BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Suara dan Kebisingan
II.1.1. Suara
Suara adalah sesuatu yang kita dengar. Suara dihasilkan oleh objek yang bergetar dan
mencapai telinga pendengarnya sebagai gelombang di udara maupun melalui media
lainnya. Ketika sebuah objek bergetar, akan menghasilkan sedikit perubahan pada
tekanan udara. Perubahan tekanan udara inilah yang akan mengalir sebagai
gelombang di udara dan menghasilkan suara. Contoh kecepatan suara dalam beberapa
media diperlihatkan dalam Tabel II.1.
Tabel II.1. Kecepatan Suara Dalam Beberapa Media
Kecepatan Suara
Media
ft/dtk
m/dtk
Udara
1,100
330
Kayu
11,100
3400
Air
4,700
1400
Beton
10,200
3100
Baja
16,000
5000
Timah
3,700
1200
Kaca
18,500
5500
Hidrogen
4,100
1260
Sumber : www.ccohs.ca
II.1.2. Kebisingan
Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat
produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
gangguan pendengaran. Untuk mengetahui apakah suatu tempat kerja mengalami
masalah kebisingan, dapat dilihat dari kondisi berikut:
4
a. Para pekerja harus mengeraskan suaranya bila berbicara di tempat kerja
tersebut.
b. Para pekerja merasakan telinga mereka berdenging selesainya jam kerja.
c. Para pekerja merasa mereka harus memperbesar volume radio dalam
perjalanan pulang ketika mendengarkan radio dibandingkan dengan ketika
mereka berangkat kerja di pagi harinya.
d. Para pekerja yang telah bekerja bertahun-tahun merasa bahwa mereka
mengalami kesulitan berkomunikasi jika sedang berada dalam sebuah pesta
maupun sebuah acara yang begitu banyak terdengar suara.
Karakteristik kebisingan antara lain yang penting untuk kesehatan adalah:
1. Intensitas/tekanan/sound pressure.
Tekanan suara = gaya per satuan luas, adalah sejumlah fluktuasi tekanan udara yang
dihasilkan oleh sumber bising. Tekanan suara tergantung pada lingkungan di mana
sumber suara berada dan jarak pendengar dari sumber. Biasanya tekanan suara
dinyatakan dalam pascal (Pa). Orang dewasa muda dan sehat dapat mendengar
tekanan suara paling kecil hingga 0,00002 Pa. Percakapan normal akan menghasilkan
tekanan suara sebesar 0,02 Pa. Batas tekanan suara normal yang dapat didengar
manusia adalah 0,00002 – 20 Pa. Suatu bunyi paling lemah yang dapat didengar oleh
manusia dianggap sebagai bunyi ambang batas.
Intensitas adalah energi yang mengalir per satuan luas. Semakin jauh sumber suara,
intensitas yang diterima semakin kecil, karena luas permukaaan total yang harus
dilalui semakin besar. Intensitas terkecil rata-rata yang masih menimbulkan
rangsangan pendengaran pada telinga umumnya ialah 10-12 Watt/m2 pada frekuensi
1000 Hz. Harga ini disebut harga ambang intensitas.
Karena nilai intensitas suara ini memiliki rentang skala yang sangat besar, maka
intensitas dinyatakan dengan skala logaritmis yang disebut skala desibel (dB), yaitu
5
log perbandingan antara intensitas/tekanan suara dengan harga ambang intensitas
dinyatakan dengan:
Tingkat Intensitas Suara = 10 log
Tingkat Tekanan Suara = 20 log
I
, Iref = 10-12 W/m2
Iref
P
, Pref = 2 Х 10-5 N/m2
Pr ef
Semakin tinggi intensitas, akan semakin berbahaya bagi pendengaran.
2. Frekuensi.
Frekuensi suara adalah fluktuasi/variasi tekanan udara per unit waktu, dinyatakan
dalam siklus/second atau Hertz. Setiap frekuensi suatu suara, memberi kontribusi
terhadap tekanan suara total/intensitas secara keseluruhan. Frekuensi yang dapat
didengar oleh orang dewasa muda dan sehat berada dalam rentang 20 – 15000 Hz.
Suara percakapan manusia berada pada 300 hingga 3000 Hz. Frekuensi tinggi lebih
berbahaya terhadap kemampuan dengar daripada frekuensi rendah. Telinga manusia
lebih sensitif terhadap frekuensi tinggi.
3. Durasi eksposur.
Semakin lama durasi eksposur, semakin besar kemungkinan kerusakan yang diderita
mekanisme pendengaran (Olishifski, 1971).
Berdasarkan sifatnya dan karakteristiknya, bising dibagi atas :
1. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas.
Merupakan bising yang relatif tetap dalam batas amplitudo kurang lebih 5
dB(A) untuk periode waktu 0,5 detik berturut-turut.
Contoh : dalam kokpit pesawat helikopter, gergaji.
2. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit.
Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja.
Contoh : suara katup gas pada frekuensi 5000 Hz.
6
3. Bising terputus-putus.
Sering juga disebut dengan intermitten noise, yaitu kebisingan ini tidak
berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang.
Contoh : kebisingan di lapangan terbang.
4. Bising impulsif.
Bising ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB(A) dalam waktu
sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya.
Contoh : penggunaan Hammer di industri.
Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagi atas :
1. Bising yang mengganggu (iritating noise). Intensitas tidak terlalu keras.
Misalnya mendengkur.
