BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PRODUK PERIKANAN Ikan merupakan salah satu pilihan sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan tempat hidupnya ikan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu ikan air tawar, ikan air laut, dan ikan air payau. Berdasarkan cara memproduksinya ikan dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu ikan hasil perikanan tangkap dan ikan hasil budidaya. Badan Pusat Statistik (BPS) (2007) menjelaskan bahwa perikanan tangkap terdiri dari dua subsektor yaitu perikanan laut dan perikanan umum. Sementara untuk ikan budidaya, terbagi menjadi enam subsektor yaitu budidaya laut, kolam, tambak, karamba, jaring apung, dan sawah. Departemen Kelautan dan Perikanaan (DKP) (2007) membagi perikanan tangkap menjadi lima kelompok berdasarkan komoditnya yaitu ikan, binatang berkulit keras, binatang lunak, binatang air lainnya, dan tanaman air. Hasil perikanan tangkap yang termasuk kategori ikan antara lain: ikan manyung, ikan cendro, ikan sebelah, ikan kue, ikan layang, bawal hitam, bawal putih, kembung, tenggiri, berbagai kerapu, dan lain-lain; kategori binatang berkulit keras yaitu berbagai jenis udang, kepiting, rajungan, penyu; kategori binatang lunak yaitu kerang darah, kerang hijau, cumi-cumi, gurita, dan lain-lain; kategori binatang air lainnya yaitu teripang, bunga karang, ubur-ubur, dan lain-lain; kategori tanaman air adalah rumput laut. Sementara itu untuk perikanan umum berdasarkan komoditinya DKP (2007) mengelompokkan menjadi empat kategori yaitu ikan, binatang berkulit keras, binatang berkulit lunak, dan binatang air lainnya. Hasil perikanan umum yang tergolong ke dalam kategori ikan adalah ikan betok, sidat, baung, gurami, lele, nila, mujair, dan lain-lain; kategori binatang berkulit keras yaitu udang grago, udang galah, udang tawar, dan lain-lain; kategori binatang berkulit lunak yaitu remis, siput, dan lain-lain; kategori binatang air lainnya yaitu buaya, katak benggala, kodok, kura-kura, dan lain-lain. Jenis komoditi yang 4 termasuk ke dalam ikan budidaya adalah udang, kerapu, nila, ikan mas, bandeng, kakap, patin, lele, gurami, kepiting, kekerangan, dan rumput laut (DKP, 2007). Berbagai jenis ikan yang ada dan banyak diproduksi beberapa diantaranya adalah ikan bawal, gurami, dan kembung. Ikan bawal dan kembung merupakan ikan hasil perikanan tangkap sedangkan gurami merupakan jenis ikan yang dapat dikategorikan sebagai ikan hasil perikanan umum dan budidaya (DKP, 2007). Ikan bawal putih merupakan ikan yang kenaikan rata-rata volume produksinya sebesar 8.66 % (2002-2007) bahkan kenaikan ini mencapai 22.01 % pada tahun 2006-2007. Ikan kembung merupakan ikan dengan kenaikan rata-rata volume produksi sebesar 3.63 % (2002-2007). Sementara untuk ikan gurami, kenaikan rata-rata volume produksi adalah sebesar 17.53 % bahkan pada tahun 2006-2007 kenaikan ini mencapai 24.37 % (DKP, 2007). Genisa et al. (1998) menjelaskan bahwa ikan bawal yang terdapat di Indonesia terdiri dari tiga jenis yaitu Parastromateus niger, Pampus chinensis, dan Pampus argenteus. Parastromateus niger sering disebut sebagai bawal hitam, ciri-cirinya yaitu tubuhnya lebar berwarna coklat, sirip dadanya berbentuk falcate. Jenis ikan ini merupakan jenis ikan bawal yang hidup di perairan yang dasarnya berlumpur terutama di depan muara-muara sungai. Jenis ikan ini pada waktu tertentu hidup berkelompok dalam jumlah yang cukup besar, dan bergerak mengikuti arah arus. Pampus chinensis adalah ikan yang hidup pada perairan yang keadaan dasarnya terdiri dari lumpur atau berlumpur pada kedalaman 20-50 meter, jenis ikan ini merupakan hasil terpenting dari tangkapan jermal di muara sungai Rokan, jenis bawal ini memiliki ciri-ciri sirip punggung dan dubur melebar berbentuk segitiga, percabangan ekor tidak dalam dan seimbang. Sementara itu, Pampus argenteus atau sering disebut