Menembus Tantangan Global dengan Keterpaduan Agama Ilmu

advertisement
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
LEGAL POLITICS DESA ADAT DALAM MENGATUR KRAMA TAMIU
(Studi Kasus di Desa Bayad, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar)
Oleh :
I Putu Sastra Wibawa
Abstract
Pakraman Village courage and competent in organizing migrants / Krama
Tamiu will surely come from the authority of the traditional village autonomy, also
sourced from politics and made laws outlined by the provincial government of Bali
itself. Krama Tamiu legal political arrangement certainly has a strategic rationale,
one which is not just local government is involved in regulating Krama Tamiu , but
also involve the participation of traditional village in implementation.
However, often times the legal implementation encountered some obstacles
and problems, both technical and non-technical issues, such as the one that occurred
in the village of Bayad . Thus the researchers wanted to examine and study more
about the "Legal Politics traditional village In regulate Krama Tamiu (Case Study on
the village of Bayad, District Ubud, Gianyar regency)".
Issues discussed include
(1) Why Krama Tamiu settings need to be done in Bayad Pakraman Village? (2). How
Krama Tamiu regulatory mechanisms in Bayad Pakraman Village? and (3) What are
the implications and barriers to the implementation of the rules on Krama Tamiu in
Bayad Pakraman Village?. Types of research that are used in discussing these issues
is qualitative.
Keywords : Legal Politics, Krama Tamiu.
Bab I
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia yang wilayahnya terdiri dari ribuan pulau-pulau terbagi
menjadi beberapa provinsi, dan salah satunya bernama provinsi Bali. Seperti halnya
daerah lain di Indonesia, Bali juga memiliki berbagai keunikan dan kekhasan dalam
hal seni dan budaya yang membedakannya dengan daerah lainnya di Indonesia.
Karena sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, maka tentu saja budaya
masyarakatnya sebagian besar dijiwai oleh ajaran-ajaran agama Hindu seperti
tercermin dari sistem kepercayaan serta sistem organisasi kemasyarakatannya. Salah
satu keunikan sekaligus ciri khas dari pulau Bali adalah adanya Desa Pakraman.
Provinsi Bali memiliki ribuan Desa Pakraman dan salah satunya bernama Desa
116
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
Pakraman Bayad yang terletak di Desa Kedisan, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten
Gianyar.
Selain Desa Pakraman, Bali juga memiliki berbagai keunikan lainnya diantara
berbagai jenis tari-tarian tradisional, berbagai upacara agama yang unik dan sakral,
tempat-tempat dengan pemandangan alam yang indah serta berbagai keunikan adat
dan budaya lainnya. Berbagai keunikan tersebut tidak bisa lepas dari kebudayaan
masyarakat Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu. Dengan berbagai keunikan
yang dimiliki menyebabkan pulau ini banyak dikunjungi pendatang terutama turis
asing dari berbagai belahan dunia.
Pesatnya industri kepariwisataan di Bali tentu saja akan memberikan banyak
dampak positif terhadap masyarakat Bali, terutama dari segi ekonomi. Dengan
perkembangan pariwisata yang begitu pesat, menyebabkan munculnya banyak
lapangan kerja baru terutama yang berkaitan dengan industri kepariwisataan seperti
industri jasa travel, hotel dan restaurant sampai industri rumah tangga seperti
pengrajin barang antik yang menjual barang dagangannya di art shop-art shop juga
menikmati manfaat ekonomi dari banyaknya wisatawan yang datang berkunjung ke
Bali. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri selain berbagai dampak positif tersebut, juga
ada dampak negatif yang ditimbulkan dari perkembangan pariwisata tersebut.
Berbagai dampak negatif tersebut diantaranya adalah semakin maraknya
peredaran narkoba, banyaknya terbuka diskotik-diskotik yang menjual berbagai
minuman keras, praktek pelacuran yang merajalela yang disebabkan selain untuk
memenuhi segala kebutuhan para wisatawan asing juga karena pengaruh kebudayaan
yang dibawa oleh para wisatawan asing yang mereka bawa dari negara asal mereka
masing-masing. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (1990 :
32) yang menyatakan memang kegiatan pariwisata di Bali tak menutup kemungkinan
munculnya
kecemasan-kecemasan
di
kalangan
masyarakatnya.
Ada
yang
menganggap kondisi yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata akan dapat
melemahkan sendi-sendi
kebudayaan setempat. Seperti
misalnya
nilai-nilai
kebudayaan setempat akan bisa terseret oleh arus komersialisasi.
Bali bagaikan gula yang menyebabkan semut-semut pun berdatangan.
Melesatnya pembangunan industri kepariwisataan menjadikan daerah ini diserbu
pendatang. Mereka yang datang pun banyak jenisnya. Ada yang datang membawa
modal baik modal uang untuk memulai suatu usaha ataupun modal keahlian untuk
bekerja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tetapi ada juga pendatang yang
117
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
datang hanya sekedar untuk mengadu nasib tanpa berbekal modal dan keahlian
apapun.
Pendatang yang datang tanpa membawa keahlian dan skill inilah yang bisa
menimbulkan berbagai permasalahan sosial karena untuk mempertahankan hidupnya
mereka bisa melakukan tindakan apapun seperti tindak pidana pencurian,
perampokan, pemerkosaan dan bahkan pembunuhan, seperti yang akhir-akhir ini
berita seperti itu semakin sering dimuat dalam berbagai media massa, baik media
cetak maupun elektronik. Kejadian yang paling menyesakan akibat dari adanya
pendatang liar yang tidak jelas asal usul serta tujuannya datang ke Bali adalah
kejadian Bom Bali I dan II. Tentu kita semua tidak akan pernah bisa melupakan
kejadian terorisme terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut
menelan ratusan korban jiwa meninggal dunia. Semua kejadian terorisme tersebut
berawal dari lemahnya pengawasan kita semua baik pemerintah maupun masyarakat
terhadap para pendatang dari luar Bali.
