PIDANA GANTI RUGI : ALTERNATIF PEMIDANAAN DI MASA DEPAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERTENTU SYAFRUDDIN, SH, MH Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara Medan I. PENDAHULUAN Bagaikan penyakit dan kematian yang selalu datang berulang, bagaikan musim yang selalu berganti dari tahun ke tahun, bagaikan matahari yang selalu terbit setiap hari, kriminalitas (kejahatan) akan selalu hadir dalam masyarakat (Bernes dan Teerers dalam I Nyoman Nurjaya, 1987 : 1). Emile Durkheim menyatakan bahwa, “crime is present not only in the majority of societies of one particular species but in all society that is not contronted with the problem of criminality. It is form changes : the act thus caracterize are not the same every where : but every where and always, there have been men who have behaved in such a way as to draw upon then selves penal repression. (Emile Durkneim, 1971 : 6) Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktifitas manusia baik politik, social dan ekonomi, dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Upaya untuk menanggulangi kejahatan, yang dikenal dengan politik kriminal (criminal policy) menurut G Peter Hoinagels dapat dilakukan dengan : a. penerapan hukum pidana (criminal law aplication) b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media). Dengan demikian penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu upaya penal (hukum Pidana) dan non penal (di luar hukum Pidana). Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal, lebih menitik beratkan pada sifat represif (merupakan tindakan yang diambil setelah kejahatan terjadi). Sebaliknya upaya non penal menitik beratkan pada sifat prepentif (menciptakan kebijaksanaan sebelum terjadinya tindak pidana). (Barda Nawawi Arief : 1-2. Penanggulangan kejahatan melalui hukum Pidana, merupakan kegiatan yang didahului dengan penentuan tindak pidana (kriminalisasi) dan penetuan sanksi yang 2002 digitized by USU digital library 1 dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana (pelaku kejahatan dan pelanggaran). Sanksi dalam hukum pidana merupakan suatu derita yang harus diterima sebagai imbalan dari perbuatannya yang telah merugikan korbannya dan masyarakat. Kondisi seperti ini sering kali justru menjauhkan hukum pidana dari tujuannya, yaitu mensejahterakan masyarakat. Dengan demikian sudah seharusnya penentuan dan penjatuhan sanksi dilakukan dengan pertimbangan yang serius, dengan harapan hukum Pidana akan mampu berfungsi melindungi kepentingan negara, korban dan pelaku tindak pidana. Sanksi Ganti kerugian, merupakan suatu sanksi yang mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan orang lain untuk membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga kerugian yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi. Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana. Indonesia, sebagai bagian dari negara-negara didunia yang dewasa ini tengah mempersiapkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Baru), untuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diambil oper dari wet Boek van Straftrecht Belanda, sudah sepantasnya mempertimbangkan keberadaan sanksi Ganti Kerugian dalam hukum Pidana mendatang (ius constituendum). Dengan demikian diharapkan Hukum Pidana Indonesia nantinya akan dapat bermanfaat dan mampu mencapai tujuan sebagaimana dikehendaki. Dari uraian tersebut di atas, maka yang akan menjadi perhatian dalam makalah yang penulis beri judul sanksi Ganti Kerugian dan Manfaatnya dalam Hukum Pidana Indonesia, adalah keberadaan sanksi Ganti kerugian dalam hukum Pidana Indonesia dan manfaat dari kemungkinan keberadaannya dalam Hukum Pidana mendatang. II. Sanksi Ganti kerugian dan perkembangannya Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. (Sudarto : 1981, 133) Sanksi Ganti Kerugian, menurut schafer telah dikenal pada masa hukum Primitif. Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari. (Romli Atmasasmita : 1992, 1) Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi pelaku tindak pidana kepada pribadi korban. 2002 digitized by USU digital library 2 Perkembangan berikutnya adalah pengambil alihan tanggung jawab oleh suku-suku terhadap tindakan anggota-anggota suku tersebut. Keadaan ini adalah awal dari munculnya tanggung jawab yang bersifat kolektif dalam kehidupan masyarakat kesukuan. Pada masa ini konsep ganti kerugian kadang-kadang dimasukkan dalam hukum Pidana. Hukum kebiasaan di German bahkan menggunakan sanksi ganti kerugian untuk perkara pembunuhan. (Romli Atmasasmita : 1992, 1) Pada masa ini nampak ganti kerugian bukan lagi merupakan suatu kesepakatan antara korban dengan pelaku tindak pidana, tetapi adalah merupakan suatu sanksi yang ditentukan suku-suku kepada pelaku tindak pidana. Setelah munculnya negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, sanksi Ganti Kerugian tidak lagi termasuk dalam hukum pidana. Sanksi Ganti kerugian termasuk ke dalam apa yang disebut dengan “the law of tort”, pihak yang dirugikan (korban tindak pidana) harus mengajukan tuntutan dalam bentuk uang ataupun sesuatu yang bersifat ekonomi. Dalam hal ini telah terjadi pengambil alihan segala sesuatu yang bersifat ganti kerugian bagi korban kejahatan kepada negara. Sehingga hubungan korban dengan kejahatan merupakan suatu hubungan yang bersifat keperdataan. (Romli Atmasasmita : 1992, 2-3). Dalam hal ini segala kerugian korban dipandang sebagai kerugian negara, negaralah yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan. Dengan demikian negara tidak lagi memberikan hak pada korban kejahatan untuk memperoleh ganti kerugian dari pelaku kejahatan, tetapi hal itu dapat dilakukan korban melalui gugatan yang bersifat perdata. Sanksi Ganti Kerugian ini kemudian kembali diharapkan keberadaannya sebagai bagian dari hukum Pidana, Pada tahun 1887, Si Goerge Arney seorang hakim Agung dari New Zaeland dan William Tallack, telah mengusulkan untuk kembali kepada praktek pemberian ganti kerugian kepada korban kejahatan. Berikutnya, Raffaele Garofalo telah menulis bahwa pembayaran ganti kerugian terhadap korban merupakan masalah keadilan dan keamanan atau ketertiban sosial. Kemudian Kongres Internasional Penjara tahun 1895 di Paris maupun Kongresnya pada tahun 1900 di Brussel, mempertanyakan hak korban untuk memperoleh jaminan ganti kerugian dari pelaku tindak pidana. (Romli Atmasasmita : 1992, 4). Perhatian terhadap korban kejahatan semakin serius setelah diadakan Simposium Viktimologi I di Jerusalem pada tahun 1973, yang menghendaki seluruh negara – negara di dunia memperhatikan system ganti kerugian terhadap korban kejahatan, meningkatkan secara maksimum penerapannya dan memberikan informasi mengenai hal ini pada masyarakat umum. Kemudian Draft teks dari united Nation Declaration on the Prosecutions and Assistence of Crima Victims, pada butir 4 (Part I General Principles) menetapkan secara tegas kewajiban negara-negara untuk melakukan : Reparation by the offender to the victim shall be an objective of the process of justice. Such reparation may include : (1) the return of stolen property : (2) monetary pavment for loss, damages, personal injury and psychological traume : (3) davment for pain and sufferino : (4) servis to the victim. Meningkatnya perhatian dunia internasional terhadap korban, telah mengajak masyarakat untuk memikirkan upaya – upaya untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh korban. Ganti Kerugian oleh pelaku kejahatan terhadap korban (restitusi) dipandang sebagai sarana yang baik untuk itu. Kenyataan inilah yang 2002 digitized by USU digital library 3 telah membawa kembali sanksi