BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di abad ke-21 orang mulai berbicara bahwa mereka sedang berada dalam proses memasuki sebuah tata kehidupan yang baru yang kerap disebut dengan istilah zaman modern. Modernisme ditandai oleh adanya perubahan yang sangat cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi, politik dan sosial-budaya. Perkembangan yang pesat dalam bidang teknologi, khususnya teknologi informasi, memungkinkan produksi dan distribusi informasi mencapai tingkat kemudahan dan kecepatan yang tinggi sehingga dapat menembus batas ruang dan waktu (Mangunwijaya, 1999:34). Kehidupan modern semacam itu pada awalnya memang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Namun semakin lama manusia semakin terikat dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berhadapan dengan manusia tetapi sudah terintegrasi dengan manusia. Dalam kondisi demikian manusia akan terkungkung oleh kemajuan itu sendiri. Dengan kata lain kemajuan teknologi pada awalnya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia. Namun dalam perkembangan selanjutnya teknologi justru menenggelamkan manusia dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi salah satu penyebab manusia terpisah dari sesama atau dunia luar dan akhirnya mengalami keterasingan. Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan lingkungannya tetapi secara berangsur-angsur telah dikelilingi oleh teknik, organisasi, dan sistem yang diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam 1 keadaan ini manusia tidak lagi menjadi subjek yang mandiri tetapi telah mengalami detotalisasi dan dehumanisasi (Erich Form, dalam Poespowardojo, 1988:83). Dalam konteks ini, fenomena kehidupan masyarakat modern menjadi salah satu fragmen yang ditonjolkan dalam novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh karya Dewi Lestari 1, sebuah karya sastra yang sarat dengan refleksi kemanusiaan ketika berhadapan dengan modernisasi. Terkait relasi antara kajian sosiologi dan sastra, proses kreatif dalam dunia sastra memang tidak akan dapat dilepaskan dengan realitas empiris. Dengan demikian realitas tentang modernisasi merupakan salah satu sumber bahan penciptaan karya sastra. Dalam hubungannya dengan realitas yang menjadi sumber penciptaan karya sastra, Kuntowijoyo (1984:132) mengatakan, melalui karya sastra yang diciptakan itulah sebenarnya sastrawan mencoba menerjemahkan realitas dengan bahasa imajiner untuk memahami peristiwa tersebut menurut kadar kemampuannya. Oleh karena itu, untuk melihat fenomena modernitas, penelitian ini akan difokuskan pada penggambaran kehidupan masyarakat modern dalam karya sastra. Sebab karya sastra, pada hakikatnya berpretensi menampilkan gambaran kehidupan. Adapun kehidupan yang digambarkan bisa mencakup hubungan antar-masyarakat, antara masyarakat dengan perseorangan, maupun antar manusia dan juga antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Hal tersebut dikarenakan sebuah karya sastra tidaklah muncul secara tibatiba dan situasi yang berada di dalamnya juga terkait sejumlah faktor sosial yang akan membantu pembacanya memahami kejadian, bentuk, dan isi yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Karya sastra merupakan imitasi dari universe atau semesta, yang dalam pengertian kritikus sastra sering disebut dengan istilah refleksi masyarakat (Abrams, 1981: 178-179). 1 Selanjutnya dalam penulisan tesis ini, judul novel tersebut disingkat menjadi Supernova. 2 Seperti dikatakan Tanaka (1976, dalam Mahayana, 2007: 6), dalam sistem sastra, teks tidak jatuh begitu saja dari langit. Di sekeliling teks ada berbagai persoalan politik, sosial, ekonomi, budaya yang melatarbelakangi dan melatardepani kelahiran teks dan penerbitan karya sastra. Oleh karena itu sastra adalah roh kebudayaan. Ia lahir dari proses yang rumit dengan melibatkan kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Hal itu kompatibel dengan pandangan Berger dan Luckman (1990:56) yang mengatakan, sepanjang menyangkut hubungan sosial, bahasa ‘menghadirkan’ sesama manusia tidak hanya secara fisik hari ini, melainkan juga yang dikenang atau yang dikonstruksikan kembali dari masa lampau, maupun yang diproyeksikan sebagai orang-orang khayalan di masa depan. Kesimpulannya tak ada karya sastra yang lahir dari ketiadaan. Mustahil pula sastra tanpa fakta. Sastra tidak diturunkan malaikat dari langit. Hakikat sastra yang fiksional tidak serta-merta merupakan kedustaan atau sekedar kebohongan. Ada kebenaran faktual. Lewat kreativitas fakta menjelma fiksi. Dengan kata lain, karya sastra bolehlah dikatakan sebagai representasi kehidupan sosial (Mahayana, Kompas, 30 Desember 2012). Bertolak dari kontruksi argumen di atas, munculnya pendekatan sosiologis dalam kritik sastra adalah keniscayaan. Analisis sosiologis dalam kajian sastra menjadi konsekuensi logis mengingat dunia kesusastraan selalu berurusan dengan dunia manusia, atau dunia simbolik yang mengacu pada kehidupan manusia. Karya sastra adalah produk pengarang yang hidup di lingkungan sosial. Dengan 3 begitu, karya sastra merupakan dunia imajinatif pengarang yang selalu terkait dengan kehidupan sosial. Pengarang sebagai anggota masyarakat, pasti dilahirkan, dibesarkan, dan memperoleh pendidikan di tengah-tengah kehidupan sosial. Inilah yang kemudian membuat Laurenson dan Swingewood (1972:17) menyimpulkan bahwa, literature as cultural phenomena and social product (karya sastra merupakan sebuah fenomena kebudayaan dan produk sosial suatu masyarakat). Dalam cara pandang ini kemudian lahir satu pendekatan dalam kajian sastra dan budaya yang dinamakan sosiologi sastra (sociology of literature). Ringkasnya, sosiologi sastra adalah pendekatan yang coba mengkritisi kecenderungan formalisme dalam aliran strukturalisme saat menelaah karya sastra. Formalisme (strukturalisme bahasa) beranggapan bahwa sebuah karya sastra mesti dianalisis hanya dari konten (isi) karya sastra itu semata sehingga bisa lepas dari konteks sosial teksnya maupun setting sosio-kultural pengarangnya. Maka aliran ini pun hanya bergulat pada analisis isi tekstualnya (fonem, plot, penokohan, dan sebagainya). Dengan kata lain, sosiologi sastra beranggapan sastra senantiasa lahir dan berkembang dalam masyarakat dengan menampilkan gambaran kehidupan, sedangkan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 2002: 1). Selanjutnya segenap problematika kehidupan tersebut oleh masing-masing pengarang dituangkan ke dalam beberapa bentuk karya sastra yang biasa kita kenal selama ini, yaitu roman, novel, cerita pendek (cerpen), sajak, puisi, dan sebagainya. Dari sekian macam bentuk karya sastra tersebut, penelitian ini dikhususkan pada analisa novel. Argumentasinya, novel merupakan ragam karya sastra yang representatif sebagai refleksi sosial-budaya dalam sebuah ruang kehidupan tertentu di mana karya tersebut dihasilkan. Novel sebagai genre sastra yang utama dari industri masyarakat dapat dilihat sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial manusia yang berhubungan dengan politik, 4 sosial, budaya dan segenap aspek kehidupan lainnya. Dalam konteks ini novel juga melukiskan peran manusia dalam keluarga, kelompok maupun unit (institusi) sosial lainnya. Novel juga bisa menggambarkan terjadinya konflik maupun ketegangan antarkelompok dan kelas sosial dalam masyarakat (Laurenson dan Swingewood, 1972: 11-12). Dalam istilah lain, novel merupakan karya sastra yang paling mendekati gambaran kehidupan sosial dibandingkan puisi atau drama. Konflik yang dapat kita tangkap dalam novel adalah gambaran ketegangan antara individu dengan individu, lingkungan sosial, alam, dan Tuhan. Atau ketegangan individu dengan dirinya sendiri. Ketegangan-ketegangan itu, sering kali justru dipandang sebagai cermin kehidupan masyarakat, yang di dalamnya terkandung juga akar budaya dan semangat zamannya. Dalam novel, pengungkapan pengalaman dan permasalahan yang dialami individu dalam relasinya dengan hal-hal di luar dirinya (aspek sosial) disampaikan secara lebih detail dan kaya unsur dibandingkan dengan ragam karya sastra lainnya (Mahayana, 2007: 227; Faruk, 2010:7). Pemilihan novel Supernova sebagai objek material penelitian ini dilatarbelakangi beberapa argumen. Pertama, adanya kategori keunggulan (aspekaspek yang membuat novel ini layak diapresiasi), keterjangkauan (jangkauan pengaruh novel