2. Bising yang menutupi (masking noise). Merupakan bunyi yang menutupi
pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda
bahaya tenggelam dalam bising dari sumber lain.
3. Bising yang merusak (damaging/injuries noise). Adalah bunyi yang
intensitasnya melampaui Nilai Ambang Batas. Bunyi jenis ini akan merusak
atau menurunkan fungsi pendengaran.
Satuan dari kebisingan adalah desibel (dB). Kebisingan memiliki tiga skala yaitu A,
B, dan C. Skala A lebih peka terhadap frekuensi tinggi, dan merupakan respon yang
paling cocok dengan kapasitas dengar manusia. Oleh karena itu dalam standar-standar
yang berlaku, kebisingan memiliki satuan dB(A). Skala B, dan C digunakan untuk
evaluasi kebisingan mesin dalam rangka pengendalian kebisingan. Skala desibel ini
dapat dilihat pada Gambar II.1. Nilai desibel untuk beberapa sumber bunyi dapat
dilihat pada Tabel II.2.
7
Gambar II.1. Kurva Skala Desibel
Sumber: www. engineeringtoolbox.com
Tabel II.2. Nilai Desibel Untuk Beberapa Sumber Bunyi
Tingkat tekanan
Kondisi Pendengaran
suara (dB(A))
0
Ambang batas pendengaran
10
Suara pernafasan manusia
20
Di dalam studio siaran radio
30
Di dalam rumah pada malam hari yang sangat sepi
50
Di dalam rumah pada siang hari
60
Percakapan biasa jarak 1 m
70
Suara radio untuk didengarkan dalam ruangan
80
Di tepi jalan raya yang sibuk
90
Di dalam suatu pabrik
100
Di dalam ruang diesel
110
Suara tembakan senapan mesin
120
Pesawat jet tinggal landas
Sumber : BrÜel & Kjaer (2000)
8
Di Indonesia, Nilai Ambang Batas kebisingan di Indonesia diatur oleh Surat
Keputusan Menaker No: KEP-51/MEN/1999 pada Tabel II.3.
Tabel II.3. Nilai Ambang Batas Kebisingan di Indonesia
Intensitas Kebisingan
Waktu pemajanan per hari
dB(A)
8
4
2
85
88
Jam
91
1
94
30
97
15
100
7,5
3,75
103
Menit
106
1,88
109
0,94
112
28,12
115
14,06
118
7,03
121
3,52
124
1,76
Detik
127
0,88
130
0,44
133
0,22
136
0,11
139
Keterangan: Kebisingan tidak boleh melebihi 140 dB(A) walaupun sesaat.
Sumber: Surat Keputusan Menaker No: KEP-51/MEN/1999
9
Persyaratan dalam peraturan tersebut adalah Nilai Ambang Batas yang diizinkan
dalam suatu waktu pemaparan tertentu (TWA). Selain dari pada itu Nilai Ambang
Batas kebisingan juga diatur oleh Surat Keputusan Mentri Kesehatan No:
261/MENKES/SK/II/1998, yaitu sebesar 85 dB(A) pemaparan 8 jam per hari untuk
perkantoran. Sedangkan untuk industri Nilai Ambang Batasnya ditunjukkan pada
Tabel II.4.
Tabel II.4. Nilai Ambang Batas Kebisingan di Industri Indonesia
Pemaparan Harian
Tingkat Kebisingan
dB(A)
8 Jam
85
6 Jam
92
4 Jam
88
3 Jam
97
2 Jam
91
1 Jam
94
30 Menit
97
15 Menit
100
Sumber: Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 261/MENKES/SK/II/1998
Nilai intensitas kebisingan yang tercantum dalam peraturan-peraturan di atas adalah
nilai intensitas kebisingan ruangan. Keadaannya dapat menjadi sulit ditentukan
apabila seorang pekerja berpindah-pindah dari suatu ruangan ke ruangan lain yang
memiliki intensitas kebisingan yang lebih dari 85 dB(A).
II.2. Pengaruh Bising Terhadap Kesehatan
Efek dari kebisingan dapat berupa efek psikologis, seperti terkejut, tidak dapat
konsentrasi (Smith, 1986), efek terhadap komunikasi, kenaikan tekanan darah, sakit
telinga, dan kehilangan kemampuan/ketajaman pendengaran (tuli) (Roestam, 2004).
10
1. Gangguan fisiologis.
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputusputus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan
darah (± 10 mmHg), peningkatan nadi, konstruksi pembuluh darah perifer terutama
pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2. Gangguan psikologis.
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah
tidur, dan cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat
menimbulkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, stres, maupun kelelahan
(Smith, 1986).
3. Gangguan komunikasi.
Biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas)
atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan dilakukan dengan cara
berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada
kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya.
4. Gangguan keseimbangan.
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan melayang, yang dapat
menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual.
5. Efek pada pendengaran.
Merupakan gangguan paling serius karena dapat menyebabkan ketulian. Ketulian
bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera pulih kembali
bila menghindar dari sumber bising, namun bila terus-menerus bekerja di tempat
bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali.
11
Ketulian akibat pengaruh bising ini dikelompokkan sebagai berikut (Roestam, 2004):
a. Temporary Threshold Shift = Noise Induced Temporary (TTS).
Ketulian TTS ini bersifat non patologis dan bersifat sementara, di mana penderita
TTS dapat kembali normal, hanya saja waktu pemulihannya pun bervariasi. Bila
diberi cukup istirahat, daya dengarnya akan pulih sempurna (Chen et al, 2007). Untuk
suara yang lebih besar dari 85 dB(A) dibutuhkan waktu bebas paparan atau istirahat 3
-7 hari.