Ganti Kerugian masuk ke dalam bidang hukum Pidana, III. Sanksi Ganti Kerugian di Indonesia Serangkai dari sejarah hukum Indonesia, maka dapat dijumpai tentang ketentuan sanksi Ganti kerugian. Baik dalam hukum Adat yang tidak tertulis, maupun dalam ketentuan – ketentuan yang tertulis. Ketentuan yang tertulis dapat dijumpai dalam kitab undang – undang hukum jaman kerajaan Majapahit, yaitu Kitab Agama (ada juga yang menyebut dengan nama kitab Adigama). Kitab ini memiliki pidana pokok Ganti Kerugian dengan nama Panglicawa, Putukucawa dan Pamidara, demikian pula dalam pidana tambahannya dikenal sanksi berupa uang pembeli obat yang disebut Patibajampi atau Patuku tamba. Sanksi Ganti Kerugian ini biasanya dibebankan pada pelaku kejahatan pencurian, dalam soal tatayi dan dusta yang menimbulkan korban, kelalaian yang menyebabkan matinya orang, pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa, merusak milik orang lain dan sebagainya. Sedangkan mengenai sanksi uang pembeli obat dibebankan pada pelaku jika pihak korban menderita luka – luka, (Slametmuljana : 1967, 20-33) Sanksi Ganti kerugian dalam hokum adat merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar karena adanya tuntutan dari pihak yang telah dirugikan. Tujuannya agar masalah yang ada terselesaikan dengan damai. Demikian pula sanksi Ganti Kerugian berupa mengadakan selamatan desa yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat. Selain Sanksi Ganti Kerugian materiil dalam hukum Adat dikenal pula sanksi Ganti kerugain yang immaterial, seperti paksaan menikah pada gadis yang telah dicemarkan, (Hilman Hadikusumah : 1984 , 24-25), kenyataan diatas telah menunjukkan bahwa hukum Indonesia sejak jaman dahulu telah mengenal sanksi Ganti kerugian, yang harus dibayar oleh orang yang telah melakukan perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat kepada korban (orang yang menderita ataupun keluarga korban). Ganti kerugian ini dilakukan agar terciptanya perdamaian kembali ataupun agar keseimbangan masyarakat pulih kembali. Masuknya bangsa penjajah ke Indonesia, membawa pula hukumnya. Perlahan - lahan hukum Adat mulai berkurang kebera-daannya, terutama dalam bidang hukum Pidana. Keadaan ini benar-benar terasa setelah diberlakukannya Wet Boek van Straftrecht voor Nederland India (WvSNI). Sampai sekarang, setelah merdeka WvSNI dengan perubahan – perubahannya yang diberi nama kitab undang – undang Hukum Pidana (KUHP) tetap berlaku sebagai hukum pidana positif. Keberadaan KUHP yang merupakan ambil oper dari WvS Belanda yang dibentuk pada abad ke19, tentu saja tidak memiliki sanksi Ganti Kerugian, karena pada masa pembentukannya perhatian terhadap korban kejahatan masih lemah dan tujuan pemidanaan yang dianut adalah pembalasan (restributif). Walaupun demikian KUHP dalam ketentuan pidana Bersyarat, pada pasal 14 c menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana selain menentukan syarat umum dapat pula sekaligus menjatuhkan syarat khusus berupa ganti kerugian yang harus dipenuhi sebelum masa percobaannya berakhir, jadi tergesernya posisi hukum Adat oleh KUHP, telah menjauhkan kemungkinan korban – korban kejahatan di Indonesia untuk memperoleh ganti kerugian. Terlepas dari KUHP, sebenarnya dalam hukum Pidana positif yang lain ketentuan tentang Ganti kerugian juga dikenal. Undang – undang Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 34, mengatur tentang pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak – banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Dalam hal ini ganti kerugian diberikan pada negara, 2002 digitized by USU digital library 4 karena negara adalah merupakan korban (collective victim). Demikian pula dalam Undang – undang Tindak Pidana Ekonomi (UU Drt, No. 7 tahun 1955), undang – undang ini memuat kemungkinan penjatuhan pidana