ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN CIVIL VIOLENCE FPI DI MEDIA MASSA (Studi Analisis Framing Media Surat Kabar Harian Solopos Terhadap Pemberitaan Civil Violence FPI di Gandekan Solo) oleh : Okta Wijaya Jati Kusuma D 1210055 Disusun dan diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat guna memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Jurusan Ilmu Komunikasi FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014 ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN CIVIL VIOLENCE FPI DI MEDIA MASSA (Studi Analisis Framing Media Surat Kabar Harian Solopos Terhadap Pemberitaan Civil Violence FPI di Gandekan Solo) Okta Wijaya Jati Kusuma Mursito BM Sri Hastjarjo Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract One of communities organizations that often adorn the various reports in the media is FPI (Islamic Defenders Front). FPI has a group named Islamic Defenders’ Troops, the paramilitary group from this organization is a controversial one for its actions of committing acts as "policing" (sweeping) the activities that are considered as immoral or contrary to Islamic law, especially during ramadhan and often lead to violence. The study is aimed to investigate the framing of the news on civil violence committed by the organizations on Solopos Newspaper. The type of the research is descriptive research using qualitative approach. The object of the study is the news of civil violence conducted by FPI organzation in Surakarta, especially the news related to violences of FPI with the Gandekan people reported on Solopos. The data collecting method was done using library research. The data analysis is done using framing analysis employing constructionism paradigm. Based on the analysis, the research concludes that: 1) the sequences of the civil violence construction at Gandekan are reported partially without any comprehensive reviews. It is indicated with the lack of detailed report on the preceding events causing the civil violence; 2) Solopos tends to be neutral and careful in its reports. It is indicated by the absence of the name of the group that is involved in the civil violence that reported in its news. Other noticeable thing in the Solopos news, is that it doesn’t provide any reviews and sharp opinion concerning the events reported. It might be caused by the reason of the policy that Solopos keeps, namely emphasizing to broadcast any writings, picture, sound and images with certain benchmarks. Keywords : framing analysis, civil violence, mass media 1 Pendahuluan Kekerasan-kekerasan sipil seperti demonstrasi anarkistis, tawuran antarpelajar, suporter, dan warga desa, dan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) beragama begitu mudah dijumpai akhir-akhir ini baik di dalam pemberitaan di berbagai media baik media elektronik maupun media non elektronik. Hal ini menimbulkan pertanyaan kalau-kalau kekerasan sipil (civil violence) telah mulai menjadi syndrome baru di Indonesia. Dalam terminologi ilmu sosial, pengertian sipil sering digiring ke dalam wacana kontramiliter atau non-military (civilian). Berdasarkan pengertian tersebut, Rule mendefinisikan kekerasan sipil dipahami sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan atau diaktori sendiri oleh warga sipil, dan kekerasan ini terjadi di antara dan antarwarga sipil sendiri. Warga sipil dengan nyata melakukan tindak kekerasan dan radikalisme terhadap warga lain, baik oleh kelompok masyarakat atau ormas yang sudah lama eksis ataupun kelompok temporer (temporary groups) yang dibentuk hanya untuk kepentingan sesaat atau momentum semata (Epstein, 2002: 7243 – 7250). Shaw mengupas militerisme ke dalam dua tipe. Pertama, militerisme tipe I (build-up) yang terbatas pada kalangan elit, juga menghasilkan militerisme pada tingkat elit. Artinya, militerisme build-up mempunyai ruang dan praktik kemiliteran secara partikuler yang hanya khusus dan fokus dikembangkan oleh tentara (hankam) dan urusan-urusan militer tingkat tinggi. Kedua, militerisme tipe II (build-in) tampil dalam dua bentuk: (1) intervensi dan dominasi militer dalam politik yang melahirkan militer pretoria dan rezim militer; dan (2) internalisasi nilai, ideologi, perilaku, organisasi, wacana militer dalam masyarakat sipil (dengan atau tanpa kehadiran militer) (Shaw, 1993: 112). Salah satu organisasi kemasyarakatan yang sering menghiasi berbagai pemberitaan dalam media adalah FPI (Front Pembela Islam). FPI memiliki kelompok Laskar Pembela Islam, kelompok paramiliter dari organisasi tersebut yang kontroversial karena melakukan aksi-aksi "penertiban" (sweeping) terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam terutama pada masa Ramadan dan seringkali berujung pada kekerasan. 