang HIV/AIDS baik dan skor persepsi
tentang HIV/AIDS kurang baik. Sebagai cut off point yang
dipergunakan adalah mean yaitu 56,66, sehingga skor 58
keatas masuk kategori baik dan ≤57 masuk kategori
kurang baik. Dari hasil pengelompokan kategori persepsi
tentang HIV/AIDS didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Persepsi tentang HIV/AIDS di Kota Medan
tahun 2010
Persepsi
Jumlah (n)
%
Baik
83
52,5
Kurang Baik
75
47,5
Total
158
100
Dari tabel 2. Diatas dapat dilihat bahwa
mayoritas responden (52,5%) memiliki persepsi yang
baik tentang HIV/AIDS.
Stigma dan Diskriminasi oleh Bidan Pada Orang
dengan HIV/AIDS
Total skor perilaku stigma dan diskriminasi
pada orang dengan HIV/AIDS dihitung dari total jumlah
jawaban terhadap 15 soal yang diberikan, sehingga total
skor berada di kisaran antara 0-60. Dari hasil analisis
didapatkan bahwa nilai tertinggi adalah 49 sedangkan nilai
terendah adalah 24. Mean 33,77. Total skor perilaku
stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS
dilakukan pengelompokan menjadi data nominal yang
terdiri dari menstigma dan tidak menstigma ODHA.
Sebagai cut off point yang dipergunakan adalah mean yaitu
33,47, sehingga skor 34 keatas masuk kategori menstigma
dan mendiskriminasi dan skor ≤ 33 masuk kategori tidak
menstigma
dan
mendiskriminasi.
Dari
hasil
pengelompokan perilaku menstigma/mendsikriminasi
ODHA didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Perilaku Menstigma/ Mendiskriminasi ODHA di
Kota Medan tahun 2010
Perilaku Menstigma/
Jumlah (n)
%
Mendiskriminasi
Menstigma/Mendiskriminasi
77
48,7
Tidak Menstigma/
81
51,3
Mendiskriminasi
Total
158
100
Dari tabel 3. Diatas dapat dilihat bahwa hampir
sebagian responden (48,7%) memiliki perilaku menstigma
dan mendiskriminasi ODHA.
Analisis Bivariat
Analisis bivariabel digunakan untuk melihat
hubungan variabel dependen dengan variabel independen
menggunakan uji chi-square dan Ratio Prevalence/RP
(Ahrens & Pigeot, 2006). Pengujian hipotesis penelitian
didasarkan atas taraf signifikansi 5% (P=0,05) dan
Confidence Interval (CI) 95%.
Hubungan antara pengetahuan bidan dan
persepsi bidan dengan stigma dan diskriminasi pada
ODHA secara lebih jelas dapat dilihat dalam tabel 4.
Berdasarkan analisis pada tabel 4. Diketahui
bahwa Pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS memiliki
hubungan bermakna dengan Stigma dan Diskriminasi
pada ODHA dengan nilai p < 0,01; RP=2,08 (95%,
CI=1,43-3,03) yang artinya stigma dan diskriminasi pada
ODHA ditemukan 2,08 kali lebih banyak terdapat pada
bidan yang mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS
yang kurang baik dibandingkan dengan bidan yang
mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS yang baik.
Variabel persepsi bidan tentang HIV/AIDS juga
memiliki hubungan bermakna dengan stigma dan
diskriminasi pada ODHA dengan nilai RP=3,67 (95%,
CI=2,34-5,75); p < 0,01 yang artinya stigma dan
diskriminasi pada ODHA ditemukan 3,67 kali lebih
banyak terdapat pada bidan yang mempunyai persepsi
tentang HIV/AIDS yang kurang baik dibandingkan
dengan bidan yang mempunyai persepsi tentang
HIV/AIDS yang baik.
Analisis Multivariat
Analisis multivariabel dilakukan untuk menilai
hubungan variabel Pengengetahuan dan persepsi bidan
tentang HIV/AIDS terhadap stigma dan diskriminasi pada
ODHA. Analisis menggunakan uji regresi logistik dengan
tingkat kemaknaan sebesar P<0,05%.
Hasil analisis pada tabel 5. Menunjukkan bahwa
variabel pengetahuan bidan dan persepsi bidan tentang
HIV/AIDS memiliki hubungan bermakna dengan stigma
dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS karena
mempunyai nilai p<0,05. Variabel persepsi bidan lebih
dominan memiliki hubungan dengan stigma dan
diskriminasi pada ODHA.
Tabel 4. Hubungan antara Pengetahuan dan Persepsi Bidan dengan Stigma dan Diskriminasi pada ODHA di Kota Medan
tahun 2010
Variabel
Stigma dan Diskriminasi ODHA
Menstigma
%
Tidak
%
Menstigma
χ2
p
RP
CI 95%
Pengetahuan
Kurang Baik
Baik
47
30
29,75
18,99
22
59
13,92
37,34
18,41
< 0,01
2,08
1,43-3,03
Persepsi
Kurang Baik
Baik
59
18
37,34
11,39
16
65
10,13
41,14
51,19
< 0,01
3,67
2,34-5,75
Tabel 5. Analisis Multivariabel antara Pengetahuan Bidan, Persepsi Bidan dengan Stigma dan Diskriminasi pada Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA)
Variabel
Pengetahuan Bidan tentang HIV/AIDS
Persepsi Bidan tentang HIV/AIDS
Exp(B)
2,4
10,6
95% CI
1,09-5,26
4,88-29,27
p
0,030
< 0,01
N
158
23
PEMBAHASAN
Pengetahuan Bidan tentang HIV/AIDS
Hasil analisis data terlihat bahwa meskipun
sudah banyak bidan mempunyai tingkat pengetahuan
tentang HIV/AIDS yang baik (56,3%), akan tetapi ternyata
masih banyak bidan yang mempunyai tingkat pengetahuan
tentang HIV/AIDS yang kurang baik (43,7%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Mahendra6 pada penelitian di rumah sakit di India yang
menyatakan terdapat sebanyak 65 persen petugas bangsal
rumah sakit (ward staff) yang memiliki pemahaman yang
keliru tentang HIV/AIDS.
Masih banyaknya kesalahpahaman Bidan
tentang HIV/AIDS tentu saja membutuhkan perhatian
lebih. Bidan sebagai petugas kesehatan adalah orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kebidanan dan kesehatan pada umumnya2. Melalui
proses pendidikan yang telah dilalui bidan sudah
seharusnya mendapatkan bekal pengetahuan yang cukup
memadai sebelum bertugas, namun kenyataannya masih
banyak dijumpai bidan yang memiliki kesalahpahaman
tentang HIV/AIDS. Hal ini kemungkinan terkait dengan
kurikulum pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa
belum memberikan materi tentang HIV/AIDS secara
lengkap dan mendetail.
Variabel pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS
pada analisis bivariat (tabel 4) menunjukkan ada hubungan
yang signifikan dengan stigma dan diskriminasi oleh bidan
terhadap ODHA. Berdasarkan hasil analisis dapat
diketahui bahwa hubungan antara pengetahuan bidan
tentang HIV/AIDS dengan stigma dan diskriminasi oleh
bidan terhadap ODHA dengan nilai RP=2,08 (95% CI =
1,43-3,03); p<0,01 artinya bidan yang melakukan stigma
dan diskriminasi pada ODHA 2,08 kali lebih banyak
dilakukan oleh bidan yang memiliki pengetahuan yang
kurang baik dibandingkan bidan yang memiliki
pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS.
Hasil analisis multivariat (tabel 5) juga
menunjukkan bahwa pengetahuan bidan tentang
HIV/AIDS berhubungan secara signifikan dengan stigma
dan diskriminasi oleh bidan terhadap ODHA. Hal ini tentu
saja bisa dipahami, bahwa dengan semakin meningkatnya
pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS, cara penularan
HIV dan cara pencegahan HIV akan semakin menurunkan
ketakutan yang berlebihan dari bidan terhadap HIV/AIDS
serta semakin memudarnya mitos-mitos tentang HIV yang
tidak benar. Dengan pemahaman yang benar tentang
HIV/AIDS maka bidan bisa menghindari sikap-sikap yang
dilandasi oleh stigma dan diskriminasi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Mahendra6 dimana dalam upaya
menurunkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA di
rumah sakit di India menunjukkan bahwa dengan
dilaksanakannya program peningkatan pengetahuan
petugas kesehatan tentang HIV/AIDS ternyata dapat
menurunkan secara signifikan skor stigma indeks dari ratarata 42,79 menjadi 3,07 (p<0,05).
24
Selanjutnya Aggleton7 menyatakan bahwa
faktor
ketidaktahuan
tentang
penyakit
AIDS,
kesalahpahaman tentang bagaimana HIV ditularkan serta
ketidaktahuan tentang bagaimana melindungi diri dari
infeksi HIV merupakan faktor-faktor yang menjadi
pemicu munculnya stigma dan diskriminasi. Herek8
menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA berhubungan dengan kesalahpahaman tentang
penularan HIV, perkiraan risiko yang terlalu tinggi tertular
HIV melalui kontak biasa dan sikap negatif yang tidak
proporsional terhadap kelompok sosial terkait dengan
epidemi HIV/AIDS ini. The Centre for the Study of AIDS
University of Pretoria menyatakan bahwa penyebab utama
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA adalah
pengetahuan yang tidak lengkap, ketakutan yang
berlebihan terhadap penyakit AIDS, norma seksual dan
kurangnya memahami stigma, karena terkadang seseorang
tidak menyadari bahwa perkataan atau tindakan yang
dilakukannya sudah memberikan stigma atau diskriminasi
terhadap orang lain.
Persepsi Bidan tentang HIV/AIDS
Dari hasil analisis data dengan menggunakan
mean 57,30 sebagai cut off point terlihat bahwa
meskipun sudah banyak bidan yang telah mempunyai
tingkat persepsi tentang HIV/AIDS yang baik (52,5%),
akan tetapi ternyata masih banyak bidan yang
mempunyai persepsi tentang HIV/AIDS yang kurang
baik (47,5%).
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
Pratikno10 yang menyatakan bahwa 95% persepsi
petugas kesehatan berada diatas rata-rata skor. Masih
banyaknya persepsi negatif bidan terhadap ODHA ini
terkait dengan nilai-nilai seperti sikap menyalahkan
(blame), menghakimi (judgement) dan rasa malu
(shame) yang dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS.
Persepsi bidan terhadap ODHA dipengaruhi oleh
pengetahuan tentang HIV/AIDS, faktor kepribadian
dan faktor budaya.
Variabel persepsi bidan tentang HIV/AIDS
pada analisis bivariat (tabel 4) menunjukkan ada
hubungan yang signifikan dengan stigma dan
diskriminasi oleh petugas kesehatan terhadap ODHA.
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa
hubungan antara persepsi bidan tentang HIV/AIDS
dengan stigma dan diskriminasi oleh bidan terhadap
ODHA dengan nilai RP=3,67 (95% CI = 2,34-5,75);
p<0,01 artinya bidan yang melakukan stigma dan
diskriminasi pada ODHA 3,67 kali lebih banyak
dilakukan oleh bidan yang memiliki persepsi yang
kurang baik dibandingkan bidan yang memiliki
persepsi yang baik tentang HIV/AIDS.
Hasil analisis multivariat (tabel 17) juga
menunjukkan bahwa persepsi petugas kesehatan
terhadap ODHA berhubungan secara signifikan dengan
stigma dan diskriminasi oleh petugas kesehatan
terhadap ODHA. Hal ini tentu saja bisa dipahami,
bahwa dengan semakin meningkatnya persepsi petugas
kesehatan terhadap ODHA maka akan semakin
menurunkan sikap menyalahkan (blame) petugas
kesehatan terhadap ODHA dan sikap menghakimi
(judgment) petugas kesehatan terhadap ODHA, yang
akhirnya akan mampu mengikis segala sifat, sikap dan
tindakan yang dilandasi oleh stigma dan diskriminasi.
Hasil ini sesuai dengan pendapat Cock11 yang
menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA sangat dipengaruhi oleh persepsi tentang rasa
malu dan sikap menyalahkan yang terkait dengan
penyakit AIDS tersebut.
Stigma dan Diskriminasi Pada ODHA
Dari hasil analisis data dengan menggunakan
mean 33,77 sebagai cut off point terlihat bahwa
meskipun sudah banyak bidan yang tidak menstigma
dan mendiskriminasi ODHA (51,3%), akan tetapi
ternyata masih banyak bidan yang masih melakukan
stigma dan diskriminasi pada ODHA (48,7%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Mahendra6 yang mengemukakan bahwa 54
persen petugas kesehatan di rumah sakit di India
berpendapat bahwa peralatan dan alas tempat
tidur/sprei yang digunakan oleh pasien pengidap
HIV/penderita AIDS seharusnya dibuang atau dibakar
serta terdapat sebanyak 67 persen petugas kesehatan di
rumah sakit di India setuju apabila darah setiap pasien
seharusnya dilakukan tes HIV tanpa persetujuan pasien
yang bersangkutan.
Mahendra6 menyatakan bahwa manifestasi
umum dari stigma dan diskriminasi oleh staf rumah
sakit meliputi perkataan yang menghakimi dan
merendahkan diri (condescending and judgemental
remarks), tidak merujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan yang lain (unwarranted referral to other
facilities), menandai dan memisahkan pasien
(segregation and labeling patients), menggunakanan
alat pelindung secara berlebihan (excessive use of
barrier precautions), melakukan tes HIV tanpa
persetujuan (unconsented HIV testing), konseling
sebelum dan sesudah tes HV yang tidak memadai
(inadequate
preand post-test
counseling),
menyembunyikan hasil tes HIV dari pasien
(withholding of HIV test results from the patient),
memberitahukan hasil tes HIV kepada keluarga atau
petugas kesehatan yang lain tanpa persetujuan
(unconsented disclosure of test results to family and
non-treating staff) hingga menolak untuk merawat
(denial of treatment).
Ekstrand12 menyatakan bahwa stigma dan
diskriminasi dapat diekspresikan dalam beberapa cara,
meliputi: 1) pengasingan, penolakan dan menjauhi
ODHA (ostracism, rejection and avoidance of PLHA);
2) diskriminasi terhadap ODHA oleh keluarga, petugas
kesehatan, masyarakat dan pemerintah (discrimination
against PLHA by their families, health care
professionals, communities and goverments); 3)
kewajiban tes HIV tanpa adanya perlindungan
kerahasiaan dan pernyataan kesediaan sebelumnya
(mandatory HIV testing of individuals without prior
informed consent or confidentiality protections); 4)
mengkarantina pengidap HIV (quarantine of persons
who are HIV infected); 5) melakukan kekerasan
terhadap orang yang dianggap AIDS, pengidap HIV
atau termasuk dalam kelompok risiko tinggi (violence
against persons who are perceived to have AIDS, to be
infected with HIV or belong to ”high risk groups”).
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
rujukan dalam upaya penghilangan stigma dan
diskriminasi oleh bidan terhadap ODHA dengan
prioritas utama pada upaya penghilangan bentuk
eksternal stigma berupa penolakan yang disusul oleh
diskriminasi, pengorbanan, pelanggaran hak asasi
manusia, pelecehan dan menjauhi. Dengan pemberian
skala prioritas intervensi sesuai dengan bentuk
eksternal stigma ini diharapkan upaya penghilangan
stigma dan diskriminasi oleh bidan terhadap ODHA
dapat berlangsung secara efektif dan tepat sasaran.
Kesimpulan
1.
Prevalensi Stigma dan Diskriminasi pada ODHA
lebih banyak terdapat pada bidan yang memiliki
pengetahuan yang kurang baik tentang
HIV/AIDS dibandingkan dengan bidan yang
memiliki pengetahuan yang baik tentang
HIV/AIDS.
2.
Prevalensi Stigma dan Diskriminasi pada ODHA
lebih banyak terdapat pada bidan yang memiliki
persepsi yang kurang baik tentang HIV/AIDS
dibandingkan dengan bidan yang memiliki
persepsi yang baik tentang HIV/AIDS.
3.
Pengetahuan dan Persepsi bidan tentang
HIV/AIDS mempunyai hubungan bermakna
dengan Stigma dan diskriminasi pada ODHA,
namun variabel persepsi bidan
memiliki
hubungan yang lebih dominan.
Saran
1.
Perlu
terus
diupayakan
peningkatan
pengetahuan bidan terutama tentang tes HIV,
cara pencegahan HIV, tentang HIV/AIDS dan
cara penularan HIV agar bidan benar-benar
memiliki pemahaman yang komprehensif, tepat
dan jelas sehingga dapat menghilangkan mitosmitos yang tidak benar serta ketakutan yang
berlebihan terhadap HIV/AIDS baik melalui
pelatihan teknis, desiminasi informasi melalui
buku-buku, poster, diskusi dan sebagainya.
2.
Perlu terus digalakkan upaya penghilangan
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA di
kalangan bidan dengan menetapkan standar
pelayanan operasional yang baku dan disertai
dengan penyediaan sarana pendukung yang
memadai.
DAFTAR RUJUKAN
1.
2.
WHO (2006) AIDS epidemic update, December
2006.
Depkes (2008) Ditjen PPM & PL, Statistic
Update : Incidence and Epidemioloigy
HIV/AIDS in Indonesia, Jakarta.
25
3.
4.
5.
6.
7.
26
Day, R. (2006) Ancaman HIV di Indonesia,
Direktur P2ML Ditjen PP & PL Departemen
Kesehatan RI.
Webber, G.C. (2007) Chinese health care
providers‟ attitude about HIV: a review, AIDS
Care, May; 19(5): 685-691.
UNAIDS (2001) Stigma and discrimination fuel
AIDS epidemic, UNAIDS warns. Press release, 5
September, Geneva. Quoted in: Reidpath, D.D.,
Brijnath, B., and Chan, K.Y., (2005) An Asia
Pacific six country study on HIV-related
discrimination: Introduction, AIDS Care, July
2005; 17 (Suplemen 2): S117-S127.
Mahendra, V.S., Gilborn, L., George, B.,
Samson, L., Mudoi, R., Jadav, R., Gupta, I.,
Bharat, S., and Daly, C. (2006) Reducing stigma
and discrimination in hospital: positive findings
from India, Horizons Research Summary,
Washington, DC:Population Council
Aggleton, P., Parker, R., & UNAIDS (2002)
World AIDS Campaign 2002- 2003: A conceptual
framework and basis for action HIV/AIDS stigma
and
discrimination.
Available
at:
http://www.eldis.org/static/ DOC 1014.htm.
8.
Herek, G.M., Capitanio, J.P., & Widaman, K.F.
(2002) HIV-related stigma and knowledge in the
United States: Prevalence and Trends, 19911999, American Journal of Public Health, vol 92,
No 3, Marc, 371- 377.
9. Herek, G.M., Capitanio, J.P., & Widaman, K.F.
(2002) HIV-related stigma and knowledge in the
United States: Prevalence and Trends, 19911999, American Journal of Public Health, vol 92,
No 3, Marc, 371- 377.
10. Pratikno, Heri (2008) Stigma dan Diskriinasi oleh
petugas Kesehatan terhadap ODHA (Orang
dengan HIV/AIDS) di Kabupaten Bengkalis
Propinsi Riau, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Tesis (tidak dipublikasikan).
11. Cock, K.M.D., Mbori-Ngaca, D., & Marum, E.
(2002) Shadow on the continent: Public health
and HIV/ADS in Africa in the 21st century. The
Lancet, 360, 67-72.
12. Ekstrand, M. (2006) How does stigma affect HIV
prevention and treatment, Center for AIDS
Prevention Studies and the AIDS Research
Institute, University of California, San Fransisco.
Abell, N.
ANALISA JENIS LEUKOSIT PADA PENDERITA TUBERCULOSIS
PARU DI BALAI LABORATORIUM KESEHATAN MEDAN
Azhar Johan, Nelma
Jurusan Analis Politeknik Kesehatan Medan
Abstrak
Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa, kuman ini sering
dijumpai pada paru-paru dan bisa juga dijumpai pada organ tubuh lain. Penularan kuman ini terutama
melalui udara dan juga melalui makanan yang terkontaminasi dengan kuman Mycobacterium tuberculosa.
Untuk mendiagnosa TBC dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA) dan
kultur sputum. Pada pemeriksaan mikroskopis apabila ditemukan basil tahan asam (BTA) dan dilanjutkan
dengan pemeriksaan identifikasi (kultur sputum) positif maka diagnosanya adalah TBC. Pada pemeriksaan
darah rutin dijumpai laju endap darah (LED) yang tinggi (khas), anemia ringan . Jenis leukosit pada
pemeriksaan hitung jenis leukosit yang sering muncul dan mencolok adalah monosit dan limfosit Telah
dilakukan penelitian pada bulan juli sampai dengan Agustus 2010. Tempat penelitian dilakukan di Balai
Laboratorium Kesehatan Medan. Adapun sample penelitian ini berjumlah 30 pasien yang menderita
tuberculosis paru (TB paru). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis leukosit pada penderita TB
paru. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Telah dilakukan penelitian dari 30 pasien didapat hasil
24 pasien (80 %) yang menderita monositosis dan 6 pasien (20 %) tidak. 20 pasien BTA positif (+) 10
pasien BTA positif (++). Kesimpulan penelitiaan ini dari 24 pasien yang menderita monositosis, ternyata ada
pasien yang mengalami infeksi lain. Sebelas pasien yang menderita monositosis saja, satu (1) pasien
menderita monositosis, neutrofeni dan limfositosis, tiga (3) pasien menderita monositosis dan eosinofilia,
enam (6) pasien menderita monositosis dan neutrofini, tiga (3) pasien menderita monositosis, eosinofili dan
neutrofilia.
Kata kunci : Mycobacterium Tuberculosa, TB Paru.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit tuberculosis paru (TB paru) adalah salah
satu masalah utama kesehatan masyarakat. Pada tahun
1995 hasil pendataan dari Dinas Kesehatan menunjukkan
bahwa penyakit tuberculosis (TBC) merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia,
dan nomor satu golongan penyakit infeksi (Depkes,
2002).
Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosa, kuman ini
sering dijumpai pada paru-paru dan bisa juga dijumpai
pada organ tubuh lain. Penularan kuman ini terutama
melalui udara dan juga melalui makanan yang
terkontaminasi dengan kuman Mycobacterium tuberculosa
(Pragoyo, 2005).
Untuk mendiagnosa TBC dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA) dan
kultur sputum. Pada pemeriksaan mikroskopis apabila
ditemukan basil tahan asam (BTA) dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan identifikasi (kultur sputum) positif maka
diagnosanya adalah TBC. Pada pemeriksaan darah rutin
dijumpai laju endap darah (LED) yang tinggi (khas),
anemia ringan . Jenis leukosit pada pemeriksaan hitung
jenis leukosit yang sering muncul dan mencolok adalah
monosit dan limfosit (Kurt, 1998).
Pada penderita TBC
monosit selalu tinggi
dikarenakan kuman TBC sangat menyenangi lipid, dan
tetes lemak banyak tedapat pada monosit. Lipid inilah
yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam
alkohol). Adapun sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat
ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, terutama
pada jaringan bagian apical paru-paru. Bila terinfeksi oleh
basil BTA maka akan sangat menggangu sirkulasi
peredaran darah dan biasanya menyebabkan peningkatan
sel-sel darah seperti monosit dan limfosit dan ditambah
lagi dengan peningkatan jumlah leukosit (Kurt, 1998).
Berkenaan dengan ini peneliti
bermaksud
melakukan pemeriksaan leukosit pada penderita TBC di
Balai Laboratorium Kesehatan guna membuktikan hal
tersebut diatas
Perumusan Masalah
Apakah ada peningkatan leukosit pada penderita TBC
yang datang memeriksakan diri ke Balai Laboratorium
Kesehatan Medan.
27
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui jenis leukosit yang meningkat pada
penderita TBC yang datang memeriksakan diri ke Balai
Laboratorium Kesehatan Medan.
Manfaat Penelitian
Memberikan pengalaman dan pengetahuan ilmiah
bagi penulis dalam melakukan penelitian, dan sebagai
sumber informasi bagi masyarakat.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli
sampai dengan Agustus 2010 di Balai Laboratorium
Kesehatan Medan.
Sample Penelitian
Diambil sebanyak 30 orang penderita TB paru
yang datang memeriksakan diri ke Balai Laboratorium
Kesehatan Medan.
merespon infeksi kuman tersebut, sehingga monositosis
dianggap sebagai pertanda aktifnya penyebaran
tuberculosis, adanya monositosis menunjukkan gejala
awal yang kurang baik terhadap kondisi paru-paru pasien
(Arthur, 1992).
Disisi lain jumlah monosit tidak selalu meningkat
pada penderita TB Paru, terbukti ada 6 sample yang
jumlah monositnya normal (pada table 1). Hal tersebut
dimungkinkan terjadi pada pasien yang memiliki daya
tahan tubuh yang baik atau infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosa pada pasien masih pada tahap sangat awal,
sehingga belum memicu pembentukan monosit-monosit
baru.
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan BTA.
No
BTA
Jumlah Pasien
1.
Positif ( + )
20
2.
Positif ( + + )
10
Total
30
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Telah dilaksanakan pemeriksaan darah terhadap 30
pasien penderita TB paru di Balai Laboratorium Kesehatan
Medan. Pemeriksaan hitung jenis leukosit didapat hasil
seperti tertera dalam tabel 1 berikut :
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan leukosit.
Pasien
No
Jumlah
Monosit
Jumlah Jumlah ( % )
1.
Diatas normal
24
80
2.
Normal
6
20
Total
30
100
Jumlah Pasien
Grafik 1 Hasil Pemeriksaan Leokisit
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Tabel 3. Hasil hapusan darah pasien berusia 30-50 tahun.
diatas normal
normal
LEOKOSIT
Data dari tabel 1 menunjukkan bahwa 24
sample (80 %) jumlah monositnya berada diatas
normal
sedangkan
6 sample (20 %) jumlah
monositnya normal.
Monositosis adalah peningkatan jumlah monosit
di atas 2-8 %. Salah satu penyebab tingginya jumlah
monosit adalah adanya infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosa. Monosit dalam hal ini berperan aktif dalam
28
Dari 30 sample yang menderita TB Paru didapat
20 orang yang BTA positif (+). Menurut IUATLD
(International Union Against Tuberculosis Lung
Deseases), Positif (+) adalah bila dijumpai dalam 100
lapangan pandang kuman BTA 10-99. Ini merupakan
pertanda pasien mengidap tuberculosis awal (ringan).
Sedangkan positif (++) adalah bila dijumpai dalam 1
lapangan pandang kuman BTA 1-10.Positif (++)
merupakan pertanda pasien mengidap TB Paru sedang.
Pada penelitian ini jumlah pasien yang positif (++)
dijumpai sebanyak 10 orang (tabel 2).
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
No. Sediaan
18
21
32
35
80
88
97
99
103
124
135
140
163
166
169
172
Umur
41
39
43
50
40
43
50
49
39
50
49
47
42
40
42
44
Monosit
9
12
17
9
17
13
14
8
7
13
16
14
12
15
16
18
Selain itu data penelitian ini yang menunjukkan
bahwa pasien yang berusia 30-50 tahun mencapai 16
pasien, dari ke 16 pasien tersebut 2 pasien diantaranya
jumlah monositnya tidak meninggi sedangkan 14 pasien
sisanya monositnya meninggi (tabel 3). Ini menunjukkan
bahwa pada usia produktivitas pembentukan monosit
masih aktif dan baik. Monosit yang dibuat di sumsum
tulang akan masuk dalam aliran darah dalam beberapa
jam. Monosit akan berpindah ke dalam jaringan untuk
proses pematangan hingga berubah menjadi makrofag atau
sel pemangsa atau fagosit pada sistem kekebalan.
Perubahan tersebut akan terjadi dengan relatif cepat jika
dipicu kehadiran antigen. Antigen dalam hal ini adalah
Mycobacterium tuberculosa ( Arthur,1992).
Tabel 5. Pasien yang
eosinofilia.
NO No. Sediaan
1.
0035
2.
0088
3.
0097
4.
0099
5.
0111
6.
0145
7.
0169
8.
0175
9.
0179
mengalami monositosis dan
Monosit
9
13
14
8
9
7
16
17
10
Eosinofil
4
5
4
4
4
5
5
4
4
Tabel 4. Hasil hapusan darah pasien berusia 50-70 tahun.
NO No.Sediaan
Umur
Monosit
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
0011
0070
0076
0079
0091
0111
0141
0145
0149
0151
0175
0176
0179
0183
55
54
60
63
52
63
54
52
56
57
51
53
60
70
10
12
13
15
12
9
8
7
6
11
17
11
10
8
Pada pasien yang berusia 50-70 tahun (jumlahnya
14 pasien), 10 pasien monositnya meninggi dan hanya 4
yang monositnya normal (tabel 4). Ini mengindikasikan
bahwa pasien yang berusia 50-70 tahun sudah kurang
produktif dalam pembentukan monosit, sehingga
meskipun tubuhnya terinfeksi kuman, sum-sum tulangnya
kurang memberi respon pembentukan sel-sel darah baru.
Dari 30 pasien yang diteliti yang jumlah
eosinofilnya meninggi sebanyak 9 pasien, tuju (7) pasien
diantaranya selain terkena monositosis ternyata juga
terkena eosinofilia (tabel 5), hal ini mengindikasikan
bahwa pasien disamping terinfeksi oleh kuman
Mycobacterium tuberculosa kemungkinan juga terinfeksi
oleh infeksi parasit (kecacingan). Standar baku eosinofilia
adalah bila jumlah eosinofil diatas 1-3% (Arthur, 1992).
Tabel 6. Pasien yang
neutrofeni.
mengalami
monositosis
NO
No.Sedian
Monosit
Neutrofil
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
0032
0070
0079
0091
0097
0099
0145
0149
0169
0172
0175
0176
0179
17
12
15
12
14
8
8
7
16
18
17
11
10
31
47
45
44
41
49
46
46
48
47
43
48
46
dan
29
SIMPULAN DAN SARAN
Tiga puluh (30) pasien yang diteliti ditemukan
juga pasien yang menggalami neutropeni yaitu yang
neutropilnya berjumlah dibawah 50% (Lubis, 1992).
Jumlah pasien yang neutrofeni mencapai 13 pasien, 10
diantaranya ternyata juga mengalami monositosis (tabel 6).
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa ke 10 pasien
selain terkena TB paru, juga mengalami anemia dan
memungkinkan juga kekurangan vitamin B12. Hal ini
mungkin terjadi setelah pasien terkena TB paru, biasanya
pasien mengalami batuk darah, sehingga jumlah sel darah
merah tubuh menurun dan menimbulkan efek samping
berupa anemia. Penurunan neutrofil segmen disebut
neutrofeni (Lubis, 1992).
Dari 30 pasien yang diteliti terdapat 1 pasien yang
selain monositosis, neutrofeni juga mengalami limfositosis
(lampiran 2). Limfositosis merupakan respon imun normal
didalam darah dan jaringan limfoid terhadap tuberculosis.
Terjadinya limfositosis pada pasien menunjukkan adanya
proses penyembuhan terhadap tuberculosis (Arthur,1992).
Ini mengindikasikan bahwa selain pasien mengalami
infeksi Mycobacterium tuberculosa dan infeksi lain namun
pasien ini diduga sudah mendapat penggobatan. Respon
tubuh yang baik terhadap obat yang dikonsumsi oleh
pasien ditandai dengan adanya proses peningkatan
limposit pada pasien, tetapi pasien ini belum dalam
keadaan sembuh total ditandai dengan adanya neutrofeni.
Tabel 7. Pasien dengan monositosis, eosinofili dan
neutrofeni.
NO No Sediaan Monosit Eosinofil Neutrofil
1
0097
14
4
41
2
0169
16
5
48
3
0175
17
4
43
4
0179
10
4
46
Kasus lain yang ditemukan adalah adanya pasien
yang mengalami monositosis, eosinofilia dan neutrofeni
sebanyak 4 pasien (tabel 7). Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa pasien selain terinfeksi oleh kuman Mycobacterium
tuberculosa pasien juga mengalami infeksi parasit. Dalam
hal ini pasien menggalami berbagai infeksi, yang
memungkinkan terjadinya anemia dan kekurangan vitamin
B12..
30
Simpulan
Dari hasil penelitian pemeriksaan leukosit pada
hapusan darah tepi dari penderita TB paru di Balai
Laboratorium Kesehatan Medan diperoleh hasil 24 orang
(80%) mengalami monositosis. Sedangkan 6 orang (20%)
monositnya normal.
Dari 24 pasien
yang menderita monositosis
dijumpai 11 pasien yang hanya menderita monositosis
saja, enam (6) pasien yang menderita monositosis dan
neutrofeni. Satu (1) pasien yang menderita monositosis,
neutrofeni dan limfositosis.Tiga (3) pasien menderita
monositosis dan eosinofilia. Tiga (3) pasien yang lain
menderita monositosis, eosinofili dan neutrofeni.
Pada penelitian ini didapat pasien yang berumur 3050 tahun (16 pasien) lebih banyak menderita monositosis
dibandingkan dengan pasien yang berumur 50-70 tahun
(14 pasien).
Dari 30 pasien yang menderita TB paru didapat 20
pasien yang BTA positif (+). Dan 10 pasien yang BTA
positif (++).
Saran
Pada pembuatan dan pemeriksaan sediaan hapus
darah tepi harus lebih teliti agar tidak terjadi kesalahan.
Hindari kontak terlalu lama dengan penderita TB Paru
untuk menghindari penularan. Kepada penderita TB paru
agar tidak meludah dan membuang dahak disembarang
tempat, menjalani pengobatan atau terapi dengan baik, dan
mengkonsumsi makanan bergizi. Pada peneliti selanjutnya
agar menggunakan sample yang lebih banyak agar
menemukan hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
DepKes RI. 1989. “Hematologi”, Pusat Pendidikan
Tenaga Kesehatan DepKes RI, Jakarta, , hal 8-67.
______, 2002. “Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis”, Cetakan ke-8, DepKes RI,
Jakarta, , hal 1-21.
Geo, F. Brooks. Dkk. 1999. “Mikrobiologi Kedokteran
Jawetz, Melnick, & Adelberg’s”, Salemba
Medika, Jakarta, hal 456-465.
Guyton, A. C. 1998.
“Fisiologi Manusia Dan
Mekanisme Penyakit”, Edisi III, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, hal 50-55.
Kurt, J, Isselbacher, A.B, MD. Dkk, 1998, “PrinsipPrinsip Ilmu Penyakit Dalam”, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta hal 199-804.
Lauralee Sharewood, 1996, “Fisiologi Manusia Dari Sel
Ke Sistem”, Edisi II, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, Hal 346.
Lubis, M, S. dr, 1992, “Diktat Hematologi I”, Penerbit
DepKes RI Jakarta, , hal 61-64.
Pragoyo Utomo, 2005,
“Apresiasi Penyakit,
Pengobatan
Secara
Tradisional
dan
Modern”,Jakarta, Hal 16-17.
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 1989, “Bakteriologi
Klinik”, DepKes RI, Jakarta, , hal 85-96.
R, Gandasoebrata, 2001, “Penuntun Laboratorium
Klinik”, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, , hal 23-33.
Slamet Suyono, SpPD, KE, Prof.Dr.H, .2001, “Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam”, Jilid II Edisi III,
Penerbit FKUI, Jakarta, hal 819-829.
Staf Pengajar FKUI, 1999, “Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran Edisi Revisi”, Penerbit Binarupa
Aksara, Jakarta, hal 23-33.
31
GAMBARAN POLA PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN PADA
MASA KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS IBU MELAHIRKAN DI
KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2010
Yusliana Nainggolan, Dame Evalina Simangunsong, Risnawati Tanjung
Jurusan Kebidanan Poltekkes kemenkes Medan
Abstrak
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan indikator utama dalam menilai pembangunan kesehatan
Negara. Banyak faktor yang menjadi penyebab kematian ibu seperti perdarahan, eklampsia saat kehamilan,
partus lama, komplikasi aborsi dan infeksi. Pola penyebab kematian menunjukkan, pelayanan obstetrik dan
neonatal darurat serta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sangat penting dalam upaya
penurunan kematian ibu. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan desain explanatory
research. Lokasi penelitian Kabupaten Simalungun, waktu penelitian Agustus – November 2010. Populasi
dalam penelitian adalah ibu yang telah melahirkan sampai 40 dan pemilihan sampel dilakukan dengan
teknik „two stage cluster sampling.. Hasil penelitian dari faktor Sosio Budaya,yang berperan dalam
pengambilan keputusan pada masa kehamilan hingga masa nifas adalah ibu. Faktor organisasi yaitu
ketersediaan sumber daya pelayanan kesehatan bahwa jumlah RS sebanyak 9 Rumah Sakit. Terdapat 34
unit Puskesmas yang terdiri dari 23 Puskesmas rawat jalan dan 11 puskesmas Perawatan. Terdapat 50 unit
pos Kesehatan Desa yang tersebar di 50 desa/kelurahan. Maka ratio Posyandu terhadap puskesmas sebesar
38,35 %. Kepemilikan jaminan kesehatan didapat,
63.8% tidak mempunyai jaminan. Tingkat
pengetahuan masyarakat tentang kehamilan, persalinan dan masa nifas berada pada kategori sedang.
Persepsi, sikap dan kepercayaan terhadap kehamilan cukup mendukung. Kenyamananan pemberian
pelayanan, responden memberi penilaian baik kepada Bidan sebanyak 96,67%, dokter sebanyak 96,67%
dan dukun 84,29%. Kesabaran dalam pemberiaan pelayanan responden memberi penilaian baik kepada
dokter sebanyak 199 orang (99,5%). Untuk Pola pencarian pelayanan kesehatan yaitu pada masa nifas
kepada bidan desa (62%), menyusul bidan swasta (10,4) dan kombinasi dukun bayi dan bidan desa (8,5%)..
Kombinasi ini dipilih oleh para ibu dimana dianggap lebih lengkap baik secara tradisional maupun secara
medis sehingga pilihan ini lebih nyaman.
Kata Kunci : Gambaran, Pelayanan, Kesehatan, Hamil, Bersalin, Nifas
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator utama dalam
menilai pembangunan kesehatan suatu Negara. Indonesia
telah mencanangkan Making Pregnancy Safer ( MPS)
sebagai stategi pembangunan kesehatan masyarakat
menuju Indonesia Sehat 2010 pada 12 Oktober 2000
sebagai bagian dari program Safe Motherhood yang telah
dilaksanakan sejak 1988.
Penyebab kematian ibu adalah perdarahan,
eklampsia atau gangguan akibat tekanan darah tinggi saat
kehamilan, partus lama, komplikasi aborsi dan infeksi.
Perdarahan,yang biasanya tidak bisa diperkirakan dan
terjadi secara mendadak, bertanggung jawab atas 28
persen kematian ibu. Sebagian besar kasus perdarahan
dalam masa nifas terjadi karena retensio plasenta dan
atonia uteri. Hal ini mengindikasikan kurang baiknya
manajemen tahap ketiga proses kelahiran dan pelayanan
emergensi obstetric dan perawatan neonatal yang tepat
waktu. Eklamsia merupakan penyebab utama kedua
kematian ibu, yaitu 13 persen kematian ibu di Indonesia
32
(rata – rata dunia adalah 12 persen). Pemantauan
kehamilan secara teratur sebenarnya dapat menjadi akses
terhadap perawatan yang sederhana dan murah yang dapat
mencegah kematian ibu karena eksplamsia.
Pola penyebab kematian di atas menunjukkan
bahwa pelayanan obstetrik dan neonatal darurat serta
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih
menjadi sangat penting dalam upaya penurunan kematian
ibu. Walaupun sebagian besar perempuan bersalin di
rumah, tenaga terlatih dapat membantu mengenali
kegawatan medis dan membantu keluarga untuk mencari
perawatan darurat. Proporsi persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan terlatih terus meningkat dari 40,7 persen
pada 1992 menjadi 77,23 persen pada 2007. Proporsi ini
berbeda cukup jauh mengikuti tingkat pendapatan. Pada
ibu dengan pendapatan lebih tinggi, 82,2 persen kelahiran
ditolong oleh tanaga kesehatan, sementara pada golongan
berpendapatan rendah hanya 21,39 persen. Hal ini
menunjukkan tidak meratanya akses finansial terhadap
pelayanan kesehatan dan tidak meratanya distribusi tenaga
terlatih terutama bidan.
Berdasarkan penyebab langsung dan tidak
langsung dari kematian ibu yang telah diuraikan diatas,
pemenuhan gizi dan pemanfaatan pelayanan kesehatan
pada periode kehamilan hingga periode nifas memberikan
kontribusi besar dalam menurunkan risiko terjadinya
kematian ibu dan kematian neonatal. Menurut Grossman
dengan teori Demand for Health Capital , bahwa yang
diinginkan seseorang dalam pemanfaatan pelayanan
kesehatan dan intake gizi adalah kesehatan. Alokasi dana
rumah tangga yang cukup untuk pemenuhan gizi dan
pelayanan kesehatan akan meningkatkan status kesehatan
anggota rumah tangga.
Banyak faktor yang mempengaruhi pola
pencarian pelayanan kesehatan dalam rumah tangga.
Berdasarkan Determinants of Health Outcomes, diketahui
jalur untuk meningkatkan derajat kesehatan penduduk
melalui public goods adalah melalui peran kebijakan dan
program pemerintah, sektor kesehatan dan sektor lain dan
peran
keluarga/masyarakat.
