BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Karya sastra merupakan cerminan sosial masyarakat. Salah satu cerminan
sosial masyarakat di dalam karya sastra adalah hubungan antara laki-laki dan
perempuan serta peranan masing-masing di dalam budaya yang melingkupinya.
Hubungan laki-laki dan perempuan adalah sebuah isu yang tidak pernah berakhir,
tetapi terus berkembang. Hubungan keduanya menjadi fenomena karena sistem
patriarki mendominasi di dalam masyarakat. Masyarakat mengakui bahwa laki-laki
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari
perempuan. Konstruksi ini terus
berjalan dan terbentuklah kebudayaan yang melestarikannya dan melegalkannya.
Konsep
ini
menempatkan
perempuan
pada
posisi
yang
kurang
menguntungkan. Hal ini berakibat pada banyaknya ketidakadilan yang diterima
perempuan
selama ini. Ketidakadilan ini membuat perempuan diberi stereotipe
sebagai makhluk kelas dua (Muthali‟in, 2001: 24-25). Perempuan dianggap sebagai
anggota masyarakat yang tidak mempunyai peran utama di segala bidang di ranah
publik.
Perbedaan peran jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan banyak
menimbulkan masalah gender yang terwujud dalam karya sastra. Masalah gender
1
2
dalam
karya sastra
tersebut
pada
akhirnya
memunculkan
studi
yang
memfokuskan kajian pada perempuan dalam karya sastra yang sering disebut kritik
sastra feminis. Sejak akhir 1960-an ketika kritik feminis dikembangkan sebagai
bagian dari gerakan internasional, anggapan tentang studi kritik sastra feminis ini pun
menjadi pilihan yang menarik. Ruthven (1985: 40—50) menyatakan bahwa kritik
sastra feminis merupakan kritik yang menelusuri bagaimana kaum perempuan
direpresentasikan, bagaimanakah teks terwujud melalui relasi gender dan perbedaan
sosial. Selain kritik sastra feminis membicarakan bagaimana perempuan dilukiskan,
kritik juga mendeteksi potensi yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan patriarki
dalam karya sastra.
Masalah perempuan dan kehidupannya selalu menjadi masalah yang menarik
untuk diperbincangkan. Telah banyak pengarang yang menempatkan tokoh utama
perempuan dalam karya-karyanya dengan tujuan untuk mengungkapkan ide-idenya
dalam sebuah karya sastra. Adanya bentuk-bentuk ketertindasan, marginalisasi,
subordinasi, dan masalah gender serta emansipasi, juga menjadi tema yang menarik
untuk diangkat ke permukaan dalam bentuk karya sastra. Masalah-masalah yang
dialami kaum perempuan tak lepas dari budaya patriarki yang melingkupinya, dimana
status perempuan dalam masyarakat diposisikan di bawah laki-laki dan dianggap
tidak begitu penting peranannya di masyarakat.
Jepang merupakan salah satu negara yang masih kental dengan sistem
patriarkinya. Sistem patriarki ini menyebabkan banyak ketidakadilan gender yang
3
dialami oleh perempuan. Bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan Jepang
terlihat pada kebiasaan seorang perempuan Jepang yang sepanjang hidupnya selalu
tunduk pada laki-laki. Pertama pada ayahnya, kemudian setelah menikah pada
suaminya, dan setelah anaknya dewasa kepada anak laki-lakinya yang menduduki
kepala keluarga (Okamura, 1983: 5).
Menurut Okamura (1983: xv), sekitar kurun waktu pasca Perang Dunia II,
perempuan Jepang lebih berperan dalam hal-hal mikro. Di dalam rumah tangga
tradisional Jepang, sudah lazim terjadi apa yang disebut pembagian kerja seksual.
