Laporan Kasus LENTIGINOSIS GENERALISATA PADA SATU KELUARGA SEBAGAI MANIFESTASI SINDROM LEOPARD Hernayati M. Hutabarat,* Nindita Hapsari,* Siti Aisah Boediardja,* Herman Cipto,* Inge Ade Krisanti*, Triana Agustin,* Todung DA Silalahi,** Piprim B Yanuarso,*** Fikny H**** *Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, **Pelayanan Jantung Terpadu, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta ***Departemen Ilmu Kesehatan Anak **** Departemen Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta ABSTRAK Sindrom LEOPARD merupakan genodermatosis yang jarang ditemukan, diturunkan secara dominan autosomal, dan melibatkan kelainan multiorgan. Kelainan kulit dapat merupakan petanda awal sehingga diperlukan kewaspadaan dokter untuk mencegah komplikasi lanjut. Dilaporkan satu kasus perempuan usia 29 tahun dengan lentiginosis generalisata, berjumlah ratusan, disertai makula café-au-lait, tanpa keluhan tambahan lain. Pasien memiliki dua anak kembar la ki-la ki dan seorang an ak pe rempua n den gan k elaina n kulit sama. Pe meriksaan histopatologik sesuai lentigo. Diagnosis sindrom LEOPARD ditegakkan berdasarkan ditemukannya dua kelainan lain pada pasien selain lentiginosis multipel, yaitu skoliosis dan atrial septal defect, meskipun tidak ditemukan keluhan apapun sebelumnya. Pada salah seorang anak kembar pasien ditemuk an k riptorkidisme, sedan gkan pad a ana k pe remp uan dite muka n hipertrofi sep tum asime tris. Mereka dianjurk an men ghinda ri p aja nan ma tah ari, mema kai ta bir su rya , d an mendapatkan konseling genetik. Ibu dan anak perempuan diberikan terapi kelainan jantung, anak laki-laki dirujuk ke bagian anak dan bedah, serta observasi periodik setiap enam bulan untuk pemantauan timbulnya kelainan lain. Saat ini baru sekitar 200 kasus sindrom LEOPARD dilaporkan di dunia. Identifikasi awal diperlukan pada kasus yang mengancam jiwa, terutama yang melibatkan sistem kardiovaskular. Pada kasus ini kelainan jantung ditemukan pada tahap dini sehingga komplikasi lanjut dapat dicegah. Konseling genetik dan observasi periodik merupakan bagian penting tatalaksana penyakit. (MDVI 201i; 38/s; 30s - 37s) Kata kunci: lentiginosis generalisata, sindrom LEOPARD, atrial septal defect, konseling genetic. ABSTRACT Korespondensi : Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat Telp/Fax: 021-31935383 Email: [email protected] 30 S LEOPARD syndrome is a rare, autosomal dominant inheritance genodermatoses, involving multisystem abnormalities. Cutaneous lesions can be the early sign, thus requiring physicians awareness to prevent further complications. Case report. A 29 year-old woman had generalized lentiginosis accompanied by café-aulait macules without any secondary complaints. She has two twin sons and a daughter with the same complaint. Histopathological finding was consistent with lentigo. The patient’s diagnosis of LEOPARD syndrome was based on two other abnormalities beside lentiginosis, which were scoliosis and atrial septal defect, eventhough there were no previous symptoms. One of the twins had cryptorchidism and the daughter had asymmetrical septal hypertrophy. They were suggested to avoid extensive sun exposure and use sunscreen, and received genetic counseling. The mother was treated for her heart disease, while the twin was referred to the pediatric and surgery department. They were advised for periodic observation every six months to monitor further abnormalities. There are only about 200 reports of LEOPARD syndrome cases all over the world. Early identification is needed, especially in life threatening cases such as cardiovascular involvement. In this case, the heart defect was found in the early stage, so further complications could be prevented. Genetic counseling and periodic observations are important parts of the disease management.