Faktor
utama
keluarga/masyarakat meliputi: a) sumber daya keluarga,
meliputi pendapatan, aset dan kekayaan, pendidikan dan
lainya, b) Perilaku dan faktor risiko keluarga, meliputi :
pemanfaatan pelayaan kesehatan, perilaku nutrisi dan
keamanan makanan, kontrol penggunaan uang dan
pengambilan keputusan keluarga, c) Sumber daya
masyarakat, meliputi budaya (kebiasaan melahirkan di
rumah), nilai, jarak/geografi, lingkungan, transportasi.
Menurut Akin dkk (1984) dalam Determinants of
Demand For Health Services (Modern Public, Modern
Private, Traditional) in The 3rd World, faktor yang
mempengarui permintaan akan pelayanan kesehatan
adalah sebangai berikut: a) Harga, meliputi: biaya
trasportasi, waktu tunggu, tarif/biaya langsung,
koasuransi/jaminan sosial, b) Harga jasa/yankes lain,
subsitusi atau komplemen, c) Pendapatan, meliputi: besar
pendapatan, sumber pendapatan, jenis aset dan kekayaan,
d) Alokasi waktu, meliputi sifat/kebiasaan pekerjaan,
pekerjaan, e) Kebutuhan kesehatan, meliputi: fisiologis,
yang dirasakan/nyata, f) Demografi, meliputi: jenis
kelamin, besar/ukuran rumah tangga, g) Urbanisasi, h)
Pengetahuan/informasi, meliputi: issu budaya, pendidikan,
i) Pengalaman meliputi: efek terhadap kesehatan, efek
biaya.
Berdasarkan data Susenas tahun 2001 dan 2002,
diketahui kabupaten dengan penolong persalinan oleh
bidan terendah di Provinsi Sumatera Utara adalah Nias
(38,9%), Mandailing Natal (46,9%), Labuhan Batu
(69,3%), Asahan (76,15). Pada tahun 2008, Kabupaten
Simalungun 65 %.
Data yang diperoleh dari Profil Kesehatan
Kabupaten Simalungun tahun 2008, bahwa cakupan
kunjungan ibu hamil K4 di Kabupaten Simalungun adalah
sebesar 71,03 % sedangkan cakupan K1 mencapai 80,21
%, cakupan ini masih jauh dari target indikator SPM 2010
yakni 95 %. Kemungkinan penyebab utama terjadinya
penurunan ini adalah rendahnya akses ibu hamil ke sarana
pelayanan kesehatan seperti Posyandu dan Puskesmas atau
mobilitas yang rendah oleh petugas kesehatan, ketidak
tahuan ibu hamil terhadap manfaat kunjungan K4.
Kecamatan seperti Hantonduhan, Gunung
Malela di kabupaten Simalungun, persalinan yang
ditolong oleh tenaga kesehatan, masih mencapai 76 % dan
64 %, dan dalam kurun waktu tahun 2008 kematian ibu
hamil 8 org, ibu bersalin 17 org dan kematian ibu nifas 4
orang. Rendahnya cakupan rujukan ibu hamil resiko tinggi
masih mencapai 55,6 %, angka ini masih jauh dari target
SPM 2010 (100 %). Keadaan-keadaan seperti tersebut di
atas akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu
dimana keadaan ini masih mengkhawatirkan di Kabupaten
Simalungun (AKI 167,7/100.000).
Target proses yang belum tercapai, diantaranya
cakupan KI dan K4 serta cakupan penolong persalinan
oleh tenaga kesehatan berpengaruh pada target dampak
kesehatan. Target dampak kesehatan menurunnya
kematian ibu dan kematian neonatal juga dipengaruhi
secara langsung oleh status gizi ibu dari periode kehamilan
hingga periode nifas. Alokasi dana rumah tangga yang
cukup untuk pemenuhan gizi dipadu dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan yang berkualitas dan sesuai
kebutuhan menjadi faktor yang sangat berpengaruh
terhadap pencapaian target dampak kesehatan. Untuk itu,
perlu diketahui determinan pola pencariaan pelayanan
kesehatan pada masa kehamilan, persalinan dan nifas ibu
melahirkan di Kabupaten Simalungun 2010 .
Masih rendahnya pemanfaatan pelayanan
kesehatan pada masa kehamilan, persalinan dan nifas ibu
melahirkan di Kabupaten Simalungun, untuk itu, perlu di
ketahui determinan pola pencarian pelayanan kesehatan
pada masa kehamilan, persalinan dan nifas ibu melahirkan
di Kabupaten Simalungun Tahun 2010. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui Determinan pola pencarian
pelayanan kesehatan pada masa kehamilan , persalinan
dan nifas ibu melahirkan di Kabupaten Simalungun 2010.
Jenis penelitian ini bersifat kuantitatif dan
kualitatif dengan menggunakan desain Explanatori
Research yang ditujukan untuk menjelaskkan hubungan
variabel bebas dengan variabel terikat.Penelitian
dilaksanakan di Kabupaten Simalungun pada tahun 2010
Pematang Raya Propinsi Sumatra Utara.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu –
ibu yang telah melahirkan setelah 7 hari hingga 1 tahun di
Kabupaten Simalungun 2010 Propinsi Sumatra Utara.
Tehnik penarikan sampel dilakukan dengan tehnik
menerapkan rancangan sampel klaster dua tahap (two
stage culster sampling) yaitu dengan pemilihan klaster
kelurahan pada tahap pertama secara probability
proportionate to size (PPS) dan pemilihan sampel pada
tahap kedua, yaitu pemilihan sampel rumah tangga
dilakukan dengan cara acak sederhana (simple random
sampling) (Ariawan, 1996). Berdasarkan perhitungan di
atas jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 210 ibu
yang telah melahirkan setelah 7 hari hingga 1 tahun di
Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatra Utara.
HASIL PENELITIAN
Pelayanan Kesehatan
a. Pelayanan kesehatan Ibu dan bayi
Cakupan kunjungan Ibu hamil K4 di Kabupaten
Simalungun tahun 2008 adalah sebesar 71,03 %,
sedangkan cakupan K1 mencapai 80,21 %. Dengan
demikian terjadi drop out K4 sebesar 9,18 % . Kunjungan
ibu hamil K1 tahun 2008 ini ternyata lebih rendah
dibanding tahun 2007 (82,11 %) sedangkan cakupan
33
kunjungan K4 lebih tinggi tahun 2007 (69,17%) namun
masih jauh dari target indikator SPM 2010 yakni 95%.
Pada tahun 2008 persentase cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Simalungun adalah
93,42 %, lebih rendah dari tahun 2007 yakni 97, 89 %,
namun angka cakupan ini berada di atas target SPM 2010
(90 %). Penurunan persentase cakupan persalinan oleh
tenaga kesehatan ini tentu berkaitan langsung dengan
kualitas pelayanan pada saat kunjungan ibu hamil K4.
b. Pelayanan Obstetric dan Neonatal Emergency
Dasar dan Komprehensif
Pelayanan ini meliputi akses terhadap
ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk
menangani rujukan ibu hamil dan neonatus; ibu hamil
resiko tinggi/komplikasi yang ditangani dan neonatal
resiko tinggi/komplikasi yang ditangani. Pada tahun 2008
dari 23.421 ibu hamil yang ada 19,33 % diantaranya
adalah bumil yang resiko tinggi dan hanya 55,67 % yang
dirujuk atau ditangani. Apabila dibandingkan tahun 2007
(100%) dan indikator SPM 2010 (80%), maka persentase
cakupan ibu hamil resiko tinggi/komplikasi yang ditangani
tersebut masih jauh.
Untuk cakupan neonatal resiko tinggi/komplikasi
yang ditangani dari 18.200 neonatal yang ada 4,92 %
diantaranya adalah neonatal risti dan hanya 525 neonatal
risti yang ditangani. Dengan demikian persentase cakupan
neonatal resiko tinggi/komplikasi yang ditangani tahun
2008 adalah hanya 58,66%, masih jauh dari ctarget
pencapaian indikator SPM 2010 (80%).
7 RS BUMN dan swasta. Ratio penduduk terhadap RS
adalah 1 : 94.036.56 atau dengan kata lain 1 RS melayani
94.036 – 94.037 jiwa penduduk.
2) Puskesmas dan Puskesmas Pembantu
Tahun 2008 Puskesmas di Kabupaten
Simalungun sebanyak 34 unit yang terdiri dari 23
Puskesmas rawat jalan dan 11 puskesmas Perawatan
(rawat inap) dengan rata-rata 5 tempat tidur. Ke 34
Puskesmas tersebar di 31 kecamatan. Dengan demikian
ratio penduduk terhadap Puskesmas sebesar 24.892 jiwa
atau tiap puskesmas melayani 24.892 jiwa. Ratio desa
terhadap puskesmas sebesar 10,79 % atau tiap Puskesmas
melayani rata-rata 10-11 desa.Puskesmas pembantu
hingga tahun 2008 berjumlah 171 unit, dengan demikian
ratio Puskesmas pembantu terhadap Puskesmas 5,03 atau
setiap Puskesmas membawahi 5 - 6 Puskesmas pembantu.
3) Pos Kesehatan Desa
Tahun 2008 terdapat 50 unit pos Kesehatan Desa
yang tersebar di 50 desa/kelurahan, sedangkan jumlah
desa/kelurahan di kabupaten simalungun sebanyak 367
desa/kelurahan.
4) Pos Pelayanan Terpadu
Jumlah Posyandu tahun 2008 ada sebanyak
1.304 Posyandu terdiri dari Pratama (53,22%), madya
(26,61%), purnama (17,33%) dan Mandiri (2,84%). Maka
ratio Posyandu terhadap puskesmas sebesar 38,35 % atau
setiap Puskesmas melayani 38-39 posyandu.
c. Sarana Kesehatan
1) Rumah Sakit Umum
Tahun 2008 jumlah Rumah Sakit di Kabupaten
Simalungun sebanyak 9 RS yang terdiri dari 2 RSUD dan
d Tenaga kesehatan
Tabel 4.1 Sebaran Tenaga Kesehataan Menurut Unit kerja di Kabupaten Simalungun Tahun 2008
No
1
2
3
4
5
Unit Kerja
Puskesmas (termasuk Pustu
dan polindes)
Rumah sakit
Institusi Diklat/Diknakes
Sarana Kesehatan lain
Dinkes kab/Kota
Jumlah
Medis
Perawat
dan Bidan
Farm
asi
Gizi
Tehnisi
Medis
Sanitasi
146
734
21
58
4
10
7
163
22
8
764
2
4
27
3
7
68
3
7
Tabel 4.2. Umur Responden
Umur
15 – 19
20 – 24
25 – 29
30 – 34
35 – 39
40 – 44
Total
34
Frekuensi
4
36
88
48
27
7
210
Persentase
1.9
17.1
41.9
22.9
12.9
3.3
100
JLH
11
KE
SM
AS
6
2
8
21
3
22
31
45
56
1081
980
Tabel 4.3. Paritas Responden
Paritas
1
2
3
4
5
6
7
8
Total
Frekuensi
63
60
45
30
10
1
1
210
Persentase
30
28.6
21.4
14.3
4.8
0.5
0.5
100
Tabel 4.4. Pendidikan suami responden
Pendidikan suami
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMU
Tamat diploma
Sarjana
Total
Frekuensi
5
22
54
123
2
4
210
Persentase
2.4
10.5
25.7
58.6
1.0
1.9
100
Tabel 4.5. Pendidikan responden
Pendidikan
TIdak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMU
Tamat Diploma
Sarjana
Total
Frekuensi
1
8
25
67
97
8
4
210
Persentase
0.5
3.8
11.9
31.9
46.2
3.8
1.9
100
Tabel. 4.6. Suku responden
Suku
Melayu
Jawa
Minang
Mandailing
Batak/Karo
Total
Frekuensi
7
82
1
5
115
210
Persentase
3.3
39
0.5
2.4
54.8
100
Tabel. 4.7. Pekerjaan Suami Responden
Jenis Pekerjaan
Tani
Swasta
Pegawai Negeri
Total
Frekuensi
98
102
10
210
Persentase
46.7
48.6
4.8
100
Frekuensi
147
25
31
7
210
Persentase
70
11.9
14.8
3.3
100
Tabel 4.8. Pekerjaan Responden
Pekerjaan
IRT
Swasta
Tani
Pegawai Negeri
Total
35
Tabel. 4.9. Kepemilikan Jaminan Kesehatan
Jaminan kesehatan
Tidak ada
Jamkesmas
Askes social/ PNS
Jamsostek
Perusahaan
Total
Frekuensi
134
35
14
21
6
210
Persentase
63.8
16.7
6.7
10
2.9
100
Tabel 4.10. Jumlah anak responden
Jumlah Anak
1
2
3
4
5
6
7
8
Total
Frekuensi
72
56
40
31
10
1
210
Persentase
34.3
26.7
19.0
14.8
4.8
0.5
100
Frekuensi
4
205
1
210
Persentase
1.9
97.6
0.5
100
Tabel 4.11 Kondisi Bayi Responden
Kondisi
Lahir hidup meninggal
Lahir hidup
Lahir premature
Total
Tabel 4.12. Riwayat Kehamilan
Riwayat kehamilan
Keguguran
Anemia
Preeklamasi/eklamsia
Perdarahan
Ada keluhan
Tidak ada kelainan
Jumlah
Frekuensi
6
21
1
3
3
176
210
Persentase
2.9
10
0.5
1.4
1.4
83.8
100
Tabel 4.13 Riwayat persalinan
Persalinan
Spontan / Normal
Forcep
Vacuum
Section Caesaria
Dan lain-lain
Total
Frekuensi
191
4
1
9
5
210
Persentase
91
1.9
0.5
4.3
2.4
100
Tabel 4.14. Riwayat Nifas
Riwayat nifas
Perdarahan
Infeksi/demam
Edema kaki
Payudara bengkak
Tidak ada keluhan
Jumlah
36
Frekuensi
8
2
2
15
183
210
persentase
3.8
1.0
1.0
7.1
87.1
100
Tabel 4.15. Berat Badan Lahir
Berat
≤ 2500
>2500 - <4000 gram
≥ 4000 gram
Total
Frekuensi
1
198
11
210
Persentase
0.5
94.3
5.2
100
Frekuensi
50
83
32
22
17
4
2
210
Persentase
23.8
39.5
15.2
10.5
8.1
1.9
1.0
100
Tabel 4.16. Pendapatan Keluarga
Pendapatan
<=600000
600001 – 1000000
1000001 – 1500000
1500001 – 2000000
2000001 – 2500000
2500001 – 3000000
>3000000
Total
Tabel 4.17. Proporsi Jumlah Responden disetiap desa/ Kelurahan
Kecamatan
Pematang Silimahuta
Frekuensi
14
Persentase
6.66
Tanah Jawa
21
10.0
Huta Bayu Raja
7
3.33
Dolok Pardamean
7
3.33
Dolok Panribuan
7
3.33
Bandar
7
3.33
Pematang Bandar
14
6.66
Raya Kahean
7
3.33
Jorlang Hataran
14
6.66
Silau Kahean
7
3.33
Bosar Maligas
28
13.3
Dolok Batu Nanggar
7
3.33
Tapian Dolok
7
3.33
Hantonduhan
14
6.66
Panombean Pane
14
6.66
Gunung Malela
14
6.66
Bandar Huluan
14
6.66
Bandar Marsilam
7
3.33
210
100
Total
Faktor Sosiobudaya
Tabel 4.18. Kontrol Pengguna Uang
Suami
Siapa yang paling dominan dalam menentukan alokasi dana rumah
tangga
Paling dominan menetukan alokasi dana perawatan kesehatan ibu
hamil hingga nifas
Sebaiknya siapa yang menentukan dana selama hamil sampai nifas
Sendiri/istri
Mertua
Laki-laki
Jlh
%
1
0.5
Jlh
106
%
50.5
Jlh
103
%
49.0
51
24.3
158
75.2
1
0.5
61
29.0
147
70.0
2
1.0
37
Tabel 4.19. Kepercayaan pada kehamilan dan Nifas
Kepercayaan
Ada
F
72
67
155
72
73
117
Perbuatan yang menjadi pantangan masa kehamilan
Makanan yang menjadi pantangan masa kehamilan
Perbuatan yang harus dilaksanakan pada masa hamil ( upacara adat)
Perbuatan yang menjadi pantangan sewaktu nifas
Makanan yang menjadi pantangan sewaktu nifas
Perbuatan yang harus dilaksanakan pada masa nifas
%
34.3
31.9
73.8
34.3
34.8
55.7
Tidak ada
F
%
138
65.7
143
68.1
55
26.2
138
65.7
137
65.2
93
44.3
Tabel 4.20. Orang membuat larangan
Siapa yang melarang perbuatan/makanan
Orangtua
Mertua
Dukun Bersalin
Petugas kesehatan
Suami
Jumlah
Frekuensi
93
37
12
44
24
210
Presentasi
44.3
17.6
5.7
21
11.4
100
Tabel 4.21. Usulan Upacara Adat
Siapa yang menganjurkan untuk melakukan perbuatan itu ?
Orangtua
Mertua
Dukun Bersalin
Petugas kesehatan
Suami
Jumlah
Frekuensi
116
50
11
6
27
210
Presentasi
55.2
23.8
5.2
2.9
12.9
100
Tabel 4.22. Yang menganjurkan Perbuatan pada Masa Nifas
Yang Menganjurkan
Orangtua
Mertua
Dukun Beranak
Petugas kesehatan
Suami
Jumlah
Frekuensi
118
28
9
21
34
210
Presentasi
56.2
13.3
4.3
10.0
16.2
100
Tabel 4.23.Anjuran Orangtua dan pihak lain pada saat hamil, persalinan dan nifas
Tidak
Apakah selama perawatan kehamilan harus selalu ikut perintah
/anjuran orangtua
Apakah dalam memutuskan persalinan harus selalu ikut
perintah/anjuran orangtua
Apakah selama perawatan nifas harus selalu ikut /anjuran orangtua
Adakah perintah /anjuran itu yang tidak sesuai
Masyarakat menghormati anjuran orangtua melakukan perawatan
hamil,persalinan sampai nifas ke orangtua/dukun
Jika ada,apakah setuju atas kebiasaan tersebut?
38
Ya
Jlh
102
%
48.6
Jlh
108
%
51.4
113
53.8
97
46.2
100
79
101
47.6
37.6
48.1
110
131
109
52,4
62.4
51.9
97
46.2
113
53.0038
Tabel 4.24. Keistimewaan pada saat hamil dan nifas
Tidak
Ya
Keistimewaan tidak bekerja berat pada masa kehamilan
Jlh
16
%
7.6
Jlh
194
%
92.4
Keistimewaan pemenuhan gizi pada masa kehamilan
Keistimewaan tidak bekerja berat pada nifas
Keistimewaan pemenuhan gizi pada masa nifas
27
130
16
12.9
61.9
7.6
183
80
194
87.1
38.1
92.4
Faktor Organisasi
Tabel 4.25. Penerimaan terhadap pelayanan kesehatan
Tidak
Apakah cara perawatan kehamilan yang dilakukan bidan sesuai dengan keinginan agama
ibu
Apakah cara penolongan persalinan yang dilakukan bidan sesuai dengan keinginan ibu
Apakah cara perawatan nifas yang dilakukan bidan sesuai dengan keinginan ibu
Apakah cara perawatan kehamilan yang dilakukan dokter sesuai keinginan ibu
Apakah cara penolongan persalinan yang dilakukan dokter sesuai dengan keinginan ibu
Apakah cara perawatan nifas yang dilakukan dokter sesuai dengan keinginan ibu
Apakah cara perawatan kehamilan yang dilakukan dukun sesuai dengan keinginan ibu
Apakah cara penolongan persalinan yang dilakukan dukun sesuai dengan keinginan ibu
Apakah cara perawatan nifas yang dilakukan dukun sesuai dengan keinginan ibu
Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan bidan bertentangan
dengan adat ibu
Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan bidan bertentangan
dengan agama ibu
Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan dokter bertentangan
dengan adat ibu
Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan dokter bertentangan
dengan agama ibu
Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan dukun bertentangan
dengan adat ibu
Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan dukun bertentangan
dengan agama ibu
Ya
Jlh
1
%
0.5
Jlh
209
%
99.5
1
1
19
17
25
109
128
199
194
0.5
0.5
9.0
8.1
11.9
51.9
61.0
94.8
92.4
209
209
191
193
185
101
82
11
16
99.5
99.5
91.0
91.9
88.1
48.1
39.0
5.2
4.8
200
95.2
10
4.8
156
74.3
54
25.7
30
14.3
180
85.7
116
55.2
94
44.8
92
43.8
118
56.2
Tabel 4.26. Penerimaan terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan
Jawaban Responden
Frekuensi
5
148
57
210
kurang menerima
Cukup Menerima
Menerima
Total
Presentasi
2,38
70,47
27,14
100
Tabel 4.27. Pelayanan kesehatan dapat dijangkau berdasarkan biaya
Tidak
Jlh
3
20
130
127
180
138
101
Apakah tarif pelayanan kesehatan oleh dukun terjangkau
Apakah tarif palayanan kesehatan oleh bidan terjangkau
Apakah tarif palayanan kesehatan oleh dokter terjangkau
Apakah tarif palayanan kesehatan di RS pemerintah terjangkau
Apakah tarif palayanan kesehatan di RS swasta terjangkau
Apakah tarif palayanan kesehatan di klinik terjangkau
Apakah mendapat keringanan dalam pembayaran persalinan
Ya
%
1,42
9,52
61,90
60,47
85,71
65,71
48,09
Jlh
207
190
80
83
30
72
109
%
98,57
90,47
38,09
39,52
14,28
34,28
51,90
Tabel 4.28. Jangkauan pelayanan kesehatan berdasarkan biaya
Tidak terjangkau
Cukup terjangkau
Terjangkau
Total
Frekuensi
64
112
34
210
Persentase
30,47
53,33
16,19
100
39
Pengetahuan
Tabel 4.29. Pemahaman Ibu Pertama sekali mengetahui kehamilan
Cara ibu mengetahui kehamilan
Periksa sendiri
Dukun
Bidan
Jumlah
Frekuensi
80
13
117
210
Persentase
38,09
6,19
55,71
100
Tabel 4.30. Tujuan pemeriksaan kehamilan
Tidak
Menjaga kesehatan ibu dan janin
Mengetahui perkembangan janin
Frekuensi
40
138
ya
Persentase
19,05
65,71
Frekuensi
170
72
Persentase
80,95
34,29
Tabel 4.31. Manfaat pemeriksaan kehamilan ke pelayanan kesehatan
Tidak tahu
Tahu
Total
Frekuensi
17
193
210
Persentase
8,10
91,90
100
Tabel 4.32.Tahu tidaknya manfaat pemberian tabel besi
Tidak tahu
Tahu
Total
Frekuensi
112
98
210
Persentase
53,33
46,67
100
Frekuensi
2
13
2
2
5
51
2
12
9
98
Persentase
2,04
13,27
2,04
2,04
5,10
52,04
2,04
12,25
9,18
100
Frekuensi
115
95
210
Persentase
54,76
45,24
100
Tabel 4.33. Manfaat Tabelt besi
Biar bayi sehat
Biar ibu tidak lemas
Kandungan sehat
Mencegah anemia
Sehat dan tidak pusing
Tambah darah
Tambah tenaga
Tambah zat besi
Vitamin
Total
Tabel 4.34. Manfaat pemberian imunisasi toksoid
Jawaban
Tidak tahu
Tahu
Total
Tabel 4.35. Pengetahuan tentang manfaat imunisasi tetanus toksoid
Jawaban responden
Anti tetanus
Bayi lebih kuat
Mecegah bayi supaya tidak sakit
Pencegahan infeksi
Supaya jangan kejang
Untuk kekebalan tubuh
Total
40
Frekuensi
43
5
3
4
32
8
95
Persentase
45,27
5,26
3,15
4,21
33,69
8,42
100
Tabel 4.36. Asupan makanan yang lebih banyak dan makan makanan yang bergizi terutama selama masa hamil hingga
nifas.
Frekuensi
4
206
210
Tidak
Ya
Total
Persentase
1,9
98,1
100
Tabel 4.37.Frekuensi Pemeriksaan Kehamilan
1 kali trimester pertama
1 kali trimester kedua
2 kali trimester ketiga
Minimal 4 kali selama masa kehamilan
Sesering mungkin
Frekuensi
202
202
178
114
114
Tidak
Persentase
96,2
96,2
84,76
54,29
54,29
Frekuensi
8
8
32
96
96
Ya
Persentase
3,8
3,8
15,24
45,71
45,71
Tabel 4.38. Pengetahuan Golongan Resiko Tinggi
Golongan resiko tinggi
Umur terlalu muda (<16 tahun)
Multipara berumur >35 tahun
Tubuh sangat pendek <140 cm
Ibu hamil yang anemia dan kurang gizi
Riwayat
persalinan
lampau
buruk(pendarahan,persalinan sukar,tak kuat
mengejan)
Hamil
dengan
bengkak
di
kaki
,muka,pusing,penglihatan kabur
F
177
179
206
205
198
203
Tidak
Persentase
84,29
85,24
98,09
97,62
9,29
96,67
F
33
31
4
5
12
7
Ya
Persentase
15,71
14,76
1,91
2,38
5,71
3,33
Tabel 4.39. Pemeriksaan Kehamilan apa saja yang diberikan Tenaga Kesehatan
Timbang Berat badan
Ukur tekanan darah
Ukur tinggi Fundus
Pemberian imunisasi Toksoid lengkap
Pemberian Tabelt zat besi
Tes terhadap penyakit menular seksual (PMS)
Temu wicara persiapan rujukan /konseling
F
161
104
120
138
124
208
184
Tidak
Persentase
76,67
49,52
57,14
65,71
59,04
99,04
87,62
F
49
106
90
72
86
2
26
Ya
Persentase
23,33
50,48
42,86
34,29
40,96
0,96
12,38
Tabel 4.40. Pengetahuan Tentang Bahaya yang Dihadapi saat Hamil yang berdampak pada janin dan proses persalinan.
Jawaban
Ibu tidak mau makan dan minum terus
Perdarahan
Bengkak tangan/Wajah
Gerakan janin tidak ada
Ketuban pecah
Letak anak yang salah
Pucat
Hamil muda pingsan
F
198
169
205
206
199
181
194
207
Tidak
Persentase
94,29
80,48
97,62
98,09
94,76
86,19
92,38
98,57
F
12
41
5
4
11
29
16
3
Ya
Persentase
5,71
19,52
2,38
1,91
5,24
13,81
7,62
1,43
41
Tabel 4.41. Kelainan-kelainan pada masa nifas.
F
177
200
206
185
199
Panas
Edema (bengkak) pada kaki satu tungakai
Berkemih tertahan
Payudara bengkak dan nyeri
Keputihan dan pendarahan
Tidak
Persentase
84,29
95,24
98,09
88,10
94,76
Ya
Persentase
15,71
4,76
1,91
11,90
5,24
F
33
10
4
25
11
Tabel 4.42. Pengetahuan Faktor Resiko Kematian Bayi
Tidak
Kehamilan < 9 bulan
Berat bayi < 2500 gram
Tetanus Neonatorum
Frekuensi
199
198
201
Ya
Persentase
94,76
94,29
95,71
Frekuensi
11
12
9
Persentase
5,24
5,71
4,29
Tabel 4.43. Pengetahuan Masyarakat Tentang Kehamilan, Persalinan dan masa nifas
Buruk
Sedang
Baik
Total
Frekuensi
13
178
19
210
Persentase
6,19
84,76
9,05
100
Tabel 4.44. Sikap Responden terhadap pemeriksaan Dukun Bayi.
Setuju
Puas jika diperiksa oleh dukun saat kandungan berusia
Triwulan ketiga
Persalinan oleh dukun bayi tidak beresiko, bila mengikuti
anjuran dukun
Dukun bayi merupakan solusi saat kesulitan ekonomi
Tanggung jawab dukun lebih baik pada masa nifas dibanding
petugas kesehatan
Ibu dan keluarga merasa nyaman bila persalinan ditolong
dukun bayi
Jlh
62
%
29,52
Tidak setuju
Jlh
%
148
70,48
67
31,90
143
68,10
100
78
47,62
37,14
110
132
52,38
62,86
68
32,38
142
67,62
Tabel 4.45. Faktor yang berhubungan dengan konsumen
Frekuensi
Kurang mendukung
Cukup Mendukung
Mendukung
Total
Persentase
32,38
24,29
43,33
100
68
51
91
210
Tabel 4.46. Persepsi terhadap Kehamilan
Ya
Kehamilan proses alamiah sehingga tidak perlu makana yang
berlebih.
Kehamilan proses alamiah sehingga tidak perlu pemeriksaan yang
teratur
.Kehamilan proses alamiah sehingga tidak perlu teratur.
42
jlh
32
%
15,24
Tidak
jlh
178
%
84,76
33
15,71
177
84,29
30
14,29
180
85,71
Tabel 4.47 Persepsi terhadap Kesehatan
Ferkuensi
14
37
159
210
Kurang mendukung
Cukup mendukung
Mendukung
Total
Persentase
6,67
17,62
75,71
100
Tabel 4.48. Sikap dan Kepercayaan terhadap Pelayanan Kesehatan
Keyakinan
Tidak percaya
jlh
Keyakinan terhadap pemeriksaan kehamilan
Dukun
34
Bidan
Dokter
Keyakinan pada saat memberi pertolongan persalinan
Dukun
40
Bidan
1
Dokter
Keyakinan pada peralatan yang digunakan
Dukun
44
Bidan
Dokter
Keyakinan cara yang digunakan pada saat persalinan
Dukun
39
Bidan
1
Dokter
Keyakinan atas keselamatan bayi saat persalinan
Dukun
30
Bidan
Dokter
Keyakinan perawatan masa nifas
Dukun
25
Bidan
1
Dokter
2
Keyakinan terhadap kemampuan dalam mengetahui tanda kehamilan
Dukun
37
Bidan
1
Dokter
-
Kurang percaya
jlh
%
Percaya
jlh
%
%
16,19
-
115
8
2
54,76
3,81
0,95
61
202
208
29,05
96,19
99,05
19,05
0,48
-
117
5
2
55,71
2,38
0,95
53
204
208
25,24
97,14
99,05
20,95
-
119
5
4
56,67
2,38
1,90
47
205
206
22,38
97,62
98,10
18,57
0,47
-
114
6
3
54,29
2,86
1,43
57
203
207
27,14
96,67
98,57
14,29
-
127
4
5
60,48
1,90
2,38
53
206
205
25,24
98,10
97,62
11,90
0,48
0,95
80
15
5
38,10
7,14
2,38
105
194
203
50,00
92,38
96,67
17,62
0,48
-
116
5
1
55,24
2,38
0,48
57
204
209
27,14
97,14
99,52
Tabel 4.49. Dukungan terhadap Pelayanan Kesehatan
Frekuensi
51
159
210
Cukup mendukung
Mendukung
Total
Persentase
24,29
75,71
100
Tabel 4.50. Persepsi terhadap Perilaku Petugas
Perilaku petugas
Kecepatan pemberian pelayanan
Dukun
Bidan
Dokter
Kenyamanan dalam pemberian pelayanan
Dukun
Bidan
Dokter
Kesabaran dalam pemberian pelayanan
Dukun
Bidan
Dokter
Tidak baik
Jlh
3
-
Kurang baik
%
1,43
-
jlh
25
5
4
Baik
%
11,90
2,38
1,90
jlh
182
205
206
%
86,67
97,62
98,10
13
1
2
6,19
0,48
0,95
20
6
5
9,52
2,86
2,38
177
203
203
84,29
96,7
96,67
1
-
0,48
-
13
3
3
6,19
1,43
1,43
197
206
207
93,81
98,10
98,57
43
Tabel 4.51. Pola Pemilihan Tempat Persalinan
Dukun bayi
Dukun bayi dan bidan desa
Dukun bayi dan bidan swasta
Dukun bayi dan RS Pemerintah
Bidan desa
Bidan desa dan RS pemerintah
Bidan desa dan poliklinik
Bidan swasta
Dokter spesialis obgyn
RS swasta
RS pemerintah
Dokter umum
Petugas kesehatan (manteri)
Total
Frekuensi
12
18
2
3
130
3
2
22
6
5
2
3
2
210
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Faktor Sosio Budaya
a. Orang yang paling berperan dalam rumah
tangga dalam perawatan kehamilan hingga
masa nifas umumnya adalah ibu rumah tangga
menyusul suami.
b. Yang paling berperan dalam pengambilan
keputusan adalah ibu rumah tangga
dan
menyusul kepala rumah tangga
c. Kepercayaan
yang
mendukung
dan
menghambat pembiayaan kesehatan rumah
tanggadan pencarian pelayanan kesehatan
priode kehamilan dan masa nifas adalah
adanya pantangan perbuatan masa kehamilan,
pantangan makan, perbuatan pada masa nifas.
d. Nilai dan norma dimasyarakat yang
mendukung dan menghambat pembiayaan
kesehatan rumah tangga dan pencarian
pelayanan kesehatan priode kehamilan dan
masa nifas adalah keistimewaan tidak bekerja
berat pada masa hamil, pemenuhan gizi masa
hamil, pemenuhan gizi pada masa nifas dan
tidak bekerja berat pada masa nifas.
2. Faktor organisasi
a. Ketersediaan sumber daya pelayanan
kesehatan
Jumlah Rumah Sakit di Kabupaten
Simalungun sebanyak 9 RS yang terdiri dari 2
RSUD dan 7 RS BUMN dan swasta.
Puskesmas di Kabupaten Simalungun
sebanyak 34 unit yang terdiri dari 23
Puskesmas rawat jalan dan 11 puskesmas
Perawatan (rawat inap) dengan rata-rata 5
tempat tidur. Ke 34 Puskesmas tersebar di 31
kecamatan. terdapat 50 unit pos Kesehatan
Desa yang tersebar di 50 desa/kelurahan,
sedangkan
jumlah
desa/kelurahan
di
kabupaten
simalungun
sebanyak
367
desa/kelurahan.
Ada
sebanyak
1.304
Posyandu terdiri dari Pratama (53,22%),
madya (26,61%), purnama (17,33%) dan
Mandiri (2,84%). Maka ratio Posyandu
44
Persentase
5,7
8,5
1,0
1,4
62,0
1,4
1,0
10,4
2,9
2,3
1,0
1,4
1,0
100
3.
4.
terhadap puskesmas sebesar 38,35 % atau
setiap Puskesmas melayani 38-39 posyandu.
b. Akses Sosial
Mayoritas suku responden adalah Batak (54.8
%), menyusul jawa (39%) dan Melayu (3.3%).
Mayoritas agama responden adalah Islam, dan
selebihnya beragama Kristen. Dilihat dari
kepemilikan jaminan kesehatan
sebanyak
(63.8%) tidak mempunyai jaminan, sementara
yang mempunyai jamkesmas sebanyak (16.7 %).
Faktor yang berhubungan dengan konsumen
Umur reponden yang dominan pada kelompok
25 – 29 tahun yang paling sedikit pada kelompok
15 – 19 tahun. Pada umumnya jumlah anak
responden 1 orang (31% ). Meskipun demikian
secara komulatif jumlah anak responden > 2
sebanyak 48%. Tingkat pendidikan responden
umumnya adalah tamat SD (42%). Dilihat dari
pendidikan suami responden umumnya hanya
tamat SD (41%).
Pekerjaan suami responden
umumnya adalah sebagai swasta (48.6%), petani
(46.7) dan pegawai negeri (4.8%). Pendapatan
keluarga umumnya > Rp. 600.000 (33%).
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang
kehamilan persalinan dan masa nifas umumnya
masuk dalam kategori sedangTingkat pengetahuan
masyarakat tentang kehamilan persalinan dan
masa nifas umumnya masuk dalam kategori
sedang. Persepsi terhadap kehamilan pada
umumnya cukup mendukung. Sikap dan
kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan pada
umumnya mendukung. Masyarakat sebenarnya
cenderung kurang percaya pada dukun bayi, baik
pada pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan, peralatan yang digunakan, cara yang
digunakan, keselamatan bayi saat persalinan dan
perawatan masa nifas.
Faktor yang berhubungan dengan provider
Persepsi responden terhadap perilaku petugas
(kecepatan pemberian elayanan, kenyamanan,
kesabaran dalam pemberian pelayanan ). Untuk
kecepatan pemberian pelayanan responden memberi
penilaian baik kepada dokter sebanyak 206 orang
(98.10%), bidan sebanyak 205 orang (97.62%) dan
dukun sebanyak 182 orang (86.67%). Penilaian
kurang baik dalam kecepatan pemberian pelayanan
adalah dukun sebanyak 25 orang (11,90%), bidan
sebanyak 5 orang (2.38%), dan dokter sebanyak 4
orang (1,90 %).
Kenyamananan dalam pemberian pelayanan
responden memberi penilaian baik kepada Bidan
sebanyak 203 orang (96,67%), dokter sebanyak 203
0rang (96,67%) dan dukun sebanyak 177 orang
(84,29%). Penilaian kurang baik kenyamanan dalam
pemberiaan pelayanan adalah dukun sebanyak 13
0rang (6,19%), bidan sebanyak 1 orang (0,48%) dan
dokter sebanyak 2 orang (0,95%). Sedang penilaian
tidak baik kenyamanan dalam pemberian pelayanan
adalah dukun sebanyak 9 orang (4,5%) dan dokter
sebanyak 1 orang (0,5%). Kesabaran dalam
pemberiaan pelayanan responden memberi penilaian
baik kepada dokter sebanyak 199 orang (99,5%),
bidan sebanyak 198 orang (99%) dan duku sebanyak
193 orang (96,5%). Penilaian kurang baik kesabaran
dalam pemberian pelayanan adalah dukun sebanyak 7
orang (3,5%), bidan sebanyak 1 orang (0,5%), dan
dokter sebanyak 1 orang (0,5%). Sedang penilaian
tidak baik kesabaran dalam pemberian pelayanan
hanya terdapat pada bidan sebanyak 1 orang (0,5%).
5. Pola pencarian pelayanan kesehatan
Pola pencarian pelayanan kesehatan pada masa
nifas kepada bidan desa (62%), menyusul bidan
swasta (10,4) dan kombinasi dukun bayi dan bidan
desa (8,5%).. Kombinasi ini dipilih oleh para ibu
dimana dianggap lebih lengkap baik secara
tradisional maupun secara medis sehingga pilihan
ini lebih nyaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ariawan, I. (1996), Tinjauan Statistik Metode Survei
Cepat. Jakarta: FKM-UI dan Pusdakes Depkes
RI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun, (2008) Profil
Kesehatan Kabupaten Simalungun Tahun 2008
Pematang Raya.
Dever, Alan, Epidemiology in Health services
Management, Aspen Publication,1984 Depkes
RI, Manajemen Kesehatan Ibu dan Anak di
BKIA
Hermiyanti,Sri, The Challenges of Making safe
Metherhood a reality Community Midwives in
Indonesia, ahmedabad,oktober 2008
Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Millennium Indonesia, Tujuan 5 : Meningkatkan
Kesehatan
Ibu.Indonesiamdgbigoal5_20081122001221_518
.pdf.
Notoatmodjo, S. (2003) Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan. Jakarta, Cipta Rineka.
Singarimbun, M., (1989) Metode Penelitian Survei,
Penerbit LP3S Jakarta
WHO.2005.Helth
Financing,http:
//www.who.int/trade/glossary/story047/en/print.h
tml
45
FAKTOR–FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DALAM PEMBERIAN
ASI EKSKLUSIF PADA IBU MENYUSUI DI RUMAH SAKIT UMUM
BAHAGIA MEDAN TAHUN 2010
Susy Adrianelly Simaremare
Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Data yang diperoleh World Health Organization (WHO), setiap tahun terdapat 1 - 1½ juta bayi di dunia yang
meninggal karena tidak diberi ASI Eksklusif. Sesuai Survei Demografi Indonesia (SDKI) angka pemberian
ASI selama 6 bulan turun dari 49% menjadi 39% dari tahun sebelumnya. Menurut Dinas Kesehatan
Sumatera Utara dari 301.677 jiwa hanya 36,72% bayi yang mendapat ASI Eksklusif. Di Medan, baru
mencapai 0,92% dari 46.244 jiwa. Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan
terbilang rendah, dari 15 orang ibu yang menyusui, 80% tidak memberikan ASI secara Eksklusif. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dalam pemberian ASI Eksklusif pada ibu
menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan tahun 2010. Penelitian ini bersifat deskriftif korelasi
dengan menggunakan data primer. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang menyusui bayinya
dari tanggal 2 Agustus – 8 Agustus 2010 sebanyak 50 orang dan seluruhnya dijadikan sampel total (total
sampling). Analisa data secara univariat dan bivariat. Dari hasil penelitian diperoleh dari 50 orang responden,
9 orang (18%) memberikan ASI Eksklusif, dan 41 orang (82%) tidak memberikan ASI Eksklusif.
Berdasarkan α = 0,05 daian derajat kepercayaan 95%. Ada hubungan tingkat pengetahuan yang baik dengan
pemberian ASI Eksklusif, tidak ada hubungan motivasi intrinsik dalam pemberian ASI Eksklusif sesuai
pernyataan Budiasih KS, dan terdapat hubungan antara motivasi ekstrinsik yang dimiliki ibu dalam
pemberian ASI Eksklusif sesuai dengan pernyataan Budiasih KS. Intansi Rumah Sakit dan tenaga kesehatan
sebaiknya mendukung ibu untuk menyusui, dengan menyediakan tempat khusus menyusui, serta
menginformasikan cara dan pelaksanaan menyusui yang benar serta menghindarkan pemberian susu formula
pada bayi baru lahir.
Kata kunci: ASI Eksklusif, Ibu Menyusui
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menyusui adalah proses alamiah. Berjuta – juta
ibu di seluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa
pernah membaca buku tentang ASI. Bahkan ibu yang buta
huruf pun dapat menyusui anaknya dengan baik.
