D_762008003_BAB III

advertisement
BAB III
AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME
Beberapa Pengertian Tentang Agama
Dalam studi ini, pengertian tentang agama yang menjadi titik tolak
untuk mengaitkannya dengan negara, terutama diambilkan dari tradisi
sosiologi agama, dengan dari para sosiolog, mengecualikan pengertian agama
yang ditawarkan Wilfred Cantwel Smith (fenomenologi) dan Ludwig
Wittgenstein (filsafat analitika). Emile Durkheim mengatakan bahwa
fenomena keberagamaan didasarkan atas dua kategori dasar, belief atau
kepercayaan dan ritus.1 Belief, dalam bahasa Durkheim adalah states of
opinion and consist of representations. Sementara ritus adalah bentuk
partikular dari tindakan.2 Ritus dapat dibedakan dari praktek manusia
lainnya, hanya dengan melihat dasar yang khusus dari objek tersebut. Dasar
spesial itulah yang diekspresikan dalam ”belief”. Sehingga, hanya setelah
mendefinisikan belief, kita baru dapat mendefinisikan ritus.3
Agama, karenanya lebih dari sekadar gagasan tentang Tuhan dan roh,
sehingga agama tidak dapat dibatasi dan didefinisikan semata-mata
kaitannya dengan keduanya. Segala hal yang terkait dengan keyakinan dan
praktek yang memiliki ketersambungan dengan sesuatu yang sakral itulah
yang dalam terminologi Durkheim dikenal sebagai agama. Ada catatan
menarik dari Durkheim yang bisa kita cermati. Ia menuturkan bahwa agama
berbeda dengan magis.4 Jika magis merupakan upaya individual, sementara
agama tidak dapat dipisahkan dari ide komunitas peribadatan atau moral.
Dengan kata lain, watak dasar agama, dalam konteks sosiologis adalah
keperluan akan institusi sosial untuk melegitimasi kandungan doktrinnya.
1 Emile Durkheim, The Elementary forms of Religious Life (New York: Free Press,
1995), 34.
2 Ibid.
3 Ibid.
4 Ibid., 39.
Kemudian masuklah kita pada definisi agama dari Durkheim yang
sangat familiar itu. Agama, menurut Durkheim adalah ”unified system of
beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart
and forbidden-beliefs and practices which unite into one single moral
community called a Church, all those who adhere to them”.5
Dari tradisi fenomenologi, Wilfred Cantwel Smith menuturkan, dalam
diri agama selalu terkandung dua faktor yang berbeda jenis tetapi sama-sama
dinamis yakni “tradisi kumulatif” yang historis dan iman personal manusia.6
Tradisi kumulatif merupakan keseluruhan massa data objektif terbuka
yang merupakan kandungan historis dari kehidupan religius pada masa
silam. Contoh yang paling konkret untuk menggambarkan tradisi kumulatif
adalah bangunan-bangunan peribadatan, kitab-kitab suci, sistem teologi,
pola-pola tari, institusi legal dan sosial lainnya, konvensi, kode moral, mitos
dan sebagainnya. Dengan kata lain, tradisi kumulatif merupakan sesuatu
yang dapat dan memang dialihkan dari satu orang atau generasi ke orang
atau generasi lain serta dapat diamati oleh sejarawan.
Tradisi kumulatif ini tentu saja menjadi aspek yang cukup penting
untuk melihat sejauhmana agama dapat berfungsi dalam sebuah masyarakat.
Jika tradisi kumulatif merupakan gambaran konkret agama, tidak demikian
halnya dengan iman personal. Iman personal sangat terkait erat dengan
bagaimana ia mengkonseptualisasikan tentang Yang Transenden. Jika teologi
adalah bagian dari tradisi-tradisi, maka iman berada di luar, melampaui
teologi yakni dalam hati manusia.
Leonard Swidler dan Paul Mojzes dengan rumusannya yang sederhana,
namun sangat filosofis, mengatakan bahwa agama merupakan eksplanasi
terhadap makna tertinggi dalam hidup. Biasanya agama mengandung empat
Ibid., 44.
Wilfred Cantwel Smith, The Meaning and End of Religion, terj. (Bandung: Mizan,
2004), 269.
5
6
unsur yakni Creed, Code, Cult dan Community-Structure atau yang lebih
dikenal dengan formulasi 4 C.7
Creed merujuk pada aspek kognitif dari agama. Code (of behaviour) atau
etika termasuk didalamnya semua aturan dan adat atau prilaku yang
merupakan pengejawantahan dari code. Sementara cult adalah upacara
sebagai media untuk berkomunikasi dengan creed. Community yakni
komunitas yang bersama-sama menjalankan creed, code dan cult.8
Dengan bahasa yang sedikit berbeda, meski ada banyak semangat yang
sama, Meredith B. McGuire dalam ”Religion: The Social Context” mengatakan
bahwa agama mengandung empat aspek.9 Pertama, religious belief. Seperti
halnya yang dikatakan Swidler dan Mojzes, aspek ini merupakan aspek
kognitif. Dengan kepercayaan, manusia membuat pilihan, menafsirkan setiap
kejadian dan merencanakan tindakan.
Kedua, religious ritual. Aspek ini terkait dengan tindakan simbolik yang
merepresentasikan makna agama. Ritual merupakan jalan yang efektif untuk
mentransformasi tempat dan waktu. Tempat-tempat ritual seperti gunung
dan kuil dapat ditransformasi ke dalam lokus kekuasaan dan kekaguman.
Aspek ritual, memang menjadi catatan menarik dalam sebuah agama.
Inilah yang mendorong E. Thomas Lawson dan Robert N. McCauley mencoba
merumuskan ritual dalam tiga kapasitas.10 Ritual bisa dimaknai, pertamatama dalam artian ungkapan performatif. Yang kedua, ritual bisa juga
diartikan sebagai komunikasi informasi. Dan yang terakhir, ritual dijelaskan
sebagai sistem formal.11
Ketiga, religious experience. Menurut McGuire, aspek ini merupakan
ekspresi dari semua keterlibatan subjektif dari individu dengan yang
Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global Dialogue
(Philadelpia: Temple University Press, 2000), 7.
8 Ibid., 7-8.
9 Meredith B. McGuire, Religion: The Social Context (California: Wadsworth, 1992),
16.
10 E. Thomas Lawson dan Robert N. McCauley, Rethinking Religion: Connecting
Cognition and Culture (Cambridge University Press, 1990), 45-59.
11 Ibid.
7
sakral.12 Meskipun pengalaman secara esensial bersifat privat, manusia
mencoba untuk mengkomunikasikannya melalui ekspresi keyakinan dan
dalam ritual. Ritual komunal menjadi seting bagi pengalaman keagamaan
personal. Sholat, meditasi, bernyanyi dan menari adalah seting bersama bagi
pengalaman keagamaan personal.
Keempat, religious community. Pengalaman keagamaan termasuk
didalamnya adalah kesadaran memiliki kelompok keagamaan. Ritual selalu
mengingatkan individu terhadap kepemilikan akan hal ini, menambah
intensitas terhadap kebersamaan.13 Nilai dari definisi, klasifikasi dan
konseptualisasi sosial mengenai agama, termasuk yang menyangkut
komunitas, bisa dilihat dalam keberhasilannya menteoritisasikan dan
menjelaskan fenomena sosial.14
Roland Robertson membuat dua pembedaan dalam menerangkan
definisi sosiologis mengenai agama, definisi nominal dan riil (nominal
definition and real definition).15 Definisi nominal menjadi menarik, karena
dapat dicoba ke dalam suatu bagan konseptual, kurang lebih dengan
mengabaikan permasalahan empiris tertentu. Sementara definisi riil
digunakan dalam jalan yang sangat berbeda yakni dalam pernyataan tentang
dunia yang empiris.
Pembedaan secara sosiologis model lain digunakan Robertson untuk
melihat agama, yakni functional dan substantive definition. Bentuk ini, meski
berbeda dengan kategori nominal dan riil, tetapi memiliki ketersambungan
makna. Menurut Robertson, definisi fungsional pada prakteknya mengarah
pada definisi nominal, sedangkan definisi substantif cenderung menjadi
definisi riil.
Definisi fungsional mengenai agama, diajukan sebagai kriteria untuk
mengidentifikasi dan mengklasifikasi sebuah fungsi dimana fenomena itu
Meredith B. McGuire, Religion. . ., 18.
Ibid., 20.
14 Roland Robertson, The Sociological Interpretation of Religion (Oxford: Basil
Blackwell: 1972), 36.
15 Ibid.
12
13
digambarkan.16 Dalam konteks tertentu, definisi fungsional dapat berjalan
beriringan dengan fungsi substantifnya. Karenanya, keduanya tidak harus
dilihat sebagai dua arus terpisah.
Contohnya bisa dilihat dalam penjelasan mengenai komunisme.
Komunisme bisa diidentiifikasi sebagai agama karena dapat memenuhi
semua fungsi agama.17 Atau dalam pengertian yang lebih ringan, komunisme
memiliki fungsi yang ekuivalen dengan agama. Dengan term ini berarti
komunisme menggambarkan fungsi serupa yang secara konvensional dan
intuitif dimengerti sebagai agama dalam masyarakat non komunis. Tesis
fungsional-ekuivalen
itu
penting
karena
mengkombinasikan
elemen
substantif dan fungsional. Itu berarti, komunisme secara fungsional,
ekuivalen dengan agama, sebagai pendefinisian secara substantif.18
Berbeda halnya dengan Robertson dan McGuire, George A. Lindbeck
memaknai agama sebagai sistem cultural-linguistic.19 Agama, kata Lindbeck,
bisa dilihat sebagai kerangka kultural dan linguistik atau medium yang
membentuk seluruh kehidupan dan pemikiran.20
Seperti halnya budaya atau bahasa, agama juga merupakan fenomena
komunal yang membentuk subjektifitas individual bahkan terutama
merupakan manifestasi dari subjektifitas tersebut.21 Bahasa berhubungan
dengan form of life, dan budaya memiliki dimensi kognitif dan perilaku,
demikian pula halnya dengan tradisi agama. Doktrin, mitos dan cerita kosmis,
petunjuk etis, secara integral dihubungkan dengan praktek ritual, sentimen
atau pengalaman menumbuhkannya, tindakan yang merekomendasikan, dan
institusi yang mengembangkan.22
Ibid.
Ibid., 38.
18 Ibid., 39.
19 George A. Lindbeck, The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal
Age (Philadelphia: The Westminster Press, 1984), 33.
20 Ibid.
21 Ibid.
22 Ibid.
16
17
Kata Lindbeck, agama, yang terutama adalah external word atau verbum
externum, yang mencetak dan membentuk diri dan dunianya, lebih dari
ekspresi atau tematisasi dari diri yang ada sebelumnya atau pengalaman
yang sudah terkonsep.23 Meski Lindbeck menekankan pada aspek verbum
externum, tetapi verbum internum (dalam Kekristenan biasa dikenal dengan
Roh Kudus atau ”Holy Spirit”) juga penting diperhatikan. Tetapi verbum
internum hanya dapat dipahami dalam model penggunaan teologis sebagai
kapasitas untuk mendengar dan menerima agama yang benar, bisikan luar,
lebih dari pengalaman bersama yang diartikulasikan secara berbeda dalam
berbagai agama.24
Tentang bahasa, Ludwig Wittgenstein, seorang filosof analitis dari
Austria melihat bahwasanya bahasa ilmiah tidak mungkin bisa merangkum
realitas yang terhampar di alam raya. Keterbatasan bahasa ini pulalah yang
kemudian berimbas pada pemahaman metapor bahasa agama. Karena
baginya, agama tidak lahir dalam kondisi yang sama serta dengan struktur
pengetahuan yang mapan.25
Karenanya ia mengajukan satu metode yang cukup apik saat manusia
berhadapan dengan kompleksitas bahasa agama, yakni “the language game”.