(MDVI 2011; 38/s; 30s - 37s) Keywords: generalized lentiginosis, LEOPARD syndrome, atrial septal defect, genetic counseling Hernayati M. Hutabarat dkk Lentiginosis Generalisata pada satu keluarga sebagai manifestasi Sindrom Leopard PENDAHULUAN Sindrom LEOPARD (SL) adalah genodermatosis yang sangat jarang ditemukan, sampai saat ini hanya sekitar 200 kasus yang pernah dilaporkan di seluruh dunia. 1 Penyakit ini melibatkan kelainan multi organ dan diturunkan secara dominan autosomal. Zeisler dan Becker 2 pertama kali melaporkan kasus lentiginosis multipel disertai pectus carinatum, hipertelorisme, dan prognatisme. Gorlin dkk.3 mengajukan LEOPARD sebagai akronim multiple Lentigines, Electrocardiographic conduction, Ocular hypertelorism, Pulmonary stenosis, Abnormality of genitalia, Retardation of growth, Deafness (sensorineural). Sindrom ini dikenal pula sebagai sindrom lentiginosis multipel, cardio-cutaneous syndrome, dan profuse lentiginosis.1 Karakteristik penyakit ini berupa lentigo multipel dengan spektrum ekspresivitas penyakit yang sangat luas, mulai dari gejala minimal sampai dengan berat. Voron4 mengelompokkan gejala penyakit ke dalam sembilan kategori, yaitu kelainan kulit, jantung, genitourinaria, endokrin, defek neurologik, dismorfisme kepala-wajah, short stature, anomali tulang, dan riwayat keluarga konsisten dengan pewarisan secara dominan autosomal. Voron 4 mengajukan kriteria diagnostik SL, yaitu jika terdapat lentiginosis multipel, maka minimal harus ditemukan dua gejala lainnya; jika tidak ditemukan lentiginosis multipel, namun memiliki riwayat keluarga dengan SL, maka minimal harus ada tiga gejala lainnya. Dismorfisme wajah yang dapat ditemukan, misalnya hipertelorisme okular, ptosis palpebral, dan low set ears. Tinggi badan biasanya di bawah 25 persentil. Defek jantung terutama berupa kardiomiopati hipertrofik dan kelainan EKG. Lentiginosis dapat kongenital, namun gejala sering baru muncul pada usia 4-5 tahun dan semakin banyak ketika memasuki usia pubertas. Gejala yang sering menyertai antara lain adalah makula café au lait, anomali tulang dada, kriptorkidisme, keterlambatan pubertas, hipotoni, gangguan pertumbuhan ringan, tuli sensorineural, dan kesulitan belajar. Pada sekitar 85% kasus, terdapat mutasi heterozigot gen protein-tyrosine phosphatase, nonreceptor type 11 (PTPN 11) pada akson 7, 2, atau 13. Pasien tanpa mutasi PTPN ternyata menunjukkan mutasi pada gen RAF1. Kasus ini dikemukakan karena sangat jarang ditemukan, disertai komplikasi yang serius, dan perlu dibedakan dengan sindrom lentiginosis lainnya. LAPORAN KASUS Perempuan usia 29 tahun datang dengan keluhan bercak coklat di hampir pada seluruh permukaan tubuh. Awalnya disadari ketika berusia lima tahun, muncul beberapa bercak coklat yang seiring usia semakin besar dan bertambah banyak, sebagian berwarna lebih gelap. Tidak terdapat gatal, nyeri, atau kemerahan yang mendahului timbulnya bercak. Bercak coklat rata dengan permukaan kulit, berjumlah hampir mencapai ribuan, dengan ukuran serta bentuk bervariasi, sebagian besar berbentuk bulat dan lainnya tidak teratur. Warna mulai dari coklat muda sampai dengan coklat gelap. Bercak juga terdapat di telapak tangan dan kaki, ketiak kiri dan kanan, sekitar kemaluan, serta bibir, namun tidak terdapat di bagian dalam mukosa mulut, sklera dan konjungtiva. Bercak