5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tunagrahita a

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tunagrahita
a. Definisi
American Association on Intellectual and Develpmental Disabilities
(AAIDD) merumusakan nama baru untuk retardasi mental yaitu
intellectual disability (ID) atau disabilitas intelektual (DI) pada tahun
2002 (AAIDD, 2002). Meskipun demikian DSM-IV-TR dan referensi
lain masih menggunakan istilah retardasi mental. DI disebut juga
tunagrahita di Indonesia. Tunagrahita adalah kecerdasan di bawah ratarata dan memiliki kelemahan fungsi adaptif sejak masa anak atau sejak
lahir. Tiga kriteria utama tunagrahita yaitu (1) IQ yang di bawah rata-rata
secara signifikan; (2) defisit dalam perilaku adaptif; (3) onset sebelum
usia 18 tahun (APA, 2000).
b. Klasifikasi
DSM IV-TR mengkategorikan retardasi mental menjadi 5 kelompok
berdasarkan IQ (Intelligence Quotient) yaitu mild mental retardation
(retardasi mental ringan) dengan IQ 50-55 atau mencapai 70, moderate
mental retardation (retardasi mental sedang) dengan IQ 35-40 sampai
50-55, severe mental retardation (retardasi mental berat) dengan IQ 2025 sampai 35-40, profound mental retardation (retardasi mental sangat
5
6
berat) dengan IQ dibawah 20 atau 25, dan Mental retardation with
severity unspecified (retardasi mental yang tidak tergolongkan) (APA,
2000).
Pembagian lain oleh Maramis (2005) yang didasarkan atas tingkat
intelegensi yang dihubungkan dengan patokan sosial dan pendidikan
sebagai berikut:
1) Tunagrahita Taraf Perbatasan
Karakteristik tunagrahita taraf perbatasan adalah :
a)
Intelligence Quotient : 68 - 85 (keadaan bodoh/bebal)
b)
Patokan sosial : Tidak dapat bersaing dalam mencari nafkah
c)
Patokan pendidikan : Beberapa kali tak naik kelas di SD
2) Tunagrahita Ringan
Karakteristik tunagrahita ringan adalah:
a)
Intelligence Quotient : 52 – 67 (debil/moron/keadaan tolol)
b)
Patokan sosial : Dapat mencari nafnah sendiri dengan
mengerjakan sesuatu yang sederhana dan mekanistis.
c)
Patokan pendidikan : Dapat dididik dan dilatih tetapi pada
sekolah khusus (SLB)
3) Tunagrahita Sedang
Karakteristik tunagrahita sedang adalah:
a)
Intelligence Quotient : 36 – 51 (taraf embisil/keadaan
dungu)
7
b)
Patokan sosial : Tidak dapat mencari nafkah sendiri. Dapat
melakukan perbuatan untuk keperluan dirinya (mandi,
berpakaian, makan, dan sebagainya).
c)
Patokan pendidikan : Tidak dapat dididik, hanya dapat
dilatih.
4) Tunagrahita Berat
Karakteristik tunagrahita berat adalah:
a)
Intelligence Quotient : 20 – 35
b)
Patokan sosial : Tidak dapat mencari nafkah sendiri.
Kurang mampu melakukan perbuatan untuk keperluan
dirinya. Dapat mengenal bahaya.
c)
Patokan pendidikan : Tidak dapat dididik, dapat dilatih
untuk hal-hal yang sangat sederhana.
5) Tunagrahita Sangat Berat
Karakteristik tunagrahita sangat berat adalah:
a)
Intelligence Quotient : Kurang dari 20 (idiot/keadaan
pander)
b)
Patokan sosial : Tidak dapat mengurus diri sendiri dan tidak
dapat mengenal bahaya. Selama hidup tergantung dari
pihak lain.
c)
Patokan pendidikan : Tidak dapat dididik dan dilatih.
Klasifikasi tunagrahita dalam pendidikan merupakan tunagrahita
ringan sampai sedang. Yaitu tunagrahita ringan di kelompok kelas C dan
8
tunagrahita sedang di kelompok kelas C1. Tunagrahita berat biasanya
tidak masuk dalam jenjang pendidikan karena keterbatasannya yang sulit
dilatih di sekolah luar biasa.
c. Faktor-Faktor Penyebab Tunagrahita
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa Ke-3
(Maramis, 2005) faktor-faktor penyebab tunagrahita adalah sebagai
berikut:
1) Infeksi dan intoksinasi
Infeksi yang terjadi pada masa prenatal dapat berakibat buruk pada
perkembangan janin, salah satunya yaitu rusaknya jaringan otak.
Begitu juga dengan terjadinya intoksinasi, jaringan otak juga dapat
rusak yang pada akhirnya menimbulkan tunagrahita. Infeksi dapat
terjadi karena masuknya bakteri ataupun virus ke dalam tubuh ibu
yang sedang mengandung. Intoksinasi dapat terjadi jika ibu
mengkonsumsi obat maupun makanan yang mengandung racun.
