4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PRODUK PERIKANAN Ikan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PRODUK PERIKANAN
Ikan merupakan salah satu pilihan sumber protein hewani yang banyak
dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan tempat hidupnya ikan dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu ikan air tawar, ikan air laut, dan ikan air payau. Berdasarkan
cara memproduksinya ikan dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu ikan
hasil perikanan tangkap dan ikan hasil budidaya. Badan Pusat Statistik (BPS)
(2007) menjelaskan bahwa perikanan tangkap terdiri dari dua subsektor yaitu
perikanan laut dan perikanan umum. Sementara untuk ikan budidaya, terbagi
menjadi enam subsektor yaitu budidaya laut, kolam, tambak, karamba, jaring
apung, dan sawah.
Departemen Kelautan dan Perikanaan (DKP) (2007) membagi perikanan
tangkap menjadi lima kelompok berdasarkan komoditnya yaitu ikan, binatang
berkulit keras, binatang lunak, binatang air lainnya, dan tanaman air. Hasil
perikanan tangkap yang termasuk kategori ikan antara lain: ikan manyung, ikan
cendro, ikan sebelah, ikan kue, ikan layang, bawal hitam, bawal putih, kembung,
tenggiri, berbagai kerapu, dan lain-lain; kategori binatang berkulit keras yaitu
berbagai jenis udang, kepiting, rajungan, penyu; kategori binatang lunak yaitu
kerang darah, kerang hijau, cumi-cumi, gurita, dan lain-lain; kategori binatang air
lainnya yaitu teripang, bunga karang, ubur-ubur, dan lain-lain; kategori tanaman
air adalah rumput laut. Sementara itu untuk perikanan umum berdasarkan
komoditinya DKP (2007) mengelompokkan menjadi empat kategori yaitu ikan,
binatang berkulit keras, binatang berkulit lunak, dan binatang air lainnya. Hasil
perikanan umum yang tergolong ke dalam kategori ikan adalah ikan betok, sidat,
baung, gurami, lele, nila, mujair, dan lain-lain; kategori binatang berkulit keras
yaitu udang grago, udang galah, udang tawar, dan lain-lain; kategori binatang
berkulit lunak yaitu remis, siput, dan lain-lain; kategori binatang air lainnya yaitu
buaya, katak benggala, kodok, kura-kura, dan lain-lain. Jenis komoditi yang
4
termasuk ke dalam ikan budidaya adalah udang, kerapu, nila, ikan mas, bandeng,
kakap, patin, lele, gurami, kepiting, kekerangan, dan rumput laut (DKP, 2007).
Berbagai jenis ikan yang ada dan banyak diproduksi beberapa diantaranya
adalah ikan bawal, gurami, dan kembung. Ikan bawal dan kembung merupakan
ikan hasil perikanan tangkap sedangkan gurami merupakan jenis ikan yang dapat
dikategorikan sebagai ikan hasil perikanan umum dan budidaya (DKP, 2007).
Ikan bawal putih merupakan ikan yang kenaikan rata-rata volume produksinya
sebesar 8.66 % (2002-2007) bahkan kenaikan ini mencapai 22.01 % pada tahun
2006-2007. Ikan kembung merupakan ikan dengan kenaikan rata-rata volume
produksi sebesar 3.63 % (2002-2007). Sementara untuk ikan gurami, kenaikan
rata-rata volume produksi adalah sebesar 17.53 % bahkan pada tahun 2006-2007
kenaikan ini mencapai 24.37 % (DKP, 2007).
Genisa et al. (1998) menjelaskan bahwa ikan bawal yang terdapat di
Indonesia terdiri dari tiga jenis yaitu Parastromateus niger, Pampus chinensis,
dan Pampus argenteus. Parastromateus niger sering disebut sebagai bawal hitam,
ciri-cirinya yaitu tubuhnya lebar berwarna coklat, sirip dadanya berbentuk falcate.
Jenis ikan ini merupakan jenis ikan bawal yang hidup di perairan yang dasarnya
berlumpur terutama di depan muara-muara sungai. Jenis ikan ini pada waktu
tertentu hidup berkelompok dalam jumlah yang cukup besar, dan bergerak
mengikuti arah arus. Pampus chinensis adalah ikan yang hidup pada perairan yang
keadaan dasarnya terdiri dari lumpur atau berlumpur pada kedalaman 20-50
meter, jenis ikan ini merupakan hasil terpenting dari tangkapan jermal di muara
sungai Rokan, jenis bawal ini memiliki ciri-ciri sirip punggung dan dubur melebar
berbentuk segitiga, percabangan ekor tidak dalam dan seimbang. Sementara itu,
Pampus argenteus atau sering disebut sebagai bawal putih merupakan ikan yang
hidup di perairan pantai, perairan payau bahkan hidup di air tawar. Ikan ini
memiliki sirip punggung dan sirip dubur melebar berbentuk sabit. Percabangan
ekor dalam dan jelas, cabang-cabang yang bawah lebih panjang dari cabang yang
atas.