Untuk mengawasi keberadaan penduduk pendatang/krama tamiu, terutama
penduduk liar yang tidak mempunyai kelengkapan administrasi seperti KTP atau KK,
selain peran dari pemerintah juga peran masyarakat dalam hal ini melalui Desa
Pakraman sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan Desa Pakraman memiliki otonomi
tersendiri berbeda dengan Desa Dinas.
Pengaturan dan penertiban para penduduk pendatang/krama tamiu secara
selektif
dan
berkesinambungan
tentu
harus
senantiasa
dilakukan
untuk
meminimalisasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya penduduk
pendatang/krama tamiu tersebut, dan Desa Pakraman dengan otonomi yang
dimilikinya diharapkan dapat ikut berperan dalam melakukan pengaturan dan
penertiban tersebut mengingat asumsi bahwa semua wilayah di Pulau Bali habis
dibagi oleh Desa Pakraman kecuali beberapa wilayah yang memang tidak dikuasai
oleh Desa Pakraman. Jadi bisa dikatakan kalau pulau Bali 99% wilayahnya
merupakan bagian dari Desa Pakraman.
Keberanian dan berwenangnya Desa Pakraman dalam mengatur penduduk
pendatang/ krama tamiu tentunya selain berasal dari kewenangan otonomi desa adat,
juga bersumber dari politik hukum yang digariskan dan dibuat oleh pemerintah
provinsi Bali sendiri. Politik hukum pengaturan krama tamiu tersebut tentunya
memiliki dasar pertimbangan yang strategis, dimana salah satunya tidak hanya
118
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
pemerintah daerah saja yang dilibatkan untuk penertiban krama tamiu, namun juga
dilibatkannya peran serta Desa Adat dalam pelaksanaannya.
Akan tetapi, sering kali dalam pelaksanaan kebijakan hukum tersebut
menemui beberapa hambatan dan masalah, baik masalah teknis maupun non teknis,
seperti yang terjadi salah satunya di Desa Pakraman Bayad. Dengan demikian
peneliti ingin meneliti dan mengkaji lebih dalam tentang “Legal Politics Desa Adat
Dalam Mengatur Krama Tamiu (Studi Kasus di Desa Bayad, Kecamatan
Tegalalang, Kabupaten Gianyar)”.
1.2
Isu Hukum
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka isu hukumnya sebagai
berikut
1.
Mengapa pengaturan krama tamiu perlu dilakukan di Desa Pakraman
Bayad ?
2.
Bagaimanakah mekanisme pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman
Bayad ?
3.
Apakah implikasi dan hambatan penerapan aturan terhadap krama
tamiu di Desa Pakraman Bayad ?
119
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
Bab II
Legal Politics Desa Adat Dalam Mengatur Krama Tamiu
2.1
Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Produk Hukum di Bali
A.
Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah
konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu
merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada
keseimbangan politik, definisi kekuasaan, evolusi ideologi politik, ekonomi, sosial,
dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii).
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak
diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prakteknya seringkali
proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi
dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat
menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan
antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang
kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga
negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum
itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses
(process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan (Mieke
Komarat. al, 2002 : 91).
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya
suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk
hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh
tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata
“institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai
produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundangundangan oleh suatu institusi politik yang sangat dpengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam
Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibatakibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan (M.Kusnadi, SH., 2000 : 118). Dalam
120
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik
yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik
secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi
yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu
institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.
Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang
dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin
dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari
infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah
lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang
diberikan otoritas untuk itu.
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang
berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di
Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari
dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di
Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional (Lili
Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah
masyarakat, pengaruh aliran poisitivisme adalah sangat dominan. Apa yang disebut
hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap
bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan
norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undangundang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan yang
tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang
geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances,
seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika
diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan
kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing
lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara
dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu
121
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada
yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsifungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga
negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari institusi
politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara
tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undangundang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal
segala produk hukum dari institusi politik lainnya di bawah undang-undang diajukan
kepada Mahkamah Agung.
B.
Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Produk Hukum
di Bali
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik,
terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi
produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut
berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya
menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti
kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi
profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UndangUndang
tentang
pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan
menyatakan:
“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan
Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam
mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas.
Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang
berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan
Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala
bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi
yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang
diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah
memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya
ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati (Walter Lippmann, 1999 : 21).
122
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan
masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum
dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi
atau terganggu karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan
memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan
membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk
hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian
para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalau
opini umum sampai mendominasi pemerintah, maka di sanalah terdapat suatu
penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang
hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah (Ibid, :
15). Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting
memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya
akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi
kebijakan politik. Di sinilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui
mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk
menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidahkaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
2.2.
Perlunya Pengaturan Krama Tamiu Dilakukan Di Desa Pakraman Bayad
A.
Faktor-Faktor Pendukung Perlunya Pengaturan Krama Tamiu Di Desa
Pakraman Bayad
Dalam pembuatan pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, didasari
oleh dua faktor yaitu, pertama faktor yang berasal dari Desa Pakraman itu sendiri
(faktor internal), serta yang kedua adalah faktor yang berasal dari luar Desa
Pakraman (faktor eksternal).
