jurnal spirulina juni 2012 - Perpustakaan Universitas Jember

advertisement
PENGALAMAN BERHUBUNGAN SEKSUAL YANG PERTAMA DAN
PEMBENTUKAN PERILAKU SEKSUAL BERESIKO PADA WARIA
(Studi Kualitatif Pada Waria Non Pekerja Seks)
Dewi Rokhmah*
*Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The first sexual intercourse experience influens sexual behaviour in the future. It
happened at transvestites. Because homosexual behaviour is caused by unprofitable
environment influences to sexual developing normaly. It impacts to risk sexual behavior
of transvestites toward transmision of STD and HIV/AIDS. This study aims to analyze
the first sexual intercourse experience and the form process of risk sexual behaviour by
transvertites. It was a qualitative study involved informants aged 25-54 with purposive
sampling in Semarang city. Data was collected by indepht interview and they’re
analyzed by thematic content analysis. The result of this study showed that average
respondents had the first sexual intercourse experience with man at aged 12-17, with
mature partner. In part of them did it in consensual,and under presure (sodomized).
They give effect nowadays at risk sexual behaviour permissively to variety partner sex.
Key words : Transvestites, first sexual intercourse experience, risk sexual behaviour
PENDAHULUAN
Di Indonesia pelaku transeksual disebut dengan istilah waria (Wanita-Pria),
wadam (Wanita-Adam), banci atau bencong. Dalam perspektif psikologI, transeksual
merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual baik dalam hasrat untuk
mendapatkan kepuasan seksual maupun dalam kemampuan untuk mencapai kepuasan
seksual (Supratiknya, 1995). Kehidupan seksual kaum waria memiliki tradisi yang
berbeda dengan kehidupan seksual laki-laki maupun perempuan pada umumnya, bahkan
diantara kaum homoseksual sekalipun. Mereka butuh pasangan laki-laki dalam
melakukan aktifitas seksual. Menurut teori yang menjelaskan penyebab perilaku
homoseks, hal ini bisa disebabkan oleh
pengaruh lingkungan
yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal seperti
pengalaman disodomi, atau disebabkan seseorang selalu mencari kepuasan relasi
homoseks karena pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan
pada masa remaja (Kartono, 2009).
Perilaku seksual (sexual behaviour) waria merupakan perilaku seksual yang
melekat dalam dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya yang ada
disekitarnya serta berdampak pada kesehatannya. Perilaku seksual para waria tercermin
dalam melakukan aktifitas seksualnya, seperti : bergonta-ganti pasangan, tidak
menggunakan kondom serta melakukan seks anal dan oral. Kondisi yang berbeda
dengan masyarakat normal inilah yang menimbulkan istilah adanya perilaku
menyimpang di kalangan waria. Perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak
adekwat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan
norma sosial yang ada (Kartono, 2003).
Sebagai kelompok yang dianggap ”menyimpang” oleh masyarakat dan keluarga
mereka, dan diperparah lagi dengan jumlah mereka yang minoritas mengakibatkan
kehidupan waria tidak pernah lepas dari tekanan sosial berupa stigma dan diskriminasi
baik oleh orang terdekat mereka dalam hal ini adalah keluarga maupun oleh masyarakat
dalam bentuk cemooh, cibiran, pengusiran sampai dengan pelecehan seksual. Sehingga
bisa dipastikan tekanan-tekanan sosial ini menyebabkan kehidupan waria sangat rentan
dan beresiko dengan terjadinya kekerasan psikologis dan seksual yang berdampak
terhadap kemungkinan penularan dan penyebaran penyakit IMS dan HIV/AIDS.
Selama dasawarsa terakhir, prevalensi IMS, terutama infeksi HIV, pada
komunitas waria dilaporkan meningkat secara bermakna. Pemeriksaan seroprevalens
terhadap 20 waria PSK Yogyakarta pada Bulan Oktober 2004 mendapatkan prevalensi
HIV seropositif dan sifilis seropositif (VRDL>1/4 dengan TPHA+
sebesar 30%)
(Suswardana, 2007). Data terbaru berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis
Perilaku (STBP) pada kelompok beresiko tinggi di Indonesia pada tahun 2007
menunjukkan bahwa angka prevalensi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada
waria sangat tinggi di tiga kota, yaitu 14% di Bandung, 25,2% di Surabaya, dan 34% di
Jakarta.
