CONCEPTUAL LEARNING AND LEARNING STYLE ( Kajian Konseptual tentang Belajar dan Gaya Belajar ) Oleh : Nixon J. Gerung Abstract Succeeding execution of national education system depended to livelines of learning either through group and also individual and also Good learning style. As protege have vitally role and therefore requiring special notice. An understanding base needing comprehended, that conceptioning is a new in education emphasize style and learning shall be majored from teaching.This scientific article is book Review from some sources for getting several definitions and effective learnings styles to get studies pattern and also optimal learnings results. Pengantar Setiap pembaharuan merupakan usaha yang kompleks dan multidimensional. Berbagai kesulitan harus diatasi yang memerlukan banyak pemikiran, biaya, waktu dan frustasi. Mengadakan pembaharuan secara individual dan terbatas lebih mudah dari pada pembaharuan pada skala institusional. Kesulitan dihadapi, karena dalam lembaga pendidikan sering tidak terdapat suatu kebulatan dalam metode dan pendekatan belajar mengajar. Tiap pengajar memberikan pelajaran menurut selera masing-masing. Kepentingan pribadi pengajar sering merupakan halangan kearah perubahan da ttrampil dan mampu meniadakan konflik dan pertentangan serta menggembleng segala tenaga dalam usaha mewujudkan perubahan dan pembaharuan pendidikan. A. Pengertian Belajar merupakan proses kegiatan yang dapat membawa perubahan individu. Dalam kenyataan belajar adalah perubahan individu dalam kebiasaan, pengetahuan, dan sikap. Hamalik (1983 : 28) mengatakan bahwa: “Belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku baru berkat pengalaman dan latihan”. Muhammad (1999 : 37) mengatakan bahwa belajar adalah pekerjaan yang harus dikerjakan sendiri, diusahakan sendiri dan tidak dapat menugaskan orang lain untuk mengerjakannya. Belajar merupakan jenis pekerjaan yang harus melibatkan diri secara langsung kedalam pekerjaan itu. Hal ini berarti bahwa apabila seseorang mau belajar atau ingin mempelajari sesuatu, maka dia sendirilah yang harus mempelajarinya. Dia tidak dapat memerintah atau menyewa orang lain untuk kepentingannya, melainkan harus terlibat langsung dalam proses belajar ini. Menurut arti secara psikologis, belajar sebagai suatu proses perubahan yaitu perubahan dalam tingkah laku seseorang sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan tersebut dapat diwujudkan dalam seluruh aspek tingkah laku. Sehubungan dengan hal tersebut, Soeyanto (1981 : 12) mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan yang terus menerus pada diri manusia karena usaha untuk mencapai kehidupan atas bimbingan dan sesuai dengan cita-cita dan falsafah hidupnya. Dapat dikatakan pula bahwa belajar ialah perubahan dalam diri seseorang yang bersifat kemajuan atau penyempurnaan kepribadian. Kemajuan dan penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam diri anak didik yang sedang menuju kedewasaan. Perubahan yang terjadi pada diri anak didik tersebut banyak sekali, baik sifat maupun jenisnya. Oleh karena itu sudah tentu tidak semua perubahan dalam diri anak didik merupakan perubahan dalam arti belajar. Contohnya: perubahan tingkah laku seseorang dalam keadaan tidak sadarkan diri, perubahan yang terjadi ini merupakan perubahan dalam pengertian belajar. Dengan demikian perlu dikemukakan cirri-ciri perubahan tingkah laku dalam arti belajar, sebagai berikut : 1. Perubahan yang terjadi secara sadar. Perubahan yang terjadi bila individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya individu telah merasakan terjadinya perubahan dalam dirinya. Contohnya, ia sadar bahwa pengetahuan, kecakapan dan kebiasaannya bertambah. 2. Perubahan dalam belajar yang bersifat kontinyu dan fungsional. Perubahan yang terjadi dari hasil belajar dalam diri seseorang berlangsung terus-menerus dan tidak statis. Jika perubahan yang satu terjadi akan menyebabkan perubahan yang berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses berikutnya. Misalnya jika seseorang anak belajar membaca maka ia akan mengalami perubahan dari tidak tahu membaca menjadi tahu membaca. 3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. Dalam kegiatan belajar perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi semakin banyak usaha belajar yang ia lakukan maka akan makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif berarti perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha seseorang yang belajar. Misalnya, adanya perubahan tingkah karena proses kematangan yang terjadi dengan sendirinya akibat adanya dorongan dari dalam, tidak termasuk perubahan dalam arti belajar. 