2) Terjadinya rudapaksa atau sebab fisik lain
Rudapaksa sebelum lahir serta trauma lainnya, seperti hiperradiasi,
alat kontrasepsi, dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan
kelainan tunagrahita. Kepala bayi dapat mengalami tekanan saat
pross kelahiran sehingga timbul pendarahan di dalam otak. Mungkin
juga
karena
terjadi
kekurangan
oksigen
yang
kemudian
menyebabkan terjadinya degenerasi sel-sel korteks otak yang kelak
mengakibatkan tunagrahita.
9
3) Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi
Gangguan gizi yang berat dan berlangsung lama sebelum anak
berusia 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat
mengakibatkan tunagrahita. Keadaan seperti itu dapat diperbaiki
dengan memberikan gizi yang mencukupi sebelum anak berusia 6
tahun, sesudah itu biarpun anak tersebut dibanjiri dengan makanan
yang bergizi, inteligensi yang rendah tersebut sangat sukar untuk
ditingkatkan.
4) Penyakit otak yang nyata
Dalam kelompok ini termasuk tunagrahita akibat beberapa reaksi
sel-sel otak yang nyata, yang dapat bersifat degeneratif, ataupun
radang. Penyakit otak yang terjadi sejak lahir atau bayi dapat
menyebabkan penderita mengalamai keterbelakangan mental.
5) Penyakit atau pengaruh prenatal
Keadaan ini dapat diketahui sudah ada sejak dalam kandungan,
tetapi tidak diketahui etiologinya, termasuk anomali kranial primer
dan defek kongenital yang tidak diketahui sebabnya.
6) Kelainan kromosom
Kelainan kromosom mungkin terjadi pada aspek jumlah maupun
bentuknya. Kelainan pada jumlah kromosom menyebabkan sindrom
down yang dulu sering disebut mongoloid.
10
7) Prematuritas
Tunagrahita
yang
termasuk
ini
termasuk
tunagrahita
yang
berhubungan dengan keadaan bayi yang pada waktu lahir berat
badannya kurang dari 2500 gram atau dengan masa kehamilan
kurang dari 38 minggu.
8) Akibat gangguan jiwa yang berat
Tunagrahita juga dapat terjadi karena adanya gangguan jiwa yang
berat pada masa kanak-kanak.
9) Deprivasi psikososial
Deprivasi artinya tidak terpenuhinya kebutuhan. Tidak terpenuhinya
kebutuhan psikososial awal-awal perkembangan ternyata juga dapat
menyebabkan terjadinya tunagrahita pada anak.
d. Karakteristik Anak Tunagrahita
a. Karakteristik Umum
Karakteristik
anak tunagrahita yaitu: penampilan fisik tidak
seimbang; tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai dengan usianya;
perkembangan bicara dan penguasaan bahasanya terhambat; kurang
perhatian pada lingkungan; koordinasi gerakannya kurang dan sering
mengeluarkan ludah tanpa sadar. James D Page yang dikutip oleh
Suhaeri H.N (Amin, 1995) menguraikan karakteristik anak tunagrahita
sebagai berikut:
11
a) Kecerdasan. Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk
hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan cara
membeo (rote-learning) bukan dengan pengertian.
b) Sosial.
Dalam
pergaulan
mereka
tidak
dapat
mengurus,
memelihara, dan memimpin diri. Ketika masih kanak-kanak
mereka harus dibantu terus menerus, disingkirkan dari bahaya, dan
diawasi waktu bermain dengan anak lain.
c) Fungsi-fungsi
mental
lain.
Mengalami
kesukaran
dalam
memusatkan perhatian, pelupa dan sukar mengungkapkan kembali
suatu ingatan. Mereka menghindari berpikir, kurang mampu
membuat asosiasi dan sukar membuat kreasi baru.
d) Dorongan dan emosi. Perkembangan dan dorongan emosi anak
tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaan
masing-masing. Kehidupan emosinya lemah, mereka jarang
menghayati perasaan bangga, tanggung jawab dan hak sosial.
e) Organisme. Struktur dan fungsi organisme pada anak tunagrahita
umumnya kurang dari anak normal. Dapat berjalan dan berbicara
diusia yang lebih tua dari anak normal. Sikap dan gerakannya
kurang indah, bahkan di antaranya banyak yang mengalami cacat
bicara.
2) Karakteristik Khusus
Wardani (2002) mengemukakan karakteristik anak tunagrahita
menurut tingkat ketunagrahitaannya sebagai berikut:
12
a) Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan
Meskipun tidak dapat menyamai anak normal yang seusia
dengannya, mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan
berhitung
sederhana.