ini di masyarakat) dan kekuatan relevansi topik maupun substansi novel ini dengan realitas kehidupan masyarakat kontemporer di Indonesia. Melalui novel ini akan coba dilihat gagasan apa saja yang dituangkan Dewi Lestari terkait dengan cerita dalam novel tersebut dan realitas yang dicerminkan. Hal tersebut sesuai dengan tujuan penelitian ini yang ingin mengetahui tentang representasi kritik terhadap masyarakat modern dalam novel Supernova KPBJ ini. Kedua, penelitian ini menjadi penting karena selama ini belum banyak dilakukan penelitian terhadap novel tersebut, padahal masalah yang diangkat 5 memiliki relevansi dengan berbagai sisi kehidupan masyarakat modern di Indonesia. Melalui penelitian mendalam terhadap novel ini diharapkan dapat diketahui wacana apa saja yang berusaha diberikan pengarang terkait realitas dan problematika yang dihadapi masyarakat modern dewasa ini. Ketiga, yang membedakan studi ini dengan studi lainnya adalah pemilihan fokus penelitian ini yang ingin melihat representasi kritik terhadap masyarakat modern yang ditampilkan oleh novel Supernova tersebut. Hal ini menjadi potret yang menarik mengingat secara sosiologis novel ini lahir dari setting sosiokultural Indonesia yang telah merasakan hingar bingar globalisasi kebudayaan, ekonomi dan politik pascareformasi. Apalagi di masa itu dunia sedang memasuki era baru, abad 21 yang biasa disebut abad millenium. Pascareformasi yang kemudian ditandai dengan berbagai perubahan di abad 21 merupakan titik tolak bagi segenap perubahan pada masyarakat Indonesia. Dengan demikian secara tematik novel ini memiliki relevansi yang sangat kuat dengan isu yang berkembang dalam masyarakat modern di Indonesia. Di mana sebagian masyarakat Indonesia sedang mengalami “pertempuran” hebat antara berkutat dengan budaya ketimurannya dengan infiltrasi budaya asing. Mahayana (2011) menggambarkannya sebagai berikut: Ayu Utami dan Taufik Ikram Jamil merupakan dua novelis penting di akhir tahun 1990-an. Memasuki tahun 2000, Gus tf Sakai, lewat novelnya, Tambo: Sebuah Pertemuan (2000) juga sengaja menampilkan bentuk eksperimentasi dengan memasukkan bentuk esai dan pola penceritaan yang gonta-ganti. Pada tahun berikutnya, seorang novelis –pendatang baru– Dewi Lestari (Dee) juga membuat kejutan yang benar-benar mengagumkan lewat sebuah novel science, berjudul Supernova (2001). Jika keempat nama itu ditempatkan dalam kotak yang mewakili novelis Indonesia mutakhir, maka tampak jelas bahwa akar tradisi yang melatarbelakangi kepengarangan mereka sangat mempengaruhi unsur 6 intrinsik karya yang ditampilkannya. Ayu Utami dan Dewi Lestari adalah produk manusia kosmopolitan yang tak jelas akar tradisinya. Keduanya telah tercerabut dari masa lalu yang menjadi latar sejarah etnis orang tua yang melahirkan dan membesarkannya. Akibatnya, mereka telah kehilangan identitas masing-masing dari kultur etnis. Itulah sebabnya, novel yang diangkatnya memperlihatkan kegelisahan manusia kosmopolitan. Bahkan, dalam novel Supernova, Dewi Lestari tidak hanya mencoba memanfaatkan deskripsi science sebagai bagian tak terpisahkan dari unsur intrinsik novel bersangkutan (tokoh, latar, dan tema), tetapi juga menyodorkan kontroversi tokoh gay (homoseksual) yang dalam sejarah novel Indonesia, belum pernah diungkapkan novelis lain2. Kemudian, pertimbangan keempat adalah, kajian ini dimaksudkan untuk memberi kontribusi bagi studi sosiologi dalam hal studi tentang kritik terhadap masyarakat modern. Selama ini masih jarang dilakukan studi tentang kritik terhadap masyarakat modern dengan menggunakan medium sastra (novel) yang dianalisis dengan pendekatan sosiologi sastra. Karena salah satu elemen menarik dalam novel Supernova adalah penggambaran tokoh-tokohnya yang merepresentasikan potret kritik terhadap masyarakat atau manusia modern di Indonesia. Menghubungkan konteks sosial yang terepresentasi dalam karya sastra (novel) bisa dilacak dengan mencari simpul-simpul relasi antara persoalanpersoalan zaman dan kemasyarakatan dari suatu kurun waktu tertentu yang berpengaruh dan amat menentukan pemilihan tema-tema yang diungkapkan para sastrawan dalam karya sastra yang dihasilkannya. 2 http://media-sastra-indonesia.blogspot.com/2011/02/sastrawan-indonesia-pasca-angkatan66.html 7 1.2 Rumusan Pertanyaan Salah satu yang menarik dari novel ini adalah diskursus tentang kehidupan masyarakat modern yang ditampilkan oleh penulisnya. Oleh karena pertanyaan utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah, “apa makna teks novel Supernova karya Dewi Lestari?”. Untuk menjawab pertanyaan utama tersebut, akan dielaborasi melalui rincian pertanyaan berikut. 1. Apa yang digambarkan oleh Dewi Lestari dalam novel Supernova?. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk: • Ingin mengetahui dan menggambarkan makna sosial dari teks novel Supernova. 1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat yang sekiranya dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah: • Untuk melengkapi studi-studi sebelumnya tentang novel Supernova dengan sudut pandang dan pendekatan yang berbeda. • Secara akademis diharapkan dapat memberi sumbangsih terhadap studi sosiologi sastra yang selama ini masih jarang ditekuni oleh ilmuwan sosiologi. 8 1.4 Tinjauan Pustaka 1.4.1 Studi Tentang Sastra dan dan Kemanusiaan Untuk riset tentang sastra dan tema keterasingan manusia, setidaknya ada dua hasil riset terkait hal tersebut yang bisa kita jadikan komparasi dan tinjauan pustaka dalam penelitian ini. Pertama, penelitian tesis untuk FIB UGM yang dilakukan Indraningsih di tahun 2006 dengan judul, “Eksistensi Manusia dalam Rafilus dan Olenka karya Budi Darma: Sebuah kajian Semiotik.” Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra, peneliti dalam penelitian itu menyimpulkan bahwa manusia-manusia dalam gambaran Budi Darma adalah manusia pinggiran yang selalu bergelut dengan eksistensialnya. Sisi kemanusiaan dan eksistensialisme selalu menjadi “roh” dalam novel Budi Darma tersebut. Secara gaya sastrawi pun, penekanan pada sisi eksistensialisme merupakan “trade mark” Budi Darma yang sangat khas. Kemudian penelitian selanjutnya berjudul, “Dinamika Tipe Manusia dalam Puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar dan WS. Rendra: Sebuah Tinjaun Semiotik.” Penelitian tersebut dilakukan oleh Hendra Putranto tahun 2010. Dalam riset tesis untuk S2 Sastra Indonesia FIB UGM tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa ada perbedaan karakter manusia Indonesia yang digambarkan oleh tiga penyair besar yang berbeda zaman. Untuk Amir Hamzah yang hidup prakemerdekaan, manusia Indonesia yang digambarkan adalah manusia nasionalis, religius, dan masih kental dengan tradisionalitas. Sementara Chairil Anwar sebagai sastrawan di era kemerdekaan menggambarkan manusia Indonesia sebagai mahkluk yang menggebu-gebu, nasionalis dan penuh bara –seperti julukannya, “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”-. Sementara WS Rendra yang hidup di era pasca kemerdekaan cenderung menggambarkan manusia Indonesia sebagai sosok yang melankolis meski juga nasionalis. 9 1.4.1 Studi Novel Supernova dalam Berbagai Perspektif Adapun penelitian sastra tentang Novel Supernova berhasil dilacak dari beberapa penelitian hasil tesis maupun tulisan di buku-buku kumpulan hasil penelitian (bunga rampai) maupun jurnal ilmiah. Beberapa penelitian tesis yang telah dilakukan terhadap novel Supernova antara lain berjudul “Supernova Karya Dewi Lestari: Analisis Struktur Naratif yang oleh Suryantiningdyah pada tahun 2005.” Penelitian yang merupakan tesis di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM itu bertujuan untuk mendeskripsikan struktur novel Supernova dan menyajikan sebuah alternatif pemaknaan dengan menggunakan tinjauan terhadap psikologi tokoh-tokoh dalam cerita itu. Hasilnya bahwa novel Supernova yang terdiri dari atas 203 sekuen (narrative event units) secara keseluruhan merupakan ringkasan. Menggunakan pendekatan intrinsikalitas struktur penulisan karya sastra (unsur intrinsik dalam struktur penulisan atau pengkisahan), peneliti berusaha menganalisis bagaimana gaya dan teknik Dewi Lestari dalam menulis sastra, terutama karya sastra yang berwujud novel Supernova. Selanjutnya penelitian tentang novel Supernova dilakukan Rima Woro Sejati dengan judul, “Gaya Hidup Tokoh dalam Novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh Karya Dee Tinjauan Sosiologi Sastra”, sebagai tesis di S2 Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma tahun 2005. Penelitian ini mengkaji gaya hidup tokoh-tokoh dalam novel (Ruben, Dhimas, Ferre, Rana, dan Diva) yang dianggap sebagai cerminan dari budaya konsumerisme. Indikasinya bisa dilihat dari gaya hidup yang dianut tokoh-tokoh tersebut. Misalnya tinggal di apartemen atau kawasan hunian mewah (real estate elite), memakai fashion dengan tren terbaru, liburan wisata ke luar negeri, penggunaan piranti teknologi canggih, pemanfaatan waktu luang, memilih gaya hidup alternatif, serta penyimpangan gaya hidup (homoseksualitas, drugs, perselingkuhan, dan free sex). 