4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara Perubahan yang bersifat sementara hanya terjadi untuk sementara saja seperti keluar air mata, berkeringat dan sebagainya. Perubahan ini tidak dapat digolongkan perubahan dalam arti belajar. Jadi perubahan yang terjadi dalam proses belajar yang bersifat menetap. Hal ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. Menurut Sardiman (2000 – 71) bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana seseorang mencari tahu sesuatu yang belum diketahuinya sehingga lebih mengetahui dan memahaminya. Pengertian ini lebih ditujukan pada proses mencari tahu apa yang belum diketahui sebelumnya. Belajar ialah kegiatan yang dilakukan seseorang atau kelompok dalam rangka mengembangkan pengetahuan yang dimiliki. Disini terlihat bahwa belajar lebih ditujukan pada upaya memperluas pengetahuan pada sesuatu hal (Mulyani, 1998 : 129). Sementara Utari (1991 – 56) menguraikan pengertian belajar dengan mengatakan : “… bahwa seseorang dikatakan melakukan kegiatan belajar bila dia menambah pengetahuan, pemahaman, atau kerampilannya dalam suatu proses yang memakai waktu tertentu.” Jadi, belajar disini dapat dilihat dari adanya tambahan pengetahuan, pemahaman atau ketrampilan yang dimiliki seseorang. Pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk menambah pengetahuan yang telah dimiliki (Maskul, 1998 : 215). B. Efisiensi Belajar Pada uraian terdahulu telah diketahui pengertian dan definisi belajar yang diberikan oleh para ahli. Kegiatan tersebut dilakukan dengan bantuan berbagai fasilitas dan sarana pendukung. Agar kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan baik, maka harus dilaksanakan secara efisien. Menurut Hamalik (1983 : 23) mengatakan bahwa efisiensi kegiatan belajar terlihat pada waktu penggunaan waktu belajar dengan baik oleh peserta didik dalam pengajar juga memaksimalkan pemakaian berbagai sarana pendukung belajar yang tersedia. Soeyanto (1981 : 23) mengatakan bahwa efisiensi dapat didefinisikan sebagai memaksimalkan hasil dari suatu usaha. Dengan demikian efisiensi belajar ialah memaksimalkan hasil belajar dari proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan. Rafianto (1994 : 112) mendefinisikan efisiensi belajar sebagai upaya memperoleh hasil belajar yang baik dengan memberdayakan sumber-sumber belajar yang tersedia di sekolah. Efsiensi merupakan aspek yang sangat penting dalam pembelajaran. Suatu kegiatan dikatakan efisien jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal (Mulyasa, 2005 : 89). Dharma (1991 : 32) mengatakan bahwa efisiensi mengacu pada ukuran penggunaan sumber daya yang langkah oleh organisasi. Efisiensi juga merupakan perbandingan antara input dan output, tenaga dan hasil, perbelanjaan dan masukan serta biaya yang dihasilkan. Hidayat (2000 : 71) mengatakan bahwa konsep efisiensi mencerminkan beberapa aspek prestasi unit terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut. Bila dihubungkan dengan efisiensi belajar, maka efisiensi belajar dapat didefinisikan sebagai beberapa prestasi yang dicapai peserta didik terhadap biaya dan fasilitas belajar yang digunakan untuk menghasilkan prestasi belajar tersebut. Senada dengan pendapat diatas, Sergiovani (1987 : 153) mengidentifikasikan efisiensi sebagai perbandingan individu dan prestasi keseluruhan dangan biaya yang dikeluarkan untuk mencapai prestasi tersebut. Jadi, efisiensi dalam belajar ialah perbandingan prestasi anak didik dan prestasi keseluruhan anak didik dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mencapai prestasi tersebut. Depdikbud (1989 : 102-103) membedakan efisiensi dalam pendidikan ada dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjukkan perbandingan antara prestasi belajar dan masukan biaya pendidikan. Adapun efisiensi eksternal yaitu perbandingan keuntungan finansial dangan seluruh jumlah dana yang telah dikeluarkan untuk biaya kegiatan tersebut. Sementara itu, Sumitro (1990 : 180) mengatakan bahwa upaya peningkatan efisiensi belajar paling tidak ditentukan oleh dua hal, yaitu manajemen belajar yang profesional dan partisipasi dalam pengelolaan atau proses belajar mengajar. Manajemen belajar yang profesional lebih diarahkan dan dijalankan oleh guru dan pimpinan sekolah. Sementara partisipasi dalam proses belajar melibatkan guru dan peserta didik. Dari berbagai uraian dan pengertian yang diberikan para ahli pendidikan diatas, penulis menyimpulkan bahwa efiriensi sebagai hasil terbaik yang diperoleh dengan mengoptimalkan biaya dan sarana yang tersedia. a. Cara Belajar Yang Efisien Cara belajar ialah kegiatan-kegiatan belajar yang dilakukan dalam mempelajari sesuatu, artinya kegiatan-kegiatan yang seharusnya dilakukan dalam situasi belajar tertentu. Cara belajar yang baik tentu penting bagi seseorang yang ingin berhasil dalam studi, sebab cara belajar yang baik turut menentukan keberhasilan seseorang dalam proses belajar (Hamalik, 1980 : 38). Surachmad (1980 : 38) mengatakan bahwa kesulitan yang umumnya dihadapi orang yang belajar adalah tidak cukup pengetahuan mereka mengenai cara-cara belajar yang baik, maka tujuan yang ingin dicapainya tentang sesuatu tidak akan membawa hasil. Karena itu dengan mengetahui cara belajar yang tepat akan menghasilkan hasil yang memuaskan. Cara belajar yang berguna mengandung asas-asas keteraturan, disiplin dan konsentrasi. Asas keteraturan yaitu seseorang akan belajar dengan teratur setiap hari, apakah itu mengikat pelajaran di kelas, mencoba buku pelajaran, membuat catatan ataupun dalam menyiapkan alat perlengkapan. Asas disiplin yaitu seseorang yang disiplin dalam melaksanakan pedoman-pedoman yang baik dalam belajar. Godaan-godaan yang bermaksud menangguhkan usaha belajar dihalangi dengan disiplin diri. Sedangkan asas konsentrasi yaitu seseorang akan belajar dengan penuh perhatian. Dengan demikian apa yang akan dipelajari akan mudah dimengerti (Gie, 1984 : 45). Cara belajar