Berdasarkan data estimasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa tengah, di Jawa
Tengah pada tahun 2006 dilaporkan bahwa sebanyak 830 dari total 1058 waria
terindikasi virus HIV. Dari jumlah tersebut 228 waria diantaranya positif mengidap
virus HIV. Salah satu penyebab waria mudah terserang HIV/AIDS karena kehidupan
seks para waria yang menyimpang. Sementara di Kota Semarang, berdasarkan data
estimasi pada tahun 2006 diketahui dari 221 waria tercatat 27 orang telah mengidap
HIV. Kesadaran para waria untuk test VCT masih kurang. Hanya 30-40% yang rela dan
sadar dalam melakukan test VCT (Suara Merdeka, 2007).
Dari paparan fenomena di atas, penting untuk menganalisis bagaimana
pengalaman berhubungan seks yang pertama dalam pembentukan perilaku seksual
beresiko (terhadap penularan IMS dan HIV/AIDS) pada waria non pekerja seks.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan tehnik qualitative exploration dengan pendekatan
fenomenologis yang bertujuan untuk menganalisis pengalaman pertama dalam
berhubungan seksual dalam pembentukan perilaku seksual beresiko pada waria, yang
dilakukan di Kota Semarang pada Bulan Febuari-Juli 200. Tehnik pengambilan data
dilakukan dengan indepth interview pada informan yang diambil secara purposive
sampling, berjumlah 10 waria non pekerja seks, yang berprofesi sebagai entertainer,
salon kecantikan, karyawan, wiraswasta atau PNS/Guru, yang berusia antara 20 sampai
60 tahun dengan alasan masih dalam usia seksual aktif,
masih produktif, dan
pertimbangan kemampuan daya ingat. Adapun analisis data dilakukan secara thematic
content analysis.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Karakteristik Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata responden mengalami hubungan
seks sesama jenis yang pertama dengan teman, baik teman mengaji, teman bermain dan
teman belajar di kampus, yaitu sebanyak 4 responden dan dengan kenalan pada saat
mangkal di cebongan sebanyak 3 responden. Satu responden mengalami hubungan seks
sesama jenis yang pertama kali dengan guru olah raga pada saat masih SMP. Satu
responden yang mengalami hubungan seks yang pertama dengan karyawan bank swasta
terkenal di Kota Semarang. Dan satu lagi responden yang mengalami hubungan seks
sesama jenis untuk pertama kalinya dengan majikan sewaktu responden bekerja di
Rumah Makan Masakan Padang.
Sebagian responden mengalami hubungan seks pertama dengan teman mereka,
terjadi pada usia yang masih sangat muda yaitu 12-17 tahun. Hanya satu responden
yang mengalami hubungan seks pertama dengan teman kampus pada usia 20 tahun. Hal
ini terkait dengan pendidikan responden yang sarjana, yang berarti memiliki
pengetahuan tentang seks lebih banyak. Dimana usia pasangan responden dalam
melakukan hubungan seks yang pertama kali tersebut, sebagaian besar memiliki usia di
atas responden, yaitu berkisar antara 16-45 tahun.
Pengalaman Berhubungan Seksual Pertama Atas dasar Suka Sama Suka
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden, kejadian hubungan
seks dengan sesama jenis yang pertama terutama dengan teman responden, dilakukan
secara sembunyi-sembunyi dengan pengetahuan tentang hubungan seks yang sangat
minim, hal ini terbukti dari seperti yang diaungkapkan oleh responden berikut ini :
...Pengalaman pertama melakukan hubungan seksual secara oral seks dengan tetangga yang
usianya 18 tahun. Terjadi di rumah tetangga itu. Saat itu saya disuruh onani, tapi kalau nggak
enak disuruh oral-seks... Karena saat itu saya nggak tahu caranya...saya dipaksa terus....(YS, 28
tahun)
Ada kalanya pengalaman berhubungan seks yang pertama dilakukan oleh
responden secara sengaja, dengan mencari pasangan di tempat berkumpulnya para
waria. Walaupun mereka awalnya coba-coba saja. Biasanya hal ini dilakukan responden
setelah lulus dari SMA dan mulai berani mengekspresikan diri sebagai waria yang
sesungguhnya. Di tempat berkumpulnya waria tersebut, pada mulanya para responden
tidak mempunyai niat untuk menjual diri, tetapi hanya untuk tampil seperti perempuan
tanpa ada yang menentang. Hal ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari keluarga.