Walaupun demikian, dalam lingkungan kebudayaan kita
saat ini melakukan hal yang alamiah tidaklah selalu mudah
(Roesli U, 2005).
Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi
pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
demikian pesat. Ironinya, pengetahuan lama yang
mendasar seperti menyusui justru kadang terlupakan.
Padahal kehilangan pengetahuan tentang menyusui berarti
kehilangan besar, karena menyusui juga merupakan
pengetahuan yang selama berjuta – juta tahun mempunyai
peranan penting dalam mempertahankan kehidupan
manusia. Bagi ibu hal ini berarti kehilangan kepercayaan
diri untuk dapat memberikan perawatan terbaik bagi
bayinya dan pada bayi berarti bukan saja kehilangan
sumber makanan yang vital, tetapi kehilangan cara
perawatan yang optimal (Roesli U, 2005).
46
Untuk mengetahui dan memantau kebutuhan
nutrisi bayi melalui pertumbuhannya, Organisasi
Kesehatan
Dunia
(WHO)
dan
UNICEF
merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif dari sejak
lahir sampai usia 6 bulan dan bayi harus sering disusui
tanpa dibatasi waktu. Setelah usia 6 bulan bayi akan
mendapat makanan pendamping ASI (MP – ASI) sesuai
dengan usianya, sedangkan ASI tetap diberikan sampai
anak berusia 2 tahun atau lebih. Pertumbuhan normal
seorang bayi sampai umur 6 bulan dapat dicapai hanya
dengan pemberian ASI saja (IDAI, 2008).
Ternyata berdasarkan penelitian WHO, setiap
tahun terdapat 1 – 1 ½ juta bayi di dunia yang meninggal
karena tidak diberi ASI Eksklusif. Hal ini disebabkan
sebagian kaum ibu berpendapat bahwa, seorang wanita
akan lebih cantik dan awet muda bila tidak menyusui. Hal
ini dikaitkan juga dengan status sosialnya akan naik dan
termasuk kelompok yang modern, disamping itu juga
banyaknya ibu – ibu yang bekerja baik sebagai wanita
karir maupun yang bekerja di pabrik – pabrik yang hanya
mendapatkan cuti melahirkan selama tiga bulan sehingga
ibu yang memiliki bayi mengaku terpaksa harus
memberikan susu formula karena harus kembali bekerja.
Padahal pemberian susu formula mengakibatkan bayi
terkena 14,2 kali diare, mengalami kejang, infeksi telinga,
flu, dan penyakit alergi. Sedangkan bayi yang mendapat
ASI Eksklusif rata – rata IQ 14,2 poin lebih meningkat
artinya semakin banyak bayi mendapat ASI Eksklusif
maka anak tersebut semakin cerdas
(Purwanti, S,
2004).
Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif
dapat menyelamatkan lebih dari 30 ribu balita di
Indonesia. Dalam siaran pers yang dikirim UNICEF,
jumlah bayi di Indonesia yang mendapatkan ASI Eksklusif
terus menurun. Menurut Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) dari 1997 hingga 2002, jumlah bayi usia
enam bulan yang mendapatkan ASI Eksklusif menurun
dari 7,9% menjadi 7,8%. (ARIEF. B, 2009)
Sementara itu, hasil SDKI pada tahun 1997
sampai 2003, diketahui bahwa angka pemberian ASI
Eksklusif turun dari 49% menjadi 39%, sedangkan
penggunaan susu formula meningkat tiga kali lipat
(Prasetyono DS, 2009).
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2003, cakupan ASI di Propinsi
Lampung adalah 42,83% sedangkan target yang ada
sebesar 72%, cakupan ASI eksklusif di Kabupaten
Lampung Selatan adalah 53,49% yaitu sebanyak 12.203
dari 21.724 bayi yang ada. Di Wilayah Desa Sumber Sari
cakupan ASI Eksklusif 47% dari bayi yang ada yaitu 99
bayi (Arief. B, 2009).
Sesuai dengan data yang diperoleh menurut
Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara tahun 2008
yang terdiri dari 493 puskesmas dengan jumlah bayi
301.677 jiwa ternyata hanya 110.786 jiwa atau 36,72%
bayi yang diberi ASI Eksklusif. Sedangkan di kota Medan
yang terdiri dari 39 puskesmas dengan jumlah bayi 46.244
jiwa, ternyata hanya 427 jiwa atau 0,92% bayi yang diberi
ASI Eksklusif (Dinkes Kab/ Kota, 2008).
Meski ASI Eksklusif memiliki banyak
keunggulan, jumlah ibu yang menyusui anaknya makin
menurun. Data terakhir menunjukkan prevalensi ASI
Eksklusif cenderung menurun di Indonesia, menurut
Survey Sosial Ekonomi Indonesia 2004, dilaporkan bahwa
75% ibu menyusui ASI bayi mereka paling sedikit 12
bulan dan hanya 12% ibu menyusui ASI Eksklusif hingga
6 bulan (Aprilia. D, 2009).
Tidak setiap ibu mendapatkan air susu yang
lancar sejak hari pertama. Jika ibu memiliki motivasi yang
kuat, ia akan terus mencoba menyusui, berapapun ASI
yang didapatnya. Karena produksi ASI akan sebanding
dengan usaha mengisap/memerasnya. Semakin rajin sibayi
mengisapnya, produksi akan semakin banyak. Motivasi
juga berkaitan dengan dukungan orang sekitar ibu. Jika
suami dan keluarga mendukung, biasanya motivasi ibu
akan meningkat juga. Namun, tanpa dukungan luar, ibu
tetap dapat bertahan jika punya motivasi diri yang kuat.
Lain halnya jika ibu mempunyai motivasi yang kurang
kuat. Saat produksi ASI belum banyak, mungkin ibu akan
menyangka ASI - nya sedikit. Lalu ibu tidak bersemangat
lagi menyusui bayinya dan menyambung dengan susu
formula. (Budiasih KS, 2008)
Berdasarkan survei pendahuluan di Rumah Sakit
Umum Bahagia Medan yang dilakukan oleh peneliti
ditemukan sebanyak 80 % dari 15 orang ibu menyusui
yang tidak memberikan ASI secara eksklusif pada
bayinya.
Berdasarkan alasan – alasan tersebut diatas
peneliti ingin meneliti “Faktor – Faktor yang Berhubungan
dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui di
Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010”
B. Tujuan Penelitian
B.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui “Faktor – Faktor yang
Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif
pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum
Bahagia Medan Tahun 2010”.
B.2. Tujuan Khusus
a. Untuk
mengetahui
hubungan
tingkat
pengetahuan terhadap “Pemberian ASI Eksklusif
pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum
Bahagia Medan Tahun 2010”.
b. Untuk mengetahui hubungan motivasi intrinsik
terhadap “Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu
Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia
Medan Tahun 2010”.
c. Untuk mengetahui hubungan motivasi ekstrinsik
terhadap “Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu
Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia
Medan Tahun 2010”.
C. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif
korelasi untuk mengetahui “Faktor – Faktor yang
Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu
Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan tahun
2010”.
D. Lokasi dan Waktu Penelitian
D.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum
Bahagia Medan. Alasan peneliti melakukan penelitian di
lokasi tersebut karena pada instansi tersebut mudah dan
cepat dalam melakukan administrasi dan juga mudah
mendapatkan sampel serta data yang diinginkan.
47
D.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan April –
Agustus 2010, dengan pengumpulan data dimulai dari
tanggal 02 Agustus – 08 Agustus 2010. dilanjutkan dengan
pengolahan data dimulai dari tanggal 09 Agustus – 15
Agustus 2010.
A.1 Analisis Data univariat
Analisis data univariat digunakan untuk melihat
distribusi frekuensi dari variabel dependen dan variabel
independent.
E. Populasi dan Sampel
E.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu
menyusui yang mempunyai bayi usia 0 – 6 bulan yang
berkunjung di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan
tanggal 2 Agustus – 8 Agustus 2010 sebanyak 50 orang.
Tabel 1. Distribusi Responden Mengenai Pemberian ASI
Eksklusif di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan
Tahun 2010
E.2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang
diteliti. Dalam penelitian ini, adapun Teknik sampling
yang digunakan adalah Total Sampling, dimana seluruh
populasi dijadikan sampel.
Adapun besar sampel yaitu 50 orang seluruh
populasi (total sampling) dijadikan sampel.
F. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu
menggunakan kuesioner pengetahuan tentang ASI
Eksklusif sebanyak 20 pertanyaan, dan kuesioner tentang
motivasi sebanyak 4 pertanyaan. Sebelum responden
mengisi kuesioner, terlebih dahulu peneliti menjelaskan
cara mengisi kuesioner kemudian peneliti memberikan
kesempatan kepada responden untuk mengisi sendiri
kuesioner penelitian.
Analisis Data
Menurut Eko Budiarto 2007 Teknik analisa data
adalah cara untuk memudahkan atau menyederhanakan
data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
dimengerti dengan analisis data univariat dan bivariat.
Untuk mengerti bagaimana hubungan variabel bebas
dengan variabel terikat maka analisa yang dipakai untuk
menguji data adalah dengan menggunakan rumus statistik
Chi – Square atau Chi Kuadrat. Dengan Hipotesis ditolak
pada derajat kemaknaan 0,05 atau α = 0,05 dengan derajat
kepercayaan 95%.
Rumus :
Distribusi Responden Menurut Variabel Dependen
No
1.
2.
(O  E)2
E
Keterangan
:
 ² = Chi Kuadrat
O = Nilai hasil pengamatan
E = Nilai Ekspektasi (nilai yang diharapkan)
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan
mengenai “Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dalam
Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui di Rumah
Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010”, data diperoleh
dari 50 responden dan disajikan pada tabel – tabel berikut.
48
Frekuensi
%
9
41
50
18
82
100
Dari Tabel 1 diketahui bahwa dari 50
responden yang terbanyak tidak memberikan ASI
Eksklusif berjumlah 41 orang (82%).
Distribusi Faktor – Faktor Responden Berdasarkan
Variabel Independen
1.
Pengetahuan
Tabel 2. Distribusi Responden Dalam Pemberian ASI
Eksklusif Berdasarkan Pengetahuan di Rumah
Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010
Pengetahuan
G.
2  
Pemberian ASI
Eksklusif
ASI Eksklusif
Tidak ASI Eksklusif
Jumlah
f
2
2
5
9
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
ASI Eksklusif
Ya
Tidak
%
f
%
100
25
6
75
12,5 35 87,5
18
41
82
Total
f
2
8
40
50
%
4
16
80
100
Dari Tabel 2 diketahui bahwa dari 50 responden
yang diteliti yang berpengetahuan baik dan memberikan
ASI Eksklusif sebanyak 2 orang (100%), yang
berpengetahuan cukup dan tidak memberikan ASI
Eksklusif sebanyak 6 orang (75%), sedangkan yang
berpengetahuan kurang dan tidak memberikan ASI
Eksklusif sebanyak 35 orang (87,5%).
2.
Motivasi Intrinsik
Tabel 3. Distribusi Responden Dalam Pemberian ASI
Eksklusif Berdasarkan Motivasi Intrinsik di
Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun
2010
Motivasi
Intrinsik
Ada
Tidak ada
Jumlah
f
9
9
ASI Eksklusif
Ya
Tidak
%
f
%
20
36
80
5
100
18
41
82
Total
f
45
5
50
%
90
10
100
Dari Tabel 3 diketahui bahwa dari 50 responden
yang diteliti yang memiliki motivasi intrinsik dan tidak
memberikan ASI Eksklusif sebanyak 36 orang (80%),
sedangkan yang tidak memiliki motivasi intrinsik dan
tidak memberikan ASI Eksklusif sebanyak 5 orang
(100%).
3. Motivasi Ekstrinsik
Tabel 4. Distribusi Responden Dalam Pemberian ASI
Eksklusif Berdasarkan Motivasi Ekstrinsik di
Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun
2010
Motivasi
Ekstrinsik
Ada
Tidak ada
Jumlah
ASI Eksklusif
Ya
Tidak
f
%
f
%
8 57,14
6
42,86
1
2,78
35 97,22
9
18
41
82
Total
f
14
36
50
%
28
72
100
Dari Tabel 4 diketahui bahwa dari 50 responden
yang diteliti yang memiliki motivasi ekstrinsik dan
memberikan ASI Eksklusif sebanyak 8 orang (57,14%),
sedangkan yang tidak memiliki motivasi ekstrinsik dan
tidak memberikan ASI Eksklusif sebanyak 35 orang
(97,22%).
A.2
Analisis Data Bivariat
Analisa data bivariat digunakan untuk melihat
kemaknaan hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen yang dilakukan dengan uji statistic
Chi – Square (  ²).
1. Hubungan Tingkat Pengetahuan dalam Pemberian
ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui
Dari Tabel 5 diketahui bahwa dari 50 responden
yang diteliti yang berpengetahuan baik dan memberikan
ASI Eksklusif sebanyak 2 orang (100%), sedangkan
responden yang berpengetahuan kurang dan memberikan
ASI Eksklusif sebanyak 5 orang (12,5%).
Berdasarkan uji statistik chi – square (  ²) dengan
tingkat kemaknaan 0,05 diperoleh hasil  ² hitung >  ²
tabel (10,2 > 5,991), berarti ada hubungan antara tingkat
pengetahuan yang baik dalam pemberian ASI Eksklusif.
2. Hubungan Motivasi Intrinsik dalam Pemberian
ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui
Dari Tabel 6 diketahui bahwa dari 50 responden
yang diteliti yang memiliki motivasi intrinsik dan
memberikan ASI Eksklusif sebanyak 9 orang (20 %), dan
responden yang tidak memiliki motivasi intrinsik tidak ada
yang memberikan ASI Eksklusif (0%).
Berdasarkan uji statistik chi – square ( ²) dengan
tingkat kemaknaan 0,05 diperoleh hasil ² hitung < ² tabel
(1,22 < 3,841), berarti tidak ada hubungan antara motivasi
intrinsik yang dimiliki ibu dalam pemberian ASI
Eksklusif.
Tabel 5. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan
Tahun 2010
ASI Eksklusif
Ya
Pengetahuan
f
2
2
5
9
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
Tidak
%
100
25
12,5
18
²
²
Hitung
Tabel
10,2
5,991
Total
f
6
35
41
%
75
87,5
82
f
2
8
40
50
%
4
16
80
100
Tabel 6. Hubungan Motivasi Intrinsik Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun
2010
ASI Eksklusif
Ya
Motivasi Intrinsik
Ada
Tidak
Total
f
9
9
Total
Tidak
%
20
18
f
36
5
41
%
80
100
82
f
45
5
50
%
90
10
100
²
²
Hitung
Tabel
1,22
3,841
49
Tabel 7. Hubungan Motivasi Ekstrinsik Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan
Tahun 2010
ASI Eksklusif
Ya
Motivasi Ekstrinsik
Ada
Tidak
Jumlah
f
8
1
9
Total
Tidak
%
57,14
2,78
18
f
6
35
41
Dari Tabel 7 diketahui bahwa dari 50 responden
yang diteliti yang memiliki motivasi ekstrinsik dan
memberikan ASI Eksklusif sebanyak 8 orang
(57,14%), sedangkan responden yang tidak memiliki
motivasi ekstrinsik dan memberikan ASI Eksklusif
sebanyak 1 orang (2,78%).
Berdasarkan uji statistik chi – square (  ²) dengan
tingkat kemaknaan 0,05 diperoleh hasil  ² hitung >  ²
tabel (20,19 > 3,841), berarti ada hubungan antara
motivasi ekstrinsik yang dimiliki ibu dalam pemberian
ASI Eksklusif
PEMBAHASAN
A.1.
Hubungan Pengetahuan dalam Pemberian ASI
Eksklusif Pada Ibu Menyusui
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa
dari 50 responden yang diteliti yang berpengetahuan baik
dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 2 orang (100%),
sedangkan responden yang berpengetahuan kurang dan
memberikan ASI Eksklusif sebanyak 5 orang (12,5%).
Berdasarkan
uji
statistic
chi–square
memperlihatkan adanya hubungan tingkat pengetahuan
yang baik dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu
Menyusui dengan tingkat kemaknaan 0,05, sehingga
diperoleh nilai df = 2, dan hasil  ² hitung = 10,2 dan
²
hasil  ² tabel = 5,991, berarti
hitung >  ² tabel.
Dwi Sunar Prasetyo (2009) menyatakan
bahwa rendahnya tingkat pengetahuan tentang
pentingnya ASI selama 6 bulan pertama kelahiran bayi
dikarenakan kurangnya informasi dan pengetahuan
yang dimiliki oleh para ibu mengenai segala nilai plus
nutrisi dan manfaat yang terkandung dalam ASI.
Kurangnya pengetahuan ibu tersebut tentang
pentingnya ASI Eksklusif juga dipengaruhi oleh
promosi produk – produk makanan tambahan dan susu
formula. Menurut Adelia, iklan – iklan tersebut bisa
mengarahkan para ibu untuk berpikir bahwa ASI yang
diberikannya kepada bayi belum cukup memenuhi
kebutuhan gizi bayi.
Sementara itu Utami Roesli (2005) juga
menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan adalah
kendala terbesar ibu tidak memberikan ASI Eksklusif,
karena menyusui merupakan suatu pengetahuan yang
selama berjuta – juta tahun mempunyai peranan
penting dalam mempertahankan kehidupan manusia.
50
%
42,86
97,22
82
f
14
36
50
%
28
72
100
²
²
Hitung
Tabel
20,19
3,841
Menurut asumsi penulis, pengetahuan yang
kurang sangat mempengaruhi ibu dalam pemberian
ASI Eksklusif, padahal jika diketahui sebenarnya ASI
mengandung semua nutrisi penting yang diperlukan
bayi untuk tumbuh kembangnya, serta antibodi yang
bisa membantu bayi membangun sistem kekebalan
tubuh dalam masa pertumbuhannya. Pada dasarnya
bidan harus turut berperan dalam menggalakkan ASI
Eksklusif, namun kenyataannya sesuai dengan
monitoring yang dilakukan oleh Badan Kerja
Peningkatan Penggunaan Air Susu Ibu (BKPP-ASI)
ternyata sebagian rumah sakit bersalin tidak
mendukung pemberian ASI. Selain itu juga pihak
rumah sakit memberikan sampel susu formula secara
gratis kepada pasien. Hal ini mengakibatkan semakin
banyak ibu tidak mempercayai manfaat ASI karena
pengaruh promosi susu formula yang diberikan Oleh
tenaga kesehatan itu sendiri.
A.2.
Hubungan Motivasi Intrinsik Dalam Pemberian
ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa
dari 50 responden yang diteliti yang memiliki motivasi
intrinsik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 9
orang (20 %), dan responden yang tidak memiliki
motivasi intrinsik tidak ada yang memberikan ASI
Eksklusif (0%).
Berdasarkan uji statistic chi – square
memperlihatkan tidak adanya hubungan motivasi intrinsik
dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui
dengan tingkat kemaknaan 0,05, sehingga diperoleh nilai
df = 1, dan hasil  ² hitung = 1,22 dan hasil  ² tabel =
3,841 berarti  ² hitung <  ² tabel.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
asumsi Kun Sri Budiasih (2008), dimana motivasi diri
yang kuat akan menguatkan pelaksanaan setiap
pekerjaan, sebaliknya motivasi yang lemah atau tidak
jelas sering melemahkan pekerjaan. Apalagi jika ada
kesulitan ditengah jalan. Demikian juga dalam
menyusui. Tidak setiap ibu mendapatkan air susu yang
lancar sejak hari pertama. Jika ibu memiliki motivasi
yang kuat, ia akan terus mencoba menyusui, berapapun
ASI yang didapatnya. Karena, produksi ASI akan
sebanding dengan usaha mengisap/ memerasnya.
Semakin rajin si bayi mengisapnya, maka produksi
ASI akan semakin bertambah.
Menurut asumsi penulis, ada atau tidaknya
motivasi intrinsik yang dimiliki ibu sebenarnya
tergantung pada situasi dan kondisi yang ibu hadapi.
Ibu yang memiliki motivasi intrinsik, namun tidak
memberikan ASI Eksklusif, kemungkinan masih
memiliki pengetahuan yang kurang tentang manfaat
ataupun kegunaan ASI Eksklusif, tidak adanya fasilitas
yang memadai, tidak adanya waktu, ataupun tidak
adanya ketenangan dan kenyamanan yang ia rasakan.
Karena sebenarnya untuk menghasilkan air susu yang
banyak, seorang ibu membutuhkan ketenangan.
Perasaan tenang dapat membuat ibu lebih rileks dalam
menyusui bayi. Dengan demikian air susu yang
dihasilkan bisa lebih maksimal. Oleh karena itu, ibu
harus berupaya menenangkan diri, meskipun
menghadapi masalah.
A.3. Hubungan Motivasi Ekstrinsik Dalam
Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa
dari 50 responden yang diteliti yang memiliki motivasi
ekstrinsik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 8
orang (57,14%), sedangkan responden yang tidak
memiliki motivasi ekstrinsik dan memberikan ASI
Eksklusif sebanyak 1 orang (2,78%).
Berdasarkan
uji
statistik
chi-square
memperlihatkan adanya hubungan motivasi ekstrinsik
dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui
dengan tingkat kemaknaan 0,05, sehingga diperoleh nilai
df = 1, dan hasil  ² hitung = 20,19 dan hasil  ² tabel =
3,841 berarti  ² hitung >  ² tabel.
Hasil penelitian ini sesuai dengan asumsi Kun
Sri Budiasih (2008), motivasi ekstrinsik yang dimiliki
ibu sangat mempengaruhi ibu dalam pemberian ASI
Eksklusif. Karena produksi ASI sangat dipengaruhi
oleh kondisi psikis ibu. Jika hati ibu tenang dan
bahagia karena dukungan yang diperolehnya, maka
produksi ASI-nya akan berlimpah.
Menurut asumsi penulis, dengan adanya
dukungan dari orang terdekat misalnya suami ibu akan
merasa didukung, dicintai, dan diperhatikan, maka
pada hari pertama bayi lahir, ketika pertama kali bayi
mengisap putting payudara ibu, saraf – saraf dalam di
dalam areola merangsang kelenjar pituitari yang
terletak di dasar otak untuk melepaskan hormone
prolaktin dan oksitosin. Prolaktin akan membuat sel
pembuat air susu di dalam payudara, oksitosin
menyebabkan otot – otot halus disekitar sel itu
memerah susu menuju ke saluran air susu disekitar
puting payudara. Lalu keluarlah air susu ke mulut bayi
yang sedang mengisap putting payudara ibunya dan
produksi ASI pun akan akan semakin lancar.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai
“Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dalam Pemberian
ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit
Umum Bahagia Medan Tahun 2010 “ dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1.
2.
3.
Ada hubungan tingkat pengetahuan dalam pemberian
ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui.
Tidak adanya hubungan motivasi intrinsik yang
dimiliki ibu dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu
Menyusui.
Adanya hubungan motivasi ekstrinsik yang dimiliki
ibu dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu
Menyusui
B.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh,
maka peneliti menyarankan, sebagai berikut :
1. Bagi Pimpinan Rumah Sakit Umum Bahagia
Medan diharapkan untuk memfasilitasi semua
yang diperlukan dalam pemberian ASI pada bayi
baru lahir dengan mengindari pemberian susu
formula.
2. Bagi tenaga kesehatan khususnya bidan untuk
terus meningkatkan penyuluhan atau bimbingan
untuk memberikan penyuluhan atau motivasi
khususnya dalam pemberian ASI Eksklusif baik
itu cara menyusui, cara memerah ASI, dan cara
penyimpanan ASI, khususnya di wilayah Rumah
Sakit.
3. Sebaiknya peneliti selanjutnya dapat meneliti
faktor – faktor yang berhubungan dalam
pemberian ASI Eksklusif pada ibu menyusui
terutama dengan variabel yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Afifah DN, 2007, Faktor Yang Berperan Dalam
Kegagalan Praktik Pemberian ASI Eksklusif,
http://eprints.undip.ac.id/1034
Aprilia
D,
2009,
Promosi
ASI
Eksklusif,
http://www5.shoutmix.com
Arief B, 2009, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Ibu
Menyusui Yang Mengalami Putting Susu Lecet
Pada
Saat
Awal
Laktasi,
Http://ebdosama.blogspot.com
Arikunto S, 2006, Prosedur Penelitian Satu Pendekatan
Praktek, Edisi V Rineka Cipta. Jakarta
Budiarto E, 2007, Biostatistika, EGC, Jakarta
Budiasih KS, 2008, Handbook Ibu Menyusui, PT. Karya
Kita, Bandung.
Departemen Kesehatan, 2008, Profil Kesehatan Sumatera
Utara, Depkes, Medan
Hasibuan M.S.P, 2008, Organisasi dan Motivasi Dasar
Peningkatan Produktivitas, Bumi Aksara, Jakarta
Hidayat DR, 2009, Ilmu Perilaku Manusia, Trans Info
Media, Jakarta
IDAI, 2008, Bedah ASI, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Meliono,
2007,
Defenisi
Pengetahuan,
Http://Wikipedia.org/wiki
Notoatmodjo S, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan,
Rineka Cipta, Jakarta
____________, 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta
Pardede
P,
2009,
Ilmu
dan
Bahasa,
Http://www.scribd.com
51
Politeknik Kesehatan, 2006, Panduan Penyusunan Karya
Tulis Ilmiah (KTI), Politeknik Kesehatan, Medan.
Prasetyono DS, 2009, Buku Pintar ASI Eksklusif
Pengenalan, Praktik, dan Kemanfaatan –
kemanfaatannya, Diva Press, Yogyakarta
Purwanti S, 2004, Konsep Penerapan ASI Eksklusif, EGC,
Jakarta.
52
Roesli U, 2005, Mengenal ASI Eksklusif, Trubus
Agriwidaya, Jakarta
Sunardi, 2008, Ayah, Beri Aku ASI, Aqwamedika
Profetika, Solo
Suyanto, 2008, Riset Kebidanan Metodologi dan Aplikasi,
Mitra Cendikia, Yogyakarta
Winardi, 2008, Motivasi dan Pemotivasian Dalam
Manajemen, Rajawali Pers, Jakarta
PENGARUH PERBAIKAN POSTUR KERJA DALAM UPAYA
PENCEGAHAN TERJADINYA NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA
PERAWAT DI INSTALASI PERAWATAN INTENSIF DEWASA RSUP
HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010
Netty Panjaitan, Mariaty Silalahi, Ch. Ready Sitorus
Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan
Abstrak
Perawat di Instalasi Perawatan Intensif mengalami Nyeri Punggung Bawah sebagai akibat dari
postur yang tidak baik. Penelitian ini menggunakan action research design dan untuk validasi hasil
penelitian ini menggunakan perhitungan statistik pre dan post test (Paired t test). Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara dengan Symptom Survey : Ergonomic Program
and Task Analysis Checklyst, yang dilakukan pada awal penelitian dan 2 bulan sete lah perlakuan.
Hasil Task Analysis sebelum intervensi adalah 8.55 dan setelah intervensi 24.50 sehingga terdapat
perbaikan desin kerja setelah intervensi sebesar 15.95. Peningkatan ini menunjukkan adanya
perbaikan design kerja yang mempengaruhi postur untuk menurunkan dan mencegah terjadiya nyeri
punggung Bawah.
Kata kunci: Nyeri Punggung Bawah, perbaikan postur, Perawat.
1. LATAR BELAKANG
Setiap pekerja mempunyai hak untuk
memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan
kerja yang tercantum dalam Undang-undang No 13 tahun
2000, pasal 86, ayat 1a. Perlindungan ini merupakan tugas
pokok pelayanan kesehatan kerja, yang meliputi
pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit umum dan
akibat kerja, yang diatur dalam Permenakes No
03/Men/1982 dan Undang-undang No.23 tahun 1992.
Low back pain / nyeri punggung bawah menjadi
persoalan kesehatan kerja karena menyumbang sekitar 2050% dari kompensasi yang harus dibayar perusahaan
kepada karyawan
( Kerr,2001).
Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain
(LBP) merupakan masalah kesehatan dan sebagai
penyebab, disabilitas serta terbatasnya aktifitas tubuh.
Onset terjadinya nyeri punggung bawah biasanya pada
usia 20-60 tahun dan paling banyak terjadi pada
pertengahan umur 30-40.
Menurut Lawrence (2000), keluhan nyeri punggung
biasa dirasakan perawat, bila melakukan pekerjaan
mengangkat dan memindahkan objek angkat yang
bentuknya tidak beraturan dan dapat bergerak dengan
tiba-tiba dan diperberat dengan meningkatnya
frekuensi pekerjaan dan waktu. Seseorang yang berdiri,
membungkuk 10 – 15 derajat sudah menyebabkan
beban yang berlebihan pada diskus intervetebralis
lumbalis, hal ini jika tidak segera ditangani dalam
waktu lama atau kebiasaan sehari hari misalnya pada
pekerja yang harus bekerja duduk, membungkuk terus
menerus akan mudah terkena nyeri punggung yang
selanjutnya akan mengganggu produktifitas kerja.
Di IPI RSU Materna di Medan, pernah
dilakukan penelitian pada 22 orang perawat pernah
menderita dan sedang menderita nyeri punggung
bawah. Setelah dilakukan
perbaikan postur kerja,
pelatihan dan penyediaan alat bantu angkat yang
sesuai, dapat menurunkan angka kejadian low back
pain sebanyak 71,77% (Panjaitan, 2004).
Berdasarkan survei pendahuluan di Instalasi
Perawatan Intensif rumah Sakit Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan yang penulis lakukan
tahun 2008, ditemukan bahwa 20 perawat di Instalasi
Perawatan Intensif mengeluh sedang dan pernah
menderita nyeri punggung bawah. Keluhan ini
dirasakan terutama bila jumlah pasien diatas kapasitas.
Perumusan Masalah
Apakah perbaikan postur kerja dapat
menurunkan dan mencegah terjadinya
terjadinya
nyeri punggung bawah pada perawat?
TUJUAN PENELITIAN
1.Tujuan Umum
Untuk menurunkan dan mencegah terjadinya nyeri
punggung bawah pada perawat di Instalasi Perawatan
Intensif Dewasa Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan
53
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui keluhan yang dialami perawat
sehubungan dengan postur kerja yang salah
b. Untuk mengetahui pengaruh perbaikan postur kerja,
cara mengangkat dan memindahkan pasien sesudah
intervensi.
3. Hipotesa
Tidak ada pengaruh perbaikan postur kerja terhadap
penurunan terjadinya nyeri punggung bawah pada perawat
di Instalasi Perawatan Intensif RSUP H.Adam Malik
Medan
4. Kerangka Konsep
pusat pendidikan Fakultas Pendidikan Universitas Sumatra
Utara dan sebagai tanda dimulainya Soft Opening dan
diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 21 Juli 1993.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama dimulai pada bulan
September 2010 sampai dengan bulan Oktober
2010.Penelitian dimulai dengan persiapan usulan
penelitian dan seminar, selanjutnya penelitian dilakukan
dan diakhiri dengan seminar hasil.
3. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian adalah pra-eksperimental/quasy
experiment, one group pre- post test design dengan
menggunakan t test berpasangan. Pendekatan dengan
action research yang dilakukan sebanyak 1 siklus selama 2
bulan.
4. Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat
yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan sebanyak
23 orang
5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai berikut:
a. Untuk meningkatkan kesehatan pekerja pada
umumnya dan perawat pada khususnya, dalam
hubungannya dengan pencegahan terjadinya nyeri
punggung bawah, yang dapat menurunkan
produktivitas kerja dan kualitas hidup.
b. Untuk, memberikan sumbangan pikiran kepada
profesi perawatan dalam rangka penyusunan prosedur
kerja , dengan perbaikan postur.
c. Untuk memberi sumbangan pikiran pada pihak
manajemen Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan,
dalam menetapkan prosedur tetap keperawatan.
METODE PENELITIAN
1.Tempat Penelitian
RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah
sakit tipe A yang sesuai dengan SK Menkes No.
335/Menkes/SK/VIII 2010 dan juga sebagai rumah sakit
pendidikan sesuai dengan SK Menkes No.
502/Menkes/SK/ 1991. Rumah Sakit Umum Pusat H.
Adam Malik Medan terletak di jalan bunga lau Medan
Tuntungan. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Medan juga sebagai rumah sakit rujukan untuk wilayah
pembangunan A yang meliputi daerah Propinsi Sumatra
Utara, Aceh, Sumatra Bagian Barat, dan Riau. Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan baru beroprasi
sejak tanggal 17 juni 1991 dengan pelayanan rawat jalan,
sedangkan pelayanan rawat inap dimulai pada tanggal 2
Mei 1992 dan pada tanggal 11 januari 1993 secara resmi
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan sebagai
54
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh populasi
yang dipilih secara purposif (purposive sampling),
sebanyak 20 orang.
Alat dalam penelitian ini adalah Symptom
Survey : Ergonomics Program dan Task Analysis
Checklist.
Intervensi yang dilakukan adalah penjelasan,
mendemonstrasikan dan memberikan panduan postur
duduk, berdiri, berjalan, mengangkat dan memindahkan
yang baik, dan partisipan akan melakukannya dengan
pengawasan peneliti selama 2 bulan (1 siklus). Setelah 2
bulan akan dilakukan evaluasi dengan memperbandingkan
postur kerja sehari-hari dengan pedoman pencegahan
Nyeri Punggung Bawah dan dilakukan perbaikan, lalu,
dievaluasi dengan menggunakan lembar Symptom Survey
: Ergonomics Program dan Task Analysis Checklist,
dilakukan penghitungan rata-rata (mean)
Kemudian dilakukan uji statistik (uji t berpasangan)
dengan tingkat kepercayaan 95% berdasarkan taraf
signifikansi 5%.
3.6. Pengolahan Data
Untuk mengolah data dilakukan perhitungan
statistik dengan menggunakan perhitungan rata-rata (nilai
mean), untuk melihat perbaikan postur dan perubahan
keluhan (nyeri yang dirasakan) sebelm dan sesudah
intervensi
3.7. Analisa Data
Dilakukan uji statistik (uji t berpasangan) untuk
task analysis checklist, dengan tingkat kepercayaan 95%
berdasarkan taraf signifikansi 5%. Alasan penggunaan uji
ini untuk melihat postur kerja dan pengaruhnya terhadap
nyeri punggung bawah yang dirasakan partisipan sebelum
dan sesudah intervensi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dan pembahasan pengaruh
Perbaikan Postur Kerja dalam Upaya Pencegahan
Terjadinya Nyeri Punggung Bawah pada Perawat telah
dilaksanakan di Instalasi Perawatan Intensif Dewasa
RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2010 dengan hasil
sebagai berikut :
Tabel 4.1 Karakteristik Partisipan Berdasarkan Umur,
Pendidikan, Masa Kerja dan IMT di IPI
Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan
Karakteristik
1. Umur (tahun)
a. 20-24
b. 25-29
c. 30-34
d. 35-39
e. 40-45
Total
2 Pendidikan
a. SPK
b. D3 Keperawatan
c. S1 Keperawatan
Total
3. Masa Kerja
a. < 1 tahun
b. 1-4 tahun
c. >4-9 tahun
d. 10-14 tahun
e. ≥ 15 tahun
Total
4. Indeks Massa Tubuh (IMT)
a. < 18,5
b. 18.5-22.9
c. >22.9
Total
Jumlah
(orang)
%
5
4
4
1
6
20
25
20
20
5
30
100
15
5
20
75
25
100
2
8
3
4
3
20
10
40
15
20
15
100
7
13
20
35
65
100
Index Massa Tubuh (IMT), diketahui dengan
melakukan penimbangan Berat Badan (kg) dan Tinggi
Badan (m). Menentukan IMT menurut rumus Indeks
Davenport, yaitu Berat Badan (kg)/Tinggi Badan kwadrat.
Menurut WHO Indeks Massa Tubuh normal adalah 18,5 –
22,9 untuk orang Asia, sehingga pada tabel dapat dilihat
40% dari partisipan memiliki Indeks Massa Tubuh normal.
Tabel 4.2. Semua partisipan (100%) merasakan
nyeri pada punggung bawah, 8 orang partisipan (40%)
merasakan nyeri pada tungkai dan hanya 1 orang (5%)
yang merasakan nyeri pada bokong.
Gambaran gangguan yang dirasakan partisipan
dapat terjadi beberapa keluhan berupa nyeri, kebas dapat
dilihat pada tabel 4.3.
Dari hasil penelitian didapatkan 5 orang (25%)
diantaranya sudah merasakan nyeri sejak kurang dari 3
bulan yang lalu, keadaan ini termasuk nyeri punggung
bawah akut (Maul dkk, 2003)
Pada table 4.5. dapat dilihat bahwa 3 orang
perawat menyatakan nyeri dirasakan partisipan selama < 1
hari , 17 orang (85%) menyatakan sakit dirasakan selama
1-3 hari dan yang kesemuanya termasuk kategori ringan
(Maull dkk, 2003). Frekuensi nyeri yang dirasakan
partisipan selama setahun yang lalu, paling sedikit yaitu
<5 kali dinyatakan sampai dengan lebih dari 20 kali.
Pada tabel 4.7. dapat dilihat bahwa sebelum
intervensi menurut partisipan bahwa nyeri punggung
bawah yang dialaminya adalah disebabkan kelelahan
dinyatakan oleh 13 orang partisipan (65%), postur yang
salah dinyatakan oleh 2 orang partisipan (10%), lama
berdiri dan berjalan dinyatakan oleh 4 orang partisipan
(20%), untuk beban kerja berlebihan dinyatakan oleh 2
orang partisipan 10%).
Pada 4.8 dapat dilihat bahwa sifat nyeri yang
dialami partisipan sebelum intervensi berupa nyeri ringan
dengan skala nyeri 1-3 dirasakan oleh 7 orang partisipan
(35%), nyeri berat dengan skala nyeri 7-9 dinyatakan oleh
2 orang partisipan (10%) dan 11 orang (55%) menyatakan
nyeri sedang degan skala nyeri 4-6.
Tabel 4.2. Lokasi Nyeri yang Dialami Partisipan Sebelum Intervensi di IPI Dewasa RSUPH.Adam Malik Medan tahun
2010
No
Lokasi rasa sakit
Punggung bawah
Bokong
Tungkai
Sebelum intervensi
Ya
n
%
20
100
1
5
8
40
Tidak
n
%
0
19
95
12
60
n
3
2
Sesudah intervensi
Ya
tidak
%
n
%
15
17
85
20
100
10
18
90
Tabel 4.3. Gambaran Rasa Sakit yang Dialami Partisipan Sebelum dan Sesudah Intervensi di IPI Dewasa RSUP H.Adam
Malik Medan tahun 2010
No
1
2
3
4
5
Keluhan yang dirasakan
Kebas
Nyeri
Seperti ditusuk
Kejang
Kebas
Sebelum intervensi
Ya
n
%
3
15
20
85
-
n
17
-
Tidak
%
85
-
Sesudah intervensi
Ya
Tidak
n
%
n
%
3
15
17
85
--
55
Tabel 4.4 Keluhan Nyeri Punggung Bawah Pertama kali dirasakan Dialami Partisipan di IPI Dewasa RSUP H.Adam
Malik Medan tahun 2010
No
1
2
3
4
Waktu
< 1-3 bulan
> 3 bulan- 1 tahun
>1 – 3 tahun
> 3 tahun
n
5
7
7
1
%
25
35
35
5
Tabel 4.5. Lamanya Rasa Nyeri Dirasakan Partisipan di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan tahun
Lamanya Rasa Nyeri
< 1 hari
1-3 hari
1
2
Tabel 4.6
1
2
3
4
n
3
17
%
15
70
Frekuensi Nyeri yang Dirasakan Partisipan selama setahun terakhir di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik
Medan tahun 2010
Frekuensi Nyeri
< 5 kali
5-10 kali
> 10-20 kali
> 20 kali
Total
Jumlah
3
7
5
5
20
%
15
35
25
25
100
Tabel 4.7. Penyebab Terjadinya Keluhan Nyeri Punggung Bawah Menurut Partisipan Sebelum Intervensi di IPI Dewasa
RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2010
No
Penyebab Terjadinya Nyeri Punggung
Bawah
Sebelum intervensi
Ya
1
2
3
4
Kelelahan
Postur yang salah
Lama berdiri/berjalan
Beban kerja belebihan
n
13
2
3
2
Sesudah
intervensi
Tidak
%
65
10
20
10
n
7
18
16
18
Tidak
%
35
90
80
90
n
8
17
4
-
Tidak
%
40
85
20
-
n
12
3
16
-
%
60
15
80
-
Tabel 4.8. Sifat Nyeri yang Dialami Partisipan sebelum dan sesudah intervensi di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik
Medan tahun 2010
Sifat Nyeri / skala nyeri
1
2
3
4
Tidak nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri berat
Nyri berat tidak terkontrol
0
1-3
4-6
7-9
>9-10
Sebelum Intervensi
n
%
7
35
11
55
2
10
20
100
Sesudah Intervensi
17
3
-
85
15
-
Tabel 4.9. Cara Untuk Menghilangkan Nyeri sebelum dan sesudah intervensi di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan
tahun 2010
Upaya yang Dilakukan
1
2
3
4
5
6
7
8
56
Istirahat
Berbaring terlentang & meluruskan badan
Perbaikan Postur kerja
Peregangan dan Fisiotherapi/Masase
Kompres hangat
Minum Obat / Anelgetik
Olah raga
Gizi seimbang
Seb.intervensi
n
%
16
80
3
15
2
10
5
25
1
5
2
10
1
5
1
5
Sesudah intervensi
n
%
8
40
10
50
20
100
5
25
2
10
1
5
1
5
Pada tabel 4.9 Sebelum intervensi bahwa sebagian besar
partisipan (80%) menyatakan bahwa upaya yang
dilakukan untuk menghilangkan nyeri adalah istirahat dan
sesudah intervensi istirahat dinyatakan oleh 8 orang (40%)
dan merasa tidak perlu mencari pengobatan.
