KEKERASAN SEKSUAL TINJAUAN IUS CONSTITUTUM DAN IUS CONSTITUENDUM A. IUS CONSTITUTUM 1. Kekerasan Seksual Menurut KUHP Kekerasan seksual merupakan suatu bentuk penyiksaan anak yang digunakan untuk rangsangan seksual. Bentukya ada banyak, seperti meminta anak terlibat langsung kedalam adegan seksual, memberikan pemaparan yang berbau pornografi, kontak langsung dengan alat kelamin anak yang dalam konteks ini dapat diartikan sebagai pemerkosaan, dan menggunakan anak sebagai objek/pelaku pornografi. Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, bahwasannya perlindungan terhadap hak-hak anak sangat penting, karena akan berdampak besar terhadap nasib bangsa Indonesia. Oleh karena itu, bentuk pelanggaran/ kekerasan terhadap anak merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum pidana, dan wajib dikenakan hukuman. Dalam konteks kekerasan seksual, hukum pidana meletakkan tindak pidana ini kedalam bab tindak pidana terhadap kesusilaan. Sebenarnya, dengan adanya peletakan pasal perkosaan dan pencabulan kedalam bab tindak pidana kesusilaan justru mengaburkan esensi dan substansi kekerasan seksual sendiri. Definisi kesusilaan adalah sopan santun masyarakat terhadap nafsu perkelaminannya. Atas dasar ini, kesusilaan lebih menekankan perlindungan kepada susila masyarakat. Disamping itu, perkosaan merupakan kejahatan terhadap integritas tubuh dan organ seksualitas korban. Pengaburan esensi kekerasan seksual dapat dilihat dari definisinya, dimana kekerasan yang hakikatnya adalah kejahatan terhadap integritas tubuh korban, harus direduksi pada masalah pelanggaran rasa susila masyarakat.1 Hukum pidana memberikan definisi yang masih terbatas pada istilah perkosaan dan pencabulan. Perkosaan hanya disebutkan dalam pasal 285 KUHP, meskipun konteks perkosaan ini dibahas dari pasal 285-288 KUHP. Selanjutnya kata yag dipilih adalah bersetubuh. Bersetubuh, menurut R. Soesilo merupakan peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak. Jadi alat kelamin laki-laki harus masuk kedalam kemaluan perempuan hingga mengeluarkan air mani. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka perbuatan yang dimaksud adalah cabul. Penggunaan delik cabul atas tindakan perkosaan 1 RUU Penghapusan Kekerassan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus, h. 2. akan merugikan korban, karena pidana pelaku lebih rendah. Sehingga, selain korban tidak menemukan rasa keadilan, juga mengaburkan koneks pidana perkosaan.2 KUHP juga hanya mengatur terkait ancaman hukuman pelaku dengan Pidana pokok. Untuk pemerkosaan anak dibawah umur diatur dalam pasal 287 KUHP yang berbunyi Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya attau sepatutnya harus diduga bahwa umur wanita itu belum lima belass tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Disamping itu, pidana pokok untuk tindakan pencabulan terdapat pada pasal 290 KUHP. Kendatipun demikian, KUHP hanya menjelaskan tentang pidana yang dijatuhkan kepada pelaku. Untuk korban yang sesungguhnya mengalami serangan psikologi, emosi dan sosial tidak ada petunjuk penanganan dan pemulihan secara konkrit dari pasal-pasal KUHP. 2. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Sebagaimana yang telah terpapar diatas, bahwa Undang-Undang ini merupakan suatu bentuk jaminan terhadap hak-hak anak oleh pemerintah. Hadirnya Undang-Undang ini juga tida terlepas dari peratifikasian Konvensi Hak Anak oleh Indonesia pada tahun 1990 setelah konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB untuk mengatur masalah hak anak dan kebutuhan khusus anak.3 Jika mempersoalkan tentang kekerasan seksual terhadap anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 hanya mengatur tentang eksploitasi seksual. Hal ini terdapat pada penjelasan angka 43 pasal 66 yakni, segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan. Dalam pasal yang sama, juga disebutkan eksploitasi ekonomi, yakni tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara 2 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea: Bogor, 1994.. 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Pembaharuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil. Ketentuan ini tentunya mengikat dan memberikan perlindungan pada korban eksploitasi seksual yang maasih berusia anak, yakni yang belum berumur 18 tahun. Selain mengenai eksploitasi terhadap anak, Undang-Undang a quo menggunakan peristilahan berupa persetubuhan dan perbuatan cabul untuk merepresentasikan kekerasan seksual terhadap anak. Persetubuhan terdapat pada pasal 76D yakni Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Sementara perbuaan cabul terdapat pada pasal 76E yakni Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak unuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Mengenai pemidanaan, Undang-Undang ini hanya mengatur tentang pidana yang dijatuhkan kepada seseorang yang memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya dan eksploitasi anak. Adapun mengenai pemidanaan ini terdapat pada pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang pada intinya seseorang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melaukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain akan mendapatkan ancaman pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun. Sementara jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimalnya. Sedangkan mengenai eksploitasi seksual dan/atau ekonomi terhadap anak, pelaku akan dikenai ancaman pidana paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 200 juta rupiah. Hal ini diatur dalam pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Undang-Undang ini tidak mengatur tentang bagaimana pencegahan secara langsung supaya anak terhindar dari kekerasan seksual. Kendatipun demikian, pencegahan ini disandarkan kepada kewajiban orang tua untuk tidak memberlakukan pernikahan dini kepada anaknya. Hal ini tercantum dalam pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Akan tetapi dalam ketentuan ini tidak memberikan konsekuensi jika orang tua tidak mencegah adanya pernikahan dini kepada anaknya. Walaupun pencegahan tidak diarahkan secara langsung, Undang-Undang ini memberikan perlindungan berupa rehabilitasi dan pemulihan bagi anak yang tereksploitasi baik secara seksual dan ekonominya. Selain itu juga mengatur ketentuan bahwa korban berhak mengajukan restitusi kepada pengadilan yang dimana hal itu merupakan tanggung jawab pelaku kejahatan. UndangUndang ini menguraikan hal-hal yang dilakukan demi terpenuhinya hak-hak khusus anak korban kejahatan sosial. B. IUS CONSTITUENDUM 1. Dalam RUU KUHP Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang dalam Bahasa Belanda biasa disebut Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI). KUHP diberlakukan pertama kali melalui titah Raja Nomor 33 pada 15 Oktober 1915. KUHP ini merupakan aturan turunan dari Wvs Belanda. Oleh karena Belanda menerapkan asas konkordansi, maka negara jajahannya juga harus memiliki pandangan hukum yang sama dengannya. Sebagai rujukan atas segala bentuk tindak pidana yang terjadi, KUHP menjadi rujukan aparat penegak hukum untuk mengusahakan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Kendatipun demikian sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, KUHP masih belum mampu mengakomodasi kasus kekerasan secara sempurna. Hal ini dapat disadari karena mengingat KUHP merupakan warisan colonial Belanda yang dibuat lebih dari seabad yang dulu, sehingga pasal-pasalnya tidak mempu menjangkau perkembangan kejahatan yang sangat beragam bentuk dan jenisnya. Dalam Simposium tentang pembaharuan hukum pidana yang diadakan di Semarang pada tanggal 28 Agustus 1980, ditegaskan bahwa tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya, yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dikemukakan pula bahwa setiap kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan harus disusun dan diletakkan dalam suatu perencanaan sosial yang menyeluruh dan terpadu sehingga dapat dihindarkan akses-akses yang tidak dikehendaki, khususnya yang menyangkut perkembangan kriminalitas. Lebih jauh diakui bahwa salah satu jalan keluar yang strategis dalam penanggulangan kriminalitas adalah peningkatan daya tahan atau daya tolak budaya, mengingat kriminalitas sendiri pada hakekatnya merupakan bagian dari budaya manusia. 4 Khusus mengenai pengertian kejahatan telah disepakati pula pengertian bahwa ia merupakan suatu hal yang relative, bergantung pada penentuan sikap dan kebijakan penguasa, serta berkaitan erat dengan pola dan tata nilai budaya, serta tata kaedah dan struktur masyarakat. Dan meskipun ada sifat-sifat universal dari kejahatan, namun masih dibenarkan adanya pekecualian yang selalu ada dalam setiap aturan, hal mana tidak terlepas dari budaya dan struktur masyarakat.5 Memperhatikan hal-hal yang telah disepakti diatas, sebagai hasil dari suatu pengkajian dan diskusi yang cukup luas dan mendalam, kiranya semua unsur-unsur dari ungkapan diatas dapat digunakan sebagai ukuran dalam menentukan perbuatan-perbuatan apa sepatutnya ditentukan sebagai tindak pidana kesusilaan ini. Secara umum, paling tidak ada dua tujuan yang akan dicapai oleh hukum pidana, yakni tujuan kedalam dan keluar. Tujuan kedalam adalah pembaharuan hukum merupakan sarana untuk perlindungan atas kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, tujuan keluarnya adalah iku terlibat dalam misi menciptakan ketertiban dunia seiring dengan perkembangan kejahatan internasional. Perlindungan masyarakat melalui penegakan hukum pidana dilakukan dengan tujuan:6 a. Perlindungan masyarakat dari perbuatan anti-sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Disini tujuan pemidanaan adalah mencegah dan menanggulangi kejahatan b. Perlindungan masyarakat dari sifat bahaya yang dimiliki seseorang. Disini, hukum pidana memiliki fungsiuntuk memperbaiki pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya supaya kembali patuh kepada hukum yang berlaku dan menjadi masyarakat yang berguna bagi bangsa dan negara. c. Perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan sanksi atau reaksi penegak hukum maupun dari masyarakat pada umumnya. Tujuan hukum pidana disini adalah untuk menghindari tindakan sewenang-wenang diluar hukum 4 Naskah Akademik Ranncangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 238. Naskah Akademik Ranncangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 238. 