-
Faktor Internal Dalam Pembuatan Pararem Krama Tamiu Di Desa
Pakraman Bayad
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam organisasi itu
sendiri. Dalam pembuatan pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, yang
menjadi faktor internalnya antara lain :
a. Adanya Kepastian hukum yaitu :
123
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
Pararem krama tamiu yang dibuat oleh prajuru Desa Pakraman Bayad
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terutama bagi krama tamiu dan krama
desa dalam melakukan perbuatan. Di dalam pararem krama tamiu sudah tertera jelas
berbagai persyaratan krama tamiu, hak dan kewajiban krama tamiu, serta sanksi
apabila krama tamiu melakukan pelanggaran. Sehingga dengan demikian, adanya
pararem krama tamiu tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi
krama tamiu dan krama desa dalam melakukan perbuatan dan tindakan-tindakan di
Desa Pakraman Bayad, karena telah ada dasar hukum yang jelas yang mengatur
tindakan-tindakan yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan.
b. Menjaga Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat
Adanya pengaturan yang jelas mengenai krama tamiu, akan dapat
meminimalisasi tindak kejahatan oleh penduduk pendatang, karena telah ada langkahlangkah filterisasi (penyaringan) yang ketat terhadap krama tamiu, mulai dari krama
tamiu tersebut datang hingga terus dilakukan pendataan secara berkala rutin setiap
bulan selama krama tamiu tersebut tinggal di wilayah Desa Pakraman Bayad.
Sehingga mereka yang datang dan tinggal di lingkungan Desa Pakraman Bayad
benar-benar memiliki asal-usul serta tujuan yang jelas, serta ada sanksi yang tegas dan
nyata apabila krama tamiu melakukan pelanggaran ketentuan pararem. Dengan
adanya sanksi tersebut, menyebabkan krama tamiu tidak berani melakukan tindakan
yang melanggar isi pararem seperti mencuri dan berkelahi ataupun melakukan
perbuatan lainnya yang dapat menggangu keamanan masyarakat karena dapat dikenai
sanksi.
c. Adanya Aspirasi Krama Desa
Pembentukan pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, didahului dari
adanya aspirasi masyarakat krama desa agar ada peraturan yang jelas yang mengatur
tentang keberadaan krama tamiu di lingkungan Desa Pakraman Bayad. Aspirasi
masyarakat lewat mulut ke mulut dan menjadi desas-desus di lingkungan krama desa,
akan tetapi hal tersebut tidak disampaikan langsung oleh krama desa ketika ada
paruman adat, tapi hanya baru sebatas pembicaraan antar masyarakat di warungwarung. Dari desas-desus ini, maka prajuru adat Desa Pakraman Bayad membentuk
tim independen untuk menyusun draf pararem krama tamiu Desa Pakraman Bayad.
124
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
d. Meningkatkan Daya Saing Krama Desa Terhadap Krama Tamiu
Dengan dikeluarkanya pararem mengenai pengaturan krama tamiu tersebut,
telah berkontribusi nyata terhadap peningkatan daya saing masyarakat lokal (krama
desa) terhadap krama tamiu, terutama dalam bidang usaha dan tenaga kerja. Dimana
dengan diterapkanya pararem tersebut menyebabkan banyak krama tamiu yang
memutuskan berhenti mengontrak toko ataupun berhenti bekerja dan pindah tempat
tinggal, sehingga menyebabkan pengusaha dan tenaga kerja lokal (krama desa)
semakin terangsang untuk memulai suatu usaha dan peluangnya menjadi semakin
besar karena berkurangnya saingan. Di samping itu juga, krama desa etos kerjanya
menjadi semakin meningkat agar tidak kalah bersaing dengan krama tamiu. Dengan
situasi yang demikian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
krama desa.
e. Menjaga Kelestarian Adat-Istiadat Serta Budaya Masyarakat
Berbagai budaya asing yang dibawa oleh wisatawan mancanegara, baik yang
positif maupun negatif, telah mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat Bali.
Dalam hal inilah diharapkan peran Desa Pakraman dengan otonominya dapat
menjaga kelestarian adat dan budaya masyarakat di Desa Pakraman.
Sirtha (2008 : 105-106) menyatakan; dalam aspek sosial, pengaruh
modernisasi tampak dari adanya perubahan warga desa, dari kehidupan tradisional
menuju kehidupan yang dipandang modern. Pengaruh positif modernisasi terhadap
kehidupan sosial ialah terbentuknya berbagai organisasi modern yang mempunyai
jangkauan ke depan untuk meningkatkan martabat kehidupan bersama. Dampak
negatif modernisasi terhadap aspek sosial masyarakat adat, antara lain bergesernya
solidaritas sesama warga desa, menipisnya sistem kerja gotong-royong menjadi sistem
upah.
Dalam Perda provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman,
dalam pasal (5) huruf (e) dinyatakan bahwa tugas dan wewenang Desa Pakraman
adalah “membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada
umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan “paras-paros, segiliksaguluk, salunglung-sabayantaka (musyawarah-mufakat)”.
Pengaturan kegiatan warga masyarakat dalam awig-awig dan pararem Desa
Pakraman dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap
warisan budaya Bali pada umumnya dan budaya lokal setempat pada khususnya,
125
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
sehingga mereka berperan aktif dalam melindungi, memelihara, memperbaiki,
mengembalikan pada bentuk aslinya, menyesuaikan kembali, dan membentuk
kembali benda-benda budaya. Contohnya, pararem krama tamiu di Desa Pakraman
Bayad bisa meminimalisasi penjualan tanah yang dilakukan oleh krama desa sehingga
dapat melestarikan lingkungan palemahan desa.