Setelah semua fase dalam penelitian selesai dilaksanakan,
selanjutnya melakukan perbandingan hasil Task Analysis
Checklist Pre Intervensi dan Post intervensi dengan uji t
berpasangan, dengan hasil sebagai berikut :
Tabel 4.10
Rata-rata nilai Task Analysis Checklist Pre
Intervensi dan Post Intervensi pada
Partisipan di IPI Dewasa RSU H.Adam
Malik Medan tahun 2010.
Hasil Evalusi
N
Mean Std.
P
Deviation
pre Intervensi
20 8.55
2.164
post Intervensi
20 24.50 2.460
0.000*
Keterangan :*signifikans
Tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata nilai
hasil Task Analysis sebelum intervensi adalah 8.55 dan
sesudah intervensi 24.50, terdapat perbaikan desain kerja
setelah intevensi sebesar 15.95 (53.16%).
Peningkatan ini menunjukkan adanya perbaikan
desain pekerjaan yang mempengaruhi postur, cara
mengangkat dan memindahkan, perbaikan kemampuan
unutk mencegah terjadinya nyeri punggung bawah.
Hasil uji statistik : Paired t test, didapatkan hasil
(p=0.000, kesimpulan Ho ditolak (p< 0.05) artinya ada
perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah intervensi dalam
perbaikan postur kerja.
Gambar 4.1
Nilai Rata-rata Task Analysis Checklist
Sebelum intervensi adalah 41 dan dan nilai
rata-rata setelah
intervensi adalah 84
Sesudah Intervensi
Gambar 4.2. Rasa nyeri yang dialami Partisipan Sebelum
dan Sesudah Intevensi berdasarkan lokasi
nyeri di IPI Dewasa RSU H.Adam Malik
Medan tahun 2010.
Selanjutnya dilakukan wawancara sesudah
intervensi dengan panduan Symptom Survey Ergonomics
Program, untuk mengetahui keluhan partisipan.Perbaikan
Postur ternyata menurunkan rasa nyeri yang bermakna
pada semua lokasi nyeri, yaitu penurunan nyeri punggung
bawah. sebelum intervensi nyeri punggung bawah
dinyatakan oleh 20 orang partisipan, sesudah intervensi
dinyatakan oleh 3 orang (15%). Nyeri bokong sebelum
intervensi dinyatakan oleh seorang partisipan, setelah
intervensi keluhan nyeri pada bokong tidak ada lagi dan
nyeri punggung bawah hanya dikeluhkan oleh 3
partisipan. Sementara untuk keluhan pada nyeri pada
tungkai sebelum intervensi dinyatakan oleh 8 orang
partisipan, pada akhirnya diketahui hanya dialami oleh 2
orang partisipan, terjadi penurunan yang berarti ( Gambar
4.2)
Gambar 4.3. Keluhan Nyeri Punggung Bawah yang
Dialami Partisipan Sebelum Intervensi, satu
bulan Sesudah Intervensi dan Dua bulan
Sesudah Intevensi berdasarkan skala nyeri
di Instalasi Perawatan Intensif Dewasa RSU
H.Adam Malik Medan tahun 2010.
Gambar 4.3 merupakan gambaran rasa nyeri
yang dialami partisipan sebelum dan sesudah intervensi,
dengan menggunakan skala nyeri 0 -10, berupa Nyeri
berat tidak terkontrol dengan skala >9-10, nyeri berat
dengan skala 7-9 nyeri sedang pada 4-7, Nyeri ringan
skala 1-3 dan tidak nyeri dengan skala 0.
Untuk mengetahui pengaruh perbaikan postur
terhadap keluhan nyeri punggung bawah dilakukan
pengukuran melalui wawancara dengan panduan symptom
survey ergonomic program sebelum dilakukan intervensi,
1 bulan setelah intervensi dan pada bulan kedua setelah
intervensi, ternyata ditemui penurunan keluhan nyeri
punggung bawah secara bertahap (Gambar 4.3).
Sebelum Intervensi keluhan Nyeri Punggung Bawah
dirasakan oleh seluruh partsipan, dengan perincian sebagai
berikut : nyeri ringan dirasakan oleh 7 orang Partisipan
(35%), nyeri sedang 11 orang dan nyeri berat 2 orang.
Setelah dilakukan intervensi, untuk mengetahui
keluhan yang dialami partisipan satu bulan setelah
intervensi dilakukan pengukuran dengan hasil: nyeri
ringan dialami 5 Orang Partisipan (25%), nyeri sedang
dirasakan 9 orang dan tidak ada partisipan yang merasakan
nyeri berat. Dua bulan setelah intervensi dilakukan
pengukuran kedua dengan alat yang sama, ditemui hasil
bahwa Partisipan yang merasakan nyeri ringan hanya 3
orang dan sebanyak 17 orang tidak merasakan nyeri. Dari
hasil pengukuran tersebut ternyata bahwa intervensi yang
dilakukan dinyatakan mempunyai pengaruh terhadap nyeri
57
punggung bawah pada perawat Instalasi Perawatan
Intensif di RSUP H.Adam Malik Medan.
Intervensi yang dilaksanakan sesuai dengan
pendapat para ahli yang menyatakan pencegahan low
back pain dengan perbaikan postur harus menjadi cara
hidup dan dipraktekkan setiap saat, ketika berbaring,
duduk, berdiri, berjalan, bekerja dan latihan (
Hedge,2002). Untuk mendapatkan postur yang baik,
dengan memperkuat otot-otot dengan latihan, yang
berguna untuk melindungi dan menyokong punggung.
Roy (2002) menyatakan bahwa pelatihan dan perbaikan
cara mengangkat dapat menurunkan angka kejadian low
back pain pada perawat sebanyak 60%. Menurut Patel dan
Ogle (2000) program latihan dilakukan sebagai usaha
untuk menurunkan berat badan, menguatkan tubuh dan
peregangan struktur otot (oblique abdominal dan otot
spinal ekstensor) dan tendon, dan membantu untuk
mencegah low back pain. Pernyataan ini didukung oleh
Meliala dan Pinson (2004) yang menyatakan Nyeri
Punggung Bawah (Low Back Pain) pada hakekatnya
merupakan keluhan atau gejala dan bukan merupakan
penyakit spesifik. Nyeri punggung bawah yang diderita
lebih dari 6 bulan disebut sebagai nyeri kronis, dengan
pencegahan yang tepat nyeri menjadi hilang dan berkurang
dan tidak menjadi nyeri kronis.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat ditarik
kesimpulan, sebagai berikut:
1 Perawat di Instalasi Perawatan Iintensif Dewasa RSU
H.Adam Malik Medan, yang pernah dan sedang
menderita nyeri punggung bawah mempunyai keluhan
berupa nyeri, kebas dan nyeri seperti ditusuk-tusuk.
2 Penyebab terjadinya nyeri punggung bawah Perawat
di Instalasi Perawatan Intensif Dewasa RSUP H.Adam
Malik Medan, adalah kelelahan, postur yang tidak baik
baik dalam posisi duduk, berdiri, berjalan dan
mengangkat serta memindahkan pasien.
3 Rata-rata hasil Task Analysis sebelum intervensi
adalah 8.55 dan sesudah intervensi 2.50, terdapat
perbaikan design kerja poist intervensi sebesar 15.95
(53.16 %)
4 Peningkatan ini menunjukkan adanya perbaikan design
pekerjaan yang mempengauhi postur, cara mengangkat
dan memindahkan, perbaikan kemampuan untuk
mencegah terjadinya nyeri punggung bawah. Hasil uji
statistik, didapatkan hasil (p=0.000 ; p<0.005). Nilai p0.000, dan t hitung > t table, artinya ada perbedaan
bermakna nilai rata-rata Pre Intervensi dengan Post
Intervensi dalam perbaikan postur tubuh.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan,
dikemukanan beberapa saran, sebagai berikut:
1 Kepada Perawat
a.
Untuk mempertahankan postur yang baik dalam
semua gerakan yang melibatkan muskuloskeletal
58
b. Untuk mempertahankan postur yang baik sebagai
gaya hidup.
c. Bekerja dengan pertimbangan ergonomi.
2 Kepada Pimpinan Rumah Sakit:
a. Untuk memberi perhatian terhadap Keselamatan
dan Kesehatan Kerja bagi perawat, terutama
terhadap gangguan Muskuloskeletal, khususnya
nyeri punggung bawah, dengan melakukan
perbaikan design kerja, sosialisasi dan pelatihan
postur yang baik, termasuk penggunan alat bantu
yang sesuai.
b. Untuk
memperhatikan
ergonomi
dalam
perancangan design kerja sebagai Standar
Operation Prosedur
c. Untuk memberi perhatian terhadap ergonomisasi
seluruh aspek, termasuk design ruangan, tata letak
peralatan, pembelian alat baru dan penyediaan alat
bantu mekanis.
3. Kepada Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan, agar
ergonomi menjadi salah satu mata kuliah dalam
kurikulum pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Ando, S., Ono, Y.,Shimaoka, M., Hiruta, S. ,Hattori, Y
,Hori, F. ,Takeuchi, Y., Association of Self
Estimate Workloads with Musculoskeletal
Symptom Among Hosiptal Nurses, Occupational
and Environmental Medicine, Mar 2000 ; 57 ; 3 ;
ProQuest Medical Library.
Arikunto, S., Prosedur Penelitian- Suatu Pendekatan
Praktek, Edisi Revisi V, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta 2002.
Bernard, B. P ., Musculoskeletal Disorder and Work Place
Factor, Center for Disease Control and Prevention,
NIOSH,Cincinnati,1997.
Dana,
L.D.,
Preventive
Injuries
at
work,
http://.Spineuniverse com/displayarticle php/article
2026, 2003
Fessler, W.,Low Back Pain What You Need To Know
Spine,
http://www
Spineuniverse.com/
displayarticle.php/article 1932,2004
Granjean ,E., Fitting The Task toThe Man, British Library,
Philadelphia, 1988.
Hartono, A. , Prinsip-Prinsip Keperawatan, Roper, N.,
Essentia Medica, Jogyakarta, 2002.
Hudak, C. M., Gallo, M.B., Keperawatan Kritis, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.
Jamsostek. Laporan Tahunan Jamsostek. 2001.
(http://www.jamsostek.co.id).
Diakses pada tanggal 7 Oktober 2007)
Louw Quinet, Linzette D. Morris dan Karen G. Somers.
The Prevalence of Low Back Pain in Africa : a
Systemic Review. BMC Musculoskeletal Disorder
Journal. 2007
Karim, K., Assessing the Strengths and weaknesses of
action research, Nursing Standard, vol. 15, No. 26 /
2001.
Kerr, Michael., Jhon W. Frank, Harr S. Shannon, Robert
K, Norman, Richard. P.Wells, Patrick Neuman,
Claire Bombardier. Biomechanical and Psychosocial
Risk Factors for Low Back Pain at Work. American
Journal of Public Health. 2001
Meliala, L., Pinson, R, Patofisiologi dan
Penatalaksanaan Nyeri Punggung Bawah dalam
Towards Mekanism-Based pain Treatment tht
Recent Trends and Current Evidens, Pokdi Nyeri
Perdossi, 2004
Murtagh ,J., Patient Education, Third Edition, McGraw
Hill Book Company, Toronto, 2002.
Nancy, C., Selby, B. S., Triano, J., Manual Material
Handling,
http://
www.vh.org/adult/patient/internalmedicine/aba30/19
93/backache.html, 2001.
National Task Force on the Prevention and Treatment of
Obesity. Overweight,
Obesity and Health Risk. Arch Intern Med Volume 160.
April 2000.
Nazir, M., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1999.
Panjaitan, Netty., Upaya Pencegahan Terjadinya Low
Back Pain Pada Perawat IPI Di RSU Materna
Medan, http://www.php/Low Back Pain.usu.id 20082009
NIOSH, Guidelines for Evaluation of Hospital
Occupational Health and Safety Programs,
http://www.cdc.gov/hcwold0 ,html., 1998
Nurmianto, E., Ergonomi,Konsep Dasar dan Aplikasinya,
Edisi pertama, Guna Widya, Surabaya, 2003.
NIOSH, Elements of Ergonomic Programs, A Critical
Review of Epidemiologic Evidence of Work-Related
Musculoskeletal Disorder of Neck, Upper extremity,
and
Low
Back,
http://www.cdc.gov/niosh/ergtxt6.html#summary ,
1998.
NIOSH, Element of Ergonomis Program- A Primer Based
on Workplace Evaluatiom of Musculoskeletal ,
http://www.cdc.gov/niosh/eptbrt5-A.html, 1997.
OSHA, OSHA Technikal Manual - Back Disorder and
Injuries,
http://www.osha.gov/dts/osta/otm/otm_vii/otm_vii_1
.html, 2000.
Patel, T. A.; Ogle, A. A., Diagnosis and Management of
Acute Low Back Pain , Am, Fam Physician 2000 ;
61: 1779- 86, 1789 – 90.
Philipps, L. H., Park, T. S., Waddel Criteria, MuscleNerve, http://www.ortho-u.net/med.htm, 1991.
Puslitbangkes Depkes RI, Metodologi Penelitian
Kesehatan, World Health Organization, Jakarta,
1999.
Roy, J.,Carver, L. A., New Ergonomic Equipment At UI
Hospital And Clinics Protects Worker’s Back,
http://www.uiowa.edu/-ornews/index.html.2002
Shepherd, C., Dimension of Care Ergonomic for the
Hospital Setting, Oocupational Health track, Vol. 4,
No. 2, Summer 2001, http://www, systoc. Com.
/Tracker/Summer 01/ErgonHosp.asp#bio.
Sunarto. Latihan pada Penderita Nyeri Punggung Bawah.
Medika Jelita Jakarta Edisi III/406.054. 2005
Sutarni, S. , Soeharso,S. S., Meliala, L.,Wibowo, S., A.
Latief, Nyeri Pinggang bawah pada pekerja kasar
di Stasiun Tugu Jogjakarta,
Medika, No.11,
November 1998.
Wibowo, Eko Tri., Fachri, Achmad Zulal, EHS Weekly
Tips. Astra Green Company
Jakarta. 2004
Zanni, Guido dan Jeannette, Wick. Low Back Pain :
Eliminating Myths andElucidating Realities. J. Am
Pharm
Assoc
43(3):357-352.
American
Pharmaceutical Association. 2003
Claire Jameson , eHow Contributor: Principles of Body
Mechanics,
http://www.ehow.com/about_6634822_principlesbody-mechanics.html#ixzz15AUltLEE
updated:
June 16, 2010
59
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENGETAHUAN DAN SIKAP PUS
TERHADAP PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI DI DESA INVALIDEN
PEGAGAN JULU II KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI
Masrah, Rosmayani Silitonga
Jurusan Farmasi, Politeknik Kesehatan, Kemenkes Medan
Abstrak
Keberhasilan pengendalian pertumbuhan penduduk sangat ditentukan oleh kecepatan penurunan tingkat
kelahiran. Pemakaian kontrasepsi akan meningkatkan pencegahan terhadap kehamilan, sehingga terjadi
penurunan tingkat kelahiran. Kurang berhasilnya program KB antara lain dipengaruhi oleh kurangnya
kesadaran masyarakat tentang penggunaan alat KB, berkurangnya keseriusan pemerintah dalam
menggalakkan program KB sehingga angka kelahiran menjadi meningkat. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara faktor pengetahuan dan sikap terhadap penggunaan alat KB pada PUS
di Desa Invaliden Pegagan julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah
Seluruh Pasangan Usia Subur di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi yang
berjumlah 300 orang dengan sampel yang di teliti adalah sebanyak 75 orang dengan metode pengambilan
sampel secara purposive sampling. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan: a). data univariat
dianalisa dengan metode deskriptif statistik, dan b). data bivariat akan dianalisa dengan menggunakan Uji
Chi Square dengan nilai p<0,05. Hasil penelitian ini diketahui penggunaan alat kontrasepsi pada responden
dapat dilihat bahwa responden mayoritas menggunakan alat kontrasepsi (65.33%) dan yang tidak
menggunakan sebanyak 26 orang (34.67%). Pada analisa bivariat diketahui hasil uji statistik menunjukkan
adanya hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap penggunaan alat kontrasepsi (P = 0.007 <
0.05) dan hasil uji statistik juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat sikap terhadap
penggunaan alat kontrasepsi (P = 0.028 < 0.05). Untuk lebih meningkatkan penggunaan alat kontrasepsi
pada PUS, maka bagi para aparatur desa, maupun fasilitator program KB di desa agar lebih meningkatkan
keinginan masyarakat untuk menggunakan alat kontrasepsi dan bagi masyarakat dianjurkan menggunakan
alat kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan.
Kata kunci: Pengetahuan, Sikap, Kontrasepsi
PENDAHULUAN
Program Keluarga Berencana (KB) merupakan
salah satu usaha penanggulangan masalah kependudukan,
bagian yang terpadu dalam pembangunan nasional dan
turut serta menciptakan kesejahteraan ekonomi dan sosial
budaya penduduk Indonesia.
Pembangunan di bidang KB bertujuan untuk
mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera melalui
pengendalian kelahiran serta untuk mengendalikan
pertumbuhan penduduk Indonesia.
Keberhasilan
pengendalian
pertumbuhan
penduduk sangat ditentukan oleh kecepatan penurunan
tingkat kelahiran. Dengan meningkatnya pemakaian
kontrasepsi akan meningkatkan pencegahan terhadap
kehamilan, sehingga terjadi penurunan tingkat kelahiran.
Kurang berhasilnya program KB antara lain
dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran masyarakat tentang
penggunaan alat KB berkurangnya keseriusan pemerintah
dalam menggalakkan program KB sehingga angka
kelahiran menjadi meningkat.
60
Padahal partisipasi / kesadaran masyarakat
merupakan salah satu untuk mendukung tercapainya
keberhasilan program KB. Untuk mempunyai sikap yang
positif tentang KB diperlukan pengetahuan yang baik,
demikian sebaliknya bila pengetahuan kurang maka
kepatuhan menjalani program KB berkurang
Pertambahan penduduk di
Desa Invaliden
Pegagan julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi
masih tinggi dimana pertambahan penduduk 2009-2010
diperkirakan 1,02% dengan jumlah penduduk 2009
sebanyak 2442 jiwa dan tahun 2010 sebanyak 2467 jiwa.
Pada hasil sensus 2009 dan 2010 tercatat angka kelahiran
2,7% per wanita subur, dimana angka kelahiran secara
nasional 2,6% per wanita subur. Ini menunjukkan bahwa
angka kelahiran di Desa Invaliden Pegagan julu II
Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi masih tinggi.
Sehubungan dengan kondisi di atas penulis ingin
meneliti tentang gambaran pengetahuan dan sikap
terhadap penggunaan alat KB di Desa Invaliden Pegagan
julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi.
Lokasi ini dipilih sebagai lokasi penelitian dengan
tingkat pendidikan yang sangat bervariasi terutama pada
pasangan usia subur, mulai dari yang lulus sekolah dasar
sampai pada ibu yang pernah lulus dari perguruan tinggi.
TUJUAN PENELITIAN
1.
2.
Untuk mengetahui distribusi penggunaan alat KB
pada PUS di Desa Invaliden Pegagan julu II
Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi
Untuk mengetahui hubungan antara faktor
pengetahuan dan sikap terhadap penggunaan alat
KB pada PUS di Desa Invaliden Pegagan julu II
Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
analitik dengan pendekatan cross sectional study.
Penelitian dilakukan di Desa Invaliden Pegagan Julu II
Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi, yang dimulai
dengan melakukan penelusuran pustaka, dilanjutkan
dengan survey awal dan mempersiapkan proposal
penelitian, membuat materi instrument di lapangan berupa
penilaian pengetahuan dan sikap PUS, serta melakukan
pengumpulan dan analisis data dan penulisan dilakukan
selama 3 (Tiga) bulan mulai bulan Januari sampai dengan
Maret 2011.
Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh
Pasangan Usia Subur di Desa Invaliden Pegagan Julu II
Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi.
Jumlah keseluruhan PUS di Desa Invaliden
Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi
adalah 300.
Maka jumlah sampel yang di teliti adalah
sebanyak:
n
N
1 N d 2
 
Keterangan :
n = Ukuran sample yang dicari;
N = Jumlah populasi
d = Selisih rerata kedua kelompok yang bermakna = 1%
300
1  300 0,12
300
n
1  300 0,12
n  75 orang
n
 
 
Metode pengambilan sampel di lakukan dengan purposive
sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan data primer melalui kuisioner yang
diberikan kepada responden yang berisi pertanyaan dan
dipilih jawaban yang telah dipersiapkan., dan data
sekunder yang diperoleh dari kantor Kepala Desa
Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten
Dairi.
Pengolahan data dilakukan dengan tahap Editing,
Coding, Entry dan Cleaning. Analisis data dalam
penelitian ini dilakukan dengan: a). data univariat dianalisa
dengan metode deskriptif statistik, dan b). data bivariat
akan dianalisa dengan menggunakan Uji Chi Square
dengan nilai p<0,05.
Untuk pengukuran pengetahuan dipakai skala
ordinal jika jawaban benar diberi skor 1, dan jika jawaban
salah di beri skor 0.
Untuk pengukuran sikap di pakai skala
ordinal.dengan bobot tiap pilihan adalah sebagai berikut :
Sangat setuju
bobot 4
Setuju
bobot 3
Ragu – ragu
bobot 2
Tidak setuju
bobot 1
Berdasarkan total skor yang diperoleh responden,
pengetahuan dan sikap dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu :
1. Tingkat pengetahuan dan sikap baik, jika mendapat
total skor > 75 %
2. Tingkat pengetahuan dan sikap cukup, jika
mendapat total skor > 50 –75%
3. Tingkat pengetahuan dan sikap kurang, jika
mendapat skor < 50 %
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah di lakukan survei dengan menyebarkan
kuisioner terhadap sampel di Desa Invaliden Pegagan Julu
II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi dengan jumlah
responden 75 orang. Maka di peroleh hasil sebagai berikut:
1. Analisis Univariat
a. Gambaran Umum Responden
Gambaran umum responden berdasarkan umur,
pendidikan dan penggunaan alat kontrasepsi yang
diamati dalam penelitian ini adalah seperti disajikan
pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa umur istri dari
PUS minimal < 20 tahun (10.67%) dan maksimal 20 – 35
tahun 62.66%), untuk umur suami dikelompokkan
menjadi 2 (Dua) kelompok berdasarkan nilai tengah
(median) yaitu < 40 tahun dan > 40 tahun, dimana
diketahui maksimal umur suami < 40 tahun (72%).
Pada karakteristik pendidikan dapat dilihat, bahwa
pendidikan responden baik itu istri maupun suami
mayoritas pada kategori menengah, masing – masing
(69.33%) dan (64.00).
Untuk Penggunaan alat kontrasepsi pada
responden dapat dilihat bahwa responden mayoritas
menggunakan alat kontrasepsi (65.33%). Dari
wawancara yang dilakukan diketahui distribusi
penggunaan alat kontrasepsi adalah sebagai berikut :
Pil (33.33%), Suntikan (16%), Implan(12%) dan IUD
(4%), dan yang tidak menggunakan sebanyak 26 orang
(34.67%) dengan alasan responden tidak menggunakan
alat kontrasepsi adalah karena masih ingin punya anak
(13.33%),
menggunakan
kontrasepsi
alamiah
(10.67%), sudah melakukan kontrasepsi mantap (4%),
lain –lain (6.67%).
61
Tabel 1. Distribusi
PUS
Berdasarkan
Umur,
Pendidikan dan Penggunaan Alat Kontrasepsi
No.
1.
2.
3.
Karakeristik PUS
Umur
Istri
- < 20 tahun
- 20 - 35 tahun
- > 35 tahun
Suami
- < 40 tahun
- < 40 tahun
Jumlah
%
8
47
20
10.67
62.66
26.77
54
21
72.00
28.00
Pendidikan
Istri
- Dasar
- Menengah
- Tinggi
17
52
6
22.67
69.33
8.00
Pendidikan
Istri
- Dasar
- Menengah
- Tinggi
10
48
17
13.33
64.00
26.77
Penggunaan
kontrasepsi
- Menggunakan
- Tidak
menggunakan
Total
Tabel 2. Distribusi Penggunaan Alat Kontrasepsi
Berdasarkan Pengetahuan PUS di Desa
Invaliden Pegagan Julu II KecamatanSumbul
Kabupaten Dairi.
Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
Total
65.33
34.67
75
100
%
16.00
73.33
10.67
100
Sikap
Dari hasil penelitian ini diketahui sikap PUS
tentang penggunaan alat kontrasepsi adalah seperti
disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Distribusi Penggunaan Alat Kontrasepsi
Berdasarkan Sikap PUS di Desa Invaliden
Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten
Dairi
.
Sikap
Baik
Cukup
Kurang
Total
Jumlah
18
52
5
75
%
24.00
69.33
6.67
100
Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa sikap
responden mayoritas pada kategori baik (69.33%).
2.
Analisis Bivariat
Pada data bivariat ini dilakukan tabulasi silang
antara faktor independen (pengetahuan dan sikap) dengan
faktor dependen (penggunaan Alat kontrasepsi) dan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan yang bermakna antara
kedua vaiabel tersebut dilakukan statistik dengan uji chiSquare (p<0,05)
a.
Pengetahuan
Dari hasil penelitian ini diketahui pengetahuan
PUS tentang penggunaan alat kontrasepsi adalah seperti
disajikan pada Tabel 2.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa tingkat
pengetahuan responden pada kategori baik sebanyak 12
orang (16.00%), dan pada kategori cukup sebanyak 55
orang (81.33%) kemudian pada kategori kurang sebanyak
8 orang (10.67%)
Tabel 4.
12
55
8
75
b.
alat
49
26
Jumlah
a. Hubungan Pengetahuan Responden Terhadap
Penggunaan Alat Kontrasepsi
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa
hubungan pengetahuan PUS terhadap penggunaan alat
kontrasepsi di Desa
Invaliden Pegagan Julu II
KecamatanSumbul Kabupaten Dairi adalah seperti
disajikan pada Tabel 4.
Hubungan Pengetahuan PUS Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi di Desa Invaliden Pegagan Julu II
KecamatanSumbul Kabupaten Dairi.
Penggunaan Alat Kontrasepsi
Ya
Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
62
Jlh
9
39
1
49
Jumlah
%
Tidak
%
12.00
52.00
1.33
65.33
Jlh
3
16
7
26
%
4.00
21.33
9.34
34.67
Jlh
12
55
8
75
%
16.00
73.33
10.67
100
X2
(Nilai p)
0,007
Tabel 5. Hubungan Sikap PUS Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan
Sumbul Kabupaten Dairi.
Sikap
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
Penggunaan Alat Kontrasepsi
Ya
Tidak
Jlh
%
Jlh
%
38
50.67
11
14.67
10
13.33
10
13.33
1
1.33
5
6.67
49
65.33
26
34.67
Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan
bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap
penggunaan alat kontrasepsi (P = 0.007 < 0.05). Hal ini
berarti bahwa tingkat pengetahuan berbanding lurus
dengan penggunaan alat kontrasepsi, artinya makin tinggi
tingkat pengetahuan maka penggunaan alat kontrasepsi
juga tinggi, begitu juga sebaliknya.
Dari data yang diperoleh, responden yang
berpengetahuan baik menggunakan alat kontrasepsi
sebanyak 9 orang (12.00%), dan yang tidak menggunakan
3 orang (4.00%), untuk responden yang berpengetahuan
cukup menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 39 orang
(52.00%) dan yang tidak menggunakan sebanyak 16 orang
(21.33%),
selanjutnya
untuk
responden
yang
berpengetahuan kurang menggunakan alat kontrasepsi
sebanyak 1 orang (1.33%) dan yang tidak menggunakan 7
orang (9.34%).
Berdasarkan data pada Tabel. 4, diketahui bahwa
PUS di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan
Sumbul Kabupaten Dairi sudah banyak menggunakan alat
kontrasepsi, hanya saja alat kontrasepsi yang paling
banyak digunakan adalah alat kontrasepsi yang kurang
efektif seperti pil Pil (33.33%) dan Suntikan (16%), hanya
beberapa PUS yang menggunakan alat kontrasepsi yang
efektif seperti Implan(12%) dan IUD (4%).
Dengan demikian, pengetahuan PUS yang baik
tentang program KB akan mempengaruhi mereka dalam
memilih metode/alat kontrasepsi yang akan digunakan
termasuk pilihan efektif/tidaknya suatu alat kontrasepsi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Blum yang dikutip
oleh Notoatmojo (2003) yang menyatakan bahwa tindakan
seorang individu yang lebih nyata akan lebih langgeng dan
bertahan apabila hal ini didasari pengetahuan yang kuat.
b. Hubungan
Sikap
Responden
Terhadap
Penggunaan Alat Kontrasepsi
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa
hubungan pengetahuan PUS terhadap penggunaan alat
kontrasepsi di Desa Invaliden Pegagan Julu II
KecamatanSumbul Kabupaten Dairi adalah seperti
disajikan pada Tabel 5.
Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan
yang bermakna antara tingkat sikap terhadap penggunaan
alat kontrasepsi (P = 0.028 < 0.05).
Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
penerimaan terhadap tujuan yang ditawarkan dalam
program KB, manfaat dan juga kegunaan pemakaian alat
kontrasepsi.
Jumlah
%
Jlh
%
49
65.34
20
26.66
6
8.00
75
100
X2
(Nilai p)
0.028
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh, responden
yang memiliki sikap baik menggunakan alat kontrasepsi
sebanyak 38 orang (50.67%), dan yang tidak
menggunakan 11 orang (14.67%), untuk responden yang
memiliki sikap cukup menggunakan alat kontasepsi
sebanyak 10 orang (13.33%) begitu juga dengan yang
tidak menggunakan, selanjutnya untuk responden yang
memiliki sikap kurang menggunakan alat kontrasepsi
sebanyak 1 orang (1.33%) dan yang tidak menggunakan 5
orang (6.67%).
Dari data ini dapat dilihat bahwa sikap responden
yang belum baik juga diikuti dengan penggunaan alat
kontrasepsi yang masih rendah. Artinya bahwa ketika
responden memberi penilaian yang kurang baik terhadap
program KB dan penggunaan alat kontrasepsi, maka dia
juga akan memberikan tanggapan yang negatif.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Junita
Tatarini Purba (2009) yang mengatakan bahwa ada
pengaruh sikap dengan penggunaan alat kontrasepsi (Sig =
0,041).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Penggunan alat kontrasepsi di di Desa Invaliden
Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten Dairi
sebanyak 49 orang (65.33%) dan yang tidak
menggunakan sebanyak 26 orang (34.67%)
2. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
dengan penggunaan alat kontrasepsi di Desa Invaliden
Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten Dairi
dengan nilai P = 0.007).
3. Adanya hubungan yang bermakna antara tingkat sikap
terhadap penggunaan alat kontrasepsi di Desa
Invaliden Pegagan Julu II KecamatanSumbul
Kabupaten Dairi (P = 0.028.
Saran
1. Bagi para aparatur desa, maupun fasilitator program
KB di desa agar lebih meningkatkan keinginan
masyarakat untuk menggunakan alat kontrasepsi.
2. Bagi masyarakat dianjurkan menggunakan alat
kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah
kehamilan
3. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat dijadikan bahan
untuk penelitian lebih lanjut tentang KB
63
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. S, (2006). Prosedur Penelitian, Rineka Cipta,
Jakarta.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, (1989).
Penganyoman Medis Keluarga Berencana,
Keluarga Berencana Nasional. Jakarta
Sarwono Prawirohardjo bekerja sama dengan
JNPKKR/POGI, BKKBN, DEPKES, dan
JHPIEGOS, (2003). Buku Panduan Praktis
Pelayanan Kontrasepsi, Yayasan Bina Pustaka,
Jakarta.
64
Hopkins. J, (1996). Kartu Informasi Kontrasepsi, Proyek
UNFPA, Jakarta.
Junita Tatarini Purba (2009), Faktor – faktor yang
mempengaruhi penggunaan alat KBpada istri PUS
di Kec. Rambah Samo, Kab. Rokan Hulu Tahun
2008,USU
Singarimbun, Masri, dan Sofian Efendi, (1981). Metode
Penelitian Survei. Ed. Revisi. PT. Pustaka LP3S
Indonesia, Jakarta.
Tjay Hoan Tan Drs dan Kirana Raharja, (2002). Obat-obat
penting, khasiat, penggunaan dan efek
sampingnya, Ed V, PT. Elex Media komputindo.
Jakarta.
HUBUNGAN KEBIASAAN MENGKONSUMSI MAKANAN
YANG MENGANDUNG SUKROSA DENGAN OHI-S
PADA SISWA SISWI KELAS X A SMA PENCAWAN MEDAN
TUNTUNGAN TAHUN 2010
Netty Jojor Aritonang
Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan
Abstrak
Kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) merupakan hal yang perlu diperhatikan karena selain untuk fungsi
metabolisme gigi juga berfungsi untuk memberikan nilai esteika bagi diri kita. Faktor faktor yang
menyebabkan kurangnya kebersihan gigi adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak
mendukung kebersihan gigi. Dalam penelitian ini jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian
deskriptif dengan metode survey. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa siswi kelas X A
SMA Pencawan medan Tuntungan, yang berjumlah 21 orang. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: kuesioner dan alat diagnosa. Data penelitian diperoleh dari data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui pemeriksaan subjektif. Data sekunder diperoleh dari
kuesioner yang dibagikan pada setiap sampel, data yang sudah diperoleh dimasukkan kedalam tabel
distribusi frekuensi dan dijelaskan secara rinci setiap aspek yang ada dalam tabel tersebut. Adapun
hasil yang didapat dari penelitian ini adalah siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan
Tahun 2010 memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan tidak mendukung terhadap kebersihan gigi
dan mulut (OHI-S), sehingga rata-rata siswa memiliki kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) yang kurang
baik dimana siswa siswi memiliki: Debris Indeks rata rata sebesar 1,6, Kalkulus Indeks rata rata 1,09,
OHI-S rata rata 2,77, dan persentase yang memiliki kategori OHI-S baik adalah 9,53%, kategori OHIS sedang 61,90% dan kategori OHI-S buruk sebesar 28,57%. Dari hasil penelitian dan pembahasan,
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung gula
dengan OHI-S pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010. Dengan
demikian upaya yang harus dilakukan adalah memperhatikan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang
mengandung sukrosa..
Kata kunci: Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa, kebersihan gigi dan mulut
(OHI-S)
PENDAHULUAN
Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat agar tingkat
kesehatan masyarakat menjadi lebih baik. Pembangunan di
bidang kesehatan gigi merupakan bagian integral dari
pembangunan kesehatan nasional. Artinya, dalam
melaksanakan pembangunan kesehatan, pembangunan di
bidang kesehatan gigi tidak boleh ditinggalkan. Gigi
merupakan salah satu organ yang penting dalam tubuh
manusia. Kesehatan fisik dan mental banyak dipengaruhi
oleh kondisi kesehatan gigi serta kebersihan gigi dan
mulut(OHI-S). Secara garis besar selain alat pencernaan,
gigi juga berfungsi sebagai alat komunikasi verbal, guna
menjaga agar ucapan kata tepat dan jelas. Selain itu gigi
juga berperan sebagai sarana untuk menjaga estetika
(Besford, john. 1996).
Telah diketahui makin majunya tehnologi pangan dan
taraf penghidupan menjadikan setiap orang mengalami
perubahan dalam kebiasaan makan. Kebiasaan makan
yang tidak sesuai misalnya, mengkonsumsi makanan yang
tidak mendukung kesehatan gigi diantara jam makan akan
mengakibatkan tingkat kebersihan gigi dan mulut (OHI-S)
menjadi kurang bersih. Sisa makanan yang melekat pada
permukaan gigi atau yang disebut dengan debris indeks
(DI) lama kelamaan jika tidak dibersihkan akan berubah
menjadi karang gigi atau yang sering juga disebut dengan
kalkulus indeks (CI).
Kebiasaan makan yaitu tindakan seseorang atau
sekelompok manusia dengan mengkonsumsi jenis
makanan makanan tententu ynag dipengaruhi banyak
faktor salah satunya kesukaan terhadap jenis makanan
tertentu. Hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi
makanan yang mengandung sukrosa dengan kebersihan
gigi (OHI-S) perlu diperhatikan. Debris indeks (DI)
terbentuk dari sisa-sisa makanan lengket yang melekat di
sela-sela gigi yang bersumber dari makanan yang
mengandung sukrosa, kemudian plak ini akhirnya akan
ditumbuhi bakteri yang dapat mengubah gula menjadi
asam sehingga pH rongga mulut menurun sampai dengan
pH 4,5. Pada keadaan demikian debris indeks akan
berubah menjadi keras yaitu menjadi karang atau kalkulus
65
(CI). Pengulangan konsumsi makanan yang mengandung
sukrosa terlalu sering akan menyebabkan produksi asam
oleh bakteri menjadi lebih sering lagi, sehingga keasaman
rongga mulut menjadi lebih permanen dan kebersihan gigi
dan mulut menjadi buruk.
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka perlu
dilakukan penelitian tentang hubungan kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa
dengan kebersihan gigi (OHI-S) yang mana penelitiannya
dilakukan di SMA Pencawan Medan Tuntungan.Dengan
rumusan masalah penelitian adalah bagaimana hubungan
kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung
sukrosa dengan kebersihan gigi (OHI-S).
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui
adanya hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi
makanan yang mengandung sukrosa dengan kebersihan
gigi (OHI-S) pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan
Medan Tuntungan Tahun 2010.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian
deskriptif dengan metode survei, dimana penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui Hubungan kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa
dengan kebersihan gigi dan mulut atau OHI-S pada siswa
siswi kelas X A di SMA Pencawan Medan
Tuntungan.Penelitian dilakukan di SMA Pencawan
kecamatan Lau Chi Medan Tuntungan pada bulan Maret
2010 sampai dengan bulan Agustus 2010.
Populasi dan Sampel
Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan
Tuntungan Tahun 2010 dan semua populasi
dijadikan sebagai sampel penelitian dengan jumlah
21 orang.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan diambil dari data siswa siswi
kelas X A dan SMA pencawan Medan Tuntungan.
Pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan metode
kuesioner (daftar pertanyaan) dan pemeriksaan langsung.
Dalam pemeriksaan peneliti menggunakan alat dan
bahan sebagai berikut:
1. Alat terdiri dari:
- Sonde
- Pinset
- Ekscavator
- Format pemeriksaan
2. Bahan terdiri dari:
- Desinfektan
- Alkohol
- Kapas
Teknik Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan diolah dengan cara
manual, kuesioner yang telah dikumpulkan, diperiksa
kelengkapannya, kejelasan tulisan, ada tidaknya jawaban
ganda dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab. Data
yang
sudah
diperoleh
disederhanakan
untuk
66
mempermudah pengolahan yaitu dengan menggunakan
angka atau kode-kode tertentu pada penelitian ini, yaitu :
- Untuk jawaban ya scorenya 1.
- Untuk jawaban tidak scorenya 0.
Untuk mempermudah analisa dan pengolahan data
serta pengambilan kesimpulan, Data dihitung sesuai
variable yang telah ditentukan, kemudian dimasukkan
kedalam tabel distribusi frekuensi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Distribusi frekuensi debris indeks rata-rata pada
21 siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan
Tuntungan Tahun 2010.
No
Jumlah
siswa
Total (DI)
DI rata-rata.
1
21
35,42
1,69
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kebersihan gigi dan
mulut siswa siswi kelas XI A SMA Pencawan Medan
Tuntungan berdasarkan Debris indeks rata rata adalah 1,69.
Tabel 2. Distribusi frekuensi kalkulus indeks rata-rata
pada 21 siswa siswi kelas X A SMA Pencawan
Medan Tuntungan Tahun 2010.
No.
1
Jumlah siswa
21
Total (CI)
22,95
CI rata-rata
1,09
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat
kebersihan gigi dan mulut pada siswa siswi kelas X A
SMA pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010
berdasarkan kalkulus indeks rata-rata adalah 1,09.
Tabel 3. Distribusi frekuensi OHI-S rata-rata pada 21 siswa
siswi kelas X A SMA Pencawan Medan
Tuntungan Tahun 2010.
No
1
Jumlah siswa
21
Total OHI-S
58,37
OHI-S rata-rata.
2,78
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tigkat kebersihan
gigi atau OHI-S rata-rata pada siswa siswi kelas X A SMA
Pencawan Medan Tuntungan tahun 2010 berdasarkan
penilaian OHI-S adalah 2,78.
Tabel 4. Distribusi frekuensi berdasarkan kategori dan
persentase OHI-S pada 21 siswa siswi kelas X A
SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010.
No.
1
2
3
4
Kategori OHI-S
Baik
Sedang
Buruk
Jumlah
Jumlah siswa
2
13
6
21
Persentase.
9,53%
61,90%
28,52%
100%
Dari tabel diatas dapat dilihat persentase kategori
OHI-S pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan
Tuntungan Tahun 2010 adalah :
 Baik
=9,53%
 Sedang =61,90%
 Buruk
=28,57%
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kebiasaan makan
pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan
Tuntungan tahun 2010 sebagai berikut :
 Persentase siswa yang sarapan biskuit, coklat, roti di
pagi hari adalah 9,53% dan yang tidak adalah 90,47%.
