menguak potensi ekologi, sosial, dan perikanan

advertisement
MENGUAK POTENSI EKOLOGI, SOSIAL, DAN PERIKANAN MALUKU BARAT
DAYA: SEBUAH TEMUAN AWAL
Penulis:
Estradivari1, Nara Wisesa1, Adrian Damora1, Christian Handayani1, Amkieltiela1, Berbudi Wibowo2, Ignatius Tri Hargiyatno2, dan
Hakim Miftakhul Huda2
November 2015
Pendahuluan
Informasi anekdotal mengenai keindahan dan kekayaan alam laut Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) sudah sering
didengar di berbagai kalangan. Beberapa pelaku wisata bahari biasa menyebut kawasan ini sebagai salah satu lokasi
penyelaman terbaik di Indonesia, karena memiliki air laut yang sangat jernih, tutupan karang yang padat, serta
kumpulan ikan-ikan karang dan pelagis dalam jumlah melimpah dan beragam. Beberapa pelaku perikanan, bahkan
dari luar negeri sekalipun, mengakui besarnya potensi perikanan di kawasan ini dan mereka datang untuk
memanfaatkan sumber daya alam lautnya. Belum lagi informasi mengenai nilai sosial budaya yang masih terus terjaga
hingga saat ini.
Terlepas dari besarnya potensi yang dimiliki, tekanan terhadap sumber daya laut terus terjadi dan diprediksi akan
semakin intensif seiring dengan pertumbuhan MBD sebagai kabupaten baru. Selain itu, kondisi geografis yang
berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia menjadikan MBD sebuah kawasan strategis yang harus dijaga
oleh Indonesia, terutama terkait kedaulatan bangsa dan pengelolan sumber daya alam. Namun untuk mendukung
upaya itu, data dan informasi mengenai sumber daya ekologi, sosial, dan perikanan yang terdapat di Kabupaten MBD
masih terhitung minim sehingga para pengelola tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat untuk merumuskan bentuk
pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan secara tepat.
Berdasarkan alasan tersebut, tim peneliti gabungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Maluku Barat Daya, Universitas Pattimura, Institut Pertanian Bogor, WWF-Indonesia, dan
Wildlife Conservation Society – Indonesia Program berkolaborasi untuk melaksanakan survei cepat di Kabupaten
MBD dalam rangka mengumpulkan informasi terkait kondisi ekologi, sosial dan perikanan. Tujuan utama dari survei
cepat ini adalah untuk: (1) menyediakan masukan untuk model ilmiah dalam mengidentifikasi kawasan prioritas untuk
produktivitas perikanan; (2) mendukung upaya perencanaan spasial laut yang komprehensif berdasarkan data terbaik
yang tersedia; (3) melengkapi data yang sudah ada sebelumnya untuk menyediakan resolusi yang lebih detil terkait
kondisi di kawasan ini, dan untuk mengisi kekurangan data EAFM di WPP 714 dan 718. Secara keseluruhan, hasil
dari survei cepat berguna dalam mendukung program kerja pemerintah provinsi dalam membentuk Provinsi Maluku
sebagai Lumbung Ikan Nasional dan pemerintah nasional dalam membentuk 20 juta hektar KKP di Indonesia sampai
dengan tahun 2020.
Survei cepat ekologi, sosial dan perikanan di Kabupaten Maluku Barat Daya
Kegiatan survei cepat ekologi, sosial dan perikanan berlangsung dari tanggal 1–15 November 2015 dan melibatkan 16
peneliti gabungan dengan keahlian khusus. Pengambilan data ekologi dilakukan di 30 lokasi terumbu karang,
1
2
WWF-Indonesia
Balitbang - KKP
sementara pengambilan data sosial dan perikanan dilakukan di 14 desa contoh yang tersebar di Kabupaten MBD
(Gambar 1). Survei cepat ini mengumpulkan informasi terkait kondisi ekologi, sosial dan perikanan melalui
pengumpulan data sekunder dari kantor pemerintah dan sumber lain, dan pengumpulan data primer menggunakan
metode pengamatan langsung di air untuk survei ekologi, dan wawancara informan kunci, diskusi kelompok terarah
dan pengambilan data ikan tangkapan di pasar ikan untuk survei sosial dan perikanan. Parameter utama yang diamati
untuk (1) ekologi adalah tutupan komunitas bentik, kesehatan karang keras, kelimpahan dan biomassa ikan target, dan
sebaran spesies panji; (2) sosial dan perikanan adalah kesejahteraan manusia, pemanfaatan sumber daya laut dan tata
kelola sumber daya laut.