Ikan gurami (Osphronemus gouramy) alias giant gourami (gurami raksasa)
merupakan ikan konsumsi sekaligus dapat dijadikan ikan hias (Sarwono dan
Sitanggang, 2002). Gurami mendiami perairan yang tenang dan tergenang seperti
5
rawa-rawa, situ, dan danau. Gurami memiliki bentuk fisik khas antara lain:
badannya pipih, agak panjang dan lebar, mulutnya kecil, letaknya miring, tidak
tepat dibawah ujung moncong. Bibir bawah terlihat menonjol sedikit
dibandingkan bibir atas. Varietas atau strain gurami berdasarkan daya produksi
telur, kecepatan tumbuh, ukuran atau bobot maksimal gurami dewasa dapat
dibedakan menjadi enam macam yaitu angsa (soang, geese gourami), jepun
(jepang, japonica), blausafir, paris, bastar (pedaging), dan porselen. Gurami
angsa memiliki ciri-ciri bersisik lebar, berwarna putih abu-abu. Ukuran badan
cukup besar dan panjang, pertumbuhan cepat, lekas bongsor, badan besar dan
panjang. Panjang badan maksimal 65 cm. bobotnya bisa mencapai 6-12 kg.
Gurami jepun bertubuh pendek, panjang maksimal 45 cm, dengan bobot maksimal
3.5 kg. tubuh bersisik dan berwarna putih abu-abu atau kemerah-merahan. Gurami
blausafir berwarna merah muda cerah. Warna relatif sama dengan porselin, tapi
ukuran tubuh lebih besar. Berat induk 2 kg dengan jumlah telur mencapai 5.0007.000 butir per sarang. Gurami paris berwarna merah muda cerah dan memiliki
sisik agak halus. Kepalanya berwarna putih dan terdapat bintik-binti hitam.
Ukuran tubuh lebih kecil dari porselin dengan bobot induk kurang dari 1.5 kg.
Gurami porselin berwarna merah muda cerah dengan ukuran kepala relatif kecil.
Porselin unggul dalam menghasilkan telur. Per sarang mampu menghasilkan
10.000 butir. Bobot induk antara 1.5-2 kg. Gurami bastar bersisik besar-besar,
berwarna agak kehitam-hitaman. Kepal putih polos. Setiap satu keturunan gurami
ini tumbuh lebih cepat dari varietas lainnya. Produksi telur hanya 2.000-3.000
butir persarang. Selain enam strain diatas, berdasarkan warna terdapat gurami
hitam, albino (putih), dan belang (Sarwono dan Sitanggang, 2002).
Ikan kembung adalah ikan yang umum yang digemari masyarakat, karena
disamping harganya ekonomis, juga relatif sederhana dalam pengolahannya, yaitu
cukup digoreng. Ada juga yang suka dibalado atau dipepes. Terdapat banyak
macam ikan kembung, namun yang umum terdapat di pasar pelelangan ikan
adalah ikan kembung banjar, ikan kembung puket, dan ikan kembung como
(Decapterus russelli) (Bahar, 2004).
Ikan kembung banjar memiliki fisik tubuh yang lebar dan agak bulat
sedangkan ikan kembung puket memiliki fisik tubuh yang lebih gepeng
6
(ramping). Ikan kembung como memiliki fisik yang agak unik dimana pada
bagian insang terdapat spot hitam (tompel). Perbedaan lainnya adalah ikan
kembung como memiliki fisik yang lebih besar, lebih gemuk, dan dagingnya lebih
kenyal dibandingkan jenis kembung lainnya.
B. KERUSAKAN IKAN
Ikan merupakan komoditas yang rentan terhadap kerusakan baik kerusakan
fisik, kimia, dan mikrobiologi. Kerusakan ini terutama diakibatkan oleh buruknya
penanganan terhadap ikan baik penanganan saat penangkapan, distribusi, dan
penjualan. Selain itu, terdapat faktor internal dari ikan itu sendiri yang
menyebabkan ikan mudah rusak.