Dalam pengertian ini, manusia memperlakukan bahasa bagaikan dalam
sebuah permainan, seperti halnya bermain catur atau sepak bola.
Meskipun sifatnya permainan, tetapi di sana terdapat karakter atau rule
of the game yang harus ditaati. Pertama, berbahasa, seperti halnya
permainan, selalu bersifat publik. Artinya, bahasa dan permainan selalu
tumbuh bersama dan di tengah masyarakat. Kedua, sebuah permainan
memiliki aturan yang disepakati oleh pemain, penonton dan wasit. Ketiga,
ada tujuan yang hendak diraihnya. Keempat, berbahasa memiliki keasyikan
tersendiri, sehingga lebih nyaman berbicara daripada tutup mulut. Jadi
Ibid., 34.
Ibid.
25 Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Discipline (Minneapolis:
Fortress Press, 1995), 250.
23
24
berbahasa selalu bersifat sosial, spontan memiliki aturan dan bertujuan.
Seseorang tidak bisa berbicara sekehendak hatinya tanpa melalui
kesepakatan sosial.26
Permainan bahasa ala Wittgenstein inilah yang patut diperhatikan
dalam operasionalisasi bahasa agama. Meski memiliki kompleksitas tinggi,
tetapi ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan dalam memahami bahasa
agama.27 Oleh karenanya, makna terdalam dari sebuah bahasa tidak bisa
diukur dengan menggunakan standar gramatika yang baku, tetapi juga
melibatkan aspek psikologis, sistem nilai yang dianut, serta imajinasi yang
melatarbelakangi munculnya sebuah ungkapan atau tulisan.
Sebagai rujukan teoritis yang terakhir, penulis mengajukan argumentasi
J. Milton Yinger. Penegasannya tentang hal ini akan sangat membantu kita
memahami bagaimana agama dan kepercayaan dibedakan sekaligus
disepadankan. Kala berhadapan dengan kepercayaan individual, Yinger
mengajukan pertanyaan mendasar “are individual system of belief to be called
religion”?28
Bagi Yinger, agama yang sempurna bagaimanapun harus berupa
fenomena sosial.29 Agama harus bisa diidentifikasi sebagai kenyataan penting
bahwa keyakinan yang ada didalamnya juga memiliki dampak pada asosiasi
Kebenaran dalam sebuah bahasa agama akan bisa dilihat dengan tiga optik.
Pertama, apa yang dalam filsafat bahasa disebut sebagai teori ideational. Kebenaran bahasa
dalam pandangan teori ini akan ditemukan bukan berada dalam dirinya, tetapi ada dalam
makna yang esensial dan berada secara otonom dalam bentuk ide. Kedua, cara lain untuk
mengetahui kebenaran bahasa agama adalah dengan menggunakan teori referential.
Kebenaran dalam pandangan teori ini terletak pada ketepatan relasi antara proposisi dan
objek yang ditunjuk dengan dukungan kekuatan penalaran logis (the power of logical
thinking). Sementara yang ketiga, kebenaran akan bisa ditangkap melalui teori behavioral.
Kebenaran bahasa agama akan sangat ditentukan oleh pesan yang dikehendaki oleh
pembicara dalam rangka mempengaruhi perilaku pendengar atau pembicara. Komaruddin
Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung: Teraju, 2003), 28-29 dan 66.
27 Tedi Kholiludin, “Kompleksitas Bahasa Agama”, Koran Tempo, 23 September 2007.
28 J. Milton Yinger, The Scientific Study of Religion (New York: Macmillan Publishing,
1970), 10.
29 Ibid.
26
manusia. Bahkan, kematian sekalipun, kata Yinger secara fundamental
bukanlah termasuk krisis individu, melainkan krisis kelompok.30
Dalam pandangan Joachim Wach, semua agama, dengan berbagai
variasi yang dimilikinya, memiliki tiga ekspresi umum. Secara teoritis agama
merupakan sistem kepercayaan. Secara praktis, agama adalah sistem ibadah.
Dan secara sosiologis, agama tak lain dari sistem hubungan masyarakat.31
Sebelum tiga aspek tersebut dipenuhi, maka seseorang mungkin hanya
bisa
dikatakan
baru
sebatas
memiliki
tendensi
keagamaan
atau
melaksanakan satu elemen keagamaan saja, tetapi bukan ”full religion”.32
Meskipun sistem kepercayaan merupakan jantung dari agama, petunjuk
etnologis dan etimologis memberi kesan bahwa agama sebagai penyembahan
dan sistem hubungan sosial adalah aspek yang paling dasar.33 ”Belief” datang
kemudian yang mencoba memberi koherensi dan makna terhadap
penyembahan dan asosiasi.
Agama Sebagai Fenomena Sosial:
Konsepsi Marx, Weber dan Durkheim
Dalam pergumulan ilmu-ilmu sosial, bahasan agama dihubungkan
dengan fenomena lain seperti struktur, ekonomi dan solidaritas sosial. Relasi
antara agama dengan institusi sosial lainnya itulah yang memunculkan
berbagai hipotesis tentang pengaruh diantara elemen-elemen tersebut. Karl
Marx, Max Weber dan Emile Durkheim adalah tiga orang yang cukup
memiliki peran dalam bahasan ini.
Pokok yang menjadi bahasan sosiologi Marx salah satunya adalah soal
alienasi. Dalam “Economic and Philosophic Manuscripts of 1844”, Marx
menunjukkan bentuk keterasingan manusia yang disebabkan oleh pekerjaan
(baca: ekonomi politik). Melalui tulisannya itu, Marx mengatakan kalau
Ibid.
Joachim Wach, Sociology of Religion (The University of Chicago Press, 1958), 17-34
32 J. Milton Yinger, The Scientific Study. . .
33 Ibid.
30
31
pekerjaan pada gilirannya menjadi komoditas, bahkan menjadi komoditas
yang paling menyusahkan; penderitaan pekerja itu bertambah buruk
bersamaan dengan bertambahnya kekuasaan dan jumlah produksinya. Hasil
dari persaingan adalah terkumpulnya modal pada segelintir orang, dan
mapannya monopoli dalam bentuknya yang lebih buruk. Pada akhirnya
perbedaan antara pemilik modal dan tuan tanah, dan antara buruh pertanian
dan pekerja industri pasti akan terlihat dan keseluruhan masyarakat terbagi
menjadi dua kelas, yakni pemilik yang kaya (property-owners) dan pekerja
yang miskin (propertyless-workers).34
Bahasan tentang ekonomi menjadi sentrum dari pemikiran Marx. Dalam
“The German Ideology”, Marx merumuskan premis dasar bahwa bidang
ekonomi menentukan bidang politik dan pemikiran manusia, bahwa bidang
ekonomi ditentukan oleh pertentangan antara kelas-kelas pekerja dan kelaskelas pemilik, bahwa pertentangan itu dipertajam oleh kemajuan teknik
produksi, dan bahwa pertentangan itu akhirnya meledak dalam sebuah
revolusi yang mengubah struktur kekuasaan di bidang ekonomi serta
mengubah struktur kenegaraan dan gaya manusia berpikir.35
Saat seorang buruh melakukan pekerjaan, Marx melihat kalau sang
buruh itu jatuh lebih miskin dari apa yang ia hasilkan dan meningkatnya daya
serta jangkauan barang tersebut.36 Barang yang dihasilkan pekerja
merangkak jauh lebih mahal daripada dirinya. Peningkatan devaluasi
kemanusiaan di satu sisi, dibarengi dengan meningkatnya nilai barang di sisi
yang lain. Kata Marx, labor produce not only commodities; it produces itself
and the worker as a commodity.37
Pada gilirannya, tindakan itu mengimplikasikan bahwa objek yang
diproduksi buruh kini bertentangan dengan buruh itu sendiri; objek itu
34 Robert C. Tucker (ed), The Marx-Engels Reader (London, New York: Norton
Company, 1978), 70.
35 Ibid., 147-200.
36 Ibid., 71.
37 Ibid.
menjadi makhluk asing dan kekuatan yang bebas dari pembuatnya.38 Apa
yang dihasilkan buruh adalah dirinya sendiri yang telah diwujudkan dalam
bentuk objek dan kemudian berubah menjadi benda fisik; produk ini
merupakan objektifikasi (objectification) buruh.39 Tindakan kerja pada saat
yang sama, tidak lebih dari objektifikasinya. Tindakan kerja, oleh ekonomi
politik dilihat sebagai pelemahan kerja, objektifikasi sebagai penghilangan
dan sebagai perbudakan pada objek, dan apropriasi sebagai alienasi.40
Tindakan kerja benar-benar terlihat sebagai pelemahan, yakni ketika
pekerja dilemahkan hingga menderita kelaparan. Objektifikasi terlihat
sebagai penghilangan objek, yakni pekerja dicabut, bukan hanya dari esensi
kehidupan, tetapi juga dari esensi pekerjaannya. Konsekuensi itu muncul dari
fakta bahwa pekerja berhubungan dengan hasil kerjanya sebagaimana
dengan objek yang asing. Semakin jelaslah bahwa semakin pekerja
mengembangkan
dirinya
dalam
kerja,
semakin
kuat
objek
yang
diciptakannya yang berada dihadapannya, maka semakin miskinlah
kehidupan batiniahnya dan semakin dia tidak menjadi dirinya sendiri. Hal
yang sama sebenarnya juga berlaku pada agama. Semakin manusia mensifati
dirinya dengan Tuhan, dia tidak mempunyai kehidupan dalam dirinya.41
Pekerjaan menyerahkan hidupnya pada objek, kemudian kehidupannya tidak
lagi menjadi dirinya, tetapi milik objek.
Kritik Marx terhadap agama (selain sebagai alienasi) bisa dilihat saat ia
menjelaskan soal kesadaran (manusia). Manusia adalah produsen ide,
konsepsi dan lainnya. Cara memahami manusia bukanlah berbicara dari apa
yang dikatakan, dimimpikan dan dipahami manusia, juga tidak berbicara dari
apa yang ternarasikan, terpikirkan, terbayangkan dan terpahami manusia.
Untuk sampai pada manusia, maka penting untuk melihat manusia nyata
yang aktif dari kehidupan faktualnya.
Ibid.
Ibid.
40 Ibid., 71-72.
41 Ibid., 72.
38
39
Apa yang ada dalam pikiran manusia sebenarnya juga tak lain dari
sublimasi dari proses kehidupan manusia, yang secara empiris dapat
diverifikasi dan terikat dengan premis-premis material. Moralitas, agama,
metafisika, semua ideologi dan bentuk kesadaran yang terikat, makanya tidak
mempertahankan kemiripan independensinya. Kesemuanya itu tidak
memiliki sejarah, perkembangan, tetapi manusialah yang mengembangkan
produksi dan hubungan materialnya, mengubah, sepanjang eksistensi
nyatanya, pemikiran dan produk-produk berpikirnya.