2 FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998, terutama yang dilakukan oleh laskar paramiliternya yakni Laskar Pembela Islam. Rangkaian aksi penutupan klab malam, tempat pelacuran dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa. Salah satu pemberitaan yang menyoroti bentuk kekerasan sipil yang dilakuka oleh organisasi massa FPI di harian Solopos adalah pemberitaan tentang kasus bentrokan massa FPI dengan warga masyarakat Gandekan. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Kamis tanggal 3 Mei 2012. Menurut pemberitaan di harian Solopos edisi Jum‟at 4 Mei 2012 diberitakan tentang ratusan massa yang mendatangi Kampung Bangunharjo RW 8, Gandekan, Jebres dengan membawa senjata tajam dan pentungan. Massa tersebut kemudian mengeroyok dan membacok seorang warga yang sedang berada di sebuah bengkel hingga terluka parah (Solopos, Jum‟at 4 Mei 2012: 1). Pengemasan pemberitaan seperti tersebut di atas akan menimbulkan kesan kepada pembaca bahwa organisasi massa tersebut sudah melakukan kekerasan dengan mengabaikan hak-hak orang lain. Hal ini didukung dengan pemberitaanpemberitaan di berbagai media sebelumnya yang sudah membentuk opini publik bahwa FPI identik dengan kekerasan. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana framing pemberitaan civil violence di surat kabar harian Solopos dalam pemberitaan kekerasan di Gandekan? Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka tujuan dan manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 3 Untuk mengatahui Bagaimana framing pemberitaan civil violence yang dilakukan ormas di surat kabar harian Solopos. Tinjaun Pustaka a. Paradigma Konstruksionis Perspektif konstruktivisme dan interpretisme sesungguhnya merujuk pada maksud yang tidak jauh berbeda. Istilah interpretisme digunakan untuk menjelaskan pendekatan yang berpangkal pada pemikiran sosiolog Jerman, Max Weber, dan filosuf Jerman, Wilhem Dilthey. Ada dua tipe pendekatan inti dari ilmu pengetahuan yang sangat fundamental yaitu pendekatan “Naturwissenschaft” (natural science) dan Geistessenchaft (mental science). Sedangkan berkaitan dengan pengetahuan sosial (social science), Weber menyatakan bahwa social science menyelidiki “aksi sosial yang berarti” (meaningful social action) atau aksi sosial yang memiliki maksud tertentu (Zen, 2004: 44-45). Paradigma konstruksionis diperkenalkan oleh Berger. Bersama Thomas Luckman, ia banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas (Eriyanto. 2002: 14-15). Menurut Berger manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Masyarakat merupakan produk manusia, dan sebaliknya manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Keduanya secara terus menerus memberikan aksi kembali terhadap penghasilnya. Dikaitkan dengan pemberitaan, paradigma konstruktivisme memandang pemberitaan bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil (Eriyanto, 2002: 15). Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses ekternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. 4 b. Konstruksi Realitas Sosial Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Berger dan Luckman. Menurut Berger dan Luckman dikatakan bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger & Luckman, 1990: 15). Menurut Sobur, dikatakan bahwa realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu (Sobur, 2009: 91). Berdasarkan teori tersebut dijelaskan bahwa individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Proses sosial dibentuk melalui tindakan dan interaksinya. Oleh karena konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan maka implikasinya harus menekuni pengetahuan yang ada dalam masyarakat dan sekaligus prosesproses yang membuat setiap perangkat pengetahuan yang ditetapkan sebagai kenyataan. Sosiologi pengetahuan harus menekuni apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan; Berger menyebutnya sebagai momen. c. Konstruksi Sosial Media Massa Bahasa merupakan unsur utama dalam proses konstruksi realitas. Terkait hal ini, Berger dan Luckman menganggap bahwa variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa” (Hamad, 2004: 12). 