PENGALAMAN BERHUBUNGAN SEKSUAL YANG PERTAMA DAN PEMBENTUKAN PERILAKU SEKSUAL BERESIKO PADA WARIA (Studi Kualitatif Pada Waria Non Pekerja Seks) Dewi Rokhmah* *Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember E-mail: [email protected] ABSTRACT The first sexual intercourse experience influens sexual behaviour in the future. It happened at transvestites. Because homosexual behaviour is caused by unprofitable environment influences to sexual developing normaly. It impacts to risk sexual behavior of transvestites toward transmision of STD and HIV/AIDS. This study aims to analyze the first sexual intercourse experience and the form process of risk sexual behaviour by transvertites. It was a qualitative study involved informants aged 25-54 with purposive sampling in Semarang city. Data was collected by indepht interview and they’re analyzed by thematic content analysis. The result of this study showed that average respondents had the first sexual intercourse experience with man at aged 12-17, with mature partner. In part of them did it in consensual,and under presure (sodomized). They give effect nowadays at risk sexual behaviour permissively to variety partner sex. Key words : Transvestites, first sexual intercourse experience, risk sexual behaviour PENDAHULUAN Di Indonesia pelaku transeksual disebut dengan istilah waria (Wanita-Pria), wadam (Wanita-Adam), banci atau bencong. Dalam perspektif psikologI, transeksual merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual baik dalam hasrat untuk mendapatkan kepuasan seksual maupun dalam kemampuan untuk mencapai kepuasan seksual (Supratiknya, 1995). Kehidupan seksual kaum waria memiliki tradisi yang berbeda dengan kehidupan seksual laki-laki maupun perempuan pada umumnya, bahkan diantara kaum homoseksual sekalipun. Mereka butuh pasangan laki-laki dalam melakukan aktifitas seksual. Menurut teori yang menjelaskan penyebab perilaku homoseks, hal ini bisa disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal seperti pengalaman disodomi, atau disebabkan seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseks karena pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja (Kartono, 2009). Perilaku seksual (sexual behaviour) waria merupakan perilaku seksual yang melekat dalam dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya yang ada disekitarnya serta berdampak pada kesehatannya. Perilaku seksual para waria tercermin dalam melakukan aktifitas seksualnya, seperti : bergonta-ganti pasangan, tidak menggunakan kondom serta melakukan seks anal dan oral. Kondisi yang berbeda dengan masyarakat normal inilah yang menimbulkan istilah adanya perilaku menyimpang di kalangan waria. Perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak adekwat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada (Kartono, 2003). Sebagai kelompok yang dianggap ”menyimpang” oleh masyarakat dan keluarga mereka, dan diperparah lagi dengan jumlah mereka yang minoritas mengakibatkan kehidupan waria tidak pernah lepas dari tekanan sosial berupa stigma dan diskriminasi baik oleh orang terdekat mereka dalam hal ini adalah keluarga maupun oleh masyarakat dalam bentuk cemooh, cibiran, pengusiran sampai dengan pelecehan seksual. Sehingga bisa dipastikan tekanan-tekanan sosial ini menyebabkan kehidupan waria sangat rentan dan beresiko dengan terjadinya kekerasan psikologis dan seksual yang berdampak terhadap kemungkinan penularan dan penyebaran penyakit IMS dan HIV/AIDS. Selama dasawarsa terakhir, prevalensi IMS, terutama infeksi HIV, pada komunitas waria dilaporkan meningkat secara bermakna. Pemeriksaan seroprevalens terhadap 20 waria PSK Yogyakarta pada Bulan Oktober 2004 mendapatkan prevalensi HIV seropositif dan sifilis seropositif (VRDL>1/4 dengan TPHA+ sebesar 30%) (Suswardana, 2007). Data terbaru berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis Perilaku (STBP) pada kelompok beresiko tinggi di Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan bahwa angka prevalensi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada waria sangat tinggi di tiga kota, yaitu 14% di Bandung, 25,2% di Surabaya, dan 34% di Jakarta. Berdasarkan data estimasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa tengah, di Jawa Tengah pada tahun 2006 dilaporkan bahwa sebanyak 830 dari total 1058 waria terindikasi virus HIV. Dari jumlah tersebut 228 waria diantaranya positif mengidap virus HIV. Salah satu penyebab waria mudah terserang HIV/AIDS karena kehidupan seks para waria yang menyimpang. Sementara di Kota Semarang, berdasarkan data estimasi pada tahun 2006 diketahui dari 221 waria tercatat 27 orang telah mengidap HIV. Kesadaran para waria untuk test VCT masih kurang. Hanya 30-40% yang rela dan sadar dalam melakukan test VCT (Suara Merdeka, 2007). Dari paparan fenomena di atas, penting untuk menganalisis bagaimana pengalaman berhubungan seks yang pertama dalam pembentukan perilaku seksual beresiko (terhadap penularan IMS dan HIV/AIDS) pada waria non pekerja seks. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan tehnik qualitative exploration dengan pendekatan fenomenologis yang bertujuan untuk menganalisis pengalaman pertama dalam berhubungan seksual dalam pembentukan perilaku seksual beresiko pada waria, yang dilakukan di Kota Semarang pada Bulan Febuari-Juli 200. Tehnik pengambilan data dilakukan dengan indepth interview pada informan yang diambil secara purposive sampling, berjumlah 10 waria non pekerja seks, yang berprofesi sebagai entertainer, salon kecantikan, karyawan, wiraswasta atau PNS/Guru, yang berusia antara 20 sampai 60 tahun dengan alasan masih dalam usia seksual aktif, masih produktif, dan pertimbangan kemampuan daya ingat. Adapun analisis data dilakukan secara thematic content analysis. HASIL PENELITIAN Gambaran Karakteristik Responden Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata responden mengalami hubungan seks sesama jenis yang pertama dengan teman, baik teman mengaji, teman bermain dan teman belajar di kampus, yaitu sebanyak 4 responden dan dengan kenalan pada saat mangkal di cebongan sebanyak 3 responden. Satu responden mengalami hubungan seks sesama jenis yang pertama kali dengan guru olah raga pada saat masih SMP. Satu responden yang mengalami hubungan seks yang pertama dengan karyawan bank swasta terkenal di Kota Semarang. Dan satu lagi responden yang mengalami hubungan seks sesama jenis untuk pertama kalinya dengan majikan sewaktu responden bekerja di Rumah Makan Masakan Padang. Sebagian responden mengalami hubungan seks pertama dengan teman mereka, terjadi pada usia yang masih sangat muda yaitu 12-17 tahun. Hanya satu responden yang mengalami hubungan seks pertama dengan teman kampus pada usia 20 tahun. Hal ini terkait dengan pendidikan responden yang sarjana, yang berarti memiliki pengetahuan tentang seks lebih banyak. Dimana usia pasangan responden dalam melakukan hubungan seks yang pertama kali tersebut, sebagaian besar memiliki usia di atas responden, yaitu berkisar antara 16-45 tahun. Pengalaman Berhubungan Seksual Pertama Atas dasar Suka Sama Suka Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden, kejadian hubungan seks dengan sesama jenis yang pertama terutama dengan teman responden, dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan pengetahuan tentang hubungan seks yang sangat minim, hal ini terbukti dari seperti yang diaungkapkan oleh responden berikut ini : ...Pengalaman pertama melakukan hubungan seksual secara oral seks dengan tetangga yang usianya 18 tahun. Terjadi di rumah tetangga itu. Saat itu saya disuruh onani, tapi kalau nggak enak disuruh oral-seks... Karena saat itu saya nggak tahu caranya...saya dipaksa terus....