BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, TINDAK PIDANA KESUSILAAN, EKSIBISIONISME, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA 2.1 Tindak Pidana 2.1.1 Pengertian Tindak pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit atau delict, dalam bahasa Indonesia disamping istilah Tindak Pidana untuk terjemahan strafbaar feit atau delict sebagaimana yang dipakai oleh R. Tresna dan Utrecht dalam buku C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil dikenal juga beberapa terjemahan yang lain seperti Perbuatan Pidana, Pelanggaran Pidana, Perbuatan yang boleh di hukum atau Perbuatan yang dapat dihukum.43 Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan istilah strafbaar feit adalah: 43 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, PT Pradnya Paramitha, Jakarta, h.37. 28 29 1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan. Hampir seluruh peraturam perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. 2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya MR. R Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana. Pembentukan perundangundangan juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 dalam Pasal 14 Ayat 1. 3. Delik, berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. 4. Pelanggaran Pidana, dapat dujumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja. 5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya yang berjudul “Ringkasan Tentang Hukum Pidana”.44 Perumusan strafbaar feit adalah perbuatan yang dilarang undang-undang atau yang diancam dengan hukum. Moeljatno mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tertentu.45 44 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 67. 45 Moeljatno, op.cit, h. 59. 30 Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.46 Marshall dalam buku Andi Hamzah mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana bersadarkan prosedur hukum yang berlaku.47 Bersadarkan beberapa pendapat para sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukan. 2.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Sudut teoritis ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusan sedangkan sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada. Berikut unsur tindak pidana menurut beberapa pendapat para Ahli Hukum dalam bukunya Roeslan Saleh: 1. Unsur tindak pidana menurut Moeljatno, meliputi unsur perbuatan, yang dilarang (oleh aturan hukum), ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). 46 Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Roeslan Saleh I), h.13. 47 Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 89. 31 2. Unsur tindak pidana menurut R. Tresna, meliputi perbuatan/rangkaian perbuatan, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, diadakan tindakan penghukuman. 3. Unsur tindak pidana menurut Vos, meliputi kelakuan manusia, diancam dengan pidana, dalam peraturan Perundang-Undangan. 4. Unsur tindak pidana menurut Jonkers (menganut paham monisme), meliputi perbuatan, melawan hukum, kesalahan, dipertanggungjawabkan. 5. Unsur tindak pidana menurut Schravendijk, meliputi kelakuan, bertentangan dengan keinsyafan hukum, diancam dengan hukuman, dilakukan oleh orang dipersalahkan/kesalahan.48 Berikut unsur tindak pidana dari sudut undang-undang: 1. Unsur Tingkah Laku Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif (handelen) juga dapat disebut perbuatan materiil (materiil feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (natalen). Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerak atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh yang seharusnya seseorang itu dalam keadaan tertentu, harus melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak 48 Ibid. 32 berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena melaksanakan kewajiban hukumnya. 2. Unsur Sifat Melawan Hukum Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifatnya bersumber pada undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber dari masyarakat (melawan hukum materiil). 3. Unsur Kesalahan Kesalahan atau schuld adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. 4. Unsur Akibat Konstitutif Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada tindak pidana materiil (materiel delicten) atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana; tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana, tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat. 5. Unsur Keadaan yang Menyertai Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. 