BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kerangka meraih dukungan luas dari berbagai segmen pemilih, partai menjalin relasi yang kuat dan mengakar dengan berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) sebagai salah satu strategi elektoral.1 Anggota dan simpatisan ormas menjadi target pemilih yang penting bagi partai. Selain itu, ormas juga menjadi sumber rekruitmen kader yang penting bagi partai. Dalam konteks itu, Golkar menjadi partai yang menarik terkait dengan relasinya dengan ormas. Sebagai kekuatan utama pendukung rezim Orde Baru, Golkar berawal dari berbagai kelompok ormas yang didirikan oleh militer pada penghujung era Demokrasi Terpimpin yang waktu itu familiar dengan istilah “organisasi fungsional”. Sejak awal ormas-ormas itu didirikan militer Angkatan Darat (AD) sebagai kekuatan penyeimbang PKI yang menjadi rival utamanya di panggung politik Demokrasi Terpimpin.2 Rezim pemerintahan Soeharto menjadikan Golkar sebagai kekuatan politik utama yang menopang kekuasaannya.3Melalui kebijakan “reorganisasi”, hampir seluruh kekuatan ormas yang ada dikooptasi dan dijadikan pendukung Golkar. Kekuatan pendukung Golkar itu terdiri dari tiga kelompok utama yang secara struktural diformalkan 1 Thomas Poguntke,” Political parties and Other Organizations”, dalam buku “Handbook of Party Politics”, editor : Richard S Katz dan William Crotty, Sage Publication, 2006, hal 396. 2 Lihat Leo Suryadinata, 1992, Golkar dan Militer : Studi Budaya Politik, LP3ES, Jakarta. 3 Lihat Leo Suryadinata, 1992, Golkar dan Militer : Studi Budaya Politik, LP3ES, Jakarta. 1 menjadi jalur yang lazim disebut jalur ABG.Jalur A merupakan jalur militer atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-melalui pimpinan ABRI diberbagai tingkatan menginstruksikan seluruh keluarga besar ABRI untuk mensukseskan Golkar. Jalur B merupakan jalur birokrasi-melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) lewat kebijakan “monoloyalitas tunggal” menginstruksikan kepada seluruh birokrasi pemerintahan untuk memilih Golkar. Sementara jalur G merupakan jalur “organisasi Golkar” sendiri yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk ormas, seperti organisasi kepemudaan, profesi, pengusaha dsb. Jalur G ini juga sering dikatakan sebagai jalur kekuatan sipil di Golkar. Di dalamnya juga terdapat ormas yang dulunya menjadi cikal bakal pembentukan Golkar seperti Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) dan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) yang familiar disebut Tri Karya.4 Medio 1998 terjadi perubahan konsetalasi politik akibat gelombang reformasi. Soeharto yang berkuasa lebih dari tiga dekade memutuskan berhenti sebagai Presiden yang menandai runtuhnya rezim Orde Baru. Menarik dicermati bagaimana perjalanan Golkar selanjutnya di era baru Post-Soeharto. Dihapusnya dwifungsi ABRI dan aturan larangan PNS berpolitik (dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1999 disebutkan birokrasi dilarang berpolitik ) praksis menghilangkan dua kekuatan utama Golkar dalam setiap pemilu.5 Kehilangan kekuatan efektifnya ini menyebabkan perolehan suara Golkar pun terbukti merosot tajam dari sebelumnya 74 persen turun menjadi 22 persen pada agenda elektoral pertama 4 Trikarya ini juga sering dikatakan sebagai kekuatan tradisional Golkar karena terkait dengan peran historisnya dalam mendirikan Golkar. 5 UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik menegaskan posisi birokrasi harus netral dan tidak dibolehkan berafiliasi dengan partai politik. 2 pasca Soeharto. Meski menurun drastis, suara Golkar tetaplah signifikan dalam kepolitikan sistem multipartai. Menang di Pemilu 2004 dan runner-up di Pemilu 1999, 2009 dan 2014, Golkar tetap menempatkan posisinya sebagai kekuatan menentukan dalam perpolitikan Indonesia. Sementara itu sepeninggal Soeharto, Golkar mengalami perubahan konsetalasi politik di internal termasuk relasi dengan ormas-ormas pendukungnya. Ormas-ormas yang diera Orde Baru solid mendukung Golkar tiba-tiba “menjaga jarak” dengan Golkar. Beberapa diantara ormas itu menyatakan memisahkan diri dari Golkar, bahkan mendeklarasikan diri menjadi partai baru. Beberapa ormas seperti Pemuda Pancasila misalnya memutuskan memisahkan diri dari Golkar yang kemudian mendeklarasikan Partai Patriot. Fenomena paling menyita perhatian adalah yang menimpa KOSGORO dan MKGR (dua dari tiga ormas pendiri Golkar yang masih eksis). Setelah selama Orde Baru konsisten menjadi ormas pendukung Golkar, tiba-tiba KOSGORO memutuskan menjadi organisasi independen menjelang Pemilu 1999. Tidak hanya berhenti disitu, suksesi kepemimpinan yang tidak berjalan normal akhirnya menghasilkan dualisme kepemimpinan KOSGORO. Pertama, KOSGORO yang menyatakan independen dalam aspirasi politiknya. Kedua, KOSGORO 1957 yang menyatakan dukungannya pada Partai Golkar.6 Fenomena diatas menjadi salah satu hal yang menarik untuk dikaji dalam studi Golkar. Dilihat dari literatur yang ada kajian mengenai relasi Golkar dengan 6 Munculnya dualisme KOSGORO ini akibat pertarungan dua tokoh sentral KOSGORO saat itu, Hayono Isman dan Agung Laksono. Hayono Isman ingin membawa KOSGORO independen dari Golkar. Sementara Agung Laksono ingin tetap mempertahankan relasi KOSGORO dengan Golkar. Belakangan Agung Laksono mendeklarasikan KOSGORO 1957 yang berkomitmen mendukung Golkar. 