-
Faktor Eksternal Dalam Pembuatan Pararem Krama Tamiu Di Desa
Pakraman Bayad
Faktor eksternal merupakan faktor dari luar Desa Pakraman yang mendorong
terbentuknya pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad. Yang dimaksud faktor
eksternal dalam hal ini adalah adanya tuntutan dari pemerintah dalam melaksanakan
tertib administrasi kependudukan. Tuntutan dari pemerintah yang dimaksud adalah
dengan dikeluarkannya Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem
Tahun 2002 Tentang Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang dan Kesepakatan
Bersama Gubernur Bali Dengan Bupati/Walikota Se Bali Nomor 153 Tahun 2003
Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan Di Provinsi Bali. Dalam
huruf A angka (3) Surat Edaran Gubernur Bali tersebut dinyatakan “kedatangan
penduduk pendatang wajib didaftarkan kepada Kepala Desa/Lurah”, jo pasal 3 angka
(5) Kesepakatan Bersama Gubernur Bali Dengan Bupati/Walikota Se Bali Nomor 153
Tahun 2003 menyatakan “pendaftaran penduduk dilaksanakan oleh Desa
Dinas/Kelurahan dapat dibantu Desa Pakraman dalam rangka tertib administrasi
kependudukan di bawah kepengawasan Bupati/Walikota”.
2.3
Mekanisme Pengaturan Krama Tamiu Di Desa Pakraman Bayad
Pararem pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, melewati
beberapa mekanisme mulai dari perancangan draf isi pararem sampai pararem
tersebut disahkan untuk kemudian disosialisasikan dan diterapkan pada masyarakat.
Berikut akan dijelaskan tentang
mekanisme pengaturan krama tamiu di Desa
Pakraman Bayad.
2.3.1
Paruman Adat Sebagai Wadah Aspirasi Masyarakat
Paruman adat/paruman desa merupakan kekuasaan tertinggi di Desa
Pakraman dan bukan terletak di tangan Bendesa, seperti yang diungkapkan oleh I
Gde Pitana bahwa kekuasaan tertinggi pada Desa Adat terdapat pada rapat anggota
atau sangkep (paum, parum), sedangkan bendesa adat hanya berfungsi sebagai
pemegang mandat dari krama desa adat, di dalam melaksanakan berbagai tugas dan
126
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
fungsi Desa Adat atau mengorganisasikan berbagai kegiatan yang berhubungan
dengan eksistensi Desa Adat (Pitana, 1994 : 142).
Setelah melalui diskusi yang cukup panjang akhirnya dicapai kesepakatan
intern mengenai ketentuan-ketentuan tentang pengaturan krama tamiu yang kemudian
dituangkan dalam sebuah draf peraturan. Draf peraturan tersebut kemudian
disosiaisasikan kepada krama desa dalam suatu rapat desa/paruman desa untuk
selanjutnya didapatkan peraturan yang isinya disepakati oleh seluruh krama desa.
Setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya pada tanggal 1 Desember 2004
dalam sebuah paruman desa, dengan dipimpin oleh Bendesa Adat I Made Latra serta
Kelihan Dinas I Ketut Sunarta, SS disepakati dan disahkan pararem krama tamiu di
Desa Pakraman Bayad, seperti yang ada saat ini.
2.3.2
Sosialisasi Sebagai Penerapan Hukum Progresif
Berikut ini adalah langkah-langkah sosialisasi yang dilakukan oleh prajuru
Desa Pakraman Bayad mengenai pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad.
a. Sosialisasi Oleh Prajuru Adat
Setelah draf yang dibentuk oleh tim independen jadi, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan tindakan sosialisasi isi draf tersebut kepada krama desa
melalui paruman desa (musyawarah desa). Hal ini dimaksudkan agar proses
demokrasi bisa berlangsung sehingga didapat hasil yang sesuai dengan kesepakatan
bersama (musyawarah mufakat). Dalam rapat desa/paruman desa tersebut, kembali
terjadi tawar-menawar mengenai apa yang nantinya akan dicantumkan dalam
pararem.
Sosialisasi tentang pengaturan krama tamiu yang dilakukan oleh prajuru desa
adat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah sosialisasi pada krama desanya
melalui sangkepan umum/siar banjar. Sedangkan untuk selanjutnya yang bertugas
mensosialisasikan isi pararem kepada krama tamiu adalah seluruh krama desa,
terutama mereka yang menerima dan atau mengajak krama tamiu tinggal di
lingkungannya. Sementara cara kedua untuk mensosialisasikan isi pararem adalah
melalui pecalang dengan cara melakukan sosialisasi langsung kepada krama tamiu di
tempat krama tamiu itu tinggal.
b. Sosialisasi Oleh Pemilik Lahan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa krama desa sebagai pemilik
lahan bertugas secara langsung untuk mensosialisakan mengenai isi pararem kepada
para krama tamiu terutama mereka yang lahannya diminati/ditinggali oleh krama
127
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
tamiu. Hal ini dapat dimengerti mengingat krama desalah (terutama yang memiliki
lahan
untuk
dikontrak)
yang
pertamakali
mengadakan
kontak
langsung,
berkomunikasi dengan krama tamiu yang berminat pada lahan miliknya. Sehingga
wajar apabila mereka diharapkan dapat memberikan sosialisasi mengenai adanya
pararem krama tamiu, sehingga krama tamiu tersebut mempunyai bayangan apakah
akan memutuskan tetap menyewa atau tidak. Akan tetapi, tugas pemilik lahan tidak
hanya sebatas mensosialisasikan isi pararem saja, akan tetapi mereka juga bertugas
dan wajib untuk melapor ke prajuru desa apabila ada krama tamiu yang ingin tinggal
dan menyewa lahannya.