Kecerdasannya
berkembang
dengan
kecepatan antara setengah dan tiga perempat kecepatan anak
normal dan berhenti pada usia muda. Mereka dapat bergaul dan
mempelajari pekerjaan yang hanya memerlukan semi skilled. Pada
usia dewasa kecerdasannya mencapai tingkat usia anak normal 9
dan 12 tahun.
b) Karakteristik Anak Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang hampir tidak bisa mempelajari
pelajaran-pelajaran akademik. Namum mereka masih memiliki
potensi untuk mengurus diri sendiri dan dilatih untuk mengerjakan
sesuatu secara rutin, dapat dilatih berkawan, mengikuti kegiatan
dan menghargai hak milik orang lain. Sampai batas tertentu mereka
selalu membutuhkan pengawasan, pemeliharaan dan bantuan orang
lain. Setelah dewasa kecerdasan mereka tidak lebih dari anak
normal usia 6 tahun.
c) Karakteristik Anak Tunagrahita Berat dan Sangat Berat
Anak tunagrahita berat dan sangat berat sepanjang hidupnya
akan selalu tergantung pada pertolongan dan bantuan orang lain.
Mereka tidak dapat memelihara diri sendiri dan tidak dapat
membedakan bahaya dan bukan bahaya. Mereka juga tidak dapat
13
bicara, kalaupun bicara hanya mampu mengucapkan kata-kata atau
tanda sederhana saja. Kecerdasannya walaupun mencapai usia
dewasa berkisar seperti anak normal usia paling tinggi 4 tahun.
3) Karakteristik pada Masa Perkembangan
Pengenalan ciri-ciri pada perkembangan ini penting karena segera
dapat diketahui tanpa mendatangkan ahli terlebih dahulu. Beberapa
ciri yang dapat dijadikan indikator adanya kecurigaan berbeda dengan
anak pada umumnya menurut Triman Prasadio (Wardani, 2002)
adalah sebagai berikut:
a) Masa Bayi
Walaupun saat ini sulit untuk segera membedakannya tetapi para
ahli mengemukakan bahwa ciri-ciri bayi tunagrahita adalah:
tampak mengantuk saja, apatis, tidak pernah sadar, jarang
menangis, kalau menangis terus menerus, terlambat duduk, bicara,
dan berjalan.
b) Masa Kanak-kanak
Pada masa ini anak tunagrahita sedang lebih mudah dikenal
daripada anak tunagrahita ringan. Karena anak tunagrahita sedang
mulai memperlihatkan ciri-ciri klinis seperti mongoloid, kepala
besar, kepala kecil, dan lain-lain. Tetapi anak tunagrahita ringan
(yang lambat) memperlihatkan ciri-ciri: sukar memulai dan
melanjutkan sesuatu, mengerjakan sesuatu berulang-ulang tetapi
tidak ada variasi, penglihatannya tampak kosong, melamun,
14
ekspresi muka tanpa ada pengertian. Selanjutnya tunagrahita ringan
(yang cepat) memperlihatkan ciri-ciri: mereaksi cepat tetapi tidak
tepat, tampak aktif sehingga memberi kesan anak ini pintar,
pemusahatan perhatian sedikit,
hiperaktif,
bermain dengan
tangannya sendiri, cepat bergerak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
c) Masa Sekolah
Masa ini merupakan masa yang penting diperhatikan karena
biasanya anak tunagrahita langsung masuk sekolah dan ada di
kelas-kelas SD biasa. Ciri-ciri yang mereka munculkan adalah
sebagai berikut:
(1) adanya kesulitan belajar hampir pada semua mata pelajaran
(membaca, menulis, dan berhitung)
(2) prestasi yang kurang
(3) kebiasaan kerja tidak baik
(4) perhatian yang mudah beralih
(5) kemampuan motorik yang kurang
(6) perkembangan bahasa yang jelek
(7) kesulitan menyesuaikan diri
d) Masa Puber
Perubahan yang dimiliki remaja tunagrahita sama halnya dengan
remaja biasa. Pertumbuhan fisik berkembang normal, tetapi
perkembangan berpikir dan kepribadiannya berada di bawah
15
usianya. Akibatnya ia mengalami kesulitan dalam pergaulan dan
mengendalikan diri.
e. Masalah yang Dihadapi Anak Tunagrahita
Perkembangan fungsi intelektual anak tunagrahita yang rendah dan
disertai dengan perkembangan perilaku adaptif yang rendah pula akan
berakibat langsung pada kehidupan mereka sehari-hari, sehingga ia
banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya. Masalah-masalah yang
dihadapi tersebut secara umum dikemukakan oleh Rochyadi dan Alimin
(2005) sebagai berikut:
1) Masalah Belajar
Aktivitas
belajar
berkaitan
langsung
dengan
kemampuan
kecerdasan. Di dalam kegiatan sekurang-kurangnya dibutuhkan
kemampuan mengingat dan kemampuan untuk memahami, serta
kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Keadaan seperti
itu sulit dilakukan oleh anak tunagrahita karena mereka mengalami
kesulitan untuk dapat berpikir secara abstrak, belajar apapun harus
terkait dengan objek yang bersifat konkrit. Kondisi seperti itu ada
hubungannya dengan kelemahan ingatan jangka pendek, kelemahan
dalam bernalar, dan sukar sekali dalam mengembangkan ide.