Apabila ada kenalan yang tertarik dengan responden, dan responden merasa cocok maka
terjadilah hubungan seks sesama jenis tersebut tanpa adanya imbalan uang. Di kalangan
waria menggunakan istilah one night stand (hubungan terjalin hanya pada saat itu saja,
tanpa ada komitmen apa-apa). Hubungan seks ini biasanya diawali dengan aktifitas
saling kenalan, ngobrol, setelah itu baru berlanjut pada hubungan seks. Hal ini seperti
diungkapkan oleh responden berikut ini :
...Saat nongkrong, ketemu sama orang Bali, tapi awalnya ngobrol aja…Kemudian dia beri tahu
losmennya…Besuknya saya disuruh main ke losmennya. Usianya 30 tahun kerja di wiraswasta
dan sudah berkeluarga. Itu hubungan seks yang pertama bagi saya dan sangat berkesan…. (MR,
32 tahun)
Dari ungkapan responden di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian besar
responden mengalami hubungan seks dengan sesama jenis yang pertama tersebut
didasari pada perasaan suka tanpa adanya paksaan dari pasangannya. Oleh karena itu
mereka bisa menikmati hubungan seks tersebut.
Pengalaman Behubungan Seksual Pertama Yang Traumatik
Namun di satu sisi, ada sebagian kecil responden dimana pengalaman hubungan
seksual pertama dengan sesama jenis dialami secara traumatik dengan adanya tindak
kekerasan dan perasaan tertekan. Mereka diperlakukan secara kasar dan paksaan bukan
dengan kemauan mereka sendiri. Hal ini bisa dipahami dari ungkapan dua responden
yang mengalami pengalaman berhubungan seks pertama kali dengan disodomi oleh
laki-laki dewasa, sementara mereka masih sangat muda dan tidak tahu-menahu tentang
hubungan seks dengan sesama jenis. Seperti pada kutipan wawancara berikut ini :
...Waktu itu kerja di Rumah Makan Padang. Usia saya sekitar 13 tahun…Suatu saat isteri
majikan pergi ke Padang. Saya disuruh bapak majikan mijitin dia sambil ngorol...Tiba-tiba dia
membalikkan badan...saya disuruh oral seks... saya nggak mau, tapi dipaksa. Kemudian Bapak
mengambil hand-body...saya dipaksa melakukan anal seks..Saya merasa kesakitan dan langsung
loncat...Setelah itu saya sakit panas 2 minggu...(DN, 32 tahun)
Selain itu, ada sebagian kecil responden mempunyai pengalaman hubungan
seksual yang pertama dengan sesama jenis secara terpaksa. Seperti yang dialami oleh
salah seorang responden, yang mengalami hubungan seks pertama kali dengan disodomi
(anal-seks). Pada mulanya responden bertemu dengan mucikari yang mencari pria
pekerja seks yang dapat melayani laki-laki gay. Dengan ketidaktahuan dan keterbatasan
pengalaman responden, responden menceritakan kondisi keluarganya yang mengalami
kesulitan ekonomi kepada orang tersebut, sehingga tanpa disadari, responden telah
diberikan kepada pelanggan yang kemudian mengakibatkan terjadinya hubungan seks
sesama jenis yang merupakan pengalaman pertamanya. Pengalaman tersebut sekaligus
merupakan merupakan pengalaman yang tidak menyenankan bagi responden karena
semua dilakukannya dengan terpakasa.
Pelanggan pertama yang membawa responden adalah laki-laki berprofesi
sebagai karyawan bank swasta ternama, berusia sekitar 35 tahun, dan belum menikah.
Kejadiannya seperti yang diungkapkan responden berikut ini :
...Awalnya dia mengajak saya lihat film BF. Setelah itu saya disuruh oral-seks…saya bilang
nggak bisa…Dia bilang saya bodoh…Akhirnya saya disuruh nungging…Dan itu pertama kali
saya di tembak…Rasanya sakit mbak, saya lompat…saya sampai nangis…wong dari situ keluar
darah…Tapi saat itu bapaknya bisa puas mbak…sedangkan saya kesakitan…(CCL,24 tahun)
Adapun pelanggan yang kedua adalah seorang taruna akademi polisi. Masingmasing memberikan imbalan kepada responden berupa uang sebesar Rp 100.000,00.
Pengalaman traumatik ini, yang didukung oleh desakan ekonomi keluarga, membuat
responden menjalani hidup sebagai waria.