6 Naskah Akademik Ranncangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 163. 5 d. Perlindungan masyarakat dari gangguan keseimbangan berbagai kepentingan dan nilai akibat kejahatan. Maka penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan kedamaian dalam masyarakat. 2. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Undang-Undang Penghapusan Kekerasan seksual merupakan sebuah upaya perlindungan negara terhadap seluruh warga negaranya, terkhusus kepada perempuan dan anak. Selain dalil tersebut, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual juga menjalankan amanat Konstitusi untuk memberikan jaminan terhadap setiap warga negara untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk deskriminasi. Kekerasan Seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena termasuk kejahatan yang melanggar harkat dan martabat manusia serta suatu bentuk deskriminasi yang seharusnya dihapuskan. Hal ini sangat penting dilakukan, karena akan menimbulkan dampak luar biasa bagi korban, seperti psikis, kesehatan,ekonomi dan sosial hingga politik. Pada cakupan yuridis, dengan mengadopsi buah pikiran Lawrence M. Friedmann bahwa ada tiga aspek yang harus dierhatikan dalam memahami hambatan yang dialami korban, yakni aspek substansi, struktur dan kultur hukum. Dalam tataran substansi kendatipun sudah ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi, masih banyak jenis kekerasan seksual yang belum dikenali oleh hukum di Indonesia yang tentunya juga tidak terakomodasioleh hukum yang berlaku. KUHP yang hanya mengatur konteks perkosaan, rumusannya tidak mampu memberikan perlindungann pada perempuan korban kekerasan. Termasuk jugaUndang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Peberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memiliki jangkauan hukum yang terbatas. Korban adalah anak, korban kekerasan dalam rumah tangga, dan korban tindak pidana perdagangann orang.7 Dalam ranah struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan memberikan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk bentuk kekerasan yang telah diatur didalam undang-undang. Namun yang disayangkan adalah adanya 7 Naskah Akademik UU Kekerasan Seksual, 5. unit tersebut tidak didukung dengan fasilitas dan perspektif penanganan korban yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa negara masih belum optimal dalam mengakomodir perlindungan terhadap perempuan.8 Pada tingkat kultur hukum, masih ada aparat penegak hukum yang mengadopsi pola pikir masyrakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan kasus kekerasan seksual tidak menunjukkan rasa empati dan peduli. Justru memojokkan dan turut menyalahkan korban. Hal ini lebih mengarah pada bentuk penghakiman terhadap korban yang alurnya sampai pada adanya kekerasan kembali pada korban.9 Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual ini merupakan upaya pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut.Pembaruan hukum ini memiliki berbagai tujuan, sebagai berikut:10 a. melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual; b. mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban,agar korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi seorang penyintas; c. memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual; d. menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. Pembaruan hukum tersebut diwujudkan secara menyeluruh,yang meliputi antara lain: pengaturan tentang pencegahan terjadinya kekerasan seksual; bentuk-bentuk kekerasan seksual; hak korban, termasuk pemulihan; hukum acara peradilan pidana kekerasan seksual, termasuk tentang pembuktian; pemantauan penghapusan kekerasan seksual; dan pemidanaan. Selain itu yang terpenting dilakukan adalah bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu membentuk sistem baru yang lebih melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang. 8 Naskah Akademik UU Kekerasan Seksual, 5. Naskah Akademik UU Kekerasan Seksual, 6. 10 Naskah Akademik UU Kekerasan Seksual, 6. 