5 Proses konstruksi sosial media massa melalui tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi. Dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri pada tiga hal tersebut di atas, namun pada umumnya keberpihakan pada kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan mengingat media massa adalah mesin produksi kapitalis yang mau ataupun tidak harus menghasilkan keuntungan. 2. Tahap Sebaran Konstruksi. Pada umumnya sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan model satu arah, dimana media menyodorkan informasi sementara konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali mengonsumsi informasi itu. 3. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas. Tahap ini terdiri dari dua tahapan, yaitu: a) Tahap pembentukan konstruksi realitas; dan b) Pembentukan konstruksi citra. 4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi d. Media dan Berita Media adalah agen konstruksi (Bungin, 2008: 12). Pandangan konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media. Dalam pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke penerima (khalayak). Media dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita. Pandangan semacam ini, tentu saja melihat media bukan sebagai agen melainkan hanya saluran. Media dilihat sebagai sarana yang netral. Kalau ada berita yang menyebutkan kelompok tertentu atau menggambarkan realitas dengan citra tertentu, gambaran semacam itu merupakan hasil dari sumber berita (komunikator) yang menggunakan media untuk mengemukakan pendapatnya. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas. Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan 6 sebuah standar yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan realitas yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai (Sobur, 2009: 30). e. Konsep Framing Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Pada dasarnya, analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas. Dalam ranah studi komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktivitas komunikasi. Analisis framing digunakan untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksikan fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perpektifnya (Sobur, 2001: 32). f. Framing Model Entman Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu 7 yang lain. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita (Eriyanto, 2011: 124). Konsep framing, dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkap the power of a communication text. Framing pada dasarnya merujuk pada pemberitaan definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Entman membagi perangkat framing ke dalam empat elemen sebagai berikut (Eriyanto, 2011: 126): 1. Define Problems (pendefinisian masalah) Elemen pertama ini merupakan bingkai utama/master frame yang menekankan bagaimana peristiwa dimaknai secara berbeda oleh wartawan, maka realitas yang terbentuk akan berbeda. 2. Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah) Elemen kedua ini merupakan elemen framing yang digunakan untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. 3. Make moral judgement (membuat pilihan moral) Elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Setelah masalah didefinisikan dan penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan denga sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak. 4. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian) Elemen keempat ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. 8 Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. Metode Penelitian Tipe penelitian ini ialah deskriptif dengan menggunakan pendekatan Kualitatif. Menurut Creswell, pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misalnya, makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap politik, isu, kolaborasi, atau perubahan), atau keduanya (Creswell, 2005: 18). Penelitian ini menggunakan metode analisis framing dengan paradigma atau pendekatan konstruksionis. Paradigma konstruksionis memandang bahwa tidak ada realitas yang obyektif, karena realitas tercipta melalui proses konstruksi dan pandangan tertentu. Objek dalam penelitian ini adalah berita – berita mengenai kasus kekerasan sipil (civil violence) yang dilakukan oleh ormas FPI di Surakarta khususnya yang berkaitan dengan bentrok antara FPI dengan warga Gandekan Surakarta yang dimuat di Harian Solopos. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan penulis berdasarkan kebutuhan analisis dan pengkajian. Pengumpulan data tersebut sudah dilakukan sejak penulis menentukan permasalahan apa yang sedang dikaji. Data primer diperoleh dari dokumen berupa pemberitaan mengenai kasus kekerasan sipil (civil violence) yang dilakukan oleh ormas FPI yang berkaitan dengan bentrok antara FPI dengan warga Gandekan Surakarta yang dimuat di Solopos, sedangkan data sekunder diperolehnya dari penelitian dokumen atau kepustakaan. Proses analisis data dilakukan secara kualitatif dengan wawancara terbuka, pendekatan kualitatif inilebih menekankan pada paradigma interpretatif, karena ingin memahami apa yang ada di balik kesadaran individu subjek penelitian, yaitu pengambil keputusan. Analisis data di lapangan dibedakan menjadi dua bagian (1) bagian deskripsi yang berisi gambaran tentang latar belakang pengamatan, 9 tindakan dan pembicaraan dan (2) bagian reflektif yang berisi pendapat, gagasan, komentar, tafsiran, analisis dan label yang diberikan oleh peneliti. Langkah-langkah yang ditempuh untuk proses selanjutnya adalah mengikuti model yang dinyatakan oleh Miles dan Huberman (1984) sebagai berikut: Pertama, dari bagian deskripsi atau catatan langsung dari lapangan yang berupa hasil wawncara dan diskusi dengan subjek penelitian dan informan disesuaikan dengan tujuan penelitian, serta bagian refleksi atau hasil renungan peneliti terhaap deskripsi itu peneliti melakukan “reduksi data”, yang berupa pokok-pokok temuan, dan selanjutnya dikembangkan sajian datanya secara naratif. Validitas data dilakukan dengan menggunakan triangulasi data. Triangulasi merupakan cara pemeriksaan keabsahan data yang paling umum digunakan dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam hal ini digunakan triangulasi sumber data dan triangulasi metode pengumpulan data. Triangulasi sumber data menurut Patton (1970) dilakukan dengan cara membandingkan dan mengecek derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan sumber yang berbeda dalam metode kualitatif (Sutopo, 2006: 92). Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2009: 330). Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik trianggulasi data (sering kali juga disebut dengan trianggulasi sumber), yaitu cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi atau data yang telah diperoleh melalui wawancara dengan data sekunder berupa dokumen-dokumen terkait. Sajian dan Analisis Data a. Frame Harian Solopos terkait Peristiwa Bentrok di Gandekan Pemberitaan yang terkait dengan bentrok massa berjudul “Polisi Tetapkan 2 Tersangka Imbauan Jokowi Diabaikan”, Dalam pemberitaan ini, Solopos lebih banyak memberitakan tentang diabaikannya himbauan Jokowi untuk tidak terpancing provokasi oleh massa dibandingkan dengan penetapan 10 ke dua tersangka tersebut. Hal ini dituliskan oleh Solopos dalam pemberitaan sebagai berikut. Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi), mendatangi warga di Gandekan, Jebres dan kelompok massa di Semanggi, Pasarkliwon, Solo, untuk meredam kedua belah pihak agar tidak terjadi bentrok susulan, Jum’at (4/5). Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil. Bentrokan antara warga dan kelompok massa terjadi beberapa saat setelah Jokowi mendatangi kedua belah pihak Dari pemberitaan tersebut dapat diketahui bahwa harian Solopos kurang komprehensif dalam memberikan ulasan dan analisis sehingga pemberitaan terkesan parsial dan tidak berkaitan satu sama lain dengan peristiwa yang mendahuluinya. Hal ini menunjukkan adanya kesan bahwa harian Solopos kurang tajam dalam melakukan ulasan terhadap suatu peristiwa. Dalam pemberitaan Solopos edisi Jum‟at 06 Juli 2012 dengan judul berita “Pemindahan Sidang Kasus Gandekan Disoal”, Solopos memberitakan tentang kedatangan Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) ke Balaikota Solo dan Mapolresta Solo untuk mempertanyakan rencana pemindahan lokasi sidang kasus Gandekan. Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), Kamis (5/7), mendatangi Balaikota dan Mapolresta Solo untuk mempertanyakan rencana pemindahan lokasi sidang kasus Gandekan. Di Balaikota, LUIS yang berniat menemui Walikota Solo, Jokowi, diterima Sekretaris Daerah (Sekda) Solo Budi Suharto dan Kabag Kesejahteraan Rakyat Setda Kadarwati. Jokowi absen karena sedang cuti. Pertemuan berlangsung di Ruang Rapat Sekda. Sedangkan di Mapolresta Solo, LUIS diterima Kapolresta Kombes Pol. Asjima’in. Solopos menuliskan tentang adanya alasan keamanan sebagai alasan pemindahan sidang yang dipandang mengada-ada oleh LUIS. Menurut LUIS selama persidangan berlangsung tidak pernah ada ancaman yang serius yang dapat mengganggu jalannnya persidangan. Hal ini dituliskan dalam pemberitaan sebagai berikut: “Dalam pernyataan sikapnya, LUIS memandang tempat sidang seharusnya tetap di Solo. Alasannya tempat kejadian perkara (TKP) berada di Solo, kasus tersebut merupakan kasus kriminal murni. Selain itu, lanjut Edi, fakta empiris persidangan di Solo selama ini tidak ada ancaman serius yang mengganggu persidangan. 