3 yang tersebar jumlahnya. Salah satunya adalah penggunaan lahan pada tanah timbul atau tanah wedi kengser yang biasanya terdapat di sekitar wilayah bantaran sungai. Tanah wedi kengser merupakan sumber daya alam baru yang secara ekonomis berpotensi untuk usaha di bidang pertanian. Kondisi jumlah tanah saat ini relatif tetap, sementara keperluan tersedianya tanah bagi pelaksanaan pembangunan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan tanah mempunyai nilai dan arti yang sangat vital bagi berbagai pelaksanaan pembangunan. Harus diakui bahwa hal tersebut akan memunculkan pula berbagai kompleksitas permasalahan pertanahan. Keberadaan atau kemunculan tanah wedi kengser sering menjadi rebutan oleh berbagai pihak yang berkepentingan di desa maupun di kota-kota, baik di kalangan petani, swasta maupun pemerintah. Seperti kasus di Cilacap, Solidaritas Warga Wetan Serayu (SWWS) meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Cilacap untuk segera melakukan sertifikasi terhadap puluhan hektar tanah timbul di Desa Karangrena, Maos. Selama ini tanah itu dibiarkan tanpa status kepemilikan, dan ini dinilai membuka peluang konflik antar warga. Ketua SWWS Kabupaten Cilacap, Budi Sudarmono mengungkapkan, saat ini banyak warga yang telah memanfaatkan tanah timbul untuk usaha dan lahan pertanian. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani penggarap. Bahkan saking lamanya menggarap tanah di sana, banyak yang akhirnya telah memiliki surat pethuk (semacam surat kepemilikan tanah zaman dahulu yang dikeluarkan oleh desa, red). Jika ini terus dibiarkan, dikhawatirkan dapat menimbulkan sengketa antar warga.4 Di lain daerah dimana Sekitar 200 orang yang sebagian besar mengaku petani di tanah timbul Cilacap Barat unjuk rasa ke DPRD. 4 “Warga Minta Tanah Timbul Serayu Disertifikasi”, Wawasan, 19 Oktober 2007 4 Peara petani tersebut menuntut agar tanah timbul di Desa Sidaurip, Kecamatan Gandrungmangu untuk dibagikan kepada para petani.” Banyak petani yang membutuhkan tanah. Kami minta tanah timbul yang sudah kami olah sejak lama diberikan,” kata Hartono, salah seorang peserta unjuk rasa. Pemerintah seharusnya memikirkan bagaimana agar petani bisa bertahan di tengah kesulitan. Selain itu tanah timbul yang telah lama dikerjakan para petani tersebut diklaim sebagai tanah milik BUMN.5 Permasalahan tanah timbul yang rawan konflik juga dikarenakan faktor perbedaan presepsi tentang penguasan tanah timbul antara pemerintah dan masyarakat yang menguasai tanah timbul tersebut. Salah satu contohnya adalah yang tepatnya terjadi di Desa Banaran, Galur Kabupaten Kulon Progo dengan Desa Trimurti, Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Perbedaan pandangan ini karena masyarakat desa yang menguasai tanah timbul di Sungai Progo merasa berhak mengenai tanah timbul dengan alasan hak penguasaan atas tanah timbul Sungai Progo diakui oleh hukum kebiasaan dan sudah dikuasai secara turun temurun. Di sisi lain, mereka oleh pemerintah dianggap telah menggarap tanah timbul Sungai Progo yang digolongkan sebagai Tanah Negara tanpa dilandasi alas hukum yang sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atas Kuasanya. 6 Di Kota Yogyakarta sendiri pemanfaatan tanah wedi kengser di pinggiran Sungai Code untuk tempat tinggal merupakan salah satu akibat dari perkembangan 5 ”Petani Tuntut Pembagian Tanah Timbul”, Suara Merdeka, 12 Juni 2008 Dedi Baratayuda,”Status Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul Sungai Progo oleh Masyarakat di Perbatasan Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul”, Tesis, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2004, hlm 5. 6 5 penduduk baik karena kelahiran maupun karena urbanisasi. Perkembangan penduduk di Kota Yogyakarta karena kelahiran atau karena urbanisasi tersebut berdampak langsung terhadap pola pemukiman penduduk di sepanjang Sungai Code adalah munculnya pemukiman kumuh.7 Tanah wedi kengser yang ada di pinggiran Sungai Code dalam Rencana Tata Ruang Kota Yogyakarta ditetapkan sebagai area bantaran sungai yang berfungsi untuk kepentingan umum yaitu untuk menjaga kelestarian lingkungan, mencegah bahaya banjir, dan menciptakan pemukiman yang layak dan sehat. Hal ini adalah sesuai dengan tujuan penatagunaan tanah dalam PP No. 16 Tahun 2004. Menurut ketentuan Pasal 3 PP Nomor 35 Tahun 1991 bahwa sungai dikuasai oleh negara yang pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum, dan status tanah wedi kengser merupakan tanah negara karena masih dalam lingkungan bantaran sungai. Seseorang yang menguasai tanah wedi kengser berarti melanggar ketentuan UU Nomor 51 PRP tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya. Hal ini sudah ada larangan untuk membangun pemukiman di atas tanah wedi kengser yang ada di bantaran sungai. Namun kenyataan yang ada di lapangan8 menunjukkan tanah wedi kengser yang ada dipinggiran Sungai Code sebagian berstatus sebagai tanah milik dengan bukti sertipikat hak milik, sebagian yang lain berstatus Hak Pakai, maupun Hak Guna Bangunan, bahkan ada yang tidak punya tanda bukti apapun. 