(YS, 28 tahun) Ada kalanya pengalaman berhubungan seks yang pertama dilakukan oleh responden secara sengaja, dengan mencari pasangan di tempat berkumpulnya para waria. Walaupun mereka awalnya coba-coba saja. Biasanya hal ini dilakukan responden setelah lulus dari SMA dan mulai berani mengekspresikan diri sebagai waria yang sesungguhnya. Di tempat berkumpulnya waria tersebut, pada mulanya para responden tidak mempunyai niat untuk menjual diri, tetapi hanya untuk tampil seperti perempuan tanpa ada yang menentang. Hal ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari keluarga. Apabila ada kenalan yang tertarik dengan responden, dan responden merasa cocok maka terjadilah hubungan seks sesama jenis tersebut tanpa adanya imbalan uang. Di kalangan waria menggunakan istilah one night stand (hubungan terjalin hanya pada saat itu saja, tanpa ada komitmen apa-apa). Hubungan seks ini biasanya diawali dengan aktifitas saling kenalan, ngobrol, setelah itu baru berlanjut pada hubungan seks. Hal ini seperti diungkapkan oleh responden berikut ini : ...Saat nongkrong, ketemu sama orang Bali, tapi awalnya ngobrol aja…Kemudian dia beri tahu losmennya…Besuknya saya disuruh main ke losmennya. Usianya 30 tahun kerja di wiraswasta dan sudah berkeluarga. Itu hubungan seks yang pertama bagi saya dan sangat berkesan…. (MR, 32 tahun) Dari ungkapan responden di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden mengalami hubungan seks dengan sesama jenis yang pertama tersebut didasari pada perasaan suka tanpa adanya paksaan dari pasangannya. Oleh karena itu mereka bisa menikmati hubungan seks tersebut. Pengalaman Behubungan Seksual Pertama Yang Traumatik Namun di satu sisi, ada sebagian kecil responden dimana pengalaman hubungan seksual pertama dengan sesama jenis dialami secara traumatik dengan adanya tindak kekerasan dan perasaan tertekan. Mereka diperlakukan secara kasar dan paksaan bukan dengan kemauan mereka sendiri. Hal ini bisa dipahami dari ungkapan dua responden yang mengalami pengalaman berhubungan seks pertama kali dengan disodomi oleh laki-laki dewasa, sementara mereka masih sangat muda dan tidak tahu-menahu tentang hubungan seks dengan sesama jenis. Seperti pada kutipan wawancara berikut ini : ...Waktu itu kerja di Rumah Makan Padang. Usia saya sekitar 13 tahun…Suatu saat isteri majikan pergi ke Padang. Saya disuruh bapak majikan mijitin dia sambil ngorol...Tiba-tiba dia membalikkan badan...saya disuruh oral seks... saya nggak mau, tapi dipaksa. Kemudian Bapak mengambil hand-body...saya dipaksa melakukan anal seks..Saya merasa kesakitan dan langsung loncat...Setelah itu saya sakit panas 2 minggu...(DN, 32 tahun) Selain itu, ada sebagian kecil responden mempunyai pengalaman hubungan seksual yang pertama dengan sesama jenis secara terpaksa. Seperti yang dialami oleh salah seorang responden, yang mengalami hubungan seks pertama kali dengan disodomi (anal-seks). Pada mulanya responden bertemu dengan mucikari yang mencari pria pekerja seks yang dapat melayani laki-laki gay. Dengan ketidaktahuan dan keterbatasan pengalaman responden, responden menceritakan kondisi keluarganya yang mengalami kesulitan ekonomi kepada orang tersebut, sehingga tanpa disadari, responden telah diberikan kepada pelanggan yang kemudian mengakibatkan terjadinya hubungan seks sesama jenis yang merupakan pengalaman pertamanya. Pengalaman tersebut sekaligus merupakan merupakan pengalaman yang tidak menyenankan bagi responden karena semua dilakukannya dengan terpakasa. Pelanggan pertama yang membawa responden adalah laki-laki berprofesi sebagai karyawan bank swasta ternama, berusia sekitar 35 tahun, dan belum menikah. Kejadiannya seperti yang diungkapkan responden berikut ini : ...Awalnya dia mengajak saya lihat film BF. Setelah itu saya disuruh oral-seks…saya bilang nggak bisa…Dia bilang saya bodoh…Akhirnya saya disuruh nungging…Dan itu pertama kali saya di tembak…Rasanya sakit mbak, saya lompat…saya sampai nangis…wong dari situ keluar darah…Tapi saat itu bapaknya bisa puas mbak…sedangkan saya kesakitan…(CCL,24 tahun) Adapun pelanggan yang kedua adalah seorang taruna akademi polisi. Masingmasing memberikan imbalan kepada