Laki-laki (suami) umumnya ditempatkan dalam posisi yang dominan, yaitu sebagai
pencari nafkah (bread winner) atau sebagai pekerja produktif dan menyandang peran
sebagai penghasil pendapatan utama. Sementara itu perempuan (istri) ditempatkan
pada posisi nyonya rumah (home maker) yang bertanggung jawab atas segala
kegiatan reproduktif dan pekerjaan domestik yang terkait di dalam organisasi rumah
tangga.
Kekuasaan kepala rumah tangga tradisional Jepang dianggap sebagai ciri
utama sistem keluarga, meliputi perilaku, ide, dan cara berpikir para anggota keluarga.
Kepala rumah tangga di Jepang memiliki kekuasaan yang lebih besar, maka
terbentuklah ide-ide moral seperti “suami memimpin, istri patuh setia” (Nakane,
1981: 10).
4
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan Jepang sebagai
akibat dari budaya patriarki tergambar jelas pada salah satu novel karangan Watanabe
Jun`ichi. Dalam novelnya yang berjudul Hanauzumi, Watanabe Jun`ichi mengisahkan
perjuangan seorang perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki
dalam hal pendidikan dan profesi di tengah budaya patriarki yang melingkupi Jepang
pada masa itu. Novel tersebut merupakan novel biografi yang mengisahkan
kehidupan dan perjuangan tokoh utamanya, Ogino Ginko, untuk menjadi dokter
perempuan pertama di Jepang.
Watanabe Jun`ichi adalah seorang pengarang kelahiran Hokkaido pada tahun
1933. Dia mulai tertarik dengan dunia tulis-menulis saat menempuh sekolah
menengah. Ketika menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Sapporo, dia
bereksperimen dengan tulis-menulis dan mulai mempublikasikan tulisannya di
sejumlah majalah sastra. Setelah lulus sebagai dokter, dia membuka praktik sebagai
ahli bedah ortopedi, tetapi kemudian dia mengundurkan diri dan hijrah ke Tokyo
untuk menekuni dunia kepenulisan. Sejak tahun 1969, dia merintis karir sebagai
penulis sepenuhnya. Sejumlah karyanya berupa novel biografis dan terkadang
berlatarbelakang dunia kedokteran. Selain Hanauzumi, novelnya yang populer adalah
Shitsuraken (A Lost Paradise) yang menjadi buku laris di Jepang dan berbagai negara
Asia. Watanabe Jun`ichi telah menghasilkan lebih dari 50 karya sastra, dan di
antaranya telah banyak yang difilmkan. Dia juga meraih sejumlah penghargaan dalam
bidang sastra dan kepenulisan, antara lain penghargaan Naoki pada tahun 1970 untuk
5
novel Hikari to kage (Light and Shadow) dan penghargaan Eiji Yoshikawa pada
tahun 1979 untuk novel Toki rakujitsu dan Nagasaki roshia yujokan.
Novel Hanauzumi yang dalam terjemahan bahasa Inggrisnya berjudul Beyond
the Blossoming Fields dipilih penulis untuk menjadi objek material dalam penelitian
ini karena novel tersebut dinilai sarat akan isu-isu gender. Novel yang berlatar
kehidupan masyarakat Jepang pada awal era Meiji ini masih sangat kental dengan
budaya patriarki.