Dari kisah yang diturturkan oleh responden menunjukkan bahwa pengalaman
seksual pertama dengan sesama jenis responden membawa pengaruh pada kehidupan
seksual responden sekarang. Terutama pengalaman yang dialami secara traumatik juga
sangat berpengaruh pada kehidupan seksual responden. Ada sebagian kecil responden
yang pernah mendapatkan pengalaman disodomi secara paksa mengakibatkan mereka
semakin yakin untuk menjalani hidup sebagai waria.
Dari pengalaman hubungan seksual yang pertama responden dengan sesama
jenis berpengaruh pada tipe pasangan yang dipilih saat ini. Ada sebagian kecil
responden yang sebelumnya mengalami hubungan seksual yang pertama dengan teman
yang usianya lebih muda, membuat dia sekarang lebih tertarik dengan laki-laki dengan
usia di bawah 20 tahun. Begitu juga dengan responden yang sebelumnya mempunyai
pengalaman seksual dengan orang dewasa yang lebih tua, maka pasangan tetap
responden sekarang adalah dari mereka yang sudah berumur lebih tua.
Pembentukan Perilaku Seksual Beresiko pada Waria
Pada kehidupan responden selanjutnya, mereka memiliki perilaku seksual yang
berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dimana mereka biasa berganti-ganti
pasangan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
pasangan tetap. Dikalangan waria pasangan tetap ini disebut sebagai ”lekong”, ”pacar”
atau ”suami”. Khusus untuk sebutan ”suami” apabila antara responden dengan
pasangannya sudah tinggal dalam satu rumah selama kurun waktu tertentu (biasanya
beberapa bulan sampai puluhan tahun). Antara waria dan pasangan tetapnya biasanya
memiliki komitmen untuk menjadi pasangan tetap dalam berhubungan seks dan upaya
keduanya untuk saling memenuhi kebutuhan hidup termasuk materi. Hal ini sejalan
dengan data tentang rentang waktu para responden menjalin hubungan dengan pasangan
tetapnya yang berkisar antara 4 bulan sampai 24 tahun. Sedangkan sebagian kecil
responden yang tidak memiliki pasangan tetap mendapatkan pasangan seksual melalui
internet dengan chating, mencari kenalan di diskotik atau cebongan dan menggunakan
jasa pria pekerja seks (gigolo). Hal ini seperti diungkapkan oleh salah seorang
responden berikut ini :
...Saya nggak punya pasangan tetap sejak 5 tahun yang lalu....Kalau pingin, melaui telepon HP.
Kan saya punya beberapa nomor yang bisa saya pakai untuk main. ...Dua hari yang lalu,
dengan teman yang saya hubungi. Saya kasih 50 ribu, dan itu memang sesuai dengan selera
saya. Nggak enak kalau di kurangi...(JN, 54 tahun)
Dari ungkapan responden tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa selain
dengan pasangan tetapnya, responden juga melakukan hubungan seks dengan orang lain
ketika keinginan untuk berhubungan seks muncul. Dan kondisi sebaliknya, ada kalanya
pasangan juga melakukan hubungan seks dengan istri atau bahkan waria atau laki-laki
lain. Hal ini seperti pengakuan yang diungkapkan beberapa responden berikut ini :
...Saya kalo mau main seks pikir-pikir dua kali. Nantinya kalau kena penyakit. Siapa tahu saya
atau dia pasangan saya yang kena. Karena mbak...yang namanya pasangan seks waria itu pasti
bergonta-ganti pasangan. Takutnya dari situ kita bisa ketularan....Makanya Mbak seringnya
saya karaoke biar aman..(LL, 28 tahun)
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dalam kehidupan seksual waria
sangat permisif terhadap hubungan seksual dengan bermacam-macam pasangan. Dari
pengakuan responden menyebutkan bahwa mereka melakukan hubungan seksual 2-3
kali dengan pasangan tetap selama satu minggu. Hubungan seksual dengan pasangan
tidak tetap bisa 1 kali dalam satu minggu. Biasanya responden mendapat pasangan tidak
tetap di tempat mangkal waria (cebongan). Walaupun frekwensinya tidak sebanyak
dengan pasangan tetap, namun perilaku yang demikian sangat memungkinkan
terjadinya transmisi penyakit menular seksual, baik IMS maupun HIV/AIDS, karena
pasangan mereka tidak diketahui riwayat dan status kehidupan seksual sebelumnya.