tidak hanya timbul di bagian yang terpajan matahari, namun juga di daerah yang tertutup pakaian. Pasien menyangkal pernah mengalami kejang, sakit kepala hebat, gerakan yang tidak disadari, gangguan keseimbangan, maupun sering hilang kesadaran. Tidak terdapat gangguan penglihatan maupun pendengaran. Tidak terdapat riwayat sesak napas, cepat lelah jika beraktivitas, keringat dingin, kebiruan di ujung jari dan bibir, nyeri dada, maupun telapak tangan sering basah. Gangguan nyeri perut berulang, diare berulang, buang air besar berdarah atau seperti ter, muntah warna kehitaman, dan gangguan menelan juga disangkal. Tidak terdapat gangguan berkemih, nyeri pinggang, dan gangguan perdarahan. Tidak terdapat keluhan nyeri tulang dan pasien merasa dapat duduk maupun berdiri dengan tegak. Pasien mengalami haid pertama ketika berusia 14 tahun dan saat ini haid teratur. Secara umum kecerdasan pasien terlihat dalam batas normal, pendidikan terakhir sampai dengan SLTA, dan tidak terdapat gangguan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pasien memiliki dua anak laki-laki kembar identik berusia lima tahun dan seorang anak perempuan berusia 18 bulan. Pada kedua anak kembarnya terdapat bercak coklat yang sama baru muncul sejak anak usia lima bulan. Semakin lama bercak coklat semakin banyak, dan terdapat pada hampir seluruh permukaan tubuh, termasuk di telapak tangan dan kaki, ketiak kiri dan kanan, sekitar kemaluan dan batang penis, serta bibir, namun tidak di bagian dalam mulut, sklera, dan konjungtiva. Jumlah bercak lebih sedikit dibandingkan dengan ibu. Dari anamnesis, pada kedua anak kembar juga tidak ditemukan gejala kelainan neurologis, jantung, genitourinaria, endokrin, maupun skeletal. Gangguan tumbuh kembang ditemukan saat anak baru bisa berjalan tertatih ketika usia 15 bulan dan mengucapkan “mama” ketika usia 16 bulan. Saat ini anak sudah dapat berbicara dengan lancar, berat badan sukar naik sehingga perawakan tampak lebih kecil dibandingkan teman sebayanya. Anak kembar terlihat sangat aktif, sulit berkonsentrasi, dan perhatian mudah teralih. Menurut gurunya di sekolah anak tidak bisa diam, sukar menerima pelajaran, dan sukar konsentrasi. Pada anak perempuan pasien juga ditemukan bercak kulit yang sama dengan jumlah lebih sedikit, namun seiring bertambahnya usia bercak juga bertambah jumlah dan ukurannya. Tidak ditemukan gejala kelainan neurologis, jantung, genitourinaria, endokrin, maupun skeletal pada pemeriksaan fisis, namun sampai saat ini belum dapat 31 S MDVI Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 30 s - 37 s berjalan dan baru dapat mengeluarkan 1-2 patah kata. Berat badan sukar naik dan perawakan tampak lebih kecil dibandingkan anak seusianya. Pemeriksaan fisis pada ibu ditemukan tulang belakang yang agak melengkung, tidak ditemukan dismorfisme wajah yang berarti serta kelainan mata dan telinga luar, kelenjar tiroid tidak teraba. Tidak ditemukan kelainan pada dada, abdomen, dan ekstremitas. Pada status dermatologikus, generalisata terdapat makula hiperpigmentasi berwarna mulai dari coklat muda sampai coklat tua, bentuk bulat, tepi teratur, berukuran miliar sampai dengan numular, berbatas tegas, jumlahnya hampir mencapai ribuan, tersebar diskret. A. 2 1 2 3 B. 1 2 3 2 2 C. 2 1 2 3 2 D. 2 2 1 2 3 2 2 Gambar 1.:A: pasien; B: anak kembar I; C: anak kembar II; D: anak perempuan. Bercak coklat ditemukan hampir di seluruh permukaan tubuh berupa efelid, lentigo dan makula café-au-lait, dengan jumlah lentigo hampir mencapai ribuan pada ibu dan ratusan pada anak kembar. Pada pasien terdapat gambaran