STUDI TUTUPAN DAN KERAPATAN LAMUN DI DESA SITARDAS KECAMATAN BADIRI KABUPATEN TAPANULI TENGAH (Study of Seagrass Coverage and Density at Sitardas Village Badiri Subdistrict Tapanuli Tengah Distric) Amos Christoper Meliala1, Hasan Sitorus2, Zulham Apandy Harahap2 1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, (Email : [email protected]) 2 Staf Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia 20155 ABSTRACT Research was carried out at the Sitardas Village, Badiri Subdistrict, Tapanuli Tengah District on April 2016. The research aim were to know covered percentage and density of seagrass at Sitardas Village, Tapanuli Tengah District. Seagrass observations using transect quadratic method. In this research, found 4 species of seagrass consist of Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata and Halophila ovalis. Physical-chemical parameter of waters obtained temperature ranges 28-29°C, water depth ranges 50-95 cm, salinity ranges 27-29 ppt, pH ranges 7.8-8.0, speed of water flow ranges 0.10-0.70 m/s, DO ranges 5.1-6.4 mg/l and water transparency was 100%. Type of substrates obtained were loam sandy, silty loam and sandy loam. The mean seagrass covered percentage was 5.24%, Seagrass covered percentage per species obtained Enhalus acoroides was 4.99%, Cymodocea serrulata was 0.19%, Cymodocea rotundata was 0.06% and Halophila ovalis was 0%. Seagrass density of each spesies were Enhalus acoroides 26 individual/m², Cymodocea serrulata 5 individual/m², Cymodocea rotundata 3 individual/m² and Halophila ovalis 2 individual/m². Dispersial pattern seagrass Enhalus acoroides and Cymodocea serrulata was uniform while Cymodocea rotundata and Halophila ovalis was clumped. Keywords: Covered percentage, Density, Seagrass, Sitardas Village rentan terhadap gangguan alam dan kegiatan manusia (Solihin, dkk., 2014). Padang lamun merupakan sumber daya laut yang cukup potensial untuk dimanfaatkan, dan secara ekologi, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah pesisir (Pratiwi, 2010). Padang lamun memiliki produktivitas sekunder dan dukungan yang besar terhadap kelimpahan dan keragaman ikan. Padang lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan (Rappe, 2010). Mengacu pada fungsi ekologis yang begitu besar, disertai pula dengan fungsi ekonomisnya yang tinggi, maka padang lamun mampu menunjang PENDAHULUAN Lamun (Seagrass) adalah satusatunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai yang dangkal Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya (alga dan rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Lamun juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara (Romimohtarto dan Juwana, 2009). Ekosistem padang lamun Indonesia kurang dipelajari dibanding terumbu karang dan mangrove. Tetapi berdasarkan berbagai indikasi, padang lamun juga 1 perekonomian lokal maupun nasional (Poedjirahajoe, dkk., 2013). Penurunan luas padang lamun di dunia merupakan akibat dari tekanan lingkungan baik alami maupun hasil aktivitas manusia (Riniatsih dan Endrawati, 2013). Faktor alami tersebut antara lain gelombang atau arus kuat, badai, gempa bumi, dan tsunami. Kegiatan manusia yang berkontribusi terhadap penurunan area padang lamun adalah reklamasi pantai, pengerukan, penambangan pasir, dan pencemaran perairan (COREMAP-LIPI, 2014). Desa Sitardas, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanul Tengah merupakan salah satu lokasi Konservasi Terumbu Karang dan memiliki hamparan lamun. Perlunya mengetahui nilai tutupan dan kerapatan lamun di Desa Sitardas agar dilakukan pengelolaan padang lamun di wilayah