3 ormas pendukungnya merupakan kajian yang langka. Penelitian ini akan mencoba mengisi kelangkaan itu dengan mengkaji relasi Golkar dengan KOSGORO. Meski titik tekannya pada era Post-Soeharto, penelitian ini juga mencuplik bagian di era Soeharto untuk memahami alur historisnya di era Post-Soeharto. Singkatnya, penulis terdorong untuk melakukan studi terkait relasi Golkar dengan KOSGORO dengan dua pertimbangan. Pertama, sebagai partai tertua dan juga salah satu yang terkuat dalam struktur kekuasaan politik Indonesia, Golkar mengalami dinamika politik yang tinggi terutama setelah era Post-Soeharto. Dinamika kontestasi kekuasaan di internal Golkar yang melibatkan ormas pendukungnya terutama KOSGORO, tentu menjadi bagian penting yang perlu dicermati dalam membaca perkembagan Golkar. Terbelahnya organisasi menjadi dua cukup merefleksikan bagaimana tingginya dinamika politik yang terjadi pada ormas pendukungnya ini. Tentu, pengaruh sejarah panjang hubungan Golkar dengan KOSGORO sangat mempengaruhi fenomena ini. Kedua, KOSGORO menunjukkan peran yang besar dalam supplier elit di struktural Golkar di era Post-Soeharto dalam hal ini tidak sesederhana memahaminya sebagai menguatnya peran ormas Jalur G akibat keluarnya birokrasi dan militer. Perlu analisa yang komprehensif terkait relasi Golkar dengan KOSGORO dalam suatu framework relasi organisasional. B. Rumusan Masalah Bagaimanakah dinamika relasi KOSGORO dengan Partai Golkar di era Post-Soeharto? 4 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan dinamika politik yang terjadi pada relasi Golkar dan KOSGORO terutama di era Post- Soeharto yang melibatkan elit-elit kuncinya. Selain mengetahui dinamika politiknya, penelitian ini juga dapat mengetahui karakteristik relasi Golkar dengan KOSGORO dan faktor yang mempengaruhi relasinya. D. Manfaat Penelitian Penulis berharap hasil penelitian terhadap KOSGORO dapat memperkaya khazanah akademik ilmu politik di Indonesia dalam kajian partai politik. E. Review Literatur Sebagai suatu studi, Partai Golkar merupakan salah satu obyek studi yang paling banyak diteliti dibandingkan partai-partai lain. Karya studi tentang Partai Golkar ini terbentang sejak periode Orde baru sampai dengan era Reformasi dengan berbagai ragam fokus kajiannya. Beberapa diantaranya akan penulis review di bawah ini: Leo Suryadinata (1992) membahas Golkar tidak hanya sebagai organisasi politik yang menopang rezim berkuasa dan selalu menang di Pemilu, namun Golkar juga menunjukkan sebagai kekuatan utama yang merepresentasikan entitas 5 budaya politik dominan di Indonesia yang familiar dengan istilah abangan atau budaya Pancasila. Golkar yang sebelumnya berawal dari Sekber Golkar merupakan gabungan kelompok fungsional yang tidak terlalu diperhatikan karena kalah pamor dari partai. Kemudian pada masa Orde Baru menjadi kekuatan politik yang dominan di Pemilu dan menguasai pemerintahan. Kehadirannnya merupakan reaksi terhadap partai-partai politik di masa lalu yang di mata rezim militer pimpinan Soeharto dipandang sebagai sumber kekacauan politik dan kebangkrutan ekonomi negara. Para penguasa baru pasca-Soekarno tersebut mengklaim Golkar dikembangkan dalam rangka meluruskan penyimpangan partai dengan lebih berorientasi pada program pembangunan.7Secara umum, Leo Suryadinata ingin menjelaskan relasi budaya politik dalam kesuksesan Golkar serta peran dari rezim militer yang menopangnya. Tulisan Reeve menjelaskan akar filosofis dan historis berdirinya Golkar. Menurut Reeve gagasan Golkar yang berawal dari konsep gagasan fungsional yang merupakan gagasan kolektivisme dan prinsip kekeluargaan sebagai filosofi bernegara yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara, Soepomo, Soekarno, dan Hatta. Gagasan ini sendiri merupakan alternatif dari model kepartaian, sehingga kemunculannya sendiri di akhir 1950an merupakan alternatif politik dari partai yang saat itu dipandang sebagai refleksi kepentingan kelompok atau golongan. Andreas Pandiangan (1996) menjelaskan pembaharuan struktur politik dan tuntutan pelaksanaan pembangunan nasional mendorong Golkar mengambil 7 Suryadinata, op.cit, baca lengkap. 6 bentuk keluarga besar.8Pandiangan menjelaskan adanya pergeseran tujuan awal pembentukan Golkar hingga ditunjukkan juga dengan bagaimanan pola relasi Golkar dengan rezim yang berkuasa. Akbar Tandjung (2007) menjelaskan bagaimana Golkar bisa survive pasca Orde Baru. Dari temuannya, Golkar bisa survive karena beberapa faktor yakni; warisan kelembagaan yang kuat, transisi politik yang berlangsung secara gradual, mempertahankan nilai-nilai yang menjadi jati dirinya, melakukan restrukturisasi organisasi agar lebih adaptif, kepemimpinan yang transformasional serta didukung sumber daya manusia yang berkualitas.9 Sebagai seorang Ketua Umum Partai Golkar pada saat era transisi, dalam tulisannya ini Akbar Tanjung menjelaskan secara komprehensif mengenai berbagai upaya dan kebijakankebijakan yang dilakukan selama ia menjabat untuk survival Golkar di tengah transisi politik. Annas Syaroni (2009) menjelaskan dinamika faksionalisme Partai Golkar pada era transisi. Dia memetakan faksionalisme pada dua bagian yaitu pada awal dan saat transisi. Di awal transisi Syaroni mengatakan terdapat dua kutub politik yang terlibat faksionalisme ; gabungan kelompok konservatif yang mendukung Edi Sudrajat dan gabungan kelompok pembaharu pendukung Akbar Tandjung. Kemudian di era transisi terjadi perpecahan sehingga, faksi Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum berhadapan dengan semua faksi yang mendukungnya pada awal transisi. Sedangkan aktor dan jaringan yang digunakan dalam membentuk faksi adalah sangat beragam. Kelompok konservatif menggunakan faksi keluarga 8 Andreas Pandiangan, Mengggugat Kemandirian Golkar, Yogyakarta, Bigraf Publishing, 1996, baca lengkap. 