bukanlah bakat yang dibawa sejak lahir. Itu merupakan suatu kecakapan yang dimiliki oleh anak didik dengan jalan latihan. Dan itu juga akan menjadi suatu kebiasaan kalau dipraktekkan setiap hari. Orang yang mempunyai kemampuan intelektual yang tinggipun akan mengalami kesulitan dalam belajar karena tidak tahu tentang cara-cara belajar yang baik. Dia tidak tahu cara belajar yang baik untuk menyusun bahan pelajaran dan menggunakan waktu secara berdaya guna. Cara-cara belajar diterapkan dalam setiap kegiatan belajar. Seseorang yang belajar di Perguruan Tinggi akan mempunyai kegiatan-kegiatan belajar seperti mengikuti kegiatan belajar mengajar, menulis laporan, menempuh ujian dan sebagainya. Sehubungan dengan kegiatan-kegiatan tersebut dikemukakan beberapa pendapat tentang cara-cara belajar. Gie (1984 : 52) mengemukakan bagaimana cara-cara belajar yang efisien di sekolah menengah menyangkut cara mengatur waktu, mengikuti kegiatan belajar mengajar, membaca buku, membuat ringkasan, menghafal pelajaran, menulis karangan ilmiah dan menempuh ujian. Senada dengan Gie, Surachmad (1980 : 72) mengemukakan cara-cara belajar yang terbaik di sekolah menengah dalam lima langkah yaitu mengikuti KBM secara cermat, belajar sendiri dan berkelompok secara efektif, membaca karya ilmiah secara baik dan menempuh ujian dengan hasil maksimal. b. Hasil Belajar Sama halnya dengan “belajar”, “hasil belajar” juga mendapat rumusan yang berbeda-beda dari para ahli. Menurut Nurtain dan Andi (2000 : 1), hasil belajar ialah apa yang dikuasai atau dicapai oleh individu yang telah melakukan suatu kegiatan belajar. Sementara Mulyono (1998 : 170) mengidentifikasikan hasil belajar sebagai hasil yang telah dicapai, dikerjakan dan sebagainya dalam suatu proses pembelajaran. Pengertian dari hasil belajar dapat ditinjau dari scope yang luas dan dapat pula ditinjau dari scope yang sempit dan terbatas. Menurut Bodger dan Seaborne (2001 : 14), belajar itu adalah …….. “ anymore or less permanent change of behavior or which is their result of experience”. Artinya segala sesuatu atau perubahan tetap tingkah laku atau hasil dari pada pengalaman. Perubahan anak dari tidak tahu membaca menjadi dapat membaca adalah contoh konkrit suatu kegiatan belajar yang hasilnya menetap. Sifat tetap dari hasil belajar yang terdahulu memungkinkan kontuinitas perkembangan dalam proses belajar selanjutnya. Menurut Poerwardarminta ( 1995 : 393 ) bahwa prestasi belajar ialah apa yang telah dicapai, yang berarti hasil telah diperoleh melalui suatu usaha. Pendapat lain dari Habeyb ( 1983 : 196 ) mengatakan bahwa hasil belajar ialah apa yang telah didapat, diciptakan atau hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan belajar berdasarkan kedua pendapat ini berarti hasil belajar ialah hasil yang diperoleh dari suatu usaha belajar atau kegiatan bekerja. Nawawi ( 2001 : 100 ) mengemukakan bahwa hasil belajar ialah tingkat keberhasilan anak didik dalam mempelajari pelajaran di sekolah yang dinyatakan dengan nilai yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi tertentu. Selanjutnya, Purwanto ( 1992 : 45 ) mengatakan bahwa hasil belajar ialah hasil pencapaian belajar oleh anak didik pada jangka waktu tertentu. Dimana ditambahkan pula, jangka waktu tersebut sesudah pelajaran ( akhir pelajaran ), akhir pokok bahasan, akhir konsep dan akhir smester. Nana Sudjana ( 2003 : 22 ) bahwa hasil belajar ialah kemampuan yang dimiliki anak didik setelah menerima pengalaman belajar. Jadi hasil belajar melalui suatu proses atau kegiatan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan Danusastro ( 2003 : 98 ) mengatakan bahwa hasil belajar ialah tingkat keberhasilan anak didik dalam mempelajari materi pelajaran atau melakukan kegiatan latihan di sekolah yang akan dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil test mengenai sejumlah materi pelajaran. Hasil belajar anak didik ialah sebagai hasil pencapaian anak didik yang dicapai dalam waktu tertentu. Purwanto ( 1992 : 45 ). Terlihat disini bahwa hasil diperoleh setelah ada kegiatan belajar yang dilakukan anak didik dan kegiatan belajar yang dilakukan oleh guru. Menurut Hardana ( 2000 : 115 ) bahwa hasil belajar ialah kemampuan yang dimiliki anak didik setelah menerima pengalaman belajar. Hasil belajar tersebut dicapai setelah melalui proses dan kegiatan. Dari sekian definisi yang telah dikemukakan diatas, terdapat suatu kesesuaian umum yaitu hasil belajar merupakan tingkat keberhasilan yang dicapai oleh anak didik setelah melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu mengenai aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang terlihat pada perubahan tingkah laku dan kemampuan yang dimiliki oleh anak didik. C. Gaya Belajar ( Learning Style) Dalammengusahakan hasil belajar yang optimal, akhir – akhir ini timbul pikiran baru yakni, bahwa mengajar itu harus memperhatikan gaya belajar atau “learning style” peserta didik, yaitu cara ia bereaksi dan menggunakan perangsang-perangsang yang diterimanya dalam proses belajar. 1. Gaya Belajar Tak ada satu metode yang sesuai bagi semua murid. Ada yang lebih serasi belajar sendiri, ada yang lebih senang mendengarkan penjelasan dan informasi dari guru melalui metode ceramah. Untuk mempertinggi efektifitas proses belajar mengajar perlu diadakan penelitian yang mendalam tentang gaya belajar anak didik. Penelitian diadakan dalam tiga bidang yakni, 1. Gaya kognitif anak didik. 