Penulis kemudian mencoba untuk memaparkan segala macam bentuk
ketimpangan gender akibat dari budaya patriarki yang terdapat dalam novel tersebut,
sekaligus menjelaskan ide-ide feminis yang terkandung di dalamnya. Kritik sastra
feminis kemudian dipilih sebagai teori untuk mengungkap segala permasalahan
perempuan dan gender dalam novel Hanauzumi karena kritik sastra feminis dianggap
sebagai teori yang tepat untuk mengungkap segala permasalahan perempuan di dalam
sebuah karya sastra.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis dengan pendekatan
feminisme liberal. Feminisme liberal dianggap sebagai teori paling tepat untuk
menganalisis novel Hanauzumi, mengingat novel tersebut mengisahkan tentang
perjuangan seorang perempuan demi mendapat kesempatan yang sama dengan lakilaki di bidang pendidikan, yaitu pendidikan kedokteran, profesi, dan juga kesempatan
yang sama di bidang politik. Hal tersebut sejalan dengan kerangka pemikiran teori
6
feminisme liberal. Menurut Tong (2008: 23), pada abad ke-18 feminisme liberal
muncul dalam bentuk gagasan tentang masyarakat yang adil dan mendukung
pengembangan diri perempuan yang sama dengan laki-laki. Gagasan pemikiran
tersebut kemudian lebih terfokuskan pada pendidikan yang setara. Kemudian pada
abad ke-19 berkembang dalam tuntutan hak politik dan kesempatan ekonomi yang
sama bagi perempuan. Dengan pertimbangan tersebut, maka penulis melakukan
penelitian ini dengan landasan teori feminisme liberal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat diketahui bahwa terdapat
beberapa masalah dalam novel Hanauzumi. Masalah tersebut antara lain
ketidakadilan gender yang muncul dalam kisah tersebut sebagai dampak dari budaya
patriarki masyarakat Jepang pada awal Meiji. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
penulis mencoba merumuskan dan membahas lebih jauh lagi ketidakadilan gender
yang dialami Ogino Ginko dalam novel Hanauzumi.
Selain itu, perjuangan kaum perempuan yang diwakili oleh tokoh utama
dalam novel tersebut juga dibahas dalam penelitian ini. Perjuangan kaum perempuan
tersebut merupakan reaksi atas ketidakadilan yang dialami oleh perempuan sebagai
kaum yang „dinomorduakan‟. Perjuangan tersebut dituangkan dalam ide-ide feminis
sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya patriarki dan ketidakadilan gender yang
dialami kaum perempuan.
7
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yakni tujuan teoretis dan tujuan praktis.
Tujuan teoritis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mengetahui unsur-unsur intrinsik novel Hanauzumi.
2) Mengetahui bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam
novel tersebut.
3) Mengetahui nilai-nilai atau ide-ide feminis yang terdapat dalam novel
tersebut.
Adapun tujuan praktis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pembaca dalam memahami
novel Hanauzumi dengan kritik sastra feminis.
2) Membuka pemahaman pembaca tentang adanya ketidakadilan gender
antara laki-laki dan perempuan yang tercermin dalam karya sastra.
3) Membantu pembaca agar mampu meletakkan posisinya dalam memahami
perempuan sebagai kelas yang terpinggirkan dan mengalami ketidakadilan
gender.
1.4 Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, sudah banyak penelitian yang mengungkap
permasalahan perempuan dalam berbagai karya sastra dengan menggunakan
pendekatan kritik sastra feminis. Penelitian yang menggunakan pendekatan kritik
sastra feminis lebih banyak yang mengungkapkan citra perempuan dibanding
8
mengungkap ketidakadilan gender yang terdapat dalam karya yang diteliti. Penelitian
yang pernah dilakukan di antaranya terdapat dalam skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya
UGM oleh Rahmi Rizka yang berjudul “Citra Perempuan Dalam Novel Onibi Karya
Yoshiya Nobuko: Analisis Kritik Sastra Feminis” (2004). Dalam skripsi tersebut
dijelaskan bahwa tokoh utama dalam novel tersebut adalah seorang perempuan yang
cantik yang hidup miskin. Perempuan tersebut digambarkan sangat tunduk dan patuh
terhadap suaminya. Beban kerja dialami oleh tokoh utama karena ia bertanggung
jawab terhadap urusan domestik rumah tangga, mengurusi suami yang sedang sakit,
dan bertanggung jawab melunasi tagihan rumah tangganya. Selain itu, perempuan
dalam novel ini mengalami ketidakadilan gender akibat adanya nilai-nilai budaya
patriarki yang mengakar kuat.