Ikan segar adalah ikan yang baru di panen dan belum mengalami perlakuan
dan pengolahan. Ikan segar yang berkualitas adalah ikan yang memenuhi syarat
kesegaran, kebersihan, dan kesehatan (SNI 01-2719-1992). Bentuk bahan baku
ikan segar dapat berupa ikan segar utuh atau tanpa insang dan isi perut. Bahan
baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukkan, bebas
dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang
dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Berdasarkan SNI
01-2719-1992 spesifikasi persyaratan mutu ikan segar adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar
Jenis Mutu
Satuan
a) Organoleptik (Nilai minimal)
Persyaratan Mutu
7
b) Cemaran Mikroba :
1. ALT/gram, maks
cfu/gram
5 x 105
2. Escherichia coli
APM/gram
<3
3. Vibrio cholerae
Per 25 gram
Negatif
Keterangan :
Sumber
:
ALT : Angka Lempeng Total
APM : Angka Paling Mungkin
Badan Standarisasi Nasional (1992)
7
Ikan segar dan ikan busuk dapat dibedakan secara fisik yaitu dengan menilai
bagian-bagian tubuh ikan seperti mata, insang, daging, sisik, dan lain-lain.
Menurut Hardiwiyoto (1993) terdapat perbedaan ikan segar dan ikan busuk yaitu :
Tabel 2. Perbedaan ikan segar dan ikan busuk
Bagian ikan
Mata
Ciri ikan segar
Cerah, bening, cembung
Ciri ikan busuk
Pudar, berkerut, cekung, tenggelam
menonjol
Insang
Merah, berbau segar, tertutup
Coklat/kelabu, berbau asam,
lendir bening
tertutup lendir keruh
Warna
Terang, lendir bening
Pudar, lendir kelabu
Bau
Segar
Asam, busuk
Daging
Putih, padat/kenyal, bila
Kemerahan, terutama di sekitar
ditekan bekasnya segera
tulang punggung, bekas tekanan jari
lenyap
tidak hilang
Sisik
Menempel kuat pada kulit
Mulai lepas
Dinding Perut
Utuh, elastis
Menggelembung, pecah, isi perut
keluar, lembek
Kondisi dalam
Tenggelam didalam air
Terapung (bila sudah sangat busuk)
air
Sumber : Hardiwiyoto, 1993
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000) secara kronologis, pembusukkan
ikan berjalan melalui empat tahap, yaitu :
a. Hiperaemia
Lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di dalam kulit,
membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan
lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang
sekarat terhadap keadaan yang tidak menyebangkan. Jumlah lendir yang
terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1-
8
2.5 % dari berat tubuhnya. Lendir ini terdiri atas glukoprotein mucin yang
merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri.
b. Rigor mortis
Fase rigor mortis ditandai dengan keadaan otot yang kaku dan keras.
Hilangnya kelenturan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin.
Tingkat rigor ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati.
Rigor mortis pada ikan terjadi mulai dari bagian ekor dan terus
berlangsung serta merambat ke bagian kepala.
c. Autolisis
Autolisis adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim
(protease dan lipase) yang terdapat di dalam daging ikan. Karena daging
ikan terdiri atas protein, maka proses ini dapat juga disebut proteolisis.
Enzim-enzim ini sebetulnya sudah aktif sejak ikan masih hidup, akan
tetapi ketika itu hasil aktivitasnya dimanfaatkan untuk menghasilkan
energi dan pemeliharaan tubuh.
Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan pH. Mula-mula,
protein terpecah menjadi molekul-molekul makro, yang menyebabkan
peningkatan dehidrasi lalu pecah lagi menjadi pepton, polipeptida, dan
akhirnya menjadi asam amino. Disamping asam amino, autolisis
menghasilkan pula sejumlah kecil pyrimidine dan purine yaitu basa yang
dibebaskan pada waktu pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu,
hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Autolisis
akan merubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun.
d. Pembusukan oleh bakteri
Pada tahapan ini jumlah bakteri sudah cukup tinggi akibat
perkembangbiakan yang terjadi pada fase-fase sebelumnya. Kegiatan
bakteri pembusuk semulai pada saat yang hamper bersamaan dengan
autolisis dan kemudian berjalan sejajar. Bakteri merusak ikan lebih parah
daripada kerusakan yang diakibatkan oleh enzim.
Sejumlah bakteri semula bersarang pada permukaan tubuh, insang,
dan di dalam perutnya. Bakteri ini secara bertahap memasuki daging ikan,
sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung intensif setelah
9
selesainya rigor mortis, yaitu setelah daging menjadi lunak dan celah-celah
seratnya terisi cairan.
Meskipun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang
terbaik baginya adalah hasil-hasil hidrolisis yang terbentuk selama
autolisis dab senyawa-senyawa nitrogen non protein (trimetilamin oksida,
urea) yang terdapat dalam daging. Daging ikan laut lebih banyak
mengandung senyawa non-protein daripada ikan air tawar, dengan
demikian ikan laut lebih cepat diuraikan bakteri.