Makna kehidupan yang paling hakiki diuraikan dalam satu frase yang
cukup menarik bahwa, “Hidup tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi
kesadaran ditentukan oleh hidup” (Life is not determined by consciousness,
but consciousness by life). Dalam pendekatan pertama, titik awalnya adalah
kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang hidup, sedangkan dalam
pendekatan yang kedua, titik awalnya adalah individu-individu itu sendiri
yang hidup secara nyata, karena mereka berada dalam kehidupan aktual,
sedangkan kesadaran dengan sendirinya semata-mata dianggap sebagai
kesadaran mereka.
Pendekatan yang pertama, dengan menjadikan kesadaran sebagai titik
awal, bagi Marx sama sekali tidak bisa dijadikan premis. Pendekatan hanya
bisa dimulai dari premis nyata. Premis-premisnya adalah manusia, bukan
isolasi fantastik atau definisi abstrak, yang berada dalam proses
perkembangan yang aktual yang bisa dipahami secara empiris di bawah
kondisi-kondisi tertentu. Inilah filosofi dari gagasan pokok materialisme
Marx. Ia kemudian melanjutkan bahwa segera setelah proses kehidupan yang
aktif ini dideskripsikan, sejarah tidak lagi menjadi sekadar koleksi fakta-fakta
beku karena sejarah berada di tangan para empiris (tetapi mereka sendiri
masih abstrak), atau menjadi sebuah aktivitas imajiner dari subjek-subjek
yang imajiner juga ketika sejarah berada di tangan idealis.
Inilah sebenarnya filosofi dari kritik Marx terhadap agama. Ia kemudian
menggambarkan kritik terhadap agama adalah prasyarat terhadap seluruh
kritik.42 Landasan kritisisme irreligious adalah; manusia menciptakan agama,
bukan agama yang menciptakan manusia.43 Marx konsisten dengan
argumentasinya bahwa manusia adalah penggerak sejarah, termasuk dalam
kaitannya dengan agama. Menurut Marx, agama adalah sebentuk kesadaran
diri (self consciousness) dan harga diri (self esteem) manusia yang belum
menemukan dirinya sendiri atau sudah kehilangan dirinya sendiri.44 Hanya
saja perlu dimengerti bahwa manusia menginjakkan kakinya di bumi, dalam
sebuah edaran sejarah. Manusia adalah dunia umat manusia; negara,
masyarakat (state, society). Ia berada diantara masyarakat. Masyarakat itulah
yang menghasilkan agama yang oleh Marx dianggap sebagai kesadaran dunia
yang terbalik dimana agama merupakan teori umum tentang dunia tersebut.
Marx kemudian menuturkan bahwa agama merupakan realisasi esensi
manusia (human essence) yang penuh khayalan (fantasi) karena inti manusia
itu belum memiliki realitas yang nyata.45 Bagi Andrew McKinnon, pernyataan
ini merupakan gambaran agama seperti yang diungkapkan oleh Ludwig
Feurbach.46 Maka, perjuangan melawan agama secara tidak langsung adalah
perjuangan melawan sebuah dunia yang aroma spiritualnya adalah agama
tersebut.
Lalu Marx mengatakan,
Religious suffering is, at one and the same time, the
expression of real suffering and a protest against real
suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the
heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions.
It is the opium of the people.
The abolition of religion as the illusory happiness of the
people is the demand for their real happiness. To call on them
Ibid., 53.
Ibid.
44 Ibid.
45 Ibid.
46 Andrew McKinnon, “Opium as Dialectics of Religion: Metaphor, Expression and
Protest”, dalam Warren S. Goldstein (ed), Marx, Critical Theory and Religion: A Critique of
Rational Choice, (Boston: BRILL, 2006), 20.
42
43
to give up their illusions about their condition is to call on
them to give up a condition that requires illusions.47
Agama sebagai “opium” kerapkali dijadikan sebagai “standar” untuk
menggambarkan pikiran Marx soal agama. Daniel L. Pas tidak terlalu
mementingkan apakah Marx tahu kegunaan opium pada masanya itu atau
tidak.48 Yang pasti, Marx tahu bahwa opium adalah narkotik dan
halusinogenik yang dapat meringankan rasa sakit dan menciptakan fantasifantasi. Disitulah makna agama yang dapat meringankan beban bagi mereka
yang membutuhkan, terutama orang-orang miskin. Berangkat dari kenyataan
seperti itu, Marx memberi solusi dengan mengamini tawaran Ludwig
Feurbach. Dalam “Theses on Feurbach,” Marx mengatakan the philosophers
have only interpreted the world, in various ways; the pint, however, is to change
it.49
Meski menyetujui komentar Feurbach soal upaya merubah dunia (tidak
hanya menafsirkan), namun Marx mengkritik pendapat Feurbach soal agama.
Marx menilai gagasan Feurbach tentang esensi agama itu sebagai suatu yang
abstrak. Dalam “Theses of Feurbach,” Marx menuturkan kalau Feurbach
melebur hakekat keagamaan ke dalam hakekat kemanusiaan. Tetapi hakekat
kemanusiaan bukanlah abstraksi yang terdapat pada satu-satu individu.
Dalam kenyataannya, ia adalah keseluruhan dari hubungan-hubungan
sosial.50
Berbeda dengan Feurbach yang menekankan pada abstraknya esensi
manusia, Marx bergerak pada ranah yang lebih konkrit. Dengan memperluas
makna “ekspresi”, Marx menggarisbawahi pentingnya dimensi sosial dengan
mengatakan bahwa agama adalah semangat dari mereka yang tak memiliki
Ibid.
Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion (New York: Oxford University Press,
2006), 135.
49 Robert C. Tucker (ed), The Marx-Engels Reader. . . 145.
50 Ibid.
47
48
semangat dan hati dari situasi sosial yang tak berhati, dimana agama
merupakan keluhan dan saksi terhadap penindasan.51
Melihat pengertian Marx tentang agama di atas, kita akan mendapati
tiga kata penting, yakni ekspresi (expression), protes (protest) dan opium.
Kata opium sebagaimana digambarkan oleh Marx, kata McKinnon memiliki
pengertian yang merupakan dialectical culmination of movement dari
ekspresi dan protes.52 Kata McKinnon, pembaca “tradisional” terhadap Marx
kerapkali mengabaikan konteks dan dialektika dari gerakan ekspresi dan
protes ini, dimana opium menjadi penanda yang membawa keduanya dalam
satu momen.53 Opium, dalam kalimat tersebut merupakan sebuah metafora
dimana Marx menggunakannya dalam konteks yang khusus dan mendorong
kita untuk melihatnya secara dialektis: opium/agama merupakan ekspresi
dan protes.
Terlepas dari perdebatan tentang opium, yang jelas pengertian Marx
tentang agama telah bergerak dari percaturan teologi dan menjadikannya
sebagai problem ekonomi dan politik. Selain itu, Marx menempatkan agama
lebih konkret daripada Feurbach, dengan mengalamatkannya pada negara
dan masyarakat, bukan esensi manusia. Kaitannya dengan persoalan
ekonomi, Marx menunjukkan paralelitasnya dengan agama. Keduanya
ditandai oleh alienasi.54 Walaupun demikian, Marx juga menyoroti hubungan
antara kehidupan material dan spiritual yang saling mempengaruhi.
Kehidupan di bidang ekonomi akan merubah kehidupan spiritual.55 Pada
akhir abad pertengahan memang kita menyaksikan hadirnya kapitalisme dan
pergeseran dari Katolikisme ke Protestantisme. Hanya saja pertanyaannya
kemudian, apakah faktor ekonomi menjadi satu-satunya agen perubahan
tersebut? Atau bisa jadi yang ada dalam kenyataan adalah hal sebaliknya,
Andrew McKinnon, “Opium as Dialectics of Religion. . ., 22.
Ibid.
53 Tentang konteks historis fungsi dan kegunaan opium pada abad 19, lihat Ibid., 1251
52
17.
54
55
Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion. . . 134.
Ibid., 141.
dimana nilai agama yang merubah kehidupan ekonomi? Pertanyaan terakhir
ini menggiring kita pada pemikiran tokoh Jerman yang lahir dua dasawarsa
setelah kematian Marx yakni, Max Weber.
Fokus utama dari tulisan-tulisan Max Weber dalam wilayah agama,
dibentangkan hingga masalah organisasi dan proses ekonomi, sistem politik
organisasi formal, dan hukum. Ketika dia berbicara tentang agama, Weber
tidak menuturkan agama “as such” seperti halnya para teolog atau sejarawan
gereja mengupasnya, tetapi hubungan antara ide-ide keagamaan dan
komitmen serta aspek lain dari kehidupan manusia terutama karakteristik
manusia
dalam
sebuah
masyarakat.
Konsentrasi
Weber
adalah
mengkhususkan diri pada apa yang disebut sebagai sosiologi agama. Weber
menampilkan fase baru dalam memahami hubungan antara aspek
keagamaan dan aspek lain dari perilaku manusia.
Soal mendefinisikan agama, bisa dikatakan bahwa Weber adalah orang
yang gagal melakukannya. Setidak-tidaknya sebuah catatan sistematika
tentang apa yang akan dilakukan untuk sampai pada pembuatan definisi
agama, Weber tidak berhasil memformulasikan hal tersebut. Weber
mengatakan, mendefinisikan agama, mengatakan apa itu agama, tidaklah
mungkin dimulai dari awal penyajian. Definisi dapat dilakukan hanya pada
kesimpulan dari kajian ini. ”Esensi sebuah agama bukanlah perhatian kami,
tugas kami adalah mempelajari kondisi-kondisi dan pengaruh jenis tertentu
dari perilaku sosial,” kata Weber.56
Dengan begitu, maka secara apa adanya, Weber mengatakan bahwa
perilaku sosial yang dibahasnya dalam sosiologi agamanya akan dimasukkan
dengan istilah agama. Karenanya, kita juga harus menerima pandangan
implisitnya tentang Budhisme, Islam, Judaisme dan Kristen yang semuanya
adalah agama. Menurut Weber dimensi eksternal dari perilaku keagamaan
itu berbeda-beda dan bahwa pemahaman terhadap perilaku ini hanya dapat
dicapai dari sudut pandang pengalaman-pengalaman subjektif, ide dan
56 Guenter Roth and Claus Wittich (ed), Max Weber: Economy and Society, vol.I (Los
Angeles: University of California Press, 1978), 399.
maksud-maksud dari individu yang berkaitan –atau singkatnya, dari sudut
pandang “makna” perilaku keberagamaan.57 Bentuk yang paling dasar dari
perilaku manusia, termotivasi oleh faktor agama atau magis berorientasi ke
dunia ini.58 Bagi Weber, baik tindakan maupun pikiran tentang agama
ataupun magis tidak bisa dipisahkan dari maksud tertentu, terutama karena
dari awal bahkan hingga akhir tindakan agama atau magis didominasi
persoalan ekonomi.59
Berbeda halnya dengan Marx yang menyebut ekonomi berperan dalam
mengubah superstruktur termasuk di dalamnya agama, Weber justru
berpendapat sebaliknya. Weber menjabarkan Etika Protestan serta relasinya
dengan semangat kapitalisme.60 Weber menunjukkan bahwa perkembangan
di bidang ekonomi, terutama dengan munculnya semangat kapitalisme
modern di dunia barat, telah dipandang sebagai sesuatu yang tidak berdiri
sendiri.61 Kapitalisme modern di dunia barat, menurut Weber timbul sebagai
akumulasi dari kekuatan sosial, politik dan ekonomi serta agama yang
berakar jauh di dalam sejarah Eropa.