 Persentase siswa yang langsung sikat gigi setelah
makan biskuit, coklat, roti adalah 38,09% dan yang
tidak adalah 61,1%.
 Persentase siswa yang ngemil makanan yang
mengandung gula setelah makan siang adalah 80,95%
dan yang tidak adalah 19,05%.
 Persentase siswa yang yang makan cemilan setelah
sikat gigi malam adalah 57,14% yang tidak adalah
42,86%.
 Persentase siswa yang lebih sering makan makanan
ringan daripada buah-buahan adalah 90,47% dan yang
tidak adalah 9,53%.
Tabel 5. Distribusi frekuensi persentase kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa pada 21 siswa siswi
kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010.
No.
1
2
3
4
5
Kebiasaan makan
Srapan biskuit,coklat,roti di pagi hari.
Setelah makan biskuit,coklat,roti langsung sikat gigi.
Ngemil makanan yang mengandung gula setelah makan
siang.
Makan cemilan setelah sikat gigi malam.
Lebih sering makan makanan ringan daripada buahbuahan.
Jumlah
Tidak
19
13
4
Ya
2
8
17
12
19
9
2
%
Ya
9,53
38,09
80,95
Tidak
90,47
61,1
19,05
57,14
90,47
42,86
9,53
Tabel 6. Distribusi frekuensi hubungan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa dengan OHI-S rata
rata pada 21 siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010.
No.
Kebiasaan makan
Jumlah Siswa
Ya
Tidak
2
19
8
13
Rata-rata
DI
CI
1,69
1,09
1,69
1,09
1
2
Srapan biskuit, coklat, roti di pagi hari.
Setelah makan biskuit, coklat, roti antara jam
makan pagi dan siang.
3
Ngemil makanan yang mengandung gula setelah
makan siang.
17
4
1,69
1,09
2,75
4
Makan cemilan setelah makan malam.
12
9
1,69
1,09
2,80
5
Lebih sering makan makanan ringan daripada
buah-buahan.
19
2
1,69
1,09
2,70
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa OHI-S rata
rata berdasarkan kebiasaan makan siswa siswi kelas X A
SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010 adalah:
1. OHI-S rata rata pada siswa siswi yang sarapan biskuit,
coklat, roti di pagi hari adalah: 2,78 (sedang).
2. OHI-S rata rata pada siswa siswi sarapan biskuit,
coklat, roti antara jam makan pagi dan siang adalah:
2,85 (sedang).
3. OHI-S rata rata pada siswa siswi yang ngemil makanan
yang mengandung gula setelah makan siang adalah
adalah: 2,75 (sedang).
4. OHI-S rata rata pada siswa siswi yang makan cemilan
setelah makan malam adalah: 2,80 (sedang).
5. OHI-S rata rata pada siswa siswi yang lebih sering
mengkonsumsi makanan ringan daripada buah buahan
adalah: 2,70 (sedang).
OHI-S
Rata-rata
2,78
2,85
6. Kategori OHI-S rata rata pada siswa siswi berdasarkan
kebiasaan makan adalah: Sedang.
Pembahasan
Kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) merupakan
keadaan dimana gigi dan jaringan sekitarnya bersih dan
sehat atau terbebas dari penyakit. Seperti bagian bagian
lain dari tubuh, maka gigi dan jaringan penyangganya
mudah terkena penyakit. Maka supaya gigi tahan terhadap
panyakit harus mendapat perhatian dan perawatan yang
baik dan menjaga agar gigi tetap bersih. (Boediarjoe,
1985).
Berdasarkan dari hasil distribusi frekuensi diketahui
bahwa siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan
Tuntungan
Tahun
2010
memiliki
kebiasaan
mengkonsumsi makanan tidak mendukung terhadap
kebersihan gigi dan mulut (OHI-S), sehingga rata-rata
67
siswa memiliki kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) yang
kurang baik dimana siswa siswi memiliki: Debris Indeks
rata rata sebesar 1,69, Kalkulus Indeks rata rata 1,09, OHIS rata rata 2,77. Menjaga kebersihan gigi dan mulut adalah
hal yang sangat penting beberapa hal yang perlu dilakukan
adalah dengan menyikat gigi dan memperhatikan pola
makan. Tingkat kebersihan gigi dan mulut seseorang dapat
diukur dengan menggunakan Oral Higiene Simplied (OHIS) yaitu dengan menjumlahkan debris skor dan kalkulus
score.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada
siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan
Tahun 2010 dapat diketahui bahwa kebiasaan makan
berhubungan dengan kebersihan gigi dan mulut (OHI-S).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan
Tuntungan memiliki debris indeks rata rata 1,69 (sedang).
1. Siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan
Tuntungan memiliki kalkulus indeks rata rata 1,09
(sedang).
2. Siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan
Tuntungan memiliki (OHI-S) rata-rata 2,77 (sedang).
3. Ada hubungan kebiasaan mengkonsumsi makanan
yang mengandung sukrosa dengan kebersihan gigi dan
mulut (OHI-S) pada siswa siswi kelas X A SMA
Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010.
Saran
1. Kepada pihak SMA Pencawan Medan Tuntungan
hendaknya mengadakan progran UKGS yang
bekerjasama dengan puskesmas setempat
68
2. Diharapkan kepada siswa siswi SMA Pencawan
Medan Tuntungan untuk memperhatikan kebiasaan
makan agar kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) dapat
tetap terjaga.
3. Diharapkan kepada siswa siswi SMA Pencawan
Medan Tuntungan untuk mengurangi kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa
karena menyebabkan gigi dan mulut kurang bersih.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian, Edisi
Revisi VI, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
BAUM, Lloyd, 1997, Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi,
Alih Bahasa Rasinta Tarigan, Jakarta: EGC.
Boedihardjo, 1985, Pemeliharaan Kesehatan Gigi &
Mulut, Bandung: Airlangga University.
Moestopo, 1982, Kesehatan Gigi & Mulut, Bandung:
Ghalia Indonesia.
Panjaitan, Monang, 1997, Etiologi Karies Gigi dan
Penyakit Periodontal, Medan: USU Press.
Pintauli, Sondang, 2004, Menuju Gigi dan Mulut Sehat,
Pencegahan dan Pemeliharaan, Medan: USU
Press.
Politeknik Kesehatan Medan, 2009, Panduan Penyusunan
Karya Tulis Ilmiah (KTI), Medan: USU Press.
Tarigan, Rasinta, 1990, Karies Gigi, Jakarta: Hipokrates.
Http://www.compas.com. Gizinet. Maret 2007. Diet efektif
kurangi berat badan, April 2010
Http://yayanakhyar.wordpress.com April 2010
PERBEDAAN PREVALENSI KARIES PADA MURID KELAS III
SDN 101816 PANCUR BATU DENGAN SDN 060868 KRAKATAU MEDAN
YANG MEMILIKI UKGS TAHUN 2011
Rawati Siregar
Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan
Abstrak
Masyarakat sekolah dasar merupakan salah satu kelompok yang strategis yang diikut sertakan dalam upaya
kesehatan gigi dan mulut. Upaya kesehatan gigi dan mulut pada anak sekolah dilaksanakan melalui kegiatan
pokok kesehatan gigi dan mulut di puskesmas yang diselenggarakan secara terpadu dengan kegiatan Usaha
Kesehatan Sekolah (UKS) dalam bentuk program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) Penelitian ini
adalah penelitian yang bersifat Deskriptif dengan Metode Survey. Jumlah populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh Murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu berjumlah 60 murid, dan SDN 060868 Krakatau
Medan berjumlah 60 murid, jadi jumlah keseluruhan adalah 120 murid, sedangkan yang menjadi sampel
adalah 42 murid, yaitu 21 murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu dan 21 murid SDN 060868 Krakatau
Medan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh melalui
pemeriksaan langsung kepada murid kelas III SDN 101816 pancur batu dan murid kelas III SDN 060868
Krakatau Medan. Angka DMF-T dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816 kelas III terdapat 8 gigi yang
terkena karies, dengan rata-rata 0,4. Sedangkan pada SDN 060868 kelas III dari 21 murid yang diperiksa
terdapat 24 gigi yang terkena karies, dengan rata-rata 1,1. Angka def-t dari 21 murid yang diperiksa di SDN
101816 terdapat 43 gigi yang terkena karies, 7 gigi yang diindikasikan untuk dicabut, dengan rata-rata 2,4.
Sedangkan pada Murid kelas III SDN 060868 dari 21 murid yang diperiksa terdapat 90 gigi yang terkena
karies, 22 gigi yang diindikasikan untuk dicabut, dengan rata-rata 5,3. Dari hasil penelitian serta
pembahasan dapat disimpulkan bahwa murid kelas III pada SDN 101816 Pancur Batu lebih sedikit
menderita karies dari pada murid kelas III SDN 060868 Krakatau Medan. Selain dari pada UKGS, orang tua
dan guru juga dapat mempengaruhi kesehatan gigi anak-anak khususnya pada anak SD kelas III.
Kata kunci: Prevalensi Karies, UKGS
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi
manusia, hal itu bertujuan untuk dapat melakukan berbagai
aktivitas baik fisik, mental maupun kesehjateraan sosial.
Jadi,sehat itu bukan sekedar tidak sakit (WHO).
Upaya yang dilakukan dalam rangka mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal salah satunya adalah upaya
kesehatan gigi dan mulut. Dalam meningkatkan kesehatan
gigi dan mulut terdapat keterbatasan di bidang sarana dan
tenaga kesehatan gigi, sehingga masyarakat diikut sertakan
dalam upaya kesehatan gigi dan mulut (Depkes RI, 1992).
Masyarakat Sekolah Dasar merupakan salah satu
kelompok yang strategis yang diikut sertakan dalam upaya
kesehatan gigi dan mulut. Upaya kesehatan gigi dan mulut
pada anak sekolah dilaksanakan melalui kegiatan pokok
kesehatan gigi dan mulut di puskesmas yang
diselenggarakan secara terpadu dengan kegiatan Usaha
Kesehatan Sekolah (UKS) dalam bentuk program Usaha
Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) (Depkes RI, 1997).
Pada anak-anak Sekolah Dasar yang tidak memiliki
program UKGS kemungkinan terjadinya penyakit gigi
misalnya karies gigi, akan lebih besar apabila
dibandingkan dengan anak-anak sekolah dasar yang
memiliki program UKGS. Penelitian Sufiawati dkk (2000)
menyatakan bahwa pada semua sekolah yang tidak
mempunyai program UKGS dan tidak pernah
mendapatkan penyuluhan tentang kesehatan gigi dan mulut
terjadi prevalensi karies gigi yang tinggi.
Prevalensi karies relatif lebih tinggi pada anak
Sekolah Dasar yang tidak memiliki program UKGS,
kemungkinan karena terdapat keterbatasan pengetahuan,
serta kurangnya pengetahuan tentang pentingnya
melakukan pencegahan dan perawatan gigi. Menurut
penelitian Sufiawati dkk (2000) prevalensi karies gigi yang
tinggi antara lain karena kurangnya pengetahuan kesehatan
gigi dan mulut, tidak memiliki program UKGS, kurangnya
kesadaran dan kebersihan dirinya sendiri dan anak-anak
dalam usia ini masih tergantung pada orang tua, serta
kurangnya kesadaran orang tua untuk membawa anaknya
untuk melakukan perawatan gigi.
69
Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu
dilakukan suatu program kesehatan yang terencana dan
terpadu di Sekolah Dasar. Program usaha kesehatan
sekolah yang kegiatannya ditujukan untuk mewujudkan
gigi dan mulut yang sehat pada anak-anak sekolah dasar
(Depkes RI, 1997).
Usaha Kesehatan Gigi Sekolah adalah usaha-usaha
dalam bidang kesehatan gigi dan mulut terhadap
masyarakat disekolah khususnya di tujukan pada anak
sekolah dasar. Usaha pelayanan kesehatan gigi dan mulut
dititik beratkan pada usaha pencegahan salah satunya
adalah penyuluhan kesehatan gigi dan mulut (Depkes RI,
1984). Kegiatan program usaha kesehatan gigi sekolah
meliputi uapaya peningkatan dan pencegahan (promotifpreventif) dan upaya pengobatan dan pemulihan terhadap
penyakIt karies gigi (kuratif-rehabilitatif) (Depkes RI,
1994).
Hasil survey usaha kesehatan sekolah tahun 1990,
penyakit karies gigi berada pada urutan teratas penyakitpenyakit gigi dan mulut yang diderita anak-anak sekolah
dasar (Bina Kesehatan Keluarga, 1990). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit karies gigi
masyarakat di Jawa Barat rata-rata 78,9% dan indeks
DMF-T 5,74 menunjukkan pada setiap orang rata-rata
terdapat 5 sampi 6 gigi yang berlubang, ditambal dan
dicabut akibat karies (Depkes RI, 1999).
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan
penelitian tentang perbedaan prevalensi karies pada anak
usia sekolah dasar yang mana dalam hal ini pemeriksaan
dilakukan pada kelas III SD yang memiliki UKGS, SDN
101816 Pancur Batu dan SDN 060868 Krakatau Medan.
Berdasarkan dari latar belakang diatas maka rumusan
masalahnya adalah Bagaimana Perbedaan Prevalensi
Karies Pada Murid Kelas III SDN 101618 Pancur Batu
Dengan SDN 060868 Krakatau Medan yang Memiliki
UKGS.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
Perbedaan Prevalensi Karies Pada Murid Kelas III SDN
101618 Pancur Batu Dengan SDN 060868 Krakatau
Medan yang Memiliki UKGS.
METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan penelitian Deskriptif
dengan metode Survey, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui Perbedaan Prevalensi Karies pada Murid Kelas
III SDN 101816 Pancur Batu dengan SDN 060868
Krakatau Medan yang memiliki UKGS. Penelitian
dilakukan di SDN 101816 Jl. Letjen Jamin Ginting
Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, dan di
SDN 060868 Jl. Glugur Darat Krakatau Medan.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
Murid Kelas III SDN 101816 yang berjumlah 60 orang
dan seluruh Murid SDN 060868 dengan jumlah 60 orang.
Sampel adalah sebagian wakil populasi yang
diteliti, dalam pengambilan sampel penelitian mengacu
kepada pendapat Arikunto (2006), jika jumlah populasi
sebesar (<100) sampel dapat diambil antara 10-15% atau
20-25% atau lebih. Dalam hal ini peneliti mengambil
sampel sebesar 35%, sehingga banyaknya sampel murid
70
Kelas III SDN 101816 Pancur Batu adalah 60X35% = 21
orang dan jumlah sampel dari murid kelas III SDN 060868
Krakatau Medan adalah 60X35% = 21 orang.
Jenis data yang diambil adalah data primer,
pemeriksaan dilakukan secara langsung ke rongga mulut
sampel penelitian. Data ini diambil dengan cara
menghitung jumlah karies tiap sampel.Dalam melakukan
pemeriksaan, peneliti menggunakan alat dan bahan sebagai
berikut :
1. Alat terdiri dari :
Sonde
Pinset
Ekscavator
Format Pemeriksaan.
2. Bahan terdiri dari
Desinfektan
Alkohol
Kapas
Dalam melakukan pemeriksaan, peneliti dibantu
oleh satu orang teman yaitu sebagai berikut :
1. Orang pertama sebagai pemeriksa yang bertugas untuk
memeriksa sampel.
2. Orang kedua sebagai orang pembantu yang bertugas
untuk memanggil nama sampel satu persatu untuk
diperiksa serta mencatat hasil pemeriksaan.
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam
pemeriksaan karies gigi yang dilakukan pada Murid-murid
tersebut adalah :
1. Orang kedua memanggil nama sampel satu persatu
sesuai dengan urutan absen.
2. Orang kedua mempersilahkan sampel duduk diatas
kursi untuk dilakukan pemeriksaan.
3. Orang pertama melakukan pemeriksaan gigi yang
terserang karies dan menentukan jenis karies dan letak
karies dengan menggunakan kaca mulut dan sonde.
4. Lalu orang kedua mencatat hasil pemeriksaan yang
dilakukan orang pertama.
Pengolahan dan Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan,
dipindahkan kedalam sebuah tabel distribusi Frekwensi.
Data disajikan secara ringkas dan jelas agar dapat dilihat
perbandingan atau perbedaan jumlah karies Murid-murid
yang menjadi sampel penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1.
NO
1
2
Distribusi Frekuensi rata-rata angka DMF-T
pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu
dan SDN 060868 Krakatau Medan.
Kelompok
Sampel
SDN
101816
SDN
06O868
21
Jumlah Murid
yang Terkena
Karies
16
Prevalensi
Karies ( %
)
76
21
21
100
n
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persentase
Prevalensi Karies pada SDN 101816 lebih rendah dari
pada SDN 060868. Dimana dari 21 murid yang diperiksa
di SDN 101816 terdapat 16 orang yang terkena karies yaitu
sekitar 76%. Sedangkan pada SDN 060868 dari 21 murid
yang diperiksa semuanya terkena karies, yaitu 100%.
Tabel 2.
NO
1
2
Pembahasan
Dari hasil penelitian murid kelas III SDN 101816
pancur batu dan SDN 060868 krakatau medan yang samasama mempunyai UKGS diketahui bahwa dari 21 murid
yang diperiksa di SDN 101816 terdapat 16 orang yang
terkena karies yaitu sekitar 76%. Sedangkan pada SDN
060868 dari 21 murid yang diperiksa semuanya terkena
karies, yaitu 100%.
Dari hasil pemeriksaan angka DMF-T dapat
dilihat bahwa jumlah Decay (Karies) pada SDN 101816
lebih sedikit dari pada SDN 060868. Dimana dari 21 murid
yang diperiksa di SDN 101816 terdapat 8 buah gigi yang
terkena karies, dengan rata-rata 0,4. Sedangkan pada murid
kelas III SDN 060868 dari 21 murid yang diperiksa
terdapat 24 gigi yang terkena karies, dengan rata-rata 1,1.
Dari angka def-t dapat dilihat bahwa jumlah decay (Karies)
dan e (ekstraksi) pada murid kelas III SDN 101816 lebih
sedikit dari pada murid kelas III SDN 060868. Dimana dari
21 murid yang diperiksa di SDN 101816 kelas III, terdapat
43 buah gigi yang terkena karies, 7 buah gigi yang
diindikasikan untuk dicabut, dengan rata-rata 2,4.
Sedangkan pada murid kelas III SDN 060868, dari 21
murid yang diperiksa terdapat 90 gigi yang terkena karies,
22 gigi yang diindikasikan untuk dicabut, dengan rata-rata
5,3.
Dari data tersebut murid kelas III SDN 101816
Pancur Batu lebih sedikit menderita karies dari pada murid
kelas III SDN 060868 Krakatau Medan. Hal ini disebabkan
kurang optimalnya pelaksanaan UKGS yang ada di SDN
060868 dari pada SDN 101816 Pancur Batu. Tetapi jika
dilihat dari Prevalensi Karies antara kedua sekolah diatas
masih banyak kekurangan UKGS pada masing-masing
Distribusi frekuensi rata-rata angka DMF-T
pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu
dan SDN 060868 Krakatau Medan.
Kelompok n
Sampel
SDN 101618 21
SDN 060868 21
D
Angka DMF-T
M F DMF-T
8
24
-
-
8
24
X
0,4
1,1
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah Decay
(Karies) pada SDN 101816 lebih sedikit dari pada SDN
060868. dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816
terdapat 8 gigi yang terkena karies, dengan rata-rata 0,4.
Sedangkan pada SDN 060868 dari 21 murid yang
diperiksa terdapat 24 buah gigi yang terkena karies, dengan
rata-rata 1,1.
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah Decay
(Karies) dan e (ekstraksi) pada murid kelas III SDN
101816 lebih sedikit dari pada murid kelas III SDN
060868, dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816
terdapat 43 gigi yang terkena karies, 7 gigi yang
diindikasikan untuk dicabut dengan rata-rata 2,4.
Sedangkan dari 21 murid yang diperiksa di SDN 060868
terdapat 90 gigi yang terkena karies, 22 gigi yang
diindikasikan untuk dicabut, dengan rata-rata 5,3.
Dari tabel 4 dapat dilihat adanya perbedaan
Prevalensi karies antara murid kelas III SDN 101816
dengan murid SDN 060868.
Tabel 3. Distribusi frekuensi rata-rata angka def-t pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu dan SDN 060868
Krakatau Medan.
NO
1
2
Kelompok Sampel
SDN 101816
SDN 060868
n
21
21
Angka def-t
f
def-t
d
e
43
90
7
22
-
X
50
112
2,4
5,3
Tabel 4. Distribusi frekuensi Perbedaan Prevalensi Karies pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu dengan SDN
060868 Krakatau Medan.
NO
Kelompok
Sampel
n
Jumlah
Prevale
Murid yang
nsi
Terkena
Karies
Karies
(%)
Angka def-t
d
1
2
SDN
101816
SDN
060868
e
f
def-t
Angka DMF-T
X
21
16
76
43
7
-
50
21
21
100
90 22
-
112 5,3
D
M
F
DMF-T
X
2,4 8
24
-
-
8
0,4
-
-
24
1,1
71
sekolah. UKGS merupakan bagian dari UKS (Usaha
Kesehatan Sekolah). UKS adalah salah satu program kerja
Puskesmas (tim kesehatan). Dalam hal ini Puskesmas
merupakan faktor utama yang berperan penting di dalam
keberhasilan UKGS. Peranan orang tua dan guru juga
sangat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut si anak,
dalam hal ini orang tua yang menjadi pembimbing si anak
saat si anak berada diluar sekolah dan guru yang
merupakan tim pengajar yang menjadi pembimbing si anak
pada saat disekolah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tingkat Prevalensi karies pada murid kelas III SDN
101816 Pancur Batu terdapat 16 orang atau 76 %
berbeda dengan SDN 060868 Krakatau terdapat 21
orang atau 100 %.
2. Angka DMF-T pada murid kelas III SDN 101816
Pancur Batu sebanyak 8 gigi dengan rata-rata 0.4
berbeda dengan murid kelas III SDN 060868
sebanyak 24 gigi dengan rata-rata 1.1.
3. Angka def-t pada murid kelas III SDN 101816
Pancur Batu sebanyak 50 gigi dengan rata-rata 2.4
berbeda dengan murid kelas III SDN 060868
sebanyak 112 buah dengan rata-rata 5.3.
Saran
1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan
masukan kepada tenaga kesehatan gigi
untuk
lebih memperhatikan kebersihan gigi dan mulut
72
pada anak SD khususnya kelas III sehingga
kemungkinan peningkatan karies dapat dicegah.
2. Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi
bahan masukan kepada orang tua murid-murid
untuk lebih memperhatikan kesehatan gigi dan
mulut mereka.
3. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan
kepada kepala sekolah dan pada guru untuk lebih
memperhatikan kebersihan gigi dan mulut para
murid.
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan
kepada
puskesmas
untuk lebih
mengefektifkan program UKGS.
DAFTAR PUSTAKA
Diktat Pelayanan Asuhan Keshatan Gigi Diunit Pelayanan
Kesehatan Jurusan Kesehatan Gigi
Diktat Usaha Kesehatan sekolah (UKS)
Edwina A. M. Kidd,Sally Joyston-Bechal, 1991, DasarDasar Karies (Cetakan I), Buku Kedokteran
(EGC), Jakarta.
Kesehatan < http // www. heck. srce. hr . Com
Kesehatan Anak < http // www . childrenshospital . Org .
Com
Konsep Sehat < http // www. Healty-holistic. Living. Com
Politeknik Kesehatan Medan, 2006, Panduan Penyusunan
KTI, Medan
Politeknik Kesehatan Medan, 2009, hasil penelitian Dora
Spingel < http // www. Springelink
HUBUNGAN PENGGUNAAN BABY WALKER DENGAN KECEPATAN
BAYI BERJALAN DI KELURAHAN CENGKEH TURI KECAMATAN
BINJAI UTARA TAHUN 2010
Elizawarda
Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan
Abstrak
Menurut teori perkembangan anak, usia bayi berjalan 10-14 bulan. Masih ada bayi usia tersebut belum dapat
berjalan, sehingga orang tua cemas. Oleh karena itu, orang tua usaha agar bayinya berjalan. Banyak
masyarakat Indonesia mempercayai baby walker membantu bayi berjalan kenyataannya tidak. The
American Of Pediatric (AAP) mengatakan baby walker tidak berpengaruh pada kecepatan bayi berjalan.
Karena dapat membuat anak berjalan ngangkang cendrung jatuh dan akhirnya membuat anak teroma dan
tidak mau berjalan sehingga kemampuan berjalannya menjadi lambat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi Hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan dikelurahan cengkeh
turi kecamatan binjai utara tahun 2010. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan 55 sampel
menggunakan data primer, dikumpulkan melalui kuesioner sebanyak 2 pertanyaan. Analisis data
dikumpulkan secara uji exact fisher.Dari hasil penelitian di dapat bahwa 55 responden; bayi yang
menggunakan baby walker ada 47 orang (85,45%).Dan bayi yang tidak menggunakan baby walker ada 8
orang (14,56%) Anak menggunakan baby walker berjalan lambat pada ˃12 bulan ada 37 orang (78,7%) dan
anak menggunakan baby walker yang berjalan cepat pada usia 10-12 ada 10 orang (21,3%). Anak tidak
menggunakan baby walker yang berjalan cepat 10-12 bulan ada 5 orang (62,5%) dan bayi tidak
menggunakan baby walker yang berjalan lambat ˃12 bulan pada saat ada 3 orang (37,5%). Uji exact fisher
Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima artinya tidak ada hubungan penggunaan baby walker dengan
kecepatan bayi berjalan. Dengan df = 1 dan derajat kemaknaan 0,05 didapat x hitung ˂ 0,05 (x hitung =
0,024; α = 0,05)
Kata kunci: Baby Walker, Bayi Berjalan
PENDAHULUAN
Setiap individu mengalami proses pertumbuhan
dan perkembangan semasa hidup. Mulai dari janin sampai
dewasa, proses pertumbuhan setiap orang berbeda
(Widayastuti dkk, 2002 : 2).
Antara usia 1 – 5 tahun anak mulai berdiri dan
berjalan serta mengenali lingkungan disekitarnya. Begitu
pula anak akan mulai berpikir, berbicara, dan
mengekspresikan dirinya. Tentu saja anak membutuhkan
kasih sayang, bimbingan, dukungan, dan perlindungan dari
orang tua.Tugas orang tua adalah membimbing dan
menyalurkan kepribadian yang berkembang, melindungi
tetapi tidak menindasnya, mendorong usaha untuk mandiri
tanpa mengurangi tanggung jawab orang tua. Seperti yang
telah dialami semua orang tua, orang tua kadang-kadang
membuat kesalahan, tetapi sikap anak-anak dalam
menghadapi suatu hal sangat luwes sehingga pada jangka
panjang atau pada akhirnya tidak akan meninggalkan
bekas tertentu (Paddy, 2005:5).
Menurut teori perkembangan anak, usia rata-rata
bayi berjalan sekitar 10-14 bulan. Namun, ada anak pada
usia tersebut belum berjalan, sehingga orang tua cemas.
Oleh karena itu, orang tua berupaya agar bayinya belajar
berjalan (Widayastuti dkk, 2002 : 2).
Faktor-faktor yang menentukan kemampuan bayi
untuk dapat berjalan diantaranya keadaan merangkak, berat
badan, kemauan bayi, riwayat penyakit yang pernah
diderita dan pengalaman buruk yang menimpanya
(Widayastuti dkk, 2002 : 29).
Tapi kenyataannya untuk bisa berjalan dengan
lancar dan benar, fungsi otot paha paling penting,
sedangkan jika bayi yang menggunakan baby walker tidak
memperkuat otot paha, hanya otot betis saja (Sitta, 2010).
Penelitian pernah dilakukan, dengan judul “Efek
dari baby walker terhadap perkembangan motorik dan
mental bayi manusia”. Menyimpulkan bahwa bayi yang
menggunakan baby walker akan berjalan lebih lambat
nantinya dan mempunyai nilai lebih rendah di skore bayley
untuk perkembangan motorik dan mental dari pada yang
tidak menggunakan baby walker (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2008).
The American Academy Of Pediatric (AAP)
mengatakan bahwa baby walker berbahaya dan agar
membuang jauh baby walker. Negara Kanada yang
pertama sekali melarang penjualan Impor dan iklan baby
73
walker, pada tanggal 7 April 2004. Jika ada yang
melanggarnya maka akan dikenakan denda sebanyak
$100.000 atau dihukum selama 6 bulan. Larangan ini
dibuat setelah membuat 14.000 anak masuk Rumah Sakit
karena menggelinding ditangga sehingga menyebabkan
patah tulang, terkena benda panas, tenggelam ke kolam,
meraih benda-benda berbahaya. Dan 36 anak sudah
menemui ajalnya sejak 1973 hanya karena baby walker
(Prihandini, Agustus 2009 : 100).
Secara psikologi baby walker membuat anak
malas untuk belajar berjalan, bahkan anak akan mengalami
kelainan kaki, kelainan tulang paha, sehingga anak berjalan
ngangkang, sehingga menimbulkan otot-otot tungkai lalu
ketika dianjurkan berjalan anak cenderung jatuh yang
akhirnya membuat ia teroma dan tidak mau mencoba
untuk berjalan lagi sehingga kemampuan berjalanpun
lambat (Jacinta, 2007).
Ditemukan bahwa jika bayi menggunakan baby
walker akan terjadi Disfungsi Minimal Otak (DMO)
karena tertekannya tulang belakang anak dalam rentang
waktu yang relative panjang sehingga anak tidak terampil,
kesulitan belajar khusus, gejala perilaku anti sosial, gejala
hiperaktivitas, kesulitan memusatkan perhatian, gejala
emosional, dan anak menjadi kurang percaya diri belajar
berjalan ketika melepas baby walker dan bayi akan
berjalan jinjit (Nugroho, 2008).
Banyak masyarakat Indonesia mempercayai baby
walker dapat membantu bayi berjalan kenyataannya tidak.
AAP mengatakan baby walker tidak berpengaruh pada
kecepatan bayi berjalan penompang badan bayi pada baby
walker adalah kursi, jika sering menggunakan baby walker
perkembangan tulang belakang dan otot-otot kaki akan
kurang sempurna sehingga dapat menjadi bibit back pain
saat dewasa (Angga, Desember 2009).
Desain baby walker yang berada di Indonesia
merupakan desain kuno yang sebenarnya sudah
ditinggalkan di Negara Amerika, sehingga kecelakaan
pada bayi yang sudah dialami beberapa tahun di Amerika
sampai kini masih terjadi di Indonesia (Karel, 2007).
Baby walker menurut peningkatan pertama
penyebab kecelakaan pada anak kecil dengan angka cukup
signifikan. Dimana 60 – 90 % terjadi karena anak jatuh
dari tangga.Dan sekitar 16 % kecelakaan karena baby
walker mengenai kepala dan memerlukan perawatan.
Orang tua menganggap baby walker kalau dalam
pengawasan tetap aman tetapi kenyataannya tidak 78 %
kejadian tanpa pengawasan dan 69 % diawasi oleh orang
dewasa (Fitriani, 2008).
Hasil wawancara peneliti dari beberapa warga
Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara,
disimpulkan bahwa mereka beranggapan pada saat
anaknya menggunakan baby walker kaki anak akan
bergerak lincah kesana kemari, dengan demikian anak
dapat melangkah dengan cepat, kaki anak akan kuat untuk
berdiri nantinya, dan anak akan berjalan dengan cepat. Dan
banyak orang tua menggunakan baby walker karena
memang sudah turun menurun dari dulu meskipun bentuk
baby walker sekarang sudah berbeda dengan zaman
74
dahulu, misalnya baby walker zaman sekarang rodanya
semakin bayak, mainan di baby walker itu semakin
lengkap dimana ada kerincingan, musik-musik untuk anak
dan lain-lain, agar anak betah di baby walkernya. Baby
walker juga dapat membantu orang tua karena pada saat
anak asyik menggunakan baby walker dan bermain
bersama baby walkernya maka anak tidak akan
menganggu atau menghambat pekerjaan orang tua,
sehingga kesempatan orang tua untuk melakukan
pekerjaan rumahnya.
Maka dari masalah di atas penulis tertarik untuk
meneliti “Hubungan Penggunaan Baby Walker Dengan
Kecepatan Bayi Berjalan Di Kelurahan Cengkeh Turi
Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010.”
Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan
masalah “Bagaimanakah Hubungan Penggunaan Baby
Walker dengan Kecepatan Anak Berjalan Di Kelurahan
Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010”
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui Hubungan Penggunaan Baby
Walker Dengan Kecepatan Anak Berjalan Di Kelurahan
Cengkah Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010.
METODE PENELITIAN
Hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan
bayi berjalan di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan
Binjai Utara Tahun 2010.
Variabel Independent disebut juga variabel
bebas.Jadi variabel bebasnya yaitu Penggunaan Baby
Walker. Variabel Dependent disebut juga variabel terikat.
Jadi variabel terikatnya adalah usia bayi berjalan sendiri.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik
dan dengan pendektan Retrospektif yaitu menguraikan
dan meneliti Hubungan Penggunaan Baby Walker
Dengan Usia Bayi Berjalan Sendiri Di Kelurahan
Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah anak yang
berumur 1 sampai 2 tahun yang di Kelurahan Cengkeh
Turi Kecamatan Binjai Utara yang berjumlah 120 orang.
Sampel
Untuk menentukan besar sampel penelitian
digunakan rumus: (Notoatmadjo, 2005 : 92). Maka hasil
yang diperoleh adalah:
n=
N
1 + N (d²)
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Cangkeh
Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010. Penelitian
ini dilakukan dari Bulan Juli 2010 sampai Desember
2010.
Diagram 4.2
Usia Bayi Dapat berjalan Sendiri Di Kelurahan Cengkeh
Turi, Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010.
Analisis Data
Analisis Data Univariat
Yaitu dilakukan untuk mengetahui distribusi
frekuensi dimana analisis data ini dilakukan untuk
menganalisis 1 variabel.
Analisis Data Bivariat
Untuk melihat hubungan dengan 2 variabel, yaitu
hubungan penggunaan baby walker dengan usia bayi
berjalan sendiri, uji statistik yang digunakan exact fisher
HASIL PENELITIAN
Dari hasil penelitian yang berjudul “Hubungan
Penggunaan Baby Walker Dengan Kecepatan Bayi
Berjalan Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai
Utara Tahun 2010” dengan responden anak yang berumur
1 sampai 2 tahun sebanyak 55 responden.
Penggunaan Baby walker
Didapat hasil distribusi responden berdasarkan
penggunaan baby walker di Kelurahan Cengkeh Turi
Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010 sebagai berikut:
Diagram 4.1
Distribusi Penggunaan Baby Walker Di Kelurahan
Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010
Dari diagram diatas diperoleh dari 55 responden, usia bayi
berjalan 9 bulan sebanyak 3 responden, usia bayi berjalan
10 bulan sebanyak 6 responden, usia bayi berjalan 11 bulan
sebanyak 5 responden, usia bayi berjalan 12 bulan
sebanyak 2 responden, usia bayi berjalan 13 bulan
sebanyak 5 responden, usia bayi berjalan 14 bulan
sebanyak 7 orang, usia bayi berjalan 15 bulan sebanyak 7
responden, usia bayi berjalan 16 bulan sebanyak 7
responden, usia bayi berjalan 17 bulan sebanyak 1
responden, usia terbanyak bayi berjalan sendiri 18 bulan
sebanyak 8 responden, usia bayi berjalan 19 bulan
sebanyak 1 responden, usia bayi berjalan 20 bulan
sebanyak 2 responden, dan usia bayi berjalan 24 bulan
sebanyak 1 orang.
Usia bayi berjalan sendiri yang menggunakan baby
walker
Didapat hasil distribusi responden berdasarkan
bayi berjalan sendiri yang menggunakan baby walker di
Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun
2010 sebagai berikut:
Diagram 4.3
Distribusi Usia Bayi Berjalan Sendiri yang menggunakan
baby walker
Dikelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara
Tahun 2010
Sumber : Data primer diolah April 2010
Dari diagram diatas diperoleh dari 55 responden,
mayoritas bayi menggunakan baby walker sebanyak 47
orang (85,45%), dan minoritas bayi yang tidak
menggunakan baby walker sebanyak 8 orang (14,55%).
Usia Anak Dapat Berjalan Sendiri
Didapat hasil distribusi responden berdasarkan
usia bayi dapat berjalan sendiri di kelurahan Cengkeh Turi
Kecamatan Binjai Utara Tahun 2011 sebagai berikut:
Sumber : data primer diolah April 2010
75
Dari diagram diatas diperoleh dari 55 responden,
yang menggunakan baby walker yaitu 47 orang maka
mayoritas bayi berjalan lambat sebanyak 37 orang
(78,7%), dan minoritas bayi berjalan cepat sebanyak 10
orang (21,3%).
Usia bayi berjalan sendiri yang tidak menggunakan
baby walker
Didapat hasil distribusi responden berdasarkan
usia bayi berjalan sendiri yang tidak menggunakan baby
walker di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai
Utara Tahun 2010 sebagai berikut:
Diagram 4.4
Distribusi Usia Bayi Berjalan Sendiri yang tidak
menggunakan baby walker
Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara
Tahun 2010
Dapat disimpulkan Uji exact fisher ternyata
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan
dengan df = 1 dan derajat kemaknaan 0,05 didapat x hitung
˂ 0,05 (x hitung = 0,024; α = 0,05). Maka 0,024 ˂ 0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima artinya tidak ada
hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi
berjalan.
Pembahasan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap bayi yang berumur 1-2 tahun untuk menjawab
lembaran kuesioner yang diberikan kepada setiap orang tua
mereka, yang berjudul Hubungan Penggunaan Baby
Walker Dengan Kecepatan Bayi Berjalan Di Kelurahan
Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010.
Sumber : data primer diolah April 2010
Dari diagram diatas diperoleh dari 55 responden,
yang tidak menggunakan baby walker ada 8 orang. Maka
mayoritas bayi berjalan lambat sebanyak 3 orang (37,2 %),
dan minoritas bayi berjalan cepat sebanyak 5 orang
(62,5%).
Hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan
bayi berjalan
Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan penggunaan
baby walker dengan kecepatan bayi berjalan di
KelurahanCengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara
Tahun 2010
76
Dari tabel diatas didapat dari Anak yang berusia
1-2 tahun Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai
Utara dengan responden 55 orang. Maka didapat bayi yang
menggunakan baby walker sebanyak 47 orang, dan bayi
yang tidak menggunakan baby walker sebanyak 8 orang.
Bayi berjalan cepat yang menggunakan baby walker 10
orang, dan bayi berjalan lambat yang menggunakan baby
walker 37 orang. Bayi berjalan cepat yang tidak
menggunakan baby walker 5 orang, dan bayi berjalan
lambat yang tidak menggunakan baby walker 3 orang.
Untuk mengetahui hubungan pemakaian baby
walker dengan kecepatan berjalan digunakan uji exact
fisher dengan hasil :
X hitung = 0,024
Maka X hitung ˂ 0,05
0,024 ˂ 0,05
Penggunaan
Baby walker
Bayi
berjalan
cepat (1012 bulan)
Bayi
berjalan
Lambat
(˃
12
bulan)
Jumlah
Menggunakan
baby walker
10
37
47
Tidak
menggunakan
baby walker
5
3
8
Jumlah
15
40
55
Penggunaan Baby walker
Baby walker adalah suatu alat yang dapat
digunakan oleh bayi yang bisa berjalan sendiri untuk
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain (Wikepedia,
2008).
The American Of Pediatric (AAP) mengatakan
baby walker berabhaya dan agar tidak menggunakan baby
walker. Di Negara Kanada yang pertama kali melarang
penjualan baby walker dan jika ada yang melanggarnya
akan didenda. Larangan ini dibuat setelah 14.000 anak
masuk Rumah Sakit karena menggelinding ditangga
sehingga menyebabkan patah tulang. Terkena benda panas,
tenggelam di kolam, dan meraih benda-benda yang
berbahaya. Dan 36 anak sudah menemui ajalnya sejak
1973 hanya karena baby walker (Prihandini, Agustus 2009:
100)
Dari hasil survey pendahuluan peneliti bahwa
masyarakat Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai
Utara mempercayai baby walker dapat membuat anak
berjalan dengan cepat dan sudah turun menurun dari
zaman dahulu.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 55
responden bayi yang menggunakan baby walker ada 47
orang dan yang tidak menggunakan baby walker ada 8
orang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pendapat warga Kelurahan Cengkeh Turi yang mewakili
itu kenyataannya benar bahwa masih banyak masyarakat
Indonesia yang menggunakan baby walker.
hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi
berjalan.
Kecepatan Bayi Berjalan
Menurut teori perkembangan anak, usia bayi
berjalan normal sekitar 10-14 bulan (Widayastuti dkk,
2002 : 2).
Faktor-faktor yang menentukan kemampuan bayi
untuk dapat berjalan diantaranya keadaan merangkak, berat
badan, kemauan bayi, riwayat penyakit yang pernah
diderita dan pengalaman buruk yang menimpanya
(Widayastuti dkk, 2002 : 29).
Penulis menggolongkan kecepatan bayi berjalan
menjadi dua yaitu:
1. Bayi berjalan cepat yaitu umur 9-12 bulan
2. Bayi berjalan lambat yaitu umur lebih dari 12
bulan
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
bayi menggunakan baby walker berjalan cepat berjumlah
37 orang dan yang berjalan lambat berjumlah 10 orang.
Sedangkan bayi yang tidak menggunakan baby walker
berjalan cepat berjumlah 5 orang dan berjalan lambat
berjumlah 3 orang.