c. Melalui Surat Salinan Putusan Paruman Desa/Pararem
Hasil keputusan rapat yang telah disahkan dalam sangkepan/paruman desa,
kemudian dibuat dalam sebuah tulisan/salinan surat dengan judul “Pararem Krama
Tamiu Desa Pakraman Bayad”. Dalam pararem tersebut telah dimuat berbagai
persyaratan bagi krama tamiu yang ingin tinggal atau menyewa lahan/tempat di
wilayah Desa Pakraman Bayad, besarnya uang pangkal (iuran baru masuk) serta
iuran/donasi wajib perbulan, hak dan kewajiban krama tamiu serta sanksi apabila
krama tamiu melanggar ketentuan pararem. Akan tetapi tidak semua warga/krama
desa mendapatkan surat salinan pararem tersebut, tetapi hanya pihak-pihak tertentu
saja yang membawanya seperti prajuru adat dan prajuru dinas serta pacalang.
Jadi di Desa Pakraman Bayad, sosialisasi pararem tentang pengaturan krama
tamiu, selain dengan cara lisan melalui pemilik lahan, juga dilakukan dengan
memberikan surat salinan putusan pararem yang berupa fotocopy kepada setiap
krama tamiu yang tinggal atau menyewa lahan di lingkungan Desa Pakraman Bayad.
Dalam mensosialisasikan salinan putusan pararem tersebut, secara aturan di Desa
Pakraman dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama hasil fotocopy pararem
diberikan oleh prajuru desa atau pecalang pada saat krama tamiu datang untuk
melapor bahwa akan tinggal atau menyewa lahan di Desa Pakraman Bayad, dan yang
kedua adalah secara door to door (pintu ke pintu) dimana pecalang sambil menagih
iuran wajib, juga melakukan sosialisasi dengan memberikan hasil fotocopy salinan
putusan pararem kepada setiap krama tamiu yang belum mendapatkannya.
128
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
2.4
Implikasi Dan Hambatan Penerapan Aturan Terhadap Krama Tamiu Di
Desa Pakraman Bayad
-
Implikasi Penerapan Aturan/Awig-Awig Kepada Krama Tamiu
Proses pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, juga memiliki
implikasi/konsekuensi, seperti implikasi hukum dan implikasi sosial.
2.4.1
Implikasi Hukum
Karena pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad dilakukan dengan
dua jenis hukum yang berbeda (hukum adat dan hukum nasional), maka implikasi
hukum yang timbul juga meliputi dua aspek yaitu implikasi hukum adat (awig-awig)
dan implikasi hukum nasional.
a. Implikasi Hukum Adat (Awig-Awig)
Dalam setiap penegakan hukum, agar hukum tersebut dapat berjalan dengan
baik dan efektif maka selalu ada faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja hukum
tersebut berfungsi di masyarakat. Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A menyatakan faktorfaktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1)
kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) petugas/penegak hukum; (3) sarana atau
fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat (Zainuddin
Ali, 2007 : 62-65). Dalam Desa Pakraman yang menjadi kaidah/substansi hukum
adalah awig-awig dan pararem, petugas/penegak hukum adalah prajuru Desa
Pakraman dan pecalang, sarana dan fasilitas yang digunakan aparat penegak hukum
di Desa Pakraman tidak selengkap aparat penegak hukum Negara, akan tetapi
biasanya hanya menggunakan pulpen dan buku catatan serta radio wireless, serta
kesadaran masyarakat yaitu kesadaran warga/krama desa dan krama tamiu dalam
mentaati setiap peraturan yang berlaku.
Dalam hukum adat di Desa Pakraman Bayad, apabila pelanggaran yang
terjadi masih tergolong ringan, maka biasanya tidak langsung dikenai sanksi, akan
tetapi diberi peringatan terlebih dahulu. Sedangkan untuk pelanggaran yang tergolong
berat, biasanya dikenakan dua (2) jenis sanksi, yaitu pertama adalah sanksi
penyegelan, dan yang kedua adalah sanksi administrasi (berupa pembayaran sejumlah
uang) yang juga disertai sanksi adat (upacara pecaruan). Sanksi penyegelan diberikan
kepada krama tamiu yang tidak memenuhi kewajibannya membayar iuran sampai
batas waktu yang ditentukan serta bagi krama tamiu yang tinggal tidak sesuai tujuan
awalnya. Sedangkan sanksi administrasi yang disertai sanksi adat diberikan kepada
129
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
krama tamiu yang melakukan pelanggaran cukup berat serta dianggap meresahkan
masyarakat seperti pencurian dan perkelahian.
b. Implikasi Hukum Nasional
Hukum nasional yang berisi pengaturan penduduk pendatang/krama tamiu
diantaranya adalah Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem Tahun
2002 Tentang Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang dan Kesepakatan Bersama
Gubernur Bali Dengan Bupati/Walikota Se Bali Nomor 153 Tahun 2003 Tentang
Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan Di Provinsi Bali. Dalam peraturan
tersebut, diantaranya diatur mengenai persyaratan penduduk pendatang serta
pendaftaran penduduk pendatang dilaksanakan oleh Desa Dinas/Kelurahan yang dapat
dibantu oleh Desa Pakraman.