Bila waktu istirahat tidak cukup dan tenaga kerja kembali terpapar bising semula, dan
keadaan ini berlangsung terus menerus maka ketulian sementara akan bertambah
setiap hari, kemudian menjadi ketulian menetap.
Untuk mendiagnosis TTS perlu dilakukan dua kali audiometri yaitu sebelum dan
sesudah tenaga kerja terpapar bising. Sebelumnya tenaga kerja dijauhkan dari tempat
bising sekurangnya 14 jam (Chen et al, 2007).
b. Permanent Threshold Shift (PTS) = Tuli menetap dan bersifat patologis.
PTS terjadi karena paparan yang lama dan terus menerus. Ketulian ini disebut tuli
perseptif atau tuli sensorinureal. Penurunan daya dengar terjadi perlahan dan bertahap
sebagai berikut :
-
Tahap 1: timbul setelah 10 – 20 hari terpapar bising, tenaga kerja mengeluh
telinganya berbunyi pada setiap akhir waktu kerja.
-
Tahap 2: keluhan telinga berbunyi secara intermitten, sedangkan keluhan
subjektif lainnya menghilang. Tahap ini berlangsung berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun.
-
Tahap 3: tenaga kerja sudah mulai merasa terjadi gangguan pendengaran
seperti tidak mendengar detak jam, tidak mendengar percakapan terutama bila
ada suara lain.
12
-
Tahap
4:
gangguan
pendengaran
bertambah
jelas
dan
mulai
sulit
berkomunikasi. Pada tahap ini nilai ambang pendengaran menurun dan tidak
akan kembali ke nilai ambang semula meskipun diberi istirahat yang cukup.
c. Tuli karena trauma akustik.
Perubahan pendengaran terjadi secara tiba-tiba, karena suara impulsif dengan
intensitas tinggi, seperti letusan, ledakan, dan lainnya. Diagnosis mudah dibuat
karena penderita dapat mengatakan dengan tepat terjadinya ketulian. Tuli ini biasanya
bersifat akut dan cepat sembuh secara parsial atau komplit.
Sedangkan akibat ketulian terhadap aktivitas sebagai tenaga kerja dibedakan atas:
1.
Hearing Impairment.
Didefinisikan sebagai kerusakan fisik telinga baik yang irreversibel (PTS)
maupun yang reversibel (TTS).
2.
Hearing Disability.
Didefinisikan sebagai kesulitan mendengarkan akibat hearing impairment,
misalnya:
a. Problem komunikasi di tempat kerja.
b. Problem dalam mendengarkan musik.
c. Problem mencari arah/asal suara.
d. Problem membedakan suara.
Secara ringkas, dapat dikatakan efek hearing impairment terhadap disability
berbeda pada setiap individu, tergantung fungsi psikologis dan aktivitas sosial
yang bersangkutan.
3.
Handicap.
Ketidakmampuan atau keterbatasan seseorang untuk melakukan suatu tugas
yang normal dan berguna baginya. Menurut WHO diklasifikasikan sebagai
berikut:
13
a. Orientation
handicap
(ketidakmampuan/keterbatasan
dalam
mengikuti
pembicaraan).
b. Physical independence handicap (ketidakmampuan/keterbatasan untuk mandiri).
c. Occupational handicap (ketidakmampuan/keterbatasan dalam bekerja dan
memilih karir).
d. Economic self-suffiency handycap.
e. Social integration handicap (ketidakmampuan/keterbatasan dalam melakukan
aktivitas normal harian, seperti respons terhadap alarm atau pesan lisan).
f. Inability to cope with occupational requirement (ketidakmampuan/keterbatasan
yang mengakibatkan berkurangnya penghasilan).
Secara kasar, gradasi gangguan pendengaran karena bising itu sendiri dapat
ditentukan menggunakan parameter percakapan sehari-hari seperti pada Tabel II.5.
Gradasi
Tabel II.5. Gradasi Gangguan Pendengaran
Parameter
Normal
Tidak mengalami kesulitan dalam percakapan biasa (6m)
Sedang
Kesulitan dalam percakapan sehari-hari mulai jarak > 1,5 m
Menengah
Kesulitan dalam percakapan keras sehari-hari mulai jarak > 1,5 m
Berat
Kesulitan dalam percakapan keras/berteriak pada jarak > 1,5 m
Sangat berat
Kesulitan dalam percakapan keras/berteriak pada jarak < 1,5 m
Tuli total
Kehilangan kemampuan pendengaran dalam berkomunikasi
Sumber: Bucchari (2007)
Menurut Bucchari (2007) derajat ketulian adalah sebagai berikut:
a. Jika peningkatan ambang dengar antara 0 - < 25 dB(A), masih normal.
b. Jika peningkatan ambang dengar antara 26 – 40 dB(A), disebut tuli ringan.
c. Jika peningkatan ambang dengar antara 41 – 60 dB(A), disebut tuli sedang.
d. Jika peningkatan ambang dengar antara 61 – 90 dB(A), disebut tuli berat.
14
Efek kebisingan ini berbeda untuk masing-masing orang, hal tersebut dipengaruhi
oleh: kepekaan seseorang, usia, total energi yang diterima, lamanya eksposur, masa
kerja (Baktiansyah et al, 2005), pernah menderita penyakit telinga sebelumnya,
konsumsi obat-obatan ototoksik, dan karakteristik bising yang diterima.