2) Masalah Penyesuaian Diri
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami dan
mengartikan norma lingkungan. Oleh karena itu anak tunagrahita
sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma
16
lingkungan di mana mereka berada. Tingkah laku anak tunagrahita
sering dianggap aneh oleh sebagian masyarakat karena mungkin
tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normatif atau karena
tingkah lakunya tidak sesuai dengan perkembangan umurnya.
Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normatif
lingkungan berkaitan dengan kesulitan memahami dan mengartikan
norma, sedangkan keganjilan tingkah laku lainnya berkaitan dengan
ketidaksesuaian
antara
perilaku
yang
ditampilkan
dengan
perkembangan umur.
3) Gangguan Bicara dan Bahasa
Ada dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan
proses komunikasi, pertama; gangguan atau kesulitan bicara di mana
individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa
dengan benar.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak anak tunagrahita yang
mengalami gangguan bicara dibandingkan dengan anak-anak
normal. Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat hubungan yang
positif
antara
rendahnya
kemampuan
kecerdasan
dengan
kemampuan bicara yang dialami. Kedua; hal yang lebih serius dari
gangguan bicara adalah gangguan bahasa, di mana seorang anak
mengalami kesulitan dalam memahami dan menggunakan kosa kata
serta kesulitan dalam memahami aturan sintaksis dari bahasa yang
digunakan.
17
4) Masalah Kepribadian
Anak tunagrahita memiliki ciri kepribadian yang khas, berbeda dari
anak-anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian ini berkaitan
erat dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Kepribadian
seseorang dibentuk oleh faktor organik seperti predisposisi genetik,
disfungsi otak dan faktor-faktor lingkungan seperti: pengalaman
pada masa kecil dan oleh lingkungan masyarakat secara umum.
2. Kecemasan
a.
Definsi
Kecemasan atau ansietas merujuk kepada banyak definisi yang
variatif. Kecemasan pada umumnya merupakan perasaan takut yang
tidak jelas karena respon internal atau eksternal. Kecemasan tidak
dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari dan mempunyai pengaruh
yang positif untuk menyelesaikan masalah dan krisis. Kecemasan
masih dalam batas normal apabila dalam situasi tertentu yang
sewajarnya dan langsung hilang setelah masalahnya terselesaikan
(Videbeck, 2011). Hamilton (1969) membedakan antara kecemasan
sebagai reaksi normal dari bahaya, kecemasan sebagai perasaan yang
abnormal (patologis), dan kecemasan sebagai neurosis atau sindrom.
Kecemasan sebagai reaksi dari bahaya lebih ringan dari kecemasan
yang lain, tetapi lebih lama dari ketakutan biasa (fear) dan
individunya mengalami perubahan biologis yang sama seperti saat
mengahadapi stress. Lain halnya dengan kecemasan patologis yang
18
terjadi bukan karena stimulus eksternal melainkan stimulus internal,
selain itu, masih belum jelas hubungan antara kecemasan patologis
dengan kecemasan neurosis.
DSM-IV-TR
mendefinisikan
kecemasan
sebagai
sebuah
kekhawatiran dari bahaya masa depan atau ketidakberuntungan yang
disertai dengan perasaan disforia atau gejala somatik karena tertekan
(APA, 2000). Videbeck (2011) membedakan kecemasan sebagai
respon dari stres dan gangguan kecemasan. Kecemasan sebagai respon
dari stress beragam dari ringan sampai berat. Sedangkan gangguan
kecemasan merujuk pada DSM-IV-TR yaitu ketika kecemasan bukan
lagi sebagai respon dari bahaya atau perubahan, tetapi menjadi kronik
dan menjadi masalah utama dalam kehidupan seseorang yang
menjadikannya memiliki perilaku yang maladaptif dan gangguan
emosional (APA, 2000). Tipe gangguan kecemasan yaitu agoraphobia
dengan atau tidak dengan gangguan panik, gangguan panik fobia
spesifik, fobia sosial, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress
akut, dan gangguan pasca trauma.
b. Etiologi Cemas
Ada berbagai macam teori yang menjelaskan tentang penyebab
kecemasan. Kecemasan merupakan salah satu perilaku abnormal.
Sepanjang abad kedua puluh, terdapat empat teori besar yang
menjelaskan penyebab perilaku abnormal yaitu 1) paradigma biologis;
2) paradigma psikodinamik; 3) paradigma kognitif-behavioral; 4)
19
paradigma
humanistik.
Adanya
paradigma-paradigma
tersebut
menyebabkan faktor etiologi perilaku abnormal menjadi terkotakkotak, sehingga psikolog mengintegrasikan sebuah model dari
kombinasi faktor biologi, psikologi dan sosial, yaitu model
biopsikososial (Oltmanns dan Emery, 2013).
Etiologi kecemasan menurut McDowell (2006) ada berbagai
macam dan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) teori biologis
yang menekankan tentang level hormon, pola neurokimia, dan
genetika; 2) teori perilaku yang menekankan tentang kaitan antara
pengaruh pengajaran orang tua dan perkembangan masa awal
pertumbuhan; 3) Teori kognitif yang menekankan kaitan antara
kepercayaan dan persepsi untuk mengontrol reaksi kecemasan.