7 Nurhasan Ismail, ,”Pengelolaan Tanah Dan Lingkungan Perkotaan”, Mimbar Hukum, Edisi khusus No.39/X/2001, 2001, hlm 73. 8 Sulastriyono, Sri Natin, dan Rafael Edy Bosco, “Pola Penguasaan dan Upaya Penataan Lingkungan Tanah WediKengser di Tepi Sungai Code Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, Mimbar Hukum, Edisi Oktober, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2003, hlm. 69 6 Berdasarkan Pra penelitian9, yang penulis lakukan pihak Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta sedang berusaha untuk melakukan program penguatan hak atas tanah kepada masyarakat yang menempati tanah wedikengser agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum hak atas tanahnya. Hal tersebut sesuai dengan konsep dasar penguatan hak tanah, yaitu tanah dipakai untuk mensejahterakan rakyat dan memiliki fungsi sosial yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta merupakan salah satu bagian dari agenda Reformasi Agraria. Sebagai tindak lanjutnya, Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta pernah melakukan sosialisasi di beberapa wilayah, antara lain dalam acara Remboeg Kampoeng 10 yang digagas Bernas Jogja-Dji Sam Soe di RW 12 Prawirodirjan yang ada di kawasan wedi kengser di bantaran Kali Code, penguatan hak atas tanah yang warga tempati selama ini menjadi hal yang mereka idam-idamkan. Di sisi lain tentang penguatan hak atas tanah wedi kengser ini harus tetap memperhatikan aturan yang berkaitan, seperti PP Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai, PP Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam Surat Edaran Mennag /Ka. BPN Nomor: 410-1293/1996 Tentang Penertiban Status Tanah Timbul Dan Reklamasi, tanah bantaran sungai yang merupakan tanah timbul sepanjang menyangkut mengenai penguasaan, pemilikan, serta penggunaannya diatur oleh Menteri Negara Agraria, namun sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah atau peraturan daerah yang secara khusus mengatur tentang wedi kengser. Hanya saja secara implisit diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Permeneg Agraria/Ka. 9 Sebelum penulisan tesis ini, penulis melakukan pra penelitian terlebih dahulu di Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta pada 12 Juni 2009. 10 ”Warga "Wedi Kengser" Minta Penguatan Hak Tanah”, Harian Bernas Jogja, 22 Agustus 2008 7 BPN No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara 11. Dalam kaitan ini, tak menutup kemungkinan menimbulkan konflik antar instansi antara pihak BPN dengan Dinas Pengairan, Dinas Perijinan, Dinas Kimpraswil, atau konflik antara pemerintah dengan masyarakat yang menguasai tanah wedi kengser yang tidak bisa mendapatkan penguatan hak. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: “ KEPASTIAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT YANG MENGUASAI TANAH WEDI KENGSER (TANAH TIMBUL) OLEH PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA”. B. Perumusan Masalah Penulis merasa perlu untuk meneliti hal tersebut lebih rinci dan agar permasalahan lebih terfokus dan terarah, penulis akan merumuskan permasalahanpermasalahan : 1. Apakah masyarakat telah mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan hukum atas penguasaan tanah wedi kengser di Kota Yogyakarta? 2. Kendala apa sajakah yang dihadapi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang menguasai tanah wedikengser 3. Upaya apa saja yang telah dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mengatasi kendala-kendala tersebut? 11 Nurhasan Ismail, 2007, Perkembangan Hukum Pertanahan (Pendekatan Ekonomi-Politik), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Jakarta, hlm 182. 8 C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis, ada beberapa penelitian Tesis yang pernah dilakukan dengan materi kajian tentang tanah timbul atau tanah wedi kengser diantaranya yaitu: 1. Tesis tentang Konflik Penguasaan Tanah Timbul Di Muara Sungai Progo Dan Proses Penyelesaiannya (Kasus Penguasaan Tanah Timbul oleh Para Petani di Muara Sungai Progo: Desa Poncosari, Kabupaten Bantul, D.I.Y), yang disusun oleh Sulastriyono Tahun 199712. Dalam tesis tersebut peneliti memandang secara Antropologi mengenai sengketa tanah timbul yang dikuasai masyarakat dengan fokus permasalahanya adalah: 1) Faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab konflik atau sengketa antara para petani dengan aparat pemerintah desa Poncosari? 