1 TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI LELANG DALAM PROSES PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN NIRMALA SARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 2 TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI LELANG DALAM PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN NIRMALA SARI NIM. 1392461006 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i 3 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI LELANG DALAM PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Studi Kenotariatan Pascasarjana Universitas Udayana NIRMALA SARI NIM. 1392461006 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii 4 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 17 APRIL 2015 KOMISI PEMBIMBING Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. I Wayan Parsa,SH.,MHum NIP 19591231 198602 1 007 Dr. I Made Udiana,SH.,MH NIP 19550925 198610 1 001 MENGETAHUI : Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum NIP. 196 40402 198911 2 001 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215 198510 2 001 iii 5 Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal : 15 April 2015 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 1119/UN14.4/HK/2015 Tanggal : 10 April 2015 Ketua : Anggota : Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., MHum 1. Dr. I Made Udiana, SH., MH 2. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MH., LLM 3. Dr. I Ketut Westra, SH., MH 4. Dr. I Made Sarjana, SH., MH iv 6 PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama : NIRMALA SARI NIM : 1392461006 Program Studi : Kenotariatan Judul Tesis : Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Lelang Dalam Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 31 Januari 2015 Yang Membuat Pernyataan (Nirmala Sari) v 7 UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Lelang Dalam Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan”. Penulis berharap agar tesis ini dapat memberikan informasi dan menambah khasanah pengetahuan dalam ranah hukum lelang terkait dengan jabatan notaris sebagai pejabat lelang kelas II. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari pembimbing dan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasi yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,MHum., selaku Pembimbing Pertama dan Dr. I Made Udiana, SH.,MH. selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan dukungan, semangat, saran srta dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana beserta staff atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis vi 8 untuk menjadi mahasiswa program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister dan kepada Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,Mhum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas segenap perhatian, bimbingan dan petunjuk yang selama ini diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan berlangsung. Ucapan terimakasih kepada Bapak dan Ibu seluruh staff dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi selama perkuliahan berlangsung dan selama proses penulisan tesis ini berlangsung. Terimakasih juga penulis tujukan kepada orang tua tercinta Yanto Aminoto dan Liliana Dewi dan juga adik-adik tercinta, Yusuf, Yunus, Yuwono, dan Juwita yang senantiasa mendoakan, mendukung dan memberikan semangat selama penulis menjalani masa perkuliahan dan selama proses tesis ini. Terimakasih pula penulis ucapkan kepada Diana Prayogo, Felia Hertanto, Nico Hendrata, dan seluruh anggota JIJI yang telah memberikan semangat, dukungan dan bantuan hingga tesis ini dapat berlangsung. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Samuel Cibro, SH., Junaedi Kariadi, SH., MH., Komang Trianna, SH., Ni Nyoman Tri Indrayanti, vii 9 SH., Putu Elik Sulistyawati, SH., Anak Agung Istri Candra Pramita, SH., I Gusti Ayu Aryastini, SP, SH., serta seluruh teman-teman angkatan VI Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu dan telah memberikan semangat dan dukungan dalam penulisan tesis ini serta semua pihak yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada tim pelayan anak eagle kids, connect group imam bonjol, Lemakers, dan seluruh keluarga besar Gereja Mawar Sharon satelit the light Bali atas dukungan dan doa yang tidak kunjung habisnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis tepat pada waktunya. Penulis juga menyampaikan terimakasih terhadap seluruh staff Jaya Agung Terang dan Jaya Agung Sentosa yang selalu memberikan dukungan dalam menyelesaikan tesis ini. Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa, Yesus Kristus yang selalu memberikan kasih karunia dan berkatnya kepada kita semua dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang kenotariatan serta berguna bagi masyarakat. Denpasar, 31 Januari 2015 Penulis viii 10 ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI LELANG DALAM PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN Hak tanggungan merupakan perlindungan hukum bagi kreditor apabila debitor tidak dapat melakukan kewajibannya untuk melunasi hutangnya kepada kreditor. Pelunasan hutang kreditor dilakukan dengan cara penjualan objek jaminan hak tanggungan melalui pelelangan umum. Permasalahan dalam pelelangan terjadi ketika pemenang lelang tidak dapat menguasai objek lelang yang dibelinya dikarenakan susahnya pengosongan dan adanya gugatan dari pihak debitor ataupun pihak ketiga. Perlindungan hukum harus diberikan terhadap pemenang lelang yang berarti adanya kepastian hukum hak pemenang lelang atas obyek yang dibelinya melalui lelang. Proses lelang yang telah dilakukan akan menimbulkan akibat hukum yaitu peralihan hak obyek lelang dari penjual kepada pemenang lelang. Dalam peralihan hak obyek lelang ternyata menimbulkan suatu permasalahan, seperti tidak dapat dikuasainya obyek lelang oleh pemenang lelang, serta pembatalan lelang berdasar putusan. Adanya pembatalan lelang eksekusi hak tanggungan oleh putusan pengadilan mengakibatkan pemenuhan hak preferen yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditur pemegang hak tanggungan melalui lelang eksekusi menjadi tidak memiliki kepastian hukum. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi pemenang lelang eksekusi hak tanggungan atas penguasaan obyek lelang dan bagaimana tanggung jawab pejabat lelang terhadap penjualan lelang hak tanggungan dan juga upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan oleh pembeli lelang beritikad baik atas pembatalan eksekusi lelang oleh putusan pengadilan. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa hukum positif Indonesia yang mengatur tentang lelang yaitu Vendu Reglement, HIR, serta PMK Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas PMK Nomor 93/PMK.06/2010 dan PMK Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Adanya pembatalan lelang eksekusi hak tanggungan oleh putusan pengadilan mengakibatkan pemenuhan hak preferen yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditur pemegang hak tanggungan melalui lelang eksekusi menjadi tidak memiliki kepastian hukum. Kata Kunci : Perlindungan hukum, Lelang Pemenang lelang, Eksekusi hak tanggungan. ix 11 ABSTRACT LEGAL PROTECTION FOR THE AUCTION WINNER EXECUTION IN THE AUCTION EXECUTION OF THE MASTERY OBJECT AUCTION Dependent rights is a legal protection for creditors if the debtor cannot perform their responsibility to pay off the debt to the creditor. Debt repayment of creditors can make sales collateral dependent rights objects through public auction. The problems in the auction occurs when the auction winner can’t master the auction object bought due to the discharge of his difficult and the existence of a lawsuit from the debtor or a third party. Legal protection against the winner of the auction means legal certainty rights the auction winner of the object bought by auction. In the auction process that has been done will lead to legal consequences which the object right transfer from the seller to the auction the winning bidder. In fact the process of transition right auction object cause a problems, for example an object can’t be mastered by the auction winner, as well as the cancellation of the auction based on the decision of the District Court. Cancellation of the auction execution by the court ruling cause the implementation of the preferen rights that giving by the law to the creditor mortgage holders through the auction execution be not have legal certainty. This research was conducted to determine how the legal protection for the auction winner execution of the mastery object auction and to find how the responsibility of the auction officials to auction sales rights and legal protection for dependants auction winner and what kind of remedy for the auction winner who has a good faith because a cancellation of the auction execution by the court. This research was conducted by the method of juridicial normative. The result of this research concluded that Indonesian positive law which are Vendu Reglement, HIR, and the PMK 106/PMK.06/2013 about the changes of the PMK 93/PMK.06/2010 and the PMK 93/PMK.06/2010 about the instruction of auction not yet give legal protection against the winner of the auction is. While the auction treatise doesn’t provide legal protection to the auction winner. Cancellation of the auction execution by the court ruling cause the implementation of the preferen rights that giving by the law to the creditor mortgage holders through the auction execution be not have legal certainty. Keywords : Legal protection, Auction winner, Execution of mortgage. x 12 RINGKASAN Tesis ini menganalisis mengenai perlindungan hukum pembeli lelang dalam pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan. Adapun dalam tesis ini terdiri dari enam bab yang dapat diuraikan sebagai berikut. Bab I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang mengenai permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan judul yang dipilih, yaitu Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Lelang Dalam Proses Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan. Berawal dari perjanjian kredit yang menimbulkan adanya jaminan yang dibebani hak tanggungan bertujuan agar apabila debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya maka kreditor dapat mendapatkan pelunasannya dari hasil penjualan jaminan yang dibebani hak tanggungan tersebut. Pada penulisan tesis ini membahas tentang perlindungan hukum pembeli lelang dalam pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, landasan teoritis serta metode penelitian yang digunakan. Bab II merupakan tinjauan pustaka yaitu bab yang tersusun atas teori umum yang merupakan dasar-dasar pemikiran, yang digunakan dalam menjawab permasalahan terdiri dari dua sub bahasan. Pada sub bahasan pertama membahas tentang tinjauan umum lelang yang terdiri dari pengertian dan dasar hukum lelang, fungsi dan asas lelang, pejabat lelang, jenis-jenis lelang, dan akta risalah lelang sebagai akta otentik, Pada sub bahasan kedua membahas tentang tinjauan umum hak tanggungan yang terdiri dari pengertian hak tanggungan, subjek dan objek hak tanggungan, asas-asas hak tanggungan, pemberian hak tanggungan, dan lahir dan berakhirnya hak tanggungan. Teori-teori umum ini merupakan kumpulan pendapat para ahli di bidang hukum lelang atau merupakan bahan dari hasil penelitian sebelumnya. Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan masalah pertama umum yang terdiri dari tiga sub bahasan. Pada sub bahasan pertama membahas mengenai hak tanggungan sebagai jaminan kredit pada bank. Pada sub bahasan kedua membahas mengenai kekuatan eksekutorial hak tanggungan. Pada sub bahasan ketiga membahas tentang perlindungan hukum pembeli lelang eksekutorial hak tanggungan yang dibatalkan oleh pengadilan. Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan masalah kedua yang terdiri dari tiga sub bahasan. Pada sub bahasan pertama membahas tentang pembatalan eksekusi lelang melalui pengadilan. Pada sub bahasan kedua membahas tentang akibat hukum pembatalan eksekusi lelang. Pada sub bahasan ketiga membahas tentang upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atas pembatalan eksekusi lelang. Bab V sebagai bab penutup menguraikan mengenai simpulan dan saran yang didapatkan dari hasil uraian analisis yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya. Adapun simpulan yang didapatkan dari pembahasan tersebut terdiri dari dua yaitu: pertama bahwa peraturan pelaksanaan lelang yang ada selama ini tidak memberikan perlindungan hukum secara preventif kepada pemenang lelang artinya bahwa Vendu Reglement yang menjadi dasar hukum utama lelang di xi 13 Indonesia, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang belum ditemukan adanya perlindungan hukum kepada pemenang lelang eksekusi hak tanggungan. Risalah lelang tidak memberikan perlindungan hukum kepada pemenang lelang atas penguasaan objek lelang. Perlindungan hukum secara represif diberikan oleh HIR dalam hal pengosongan objek lelang dapat meminta bantuan Pengadilan Negeri dan apabila terjadi bantahan pemenang lelang dapat mengajukan upaya hukum berupa banding dan kasasi. Kedua, Lelang merupakan bentuk jual beli yang masih terbuka terhadap bantahan/keberatan/gugatan dari pihak ketiga. Jika terjadi bantahan akibat gugatan yang diajukan oleh pihak ketiga yang pada akhirnya gugatan tersebut masuk ke pengadilan dan putusan pengadilan memenangkan gugatan pihak ke tiga tersebut, maka pemenang lelang dapat mengajukan upaya hukum ke pengadilan tinggi untuk menyelesaikan persoalan yaitu melalui Banding dan melalui Mahkamah Agung untuk Kasasi. Hal ini dikarenakan penjualan melalui lelang termasuk dalam penjualan perdata dan upaya hukum yang dapat dilakukan adalah upaya hukum dalam ruang lingkup hukum acara perdata. Adapun saran dalam penelitian ini ada tiga yaitu: pertama, Guna untuk mewujudkan perlindungan hukum terutama bagi pembeli lelang, maka diperlukan adanya pembaharuan peraturan lelang oleh pemerintah yaitu dengan cara melakukan perombakan terhadap norma-norma dalam Vendu Reglement karena norma-norma didalamnya sudah tidak relevan lagi dalam perkembangan hukum yang pesat saat ini, juga peraturan teknis pelaksanaan lelang agar tidak menimbulkan celah hukum yang merugikan bagi pihak debitur, kreditur, pemenang lelang, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Untuk menunjang perlindungan hukum secara preventif yang masih belum ada maka pejabat lelang dan pembeli lelang harus lebih cermat, teliti dan berhati-hati dalam proses pelaksanaan lelang terutama dalam hal keabsahan dokumen-dokumen terkait obyek lelang. Kedua, adanya upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan telah memberikan celah untuk adanya bantahan/gugatan/keberatan meskipun risalah lelang seharusnya telah mempunyai kekuatan hukum tetap namun dalam prakteknya pembeli lelang eksekusi hak tanggungan dapat dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain yang merasa dirugikan atas penjualan lelang tersebut. Upaya hukum yang telah disediakan untuk kedua belah pihak telah disediakan dan jelas, hal ini untuk menunjang tercapainya tujuan hukum yaitu keadilan dan juga kepastian hukum tidak hanya pada sisi pembeli lelang namun juga untuk sisi penjual lelang maupun pihak ketiga yang dirugikan. xii 14 DAFTAR ISI SAMPUL DALAM ............................................................................................ i PRASYARAT GELAR ...................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................. iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.................................................................. v UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vi ABSTRAK ......................................................................................................... ix ABSTRACT ......................................................................................................... x RINGKASAN ..................................................................................................... xi DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 15 1.3. Tujuan Penelitian......................................................................... 15 1.3.1. Tujuan Umum.................................................................. 15 1.3.2. Tujuan Khusus ................................................................. 16 1.4. Manfaat Penelitian....................................................................... 16 1.4.1. Manfaat Teoritis............................................................... 16 xiii 15 1.4.2. Manfaat Praktis................................................................ 17 1.5. Landasan Teoritis ........................................................................ 17 1.5.1. Teori Perlindungan Hukum ............................................. 18 1.5.2. Teori Pertanggungjawaban .............................................. 21 1.5.3. Konsep Lelang ................................................................. 28 1.5.3.1 Pengertian Lelang .............................................. 28 1.5.3.2. Jenis Lelang ....................................................... 30 1.5.4. Asas Itikad Baik............................................................... 32 1.6. Metode Penelitian........................................................................ 36 1.6.1. Jenis Penelitian ................................................................ 36 1.6.2. Jenis Pendekatan.............................................................. 37 1.6.3. Sumber Bahan Hukum/Data ............................................ 39 1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum............................... 41 1.6.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ............. 41 1.7. Sistematika Penulisan.................................................................. 42 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LELANG DAN HAK TANGGUNGAN ....................................................................... 44 2.1. Tinjauan Umum Tentang Lelang................................................. 44 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum Lelang .............................. 44 2.1.2. Fungsi dan Asas Lelang................................................... 51 2.1.3. Pejabat Lelang ................................................................ 52 xiv 16 2.1.4. Jenis-Jenis Lelang............................................................ 54 2.1.5. Akta Risalah Lelang Sebagai Akta Otentik ..................... 57 2.2. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan .................................. 60 2.2.1. Pengertian Hak Tanggungan .............................................. 60 2.2.2. Subjek dan Objek Hak Tanggungan .................................. 63 2.2.3. Asas-Asas Hak Tanggungan ............................................. 64 2.2.4. Pemberian Hak Tanggungan .............................................. 72 2.2.5. Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan........................... 77 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PEMBELI LELANG EKSEKUSI ......................................................................................... 81 3.1. Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank ................ 81 3.2. Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan .................................... 92 3.3. Perlindungan Hukum Pembeli Lelang Eksekutorial ................... 102 Hak Tanggungan Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan.................. BAB IV UPAYA HUKUM TERHADAP PEMBATALAN EKSEKUSI LELANG MELALUI PENGADILAN...................... 115 4.1. Pembatalan Eksekusi Lelang Melalui Pengadilan....................... 115 4.2. Akibat Hukum Pembatalan Eksekusi Lelang .............................. 127 4.3. Upaya Hukum Atas Pembatalan Eksekusi Lelang ...................... 136 BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 148 5.1. Kesimpulan.................................................................................. 148 5.2. Saran-Saran.................................................................................. 149 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ viii xv 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhannya membutuhkan suatu pendananaan dari bank, yaitu salah satunya dengan cara pengkreditan. Menurut Muchdarsyah Sinungan, memberikan pengertian kredit sebagai suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi berupa bunga.1 Pengertian ini apabila dikaitkan dengan pengertian kredit dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (UU Perbankan) mempunyai persamaan, dimana berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, Kredit di definisikan sebagai sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga” Dalam pemberian kredit unsur esensialnya adalah kepercayaan yaitu dari bank sebagai kreditur terhadap peminjam sebagai debitur dengan dilandasi adanya 1 1 Muchdarsyah Sinungan, 1984, Dasar-dasar dan Teknik Management Kredit, PT Bina Aksara, Jakarta, Cet. II, hal. 12. 2 kesepakatan pinjam meminjam. Pemberian kredit merupakan suatu perjanjian utang piutang antara bank dengan debitur yang ditekankan kepada kesepakatan para pihak yaitu berdasar pada kebebasan dalam membuat perikatan yang diatur dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yang menyatakan bahwa: “Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.” Selain itu adapula Pasal 1338 KUHPerdata sistem pengaturan perjanjian yang menyebutkan “Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai UndangUndang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas dalam hukum perjanjian pada umumnya yang intinya memperbolehkan para pihak untuk secara bebas menuangkan kehendaknya, kemudian disusun dalam perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatangani perjanjian asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik, atau ketertiban umum. Pada perjanjian kredit terdapat dua perjanjian yaitu perjanjian pokok dan perjanjian tambahan (accesoir). Perjanjian pokoknya merupakan perjanjian kredit yang dibuat bank bersama debitur dalam rangka kegiatan usaha pemberian kredit perbankan, dan perjanjian accesoirnya merupakan perjanjian hak tanggungan.Dibuatnya suatu perjanjian kredit antara bank dengan debitur bertujuan agar memberikan kepastian atas pengembalian pinjaman. Perjanjian pinjam meminjam antara bank dengan peminjam diikat dengan hak jaminan. Perjanjian jaminan yang dibuat antara kreditur dengan debitur membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak debitur, dengan 3 tujuan memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok jaminan. Dalam perjanjian kredit menghendaki adanya jaminan atau anggunan yang dapat digunakan sebagai pengganti pelunasan hutang bilamana dikemudian hari apabila debitur cidera janji atau wanprestasi. Apabila debitur cidera janji dengan tidak melakukan pelunasan setelah melewati proses somasi atas perjanjian utang-piutang dalam hak tanggungan, maka sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan dalam akta pembebanan hak tanggungan. Karena sertifikat hak tanggungan tersebut pada dasarnya merupakan suatu grose akta yang berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Maka eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan cara pelelangan dimuka umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yaitu: “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan asset tersebut”, artinya adalah apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Konsep ini dalam KUHPerdata dikenal sebagai Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 1178 ayat (2) KUHPerdata. Dengan konsep parate eksekusi, pemegang Hak Tanggungan tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pemberi Hak Tanggungan, dan tidak perlu juga meminta penetapan pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitur dalam hal debitur cidera janji.2 Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. 3 Konsep ini merupakan terobosan atas proses eksekusi yang ada sebelum lahirnya Undangundang Hak Tanggungan, dimana eksekusi atas grosse akta hipotik hanya dapat dilakukan melalui eksekusi di Pengadilan Negeri yang memakan waktu yang lama dan biaya eksekusi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan Parate Eksekusi Hak Tanggungan.4 Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang. Keberadaan lembaga lelang di Indonesia yang diatur di dalam sistem hukum dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat diantaranya penyelesaian sengketa yang telah memperoleh putusan pengadilan. Penjualan umum melalui lembaga lelang diatur di dalam Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stbl. 1908 Nomor 189) dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stbl. 1908 2 Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Asas-Asas, KetentuanKetentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan, Alumni, Bandung, hal. 46. 