9 Tanjung, op.cit., baca lengkap. 7 dan pendukung rezim Soeharto (yang dimotori Tutut, R. Hartono, Ary Mardjono ) dan Edi Sudrajat dengan institusi purnawirawan militer (Pepabri). Sedangkan Habibie dengan ICMI-nya, Akbar Tandjung dengan jaringan alumni HMI yang ada di Golkar serta Harmoko dengan “Jalur G” yang dibentuk diawal Orde Baru. Ada juga yang berdasarkan daerah pada faksi Iramasuka (yang dimotori A. Baramuli dan Marwah Daud) dan Forum Pembaharu Partai Golkar (FPPG) yang berdasarkan kepentingan sesaat (yang dimotori Fahmi Idris dan Marzuki Darusman).10 Tulisan Annas Syaronni dapat membantu kita dalam mengamati faksionalisasi di tubuh Partai Golkar sejak kejatuhan Soeharto. Makrum Kholil (2009) dalam bukunya menjelaskan tiga poin penting terkait dinamika politik Golkar terhadap Islam. Pertama, cara Golkar dalam mengakomodasi aspirasi Islam. Dalam kebijakannya, Golkar merekrut tokohtokoh Islam ke-dalam Golkar untuk mendulang suara dalam Pemilu. Kemudian menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya azas organisasi politik-sosialkeagamaan. Kedua, faktor motivasi Golkar dalam mengakomodasi aspirasi umat Islam. Motivasi ini dipengaruhi oleh banyaknya tokoh-tokoh Islam yang menjadi pengurus Golkar dan anggota parlemen dari Fraksi Karya Pembangungan. Kemudian kesediaan umat Islam menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas organisasi politik-sosial-keagamaan mereka. Selanjutnya kecenderungan pemahaman umat Islam terhadap keagamaan yang substansial bukan lagi formal. Ketiga, implikasi dari kebijakan Golkar yang mengakomodasi aspirasi umat Islam. Kebijakan akomodatif ini berimplikasi pada relasi yang harmonis antara umat Islam dengan negara. Kemudian dijadikannya umat Islam sebagai 10 Annas Syaroni, Faksionalisme Partai di Era Transisi Demokrasi : Studi Kasus Dinamika Faksionalisme Partai Golkar tahun 1998-2004, skripsi di JIP UGM 2009. 8 sumberdaya pembangunan Terakhir, dipenuhinya sarana dan prasarana ibadah umat Islam.11Singkatnya tulisan Makrum ini fokus pada relasi Golkar dengan Islam serta dampaknya. Dirk Thomsa (2009) memotret Golkar dalam kerangka institusi partai pasca Soeharto. Dari temuan Thomsa menunjukkan keberhasilan Golkar survive di era Post-Soeharto bukanlah faktor institusionalisasi Partai Golkar yang sudah mapan, namun justru akibat institusionalisasi partai lain yang gagal. Sehingga dengan warisan kelembagaan rezim Soeharto, sudah cukup membuat Partai Golkar bisa survive dalam iklim politik baru. Yuddy Crisnasndi dalam papernya menyoroti tentang partai pecahan Golkar. Menurut Yuddy, absennya kekuatan hegemonik dan ambisi politik kompetisi faksi telah membawa fragmentasi ke dalam Partai Golkar yang mana ini menjadi alasan munculnya partai pecahan. Partai pecahan ini muncul sebagai saluran politik pendirinya yang muncul dengan karakteristik partai personal. Dari keseluruhan kajian mengenai Golkar diatas, tidak ada kajian yang secara spesifik menjelaskan bagaimana relasi Golkar dengan organisasi pendukungnya, terutama pasca tumbangnya Soeharto. Seperti diketahui dilihat dari aspek historis, Golkar terlahir dari kumpulan berbagai kelompok ormas yang dimobilisasi oleh AD sebagai kekuatan penyeimbang PKI. Ormas-ormas ini kemudian juga menjadi kekuatan menentukan di fase awal Golkar. Dalam perkembangannya ketika Golkar dijadikan kekuatan politik penopang rezim Orde 11 Makrum Kholil, op.cit. baca lengkap. 9 Baru, ormas-ormas itu tetap menjadi unsur pendukung Golkar diluar militer dan birokrasi. Mundurnya Soeharto dan runtuhnya rezim Orde Baru di tahun 1998, menandai babak baru perjalanan Golkar. Perubahan sistem politik mengharuskan Golkar memutuskan hubungannya dengan militer dan birokrasi. Sehingga praktis jalur G yang didalamnya ormas-ormas tersebut merupakan unsur tersisa pendukung Golkar. Dalam pemahaman sederhana, Jalur G akan menjadi refleksi kekuatan politik Golkar diera Post-Soeharto yang juga berarti menjadi suatu keniscayaan menguatnya peran KOSGORO sebagai ormas pendukungnya ini dalam struktur kekuasaan Golkar. Tentu sebagai suatu kajian, perlu analisa yang komprehensif menjelaskan fenomena ini. Relasi Golkar dengan KOSGORO perlu dianalisis dalam kerangka teoritik hubungan partai dengan ormas pendukungnya. F. Kerangka Teori 1. Relasi Partai Politik dengan Organisasi Kolateral Organisasi kolateral merupakan organisasi yang digunakan partai sebagai perantaranya dengan kelompok pemilih