Pendapat Hasuki, 24 Juli 2007. Bahwa baby
walker dapat menyebabkan kelemahan pada otot-otot
tungkai. Terbiasa dengan baby walker juga bisa
menimbulkan kelemahan otot – otot tungkai. Ketika
diajarkan berjalan anak cenderung jatuh yang akhirnya
sering membuatnya trauma dan tidak mencoba
melakukannya lagi sehingga kemampuan berjalannyapun
menjadi lebih lambat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan
bayi berjalan
Penelitian yang pernah dilakukan Ikatan Dokter
Anak, dengan judul “Efek dari baby walker terhadap
perkembangan motorik dan mental bayi manusia”.
Menyimpulkan bahwa bayi yang menggunakan baby
walker akan berjalan lebih lambat nantinya dan
mempunyai nilai lebih rendah di skore bayley untuk
perkembangan motorik dan mental dari pada yang tidak
menggunakan baby walker.
Banyak masyarakat Indonesia mempercayai baby
walker dapat membantu bayi berjalan kenyataannya tidak.
AAP mengatakan baby walker tidak berpengaruh pada
kecepatan bayi berjalan penompang badan bayi pada baby
walker adalah kursi, jika sering menggunakan baby walker
perkembangan tulang belakang dan otot-otot kaki akan
kurang sempurna sehingga dapat menjadi bibit back pain
saat dewasa (Angga, Desember 2009).
Secara psikologi baby walker membuat anak
malas untuk belajar berjalan, bahkan anak akan mengalami
kelainan kaki, kelainan tulang paha, sehingga anak berjalan
ngangkang, sehingga menimbulkan otot-otot tungkai lalu
ketika dianjurkan berjalan anak cenderung jatuh yang
akhirnya membuat ia teroma dan tidak mau mencoba
untuk berjalan lagi sehingga kemampuan berjalanpun
lambat (Jacinta, 2007).
Dapat disimpulkan Uji exact fisher dengan
derajat kemaknaan 0,05. Ternyata menunjukkan tidak ada
Saran
1. Setelah penulis melakukan penelitian ini, penulis
berharap bantuan dari pihak-pihak tertentu untuk
mengatasi penyebab masalah yang terjadi sesuai
dengan yang didapat dari penelitian ini, untuk itu
disarankan kepada:
2. Petugas kesehatan dan organisasi kesehatan desa
disarankan agar dapat memberitahukan kepada
masyarakat Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan
Binjai Utara agar tidak menggunakan baby walker
karena tidak ada hubungan penggunaan baby
walker dengan kecepatan bayi berjalan.
3. Ibu yang ada di Kelurahan Cengkeh Turi
Kecamatan Binjai Utara disarankan agar tidak
menggunakan baby walker karena tidak ada
hubungan penggunaan baby walker dengan
kecepatan bayi berjalan.
4. Penelitian ini disarankan dilakukan lebih lanjut
tentang hubungan penggunaan baby walker dengan
kecepatan bayi berjalan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
maka peneliti dapat menyimpulkan dan menyarankan
mengenai Hubungan Penggunaan Baby Walker Dengan
Kecepatan Bayi Berjalan Di Kelurahan Cengkeh Turi
Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010.
Kesimpulan
1. Penggunaan baby walker di Kelurahan Cengkeh
Turi Kecamatan Binjai Utara tahun 2010 dengan
responden 1 – 2 tahun mayoritas menggunakan
baby walker. Dan Minoritas yang tidak
menggunakan baby walker.
2. Usia terbanyak bayi berjalan sendiri di Kelurahan
Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara yaitu usia
18 bulan.
3. Mayoritas Anak berjalan lambat pada anak yang
menggunakan baby walker, dan Minoritas Anak
berjalan cepat pada anak yang menggunakan baby
walker. Anak berjalan cepat pada anak yang tidak
menggunakan baby walker, dan minoritas anak
berjalan lambat pada anak yang tidak
menggunakan baby walker.
4. Dapat disimpulkan Uji exact fisher ternyata
menunjukkan bahwa H0 diterima artinya tidak ada
hubungan penggunaan baby walker dengan
kecepatan bayi berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
Alexa. 2008. Tips Kesehatan Baby Walker.
http//www.google.com/search: hl:en&q Iinfo
Ibu.com. Rabu,12-01-2011, 13:15.
77
Angga.
2010.
Penggunaan
Baby
Walker.
http//www.google.com/search:hl
:en&q.
Rabu,12-01-2011, 13:50.
Artika, Kamus, 2010. Kamus Inggris Indonesia.
http//www.google.com
/search:hl:en&qKamusArtika.com. Senin, 3-012011,10:32.
Budiono, Eko. 2002. Biostatistik Untuk Kedokteran
Dan Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Pratisti, Dinar Wiwen. 2008. Psikologi Anak Usia
Dini. Jakarta: Indeks.
Fitriani. 2008. Persen Kejadian Baby Walker.
http//www.google.com/search
:hl:en&q LintasBerita.com. Kamis, 20-01-2011,
20:05.
Gupte, Suraj. 2009. Child Care Everything You
Wanted To Know. Jakarta: Selamba Medika.
Hurlock, Elizabeth B. 2005. Psikologi
Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Aziz, Ilmul Hidayah. 2009. Pengantar Ilmu
Keperawatan anak. Jakarta: Salemba Medika .
Ikatan Dokter Anak. 2008. Efek dari Baby Walker
Terhadap Perkembangan Motorik dan
Mental
Bayi
Manusia.
http//www.google.com/search:hl:en&q
AyahBunda.com. Rabu, 2-12-2010, 14:27.
Jecinta, 2007. Dampak Negatif Penggunaan Baby
Walker.
http//www.
google.com/search:hl:en&q Ayah bunda.com.
Rabu, 2-12-2010, 15:00.
Karel. 2007. Kecelakaan Pada Anak dari Baby
Wallker. http//www.google.
com/search:hl:en&qCapt.Org.Uk.com. Rabu, 212-2010, 15:40.
Karmilaf, Karya. 2003. Belajar Berjalan Pada Anak.
Jakarta: Erlangga.
Lidia. 2008. Kok anakku Belum Bisa Jalan.
http//www.google.com/search
:hl:en&q
Nakita.com. Rabu, 2-02-2011, 13:05.
Mawar Diana. 2010. KTI Hubungan Tingkat
Pendidikan Dengan Pengetahuan Remaja
Putri Tentang Bahaya Merokok Terhadap
Kesehatan Reproduksi Didusun Pasar XII
78
Desa Suka Mulia Kabupaten Langkat Tahun
2010.
Nugroho. 2008. Diskusi Perdebatan Baby Walker.
http//www.google.com
/search:hl:en&qStudy.Link.com. Rabu, 2-022011, 11:52.
Puteri, 2010. Proposal penelitian “Gambaran
Penegtahuan Remaja Tentang Dampak Seks
Bebas Terhadap Kesehatan Reproduksi Di
Desa Tauk Meku Dusun I Pangkalan
Brandan”.
Salim dan Syahrim. 2007. Metode Penelitian
kualitatif. Bandung: Cita Pustaka Media.
Setiawati, Santun, dan Dermawan Citra. 2009. Praktik
Keperawatan Anak. Jakarta: Tarns Info Media.
Sitta.2010.
Kerugian
Baby
Walker.
http//www.google.com/search:hl:en&q
bayi
Kita.com. kamis, 20-01-2011, 21:22.
Suryani, Eko, dan Hesti Widiyasih. 2010. Psikologi
Ibu dan Anak. Yogyakarta: Citra Maya.
Sulindani. 2009. Proposal Penelitian “Karakteristik
Ibu Post Partum Sectio Caesarea Indikasi
partus Tidak Maju Di RSU Sundary Medan
Tahun 2009.
Syarifudin, B. 2009. Panduan TA Keperawatan dan
Kebidanan Dengan SPSS, Yogyakarta:
Grafindo.
Paddy, P. 2005. Buku Pintar Kesehatan Anak.
Jakarta: Arcan.
Prihandini. 2009. Cara Pintar Merawat Bayi dan
Balita. Yogajakarta: Genius Publisher.
Widayastuti, Deni dan Retno Widyani. 2002. Panduan
Perkembangan Anak 0 Sampai 1 Tahun.
Jakarta: Puspa Swara.
Yaya.
2007.
Baby
Walker
Masih
Perlu?http//www.google.com/search:hl:en
&q Asia Blogging Network.com. kamis, 20-012011, 21:46.
Yelland, Anne. 2007. 18 Bulan Pertama Bayi Anda.
Jakarta: Dian Rakyat.
Yuriastien, Elfiana, dkk. 2009. Games Therapy Untuk
Kecerdasan Bayi Dan Balita. Jakarta Selatan:
Wahyu Media.
GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG BAHAYA PEROKOK
PASIF DI SMA SRI LANGKAT TANJUNG PURA KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2011
Fatmasari dan Ismajadi
Jurusan Analisis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan
Abstrak
Seconhend smoke yaitu asap rokok yang terhirup oleh bukan orang – orang bukan perokok, karena berada di
sekitar perokok atau bisa jugak di sebut dengan perokok pasif, lebih bahaya dari pada perokok aktif dampak
yang di alaminya dampak negatif dari kebiasaan merokok yang sangat banyak dan tidak terbatas seperti
infeksi saluran pernapasan, hipertensi, penyakit jantung koroner, berbagai masalah kehamilan, sakit pada
dada, meningkatkan detak jantung dan asma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
pengetahuan remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat
Tahun 2011. Metode penelitian ini adalah survey yang bersifat deskriptif dengan menggunakan data primer
yang diperoleh dari kuisioner dengan jumlah populasi 35 orang dan tekhnik pengambilan sampel dengan
cara total sampling (keseluruhan populasi menjadi sampel) Hasil penelitian, pengetahuan remaja berdasarkan
jenis kelamin mayoritas laki-laki berpengetahuan baik sebanyak 10 orang (50%), dan perempuan
berpengetahuan cukup sebanyak 8 orang (53,3%), dan berdasarkan tempat tinggal di rumah mayoritas orang
tua berpengetahuan baik dan cukup sebanyak 15 orang (48,4%), dan mayoritas di rumah lain/kos
berpengetahuan baik dan cukup sebanyak 2 orang (50%), dan berdasarkan kebiasaan mayoritas merokok
berpengetahuan baik sebanyak 10 orang (50%), dan mayoritas tidak merokok berpengetahuan cukup
sebanyak 8 orang (53,3%), dan berdasarkan sumber informasi mayoritas berpengetahuan cukup sebanyak 10
orang (71,4%), dan mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 12 orang (57,1%). Diharapkan pada para
remaja untuk dapat menghindari para perokok agar tidak terkena asap rokok dan dapat lebih mengetahui
bahaya yang akan di alaminya.
Kata kunci: Bahaya Perokok Pasif
PENDAHULUAN
Merokok sudah menjadi kebiasaan yang
sangat umum dan meluas di masyarakat. Bahaya
merokok terhadap kesehatan tubuh telah di teliti dan di
buktikan banyak orang. Para dokter mengungkapkan
kebiasaan merokok telah terjadi penyebab pertama
yang menghancurkan kekuatan tubuh seseorang dan
menjadi penyebab utama kematian di usia dini.
(Shalimow, 2008 )
Dampak negatif dari kebiasaan merokok
sangatlah banyak dan tidak terbatas seperti infeksi
saluran pernapasan, hipertensi, penyakit jantung
koroner, berbagai masalah kehamilan, sakit pada dada,
meningkatkan detak jantung dan asma. Karna dampak
negatif itu ditimbulkan kandungan beracun yang ada
pada rokok yaitu tembakau merupakan kandungan
rokok yang terdiri dari campuran ratusan zat kimiawi
sebagian zat ini biasa di temukan di tumbuhan lainnya.
Namun sebagian lainnya sudah menjadi ciri khas
tanaman tembakau itu. (Husaini, 2007)
Peneliti terbaru juga menunjukkan adanya
bahaya dari Seconhands moke yaitu asap rokok yang
terhirup oleh orang – orang bukan perokok, karena
berada di sekitar perokok atau bisa di sebut juga
dengan perokok pasif. Menghirup asap rokok orang
lain lebih bahaya di bandingkan menghisap rokok
sendiri. Bahkan bahayanya yang harus di tanggung
perokok pasif 3 kali lipat dari bahaya perokok aktif.
(Shalimow, 2008 )
Setiap kali menghirup asap rokok, entah sengaja
atau tidak, berarti juga mengisap lebih dari 4.000
macam racun. Karena itulah, merokok sama dengan
memasukkan racun-racun tadi ke dalam rongga mulut
dan tentunya paru-paru. Merokok mengganggu
kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri.
Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk
merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kebiasaan merokok bukan saja merugikan si perokok,
tetapi juga bagi orang di sekitarnya. (Cupak, 2010)
Saat ini jumlah perokok terus bertambah
terutama pada remaja. Khususnya di negara – negara
berkembang bahkan organisasi kesehatan sedunia
(WHO) telah memberikan peringatan bahwa dalam
dekade 2020-2030 tembakau akan membunuh 10 juta
pertahun 70% di antaranya di negara – negara
berkembang. (Admin, 2010)
79
Lembaga perlindungan Amerika Serikat
(EPA) meperkirakan setiap tahun merokok pasif
menyebabkan 150.000 – 300.000 infeksi saluran
pernafasan bawah pada anak – anak di bawah usia 18
bulan, mengakibatkan 7500-15.000 anak anak tersebut
dirawat di rumah sakit. Dan di perkirakan 500.000
perokok pertamanya meninggal di sebabkan oleh
serangan jantung, yaitu sekitar 75% dari jumlah pasien
yang meninggal. (Husaini, 2007)
Indonesia menduduki peringkat ke-5 di dunia
dengan jumlah rokok yang di konsumsi, jumlah
perokok di Indonesia menurut WHO tahun 2009
menunjukkan pria lebih banyak merokok dari pada
wanita. Yaitu pria berjumlah 24% sementara wanita
hanya 18% (Admin, 2010)
Masa remaja bisa jadi masa di mana individu
mulai mengkonsumsi rokok. Usia pertama kali merokok
umumnya berkisar antara usia 11-13 tahun dan mereka
pada umumnya merokok sebelum usia 18 tahun. Usia
tersebut dapat dikategorikan termasuk dalam rentangan
masa remaja. Lebih jauh lagi Data WHO mempertegas
bahwa remaja memiliki kecenderungan yang tinggi untuk
merokok, data WHO menunjukkan bahwa dari seluruh
jumlah perokok yang ada di dunia sebanyak 30% adalah
kaum remaja. (fajarjuliansyah, 2010)
Remaja perokok memiliki risiko dua kali lipat
mengalami gejala-gejala depresi dibandingkan remaja
yang tidak merokok. Para perokok aktif pun tampaknya
lebih sering mengalami serangan panik dari pada
mereka yang tidak merokok Banyak penelitian yang
membuktikan bahwa merokok dan depresi merupakan
suatu hubungan yang saling berkaitan. Depresi
menyebabkan seseorang merokok dan para perokok
biasanya memiliki gejala-gejala depresi dan
kecemasan. (fajarjuliansyah, 2010 ).
Dampak pada remaja yang menghirup asap rokok
mempunyai resiko penyakit jantung dan pembuluh
darah, kami tidak mengetahui sampai studi ini
menunjukkan dampak khusus ini juga terjadi di
kalangan anak-anak, dan itulah sebabnya studi ini
menganjurkan supaya anak-anak dan para remaja
berada dalam lingkungan yang bebas asap rokok.
(Cupak, 1020)
Berdasarkan data di atas maka penulis tertarik
untuk mengambil judul penelitian “ Gambaran
Pengetahuan Remaja Tentang Bahaya Perokok Pasif di
SMA Sri Langkat T.Pura Kabupaten Langkat 2011”
Dengan perumusan masalah penelitiannya adalah
Bagaimana Gambaran pengetahuan remaja tentang
bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat T.Pura
Kabupaten Langkat Tahun 2011.
Tujuan penelitian untuk mengetahui Gambaran
pengetahuan remaja tentang bahaya perokok pasif di
SMA Sri Langkat T.Pura Kabupaten Langkat Tahun
2011.
80
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode survey
yang bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui
gambaran pengetahuan remaja tentang bahaya perokok
pasif Di SMA Sri Langkat T.Pura tahun
2011.Penelitian di lakukan di SMA Sri Langkat
Tanjung pura Kabupaten Langkat. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai bulan
Maret 2011.
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini
adalah siswa-siswi kelas XI di SMA Sri Langkat
T.Pura tahun 2011 sebanyak 35 orang.Sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik total sampling,
dimana semua populasi dijadikan sempel 35
orang.Penelitian ini mengunakan data primer, yang
dilakukan melalui alat ukur pengumpulan data berupa
kuesioner dengan pertanyaan tertutup ( closed ended )
yang disajikan dalam bentuk kuesioner sehingga
responden hanya memberikan tanda di sesuaikan
dengan soal atau jumlah soal sebanyak 25. Terdiri dari :
5 Soal pengertian Rokok, 6 soal Bahaya perokok pasif,
9 soal Bahaya perokok pasif, 5 Soal Cara menghentiak
kegiatan rokok.
Dalam melakukan analisa terhadap penelitian
ini akan manggunakan ilmu statistic terapan yang
disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis
(Hidayat, 2007). Analisa deskriftif berfungsi untuk
meringkas, mengidentifikasi, dan menyajikan data yang
merupakan langkah awal analisa lebih lanjut dalam
penggunaan uji statistic. Macam – macam dan bentuk
analisis deskriptif yaitu rata-rata, nilai tengah, dan
modus. ( Hidayat, 2007 )
Analisa data dilakukan setelah semua data dalam
kuesioner terkumpul dan disajikan dalam table distribusi
diskriptif, analisa data, maka dilanjutkan dengan
membahas hasil penelitian berdasarkan teori perpustakaan
yang ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Tabel 4.1 Distribusi Proporsi jenis kelamin responden di
SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten
Langkat Tahun 2011
No
Jenis Kelamin
1 Laki-laki
2 Perempuan
Total
Frekuensi
20
15
35
Presentase (%)
57.1 %
42.9 %
100 %
Tabel 4.2 Distribusi Proporsi Tempat Tinggal responden
di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten
Langkat Tahun 2011
No
Tempat Tinggal
1 Di rumah orang tua
2 Di rumah lain/Kos
Total
Frekuensi
31
4
35
Presentase (%)
88.6 %
11.4 %
100 %
Tabel 4.3
Distribusi Proporsi kebiasaan merokok
responden di SMA Sri Langkat Tanjung Pura
Kabupaten Langkat Tahun 2011
No
Kebiasaan
1 Merokok
2 Tidak merokok
Total
Tabel 4.4
No
Presentase (%)
57.1 %
42.9 %
100 %
Distribusi Proporsi sumber informasi
responden di SMA Sri Langkat Tanjung Pura
Kabupaten Langkat Tahun 2011
No Sumber Informasi
1 Media Cetak
2 Media Elektronik
Total
Tabel 4.6
Frekuensi
20
15
35
Frekuensi
14
21
35
Tabel 4.7
No
Tabel 4.8
No
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
F
10
7
%
50
46.7
Tabel 4.9
No
Tempat Tinggal
Di rumah orang tua
Di rumah lain/ kos
F
15
2
%
48.4
50
Presentase (%)
48.6 %
48.6 %
2.8 %
100 %
Pengetahuan
Cukup
F
%
9
45
8
53.3
Jumlah
Kurang
F
1
-
%
5
-
F
20
15
%
100
100
Pengetahuan
Cukup
F
%
15
48.5
2
50
Jumlah
Kurang
F
1
-
%
3.2
-
F
31
4
%
100
100
Distribusi Proporsi Pengetahuan Berdasarkan Kebiasaan Tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat
Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011.
Kebiasaan
Merokok
Tidak merokok
F
10
7
%
50
46.7
Pengetahuan
Cukup
F
%
9
45
8
53.3
Jumlah
Kurang
F
1
-
%
5
-
F
20
15
%
100
100
Distribusi Proporsi Pengetahuan Berdasarkan Sumber Informasi Tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri
Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011
Jenis Kelamin
Baik
1
2
Frekuensi
17
17
1
35
Distribusi Proporsi Pengetahuan Berdasarkan Tempat Tinggal Tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri
Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011
Baik
1
2
No
Pengetahuan
1
Baik
2
Cukup
3
Kurang
Total
Distribusi Proporsi Pengetahuan Berdasarkan Jenis Kelamin Remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri
Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011
Baik
1
2
Distribusi Proporsi pengetahuan remaja
tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri
Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat
Tahun 2011
Presentase (%)
40 %
60 %
100 %
Baik
1
2
Tabel 4.5
Media Cetak
Media Elektronik
F
4
12
%
28.6
57.1
Pengetahuan
Cukup
F
%
10
71.4
8
38.1
Jumlah
Kurang
F
1
%
4.8
F
14
21
%
100
100
81
Pembahasan
4.2.1 Pengetahuan remaja tentang bahaya
perokok pasif Di SMA Sri Langkat
Tanjung Pura.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
bahwa dari 35 orang remaja mayoritas
berpengetahuan baik dan cukup sebanyak 17
orang (48,6%), dan minoritas berpengetahuan
kurang sebanyak 1 orang (2,8%).
Sesuai dengan teori Notoatmodjo
(2005). Pengetahuan adalah hasil dari tahu
dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Faktor
yang
mempengaruhi
adalah
pendidikan. Pendidikan berarti bimbingan
yang di berikan seseorang pada orang lain
terhadap suatu hal agar mereka dapat
memahaminya.
Menurut asumsi penulis pendidikan
dapat mempengaruhi pengetahuan karena
responden adalah SMA, jadi remaja telah
memahami tentang bahaya yang di alami
perokok pasif.
4.2.2
4.2.3
82
Distribusi
proporsi
Pengetahuan
Berdasarkan Jenis Kelamin Remaja
tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri
Langkat Tanjung
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
bahwa dari 35 orang remaja di SMA Sri
Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat
tahun 2011. Mayoritas jenis kelamin laki-laki
sebanyak 20 orang ( 57,1%) dan berminoritas
jenis kelamin perempuan yang sebanyak 15
orang ( 42,9 %).
Pengetahuan remaja berdasarkan jenis
kelamin laki-laki mayoritas berpengetahuan
baik sebanyak 10 orang ( 50 % ), dan
minoritas berpengetahuan kurang sebanyak 1
orang ( 5 % ). Dan berdasarkan pengetahuan
remaja perempuan mayoritas berpengetahuan
cukup 8 orang (53,3 %), dan minoritas
berpengetahuan baik sebanyak 7 orang (
46,7%).
Menurut teori Admin (2010) jenis
kelamin perokok di Indonesia sekitar 60 juta
dan jumlah perokok prempuan di perkirakan
2,1 juta dan selebihnya adalah pria walaupun
tiap tahun jumlah perokok wanita terus
meningkat.
Menurut asumsi penulis hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang ada karena pada
umumnya
laki-laki
lebih
banyak
mengkonsumsi rokok di bandingkan wanita.
Distribusi
proporsi
Pengetahuan
Berdasarkan Tempat Tinggal Remaja
tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri
Langkat Tanjung Pura
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
bahwa dari 35 orang remaja di SMA Sri
Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat
tahun 2011. Bermayoritas Di rumah orang tua
sebanyak 31 orang ( 88,6 %) dan minoritas
tempat lain/kos sebanyak 4 orang ( 11,4 %).
Pengetahuan
remaja
berdasarkan
Bertempat tinggal di rumah orang tua
mayoritas baik dan cukup sebanyak 15 orang
( 48,4%) dan minoritas kurang sebaknya 1
orang (3,2%), dan minoritas Bertempat
tinggal di rumah lain/Kos minoritas baik dan
cukup sebanyak 2 orang (50 % )..
Menurut asumsi penulis hal ini bahwa
tempat tinggal tidak mempengaruh karena
apabila seorang remaja merokok dia tidak
akan memberitahu kepada orang tua nya.
4.2.4
Distribusi
proporsi
Pengetahuan
Berdasarkan Kebiasaan Remaja tentang
bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat
Tanjung Pura
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
bahwa dari 35 orang remaja di SMA Sri
Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat
tahun 2011. Berdasarkan Kebiasaan merokok
mayoritas sebanyak 21 orang ( 57,1 %) dan
minoritas
Tidak merokok minoritas
sebanyak 15 orang ( 42,9 %).
Pengetahuan
remaja
berdasarkan
kebiasaan
merokok
mayoritas
berpengetahuan baik sebanyak 10 orang
(50%), dan minoritas kurang sebanyak 1
orang (5%). Dan pengetahuan berdasarkan
kebiasaan
tidak
merokok
mayoritas
berpengetahuan cukup sebanyak 8 orang (
53,3 ), dan minoritas baik sebanyak 7 orang (
46,7 ).
Menurut asumsi penulis bahwa orang
yang berkebiasan merokok adalah laki-laki
karena mereka keingintahuan mereka lebih
tinggi tentang rokok sedangkan pada
perempuan yang merokok biasanya terjadi
karena suatu masalah.
4.2.5
Distribusi
proporsi
Pengetahuan
Berdasarka Sumber Informasi Remaja
tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri
Langkat Tanjung Pura
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
bahwa dari 35 orang remaja mengetahui di
SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten
Langkat tahun 2011. Berdasarkan Sumber
Informasi Media Elektronik bermayoritas
sebanyak 21 orang (60 %) dan minoritas
Media Cetak sebanyak 15 orang ( 40 %).
Pegetahuan remaja berdasarkan media
cetak mayoritas berpengetahuan cukup 10
orang
(
71,4%),
dan
minoritas
berpengetahuan baik sebanyak 4 orang ( 28,6
%), dan berdasarkan pengetahuan remaja
berdasarkan media elektronik mayoritas
berpengetahuan baik sebanyak 12 orang (57,1
%), dan mayoritas berpengetahuan kurang
sebanyak 1 orang
Menurut asumsi penulis sumber
informasi melalui media elektronik lebih
mudah di ingat. Seperti TV yang tampilannya
cukup menarik dan pada Radio cara
menyampaikannya cukup unik dan mudah
untuk di pahami.
5.2.2.
5.2.3.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.2.4
Kesimpulan
Setelah dilakukan penelitian mengenai Gambaran
Pengetahuan Remaja Tentang Bahaya Perokok Pasif Di
SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun
2011, maka dapat disimpulkan bahwa :
5.1.1. Distribusi
Proporsi
Pengetahuan
Remaja tentang bahaya Perokok Pasif
Di SMA Sri Langkat Tanjung Pura
Kabupaten Langkat Tahun 2011
mayoritas
berpengetahuan
baik
sebanyak 17 orang (48,6%) dari 35
orang.
5.1.2. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin
Remaja tentang bahaya Perokok Pasif
Di SMA Sri Langkat Tanjung Pura
Kabupaten Langkat Tahun 2011
mayoritas laki-laki sebanyak 20 orang
(57,1%) dari 35 orang.
5.1.3. Distribusi Proporsi Tempat Tinggal
Remaja tentang bahaya Perokok Pasif
Di SMA Sri Langkat Tanjung Pura
Kabupaten Langkat Tahun 2011
mayoritas di rumah orang tua sebanyak
31 orang ( 88,6%) dari 35 orang.
5.1.4. Distribusi Proporsi Kebiasaan Remaja
tentang bahaya Perokok Pasif Di SMA
Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten
Langkat Tahun 2011 mayoritas
merokok sebanyak 20 orang ( 57,1%)
dari 35 orang.
5.2
Saran
5.2.1.
Diharapkan kepada tenaga medis agar
dapat
menginformasikan
tentang
bahaya yang terkena pada remaja karna
menggunakan rokok atau terkena asap
rokok
5.2.5
Diharapkan
kepada
masyarakat
khususnya orang tua dan guru agar
lebih teliti dalam mendidik dan
memantau para remaja agar tidah
mengunakan rokok dan terkena asap
rokok.
Diharapkan kepada peneliti selanjutnya
agar dapat melaksanakan penelitian
lebih baik lagi dan menjadikan
penelitian ini menjadi masukan
Diharapkan pada para remaja untuk
dapat menghindari para perokok agar
tidak terkena asap rokok dan dapat lebih
mengetahui bahayanya.
Diharapkan kepada para remaja yang
menghisap
rokok
agar
dapat
menghentikan kebiasaanya merokok
karna dapat menimbulkan sebuah
penyakit yang berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.2009. Manajemen Penelitian. Jakarta:
Rineka Cipta
Hawari,
Dadang.
2006.
Penyalahgunaan
dan
Ketergantungan NAZA. Jakarta: FKUI
Husaini, Aimari. 2007. Tobat Merokok. Depok: Iiman
Hidayat, A, A Alimul. 2009. Metode Penelitian
Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promoso Kesehatan dan
Ilmu Prilaku. Jakarta: Rineka Cipta
Shalimow. 2010. Merokok adalah Pembunuhan.
http://humor.berencana.html
Sumiati, dkk. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja dan
Konseling. Jakarta: Trans Info Media
Cupak. 2010. http://pdf.com//perokok+aktif
Wetherall, F, Charles. 2008. Lima Langkah Jitu Cara
Berhenti Meroko. Jakarta: Darul Haq
https://wong168.wordpress.com/2010/04/25/remaja-danciri-cirinya/
April 25th, 2010 by admin
http://fajarjuliansyah.wordpress.com/2010/02/07/perilakumerokok-pada-remaja/
http://admin on 5/31/10 categorized-bebas asap rokok
83
PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TENTANG BAHAYA MEROKOK
OLEH PEER EDUCATOR TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU
MEROKOK PADA REMAJA
Marina br Karo, Makmur Jaya Meliala, Maju Sembiring
Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Medan
Abstrak
Merokok merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia dan termasuk di Indonesia, karena merokok
menjadi faktor risiko utama timbulnya kesakitan dan kematian. Kecendrungan meningkatnya jumlah
perokok terutama pada kaum remaja disebabkan promosi rokok melalui iklan yang mengidolakan remaja
juga akibat pengaruh atau tekanan dari teman sebaya. Dalam penelitian ini promosi kesehatan tentang
bahaya merokok dilakukan oleh peer educator terhadap teman remajanya untuk merubah perilaku merokok.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh promosi kesehatan oleh peer educator terhadap
perubahan perilaku merokok pada teman remajanya di sekolah. Metode yang digunakan yaitu kuasi
eksperimen dengan rancangan non control group design with pre-test and post-test. Subjek penelitian adalah
siswa SMP dan SMA di kota Kabanjahe dan Berastagi. Subjek penelitian terdiri dari 2 kelompok yaitu siswa
yang belum merokok dan siswa yang telah merokok. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner,
dan analisa data dengan SPSS win.15.0 menggunakan uji statistik paired t-test dengan taraf signifikansi p =
0,05. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa promosi kesehatan tentang bahaya merokok oleh peer
educator berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan teman remaja SMA yang belum merokok dari
25,37 menjadi 27,61 dengan nilai p=0,027 dan siswa SMP dari 24,46 menjadi 26,68 dengan nilai p=0,047.
Peningkatan sikap terjadi pada siswa SMA yang belum merokok, dari 32,54 menjadi 35,44 dengan nilai
p=0,019 dan peningkatan sikap siswa SMP dari 30,43 menjadi 32,79 dengan nilai p=0,045. Sedangkan
promosi kesehatan tentang bahaya merokok oleh peer educator terhadap siswa yang sudah merokok
meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan, tetapi tidak bermakna secara statistik.
Kata kunci: perilaku, merokok, remaja, peer educator
A. PENDAHULUAN
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) tahun 2005-2025 yang termuat dalam UU Nomor
17 tahun 2007, menyatakan bahwa dalam rangka
mewujudkan bangsa yang berdaya saing, pembangunan
nasional diarahkan untuk mengedepankan pembangunan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya
saing. Remaja adalah calon-calon pemimpin bangsa
dimasa depan yang diharapkan berkualitas dan mempunyai
daya saing. Kualitas hidup sehat mereka saat ini akan
mempengaruhi kesehatan mereka dimasa yang akan
datang, juga akan mempengaruhi produktivitas mereka.
Salah satu cara untuk mempertahankan kualitas hidup
sehat remaja saat ini dan masa yang akan datang adalah
dengan mengindari perilaku merokok.
Merokok merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia karena merokok adalah
salah satu faktor risiko utama dari berbagai jenis penyakit
kronis seperti kanker paru, bronchitis kronik, emphysema,
kanker mulut, penyakit jantung, hipertensi, stroke dan lainlain (Adenan, 2002). Pada tahun 2000 diperkirakan 4,9 juta
orang di dunia meninggal akibat kebiasaan merokok.
Angka itu akan meningkat dua kali lipat di tahun 2020 dan
84
70% kematian itu akan berlangsung di negara berkembang
karena jumlah perokok terus meningkat. WHO South East
Asia Regional Office (SEARO) menyebutkan bahwa
Indonesia menduduki urutan kelima perokok terbesar di
dunia dengan membakar 215 milyar batang rokok setiap
tahunnya.
Setiap harinya sekitar 80-100 ribu remaja di
dunia yang menjadi pecandu dan ketagihan rokok. Bila
pola ini terus menetap maka sekitar 250 juta anak-anak
yang hidup sekarang ini akan meninggal akibat penyakit
yang berhubungan dengan kebiasaan merokok (Aditama,
2004). Penelitian di Indonesia oleh Sirait et al tahun 2004
menunjukkan bahwa
perilaku merokok kebanyakan
dimulai sejak usia remaja yaitu diantara umur 12 – 19
tahun. Perilaku merokok pada remaja dipengaruhi oleh
keluarga yang merokok, tekanan teman sebayanya dan
kurangnya pengetahuan di kalangan perokok tentang
bahaya merokok. Disamping itu promosi rokok melalui
iklan yang menggunakan idola remaja dan sponsor olah
raga serta musik, memberikan dorongan bagi kaum remaja
untuk memulai merokok (Smet et al, 1999).
Untuk mencegah perilaku merokok pada remaja,
perlu diberikan promosi kesehatan tentang
bahaya
merokok. Promosi kesehatan bertujuan untuk memberikan
informasi, menanamkan pengetahuan yang akan
merangsang perubahan sikap dan perilaku( Green dan
Kreuter, 2000). Dalam penelitian ini dilakukan promorsi
kesehatan tentang bahaya merokok melalui peer educator.
Peer educator adalah pendidik teman sebaya yang telah
diberikan pendidikan dan pelatihan tentang bahaya
merokok, yang diharapkan dapat memberikan promosi
kesehatan terhadap teman sebayanya.
Promosi kesehatan pada kelompok teman sebaya
dalam pergaulan sehari-hari di sekolah yang suasananya
hangat, menarik, dan tidak menggurui, kemungkinan lebih
dapat diterima remaja dalam membuat keputusan untuk
berperilaku tidak merokok. Hal ini mendorong peneliti
menggunakan pendidik teman sebaya (peer educator)
dalam perubahan perilaku merokok. Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh promosi
kesehatan tentang bahaya merokok oleh peer educator
terhadap perubahan perilaku merokok pada remaja.
Pengaruh promosi kesehatan oleh peer educator
dapat dilihat dari peningkatan pengetahuan, sikap dan
tindakan teman sebayanya dalam perubahan perilaku
merokok. Dengan demikian rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah : Apakah ada pengaruh promosi
kesehatan tentang bahaya merokok oleh peer educator
terhadap perubahan perilaku merokok pada teman
remajanya.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah eksprimen semu
(Quasi experimental) dengan rancangan non control group
design with pre-test and post-test. Rancangan ini
digunakan dengan pertimbangan bahwa dalam penelitian
lapangan tidak memungkinkan untuk menggunakan
eksprimen murni yang melakukan random dengan
karakteristik subjek yang benar-benar sama (Cook dan
Cambell, 1979).
Model rancangan penelitian adalah sebagai berikut :
Kelompok Eksprimen
01 x
02
03
04
Keterangan:
01 dan 03
: pretes
untuk
mengetahui
pengetahuan, sikap dan tindakan
merokok teman
remaja sebelum
dilakukan promosi kesehatan oleh
peer educator.
02 dan 04
: postes
untuk
mengetahui
pengetahuan,sikap dan tindakan
teman remajanya setelah 1 bulan
peer educator melakukan promosi
kesehatan tentang bahaya merokok.
X
: Promosi kesehatan oleh peer
educator terhadap temannya secara
alami terhadap teman sekolahnya.
Promosi kesehatan dapat dilakukan
dimana
saja
sesuai
dengan
kesepakatan
dengan
teman
remajanya, atau kesepakatan dengan
pihak
sekolah.
Siswa
diberi
kebebasan secara kreatif dan proaktif
untuk
mempromosikan
bahaya
merokok.
Subjek penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu
kelompok yang belum terpapar perilaku merokok dan
kelompok yang telah terpapar perilaku merokok.
Lokasi penelitian adalah SMP Negeri 3 Brastagi
dan SMA Negeri 2 Kabanjahe. Alasan dipilihnya SMP
dan SMA adalah bahwa siswa di SMP dan SMA pada
umumnya adalah berusia remaja 12 – 18 tahun.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur
pengetahuan, sikap dan tindakan adalah kuesioner dengan
refrensi tentang bahaya merokok dan tips berhenti
merokok bagi remaja .
Peer educator adalah siswa yang menyampaikan
promosi kesehatan tentang bahaya merokok dipilih
dengan kriteria sebagai berikut : terampil berkomunikasi,
mempunyai hubungan baik dengan banyak siswa, aktif
dalam kegiatan organisasi dan ekstrakurikuler, menarik,
popular, gaul, tidak merokok dan bersedia menjadi peer
educator. Peer educator dipilih
oleh peneliti dan guru
BP di sekolah yang bersangkutan.
Pelatih (trainer) yang memberikan pendidikan dan
pelatihan terhadap peer educator adalah magister promosi
kesehatan yang menguasai bidangnya, dan terampil
melakukan pendidikan dan pelatihan. Pelatih terdiri dari 2
orang yaitu peneliti utama 1 orang, ditambah 1 orang
dokter, magister promosi kesehatan pelatih dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Karo.
Materi pelatihan terdiri dari : dinamika kelompok,
bahaya merokok , tips berhenti merokok, keterampilan
menolak tawaran rokok , ice breaking , konsep peer
educator , komunikasi, tehnik fasilitasi dan role playing .
Sebagai bahan pelatihan oleh peer educator diberikan
booklet berisi tentang komponen berbahaya dari rokok,
akibat merokok bagi kesehatan dan tips berhenti merokok.
Selain itu juga diberikan poster berisi tentang racun pada
rokok dan kondisi tubuh seorang perokok. Pemberian
materi pelatihan dilakukan dengan menggunakan media
poster dan LCD, sehingga presentasi penyajian lebih
menarik dan mudah dipahami oleh siswa.
Agar penelitian memiliki validitas yang tinggi
maka dilakukan pengendalian bias sebagai berikut:
1. Pihak sekolah tidak diperkenankan memberikan
informasi tentang bahaya merokok dari sumbersumber lain selama masa penelitan berlangsung.
2. Pihak sekolah atau guru BP tidak melakukan
hukuman atau bentuk intervensi lain yang dapat
merubah perilaku merokok, selama masa penelitian.
3. Pengisian kuesioner dilakukan tanpa menggunakan
nama, sehingga kerahasiaan terjaga, sehingga siswa
tidak takut untuk mengisi apa adanya, karena tidak
akan diberikan sangsi apapun terhadap responden
yang merokok.
4. Sebelum mengisi kuesioner pihak peneliti
menganjurkan agar mengisi dengan sebenarnya, tidak
direkayasa, karena ini bukan ujian tetapi murni untuk
kepentingan penelitian
85
Data yang terkumpul diolah secara manual dan
selanjutnya diolah dengan SPSS versi win. 15.0. Analisis
hasil masing-masing kelompok eksprimen dengan
membandingkan sebelum dan sesudah intervensi dengan
menggunakan uji statistik paired t-test dengan taraf
signifikansi p=0,05
C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1. Pengetahuan Dan Sikap Teman Remaja
Yang Belum Merokok Setelah Promosi
Kesehatan Oleh Peer Educator.
1) Siswa SMA Negeri 2 yang belum merokok
Jumlah total subjek penelitian yang tidak
merokok untuk SMA Negeri 2 Kabanjahe yang terdata
sewaktu melakukan pretes adalah 602 orang siswa.
Sedangkan siswa yang terdata sewaktu melakukan postes
adalah 614 orang. Setelah dilakukan analisis data dengan
paired t-test dengan jumlah sample 62 orang, maka
ditemukan peningkatan rerata pengetahuan dan sikap
seperti tabel dibawah ini.
Tabel 1 : Nilai Kenaikan Rerata Pengetahuan Dan Sikap Siswa Sma Yang Tidak Merokok Setelah Mendapat Promosi
Kesehatan Oleh Peer Educator
Variabel
Pengetahuan
Sikap
Siswa SMA Tidak
Merokok (N)
62
62
Nilai Rerata
Pretes
25,37
32,54
Nilai Rerata Postes
27,61
35,44
Nilai Rerata
Kenaikan
2,24
2,90
Nilai P
0,027
0,019
Tabel 2 : Nilai Kenaikan Rerata Pengetahuan Dan Sikap Siswa Smp Yang Tidak Merokok Setelah Mendapat Promosi
Kesehatan Oleh Peer Educator
Variabel
Pengetahuan
Sikap
Tindakan
Siswa SMA
merokok
69
69
69
Nilai Rerata
Pretes
24,8
28,66
15,42
Nilai rerata
Postes
24,43
30,08
16,19
Nilai Rerata
Kenaikan
0,25
1,42
0,77
Nilai p
0,396
0,159
0,141
Tabel 3 : Nilai Kenaikan Rerata Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Siswa Sma Yang Merokok Setelah Mendapat Promosi
Kesehatan Oleh Peer Educator.