Kapitalisme, sebagai suatu sistem perekonomian, yang terletak pada
suatu organisasi dari para penerima upah bebas secara legal, dengan suatu
tujuan untuk mendapatkan keuntungan uang, dari para pemilik modal dan
agen-agennya, dan membuat tanda-tanda dalam setiap aspek masyarakat,
merupakan suatu fenomena modern.
Weber menunjukan salah satu elemen fundamental dari spirit
kapitalisme modern dan seluruh budaya modern adalah tindakan rasional
yang didasarkan pada panggilan (calling) yang lahir dari semangat asekese
Kristen.62 Weber disini menyebut soal calling (panggilan). Gejolak reformasi
telah berhasil memisahkan dualisme moral yang berlaku universal dan
Ibid.
Ibid.
59 Ibid., 400.
60 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1976).
61 Ibid.
62 Ibid., 180
57
58
kepatuhan yang sangat keras.63 Calvin berusaha menghindari kesulitan
bagaimana memahami manusia dan anugerah Tuhan. Calvinisme mengutuk
kenikmatan, tetapi tidak mengijinkan pelarian dari keduniaan dan
menganggap bekerja dengan orang-orang lain dibawah sebuah disiplin
rasional sebagai kewajiban religius seseorang.64 Bagi kaum Calvinis, suatu
panggilan bukanlah suatu kondisi sejak manusia dilahirkan, tetapi
merupakan usaha manusia yang sangat sulit dan berat yang telah dipilih oleh
manusia sendiri dan yang telah dicari lewat rasa tanggungjawabnya.
Disinilah kemudian Weber menyebut kata ”vokasi” atau vocation.65 Vokasi
bisa bermakna bahwa bekerja bukanlah semata-mata sarana atau alat
ekonomi, tetapi ibadah.66
Di bagian awal buku The Protestant Ethic, Weber menunjukkan gejala
kapitalisme dengan membandingkan antara tradisi Katolik dan Protestan.
Dengan melihat data statistik di negara Eropa, Weber mengatakan bahwa
keanekaragaman pemeluk agama di Jerman, mendorong media massa dan
literatur Katolik serta diskusi-diskusi di kongres Katolik di Jerman untuk
menghadapi kenyataan bahwa para pemimpin bisnis dan pemilik modal
maupun para karyawan perusahaan yang memiliki kemampuan tinggi
ataupun staf terdidik, baik secara teknis maupun komersil ternyata
kebanyakan adalah orang Protestan.67
Disitu terlihat partisipasi relatif yang lebih besar dari orang-orang
Protestan dalam hal kepemilikan modal, manajemen dan dalam tingkat
pekerjaan karyawan yang lebih tinggi pada industri-industri modern dan
perusahaan-perusahaan komersial yang besar mungkin sebagian bisa
dijelaskan dalam aspek kondisi-kondisi historis, yakni satu aspek yang
Stanislav Andreski, Max Weber on Capitalism, Bureaucracy and Religion, terj.
Hartono, “Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama” (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989),
129.
64 Ibid., 130.
65 Ibid. Lihat pada bagian politics as vocation dan science as vocation. H.H. Gerth dan
Charles Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology (New York: Oxford University
Press, 1946), 77-128.
66 Ibid.
67 Max Weber, The Protestant Ethic. . . 35.
63
menarik perhatian kita ke masa silam dan pada saat ketika aliansi agama
bukanlah sebab dari kondisi perekonomian, namun pada saat tertentu
nampak seperti akibat dari kondisi-kondisi itu. Partisipasi dalam fungsifungsi perekonomian seperti tersebut di atas biasanya melibatkan beberapa
kepemilikan modal sebelumnya dan pada umumnya melibatkan juga biaya
pendidikan yang mahal dan seringkali pula melibatkan keduanya sekaligus.
Beberapa bagian dari Kekaisaran tua yang dalam bidang ekonomi tumbuh
paling pesat dan didukung oleh sumber-sumber alam dan situasi, khususnya
mayoritas di kota-kota kaya mengenal Protestantisme pada abad 16. Situasi
inilah yang mendorong orang Protestan bahkan sampai sekarang, dalam
perjuangan mereka untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik.
Dengan menyandarkan pada uraian Martin Offenbacher, Weber
membuat kesimpulan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dalam tradisi
Katolik dan Protestan itu kaitannya dengan dunia ekonomi. ”Orang-orang
Katolik biasanya lebih tenang, mempunyai keinginan yang lebih kecil untuk
memperoleh
sesuatu;
mereka
lebih
menyukai
kehidupan
dengan
kenyamanan yang terjamin walau hanya dengan mendapat penghasilan yang
lebih kecil daripada memilih kehidupan yang dipenuhi risiko dan kesenangan
walau jenis pekerjaan itu memberi banyak kesempatan untuk mendapatkan
kehormatan dan kekayaan.”68 Jika dihadapkan pada pilihan “makan enak atau
tidur nyenyak” (eat well or sleep well), maka kata Weber, Protestant prefers to
eat well, the Catholic to sleep undisturbed.69
Proses rasionalisasi hadir dari cita-cita kapitalisme dan karenanya
agama yang ajaran-ajarannya teratur dan tersusun rapi juga berusaha untuk
melembagakan sistem kepercayaan juga sistem nilai yang lain, termasuk
bidang ekonomi, untuk memberikan rasa puas dan aman kepada para
pemeluknya.70 Agama adalah merupakan penjelasan rasional sekaligus
Ibid., 40-41.
Ibid., 41.
70 Ajat Sudrajat, Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam
Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 37
68
69
mengatur nilai-nilai serta kepercayaan teologis. Diantara bangunan
kepercayaan inilah dibangun pemikiran-pemikiran rasional.
Dari sini dapat dimengerti bahwa proses rasionalisasi yang disebut
Weber juga berasal dari agama itu sendiri, disamping perkembangan daya
nalar manusia yang dengan cepat dapat mengikuti proses tersebut. Daya
nalar itu baik dalam arti formal sehubungan dengan konsistensinya
(kemantapan dalam bertindak) dan sifat sistematikanya maupuan dalam arti
substansi (kokoh) dalam menyisihkan hal-hal yang tidak rasional dan
mengandung fantasi atau mitos. Lepas dari berbagai kritik yang muncul
terhadap tesisnya, Weber menunjukan bahwa dalam sistem ekonomi
tersebut terlihat perkembangan teologi rasional.71 Perkembangan ini nampak
dalam masyarakat Barat. Dengan demikian, menurut Weber, ciri dari
kegiatan perekonomian yang bersifat kapitalistis adalah rasionalitas yang
didasarkan kepada perhitungan-perhitungan yang cermat yang disusun
secara sistematis dan sederhana berdasarkan situasi ekonomi yang
diharapkan.
Diantara para sosiolog (agama), Emile Durkheim adalah pemikir yang
mencoba melakukan analisis terhadap hubungan antara agama dengan
struktur sosial. Pandangan Durkheim tentang agama terpusat pada klaimnya
bahwa ide tentang masyarakat menjadi jiwa dari agama.72 Sumber agama
adalah masyarakat itu sendiri yang akan menilai sesuatu itu bersifat sacral
atau profan. Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap
kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-elemen ”supernatural”,
melainkan terletak pada konsep tentang ”yang sakral” atau the sacred,
dimana keduanya yaitu supernatural dan yang sakral, memiliki perbedaan
yang mendasar.
71 Richard L. Means, “Weber's Thesis of the Protestant Ethic: The Ambiguities of
Received Doctrine”, The Journal of Religion, Vol. 45, No. 1. (Jan., 1965), 1-11 dan Bryan S.
Turner, “Islam, Capitalism and the Weber Theses”, The British Journal of Sociology, Vol. 25,
No. 2. (Jun., 1974), 230-243.
72 Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion. . . 85.
Kesimpulan demikian ia tandaskan dalam magnum opusnya, The
Elementary Forms of Religious Life.73 Sesuai dengan judul bukunya, apa yang
ditawarkan oleh Durkheim dalam karya tebal itu antara lain tentang bentuk
dasar dari agama. Atau Durkheim dalam karya tersebut, hendak melihat
tentang struktur dasar dari kepercayaan yang kemudian membentuk apa
yang kita sebut sebagai agama. Terkait dengan masyarakat, agama kata
Durkheim, sebagaimana dikutip Swidler dan Mojzes, telah melahirkan
banyak sesuatu yang esensial dalam masyarakat.74 Kita dapat memantapkan
fakta bahwa kategori-kategori fundamental dari pemikiran dan konsekuensi
pengatahuan adalah asal-usul agama. Dalam perkembangannya, banyak
institusi sosial yang besar, lahir dalam agama.75
Agama dalam bahasan Durkheim tidak bisa dilepaskan dari tema moral
dan masyarakat, baik fungsi maupun hakikatnya.76 Dalam masyarakat,
terkandung apa yang disebut solidaritas yang merupakan domain sosiologi.77
Solidaritas merupakan fakta sosial yang hanya bisa diketahui melalui efek
sosialnya. Menurut Durkheim, di antara semua unsur peradaban ilmu
pengetahuan adalah satu-satunya untuk menganggap, dalam kondisi
tertentu, sebuah karakter moral.78 Akibatnya, karena peradaban terdiri dari
apa-apa yang menampilkan ini kriteria moralitas, secara moral netral.
Sehingga jika peran pembagian kerja yang semata-mata untuk membuat
peradaban mungkin, akan membangun netralitas moral yang sama.79
Berkaitan dengan perkembangan masyarakat, Durkheim melihat bahwa
masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana menuju masyarakat
modern. Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi pusat
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (New York: The Free
Press, 1995).
74 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global
Dialogue (Philadelphia: Temple University Press, 2000), 1.
75 Ibid.
76 Emile Durkheim, The Division of Labor in Society (New York: The Free Press,
1984).
77 Ibid., 27.
78 Ibid., 13.
79 Ibid., 15.
73
perhatian Durkheim dalam memperhatikan perkembangan masyarakat
adalah bentuk solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk
solidaritas sosial yang berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada
masyarakat modern. Masyarakat sederhana mengembangkan bentuk
solidaritas sosial mekanik, sedangkan masyarakat modern mengembangkan
bentuk solidaritas sosial organik.
Pada saat solidaritas mekanik (Durkheim juga menyebutnya solidarity
by similarities) memainkan peranannya, kepribadian tiap individu boleh
dikatakan lenyap, karena ia bukanlah diri indvidu lagi, melainkan hanya
sekadar mahluk kolektif. Masing-masing individu diserap dalam kepribadian
kolektif. Durkheim berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional
bersifat “mekanis” dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang
lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara
sesamanya.
Hal inilah yang diungkapkan oleh hukum bersifat represif (menekan).80
Pelanggaran yang dilakukan individu menimbulkan reaksi terhadap
kesadaran kolektif, terdapat suatu penolakkan karena tidak searah dengan
tindakan kolektif. Tindakan ini dapat digambarkan, misalnya tindakan yang
secara langsung mengungkapkan ketidaksamaan yang menyolok dengan
orang yang melakukannya dengan tipe kolektif, atau tindakan-tindakan itu
melanggar organ hati nurani umum. Durkheim mengatakan, its real function
is to maintain inviolate the cohesion of society by sustaining the common
consciousness in all its vigour.81
Sementara, solidaritas organik berasal dari semakin terdiferensiasi dan
kompleksitas dalam pembagian kerja (division of labor) yang menyertai
perkembangan sosial. Durkheim merumuskan gejala pembagian kerja
sebagai manifestasi dan konsekuensi perubahan dalam nilai-nilai sosial yang
bersifat umum. Titik tolak perubahan tersebut berasal dari revolusi industri
yang
meluas
80
81
Ibid., 61.