33 Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat: a. Mengenai cara melakukan perbuatan; b. Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan; c. Mengenai obyek tindak pidana; d. Mengenai subyek tindak pidana; e. Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana; dan f. Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana. 6. Unsur Syarat Tambahan untuk Dapat Dituntut Pidana Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan yaitu tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. 7. Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana Unsur syarat ini bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. 8. Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana Unsur ini berupa keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak 34 timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan si pembuat tidak dapat dipidana.49 2.1.3 Jenis-Jenis Tindak Pidana Secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana atau tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benarbenar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana. 50 Tindak pidana juga dibedakan atas tindak pidana formil, dan tindak pidana materiil. Tindak pidana formil adalah perbuatan pidana yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu tindak pidana telah dianggap selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang tanpa mempersoalkan akibatnya, sedangkan perbuatan pidana materiil adalah perbuatan 49 Ibid, h. 83-111. 50 Mahrus Ali, op.cit, h. 101. 35 pidana yang perumusannya dititikberatkan pada akibat yang dilarang yaitu tindak pidana ini baru dianggap telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi.51 Tindak pidana juga dibedakan atas tindak pidana tunggal dan tindak pidana berganda. Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang cukup dilakukan dengan satu kali perbuatan, misalnya penipuan, pencurian, pembunuhan. Sedangkan tindak pidana berganda terjadi apabila terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misalnya penadahan.52 Tindak pidana yang dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan. Delik aduan dibedakan dalam dua jenis, yaitu delik aduan absolute dan delik aduan relative. Delik aduan absolute adalah delik yang mempersyaratkan secara absolute adanya pengaduan untuk penuntutannya. Sedangkan delik aduan relative adalah delik yang dilakukan masih dalam lingkungan keluarga. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya.53 Tindak pidana juga didasarkan atas tindak pidana yang berlangsung terusmenerus dan tindak pidana yang tidak berlangsung terus menerus. Perbuatan pidana 51 Mahrus Ali, op.cit, h. 102. 52 Mahrus Ali, log.cit 53 Mahrus Ali, log.cit. 36 yang berlangsung terus menerus memiliki ciri bahwa perbuatan perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus, misalnya delik merampas kemerdekaan orang sedangkan yang dimaksud perbuatan pidana yang tidak berlangsung terus menerus adalah perbuatan pidana yang memiliki ciri bahwa keadaan yang terlarang itu tidak berlangsung terus menerus, misalnya pencurian dan pembunuhan.54 Jenis tindak pidana juga dibedakan atas delik komisi (commission act), dan delik omisi (omission act). Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang. Sedangkan delik omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah. Tindak pidana juga dibedakan atas delik dolus dan delik culpa. Delik dolus adalah delik yang memuat kesengajaan, sedangkan delik culpa adalah delik yang memuat unsur kealpaan. Jenis tindak pidana yang dibedakan atas delik biasa dan delik kualifikasi. Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa adanya unsur bersifat memberatkan. Sedangkan delik yang dikualifikasikan adalah tindak pidana dalam bentuk pokok yang ditambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga ancaman pidananya menjadi diperberat.55 2.2 Pertanggungjawaban Pidana 54 Mahrus Ali, op.cit, h. 103. 55 Mahrus Ali, log.cit. 37 Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai criminal responsibility, atau crimial liability. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum, dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkann kesalahan dari pembuat yang membentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela dan tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut. Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakannya dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Dikatakan seseorang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya: a. Keadaan jiwanya: 1. tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporair); 2. tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya; 3. tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar, melindur, mengigau karena demam, nyidam, dan sebagainya dengan kata lain dalam keadaan sadar. b. Kemampuan jiwanya: 1. dapat menginsyafi hakekat dan tindakannya; 2. dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan 38 3. 2.4.1 dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. 56 Kemampuan Bertanggungjawab Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membedak-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk, 57 atau dengan kata lain mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.58 Jadi paling tidak ada dua faktor yang menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan sedangkan kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal pembuat. Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan tersebut menyebabkan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana ketika melakukan tindak pidana. Dapat dipertanggungjawabnkan karena akalnya 56 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, h. 24. 57 58 M. Abdul Kholiq, loc.cit. Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan ketiga, Aksara Baru, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Roeslan Saleh II), h.80. 39 yang sehat dapat membimbing kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan hukum.59 Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Keadaan batin normal atau akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggungjawab merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan. Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus sebagai syarat kesalahan.60 Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa “kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab”.61 Dengan demikian halnya dengan ketentuan Pasal 44 KUHP yang berbunyi: 59 Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, h. 89. 60 Ibid. 61 Andi Zainal Abidin, 2007, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 260. 40 (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. (2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak mampu bertanggungjawab atas perbuaatannya, apabila dalam dirinya terjadi salah satu antara dua hal, yaitu sebagai berikut: 1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental semenjak pertumbuhannya, hingga akalnya kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pidana. 2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu penyakit hingga akalnya kurang berfungsi secara sempurna atau kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan hal-hal yang 41 buruk. Contohnya adalah orang gila atau orang yang berpenyakit epilepsy yang melakukan perbuatan pidana. 62 Chairul Huda mengatakan bahwa “tidak jelas betul batas antara tidak, dan kurang dapat dipertanggungjawabkan itu. Kapan gangguan jiwa, kapan penyakit jiwa, dan retardasi mental mengakibatkan pembuatnya tidak dapat atau kurang dapat dipertanggungjawabkan, tidak dengan mudah menentukannya. Padahal konsekuensinya sangat berlainan.63 Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda seseorang tidak mampu bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tapi tidak dikenakan pidana. Tidak pula perlu diperiksa apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapus kesalahan dalam dirinya. Kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya berakibat pengurangan pidana, tetapi tidak dimaksudkan untuk menghapus pidana. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang, seseorang akan dipertanggungjawabpidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan 62 M. Abdul Kholiq, op.cit, h. 130. 63 Chairul Huda, op.cit, h. 96. 42 hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau alasan pembenar) untuk itu. Sedangkan dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang “mampu bertanggungjawab” yang dapat dipertanggungjawabkan. 