BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apendisitis dapat disebabkan oleh lumen usus yang pecah, pembengkakan pada jaringan dinding apendiks, dan inflamasi di usus (Hendarto, 2010). Terapi untuk pasien apendisitis adalah apendektomi, pada tahun 1800-an dilakukan dengan cara operasi terbuka setelah tahun 1990-an disarankan untuk menggunakan laparoskopi (Masoomi, 2014). Pasien yang mengalami operasi bedah apendektomi memerlukan analgesik untuk menghilangankan rasa nyeri pasca operasi. Derajat nyeri yang dialami pasien pasca operasi lebih dari 3 dengan jumlah pasien 112 adalah 47% dan lebih dari 5 dengan jumlah pasien 101 adalah 39% (Leyzell, 2005). Hasil penelitian Hapsari dan Astuti (2004) di RSUD Dr. Margono Soekarjo Purwokerto terdapat ketidaksesuian penggunaan obat analgesik diluar standar terapi adalah tramadol sebanyak 4,40%, tramadol tidak termasuk analgesik pasca operasi apendektomi dalam formularium RSUD Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, analgesik yang digunakan untuk apendektomi adalah ketorolaktrometamina 28,52%, asam mefenamat 25,22%, metampiron 17,58%, ketoprofen 16,48%, parasetamol 4,40% dan Na diklofenak 3,29 %. RSUP Dr. Soeradji Tirtonegara merupakan rumah sakit rujukan untuk daerah Klaten. RSUP Dr. Soeradji Tirtonegara Klaten melakukan operasi ringan hingga berat. Apendektomi merupakan operasi denganperingkat 50 besar dengan jumah pasien setiap tahunnya antara 160 sampai 200 pasien antara tahun 2011 sampai 2014, untuk itu perlu dilakukan penelitian terkait penggunaan analgesik pada pasien apendektomi dengan mempertimbangkan ketepatan anagesik meliputi tepat obat, tepat indikasi, tepat pasien, tepat dosis dan gambaran analgesik digunakan berdasarkan penggunaan regimen untuk perbedaan level nyeri dari WHO dan beberapa jurnal. 1 2 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah 1. Bagaimana gambaran penggunaan analgesik pada pasien apendektomi di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten 2014? 2. Bagaimana ketepatan analgesik meliputi ketepatan indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten 2014? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan pada penelitian ini adalah 1. Mengetahui gambaran penggunaan penggunaan analgesik pada pasien apendektomi di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten 2014. 2. Melakukan evaluasi ketepatan analgesik meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis pada pasien apendektomi di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten 2014. D. Tinjauan Pustaka Nyeri adalah multidimensional yang fenomena. Dimensi-dimensi yang meliputi dimensi fisiologi, kognitif, afektif, sensori dan perilaku. Mekanisme timbulnya nyeri ada 4 proses yang tejadi yaitu transdusi, transmisi, persepsi dan modulasi (Ardinata, 2007).Klasifikasi nyeri ada 2 berdasarkan lama terjadinya yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri karena proses penyakit atau ketidaknormalan dari otot atau visera, nyeri ini mudah dideteksi, lokasinya jelas dan terjadi kerusakan jaringan disebut nyeri akut. Nyeri akut akan hilang bila penyebabnya dihilangkan, tetapi dalam kasus seperti trauma dan operasi, nyeri yang tidak cepat ditangani dapat menyebabkan beberapa gangguan seperti takikardi, takipenia, peningkatan tekanan darah dan penurunan kapasitas paru, sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi lebih dari 1 bulan atau waktu yang lebih lama diperlukan pada proses penyembuhan yang seharusnya sudah sembuh, yang termasuk kedalam nyeri kronis adalah nyeri persisten yaitu nyeri 3 yang terjadi pada durasi waktu tertentu dan berlangsung lebih dari 3 bulan, nyeri ini masih dirasakan oleh penderita walaupun penyebab nyeri dihilangkan (Koda, 2009). Menurut Meliala (2004) klasifikasi