2. Gaya respons anak didik terhadap stimulus. 3. Model belajar. - Gaya Kognitif Dibawah ini kami berikan beberapa definisi gaya kognitif “Learning styles” refers to a student’s consistent way of responding to and using stimuli in the context of learning Cognitive style : cognitive characteristic modes of function ing that we reveal throughout our perceptual and intellectual activities in highly consisten and pervasive way (Witkin). Cognitive style is a “superordinate construct which is involved in many cognitive operations, and which accounts for individual differences in a variety of cognitive, perceptual, and personality variables”. (Vernon) Cognitive styles represent a person’s typical modes of perceiving, remembering, thinking, and problem solving (Messick). Dari definisi-definisi yang diatas kita lihat adanya kesamaan dalam pengertian mereka tentang apa yang dimaksdkan dengan “learning style” atau gaya belajar. Gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid dalam mengkap stimulus atau informasi., cara mengikat, berpikir dan memecahkan soal. Tidak semua orang mengikuti cara yang sama. Masing-masing menunjukan perbedaan, namun para peneliti dapat menggolonggolongkannya. Gaya belajar ini berkaitan erat dengan pribadi seseorang. Yang tentu dipengaruhi oleh pendidikan dan riwayat perkembangannya. Dari berbagai-bagai penggolongan itu dapat kita ambil tiga gaya belajar yang ada kaitannya dengan proses belajar mengajar, yakni gaya belajar menurut tipe: 1. “field dependence” – “ field independence” 2. Impulsive-reflektif 3. Preseptif / reseptif – sistematis/intuitif - Tiga model gaya belajar Berdasarkan studi longitudinal yang dilakukan oleh H. Witkin atas 1600 anak didik sejak tahun 1954-1970 ia menemukan tes untuk membedakan tipe-tipe gaya belajar anak didik. Pertama-tama akan dibicarakan beda gaya belajar yang field dependent dan field independent. Secara kasarnya ada pelajar yang field dependent artinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau bergantung pada lingkungan, ada juya yang tidak atau kurang dipengaruhi oleh lingkungan. Untuk lebih jelasnya mari kita bandingkan kedua tipe dalam suatu bagan. Type: Field dependent Type: Field independent - Sangat dipengaruhi oleh lingkungan, - Kurang dipengaruhi oleh lingkungan banyak bergantung pada pendidikan dan oleh pendidikan dimasa lampau. sewaktu kecil. - Di didik untuk selalu memperhatikan - Di didik untuk berdiri sendiri dan orang lain. mempunyai otonami atas tindakannya. - Mengingat hal-hal dalam konteks sosial, - Tidak peduli akan norma-norma orang misalnya gadis menggunakan rok lain. menurut panjang yang lazim. - Bicara lambat agar dapat dipahami - Berbicara cepat tanpa menghiraukan orang lain. daya tangkap orang lain. - Mempunyai hubungan sosial yang luas, - Kurang mementingkan hubungan cocok untuk bekerja dalam bidang sosial, sesuai untuk jabatan dalam guidance, counseling, pendidikan dan bidang matematika, science, insinyur. social. - Lebih cocok untuk memilih psikologi - Lebih sesuai memilih psikologi klinis. eksperimental. - Lebih banyak terdapat dikalangan - Banyak pria namun banyak yang wanita. overlapping. - Lebih sukar memastikan bidang - Lebih cepat memilih bidang mayornya dan sering pindah jurusan. mayornya. - Tidak senang belajar matematika, lebih - Dapat juga menghargai humanita dan menyukai bidang humanitas dan ilmuilmu-ilmu sosial, walaupun lebih ilmu sosial. cenderung kepada matematika dan imu pengetahuan alam. - Guru yang field dependent cenderung - Guru yang field independent diskusi, demokrasi. - - Memerlukan petunjuk yang lebih banyak untuk memahami sesuatu, bahan hendaknya tersusun langkah demi langkah. Lebih peka akan kritik dan perlu mendapat dorongan, kritik jangan bersifat pribadi. cenderung untuk memberikan kuliah, menyampaikan pelajaran dengan memberitahukannya. Tidak memerlukan petunjuk yang lebih terperinci. Dapat menerima perbaikan. kritik dengan Bila kita camkan perbedaan antara gaya belajar yang “field dependent” dan “field independent”, maka ada pegangan bagi kita untuk mengenal tipe anak didik yang kita hadapi. Pada umumnya guru dan murid yang mempunyai tipe yang sama saling menyukain, akan tetapi ini belum berarti bahwa mutu pengajaran dengan sendirinya akan meningkat. Oleh sebab tiap guru mempunyai gaya mengajar sendiri, maka kita jangan terlampau menilai guru itu “baik” atau “tidak baik”, sebelum kita mengenal polanya mengajar. Mungkin tiap guru akan mudah mengajar murid-murid tertentu dan menemui kesukaran dalam menghadapi murud-murid yang lain. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa, guru dapat menyesuaikan gaya mengajarnya dengan kebutuhan murid tertentu. Apakah gaya guru mengajar harus disesuaikan dengan gaya belajar murid masih bergantung pada tujuan. Pada umumnya itu perlu bila instrumental yaitu mengajarkan hal-hal tertentu. Akan tetapi bila bersifat developmental yakni pengembangan diri anak didik, fleskibilitanya maupun otonomi diri pribadinya maka sebaiknya anak didik harus mengenal macam-macam gaya guru mrngajar. Impulsif- Reflektif Orang yang impulsif mengambil keputusan dengan cepat tanpa memikirkannya secara mendalam. Sebaliknya orang yang reflektif mempertimbangkan segala altrenatif sebelum mengambil keputusan dalam situasi yang tidak mempunyai penyelesaian yang mudah. Gaya belajar yang impulsif atau reflektif menujukan “the tendency to reflect over alternative solution possibilities,in contras with the tendency to make an impulsive selection of a solution in problems with high response uncertainty”. Jadi seoreang reflektif atau impulsif bergantung pada kecenderungan untuk merefleksi atau memikirkan alternative-alternatif kemungkinan-kemungkinan pemecahan suatu masalah yang bertentangan dengan kecenderungan untuk mengambilkeputusan yang impulsif dalam menghadapi masalahmasalah yang sangat tidak pasti jawabannya. Tipe orang impulsif atau reflektif dapat diselidiki dengan tes antara lain dengan memperhatikan suatu gambar, misalnya bentuk geometris, desain rumah, mobil,dan sebagainya. Kemudian diperlihatkan pada sejumlah gambar-gambar lainnya dengan berbagai bentuk geometris, atau desain rumah,dan sebagainya. Orang itu disuruh memilih gambar yang sesuai gambar diperluhatkan semula. Orang yang impulsif memandang kumpulan gambar-gambar itu sepintas lalu dan cepat memilih salah satu diantaranya yang identik - dengan gambar pertama. Sebaliknya oreng yang bersifat reflektif memperhatikan gambargambar itu dengan cermat, sebelum memilih salah satu yang dianggapnya identik dengan contoh gambar yang pertama. Bagi pengajaran ini berarti, bahwa tes pilihan berganda dengan menetapkan waktu yang ketat, anak didik yang impulsif dapat bekerja dengan tergesa-gesa, akan tetapi anak didik yang reflektif akan merasa seperti lumpuh, karena tekanan waktu yang tidak mengizinkannya untuk berpikir dengan cermat. Jadi jika kita berikan tes pilihan berganda, hendaknya waktu dan pertanyaan diatur sedemikian rupa, sehingga anak didik-siwa yang reflektif mempunyai waktu yang cukup untuk memikirkannya. Tes hendaknya jangan hanya menanyakan hal-hal yang bersifat informasi yang merupakan pengetahuan siap, akan tetapi juga harus memaksa anak didik untuk berpikir. Preseptif – Reseptif; Sistematis – Intuitif Precept artinya aturan. Orang yang preseptif dalam mengupulkan informasi mencoba mengadakan informasi dalam hal-hal yang diterimanya, ia menyaring informasi yang masuk dan memperhatikan hubungan-hubungan di antaranya. Ia membentuk “precept” atau aturan yang membantunya dala menerima informasiyang sesuai dengan system atau konsep yang mereka gunakan agar informasi itu merupakan kebulatan yang saling bertalian. Orang yang reseptif lebih memperhatikan detail atau perincian informasi dan tidak berusaha untuk membulatkan atau mempertalian infomasi yang satu dengan yang lain. Orang yang reseptif mengumpulkan banyak informasi akan tetapi tidak melihat atau membentuknya menjadi kebulatan bermakna. Sebaliknya orang yang preseptif cenderung untuk menyaring data atau informasi, dengan kemungkinan mengabaikan detail yang mungkin ada maknanya bagi pemecahan suatu masalah. - Sistematis – Intuitif Orang yang sistematis mencoba melihat sutruktur suatu masalah dan mencoba bekerja sistematis dengan data atau informasi untuk memecahkan suatu persoalan. Orang yang intuitif langsung mengemukakan jawaban tertentu tanpa menggunakan informasi secara sistematis. Mereka lebih cenderung untuk memecahkan suatu soal dengan jalan “trial and error” dan mudah melompat-lompat dari cara penyelesaian yang satu kepada yang lain. Jadi secara singkat kita dapat merangkumkan orang yang preseptif – reseptif disamping yang sistematis dan yang intuitifsebagai berikut: Presentif Reseptif - Memperhatikan aturan atau cuek. - Memperhatikan detail. - Memusatkan perhatian pada hubungan - Menjauhi membentuk konsep diantara informasi atau data. sebelum memperoleh seluruh keterangan. - Melompat dari data yang satu ke data - Mendesak atau menuntut segala yang satu untuk medapat hubungannya. keterangan sebelum mengambil kesimpulan. - Intuitif Sistematis - Memperhatikan keseluruhan masalah. - Mula-mula mencari suatu metode pendekatan dan pemecahan. - Mempercayai “hunches” atau petunjuk atas perasaan. Menentukan jawaban berdasar suatu metode. - Melompat-lompat pikirannya. jalan - Segera meniadakan alternatife yang tidak sesuai. - Sering merumuskan kembali. itu - Melakukan penelitia dengan teratur untuk mencari data yang lebih banyak. - Mempertahankan jawaban atas dasar cocoknya jawaban itu dengan hal-hal lain, jadi tidak berdasarkan metode yang digunakannya. Menyelesaikan setiap langkah sebelum meningkat kepada langkah berikutnya. dalam masalah Model Grasha – Riechmann Grasha – Riechmann memberika penggolongan lain atas penelitian mereka di Universitas Minnesota sebagai berikut: 1. Anak didik berdikari Anak didik ini dapat berpikir sendiri dan bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain. 2. Anak didik yang tak dapat berdiri sendiri Anak didik ini mempunyai rasa ingin tahu intelektual yang rendah,belajar hanya apa yang ditugaskan dan diharuskan serta bergantung pada atasan untuk melakukan sesuatu. 