sebagai bawal putih merupakan ikan yang hidup di perairan pantai, perairan payau bahkan hidup di air tawar. Ikan ini memiliki sirip punggung dan sirip dubur melebar berbentuk sabit. Percabangan ekor dalam dan jelas, cabang-cabang yang bawah lebih panjang dari cabang yang atas. Ikan gurami (Osphronemus gouramy) alias giant gourami (gurami raksasa) merupakan ikan konsumsi sekaligus dapat dijadikan ikan hias (Sarwono dan Sitanggang, 2002). Gurami mendiami perairan yang tenang dan tergenang seperti 5 rawa-rawa, situ, dan danau. Gurami memiliki bentuk fisik khas antara lain: badannya pipih, agak panjang dan lebar, mulutnya kecil, letaknya miring, tidak tepat dibawah ujung moncong. Bibir bawah terlihat menonjol sedikit dibandingkan bibir atas. Varietas atau strain gurami berdasarkan daya produksi telur, kecepatan tumbuh, ukuran atau bobot maksimal gurami dewasa dapat dibedakan menjadi enam macam yaitu angsa (soang, geese gourami), jepun (jepang, japonica), blausafir, paris, bastar (pedaging), dan porselen. Gurami angsa memiliki ciri-ciri bersisik lebar, berwarna putih abu-abu. Ukuran badan cukup besar dan panjang, pertumbuhan cepat, lekas bongsor, badan besar dan panjang. Panjang badan maksimal 65 cm. bobotnya bisa mencapai 6-12 kg. Gurami jepun bertubuh pendek, panjang maksimal 45 cm, dengan bobot maksimal 3.5 kg. tubuh bersisik dan berwarna putih abu-abu atau kemerah-merahan. Gurami blausafir berwarna merah muda cerah. Warna relatif sama dengan porselin, tapi ukuran tubuh lebih besar. Berat induk 2 kg dengan jumlah telur mencapai 5.0007.000 butir per sarang. Gurami paris berwarna merah muda cerah dan memiliki sisik agak halus. Kepalanya berwarna putih dan terdapat bintik-binti hitam. Ukuran tubuh lebih kecil dari porselin dengan bobot induk kurang dari 1.5 kg. Gurami porselin berwarna merah muda cerah dengan ukuran kepala relatif kecil. Porselin unggul dalam menghasilkan telur. Per sarang mampu menghasilkan 10.000 butir. Bobot induk antara 1.5-2 kg. Gurami bastar bersisik besar-besar, berwarna agak kehitam-hitaman. Kepal putih polos. Setiap satu keturunan gurami ini tumbuh lebih cepat dari varietas lainnya. Produksi telur hanya 2.000-3.000 butir persarang. Selain enam strain diatas, berdasarkan warna terdapat gurami hitam, albino (putih), dan belang (Sarwono dan Sitanggang, 2002). Ikan kembung adalah ikan yang umum yang digemari masyarakat, karena disamping harganya ekonomis, juga relatif sederhana dalam pengolahannya, yaitu cukup digoreng. Ada juga yang suka dibalado atau dipepes. Terdapat banyak macam ikan kembung, namun yang umum terdapat di pasar pelelangan ikan adalah ikan kembung banjar, ikan kembung puket, dan ikan kembung como (Decapterus russelli) (Bahar, 2004). Ikan kembung banjar memiliki fisik tubuh yang lebar dan agak bulat sedangkan ikan kembung puket memiliki fisik tubuh yang lebih gepeng 6 (ramping). Ikan kembung como memiliki fisik yang agak unik dimana pada bagian insang terdapat spot hitam (tompel). Perbedaan lainnya adalah ikan kembung como memiliki fisik yang lebih besar, lebih gemuk, dan dagingnya lebih kenyal dibandingkan jenis kembung lainnya. B. KERUSAKAN IKAN Ikan merupakan komoditas yang rentan terhadap kerusakan baik kerusakan fisik, kimia, dan mikrobiologi. Kerusakan ini terutama diakibatkan oleh buruknya penanganan terhadap ikan baik penanganan saat penangkapan, distribusi, dan penjualan. Selain itu, terdapat faktor internal dari ikan itu sendiri yang menyebabkan ikan mudah rusak. Ikan segar adalah ikan yang baru di panen dan belum mengalami perlakuan dan pengolahan. Ikan segar yang berkualitas adalah ikan yang memenuhi syarat kesegaran, kebersihan, dan kesehatan (SNI 01-2719-1992). Bentuk bahan baku ikan segar dapat berupa ikan segar utuh atau tanpa insang dan isi perut. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukkan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Berdasarkan SNI 01-2719-1992 spesifikasi persyaratan mutu ikan segar adalah sebagai berikut : Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar Jenis Mutu Satuan a) Organoleptik (Nilai minimal) Persyaratan Mutu 7 b) Cemaran Mikroba : 1. ALT/gram, maks cfu/gram 5 x 105 2. Escherichia coli APM/gram <3 3. Vibrio cholerae Per 25 gram Negatif Keterangan : Sumber : ALT : Angka Lempeng Total APM : Angka Paling Mungkin Badan Standarisasi Nasional (1992) 7 Ikan segar dan ikan busuk dapat dibedakan secara fisik yaitu dengan menilai bagian-bagian tubuh ikan seperti mata, insang, daging, sisik, dan lain-lain. Menurut Hardiwiyoto (1993) terdapat perbedaan ikan segar dan ikan busuk yaitu : Tabel 2. Perbedaan ikan segar dan ikan busuk Bagian ikan Mata Ciri ikan segar Cerah, bening, cembung Ciri ikan busuk Pudar, berkerut, cekung, tenggelam menonjol Insang Merah, berbau segar, tertutup Coklat/kelabu, berbau asam, lendir bening tertutup lendir keruh Warna Terang, lendir bening Pudar, lendir kelabu Bau Segar Asam, busuk Daging Putih, padat/kenyal, bila Kemerahan, terutama di sekitar ditekan bekasnya segera tulang punggung, bekas tekanan jari lenyap tidak hilang Sisik Menempel kuat pada kulit Mulai lepas Dinding Perut Utuh, elastis Menggelembung, pecah, isi perut keluar, lembek Kondisi dalam Tenggelam didalam air Terapung (bila sudah sangat busuk) air Sumber : Hardiwiyoto, 1993 Menurut Murniyati dan Sunarman (2000) secara kronologis, pembusukkan ikan berjalan melalui empat tahap, yaitu : a. Hiperaemia Lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di dalam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyebangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1- 8 2.5 % dari berat tubuhnya. Lendir ini terdiri atas glukoprotein mucin yang merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri. b. Rigor mortis Fase rigor mortis ditandai dengan keadaan otot yang kaku dan keras. Hilangnya kelenturan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin. Tingkat rigor ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Rigor mortis pada ikan terjadi mulai dari bagian ekor dan terus berlangsung serta merambat ke bagian kepala. c. Autolisis Autolisis adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protease dan lipase) yang terdapat di dalam daging ikan. Karena daging ikan terdiri atas protein, maka proses ini dapat juga disebut proteolisis. Enzim-enzim ini sebetulnya sudah aktif sejak ikan masih hidup, akan tetapi ketika itu hasil aktivitasnya dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan pemeliharaan tubuh. Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan pH. Mula-mula, protein terpecah menjadi molekul-molekul makro, yang menyebabkan peningkatan dehidrasi lalu pecah lagi menjadi pepton, polipeptida, dan akhirnya menjadi asam amino. Disamping asam amino, autolisis menghasilkan pula sejumlah kecil pyrimidine dan purine yaitu basa yang dibebaskan pada waktu pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Autolisis akan merubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun. d. Pembusukan oleh bakteri Pada tahapan ini jumlah bakteri sudah cukup tinggi akibat perkembangbiakan yang terjadi pada fase-fase sebelumnya. Kegiatan bakteri pembusuk semulai pada saat yang hamper bersamaan dengan autolisis dan kemudian berjalan sejajar. Bakteri merusak ikan lebih parah daripada kerusakan yang diakibatkan oleh enzim. Sejumlah bakteri semula bersarang pada permukaan tubuh, insang, dan di dalam perutnya. Bakteri ini secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung intensif setelah 9 selesainya rigor mortis, yaitu setelah daging menjadi lunak dan celah-celah seratnya terisi cairan. Meskipun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang terbaik baginya adalah hasil-hasil hidrolisis yang terbentuk selama autolisis dab senyawa-senyawa nitrogen non protein (trimetilamin oksida, urea) yang terdapat dalam daging. Daging ikan laut lebih banyak mengandung senyawa non-protein daripada ikan air tawar, dengan demikian ikan laut lebih cepat diuraikan bakteri. Penurunan kesegaran ikan ini dapat ditentukan melalui beberapa cara. Menurut Murniyati dan Sunarman (2000) penentuan tingkat kesegaran ikan dapat dilakukan dengan cara : a. Pemeriksaan secara organoleptik atau sensorik Pengamatan yang dilakukan meliputi warna, bau, konsistensi, dan penampakkan daging. Perubahan organoleptik disebabkan karena melunaknya tekstur daging ikan. Pelunakan tekstur terjadi karena penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu polipepetida, asam amino, dan amoniak yang dapat meningkatkan pH ikan. Keadaan basa yang terbentuk akibat adanya hasil pemecahan protein, lemak, dan karbohidrat merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. b. Pemeriksaan dengan K-Value Analisis ini didasarkan pada katabolisme nukleotida, dan dapat dilakukan pada sejumlah ikan. Adapun nukleotida yang umum adalah berada dalam bentuk Adenosine triphosphate (ATP), dimana ATP akan berubah melalui Adenosine diphosphate (ADP), Adenosine monophosphate (AMP), Inosine monophosphate (IMP), dan inosin (HxR) sampai akhirnya terbentuk hypoxanthine (Hx). Hypoxanthine merupakan indikasi yang baik pada perubahan post mortem daging ikan. Perubahan nilai K selama penyimpanan bervariasi tergantung pada spesies dan jenis daging (daging merah/daging putih). Terdapat hubungan antara kesegaran 10 ikan dan K-Value. Analisis K-Value umumnya dilakukan dengan menggunakan HPLC. Rumus K-Value adalah sebagai berikut : x 100% %K Keterangan : ATP : Adenosine triphosphate ADP : Adenosine diphosphate IMP : Inosine monophosphate Tabel 3. Nilai K beberapa jenis ikan Nilai K Terdapat pada < 5% ikan yang baru mati 20% Ikan untuk bahan sasimi dan sushi 22.50% Rata-rata daging ikan di pusat pendaratan 40-60% Rata-rata daging ikan untuk kamaboko dan surimi c. TMAO (Trimethyl Amin Oxidase) Perubahan kimiawi TMAO dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu : mikrobiologis dan autolysis. Perubahan TMAO menjadi DMA akan berlangsung secara bakteriologis yaitu karena aktivitas bakteri yang terdapat pada ikan yang disimpan pada suhu kamar atau pada suhu es (chilling). Tetapi perubahan TMAO menjadi DMA dan formaldehid akan dominan pada ikan yang disimpan pada suhu beku. Untuk menghambat perubahan TMAO maka ikan ditambah es atau dibekukan, tetapi dengan es aktivitas bekteri masih ada sehingga ikan umumnya hanya dapat disimpan dalam es maksimal 16 hari tergantung jenis ikannya. Senyawa ini terbentuk selam pembusukkan ikan oleh bakteri terhadap TMAO. Beberapa jenis ikan terutama ikan air tawar, memiliki sedikit TMAO. Ikan dikatakan busuk bila mempunyai kadar TMAO sebesar 2.7 mg nitrogen/100 gram. 11 d. TVB (Total Volatile Base) Komponen utama total volatil basa adalah NH3, TMA, dan DMA. Beberapa spesies ikan ditemukan mempunyai korelasi antara kandungan TVB dan penilain organoleptik. Dimana perubahan kandungan TVB selama pembusukkan mirip dengan TMA, namun kandungan awalnya lebih tinggi. TVB dapat dijadikan indeks kesegaran ikan semenjak basa volatil terakumulasi dalam daging ikan sampai dengan tahap akhir pembusukkan. Kesegaran pada ikan tidak mungkin dijaga tetap sejak ikan mulai dipanen atau ditangkap. Penurunan kesegaran pada ikan hanya dapat dipertahankan agar penurunan kesegaran ikan tidak terjadi terlalu cepat. Nasran (1972) menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi mutu ikan segar yaitu cara penangkapan, faktor biologis, dan pengaruh selama penanganan. Faktor cara penangkapan meliputi : (a) cara kematian, ikan yang mati dengan segera atau tanpa perlawanan akan mempunyai mutu yang lebih baik dibandingkan dengan ikan yang matinya perlahan-lahan dan banyak melakukan perlawanan, (b) lama ikan di dalam