Bab Kesusilaan Dalam RUU KUHP

advertisement
Bab Kesusilaan dalam RUU
KUHP
Penegasian Hak Perempuan
atas Integritas Tubuhnya
Sebanyak 41,2 % dari
keseluruhan kasus yang
didampingi oleh LBH APIK Jakarta pada tahun
2006 merupakan kasus kekerasan seksual.
Namun hanya 17% dari kasus tersebut diproses
secara hukum dan sampai pada putusan di
Pengadilan Negeri. Sedikitnya jumlah kasus yang
sampai ke pengadilan negeri menunjukkan
lemahnya sistem hukum di Indonesia dalam
memberikan keadilan bagi perempuan korban
kekerasan seksual. Banyaknya stigma dalam
masyarakat tentang korban membuat korban
enggan dan malu melanjutkan proses hukum.
Belum lagi sikap aparat penegak hukum yang
justru memojokkan, memeras dan tidak
berperspektif korban yang mengakibatkan korban
tidak percaya lagi pada proses hukum yang tengah
dijalaninya. Selain itu, substansi hukum yang tidak
mengakomodir semua bentuk-bentuk kekerasan
seksual yaitu tidak adanya pasal yang sesuai
dengan tindak kejahatan seksual membuat
beberapa kasus kekerasan seksual tidak dapat
diproses melalui jalur hukum. Misalnya saja
tentang pelecehan seksual yang tidak diatur
secara konkret dalam KUHP
atau tindak pidana perkosaan
yang tidak mengakomodir
bentuk perkosaan selain
persetubuhan dengan
kekerasan sehingga mereduksi
kekerasan seksual yang
dialami oleh perempuan.
P a d a R U U K U H P, B a b
Kesusilaan lebih banyak memuat
tentang kejahatan seksual terhadap perempuan.
Kejahatan seksual terhadap perempuan masuk
menjadi tindak kejahatan atau pelanggaran karena
dianggap melanggar norma
kesusilaan dan kesopanan
yang tumbuh dan dianut oleh
m a s y a r a k a t In d o n e s i a .
Perkosaan, pencabulan,
perzinahan, pornografi dan
pencabulan dianggap
sebagai perbuatan yang
melanggar atau menyerang
norma yang berlaku dalam
masyarakat. Dengan adanya
ketentuan tersebut maka hal
ini menunjukkan bahwa kejahatan seksual terhadap
perempuan dianggap bukan merupakan suatu
kejahatan yang menyerang tubuh maupun
kemanusiaan perempuan.
Jika ditinjau dari etimologis, istilah ”kesusilaan”
berasal dari kata ”su” dan ”sila” (Sanskerta) yang
berarti prinsip, dasar, aturan hidup (sila) yang baik
(su). Dengan demikian maka susila diartikan sebagai
aturan hidup yang baik, baik berasal dari aturan
sopan santun, moral, agama atau adat istiadat
maupun yang berdasar asas kepantasan/kepatutan,
termasuk di dalam pengertian kesusilaan. Namun
demikian bahwa prinsip yang dianggap baik oleh
suatu komunitas/bangsa tidak selama juga dianggap
baik oleh komunitas/bangsa lain. Oleh karena itu,
dalam memasukan prinsip-prinsip yang dianggap
benar ke dalam peraturan negara akan digunakan
prinsip atau nilai dominan yang dianut oleh
komunitas/bangsa tersebut. Hal ini juga terjadi dalam
perumusan RUU KUHP Bab Kesusilaan sehingga
tindakan yang tidak dianggap melanggar nilai-nilai
kesusilaan yang dominan bukan merupakan tindak
pidana. Perempuan dalam budaya patriarkhi
merupakan “milik” dari suatu komunitas sehingga
kejahatan yang dikenakan padanya tidak dianggap
sebagai penyerangan terhadap hak individunya
melainkan penyerangan terhadap komunitas
tersebut. Bila komunitas menganggap bahwa hak
tersebut tidak melanggar nilai dan norma maka tidak
dipersoalkan meskipun perempuan sebagai individu
merasa haknya dan martabatnya sebagai manusia
telah dilanggar.
Paradigma ini yang masih dipakai untuk
merumuskan draft revisi KUHP dengan
memasukkan kejahatan seksual terhadap
perempuan sebagai kejahatan kesusilaan, yang
artinya bahwa suatu suatu perbuatan (kekerasan
seksual) akan dianggap sebagai kejahatan (tindak
pidana) bila melanggar nilai yang berlaku di
masyarakat. Hal ini berimplikasi pada 2 hal.
