ISSN 1907-3046 JURNAL ILMIAH PANNMED (Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwifery, Environment, Dentist) VOL. 6, NO. 1, MEI – AGUSTUS 2011 TERBIT TIGA KALI SETAHUN (PERIODE JANUARI, MEI, SEPTEMBER) Penanggung Jawab: Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes. Redaktur: Riyanto Suprawihadi, SKM, M.Kes. Penyunting Editor: Drg. Ngena Ria, M.Kes. Nelson Tanjung, SKM, M.Kes Desain Grafis & Fotografer: Yusrawati Hasibuan, SKM, M.Kes. Dra. Safrida, MS Hamdan Syah Alam, S.Kom. Sekretariat: Drg. Herlinawati Daulay, M.Kes. Sri Utami, SST, S.Pd, M.Kes. Mardan Ginting, S.Si, M.Kes. Rina Doriana Pasaribu, SKM Susi Adrianelly, SKM Alamat Redaksi: Jl. Let Jend Jamin Ginting KM 13.5 Kelurahan Laucih Kec. Medan Tuntungan Telp: 061-8368633 Fax: 061-8368644 DAFTAR ISI Editorial Analisis Faktor Penyebab Ketergantungan Pemakaian Narkoba Pada Penderita di Panti Rehabilitasi Sibolangit Tahun 2010 oleh Mardan Ginting, Zuraidah Nasution, Ngena Ria ........... 1–6 Perilaku Masyarakat (Pemilik Anjing) terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010 oleh Suprapto, Irma Erlina, Nelson Tanjung.......... 7–14 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidaklengkapan Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) Pada Ibu Hamil di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 oleh Rina Doriana Pasaribu ................................. 15–20 Pengetahuan dan Persepsi Bidan terhadap Stigma dan Diskriminasi pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kota Medan Tahun 2010 oleh Bebaskita br Ginting, Samsider Sitorus, Efendi Sianturi ............................................. 21–26 Analisa Jenis Leukosit Pada Penderita Tuberculosis Paru di Balai Laboratorium Kesehatan Medan oleh Azhar Johan dan Nelma .......................................................... 27–31 Gambaran Pola Pencarian Pelayanan Kesehatan Pada Masa Kehamilan, Persalinan dan Nifas Ibu Melahirkan di Kabupaten Simalungun Tahun 2010 oleh Yusliana Nainggolan, Dame Evalina Simangunsong, dan Risnawati Tanjung ....... 32–45 Faktor–Faktor yang Berhubungan Dalam Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010 oleh Susy Adrianelly Simaremare ....... 46–52 Pengaruh Perbaikan Postur Kerja Dalam Upaya Pencegahan Terjadinya Nyeri Punggung Bawah Pada Perawat di Instalasi Perawatan Intensif Dewasa RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2010 oleh Netty Panjaitan, Mariaty Silalahi, dan Ch. Ready Sitorus ....................................... 53–59 i Hubungan Antara Faktor Pengetahuan dan Sikap Pus terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi oleh Masrah dan Rosmayani Silitonga .................................. 60–64 Hubungan Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan yang Mengandung Sukrosa dengan OHI-S pada Siswa Siswi Kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010 oleh Netty Jojor Aritonang ..................................................... 65–68 Perbedaan Prevalensi Karies pada Murid Kelas III SDN 101816 Pancur Batu dengan SDN 060868 Krakatau Medan yang Memiliki UKGS Tahun 2011 oleh Rawati Siregar .................. 69–72 Hubungan Penggunaan Baby Walker dengan Kecepatan Bayi Berjalan di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010 oleh Elizawarda .................................................... 73–78 Gambaran Pengetahuan Remaja tentang Bahaya Perokok Pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 oleh Fatmasari dan Ismajadi ....................... 79–83 Pengaruh Promosi Kesehatan tentang Bahaya Merokok oleh Peer Educator terhadap Perubahan Perilaku Merokok pada Remaja oleh Marina br Karo, Makmur Jaya Meliala, dan Maju Sembiring.................................... 84–87 Efektivitas Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Membunuh Nyamuk Culex oleh Haesti Sembiring .................................. 88–94 Efek Ekstrak Herba Pegagan (Centellae herba) Terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli oleh Nelson Tanjung ................................... 95-98 Hubungan Citra Tubuh dengan Aktifitas Fisik dan Asupan Energi Siswa SMP yang obes dan tidak Obes di Kota Lubuk Pakam oleh Ginta Siahaan, Novriani Tarigan, Harifin Togap Sinaga ..... 99-106 PENGANTAR REDAKSI Jurnal PANNMED merupakan salah satu wadah untuk menampung hasil penelitian Dosen Politeknik Kemenkes Medan. Jurnal PANNMED Edisi Mei – Agustus 2011 Vol. 6 No. 1 yang terbit kali ini menerbitkan sebanyak 17 Judul Penelitian. Redaksi mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Direktur atas supportnya sehingga Jurnal ini dapat terbit 2. Dosen-dosen yang telah mengirimkan tulisan hasil penelitiannya dan semoga dengan terbitnya jurnal ini dapat memberi semangat kepada dosen yang lain untuk berkreasi menulis hasil penelitian sehingga bisa diterbitkan ke Jurnal Pannmed ini. Akhir kata, kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar jurnal ini dapat menjadi jurnal yang berkualitas seperti harapan kita bersama. Redaksi ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KETERGANTUNGAN PEMAKAIAN NARKOBA PADA PENDERITA DI PANTI REHABILITASI SIBOLANGIT TAHUN 2010 Mardan Ginting, Zuraidah Nasution, Ngena Ria Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Abstrak Penggunaan Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lain (NAPZA) atau yang lebih dikenal dengan istilah NARKOBA (Narkotika dan Obat-obat berbahaya) kini semakin menjadi dilema dan telah mencapai proporsi yang meresahkan. Pemakaian Narkoba telah menyentuh semua elemen masyarakat, yang paling mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa kalangan pelajar maupun mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa telah menjadi korban ketergantungan Narkoba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab ketergantungan pemakaian Narkoba pada penderita di Panti Rehabilitasi. Metodologi penelitian menggunakan rancangan cross sectional untuk mengetahui faktor penyebab ketergantungan pemakaian Narkoba pada penderita dilakukan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner sebagai panduan wawancara. Teknik pengambilan sampel dengan total sampling yang dilakukan pada seluruh penderita di Panti Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit yang dapat dan telah diperbolehkan untuk dilakukan wawancara berjumlah 39 orang. Dari hasil penelitian karakteristik pengguna narkoba yang mengikuti program rehabilitasi persentase tertinggi pada kelompok umur 22-38 tahun yaitu 76.9%. Persentase pendidikan responden lebih banyak dengan pendidikan perguruan tinggi (23.1%) dan pekerjaan terutama pelajar/ mahasiswa (33.3%). Faktor-faktor penyebab ketergantungan narkoba yang paling dominan adalah : faktor individu, terutama seluruh responden mempunyai kebiasaan merokok (100%), faktor keluarga, terutama disebabkan karena responden selalu memiliki uang yang lebih/ banyak (92.3%) dan selalu terjadi konflik dalam keluarga (82.1%), faktor teman/ lingkungan, terutama karena diajak/ dirayu oleh teman (66.7%), faktor ketidaktahuan, terutama karena coba-coba (82.1%) dan untuk mendapatkan perasaan tenang dan gembira (82.1%). Penyalahgunaan narkoba akan memberikan pengaruh yang dianggap menyenangkan bagi pemakai, namun hanyalah bersifat sementara karena kebutuhan menggunakan sulit dihentikan dan menimbulkan efek ketergantungan, bila tidak menggunakan akan menimbulkan penderitaan fisik maupun jiwa pemakai. Penyalahgunaan narkoba menimbulkan efek terhadap kesehatan dikarenakan narkoba memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat juga daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi sehingga bila seseorang sudah memulai menggunakan akan sulit untuk melepas dan menjadi ketergantungan. Kata kunci : Penyebab Ketergantungan, Pemakaian Narkoba PENDAHULUAN Penggunaan Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lain (NAPZA) atau yang lebih dikenal dengan istilah NARKOBA (Narkotika dan Obat-obat berbahaya) kini semakin menjadi dilema dan telah mencapai proporsi yang meresahkan. Pemakaian narkoba telah menyentuh semua elemen masyarakat, yang paling mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa kalangan pelajar maupun mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa telah menjadi korban ketergantungan narkoba. Tahun 1997, Indonesia sudah termasuk salah satu negara yang menjadi sasaran utama peredaran dan berada pada daftar negara-negara yang tingkat peredarannya sangat tinggi. Cepatnya peredaran narkoba, baik di dunia maupun di Indonesia sangat menggiurkan orang untuk terlibat menjadi pengedar karena dapat mendatangkan untung yang besar. Oleh karena itu gencarnya peredaran sangat sulit dibendung. Dalam jangka waktu 30 tahun, jumlah pemakai naik 150 kali lipat. Pada tahun 1970 jumlah pemakai Narkoba diperkirakan 130.000 orang dan pada akhir tahun 2000, jumlahnya menjadi lebih dari 2 juta orang. Pemakaian narkoba telah mempengaruhi pelbagai kelompok umur dan golongan penduduk. Banyak hal yang telah dilakukan dalam memerangi narkoba khususnya di Indonesia, namun peredaran dan korbannya semakin bertambah yang meliputi semua tahapan umur (anak, remaja, dewasa) dan meluas ke semua sektor lingkungan kehidupan (individu, keluarga, sekolah dan masyarakat), bahkan tidak mengenal tingkat sosio ekonomi, sehingga banyak menimbulkan implikasi yang tidak diinginkan di masyarakat seperti merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar, menurunkan produktivitas kerja yang menyebabkan karir hancur, ketidakmampuan membedakan hal yang baik atau 1 buruk, perilaku anti sosial, gangguan kesehatan secara fisik maupun mental, mempertinggi angka kriminalitas dan kecelakaan lalu lintas bahkan mengakibatkan kematian. Terjadinya perubahan gaya hidup yang didukung dengan semakin meluasnya perdagangan narkoba, memungkinkan seseorang terlibat ketergantungan narkoba. Ketergantungan ini merupakan kondisi yang diakibatkan karena penyalahgunaan pemakaian dengan dosis yang berlebihan. Setiap tanggal 26 Juni telah ditetapkan dan diperingati sebagai Hari Anti Narkoba Internasional dengan salah satu kegiatannya kampanye anti narkoba secala luas, tetapi khususnya di Indonesia jumlah pemakai terus meningkat. Fenomena penyalahgunaan narkoba bagaikan gunung es yang tampak di permukaan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak tampak. Menurut data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) jumlah pemakai narkoba di Indonesia tahun 2009 telah mencapai 3,6 juta orang yang diantaranya 1,1 juta orang adalah golongan pelajar. Untuk daearah Sumatera Utara diperoleh data bahwa 60% pemakai narkoba adalah usia sekolah 6-25 tahun. Penyalahgunaan narkoba setiap saat mengancam lewat rayuan, bujukan, ajakan maupun paksaan. Usaha untuk mengatasi permasalahan penyalahgunaan narkoba merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Jalur distribusi narkoba ke dan dari Indonesia memperlihatkan sebuah jaringan peredaran gelap yang semakin meluas. Peredaran bukan lagi sebagai daerah transit, tetapi sudah merupakan daerah tujuan dan produksi. Upaya pencegahan meluasnya pemakaian narkoba sudah menjadi target pemerintah. Beberapa langkah yang telah ditempuh untuk merangkul dan mencegah pemakaian telah dilakukan, mulai dari pedekatan individu/ kelompok pelajar dan mahasiswa, peningkatan peran orang tua dalam mengawasi perkembangan perilaku anak, peran sekolah/ guru yang mengontrol prestasi belajar dan kedisiplinan siswa, peran masyarakat, peran aparat penegak hukum/ kepolisian dan pihak lain yang dapat menyentuh berbagai kalangan yang memungkinkan dapat mencegah penyalahgunaan narkoba. Dari beberapa kepustakaan, pecandu narkoba memiliki berbagai alasan yang menjadi penyebab penyalahgunaan. Secara umum, situasi rumah dan kebersamaan yang kurang harmonis dalam keluarga ikut berpengaruh. Sebagai kompensasi, suasana rumah yang dianggap tidak menjadi tempat yang aman baginya, korban mencari kesenangan sendiri di luar rumah. Selain itu, pecandu juga mengaku terjebak narkoba karena faktor teman agar dapat diterima dalam lingkungan pergaulan. Secara sekilas, penyalahgunaan narkoba memang memberikan pengaruh yang menyenangkan bagi si pemakai. Namun, kesenangan itu hanya bersifat sesaat dan sementara. Seolah-olah hidup penuh kesenangan dan kebahagiaan, tetapi kenyataannya pemakai akan terjebak dalam ketergantungan dan sulit untuk menghentikannya dan menimbulkan penderitaan fisik maupun jiwa dan berpengaruh buruk bagi si pemakai dalam pendidikan/ pekerjaan, keluarga maupun masyarakat. 2 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Rancangan penelitian adalah survey rancangan cross sectional yang bersifat deskriptif untuk mendeskripsikan atau menggambarkan faktor penyebab ketergantungan pemakaian narkoba pada Penderita di Panti Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Tahun 2010. Populasi berjumlah 51 orang dengan sampel penelitian berjumlah 39 orang, dikarenakan beberapa penghuni panti rehabilitasi masih belum dapat diajak berkomunikasi secara normal dan belum diizinkan oleh pihak panti untuk ikut sebagai responden. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang diberikan kepada penghuni panti rehabilitasi. Hasil kuesioner yang telah diisi, dianalisis peneliti untuk mengetahui faktor-faktor penyebab ketergantungan narkoba, kemudian data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Karakteristik Penderita di Panti Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Tabel 1. Distribusi Karakteristik Penderita di Panti Rehabilitasi Sibolangit Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan 2. Umur - 17 – 21 tahun - 22 – 38 tahun - 39 – 53 tahun 3. Pendidikan - SD - SMP - SMU - Akademi - Perguruan Tinggi 4. Pekerjaan - Tidak bekerja - Pelajar/ Mahasiswa - Wiraswasta - Supir - Pegawai Negeri/ ABRI - Pegawai Swasta N (orang) Persentase (%) 39 0 100 0 3 30 6 7.7 76.9 15.4 5 4 4 2 9 12.9 10.3 10.3 5.1 23.1 4 13 11 1 4 6 10.3 33.3 28.2 2.6 10.3 15.3 Dari Tabel 1 Karakteristik pengguna narkoba yang mengikuti program rehabilitasi dilihat dari jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan. Pada penelitian ini seluruh responden dengan jenis kelamin laki-laki. Panti rehabilitasi Al Kamal pada mulanya memang menerima penderita dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, tetapi pada kenyataannya yang datang mengikuti program rehabilitasi seluruhnya jenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1990) diperoleh bahwa pengguna narkoba terutama adalah berjenis kelamin laki-laki (90%). Pada penelitian ini dari 39 orang responden, persentase tertinggi pada kelompok umur 22-38 tahun yaitu 76.9%. Persentase pendidikan responden lebih banyak dengan pendidikan perguruan tinggi (23.1%) dan pekerjaan terutama pelajar/ mahasiswa (33.3%). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pengguna narkoba lebih bervariasi dan telah meluas pada berbagai golongan usia, jenjang pendidikan dan pekerjaan, bahkan yang menjadi korban selain pejabat dan eksekutif juga dari Pegawai Negeri/ ABRI, wiraswasta dan terutama pada kalangan pelajar/ mahasiswa. Menurut Roesli Thaib (2003), dari 800.000-2.000.000 populasi Indonesia terutama masyarakat usia produktif telah terjerat oleh ketergantungan narkoba yang tersebar pada berbagai tingkat sosio ekonomi sehingga banyak menimbulkan implikasi negatif, antara lain kriminalitas, kerugian ekonomi dan pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan hasil penelitian Badan Koordinasi Narakoba Daerah (BKND) Jawa Barat, hampir 90% yang menjadi korban dan sasaran pengedar narkoba adalah remaja. Remaja memang rentan terhadap bujukan dan rayuan para pengedar narkoba. Sifat remaja yang dinamis, enerjik dan cenderung suka mengambil resiko, seringkali dimanfaatkan sehingga terjerumus tindakan kriminalitas. Gambaran Distribusi Pengalaman Penderita dalam Penyalahgunaan Narkoba Pada Tabel 2 terlihat pengguna narkoba yang mengikuti program rehabilitasi lebih banyak menyatakan bahwa relatif masih belum lama (kurang dari satu tahun) menggunakan narkoba yaitu 35.9%. Dari hasil penelitian, seluruh responden menyatakan bila menggunakan narkoba akan timbul perasaan bahagia dan bersemangat, demikian sebaliknya bila tidak mengkonsumsi narkoba akan merasa kelelahan, mual/ muntah, kedinginan/ menggigil, sakit kepala dan tidak bisa tidur. Dalam bidang kedokteran, jenis narkotika bila digunakan dengan baik dan benar dapat menyembuhkan banyak penyakit dan mengakhiri penderitaan pasien, seperti sebagai obat bius pada kasus pembedahan, obat bagi penderita gangguan jiwa maupun penderita stres, sebagai pereda rasa sakit dan masih banyak kasus yang lain. Pada kenyataannya saat ini pemakaian narkotika, psikotropika maupun bahan adiktif lainnya menjadi berkonotasi negatif dan disalahgunakan. Pemakaian narkoba jenis narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat dengan daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Dari ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pengguna narkoba sangat sulit untuk lepas dari ketergantungan. Tabel 2. Gambaran Distribusi Pengalaman Penderita dalam Penyalahgunaan Narkoba di Panti Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Pengalaman Penderita Panti Rehabilitasi Jumlah dan Persentase N Persentase (%) 1. Lama/ waktu telah menggunakan narkoba - < 1 tahun - 1 tahun - 1 – 5 tahun - 6 – 10 tahun - 11 – 15 tahun - 16 – 20 tahun - > 22 tahun 14 3 5 8 7 1 1 35.9 7.7 12.8 20.5 17.9 2.6 2.6 2. Hal yang dirasakan setelah menggunakan narkoba : gembira dan bersemangat 39 100 3. Hal yang dirasakan bila tidak menggunakan narkoba : kelelahan, mual/ muntah, kedinginan/ menggigil, sakit kepala, tidak bisa tidur 39 100 Faktor-faktor Penyebab Ketergantungan Pemakaian Narkoba Tabel 3. Faktor Individu sebagai Penyebab Ketergantungan Pemakaian Narkoba pada Penderita di Panti Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit No. Penyebab Ketergantungan Narkoba N Persentase 1. Mempunyai kebiasaan merokok 39 100 2. Mempunyai kebiasaan minum alkohol 23 59 3. Suka kebebasan 26 66.7 4. Suka mencari perhatian/ sensasi dengan orang lain 23 59 5. Mempunyai hubungan yang tidak harmonis (mempunyai masalah) 23 59 dengan orang lain 6. Selama mengikuti pendidikan (saat masih sekolah/ kuliah) selalu 30 76.9 berusaha mendapat nilai baik dan bersungguh-sungguh 7. Dalam melakukan pekerjaan/ kegiatan yang telah menjadi tanggung 31 79.5 jawab, selalu berusaha melakukannya dengan baik 8. Rajin beribadah 12 30.8 3 Dari Tabel 3 diperoleh hasil penelitian yang menunjukkan adanya profil karakter individu yang cenderung untuk menjadi pengguna narkoba yaitu mempunyai kebiasaan merokok, suka minum alkohol, suka kebebasan dan suka mencari sensasi/ perhatian orang lain dan memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan orang lain. Dari data dapat dilihat, seluruh penderita mempunyai kebiasaan merokok (100%). Menurut Subagyo Partodiharjo (2007) proses menjadi pecandu hanya bermula dari kebiasaan merokok. Rokok disebutkan sebagai jembatan emas menuju narkoba. Dari hasil penelitian diperoleh lebih dari separuh responden (59%) adalah peminum alkohol. Sebagian besar masyarakat tentunya telah memahami bahwa efek alkohol secara medis dapat menimbulkan dampak yang negatif. Efek alkohol selain menyebabkan ketagihan juga dapat menimbulkan gangguan fungsi berfikir, berperasaan dan berperilaku. Sifat adiktif alkohol tanpa disadari orang yang meminumnya akan menambah takaran/ dosis sampai pada dosis intoksikasi (mabuk). Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa setetes alkohol saja dalam minuman hukumnya sudah haram tetapi kenyataannya masih banyak juga terjebak dengan kebiasaan minum alkohol. Dari data juga terlihat bahwa 59% responden mempunyai hubungan yang tidak harmonis (bermasalah) dengan orang lain. Adanya hubungan (interaksi) dan masalah dengan orang lain tentunya akan menjadi beban bagi seseorang. Subagyo Partodiharjo (2007) menyatakan bahwa bila seseorang mempunyai hubungan yang tidak harmonis (masalah) dengan orang lain dapat menimbulkan rasa kesal dan kecewa yang pada akhirnya orang tersebut akan mencari pelampiasan. Dalam hal ini responden menyatakan dengan menggunakan narkoba dapat menyebabkan fikiran menjadi tenang dan timbul rasa damai. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa pengguna narkoba bervariasi, bukan saja berasal dari individu yang berantakan, tetapi juga pada individu yang kualitas tanggungjawab baik, terlihat bahwa lebih dari separuh responden berasal dari individu yang bersungguhsungguh dalam pendidikan maupun pekerjaan yang telah menjadi tanggungjawabnya. Dari hasil penelitian diperoleh hanya 30.8% responden menyatakan rajin beribadah. Moore (1990) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa orang yang tidak mempunyai komitmen agama akan beresiko 4 kali lebih besar terlibat dalam penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba. Demikian juga untuk rehabilitasi bagi penderita yang menggunakan narkoba, dari penelitian yang dilakukan Cancerellaro (1982) terapi keagamaan (bersandar pada Tuhan) membawa hasil yang jauh lebih baik dari pada terapi medik-psikiatrik. Pada Tabel 4 terlihat lebih dari separuh responden mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua/ keluarga. Lingkungan keluarga yang tidak baik menempati urutan pertama sebagai penyebab anak terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Latar belakang keluarga yang tidak kondusif yaitu tidak adanya interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga menjadi alasan anak untuk mencari kompensasi ketenangan di luar rumah dengan melakukan hal-hal yang negatif termasuk menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Hawari (2009) menyatakan bahwa adanya hubungan/ komunikasi yang buruk antara anak dengan orang tua dapat disebabkan karena orang tua/ keluarga yang terlalu sibuk sehingga akan menimbulkan kesalahpahaman. Kurangnya rasa kasih sayang akibat kesibukan orang tua/ keluarga dengan pekerjaan maupun kegiatannya masing-masing menjadi peluang seseorang mencari pelarian dengan cara menggunakan narkoba. Selain itu orang tua juga sering berpendapat dengan memberikan uang yang lebih sudah dianggap memberi perhatian, padahal karena diketahui anak/ seseorang yang mempunyai uang lebih akan menjadi incaran pengedar narkoba yang memungkinkan untuk menjadi konsumen/ pemakai tetap. Menurut Nugroho Djajoesman (1999), konflik horizontal dalam keluarga terjadi karena orang tua yang kurang bijaksana dalam menghadapi anak sehingga anak merasa kurang mendapat perhatian, merasa tidak dihargai dan disudutkan. Konflik dalam keluarga dapat mendorong anggota keluarga merasa frustrasi sehingga terjebak memilih narkoba sebagai solusi. Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa ada 25.9% responden menggunakan narkoba didorong karena meniru anggota keluarga yang telah lebih dahulu menggunakan. Menurut Anggadewi Moesono (2003), resiko menjadi pengguna narkoba terutama adalah karena modelling atau mencontoh orang tua atau anggota keluarga yang menggunakan narkoba. Erwin Pohe (2002) menyatakan untuk mencegah bahaya narkoba dimulai dengan hidup dalam kedamaian yang harmonis serta membangun kerohanian dalam keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan seorang anak untuk dapat tumbuh secara benar dan sesuai dengan ajaran agama. Tabel 4. Faktor Keluarga sebagai Penyebab Ketergantungan Pemakaian Narkoba pada Penderita di Panti Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit No. Penyebab Ketergantungan Narkoba N Persentase 1. Kurang mendapat perhatian/ kasih sayang dari orang tua/ anggota keluarga 29 74.4 2. Merasa tidak dihargai/ selalu dianggap salah di keluarga 27 69.2 3. Sikap orang tua/ anggota keluarga selalu menekan dan menyudutkan 21 53.8 4. Dalam keluarga (orang tua/ keluarga) selalu sibuk. 31 79.5 5. Sering terjadi konflik/ pertengkaran dalam keluarga 32 82.1 6. Selalu memiliki uang dalam jumlah yang lebih/ banyak 36 92.3 7. Komunikasi antar anggota keluarga baik 8 20.5 8. Ada anggota keluarga yang menggunakan narkoba 10 25.6 4 Tabel 5. Faktor Teman/ Lingkungan Pergaulan sebagai Penyebab Ketergantungan Pemakaian Narkoba pada Penderita di Panti Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Penyebab Ketergantungan Narkoba N Persentase Menggunakan narkoba diajak/ dibujuk rayu teman Menggunakan narkoba karena meniru teman Menggunakan narkoba agar dapat diterima dalam kelompok pergaulan Menggunakan narkoba karena rasa setiakawan/ senasib sepenanggungan Menggunakan narkoba karena ingin dianggap lebih hebat/ lebih dewasa dibanding teman Menggunakan narkoba karena dipaksa teman/ dengan ancaman Menggunakan narkoba diawali karena dijebak teman (melalui makanan/ minuman, permen, dll yang mengandung narkoba) Memakai narkoba karena mudah mendapatkannya 26 20 22 21 11 66.7 51.3 56.4 53.8 28.2 6 11 15.4 28.2 25 64.1 Pada Tabel 5 terlihat lebih dari separuh responden menggunakan narkoba karena diajak/ dibujuk teman, meniru teman, agar diterima dalam kelompok pergaulan dan karena rasa kesetiakawanan/ senasib sepenanggungan. Joan Rais (1983) menyatakan adanya kondisi lingkungan global merupakan hal yang tersulit dalam daur kehidupan. Menurut Anggadewi Moesono (2003), faktor teman merupakan predictor yang paling kuat bagi pengguna narkoba. Seseorang akan mudah tergelincir pada kegagalan hidup, bila berada pada lingkungan pergaulan yang negatif. Terutama pada kaum remaja, rentannya kondisi kepribadian dan emosi yang labil sangat berpotensi untuk mudah dipengaruhi oleh orang lain. Banyaknya jumlah pengguna narkoba di kalangan remaja Indonesia perlu ditangani secara serius oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menghindari The Lost Generation (generasi yang hilang). Sejak tahun1980 Presiden Reagen di Amerika Serikat telah menciptakan strategi penangkalan secara intensif dengan kampanye Just Say No. Reagen menyatakan dengan menciptakan suatu norma menentang pengguna narkoba merupakan salah satu cara yang jitu untuk mencegah meluasnya penyalahgunaan narkoba. Dari hasil penelitian, 64.1% responden menyatakan memakai narkoba karena mudah mendapatkannya. Dalam kenyataanya sindikat pengedar narkoba memiliki strategi marketing yang berkembang dari waktu ke waktu. Saat ini setiap pelosok negeri telah terjamah oleh para pengedar sehingga jumlah pemakai terus bertambah. Pada Tabel 5 diketahui 82.1% menggunakan narkoba diawali karena faktor ketidaktahuan sehingga ingin coba-coba. Kalau narkoba berakibat buruk, mengapa penggunanya terus meningkat? Juga, kalau narkoba berbahaya mengapa orang tidak takut mengonsumsinya? Responden menyatakan sebelumnya belum memahami dampak negatif yang ditimbulkan akibat pemakaian. Dasar dari seluruh alasan penyebab penyalahgunaan narkoba adalah ketidaktahuan. Ketidaktahuan tersebut dimungkinkan akibat sosialisasi tentang penggunaan narkoba yang belum tersebar secara meluas. Menurut Nugroho Djajoesman (1999) motif ingin tahu mengakibatkan seseorang mencoba sesuatau yang belum atau kurang diketahui dampak negatifnya. Responden menyatakan menggunakan narkoba karena ingin mengetahui rasa dan membuktikan kenikmatannya (71.8%), mendapatkan perasaan tenang dan gembira (82.1%), mempunyai semangat dan enerjik (69.2%) dan ingin tampil prima dan percaya diri (51.3%). Responden menyatakan sebelumnya tidak mengetahui kenikmatan yang diperoleh dari menggunakan narkoba hanya kenikmatan sesaat dan menimbulkan khayalan yang membuat orang terbelenggu dalam keinginan untuk terus merasakan kenikmatan dan akhirnya tidak dapat terlepas dari ketagihan. Selain itu sebagian besar dari responden (69.2%) beralasan menggunakan narkoba karena ingin menghilangkan stres/ frustrasi/ tekanan batin, untuk menghalau rasa sakit pada anggota tubuh (51.3%) dan dianggap sebagai cara mudah melangsingkan tubuh (20.5%). Pengedar narkoba sangat pandai memasarkan narkoba. Bujukan dengan menawarkan narkoba sebagai food supplement dan pil sehat menyebabkan orang tergiur untuk menggunakannya. Penyalahgunaan narkoba bagi kalangan tertentu terutama para artis maupun ibu rumah tangga yang berbadan gemuk narkoba digunakan untuk melangsingkan tubuh. Penggunaan narkoba pada umumnya dapat menghilangkan nafsu makan, sekaligus karena lebih bersemangat dan menambah aktivitas fisik sehingga dapat menurunkan berat badan, dalam hal ini pemakai memikirkan efek yang ditimbulkan. KESIMPULAN 1. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa faktor-faktor penyebab ketergantungan narkoba yang paling dominan adalah : - Faktor Individu, terutama seluruh responden mempunyai kebiasaan merokok (100%) - Faktor Keluarga, terutama disebabkan karena responden selalu memiliki uang yang lebih/ banyak (92.3%) dan selalu terjadi konflik dalam keluarga (82.1%). - Faktor Teman/ lingkungan, terutama karena diajak/ dirayu oleh teman (66.7%) - Faktor Ketidaktahuan, terutama karena coba-coba (82.1%) dan untuk mendapatkan perasaan tenang dan gembira (82.1%). 2. Penyalahgunaan narkoba akan memberikan pengaruh yang dianggap menyenangkan bagi pemakai, namun 5 kesenangan itu hanyalah bersifat sementara karena kebutuhan menggunakan sulit dihentikan dan menimbulkan efek ketergantungan; bila tidak menggunakan akan menimbulkan penderitaan fisik maupun jiwa pemakai. 3. Untuk mencegah penyebaran dan peningkatan jumlah pengguna narkoba dibutuhkan peran serta seluruh lapisan, yang dimulai dari diri sendiri, orang tua, lingkungan sekolah, aparat pemerintah, tokoh masyarakat dan pemuka agama. 4. Penyalahgunaan narkoba menimbulkan efek buruk terhadap kesehatan seseorang dikarenakan narkoba memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat juga daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi sehingga bila seseorang sudah memulai menggunakan akan sulit untuk melepas dan menjadi ketergantungan. Satu-satunya cara agar tidak terjerumus dalam narkoba adalah dengan cara jangan pernah mencoba menggunakan narkoba. pengawasan terhadap siswa dengan melaksanakan peraturan dan tata tertib sekolah secara konsisten. Guru diharapkan selain mendidik juga mengamati dan mengawasi perilaku, prestasi dan perkembangan siswa agar siswa tidak terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. 4. Bagi masyarakat, diharapkan peranannya dalam mencegah meluasnya penggunaan narkoba dengan melaporkan ke pihak barwajib bila dilingkungannya diketahui terjadi penyalahgunaan narkoba. Tokoh masyarakat/ organisasi pemuda sedapat mungkin merangkul pemuda/ remaja untuk melakukan kegiatankegiatan yang positif. 5. Untuk keluarga yang anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba dituntut kerjasamanya untuk bisa menerima keberadaan penderita narkoba dan mendukung upaya kesembuhan dari ketergantungan melalui rehabilitasi. KEPUSTAKAAN SARAN 1. Agar para orang tua senantiasa mengawasi perkembangan perilaku anak dan meningkatkan komunikasi, perhatian juga kasih sayang dengan menciptakan hubungan yang harmonis dalam keluarga, terlebih lagi orang tua hendaknya mengajak dan mendidik anak untuk menguatkan spiritual keagamaan. 2. Kepada pemerintah a. Agar dapat memutus mata rantai jaringan dan peredaran narkoba agar tidak semakain meluas korban yang terkena. Hendaknya lebih ditingkatkan pengawasan terhadap tempat-tempat yang memungkinkan dilakukannya transaksi jual beli narkoba. b. Hendaknya pemerintah lebih memfasilitasi upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba melalui kegiatan promotif dan pereventif dengan melakukan pelatihan, dialog interaktif, kampanye anti narkoba maupun penyuluhan tentang pengenalan terhadap masalah narkoba pada kelompok masyarakat agar masyarakat mengetahui seluk beluk narkoba sehingga tidak tertarik untuk menggunakannya. 3. Peran sekolah sangat mendukung pencegahan penyalahgunaan narkoba. Sangat diharapkan 6 Hadiman. 2003. Peran Lingkungan Pendidikan dan Masyarakat dalam Pencegahan Bahaya Madat. FK UI. Jakarta Hawari, Dadang. 2003. Terapi Psikoreligius Pada Penderita NAZA.FK UI Jakarta ________, 2009. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA. Edisi Kedua. FK UI. Jakarta Hikmat, Mahi. 2007. Awas Narkoba, Para Remaja Waspadalah. PT. Grafitri Bandung Moesono, Anggadewi. 2003. Peran Keluarga dan Masyarakat sebagai Penangkal Penyalahgunaan Narkoba. FK UI. Jakarta Partodiharjo, Subagyo. 2007. Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya. PT. Gelora Aksara Pratama. Jakarta Sarwono. 2003. Psikologi Remaja. PT Raja Grapindo. Jakarta Sofyan S.2005. Remaja dan Masalahnya. Alfabeta. Bandung Sudirman. 2003. Rehabilitasi Klinik Korban Penyalahgunaan NAPZA. FK UI. Jakarta Visimedia. 2006. Rehabilitasi bagi Korban Narkoba. Praninta Offset. Jakarta PERILAKU MASYARAKAT (PEMILIK ANJING) TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI KECAMATAN TUNTUNGAN KOTA MEDAN TAHUN 2010 Suprapto, Irma Erlina, Nelson Tanjung Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Rabies adalah termasuk salah satu jenis penyakit yang berbahaya dan mematikan. Selama ini sudah banyak orang dewasa dan anak-anak yang meninggal terkena virus rabies akibat digigit binatang piaraan. Binatang yang sering menjadi penyebab penular penyakit rabies ( HPR ) adalah anjing. Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2008 kasus penyakit rabies tertinggi di Kecamatan Medan Tuntungan sebanyak 63 kasus. Jenis penelitian ini adalah penelitian diskriptif (Survey) dengan Cross Sectional Research. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, Sikap dan Tindakan masyarakat (pemilik anjing) terhadap pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemilik anjing di Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2010 sebanyak 156 kepala keluarga; sampel diambil sebanyak 40 % dari populasi yaitu 63 kepala keluarga (diambil secara acak random sampling sederhana). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Questioner dan observasi. Pengolahan data dilakukan dengan cara teknik manual, data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi. Analisa data dilakukan secara deskriptif. Hasil dari penelitian ini diperoleh perilaku, tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat (pemilik anjing) adalah buruk terhadap pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan tahun 2010. Disarankan perlu penelitian lanjutan untuk wilayah Kota/Kabupaten yang tinggi kasus gigitan hewan penular Rabies (HPR), Perlu Petugas Puskesmas dan Dinas Peternakan Kecamatan bekerja sama melakukan penyuluhan tentang penyakit Rabies dan pencegahannya sekali sebulan, Pihak Kelurahan harus menginformasikan kepada pemilik anjing agar setiap tahun memvaksinasi rabies anjing peliharaannya ke Dinas Peternakan/ Dokter hewan Kata kunci: Rabies, Pencegahan A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Kasus Rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Esser pada tahun 1884 pada seekor kerbau, kemudian oleh Penning tahun 1889 pada seekor anjing, sedangka kasus pada manusia dilaporkan oleh E.V. de Han tahun 1894 semua kasus ini terjadi di Provinsi Jawa Barat. Selama pendudukan Jepang situasi daerah tertular tidak diketahui, namun setelah Perang Dunia II peta Rabies di Indonesia berubah. Secara kronologis tahun kejadian penyakit Rabies berturut-turut terjadi di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1959), DI. Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (1979), Kalimantan Selatan (1983) dan Flores (1998). (Departemen Pertanian, 1982). Masalah penyakit rabies di daerah Propinsi Sumatera Utara dari tahun ketahun sampai tahun 2007 ditemukan 1.936 kasus gigitan dimana 1.456 kasus diberikan VAR (virus anti rabies) dan 5 kasus dinyatakan positif. Kelima kasus tersebut ditemukan di Kabupaten Deli Serdang, Simalungun, Tapanuli Utara masing-masing 1 kasus dan Kabupaten Dairi sebanyak 2 kasus. Bila dibandingkan dengan tahun 2006, kasus gigitan anjing di Sumatera Utara ini sudah ada penurunan, namun jika diteruskan dengan melihat data pada tahun 2008 terjadi kenaikan lagi jumlah gigitan anjing sebanyak 2.634 kasus, 2.040 kasus telah diberikan VAR dan 7 kasus dinyatakan positif. Dari 7 kasus tersebut ditemukan semuanya di Kota Medan, lalu bila dilihat pada data tahun 2009, terhitung sampai bulan September tercatat ada 1.660 kasus gigitan anjing dan 1.117 kasus telah diberikan VAR dan 26 kasus dinyatakan positif, dari 26 kasus tersebut 11 kasus berasal dari kota Medan dan 5 kasus dari Kabupaten Samosir dan 1 kasus dari Kabupaten Langkat ( Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2009). Menurut laporan Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2008 kasus penyakit rabies tertinggi di Kecamatan Medan Tuntungan sebanyak 63 kasus, di Kecamatan Amplas sebanyak 45 kasus dan Kecamatan Hevetia sebanyak 40 kasus. Peningkatan kasus penyakit rabies kalau ditelusuri memang dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain adanya peningkatan jumlah populasi anjing, masih rendahnya kesadaran para pemiliknya untuk 7 menjaga kesehatan hewan piaraannya dan belum terbinanya system kewaspadaan penyakit rabies di wilayah kecamatan. Untuk mengantisipasi berkembangnya penyakit rabies ini, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam rangka untuk meningkatkan peran serta aktif masyarakat untuk pencegahan dan penanggulangan penyakit rabies. Berdasarkan latar belakang ini maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “ Perilaku masyarakat ( pemilik anjing ) terhadap pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010 “ 2. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang temui pada bab pendahuluan, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : ” Bagaimana Perilaku Masyarakat (pemilik anjing) terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010 ” 3. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Untuk mengetahui Perilaku Masyarakat (pemilik anjing) terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010. b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pemilik anjing terhadap Pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010. 2. Untuk mengetahui tingkat sikap masyarakat pemilik anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010. 3. Untuk mengetahui tingkat tindakan masyarakat pemilik anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010. 4. Manfaat penelitian a. Bagi Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan Kota Medan atau instansi terkait, penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk menyusun langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan Rabies. b. Bagi masyarakat khususnya pemilik anjing dapat mengetahui dan melaksanakan cara-cara pencegahan dan penanggulangan penyakit Rabies. c. Bagi pembaca untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit Rabies, dan caracara pencegahan dan penanggulangannya. B. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat Survei ( Diskriptif ) yaitu hanya melihat gambaran perilaku masyarakat (pemilik 8 anjing) terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010. 2. Desain Penelitian Adapun desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cross Sectional yaitu hanya meneliti/melihat keadaan pada saat dilakukan penyebaran Questioner di lokasi penelitian. 3. Populasi dan Sampel a.. Populasi dalam penelitian ini adalah : seluruh kepala keluarga yang memelihara anjing berdomisili di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2010 sebanyak 157 kepala keluarga. b. Sampel dalam penelitian diambil sebanyak 63 orang kepala keluarga pemilik anjing (40 % dari populasi) (Arikunto,S, 2002). Penentuan sampel menggunakan cara simple random sampling dengan pembagian proporsional berdasarkan data kasus gigitan anjing (laporan Dinkes Kota Medan Tahun 2009) di Kecamatan Medan Tuntungan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Kel. Simpang Selayang : 13 KK Kel. Kemenangan Tani : 10 KK Kel. Tanjung Selamet : 10 KK Kel. Mangga : 20 KK Kel. Simalingkar B : 10 KK ----------------------------------------------------Total : 63 KK. 4. Analisa data Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara manual. Penyajian data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan analisis data dilakukan dengan cara diskriptif dengan menggunakan teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan yang ditemukan. . 5. Kerangka Konsep Variabelbebas Variabel terikat Perilaku Masy. (Pemilik-Anjing) - Pengetahuan - Sikap - Tindakan Pencegahan Penyakit Rabies 6. Definisi Operasional a. Perilaku masyarakat (pemililik anjing)adalah gambaran pengetahuan,sikap dan tindakan pemilik anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies. b. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui kepala keluarga pemilik anjing terhadap Penyakit Rabies dan Pencegahaan penyakit Rabies. c. Sikap adalah respon atau tanggapan kepala keluarga pemilik anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies. d. Tindakan adalah upaya yang dilakukan kepala keluarga pemilik anjing dalam memelihara, mengandangkan, memberi makan, memvaksinasi, menjaga kebersihan anjing dan mencegah penularan Rabies dari anjing yang dipelihara. e. Pencegahan penyakit Rabies adalah segala tindakan yang dilakukan kepala keluarga pemilik anjing untuk mencegah terjadinya gigitan anjing peliharaan terhadap penularan penyakit Rabies kepada manusia. 7. Aspek Pengukuran : a. Untuk menilai Pengetahuan. 1. Tingkat Pengetahuan Baik jika mendapat total nilai skor : >75% -100% 2. Tingkat Pengetahuan Sedang jika mendapat total nilai skor : 60 % - 75 % 3. Tingkat Pengetahuan Buruk jika men dapat total nilai skor : < 60 % Cara menilai jawaban aspek pengetahuan adalah sebagai berikut : Jumlah pertanyaan ada sebanyak 10 (sepuluh ) soal dengan 4 option jawaban (a, b, c dan d) Jika menjawab a diberi nilai = 1 Jika menjawab b diberi nilai = 2 Jika menjawab c diberi nilai = 3 Jika menjawab d diberi nilai = 0 b. Untuk menilai Sikap. 1. Sikap Baik jika mendapat total nilai skor : >75% - 100% 2. Sikap Sedang mendapat total nilai skor : 60 % - 75 % 3. Sikap Buruk jika mendapat total nilai skor : < 60 % Cara menilai jawaban aspek Sikap adalah sebagai berikut : Jumlah pertanyaan ada sebanyak 10 (sepuluh) soal dengan 4 pilihan jawaban (TS, KS, S dan S) Jika menjawab TS diberi nilai = 0 Jika menjawab KS diberi nilai = 1 Jika menjawab S diberi nilai = 2 Jika menjawab SS diberi nilai = 3 c. Untuk menilai Tindakan 1. Tindakan Baik jika mendapat total nilai skor : >75% -100% 2. Tindakan Sedang jika mendapat total nilai skor : 60% - 75 % 3. Tindakan Buruk jika mendapat total nilai skor : < 60 % (Arikunto,S,2002) Cara menilai jawaban aspek Tindakan adalah sebagai berikut : Jumlah pertanyaan ada sebanyak 5 (lima ) soal dengan 4 option jawaban ( a, b, c dan d ) Jika menjawab a diberi nilai = 1 Jika menjawab b diberi nilai = 2 Jika menjawab c diberi nilai = 3 Jika menjawab d diberi nilai = 0 C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. 1.1. Data Geografis Luas wilayah Kecamatan Medan Tuntungan adalah : 21,58 Km2. Wilayah Kecamatan terletak 12 m diatas permukaan air laut. Batas wilayah Kecamatan Medan Tuntungan adalah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Selayang dan Johor Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Jarak wilayah Kecamatan Medan Tuntungan ke kota Medan : 18 Km. Kecamatan Medan Tuntungan terdiri dari 9 kelurahan yaitu : 1. Kelurahan Baru Ladang Bambu 2. Kelurahan Sidomulyo 3. Kelurahan Laucih 4. Kelurahan Namu Gajah 5. Kelurahan Kemenangan Tani 6. Kelurahan Simalingkar B 7. Kelurahan Simpang Selayang. 8. Kelurahan Tanjung Selamat. 9. Kelurahan Mangga. 1.2. Data Demografi. 1.2.1. Jumlah penduduk Jumlah penduduk di Kecamatan Medan Tuntungan pada tahun 2009 dapat dilihat pada tabel diabawah ini : Tabel 1. Jlh Penduduk Kecamatan Medan Tuntungan Menurut Jenis Kelamin Berdasarkan Kelurahan Pada Tahun 2009 Jenis kelamin Jlh Lk Pr 1. Baru Ladang Bambu 1483 1308 2791 2. Sidomulyo 707 920 1627 3. Lau Cih 777 744 1521 4. Namu Gajah 786 813 1599 5. Kemenangan Tani 1627 1715 3342 6. Simalingkar B 2176 2365 4541 7. Simpang Selayang 7580 7550 15130 8. Tanjung Selamat 4533 4563 9096 9. Mangga 14042 15202 29244 Jumlah 33711 35180 68891 (Sumber : Kantor Kecamatan Medan Tuntungan, Tahun 2010 ). No. Kelurahan 9 1.2.2. Mata Pencaharian Tabel 2. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2009 No. Kelurahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Mata Pencaharian PNS Swasta ABRI Petani Pedagang Baru Ladang Bambu 106 619 16 26 Sidomulyo 42 215 15 24 Lau Cih 39 87 15 54 67 Nam u Gajah 79 357 6 27 45 Kemenangan Tani 664 305 18 89 411 Simalingkar B 59 207 13 1727 62 Simpang Selayang 714 2156 19 630 95 Tanjung Selamat 398 1867 296 37 679 Mangga 1688 2016 192 24 705 Jumlah 3789 7832 590 2588 2114 Pensiu nan 10 13 49 31 37 69 118 327 Wira swasta 160 149 200 459 319 108 118 167 1680 (Sumber : Kantor Kecamatan Medan Tuntungan, Tahun 2010). 2. Hasil Penelitian 2.1.Jenis kelamin Jenis kelamin kepala keluarga pemilik anjing yang diteliti sebagai responden adalah dapat dilihat pada tabel 3 diabawah ini. Tabel 3. Distribusi Frekuensi jenis kelamin kepala keluarga pemilik anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 No. Jenis Kelamin Jumlah % 1. Laki-Laki 52 82,54 2. Perempuan 11 17,46 Jumlah 63 100,00 Pada Tabel 3 diatas terlihat bahwa jenis kelamin lakilaki yang paling banyak pada kepala keluarga pemilik anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 yaitu 52 kepala keluarga ( 82,54 % ) 2.2. Umur Umur Kepala Keluarga Pemilik Anjing yang diteliti sebagai responden untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Kepala Keluarga Pemilik Anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 No. Kelompok Umur Jumlah % 1. 21 – 30 2 3,20 2. 31 – 40 18 28,60 3. 41 – 50 23 36,50 4. 51 – 60 14 22,20 5. 61 – 70 6 9,50 Jumlah 63 100,00 Berdasarkan pada Tabel 4 diatas, terlihat bahwa kelompok umur kepala keluarga pemilik anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 yang terbanyak pada kelompok umur 41 – 50 tahun yaitu 23 KK ( 36,50 % ). 2.3. Pendidikan Pendidikan Kepala Keluarga pemilik anjing yang menjadi responden dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini 10 Tabel 5. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Pemilik Anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 No. Tingkat Jumlah % Pendidikan 1. Tidak Tamat SD 2. Tamat SD 6 9,50 3. Tamat SLTP 2 3,20 4. Tamat SLTA 29 46,00 5. Akademi / PT 26 41,30 Jumlah 63 100,00 Berdasarkan pada Tabel 5 diatas, terlihat bahwa tingkat pendidikan Kepala Keluarga pemilik anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 yang terbanyak adalah SLTAsebanyak 29 KK ( 46,00% ), dan yang terendah adalah Tamat SLTP sebanyak 2 KK ( 3,20 % ). 2.4. Pendapatan / Penghasilan Pendapatan / Penghasilan Kepala Keluarga Pemilik Anjing yang ditelitisebagai responden dapat dilihat padaTabel 6 dibawah ini : Tabel 6. Distribusi Frekuensi Penghasilan Kepala Keluarga Pemilik Anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 No. 1. 