BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Di abad ke-21 orang mulai berbicara bahwa mereka sedang berada dalam
proses memasuki sebuah tata kehidupan yang baru yang kerap disebut dengan
istilah zaman modern. Modernisme ditandai oleh adanya perubahan yang sangat
cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi, politik
dan sosial-budaya. Perkembangan yang pesat dalam bidang teknologi, khususnya
teknologi informasi, memungkinkan produksi dan distribusi informasi mencapai
tingkat kemudahan dan kecepatan yang tinggi sehingga dapat menembus batas
ruang dan waktu (Mangunwijaya, 1999:34).
Kehidupan modern semacam itu pada awalnya memang banyak
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Namun semakin lama manusia
semakin terikat dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berhadapan dengan
manusia tetapi sudah terintegrasi dengan manusia. Dalam kondisi demikian
manusia akan terkungkung oleh kemajuan itu sendiri. Dengan kata lain kemajuan
teknologi pada awalnya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia. Namun
dalam perkembangan selanjutnya teknologi justru menenggelamkan manusia
dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang diciptakan. Keadaan itulah yang
menjadi salah satu penyebab manusia terpisah dari sesama atau dunia luar dan
akhirnya mengalami keterasingan. Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan
lingkungannya tetapi secara berangsur-angsur telah dikelilingi oleh teknik,
organisasi, dan sistem yang diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh
kekuatan-kekuatan tersebut sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam
1
keadaan ini manusia tidak lagi menjadi subjek yang mandiri tetapi telah
mengalami detotalisasi dan dehumanisasi (Erich Form, dalam Poespowardojo,
1988:83).
Dalam konteks ini, fenomena kehidupan masyarakat modern menjadi
salah satu fragmen yang ditonjolkan dalam novel Supernova: Ksatria, Putri dan
Bintang Jatuh karya Dewi Lestari 1, sebuah karya sastra yang sarat dengan refleksi
kemanusiaan ketika berhadapan dengan modernisasi. Terkait relasi antara kajian
sosiologi dan sastra, proses kreatif dalam dunia sastra memang tidak akan dapat
dilepaskan dengan realitas empiris. Dengan demikian realitas tentang modernisasi
merupakan salah satu sumber bahan penciptaan karya sastra.
Dalam hubungannya dengan realitas yang menjadi sumber penciptaan
karya sastra, Kuntowijoyo (1984:132) mengatakan, melalui karya sastra yang
diciptakan itulah sebenarnya sastrawan mencoba menerjemahkan realitas dengan
bahasa
imajiner
untuk
memahami
peristiwa
tersebut
menurut
kadar
kemampuannya. Oleh karena itu, untuk melihat fenomena modernitas, penelitian
ini akan difokuskan pada penggambaran kehidupan masyarakat modern dalam
karya sastra. Sebab karya sastra, pada hakikatnya berpretensi menampilkan
gambaran kehidupan. Adapun kehidupan yang digambarkan bisa mencakup
hubungan antar-masyarakat, antara masyarakat dengan perseorangan, maupun
antar manusia dan juga antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
Hal tersebut dikarenakan sebuah karya sastra tidaklah muncul secara tibatiba dan situasi yang berada di dalamnya juga terkait sejumlah faktor sosial yang
akan membantu pembacanya memahami kejadian, bentuk, dan isi yang terdapat di
dalam karya sastra tersebut. Karya sastra merupakan imitasi dari universe atau
semesta, yang dalam pengertian kritikus sastra sering disebut dengan istilah
refleksi masyarakat (Abrams, 1981: 178-179).
1
Selanjutnya dalam penulisan tesis ini, judul novel tersebut disingkat menjadi Supernova.
2
Seperti dikatakan Tanaka (1976, dalam Mahayana, 2007: 6), dalam sistem
sastra, teks tidak jatuh begitu saja dari langit. Di sekeliling teks ada berbagai
persoalan politik, sosial, ekonomi, budaya
yang melatarbelakangi dan
melatardepani kelahiran teks dan penerbitan karya sastra. Oleh karena itu sastra
adalah roh kebudayaan. Ia lahir dari proses yang rumit dengan melibatkan
kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas
kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia
mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga
memancarkan zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas
atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang
sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya.
Hal itu kompatibel dengan pandangan Berger dan Luckman (1990:56)
yang
mengatakan,
sepanjang
menyangkut
hubungan
sosial,
bahasa
‘menghadirkan’ sesama manusia tidak hanya secara fisik hari ini, melainkan juga
yang dikenang atau yang dikonstruksikan kembali dari masa lampau, maupun
yang diproyeksikan sebagai orang-orang khayalan di masa depan. Kesimpulannya
tak ada karya sastra yang lahir dari ketiadaan. Mustahil pula sastra tanpa fakta.
Sastra tidak diturunkan malaikat dari langit. Hakikat sastra yang fiksional tidak
serta-merta merupakan kedustaan atau sekedar kebohongan. Ada kebenaran
faktual. Lewat kreativitas fakta menjelma fiksi. Dengan kata lain, karya sastra
bolehlah dikatakan sebagai representasi kehidupan sosial (Mahayana, Kompas, 30
Desember 2012).
Bertolak dari kontruksi argumen di atas, munculnya pendekatan sosiologis
dalam kritik sastra adalah keniscayaan. Analisis sosiologis dalam kajian sastra
menjadi konsekuensi logis mengingat dunia kesusastraan selalu berurusan dengan
dunia manusia, atau dunia simbolik yang mengacu pada kehidupan manusia.
Karya sastra adalah produk pengarang yang hidup di lingkungan sosial. Dengan
3
begitu, karya sastra merupakan dunia imajinatif pengarang yang selalu terkait
dengan kehidupan sosial. Pengarang sebagai anggota masyarakat, pasti dilahirkan,
dibesarkan, dan memperoleh pendidikan di tengah-tengah kehidupan sosial. Inilah
yang kemudian membuat Laurenson dan Swingewood (1972:17) menyimpulkan
bahwa, literature as cultural phenomena and social product (karya sastra
merupakan sebuah fenomena kebudayaan dan produk sosial suatu masyarakat).
Dalam cara pandang ini kemudian lahir satu pendekatan dalam kajian sastra dan
budaya yang dinamakan sosiologi sastra (sociology of literature).
Ringkasnya, sosiologi sastra adalah pendekatan yang coba mengkritisi
kecenderungan formalisme dalam aliran strukturalisme saat menelaah karya
sastra. Formalisme (strukturalisme bahasa) beranggapan bahwa sebuah karya
sastra mesti dianalisis hanya dari konten (isi) karya sastra itu semata sehingga bisa
lepas dari konteks sosial teksnya maupun setting sosio-kultural pengarangnya.
Maka aliran ini pun hanya bergulat pada analisis isi tekstualnya (fonem, plot,
penokohan, dan sebagainya). Dengan kata lain, sosiologi sastra beranggapan
sastra senantiasa lahir dan berkembang dalam masyarakat dengan menampilkan
gambaran kehidupan, sedangkan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan
sosial (Damono, 2002: 1). Selanjutnya segenap problematika kehidupan tersebut
oleh masing-masing pengarang dituangkan ke dalam beberapa bentuk karya sastra
yang biasa kita kenal selama ini, yaitu roman, novel, cerita pendek (cerpen), sajak,
puisi, dan sebagainya.
Dari sekian macam bentuk karya sastra tersebut, penelitian ini
dikhususkan pada analisa novel. Argumentasinya, novel merupakan ragam karya
sastra yang representatif sebagai refleksi sosial-budaya dalam sebuah ruang
kehidupan tertentu di mana karya tersebut dihasilkan. Novel sebagai genre sastra
yang utama dari industri masyarakat dapat dilihat sebagai usaha untuk
menciptakan kembali dunia sosial manusia yang berhubungan dengan politik,
4
sosial, budaya dan segenap aspek kehidupan lainnya. Dalam konteks ini novel
juga melukiskan peran manusia dalam keluarga, kelompok maupun unit (institusi)
sosial lainnya. Novel juga bisa menggambarkan terjadinya konflik maupun
ketegangan antarkelompok dan kelas sosial dalam masyarakat (Laurenson dan
Swingewood, 1972: 11-12).
Dalam istilah lain, novel merupakan karya sastra yang paling mendekati
gambaran kehidupan sosial dibandingkan puisi atau drama. Konflik yang dapat
kita tangkap dalam novel adalah gambaran ketegangan antara individu dengan
individu, lingkungan sosial, alam, dan Tuhan. Atau ketegangan individu dengan
dirinya sendiri. Ketegangan-ketegangan itu, sering kali justru dipandang sebagai
cermin kehidupan masyarakat, yang di dalamnya terkandung juga akar budaya
dan semangat zamannya. Dalam novel, pengungkapan pengalaman dan
permasalahan yang dialami individu dalam relasinya dengan hal-hal di luar
dirinya (aspek sosial) disampaikan secara lebih detail dan kaya unsur
dibandingkan dengan ragam karya sastra lainnya (Mahayana, 2007: 227; Faruk,
2010:7).
Pemilihan novel Supernova sebagai objek material penelitian ini
dilatarbelakangi beberapa argumen. Pertama, adanya kategori keunggulan (aspekaspek yang membuat novel ini layak diapresiasi), keterjangkauan (jangkauan
pengaruh novel ini di masyarakat) dan kekuatan relevansi topik maupun substansi
novel ini dengan realitas kehidupan masyarakat kontemporer di Indonesia.
