Telaah Buku Judul Buku : Judul Asli Penulis Penerjemah Penerbit Tebal : : : : : Jesus of Nazareth, From the Baptism in the Jordan to the Transfiguration Jesus von Nazareth Joseph Ratzinger (Paus Benedictus XVI) Adrian J. Walker Double Day, New York 2007 xxiv + 374 halaman dengan indeks Pendapat Romano Guardini menjadi konteks kita memahami buku yang ditulis oleh Paus Benedictus XVI ini. Guardini berpendapat bahwa tidak lagi ada sesuatu yang “baru” di dalam pemahaman akan Kristus maupun di dalam teori kristologis.1 Jikalau muncul gagasan baru berkenaan dengan kehidupan Yesus yang dihasilkan oleh temuan historis-arkeologis,2 hal tersebut tidaklah berarti banyak. Hal tersebut hanyalah menstimulasi refleksi atas misteri Allah “yang tersembunyi dari abad ke abad dan dari turunan ke turunan, tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya...” (Kol 1:26). Buku Paus Benedictus XVI yang berjudul “Yesus dari Nazareth” adalah sejenis buku kristologi yang hendak menghaturkan kepada sidang pembaca refleksi atas pertanyaan “Siapakah Yesus itu?” Buku ini mengangkat tema bahwa jawaban atas pertanyaan itu baik yang berasal dari citra diri Yesus secara historis maupun secara iman adalah satu hal yang utuh. Khazanah teologis yang menjadi kerangka pikir untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah refleksi para teolog masa 1930-an sampai 1940-an (Karl Adam, Romano Guardini, F.M. William, G. Papini, H.D. Rops) (hlm. xi). Paus bertujuan menghadirkan kembali “potret” utuh Yesus sejauh disampaikan oleh Injil (hlm. xiv). Tujuan ini dilatarbelakangi oleh gagasan bahwa penerapan yang berlebihan hasil kajian Yesus historis dengan menggunakan metode historis-kritis dapat merusak “potret” Yesus (hlm. 85). Karena itu, Paus menyarankan agar bentuk-bentuk penafsiran Yesus historis-kritis mengindahkan arahan yang diberikan oleh ensiklik Divino Afflante Spiritu (1943), ensiklik konsili Vatikan II Dei Verbum, dokumen the Interpretation of the Bible in the Church (1993), dan dokumen the Jewish People and Their Sacred Scriptures in the Christian Bible (2001). 1 2 Romano Guardini, The Lord, London: Longmans, 1956, vi. Bdk. E.P. Sanders, Jesus in historical context, Theology Today 50:3 (October 1993), 429. Telaah Buku 211 Paus tidak bermaksud masuk ke dalam debat metode historis-kritis (hlm. 365). Ia mengajak sidang pembaca untuk menerima penafsiran Kitab suci hasil metode historis-kritis secara arif. Bentuk kearifan itu ditunjukkan dengan mengindahkan juga menerima kriteria penalaran historis. Kriteria penalaran historis memasukkan nilai penting pengalaman personal orang-orang yang dikisahkan dalam Kitab suci saat “bergaul” dengan Allah. Pengalaman “bergaul” dengan Allah yang diendapkan dan direnungkan serta diteruskan inilah yang membawa manusia kepada “aktor” dibalik semua pengalaman hidup historis manusia, yaitu: Allah. Pemahaman di atas memberi kerangka bagaimana Paus secara menyakinkan menegaskan bahwa “potret” Yesus yang ditampilkan adalah potret utuh sebagaimana Ia dulu hidup (hlm. xxiii) walaupun metode historis-kritis menyatakan bahwa kitab-kitab Perjanjian baru berasal dari lapisan-lapisan Tradisi jemaat perdana,“Potret” Yesus iman yang ditampilkan oleh Flp 2:6-11 dan yang diramalkan oleh Yes 45:23 memang benar-benar potret Yesus yang dialami dalam pengalaman hidup para murid. Metodologi penulisan yang dilakukan