PEMBAHASAN
Pengalaman Seksual Pertama Atas Dasar Suka Sama Suka
Dalam proses penegasan seseorang menjadi waria, pengalaman hubungan
seksual pertama kali juga menjadi bagian yang sangat penting. Pengalaman relasi
seksual untuk pertama kali yang dialami waria justru terjadi pada saat mereka belum
berani tampil sebagai waria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman
berhubungan seksual yang pertama pada waria biasanya dilakukan di rumah teman, di
sekolah dan di rumah pasangan. Jadi hal ini terjadi tidak dilakukan di tempat waria
biasa berkumpul dengan komunitasnya.
Sebagian besar responden dalam penelitian ini mengalami hubungan seks
pertama kali dengan teman mereka pada rentang usia yang sangat muda, yaitu 12-17
tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Koeswinarno (2004) yang menyatakan bahwa
waria mengalami hubungan seksual pertama kali dalam usia yang relatif muda, yakni
berkisar antar 11-15 tahun.
Dalam teori belajar sosial, perilaku seksual tidak menekankan pengalaman pada
usia anak-anak yang sangat muda saja, akan tetapi menggarisbawahi pengalamanpengalaman seksual yang pertama kali (first time experience) hingga anak mengalami
orgasme. Biasanya pada masa pubertas dan adolesensi (remaja), yang menjadi faktor
kritis untuk menetapkan orientasi seksual seseorang. Proses belajar yang berlangsung
setelah
pengalaman
pertama/initial
tadi
akan
berperan
besar
sekali
dalam
pengembangan fantasi-fantasi seks yang menyimpang. Sehingga menjadi kebiasaan
masturbasi, atau pembentukan perilaku seksual yang abnormal lainnya. Ternyata
fantasi-fantasi itu merupakan nilai perangsang yang kuat sekali bagi penentuan perilaku
seks seseorang (Kartono, 2009).
Sebagian besar responden mengaku bahwa pengalaman berhubungan seks yang
pertama tersebut terjadi pada saat mereka menginjak remaja, dan dilakukan atas dasar
perasaan penasaran bagaimana merasakan hubungan seks dengan sesama jenis. Karena
dalam diri mereka memang sudah ada ketertarikan dengan kaum laki-laki. Hal ini
sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Hurlock (2004) yang mengatakan bahwa
padda masa remaja terjadi perubahan minat dan peran. Perubahan yang diharapkan oleh
lingkungan sosial dapat menimbulkan masalah baru dan lebih banyak dibandingkan
masa sebelumnya. Hal ini akan terus hingga individu itu sendiri yang menyelasaikan
menurut keinginannya.
Pengalaman Seksual Pertama Secara Traumatik
Sebagian kecil responden mengalami hubungan seks yang pertama didasari oleh
pengalaman traumatik. Dimana mereka disodomi dengan paksa oleh orang laki-laki
dewasa yang disertai dengan tekanan dan ancaman. Apabila seorang remaja, yang
belum berpengalaman heteroseksual, sudah mengalami disodomi secara paksa, maka ia
kan sulit menilai kenikmatan hubungan heteroseksual secara proporsional. Pengalaman
seksual pertama dengan sesama jenis mendorong emosi erotiknya untuk mengulangi
(Handoko dkk, 2001). Namun seiring berjalannya waktu mereka merasa dapat
menikmati hubungan dengan sesama jenis. Hal ini bisa juga sebagai penyebab perilaku
homoseksualitas. Dimana seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseks, karena ia
pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja
(Kartono, 2009).
Pengalaman traumatik yang dialami oleh sebagain kecil responden terjadi pada
situasi yang berbeda. Seperti dikisahkan pada salah seorang responden yang mengalami
pengalaman disodomi paksa oleh laki-laki dewasa yang merupakan pelanggan
pengguna jasa kucing. Saat itu responden tidak menyadari bahwa dirinya telah dijual
oleh mucikari di tempat berkumpulnya para gay dan waria. Hal ini sejalan dengan teori
yang mengatakan bahwa perilaku homoseksual dipahami sebagai akaibat pengaruh
lingkungan termasuk munculnya orang atau kelompok penekan yaitu mucikari
(Handoko dkk, 2001).