2.4.2 Hubungan Batin Antara Pembuat Dengan Perbuatannya Hubungan batin antara pembuat dengan perbuatan yang dilakukannya merupaka syarat kedua dari penetapan kualifikasi pertanggungjawaban pidana pada seseorang. Hal ini berkaitan dengan kesalahan. Kesalahan dapat dilihat sebagai suatu kesengajaan atau juga kealpaan (secara sempit). Kealpaan merupakan sifat ketidak hati-hatian. Von Liszt mengatakan, kesalahan dibentuk oleh keadaan psikis tertentu dari pembuat. Fletcher mengemukakan teori kesalahan psikologis sebagai teori deskriptif tentang kesalahan, mengingat unsur mental terdeskripsi secara nyata sebagai bagian tindak pidana. Kesalahan selalu dipahami sebagai keadaan psikologis pembuat ketika melakukan tindak pidana. Ajaran kesalahan dalam bahasa latin dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea didasarkan kepada bahwa seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang tersebut jahat. Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa mens rea dipahami sebagai keadaan psikologis pembuat ketika melakukan tindak pidana. Seiring perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan, teori ini mengalami perubahan pada akhir abad ke-19. Kesalahan kemudian dilihat sebagai dapat dicelanya pembuat pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat 43 berbuat lain jika ia tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Teori ini disebut dengan teori kesalahan normatif. Terdapat tiga komponen utama dalam pengertian tersebut, yaitu: 1. Dapat dicela Dapat dicela mempunyai pengertian yaitu dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Pengertian yang pertama, kesalahan diberi makna dalam hubungannya dengan fungsi preventif hukum pidana. Kata „dapat‟ menunjukan bahwa celaan atau pertanggungjawaban pidana hilang, jika pembuat memiliki alasan penghapus kesalahan. 2. Dilihat dari segi masyarakat Komponen ini merupakan penegasan dari penilaian normatif terhadap adanya kesalahan itu. Titik penekanannya disini terletak pada penilaian normatif terhadap keadaan batin pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan tindak pidananya, sehingga orang tersebut dapat dicela karena perbuatannya. 3. Dapat berbuat lain Yang terkandung dalam komponen ketiga ini adalah selalu terbuka bagi pembuat untuk menghindari terjadinya tindak pidana, dalam arti 44 sebenarnya pembuat dapat berbuat lain jika ia tidak ingin melakukan tindak pidana. 64 2.4.3 Tidak Ada Alasan Pemaaf Syarat terakhir dalam kualifikasi seseorang patut dipidana atau tidak adalah tidak adanya alasan pemaaf. Alasan pemaaf merupakan alasan yang dapat menghapus kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, dan merupakan suatu perbuatan pidana tetapi ia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Alasan-alasan yang dapat menghapuskan kesalahan pada diri terdakwa dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Alasan yang terdapat di dalam diri pembuat (Pasal 44 KUHP), orang dapat dikualifikasikan dalam Pasal 44 KUHP adalah orang-orang yang nalar dan akalnya tidak berfungsi dengan baik serta cacat jiwa dalam pertumbuhannya, seperti orang gila, epilepsy dan orang yang mengalami retradasi mental. Keadaan-keadaan diluar keadaan tersebut dalam hukum pidana Indonesia dinilai memiliki kemampuan bertanggungjawab selayaknya orang normal dengan kondisi batin yang normal dan sehat serta memiliki akal dan nalar yang mampu membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan oleh hukum dan yang dilarang oleh hukum. 64 Roeslan Saleh, 1994, Masih Saja Tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, h. 53. 45 2. Alasan yang terdapat diluar diri pembuat yaitu alasan pemaaf dan alasan pembenar yang terdapat dalam Pasal 48-51 KUHP 2.3 Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan dan Eksibisionisme 2.2.1 Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan Sebelum membahas pengertian delik kesusilaan, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai norma kesusilaan yang menjadi salah satu dasar bertingkah laku dalam masyarakat. Norma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan bertingkah laku dalam hubungan antar sesama manusia yang dalam banyak hal didasarkan kepada “kata hati nurani”. Tegasnya, norma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan tentang tingkah laku yang baik dan yang jahat. Kesusilaan dalam arti luas, bukan hanya menyangkut soal kebirahian atau sex saja, akan tetapi meliputi semua kebiasaan hidup