Videbeck (2011) dalam buku psychiatric mental health nursing,
menyebutkan 2 teori kecemasan, yaitu:
1) Teori biologis
a)
Teori genetik
Kecemasan mungkin merupakan sesuatu yang diturunkan
karena kerabat dari penderita kecemasan memiliki resiko yang
tinggi mengalami kecemasan. Penelitian yang berkembang
sekarang, mengindikasikan kerentanan gangguan kecemasan
pada sebuah garis keturunan. Tetapi, faktor-faktor lainnya
masih banyak yang harus dikembangkan.
20
b) Teori neurokimia
Asam γ-aminobutirat (γ-aminobutyric acid [GABA]) adalah
neurotransmitter yang dipercaya berperan dalam gangguan
kecemasan. GABA berfungsi sebagai antiansietas alami.
Neurotransmiter ini berada pada satu dari tiga sinapsis saraf,
terutama ada di system limbik dan lokus seruleus. GABA
mengurangi
kecemasan
meningkatkannya.
Peneliti
sedangkan
percaya
norepinefrin
bahwa
gangguan
kecemasan dipengaruhi oleh regulasi kedua neurotransmitter
ini.
2) Teori psikodinamik
a)
Teori psikoanalitik
Freud (1936) mengatakan bahwa kecemasan pada dasarnya
merupakan suatu stimulus untuk berperilaku. Dia menjelaskan
mekanisme pertahanan (defense mechanism) sebagai upaya
manusia
untuk
mengendalikan
kesadaran
dan
untuk
mengurangi kecemasan. Mekanisme pertahanan adalah distorsi
kognitif yang dilakukan seseorang secara tidak sadar untuk
mempertahankan
keadaan
yang
terkendali,
mengurangi
ketidaknyamanan, dan untuk mengatasi stres. Mekanisme
pertahanan merukapakan mekanisme alam bawah sadar,
sehingga
manusia
sering
kali
tidak
sadar
dalam
menggunakannya. Beberapa orang menggunakan mekanisme
21
pertahanan secara berlebihan sehingga mereka kehilangan
kendali dan berhenti untuk mempelajari berbagai macam
variasi dalam menyelesaikan keadaan yang menyebabkan
kecemasan. Hal ini menyebabkan ketergantungan pada satu
atau dua jenis mekanisme pertahanan saja sehingga orang
tersebut mengalami kesulitan dalam mengembangkan fungsi
emosionalnya. Selain itu, dapat menyebabkan kemampuan
penyelesaian masalah yang buruk dan kesulitan dalam sebuah
hubungan.
b) Teori Interpersonal
Harry Stack Sullivan (1952) melihat kecemasan sebagai
masalah dalam hubungan interpersonal. Pengasuh (Ibu atau
yang lain) dapat mengkomunikasikan sebuah kecemasan
kepada bayi atau anak melalui asuhan yang tidak adekuat,
agitasi saat memegang atau menggendong anak, dan pijatan
yang tidak benar. Komunikasi kecemasan semacam itu dapat
menyebabkan
disfungsi
seperti
kegagalan
dalam
perkembangan anak. Pada dewasa, kecemasan muncul dari
kebutuhan manusia untuk beradaptasi dengan norma dan nilai
dari kelompoknya masing-masing. Semakin tinggi tingkat
kecemasan,
semakin
rendah
kemampuan
untuk
mengkomunikasikan dan memecahkan masalah, dan semakin
tinggi gangguan kecemasannya berkembang. Hildegard Peplau
22
(1952) percaya bahwa manusia berada di ranah interpersonal
dan psikologis, sehingga klinisi dapat membantu klien dengan
kecemasan dengan memperhatikan kedua ranah tersebut.
c)
Teori behavioral
Pakar teori behavioral melihat kecemasan sebagai sesuatu yang
dipelajari
melalui
serangkaian pengalaman.
Sebaliknya,
manusia bisa mengubah atau “menghapus perilaku” dengan
pengalaman yang baru. Mereka percaya bahwa manusia dapat
memodifikasi perilaku buruknya tanpa mengetahui secara
endalam
penyebab
perilaku
buruknya.
Mereka
juga
menyatakan bahwa mengubah sebuah perilaku atau menghapus
perilaku
tersebut
dapat
dipelajari
dengan
melakukan
pengulangan pengalaman.
c. Bentuk Kecemasan
Kecemasan
sebagai
respon stress
maupun
patologis
bisa
mempengaruhi seseorang dalam berbagai bentuk. Beberapa orang
menunjukkan
kecemasannya
secara
psikologis
dan
fisiologis.