Melalui novel ini akan coba dilihat gagasan apa saja yang dituangkan Dewi
Lestari terkait dengan cerita dalam novel tersebut dan realitas yang dicerminkan.
Hal tersebut sesuai dengan tujuan penelitian ini yang ingin mengetahui tentang
representasi kritik terhadap masyarakat modern dalam novel Supernova KPBJ ini.
Kedua, penelitian ini menjadi penting karena selama ini belum banyak
dilakukan penelitian terhadap novel tersebut, padahal masalah yang diangkat
5
memiliki relevansi dengan berbagai sisi kehidupan masyarakat modern di
Indonesia. Melalui penelitian mendalam terhadap novel ini diharapkan dapat
diketahui wacana apa saja yang berusaha diberikan pengarang terkait realitas dan
problematika yang dihadapi masyarakat modern dewasa ini.
Ketiga, yang membedakan studi ini dengan studi lainnya adalah pemilihan
fokus penelitian ini yang ingin melihat representasi kritik terhadap masyarakat
modern yang ditampilkan oleh novel Supernova tersebut. Hal ini menjadi potret
yang menarik mengingat secara sosiologis novel ini lahir dari setting sosiokultural Indonesia yang telah merasakan hingar bingar globalisasi kebudayaan,
ekonomi dan politik pascareformasi. Apalagi di masa itu dunia sedang memasuki
era baru, abad 21 yang biasa disebut abad millenium. Pascareformasi yang
kemudian ditandai dengan berbagai perubahan di abad 21 merupakan titik tolak
bagi segenap perubahan pada masyarakat Indonesia. Dengan demikian secara
tematik novel ini memiliki relevansi yang sangat kuat dengan isu yang
berkembang dalam masyarakat modern di Indonesia. Di mana sebagian
masyarakat Indonesia sedang mengalami “pertempuran” hebat antara berkutat
dengan budaya ketimurannya dengan infiltrasi budaya asing.
Mahayana (2011) menggambarkannya sebagai berikut:
Ayu Utami dan Taufik Ikram Jamil merupakan dua novelis penting di
akhir tahun 1990-an. Memasuki tahun 2000, Gus tf Sakai, lewat novelnya,
Tambo: Sebuah Pertemuan (2000) juga sengaja menampilkan bentuk
eksperimentasi dengan memasukkan bentuk esai dan pola penceritaan
yang gonta-ganti. Pada tahun berikutnya, seorang novelis –pendatang
baru– Dewi Lestari (Dee) juga membuat kejutan yang benar-benar
mengagumkan lewat sebuah novel science, berjudul Supernova (2001).
Jika keempat nama itu ditempatkan dalam kotak yang mewakili novelis
Indonesia mutakhir, maka tampak jelas bahwa akar tradisi yang
melatarbelakangi kepengarangan mereka sangat mempengaruhi unsur
6
intrinsik karya yang ditampilkannya. Ayu Utami dan Dewi Lestari adalah
produk manusia kosmopolitan yang tak jelas akar tradisinya. Keduanya
telah tercerabut dari masa lalu yang menjadi latar sejarah etnis orang tua
yang melahirkan dan membesarkannya. Akibatnya, mereka telah
kehilangan identitas masing-masing dari kultur etnis. Itulah sebabnya,
novel
yang
diangkatnya
memperlihatkan
kegelisahan
manusia
kosmopolitan. Bahkan, dalam novel Supernova, Dewi Lestari tidak hanya
mencoba memanfaatkan deskripsi science sebagai bagian tak terpisahkan
dari unsur intrinsik novel bersangkutan (tokoh, latar, dan tema), tetapi
juga menyodorkan kontroversi tokoh gay (homoseksual) yang dalam
sejarah novel Indonesia, belum pernah diungkapkan novelis lain2.
Kemudian, pertimbangan keempat adalah, kajian ini dimaksudkan untuk
memberi kontribusi bagi studi sosiologi dalam hal studi tentang kritik terhadap
masyarakat modern. Selama ini masih jarang dilakukan studi tentang kritik
terhadap masyarakat modern dengan menggunakan medium sastra (novel) yang
dianalisis dengan pendekatan sosiologi sastra. Karena salah satu elemen menarik
dalam
novel
Supernova
adalah
penggambaran
tokoh-tokohnya
yang
merepresentasikan potret kritik terhadap masyarakat atau manusia modern di
Indonesia. Menghubungkan konteks sosial yang terepresentasi dalam karya sastra
(novel) bisa dilacak dengan mencari simpul-simpul relasi antara persoalanpersoalan zaman dan kemasyarakatan dari suatu kurun waktu tertentu yang
berpengaruh dan amat menentukan pemilihan tema-tema yang diungkapkan para
sastrawan dalam karya sastra yang dihasilkannya.
2
http://media-sastra-indonesia.blogspot.com/2011/02/sastrawan-indonesia-pasca-angkatan66.html
7
1.2
Rumusan Pertanyaan
Salah satu yang menarik dari novel ini adalah diskursus tentang kehidupan
masyarakat modern yang ditampilkan oleh penulisnya. Oleh karena pertanyaan
utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah, “apa makna teks novel
Supernova karya Dewi Lestari?”. Untuk menjawab pertanyaan utama tersebut,
akan dielaborasi melalui rincian pertanyaan berikut.
1. Apa yang digambarkan oleh Dewi Lestari dalam novel Supernova?.
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk:
•
Ingin mengetahui dan menggambarkan makna sosial dari teks novel
Supernova.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat yang sekiranya dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah:
•
Untuk melengkapi studi-studi sebelumnya tentang novel Supernova
dengan sudut pandang dan pendekatan yang berbeda.
•
Secara akademis diharapkan dapat memberi sumbangsih terhadap studi
sosiologi sastra yang selama ini masih jarang ditekuni oleh ilmuwan
sosiologi.
8
1.4
Tinjauan Pustaka
1.4.1
Studi Tentang Sastra dan dan Kemanusiaan
Untuk riset tentang sastra dan tema keterasingan manusia, setidaknya ada
dua hasil riset terkait hal tersebut yang bisa kita jadikan komparasi dan tinjauan
pustaka dalam penelitian ini. Pertama, penelitian tesis untuk FIB UGM yang
dilakukan Indraningsih di tahun 2006 dengan judul, “Eksistensi Manusia dalam
Rafilus dan Olenka karya Budi Darma: Sebuah kajian Semiotik.” Dengan
menggunakan pendekatan sosiologi sastra, peneliti dalam penelitian itu
menyimpulkan bahwa manusia-manusia dalam gambaran Budi Darma adalah
manusia pinggiran yang selalu bergelut dengan eksistensialnya. Sisi kemanusiaan
dan eksistensialisme selalu menjadi “roh” dalam novel Budi Darma tersebut.
Secara gaya sastrawi pun, penekanan pada sisi eksistensialisme merupakan “trade
mark” Budi Darma yang sangat khas.
Kemudian penelitian selanjutnya berjudul, “Dinamika Tipe Manusia
dalam Puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar dan WS. Rendra: Sebuah Tinjaun
Semiotik.” Penelitian tersebut dilakukan oleh Hendra Putranto tahun 2010. Dalam
riset tesis untuk S2 Sastra Indonesia FIB UGM tersebut, peneliti berkesimpulan
bahwa ada perbedaan karakter manusia Indonesia yang digambarkan oleh tiga
penyair besar yang berbeda zaman. Untuk Amir Hamzah yang hidup prakemerdekaan, manusia Indonesia yang digambarkan adalah manusia nasionalis,
religius, dan masih kental dengan tradisionalitas. Sementara Chairil Anwar
sebagai sastrawan di era kemerdekaan menggambarkan manusia Indonesia
sebagai mahkluk yang menggebu-gebu, nasionalis dan penuh bara –seperti
julukannya, “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”-. Sementara WS
Rendra yang hidup di era pasca kemerdekaan cenderung menggambarkan manusia
Indonesia sebagai sosok yang melankolis meski juga nasionalis.
9
1.4.1 Studi Novel Supernova dalam Berbagai Perspektif
Adapun penelitian sastra tentang Novel Supernova berhasil dilacak dari
beberapa penelitian hasil tesis maupun tulisan di buku-buku kumpulan hasil
penelitian (bunga rampai) maupun jurnal ilmiah.
Beberapa penelitian tesis yang telah dilakukan terhadap novel Supernova
antara lain berjudul “Supernova Karya Dewi Lestari: Analisis Struktur Naratif
yang oleh Suryantiningdyah pada tahun 2005.” Penelitian yang merupakan tesis di
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM itu bertujuan untuk mendeskripsikan struktur
novel Supernova dan menyajikan sebuah alternatif pemaknaan dengan
menggunakan tinjauan terhadap psikologi tokoh-tokoh dalam cerita itu. Hasilnya
bahwa novel Supernova yang terdiri dari atas 203 sekuen (narrative event units)
secara
keseluruhan
merupakan
ringkasan.
Menggunakan
pendekatan
intrinsikalitas struktur penulisan karya sastra (unsur intrinsik dalam struktur
penulisan atau pengkisahan), peneliti berusaha menganalisis bagaimana gaya dan
teknik Dewi Lestari dalam menulis sastra, terutama karya sastra yang berwujud
novel Supernova.