yang pantas dan berakhal dalam suatu kelompok masyarakat (tertentu) yang sesuai dengan sifat-sifat dari masyarakat yang bersangkutan. Norma kesusilaan dalam masyarakat tidak hanya mengatur tingkah laku manusia saja, tetapi terdapat sanksi apabila melanggar. Perbuatan yang tergolong melanggar norma kesusilaan dalam KUHP disebut sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau delik kesusilaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisi kesusilaan yaitu perihal susila; yang berkaitan dengan adab dan sopan santun; norma yang baik; kelakuan yang baik; 46 tata krama yang luhur.65 Menurut Kamus Hukum pengertian kesusilaan diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan norma-norma kesopanan yang harus/dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib dan tata susila dalam kehidupan bermasyarakat. 66 Bab XIV Buku Kedua dan Bab VI Buku Ketiga KUHP, membagi dua jenis tindak pidana yakni: 1. 2. Tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid). Untuk kejahatan melanggar kesusilaan terdapat pada Pasal 281 sampai dengan Pasal 299, sedangkan untuk pelanggaran golongan pertama (kesusilaan) dirumuskan dalam Pasal 532 sampai Pasal 535. Tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) yang bukan kesusilaan, artinya tidak berhubungan dengan masalah seksual, untuk kejahatan kesopanan ini dirumuskan dalam jenis pelanggaran terhadap kesopanan (diluar hal yang berhubungan dengan masalah seksual) dirumuskan dalam Pasal 236 sampai dengan Pasal 547.67 Pendapat Wirjono tersebut didasarkan pada tafsir terjemahan pada kata yang termuat dalam teks aslinya yakni zedelijkheid dan zeden. Dalam naskah asli, Bab XIV dan Bab VI memiliki titel Misdrijven tegen de zeden dan Overtredingen betreffende de zeden. Oleh ahli hukum Indonesia kata zeden diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai kesusilaan dan kesopanan. Kata zeden memiliki arti yang lebih luas dari kesusilaan. Kesopanan (zeden) pada umumnya adalah mengenai adat kebiasaan 65 Definisi Kesusilaan, URL: http://kamusbahasaindonesia.org/kesusilaan/mirip, diakses tanggal 12 Oktober 2015. 66 67 Soedarso, 1992, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 6. Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Yogyakarta, h. 111. 47 yang baik dalam hubungan antara berbagai anggota masyarakat. Sedangkan kesusilaan (zedelijkheid) juga merupakan adat kebiasaan yang baik tersebut (zeden) namun khusus setidaknya mengenai kelamin (seks) seseorang. Konteks maksud pembentuk KUHP, kesopanan (zeden) memiliki dua ranah pengaturan secara substansial yakni kesopanan dibidang kesusilaan (disebut zedelijkheid) dan kesopanan diluar bidang kesusilaan (disebut zeden). Kata kesusilaan dipahami sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal yang berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi.68 Selanjutnya R. Soesilo dengan jelas menyebut kesusilaan dalam penjelasan KUHP Pasal 281 sebagai perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan atau tindakan yang melanggar kesusilaan dengan kata lain yaitu telah dilakukannya tindak pidana kesusilaan. Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Delik kesusilaan diatur dalam KUHP Bab XIV Buku Kedua dengan judul “Kejahatan Terhadap Kesusilaan” yang dimulai dengan Pasal 281 KUHP sampai dengan Pasal 297 KUHP. Berkaitan dengan pengertian perbuatan yang melanggar kesusilaan, yaitu telah dilakukannya perbuatan yang melanggar adab kebiasaan yang baik yang berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi tersebut khusus mengenai 68 Ibid. 48 kelamin (seks) seseorang, kemudian apabila seseorang yang telah melanggar kesusilaan tersebut berbuat suatu tindakan pidana lain berupa hal-hal yang berhubungan dengan kontak fisik terkait dengan pelanggaran kesusilaan terhadap korbannya maka perbuatan tersebut dapat dikatakan dengan perbuatan “cabul” atau dilakukannya suatu perbuatan “pencabulan”. Pengertian cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Terkait dengan kata cabul, dikenal juga kata pencabulan yang diartikan sebagai proses, cara, perbuatan cabul atau mencabuli.69 Cabul adalah keinginan atau perbuatan yang tidak senonoh menjurus ke arah perbuatan seksual yang dilakukan untuk meraih kepuasan diri di luar ikatan perkawinan.70 Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksudmaksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan.71 Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak baik pria maupun wanita baik dengan 69 Cabul, URL: http://kbbi.web.id/cabul, diakses tanggal 16 Oktober, 2015. 