tulang belakang yang sedikit melengkung (gambar A2), axillary/inguinal freckling pada anak ( B2, C3). Pada mukosa bibir pasien terdapat bercak kecoklatan (A1), tetapi tidak pada anak (C1). Perhatikan adanya hipertelorisme okular pada anak perempuan (D1) 32 S Hernayati M. Hutabarat dkk Lentiginosis Generalisata pada satu keluarga sebagai manifestasi Sindrom Leopard Gambaran ini menyerupai lentigo dan efelid. Pada punggung atas, bahu kiri dan kanan, ketiak kiri, dan paha kiri belakang terdapat makula hiperpigmentasi, berwarna coklat muda, bentuk dan tepi tidak teratur, berukuran numular sampai dengan plakat, batas tegas, jumlahnya > 6 lesi. Lesi sesuai dengan makula café-au-lait (gambar 1). Pada bokong kanan, lipat lutut kanan, dan di bawah kelopak mata kiri terdapat makula hiperpigmentasi berwarna coklat muda, berukuran numular sampai dengan plakat, berbatas tegas, dan di atasnya terdapat makula hiperpigmentasi berwarna yang lebih gelap, berukuran miliar sampai dengan lentikular, berbatas tegas, multipel, diskret. Gambaran ini menyerupai nevus spilus (gambar 2). Pada bibir juga terdapat makula hiperpigmentasi berwarna coklat muda, berbentuk bulat, tepi teratur, berukuran miliar, multiple, diskret (gambar 3). Pemeriksaan fisis pada anak kembar didapatkan gizi kurang, perawakan pendek, dan gangguan tumbuh kembang. Pada salah satu anak kembar tidak teraba testis kirinya. Keadaan umum tidak tampak sakit dan keduanya hiperaktif. Status dermatologikus pada anak kembar terdapat lentigo berjumlah ratusan disertai makula café-au-lait, tetapi jumlah lesi lebih sedikit. Tidak ditemukan lesi menyerupai nevus spilus. Pada anak perempuan pasien, didapatkan gizi kurang, perawakan pendek, gangguan tumbuh kembang, dan hipertelorisme okular. Pada status dermatologikus juga didapatkan lentigo disertai makula café-au-lait, berjumlah lebih sedikit, dan tidak ada lesi menyerupai nevus spilus. Pada pasien dilakukan biopsi kulit pada salah satu lesi. Gambaran histopatologis menunjukkan peningkatan jumlah melanin di stratum basalis dan rete ridges memanjang, hal ini sesuai dengan lentigo (gambar 4). Pasien dirujuk ke Departemen Neurologi, Divisi kardiologi, gastroenterohepatologi, dan endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Mata, THT, dan Obstetri Ginekologi. Secara klinis tidak ditemukan gangguan neurologis pada pasien, hasil elektromiografi dalam batas normal dan direncanakan untuk pemeriksaan Magnetic Resource Imaging (MRI) kepala. Pada pemeriksaan ekokardiografi ditemukan atrial septal defect (ASD) dan regurgitasi pulmonar ringan. Pemeriksaan ultra sonografi (USG) saluran cerna tidak menunjukkan kelainan, tidak ditemukan polip maupun tumor lain dalam saluran cerna. Fungsi endokrin dalam batas normal, kadar T3 dan T4 serum normal. Pada pemeriksaan foto rontgen dada ditemukan gambaran skoliosis dengan sudut deviasi 15o. Pemeriksaan brainstem evoked response audiometry (BERA) di Departemen THT menunjukkan tuli konduktif telinga kanan. Tidak ditemukan kelainan mata. Pada pemeriksaan obstetri-ginekologi tidak ditemukan bercak kecoklatan pada mukosa vagina. Pemeriksaan USG saluran reproduksi menunjukkan hasil dalam batas normal, tidak ditemukan tumor. Gambar 2: lesi mirip nevus spilus pada pasien, berupa makula hiperpigmentasi berwarna coklat muda, di atasnya terdapat makula hiperpigmentasi dengan warna lebih gelap, berukuran miliar. Gambar 3: pada bibir pasien terdapat makula hiperpigmentasi, berwarna coklat muda, bentuk bulat, tepi teratur, berukuran miliar, multipel, diskret. Gambar 4: Gambaran histopatologis menunjukkan peningkatan jumlah melanin di stratum basalis dan rete ridges memanjang, sesuai dengan lentigo. 