Karena berhubungan dengan gangguan pada efek pendengaran, maka perlu dibahas
mengenai telinga.
II.3 Telinga Sebagai Indera Pendengaran
Telinga merupakan organ yang mampu mengenal suara. Telinga bukan hanya sebagai
penerima suara, namun juga banyak berperan dalam keseimbangan dan posisi tubuh.
Telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.
Gambar II.2. Anatomi Telinga Manusia
Sumber: www.wikipedia.com
1.
Telinga luar.
Merupakan bagian terluar dari telinga. Telinga luar meliputi daun telinga atau pinna,
liang telinga atau meatus auditorius eksternus, dan gendang telinga atau membran
15
timpani. Bagian daun telinga berfungsi untuk membantu mengarahkan suara ke dalam
liang telinga dan akhirnya menuju gendang telinga. Rancangan yang begitu kompleks
pada telinga luar berfungsi untuk menangkap suara dan bagian terpenting adalah liang
telinga. Saluran ini merupakan hasil susunan tulang dan rawan yang dilapisi kulit
tipis. Di dalam saluran terdapat banyak kelenjar yang menghasilkan zat seperti lilin
yang disebut serumen atau kotoran telinga. Hanya bagian saluran yang memproduksi
sedikit serumen yang memiliki rambut. Pada ujung saluran terdapat gendang telinga
yang akan meneruskan suara ke telinga dalam. Peradangan pada bagian telinga ini
disebut sebagai otitis eksterna, biasanya terjadi karena kebiasaan mengorek telinga.
2.
Telinga tengah.
Telinga tengah meliputi gendang telinga, tiga tulang pendengaran (martil atau
malleus, landangan atau incus, dan sanggurdi atau stapes). Muara tuba eustachiii juga
berada di telinga tengah. Ketika getaran suara sudah diterima oleh gendang telinga
maka akan disampaikan ke tulang pendengaran. Masing-masing tulang pendengaran
akan menyampaikan getaran ke tulang berikutnya. Pada tulang sanggurdi, yang
merupakan tulang terkecil di tubuh, meneruskan getaran ke koklea atau rumah siput.
Peradangan atau infeksi pada bagian telinga ini disebut sebagai Otitis Media.
3.
Telinga dalam.
Telinga dalam terdiri dari labirin osea (labirin tulang) dan labirin membranasea.
Labirin osea adalah rangkaian rongga pada tulang pelipis yang dilapisi periosteum
yang berisi cairan perilimfe. Sedangkan labirin membranasea terletak lebih dalam dan
memiliki cairan endolimfe. Di depan labirin terdapat koklea atau rumah siput.
Penampang melintang koklea terdiri atas tiga bagian yaitu skala vestibuli, skala
media, dan skala timpani. Bagian dasar dari skala vestibuli berhubungan dengan
tulang sanggurdi melalui jendela berselaput yang disebut tingkap oval. Sedangkan
skala timpani berhubungan dengan telinga tengah melalui tingkap bulat.
16
Bagian atas skala media dibatasi oleh membran vestibularis atau membran Reissner
dan sebelah bawah dibatasi oleh membran basilaris. Di atas membran basilaris
terdapat organ corti yang berfungsi mengubah getaran suara menjadi impuls. Organ
corti terdiri dari sel rambut dan sel penyokong. Di atas sel rambut terdapat membran
tektorial yang terdiri dari gelatin yang lentur. Sedangkan sel rambut akan
dihubungkan dengan bagian otak. Eksposur yang lama dalam taraf kebisingan tinggi
dapat merusak sel rambut yang dapat menyebabkan ketulian.
II.4. Tekanan darah
Tekanan darah merujuk kepada tekanan yang dialami darah pada pembuluh arteri
darah ketika darah di pompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia. Tekanan
darah dibuat dengan mengambil dua ukuran dan biasanya diukur seperti berikut 120
/80 mmHg. Nomor atas (120) menunjukkan tekanan ke atas pembuluh arteri akibat
denyutan jantung, dan disebut tekanan sistolik. Nomor bawah (80) menunjukkan
tekanan saat jantung beristirahat di antara pemompaan, dan disebut tekanan diastolik.
Saat yang paling baik untuk mengukur tekanan darah adalah saat istirahat dan dalam
keadaan duduk atau berbaring.
Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan anakanak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah daripada dewasa.
Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi pada
saat melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah dalam
satu hari juga berbeda; paling tinggi di waktu pagi hari dan paling rendah pada saat
tidur malam hari. Bila tekanan darah diketahui lebih tinggi dari biasanya secara
berkelanjutan, orang itu dikatakan mengalami masalah darah tinggi.
Bising dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi
tubuh, salah satunya hormon adrenalin yang dilepaskan ke dalam peredaran darah
dapat meningkatkan detak jantung, tekanan darah dan respirasi (Dimalouw, 2002).
Mekanisme pasti bagaimana bising dapat menimbulkan efek fisiologis ini masih
17
belum jelas, hanya saja bising dapat menimbulkan reaksi jantung dengan
menstimulasi sistem syaraf sympathetic atau sistem kelenjar bawah otak (Gillespie,
2004).
Beberapa penelitian seperti Artawan et al (2007) yang meneliti hipertensi pada musisi
gamelan di Bali, Jarup et al pada tahun 2005 yang meneliti hipertensi dan paparan
bising di dekat airport, dan Gillespie et al (2004) yang meneliti perubahan tekanan
darah sitolik, diastolik, dan denyut jantung akibat adanya bising menunjukkan bahwa
kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah bahkan
menyebabkan terjadinya hipertensi.