Penurunan kesegaran ikan ini dapat ditentukan melalui beberapa cara.
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000) penentuan tingkat kesegaran ikan dapat
dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan secara organoleptik atau sensorik
Pengamatan yang dilakukan meliputi warna, bau, konsistensi, dan
penampakkan
daging.
Perubahan
organoleptik
disebabkan
karena
melunaknya tekstur daging ikan. Pelunakan tekstur terjadi karena
penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu
polipepetida, asam amino, dan amoniak yang dapat meningkatkan pH
ikan. Keadaan basa yang terbentuk akibat adanya hasil pemecahan protein,
lemak, dan karbohidrat merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri.
b. Pemeriksaan dengan K-Value
Analisis ini didasarkan pada katabolisme nukleotida, dan dapat
dilakukan pada sejumlah ikan. Adapun nukleotida yang umum adalah
berada dalam bentuk Adenosine triphosphate (ATP), dimana ATP akan
berubah
melalui
Adenosine
diphosphate
(ADP),
Adenosine
monophosphate (AMP), Inosine monophosphate (IMP), dan inosin (HxR)
sampai akhirnya terbentuk hypoxanthine (Hx). Hypoxanthine merupakan
indikasi yang baik pada perubahan post mortem daging ikan. Perubahan
nilai K selama penyimpanan bervariasi tergantung pada spesies dan jenis
daging (daging merah/daging putih). Terdapat hubungan antara kesegaran
10
ikan dan K-Value. Analisis K-Value umumnya dilakukan dengan
menggunakan HPLC.
Rumus K-Value adalah sebagai berikut :
x 100%
%K
Keterangan :
ATP
: Adenosine triphosphate
ADP
: Adenosine diphosphate
IMP
: Inosine monophosphate
Tabel 3. Nilai K beberapa jenis ikan
Nilai K
Terdapat pada
< 5%
ikan yang baru mati
20%
Ikan untuk bahan sasimi dan sushi
22.50%
Rata-rata daging ikan di pusat pendaratan
40-60%
Rata-rata daging ikan untuk kamaboko dan
surimi
c. TMAO (Trimethyl Amin Oxidase)
Perubahan kimiawi TMAO dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :
mikrobiologis dan autolysis. Perubahan TMAO menjadi DMA akan
berlangsung secara bakteriologis yaitu karena aktivitas bakteri yang
terdapat pada ikan yang disimpan pada suhu kamar atau pada suhu es
(chilling). Tetapi perubahan TMAO menjadi DMA dan formaldehid akan
dominan pada ikan yang disimpan pada suhu beku. Untuk menghambat
perubahan TMAO maka ikan ditambah es atau dibekukan, tetapi dengan es
aktivitas bekteri masih ada sehingga ikan umumnya hanya dapat disimpan
dalam es maksimal 16 hari tergantung jenis ikannya. Senyawa ini
terbentuk selam pembusukkan ikan oleh bakteri terhadap TMAO.
Beberapa jenis ikan terutama ikan air tawar, memiliki sedikit TMAO. Ikan
dikatakan busuk bila mempunyai kadar TMAO sebesar 2.7 mg
nitrogen/100 gram.
11
d. TVB (Total Volatile Base)
Komponen utama total volatil basa adalah NH3, TMA, dan DMA.
Beberapa spesies ikan ditemukan mempunyai korelasi antara kandungan
TVB dan penilain organoleptik. Dimana perubahan kandungan TVB
selama pembusukkan mirip dengan TMA, namun kandungan awalnya
lebih tinggi. TVB dapat dijadikan indeks kesegaran ikan semenjak basa
volatil terakumulasi dalam daging ikan sampai dengan tahap akhir
pembusukkan.
Kesegaran pada ikan tidak mungkin dijaga tetap sejak ikan mulai dipanen
atau ditangkap. Penurunan kesegaran pada ikan hanya dapat dipertahankan agar
penurunan kesegaran ikan tidak terjadi terlalu cepat. Nasran (1972) menjelaskan
bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi mutu ikan segar yaitu cara
penangkapan, faktor biologis, dan pengaruh selama penanganan.
Faktor cara penangkapan meliputi : (a) cara kematian, ikan yang mati
dengan segera atau tanpa perlawanan akan mempunyai mutu yang lebih baik
dibandingkan dengan ikan yang matinya perlahan-lahan dan banyak melakukan
perlawanan, (b) lama ikan di dalam jaring, ikan yang masuk dan mati di dalam
jaring dalam waktu lama mempunya mutu yang kurang baik dibandingkan dengan
ikan yang diangkat hidup, (c) suhu air laut 23.9oC-29.3oC akan menambah
kemunduran mutu ikan, (d) selektivitas alat tangkap. Faktor biologis meliputi: (a)
banyaknya makanan dalam perut ikan, ikan yang ditangkap penuh dengan
makanan lebih cepat mundur mutunya dibandingkan dengan ikan lapar, (b)
kedewasaan seksual, ikan yang bertelur kerja enzimnya lebih cepat sehingga ikan
lebih cepat menurun mutunya. Pengaruh selama penangana meliputi: (a) spesies,
(b) waktu, semakin lama dalam menangani ikan semakin menurun mutunya, (c)
suhu selama bekerja, dan (d) kebersihan dalam bekerja (Nasran, 1972).