33 S MDVI Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 30 s - 37 s Ketiga anak pasien dirujuk ke Departemen Anak Divisi tumbuh kembang, gizi, neurologi, jantung, endokrin, dan gastroenterohepatologi. Tidak ditemukan kelainan neurologis secara klinis, namun pada kedua anak kembar didapati attention deficit hyperactive disorder (ADHD) dan dianjurkan untuk terapi sensorineural integration di Unit Gambar 5: pedigree keluarga Tabel : Gambaran fenotip yang ditemukan pada ibu dan anak-anaknya. ADHD: attention deficit hyperactive disorder Gambaran fenotip Ibu Anak I (laki-laki) Kembar I Multiple Lentigines Electrocardiographic conduction Ocular hypertelorism Pulmonary stenosis, Abnormality of genitalia Retardation of growth Deaffnes (sensorineural). + - + + + - Anak II (perempuan) Kembar II + + - + + + + - BERDASARKAN KRITERIA VORON Abnormalitas kulit Kelainan jantung Kelainan genitourinaria Gangguan endokrin Defek neurologik Dismorfisme kepala-wajah Short stature Anomali tulang Riwayat keluarga konsisten dengan autosomal dominan 34 S + (lentiginosis + (lentiginosis generalisata, makula generalisata, makula café-au-lait, bercak café-au-lait) seperti nevus spilus) + (ASD, regurgitasi pulmonar ringan) (+) kriptorkidisme ? +/? (ADHD) + + + (skoliosis) + + + (lentiginosis generalisata, makula café-au-lait) ? +/? (ADHD) + + + (lentiginosis generalisata, makula café-au-lait) + (hipertropi septum jantung asimetris) ? ? ? +(hipertelorisme okular) + + Hernayati M. Hutabarat dkk Lentiginosis Generalisata pada satu keluarga sebagai manifestasi Sindrom Leopard Rehabilitasi Medik (URM). Anak juga dianjurkan untuk menjalani CT-scan kepala untuk penapisan. Kedua anak kembar juga didiagnosis gizi kurang, short stature dengan hasil bone scan average boy, dan failure to thrive. Pemeriksaan ekokardiografi tidak menunjukkan kelainan. Pada salah seorang anak kembar terdapat undescendent testis sinistra (kriptorkidisme) dan dianjurkan untuk pemeriksaan USG testis. Yang dikonfirmasi oleh Divisi Bedah Anak dan direncanakan untuk orchidopexy. Pemeriksaan BERA menunjukkan hasil tuli konduktif pada salah seorang anak kembar. Anak perempuan tidak memiliki kelainan neurologik, tetapi terdapat gizi kurang, short stature, dan failure to thrive. Pemeriksaan EKG menunjukkan pemanjangan interval PR. Hasil ekokardiografi sesuai dengan hipertrofi septum asimetris. Didapatkan pula hipertelorisme okular. Salah seorang saudara laki-laki dari pihak ibu mempunyai bercak coklat yang sama, namun jumlahnya hanya beberapa. Nenek dari pihak ibu meninggal dunia pada usia 55 tahun, menurut pasien karena penyakit bocor jantung, namun tidak diketahui apakah mempunyai kelainan kulit yang sama. Dari pedigree tiga generasi dapat dilihat bahwa penurunan penyakit sesuai dengan dominan autosomal (gambar 5). Dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, maka berdasarkan kriteria Voron ditegakkan diagnosis sindrom LEOPARD, karena ibu memiliki lentiginosis multipel, kelainan jantung berupa ASD dan regurgitasi pulmonal ringan, serta skoliosis. Anak kembar menderita lentiginosis multipel, kriptorkidismus, short stature, dan keterlambatan tumbuh kembang. Pada anak perempuan terdapat lentiginosis multipel, kelainan EKG, hipertrofi septum jantung asimetris, hipertelorisme okular, short stature, dan keterlambatan tumbuh kembang (tabel 1). Diagnosis banding kasus ini adalah sindrom Noonan, neurofibromatosis tipe 1 (NF1), dan sindrom Peutz-Jeghers. Tatalaksana berupa non medikamentosa