2. 3. Penghasilan / Bln (Rp) Jlh % < 965.000,2 3,20 965,000 s-d 1.500.000,- 24 38,10 > 1.500.000,37 58,70 Jumlah 63 100,00 Jumlah 2 24 37 63 % 3,20 38,10 58,70 100,00 Berdasarkan Tabel 6 diatas, terlihat bahwa penghasilan Kepala Keluarga Pemilik Anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 terbanyak berpenghasilan > Rp. 1,500,000,- sebanyak 37 KK (58,70 %) 2.5. Pekerjaan Pekerjaan Kepala Keluarga Pemilik Anjing yang diteliti sebagai Responden dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini: Tabel 7. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Kepala Keluarga Pemilik Anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010. No. Pekerjaan Jumlah % 1. PNS / ABRI 14 22,20 2. Pegawai Swasta 7 11,10 3. Petani 7 11,10 4. Wiraswasta 33 52,40 5. Pensiunan 2 3,20 Jumlah 63 100,00 Berdasarkan Tabel 7 diatas, terlihat bahwa pekerjaan Kepala Keluarga Pemilik Anjing di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 terbanyak adalah Wiraswasta sebanyak 33 KK (52,40 % ), dan yang terendah adalah Pegawai Swasta dan Petani sebanyak 7KK ( 11,10 % ). 2.6. Pengetahuan Pengetahuan Kepala Keluarga pemilik anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 8 dibawah ini : Tabel 8. No. 1. 2. 3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Pemilik Anjing terhadap pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan MedanTuntungan Tahun 2010 Tingkat Pengetahuan Jlh % Baik 18 28,57 Sedang 18 28,57 Buruk 27 42,86 Jumlah 63 100,00 Berdasarkan Tabel 8 diatas, terlihat bahwa Tingkat Pengetahuan Kepala Keluarga Pemilik Anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 adalah Buruk sebanyak 27 KK ( 42,86 % ). 2.7. Sikap Sikap Kepala Keluarga pemilik anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini : Tabel 9. Distribusi Frekuensi Tingkat Sikap Pemilik Anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 No. Tingkat Sikap Jumlah % 1. Baik 3 4,76 2. Sedang 20 31,75 3. Buruk 40 63,49 Jumlah 63 100,00 Berdasarkan Tabel 9 diatas, terlihat bahwa Tingkat Sikap Kepala Keluarga Pemilik Anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 terbanyak adalah Buruk sebanyak 40 KK (63,49 %). 2.8. Tindakan Tindakan Kepala Keluarga pemilik anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini : Tabel 10. Distribusi Frekuensi Tingkat Tindakan Pemilik Anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 No. Tingkat Tindakan Jumlah % 1. Baik 0 0 2. Sedang 6 9,52 3. Buruk 57 90,48 Jumlah 63 100,00 Berdasarkan Tabel 10 diatas, terlihat bahwa Tingkat Tindakan Kepala Keluarga Pemilik Anjing terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 terbanyak adalah Buruk sebanyak 57 KK (90,48 %). 3. Pembahasan Dalam rangka merubah pegetahuan, sikap dan tindakan individu, kelompok dan masyarakat perlu adanya intervensi atau tindakan-tindakan yang dapat memberi dampak besar terhadap perubahan perilkau, disamping dapat diterima dan layak dilaksanakan oleh masyarakat sebagai suatu kegiatan yang berhasil guna dan berdaya guna. 3.1. Pengetahuan Responden Terhadap Pencegahan Penyakit Rabies. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Tingkat pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) didalam domain kognitif (pengetahuan) mempunyai 6 (enam) tingkatan yaitu : (1) Tahu, (2) Memahami (3)Aplikasi, (4)Analisis, (5) Sintesis, (6) Evaluasi. Pengetahuan responden tentang pencegahan penyakit Rabies adalah untuk mengetahui sejauh mana responden mengetahui tentang adanya penyakit Rabies, dan sampai sejauhmana responden mengetahui cara-cara pencegahannya sehingga penyakit tersebut dapat dihindari. Penanggulangan dapat dilakukan dengan cara pencegahan dan pemberantasan hewan penular rabies (HPR) dengan melakukan vaksinasi terhadap anjing, kucing, kera, mengurangi jumlah populasi anjing liar atau anjing tak bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan, menangkap dan melaksanakan observasi hewan yang menggigit orang selama 10 – 14 hari. Terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, harus diambil specimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk didiagnosis. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya; membunuh atau mengurung selama 4 (empat) bulan anjing, kucing penderita Rabies; menanam hewan yang mati karena Rabies sekurang-kurangnya 1 (satu) meter atau dibakar dan melarang keras pembuangan bangkai. Hasil penelitian pada tabel 9 menunjukkan bahwa dari 63 responden, 27 KK (42,86 %) pengetahuan responden terhadap pencegahan penyakit Rabies masih tergolong dalam kategori buruk dan 18 KK (28,57 %) pengetahuan responden tergolong kategori sedang / baik. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sapura (2003) di Kabupaten Lampung Selatan bahwa 53,5 % responden mempunyai pengetahuan kurang, dan begitu juga pada hasil penelitian Imelda Eka Shinta (2005) di Kota Palangkaraya bahwa 53,5 % responden berpengetahuan kurang terhadap penyakit Rabies. Hal ini menunjukkan bahwa responden masih banyak yang belum memperoleh informasi tentang Rabies. Sesuai dengan tingkat 11 pengetahuan, bahwa tingkat paling rendah adalah tahu, seseorang yang pernah mendengar tentang Rabies diartikan mengingat kembali informasi tersebut. Hal ini sebagai acuan, sehingga tangkat tahu dapat dikategorikan sebagai tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Tingkatan tahu dikatakan paling rendah karena seseorang akan mampu memahami Aplikasi-Analisis-Sintesis dan melakukan Evaluasi apabilaorang tersebut memiliki pengetahuan. Seseorang dikatakan mampu memahami tentang Rabies apabila orang tersebut mampu menjelaskan secara benar tentang Rabies, menginterpretasikan tentang Rabies secara benar. Karena sebagian besar responden belum mengetahui tentang Rabies tentunya belum mampu menjelaskan secara benar bagaimana Rabies tersebut. Berdasarkan pendapat Patriani yang dikutip oleh Cendrawirda (2003) menyatakan bahwa pendidikan berkaitan erat dengan penerimaan seseorang terhadap suatu pengetahuan termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang Rabies dan menurut penelitianyang dilakukan oleh Widyana (2005) bahwa responden dengan tingkat pengetahuan yang kurang merupakan faktor resiko terhadap terjadinya penyakit Rabies. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden pendidikannya menengah ke atas dan hal ini kemungkinan berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki. Disamping itu sebagian besar responden memiliki umur yang produktif (20 – 50) tahun seperti pada tabel 5. Orang-orang yang umurnya dalam kategori produktif biasanya masih mempunyai daya nalar yang cukup sehingga pengetahuan responden tergolong dalam kategori cukup. Oleh sebab itu untuk meningkatkan pengetahuan responden, petugas Puskesmas bekerjasama dengan Petugas Peternakan Kecamatan perlu tetap melakukan penyuluhan tentang pencegahan dan penanggulangan kasus Rabies secara secara berkala (sekali dalam sebulan). Peningkatan kasus Rabies di masyarakat berkaitan erat dengan pengetahuan masyarakat tentang penyakit Rabies, peningkatan populasi anjing peliharaan, cara pencegahan dan penanggulangan penyakit Rabies. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peningkatan pengetahuan masyarakat tentang Rabies dapat mengurangi tingginya kasus penyakit Rabies. Lampung Selatan 51,2 % responden memiliki sikap kurang, dan begitu juga hasil penelitian Imelda Eka Shinta (2005) di Kota Palangkaraya bahwa 51,2 % responden memiliki sikap kurang terhadap penyakit Rabies. Hal ini menunjukkan bahwa responden mempunyai sikap negatif (tidak menerima) tentang pencegahan dan penanggulangan penyakit Rabies. Sesuai dengan pendapat Allport yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 (tiga) komponen pokok yaitu : (1) Kepercayaan, ide dan konsep terhadap suatu objek, (2) Kehidupan emosional terhadap suatu objek, (3) Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Keyakinan masyarakat terhadap terjadinya kasus Rabies yang ditularkan melalui gigitan anjing dipengaruhi oleh karakter individu dalam melakukan evaluasi. Penyakit Rabies di masyarakat akan terjadi jika sikap masyarakat terhadap kondisi tersebut tidak mendukung kearah pencegahan dan penanggulangan. Menurut Sumarmo (2002) bahwa sikap masyarakat yang kurang mendukung dalam pencegahan penyakit Rabies serta tidak menerima anjuran tentang penanggulangan Rabies sangat erat kaitannya untuk menjadi faktor resiko terhadap kejadian penyakit Rabies. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian kecil responden memiliki sikap baik. Terjadinya penyakit Rabies bukan karena mempunyai sikap baik saja, tetapi karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan tindakan. Namun sikap ini mendukung masyarakat lebih mudah untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan penyakit Rabies. Oleh sebab itu agar masyarakat mau melakukan pencegahan dan penanggulangan penyakit Rabies, maka pihak Kelurahan maupun Puskesmas perlu memberikan informasi mengenai penyakit Rabies. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap masyarakat terhadap penyakit Rabies tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap masyarakat secara nyata merupakan reaksi yang emosional untuk berperilaku. Kemungkinan terjadinya penyakit Rabies ini ditentukan oleh sikap masyarakat dalam merespons keadaan lingkungan. 3.2. Sikap Responden Terhadap Pencegahan Penyakit Rabies. Notoatmodjo (2003) menyatakan Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial, dalam hal ini terhadap pencegahan dan penanggulangan penyakit Rabies. Hasil penelitian pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki sikap yang buruk yaitu 40 KK (63,49 %) terhadap pencegahan penyakit Rabies, sedangkan sikap responden dengan sikap yang sedang yaitu 20 KK (31,75 %). Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sapura (2003) di Kabupaten 3.3. Tindakan Responden Terhadap Pencegahan Penyakit Rabies. Tindakan responden terhadap pencegahan penyakit Rabies adalah merupakan bentuk nyata sudah atau belum dilaksanakannya kegiatan untuk kesehatan berupa tindakan tentang pencegahan penyakit Rabies dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan mempunyai beberapa tingkatan menurut Notoatmodjo (2003), yaitu : (1) Persepsi yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, (2) Respons terpimpin yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar, (3) Mekanisme yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, (4) Adaptasi yaitu tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya 12 tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tindakan yang buruk yaitu 57 KK ( 90,48 % )terhadap pencegahan penyakit Rabies, sedangkan responden yang memiliki tindakan sedang yaitu 6 KK ( 9,52 % ). Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sapura (2003) di Kabupaten Lampung Selatan,bahwa 20,9 % responden mencuci luka digigit anjing, 41,9 % responden memberi antiseptik di rumah, 18,6 % responden membiarkan anjing lari, 11,6 % responden membunuh anjing dan 13,9 % responden mengobservasi anjing yang telah menggigit orang. Begitu juga dengan hasil penelitian dari Imelda Eka Sinhta (2005) di Kota Palangkaraya hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa responden belum melakukan tindakan untuk pencegahan penyakit Rabies dengan cara memvaksinasi anjing setiap tahun, mengandangkan anjing dengan baik dan menjaga kesehatan anjing serta memberi makan anjingnya dengan makanan yang baik. Menurut Depkes RI (2000) menyatakan bahwa cara utama penanggulangan penyakit Rabies adalah dengan melakukan tindakan Pencegahan dan Pemberantasan hewan penular rabies (HPR) dengan melakukan vaksinasi terhadap anjing, kucing, kera, mengurangi jumlah populasi anjing liar atau anjing tak bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembang biakan, menangkap dan melaksanakan observasi hewan yang menggigit orang selama 10 – 14 hari. Terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, harus diambil specimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk didiagnosis. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya; membunuh atau mengurung selama 4 (empat) bulan anjing, kucing penderita Rabies; menanam hewan yang mati karena Rabies sekurang-kurangnya 1 (satu) meter atau dibakar dan melarang keras pembuangan bangkai. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian responden belum memiliki kesadaran terhadap pencegahan penyakit Rabies, masih banyak responden tidak memvaksinasi anjingnya secara rutin setiap tahun, tidak memberi makan anjingnya dengan makanan yang baik (masih memberi sisa-sisa makanan), anjing masih dibiarkan berkeliaran dan tidak dikandangkan dengan baik, kebersihan anjing belum terawat dengan baik dan anjing dilepas dan tidak dipasang brangus atau brongsong anjing seperti yang dinformasikan oleh Petugas Peternakan Kecamatan atau Puskesmas. Oleh sebab itu disamping Kelurahan, Prtugas Puskesmas dan Petugas Peternakan Kecamatan mau mengajak masyarakat, pihak-pihak tertentu juga harus ikut serta dalam memberikan informasi mengenai pencegahan penyakit Rabies seperti organisasi sosial (LKMD, PKK dan sebagainya). Dan pihak Kelurahan juga mau mengajak masyarakat agar setiap memelihara anjing harus melapor kepada Lurah/ petugas Peternakan Kecamatan/ Dinas Peternakan, dan membuat kandang anjing, memvaksinasi Rabies anjingnya ke petugas Peternakan Kecamatan/ Dinas Peternakan, atau Dokter Hewan secara rutin setiap tahun serta jika njing keluar dari kandang memasangkan brangus/ brongsong anjing, menjaga kesehatan anjing, memberi makanan khusus anjing dan menjaga kebersihan anjing dengan baik. D. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.1. Perilaku masyarakat (pemilik anjing) terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan dikategorikan masih buruk. 1.2. Tingkat pengetahuan masyarakat (pemilik anjing) terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecammatan Medan Tuntungan sebagian besar buruk. 1.3. Sikap masyarakat (pemilik anjing) terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan sebagian besar buruk. 1.4. Tindakan masyarakat (pemilik anjing) terhadap pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Medan Tuntungan sebagian besar buruk. 2. Saran 2.1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan wilayah yang lebih luas seperti Kota / Kabupaten yang tinggi kasus gigitan hewan penular Rabies (HPR). 2.2. Perlu Petugas Puskesmas dan Petugas Peternakan Kecamatan bekerja sama melaksanakan penyuluhan tentang pencegahan penyakit Rabies kepada masyarakat (pemilik anjing) minimal sekali sebulan. 2.3. Pihak Kelurahan harus menginformasikan kepada masyarakat (pemilik anjing) agar memvaksinasi Rabies anjingnya secara rutin setiap tahun di Dinas Peternakan/ Dokter Hewan. 2.4. Peran serta masyarakat dan Organisasi Sosial (LKMD, PKK dan sebagainya) turut memberikan informasi kepada masyarakat (pemilik anjing) untuk melaporkan anjing peliharaannya, mengandangkan anjingnya, atau memasang brangus/brongsong, memberi makan anjing dengan makanan yang baik, menjaga kebersihan dan kesehatan anjing peliharaannya. DAFTAR PUSTAKA Arikunto,S, 2002, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta Dep.Kes.RI, Dep.Pertanian RI, Mendagri, 1978, Keputusan bersama Nomor: 279A/Menkes/SK/VIII/1978; No:143 Tahun 1978 Tentang Peningkatan Pemberantasan dan Penanggulangan Rabies, Jakarta Dep.Kes.RI, 1999, Visi dan Misi Departemen Kesehatan ”Indonesia Sehat 2010”, Jakarta. ----------------, 2000, Petunjuk Perencanaan dan Penatalaksanaan kasus gigitan hewan tersangka/ Rabies di Indonesia, Jakarta 13 ----------------, 2003, Petunjuk Pemberantasan Rabies di Indonesia, Jakarta. ----------------, 2004, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta. Dep.Kes.RI, 2009, Pedoman Pelaksanaan Program Penanggulangan Rabies di Indonesia, Depkes RI, Direktorat Jenderal PP&PL , Jakarta. Dep.Pertanian RI,1982, Keputusan Menteri Pertanian RI No.363/Kpts/Um/5/1982 Tentang Pedoman Khusus Pencegahan dan Pemberantasan Rabies, Jakarta. Dinkes Prov.Sum.Utara, 2009, Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009, Medan. Dinkes Kota Medan, 2009, Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2009, Medan 14 Imelda Eka Sintha, 2005, Upaya penanganan kasus gigitan hewan penular Rabies oleh masyarakat di Kota Palangka Raya. Jawetz F, dkk, 2005, Mikrobiologi Kedokteran, Salemba Medica, Jakarta. Notoatmojo, Soekidjo, 2005, Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. ________, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Oswari O, 2003, Penyakit dan Penanggulangannya, FKUI, Jakarta. Sapura, 2003, Upaya penanganan kasus – kasus gigitan hewan penular Rabies oleh masyarakat di Kabupaten Lampung Tengah. Soedarto, 2004, Sinopsis Virologi Kedokteran, UNAIR, Surabaya FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKLENGKAPAN IMUNISASI TETANUS TOXOID (TT) PADA IBU HAMIL DI DESA KLUMPANG KAMPUNG KECAMATAN HAMPARAN PERAK KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2009 Rina Doriana Pasaribu Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) adalah proses untuk membangun kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus (Idanati, 2005). Imunisasi Tetanus Toxoid, merupakan pemberian vaksin yang sangat aman untuk wanita hamil dan tidak berbahaya pada janin. Dengan Angka Kematian Ibu akibat infeksi nifas sebesar 12%, dan Angka Kematian Bayi akibat Tetanus Neonatorum sebesar 9,8% dapat dicegah dengan pemberian imunisasi Tetanus Toxoid pada masa kehamilan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan metode pendekatan Cross Sectional yang menggunakan data primer dan data sekunder. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Sampling Jenuh kemudian data diolah dengan menggunakan uji statistik Chi-Square. Berdasarkan hasil tabel distribusi frekuensi dari 83 orang responden, jumlah ibu hamil yang tidak mendapatkan imunisasi TT sebanyak 32 orang (38,55%), mayoritas berpengetahuan kurang sebanyak 22 orang (68,75%). Berdasarkan pendidikan mayoritas responden dengan pendidikan dasar sebanyak 19 orang (59,37%). Berdasarkan pekerjaan mayoritas responden dengan status bekerja sebanyak 18 orang (56,25%). Mayoritas responden memiliki jarak tempat tinggal yang jauh dengan tempat pelayanan sebanyak 22 orang (68,75%). Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 0,05 maka diperoleh ada hubungan pengetahuan, pendidikan, jarak tempat tinggal dan tempat pelayanan kesehatan dengan ketidaklengkapan imunisasi TT, dan tidak ada hubungan pekerjaan ibu dengan ketidaklengkapan imunisasi TT. Dari empat variabel yang diteliti ternyata yang memiliki hubungan hanya tiga variabel, yaitu pengetahuan, pendidikan, jarak tempat tinggal dan tempat pelayanan kesehatan, dan variabel pekerjaan tidak memiliki hubungan dengan ketidaklengkapan imunisasi TT Ibu hamil.. Kata kunci: Ibu Hamil, Ketidaklengkapan Imunisasi TT PENDAHULUAN Latar Belakang Angka kematian Ibu bersama dengan Angka Kematian Bayi menjadi indikator keberhasilan pembangunan pada sektor kesehatan. Pada tahun 2005 angka kematian maternal di Negara maju adalah 9 per 100.000 kelahiran hidup dan di negara berkembang mencapai 450 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian maternal di Indonesia sebesar 420 per 100.000 kelahiran hidup menempati urutan ke-12 dari 18 negara di ASEAN dan SEARO (World Health Statistics, 2008). Menurut Survei Demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut Budihardja, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI, AKI disebabkan oleh perdarahan sebesar 30%, preeklamsi sebesar 25%, dan infeksi masa nifas sebesar 12% (Budihardja, 2009).. Diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang tidak terimunisasi TT diseluruh dunia meninggal setiap tahun karena terinfeksi clostridium tetani pasca partus (Matsum, 2008). Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik estimasi Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab tingginya AKB adalah infeksi pada masa neonatus sebesar 24% (tetanus neonatorum 12,5%, pneumonia 7,5%, sepsis 4%) menempati urutan ketiga setelah BBLR dan asfiksia (Depkes, 2007). Diperkirakan 50.000 bayi di seluruh dunia meninggal setiap tahun karena ibu hamil tidak mendapatkan imunisasi TT pada masa hamil (Matsum, 2008). Berdasarkan Incidence Series Immunization, kasus tetanus banyak dijumpai di sejumlah Negara tropis dan Negara berkembang yang masih memiliki kondisi kesehatan yang rendah. Data Organisasi Kesehatan dunia WHO menunjukkan kematian akibat tetanus di Negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding Negara maju (Depkes, 2007). Pada tahun 2007 jumlah kasus tetanus neonatorum diantara 8 negara ASEAN, angka tertinggi terjadi di Filipina dan Indonesia (141 kasus). Menurut Dadi, Sekertaris Jendral Depkes RI tahun 2002, bahwa 15 9,8% dari sekitar 184.000 bayi baru lahir yang meninggal setiap tahun disebabkan oleh tetanus neonatorum (Dadi, 2002). Sedangkan di Provinsi Sumatera Utara jumlah kasus tetanus neonatorum yang dilaporkan pada tahun 2007 adalah 17 kasus dan 3 kasus diantaranya terjadi di Kabupaten Deli Serdang (Dinkes Sumatera Utara, 2007). Di Sumatera Utara tahun 2008 dari jumlah ibu hamil yang terdapat di Sumatera Utara sebesar 350.485 yang mengikuti TT1 sebanyak 171.676 (49,0%), TT2 sebanyak 155.284 (44,30%), TT3 sebanyak 90.720 (25,88%), TT4 sebanyak 74.882 (21,36%), dan TT5 sebanyak 63.642 (18,16%) (Dinkes Sumatera Utara, 2008). Di Kota Medan dari jumlah Ibu hamil 56.511 yang mengikuti TT1 sebanyak 9.086 (16,1%), TT2 sebanyak 7.938 (14,0%), TT3 sebanyak 5.154 (9,1%), TT4 sebanyak 4.622 (8,2%), TT5 sebanyak 3.773 (6,7%) (Dinkes Sumatera Utara, 2008). Di Deli Serdang dari jumlah ibu hamil sebanyak 43.805 yang mengikuti TT1 sebanyak 22.270 (50,8%) dan TT2 sebanyak 21.605 (49,3%), TT3 sebanyak 15.190 (34,7%), TT4 sebanyak 12.344 (28,2%), TT5 sebanyak 10.291 (23,5%) (Dinkes Sumatera Utara, 2008). Dari Survei pendahuluan Di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang, didapati bahwa dari jumlah ibu hamil pada tahun 2008 sebanyak 145 orang, yang mengikuti TT1 sebanyak 80 orang (55.17%), TT2 sebanyak 65 orang (44.82%), TT3 sebanyak 57 orang (39,3), TT4 sebanyak 40 orang (27,6), TT5 sebanyak 26 orang (17,9). Dari data tentang pemberian imunisasi TT di atas perlu diadakan penelitian untuk megetahui faktorfaktor yang mempengaruhi ketidaklengkapan imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada Ibu hamil. Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Ketidaklengkapan Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada Ibu Hamil di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009?”. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketidaklengkapan Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada Ibu Hamil di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009. faktor yang mempengaruhi Ketidaklengkapan Imunisasi Tetanus Toxoid (TT). Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2009 s/d Agustus 2009. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang berada di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Periode Juni 2009 sebanyak 83orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan sampel jenuh yaitu dilakukan dengan mengambil total populasi untuk dijadikan sampel. Jenis dan sumber data yang diperlukan untuk penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Jenis dan sumber data yang diperlukan untuk penelitian ini adalah data primer dan datasekunder. Analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Analisis Data Univariat Analisis data univariat ini digunakan untuk mendapatkan distribusi frekuensi atau besarnya proporsi dari variabel independen dan variabel dependen sehingga dapat diketahui variasi dari masingmasing variabel (Notoatmodjo, 2005). b. Analisis Data Bivariat Analisis data bivariat ini digunakan untuk mengerti bagaimana hubungan variable bebas dengan variable terikat, dengan menggunakan uji statistik chisquare. Hipotesis pada derajat kemaknaan 0,05 atau 𝛼= 0,05 dengan derajat kepercayaan 95% (Budiarto, 2007). Adapun rumus chi-square yang digunakan adalah 2 sebagai berikut: X2 = 0 E E Dimana: X2 = Chi-square O = nilai hasil observasi E = nilai yang diharapkan HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Data Univariat Analisis data univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel dependen dan variabel independen, yaitu : Tabel Distribusi Responden mengenai Ketidaklengkapan Imunisasi TT Ibu Hamil di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 No Metode Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif analitik dengan desain penelitian “cross sectional-survey” dengan meneliti variabel independen dan variabel dependen secara bersamaan. Penelitian ini dilakukan di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang dengan berbagai pertimbangan, yaitu : Banyaknya ibu hamil di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang yang tidak mendapatkan Imunisasi TT secara lengkap dan Belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor- 16 1. 2. Ketidaklengkapan Imunisasi TT Tidak Lengkap Lengkap Jumlah Frekuensi % 32 51 83 38,55 61,45 100 Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Ibu Hamil Di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 No 1. 2. 3. Pengetahuan Baik Cukup Kurang Jumlah Frekuensi 22 24 37 83 % 26,50 28,92 44,58 100 Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu Hamil di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 No 1. 2. 3. Pendidikan Dasar Menengah Tinggi Jumlah Frekuensi % 33 30 20 83 39,76 36,14 24,10 100 No Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu Hamil di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 No 1. 2. Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja Jumlah Frekuensi 44 39 83 Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dengan Tempat Pelayanan Kesehatan Di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 % 53,01 46,99 100 1. 2. 3. Jarak Tempat Tinggal Dengan Tempat Pelayanan Kesehatan Jauh Sedang Dekat Jumlah Frekuensi % 34 26 23 83 40,96 31,33 27,71 100 Analisa Data Bivariat Analisa data bivariat digunakan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen yang dilakukan dengan uji statistik Chi-Square (X²) Tabel Hubungan Ketidaklengkapan Imunisasi TT Ibu Hamil dengan Tingkat Pengetahuan Ibu di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 No Pengetahuan 1. Baik 2. Cukup 3. Kurang Total Status Imunisasi TT Ibu Hamil Tidak Lengkap Lengkap f % f % 2 6,25 20 39,22 8 25 16 31,37 22 68,75 15 29,41 32 100 51 100 Total f 22 24 37 83 % 26,50 28,92 44,58 100 X² Hitung X² Tabel 15,15 5,991 Tabel Hubungan Ketidaklengkapan Imunisasi TT Ibu Hamil dengan Pendidikan Ibu di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 No 1. 2. 3. Pendidikan Dasar Menengah Tinggi Total Status Imunisasi TT Ibu Hamil Tidak Lengkap Lengkap f % F % 19 12 1 32 59,37 37,50 3,13 100 14 18 19 51 27,45 35,29 37,25 100 Total f % 33 30 20 83 39,76 36,14 24,10 100 X² Hitung X² Tabel 14,56 5,991 Tabel Hubungan Ketidaklengkapan Imunisasi TT Ibu Hamil dengan Pekerjaan Ibu di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 No Pekerjaan 1. 2. Tidak Bekerja Bekerja Total Status Imunisasi TT Ibu Hamil Tidak Lengkap Lengkap f % F % 14 43,75 30 58,83 18 56,25 21 41,17 32 100 51 100 Total f 44 39 83 % 53,01 46,99 100 X² Hitung X² Tabel 1,79 3,841 17 Tabel Hubungan Ketidaklengkapan Imunisasi TT Ibu Hamil dengan Jarak Tempat Tinggal dan Tempat Pelayanan Kesehatan di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hfmparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 No 1. 2. 3. Jarak Tempat Tinggal Dengan Tempat Pelayanan Kesehatan Jauh Sedang Dekat Total Status Imunisasi TT Ibu Hamil Tidak Lengkap Lengkap f % f % 22 68,75 12 23,53 7 21,88 19 37,26 3 9,37 20 39,21 32 100 51 100 Berdasarkan uji stastistik Chi-Square (X²) memperlihatkan adanya hubungan pengetahuan ibu dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada ibu hamil dengan ά = 0,05, maka diperoleh nilai df = 2 dan hasil X² Hitung = 15,15, dan hasil X² Tabel = 5,991, berarti X² Hitung > X² Tabel (15,15 > 5,991). Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2005) bahhwa pengetahuan adalah hasil dari tahu setelah manusia melakukan penginderaan dan pengamatan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan komponen yang sangat penting untuk membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dorongan psikis dalam menemukan rasa percaya diri, sehingga dikatakan bahwa pengetahuan merupakan stimulus terhadap tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2005). Menurut Syahrul salah satu faktor yang menyebabkan ibu tidak lengkap mendapat imunisasi TT adalah faktor pengetahuan tentang imunisasi tersebut. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa terdapat kaitan antara pengetahuan ibu dengan angka drop out imunisasi TT pada ibu hamil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang tidak lengkap imunisasi TT mempunyai pengetahuan kurang sebanyak 68% (Sri Ratna, 1997). Data diatas menunjang dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriadi (2007) yang juga menunjukkan ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan ibu dengan kelengkapan imunisasi TT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil dengan pengetahun kurang cendrung beresiko tidak lengkap mendapat imunisasi sebesar 13,357% dibanding ibu yang mempunyai pengetahuan baik (Fitriadi, 2007). Berdasarkan uji stastistik Chi-Square (X²) memperlihatkan adanya hubungan pendidikan ibu dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada ibu hamil dengan ά = 0,05, maka diperoleh nilai df = 2 dan hasil X² Hitung = 14,56, dan hasil X² Tabel = 5,991, berarti X² Hitung > X² Tabel (14,56 > 5,991). Pendidikan adalah upaya pembelajaran, agar ibu hamil mau melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Notoatmodjo, 2003). Menurut Slamet, semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan pusat pelayanan kesehatan. Dengan berpendidikan tinggi, maka wawasan 18 Total f 34 26 23 83 % 40,96 31,33 27,71 100 X² Hitung X² Tabel 17,61 5 ,991 pengetahuan semakin bertambah dan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan (Slamet, 2002). Peran seorang ibu dalam program imunisasi sangat penting. Karena suatu pemahaman tentang program imunisasi amat diperlukan. Pemahaman atau pengetahuan ibu terhadap imunisasi sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu (Ali, Muhammad, 2002). Salah satu penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu maka semakin besar peluang untuk mendapatkan imunisasi. Ibu yang berpendidikan mempunyai pengertian lebih baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran lebih tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan (Idwar, 2001). Berdasarkan uji stastistik Chi-Square (X²) memperlihatkan tidak ada hubungan status pekerjaan ibu dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada ibu hamil dengan ά = 0,05, maka diperoleh nilai df = 1 dan hasil X² Hitung = 1,79 dan hasil X² Tabel =3,841, berarti X² Hitung < X² Tabel 1,79< 3,841. Oleh karena itu terlihat adanya kesenjangan antara hasil penelitian dan teori. Menurut Syahrul, hubungan pekerjaan ibu dengan kelengkapan imunisasi sangat terkait. Dimana ibu yang bekerja akan lebih mudah untuk mendapatkan informasi terkait dengan pemberian imunisasi Tetanus Toxoid (TT) saat hamil. Pola pikir ibu yang bekerja akan lebih luas, dimana ibu tersebut mempunyai wawasan yang lebih. Ibu yang bekerja akan lebih cermat mengamati setiap informasi yang didapatkan sedangkan ibu yang tidak bekerja, pola pikir yang dimilikinya sangat sedikit. Sehingga ibu yang bekerja lebih besar kemungkinan mendapatkan imunisasi TT dengan lengkap (Syahrul, 2003). Menurut hasil kesimpulan penelitian Idwar (2000) ibu bekerja mempunyai resiko 2,324 kali lebih besar untuk memperoleh imunisasi dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja disebabkan kurangnya informasi yang diterima ibu rumah tangga dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja (Idwar 2000). Dari penelitian diketahui bahwa ibu hamil yang tidak lengkap mendapatkan imunisasi TT paling banyak, yaitu ibu hamil dengan jarak tempat tinggal yang jauh dengan tempat pelayanan kesehatan sebanyak 22 orang (68,75%) dan berdasarkan uji stastistik Chi-Square (X²) memperlihatkan adanya hubungan jarak tempat tinggal ibu dan tempat pelayanan kesehatan dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada ibu hamil dengan ά = 0,05, maka diperoleh nilai df = 2 dan hasil X² Hitung = 17,61, dan hasil X² Tabel = 5,991, berarti X² Hitung > X² Tabel (17,61 > 5,991). Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa jarak merupakan panjang lintasan yang ditempuh oleh ibu hamil mulai dari tempat tinggal ibu sampai ibu berada di tempat pelayanan kesehatan untuk mendapatkan imunisasi TT. Jarak rumah tempat tinggal ibu dengan tempat mendapat pelayanan kesehatan berhubungan dengan kelengkapan ibu mendapatkan imunisasi TT saat hamil (Andi, 2007). Menurut Sri Ratna lokasi atau jarak tempat tinggal ibu yang jauh dengan tempat pelayanan kesehatan menyebabkan ibu tidak mau untuk datang ke tempat pelayanan kesehatan dikarenakan ibu merasa kelelahan untuk menjangkaunya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sri Ratna (1997) terdapat kaitan antara jarak tempat tinggal dan tempat pelayanan kesehatan dengan angka drop out imunisasi TT pada ibu hamil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai jarak tempat tinggal yang jauh sebesar 55% (Sri Ratna, 1997). KESIMPULAN 1. Jumlah ibu hamil yang tidak lengkap mendapatkan imunisasi TT di Desa Klumpang Kampung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 sebanyak 32 orang (38,55%) dari 83 orang ibu hamil. 2. Ada hubungan pengetahuan ibu yang kurang dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada Ibu hamil. Dengan hasil uji statistic Chi-Square, dimana X² Hitung > X² Tabel (15,15 > 5,991). 3. Ada hubungan pendidikan ibu yang rendah dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada Ibu hamil. Dengan hasil uji stastistik Chi-Square, dimana X² Hitung > X² Tabel (14,56 > 5,991). 4. Tidak ada hubungan status ibu tidak bekerja dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada Ibu hamil. Dengan hasil uji stastistik Chi-Square, X²Hitung < X²Tabel (1,78 < 3,841). 5. Ada hubungan jarak tempat tinggal dan tempat pelayanan kesehatan yang jauh dengan ketidaklengkapan imunisasi TT pada Ibu hamil. Dengan hasil uji stastistik Chi-Square, dimana X² Hitung > X² Tabel (17,61 > 5,991). Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya pengetahuan ibu hamil akan pentingnya imunisasi TT. 2. Perlu dikembangkan suatu model pemberian imunisasi TT pada ibu yang mempunyai jarak tempat tinggal dan tempat pelayanan kesehatan yang jauh. DAFTAR PUSTAKA Ali, M, 2002, Pengetahuan Sikap dan Prilaku Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja Tentang Imunisasi, http://library.usu.ac.id/modules/php/op=modloa d (16 Januari 2008). Arikunto, S, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2007, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007, http://profilkesehatanindonesia.go.id/hqweb.htm l. BKKBN, 2004, Laporan Perkembangan Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia, http://BKKBN.go.id/dib/lap/html. Budiarto, E., 2007, Biostatistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, EGC, Jakarta. Budihardja, 2009, Faktor Penyebab Tingginya AKI. 24 April 2009. http://sumeks.co.id. Dadi, 2002, Imunisasi TT Bagi WUS Untuk Tekan Angka Kematian Bayi, 7 Febuari 2002, http://kbigemari.go.id.html Depkes RI, 2001, Rencana Strategi Nasional Making Pregnancy Safer di Indonesia 2001-2010. Jakarta. , 2002, Pelatihan Tenaga Pelaksana Imunisasi Puskesmas, Jakarta. , 2005, Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi, Jakarta. , 2005, Pedoman Pemantauan dan penanggulangan kejadian ikutan pasca imunisasi , Jakarta. , 2006, Isu Mutakhir Imunisasi, http://www.ridwanamiruddin.wordpress.com. Deswita, 2005, Imunisasi TT(Tetanus Toxoid) pada ibu hamil, http://Deswita.wordpress.com. Dinkes Kota Medan, 2007, Profil Kesehatan Kota MedanTahun 2006, Medan. Dinkes S.U, 2008, Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2007, Medan. , 2009, Hasil Rekapitulasi Imunisasi Bumil & WUS Sumatera Utara Tahun 2008, Medan. Fitriadi, A. L, 2003, Analisis Drop Out Imunisasi TT Ibu Hamil Guna Menyusun Upaya Peningkatan Kinerja Bidan Puskesmas Di Kota Banjarmasin, 13 Januari 2005, http://[email protected]. Idanati, R, 2005, Tetanus Toxoid Pregnancy, http://iptunair-gdl-s2-2005-idanatirukna-1328ADLN Digitalcollections-GDL.4.0. Idamaryati, 2009, Imunisasi TT, 25 Maret 2009, http://idamaryati.wordpress.com. Idwar, 2001, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Imunisasi Hepatitis B Pada Bayi (0-11 Bulan) di Kabupaten Aceh Besar Proponsi D.I. Aceh Tahun 1999, http://diglib.litbang.depkes.go.id/go.html. 19 Lubis, C. P, 2004, Tetanus Neonatorum pada Anak, diktak kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Penyakit Infeksi, Balai Penerbit FK.USU, Medan. Manuaba, I. B. G., 2002, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, EGC, Jakarta. Matsum, 2008, Tetanus, http://matsum,or.id.wordpress.com.16 Agustus 2008. Meliono, 2007, Defenisi Pengetahuan, http://wikipedia.org.html. Notoatmodjo, S, 2005, Pendidikan dan Prilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Rezeki, S, et all, 2008, Pedoman Imunisasi di Indonesia edisi ketiga, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Jakarta. Saifuddin, A. B, Andriansz, G, Wiknjosastro, G. H, Waspodo, D, 2001. Buku Acuan Nasional Kesehatan Pelayanan Maternal dan Neonatal, JNPKKR-POGI dan Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo, Jakarta. San, 2002, Vaksinasi tetanus Toxoid Menghentikan “Si Pembunuh Bayi”, http://sinarharapan.co.id, 27 Mei 2008. 20 Djaja, S, 2001, Penyakit Penyebab Kematian Bayi Baru Lahir dan Sitem Pelayanan Kesehatan Yang Berkaitan di Indonesia, 4 Januari 2003, http://[email protected]. Sri, R, A, 1997, Faktor-faktor Yang Berkaitan Dengan Drop Out Imunisasi TT Ibu Hamil di Puskesmas Bangetayu Kecamatan Genuk Kodya Semarang Tahun 1996, http://sri.solpro.index.php.htm. Syahrul, F, 2009, Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Status Imunisasi TT Ibu Hamil di Kabupaten Lumajang, 14 Januari 2004. http://[email protected]. Tawi, M, 2008, Imunisasi dan Faktor Yang Mempengaruhinya, http://syehaceh.wordpress.com Vanessa, I. D. A, 2008, Tetanus, http://tetanus.or.id.html. Wahab, A.S, dkk, 2004, Sistem Imun, Imunisasi, dan Penyakit Imun, Widya Medika, Jakarta. Walgito, B, 2002, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), EdisiRevisi ANDI, Yogyakarta. World Health Statistics, 2008, Angka Kematian Maternal, http://profilkesehatan Indonesia.go.id/h PENGETAHUAN DAN PERSEPSI BIDAN TERHADAP STIGMA DAN DISKRIMINASI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KOTA MEDAN TAHUN 2010 Bebaskita br Ginting, Samsider Sitorus, Efendi Sianturi Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak HIV/AIDS adalah masalah global yang telah menjadi pandemi. Menurut data yang dikeluarkan Departemen Kesehatan pengidap infeksi HIV/AIDS di Indonesia sampai Juni 2008 sebanyak 18.963 orang, 6277 orang pengidap HIV dan 12686 orang penderita AIDS, 2479 orang diantaranya telah meninggal. Hingga akhir Maret 2010, di Sumatera Utara terdapat 2.234 penderita HIV/AIDS, dibanding kabupaten/kota lainnya Kota Medan merupakan daerah yang terbanyak, dengan total 1.515 penderita. Terdapat tiga (3) fase dalam epidemi HIV/AIDS, yakni epidemi HIV, epidemi AIDS dan epidemi stigma, diskriminasi dan penolakan (denial). Fase ketiga merupakan aspek yang sangat sulit dan krusial terkait dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit AIDS. Bidan seharusnya memiliki pengetahuan yang memadai tentang HIV/AIDS, serta mempunyai sikap yang positif dan manusiawi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan persepsi bidan tentang HIV/AIDS terhadap stigma dan diskriminasi pada ODHA di Kota Medan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan study crossectional dengan subjek penelitian bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Medan yang memiliki layanan Voluntary Counselling and Test (VCT). Pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling. terhadap 158 orang responden. Data diukur menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Selanjutnya data dianalisis secara univariat dengan tabel distribusi frekuensi, dilanjutkan secara bivariat menggunakan uji statistik Chi Square dan secara multivariat menggunakan uji statistik regresi logistic. Sebanyak 43,7% responden memiliki pengetahuan kurang baik tentang HIV/AIDS, 47,5% responden memiliki persepsi kurang baik tentang HIV/AIDS dan sebanyak 48,7% responden memiliki perilaku menstigma dan mendiskriminasi ODHA. Pengetahuan bidan memiliki hubungan bermakna dengan stigma dan diskriminasi pada ODHA (RP=2,08; 95%CI= 1,43-3,03) demikian juga persepsi bidan memiliki hubungan bermakna dengan stigma dan diskriminasi pada ODHA (RP=3,67; 95%CI= 2,34-5,75). Prevalensi stigma dan diskriminasi pada ODHA lebih banyak terdapat pada bidan yang memiliki pengetahuan dan persepsi yang kurang baik tentang HIV/AIDS dibandingkan dengan bidan yang memiliki pengetahuan dan persepsi yang baik tentang HIV/AIDS. Kata kunci: Stigma, Diskriminasi, Pengetahuan, Persepsi, HIV/AIDS PENDAHULUAN Permasalahan HIV/AIDS menjadi isu bersama yang menyita perhatian berbagai kalangan,terutama sektor kesehatan. HIV/AIDS merupakan masalah global yang telah menjadi pandemic. WHO (World Health Organization) mencatat sejak tahun 1981 sebanyak 65 juta orang yang telah terinfeksi HIV dan 25 juta diantaranya meninggal dunia akibat penyakit yang terkait dengan AIDS. Pada saat ini terdapat sekitar 39,5 juta Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh dunia1. Jumlah pengidap HIV ini menganut fenomena gunung es (ice berg phenomenon), yakni jumlah yang sebenarnya jauh lebih banyak dibanding dengan yang diketahui. Di Indonesia menurut data yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) secara kumulatif pengidap HIV / AIDS dari Juli 1987 sampai dengan Juni 2008 terdapat sebanyak 18.963 orang, 6277 orang pengidap HIV dan 12686 orang penderita AIDS, dimana dari jumlah tersebut sebanyak 2479 orang diantaranya telah meninggal2. Namun jumlah tersebut diyakini masih jauh dari jumlah yang sebenarnya dan masih akan terus meningkat. Berdasarkan estimasi Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006 terdapat sekitar 169.000 sampai dengan 216.000 orang Indonesia yang telah tertular HIV3. Hingga akhir Maret 2010,di Sumatera Utara terdapat 2.234 penderita HIV/AIDS, dibanding kabupaten/kota lainnya Kota Medan merupakan daerah yang terbanyak ditemukan penderita penyakit mematikan ini, dengan total 1.515 penderita (Dinkes Propinsi Sumut, 2010). Pencegahan penularan HIV merupakan prioritas global dan sikap petugas kesehatan merupakan dimensi kunci untuk kesuksesan upaya pencegahan epidemi HIV/ADS ini4. Munculnya stigma dan diskriminasi oleh petugas kesehatan terhadap ODHA akan menghambat upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. ODHA tidak akan mau mencari pelayanan kesehatan dan 21 berobat karena mereka takut mendapatkan stigma dan diskriminasi. Orang juga akan enggan untuk melakukan testing HIV karena takut mendapat stigma dan diskriminasi apabila hasil tesnya ternyata positif. Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA digambarkan sebagai ”penghalang terbesar (greatest barrier)” dalam upaya pencegahan HIV/AIDS dan untuk menyediakan pelayanan kesehatan serta dukungan kepada ODHA5. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui hubungan pengetahuan dan persepsi bidan tentang HIV/AIDS terhadap stigma dan diskriminasi oleh petugas kesehatan pada ODHA di Kota Medan. Hipotesis yang diajukan adalah Persentasi Bidan melakukan stigma dan diskriminasi pada ODHA lebih banyak terdapat pada Bidan yang memiliki pengetahuan kurang dibandingkan dengan Bidan yang memiliki pengetahuan baik tentang HIV/AIDS dan Persentasi Bidan melakukan stigma dan diskriminasi pada ODHA lebih banyak terdapat pada Bidan yang memiliki persepsi kurang dibandingkan dengan Bidan yang memiliki persepsi yang baik tentang HIV/AIDS. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan study Cross Sectional yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki layanan klinik Voluntary Counselling and Test (VCT) di Kota Medan Sumatera Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah Bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki layanan klinik Voluntary Counselling and Test (VCT) yang ada di Kota Medan yaitu : RSUP H Adam Malik, RSU Dr Pirngadi, RS Haji, RS Bayangkara, VCT Bestari Medan, Puskesmas Padang Bulan, Puskesmas Polonia, dan RS. Rumkitdam-I/BB dengan jumlah bidan 158 orang dan seluruhnya dijadikan sampel penelitian. Variabel yang diteliti adalah Pengetahuan dan Sikap Bidan sebagai variable bebas dan stigma dan diskriminasi sebagai variable terikat. Alat ukur yang digunakan yaitu untuk mengukur pengetahuan sebelumnya sudah pernah digunakan di Indonesia dan diuji kesahihan dan keterandalannya dengan nilai 0,873 untuk kuesioner pengetahuan bidan, 0,885 untuk kuesioner persepsi bidan dan nilai 0,863 untuk kuesioner stigma dan diskriminasi pada ODHA. Selanjutnya analisis data dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu analisis univariabel menggunakan distribusi frekuensi, analisis bivariabel menggunakan uji statistik chi-square (χ2), dengan tingkat kemaknaan p<0.05 dan Confidence Interval (95%) serta Rasio prevalens (RP) dan analisis multivariabel menggunakan multiple logistic regression (regresi logistik). HASIL PENELITIAN Pengetahuan Bidan Tentang HIV/AIDS Total skor pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS dihitung dari total jumlah jawaban yang benar terhadap 20 soal yang diberikan, sehingga total skor berada di kisaran antara 0 -20. Dari hasil analisis didapatkan bahwa nilai tertinggi 20 sedangkan nilai terendah adalah 7 dengan Mean 16,18. Total skor pengetahuan tentang HIV/AIDS 22 dilakukan pengelompokan menjadi data nominal yang terdiri dari skor pengetahuan HIV/AIDS baik dan skor pengetahuan tentang HIV/AIDS kurang baik. Sebagai cut off point yang dipergunakan adalah mean yaitu 16,18, sehingga skor 16 keatas masuk kategori baik dan 15 kebawah masuk kategori kurang baik. Dari hasil pengelompokan kategori pengetahuan tentang HIV/AIDS didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS di Kota Medan tahun 2010 Tingkat Pengetahuan Jumlah (n) % Baik 89 56,3 Kurang Baik 69 43,7 Total 158 100 Berdasarkan tabel. 