Variabel
Pengetahuan
Sikap
Tindakan
Siswa SMA
merokok
69
69
69
Nilai Rerata
Pretes
24,8
28,66
15,42
Nilai rerata
Postes
24,43
30,08
16,19
Nilai Rerata
Kenaikan
0,25
1,42
0,77
Nilai p
0,396
0,159
0,141
Tabel 4 : Nilai Kenaikan Rerata Kenaikan Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Siswa Smp Yang Merokok Setelah
Mendapat Promosi Kesehatan Oleh Peer Educator
Variabel
Pengetahuan
Sikap
Tindakan
Siswa SMP
Merokok
50
50
50
Nilai Rerata pretes
25,50
28,93
14,46
Tabel diatas menunjukkan bahwa promosi
kesehatan tentang bahaya merokok oleh peer educator
dapat meningkatkan pengetahuan , sikap dan tindakan
teman remaja SMP yang sudah merokok, tetapi
peningkatannya sangat kecil dan tidak bermakna secara
statistik.
Promosi kesehatan oleh peer educator tidak
berpengaruh secara bermakna terhadap perubahan
pengetahuan, sikap, maupun tindakan siswa SMA maupun
siswa SMP yang telah merokok. Oleh sebab itu metode
86
Nilai rerata
postes
25,60
29,59
14,60
Nilai rerata
kenaikan
0,10
0,66
0,14
Nilai p
0,831
0,450
0,806
promosi kesehatan dengan cara ini tidak efektif untuk
siswa yang sudah merokok. Hal ini kemungkinan terjadi
karena rokok mempunyai zat adiktif yang membuat
ketagihan, sehingga siswa tidak dapat berubah perilakunya
walaupun mendapat promosi kesehatan dari peer educator.
Penelitian ini sebenarnya tidak bisa dianggap
gagal dalam merubah perilaku merokok, karena secara
umum jumlah siswa yang merokok tidak meningkat atau
relatif tetap. Hal ini menunjukkan bahwa promosi
kesehatan melalui peer educator berhasil menekan
bertambahnya jumlah perokok. Menurut WHO 80 –
100.000 remaja menjadi pecandu rokok setiap harinya.
Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun
waktu 1 bulan 1561 siswa yang menjadi sampel dalam
penelitian ini tidak bertambah prevalensi merokok bahkan
pada siswa SMP jumlah yang merokok berkurang 2 orang.
Sebaiknya dicari jalan lain untuk mengubah
perilaku remaja perokok seperti menerapkan hukuman
untuk siswa yang kedapatan merokok di sekolah. Alternatif
lainnya adalah dengan konseling secara khusus dengan
guru BP di sekolah, untuk itu perlu ada pelatihan khusus
untuk guru BP, tentang cara-cara konseling khusus bagi
siswa yang merokok. Perlu penelitian lanjutan untuk
mengetahui cara yang paling efektif merubah perilaku
merokok bagi siswa yang telah merokok.
DAFTAR PUSTAKA
Adenen. Efek Kebiasaan Merokok Terhadap Kesehatan
Masyarakat. Berkala Kedokteran. Vol. 11 No.2,
Mei 2002.
Aditama T.Y. Sepuluh Program Penanggulangan Rokok.
Majalah Kedokteran Indonesia. Volume 54,
Nomor: 7, Juli 2004 : 255-259.
Cambell D., Julian C., Stanley (1996). Experimental and
Quasi Experimental Design for Research. Chicago :
Rand Mc Nally.
Chollat – Traquet, C. (1996). Evaluating Tobacco Control
Activities. Experience and Guiding Principles.
Geneva : World Health Organization.
Ewles, L dan Simnett I. (1992). Promosi Kesehatan :
Petunjuk Praktis. Emilia, O. (1994) (Alih Bahasa),
Yogyakarta : UGM Press.
Green, L. Kreuter W.M. (2000) Health Promotion
Planning. An Educational and Envinmental
Approach. (2nd ed.). USA: Mayfield Publishing
Compani.
Mackay J. dan Eriksen M. (2002) The Tobacco Attlas.
Geneva: WHO.
Martin G, Pear J. (1996). Behavior Modification. (7th ed.).
University of Manitoba New Jersey.
Sirait,A.M., Pradono Y. dan Lumban Toruan I. (2002).
Perilaku Merokok di Indonesia. Buletin Penelitian
Kesehatan, 30, 139-152
Smet, Maes, Clereq, Haryanti dan Winarno (1999).
Determinants of Smoking Behavior Among
Adolescents In Semarang, Indonesia. Tobacco
Control 8,186-191.
Sugiyono (2004). Statistika Untuk Penelitian. (6th ed.).
Bandung: CV ALFABETA.
Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2007. Negara
Republik Indonesia.\
Yusuf, S. 2002. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja (2nd ed). Bandung : Remaja Roskakarya
87
EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach L.) DALAM
MEMBUNUH NYAMUK CULEX
Haesti Sembiring
Jurusan Kesehatan Lingkungan
Abstrak
Kepadatan nyamuk culex merupakan masalah yang sangat penting karena nyamuk culex merupakan vektor
penyakit kaki gajah. Adanya bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk culex tersebut, maka perlu diadakan
suatu pengendalian. Penggunaan insektisida nabati dari ekstrak daun mindi (Melia azedarach L) merupakan
salah satu alternatif untuk pengendalian nyamuk culex. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
ekstrak daun mindi (Melia azedarach L.) dalam membunuhn nyamuk culex. Metode penelitian yang
digunakan adalah eksperimen murni dengan metode post-test only kontrol design dengan memberikan
berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi (Melia azedarach L.), yaitu konsentrasi 40 gr/l, 60 gr/l, dan 80 gr/l
pada masing – masing kotak perlakuan yang berisi 20 ekor nyamuk culex. Setelah 1, 2 dan 3 jam dihitung
kematian nyamuk culex dan replikasi dilakukan sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kematian nyamuk culex pada konsentrasi 40 gr/l adalah 18,3% – 43,3%, kematian nyamuk culex pada
konsentrasi 60gr/l adalah 26,6% - 58,3% dan kematian nyamuk culex pada konsentrasi 80gr/l adalah 36,6% 73,3%. Daun mindi dapat digunakan untuk mengendalikan nyamuk culex agar tidak terjadi resistensi pada
vektor penyakit ini dan tidak terjadi pencemaran lingkungan.
Kata kunci: Ekstrak daun mindi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengendalian nayamuk secara kimia dengan
menggunakan racun serangga atau insektisida saat ini telah
luas pemakainnya. Pemakaian insektisida memang efektif
namun sebenarnya dapat juga menimbulkan masalah yang
sangat serius bagi manusia dan lingkungan jika tidak
digunakan secara tepat dan benar.
Untuk mengurangi dampak penggunaan
insektisida secara berlebihan perlu dikembangakan suatu
penelitian mengenai zat – zat yang dapat membunuh
nyamuk sehingga berfungsi sebagai insektisida nabati
alami dan tidak merusak alam serta tidak berbahaya bagi
manusia.
Salah satu dari sekian banyak tumbuhan yang
dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah Mindi
(Melia azaderach L.). Senyawa aktif yang dikandung
mindi adalah azadirachtin, selanin dan meliantriol. Daun
dan biji Mindi dilaporkan dapat digunakan sebagai
pestisida nabati. Ekstrak daun Mindi dapat digunakan pula
sebagai bahan untuk mengendalikan hama termasuk
belalang ( Ahmed,S & Idris, Salma, 2010)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan
dalam penelitian ini adalah “Bagaimana efektivitas ekstrak
daun Mindi (Melia azaderach L.) dalam membunuh
nyamuk Culex ”
88
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun
Mindi dalam membunuh nyamuk Culex .
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisa perbedaan tingkat
kematian nyamuk Culex dengan berbagai
konsentrasi ekstrak daun mindi (40gr/l,
60gr/l, 80gr/l)
b. Untuk menentukan konsentrasi ekstrak
daun Mindi yang optimum dalam
membunuh nyamuk Culex .
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, merupakan tambahan pengetahuan
penulis dalam penggunaan insektisida nabati.
2. Bagi masyarakat, sebagai bahan masukan bagai
masyarakat luas dalam usaha pengendalian
nyamuk Culex .
3. Bagi institusi, sebagai bahan bacaan tambahan
diperpustakaan jurusan kesehatan lingkungan
politeknik kesehatan medan.
METODE PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Konsentrasi
Ekstrak Daun
Mindi 40gr/l,
60gr/l, 80gr/l
Jumlah Kematian
Nymuk Culex
- Suhu Udara
- WaktuPengganggu
Kontak
Variabel
- Umur Nyamuk
- Kecepatan Angin
- Kelembaban
Variabel Pengganggu
B. Defenisi Operasional
1. Konsentrasi ekstrak daun mindi adalah
kandungan daun mindi yang diperoleh dengan
cara mengekstrak daun mindi
2. Suhu udara adalah kondisi panas atau
dinginnya udara sebelum dan sesudah
perlakuan
3. Umur nyamuk adalah nyamuk yang digunakan
dalam penelitian ini adalah umur 1 - 2 hari
setelah keluar dari kepompong
4. Waktu kontak adalah waktu yang diperlukan
mulai disemprotkan ekstrak daun mindi
sampai terjadinya kematian pada nyamuk
culex
5. Kelembaban adalah kondisi kandungan uap air
yang terdapat pada lingkungan tempat
pembiakan dan kotak pengamatan
6. Efektivitas ekstrak daun mindi adalah
kemampuan ekstrak daun mindi dalam
membunuh nyamuk culex .
7. Jumlah kematian nyamuk culex adalah
banyaknya nyamuk culex yang mati setelah
penyemprotan ekstrak daun mindi dengan
konsentrasi 40gr/l, 60gr/l, 80gr/l
C. Hipotesis
Dalam penelitian ini penulis membuat
hipotesa sebagai berikut :
Ho
=
Tidak ada perbedaan jumlah nyamuk
culex yang mati dari berbagai variasi
konsentrasi ekstrak daun mindi pada
perlakuan.
Ha
=
Ada perbedaan jumlah nyamuk culex
yang mati dari berbagai variasi
konsentrasi ekstrak daun mindi pada
perlakuan.
D.Interpretasi Data
F hitung > F tabel Ha diterima dan Ho ditolak dengan α
= 0,05
F hitung < F tabel Ho diterima dan Ha ditolak dengan α
= 0,05
E. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental yaitu untuk
mengetahui konsentrasi ekstrak daun mindi yang optimal
dalam membunuh nyamuk culex .
Desain penelitian ini menggunakan metode prepost test kontrol design. Dimana objek dibagi dalam dua
kelompok yaitu perlakuan diberikan pada salah satu
kelompok dan kelompok lain tidak diberikan perlakuan
(kelompok kontrol). Setelah waktu yang ditentukan
kemudian diobservasi variabel tercoba pada kedua
kelompok tersebut. Perbedaan hasil antara kedua
kelompok menjelaskan perlakuan.
Desain perlakuan yang akan dilakukan seperti di
bawah ini :
X1,2,3
O1
X0
O2
R =
Keterangan :
X1,2,3 : Kelompok perlakuan.
R
: Replikasi.
X0
: Kelompok kontrol.
O1
: Pengamatan jumlah nyamuk Culex yang
mati dari berbagai
variasi konsentrasi
ekstrak daun Mindi pada perlakuan.
O2
: Pengamatan jumlah nyamuk
Culex yang mati tanpa
perlakuan.
Penelitian ini dilakukan dengan 3 varian
konsentrasi ekstrak daun mindi yakni 40 gr/l, 60 gr/l dan
80 gr/l dengan replikasi sebanyak 3 kali.
F. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium
Politeknik Kesehatan Medan
Jurusan Kesehatan
Lingkungan Kabanjahe.
G. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah nyamuk Culex
yang sudah dibiakkan dalam 12 buah kotak pengamatan
dimana 9 buah kotak perlakuan dan 3 buah kotak kontrol.
Nyamuk berumur 1- 2 hari dihitung setelah keluar dari
kepompong.
H. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data berupa data primeryang diperoleh
dari eksperimen dari berbagai macam konsentrasi
ekstrak daun Mindi dalam membunuh nyamuk Culex .
I. Pengolahan dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Data diolah secara manual dan disajikan
dalam bentuk tulisan dan tabel.
2. Analisis Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan Rumus Analisa Of Variance
(ANOVA) sebagai berikut:
89
Y2
=
rxt
1.
FK
2.
JK perlakuan
3.
JK Total
=
 (Yi)2 – FK
4.
JK Galat
Perlakuan
=
JK Total – JK
5.
KT Perlakuan
=
=
(Yi) 2
 FK
n
JK Perlakuan
( t 1)
6.
KT Galak Acak
=
JK Galat
( t ) ( t 1)
7.
F hitung
=
KT Perlakuan
KT Galat Acak
Keterangan :
Y = Jumlah hasil observasi pada perlakuan
Yi = Jumlah hasilobservasi ke-Isetiap perlakuan
∑ = Total keseluruhan observasi perlakuan
R = Jumlah pengulangan
t = ∑ Variasi konsentrasi
n = Replikasi
FK = Jumlah konsentrasi
JK = Jumlah kuadrat
KT = Kuadrat tengah
J. Alat, Bahan dan Prosedur Kerja
1. Alat – alat yang diperlukan :
- Kotak pembiakan
- Media (Aqua)
- Tampah.
- Timbangan.
- Termometer udara.
- Hygrometer.
- Anometer.
- Semprotan ( Spreyer ).
- Gelas ukur
- Corong
- Kertas label.
- Pipet.
- Saringan
- Batang pengaduk
- Penunjuk waktu
2. Tumbukan Bahan – bahan yang dipergunakan:
- Daun Mindi.
- Alkohol 90 %
- Nyamuk Culex
3. Cara Pembuatan Ekstrak Daun Mindi
a. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan.
b. Ambil daun Mindi, lalu pisahkan dari
ranting
untuk
mempermudah
penumbukan.
90
Daun Mindi ditimbang masing – masing
konsentrasi 40gr, 60gr dan 80gr.
d. Setelah ditimbang, masing – masing
konsentrasi di tumbuk dan kemudian
direndam dengan 1 liter alkohol selama
24 jam dan di beri label sebagai berikut :
- Wadah A = rendaman daun
Mindi 40gr/l
- Wadah B = rendaman daun
Mindi 60gr/l
- Wadah C = rendaman daun
Mindi 80gr/l
e. Setelah 24 jam larutan yang dihasilkan
disaring agar didapatkan larutan/ekstrak
daun Mindi yang siap di aplikasikan.
4. Cara Pembiakan Nyamuk Culex
a. Buat kotak pengamatan dengan ukuran
20 cm x 20 cm x 20 cm (Depkes RI,
1986) sebanyak 12 buah yang terdiri dari
9 kotak perlakuan dan 3 kotak kontrol.
b. Kemudian ambil jentik nyamuk Culex
sebanyak 240 ekor lalu dimasukkan
kedalam aqua gelas masing – masing
sebanyak 20 ekor jentik.
c. Setelah itu letakkan kotak pengamatan di
tempat yang terlindungi (teduh) yang
terhindar dari sinar matahari secara
langsung. Untuk setiap kotak di beri
jarak 50 cm, dengan tujuan untuk
mempermudah
melakukan
penyemprotan.
d. Masukkan aqua gelas yang sudah berisi
jentik kedalam kotak pengamatan dan
buat kertas putih dibawahnya.
e. Lihat perubahan yang terjadi mulai dari
jentik – pupa – nyamuk.
5. Uji Perlakuan
a. Sediakan alat dan bahan yang diperlukan
b. Setiap kotak pengamatan diberi label dan
ditempel pada kotak perlakuan dan kotak
kontrol sebagai berikut :
- Perlakuan I diberi tanda
A : A1, A2, A3
- Perlakuan II diberi tanda
B : B1, B2, B3
- Perlakuan III diberi tanda
C : C1, C2, C3
- Kontrol diberi tanda
K
: K1, K2, K3
c. Masing – masing kotak sudah berisi
nyamuk Culex sebanyak 20 ekor
d. Ambil botol yang berisi ekstrak daun
Mindi (sesuai konsentrasi) masukkan
kedalam sprayer.
e. Kemudian
ekstrak
daun
Mindi
disemprotkan pada tiap – tiap perlakuan
dengan konsentrasi ekstrak daun Mindi
sebagai berikut :
1) Perlakuan I : disemprotkan ekstrak daun
Mindi dengan konsentrasi 40 gr/l sebanyak
c.
20 ml yang diberi tanda A
2) Perlakuan II : disemprotkan ekstrak daun Mindi
dengan konsentrasi 60 gr/l sebanyak 20 ml yang
diberi tanda B.
3) Perlakuan III : Disemprotkan ekstrak daun Mindi
dengan konsentrasi 80 gr/l sebanyak 20 ml yang
diberi tanda C
Penyemprotan dilakukan pada semua permukaan
kotak secara merata dengan jarak 30 cm dan tekanan yang
sama khususnya dan untuk kotak kontrol yang di
semprotkan adalah alkohol 90 %.
Sebelum dan sesudah penyemprotan dilakukan
pengukuran suhu udara, kecepatan angin dan
kelembaban udara kemudian catat hasil pengamatan
Lalu amati nyamuk Culex yang mati setiap 1
jam, 2 jam, 3 jam setelah dilakukan penyemprotan dan
catat hasilnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Sebelum dan sesudah dilakukan penyemprotan
ekstrak daun mindi terhadap perlakuan terlebih dahulu
dilakukan pengukuran suhu udara, kelembaban udara
dan kecepatan angin di dalam ruangan laboratorium
tempat melakukan penelitian untuk mengetahui kondisi
lingkungan nyamuk Culex pada waktu penelitian.
Hasil pengukuran suhu udara, kelembaban
udara dan kecepatan angin sebagai berikut :
Tabel 1. Suhu, Kelembaban dan Kecepatan Angin
Sebelum dan Sesudah Perkuan
Variabel
yang diukur
Sebelum
disemprot
Suhu
Kelembaban
Kec. angin
230C
64 %
0 m/s
WAKTU PENGUKURAN
Setelah
Setelah 2
1 jam
jam
disemprot
disemprot
230C
230C
64 %
64 %
0 m/s
0 m/s
Setelah 3
jam
disemprot
230C
64 %
0 m/s
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui sebelum
dan sesudah perlakuan suhu udara 230C, kelembaban
udara 64 % dan kecepatan angin 0 m/s. Siklus hidup
nyamuk Culex suhu optimum yang disukai adalah 200C
– 300C berarti dalam percobaan ini suhu udara tidak
mempengaruhi kematian nyamuk, sedangkan untuk
kelembaban udara sebelum dan sesudah perlakuan 64
% dimana kelembaban udara yang normal antara 60% 80% sehingga kelembaban juga tidak mempengaruhi
kematian nyamuk Culex.
Tabel 2. Distribusi Jumlah dan Persentase Kematian
Nyamuk Culex Setelah 1 Jam Perlakuan
Replikasi
1
2
3
Rata-rata
Jumlah Kematian Nyamuk Culex pada setiap
Konsentrasi (gr/l)
40 gr/l
60 gr/l
80 gr/l
Kontrol
F
%
F
%
f
%
f
%
9
45
12
60
15
75
0
0
8
40
11
55
14
70
0
0
9
45
12
60
15
75
0
0
8,6
43,3
11,6
58,3
14,6
73,3
0
0
Berdasarkan tabel 2 diatas dapat diketahui
konsentrasi terendah 40 gr/l dalam waktu 1 jam dapat
membunuh nyamuk Culex 18,3 %, konsentrasi 60 gr/l
dapat membunuh nyamuk Culex 26,6 % dan
konsentrasi tertinggi 80 gr/l dapat membunuh nyamuk
Culex 36,6 % dan kematian nyamuk Culex pada kotak
kontrol 0%.
Tabel 3. Distribusi Jumlah dan Persentase Kematian
Nyamuk Culex Setelah 2 Jam Perlakuan
Replikasi
1
2
3
Rata-rata
Jumlah Kematian Nyamuk Culex pada setiap
Konsentrasi (gr/l)
40 gr/l
60 gr/l
80 gr/l
Kontrol
F
%
F
%
F
%
f
%
3
15
5
25
7
35
0
0
3
15
5
25
7
35
0
0
4
20
6
30
8
40
0
0
3,3
18,3
5,3 26,6
7,3
36,6
0
0
Berdasarkan tabel 3 diatas dapat diketahui
konsentrasi terendah 40 gr/l dalam waktu 2 jam dapat
membunuh nyamuk Culex 25 %, konsentrasi 60 gr/l
dapat membunuh nyamuk Culex 40 % dan konsentrasi
tertinggi 80 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 55 %
dan kematian nyamuk Culex pada kotak kontrol 0%.
Tabel 4. Distribusi Jumlah dan Persentase Kematian
Nyamuk Culex Setelah 3 Jam Perlakuan
Replikasi
1
2
3
∑Yi
Yi
Jumlah kematian nyamuk Culex pada setiap
konsentrasi (gr/l)
40 gr/l
60 gr/l
80 gr/l
Y
3
5
7
3
5
7
4
6
8
10
16
22
48
3,3
5,3
7,3
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui
konsentrasi terendah 40 gr/l dalam waktu 3 jam dapat
membunuh nyamuk Culex 43,3 %, konsentrasi 60 gr/l
dapat membunuh nyamuk Culex 58,3 % dan
konsentrasi tertinggi 80 gr/l dapat membunuh nyamuk
Culex 73,3 % dan kematian nyamuk Culex pada kotak
kontrol 0%.
Tabel 5. Distribusi Jumlah Kematian Nyamuk Culex
Berdasarkan Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi
Setelah 1 Jam Perlakuan
Replikasi
1
2
3
Rata-rata
Jumlah Kematian Nyamuk Culex pada setiap
Konsentrasi (gr/l)
40 gr/l
F
%
5
25
6
30
4
20
5
25
60 gr/l
F
%
8
40
9
45
7
35
8
40
80 gr/l
f
%
11
55
12
60
10
50
11
55
Kontrol
f
%
0
0
0
0
0
0
0
0
91
Y2
1.
FK
Tabel 6. Distribusi Jumlah Kematian Nyamuk Culex
Berdasarkan Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi
Setelah 2 Jam Perlakuan
=
rxt
(48)2
=
Replikasi
3x3
=
1
2
3
∑Yi
Yi
256
(Yi)2
2.
JK perlakuan
=
- FK
Jumlah kematian nyamuk Culex pada
setiap konsentrasi (gr/l)
40 gr/l
60 gr/l
80 gr/l
Y
5
8
11
6
9
12
4
7
10
15
24
33
72
5
8
11
n
(10)2 + (16)2 + (22)2
=
3.
4.
5.
Y2
- 256
3
=
280 – 256
=
24
JK Total
=  (Yi)2 – FK
= (34+86+162) – 256
= 282 – 256
= 26
JK Galat = JK Total – JK Perlakuan
= 26 – 24
= 2
JK Perlakuan
KT Perlakuan
=
(t – 1)
1.
FK
=
rxt
(72)2
=
3x3
=
576
(Yi)2
2.
JK perlakuan =
- FK
n
(15)2 + (24)2 + (33)2
=
- 576
24
3
=
(3 – 1)
=
JK Total
4.
JK Galat
5.
KT Perlakuan
12
JK Galat
6.
=
=
=
=
=
=
=
3.
KT Galak Acak =
54
 (Yi)2 – FK
636 – 576
60
JK Total – JK Perlakuan
60 – 54
6
(t) (r - 1)
2
=
(3) (3 – 1)
JK Perlakuan
=
(t – 1)
54
= 0,33
=
(3 – 1)
KT Perlakuan
7.
F hitung
=
KT Galat acak
12
=
=
6.
KT Galak Acak
27
JK Galat
=
0,33
= 36,36
(t) (r - 1)
6
=
(3) (3 – 1)
=
92
1
KT Perlakuan
7.
F hitung
=
JK Galat
6.
KT Galak Acak
=
KT Galat Acak
(t) (r - 1)
27
2
=
=
(3) (3 – 1)
1
= 27
=
Tabel 7.
Distribusi Kematian Nyamuk Culex
berdasarkan
Konsentrasi
Ekstrak
Daunmindi Setelah 3 Jam Perlakuan
0,3
KT Perlakuan
7.
F hitung
=
KT Galat Acak
Replikasi
1
2
3
∑Yi
Yi
Jumlah kematian nyamuk Culex pada
setiap konsentrasi (gr/l)
40 gr/l
60 gr/l
80 gr/l
Y
9
12
15
8
11
14
9
12
15
26
35
44
105
8,6
11,6
14,6
Y2
1.
FK
=
27
=
0.3
= 90
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, adanya
perbedaan kematian nyamuk Culex dari berbagai
konsentrasi ekstrak daun Mindi dapat dilihat dari F
Tabel dengan derajat kepercayaan 5 % seperti yang
terlihat dari data berikut ini :.
rxt
(105)
Tabel 8. Hasil yang Diperoleh Setelah Melihat F Tabel
Setelah 1 Jam
2
=
3x3
1225
(Yi)2
=
2.
JK perlakuan
=
No
Konsentrasi
(gr/l)
- FK
n
3837
=
- 1225
1
2
3
4
40
60
80
Kontrol
Konsentrasi kematian
nyamuk Culex
Setelah Setelah Setelah
1 jam
2 jam
3 jam
18,3
25
43,3
26,6
40
58,3
36,6
55
73,3
0
0
0
3
3.
JK Total
4.
JK Galat
Perlakuan
=
1279 – 1225
=
54
=  (Yi)2 – FK
= 1281 – 1225
= 56
= JK Total – JK
=
=
5.
KT Perlakuan
56 – 54
2
JK Perlakuan
=
(t – 1)
54
Tabel 9. Hasil yang Diperoleh Setelah Melihat F Tabel
Setelah 2 Jam
Sumber
ragam
Perlakuan
Galat
Total
db
JK
KT
F Hitung
2
6
8
24
2
26
12
0,33
36,36
F Tabel
5%
5,14
Tabel 10. Hasil yang Diperoleh Setelah Melihat F
Tabel Setelah 3 Jam
Sumber
ragam
Perlakuan
Galat
Total
db
JK
KT
F Hitung
2
6
8
54
2
56
27
0,3
90
F Tabel
5%
5,14
=
(3 – 1)
=
27
Untuk membuktikan apakah hipotesa a
diterima atau di tolak dapat di lihat pada tabel di atas.
Jika F hitung > F tabel dengan derajat kepercayaan 5%
maka hipotesa a di terima dan sebaliknya jika F hitung
< F tabel maka hipotesa di tolak.
93
Karena F hitung dari selang waktu 1 jam
(36,36), 2 jam (27) dan selang waktu 3 jam (90) > F
tabel (5,14) maka hipotesa a diterima. Dengan
demikian konsentrasi ekstrak daun mindi yang
digunakan ada perbedaan yang signifikan jumlah
kematian nyamuk culex dengan berbagai variasi
konsentrasi daun mindi yang disemprotkan ke nyamuk
culex tersebut.
Dan melihat adanya perbedaan kematian
nyamuk culex dalam persentase dari berbagai
konsntrasi ekstrak daun mindi dapat di lihat dari tabel
berikut :
paling efektif yaitu konsentrasi 80 gr/l dapat membunuh
nyamuk Culex hingga 73,3 %. Dalam hal ini dapat dilihat
bahwa semakin banyak daun mindi yang digunakan maka
semakin banyak nyamuk Culex yang mati karena
konsentrasi ekstrak daun mindi yang semakin tinggi maka
insektisida yang dikandung juga semakin banyak sehingga
daya bunuhnya juga semakin kuat.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Tabel 11. Persentase
Kematian
Nyamuk Culex
Selama Pengamatan Pada Setiap Konsentrasi
Sumber
ragam
Perlakuan
Galat
Total
db
JK
KT
F Hitung
2
6
8
54
6
60
27
1
27
F Tabel
5%
5,14
B. Pembahasan
Sebelum dan sesudah perlakuan suhu udara 230C,
kelembaban udara 64 % dan kecepatan angin 0 m/s. Siklus
hidup nyamuk culex suhu optimum yang disukai adalah
250C – 300C berarti dalam percobaan ini suhu udara tidak
mempengaruhi kematian nyamuk, sedangkan untuk
kelembaban udara sebelum dan sesudah perlakuan 64 %
dimana kelembaban udara yang normal antara 60% - 80%
sehingga kelembaban juga tidak mempengaruhi kematian
nyamuk culex. Setelah 1 jam perlakuan angka kematian
nyamuk culex pada berbagai dosis ekstrak daun mindi
diketahui pada 40 gr/l sebanyak 18,3 %, 60 gr/l sebanyak
26,6 % dan 80 gr/l sebanyak 36,6 %.
Setelah 2 jam perlakuan angka kematian nyamuk
culex pada berbagai dosis ekstrak daun mindi diketahui
pada 40 gr/l sebanyak 25 %, 60 gr/l sebanyak 40 % dan 80
gr/l sebanyak 55 %.
Setelah 3 jam perlakuan angka kematian nyamuk
culex pada berbagai dosis ekstrak daun mindi diketahui
pada 40 gr/l sebanyak 43,3 %, 60 gr/l sebanyak 58,3% dan
80 gr/l sebanyak 73,3 %.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan maka hasil
bahwa ekstrak daun Mindi dengan konsentrasi terendah 40
gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 18,3% – 43,3 %,
konsentrasi 60 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 26,6
% – 58,3 % dan konsentrasi 80 gr/l dapat membunuh
nyamuk Culex 36,6 % – 73,3 % sedangkan pada kotak
kontrol 0 %. Dari ke tiga konsentrasi yang dapat dikatakan
94
KESIMPULAN
1. Konsentrasi ekstrak daun mindi yang efektif
dalam pengendalian nyamuk culex adalah 80
gr/l, dengan kematian pada nyamuk culex
sebesar 73,3 % dengan jumlah kematian 44 ekor
dari 60 ekor nyamuk culex.
2. Berdasarkan uji statistik dengan derajat
kepercayaan () 5 % menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan jumlah kematian
nyamuk culex dari berbagai konsentrasi ekstrak
daun mindi setelah 1, 2, dan 3 jam perlakuan.
B.
SARAN
Sebagai
alternatif
penanggulangan
dalam
pengendalian vektor khususnya nyamuk culex dapat
menggunakan ekstrak daun mindi.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, Kemas Ali. (2005). Rancangan Percobaan
Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rajawali Pers
Kardinan, Agus. (2000). Pestisida Nabati Ramuan dan
Aplikasi. Jakarta Agro Media Pustaka.
Laksono, Agung. (2009). Kasus Filariasis (17
November 2009, Artikel),
[Internet]. Available
From <www.menkokesra.go.id/content/view/13409/
39/ > (Accessed Februari 2010)
Plantamor. (2008). Klasifikasi Pohon Mindi (2008,
Artikel), [Internet]. Available From
<
www.plantamor.com/index.php?plant=883
>
(AccessedFebruari 2010)
Qitanonq. (2006). Mindi (30 Desember 2006, Artikel),
[Internet]. Available From<www.mailarchive.com/
[email protected]/msg0192 3.html>
(Accessed Februari 2010)
Sudjana.
2002.
Metoda
Statistika
Edisi
ke.6.Bandung:Tarsito
EFEK EKSTRAK HERBA PEGAGAN (Centellae herba) TERHADAP
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
Nelson Tanjung
Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Pegagan memiliki banyak khasiat antara lain: diuretika berguna sebagai peluruh kencing, antiperetika
berguna sebagai penurun panas, hemostatika berguna untuk menghintikan pendarahan, meningkatkan syaraf
memori, campak, lepra, penamah nafsu makan, menurunkan tekanan darah tinggi, wasir, pembengkakan hati
(liver), dan bisul. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan apakah ada pengaruh etanol 96 % sebagai
pelarut terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan ekstrak herba pegagan terdap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Eksperimen secara uji mikrobiologi di Laboratorium. Dalam penelitian bahan yang digunakan adalah: air
suling, bakteri Staphylococcus aureus, bakteri Escherichia coli, pegagan, gentamisin, endo agar, media
staphylococcus, nutrient broth. Sampel yang digunakan adalah herba pegagan segar yang telah diolah
menjadi simplisia yang diperoleh dari persawahan di jalan Blangkejeren Gayo Lues. Hasil Penelitian
Menunjukkan bahwa Ekstrak herba pegagan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli, sedangkan pada etanol tidak ada. Pada Staphylococcus aureus ekstrak herba
pegagan dapat menghambat bakteri pada konsentrasi 7,5% sampai 10%.Pada Escherichia coli ekstrak herba
pegagan dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 8 % sampai 10 %.
Kata Kunci : Ekstrak Herba Pegagan, Staphylococcus aureus, Escherichia coli
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Obat tradisional pemakaiannya telah secara
turun-temurun dilakukan yang didasari kebiasaan
nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau
kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun
pengetahuan tradisional. Obat tradisional secara umum
merupakan obat bungkus atau racikan yang berasal dari
bahan tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, dan atau
sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan
tersebut yang usaha pengobatannya berdasarkan
pengalaman (Anief, 2003).
Pegagan memiliki banyak khasiat antara lain:
diuretika berguna sebagai peluruh kencing, antiperetika
berguna sebagai penurun panas, hemostatika berguna
untuk menghentikan pendarahan, meningkatkan syaraf
memori, campak, lepra, penambah nafsu makan,
menurunkan tekanan darah tinggi, wasir, pembengkakan
hati (liver), dan bisul (Arisandi & Andriani, 2008).
Orang
Eropa
menggunakannya
untuk
menyembuhkan lepra dan tuberkulosis (TBC). Manfaat
lain dapat memberi efek positif bagi daya rangsang
saraf otak dan memperlancar aliran darah pada
pembuluh
otak,
disamping
dipercaya
bisa
menanggulangi luka bakar, sirosis hati, keloid,
skleroderma, gangguan pembuluh vena, lupus, dan
meningkatkan fungsi mental.
Pegagan merupakan tanaman menahun tanpa
batang yang merayap dengan rimpang pendek dan stolon.
Helaian daun tunggal bergerigi, bertangkai panjang sekitar
5 – 15 cm berbentuk ginjal, dan tepinya dengan
panampang 1 – 7 cm terdiri atas 2 – 10 helai daun agak
berambut. Bunganya berwarna putih atau merah muda.
Tersusun dalam kerangka berupa payung tunggal atau 3 –
5 bersama-sama keluar dari ketiak daun. Tangkai bunga 5
– 50 mm. Buah kecil bergantungan yang bentuknya
lonjong/pipih panjang 2 – 2,5 mm, baunya wangi dengan
rasanya pahit.
Simplisia dari pegagan dikenal dengan sebutan
Centellae herba memiliki kandungan asiaticosida,
thankunisida, isothankunisida, madecassosida, brahmosida,
brahmic acid, brahminosida, madasiatic acid, glikosida
triterpenoida, centellosida, carotenoit, hydrocotylin,
vellarine, tanin serta garam mineral.
Bakteri adalah sel prokoriotik, uniseluler dan tidak
mengandung struktur yang terbatasi memberan di dalam
sitoplasma. Bakteri memiliki ukuran yang sangat kecil
dengan diameter 0,5 - 1,0 µm dan panjangnya 1,5 - 2,5 µm
sehingga hanya bisa dilihat di bawah mikroskop.
Berdasarkan bentuk morfologinya, bakteri dapat dibagi
atas tiga golongan, yaitu golonan basil, golongan kokus,
dan golongan spiral.
95
Pertumbuhan bakteri dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu : Nutrisi yang terdiri dari sumber
karbon, nitrogen, belerang, fosfor, mineral dan faktor
pertumbuhan (Vitamin dan asam amino)
Suhu pertumbuhan bakteri dapat dibagi atas tiga
golongan, yaitu : bakteri psikrofil, bakteri mesofilik,
bakteri termofilik.
Kebanyakan bakteri tumbuh dengan baik pada
pH 6,5 - 7,5. Namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam
keadaan asam dengan pH 4 - 9.
Media atau medium adalah bahan yang
digunakan untuk menumbuhkan bakteri. Medium yang
baik bagi pemelihara bakteri adalah medium yang
mengandung zat-zat organik, seperti rebusan daging,
sayur- sayuran, sisa-sisa makanan atau ramuan-ramuan
yang dibuat manusia.
Gambar 2.1 Pegagan (Centella asiatica L)
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan gram
positif, aerob atau anaerob fakultatif, berbentuk bola
(kokus) yang berpasangan, bergerombol dan bahkan dapat
tersusun seperti rantai pendek, berdiameter antara 0,8 – 1,0
µm, tidak bergerak dan tidak membentuk spora.
Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik
pada temperatur 370C, namun pembentukan pigmen yang
paling baik adalah pada temperatur 20 -350C. koloni pada
media yang padat berbentuk bulat, lembut, dan mengkilat.
Koloni ini biasanya berwarna abu–abu hingga kuning ke
emasan (UI,1994).
Pengujian Aktifitas Antibakteri Secara In Vitro
Penentuan
kepekaan
bakteri
terhadap
antimikroba secara in vitro dapat dilakukan dengan salah
satu dari dua metode pokok, yakni metode dilusi dan
difusi.
Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan
kadar hambat minimum, dilakukan dengan menggunakan
media cair. Kemudian media diinokulasi bakteri uji dan
dieramkan. Tahap akhir dilarutkan antimikroba dengan
kadar yang menghambat atau mematikan.
Metode Difusi
Metode yang sering digunakan adalah metode
difusi agar. Alat yang bisa digunakan cakram kertas saring,
maka cakram tersebut lebih dahulu diisi sejumlah tertentu
obat kemudian ditempatkan pada permukaan medium
padat yang sebelum telah diinokulasi bakteri uji pada
permukaannya. Setelah diinkubasi, diameter zona
hambatan sekitar cakram dipergunaka mengukur kekuatan
hambatan obat terhadap organisme uji (Pratiwi, 2008).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode Eksperimen secara uji mikrobiologi di
Laboratorium. Dalam penelitian bahan yang digunakan
adalah: air suling, bakteri Staphylococcus aureus, bakteri
Escherichia coli, pegagan, gentamisin, endo agar, media
staphylococcus, nutrient broth.
Sampel yang digunakan adalah herba pegagan
segar yang telah diolah menjadi simplisia yang diperoleh
dari persawahan di jalan Blangkejeren Gayo Lues.
Gambar 2.3 Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri gram
negatif yang berbentuk batang pendek, motil atau non
motil, aerobik dan anaerobik (merupakan fakultatif
anaerob), dengan ukuran 0,4 – 0,7µm. Bakteri ini tumbuh
baik pada suhu 370C, membentuk koloni bulat, cembung
serta lembut dengan tepi yang berbeda. Escherichia coli
merupakan flora normal yang terdapat dalam usus.
Escherichia coli akan bersifat patogen bila berada pada
jaringan di luar usus atau tempat dimana bakteri ini tidak
bias tumbuh sebagai flora normal contohnya pada saluran
air kemih (UI,1994).
96
Pengolahan Simplisia
Herba pegagan yang mesih segar dibersihkan,
kemudian dikeringkan dengan cara diangin-angainkan.
Kemudian simplisia dihaluskan dengan derajat halus yang
cocok, simpan dalam wadah.
Penetapan Kadar Air
200 ml toluen dan 2 ml air suling ke dalam labu
kering lalu didestilasi selama 2 jam. Toluen didinginkan
selama 30 menit dan volume air dalam tabung penampung
dari alat penetapan kadar air dibaca sebagai volume awal
dengan ketelitian 0,05 ml, maka diperoleh toluen jenuh.
Selanjutnya ke dalam labu dimasukkan 5 g sampel yang
ditimbang seksama, lalu dipanaskan hati-hati selama 15
menit. Setelah toluen mulai mendidih, kecepatan tetes
diatur 2 tetes untuk tiap detik. Setelah sebagian besar air
terdestilasi, kecepatan tetesan dipercepat menjadi 4 tetes
untuk tiap detik (engan cara menaikan suhu). Setelah
volume air tidak bertambah lagi, bagian dalam pendingin
dibilas dengan toluene. Destilasi dilanjutkan selama 5
menit, kemudian tabung penerima dibiarkan dingin sampai
suhu kamar. Volume air dibaca setelah air dan toluen
memisah sempurna, sebagai volume akhir. Selisih kedua
volume air yang dibaca sesuai dengan kendunan air yang
terdapat di dalam simplisia yang diperiksa, kadar air
dihitung dengan rumus
0
/0 Kadar Air =
V. Akhir – V. Awal
x 100 0/0
Berat Sampel
2. Oleskan pada seluruh permukaan masing – masing
media sampai merata.
3. Biarkan selama 5 menit.
4. Cetak lubang dengan diameter 6 mm dengan
menggunakan pencetak lubang (punch hole).
5. Isi lubang dengan ekstrak herba pegagan dengan
beberapa konsentrasi yaitu 0,5-100/0.
6. Biarkan 15-30 menit
7. Gunakan gentamicin sebagai kontrol positif dan
alcohol 960/0 sebagai kontrol negative
8. Inkubasi pada inkubator dengan suhu 37 0C selama
18-24 jam.
9. Ukur daerah hambatan yaitu pada daerah jernih
disekitar lubang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemeriksaan Kadar Air
Dengan Pelarut Etanol
Perkolasi
Penimbangan Bahan
Simplisia herba pegagan sebanyak
Cairan penyari etanol 96 0/0 sebanyak
x 500 g = 5000 ml
Kadar air dihitung dengan rumus :
: 500 g
: 100 / 10
V. Akhir – V. Awal
/
Kadar
Air
=
x 100 0/0
0
Volume
Awal = 1,5 ml
Berat Sampel
Volume Akhir = 1,9 ml
0
Berat Sampel = 5 g
Cara Pembuatan
0
1,9 – 1,5
/0 Kadar Air =
1. Timbang 500 g simplisia herba pegagan kemudian
di haluskan dengan derajat kehalausan yang cocok,
masukkan kedalam wadah.