2) Upaya apa saja yang dilakukan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa tersebut? 2. Tesis tentang Status Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul Sungai Progo oleh Masyarakat di Perbatasan Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul, yang disusun oleh Dedi Batarayuda pada tahun 200413. Fokus permasalahan yang ada dalam tesis tersebut adalah: 1) Bagaimana status penguasaan dan pemilikan tanah timbul Sungai Progo oleh masyarakat. 12 Sulastriyono,”Sengketa Penguasaan Tanah Timbul Di Muara Sungai Progo Dan Proses Penyelesaiannya (Kasus Penguasaan Tanah Timbul oleh Para Petani di Muara Sungai Progo: Desa Poncosari, Kabupaten Bantul, D.I.Y)”, Tesis, Pascasarjana, Program Studi Antropologi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1997. 13 Dedi Batarayuda, “Status Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul Sungai Progo oleh Masyarakat di Perbatasan Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul”, Tesis, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2004. 9 2) Faktor-faktor yang menyebabkan keengganan masyarakat di perbatasan Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul untuk mengajukan permohonan status penguasaan tanah timbul yang mereka kuasai. 3. Tesis tentang Tinjauan Yuridis Kepemilikan Tanah Bantaran (Lidah Tanah) Pada Danau Limboto Propinsi Gorontalo yang disusun oleh Kaharudin Kamaru pada tahun 200814. Di dalam Tesis tersebut memfokuskan pokok-pokok permasalahan tentang: 1) Bagaimana status kepemilikan tanah oleh masyarakat pada Danau Limboto menurut UUPA 2) Bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam penggunaan, penguasaan dan kepemilikan tanah bantaran pada Danau Limboto. Namun penelitian yang akan dilakukan penulis berbeda dengan penelitianpenelitian tersebut. Pada penelitian ini penulis meneliti tentang Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat yang Menguasai Tanah Wedi Kengser oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dengan fokus bahasan tentang bagaimanakah kepastian dan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang menguasai tanah wedi kengser selama ini dan kendala apa saja yang dihadapi pemerintah Kota Yogyakarta dalam memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat serta upaya untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Tulisan dalam penelitian hukum tesis ini asli dan seandainya ada yang pernah mengangkat pokok bahasan yang serupa maka hal tersebut bukanlah suatu 14 Kaharudin Kamaru,“Tinjauan Yuridis Kepemilikan Tanah Bantaran (Lidah Tanah) Pada Danau Limboto Propinsi Gorontalo”, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2008. 10 kesengajaan. Dari hasil penelitian ini semoga dapat dijadikan pelengkap atau literatur tambahan dari hasil penelitian terdahulu. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah diatas, ada tujuan objektif dan subjektif yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini, yakni: 1. Tujuan Objektif dari penelitian ini adalah: a. Mengetahui dan menganalisis kepastian hukum yang diperoleh masyarakat yang mengusai tanah wedi kengser di Kota Yogyakarta, yakni kepastian hukum mengenai siapa saja yang berhak untuk mengusai tanah wedi kengser, mengenai objek tanah berkenaan dengan letak, luas, batas penguasaan tanah wedi kengser, dan mengenai status hak atas tanahnya, serta mengetahui adanya perlindungan hukum yang sudah dirasakan masyarakat. Hal ini terkait dengan adanya pemberian alat bukti dengan bentuk tertulis ataupun pengakuan dari Pemerintah Desa setempat, adakah gugatan dari pihak lain atau tidak. b. Mengetahui dan menganalisis kendala apa sajakah yang dihadapi dari masyarakat memberikan sendiri maupun kepastian hukum Pemerintah dan Kota perlindungan Yogyakarta hukum dalam terhadap masyarakat yang mengusai tanah wedi kengser, c. Mengetahui dan menganalisis upaya apa saja yang telah dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. 11 2. Tujuan Subjektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi syarat dalam mencapai gelar pendidikan S2 (M.Kn) pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini secara teoritis maupun praktis adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkenaan dengan pertanahan. 2. Manfaat Praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat memberikan masukan yang berguna bagi pihak-pihak yang terkait dalam hal memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang menguasai tanah wedi kengser khususnya di Kota Yogyakarta.