Penelitian lain yang mengungkap ketidakadilan gender terdapat pada skripsi
S1 Sastra Indonesia yang berjudul “Perjuangan Melawan Ketidakadilan Gender
Dalam Novel Garis Perempuan Karya Sanie B. Kuncoro: Kajian Kritik Sastra
Feminis”(2011) yang ditulis oleh Herlina Endah Susilowati. Menurut penelitian
tersebut, banyak terjadi ketidakadilan gender yang menimpa tokoh perempuan dalam
novel tersebut. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut antara lain marginalisasi,
subordinasi, kekerasan, dan beban kerja yang dialami oleh tokoh perempuan.
Selain itu, dalam penelitian tersebut juga mengungkapkan ide-ide feminis
yang dicetuskan oleh tokoh perempuan, antara lain adalah kemampuan untuk hidup
mandiri.
9
Penelitian sastra yang menggunakan metode pendekatan kritik sastra feminis
memang telah banyak dilakukan. Akan tetapi belum ada penelitian yang menganalisis
karya sastra Watanabe Jun‟ichi yang berjudul Hanauzumi. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa skripsi ini merupakan tulisan pertama yang menganalisis novel
Hanauzumi dengan menggunakan metode pendekatan kritik sastra feminis.
1.5 Landasan Teori
Teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini adalah teori
strukturalisme dan teori kritik sastra feminis. Teori strukturalisme digunakan untuk
menganalisis struktur novel, kritik sastra feminis digunakan untuk menganalisis
masalah bias gender yang terdapat pada unsur-unsur novel yang diteliti dan juga ideide feminis yang terkandung di dalamnya.
1.5.1. Teori Strukturalisme
Analisis strukturalisme merupakan prioritas pertama sebelum diterapkannya
analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna intrinsik yang
hanya dapat digali dari karya sastra tersebut tidak dapat ditangkap. Makna unsurunsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya, dan dinilai atas
dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra
(Teeuw, 1983: 61).
10
Strukturalisme adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai
suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan satu dengan
lainnya (Sangidu, 2004: 141). Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori
struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra
merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan
yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dkk.,
2001: 54). Dalam kesatuan hubungan itu, setiap unsur tidak memiliki makna sendirisendiri kecuali dalam hubungannya dengan unsur lain sesuai dengan posisinya di
dalam keseluruhan struktur. Dengan demikian, struktur merupakan sebuah sistem
yang terdiri atas sejumlah unsur, yang di antaranya tidak satu pun dapat mengalami
perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam semua unsur yang lain (Strauss via
Teeuw, 1984: 140 -- 141).
Dari konsep dasar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa memahami karya
sastra berarti memahami unsur-unsur yang membangun struktur. Analisis struktural
bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat keterikatan semua unsur
karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis
struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsurnya, melainkan sumbangan apa yang
diberikan oleh semua unsur pada keseluruhan makna dalam keterikatan dan
keterjalinannya (Teeuw, 1984: 135-- 136). Unsur-unsur intrinsik yang membangun
struktur tersebut antara lain tema, latar, alur, tokoh dan penokohan.
11
Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya
sastra (Sudjiman, 1991: 50). Tema dalam banyak hal bersifat “mengikat” kehadiran
atau ketidakhadiran peristiwa-konflik-situasi tertentu, termasuk berbagai unsur
intrinsik yang lain. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun
bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Dengan demikian, untuk menemukan
tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya
berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita (Nurgiyantoro, 2000: 68).
Unsur intrinsik selanjutnya adalah latar. Abrams (via Nurgiyantoro, 2000:
216) mengemukakan bahwa latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu,
mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Tokoh cerita yang menjadi pelaku
dan penderita dari berbagai kejadian yang bersebab akibat perlu pijakan, di mana dan
kapan peristiwa-peristiwa itu terjadi. Latar memberikan gambaran cerita secara lebih
jelas dan konkret.
Selain tema dan latar, unsur lain yang turut membangun struktur sebuah karya
sastra adalah alur. Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan unsurunsur lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang
lebar dalam sebuah analisis (Stanton, 2007: 28). Secara umum, alur merupakan
rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada
peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja (Stanton, 2007: 26). Sebuah
cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap
12
peristiwa-peristiwa
yang
mempertautkan
alur,
hubungan
kausalitas,
dan
keberpengaruhannya (Stanton, 2007: 28).