potensial yang bisa berbentuk serikat buruh, organisasi keagamaan, pemuda dll. Organisasi kolateral mengartikulasi dan mengagregasi kepentingannya dan berusaha untuk mempengaruhi kebijakan partai. Organisasi kolateral berinteraksi dengan partai politik secara reguler dan berjangka panjang. Organisasi tersebut pada umumnya mewakili kelompokkelompok sosial tertentu, misalnya buruh, petani, pemuda, perempuan atau aliran agama tertentu. Melalui organisasi kolateral partai politik dapat mengakses 10 kelompok-kelompok sosial itu dan merekrut anggota baru. Seperti dikatakan oleh Poguntke, analisis tentang relasi antara partai dengan organisasi kolateral merupakan kunci untuk memahami kelangsungan hidup, stabilitas organisasi dan sukses elektoral partai.12Pola hubungan partai dengan organisasi kolateral itu diabstraksikan dalam gambar dibawah ini.13 Gambar 1. Pola Hubungan Partai dan Pemilih 14 Partai 143,Politik 15P9 (Elit Partai) Hubungan melalui organisasi (formal/informal) Organisasi pendamping (collateral) Organisasi anggota Hubungan langsung New social movements Media massa / surveys Masyarakat (Pemilih) 12 Thomas Poguntke,” Political parties and Other Organizations”, dalam buku “Handbook of Party Politics”, editor : Richard S Katz dan William Crotty, Sage Publication, 2006, hal 396. 13 Lihat Thomas Poguntke (2005) dalam “Parties without firm social roots?Party Organizational linkage‟, in Kurt Richard Luther and Ferdinand Muller Rommel (eds),Political Parties in New Europe : Political and Analytical Challlenges. Oxford University Perss. 14 Loc.Cit. 11 Dari gambar di atas menunjukkan organisasi kolateral merupakan salah satu dari tiga mekanisme relasi melalui perantara antara partai dengan pemilih. Relasi yang dibangun secara organisasional yang bersifat formal maupun informal. Banyak organisasi kolateral mempunyai hubungan yang sangat erat dengan partai. Beberapa organisasi didirikan oleh partai, tetapi sering organisasinya lebih tua daripada partai. Dari tinjauan sejarah, organisasi kolateral muncul dalam perkembangan partai massa yang seterusnya juga diikuti pada model partai catch-all. Pada dua tipe partai ini organisasi kolateral digunakan sebagai salah satu kanal politik untuk menjangkau pemilih. Selanjutnya perkembangan mutakhir partai politik yang semakin pragmatis dan menunjukkan ketergantungan terhadap negara membuat pengaruh organisasi kolateral mengalami kemunduran.15 Sementara itu dalam sejarah kepartaian Indonesia model relasi partai dengan ormas ini telah muncul sejak awal era kepartaian kita di era demokrasi parlementer sampai sekarang di era reformasi. Hampir semua partai politik yang ada menjalin relasi dengan berbagai organisasi kolateral. Partai menjalin hubungan dengan ormas ataupun membentuk organisasi sayap sebagai perantara dengan pemilih. Masa demokrasi liberal dan terpimpin merupakan puncak kuatnya hubungan partai dengan ormas. Di masa itu hampir semua partai politik baik berideologi Nasionalis, Islam maupun Komunis mempunyai organisasi 15 Loc.cit. 12 kolateral dalam berbagai bentuk ormas dengan basis massa yang relatif terorganisir.16 Setelah mengalami “kematian” di era Orde Baru, geliat kepartaian muncul kembali di era Reformasi. Hampir semua partai yang eksis di era Reformasi ini menjalin hubungan dengan ormas atau pun membentuk organisasi sayap untuk menjangkau segmen pemilih tertentu sebagai salah satu strategi elektoralnya. Selain Partai Golkar yang menjadi fokus kajian, partai PAN dan PKB menjadi contoh partai yang mempunyai hubungan dengan ormas.17 2. Dimensi Relasi dan Tipologi Organisasi Kolateral Kajian mengenai organisasi kolateral ini telah menjadi salah satu tema menarik dalam kajian kepartaian di Eropa. Dalam perkembangan terbarunya terdapat berbagai jenis organisasi kolateral yang muncul. Organisasi kolateral itu diklasifikasi berdasarkan dimensi relasinya dengan partai politik. Berikut tabel jenis-jenis organisasi kolateral yang dibuat oleh Thomas Poguntke :18 16 Partai seperti Masyumi misalnya menjalin hubungan dengan Muhammadiyah. Selain itu ada juga ormasnya yang mewakili kelompok pemuda (HMI, GPII), serikat petani dan juga serikat buruh. PNI juga menjalin hubungan dengan ormas seperti GMNI. Yang paling fenomenal dimasa ini adalah hubungan PKI dengan organisasi-organisasi sayapnya. Seperti BTI (Barisan Tani Indonesia), SOBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia) dll. 17 PAN meski dikatakan tidak punya hubungan struktural dengan Muhammadiyah, sejarah pembentukannya menunjukkan peran besar Muhammadiyah dengan tokoh utamanya Amien Rais. Selain itu tidak bisa dipungkiri banyak aktivis penggerak PAN berlatar belakang ormas Muhammadiyah. Hal yang sama dengan PKB, sejarah pembentukannya menunjukkan peran besar NU dengan tokohnya Abdurrahman Wahid yang saat itu menjabat Ketua Umum PB NU. PKB juga banyak digerakkan oleh aktivis ormas NU dan secara elektoral basis pemilihnya dengan mudah dapat diidentifikasi di kantong-kantong kaum “nahdiyin”. 18 Poguntke, Op.Cit hal 398. 