70 Gilbert Lumoindong, 2010, Menang atas Masalah Hudup, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 39. 71 159. P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung, h. 49 kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau kata cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berikut: Pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya, tidak sesuai dengan adap sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzina, melakukan tindak pidana asusila, mencabuli: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh, (melanggar kesusilaan, kesopanan). 72 Kejahatan pencabulan merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kesusilaan, yaitu terjadinya hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari seorang wanita, bahkan didahului dengan ancaman kekerasan atau dengan kekerasan. Tindak pidana kesusilaan dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu Tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289 - 296 KUHP. Pengaturan Tentang Kejahatan Pencabulan selain diatur dalam KUHP, yaitu dalam Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295 dan Pasal 296 KUHP, juga diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Terdapat berbagai perbedaan definisi mengenai pencabulan di berbagai negara. Amerika mendefinisikan pencabulan adalah “kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksusal oleh pelaku atau orang yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas 72 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi-3, Jakarta, h. 142. 50 korban”. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi, atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu “persetubuhan diluar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Bila mengambil pengertian dari definisi buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah “semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan”. R Soesilo menjelaskan perbuatan cabul di dalam KUHP yaitu “segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.73 2.2.2 Pengertian Tindak Pidana Eksibisionisme dalam Ilmu Hukum Dan Ilmu Sosial Lainnya Pengertian mengenai “eksibisionisme” dapat ditemui dalam literatur psikologi dan hukum. Secara umum dalam bahasa Inggris, eksibisionis berasal dari kata „exhibition’ yang artinya pameran, memamerkan atau mempertontonkan alat kelamin. 73 Ray Pratama, 2012, Kejahatan Pencabulan/Persetubuhan, URL: http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/kejahatan-pencabulanpersetubuhan.html, diakses tanggal 17 Oktober 2015. 51 1. Dalam Ilmu Hukum Pengertian “eksibisionisme” dalam ilmu hukum dapat dijumpai dalam Black’s Law Dictionary, mengartikan bahwa exhibitionism sebagai The indecent display of one’s body atau mempertontonkan secara tidak sopan salah satu bagian tubuhnya.74 “Eksibisionisme” merupakan sebuah fantasi seksual menyimpang yang di tandai dengan tindakan menunjukkan alat kelaminnya kepada orang lain dan yang menerima tindakan itu sebagai hal yang tidak pantas. Seorang “eksibisionisme” merasa mendapatkan kenikmatan seksual ketika ia menunjukkan alat kelaminnya di depan orang lain kemudian orang lain menunjukkan reaksi kaget ataupun takut terhadap kejadian tersebut. Beberapa kasus tindakan eksibisionis ini juga diikuti dengan tindakan masturbasi saat melihat ekspresi dari korban yang merupakan kepuasan seksual bagi pelaku tersebut. Akibat dari banyaknya korban yang merasa dilecehkan, tindakan ini sering dikategorikan sebagai sebuah kejahatan seksual dan kemudian dikategorikan sebagai pelanggaran hukum pidana. Terdapat KUHP pasalpasal yang mengatur mengenai perbuatan yang melanggar kesusilaan dan eksibisionis merupakan salah satu perbuatan yang melanggar kesusilaan yang selanjutnya di atur dalam KUHP Bab XIV Buku Kedua dengan judul “Kejahatan Terhadap Kesusilaan”. 2. Dalam Ilmu Psikologi 74 St. Paul, Minn, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, United Stated of America, h.595. 