tata tertib kepada pelaku tindak pidana berupa kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa – jasa memperbaiki akibat – akibat satu sama lain, semua atas biaya terhukum, sekdar hakim tidak menentukan lain. Jadi Undang – undang Pidana materiil Indonesia sebenarnya sudah ada yang mengantisipasi upaya – upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana walaupun dengan sangat terbatas. Keberadaan sanksi ganti kerugian yang merupakan bagian dari pidana bersyarat dalam KUHP, serta hanya untuk tindak – tindak pidana tertentu saja, memperlihatkan perhatian bahwa perlindungan terhadap korban tindak pidana masih belum memuaskan. Apalagi jika dilihat dari penerapan sanksi Ganti kerugian sebagaimana diatur dalam hukum Pdana meteriil di atas, sampai saat ini belum bisa dikatakan telah memperhatikan korban dengan baik. Hal ini dikaitkan dengan penggunaannya yang sangat jarang. Minsalnya, pidana bersyarat adalah pidana yang sangat jarang di jatuhkan hakim. Walaupun dijatuhkan, sangat jarang yang disertai dengan syarat khusus mengganti kerugian, kecuali di Bali. Berdasarkan pengamatan penulis pidana bersyarat dengan syarat khusus ini sering dibebankan pada pelaku delik adat Lokika Sanggraha. Syarat khususnya sering berupa membayaran ganti kerugian desa, yaitu dengan jalan melakukan upacara Prayascita untuk membersihkan desa, atau ganti rugi immaterial yaitu harus menikahi gadis yang telah dihamilinya. Sedangkan sanksi Ganti Kerugian pada tindak pidana Korupsi, bahkan dikacaukan oleh Fatwa Mahkamah Agung yang memasukkannya kembali ke dalam lapangan hukum perdata, melalui pernyataannya bahwa ganti kerugian dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana dengan jalan melakukan gugatan lewat proses perdata. Tetapi dengan adanya keputusan MA dalam kasus Dicky Iskandar Dinata, yang memperlihatkan bahwa sanksi Ganti Kerugian tidak lagi dilakukan melalui jalur gugatan perdata, dapat terlihat bahwa diakuinya kembali sanksi Ganti Kerugian sebagai bagian dari hukum Pidana. Adapun berkaitan dengan ketentuan sanksi ganti kerugian dalam tindak pidana Ekonomi nampaknya lebih dekat pada sanksi atministratif. Akhirnya perlindungan terhadap korban kejahatan yang sangat kurang ini diantisipasi pula oleh perancang KUHP (Baru) Indonesia, Hal ini dapat terlihat dari Konsep Rancangan Kitab Undang – undang Hukum Pidana (Baru). Pada Pasal 48 ke9, yang menyatakan dalam pemidanaan hakim harus mempertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. Konsekuen dengan pertimbangan ini maka pada pasal 64, dalam ketentuan tentang jenis-jenis pidana, sanksi ganti kerugian dimasukkan sebagai pidana tambahan. Kemudian dalam pasal 87 dinyatakan bahwa sanksi Ganti Kerugian dibayar terpidana kepada korban atau ahli waris korban dan bila pembayaran ganti kerugian tidak dilaksanakan akan berlaku ketentuan Denda. Dari penjelasan pasal 87 ini jelas dikatakan bahwa keberadaan sanksi Ganti Kerugian sebagai bagian hukum Pidana sangat diharapkan, karena akan sangat memberi bentuk pada hukum pidana Indonesia. 2002 digitized by USU digital library 5 IV. Manfaat yang Dapat Diberikan oleh Sanksi ganti Kerugian Sanksi Ganti Kerugian sebagaimana telah dinyatakan di atas, adalah berusaha untuk melindungi korban tindak pidana. Tetapi selain itu masih ada beberapa manfaat lain yang memberikan nilai lebih pada sanksi Ganti Kerugian bila dimasukkan ke dalam KUHP (Baru). Perlindungan terhadap korban kejahatan menjadi focus perhatian masyarakat dunia sekarang ini. Ada dua cara yang berkembang dewasa ini, yaitu Prosedural Rights Model dan Service Model. Model yang pertama menghendaki diikutsertakannya korban dalam proses peradilan, baik terlibat langsung dalam sidang pengadilan ataupun dibelakang sidang diberikan ikut mempertimbangkan sanksi yang akan dijatuhkan pada pelaku