3. Anak didik yang kooperatif Mereka ini suka belajar bersama dalam kelompok 4. Anak didik yang suka bersaing, yang kompetatif Mereka ini berusaha melebihi orang lain 5. Anak didik yang suka berpartisipasi Mereka ini yang suka belajar bila ditugaskan atau diharuskan 6. Anak didik yang mengelakkan pelajaran Mereka ini tidak berminat untuk belajar - Model Stern Seorang peneliti lain, yaitu Stern,mengemukakan penggolongan yang lain sebagai berikut: 1. Authoritarians Yaitu mereka yang patuh kepada tokoh-tokoh otoritas dan tidak menyukai diskusi 2. Anti-authoritarians Mereka ini ,anak didik yang unggul, mempunyai intelegensi yang tinggi serta minat yang luas tentang hal-hal yang akademis maupun cultural. 3. Rationals - Ini merupakan kelompok campuran, tidak sepandaianak didik yang antiauthoritarians, akan tetapi mementingkan abstraksi dan intelektualisasi. Masih ada penggolongan pelajar yang lain yang didasarkan atas prinsip-prinsip tertentu. Yang nyata ialah bahwa pelajar tidak semua belajar dan berpikir dengan cara yang sama. Memperlakukan mereka dengan cara yang sama, tentu akan merugikan mereka sehingga tidak tercapai efektifitas belajar yang tinggi. Metode mengajar hendaknya disesuaikan dengan gaya belajar murid. Menurut berbagai penelitian terdapat ketidak sesuaian antara gaya mengajar guru dengan gaya belajar anak didik. Jika terdapat berbagai gaya belajar anak didik, tidak mungkin satu gaya mengajar akan memadai. Maka perlulah digunakan berbagai gaya dan metode mengajar, sehingga dapat dipenuhi sejauh mungkin aneka ragam anak didik belajar. Namun ternyata pula, bahwa sekedar menyesuaikan gaya mengajar guru dengan gaya belajar murid tidak selalu menguntungkan. Itu juga bergantung pada tujuan yang akan dicapai. Pelajar tidak boleh terlampau terikat pada gayanya belajar dan harus pula mengembangkan kesanggupannya untuk belajar dengan berbagai gaya mengajar guru yang berbeda-beda. Namun masalah perbedaan gaya mengajar dan belajar ini masih dalam penelitian dan belum ada kepastian dan data empris yang cukup untuk memberikan petunjuk yang berguna bagi praktek pengajaran. Telah kita lihat adanya barbagai gaya kognitif dan berhubungan dengan itu penggolongan belajar dalam berbagai kelompok. Walaupun penelitian dilakukan olehorang yang berbeda-beda berdasarkan prinsip yang berlainan namun dapat kita lihat banyak persamaan antara macam-macam penggolongan itu. 2. Implementasi Gaya Belajar Sebagai Inovasi Pendidikan Pertimbangan Khususnya dalam memanfaatkan gaya belajar anak didik masih timbul sejumlah pertanyaan yang belum diketahui jawabannya misalnya: Bagaimanakah gaya belajar dapat dimanfaatkan oleh anak didik sendiri. Bagaimanakah guru dapat memanfaatkannya dalam proses belajar mengajar? Apakah pembaharuan ini akan dimulai menyeluruh di seluruh lembaga, dalam bidang studi ataukah sebagai suatu proyek sebagai percobaan? Tiap usaha pembaharuan atau perubahan akan menghadapi rintangan yang harus dipertimbangkan sebelum pembaharuan itu dimulai. Agar usaha itu berhasil, suasana lembaga, kesediaan untuk menerima pembaharuan harus menguntungkan. Harus disadari keadaan yang nyata, nilai-nilai yang dianut oleh staf pengajar, vested interest yang ada, dan usaha pembaharuan harus sedapat mungkin menyesuaikan diri dengan keadaan itu, sehingga tidak dihalangi atau disabotase oleh pihak-pihak tertentu. Jadi harus diadakan diagnosis tentang keadaan yang ada dengan berbagai cara seperti wawancara, pertanyaan, observasi, sosiogram, tes-tes untuk mengetahui suasana lembaga pendidikan itu. Salah satu prinsip yang harus diperhatikan dalam segala pembaharuan ialahketerlibatan semua pihak yang bersangkutan. Harus dirasa bersama pentingnya pembaharuan itu. Semua pihak harus turut serta dalam mengambil keputusan-keputusan tertentu. 3. Memanfaatkan gaya belajar anak didik Jika ternyata bahwa rintangan begitu besarnya sehingga pembaharuan tidak dapat dilaksanakan untuk keseluruhan lembaga, maka masih dapat pembaharuan itu diterapkan oleh guru-guru secara individual dalam proses belajar mengajar mereka. Untuk itu perlu diketahui gaya belajar anak didik dengan menggunakan instrument-instrumen tertentu, antara lain the cognitive style map (CSM) dan the Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) atau Kolb’s Learning Style (KLS). Instrument-instrumen ini memberikan keterangan yang berbeda-beda tentang cara belajar yang serasi bagi setiap anak didik karena menggunakan dasar yang berlainan, yang masing-masing ada faedahnya berkenaan dengan kesanggupan individual untuk merespons terhadap lembaga-lembaga tulisan, membaca pada taraf tertentu, dan memahami apa yang dibacanya, jadi kemampuannya membaca. 4. Cognitive Style Mapping (CSM) CSM ini dikembangkan oleh Joseph E. Hill, Michigan dan bertujuan untuk “memetakan” gaya kognitif atau gaya belajar seseorang dalam usaha untuk mengembangkan suatu educational science atau ilmu kependidikan, yang didasarkannya atas prinsip, bahwa pendidika itu adalah suatu proses untuk mencari makna, bahwa manusia itu suatu makhluk social yang mempunyai kemampuan yang unik untuk menemukan makna dari lingkungan dan pengalaman pribadinya dengan menciptakan dan menggunakan lambing-lambang. Untuk memperoleh peta kognitif seseorang Hill menciptakan alat yang sangat kompleks, namun digunakan oleh sejumlah lembaga pendidikan agar mempunyai gaya kognitif dan gaya belajar anak didik di SD, SMP maupun PT. Pertama: ia menganggap, bahwa manusia menggunakan dua jenis lambang yakni yang teoritis dan kuantitatif dan kedua jenis lambang ini penting