Sedangkan responden lain mengisahkan pengalaman disodomi secara paksa
dialami dengan laki-laki dewasa yang merupakan majikannya sewaktu bekerja di
Rumah Makan Padang. Hal ini bisa dipahami mengingat hubungan yang terjadi antara
pasangan homoseksual tidak jarang dilatarbelakangi hubungan terstruktur senior,
yunior, guru murid atau atasan bawahan. Pada hubungan seperti ini orang yang
mempunyai posisi sebagai senior atau atasan akan mempunyai ”power” untuk
memaksa kehendak kepada bawahan (Handoko dkk, 2001). Hal ini juga terjadi pada
salah seorang responden yang pertama kali berhubungan seks dengan guru olah raga
sewaktu SMP.
Pada kondisi yang disebutkan diatas, dimana responden mengalami hubungan
seks sesama jenis yang pertama kali pada usia yang sangat muda, serta tidak dibekali
dengan pengetahuan tentang seks yang memadai, sehingga memungkinkan terjadinya
praktek relasi seksual yang tidak aman. Dimana usia pasangan responden dalam
melakukan hubungan seks yang pertama kali tersebut, sebagaian besar memiliki usia di
atas responden, yaitu berkisar antara 16-45 tahun. Hal ini mungkin saja dimanfaatkan
oleh mereka (pasangan) untuk memenuhi hasrat seksualnya, tanpa memikirkan dampak
yang ditimbulkan kelak di masa yang akan datang dari responden. Ketidakwajaran
seksual (sexual perversion) meliputi perilaku-perilaku seksual yang ditujukan pada
pencapaian orgasme di luar hubungan kelamin heteroseksual, baik dengan jenis kelamin
yang sama maupun dengan partner yang belum dewasa serta bertentangan dengan
norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secara umum
(Nadia, 2005).
Suatu hasil penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pada komunitas
MSM (man who have sex with man) termasuk gay dan waria terdapat hubungan yang
sangat signifikan secara statistik antara rendahnya tingkat pendidikan dan penghasilan
dengan
tingginya
kejadian
gejala
depresi
dan
rendahnya
self-esteem
yang
mengakibatkan pada tingkat yang rendah pada perilaku seksual yang aman (De Santis et
al, 2008).
Di lain pihak, hanya satu responden yang mengalami hubungan seks pertama
dengan teman kampus pada usia 20 tahun. Hal ini terkait dengan pendidikan responden
yang sarjana, yang berarti memiliki pengetahuan tentang seks lebih baik. Lamanya
waktu yang diperlukan untuk terjadinya hubungan seks (khususnya yang pertama kali)
dapat dimengerti karena memang diperlukan suasana hati tertentu untuk melakukan hal
itu (Sarwono, 2006. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kinsey dalam Koeswinarno
(2005) yang menyebutkan bahwa indikasi terpenting dalam menganalisis perilkau
menyimpang seksual adalah (1) kemampuan fisiologis setiap manusia untuk
menyambut rangsangan yang cukup besar ; (2) peristiwa yang menuntun terjadinya
hubungan kelamin pertama dengan sesama jenis ; (3) pengaruh dari pengalaman
pertama itu ; dan (4) pengaruh opini masyarakat dan kode sosial atau keputusan
seseorang untuk menerima atau menolak hubungan seksual yang semacam itu.
Pembentukan Perilaku Seksual Beresiko pada Waria
Pada kehidupan selanjutnya, seluruh responden memiliki perilaku seksual yang
beresiko dari sisi kesehatan. Karena mereka melakukan hubungan seksual dengan
sesama jenis, bergonta-ganti pasangan, serta melakukan hubungan seksual secara oral
dan anal seks. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki pasangan tetap. Dikalangan waria pasangan tetap ini disebut sebagai ”lekong”,
”pacar” atau ”suami”. Khusus untuk sebutan ”suami” apabila antara responden dengan
pasangannya sudah tinggal dalam satu rumah selama kurun waktu tertentu (biasanya
beberapa bulan sampai puluhan tahun). Hasil Surveilans Terpadu Biologis Perilaku
Pada Kelompok Beresiko Tinggi di Indonesia pada tahun 2007 menyebutkan bahwa 4050 % waria juga memiliki pasangan pria tetap yang mereka sebut “suami”.