3 Ibid. 4 Ibid. 5 Nomor 190). Di dalam Vendu Reglement mengatur hal-hal yang sifatnya mengkhusus namun tetap dikuasai oleh ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata Pasal 1319 yang menyatakan bahwa, “Semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.” Lelang eksekusi menurut Penjelasan Pasal 41 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, 5 meliputi lelang Putusan Pengadilan, Hak Tanggungan, sita pajak, sita Kejaksaan atau Penyidik dan sita Panitia Urusan Piutang Negara. Sedangkan lelang sukarela adalah lelang atas prakarsa sendiri pihak yang berhak atas objek yang akan dilelang. Berbeda halnya dengan lelang eksekusi yang peralihan haknya dilakukan oleh kreditur. Dalam lelang eksekusi, lembaga yang berwenang melaksanakannya adalah Kantor Lelang Negara sedangkan untuk lelang sukarela dapat dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara atau Balai Lelang Swasta. Dalam pelaksanaan lelang khususnya lelang eksekusi, potensi gugatan sangat tinggi. Total gugatan yang masuk ke DJKN/KPKNL (berdasarkan Buletin Media Kekayaan Negara Edisi No.14 Tahun IV/2013) adalah 2.458 dan 1.500 5 Penjelasan Pasal 41 ayat (4): “Lelang eksekusi meliputi lelang dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan, hak tanggungan, sita pajak, sita Kejaksaan/Penyidik dan sita Panitian Urusan Piutang Negara. Dalam pelelangan eksekusi kadang-kadang tereksekusi menolak untuk menyerahkan sertifikat asli hak yang akan dilelang. Hal ini tidak boleh menghalangi dilaksanakannya lelang. Oleh karena itu lelang eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun sertifikat asli tanah tersebut tidak dapat diperoleh Pejabat lelang dari tereksekusi.” 6 lebih adalah gugatan dari lelang eksekusi Pasal 6 Hak Tanggungan. Hal ini dikarenakan dalam lelang eksekusi, kebanyakan barang dilelang tanpa kesukarelaan dari pemilik barang dan seringkali banyak pihak yang berkepentingan terhadap barang tersebut tidak menginginkan lelang, sehingga dalam praktek terdapat para pihak yang merasakan kepentingannya terganggu dengan adanya pelaksanaan lelang. Pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu berkaitan dengan lelang atas suatu objek lelang, biasanya akan mengajukan gugatan di pengadilan, untuk memperjuangkan haknya yang terkait dengan objek yang dilelang, sehingga terdapat banyak perkara baik perdata maupun tata usaha negara berkaitan dengan lelang. Peralihan hak melalui lelang dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu peralihan hak dengan beralih dan peralihan hak dengan cara dialihkan.6 Beralih yang dimaksud artinya bahwa peralihan hak tersebut terjadi manakala pemegang haknya meninggal dunia sehingga secara hukum ahli waris akan memperoleh hak tersebut. Sedangkan peralihan hak karena dialihkan terjadi manakala perbuatan hukum dilakukan secara sengaja agar pihak lain memperoleh hak tersebut.Peralihan hak terhadap benda tak bergerak melalui lembaga lelang dilakukan dengan jual beli secara resmi di hadapan pejabat lelang. Dalam prakteknya benda tak bergerak seperti tanah yang sering mengalami permasalahan dalam Peralihan haknya melalui lembaga lelang. Secara yuridis, yang dilelang dalam hal ini adalah hak atas tanah. 6 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, hal. 383. 7 Tujuan daripada lelang hak atas tanah adalah agar pembeli lelang dapat secara sah menguasai dan menggunakan tanah. Sebagaimana diketahui bahwa tanah merupakan benda yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Peraturan yang ada terkait dengan lelang tersebut terkadang tidak mampu dalam menampung kasuskasus yang terjadi di masyarakat.Peralihan hak dengan pelelangan hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang baik dalam lelang eksekusi dan lelang sukarela.7 1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK/06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, yang menyatakan bahwa: “Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang.” 2. UU Nomor 19 Thn 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Pasal 1 sub 17, menyatakan bahwa: ”Lelang adalah penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan calon pembeli atau peminat.” Salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat adalah adanya pembangunan nasional berupa pembangunan ekonomi. Adapun upaya 7 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cet. XII, Djambatan, Jakarta, hal. 516. 8 yang dilakukan masyarakat adalah melakukan usaha dengan dukungan dana dan tersedianya dana dari bank dalam bentuk kredit. Dalam Pasal 1 angka 11 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pemberian kredit merupakan suatu perjanjian utang-piutang antara bank dengan debitur, yang ditekankan kepada kesepakatan para pihak yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak namun dalam prakteknya pemberian kredit sering mengalami resiko kemacetan kredit. Adanya resiko kemacetan kredit maka untuk mengatasinya perlu adanya perjanjian pinjam meminjam antara kreditur dengan debitur yang diikat dengan jaminan. Tujuan dari pengikatan jaminan adalah untuk memberikan kepastian dan keamanan atas pelaksanaan kredit tersebut jika terjadi wanprestasi yang diakibatkan oleh debitur. Jika debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji maka kreditur dapat mengambil pelunasannya melalui pelelangan umum yang berdasarkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tercantum dalam sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan memiliki titel eksekutorial yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan. Pemerintah membentuk suatu lembaga yaitu Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (selanjutnya 9 disingkat KP2LN) sebagai sarana penjualan lelang. Sehingga lelang dapat menjadi sarana penjualan yang efisien untuk memperoleh pelunasan bagi kreditur. Namun dalam kenyataannya banyak kendala-kendala serta masalah yang timbul di dalam pelaksanaanya diantaranya yaitu pemenang lelang yang beritikad baik tidak dapat memperoleh dan menikmati atas barang yang telah dimenangkannya. Secara normatif sebenarnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang asas lelang, namun apabila dicermati dari klausula-klausula dalam peraturan perundang-undangan di bidang lelang dapat ditemukan adanya asas lelang, yaitu: a. Asas Transparansi Asas ini mengandung makna bahwa cara penjualan umum melalui lelang dilakukan dimuka umum. Lelangnya pun harus diumumkan terlebih dahulu, agar masyarakat mengetahui akan adanya lelang dan barang lelangnya cepat terjual. Lelang harus dikontrol ini terbukti dengan adanya sistem lelang yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk memberikan perlindungan/kepastian kepada masyarakat/pembeli mengenai objek lelang tersebut. Oleh karena itu setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan pengumuman lelang. Asas ini juga untuk mencegah terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat, dan tidak memberikan kesempatan adanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). b. Asas Akuntabilitas Maksud akuntabilitas adalah lelang dalam pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya akta yang bersifat 10 otentik yaitu Akta Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang dan sistem pelaksanaan lelang sudah diatur oleh Undang-Undang. c. Asas Efisiensi Menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang dilakukan dalam tempat dan waktu yang telah ditentukan dan pembeli disahkan saat itu juga. Pelaksanaan lelang tidak membutuhkan waktu yang lama, tidak perlu mencari-cari pembeli dan tidak perlu bernegosiasi seperti transaksi jual beli pada umumnya. Tidak hanya itu saja, objek lelang pun sebelumnya telah diteliti baik fisik maupun aspek juridisnya oleh pejabat lelang dan transaksi lelang dilakukan pada satu waktu dan pada satu tempat yang telah ditentukan. Penjualannya pun tidak diperkenankan melalui perantara dan pembayarannya bersifat tunai. d. Asas Certainty (kepastian) Kepastian lelang sudah diatur sebagaimana dalam Peraturan Menteri Keuangan Pelaksanaan Lelang, yaitu Lelang di pimpin oleh Pejabat Lelang yang diselenggarakan oleh Kantor Lelang Negara. Tempat, tanggal, waktu dan objek lelang telah ditetapkan sebelumnya dan diumumkan kepada masyarakat. Pelaksanaan lelang tidak mudah untuk ditunda atau dibatalkan kecuali melalui putusan/penetapan pengadilan. e. Asas Keadilan Mengandung pengertian bahwa dalam proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini untuk mencegah terjadinya keberpihakan pejabat 11 lelang kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya kepada kepentingan penjual. Khusus pada pelaksanaan lelang eksekusi, penjual lelang tidak dapat menentukan harga limit secara sewenang-wenang yang berakibat merugikan pihak tereksekusi. Berdasarkan asas-asas lelang yang diuraikan diatas, menimbulkan beberapa kebaikan lelang. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan, kebaikan lelang antara lain adalah aman, cepat, dan mewujudkan harga yang wajar, selain itu kebaikan lelang yaitu dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan lelang. Adapula Putusan Perkara Pengadilan Negeri Malang Nomor: 133/Pdt.G/2000/PN.Mlg tanggal 27 Pebruari 2001 jo. Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 934/Pdt/2001/PT.Sby tanggal 25 April 2002 sebagai contoh kasus nyata putusan pengadilan yang merugikan pembeli lelang. Perkara ini antara Paulus Suryatika sebagai Penggugat lawan PT. Bank Bumi Daya (Persero) sekarang menjadi PT. Bank Mandiri Tergugat I: Yusuf Ismail sebagai Tergugat II; Wellyansah (d/h Thio kok Soey) sebagai Tergugat III; Departemen Keuangan Cq BUPLN Cq KP3N sebagai Tergugat IV; Yusuf Barasyid sebagai Tergugat V; Kepala Wilayah Kecamatan Purwodadi (Camat) Tergugat VI; Kepala Desa Sentul Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan sebagai Tergugat VII. Adapun posita gugatan antara lain: bahwa Penggugat adalah pemilik yang sah atas sebidang tanah/bangunan SHM Nomor: 5 seluas 1486 m2 yang disewakan pada Tergugat III, selanjutnya karena Tergugat III ingkar janji dalam 12 perjanjian sewa menyewa tersebut, maka penggugat telah mengajukan gugatan terdaftar dalam register Perkara Pengadilan Negeri Malang Nomor: 198/PDT/G/1986/PN.Malang Jo Perkara Nomor 783/PDT/1987/PT.Surabaya, Jo. Perkara Nomor: 2438 K/PDT/1988, perkara mana telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dan isi putusan pengadilan tersebut telah pula dilaksanakan eksekusi melalui perantaraan Pengadilan Negeri Bangil sesuai Berita Acara Pengosongan. Perkara tersebut diakhiri dengan putusan pengadilan yang memenangkan Penggugat. Putusan pengadilan tingkat I, lelang dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum sehingga, risalah lelang batal demi hukum implikasi putusan, barang kembali pada posisi semula yaitu dalam kepemilikan pihak ketiga yang mengaku pemilik. Hak pembeli lelang atas objek lelang akan menjadi berakhir. Hakim tidak mempertimbangkan kepentingan pembeli, tidak mempertimbangkan kepentingan pembeli lelang yang beritikat baik yang sama sekali tidak mengetahui cacat yuridis objek lelang yang dibelinya. Bank kreditur tidak berhak atas pelunasan dari eksekusi lelang, sebaliknya pembeli lelang tidak jelas hak-hak atas uang harga lelang yang telah dibayarkannya. Salah satu asas lelang adalah efisiensi yang artinya pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat, namun pengertian tersebut tidaklah ada di dalam peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan adanya norma kosong. Adanya norma kosong mengakibatkan pelaksaan lelang tidak memberikan kepastian bagi pembeli lelang, sehingga pembeli lelang seringkali mengalami kerugian baik waktu, tenaga, dan biaya. Faktanya perlindungan hukum bagi 13 pembeli lelang eksekusi hak tanggungan yang dibatalkan oleh pengadilan maupun asas efesiensi tidak 106/PMK.06/2013 diatur secara Perubahan Atas normatif Peraturan dalam peraturan Menteri lelang Keuangan 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sehingga menyebabkan adanya kekosongan hukum, maka diangkatlah permasalahan ini ke dalam suatu karya tulis dengan judul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI LELANG DALAM PROSES PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN” dan adapula rumusan masalah yang harus dijawab melalui penelitian ini yaitu bagaimanakah perlindungan hukum bagi pembeli lelang eksekusi hak tanggungan yang dibatalkan oleh pegadilan dan juga bagaimanakah penerapan asas efisiensi dalam peraturan lelang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pembeli lelang atas dasar itikad baik dalam proses pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang menyangkut masalah “Perlindungan hukum bagi pembeli lelang yang dirugikan atas putusan pengadilan”, tidak ditemukan tesis maupun karya tulis lainnya dengan judul dan rumusan masalah yang sama. Namun dapat dibandingkan dengan tiga (3) penelitian yang menyangkut permasalahan tentang perlindungan hukum bagi pembeli lelang, yaitu: a. Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Karina Leonita, SH, NIM 0806426805, pada tahun 2010 dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia Depok, dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Barang Jaminan Melalui Lelang Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang 14 Hukum Perdata dan Undang-Undang Lelang (Studi Kasus Lelang Gedung Aspac oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional)”, dengan menggunakan metode penelitian Empiris, dengan rumusan masalah pertama “Apakah BPPN berwenang melakukan pelelangan barang jaminan secara langsung tanpa melalui Kantor Lelang, mengingat Menteri Keuangan secara akademik, melaksanakan Vendu Reglement sebagai dasar pelaksanaan lelang?” kedua “Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara (BPPN) kepada PT. Bumijawa Sentosa sebagai pembeli objek lelang yang beritikad baik ditinjau dari segi hukum Perdata dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (“PP No. 17 Tahun 1999”)?” b. Penelitian yang dilakukan oleh Mona Octaviani Bambang, SH, NIM B4B.004.145, pada tahun 2006 dari Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul “Tanggung Jawab Pejabat Lelang Atas Keabsahan Dokumen Lelang Dalam Proses Pelelangan” menggunakan metode penelitian empiris, dengan rumusan masalah pertama “Bagaimanakah tanggung jawab Pejabat lelang atas keabsahan dokumen lelang?” kedua “Siapakah pihak yang bertanggung gugat apabila dalam proses pelelangan merugikan pihak ketiga?” c. Penelitian yang dilakukan oleh Melani Ananta, SH, NIM 0806478802, pada tahun 2011 dari Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Indonesia Depok, dengan judul “Sistem Lelang Online Melalui iPasar Kayu Jati Perum Perhutani Ditinjau Dari Asas Lelang Yang 15 Berlaku Di Indonesia” menggunakan metode penelitian empiris, dengan rumusan masalah pertama “Apakah ketentuan pelelangan kayu jati Perhutani yang diwadahi oleh iPASAR tersebut sesuai dengan asas lelang yang berlaku?” kedua “Bagaimanakah akibat hukum dari lelang oleh iPASAR tanpa dihadiri Pejabat Lelang dan tanpa dibuatkan Risalah Lelangnya?” Dari penelusuran orisinalitasnya penelitian yang telah dilakukan, penulis tidak menemukan adanya kesamaan dalam hal ini maupun substansi karya tulis yang telah dimuat sebelumnya, oleh karena itu tingkat orisinalitas penelitian dipertanggungjawabkan keasliannya. 1.2 Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada 2 (dua) hal, yaitu: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pembeli lelang eksekusi hak tanggungan yang dibatalkan oleh pengadilan? 2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang dirugikan dalam pembatalan eksekusi lelang oleh pengadilan? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan penulisan ini adalah mengembangkan kemampuan dan dalam menyampaikan dan menuliskan pikiran dalam suatu karya ilmiah serta 16 lebih memahami mengenai aturan-aturan hukum yang berlaku terutama yang terkait dengan pengaturan tentang lelang, dan secara umum penelitian ini untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya bidang Hukum Kenotariatan melalui pemahaman terhadap perlindungan pembeli lelang dalam proses pelelangan. Sehingga pembeli lelang mendapatkan kepastian hukum dalam proses pelelangan tersebut, dan memberikan pemahaman kepada masyarakat berkaitan dengan pelelangan. 1.3.2 Tujuan Khusus Berdasarkan pada tujuan umum di atas adapun tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang dibahas, yakni: 1. Untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hukum yang diberikan negara terhadap pihak pembeli lelang dalam proses pelelangan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisa kekosongan hukum yaitu dalam penerapan asas efisiensi dalam proses pelelangan. 1.4 Manfaat Penelitian Setiap penelitian dalam penulisan karya ilmiah diharapkan akan adanya manfaat dari penelitian tersebut, yaitu: 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya dalam bidang Kenotariatan yang berkaitan dengan Notaris selaku kewenangan Notaris sebagai pembuat Risalah Lelang. 17 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, penulisan ini bermanfaat untuk mengetahui lebih dalam mengenai perlindungan hukum pihak pembeli lelang dalam proses pelelangan yaitu penerapan asas efisiensi yang mana nantinya akan disusun dalam bentuk tesis untuk memenuhi syarat meraih gelar Magister. Penulisan ini bermanfaat bagi notaris sebagai pengetahuan karena notaris berperan juga sebagai Pejabat Lelang, menjalankan profesinya yaitu sebagai pembuat akta risalah lelang. Selain itu penulisan tesis ini juga dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi khalayak umum mengenai suatu pelelangan agar semua pihak dapat terlindungi dan tidak merugikan pihak manapun khususnya mengenai proses pelelangan. 1.5 Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum atau teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, normanorma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiranpemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal baik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa, serta kontruksi, data.8 8 Magister Kenotariatan, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Universitas Udayana Denpasar, hal. 58. 18 1.5.1 Teori Perlindungan Hukum Teori yang digunakan dalam kasus ini adalah teori perlindungan hukum oleh Philipus M. Hadjon, dalam kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de burgers.”9Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yakni “rechtbescherming.” Philipus M. Hadjon membedakan perlindungan hukum bagi rakyat dalam 2 (dua) macam yaitu: 1. Perlindungan hukum reprensif artinya ketentuan hukum dapat dihadirkan sebagai upaya pencegahan terhadap tindakan pelanggaran hukum. Upaya ini diimplementasikan dengan membentuk aturan hukum yang bersifat normatif. 2. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan. Menurut Soerjono Soekanto fungsi hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara atau masyarakat dengan warganya, dan hubungan antara sesama warga masyarakat tersebut, agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan dalam 9 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 1. 19 masyarakat. Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku umum. Agar tercipta suasana aman dan tentram dalam masyarakat, maka kaidah dimaksud harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas.10 Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagian yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.11 Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).12 Menurut Satjipto Raharjo, ”Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang. 13 Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang 10 Soerjono Soekanto, 1999, Penegakkan Hukum, Binacipta, Bandung, hal. 15. 11 Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 79. 12 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung Agung Tbk, Jakarta, hal. 85. 13 Satjipto Rahardjo, 2012, Ilmu hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53. 20 tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.14 Adapula menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.15 Pada dasarnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek yang dilindungi oleh hukum yang dapat menimbulkan adanya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hak dan kewajiban didalam hubungan hukum tersebut harus mendapatkan perlindungan oleh hukum, sehingga anggota masyarakan merasa aman dalam melaksanakannya. Hal ini menunjukkan bahwa arti dari perlindungan hukum itu sendiri adalah pemberian kepastian atau jaminan bahwa seseorang yang melakukan hak dan kewajiban telah dilindungi oleh hukum. Adanya hubungan hukum yang terjadi antara pembeli lelang, debitur dan kreditur menciptakan adanya perlindungan hukum, dalam hal ini perlindungan hukum dapat diartikan bahwa hubungan antara kreditur dan debitur tidaklah mengurangi perlindungan hukum yang seharusnya diterima oleh pembeli lelang tersebut. 14 Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hal. 3. 15 Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hal. 14. 21 1.5.2 Teori Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban seseorang ada seimbang dengan kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya yang bertentangan dengan hukum dari orang lain. Hal ini disebut tanggung jawab kualitatif, yaitu orang yang bertanggungjawab karena orang itu memiliki suatu kualitas tertentu.16 Kranenburg dan Vegtig mengemukakan bahwa mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat ada dua teori yang melandasi, yaitu Teori Fautes Personalles dan Teori Fautes de Servuces yang akan diuraikan sebagai berikut: a. Teori Fautes Personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Menurut teori ini, beban tanggungjawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori Fautes de Servuces yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggungjawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggungjawab yang harus ditanggung.17 16 W. Sommermeijer, 2003, Tanggung Jawab Hukum, Pusat Studi Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, hal. 23. 17 Ridwan, HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Ridwan I), hal. 365. 22 Dalam suatu negara hukum, setiap tindakan jabatan yang dilakukan oleh suatu perwakilan (vertegenwoordiger) yaitu pejabat (ambtsdrager) harus berdasarkan pada asas legalitas, artinya setiap tindakan jabatan harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karenannya, penggunaan wewenang untuk melakukan tindakan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan.18 Dalam Hukum Administrasi Negara, tanggungjawab dapat dibagi menjadi tiga yaitu tanggungjawab tanggungjawab yuridis. administratif, Dalam tanggungjawab tanggungjawab politis, administratif, dan pemerintah memberikan sanksi kepada pejabat yang melakukan pelanggaran. Sanksi yang diberikan dalam pertanggungjawaban administratif merupakan sanksi administratif yang berupa teguran hingga pemecatan dari jabatan. Pertanggungjawaban politik dalam realitasnya berkaitan dengan sistem politik atau lebih memusatkan pada tekanan demokrasi (democratic pressure). Pertanggungjawaban yuridis mengandung arti bahwa pejabat dan instansi pemerintah dalam menyelenggarakan kewenangannya yang merugikan kepentingan pihak lain harus mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakannya tersebut. Pertanggungjawaban hukum dapat dilakukan melalui Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Hans Kelsen mengemukakan dalam teorinya mengenai pertanggungjawaban bahwa: “Seseorang bertanggungjawab secara hukum terhadap suatu perbuatan tertentu atau karena ia memikul tanggungjawab hukum 18 Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Di Daerah, FH UII Press. Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Ridwan II), hal. 114. 23 tersebut yang berarti ia bertanggungjawab apabila ia melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.” 