Kecemasan secara psikologis atau emosional terwujud dalam gejalagejala kejiwaan seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkontraksi,
perasaan tidak menentu dan sebagainya. Sadock dan Sadock (2010)
mengatakan bahwa kecemasan menimbulkan kebingungan dan distorsi
persepsi, sehingga dapat mengganggu proses pembelajaran dengan
menurunkan konsentrasi, mengurangi daya ingat, dan mengganggu
23
kemampuan membuat asosiasi. Sedangkan secara fisiologis terwujud
dalam gejala-gejala fisik terutama pada sistem saraf misalnya tidak
dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar, perut mual-muntah,
diare, nafas sesak disertai tremor pada otot (Videbeck, 2011).
d. Tingkat Kecemasan
Kecemasan sebagai respon stress memiliki dua aspek yang sehat
dan aspek membahayakan, yang bergantung pada tingkat kecemasan,
lama kecemasan yang dialami, dan seberapa baik indivudu melakukan
koping terhadap kecemasan. Kecemasan dapat dilihat dalam rentang
ringan, sedang, berat sampai panik. setiap tingkat menyebabkan
perubahan fisiologis dan emosional pada individu. Kecemasan ringan
adalah
cemas
yang
normal
menjadi
bagian sehari-hari
dan
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan, tetapi
individu masih mampu memecahkan masalah. Cemas ini dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas
yang ditandai dengan terlihat tenang percaya diri, waspada,
memperhatikan banyak hal, sedikit tidak sabar, ketegangan otot ringan,
sadar akan lingkungan, rileks atau sedikit gelisah.
Kecemasan sedang adalah cemas yang memungkinkan seseorang
untuk memusatkan pada hal-hal yang penting dan mengesampingkan
yang tidak penting atau bukan menjadi prioritas yang ditandai dengan
perhatian menurun penyelesaian masalah menurun, tidak sabar, mudah
tersinggung, ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital meningkat,
24
mulai berkeringat, sering mondar-mandir, sering berkemih dan sakit
kepala.
Kecemasan berat adalah cemas ini sangat mengurangi persepsi
individu, cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan
spesifik, dan tidak dapat berfikir tentang hal yang lain. Semua perilaku
ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan individu memerlukan
banyak pengesahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain
ditandai dengan sulit berfikir , penyelesaian masalah buruk, takut,
bingung, menarik diri, sangat cemas, kontak mata buruk, berkeringat,
bicara cepat, rahang menegang, menggertakkan gigi, mondar mandir
dan gemetar.
Panik adalah tingkat panik dari suatu ansietas berhubungan dengan
ketakutan dan teror, karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang
mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan
pengarahan, panik melibatkan disorganisasi kepribadian, dengan panik
terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan
kehilangan pemikiran yang tidak dapat rasional. Tingkat ansietas ini
tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam
waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian
(Struat, 2007).
Sisi negatif kecemasan atau sisi yang membahayakan ialah rasa
khawatir yang berlebihan tentang masalah yang nyata atau potensial.
25
Hal ini menghabiskan tenaga, menimbulkan rasa takut, dan
menghambat individu melakukan fungsinya dengan adekuat dalam
situasi interpersonal, situasi kerja, dan situasi sosial. Individu selalu
khawatir tentang sesuatu atau semua hal tanpa alasan yang nyata,
merasa gelisah lelah dan tegang. (Videbeck, 2011)
3. Depresi
a. Definisi
Semua orang mengalami beberapa emosi negatif seperti kesedihan,
ketakutan, dan kemarahan. Reaksi ini biasanya hanya berlangsung
selama beberapa saat, dan berguna bagi kehidupan manusia, khususnya
dalam berhubungan dengan orang lain. Reaksi emosional berfungsi
sebagai sinyal untuk orang lain tentang perasaan dan hubungan saat itu.
Mereka juga mengkoordinasikan respon seseorang terhadap perubahan
di lingkungan terdekat orang tersebut. Kesedihan merupakan perasaan
universal, berbeda dengan sindrom depresi. Depresi dikatakan normal
apabila terjadi dalam situasi tertentu, bersifat ringan dan dalam waktu
yang singkat. Bila depresi tersebut terjadi di luar kewajaran dan
berlanjut maka depresi tersebut dianggap abnormal (Atkinson et al.,
1993). Depresi yang abnormal sering disebut depresi klinis atau
sindrom depresi, yang pada bab ini selanjutnya disebut “depresi” saja.
Depresi adalah gangguan perasaan atau mood yang disertai
komponen psikologi berupa sedih, susah, tidak ada harapan dan putus
asa disertai komponen biologis atau somatik misalnya anoreksia,
26
konstipasi dan keringat dingin. Maramis (2005) memasukkan depresi
sebagai gangguan afek dan emosi. Afek ialah ”nada” perasaan,
menyenangkan atau tidak (seperti kebanggaan, kekecewaan, kasih
sayang), yang menyertai suatu pikiran dan biasanya berlangsung lama
serta kurang disertai oleh komponen fisiologis. Afek mengacu pada
pola perilaku yang dapat diobservasi, seperti ekspresi wajah, yang
berkaitan dengan perasaan subjektif. Sedangkan emosi merupakan
manifestasi afek keluar dan disertai oleh banyak komponen fisiologis,
biasanya
berlangsung
relatif
tidak
lama
(misalnya
ketakutan,
kecemasan, depresi dan kegembiraan). Afek dan emosi dengan aspekaspek yang lain seorang manusia (proses berpikir, psikomotor, persepsi,
ingatan) saling mempengaruhi dan menentukan tingkat fungsi dari
manusia itu pada suatu waktu.
b. Etiologi
Saddock & Saddock pada tahun 2010 menyatakan bahwa sebab
depresi dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain: aspek biologi,
aspek genetik, aspek psikologi dan aspek lingkungan sosial.