Selanjutnya penelitian tentang novel Supernova dilakukan Rima Woro
Sejati dengan judul, “Gaya Hidup Tokoh dalam Novel Supernova: Ksatria, Puteri,
dan Bintang Jatuh Karya Dee Tinjauan Sosiologi Sastra”, sebagai tesis di S2
Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma tahun 2005. Penelitian ini
mengkaji gaya hidup tokoh-tokoh dalam novel (Ruben, Dhimas, Ferre, Rana, dan
Diva) yang dianggap sebagai cerminan dari budaya konsumerisme. Indikasinya
bisa dilihat dari gaya hidup yang dianut tokoh-tokoh tersebut. Misalnya tinggal di
apartemen atau kawasan hunian mewah (real estate elite), memakai fashion
dengan tren terbaru, liburan wisata ke luar negeri, penggunaan piranti teknologi
canggih, pemanfaatan waktu luang, memilih gaya hidup alternatif, serta
penyimpangan gaya hidup (homoseksualitas, drugs, perselingkuhan, dan free sex).
10
Asumsi dasarnya setiap tokoh yang digambarkan dalam novel tersebut merupakan
penghuni kota metropolitan: tempat masyarakat modern hidup. Dengan
menggunakan pendekatan sosiologi sastra, hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa budaya konsumerisme yang dianut oleh para tokoh novel itu secara tidak
langsung mencerminkan gaya hidup yang menunjukkan status sosial, sikap, dan
cita rasa mereka sebagai masyarakat modern yang hidup di kota metropolitan.
Penelitian berikutnya tentang novel Supernova berjudul, “Aspek Sains
dalam Novel Supernova KPBJ.” Penelitian ini merupakan tesis yang disusun oleh
Mochammad Ali, mahasiswa Pascasarjana Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada tahun 2006. Dalam
penelitian itu diperoleh hasil bahwa secara garis besar beberapa indikasi yang
ditemukan dalam teks supernova tersebut memperlihatkan adanya aspek sains
dalam karya sastra.
Apa yang dilakukan Mochammad Ali tersebut punya kemiripan dengan
penelitian yang dilakukan Musrin dengan judul “Makna dan Fungsi Diksi Istilah
Sains dalam Karya Sastra: Kajian Stilistika Terhadap Novel Supernova Karya
Dewi Lestari,” pada tahun 2009 sebagai tesis yang Ia susun untuk Prodi Ilmu
Sastra FIB UGM. Pembahasan penelitian ini menggunakan landasan teori
stilistika, yaitu ilmu tentang gaya bahasa yang terfokus pada diksi istilah sains
atau pilihan kata istilah sains sebagai sebuah gaya dan didukung teori sosiologi
sastra dan teori semiotika. Memang, penggunaan diksi istilah sains atau pilihan
kata sains dalam novel Supernova berasal dari berbagai disiplin ilmu. Diantaranya
Kimia, Fisika, Biologi, Astronomi, Matematika, Psikologi, Ekonomi, Komunikasi
(teknologi informasi), bahkan Sosiologi dan Antropologi. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa penggunaan diksi istilah-istilah sains dalam Novel
Supernova menjadi gaya khas dan baru untuk mengungkapkan gagasan tentang
persoalan
kehidupan.
Penggunaan
diksi
istilah
sains
adalah
sebuah
11
ketidaklangsungan ekspresi, yaitu penggantian arti (displacing of meaning).
Penggantian arti ini meliputi metafora, metomini, dan personifikasi sebagai gaya
bahasa kiasan yang berasal dari istilah-istilah sains. Selain itu, penggunaan istilahistilah sains dalam novel Supernona menciptakan kepuitisan sehingga menarik
untuk dibaca.
Adapun Maman S. Mahayana dalam buku Ekstrinsikalitas Sastra
Indonesia (2007) menelaah karya Dewi Lestari yang terbit di awal abad 21
tersebut. Menurut Mahayana, Dewi Lestari melalui novel Supernova, berhasil
menawarkan mainstream baru dalam peta novel Indonesia, dengan memasukkan
deskripsi ilmiah sebagai bagian integral dalam cerita. Ada dua hal yang boleh
dikatakan sesuatu yang baru yang disodorkan Dewi Lestari dalam Supernova.
Pertama, ihwal deskripsi ilmiah yang menjadi bagian integral dalam keseluruhan
cerita. Dalam kesusastraan Eropa, novel yang sejenis itu dimasukkan ke dalam
kotak
science
fiction.
Kedua,
menyangkut
penggambaran
tokoh
gay
(homoseksual) Dhimas dan Ruben. Meski Nano Riantiarno dalam Cermin Merah
(2004) sudah mengangkat persoalan per-gay-an dalam setting awal tahun 1980-an,
namun Supernova sudah terbit lebih awal (tahun 2001) (Mahayana, 2007: 64).
Mahayana (2007: 343) menjelaskan lebih detail lagi bahwa dalam novel
Supernova, sejumlah deskripsi ilmiah (sains) berhasil lebur menjadi sebuah fiksi,
dan bukan teks ilmiah. Dengan begitu, yang muncul ke permukaan bukanlah
sebuah teks yang beku dan memusingkan, melainkan keindahan estetik yang
menjadi syarat mutlak estetika teks fiksi. Dan ia merangsang kita untuk
melakukan penelusuran lebih mendalam mengenai deskripsi-deskripsi ilmiah
tersebut. Dalam analogi novelis Prancis Stendhal, memasukkan unsur-unsur
diskursus ilmiah dalam novel laksana letusan pistol di tengah pagelaran konser: ia
dapat terdengar keras dan kampungan, tetapi mau tidak mau, kita pasti
memperhatikannya. Dalam hal ini memasukkan sains, politik, filsafat, atau ilmu
12
pengetahuan lain ke dalam novel, dapat menghasilkan dua kemungkinan. Ia akan
berantakan lantaran ada misi tertentu yang dipaksakan atau akan melahirkan nilai
estetik yang cerdas, jika ia menjadi bagian integral dalam struktur novel itu.
Supernova, terlepas dari sejumlah kritik dari para kritikus sastra, berhasil
menjadikan letusan pistol itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
komposisi konser.
Usaha pemanfaatan deskripsi ilmiah (sains, filsafat, dan sebagainya) dalam
khazanah kesusastraan Indoensia sesungguhnya pernah dilakukan oleh sastrawansastrawan Indonesia sebelumnya. Namun upaya tersebut banyak yang gagal.
Karena itu dalam sejarah novel Indonesia, mesti diakui Supernova merupakan
novel pertama yang berhasil memasukkan unsur-unsur sains dan filsafat untuk
kepentingan fiksi. Dialog tokoh Ruben dan Dhimas, misalnya, yang sarat
bernuansa sains selain memperkuat impresi ilmiah Supernova juga menguatkan
ketokohan keduanya dalam alur cerita novel tersebut. Begitu juga pemaparan
sejumlah teori, baik yang diberi keterangan dalam catatan kaki, maupun yang
diintegrasikan dalam deskripsi dan dialog antartokoh, memastikan luasnya
wawasan Dewi Lestari dalam bidang itu, atau setidak-tidaknya Dewi sangat tidak
miskin bacaan.
Dalam buku Sastra, Perempuan, Seks (2009), Katrin Bandel menulis dua
chapter yang membahas novel Supernova karya Dewi Lestari. Tulisan pertama
berjudul Karya Sastra Sebagai Taman Bermain (hlm. 1-14) bercerita tentang
usaha Dewi Lestari untuk berinteraksi dengan pembaca novel Supernova.
Menggunakan media internet, Dewi Lestari membuat homepage bernama
“truedee.com” untuk berdiskusi tentang novel Supernova. Menariknya, dalam
riset yang dilakukan Bandel ditemukan satu topik pembicaraan yang berusaha
merekonstruksi struktur cerita dalam novel sesuai dengan imajinasi masingmasing pembaca. Dalam grup perbincangan (diskusi) via internet tersebut masing13
masing
pembaca
punya
kuasa
untuk
memperluas,
memperpanjang,
memperpendek atau bahkan merubah sama sekali watak, karakter maupun dialog
antar tokoh yang sebelumnya sudah “baku” di dalam novel. Mengikuti logika
Roland Barthes yang menganggap “the author is dead” pasca sebuah tulisan
dipublikasikan, Bandel menanggap usaha Dewi Lestari sebagai opsi menarik di
era kemajuan teknologi komunikasi-informasi.
Sedangkan tulisan kedua Bandel berjudul Religiusitas dalam Novel Tiga
Pengarang Perempuan Indonesia (hlm. 67-89), Bandel secara bersamaan
menganalisa novel Supernova karya Dewi Lestari (2001), novel Tujuh Musim
Setahun karya Clara Ng (2002), dan Memburu Kalacakra (2004) karya Ani
Sekarningsih. Dalam hemat Bandel, sebelum hadirnya ketiga novel(is) tersebut,
para pengarang sastra Indonesia terkesan enggan menggeluti karya yang
berdimensi religiusitas. Namun konsep religi di sini tidak ekuivalen dengan
konsep “agama” yang cukup distortif pengertiannya di era Orde Baru. Religiusitas
oleh Bandel dimaknai sebagai konsep yang mencakup segala macam kepercayaan
akan adanya hubungan manusia dengan kekuatan supranatural, teori-teori
mengenai hakikat kekuatan supranatural tersebut, usaha manusia untuk mencapai
kesadaran spiritual tertentu, dan sebagainya. Dalam novel Supernova, Bandel
menilai religiusitas menjadi salah satu unsur penting yang mendeterminasi
jalannya cerita.