dan medikamentosa. Diberikan penjelasan kepada keluarga pasien mengenai penyakit, perjalanan penyakit, pengobatan yang dapat diberikan, dan prognosis. Tatalaksana medikamentosa dilakukan bersama Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Bedah Anak, Bedah Ortopedi, Kardiovaskular, THT dan URM. Pada kelainan kulit diberikan tabir surya SPF 30. Pada ibu direncanakan pemeriksaan kardiologi lanjutan dan ASD closure. Untuk penanganan skoliosis direncanakan dirujuk ke Departemen Bedah Ortopedi. Tatalaksana pada ketiga anak pasien dilakukan di Departemen Anak untuk perbaikan gizi, pemantauan tumbuh kembang, dan kriptorkidismus yang mungkin memerlukan terapi hormonal atau terapi bedah. Pasien anak juga dirujuk ke Departemen URM untuk terapi sensory integration. Anak perempuan dengan kelainan jantung disarankan untuk pemantauan ketat dengan kontrol ke Poliklinik Kardiologi Anak setiap bulan. DISKUSI Gejala klinis yang timbul pada individu dengan SL dapat sangat bervariasi, mulai dari beberapa gejala sampai dengan spektrum yang lengkap, bergantung pada ekspresivitas dan penetrance penyakit. Pada kasus ini ibu datang hanya dengan keluhan bercak hiperpigmentasi pada kulitnya tanpa keluhan lainnya yang dirasa mengganggu. Keluarga tidak menyadari akan kemungkinan penyakit lain selain kulit. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada ibu dan anak-anaknya ditemukan kelainan multi organ. Berdasarkan kriteria Voron keluarga tersebut terdiagnosis sebagai pasien SL. Pada SL identifikasi awal diperlukan terutama pada kasus yang mengancam jiwa yang melibatkan kardiovaskular. Pada kasus ini kelainan jantung ibu dan anak perempuannya ditemukan masih dalam tahap dini sehingga komplikasi lanjut, yaitu berkembangnya kelainan menjadi kardiomiopati dapat dicegah dengan penatalaksanaan yang sesuai. Pada SL gangguan jantung yang paling sering ditemukan adalah kardiomiopati hipertrofik yang dapat mengancam jiwa. Biasanya kelainan ini merupakan penyebab kematian mendadak pada SL.1 Oleh karena itu kelainan kulit dapat menjadi petanda awal sehingga diperlukan kewaspadaan dokter dalam mengidentifikasi kasus sedini mungkin dan mencegah komplikasi lanjut. Gambaran fenotip atau ekspresivitas SL sampai saat ini masih sangat bervariasi. Banyak laporan kasus yang menunjukkan fenotip yang berbeda satu dengan yang lainnya. Seiring perkembangan zaman, makin banyak gambaran klinis yang dapat terdeteksi pada sindrom ini. Beberapa laporan tersebut menambah perbendaharaan daftar gejala klinis yang dapat ditemukan pada SL dan masih terus berkembang hingga sekarang karena terbatasnya penelitian yang dilakukan serta jumlah kasus yang sangat sedikit. Lentiginosis multipel merupakan gambaran karakteristik SL. Makula café-au-lait terdapat pada sekitar 50% kasus dan mempunyai gambaran yang sama dengan NF1.1 Pada kasus ini, anak dan ibu mempunyai bercak hiperpigmentasi di daerah ketiak yang mirip dengan “axillary/ intertriginal freckling” atau Crowe’s sign pada NF. Adanya Crowe’s sign disertai makula café-au-lait menimbulkan dugaan ke arah neurofibromatosis, namun warna yang lebih gelap secara klinis dan pemeriksaan histopatologis mendukung lentigo. Dari beberapa tinjauan pustaka, jarang disebutkan adanya Crowe’s sign pada kasus SL. Hal lain yang juga menarik dari kasus ini adalah ditemukannya lesi kulit yang secara klinis mirip dengan nevus spilus, gambaran ini juga jarang disebutkan pada beberapa tinjauan pustaka. Namun hal ini belum dikonfirmasi secara histopatologis. Pada nevus spilus, bercak berwarna lebih muda dapat mempunyai gambaran