BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Suara dan Kebisingan II.1.1. Suara Suara adalah sesuatu yang kita dengar. Suara dihasilkan oleh objek yang bergetar dan mencapai telinga pendengarnya sebagai gelombang di udara maupun melalui media lainnya. Ketika sebuah objek bergetar, akan menghasilkan sedikit perubahan pada tekanan udara. Perubahan tekanan udara inilah yang akan mengalir sebagai gelombang di udara dan menghasilkan suara. Contoh kecepatan suara dalam beberapa media diperlihatkan dalam Tabel II.1. Tabel II.1. Kecepatan Suara Dalam Beberapa Media Kecepatan Suara Media ft/dtk m/dtk Udara 1,100 330 Kayu 11,100 3400 Air 4,700 1400 Beton 10,200 3100 Baja 16,000 5000 Timah 3,700 1200 Kaca 18,500 5500 Hidrogen 4,100 1260 Sumber : www.ccohs.ca II.1.2. Kebisingan Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Untuk mengetahui apakah suatu tempat kerja mengalami masalah kebisingan, dapat dilihat dari kondisi berikut: 4 a. Para pekerja harus mengeraskan suaranya bila berbicara di tempat kerja tersebut. b. Para pekerja merasakan telinga mereka berdenging selesainya jam kerja. c. Para pekerja merasa mereka harus memperbesar volume radio dalam perjalanan pulang ketika mendengarkan radio dibandingkan dengan ketika mereka berangkat kerja di pagi harinya. d. Para pekerja yang telah bekerja bertahun-tahun merasa bahwa mereka mengalami kesulitan berkomunikasi jika sedang berada dalam sebuah pesta maupun sebuah acara yang begitu banyak terdengar suara. Karakteristik kebisingan antara lain yang penting untuk kesehatan adalah: 1. Intensitas/tekanan/sound pressure. Tekanan suara = gaya per satuan luas, adalah sejumlah fluktuasi tekanan udara yang dihasilkan oleh sumber bising. Tekanan suara tergantung pada lingkungan di mana sumber suara berada dan jarak pendengar dari sumber. Biasanya tekanan suara dinyatakan dalam pascal (Pa). Orang dewasa muda dan sehat dapat mendengar tekanan suara paling kecil hingga 0,00002 Pa. Percakapan normal akan menghasilkan tekanan suara sebesar 0,02 Pa. Batas tekanan suara normal yang dapat didengar manusia adalah 0,00002 – 20 Pa. Suatu bunyi paling lemah yang dapat didengar oleh manusia dianggap sebagai bunyi ambang batas. Intensitas adalah energi yang mengalir per satuan luas. Semakin jauh sumber suara, intensitas yang diterima semakin kecil, karena luas permukaaan total yang harus dilalui semakin besar. Intensitas terkecil rata-rata yang masih menimbulkan rangsangan pendengaran pada telinga umumnya ialah 10-12 Watt/m2 pada frekuensi 1000 Hz. Harga ini disebut harga ambang intensitas. Karena nilai intensitas suara ini memiliki rentang skala yang sangat besar, maka intensitas dinyatakan dengan skala logaritmis yang disebut skala desibel (dB), yaitu 5 log perbandingan antara intensitas/tekanan suara dengan harga ambang intensitas dinyatakan dengan: Tingkat Intensitas Suara = 10 log Tingkat Tekanan Suara = 20 log I , Iref = 10-12 W/m2 Iref P , Pref = 2 Х 10-5 N/m2 Pr ef Semakin tinggi intensitas, akan semakin berbahaya bagi pendengaran. 2. Frekuensi. Frekuensi suara adalah fluktuasi/variasi tekanan udara per unit waktu, dinyatakan dalam siklus/second atau Hertz. Setiap frekuensi suatu suara, memberi kontribusi terhadap tekanan suara total/intensitas secara keseluruhan. Frekuensi yang dapat didengar oleh orang dewasa muda dan sehat berada dalam rentang 20 – 15000 Hz. Suara percakapan manusia berada pada 300 hingga 3000 Hz. Frekuensi tinggi lebih berbahaya terhadap kemampuan dengar daripada frekuensi rendah. Telinga manusia lebih sensitif terhadap frekuensi tinggi. 3. Durasi eksposur. Semakin lama durasi eksposur, semakin besar kemungkinan kerusakan yang diderita mekanisme pendengaran (Olishifski, 1971). Berdasarkan sifatnya dan karakteristiknya, bising dibagi atas : 1. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas. Merupakan bising yang relatif tetap dalam batas amplitudo kurang lebih 5 dB(A) untuk periode waktu 0,5 detik berturut-turut. Contoh : dalam kokpit pesawat helikopter, gergaji. 2. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit. Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja. Contoh : suara katup gas pada frekuensi 5000 Hz. 6 3. Bising terputus-putus. Sering juga disebut dengan intermitten noise, yaitu kebisingan ini tidak berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Contoh : kebisingan di lapangan terbang. 4. Bising impulsif. Bising ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB(A) dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contoh : penggunaan Hammer di industri. Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagi atas : 1. Bising yang mengganggu (iritating noise). Intensitas tidak terlalu keras. Misalnya mendengkur. 2. Bising yang menutupi (masking noise). Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam bising dari sumber lain. 3. Bising yang merusak (damaging/injuries noise). Adalah bunyi yang intensitasnya melampaui Nilai Ambang Batas. Bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran. Satuan dari kebisingan adalah desibel (dB). Kebisingan memiliki tiga skala yaitu A, B, dan C. Skala A lebih peka terhadap frekuensi tinggi, dan merupakan respon yang paling cocok dengan kapasitas dengar manusia. Oleh karena itu dalam standar-standar yang berlaku, kebisingan memiliki satuan dB(A). Skala B, dan C digunakan untuk evaluasi kebisingan mesin dalam rangka pengendalian kebisingan. Skala desibel ini dapat dilihat pada Gambar II.1. Nilai desibel untuk beberapa sumber bunyi dapat dilihat pada Tabel II.2. 7 Gambar II.1. Kurva Skala Desibel Sumber: www. engineeringtoolbox.com Tabel II.2. Nilai Desibel Untuk Beberapa Sumber Bunyi Tingkat tekanan Kondisi Pendengaran suara (dB(A)) 0 Ambang batas pendengaran 10 Suara pernafasan manusia 20 Di dalam studio siaran radio 30 Di dalam rumah pada malam hari yang sangat sepi 50 Di dalam rumah pada siang hari 60 Percakapan biasa jarak 1 m 70 Suara radio untuk didengarkan dalam ruangan 80 Di tepi jalan raya yang sibuk 90 Di dalam suatu pabrik 100 Di dalam ruang diesel 110 Suara tembakan senapan mesin 120 Pesawat jet tinggal landas Sumber : BrÜel & Kjaer (2000) 8 Di Indonesia, Nilai Ambang Batas kebisingan di Indonesia diatur oleh Surat Keputusan Menaker No: KEP-51/MEN/1999 pada Tabel II.3. Tabel II.3. Nilai Ambang Batas Kebisingan di Indonesia Intensitas Kebisingan Waktu pemajanan per hari dB(A) 8 4 2 85 88 Jam 91 1 94 30 97 15 100 7,5 3,75 103 Menit 106 1,88 109 0,94 112 28,12 115 14,06 118 7,03 121 3,52 124 1,76 Detik 127 0,88 130 0,44 133 0,22 136 0,11 139 Keterangan: Kebisingan tidak boleh melebihi 140 dB(A) walaupun sesaat. Sumber: Surat Keputusan Menaker No: KEP-51/MEN/1999 9 Persyaratan dalam peraturan tersebut adalah Nilai Ambang Batas yang diizinkan dalam suatu waktu pemaparan tertentu (TWA). Selain dari pada itu Nilai Ambang Batas kebisingan juga diatur oleh Surat Keputusan Mentri Kesehatan No: 261/MENKES/SK/II/1998, yaitu sebesar 85 dB(A) pemaparan 8 jam per hari untuk perkantoran. Sedangkan untuk industri Nilai Ambang Batasnya ditunjukkan pada Tabel II.4. Tabel II.4. Nilai Ambang Batas Kebisingan di Industri Indonesia Pemaparan Harian Tingkat Kebisingan dB(A) 8 Jam 85 6 Jam 92 4 Jam 88 3 Jam 97 2 Jam 91 1 Jam 94 30 Menit 97 15 Menit 100 Sumber: Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 261/MENKES/SK/II/1998 Nilai intensitas kebisingan yang tercantum dalam peraturan-peraturan di atas adalah nilai intensitas kebisingan ruangan. Keadaannya dapat menjadi sulit ditentukan apabila seorang pekerja berpindah-pindah dari suatu ruangan ke ruangan lain yang memiliki intensitas kebisingan yang lebih dari 85 dB(A). II.2. Pengaruh Bising Terhadap Kesehatan Efek dari kebisingan dapat berupa efek psikologis, seperti terkejut, tidak dapat konsentrasi (Smith, 1986), efek terhadap komunikasi, kenaikan tekanan darah, sakit telinga, dan kehilangan kemampuan/ketajaman pendengaran (tuli) (Roestam, 2004). 10 1. Gangguan fisiologis. Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputusputus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg), peningkatan nadi, konstruksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris. 2. Gangguan psikologis. Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, dan cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menimbulkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, stres, maupun kelelahan (Smith, 1986). 3. Gangguan komunikasi. Biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya. 4. Gangguan keseimbangan. Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual. 5. Efek pada pendengaran. Merupakan gangguan paling serius karena dapat menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari sumber bising, namun bila terus-menerus bekerja di tempat bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali. 11 Ketulian akibat pengaruh bising ini dikelompokkan sebagai berikut (Roestam, 2004): a. Temporary Threshold Shift = Noise Induced Temporary (TTS). Ketulian TTS ini bersifat non patologis dan bersifat sementara, di mana penderita TTS dapat kembali normal, hanya saja waktu pemulihannya pun bervariasi. Bila diberi cukup istirahat, daya dengarnya akan pulih sempurna (Chen et al, 2007). Untuk suara yang lebih besar dari 85 dB(A) dibutuhkan waktu bebas paparan atau istirahat 3 -7 hari. Bila waktu istirahat tidak cukup dan tenaga kerja kembali terpapar bising semula, dan keadaan ini berlangsung terus menerus maka ketulian sementara akan bertambah setiap hari, kemudian menjadi ketulian menetap. Untuk mendiagnosis TTS perlu dilakukan dua kali audiometri yaitu sebelum dan sesudah tenaga kerja terpapar bising. Sebelumnya tenaga kerja dijauhkan dari tempat bising sekurangnya 14 jam (Chen et al, 2007). b. Permanent Threshold Shift (PTS) = Tuli menetap dan bersifat patologis. PTS terjadi karena paparan yang lama dan terus menerus. Ketulian ini disebut tuli perseptif atau tuli sensorinureal. Penurunan daya dengar terjadi perlahan dan bertahap sebagai berikut : - Tahap 1: timbul setelah 10 – 20 hari terpapar bising, tenaga kerja mengeluh telinganya berbunyi pada setiap akhir waktu kerja. - Tahap 2: keluhan telinga berbunyi secara intermitten, sedangkan keluhan subjektif lainnya menghilang. Tahap ini berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. - Tahap 3: tenaga kerja sudah mulai merasa terjadi gangguan pendengaran seperti tidak mendengar detak jam, tidak mendengar percakapan terutama bila ada suara lain. 12 - Tahap 4: gangguan pendengaran bertambah jelas dan mulai sulit berkomunikasi. Pada tahap ini nilai ambang pendengaran menurun dan tidak akan kembali ke nilai ambang semula meskipun diberi istirahat yang cukup. c. Tuli karena trauma akustik. Perubahan pendengaran terjadi secara tiba-tiba, karena suara impulsif dengan intensitas tinggi, seperti letusan, ledakan, dan lainnya. Diagnosis mudah dibuat karena penderita dapat mengatakan dengan tepat terjadinya ketulian. Tuli ini biasanya bersifat akut dan cepat sembuh secara parsial atau komplit. Sedangkan akibat ketulian terhadap aktivitas sebagai tenaga kerja dibedakan atas: 1. Hearing Impairment. Didefinisikan sebagai kerusakan fisik telinga baik yang irreversibel (PTS) maupun yang reversibel (TTS). 2. Hearing Disability. Didefinisikan sebagai kesulitan mendengarkan akibat hearing impairment, misalnya: a. Problem komunikasi di tempat kerja. b. Problem dalam mendengarkan musik. c. Problem mencari arah/asal suara. d. Problem membedakan suara. Secara ringkas, dapat dikatakan efek hearing impairment terhadap disability berbeda pada setiap individu, tergantung fungsi psikologis dan aktivitas sosial yang bersangkutan. 3. Handicap. Ketidakmampuan atau keterbatasan seseorang untuk melakukan suatu tugas yang normal dan berguna baginya. Menurut WHO diklasifikasikan sebagai berikut: 13 a. Orientation handicap (ketidakmampuan/keterbatasan dalam mengikuti pembicaraan). b. Physical independence handicap (ketidakmampuan/keterbatasan untuk mandiri). c. Occupational handicap (ketidakmampuan/keterbatasan dalam bekerja dan memilih karir). d. Economic self-suffiency handycap. e. Social integration handicap (ketidakmampuan/keterbatasan dalam melakukan aktivitas normal harian, seperti respons terhadap alarm atau pesan lisan). f. Inability to cope with occupational requirement (ketidakmampuan/keterbatasan yang mengakibatkan berkurangnya penghasilan). Secara kasar, gradasi gangguan pendengaran karena bising itu sendiri dapat ditentukan menggunakan parameter percakapan sehari-hari seperti pada Tabel II.5. Gradasi Tabel II.5. Gradasi Gangguan Pendengaran Parameter Normal Tidak mengalami kesulitan dalam percakapan biasa (6m) Sedang Kesulitan dalam percakapan sehari-hari mulai jarak > 1,5 m Menengah Kesulitan dalam percakapan keras sehari-hari mulai jarak > 1,5 m Berat Kesulitan dalam percakapan keras/berteriak pada jarak > 1,5 m Sangat berat Kesulitan dalam percakapan keras/berteriak pada jarak < 1,5 m Tuli total Kehilangan kemampuan pendengaran dalam berkomunikasi Sumber: Bucchari (2007) Menurut Bucchari (2007) derajat ketulian adalah sebagai berikut: a. Jika peningkatan ambang dengar antara 0 - < 25 dB(A), masih normal. b. Jika peningkatan ambang dengar antara 26 – 40 dB(A), disebut tuli ringan. c. Jika peningkatan ambang dengar antara 41 – 60 dB(A), disebut tuli sedang. d. Jika peningkatan ambang dengar antara 61 – 90 dB(A), disebut tuli berat. 