jaring, ikan yang masuk dan mati di dalam jaring dalam waktu lama mempunya mutu yang kurang baik dibandingkan dengan ikan yang diangkat hidup, (c) suhu air laut 23.9oC-29.3oC akan menambah kemunduran mutu ikan, (d) selektivitas alat tangkap. Faktor biologis meliputi: (a) banyaknya makanan dalam perut ikan, ikan yang ditangkap penuh dengan makanan lebih cepat mundur mutunya dibandingkan dengan ikan lapar, (b) kedewasaan seksual, ikan yang bertelur kerja enzimnya lebih cepat sehingga ikan lebih cepat menurun mutunya. Pengaruh selama penangana meliputi: (a) spesies, (b) waktu, semakin lama dalam menangani ikan semakin menurun mutunya, (c) suhu selama bekerja, dan (d) kebersihan dalam bekerja (Nasran, 1972). Berbagai jenis bakteri terdapat pada ikan, mulai dari bakteri patogen hingga bakteri pembusuk. Menurut Frazier dan Westhoff (1981) ikan yang hidup di Laut Utara membawa banyak bakteri psikrofilik dan ikan yang berada di Laut Tropika membawa lebih banyak bakteri mesofilik. Sementara itu, jenis bakteri yang dibawa ikan air tawar menyerupai jenis bakteri yang terdapat pada ikan air laut ditambah jenis Aeromonas, Lactobacillus, Brevibacterium, Alkaligenes, dan 12 Streptococcus. Lendir yang menutupi ikan mengandung genus Pseudomnonas, Alcaligenes, Micrococcus, Flavobacterium, Corynebacterium, Sarcina, Seratia, Vibrio, dan Bacillus. Selanjutnya dikemukakan bahwa beberapa bakteri seperti Salmonella, Shigella, Eschericia coli, koliform, Enterocooci, dan Clostridium sering mengkontaminasi ikan segar. Bakteri patogen seperti Salmonella pada ikan saat ini menjadi perhatian yang serius di banyak negara di dunia. Sebenarnya Salmonella merupakan bakteri patogen yang berhabitat di dalam gastrointestinal hewan, termasuk burung dan manusia (Pelzer 1989). Bakteri ini dapat mencapai air melaui kontaminasi fecal terhadap air. Ketahanan Salmonella dalam air sangat tinggi (DiRita, 2001). Bahkan bakteri ini dapat bertahan saat terjadi peningkatan salinitas yang terjadi secara cepat dan strees tekanan osmotik yang berkepanjangan dengan cara bergabung dengan cairan limbah dalam air payau (Mezrioui et al, 1995). Beberapa hal inilah yang dapat menjelaskan terdapatnya bakteri Salmonella pada ikan (seafood). Selain itu, terdapat pula faktor lain termasuk kurangnya suplai air bersih, ketidakcukupan proses sanitasi, buruknya higienitas, dan masalah keamanan pangan yang menyebabkan tingginya kasus salmonellosis akibat bakteri Salmonella dari ikan (seafood). Insiden Salmonella dalam makanan laut (seafood) terjadi di banyak Negara di dunia. Varma et al, (1985) mengemukakan bahwa kejadian adanya kehadiran Salmonella adalah sebesar 7.46 % yang berasal dari makanan laut potong beku dan udang kupas. Iyer dan Shrivastava (1989) menjelaskan bahwa kehadiran Salmonella terjadi sebesar 12 % pada makanan laut (seafood) potong dan udang kupas, 10 % pada udang tanpa kepala (dengan kulit), 14 % pada udang utuh, 17 % pada lobster, dan lain-lain. Kehadiran Salmonella juga banyak terjadi di negaranegara Asia seperti Sri Lanka (Fonseka, 1990), Thailand (Rattagool et al, 1990), Taiwan (Chio dan Chen, 1981), dan Indonesia (Sunarya et al, 1990). C. SALMONELLA Salmonella merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerobik, tidak membentuk spora, dan bakteri berbentuk batang. Jenis Salmonella yang hidupnya bergerak (motil) memiliki flagella peritrikus. Bakteri ini memproduksi asam dan 13 kadang-kadang yang memproduksi gas dari glukosa biasanya menghasilkan hasil uji katalase positif dan oksidase negatif serta merubah nitrat menjadi nitrit. (ICMSF, 1996). Umumnya strain Salmonella, kecuali S. typhi, tergolong ke dalam aerogenik, menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, lisin dekarboksilat, arginin dan ornitin, dan memproduksi hidrogen sulfida. Hasil reaksi metil red adalah positif, uji Voges-Proskauer dan indol adalah negatif. Salmonella