10 Asumsi dasarnya setiap tokoh yang digambarkan dalam novel tersebut merupakan penghuni kota metropolitan: tempat masyarakat modern hidup. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra, hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya konsumerisme yang dianut oleh para tokoh novel itu secara tidak langsung mencerminkan gaya hidup yang menunjukkan status sosial, sikap, dan cita rasa mereka sebagai masyarakat modern yang hidup di kota metropolitan. Penelitian berikutnya tentang novel Supernova berjudul, “Aspek Sains dalam Novel Supernova KPBJ.” Penelitian ini merupakan tesis yang disusun oleh Mochammad Ali, mahasiswa Pascasarjana Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada tahun 2006. Dalam penelitian itu diperoleh hasil bahwa secara garis besar beberapa indikasi yang ditemukan dalam teks supernova tersebut memperlihatkan adanya aspek sains dalam karya sastra. Apa yang dilakukan Mochammad Ali tersebut punya kemiripan dengan penelitian yang dilakukan Musrin dengan judul “Makna dan Fungsi Diksi Istilah Sains dalam Karya Sastra: Kajian Stilistika Terhadap Novel Supernova Karya Dewi Lestari,” pada tahun 2009 sebagai tesis yang Ia susun untuk Prodi Ilmu Sastra FIB UGM. Pembahasan penelitian ini menggunakan landasan teori stilistika, yaitu ilmu tentang gaya bahasa yang terfokus pada diksi istilah sains atau pilihan kata istilah sains sebagai sebuah gaya dan didukung teori sosiologi sastra dan teori semiotika. Memang, penggunaan diksi istilah sains atau pilihan kata sains dalam novel Supernova berasal dari berbagai disiplin ilmu. Diantaranya Kimia, Fisika, Biologi, Astronomi, Matematika, Psikologi, Ekonomi, Komunikasi (teknologi informasi), bahkan Sosiologi dan Antropologi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan diksi istilah-istilah sains dalam Novel Supernova menjadi gaya khas dan baru untuk mengungkapkan gagasan tentang persoalan kehidupan. Penggunaan diksi istilah sains adalah sebuah 11 ketidaklangsungan ekspresi, yaitu penggantian arti (displacing of meaning). Penggantian arti ini meliputi metafora, metomini, dan personifikasi sebagai gaya bahasa kiasan yang berasal dari istilah-istilah sains. Selain itu, penggunaan istilahistilah sains dalam novel Supernona menciptakan kepuitisan sehingga menarik untuk dibaca. Adapun Maman S. Mahayana dalam buku Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (2007) menelaah karya Dewi Lestari yang terbit di awal abad 21 tersebut. Menurut Mahayana, Dewi Lestari melalui novel Supernova, berhasil menawarkan mainstream baru dalam peta novel Indonesia, dengan memasukkan deskripsi ilmiah sebagai bagian integral dalam cerita. Ada dua hal yang boleh dikatakan sesuatu yang baru yang disodorkan Dewi Lestari dalam Supernova. Pertama, ihwal deskripsi ilmiah yang menjadi bagian integral dalam keseluruhan cerita. Dalam kesusastraan Eropa, novel yang sejenis itu dimasukkan ke dalam kotak science fiction. Kedua, menyangkut penggambaran tokoh gay (homoseksual) Dhimas dan Ruben. Meski Nano Riantiarno dalam Cermin Merah (2004) sudah mengangkat persoalan per-gay-an dalam setting awal tahun 1980-an, namun Supernova sudah terbit lebih awal (tahun 2001) (Mahayana, 2007: 64). Mahayana (2007: 343) menjelaskan lebih detail lagi bahwa dalam novel Supernova, sejumlah deskripsi ilmiah (sains) berhasil lebur menjadi sebuah fiksi, dan bukan teks ilmiah. Dengan begitu, yang muncul ke permukaan bukanlah sebuah teks yang beku dan memusingkan, melainkan keindahan estetik yang menjadi syarat mutlak estetika teks fiksi. Dan ia merangsang kita untuk melakukan penelusuran lebih mendalam mengenai deskripsi-deskripsi ilmiah tersebut. Dalam analogi novelis Prancis Stendhal, memasukkan unsur-unsur diskursus ilmiah dalam novel laksana letusan pistol di tengah pagelaran konser: ia dapat terdengar keras dan kampungan, tetapi mau tidak mau, kita pasti memperhatikannya. Dalam hal ini memasukkan sains, politik, filsafat, atau ilmu 12 pengetahuan lain ke dalam novel, dapat menghasilkan dua kemungkinan. Ia akan berantakan lantaran ada misi tertentu yang dipaksakan atau akan melahirkan nilai estetik yang cerdas, jika ia menjadi bagian integral dalam struktur novel itu. Supernova, terlepas dari sejumlah kritik dari para kritikus sastra, berhasil menjadikan letusan pistol itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komposisi konser. Usaha pemanfaatan deskripsi ilmiah (sains, filsafat, dan sebagainya) dalam khazanah kesusastraan Indoensia sesungguhnya pernah dilakukan oleh sastrawansastrawan Indonesia sebelumnya. Namun upaya tersebut banyak yang gagal. Karena itu dalam sejarah novel Indonesia, mesti diakui Supernova merupakan novel pertama yang berhasil memasukkan unsur-unsur sains dan filsafat untuk kepentingan fiksi. Dialog tokoh Ruben dan Dhimas, misalnya, yang sarat bernuansa sains selain memperkuat impresi ilmiah Supernova juga menguatkan ketokohan keduanya dalam alur cerita novel tersebut. Begitu juga pemaparan sejumlah teori, baik yang diberi keterangan dalam catatan kaki, maupun yang diintegrasikan dalam deskripsi dan dialog antartokoh, memastikan luasnya wawasan Dewi Lestari dalam bidang itu, atau setidak-tidaknya Dewi sangat tidak miskin bacaan. Dalam buku Sastra, Perempuan, Seks (2009), Katrin Bandel menulis dua chapter yang membahas novel Supernova karya Dewi Lestari. Tulisan pertama berjudul Karya Sastra Sebagai Taman Bermain (hlm. 1-14) bercerita tentang usaha Dewi Lestari untuk berinteraksi dengan pembaca novel Supernova. Menggunakan media internet, Dewi Lestari membuat homepage bernama “truedee.com” untuk berdiskusi tentang novel Supernova. Menariknya, dalam riset yang dilakukan Bandel ditemukan satu topik pembicaraan yang berusaha merekonstruksi struktur cerita dalam novel sesuai dengan imajinasi masingmasing pembaca. Dalam grup perbincangan (diskusi) via internet tersebut masing13 masing pembaca punya kuasa untuk memperluas, memperpanjang, memperpendek atau bahkan merubah sama sekali watak, karakter maupun dialog antar tokoh yang sebelumnya sudah “baku” di dalam novel. Mengikuti logika Roland Barthes yang menganggap “the author is dead” pasca sebuah tulisan dipublikasikan, Bandel menanggap usaha Dewi Lestari sebagai opsi menarik di era kemajuan teknologi komunikasi-informasi. Sedangkan tulisan kedua Bandel berjudul Religiusitas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia (hlm. 67-89), Bandel secara bersamaan menganalisa novel Supernova karya Dewi Lestari (2001), novel Tujuh Musim Setahun karya Clara Ng (2002), dan Memburu Kalacakra (2004) karya Ani Sekarningsih. Dalam hemat Bandel, sebelum hadirnya ketiga novel(is) tersebut, para pengarang sastra Indonesia terkesan enggan menggeluti karya yang berdimensi religiusitas. Namun konsep religi di sini tidak ekuivalen dengan konsep “agama” yang cukup distortif pengertiannya di era Orde Baru. Religiusitas oleh Bandel dimaknai sebagai konsep yang mencakup segala macam kepercayaan akan adanya hubungan manusia dengan kekuatan supranatural, teori-teori mengenai hakikat kekuatan supranatural tersebut, usaha manusia untuk mencapai kesadaran spiritual tertentu, dan sebagainya. Dalam novel Supernova, Bandel menilai religiusitas menjadi salah satu unsur penting yang mendeterminasi jalannya cerita. Selain dari berbagai studi di atas, dalam jurnal Sintesis Vol.3 No. 4, April 2005 yang diterbitkan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Wiyatmi juga telah mempublikasikan risetnya yang berjudul Estetika Posmodernisme dalam Supernova Karya Dee. 3 Penelitian Wiyatmi bermula dari pembacaannya terhadap novel Supernova yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan novel-novel 3 Dee adalah panggilan akrab Dewi Lestari. Di setiap sampul buku yang ditulisnya, Dewi Lestari lebih suka menampilkan nama Dee dibandingkan Dewi Lestari. Namun dalam penulisan riset tesis ini, penulis lebih memilih menggunakan nama asli Dewi Lestari. 