9 Sebagaimana dipaparkan dalam Naskah Akdemik oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual yang disusun akan membangun mekanisme pemidanaan berdasarkan teori kontemporer sehingga dimungkinkan perumusan ancaman pidana penjara yang jauh lebih tinggi lagi, termasuk kewajiban rehabilitasi khusus. Pemidanaan yang dijatuhkan akan disertai pemberatan apabila korban adalah anak.11 Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan adanya hak atas pemulihan bagi anak yang tereksploitasi seksual. Kendatipun demikian, mengenai hal itu tidak disertai uraian lebih lanjut bagaimana hak tersebut dipastikan secara teknis dan berkesinambungan dinikmati oleh korban. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak juga telah mengatur pemidanaan terhadap orang yang melakukan eksploitasi seksual pada anak. Akan tetapi ketentuan ini hanya berlaku apabila korban adalah anak. Padahal, perbuatan eksploitasi seksual bisa menimpa siapa saja tak terkecuali perempuan dan anak yang berada dalam kondisi relasi kuasa yang timpang dengan pelaku. Atas dasar ini pula RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual akan memberikan sentuhan pembaharuan hukum terhadap UU Perlindungan Anak khususnya terkait pemidanaan terhadap pelaku eksploitasi seksual, dan perlindungan dan pemulihan bagi korban eksploitasi seksual bagi siapapun korban, termasuk anak yang menjadi korban eksploitasi seksual.12 RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dalam menindak dan mempidanakan pelaku kekerasan seksual, berlandaskan pada asas penghormatan harkat dan martabat manusia dan asas kepentingan terbaik bagi korban. Perlindungan hak asasi manusia dan perlindungan korban merupakan satu kesatuan tidak dapat dipisahkan. Hak asasi harus ditegakkan melalui perlindungan korban. Demikian pula, perlindungan korban tidak boleh melanggar hak asasi manusia. RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual merumuskan bentuk pemidanaan yang manusiawi namun tetap diarahkan pada upaya untuk memberikan efek jera pada pelaku. Berdasarkan prinsip lex posteriori derogat legi periori, maka RUU tentang Penghapusan 11 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 79. 12 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, 79. Kekerasan Seksual akan mengisi kekosongan hukum dari UU Perlindungan Anak dan sekaligus memperbaharui bentuk pemidanaan dalam UU Perlindungan Anak, serta pemulihan dan perlindungan bagi Anak yang menjadi korban kekerasan seksual yang belum diatur secara spesifik oleh UU Perlindungan Anak. C. RANGKUMAN 1. Kekerasan seksual merupakan suatu bentuk penyiksaan anak yang digunakan untuk rangsangan seksual. 2. Kesusilaan adalah sopan santun masyarakat terhadap nafsu perkelaminannya. 3. Perkosaan merupakan kejahatan terhadap integritas tubuh dan organ seksualitas korban. 4. Khusus mengenai pengertian kejahatan telah disepakati pula pengertian bahwa ia merupakan suatu hal yang relative, bergantung pada penentuan sikap dan kebijakan penguasa, serta berkaitan erat dengan pola dan tata nilai budaya, serta tata kaedah dan struktur masyarakat. 5. Pemidanaan yang dijatuhkan akan disertai pemberatan apabila korban adalah anak. 6. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan adanya hak atas pemulihan bagi anak yang tereksploitasi seksual. 7. RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual merumuskan bentuk pemidanaan yang manusiawi namun tetap diarahkan pada upaya untuk memberikan efek jera pada pelaku. 8. Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang dalam Bahasa Belanda biasa disebut Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI). 9. KUHP diberlakukan pertama kali melalui titah Raja Nomor 33 pada 15 Oktober 1915. D. TES FORMATIF 1. Bentuk pelanggaran/ kekerasan terhadap anak merupakan suatu tindakan yang melanggar... a. Hukum Perkawinan b. Hukum Pidana c. Hukum Perdata d. Hukum Agraria 2. Dalam konteks kekerasan seksual, hukum pidana meletakkan tindak pidana ini kedalam bab tindak pidana terhadap... a. Kesopanan b. Agama c. Kesusilaan d. Kesantunan 3. Perkosaan merupakan kejahatan terhadap integritas tubuh dan... a. Organ seksualitas korban b. Fisik korban c. Mental korban d. Psikis korban 4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor... a. Nomor 12 Tahun 2003 b. Nomor 16 Tahun 2004 c. Nomor 23 Tahun 2002 d. Nomor 24 Tahun 2004 5. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang pada intinya seseorang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain termuat dalam pasal... a. Pasal 81 b. Pasal 23 c. Pasal 56 d. Pasal 17 6. Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang dalam Bahasa Belanda biasa disebut... a. Burgerlijk wetboek b. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI). c. KUHPer d. KHI 7. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan seksual merupakan sebuah upaya perlindungan negara terhadap seluruh warga negaranya, terkhusus kepada... a. Orang Tua b. Laki-laki c. Gelandangan dan Pengemis d. Perempuan dan Anak 8. Pemidanaan yang dijatuhkan akan disertai pemberatan apabila korban adalah... a. Lansia b. Anak c. Remaja d. Ibu-ibu