Selain dari berbagai studi di atas, dalam jurnal Sintesis Vol.3 No. 4, April
2005 yang diterbitkan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Wiyatmi juga
telah mempublikasikan risetnya yang berjudul Estetika Posmodernisme dalam
Supernova Karya Dee. 3 Penelitian Wiyatmi bermula dari pembacaannya terhadap
novel Supernova yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan novel-novel
3
Dee adalah panggilan akrab Dewi Lestari. Di setiap sampul buku yang ditulisnya, Dewi Lestari
lebih suka menampilkan nama Dee dibandingkan Dewi Lestari. Namun dalam penulisan riset tesis
ini, penulis lebih memilih menggunakan nama asli Dewi Lestari.
14
sebelum maupun sezamannya. Perbedaan itu terlihat pada struktur penceritaan
yang ditandai dengan tipis atau hilangnya batas antara “yang fiksi” dengan “yang
fakta” atau wilayah seni dengan wilayah ilmu pengetahuan. Selain itu Supernova
menampilkan cerita yang melibatkan beberapa tokoh yang tampaknya tidak saling
berhubungan, juga teknik penulisan (termasuk font huruf yang dipakai) yang tidak
konvensional.
Selanjutnya Wiyatmi mengembangkan konstruksi argumen bahwa pilihan
gaya estetis Dewi Lestari tersebut didasari oleh estetika posmodernisme.
Setidaknya ada lima idiom khas estetika posmodernisme yang dapat ditemukan
dalam struktur penceritaan novel Supernova, yaitu (1) pastiche, (2) parodi, (3)
kitsch, (4) camp, dan (5) skizofrenia.
Sementara itu Aprinus Salam dalam Jurnal Sintesis Vol. 6 No. 1 Tahun
2008 (hlm. 1-13) mempublikasikan hasil risetnya yang berjudul, “Novel Indonesia
Setelah 1998: Dari Sastra Traumatik Ke Sastra Heroik”. Salam menempatkan
Dewi Lestari dan novel Supernova sebagai salah satu novel pasca-reformasi 1998
yang menikmati iklim kebebasan berkarya dan lepas dari “trauma” represi Orde
Baru yang membatasi tema karya sastra tidak boleh menyentuh isu-isu tertentu,
misalnya isu yang berkaitan dengan ideologi komunisme.
Sastra traumatik adalah sastra yang ditulis dalam kenangan berdarah,
dalam bayang-bayang ancaman negara menghancurkan musuh-musuh politiknya
pasca peristiwa 30 September 1965. Kemudian kekuasaan negara berganti dengan
cepat kepada satu era reformasi yang dimulai oleh Habibie. Hal yang utama dari
Orde Reformasi adalah kekuasaan baru tidak dilandasi oleh peristiwa traumatik,
tetapi justru peristiwa heroik. Hampir sebagian besar masyarakat merasa “menjadi
pahlawan” terhadap upaya penumbangan rezim Orde Baru. Dalam kondisi
semangat “menjadi pahlawan” reformasi itulah novel-novel pada tahun 1998, dan
setelahnya, mulai bermunculan. Berbeda dengan novel-novel 1980-an dan 199015
an awal, novel-novel setelah 1998 sebagian besar justru diambil alih oleh anakanak muda. Mereka menawarkan tema-tema yang jauh lebih beragam
dibandingkan sebelumnya. Jalur bercerita dengan gaya kritik ideologis dan
budaya model Toer yang pernah ditutup oleh Orde Baru kembali dibuka.
Masalah-masalah etnis dan atau SARA yang sensitif menjadi cerita yang biasa.
Sebagian anak muda yang lain bahkan mengabaikan nasionalisme dan
memilih menjadi warga dunia atau warga dunia maya, seperti tampak pada Saman
dan Supernova. Hal itu terjadi, di samping pengaruh langsung perkembangan
teknologi dan globalisasi, juga sebagai satu dampak dari kekecewaan generasi
muda terhadap negara Orde Baru Indonesia. Karena itu novel-novel beberapa
tahun belakangan ini kembali memindahkan lokasi penceritaan ke kota-kota (atau
beberapa kota setingkat propinsi), lokasi yang sangat dekat dengan pusat
kekuasaan. Mulai dari Saman, Supernova, dan sejumlah novel yang terbit pada
tahun 2000-an seperti Ketika Lampu Berwarna Merah, Jejak Sang Pembangkang,
Tapol, dan sebagainya. Para tokoh juga berganti, mereka relatif terpelajar yang
tahu politik, yang mengerti sosiologi dan demokrasi, yang memiliki pengetahuan
cukup luas.
1.5
Posisi Penelitian
Dari berbagai penelitian sebelumnya sebagaimana dijelaskan di atas,
ternyata belum ada yang secara spesifik menjelaskan analisis mengenai novel
Supernova dari sudut pandang kritik terhadap modernitas. Hanya satu penelitian
yang dilakukan Rima Woro Sejati yang mendekati fokus permasalahan tersebut.
Namun Rima Woro Sejati hanya fokus pada gaya hidup konsumtif yang
tergambar dalam perilaku tokoh-tokohnya tanpa menukik lebih dalam pada
diskursus mengenai kritik terhadap kehidupan masyarakat modern. Sedangkan
ikhtiar yang dilakukan Mahayana dan Bandel dalam dua buku yang telah
16
disebutkan di atas belum secara jelas memproblematisir kritik terhadap
modernitas. Selanjutnya dari dua riset tentang Supernova yang dipublikasikan
dalam jurnal ilmiah di atas, belum sepenuhnya berbicara tentang kritik terhadap
modernitas.
Oleh karena itu posisi penelitian ini benar-benar berbeda secara sudut
pandang maupun pendekatan teoritik dan metodologi dibanding penelitianpenelitian sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan novel Supernova
berdasarkan beberapa penelitian di atas belum diteliti dari sudut pandang, sejauh
mana makna teks dalam novel Supernova bisa merepresentasikan kritik terhadap
masyarakat modern. Dengan kata lain, penelitian ini memiliki objek formal yang
berbeda dengan beberapa penelitian di atas sehingga penelitian ini memiliki unsur
kebaruan dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya.
1.6
Batasan Penelitian
Dalam penelitian ilmu sosial selalu dihadapkan pada limitasi-limitasi. Baik
berasal dari limitasi peneliti, maupun batasan dalam konteks substansi penelitian
itu sendiri. Terkait dengan penelitian kali ini, beberapa limitasi atau batasan
tersebut dapat disusun sebagaimana di bawah ini.
•
Basis data dalam penelitian ini hanya diperoleh dari satu novel, yakni
Supernova edisi Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh.
•
Penelitian ini hanya memfokuskan pada aspek ekstrinsik (sosio-kultural)
dari novel Supernova.
•
Penelitian hanya berfokus pada satu aspek, yakni sejauh mana makna teks
dalam novel Supernova bisa merepresentasikan kritik terhadap masyarakat
modern.
17
1.7
Kerangka Teoritik
Untuk menjawab sejumlah masalah dalam penelitian ini digunakan
kerangka teori yaitu teori tentang sosiologi sastra strukturalisme genetik, konsep
tentang modernitas dan juga konsep sosiologi kritik.
1.7.1
Teori Sosiologi Sastra Strukturalisme Genetik
Swingewood dan Laurenson (1972:11) menyatakan bahwa sosiologi
adalah studi ilmiah dan objektif tentang manusia dalam masyarakat, studi
mengenai lembaga-lembaga, dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha
menjawab
pertanyaan
mengenai
bagaimana
masyarakat
dimungkinkan,
bagaimana cara kerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dengan
mempelajari lembaga-lembaga sosial, ekonomi, politik, agama, dan keluarga yang
bersama-sama akan membentuk struktur sosial. Dalam sosiologi akan diperoleh
gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan masyarakatmasyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme situasi sosial, proses belajar
secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan untuk menerima
peran tertentu dalam struktur sosial itu.
Kemudian mengenai sastra, Swingewood dan Laurenson (1972:12)
menyatakan bahwa “Literature too is prominently concerned with man’s social
world, his adaption to it, and his desire to change it,” sastra juga terutama terkait
dengan manusia dalam dunia kemasyarakatan, adaptasinya dengan dunia
kemasyarakatan itu, dan keinginannya melakukan perubahan terhadap dunia
kemasyarakatan. Selain itu, sosiologi dan sastra, sesuai pendapat Swingewood dan
Laurenson di atas, memiliki persamaan dalam hal objek atau sasaran yang
dibicarakan atau dengan kata lain sosiologi dan sastra memiliki persamaan yang
mendasar pada tingkat isi. Objek yang dimaksud adalah manusia dalam
masyarakat serta segala aspek yang terkait dengan masyarakat itu.
18
Adapun perbedaan antara sosiologi dan sastra adalah, sosiologi melakukan
analisis ilmiah yang objektif. Sedangkan sastra menyusup menembus permukaan
kehidupan sosial dan menujukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan perasaannya (Swingewood dan Laurenson, 1972:12; Damono, 1979:8).