responden berupa uang sebesar Rp 100.000,00. Pengalaman traumatik ini, yang didukung oleh desakan ekonomi keluarga, membuat responden menjalani hidup sebagai waria. Dari kisah yang diturturkan oleh responden menunjukkan bahwa pengalaman seksual pertama dengan sesama jenis responden membawa pengaruh pada kehidupan seksual responden sekarang. Terutama pengalaman yang dialami secara traumatik juga sangat berpengaruh pada kehidupan seksual responden. Ada sebagian kecil responden yang pernah mendapatkan pengalaman disodomi secara paksa mengakibatkan mereka semakin yakin untuk menjalani hidup sebagai waria. Dari pengalaman hubungan seksual yang pertama responden dengan sesama jenis berpengaruh pada tipe pasangan yang dipilih saat ini. Ada sebagian kecil responden yang sebelumnya mengalami hubungan seksual yang pertama dengan teman yang usianya lebih muda, membuat dia sekarang lebih tertarik dengan laki-laki dengan usia di bawah 20 tahun. Begitu juga dengan responden yang sebelumnya mempunyai pengalaman seksual dengan orang dewasa yang lebih tua, maka pasangan tetap responden sekarang adalah dari mereka yang sudah berumur lebih tua. Pembentukan Perilaku Seksual Beresiko pada Waria Pada kehidupan responden selanjutnya, mereka memiliki perilaku seksual yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dimana mereka biasa berganti-ganti pasangan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pasangan tetap. Dikalangan waria pasangan tetap ini disebut sebagai ”lekong”, ”pacar” atau ”suami”. Khusus untuk sebutan ”suami” apabila antara responden dengan pasangannya sudah tinggal dalam satu rumah selama kurun waktu tertentu (biasanya beberapa bulan sampai puluhan tahun). Antara waria dan pasangan tetapnya biasanya memiliki komitmen untuk menjadi pasangan tetap dalam berhubungan seks dan upaya keduanya untuk saling memenuhi kebutuhan hidup termasuk materi. Hal ini sejalan dengan data tentang rentang waktu para responden menjalin hubungan dengan pasangan tetapnya yang berkisar antara 4 bulan sampai 24 tahun. Sedangkan sebagian kecil responden yang tidak memiliki pasangan tetap mendapatkan pasangan seksual melalui internet dengan chating, mencari kenalan di diskotik atau cebongan dan menggunakan jasa pria pekerja seks (gigolo). Hal ini seperti diungkapkan oleh salah seorang responden berikut ini : ...Saya nggak punya pasangan tetap sejak 5 tahun yang lalu....Kalau pingin, melaui telepon HP. Kan saya punya beberapa nomor yang bisa saya pakai untuk main. ...Dua hari yang lalu, dengan teman yang saya hubungi. Saya kasih 50 ribu, dan itu memang sesuai dengan selera saya. Nggak enak kalau di kurangi...(JN, 54 tahun) Dari ungkapan responden tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa selain dengan pasangan tetapnya, responden juga melakukan hubungan seks dengan orang lain ketika keinginan untuk berhubungan seks muncul. Dan kondisi sebaliknya, ada kalanya pasangan juga melakukan hubungan seks dengan istri atau bahkan waria atau laki-laki lain. Hal ini seperti pengakuan yang diungkapkan beberapa responden berikut ini : ...Saya kalo mau main seks pikir-pikir dua kali. Nantinya kalau kena penyakit. Siapa tahu saya atau dia pasangan saya yang kena. Karena mbak...yang namanya pasangan seks waria itu pasti bergonta-ganti pasangan. Takutnya dari situ kita bisa ketularan....Makanya Mbak seringnya saya karaoke biar aman..