13 Tabel 1. Jenis Organisasi Kolateral Jenis Organisasi Organisasi Organisasi Organisasi Organisasi Kolateral Kolateral Kolateral Kolateral Independen Korporat Afiliasi Pendukung Jenis Keanggotaan Keanggotaan Keanggotaan Keanggotaan keanggotaan Individual kolektif partai (individual Opsional individual individual opsional) Tumpang Parsial Parsial Parsial Total Individual Kolektif Individual Individual Informal Formal Formal Formal Rendah Tinggi Sangat tinggi Tinggi ke Bervariasi tindih keanggotaan Hak keanggotaan Jenis hubungan Organisasi Kontrol oleh Rendah partai Pengaruh organisasi Bervariasi Bervariasi sangat tinggi kolateral Jenis Eksternal Internal kepentingan 14 yang paling sering Berdasarkan tabel yang dibuat Poguntke di atas kita dapat menjelaskan dua hal penting terkait organisasi kolateral, yaitu dimensi yang digunakan dalam mengklasifikasi organisasi kolateral dan tipologi organisasi kolateral. Dimensi yang digunakan dalam melakukan klasifikasi organisasi kolateral terdiri dari : Pertama, tipe keangotaan. Tipe keanggotaan adalah bentuk keanggotaan organisasi kolateral di partai. Ada dua bentuk keanggotaan organisasi kolateral di partai; individu dan kolektif. Dalam bentuk keanggotaan individu, anggota organisasi kolateral bergabung secara individu di partai, sehingga setiap anggota organisasi kolateral tidak serta merta menjadi anggota partai. Kemudian bentuk keanggotaan kolektif. Dalam keanggotaan kolektif, organisasi kolateral bergabung secara kolektif sebagai suatu organisasi menjadi anggota partai. Kedua, tumpang tindih keanggotaan. Tumpang tindih keanggotaan maksudnya disini adalah sejauh mana daya lingkup keanggotaan organisasi dalam keanggotaan partai. Tumpang tindih keanggotaan ini bisa parsial ataupun juga total. Tumpang tindih keanggotaan parsial dikatakan apabila keanggotaan organisasi kolateral di partai hanya menjangkau sebagian saja. Sedangkan tumpang tindih keanggotaan parsial dikatakan apabila keanggotaan organisasi kolateral sepenuhnya terintegrasi total dalam keanggotaan partai. Ketiga, hak keanggotaan. Hak keanggotaan ini adalah seperti apa bentuk hak organisasi kolateral di partai. Dalam bentuk hak keanggotaan individu, hak 15 anggota organisasi kolateral di partai bersifat individu. Sementara dalam bentuk hak keanggotaan kolektif, hak anggota organisasi kolateral di partai dilihat secara kolektif. Keempat, jenis relasi. Jenis relasi ini merupakan sifat relasi yang dibangun oleh organisasi kolateral dengan partai. Jenis relasi ini dibagi dua; informal dan forma. Dalam model informal, relasi organisasi kolateral dibangun dengan partai tanpa kerangka formal yang mengaturnya. Sepanjang keduanya saling berbagi dalam suatu kesepakatan, memiliki kesamaan politik, hubungan negoisasi yang lebih kurang permanen dapat dipertahankan yang memungkinkan pertukaran janji kebijakan dengan dukungan. Pada relasi ini ada semacam prinsip mekanisme yang dilakukan organisasi kolateral, berupa reaksi yang bisa digunakan untuk menekan elit partai. Melalui tekanan itu, elit-elit partai perlu yakin bahwa organisasi kolateral mampu menggerakkan atau menjaga dukungan elektoral yang berdasarkan pada apakah konsesi kebijakan yang dikehendaki diberikan atau tidak. Kekuatan relatif dari keduanya sangat bergantung pada konteks politik.19 Kemudian model relasi formal. Dalam model formal, relasi organisasi kolateral dengan partai terjalin dengan kerangka aturan yang telah disepakati bersama. Dalam beberapa kasus ada juga sebuah keterwakilan yang proporsional atas keanggotaan organisasi kolateral didalam satu atau beberapa badan pengambilan keputusan partai politik. Hal ini membuat perubahan relasi yang lebih dapat diprediksi dan lebih terukur waktunya karena terdapat ambang batas yang tinggi untuk mengakhiri hubungan tersebut. Pengakhiran hubungan tersebut tidak hanya mensyaratkan perubahan aturan formal, yang biasanya mencampuri halangan 19 Loc. 16 prosedural yang spesifik seperti mayoritas yang memenuhi syarat, ia juga akan juga mewakili sebuah pernyataan politik yang eksplisit mengenai hubungan bersangkutan. Perihal ini hanya mungkin terjadi jika kedua mitra setuju bahwa kelanjutan sebuah relasi yang eksklusif tidak bermanfaat, atau salah satu mitra memutuskan bahwa yang lainnya tidak lagi dibutuhkan. Dalam banyak kasus hal itu sangat mungkin menjadi gerakan politik, yang berarti bahwa relasi formal antara organisasi umumnya akan melewati fase-fase relasi yang tegang. Jelasnya relasi yang berdasar pada ikatan organisasi formal lebih terukur waktunya, stabil dan efektif daripada relasi yang tidak formal dan ini yang membuatnya secara nyata bernilai untuk elit-elit partai politik. Namun bagaimana pun juga disisi lain terdapat sebuah kerugian : ikatan organisasi yang kuat kepada organisasi kolateral yang powerfull akan membatasi kebebasan elit-elit partai untuk melakukan manuver-manuver politik.20 Kelima, kontrol partai terhadap organisasi kolateral. Bagian ini merupakan salah satu dimensi penting relasi partai dengan organisasi kolateral. Kontrol partai terhadap organisasi kolateral merupakan kemampuan partai mengontrol organisasi kolateral berdasarkan kebijakan yang diinginkan partai. Dalam perspektif partai kontrol partai terhadap organisasi kolateral merupakan aspek penting otonomi selain kendali atas sumber daya keuangan.21 Kontrol partai terhadap organisasi