11 “Dengan usulan pemindahan tempat ini ada kesan kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan dari Walikota dan Polresta, yang justru mencitrakan Kota Solo seolah-olah tidak aman, tidak terkendali dan tidak kondusif,” jelas Edi Penilaian moral yang disampaikan oleh Harian Solopos dalam pemberitaan tersebut adalah bahwa pencegahan akan lebih baik daripada penanganan. Pesan moral ini disampaikan secara implisit dalam pemberitaan sebagai berikut: Mendengar aspirasi tersebut, Kapolresta Solo, Kombes Pol. Asjima’in, menegaskan pemindahan lokasi sidang kasus bentrok Gandekan merupakan hasil musyawarah dan keputusan dari jajaran Muspida. “Bukan polisi takut akan pengamanan saat pelaksanaan sidang, namun kami mempertimbangkan banyak hal. Bisa jadi, dari kubu ini menjamin aman, sementara kubu lain terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan menimbulkan permasalahan baru,” kata Kapolresta. Dari berbagai pemberitaan yang diturunkan, Solopos merekomendasikan agar pemerintah membuka dialog dengan masyarakat. Menghentikan pendekatan keamanan dan menegakkan hukum bagi siapapun yang terlibat. Pendekatan keamanan di Solo harus dihentikan karena tidak efektif dan membuat konflik kian berlarut-larut. Solopos cenderung mendekati masyarakat. Masyarakat yang bukan saja bergerak dan berkembang, tetapi masyarakat yang pergerakan dan perkembangannya memang disengaja dan diarahkan. Di dalam masyarakat demikian, apalagi bila masyarakat itu bersifat majemuk seperti masyarakat Indonesia diperlukan adanya suatu pemerintahan kuat, efektif, bersih, terbuka. Kriterium pertama bukan ada tidaknya keseimbangan dalam alokasi kekuasaan. Kriterium itu menjadi ada tidaknya korespondensi antara pemerintah dan masyarakat, ada tidaknya dialog terus menerus antara yang memerintah dan yang diperintah. Dengan korespondensi yang dimaksudkan Solopos adalah ada tidaknya saling pengertian dan saling percaya antara pemerintah dan masyarakat. Bahwa masyarakat memahami, mengerti, dan percaya pemerintah yang melaksanakan program dan menempuh kebijaksanaan yang melayani kepentingan mereka. Bahwa 12 pemerintah memahami dan menyalurkan pendapat dan perasaan masyarakat (Oetama, 1987: 82). b. Kecenderungan Solopos terhadap Pemberitaan Peristiwa Bentrok di Gandekan Kecenderungan Harian Solopos terhadap pemberitaan peristiwa bentrok di Gandekan dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Netral Netralitas media dalam pemberitaan di harian Solopos dimanifestasikan dalam bentuk pemberitaan yang berimbang. Pers merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan dan melahirkan media massa tersebut. Media massa dapat berbentuk pengaturan mengenai lembaga pers tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (Undang-Undang Pers). Dalam Undang-Undang Pers, ditekankan adanya kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Kemerdekaan pers tersebut dikoridori melalui prinsip dan asas serta tanggung jawab memenuhi peraturan perundangundangan serta kode etik yang berlaku. Kenetralan Solopos diwujudkan dalam pemberitaan yang berupaya meminimalisir unsur SARA yang dapat mengakibatkan konflik kian meluas. Hal ini dijelaskan oleh Kurniawan, Wartawan Solopos, ketika ditanya tentang tidak disebutkannya pihak-pihak yang bertikai dalam kasus bentrok massa di Gandekan. “Kalau soal penyebutan kelompok yang bertikai, khususnya yang kontra warga gandekan itu disebut dengan ormas. Kalau saya menyebut bahwa itu ormas Islam. Kami tidak meyebut ormas islam karena hal ini merupakan bagian dari sebuah kode etik. Setiap reporter itu tahu bahwa sebuah berita kendati itu fakta tapi kalo itu sudah menyentuh ranah suku, agama itu kita akan coba mengeliminasi resiko konflik tersebut meluas.” (Wawancara dengan Kurniawan, Wartawan Solopos, pada hari Sabtu, 28 September 2013) 13 Solopos sangat berhati-hati dalam merepresentasikan kelompok massa pada setiap pemberitaannya, hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya penyebutan nama kelompok dalam setiap pemberitaan. Penyebutan hanya dilakukan ketika pemberitaan tidak menyebutkan aksi