tidak mendeaminasi fenilalanin dan tidak menghidrolisis urea, gelatin tidak di-liquified secara cepat dalam nutrisi pada media begitu pula dengan DNAase dan produksi lipase (ICMSF, 1996). Tabel 4. Karakteristik Biokimia Salmonella Karakteristik Reaksi Katalase + Oksidase - Produksi asam dari laktosa - Produksi gas dari glukosaa + Indol - Produksi urease - Produksi H2S dari TSIA (Triple Sugar Iron Agar) + Sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon a + Metil Merah + Voges-Proskauer - Lisin dekarboksilase + Ornitin dekarboksilase + Keterangan : +=reaksi positif; - = reaksi negatif a = pengecualian bagi S. Typhi *Sumber : Bell dan Kyriakides (2002) di dalam Bell dan Kyriakides (2003) Salmonella terdiri dari beberapa Subgenus. Salmonella yang berasal dari Subgenus I yang terdiri dari Salmonella patogenik tipikal diisolasi dari saluran pencernaan hewan berdarah panas. Subgenus II dan III yang dikenal sebagai Arizona seringkali diisolasi dari hewan berdarah dingin. Subgenus IV dan V yang umumnya ditemukan dilingkungan tidak tegolong sebagai bakteri patogen 14 terhadap manusia (ICMSF, 1996). Strain Salmonella secara antigen dapat dibedakan berdasarkan reaksi aglutinasinya (pembentukan agregat) dengan antisera homolog dan kombinasi dari masuknya antigen pada setiap strain Salmonella, berdasarkan pada formula antigenik, yang unik pada masing-masing serotip Salmonella (Bell dan Kyriakides, 2003). Salmonella tumbuh optimal pada suhu 35oC-37oC, mengkatabolisme berbagai macam karbohidrat menjadi asam dan gas, menggunakan sitrat sebagai sumber karbon tunggal, memproduksi H2S, dan mendekarboksilasi lysine dan ornithine menjadi cadaverine dan putrescine. Mikroorganisme ini termasuk oksidase negatif dan katalase positif memiliki 50-53 mol % guanin dan sitosin (G + C) dalam kandungan DNA-nya (D’Aoust, 2000). Jay (2000) menjelaskan bahwa secara umum Salmonella tidak mampu memfermentasi laktosa, sukrosa, atau salisin, namun glukosa dan beberapa jenis monosakarida tertentu dapat difermentasi dengan disertai produksi gas. Selain itu, Salmonella umumnya memanfaatkan asam amino sebagai sumber N, namun beberapa strain Salmonella seperti S. Typhimurium memanfaatkan nitrat, nitrit, dan NH3 sebagai sumber nitrogen. Walaupun fermentasi laktosa umumnya tidak dapat dilakukan oleh mikroorganisme ini, beberapa serovars dapat memanfaatkan gula ini sebagai sumber karbon. Derajat keasaman (pH) optimum untuk bakteri ini adalah sekitar pH netral, bila pH lebih dari 9 atau kurang dari 4 maka sifatnya menjadi bakterisidal (membunuh bakteri). Beberapa penelitian mencatat bahwa beberapa serovars mampu tumbuh pada pH minimum 4.05 (dengan HCl dan asam sitrat), namun pH minimum Salmonella juga tergantung pada jenis asam yang digunakan, penggunaan jenis asam lain membuat pH minimum tumbuhnya Salmonella menjadi lebih tinggi. Selain itu, meningkatnya aerasi juga diternyata mampu mempengaruhi pertumbuhan Salmonella pada pH yang lebih rendah (Jay, 2000). 15 Tabel 5. Jenis asam yang mempengaruhi pH minimum tumbuhnya Salmonella Jenis Asam pH Hydrocloric 4.05 Citric 4.05 Tartaric 4.10 Gluconic 4.20 Fumaric 4.30 Malic 4.30 Lactic 4.40 Succinic 4.60 Glutaric 4.70 Adipic 5.10 Pimelic 5.10 Acetic 5.40 Propionic 5.50 Sumber : Bell dan Kyriakides (2003) Bell dan Kyriakides (2003) menjelaskan bahwa Salmonella umumnya cepat dibunuh dengan panas dalam bahan pangan dengan aktivitas air (aw) yang tinggi, aw ≥ 0.98 namun jika bahan pangan dengan aktivitas air yang rendah, butuh suhu yang lebih tinggi untuk membunuhnya. Salmonella memiliki rentang kondisi lingkungan yang cukup jauh, seperti pada suhu, pH, dan aktifias air. Tabel 6 menunjukkan rentang untuk pertumbuhan Salmonella. Tabel 6. Batasan rentang pertumbuhan Salmonella Parameter Minimum o Temperatur ( C) Maksimum a 46.2 b 5.2 pH 3.8 9.5 Aktivitas Air 0.94 >0.99 Keterangan : a kebanyakan serotip tidak tumbuh pada suhu <7.0 oC. b kebanyak serotip tidak tumbuh pada pH dibawah 4.5. Sumber : Bell dan Kyriakides (2002), dari ICMSF (1996) Salmonella banyak tersebar di alam terutama pada udara yang tercemar. Namun habitat utamanya adalah saluran usus binatang dan manusia. bakteri ini dapat diisolasi dari sampel feses, makanan, dan sampel dari lingkungan. Salmonella pada makanan terdapat pada kacang-kacangan, salad, mayonaise, susu, dan lain-lain (Jay, 2000). 