1 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden (56,3%) memiliki pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS. Persepsi Bidan Tentang HIV/AIDS Total skor persepsi bidan tentang HIV/AIDS dihitung dari total jumlah jawaban terhadap 22 soal yang diberikan, sehingga total skor berada di kisaran antara 188. Dari hasil analisis didapatkan bahwa nilai tertinggi 77 sedangkan nilai terendah adalah 35, Mean 57,30. Total skor pengetahuan tentang HIV/AIDS dilakukan pengelompokan menjadi data nominal yang terdiri dari skor persepsi tentang HIV/AIDS baik dan skor persepsi tentang HIV/AIDS kurang baik. Sebagai cut off point yang dipergunakan adalah mean yaitu 56,66, sehingga skor 58 keatas masuk kategori baik dan ≤57 masuk kategori kurang baik. Dari hasil pengelompokan kategori persepsi tentang HIV/AIDS didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Persepsi tentang HIV/AIDS di Kota Medan tahun 2010 Persepsi Jumlah (n) % Baik 83 52,5 Kurang Baik 75 47,5 Total 158 100 Dari tabel 2. Diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden (52,5%) memiliki persepsi yang baik tentang HIV/AIDS. Stigma dan Diskriminasi oleh Bidan Pada Orang dengan HIV/AIDS Total skor perilaku stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS dihitung dari total jumlah jawaban terhadap 15 soal yang diberikan, sehingga total skor berada di kisaran antara 0-60. Dari hasil analisis didapatkan bahwa nilai tertinggi adalah 49 sedangkan nilai terendah adalah 24. Mean 33,77. Total skor perilaku stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS dilakukan pengelompokan menjadi data nominal yang terdiri dari menstigma dan tidak menstigma ODHA. Sebagai cut off point yang dipergunakan adalah mean yaitu 33,47, sehingga skor 34 keatas masuk kategori menstigma dan mendiskriminasi dan skor ≤ 33 masuk kategori tidak menstigma dan mendiskriminasi. Dari hasil pengelompokan perilaku menstigma/mendsikriminasi ODHA didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Menstigma/ Mendiskriminasi ODHA di Kota Medan tahun 2010 Perilaku Menstigma/ Jumlah (n) % Mendiskriminasi Menstigma/Mendiskriminasi 77 48,7 Tidak Menstigma/ 81 51,3 Mendiskriminasi Total 158 100 Dari tabel 3. Diatas dapat dilihat bahwa hampir sebagian responden (48,7%) memiliki perilaku menstigma dan mendiskriminasi ODHA. Analisis Bivariat Analisis bivariabel digunakan untuk melihat hubungan variabel dependen dengan variabel independen menggunakan uji chi-square dan Ratio Prevalence/RP (Ahrens & Pigeot, 2006). Pengujian hipotesis penelitian didasarkan atas taraf signifikansi 5% (P=0,05) dan Confidence Interval (CI) 95%. Hubungan antara pengetahuan bidan dan persepsi bidan dengan stigma dan diskriminasi pada ODHA secara lebih jelas dapat dilihat dalam tabel 4. Berdasarkan analisis pada tabel 4. Diketahui bahwa Pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS memiliki hubungan bermakna dengan Stigma dan Diskriminasi pada ODHA dengan nilai p < 0,01; RP=2,08 (95%, CI=1,43-3,03) yang artinya stigma dan diskriminasi pada ODHA ditemukan 2,08 kali lebih banyak terdapat pada bidan yang mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS yang kurang baik dibandingkan dengan bidan yang mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS yang baik. Variabel persepsi bidan tentang HIV/AIDS juga memiliki hubungan bermakna dengan stigma dan diskriminasi pada ODHA dengan nilai RP=3,67 (95%, CI=2,34-5,75); p < 0,01 yang artinya stigma dan diskriminasi pada ODHA ditemukan 3,67 kali lebih banyak terdapat pada bidan yang mempunyai persepsi tentang HIV/AIDS yang kurang baik dibandingkan dengan bidan yang mempunyai persepsi tentang HIV/AIDS yang baik. Analisis Multivariat Analisis multivariabel dilakukan untuk menilai hubungan variabel Pengengetahuan dan persepsi bidan tentang HIV/AIDS terhadap stigma dan diskriminasi pada ODHA. Analisis menggunakan uji regresi logistik dengan tingkat kemaknaan sebesar P<0,05%. Hasil analisis pada tabel 5. Menunjukkan bahwa variabel pengetahuan bidan dan persepsi bidan tentang HIV/AIDS memiliki hubungan bermakna dengan stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS karena mempunyai nilai p<0,05. Variabel persepsi bidan lebih dominan memiliki hubungan dengan stigma dan diskriminasi pada ODHA. Tabel 4. Hubungan antara Pengetahuan dan Persepsi Bidan dengan Stigma dan Diskriminasi pada ODHA di Kota Medan tahun 2010 Variabel Stigma dan Diskriminasi ODHA Menstigma % Tidak % Menstigma χ2 p RP CI 95% Pengetahuan Kurang Baik Baik 47 30 29,75 18,99 22 59 13,92 37,34 18,41 < 0,01 2,08 1,43-3,03 Persepsi Kurang Baik Baik 59 18 37,34 11,39 16 65 10,13 41,14 51,19 < 0,01 3,67 2,34-5,75 Tabel 5. Analisis Multivariabel antara Pengetahuan Bidan, Persepsi Bidan dengan Stigma dan Diskriminasi pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Variabel Pengetahuan Bidan tentang HIV/AIDS Persepsi Bidan tentang HIV/AIDS Exp(B) 2,4 10,6 95% CI 1,09-5,26 4,88-29,27 p 0,030 < 0,01 N 158 23 PEMBAHASAN Pengetahuan Bidan tentang HIV/AIDS Hasil analisis data terlihat bahwa meskipun sudah banyak bidan mempunyai tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS yang baik (56,3%), akan tetapi ternyata masih banyak bidan yang mempunyai tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS yang kurang baik (43,7%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mahendra6 pada penelitian di rumah sakit di India yang menyatakan terdapat sebanyak 65 persen petugas bangsal rumah sakit (ward staff) yang memiliki pemahaman yang keliru tentang HIV/AIDS. Masih banyaknya kesalahpahaman Bidan tentang HIV/AIDS tentu saja membutuhkan perhatian lebih. Bidan sebagai petugas kesehatan adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kebidanan dan kesehatan pada umumnya2. Melalui proses pendidikan yang telah dilalui bidan sudah seharusnya mendapatkan bekal pengetahuan yang cukup memadai sebelum bertugas, namun kenyataannya masih banyak dijumpai bidan yang memiliki kesalahpahaman tentang HIV/AIDS. Hal ini kemungkinan terkait dengan kurikulum pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa belum memberikan materi tentang HIV/AIDS secara lengkap dan mendetail. Variabel pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS pada analisis bivariat (tabel 4) menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan stigma dan diskriminasi oleh bidan terhadap ODHA. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa hubungan antara pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS dengan stigma dan diskriminasi oleh bidan terhadap ODHA dengan nilai RP=2,08 (95% CI = 1,43-3,03); p<0,01 artinya bidan yang melakukan stigma dan diskriminasi pada ODHA 2,08 kali lebih banyak dilakukan oleh bidan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik dibandingkan bidan yang memiliki pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS. Hasil analisis multivariat (tabel 5) juga menunjukkan bahwa pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS berhubungan secara signifikan dengan stigma dan diskriminasi oleh bidan terhadap ODHA. Hal ini tentu saja bisa dipahami, bahwa dengan semakin meningkatnya pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS, cara penularan HIV dan cara pencegahan HIV akan semakin menurunkan ketakutan yang berlebihan dari bidan terhadap HIV/AIDS serta semakin memudarnya mitos-mitos tentang HIV yang tidak benar. Dengan pemahaman yang benar tentang HIV/AIDS maka bidan bisa menghindari sikap-sikap yang dilandasi oleh stigma dan diskriminasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahendra6 dimana dalam upaya menurunkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA di rumah sakit di India menunjukkan bahwa dengan dilaksanakannya program peningkatan pengetahuan petugas kesehatan tentang HIV/AIDS ternyata dapat menurunkan secara signifikan skor stigma indeks dari ratarata 42,79 menjadi 3,07 (p<0,05). 24 Selanjutnya Aggleton7 menyatakan bahwa faktor ketidaktahuan tentang penyakit AIDS, kesalahpahaman tentang bagaimana HIV ditularkan serta ketidaktahuan tentang bagaimana melindungi diri dari infeksi HIV merupakan faktor-faktor yang menjadi pemicu munculnya stigma dan diskriminasi. Herek8 menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap ODHA berhubungan dengan kesalahpahaman tentang penularan HIV, perkiraan risiko yang terlalu tinggi tertular HIV melalui kontak biasa dan sikap negatif yang tidak proporsional terhadap kelompok sosial terkait dengan epidemi HIV/AIDS ini. The Centre for the Study of AIDS University of Pretoria menyatakan bahwa penyebab utama stigma dan diskriminasi terhadap ODHA adalah pengetahuan yang tidak lengkap, ketakutan yang berlebihan terhadap penyakit AIDS, norma seksual dan kurangnya memahami stigma, karena terkadang seseorang tidak menyadari bahwa perkataan atau tindakan yang dilakukannya sudah memberikan stigma atau diskriminasi terhadap orang lain. Persepsi Bidan tentang HIV/AIDS Dari hasil analisis data dengan menggunakan mean 57,30 sebagai cut off point terlihat bahwa meskipun sudah banyak bidan yang telah mempunyai tingkat persepsi tentang HIV/AIDS yang baik (52,5%), akan tetapi ternyata masih banyak bidan yang mempunyai persepsi tentang HIV/AIDS yang kurang baik (47,5%). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Pratikno10 yang menyatakan bahwa 95% persepsi petugas kesehatan berada diatas rata-rata skor. Masih banyaknya persepsi negatif bidan terhadap ODHA ini terkait dengan nilai-nilai seperti sikap menyalahkan (blame), menghakimi (judgement) dan rasa malu (shame) yang dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS. Persepsi bidan terhadap ODHA dipengaruhi oleh pengetahuan tentang HIV/AIDS, faktor kepribadian dan faktor budaya. Variabel persepsi bidan tentang HIV/AIDS pada analisis bivariat (tabel 4) menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan stigma dan diskriminasi oleh petugas kesehatan terhadap ODHA. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa hubungan antara persepsi bidan tentang HIV/AIDS dengan stigma dan diskriminasi oleh bidan terhadap ODHA dengan nilai RP=3,67 (95% CI = 2,34-5,75); p<0,01 artinya bidan yang melakukan stigma dan diskriminasi pada ODHA 3,67 kali lebih banyak dilakukan oleh bidan yang memiliki persepsi yang kurang baik dibandingkan bidan yang memiliki persepsi yang baik tentang HIV/AIDS. Hasil analisis multivariat (tabel 17) juga menunjukkan bahwa persepsi petugas kesehatan terhadap ODHA berhubungan secara signifikan dengan stigma dan diskriminasi oleh petugas kesehatan terhadap ODHA. Hal ini tentu saja bisa dipahami, bahwa dengan semakin meningkatnya persepsi petugas kesehatan terhadap ODHA maka akan semakin menurunkan sikap menyalahkan (blame) petugas kesehatan terhadap ODHA dan sikap menghakimi (judgment) petugas kesehatan terhadap ODHA, yang akhirnya akan mampu mengikis segala sifat, sikap dan tindakan yang dilandasi oleh stigma dan diskriminasi. Hasil ini sesuai dengan pendapat Cock11 yang menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap ODHA sangat dipengaruhi oleh persepsi tentang rasa malu dan sikap menyalahkan yang terkait dengan penyakit AIDS tersebut. Stigma dan Diskriminasi Pada ODHA Dari hasil analisis data dengan menggunakan mean 33,77 sebagai cut off point terlihat bahwa meskipun sudah banyak bidan yang tidak menstigma dan mendiskriminasi ODHA (51,3%), akan tetapi ternyata masih banyak bidan yang masih melakukan stigma dan diskriminasi pada ODHA (48,7%). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mahendra6 yang mengemukakan bahwa 54 persen petugas kesehatan di rumah sakit di India berpendapat bahwa peralatan dan alas tempat tidur/sprei yang digunakan oleh pasien pengidap HIV/penderita AIDS seharusnya dibuang atau dibakar serta terdapat sebanyak 67 persen petugas kesehatan di rumah sakit di India setuju apabila darah setiap pasien seharusnya dilakukan tes HIV tanpa persetujuan pasien yang bersangkutan. Mahendra6 menyatakan bahwa manifestasi umum dari stigma dan diskriminasi oleh staf rumah sakit meliputi perkataan yang menghakimi dan merendahkan diri (condescending and judgemental remarks), tidak merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lain (unwarranted referral to other facilities), menandai dan memisahkan pasien (segregation and labeling patients), menggunakanan alat pelindung secara berlebihan (excessive use of barrier precautions), melakukan tes HIV tanpa persetujuan (unconsented HIV testing), konseling sebelum dan sesudah tes HV yang tidak memadai (inadequate preand post-test counseling), menyembunyikan hasil tes HIV dari pasien (withholding of HIV test results from the patient), memberitahukan hasil tes HIV kepada keluarga atau petugas kesehatan yang lain tanpa persetujuan (unconsented disclosure of test results to family and non-treating staff) hingga menolak untuk merawat (denial of treatment). Ekstrand12 menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi dapat diekspresikan dalam beberapa cara, meliputi: 1) pengasingan, penolakan dan menjauhi ODHA (ostracism, rejection and avoidance of PLHA); 2) diskriminasi terhadap ODHA oleh keluarga, petugas kesehatan, masyarakat dan pemerintah (discrimination against PLHA by their families, health care professionals, communities and goverments); 3) kewajiban tes HIV tanpa adanya perlindungan kerahasiaan dan pernyataan kesediaan sebelumnya (mandatory HIV testing of individuals without prior informed consent or confidentiality protections); 4) mengkarantina pengidap HIV (quarantine of persons who are HIV infected); 5) melakukan kekerasan terhadap orang yang dianggap AIDS, pengidap HIV atau termasuk dalam kelompok risiko tinggi (violence against persons who are perceived to have AIDS, to be infected with HIV or belong to ”high risk groups”). Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam upaya penghilangan stigma dan diskriminasi oleh bidan terhadap ODHA dengan prioritas utama pada upaya penghilangan bentuk eksternal stigma berupa penolakan yang disusul oleh diskriminasi, pengorbanan, pelanggaran hak asasi manusia, pelecehan dan menjauhi. Dengan pemberian skala prioritas intervensi sesuai dengan bentuk eksternal stigma ini diharapkan upaya penghilangan stigma dan diskriminasi oleh bidan terhadap ODHA dapat berlangsung secara efektif dan tepat sasaran. Kesimpulan 1. Prevalensi Stigma dan Diskriminasi pada ODHA lebih banyak terdapat pada bidan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang HIV/AIDS dibandingkan dengan bidan yang memiliki pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS. 2. Prevalensi Stigma dan Diskriminasi pada ODHA lebih banyak terdapat pada bidan yang memiliki persepsi yang kurang baik tentang HIV/AIDS dibandingkan dengan bidan yang memiliki persepsi yang baik tentang HIV/AIDS. 3. Pengetahuan dan Persepsi bidan tentang HIV/AIDS mempunyai hubungan bermakna dengan Stigma dan diskriminasi pada ODHA, namun variabel persepsi bidan memiliki hubungan yang lebih dominan. Saran 1. Perlu terus diupayakan peningkatan pengetahuan bidan terutama tentang tes HIV, cara pencegahan HIV, tentang HIV/AIDS dan cara penularan HIV agar bidan benar-benar memiliki pemahaman yang komprehensif, tepat dan jelas sehingga dapat menghilangkan mitosmitos yang tidak benar serta ketakutan yang berlebihan terhadap HIV/AIDS baik melalui pelatihan teknis, desiminasi informasi melalui buku-buku, poster, diskusi dan sebagainya. 2. Perlu terus digalakkan upaya penghilangan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA di kalangan bidan dengan menetapkan standar pelayanan operasional yang baku dan disertai dengan penyediaan sarana pendukung yang memadai. DAFTAR RUJUKAN 1. 2. WHO (2006) AIDS epidemic update, December 2006. Depkes (2008) Ditjen PPM & PL, Statistic Update : Incidence and Epidemioloigy HIV/AIDS in Indonesia, Jakarta. 25 3. 4. 5. 6. 7. 26 Day, R. (2006) Ancaman HIV di Indonesia, Direktur P2ML Ditjen PP & PL Departemen Kesehatan RI. Webber, G.C. (2007) Chinese health care providers‟ attitude about HIV: a review, AIDS Care, May; 19(5): 685-691. UNAIDS (2001) Stigma and discrimination fuel AIDS epidemic, UNAIDS warns. Press release, 5 September, Geneva. Quoted in: Reidpath, D.D., Brijnath, B., and Chan, K.Y., (2005) An Asia Pacific six country study on HIV-related discrimination: Introduction, AIDS Care, July 2005; 17 (Suplemen 2): S117-S127. Mahendra, V.S., Gilborn, L., George, B., Samson, L., Mudoi, R., Jadav, R., Gupta, I., Bharat, S., and Daly, C. (2006) Reducing stigma and discrimination in hospital: positive findings from India, Horizons Research Summary, Washington, DC:Population Council Aggleton, P., Parker, R., & UNAIDS (2002) World AIDS Campaign 2002- 2003: A conceptual framework and basis for action HIV/AIDS stigma and discrimination. Available at: http://www.eldis.org/static/ DOC 1014.htm. 8. Herek, G.M., Capitanio, J.P., & Widaman, K.F. (2002) HIV-related stigma and knowledge in the United States: Prevalence and Trends, 19911999, American Journal of Public Health, vol 92, No 3, Marc, 371- 377. 9. Herek, G.M., Capitanio, J.P., & Widaman, K.F. (2002) HIV-related stigma and knowledge in the United States: Prevalence and Trends, 19911999, American Journal of Public Health, vol 92, No 3, Marc, 371- 377. 10. Pratikno, Heri (2008) Stigma dan Diskriinasi oleh petugas Kesehatan terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tesis (tidak dipublikasikan). 11. Cock, K.M.D., Mbori-Ngaca, D., & Marum, E. (2002) Shadow on the continent: Public health and HIV/ADS in Africa in the 21st century. The Lancet, 360, 67-72. 12. Ekstrand, M. (2006) How does stigma affect HIV prevention and treatment, Center for AIDS Prevention Studies and the AIDS Research Institute, University of California, San Fransisco. Abell, N. ANALISA JENIS LEUKOSIT PADA PENDERITA TUBERCULOSIS PARU DI BALAI LABORATORIUM KESEHATAN MEDAN Azhar Johan, Nelma Jurusan Analis Politeknik Kesehatan Medan Abstrak Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa, kuman ini sering dijumpai pada paru-paru dan bisa juga dijumpai pada organ tubuh lain. Penularan kuman ini terutama melalui udara dan juga melalui makanan yang terkontaminasi dengan kuman Mycobacterium tuberculosa. Untuk mendiagnosa TBC dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA) dan kultur sputum. Pada pemeriksaan mikroskopis apabila ditemukan basil tahan asam (BTA) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan identifikasi (kultur sputum) positif maka diagnosanya adalah TBC. Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai laju endap darah (LED) yang tinggi (khas), anemia ringan . Jenis leukosit pada pemeriksaan hitung jenis leukosit yang sering muncul dan mencolok adalah monosit dan limfosit Telah dilakukan penelitian pada bulan juli sampai dengan Agustus 2010. Tempat penelitian dilakukan di Balai Laboratorium Kesehatan Medan. Adapun sample penelitian ini berjumlah 30 pasien yang menderita tuberculosis paru (TB paru). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis leukosit pada penderita TB paru. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Telah dilakukan penelitian dari 30 pasien didapat hasil 24 pasien (80 %) yang menderita monositosis dan 6 pasien (20 %) tidak. 20 pasien BTA positif (+) 10 pasien BTA positif (++). Kesimpulan penelitiaan ini dari 24 pasien yang menderita monositosis, ternyata ada pasien yang mengalami infeksi lain. Sebelas pasien yang menderita monositosis saja, satu (1) pasien menderita monositosis, neutrofeni dan limfositosis, tiga (3) pasien menderita monositosis dan eosinofilia, enam (6) pasien menderita monositosis dan neutrofini, tiga (3) pasien menderita monositosis, eosinofili dan neutrofilia. Kata kunci : Mycobacterium Tuberculosa, TB Paru. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit tuberculosis paru (TB paru) adalah salah satu masalah utama kesehatan masyarakat. Pada tahun 1995 hasil pendataan dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit tuberculosis (TBC) merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu golongan penyakit infeksi (Depkes, 2002). Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa, kuman ini sering dijumpai pada paru-paru dan bisa juga dijumpai pada organ tubuh lain. Penularan kuman ini terutama melalui udara dan juga melalui makanan yang terkontaminasi dengan kuman Mycobacterium tuberculosa (Pragoyo, 2005). Untuk mendiagnosa TBC dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA) dan kultur sputum. Pada pemeriksaan mikroskopis apabila ditemukan basil tahan asam (BTA) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan identifikasi (kultur sputum) positif maka diagnosanya adalah TBC. Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai laju endap darah (LED) yang tinggi (khas), anemia ringan . Jenis leukosit pada pemeriksaan hitung jenis leukosit yang sering muncul dan mencolok adalah monosit dan limfosit (Kurt, 1998). Pada penderita TBC monosit selalu tinggi dikarenakan kuman TBC sangat menyenangi lipid, dan tetes lemak banyak tedapat pada monosit. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol). Adapun sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, terutama pada jaringan bagian apical paru-paru. Bila terinfeksi oleh basil BTA maka akan sangat menggangu sirkulasi peredaran darah dan biasanya menyebabkan peningkatan sel-sel darah seperti monosit dan limfosit dan ditambah lagi dengan peningkatan jumlah leukosit (Kurt, 1998). Berkenaan dengan ini peneliti bermaksud melakukan pemeriksaan leukosit pada penderita TBC di Balai Laboratorium Kesehatan guna membuktikan hal tersebut diatas Perumusan Masalah Apakah ada peningkatan leukosit pada penderita TBC yang datang memeriksakan diri ke Balai Laboratorium Kesehatan Medan. 27 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui jenis leukosit yang meningkat pada penderita TBC yang datang memeriksakan diri ke Balai Laboratorium Kesehatan Medan. Manfaat Penelitian Memberikan pengalaman dan pengetahuan ilmiah bagi penulis dalam melakukan penelitian, dan sebagai sumber informasi bagi masyarakat. METODE Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2010 di Balai Laboratorium Kesehatan Medan. Sample Penelitian Diambil sebanyak 30 orang penderita TB paru yang datang memeriksakan diri ke Balai Laboratorium Kesehatan Medan. merespon infeksi kuman tersebut, sehingga monositosis dianggap sebagai pertanda aktifnya penyebaran tuberculosis, adanya monositosis menunjukkan gejala awal yang kurang baik terhadap kondisi paru-paru pasien (Arthur, 1992). Disisi lain jumlah monosit tidak selalu meningkat pada penderita TB Paru, terbukti ada 6 sample yang jumlah monositnya normal (pada table 1). Hal tersebut dimungkinkan terjadi pada pasien yang memiliki daya tahan tubuh yang baik atau infeksi kuman Mycobacterium tuberculosa pada pasien masih pada tahap sangat awal, sehingga belum memicu pembentukan monosit-monosit baru. Tabel 2. Hasil Pemeriksaan BTA. No BTA Jumlah Pasien 1. Positif ( + ) 20 2. Positif ( + + ) 10 Total 30 Metode Penelitian Penelitian dilakukan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Telah dilaksanakan pemeriksaan darah terhadap 30 pasien penderita TB paru di Balai Laboratorium Kesehatan Medan. Pemeriksaan hitung jenis leukosit didapat hasil seperti tertera dalam tabel 1 berikut : Tabel 1. Hasil Pemeriksaan leukosit. Pasien No Jumlah Monosit Jumlah Jumlah ( % ) 1. Diatas normal 24 80 2. Normal 6 20 Total 30 100 Jumlah Pasien Grafik 1 Hasil Pemeriksaan Leokisit 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tabel 3. Hasil hapusan darah pasien berusia 30-50 tahun. diatas normal normal LEOKOSIT Data dari tabel 1 menunjukkan bahwa 24 sample (80 %) jumlah monositnya berada diatas normal sedangkan 6 sample (20 %) jumlah monositnya normal. Monositosis adalah peningkatan jumlah monosit di atas 2-8 %. Salah satu penyebab tingginya jumlah monosit adalah adanya infeksi kuman Mycobacterium tuberculosa. Monosit dalam hal ini berperan aktif dalam 28 Dari 30 sample yang menderita TB Paru didapat 20 orang yang BTA positif (+). Menurut IUATLD (International Union Against Tuberculosis Lung Deseases), Positif (+) adalah bila dijumpai dalam 100 lapangan pandang kuman BTA 10-99. Ini merupakan pertanda pasien mengidap tuberculosis awal (ringan). Sedangkan positif (++) adalah bila dijumpai dalam 1 lapangan pandang kuman BTA 1-10.Positif (++) merupakan pertanda pasien mengidap TB Paru sedang. Pada penelitian ini jumlah pasien yang positif (++) dijumpai sebanyak 10 orang (tabel 2). NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 No. Sediaan 18 21 32 35 80 88 97 99 103 124 135 140 163 166 169 172 Umur 41 39 43 50 40 43 50 49 39 50 49 47 42 40 42 44 Monosit 9 12 17 9 17 13 14 8 7 13 16 14 12 15 16 18 Selain itu data penelitian ini yang menunjukkan bahwa pasien yang berusia 30-50 tahun mencapai 16 pasien, dari ke 16 pasien tersebut 2 pasien diantaranya jumlah monositnya tidak meninggi sedangkan 14 pasien sisanya monositnya meninggi (tabel 3). Ini menunjukkan bahwa pada usia produktivitas pembentukan monosit masih aktif dan baik. Monosit yang dibuat di sumsum tulang akan masuk dalam aliran darah dalam beberapa jam. Monosit akan berpindah ke dalam jaringan untuk proses pematangan hingga berubah menjadi makrofag atau sel pemangsa atau fagosit pada sistem kekebalan. Perubahan tersebut akan terjadi dengan relatif cepat jika dipicu kehadiran antigen. Antigen dalam hal ini adalah Mycobacterium tuberculosa ( Arthur,1992). Tabel 5. Pasien yang eosinofilia. NO No. Sediaan 1. 0035 2. 0088 3. 0097 4. 0099 5. 0111 6. 0145 7. 0169 8. 0175 9. 0179 mengalami monositosis dan Monosit 9 13 14 8 9 7 16 17 10 Eosinofil 4 5 4 4 4 5 5 4 4 Tabel 4. Hasil hapusan darah pasien berusia 50-70 tahun. NO No.Sediaan Umur Monosit 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 0011 0070 0076 0079 0091 0111 0141 0145 0149 0151 0175 0176 0179 0183 55 54 60 63 52 63 54 52 56 57 51 53 60 70 10 12 13 15 12 9 8 7 6 11 17 11 10 8 Pada pasien yang berusia 50-70 tahun (jumlahnya 14 pasien), 10 pasien monositnya meninggi dan hanya 4 yang monositnya normal (tabel 4). Ini mengindikasikan bahwa pasien yang berusia 50-70 tahun sudah kurang produktif dalam pembentukan monosit, sehingga meskipun tubuhnya terinfeksi kuman, sum-sum tulangnya kurang memberi respon pembentukan sel-sel darah baru. Dari 30 pasien yang diteliti yang jumlah eosinofilnya meninggi sebanyak 9 pasien, tuju (7) pasien diantaranya selain terkena monositosis ternyata juga terkena eosinofilia (tabel 5), hal ini mengindikasikan bahwa pasien disamping terinfeksi oleh kuman Mycobacterium tuberculosa kemungkinan juga terinfeksi oleh infeksi parasit (kecacingan). Standar baku eosinofilia adalah bila jumlah eosinofil diatas 1-3% (Arthur, 1992). Tabel 6. Pasien yang neutrofeni. mengalami monositosis NO No.Sedian Monosit Neutrofil 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 0032 0070 0079 0091 0097 0099 0145 0149 0169 0172 0175 0176 0179 17 12 15 12 14 8 8 7 16 18 17 11 10 31 47 45 44 41 49 46 46 48 47 43 48 46 dan 29 SIMPULAN DAN SARAN Tiga puluh (30) pasien yang diteliti ditemukan juga pasien yang menggalami neutropeni yaitu yang neutropilnya berjumlah dibawah 50% (Lubis, 1992). Jumlah pasien yang neutrofeni mencapai 13 pasien, 10 diantaranya ternyata juga mengalami monositosis (tabel 6). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa ke 10 pasien selain terkena TB paru, juga mengalami anemia dan memungkinkan juga kekurangan vitamin B12. Hal ini mungkin terjadi setelah pasien terkena TB paru, biasanya pasien mengalami batuk darah, sehingga jumlah sel darah merah tubuh menurun dan menimbulkan efek samping berupa anemia. Penurunan neutrofil segmen disebut neutrofeni (Lubis, 1992). Dari 30 pasien yang diteliti terdapat 1 pasien yang selain monositosis, neutrofeni juga mengalami limfositosis (lampiran 2). Limfositosis merupakan respon imun normal didalam darah dan jaringan limfoid terhadap tuberculosis. Terjadinya limfositosis pada pasien menunjukkan adanya proses penyembuhan terhadap tuberculosis (Arthur,1992). Ini mengindikasikan bahwa selain pasien mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosa dan infeksi lain namun pasien ini diduga sudah mendapat penggobatan. Respon tubuh yang baik terhadap obat yang dikonsumsi oleh pasien ditandai dengan adanya proses peningkatan limposit pada pasien, tetapi pasien ini belum dalam keadaan sembuh total ditandai dengan adanya neutrofeni. Tabel 7. Pasien dengan monositosis, eosinofili dan neutrofeni. NO No Sediaan Monosit Eosinofil Neutrofil 1 0097 14 4 41 2 0169 16 5 48 3 0175 17 4 43 4 0179 10 4 46 Kasus lain yang ditemukan adalah adanya pasien yang mengalami monositosis, eosinofilia dan neutrofeni sebanyak 4 pasien (tabel 7). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pasien selain terinfeksi oleh kuman Mycobacterium tuberculosa pasien juga mengalami infeksi parasit. Dalam hal ini pasien menggalami berbagai infeksi, yang memungkinkan terjadinya anemia dan kekurangan vitamin B12.. 30 Simpulan Dari hasil penelitian pemeriksaan leukosit pada hapusan darah tepi dari penderita TB paru di Balai Laboratorium Kesehatan Medan diperoleh hasil 24 orang (80%) mengalami monositosis. Sedangkan 6 orang (20%) monositnya normal. Dari 24 pasien yang menderita monositosis dijumpai 11 pasien yang hanya menderita monositosis saja, enam (6) pasien yang menderita monositosis dan neutrofeni. Satu (1) pasien yang menderita monositosis, neutrofeni dan limfositosis.Tiga (3) pasien menderita monositosis dan eosinofilia. Tiga (3) pasien yang lain menderita monositosis, eosinofili dan neutrofeni. Pada penelitian ini didapat pasien yang berumur 3050 tahun (16 pasien) lebih banyak menderita monositosis dibandingkan dengan pasien yang berumur 50-70 tahun (14 pasien). Dari 30 pasien yang menderita TB paru didapat 20 pasien yang BTA positif (+). Dan 10 pasien yang BTA positif (++). Saran Pada pembuatan dan pemeriksaan sediaan hapus darah tepi harus lebih teliti agar tidak terjadi kesalahan. Hindari kontak terlalu lama dengan penderita TB Paru untuk menghindari penularan. Kepada penderita TB paru agar tidak meludah dan membuang dahak disembarang tempat, menjalani pengobatan atau terapi dengan baik, dan mengkonsumsi makanan bergizi. Pada peneliti selanjutnya agar menggunakan sample yang lebih banyak agar menemukan hasil yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA DepKes RI. 1989. “Hematologi”, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan DepKes RI, Jakarta, , hal 8-67. ______, 2002. “Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis”, Cetakan ke-8, DepKes RI, Jakarta, , hal 1-21. Geo, F. Brooks. Dkk. 1999. “Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg’s”, Salemba Medika, Jakarta, hal 456-465. Guyton, A. C. 1998. “Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit”, Edisi III, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal 50-55. Kurt, J, Isselbacher, A.B, MD. Dkk, 1998, “PrinsipPrinsip Ilmu Penyakit Dalam”, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta hal 199-804. Lauralee Sharewood, 1996, “Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem”, Edisi II, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, Hal 346. Lubis, M, S. dr, 1992, “Diktat Hematologi I”, Penerbit DepKes RI Jakarta, , hal 61-64. Pragoyo Utomo, 2005, “Apresiasi Penyakit, Pengobatan Secara Tradisional dan Modern”,Jakarta, Hal 16-17. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 1989, “Bakteriologi Klinik”, DepKes RI, Jakarta, , hal 85-96. R, Gandasoebrata, 2001, “Penuntun Laboratorium Klinik”, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, , hal 23-33. Slamet Suyono, SpPD, KE, Prof.Dr.H, .2001, “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”, Jilid II Edisi III, Penerbit FKUI, Jakarta, hal 819-829. Staf Pengajar FKUI, 1999, “Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi”, Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, hal 23-33. 31 GAMBARAN POLA PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN PADA MASA KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS IBU MELAHIRKAN DI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2010 Yusliana Nainggolan, Dame Evalina Simangunsong, Risnawati Tanjung Jurusan Kebidanan Poltekkes kemenkes Medan Abstrak Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan indikator utama dalam menilai pembangunan kesehatan Negara. Banyak faktor yang menjadi penyebab kematian ibu seperti perdarahan, eklampsia saat kehamilan, partus lama, komplikasi aborsi dan infeksi. Pola penyebab kematian menunjukkan, pelayanan obstetrik dan neonatal darurat serta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sangat penting dalam upaya penurunan kematian ibu. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan desain explanatory research. Lokasi penelitian Kabupaten Simalungun, waktu penelitian Agustus – November 2010. Populasi dalam penelitian adalah ibu yang telah melahirkan sampai 40 dan pemilihan sampel dilakukan dengan teknik „two stage cluster sampling.. Hasil penelitian dari faktor Sosio Budaya,yang berperan dalam pengambilan keputusan pada masa kehamilan hingga masa nifas adalah ibu. Faktor organisasi yaitu ketersediaan sumber daya pelayanan kesehatan bahwa jumlah RS sebanyak 9 Rumah Sakit. Terdapat 34 unit Puskesmas yang terdiri dari 23 Puskesmas rawat jalan dan 11 puskesmas Perawatan. Terdapat 50 unit pos Kesehatan Desa yang tersebar di 50 desa/kelurahan. Maka ratio Posyandu terhadap puskesmas sebesar 38,35 %. Kepemilikan jaminan kesehatan didapat, 63.8% tidak mempunyai jaminan. Tingkat pengetahuan masyarakat tentang kehamilan, persalinan dan masa nifas berada pada kategori sedang. Persepsi, sikap dan kepercayaan terhadap kehamilan cukup mendukung. Kenyamananan pemberian pelayanan, responden memberi penilaian baik kepada Bidan sebanyak 96,67%, dokter sebanyak 96,67% dan dukun 84,29%. Kesabaran dalam pemberiaan pelayanan responden memberi penilaian baik kepada dokter sebanyak 199 orang (99,5%). Untuk Pola pencarian pelayanan kesehatan yaitu pada masa nifas kepada bidan desa (62%), menyusul bidan swasta (10,4) dan kombinasi dukun bayi dan bidan desa (8,5%).. Kombinasi ini dipilih oleh para ibu dimana dianggap lebih lengkap baik secara tradisional maupun secara medis sehingga pilihan ini lebih nyaman. Kata Kunci : Gambaran, Pelayanan, Kesehatan, Hamil, Bersalin, Nifas PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator utama dalam menilai pembangunan kesehatan suatu Negara. Indonesia telah mencanangkan Making Pregnancy Safer ( MPS) sebagai stategi pembangunan kesehatan masyarakat menuju Indonesia Sehat 2010 pada 12 Oktober 2000 sebagai bagian dari program Safe Motherhood yang telah dilaksanakan sejak 1988. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan, eklampsia atau gangguan akibat tekanan darah tinggi saat kehamilan, partus lama, komplikasi aborsi dan infeksi. Perdarahan,yang biasanya tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara mendadak, bertanggung jawab atas 28 persen kematian ibu. Sebagian besar kasus perdarahan dalam masa nifas terjadi karena retensio plasenta dan atonia uteri. Hal ini mengindikasikan kurang baiknya manajemen tahap ketiga proses kelahiran dan pelayanan emergensi obstetric dan perawatan neonatal yang tepat waktu. Eklamsia merupakan penyebab utama kedua kematian ibu, yaitu 13 persen kematian ibu di Indonesia 32 (rata – rata dunia adalah 12 persen). Pemantauan kehamilan secara teratur sebenarnya dapat menjadi akses terhadap perawatan yang sederhana dan murah yang dapat mencegah kematian ibu karena eksplamsia. Pola penyebab kematian di atas menunjukkan bahwa pelayanan obstetrik dan neonatal darurat serta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih menjadi sangat penting dalam upaya penurunan kematian ibu. Walaupun sebagian besar perempuan bersalin di rumah, tenaga terlatih dapat membantu mengenali kegawatan medis dan membantu keluarga untuk mencari perawatan darurat. Proporsi persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih terus meningkat dari 40,7 persen pada 1992 menjadi 77,23 persen pada 2007. Proporsi ini berbeda cukup jauh mengikuti tingkat pendapatan. Pada ibu dengan pendapatan lebih tinggi, 82,2 persen kelahiran ditolong oleh tanaga kesehatan, sementara pada golongan berpendapatan rendah hanya 21,39 persen. Hal ini menunjukkan tidak meratanya akses finansial terhadap pelayanan kesehatan dan tidak meratanya distribusi tenaga terlatih terutama bidan. Berdasarkan penyebab langsung dan tidak langsung dari kematian ibu yang telah diuraikan diatas, pemenuhan gizi dan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada periode kehamilan hingga periode nifas memberikan kontribusi besar dalam menurunkan risiko terjadinya kematian ibu dan kematian neonatal. Menurut Grossman dengan teori Demand for Health Capital , bahwa yang diinginkan seseorang dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan dan intake gizi adalah kesehatan. Alokasi dana rumah tangga yang cukup untuk pemenuhan gizi dan pelayanan kesehatan akan meningkatkan status kesehatan anggota rumah tangga. Banyak faktor yang mempengaruhi pola pencarian pelayanan kesehatan dalam rumah tangga. Berdasarkan Determinants of Health Outcomes, diketahui jalur untuk meningkatkan derajat kesehatan penduduk melalui public goods adalah melalui peran kebijakan dan program pemerintah, sektor kesehatan dan sektor lain dan peran keluarga/masyarakat. Faktor utama keluarga/masyarakat meliputi: a) sumber daya keluarga, meliputi pendapatan, aset dan kekayaan, pendidikan dan lainya, b) Perilaku dan faktor risiko keluarga, meliputi : pemanfaatan pelayaan kesehatan, perilaku nutrisi dan keamanan makanan, kontrol penggunaan uang dan pengambilan keputusan keluarga, c) Sumber daya masyarakat, meliputi budaya (kebiasaan melahirkan di rumah), nilai, jarak/geografi, lingkungan, transportasi. Menurut Akin dkk (1984) dalam Determinants of Demand For Health Services (Modern Public, Modern Private, Traditional) in The 3rd World, faktor yang mempengarui permintaan akan pelayanan kesehatan adalah sebangai berikut: a) Harga, meliputi: biaya trasportasi, waktu tunggu, tarif/biaya langsung, koasuransi/jaminan sosial, b) Harga jasa/yankes lain, subsitusi atau komplemen, c) Pendapatan, meliputi: besar pendapatan, sumber pendapatan, jenis aset dan kekayaan, d) Alokasi waktu, meliputi sifat/kebiasaan pekerjaan, pekerjaan, e) Kebutuhan kesehatan, meliputi: fisiologis, yang dirasakan/nyata, f) Demografi, meliputi: jenis kelamin, besar/ukuran rumah tangga, g) Urbanisasi, h) Pengetahuan/informasi, meliputi: issu budaya, pendidikan, i) Pengalaman meliputi: efek terhadap kesehatan, efek biaya. Berdasarkan data Susenas tahun 2001 dan 2002, diketahui kabupaten dengan penolong persalinan oleh bidan terendah di Provinsi Sumatera Utara adalah Nias (38,9%), Mandailing Natal (46,9%), Labuhan Batu (69,3%), Asahan (76,15). Pada tahun 2008, Kabupaten Simalungun 65 %. Data yang diperoleh dari Profil Kesehatan Kabupaten Simalungun tahun 2008, bahwa cakupan kunjungan ibu hamil K4 di Kabupaten Simalungun adalah sebesar 71,03 % sedangkan cakupan K1 mencapai 80,21 %, cakupan ini masih jauh dari target indikator SPM 2010 yakni 95 %. Kemungkinan penyebab utama terjadinya penurunan ini adalah rendahnya akses ibu hamil ke sarana pelayanan kesehatan seperti Posyandu dan Puskesmas atau mobilitas yang rendah oleh petugas kesehatan, ketidak tahuan ibu hamil terhadap manfaat kunjungan K4. Kecamatan seperti Hantonduhan, Gunung Malela di kabupaten Simalungun, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, masih mencapai 76 % dan 64 %, dan dalam kurun waktu tahun 2008 kematian ibu hamil 8 org, ibu bersalin 17 org dan kematian ibu nifas 4 orang. Rendahnya cakupan rujukan ibu hamil resiko tinggi masih mencapai 55,6 %, angka ini masih jauh dari target SPM 2010 (100 %). Keadaan-keadaan seperti tersebut di atas akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu dimana keadaan ini masih mengkhawatirkan di Kabupaten Simalungun (AKI 167,7/100.000). Target proses yang belum tercapai, diantaranya cakupan KI dan K4 serta cakupan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan berpengaruh pada target dampak kesehatan. Target dampak kesehatan menurunnya kematian ibu dan kematian neonatal juga dipengaruhi secara langsung oleh status gizi ibu dari periode kehamilan hingga periode nifas. Alokasi dana rumah tangga yang cukup untuk pemenuhan gizi dipadu dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan sesuai kebutuhan menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap pencapaian target dampak kesehatan. Untuk itu, perlu diketahui determinan pola pencariaan pelayanan kesehatan pada masa kehamilan, persalinan dan nifas ibu melahirkan di Kabupaten Simalungun 2010 . Masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan pada masa kehamilan, persalinan dan nifas ibu melahirkan di Kabupaten Simalungun, untuk itu, perlu di ketahui determinan pola pencarian pelayanan kesehatan pada masa kehamilan, persalinan dan nifas ibu melahirkan di Kabupaten Simalungun Tahun 2010. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Determinan pola pencarian pelayanan kesehatan pada masa kehamilan , persalinan dan nifas ibu melahirkan di Kabupaten Simalungun 2010. Jenis penelitian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan desain Explanatori Research yang ditujukan untuk menjelaskkan hubungan variabel bebas dengan variabel terikat.Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Simalungun pada tahun 2010 Pematang Raya Propinsi Sumatra Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu – ibu yang telah melahirkan setelah 7 hari hingga 1 tahun di Kabupaten Simalungun 2010 Propinsi Sumatra Utara. Tehnik penarikan sampel dilakukan dengan tehnik menerapkan rancangan sampel klaster dua tahap (two stage culster sampling) yaitu dengan pemilihan klaster kelurahan pada tahap pertama secara probability proportionate to size (PPS) dan pemilihan sampel pada tahap kedua, yaitu pemilihan sampel rumah tangga dilakukan dengan cara acak sederhana (simple random sampling) (Ariawan, 1996). Berdasarkan perhitungan di atas jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 210 ibu yang telah melahirkan setelah 7 hari hingga 1 tahun di Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatra Utara. HASIL PENELITIAN Pelayanan Kesehatan a. Pelayanan kesehatan Ibu dan bayi Cakupan kunjungan Ibu hamil K4 di Kabupaten Simalungun tahun 2008 adalah sebesar 71,03 %, sedangkan cakupan K1 mencapai 80,21 %. Dengan demikian terjadi drop out K4 sebesar 9,18 % . Kunjungan ibu hamil K1 tahun 2008 ini ternyata lebih rendah dibanding tahun 2007 (82,11 %) sedangkan cakupan 33 kunjungan K4 lebih tinggi tahun 2007 (69,17%) namun masih jauh dari target indikator SPM 2010 yakni 95%. Pada tahun 2008 persentase cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Simalungun adalah 93,42 %, lebih rendah dari tahun 2007 yakni 97, 89 %, namun angka cakupan ini berada di atas target SPM 2010 (90 %). Penurunan persentase cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan ini tentu berkaitan langsung dengan kualitas pelayanan pada saat kunjungan ibu hamil K4. b. Pelayanan Obstetric dan Neonatal Emergency Dasar dan Komprehensif Pelayanan ini meliputi akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk menangani rujukan ibu hamil dan neonatus; ibu hamil resiko tinggi/komplikasi yang ditangani dan neonatal resiko tinggi/komplikasi yang ditangani. Pada tahun 2008 dari 23.421 ibu hamil yang ada 19,33 % diantaranya adalah bumil yang resiko tinggi dan hanya 55,67 % yang dirujuk atau ditangani. Apabila dibandingkan tahun 2007 (100%) dan indikator SPM 2010 (80%), maka persentase cakupan ibu hamil resiko tinggi/komplikasi yang ditangani tersebut masih jauh. Untuk cakupan neonatal resiko tinggi/komplikasi yang ditangani dari 18.200 neonatal yang ada 4,92 % diantaranya adalah neonatal risti dan hanya 525 neonatal risti yang ditangani. Dengan demikian persentase cakupan neonatal resiko tinggi/komplikasi yang ditangani tahun 2008 adalah hanya 58,66%, masih jauh dari ctarget pencapaian indikator SPM 2010 (80%). 7 RS BUMN dan swasta. Ratio penduduk terhadap RS adalah 1 : 94.036.56 atau dengan kata lain 1 RS melayani 94.036 – 94.037 jiwa penduduk. 2) Puskesmas dan Puskesmas Pembantu Tahun 2008 Puskesmas di Kabupaten Simalungun sebanyak 34 unit yang terdiri dari 23 Puskesmas rawat jalan dan 11 puskesmas Perawatan (rawat inap) dengan rata-rata 5 tempat tidur. Ke 34 Puskesmas tersebar di 31 kecamatan. Dengan demikian ratio penduduk terhadap Puskesmas sebesar 24.892 jiwa atau tiap puskesmas melayani 24.892 jiwa. Ratio desa terhadap puskesmas sebesar 10,79 % atau tiap Puskesmas melayani rata-rata 10-11 desa.Puskesmas pembantu hingga tahun 2008 berjumlah 171 unit, dengan demikian ratio Puskesmas pembantu terhadap Puskesmas 5,03 atau setiap Puskesmas membawahi 5 - 6 Puskesmas pembantu. 3) Pos Kesehatan Desa Tahun 2008 terdapat 50 unit pos Kesehatan Desa yang tersebar di 50 desa/kelurahan, sedangkan jumlah desa/kelurahan di kabupaten simalungun sebanyak 367 desa/kelurahan. 4) Pos Pelayanan Terpadu Jumlah Posyandu tahun 2008 ada sebanyak 1.304 Posyandu terdiri dari Pratama (53,22%), madya (26,61%), purnama (17,33%) dan Mandiri (2,84%). Maka ratio Posyandu terhadap puskesmas sebesar 38,35 % atau setiap Puskesmas melayani 38-39 posyandu. c. Sarana Kesehatan 1) Rumah Sakit Umum Tahun 2008 jumlah Rumah Sakit di Kabupaten Simalungun sebanyak 9 RS yang terdiri dari 2 RSUD dan d Tenaga kesehatan Tabel 4.1 Sebaran Tenaga Kesehataan Menurut Unit kerja di Kabupaten Simalungun Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 Unit Kerja Puskesmas (termasuk Pustu dan polindes) Rumah sakit Institusi Diklat/Diknakes Sarana Kesehatan lain Dinkes kab/Kota Jumlah Medis Perawat dan Bidan Farm asi Gizi Tehnisi Medis Sanitasi 146 734 21 58 4 10 7 163 22 8 764 2 4 27 3 7 68 3 7 Tabel 4.2. Umur Responden Umur 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 Total 34 Frekuensi 4 36 88 48 27 7 210 Persentase 1.9 17.1 41.9 22.9 12.9 3.3 100 JLH 11 KE SM AS 6 2 8 21 3 22 31 45 56 1081 980 Tabel 4.3. Paritas Responden Paritas 1 2 3 4 5 6 7 8 Total Frekuensi 63 60 45 30 10 1 1 210 Persentase 30 28.6 21.4 14.3 4.8 0.5 0.5 100 Tabel 4.4. Pendidikan suami responden Pendidikan suami Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU Tamat diploma Sarjana Total Frekuensi 5 22 54 123 2 4 210 Persentase 2.4 10.5 25.7 58.6 1.0 1.9 100 Tabel 4.5. Pendidikan responden Pendidikan TIdak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU Tamat Diploma Sarjana Total Frekuensi 1 8 25 67 97 8 4 210 Persentase 0.5 3.8 11.9 31.9 46.2 3.8 1.9 100 Tabel. 4.6. Suku responden Suku Melayu Jawa Minang Mandailing Batak/Karo Total Frekuensi 7 82 1 5 115 210 Persentase 3.3 39 0.5 2.4 54.8 100 Tabel. 