untuk memperoleh pengetahuan dan makna. Disini kami tidak memberikan penggolongan Hill secara lengkap akan tetapi hanya garis besarnya saja. keseluruhan Lembang-lanbang teoritis menunjukan adanya orang yang orang yang memperoleh makna melalui: (1) kata-katayang diucapkan, (2) bilangan-bilangan yang didengarkan, (1 dan 2 bersifat auditif), (3) kata-kata yang dilihat, yang dibaca,(4) bilanganbilangan yang ditulis, lambang bilangan tertulis. (3 dan 4 bersifat tipe visual). Lambanglambang kuantitatif menunjukan, bahwa seseorang memperoleh makna melalui (5) pendengaran, (6) pencuiman, (7) pengecapan, (8) perasaan, perabaan, suhu, nyeri, (9)penglihatan. Selain itu ada lagi 11 lambang kuantitatif lainnya yakni (10) Sintetis bagian-bagian dari suatu tugas, misalnya memainkan suatu alat music, (11) kepekaan terhadap perasaan orang lain, (12) menikmati keindahan, (13) berpegang pada system nilai, (14) memperlihatkan kelakuan tegas, (15) memahami dan berkomunikasi melalui cara non-ferbal, misalnya senyuman, (16) melakukan ketrampilan motoris, (17) menilai kemungkinan mendekati secara fisik dan social, (18) mengenal diri sendiri, (19) kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain untuk mempengaruhinya, (20) kesadaran waktu. Kedua: determinan cultural dari makna lambang-lambang, yakni oengaruh cultural terhadap makna lambang-lambang bagi individu, yakni (21) Handai-tolan, yaitu pengaruh temanteman atau orang lain diluar keluarga, (22) keluarga, pengaruh keluarga dan tokoh-tokoh otoritas, (23) Individu, berdiri sendiri dalam mengambil keputusan. Ketiga : cara seseorang membuat tafsiran, yakni (24) kategori, menggunakan klasifikasi atau tauran untuk menerima atau menolak sesuatu, (25) Perbedaan, bentuk penalaran dimana seseorang mancari perbedaan antara konsep-konsep, (26) hubungan, cara penalaran dimana seseorang mencari persamaan, (27) penghargaan, dimana seseor4ang menggunakan ketiga bentuk penalaran yang di atas, (28) deduktif, penalaran deduktif yang digunakan dalam geometri atau soligisme. Keempat: aspek ingatan, apakah ia mengingat berdasarkan pengenalan kembali,mencamkan, mengingat kembali,atau asosiasi. Jadi CSM mengungkapkan gaya kognitif anak didik, bagaimana ia menggunakan lambang-lambang dalam memecahkan masalah, apakah ia mempunyai kebutuhan untuk berteman atau lebih suka belajar sendiri, apakah ia dipengaruhi keluarga dan bimbingan guru sebagai pengganti orang tua. CSM juga menunjukan, bagaimanakah anak didik membuat tafsiran. Apakah ia mengkategorisasi fakta-fakta, atau mencari perbedaan dan hubungan, atau mengadakan sintesis untuk mencari kesimpulan. Mengetahui peta kognitif mereka membantu mereka tentang cara belajar yang lebih efisien. Banyak diantara mereka yang mengubah cara mereka belajar. Para pengajar mengatakan, bahwa waktu untuk mempelajari peta anak didik tidak percuma oleh sebab membantu mereka memahami gaya belajar anak didik dan membantu mereka mengadakan perubahan dalam cara mereka mengajar. 5. Model Kolb Model ini juga didasarkan atas psikologi Jung. Menurut model ini belajar berlangsung melalui 4 fase atau tahap: 1. Individu memperoleh pengalaman langsung yang kongkrit. 2. Kemudian ia mengembangkan observasinya dan memikirkan atau merefleksinya. 3. Dari itu dibentuknya generailisasi dan abstraksi. 4. Implikasi yang diambilnya dari konsep-konsep itu dijadikannya sebagai pegangannya dalam menghadapi pengalaman-pengalaman baru. Jadi agar menjadi pelajar yang efektif ia harus mempunyai empat macam kemampuan yakni: Kemampuan Uraian Pengutamaan (1) Concrete Experience Pelajar melibatkan diri Feeling (perasaan). (CE) sepenuhnya dalam pengalaman baru. (2) Reflection Observation Pelajar mengobservasi dan Watching (mengamati). (RO) merefleksi atau memikirkan pengalamannya dari berbagai segi. (3) Abstract Conceptualization (AC) Pelajar menciptakan konsepkonsep yang mengintegrasikan observasinya menjadi teori yang sehat. Thinking (berpikir). (4) Active Pelajar menggunakan teori itu Doing (berbuat) Experimentation (AE) untuk memecahkan masalahmasalah dan mengambil keputusan. Dalam proses belajar menurut Kolb terdapat dua aspek atau dimensi yakni pengalaman langsung yang kongkrit (CE) pada suatu pihak dan konseptualisasi abstrak (AC) pada pihak lain. Dimensi kedua ialah : eksperimentasi aktif (AE) pada suatu pihak dan observasi reflektif (RO) pada pihak lain. Individu selalu mencari kemampuan belajar tertentu dalam situasi tertentu. Jadi individu itu dapat beralih dari pelaku (AE) menjadi pengamat (RO), dan dari keterlibatan langsung (CE) menjadi analisa abstrak (AC). Untuk menentukan gaya belajar orang, Kolb menciptakan suatu Learning Style Inventory (LSI) dan membedakan 4 tipe gaya belajar yaitu: (1) :Converger”. Pelajar ini lebih suka belajar bila dihadapinya soal yang mempunyai jawaban tertentu. Bilamerekamenghadapi tugas atau masalah, mereka berusaha menemukan jawaban yang tepat. Kemampuan utama meraka adalah AC dan AE. Orang serupa ini termasuk tak-emosional dan lebih suka menghadapi benda dari pada manusia. Biasanya minat mereka terbatas dan cenderung untuk mengkhususkan diri dalam ilmu pengetahuan alam dan engineering. (2) ‘Diverger”. Pelajar serupa ini lebih mengutamakan CE dan Ro, kebalikan dari “converger”. Kekuatan mereka terletak pada kemampuan imajinasi