16 Penyakit yang timbul akibat bakteri ini adalah adanya gejala gastroenteritis, demam enteritika, bakteraemia, focal infection, dan sequelae. Gastroenteritis memiliki periode inkubasi antara 5 jam-5 hari, namun gejala ini sudah mulai nampak sekitar 12-36 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Singkatnya masa inkubasi biasanya berhubungan dengan tingginya jumlah bakteri yang terkonsumsi atau orang yang lemah yang rentan terhadap penyakit. Gejala penyakit ini antaralain adalah diarhea, nausea, nyeri pada perut (abdominal), demam ringan, dan menggigil. Demam enteritika memiliki periode inkubasi antara 7-28 hari (tergantung banyaknya bakteri yang menginfeksi), namun ratarata periode inkubasi adalah selama 14 hari. Gejala yang umumnya timbul adalah malaise, sakit kepala, demam tinggi, nyeri pada perut (abdominal), dan lain-lain. Bakteraemia adalah penyakit dimana Salmonella ada di dalam darah (ICMSF, 1996). Tabel 7. Penyakit yang ditimbulkan Salmonella Penyakit Gastroenteritis Serotypes Salmonella Umumnya anggota dari S. enterica subsp. enterica (serotypes utama yang menyebabkan ini adalah Agona, Dublin, Hadar, Enteridis, poona, Typhi, Thypimurium, Virchow) selain itu juga anggota S. enterica subsp. arizonae Demam Enteritika S. Typhi dan S. Paratyphi Bakteraemia atau septicaemia Anggota S. enterica subsp. enterica Sequelae Anggota S. enterica subsp. enterica Sumber : ICMSF (1996) D. BUMBU PEPES Bumbu pepes merupakan bahan penyedap yang ditambahkan ke dalam bahan untuk meningkatkan citarasa. Bumbu pepes terdiri dari berbagai macam 17 rempah yang masing-masing memiliki citarasa tersendiri. Disamping itu, rempahrempah juga dapat dimanfaatkan sebagai obat baik secara modern maupun tradisional karena kandungan zat bioaktif yang terkandung didalamnya. Bahanbahan yang digunakan sebagai bumbu pepes diantaranya tomat, daun bawang, daun salam, daun serai, daun kemangai, garam, gula pasir, minyak goring, bawang putih, bawang merah, jahe, kunyit, cabai merah, kemiri, asam jawa, dan air. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rempah-rempah mempunyai aktivitas menghambat pertumbuhan mikroba, baik kapang, khamir maupun bakteri. Aktivitas antimikroba ini diduga terjadi karena adanya kandungan senyawa kimia pada rempah-rempah yang bersifat racun terhadap mikroba tertentu (Fardiaz et al, 1987). Bumbu pepes terdiri dari rempah-rempah yang memiliki senyawa antimikroba dan bersifat fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri) dan sebagainya (Fardiaz et al, 1987). Kunyit (Curcuma domestica Val) telah diketahui bersifat menghambat bakteri gram positif yang berbentuk batang karena kandungan kurkuminnya. Wikipedia (2009) menjelaskan bahwa curcumin memiliki efek antibiotic, senyawa-senyawa antibacterial yang terdapat dalam curcumin adalah cefixime, cefotaxime, vancomycin, dan tetracycline. Daun salam mempunyai daya hambat tersendiri terhadap bakteri Salmonella dan Staphylococcus aureus. Senyawasenyawa seperti di-n-propil, n-propil alil, metil alil, metal-n-propil, dan dialil sulfide merupakan senyawa yang terdapat dalam bawang merah dan bawang putih. Senyawa ini memiliki daya kemampuan bakterisidal pada konsentrasi tertentu (Johnson dan Vaughn, 1969). Capcaisin merupakan senyawa yang terdapat pada tumbuhan yang memiliki genus Capsicum, senyawa ini adalah senyawa yang memiliki efek spice atau burning sensation. Selian itu, senyawa ini juga memiliki aktivitas anti-fungal (Wikipedia, 2009) ketika dikonsumsi Senyawa metabolit sekunder seperti flvanoid, fenol, terpenoid, dan minyak atsiri yang terdapat dalam jahe juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogen yang merugikan manusia (Wulandari dan Juwita, 2006). 