Pertama, nilai kekerasan yang dialami oleh
perempuan terabaikan, karena nilai dalam
masyarakatlah yang memberikan penilaian apakah
itu kejahatan atau bukan. Seharusnya korbanlah
yang punya hak untuk menentukan apakah hak atas
integritas tubuhnya dilanggar. Kedua, tidak semua
kekerasan seksual terhadap perempuan
dikualifikasi menjadi kejahatan karena masyarakat
lebih permisif terhadap agresivitas seksual laki-laki
sehingga beberapa tindakan pelecehahan seksual
(sexual harrasment) dan kekerasan seksual lainnya
tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan.
Masih melekatnya paradigma di masyarakat telah
menegasikan hak perempuan atas tubuhnya sendiri.
Perempuan tidak diberi ruang untuk menentukan
sendiri apakah haknya dilanggar atau tidak. Hal ini
tampak dari tidak diakomodirnya perkosaan dalam
perkawinan (marital rape), karena nilai yang berlaku
dalam masyarakat bahwa seorang istri harus patuh
dan turut suami termasuk
dalam hubungan seksual
sehingga pemaksaan dan
kekerasan dalam hubungan
seksual dalam perkawinan
tidak dianggap sebagai suatu
kejahatan. Dalam Bab
Kesusilaan juga tampak
minimnya perlindungan
terhadap perempuan, tapi
justru mengkriminalkan perempuan korban
eksploitasi seksual. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa pasal pornografi dan pelarangan
pelacuran. Dalam pasal tentang pornografi, model
pornografi juga terjerat hukuman, dan pelacur
(perempuan/anak yang dilacurkan PYLA/AYLA)
yang bergelandangan di jalan juga
dikriminalkan. Padahal dalam
perdagangan orang, pornografi
dan pelacuran kerupakan salah
satu bentuk perdagangan
orang. Sehingga perempuan
yang terjerumus menjadi model
porno atau PYLA/AYLA dianggap sebagai korban.
Namun dalam RUU KUHP korban justru disamakan
dengan pelaku sehingga ada upaya untuk
mengkriminalisasi korban. Hal ini tentu tidak adil
bagi korban perdagangan orang.
Adanya bab kesusilaan yang sampai saat ini tetap
dipertahankan menganut pada suatu politik hukum
(yang juga dianut negeri Belanda pada zaman dulu)
yang melakukan pembatasan terhadap delik susila
yakni hanya bila kehormatan/kesusilaan/
kesopanan itu terserang secara terbuka (di muka
umum). Dengan kata lain jika kesusilaan itu
diserang di muka umum maka hukum pidana dapat
campur (dalam arti mengatur). Dengan demikian
tidak semua perbuatan asusila dapat dikualifikiasi
sebagai suatu tindak pidana dalam Bab Kesusilaan.
Namun dalam RUU KUHP perbuatan yang
dilakukan tidak di muka umum juga dimasukkan ke
dalam Bab Kesusilaan. Misalnya perkosaan,
perzinahan, dan pencabulan. Maka dari itu, bila
ditinjau dari politik hukumnya,
seharunya kekerasan seksual
tidak ditempatkan dalam Bab
Kesusilaan, karena kekerasan
seksual terhadap perempuan
lebih sering terjadi di tempat
tertutup.
Berdasarkan paparan di atas
maka hendaknya:
1. K e j a h a t a n s e k s u a l t e r h a d a p
perempuan dikeluarkan dari Bab
Kesusilaan dan dimasukkan menjadi bab
tersendiri sehingga dapat mengakomodir
semua bentuk kekerasan seksual terhadap
perempuan.
2. Memperluas definisi perkosaan sehingga bisa
mengakomodir perkosaan dalam perkawinan,
perkosaan sesama jenis, korban disable, dan
bentuk perkosaan dengan memasukkan benda
yang merupakan bagian tubuh pelaku ke dalam
anus atau vagina korban.
3. Menghapus pasal yang overcriminalization atau
bahkan mengkriminalkan pihak yang seharusnya
dipandang sebagai korban.
Bab Kesusilaan
dalam RUU KUHP
Penegasian Hak Perempuan
atas Integritas Tubuhnya
Download