Berbagai jenis bakteri terdapat pada ikan, mulai dari bakteri patogen hingga
bakteri pembusuk. Menurut Frazier dan Westhoff (1981) ikan yang hidup di Laut
Utara membawa banyak bakteri psikrofilik dan ikan yang berada di Laut Tropika
membawa lebih banyak bakteri mesofilik. Sementara itu, jenis bakteri yang
dibawa ikan air tawar menyerupai jenis bakteri yang terdapat pada ikan air laut
ditambah jenis Aeromonas, Lactobacillus, Brevibacterium, Alkaligenes, dan
12
Streptococcus. Lendir yang menutupi ikan mengandung genus Pseudomnonas,
Alcaligenes, Micrococcus, Flavobacterium, Corynebacterium, Sarcina, Seratia,
Vibrio, dan Bacillus. Selanjutnya dikemukakan bahwa beberapa bakteri seperti
Salmonella, Shigella, Eschericia coli, koliform, Enterocooci, dan Clostridium
sering mengkontaminasi ikan segar.
Bakteri patogen seperti Salmonella pada ikan saat ini menjadi perhatian
yang serius di banyak negara di dunia. Sebenarnya Salmonella merupakan bakteri
patogen yang berhabitat di dalam gastrointestinal hewan, termasuk burung dan
manusia (Pelzer 1989). Bakteri ini dapat mencapai air melaui kontaminasi fecal
terhadap air. Ketahanan Salmonella dalam air sangat tinggi (DiRita, 2001).
Bahkan bakteri ini dapat bertahan saat terjadi peningkatan salinitas yang terjadi
secara cepat dan strees tekanan osmotik yang berkepanjangan dengan cara
bergabung dengan cairan limbah dalam air payau (Mezrioui et al, 1995). Beberapa
hal inilah yang dapat menjelaskan terdapatnya bakteri Salmonella pada ikan
(seafood). Selain itu, terdapat pula faktor lain termasuk kurangnya suplai air
bersih, ketidakcukupan proses sanitasi, buruknya higienitas, dan masalah
keamanan pangan yang menyebabkan tingginya kasus salmonellosis akibat
bakteri Salmonella dari ikan (seafood).
Insiden Salmonella dalam makanan laut (seafood) terjadi di banyak Negara
di dunia. Varma et al, (1985) mengemukakan bahwa kejadian adanya kehadiran
Salmonella adalah sebesar 7.46 % yang berasal dari makanan laut potong beku
dan udang kupas. Iyer dan Shrivastava (1989) menjelaskan bahwa kehadiran
Salmonella terjadi sebesar 12 % pada makanan laut (seafood) potong dan udang
kupas, 10 % pada udang tanpa kepala (dengan kulit), 14 % pada udang utuh, 17 %
pada lobster, dan lain-lain. Kehadiran Salmonella juga banyak terjadi di negaranegara Asia seperti Sri Lanka (Fonseka, 1990), Thailand (Rattagool et al, 1990),
Taiwan (Chio dan Chen, 1981), dan Indonesia (Sunarya et al, 1990).
C. SALMONELLA
Salmonella merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerobik, tidak
membentuk spora, dan bakteri berbentuk batang. Jenis Salmonella yang hidupnya
bergerak (motil) memiliki flagella peritrikus. Bakteri ini memproduksi asam dan
13
kadang-kadang yang memproduksi gas dari glukosa biasanya menghasilkan hasil
uji katalase positif dan oksidase negatif serta merubah nitrat menjadi nitrit.
(ICMSF, 1996).
Umumnya
strain Salmonella, kecuali S. typhi, tergolong ke dalam
aerogenik, menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, lisin dekarboksilat,
arginin dan ornitin, dan memproduksi hidrogen sulfida. Hasil reaksi metil red
adalah positif, uji Voges-Proskauer dan indol adalah negatif. Salmonella tidak
mendeaminasi fenilalanin dan tidak menghidrolisis urea, gelatin tidak di-liquified
secara cepat dalam nutrisi pada media begitu pula dengan DNAase dan produksi
lipase (ICMSF, 1996).