kekerasan. Apabila diamati secara garis besar, pemberitaan Solopos mengenai aksi kekerasan di Gandekan, maka dapat dikatakan bahwa Solopos cenderung memposisikan diri pada pihak netral. Solopos tetap konsisten untuk menjadi dinamisator masyarakat dengan beberapa pemberitaan yang diturunkan Solopos terlihat berbagai upaya yang dilakukan untuk „membujuk‟ masyarakat agar selalu memelihara kondisi yang kondusif. Pada berita edisi Sabtu 5 Mei 2012 dengan judul “Polisi Harus Tegas” dan “Polisi Tetapkan 2 Tersangka Imbauan Jokowi Diabaikan”. Solopos tidak menuliskan bentuk ketegasan yang harus dilakukan aparat atau pun penetapan ke dua tersangka tersebut. Solopos justru lebih banyak menuliskan tentang bentuk upaya mendamaikan kedua kelompok yang bentrok pada judul pertama, dan diabaikannya imbauan Jokowi pada judul pemberitaan kedua. Hal ini dapat dilihat pada pemberitaan sebagai berikut: “Aparat keamanan dinilai kurang tegas menangani bentrokan warga dengan kelompok massa yang terjadi di Kelurahan Gandekan Kecamatan Jebres, Solo selama dua hari berturut-turut, Kamis – Jum’at (3 – 4/ 5)” Sementara itu, Jum’at siang, bentrok kembali pecah antara warga dan kelompok massa di ruas Jl. RE Martadinata tepatnya di salah satu gang di RW. 009 Kampung Bangunharjo, Gandekan, Jebres. Bentrokan itu mengakibatkan dua korban terluka, yaitu Ngatiman Anto Suwignyo, 63, warga RT 001/RW 008 Gandekan dan Haris Kusdibyo, 43, warga Kampung Bangunharjo. Sebelum bentrokan terjadi, sekitar pukul 14.00 WIB, ratusan orang yang berkumpul di Semanggi bergerak menuju Jl. Sampangan. Massa mengenakan tanda kain putih dan sebagian besar dari mereka menggunakan helm. Sosiolog UNS, Drajat Tri Kartono, menjelaskan konflik horizontal yang terjadi di Gandekan mestinya dapat diantisipasi dengan cepat. Setidaknya, ada dua hal yang perlu dilakukan guna menghindari bentrok susulan, yakni segera membuat jarak antara kedua kelompok (zona bebas). Selanjutnya, kedua kelompok harus difasilitasi bersama demi rekonsiliasi. “Di sini, peran aparat 14 keamanan atau tokoh masyarakat sangat penting. Mereka harus difasilitasi dengan duduk bersama demi rekonsiliasi tadi,” katanya. Sementara itu, Front Pembela Islam (FPI) Kota Solo meminta polisi mengusut pelaku yang terlibat dalam bentrokan di Gandekan. (Pemberitaan Harian Solopos dengan judul “Polisi Harus Tegas”) Ketidaktegasan pihak berwajib menurut wartawan Solopos menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berlarut-larutnya bentrokan antarwarga. Secara implisit, Solopos mengharapkan agar aparat lebih tegas dalam menegakkan hukum. Hal ini diartikan bahwa siapa pun yang melanggar hukum harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa pandang bulu karena semua warga negara adalah sama di depan hukum. “Ketegasan yang di maksud di berita itu adalah polisi harus tegas menjalankan proses hukum, artinya gini Negara ini Negara hukum artinya polisi harus menindak pelanggar-pelanggar hukum itu sesuai kaidah hukum yang ada. Misalkan ada warga yang melanggar hukum atau ada orang-orang dari kelompok massa itu melanggar hukum, polisi itu harus tegas.” (Wawancara dengan Danang Nur Ikhsan, Redaktur Harian Solopos, pada hari Jum‟at, 4 Oktober 2013) Netralitas Solopos tercermin dari kehati-hatian dalam pemberitaannya yang cenderung datar dan tidak adanya wacana yang berusaha memblow up terjadinya upaya-upaya salah satu pihak dalam menonjolkan show of force untuk menuntut penyelesaian kasus tersebut. Seperti halnya media dalam paradigma konstruksionis, media tidak bertindak sebagai suatu institusi yang netral dalam menyampaikan pesan. Media bukanlah saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya (Eriyanto, 2011: 26). Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan wartawan Solopos sebagai berikut: Kami selaku wartawan solopos selalu sersikap netral dalam memberitakan, makanya di awal kami tegaskan bahwa kami tidak mau memojokkan salah satu pihak baik siapa pelakunya dan siapa korbannya. Karena di satu sisi kami menegaskan bahwa solopos 15 selaku media yang berdiri secara netral, tidak memihak kelompok tertentu ataupun komunitas tertentu, kami mencoba untuk bersikap cerdas. Di awal kami tidak meyebut itu bukan karena kami takut ataupun kami tidak berani mem-blow-up menulis apa adanya. Tapi kami juga punya kode etik tersendiri nyang harus di miliki oleh seorang wartawan.” (Wawancara dengan Mohammad Hamdi, Wartawan Solopos pada hari Kamis, 26 September 2013) 2. Menghindari Isu-isu