Ibid., 63.
dan
sangat
pesat
dalam
masyarakat.
Menurutnya,
perkembangan tersebut tidak menimbulkan adanya disintegrasi dalam
masyarakat, melainkan dasar integrasi sosial sedang mengalami perubahan
ke satu bentuk solidaritas yang baru, yaitu solidaritas organik. Bentuk ini
benar-benar didasarkan pada saling ketergantungan di antara bagian-bagian
yang terspesialisasi.
Kesadaran baru yang mendasari masyarakat modern lebih berpangkal
pada individu yang mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok
yang lebih terbatas dalam masyarakat dan mereka tetap mempunyai
kesadaran kolektif yang terbatas pada kelompoknya saja, contohnya yang
sesuai dengan pekerjaannya saja. Corak kesadaran kolektif lebih bersifat
abstrak dan universal. Mereka membentuk solidaritas dalam kelompokkelompok kecil, yang dapat bersifat mekanik.
Ikatan yang mempersatukan individu pada solidaritas mekanik adalah
adanya kesadaran kolektif. Kepribadian individu diserap sebagai kepribadian
kolektif sehingga individu saling menyerupai satu sama lain. Sementara
dalam masyarakat dengan solidaritas organik, yang menjadi karakternya
adalah heterogenitas dan individualitas yang semakin tinggi, bahwa individu
berbeda satu sama lain.
Masing-masing pribadi mempunyai ruang gerak tersendiri untuk
dirinya, dimana solidaritas organik mengakui adanya kepribadian masingmasing orang. Karena sudah terspesialisasi dan bersifat individualistis, maka
kesadaran kolektif semakin kurang. Integrasi sosial akan terancam jika
kepentingan-kepentingan individu atau kelompok merugikan masyarakat
secara keseluruhan dan kemungkinan konflik dapat terjadi. Kaitannya
dengan hukum, jika masyarakat mekanis memfungsikan hukum secara
represif tidak demikian halnya dalam masyarakat organis. Dalam masyarakat
yang memiliki solidaritas organis, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan
bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal
dari suatu masyarakat yang kompleks. Dalam masyarakat modern, mereka
membutuhkan fondasi, dasar moral yang umum, tetapi karena masyarakat
itu mengandung kebebasan individual, maka kesadaran kolektif mereka
jangkauannya lebih kecil.
Durkheim meyakini bahwa moralitas, kewajiban pada orang lain dan
standar kelompok, tidak bisa dipisahkan dari agama. Agama dan moral tidak
bisa dipisahkan dari konteks sosial. Ketika konteks sosialnya berubah, maka
berubah pula agama dan moral.82
Untuk mengetahui bentuk dasar dari agama, Durkheim memilih
melakukan analisis terhadap agama-agama primitif, ketimbang agama-agama
modern. Sistem keyakinan yang primitif dapat ditemukan pada masyarakat
sederhana dan dapat dengan mudah dijelaskan. Atas alasan tersebut,
Durkheim kemudian memilih Suku Arunta masyarakat Aborigin di Australia
sebagai sample penelitiannya terhadap agama untuk dapat memberikan
pengetahuan tentang apa itu agama.83 Masyarakat primitif seperti Aborigin,
dapat lebih mudah dipahami konteks keyakinannya dibanding masyarakat
modern yang kompleks. Mereka (baca: masyarakat primitif) memenuhi
kebutuhan yang sama, memainkan peran yang sama, dan bertolak dari sebab
yang sama. Oleh karenanya mereka dapat menjelaskan karakter dasar dari
kehidupan keagamaan.84
Studinya tentang agama, kata Durkheim merupakan langkah untuk
mengangkat persoalan lama tentang asal usul agama, but under new
conditions.85 Pada dasarnya, menurut Durkheim tidak ada agama yang salah.
Semua agama benar menurut fashion-nya masing-masing. Semuanya
memenuhi kondisi tertentu dari manusia, meskipun dengan jalan yang
berbeda.86 Wajar kalau Durkheim sendiri tidak tertarik dengan status
epistemologi agama, yakni pertanyaan apakah keyakinan agama itu benar
atau salah. Penelitiannya terhadap masyarakat primitif, sama sekali bukan
berarti gagasan itu menurunkan nilai agama pada umumnya, karena agamaDaniel L. Pas, Eight Theories of Religion. . . 91-92.
Emile Durkheim, The Elementary Forms. . .21
84 Ibid., 3.
85 Ibid., 7.
86 Ibid., 2.
82
83
agama tersebut tidak kurang terhormat dibandingkan agama lainnya.87
Agama-agama, kata Durkheim merespon kebutuhan yang sama, memainkan
peran yang sama, bergantung pada sebab yang sama; ia juga dapat berfungsi
untuk menunjukkan sifat kehidupan keagamaan dengan baik.
Pada posisi ini, tampaknya Durkheim tidak mau mendefinisikan agama
secara spesifik dari sudut pandang supernatural dan menolak definisi agama
yang dikemukakan Tylor bahwa ”agama adalah keyakinan pada ”ada”
spritual (spiritual being)”. Menurutnya, Budhisme adalah agama, tetapi ”tidak
memiliki ide tentang Tuhan dan roh” dan beberapa sekte dalam agama Budha
yang juga ”menolak eksistensi Tuhan” dan dewa-dewi.88
Selain itu, juga terdapat beberapa jenis ritual kelompok yang tidak ada
sama sekali keterkaitannya dengan unsur Tuhan ataupun roh-roh. Maka,
agama tidak lebih dari ”sekadar gagasan tentang Tuhan dan roh”.
Konsekuensinya, agama tidak dapat didefinisikan semata mata dalam
kaitannya dengan kedua hal tersebut.
Durkheim kemudian sampai pada definisi agama yang ia bidik dari
sudut pandang ”yang sakral” (the sacred). Ini berarti ”agama adalah kesatuan
sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu yang
sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan
praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut
Gereja, di mana semua orang tunduk kepadanya” atau sebagai tempat
masyarakat memberikan kesetiannya. Dari definisi Durkheim ini, terlihat
yang menjadi kata kunci adalah ”komunitas”. Ide agama tidak dapat
dipisahkan dari gereja, yang menunjukkan pada satu collective thing.
Pengamatan selanjutnya, Durkheim menemukan karakteristik paling
mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemenelemen ”supernatural” seperti yang telah dikemukakan di atas, melainkan
terletak pada konsep tentang ”yang sakral” (Sacred), di mana keduanya yaitu
supernatural dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut
87
88
Ibid., 3.
Ibid., 28.
Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana
maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu
memisahkan antara ”yang sakral” (Sacred) dan ”yang profan” (profane), yang
selama ini dikenal dengan ”natural” dan ”supernatural”. Durkheim
menambahkan bahwa hal-hal yang bersifat ”sakral” selalu diartikan sebagai
sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut
tidak tersentuh dan selalu dihormati. Hal-hal yang bersifat ”profan”
merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja.
Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada ”yang
sakral”, karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan
kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki
pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari
setiap individu. Maka, Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang
”yang sakral” dan ”yang profan” hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah
konsep pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai ”kebaikan” dan yang
profan sebagai ”keburukan”. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan
sama-sama ada dalam ”yang sakral” ataupun ”yang profan”. Hanya saja yang
sakral tidak dapat berubah menjadi profan dan begitupula sebaliknya yang
profan tidak dapat menjadi yang sakral. Dari definisi ini, fokus utama agama
terletak pada hal-hal yang sakral.
Yang sakral, kata Durkheim adalah tidak lain dari masyarakat itu
sendiri. Karena masyarakat melibatkan kelompok yang lebih besar dan
terkait dengan kesejahteraan dari komunitas yang besar. Sementara yang
profan adalah masalah-masalah yang kecil yang mencerminkan kegiatan
individu sehari-hari. Inilah yang membedakan agama dari magis. Magis,
merupakan upaya individual, sementara agama tidak dapat dilepaskan dari
ide komunitas peribadatan atau moral.
Durkheim meyakini bahwa totemisme telah memainkan peran yang
fundamental dalam kebudayaan masyarakat primitif. Tapi yang dirasakan
oleh peneliti-peneliti awal adalah kesulitan merasakan makna dari
totemisme ini secara penuh. Memang, semua peneliti mengakui bahwa
bangsa-bangsa suku membagi diri mereka ke dalam klan-klan yang berbeda,
masing-masing diidentikkan dengan suatu binatang, tumbuhan atau objek
totem yang lain. Dan semuanya mengamati bahwa totem itu sendiri, baik
berupa beruang, burung gagak, kanguru, atau pohon-pohon dianggap suci
oleh klan yang mengklaimnya. Tetapi bagaimana totemisme itu digunakan
untuk menggambarkan konsep yang sakral dan yang profan, belum ada yang
menggambarkannya dengan baik.
Totemisme adalah kepercayaan kepada sesuatu yang tak bernama dan
impersonal yang meskipun terdapat pada diri makhluk manusia, hewan dan
benda ataupun tumbuhan, tidak dapat dicampurbaurkan dengan mereka. Ini
merupakan suatu prinsip yang bebas. Individu boleh saja meninggal dunia,
tetapi kekuatan ini akan hidup terus dan tetap sama. Ia menghidupi setiap
generasi baik yang sekarang ini, yang telah lalu maupun yang akan datang. Ia
dapat disebut dewa dalam kepercayaan totemik, bersifat impersonal, tanpa
nama dan tersebar melekat pada benda yang tak terhitung jumlahnya.89
Durkheim, mengamati bahwa dalam masyarakat primitif, setiap
binatang ”yang bukan totem” boleh diburu dan dimakan karena binatang
tersebut termasuk ”yang profan”. Sebaliknya, binatang yang dijadikan sebagai
totem adalah bagian sakral bagi seluruh anggota klan dan tentu saja terlarang
bagi seluruh anggota klan untuk membunuh dan memakannya, kecuali untuk
dijadikan sebagai korban atau sebagai sesajian dalam upacara-upacara
keagamaan. Durkheim, berhasil menemukan lambang atau simbol-simbol
binatang totem tersebut sangat berarti bagi klan yang memujanya, karena
binatang tersebut bukan hanya dianggap sebagai bagian dari ”yang sakral”,
akan tetapi juga merupakan perwujudan dan contoh yang sempurna dari
yang sakral. Sikap tersebut dapat dilihat ketika klan tersebut mengadakan
upacara-upacara keagamaan yang selalu menggunakan simbol-simbol dari
totem mereka, terbuat dari ukiran kayu atau batu dan diletakkan ditengah89
Ibid., 304-305.
tengah mereka dalam upacara tersebut. Bagi klan, totem tersebut adalah hal
yang paling sakral dan dapat mengkomunikasikan kesakralannya itu kepada
mahkluk yang ada disekelilingnya. Durkheim menyimpulkan kepercayaan
terhadap totemisme adalah hal yang paling penting dalam masyarakat yang
sangat sederhana ini, karena seluruh aspek kehidupan mereka yang lainpun
sangat dipengaruhi totem-totem ini.