Dari pendapat ini, sosiologi dan sastra mempunyai objek kajiannya adalah samasama manusia, tetapi yang berbeda adalah dalam hal perwujudannya. Dengan
demikian, karya sastra dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali
dunia sosial, hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungan, politik, negara,
dan kehidupan sosial lainnya. Setelah digabungkan kedua ilmu tersebut, lahirlah
apa yang disebut dengan sosiologi sastra, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan
realitas literer dengan realitas empirik.
Swingewood dan Laurenson (1972:13) menjelaskan beberapa perspektif
berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) The most popular perspective adopts
the documentary aspect of literature, arguing that is provides a mirror to the age,
yaitu perspektif paling populer adalah penelitian yang memandang karya sastra
sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada waktu
karya tersebut diciptakan; (2) the second approach to a literary sociology moves
aways from the emphasis on the work of literature it self to the production side,
and expecially to the social situation of the writer, penelitian sosiologi sastra yang
ditekankan pada situasi sosial penulisnya sebagai orang yang memproduksi
sebuah karya sastra. Posisi pengarang dalam masyarakat dan latar belakang
sejarah sangat mempengaruhi perkembangan sastra karena saat teks itu diciptakan
banyak dipengaruhi oleh latar belakang sejarah suatu zaman; dan (3) a third
perspective, one demanding a high level of skills, attempts to trace the ways in
which a work of literature is actually received by particular society at a specific
historical moment, perspektif yang melihat bagaimana peneliti melacak
19
penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra atau resepsi masyarakat
terhadap karya sastra.
Dalam perkembangannya, sosiologi sastra, sebagai sub-disiplin dari studi
sosiologi juga terdiversifikasi dalam berbagai perspektif (aliran) yang berbeda
satu sama lain. Faruk (2010) mengidentifikasi bahwa konsep sosiologi sastra
berkembang hingga menciptakan bermacam pendekatan. Diantaranya sosiologi
sastra strukturalisme genetik, sosiologi sastra Marxisme, sosiologi sastra dengan
pendekatan fungsionalisme, sosiologi sastra dengan pendekatan fenomenologis,
hinggs sosiologi sastra post-modernis. Dengan demikian, pandangan dari
pandangan Faruk (2010) di atas dapat disimpulkan bahwa kajian sosiologi sastra
mencakup berbagai aspek.
Dalam kapasitas penelitian ini, penulis tidak hendak menjelaskan semua
pendekatan tersebut. Namun penulis hanya akan menjelaskan pendekatan
sosiologi sastra yang dipilih sebagai pendekatan teoritis dalam penelitian ini.
yakni sosiologi sastra strukturalisme genetik.
Diantara berbagai pendekatan teori sosiologi sastra yang telah disebutkan
di atas, teori yang masih memperhitungkan pandangan sosial pengarangnya
adalah teori strukturalisme genetik (Faruk, 2010). Salah satu cabang sosiologi
sastra ini awalnya dirintis oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog
Rumania-Perancis. Teori ini dikemukakannya pada tahun 1956 dengan terbitnya
buku The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the
Tragedies of Racine. Teori dan pendekatan yang dimunculkannya ini
dikembangkan sebagai sintesis atas pemikiran Jean Piaget, Georg Lucaks, dan
Karl Marx. Teori strukturalisme genetik Goldmann ini dibangun berdasarkan
seperangkat kategori yang saling berkaitan, yaitu fakta kemanusiaan (human fact),
penstrukturan (structures), subjek kolektif, dan pandangan dunia (world view)
(Goldman, 1981).
20
Berikut ini akan dijelaskan lebih detail mengenai aspek-aspek pokok
dalam konstruksi teoritis sosiologi sastra strukturalisme genetik.
a. Fakta Kemanusiaan (Human Fact)
Menurut Goldmann (1981: 40), fakta-fakta kemanusiaan merupakan
prinsip utama teori strukturalisme genetik. Fakta kemanusiaan bisa berupa
aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, penciptaan karya sastra, dan
penciptaan kreasi kultural pada umumnya. Fakta-fakta kemanusiaan adalah bagian
hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan dengan dunia sekitarnya, baik
yang verbal maupun yang fisik. Perilaku tersebut meliputi aktivitas sosial, politik,
maupun kreasi kultural. Karya sastra, sebagai fakta kemanusiaan, memiliki
struktur yang berarti. Adapun tujuan yang menjadi arti dari fakta-fakta
kemanusiaan itu sendiri tumbuh sebagai respons dari subjek kolektif atau pun
individual terhadap situasi dan kondisi yang ada di dalam diri dan di sekitarnya,
pembangunan suatu percobaan dari si subjek untuk mengubah situasi yang ada
agar cocok bagi aspirasi-aspirasi subjek itu (Goldmann, 1970: 583). Dengan kata
lain, fakta-fakta kemanusiaan ini merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai
keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar
(Goldmann, 1981: 40).
Goldmann (1981: 40) melihat bahwa semua fakta kemanusiaan memiliki
makna karena merupakan respons dari subjek kolektif atau individual dalam
usahanya untuk memodifikasi situasi yang ada agar sesuai dengan aspirasiaspirasi subjek kolektif tersebut. Sementara revolusi sosial, politik, ekonomi, dan
karya kultural yang besar merupakan fakta sosial yang hanya mungkin diciptakan
oleh subjek transindividual (Goldmann, 1981: 97). Perlu diketahui pula bahwa
subjek transindividual adalah subjek yang di atas individu, sehingga individu
hanya menjadi bagian. Subjek transindividual juga bukan merupakan kumpulan
21
individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan,
satu kolektivitas. Goldmann (1977: 90), menspesifikasikan subjek transindividual
sebagai kelas sosial dalam pengertian Marxis, sebab baginya kelompok itulah
yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu
pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah
memengaruhi perkembangan sejarah umat manusia. Dalam strukturalisme
genetik, subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan
dunia.
b. Penstrukturan (Structures)
Strukturalisme genetik juga memandang karya sastra sebagai sebuah
struktur
yang
memiliki
relasi
antarelemennya.
Pada
prinsipnya,
teori
strukturalisme genetik menganggap karya sastra tidak hanya struktur yang statis
dan lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil strukturasi pikiran subjek
penciptanya yang timbul akibat interaksi antara subjek dengan situasi sosial
ekonomi tertentu (Goldmann, 1970: 584).
Goldmann beranggapan bahwa teks sastra adalah struktur yang merupakan
hal dari proses sejarah yang terus berlangsung, yang hidup, dan dihayati oleh
masyarakat asal karya tersebut (Goldman, 1977: 8). Akan tetapi, Goldmann tidak
secara langsung menghubungkan antara teks sastra dengan struktur sosial yang
menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial
dominan. Sebab, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan
produk
dari sejarah
yang terus berlangsung,
proses strukturisasi
dan
destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal teks sastra yang
bersangkutan.
Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki
makna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang
22
lebih luas, demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya. Proses
strukturasi tersebut merupakan proses struktur yang secara signifikan berlangsung
secara terus-menerus, dan merupakan bagian dari proses strukturasi yang lebih
besar.
c. Pandangan Dunia (World Vision)
Uraian di atas menunjukkan bahwa hubungan yang penting antara
kehidupan masyarakat dan karya sastra tidak berkaitan dengan dua faktor realitas
manusia, tetapi hanya dengan struktur mental yang disebut sebagai kesadaran
empiris kelompok sosial tertentu dan dunia imajiner penulis (Goldmann,
1970:584). Goldmann (1977: 158-159) juga beranggapan bahwa adanya homologi
antara struktur karya sastra dan struktur masyarakat karena keduanya merupakan
produk penstrukturan yang sama, tetapi hubungan tersebut bukan hubungan
determinasi langsung, melainkan dimediasi oleh pandangan dunia atau ideologi
pengarang.
Menurut Goldmann (1977: 17-18, 1981: 112), pandangan dunia adalah
gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi dan perasaan-perasaan yang kompleks dan
menyeluruh, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu
kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompokkelompok sosial lain atau merupakan iklim general dari pikiran-pikiran dan
perasaan tertentu. Lebih lanjut, Goldmann (1981: 64-68) mengatakan pula bahwa
pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba, tetapi melalui proses yang panjang.
Hal ini terjadi sebab pandangan dunia merupakan hasil interaksi antara
subjek kolektif dengan dunia sekelilingnya. Proses yang panjang disebabkan
pandangan dunia merupakan kesadaran yang tidak semua ornag memahaminya
kecuali dalam momen-momen khusus sebagai ekspresi individu pada karyakaryanya (Goldmann, 1981: 87).
23
Goldmann (1977: 17) mengatakan pula bahwa karya sastra sebagai
struktur bermakna itu mewakili pandangan dunia (vision de monde) penulis.
Penulis dalam hal ini bukan sebagai individu, melainkan sebagai golongan
masyarakatnya. Hubungan antara struktur sastra dan struktur masyarakat
dimediasi melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh
sebab itu, karya sastra yang merupakan hasil budaya manusia tidak dapat
dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat tempat karya sastra
tersebut dilahirkan, diabaikan begitu saja.