Primordial Solopos dalam pemberitaannya mempunyai kecenderungan untuk menghindari isu-isu yang berkaitan dengan primordialisme. Isu-isu primordialisme merupakan permasalahan yang berkaitan dengan ikatan seseorang terhadap kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi. Isu ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Hal ini dikemukakan oleh Kurniawan, Wartawan Solopos yang menjelaskan bahwa wartawan harus selalu berpegang pada kode etik jurnalistik dan menghindarkan pemberitaan yang mengandung isu SARA. Hal ini dijelaskan dalam wawancara berikut ini: “Setiap reporter itu tahu bahwa sebuah berita kendati itu fakta tapi kalo itu sudah menyentuh ranah suku, agama itu kita akan coba mengeliminasi resiko konflik tersebut meluas. termasuk dengan tidak menyebutkan dari ormas mana kelompok ini, dalam hal ini di gandekan kan ormas Islam” (Wawancara dengan Kurniawan, Wartawan Solopos pada hari Sabtu, 28 September 2013) 3. Menganut Asas Cover both sides Media bisa memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya, mengaburkan dan mengelimirnya. Hal itu terjadi pada peristiwa bentrok antara kelompok massa dengan warga yang terjadi di Kampung Gandekan dan meluas dengan berdatangannya anggota kelompok massa in dari berbagai wilayah ke Solo. Dalam pemberitaannya Solopos cenderung melakukan berupaya bermain secara „aman‟ dengan tidak melakukan 16 analisis dan ulasan yang tajam yang kemungkinan dapat menimbulkan protes dari kelompok yang berseteru. Kelompok massa yang sebenarnya adalah sayap dari FPI tidak pernah diberitakan secara gamblang oleh Solopos. Di sisi lain, kelompok preman yang disebut diketuai oleh Iwan Walet juga hanya disebut sebagai warga Kampung Gandekan. Ini merupakan salah satu bentuk pengaburan. Dalam pemberitaannya, Solopos selalu berusaha mematuhi kode etik jurnalistik. Ini terlihat bagaimana Solopos selalu memposisikan diri sebagai media yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok yang terkait konflik dalam peristiwa kekerasan di Gandekan tersebut. Konsep ini dikuatkan dengan pendapat wartawan Solopos yang menyatakan bahwa tidak menyebutkan nama merupakan salah satu standar moral yang diterapkan Solopos. Hal ini diketahui dari hasil wawancara sebagai berikut: “Itu sadah menjadi sebuah standart moral kita, enggak tau kalo media lain ya, mungkin. Kami bukannya takut tetapi kami memang punya etika moral kita.” (Wawancara dengan Kurniawan, Wartawan Solopos pada hari Sabtu, 28 September 2013) Dalam pemberitaan dan pemaparan masalahnya Solopos menerapkan konsep cover both sides. Bagi Solopos, cover both sides sesuai dengan arus masyarakat karena mereka ingin memperoleh informasi dan interpretasi tentang peristiwa serta arah kejadian yang lengkap tidak apriori memihak, dan karena itu memberikan hormat pada penilaian masyarakat sendiri (Oetama, 1987: 27). Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Wright, sebagai lembaga sosial, pers dikenal ampuh menjadi jembatan komunikasi antara masyarakat, pemerintah, aktivis sosial, pihak media sendiri, pengusaha, serta pihak-pihak kepentingan lainnya (interst group) (Saripudin & Quisyaini Hasan. 2003: 11). Pada posisi ini pers berperan sebagai sarana penjalin hubungan publik (agent of public relations) dengan melakukan 17 interaksi sosial dan mengartikulasikan berbagai kepentingan masing-masing kelompok. 4. Menganut Asas Jurnalisme Humanis Harian Solopos dalam melakukan framing berita cenderung mengindikasi sikap dari perusahaan pers bersangkutan. Hal ini dapat dilihat dari proses pemilihan judul, lead, visual image, serta penempatan sebagai headline maupun paging. Dalam dunia jurnalistik, berita dan framing adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan bahkan satu sama lain tidak bisa berdiri sendiri. Solopos yang menganut patron journalism humanisme yang digunakan untuk membangun sebuah konfigurasi wacana yang mempresentasikan sisi-sisi kemanusiaan. Memang ada kriteria jurnalistik untuk memilih suatu kejadian atau suatu masalah menjadi berita. Namun pemilihan dan presentasinya sebagai berita, tidak akan terlepas dari visi dasar serta kerangka referensinya. Dalam makna itulah media massa senantiasa aktif, kejadian dan permasalah dipilih dan disusun menjadi berita. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa framing pemberitaan civil violence di surat kabar harian Solopos dalam pemberitaan kekerasan di Gandekan, Solo dapat dipaparkan sebagai berikut: 1. Konstruksi peristiwa kekerasan yang terjadi di Kampung Gandekan diberitakan secara sepotong-sepotong dengan tidak memberikan ulasan yang mendalam tentang peristiwa persebut. Konstruksi framing pemberitaan Solopos tentang bentrok di Gandekan dideskripsikan ke dalam empat aspek framing sesuai dengan pendapat Entman, yang terdiri dari define problem, diagnose cause, Make Moral Judgement, dan Treatment Recommendation. Define Problem, Pemberitaan yang disampaikan lebih mengemukakan fakta yang disampaikan pihak berwajib. Solopos membingkai pemberitaan kekerasan di Gandekan sebagai konflik horisontal antara kelompok massa 18 yang tidak ada kaitannya dengan isu SARA. Diagnose Causes, Kekerasan sipil yang terjadi disebabkan karena kekurangtegasan pihak berwajib dalam menangani permasalahan keamanan. Make Moral Judgement, Solopos mengemukakan penilaian moral bahwa bentrok massa atau kekerasan sipil lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Treatment Recommendation, Solopos merekomendasikan agar pemerintah membuka dialog dengan masyarakat. Menghentikan pendekatan keamanan dan menegakkan hukum bagi siapapun yang terlibat. 2. Solopos dalam pemberitaannya cenderung bersikap netral dan sangat hati-hati. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya pemberitaan yang tidak menyebutkan nama kelompok massa yang terlibat dalam bentrokan tersebut. Hal lain yang terlihat adalah bahwa dalam pemberitaannya, Solopos tidak memberikan ulasan dan opini yang tajam atas peristiwa tersebut. Hal ini dilandasi adanya kebijakan Solopos yang lebih mengedepankan patut tidaknya menyiarkan tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar dengan tolok ukur: Hal yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara ialah memaparkan atau menyiarkan rahasia negara atau rahasia militer, dan berita yang bersifat spekulatif. Gambaran ini sejalan dengan prinsip kode etik jurnalistik sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik. Saran Sesuai dengan simpulan di atas, selanjutnya dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1. Limitasi atau keterbatasan penelitian ini adalah penelitian ini hanya terbatas pada analisis teks media saja, tanpa meneliti faktor lain terkait di dalam media yang mempengaruhi agenda pemberitaan media. Peneliti mengharapkan pada penelitian selanjutnya lebih menitikberatkan pada seluruh komponen framing, bukan hanya pada teks saja. 2. Berita pada dasarnya dibentuk lewat proses aktif dari pembuat berita. Khalayak diharapkan lebih kritis dalam melihat, memahami dan menyikapi sebuah berita yang dhadirkan media massa. Jadi hendaknya sebuah teks berita 19 tidak ditelan mentah-mentah dan mengakibatkan reaksi spontan yang hanya berdasarkan pemahaman dangkal. Oleh karena itu, khalayak pembaca sebaiknya lebih selektif dalam memilih media sesuai dengan fakta atau kejadian yang sebenarnya. 3. Solopos diharapkan dapat meningatkan kualitas pemberitaan yang menitikberatkan pada asas jurnalistik, objektif, dan pembentukan opini terhadap masyarakat yang sesuai dengan realitas. Alasannya karena Solopos merupakan harian umum lokal yang paling berpengaruh dan memiliki pembaca yang dominan serta sering dijadikan referensi oleh masyarakat untuk mengetahui perkembangan informasi di wilayah Solo dan sekitarnya. Daftar Pustaka Bungin, Burhan. (2008). “Konstruksi Sosial Media Massa”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Creswell, John W. (2005). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publications. Eriyanto. (2011). “Analisis Framing”: Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: Lkis. Epstein, Joshua M. (2002). “Modeling civil violence: An agent-based computational approach” Journal of Social and Economic Dynamics Vol. 99 No.3, 2002, pp: 7243 – 7250. Hamad, Ibnu. (2004). Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa Sebuah Studi Critical Discopurse Analisis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit. Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press. Moleong, Lexy. J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Saripudin & Quisyaini Hasan. (2003). “Tomy Winata Dalam Citra Media: Analisis Berita Pers Indonesia”. Jakarta: JARI. Shaw, Martin. (1993). Post-Military Society: Militarism, Demilitarization and War at the End of the Twentieth Century. London: Temple University Press. Sobur, Alex. (2009). “Analisis Teks Media : Suatu Pengantar analisis wacana, analisis semiotika, dan analisis framing”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 20