4.7. Pekerjaan Suami Responden Jenis Pekerjaan Tani Swasta Pegawai Negeri Total Frekuensi 98 102 10 210 Persentase 46.7 48.6 4.8 100 Frekuensi 147 25 31 7 210 Persentase 70 11.9 14.8 3.3 100 Tabel 4.8. Pekerjaan Responden Pekerjaan IRT Swasta Tani Pegawai Negeri Total 35 Tabel. 4.9. Kepemilikan Jaminan Kesehatan Jaminan kesehatan Tidak ada Jamkesmas Askes social/ PNS Jamsostek Perusahaan Total Frekuensi 134 35 14 21 6 210 Persentase 63.8 16.7 6.7 10 2.9 100 Tabel 4.10. Jumlah anak responden Jumlah Anak 1 2 3 4 5 6 7 8 Total Frekuensi 72 56 40 31 10 1 210 Persentase 34.3 26.7 19.0 14.8 4.8 0.5 100 Frekuensi 4 205 1 210 Persentase 1.9 97.6 0.5 100 Tabel 4.11 Kondisi Bayi Responden Kondisi Lahir hidup meninggal Lahir hidup Lahir premature Total Tabel 4.12. Riwayat Kehamilan Riwayat kehamilan Keguguran Anemia Preeklamasi/eklamsia Perdarahan Ada keluhan Tidak ada kelainan Jumlah Frekuensi 6 21 1 3 3 176 210 Persentase 2.9 10 0.5 1.4 1.4 83.8 100 Tabel 4.13 Riwayat persalinan Persalinan Spontan / Normal Forcep Vacuum Section Caesaria Dan lain-lain Total Frekuensi 191 4 1 9 5 210 Persentase 91 1.9 0.5 4.3 2.4 100 Tabel 4.14. Riwayat Nifas Riwayat nifas Perdarahan Infeksi/demam Edema kaki Payudara bengkak Tidak ada keluhan Jumlah 36 Frekuensi 8 2 2 15 183 210 persentase 3.8 1.0 1.0 7.1 87.1 100 Tabel 4.15. Berat Badan Lahir Berat ≤ 2500 >2500 - <4000 gram ≥ 4000 gram Total Frekuensi 1 198 11 210 Persentase 0.5 94.3 5.2 100 Frekuensi 50 83 32 22 17 4 2 210 Persentase 23.8 39.5 15.2 10.5 8.1 1.9 1.0 100 Tabel 4.16. Pendapatan Keluarga Pendapatan <=600000 600001 – 1000000 1000001 – 1500000 1500001 – 2000000 2000001 – 2500000 2500001 – 3000000 >3000000 Total Tabel 4.17. Proporsi Jumlah Responden disetiap desa/ Kelurahan Kecamatan Pematang Silimahuta Frekuensi 14 Persentase 6.66 Tanah Jawa 21 10.0 Huta Bayu Raja 7 3.33 Dolok Pardamean 7 3.33 Dolok Panribuan 7 3.33 Bandar 7 3.33 Pematang Bandar 14 6.66 Raya Kahean 7 3.33 Jorlang Hataran 14 6.66 Silau Kahean 7 3.33 Bosar Maligas 28 13.3 Dolok Batu Nanggar 7 3.33 Tapian Dolok 7 3.33 Hantonduhan 14 6.66 Panombean Pane 14 6.66 Gunung Malela 14 6.66 Bandar Huluan 14 6.66 Bandar Marsilam 7 3.33 210 100 Total Faktor Sosiobudaya Tabel 4.18. Kontrol Pengguna Uang Suami Siapa yang paling dominan dalam menentukan alokasi dana rumah tangga Paling dominan menetukan alokasi dana perawatan kesehatan ibu hamil hingga nifas Sebaiknya siapa yang menentukan dana selama hamil sampai nifas Sendiri/istri Mertua Laki-laki Jlh % 1 0.5 Jlh 106 % 50.5 Jlh 103 % 49.0 51 24.3 158 75.2 1 0.5 61 29.0 147 70.0 2 1.0 37 Tabel 4.19. Kepercayaan pada kehamilan dan Nifas Kepercayaan Ada F 72 67 155 72 73 117 Perbuatan yang menjadi pantangan masa kehamilan Makanan yang menjadi pantangan masa kehamilan Perbuatan yang harus dilaksanakan pada masa hamil ( upacara adat) Perbuatan yang menjadi pantangan sewaktu nifas Makanan yang menjadi pantangan sewaktu nifas Perbuatan yang harus dilaksanakan pada masa nifas % 34.3 31.9 73.8 34.3 34.8 55.7 Tidak ada F % 138 65.7 143 68.1 55 26.2 138 65.7 137 65.2 93 44.3 Tabel 4.20. Orang membuat larangan Siapa yang melarang perbuatan/makanan Orangtua Mertua Dukun Bersalin Petugas kesehatan Suami Jumlah Frekuensi 93 37 12 44 24 210 Presentasi 44.3 17.6 5.7 21 11.4 100 Tabel 4.21. Usulan Upacara Adat Siapa yang menganjurkan untuk melakukan perbuatan itu ? Orangtua Mertua Dukun Bersalin Petugas kesehatan Suami Jumlah Frekuensi 116 50 11 6 27 210 Presentasi 55.2 23.8 5.2 2.9 12.9 100 Tabel 4.22. Yang menganjurkan Perbuatan pada Masa Nifas Yang Menganjurkan Orangtua Mertua Dukun Beranak Petugas kesehatan Suami Jumlah Frekuensi 118 28 9 21 34 210 Presentasi 56.2 13.3 4.3 10.0 16.2 100 Tabel 4.23.Anjuran Orangtua dan pihak lain pada saat hamil, persalinan dan nifas Tidak Apakah selama perawatan kehamilan harus selalu ikut perintah /anjuran orangtua Apakah dalam memutuskan persalinan harus selalu ikut perintah/anjuran orangtua Apakah selama perawatan nifas harus selalu ikut /anjuran orangtua Adakah perintah /anjuran itu yang tidak sesuai Masyarakat menghormati anjuran orangtua melakukan perawatan hamil,persalinan sampai nifas ke orangtua/dukun Jika ada,apakah setuju atas kebiasaan tersebut? 38 Ya Jlh 102 % 48.6 Jlh 108 % 51.4 113 53.8 97 46.2 100 79 101 47.6 37.6 48.1 110 131 109 52,4 62.4 51.9 97 46.2 113 53.0038 Tabel 4.24. Keistimewaan pada saat hamil dan nifas Tidak Ya Keistimewaan tidak bekerja berat pada masa kehamilan Jlh 16 % 7.6 Jlh 194 % 92.4 Keistimewaan pemenuhan gizi pada masa kehamilan Keistimewaan tidak bekerja berat pada nifas Keistimewaan pemenuhan gizi pada masa nifas 27 130 16 12.9 61.9 7.6 183 80 194 87.1 38.1 92.4 Faktor Organisasi Tabel 4.25. Penerimaan terhadap pelayanan kesehatan Tidak Apakah cara perawatan kehamilan yang dilakukan bidan sesuai dengan keinginan agama ibu Apakah cara penolongan persalinan yang dilakukan bidan sesuai dengan keinginan ibu Apakah cara perawatan nifas yang dilakukan bidan sesuai dengan keinginan ibu Apakah cara perawatan kehamilan yang dilakukan dokter sesuai keinginan ibu Apakah cara penolongan persalinan yang dilakukan dokter sesuai dengan keinginan ibu Apakah cara perawatan nifas yang dilakukan dokter sesuai dengan keinginan ibu Apakah cara perawatan kehamilan yang dilakukan dukun sesuai dengan keinginan ibu Apakah cara penolongan persalinan yang dilakukan dukun sesuai dengan keinginan ibu Apakah cara perawatan nifas yang dilakukan dukun sesuai dengan keinginan ibu Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan bidan bertentangan dengan adat ibu Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan bidan bertentangan dengan agama ibu Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan dokter bertentangan dengan adat ibu Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan dokter bertentangan dengan agama ibu Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan dukun bertentangan dengan adat ibu Apakah cara perawatabn kehamilan,persalinan,nifas yang dilakukan dukun bertentangan dengan agama ibu Ya Jlh 1 % 0.5 Jlh 209 % 99.5 1 1 19 17 25 109 128 199 194 0.5 0.5 9.0 8.1 11.9 51.9 61.0 94.8 92.4 209 209 191 193 185 101 82 11 16 99.5 99.5 91.0 91.9 88.1 48.1 39.0 5.2 4.8 200 95.2 10 4.8 156 74.3 54 25.7 30 14.3 180 85.7 116 55.2 94 44.8 92 43.8 118 56.2 Tabel 4.26. Penerimaan terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan Jawaban Responden Frekuensi 5 148 57 210 kurang menerima Cukup Menerima Menerima Total Presentasi 2,38 70,47 27,14 100 Tabel 4.27. Pelayanan kesehatan dapat dijangkau berdasarkan biaya Tidak Jlh 3 20 130 127 180 138 101 Apakah tarif pelayanan kesehatan oleh dukun terjangkau Apakah tarif palayanan kesehatan oleh bidan terjangkau Apakah tarif palayanan kesehatan oleh dokter terjangkau Apakah tarif palayanan kesehatan di RS pemerintah terjangkau Apakah tarif palayanan kesehatan di RS swasta terjangkau Apakah tarif palayanan kesehatan di klinik terjangkau Apakah mendapat keringanan dalam pembayaran persalinan Ya % 1,42 9,52 61,90 60,47 85,71 65,71 48,09 Jlh 207 190 80 83 30 72 109 % 98,57 90,47 38,09 39,52 14,28 34,28 51,90 Tabel 4.28. Jangkauan pelayanan kesehatan berdasarkan biaya Tidak terjangkau Cukup terjangkau Terjangkau Total Frekuensi 64 112 34 210 Persentase 30,47 53,33 16,19 100 39 Pengetahuan Tabel 4.29. Pemahaman Ibu Pertama sekali mengetahui kehamilan Cara ibu mengetahui kehamilan Periksa sendiri Dukun Bidan Jumlah Frekuensi 80 13 117 210 Persentase 38,09 6,19 55,71 100 Tabel 4.30. Tujuan pemeriksaan kehamilan Tidak Menjaga kesehatan ibu dan janin Mengetahui perkembangan janin Frekuensi 40 138 ya Persentase 19,05 65,71 Frekuensi 170 72 Persentase 80,95 34,29 Tabel 4.31. Manfaat pemeriksaan kehamilan ke pelayanan kesehatan Tidak tahu Tahu Total Frekuensi 17 193 210 Persentase 8,10 91,90 100 Tabel 4.32.Tahu tidaknya manfaat pemberian tabel besi Tidak tahu Tahu Total Frekuensi 112 98 210 Persentase 53,33 46,67 100 Frekuensi 2 13 2 2 5 51 2 12 9 98 Persentase 2,04 13,27 2,04 2,04 5,10 52,04 2,04 12,25 9,18 100 Frekuensi 115 95 210 Persentase 54,76 45,24 100 Tabel 4.33. Manfaat Tabelt besi Biar bayi sehat Biar ibu tidak lemas Kandungan sehat Mencegah anemia Sehat dan tidak pusing Tambah darah Tambah tenaga Tambah zat besi Vitamin Total Tabel 4.34. Manfaat pemberian imunisasi toksoid Jawaban Tidak tahu Tahu Total Tabel 4.35. Pengetahuan tentang manfaat imunisasi tetanus toksoid Jawaban responden Anti tetanus Bayi lebih kuat Mecegah bayi supaya tidak sakit Pencegahan infeksi Supaya jangan kejang Untuk kekebalan tubuh Total 40 Frekuensi 43 5 3 4 32 8 95 Persentase 45,27 5,26 3,15 4,21 33,69 8,42 100 Tabel 4.36. Asupan makanan yang lebih banyak dan makan makanan yang bergizi terutama selama masa hamil hingga nifas. Frekuensi 4 206 210 Tidak Ya Total Persentase 1,9 98,1 100 Tabel 4.37.Frekuensi Pemeriksaan Kehamilan 1 kali trimester pertama 1 kali trimester kedua 2 kali trimester ketiga Minimal 4 kali selama masa kehamilan Sesering mungkin Frekuensi 202 202 178 114 114 Tidak Persentase 96,2 96,2 84,76 54,29 54,29 Frekuensi 8 8 32 96 96 Ya Persentase 3,8 3,8 15,24 45,71 45,71 Tabel 4.38. Pengetahuan Golongan Resiko Tinggi Golongan resiko tinggi Umur terlalu muda (<16 tahun) Multipara berumur >35 tahun Tubuh sangat pendek <140 cm Ibu hamil yang anemia dan kurang gizi Riwayat persalinan lampau buruk(pendarahan,persalinan sukar,tak kuat mengejan) Hamil dengan bengkak di kaki ,muka,pusing,penglihatan kabur F 177 179 206 205 198 203 Tidak Persentase 84,29 85,24 98,09 97,62 9,29 96,67 F 33 31 4 5 12 7 Ya Persentase 15,71 14,76 1,91 2,38 5,71 3,33 Tabel 4.39. Pemeriksaan Kehamilan apa saja yang diberikan Tenaga Kesehatan Timbang Berat badan Ukur tekanan darah Ukur tinggi Fundus Pemberian imunisasi Toksoid lengkap Pemberian Tabelt zat besi Tes terhadap penyakit menular seksual (PMS) Temu wicara persiapan rujukan /konseling F 161 104 120 138 124 208 184 Tidak Persentase 76,67 49,52 57,14 65,71 59,04 99,04 87,62 F 49 106 90 72 86 2 26 Ya Persentase 23,33 50,48 42,86 34,29 40,96 0,96 12,38 Tabel 4.40. Pengetahuan Tentang Bahaya yang Dihadapi saat Hamil yang berdampak pada janin dan proses persalinan. Jawaban Ibu tidak mau makan dan minum terus Perdarahan Bengkak tangan/Wajah Gerakan janin tidak ada Ketuban pecah Letak anak yang salah Pucat Hamil muda pingsan F 198 169 205 206 199 181 194 207 Tidak Persentase 94,29 80,48 97,62 98,09 94,76 86,19 92,38 98,57 F 12 41 5 4 11 29 16 3 Ya Persentase 5,71 19,52 2,38 1,91 5,24 13,81 7,62 1,43 41 Tabel 4.41. Kelainan-kelainan pada masa nifas. F 177 200 206 185 199 Panas Edema (bengkak) pada kaki satu tungakai Berkemih tertahan Payudara bengkak dan nyeri Keputihan dan pendarahan Tidak Persentase 84,29 95,24 98,09 88,10 94,76 Ya Persentase 15,71 4,76 1,91 11,90 5,24 F 33 10 4 25 11 Tabel 4.42. Pengetahuan Faktor Resiko Kematian Bayi Tidak Kehamilan < 9 bulan Berat bayi < 2500 gram Tetanus Neonatorum Frekuensi 199 198 201 Ya Persentase 94,76 94,29 95,71 Frekuensi 11 12 9 Persentase 5,24 5,71 4,29 Tabel 4.43. Pengetahuan Masyarakat Tentang Kehamilan, Persalinan dan masa nifas Buruk Sedang Baik Total Frekuensi 13 178 19 210 Persentase 6,19 84,76 9,05 100 Tabel 4.44. Sikap Responden terhadap pemeriksaan Dukun Bayi. Setuju Puas jika diperiksa oleh dukun saat kandungan berusia Triwulan ketiga Persalinan oleh dukun bayi tidak beresiko, bila mengikuti anjuran dukun Dukun bayi merupakan solusi saat kesulitan ekonomi Tanggung jawab dukun lebih baik pada masa nifas dibanding petugas kesehatan Ibu dan keluarga merasa nyaman bila persalinan ditolong dukun bayi Jlh 62 % 29,52 Tidak setuju Jlh % 148 70,48 67 31,90 143 68,10 100 78 47,62 37,14 110 132 52,38 62,86 68 32,38 142 67,62 Tabel 4.45. Faktor yang berhubungan dengan konsumen Frekuensi Kurang mendukung Cukup Mendukung Mendukung Total Persentase 32,38 24,29 43,33 100 68 51 91 210 Tabel 4.46. Persepsi terhadap Kehamilan Ya Kehamilan proses alamiah sehingga tidak perlu makana yang berlebih. Kehamilan proses alamiah sehingga tidak perlu pemeriksaan yang teratur .Kehamilan proses alamiah sehingga tidak perlu teratur. 42 jlh 32 % 15,24 Tidak jlh 178 % 84,76 33 15,71 177 84,29 30 14,29 180 85,71 Tabel 4.47 Persepsi terhadap Kesehatan Ferkuensi 14 37 159 210 Kurang mendukung Cukup mendukung Mendukung Total Persentase 6,67 17,62 75,71 100 Tabel 4.48. Sikap dan Kepercayaan terhadap Pelayanan Kesehatan Keyakinan Tidak percaya jlh Keyakinan terhadap pemeriksaan kehamilan Dukun 34 Bidan Dokter Keyakinan pada saat memberi pertolongan persalinan Dukun 40 Bidan 1 Dokter Keyakinan pada peralatan yang digunakan Dukun 44 Bidan Dokter Keyakinan cara yang digunakan pada saat persalinan Dukun 39 Bidan 1 Dokter Keyakinan atas keselamatan bayi saat persalinan Dukun 30 Bidan Dokter Keyakinan perawatan masa nifas Dukun 25 Bidan 1 Dokter 2 Keyakinan terhadap kemampuan dalam mengetahui tanda kehamilan Dukun 37 Bidan 1 Dokter - Kurang percaya jlh % Percaya jlh % % 16,19 - 115 8 2 54,76 3,81 0,95 61 202 208 29,05 96,19 99,05 19,05 0,48 - 117 5 2 55,71 2,38 0,95 53 204 208 25,24 97,14 99,05 20,95 - 119 5 4 56,67 2,38 1,90 47 205 206 22,38 97,62 98,10 18,57 0,47 - 114 6 3 54,29 2,86 1,43 57 203 207 27,14 96,67 98,57 14,29 - 127 4 5 60,48 1,90 2,38 53 206 205 25,24 98,10 97,62 11,90 0,48 0,95 80 15 5 38,10 7,14 2,38 105 194 203 50,00 92,38 96,67 17,62 0,48 - 116 5 1 55,24 2,38 0,48 57 204 209 27,14 97,14 99,52 Tabel 4.49. Dukungan terhadap Pelayanan Kesehatan Frekuensi 51 159 210 Cukup mendukung Mendukung Total Persentase 24,29 75,71 100 Tabel 4.50. Persepsi terhadap Perilaku Petugas Perilaku petugas Kecepatan pemberian pelayanan Dukun Bidan Dokter Kenyamanan dalam pemberian pelayanan Dukun Bidan Dokter Kesabaran dalam pemberian pelayanan Dukun Bidan Dokter Tidak baik Jlh 3 - Kurang baik % 1,43 - jlh 25 5 4 Baik % 11,90 2,38 1,90 jlh 182 205 206 % 86,67 97,62 98,10 13 1 2 6,19 0,48 0,95 20 6 5 9,52 2,86 2,38 177 203 203 84,29 96,7 96,67 1 - 0,48 - 13 3 3 6,19 1,43 1,43 197 206 207 93,81 98,10 98,57 43 Tabel 4.51. Pola Pemilihan Tempat Persalinan Dukun bayi Dukun bayi dan bidan desa Dukun bayi dan bidan swasta Dukun bayi dan RS Pemerintah Bidan desa Bidan desa dan RS pemerintah Bidan desa dan poliklinik Bidan swasta Dokter spesialis obgyn RS swasta RS pemerintah Dokter umum Petugas kesehatan (manteri) Total Frekuensi 12 18 2 3 130 3 2 22 6 5 2 3 2 210 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Faktor Sosio Budaya a. Orang yang paling berperan dalam rumah tangga dalam perawatan kehamilan hingga masa nifas umumnya adalah ibu rumah tangga menyusul suami. b. Yang paling berperan dalam pengambilan keputusan adalah ibu rumah tangga dan menyusul kepala rumah tangga c. Kepercayaan yang mendukung dan menghambat pembiayaan kesehatan rumah tanggadan pencarian pelayanan kesehatan priode kehamilan dan masa nifas adalah adanya pantangan perbuatan masa kehamilan, pantangan makan, perbuatan pada masa nifas. d. Nilai dan norma dimasyarakat yang mendukung dan menghambat pembiayaan kesehatan rumah tangga dan pencarian pelayanan kesehatan priode kehamilan dan masa nifas adalah keistimewaan tidak bekerja berat pada masa hamil, pemenuhan gizi masa hamil, pemenuhan gizi pada masa nifas dan tidak bekerja berat pada masa nifas. 2. Faktor organisasi a. Ketersediaan sumber daya pelayanan kesehatan Jumlah Rumah Sakit di Kabupaten Simalungun sebanyak 9 RS yang terdiri dari 2 RSUD dan 7 RS BUMN dan swasta. Puskesmas di Kabupaten Simalungun sebanyak 34 unit yang terdiri dari 23 Puskesmas rawat jalan dan 11 puskesmas Perawatan (rawat inap) dengan rata-rata 5 tempat tidur. Ke 34 Puskesmas tersebar di 31 kecamatan. terdapat 50 unit pos Kesehatan Desa yang tersebar di 50 desa/kelurahan, sedangkan jumlah desa/kelurahan di kabupaten simalungun sebanyak 367 desa/kelurahan. Ada sebanyak 1.304 Posyandu terdiri dari Pratama (53,22%), madya (26,61%), purnama (17,33%) dan Mandiri (2,84%). Maka ratio Posyandu 44 Persentase 5,7 8,5 1,0 1,4 62,0 1,4 1,0 10,4 2,9 2,3 1,0 1,4 1,0 100 3. 4. terhadap puskesmas sebesar 38,35 % atau setiap Puskesmas melayani 38-39 posyandu. b. Akses Sosial Mayoritas suku responden adalah Batak (54.8 %), menyusul jawa (39%) dan Melayu (3.3%). Mayoritas agama responden adalah Islam, dan selebihnya beragama Kristen. Dilihat dari kepemilikan jaminan kesehatan sebanyak (63.8%) tidak mempunyai jaminan, sementara yang mempunyai jamkesmas sebanyak (16.7 %). Faktor yang berhubungan dengan konsumen Umur reponden yang dominan pada kelompok 25 – 29 tahun yang paling sedikit pada kelompok 15 – 19 tahun. Pada umumnya jumlah anak responden 1 orang (31% ). Meskipun demikian secara komulatif jumlah anak responden > 2 sebanyak 48%. Tingkat pendidikan responden umumnya adalah tamat SD (42%). Dilihat dari pendidikan suami responden umumnya hanya tamat SD (41%). Pekerjaan suami responden umumnya adalah sebagai swasta (48.6%), petani (46.7) dan pegawai negeri (4.8%). Pendapatan keluarga umumnya > Rp. 600.000 (33%). Tingkat pengetahuan masyarakat tentang kehamilan persalinan dan masa nifas umumnya masuk dalam kategori sedangTingkat pengetahuan masyarakat tentang kehamilan persalinan dan masa nifas umumnya masuk dalam kategori sedang. Persepsi terhadap kehamilan pada umumnya cukup mendukung. Sikap dan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan pada umumnya mendukung. Masyarakat sebenarnya cenderung kurang percaya pada dukun bayi, baik pada pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, peralatan yang digunakan, cara yang digunakan, keselamatan bayi saat persalinan dan perawatan masa nifas. Faktor yang berhubungan dengan provider Persepsi responden terhadap perilaku petugas (kecepatan pemberian elayanan, kenyamanan, kesabaran dalam pemberian pelayanan ). Untuk kecepatan pemberian pelayanan responden memberi penilaian baik kepada dokter sebanyak 206 orang (98.10%), bidan sebanyak 205 orang (97.62%) dan dukun sebanyak 182 orang (86.67%). Penilaian kurang baik dalam kecepatan pemberian pelayanan adalah dukun sebanyak 25 orang (11,90%), bidan sebanyak 5 orang (2.38%), dan dokter sebanyak 4 orang (1,90 %). Kenyamananan dalam pemberian pelayanan responden memberi penilaian baik kepada Bidan sebanyak 203 orang (96,67%), dokter sebanyak 203 0rang (96,67%) dan dukun sebanyak 177 orang (84,29%). Penilaian kurang baik kenyamanan dalam pemberiaan pelayanan adalah dukun sebanyak 13 0rang (6,19%), bidan sebanyak 1 orang (0,48%) dan dokter sebanyak 2 orang (0,95%). Sedang penilaian tidak baik kenyamanan dalam pemberian pelayanan adalah dukun sebanyak 9 orang (4,5%) dan dokter sebanyak 1 orang (0,5%). Kesabaran dalam pemberiaan pelayanan responden memberi penilaian baik kepada dokter sebanyak 199 orang (99,5%), bidan sebanyak 198 orang (99%) dan duku sebanyak 193 orang (96,5%). Penilaian kurang baik kesabaran dalam pemberian pelayanan adalah dukun sebanyak 7 orang (3,5%), bidan sebanyak 1 orang (0,5%), dan dokter sebanyak 1 orang (0,5%). Sedang penilaian tidak baik kesabaran dalam pemberian pelayanan hanya terdapat pada bidan sebanyak 1 orang (0,5%). 5. Pola pencarian pelayanan kesehatan Pola pencarian pelayanan kesehatan pada masa nifas kepada bidan desa (62%), menyusul bidan swasta (10,4) dan kombinasi dukun bayi dan bidan desa (8,5%).. Kombinasi ini dipilih oleh para ibu dimana dianggap lebih lengkap baik secara tradisional maupun secara medis sehingga pilihan ini lebih nyaman. DAFTAR PUSTAKA Ariawan, I. (1996), Tinjauan Statistik Metode Survei Cepat. Jakarta: FKM-UI dan Pusdakes Depkes RI. Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun, (2008) Profil Kesehatan Kabupaten Simalungun Tahun 2008 Pematang Raya. Dever, Alan, Epidemiology in Health services Management, Aspen Publication,1984 Depkes RI, Manajemen Kesehatan Ibu dan Anak di BKIA Hermiyanti,Sri, The Challenges of Making safe Metherhood a reality Community Midwives in Indonesia, ahmedabad,oktober 2008 Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium Indonesia, Tujuan 5 : Meningkatkan Kesehatan Ibu.Indonesiamdgbigoal5_20081122001221_518 .pdf. Notoatmodjo, S. (2003) Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta, Cipta Rineka. Singarimbun, M., (1989) Metode Penelitian Survei, Penerbit LP3S Jakarta WHO.2005.Helth Financing,http: //www.who.int/trade/glossary/story047/en/print.h tml 45 FAKTOR–FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DALAM PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA IBU MENYUSUI DI RUMAH SAKIT UMUM BAHAGIA MEDAN TAHUN 2010 Susy Adrianelly Simaremare Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Data yang diperoleh World Health Organization (WHO), setiap tahun terdapat 1 - 1½ juta bayi di dunia yang meninggal karena tidak diberi ASI Eksklusif. Sesuai Survei Demografi Indonesia (SDKI) angka pemberian ASI selama 6 bulan turun dari 49% menjadi 39% dari tahun sebelumnya. Menurut Dinas Kesehatan Sumatera Utara dari 301.677 jiwa hanya 36,72% bayi yang mendapat ASI Eksklusif. Di Medan, baru mencapai 0,92% dari 46.244 jiwa. Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan terbilang rendah, dari 15 orang ibu yang menyusui, 80% tidak memberikan ASI secara Eksklusif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dalam pemberian ASI Eksklusif pada ibu menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan tahun 2010. Penelitian ini bersifat deskriftif korelasi dengan menggunakan data primer. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang menyusui bayinya dari tanggal 2 Agustus – 8 Agustus 2010 sebanyak 50 orang dan seluruhnya dijadikan sampel total (total sampling). Analisa data secara univariat dan bivariat. Dari hasil penelitian diperoleh dari 50 orang responden, 9 orang (18%) memberikan ASI Eksklusif, dan 41 orang (82%) tidak memberikan ASI Eksklusif. Berdasarkan α = 0,05 daian derajat kepercayaan 95%. Ada hubungan tingkat pengetahuan yang baik dengan pemberian ASI Eksklusif, tidak ada hubungan motivasi intrinsik dalam pemberian ASI Eksklusif sesuai pernyataan Budiasih KS, dan terdapat hubungan antara motivasi ekstrinsik yang dimiliki ibu dalam pemberian ASI Eksklusif sesuai dengan pernyataan Budiasih KS. Intansi Rumah Sakit dan tenaga kesehatan sebaiknya mendukung ibu untuk menyusui, dengan menyediakan tempat khusus menyusui, serta menginformasikan cara dan pelaksanaan menyusui yang benar serta menghindarkan pemberian susu formula pada bayi baru lahir. Kata kunci: ASI Eksklusif, Ibu Menyusui PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menyusui adalah proses alamiah. Berjuta – juta ibu di seluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Bahkan ibu yang buta huruf pun dapat menyusui anaknya dengan baik. Walaupun demikian, dalam lingkungan kebudayaan kita saat ini melakukan hal yang alamiah tidaklah selalu mudah (Roesli U, 2005). Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat. Ironinya, pengetahuan lama yang mendasar seperti menyusui justru kadang terlupakan. Padahal kehilangan pengetahuan tentang menyusui berarti kehilangan besar, karena menyusui juga merupakan pengetahuan yang selama berjuta – juta tahun mempunyai peranan penting dalam mempertahankan kehidupan manusia. Bagi ibu hal ini berarti kehilangan kepercayaan diri untuk dapat memberikan perawatan terbaik bagi bayinya dan pada bayi berarti bukan saja kehilangan sumber makanan yang vital, tetapi kehilangan cara perawatan yang optimal (Roesli U, 2005). 46 Untuk mengetahui dan memantau kebutuhan nutrisi bayi melalui pertumbuhannya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif dari sejak lahir sampai usia 6 bulan dan bayi harus sering disusui tanpa dibatasi waktu. Setelah usia 6 bulan bayi akan mendapat makanan pendamping ASI (MP – ASI) sesuai dengan usianya, sedangkan ASI tetap diberikan sampai anak berusia 2 tahun atau lebih. Pertumbuhan normal seorang bayi sampai umur 6 bulan dapat dicapai hanya dengan pemberian ASI saja (IDAI, 2008). Ternyata berdasarkan penelitian WHO, setiap tahun terdapat 1 – 1 ½ juta bayi di dunia yang meninggal karena tidak diberi ASI Eksklusif. Hal ini disebabkan sebagian kaum ibu berpendapat bahwa, seorang wanita akan lebih cantik dan awet muda bila tidak menyusui. Hal ini dikaitkan juga dengan status sosialnya akan naik dan termasuk kelompok yang modern, disamping itu juga banyaknya ibu – ibu yang bekerja baik sebagai wanita karir maupun yang bekerja di pabrik – pabrik yang hanya mendapatkan cuti melahirkan selama tiga bulan sehingga ibu yang memiliki bayi mengaku terpaksa harus memberikan susu formula karena harus kembali bekerja. Padahal pemberian susu formula mengakibatkan bayi terkena 14,2 kali diare, mengalami kejang, infeksi telinga, flu, dan penyakit alergi. Sedangkan bayi yang mendapat ASI Eksklusif rata – rata IQ 14,2 poin lebih meningkat artinya semakin banyak bayi mendapat ASI Eksklusif maka anak tersebut semakin cerdas (Purwanti, S, 2004). Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif dapat menyelamatkan lebih dari 30 ribu balita di Indonesia. Dalam siaran pers yang dikirim UNICEF, jumlah bayi di Indonesia yang mendapatkan ASI Eksklusif terus menurun. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dari 1997 hingga 2002, jumlah bayi usia enam bulan yang mendapatkan ASI Eksklusif menurun dari 7,9% menjadi 7,8%. (ARIEF. B, 2009) Sementara itu, hasil SDKI pada tahun 1997 sampai 2003, diketahui bahwa angka pemberian ASI Eksklusif turun dari 49% menjadi 39%, sedangkan penggunaan susu formula meningkat tiga kali lipat (Prasetyono DS, 2009). Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2003, cakupan ASI di Propinsi Lampung adalah 42,83% sedangkan target yang ada sebesar 72%, cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Lampung Selatan adalah 53,49% yaitu sebanyak 12.203 dari 21.724 bayi yang ada. Di Wilayah Desa Sumber Sari cakupan ASI Eksklusif 47% dari bayi yang ada yaitu 99 bayi (Arief. B, 2009). Sesuai dengan data yang diperoleh menurut Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 yang terdiri dari 493 puskesmas dengan jumlah bayi 301.677 jiwa ternyata hanya 110.786 jiwa atau 36,72% bayi yang diberi ASI Eksklusif. Sedangkan di kota Medan yang terdiri dari 39 puskesmas dengan jumlah bayi 46.244 jiwa, ternyata hanya 427 jiwa atau 0,92% bayi yang diberi ASI Eksklusif (Dinkes Kab/ Kota, 2008). Meski ASI Eksklusif memiliki banyak keunggulan, jumlah ibu yang menyusui anaknya makin menurun. Data terakhir menunjukkan prevalensi ASI Eksklusif cenderung menurun di Indonesia, menurut Survey Sosial Ekonomi Indonesia 2004, dilaporkan bahwa 75% ibu menyusui ASI bayi mereka paling sedikit 12 bulan dan hanya 12% ibu menyusui ASI Eksklusif hingga 6 bulan (Aprilia. D, 2009). Tidak setiap ibu mendapatkan air susu yang lancar sejak hari pertama. Jika ibu memiliki motivasi yang kuat, ia akan terus mencoba menyusui, berapapun ASI yang didapatnya. Karena produksi ASI akan sebanding dengan usaha mengisap/memerasnya. Semakin rajin sibayi mengisapnya, produksi akan semakin banyak. Motivasi juga berkaitan dengan dukungan orang sekitar ibu. Jika suami dan keluarga mendukung, biasanya motivasi ibu akan meningkat juga. Namun, tanpa dukungan luar, ibu tetap dapat bertahan jika punya motivasi diri yang kuat. Lain halnya jika ibu mempunyai motivasi yang kurang kuat. Saat produksi ASI belum banyak, mungkin ibu akan menyangka ASI - nya sedikit. Lalu ibu tidak bersemangat lagi menyusui bayinya dan menyambung dengan susu formula. (Budiasih KS, 2008) Berdasarkan survei pendahuluan di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan yang dilakukan oleh peneliti ditemukan sebanyak 80 % dari 15 orang ibu menyusui yang tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya. Berdasarkan alasan – alasan tersebut diatas peneliti ingin meneliti “Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010” B. Tujuan Penelitian B.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui “Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010”. B.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan terhadap “Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010”. b. Untuk mengetahui hubungan motivasi intrinsik terhadap “Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010”. c. Untuk mengetahui hubungan motivasi ekstrinsik terhadap “Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010”. C. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelasi untuk mengetahui “Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan tahun 2010”. D. Lokasi dan Waktu Penelitian D.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan. Alasan peneliti melakukan penelitian di lokasi tersebut karena pada instansi tersebut mudah dan cepat dalam melakukan administrasi dan juga mudah mendapatkan sampel serta data yang diinginkan. 47 D.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan April – Agustus 2010, dengan pengumpulan data dimulai dari tanggal 02 Agustus – 08 Agustus 2010. dilanjutkan dengan pengolahan data dimulai dari tanggal 09 Agustus – 15 Agustus 2010. A.1 Analisis Data univariat Analisis data univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel dependen dan variabel independent. E. Populasi dan Sampel E.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu menyusui yang mempunyai bayi usia 0 – 6 bulan yang berkunjung di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan tanggal 2 Agustus – 8 Agustus 2010 sebanyak 50 orang. Tabel 1. Distribusi Responden Mengenai Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010 E.2. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dalam penelitian ini, adapun Teknik sampling yang digunakan adalah Total Sampling, dimana seluruh populasi dijadikan sampel. Adapun besar sampel yaitu 50 orang seluruh populasi (total sampling) dijadikan sampel. F. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu menggunakan kuesioner pengetahuan tentang ASI Eksklusif sebanyak 20 pertanyaan, dan kuesioner tentang motivasi sebanyak 4 pertanyaan. Sebelum responden mengisi kuesioner, terlebih dahulu peneliti menjelaskan cara mengisi kuesioner kemudian peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk mengisi sendiri kuesioner penelitian. Analisis Data Menurut Eko Budiarto 2007 Teknik analisa data adalah cara untuk memudahkan atau menyederhanakan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dimengerti dengan analisis data univariat dan bivariat. Untuk mengerti bagaimana hubungan variabel bebas dengan variabel terikat maka analisa yang dipakai untuk menguji data adalah dengan menggunakan rumus statistik Chi – Square atau Chi Kuadrat. Dengan Hipotesis ditolak pada derajat kemaknaan 0,05 atau α = 0,05 dengan derajat kepercayaan 95%. Rumus : Distribusi Responden Menurut Variabel Dependen No 1. 2. (O E)2 E Keterangan : ² = Chi Kuadrat O = Nilai hasil pengamatan E = Nilai Ekspektasi (nilai yang diharapkan) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan mengenai “Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dalam Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010”, data diperoleh dari 50 responden dan disajikan pada tabel – tabel berikut. 48 Frekuensi % 9 41 50 18 82 100 Dari Tabel 1 diketahui bahwa dari 50 responden yang terbanyak tidak memberikan ASI Eksklusif berjumlah 41 orang (82%). Distribusi Faktor – Faktor Responden Berdasarkan Variabel Independen 1. Pengetahuan Tabel 2. Distribusi Responden Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Pengetahuan di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010 Pengetahuan G. 2 Pemberian ASI Eksklusif ASI Eksklusif Tidak ASI Eksklusif Jumlah f 2 2 5 9 Baik Cukup Kurang Jumlah ASI Eksklusif Ya Tidak % f % 100 25 6 75 12,5 35 87,5 18 41 82 Total f 2 8 40 50 % 4 16 80 100 Dari Tabel 2 diketahui bahwa dari 50 responden yang diteliti yang berpengetahuan baik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 2 orang (100%), yang berpengetahuan cukup dan tidak memberikan ASI Eksklusif sebanyak 6 orang (75%), sedangkan yang berpengetahuan kurang dan tidak memberikan ASI Eksklusif sebanyak 35 orang (87,5%). 2. Motivasi Intrinsik Tabel 3. Distribusi Responden Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Motivasi Intrinsik di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010 Motivasi Intrinsik Ada Tidak ada Jumlah f 9 9 ASI Eksklusif Ya Tidak % f % 20 36 80 5 100 18 41 82 Total f 45 5 50 % 90 10 100 Dari Tabel 3 diketahui bahwa dari 50 responden yang diteliti yang memiliki motivasi intrinsik dan tidak memberikan ASI Eksklusif sebanyak 36 orang (80%), sedangkan yang tidak memiliki motivasi intrinsik dan tidak memberikan ASI Eksklusif sebanyak 5 orang (100%). 3. Motivasi Ekstrinsik Tabel 4. Distribusi Responden Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Motivasi Ekstrinsik di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010 Motivasi Ekstrinsik Ada Tidak ada Jumlah ASI Eksklusif Ya Tidak f % f % 8 57,14 6 42,86 1 2,78 35 97,22 9 18 41 82 Total f 14 36 50 % 28 72 100 Dari Tabel 4 diketahui bahwa dari 50 responden yang diteliti yang memiliki motivasi ekstrinsik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 8 orang (57,14%), sedangkan yang tidak memiliki motivasi ekstrinsik dan tidak memberikan ASI Eksklusif sebanyak 35 orang (97,22%). A.2 Analisis Data Bivariat Analisa data bivariat digunakan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen yang dilakukan dengan uji statistic Chi – Square ( ²). 1. Hubungan Tingkat Pengetahuan dalam Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui Dari Tabel 5 diketahui bahwa dari 50 responden yang diteliti yang berpengetahuan baik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 2 orang (100%), sedangkan responden yang berpengetahuan kurang dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 5 orang (12,5%). Berdasarkan uji statistik chi – square ( ²) dengan tingkat kemaknaan 0,05 diperoleh hasil ² hitung > ² tabel (10,2 > 5,991), berarti ada hubungan antara tingkat pengetahuan yang baik dalam pemberian ASI Eksklusif. 2. Hubungan Motivasi Intrinsik dalam Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui Dari Tabel 6 diketahui bahwa dari 50 responden yang diteliti yang memiliki motivasi intrinsik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 9 orang (20 %), dan responden yang tidak memiliki motivasi intrinsik tidak ada yang memberikan ASI Eksklusif (0%). Berdasarkan uji statistik chi – square ( ²) dengan tingkat kemaknaan 0,05 diperoleh hasil ² hitung < ² tabel (1,22 < 3,841), berarti tidak ada hubungan antara motivasi intrinsik yang dimiliki ibu dalam pemberian ASI Eksklusif. Tabel 5. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010 ASI Eksklusif Ya Pengetahuan f 2 2 5 9 Baik Cukup Kurang Jumlah Tidak % 100 25 12,5 18 ² ² Hitung Tabel 10,2 5,991 Total f 6 35 41 % 75 87,5 82 f 2 8 40 50 % 4 16 80 100 Tabel 6. Hubungan Motivasi Intrinsik Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010 ASI Eksklusif Ya Motivasi Intrinsik Ada Tidak Total f 9 9 Total Tidak % 20 18 f 36 5 41 % 80 100 82 f 45 5 50 % 90 10 100 ² ² Hitung Tabel 1,22 3,841 49 Tabel 7. Hubungan Motivasi Ekstrinsik Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010 ASI Eksklusif Ya Motivasi Ekstrinsik Ada Tidak Jumlah f 8 1 9 Total Tidak % 57,14 2,78 18 f 6 35 41 Dari Tabel 7 diketahui bahwa dari 50 responden yang diteliti yang memiliki motivasi ekstrinsik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 8 orang (57,14%), sedangkan responden yang tidak memiliki motivasi ekstrinsik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 1 orang (2,78%). Berdasarkan uji statistik chi – square ( ²) dengan tingkat kemaknaan 0,05 diperoleh hasil ² hitung > ² tabel (20,19 > 3,841), berarti ada hubungan antara motivasi ekstrinsik yang dimiliki ibu dalam pemberian ASI Eksklusif PEMBAHASAN A.1. Hubungan Pengetahuan dalam Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dari 50 responden yang diteliti yang berpengetahuan baik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 2 orang (100%), sedangkan responden yang berpengetahuan kurang dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 5 orang (12,5%). Berdasarkan uji statistic chi–square memperlihatkan adanya hubungan tingkat pengetahuan yang baik dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui dengan tingkat kemaknaan 0,05, sehingga diperoleh nilai df = 2, dan hasil ² hitung = 10,2 dan ² hasil ² tabel = 5,991, berarti hitung > ² tabel. Dwi Sunar Prasetyo (2009) menyatakan bahwa rendahnya tingkat pengetahuan tentang pentingnya ASI selama 6 bulan pertama kelahiran bayi dikarenakan kurangnya informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh para ibu mengenai segala nilai plus nutrisi dan manfaat yang terkandung dalam ASI. Kurangnya pengetahuan ibu tersebut tentang pentingnya ASI Eksklusif juga dipengaruhi oleh promosi produk – produk makanan tambahan dan susu formula. Menurut Adelia, iklan – iklan tersebut bisa mengarahkan para ibu untuk berpikir bahwa ASI yang diberikannya kepada bayi belum cukup memenuhi kebutuhan gizi bayi. Sementara itu Utami Roesli (2005) juga menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan adalah kendala terbesar ibu tidak memberikan ASI Eksklusif, karena menyusui merupakan suatu pengetahuan yang selama berjuta – juta tahun mempunyai peranan penting dalam mempertahankan kehidupan manusia. 50 % 42,86 97,22 82 f 14 36 50 % 28 72 100 ² ² Hitung Tabel 20,19 3,841 Menurut asumsi penulis, pengetahuan yang kurang sangat mempengaruhi ibu dalam pemberian ASI Eksklusif, padahal jika diketahui sebenarnya ASI mengandung semua nutrisi penting yang diperlukan bayi untuk tumbuh kembangnya, serta antibodi yang bisa membantu bayi membangun sistem kekebalan tubuh dalam masa pertumbuhannya. Pada dasarnya bidan harus turut berperan dalam menggalakkan ASI Eksklusif, namun kenyataannya sesuai dengan monitoring yang dilakukan oleh Badan Kerja Peningkatan Penggunaan Air Susu Ibu (BKPP-ASI) ternyata sebagian rumah sakit bersalin tidak mendukung pemberian ASI. Selain itu juga pihak rumah sakit memberikan sampel susu formula secara gratis kepada pasien. Hal ini mengakibatkan semakin banyak ibu tidak mempercayai manfaat ASI karena pengaruh promosi susu formula yang diberikan Oleh tenaga kesehatan itu sendiri. A.2. Hubungan Motivasi Intrinsik Dalam Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dari 50 responden yang diteliti yang memiliki motivasi intrinsik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 9 orang (20 %), dan responden yang tidak memiliki motivasi intrinsik tidak ada yang memberikan ASI Eksklusif (0%). Berdasarkan uji statistic chi – square memperlihatkan tidak adanya hubungan motivasi intrinsik dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui dengan tingkat kemaknaan 0,05, sehingga diperoleh nilai df = 1, dan hasil ² hitung = 1,22 dan hasil ² tabel = 3,841 berarti ² hitung < ² tabel. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan asumsi Kun Sri Budiasih (2008), dimana motivasi diri yang kuat akan menguatkan pelaksanaan setiap pekerjaan, sebaliknya motivasi yang lemah atau tidak jelas sering melemahkan pekerjaan. Apalagi jika ada kesulitan ditengah jalan. Demikian juga dalam menyusui. Tidak setiap ibu mendapatkan air susu yang lancar sejak hari pertama. Jika ibu memiliki motivasi yang kuat, ia akan terus mencoba menyusui, berapapun ASI yang didapatnya. Karena, produksi ASI akan sebanding dengan usaha mengisap/ memerasnya. Semakin rajin si bayi mengisapnya, maka produksi ASI akan semakin bertambah. Menurut asumsi penulis, ada atau tidaknya motivasi intrinsik yang dimiliki ibu sebenarnya tergantung pada situasi dan kondisi yang ibu hadapi. Ibu yang memiliki motivasi intrinsik, namun tidak memberikan ASI Eksklusif, kemungkinan masih memiliki pengetahuan yang kurang tentang manfaat ataupun kegunaan ASI Eksklusif, tidak adanya fasilitas yang memadai, tidak adanya waktu, ataupun tidak adanya ketenangan dan kenyamanan yang ia rasakan. Karena sebenarnya untuk menghasilkan air susu yang banyak, seorang ibu membutuhkan ketenangan. Perasaan tenang dapat membuat ibu lebih rileks dalam menyusui bayi. Dengan demikian air susu yang dihasilkan bisa lebih maksimal. Oleh karena itu, ibu harus berupaya menenangkan diri, meskipun menghadapi masalah. A.3. Hubungan Motivasi Ekstrinsik Dalam Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dari 50 responden yang diteliti yang memiliki motivasi ekstrinsik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 8 orang (57,14%), sedangkan responden yang tidak memiliki motivasi ekstrinsik dan memberikan ASI Eksklusif sebanyak 1 orang (2,78%). Berdasarkan uji statistik chi-square memperlihatkan adanya hubungan motivasi ekstrinsik dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui dengan tingkat kemaknaan 0,05, sehingga diperoleh nilai df = 1, dan hasil ² hitung = 20,19 dan hasil ² tabel = 3,841 berarti ² hitung > ² tabel. Hasil penelitian ini sesuai dengan asumsi Kun Sri Budiasih (2008), motivasi ekstrinsik yang dimiliki ibu sangat mempengaruhi ibu dalam pemberian ASI Eksklusif. Karena produksi ASI sangat dipengaruhi oleh kondisi psikis ibu. Jika hati ibu tenang dan bahagia karena dukungan yang diperolehnya, maka produksi ASI-nya akan berlimpah. Menurut asumsi penulis, dengan adanya dukungan dari orang terdekat misalnya suami ibu akan merasa didukung, dicintai, dan diperhatikan, maka pada hari pertama bayi lahir, ketika pertama kali bayi mengisap putting payudara ibu, saraf – saraf dalam di dalam areola merangsang kelenjar pituitari yang terletak di dasar otak untuk melepaskan hormone prolaktin dan oksitosin. Prolaktin akan membuat sel pembuat air susu di dalam payudara, oksitosin menyebabkan otot – otot halus disekitar sel itu memerah susu menuju ke saluran air susu disekitar puting payudara. Lalu keluarlah air susu ke mulut bayi yang sedang mengisap putting payudara ibunya dan produksi ASI pun akan akan semakin lancar. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai “Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dalam Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui di Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Tahun 2010 “ dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. 2. 3. Ada hubungan tingkat pengetahuan dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui. Tidak adanya hubungan motivasi intrinsik yang dimiliki ibu dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui. Adanya hubungan motivasi ekstrinsik yang dimiliki ibu dalam pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti menyarankan, sebagai berikut : 1. Bagi Pimpinan Rumah Sakit Umum Bahagia Medan diharapkan untuk memfasilitasi semua yang diperlukan dalam pemberian ASI pada bayi baru lahir dengan mengindari pemberian susu formula. 2. Bagi tenaga kesehatan khususnya bidan untuk terus meningkatkan penyuluhan atau bimbingan untuk memberikan penyuluhan atau motivasi khususnya dalam pemberian ASI Eksklusif baik itu cara menyusui, cara memerah ASI, dan cara penyimpanan ASI, khususnya di wilayah Rumah Sakit. 3. Sebaiknya peneliti selanjutnya dapat meneliti faktor – faktor yang berhubungan dalam pemberian ASI Eksklusif pada ibu menyusui terutama dengan variabel yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Afifah DN, 2007, Faktor Yang Berperan Dalam Kegagalan Praktik Pemberian ASI Eksklusif, http://eprints.undip.ac.id/1034 Aprilia D, 2009, Promosi ASI Eksklusif, http://www5.shoutmix.com Arief B, 2009, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Ibu Menyusui Yang Mengalami Putting Susu Lecet Pada Saat Awal Laktasi, Http://ebdosama.blogspot.com Arikunto S, 2006, Prosedur Penelitian Satu Pendekatan Praktek, Edisi V Rineka Cipta. Jakarta Budiarto E, 2007, Biostatistika, EGC, Jakarta Budiasih KS, 2008, Handbook Ibu Menyusui, PT. Karya Kita, Bandung. Departemen Kesehatan, 2008, Profil Kesehatan Sumatera Utara, Depkes, Medan Hasibuan M.S.P, 2008, Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas, Bumi Aksara, Jakarta Hidayat DR, 2009, Ilmu Perilaku Manusia, Trans Info Media, Jakarta IDAI, 2008, Bedah ASI, Balai Penerbit FKUI, Jakarta Meliono, 2007, Defenisi Pengetahuan, Http://Wikipedia.org/wiki Notoatmodjo S, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta ____________, 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta Pardede P, 2009, Ilmu dan Bahasa, Http://www.scribd.com 51 Politeknik Kesehatan, 2006, Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI), Politeknik Kesehatan, Medan. Prasetyono DS, 2009, Buku Pintar ASI Eksklusif Pengenalan, Praktik, dan Kemanfaatan – kemanfaatannya, Diva Press, Yogyakarta Purwanti S, 2004, Konsep Penerapan ASI Eksklusif, EGC, Jakarta. 52 Roesli U, 2005, Mengenal ASI Eksklusif, Trubus Agriwidaya, Jakarta Sunardi, 2008, Ayah, Beri Aku ASI, Aqwamedika Profetika, Solo Suyanto, 2008, Riset Kebidanan Metodologi dan Aplikasi, Mitra Cendikia, Yogyakarta Winardi, 2008, Motivasi dan Pemotivasian Dalam Manajemen, Rajawali Pers, Jakarta PENGARUH PERBAIKAN POSTUR KERJA DALAM UPAYA PENCEGAHAN TERJADINYA NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PERAWAT DI INSTALASI PERAWATAN INTENSIF DEWASA RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010 Netty Panjaitan, Mariaty Silalahi, Ch. Ready Sitorus Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Abstrak Perawat di Instalasi Perawatan Intensif mengalami Nyeri Punggung Bawah sebagai akibat dari postur yang tidak baik. Penelitian ini menggunakan action research design dan untuk validasi hasil penelitian ini menggunakan perhitungan statistik pre dan post test (Paired t test). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara dengan Symptom Survey : Ergonomic Program and Task Analysis Checklyst, yang dilakukan pada awal penelitian dan 2 bulan sete lah perlakuan. Hasil Task Analysis sebelum intervensi adalah 8.55 dan setelah intervensi 24.50 sehingga terdapat perbaikan desin kerja setelah intervensi sebesar 15.95. Peningkatan ini menunjukkan adanya perbaikan design kerja yang mempengaruhi postur untuk menurunkan dan mencegah terjadiya nyeri punggung Bawah. Kata kunci: Nyeri Punggung Bawah, perbaikan postur, Perawat. 1. LATAR BELAKANG Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja yang tercantum dalam Undang-undang No 13 tahun 2000, pasal 86, ayat 1a. Perlindungan ini merupakan tugas pokok pelayanan kesehatan kerja, yang meliputi pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit umum dan akibat kerja, yang diatur dalam Permenakes No 03/Men/1982 dan Undang-undang No.23 tahun 1992. Low back pain / nyeri punggung bawah menjadi persoalan kesehatan kerja karena menyumbang sekitar 2050% dari kompensasi yang harus dibayar perusahaan kepada karyawan ( Kerr,2001). Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain (LBP) merupakan masalah kesehatan dan sebagai penyebab, disabilitas serta terbatasnya aktifitas tubuh. Onset terjadinya nyeri punggung bawah biasanya pada usia 20-60 tahun dan paling banyak terjadi pada pertengahan umur 30-40. Menurut Lawrence (2000), keluhan nyeri punggung biasa dirasakan perawat, bila melakukan pekerjaan mengangkat dan memindahkan objek angkat yang bentuknya tidak beraturan dan dapat bergerak dengan tiba-tiba dan diperberat dengan meningkatnya frekuensi pekerjaan dan waktu. Seseorang yang berdiri, membungkuk 10 – 15 derajat sudah menyebabkan beban yang berlebihan pada diskus intervetebralis lumbalis, hal ini jika tidak segera ditangani dalam waktu lama atau kebiasaan sehari hari misalnya pada pekerja yang harus bekerja duduk, membungkuk terus menerus akan mudah terkena nyeri punggung yang selanjutnya akan mengganggu produktifitas kerja. Di IPI RSU Materna di Medan, pernah dilakukan penelitian pada 22 orang perawat pernah menderita dan sedang menderita nyeri punggung bawah. Setelah dilakukan perbaikan postur kerja, pelatihan dan penyediaan alat bantu angkat yang sesuai, dapat menurunkan angka kejadian low back pain sebanyak 71,77% (Panjaitan, 2004). Berdasarkan survei pendahuluan di Instalasi Perawatan Intensif rumah Sakit Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang penulis lakukan tahun 2008, ditemukan bahwa 20 perawat di Instalasi Perawatan Intensif mengeluh sedang dan pernah menderita nyeri punggung bawah. Keluhan ini dirasakan terutama bila jumlah pasien diatas kapasitas. Perumusan Masalah Apakah perbaikan postur kerja dapat menurunkan dan mencegah terjadinya terjadinya nyeri punggung bawah pada perawat? TUJUAN PENELITIAN 1.Tujuan Umum Untuk menurunkan dan mencegah terjadinya nyeri punggung bawah pada perawat di Instalasi Perawatan Intensif Dewasa Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan 53 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui keluhan yang dialami perawat sehubungan dengan postur kerja yang salah b. Untuk mengetahui pengaruh perbaikan postur kerja, cara mengangkat dan memindahkan pasien sesudah intervensi. 3. Hipotesa Tidak ada pengaruh perbaikan postur kerja terhadap penurunan terjadinya nyeri punggung bawah pada perawat di Instalasi Perawatan Intensif RSUP H.Adam Malik Medan 4. Kerangka Konsep pusat pendidikan Fakultas Pendidikan Universitas Sumatra Utara dan sebagai tanda dimulainya Soft Opening dan diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 21 Juli 1993. 2. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dimulai pada bulan September 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010.Penelitian dimulai dengan persiapan usulan penelitian dan seminar, selanjutnya penelitian dilakukan dan diakhiri dengan seminar hasil. 3. Rancangan Penelitian Jenis penelitian adalah pra-eksperimental/quasy experiment, one group pre- post test design dengan menggunakan t test berpasangan. Pendekatan dengan action research yang dilakukan sebanyak 1 siklus selama 2 bulan. 4. Populasi dan sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan sebanyak 23 orang 5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai berikut: a. Untuk meningkatkan kesehatan pekerja pada umumnya dan perawat pada khususnya, dalam hubungannya dengan pencegahan terjadinya nyeri punggung bawah, yang dapat menurunkan produktivitas kerja dan kualitas hidup. b. Untuk, memberikan sumbangan pikiran kepada profesi perawatan dalam rangka penyusunan prosedur kerja , dengan perbaikan postur. c. Untuk memberi sumbangan pikiran pada pihak manajemen Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, dalam menetapkan prosedur tetap keperawatan. METODE PENELITIAN 1.Tempat Penelitian RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit tipe A yang sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VIII 2010 dan juga sebagai rumah sakit pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/ 1991. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan terletak di jalan bunga lau Medan Tuntungan. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan juga sebagai rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi daerah Propinsi Sumatra Utara, Aceh, Sumatra Bagian Barat, dan Riau. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan baru beroprasi sejak tanggal 17 juni 1991 dengan pelayanan rawat jalan, sedangkan pelayanan rawat inap dimulai pada tanggal 2 Mei 1992 dan pada tanggal 11 januari 1993 secara resmi Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan sebagai 54 2. Sampel Sampel pada penelitian ini adalah seluruh populasi yang dipilih secara purposif (purposive sampling), sebanyak 20 orang. Alat dalam penelitian ini adalah Symptom Survey : Ergonomics Program dan Task Analysis Checklist. Intervensi yang dilakukan adalah penjelasan, mendemonstrasikan dan memberikan panduan postur duduk, berdiri, berjalan, mengangkat dan memindahkan yang baik, dan partisipan akan melakukannya dengan pengawasan peneliti selama 2 bulan (1 siklus). Setelah 2 bulan akan dilakukan evaluasi dengan memperbandingkan postur kerja sehari-hari dengan pedoman pencegahan Nyeri Punggung Bawah dan dilakukan perbaikan, lalu, dievaluasi dengan menggunakan lembar Symptom Survey : Ergonomics Program dan Task Analysis Checklist, dilakukan penghitungan rata-rata (mean) Kemudian dilakukan uji statistik (uji t berpasangan) dengan tingkat kepercayaan 95% berdasarkan taraf signifikansi 5%. 3.6. Pengolahan Data Untuk mengolah data dilakukan perhitungan statistik dengan menggunakan perhitungan rata-rata (nilai mean), untuk melihat perbaikan postur dan perubahan keluhan (nyeri yang dirasakan) sebelm dan sesudah intervensi 3.7. Analisa Data Dilakukan uji statistik (uji t berpasangan) untuk task analysis checklist, dengan tingkat kepercayaan 95% berdasarkan taraf signifikansi 5%. Alasan penggunaan uji ini untuk melihat postur kerja dan pengaruhnya terhadap nyeri punggung bawah yang dirasakan partisipan sebelum dan sesudah intervensi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dan pembahasan pengaruh Perbaikan Postur Kerja dalam Upaya Pencegahan Terjadinya Nyeri Punggung Bawah pada Perawat telah dilaksanakan di Instalasi Perawatan Intensif Dewasa RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2010 dengan hasil sebagai berikut : Tabel 4.1 Karakteristik Partisipan Berdasarkan Umur, Pendidikan, Masa Kerja dan IMT di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan Karakteristik 1. Umur (tahun) a. 20-24 b. 25-29 c. 30-34 d. 35-39 e. 40-45 Total 2 Pendidikan a. SPK b. D3 Keperawatan c. S1 Keperawatan Total 3. Masa Kerja a. < 1 tahun b. 1-4 tahun c. >4-9 tahun d. 10-14 tahun e. ≥ 15 tahun Total 4. Indeks Massa Tubuh (IMT) a. < 18,5 b. 18.5-22.9 c. >22.9 Total Jumlah (orang) % 5 4 4 1 6 20 25 20 20 5 30 100 15 5 20 75 25 100 2 8 3 4 3 20 10 40 15 20 15 100 7 13 20 35 65 100 Index Massa Tubuh (IMT), diketahui dengan melakukan penimbangan Berat Badan (kg) dan Tinggi Badan (m). Menentukan IMT menurut rumus Indeks Davenport, yaitu Berat Badan (kg)/Tinggi Badan kwadrat. Menurut WHO Indeks Massa Tubuh normal adalah 18,5 – 22,9 untuk orang Asia, sehingga pada tabel dapat dilihat 40% dari partisipan memiliki Indeks Massa Tubuh normal. Tabel 4.2. Semua partisipan (100%) merasakan nyeri pada punggung bawah, 8 orang partisipan (40%) merasakan nyeri pada tungkai dan hanya 1 orang (5%) yang merasakan nyeri pada bokong. Gambaran gangguan yang dirasakan partisipan dapat terjadi beberapa keluhan berupa nyeri, kebas dapat dilihat pada tabel 4.3. Dari hasil penelitian didapatkan 5 orang (25%) diantaranya sudah merasakan nyeri sejak kurang dari 3 bulan yang lalu, keadaan ini termasuk nyeri punggung bawah akut (Maul dkk, 2003) Pada table 4.5. dapat dilihat bahwa 3 orang perawat menyatakan nyeri dirasakan partisipan selama < 1 hari , 17 orang (85%) menyatakan sakit dirasakan selama 1-3 hari dan yang kesemuanya termasuk kategori ringan (Maull dkk, 2003). Frekuensi nyeri yang dirasakan partisipan selama setahun yang lalu, paling sedikit yaitu <5 kali dinyatakan sampai dengan lebih dari 20 kali. Pada tabel 4.7. dapat dilihat bahwa sebelum intervensi menurut partisipan bahwa nyeri punggung bawah yang dialaminya adalah disebabkan kelelahan dinyatakan oleh 13 orang partisipan (65%), postur yang salah dinyatakan oleh 2 orang partisipan (10%), lama berdiri dan berjalan dinyatakan oleh 4 orang partisipan (20%), untuk beban kerja berlebihan dinyatakan oleh 2 orang partisipan 10%). Pada 4.8 dapat dilihat bahwa sifat nyeri yang dialami partisipan sebelum intervensi berupa nyeri ringan dengan skala nyeri 1-3 dirasakan oleh 7 orang partisipan (35%), nyeri berat dengan skala nyeri 7-9 dinyatakan oleh 2 orang partisipan (10%) dan 11 orang (55%) menyatakan nyeri sedang degan skala nyeri 4-6. Tabel 4.2. Lokasi Nyeri yang Dialami Partisipan Sebelum Intervensi di IPI Dewasa RSUPH.Adam Malik Medan tahun 2010 No Lokasi rasa sakit Punggung bawah Bokong Tungkai Sebelum intervensi Ya n % 20 100 1 5 8 40 Tidak n % 0 19 95 12 60 n 3 2 Sesudah intervensi Ya tidak % n % 15 17 85 20 100 10 18 90 Tabel 4.3. Gambaran Rasa Sakit yang Dialami Partisipan Sebelum dan Sesudah Intervensi di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2010 No 1 2 3 4 5 Keluhan yang dirasakan Kebas Nyeri Seperti ditusuk Kejang Kebas Sebelum intervensi Ya n % 3 15 20 85 - n 17 - Tidak % 85 - Sesudah intervensi Ya Tidak n % n % 3 15 17 85 -- 55 Tabel 4.4 Keluhan Nyeri Punggung Bawah Pertama kali dirasakan Dialami Partisipan di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2010 No 1 2 3 4 Waktu < 1-3 bulan > 3 bulan- 1 tahun >1 – 3 tahun > 3 tahun n 5 7 7 1 % 25 35 35 5 Tabel 4.5. Lamanya Rasa Nyeri Dirasakan Partisipan di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan tahun Lamanya Rasa Nyeri < 1 hari 1-3 hari 1 2 Tabel 4.6 1 2 3 4 n 3 17 % 15 70 Frekuensi Nyeri yang Dirasakan Partisipan selama setahun terakhir di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2010 Frekuensi Nyeri < 5 kali 5-10 kali > 10-20 kali > 20 kali Total Jumlah 3 7 5 5 20 % 15 35 25 25 100 Tabel 4.7. Penyebab Terjadinya Keluhan Nyeri Punggung Bawah Menurut Partisipan Sebelum Intervensi di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2010 No Penyebab Terjadinya Nyeri Punggung Bawah Sebelum intervensi Ya 1 2 3 4 Kelelahan Postur yang salah Lama berdiri/berjalan Beban kerja belebihan n 13 2 3 2 Sesudah intervensi Tidak % 65 10 20 10 n 7 18 16 18 Tidak % 35 90 80 90 n 8 17 4 - Tidak % 40 85 20 - n 12 3 16 - % 60 15 80 - Tabel 4.8. Sifat Nyeri yang Dialami Partisipan sebelum dan sesudah intervensi di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2010 Sifat Nyeri / skala nyeri 1 2 3 4 Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyri berat tidak terkontrol 0 1-3 4-6 7-9 >9-10 Sebelum Intervensi n % 7 35 11 55 2 10 20 100 Sesudah Intervensi 17 3 - 85 15 - Tabel 4.9. Cara Untuk Menghilangkan Nyeri sebelum dan sesudah intervensi di IPI Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2010 Upaya yang Dilakukan 1 2 3 4 5 6 7 8 56 Istirahat Berbaring terlentang & meluruskan badan Perbaikan Postur kerja Peregangan dan Fisiotherapi/Masase Kompres hangat Minum Obat / Anelgetik Olah raga Gizi seimbang Seb.intervensi n % 16 80 3 15 2 10 5 25 1 5 2 10 1 5 1 5 Sesudah intervensi n % 8 40 10 50 20 100 5 25 2 10 1 5 1 5 Pada tabel 4.9 Sebelum intervensi bahwa sebagian besar partisipan (80%) menyatakan bahwa upaya yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri adalah istirahat dan sesudah intervensi istirahat dinyatakan oleh 8 orang (40%) dan merasa tidak perlu mencari pengobatan. Setelah semua fase dalam penelitian selesai dilaksanakan, selanjutnya melakukan perbandingan hasil Task Analysis Checklist Pre Intervensi dan Post intervensi dengan uji t berpasangan, dengan hasil sebagai berikut : Tabel 4.10 Rata-rata nilai Task Analysis Checklist Pre Intervensi dan Post Intervensi pada Partisipan di IPI Dewasa RSU H.Adam Malik Medan tahun 2010. Hasil Evalusi N Mean Std. P Deviation pre Intervensi 20 8.55 2.164 post Intervensi 20 24.50 2.460 0.000* Keterangan :*signifikans Tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata nilai hasil Task Analysis sebelum intervensi adalah 8.55 dan sesudah intervensi 24.50, terdapat perbaikan desain kerja setelah intevensi sebesar 15.95 (53.16%). Peningkatan ini menunjukkan adanya perbaikan desain pekerjaan yang mempengaruhi postur, cara mengangkat dan memindahkan, perbaikan kemampuan unutk mencegah terjadinya nyeri punggung bawah. Hasil uji statistik : Paired t test, didapatkan hasil (p=0.000, kesimpulan Ho ditolak (p< 0.05) artinya ada perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah intervensi dalam perbaikan postur kerja. Gambar 4.1 Nilai Rata-rata Task Analysis Checklist Sebelum intervensi adalah 41 dan dan nilai rata-rata setelah intervensi adalah 84 Sesudah Intervensi Gambar 4.2. Rasa nyeri yang dialami Partisipan Sebelum dan Sesudah Intevensi berdasarkan lokasi nyeri di IPI Dewasa RSU H.Adam Malik Medan tahun 2010. Selanjutnya dilakukan wawancara sesudah intervensi dengan panduan Symptom Survey Ergonomics Program, untuk mengetahui keluhan partisipan.Perbaikan Postur ternyata menurunkan rasa nyeri yang bermakna pada semua lokasi nyeri, yaitu penurunan nyeri punggung bawah. sebelum intervensi nyeri punggung bawah dinyatakan oleh 20 orang partisipan, sesudah intervensi dinyatakan oleh 3 orang (15%). Nyeri bokong sebelum intervensi dinyatakan oleh seorang partisipan, setelah intervensi keluhan nyeri pada bokong tidak ada lagi dan nyeri punggung bawah hanya dikeluhkan oleh 3 partisipan. Sementara untuk keluhan pada nyeri pada tungkai sebelum intervensi dinyatakan oleh 8 orang partisipan, pada akhirnya diketahui hanya dialami oleh 2 orang partisipan, terjadi penurunan yang berarti ( Gambar 4.2) Gambar 4.3. Keluhan Nyeri Punggung Bawah yang Dialami Partisipan Sebelum Intervensi, satu bulan Sesudah Intervensi dan Dua bulan Sesudah Intevensi berdasarkan skala nyeri di Instalasi Perawatan Intensif Dewasa RSU H.Adam Malik Medan tahun 2010. Gambar 4.3 merupakan gambaran rasa nyeri yang dialami partisipan sebelum dan sesudah intervensi, dengan menggunakan skala nyeri 0 -10, berupa Nyeri berat tidak terkontrol dengan skala >9-10, nyeri berat dengan skala 7-9 nyeri sedang pada 4-7, Nyeri ringan skala 1-3 dan tidak nyeri dengan skala 0. Untuk mengetahui pengaruh perbaikan postur terhadap keluhan nyeri punggung bawah dilakukan pengukuran melalui wawancara dengan panduan symptom survey ergonomic program sebelum dilakukan intervensi, 1 bulan setelah intervensi dan pada bulan kedua setelah intervensi, ternyata ditemui penurunan keluhan nyeri punggung bawah secara bertahap (Gambar 4.3). Sebelum Intervensi keluhan Nyeri Punggung Bawah dirasakan oleh seluruh partsipan, dengan perincian sebagai berikut : nyeri ringan dirasakan oleh 7 orang Partisipan (35%), nyeri sedang 11 orang dan nyeri berat 2 orang. Setelah dilakukan intervensi, untuk mengetahui keluhan yang dialami partisipan satu bulan setelah intervensi dilakukan pengukuran dengan hasil: nyeri ringan dialami 5 Orang Partisipan (25%), nyeri sedang dirasakan 9 orang dan tidak ada partisipan yang merasakan nyeri berat. Dua bulan setelah intervensi dilakukan pengukuran kedua dengan alat yang sama, ditemui hasil bahwa Partisipan yang merasakan nyeri ringan hanya 3 orang dan sebanyak 17 orang tidak merasakan nyeri. Dari hasil pengukuran tersebut ternyata bahwa intervensi yang dilakukan dinyatakan mempunyai pengaruh terhadap nyeri 57 punggung bawah pada perawat Instalasi Perawatan Intensif di RSUP H.Adam Malik Medan. Intervensi yang dilaksanakan sesuai dengan pendapat para ahli yang menyatakan pencegahan low back pain dengan perbaikan postur harus menjadi cara hidup dan dipraktekkan setiap saat, ketika berbaring, duduk, berdiri, berjalan, bekerja dan latihan ( Hedge,2002). Untuk mendapatkan postur yang baik, dengan memperkuat otot-otot dengan latihan, yang berguna untuk melindungi dan menyokong punggung. Roy (2002) menyatakan bahwa pelatihan dan perbaikan cara mengangkat dapat menurunkan angka kejadian low back pain pada perawat sebanyak 60%. Menurut Patel dan Ogle (2000) program latihan dilakukan sebagai usaha untuk menurunkan berat badan, menguatkan tubuh dan peregangan struktur otot (oblique abdominal dan otot spinal ekstensor) dan tendon, dan membantu untuk mencegah low back pain. Pernyataan ini didukung oleh Meliala dan Pinson (2004) yang menyatakan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada hakekatnya merupakan keluhan atau gejala dan bukan merupakan penyakit spesifik. Nyeri punggung bawah yang diderita lebih dari 6 bulan disebut sebagai nyeri kronis, dengan pencegahan yang tepat nyeri menjadi hilang dan berkurang dan tidak menjadi nyeri kronis. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan, dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: 1 Perawat di Instalasi Perawatan Iintensif Dewasa RSU H.Adam Malik Medan, yang pernah dan sedang menderita nyeri punggung bawah mempunyai keluhan berupa nyeri, kebas dan nyeri seperti ditusuk-tusuk. 2 Penyebab terjadinya nyeri punggung bawah Perawat di Instalasi Perawatan Intensif Dewasa RSUP H.Adam Malik Medan, adalah kelelahan, postur yang tidak baik baik dalam posisi duduk, berdiri, berjalan dan mengangkat serta memindahkan pasien. 3 Rata-rata hasil Task Analysis sebelum intervensi adalah 8.55 dan sesudah intervensi 2.50, terdapat perbaikan design kerja poist intervensi sebesar 15.95 (53.16 %) 4 Peningkatan ini menunjukkan adanya perbaikan design pekerjaan yang mempengauhi postur, cara mengangkat dan memindahkan, perbaikan kemampuan untuk mencegah terjadinya nyeri punggung bawah. Hasil uji statistik, didapatkan hasil (p=0.000 ; p<0.005). Nilai p0.000, dan t hitung > t table, artinya ada perbedaan bermakna nilai rata-rata Pre Intervensi dengan Post Intervensi dalam perbaikan postur tubuh. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dikemukanan beberapa saran, sebagai berikut: 1 Kepada Perawat a. Untuk mempertahankan postur yang baik dalam semua gerakan yang melibatkan muskuloskeletal 58 b. Untuk mempertahankan postur yang baik sebagai gaya hidup. c. Bekerja dengan pertimbangan ergonomi. 2 Kepada Pimpinan Rumah Sakit: a. Untuk memberi perhatian terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi perawat, terutama terhadap gangguan Muskuloskeletal, khususnya nyeri punggung bawah, dengan melakukan perbaikan design kerja, sosialisasi dan pelatihan postur yang baik, termasuk penggunan alat bantu yang sesuai. b. Untuk memperhatikan ergonomi dalam perancangan design kerja sebagai Standar Operation Prosedur c. Untuk memberi perhatian terhadap ergonomisasi seluruh aspek, termasuk design ruangan, tata letak peralatan, pembelian alat baru dan penyediaan alat bantu mekanis. 3. Kepada Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan, agar ergonomi menjadi salah satu mata kuliah dalam kurikulum pendidikan DAFTAR PUSTAKA Ando, S., Ono, Y.,Shimaoka, M., Hiruta, S. ,Hattori, Y ,Hori, F. ,Takeuchi, Y., Association of Self Estimate Workloads with Musculoskeletal Symptom Among Hosiptal Nurses, Occupational and Environmental Medicine, Mar 2000 ; 57 ; 3 ; ProQuest Medical Library. Arikunto, S., Prosedur Penelitian- Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 2002. Bernard, B. P ., Musculoskeletal Disorder and Work Place Factor, Center for Disease Control and Prevention, NIOSH,Cincinnati,1997. Dana, L.D., Preventive Injuries at work, http://.Spineuniverse com/displayarticle php/article 2026, 2003 Fessler, W.,Low Back Pain What You Need To Know Spine, http://www Spineuniverse.com/ displayarticle.php/article 1932,2004 Granjean ,E., Fitting The Task toThe Man, British Library, Philadelphia, 1988. Hartono, A. , Prinsip-Prinsip Keperawatan, Roper, N., Essentia Medica, Jogyakarta, 2002. Hudak, C. M., Gallo, M.B., Keperawatan Kritis, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Jamsostek. Laporan Tahunan Jamsostek. 2001. (http://www.jamsostek.co.id). Diakses pada tanggal 7 Oktober 2007) Louw Quinet, Linzette D. Morris dan Karen G. Somers. The Prevalence of Low Back Pain in Africa : a Systemic Review. BMC Musculoskeletal Disorder Journal. 2007 Karim, K., Assessing the Strengths and weaknesses of action research, Nursing Standard, vol. 15, No. 26 / 2001. Kerr, Michael., Jhon W. Frank, Harr S. Shannon, Robert K, Norman, Richard. P.Wells, Patrick Neuman, Claire Bombardier. Biomechanical and Psychosocial Risk Factors for Low Back Pain at Work. American Journal of Public Health. 2001 Meliala, L., Pinson, R, Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri Punggung Bawah dalam Towards Mekanism-Based pain Treatment tht Recent Trends and Current Evidens, Pokdi Nyeri Perdossi, 2004 Murtagh ,J., Patient Education, Third Edition, McGraw Hill Book Company, Toronto, 2002. Nancy, C., Selby, B. S., Triano, J., Manual Material Handling, http:// www.vh.org/adult/patient/internalmedicine/aba30/19 93/backache.html, 2001. National Task Force on the Prevention and Treatment of Obesity. Overweight, Obesity and Health Risk. Arch Intern Med Volume 160. April 2000. Nazir, M., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1999. Panjaitan, Netty., Upaya Pencegahan Terjadinya Low Back Pain Pada Perawat IPI Di RSU Materna Medan, http://www.php/Low Back Pain.usu.id 20082009 NIOSH, Guidelines for Evaluation of Hospital Occupational Health and Safety Programs, http://www.cdc.gov/hcwold0 ,html., 1998 Nurmianto, E., Ergonomi,Konsep Dasar dan Aplikasinya, Edisi pertama, Guna Widya, Surabaya, 2003. NIOSH, Elements of Ergonomic Programs, A Critical Review of Epidemiologic Evidence of Work-Related Musculoskeletal Disorder of Neck, Upper extremity, and Low Back, http://www.cdc.gov/niosh/ergtxt6.html#summary , 1998. NIOSH, Element of Ergonomis Program- A Primer Based on Workplace Evaluatiom of Musculoskeletal , http://www.cdc.gov/niosh/eptbrt5-A.html, 1997. OSHA, OSHA Technikal Manual - Back Disorder and Injuries, http://www.osha.gov/dts/osta/otm/otm_vii/otm_vii_1 .html, 2000. Patel, T. A.; Ogle, A. A., Diagnosis and Management of Acute Low Back Pain , Am, Fam Physician 2000 ; 61: 1779- 86, 1789 – 90. Philipps, L. H., Park, T. S., Waddel Criteria, MuscleNerve, http://www.ortho-u.net/med.htm, 1991. Puslitbangkes Depkes RI, Metodologi Penelitian Kesehatan, World Health Organization, Jakarta, 1999. Roy, J.,Carver, L. A., New Ergonomic Equipment At UI Hospital And Clinics Protects Worker’s Back, http://www.uiowa.edu/-ornews/index.html.2002 Shepherd, C., Dimension of Care Ergonomic for the Hospital Setting, Oocupational Health track, Vol. 4, No. 2, Summer 2001, http://www, systoc. Com. /Tracker/Summer 01/ErgonHosp.asp#bio. Sunarto. Latihan pada Penderita Nyeri Punggung Bawah. Medika Jelita Jakarta Edisi III/406.054. 2005 Sutarni, S. , Soeharso,S. S., Meliala, L.,Wibowo, S., A. Latief, Nyeri Pinggang bawah pada pekerja kasar di Stasiun Tugu Jogjakarta, Medika, No.11, November 1998. Wibowo, Eko Tri., Fachri, Achmad Zulal, EHS Weekly Tips. Astra Green Company Jakarta. 2004 Zanni, Guido dan Jeannette, Wick. Low Back Pain : Eliminating Myths andElucidating Realities. J. Am Pharm Assoc 43(3):357-352. American Pharmaceutical Association. 2003 Claire Jameson , eHow Contributor: Principles of Body Mechanics, http://www.ehow.com/about_6634822_principlesbody-mechanics.html#ixzz15AUltLEE updated: June 16, 2010 59 HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENGETAHUAN DAN SIKAP PUS TERHADAP PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI DI DESA INVALIDEN PEGAGAN JULU II KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI Masrah, Rosmayani Silitonga Jurusan Farmasi, Politeknik Kesehatan, Kemenkes Medan Abstrak Keberhasilan pengendalian pertumbuhan penduduk sangat ditentukan oleh kecepatan penurunan tingkat kelahiran. Pemakaian kontrasepsi akan meningkatkan pencegahan terhadap kehamilan, sehingga terjadi penurunan tingkat kelahiran. Kurang berhasilnya program KB antara lain dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran masyarakat tentang penggunaan alat KB, berkurangnya keseriusan pemerintah dalam menggalakkan program KB sehingga angka kelahiran menjadi meningkat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor pengetahuan dan sikap terhadap penggunaan alat KB pada PUS di Desa Invaliden Pegagan julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh Pasangan Usia Subur di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi yang berjumlah 300 orang dengan sampel yang di teliti adalah sebanyak 75 orang dengan metode pengambilan sampel secara purposive sampling. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan: a). data univariat dianalisa dengan metode deskriptif statistik, dan b). data bivariat akan dianalisa dengan menggunakan Uji Chi Square dengan nilai p<0,05. Hasil penelitian ini diketahui penggunaan alat kontrasepsi pada responden dapat dilihat bahwa responden mayoritas menggunakan alat kontrasepsi (65.33%) dan yang tidak menggunakan sebanyak 26 orang (34.67%). Pada analisa bivariat diketahui hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap penggunaan alat kontrasepsi (P = 0.007 < 0.05) dan hasil uji statistik juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi (P = 0.028 < 0.05). Untuk lebih meningkatkan penggunaan alat kontrasepsi pada PUS, maka bagi para aparatur desa, maupun fasilitator program KB di desa agar lebih meningkatkan keinginan masyarakat untuk menggunakan alat kontrasepsi dan bagi masyarakat dianjurkan menggunakan alat kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan. Kata kunci: Pengetahuan, Sikap, Kontrasepsi PENDAHULUAN Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha penanggulangan masalah kependudukan, bagian yang terpadu dalam pembangunan nasional dan turut serta menciptakan kesejahteraan ekonomi dan sosial budaya penduduk Indonesia. Pembangunan di bidang KB bertujuan untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera melalui pengendalian kelahiran serta untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk Indonesia. Keberhasilan pengendalian pertumbuhan penduduk sangat ditentukan oleh kecepatan penurunan tingkat kelahiran. Dengan meningkatnya pemakaian kontrasepsi akan meningkatkan pencegahan terhadap kehamilan, sehingga terjadi penurunan tingkat kelahiran. Kurang berhasilnya program KB antara lain dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran masyarakat tentang penggunaan alat KB berkurangnya keseriusan pemerintah dalam menggalakkan program KB sehingga angka kelahiran menjadi meningkat. 60 Padahal partisipasi / kesadaran masyarakat merupakan salah satu untuk mendukung tercapainya keberhasilan program KB. Untuk mempunyai sikap yang positif tentang KB diperlukan pengetahuan yang baik, demikian sebaliknya bila pengetahuan kurang maka kepatuhan menjalani program KB berkurang Pertambahan penduduk di Desa Invaliden Pegagan julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi masih tinggi dimana pertambahan penduduk 2009-2010 diperkirakan 1,02% dengan jumlah penduduk 2009 sebanyak 2442 jiwa dan tahun 2010 sebanyak 2467 jiwa. Pada hasil sensus 2009 dan 2010 tercatat angka kelahiran 2,7% per wanita subur, dimana angka kelahiran secara nasional 2,6% per wanita subur. Ini menunjukkan bahwa angka kelahiran di Desa Invaliden Pegagan julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi masih tinggi. Sehubungan dengan kondisi di atas penulis ingin meneliti tentang gambaran pengetahuan dan sikap terhadap penggunaan alat KB di Desa Invaliden Pegagan julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Lokasi ini dipilih sebagai lokasi penelitian dengan tingkat pendidikan yang sangat bervariasi terutama pada pasangan usia subur, mulai dari yang lulus sekolah dasar sampai pada ibu yang pernah lulus dari perguruan tinggi. TUJUAN PENELITIAN 1. 2. Untuk mengetahui distribusi penggunaan alat KB pada PUS di Desa Invaliden Pegagan julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi Untuk mengetahui hubungan antara faktor pengetahuan dan sikap terhadap penggunaan alat KB pada PUS di Desa Invaliden Pegagan julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional study. Penelitian dilakukan di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi, yang dimulai dengan melakukan penelusuran pustaka, dilanjutkan dengan survey awal dan mempersiapkan proposal penelitian, membuat materi instrument di lapangan berupa penilaian pengetahuan dan sikap PUS, serta melakukan pengumpulan dan analisis data dan penulisan dilakukan selama 3 (Tiga) bulan mulai bulan Januari sampai dengan Maret 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh Pasangan Usia Subur di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Jumlah keseluruhan PUS di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi adalah 300. Maka jumlah sampel yang di teliti adalah sebanyak: n N 1 N d 2 Keterangan : n = Ukuran sample yang dicari; N = Jumlah populasi d = Selisih rerata kedua kelompok yang bermakna = 1% 300 1 300 0,12 300 n 1 300 0,12 n 75 orang n Metode pengambilan sampel di lakukan dengan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer melalui kuisioner yang diberikan kepada responden yang berisi pertanyaan dan dipilih jawaban yang telah dipersiapkan., dan data sekunder yang diperoleh dari kantor Kepala Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Pengolahan data dilakukan dengan tahap Editing, Coding, Entry dan Cleaning. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan: a). data univariat dianalisa dengan metode deskriptif statistik, dan b). data bivariat akan dianalisa dengan menggunakan Uji Chi Square dengan nilai p<0,05. Untuk pengukuran pengetahuan dipakai skala ordinal jika jawaban benar diberi skor 1, dan jika jawaban salah di beri skor 0. Untuk pengukuran sikap di pakai skala ordinal.dengan bobot tiap pilihan adalah sebagai berikut : Sangat setuju bobot 4 Setuju bobot 3 Ragu – ragu bobot 2 Tidak setuju bobot 1 Berdasarkan total skor yang diperoleh responden, pengetahuan dan sikap dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu : 1. Tingkat pengetahuan dan sikap baik, jika mendapat total skor > 75 % 2. Tingkat pengetahuan dan sikap cukup, jika mendapat total skor > 50 –75% 3. Tingkat pengetahuan dan sikap kurang, jika mendapat skor < 50 % HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah di lakukan survei dengan menyebarkan kuisioner terhadap sampel di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi dengan jumlah responden 75 orang. Maka di peroleh hasil sebagai berikut: 1. Analisis Univariat a. Gambaran Umum Responden Gambaran umum responden berdasarkan umur, pendidikan dan penggunaan alat kontrasepsi yang diamati dalam penelitian ini adalah seperti disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa umur istri dari PUS minimal < 20 tahun (10.67%) dan maksimal 20 – 35 tahun 62.66%), untuk umur suami dikelompokkan menjadi 2 (Dua) kelompok berdasarkan nilai tengah (median) yaitu < 40 tahun dan > 40 tahun, dimana diketahui maksimal umur suami < 40 tahun (72%). Pada karakteristik pendidikan dapat dilihat, bahwa pendidikan responden baik itu istri maupun suami mayoritas pada kategori menengah, masing – masing (69.33%) dan (64.00). Untuk Penggunaan alat kontrasepsi pada responden dapat dilihat bahwa responden mayoritas menggunakan alat kontrasepsi (65.33%). Dari wawancara yang dilakukan diketahui distribusi penggunaan alat kontrasepsi adalah sebagai berikut : Pil (33.33%), Suntikan (16%), Implan(12%) dan IUD (4%), dan yang tidak menggunakan sebanyak 26 orang (34.67%) dengan alasan responden tidak menggunakan alat kontrasepsi adalah karena masih ingin punya anak (13.33%), menggunakan kontrasepsi alamiah (10.67%), sudah melakukan kontrasepsi mantap (4%), lain –lain (6.67%). 61 Tabel 1. Distribusi PUS Berdasarkan Umur, Pendidikan dan Penggunaan Alat Kontrasepsi No. 1. 2. 3. Karakeristik PUS Umur Istri - < 20 tahun - 20 - 35 tahun - > 35 tahun Suami - < 40 tahun - < 40 tahun Jumlah % 8 47 20 10.67 62.66 26.77 54 21 72.00 28.00 Pendidikan Istri - Dasar - Menengah - Tinggi 17 52 6 22.67 69.33 8.00 Pendidikan Istri - Dasar - Menengah - Tinggi 10 48 17 13.33 64.00 26.77 Penggunaan kontrasepsi - Menggunakan - Tidak menggunakan Total Tabel 2. Distribusi Penggunaan Alat Kontrasepsi Berdasarkan Pengetahuan PUS di Desa Invaliden Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten Dairi. Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total 65.33 34.67 75 100 % 16.00 73.33 10.67 100 Sikap Dari hasil penelitian ini diketahui sikap PUS tentang penggunaan alat kontrasepsi adalah seperti disajikan pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Distribusi Penggunaan Alat Kontrasepsi Berdasarkan Sikap PUS di Desa Invaliden Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten Dairi . Sikap Baik Cukup Kurang Total Jumlah 18 52 5 75 % 24.00 69.33 6.67 100 Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa sikap responden mayoritas pada kategori baik (69.33%). 2. Analisis Bivariat Pada data bivariat ini dilakukan tabulasi silang antara faktor independen (pengetahuan dan sikap) dengan faktor dependen (penggunaan Alat kontrasepsi) dan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang bermakna antara kedua vaiabel tersebut dilakukan statistik dengan uji chiSquare (p<0,05) a. Pengetahuan Dari hasil penelitian ini diketahui pengetahuan PUS tentang penggunaan alat kontrasepsi adalah seperti disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan responden pada kategori baik sebanyak 12 orang (16.00%), dan pada kategori cukup sebanyak 55 orang (81.33%) kemudian pada kategori kurang sebanyak 8 orang (10.67%) Tabel 4. 12 55 8 75 b. alat 49 26 Jumlah a. Hubungan Pengetahuan Responden Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa hubungan pengetahuan PUS terhadap penggunaan alat kontrasepsi di Desa Invaliden Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten Dairi adalah seperti disajikan pada Tabel 4. Hubungan Pengetahuan PUS Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi di Desa Invaliden Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten Dairi. Penggunaan Alat Kontrasepsi Ya Pengetahuan Baik Cukup Kurang Jumlah 62 Jlh 9 39 1 49 Jumlah % Tidak % 12.00 52.00 1.33 65.33 Jlh 3 16 7 26 % 4.00 21.33 9.34 34.67 Jlh 12 55 8 75 % 16.00 73.33 10.67 100 X2 (Nilai p) 0,007 Tabel 5. Hubungan Sikap PUS Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Sikap Baik Cukup Kurang Jumlah Penggunaan Alat Kontrasepsi Ya Tidak Jlh % Jlh % 38 50.67 11 14.67 10 13.33 10 13.33 1 1.33 5 6.67 49 65.33 26 34.67 Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap penggunaan alat kontrasepsi (P = 0.007 < 0.05). Hal ini berarti bahwa tingkat pengetahuan berbanding lurus dengan penggunaan alat kontrasepsi, artinya makin tinggi tingkat pengetahuan maka penggunaan alat kontrasepsi juga tinggi, begitu juga sebaliknya. Dari data yang diperoleh, responden yang berpengetahuan baik menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 9 orang (12.00%), dan yang tidak menggunakan 3 orang (4.00%), untuk responden yang berpengetahuan cukup menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 39 orang (52.00%) dan yang tidak menggunakan sebanyak 16 orang (21.33%), selanjutnya untuk responden yang berpengetahuan kurang menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 1 orang (1.33%) dan yang tidak menggunakan 7 orang (9.34%). Berdasarkan data pada Tabel. 4, diketahui bahwa PUS di Desa Invaliden Pegagan Julu II Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi sudah banyak menggunakan alat kontrasepsi, hanya saja alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah alat kontrasepsi yang kurang efektif seperti pil Pil (33.33%) dan Suntikan (16%), hanya beberapa PUS yang menggunakan alat kontrasepsi yang efektif seperti Implan(12%) dan IUD (4%). Dengan demikian, pengetahuan PUS yang baik tentang program KB akan mempengaruhi mereka dalam memilih metode/alat kontrasepsi yang akan digunakan termasuk pilihan efektif/tidaknya suatu alat kontrasepsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Blum yang dikutip oleh Notoatmojo (2003) yang menyatakan bahwa tindakan seorang individu yang lebih nyata akan lebih langgeng dan bertahan apabila hal ini didasari pengetahuan yang kuat. b. Hubungan Sikap Responden Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa hubungan pengetahuan PUS terhadap penggunaan alat kontrasepsi di Desa Invaliden Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten Dairi adalah seperti disajikan pada Tabel 5. Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi (P = 0.028 < 0.05). Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penerimaan terhadap tujuan yang ditawarkan dalam program KB, manfaat dan juga kegunaan pemakaian alat kontrasepsi. Jumlah % Jlh % 49 65.34 20 26.66 6 8.00 75 100 X2 (Nilai p) 0.028 Berdasarkan hasil penelitian diperoleh, responden yang memiliki sikap baik menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 38 orang (50.67%), dan yang tidak menggunakan 11 orang (14.67%), untuk responden yang memiliki sikap cukup menggunakan alat kontasepsi sebanyak 10 orang (13.33%) begitu juga dengan yang tidak menggunakan, selanjutnya untuk responden yang memiliki sikap kurang menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 1 orang (1.33%) dan yang tidak menggunakan 5 orang (6.67%). Dari data ini dapat dilihat bahwa sikap responden yang belum baik juga diikuti dengan penggunaan alat kontrasepsi yang masih rendah. Artinya bahwa ketika responden memberi penilaian yang kurang baik terhadap program KB dan penggunaan alat kontrasepsi, maka dia juga akan memberikan tanggapan yang negatif. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Junita Tatarini Purba (2009) yang mengatakan bahwa ada pengaruh sikap dengan penggunaan alat kontrasepsi (Sig = 0,041). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Penggunan alat kontrasepsi di di Desa Invaliden Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten Dairi sebanyak 49 orang (65.33%) dan yang tidak menggunakan sebanyak 26 orang (34.67%) 2. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan penggunaan alat kontrasepsi di Desa Invaliden Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten Dairi dengan nilai P = 0.007). 3. Adanya hubungan yang bermakna antara tingkat sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi di Desa Invaliden Pegagan Julu II KecamatanSumbul Kabupaten Dairi (P = 0.028. Saran 1. Bagi para aparatur desa, maupun fasilitator program KB di desa agar lebih meningkatkan keinginan masyarakat untuk menggunakan alat kontrasepsi. 2. Bagi masyarakat dianjurkan menggunakan alat kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan 3. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat dijadikan bahan untuk penelitian lebih lanjut tentang KB 63 DAFTAR PUSTAKA Arikunto. S, (2006). Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, (1989). Penganyoman Medis Keluarga Berencana, Keluarga Berencana Nasional. Jakarta Sarwono Prawirohardjo bekerja sama dengan JNPKKR/POGI, BKKBN, DEPKES, dan JHPIEGOS, (2003). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta. 64 Hopkins. J, (1996). Kartu Informasi Kontrasepsi, Proyek UNFPA, Jakarta. Junita Tatarini Purba (2009), Faktor – faktor yang mempengaruhi penggunaan alat KBpada istri PUS di Kec. Rambah Samo, Kab. Rokan Hulu Tahun 2008,USU Singarimbun, Masri, dan Sofian Efendi, (1981). Metode Penelitian Survei. Ed. Revisi. PT. Pustaka LP3S Indonesia, Jakarta. Tjay Hoan Tan Drs dan Kirana Raharja, (2002). Obat-obat penting, khasiat, penggunaan dan efek sampingnya, Ed V, PT. Elex Media komputindo. Jakarta. HUBUNGAN KEBIASAAN MENGKONSUMSI MAKANAN YANG MENGANDUNG SUKROSA DENGAN OHI-S PADA SISWA SISWI KELAS X A SMA PENCAWAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2010 Netty Jojor Aritonang Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Abstrak Kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) merupakan hal yang perlu diperhatikan karena selain untuk fungsi metabolisme gigi juga berfungsi untuk memberikan nilai esteika bagi diri kita. Faktor faktor yang menyebabkan kurangnya kebersihan gigi adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak mendukung kebersihan gigi. Dalam penelitian ini jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survey. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa siswi kelas X A SMA Pencawan medan Tuntungan, yang berjumlah 21 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kuesioner dan alat diagnosa. Data penelitian diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pemeriksaan subjektif. Data sekunder diperoleh dari kuesioner yang dibagikan pada setiap sampel, data yang sudah diperoleh dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi dan dijelaskan secara rinci setiap aspek yang ada dalam tabel tersebut. Adapun hasil yang didapat dari penelitian ini adalah siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010 memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan tidak mendukung terhadap kebersihan gigi dan mulut (OHI-S), sehingga rata-rata siswa memiliki kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) yang kurang baik dimana siswa siswi memiliki: Debris Indeks rata rata sebesar 1,6, Kalkulus Indeks rata rata 1,09, OHI-S rata rata 2,77, dan persentase yang memiliki kategori OHI-S baik adalah 9,53%, kategori OHIS sedang 61,90% dan kategori OHI-S buruk sebesar 28,57%. Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung gula dengan OHI-S pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010. Dengan demikian upaya yang harus dilakukan adalah memperhatikan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa.. Kata kunci: Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa, kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) PENDAHULUAN Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat agar tingkat kesehatan masyarakat menjadi lebih baik. Pembangunan di bidang kesehatan gigi merupakan bagian integral dari pembangunan kesehatan nasional. Artinya, dalam melaksanakan pembangunan kesehatan, pembangunan di bidang kesehatan gigi tidak boleh ditinggalkan. Gigi merupakan salah satu organ yang penting dalam tubuh manusia. Kesehatan fisik dan mental banyak dipengaruhi oleh kondisi kesehatan gigi serta kebersihan gigi dan mulut(OHI-S). Secara garis besar selain alat pencernaan, gigi juga berfungsi sebagai alat komunikasi verbal, guna menjaga agar ucapan kata tepat dan jelas. Selain itu gigi juga berperan sebagai sarana untuk menjaga estetika (Besford, john. 1996). Telah diketahui makin majunya tehnologi pangan dan taraf penghidupan menjadikan setiap orang mengalami perubahan dalam kebiasaan makan. Kebiasaan makan yang tidak sesuai misalnya, mengkonsumsi makanan yang tidak mendukung kesehatan gigi diantara jam makan akan mengakibatkan tingkat kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) menjadi kurang bersih. Sisa makanan yang melekat pada permukaan gigi atau yang disebut dengan debris indeks (DI) lama kelamaan jika tidak dibersihkan akan berubah menjadi karang gigi atau yang sering juga disebut dengan kalkulus indeks (CI). Kebiasaan makan yaitu tindakan seseorang atau sekelompok manusia dengan mengkonsumsi jenis makanan makanan tententu ynag dipengaruhi banyak faktor salah satunya kesukaan terhadap jenis makanan tertentu. Hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa dengan kebersihan gigi (OHI-S) perlu diperhatikan. Debris indeks (DI) terbentuk dari sisa-sisa makanan lengket yang melekat di sela-sela gigi yang bersumber dari makanan yang mengandung sukrosa, kemudian plak ini akhirnya akan ditumbuhi bakteri yang dapat mengubah gula menjadi asam sehingga pH rongga mulut menurun sampai dengan pH 4,5. Pada keadaan demikian debris indeks akan berubah menjadi keras yaitu menjadi karang atau kalkulus 65 (CI). Pengulangan konsumsi makanan yang mengandung sukrosa terlalu sering akan menyebabkan produksi asam oleh bakteri menjadi lebih sering lagi, sehingga keasaman rongga mulut menjadi lebih permanen dan kebersihan gigi dan mulut menjadi buruk. Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa dengan kebersihan gigi (OHI-S) yang mana penelitiannya dilakukan di SMA Pencawan Medan Tuntungan.Dengan rumusan masalah penelitian adalah bagaimana hubungan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa dengan kebersihan gigi (OHI-S). Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa dengan kebersihan gigi (OHI-S) pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survei, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa dengan kebersihan gigi dan mulut atau OHI-S pada siswa siswi kelas X A di SMA Pencawan Medan Tuntungan.Penelitian dilakukan di SMA Pencawan kecamatan Lau Chi Medan Tuntungan pada bulan Maret 2010 sampai dengan bulan Agustus 2010. Populasi dan Sampel Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010 dan semua populasi dijadikan sebagai sampel penelitian dengan jumlah 21 orang. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan diambil dari data siswa siswi kelas X A dan SMA pencawan Medan Tuntungan. Pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan metode kuesioner (daftar pertanyaan) dan pemeriksaan langsung. Dalam pemeriksaan peneliti menggunakan alat dan bahan sebagai berikut: 1. Alat terdiri dari: - Sonde - Pinset - Ekscavator - Format pemeriksaan 2. Bahan terdiri dari: - Desinfektan - Alkohol - Kapas Teknik Analisa Data Data yang telah dikumpulkan diolah dengan cara manual, kuesioner yang telah dikumpulkan, diperiksa kelengkapannya, kejelasan tulisan, ada tidaknya jawaban ganda dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab. Data yang sudah diperoleh disederhanakan untuk 66 mempermudah pengolahan yaitu dengan menggunakan angka atau kode-kode tertentu pada penelitian ini, yaitu : - Untuk jawaban ya scorenya 1. - Untuk jawaban tidak scorenya 0. Untuk mempermudah analisa dan pengolahan data serta pengambilan kesimpulan, Data dihitung sesuai variable yang telah ditentukan, kemudian dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi frekuensi debris indeks rata-rata pada 21 siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010. No Jumlah siswa Total (DI) DI rata-rata. 1 21 35,42 1,69 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kebersihan gigi dan mulut siswa siswi kelas XI A SMA Pencawan Medan Tuntungan berdasarkan Debris indeks rata rata adalah 1,69. Tabel 2. Distribusi frekuensi kalkulus indeks rata-rata pada 21 siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010. No. 1 Jumlah siswa 21 Total (CI) 22,95 CI rata-rata 1,09 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat kebersihan gigi dan mulut pada siswa siswi kelas X A SMA pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010 berdasarkan kalkulus indeks rata-rata adalah 1,09. Tabel 3. Distribusi frekuensi OHI-S rata-rata pada 21 siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010. No 1 Jumlah siswa 21 Total OHI-S 58,37 OHI-S rata-rata. 2,78 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tigkat kebersihan gigi atau OHI-S rata-rata pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan tahun 2010 berdasarkan penilaian OHI-S adalah 2,78. Tabel 4. Distribusi frekuensi berdasarkan kategori dan persentase OHI-S pada 21 siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010. No. 1 2 3 4 Kategori OHI-S Baik Sedang Buruk Jumlah Jumlah siswa 2 13 6 21 Persentase. 