Sidak penduduk pendatang dilaksanakan oleh Desa Dinas, dikarenakan yang
berwenang untuk mengurus tertib administrasi kependudukan adalah Desa Dinas,
sedangkan Desa Pakraman/Desa Adat wewenangnya adalah mengurus masalah adat
dan agama. Apabila pada saat melakukan sidak ditemui krama tamiu yang
belum/tidak melengkapi diri dengan kelengkapan administrasi kependudukan maka
akan dikenakan sanksi dari Desa Dinas/Perbekel. Mengenai pemberian sanksi, apabila
pelanggaran masih tergolong ringan (krama tamiu belum melengkapi diri dengan
kelengkapan administrasi), maka KTPnya akan disimpan di Kantor Desa untuk
ditukar dengan Kipem. Sementara bagi pendatang/krama tamiu yang dalam sidak
diketahui sama sekali tidak melengkapi diri dengan kelengkapan administrasi, maka
akan langsung dipulangkan ke daerah asalnya.
2.4.2
Implikasi Sosial
Kehadiran krama tamiu/pendatang di wilayah Desa Pakraman Bayad
mempunyai implikasi/dampak positif dan negatif, dimana dampak positifnya antara
lain adalah Desa Pakraman Bayad mendapat uang pemasukan untuk menunjang
pembangunan dan kegiatan keagamaan serta adat dari uang retribusi wajib perbulan
krama tamiu, dan juga kehadiran krama tamiu telah memotivasi krama desa untuk
lebih meningkatkan etos kerjanya sehingga tidak kalah bersaing dengan krama
tamiu/pendatang. Sedangkan dampak negatifnya adalah beberapa krama desa merasa
kalah bersaing karena banyaknya pedagang krama tamiu/pendatang di wilayah Desa
Pakraman Bayad, serta beberapa krama tamiu yang berjualan makanan keliling
(seperti bakso) banyak yang membuang sampah sembarangan sehingga merusak
130
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
kebersihan lingkungan Desa Pakraman Bayad. Akan tetapi secara umum keamanan
dan ketertiban masyarakat tetap terjaga serta budaya dan adat istiadat masyarakat
lokal tidak terganggu dengan adanya krama tamiu.
2.5
Hambatan Penerapan Aturan Kepada Krama Tamiu Di Desa Pakraman
Bayad
1. Hambatan Internal (Dari Dalam Desa Pakraman)
Hambatan internal pengaturan krama tamiu antara lain yang dilakukan oleh
krama desa adalah seperti mereka yang menerima pendatang tidak melapor sampai
batas waktu 2x24 jam. Kesadaran masyarakat pemilik tempat kos-kosan kurang
begitu baik karena tidak melapor pada pihak yang berwenang padahal mengetahui ada
krama tamiu baru yang menginap di tempat kosnya dan juga mengetahui kalau ada
aturan setiap krama desa wajib melapor pada prajuru desa atau pecalang dalam
waktu tidak boleh lebih dari 2x24 jam apabila ada krama tamiu baru yang tinggal di
tempatnya. Kurangnya koordinasi antara krama desa pemilik tempat kontrakan dan
kos-kosan dengan prajuru desa dan pecalang sedikit banyak telah menyebabkan
hambatan dalam melakukan pengaturan terhadap krama tamiu.
2. Hambatan Eksternal (Dari Krama Tamiu)
Secara umum hambatan yang sering ditemui dalam melakukan pengaturan
krama tamiu di Desa Pakraman Bayad adalah pada saat meminta uang retribusi/iuran
wajib perbulan, dimana biasanya ada beberapa krama tamiu yang nunggak/tidak
melakukan pembayaran. Akan tetapi pada akhirnya kebanyakan dari mereka akan
melunasi pembayaran pada akhir tahun.
2.6
Politik Hukum Progresif Sebagai Upaya Penyelesaian Masalah Krama
Tamiu
Mengenai berbagai permasalahan yang masih ditemui dalam melakukan
pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, mungkin solusinya bisa
menggunakan hukum progresif agar metode penyelesaian masalah yang digunakan
bisa memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat. Berbagai permasalahan
dalam
pengaturan
krama tamiu
di
Desa
Pakraman
penyelesaiannya menurut hukum progresif diantaranya ;
131
Bayad
serta
upaya
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
Mengenai krama desa yang tidak melapor apabila ada krama tamiu yang
tinggal di tempatnya, solusinya adalah dengan menerapkan sanksi kepada krama desa
tersebut seperti yang tertuang dalam perarem yaitu krama desa yang tidak melapor
benar-benar dikenakan sanksi sebesar Rp 1.000 x jumlah KK. Sehingga kedepan tidak
ada lagi krama desa yang tidak melapor apabila ada krama tamiu yang tinggal di
tempatnya.
Permasalahan tentang tunggakan pembayaran uang retribusi wajib setiap bulan
oleh krama tamiu mungkin bisa disiasati dengan melihat usaha yang digeluti oleh
krama tamiu yang bersangkutan. Hal ini dengan mempertimbangkan skala usaha yang
dilakukan oleh krama tamiu. Apabila skala usahanya kecil uang retribusinya juga
dikecilkan, sedangkan untuk skala usaha yang cukup besar uang retribusinya
disesuaikan dengan ketentuan pararem yang sudah ada. Dengan penyesuaian uang
retribusi tersebut, daya bayar krama tamiu bisa disesuaikan sehingga keterlambatan
pembayaran uang retribusi wajib bulanan bisa diminimalisasi.