oleh Paus meninjau ulang pokok gagasan tahun 1950-an (hlm. xi). Saat itu, rekonstruksi historis-kritis atas lapisan Tradisi dalam penyusunan Injil mengakibatkan potret Yesus manusia (yang adalah objek iman) menjadi kabur. Banyak kajian “Yesus historis” yang menghasilkan kesimpulan bahwa Yesus yang diwartakan di dalam Injil adalah Yesus iman saja bukan Yesus manusia. Menurut Paus, kesimpulan ini membahayakan hidup iman orang-orang kristen karena iman kristen berlandaskan kepada persahabatan mesra para murid dengan Yesus yang hidup pada masa dan tempat tertentu (hlm. xii). Apalah artinya iman kepada Yesus sebagai Kristus, kepada Yesus sebagai Putra Allah yang hidup, jika Yesus manusia berbeda dengan Yesus iman sebagaimana digambarkan oleh para penginjil dan diwartakan oleh Gereja? Persahabatan mesra dengan Yesus yang hidup itulah yang sebenarnya melahirkan keyakinan para murid bahwa kehadiran-Nya membawa keselamatan. Pengenalan intim dan mendalam para murid atas Yesus manusialah yang membawa keyakinan kepada mereka bahwa Yesus adalah Juru selamat (hlm. xiv). Paus mengutarakan bahwa ada empat elemen yang harus diperhatikan dalam membuat penafsiran alkitabiah atas “potret” Yesus, yaitu: line of development, growth of tradition, sense of the word, coherency (keutuhan dan kepaduan dengan keseluruhan pesan Injil). Keempat elemen itu harus diperhatikan karena terbentuknya kitabkitab Perjanjian baru ada di dalam komunitas dan untuk kepentingan komunitas 212 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 7 No. 2, Oktober 2007 kristiani (hlm. xx). Dengan mengindahkan keempat elemen tersebut, seorang penafsir menghargai nilai penting historical datum dan theological datum secara seimbang. Penafsiran yang mengindahkan baik historical datum dan theological datum menjadikan kalimat-kalimat Kitab suci sebagai benih yang membutuhkan tantangan baru, pengalaman baru atau penderitaan baru dalam zaman para pembacanya demi pertumbuhannya. Elemen line of develompent dan growth of tradition digali melalui metode historis-kritis. Metode ini menempatkan kejadian-kejadian dalam Kitab suci sebagai kejadian sejarah (historical datum) yang membentuk iman kristen. Namun, metode ini tetap memiliki keterbatasan, yaitu: apapun yang dihasilkan oleh metode ini selalu bersifat hipotesis. Elemen sense of the word ditemukan dengan mengadakan refleksi atas “muatan” yang dibawa oleh kata yang menyatakan hidup Yesus dalam konteksnya.Namun, penafsir tidak boleh berhenti di “penemuan” atau “penggalian” makna kata karena penafsiran Kitab suci bukan sekedar pelajaran tata bahasa. Akhirnya, apapun yang ditemukan dalam ketiga elemen di atas harus disandingkan dengan maksud menemukan keterpaduan (coherency) makna kata dalam keseluruhan pesan Injil (theological datum) sebagaimana dikatakan oleh Dei Verbum art. 12 (hlm. xviii). Buku ini terdiri atas satu bab pengantar dan sepuluh bab isi yang memuat “potret” Yesus dalam baptisan di sungai Yordan, penggodaan, warta Injil kerajaan Allah, kotbah di bukit, doa Tuhan, para murid, pesan dari perumpamaan-perumpamaan,gambaran-gambaran dalam injil Yohanes, dua peristiwa penting dalam kehidupan Yesus, dan penyataan jati diri Yesus. Paus memulai refleksinya dengan pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya ditawarkan oleh agama? Agama menawarkan cara untuk membuka selubung yang membatasi antara