pesisir Desa Sitardas. Deskripsi Area Lokasi penelitian dan pengambilan sampel berada di Desa Sitardas, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi adalah purposive sampling yang dibagi menjadi 3 stasiun yang berbeda berdasarkan aktivitas warga pada masingmasing stasiun. Stasiun I Stasiun ini merupakan daerah Pantai Monyet. Pada lokasi ini terdapat hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Warga biasanya menangkap ikan dan udang di daerah pantai Monyet. Stasiun I terletak pada koordinat 1°34’10,85”LU dan 98°46’48,21”BT. Stasiun II Stasiun ini merupakan daerah pemukiman warga Dusun Kampung Sawah, Desa Sitardas, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah. Jarak lokasi ini dengan pantai Monyet sekitar 1,5 km. Stasiun II terletak pada koordinat 1°33’16,96” LU dan 98°46’32,22” BT. Stasiun III Stasiun ini merupakan daerah pantai Kerambi Sabatang yang berjarak sekitar 2,5 km dari pemukiman. Lokasi ini merupakan kawasan konservasi terumbu karang yang terdapat hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Stasiun III terletak pada koordinat 1°38’18,87” LU dan 98°45’5,93” BT. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2016, di Desa Sitardas, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. Identifikasi jenis lamun dilakukan langsung di lapangan. Untuk analisis sampel subtrat dilakukan di Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah Global Positioning System (GPS), underwater camera, roll meter, kuadrat berukuran 50x50 cm², spidol, termometer, DO meter, refaktometer, bola duga, stopwatch, pH meter, secchi disk, meteran, sekop, dan buku identifikasi lamun (KLH, 2014). Bahan yang digunakan software Microsoft excel, plastik kantongan, sampel lamun, sampel air, sampel subtrat . 2 Pengamatan Lamun Pengambilan data setiap stasiun dilakukan pada tiga transek dengan panjang masing-masing 100 m dan jarak kuadrat antara satu transek yaitu 50 m sehingga total luasannya 100x100 m2. Jarak antara kuadrat satu dengan yang lainya adalah 10 m. Titik awal transek diletakan pada pertama kali lamun dijumpai dari arah pantai. Pada penilaian tutupan lamun minimal lamun menutupi kuadrat ¼ kotak dan kelipatannya sampai memenuhi kotak kuadrat yang tertera pada Tabel 2. 100 m dst 50 m 10 m 0m Gambar 2. Skema Transek Kuadrat di Padang Lamun 50 cm Pengukuran Kualitas Air Pengambilan data kualitas air dilakukan hanya sekali sebelum transek lamun dilakukan. Pengukuran kualitas air menggunakan alat yang disediakan. Substrat yang dianalisis di Laboratorium. Pengukuran parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1. 25 cm 25 cm 50 cm 25 cm Gambar 3. Kuadrat Transek Tabel 1. Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan Parameter Satuan Alat Fisika Suhu Termometer °C Kedalaman Perairan cm Meteran Kecerahan % Secchi disk Substrat Sekop Salinitas ppt Refaktometer Arus m/detik Bola duga Kimia pH pH meter DO mg/l DO meter Analisis Data Perhitungan kerapatan dan tutupan lamun menggunakan metode ditetapkan COREMAP-LIPI (2014) lalu diolah menggunakan perangkat Microsoft Excel. Dengan tahap mencari tutupan per kuadrat, per stasiun, hingga per lokasi, begitu juga dalam menentukan kerapatan lamun. Tempat Analisis In situ In situ In situ Ex situ In situ In situ In situ In situ Menghitung Penutupan Lamun dalam Satu Kuadrat Persentase penutupan lamun dalam satu kuadrat adalah menjumlah nilai penutupan lamun pada setiap kotak kecil dalam kuadrat dan membaginya dengan jumlah kotak kecil yaitu 4. Rumus menghitung persentase tutupan lamun 3 dalam kotak kecil penyusun kuadrat adalah sebagai berikut: Menghitung