Totem menurut Durkheim bisa dilihat dari dua pandangan. Pertama,
totem merupakan bentuk luar dan kasat mata dari prinsip totemik atau
“Tuhan”. Kedua, totem juga merupakan simbol dari sebuah masyarakat yang
disebut marga. Totem adalah benderanya marga, tanda yang dipergunakan
oleh marga untuk membedakan dirinya dengan marga lain.90 Tanda yang
kasat mata dari keberbedaannnya, dan tanda dari segala sesuatu yang
menjadi bagian dari marga, manusia, binatang dan hal-hal lain. Oleh
karenanya totem adalah simbol dari tuhan dan masyarakat.
Dewa klan, prinsip totemik, dapat merupakan klan itu sendiri yang
dipersonifikasikan dan digambarkan dalam imajinasi di bawah bentuk
binatang atau sayuran yang dapat dilihat dan bertindak sebagai totem. Totem
secara terus menerus merupakan simbol dewa dan klan, karena dewa dan
klan adalah hal yang betul-betul sama. Dalam bentuk yang singkat, pemujaan
pada seorang dewa atau dewa-dewa adalah bagaimana suku-suku primitif
mengungkapkan dan menegakkan pemujaan mereka pada klan.
Peran simbol totem, karenanya dapat diidentifikasi dengan jelas.
Dengan diukir di kayu atau batu, ia adalah objek konkret yang membawa
fakta pada setiap orang bahwa klan yang menuntut kesetiaan dari semua
anggota, tidak hanya sesuatu yang dibayangkan; ia adalah hal yang riil, yang
memaksakan dirinya pada kehidupan dan pemikiran setiap orang. Tanaman
dan binatang menjadi simbol totem, karena ia objek yang khusus, konkret,
dekat dan erat kaitan dengan pengalaman sehari-hari masyarakat. Tujuan
totemisme yakni untuk memperhatikan keterkaitan antara benda-benda,
90
Ibid., 208.
jaringan rumit dari hubungan yang mengikat tiap orang dengan generasi
yang akan datang di dalam suatu klan, klan secara keseluruhan dengan dunia
natural dan diantara bagian-bagian dunia yang berbeda-beda satu sama lain.
Skema pemikiran Marx, Weber dan Durkheim dalam diskursus agama
merupakan konseptualisasi gagasan mengenai hubungannya dengan masalah
sosial. Marx melihat agama sangat berkaitan dengan masalah ekonomi
sebagai basisnya. Sementara agama itu sendiri oleh Marx ditempatkan
sebagai bangunan atas, alias superstruktur. Marx menyadari bahwa baik
ekonomi maupun agama berperan untuk menciptakan alienasi. Kaitan antara
basis dan superstruktur bisa dijelaskan dengan rumusan sederhana, bahwa
perubahan struktur ekonomi yang ada di bawah, akan berperan besar dalam
mengubah bangunan atasnya. Tentunya kritik ekonomi itu berada pada
kendali masyarakat dan negara, bukan individu. Disinilah ia mengkritik
Feurbach.
Berbeda dengan Marx yang menyebut ekonomi sebagai basis yang
dapat merubah pandangan agama, Weber justru melihat sebaliknya. Etika
Protestan, justru berperan besar dalam merubah tatanan ekonomi.
Kapitalisme terbangun melalui rasionalisasi dan berjalan dengan sangat baik
di dunia barat. Sementara di dunia timur, kapitalisme agak sulit berkembang
seperti halnya di Barat. Tentu saja kenyataan ini dilatari oleh perbedaan
agama yang menjadi dasar kehidupan masyarakat di sana. Dengan
memunculkan tesis bahwa prilaku agama sangat mempengaruhi ekonomi,
maka Weber dengan tegas mengkritik determinisme ekonominya Marx.
Weber meyakini bahwa agama menjadi sumber terciptanya perubahan
sosial.
Sementara Durkheim menunjukan semangat fungsionalismenya dalam
membahas agama. Durkheim memunculkan masyarakat dalam konteks
solidaritas sosial, kohesi sosial dan integrasi sosialnya. Karena itu, Durkheim
seringkali menyebut agama sebagai sebuah fakta sosial, bukan fakta
individual. Ia harus dilihat sebagai persoalan kelompok. Hal inilah yang juga
ia tunjukan ketika membahas fenomena bunuh diri dalam karyanya,
”Suicide”. Bunuh diri, terutama yang bersifat egoistik, bagi Durkheim hanya
bisa dilihat semata-mata sebagai persoalan sosiologis, bukan psikologis. Kata
Durkheim, “the conclusion from all these facts is that the social suicide-rate can
be explained only sociologically”.91 Studinya tentang masyarakat Arunta
memperlihatkan bahwa ada simbol yang dapat mempersatukan anggota
masyarakat ke dalam sebuah kelompok. Disini, peran totemisme perlu
diperhatikan. Ia menjadi simbol terintegrasi individu-individu itu ke dalam
satu kelompok yang secara bersama-sama memiliki ”Yang Sakral”.
Marx, Weber dan Durkheim sama-sama melihat agama dalam kaitannya
dengan kehidupan sosial. Ketiganya meyakini bahwa salah satu dari dua
elemen tersebut berpengaruh satu terhadap lainnya. Marx dan Weber
bersepakat bahwa klaim kausal yang terpenting dari agama adalah persoalan
ekonomi. Sementara Durkheim tidak terlalu mempersoalkan aspek yang khas
dari kehidupan manusia itu, apakah ekonomi, politik atau yang lain. Pendek
kata, yang paling penting menurut Durkheim adalah sistem sosial dalam
masyarakat itu sendiri.
Durkheim dan Weber bersepakat bahwa agama memiliki fungsi dalam
kehidupan masyarakat. Durkheim melihat agama sebagai memiliki peran
dalam mengintegrasikan sistem sosial. Agama atau etika keagamaan juga
berperan dalam mempengaruhi atau merubah sistem ekonomi (kapitalisme)
seperti kata Weber. Disinilah Marx justru berpendapat sebaliknya bahwa
agama merupakan variabel terpengaruh, sementara yang menjadi variabel
bebasnya adalah ekonomi. Agama bagi Marx justru hanya menjadi tempat
pelarian manusia yang tidak berdaya menghadapi kenyataan hidup.
91
Emile Durkheim, Suicide: A Study in Sociology (New York: Free Press, 1968), 299.
Agama dan Negara:
Antara Sekularisasi dan Desekularisasi
Pemikiran tiga tokoh (Marx, Weber dan Durkheim) sangat membantu
untuk melihat agama sebagai sebuah fakta sosial. Dalam kenyataan itu,
agama bergulat dan bersanding dengan institusi sosial lainnya. Salah satunya
adalah negara. Hubungan agama dan negara yang dijabarkan dalam sub bab
ini, berangkat dari posisi agama sebagai realitas sosial seperti yang sudah
disinggung oleh tiga pemikir di atas.
Franklin I. Gamwell dalam ”The Meaning of Religious Freedom”
memaparkan tentang karakter dasar dari agama. Menurut Gamwell,
Religion is the primary form of culture in terms of which the
comprehensive question is explicitly asked and answered and
further, so answered that human authenticity is derived from
the character of reality as such. In saying this I mean that the
distinction between authentic and inauthentic human activity
is identified by the relation of human activity to reality as such
or ultimate reality. Whether that ultimate reality is understood
as Yahweh, Allah, ”emptiness”, or in some other way, it is
understood to be the ground of human authenticity. The point
may also be expressed by saying that religion, narrowly
understood, so addresses the comprehensive question that
ultimate reality is said to authorize human authenticity.92
Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka Gamwell menyinggung
mengenai soal autentisitas atau keaslian manusia. Bahwa ia hanyalah bisa
diidentifikasi terkait dengan relasinya terhadap aktifitas manusia untuk
meyakini eksistensi ultimate meaning of life. Meski realitas tertinggi itu bisa
berbentuk ”ketiadaan”.93
Jika agama dipahami sebagai primary form of culture, maka politik, kata
Gamwell adalah “a specific form of association in which the question of the
state is explicitly asked and answered”.94 Dari sini bisa dimengerti kalau
negara tidak lain dari seperangkat aktifitas sebuah pemerintahan dimana
92 Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The
Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 30.
93 Ibid.
94 Ibid., 32.
semua asosiasi dan aktifitas diberikan oleh masyarakat atau komunitas yang
secara eksplisit disatukan atau diatur, dan karenanya selalu dinyatakan
secara partikular.95
Pertanyaannya kemudian, jika agama sebagai satu bentuk khas dari
budaya berusaha menjawab pertanyaan secara komprehensif, apa yang
harus dijawab oleh politik?
Definisi tentang politik yang telah diajukan oleh Gamwell di atas,
sebenarnya menolong untuk memahami bahwa sebagai sebuah bentuk
spesifik dari aktifitas, atau hanyalah satu bentuk asosiasi, maka aktifitas
politik diidentifikasi sebagai partisipasi dalam politik atau body politics.96 Jika
agama menjawab semua persoalan baik yang terkait dengan kehidupan fisik
maupun metafisik, politik hanyalah menjawab pertanyaan eksplisit mengenai
tugas negara sebagai pengatur lalu-lintas hak warganya.
Maksud dari asosiasi politis atau negara adalah untuk menentukan
aktifitas-aktifitas apa yang harus dan akan dilakukan negara. Tentunya,
pertanyaan itu bisa diajukan dan dijawab secara kritis, yang disitu klaim
tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh negara dapat disepakati secara
eksplisit dan aktifitas politik juga bisa mengambil bentuk ini. Aktifitas politik,
dengan demikian adalah partisipasi dalam proses politik. Meskipun maksud
dari politik adalah untuk menentukan aktifitas negara, hal itu juga berarti
refleksi kritis terhadap pertanyaan negara, juga merupakan aktifitas politik,
yakni ketika partisipasi politik diambil dalam bentuk argumen atau
perdebatan.97
Kebebasan beragama, dalam pandangan Gamwell, karenanya bisa
dilihat tidak lain dari sebentuk prinsip politik yang tidak memiliki makna
secara koheren tanpa sebuah asosiasi politik yang dikonstitusikan melalui
sebuah free discussion dan perdebatan yang didalamnya melibatkan
Ibid.
Ibid.
97 Ibid., 36.
95
96
keyakinan-keyakinan yang berbeda.98 Intinya, Gamwell bermaksud untuk
mengatakan kalau jangkar dari kehidupan beragama itu ada pada ruang
politik.
Problematika politik modern kemudian hadir saat memposisikan agama
dalam ruang negara. Relasi antara keduanya menjadi masalah dalam
masyarakat politik modern, karena dalam komunitas ini mengandung
pluralitas legitimasi agama. Hubungan antara gereja dan negara dilihat
secara berbeda oleh masing-masing masyarakat, bahkan dalam satu
komunitas gereja sekalipun. Statemen yang diungkapkan oleh Paus Paulus
XIII berdasar atas tradisi bahwa negara memiliki kewajiban untuk
menunjukkan agama yang benar. Sementara Konsili Vatikan II yang
dikeluarkan pada tahun 1965 merefleksikan sensitivitas yang paling dalam
terhadap pluralisme, berbicara tentang hak seluruh warga, apapun
keyakinan keagamaannya. Kedua pernyataan diatas datang dari Gereja
Katolik Roma, tetapi kedua pandangan tersebut berbeda satu dengan lainnya
dan dapat digambarkan dalam komunitas masyarakat yang lebih banyak lagi.