Tabel 4. Karakteristik Biokimia Salmonella
Karakteristik
Reaksi
Katalase
+
Oksidase
-
Produksi asam dari laktosa
-
Produksi gas dari glukosaa
+
Indol
-
Produksi urease
-
Produksi H2S dari TSIA (Triple Sugar Iron Agar)
+
Sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon a
+
Metil Merah
+
Voges-Proskauer
-
Lisin dekarboksilase
+
Ornitin dekarboksilase
+
Keterangan :
+=reaksi positif; - = reaksi negatif
a
= pengecualian bagi S. Typhi
*Sumber : Bell dan Kyriakides (2002) di dalam Bell dan Kyriakides (2003)
Salmonella terdiri dari beberapa Subgenus. Salmonella yang berasal dari
Subgenus I yang terdiri dari Salmonella patogenik tipikal diisolasi dari saluran
pencernaan hewan berdarah panas. Subgenus II dan III yang dikenal sebagai
Arizona seringkali diisolasi dari hewan berdarah dingin. Subgenus IV dan V yang
umumnya ditemukan dilingkungan tidak tegolong sebagai bakteri patogen
14
terhadap manusia (ICMSF, 1996).
Strain Salmonella secara antigen dapat dibedakan berdasarkan reaksi
aglutinasinya (pembentukan agregat) dengan antisera homolog dan kombinasi dari
masuknya antigen pada setiap strain Salmonella, berdasarkan pada formula
antigenik, yang unik pada masing-masing serotip Salmonella (Bell dan
Kyriakides, 2003).
Salmonella tumbuh optimal pada suhu 35oC-37oC, mengkatabolisme
berbagai macam karbohidrat menjadi asam dan gas, menggunakan sitrat sebagai
sumber karbon tunggal, memproduksi H2S, dan mendekarboksilasi lysine dan
ornithine menjadi cadaverine dan putrescine. Mikroorganisme ini termasuk
oksidase negatif dan katalase positif memiliki 50-53 mol % guanin dan sitosin (G
+ C) dalam kandungan DNA-nya (D’Aoust, 2000).
Jay (2000) menjelaskan bahwa secara umum Salmonella tidak mampu
memfermentasi laktosa, sukrosa, atau salisin, namun glukosa dan beberapa jenis
monosakarida tertentu dapat difermentasi dengan disertai produksi gas. Selain itu,
Salmonella umumnya memanfaatkan asam amino sebagai sumber N, namun
beberapa strain Salmonella seperti S. Typhimurium memanfaatkan nitrat, nitrit,
dan NH3 sebagai sumber nitrogen. Walaupun fermentasi laktosa umumnya tidak
dapat dilakukan oleh mikroorganisme ini, beberapa serovars dapat memanfaatkan
gula ini sebagai sumber karbon.
Derajat keasaman (pH) optimum untuk bakteri ini adalah sekitar pH netral,
bila pH lebih dari 9 atau kurang dari 4 maka sifatnya menjadi bakterisidal
(membunuh bakteri). Beberapa penelitian mencatat bahwa beberapa serovars
mampu tumbuh pada pH minimum 4.05 (dengan HCl dan asam sitrat), namun pH
minimum Salmonella juga tergantung pada jenis asam yang digunakan,
penggunaan jenis asam lain membuat pH minimum tumbuhnya Salmonella
menjadi lebih tinggi. Selain itu, meningkatnya aerasi juga diternyata mampu
mempengaruhi pertumbuhan Salmonella pada pH yang lebih rendah (Jay, 2000).
15
Tabel 5. Jenis asam yang mempengaruhi pH minimum tumbuhnya
Salmonella
Jenis Asam
pH
Hydrocloric
4.05
Citric
4.05
Tartaric
4.10
Gluconic
4.20
Fumaric
4.30
Malic
4.30
Lactic
4.40
Succinic
4.60
Glutaric
4.70
Adipic
5.10
Pimelic
5.10
Acetic
5.40
Propionic
5.50
Sumber : Bell dan Kyriakides (2003)
Bell dan Kyriakides (2003) menjelaskan bahwa Salmonella umumnya cepat
dibunuh dengan panas dalam bahan pangan dengan aktivitas air (aw) yang tinggi,
aw ≥ 0.98 namun jika bahan pangan dengan aktivitas air yang rendah, butuh suhu
yang lebih tinggi untuk membunuhnya. Salmonella memiliki rentang kondisi
lingkungan yang cukup jauh, seperti pada suhu, pH, dan aktifias air. Tabel 6
menunjukkan rentang untuk pertumbuhan Salmonella.