II.5. Pengukuran Kebisingan di Tempat Kerja
Pengukuran tingkat kebisingan dan paparan bising terhadap pekerja dapat berguna
dalam mengidentifikasi bagian lokasi kerja yang memiliki masalah kebisingan,
mengetahui pekerja mana yang telah terpapar kebisingan, dan di bagian mana yang
perlu dilakukan pengendalian bising.
Langkah pertama untuk mengidentifikasi ada tidaknya masalah kebisingan di tempat
kerja adalah mencari tahu apakah ada potensi masalah kebisingan di tempat kerja
tersebut. Hal ini dapat diketahui dengan melakukan survei. Indikator ada tidaknya
bahaya bising antara lain:
a. Suara di tempat kerja tersebut lebih bising dibandingkan dengan suara lalu lintas
bis kota di jalan raya.
b. Orang-orang harus mengeraskan suaranya ketika berbicara pada jarak 1 m.
c. Setelah bekerja beberapa tahun, para pekerja merasakan kesulitan jika harus
berkomunikasi di tempat ramai.
Peralatan yang biasanya digunakan untuk pengukuran kebisingan dapat dilihat dari
Tabel II.6.
18
Tabel II.6. Peralatan Pengukuran Kebisingan
Alat yang
Jenis Pengukuran
Hasil
Komentar
digunakan
Dosis atau
Paling akurat untuk
1) Dosimeter
Leq
pengukuran personal
Bila pekerja berpindahpindah, sulit untuk
2) ISLM*
Leq
mengukur personal
eksposurnya.
Bila rentang kebisingan
Paparan bising
sangat luas, sulit untuk
personal
mencari rata-rata
eksposurnya. Hanya
3) SLM**
dB(A)
berguna bila ada
pembagian kerja yang
jelas dan bila tingkat
bising relatif stabil setiap
waktunya
Pengukuran harus
dilakukan 1 hingga 3
1) SLM**
dB(A)
meter dari sumber (tidak
Tingkat
langsung pada sumber)
kebisingan
Sangat berguna untuk
dihasilkan oleh
Equivalent
rentang bising yang luas,
sumber khusus
2) ISLM**
sound level
dapat mengukur Leq
dB(A)
pada waktu yang singkat
(1 menit).
Untuk membuat peta
1) SLM
dB(A)
kebisingan.
Survei kebisingan
Untuk bising yang sangat
2) ISLM
Leq
bervariasi
Tekanan
Untuk mengukur puncak
Bising impuls
1) Impulse SLM
puncak dB(A)
setiap impuls
* SLM = Sound Level Meter
* ISLM = Integrating Sound Level Meter
Sumber: www.osha.gov
a. Sound Level Meter.
Sound Level Meter terdiri dari mikropon, sirkuit elektronik, dan display pembacaan.
Mikropon akan mendeteksi tekanan udara yang bervariasi yang kemudian bersamasama dengan bunyi akan mengubahnya menjadi sinyal elektrik. Sinyal ini kemudian
19
akan diproses oleh sirkuit elektronik yang terdapat di dalam alat. Pembacaan akan
terlihat dalam satuan desibel. Untuk pengukuran, Sound Level Meter digenggam dan
diletakkan setinggi telinga mereka yang terpapar bising. Sound Level harus dikalibrasi
terlebih dahulu, baik sebelum maupun sesudah penggunaan.
Sound Level Meter memberikan respons kira-kira sama dengan respon telinga
manusia dan memberikan pengukuran objektif serta bisa diulang-ulang tiap tingkat
kebisingan. Pada umumnya Sound Level Meter mempunyai pembobotan atau skala A,
B, dan C. Untuk pengukuran tingkat kebisingan dipakai skala A. Skala A ini adalah
skala kebisingan yang sensitif untuk frekuensi tinggi dan paling cocok dengan
pendengaran manusia. Skala B memberikan respon yang lebih baik untuk frekuensi
rendah, skala C memberikan respon terhadap frekuensi rendah yang paling baik.
Biasanya skala B dan C digunakan untuk pengendalian kebisingan mesin-mesin di
industri. Dalam penggunaannya, kadang-kadang Sound Level Meter dihubungkan
dengan frequency analyzer. Alat ini berfungsi sebagai filter yang akan memberikan
informasi tentang frekuensi dominan kebisingan. Informasi ini sangat berguna
terutama untuk digunakan dalam rangka pengendalian kebisingan.
b. Integrated Sound Level Meter (ISLM).
Integrated Sound Level Meter memiliki kesamaan dengan dosimeter. ISLM
menentukan ekivalen sound level pada lokasi tertentu. Perbedaannya dengan
dosimeter adalah ISLM tidak digunakan untuk pengukuran personal eksposur karena
ISLM di pegang dengan tangan dan tidak dikenakan pada pekerjanya. Menghasilkan
pembacaan tunggal untuk bising yang ada, meskipun pada kenyataannya Sound level
dari bising berubah terus menerus.
c. Noise dosimeter.
Noise dosimeter merupakan suatu peralatan yang kecil dan ringan yang dijepitkan di
ikat pinggang dengan sebuah mikropon kecil yang dikaitkan di kerah baju, dekat
20
dengan telinga. Dosimeter menyimpan informasi rata-rata tingkat kebisingan yang
diterima selama proses. Sangat berguna untuk di industri di mana bising yang terjadi
bervariasi dalam durasi dan intensitas.
d. Audiometer.