(LL, 28 tahun) Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dalam kehidupan seksual waria sangat permisif terhadap hubungan seksual dengan bermacam-macam pasangan. Dari pengakuan responden menyebutkan bahwa mereka melakukan hubungan seksual 2-3 kali dengan pasangan tetap selama satu minggu. Hubungan seksual dengan pasangan tidak tetap bisa 1 kali dalam satu minggu. Biasanya responden mendapat pasangan tidak tetap di tempat mangkal waria (cebongan). Walaupun frekwensinya tidak sebanyak dengan pasangan tetap, namun perilaku yang demikian sangat memungkinkan terjadinya transmisi penyakit menular seksual, baik IMS maupun HIV/AIDS, karena pasangan mereka tidak diketahui riwayat dan status kehidupan seksual sebelumnya. PEMBAHASAN Pengalaman Seksual Pertama Atas Dasar Suka Sama Suka Dalam proses penegasan seseorang menjadi waria, pengalaman hubungan seksual pertama kali juga menjadi bagian yang sangat penting. Pengalaman relasi seksual untuk pertama kali yang dialami waria justru terjadi pada saat mereka belum berani tampil sebagai waria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman berhubungan seksual yang pertama pada waria biasanya dilakukan di rumah teman, di sekolah dan di rumah pasangan. Jadi hal ini terjadi tidak dilakukan di tempat waria biasa berkumpul dengan komunitasnya. Sebagian besar responden dalam penelitian ini mengalami hubungan seks pertama kali dengan teman mereka pada rentang usia yang sangat muda, yaitu 12-17 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Koeswinarno (2004) yang menyatakan bahwa waria mengalami hubungan seksual pertama kali dalam usia yang relatif muda, yakni berkisar antar 11-15 tahun. Dalam teori belajar sosial, perilaku seksual tidak menekankan pengalaman pada usia anak-anak yang sangat muda saja, akan tetapi menggarisbawahi pengalamanpengalaman seksual yang pertama kali (first time experience) hingga anak mengalami orgasme. Biasanya pada masa pubertas dan adolesensi (remaja), yang menjadi faktor kritis untuk menetapkan orientasi seksual seseorang. Proses belajar yang berlangsung setelah pengalaman pertama/initial tadi akan berperan besar sekali dalam pengembangan fantasi-fantasi seks yang menyimpang. Sehingga menjadi kebiasaan masturbasi, atau pembentukan perilaku seksual yang abnormal lainnya. Ternyata fantasi-fantasi itu merupakan nilai perangsang yang kuat sekali bagi penentuan perilaku seks seseorang (Kartono, 2009). Sebagian besar responden mengaku bahwa pengalaman berhubungan seks yang pertama tersebut terjadi pada saat mereka menginjak remaja, dan dilakukan atas dasar perasaan penasaran bagaimana merasakan hubungan seks dengan sesama jenis. Karena dalam diri mereka memang sudah ada ketertarikan dengan kaum laki-laki. Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Hurlock (2004) yang mengatakan bahwa padda masa remaja terjadi perubahan minat dan peran. Perubahan yang diharapkan oleh lingkungan sosial dapat menimbulkan masalah baru dan lebih banyak dibandingkan masa sebelumnya. Hal ini akan terus hingga individu itu sendiri yang menyelasaikan menurut keinginannya. Pengalaman Seksual Pertama Secara Traumatik Sebagian kecil responden mengalami hubungan seks yang pertama didasari oleh pengalaman traumatik. Dimana mereka disodomi dengan paksa oleh orang laki-laki dewasa yang disertai dengan tekanan dan ancaman. Apabila seorang remaja, yang belum berpengalaman heteroseksual, sudah mengalami disodomi secara paksa, maka ia kan sulit menilai kenikmatan hubungan heteroseksual secara proporsional. Pengalaman seksual pertama dengan sesama jenis mendorong emosi erotiknya untuk mengulangi (Handoko dkk, 2001). Namun seiring berjalannya waktu mereka merasa dapat menikmati hubungan dengan sesama jenis. Hal ini bisa juga sebagai penyebab perilaku homoseksualitas. Dimana seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseks, karena ia pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja (Kartono, 2009). Pengalaman traumatik yang dialami oleh sebagain kecil responden terjadi pada situasi yang berbeda. Seperti dikisahkan pada salah seorang responden yang mengalami pengalaman disodomi paksa oleh laki-laki dewasa yang merupakan pelanggan pengguna jasa kucing. Saat itu responden tidak menyadari bahwa dirinya telah dijual oleh mucikari di tempat berkumpulnya para gay dan waria. Hal ini sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa perilaku homoseksual dipahami sebagai akaibat pengaruh lingkungan termasuk munculnya orang atau kelompok penekan yaitu mucikari (Handoko dkk, 