Gambar 1. Lokasi pengambilan data ekologi, sosial dan perikanan di Kabupaten Maluku Barat Daya
Data dan informasi yang dihasilkan dari lembar fakta ini merupakan hasil temuan awal dari kegiatan survei cepat dan
masih bersifat umum. Laporan ilmiah lengkap yang berisikan hasil analisa data yang lebih dalam dan komprehensif
serta rekomendasi pengelolaan yang sesuai baru akan tersedia pada bulan April 2016.
Sekilas tentang Kabupaten Maluku Barat Daya
Kabupaten MBD merupakan salah satu kabupaten baru hasil pemekaran wilayah Kabupaten Maluku Tenggara pada
tahun 2009, dengan Tiakur sebagai ibukota kabupatennya. Kabupaten MBD berbatasan langsung dengan Laut Banda
di sebelah Utara, Laut Timor dan Selat Wetar di bagian Selatan, Kepulauan Alor di sebelah Barat dan Kepulauan
Tanimbar di sebelah Timur. Keseluruhan Kabupaten MBD terdiri dari tiga gugusan kepulauan, yaitu Gugus
Kepulauan Terselatan, Gugus Lemola, dan Gugus Kepulauan Babar. Luas wilayah Kabupaten MBD adalah 72.427
km2 dimana 11,94% wilayahnya merupakan daratan (8.648 km2), dan 88,06% adalah lautan.
Maluku Barat Daya merupakan salah satu kawasan prioritas konservasi dan pengelolaan perikanan berkelanjutan di
Indonesia, karena berada di Bentang Laut Sunda Banda – kawasan seluas 151 juta hektar yang merupakan bagian dari
Segitiga Terumbu Karang yang memiliki keanekaragaman hayati laut yang tertinggi di dunia.
Kondisi umum ekologi laut
Kabupaten MBD memiliki 48 pulau yang membentang dari barat ke timur. Topografi pulau-pulau di bagian Barat,
seperti Wetar dan Romang umumnya berbukit dan berpegunungan dengan ketinggian antara 200-1000 meter.
Sementara pulau-pulau di sisi Timur, meski tetap berbukit, namun umumnya berupa pulau limestone dan sering
memiliki karakteristik berundak yang merupakan hasil dari kenaikan muka pulau dan perubahan muka air laut secara
periodik. Hampir keseluruhan pulau dibatasi oleh daerah-daerah pantai yang datar dengan kedalaman rendah di muka
pantai dan relatif terjal dengan kemiringan hampir vertikal (70-90 derajat) setelah tubir sampai ke kedalaman ratusan
meter.
Kondisi terumbu karang di muka pantai, atau dalam bahasa lokal dikenal dengan meti - daerah intertidal dari muka
pantai sampai dengan kepala tubir - umumnya didominasi oleh karang keras dan karang lunak yang tersebar secara
acak (patchy) dan diisi oleh patahan karang dan pasir diantaranya. Daerah ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut
yang relatif tinggi dan seringkali dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat untuk menangkap ikan
dan biota bentik.
Di daerah tubir, atau sekitar kedalaman 10 meter dimana kondisi ekosistem terumbu karang diamati, umumnya masih
bersifat baik. Substrat dasar banyak dipadati oleh berbagai jenis karang keras dan karang lunak dengan berbagai jenis
bentuk pertumbuhan. Tim ekologi menemukan lebih dari 60 genus karang yang teramati dalam transek dengan genus
dominan berupa Tubastrea, Fungia, Montipora, Acropora, dan Porites. Sebagian karang keras yang diamati masih
berstatus sehat, sementara hanya sebagian kecil yang berstatus “tidak sehat” umumnya disebabkan oleh faktor alami
seperti ditumbuhi alga, sedimen, kompetisi, gigitan ikan dan pigmentasi – dan bukan terjangkit oleh penyakit yang
bersifat menular dan mematikan.