histopatologis yang sama dengan lentigo, namun bercak dengan warna lebih gelap di atasnya dapat menunjukkan gambaran nevus 35 S MDVI melanositik tipe junctional atau compound.1 Ditemukannya lesi pada mukosa bibir menimbulkan dugaan diagnosis sindrom Peutz-Jeghers (lesi hiperpigmentasi mukokutaneus disertai polip dan hamartoma saluran cerna) dan Carney complex (miksoma di kulit, jantung, dll, lesi hiperpigmentasi, dan hiperaktivitas endokrin).2, 3 Meskipun demikian lesi tidak ditemukan di mukosa oral dan mukosa vagina ibu. Pada kasus SL dapat ditemukan beberapa keganasan, antara lain neuroblastoma,4 melanoma maligna,5 dan beberapa jenis leukemia.8 Hal ini disebabkan karena PTPN 11 dan RAF adalah gen yang terlibat dalam kaskade RAS/MAPK (mitogen activated protein kinase). Protein ini berperan penting dalam proliferasi, diferensiasi, kehidupan, dan kematian sel, serta proses onkogenesis dalam tubuh manusia.6 Diperlukan pengawasan seumur hidup terhadap kemungkinan timbulnya keganasan, termasuk keganasan kulit. Hal ini juga menjelaskan luasnya spektrum penyakit dan terdapatnya beberapa gejala tumpang tindih yang dapat ditemukan pada beberapa sindrom yang terlibat dalam mutasi jalur RAS/MAPK (Noonan, LEOPARD, Costello, sindrom cardio-facio-cutaneous /CFC, dan NF1).10 Anak yang hiperaktif pernah didapatkan pada satu kasus SL, namun tidak dilaporkan sebagai salah satu gambaran fenotip.7 Pada kasus ini ditemukan gejala ADHD pada anak kembar. Namun apakah gejala hiperaktif pada anak dapat ditambahkan sebagai salah satu gejala fenotip yang dapat ditemukan pada SL masih belum dapat dipastikan. Penatalaksanaan secara multidisiplin, konseling genetik, dan observasi periodik sangat diperlukan pada keluarga ini mengingat banyaknya organ yang terlibat dan pewarisan genetik dengan pola autosomal dominan. Prognosis penyakit sangat dipengaruhi oleh kelainan multi organ yang dialami serta tingkat keparahannya, deteksi dini, dan tatalaksana secara multidisiplin. Penyakit pada pasien dan keluarganya adalah penyakit yang diturunkan secara genetik dan merupakan suatu sindrom dengan keterlibatan multi organ. Kelainan kulit bukan satu-satunya gejala yang dapat ditemukan. Kelainan dapat meliputi gangguan neurologis, mata, THT, jantung, genitalia, tumbuh kembang, kelainan tulang, dan kemungkinan kelainan lainnya yang mungkin saat ini belum ditemukan, namun dapat berkembang seiring bertambahnya usia. Perawatan kulit dianjurkan sedapat mungkin menghindari sinar matahari langsung dan pemakaian tabir surya karena kelainan kulit dapat berkembang menjadi tumor atau keganasan kulit. Pengobatan kulit hanya bertujuan untuk memperbaiki secara kosmetik, misalnya pada daerah wajah untuk mengurangi warna bercak kecoklatan, namun lesi kulit dapat terus bertambah. Tatalaksana penyakit ini terutama ditujukan pada kelainan multiorgan dan mencari kemungkinan kelainan sistem lain melalui penapisan/ screening. Tujuannya agar kelainan dapat ditemukan pada tahap awal sehingga lebih cepat dan lebih mudah ditangani 36 S Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 30s - 37s sehingga prognosis lebih baik. Prognosis sangat bergantung pada kelainan multi organ yang ada, deteksi dini, dan tatalaksana secara multidisiplin. Konseling genetik pada genodermatosis berperan penting. Kepada keluarga dijelaskan bahwa penyakit diturunkan secara genetik dengan pola penurunan secara dominan autosomal. Kelainan dapat timbul pada setiap generasi dan tidak berhubungan dengan jenis kelamin. Kemungkinan keturunan yang dapat mengalami kelainan serupa bervariasi, mulai dari 50% sampai