tindak pidana. Sedangkan model yang kedua adalah melayani korban tindak pidana, dengan menghilangkan atau mengurangi penderitaan korban. Model yang kedua ini biasanya menggunakan ganti rugi sebagai sarana. Dari dua cara tersebut nampakny Service Model lebih tepat untuk dilaksanakan, karena Prosedural Rights Model akan sangat menghambat kelancaran proses peradilan yang dikehendaki yaitu cepat tepat adil dan biaya ringan. Sebaliknya dengan menerima Service Model maka harus memasukkan sanksi Ganti Kerugian ke dalam hukum Pidana. Dengan demikian jika sanksi Ganti Kerugian nantinya menjadi bagian KUHP, maka hukum Pidana Indonesia akan diterima oleh dunia internasional. Disamping itu akan diterima oleh dunia internasional. Disamping itu akan menunjukan bahwa KUHP bersifat modern, karena telah memperhatikan perbuatan, pelaku dan korban (daad-dader straftrecht dan victim). Dalam menjatuhkan pidana pada seseorang tentu harus dipertimbangkan pula tujuan pemidanaan. Ada banyak tujuan Pidana yang dikenal. Tetapi konsep Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (Baru) dalam pasal 47 menentukan tujuan pemidanaan adalah untuk : 1. mencapai dilakukan tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan menjadikan orang yang baik dan berguna; 3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan memdatangkan rasa damai dalam masyarakat; 4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. pembinaan sehingga Melihat keempat tujuan ini maka Sanksi ganti kerugian jelas memiliki tujuan yang lebih dekat pada upaya penyelesaian konflik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Sanksi Ganti Kerugian memang dari sejarah keberadaannya ditujukan untuk menyelesaikan konflik. Adanya ganti kerugian maka akan dianggap bahwa suatu peristiwa tidak pernah terjadi. Dengan demikian akan mengembalikan system kepercayaan korban dalam menghadapi kehidupan. Demikian pula akan membebaskan rasa bersalah terpidana yang dapat membuatnya tertekan dan justru berbahaya serta dapat merugikan dirinya atau masyarakat. Disamping itu secara psicologis dengan diterimanya uang ganti kerugian tersebut olrh korban berarti korban dapat dikatakan telah memberikan maaf pada pelaku tindak pidana tersebut. Jadi sanksi Ganti Kerugian sangat berperan sebagai jembatan perdamaian. Mengdindarkan pelaku kejahatan dari sanksi pokok yang 2002 digitized by USU digital library 6 berat dan menghindarkan negara mengeluardana lebih banyak untuk menanggulang kejahatan. V. Kesimpulan 1. Sanksi Ganti Kerugian telah dikenal secara terbatas dalam Hukum Pidana positif dan penggunaannya sangat jarang, sehingga dapat dikatakan hukum Pidana belum berperan banyak untuk melindungi korban tindak Pidana. 2. Sanksi Ganti Kerugian dapat mensejajarkan hukum Pidana Indonesia dengan hukum pidana negara – negara lain. Demikian pula sanksi Ganti Kerugian sangat baik untuk jembatan perdamaian, menghilangkan perasaan bersalah pelaku, menghindarkan pelaku tindak pidana dari sanksi pokok yang berat dan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan negara untuk penanggulangan kejahatan. 2002 digitized by USU digital library 7 Daftar Pustaka Arief, Barda Nawawi. 1991. Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan. Semarang. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Atmasasmita, Romli. 1987. Masalah Bantuan Terhadap Korban tindak Pidana. Jakarta. BPHN. Durkheim, Durkheim,. “Crime as a Normal Phenomenon”. Dalam J. E. Sahetapy. Bacaan Kriminologi I. 1987. Pusat Studi Kriminologi Universitas Airlangga. Surabaya. Hadikusuma, Hadikusumah. 1984. Hukum Pidana Adat. Penerbit Alumni. Bandung. Maulana, Slamet. 1967, Perundang-undangan Majapahit. Jakarta. Bhratara. Nurjaya, Nyoman. 1989. Profil Penjahat White. Collar. Universitas Brawijaya. Malang 2002 digitized by USU digital library 8