1) Aspek biologi
Penyebabnya adalah gangguan neurotransmiter di otak dan
gangguan hormonal. Neurotransmiter antara lain dopamin, histamin,
dan noradrenalin.
27
a) Dopamin dan norepinefrin
Keduanya berasal dari asam amino tirosin yang terdapat
pada sirkulasi darah. Pada neuron dopaminergik, tirosin diubah
menjadi dopamin melalui 2 tahap: perubahan tirosin menjadi
DOPA oleh tirosin hidroksilase (Tyr-OH). DOPA tersebut akan
diubah lagi menjadi dopamin (DA) oleh enzim dopamin beta
hidroksilase (DBH-OH). Pada jaringan interseluler, DA yang
bebas yang tidak disimpan pada vesikel akan dioksidasi oleh
enzim MAO menjadi DOPAC. Sedangkan pada jaringan
ekstraseluler (pada celah sinap) DA akan menjadi HVA dengan
enzim MAO dan COMT.
b) Serotonin
Serotonin yang terdapat pada susunan saraf pusat berasal
dari asam amino triptofan, proses sintesis serotonin sama dengan
katekolamin, yaitu masuknya triptofan ke neuron dari sirkulasi
darah, dengan bantuan enzim triptofan hidroksilase akan
membentuk 5-hidroksitriptofan dan dengan dekarboksilase akan
membentuk 5-hidroksitriptamin (5-HT).
2) Aspek genetik
Pola genetik penting dalam perkembangan gangguan mood,
akan tetapi pola pewarisan genetik melalui mekanisme yang sangat
kompleks, didukung dengan penelitian-penelitian sebagai berikut:
28
a) Penelitian keluarga
Dari penelitian keluarga secara berulang ditemukan bahwa
sanak keluarga turunan pertama dari penderita gangguan bipoler I
berkemungkinan 8-18 kali lebih besar dari sanak keluarga turunan
pertama subjek kontrol untuk menderita gangguan bipoler I dan
2-10 kali lebih mungkin untuk menderita gangguan depresi berat.
Sanak keluarga turunan pertama dari seorang penderita berat
berkemungkinan 1,5-2,5 kali lebih besar daripada sanak keluarga
turunan pertama subjek kontrol untuk menderita gangguan bipoler
I dan 2-3 kali lebih mungkin menderita depresi berat.
b) Penelitian adopsi
Penelitian ini telah mengungkapkan adanya hubungan faktor
genetik dengan gangguan depresi. Dari penelitian ini ditemukan
bahwa anak biologis dari orang tua yang menderita depresi tetap
beresiko menderita gangguan mood, bahkan jika mereka
dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita gangguan.
c) Penelitian kembar
Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan bahwa angka
kesesuaian untuk gangguan bipoler I pada anak kembar
monozigotik 33-90 persen; untuk gangguan depresi berat angka
kesesuaiannya 50 persen. Sebaliknya, angka kesesuaian pada
kembar dizigotik adalah kira-kira 5-25 persen untuk gangguan
bipoler I dan 10-25 persen untuk gangguan depresi berat.
29
3) Aspek psikologi
Sampai saat ini tak ada sifat atau kepribadian tunggal yang
secara unik mempredisposisikan seseorang kepada depresi. Semua
manusia dapat dan memang menjadi depresi dalam keadaan tertentu.
Tetapi tipe kepribadian dependen-oral, obsesif-kompulsif, histerikal,
mungkin berada dalam resiko yang lebih besar untuk mengalami
depresi daripada tipe kepribadian antisosial, paranoid, dan lainnya
dengan
menggunakan
proyeksi
dan
mekanisme
pertahanan
mengeksternalisasikan yang lainnya. Tidak ada bukti hubungan
gangguan kepribadian tertentu dengan gangguan bipolar I pada
kemudian hari. Tetapi gangguan distimik dan gangguan siklotimik
berhubungan dengan perkembangan gangguan bipoler I di kemudian
harinya
4) Aspek lingkungan sosial
Berdasarkan penelitian, depresi dapat membaik jika klinisi
mengisi pada pasien yang terkena depresi suatu rasa pengendalian
dan penguasaan lingkungan.
c. Tanda dan Gejala Depresi
Tanda terpenting gangguan perasaan dapat dibagi menjadi 4 bidang
umum: tanda emosional; tanda kognitif; tanda somatik; dan tanda
perilaku. (Oltmanns dan Emery, 2013)
30
1) Tanda Emosional
Suasana perasaan disforik (tidak menyenangkan) adalah tanda
yang paling jelas. Penderita depresi mengeluhkan persaan yang
muram, sedih dan putus asa. Seringkali penderitanya mudah
tersinggung, kemarahannya sering ditujukan untuk diri sendiri.