18 Selain itu, terdapat pula penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan senyawa-senyawa menghambat bioaktif pertumbuhan yang bakteri terdapat patogen pada rempah-rempah bahkan bersifat mampu bakterisidal (membunuh bakteri). Penelitian yang telah dilakukan oleh Rahayu (2000) terhadap beberapa bumbu-bumbu yang umumnya digunakan oleh masyarakat seperti bumbu opor, gulai, rendang, ayam goring, rawon, dank are ternyata mempunyai efek positif terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri. Bumbubumbu yang diuji oleh Rahayu (2000), beberapa bahan dasarnya memiliki kesamaan dengan bahan yang digunakan untuk membuat bumbu pepes seperti cabai, jahe, kunyit, daun salam, kemiri, dan lain-lain. Rahayu (2000) menjelaskan bahwa. Bumbu-bumbu tersebut mempunyai aktivitas antimikroba yang cukup besar terhadap pertumbuhan bakteri patogen dan perusak makanan. B. cereus merupakan bakteri yang paling peka terhadap aktivitas antimikroba dari keenam jenis bumbu tersebut. Karena dengan konsentrasi 5 % mampu dihambat dalam jumlah besar. Bakteri gram negatif yang diteliti umumnya lebih tahan daripada bakteri gram positif. Bumbu dapat menghambat bakteri gram negatif pada konsentrasi 10 % dan 15 %. E. PENGUKUSAN Pengukusan merupakan salah satu pengolahan pangan tradisional yang sering dilakukan oleh masyarakat. Pengukusan juga merupakan salah satu metode sterilisasi yang bisa digunakan. Pengukusan tergolong perebusan yang menggunakan uap air mendidih pada suhu 100oC selama beberapa menit. Karena menggunakan uap air, maka pengukusan tergolong ke dalam pemanasan basah. Pemanasan basah dapat membunuh jasad renik atau mikroorganisme terutama karena panas basah dapat menyebabkan denaturasi protein, termasuk enzim-enzim didialam sel (Fardiaz, 1992). Berbeda dengan pemanasan basah, pemanasan kering kurang efisien dan membutuhkan suhu yang lebih tinggi serta waktu lama untuk sterilisasi. Rahman et al, (2004) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan suhu antara dry heating (convection air-drying) dan moist heating (heating in closed chambercooking) yang digunakan untuk menurunkan total mikroba pada ikan tuna. Untuk 19 membunuh bakteri yang terdapat pada ikan tuna, dry-heating membutuhkan suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan moist-heating. Rahman et al, (2004) menerangkan bahwa suhu tinggi dengan diserta kelembaban yang tinggi dapat merusak sel lebih baik. Hadioetomo (1985) menerangkan bahwa panas basah dapat menghancurkan sel lebih baik karena terdapat panas laten di dalamnya. Selain itu Rahman et al, (2004) menjelaskan bahwa sel vegetatif lebih tahan terhadap panas dibandingkan dengan spora. Hal ini dikarenakan cairan dalam sel vegetatif akan mengalami evaporasi sedangkan spora tidak. Selain itu, panas basah (moist-heating) dapat merusak sel lebih baik karena sifat penetrasi panas oleh panas basah lebih cepat dan lebih baik dibandingkan dengan dry-heating. Hal ini disebabkan oleh medium pembawa panas (kalor) yang digunakan, penetrasi panas oleh medium cairan (air) lebih baik dibandingkan dengan gas (udara). Pengukusan sebagai salah satu proses pengolahan pangan dengan tingkat humiditas yang tinggi dapat membunuh bakteri-bakteri tertentu termasuk Salmonella. Pengukusan (steam cooking) dapat menghancurkan sel-sel mikroba pada bahan pangan tergantung pada karakteristik bahan pangan itu sendiri (resistenti mikroba terhadap panas) yaitu : aktivitas air (aw), kandungan lemak, pH, garam terlarut, dan zat antimikroba (NaCl, nitrat dan nitrit, fosfat, laktat dan asam organik lainnya). 20