14 Efek kebisingan ini berbeda untuk masing-masing orang, hal tersebut dipengaruhi oleh: kepekaan seseorang, usia, total energi yang diterima, lamanya eksposur, masa kerja (Baktiansyah et al, 2005), pernah menderita penyakit telinga sebelumnya, konsumsi obat-obatan ototoksik, dan karakteristik bising yang diterima. Karena berhubungan dengan gangguan pada efek pendengaran, maka perlu dibahas mengenai telinga. II.3 Telinga Sebagai Indera Pendengaran Telinga merupakan organ yang mampu mengenal suara. Telinga bukan hanya sebagai penerima suara, namun juga banyak berperan dalam keseimbangan dan posisi tubuh. Telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Gambar II.2. Anatomi Telinga Manusia Sumber: www.wikipedia.com 1. Telinga luar. Merupakan bagian terluar dari telinga. Telinga luar meliputi daun telinga atau pinna, liang telinga atau meatus auditorius eksternus, dan gendang telinga atau membran 15 timpani. Bagian daun telinga berfungsi untuk membantu mengarahkan suara ke dalam liang telinga dan akhirnya menuju gendang telinga. Rancangan yang begitu kompleks pada telinga luar berfungsi untuk menangkap suara dan bagian terpenting adalah liang telinga. Saluran ini merupakan hasil susunan tulang dan rawan yang dilapisi kulit tipis. Di dalam saluran terdapat banyak kelenjar yang menghasilkan zat seperti lilin yang disebut serumen atau kotoran telinga. Hanya bagian saluran yang memproduksi sedikit serumen yang memiliki rambut. Pada ujung saluran terdapat gendang telinga yang akan meneruskan suara ke telinga dalam. Peradangan pada bagian telinga ini disebut sebagai otitis eksterna, biasanya terjadi karena kebiasaan mengorek telinga. 2. Telinga tengah. Telinga tengah meliputi gendang telinga, tiga tulang pendengaran (martil atau malleus, landangan atau incus, dan sanggurdi atau stapes). Muara tuba eustachiii juga berada di telinga tengah. Ketika getaran suara sudah diterima oleh gendang telinga maka akan disampaikan ke tulang pendengaran. Masing-masing tulang pendengaran akan menyampaikan getaran ke tulang berikutnya. Pada tulang sanggurdi, yang merupakan tulang terkecil di tubuh, meneruskan getaran ke koklea atau rumah siput. Peradangan atau infeksi pada bagian telinga ini disebut sebagai Otitis Media. 3. Telinga dalam. Telinga dalam terdiri dari labirin osea (labirin tulang) dan labirin membranasea. Labirin osea adalah rangkaian rongga pada tulang pelipis yang dilapisi periosteum yang berisi cairan perilimfe. Sedangkan labirin membranasea terletak lebih dalam dan memiliki cairan endolimfe. Di depan labirin terdapat koklea atau rumah siput. Penampang melintang koklea terdiri atas tiga bagian yaitu skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Bagian dasar dari skala vestibuli berhubungan dengan tulang sanggurdi melalui jendela berselaput yang disebut tingkap oval. Sedangkan skala timpani berhubungan dengan telinga tengah melalui tingkap bulat. 16 Bagian atas skala media dibatasi oleh membran vestibularis atau membran Reissner dan sebelah bawah dibatasi oleh membran basilaris. Di atas membran basilaris terdapat organ corti yang berfungsi mengubah getaran suara menjadi impuls. Organ corti terdiri dari sel rambut dan sel penyokong. Di atas sel rambut terdapat membran tektorial yang terdiri dari gelatin yang lentur. Sedangkan sel rambut akan dihubungkan dengan bagian otak. Eksposur yang lama dalam taraf kebisingan tinggi dapat merusak sel rambut yang dapat menyebabkan ketulian. II.4. Tekanan darah Tekanan darah merujuk kepada tekanan yang dialami darah pada pembuluh arteri darah ketika darah di pompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia. Tekanan darah dibuat dengan mengambil dua ukuran dan biasanya diukur seperti berikut 120 /80 mmHg. Nomor atas (120) menunjukkan tekanan ke atas pembuluh arteri akibat denyutan jantung, dan disebut tekanan sistolik. Nomor bawah (80) menunjukkan tekanan saat jantung beristirahat di antara pemompaan, dan disebut tekanan diastolik. Saat yang paling baik untuk mengukur tekanan darah adalah saat istirahat dan dalam keadaan duduk atau berbaring. Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan anakanak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah daripada dewasa. Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah dalam satu hari juga berbeda; paling tinggi di waktu pagi hari dan paling rendah pada saat tidur malam hari. Bila tekanan darah diketahui lebih tinggi dari biasanya secara berkelanjutan, orang itu dikatakan mengalami masalah darah tinggi. Bising dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi tubuh, salah satunya hormon adrenalin yang dilepaskan ke dalam peredaran darah dapat meningkatkan detak jantung, tekanan darah dan respirasi (Dimalouw, 2002). Mekanisme pasti bagaimana bising dapat menimbulkan efek fisiologis ini masih 17 belum jelas, hanya saja bising dapat menimbulkan reaksi jantung dengan menstimulasi sistem syaraf sympathetic atau sistem kelenjar bawah otak (Gillespie, 2004). Beberapa