19 Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa pertanggungjawaban sangat erat kaitannya dengan sanksi, selain itu ia juga menyatakan bahwa pertanggungjawaban dibagi menjadi: Pertanggungjawaban individu, pertanggungjawaban kesalahan (based on kolektif, pertanggungjawaban berdasarkan fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).20 Dalam pertanggungjawaban individu, seorang individu bertanggungjawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri, sedangkan pada pertanggungjawaban kolektif seorang individu bertanggungjawab terhadap suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Suatu sanksi dapat dikenakan kepada seorang individu yang melakukan suatu perbuatan hukum bersama-sama dengan individu lainnya tetapi ia berposisi dalam suatu hubungan hukum dengan pelaku delik.Menurut teori tradisional pertanggungjawaban dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility). 21 Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yaitu seorang individu yang bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya dengan sengaja dan diperkirakan memiliki tujuan untuk menimbulkan kerugian. Pertanggungjawaban mutlak artinya seorang 19 Hans Kelsen, 2013, General Theory Of Law And State, Teori Umum Hukum Dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Hans Kelsen I), hal. 95. 20 Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa & Nusamedia, Bandung, (selanjutnya disingkat Hans Kelsen II), hal. 140. 21 Hans Kelsen I, loc.cit. 24 individu bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.22 Dalam kamus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggungjawab yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual dan potensi seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang-Undang. 23 Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan, dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggungjawab atas Undang-Undang yang dilaksanakan. Liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum. Responsibility berarti suatu kewajiban atau hal yang dapat dipertanggungjawabkan, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggungjawab atas Undang-Undang yang dilaksanakan. Responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.24 Sedangkan menurut Munir Fuady pertanggungjawaban hukum dari pemerintah menyatakan bahwa pemerintah harus bertanggungjawab secara hukum kepada rakyatnya muncul dalam teori sebagai berikut: 22 Hans Kelsen II, loc.cit. I Gede Surata, 2010, Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Dijabat Oleh Camat Dalam Penetapan Akta Tanah (Tesis), Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal. 13. 24 Ridwan I, op.cit. hal. 335-337. 23 25 1. Teori hukum umum, yang menyatakan bahwa setiap orang, termasuk pemerintah, harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa kesalahan (strict liability). Dari teori ini selanjutnya muncul tanggung jawab hukum berupa tanggung jawab pidana, perdata, dan administrasi negara. Tanggung jawab hukum dari pemerintah seperti ini dilakukan di depan badan pengadilan. 2. Teori demokrasi, yang menyatakan bahwa setiap yang memerintah harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada yang diperintah, karena kekuasaan yang memerintah tersebut berasal dari yang diperintahnya (rakyat). Dari teori ini muncul tanggung jawab yang dari para penyelenggara negara, termasuk tanggung jawab yang berakibat kepada “pemakzulan” (impeachment). Tanggung jawab pemerintah secara politis ini dilakukan di didepan parlemen dengan atau tanpa keikutsertaan badanbadan lain.25 Beberapa prinsip-prinsip yang terkait dengan tanggungjawab yang sering diterapkan dalam upaya perlindungan hukum: 1. Prinsip Tanggungjawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau based on fault) adalah prinsip yang umum dianut. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban 25 Munir Fuady, 2011, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, hal. 147-148. 26 secara hukum jika terdapat unsur kesalahan yang dilakukan. 26 Berdasarkan prinsip ini konsumen diberikan tanggungjawab untuk membuktikan adanya unsur kesalahan pelaku usaha yang tentunya berdampak memberatkan konsumen.27 2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggungjawab Prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (presumption of liability principlep), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian diletakkan pada tergugat (pelaku usaha). 3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggungjawab Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip sebelumnya, dimana pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu terdapat pada konsumen. Konsumen dianggap selalu bertanggungjawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. 4. Prinsip Tanggungjawab Mutlak Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, tetapi masih terdapat suatu pengecualian yang memungkinkan dibebaskannya dari tanggungjawab, yaitu keadaan force majeure. Prinsip tanggungjawab mutlak ini secara umum dipergunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya pelaku usaha 26 Lukman Santoso Az, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka Yustisia, Jakarta, hal. 130. 27 Erman Rajagukguk, et. al. 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, CV Mandar Maju, Bandung, hal. 14. 27 yang memasarkan produk dan merugikan konsumen. Dalam perlindungan konsumen penerapan prinsip tanggungjawab mutlak ini dikenal dengan product liability. 5. Prinsip Tanggungjawab Dengan Pembatasan Prinsip tanggungjawab dengan pembatasa ini (limitation ability principle) sangat disenangi pelaku usaha, karena pelaku usaha dapat membatasi secara maksimal tanggungjawabnya. 6. Product Liability, Professional Liability Tanggungjawab produk (product liability) merupakan tanggungjawab produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Melalui prinsip ini, dasar gugatan untuk tanggungjawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya: 1) pelanggaran jaminan; 2) kelalaian; dan 3) tanggungjawab mutlak. Teori tanggungjawab memberikan pengertian bahwa setiap orang harus bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya. Dalam penulisan tesis ini menekankan pada pembahasan mengenai pertanggungjawaban pejabat lelang berkaitan dengan kerugian pembeli lelang eksekusi hak tanggungan yang dibatalkan oleh pengadilan. 28 1.5.3 Konsep Lelang 1.5.3.1. Pengertian Lelang Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, disebutkan: Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang. Penjualan lelang tidak secara khusus diatur dalam KUHPerdata tetapi termasuk perjanjian bernama di luar KUHPerdata. Penjualan Lelang dikuasai oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata mengenai jual beli yang diatur dalam KUHPerdata Buku III tentang Perikatan. Pasal 1319 KUHPerdata berbunyi, semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum. Pasal 1319 membedakan perjanjian atas perjanjian bernama (nominaat) dan perjanjian tidak bernama (innominaat). Pasal 1457 KUH Perdata, merumuskan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli. Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut. Lelang mengandung unsur-unsur yang tercantum dalam defenisi jual beli 29 adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli, adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga; adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli. Esensi dari lelang dan jual beli adalah penyerahan barang dan pembayaran harga. Penjualan lelang memiliki identitas dan karakteristik sendiri, dengan adanya pengaturan khusus dalam Vendu Reglement, namun dasar penjualan lelang sebagian masih mengacu pada ketentuan KUHPerdata mengenai jual beli, sehingga penjualan lelang tidak boleh bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata, seperti ditegaskan dalam Pasal 1319. Vendu Reglement (Stbl. Tahun 1908 Nomor 189 diubah dengan Stbl. 1940 Nomor 56) yang masih berlaku sebagai dasar hukum lelang, dinyatakan: Penjualan umum adalah pelelangan atau penjualan barang-barang yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu, atau diizinkan untuk ikut serta, dan diberi kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup. Pengertian lelang menurut pendapat Polderman, sebagaimana dikutip Rochmat Soemitro, menyatakan: Penjualan umum adalah alat untuk mengadakan perjanjian atau persetujuan yang paling menguntungkan untuk sipenjual dengan cara menghimpun para peminat. 30 Polderman selanjutnya mengatakan, bahwa syarat utama lelang adalah menghimpun para peminat untuk mengadakaan perjanjian jual beli yang paling menguntungkan si penjual. Dengan demikian syaratnya ada 3, yaitu: 1) Penjualan umum harus selengkap mungkin (volledigheid). 2) Ada kehendak untuk mengikat diri. 3) Bahwa pihak lainnya yang akan mengadakan perjanjian tidak dapat ditunjuk sebelumnya. Menurut Roell sebagaimana dikutip Rochmat Soemitro menyatakan: Penjualan umum adalah suatu rangkaian kejadian yang terjadi antara saat mana seseorang hendak menjual sesuatu atau lebih dari satu barang, baik secara pribadi maupun dengan perantaraan kuasanya, memberikan kesempatan kepada orangorang yang hadir melakukan penawaran untuk membeli barang-barang yang ditawarkan sampai kepada saat di mana kesempatan lenyap. 1.5.3.2 Jenis Lelang Berdasarkan peraturan yang berlaku, lelang barang tidak bergerak dan barang bergerak meliputi : 1. Lelang Noneksekusi Sukarela Lelang Noneksekusi Sukarelaadalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik perorangan, kelompok masyarakat atau Badan Swasta yang dilelang secara sukarela oleh pemiliknya. Yang termasuk lelang Noneksekusi Sukarela adalah : a. Lelang yang dilakukan atas kehendak pemiliknya sendiri (perorangan, swasta) 31 b. Lelang Aset BUMN/BUMD berbentuk Persero c. Lelang Aset milik Bank Dalam Likuidasi berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 1999 tentang pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi Bank. Harga limit dapat bersifat terbuka / tidak rahasia atau dapat bersifat tertutup/ rahasia sesuai keinginan Penjual/ Pemilik Barang 2. Lelang Eksekusi Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau dokumen-dokumen lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum, antara lain : lelang eksekusi fidusia dan lelang eksekusi pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.Pasal 6 UUHT No. 4 tahun 1996, yaitu apabila debitur cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan tingkat Pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasannya dari hasil tersebut. Harga limit bersifat terbuka/tidak rahasia dan harus dicantumkan dalam pengumuman lelang.Sedangkan mengenai Lelang Eksekusi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 106/PMK.06/2013 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Pasal 5 menyatakan; Lelang Eksekusi termasuk tetapi tidak terbatas pada Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 32 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, Lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fidusia, Lelang Eksekusi Gadai. Lelang Eksekusi Benda Sitaan pasal 18 ayat (2) UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor yang diubah dengan UU. 3. Lelang Non Eksekusi Wajib Lelang Non Eksekusi Wajib adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara atau barang milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) yang oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk dijual secara lelang, termasuk kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama. 1.5.4 Asas Itikad Baik Dalam Black’s Law Dictionary yang dimaksud itikad baik atau good faith adalah:28 “A state of mind consisting in (1)honesty in belief or purposes. (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage”. 28 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, eight Edition, United Stated of America, hal. 713. 33 Prof. R. Subekti, SH merumuskan itikad baik dengan pengertian bahwa itikad baik di waktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran, orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang di kemudian hari akan menimbulkan kesulitan-kesulitan.29 Itikad baik adalah salah satu asas klasik dalam hukum perjanjian yang juga terdapat pada KUHPerdata. Pada Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merumuskan jual beli sebagai “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa jual beli melahirkan kewajiban secara bertimbal balik kepada para pihak yang membuat perjanjian.Asas ini bersumber darihukum Romawi. Di dalam hukum Romawi asas ini disebut Bonafides. Kitab UndangUndang Hukum Perdata mempergunakan istilah itikad baik dalam dua pengertian. Pertama, itikad baik dalam pengertian arti subyektif.Dalam bahasa Indonesia, itikad baik dalam arti subyektif disebut kejujuran. Hal itu terdapat dalam pasal 530 KUHPerdata dan seterusnya yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti subyektif ini merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa. Sedangkan dalam arti obyektif. itikad baik dalam bahasa Indonesia disebut kepatutan. Hal ini dirumuskan dalam ayat (3) pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. 