Lebih lanjut, Goldmann (1977: 9) mengatakan bahwa pandangan dunia
yang selalu terbayang dalam karya sastra adalah abstraksi, bukan fakta empiris
yang akan diperoleh dalam ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Hal tersebut bertolak dari
karya sastra, tetapi tidak berhenti pada teks itu saja. Dia kembali pada penulis
karena pandangan dunia dalam novel yang dianalisisnya adalah pandangan dunia
yang penulisnya merupakan bagian dari suatu kelompok sosial. Konsep-konsep
inilah yang kemudian membawa strukturalisme genetik pada masa kejayaannya
sekitar tahun 1980 hingga 1990.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strukturalisme
genetik adalah salah satu teori sastra yang memberi perhatian kepada perpaduan
struktur teks, konteks sosial, dan pandangan dunia pengarang. Dengan kata lain,
perhatian strukturalisme genetik tidak hanya pada struktur karya sastranya saja,
tetapi juga berkaitan dengan unsur genetiknya, yaitu pengarang dan fakta sejarah.
1.7.2 Konsep tantang Modernitas
Zaman kita ini, yang sering disebut sebagai zaman modern, secara
konvensional dianggap dimulai pada kira-kira abad ke-15 yaitu selepas abad
pertengahan dan dimulainya fajar baru zaman Renaissance yang dimotori oleh
para intelektual dan seniman zaman itu yang sering menyebut diri sebagai para
24
humanis. Kaum humanis inilah yang tercatat pertama-tama menggunakan istilah
“modern” untuk menunjukkan cita-cita terbentuknya kultur masyarakat baru yang
membedakannya dengan zaman sebelumnya. Dengan demikian makna “zaman
modern” adalah suatu zaman yang berbeda dengan zaman-zaman yang
mendahuluinya, yang termasuk di dalamnya zaman-zaman yang kemudian disebut
sebagai “pra modern”, “tradisional”, “primitif”, “feodal”, dan sebagainya yang
senantiasa merujuk bentuk-bentuk sistem sosial-budaya yang lebih spesifik.
Dalam hal ini Giddens (2008) menyatakan bahwa pembedaan antara “yang
tradisional” dan “yang modern” haruslah dipahami semata-mata sebagai
perdebatan zaman, yang masing-masing membewa cara berfikir dan semangat
zamannya sendiri.
Makna “modern”, selanjutnya, membawa pengertian tentang adanya
kesadaran akan sesuatu yang baru yang dimiliki bersama: “akan suatu cara hidup
yang berlainan dengan cara hidup nenek-moyang kita”. Prinsip itu di abad ke-17
dimaknai sebagai cara hidup yang “lebih baik” daripada cara hidup nenek-moyang
kita, suatu optimisme yang mencerminkan semangat zaman Aufklarung
menjelang era revolusi industri. Dan sikap ini adalah salah satu ciri nyata yang
menengarai kebudayaan modern di mana kita sekarang ini hidup (Magnis-Suseno,
2013).
Semangat zaman pencerahan diwakili oleh seruan yang terkenal: Sapare
Aude!: beranilah menggunakan akal pikiranmu sendiri. Manusia-manusia zaman
itu dituntut untuk sungguh-sungguh berani berbicara dan bertindak dengan
didasari akalnya masing-masing sebagai bakat alam perseorangan. Wujud yang
lebih konkrit dari semangat zaman itu secara metodologis dipelopori oleh Francis
Bacon pada beberapa dekade sebekumnya yang mengintrodusir cara berpikir
induktif (sebagai lawan model deduktif Aristotelian yang menjadi mainstream
cara berpikir saat itu) sehingga menjadi dasar bekerjanya prinsip efisiensi dalam
25
kerja ilmu pengetahuan modern. Adagium knowledge is power mewakili hasrat
manusia-manusia pra-revolusi industri untuk menaklukkan alam (dan sesamanya
bangsa-bangsa lain) serta mengubah kerja keras berdasarkan otot dan tenaga fisik
menjadi hidup yang lebih mudah, nyaman dan efisien dengan memanipulasi alam
berdasarkan hukum-hukum ilmiah modern. Dalam konteks ini benih-benih
“rasionalitas instrumental” dan berbagai tindakan sosial yang didasari prinsip
mean and end mechanism mulai menampak meskipun bentuknya yang formal.
Modernitas adalah situasi sekaligus dampak dari berlangsungnya hasrat
manusia-manusia barat menjadi modern. Situasi ini terlihat dalam realitas sosial
yang menujukkan terjadinya dominasi estetisme, sekularisasi (proses profanisasi
atau penduniawian dunia) dan sekularisme (penentangan terhadap pengaruh
agama atas kehidupan masyarakat), klaim universal tentang rasionalitas
instrumental, diferensiasi berbagai lapangan lapangan kehidupan dunia,
birokratisasi ekonomi serta moneterisasi nilai-nilai yang sedang berkembang
(Hardiman, 2003). Oleh sebab itu, modernitas timbul selain bersamaan selain
bersamaan dengan penerimaan prosedur ilmiah Bacon dan Newton, berseiring
juga dengan meluasnya imperialisme barat dalam abad ke-16, muncul dan
mendominasinya kapitalisme di Eropa Utara.
Sebagaimana juga dinyatakan Habermas bahwa modernitas, atau model
dominasi modernis, secara khas terjadi melalui diferensiasi sistem dan melalui
rasionalisasi hubungan antar manusia yang dikendalikan oleh media. Media
instrumentalis ini –seperti uang dan kekuasaan— mengendalikan hubungan antar
manusia dalam jaringan kerja yang semakin kompleks, di mana masing-masing
individu yang terlibat tidak merasa perlu bertanggung jawab atas berbagai hal
yang dihasilkan melalui dan dalam interaksi tersebut (Habermas, 1987 dalam
hardiman, 2003). Habermas dalam The Theory of Communicative Action melihat
modernitas sebagai hasil proses rasionalisasi dan diferensiasi. Modernitas berarti
26
bahwa sistem sosial yang mengatur diri sendiri, yang berusaha untuk
mempertahankan integritasnya di hadapan keragaman lingkungan dan internal
yang berskala luas menjadi semakin terdiferensiasi.
Max Weber ketika membahas modernitas dalam bukunya General
Economic History (Giddens, 2008) menekankan paparannya pada munculnya
ambiguitas –yang dalam karya sosiologis kontemporer dimaknai sebagai paradoks
modernitas— sebagai sifat mendasarnya. Hasrat untuk menjadi modern membawa
dampak pada terjadinya erosi makna, konflik yang berkepanjangan tentang nilainilai politeistik dan munculnya ancaman kerangkeng besi birokrasi.
Rasionalisasi sebagai dasar modernisasi membuat dunia menjadi tertib dan
dapat diandalkan, tetapi ia tak dapat membuat dunia menjadi bermakna.
Rasionalisasi telah mampu membuat hidup manusia menjadi lebih efisien tetapi
sekaligus telah mengakibatkan hilangnya pesona dunia (disenchatment of the
world). Dalam karyanya tersebut Weber terkesan cenderung menolak visi gelap
apokaliptik tentang tujuan modernitas (misalnya runtuhnya dominasi iron cage
birokrasi yang anonim, munculnya mediokritas dan kontrol dunia oleh “elite
jahat” yang arogan dan serakah) sementara dalam beberapa aspek juga kurang
mentolerir sikap radikal dan konservatif yang menolak kapitalisme (Hardiman,
2003). Hal yang terakhir ini bisa dipahami, sebab bagi Weber munculnya
kapitalisme merupakan penjelasan terpokok tentang modernitas (Hardiman,
2003). Dinamika sosial masyarakat barat yang menggejala lewat proses
modernisasi hanya bisa dipahami dari muncul dan berkembangnya kapitalisme.
Jika modernitas adalah implikasi dari hasrat menjadi modern, maka
“modernisasi” sering lebih dimaknai sebagai suatu proses sosial-ekonomi-budaya
yang terjadi ketika hasrat menjadi modern tersebut dimanifestasikan melalui
perilaku individual dan –terutama— perilaku sosial. Jika “modern” menjadi
semacam idea dan platform bagi tindakan sosial dan “modernitas” adalah dampak
27
yang ditimbulkan oleh tindakan sosial tersebut, maka “modernisasi” adalah
bentuk action-nya. Modernisasi secara umum mengandung arti “proses menuju
terwujudnya masyarakat modern.” Maka secara logis jika zaman modern
dibedakan dengan zaman sebelumnya oleh karena digunakannya akal manusia
sebagai dubium universale yang menandai seseorang disebut sebagai manusia
modern, maka modernisasi tidak lain adalah proses identifikasi manusia modern
dengan rasionalitas.
Pada sisi yang lebih ekstrem muncul pula beberapa pandangan bahwa
proses menjadi modern berarti pula menolak hal-hal yang bersifat irasional dan
nonrasional. Segala yang berbau religio-metafisik dan tidak bisa dibuktikan oleh
akal sehat berdasarkan hukum-hukum ilmiah akan cenderung ditolak oleh
manusia yang telah menganggap dirinya modern. Sikap inilah yang mendasari
cara berpikir positivisme dan saintisme, bahwa “kebenaran hanya ada sejauh
memenuhi kriteria rasional” dan yang pada masa mendatang menjadi
kecenderungan berpikir teknokratisme dalam rekayasa penataan sistem sosial
(social engineering) dalam teori-teori modernisasi abad ke-20.