penelitian seperti Artawan et al (2007) yang meneliti hipertensi pada musisi gamelan di Bali, Jarup et al pada tahun 2005 yang meneliti hipertensi dan paparan bising di dekat airport, dan Gillespie et al (2004) yang meneliti perubahan tekanan darah sitolik, diastolik, dan denyut jantung akibat adanya bising menunjukkan bahwa kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah bahkan menyebabkan terjadinya hipertensi. II.5. Pengukuran Kebisingan di Tempat Kerja Pengukuran tingkat kebisingan dan paparan bising terhadap pekerja dapat berguna dalam mengidentifikasi bagian lokasi kerja yang memiliki masalah kebisingan, mengetahui pekerja mana yang telah terpapar kebisingan, dan di bagian mana yang perlu dilakukan pengendalian bising. Langkah pertama untuk mengidentifikasi ada tidaknya masalah kebisingan di tempat kerja adalah mencari tahu apakah ada potensi masalah kebisingan di tempat kerja tersebut. Hal ini dapat diketahui dengan melakukan survei. Indikator ada tidaknya bahaya bising antara lain: a. Suara di tempat kerja tersebut lebih bising dibandingkan dengan suara lalu lintas bis kota di jalan raya. b. Orang-orang harus mengeraskan suaranya ketika berbicara pada jarak 1 m. c. Setelah bekerja beberapa tahun, para pekerja merasakan kesulitan jika harus berkomunikasi di tempat ramai. Peralatan yang biasanya digunakan untuk pengukuran kebisingan dapat dilihat dari Tabel II.6. 18 Tabel II.6. Peralatan Pengukuran Kebisingan Alat yang Jenis Pengukuran Hasil Komentar digunakan Dosis atau Paling akurat untuk 1) Dosimeter Leq pengukuran personal Bila pekerja berpindahpindah, sulit untuk 2) ISLM* Leq mengukur personal eksposurnya. Bila rentang kebisingan Paparan bising sangat luas, sulit untuk personal mencari rata-rata eksposurnya. Hanya 3) SLM** dB(A) berguna bila ada pembagian kerja yang jelas dan bila tingkat bising relatif stabil setiap waktunya Pengukuran harus dilakukan 1 hingga 3 1) SLM** dB(A) meter dari sumber (tidak Tingkat langsung pada sumber) kebisingan Sangat berguna untuk dihasilkan oleh Equivalent rentang bising yang luas, sumber khusus 2) ISLM** sound level dapat mengukur Leq dB(A) pada waktu yang singkat (1 menit). Untuk membuat peta 1) SLM dB(A) kebisingan. Survei kebisingan Untuk bising yang sangat 2) ISLM Leq bervariasi Tekanan Untuk mengukur puncak Bising impuls 1) Impulse SLM puncak dB(A) setiap impuls * SLM = Sound Level Meter * ISLM = Integrating Sound Level Meter Sumber: www.osha.gov a. Sound Level Meter. Sound Level Meter terdiri dari mikropon, sirkuit elektronik, dan display pembacaan. Mikropon akan mendeteksi tekanan udara yang bervariasi yang kemudian bersamasama dengan bunyi akan mengubahnya menjadi sinyal elektrik. Sinyal ini kemudian 19 akan diproses oleh sirkuit elektronik yang terdapat di dalam alat. Pembacaan akan terlihat dalam satuan desibel. Untuk pengukuran, Sound Level Meter digenggam dan diletakkan setinggi telinga mereka yang terpapar bising. Sound Level harus dikalibrasi terlebih dahulu, baik sebelum maupun sesudah penggunaan. Sound Level Meter memberikan respons kira-kira sama dengan respon telinga manusia dan memberikan pengukuran objektif serta bisa diulang-ulang tiap tingkat kebisingan. Pada umumnya Sound Level Meter mempunyai pembobotan atau skala A, B, dan C. Untuk pengukuran tingkat kebisingan dipakai skala A. Skala A ini adalah skala kebisingan yang sensitif untuk frekuensi tinggi dan paling cocok dengan pendengaran manusia. Skala B memberikan respon yang lebih baik untuk frekuensi rendah, skala C memberikan respon terhadap frekuensi rendah yang paling baik. Biasanya skala B dan C digunakan untuk pengendalian kebisingan mesin-mesin di industri. Dalam penggunaannya, kadang-kadang Sound Level Meter dihubungkan dengan frequency analyzer. Alat ini berfungsi sebagai filter yang akan memberikan informasi tentang frekuensi dominan kebisingan. Informasi ini sangat berguna terutama untuk digunakan dalam rangka pengendalian kebisingan. b. Integrated Sound Level Meter (ISLM). Integrated Sound Level Meter memiliki kesamaan dengan dosimeter. ISLM menentukan ekivalen sound level pada lokasi tertentu. Perbedaannya dengan dosimeter adalah ISLM tidak digunakan untuk pengukuran personal eksposur karena ISLM di pegang dengan tangan dan tidak dikenakan pada pekerjanya. Menghasilkan pembacaan tunggal untuk bising yang ada, meskipun pada kenyataannya Sound level dari bising berubah terus menerus. c. Noise dosimeter. Noise dosimeter merupakan suatu peralatan yang kecil dan ringan yang dijepitkan di ikat pinggang dengan sebuah mikropon kecil yang dikaitkan di kerah baju, dekat 