Sedangkan untuk krama tamiu yang merekayasa laporan dengan mengatakan
jumlah anak buah yang dilaporkan lebih sedikit dari jumlah anak buah sesungguhnya
yang diajak, solusinya adalah dengan memberikan denda berupa uang dengan jumlah
yang cukup besar, sehingga apabila krama tamiu tersebut diketahui berbohong, maka
sanksi denda yang besar akan dikenakan padanya. Dengan demikian, krama tamiu
tersebut akan takut dan berpikir dua kali sebelum berbohong dalam membuat laporan
pada kelihan dinas ataupun pecalang.
132
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
Bab III
Penutup
3.1
Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas, maka penulis dapat menarik
beberapa kesimpulan, diantaranya :
1.
Bahwa perlunya pengaturan krama tamiu dilakukan di Desa Pakrama Bayad,
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : (a) Faktor Internal seperti :
adanya kepastian hukum, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, adanya
aspirasi masyarakat, meningkatkan daya saing krama desa terhadap krama
tamiu serta untuk menjaga adat-istiadat dan budaya masyarakat, dan (b) Faktor
eksternal yaitu adanya tuntutan dari pemerintah, dengan dikeluarkannya Surat
Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem Tahun 2002 Tentang
Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang dan Kesepakatan Bersama
Gubernur Bali Dengan Bupati/Walikota Se Bali Nomor 153 Tahun 2003
Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan Di Provinsi Bali.
2.
Bahwa mekanisme pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad
meliputi beberapa tahapan, diantaranya : Paruman adat sebagai wadah
aspirasi masyarakat dan tindakan sosialisasi sebagai penerapan hukum
progresif. Tindakan sosialisasi pararem krama tamiu di Desa Pakraman
Bayad dilakukan dengan
beberapa cara antara lain ; (a). Sosialisasi
oleh prajuru adat, (b). Sosialisasi oleh pemilik lahan, (c). sosialisasi melalui
surat salinan putusan paruman desa/pararem.
3.
Bahwa implikasi dan hambatan penerapan aturan terhadap krama tamiu di Desa
Pakraman Bayad, antara lain :
a.
Implikasi penerapan aturan/awig-awig kepada krama tamiu meliputi dua
aspek yaitu ;
1.
Implikasi hukum, dimana implikasi hukum ada dua yaitu : pertama
adalah implikasi hukum adat (awig-awig), seperti dikenai sanksi
penyegelan dan sanksi administrasi disertai upacara macaru satu
mancan. Kedua adalah implikasi hukum nasional, yaitu krama tamiu
dikenai sanksi pemulangan ke daerah asalnya apabila sama sekali tidak
melengkapi diri dengan kelengkapan administrasi kependudukan.
2.
Implikasi sosial dari penerapan pararem krama tamiu di Desa
Pakraman Bayad antara lain; implikasi positifnya yaitu uang iuran dari
133
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
krama tamiu dapat membantu pembangun fisik maupun non fisik serta
kegiatan keagamaan dan adat serta meningkatkan etos kerja
masyarakat lokal (krama desa) Desa Pakraman Bayad. Sedangkan
implikasi sosial yang bersifat negatif dari kehadiran krama tamiu
adalah banyak pedagang dan pengusaha lokal yang kalah bersaing,
serta krama tamiu kurang menjaga kebersihan lingkungan Desa
Pakraman Bayad, terutama yang bekerja sebagai pedagang makanan
keliling.
b.
Hambatan penerapan aturan kepada krama tamiu di Desa Pakraman Bayad,
terdiri dari; (1) Hambatan internal (dari dalam Desa Pakraman) yaitu
krama desa yang memiliki tempat kontrakan maupun kos-kosan tidak
melapor, padahal dia mengetahui tempatnya ditinggali oleh krama tamiu
baru, dan (2) Hambatan eksternal (dari krama tamiu) yaitu berupa ketidak
lancaran pembayaran uang retribusi/iuran wajib perbulan. Akan tetapi saat
penutupan akhir tahun semua krama tamiu harus melunasi tunggakannya.
c.
Politik Hukum progresif sebagai upaya penyelesaian masalah krama tamiu,
diantaranya :
1.
Agar krama desa mau melapor apabila ada krama tamiu yang tinggal
di tempatnya, maka solusinya adalah dikenakan sanksi sebesar yang
tercantum dalam awig-awig yaitu Rp 1.000 x jumlah KK, sehingga
dengan demikian krama desa akan takut dan akan melaporkan
keberadaan krama tamiu di tempatnya.
2.
Tentang tunggakan pembayaran uang retribusi solusinya adalah
besarnya uang retribusi disesuaikan dengan skala usaha yang dilakukan
krama tamiu. Dengan demikian daya bayar krama tamiu akan lebih
sesuai sehingga dapat meminimalisasi jumlah tunggakan uang
retribusi.
3.
Upaya penyelesaian masalah bagi krama tamiu yang merekayasa
laporan tentang jumlah anah buah yang diajak, sebaiknya krama tamiu
tersebut jangan hanya diberikan peringatan, akan tetapi dikenakan
denda berupa uang dengan jumlah yang cukup besar. Sehingga dengan
demikian mereka akan jera dan tidak berani lagi merekayasa laporan.
134
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
3.2 Saran-Saran
1.
Untuk Pecalang Desa Pakraman Bayad, dalam melakukan tugasnya yaitu
menagih uang retribusi rutin perbulan sebaiknya tetap sambil membawa hasil
fotocopy pararem krama tamiu, karena tidak semua krama tamiu yang tinggal di
sana memiliki fotocopy pararem. Jadi apabila saat menagih iuran wajib perbulan
ditemui krama tamiu yang berbuat tidak baik seperti membuang sampah
sembarangan, agar bisa diberi penjelasan yang lebih rinci tentang hak dan
kewajiban mereka sebagai krama tamiu, sehingga keamanan, ketertiban dan
kebersihan lingkungan di Desa Pakraman Bayad tetap terjaga.