Sejalan dengan hasil pengamatan komunitas bentik, komunitas ikan karang yang diamati juga umumnya memiliki
kekayaan jenis dan kelimpahan yang relatif tinggi. Tidak jarang ditemukan juga kumpulan ikan (schooling) dalam
jumlah puluhan hingga ratusan. Ukuran ikan karang yang ditemukan pun cukup beragam, dan masih banyak ditemui
ikan-ikan yang ukurannya masih relatif besar. Dari data ekologi yang dikumpulkan, bisa terlihat bahwa rantai
makanan di banyak lokasi di Kabupaten MBD masih bersifat fungsional, dimana masih ditemukan berbagai jenis ikan
dari mata rantai terbawah (herbivora) sampai di paling atas (pemangsa utama).
Selain melakukan pengamatan bentik dan ikan karang, sepanjang survei juga ditemui banyak spesies-spesies
panji/karismatik, termasuk diantaranya beberapa jenis hiu, penyu, manta, burung laut dan paus.
Kesejahteraan masyarakat
Jumlah penduduk Kabupaten MBD sebesar 70.714 jiwa pada tahun 2010 (BPS Kabupaten Maluku Barat Daya dalam
Angka, 2014) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,87%. Untuk aspek pendidikan, meski sarana dan
prasarana pendidikan masih relatif minim dan tidak merata, namun sebagian besar penduduknya merupakan lulusan
sekolah menengah. Bahkan tidak sedikit yang menempuh jenjang perguruan tinggi.
Sebagian besar mata pencaharian utama masyarakat adalah berkebun. Mereka umumnya menjual hasil kebun ke desa
atau pulau tetangga, baik dengan sistem pembayaran atau barter. Kecuali di Pulau Luang dimana seluruh
masyarakatnya adalah nelayan dan pembudidaya rumput laut, kegiatan perikanan atau menangkap ikan di Kabupaten
MBD umumnya dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan protein harian. Meski bukan sebagai mata pencaharian
utama, perikanan menjadi bagian penting dari kehidupan harian dan budaya masyarakat MBD. Ikan masih menjadi
sumber protein utama bagi masyarakat.
Tradisi dan adat istiadat, terutama terkait adat pernikahan dan pemerintahan desa, masih cukup kental di kalangan
masyarakat MBD. Di sebagian besar desa contoh, fungsi kepala desa juga mencakup fungsi dari raja, dan di beberapa
desa, hanya masyarakat dari marga raja yang bisa mencalonkan diri menjadi kepala desa. Masyarakat MBD juga
mempunyai modal sosial yang tinggi terkait ketertiban bermasyarakat dan desa memiliki berbagai peraturan desa yang
mengatur tata hubungan bermasyarakat. Sanksi hukuman yang cukup berat, baik secara adat maupun ekonomi, juga
masih ditegakkan dengan baik oleh perangkat desa.
Sistem kepemilikan tanah di sebagian besar wilayah MBD masih belum bersertifikat hak milik dan merupakan tanah
adat. Konflik sosial yang diamati di desa contoh umumnya hanya bersifat kasuistis. Sebagian besar konflik yang
terjadi biasanya terkait dengan permasalahan pemanfaatan lahan. Konflik sosial ini seringkali diselesaikan secara
kekeluargaan dengan mediasi tokoh adat.