kolateral ini bisa dikategorikan rendah, tinggi dan sangat tinggi. Dalam kontrol partai yang rendah, partai tidak mampu mengontrol organisasi kolateral sesuai dengan keinginannya. Dalam situasi ini, bisa saja justru organisasi kolateral yang 20 Loc.cit. Panebianco, Angelo (1988) Political Parties: Organization and Power, Cambridge: Cambridge University Press 21 17 mempunyai kontrol yang kuat terhadap partai seperti yang terjadi dalam kasus Partai Buruh dan Serikat Buruh di Inggris. Dalam kontrol partai yang tinggi, partai relatif mempunyai kekuatan yang kuat dalam mempengaruhi otonomi organisasi kolateral. Kemudian, kontrol partai yang sangat tinggi terjadi bila partai mampu mengontrol penuh organisasi kolateral. Model ini terjadi apabila organisasi kolateral terintegrasi penuh dalam struktur partai. Keenam, pengaruh organisasi kolateral terhadap partai. Berkebalikan dengan dimensi kelima, pengaruh organisasi kolateral merupakan kemampuan organisasi kolateral dalam mengontrol partai. Artinya, dalam perspektif partai, pengaruh organisasi ini berhadapan dengan otonomi partai. Pengaruh organisasi kolateral ini bisa dikategorikan ; bervariasi dan tinggi ke sangat tinggi. Dalam pengaruh organisasi kolateral yang bervariasi apabila pengaruh organisasi kolateral terhadap partai bervariasi dalam berbagai hal. Misalnya, pengaruh organisasi kolateral ini bisa kita cermati dalam mempengaruhi kebijakan partai dalam isu tertentu. Kemudian dalam konteks politik internal partai, pengaruh organisasi kolateral ini juga dilihat dari komposisi representasi anggota organisasi kolateral dalam badan pengambilan keputusan partai (struktur kepengurusan partai). Sementara itu pengaruh organisasi kolateral dikatakan tinggi ke sangat tinggi apabila organisasi kolateral mampu memberikan kontrol yang luas terhadap partai. Ketujuh, jenis kepentingan yang paling sering. Jenis kepentingan yang paling sering ini dikategorikan dua ;internal dan eksternal. Kepentingan eksternal dikatakan apabila kepentingan politik yang terorganisir di organisasi kolateral telah ada secara independen dan dalam banyak kasus sebelum partai politik. 18 Kepentingan eksternal ini umumnya terkait dengan pembilahan sosial sekonomi klasik, yang lain terkait dengan agenda politik baru. Misalnya kepentingan kelas pekerja yang terorganisir dalam serikat pekerja, kepentingan agraria, kepentingan keagamaan, kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologi. Umumnya, pondasi relasi partai telah terjalin dengan organisasi berdasarkan kepentingan eksternal itu. Kemudian kepentingan internal dikatakan apabila diciptakan melalui kegiatan organisasi partai. Berdasarkan ketujuh dimensi relasi tersebut Poguntke mengklasifikasi organisasi kolateral dalam empat jenis organisasi kolateral yaitu : Pertama, Organisasi Kolateral Independen. Pada tipe keanggotaannya, organisasi kolateral ini mendadopsi bentuk individual. Setiap anggota organisasi kolateral dibebaskan untuk memilih menjadi anggota partai, sehingga tumpang tindih keanggotaanya masuk kategori parsial karena hanya sebagian anggota organisasi kolateral yang menjadi anggota partai. Hak keanggotaan organisasi kolateral di partai bersifat individual. Pada organisasi kolateral ini, relasi antara partai dan organisasi berlangsung secara alamiah, dimana organisasi kolateral tidak bergantung kepada partai politik, namun menjadi organisasi yang dekat dengan partai. Organisasi kolateral model ini tidak memiliki ikatan formal dengan partai. Relasi eksklusif mereka dengan sebuah partai yang spesifik (basis politik) terletak pada pemahaman yang sama terkait kepentingan yang umum. Meskipun tidak ada garansi akses untuk organisasi kolateral pada pengambilan keputusan partai, model interaksi organisasi ini menunjukkan organisasi kepentingan dengan 19 tingkat otonomi maksimum. Kontrol partai relatif lemah terhadap organisasi kolateral dalam model ini. 22 Tabel 2. Deskripsi Karakteristik Organisasi Kolateral Independen No. Variabel Karakteristik 1. Jenis Keangggotaan Individual 2. Tumpang Tindih Keanggotaan Parsial 3. Hak Anggota Individual 4. Jenis Hubungan Informal 5. Kontrol Partai Terhadap Organisasi Rendah 6. Pengaruh Organisasi terhadap Partai Bervariasi 7. Jenis Kepentingan Eksternal Kedua, Organisasi Kolateral Korporat. Organisasi kolateral model ini merupakan jenis organisasi yang menjalin relasi yang paling kuat dengan partai.23Relasi antara keduanya bersifat formal. Meski anggota organisasi kolateral dibebaskan memilih untuk ikut tidaknya sebagai anggota partai, keterlibatan keanggotaan secara kolektif dari anggota-anggota organisasi kolateral di dalam satu partai dapat mengontrol secara luas partai itu. Peran elit-elit organisasi kolateral di partai sangat kuat dengan keanggotaan kolektif tersebut. 