Tetapi sering pula kemarahannya ditujukan kepada orang lain.
Penderita juga mengeluhkan merasa tegang, dan tidak santai.
2) Tanda Kognitif
Selain melibatkan suasana emosinya, depresi melibatkan
perubahan tentang bagaimana orang memikirkan tentang dirinya dan
sekitarnya. Orang yang secara klinis depresi sering mengeluhkan
bahwa pikirannya melambat, sulit berkonsentrasi dan mudah
terdistraksi. Selain itu, rasa bersalah dan perasaan tidak berharga
adalah preokupasi yang lazim dialami. Penderitanya sering
menyalahkan diri sendiri, mereka memfokuskan banyak perhatian
pada kenegatifan dirinya, lingkungannya, dan masa depannya (triad
depresi) (Beck, 1967). Preokupasi tentang rasa bersalahnya
menyebabkan pikiran bunuh diri.
3) Tanda Somatik
Tanda somatik berhubungan dengan fungsi fisiologis tubuh
dasar. Tanda ini termasuk kelelahan, sakit, nyeri, dan perubahan
serius dalam pola tidur dan makan.
31
4) Tanda Perilaku
Tanda perilaku merujuk pada retardasi psikomotor. Yaitu
penderitanya menunjukkan perilaku yang melambat. Gerakann yang
melambat, bicara yang melambat, bahkan tidak bergerak dan
berbicara sama sekali.
Depresi menurut PPDGJ-III dalam Maslim (2013), dibagi dalam
empat tingkatan yaitu depresi ringan, sedang, berat tanpa psikotik, dan
berat dengan psikotik. Dimana perbedaan antara episode terletak pada
penilaian klinis yang kompleks yang meliputi jumlah bentuk dan
keparahan gejala yang ditemukan. Gejala utamanya adalah afek
depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi
yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas. Gejala lainnya adalah konsentrasi dan perhatian berkurang,
harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa
bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yag suram dan
pesimistis, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh
diri, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang.
4. Hubungan Kecemasan dan Depresi Ibu dengan Anak Tunagrahita
Melahirkan dan mengurus anak dengan penyakit fisik dan mental
dapat meningkatkan syok, penolakan, rasa bersalah, kesedihan, dan merasa
tidak tertolong (Olshansky, 1962; Valman, 1981). Perasaan ini dapat
32
menetap dan biasa ditangani dengan cara yang berbeda-beda tergantung
penderita kebutuhan khusus dan keluarga. Misal, pada keluarga dengan
anak autis, level stress biasanya tinggi dan semakin tinggi jika anak
bertambah tua.
Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus sering memiliki depresi
dan kecemasan. Di United Kingdom, 59% dari orangtua yang mengasuh
anak autis memiliki skor tinggi pada kuesioner kesehatan umum pada
kategori psikiatri. Pengeluaran untuk penderita
penyakit jiwa pada
keluarga dengan penghasilan rata-rata bisa jadi membengkak. Banyak
faktor yang menyebabkan tingginya level penyakit jiwa pada orangtua
dengan
anak tunagrahita. Dua faktor utama yaitu tidak adekuatnya
dukungan sosial dan menetapnya masalah perilaku anak (Ryde-Brandt,
1990).
Gejala kecemasan dan depresi dilaporkan terdapat pada orang tua
dengan anak tunagrahita di negara-negara maju (Gallagher et al., 2008).
Ibu lebih menghadapi stress yang lebih banyak dibandingkan ayah karena
ibu menghabiskan banyak waktunya untuk mengurus anak tunagrahita di
rumah selain melakukan pekerjaan rumah lainnya. Ibu dengan anak
tunagrahita dilaporkan memiliki keadaan emosional yang negatif serta
cenderung lebih depresi. Anak tunagrahita juga menyebabkan depresi pada
orang tua khususnya ibu. Derajat perilaku anak menaikkan tingkat depresi
pada ibu. (Motamedi et al., 2007; Baker et al., 2000). Penelitian tersebut
dilakukan di negara-negara maju. Di Indonesia, terdapat penelitian
33
deskriptif yang menggambarkan tingginya persentasi kecemasan pada ibu
dengan anak tunagrahita (Norhidayah et al., 2013).
B. Kerangka Pemikiran
Tunagrahita
Tunagrahita
Ringan
Tunagrahita
Sedang
Dapat dididik dan dilatih di
SLB
Tidak dapat dididik, tetapi
dapat dilatih di SLB
(Maramis, 2005)
(Maramis, 2005)
Beban merawat
lebih kecil
Beban merawat
lebih besar
Ibu kurang cemas
Ibu kurang depresi
Ibu lebih cemas
Ibu lebih depresi
Gambar 2.1 Skema Kerangka Penelitian
C. Hipotesis
Terdapat perbedaan skor kecemasan dan sor depresi antara ibu penderita
tunagrahita ringan dan sedang di SLB Negeri Surakarta.
Download