Audiometer adalah suatu frequency compensated, audio signal generator. Alat ini
mengeluarkan nada murni pada berbagai frekuensi dan intensitas untuk digunakan
dalam pengukuran kepekaan pendengaran. Audiometer menghasilkan rangsangan
elektronik yang serupa dengan yang diberikan oleh garpu tala. Karena intensitas yang
dihasilkan oleh audiometer dapat dikontrol secara akurat, maka hasil pengukuran
yang dilakukan akan cukup baik.
Ada dua jenis audiometer :
1. Wide-range audiometer.
Menghasilkan sinyal-sinyal yang umumnya dalam jelajah pendengaran manusia. Alat
ini dilengkapi dengan sepasang air conduction earphone, bone vibrator, dan fasilitas
untuk menutup sebelah telinga pada saat pemeriksaan. Wide-range audiometer ini
ditujukan untuk keperluan klinis dan diagnostik.
2. Limited range audiometer.
Alat ini lebih terbatas dalam hal frekuensi dan tingkat tekanan suara bila
dibandingkan dengan wide-range audiometer. Alat ini menghasilkan nada murni pada
500, 1000, 2000, 3000, 4000, dan 6000 Hz, pada tingkat tekanan suara mulai dari 10
dB(A) sampai 70 dB(A) Standard Reference Threshold Level. Alat ini ditujukan
untuk tingkat ambang pendengaran orang dewasa yang bekerja dalam industri.
Karena ketulian berhubungan dengan faktor usia, untuk pengukuran menggunakan
Audiometer akan dilakukan koreksi terhadap usia. Koreksi terhadap usia ini bertujuan
ingin melihat sudah berapa besar terjadi pergeseran batas pendengaran. Beberapa
metode penghitungan hasil Audiometer dengan memasukkan koreksi usia ini sudah
21
dimulai sejak tahun 1972 oleh NIOSH, dan terus berkembang hingga saat ini.
Beberapa metode penghitungan pergeseran batas dengar dapat dilihat pada Tabel II.7.
Tabel II.7. Beberapa Metode Penghitungan Pergeseran Batas Dengar
No
NIOSH 1972
1B
Tentukan nilai age correction
untuk baseline audiogram
2
Hitung selisih 1A dan 1B
Selisih tersebut (delta Δ)
adalah jumlah yang mengacu
pada usia
Hasil selisih (delta Δ)
memperlihatkan perubahan
pendengaran yang dipengaruhi
oleh usia
4
Jumlahkan delta Δ dengan
initial baseline pekerja
audiogram pada setiap
frekuensi untuk memperoleh
age-corrected baseline
Hitung selisih delta Δ dari
audiogram yang akan diteliti
pada setiap frekuensi untuk
mendapatkan adjusted annual
audiogram
5
Hitung selisih koreksi usia
terhadap age-adjusted baseline
dari audiogram yang diteliti
Hitung selisih batas pendengaran
antara adjusted annual
audiogram dengan nilai baseline
audiogram pada setiap
frekuensinya
6
Hitung selisih most recent
(previous) audiogram dari
audiogram yang diteliti
N/A
STS
Pergeseran didefinisikan
sebagai nilai batas tertinggi ≥
10 dB pada frekuensi 500,
1000, 2000, dan 3000 atau ≥ 15
dB pada frekuensi 4000 dan
6000 Hz
Pergeseran didefinisikan sebagai
perubahan batas dengar relatif
terhadap baseline audiogram
apabila rata-rata ≥ 10 dB pada
frekuensi 2000, 3000, dan 4000
Hz baik pada salah satu telinga
maupun pada kedua telinga
3
Sumber: www-nehc.med.navy.mil
22
NIOSH 1998
Tidak menggunakan faktor koreksi usia
1A
Tentukan nilai age correction
untuk audiogram yang diteliti
OSHA 1983
(A) Tentukan usia dan nilai
faktor koreksi dari hasil
audiogram yang akan ditentukan
pada frekuensi 1000 hingga
6000 Hz
(B) Tentukan usia dan nilai
faktor koreksi yang akan
dijadikan sebagai baseline
audiogram, yaitu yang memiliki
nilai audiogram terbaik.
Hitung selisih nilai faktor
koreksi dari 1A dan 1B
MSHA (1999)
Hitung nilai koreksi
usia untuk usia yang
dijadikan sebagai
baseline
Hitung nilai koreksi
usia untuk
audiogram yang
akan ditentukan
Hitung selisih nilai
1A dan 1 B
Selisihnya
memperlihatkan
perubahan batas
dengar berdasarkan
koreksi usia
Hitung selisih delta
Δ dari audiogram
yang akan diteliti
pada setiap
frekuensi untuk
mendapatkan
adjusted annual
audiogram
Hitung selisih batas
pendengaran antara
adjusted annual
audiogram dengan
nilai baseline
audiogram
N/A
Perubahan batas
dengar bila pada
salah satu telinga
atau pada kedua
telinga ≥ 15 dB pada
frekuensi 500, 1000,
2000, 3000, 4000,
dan 6000 Hz
Pergeseran batas
dengar didefinisikan
sebagai perubahan
batas dengar relatif
terhadap baseline ≥
10 dB pada
frekuenai 2000 dan
3000 Hz
Sebagai tabel acuan untuk koreksi usia perhitungan OSHA dapat dilihat pada Tabel
II.8.