20 dengan telinga. Dosimeter menyimpan informasi rata-rata tingkat kebisingan yang diterima selama proses. Sangat berguna untuk di industri di mana bising yang terjadi bervariasi dalam durasi dan intensitas. d. Audiometer. Audiometer adalah suatu frequency compensated, audio signal generator. Alat ini mengeluarkan nada murni pada berbagai frekuensi dan intensitas untuk digunakan dalam pengukuran kepekaan pendengaran. Audiometer menghasilkan rangsangan elektronik yang serupa dengan yang diberikan oleh garpu tala. Karena intensitas yang dihasilkan oleh audiometer dapat dikontrol secara akurat, maka hasil pengukuran yang dilakukan akan cukup baik. Ada dua jenis audiometer : 1. Wide-range audiometer. Menghasilkan sinyal-sinyal yang umumnya dalam jelajah pendengaran manusia. Alat ini dilengkapi dengan sepasang air conduction earphone, bone vibrator, dan fasilitas untuk menutup sebelah telinga pada saat pemeriksaan. Wide-range audiometer ini ditujukan untuk keperluan klinis dan diagnostik. 2. Limited range audiometer. Alat ini lebih terbatas dalam hal frekuensi dan tingkat tekanan suara bila dibandingkan dengan wide-range audiometer. Alat ini menghasilkan nada murni pada 500, 1000, 2000, 3000, 4000, dan 6000 Hz, pada tingkat tekanan suara mulai dari 10 dB(A) sampai 70 dB(A) Standard Reference Threshold Level. Alat ini ditujukan untuk tingkat ambang pendengaran orang dewasa yang bekerja dalam industri. Karena ketulian berhubungan dengan faktor usia, untuk pengukuran menggunakan Audiometer akan dilakukan koreksi terhadap usia. Koreksi terhadap usia ini bertujuan ingin melihat sudah berapa besar terjadi pergeseran batas pendengaran. Beberapa metode penghitungan hasil Audiometer dengan memasukkan koreksi usia ini sudah 21 dimulai sejak tahun 1972 oleh NIOSH, dan terus berkembang hingga saat ini. Beberapa metode penghitungan pergeseran batas dengar dapat dilihat pada Tabel II.7. Tabel II.7. Beberapa Metode Penghitungan Pergeseran Batas Dengar No NIOSH 1972 1B Tentukan nilai age correction untuk baseline audiogram 2 Hitung selisih 1A dan 1B Selisih tersebut (delta Δ) adalah jumlah yang mengacu pada usia Hasil selisih (delta Δ) memperlihatkan perubahan pendengaran yang dipengaruhi oleh usia 4 Jumlahkan delta Δ dengan initial baseline pekerja audiogram pada setiap frekuensi untuk memperoleh age-corrected baseline Hitung selisih delta Δ dari audiogram yang akan diteliti pada setiap frekuensi untuk mendapatkan adjusted annual audiogram 5 Hitung selisih koreksi usia terhadap age-adjusted baseline dari audiogram yang diteliti Hitung selisih batas pendengaran antara adjusted annual audiogram dengan nilai baseline audiogram pada setiap frekuensinya 6 Hitung selisih most recent (previous) audiogram dari audiogram yang diteliti N/A STS Pergeseran didefinisikan sebagai nilai batas tertinggi ≥ 10 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000, dan 3000 atau ≥ 15 dB pada frekuensi 4000 dan 6000 Hz Pergeseran didefinisikan sebagai perubahan batas dengar relatif terhadap baseline audiogram apabila rata-rata ≥ 10 dB pada frekuensi 2000, 3000, dan 4000 Hz baik pada salah satu telinga maupun pada kedua telinga 3 Sumber: www-nehc.med.navy.mil 22 NIOSH 1998 Tidak menggunakan faktor koreksi usia 1A Tentukan nilai age correction untuk audiogram yang diteliti OSHA 1983 (A) Tentukan usia dan nilai faktor koreksi dari hasil audiogram yang akan ditentukan pada frekuensi 1000 hingga 6000 Hz (B) Tentukan usia dan nilai faktor koreksi yang akan dijadikan sebagai baseline audiogram, yaitu yang memiliki nilai audiogram terbaik. Hitung selisih nilai faktor koreksi dari 1A dan 1B MSHA (1999) Hitung nilai koreksi usia untuk usia yang dijadikan sebagai baseline Hitung nilai koreksi usia untuk audiogram yang akan ditentukan Hitung selisih nilai 1A dan 1 B Selisihnya memperlihatkan perubahan batas dengar berdasarkan koreksi usia Hitung selisih delta Δ dari audiogram yang akan diteliti pada setiap frekuensi untuk mendapatkan adjusted annual audiogram Hitung selisih batas pendengaran antara adjusted annual audiogram dengan nilai baseline audiogram N/A Perubahan batas dengar bila pada salah satu telinga atau pada kedua telinga ≥ 15 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000, 3000, 4000, dan 6000 Hz Pergeseran batas dengar didefinisikan sebagai perubahan batas dengar relatif terhadap baseline ≥ 10 dB pada frekuenai 2000 dan 3000 Hz Sebagai tabel acuan untuk koreksi usia perhitungan OSHA dapat dilihat pada Tabel II.8. Tabel II.8. Tabel Koreksi Usia Bagi Pekerja Lelaki ____________________________________________________________ Audiometric Test Frequency (Hz) Years _________________________________ ______________________1000 2000 3000 4000 6000 20 or younger........... 