9,53% 61,90% 28,52% 100% Dari tabel diatas dapat dilihat persentase kategori OHI-S pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010 adalah : Baik =9,53% Sedang =61,90% Buruk =28,57% Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kebiasaan makan pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan tahun 2010 sebagai berikut : Persentase siswa yang sarapan biskuit, coklat, roti di pagi hari adalah 9,53% dan yang tidak adalah 90,47%. Persentase siswa yang langsung sikat gigi setelah makan biskuit, coklat, roti adalah 38,09% dan yang tidak adalah 61,1%. Persentase siswa yang ngemil makanan yang mengandung gula setelah makan siang adalah 80,95% dan yang tidak adalah 19,05%. Persentase siswa yang yang makan cemilan setelah sikat gigi malam adalah 57,14% yang tidak adalah 42,86%. Persentase siswa yang lebih sering makan makanan ringan daripada buah-buahan adalah 90,47% dan yang tidak adalah 9,53%. Tabel 5. Distribusi frekuensi persentase kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa pada 21 siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010. No. 1 2 3 4 5 Kebiasaan makan Srapan biskuit,coklat,roti di pagi hari. Setelah makan biskuit,coklat,roti langsung sikat gigi. Ngemil makanan yang mengandung gula setelah makan siang. Makan cemilan setelah sikat gigi malam. Lebih sering makan makanan ringan daripada buahbuahan. Jumlah Tidak 19 13 4 Ya 2 8 17 12 19 9 2 % Ya 9,53 38,09 80,95 Tidak 90,47 61,1 19,05 57,14 90,47 42,86 9,53 Tabel 6. Distribusi frekuensi hubungan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa dengan OHI-S rata rata pada 21 siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010. No. Kebiasaan makan Jumlah Siswa Ya Tidak 2 19 8 13 Rata-rata DI CI 1,69 1,09 1,69 1,09 1 2 Srapan biskuit, coklat, roti di pagi hari. Setelah makan biskuit, coklat, roti antara jam makan pagi dan siang. 3 Ngemil makanan yang mengandung gula setelah makan siang. 17 4 1,69 1,09 2,75 4 Makan cemilan setelah makan malam. 12 9 1,69 1,09 2,80 5 Lebih sering makan makanan ringan daripada buah-buahan. 19 2 1,69 1,09 2,70 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa OHI-S rata rata berdasarkan kebiasaan makan siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010 adalah: 1. OHI-S rata rata pada siswa siswi yang sarapan biskuit, coklat, roti di pagi hari adalah: 2,78 (sedang). 2. OHI-S rata rata pada siswa siswi sarapan biskuit, coklat, roti antara jam makan pagi dan siang adalah: 2,85 (sedang). 3. OHI-S rata rata pada siswa siswi yang ngemil makanan yang mengandung gula setelah makan siang adalah adalah: 2,75 (sedang). 4. OHI-S rata rata pada siswa siswi yang makan cemilan setelah makan malam adalah: 2,80 (sedang). 5. OHI-S rata rata pada siswa siswi yang lebih sering mengkonsumsi makanan ringan daripada buah buahan adalah: 2,70 (sedang). OHI-S Rata-rata 2,78 2,85 6. Kategori OHI-S rata rata pada siswa siswi berdasarkan kebiasaan makan adalah: Sedang. Pembahasan Kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) merupakan keadaan dimana gigi dan jaringan sekitarnya bersih dan sehat atau terbebas dari penyakit. Seperti bagian bagian lain dari tubuh, maka gigi dan jaringan penyangganya mudah terkena penyakit. Maka supaya gigi tahan terhadap panyakit harus mendapat perhatian dan perawatan yang baik dan menjaga agar gigi tetap bersih. (Boediarjoe, 1985). Berdasarkan dari hasil distribusi frekuensi diketahui bahwa siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010 memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan tidak mendukung terhadap kebersihan gigi dan mulut (OHI-S), sehingga rata-rata 67 siswa memiliki kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) yang kurang baik dimana siswa siswi memiliki: Debris Indeks rata rata sebesar 1,69, Kalkulus Indeks rata rata 1,09, OHIS rata rata 2,77. Menjaga kebersihan gigi dan mulut adalah hal yang sangat penting beberapa hal yang perlu dilakukan adalah dengan menyikat gigi dan memperhatikan pola makan. Tingkat kebersihan gigi dan mulut seseorang dapat diukur dengan menggunakan Oral Higiene Simplied (OHIS) yaitu dengan menjumlahkan debris skor dan kalkulus score. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010 dapat diketahui bahwa kebiasaan makan berhubungan dengan kebersihan gigi dan mulut (OHI-S). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan memiliki debris indeks rata rata 1,69 (sedang). 1. Siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan memiliki kalkulus indeks rata rata 1,09 (sedang). 2. Siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan memiliki (OHI-S) rata-rata 2,77 (sedang). 3. Ada hubungan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa dengan kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) pada siswa siswi kelas X A SMA Pencawan Medan Tuntungan Tahun 2010. Saran 1. Kepada pihak SMA Pencawan Medan Tuntungan hendaknya mengadakan progran UKGS yang bekerjasama dengan puskesmas setempat 68 2. Diharapkan kepada siswa siswi SMA Pencawan Medan Tuntungan untuk memperhatikan kebiasaan makan agar kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) dapat tetap terjaga. 3. Diharapkan kepada siswa siswi SMA Pencawan Medan Tuntungan untuk mengurangi kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa karena menyebabkan gigi dan mulut kurang bersih. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian, Edisi Revisi VI, Jakarta: PT. Rineka Cipta. BAUM, Lloyd, 1997, Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi, Alih Bahasa Rasinta Tarigan, Jakarta: EGC. Boedihardjo, 1985, Pemeliharaan Kesehatan Gigi & Mulut, Bandung: Airlangga University. Moestopo, 1982, Kesehatan Gigi & Mulut, Bandung: Ghalia Indonesia. Panjaitan, Monang, 1997, Etiologi Karies Gigi dan Penyakit Periodontal, Medan: USU Press. Pintauli, Sondang, 2004, Menuju Gigi dan Mulut Sehat, Pencegahan dan Pemeliharaan, Medan: USU Press. Politeknik Kesehatan Medan, 2009, Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI), Medan: USU Press. Tarigan, Rasinta, 1990, Karies Gigi, Jakarta: Hipokrates. Http://www.compas.com. Gizinet. Maret 2007. Diet efektif kurangi berat badan, April 2010 Http://yayanakhyar.wordpress.com April 2010 PERBEDAAN PREVALENSI KARIES PADA MURID KELAS III SDN 101816 PANCUR BATU DENGAN SDN 060868 KRAKATAU MEDAN YANG MEMILIKI UKGS TAHUN 2011 Rawati Siregar Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Abstrak Masyarakat sekolah dasar merupakan salah satu kelompok yang strategis yang diikut sertakan dalam upaya kesehatan gigi dan mulut. Upaya kesehatan gigi dan mulut pada anak sekolah dilaksanakan melalui kegiatan pokok kesehatan gigi dan mulut di puskesmas yang diselenggarakan secara terpadu dengan kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dalam bentuk program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat Deskriptif dengan Metode Survey. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu berjumlah 60 murid, dan SDN 060868 Krakatau Medan berjumlah 60 murid, jadi jumlah keseluruhan adalah 120 murid, sedangkan yang menjadi sampel adalah 42 murid, yaitu 21 murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu dan 21 murid SDN 060868 Krakatau Medan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh melalui pemeriksaan langsung kepada murid kelas III SDN 101816 pancur batu dan murid kelas III SDN 060868 Krakatau Medan. Angka DMF-T dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816 kelas III terdapat 8 gigi yang terkena karies, dengan rata-rata 0,4. Sedangkan pada SDN 060868 kelas III dari 21 murid yang diperiksa terdapat 24 gigi yang terkena karies, dengan rata-rata 1,1. Angka def-t dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816 terdapat 43 gigi yang terkena karies, 7 gigi yang diindikasikan untuk dicabut, dengan rata-rata 2,4. Sedangkan pada Murid kelas III SDN 060868 dari 21 murid yang diperiksa terdapat 90 gigi yang terkena karies, 22 gigi yang diindikasikan untuk dicabut, dengan rata-rata 5,3. Dari hasil penelitian serta pembahasan dapat disimpulkan bahwa murid kelas III pada SDN 101816 Pancur Batu lebih sedikit menderita karies dari pada murid kelas III SDN 060868 Krakatau Medan. Selain dari pada UKGS, orang tua dan guru juga dapat mempengaruhi kesehatan gigi anak-anak khususnya pada anak SD kelas III. Kata kunci: Prevalensi Karies, UKGS PENDAHULUAN Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, hal itu bertujuan untuk dapat melakukan berbagai aktivitas baik fisik, mental maupun kesehjateraan sosial. Jadi,sehat itu bukan sekedar tidak sakit (WHO). Upaya yang dilakukan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal salah satunya adalah upaya kesehatan gigi dan mulut. Dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut terdapat keterbatasan di bidang sarana dan tenaga kesehatan gigi, sehingga masyarakat diikut sertakan dalam upaya kesehatan gigi dan mulut (Depkes RI, 1992). Masyarakat Sekolah Dasar merupakan salah satu kelompok yang strategis yang diikut sertakan dalam upaya kesehatan gigi dan mulut. Upaya kesehatan gigi dan mulut pada anak sekolah dilaksanakan melalui kegiatan pokok kesehatan gigi dan mulut di puskesmas yang diselenggarakan secara terpadu dengan kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dalam bentuk program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) (Depkes RI, 1997). Pada anak-anak Sekolah Dasar yang tidak memiliki program UKGS kemungkinan terjadinya penyakit gigi misalnya karies gigi, akan lebih besar apabila dibandingkan dengan anak-anak sekolah dasar yang memiliki program UKGS. Penelitian Sufiawati dkk (2000) menyatakan bahwa pada semua sekolah yang tidak mempunyai program UKGS dan tidak pernah mendapatkan penyuluhan tentang kesehatan gigi dan mulut terjadi prevalensi karies gigi yang tinggi. Prevalensi karies relatif lebih tinggi pada anak Sekolah Dasar yang tidak memiliki program UKGS, kemungkinan karena terdapat keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya pengetahuan tentang pentingnya melakukan pencegahan dan perawatan gigi. Menurut penelitian Sufiawati dkk (2000) prevalensi karies gigi yang tinggi antara lain karena kurangnya pengetahuan kesehatan gigi dan mulut, tidak memiliki program UKGS, kurangnya kesadaran dan kebersihan dirinya sendiri dan anak-anak dalam usia ini masih tergantung pada orang tua, serta kurangnya kesadaran orang tua untuk membawa anaknya untuk melakukan perawatan gigi. 69 Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dilakukan suatu program kesehatan yang terencana dan terpadu di Sekolah Dasar. Program usaha kesehatan sekolah yang kegiatannya ditujukan untuk mewujudkan gigi dan mulut yang sehat pada anak-anak sekolah dasar (Depkes RI, 1997). Usaha Kesehatan Gigi Sekolah adalah usaha-usaha dalam bidang kesehatan gigi dan mulut terhadap masyarakat disekolah khususnya di tujukan pada anak sekolah dasar. Usaha pelayanan kesehatan gigi dan mulut dititik beratkan pada usaha pencegahan salah satunya adalah penyuluhan kesehatan gigi dan mulut (Depkes RI, 1984). Kegiatan program usaha kesehatan gigi sekolah meliputi uapaya peningkatan dan pencegahan (promotifpreventif) dan upaya pengobatan dan pemulihan terhadap penyakIt karies gigi (kuratif-rehabilitatif) (Depkes RI, 1994). Hasil survey usaha kesehatan sekolah tahun 1990, penyakit karies gigi berada pada urutan teratas penyakitpenyakit gigi dan mulut yang diderita anak-anak sekolah dasar (Bina Kesehatan Keluarga, 1990). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi penyakit karies gigi masyarakat di Jawa Barat rata-rata 78,9% dan indeks DMF-T 5,74 menunjukkan pada setiap orang rata-rata terdapat 5 sampi 6 gigi yang berlubang, ditambal dan dicabut akibat karies (Depkes RI, 1999). Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang perbedaan prevalensi karies pada anak usia sekolah dasar yang mana dalam hal ini pemeriksaan dilakukan pada kelas III SD yang memiliki UKGS, SDN 101816 Pancur Batu dan SDN 060868 Krakatau Medan. Berdasarkan dari latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah Bagaimana Perbedaan Prevalensi Karies Pada Murid Kelas III SDN 101618 Pancur Batu Dengan SDN 060868 Krakatau Medan yang Memiliki UKGS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbedaan Prevalensi Karies Pada Murid Kelas III SDN 101618 Pancur Batu Dengan SDN 060868 Krakatau Medan yang Memiliki UKGS. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan penelitian Deskriptif dengan metode Survey, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbedaan Prevalensi Karies pada Murid Kelas III SDN 101816 Pancur Batu dengan SDN 060868 Krakatau Medan yang memiliki UKGS. Penelitian dilakukan di SDN 101816 Jl. Letjen Jamin Ginting Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, dan di SDN 060868 Jl. Glugur Darat Krakatau Medan. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Murid Kelas III SDN 101816 yang berjumlah 60 orang dan seluruh Murid SDN 060868 dengan jumlah 60 orang. Sampel adalah sebagian wakil populasi yang diteliti, dalam pengambilan sampel penelitian mengacu kepada pendapat Arikunto (2006), jika jumlah populasi sebesar (<100) sampel dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih. Dalam hal ini peneliti mengambil sampel sebesar 35%, sehingga banyaknya sampel murid 70 Kelas III SDN 101816 Pancur Batu adalah 60X35% = 21 orang dan jumlah sampel dari murid kelas III SDN 060868 Krakatau Medan adalah 60X35% = 21 orang. Jenis data yang diambil adalah data primer, pemeriksaan dilakukan secara langsung ke rongga mulut sampel penelitian. Data ini diambil dengan cara menghitung jumlah karies tiap sampel.Dalam melakukan pemeriksaan, peneliti menggunakan alat dan bahan sebagai berikut : 1. Alat terdiri dari : Sonde Pinset Ekscavator Format Pemeriksaan. 2. Bahan terdiri dari Desinfektan Alkohol Kapas Dalam melakukan pemeriksaan, peneliti dibantu oleh satu orang teman yaitu sebagai berikut : 1. Orang pertama sebagai pemeriksa yang bertugas untuk memeriksa sampel. 2. Orang kedua sebagai orang pembantu yang bertugas untuk memanggil nama sampel satu persatu untuk diperiksa serta mencatat hasil pemeriksaan. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pemeriksaan karies gigi yang dilakukan pada Murid-murid tersebut adalah : 1. Orang kedua memanggil nama sampel satu persatu sesuai dengan urutan absen. 2. Orang kedua mempersilahkan sampel duduk diatas kursi untuk dilakukan pemeriksaan. 3. Orang pertama melakukan pemeriksaan gigi yang terserang karies dan menentukan jenis karies dan letak karies dengan menggunakan kaca mulut dan sonde. 4. Lalu orang kedua mencatat hasil pemeriksaan yang dilakukan orang pertama. Pengolahan dan Analisa Data Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan, dipindahkan kedalam sebuah tabel distribusi Frekwensi. Data disajikan secara ringkas dan jelas agar dapat dilihat perbandingan atau perbedaan jumlah karies Murid-murid yang menjadi sampel penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. NO 1 2 Distribusi Frekuensi rata-rata angka DMF-T pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu dan SDN 060868 Krakatau Medan. Kelompok Sampel SDN 101816 SDN 06O868 21 Jumlah Murid yang Terkena Karies 16 Prevalensi Karies ( % ) 76 21 21 100 n Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persentase Prevalensi Karies pada SDN 101816 lebih rendah dari pada SDN 060868. Dimana dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816 terdapat 16 orang yang terkena karies yaitu sekitar 76%. Sedangkan pada SDN 060868 dari 21 murid yang diperiksa semuanya terkena karies, yaitu 100%. Tabel 2. NO 1 2 Pembahasan Dari hasil penelitian murid kelas III SDN 101816 pancur batu dan SDN 060868 krakatau medan yang samasama mempunyai UKGS diketahui bahwa dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816 terdapat 16 orang yang terkena karies yaitu sekitar 76%. Sedangkan pada SDN 060868 dari 21 murid yang diperiksa semuanya terkena karies, yaitu 100%. Dari hasil pemeriksaan angka DMF-T dapat dilihat bahwa jumlah Decay (Karies) pada SDN 101816 lebih sedikit dari pada SDN 060868. Dimana dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816 terdapat 8 buah gigi yang terkena karies, dengan rata-rata 0,4. Sedangkan pada murid kelas III SDN 060868 dari 21 murid yang diperiksa terdapat 24 gigi yang terkena karies, dengan rata-rata 1,1. Dari angka def-t dapat dilihat bahwa jumlah decay (Karies) dan e (ekstraksi) pada murid kelas III SDN 101816 lebih sedikit dari pada murid kelas III SDN 060868. Dimana dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816 kelas III, terdapat 43 buah gigi yang terkena karies, 7 buah gigi yang diindikasikan untuk dicabut, dengan rata-rata 2,4. Sedangkan pada murid kelas III SDN 060868, dari 21 murid yang diperiksa terdapat 90 gigi yang terkena karies, 22 gigi yang diindikasikan untuk dicabut, dengan rata-rata 5,3. Dari data tersebut murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu lebih sedikit menderita karies dari pada murid kelas III SDN 060868 Krakatau Medan. Hal ini disebabkan kurang optimalnya pelaksanaan UKGS yang ada di SDN 060868 dari pada SDN 101816 Pancur Batu. Tetapi jika dilihat dari Prevalensi Karies antara kedua sekolah diatas masih banyak kekurangan UKGS pada masing-masing Distribusi frekuensi rata-rata angka DMF-T pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu dan SDN 060868 Krakatau Medan. Kelompok n Sampel SDN 101618 21 SDN 060868 21 D Angka DMF-T M F DMF-T 8 24 - - 8 24 X 0,4 1,1 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah Decay (Karies) pada SDN 101816 lebih sedikit dari pada SDN 060868. dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816 terdapat 8 gigi yang terkena karies, dengan rata-rata 0,4. Sedangkan pada SDN 060868 dari 21 murid yang diperiksa terdapat 24 buah gigi yang terkena karies, dengan rata-rata 1,1. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah Decay (Karies) dan e (ekstraksi) pada murid kelas III SDN 101816 lebih sedikit dari pada murid kelas III SDN 060868, dari 21 murid yang diperiksa di SDN 101816 terdapat 43 gigi yang terkena karies, 7 gigi yang diindikasikan untuk dicabut dengan rata-rata 2,4. Sedangkan dari 21 murid yang diperiksa di SDN 060868 terdapat 90 gigi yang terkena karies, 22 gigi yang diindikasikan untuk dicabut, dengan rata-rata 5,3. Dari tabel 4 dapat dilihat adanya perbedaan Prevalensi karies antara murid kelas III SDN 101816 dengan murid SDN 060868. Tabel 3. Distribusi frekuensi rata-rata angka def-t pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu dan SDN 060868 Krakatau Medan. NO 1 2 Kelompok Sampel SDN 101816 SDN 060868 n 21 21 Angka def-t f def-t d e 43 90 7 22 - X 50 112 2,4 5,3 Tabel 4. Distribusi frekuensi Perbedaan Prevalensi Karies pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu dengan SDN 060868 Krakatau Medan. NO Kelompok Sampel n Jumlah Prevale Murid yang nsi Terkena Karies Karies (%) Angka def-t d 1 2 SDN 101816 SDN 060868 e f def-t Angka DMF-T X 21 16 76 43 7 - 50 21 21 100 90 22 - 112 5,3 D M F DMF-T X 2,4 8 24 - - 8 0,4 - - 24 1,1 71 sekolah. UKGS merupakan bagian dari UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). UKS adalah salah satu program kerja Puskesmas (tim kesehatan). Dalam hal ini Puskesmas merupakan faktor utama yang berperan penting di dalam keberhasilan UKGS. Peranan orang tua dan guru juga sangat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut si anak, dalam hal ini orang tua yang menjadi pembimbing si anak saat si anak berada diluar sekolah dan guru yang merupakan tim pengajar yang menjadi pembimbing si anak pada saat disekolah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tingkat Prevalensi karies pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu terdapat 16 orang atau 76 % berbeda dengan SDN 060868 Krakatau terdapat 21 orang atau 100 %. 2. Angka DMF-T pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu sebanyak 8 gigi dengan rata-rata 0.4 berbeda dengan murid kelas III SDN 060868 sebanyak 24 gigi dengan rata-rata 1.1. 3. Angka def-t pada murid kelas III SDN 101816 Pancur Batu sebanyak 50 gigi dengan rata-rata 2.4 berbeda dengan murid kelas III SDN 060868 sebanyak 112 buah dengan rata-rata 5.3. Saran 1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan kepada tenaga kesehatan gigi untuk lebih memperhatikan kebersihan gigi dan mulut 72 pada anak SD khususnya kelas III sehingga kemungkinan peningkatan karies dapat dicegah. 2. Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi bahan masukan kepada orang tua murid-murid untuk lebih memperhatikan kesehatan gigi dan mulut mereka. 3. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan kepada kepala sekolah dan pada guru untuk lebih memperhatikan kebersihan gigi dan mulut para murid. 4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada puskesmas untuk lebih mengefektifkan program UKGS. DAFTAR PUSTAKA Diktat Pelayanan Asuhan Keshatan Gigi Diunit Pelayanan Kesehatan Jurusan Kesehatan Gigi Diktat Usaha Kesehatan sekolah (UKS) Edwina A. M. Kidd,Sally Joyston-Bechal, 1991, DasarDasar Karies (Cetakan I), Buku Kedokteran (EGC), Jakarta. Kesehatan < http // www. heck. srce. hr . Com Kesehatan Anak < http // www . childrenshospital . Org . Com Konsep Sehat < http // www. Healty-holistic. Living. Com Politeknik Kesehatan Medan, 2006, Panduan Penyusunan KTI, Medan Politeknik Kesehatan Medan, 2009, hasil penelitian Dora Spingel < http // www. Springelink HUBUNGAN PENGGUNAAN BABY WALKER DENGAN KECEPATAN BAYI BERJALAN DI KELURAHAN CENGKEH TURI KECAMATAN BINJAI UTARA TAHUN 2010 Elizawarda Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Abstrak Menurut teori perkembangan anak, usia bayi berjalan 10-14 bulan. Masih ada bayi usia tersebut belum dapat berjalan, sehingga orang tua cemas. Oleh karena itu, orang tua usaha agar bayinya berjalan. Banyak masyarakat Indonesia mempercayai baby walker membantu bayi berjalan kenyataannya tidak. The American Of Pediatric (AAP) mengatakan baby walker tidak berpengaruh pada kecepatan bayi berjalan. Karena dapat membuat anak berjalan ngangkang cendrung jatuh dan akhirnya membuat anak teroma dan tidak mau berjalan sehingga kemampuan berjalannya menjadi lambat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan dikelurahan cengkeh turi kecamatan binjai utara tahun 2010. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan 55 sampel menggunakan data primer, dikumpulkan melalui kuesioner sebanyak 2 pertanyaan. Analisis data dikumpulkan secara uji exact fisher.Dari hasil penelitian di dapat bahwa 55 responden; bayi yang menggunakan baby walker ada 47 orang (85,45%).Dan bayi yang tidak menggunakan baby walker ada 8 orang (14,56%) Anak menggunakan baby walker berjalan lambat pada ˃12 bulan ada 37 orang (78,7%) dan anak menggunakan baby walker yang berjalan cepat pada usia 10-12 ada 10 orang (21,3%). Anak tidak menggunakan baby walker yang berjalan cepat 10-12 bulan ada 5 orang (62,5%) dan bayi tidak menggunakan baby walker yang berjalan lambat ˃12 bulan pada saat ada 3 orang (37,5%). Uji exact fisher Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima artinya tidak ada hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan. Dengan df = 1 dan derajat kemaknaan 0,05 didapat x hitung ˂ 0,05 (x hitung = 0,024; α = 0,05) Kata kunci: Baby Walker, Bayi Berjalan PENDAHULUAN Setiap individu mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan semasa hidup. Mulai dari janin sampai dewasa, proses pertumbuhan setiap orang berbeda (Widayastuti dkk, 2002 : 2). Antara usia 1 – 5 tahun anak mulai berdiri dan berjalan serta mengenali lingkungan disekitarnya. Begitu pula anak akan mulai berpikir, berbicara, dan mengekspresikan dirinya. Tentu saja anak membutuhkan kasih sayang, bimbingan, dukungan, dan perlindungan dari orang tua.Tugas orang tua adalah membimbing dan menyalurkan kepribadian yang berkembang, melindungi tetapi tidak menindasnya, mendorong usaha untuk mandiri tanpa mengurangi tanggung jawab orang tua. Seperti yang telah dialami semua orang tua, orang tua kadang-kadang membuat kesalahan, tetapi sikap anak-anak dalam menghadapi suatu hal sangat luwes sehingga pada jangka panjang atau pada akhirnya tidak akan meninggalkan bekas tertentu (Paddy, 2005:5). Menurut teori perkembangan anak, usia rata-rata bayi berjalan sekitar 10-14 bulan. Namun, ada anak pada usia tersebut belum berjalan, sehingga orang tua cemas. Oleh karena itu, orang tua berupaya agar bayinya belajar berjalan (Widayastuti dkk, 2002 : 2). Faktor-faktor yang menentukan kemampuan bayi untuk dapat berjalan diantaranya keadaan merangkak, berat badan, kemauan bayi, riwayat penyakit yang pernah diderita dan pengalaman buruk yang menimpanya (Widayastuti dkk, 2002 : 29). Tapi kenyataannya untuk bisa berjalan dengan lancar dan benar, fungsi otot paha paling penting, sedangkan jika bayi yang menggunakan baby walker tidak memperkuat otot paha, hanya otot betis saja (Sitta, 2010). Penelitian pernah dilakukan, dengan judul “Efek dari baby walker terhadap perkembangan motorik dan mental bayi manusia”. Menyimpulkan bahwa bayi yang menggunakan baby walker akan berjalan lebih lambat nantinya dan mempunyai nilai lebih rendah di skore bayley untuk perkembangan motorik dan mental dari pada yang tidak menggunakan baby walker (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008). The American Academy Of Pediatric (AAP) mengatakan bahwa baby walker berbahaya dan agar membuang jauh baby walker. Negara Kanada yang pertama sekali melarang penjualan Impor dan iklan baby 73 walker, pada tanggal 7 April 2004. Jika ada yang melanggarnya maka akan dikenakan denda sebanyak $100.000 atau dihukum selama 6 bulan. Larangan ini dibuat setelah membuat 14.000 anak masuk Rumah Sakit karena menggelinding ditangga sehingga menyebabkan patah tulang, terkena benda panas, tenggelam ke kolam, meraih benda-benda berbahaya. Dan 36 anak sudah menemui ajalnya sejak 1973 hanya karena baby walker (Prihandini, Agustus 2009 : 100). Secara psikologi baby walker membuat anak malas untuk belajar berjalan, bahkan anak akan mengalami kelainan kaki, kelainan tulang paha, sehingga anak berjalan ngangkang, sehingga menimbulkan otot-otot tungkai lalu ketika dianjurkan berjalan anak cenderung jatuh yang akhirnya membuat ia teroma dan tidak mau mencoba untuk berjalan lagi sehingga kemampuan berjalanpun lambat (Jacinta, 2007). Ditemukan bahwa jika bayi menggunakan baby walker akan terjadi Disfungsi Minimal Otak (DMO) karena tertekannya tulang belakang anak dalam rentang waktu yang relative panjang sehingga anak tidak terampil, kesulitan belajar khusus, gejala perilaku anti sosial, gejala hiperaktivitas, kesulitan memusatkan perhatian, gejala emosional, dan anak menjadi kurang percaya diri belajar berjalan ketika melepas baby walker dan bayi akan berjalan jinjit (Nugroho, 2008). Banyak masyarakat Indonesia mempercayai baby walker dapat membantu bayi berjalan kenyataannya tidak. AAP mengatakan baby walker tidak berpengaruh pada kecepatan bayi berjalan penompang badan bayi pada baby walker adalah kursi, jika sering menggunakan baby walker perkembangan tulang belakang dan otot-otot kaki akan kurang sempurna sehingga dapat menjadi bibit back pain saat dewasa (Angga, Desember 2009). Desain baby walker yang berada di Indonesia merupakan desain kuno yang sebenarnya sudah ditinggalkan di Negara Amerika, sehingga kecelakaan pada bayi yang sudah dialami beberapa tahun di Amerika sampai kini masih terjadi di Indonesia (Karel, 2007). Baby walker menurut peningkatan pertama penyebab kecelakaan pada anak kecil dengan angka cukup signifikan. Dimana 60 – 90 % terjadi karena anak jatuh dari tangga.Dan sekitar 16 % kecelakaan karena baby walker mengenai kepala dan memerlukan perawatan. Orang tua menganggap baby walker kalau dalam pengawasan tetap aman tetapi kenyataannya tidak 78 % kejadian tanpa pengawasan dan 69 % diawasi oleh orang dewasa (Fitriani, 2008). Hasil wawancara peneliti dari beberapa warga Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, disimpulkan bahwa mereka beranggapan pada saat anaknya menggunakan baby walker kaki anak akan bergerak lincah kesana kemari, dengan demikian anak dapat melangkah dengan cepat, kaki anak akan kuat untuk berdiri nantinya, dan anak akan berjalan dengan cepat. Dan banyak orang tua menggunakan baby walker karena memang sudah turun menurun dari dulu meskipun bentuk baby walker sekarang sudah berbeda dengan zaman 74 dahulu, misalnya baby walker zaman sekarang rodanya semakin bayak, mainan di baby walker itu semakin lengkap dimana ada kerincingan, musik-musik untuk anak dan lain-lain, agar anak betah di baby walkernya. Baby walker juga dapat membantu orang tua karena pada saat anak asyik menggunakan baby walker dan bermain bersama baby walkernya maka anak tidak akan menganggu atau menghambat pekerjaan orang tua, sehingga kesempatan orang tua untuk melakukan pekerjaan rumahnya. Maka dari masalah di atas penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan Penggunaan Baby Walker Dengan Kecepatan Bayi Berjalan Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010.” Perumusan Masalah Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah “Bagaimanakah Hubungan Penggunaan Baby Walker dengan Kecepatan Anak Berjalan Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010” Tujuan Penelitian Untuk mengetahui Hubungan Penggunaan Baby Walker Dengan Kecepatan Anak Berjalan Di Kelurahan Cengkah Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010. METODE PENELITIAN Hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010. Variabel Independent disebut juga variabel bebas.Jadi variabel bebasnya yaitu Penggunaan Baby Walker. Variabel Dependent disebut juga variabel terikat. Jadi variabel terikatnya adalah usia bayi berjalan sendiri. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dan dengan pendektan Retrospektif yaitu menguraikan dan meneliti Hubungan Penggunaan Baby Walker Dengan Usia Bayi Berjalan Sendiri Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah anak yang berumur 1 sampai 2 tahun yang di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara yang berjumlah 120 orang. Sampel Untuk menentukan besar sampel penelitian digunakan rumus: (Notoatmadjo, 2005 : 92). Maka hasil yang diperoleh adalah: n= N 1 + N (d²) Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Cangkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010. Penelitian ini dilakukan dari Bulan Juli 2010 sampai Desember 2010. Diagram 4.2 Usia Bayi Dapat berjalan Sendiri Di Kelurahan Cengkeh Turi, Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010. Analisis Data Analisis Data Univariat Yaitu dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dimana analisis data ini dilakukan untuk menganalisis 1 variabel. Analisis Data Bivariat Untuk melihat hubungan dengan 2 variabel, yaitu hubungan penggunaan baby walker dengan usia bayi berjalan sendiri, uji statistik yang digunakan exact fisher HASIL PENELITIAN Dari hasil penelitian yang berjudul “Hubungan Penggunaan Baby Walker Dengan Kecepatan Bayi Berjalan Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010” dengan responden anak yang berumur 1 sampai 2 tahun sebanyak 55 responden. Penggunaan Baby walker Didapat hasil distribusi responden berdasarkan penggunaan baby walker di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010 sebagai berikut: Diagram 4.1 Distribusi Penggunaan Baby Walker Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010 Dari diagram diatas diperoleh dari 55 responden, usia bayi berjalan 9 bulan sebanyak 3 responden, usia bayi berjalan 10 bulan sebanyak 6 responden, usia bayi berjalan 11 bulan sebanyak 5 responden, usia bayi berjalan 12 bulan sebanyak 2 responden, usia bayi berjalan 13 bulan sebanyak 5 responden, usia bayi berjalan 14 bulan sebanyak 7 orang, usia bayi berjalan 15 bulan sebanyak 7 responden, usia bayi berjalan 16 bulan sebanyak 7 responden, usia bayi berjalan 17 bulan sebanyak 1 responden, usia terbanyak bayi berjalan sendiri 18 bulan sebanyak 8 responden, usia bayi berjalan 19 bulan sebanyak 1 responden, usia bayi berjalan 20 bulan sebanyak 2 responden, dan usia bayi berjalan 24 bulan sebanyak 1 orang. Usia bayi berjalan sendiri yang menggunakan baby walker Didapat hasil distribusi responden berdasarkan bayi berjalan sendiri yang menggunakan baby walker di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010 sebagai berikut: Diagram 4.3 Distribusi Usia Bayi Berjalan Sendiri yang menggunakan baby walker Dikelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010 Sumber : Data primer diolah April 2010 Dari diagram diatas diperoleh dari 55 responden, mayoritas bayi menggunakan baby walker sebanyak 47 orang (85,45%), dan minoritas bayi yang tidak menggunakan baby walker sebanyak 8 orang (14,55%). Usia Anak Dapat Berjalan Sendiri Didapat hasil distribusi responden berdasarkan usia bayi dapat berjalan sendiri di kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2011 sebagai berikut: Sumber : data primer diolah April 2010 75 Dari diagram diatas diperoleh dari 55 responden, yang menggunakan baby walker yaitu 47 orang maka mayoritas bayi berjalan lambat sebanyak 37 orang (78,7%), dan minoritas bayi berjalan cepat sebanyak 10 orang (21,3%). Usia bayi berjalan sendiri yang tidak menggunakan baby walker Didapat hasil distribusi responden berdasarkan usia bayi berjalan sendiri yang tidak menggunakan baby walker di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010 sebagai berikut: Diagram 4.4 Distribusi Usia Bayi Berjalan Sendiri yang tidak menggunakan baby walker Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010 Dapat disimpulkan Uji exact fisher ternyata menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan dengan df = 1 dan derajat kemaknaan 0,05 didapat x hitung ˂ 0,05 (x hitung = 0,024; α = 0,05). Maka 0,024 ˂ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima artinya tidak ada hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan. Pembahasan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap bayi yang berumur 1-2 tahun untuk menjawab lembaran kuesioner yang diberikan kepada setiap orang tua mereka, yang berjudul Hubungan Penggunaan Baby Walker Dengan Kecepatan Bayi Berjalan Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010. Sumber : data primer diolah April 2010 Dari diagram diatas diperoleh dari 55 responden, yang tidak menggunakan baby walker ada 8 orang. Maka mayoritas bayi berjalan lambat sebanyak 3 orang (37,2 %), dan minoritas bayi berjalan cepat sebanyak 5 orang (62,5%). Hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan di KelurahanCengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010 76 Dari tabel diatas didapat dari Anak yang berusia 1-2 tahun Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara dengan responden 55 orang. Maka didapat bayi yang menggunakan baby walker sebanyak 47 orang, dan bayi yang tidak menggunakan baby walker sebanyak 8 orang. Bayi berjalan cepat yang menggunakan baby walker 10 orang, dan bayi berjalan lambat yang menggunakan baby walker 37 orang. Bayi berjalan cepat yang tidak menggunakan baby walker 5 orang, dan bayi berjalan lambat yang tidak menggunakan baby walker 3 orang. Untuk mengetahui hubungan pemakaian baby walker dengan kecepatan berjalan digunakan uji exact fisher dengan hasil : X hitung = 0,024 Maka X hitung ˂ 0,05 0,024 ˂ 0,05 Penggunaan Baby walker Bayi berjalan cepat (1012 bulan) Bayi berjalan Lambat (˃ 12 bulan) Jumlah Menggunakan baby walker 10 37 47 Tidak menggunakan baby walker 5 3 8 Jumlah 15 40 55 Penggunaan Baby walker Baby walker adalah suatu alat yang dapat digunakan oleh bayi yang bisa berjalan sendiri untuk berpindah dari suatu tempat ke tempat lain (Wikepedia, 2008). The American Of Pediatric (AAP) mengatakan baby walker berabhaya dan agar tidak menggunakan baby walker. Di Negara Kanada yang pertama kali melarang penjualan baby walker dan jika ada yang melanggarnya akan didenda. Larangan ini dibuat setelah 14.000 anak masuk Rumah Sakit karena menggelinding ditangga sehingga menyebabkan patah tulang. Terkena benda panas, tenggelam di kolam, dan meraih benda-benda yang berbahaya. Dan 36 anak sudah menemui ajalnya sejak 1973 hanya karena baby walker (Prihandini, Agustus 2009: 100) Dari hasil survey pendahuluan peneliti bahwa masyarakat Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara mempercayai baby walker dapat membuat anak berjalan dengan cepat dan sudah turun menurun dari zaman dahulu. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 55 responden bayi yang menggunakan baby walker ada 47 orang dan yang tidak menggunakan baby walker ada 8 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapat warga Kelurahan Cengkeh Turi yang mewakili itu kenyataannya benar bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang menggunakan baby walker. hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan. Kecepatan Bayi Berjalan Menurut teori perkembangan anak, usia bayi berjalan normal sekitar 10-14 bulan (Widayastuti dkk, 2002 : 2). Faktor-faktor yang menentukan kemampuan bayi untuk dapat berjalan diantaranya keadaan merangkak, berat badan, kemauan bayi, riwayat penyakit yang pernah diderita dan pengalaman buruk yang menimpanya (Widayastuti dkk, 2002 : 29). Penulis menggolongkan kecepatan bayi berjalan menjadi dua yaitu: 1. Bayi berjalan cepat yaitu umur 9-12 bulan 2. Bayi berjalan lambat yaitu umur lebih dari 12 bulan Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari bayi menggunakan baby walker berjalan cepat berjumlah 37 orang dan yang berjalan lambat berjumlah 10 orang. Sedangkan bayi yang tidak menggunakan baby walker berjalan cepat berjumlah 5 orang dan berjalan lambat berjumlah 3 orang. Pendapat Hasuki, 24 Juli 2007. Bahwa baby walker dapat menyebabkan kelemahan pada otot-otot tungkai. Terbiasa dengan baby walker juga bisa menimbulkan kelemahan otot – otot tungkai. Ketika diajarkan berjalan anak cenderung jatuh yang akhirnya sering membuatnya trauma dan tidak mencoba melakukannya lagi sehingga kemampuan berjalannyapun menjadi lebih lambat. KESIMPULAN DAN SARAN Hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan Penelitian yang pernah dilakukan Ikatan Dokter Anak, dengan judul “Efek dari baby walker terhadap perkembangan motorik dan mental bayi manusia”. Menyimpulkan bahwa bayi yang menggunakan baby walker akan berjalan lebih lambat nantinya dan mempunyai nilai lebih rendah di skore bayley untuk perkembangan motorik dan mental dari pada yang tidak menggunakan baby walker. Banyak masyarakat Indonesia mempercayai baby walker dapat membantu bayi berjalan kenyataannya tidak. AAP mengatakan baby walker tidak berpengaruh pada kecepatan bayi berjalan penompang badan bayi pada baby walker adalah kursi, jika sering menggunakan baby walker perkembangan tulang belakang dan otot-otot kaki akan kurang sempurna sehingga dapat menjadi bibit back pain saat dewasa (Angga, Desember 2009). Secara psikologi baby walker membuat anak malas untuk belajar berjalan, bahkan anak akan mengalami kelainan kaki, kelainan tulang paha, sehingga anak berjalan ngangkang, sehingga menimbulkan otot-otot tungkai lalu ketika dianjurkan berjalan anak cenderung jatuh yang akhirnya membuat ia teroma dan tidak mau mencoba untuk berjalan lagi sehingga kemampuan berjalanpun lambat (Jacinta, 2007). Dapat disimpulkan Uji exact fisher dengan derajat kemaknaan 0,05. Ternyata menunjukkan tidak ada Saran 1. Setelah penulis melakukan penelitian ini, penulis berharap bantuan dari pihak-pihak tertentu untuk mengatasi penyebab masalah yang terjadi sesuai dengan yang didapat dari penelitian ini, untuk itu disarankan kepada: 2. Petugas kesehatan dan organisasi kesehatan desa disarankan agar dapat memberitahukan kepada masyarakat Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara agar tidak menggunakan baby walker karena tidak ada hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan. 3. Ibu yang ada di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara disarankan agar tidak menggunakan baby walker karena tidak ada hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan. 4. Penelitian ini disarankan dilakukan lebih lanjut tentang hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka peneliti dapat menyimpulkan dan menyarankan mengenai Hubungan Penggunaan Baby Walker Dengan Kecepatan Bayi Berjalan Di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara Tahun 2010. Kesimpulan 1. Penggunaan baby walker di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara tahun 2010 dengan responden 1 – 2 tahun mayoritas menggunakan baby walker. Dan Minoritas yang tidak menggunakan baby walker. 2. Usia terbanyak bayi berjalan sendiri di Kelurahan Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara yaitu usia 18 bulan. 3. Mayoritas Anak berjalan lambat pada anak yang menggunakan baby walker, dan Minoritas Anak berjalan cepat pada anak yang menggunakan baby walker. Anak berjalan cepat pada anak yang tidak menggunakan baby walker, dan minoritas anak berjalan lambat pada anak yang tidak menggunakan baby walker. 4. Dapat disimpulkan Uji exact fisher ternyata menunjukkan bahwa H0 diterima artinya tidak ada hubungan penggunaan baby walker dengan kecepatan bayi berjalan. DAFTAR PUSTAKA Alexa. 2008. Tips Kesehatan Baby Walker. http//www.google.com/search: hl:en&q Iinfo Ibu.com. Rabu,12-01-2011, 13:15. 77 Angga. 2010. Penggunaan Baby Walker. http//www.google.com/search:hl :en&q. Rabu,12-01-2011, 13:50. Artika, Kamus, 2010. Kamus Inggris Indonesia. http//www.google.com /search:hl:en&qKamusArtika.com. Senin, 3-012011,10:32. Budiono, Eko. 2002. Biostatistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Pratisti, Dinar Wiwen. 2008. Psikologi Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks. Fitriani. 2008. Persen Kejadian Baby Walker. http//www.google.com/search :hl:en&q LintasBerita.com. Kamis, 20-01-2011, 20:05. Gupte, Suraj. 2009. Child Care Everything You Wanted To Know. Jakarta: Selamba Medika. Hurlock, Elizabeth B. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Aziz, Ilmul Hidayah. 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan anak. Jakarta: Salemba Medika . Ikatan Dokter Anak. 2008. Efek dari Baby Walker Terhadap Perkembangan Motorik dan Mental Bayi Manusia. http//www.google.com/search:hl:en&q AyahBunda.com. Rabu, 2-12-2010, 14:27. Jecinta, 2007. Dampak Negatif Penggunaan Baby Walker. http//www. google.com/search:hl:en&q Ayah bunda.com. Rabu, 2-12-2010, 15:00. Karel. 2007. Kecelakaan Pada Anak dari Baby Wallker. http//www.google. com/search:hl:en&qCapt.Org.Uk.com. Rabu, 212-2010, 15:40. Karmilaf, Karya. 2003. Belajar Berjalan Pada Anak. Jakarta: Erlangga. Lidia. 2008. Kok anakku Belum Bisa Jalan. http//www.google.com/search :hl:en&q Nakita.com. Rabu, 2-02-2011, 13:05. Mawar Diana. 2010. KTI Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Pengetahuan Remaja Putri Tentang Bahaya Merokok Terhadap Kesehatan Reproduksi Didusun Pasar XII 78 Desa Suka Mulia Kabupaten Langkat Tahun 2010. Nugroho. 2008. Diskusi Perdebatan Baby Walker. http//www.google.com /search:hl:en&qStudy.Link.com. Rabu, 2-022011, 11:52. Puteri, 2010. Proposal penelitian “Gambaran Penegtahuan Remaja Tentang Dampak Seks Bebas Terhadap Kesehatan Reproduksi Di Desa Tauk Meku Dusun I Pangkalan Brandan”. Salim dan Syahrim. 2007. Metode Penelitian kualitatif. Bandung: Cita Pustaka Media. Setiawati, Santun, dan Dermawan Citra. 2009. Praktik Keperawatan Anak. Jakarta: Tarns Info Media. Sitta.2010. Kerugian Baby Walker. http//www.google.com/search:hl:en&q bayi Kita.com. kamis, 20-01-2011, 21:22. Suryani, Eko, dan Hesti Widiyasih. 2010. Psikologi Ibu dan Anak. Yogyakarta: Citra Maya. Sulindani. 2009. Proposal Penelitian “Karakteristik Ibu Post Partum Sectio Caesarea Indikasi partus Tidak Maju Di RSU Sundary Medan Tahun 2009. Syarifudin, B. 2009. Panduan TA Keperawatan dan Kebidanan Dengan SPSS, Yogyakarta: Grafindo. Paddy, P. 2005. Buku Pintar Kesehatan Anak. Jakarta: Arcan. Prihandini. 2009. Cara Pintar Merawat Bayi dan Balita. Yogajakarta: Genius Publisher. Widayastuti, Deni dan Retno Widyani. 2002. Panduan Perkembangan Anak 0 Sampai 1 Tahun. Jakarta: Puspa Swara. Yaya. 2007. Baby Walker Masih Perlu?http//www.google.com/search:hl:en &q Asia Blogging Network.com. kamis, 20-012011, 21:46. Yelland, Anne. 2007. 18 Bulan Pertama Bayi Anda. Jakarta: Dian Rakyat. Yuriastien, Elfiana, dkk. 2009. Games Therapy Untuk Kecerdasan Bayi Dan Balita. Jakarta Selatan: Wahyu Media. GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG BAHAYA PEROKOK PASIF DI SMA SRI LANGKAT TANJUNG PURA KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2011 Fatmasari dan Ismajadi Jurusan Analisis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Abstrak Seconhend smoke yaitu asap rokok yang terhirup oleh bukan orang – orang bukan perokok, karena berada di sekitar perokok atau bisa jugak di sebut dengan perokok pasif, lebih bahaya dari pada perokok aktif dampak yang di alaminya dampak negatif dari kebiasaan merokok yang sangat banyak dan tidak terbatas seperti infeksi saluran pernapasan, hipertensi, penyakit jantung koroner, berbagai masalah kehamilan, sakit pada dada, meningkatkan detak jantung dan asma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011. Metode penelitian ini adalah survey yang bersifat deskriptif dengan menggunakan data primer yang diperoleh dari kuisioner dengan jumlah populasi 35 orang dan tekhnik pengambilan sampel dengan cara total sampling (keseluruhan populasi menjadi sampel) Hasil penelitian, pengetahuan remaja berdasarkan jenis kelamin mayoritas laki-laki berpengetahuan baik sebanyak 10 orang (50%), dan perempuan berpengetahuan cukup sebanyak 8 orang (53,3%), dan berdasarkan tempat tinggal di rumah mayoritas orang tua berpengetahuan baik dan cukup sebanyak 15 orang (48,4%), dan mayoritas di rumah lain/kos berpengetahuan baik dan cukup sebanyak 2 orang (50%), dan berdasarkan kebiasaan mayoritas merokok berpengetahuan baik sebanyak 10 orang (50%), dan mayoritas tidak merokok berpengetahuan cukup sebanyak 8 orang (53,3%), dan berdasarkan sumber informasi mayoritas berpengetahuan cukup sebanyak 10 orang (71,4%), dan mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 12 orang (57,1%). Diharapkan pada para remaja untuk dapat menghindari para perokok agar tidak terkena asap rokok dan dapat lebih mengetahui bahaya yang akan di alaminya. Kata kunci: Bahaya Perokok Pasif PENDAHULUAN Merokok sudah menjadi kebiasaan yang sangat umum dan meluas di masyarakat. Bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh telah di teliti dan di buktikan banyak orang. Para dokter mengungkapkan kebiasaan merokok telah terjadi penyebab pertama yang menghancurkan kekuatan tubuh seseorang dan menjadi penyebab utama kematian di usia dini. (Shalimow, 2008 ) Dampak negatif dari kebiasaan merokok sangatlah banyak dan tidak terbatas seperti infeksi saluran pernapasan, hipertensi, penyakit jantung koroner, berbagai masalah kehamilan, sakit pada dada, meningkatkan detak jantung dan asma. Karna dampak negatif itu ditimbulkan kandungan beracun yang ada pada rokok yaitu tembakau merupakan kandungan rokok yang terdiri dari campuran ratusan zat kimiawi sebagian zat ini biasa di temukan di tumbuhan lainnya. Namun sebagian lainnya sudah menjadi ciri khas tanaman tembakau itu. (Husaini, 2007) Peneliti terbaru juga menunjukkan adanya bahaya dari Seconhands moke yaitu asap rokok yang terhirup oleh orang – orang bukan perokok, karena berada di sekitar perokok atau bisa di sebut juga dengan perokok pasif. Menghirup asap rokok orang lain lebih bahaya di bandingkan menghisap rokok sendiri. Bahkan bahayanya yang harus di tanggung perokok pasif 3 kali lipat dari bahaya perokok aktif. (Shalimow, 2008 ) Setiap kali menghirup asap rokok, entah sengaja atau tidak, berarti juga mengisap lebih dari 4.000 macam racun. Karena itulah, merokok sama dengan memasukkan racun-racun tadi ke dalam rongga mulut dan tentunya paru-paru. Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan merokok bukan saja merugikan si perokok, tetapi juga bagi orang di sekitarnya. (Cupak, 2010) Saat ini jumlah perokok terus bertambah terutama pada remaja. Khususnya di negara – negara berkembang bahkan organisasi kesehatan sedunia (WHO) telah memberikan peringatan bahwa dalam dekade 2020-2030 tembakau akan membunuh 10 juta pertahun 70% di antaranya di negara – negara berkembang. (Admin, 2010) 79 Lembaga perlindungan Amerika Serikat (EPA) meperkirakan setiap tahun merokok pasif menyebabkan 150.000 – 300.000 infeksi saluran pernafasan bawah pada anak – anak di bawah usia 18 bulan, mengakibatkan 7500-15.000 anak anak tersebut dirawat di rumah sakit. Dan di perkirakan 500.000 perokok pertamanya meninggal di sebabkan oleh serangan jantung, yaitu sekitar 75% dari jumlah pasien yang meninggal. (Husaini, 2007) Indonesia menduduki peringkat ke-5 di dunia dengan jumlah rokok yang di konsumsi, jumlah perokok di Indonesia menurut WHO tahun 2009 menunjukkan pria lebih banyak merokok dari pada wanita. Yaitu pria berjumlah 24% sementara wanita hanya 18% (Admin, 2010) Masa remaja bisa jadi masa di mana individu mulai mengkonsumsi rokok. Usia pertama kali merokok umumnya berkisar antara usia 11-13 tahun dan mereka pada umumnya merokok sebelum usia 18 tahun. Usia tersebut dapat dikategorikan termasuk dalam rentangan masa remaja. Lebih jauh lagi Data WHO mempertegas bahwa remaja memiliki kecenderungan yang tinggi untuk merokok, data WHO menunjukkan bahwa dari seluruh jumlah perokok yang ada di dunia sebanyak 30% adalah kaum remaja. (fajarjuliansyah, 2010) Remaja perokok memiliki risiko dua kali lipat mengalami gejala-gejala depresi dibandingkan remaja yang tidak merokok. Para perokok aktif pun tampaknya lebih sering mengalami serangan panik dari pada mereka yang tidak merokok Banyak penelitian yang membuktikan bahwa merokok dan depresi merupakan suatu hubungan yang saling berkaitan. Depresi menyebabkan seseorang merokok dan para perokok biasanya memiliki gejala-gejala depresi dan kecemasan. (fajarjuliansyah, 2010 ). Dampak pada remaja yang menghirup asap rokok mempunyai resiko penyakit jantung dan pembuluh darah, kami tidak mengetahui sampai studi ini menunjukkan dampak khusus ini juga terjadi di kalangan anak-anak, dan itulah sebabnya studi ini menganjurkan supaya anak-anak dan para remaja berada dalam lingkungan yang bebas asap rokok. (Cupak, 1020) Berdasarkan data di atas maka penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian “ Gambaran Pengetahuan Remaja Tentang Bahaya Perokok Pasif di SMA Sri Langkat T.Pura Kabupaten Langkat 2011” Dengan perumusan masalah penelitiannya adalah Bagaimana Gambaran pengetahuan remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat T.Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011. Tujuan penelitian untuk mengetahui Gambaran pengetahuan remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat T.Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011. 80 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode survey yang bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui gambaran pengetahuan remaja tentang bahaya perokok pasif Di SMA Sri Langkat T.Pura tahun 2011.Penelitian di lakukan di SMA Sri Langkat Tanjung pura Kabupaten Langkat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai bulan Maret 2011. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas XI di SMA Sri Langkat T.Pura tahun 2011 sebanyak 35 orang.Sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik total sampling, dimana semua populasi dijadikan sempel 35 orang.Penelitian ini mengunakan data primer, yang dilakukan melalui alat ukur pengumpulan data berupa kuesioner dengan pertanyaan tertutup ( closed ended ) yang disajikan dalam bentuk kuesioner sehingga responden hanya memberikan tanda di sesuaikan dengan soal atau jumlah soal sebanyak 25. Terdiri dari : 5 Soal pengertian Rokok, 6 soal Bahaya perokok pasif, 9 soal Bahaya perokok pasif, 5 Soal Cara menghentiak kegiatan rokok. Dalam melakukan analisa terhadap penelitian ini akan manggunakan ilmu statistic terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis (Hidayat, 2007). Analisa deskriftif berfungsi untuk meringkas, mengidentifikasi, dan menyajikan data yang merupakan langkah awal analisa lebih lanjut dalam penggunaan uji statistic. Macam – macam dan bentuk analisis deskriptif yaitu rata-rata, nilai tengah, dan modus. ( Hidayat, 2007 ) Analisa data dilakukan setelah semua data dalam kuesioner terkumpul dan disajikan dalam table distribusi diskriptif, analisa data, maka dilanjutkan dengan membahas hasil penelitian berdasarkan teori perpustakaan yang ada. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tabel 4.1 Distribusi Proporsi jenis kelamin responden di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 No Jenis Kelamin 1 Laki-laki 2 Perempuan Total Frekuensi 20 15 35 Presentase (%) 57.1 % 42.9 % 100 % Tabel 4.2 Distribusi Proporsi Tempat Tinggal responden di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 No Tempat Tinggal 1 Di rumah orang tua 2 Di rumah lain/Kos Total Frekuensi 31 4 35 Presentase (%) 88.6 % 11.4 % 100 % Tabel 4.3 Distribusi Proporsi kebiasaan merokok responden di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 No Kebiasaan 1 Merokok 2 Tidak merokok Total Tabel 4.4 No Presentase (%) 57.1 % 42.9 % 100 % Distribusi Proporsi sumber informasi responden di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 No Sumber Informasi 1 Media Cetak 2 Media Elektronik Total Tabel 4.6 Frekuensi 20 15 35 Frekuensi 14 21 35 Tabel 4.7 No Tabel 4.8 No Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan F 10 7 % 50 46.7 Tabel 4.9 No Tempat Tinggal Di rumah orang tua Di rumah lain/ kos F 15 2 % 48.4 50 Presentase (%) 48.6 % 48.6 % 2.8 % 100 % Pengetahuan Cukup F % 9 45 8 53.3 Jumlah Kurang F 1 - % 5 - F 20 15 % 100 100 Pengetahuan Cukup F % 15 48.5 2 50 Jumlah Kurang F 1 - % 3.2 - F 31 4 % 100 100 Distribusi Proporsi Pengetahuan Berdasarkan Kebiasaan Tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011. Kebiasaan Merokok Tidak merokok F 10 7 % 50 46.7 Pengetahuan Cukup F % 9 45 8 53.3 Jumlah Kurang F 1 - % 5 - F 20 15 % 100 100 Distribusi Proporsi Pengetahuan Berdasarkan Sumber Informasi Tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 Jenis Kelamin Baik 1 2 Frekuensi 17 17 1 35 Distribusi Proporsi Pengetahuan Berdasarkan Tempat Tinggal Tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 Baik 1 2 No Pengetahuan 1 Baik 2 Cukup 3 Kurang Total Distribusi Proporsi Pengetahuan Berdasarkan Jenis Kelamin Remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 Baik 1 2 Distribusi Proporsi pengetahuan remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 Presentase (%) 40 % 60 % 100 % Baik 1 2 Tabel 4.5 Media Cetak Media Elektronik F 4 12 % 28.6 57.1 Pengetahuan Cukup F % 10 71.4 8 38.1 Jumlah Kurang F 1 % 4.8 F 14 21 % 100 100 81 Pembahasan 4.2.1 Pengetahuan remaja tentang bahaya perokok pasif Di SMA Sri Langkat Tanjung Pura. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dari 35 orang remaja mayoritas berpengetahuan baik dan cukup sebanyak 17 orang (48,6%), dan minoritas berpengetahuan kurang sebanyak 1 orang (2,8%). Sesuai dengan teori Notoatmodjo (2005). Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Faktor yang mempengaruhi adalah pendidikan. Pendidikan berarti bimbingan yang di berikan seseorang pada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahaminya. Menurut asumsi penulis pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan karena responden adalah SMA, jadi remaja telah memahami tentang bahaya yang di alami perokok pasif. 4.2.2 4.2.3 82 Distribusi proporsi Pengetahuan Berdasarkan Jenis Kelamin Remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dari 35 orang remaja di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2011. Mayoritas jenis kelamin laki-laki sebanyak 20 orang ( 57,1%) dan berminoritas jenis kelamin perempuan yang sebanyak 15 orang ( 42,9 %). Pengetahuan remaja berdasarkan jenis kelamin laki-laki mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 10 orang ( 50 % ), dan minoritas berpengetahuan kurang sebanyak 1 orang ( 5 % ). Dan berdasarkan pengetahuan remaja perempuan mayoritas berpengetahuan cukup 8 orang (53,3 %), dan minoritas berpengetahuan baik sebanyak 7 orang ( 46,7%). Menurut teori Admin (2010) jenis kelamin perokok di Indonesia sekitar 60 juta dan jumlah perokok prempuan di perkirakan 2,1 juta dan selebihnya adalah pria walaupun tiap tahun jumlah perokok wanita terus meningkat. Menurut asumsi penulis hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang ada karena pada umumnya laki-laki lebih banyak mengkonsumsi rokok di bandingkan wanita. Distribusi proporsi Pengetahuan Berdasarkan Tempat Tinggal Remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dari 35 orang remaja di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2011. Bermayoritas Di rumah orang tua sebanyak 31 orang ( 88,6 %) dan minoritas tempat lain/kos sebanyak 4 orang ( 11,4 %). Pengetahuan remaja berdasarkan Bertempat tinggal di rumah orang tua mayoritas baik dan cukup sebanyak 15 orang ( 48,4%) dan minoritas kurang sebaknya 1 orang (3,2%), dan minoritas Bertempat tinggal di rumah lain/Kos minoritas baik dan cukup sebanyak 2 orang (50 % ).. Menurut asumsi penulis hal ini bahwa tempat tinggal tidak mempengaruh karena apabila seorang remaja merokok dia tidak akan memberitahu kepada orang tua nya. 4.2.4 Distribusi proporsi Pengetahuan Berdasarkan Kebiasaan Remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dari 35 orang remaja di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2011. Berdasarkan Kebiasaan merokok mayoritas sebanyak 21 orang ( 57,1 %) dan minoritas Tidak merokok minoritas sebanyak 15 orang ( 42,9 %). Pengetahuan remaja berdasarkan kebiasaan merokok mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 10 orang (50%), dan minoritas kurang sebanyak 1 orang (5%). Dan pengetahuan berdasarkan kebiasaan tidak merokok mayoritas berpengetahuan cukup sebanyak 8 orang ( 53,3 ), dan minoritas baik sebanyak 7 orang ( 46,7 ). Menurut asumsi penulis bahwa orang yang berkebiasan merokok adalah laki-laki karena mereka keingintahuan mereka lebih tinggi tentang rokok sedangkan pada perempuan yang merokok biasanya terjadi karena suatu masalah. 4.2.5 Distribusi proporsi Pengetahuan Berdasarka Sumber Informasi Remaja tentang bahaya perokok pasif di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dari 35 orang remaja mengetahui di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2011. Berdasarkan Sumber Informasi Media Elektronik bermayoritas sebanyak 21 orang (60 %) dan minoritas Media Cetak sebanyak 15 orang ( 40 %). Pegetahuan remaja berdasarkan media cetak mayoritas berpengetahuan cukup 10 orang ( 71,4%), dan minoritas berpengetahuan baik sebanyak 4 orang ( 28,6 %), dan berdasarkan pengetahuan remaja berdasarkan media elektronik mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 12 orang (57,1 %), dan mayoritas berpengetahuan kurang sebanyak 1 orang Menurut asumsi penulis sumber informasi melalui media elektronik lebih mudah di ingat. Seperti TV yang tampilannya cukup menarik dan pada Radio cara menyampaikannya cukup unik dan mudah untuk di pahami. 5.2.2. 5.2.3. KESIMPULAN DAN SARAN 5.2.4 Kesimpulan Setelah dilakukan penelitian mengenai Gambaran Pengetahuan Remaja Tentang Bahaya Perokok Pasif Di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011, maka dapat disimpulkan bahwa : 5.1.1. Distribusi Proporsi Pengetahuan Remaja tentang bahaya Perokok Pasif Di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 17 orang (48,6%) dari 35 orang. 5.1.2. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Remaja tentang bahaya Perokok Pasif Di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 mayoritas laki-laki sebanyak 20 orang (57,1%) dari 35 orang. 5.1.3. Distribusi Proporsi Tempat Tinggal Remaja tentang bahaya Perokok Pasif Di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 mayoritas di rumah orang tua sebanyak 31 orang ( 88,6%) dari 35 orang. 5.1.4. Distribusi Proporsi Kebiasaan Remaja tentang bahaya Perokok Pasif Di SMA Sri Langkat Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2011 mayoritas merokok sebanyak 20 orang ( 57,1%) dari 35 orang. 5.2 Saran 5.2.1. Diharapkan kepada tenaga medis agar dapat menginformasikan tentang bahaya yang terkena pada remaja karna menggunakan rokok atau terkena asap rokok 5.2.5 Diharapkan kepada masyarakat khususnya orang tua dan guru agar lebih teliti dalam mendidik dan memantau para remaja agar tidah mengunakan rokok dan terkena asap rokok. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar dapat melaksanakan penelitian lebih baik lagi dan menjadikan penelitian ini menjadi masukan Diharapkan pada para remaja untuk dapat menghindari para perokok agar tidak terkena asap rokok dan dapat lebih mengetahui bahayanya. Diharapkan kepada para remaja yang menghisap rokok agar dapat menghentikan kebiasaanya merokok karna dapat menimbulkan sebuah penyakit yang berbahaya. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi.2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta Hawari, Dadang. 2006. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA. Jakarta: FKUI Husaini, Aimari. 2007. Tobat Merokok. Depok: Iiman Hidayat, A, A Alimul. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promoso Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta: Rineka Cipta Shalimow. 2010. Merokok adalah Pembunuhan. http://humor.berencana.html Sumiati, dkk. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja dan Konseling. Jakarta: Trans Info Media Cupak. 2010. http://pdf.com//perokok+aktif Wetherall, F, Charles. 2008. Lima Langkah Jitu Cara Berhenti Meroko. Jakarta: Darul Haq https://wong168.wordpress.com/2010/04/25/remaja-danciri-cirinya/ April 25th, 2010 by admin http://fajarjuliansyah.wordpress.com/2010/02/07/perilakumerokok-pada-remaja/ http://admin on 5/31/10 categorized-bebas asap rokok 83 PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TENTANG BAHAYA MEROKOK OLEH PEER EDUCATOR TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA Marina br Karo, Makmur Jaya Meliala, Maju Sembiring Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Medan Abstrak Merokok merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia dan termasuk di Indonesia, karena merokok menjadi faktor risiko utama timbulnya kesakitan dan kematian. Kecendrungan meningkatnya jumlah perokok terutama pada kaum remaja disebabkan promosi rokok melalui iklan yang mengidolakan remaja juga akibat pengaruh atau tekanan dari teman sebaya. Dalam penelitian ini promosi kesehatan tentang bahaya merokok dilakukan oleh peer educator terhadap teman remajanya untuk merubah perilaku merokok. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh promosi kesehatan oleh peer educator terhadap perubahan perilaku merokok pada teman remajanya di sekolah. Metode yang digunakan yaitu kuasi eksperimen dengan rancangan non control group design with pre-test and post-test. Subjek penelitian adalah siswa SMP dan SMA di kota Kabanjahe dan Berastagi. Subjek penelitian terdiri dari 2 kelompok yaitu siswa yang belum merokok dan siswa yang telah merokok. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, dan analisa data dengan SPSS win.15.0 menggunakan uji statistik paired t-test dengan taraf signifikansi p = 0,05. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa promosi kesehatan tentang bahaya merokok oleh peer educator berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan teman remaja SMA yang belum merokok dari 25,37 menjadi 27,61 dengan nilai p=0,027 dan siswa SMP dari 24,46 menjadi 26,68 dengan nilai p=0,047. Peningkatan sikap terjadi pada siswa SMA yang belum merokok, dari 32,54 menjadi 35,44 dengan nilai p=0,019 dan peningkatan sikap siswa SMP dari 30,43 menjadi 32,79 dengan nilai p=0,045. Sedangkan promosi kesehatan tentang bahaya merokok oleh peer educator terhadap siswa yang sudah merokok meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan, tetapi tidak bermakna secara statistik. Kata kunci: perilaku, merokok, remaja, peer educator A. PENDAHULUAN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 yang termuat dalam UU Nomor 17 tahun 2007, menyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan bangsa yang berdaya saing, pembangunan nasional diarahkan untuk mengedepankan pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing. Remaja adalah calon-calon pemimpin bangsa dimasa depan yang diharapkan berkualitas dan mempunyai daya saing. Kualitas hidup sehat mereka saat ini akan mempengaruhi kesehatan mereka dimasa yang akan datang, juga akan mempengaruhi produktivitas mereka. Salah satu cara untuk mempertahankan kualitas hidup sehat remaja saat ini dan masa yang akan datang adalah dengan mengindari perilaku merokok. Merokok merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena merokok adalah salah satu faktor risiko utama dari berbagai jenis penyakit kronis seperti kanker paru, bronchitis kronik, emphysema, kanker mulut, penyakit jantung, hipertensi, stroke dan lainlain (Adenan, 2002). Pada tahun 2000 diperkirakan 4,9 juta orang di dunia meninggal akibat kebiasaan merokok. Angka itu akan meningkat dua kali lipat di tahun 2020 dan 84 70% kematian itu akan berlangsung di negara berkembang karena jumlah perokok terus meningkat. WHO South East Asia Regional Office (SEARO) menyebutkan bahwa Indonesia menduduki urutan kelima perokok terbesar di dunia dengan membakar 215 milyar batang rokok setiap tahunnya. Setiap harinya sekitar 80-100 ribu remaja di dunia yang menjadi pecandu dan ketagihan rokok. Bila pola ini terus menetap maka sekitar 250 juta anak-anak yang hidup sekarang ini akan meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok (Aditama, 2004). Penelitian di Indonesia oleh Sirait et al tahun 2004 menunjukkan bahwa perilaku merokok kebanyakan dimulai sejak usia remaja yaitu diantara umur 12 – 19 tahun. Perilaku merokok pada remaja dipengaruhi oleh keluarga yang merokok, tekanan teman sebayanya dan kurangnya pengetahuan di kalangan perokok tentang bahaya merokok. Disamping itu promosi rokok melalui iklan yang menggunakan idola remaja dan sponsor olah raga serta musik, memberikan dorongan bagi kaum remaja untuk memulai merokok (Smet et al, 1999). Untuk mencegah perilaku merokok pada remaja, perlu diberikan promosi kesehatan tentang bahaya merokok. Promosi kesehatan bertujuan untuk memberikan informasi, menanamkan pengetahuan yang akan merangsang perubahan sikap dan perilaku( Green dan Kreuter, 2000). Dalam penelitian ini dilakukan promorsi kesehatan tentang bahaya merokok melalui peer educator. Peer educator adalah pendidik teman sebaya yang telah diberikan pendidikan dan pelatihan tentang bahaya merokok, yang diharapkan dapat memberikan promosi kesehatan terhadap teman sebayanya. Promosi kesehatan pada kelompok teman sebaya dalam pergaulan sehari-hari di sekolah yang suasananya hangat, menarik, dan tidak menggurui, kemungkinan lebih dapat diterima remaja dalam membuat keputusan untuk berperilaku tidak merokok. Hal ini mendorong peneliti menggunakan pendidik teman sebaya (peer educator) dalam perubahan perilaku merokok. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh promosi kesehatan tentang bahaya merokok oleh peer educator terhadap perubahan perilaku merokok pada remaja. Pengaruh promosi kesehatan oleh peer educator dapat dilihat dari peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan teman sebayanya dalam perubahan perilaku merokok. Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah ada pengaruh promosi kesehatan tentang bahaya merokok oleh peer educator terhadap perubahan perilaku merokok pada teman remajanya. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksprimen semu (Quasi experimental) dengan rancangan non control group design with pre-test and post-test. Rancangan ini digunakan dengan pertimbangan bahwa dalam penelitian lapangan tidak memungkinkan untuk menggunakan eksprimen murni yang melakukan random dengan karakteristik subjek yang benar-benar sama (Cook dan Cambell, 1979). Model rancangan penelitian adalah sebagai berikut : Kelompok Eksprimen 01 x 02 03 04 Keterangan: 01 dan 03 : pretes untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan tindakan merokok teman remaja sebelum dilakukan promosi kesehatan oleh peer educator. 02 dan 04 : postes untuk mengetahui pengetahuan,sikap dan tindakan teman remajanya setelah 1 bulan peer educator melakukan promosi kesehatan tentang bahaya merokok. X : Promosi kesehatan oleh peer educator terhadap temannya secara alami terhadap teman sekolahnya. Promosi kesehatan dapat dilakukan dimana saja sesuai dengan kesepakatan dengan teman remajanya, atau kesepakatan dengan pihak sekolah. Siswa diberi kebebasan secara kreatif dan proaktif untuk mempromosikan bahaya merokok. Subjek penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok yang belum terpapar perilaku merokok dan kelompok yang telah terpapar perilaku merokok. Lokasi penelitian adalah SMP Negeri 3 Brastagi dan SMA Negeri 2 Kabanjahe. Alasan dipilihnya SMP dan SMA adalah bahwa siswa di SMP dan SMA pada umumnya adalah berusia remaja 12 – 18 tahun. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur pengetahuan, sikap dan tindakan adalah kuesioner dengan refrensi tentang bahaya merokok dan tips berhenti merokok bagi remaja . Peer educator adalah siswa yang menyampaikan promosi kesehatan tentang bahaya merokok dipilih dengan kriteria sebagai berikut : terampil berkomunikasi, mempunyai hubungan baik dengan banyak siswa, aktif dalam kegiatan organisasi dan ekstrakurikuler, menarik, popular, gaul, tidak merokok dan bersedia menjadi peer educator. Peer educator dipilih oleh peneliti dan guru BP di sekolah yang bersangkutan. Pelatih (trainer) yang memberikan pendidikan dan pelatihan terhadap peer educator adalah magister promosi kesehatan yang menguasai bidangnya, dan terampil melakukan pendidikan dan pelatihan. Pelatih terdiri dari 2 orang yaitu peneliti utama 1 orang, ditambah 1 orang dokter, magister promosi kesehatan pelatih dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karo. Materi pelatihan terdiri dari : dinamika kelompok, bahaya merokok , tips berhenti merokok, keterampilan menolak tawaran rokok , ice breaking , konsep peer educator , komunikasi, tehnik fasilitasi dan role playing . Sebagai bahan pelatihan oleh peer educator diberikan booklet berisi tentang komponen berbahaya dari rokok, akibat merokok bagi kesehatan dan tips berhenti merokok. Selain itu juga diberikan poster berisi tentang racun pada rokok dan kondisi tubuh seorang perokok. Pemberian materi pelatihan dilakukan dengan menggunakan media poster dan LCD, sehingga presentasi penyajian lebih menarik dan mudah dipahami oleh siswa. Agar penelitian memiliki validitas yang tinggi maka dilakukan pengendalian bias sebagai berikut: 1. Pihak sekolah tidak diperkenankan memberikan informasi tentang bahaya merokok dari sumbersumber lain selama masa penelitan berlangsung. 2. Pihak sekolah atau guru BP tidak melakukan hukuman atau bentuk intervensi lain yang dapat merubah perilaku merokok, selama masa penelitian. 3. Pengisian kuesioner dilakukan tanpa menggunakan nama, sehingga kerahasiaan terjaga, sehingga siswa tidak takut untuk mengisi apa adanya, karena tidak akan diberikan sangsi apapun terhadap responden yang merokok. 4. Sebelum mengisi kuesioner pihak peneliti menganjurkan agar mengisi dengan sebenarnya, tidak direkayasa, karena ini bukan ujian tetapi murni untuk kepentingan penelitian 85 Data yang terkumpul diolah secara manual dan selanjutnya diolah dengan SPSS versi win. 15.0. Analisis hasil masing-masing kelompok eksprimen dengan membandingkan sebelum dan sesudah intervensi dengan menggunakan uji statistik paired t-test dengan taraf signifikansi p=0,05 C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Pengetahuan Dan Sikap Teman Remaja Yang Belum Merokok Setelah Promosi Kesehatan Oleh Peer Educator. 1) Siswa SMA Negeri 2 yang belum merokok Jumlah total subjek penelitian yang tidak merokok untuk SMA Negeri 2 Kabanjahe yang terdata sewaktu melakukan pretes adalah 602 orang siswa. Sedangkan siswa yang terdata sewaktu melakukan postes adalah 614 orang. Setelah dilakukan analisis data dengan paired t-test dengan jumlah sample 62 orang, maka ditemukan peningkatan rerata pengetahuan dan sikap seperti tabel dibawah ini. Tabel 1 : Nilai Kenaikan Rerata Pengetahuan Dan Sikap Siswa Sma Yang Tidak Merokok Setelah Mendapat Promosi Kesehatan Oleh Peer Educator Variabel Pengetahuan Sikap Siswa SMA Tidak Merokok (N) 62 62 Nilai Rerata Pretes 25,37 32,54 Nilai Rerata Postes 27,61 35,44 Nilai Rerata Kenaikan 2,24 2,90 Nilai P 0,027 0,019 Tabel 2 : Nilai Kenaikan Rerata Pengetahuan Dan Sikap Siswa Smp Yang Tidak Merokok Setelah Mendapat Promosi Kesehatan Oleh Peer Educator Variabel Pengetahuan Sikap Tindakan Siswa SMA merokok 69 69 69 Nilai Rerata Pretes 24,8 28,66 15,42 Nilai rerata Postes 24,43 30,08 16,19 Nilai Rerata Kenaikan 0,25 1,42 0,77 Nilai p 0,396 0,159 0,141 Tabel 3 : Nilai Kenaikan Rerata Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Siswa Sma Yang Merokok Setelah Mendapat Promosi Kesehatan Oleh Peer Educator. Variabel Pengetahuan Sikap Tindakan Siswa SMA merokok 69 69 69 Nilai Rerata Pretes 24,8 28,66 15,42 Nilai rerata Postes 24,43 30,08 16,19 Nilai Rerata Kenaikan 0,25 1,42 0,77 Nilai p 0,396 0,159 0,141 Tabel 4 : Nilai Kenaikan Rerata Kenaikan Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Siswa Smp Yang Merokok Setelah Mendapat Promosi Kesehatan Oleh Peer Educator Variabel Pengetahuan Sikap Tindakan Siswa SMP Merokok 50 50 50 Nilai Rerata pretes 25,50 28,93 14,46 Tabel diatas menunjukkan bahwa promosi kesehatan tentang bahaya merokok oleh peer educator dapat meningkatkan pengetahuan , sikap dan tindakan teman remaja SMP yang sudah merokok, tetapi peningkatannya sangat kecil dan tidak bermakna secara statistik. Promosi kesehatan oleh peer educator tidak berpengaruh secara bermakna terhadap perubahan pengetahuan, sikap, maupun tindakan siswa SMA maupun siswa SMP yang telah merokok. Oleh sebab itu metode 86 Nilai rerata postes 25,60 29,59 14,60 Nilai rerata kenaikan 0,10 0,66 0,14 Nilai p 0,831 0,450 0,806 promosi kesehatan dengan cara ini tidak efektif untuk siswa yang sudah merokok. Hal ini kemungkinan terjadi karena rokok mempunyai zat adiktif yang membuat ketagihan, sehingga siswa tidak dapat berubah perilakunya walaupun mendapat promosi kesehatan dari peer educator. Penelitian ini sebenarnya tidak bisa dianggap gagal dalam merubah perilaku merokok, karena secara umum jumlah siswa yang merokok tidak meningkat atau relatif tetap. Hal ini menunjukkan bahwa promosi kesehatan melalui peer educator berhasil menekan bertambahnya jumlah perokok. Menurut WHO 80 – 100.000 remaja menjadi pecandu rokok setiap harinya. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1 bulan 1561 siswa yang menjadi sampel dalam penelitian ini tidak bertambah prevalensi merokok bahkan pada siswa SMP jumlah yang merokok berkurang 2 orang. Sebaiknya dicari jalan lain untuk mengubah perilaku remaja perokok seperti menerapkan hukuman untuk siswa yang kedapatan merokok di sekolah. Alternatif lainnya adalah dengan konseling secara khusus dengan guru BP di sekolah, untuk itu perlu ada pelatihan khusus untuk guru BP, tentang cara-cara konseling khusus bagi siswa yang merokok. Perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui cara yang paling efektif merubah perilaku merokok bagi siswa yang telah merokok. DAFTAR PUSTAKA Adenen. Efek Kebiasaan Merokok Terhadap Kesehatan Masyarakat. Berkala Kedokteran. Vol. 11 No.2, Mei 2002. Aditama T.Y. Sepuluh Program Penanggulangan Rokok. Majalah Kedokteran Indonesia. Volume 54, Nomor: 7, Juli 2004 : 255-259. Cambell D., Julian C., Stanley (1996). Experimental and Quasi Experimental Design for Research. Chicago : Rand Mc Nally. Chollat – Traquet, C. (1996). Evaluating Tobacco Control Activities. Experience and Guiding Principles. Geneva : World Health Organization. Ewles, L dan Simnett I. (1992). Promosi Kesehatan : Petunjuk Praktis. Emilia, O. (1994) (Alih Bahasa), Yogyakarta : UGM Press. Green, L. Kreuter W.M. (2000) Health Promotion Planning. An Educational and Envinmental Approach. (2nd ed.). USA: Mayfield Publishing Compani. Mackay J. dan Eriksen M. (2002) The Tobacco Attlas. Geneva: WHO. Martin G, Pear J. (1996). Behavior Modification. (7th ed.). University of Manitoba New Jersey. Sirait,A.M., Pradono Y. dan Lumban Toruan I. (2002). Perilaku Merokok di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 30, 139-152 Smet, Maes, Clereq, Haryanti dan Winarno (1999). Determinants of Smoking Behavior Among Adolescents In Semarang, Indonesia. Tobacco Control 8,186-191. Sugiyono (2004). Statistika Untuk Penelitian. (6th ed.). Bandung: CV ALFABETA. Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2007. Negara Republik Indonesia.\ Yusuf, S. 2002. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (2nd ed). Bandung : Remaja Roskakarya 87 EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach L.) DALAM MEMBUNUH NYAMUK CULEX Haesti Sembiring Jurusan Kesehatan Lingkungan Abstrak Kepadatan nyamuk culex merupakan masalah yang sangat penting karena nyamuk culex merupakan vektor penyakit kaki gajah. Adanya bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk culex tersebut, maka perlu diadakan suatu pengendalian. Penggunaan insektisida nabati dari ekstrak daun mindi (Melia azedarach L) merupakan salah satu alternatif untuk pengendalian nyamuk culex. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun mindi (Melia azedarach L.) dalam membunuhn nyamuk culex. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen murni dengan metode post-test only kontrol design dengan memberikan berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi (Melia azedarach L.), yaitu konsentrasi 40 gr/l, 60 gr/l, dan 80 gr/l pada masing – masing kotak perlakuan yang berisi 20 ekor nyamuk culex. Setelah 1, 2 dan 3 jam dihitung kematian nyamuk culex dan replikasi dilakukan sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian nyamuk culex pada konsentrasi 40 gr/l adalah 18,3% – 43,3%, kematian nyamuk culex pada konsentrasi 60gr/l adalah 26,6% - 58,3% dan kematian nyamuk culex pada konsentrasi 80gr/l adalah 36,6% 73,3%. Daun mindi dapat digunakan untuk mengendalikan nyamuk culex agar tidak terjadi resistensi pada vektor penyakit ini dan tidak terjadi pencemaran lingkungan. Kata kunci: Ekstrak daun mindi PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengendalian nayamuk secara kimia dengan menggunakan racun serangga atau insektisida saat ini telah luas pemakainnya. Pemakaian insektisida memang efektif namun sebenarnya dapat juga menimbulkan masalah yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan jika tidak digunakan secara tepat dan benar. Untuk mengurangi dampak penggunaan insektisida secara berlebihan perlu dikembangakan suatu penelitian mengenai zat – zat yang dapat membunuh nyamuk sehingga berfungsi sebagai insektisida nabati alami dan tidak merusak alam serta tidak berbahaya bagi manusia. Salah satu dari sekian banyak tumbuhan yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah Mindi (Melia azaderach L.). Senyawa aktif yang dikandung mindi adalah azadirachtin, selanin dan meliantriol. Daun dan biji Mindi dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Ekstrak daun Mindi dapat digunakan pula sebagai bahan untuk mengendalikan hama termasuk belalang ( Ahmed,S & Idris, Salma, 2010) B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana efektivitas ekstrak daun Mindi (Melia azaderach L.) dalam membunuh nyamuk Culex ” 88 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun Mindi dalam membunuh nyamuk Culex . 2. Tujuan Khusus a. Untuk menganalisa perbedaan tingkat kematian nyamuk Culex dengan berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi (40gr/l, 60gr/l, 80gr/l) b. Untuk menentukan konsentrasi ekstrak daun Mindi yang optimum dalam membunuh nyamuk Culex . D. Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis, merupakan tambahan pengetahuan penulis dalam penggunaan insektisida nabati. 2. Bagi masyarakat, sebagai bahan masukan bagai masyarakat luas dalam usaha pengendalian nyamuk Culex . 3. Bagi institusi, sebagai bahan bacaan tambahan diperpustakaan jurusan kesehatan lingkungan politeknik kesehatan medan. METODE PENELITIAN A. Kerangka Konsep Variabel Bebas Variabel Terikat Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi 40gr/l, 60gr/l, 80gr/l Jumlah Kematian Nymuk Culex - Suhu Udara - WaktuPengganggu Kontak Variabel - Umur Nyamuk - Kecepatan Angin - Kelembaban Variabel Pengganggu B. Defenisi Operasional 1. Konsentrasi ekstrak daun mindi adalah kandungan daun mindi yang diperoleh dengan cara mengekstrak daun mindi 2. Suhu udara adalah kondisi panas atau dinginnya udara sebelum dan sesudah perlakuan 3. Umur nyamuk adalah nyamuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah umur 1 - 2 hari setelah keluar dari kepompong 4. Waktu kontak adalah waktu yang diperlukan mulai disemprotkan ekstrak daun mindi sampai terjadinya kematian pada nyamuk culex 5. Kelembaban adalah kondisi kandungan uap air yang terdapat pada lingkungan tempat pembiakan dan kotak pengamatan 6. Efektivitas ekstrak daun mindi adalah kemampuan ekstrak daun mindi dalam membunuh nyamuk culex . 7. Jumlah kematian nyamuk culex adalah banyaknya nyamuk culex yang mati setelah penyemprotan ekstrak daun mindi dengan konsentrasi 40gr/l, 60gr/l, 80gr/l C. Hipotesis Dalam penelitian ini penulis membuat hipotesa sebagai berikut : Ho = Tidak ada perbedaan jumlah nyamuk culex yang mati dari berbagai variasi konsentrasi ekstrak daun mindi pada perlakuan. Ha = Ada perbedaan jumlah nyamuk culex yang mati dari berbagai variasi konsentrasi ekstrak daun mindi pada perlakuan. D.Interpretasi Data F hitung > F tabel Ha diterima dan Ho ditolak dengan α = 0,05 F hitung < F tabel Ho diterima dan Ha ditolak dengan α = 0,05 E. Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental yaitu untuk mengetahui konsentrasi ekstrak daun mindi yang optimal dalam membunuh nyamuk culex . Desain penelitian ini menggunakan metode prepost test kontrol design. Dimana objek dibagi dalam dua kelompok yaitu perlakuan diberikan pada salah satu kelompok dan kelompok lain tidak diberikan perlakuan (kelompok kontrol). Setelah waktu yang ditentukan kemudian diobservasi variabel tercoba pada kedua kelompok tersebut. Perbedaan hasil antara kedua kelompok menjelaskan perlakuan. Desain perlakuan yang akan dilakukan seperti di bawah ini : X1,2,3 O1 X0 O2 R = Keterangan : X1,2,3 : Kelompok perlakuan. R : Replikasi. X0 : Kelompok kontrol. O1 : Pengamatan jumlah nyamuk Culex yang mati dari berbagai variasi konsentrasi ekstrak daun Mindi pada perlakuan. O2 : Pengamatan jumlah nyamuk Culex yang mati tanpa perlakuan. Penelitian ini dilakukan dengan 3 varian konsentrasi ekstrak daun mindi yakni 40 gr/l, 60 gr/l dan 80 gr/l dengan replikasi sebanyak 3 kali. F. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Politeknik Kesehatan Medan Jurusan Kesehatan Lingkungan Kabanjahe. G. Objek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah nyamuk Culex yang sudah dibiakkan dalam 12 buah kotak pengamatan dimana 9 buah kotak perlakuan dan 3 buah kotak kontrol. Nyamuk berumur 1- 2 hari dihitung setelah keluar dari kepompong. H. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data berupa data primeryang diperoleh dari eksperimen dari berbagai macam konsentrasi ekstrak daun Mindi dalam membunuh nyamuk Culex . I. Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan Data Data diolah secara manual dan disajikan dalam bentuk tulisan dan tabel. 2. Analisis Data Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Rumus Analisa Of Variance (ANOVA) sebagai berikut: 89 Y2 = rxt 1. FK 2. JK perlakuan 3. JK Total = (Yi)2 – FK 4. JK Galat Perlakuan = JK Total – JK 5. KT Perlakuan = = (Yi) 2 FK n JK Perlakuan ( t 1) 6. KT Galak Acak = JK Galat ( t ) ( t 1) 7. F hitung = KT Perlakuan KT Galat Acak Keterangan : Y = Jumlah hasil observasi pada perlakuan Yi = Jumlah hasilobservasi ke-Isetiap perlakuan ∑ = Total keseluruhan observasi perlakuan R = Jumlah pengulangan t = ∑ Variasi konsentrasi n = Replikasi FK = Jumlah konsentrasi JK = Jumlah kuadrat KT = Kuadrat tengah J. Alat, Bahan dan Prosedur Kerja 1. Alat – alat yang diperlukan : - Kotak pembiakan - Media (Aqua) - Tampah. - Timbangan. - Termometer udara. - Hygrometer. - Anometer. - Semprotan ( Spreyer ). - Gelas ukur - Corong - Kertas label. - Pipet. - Saringan - Batang pengaduk - Penunjuk waktu 2. Tumbukan Bahan – bahan yang dipergunakan: - Daun Mindi. - Alkohol 90 % - Nyamuk Culex 3. Cara Pembuatan Ekstrak Daun Mindi a. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan. b. Ambil daun Mindi, lalu pisahkan dari ranting untuk mempermudah penumbukan. 90 Daun Mindi ditimbang masing – masing konsentrasi 40gr, 60gr dan 80gr. d. Setelah ditimbang, masing – masing konsentrasi di tumbuk dan kemudian direndam dengan 1 liter alkohol selama 24 jam dan di beri label sebagai berikut : - Wadah A = rendaman daun Mindi 40gr/l - Wadah B = rendaman daun Mindi 60gr/l - Wadah C = rendaman daun Mindi 80gr/l e. Setelah 24 jam larutan yang dihasilkan disaring agar didapatkan larutan/ekstrak daun Mindi yang siap di aplikasikan. 4. Cara Pembiakan Nyamuk Culex a. Buat kotak pengamatan dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm (Depkes RI, 1986) sebanyak 12 buah yang terdiri dari 9 kotak perlakuan dan 3 kotak kontrol. b. Kemudian ambil jentik nyamuk Culex sebanyak 240 ekor lalu dimasukkan kedalam aqua gelas masing – masing sebanyak 20 ekor jentik. c. Setelah itu letakkan kotak pengamatan di tempat yang terlindungi (teduh) yang terhindar dari sinar matahari secara langsung. Untuk setiap kotak di beri jarak 50 cm, dengan tujuan untuk mempermudah melakukan penyemprotan. d. Masukkan aqua gelas yang sudah berisi jentik kedalam kotak pengamatan dan buat kertas putih dibawahnya. e. Lihat perubahan yang terjadi mulai dari jentik – pupa – nyamuk. 5. Uji Perlakuan a. Sediakan alat dan bahan yang diperlukan b. Setiap kotak pengamatan diberi label dan ditempel pada kotak perlakuan dan kotak kontrol sebagai berikut : - Perlakuan I diberi tanda A : A1, A2, A3 - Perlakuan II diberi tanda B : B1, B2, B3 - Perlakuan III diberi tanda C : C1, C2, C3 - Kontrol diberi tanda K : K1, K2, K3 c. Masing – masing kotak sudah berisi nyamuk Culex sebanyak 20 ekor d. Ambil botol yang berisi ekstrak daun Mindi (sesuai konsentrasi) masukkan kedalam sprayer. e. Kemudian ekstrak daun Mindi disemprotkan pada tiap – tiap perlakuan dengan konsentrasi ekstrak daun Mindi sebagai berikut : 1) Perlakuan I : disemprotkan ekstrak daun Mindi dengan konsentrasi 40 gr/l sebanyak c. 20 ml yang diberi tanda A 2) Perlakuan II : disemprotkan ekstrak daun Mindi dengan konsentrasi 60 gr/l sebanyak 20 ml yang diberi tanda B. 3) Perlakuan III : Disemprotkan ekstrak daun Mindi dengan konsentrasi 80 gr/l sebanyak 20 ml yang diberi tanda C Penyemprotan dilakukan pada semua permukaan kotak secara merata dengan jarak 30 cm dan tekanan yang sama khususnya dan untuk kotak kontrol yang di semprotkan adalah alkohol 90 %. Sebelum dan sesudah penyemprotan dilakukan pengukuran suhu udara, kecepatan angin dan kelembaban udara kemudian catat hasil pengamatan Lalu amati nyamuk Culex yang mati setiap 1 jam, 2 jam, 3 jam setelah dilakukan penyemprotan dan catat hasilnya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sebelum dan sesudah dilakukan penyemprotan ekstrak daun mindi terhadap perlakuan terlebih dahulu dilakukan pengukuran suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin di dalam ruangan laboratorium tempat melakukan penelitian untuk mengetahui kondisi lingkungan nyamuk Culex pada waktu penelitian. Hasil pengukuran suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin sebagai berikut : Tabel 1. Suhu, Kelembaban dan Kecepatan Angin Sebelum dan Sesudah Perkuan Variabel yang diukur Sebelum disemprot Suhu Kelembaban Kec. angin 230C 64 % 0 m/s WAKTU PENGUKURAN Setelah Setelah 2 1 jam jam disemprot disemprot 230C 230C 64 % 64 % 0 m/s 0 m/s Setelah 3 jam disemprot 230C 64 % 0 m/s Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui sebelum dan sesudah perlakuan suhu udara 230C, kelembaban udara 64 % dan kecepatan angin 0 m/s. Siklus hidup nyamuk Culex suhu optimum yang disukai adalah 200C – 300C berarti dalam percobaan ini suhu udara tidak mempengaruhi kematian nyamuk, sedangkan untuk kelembaban udara sebelum dan sesudah perlakuan 64 % dimana kelembaban udara yang normal antara 60% 80% sehingga kelembaban juga tidak mempengaruhi kematian nyamuk Culex. Tabel 2. Distribusi Jumlah dan Persentase Kematian Nyamuk Culex Setelah 1 Jam Perlakuan Replikasi 1 2 3 Rata-rata Jumlah Kematian Nyamuk Culex pada setiap Konsentrasi (gr/l) 40 gr/l 60 gr/l 80 gr/l Kontrol F % F % f % f % 9 45 12 60 15 75 0 0 8 40 11 55 14 70 0 0 9 45 12 60 15 75 0 0 8,6 43,3 11,6 58,3 14,6 73,3 0 0 Berdasarkan tabel 2 diatas dapat diketahui konsentrasi terendah 40 gr/l dalam waktu 1 jam dapat membunuh nyamuk Culex 18,3 %, konsentrasi 60 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 26,6 % dan konsentrasi tertinggi 80 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 36,6 % dan kematian nyamuk Culex pada kotak kontrol 0%. Tabel 3. Distribusi Jumlah dan Persentase Kematian Nyamuk Culex Setelah 2 Jam Perlakuan Replikasi 1 2 3 Rata-rata Jumlah Kematian Nyamuk Culex pada setiap Konsentrasi (gr/l) 40 gr/l 60 gr/l 80 gr/l Kontrol F % F % F % f % 3 15 5 25 7 35 0 0 3 15 5 25 7 35 0 0 4 20 6 30 8 40 0 0 3,3 18,3 5,3 26,6 7,3 36,6 0 0 Berdasarkan tabel 3 diatas dapat diketahui konsentrasi terendah 40 gr/l dalam waktu 2 jam dapat membunuh nyamuk Culex 25 %, konsentrasi 60 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 40 % dan konsentrasi tertinggi 80 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 55 % dan kematian nyamuk Culex pada kotak kontrol 0%. Tabel 4. Distribusi Jumlah dan Persentase Kematian Nyamuk Culex Setelah 3 Jam Perlakuan Replikasi 1 2 3 ∑Yi Yi Jumlah kematian nyamuk Culex pada setiap konsentrasi (gr/l) 40 gr/l 60 gr/l 80 gr/l Y 3 5 7 3 5 7 4 6 8 10 16 22 48 3,3 5,3 7,3 Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui konsentrasi terendah 40 gr/l dalam waktu 3 jam dapat membunuh nyamuk Culex 43,3 %, konsentrasi 60 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 58,3 % dan konsentrasi tertinggi 80 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 73,3 % dan kematian nyamuk Culex pada kotak kontrol 0%. Tabel 5. Distribusi Jumlah Kematian Nyamuk Culex Berdasarkan Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Setelah 1 Jam Perlakuan Replikasi 1 2 3 Rata-rata Jumlah Kematian Nyamuk Culex pada setiap Konsentrasi (gr/l) 40 gr/l F % 5 25 6 30 4 20 5 25 60 gr/l F % 8 40 9 45 7 35 8 40 80 gr/l f % 11 55 12 60 10 50 11 55 Kontrol f % 0 0 0 0 0 0 0 0 91 Y2 1. FK Tabel 6. Distribusi Jumlah Kematian Nyamuk Culex Berdasarkan Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Setelah 2 Jam Perlakuan = rxt (48)2 = Replikasi 3x3 = 1 2 3 ∑Yi Yi 256 (Yi)2 2. JK perlakuan = - FK Jumlah kematian nyamuk Culex pada setiap konsentrasi (gr/l) 40 gr/l 60 gr/l 80 gr/l Y 5 8 11 6 9 12 4 7 10 15 24 33 72 5 8 11 n (10)2 + (16)2 + (22)2 = 3. 4. 5. Y2 - 256 3 = 280 – 256 = 24 JK Total = (Yi)2 – FK = (34+86+162) – 256 = 282 – 256 = 26 JK Galat = JK Total – JK Perlakuan = 26 – 24 = 2 JK Perlakuan KT Perlakuan = (t – 1) 1. FK = rxt (72)2 = 3x3 = 576 (Yi)2 2. JK perlakuan = - FK n (15)2 + (24)2 + (33)2 = - 576 24 3 = (3 – 1) = JK Total 4. JK Galat 5. KT Perlakuan 12 JK Galat 6. = = = = = = = 3. KT Galak Acak = 54 (Yi)2 – FK 636 – 576 60 JK Total – JK Perlakuan 60 – 54 6 (t) (r - 1) 2 = (3) (3 – 1) JK Perlakuan = (t – 1) 54 = 0,33 = (3 – 1) KT Perlakuan 7. F hitung = KT Galat acak 12 = = 6. KT Galak Acak 27 JK Galat = 0,33 = 36,36 (t) (r - 1) 6 = (3) (3 – 1) = 92 1 KT Perlakuan 7. F hitung = JK Galat 6. KT Galak Acak = KT Galat Acak (t) (r - 1) 27 2 = = (3) (3 – 1) 1 = 27 = Tabel 7. Distribusi Kematian Nyamuk Culex berdasarkan Konsentrasi Ekstrak Daunmindi Setelah 3 Jam Perlakuan 0,3 KT Perlakuan 7. F hitung = KT Galat Acak Replikasi 1 2 3 ∑Yi Yi Jumlah kematian nyamuk Culex pada setiap konsentrasi (gr/l) 40 gr/l 60 gr/l 80 gr/l Y 9 12 15 8 11 14 9 12 15 26 35 44 105 8,6 11,6 14,6 Y2 1. FK = 27 = 0.3 = 90 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, adanya perbedaan kematian nyamuk Culex dari berbagai konsentrasi ekstrak daun Mindi dapat dilihat dari F Tabel dengan derajat kepercayaan 5 % seperti yang terlihat dari data berikut ini :. rxt (105) Tabel 8. Hasil yang Diperoleh Setelah Melihat F Tabel Setelah 1 Jam 2 = 3x3 1225 (Yi)2 = 2. JK perlakuan = No Konsentrasi (gr/l) - FK n 3837 = - 1225 1 2 3 4 40 60 80 Kontrol Konsentrasi kematian nyamuk Culex Setelah Setelah Setelah 1 jam 2 jam 3 jam 18,3 25 43,3 26,6 40 58,3 36,6 55 73,3 0 0 0 3 3. JK Total 4. JK Galat Perlakuan = 1279 – 1225 = 54 = (Yi)2 – FK = 1281 – 1225 = 56 = JK Total – JK = = 5. KT Perlakuan 56 – 54 2 JK Perlakuan = (t – 1) 54 Tabel 9. Hasil yang Diperoleh Setelah Melihat F Tabel Setelah 2 Jam Sumber ragam Perlakuan Galat Total db JK KT F Hitung 2 6 8 24 2 26 12 0,33 36,36 F Tabel 5% 5,14 Tabel 10. Hasil yang Diperoleh Setelah Melihat F Tabel Setelah 3 Jam Sumber ragam Perlakuan Galat Total db JK KT F Hitung 2 6 8 54 2 56 27 0,3 90 F Tabel 5% 5,14 = (3 – 1) = 27 Untuk membuktikan apakah hipotesa a diterima atau di tolak dapat di lihat pada tabel di atas. Jika F hitung > F tabel dengan derajat kepercayaan 5% maka hipotesa a di terima dan sebaliknya jika F hitung < F tabel maka hipotesa di tolak. 