nyeri berdasarkan mekanisme nyeri ada 4 yaitu pertama nyeri nosiseptif (nyeri fisiologi) adalah stimulus noksius dari nyeri sementara. Nyeri ini umumnya akan hilang tanpa pengobatan atau dengan analgesik ringan. Kedua nyeri inflamasi adalah nyeri yang karena adanya inflamasi atau kerusakan jaringan, dapat bersifat spontan. Ketiga nyeri neuropati yaitu nyeri pada sistem saraf yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer. Keempat nyeri psikogenik yaitu nyeri dengan kelainan organik yang tidak terdeteksi. Nyeri yang tidak terobati dapat membuat perubahan secara menyeluruh pada individu, sosial ekonomi, psikologik maupun secara fisiologi, karena dampak dari nyeri itu luas perlu dilakukan penatalaksanaan nyeri secara optimal dan rasional (Meliala, 2004). Tingkat nyeri seseorang dapat diukur dengan derajat nyeri, gambar derajat nyeri dibawah ini dapat digunakan untuk mengukur nyeri yang bersifat subjektif. Analgesik adalah senyawa obat yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau rasa nyeri. Analgesik dibagi dalam 2 golongan yaitu analgesik non narkotik dan analgesik narkotik (Syarif, 2007). Klasifikasi obat golongan opioid: Tabel 1. Klasifikasi obat golongan opioid sumber Buku Farmakologi dan Terapi (Syarif, 2007) Stuktur dasar Fenantren Fenilheptilamin Fenilpiperidin Morfinan Benzomorfan Agonis kuat Morfin Hidromorfon Oksimorfon Metadon Meperidin Fentanil Levorfanol Agonis lemah sampai sedang Kodein Oksikodon Hidrokodon Propoksifen Difenoksilat Campuran agonis– antagonis Nalbufin Buprenorfin Antagonis Nalorfin Nalokson Naltrekson Butorfanol Pentasozin Pada tabel 1 memperlihatkan golongan analgesik opioid merupakan salah satu jenis dari analgesik narkotik. Analgesik opioid adalah kelompok obat yang bersifat seperti opium. Analgesik opioid digunakan untuk menghilangkan nyeri (Syarif, 2007). 4 Gambar 1 merupakan salah satu jenis analgesik yang tidak bersifat seperti opium, efek samping dari golongan NSAID lebih ringan (Syarif, 2007). Gambar 1. Golongan Non Storoid Sumber Syarif (2011) Penggunaan obat yang rasional adalah jumlah obat yang digunakan sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dengan biaya rendah dan masa yang cukup. Ketidakrasional pemberian obat dapat dilihat dari pemberian dosis (berlebih atau kurang), penggunaan obat yang seharusnya tidak digunakan namun digunakan/polifarmasi, pemberian obat yang memiliki ketoksikan lebih tinggi, pemberian sediaan obat bentuk injeksi namun ada oralnya, penggunaan obat tanpa dasar dan pemberian obat yang berinteraksi (Sadikin, 2011). Tabel 2. Penggunaan Regimen untuk perbedaan level nyeri dari Guideline WHO sumber Koda Kimble (2009) Level nyeri Nyeri ringan Derajat nyeri 1-3 Nyeri sedang 4-6 Nyeri berat 7-10 Rekomendasi Terapi WHO Non opioid diberikan namun tidak seperlunya digunakan Contoh pengobatan untuk terapi Komentar penambahan 1. Parasetamol 650 mg setiap 4 1. Mempertimbangkan analgesik atau alternatif regimen jika jam nyeri tidak berkurang selama 12 hari 2. Parasetamol 1000 mg setiap 6 2. Mempertimbangkan langkah jam selanjutnya jika nyeri tidak 3. Ibuprofen 600mg setiap 6 jam berkurang menggunakan 2 regimen yang berbeda penambahan Pemberian 1. Parasetamol 325 mg/codein 1. Mempertimbangkan analgesik atau alternatif regimen jika opioid untuk 60 mg setiap 4 jam nyeri tidak berkurang selama 12 hari nyeri sedang 2. Parasetamol langkah 325mg/oxycodone 5 mg setiap 2. Mempertimbangkan selanjutnya jika nyeri tidak 4 jam berkurang menggunakan 2 regimen 3. Tramadol 50mg setiap 6jam yang berbeda 1. Pertimbangan regimen alternatif Potensi tinggi 1. Morphine 15 mg setiap 4 jam 2. Hydromorphone 4mg setiap 4 2. Pertimbangan peningkatkan opioid kuat, atau penambahan non opioid. jam 3. Morphine control lepas lambat 60 mg setiap 8 jam ( Koda, 2009) 5 Kondisi apendiks mengalami inflamasi dan obstrusi usus disebut apendisitis, yang dapat disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks oleh material usus, infeksi pada apendiks dan inflamsi pada usus. Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium apendisitis (Hendarto, 2010) Pemeriksaan WBC (White Blood Cell) CT (computerized tomography) scan dilakukan pada pasien dewasa USG (Ultrasonografi), Matrix metalloproteinase Metrix metalloproteinase adalah biomarker pada apendiks Keterangan Jumlah kadar Leukosit : 10.000-18.000/uL Apabila kadar leukosit > 20.000/uL diindikasikan perforasi appendix a. Terjadi pembesaran appendiks> 6 mm (pada potongan melintang) b. Terjadi sedikit kontras pada apendiks pada penggunaan kontras oral. Untuk melihat kondisi fossa illiaca dexter pada pasien anak-anak. USG digunakan untuk melihat ketidaknormalan pada apendiks. a. MMP-1 akan ditemukan pada kondisi gangrene dan perforasi pada apendiks. b. MMP-9 akan ditemukan pada kondisi inflamasi pada apendiks. a. b. Klasifikasi apendisitis menurut Sjamsuhidayat (2010) yaitu apendisitis akut, apendisitis perforasi, apendisitis rekurens, apendisitis kronis dan mukokel apendiks. Apendisitis akut disebabakan karena peradangan mendadak pada umbai cacing, terjadi nyeri viseral yaitu nyeri terasa samar-samar dan tumpul didaerah epigastrum disekitar umbilikus. Apendisitis perforasi yaitu terjadi peritoritis umum yang disebaban pecahnya apendiks. Apendisitis rekurens jika pasien sebelumnya memiliki riwayat nyeri perut bagian bawah secara berulang dan apendisitis akut yang sembuh secara spontan. Apendisitis kronis bila pasien memiliki riwayat nyeri perut bagian bawah lebih dari 2 minggu, terjadi peradangan kronik secara mikroskopik dan makrosopik. Mukokel apendisitis adalah apendiks mengalami dilatasi kristik yang berisi musir karena obstruksi kronik pangkal apendiks biasanya berupa jaringan fibrosa. Pada pasien apendisitis dilakukan pengangkatan apendiks yang disebut apendektomi yang dilakukan dengan laparascopy atau dengan open abdominal surgincal. Penanganan ketika sebelum operasi adalah pemberian infus untuk menghindari dehidrasi, pasien disarankan untuk puasa karena dapat mengganggu jalannya operasi. Penanganan setelah operasi adalah pemeriksaan incise 6 pembedahan selama 2-4 minggu untuk melihat ada tidaknya infeksi (Hendarto, 2010). Pada diagnosa laproskopi pasien pasca operasi tidak dapat minum obat secara oral, hingga 4-6 jam setelah operasi. Sehingga perlu intravena dalam pemberian analgesik. Pemberian obat secara oral tergantung keadaan mortilitas usus. Golongan NSAID (Non Steroid Anti Inflamasi Drug) cukup untuk mengontrol rasa sakit setelah operasi dan mengurangi kebutuhan opioid. Pada operasi minor dapat menggunakan anastesi dan NSAID atau parasetamol.Siklooksigenase-2 (COX-2) inhibitor merupakan kontraindikasi untuk penggunaan jangka panjang pada pasien masalah kardiovaskular seperti serangan jantung, angina pectoris, hipertensi, dan aterosklerosis (National Guideline Clearinghouse, 2010). Dari hasil penelitian di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta oleh Pranomo (2014) pada pasien usus buntu yang menjalani laparoskopi rata-rata durasi keluhan sakit menghilang setelah pemberian analgesik tramadol. Rasonalitas pemberian tramadol pasca operasi adaah 50-100 mg dengan interval pemberian 8 jam (Ferdianto, 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sindhvananda (2005) perbandingan parecoxib dengan tramadol untuk nyeri pasca operasi apendektomi adalah parecoxib digunakan untuk nyeri ringan dan dapat mengurangi konsumsi dari meperidine daripada tramadol, parecoxib lebih baik digunakan karena efek sedasi yang lebih ringan untuk operasi apendektomi.