Tabel 6. Batasan rentang pertumbuhan Salmonella
Parameter
Minimum
o
Temperatur ( C)
Maksimum
a
46.2
b
5.2
pH
3.8
9.5
Aktivitas Air
0.94
>0.99
Keterangan : a kebanyakan serotip tidak tumbuh pada suhu <7.0 oC.
b
kebanyak serotip tidak tumbuh pada pH dibawah 4.5.
Sumber
: Bell dan Kyriakides (2002), dari ICMSF (1996)
Salmonella banyak tersebar di alam terutama pada udara yang tercemar.
Namun habitat utamanya adalah saluran usus binatang dan manusia. bakteri ini
dapat diisolasi dari sampel feses, makanan, dan sampel dari lingkungan.
Salmonella pada makanan terdapat pada kacang-kacangan, salad, mayonaise,
susu, dan lain-lain (Jay, 2000).
16
Penyakit yang timbul akibat bakteri ini adalah adanya gejala gastroenteritis,
demam enteritika, bakteraemia, focal infection, dan sequelae. Gastroenteritis
memiliki periode inkubasi antara 5 jam-5 hari, namun gejala ini sudah mulai
nampak sekitar 12-36 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Singkatnya masa inkubasi biasanya berhubungan dengan tingginya jumlah bakteri
yang terkonsumsi atau orang yang lemah yang rentan terhadap penyakit. Gejala
penyakit ini antaralain adalah diarhea, nausea, nyeri pada perut (abdominal),
demam ringan, dan menggigil. Demam enteritika memiliki periode inkubasi
antara 7-28 hari (tergantung banyaknya bakteri yang menginfeksi), namun ratarata periode inkubasi adalah selama 14 hari. Gejala yang umumnya timbul adalah
malaise, sakit kepala, demam tinggi, nyeri pada perut (abdominal), dan lain-lain.
Bakteraemia adalah penyakit dimana Salmonella ada di dalam darah (ICMSF,
1996).
Tabel 7. Penyakit yang ditimbulkan Salmonella
Penyakit
Gastroenteritis
Serotypes Salmonella
Umumnya anggota dari S. enterica subsp. enterica
(serotypes utama yang menyebabkan ini adalah Agona,
Dublin, Hadar, Enteridis, poona, Typhi, Thypimurium,
Virchow) selain itu juga anggota S. enterica subsp.
arizonae
Demam
Enteritika
S. Typhi dan S. Paratyphi
Bakteraemia atau
septicaemia
Anggota S. enterica subsp. enterica
Sequelae
Anggota S. enterica subsp. enterica
Sumber : ICMSF (1996)
D. BUMBU PEPES
Bumbu pepes merupakan bahan penyedap yang ditambahkan ke dalam
bahan untuk meningkatkan citarasa. Bumbu pepes terdiri dari berbagai macam
17
rempah yang masing-masing memiliki citarasa tersendiri. Disamping itu, rempahrempah juga dapat dimanfaatkan sebagai obat baik secara modern maupun
tradisional karena kandungan zat bioaktif yang terkandung didalamnya. Bahanbahan yang digunakan sebagai bumbu pepes diantaranya tomat, daun bawang,
daun salam, daun serai, daun kemangai, garam, gula pasir, minyak goring, bawang
putih, bawang merah, jahe, kunyit, cabai merah, kemiri, asam jawa, dan air.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rempah-rempah mempunyai
aktivitas menghambat pertumbuhan mikroba, baik kapang, khamir maupun
bakteri. Aktivitas antimikroba ini diduga terjadi karena adanya kandungan
senyawa kimia pada rempah-rempah yang bersifat racun terhadap mikroba
tertentu (Fardiaz et al, 1987). Bumbu pepes terdiri dari rempah-rempah yang
memiliki senyawa antimikroba dan bersifat fungisidal (membunuh kapang),
fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), bakterisidal (membunuh bakteri),
bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri) dan sebagainya (Fardiaz et al,
1987).
Kunyit (Curcuma domestica Val) telah diketahui bersifat menghambat
bakteri gram positif yang berbentuk batang karena kandungan kurkuminnya.
Wikipedia (2009) menjelaskan bahwa curcumin memiliki efek antibiotic,
senyawa-senyawa antibacterial yang terdapat dalam curcumin adalah cefixime,
cefotaxime, vancomycin, dan tetracycline. Daun salam mempunyai daya hambat
tersendiri terhadap bakteri Salmonella dan Staphylococcus aureus. Senyawasenyawa seperti di-n-propil, n-propil alil, metil alil, metal-n-propil, dan dialil
sulfide merupakan senyawa yang terdapat dalam bawang merah dan bawang
putih. Senyawa ini memiliki daya kemampuan bakterisidal pada konsentrasi
tertentu (Johnson dan Vaughn, 1969). Capcaisin merupakan senyawa yang
terdapat pada tumbuhan yang memiliki genus Capsicum, senyawa ini adalah
senyawa yang memiliki efek spice atau burning sensation. Selian itu, senyawa ini
juga memiliki aktivitas anti-fungal (Wikipedia, 2009) ketika dikonsumsi Senyawa
metabolit sekunder seperti flvanoid, fenol, terpenoid, dan minyak atsiri yang
terdapat dalam jahe juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogen
yang merugikan manusia (Wulandari dan Juwita, 2006).