Rata-rata Penutupan Lamun per Lokasi Cara menghitung rata-rata penutupan lamun per lokasi/pulau adalah menjumlah rata-rata penutupan lamun setiap stasiun kemudian dibagi dengan jumlah stasiun pada lokasi/pulau tersebut. Perhitungan rata-rata penutupan lamun per lokasi menggunakan perangkat Microsoft excel menggunakan rumus: Tabel 2. Penilaian persentase penutupan Lamun dalam Kuadrat Nilai Penutupan Kategori Lamun (%) Penuh 100 ¾ kotak kecil 75 ½ kotak kecil 50 ¼ kotak kecil 25 Kosong 0 Sumber: COREMAP-LIPI (2014). Menghitung Rata-rata Penutupan Lamun per stasiun Cara menghitung rata-rata penutupan lamun per stasiun adalah menjumlahkan penutupan lamun setiap kuadrat pada seluruh transek di dalam satu stasiun kemudian dibagi dalam jumlah kuadrat pada stasiun tersebut. Perhitungan penutupan lamun per stasiun menggunakan sebagai berikut : Tabel 3. Kategori Tutupan Lamun Persentase Penutupan Kategori (%) 0-25 Jarang 26-50 Sedang 51-75 Padat Sangat 76-100 Padat Sumber:COREMAP-LIPI (2014) Kerapatan Lamun Kerapatan lamun merupakan jumlah jenis/tegakan lamun per satuan luas. Kerapatan jenis lamun dihitung menggunakan rumus: Menghitung Penutupan Lamun per Jenis pada Satu Stasiun Cara menghitung penutupan lamun per jenis dalam satu stasiun adalah menjumlah nilai presentase penutupan setiap jenis lamun pada kuadrat seluruh transek dan membaginya dengan jumlah kuadrat pada stasiun tersebut. Perhitungan dilakukan untuk setiap jenis lamun yang terdapat di stasiun tersebut. Perhitungan penutupan lamun per jenis satu menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: Kerapatan Lamun = Jumlah jenis/tegakan lamun per satuan luas (Individu/m²) Angka 4 = Konstanta untuk konversi 50x50 ²cm ke 1 m² 4 segitiga, dan memiliki akar serabut. Menurut Waycott, dkk (2004) klasifikasi dari spesies ini adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Angiospermae Kelas : Liliopsida Ordo : Potamogetonales Famili : Potamogetonaceae Genus : Cymodocea Species : Cymodocea serrulata Pola Pemencaran Lamun Pola pemencaran lamun dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Dispersi. Menurut Brower, dkk., (1998), rumus dari Pola Pemencaran Lamun adalah sebagai berikut: ( ) Cymodocea rotundata Tumbuhan ini hampir sama dengan Cymodocea serrulata tapi ukurannya lebih kecil dan helai daunnya sempit. Adapun klasifikasi dari tumbuhan ini menurut Waycott, dkk (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Angiospermae Kelas : Liliopsida Ordo : Potamogetonales Famili : Potamogetonaceae Genus : Cymodocea Species : Cymodocea rotundata Keterangan: Id = Indeks Dispersi Morista n = Jumlah plot contoh Xi = Jumlah individi setiap kuadrat N = Jumlah individu n plot Menurut Brower, dkk., (1998), pemencaran individu lamun mempunyai nilai dan kriteria sebagai berikut : Id<1 = Seragam Id=1 = Acak N = Mengelompok HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-jenis Lamun Adapun jenis-jenis lamun yang diperoleh pada perairan laut Desa Sitardas adalah sebagai berikut: Halophila ovalis Jenis lamun ini memiliki helai daun kecil berbentuk oval, jumlah daun melintang ada 10 dan permukaan daun tidak berambut. Menurut Waycott, dkk (2004) klasifikasi dari spesies ini adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Angiospermae Kelas : Liliopsida Ordo : Hidrocharitales Famili : Hydrocharitaceae Genus : Halophila Species : Halophila ovalis Enhalus acoroides Tumbuhan ini memiliki daun panjang berbentuk seperti pita, mempunyai rimpang yang tebal, akarnya sperti tali dan memiliki serabut di rhizome. Adapun klasifikasi dari tumbuhan ini menurut Waycott, dkk (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Angiospermae Kelas : Liliopsida Ordo : Hidrocharitales Famili : Hydrocharitaceae Genus : Enhalus Species : Enhalus acoroides Parameter Fisika-Kimia PPerairan Secara umum lokasi sampling merupakan perairan laut dangkal dengan kedalaman dibawah 1 meter, dan hal ini mendukung dalam pelaksanaan transek lamun. Stasiun I memiliki kedalaman 92 cm, stasiun II 50 cm dan stasiun III 95 cm. Menurut Supriharyono (2007), tumbuhan lamun biasanya tumbuh di laut yang Cymodocea serrulata Spesies ini terlihat seperti rumput ditaman. Seludang daun berbentuk 5 dangkal, karena membutuhkan cahaya yang sangat banyak untuk mempertahankan populasinya. Suhu perairan diukur dengan termometer. Suhu pada stasiun I dan stasiun III memiliki nilai suhu sama yaitu 29°C, sedangkan pada stasiun II memiliki suhu 28°C. Menurut Wirawan (2014), suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap ekosistem lamun, karena suhu mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi lamun. Perubahan suhu mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada kisaran suhu 25-30°C fotosintesis bersih pada lamun akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Suhu perairan Desa Sitardas, Kabupaten Tapanuli Tengah mendukung kehidupan lamun yakni 2829°C. Kecerahan perairan pada semua stasiun adalah 100%, hal ini karena cahaya matahari mencapai dasar perairan. Menurut Supriharyono (2007), penetrasi cahaya matahari atau kecerahan adalah penting sekali bagi tumbuhan lamun. Tumbuhan lamun biasanya tumbuh di laut yang sangat dangkal, karena membutuhkan cahaya untuk proses fotosintesis. Salinitas pada stasiun I dan stasiun III memiliki nilai sama yaitu 29 ppt, sedangkan pada stasiun II memiliki nilai 28 ppt. Menurut Wirawan (2014), kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan lamun adalah 10-40 ppt dan nilai optimumnya adalah 35 ppt. Supriharyono (2007) menyatakan bahwa fase pembungaan tumbuhan lamun kisaran salinitas yang baik adalah antara 28-32 ppt. Nilai salinitas di lokasi penelitian sangat mendukung kehidupan lamun. Kecepatan arus air pada stasiun I memiliki nilai 0,11 m/detik, stasiun II memiliki nilai 0,7 m/detik dan pada stasiun III memiliki nilai 0,10 m/detik. Menurut Amri, dkk (2011), arus membuat kolom air tercampur dengan baik, mempengaruhi sebaran suhu atau salinitas, membawa nutrien dan membawa pasokan oksigen ke perairan yang lebih dalam. Arus yang berkurang kecepatannya dapat mempertahankan sedimen yang menempel pada daun lamun sehingga mengurangi daya daun untuk menyerap cahaya matahari yang dibutuhkan lamun Menurut Nur (2011), padang lamun mempunyai kemampuan maksimum menghasilkan ”standing crop” pada saat kecepatan arus 0,5 m/detik. Derajat keasaman (pH) air di stasiun I sedikit lebih tinggi dibandikan stasiun II dan III. Pada stasiun I pH air 8,0 sedangkan stasiun II dan stasiun III memiliki nilai pH sama yaitu 7,8. Menurut Tahril, dkk (2011), kisaran derajat keasaman air untuk pertumbuhan lamun berkisar 7,3– 9,0. Stasiun I mempunyai substrat pasir berlempung. Pada stasiun II mempunyai substrat lempung berdebu dan pada stasiun III mempunyai substrat lempung berpasir. Menurut Kiswara dan Hutomo (1985), berdasarkan karakteristik tipe substratnya, padang lamun di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam kategori yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur (lempung), pasir berlumpur (pasir berlempung), pasir, lumpur berpasir (lempung berpasir), puing-puing karang. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 6,4 mg/l hal ini, sedangkan nilai DO terendah terdapat pada stasiun II yaitu 5,1 mg/l dan stasiun III memilik nilai DO 5,5 mg/l. Pada stasiun I memiliki nilai kerapatan lamun tertinggi sehingga menghasilkan oksigen tertinggi dari proses fotosintesis lamun dan fitoplankton, sedangkan nilai DO terendah terdapat pada stasiun II hal ini diduga karena limbah domestik berasal dari pemukiman warga. 6 a b c d Gambar 4. Jenis-jenis Lamun di Perairan Laut Desa Sitardas a. Enhalus acoroides, b. Cymodocea serrulata, c. Cymodocea rotundata, d. Halophila ovalis Tabel 4. Parameter Fisika-Kimia Perairan di Desa Sitardas. Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III Kedalaman (cm) 92 50 95 Suhu (°C) 29 28 29 Kecerahan (%) 100 100 100 Salinitas (ppt) 29 27 29 Substrat Pasir berlempung Lempung berdebu Lempung berpasir Arus (m/detik) 0,11 0,70 0,10 pH 8,0 7,8 7,8 DO (mg/l) 6,4 5,1 5,5 Tutupan Tutupa Lamun dan Kerapatan Lamun Tabel 5. Persentase Tutupan Total Lamun di Desa Sitardas. Stasiun Lokasi Tutupan Lamun (%) I Pantai Monyet II Dusun Kampung Sawah III Pantai Kerambi Sabatang Rata-rata 11,36 2,84 1,53 5,24 7 Tabel 6. Persentase Tutupan Lamun di Desa Sitardas Tutupan lamun (%) Stasiun Enhalus Cymodocea Cymodocea acoroides serrulata rotundata I 10,61 0,57 0,19 II 2,84 0 0 III 1,53 0 0 Rata-rata 4,99 0,19 0,06 Halophila ovalis 0 0 0 0 besar, daun yang panjang dan jumlahnya terbesar dari spesies lainnya. Cymodocea serrulata dan Cymodocea rotundata hanya ditemukan pada stasiun I dengan nilai persentase tutupan masing-masing 0,57% dan 0,19%. Hal ini disebabkan pada saat pengamatan kedua spesies ini ditemukan pada beberapa plot dan ukuran kedua spesies ini kecil kurang lebih 3-5 cm walaupun kepadatan kedua spesies ini tinggi tetapi persentase tutupan kecil. Nilai persentase tutupan Cymodocea serrulata dan Cymodocea rotundata di desa Sitardas, Tapanuli Tengah masing-masing 0,19% dan 0,06%. Halophila ovalis tidak memiliki nilai tutupan, hal ini disebabkan ukuran genus Halophila sangat kecil berkisar 12,5 cm dan nilai kepadatan spesies Halophila ovalis sangat rendah. Tutupan Lamun Tutupan total lamun di Desa Sitardas, Tapanuli Tengah adalah 5,24%. Menurut COREMAP-LIPI (2014), nilai ini tergolong “Jarang” (0-25%). Ukuran lamun dan juga kerapatan sangat mempengaruhi tutupan lamun. Ketika dilakukan pengamatan ada banyak plot tidak memiliki tutupan hanya sedikit memiliki tutupan dengan nilai rendah, apabila semua plot dirata-ratakan maka hasil tutupan lamun sangat rendah. Enhalus acoroides ditemukan di semua stasiun dan mendominasi di perairan Desa Sitardas, Tapanuli Tengah. Pada stasiun I persentase tutupan Enhalus acoroides 10,61%, stasiun II sebesar 2,84% dan stasiun III sebesar 1,53%. Nilai rata-rata persentase tutupan lamun di Desa Sitardas yaitu 4,99%. Enhalus acoroides memiliki nilai persentase tutupan tertinggi dari spesies lain di Desa Sitardas sebagai lokasi penelitian karena ukuran yang Tabel 7. Nilai Kerapatan Lamun per Jenis di Desa Sitardas Kerapatan Lamun (individu/m²) Stasiun Enhalus Cymodocea Cymodocea acoroides serrulata rotundata I 57 16 10 II 15 0 0 III 7 0 0 Rata-rata 26 5 3 Halophila ovalis 8 0 0 2 berlempung. Pada stasiun II Enhalus acoroides memiliki nilai kerapatan 15 individu/m² yang bersubstrat lempung berdebu. Nilai terendah kerapatan Enhalus acoroides ditemukan di stasiun III yang bersubstrat lempung berpasir yaitu 7 individu/m². Menurut Kiswara dan Hutomo (1985), Enhalus acoroides Kerapatan Lamun Kerapatan lamun dinyatakan dalam jumlah individu per luas areal. Enhalus acoroides mendominasi di perairan di Desa Sitardas dengan nilai kerapatan 26 individu/m². Pada stasiun I Enhalus acoroides