2001). Sedangkan responden lain mengisahkan pengalaman disodomi secara paksa dialami dengan laki-laki dewasa yang merupakan majikannya sewaktu bekerja di Rumah Makan Padang. Hal ini bisa dipahami mengingat hubungan yang terjadi antara pasangan homoseksual tidak jarang dilatarbelakangi hubungan terstruktur senior, yunior, guru murid atau atasan bawahan. Pada hubungan seperti ini orang yang mempunyai posisi sebagai senior atau atasan akan mempunyai ”power” untuk memaksa kehendak kepada bawahan (Handoko dkk, 2001). Hal ini juga terjadi pada salah seorang responden yang pertama kali berhubungan seks dengan guru olah raga sewaktu SMP. Pada kondisi yang disebutkan diatas, dimana responden mengalami hubungan seks sesama jenis yang pertama kali pada usia yang sangat muda, serta tidak dibekali dengan pengetahuan tentang seks yang memadai, sehingga memungkinkan terjadinya praktek relasi seksual yang tidak aman. Dimana usia pasangan responden dalam melakukan hubungan seks yang pertama kali tersebut, sebagaian besar memiliki usia di atas responden, yaitu berkisar antara 16-45 tahun. Hal ini mungkin saja dimanfaatkan oleh mereka (pasangan) untuk memenuhi hasrat seksualnya, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan kelak di masa yang akan datang dari responden. Ketidakwajaran seksual (sexual perversion) meliputi perilaku-perilaku seksual yang ditujukan pada pencapaian orgasme di luar hubungan kelamin heteroseksual, baik dengan jenis kelamin yang sama maupun dengan partner yang belum dewasa serta bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secara umum (Nadia, 2005). Suatu hasil penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pada komunitas MSM (man who have sex with man) termasuk gay dan waria terdapat hubungan yang sangat signifikan secara statistik antara rendahnya tingkat pendidikan dan penghasilan dengan tingginya kejadian gejala depresi dan rendahnya self-esteem yang mengakibatkan pada tingkat yang rendah pada perilaku seksual yang aman (De Santis et al, 2008). Di lain pihak, hanya satu responden yang mengalami hubungan seks pertama dengan teman kampus pada usia 20 tahun. Hal ini terkait dengan pendidikan responden yang sarjana, yang berarti memiliki pengetahuan tentang seks lebih baik. Lamanya waktu yang diperlukan untuk terjadinya hubungan seks (khususnya yang pertama kali) dapat dimengerti karena memang diperlukan suasana hati tertentu untuk melakukan hal itu (Sarwono, 2006. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kinsey dalam Koeswinarno (2005) yang menyebutkan bahwa indikasi terpenting dalam menganalisis perilkau menyimpang seksual adalah (1) kemampuan fisiologis setiap manusia untuk menyambut rangsangan yang cukup besar ; (2) peristiwa yang menuntun terjadinya hubungan kelamin pertama dengan sesama jenis ; (3) pengaruh dari pengalaman pertama itu ; dan (4) pengaruh opini masyarakat dan kode sosial atau keputusan seseorang untuk menerima atau menolak hubungan seksual yang semacam itu. Pembentukan Perilaku Seksual Beresiko pada Waria Pada kehidupan selanjutnya, seluruh responden memiliki perilaku seksual yang beresiko dari sisi kesehatan. Karena mereka melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, bergonta-ganti pasangan, serta melakukan hubungan seksual secara oral dan anal seks. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pasangan tetap. Dikalangan waria pasangan tetap ini disebut sebagai ”lekong”, ”pacar” atau ”suami”. Khusus untuk sebutan ”suami” apabila antara responden dengan pasangannya sudah tinggal dalam satu rumah selama kurun waktu tertentu (biasanya beberapa bulan sampai puluhan tahun). Hasil Surveilans Terpadu Biologis Perilaku Pada Kelompok Beresiko Tinggi di Indonesia pada tahun 2007 menyebutkan bahwa 4050 % waria juga memiliki pasangan pria tetap yang mereka sebut “suami”. Sedangkan sebagian kecil responden yang tidak memiliki pasangan tetap mendapatkan pasangan seksual melalui internet dengan