dengan 100% pada tiap kelahiran. Namun gejala yang timbul pada setiap individu sangat bervariasi, mulai dari sangat ringan hingga sangat berat, mulai dari sedikit gejala hingga gejala lengkap, bergantung pada ekspresivitas dan penetrance penyakit. Pasien dianjurkan untuk tidak mempunyai keturunan lagi, namun jika ingin mempunyai keturunan lagi atau jika suatu saat anak-anaknya ingin menikah, dianjurkan untuk melakukan konseling genetik, agar mendapat informasi lengkap dan siap dengan kemungkinan yang terjadi. Pasien dan keluarga dianjurkan kontrol teratur untuk tatalaksana kelainan yang ada dan pengawasan terhadap kelainan lain yang mungkin timbul. Untuk pengawasan perkembangan penyakit pasien dan keluarganya dianjurkan kontrol untuk dilakukan penapisan minimal enam bulan sekali. Pengawasan ketat dianjurkan bila terdapat kelainan melibatkan neurologis, jantung, tumbuh kembang, tumor/ keganasan kulit, dan sebagainya dengan kontrol teratur ke divisi terkait. Keluarga perlu diberikan penjelasan bahwa penyakit ini bukan penyakit menular dan bukan penyakit kutukan. Pemeriksaan genetik, terutama pemeriksaan PTPN 11, dapat dianjurkan untuk diagnosis pasti. Keterbatasan pada laporan kasus ini adalah belum dilakukan biopsi kulit guna membedakannya dengan nevus spilus serta tidak dilakukan pemeriksaan genetik, terutama PTPN 11 dan RAF1 (karena di FKUI-RSCM belum ada fasilitas tersebut). Pemeriksaan ini sebenarnya dapat memberikan kepastian diagnosis SL. Namun, penapisan mutasi genetik terutama dianjurkan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria diagnostik Voron untuk SL.8 DAFTAR PUSTAKA 1. Sarkozy A, Digilo MC, Dallapiccola B. Leopard syndrome. Orphanet J Rare Dis. 2008; 3(13): 1-8. 2. Zeisler EP. Generalized lentigo. Arch Dermatol Syph. 1936; 33: 109-25. 3. Gorlin RJ, Anderson RC, Moller JH. The Leopard (multiple lentigenes) syndrome revisited. Brith Defects Orgin Artic Ser. 1971; 7(4): 110-5. 4. Voron DA, Hatfield HH, Kalkhoff RK. Multiple lentigines syndrome.Am J Med 1976; 60: 447-56. 5. Wolff K, Johnson RA, Surrmond D. Nevus spilus. Dalam: Wolff K, Johnson RA, Surrmond D, penyunting. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology. New York: Hernayati M. Hutabarat dkk Lentiginosis Generalisata pada satu keluarga sebagai manifestasi Sindrom Leopard McGraw-Hill; 2005; h.176-7 6. Chong WS, Klanwarin W, Giam YC. Generalized lentiginosis in two children lacking systemic associations: case report and review of the literature. Ped Dermatol. 2004; 21(2): 139-45. 7. Horvarth A, Stratakis CA. Carney complex and lentiginosis. Pigment Cell Melanoma Res. 2009; 22: 580-7 8. Hasle H. Malignant diseases in Noonan syndrome and related disorders. Horm Res. 2009; 72(2): 8-14. 9. Se I Shima M, Mizutani Y, Shibuya Y, Arakawa C, Yoshida R, Ogata T. Malignant melanoma in a woman with LEOPARD syndrome: identification of a germline PTPN11 mutation and a somatic BRAF mutation. Br J Dermatol. 2007; 157: 1297-9. 10. Aoki Y, Niihori T, Narumi Y, Kure S, Matsubara Y. The RAS/ MAPK Syndromes: Novel Roles of the RAS Pathway in Human genetic disorders. Human Mutation. 2008; 29(8): 992-1006. 11. Kalev I, Muru K, Teek R, Zordania R, Reimand T, Kobas K, Qunap K. LEOPARD syndrome with recurrent PTPN11 mutation 279C and different cutaneous manifestations: two case reports and a review of the literature. Eur J Pediatr. 2010; 169: 469-73. 12. SArkozy A, Conti E, Cristina Digilio M, Marino B, Morini E, Pacileo G, et al. Clinical and molecular analysis of 30 patients with multiple lentigines LEOPARD syndrome. J Med Genet. 2004; 41-68. 37 S