Sedangkan sebagian kecil responden yang tidak memiliki pasangan tetap
mendapatkan pasangan seksual melalui internet dengan chating, mencari kenalan di
diskotik atau cebongan dan menggunakan jasa pria pekerja seks (gigolo). Bagi seorang
homoseks, dorongan seks yang sifatnya erotik dipuaskan melalui hubungan seks dengan
relasi sejenisnya. Bagi yang memiliki pasangan tetap, kebutuhan dapat dilakukan kapan
pun tanpa melalui proses mencari pasangan kencan atau transaksi. Sebaliknya, kaum
homoseks yang belum mempunyai pasangan tetap untuk memenuhi kebutuhan
seksualnya harus melalui proses pencarian terlebih dahulu (Handoko, 2001).
Dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa walaupun para responden sudah
memiliki pasangan tetap, namun ada kemungkinan pula para responden atau pasangan
tetap mereka melakukan hubungan seks dengan orang lain. Berbeda dengan pasangan
heteroseksual, dalam kehidupan seksual kaum homoseksual termasuk waria sangat
permisif terhadap hubungan seksual dengan bermacam-macam pasangan. Perilaku yang
demikian sangat memungkinkan terjadinya transmisi penyakit menular seksual baik
IMS maupun HIV/AIDS.
Selama dasawarsa terakhir, prevalensi IMS, terutama infeksi HIV, pada
komunitas waria dilaporkan meningkat secara bermakna. Pemeriksaan seroprevalens
terhadap 20 waria PSK Yogyakarta pada Bulan Oktober 2004 mendapatkan prevalensi
HIV seropositif dan sifilis seropositif (VRDL>1/4 dengan TPHA+
sebesar 30%)
(Suswardana, 2007). Data terbaru berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis
Perilaku (STBP) pada kelompok beresiko tinggi di Indonesia pada tahun 2007
menunjukkan bahwa angka prevalensi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada
waria sangat tinggi di tiga kota, yaitu 14% di Bandung, 25,2% di Surabaya, dan 34% di
Jakarta.
KESIMPULAN
Rata-rata responden mengalami hubungan seks sesama jenis yang pertama pada
usia antara 12-17 tahun dimana pengetahuan mereka tentang hubungan seks masih
sangat minim, dengan pasangan yang usianya lebih dewasa. Sebagian responden
mengalamai hubungan seksual yang pertama atas dasar suka sama suka, secara
traumatik, dengan tindak kekerasan dan perasaan tertekan (disodomi). Pengalaman
seksual para responden membawa pengaruh pada kehidupan seksual responden
sekarang.
Sebagian besar resonden memiliki pasangan tetap dan tidak tetap, yang berstatus
lajang maupun sudah menikah. Pasangan responden melakukan hubungan seks dengan
istri atau bahkan waria atau laki-laki lain. Dalam kehidupan seksual waria sangat
permisif terhadap hubungan seksual dengan bermacam-macam pasangan. Perilaku yang
demikian mempunyai resiko terhadap penularan IMS dan HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2007. Surveilans Terpadu Biologis Perilaku Pada Kelompok
Beresiko Tinggi di Indonesia. Rangkuman Surveilans Waria. Kerjasama Depkes,
BPS, KPA dan LSM Peduli AIDS. Jakarta.
De Santis, J et al. 2008. The Relationship of Depressive Symtoms, Self Esteem, and
Sexual Behaviors in A Predominantly Hispanic Sample of Man Who Have Sex
With Man. American Journal of Men’s Health. Vol.2 (4). Pp. 314-321.
Handoko, P dkk, 2001. Perilaku Kaum Homoseksual dan Persepsi Mengenai PMS.
Dalam Konstruksi Seksualitas : Antara Hak dan Kekuasaan. Kerjasama ford
Foundation dan Pusat Penelitian Kependudkan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Hurlock, E. 2004. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Erlangga. Jakarta.
Koeswinarno, 2005. Hidup Sebagai Waria. LKiS. Yogyakarta.
Kartono, K. 2009. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Mandar Maju.
Bandung.
Nadia, Z. 2005. Waria Laknat atau Kodrat. Galang Press. Yogyakarta.
Sarwono, S. W. 2006. Psikologi Remaja. Rajawali Press. Jakarta.
Suara Merdeka. 2007. AIDS Canddle Light Memorial, 18 Juni 2007
Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Kansius. Yogyakarta.
Suswardana dkk, 2007. Infeksi Menular Seksual pada Komunitas Waria di Yogyakarta :
Kajian Terhadap Berbagai Faktor Risiko Tingginya Prevalensi HIV, Jurnal
Kedokteran Indonesia Medika,;7( 33):89-93.
Download