chating, mencari kenalan di diskotik atau cebongan dan menggunakan jasa pria pekerja seks (gigolo). Bagi seorang homoseks, dorongan seks yang sifatnya erotik dipuaskan melalui hubungan seks dengan relasi sejenisnya. Bagi yang memiliki pasangan tetap, kebutuhan dapat dilakukan kapan pun tanpa melalui proses mencari pasangan kencan atau transaksi. Sebaliknya, kaum homoseks yang belum mempunyai pasangan tetap untuk memenuhi kebutuhan seksualnya harus melalui proses pencarian terlebih dahulu (Handoko, 2001). Dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa walaupun para responden sudah memiliki pasangan tetap, namun ada kemungkinan pula para responden atau pasangan tetap mereka melakukan hubungan seks dengan orang lain. Berbeda dengan pasangan heteroseksual, dalam kehidupan seksual kaum homoseksual termasuk waria sangat permisif terhadap hubungan seksual dengan bermacam-macam pasangan. Perilaku yang demikian sangat memungkinkan terjadinya transmisi penyakit menular seksual baik IMS maupun HIV/AIDS. Selama dasawarsa terakhir, prevalensi IMS, terutama infeksi HIV, pada komunitas waria dilaporkan meningkat secara bermakna. Pemeriksaan seroprevalens terhadap 20 waria PSK Yogyakarta pada Bulan Oktober 2004 mendapatkan prevalensi HIV seropositif dan sifilis seropositif (VRDL>1/4 dengan TPHA+ sebesar 30%) (Suswardana, 2007). Data terbaru berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis Perilaku (STBP) pada kelompok beresiko tinggi di Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan bahwa angka prevalensi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada waria sangat tinggi di tiga kota, yaitu 14% di Bandung, 25,2% di Surabaya, dan 34% di Jakarta. KESIMPULAN Rata-rata responden mengalami hubungan seks sesama jenis yang pertama pada usia antara 12-17 tahun dimana pengetahuan mereka tentang hubungan seks masih sangat minim, dengan pasangan yang usianya lebih dewasa. Sebagian responden mengalamai hubungan seksual yang pertama atas dasar suka sama suka, secara traumatik, dengan tindak kekerasan dan perasaan tertekan (disodomi). Pengalaman seksual para responden membawa pengaruh pada kehidupan seksual responden sekarang. Sebagian besar resonden memiliki pasangan tetap dan tidak tetap, yang berstatus lajang maupun sudah menikah. Pasangan responden melakukan hubungan seks dengan istri atau bahkan waria atau laki-laki lain. Dalam kehidupan seksual waria sangat permisif terhadap hubungan seksual dengan bermacam-macam pasangan. Perilaku yang demikian mempunyai resiko terhadap penularan IMS dan HIV/AIDS. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI. 2007. Surveilans Terpadu Biologis Perilaku Pada Kelompok Beresiko Tinggi di Indonesia. Rangkuman Surveilans Waria. Kerjasama Depkes, BPS, KPA dan LSM Peduli AIDS. Jakarta. De Santis, J et al. 2008. The Relationship of Depressive Symtoms, Self Esteem, and Sexual Behaviors in A Predominantly Hispanic Sample of Man Who Have Sex With Man. American Journal of Men’s Health. Vol.2 (4). Pp. 314-321. Handoko, P dkk, 2001. Perilaku Kaum Homoseksual dan Persepsi Mengenai PMS. Dalam Konstruksi Seksualitas : Antara Hak dan Kekuasaan. Kerjasama ford Foundation dan Pusat Penelitian Kependudkan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hurlock, E. 2004. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga. Jakarta. Koeswinarno, 2005. Hidup Sebagai Waria. LKiS. Yogyakarta. Kartono, K. 2009. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Mandar Maju. Bandung. Nadia, Z. 2005. Waria Laknat atau Kodrat. Galang Press. Yogyakarta. Sarwono, S. W. 2006. Psikologi Remaja. Rajawali Press. Jakarta. Suara Merdeka. 2007. AIDS Canddle Light Memorial, 18 Juni 2007 Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Kansius. Yogyakarta. Suswardana dkk, 2007. Infeksi Menular Seksual pada Komunitas Waria di Yogyakarta : Kajian Terhadap Berbagai Faktor Risiko Tingginya Prevalensi HIV, Jurnal Kedokteran Indonesia Medika,;7( 33):89-93.