1.7.3 Masyarakat Modern dalam Perspektif Teori Sosiologi Kritik
Selama ini, pada umumnya kajian teori modernisasi lebih banyak
menggunakan pendekatan struktural-fungsional yang memakai kategori-kategori
ekonomis, politis, dan teknologis yang diakui bersifat “objektif”. Modernisasi
dipandang sebagai proses penataan infra dan supra-struktur masyarakat menurut
kriterium-kriterium yang netral dari kesadaran manusia, di mana seolah-olah
strukturlah yang menjadi paling penting sementara tugas tugas kesadaran manusia
sekedar menyesuaikannya (Hardiman, 2003). Bahkan seolah-olah mesin yang
menggerakkan proses modernisasi sudah dirakit berdasarkan petunjuk-petunjuk
objektif, sehingga
yang dibutuhkan tinggal tenaga-tenaga untuk untuk
28
menggerakkannya. Padahal seperti ditemukan Peter L Berger melalui analisis
fenomenologisnya dalam buku Pyramids of Sacrifice (1967:1), bahwa kesadaran
manusia dan struktur dalam modernisasi adalah dua hal yang tidak saling ekslusif,
keduanya saling mengandaikan, sebab ilmu dan pengetahuan terapan yang
menjadi dasar modernisasi terbentuk dan berkembang dalam media kepentingan
(kesadaran) tertentu.
Modernisasi dengan demikian, secara epistemologis merupakan wujud
dari paradigma positivisme yang berasumsi dengan penjelasan tunggal untuk
semua bentuk fenomena sosial. Bagi Habermas, paradigma semacam ini disebut
instrumental knowledge, di mana pengetahuan menjadi alat untuk mendefinisikan
sekaligus selanjutnya mendominasi objeknya (Magnis-Suseno, 1992).
Dalam pandangan teoritikus Mahdzab Frankfurt, modernitas menghasilkan
paradoks. Paradoks modernitas merupakan salah satu fokus kritik yang
dilancarkan Mahdzab Frankfurt (melalui tokoh-tokohnya: Theodore W. Adorno,
Max Horkheimer, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas) terhadap dunia
industrial modern masyarakat barat. Secara singkat Paradoks Modernitas
dijabarkan sebagai berikut:
“Modernisasi yang pada mulanya merupakan pembebasan manusia dari
berbagai kungkungan dominasi mitos, ideologi, dan tradisi pada akhirnya
menjadi dominasi dalam wajah baru. Otonomi manusia dan kebebasan
yang berhasil diraih dengan penghancuran masyarakat tradisional beserta
tradisi-tradisi kulturalnya malah kembali raib dalam kerangkeng besi (iron
cage) birokrasi dan teknologi yang merupakan perwujudan praktis dari
rasionalitas yang diraihnya.” (Magnis-Suseno, 1992).
Disebut sebagai paradoks karena manusia dalam modernisasi, semakin ia
mau merasionalkan kehidupannya, malah semakin irasional. Paradoks modernitas
yang oleh Adorno dan Horkheimer disebut “dialektika pencerahan” itu didasari
29
logika kerja: rasionalisasi tindakan rasional bertujuan telah menyingkirkan
pandangan
dunia
tradisional,
tetapi
pada
gilirannya
rasionalisasi
itu
menggantinnya dengan ideologi baru yang bernama teknoratisme, sebagai sesuatu
yang diperlukan untuk melegitimasikan proses produksi modern (kapitalisme).
Oleh karena itu, manusia modern bagi Horkheimer dan pengikutnya di
Frankfurt
School
adalah
manusia
yang
teralienasi.
Kehilangan
sisi
kemanusiaannya karena rasionalitas yang dia gunakan untuk “menaklukkan”
dunia dan tantangan hidup justru telah memenjarakannya. Hal itu disebabkan
rasionalitas yang manusia gunakan di era kapitalisme lanjut adalah rasionalitas
instrumental (Sindhunata, 1983:19).
Konsep teori kritis dalam menggambarkan manusia di era kapitalisme
lanjut sepertinya masih relevan digunakan untuk melihat konteks modernitas di
Indonesia saat ini. Di mana Indonesia merupakan “graviti globalisasi”. Terutama
dalam hal konsumen teknologi dan gaya hidup kapitalistik. Karena itu salah satu
pokok bahasan dalam diskursus modernitas dan kapitalisme lanjut adalah
teknologi. Manusia industri modern diperbudak oleh mesin, hanya bentuknya saja
yang sekarang diubah. Energi fisik yang dibutuhkan untuk bekerja memang
semakin berkurang, tetapi irama kerja yang monoton, terkurung dalam masingmasing
bidangnya,
menimbulkan
ketegangan-ketegangan
psikis.
Usaha
memperbesar produktivitas membuat jam kerja tetap panjang, dan bahkan lebih
intensif. Mekanisasi tidak hanya menentukan kuantitas barang-barang produksi,
melainkan juga kecepatan kerjanya, serta tuntutan-tuntutan keahlian tertentu,
membuat manusia diperbudak oleh mesin.
Sastrapratedja menggambarkannya seperti ini:
“Budak-budak dari peradaban industri modern merupakan budak yang
terselubung, tetapi bagaimanapun juga mereka tetap budak, karena
perbudakan tidak ditentukan oleh ketaatan pada majikan atau kerasnya
30
pekerjaan, melainkan oleh keberadaannya sebagai alat dan pemerosotan
martabat manusia menjadi benda” (Sastrapratedja, 1982:127-129).
Teknologi tidak lagi berhadapan dengan manusia tetapi sudah terintegrasi
dengan manusia. Dalam kondisi demikian itulah manusia akan menjadi terkukung
oleh kemajuan itu sendiri. Kemajuan teknologi pada awalnya membuat efisiensi
dalam
kehidupan
manusia.
Perkembangan
selanjutnya
teknologi
justru
menenggelamkan manusia dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang
diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi salah satu penyebab manusia terpisah
dari sesama atau dunia luar dan akhirnya mengalami keterasingan (alienasi).
Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan lingkungannya tetapi secara
berangsur-angsur telah dikelilingi oleh teknik, organisasi, dan sistem yang
diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut
sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam keadaan ini manusia tidak lagi
menjadi subjek yang mandiri tetapi telah mengalami detotalisasi dan
dehumanisasi (Hardiman, 2008:66).
Dalam konteks inilah teori kritis dengan paradigma emasipatifnya masih
relevan diketengahkan untuk membaca fenomena kehidupan modern. Di mana
salah satu misi teori kritis adalah untuk menumbuhkan kesadaran reflektif
(Hardiman, 2008:182). Kesadaran reflektif dalam teori kritis hendak mengarahkan
manusia modern untuk kembali menemukan emansipasinya. Teori itu mau
mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia. Teori kritis tidak hanya
mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan, mengkategorisasikan,
mengantur, melainkan hendak mengubah. Yang mau diubah bukan filsafat,
melainkan pemberangusan manusia oleh hasil pekerjaannya sendiri.
Teori kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami
sebagai “masyarakat kapitalis tua” atau masyarakat industri maju. Karena itu yang
31
dihangatkan kembali dalam teori kritis bukanlah teori Marx yang usang,
melainkan maksud dasar Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu,
penghisapan, dan penindasan. Sebagai teori yang kritis maka teori yang
dikembangkan Horkheimer mau menciptakan kesadaran yang kritis: Teori Kritik
Masyarakat pada hekikatnya ingin menjadi aufklarung. Aufklarung itu berarti:
mau membuat cerah, mau menyingkap segala tabir yang menutup kenyataan yang
tak manusiawi terhadap kesadaran kita. Teori kritis dalam hubungan ini bicara
tentang “Verblendungszusamenhang”, semacam selubung menyeluruh yang
membutakan kita terhadap kenyataan yang sebenarnya, yang perlu disobek. Di
situ muncul istilah “totalitas”. Dalam masyarakat industri maju, kontradiksikontradiksi, frustasi-frustasi, penindasan-penindasan tidak lagi nampak. Semua
segi hidup masyarakat berkongkalikong menimbulkan kesan bahwa semuanya
baik adanya, semua kebutuhan dapat dipuaskan, semuanya efisien, produktif,
lancar, bermanfaat. Kesan semu itulah yang harus dibuka. Dibongkar (MagnisSuseno, 1983).
Teori kritis membuka selubung bahwa sebenarnya produksi tidak untuk
memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia itu diciptakan,
dimanipulasi demi produksi. Dan teori kritis berharap bahwa apabila rasionalitas
semu sistem itu sudah sobek, maka kontradiksi-kontradiksi yang sebenarnya tetap
ada, dapat mematahkan belenggu dan membebaskan manusia pada kemanusiaan
yang sebenarnya.
Melalui konsep-konsep dalam penjelasan teoritikus Mahdzab Frankfurt
tersebut, kritik terhadap masyarakat modern seperti yang digambarkan dalam
novel akan dijelaskan secara ilmiah.
32
1.8
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Menurut Bogdan dan
Taylor (dalam Moleong, 1995:3), metode kualitatif merupakan suatu prosedur
penelitian yang berdasarkan dan menghasilkan data-data deskriptif berupa katakata tertulis. Sedangkan hermeneutika merupakan teknik penafsiran dan
pemahaman teks (Palmer, 2005:8) Metode dan pendekatan tersebut sengaja dipilih
karena sifat penelitian ini adalah studi kepustakaan, di mana bahan yang
digunakan sebagai objek penelitian adalah teks novel Supernova karya Dewi
Lestari.