Sebuah karya sastra, dalam hal ini novel, selalu menampilkan tokoh dan
penokohannya. Tokoh merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita
(Stanton, 2007: 33). Jones (via Nurgiyantoro, 2000: 165) mendefinisikan penokohan
sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah karya.
Keseluruhan unsur-unsur tersebut di atas bersifat timbal balik, saling
menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan
yang utuh. Selain itu, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan
antarunsur tersebut dan sumbangan apa yang diberikan unsur-unsur tersebut terhadap
makna keseluruhan karya sastra (Nurgiyantoro, 2000: 36 - 37).
1.5.2. Kritik Sastra Feminis
Kritik sastra feminis adalah penelitian yang mengungkap tentang bagaimana
perempuan dilukiskan dan bagaimana potensi yang dimiliki perempuan di tengah
kekuasaan patriarki (Ruthven, 1985: 40). Kritik sastra feminis merupakan salah satu
disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembang luasnya
feminisme di berbagai penjuru dunia.
Secara leksikal, feminisme dapat diartikan gerakan perempuan yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki (KBBI, 2008: 315).
13
Persamaan hak meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi,
maupun sosial budaya. Sementara itu, Fakih (2008: 99-100) menyatakan feminisme
sebagai gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan
pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta harus ada upaya mengakhiri
penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Gerakan feminis merupakan perjuangan
dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke
sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki.
Feminis atau feminisme adalah label politik yang mengindikasikan semangat
untuk mencapai tujuan-tujuan dari pergerakan baru perempuan yang muncul pada
akhir tahun 1960-an. Adapun kritik sastra feminis kemudian menjadi wacana politik
khusus yang diartikan sebagai sebuah kritik dan praktik teori yang berkomitmen
menjalankan perjuangan melawan patriarki dan seksisme.
Menurut Djajanegara (2000: 4), inti tujuan feminisme adalah meningkatkan
kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta
derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini
mencakup berbagai cara. Salah satunya adalah memperoleh hak dan peluang yang
sama dengan yang dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan itu, maka muncullah istilah
equal right’s movement atau gerakan persamaan hak.
Untuk memahami feminisme, harus dipahami pula konsep patriarki, konsep
seks, dan konsep gender. Patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung
14
dan membenarkan dominasi laki-laki, menimbulkan pemusatan kekuasaan di
tangan kaum laki-laki, mengakibatkan kontrol dan subordinasi perempuan dan
menciptakan ketimpangan sosial antarseks. Di samping itu, patriarki merupakan
konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua bidang penting dalam
masyarakat, seperti pemerintahan, militer, pendidikan, industri, kesehatan, media
informasi, dsb (Handayani dan Sugiarti, 2002: 11).
Jenis kelamin (seks) merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu
secara permanen dan tidak berubah-ubah. Seks merupakan ketentuan biologis atau
sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Sedangkan gender adalah
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut,
emosional, keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan. Pemahaman
dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangat diperlukan dalam melakukan
analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa
kaum perempuan. Hal ini dikarenakan adanya kaitan yang erat antara perbedaan
gender dan ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara
lebih luas. (Fakih, 2008: 3-- 8).
Feminisme juga tidak bisa lepas dari emansipasi. Emansipasi merupakan
konsep gerakan perempuan yang menjadi cikal bakal feminisme. Emansipasi adalah
gerakan perempuan yang bertujuan untuk mengubah posisi perempuan dalam
15
masyarakat melalui perubahan sistem masyarakat itu sendiri. Konsep emansipasi
merupakan konsep awal feminisme untuk memperjuangkan persamaaan hak (Humm,
2007: 130).