Tabel II.8. Tabel Koreksi Usia Bagi Pekerja Lelaki
____________________________________________________________
Audiometric Test Frequency (Hz)
Years
_________________________________
______________________1000
2000
3000
4000
6000
20 or younger...........
5
3
4
5
8
21 .....................
5
3
4
5
8
22 .....................
5
3
4
5
8
23 .....................
5
3
4
6
9
24 .....................
5
3
5
6
9
25 .....................
5
3
5
7
10
26 .....................
5
4
5
7
10
27 .....................
5
4
6
7
11
28 .....................
6
4
6
8
11
29 .....................
6
4
6
8
12
30 .....................
6
4
6
9
12
31 .....................
6
4
7
9
13
32 .....................
6
5
7
10
14
33 .....................
6
5
7
10
14
34 .....................
6
5
8
11
15
35 .....................
7
5
8
11
15
36 .....................
7
5
9
12
16
37 .....................
7
6
9
12
17
38 .....................
7
6
9
13
17
39 .....................
7
6
10
14
18
40 .....................
7
6
10
14
19
41 .....................
7
6
10
14
20
42 .....................
8
7
11
16
20
43 .....................
8
7
12
16
21
44 .....................
8
7
12
17
22
45 .....................
8
7
13
18
23
46 .....................
8
8
13
19
24
47 .....................
8
8
14
19
24
48 .....................
9
8
14
20
25
49 .....................
9
9
15
21
26
50 .....................
9
9
16
22
27
51 .....................
9
9
16
23
28
52 .....................
9
10
17
24
29
53 .....................
9
10
18
25
30
54 .....................
10
10
18
26
31
55 .....................
10
11
19
27
32
56 .....................
10
11
20
28
34
57 .....................
10
11
21
29
35
58 .....................
10
12
22
31
36
59 .....................
11
12
22
32
37
60 or older ............
11
13
23
33
38
___________________________________________________________
Sumber: www.osha.gov
23
Tabel II.8 di atas diperlukan sebagai faktor koreksi usia karena pada penelitian ini
akan mengacu dari langkah-langkah yang dilakukan oleh OSHA 1983 (Calculations
and application of age corrections to audiograms). Akan ditentukan salah satu usia
sebagai baseline audiogram yaitu yang diambil dari hasil audiogram terbaik.
Seseorang dikatakan sudah mengalami pergeseran batas pendengaran bila hasil ratarata perubahan batas dengarnya telah mencapai ≥ 10 dB pada frekuensi 2000, 3000,
4000 Hz.
Untuk penurunan batas dengar diperoleh dari tahap kelima dari langkah perhitungan
OSHA 1983, yaitu selisih antara nilai audiogram yang diteliti pada frekuensi 2000,
3000, dan 4000 Hz dengan nilai faktor koreksi usia terhadap baseline audiogram.
Untuk menyatakan sudah terjadi penurunan batas pendengaran dapat digunakan kurva
penurunan batas pendengaran terhadap usia pada Gambar II.3.
Gambar II.3. Kurva Penurunan Batas Pendengaran Berdasarkan Kelompok Usia
Sumber: www.sfu.ca
24
Dari gambar II.3 bila dikelompokkan terhadap usia, range nilai penurunan batas
pendengaran pada frekuensi 2000 hingga 4000 Hz dapat dilihat pada Tabel II.9.
Tabel II.9. Range Penurunan Batas Pendengaran pada Rentang Frekuensi 2000
Hingga 4000 Hz
Kelompok Usia (thn) Range Penurunan Batas Pendengaran (dB(A))
20 - < 30
≤5
30 - < 40
0 - 12
40 - < 50
5 - 20
50 - < 60
10 - 30
II.6. Analisis Risiko
Analisis risiko adalah suatu teknik untuk menganalisis risiko dalam berbagai bidang,
seperti toksikologi, higiene industri, keselamatan kerja, prediksi cuaca, epidemiologi,
dan perilaku sosial. Proses dan tahapan analisis mencakup identifikasi bahaya,
evaluasi paparan dan dosis respon, karakterisasi risiko dan kebijakan perbaikan yang
terlihat pada Gambar II.4.
Identifikasi bahaya
Evaluasi paparan
Evaluasi dosis respon
Karakterisasi
risiko
Kebijakan perbaikan
Gambar II.4. Proses dan Tahapan Analisis
25
II.6.1. Identifikasi Bahaya
Untuk penentuan bahaya dapat dilakukan dengan menggunakan studi epidemiologi,
uji hewan secara in vivo, uji kultur jaringan/sel jangka pendek, maupun dengan
analisis hubungan aktivitas dengan struktur molekul. Dalam bidang teknik
lingkungan yang baru dilakukan adalah studi epidemiologi, sedangkan uji hewan
secara in vivo, uji kultur jaringan/sel jangka pendek, maupun dengan analisis
hubungan aktivitas dengan struktur molekul hanya untuk zat kimia, biologi, dan
fisika.
Studi epidemiologi bertujuan untuk mempelajari pola/distribusi dan frekuensi
penyakit di masyarakat serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola tersebut
(meneliti faktor determinan atau yang ikut menentukan terjadinya penyakit) dan
mempelajari sebab-akibat dengan efek langsung terhadap organisme/manusia.
Dalam epidemiologi dikenal tiga model dasar penelitian observasional analitis, yakni
model kasus kendali, kohort, dan cross sectional.