Pemanfaatan sumber daya laut
Pemanfaatan sumber daya laut masyarakat MBD terbagi menjadi dua, yaitu pemanfaatan di dalam meti (zona
intertidal), dan di luar meti (inshore dan offshore). Di dalam meti, masyarakat memanfaatkan sumber daya laut
melalui kegiatan bameti yaitu mengumpulkan biota berekonomis tinggi pada saat air surut, seperti beberapa jenis
teripang di antaranya teripang susu (Bohadschia marmorata) dan teripang pasir (Holothuria scabra), lola (Trochus
niloticus), batulaga (Turbo marmoratus), bia mata bulan (Turbo spp.), bia marsegu (Cymbiola vespertilio), kima
(Tridacna spp.), dan lobster (Panulirus spp.). Selain melakukan kegiatan bameti, khusus masyarakat Pulau Luang juga
memanfaatkan daerah meti untuk budidaya rumput laut dari jenis kotoni (Eucheuma cottonii). Kegiatan budidaya
rumput laut juga pernah dilakukan di desa dan pulau lain, namun tidak sebesar dan intensif seperti di Pulau Luang, dan
umumnya kurang berhasil karena sering terjadi kegagalan panen yang disebabkan hama berupa ikan dan pasang surut
ekstrim di sekitar desa.
Pemanfaatan sumber daya laut di luar meti menargetkan ikan-ikan bersirip. Untuk ikan karang, jenis-jenis yang umum
ditangkap oleh masyarakat adalah lain jenis kerapu (famili Serranidae), kakap (famili Lutjanidae), baronang (Siganus
spp.), kakatua (famili Scaridae), dan sikuda (Lethrinus spp.). Sementara ikan pelagis yang sering ditangkap terdiri dari
ikan pelagis kecil: layang (Decapterus spp.), kembung (Rastrelliger spp.), ikan tembang (Sardinela spp.), ikan terbang
(Cypsilurus spp.), julung-julung (Hemiramphus spp.), kuwe (Caranx spp.), dan teri (Stolephorus spp.) serta ikan
pelagis besar: tuna sirip kuning (Thunnus albacares), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp.),
dan tongkol (Euthynnus affinis dan Auxis thazard).
Sektor perikanan di Kabupaten MBD tergolong dalam perikanan berskala kecil. Hal ini tercermin dari teknologi
pemanfaatan ikan yang digunakan. Armada penangkapan yang digunakan nelayan-nelayan di Kabupaten ini semuanya
termasuk sebagai armada kecil dengan jangkauan daerah penangkapan yang kecil. Jenis armada yang digunakan
terdiri dari perahu tanpa motor, perahu motor tempel sederhana dan perahu motor tempel cepat. Alat tangkap yang
digunakan masyarakat umumnya sama di setiap pulau, yaitu terdiri dari jaring insang (gill net), pancing (handline),
bubu (traps), panah, dan tombak (spear). Di pulau-pulau yang lebih berkembang dan dekat pusat pemerintahan,
seperti Pulau Kisar, Pulau Leti dan Pulau Moa, alat tangkap lain ditemukan, berupa pukat cincin (dalam bahasa lokal
disebut jaring bobo) serta rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikannya.
Secara umum, komoditas perikanan tangkap maupun budidaya di Kabupaten MBD bernilai ekonomis penting dan
bernilai jual tinggi. Masyarakat juga mengakui bahwa sumber daya laut mereka masih sangat melimpah dan dalam
kondisi baik. Meski begitu, hal ini tidak didukung oleh rantai pemasaran ikan hasil tangkapan yang relatif sempit.
Sebagian besar masyarakat hanya memanfaatkan hasil tangkapan hanya untuk konsumsi pribadi. Karena tidak adanya
sarana dan prasarana penyimpanan dingin di Kabupaten MBD, maka ikan segar yang ditangkap hanya dijual ke
kalangan penduduk desa atau desa/pulau tetangga saja. Komoditas perikanan segar yang tidak laku dijual biasanya
diasinkan atau diasapkan oleh masyarakat, dan dijual ke luar pulau apabila ada pembeli atau kapal perintis datang.
Beberapa waktu terakhir ini, beberapa investor perusahaan-perusahaan besar dari luar kawasan mulai berdatangan ke
beberapa pulau untuk membeli hasil tangkapan nelayan terutama jenis kerapu dan napoleon, dan juga rumput laut
kering.