52 Aktivitas seksual merupakan aktivitas yang memiliki fungsi procreation (berkembang biak) dan sexual pleasure (pemberi kepuasaan). Aktivitas seksual yang tidak sesuai dengan norma mengenai perilaku seksual seringkali disebut sebagai sexual disorder atau perilaku seksual yang tidak teratur. Sexual Disorder terbagi menjadi tiga bentuk yaitu dysfunction, paraphilia, dan gender-identity disorder. Paraphilia atau fantasi seksual yang menyimpang merupakan salah satu bentuk sexual disorder atau sexual deviation.75 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) mengklasifikasikan beberapa bentuk paraphilia dalam DSM-III-R diantaranya adalah Fetisme, Pedofilia, Voyeurisme, dan “eksibisionisme”.76 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV-TR, parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencangkup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktifitas seksual yang tidak pada umumnya dengan kata lain terdapat deviasi (para) dalam ketertarikan seseorang (filia). Ketika di kalangan masyarakat banyak orang yang mengalami Parafilia, mungkin lebih memilih untuk tidak mengungkapkan penyimpangan mereka. Sejalan dengan hal tersebut, angka tingkat penangkapan mungkin lebih rendah dari yang sebenarnya, karena banyak kejahatan yang tidak dilaporkan. Gangguan ini sering memiliki 75 Morgan, Clifford Thomas, 1986, Introduction to Psychology (International Edition), McGraw-Hill Book Co, Singapore, h. 28. 76 Langstrom, Niklas, 2009, The DSM Diagnostic Criteria for Exhibitionism, Voyeurism, and Frotteurism, American Psychiatric Association Arc Sex Behavior, America, h. 39: 317-324. 53 konsekuensi hukum, hal ini dikarenakan orang yang mengidap parafilia tidak begitu saja mendapatkan pasangan yang mau menuruti semua keinginannya, bahkan tidak jarang orang yang mengidap parafilia melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain.77 Parafilia berasal dari bahasa Yunani, para yang berarti “lebih” dan philia berarti “teman”, atau “bersenang-senang”. Parafilia merupakan gangguan mental merujuk pada dorongan seksual, atau respon seksual terhadap objek atau situasi yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Istilah parafilia pertama sekali disebutkan oleh seorang psikoterapis bernama Wilhelm Stekel dalam bukunya yang berjudul Sexual Aberrations pada tahun 1925. Pemakaian istilah itu tidak begitu menyebar hingga tahun 1950an dan ketika DSM (1980an) menggunakan istilah tersebut.78 Gangguan parafilia dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain: 1. Eksibisionisme: Pelaku ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik dan menjerit ketakutan, ia akan semakin terangsang. Kondisi seperti ini 77 78 sebagian besar pelakunya adalah pria, modusnya dengan Gerald C. Davison, John M. Neale, dan Ann M. Kring, Op.cit, h. 621-622. Muhammad Alhada Faudillah Habib, Parafilia (Perilaku Seksual Tidak Normal), URL: http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-120632EsayPARAFILIA%20%28PERILAKU%20SEKSUAL%20TIDAK%20NORMAL%29.html, diakses tanggal 11 Oktober 2015. 54 memperlihatkan alat kelaminnya yang bisa dilanjutkan dengan masturbasi hingga ejakulasi. Bisa juga pelaku tanpa rasa malu menunjukkan alat kelaminnya kepada orang lain sekedar untuk menunjukkannya dengan rasa bangga. 2. Fetishism: merupakan ekspresi seksual seseorang di mana subyek sangat memuja atau menyukai sesuatu hal yang di luar normal dari lawan jenisnya. Benda tersebut bisa berupa benda mati yang dimiliki lawan jenis yang disukainya atau bagian tubuh dari lawan jenisnya. 3. Froteurisme: suatu bentuk parafilia di mana seorang individu laki-laki mendapatkan kepuasan seksual dengan cara menggesekkan atau menggosokkan alat kelaminnya ke tubuh perempuan di tempat publik atau umum. 4. Pedophilia: merupakan orang yang senang berhubungan dengan anakanak di mana anak tersebut masih belum mencapai masa puber dan perbedaan umur anak minimal 5 tahun dengan pelaku. 5. Voyeurisme: Pengidap kelainan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual. Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan tindakan lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Ejakuasinya 55 dilakukan dengan cara bermasturbasi setelah atau selama mengintip atau melihat korbannya. 6. Incest: hubungan seks yang dilakukan dengan sesama anggota keluarga sendiri . 7. Nekrofilia: Bentuk parafilia dimana individu pelaku nekrofilia memiki orientasi kepuasan seksual melalui kontak fisik yang bersifat merangsang atau hubungan seksual dengan pasangan yang dipilih adalah jenasah atau orang yang telah meninggal. 