dunia insani yang terbatas dan dunia ilahi yang tak berbatas (hlm. 1). Tokoh-tokoh agama sejauh ada hanya mampu sampai ke langkah menunjukkan jalan menuju ke keilahian. Sejauh dicatat dalam Kitab suci hanya tokoh Musa yang dikatakan pernah melihat Tuhan dari muka-ke-muka. Misteri Yesus dalam Yoh 1:18 (hlm.6) adalah penggenapan ramalan mengenai akan datangnya “Musa yang baru” (Ul 18:15) (hlm. 2) yang seperti Musa telah dikenal Tuhan dengan berhadapan muka (bdk. Ul 34:10) (hlm. 3). Karena itu, Paus menegaskan bahwa pengajaran Yesus bukanlah hasil dari kecakapan manusiawi saja (hlm. 7) melainkan hasil dari relasi mesra-Nya dengan Bapa yang Ia lihat dari-muka-ke-muka. Baptisan di sungai Yordan adalah kunci pembuka untuk memahami nilai unggul pribadi Yesus. Refleksi atas baptisan Yesus di sungai Yordan oleh para murid menyingkap jati diri yang menghantar orang kepada Telaah Buku 213 pemahaman bahwa adalah dimungkinkan jika Yesus melihat Allah dari muka-ke-muka karena Yesus adalah Putra Allah. Penggodaan Yesus di padang gurun dapat diterima sebagai kesimpulan dari semua godaan yang diterima oleh manusia, yakni: godaan kekuasaan, kekayaan, dan kenikmatan. Namun sebenarnya godaan ini mempunyai akar dalam bentuk kesangsian akan keberadaan Allah di dalam manusia. Apakah Allah benar-benar ada? Pertanyaan si Jahat menyatakan Allah tidak ada; kemanusiaanlah yang sebenarnya adalah Allah bagi manusia. Namun jawaban Yesus menegaskan bahwa Allah hadir dan hidup dalam kehidupan manusia. Segala kuasa Allah di surga dan dibumi (Mat 28:18) ada dalam kehidupan dan diri Yesus. Ia membawa Allah yang diwartakan oleh Abraham, Musa, dan Nabi-nabi (hlm. 44). Allah adalah kebaikan sejati manusia (hlm. 45). Pengajaran yang diberikan oleh Yesus adalah wujud kebaikan Allah. Kerajaan Allah adalah saat ketika kebaikan itu menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengajaran Yesus adalah saat kehadiran Kerajaan Allah dalam kehidupaan setiap insan dan dalam kehidupan Gereja yang meneruskan karya Yesus. Kotbah di bukit membuka jati diri Yesus (hlm. 99). Kesadaran akan ke-Allah-an-Nya membuat Yesus membawa hukum Kristus yang isinya adalah kebebasan anak-anak Allah. Perintah mengikut Dia dijadikan saat sadar bahwa Ia adalah sang Pembuat hukum itu sendiri (hlm. 112). Hukum perkerabatan tidak lagi dibatasi oleh perkerabatan alamiah melainkan perkerabatan di dalam keluarga Allah. Pada saat itu, Yesus menggenapi nubuat Musa dalam Ul 18:15: “Seorang nabi dari tengahtengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh Tuhan, Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan”. Doa Bapa kami memaklumkan jawaban atas pertanyaan: “siapakah Yesus itu?” (hlm.128). Doa itu berisi dialog antara Bapa dan Putera (hlm. 182). Karena relasi ini, kita tahu siapakah Bapa. Yesus menghadirkan jati diri Bapa-Nya dalam perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati (Luk 10:25-37), perumpamaan Dua Saudara (Anak yang Hilang dan SaudaraNya yang tetap di rumah) dan Bapa yang Baik (Luk 15:11-32), dan perumpamaan Orang yang kaya dan Lazarus yang miskin (Luk 16:19-31). Paus menawarkan Injil Yohanes sebagai contoh keterpaduan historical datum dan theological datum. Keterpaduan ini dapat dilihat dari lima unsur yang membentuk kesatuan-utuh Injil ini (hlm. 229): pokok pemikiran teologis si penginjil, kenangan / ingatan personal, Tradisi Gereja, realita historis bimbingan Roh kudus. 