Tata kelola sumber daya laut
Sistem sasi di Kabupaten MBD masih bisa ditemui di hampir seluruh desa contoh. Sasi merupakan sistem buka tutup
tradisional untuk pemanfaatan sumber daya laut tertentu yang berlaku secara turun menurun dan umumnya mengatur
jenis yang boleh diambil, waktu buka tutup, lokasi pemanfaatan, siapa yang boleh memanfaatkan dan sanksi apabila
melanggar aturan. Tidak seperti praktik sasi di beberapa lokasi lain di Provinsi Maluku, unsur adat dan tradisi dalam
praktik sasi di kabupaten MBD sudah banyak berkurang. Sasi di kawasan ini sudah berbasis gereja, di mana pendeta
bersama kepala desa mengatur sasi, dan pembukaan sasi juga dipengaruhi oleh permintaan pasar. Unsur adat dalam
sasi masih sedikit terlihat dalam penentuan sanksi dan pengaturan pembukaan sasi, meski hanya terlihat di beberapa
desa contoh.
Secara rata-rata, pembukaan sasi dilakukan setiap satu sampai tiga tahun sekali, umumnya dilakukan setelah ada
pembeli dari luar datang dan melakukan penawaran. Di pulau-pulau sebelah barat (dari Wetar hingga Sermata),
pembeli yang datang kebanyakan adalah orang-orang dari Sulawesi Selatan. Sementara, di pulau-pulau sekitar Babar,
pembeli yang datang adalah pedagang-pedagang keturunan Tiongkok dari Tepa, Saumlaki, dan Tual.
Hampir semua desa memberlakukan sasi terhadap komoditas bernilai ekonomi tinggi termasuk diantaranya lola
(Trochus niloticus), teripang (Holothuridae), batulaga (Turbo marmoratus). Di beberapa desa contoh, terdapat
beberapa komoditas tambahan lainnya yang juga di sasi seperti contohnya kima dan lobster. Sasi tidak berlaku
terhadap komoditas komoditas ikan atau hewan-hewan laut lainnya yang dimanfaatkan sebagai sumber protein harian
masyarakat. Sanksi terhadap pelanggar sasi bersifat normatif (teguran dari tokoh adat dan dianggap sebagai dosa) dan
nominal (sanksi berupa denda yang diatur oleh adat maupun peraturan desa).
Selain sasi, pemanfaatan sumber daya laut lainnya, seperti penangkapan ikan belum diatur secara spesifik oleh
pemerintah dan masyarakat setempat. Sebagai kabupaten baru, pemerintah kabupaten saat ini masih fokus dalam
memberikan bantuan kapal, alat tangkap dan pelatihan kepada masyarakat. Meski begitu, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten MBD telah memiliki rencana untuk pengembangan wilayah konservasi di masa depan.
Ancaman dan tantangan terhadap sumber daya laut
Berdasarkan hasil survei, ancaman terhadap sumber daya laut terbagi menjadi dua kategori, yaitu ancaman langsung
maupun tidak langsung. Ancaman langsung umumnya berasal dari nelayan andon - nelayan dari luar kawasan - yang
sering datang dan mencuri hasil sumber daya laut dengan cara merusak. Nelayan andon ini sebagian besar berasal dari
Alor, namun ada juga dari lokasi lain di Indonesia. Mereka umumnya menggunakan bom ikan, potasium dan
menyelam menggunakan kompresor. Pencurian sumber daya laut oleh nelayan andon ini terjadi hampir di seluruh
Kabupaten MBD dan menargetkan ikan-ikan berekonomis tinggi atau biota yang di sasi. Masyarakat secara aktif
memantau dan mengusir nelayan andon ini, namun umumnya tidak terlalu banyak membuahkan hasil karena nelayan
andon ini datang dengan armada kapal yang lebih modern, dengan jumlah besar, dan datang pada saat nelayan tidak
bisa melaut karena cuaca.
Ancaman tidak langsung berasal dari semakin tingginya jumlah pembeli yang masuk ke dalam kawasan untuk
membeli hasil tangkapan nelayan. Para pembeli ini memiliki modal yang cukup besar dan datang secara reguler.