22 23 Poguntke, Op.Cit., hal 398. Loc.cit. 20 Pengaruh organisasi kolateral ini yang tinggi terhadap partai, sedangkan pada sisi lain kontrol partai terhadap organisasi kolateral ini rendah.24 Tabel 3. Deskripsi Karakteristik Organisasi Kolateral Korporat No. Variabel Karakteristik 1. Jenis Keangggotaan Kolektif 2. Tumpang Tindih Keanggotaan Parsial 3. Hak Anggota Kolektif 4. Jenis Hubungan Formal 5. Kontrol Partai Terhadap Organisasi Rendah 6. Pengaruh Organisasi terhadap Partai Tinggi ke sangat tinggi 7. Jenis Kepentingan Eksternal Ketiga, Organisai Kolateral Afiliasi. Model ini merupakan model klasik sub-organisasi yang dibentuk partai. Organisasi ini dibentuk sebagai bagian dari strategi partai dalam menjangkau segmen masyarakat yang berasal dari pembilahan tertentu (seperti kelompok pemuda, perempuan, keagamaan atau etnik minoritas). Secara teknis umumnya model ini merupakan organisasi independen yang menjalin relasi dengan partai. Pemimpin organisasi ini secara ex officio menjabat pada struktur kepemimpinan partai. Tipe keanggotaannya yang parsial dipandang overleap, yang mengindikasikan organisasi kolateral dapat saja mencapai konstituen alami partai mereka, meskipun pengaruhnya bervariasi. Derajat otonomi organisasi berada pada level minimum dari model yang lain. 24 Loc.cit. 21 Sehingga kontrol partai politik terhadap organisasi kolateral model ini sangat tinggi.25 Tabel 4. Deskripsi Karakteristik Organisasi Kolateral Afiliasi No. Variabel Karakteristik 1. Jenis Keangggotaan Individual 2. Tumpang Tindih Keanggotaan Parsial 3. Hak Anggota Individual 4. Jenis Hubungan Formal 5. Kontrol Partai Terhadap Organisasi Tinggi 6. Pengaruh Organisasi terhadap Partai Bervariasi 7. Jenis Kepentingan Internal Keempat, Organisasi Kolateral Pendukung. Organisasi kolateral model ini menyatu secara penuh dengan struktur utama partai dan tidak memiliki keanggotaan yang independen. Semua anggota organisasi kolateral mesti juga harus jadi anggota partai tersebut. Pengaruh organisasi kolateral terhadap partai sangat bervariasi, tergantung sejauh mana elit-elit organisasi kolateral menempati posisi kunci di partai. Disisi lain partai mempunyai kendali penuh terhadap organisasi kolateral. Model ini tidak sesuai dengan tujuan partai yang berupaya memperluas jangkauan pemilih. Namun dalam hal kemampuan mengendalikan 25 Loc.cit. 22 organisasi kolateral model ini dapat mengikat seluruh anggotanya melalui disiplin partai. Tabel 5. Deskripsi Karakteristik Organisasi Kolateral Pendukung No. Variabel Karakteristik 1. Jenis Keangggotaan Individual 2. Tumpang Tindih Keanggotaan Total 3. Hak Anggota Individu 4. Jenis Hubungan Formal 5. Kontrol Partai Terhadap Organisasi Sangat tinggi 6. Pengaruh Organisasi terhadap Partai Bervariasi 7. Jenis Kepentingan Internal Selain mengidentifikasi dimensi relasi dan jenis organisasi kolateral, dari Tabel 1. Poguntke sebelumnya, kita dapat melihat karakteristik yang mirip dalam beberapa dimensi relasi organisasi kolateral. Pertama, tipe keanggotaan. Dalam tipe keanggotaan Organisasi Kolateral Independen, Afiliasi dan Pendukung memiliki karakteristik yang sama. Kedua, tumpang tindih keanggotaan. Dalam tumpang tindih keanggotaan Organisasi Kolateral Independen, Korporat dan Afiliasi memiliki karakteristik yang sama. Ketiga, hak keanggotaan. Dalam hak keangotaan Organisasi Kolateral Independen, Afiliasi dan Pendukung memiliki karakteristik yang sama. Keempat, jenis relasi. Dalam jenis relasi Organisasi Kolateral Korporat, Afiliasi dan Pendukung memiliki karakteristik yang sama. 23 Kelima, kontrol partai terhadap organisasi. Dalam kontrol partai terhadap organisasi, Organisasi Kolateral Independen dan Korporat memiliki karakteristik yang sama. Keenam, pengaruh Organisasi Kolateral di Partai. Dalam hal pengaruh Organisasi Kolateral di Partai, Organisasi Kolateral Independen, Afiliasi dan Pendukung memiliki karakteristik yang sama. Ketujuh, jenis kepentingan. Dalam jenis kepntingan, Organisasi Kolateral Independen dan Korporat memiliki karakteristik yang sama. Sementara Organisasi Kolateral Afiliasi dan Pendukung memiliki karakteristik yang sama. Banyaknya irisan karakteristik yang sama dari jenis organisasi kolateral di atas sangat terkait dengan sejarah pembentukan dan sistem politik yang diterapkan. G. Metode Penelitian 1. Pemilihan Metode Dalam penelitian ini, penulis memakai jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif ini diharapkan dapat menjelaskan fenomena yang ada secara tertulis dan jelas. Hal ini juga diharapkan mampu melihat lebih dalam obyek yang penulis teliti. Metode yang telah penulis gunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus ini menurut penulis dapat mendeskripsikan seluruh data-data hasil penelitian secara jelas. Dimana keseluruhan data diperoleh dari multi sumber informasi seperti wawancara, observasi, pelbagai dokumen, dan material audiovisual. Berbagai aspek yang dicatat Creswel, dari aspek-aspek studi kasus, mengikuti paparan Lincoln dan Guba‟s (1985) mengenai struktur studi kasus 24 yakni, “permasalahan, konteks, isu-isu dan pelajaran yang dapat dipetik.26 Studi kasus berlaku apabila pertanyaan „bagaimana‟ (how) dan „mengapa‟ (why) diajukan terhadap seperangkat peristiwa masa kini yang mustahil atau sukar dikontrol periset.27Pertanyaan pokok penulis yang memakai „bagaimana‟ sesuai dengan model ini. Merujuk pada aspek pemilihan kasus sebagai objek penelitian, sedikitnya ada tiga macam studi kasus yang selama ini dikembangkan oleh para periset kualitatif, yaitu intrinsic case study, instrumental case study, dan collective case study. Studi kasus