mereka. Mereka suka memandang sesuatu dari berbagai segi dan menjalin berbagai hubungan menjadi suatu keseluruhan yang bulat. Mereka disebut “Diverger” karena subur dalam melahirkan ide-ide baru dan terampil dalam “brainstorming”. Mereka ini suka menghadapi manusia. Bidang spesialisasi mereka sering bahasa, kesusasteraan, sejarah dan ilmu-ilmu social lainnya. Bidang pekerjaan yang sesuai dengan tipe ini antara lain, counseling, urusan personalia, dan pengembangan organisasi. (3) ‘Assimilator”. Cara belajar kelompok ini terutama bersifat AC dan RO. Mereka menunjukan kemampuan yang tinggi dalam menciptakan model teori. Mereka disebut assimilator karena mereka suka mengasimilasikan berbagai ragam hal menjadi suatu keseluruhan yang bulat. Mereka kurang perhatian kepada manusi dan lebih tertarikkepada konsep-konsep yang abstrak. Mereka juga kurang mengindahkan penerapan praktis dari ide-ide. Bidang studi yang mereka sukai ialah science dan matematika dan pekerjaan yang sesuai bagi mereka ialah perencanaan dan penelitian. (4) ‘Accomodator”. Mereka ini bertentangan minatnya dengan assimilator. Mereka ini justru tertarik pada pengalaman-pengalaman yang konkrit (CE) dan eksperimentasi aktif (AE). Mereka suka mengambil resiko dan disebut accommodator, karena mereka mampu menyesuaikan diri dalam berbagai situasi yang baru. Mereka intuitif dan sering melakukan cara “trial anda error” dalam memecahkan masalah-masalah. Mereka kurang savar dan ingin segera bertindak dan bila dihadapkan pada teori yang tidak sesuai dangan fakta, mereka cenderung untuk mengabaikannya saja. Bidang studi yang serasi bagi mereka adalah lapangan usaha dan teknik dan menyukai pekerjaan dalam penjualan dan pemasaran. Adanya empat gaya belajar ini tidak berarti bahwa manusia harus digolongkan secara permanen dalam masing-masing kategori. Belajar mengikuti keempat langkah itu , dari pengalaman konkrit, refleksi atau pengalaman itu, membentuk konsep, dan menggunakannya dalam memperoleh pengalaman baru. Namun ada pola belajar tertentu pada taraf usia tertentu., sehingga kita peroleh empat tipe seperti dikemukakan diatas. Menurut Kolb belajar itu merupakan suatu perkembangan. Proses perkembangan itu melalui 3 fase, yakni fase ‘acquisition” dimana seorang mengumpulkan pengetahuan, kemuadia fase spesialisasi, dimana ia memusatkan perhatiannya kepada bidang tertentu, dan akhirnya fase integrasi di mana ia menaruh minat untuk gaya belajar yang selama ini kurang digunakannya, dan dengan demikian memperoleh minat dan tujuan baru. Fase terakhir ini mulai sekitar usia empat puluhan. Proses perkembangan ini ditandai oleh kompleksitas yang lebih besar dan pada taraf integrasi menghilangkanpertentangan antara gaya belajar itu. Jadi walaupun pada taraf permulaan perkembangan individu banyakbergantung pada gaya belajar tertentu akhirnya diharapkan ia dapat mengintergrasikannya pada usia yang lebih lanjut. Dengan perkembangannya selanjutnya dapat ditingkatkannya taraf integrasi itu. Dalam kemampuan seseorang itulah letak kedewasaannya, seperti yang dikemukakan oleh jung. Pada fase tertentu ada manfaatnya untuk menyesuaikan proses belajar mengajar dengan gaya belajar anak didik. Akan tetapi kemuadian setiap orang harus mengenal dan menguasai gaya belajar lainnya. Jadi apakah gaya belajar harus disesuaikan dengan gaya belajar murid, bergantung pada tujuannya. njg. Daftar Pustaka Bodgard Seaborne, 2001. Perfect Empowerment (Edisi terjemahan) Jakarta : Gramedia Danusastro. 2003. Strategi Belajar Mengajar Efektif, Jakarta,Media Pratama. Dharma. 1991. Menjadi Guru Efektif, Jakarta, Pustaka Pelajar Gie, 1984. Dasar – Dasar Pembelajaran Efektif dan efisien Jakarta. Sinar Abadi Habeyb. 1983, Supervisi Pendidikan, Jakarta ; P2LPTK Hamalik. 1983, Strategi Belajar dan Pembelajaran, Jakarta ; Sinar Utama Herdana, 2000, Antisipasi Pengembangan Pendidikan Dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung ; UPI Press Hidayat, 2000, Pendidikan setelah Krisis, Jakarta. LPISTn dalam Proses Belajar dan Mengajar. Maskul, 1998, Pembelajaran Remaja, Jakarta ; Raja Grafindo Persada. Muhamad. 1999, Bimbingan Belajar di Perguruan Tinggi, Jakarta; Depdikbud. Mulyani, 1998, Dasar – Dasar Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengejar. Bandung ; Ganeca Exact Mulyasa. 2002, Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : Remaja Rosda Karya Nasution. S. 1984, Berbagai PEndekat Nawawi. 2001. Dasar – Dasar Perencanaan Pengajaran. Jakarta Raja Grafindo Persada. Nurtiandan Andi. 2000. Evaluasi Pengajaran, Jakarta : Bumi Aksara. Poerwadarminta. 1995, Strategi Belajar dan Mengajar. Yokyakarta : Adi Cipta. Purwanto. 1992, Evaluasi Pengajaran, Jakarta Rineka Cipta. Roestiyah. 1982. Strategi Belajar mengajar di Kelas. Jakarta : Bumi aksara. Sardiman. 2000. Perencanaan Pengajaran. Jakarta Bina Ilmu. Sergiovani, 1987. Educational Governance And Administration. New Jersey : Prentice Hall Inc. Soeyanto. 1981. Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Tera Indonesia Sudjana. N. 2003. Perencanaan Pengajaran. Jakarta. P2LPTK. Tilaar. 1998. Manajemen Pendidikan Nasional. Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung : Remaja Rosda Karya. Surakhmad. W. 1990, Pengantar Interaksi Belajar Mengajar, Dasar dan Teknik Metodologi, Tarsito Bandung.