Pembeli ini biasanya yang menentukan harga pasar dan komoditas yang layak untuk dijual. Masyarakat menjadi pihak
penerima dengan posisi tawar yang rendah. Sebagai contoh, pembeli menurunkan harga jual rumput laut hampir 50%
dari harga awal dalam beberapa tahun terakhir. Dengan penurunan harga ini, masyarakat tidak dapat berbuat apapun
selain menerima, karena tidak adanya pasar lain yang tersedia dimana masyarakat dapat menjual komoditas hasil
tangkapan mereka. Ketiadaan aturan-aturan spesifik mengenai pemanfaatan sumber daya laut dan rendahnya
pengawasan juga membuka celah untuk para pembeli dalam melakukan transaksi. Masih maraknya pengambilan
jenis-jenis biota dilindungi untuk kepentingan ekonomi adalah sebagai salah satu contohnya. Saat ini, jumlah pembeli
yang datang ke Kabupaten MBD semakin banyak dan semakin beragam.
Terlepas dari tingginya potensi ekologi, sosial dan perikanan di Kabupaten MBD, tekanan/ancaman terhadap sumber
daya laut bisa menjadi tinggi apabila tidak dikelola dengan baik. Sementara kemampuan masyarakat dalam
menghadapi ancaman ini mungkin tidak sebaik atau secepat ancaman terjadi. Masyarakat saat ini dihadapkan oleh
berbagai keterbatasan dalam pemanfaatan sumber daya laut, seperti tidak adanya fasilitas/infrastruktur penyimpanan
dingin ikan hasil tangkapan, keterbatasan teknologi penangkapan (armada dan alat tangkap), kesulitan untuk
mendapatkan bahan bakar, dan keterbatasan pemasaran untuk komoditas perikanan, budidaya dan perkebunan.
Dari hasil wawancara, mereka sangat mengharapkan bantuan dari pihak eksternal. Tanpa adanya peraturan
pengelolaan sumber daya laut dan sosialisasi yang jelas dan menyeluruh, masyarakat umumnya menerima dan
mencoba apapun yang diberikan oleh pihak luar. Sebagai contoh, bantuan budidaya rumput laut yang terjadi di
beberapa desa tanpa disertai pelatihan yang memadai mengakibatkan banyak masyarakat yang mengalami gagal
panen. Contoh lainnya adalah pemberian bantuan alat tangkap pukat cincin yang sebenarnya sudah dilarang
penggunaannya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun masih menjadi alat tangkap andalan di masyarakat.
Bahkan masyarakat sering membuat kelompok nelayan sendiri demi mendapatkan bantuan alat tangkap ini. Ketiadaan
pasar juga membuat masyarakat memilih menjual hasil tangkapannya ke negara lain, seperti kasusnya di daerah Wetar
yang menjual hasil tangkapannya ke Timor Leste, atau ke pembeli dari negara lain dimana kapal-kapal asing masuk ke
perairan kabupaten untuk membeli ikan hidup secara langsung. Hal ini jelas menyebabkan kerugian secara ekonomi
dan menurunkan devisa negara Indonesia.
Bergerak ke arah yang lebih baik
Pengelolaan kawasan dan pengembangan sektor perikanan dengan prinsip keberlanjutan di Kabupaten MBD menjadi
krusial untuk memastikan bahwa alam tetap terjaga dan masyarakat dapat secara terus menerus mendapatkan manfaat
dari sumber daya alat melalui keuntungan ekonomi dan sosial. Pemerintah kabupaten dan provinsi, dengan bantuan
dari pemerintah pusat dan mitra perlu bekerja sama dalam menentukan bentuk dan aturan pengelolaan yang paling
tepat dan efektif untuk Kabupaten MBD. Selain itu, pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya laut juga harus
ditingkatkan.
Khusus untuk sektor perikanan, pemerintah juga perlu memperbaiki sarana dan prasarana yang menunjang
pengembangan perikanan, termasuk membangun fasilitas tempat penyimpanan hasil tangkapan, memperhatikan rantai
pemasaran yang memudahkan nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan dan budidaya, dan mengurangi berbagai
aktivitas perikanan yang ilegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan (Illegal, Unregulated, Unreported Fishing).
Informasi lebih lanjut mengenai kegiatan survei cepat ekologi, sosial dan perikanan, dapat dilihat di
www.wwf.or.id/xpdcmbd atau hubungi:
Estradivari
Marine Conservation Science Coordinator
WWF-Indonesia
Email: [email protected]
#SELESAI#
Download