Persamaan hak yang diperoleh melalui gerakan emansipasi perempuan
berkembang menjadi latar belakang gerakan feminisme. Feminisme tidak lagi sekedar
memperjuangkan persamaan hak bagi perempuan, tetapi juga mengangkat isu-isu
tentang ketimpangan masyarakat patriarki dan ideologi gender. Dengan persamaan
hak, perempuan dapat mandiri. Konsep ini menjadi ideologi feminisme, yakni
pembebasan perempuan. Ide-ide emansipasi merupakan awal landasan pemikiran dari
feminisme. Emansipasi berbeda dengan feminisme yang mempertanyakan dan
membongkar penyebab ketidakadilan gender yang terjadi selama ini. Pada dasarnya
feminisme berjuang membongkar konstruksi sosial yang menyebabkan terjadinya
segala ketertindasan terhadap perempuan (Muthali‟in, 2001: 21--23).
Feminisme sebagai studi kritis telah menemukan bias gender dalam berbagai
sektor kehidupan, seperti pandangan-pandangan yang merugikan kaum perempuan,
teori-teori misogini, rendahnya aspirasi dan keterwakilan perempuan, dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, pemikiran feminisme terbagi atas tiga gelombang besar,
yaitu feminisme gelombang pertama yang terdiri atas feminisme liberal, feminisme
radikal (baik radikal libertarian maupun radikal kultural), dan feminisme marxis dan
sosialis. Gelombang kedua terdiri atas feminisme psikoanalisa dan gender, dan
16
feminisme eksistensialis, sedangkan gelombang ketiga terdiri atas feminisme
postmodern, feminisme multikultural dan global, dan feminis ekofeminisme.
Aliran pemikiran feminis yang pertama kali berkembang adalah feminisme
liberal. Feminisme liberal telah muncul pada abad ke-18 dan terus berkembang
menjadi sebuah gerakan feminis yang penting hingga abad ke-20. Feminisme liberal
berkembang berdasarkan perubahan visi dan konsep pemikiran gerakan feminis. Pada
abad ke-18, feminisme liberal dimunculkan dalam bentuk gagasan tentang
masyarakat yang adil dan mendukung pengembangan diri perempuan yang sama
dengan laki-laki. Gagasan pemikiran tersebut kemudian lebih terfokuskan pada
pendidikan yang setara. Pemikiran feminisme liberal pada abad ke-19 berkembang
dalam tuntutan hak politik dan kesempatan ekonomi yang sama bagi perempuan
(Tong, 2008: 22-23).
Feminisme liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran
gender yang opresif yaitu dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau
pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan
tempat sama sekali bagi perempuan, baik dalam bidang akademi, forum, maupun
pasar. Mereka menekankan bahwa masyarakat patriarkal mencampuradukkan seks
dan gender dan menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan dengan
kepribadian feminim yang layak untuk perempuan (Tong, 2008: 48- 49).
17
Feminisme liberal adalah gerakan feminis yang mempunyai pandangan bahwa
kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat
dan publik. Kerangka kerja feminisme liberal adalah memperjuangkan persoalan
masyarakat yang tertuju pada kesempatan yang sama bagi setiap individu, termasuk
di dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama
antara laki-laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan tidak perlu ada
pembedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan adalah makhluk
rasional juga sama seperti laki-laki. Oleh karena itu, ketika menyoal mengapa kaum
perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal, itu disebabkan kesalahan
mereka sendiri. Dengan kata lain, jika sistem sudah memberikan kesempatan yang
sama kepada laki-laki dan perempuan, lalu kaum perempuan tidak mampu bersaing
kemudian kalah, yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan sendiri (Fakih,
2008: 82—86).
Feminisme, apapun alirannya dan dimanapun tempatnya, muncul sebagai
akibat dari adanya prasangka gender
yang cenderung menomorduakan kaum
perempuan. Perbedaan itu tidak hanya terbatas pada kriteria biologis, melainkan juga
sampai pada kriteria sosial dan budaya (Susilastuti, 1993: 29-30).