2.
Untuk Pecalang dan Kelihan Dinas Desa Pakraman Bayad agar lebih
meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan aparat dinas dari kantor Perbekel
terkait masalah kependudukan, terutama mengenai krama tamiu yang tinggal di
sekitar wilayah Desa Pakraman Bayad. Karena dengan koordinasi yang baik,
akan semakin meminimalisasi jumlah krama tamiu yang illegal (tidak
melengkapi diri dengan tertib administrasi kependudukan).
3.
Untuk Bendesa Desa Pakraman Bayad, dana yang didapat dari hasil pemungutan
uang retribusi krama tamiu, hendaknya tidak hanya digunakan untuk sematamata pembangunan fisik di Desa Pakraman ataupun hanya untuk kegiatan
upacara keagamaan dan adat saja. Akan tetapi dialihkan sedikit untuk membiayai
kegiatan yang sifatnya melatih mental anak-anak dan remaja agar mencintai seni
dan budaya Bali, seperti untuk kegiatan pasraman maupun untuk pembiayaan
latihan menari dan menabuh gamelan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. H, 2007. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika
Arinanto,Satya,2008, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia.
Arifin, Imron.1996.Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan,
Malang: Kalimasahada Press.
Arikunto,Suharsimi.2006.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.Jakarta:
Rineke Cipta.
Asshiddiqie, Jimly 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi,
Penerbit Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta.
135
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
Azhary, H. Muhammad Tahir, 2003, Negara Hukum : Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Kencana.
Azwar,Saufuddin.2004.Metode Penelitian.Yogyakarta:Pustaka Fajar.
Barnett, Hilaer, 2002, Constitutional and Administrative Law, Queen Mary,
University of London.London: Cavendish Publishing Limited.
Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta: Rangkang Education.
Furchan,Arief.1992.Pengantar metodologi Penelitian Kualitatif. Surabaya:Usaha
Nasional.
Hadi, Sutrisno.2000.metodologi Research1.Yogyakarta:Andi Offset.
Indrati, Maria Farida, 1998, Ilmu Perundang-Undangan (proses dan teknik
penyusunan), Kanisius, Yogyakarta.
………………………, 2007, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi, Materi
Muatan), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ibrahim, Anis, 2008, Legislasi Dan Demokrasi (Interaksi dan Konfigurasi Politik
Hukum Dan Pembentukan Hukum di Daerah), In-Trans Publising,
Malang.
Indroharto , 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku I, Jakarta: Sinar Harapan.
Jendra, I Wayan.2011.Ensiklopedia Hindu.Denpasar: Penerbit Paramitha.
Komar, Mieke at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan
Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar
Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.
Kusnardi, Moh. dan Bintan Saragih, 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut
Sistem Undang-Undang Dasar 1945,Jakarta : Gramedia
Lubis, Todung Mulya, 1994, In Search of Human Rights: Legal-Political dilemmas of
Indonesia’s New Orde 1966-1990, Jakarta: Published by PT. Gramedia
Pustaka Utama in coorperation with SPES Foundation.
Lippmann, Walter and the American Century by Ronald Steel, Publication: May 27,
1999. Publisher: Transaction Publishers .
L. Tanya, Bernard, “Judicial Review dan Arah Politik Hukum, sebuah Perspektif”,
Makalah untuk Seminar tentang Judicial Review dan Arah Politik
Hukum di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 17 April
2006.
Mahfud, M.D, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
……………….., 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia, cetakan pertama.
Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undang Di Indonesia, Indo Hill, Co,
Jakarta.
…………….., 1995, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
…………….., 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Fakultas
Hukum UII Yogyakarta.
……………..,2003, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press,
Mantra, Ida Bagoes.2004.Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian
Sosial.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni.
Moleong, Lexy J.1998.Metodelogi Penelitian Kualitatif.Bandung: Remaja
Rosdakarya.
136
Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 2. Juli-Des 2013
Muhadar, 2006. Viktimisasi Kejahatan di Bidang Pertanahan, Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo.
Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat
Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta, 2007, Refika Aditama, Bandung.
Pitana, I Gde. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Bali
Post.
Rahardjo,Satjipto,2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
…………………,2007, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum), Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional (edisi ketiga), Surabaya, Airlangga University Press.
Rasjidi, lili dan IB.Wyasa Putra,2003,Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung:
Mandar maju.
S. Lev, Daniel, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet
I, LP3S, Jakarta, 1990.
Simarmata, Rikardo, The Life of Law Has Not Been Logic, Jurnal kerjasama antara
Forum Keadilan dan Huma N0. 42, 19 PEBRUARI 2006.
Sirtha, I Nyoman. 2008. Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Di Bali. Penerbit :
Udayana University Press.
Sunarno, Siswanto, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika.
Usman,Sabian,2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Wiyono, Suko, 2006, Otonomi Daerah dalam Negara Hukum Indonesia,
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Jakarta:Faza Media.
Wiyono, Suko, 2009. Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Kerangka Negara Hukum
yang Demokratis Berdasarkan Pancasila, Jakarta-Malang: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Volume I Nomor 2, Nopember 2009.
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
:Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
-
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali Dengan Bupati/Walikota Se Bali Nomor
153 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan Di
Propinsi Bali
-
Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B. Tapem Tentang Pedoman
Pendaftaran Penduduk Pendatang.
137
Download