5 3 4 5 8 21 ..................... 5 3 4 5 8 22 ..................... 5 3 4 5 8 23 ..................... 5 3 4 6 9 24 ..................... 5 3 5 6 9 25 ..................... 5 3 5 7 10 26 ..................... 5 4 5 7 10 27 ..................... 5 4 6 7 11 28 ..................... 6 4 6 8 11 29 ..................... 6 4 6 8 12 30 ..................... 6 4 6 9 12 31 ..................... 6 4 7 9 13 32 ..................... 6 5 7 10 14 33 ..................... 6 5 7 10 14 34 ..................... 6 5 8 11 15 35 ..................... 7 5 8 11 15 36 ..................... 7 5 9 12 16 37 ..................... 7 6 9 12 17 38 ..................... 7 6 9 13 17 39 ..................... 7 6 10 14 18 40 ..................... 7 6 10 14 19 41 ..................... 7 6 10 14 20 42 ..................... 8 7 11 16 20 43 ..................... 8 7 12 16 21 44 ..................... 8 7 12 17 22 45 ..................... 8 7 13 18 23 46 ..................... 8 8 13 19 24 47 ..................... 8 8 14 19 24 48 ..................... 9 8 14 20 25 49 ..................... 9 9 15 21 26 50 ..................... 9 9 16 22 27 51 ..................... 9 9 16 23 28 52 ..................... 9 10 17 24 29 53 ..................... 9 10 18 25 30 54 ..................... 10 10 18 26 31 55 ..................... 10 11 19 27 32 56 ..................... 10 11 20 28 34 57 ..................... 10 11 21 29 35 58 ..................... 10 12 22 31 36 59 ..................... 11 12 22 32 37 60 or older ............ 11 13 23 33 38 ___________________________________________________________ Sumber: www.osha.gov 23 Tabel II.8 di atas diperlukan sebagai faktor koreksi usia karena pada penelitian ini akan mengacu dari langkah-langkah yang dilakukan oleh OSHA 1983 (Calculations and application of age corrections to audiograms). Akan ditentukan salah satu usia sebagai baseline audiogram yaitu yang diambil dari hasil audiogram terbaik. Seseorang dikatakan sudah mengalami pergeseran batas pendengaran bila hasil ratarata perubahan batas dengarnya telah mencapai ≥ 10 dB pada frekuensi 2000, 3000, 4000 Hz. Untuk penurunan batas dengar diperoleh dari tahap kelima dari langkah perhitungan OSHA 1983, yaitu selisih antara nilai audiogram yang diteliti pada frekuensi 2000, 3000, dan 4000 Hz dengan nilai faktor koreksi usia terhadap baseline audiogram. Untuk menyatakan sudah terjadi penurunan batas pendengaran dapat digunakan kurva penurunan batas pendengaran terhadap usia pada Gambar II.3. Gambar II.3. Kurva Penurunan Batas Pendengaran Berdasarkan Kelompok Usia Sumber: www.sfu.ca 24 Dari gambar II.3 bila dikelompokkan terhadap usia, range nilai penurunan batas pendengaran pada frekuensi 2000 hingga 4000 Hz dapat dilihat pada Tabel II.9. Tabel II.9. Range Penurunan Batas Pendengaran pada Rentang Frekuensi 2000 Hingga 4000 Hz Kelompok Usia (thn) Range Penurunan Batas Pendengaran (dB(A)) 20 - < 30 ≤5 30 - < 40 0 - 12 40 - < 50 5 - 20 50 - < 60 10 - 30 II.6. Analisis Risiko Analisis risiko adalah suatu teknik untuk menganalisis risiko dalam berbagai bidang, seperti toksikologi, higiene industri, keselamatan kerja, prediksi cuaca, epidemiologi, dan perilaku sosial. Proses dan tahapan analisis mencakup identifikasi bahaya, evaluasi paparan dan dosis respon, karakterisasi risiko dan kebijakan perbaikan yang terlihat pada Gambar II.4. Identifikasi bahaya Evaluasi paparan Evaluasi dosis respon Karakterisasi risiko Kebijakan perbaikan Gambar II.4. Proses dan Tahapan Analisis 25 II.6.1. Identifikasi Bahaya Untuk penentuan bahaya dapat dilakukan dengan menggunakan studi epidemiologi, uji hewan secara in vivo, uji kultur jaringan/sel jangka pendek, maupun dengan analisis hubungan aktivitas dengan struktur molekul. Dalam bidang teknik lingkungan yang baru dilakukan adalah studi epidemiologi, sedangkan uji hewan secara in vivo, uji kultur jaringan/sel jangka pendek, maupun dengan analisis hubungan aktivitas dengan struktur molekul hanya untuk zat kimia, biologi, dan fisika. Studi epidemiologi bertujuan untuk mempelajari pola/distribusi dan frekuensi penyakit di masyarakat serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola tersebut (meneliti faktor determinan atau yang ikut menentukan terjadinya penyakit) dan mempelajari sebab-akibat dengan efek langsung terhadap organisme/manusia. Dalam epidemiologi dikenal tiga model dasar penelitian observasional analitis, yakni model kasus kendali, kohort, dan cross sectional. 