93 Karena F hitung dari selang waktu 1 jam (36,36), 2 jam (27) dan selang waktu 3 jam (90) > F tabel (5,14) maka hipotesa a diterima. Dengan demikian konsentrasi ekstrak daun mindi yang digunakan ada perbedaan yang signifikan jumlah kematian nyamuk culex dengan berbagai variasi konsentrasi daun mindi yang disemprotkan ke nyamuk culex tersebut. Dan melihat adanya perbedaan kematian nyamuk culex dalam persentase dari berbagai konsntrasi ekstrak daun mindi dapat di lihat dari tabel berikut : paling efektif yaitu konsentrasi 80 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex hingga 73,3 %. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa semakin banyak daun mindi yang digunakan maka semakin banyak nyamuk Culex yang mati karena konsentrasi ekstrak daun mindi yang semakin tinggi maka insektisida yang dikandung juga semakin banyak sehingga daya bunuhnya juga semakin kuat. KESIMPULAN DAN SARAN A. Tabel 11. Persentase Kematian Nyamuk Culex Selama Pengamatan Pada Setiap Konsentrasi Sumber ragam Perlakuan Galat Total db JK KT F Hitung 2 6 8 54 6 60 27 1 27 F Tabel 5% 5,14 B. Pembahasan Sebelum dan sesudah perlakuan suhu udara 230C, kelembaban udara 64 % dan kecepatan angin 0 m/s. Siklus hidup nyamuk culex suhu optimum yang disukai adalah 250C – 300C berarti dalam percobaan ini suhu udara tidak mempengaruhi kematian nyamuk, sedangkan untuk kelembaban udara sebelum dan sesudah perlakuan 64 % dimana kelembaban udara yang normal antara 60% - 80% sehingga kelembaban juga tidak mempengaruhi kematian nyamuk culex. Setelah 1 jam perlakuan angka kematian nyamuk culex pada berbagai dosis ekstrak daun mindi diketahui pada 40 gr/l sebanyak 18,3 %, 60 gr/l sebanyak 26,6 % dan 80 gr/l sebanyak 36,6 %. Setelah 2 jam perlakuan angka kematian nyamuk culex pada berbagai dosis ekstrak daun mindi diketahui pada 40 gr/l sebanyak 25 %, 60 gr/l sebanyak 40 % dan 80 gr/l sebanyak 55 %. Setelah 3 jam perlakuan angka kematian nyamuk culex pada berbagai dosis ekstrak daun mindi diketahui pada 40 gr/l sebanyak 43,3 %, 60 gr/l sebanyak 58,3% dan 80 gr/l sebanyak 73,3 %. Dari hasil pengamatan yang dilakukan maka hasil bahwa ekstrak daun Mindi dengan konsentrasi terendah 40 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 18,3% – 43,3 %, konsentrasi 60 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 26,6 % – 58,3 % dan konsentrasi 80 gr/l dapat membunuh nyamuk Culex 36,6 % – 73,3 % sedangkan pada kotak kontrol 0 %. Dari ke tiga konsentrasi yang dapat dikatakan 94 KESIMPULAN 1. Konsentrasi ekstrak daun mindi yang efektif dalam pengendalian nyamuk culex adalah 80 gr/l, dengan kematian pada nyamuk culex sebesar 73,3 % dengan jumlah kematian 44 ekor dari 60 ekor nyamuk culex. 2. Berdasarkan uji statistik dengan derajat kepercayaan () 5 % menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan jumlah kematian nyamuk culex dari berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi setelah 1, 2, dan 3 jam perlakuan. B. SARAN Sebagai alternatif penanggulangan dalam pengendalian vektor khususnya nyamuk culex dapat menggunakan ekstrak daun mindi. DAFTAR PUSTAKA Hanafiah, Kemas Ali. (2005). Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rajawali Pers Kardinan, Agus. (2000). Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta Agro Media Pustaka. Laksono, Agung. (2009). Kasus Filariasis (17 November 2009, Artikel), [Internet]. Available From <www.menkokesra.go.id/content/view/13409/ 39/ > (Accessed Februari 2010) Plantamor. (2008). Klasifikasi Pohon Mindi (2008, Artikel), [Internet]. Available From < www.plantamor.com/index.php?plant=883 > (AccessedFebruari 2010) Qitanonq. (2006). Mindi (30 Desember 2006, Artikel), [Internet]. Available From<www.mailarchive.com/ [email protected]/msg0192 3.html> (Accessed Februari 2010) Sudjana. 2002. Metoda Statistika Edisi ke.6.Bandung:Tarsito EFEK EKSTRAK HERBA PEGAGAN (Centellae herba) TERHADAP Staphylococcus aureus dan Escherichia coli Nelson Tanjung Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Pegagan memiliki banyak khasiat antara lain: diuretika berguna sebagai peluruh kencing, antiperetika berguna sebagai penurun panas, hemostatika berguna untuk menghintikan pendarahan, meningkatkan syaraf memori, campak, lepra, penamah nafsu makan, menurunkan tekanan darah tinggi, wasir, pembengkakan hati (liver), dan bisul. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan apakah ada pengaruh etanol 96 % sebagai pelarut terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan ekstrak herba pegagan terdap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Eksperimen secara uji mikrobiologi di Laboratorium. Dalam penelitian bahan yang digunakan adalah: air suling, bakteri Staphylococcus aureus, bakteri Escherichia coli, pegagan, gentamisin, endo agar, media staphylococcus, nutrient broth. Sampel yang digunakan adalah herba pegagan segar yang telah diolah menjadi simplisia yang diperoleh dari persawahan di jalan Blangkejeren Gayo Lues. Hasil Penelitian Menunjukkan bahwa Ekstrak herba pegagan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, sedangkan pada etanol tidak ada. Pada Staphylococcus aureus ekstrak herba pegagan dapat menghambat bakteri pada konsentrasi 7,5% sampai 10%.Pada Escherichia coli ekstrak herba pegagan dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 8 % sampai 10 %. Kata Kunci : Ekstrak Herba Pegagan, Staphylococcus aureus, Escherichia coli PENDAHULUAN Latar Belakang Obat tradisional pemakaiannya telah secara turun-temurun dilakukan yang didasari kebiasaan nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan tradisional. Obat tradisional secara umum merupakan obat bungkus atau racikan yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, dan atau sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang usaha pengobatannya berdasarkan pengalaman (Anief, 2003). Pegagan memiliki banyak khasiat antara lain: diuretika berguna sebagai peluruh kencing, antiperetika berguna sebagai penurun panas, hemostatika berguna untuk menghentikan pendarahan, meningkatkan syaraf memori, campak, lepra, penambah nafsu makan, menurunkan tekanan darah tinggi, wasir, pembengkakan hati (liver), dan bisul (Arisandi & Andriani, 2008). Orang Eropa menggunakannya untuk menyembuhkan lepra dan tuberkulosis (TBC). Manfaat lain dapat memberi efek positif bagi daya rangsang saraf otak dan memperlancar aliran darah pada pembuluh otak, disamping dipercaya bisa menanggulangi luka bakar, sirosis hati, keloid, skleroderma, gangguan pembuluh vena, lupus, dan meningkatkan fungsi mental. Pegagan merupakan tanaman menahun tanpa batang yang merayap dengan rimpang pendek dan stolon. Helaian daun tunggal bergerigi, bertangkai panjang sekitar 5 – 15 cm berbentuk ginjal, dan tepinya dengan panampang 1 – 7 cm terdiri atas 2 – 10 helai daun agak berambut. Bunganya berwarna putih atau merah muda. Tersusun dalam kerangka berupa payung tunggal atau 3 – 5 bersama-sama keluar dari ketiak daun. Tangkai bunga 5 – 50 mm. Buah kecil bergantungan yang bentuknya lonjong/pipih panjang 2 – 2,5 mm, baunya wangi dengan rasanya pahit. Simplisia dari pegagan dikenal dengan sebutan Centellae herba memiliki kandungan asiaticosida, thankunisida, isothankunisida, madecassosida, brahmosida, brahmic acid, brahminosida, madasiatic acid, glikosida triterpenoida, centellosida, carotenoit, hydrocotylin, vellarine, tanin serta garam mineral. Bakteri adalah sel prokoriotik, uniseluler dan tidak mengandung struktur yang terbatasi memberan di dalam sitoplasma. Bakteri memiliki ukuran yang sangat kecil dengan diameter 0,5 - 1,0 µm dan panjangnya 1,5 - 2,5 µm sehingga hanya bisa dilihat di bawah mikroskop. Berdasarkan bentuk morfologinya, bakteri dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu golonan basil, golongan kokus, dan golongan spiral. 95 Pertumbuhan bakteri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : Nutrisi yang terdiri dari sumber karbon, nitrogen, belerang, fosfor, mineral dan faktor pertumbuhan (Vitamin dan asam amino) Suhu pertumbuhan bakteri dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu : bakteri psikrofil, bakteri mesofilik, bakteri termofilik. Kebanyakan bakteri tumbuh dengan baik pada pH 6,5 - 7,5. Namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan asam dengan pH 4 - 9. Media atau medium adalah bahan yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri. Medium yang baik bagi pemelihara bakteri adalah medium yang mengandung zat-zat organik, seperti rebusan daging, sayur- sayuran, sisa-sisa makanan atau ramuan-ramuan yang dibuat manusia. Gambar 2.1 Pegagan (Centella asiatica L) Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan gram positif, aerob atau anaerob fakultatif, berbentuk bola (kokus) yang berpasangan, bergerombol dan bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek, berdiameter antara 0,8 – 1,0 µm, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik pada temperatur 370C, namun pembentukan pigmen yang paling baik adalah pada temperatur 20 -350C. koloni pada media yang padat berbentuk bulat, lembut, dan mengkilat. Koloni ini biasanya berwarna abu–abu hingga kuning ke emasan (UI,1994). Pengujian Aktifitas Antibakteri Secara In Vitro Penentuan kepekaan bakteri terhadap antimikroba secara in vitro dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok, yakni metode dilusi dan difusi. Metode Dilusi Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar hambat minimum, dilakukan dengan menggunakan media cair. Kemudian media diinokulasi bakteri uji dan dieramkan. Tahap akhir dilarutkan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Metode Difusi Metode yang sering digunakan adalah metode difusi agar. Alat yang bisa digunakan cakram kertas saring, maka cakram tersebut lebih dahulu diisi sejumlah tertentu obat kemudian ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelum telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah diinkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunaka mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji (Pratiwi, 2008). METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Eksperimen secara uji mikrobiologi di Laboratorium. Dalam penelitian bahan yang digunakan adalah: air suling, bakteri Staphylococcus aureus, bakteri Escherichia coli, pegagan, gentamisin, endo agar, media staphylococcus, nutrient broth. Sampel yang digunakan adalah herba pegagan segar yang telah diolah menjadi simplisia yang diperoleh dari persawahan di jalan Blangkejeren Gayo Lues. Gambar 2.3 Escherichia coli Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang pendek, motil atau non motil, aerobik dan anaerobik (merupakan fakultatif anaerob), dengan ukuran 0,4 – 0,7µm. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu 370C, membentuk koloni bulat, cembung serta lembut dengan tepi yang berbeda. Escherichia coli merupakan flora normal yang terdapat dalam usus. Escherichia coli akan bersifat patogen bila berada pada jaringan di luar usus atau tempat dimana bakteri ini tidak bias tumbuh sebagai flora normal contohnya pada saluran air kemih (UI,1994). 96 Pengolahan Simplisia Herba pegagan yang mesih segar dibersihkan, kemudian dikeringkan dengan cara diangin-angainkan. Kemudian simplisia dihaluskan dengan derajat halus yang cocok, simpan dalam wadah. Penetapan Kadar Air 200 ml toluen dan 2 ml air suling ke dalam labu kering lalu didestilasi selama 2 jam. Toluen didinginkan selama 30 menit dan volume air dalam tabung penampung dari alat penetapan kadar air dibaca sebagai volume awal dengan ketelitian 0,05 ml, maka diperoleh toluen jenuh. Selanjutnya ke dalam labu dimasukkan 5 g sampel yang ditimbang seksama, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mulai mendidih, kecepatan tetes diatur 2 tetes untuk tiap detik. Setelah sebagian besar air terdestilasi, kecepatan tetesan dipercepat menjadi 4 tetes untuk tiap detik (engan cara menaikan suhu). Setelah volume air tidak bertambah lagi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluene. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan dingin sampai suhu kamar. Volume air dibaca setelah air dan toluen memisah sempurna, sebagai volume akhir. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kendunan air yang terdapat di dalam simplisia yang diperiksa, kadar air dihitung dengan rumus 0 /0 Kadar Air = V. Akhir – V. Awal x 100 0/0 Berat Sampel 2. Oleskan pada seluruh permukaan masing – masing media sampai merata. 3. Biarkan selama 5 menit. 4. Cetak lubang dengan diameter 6 mm dengan menggunakan pencetak lubang (punch hole). 5. Isi lubang dengan ekstrak herba pegagan dengan beberapa konsentrasi yaitu 0,5-100/0. 6. Biarkan 15-30 menit 7. Gunakan gentamicin sebagai kontrol positif dan alcohol 960/0 sebagai kontrol negative 8. Inkubasi pada inkubator dengan suhu 37 0C selama 18-24 jam. 9. Ukur daerah hambatan yaitu pada daerah jernih disekitar lubang. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pemeriksaan Kadar Air Dengan Pelarut Etanol Perkolasi Penimbangan Bahan Simplisia herba pegagan sebanyak Cairan penyari etanol 96 0/0 sebanyak x 500 g = 5000 ml Kadar air dihitung dengan rumus : : 500 g : 100 / 10 V. Akhir – V. Awal / Kadar Air = x 100 0/0 0 Volume Awal = 1,5 ml Berat Sampel Volume Akhir = 1,9 ml 0 Berat Sampel = 5 g Cara Pembuatan 0 1,9 – 1,5 /0 Kadar Air = 1. Timbang 500 g simplisia herba pegagan kemudian di haluskan dengan derajat kehalausan yang cocok, masukkan kedalam wadah. 2. Tuangkan 75 cairan penyari etanol 96 0/0, tutup wadah dengan baik. 3. Kemudian di maserasi selama 3 jam. 4. Setelah itu masukkan kedalam perkolator sedikit demi sedikit sambil di tekan dengan hati – hati . 5. Tuangai dengan cairan peyari secukupnya sampai terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. 6. Tutup perkolator, biarkan selama 24 jam. 7. Kemudian biarkan cairan penyari menetes dengan kecepatan 1 ml per menit. 8. Tambahnkan cairan penyari sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia hingga diperoleh 5000 ml perkolat. 9. Pindahkan kedalam bejana, tutup 10. Biarkan selama 2 hari di tempat yang sejuk terlindung dari cahaya, enap tuang atau serkai 11. 5000 ml maserat di masukkan kedalam rotavafour 12. Setelah itu di keringkan dengan freeze dryer pada suhu- 400 dengan tekanan 2 atm + 24 jam. 13. sehingga di peroleh ekstrak kering. Pembuatan Inokulasi Bakteri Masing-masing bakteri diambil dengan menggunakan kawat ose yang telah disterilkan, kemudian pindahkan kedalam tabung yang bersi 10 cc nutrient bort. Tutup dengan dengan kapas dan masukkan dalam inkubator selama 24 jam. Uji Efek Antibakteri Ekstrak Herba Pegagan Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aereus dan Escherichia coli. 1. Teteskan suspensi bakteri escherichia coli pada media endo agar dan staphylococcus aereus pada media staphylococcus. x = 8 0/0 100 0/0 5 Dari simplisia herba pegagan diperoleh kadar air 8 0/0 hal ini menunjukkan bahwa kadar air simplisia herba pegagan memenuhi syarat yaitu tidak lebih dari 10 0/0. Pembahasan Uji Efek Antibakteri Ekstrak Herba Pegagan (Centellae herba) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak herba pegagan terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli menunjukkan hasil yang cukup baik. Secara umum bakteri dinyatakan tidak peka/resisten terhadap anti bakteri jika diameter hambatan < 10 mm, intermediet antara 11-12 mm, dan sensitif pada diameter >13 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak herba pegagan mempunyai hambatan di atas 13 mm mulai pada konsentrasi 7,5% untuk bakteri Staphylococcus aureus dan konsentrasi 8% untuk bakteri Escherichia coli. Sebagai antibakteri, ekstrak herba pegagan bersifat bakteriostatik, yaitu hanya menghambat pertumbuhan bakteri. Pada uji aktivitas antibakteri ini digunakan etanol 96% sebagai kontrol negatif, yaitu untuk melihat apakah ada pengaruh etanol 96% sebagai pelarut terhadap bakteri yang diuji. Hasilnya terlihat bahwa etanol 96% yang digunakan tidak memberikan hambatan pertumbuhan bakteri, maka hambatan pertumbuhan bakteri yang dihasilkan hanya dari ekstrak herba pegagan yang di uji. sebagai kontrol positif digunakan gentamisin untuk melihat apakah bakteri dan media yang digunakan dalam keadaan baik, hasilnya terlihat bahwa gentamisin memberikan hambatan terhadap pertumbuhan terhadap seluruh bakteri yang diuji, berarti bakteri dan media yang digunakan dalam keadaan baik. 97 Hasil Uji Efek Antibakteri Ekstrak Herbapegagan Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan gentamisin sebagai kontrol positif etanol sebagai control negatif. Hasil Uji Efek Antibakteri Pada Berbagai Perlakuan Diameter Hambatan Pertumbuhan Bakteri Nama bakteri Staphylococcus aureus Escherichia coli Gentamisin Etanol 0,5% 1% 30 mm _ _ 1 mm 3 mm 3 mm 3 mm 22 mm _ _ _ _ _ _ Nama bakteri Staphylococcus aureus Escherichia coli Ekstrak Etanol Herba Pegagan 1,5% 2% 2,5% 3% 3,5% 10 mm 8 mm 4,5% 11 mm 9 mm 11 mm 9 mm Diameter Hambatan Pertumbuhan Bakteri 5% 5,5% 13 mm 13 mm 9 mm 10 mm 6% 13 mm 11 mm Ekstrak Etanol Herba Pegagan 8% 8,5% 6,5% 7% 7,5% 11 mm 11 mm 11 mm 11 mm SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian uji efek antibakteri ekstrak herba pegagan (centellae herba) terhadap pertumbuahan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ekstrak herba pegagan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. 2. Pada Staphylococcus aureus ekstrak herba pegagan dapat menghambat bakteri pada konsentrasi 7,5% sampai 10% 3. Pada Escherichia coli ekstrak herba pegagan dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 80/0 sampai 100/0. DAFTAR PUSTAKA Anief, Moh.(2003). Ilmu Meracik Obat Gajah Mada University Press Yogyakarta. Anonim, 2010. Pegagan.http:// id. Wikipedia. Org/wiki. Diakses 11 Mei 2010. Anonim, 2010. Pegagan Pembawa Umur Panjang. http:// kesehatan Kompas. 98 3 mm 4 mm 4% 13 mm 12 mm 15 mm 16 mm 15 mm 15 mm 9% 9,5% 10% 15 mm 16 mm 18 mm 17 mm 18mm 17 mm Com/read/2010/05/14/08555258/ Pegagan Pembawa Umur Panjang. Diakses 11 Mei,3 juni 2010. Anonim.2010.http://herbaljawa.blogspot.com/2010/07/Pen ggunaan Pegagan.html Diakses 3 juni 2010. Arisandi, Y dan Andriani Y. 2008. Khasiat Berbagai Tanaman Untuk Pengobatan: Eska Media, Jakarta. Departeman kesehatan RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV Departemen Kesehatan RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III Hidayat, N. dkk. 2006. Mikribiologi Industri : Andi, Yogyakarta. Pelczar Jr, Michael J dan Chan, E.S.C. 1986. Dasar – dasar Mikrobiologi 1: Universitas Indonesia, Jakarta Pratiwi, S. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Yogyakarta: Erlangga Staf Pengajar Fakultas Kedoktoran UI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran: Binarupa Aksara, Jakarta. Syarifudin. 2009.Herbal. http:// www. kompas. Com. Di akses 11 Mei 2010. HUBUNGAN CITRA TUBUH DENGAN AKTIFITAS FISIK DAN ASUPAN ENERGI SISWA SMP YANG OBES DAN TIDAK OBES DI KOTA LUBUK PAKAM Ginta Siahaan, Novriani Tarigan, Harifin Togap Sinaga Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Medan Abstrak Prevalensi obesitas di banyak negara, baik di negara industri dan miskin terus meningkat dari tahun ke tahun. Arus globalisasi yang masuk mempengaruhi gaya hidup dan pola makan kelompok remaja. Ketidakpuasan Citra Tubuh (Body Image Dissatisfaction)- BID semakin sering dijumpai di kalangan penederita obes. Untuk mengetahui hubungan antara citra tubuh dengan aktifitas fisik dan asupan energi siswa SLTP yang obes dan tidak obes di Lubuk Pakam. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Yang menjadi sampel penelitian adalah siswa SMP di Kota Lubuk Pakam. Siswa diminta mengisi kuesioner identitas responden, aktifitas fisik, citra tubuh dan food frekuensi. Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan uji t, uji kai kuadrat dengan derajat kemaknaan 95%, P<0,05. Prevalensi siswa yang obes di kota Lubuk Pakam sebesar 4,73%. Ketidakpuasan berbeda secara bermakna antara siswa SMP yang obes dan tidak obes dengan nilai p<0,001. Siswa SMP laki-laki yang obes mempunyai peluang tidak puas sebesar 8 kali, sedangkan siswa perempuan mempunyai peluang 5,7 kali. Jenis kelamin adalah counfounder citra tubuh siswa SMP. Aktifitas fisik dan asupan energi berbeda secara bermakna antara siswa yang obes dan tidak obes. Tidak ada hubungan yang bermakna antara ketidakpuasan citra tubuh siswa SMP dengan aktifitas fisik dengan asupan energi (p>0,05). Prevalensi obes siswa SMP Lubuk Pakam lebih rendah dibanding beberapa penelitian lain. Tidak ada hubungan ketidakpuasaan citra tubuh siswa SMP dengan aktifitas fisik dan asupan energi. Tidak puas dengan citra tubuhnya ternyata tidak membuat remaja meningkatkan aktifitas fisik dan mengurangi asupan energinya (makan). Kata Kunci: citra tubuh, aktfitas fisik, asupan energi, obesitas, siswa smp PENDAHULUAN Latar Belakang Prevalensi obesitas di banyak negara, baik di negara industri dan miskin terus meningkat dari tahun ke tahun (Gill, 1999). Kasus obesitas pada remaja lebih banyak ditemukan pada wanita 10,2% dibanding lakilaki 3,1 % (Sjarif , 2002). Pada remaja SLTP di Surabaya prevalensi obesitas sebesar 8,5 % (Adiningsih, 2002). Dari screening obesitas yang dilakukan di Kota Yogayakarta dan Kabupaten Bantul tahun 2003 di dapatkan prevalensi obesitas masingmasing 7,8% dan 2,0% (Mahdiah, 2004). Dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 diketahui prevalensi obesitas di Sumatera Utara sebesar 9,9% dan Kabupaten Deli Serdang sebesar 14,7%. Arus globalisasi yang masuk mempengaruhi gaya hidup dan pola makan kelompok remaja. Pengaruh junk food yang tinggi kalori dan rendah serat, serta peningkatan teknologi merubah gaya hidup yang tidak butuh banyak aktifitas tubuh, yang keduanya menjadi penyebab masalah gizi lebih (Adiningsih, 2002). Obesitas remaja penting untuk diperhatikan, karena masalah berat badan dan faktor risiko yang mengikutinya cenderung berlanjut sampai masa dewasa, dan penyakit yang timbul dari persoalan berat badan ternyata berhubungan dengan lamanya seseorang mengalami kegemukan (Gill, 1999). Obesitas merupakan keadaan status nutrisi dengan penyebab multifaktor yang selalu dihubungkan dengan peningkatan resiko dan mortalitas beberapa penyakit seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, noninsulin dependent diabetes mellitus, dan kanker. Obesitas memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan, status psikososial, kualitas hidup dan usia harapan hidup. Penurunan beban penyakit pada obesitas dalam populasi dapat diupayakan dengan mengidentifikasi faktor-faktor risiko obesitas, yang nantinya dapat dimodifikasi melalui program intervensi (Metcalf et al., 2000). Obesitas merupakan masalah yang berhubungan dengan penampilan fisik Pada remaja putri khususnya, gambaran tubuh dan penampilan fisik yang sesuai dengan harapan serta standar masyarakat, dapat berpengaruh terhadap harga diri mereka (Purwati, 2000). Citra tubuh adalah gambaran mental seseorang 99 terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya dan bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya (Honigman, 2004). Penelitian tentang persepsi terhadap bentuk dan ukuran tubuh di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa persepsi seseorang yang mengalami obesitas terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya berbeda-beda dan dipengaruhi oleh etnik/ras, sosial ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan (Metcalf et al., 2000). Adapun upaya-upaya maupun alternatif dalam penanggulangan masalah adalah dengan cara mulai program manajemen berat badan, merubahkan kebiasaan makan, perencanaan makanan dan pemilihan makanan secara tepat, mengontrol porsi makanan dan mengkonsumsi makanan yang rendah kalori, sering melakukan aktifitas fisik dan mengembangkan yang lebih efektif, makan bersama sebagai kebiasaan keluarga untuk menggantikan makanan sambil menonton televisi atau berada didepan komputer, mengetahui apa yang dimakan oleh remaja disekolah, jagan menggunakan makanan sebagai hadiah, mengurangi makanan kudupan (ngemil), menghadiri kelompok-kelompok yang memberi dukungan untuk mengelolah berat badan (Gamayanti, 2004). Dengan melihat fenomena yang terjadi sekarang ini khususnya pada remaja obes, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa obesitas merupakan suatu masalah rumit yang seringkali dihadapi remaja pada saat ini. Berdasarkan hal diatas, maka penulis dapat tertarik untuk melakukan penelitian tentang “ Hubungan Citra Tubuh dengan aktifitas fisik dan asupan energi siswa SMP yang obes dan tidak obes di kota Lubuk Pakam. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara citra tubuh dengan aktifitas fisik dan asupan energi siswa SMP yang obes dan tidak obes di Kota Lubuk Pakam. METODE Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional yaitu penelitian analitik yang mencari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dengan variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat. (Sastroasmoro dan Ismael, 2002). Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan metoda kuantitatif untuk mengukur hubungan antara citra tubuh dengan aktifitas fisik, asupan energi siswa SLTP yang obes dan tidak obes. Penelitian ini dilaksanakan di 10 SMP Kota Lubuk Pakam, yaitu SMP Negeri 1, SMP Negeri 2, SMP Negeri 3, SMP Trisakti, SMP Methodist, SMP RK Serdang Murni, SMP Nusantara, SMP Advent, SMP Nasional, SMP HKBP. Waktu penelitian 4 bulan yaitu pada bulan Agustus – November 2010 100 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah siswa-siswi SMP di kota Lubuk Pakam sebanyak 10 sekolah dengan jumlah siswa 4189 orang. Sampel adalah sejumlah siswa-siswi yang dari SLTP di Kota Lubuk Pakam baik yang obes maupun tidak obes, dihitung dengan rumus (Lemeshow et al., 1997): diperoleh jumlah sampel 66 orang Jenis dan Cara Pengumpulan Data Seluruh siswa SLTP dilakukan screening (diukur Tinggi Badan dan Berat Badannya, ditanyakan tanggal, bulan dan tahun lahir, kemudian dihitung indeks massa tubuhnya dan ditentukan status gizinya menggunakan baku antropometri NCHS CDC 2000. Tinggi Badan diukur dengan menggunakan alat pengukur Microtoise dengan ketelitian 0,1 cm, sedangkan Berat Badan ditimbang dengan menggunakan timbangan injak merk bathroom scale dengan kapasitas 120 kg, tingkat ketelitian 0,1 kg. Dari hasil screening diketahui sebanyak 198 siswa yang obes (4,73%), 325 siswa yang overweight (7,76%), 2174 siswa stats gizi baik (51,89%) dan 824 siswa yang status gizi buruk (19,67%). Kemudian dengan cara acak sederhana diambil sejumlah siswa obes sesuai besar sampel, sedangkan siswa yang tidak obes diambil sejumlah yang sama dengan cara pencocokan terhadap jenis kelamin, umur dan kelas. Data citra tubuh remaja dikumpulkan dengan cara memberikan kuesioner Penilaiaian Citra Tubuh yang telah dimodifikasi dan uji coba kepada responden dan responden mengisinya sesuai dengan petunjuk. Data aktifitas fisik, dikumpulkan dengan wawancara langsung dengan alat bantu kuesioner aktifitas fisik. Data asupan energi dilakukan dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner penelitian Food Frequency Questionnaire (FFQ). Data identitas dengan cara memberikan kuesioner kepada subyek penelitian dengan alat bantu kuesioner. Pengolahan dan Analisis Data Data hasil screening diolah menggunakan komputer. Data citra tubuh dijumlahkan dari 27 pertanyaan, sedangkan data aktifitas fisik dihitung sesuai dengan kegiatan yang dilakukannya, berapa lama (jam/menit) kemudian dikalikan dengan energi untuk berbagai aktifitas (Sunita, 2004). Data FFQ diolah dengan menggunakan Nutri Survey sehingga diketahui asupan energi. Digunakan uji statistik dengan derajat kemaknaan 95% dan p < 0,05. Analisis univariat dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsi untuk mengetahui karakteristik subyek penelitian. Analisis bivariat digunakan uji t dan untuk menguji hipotesis dengan uji chi-square. Hasil Penelitian Tabel 1. Karakteristik Siswa SMP pada Kelompok Obes dan Tidak Obes Variabel Suku o Melayu o Toba o Karo o Simalungun o Mandailing o Jawa o Minang o Tionghoa o Dll Jumlah Pendidikan Ayah o Tamat SD o Tamat SMP o Tamat SMA o Diploma1, 2, 3 o S1/D4 o S2 Jumlah Suku Ayah o Melayu o Toba o Karo o Simalungun o Mandailing o Jawa o Minang o Tionghoa o Dll Jumlah Pendidikan Ibu o Tamat SD o Tamat SMP o Tamat SMA o Diploma1, 2, 3 o S1/D4 o S2 Jumlah Suku Ibu o Melayu o Toba o Karo o Simalungun o Mandailing o Jawa o Minang o Tionghoa o Dll Jumlah Obes Tidak obes % p n % n 3 20 5 5 5 16 1 7 4 66 2,3 15,2 3,8 3,8 3,8 12,1 0,8 5,3 3,0 50,0 2 22 4 2 1 18 5 7 5 66 1,5 16,7 3,0 1,5 0,8 13,6 3,8 5,3 3,8 50,0 0,509 6 3 37 1 16 3 66 4,5 2,3 28 0,8 12,1 2,3 50,0 7 6 39 5 8 1 66 5,3 4,5 29,5 3,8 6,1 0,8 50,0 0,188 3 20 5 5 5 16 1 7 4 66 2,3 15,2 3,8 3,8 3,8 12,1 0,8 5,3 3,0 50,0 1 22 3 3 1 18 4 7 7 66 0,8 16,7 2,3 2,3 0,8 13,6 3,0 5,3 5,3 50,0 0,484 8 10 36 3 8 1 66 6,1 7,6 27,3 2,3 6,1 0,8 50,0 6 7 40 5 8 0 66 4,5 5,3 30,3 3,8 6,1 0 50,0 0,773 3 19 7 6 5 16 2 4 4 66 2,3 14,4 5,3 4,5 3,8 12,1 1,5 3,0 3,0 50,0 5 20 8 1 0 14 6 5 5 66 3,8 15,2 6,1 0,8 0 10,6 4,5 3,8 3,8 50,0 0,141 Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik sampel penelitian yaitu suku, pendidikan ayah, suku ayah, pendidikan ibu, suku ibu (P>0,05) (tabel 1). 101 Tabel 2. Karakteristik Siswa SMP pada Kelompok Obes dan Tidak Obes Obes Tidak Obes t p 12,91 (12,68 – 13,14) 11-15,50 12,92 (12,71 – 13,13) 11,50-15,00 0,048 0,962 29,09 (28,35 – 29,84) 23,2 – 37,2 17,72 (17,20 – 18,24) 11,1 – 24,6 25,02 <0,001 44,57 (43,27 – 45,86) 30 - 58 43,95 (42,54 – 45,36) 30 - 62 0,642 0,522 40,48 (39,03 – 41,94) 30 – 56 40,75 (39,42 – 42,09) 30 -55 0,272 0,786 Variabel Umur Siswa Mean (IK 95%) Min - Max Indeks Massa Tubuh Mean (IK 95%) Min - Max Umur Ayah Mean (IK 95%) Min - Max Umur Ibu Mean (IK 95%) Min - Max Pada tabel 2 dapat dilihat rata-rata (mean) umur siswa, umur ayah dan umur tidak perbedaan (P>0,05), Sedangkan Indeks Massa Tubuh ada perbedaan yang bermakna mean yang obes dan tidak obes (P<0,001), hal ini sesuai dengan cara pemilihan sampel yang disetarakan jenis kelamin, usia dan kelas. Citra Tubuh siswa SMP Lubuk Pakam Distribusi variabel penelitian yaitu citra tubuh tidak normal, sehingga untuk menentukan cut off digunakan mean siswa yang tidak obes dengan pembulatan ke desimal terdekat. Citra tubuh siswa SMP yang obes dan tidak obes dapat dilihat pada tabel 3. Ketidakpuasan berbeda secara bermakna antara siswa SMP yang obes dan tidak obes dengan nilai p<0,001. Remaja yang tidak obes berhubungan dengan kejadian ketidakpuasaan citra tubuhnya sebesar 2,42 kali. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ketidakpuasaan citra tubuh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini juga ditemukan dalam penelitian ini (tabel 4) ada perbedaan citra tubuh siswa Laki-laki dan perempuan. Maka dilakukan stratifikasi menurut jenis kelamin, siswa SMP laki-laki yang obes mempunyai peluang tidak puas sebesar 8 kali. Sedangkan siswa SMP Perempuan mempunyai peluang untuk tidak puas lebih rendah dibanding laki-laki yaitu sebesar 5,7 kali. OR1 dan OR2 berbeda, berarti ada interaksi statistic dan efek modifier. Crude OR (2,42) berbeda dengan OR “Mantel Haenszel” (6,7), maka jenis kelamin adalah confounder citra tubuh siswa SMP Tabel 3. Citra Tubuh Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes Citra Tubuh Siswa SMP Status siswa SMP Tidak Puas * Puas ** * Obes Tidak Obes 56 (42,4%) 81 (23,5%) 10 (7,6%) 35 (26,5%) Jumlah 87 (65,9%) 45 (34,1%) OR p 2,42 <0,001 Tidak puas : Skor Citra Tubuh 54 Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54 ** Tabel 4. Citra Tubuh Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes menurut Jenis Kelamin Citra Tubuh siswa SMP OR p Jenis Kelamin Tidak Puas ** Puas * Laki-laki Obes 24 (27,6%) 6 (13,3%) 8 <0,001 Tidak Obes 10 (11,5%) 20 (44,4%) Perempuan Obes 32 (36,8%) 4 (8,9%) 5,7 0,003 Tidak Obes 21 (24,1%) 15 (33,4%) Jumlah 87 (100%) 45 (100%) * Tidak puas : Skor Citra Tubuh 54 ** Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54 102 OR MH 6,7 Pada tabel 7 dapat dilihat siswa SMP yang tidak puas sebanyak 34,8% mempunyai aktifitas tinggi, hampir tidak berbeda jumlahnya dengan siswa SMP yang tidak puas mempunyai aktifitas normal yaitu sebanyak 31,1%. Hasil uji kai kuadrat menunjukkan tidak ad hubungan yang bermakna antara citra tubuh siswa SMP dengan aktifitas fisik (P>0,05). Pada tabel 8 terlihat siswa smp yang obes tidak puas dengan citra tubuhnya sebanyak 53% mempunyai aktifitas fisik tinggi dan ternyata 13,6% siswa obes yang puas dengan citra tubuhnya mempunyai aktifitas fisik yang tinggi. Tidak ada hubungan yang bermakna antara citra tubuh siswa smp yang obes dengan aktifitas fisik, demikian juga citra tubuh siswa smp yang tidak obes dengan aktifitas fisik. Asupan energi tidak berbeda secara bermana antara siswa SMP yang citra tubuhnya tidak puas dan puas dengan nilai p=0,21 (tabel 9). Pada tabel 10 terlihat siswa SMP yang obes tidak puas dengan citra tubuhnya sebanyak 63,6% mempunyai asupan energi ≥2711 Kkal dan 21,2% asupan energinya <2711 Kkal. Tidak ada hubungan yang bermakna antara citra tubuh siswa SMP yang obes dan tidak obes dengan asupan energi. Aktifitas Fisik siswa SMP kota Lubuk Pakam Distribusi variable penelitian yaitu aktifitas fisik tidak normal, sehingga untuk menentukan cut off digunakan mean siswa yang tidak obes dengan pembulatan ke desimal terdekat. Aktifitas fisik siswa SMP yang obes dan tidak obes dapat dilihat pada tabel 5. Pada tabel 5 dapat dilihat, siswa SMP yang obes punya peluang 3,7 kali untuk melakukan aktifitas berat yang setara dengan 563 Kkal per hari. Dari hasil uji kai kuadrat menunjukkan aktifitas fisik secara bermakna berbeda antara siswa yang obes dan tidak obes. Asupan Energi siswa SMP kota Lubuk Pakam Distribusi variabel penelitian yaitu asupan energi normal, maka seharusnya digunakan mean, tetapi mean terlalu besar dibandingkan dengan kecukupan rata-rata yang berlaku di Indonesia, sehingga untuk menentukan cut off digunakan mean siswa SMP yang tidak obes dengan pembulatan ke desimal terdekat. Asupan energi siswa SMP yang obes dan tidak obes dapat dilihat pada tabel 6. Asupan energi berbeda secara bermana antara siswa SMP yang obes dan tidak obes dengan nilai p=0,002. Siswa SMP yang obes berhubungan dengan kejadian asupan energy ≥2711 Kkal sebesar 3,1 kali (tabel 6). Tabel 5. Aktifitas Fisik Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes Status siswa SMP Obes Tidak Obes Jumlah Aktifitas fisik Siswa SMP Berat Normal 44 (33,3%) 23 (17,4%) 67 (50,7%) 22 (16,7%) 43 (32,6%) 65 (49,3%) OR p 3,7 <0,001 Tabel 6. Asupan Energi Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes Status siswa SMP Obes Tidak Obes Jumlah Asupan Energi Siswa SMP ≥2711 Kkal <2711 Kkal OR p 50 (37,9%) 33 (25%) 83 (62,9%) 3,1 0,002 16 (12,1%) 33 (25%) 49 (37,1%) Hubungan Citra Tubuh dengan Aktifitas Fisik dan Asupan Energi Tabel 7. Hubungan Citra Tubuh Siswa SMP dengan Aktifitas Fisik Citra Tubuh Siswa SMP Tinggi Tidak Puas* 46 (34,8%) Puas** 21 (15,9%) Jumlah 67 (50,7%) * Tidak puas : Skor Citra Tubuh 54 ** Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54 Aktifitas Fisik Normal 41 (31,1%) 24 (18,2%) 65 (49,3%) OR 1,28 p 0,499 103 Tabel 8. Hubungan Citra Tubuh Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes dengan Aktifitas Fisik Aktifitas Fisik Citra Tubuh Siswa SMP Tinggi OR p Normal Obes: Tidak Puas* Puas** Jumlah 35 (53%) 9 (13,6%) 44 (66,6%) 21 (31,8%) 1 (1,5%) 22 (33,3%) 0,19 0,146 Tidak Obes: Tidak Puas* Puas** Jumlah 11 (16,7%) 12 (18,2%) 23 (34,9%) 20 (30,3%) 23 (34,8%) 43 (65,1%) 1,05 0,919 * Tidak puas : Skor Citra Tubuh 54 Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54 ** Tabel 9. Hubungan Citra Tubuh Siswa SMP dengan Asupan Energi Asupan Energi ≥2711 Kkal <2711 Kkal 58 (43,9%) 29 (22%) 25 (18,9%) 20 (15,2%) Citra Tubuh Siswa SMP Tidak Puas* Puas** Jumlah * Tidak puas : Skor Citra Tubuh 54 ** Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54 83 (62,9%) OR p 1,6 0,21 49 (37,1%) Tabel 10. Hubungan Citra Tubuh Siswa SMP yang Obes dan Tidak Obes dengan Asupan Energi Citra Tubuh Siswa SMP Obes: Tidak Puas* Puas** Jumlah Asupan Energi ≥2711 Kkal <2711 Kkal 42 (63,6%) 8 (12,1%) 50 (75,8%) Tidak Obes: 16 (24,2%) Tidak Puas* 17 (25,8%) Puas** Jumlah 33 (50%) * Tidak puas : Skor Citra Tubuh 54 ** Puas : Skor Skor Citra Tubuh< 54 PEMBAHASAN Penelitian di Malaysia akhir-akhir ini menunjukkan prevalensi obes mencapai 13,8% pada kelompok umur 10 tahun, di Cina kurang lebih 10% anak sekolah mengalami obes, sedangkan di Jepang prevalensi obes pada anak umur 6-14 tahun berkisar antara 5-11% (Adiningsih, 2005). Di Yogyakarta diketahui bahwa 7,8% di perkotaan dan 2% remaja di pedesaan mengalami obesitas (Hadi, 2004). dan pada remaja SLTP di Surabaya sebesar 8,5% (Adiningsih, 2002). Riskesdas 2007 menemukan prevalensi secara nasional (usia 15 tahun keatas) BB lebih 8,8% dan obese 10,3%. Sedangkan prevalensi untuk Sumatera Utara BB lebih 10,7% dan obese 10,2%. Prevalensi obes pada penelitian ini yaitu 4,73% lebih rendah dibanding hasil penelitian lainnya, 104 OR p 14 (21,2%) 2 (3%) 16 (24,2%) 0,75 0,734 15 (22,7%) 18 (27,3%) 33 (50%) 1,13 0,805 kecuali penelitian di Yogyakarta daerah pedesaan. Sedangkan prevalensi overweight 7,76%. Tingginya prevalensi overweight harus dicegah agar tidak berubah menjadi obes. Yang menjadi sampel dalam penelitian ini jumlah sampel laki-laki dan perempuan hampir sama jumlahnya. Demikian juga karakteristik sampel penelitian yaitu suku siswa, umur siswa, suku ayah, umur ayah, pendidikan ayah, suku ibu, umur ibu, pendidikan ibu, tidak ada perbedaan (P>0,05). Body image dissatisfaction (BID) atau ketidaksukaan atas tubuh lebih sering dijumpai pada orang yang obes di bandingkan dengan bukan obes, dan lebih banyak terjadi pada perempuan obes dibandingkan dengan laki-laki obes (Cash, Winstead & Janda, 1986: Sarwer, Wadden & Foster, 1998 dalam Matz et al., 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian ini (tabel 4) lebih banyak siswa SMP yang obes yang tidak puas dengan citra tubuhnya. Tetapi hasil penelitian ini bertentangan dengan beberapa studi terdahulu yang mengatakan bahwa remaja perempuan lebih tidak puas terhadap tubuhnya dibanding remaja laki-laki. Pada penelitian ini siswa SMP laki-laki punya peluang 8 kali tidak puas sedangkan siswa SMP perempuan lebih rendah yaitu 5,7 kali. Remaja perempuan mempunyai kecenderungan untuk memilih tubuh yang langsing, tetapi remaja laki-laki memilih tubuh yang yang berotot. Christofer (2004) dari penelitiannya pada siswa SMU di Yogyakarta menyatakan terdapat perbedaan yang bermakna mengenai persepsi citra tubuh pada siswa laki-laki dan siswa perempuan. Matz (2002) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara citra tubuh dengan rasa percaya diri, ketidakpuasan citra tubuh bisa diatur oleh rasa percaya diri. Artinya dalam penelitian ini siswa SMP perempuan yang obes lebih percaya diri disbanding siswa SMP laki-laki yang obes. Disamping itu aktifitas fisik yang pada usia 11-14 tahun lebih dituntut untuk bergerak lincah dan aktif seperti futsal, sepakbola dan basket, membuat mereka menjadi obes dan overweight akan mempengaruhi mereka untuk bergerak lincah dan gesit, dan mungkin hal-hal inilah yang membuat mereka merasa kurang percaya diri. Duncan (2004) dari penelitiannya pada anak sekolah usia 11-14 tahun menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara citra tubuh dan aktifitas fisik. Dari penelitian ini diketahui siswa SMP yang obes punya peluang 3,7 kali untuk melakukan aktifitas berat yang setara dengan 563 Kkal per hari (tabel 5). Dari hasil uji kai kuadrat menunjukkan ada hubungan yang bermakna aktifitas siswa SMP yang obes dan tidak obes. Tetapi tidak ada hubungan citra tubuh siswa SMP dengan aktifitas fisik (tabel 7). Siswa SMP yang obes tidak puas dengan citra tubuhnya ternyata tidak membuat remja meningkatkan aktifitas fisiknya. Kemungkinan hal ini disebabkan kemajuan teknologi sekarang yang membuat siswa SMP lebih banyak duduk bermain komputer, bermain game dan bermain HP. Perhatian tentang berat badan dan ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh biasanya berhubungan dengan keinginan untuk merubah penampilan dengan cara membatasi pemasukan makanan dan teknik-teknik diet lainnya. Dari penelitian ini diketahui asupan energi berbeda secara bermana antara siswa SMP yang obes dan tidak obes dengan nilai p=0,002. Siswa SMP yang obes berhubungan dengan kejadian asupan energi ≥2711 Kkal sebesar 3,1 kali (tabel 6). Pada tabel 9 terlihat siswa SMP yang obes tidak puas dengan citra tubuhnya sebanyak 63,6% mempunyai asupan energi ≥2711 Kkal dan hanya 21,2% asupan energinya <2711 Kkal. Artinya siswa SMP yang obes yang tidak puas dengan citra tubuh tidak melakukan usaha mengurangi makanan atau diet, tetapi malah punya kecenderungan yang lebih besar untuk konsumsi makanan yang lebih banyak. Hal ini dimungkinkan juga bahwa siswa SMP tersebut mempunyai pengetahuan yang cukup bagaimana dan faktor apa yang bisa membuat tubuh bisa menjadi lebih kurus. Sedangkan bila dilihat dari tingkat seluler bahwa kecenderungan anak obes pada awalnya akan mempengaruhi hormone leptin yang merupakan regulator terpenting dalam keseimbangan energy tubuh. Mutasi gen-gen penyandi leptin dan sinyal transduksi tersebut akan mempengaruhi pengendali asupan makanan dan menjurus ke timbulnya obesitas (Indra, M.R). KESIMPULAN DAN SARAN Prevalensi obes siswa SMP Lubuk Pakam lebih rendah dibanding beberapa penelitian lain. Aktifitas fisik dan asupan energi berbeda secara bermakna antara siswa yang obes dan tidak obes. Tidak ada hubungan ketidakpuasaan citra tubuh siswa SMP dengan aktifitas fisik dan asupan energi. Tidak puas dengan citra tubuhnya ternyata tidak membuat remja meningkatkan aktifitas fisik dan mengurangi asupan energinya (makan). Berdasarkan kesimpulan tersebut maka disarankan, perlu pemberian motivasi kepada siswa obes yang tidak puas dengan citra tubuhnya agar meningkatkan aktifitas fisiknya dan mengurangi asupan energi (konsumsi makanan). Pemberian motivasi bisa melalui guru-guru sekolah atau orangtua. Berbagai pilihan aktifitas berat perlu disosialisasikan pada remaja obes agar dapat menyesuaikan kegiatan belajar dan kesempatan melakukan aktifitas berat. Bila dimungkinkan pendirian Centra Mitra Remaja Sehat pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, kerjasama Departemen Pendidikan dan Pengajaran dengan Departemen Kesehatan. Di tempat tersebut remaja obes bisa berkonsultasi dengan dokter, ahli gizi, instruktur olahraga dan psikolog untuk membicarakan masalahmasalahnya, juga bisa saling berbagi dengan teman-teman sebaya yang obes. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, Sri, 2002. Ukuran Pertumbuhan dan Status Gizi Remaja Awal. Dalam Prosiding Kongres Nasional Persagi dan Temu Ilmiah XII, Jakarta, Persagi. _______________ , 2005. Indonesia Nutritional Patttern in Cotributing Prevalence of Obesity. Buku Kumpulan Makalah Fourth Basic Molecular Biology Course in Patophysiology of Obesity. Burns. R.B. 1995. Konsep diri. Penerbit Arcan. Jakarta Hadi, Harnan. 2004. Obesitas pada Remaja Sebagai Ancaman Kesehatan Serius Dekade Mendatang. Center For Health Nutrition. Fakultas Kedoteran Universitas Gajah Mada, Seminar Obes Pada Remaja, Yogjakarta. Sabtu, 11 September 2004. Indra, M. Rasjad. 2005. Dasar Genetik Obesitas Visceral. Buku Kumpulan Makalah Fourth Basic Molecular Biology Course in Patophysiology of Obesity. Gamayanti, Indria Laksmi. 2004. Aspek Psikologis Obesitas Remaja.Center For Health Nutrition. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, 105 Seminar Pada Obesitas Remaja. Yogyakarta. Sabtu 11 September 2004. Gill, T.P.,1999. The Global Epidemic of Obesity. Am J. Clin Nutr 8 (1), 75-81. Mahdiah, (2004). Prevalensi Obesitas dan Hubungan Konsumsi Fast Food Dengan Kejadian Obesitas Pada Remaja SLTP Kota dan Desa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada. Metcalf P.A., Scragg R.K.R., Willoughby P., Finau S., Tipene L. , 2000. Ethnic Differences in Perceptions of Body Size in Middle-aged European, Maori, and Pasicific People Living in New Zealand. Int J Obes , 24, 593-599. Sjarif, D.R.,2003. Child Hood Obesity: Evaluation and Management Naskah Lengkap National Obesity Symposium II, Perkeni, DNC, Surabaya. Rahayuniningsih, Sri, Purwati Susi, Salimar. 2000. Menu Untuk Penderita Kegemukan. Bogor. 106 Septiyadi,Egy.2004.Terapi obesitas dengan diet.Restu Agung. Jakarta Sjarif DR. Obesity in Child Hoods. Pathogenesis and Management. Pada Tjokroprawiro A, hendromartono, Ari S, Hans T, Agung P, Sri M, editors. Naska lengkap National Obesity Symposium II, 20-21 Juni 2003: Surabaya. Perkeni, DNC. P. 155-170. Tarigan, Novriani, Hamam Hadi, Madarina Julia. 2005. Persepsi Citra Tubuh Dan Kendala Untuk Menurunkan Berat Badan Pada Remaja Di Kota Yogjakarta dan Kabupaten Bantul. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol 2 No.1. Program Studi Ilmu Gizi Kesehatan, FK UGM Yogyakarta. Wirawan, E. Henny. M. Hum, Psi. 2004. Hubungan antara Obesitas Dengan Harga Diri ( Selfesstem) Pada Remaja Putri. Jakarta. UNDANGAN MENULIS DI JURNAL POLTEKKES MEDAN Redaktur Jurnal Poltekkes Medan mengundang para pembaca untuk menulis di jurnal ini. Tulisan ilmiah yang dimuat adalah berupa hasil penelitian atau pemikiran konseptual dalam lingkup kesehatan. Persyaratan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Tulisan adalah naskah asli yang belum pernah dipublikasikan. 2. Tulisan disertai abstrak, ditulis satu spasi dengan bahasa Indonesia, maksimal 200 kata. 3. Kata kunci (keywords) minimal dua kata, ditulis di bawah abstrak. 4. Setiap naskah memiliki sistematika sub judul pendahuluan, diikuti oleh beberapa sub judul lain dan berakhir dengan sub judul penutup atau simpulan. 5. Naskah diketik rapi dua spasi dalam bahasa Indonesia atau Inggris, font: Times New Roman, size: 12, format: A4 justify. 6. Panjang naskah minimal delapan dan maksimal 18 halaman, termasuk rujukan. 7. Sistem rujukan adalah yang lazim digunakan dalam tulisan ilmiah, dengan konsistensinya. 8. Sumber rujukan/kutipan dimasukkan dalam tulisan (tanpa footnote) 9. Tulisan dikirim dalam CD, disertai print out-nya satu eksemplar, atau dikirim lewat E-mail. 10. Redaktur berhak mengedit dengan tidak merubah isi dan maksud tulisan. 11. Redaksi memberikan hasil cetak sebanyak satu eksemplar bagi penulis. 12. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan bila dalam pengirimannya disertakan perangko pengembalian, atau diambil langsung dari redaktur. 107