14 sebelum maupun sezamannya. Perbedaan itu terlihat pada struktur penceritaan yang ditandai dengan tipis atau hilangnya batas antara “yang fiksi” dengan “yang fakta” atau wilayah seni dengan wilayah ilmu pengetahuan. Selain itu Supernova menampilkan cerita yang melibatkan beberapa tokoh yang tampaknya tidak saling berhubungan, juga teknik penulisan (termasuk font huruf yang dipakai) yang tidak konvensional. Selanjutnya Wiyatmi mengembangkan konstruksi argumen bahwa pilihan gaya estetis Dewi Lestari tersebut didasari oleh estetika posmodernisme. Setidaknya ada lima idiom khas estetika posmodernisme yang dapat ditemukan dalam struktur penceritaan novel Supernova, yaitu (1) pastiche, (2) parodi, (3) kitsch, (4) camp, dan (5) skizofrenia. Sementara itu Aprinus Salam dalam Jurnal Sintesis Vol. 6 No. 1 Tahun 2008 (hlm. 1-13) mempublikasikan hasil risetnya yang berjudul, “Novel Indonesia Setelah 1998: Dari Sastra Traumatik Ke Sastra Heroik”. Salam menempatkan Dewi Lestari dan novel Supernova sebagai salah satu novel pasca-reformasi 1998 yang menikmati iklim kebebasan berkarya dan lepas dari “trauma” represi Orde Baru yang membatasi tema karya sastra tidak boleh menyentuh isu-isu tertentu, misalnya isu yang berkaitan dengan ideologi komunisme. Sastra traumatik adalah sastra yang ditulis dalam kenangan berdarah, dalam bayang-bayang ancaman negara menghancurkan musuh-musuh politiknya pasca peristiwa 30 September 1965. Kemudian kekuasaan negara berganti dengan cepat kepada satu era reformasi yang dimulai oleh Habibie. Hal yang utama dari Orde Reformasi adalah kekuasaan baru tidak dilandasi oleh peristiwa traumatik, tetapi justru peristiwa heroik. Hampir sebagian besar masyarakat merasa “menjadi pahlawan” terhadap upaya penumbangan rezim Orde Baru. Dalam kondisi semangat “menjadi pahlawan” reformasi itulah novel-novel pada tahun 1998, dan setelahnya, mulai bermunculan. Berbeda dengan novel-novel 1980-an dan 199015 an awal, novel-novel setelah 1998 sebagian besar justru diambil alih oleh anakanak muda. Mereka menawarkan tema-tema yang jauh lebih beragam dibandingkan sebelumnya. Jalur bercerita dengan gaya kritik ideologis dan budaya model Toer yang pernah ditutup oleh Orde Baru kembali dibuka. Masalah-masalah etnis dan atau SARA yang sensitif menjadi cerita yang biasa. Sebagian anak muda yang lain bahkan mengabaikan nasionalisme dan memilih menjadi warga dunia atau warga dunia maya, seperti tampak pada Saman dan Supernova. Hal itu terjadi, di samping pengaruh langsung perkembangan teknologi dan globalisasi, juga sebagai satu dampak dari kekecewaan generasi muda terhadap negara Orde Baru Indonesia. Karena itu novel-novel beberapa tahun belakangan ini kembali memindahkan lokasi penceritaan ke kota-kota (atau beberapa kota setingkat propinsi), lokasi yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan. Mulai dari Saman, Supernova, dan sejumlah novel yang terbit pada tahun 2000-an seperti Ketika Lampu Berwarna Merah, Jejak Sang Pembangkang, Tapol, dan sebagainya. Para tokoh juga berganti, mereka relatif terpelajar yang tahu politik, yang mengerti sosiologi dan demokrasi, yang memiliki pengetahuan cukup luas. 1.5 Posisi Penelitian Dari berbagai penelitian sebelumnya sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata belum ada yang secara spesifik menjelaskan analisis mengenai novel Supernova dari sudut pandang kritik terhadap modernitas. Hanya satu penelitian yang dilakukan Rima Woro Sejati yang mendekati fokus permasalahan tersebut. Namun Rima Woro Sejati hanya fokus pada gaya hidup konsumtif yang tergambar dalam perilaku tokoh-tokohnya tanpa menukik lebih dalam pada diskursus mengenai kritik terhadap kehidupan masyarakat modern. Sedangkan ikhtiar yang dilakukan Mahayana dan Bandel dalam dua buku yang telah 16 disebutkan di atas belum secara jelas memproblematisir kritik terhadap modernitas. Selanjutnya dari dua riset tentang Supernova yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah di atas, belum sepenuhnya berbicara tentang kritik terhadap modernitas. Oleh karena itu posisi penelitian ini benar-benar berbeda secara sudut pandang maupun pendekatan teoritik dan metodologi dibanding penelitianpenelitian sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan novel Supernova berdasarkan beberapa penelitian di atas belum diteliti dari sudut pandang, sejauh mana makna teks dalam novel Supernova bisa merepresentasikan kritik terhadap masyarakat modern. Dengan kata lain, penelitian ini memiliki objek formal yang berbeda dengan beberapa penelitian di atas sehingga penelitian ini memiliki unsur kebaruan dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. 1.6 Batasan Penelitian Dalam penelitian ilmu sosial selalu dihadapkan pada limitasi-limitasi. Baik berasal dari limitasi peneliti, maupun batasan dalam konteks substansi penelitian itu sendiri. Terkait dengan penelitian kali ini, beberapa limitasi atau batasan tersebut dapat disusun sebagaimana di bawah ini. • Basis data dalam penelitian ini hanya diperoleh dari satu novel, yakni Supernova edisi Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh. • Penelitian ini hanya memfokuskan pada aspek ekstrinsik (sosio-kultural) dari novel Supernova. • Penelitian hanya berfokus pada satu aspek, yakni sejauh mana makna teks dalam novel Supernova bisa merepresentasikan kritik terhadap masyarakat modern. 17 1.7 Kerangka Teoritik Untuk menjawab sejumlah masalah dalam penelitian ini digunakan kerangka teori yaitu teori tentang sosiologi sastra strukturalisme genetik, konsep tentang modernitas dan juga konsep sosiologi kritik. 1.7.1 Teori Sosiologi Sastra Strukturalisme Genetik Swingewood dan Laurenson (1972:11) menyatakan bahwa sosiologi adalah studi ilmiah dan objektif tentang manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga, dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial, ekonomi, politik, agama, dan keluarga yang bersama-sama akan membentuk struktur sosial. Dalam sosiologi akan diperoleh gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan masyarakatmasyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme situasi sosial, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan untuk menerima peran tertentu dalam struktur sosial itu. Kemudian mengenai sastra, Swingewood dan Laurenson (1972:12) menyatakan bahwa “Literature too is prominently concerned with man’s social world, his adaption to it, and his desire to change it,” sastra juga terutama terkait dengan manusia dalam dunia kemasyarakatan, adaptasinya dengan dunia kemasyarakatan itu, dan keinginannya melakukan perubahan terhadap dunia kemasyarakatan. Selain itu, sosiologi dan sastra, sesuai pendapat Swingewood dan Laurenson di atas, memiliki persamaan dalam hal objek atau sasaran yang dibicarakan atau dengan kata lain sosiologi dan sastra memiliki persamaan yang mendasar pada tingkat isi. Objek yang dimaksud adalah manusia dalam masyarakat serta segala aspek yang terkait dengan masyarakat itu. 18 Adapun perbedaan antara sosiologi dan sastra adalah, sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif. Sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menujukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya (Swingewood dan Laurenson, 1972:12; Damono, 1979:8). Dari pendapat ini, sosiologi dan sastra mempunyai objek kajiannya adalah samasama manusia, tetapi yang berbeda adalah dalam hal perwujudannya. Dengan demikian, karya sastra dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial, hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungan, politik, negara, dan kehidupan sosial lainnya. Setelah digabungkan kedua ilmu tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan sosiologi sastra, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan realitas literer dengan realitas empirik. Swingewood dan Laurenson (1972:13) menjelaskan beberapa perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) The most popular perspective adopts the documentary aspect of literature, arguing that is provides a mirror to the age, yaitu perspektif paling populer adalah penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada waktu karya tersebut diciptakan; (2) the second approach to a literary sociology moves aways from the emphasis on the work of literature it self to the production side, and expecially to the social situation of the writer, penelitian sosiologi sastra yang ditekankan pada situasi sosial penulisnya sebagai orang yang memproduksi sebuah karya sastra. Posisi pengarang dalam masyarakat dan latar belakang sejarah sangat mempengaruhi perkembangan sastra karena saat teks itu diciptakan banyak dipengaruhi oleh latar belakang sejarah suatu zaman; dan (3) a third perspective, one demanding a high level of skills, attempts to trace the ways in which a work of literature is actually received by particular society at a specific historical moment, perspektif yang melihat bagaimana peneliti melacak 19 penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra atau resepsi masyarakat terhadap karya sastra. Dalam perkembangannya, sosiologi sastra, sebagai sub-disiplin dari studi sosiologi juga terdiversifikasi dalam berbagai perspektif (aliran) yang berbeda satu sama lain. Faruk (2010) mengidentifikasi bahwa konsep sosiologi sastra berkembang hingga menciptakan bermacam pendekatan. Diantaranya sosiologi sastra strukturalisme genetik, sosiologi sastra Marxisme, sosiologi sastra dengan pendekatan fungsionalisme, sosiologi sastra dengan pendekatan fenomenologis, hinggs sosiologi sastra post-modernis. Dengan demikian, pandangan dari pandangan Faruk (2010) di atas dapat disimpulkan bahwa kajian sosiologi sastra mencakup berbagai aspek. Dalam kapasitas penelitian ini, penulis tidak hendak menjelaskan semua pendekatan tersebut. Namun penulis hanya akan menjelaskan pendekatan sosiologi sastra yang dipilih sebagai pendekatan teoritis dalam penelitian ini. yakni sosiologi sastra strukturalisme genetik. Diantara berbagai pendekatan teori sosiologi sastra yang telah disebutkan di atas, teori yang masih memperhitungkan pandangan sosial pengarangnya adalah teori strukturalisme genetik (Faruk, 2010). Salah satu cabang sosiologi sastra ini awalnya dirintis oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori ini dikemukakannya pada tahun 1956 dengan terbitnya buku The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine. Teori dan pendekatan yang dimunculkannya ini dikembangkan sebagai sintesis atas pemikiran Jean Piaget, Georg Lucaks, dan Karl Marx. Teori strukturalisme genetik Goldmann ini dibangun berdasarkan seperangkat kategori yang saling berkaitan, yaitu fakta kemanusiaan (human fact), penstrukturan (structures), subjek kolektif, dan pandangan dunia (world view) (Goldman, 1981). 20 Berikut ini akan dijelaskan lebih detail mengenai aspek-aspek pokok dalam konstruksi teoritis sosiologi sastra strukturalisme genetik. a. Fakta Kemanusiaan (Human Fact) Menurut Goldmann (1981: 40), fakta-fakta kemanusiaan merupakan prinsip utama teori strukturalisme genetik. Fakta kemanusiaan bisa berupa aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, penciptaan karya sastra, dan penciptaan kreasi kultural pada umumnya. Fakta-fakta kemanusiaan adalah bagian hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan dengan dunia sekitarnya, baik yang verbal maupun yang fisik. Perilaku tersebut meliputi aktivitas sosial, politik, maupun kreasi kultural. Karya sastra, sebagai fakta kemanusiaan, memiliki struktur yang berarti. Adapun tujuan yang menjadi arti dari fakta-fakta kemanusiaan itu sendiri tumbuh sebagai respons dari subjek kolektif atau pun individual terhadap situasi dan kondisi yang ada di dalam diri dan di sekitarnya, pembangunan suatu percobaan dari si subjek untuk mengubah situasi yang ada agar cocok bagi aspirasi-aspirasi subjek itu (Goldmann, 1970: 583). Dengan kata lain, fakta-fakta kemanusiaan ini merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar (Goldmann, 1981: 40). Goldmann (1981: 40) melihat bahwa semua fakta kemanusiaan memiliki makna karena merupakan respons dari subjek kolektif atau individual dalam usahanya untuk memodifikasi situasi yang ada agar sesuai dengan aspirasiaspirasi subjek kolektif tersebut. Sementara revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya kultural yang besar merupakan fakta sosial yang hanya mungkin diciptakan oleh subjek transindividual (Goldmann, 1981: 97). Perlu diketahui pula bahwa subjek transindividual adalah subjek yang di atas individu, sehingga individu hanya menjadi bagian. Subjek transindividual juga bukan merupakan kumpulan 21 individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas. Goldmann (1977: 90), menspesifikasikan subjek transindividual sebagai kelas sosial dalam pengertian Marxis, sebab baginya kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah memengaruhi perkembangan sejarah umat manusia. Dalam strukturalisme genetik, subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan dunia. b. Penstrukturan (Structures) Strukturalisme genetik juga memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang memiliki relasi antarelemennya. Pada prinsipnya, teori strukturalisme genetik menganggap karya sastra tidak hanya struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil strukturasi pikiran subjek penciptanya yang timbul akibat interaksi antara subjek dengan situasi sosial ekonomi tertentu (Goldmann, 1970: 584). Goldmann beranggapan bahwa teks sastra adalah struktur yang merupakan hal dari proses sejarah yang terus berlangsung, yang hidup, dan dihayati oleh masyarakat asal karya tersebut (Goldman, 1977: 8). Akan tetapi, Goldmann tidak secara langsung menghubungkan antara teks sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Sebab, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari sejarah yang terus berlangsung, proses strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal teks sastra yang bersangkutan. Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki makna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang 22 lebih luas, demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya. Proses strukturasi tersebut merupakan proses struktur yang secara signifikan berlangsung secara terus-menerus, dan merupakan bagian dari proses strukturasi yang lebih besar. c. Pandangan Dunia (World Vision) Uraian di atas menunjukkan bahwa hubungan yang penting antara kehidupan masyarakat dan karya sastra tidak berkaitan dengan dua faktor realitas manusia, tetapi hanya dengan struktur mental yang disebut sebagai kesadaran empiris kelompok sosial tertentu dan dunia imajiner penulis (Goldmann, 1970:584). Goldmann (1977: 158-159) juga beranggapan bahwa adanya homologi antara struktur karya sastra dan struktur masyarakat karena keduanya merupakan produk penstrukturan yang sama, tetapi hubungan tersebut bukan hubungan determinasi langsung, melainkan dimediasi oleh pandangan dunia atau ideologi pengarang. Menurut Goldmann (1977: 17-18, 1981: 112), pandangan dunia adalah gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi dan perasaan-perasaan yang kompleks dan menyeluruh, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompokkelompok sosial lain atau merupakan iklim general dari pikiran-pikiran dan perasaan tertentu. Lebih lanjut, Goldmann (1981: 64-68) mengatakan pula bahwa pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba, tetapi melalui proses yang panjang. Hal ini terjadi sebab pandangan dunia merupakan hasil interaksi antara subjek kolektif dengan dunia sekelilingnya. Proses yang panjang disebabkan pandangan dunia merupakan kesadaran yang tidak semua ornag memahaminya kecuali dalam momen-momen khusus sebagai ekspresi individu pada karyakaryanya (Goldmann, 1981: 87). 23 Goldmann (1977: 17) mengatakan pula bahwa karya sastra sebagai struktur bermakna itu mewakili pandangan dunia (vision de monde) penulis. Penulis dalam hal ini bukan sebagai individu, melainkan sebagai golongan masyarakatnya. Hubungan antara struktur sastra dan struktur masyarakat dimediasi melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh sebab itu, karya sastra yang merupakan hasil budaya manusia tidak dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat tempat karya sastra tersebut dilahirkan, diabaikan begitu saja. Lebih lanjut, Goldmann (1977: 9) mengatakan bahwa pandangan dunia yang selalu terbayang dalam karya sastra adalah abstraksi, bukan fakta empiris yang akan diperoleh dalam ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Hal tersebut bertolak dari karya sastra, tetapi tidak berhenti pada teks itu saja. Dia kembali pada penulis karena pandangan dunia dalam novel yang dianalisisnya adalah pandangan dunia yang penulisnya merupakan bagian dari suatu kelompok sosial. Konsep-konsep inilah yang kemudian membawa strukturalisme genetik pada masa kejayaannya sekitar tahun 1980 hingga 1990. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strukturalisme genetik adalah salah satu teori sastra yang memberi perhatian kepada perpaduan struktur teks, konteks sosial, dan pandangan dunia pengarang. Dengan kata lain, perhatian strukturalisme genetik tidak hanya pada struktur karya sastranya saja, tetapi juga berkaitan dengan unsur genetiknya, yaitu pengarang dan fakta sejarah. 1.7.2 Konsep tantang Modernitas Zaman kita ini, yang sering disebut sebagai zaman modern, secara konvensional dianggap dimulai pada kira-kira abad ke-15 yaitu selepas abad pertengahan dan dimulainya fajar baru zaman Renaissance yang dimotori oleh para intelektual dan seniman zaman itu yang sering menyebut diri sebagai para 24 humanis. Kaum humanis inilah yang tercatat pertama-tama menggunakan istilah “modern” untuk menunjukkan cita-cita terbentuknya kultur masyarakat baru yang membedakannya dengan zaman sebelumnya. Dengan demikian makna “zaman modern” adalah suatu zaman yang berbeda dengan zaman-zaman yang mendahuluinya, yang termasuk di dalamnya zaman-zaman yang kemudian disebut sebagai “pra modern”, “tradisional”, “primitif”, “feodal”, dan sebagainya yang senantiasa merujuk bentuk-bentuk sistem sosial-budaya yang lebih spesifik. Dalam hal ini Giddens (2008) menyatakan bahwa pembedaan antara “yang tradisional” dan “yang modern” haruslah dipahami semata-mata sebagai perdebatan zaman, yang masing-masing membewa cara berfikir dan semangat zamannya sendiri. Makna “modern”, selanjutnya, membawa pengertian tentang adanya kesadaran akan sesuatu yang baru yang dimiliki bersama: “akan suatu cara hidup yang berlainan dengan cara hidup nenek-moyang kita”. Prinsip itu di abad ke-17 dimaknai sebagai cara hidup yang “lebih baik” daripada cara hidup nenek-moyang kita, suatu optimisme yang mencerminkan semangat zaman Aufklarung menjelang era revolusi industri. Dan sikap ini adalah salah satu ciri nyata yang menengarai kebudayaan modern di mana kita sekarang ini hidup (Magnis-Suseno, 2013). Semangat zaman pencerahan diwakili oleh seruan yang terkenal: Sapare Aude!: beranilah menggunakan akal pikiranmu sendiri. Manusia-manusia zaman itu dituntut untuk sungguh-sungguh berani berbicara dan bertindak dengan didasari akalnya masing-masing sebagai bakat alam perseorangan. Wujud yang lebih konkrit dari semangat zaman itu secara metodologis dipelopori oleh Francis Bacon pada beberapa dekade sebekumnya yang mengintrodusir cara berpikir induktif (sebagai lawan model deduktif Aristotelian yang menjadi mainstream cara berpikir saat itu) sehingga menjadi dasar bekerjanya prinsip efisiensi dalam 25 kerja ilmu pengetahuan modern. Adagium knowledge is power mewakili hasrat manusia-manusia pra-revolusi industri untuk menaklukkan alam (dan sesamanya bangsa-bangsa lain) serta mengubah kerja keras berdasarkan otot dan tenaga fisik menjadi hidup yang lebih mudah, nyaman dan efisien dengan memanipulasi alam berdasarkan hukum-hukum ilmiah modern. Dalam konteks ini benih-benih “rasionalitas instrumental” dan berbagai tindakan sosial yang didasari prinsip mean and end mechanism mulai menampak meskipun bentuknya yang formal. Modernitas adalah situasi sekaligus dampak dari berlangsungnya hasrat manusia-manusia barat menjadi modern. Situasi ini terlihat dalam realitas sosial yang menujukkan terjadinya dominasi estetisme, sekularisasi (proses profanisasi atau penduniawian dunia) dan sekularisme (penentangan terhadap pengaruh agama atas kehidupan masyarakat), klaim universal tentang rasionalitas instrumental, diferensiasi berbagai lapangan lapangan kehidupan dunia, birokratisasi ekonomi serta moneterisasi nilai-nilai yang sedang berkembang (Hardiman, 2003). Oleh sebab itu, modernitas timbul selain bersamaan selain bersamaan dengan penerimaan prosedur ilmiah Bacon dan Newton, berseiring juga dengan meluasnya imperialisme barat dalam abad ke-16, muncul dan mendominasinya kapitalisme di Eropa Utara. Sebagaimana juga dinyatakan Habermas bahwa modernitas, atau model dominasi modernis, secara khas terjadi melalui diferensiasi sistem dan melalui rasionalisasi hubungan antar manusia yang dikendalikan oleh media. Media instrumentalis ini –seperti uang dan kekuasaan— mengendalikan hubungan antar manusia dalam jaringan kerja yang semakin kompleks, di mana masing-masing individu yang terlibat tidak merasa perlu bertanggung jawab atas berbagai hal yang dihasilkan melalui dan dalam interaksi tersebut (Habermas, 1987 dalam hardiman, 2003). Habermas dalam The Theory of Communicative Action melihat modernitas sebagai hasil proses rasionalisasi dan diferensiasi. Modernitas berarti 26 bahwa sistem sosial yang mengatur diri sendiri, yang berusaha untuk mempertahankan integritasnya di hadapan keragaman lingkungan dan internal yang berskala luas menjadi semakin terdiferensiasi. Max Weber ketika membahas modernitas dalam bukunya General Economic History (Giddens, 2008) menekankan paparannya pada munculnya ambiguitas –yang dalam karya sosiologis kontemporer dimaknai sebagai paradoks modernitas— sebagai sifat mendasarnya. Hasrat untuk menjadi modern membawa dampak pada terjadinya erosi makna, konflik yang berkepanjangan tentang nilainilai politeistik dan munculnya ancaman kerangkeng besi birokrasi. Rasionalisasi sebagai dasar modernisasi membuat dunia menjadi tertib dan dapat diandalkan, tetapi ia tak dapat membuat dunia menjadi bermakna. Rasionalisasi telah mampu membuat hidup manusia menjadi lebih efisien tetapi sekaligus telah mengakibatkan hilangnya pesona dunia (disenchatment of the world). Dalam karyanya tersebut Weber terkesan cenderung menolak visi gelap apokaliptik tentang tujuan modernitas (misalnya runtuhnya dominasi iron cage birokrasi yang anonim, munculnya mediokritas dan kontrol dunia oleh “elite jahat” yang arogan dan serakah) sementara dalam beberapa aspek juga kurang mentolerir sikap radikal dan konservatif yang menolak kapitalisme (Hardiman, 2003). Hal yang terakhir ini bisa dipahami, sebab bagi Weber munculnya kapitalisme merupakan penjelasan terpokok tentang modernitas (Hardiman, 2003). Dinamika sosial masyarakat barat yang menggejala lewat proses modernisasi hanya bisa dipahami dari muncul dan berkembangnya kapitalisme. Jika modernitas adalah implikasi dari hasrat menjadi modern, maka “modernisasi” sering lebih dimaknai sebagai suatu proses sosial-ekonomi-budaya yang terjadi ketika hasrat menjadi modern tersebut dimanifestasikan melalui perilaku individual dan –terutama— perilaku sosial. Jika “modern” menjadi semacam idea dan platform bagi tindakan sosial dan “modernitas” adalah dampak 27 yang ditimbulkan oleh tindakan sosial tersebut, maka “modernisasi” adalah bentuk action-nya. Modernisasi secara umum mengandung arti “proses menuju terwujudnya masyarakat modern.” Maka secara logis jika zaman modern dibedakan dengan zaman sebelumnya oleh karena digunakannya akal manusia sebagai dubium universale yang menandai seseorang disebut sebagai manusia modern, maka modernisasi tidak lain adalah proses identifikasi manusia modern dengan rasionalitas. Pada sisi yang lebih ekstrem muncul pula beberapa pandangan bahwa proses menjadi modern berarti pula menolak hal-hal yang bersifat irasional dan nonrasional. Segala yang berbau religio-metafisik dan tidak bisa dibuktikan oleh akal sehat berdasarkan hukum-hukum ilmiah akan cenderung ditolak oleh manusia yang telah menganggap dirinya modern. Sikap inilah yang mendasari cara berpikir positivisme dan saintisme, bahwa “kebenaran hanya ada sejauh memenuhi kriteria rasional” dan yang pada masa mendatang menjadi kecenderungan berpikir teknokratisme dalam rekayasa penataan sistem sosial (social engineering) dalam teori-teori modernisasi abad ke-20. 