2. Tuangkan 75 cairan penyari etanol 96 0/0, tutup
wadah dengan baik.
3. Kemudian di maserasi selama 3 jam.
4. Setelah itu masukkan kedalam perkolator sedikit
demi sedikit sambil di tekan dengan hati – hati .
5. Tuangai dengan cairan peyari secukupnya sampai
terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia.
6. Tutup perkolator, biarkan selama 24 jam.
7. Kemudian biarkan cairan penyari menetes dengan
kecepatan 1 ml per menit.
8. Tambahnkan cairan penyari sehingga selalu
terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia
hingga diperoleh 5000 ml perkolat.
9. Pindahkan kedalam bejana, tutup
10. Biarkan selama 2 hari di tempat yang sejuk
terlindung dari cahaya, enap tuang atau serkai
11. 5000 ml maserat di masukkan kedalam rotavafour
12. Setelah itu di keringkan dengan freeze dryer pada
suhu- 400 dengan tekanan 2 atm + 24 jam.
13. sehingga di peroleh ekstrak kering.
Pembuatan Inokulasi Bakteri
Masing-masing bakteri diambil dengan
menggunakan kawat ose yang telah disterilkan, kemudian
pindahkan kedalam tabung yang bersi 10 cc nutrient bort.
Tutup dengan dengan kapas dan masukkan dalam
inkubator selama 24 jam.
Uji Efek Antibakteri Ekstrak Herba Pegagan
Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Staphylococcus
aereus dan Escherichia coli.
1. Teteskan suspensi bakteri escherichia coli pada
media endo agar dan staphylococcus aereus pada
media staphylococcus.
x
= 8 0/0
100 0/0
5
Dari simplisia herba pegagan diperoleh kadar air 8 0/0 hal
ini menunjukkan bahwa kadar air simplisia herba pegagan
memenuhi syarat yaitu tidak lebih dari 10 0/0.
Pembahasan Uji Efek Antibakteri Ekstrak Herba
Pegagan (Centellae herba) terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
Hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak herba
pegagan terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli menunjukkan hasil yang cukup baik.
Secara umum bakteri dinyatakan tidak peka/resisten
terhadap anti bakteri jika diameter hambatan < 10 mm,
intermediet antara 11-12 mm, dan sensitif pada diameter
>13 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak
herba pegagan mempunyai hambatan di atas 13 mm mulai
pada konsentrasi 7,5% untuk bakteri Staphylococcus
aureus dan konsentrasi 8% untuk bakteri Escherichia coli.
Sebagai antibakteri, ekstrak herba pegagan bersifat
bakteriostatik, yaitu hanya menghambat pertumbuhan
bakteri.
Pada uji aktivitas antibakteri ini digunakan etanol
96% sebagai kontrol negatif, yaitu untuk melihat apakah
ada pengaruh etanol 96% sebagai pelarut terhadap bakteri
yang diuji. Hasilnya terlihat bahwa etanol 96% yang
digunakan tidak memberikan hambatan pertumbuhan
bakteri, maka hambatan pertumbuhan bakteri yang
dihasilkan hanya dari ekstrak herba pegagan yang di uji.
sebagai kontrol positif digunakan gentamisin untuk melihat
apakah bakteri dan media yang digunakan dalam keadaan
baik, hasilnya terlihat bahwa gentamisin memberikan
hambatan terhadap pertumbuhan terhadap seluruh bakteri
yang diuji, berarti bakteri dan media yang digunakan
dalam keadaan baik.
97
Hasil Uji Efek Antibakteri Ekstrak Herbapegagan Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli dengan gentamisin sebagai kontrol positif etanol sebagai control negatif.
Hasil Uji Efek Antibakteri Pada Berbagai Perlakuan
Diameter Hambatan Pertumbuhan Bakteri
Nama bakteri
Staphylococcus
aureus
Escherichia
coli
Gentamisin
Etanol
0,5%
1%
30 mm
_
_
1 mm
3 mm
3 mm
3 mm
22 mm
_
_
_
_
_
_
Nama bakteri
Staphylococcus
aureus
Escherichia
coli
Ekstrak Etanol Herba Pegagan
1,5%
2%
2,5%
3%
3,5%
10
mm
8 mm
4,5%
11
mm
9
mm
11
mm
9 mm
Diameter Hambatan Pertumbuhan Bakteri
5%
5,5%
13 mm
13 mm
9 mm
10 mm
6%
13
mm
11
mm
Ekstrak Etanol Herba Pegagan
8%
8,5%
6,5%
7%
7,5%
11
mm
11
mm
11
mm
11
mm
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian uji efek antibakteri
ekstrak herba pegagan (centellae herba) terhadap
pertumbuahan bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ekstrak herba pegagan dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli.
2. Pada Staphylococcus aureus
ekstrak herba
pegagan dapat menghambat bakteri pada
konsentrasi 7,5% sampai 10%
3. Pada Escherichia coli ekstrak herba pegagan
dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada
konsentrasi 80/0 sampai 100/0.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh.(2003). Ilmu Meracik Obat Gajah Mada
University Press Yogyakarta.
Anonim, 2010. Pegagan.http:// id. Wikipedia. Org/wiki.
Diakses 11 Mei 2010.
Anonim, 2010. Pegagan Pembawa Umur Panjang. http://
kesehatan
Kompas.
98
3
mm
4 mm
4%
13
mm
12
mm
15
mm
16
mm
15
mm
15
mm
9%
9,5%
10%
15
mm
16
mm
18
mm
17
mm
18mm
17
mm
Com/read/2010/05/14/08555258/
Pegagan
Pembawa Umur Panjang.
Diakses 11 Mei,3 juni 2010.
Anonim.2010.http://herbaljawa.blogspot.com/2010/07/Pen
ggunaan Pegagan.html Diakses 3 juni 2010.
Arisandi, Y dan Andriani Y. 2008. Khasiat Berbagai
Tanaman Untuk Pengobatan: Eska Media, Jakarta.
Departeman kesehatan RI. (1995). Farmakope Indonesia.
Edisi IV
Departemen Kesehatan RI. (1979). Farmakope Indonesia.
Edisi III
Hidayat, N. dkk. 2006. Mikribiologi Industri : Andi,
Yogyakarta.
Pelczar Jr, Michael J dan Chan, E.S.C. 1986. Dasar –
dasar Mikrobiologi 1: Universitas Indonesia,
Jakarta
Pratiwi, S. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Yogyakarta:
Erlangga
Staf Pengajar Fakultas Kedoktoran UI. Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran: Binarupa Aksara,
Jakarta.
Syarifudin. 2009.Herbal. http:// www. kompas. Com. Di
akses 11 Mei 2010.
HUBUNGAN CITRA TUBUH DENGAN AKTIFITAS FISIK DAN ASUPAN
ENERGI SISWA SMP YANG OBES DAN TIDAK OBES
DI KOTA LUBUK PAKAM
Ginta Siahaan, Novriani Tarigan, Harifin Togap Sinaga
Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Medan
Abstrak
Prevalensi obesitas di banyak negara, baik di negara industri dan miskin terus meningkat dari tahun ke
tahun. Arus globalisasi yang masuk mempengaruhi gaya hidup dan pola makan kelompok remaja.
Ketidakpuasan Citra Tubuh (Body Image Dissatisfaction)- BID semakin sering dijumpai di kalangan
penederita obes. Untuk mengetahui hubungan antara citra tubuh dengan aktifitas fisik dan asupan
energi siswa SLTP yang obes dan tidak obes di Lubuk Pakam. Penelitian ini merupakan penelitian
observasional dengan rancangan cross sectional. Yang menjadi sampel penelitian adalah siswa SMP
di Kota Lubuk Pakam. Siswa diminta mengisi kuesioner identitas responden, aktifitas fisik, citra
tubuh dan food frekuensi. Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan uji t, uji kai kuadrat dengan
derajat kemaknaan 95%, P<0,05. Prevalensi siswa yang obes di kota Lubuk Pakam sebesar 4,73%.
Ketidakpuasan berbeda secara bermakna antara siswa SMP yang obes dan tidak obes dengan nilai
p<0,001. Siswa SMP laki-laki yang obes mempunyai peluang tidak puas sebesar 8 kali, sedangkan
siswa perempuan mempunyai peluang 5,7 kali. Jenis kelamin adalah counfounder citra tubuh siswa
SMP. Aktifitas fisik dan asupan energi berbeda secara bermakna antara siswa yang obes dan tidak
obes. Tidak ada hubungan yang bermakna antara ketidakpuasan citra tubuh siswa SMP dengan
aktifitas fisik dengan asupan energi (p>0,05). Prevalensi obes siswa SMP Lubuk Pakam lebih rendah
dibanding beberapa penelitian lain. Tidak ada hubungan ketidakpuasaan citra tubuh siswa SMP
dengan aktifitas fisik dan asupan energi. Tidak puas dengan citra tubuhnya ternyata tidak membuat
remaja meningkatkan aktifitas fisik dan mengurangi asupan energinya (makan).
Kata Kunci: citra tubuh, aktfitas fisik, asupan energi, obesitas, siswa smp
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Prevalensi obesitas di banyak negara, baik di
negara industri dan miskin terus meningkat dari tahun
ke tahun (Gill, 1999). Kasus obesitas pada remaja lebih
banyak ditemukan pada wanita 10,2% dibanding lakilaki 3,1 % (Sjarif , 2002). Pada remaja SLTP di
Surabaya
prevalensi obesitas sebesar 8,5 %
(Adiningsih, 2002). Dari screening obesitas yang
dilakukan di Kota Yogayakarta dan Kabupaten Bantul
tahun 2003 di dapatkan prevalensi obesitas masingmasing 7,8% dan 2,0% (Mahdiah, 2004). Dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 diketahui prevalensi
obesitas di Sumatera Utara sebesar 9,9% dan
Kabupaten Deli Serdang sebesar 14,7%.
Arus globalisasi yang masuk mempengaruhi
gaya hidup dan pola makan kelompok remaja.
Pengaruh junk food yang tinggi kalori dan rendah serat,
serta peningkatan teknologi merubah gaya hidup yang
tidak butuh banyak aktifitas tubuh, yang keduanya
menjadi penyebab masalah gizi lebih (Adiningsih,
2002). Obesitas remaja penting untuk diperhatikan,
karena masalah berat badan dan faktor risiko yang
mengikutinya cenderung berlanjut sampai masa
dewasa, dan penyakit yang timbul dari persoalan berat
badan ternyata berhubungan dengan lamanya seseorang
mengalami kegemukan (Gill, 1999).
Obesitas merupakan keadaan status nutrisi
dengan penyebab multifaktor yang selalu dihubungkan
dengan peningkatan resiko dan mortalitas beberapa
penyakit seperti penyakit jantung koroner, hipertensi,
noninsulin dependent diabetes mellitus, dan kanker.
Obesitas memiliki dampak yang signifikan terhadap
kesehatan, status psikososial, kualitas hidup dan usia
harapan hidup. Penurunan beban penyakit pada
obesitas dalam populasi dapat diupayakan dengan
mengidentifikasi faktor-faktor risiko obesitas, yang
nantinya dapat dimodifikasi melalui program intervensi
(Metcalf et al., 2000).
Obesitas
merupakan
masalah
yang
berhubungan dengan penampilan fisik Pada remaja
putri khususnya, gambaran tubuh dan penampilan fisik
yang sesuai dengan harapan serta standar masyarakat,
dapat berpengaruh terhadap harga diri mereka (Purwati,
2000). Citra tubuh adalah gambaran mental seseorang
99
terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana
seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas
apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan
bentuk tubuhnya dan bagaimana kira-kira penilaian
orang lain terhadap dirinya (Honigman, 2004).
Penelitian tentang persepsi terhadap bentuk
dan ukuran tubuh di beberapa negara berkembang
menunjukkan bahwa persepsi seseorang yang
mengalami obesitas terhadap bentuk dan ukuran
tubuhnya berbeda-beda dan dipengaruhi oleh etnik/ras,
sosial ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan (Metcalf
et al., 2000).
Adapun upaya-upaya maupun alternatif dalam
penanggulangan masalah adalah dengan cara mulai
program manajemen berat badan, merubahkan kebiasaan
makan, perencanaan makanan dan pemilihan makanan
secara tepat, mengontrol porsi makanan dan
mengkonsumsi makanan yang rendah kalori, sering
melakukan aktifitas fisik dan mengembangkan yang lebih
efektif, makan bersama sebagai kebiasaan keluarga untuk
menggantikan makanan sambil menonton televisi atau
berada didepan komputer, mengetahui apa yang dimakan
oleh remaja disekolah, jagan menggunakan makanan
sebagai hadiah, mengurangi makanan kudupan (ngemil),
menghadiri kelompok-kelompok yang memberi dukungan
untuk mengelolah berat badan (Gamayanti, 2004).
Dengan melihat fenomena yang terjadi sekarang
ini khususnya pada remaja obes, tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa obesitas merupakan suatu masalah rumit
yang seringkali dihadapi remaja pada saat ini. Berdasarkan
hal diatas, maka penulis dapat tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “ Hubungan Citra Tubuh dengan
aktifitas fisik dan asupan energi siswa SMP yang obes dan
tidak obes di kota Lubuk Pakam.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara citra tubuh
dengan aktifitas fisik dan asupan energi siswa SMP yang
obes dan tidak obes di Kota Lubuk Pakam.
METODE
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
observasional dengan rancangan cross sectional yaitu
penelitian analitik yang mencari hubungan antara
variabel bebas (faktor risiko) dengan variabel
tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran
sesaat. (Sastroasmoro dan Ismael, 2002). Penelitian
dilakukan dengan menggunakan pendekatan metoda
kuantitatif untuk mengukur hubungan antara citra
tubuh dengan aktifitas fisik, asupan energi siswa SLTP
yang obes dan tidak obes. Penelitian ini dilaksanakan di
10 SMP Kota Lubuk Pakam, yaitu SMP Negeri 1, SMP
Negeri 2, SMP Negeri 3, SMP Trisakti, SMP
Methodist, SMP RK Serdang Murni, SMP Nusantara,
SMP Advent, SMP Nasional, SMP HKBP. Waktu
penelitian 4 bulan yaitu pada bulan Agustus –
November 2010
100
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah siswa-siswi SMP di kota
Lubuk Pakam sebanyak 10 sekolah dengan jumlah
siswa 4189 orang. Sampel adalah sejumlah siswa-siswi
yang dari SLTP di Kota Lubuk Pakam baik yang obes
maupun tidak obes, dihitung dengan rumus (Lemeshow
et al., 1997): diperoleh jumlah sampel 66 orang
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Seluruh siswa SLTP dilakukan screening
(diukur Tinggi Badan dan Berat Badannya, ditanyakan
tanggal, bulan dan tahun lahir, kemudian dihitung
indeks massa tubuhnya dan ditentukan status gizinya
menggunakan baku antropometri NCHS CDC 2000.
Tinggi Badan diukur dengan menggunakan alat
pengukur Microtoise dengan ketelitian 0,1 cm,
sedangkan
Berat
Badan
ditimbang
dengan
menggunakan timbangan injak merk bathroom scale
dengan kapasitas 120 kg, tingkat ketelitian 0,1 kg. Dari
hasil screening diketahui sebanyak 198 siswa yang
obes (4,73%), 325 siswa yang overweight (7,76%),
2174 siswa stats gizi baik (51,89%) dan 824 siswa yang
status gizi buruk (19,67%). Kemudian dengan cara
acak sederhana diambil sejumlah siswa obes sesuai
besar sampel, sedangkan siswa yang tidak obes diambil
sejumlah yang sama dengan cara pencocokan terhadap
jenis kelamin, umur dan kelas. Data citra tubuh remaja
dikumpulkan dengan cara memberikan kuesioner
Penilaiaian Citra Tubuh yang telah dimodifikasi dan
uji coba kepada responden dan responden mengisinya
sesuai dengan petunjuk. Data aktifitas fisik,
dikumpulkan dengan wawancara langsung dengan alat
bantu kuesioner aktifitas fisik. Data asupan energi
dilakukan dengan wawancara dengan menggunakan
kuesioner penelitian Food Frequency Questionnaire
(FFQ). Data identitas dengan cara memberikan
kuesioner kepada subyek penelitian dengan alat bantu
kuesioner.
Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil screening diolah menggunakan
komputer. Data citra tubuh dijumlahkan dari 27
pertanyaan, sedangkan data aktifitas fisik dihitung
sesuai dengan kegiatan yang dilakukannya, berapa
lama (jam/menit) kemudian dikalikan dengan energi
untuk berbagai aktifitas (Sunita, 2004). Data FFQ
diolah dengan menggunakan Nutri Survey sehingga
diketahui asupan energi. Digunakan uji statistik dengan
derajat kemaknaan 95% dan p < 0,05. Analisis
univariat dengan menghitung distribusi frekuensi dan
proporsi untuk mengetahui karakteristik subyek
penelitian. Analisis bivariat digunakan uji t dan untuk
menguji hipotesis dengan uji chi-square.
Hasil Penelitian
Tabel 1. Karakteristik Siswa SMP pada Kelompok Obes dan Tidak Obes
Variabel
Suku
o Melayu
o Toba
o Karo
o Simalungun
o Mandailing
o Jawa
o Minang
o Tionghoa
o Dll
Jumlah
Pendidikan Ayah
o Tamat SD
o Tamat SMP
o Tamat SMA
o Diploma1, 2, 3
o S1/D4
o S2
Jumlah
Suku Ayah
o Melayu
o Toba
o Karo
o Simalungun
o Mandailing
o Jawa
o Minang
o Tionghoa
o Dll
Jumlah
Pendidikan Ibu
o Tamat SD
o Tamat SMP
o Tamat SMA
o Diploma1, 2, 3
o S1/D4
o S2
Jumlah
Suku Ibu
o Melayu
o Toba
o Karo
o Simalungun
o Mandailing
o Jawa
o Minang
o Tionghoa
o Dll
Jumlah
Obes
Tidak obes
%
p
n
%
n
3
20
5
5
5
16
1
7
4
66
2,3
15,2
3,8
3,8
3,8
12,1
0,8
5,3
3,0
50,0
2
22
4
2
1
18
5
7
5
66
1,5
16,7
3,0
1,5
0,8
13,6
3,8
5,3
3,8
50,0
0,509
6
3
37
1
16
3
66
4,5
2,3
28
0,8
12,1
2,3
50,0
7
6
39
5
8
1
66
5,3
4,5
29,5
3,8
6,1
0,8
50,0
0,188
3
20
5
5
5
16
1
7
4
66
2,3
15,2
3,8
3,8
3,8
12,1
0,8
5,3
3,0
50,0
1
22
3
3
1
18
4
7
7
66
0,8
16,7
2,3
2,3
0,8
13,6
3,0
5,3
5,3
50,0
0,484
8
10
36
3
8
1
66
6,1
7,6
27,3
2,3
6,1
0,8
50,0
6
7
40
5
8
0
66
4,5
5,3
30,3
3,8
6,1
0
50,0
0,773
3
19
7
6
5
16
2
4
4
66
2,3
14,4
5,3
4,5
3,8
12,1
1,5
3,0
3,0
50,0
5
20
8
1
0
14
6
5
5
66
3,8
15,2
6,1
0,8
0
10,6
4,5
3,8
3,8
50,0
0,141
Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik sampel penelitian yaitu suku,
pendidikan ayah, suku ayah, pendidikan ibu, suku ibu (P>0,05) (tabel 1).
101
Tabel 2. Karakteristik Siswa SMP pada Kelompok Obes dan Tidak Obes
Obes
Tidak Obes
t
p
12,91
(12,68 – 13,14)
11-15,50
12,92
(12,71 – 13,13)
11,50-15,00
0,048
0,962
29,09
(28,35 – 29,84)
23,2 – 37,2
17,72
(17,20 – 18,24)
11,1 – 24,6
25,02
<0,001
44,57
(43,27 – 45,86)
30 - 58
43,95
(42,54 – 45,36)
30 - 62
0,642
0,522
40,48
(39,03 – 41,94)
30 – 56
40,75
(39,42 – 42,09)
30 -55
0,272
0,786
Variabel
Umur Siswa
Mean
(IK 95%)
Min - Max
Indeks Massa Tubuh
Mean
(IK 95%)
Min - Max
Umur Ayah
Mean
(IK 95%)
Min - Max
Umur Ibu
Mean
(IK 95%)
Min - Max
Pada tabel 2 dapat dilihat rata-rata (mean)
umur siswa, umur ayah dan umur tidak perbedaan
(P>0,05), Sedangkan
Indeks Massa Tubuh ada
perbedaan yang bermakna mean yang obes dan tidak
obes (P<0,001), hal ini sesuai dengan cara pemilihan
sampel yang disetarakan jenis kelamin, usia dan kelas.
Citra Tubuh siswa SMP Lubuk Pakam
Distribusi variabel penelitian yaitu citra tubuh
tidak normal, sehingga untuk menentukan cut off
digunakan mean siswa yang tidak obes dengan
pembulatan ke desimal terdekat. Citra tubuh siswa
SMP yang obes dan tidak obes dapat dilihat pada tabel
3. Ketidakpuasan berbeda secara bermakna antara
siswa SMP yang obes dan tidak obes dengan nilai
p<0,001. Remaja yang tidak obes berhubungan dengan
kejadian ketidakpuasaan citra tubuhnya sebesar 2,42
kali.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa
ketidakpuasaan citra tubuh berbeda antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini juga ditemukan dalam penelitian ini
(tabel 4) ada perbedaan citra tubuh siswa Laki-laki dan
perempuan. Maka dilakukan stratifikasi menurut jenis
kelamin, siswa SMP laki-laki yang obes mempunyai
peluang tidak puas sebesar 8 kali. Sedangkan siswa
SMP Perempuan mempunyai peluang untuk tidak puas
lebih rendah dibanding laki-laki yaitu sebesar 5,7 kali.
OR1 dan OR2 berbeda, berarti ada interaksi statistic
dan efek modifier. Crude OR (2,42) berbeda dengan
OR “Mantel Haenszel” (6,7), maka jenis kelamin
adalah confounder citra tubuh siswa SMP
Tabel 3. Citra Tubuh Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes
Citra Tubuh Siswa SMP
Status siswa SMP
Tidak Puas *
Puas **
*
Obes
Tidak Obes
56 (42,4%)
81 (23,5%)
10 (7,6%)
35 (26,5%)
Jumlah
87 (65,9%)
45 (34,1%)
OR
p
2,42
<0,001
Tidak puas : Skor Citra Tubuh  54
Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54
**
Tabel 4. Citra Tubuh Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes menurut Jenis Kelamin
Citra Tubuh siswa SMP
OR
p
Jenis Kelamin
Tidak Puas **
Puas *
Laki-laki
Obes
24 (27,6%)
6 (13,3%)
8
<0,001
Tidak Obes
10 (11,5%)
20 (44,4%)
Perempuan
Obes
32 (36,8%)
4 (8,9%)
5,7
0,003
Tidak Obes
21 (24,1%)
15 (33,4%)
Jumlah 87 (100%)
45 (100%)
*
Tidak puas : Skor Citra Tubuh  54
**
Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54
102
OR MH
6,7
Pada tabel 7 dapat dilihat siswa SMP yang tidak
puas sebanyak 34,8% mempunyai aktifitas tinggi, hampir
tidak berbeda jumlahnya dengan siswa SMP yang tidak
puas mempunyai aktifitas normal yaitu sebanyak 31,1%.
Hasil uji kai kuadrat menunjukkan tidak ad hubungan yang
bermakna antara citra tubuh siswa SMP dengan aktifitas
fisik (P>0,05).
Pada tabel 8 terlihat siswa smp yang obes
tidak puas dengan citra tubuhnya sebanyak 53%
mempunyai aktifitas fisik tinggi dan ternyata 13,6%
siswa obes yang puas dengan citra tubuhnya
mempunyai aktifitas
fisik yang tinggi. Tidak ada
hubungan yang bermakna antara citra tubuh siswa smp
yang obes dengan aktifitas fisik, demikian juga citra
tubuh siswa smp yang tidak obes dengan aktifitas fisik.
Asupan energi tidak berbeda secara bermana
antara siswa SMP yang citra tubuhnya tidak puas dan
puas dengan nilai p=0,21 (tabel 9).
Pada tabel 10 terlihat siswa SMP yang obes
tidak puas dengan citra tubuhnya sebanyak 63,6%
mempunyai asupan energi ≥2711 Kkal dan 21,2%
asupan energinya <2711 Kkal. Tidak ada hubungan
yang bermakna antara citra tubuh siswa SMP yang obes
dan tidak obes dengan asupan energi.
Aktifitas Fisik siswa SMP kota Lubuk Pakam
Distribusi variable penelitian yaitu aktifitas
fisik tidak normal, sehingga untuk menentukan cut off
digunakan mean siswa yang tidak obes dengan
pembulatan ke desimal terdekat. Aktifitas fisik siswa
SMP yang obes dan tidak obes dapat dilihat pada tabel
5. Pada tabel 5 dapat dilihat, siswa SMP yang obes
punya peluang 3,7 kali untuk melakukan aktifitas berat
yang setara dengan 563 Kkal per hari. Dari hasil uji kai
kuadrat menunjukkan aktifitas fisik secara bermakna
berbeda antara siswa yang obes dan tidak obes.
Asupan Energi siswa SMP kota Lubuk Pakam
Distribusi variabel penelitian yaitu asupan
energi normal, maka seharusnya digunakan mean,
tetapi mean terlalu besar dibandingkan dengan
kecukupan rata-rata yang berlaku di Indonesia,
sehingga untuk menentukan cut off digunakan mean
siswa SMP yang tidak obes dengan pembulatan ke
desimal terdekat. Asupan energi siswa SMP yang obes
dan tidak obes dapat dilihat pada tabel 6. Asupan energi
berbeda secara bermana antara siswa SMP yang obes
dan tidak obes dengan nilai p=0,002. Siswa SMP yang
obes berhubungan dengan kejadian asupan energy
≥2711 Kkal sebesar 3,1 kali (tabel 6).
Tabel 5. Aktifitas Fisik Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes
Status siswa SMP
Obes
Tidak Obes
Jumlah
Aktifitas fisik Siswa SMP
Berat
Normal
44 (33,3%)
23 (17,4%)
67 (50,7%)
22 (16,7%)
43 (32,6%)
65 (49,3%)
OR
p
3,7
<0,001
Tabel 6. Asupan Energi Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes
Status siswa SMP
Obes
Tidak Obes
Jumlah
Asupan Energi Siswa SMP
≥2711 Kkal
<2711 Kkal
OR
p
50 (37,9%)
33 (25%)
83 (62,9%)
3,1
0,002
16 (12,1%)
33 (25%)
49 (37,1%)
Hubungan Citra Tubuh dengan Aktifitas Fisik dan Asupan Energi
Tabel 7. Hubungan Citra Tubuh Siswa SMP dengan Aktifitas Fisik
Citra Tubuh Siswa SMP
Tinggi
Tidak Puas*
46 (34,8%)
Puas**
21 (15,9%)
Jumlah
67 (50,7%)
*
Tidak puas : Skor Citra Tubuh  54
**
Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54
Aktifitas Fisik
Normal
41 (31,1%)
24 (18,2%)
65 (49,3%)
OR
1,28
p
0,499
103
Tabel 8. Hubungan Citra Tubuh Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes dengan Aktifitas Fisik
Aktifitas Fisik
Citra Tubuh Siswa SMP
Tinggi
OR
p
Normal
Obes:
 Tidak Puas*
 Puas**
Jumlah
35 (53%)
9 (13,6%)
44 (66,6%)
21 (31,8%)
1 (1,5%)
22 (33,3%)
0,19
0,146
Tidak Obes:
 Tidak Puas*
 Puas**
Jumlah
11 (16,7%)
12 (18,2%)
23 (34,9%)
20 (30,3%)
23 (34,8%)
43 (65,1%)
1,05
0,919
*
Tidak puas : Skor Citra Tubuh  54
Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54
**
Tabel 9. Hubungan Citra Tubuh Siswa SMP dengan Asupan Energi
Asupan Energi
≥2711 Kkal
<2711 Kkal
58 (43,9%)
29 (22%)
25 (18,9%)
20 (15,2%)
Citra Tubuh Siswa SMP
Tidak Puas*
Puas**
Jumlah
*
Tidak puas : Skor Citra Tubuh  54
**
Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54
83 (62,9%)
OR
p
1,6
0,21
49 (37,1%)
Tabel 10. Hubungan Citra Tubuh Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes dengan Asupan Energi
Citra Tubuh Siswa SMP
Obes:
 Tidak Puas*
 Puas**
Jumlah
Asupan Energi
≥2711 Kkal
<2711 Kkal
42 (63,6%)
8 (12,1%)
50 (75,8%)
Tidak Obes:
16 (24,2%)
 Tidak Puas*
17 (25,8%)
 Puas**
Jumlah
33 (50%)
*
Tidak puas : Skor Citra Tubuh  54
**
Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54
PEMBAHASAN
Penelitian di Malaysia akhir-akhir ini
menunjukkan prevalensi obes mencapai 13,8% pada
kelompok umur 10 tahun, di Cina kurang lebih 10% anak
sekolah mengalami obes, sedangkan di Jepang prevalensi
obes pada anak umur 6-14 tahun berkisar antara 5-11%
(Adiningsih, 2005). Di Yogyakarta diketahui bahwa 7,8%
di perkotaan dan 2% remaja di pedesaan mengalami
obesitas (Hadi, 2004). dan pada remaja SLTP di Surabaya
sebesar 8,5% (Adiningsih, 2002). Riskesdas 2007
menemukan prevalensi secara nasional (usia 15 tahun
keatas) BB lebih 8,8% dan obese 10,3%. Sedangkan
prevalensi untuk Sumatera Utara BB lebih 10,7% dan
obese 10,2%. Prevalensi obes pada penelitian ini yaitu
4,73% lebih rendah dibanding hasil penelitian lainnya,
104
OR
p
14 (21,2%)
2 (3%)
16 (24,2%)
0,75
0,734
15 (22,7%)
18 (27,3%)
33 (50%)
1,13
0,805
kecuali penelitian di Yogyakarta daerah pedesaan.
Sedangkan prevalensi overweight 7,76%. Tingginya
prevalensi overweight harus dicegah agar tidak berubah
menjadi obes.
Yang menjadi sampel dalam penelitian ini jumlah
sampel laki-laki dan perempuan hampir sama jumlahnya.
Demikian juga karakteristik sampel penelitian yaitu suku
siswa, umur siswa, suku ayah, umur ayah, pendidikan
ayah, suku ibu, umur ibu, pendidikan ibu, tidak ada
perbedaan (P>0,05).
Body image dissatisfaction (BID) atau
ketidaksukaan atas tubuh lebih sering dijumpai pada
orang yang obes di bandingkan dengan bukan obes,
dan lebih banyak terjadi pada perempuan obes
dibandingkan dengan laki-laki obes (Cash, Winstead &
Janda, 1986: Sarwer, Wadden & Foster, 1998 dalam
Matz et al., 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian ini
(tabel 4) lebih banyak siswa SMP yang obes yang tidak
puas dengan citra tubuhnya. Tetapi hasil penelitian ini
bertentangan dengan beberapa studi terdahulu yang
mengatakan bahwa remaja perempuan lebih tidak puas
terhadap tubuhnya dibanding remaja laki-laki. Pada
penelitian ini siswa SMP laki-laki punya peluang 8 kali
tidak puas sedangkan siswa SMP perempuan lebih
rendah yaitu 5,7 kali. Remaja perempuan mempunyai
kecenderungan untuk memilih tubuh yang langsing,
tetapi remaja laki-laki memilih tubuh yang yang
berotot. Christofer (2004) dari penelitiannya pada siswa
SMU di Yogyakarta menyatakan terdapat perbedaan
yang bermakna mengenai persepsi citra tubuh pada
siswa laki-laki dan siswa perempuan. Matz (2002)
menyatakan ada hubungan yang signifikan antara citra
tubuh dengan rasa percaya diri, ketidakpuasan citra
tubuh bisa diatur oleh rasa percaya diri. Artinya dalam
penelitian ini siswa SMP perempuan yang obes lebih
percaya diri disbanding siswa SMP laki-laki yang obes.
Disamping itu aktifitas fisik yang pada usia 11-14
tahun lebih dituntut untuk bergerak lincah dan aktif
seperti futsal, sepakbola dan basket, membuat mereka
menjadi obes dan overweight akan mempengaruhi
mereka untuk bergerak lincah dan gesit, dan mungkin
hal-hal inilah yang membuat mereka merasa kurang
percaya diri.
Duncan (2004) dari penelitiannya pada anak
sekolah usia 11-14 tahun menyatakan tidak ada
hubungan yang signifikan antara citra tubuh dan
aktifitas fisik. Dari penelitian ini diketahui siswa SMP
yang obes punya peluang 3,7 kali untuk melakukan
aktifitas berat yang setara dengan 563 Kkal per hari
(tabel 5). Dari hasil uji kai kuadrat menunjukkan ada
hubungan yang bermakna aktifitas siswa SMP yang
obes dan tidak obes. Tetapi tidak ada hubungan citra
tubuh siswa SMP dengan aktifitas fisik (tabel 7). Siswa
SMP yang obes tidak puas dengan citra tubuhnya
ternyata tidak membuat remja meningkatkan aktifitas
fisiknya. Kemungkinan hal ini disebabkan kemajuan
teknologi sekarang yang membuat siswa SMP lebih
banyak duduk bermain komputer, bermain game dan
bermain HP.
Perhatian
tentang
berat
badan
dan
ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh biasanya
berhubungan dengan keinginan untuk merubah
penampilan dengan cara membatasi pemasukan
makanan dan teknik-teknik diet lainnya. Dari penelitian
ini diketahui asupan energi berbeda secara bermana
antara siswa SMP yang obes dan tidak obes dengan
nilai p=0,002. Siswa SMP yang obes berhubungan
dengan kejadian asupan energi ≥2711 Kkal sebesar 3,1
kali (tabel 6). Pada tabel 9 terlihat siswa SMP yang
obes tidak puas dengan citra tubuhnya sebanyak 63,6%
mempunyai asupan energi ≥2711 Kkal dan hanya
21,2% asupan energinya <2711 Kkal. Artinya siswa
SMP yang obes yang tidak puas dengan citra tubuh
tidak melakukan usaha mengurangi makanan atau diet,
tetapi malah punya kecenderungan yang lebih besar
untuk konsumsi makanan yang lebih banyak. Hal ini
dimungkinkan juga bahwa siswa SMP tersebut
mempunyai pengetahuan yang cukup bagaimana dan
faktor apa yang bisa membuat tubuh bisa menjadi lebih
kurus. Sedangkan bila dilihat dari tingkat seluler bahwa
kecenderungan anak obes pada awalnya akan
mempengaruhi hormone leptin yang merupakan
regulator terpenting dalam keseimbangan energy tubuh.
Mutasi gen-gen penyandi leptin dan sinyal transduksi
tersebut akan mempengaruhi pengendali asupan
makanan dan menjurus ke timbulnya obesitas (Indra,
M.R).
KESIMPULAN DAN SARAN
Prevalensi obes siswa SMP Lubuk Pakam lebih
rendah dibanding beberapa penelitian lain. Aktifitas fisik
dan asupan energi berbeda secara bermakna antara siswa
yang obes dan tidak obes. Tidak ada hubungan
ketidakpuasaan citra tubuh siswa SMP dengan aktifitas
fisik dan asupan energi. Tidak puas dengan citra tubuhnya
ternyata tidak membuat remja meningkatkan aktifitas fisik
dan mengurangi asupan energinya (makan).
Berdasarkan
kesimpulan
tersebut
maka
disarankan, perlu pemberian motivasi kepada siswa obes
yang tidak puas dengan citra tubuhnya agar meningkatkan
aktifitas fisiknya dan mengurangi asupan energi (konsumsi
makanan). Pemberian motivasi bisa melalui guru-guru
sekolah atau orangtua. Berbagai pilihan aktifitas berat perlu
disosialisasikan pada remaja obes agar dapat
menyesuaikan kegiatan belajar dan kesempatan melakukan
aktifitas berat. Bila dimungkinkan pendirian Centra Mitra
Remaja Sehat pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,
kerjasama Departemen Pendidikan dan Pengajaran dengan
Departemen Kesehatan. Di tempat tersebut remaja obes
bisa berkonsultasi dengan dokter, ahli gizi, instruktur
olahraga dan psikolog untuk membicarakan masalahmasalahnya, juga bisa saling berbagi dengan teman-teman
sebaya yang obes.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Sri, 2002. Ukuran Pertumbuhan dan
Status Gizi Remaja Awal. Dalam Prosiding
Kongres Nasional Persagi dan Temu Ilmiah XII,
Jakarta, Persagi.
_______________ , 2005. Indonesia Nutritional Patttern in
Cotributing Prevalence of Obesity.
Buku
Kumpulan Makalah Fourth Basic Molecular
Biology Course in Patophysiology of Obesity.
Burns. R.B. 1995. Konsep diri. Penerbit Arcan. Jakarta
Hadi, Harnan. 2004. Obesitas pada Remaja Sebagai
Ancaman Kesehatan Serius Dekade Mendatang.
Center For Health Nutrition. Fakultas Kedoteran
Universitas Gajah Mada, Seminar Obes Pada
Remaja, Yogjakarta. Sabtu, 11 September 2004.
Indra, M. Rasjad. 2005. Dasar Genetik Obesitas Visceral.
Buku Kumpulan Makalah Fourth Basic Molecular
Biology Course in Patophysiology of Obesity.
Gamayanti, Indria Laksmi. 2004. Aspek Psikologis
Obesitas Remaja.Center For Health Nutrition.
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada,
105
Seminar Pada Obesitas Remaja. Yogyakarta. Sabtu
11 September 2004.
Gill, T.P.,1999. The Global Epidemic of Obesity. Am J.
Clin Nutr 8 (1), 75-81.
Mahdiah, (2004). Prevalensi Obesitas dan Hubungan
Konsumsi Fast Food Dengan Kejadian Obesitas
Pada Remaja SLTP Kota dan Desa di Daerah
Istimewa
Yogyakarta.
Tesis.
Yogyakarta.
Universitas Gajah Mada.
Metcalf P.A., Scragg R.K.R., Willoughby P., Finau S.,
Tipene L. , 2000. Ethnic Differences in Perceptions
of Body Size in Middle-aged European, Maori, and
Pasicific People Living in New Zealand. Int J Obes
, 24, 593-599.
Sjarif, D.R.,2003. Child Hood Obesity: Evaluation and
Management Naskah Lengkap National Obesity
Symposium II, Perkeni, DNC, Surabaya.
Rahayuniningsih, Sri, Purwati Susi, Salimar. 2000. Menu
Untuk Penderita Kegemukan. Bogor.
106
Septiyadi,Egy.2004.Terapi obesitas dengan diet.Restu
Agung. Jakarta Sjarif DR. Obesity in Child Hoods.
Pathogenesis
and
Management.
Pada
Tjokroprawiro A, hendromartono, Ari S, Hans T,
Agung P, Sri M, editors. Naska lengkap National
Obesity Symposium II, 20-21 Juni 2003: Surabaya.
Perkeni, DNC. P. 155-170.
Tarigan, Novriani, Hamam Hadi, Madarina Julia.
2005. Persepsi Citra Tubuh
Dan Kendala
Untuk Menurunkan Berat Badan Pada Remaja
Di Kota Yogjakarta dan Kabupaten Bantul.
Jurnal Gizi Klinik
Indonesia, Vol 2 No.1.
Program Studi Ilmu Gizi Kesehatan, FK UGM
Yogyakarta.
Wirawan, E. Henny. M. Hum, Psi. 2004. Hubungan
antara Obesitas Dengan Harga Diri ( Selfesstem) Pada Remaja Putri. Jakarta.
UNDANGAN MENULIS DI JURNAL POLTEKKES MEDAN
Redaktur Jurnal Poltekkes Medan mengundang para pembaca untuk menulis di jurnal ini. Tulisan ilmiah yang
dimuat adalah berupa hasil penelitian atau pemikiran konseptual dalam lingkup kesehatan.
Persyaratan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Tulisan adalah naskah asli yang belum pernah dipublikasikan.
2. Tulisan disertai abstrak, ditulis satu spasi dengan bahasa Indonesia, maksimal 200 kata.
3. Kata kunci (keywords) minimal dua kata, ditulis di bawah abstrak.
4. Setiap naskah memiliki sistematika sub judul pendahuluan, diikuti oleh beberapa sub judul lain dan
berakhir dengan sub judul penutup atau simpulan.
5. Naskah diketik rapi dua spasi dalam bahasa Indonesia atau Inggris, font: Times New Roman, size: 12,
format: A4 justify.
6. Panjang naskah minimal delapan dan maksimal 18 halaman, termasuk rujukan.
7. Sistem rujukan adalah yang lazim digunakan dalam tulisan ilmiah, dengan konsistensinya.
8. Sumber rujukan/kutipan dimasukkan dalam tulisan (tanpa footnote)
9. Tulisan dikirim dalam CD, disertai print out-nya satu eksemplar, atau dikirim lewat E-mail.
10. Redaktur berhak mengedit dengan tidak merubah isi dan maksud tulisan.
11. Redaksi memberikan hasil cetak sebanyak satu eksemplar bagi penulis.
12. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan bila dalam pengirimannya disertakan perangko
pengembalian, atau diambil langsung dari redaktur.
107
Download