memiliki nilai kerapatan 57 individu/m² yang bersubstrat pasir 8 tumbuh dengan baik pada substrat pasir berlumpur (pasir berlempung). Substrat perairan di Desa Sitrardas mendukung kehidupan Enhalus acoroides terutama di stasiun I. Cymodocea serrulata dan Cymodocea rotundata hanya ditemukan pada stasiun I bersubstrat pasir berlempung dan juga hidup hewan karang. Nilai Kerapatan masing-masing kedua spesies ini di stasiun I adalah 16 individu/m² dan 10 individu/m². Di Desa Sitardas, Tapanuli Tengah nilai kerapatan masing-masing kedua spesies ini adalah 5 individu/m² dan 3 individu/m². Menurut Tomascik, dkk (1997), Cymodocea rotundata ditemukan di habitat karang, tetapi berlimpah diperairan dangkal dari terumbu karang tepi lebar. Cymodocea serrulata ditemukan berbagai substrat terutama pasir dan sisa-sisa karang mati. Halophila ovalis memiliki nilai kerapatan rendah di Desa Sitardas, Tapanuli Tengah yaitu 2 individu/m² dan hanya ditemukan pada stasiun I bersubstrat pasir berlempung dengan nilai kerapatan 8 individu/m². Menurut Tomascik, dkk (1997), Halophila ovalis ditemukan di laguna dangkal dengan substrat pasir. Genus Halophila banyak ditemukan di timur Laut Jawa, Lombok dan Irian Jaya. Tabel 8. Nilai Indeks Dispersi Lamun di Desa Sitadas Spesies Id Pola Penyebaran Enhalus acoroides -3,09 Seragam Cymodocea serrulata 0,47 Seragam Cymodocea rotundata 1,16 Mengelompok Halophila ovalis 1,07 Mengelompok vegetatifnya yang menunjang untuk terbentuknya kelompok atau koloni. Rhizoma dari kedua spesies ini menunjang terbentuknya koloni. Pola Pemencaran Lamun Enhalus acoroides memiliki Id 3,09, lebih kecil dari pada Id Cymodocea serrulata yaitu 0,47. Kedua spesies memiliki nilai Id<1 maka pola pemencaran kedua spesies tergolong seragam. Menurut Hanum (2006), penyebaran secara merata umum terdapat pada tumbuhan. Penyebaran semacam ini terjadi apabila ada persaingan yang kuat di antara individu-individu dalam populasi tersebut. Ukuran akar dan daun Enhalus acoroides yang lebih besar menyebabkan spesies mendapatkan nutrisi dan energi matahari yang besar. Cymodocea serrulata memiliki akar dan daun lebih kecil daripada akar dan daun Enhalus acoroides sehingga tumbuh dengan jumlah yang sedikit. Cymodocea rotundata memiliki Id 1,16, lebih besar dari pada Id Halophila ovali yaitu 1,07. Kedua spesies memiliki nilai Id>1 maka pola pemencaran kedua spesies tergolong Mengelompok. Menurut Hanum (2006), salah satu faktor penyebaran secara berkelompok adalah Sifat-sifat organisme dengan organ Pengelolaan Padang Lamun Hamparan padang lamun di perairan laut dangkal Desa Sitardas dengan luas sekitar 5 hektar, perlu dipertahankan keberadaannya, karena memiliki fungsi ekologis penting di wilayah pesisir dan kelangsungan perikanan pantai. Tutupan Lamun yang relatif rendah yakni 5,24%. Perlunya perhatian dari Dinas Kelautan dan Perikanan Tapanuli Tengah, baik melakukan penanaman lamun sesuai karakteristik substrat dasar perairan, maupun melakukan pemantauan secara regular untuk mengetahui persentase tutupan dan kerapatan lamun, serta pengendalian aktivitas masyarakat di daerah padang lamun. Penyuluhan kepada masyarakat Desa Sitardas juga perlu dilakukan untuk memberi wawasan dan penyuluhan tentang peranan penting padang lamun di wilayah 9 pesisir terutama dibidang perikanan. Masyarakat lokal disarankan untuk tidak membuang limbah sampah ke perairan pantai dan mengatur alur pelayaran kapalkapal nelayan yang tidak merusak lamun serta perlunya PerDes (Peraturan Desa) yang mengatur masyarakat dalam mengelola, memanfaatkan dan melindungi kawasan pesisir Desa Sitardas terutama ekosistem padang lamun Brower, J. E., J. H. Zar dan C. V. Ende. 1998. Field and Labotory Method for General Ecology Volume I. WCB McGraw-Hill, New York. COREMAP-LIPI. 2014. Panduan Monitoring Padang Lamun. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. Hanum, C. 2006. Ekologi Tumbuhan. FMIPA Universitas Sumatera Utara, Medan. Kiswara, W dan M. Hutomo. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik Lamun. Jurnal Oseana. X(1):21-30. KLH. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no 200 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, Jakarta. Nur, C. 2011. Inventarisasi Jenis Lamun dan Gastropoda yang Berasosiasi di Perairan Pulau Karampuang Mamuju. [Skripsi]. Universitas Hasannudin, Makasar. Poedjirahajoe, E., N. P. D. Mahayani, B. R. Shidarta dan M. Salamuddin. 2013. Tutupan Lamun dan Kondisi Ekosistemnya di Kawasan Pesisir Madasanger, Jelenga, dan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 5(1):36-46. Pratiwi, R. 2010. Asosiasi Krustasea di Ekosistem Padang Lamun Perairan Teluk Lampung. Jurnal Ilmu Kelautan. 15(2):66-76. Rappe, R. A. 2010. Struktur Komunitas Ikan pada Padang Lamun yang Berbeda di Pulau Barrang Lompo. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2(2):62-73. Riniatsih, I dan H. Endrawati. 2013. Pertumbuhan Lamun Hasil Transplantasi Jenis Cymodocea rotundata di Padang Lamun Teluk Awur Jepara. Buletin Oseanografi Marina. 2(1):34-40 Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2009. Biologi Laut. Djambatan, Jakarta. Solihin, A., E. Batungbacal dan A. M. Nasution. 2014. Laut Indonesia KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terdapat 4 jenis lamun di perairan Desa Sitardas, Kabupaten Tapanuli Tengah yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, Cymodocea serrulata dan Halophila ovalis. Persentase tutupan lamun di Desa Sitardas, Kabupaten Tapanuli Tengah adalah 5,25% termasuk kedalam kategori jarang, sedangkan tutupan lamun per spesies yaitu Enhalus acoroides 4,99%, Cymodocea serrulata 0,19%, Cymodocea rotundata 0,06%, dan Halophila ovalis 0%. Nilai kerapatan lamun di Desa Sitardas, Kabupaten Tapanuli Tengah untuk Enhalus acoroides adalah 26 individu/m², Cymodocea serrulata 5 individu/m², Cymodocea rotundata 3 individu/m², dan Halophila ovalis 2 individu/m². Saran Penelitian lamun sangat jarang di Sumatera Utara. Perlu dilakukan penelitian intensif mengenai struktur komunitas lamun dan pemantauan lamun kondisi padang lamun secara regular serta penelitian lanjutan mengenai replanting lamun di wilayah pesisir. DAFTAR PUSTAKA Amri, K., D. Setiadi, I. Qayim dan D. Djokosetianto. 2011. Dampak Aktivitas Antropogenik terhadap Kualitas Perairan Habitat Padang Lamun di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Jurnal Pesisir dan Pantai Indonesia VI. X(1):19-31. 10 dalam Krisis. Greenpeace Southeast Asia (Indonesia), Jakarta. Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Tahril, P., Taba, N. L. Nafie dan A. Noor. 2011. Analisis Besi dalam Ekosistem Lamun dan Hubungannya dengan Sifat Fisiokimia Perairan Pantai Kabupaten Donggala. Jurnal Natur Indonesia. 13(2):105-111. Tomascik, T., A. Mah., A. Nontji dan M. K. Moosa. 1997. The Ecology of Indonesian Seas Part Two. Tuttle Publishing, Singapore. Waycott, M., McMahon K, J. Mellors, A. Calladine, and D. Kleine. 2004. A Guide to Tropical Seagrasses of the Indo-West Pacific. James Cook University, Queensland Wirawan, A. A. 2014. Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun yang Ditransplantasi secara Multispesies di Pulau Barranglompo. [Skripsi]. Universitas Hassanudin, Makasar. 11