disini lebih cocok dengan intrinsic case study yang mana jenis ini dilakukan untuk memahami secara lebih baik suatu kasus tertentu dengan alasan periset ingin mengetahuai secara intrinsik fenomena, keteratuaran, dan kekhususan kasus, bukan alasan eksternal lainnya.28 Metode studi kasus ini mempunyai kelebihan dalam mengungkap banyak hal detail yang tidak terungkap metode lain. Namun pada sisi lain juga dianggap mempunyai kelemahan dalam hal validitas, reliabilitas, dan generalisasi temuan. Isu validitas menyangkut dengan tingkat keabsahan objek studi dalam mewakili kelompok kasus-kasus yang lain karena umumnya objek yang diteliti sedikit bahkan juga tunggal. Isu realibilitas berkenaan dengan tingkat kesahihan hasil yang diperoleh apabila studi yang sama diulang pada kasus lain di tempat dan waktu yang lain. Sedangkan generalisasi bersinggungan dengan tingkat 26 Septiawan Santana K. “Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif”. Yayasan Obor : Jakarta. 2007. Hal.105 27 Agus Salim, MS, “ Teori & Paradigma Penelitian Sosial”,, Tiara Wacana : Semarang. 2006. Hal 118. 28 Ibid., hal 119. 25 kemampuan teorisasi temuan dan penerapannya pada populasi yang serupa ditempat lain.29 2. Unit Analisis Data Subyek atau unit of analysis dari penelitian ini adalah KOSGORO 1957 di tingkat pusat. Obyek dari penelitiaanya adalah relasi KOSGORO 1957 dengan Partai Golkar. Sub-unit analysis meliputi aktor-aktor di KOSGORO 1957 dan Pengurus Partai Golkar. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data melalui kombinasi wawancara dan dokumentasi. Keduanya merupakan cara yang bisa digunakan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Wawancara menjadi perangkat penting untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini. Dalam melakukan wawancara ini, penulis menyiapkan daftar pertanyaan yang penulis anggap pertanyaan ini dapat memberikan data yang dibutuhkan. Disamping itu penulis juga telah mewancarai obyek yang diteliti dengan model wawancara alamiah-informal yang maksudnya penulis mengembangkan pertanyaan secara sepontan selama terjadinya percakapan dengan obyek.30 Sebagai narasumber utama, penulis telah mewancarai Syamsul Bachri (Sekjen PPK KOSGORO 1957 sekaligus juga Wasekjen DPP Partai Golkar), Rambe Kamarulzaman (Ketua PPK KOSGORO 1957 sekaligus juga Ketua DPP 29 30 Ibid., hal 124-125. Ibid., hal 17 26 Partai Golkar Bidang Ormas) dan Isdijono ( PPK KOSGORO 1957), Bambang Soesatyo (Bendahara Umum Partai Golkar yang juga PPK KOSGORO 1957), Riyono Asnan (Wasekjen Bidang Organisasi Partai Golkar sekaligus juga PPK KOSGORO 1957) dan Zulfikar AS (Wasekjen Bidang Pendidikan Partai Golkar). Selain itu sebagai narasumber tambahan, penulis juga mewancarai M. Najib Saleh (Ketua PDK KOSGORO 1957 DIY) dan Marzuki Simatupang (Ketua PDK KOSGORO 1957 Kabupaten Tulungagung). Penulis memilih narasumber ini karena dipandang mengetahui dan memiliki peran penting terhadap obyek yang penulis teliti. Hasil wawancara ini menjadi data primer bagi penulis dalam menyusun hasil penelitian ini. Kemudian, untuk memperkuat data dari hasil wawancara maka diperlukan dokumentasi. Dokumentasi menjadi data penting penulis untuk melihat catatan sejarah masa lalu obyek yang diteliti. Buku-buku yang membahas obyek yang diteliti serta dokumen-dokumen yang lain sebagai penunjang penyusunan hasil penelitian. 4. Analisis Data Dalam hal menganalisis data yang penulis dapatkan, langkah pertamanya adalah mengumpulkan data wawancara dalam bentuk transkrip, serta merapikan dokumen-dokumen yang didapatkan dari proses dokumentasi. Kemudian transkrip wawancara yang berisi jawaban-jawaban ini akan dipilah menurut kategori informan, yang dikategorikan sesuai dengan pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian. Jawaban-jawaban inilah kemudian diinterpretasikan dan diparalelkan 27 dengan teori yang ada. Dari sinilah kesimpulan diambil mengenai jawaban terhadap rumusan masalah. Dalam kesimpulan yang disusun, penulis menjelaskan pola relasi Partai Golkar dengan KOSGORO 1957. Hal ini diteliti dengan memperhatikan relasi timbal balik Partai Golkar dengan KOSGORO 1957. Kemudian diambil proposisi Partai Golkar dalam menjalankan fungsi intermediasinya sebagai partai catch-all menjalin relasi dengan KOSGORO 1957. Selanjutnya juga diambil proposisi KOSGORO 1957 sebagai organisasi kolateral mempunyai relasi dengan partai dengan tipe relasi tertentu. H. Sistematika Bab Bab I merupakan pendahuluan, yang akan membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, definisi konseptual, dan metodologi. Bab ll akan menganalisis dan menjelaskan tentang bagaimana dinamika relasi Golkar dan KOSGORO serta dan karakteristik relasinya dimasa Soeharto. Bab lll menjelaskan tentang bagaimana dinamika Partai Golkar dan KOSGORO dimasa transisi Post-Soeharto. Bab lV akan menganalisis dan menjelaskan karakteristik relasi Partai Golkar dengan KOSGORO 1957 serta faktor-faktor yang mempengaruhiya 28 Bab V merupakan kesimpulan akhir dari skrispi ini. Bagian ini akan menjawab rumusan masalah di bagian awal serta masukan teoritis terhadap relasi Partai Politik dengan Organisasi Kolateral dalam konteks relasi Partai Golkar dengan KOSGORO 1957. 29