Seperti diungkapkan Denzin dan Lincoln (2011:7,249), selain mempelajari
data-data empiris, para peneliti kualitatif juga dimungkinkan mempelajari
rekaman pengalaman manusia, baik yang terucap/lisan maupun tertulis, termasuk
percakapan hasil transkripsi, film, novel dan foto. Hal itu memungkinkan karena
sebagian besar kehidupan sosial dalam masyarakat sesungguhnya dimediasi oleh
teks-teks tertulis dengan berbagai ragam jenis yang berlainan.
1.8.1 Objek Penelitian
Dalam
penelitian
sosiologi
sastra
yang
berusaha
menjembatani
intrinsikalitas teks dengan ekstrinsikalitas (dimensi sosiologis) dari teks, objek
kajiannya pun dibagi menjadi dua, yakni objek formal yang menjadi representasi
sisi ekstrinsik dan objek material yang merepresentasikan aspek intrinsik dari
sebuah teks.
a. Objek Formal
Objek formal penelitian ini adalah fenomena paradoks manusia modern
dan kritik terhadap paradoks manusia modern tersebut..
b. Objek Material
33
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Supernova KPBJ karya
Dewi Lestari.
1.8.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah metode
penelitian kepustakaan. Menurut Damono (2002:39), karena fokusnya adalah
karya sastra, tentu saja data yang tidak boleh ditinggalkan adalah karya sastra,
baik yang berupa buku maupun yang disebarluaskan lewat berbagai media.
Selanjutnya, menurut Damono (2002:39), karena sosiologi sastra tidak hanya
memfokuskan penelitian pada teks sebagai benda yang otonom, sumber-sumber
yang di luar teks sastra itu pun merupakan bahan penting, seperti: pengetahuan
mengenai sejarah, situasi sosial-politik, perkembangan budaya, agama, struktur
sosial, nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, beserta aspek-aspek lainnya.
Terkait hal tersebut, ada tiga hal yang tidak terpisahkan dalam rangka
pemerolehan-pengumpulan data penelitian, yaitu realita, fakta, dan data. Realita
atau “kenyataan” adalah segala sesuatu yang dianggap ada, bersifat relatif, ada
secara empiris maupun dalam konsep pikiran. Fakta berbeda dengan realita. Fakta
adalah pernyataan tentang realita, dapat bersifat subjektif maupun objektif. Fakta
dapat menjadi data, namun tidak semua fakta adalah data. Adapun data adalah
fakta yang telah dipilih, diseleksi, berdasarkan relevansinya (Ahimsa-Putra,
2009:12-13).
Dalam konteks penelitian ini, aspek faktual teks sastra dapat diteliti melaui
teks. Teks dianggap berada dalam konteks faktual apabila bertujuan melakukan
analisis deskriptif bahwa suatu teks dilihat sebagai fakta. Oleh karena itu
interpretasi terhadap sebuah teks sastra didasarkan pada teks sebagai seperangkat
data faktual. Prosedur interpretatif bertumpu pada data yang diketahui secara
empirik (artefak, konteks sosial, dan situasi komunikasi). Di samping fakta-fakta
34
tekstual, nilai-nilai pada saat karakter dijelaskan dalam ringkasan teks mungkin
penting dalam fase interpretasi (Segers, 2000:85-86). Dengan demikian
pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dari data teks dalam novel
Supernova yang kemudian dikontekstualisasikan dengan data-data pendukung
yang merupakan data dan fakta sosiologis.
1.8.3 Metode Analisis Data Menurut Pendekatan Hermeneutika Ricoeur
Sebagaimana dijelaskan di atas, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Dalam teknik analisis
data, akan dijelaskan bagaimana operasionalisasi pendekatan hermeneutika Paul
Ricoeur dalam menelaah suatu karya seni, yang dalam hal ini adalah teks seni
sastra.
Bagi Ricoeur, hal yang harus diperhatikan adalah seleksi atas hal-hal di
luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Ini berarti bahwa analisis harus
selalu bergerak dari teks, bukan sebaliknya. Karena penelitian ini menggunakan
teks sastra sebagai objek penelitiannya, maka, menurut Ricoeur (1975) ada tiga
ciri utama dalam bahasa (teks) sastra yang perlu diberi perhatian oleh seorang
pemakai kaidah hermeneutika.
Pertama, bahasa sastra dan uraian falsafah bersifat simbolik, puitik dan
konseptual. Di dalamnya berpadu antara makna dan kesadaran. Kita tidak dapat
memberi makna referensial terhadap karya sastra dan falsafah sebagaimana
dilakukan terhadap teks yang menggunakan bahasa penuturan biasa. Bahasa sastra
menyampaikan makna simbolik melalui image-image dan metafora yang dapat
dicerap oleh indera. Sedangkan bahasa bukan sastra berusaha menjauhkan bahasa
atau kata-kata dari dunia makna yang luas.
Kedua, dalam bahasa satra pasangan rasa dan kesadaran menghasilkan
objek estetik yang terikat pada dirinya. Penandaan harus dilakukan dan tanda
35
harus diselami maknanya, tidak dapat dibaca secara sekilas lintas. Tanda dalam
bahasa simbolik sastra mesti dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai peran
konotatif, metaforikal dan sugestif.
Ketiga, bahasa sastra berpeluang menerbitkan pengalaman fiksional dan
pada hakekatnya lebih kuat dalam menggambarkan ekspresi kehidupan. Bahasa
sastra yang bersifat puitik tidak memberi kemungkinan kepada pembacanya untuk
memahaminya secara langsung. Karena itu kegiatan hermeneutika diperlukan.
Ricoeur menambahkan bahwa setiap teks berbeda komponen dan struktur bahasa
atau semantiknya, oleh karena itu dalam memahami teks diperlukan proses
hermeneutik yang berbeda pula.
Konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas
dalam kaitannya dengan karya seni (seni sastra) sebagai subjek penelitian,
divisualisasikan oleh Ricoeur melalui gambar di bawah ini.
Gambar 1.1 Metode Kerja Analis Data Hermeneutika Ricoeur
Sumber: Thompson (1990)
36
Dari gambar yang berupa piramida terbalik sebagaimana disistematiskan
oleh Thompson (1990) di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mula-mula teks seni (dalam konteks ini seni sastra) ditempatkan sebagai
objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom.
Karya sastra diposisikan sebagai fakta ontologi. Secara praksis hal ini
menempatkan novel Supernova sebagai pangkal dari proses analisis.
Yakni awal mula data maupun proses analisis data bertolak dari teks
dalam novel Supernova.
2. Karya sastra sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi
strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting. Bagi
Thompson (1990), objektivasi struktur adalah penelaahan terhadap
struktur cerita dalam sebuah teks sastra. Penelaahan terhadap struktur
cerita berarti mempelajari dan memetakan alur cerita maupun karakteristik
masing-masing tokoh dalam novel Supernova.
3. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada
lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas
struktur. Bagi Ricoeur (Thompson, 1990), setiap kata dalam sastra adalah
simbol. Maka dalam hal ini langkah penyisiran teks novel Supernova
adalah memilah kata-kata yang mengandung simbol, di mana simbolsimbol (kata-kata) tersebut dirasa sesuai dengan tujuan penelitian ini.
4. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal
yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktorfaktor yang berkaitan dengannya. Maka, acuan yang bersifat referensial
tersebut merujuk pada konsepsi sosiologi sastra sebagaimana telah
dijelaskan dalam tahapan konstruksi teoritik di atas.
37
5. Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai
persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi
tafsir. Dalam hal ini, analisis mulai bergerak untuk mencari kaitan antara
telaah struktur cerita dan penafsiran simbolik terhadap kata-kata dalam
teks novel dengan referensi teoritik dari sub-disiplin lain dari kajian
sosiologis yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian ini.
6. Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan.
Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik
berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks
(karya seni sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam
horizon yang dipancarkan teks. Dengan kata lain, skema kerja
hermeneutika Ricoeur berawal dari teks novel hingga menemukan makna
atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis novel melalui struktur teks
yang dia bangun dalam novel.
1.8.4 Rangkuman Sistematika Penelitian
Secara lebih terperinci, langkah-langkah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. menetapkan objek formal dan objek material penelitian, yakni novel
Supernova karya Dewi Lestari dan kritik terhadap masyarakat modern
sebagai tema utamanya;
2. melakukan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data-data
yang mendukung subjek penelitian. Data tersebut dapat berupa karya fiksi
dan non fiksi Dewi Lestari, tulisan-tulisan tentang Dewi Lestari dan karyakaryanya, buku-buku refersensi lainnya yang ada hubungannya dengan
penelitian novel Supernova;
38
3. melakukan analisis novel Supernova karya Dewi Lestari dengan
pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur sebagaimana dijelaskan di atas.
4. melakukan tinjauan sosiologi sastra dengan pendekatan sosiologi sastra
strukturalisme genetik atas hasil telaah teks yang menggunakan
pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur.
5. menyimpulkan dan melaporkan hasil penelitian.
39
Download