Dalam politik modern, persoalan yang kerap mengundang perdebatan
adalah membangun relasi antara agama dan negara. Relasi antara keduanya
menjadi masalah dalam masyarakat politik modern, karena dalam komunitas
ini mengandung pluralitas legitimasi agama. Philip Wogaman menulis bahwa
ada empat bentuk (baca: negara) dalam kaitannya dengan eksistensi gereja.99
Pertama, Teokrasi, dimana negara berada di bawah kontrol para pemimpin
atau institusi agama untuk kepentingan agama. Negara teokrasi dapat
tergambar dalam masyarakat primitif seperti Tibet, sekte Mormon awal di
Utah serta Iran. Model ini juga yang tergambar pada pemerintahan Vatikan II
yang didasarkan pada doktrin Katolik.
Ibid., 34-35.
J Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics (Kentucky: Westminster John
Knox Press, 2000), 250.
98
99
Wogaman cukup keras menentang model ini. Ia menyebut bahwa
penganut model ini tengah berilusi.100 Beberapa masalah yang muncul dalam
negara teokratis ada pada aspek praktis dan juga politis. Agama dalam
negara teokratis pada akhirnya digunakan untuk kepentingan politis.
Problem praktis menunjukan bahwa di negara teokrasi akan sangat sulit
membedakan pernyataan iman yang benar-benar tulus dan tidak dimana
institusi agama memiliki kekuatan dominan.
Isu yang terutama dalam negara teokratis adalah masalah teologis.
Teokrasi hadir dalam satu bentuk pengandaian bahwa kebenaran dapat
diketahui untuk membuat pembedaan antara mereka yang benar dan tidak.
Yang pertama, tentu harus diakui keberadaannya oleh pemerintah, yang
kedua, secara legal tidak memiliki kekuatan. Ilusi yang dimaksudkan dalam
sistem pemerintahan ini adalah bahwa hanya Tuhan, jika Tuhan adalah pusat
transendensi dan sumber kehidupan, maka Ia tidak akan pernah diketahui
oleh siapapun.
Kedua, erastianisme yang merupakan model dimana gereja berada
dibawah otoritas negara. Sebagai sebuah paradigma, Erastianisme diambil
dari nama pencetus gagasan ini Thomas Erastus (1524-1583), seorang ahli
fisika asal Swiss yang juga Teolog Protestan. Sesungguhnya Erastus tidak
menjabarkan doktrinnya ini dalam sebuah bentuk yang ekstrem. Idenya
berakar pada zaman kuno dan ditemukan dalam bentuk yang berbeda oleh
para filosof abad pertengahan seperti Marsilius Padua dari Italia.
Erastus, merupakan penerus ajaran Huldreich Zwingli, yang menentang
model Calvinis yang disukai oleh Elector Frederick III. Erastus menentang ide
John Calvin mengenai excommunication (pengucilan), dimana para anggota
dewan gereja dapat mengeluarkan masyarakat dari Ekaristi. Menurut
Erastus, hanya negara yang memiliki kekuasaan koersif dan dapat digunakan
sebagai aturan gereja, tetapi tidak pernah dapat menghalangi siapapun untuk
keluar dari perjamuan kudus.
100
Ibid., 253.
Ninan Koshy menambahkan, kategori yang paling tepat untuk
menggambarkan model ini adalah “established church”. Disini, negara
memiliki “agama resmi”.101 Agama yang mapan itu dipenuhi haknya,
sementara agama yang lain tidak. Dalam hukum Inggris, sebagaimana terlihat
dalam perdebatan mengenai hukuman terhadap Shalman Rushdie penulis
“The Satanic Verse”, pasal-pasal blasphemy atau penodaan agama diterapkan
hanya terhadap KeKristenan dan secara spesifik terhadap Gereja Inggris (The
Church of England).102
Tetapi, di saat yang sama, meski agama tertentu memiliki hak istimewa,
tetapi
sesungguhnya
agama
tersebut
tidak
dapat
sepenuhnya
mengekspresikan ajaran agama secara bebas, karena keputusan-keputusan
yang bersifat strategis selalu didasarkan atas seberapa besar keuntungan
yang pada nantinya akan didapatkan negara. Inilah yang menjadi pangkal
persoalan dari model Erastianisme. Di satu sisi, ia hanya berkutat pada
kepentingan agama tertentu dan di sisi lain kepentingan agama anak emas
itupun dipagari agar tidak membahayakan kepentingan negara.
Ketiga, pemisahan antara agama dan negara secara ramah (friendly),
yakni model pemisahan antara agama dan institusi politik secara legal tetapi
satu yang lain tidak saling bermusuhan. Secara esensial, hal tersebut
merupakan prinsip pemisahan yang dipraktekan di Amerika Serikat. Prinsip
untuk tidak memapankan agama dalam konstitusi Amerika tidak harus
dipahami sebagai sesuatu yang negatif. Sikap tersebut justru harus dimaknai
sebagai sebagai dukungan bagi integritas dan independensi institusi agama.
Keempat, pemisahan antara agama dan negara secara tidak ramah
(unfriendly), yaitu pemisahan secara legal dan dalam posisi yang
antagonistik. Paradigma ini banyak berkembang pada akhir abad 20.
Antiklerikalisme di Perancis pada abad 19 merupakan penerjemahan dari
101 Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World (Geneva: WCC Publications,
1992), 36-37.
102 Ibid.
model paradigma ini. Hal yang sama berlaku di Meksiko yang kemudian
menghasilkan bentuk pemisahan yang tidak ramah.
Melihat fenomena keberagamaan yang tergambar dalam setiap fase
sejarah menggiring kita pada satu fenomena penting. Disadari atau tidak,
kehidupan beragama dalam lanskap negara lengkap dengan segenap tertib
hukum yang dimilikinya, sebenarnya sedang bergerak pada jalur sekularisasi.
Meski agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang bersifat hakiki dan sangat
personal, tetapi ruang yang dihadapi adalah kenyataan yang sekuler. Ruang
hukum dan negara itulah yang sekuler. Karenanya fenomena ini penulis
sebut sebagai proses beragama di ruang sekuler. Meski begitu ruang sekuler
ini tidak lantas membuat agama hilang dari lipatan sejarah (baca:
desekularisasi).
Proses ini nyata dalam kehidupan kita karena negara memang harus
bergeser dari peran ecclesiastical ke political authority.103 Harvey Cox, yang
dianggap memiliki tesis cukup otoritatif tentang makna dan substansi
sekularisasi mencontohkan bahwa ketika sekolah atau rumah sakit bergerak
dari fungsi gerejawi ke fungsi administrasi umum, maka inilah yang disebut
sebagai sekularisasi.104
Dalam buku ”The Secular City”, Cox menunjukan bahwa ada tiga
komponen penting dalam Bibel yang menjadi kerangka asas kepada
sekularisasi. Pertama, adalah disenchantment of nature yang dikaitkan
dengan penciptaan (creation). Kedua, desacralization of politics dengan
migrasi besar-besaran kaum Yahudi dari Mesir. Ketiga, deconsecration of
values yang ditandai oleh Perjanjian Sinai melalui penghancuran segala
bentuk pemberhalaan.105
Jadi menurut Cox, sekularisasi menjadi semacam pembebasan manusia
dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain
103 Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological
Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967), 17.
104 Ibid.
105 Ibid., 15.
menuju dunia kini. Sekularisasi, menurut Cox menjadi konsekuensi autentik
dari kepercayaan terhadap Bibel.106
Dari sini, Cox berusaha membedakan sekularisasi dengan sekularisme.
Jika sekularisasi bersifat open-ended, dalam arti menunjukkan sifat
keterbukaan dan kebebasan bagi aktivitas manusia untuk proses sejarah,
maka sekularisme bersifat tertutup. Dalam pengertian bukan merupakan
sebuah proses lagi, akan tetapi telah menjadi semacam paham atau
ideologi.107
Jika dibandingkan secara sekilas, mengenai substansi makna yang
dikandung dalam kata sekularisasi dalam pandangan Cox ada yang berbeda
antara sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi mengimplikasikan proses
sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu
dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup
(closed
metaphysical
worldviews).
Jadi
intinya,
sekularisasi
adalah
perkembangan yang membebaskan (a liberating development).
Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah
pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan
agama. Selain itu, sekularisasi itu berakar dari kepercayaan Bible. Pada taraf
tertentu, ia adalah otentifikasi dari implikasi terhadap kepercayaan Bible
dalam sejarah Barat. Oleh sebab itu, sekularisasi berbeda dengan sekularisme
yaitu
ideologi
membahayakan
(isme)
yang
keterbukaan
tertutup.
dan
Menurut
kebebasan
yang
Cox,
sekularisme
dihasilkan
oleh
sekularisasi. Makanya, sekularisme harus diawasi, diperiksa dan dicegah
untuk menjadi ideologi negara.108
Robert Audi menjelaskan bahwa dari sekularisme diturunkan tiga
prinsip dalam kehidupan bernegara, yaitu prinsip kebebasan (libertarian),
prinsip kesetaraan (equality), dan prinsip netralitas (neutrality). Berdasarkan
prinsip terakhir, suatu negara haruslah mengambil sikap netral di antara
Ibid., 15
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik (Yogyakarta: Grafiti, 1993), 21.
108 Ibid.
106
107
agama-agama.109 Implikasinya, jika negara mengutamakan atau mengadopsi
suatu agama tertentu (di antara beragam agama) untuk mengatur kehidupan
bernegara, berarti negara itu telah melanggar satu prinsip dasar sekulerisme.
Harvey Cox dengan teologi sekularnya itu seperti ingin menjembatani
dua kubu yang paradoks secara ekstrim, yakni teologi konservatif dan teologi
radikal. Cox mengkritik pendapat para teolog kematian Tuhan, karena
mereka keliru karena dua faktor. Pertama, mereka telah menjadikan
pandangan hidup saintifik modern sebagai parameter, padahal humanisme
saintifis modern itu beranekaragam. Selain itu, para saintis pun mengakui
bahwa metodologi saintifik bersifat operasional dan berada dalam ruang
lingkup yang terbatas. Oleh sebab itu, metodologi saintifik tidak menawarkan
“pandangan hidup”. Kedua, pendapat teolog radikal terhadap teologi Kristen
tidak kritis dan ahistoris. Mereka menganggap isi doktrin Kristen tidak
berubah, maka perlu dibuang.
Dalam pandangan Cox sebuah negara atau kota yang bercorak sekuler
(dalam bahasanya Cox, Technopolis) paling tidak memiliki dua corak.110
Pertama, pragmatisme. Dunia, dalam kacamata pragmatisme dilihat bukan
sebagai suatu kesatuan metafisik, tetapi sebagai rangkaian masalah dan
proyek. Kedua, profanitas. Dengan mengatakan profan, Cox tidak bermaksud
untuk memberi kesan bahwa manusia sekuler adalah sacrilegious, tetapi ia
adalah seorang yang unreligious.
Elaborasi Cox paralel dengan uraian Nurcholis Madjid dalam kaitannya
dengan upaya pembaharuan pemikiran Islam. Nurcholis Madjid, bersama
Abdurrahman Wahid sebenarnya hidup dalam dua dimensi yang paradoks
pada masa pemerintahan Orde Baru. Mereka mendapat dukungan paling
menentukan dari aliran pembaruan teologis keagaman yang datang dari
konteks sosial politik di mana kecenderungan ini berkembang. Konteks
109 Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, (terj) Yusdani
dan Aden Wijdan (Jogjakarta: UII Pres dan Pusat Studi Islam UII, 2002), 48-50.