29 Samuel M.P. Hutabarat, 2010, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 45. 34 Asas iktikad baik berakar pada etika sosial Romawi mengenai kewajiban yang komprehensif akan ketaatan dan keimanan yang berlaku bagi warganegara maupun bukan. Dengan demikian, hukum kontrak Romawi mengenal dua macam kontrak,yakni iudicia strictiiuris dan iudicia bonae fidei. Domat dan Pothier sebagai penganutajaran hukum alam Romawi yang mendominasi pemikiran substansi isi Code CivilPerancis tidak setuju dengan kedua pembedaan tersebut. Dia menyatakan bahwa hukum alam dan hukum kebiasaan menentukan bahwa setiap kontrak adalah bonaefidei, sebab kejujuran dan integritas harus selalu ada dalam semua kontrak yangmenuntut pemenuhan kontrak harus sesuai dengan kepatutan.30 Kecenderungan seluruh sejarah hukum kontrak Romawi bergerak dari formalistik ke arah konsensual, dan pengakuan akan arti pentingnya iktikad baik dalam kontrak yang dikembangkan melalui diskresi pengadilan. 31Konsep iktikad baik tersebut diperluas sedemikian rupa melalui diskresi pengadilan Romawi. Diskresi tersebut membolehkan orang membuat kontrak di luar formalisme yang telah ditentukan dan mengakui ex fide bona, yakni sesuai dengan persyarataniktikad baik. Di sini terlihat bahwa pengadilan di Romawi selain mengakui keberadaan atau kekuatan hukum kontrak konsensual, pada saat yang sama juga membebankan adanya kewajiban iktikad baik bagi para pihak.32 Jika seorang tergugat melakukan wanprestasi dalam suatu kontrak konsensual, dia 30 Reinhard Zimmerman dan Simon Whittaker, eds, Good Faith in European ContractLaw, Cambridge University Press, Cambridge, 2000, hal. 32. 31 Carleton Kemp Allen, 1978, Law in the Making, Oxford, Clarendon Press, hal 395. 32 Helmut Coing, 1987, Analysis of Moral Values by Case Law, Washington University Law Quarterly, Vol 65, hal. 713. 35 langsung dapat digugat ke pengadilan oleh tergugat atas dasar melanggar kewajiban iktikad baik.33Dalam menghadapi keadaan demikian, menurut Lawson, hakim harus melakukan:34 “Found to be due to ex bona fides, that is to say, in accordance with the requirements of goodfaith; and this cast on the judge, or rather the jurists who advised him, the burden of decidingwhat kind what the defendant ought in good faith to have done, in other words what kind ofperformance the contract called for. This meant that, in contrast to the stipulation, where allthe term had to be expressed, the parties would be bound not only by the terms they had actually agreed to, but by all the terms that were naturally implied in their agreement” Inti konsep bona fides adalah fides. Fideskemudian diperluas ke arah bona fides. Fidesmerupakan suatu konsep yang pada mulanya merupakan sumber yang bersifat religius, yang bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lainnya, atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang lain.35Dengan demikian asas itikad baik didasarkan pada kejujuran induvidual dan sebagai wujud dari suatu universal social force atau dengan kata lain kewajiban itikad baik dalam suatu kontrak merupakan suatu moral yang harus dipegang teguh dan secara universal ditentukan oleh kejujuran dan kewajiban kepada Tuhan. Iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak mengacu kepada iktikad baik yang objektif. Standar yang digunakan dalam iktikad baik objektif adalah standar yangobjektif yang mengacu kepada suatu norma yang objektif. 36Perilaku 33 Jill Pride Anderson, 1987, Lender Liability for Breach of Obligation of Good Faith Performance, Emory Law Journal, Vol 36, hal. 920. 34E. Allan Farnsworth, 1963,Good Faith Performance and Commercial Reasonableness under the Uniform Commercial Code, The University of Chicago Law Review, Vol 30, hal. 669. 35 Martin Joseph Schermaier, Bona Fides in Roman Contract Law, Reinhard Zimmerman dan Simon Whittaker, eds, op.cit. hal. 77. 36 Martin Willem Hessenlink, 1999, De Redelijkheid en Billijkheid in het Eurease Privaatrecht, Kluwer, Deventer, hal. 28. 36 para pihak dalamkontrak harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis yangberkembang di dalam masyarakat. Ketentuan iktikad baik menunjuk kepada norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum sebagai suatu sumber hukumtersendiri. 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitan yang dilakukan untuk mendapatkan data dari bahan-bahan kepustakaan terutama yang berhubungan mengenai masalah hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, dan sekunder. 37 Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara mengkaji hukum dalam Law in Book yang dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.38 Penelitian tesis ini adalah penelitian normatif yang beranjak dari adanya kekosongan norma tentang asas-asas dalam pelaksanaan lelang yang menyebabkan efisiensi pelaksanaan lelang tidak mempunyai kepastian hukum. Sehingga terdapat konsekuensi dari pelaksanaan lelang tersebut yaitu menyebabkan adanya kerugian kepada pihak pembeli lelang yang beritikad baik, hal ini bersinggungan dengan prinsip hubungan kontraktual yaitu Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Undang-Undang melindungi pihak yang beritikad baik. 37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13-14. 38 Ibid. 37 1.6.2 Jenis Pendekatan Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan agar bahan hukum yang ada menjadi dasar sudut pandang dan kerangka berfikir peneliti untuk melakukan analisis. Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yaitu: - Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) hal ini dimaksudkan agar bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Penelitian dalam ruang lingkup hukum atau penelitian untuk keperluan praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan peraturan perundang-undangan. - Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) artinya konsep-konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan bagi analisis penelitian hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi suatu fakta hukum. Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. - Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan peraturan perundangan Indonesia dengan satu atau beberapa peratuan perundangan di negara-negara lain. Menurut Gutteridge, perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum, Gutteridge juga membedakan perbandingan deskriptif yang tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan perbandingan hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu. 38 - Pendekatan Historis (Historical Approach) pendekatan sejarah ini dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan dari materi yang diteliti. Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. Di samping itu, melalui pendekatan demikian peneliti juga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut. - Pendekatan Kasus (Case Approach) pendekatan kasus dalam penelitian hukum bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Dalam pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Sedangkan dictum, yaitu putusannya merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi.39 Jenis Pendekatan yang dipergunakan adalah Pendekatan Perundang- Undangan (Statute Aprroach) dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Aprroach). Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang mengatur peraturan pelaksanaan Lelang. Pendekatan Konseptual dilakukan dengan cara beranjak dari prinsip-prinsip 39 93-139. Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 39 hukum, pandangan para sarjana, doktrin-doktrin, dan dapat juga meneliti dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan tersebut. 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Adapun sumber bahan hukum yang diperoleh dalam penulisan tesis ini yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kedua bahan hukum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Bahan Hukum Primer Mengingat Indonesia bekas jajahan Belanda, sebagaimana negara-negara Eropa kontinental lainnya dan bekas jajahannya, Indonesia menganut Civil Law System, bahan hukum primer yang terutama bukanlah putusan peradilan atau yurisprudensi, melainkan peraturan perundang- undangan.40Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan hukum penulisan tesis ini yaitu: - 40 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; - RBG (Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan - RIB/HIR (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) Stb 1941 Madura) Stb. 1927 Nomor 227; Nomor 44; Ibid, hal. 144. 40 - Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor 189); - Peraturan - Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stb. 1908 Nomor 190); Menteri Perubahan Keuangan Atas Peraturan Nomor 106/PMK.06/2013 Menteri Keuangan Nomor93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang; - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.06/2013tentang - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.06/2013 - Peraturan Pejabat Lelang Kelas I; tentang Pejabat Lelang Kelas II; Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.06/2013 tentang Balai Lelang. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat penjelasan didalamnya. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi: literatur-literatur, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, makalah, komentar-komentar atas putusan pengadilan, kamus hukum, dan ensiklopedia yang dapat diakses melalui media internet berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan tesis ini, dan juga bahan-bahan hukum lainnya yang terkat dengan permasalahan penelitian. 41 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, untuk pendekatan peraturan perundang-undangan teknik pengumpulan bahan hukumnya yaitu dengan cara mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan permasalahan hukum tersebut. Sedangkan untuk pendekatan konseptual menggunakan penelusuran buku-buku hukum yang mengandung banyak konsep-konsep hukum.41 1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara memeriksa kembali bahan hukum yang diperoleh terutama dari kelengkapannya, kesesuaian, kejelasan makna, serta relevansinya dengan kelompok lain. Kemudian langkah selanjutnya dengan memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber bahan hukum, nama penulis, dan juga tahun penerbitannya, setelah itu melakukan penyusunan ulang bahan-bahan hukum secara teratur, berurutan, logis, yang bertujuan supaya mudah dipahami dan diinterpretasikan. Analisis bahan hukum dilakukan dengan memaparkan isu hukum dengan deskripsi yang diuraikan secara lengkap dan jelas, selanjutnya dilakukan sistematisasi pengklasifikasian terhadap bahan-bahan hukum tertulis melalui proses analisis dan dikaitkan dengan teori, konsep serta doktrin para sarjana. Berdasarkan hasil sistematisasi tersebut kemudian dilakukan teknik interpretasi atau penafsiran secara normatif. 41 Ibid, hal. 196. 