1. Model kasus kendali. Model kasus kendali ini disebut juga case control atau case history, dan retrospektif. Penelitian jenis ini dilakukan apabila penyakit sudah ada/sudah manifest, tetapi tidak diketahui sebabnya. Karena agen penyakitnya selalu bertindak atau selalu berada dan beraksi sebelum terjadinya penyakit, maka penelitian ini meninjau kembali ke masa lalu untuk mencari agennya. Oleh karena itu penelitian ini disebut penelitian retrospektif atau menelusuri history atau sejarah perkembangan penyakit. Penelitian ini semakin banyak dilakukan untuk mencari penyebab penyakit yang belum diketahui, terutama penyakit yang jarang didapat seperti berbagai jenis kanker. 2. Model Kohort atau prospektif. Model kohort juga disebut studi follow-up atau studi insidensi. Penelitian kohort berbeda dari kasus kendali karena pada saat penelitian belum didapat penderita kanker, tetapi sudah diketahui adanya agen potensial yang memapari populasi yang 26 akan diteliti dalam berbagai kategori. Variabel berupa agen potensial didefinisikan dan diukur, sementara itu kohort diikuti kesehatannya dan apabila terjadi penyakit diperiksa untuk melihat sesuai tidaknya penyakit tersebut dengan yang didefinisikan sebelum mulai penelitian. 3. Model Cross-sectional. Model cross-sectional disebut juga studi prevalensi, karena yang diukur adalah prevalensi. Berbeda dari dua model terdahulu, di mana aksi agen dapat dinyatakan sebagai mendahului penyakit, maka dalam model ini baik agen dan penyakit diteliti pada saat yang sama. Dengan demikian data penyakit yang didapat berupa prevalensi dan paparan yang didapatkan adalah paparan yang saat ini ada, dan bukan yang menyebabkan penyakit yang tentunya harus didapat di masa lalu. Apabila keadaan lingkungan itu bisa dianggap stabil, maka asumsi bahwa kadar agen itu sama di masa lalu dengan yang sekarang dapat diterima. II.6.2. Evaluasi Paparan Paparan seringkali dilupakan, padahal tanpa paparan tidak akan ada risiko. Bagian penting dalam paparan ini adalah pathway yang membawanya dari sumber ke titik kontak dengan masyarakat. Dimana dapat terjadi perubahan transpor-transformasi, adsorpsi-desorpsi dalam pathway. Hal kedua yang tidak kalah penting adalah estimasi kontak yang terjadi; apakah secara kontinu atau intermitten, portal of entry nya melalui kulit, telinga, mulut, dll. II.6.3. Evaluasi Dosis Respon Evaluasi dosis respon berguna untuk mencari konsistensi hubungan dosis dengan efek yang diduga diakibatkan oleh xenobiotik. Bila ada konsistensi, maka semakin besar dosis, semakin parah efek, sampai pada saat organisme tidak lagi bertambah responnya, bila dikurvakan akan membentuk huruf S. Kurva dosis respon ditunjukkan pada Gambar II.5. 27 Gambar II.5. Kurva Dosis-Respon Sumber: www.ccohs.ca Dalam penelitian ini, hasil pengukuran dengan Noise Dosimeter akan bertindak sebagai dosis, sedangkan hasil pengukuran dengan audiometri akan menunjukkan respon yang dirasakan oleh pekerja. II.6.4. Karakterisasi Risiko Yaitu menentukan berbagai jenis estimasi dari hasil penilaian source release, hazard assessment, dose response, dan exposure assessment. Estimasi yang dilakukan berupa tipe, besaran, efek yang merugikan, kemungkinan efek yang akan terjadi, disertai dengan deskripsi dan asumsi analisis dan ketidakpastiannya. Karakterisasi risiko tergantung pada tujuan dan sifat penilaian risiko, tergantung pada preferensi peneliti dan sering kali terbatas pada satu atau dua zat saja, sehingga banyak yang tidak diteliti. Karakterisasi risiko dapat dinyatakan dengan HI (Hazard Index) dan RR (Risiko Relatif). HI merupakan jumlah dari HQ (Hazard Quotient). HQ diperoleh dengan cara membandingkan nilai yang diterima oleh seseorang terhadap nilai yang diperbolehkan. HQ dirumuskan dengan: 28 HQ = Average Daily Dose Re ference Dose HI =∑ HQ Untuk yang bersifat non karsinogenik seperti kebisingan yang akan diteliti, Reference Dose (RfD) dibandingkan dengan nilai kebisingan yang diterima oleh populasi sampel. RfD yang digunakan di sini adalah Nilai Ambang Batas untuk kebisingan yaitu 85 dB(A). Nilai RR diperoleh dengan membandingkan jumlah penyakit pada kelompok terpapar dengan jumlah penyakit pada kelompok tidak terpapar. RR dinyatakan dalam matriks 2x2 seperti terlihat pada Tabel II.10 (Soemirat, 2000). Tabel II.10. Matriks 2x2 Perhitungan RR Status sakit/paparan Terpapar Tidak terpapar Sakit a b Tidak sakit c d RR = a /(a + c) b /(b + d ) Bila RR ≥ 1, menandakan risiko terjadinya penyakit pada kelompok terpapar lebih besar daripada risiko terjadinya penyakit pada kelompok tidak terpapar. 29