1. Model kasus kendali.
Model kasus kendali ini disebut juga case control atau case history, dan retrospektif.
Penelitian jenis ini dilakukan apabila penyakit sudah ada/sudah manifest, tetapi tidak
diketahui sebabnya. Karena agen penyakitnya selalu bertindak atau selalu berada dan
beraksi sebelum terjadinya penyakit, maka penelitian ini meninjau kembali ke masa
lalu untuk mencari agennya. Oleh karena itu penelitian ini disebut penelitian
retrospektif atau menelusuri history atau sejarah perkembangan penyakit. Penelitian
ini semakin banyak dilakukan untuk mencari penyebab penyakit yang belum
diketahui, terutama penyakit yang jarang didapat seperti berbagai jenis kanker.
2. Model Kohort atau prospektif.
Model kohort juga disebut studi follow-up atau studi insidensi. Penelitian kohort
berbeda dari kasus kendali karena pada saat penelitian belum didapat penderita
kanker, tetapi sudah diketahui adanya agen potensial yang memapari populasi yang
26
akan diteliti dalam berbagai kategori. Variabel berupa agen potensial didefinisikan
dan diukur, sementara itu kohort diikuti kesehatannya dan apabila terjadi penyakit
diperiksa untuk melihat sesuai tidaknya penyakit tersebut dengan yang didefinisikan
sebelum mulai penelitian.
3. Model Cross-sectional.
Model cross-sectional disebut juga studi prevalensi, karena yang diukur adalah
prevalensi. Berbeda dari dua model terdahulu, di mana aksi agen dapat dinyatakan
sebagai mendahului penyakit, maka dalam model ini baik agen dan penyakit diteliti
pada saat yang sama. Dengan demikian data penyakit yang didapat berupa prevalensi
dan paparan yang didapatkan adalah paparan yang saat ini ada, dan bukan yang
menyebabkan penyakit yang tentunya harus didapat di masa lalu. Apabila keadaan
lingkungan itu bisa dianggap stabil, maka asumsi bahwa kadar agen itu sama di masa
lalu dengan yang sekarang dapat diterima.
II.6.2. Evaluasi Paparan
Paparan seringkali dilupakan, padahal tanpa paparan tidak akan ada risiko. Bagian
penting dalam paparan ini adalah pathway yang membawanya dari sumber ke titik
kontak dengan masyarakat. Dimana dapat terjadi perubahan transpor-transformasi,
adsorpsi-desorpsi dalam pathway. Hal kedua yang tidak kalah penting adalah
estimasi kontak yang terjadi; apakah secara kontinu atau intermitten, portal of entry
nya melalui kulit, telinga, mulut, dll.
II.6.3. Evaluasi Dosis Respon
Evaluasi dosis respon berguna untuk mencari konsistensi hubungan dosis dengan efek
yang diduga diakibatkan oleh xenobiotik. Bila ada konsistensi, maka semakin besar
dosis, semakin parah efek, sampai pada saat organisme tidak lagi bertambah
responnya, bila dikurvakan akan membentuk huruf S. Kurva dosis respon ditunjukkan
pada Gambar II.5.
27
Gambar II.5. Kurva Dosis-Respon
Sumber: www.ccohs.ca
Dalam penelitian ini, hasil pengukuran dengan Noise Dosimeter akan bertindak
sebagai dosis, sedangkan hasil pengukuran dengan audiometri akan menunjukkan
respon yang dirasakan oleh pekerja.
II.6.4. Karakterisasi Risiko
Yaitu menentukan berbagai jenis estimasi dari hasil penilaian source release, hazard
assessment, dose response, dan exposure assessment. Estimasi yang dilakukan berupa
tipe, besaran, efek yang merugikan, kemungkinan efek yang akan terjadi, disertai
dengan deskripsi dan asumsi analisis dan ketidakpastiannya.
Karakterisasi risiko tergantung pada tujuan dan sifat penilaian risiko, tergantung pada
preferensi peneliti dan sering kali terbatas pada satu atau dua zat saja, sehingga
banyak yang tidak diteliti. Karakterisasi risiko dapat dinyatakan dengan HI (Hazard
Index) dan RR (Risiko Relatif).
HI merupakan jumlah dari HQ (Hazard Quotient). HQ diperoleh dengan cara
membandingkan nilai yang diterima oleh seseorang terhadap nilai yang
diperbolehkan. HQ dirumuskan dengan:
28
HQ =
Average Daily Dose
Re ference Dose
HI =∑ HQ
Untuk yang bersifat non karsinogenik seperti kebisingan yang akan diteliti, Reference
Dose (RfD) dibandingkan dengan nilai kebisingan yang diterima oleh populasi
sampel. RfD yang digunakan di sini adalah Nilai Ambang Batas untuk kebisingan
yaitu 85 dB(A).
Nilai RR diperoleh dengan membandingkan jumlah penyakit pada kelompok terpapar
dengan jumlah penyakit pada kelompok tidak terpapar. RR dinyatakan dalam matriks
2x2 seperti terlihat pada Tabel II.10 (Soemirat, 2000).
Tabel II.10. Matriks 2x2 Perhitungan RR
Status sakit/paparan Terpapar
Tidak terpapar
Sakit
a
b
Tidak sakit
c
d
RR =
a /(a + c)
b /(b + d )
Bila RR ≥ 1, menandakan risiko terjadinya penyakit pada kelompok terpapar lebih
besar daripada risiko terjadinya penyakit pada kelompok tidak terpapar.
29
Download