214 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 7 No. 2, Oktober 2007 Unsur kedua (kenangan/ingatan personal) dan keempat (realita historis) adalah penyusun fakta sejarah (factum historicum) (hlm. 230). Fakta sejarah ini menentukan arti literer dari teks. Fakta ini adalah unsur eksternal dari peristiwa yang dikisahkan dalam teks. Dalam hal ini, penginjil berperan sebagai saksi: “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup – itulah yang kami tuliskan kepada kamu” (1Yoh 1:1). Unsur kedua (ingatan personal) bukan cuma proses psikologis atau intelektual saja sang penginjil saja. Ingatan ini berkembang menjadi ingatan jemaat ini pada saat sang menginjil menyebut dirinya sebagai “kami”. Dalam konteks ini maka unsur ketiga (Tradisi) mempunyai nilai penting. Ingatan jemaat ini menyatakan juga pengakuan bahwa unsur kelima (bimbingan Roh kudus) menjadi penggerak peristiwa. Roh kudus ikut bekerja agar jemaat hidup dalam Roh dan kebenaran (hlm. 234). Peristiwa mukjizat di Kana menyakinkan jemaat akan berlimpah-limpahnya karunia Roh bagi kehidupan jemaat Perjanjian baru (hlm. 252). Lebih lanjut, pernyataan Petrus: “Engkau adalah Kristus” adalah pernyataan verbal iman jemaat akan jati diri Yesus (hlm. 298). Ia adalah sang Nabi, yang seperti Musa berbicara dari muka-ke-muka dengan Allah. Ia adalah sang Mesias yang bukan sekedar pembawa warta keselamatan Allah, melainkan juga adalah warta keselamatan itu sendiri (hlm. 304). Peristiwa Transfigurasi Yesus dalam kesatuan dengan peristiwa salib adalah pernyataan keilahian (hlm. 305). Itulah saat kemuliaan Allah dinyatakan kepada mereka (teofani). Itulah saat ketika mereka yakin bahwa daya kekuatan penyelamatan Kerajaan Allah ada dalam diri Yesus (hlm. 317). Itulah saat ketika para murid mengenal Yesus sebagai Kristus (Mesias), Tuhan (Kyrios), dan Anak Allah (hlm. 319). Buku ini sebaiknya dibaca oleh siapa pun yang berminat dalam kajian aktual bidang kristologi. Buku ini adalah hasil permenungan Paus yang berusaha mempertanggungjawabkan isi imannya di hadapan orang-orang zaman sekarang. Melalui buku ini, Paus menyakinkan sidang pembaca bahwa Yesus historis dan Yesus iman adalah satu realita utuh dalam pribadi yang kita kenal melalui kitab-kitab Perjanjian Baru. Buku ini memperkaya khazanah buku teologi-kristologi dari sudut pandang jati diri Yesus Sang Nabi yang diramalkan. Untuk melengkapi sudut pandang kajian Yesus historis ini, para pembaca juga perlu menelaah sudut pandang yang lain, misalnya: Yesus mitis: Kristus surgawi (oleh Earl Doherty, Timothy Freke dan Peter Gandy) Yesus mitis: Manusia yang kekal dan tidak berawal (oleh Alvar Ellegard, G. A. Wells) Yesus sang Pahlawan hellenis (oleh Gregory Riley) Telaah Buku 215 Yesus sang Revolusioner (oleh Robert Eisenman) Yesus sang Bijak (oleh John Dominic Crossan, Robert Funk, Burton Mack, Stephen J. Patterson) Yesus sang Manusia dalam kuasa kepenuhan Roh (oleh Marcus Borg, Stevan Davies, Geza Vermes) Yesus sang Nabi perubahan sosial (oleh Richard Horsley, Hyam Maccoby, Gerd Theissen) Yesus sang Nabi apokaliptis (oleh Bart Ehrman, Paula Fredriksen, Gerd Lüdemann, John P. Meier, E. P. Sanders) Yesus sang Penyelamat (oleh Luke Timothy Johnson,Robert H. Stein,N. T. Wright). A. Denny Firmanto 216 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 7 No. 2, Oktober 2007