8. Zoofilia: salah satu bentuk parafilia dimana terdapat orang atau individu yang terangsang melihat hewan dan selanjutnya melakukan hubungan seks dengan hewan. 9. Perilaku seksual kompulsif: adalah pengulangan tindakan erotik tanpa kenikmatan. Kompulsi seksual ini bisa berupa telepon seks yang tanpa akhir, one-night stand (affair singkat), atau masturbasi beberapa kali dalam sehari, penderitanya seringkali mengaku merasa “tidak terkendali” sebelum aktivitas dan merasa bersalah atau malu setelahnya. Apapun kepuasan seksual yang didapatnya, tindakan tersebut adalah dangkal dan hambar. Penulisan skripsi ini hanya mengambil satu jenis gangguan seksual yang digolongkan dalam gangguan parafilia dengan jenis gangguan eksibisionime”Eksibisionisme” merupakan kelainan jiwa yang ditandai dengan 56 kecendrungan untuk memperlihatkan hal-hal yang tidak senonoh, seperti alat kelamin pada lawan jenis.79 “Eksibisionisme” adalah dorongan fantasi sexual yang mendesak dan terusmenerus dengan memamerkan bagian genitalnya kepada orang lain. Dorongan tersebut bertujuan untuk menakuti, mengejutkan atau untuk dikagumi. ”Eksibisionisme” adalah prefensi tinggi dan berulang untuk mendapatkan kepuasan seksual kepada orang yang tidak dikenal yang tidak menginginkannya kadang kepada seorang anak. Adapun ciri-ciri dari “eksibisionisme” adalah: 1. Berulang, intens dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan memamerkan alat kelamin kepada orang yang tidak dikenal yang tidak menduganya. 2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut atau dorongan dan fantasi tersebut menyebabkan orang tersebut mengalami distress atau mengalami masalah interpersonal. 3. Orang yang ditunjukkan alat vital tersebut atau bisa disebut korban, tidak bersedia untuk melihatnya, bahkan menghindar dan mencoba pergi. 4. Aktifitas menunjukan alat vital terhadap korban sudah merupakan bentuk interaksi seksual tanpa adanya hubungan badan.80 79 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Op.cit, h. 184. 57 Menurut Tri Hadi, Psikolog Klinis, mengatakan “eksibisionisme” adalah suatu kelainan seksual yang termasuk dalam kategori Paraphilia, yaitu objek pemenuhan kebutuhan seksual yang tidak lazim dan dianggap menyimpang. Penderita “eksibisionisme” atau disebut eksibisionis mendapatkan rangsangan seksual ketika melihat reaksi korban saat terkejut, takut, menjerit, teriak, atau lari. Di situ dia membayangkan wajah korban dan mulai masturbasi sampai mencapai orgasme.81 Terdapat 3 kriteria untuk menentukan seseorang merupakan eksibisionisme atau bukan, yaitu: 1. Orang memamerkan alat vitalnya di depan orang lain untuk mendapatkan rangsangan seksual. 2. Orang yang ditunjukkan alat vital tersebut atau bisa disebut korban, tidak bersedia untuk melihatnya, bahkan menghindar dan mencoba pergi. 3. Aktifitas menunjukan alat vital terhadap korban sudah merupakan bentuk interaksi seksual tanpa adanya hubungan badan. 82 Eksibisionisme biasanya adalah pria. Perbandingan pria dan wanita pelaku seks menyimpang ini adalah 4:1. Hal ini dilihat dari banyaknya pelapor yang menjadi korban tindak “eksibisionisme” oleh para pria. Gejala awal seseorang menderita 80 Anonim, 2014, Ciri-Ciri Eksibisionis, URL: http://m.bisnis.com/ini-3-ciri-eksibisionis, diakses tanggal 12 Oktober 2015. 81 Deliana Praditha Sari, 2013, Ini 3 Ciri http://kabar24.bisnis.com/read/20131106/220/184807/ini-3-ciri-eksibisionis, Oktober 2015. 82 Ibid. Eksibisionis, URL: diakses tanggal 12 58 kelainan seksual “eksibisionisme” dapat dideteksi pada pria atau wanita berusia 15 hingga 17 tahun. Namun kelainan ini akan semakin berkurang ketika penderita menginjak usia 40 tahun.83 Para ahli mengatakan gangguan ini biasanya mengalami gangguan buruk pada pasangan seks nya. Mereka tak percaya diri dalam hal seksual, dan biasanya tidak matang dalam halnya sebagai seorang pria, penyebabnya pengalaman pada masa perkembangan anak-anak, pada masa anak dia menunjukkan alat kelaminnya dan korban merasa excited (terkejut, takut, malu dan jijik) maka si penderita merasa itu adalah sebuah pujian dan kejantanan baginya. Eksibisonism dalam istilah psikologi sering disebut juga dengan apodysophilia atau lady godiva syndrome, yaitu suatu keinginan yang kuat atau kondisi psikologis yang kompulsif untuk memamerkan atau memperlihatkan tubuhnya untuk menarik perhatian, terutama lawan jenisnya. 83 Ibid.