1.7.3 Masyarakat Modern dalam Perspektif Teori Sosiologi Kritik Selama ini, pada umumnya kajian teori modernisasi lebih banyak menggunakan pendekatan struktural-fungsional yang memakai kategori-kategori ekonomis, politis, dan teknologis yang diakui bersifat “objektif”. Modernisasi dipandang sebagai proses penataan infra dan supra-struktur masyarakat menurut kriterium-kriterium yang netral dari kesadaran manusia, di mana seolah-olah strukturlah yang menjadi paling penting sementara tugas tugas kesadaran manusia sekedar menyesuaikannya (Hardiman, 2003). Bahkan seolah-olah mesin yang menggerakkan proses modernisasi sudah dirakit berdasarkan petunjuk-petunjuk objektif, sehingga yang dibutuhkan tinggal tenaga-tenaga untuk untuk 28 menggerakkannya. Padahal seperti ditemukan Peter L Berger melalui analisis fenomenologisnya dalam buku Pyramids of Sacrifice (1967:1), bahwa kesadaran manusia dan struktur dalam modernisasi adalah dua hal yang tidak saling ekslusif, keduanya saling mengandaikan, sebab ilmu dan pengetahuan terapan yang menjadi dasar modernisasi terbentuk dan berkembang dalam media kepentingan (kesadaran) tertentu. Modernisasi dengan demikian, secara epistemologis merupakan wujud dari paradigma positivisme yang berasumsi dengan penjelasan tunggal untuk semua bentuk fenomena sosial. Bagi Habermas, paradigma semacam ini disebut instrumental knowledge, di mana pengetahuan menjadi alat untuk mendefinisikan sekaligus selanjutnya mendominasi objeknya (Magnis-Suseno, 1992). Dalam pandangan teoritikus Mahdzab Frankfurt, modernitas menghasilkan paradoks. Paradoks modernitas merupakan salah satu fokus kritik yang dilancarkan Mahdzab Frankfurt (melalui tokoh-tokohnya: Theodore W. Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas) terhadap dunia industrial modern masyarakat barat. Secara singkat Paradoks Modernitas dijabarkan sebagai berikut: “Modernisasi yang pada mulanya merupakan pembebasan manusia dari berbagai kungkungan dominasi mitos, ideologi, dan tradisi pada akhirnya menjadi dominasi dalam wajah baru. Otonomi manusia dan kebebasan yang berhasil diraih dengan penghancuran masyarakat tradisional beserta tradisi-tradisi kulturalnya malah kembali raib dalam kerangkeng besi (iron cage) birokrasi dan teknologi yang merupakan perwujudan praktis dari rasionalitas yang diraihnya.” (Magnis-Suseno, 1992). Disebut sebagai paradoks karena manusia dalam modernisasi, semakin ia mau merasionalkan kehidupannya, malah semakin irasional. Paradoks modernitas yang oleh Adorno dan Horkheimer disebut “dialektika pencerahan” itu didasari 29 logika kerja: rasionalisasi tindakan rasional bertujuan telah menyingkirkan pandangan dunia tradisional, tetapi pada gilirannya rasionalisasi itu menggantinnya dengan ideologi baru yang bernama teknoratisme, sebagai sesuatu yang diperlukan untuk melegitimasikan proses produksi modern (kapitalisme). Oleh karena itu, manusia modern bagi Horkheimer dan pengikutnya di Frankfurt School adalah manusia yang teralienasi. Kehilangan sisi kemanusiaannya karena rasionalitas yang dia gunakan untuk “menaklukkan” dunia dan tantangan hidup justru telah memenjarakannya. Hal itu disebabkan rasionalitas yang manusia gunakan di era kapitalisme lanjut adalah rasionalitas instrumental (Sindhunata, 1983:19). Konsep teori kritis dalam menggambarkan manusia di era kapitalisme lanjut sepertinya masih relevan digunakan untuk melihat konteks modernitas di Indonesia saat ini. Di mana Indonesia merupakan “graviti globalisasi”. Terutama dalam hal konsumen teknologi dan gaya hidup kapitalistik. Karena itu salah satu pokok bahasan dalam diskursus modernitas dan kapitalisme lanjut adalah teknologi. Manusia industri modern diperbudak oleh mesin, hanya bentuknya saja yang sekarang diubah. Energi fisik yang dibutuhkan untuk bekerja memang semakin berkurang, tetapi irama kerja yang monoton, terkurung dalam masingmasing bidangnya, menimbulkan ketegangan-ketegangan psikis. Usaha memperbesar produktivitas membuat jam kerja tetap panjang, dan bahkan lebih intensif. Mekanisasi tidak hanya menentukan kuantitas barang-barang produksi, melainkan juga kecepatan kerjanya, serta tuntutan-tuntutan keahlian tertentu, membuat manusia diperbudak oleh mesin. Sastrapratedja menggambarkannya seperti ini: “Budak-budak dari peradaban industri modern merupakan budak yang terselubung, tetapi bagaimanapun juga mereka tetap budak, karena perbudakan tidak ditentukan oleh ketaatan pada majikan atau kerasnya 30 pekerjaan, melainkan oleh keberadaannya sebagai alat dan pemerosotan martabat manusia menjadi benda” (Sastrapratedja, 1982:127-129). Teknologi tidak lagi berhadapan dengan manusia tetapi sudah terintegrasi dengan manusia. Dalam kondisi demikian itulah manusia akan menjadi terkukung oleh kemajuan itu sendiri. Kemajuan teknologi pada awalnya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia. Perkembangan selanjutnya teknologi justru menenggelamkan manusia dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi salah satu penyebab manusia terpisah dari sesama atau dunia luar dan akhirnya mengalami keterasingan (alienasi). Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan lingkungannya tetapi secara berangsur-angsur telah dikelilingi oleh teknik, organisasi, dan sistem yang diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam keadaan ini manusia tidak lagi menjadi subjek yang mandiri tetapi telah mengalami detotalisasi dan dehumanisasi (Hardiman, 2008:66). Dalam konteks inilah teori kritis dengan paradigma emasipatifnya masih relevan diketengahkan untuk membaca fenomena kehidupan modern. Di mana salah satu misi teori kritis adalah untuk menumbuhkan kesadaran reflektif (Hardiman, 2008:182). Kesadaran reflektif dalam teori kritis hendak mengarahkan manusia modern untuk kembali menemukan emansipasinya. Teori itu mau mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia. Teori kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan, mengkategorisasikan, mengantur, melainkan hendak mengubah. Yang mau diubah bukan filsafat, melainkan pemberangusan manusia oleh hasil pekerjaannya sendiri. Teori kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis tua” atau masyarakat industri maju. Karena itu yang 31 dihangatkan kembali dalam teori kritis bukanlah teori Marx yang usang, melainkan maksud dasar Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu, penghisapan, dan penindasan. Sebagai teori yang kritis maka teori yang dikembangkan Horkheimer mau menciptakan kesadaran yang kritis: Teori Kritik Masyarakat pada hekikatnya ingin menjadi aufklarung. Aufklarung itu berarti: mau membuat cerah, mau menyingkap segala tabir yang menutup kenyataan yang tak manusiawi terhadap kesadaran kita. Teori kritis dalam hubungan ini bicara tentang “Verblendungszusamenhang”, semacam selubung menyeluruh yang membutakan kita terhadap kenyataan yang sebenarnya, yang perlu disobek. Di situ muncul istilah “totalitas”. Dalam masyarakat industri maju, kontradiksikontradiksi, frustasi-frustasi, penindasan-penindasan tidak lagi nampak. Semua segi hidup masyarakat berkongkalikong menimbulkan kesan bahwa semuanya baik adanya, semua kebutuhan dapat dipuaskan, semuanya efisien, produktif, lancar, bermanfaat. Kesan semu itulah yang harus dibuka. Dibongkar (MagnisSuseno, 1983). Teori kritis membuka selubung bahwa sebenarnya produksi tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia itu diciptakan, dimanipulasi demi produksi. Dan teori kritis berharap bahwa apabila rasionalitas semu sistem itu sudah sobek, maka kontradiksi-kontradiksi yang sebenarnya tetap ada, dapat mematahkan belenggu dan membebaskan manusia pada kemanusiaan yang sebenarnya. Melalui konsep-konsep dalam penjelasan teoritikus Mahdzab Frankfurt tersebut, kritik terhadap masyarakat modern seperti yang digambarkan dalam novel akan dijelaskan secara ilmiah. 32 1.8 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1995:3), metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang berdasarkan dan menghasilkan data-data deskriptif berupa katakata tertulis. Sedangkan hermeneutika merupakan teknik penafsiran dan pemahaman teks (Palmer, 2005:8) Metode dan pendekatan tersebut sengaja dipilih karena sifat penelitian ini adalah studi kepustakaan, di mana bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah teks novel Supernova karya Dewi Lestari. Seperti diungkapkan Denzin dan Lincoln (2011:7,249), selain mempelajari data-data empiris, para peneliti kualitatif juga dimungkinkan mempelajari rekaman pengalaman manusia, baik yang terucap/lisan maupun tertulis, termasuk percakapan hasil transkripsi, film, novel dan foto. Hal itu memungkinkan karena sebagian besar kehidupan sosial dalam masyarakat sesungguhnya dimediasi oleh teks-teks tertulis dengan berbagai ragam jenis yang berlainan. 