Fenomena bias gender yang terjadi di tengah masyarakat menjadi motivasi
dan stimulus utama untuk berkembangnya paham feminisme di dunia masyarakat
modern. Feminisme tumbuh sebagai suatu gerakan sekaligus pendekatan yang
berusaha merombak struktur yang ada karena dianggap telah mengakibatkan
18
ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Pendekatan feminisme berusaha merombak
cara pandang kita terhadap dunia dan berbagai aspek kehidupannya (Nugroho, 2008:
62).
Inti pandangan feminisme adalah setiap perempuan juga mempunyai hak
untuk memilih apa yang menurutnya baik. Pilihan itu tidak ditentukan oleh laki-laki
ataupun orang lain, tetapi ditentukan perempuan sendiri. Pilihan itu membuat
perempuan menjadi dirinya seutuhnya. Pada akhirnya, diharapkan perempuan bisa
menentukan sendiri apa yang sebenarnya menjadi kebutuhannya.
1.6 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Bogdan dan Tylor (dalam Moleong, 2002: 3) mendefinisikan metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati oleh peneliti.
Objek penelitian, metode khusus, dan analisis data dipaparkan sebagai berikut.
Objek penelitian ini terdiri dari dua objek, yaitu objek formal dan objek
material. Objek formal penelitian ini adalah bentuk-bentuk ketidakadilan gender
dalam budaya patriarki dan motivasi yang dilakukan seorang perempuan dalam
melawan ketidakadilan gender. Objek material yang digunakan dalam penelitian ini
adalah novel Hanauzumi karya Watanabe Jun‟ichi.
19
Dalam memahami karya sastra dengan pendekatan kritik sastra feminis,
diperlukan sebuah metode bantu yaitu konsep reading as a woman yang
diperkenalkan oleh Jonathan Culler. Reading as a woman adalah membaca dengan
kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris
dan patriarkat. Reading as a woman menjadi kunci melakukan eksplorasi karya sastra
secara feministik dalam langkah penelitian di atas.
Konsep penting yang terdapat dalam On Deconstruction (Culler, 1983: 44—51)
adalah sebagai berikut:
1. Ketika memposisikan sebagai pembaca perempuan, maka yang diperhatikan
secara subtansial adalah dengan melihat pengalaman yang sedang dilihatnya,
melihat sebagai “seorang perempuan” yang dibatasi dan dimarginalkan.
2. Konsep dari pembaca perempuan adalah membawa kontinuitas pengalaman
perempuan pada sosial dan struktur familial serta pengalaman mereka sebagai
pembaca. Dalil kontinuitas dilakukan dengan memperhatikan situasi dan
keadaan psikologi pada karakter perempuan untuk mengungkapkan sikap dan
imaji tentang perempuan dalam kerangka kerja seorang pengarang.
3. Di dalam kritik sastra feminis pekerjaan yang dilakukan oleh pembaca
perempuan adalah mengidentifikasi pada karakter perempuan, kemudian
karakter laki-laki yang telah melawan dan mendukung kepentingan mereka
sebagai perempuan.
20
4. Melakukan proses pembacaan untuk mengungkap ideologi dan asumsi politis
yang berklamufase di dalam karya sastra.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan digunakan untuk mengatur tulisan agar menjadi
sistematis, sehingga pembaca dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas secara
menyeluruh mengenai bab-bab yang dibahas dalam skripsi. Adapun sistematika
penulisan skripsi ini tersusun atas empat bab. Bab I merupakan pendahuluan yang
berisi uraian mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II
berisi analisis struktural novel Hanauzumi yaitu berupa unsur-unsur intrinsik seperti
tema, alur, latar, tokoh dan penokohan. Bab III berisi analisis ketidakadilan gender
dan ide-ide feminis dalam novel Hanauzumi sebagai upaya untuk melawan
ketidakadilan gender. Bab IV berisi kesimpulan dari keseluruhan hasil analisis.
Download