18
Selain itu, terdapat pula penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan
senyawa-senyawa
menghambat
bioaktif
pertumbuhan
yang
bakteri
terdapat
patogen
pada
rempah-rempah
bahkan
bersifat
mampu
bakterisidal
(membunuh bakteri). Penelitian yang telah dilakukan oleh Rahayu (2000)
terhadap beberapa bumbu-bumbu yang umumnya digunakan oleh masyarakat
seperti bumbu opor, gulai, rendang, ayam goring, rawon, dank are ternyata
mempunyai efek positif terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri. Bumbubumbu yang diuji oleh Rahayu (2000), beberapa bahan dasarnya memiliki
kesamaan dengan bahan yang digunakan untuk membuat bumbu pepes seperti
cabai, jahe, kunyit, daun salam, kemiri, dan lain-lain. Rahayu (2000) menjelaskan
bahwa. Bumbu-bumbu tersebut mempunyai aktivitas antimikroba yang cukup
besar terhadap pertumbuhan bakteri patogen dan perusak makanan. B. cereus
merupakan bakteri yang paling peka terhadap aktivitas antimikroba dari keenam
jenis bumbu tersebut. Karena dengan konsentrasi 5 % mampu dihambat dalam
jumlah besar. Bakteri gram negatif yang diteliti umumnya lebih tahan daripada
bakteri gram positif. Bumbu dapat menghambat bakteri gram negatif pada
konsentrasi 10 % dan 15 %.
E. PENGUKUSAN
Pengukusan merupakan salah satu pengolahan pangan tradisional yang
sering dilakukan oleh masyarakat. Pengukusan juga merupakan salah satu metode
sterilisasi yang bisa digunakan. Pengukusan tergolong perebusan yang
menggunakan uap air mendidih pada suhu 100oC selama beberapa menit. Karena
menggunakan uap air, maka pengukusan tergolong ke dalam pemanasan basah.
Pemanasan basah dapat membunuh jasad renik atau mikroorganisme terutama
karena panas basah dapat menyebabkan denaturasi protein, termasuk enzim-enzim
didialam sel (Fardiaz, 1992). Berbeda dengan pemanasan basah, pemanasan
kering kurang efisien dan membutuhkan suhu yang lebih tinggi serta waktu lama
untuk sterilisasi.
Rahman et al, (2004) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan suhu antara
dry heating (convection air-drying) dan moist heating (heating in closed chambercooking) yang digunakan untuk menurunkan total mikroba pada ikan tuna. Untuk
19
membunuh bakteri yang terdapat pada ikan tuna, dry-heating membutuhkan suhu
yang lebih tinggi dibandingkan dengan moist-heating. Rahman et al, (2004)
menerangkan bahwa suhu tinggi dengan diserta kelembaban yang tinggi dapat
merusak sel lebih baik. Hadioetomo (1985) menerangkan bahwa panas basah
dapat menghancurkan sel lebih baik karena terdapat panas laten di dalamnya.
Selain itu Rahman et al, (2004) menjelaskan bahwa sel vegetatif lebih tahan
terhadap panas dibandingkan dengan spora. Hal ini dikarenakan cairan dalam sel
vegetatif akan mengalami evaporasi sedangkan spora tidak. Selain itu, panas
basah (moist-heating) dapat merusak sel lebih baik karena sifat penetrasi panas
oleh panas basah lebih cepat dan lebih baik dibandingkan dengan dry-heating. Hal
ini disebabkan oleh medium pembawa panas (kalor) yang digunakan, penetrasi
panas oleh medium cairan (air) lebih baik dibandingkan dengan gas (udara).
Pengukusan sebagai salah satu proses pengolahan pangan dengan tingkat
humiditas yang tinggi dapat membunuh bakteri-bakteri tertentu termasuk
Salmonella. Pengukusan (steam cooking) dapat menghancurkan sel-sel mikroba
pada bahan pangan tergantung pada karakteristik bahan pangan itu sendiri
(resistenti mikroba terhadap panas) yaitu : aktivitas air (aw), kandungan lemak,
pH, garam terlarut, dan zat antimikroba (NaCl, nitrat dan nitrit, fosfat, laktat dan
asam organik lainnya).
20
Download