110 Harvey Cox, The Secular City. . ., 52.
tersebut terkait dengan sistem politik orde baru yang menolak gagasan yang
mengaitkan Islam dan negara secara legalistik dan formalistik.111
Namun, wacana yang ditumbuhkembangkan oleh Nurcholis Madjid
tentang sekularisasi serta Abdurrahman Wahid dengan pribumisasi Islam
tampaknya telah menyentak kesadaran segmen tertentu kaum Muslim
terdidik di Indonesia yakni bagian penting dari audiens yang sepantasnya
menjadi target gerakan pembaruan keagamaan ini.
Gagasan yang dielaborasi itu menyebabkan timbulnya sejumlah kritik
dari berbagai kalangan. Kritikus tersebut berpandangan bahwa gerakan
pembaruan yang diusung para pembaharu tersebut tidak saja merupakan
sumber kontroversi keagamaan, melainkan juga sebagai sesuatu yang dapat
membahayakan keberagamaan umat Islam di Indonesia.112
Sebagai penggagas sekularisasi di Indonesia, Nurcholish menjadikan
sekularisasi sebagai sebuah proses penduniawian.113 Dalam proses itu,
terjadi pemberian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan
duniawi. Pengetahuan mutlak diperlukan, guna memperoleh ketepatan
setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah dunia. Dan disinilah letak
peranan ilmu pengetahuan. Maka secara ringkas, pokok tentang sekularisasi,
menurut Nurcholish, adalah pengakuan wewenang kepada ilmu pengetahuan
dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Ilmu pengetahuan
sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaan.
Jika sekularisasi merupakan proses yang dinamis, maka tidak demikian
dengan sekularisme. Sekularisme adalah suatu paham keduniawian. Ia
membentuk filsafat tersendiri dengan pandangan dunia baru yang berbeda,
atau bertentangan dengan hampir seluruh agama di dunia ini.114
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 242.
112 Endang Saifuddin Anshari, Kritik Atas Faham dan Gerakan “Pembaharuan”
Nurcholis Madjid, (Bandung: Bulan Sabit, 1973), 54. Simak juga, H.M. Rasjidi, Koreksi
terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 28-30.
113
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan,1987), 216.
114 Ibid., 217-218.
111
Farah Anthun (1874-1922) editor pada majalah Al-Jami’ah sebuah
majalah berbahasa Arab yang cukup menggetarkan pada masanya (sekitar
1897 M) mencoba melihat akar-akar sekularisasi dalam peradaban Barat
yang menyebabkan majunya pemikiran Eropa.
Atas dasar itu, seperti yang dikutip Albert Hourani, ia berkeinginan
untuk membangun prakonsepsi tentang sebuah negara sekuler yang di
dalamnya orang-orang Muslim dan Kristen dapat berperan serta atas dasar
kesetaraan yang menyeluruh. Prakonsepsi yang ia kehendaki itu adalah
pertama, bahwa apa yang esensial dalam semua agama seharusnya
dipisahkan dari apa yang aksidental. Yang esensial adalah tubuh prinsip,
yang tidak esensial adalah tubuh hukum, umum maupun khusus.115 Menurut
Anthun, pemisahan yang esensial dan aksidental ini menjadi dasar dari
toleransi sejati.
Kondisi kedua dari sekularisme yang tak kalah pentingnya adalah
pemisahan antara otoritas duniawi dan spiritual. Ada lima sebab mengapa
hal ini penting dilakukan.116 Pertama, tujuan dari keduanya berbeda dan
bahkan berlawanan. Tujuan agama adalah penyembahan dan kebaikan sesuai
dengan kitab wahyu dan masing-masing agama meyakini dia sendirilah yang
memiliki kebenaran dan manusia harus mengikuti jalannya untuk mencapai
keselamatan dan oleh karena itu otoritas keagamaan dengan kekuatan politik
akan menggunakannya untuk membungkam mereka yang tidak setuju.
Tujuan pemerintahan adalah menjaga kebebasan manusia di dalam batasbatas konstitusi. Dengan cara ini, pemerintah tidak akan membungkam
manusia karena apa yang mereka pikirkan.
Kedua, masyarakat yang baik didasarkan pada kesetaraan mutlak
antara “putra-putra dari bangsa yang sama” suatu kesetaraan yang melewati
batas-batas perbedaan agama. Ketiga, otoritas keagamaan membuat hukum
115 Albert Hourani, Arabic Thought ini the Liberal Age 1798-1939, (terj). “Pemikiran
Liberal di Dunia Arab” (Bandung: Mizan dan Freedom Institute, 2004), 407-408.
116 Ibid., 408-409.
dengan pandangan yang tertuju pada alam akhirat dan karenanya kontrol
mereka akan mengganggu tujuan pemerintah, yakni membuat hukum dunia.
Keempat, negara-negara yang dikontrol oleh agama biasanya lemah.
Otoritas agama dalam kodratnya lemah karena mereka berbelaskasihan
dengan perasaan-perasaan masa. Kelima, pemerintahan agama mengarahkan
pada perang, kendati agama sejati adalah satu, kepentingan-kepentingan
agama yang berbeda akan bermusuhan satu sama lain dan karena loyalitas
keagamaan itu cukup kuat di kalangan masa, selalu terbuka kemungkinan
untuk membangkitkan perasaan mereka.
Meski sekularisasi telah dianggap sebagai salah satu biang keberhasilan
majunya peradaban, tetapi kenyataan yang dihadapi manusia abad 21, justru
berkebalikan. Kata Peter L. Berger, dunia sekarang tidak lagi mengalami
proses sekularisasi tetapi justru sebaliknya yakni desekularisasi.
Desekularisasi meniscayakan bahwa proses modernisasi tidak hanya
membuat orang-orang sekuler dan meninggalkan agama di satu sisi, tetapi di
sisi lain modernisasi juga membuat simbol-simbol keagamaan semakin
memamahbiak.
Dalam ”Globalization”, Malcolm Waters mengatakan bahwa globalisasi
memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak, terhadap
penyebaran fundamentalisme.117 Efek langsung yang dirasakan oleh kaum
fundamentalisme menurut Waters karena, (i) universalisasi budaya Barat
memaksa partikularisme lokal melegitimasinya dengan bahasa mereka. (ii)
globalisasi negara-bangsa menolak legitimasi dari kesetiaan terhadap Gereja
dan Tuhannya. (iii) sekularisasi dan abstraksi hukum menjadi basis bagi
ketertiban sosial. (iv) menguatkan fakta bahwa dunia adalah pluralistik dan
didasarkan atas pilihan, dan di sana tidak ada satu budaya yang superior.118
Disitulah desekularisasi menjadi anak sejarah yang tidak bisa
dipandang sebelah mata eksistensinya. Peter L. Berger merupakan orang
yang menyadari betul proses desekularisasi ini. Secara tulus, ia mengakui
117
118
Malcolm Waters, Globalization (New York: Routledge, 1995), 130-131.
Ibid.
kesalahannya yang mengatakan bahwa secara sederhana teori sekularisasi
bermaksud menunjukkan bahwa modernisasi menyebabkan merosotnya
agama, baik dalam ranah masyarakat maupun individu.119
Menurut
Berger,
disinilah
kebanyakan
teoritikus
sosial
salah
menganalisis fenomena tersebut. Meski modernisasi telah menghasilkan
sekularisasi, tetapi pada waktu bersamaan, modernisasi juga membangkitkan
apa yang ia sebut sebagai powerful movements of counter-secularization.120
Sekularisasi yang terjadi di level masyarakat, tidak memiliki hubungan
langsung dengan kesadaran di level individu.121 Walaupun ditemukan adanya
lembaga keagamaan tertentu yang tidak memiliki pengaruh di dataran
komunitas, tetapi keyakinan dan praktek keagamaan baru terus berkembang
dalam kehidupan individu. Tak jarang perkembangan di level individu ini
pada gilirannya hadir dengan format baru yang kemudian menghadirkan
semangat yang baru pula.
Bagi Berger, jalan menghadirkan counter sekularisasi itu bisa dilihat
dari dua strategi. Pertama, revolusi agama (religious revolution). Dengan
melakukan revolusi, berarti jalan yang diupayakan adalah dengan merubah
masyarakat secara menyeluruh dan menciptakan model agama modern
sebagai tandingan. Revolusi Iran adalah contoh yang tepat untuk
menggambarkan ini. Franco di Spanyol menerapkan model ini dan ternyata
tidak berhasil, sementara Mullah di Iran masih bertahan. Kedua menciptakan
subkultur agama (religious subcultures). Cara ini dinilai efektif untuk
menangkal pengaruh dari masyarakat luar.122 Pendek kata, mereka
menciptakan pagar-pagar pembatas antara dunia mereka dengan dunia
modern. Amish di Pensylvania serta Rabbi Hasidic di kawasan Williamsburg
di Brooklyn adalah contoh untuk gerakan ini.
119 Peter L. Berger, “The Desecularization of the World: A Global Overview”, dalam
Peter L. Berger (ed), The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics
(Washington DC-Grand Rapids Michigan: Ethics and Public Policy Center-William B.
Eerdmans Publishing Company, 1999), 2.
120 Ibid., 3.
121 Ibid.
122 Ibid., 3-4.
Berger mengkritik pandangan yang menyatakan kala sekularisasi
berhadapan dengan fundamentalis, kaum sekuler akan memenangkan
pertarungan. Dan ini berarti bahwa tesis sekularisasi bisa dipertahankan.123
Baginya, dunia abad nanti sekalipun tidak akan berkurang religiusitasnya
dibandingkan dengan abad sekarang.
Pola relasi yang memisahkan agama di satu sisi dan negara di sisi lain,
ternyata sama sekali tidak menghilangkan minat agama baik dari aspek
ekspresinya maupun sebagai objek studi. Sekularisasi ternyata tidak
membuat agama benar-benar hilang dari peredaran. Dalam pengantar buku
The Desecularization of the World, Peter L. Berger menuturkan tentang
anggapan yang keliru soal teori sekularisasi.124 Meski sekularisasi telah
dianggap sebagai salah satu biang keberhasilan majunya peradaban, tetapi
kenyataan yang dihadapi manusia abad 21, justru berkebalikan. Kata Peter L.
Berger, dunia sekarang tidak lagi mengalami proses sekularisasi tetapi justru
sebaliknya yakni desekularisasi. Dunia saat ini, tidak jauh berbeda dengan
masa-masa dimana agama menjadi sesuatu yang marak, dan bahkan di
beberapa tempat lebih kuat daripada yang pernah terjadi.
Desekularisasi meniscayakan bahwa proses modernisasi tidak hanya
membuat orang-orang sekuler dan meninggalkan agama di satu sisi, tetapi di
sisi lain modernisasi juga membuat simbol-simbol keagamaan semakin
memamahbiak. Disitulah desekularisasi menjadi anak sejarah yang tidak bisa
dipandang sebelah mata eksistensinya. Peter L. Berger merupakan orang
yang menyadari betul proses desekularisasi ini. Ia mengakui kesalahannya
yang mengatakan bahwa secara sederhana teori sekularisasi bermaksud
menunjukkan bahwa modernisasi menyebabkan merosotnya agama, baik
dalam ranah masyarakat maupun individu.
123
124
Ibid., 4.
Ibid., 2.
Download