1.8.1 Objek Penelitian Dalam penelitian sosiologi sastra yang berusaha menjembatani intrinsikalitas teks dengan ekstrinsikalitas (dimensi sosiologis) dari teks, objek kajiannya pun dibagi menjadi dua, yakni objek formal yang menjadi representasi sisi ekstrinsik dan objek material yang merepresentasikan aspek intrinsik dari sebuah teks. a. Objek Formal Objek formal penelitian ini adalah fenomena paradoks manusia modern dan kritik terhadap paradoks manusia modern tersebut.. b. Objek Material 33 Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Supernova KPBJ karya Dewi Lestari. 1.8.2 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan. Menurut Damono (2002:39), karena fokusnya adalah karya sastra, tentu saja data yang tidak boleh ditinggalkan adalah karya sastra, baik yang berupa buku maupun yang disebarluaskan lewat berbagai media. Selanjutnya, menurut Damono (2002:39), karena sosiologi sastra tidak hanya memfokuskan penelitian pada teks sebagai benda yang otonom, sumber-sumber yang di luar teks sastra itu pun merupakan bahan penting, seperti: pengetahuan mengenai sejarah, situasi sosial-politik, perkembangan budaya, agama, struktur sosial, nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, beserta aspek-aspek lainnya. Terkait hal tersebut, ada tiga hal yang tidak terpisahkan dalam rangka pemerolehan-pengumpulan data penelitian, yaitu realita, fakta, dan data. Realita atau “kenyataan” adalah segala sesuatu yang dianggap ada, bersifat relatif, ada secara empiris maupun dalam konsep pikiran. Fakta berbeda dengan realita. Fakta adalah pernyataan tentang realita, dapat bersifat subjektif maupun objektif. Fakta dapat menjadi data, namun tidak semua fakta adalah data. Adapun data adalah fakta yang telah dipilih, diseleksi, berdasarkan relevansinya (Ahimsa-Putra, 2009:12-13). Dalam konteks penelitian ini, aspek faktual teks sastra dapat diteliti melaui teks. Teks dianggap berada dalam konteks faktual apabila bertujuan melakukan analisis deskriptif bahwa suatu teks dilihat sebagai fakta. Oleh karena itu interpretasi terhadap sebuah teks sastra didasarkan pada teks sebagai seperangkat data faktual. Prosedur interpretatif bertumpu pada data yang diketahui secara empirik (artefak, konteks sosial, dan situasi komunikasi). Di samping fakta-fakta 34 tekstual, nilai-nilai pada saat karakter dijelaskan dalam ringkasan teks mungkin penting dalam fase interpretasi (Segers, 2000:85-86). Dengan demikian pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dari data teks dalam novel Supernova yang kemudian dikontekstualisasikan dengan data-data pendukung yang merupakan data dan fakta sosiologis. 1.8.3 Metode Analisis Data Menurut Pendekatan Hermeneutika Ricoeur Sebagaimana dijelaskan di atas, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Dalam teknik analisis data, akan dijelaskan bagaimana operasionalisasi pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur dalam menelaah suatu karya seni, yang dalam hal ini adalah teks seni sastra. Bagi Ricoeur, hal yang harus diperhatikan adalah seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Ini berarti bahwa analisis harus selalu bergerak dari teks, bukan sebaliknya. Karena penelitian ini menggunakan teks sastra sebagai objek penelitiannya, maka, menurut Ricoeur (1975) ada tiga ciri utama dalam bahasa (teks) sastra yang perlu diberi perhatian oleh seorang pemakai kaidah hermeneutika. Pertama, bahasa sastra dan uraian falsafah bersifat simbolik, puitik dan konseptual. Di dalamnya berpadu antara makna dan kesadaran. Kita tidak dapat memberi makna referensial terhadap karya sastra dan falsafah sebagaimana dilakukan terhadap teks yang menggunakan bahasa penuturan biasa. Bahasa sastra menyampaikan makna simbolik melalui image-image dan metafora yang dapat dicerap oleh indera. Sedangkan bahasa bukan sastra berusaha menjauhkan bahasa atau kata-kata dari dunia makna yang luas. Kedua, dalam bahasa satra pasangan rasa dan kesadaran menghasilkan objek estetik yang terikat pada dirinya. Penandaan harus dilakukan dan tanda 35 harus diselami maknanya, tidak dapat dibaca secara sekilas lintas. Tanda dalam bahasa simbolik sastra mesti dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai peran konotatif, metaforikal dan sugestif. Ketiga, bahasa sastra berpeluang menerbitkan pengalaman fiksional dan pada hakekatnya lebih kuat dalam menggambarkan ekspresi kehidupan. Bahasa sastra yang bersifat puitik tidak memberi kemungkinan kepada pembacanya untuk memahaminya secara langsung. Karena itu kegiatan hermeneutika diperlukan. Ricoeur menambahkan bahwa setiap teks berbeda komponen dan struktur bahasa atau semantiknya, oleh karena itu dalam memahami teks diperlukan proses hermeneutik yang berbeda pula. Konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas dalam kaitannya dengan karya seni (seni sastra) sebagai subjek penelitian, divisualisasikan oleh Ricoeur melalui gambar di bawah ini. Gambar 1.1 Metode Kerja Analis Data Hermeneutika Ricoeur Sumber: Thompson (1990) 36 Dari gambar yang berupa piramida terbalik sebagaimana disistematiskan oleh Thompson (1990) di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Mula-mula teks seni (dalam konteks ini seni sastra) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya sastra diposisikan sebagai fakta ontologi. Secara praksis hal ini menempatkan novel Supernova sebagai pangkal dari proses analisis. Yakni awal mula data maupun proses analisis data bertolak dari teks dalam novel Supernova. 2. Karya sastra sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting. Bagi Thompson (1990), objektivasi struktur adalah penelaahan terhadap struktur cerita dalam sebuah teks sastra. Penelaahan terhadap struktur cerita berarti mempelajari dan memetakan alur cerita maupun karakteristik masing-masing tokoh dalam novel Supernova. 3. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur. Bagi Ricoeur (Thompson, 1990), setiap kata dalam sastra adalah simbol. Maka dalam hal ini langkah penyisiran teks novel Supernova adalah memilah kata-kata yang mengandung simbol, di mana simbolsimbol (kata-kata) tersebut dirasa sesuai dengan tujuan penelitian ini. 4. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktorfaktor yang berkaitan dengannya. Maka, acuan yang bersifat referensial tersebut merujuk pada konsepsi sosiologi sastra sebagaimana telah dijelaskan dalam tahapan konstruksi teoritik di atas. 37 5. Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir. Dalam hal ini, analisis mulai bergerak untuk mencari kaitan antara telaah struktur cerita dan penafsiran simbolik terhadap kata-kata dalam teks novel dengan referensi teoritik dari sub-disiplin lain dari kajian sosiologis yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian ini. 6. Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan. Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya seni sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks. Dengan kata lain, skema kerja hermeneutika Ricoeur berawal dari teks novel hingga menemukan makna atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis novel melalui struktur teks yang dia bangun dalam novel. 1.8.4 Rangkuman Sistematika Penelitian Secara lebih terperinci, langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. menetapkan objek formal dan objek material penelitian, yakni novel Supernova karya Dewi Lestari dan kritik terhadap masyarakat modern sebagai tema utamanya; 2. melakukan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data-data yang mendukung subjek penelitian. Data tersebut dapat berupa karya fiksi dan non fiksi Dewi Lestari, tulisan-tulisan tentang Dewi Lestari dan karyakaryanya, buku-buku refersensi lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian novel Supernova; 38 3. melakukan analisis novel Supernova karya Dewi Lestari dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur sebagaimana dijelaskan di atas. 4. melakukan tinjauan sosiologi sastra dengan pendekatan sosiologi sastra strukturalisme genetik atas hasil telaah teks yang menggunakan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. 5. menyimpulkan dan melaporkan hasil penelitian. 39