42 1.7 Sistematika Penulisan BAB I merupakan bab pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan, Bab ini merupakan bab yang berisi latar belakang mengenai permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan judul yang dipilih, yaitu Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Lelang Dalam Proses Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan. BAB IImerupakan Tinjauan Pustaka yaitu bab yang tersusun atas teori umum yang merupakan dasar-dasar pemikiran, yang akan penulis gunakan dalam menjawab permasalahan. Teori-teori umum ini merupakan kumpulan pendapat para ahli di bidang hukum lelang atau merupakan bahan dari hasil penelitian sebelumnya. BAB III merupakan pembahasan dari Rumusan Masalah yang pertama yaitu Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pembeli lelang eksekusi hak tanggungan yang dibatalkan oleh pengadilan. Bab III merupakan pembahasan yang merupakan hasil analisis penulis terhadap permasalahan yang dihadapi dikaitkan dengan landasan teori guna menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini. BAB IV merupakan pembahasan dari Rumusan Masalah yang kedua yaitu Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang dirugikan dalam pembatalan eksekusi lelang oleh pengadilan. Bab IV merupakan pembahasan yang merupakan hasil analisis penulis terhadap permasalahan yang dihadapi dikaitkan dengan landasan teori guna menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini. 43 BAB VPenutup merupakan bab yang berisi simpulan dan saran. 44 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LELANG DAN HAK TANGGUNGAN 2.1 Tinjauan Umum Tentang Lelang 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lelang Pengertian lelang dilihat dari peraturan perundang-undangan dan para sarjana, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Vendu Reglement (Stb. 1908 Nomor 189) 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK/06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang Pasal 1 Angka 1 menyebutkan: Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan Pengumuman Lelang. 3. Menurut Polderman, lelang dapat diartikan sebagai penjualan umum. Penjualan umum adalah alat untuk mengadakan perjanjian atau persetujuan yang paling menguntungkan untuk sipenjual dengan cara menghimpun para peminat. Polderman selanjutnya mengatakan, bahwa syarat utama lelang adalah menghimpun para peminat untuk mengadakan 44 45 perjanjian jual beli yang paling menguntungkan si penjual.42 Dengan demikian syaratnya ada 3, yaitu: 1) Penjualan umum harus selengkap mungkin (volledigheid). 2) Ada kehendak untuk mengikat diri. 3) Bahwa pihak lainnya yang akan mengadakan perjanjian tidak dapat ditunjuk sebelumnya. 4. Menurut Roel. Sebagaimana dikutip oleh Rochmat Soemitro, lelang juga diartikan sebagai penjualan umum. Menyatakan bahwa penjualan umum adalah suatu rangkaian kejadian yang terjadi antara saat mana seseorang hendak menjual sesuatu atau lebih dari satu barang, baik secara pribadi maupun dengan perantaraan kuasanya, memberikan kesempatan kepada orang-orang yang hadir melakukan penawaran untuk membeli barangbarang yang ditawarkan sampai kepada saat dimana kesempatan lenyap.43 Jadi menurut Rochmat Soemitro titik berat dari definisi yang diberikan Roel adalah pada kesempatan penawaran barang. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa ada 5 (lima) unsur yang harus dipenuhi dalam pengertian lelang, yaitu: 44 a. Lelang adalah suatu sarana dalam melakukan bentuk penjualan atas sesuatu barang; 42 Rochmat Soemitro, op.cit. hal 106. Ibid, hal. 107. 44 S. Mantayborbir, Imam Jauhari, dan Agus Hari Widodo, 2002, Hukum Piutang dan Lelang Negara, Pustaka Bangsa Press, Medan, hal. 168. 43 46 b. Harga yang diperoleh bersifat kompetitif karena cara penawaran harga dilakukan secara khusus, yaitu dengan cara penawaran harga secara lisan memberi prioritas pada pihak manapun untuk membeli; c. Pembeli tidak dapat ditunjuk sebelumnya kecuali kepada calon peminat limit dapat ditunjuk sebagai pemenang/pembeli; d. Memenuhi unsur publisitas, karena lelang adalah penjualan yang bersifat transparan; e. Dilaksanakan pada suatu saat dan tempat tertentu sehingga bersifat cepat, efisien, dan efektif. KUHPerdata mengatur ada dua macam perjanjian yaitu Perjanjian yang bernama dalam KUHPerdata dan perjanjian yang bernama diluar KUHPerdata yang artinya perjanjian tersebut tidak mempunyai nama dalam KUHPerdata. Penjualan lelang tidak secara khusus diatur dalam KUHPerdata, sehingga termasuk dalam perjanjian bernama di KUHPerdata. Penjualan melalui lelang tunduk pada ketentuan-ketentuan KUHPerdata mengenai perikatan di dalam Buku III KUHPerdata. Pada Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Jual Beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan.” Vendu Reglement (Stbl. Tahun 1908 Nomor 189 diubah dengan Stbl. 1940 Nomor 56) yang masih berlaku sebagai dasar hukum lelang, dinyatakan: Penjualan umum adalah pelelangan atau penjualan barang-barang yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai 47 pelelangan atau penjualan itu, atau diizinkan untuk ikut serta, dan diberi kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup. Lelang di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1908 dengan dikeluarkannya Vendu Reglement (Peraturan Lelang Staatsblad 1908 Nomor 189 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblaad Tahun 1940 Nomor 56) dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang Staatsblad 1908 Nomor 190 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblaad 1930 Nomor 85). Sesuai dengan perkembangan, demi untuk mengefektifkan serta mengaktualkan pelaksanaan lelang yang telah diatur dalam Peraturan Lelang, maka diterbitkan berbagai Keputusan Menteri Keuangan maupun keputusan Dirjen Piutang dan Lelang Negara. Bertitik tolak dari Pasal 1 Peraturan Lelang, pengertian lelang adalah penjualan barang di muka umum atau penjualan barang yang terbuka untuk umum.45 Pengertian tersebut diperjelas kemudian oleh Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK/06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (selanjutnya disebut PERMENKEU No. 106/PMK/06/2013 atas perubahan PERMENKEU No. 93/PMK.06/2010), yang berbunyi Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang. 45 M. Yahya Harahap, 2007, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet. 3., ed. 2, Sinar Grafika, (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), Jakarta, hal.115. 48 Pasal 1 angka 2 dan 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 450/KMK 01/2002 mengklasifikasi lelang menjadi 2 (dua), yaitu Lelang Eksekusi dan Lelang Non Eksekusi. M. Yahya Harahap dalam bukunya menyebutkan bahwa ada dua jenis lelang yaitu: a. Lelang eksekusi Jenis lelang ini merupakan penjualan umum untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan atau penetapan pengadilan atau dokumen yang dipersamakan dengan putusan pengadilan, seperti Hipotek, Hak Tanggungan atau Jaminan Fiducia. Jenis atau bentuk lelang inilah yang dimaksud pada Pasal 200 ayat (1) HIR/ Pasal 215 RBG: - Penjualan di muka umum barang milik tergugat (tereksekusi) yang disita Pengadilan Negeri; - Penjualan dilakukan Pengadilan Negeri melalui perantaraan Kantor Lelang. b. Lelang Non Eksekusi. adalah penjualan umum di luar pelaksanaan putusan atau penetapan pengadilan yang terdiri dari: - Lelang barang milik/dikuasi Negara; - Lelang sukarela atas barang milik swasta.46 46 Ibid, hal. 116-117. 49 Selain itu pengklasifikasian lelang juga dapat dilihat dari cara penawarannya, jenis barang yang dilelang, dan lelang karena eksekusi maupun bukan eksekusi, dijabarkan sebagai berikut: 1. Penggolongan lelang dari cara penawarannya Penggolongan lelang dari cara ini merupakan penggolongan lelang berdasarkan cara penawaran yang dilakukan oleh pejabat lelang. Cara penawaran ini dapat dilakukan dengan cara lisan dan tertulis. Penggolongan penawaran ini cukup dengan mengucapkan atau menyatakan dengan tutur kata di depan peserta lelang. 47 Penjual lelang atau pejabat lelang telah menyiapkan harga barang yang akan dilelang, kemudian harga tersebut disampaikan kepada peserta lelang. Apabila peserta lelang menyetujui harga yang telah disampaikan maka peserta lelang dapat menawarkan harga yang diinginkannya dalam bentuk tertulis maupun lisan. 2. Penggolongan lelang dari aspek objek Penggolongan jenis objek yang akan dilelang dapat dibagi dua yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. 3. Penggolongan lelang dari aspek eksekusi Pelelangan dari aspek eksekusi merupakan pelelangan yang merupakan tindak lanjut dari putusan pengadilan. Penggolongan lelang dari aspek eksekusi dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu lelang noneksekusi dan lelang eksekusi. Pelelangan noneksekusi merupakan pelelangan yang 47 Salim, HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS I), hal. 245. 50 tanpa adanya putusan hakim, sedangkan pelelangan eksekusi adalah pelelangan yang berdasarkan pada putusan hakim. Eksekusi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) antara lain: a. Eksekusi dalam perkara pidana, yaitu pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh Jaksa; b. Eksekusi dalam perkara perdata, yaitu pelaksanaan putusan yang dilakukan oleh juru sita.48 Dasar Hukum Lelang Lelang telah ada dan berkembang di Indonesia sebagai bentuk penjualan benda sejak masa Hindia Belanda, begitu juga dengan peraturan lelang antara lain: - Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; - RBG (Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura) - RIB/HIR (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) Stb, 1941 Nomor - Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor 189); - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 Perubahan Stb. 1927 Nomor 227; 44; - Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stb. 1908 Nomor 190); Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang; - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas I; 48 Ibid, hal. 246. 51 - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.06/2013 tentang Balai Lelang Kelas II; Lelang. 2.1.2 Fungsi dan Asas Lelang Lelang sebagai salah satu penjualan barang memiliki fungsi privat dan fungsi publik. Fungsi privat dalam lelang karena lelang merupakan institusi pasar yang mempertemukan penjual dan pembeli. Lelang dapat dikatakan berfungsi sebagai sarana transaksi jual beli barang yang dapat memperlancar arus lalu lintas perdagangan barang.49 Fungsi lelang disamping mempunyai fungsi privat juga memiliki fungsi publik dalam pelaksanaannya, antara lain: a. Mendukung Law Enforcement di bidang Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Perpajakan, dan lain-lain yaitu sebagai bagian dari eksekusi suatu putusan; b. Mendukung tertib administrasi dan efisiensi pengelolaan dan pengurusan asset yang dimiliki atau dikuasai Negara; 49 Aryo Dharmajaya, 2009, Tinjauan Hukum Terhadap Lelang Atas Tanah dan Bangunan yang Tidak Dapat Dimiliki oleh Pemenang Lelang (Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 158k/Pdt/2005),Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 19. 52 c. Mengumpulkan penerimaan Negara dalam bentuk Bea Lelang, Biaya Administrasi, Pajak Pph Pasal 25, dan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan).50 2.1.3 Pejabat Lelang Berdasarkan PERMENKEU No. 106/PMK/06/2013 tentang Pelaksanaan Lelang, Pejabat Lelang (Vendumeester sebagaimana dimaksud dalam Vendureglement) adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang. Berdasarkan Pasal 200 ayat (1) HIR atau Pasal 215 RBG, dalam pelaksanaan lelang, Ketua Pengadilan Negeri wajib meminta bantuan kantor lelang untuk melaksanakan lelang eksekusi. Selanjutnya Pasal 1 (a) Peraturan Lelang menegaskan bahwa penjualan umum atau lelang hanya boleh dilakukan oleh Pejabat Lelang atau Juru Lelang. Adapun dalam setiap pelaksanaan lelang Pejabat Lelang harus membuat Risalah Lelang memuat semua peristiwa yang terjadi dalam prosesi penjualan lelang sebagai bukti otentikasi pelaksanaan lelang sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 77 Peraturan Lelang Nomor 93/PMK.06/2010 yang berbunyi: “Pejabat Lelang yang melaksanakan lelang wajib membuat berita acara lelang yang disebut Risalah Lelang.” Tingkatan Pejabat Lelang PERMENKEU No. 106/PMK/06/2013 membedakan Pejabat lelang menjadi 2 (dua) antara lain: 50 Ibid. 53 1. Pejabat Lelang Kelas I, dan 2. Pejabat Lelang Kelas II Pejabat Lelang Kelas I adalah Pejabat Lelang pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang Noneksekusi Sukarela. Sedangkan Pejabat Lelang Kelas II adalah Pejabat Lelang swasta yang berwenang melaksanakan Lelang Noneksekusi Sukarela. Pejabat Lelang Kelas I adalah: a. Pegawai Pejabat Lelang pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (selanjutnya disebut DJPLN) yang diangkat untuk itu; b. Dengan demikian yang menduduki Pejabat Lelang Kelas I, hanya pegawai yang berada di lingkungan DJPLN; c. Tidak bisa diangkat yang berasal dari luar pegawai DJPLN. Pejabat Lelang Kelas II adalah: a. Berkedudukan di Kantor Pejabat Lelang Kelas II atau Balai Lelang; b. Diangkat dari kalangan: 1. Notaris, 2. Penilai, atau 3. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil DJPLN.51 Pelaksanaan lelang oleh balai lelang dilakukan di hadapan pejabat lelang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pejabat lelang adalah pejabat umum yang diangkat oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan pelelangan berdasarkan 51 M. Yahya Harahap I, op.cit. hal. 118-119. 54 peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 (14) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Menurut Salim HS, fungsi dari pejabat lelang antara lain adalah: 1. Peneliti dokumen objek lelang, dalam pelaksanaan lelang. Pejabat lelang meneliti kebenaran formal dokumen lelang; 2. Pemberi informasi lelang untuk mengoptimalkan pelaksanaan lelang, informasi ini diberikan kepada pengguna jasa lelang; 3. Pemimpin lelang, yaitu untuk menjamin ketertiban, keamanan, dan kelancaran, serta mewujudkan pelaksanaan lelang yang berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pejabat lelang dalam memimpin lelang harus komunikatif, tegas, dan berwibawa; 4. Juri. Pejabat lelang sebagai seorang juri harus bertindak adil dan bijaksana untuk menyelesaikan persengketaan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan lelang; 5. Pejabat umum. pejabat lelang sebagai pejabat yang membuat akta autentik berdasarkan undang-undang di wilayah kerjanya; 6. Bendaharawan, dalam pelaksanaan lelang, pejabat lelang menerima, menyetorkan, dan mempertanggungjawabkan uang hasil lelang.52 2.1.4 Jenis-Jenis Lelang Adapun jenis-jenis lelang yang dimaksud adalah: 1. Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Lelang eksekusi PUPN adalah pelayanan lelang yang diberikan kepada PUPN/BUPLN dalam rangka proses penyelesaian pengumuman pitang negara atas barang jaminan/sitaan milik penanggung hutang yang tidak membayar hutangnya kepada negara berdasarkan Undang-Undang 52 Salim, HS I., op.cit. hal. 250. 55 Nomor 49 Prp tahun 1960 tentang Panitia Pengurusan Piutang Negara.53 2. Lelang Eksekusi Pengadilan Negeri (PN)/Pengadilan Agama (PA) Lelang Eksekusi Pengadilan Negeri (PN)/Pengadilan Agama (PA) adalah lelang yang diminta oleh panitera PN/PA untuk melaksanakan keputusan hakim pengadilan yang telah berkekuatan pasti, khususnya pemegang hak tanggungan telah diminta fiat eksekusi kepada ketua pengadilan. Lelang eksekusi pengadilan untuk melaksanakan Pasal 200 HIR dan Pasal 215 Rbg. Lelang dalam rangka penyelesaian kredit macet bank swasta, yang penyelesaiannya melalui pengadilan berdasarkan gugat perdata, atau berdasarkan fiat eksekusi.54 3. Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT)55 Lelang eksekusi hak tanggungan yang dilakukan berdasarkan Pasal 6 UUHT, yang memberikan hak kepada pemegang tanggungan pertama untuk menjual sendiri secara lelang terhadap objek hak tanggungan apabila cidera janji. Terdapat tiga cara untuk melakukan eksekusi Hak Tanggungan: a. Parate Eksekusi (Pasal 6 dan Pasal 11 huruf c UUHT) - 53 Pasal 6 UUHT mengatakan Parate Eksekusi demi hukum. Purnama Tioria Sianturi, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 62. 54 Ibid, hal. 72. 55 Ibid, hal. 74. 56 - Pasal 11 huruf c UUHT Parate Eksekusi karena diperjanjikan Parate Eksekusi adalah eksekusi tanpa proses pengadilan dan tanpa titel eksekutorial. Parate eksekusi dapat terjadi berdasarkan Pasal 6 UUHT yang mengatakan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Ketentuan Pasal 6 UUHT ini berarti tanpa ada janjipun sudah mengikat. b. Eksekusi melalui Pengadilan UUHT memberikan kemungkinan pelaksanaan eksekusi melalui proses pengadilan. Proses peradilan, memakan waktu dan biaya, maka dalam praktek yang dilakukan adalah eksekusi melalui suatu gugatan. Apabila terjadi gugatan lewat pengadilan, benda objek jaminan akan dilelang di muka umum dan hasilnya dipakai untuk melunasi hutang debitur. c. Penjualan objek jaminan secara di bawah tangan (Pasal 20 UUHT angka 3) Penjualan di bawah tangan adalah penjualan yang dilakukan tidak melalui lelang di muka umum. Penjualan di bawah tangan akan lebih menguntungkan kedua belah pihak karena biasanya apabila terjadi penjualan melalui lelang harga mungkin turun dan debitur maupun kreditor dapat dirugikan. 57 Penjelasan Pasal 6 UUHT menyebutkan bahwa hak untuk menjual hak tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah salah satu bentuk perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai pemegang hak tanggungan. UUHT memberikan landasan hukum untuk langsung melakukan eksekusi jaminan melakukan eksekusi atau penjualan jaminan hutang melalui pelelangan umum tanpa fiat pengadilan yaitu berdasarkan Pasal 14 yang memberikan penegasan bahwa sertifikat hak tanggungan memiliki titel eksekutorial yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga dengan adanya titel eksekutorial maka apabila debitur cidera janji maka kreditor dapat langsung melakukan eksekusi jaminan tanpa harus melakukan gugatan perdata kepada debitur melalui Pengadilan Negeri. 2.1.5 Akta Risalah Lelang Sebagai Akta Otentik Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Pasal 1 Angka (32) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor106/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang 58 (selanjutnya disebut PERMENKEU Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang). Risalah lelang terdiri dari:56 a. Bagian Kepala; b. Bagian Badan; dan c. Bagian Kaki. Setiap risalah lelang harus diberi nomor urut tersendiri. Bagian kepala risalah lelang memuat sekurang-kurangnya: a. hari, tanggal, dan jam ditulis dengan huruf dan angka; b. nama lengkap, pekerjaan, dan tempat tinggal/domisili dari pejabat lelang; c. nama lengkap, pekerjaan, dan tempat/domisili penjual; d. pendapat pejabat lelang yang bersangkutan mengenai analisis subjek dan objek lelang; e. nomor/tanggal surat permohonan lelang; f. tempat pelaksanaan lelang; g. sifat barang yang dilelang dan alasan barang tersebut dilelang; h. dalam hal yang dilelang barang-barang tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan harus disebutkan: 1. status hak tanah atau surat-surat lain yang menjelaskan bukti kepemilikan; 2. batas-batasnya; 3. surat keterangan ranah dari Kantor Pertanahan; 4. keterangan lain yang membebani tanah tersebut; 5. cara bagaimana lelang itu diumumkan oleh penjual; 6. syarat-syarat umum lelang. Sedangkan bagian badan risalah lelang memuat sekurang-kurangnya: a. banyaknya penawaran lelang yang masuk dan sah; b. nama barang yang dilelang; c. nama, pekerjaan, dan alamat pembeli, sebagai pembeli atas nama sendiri atau sebagai kuasa atas nama orang lain; d. bank kreditur pembeli untuk orang atau badan hukum atau badan usaha yang akan ditunjuk namanya; e. harga lelang dengan angka dan huruf; dan f. daftar barang yang laku terjual/ditahan memuat nilai, nama, alamat pembeli. Kemudian dibagian kaki risalah lelang memuat sekurang-kurangnya: 56 Salim, H.S. I, op.cit. hal. 266-268. 59 a. banyaknya barang yang ditawar/dilelang dengan angka dan huruf; b. jumlah nilai barang-barang yang telah terjual dengan angka dan huruf; c. banyaknya surat-surat yang dilampirkan pada risalah lelang dengan angka dan huruf; d. jumlah nilai barang-barang yang ditahan dengan angka dan huruf; e. jumlah perubahan yang dilakukan (catatan, tambahan, coretan, dengan penggantiannya) maupun tidak adanya perubahan ditulis dengan angka dan huruf; dan f. tanda tangan pejabat lelang, penjual/kuasa penjualan dalam hal barang lelang tidak bergerak, pembeli/kuasa pembeli dapat turut menandatangani risalah lelang; Apabila risalah lelang terjadi kesalahan dalam pembuatannya, maka harus dilakukan pembetulan. Pembetulan kesalaahan pembuatan risalah lelang berupa pencoretan, penggantian, dilakukan sebagai berikut:57 a. Pencoretan kesalahan kata, huruf, atau angka dalam risalah lelang dilakukan dengan garis lurus tipis, sehingga yang dicoret dapat dibaca, dan atau b. Penambahan/perubahan kata atau kalimat risalah lelang ditulis di sebelah pinggir kiri dari lembar risalah lelang. Apabila tidak mencukupi ditulis pada bagian bawah kaki dari lembaran risalah lelang dengan menunjuk lembar dan garis yang berhubungan dengan perubahan itu; c. Jumlah kata, huruf atau angka yang dicotet atau yang ditambahkan diterangkan pada sebelah pinggir lembar risalah lelang, begitu pula banyaknya kata atau angka yang ditambahkan. Perubahan tersebut hanya dapat dilakukan sebelum risalah lelang tersebut ditandatangani. Apabila sesudah risalah lelang ditutup dan ditandatangani maka tidak boleh dilakukan perubahan lagi. Penandatanganan risalah lelang ini 57 Ibid. 60 dilakukan oleh pejabat lelang pada tiap lembar disebelah kanan atas dari risalah lelang, kecuali pada lembar terakhir ditandatangani oleh pejabat lelang beserta pembeli dan penjual lelang. Kemudian pihak-pihak yang berkepentingan berhak mendapat salinan dari minuta risalah lelang tersebut yang telah ditandatangani oleh Kepala Kantor Lelang, pihak-pihak yang berkepentingan antara lain adalah pembeli lelang, penjual lelang, dan instansi pemerintah untuk kepentingan dinas. Risalah lelang merupakan akta otentik karena dibuat dihadapan pejabat dan memenuhi syarat formil dan syarat materiil suatu akta otentik. 58 Syarat formil yaitu syarat bahwa risalah lelang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang menurut Undang-Undang, yaitu Pejabat Lelang. Sedangkan syarat materiilnya adalah risalah lelang menurut kesepakatan kedua belah pihak yaitu pihak pembeli dan penjual lelang, isi keterangan hukum (rechthandling) yang bersegi dua berupa jual beli melalui lelang atau mengenai hubungan hukum (rechtbetrekking) antara penjual dan pembeli lelang dan pembuatan akta sengaja dimaksudkan sebagai bukti. 2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan 2.2.1 Pengertian Hak Tanggungan Pengertian hak tanggungan sesuai dengan Pasal 1 Angka 1 UUHT, yaitu: Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. 58 M. Yahya Harahap I, op.cit. hal. 187. 61 Adrian Sutedi membedakan jaminan menjadi dua yaitu jaminan yang lahir dari undang-undang yaitu jaminan umum dan jaminan yang lahir karena perjanjian. 59 Jaminan umum adalah jaminan yang adanya telah ditentukan Undang-Undang, Contohnya adalah pada Pasal 1311 KUHPerdata, Pasal 1232 KUHPerdata, dan Pasal 1311 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kekayaan Debitur, baik berupa benda bergerak dan tidak bergerak, yang telah ada dan yang akan datang dikemudian hari walaupun tidak diserahkan sebagai jaminan, maka akan secara hukum menjadi jaminan seluruh utang Debitur. Sedangkan jaminan khusus adalah jaminan yang timbul karena adanya perjanjian terlebih dahulu, yaitu perjanjian yang ada antara Debitur dengan pihak perbankan atau pihak ketiga yang menanggung utang Debitur.60 Jaminan khusus terdiri dari jaminan yang bersifat perseorangan dan jaminan yang bersifat kebendaan. Jaminan kebendaan memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat yang melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan, sedangkan jaminan perseorangan bersifat tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu tetapi hanya terbatas pada harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan yang bersangkutan.61 Menurut sifatnya perjanjian dibagi dua yaitu pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok adalah perjanjian utama yang dilakukan oleh Debitur 59 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 21. 60 Ibid, hal. 27. 61 Salim, HS, 2007, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS II), hal. 7. 62 dengan lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non bank yang diperuntukkan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga keuangan. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok. Sedangkan perjanjian accesoir adalah perjanjian tambahan yang dibuat disamping perjanjian pokok yang bertujuan untuk memberikan kekuatan tambahan bagi perjanjian pokoknya. Perjanjian accesoir bersifat melekat dengan perjanjian pokoknya sehingga apabila perjanjian pokoknya telah usai maka secara otomatis perjanjian accesoir juga telah berakhir, begitu juga apabila perjanjian pokoknya berpindah maka perjanjian accesoir-nya ikut pula berpindah. Contoh dari perjanjian accesoir adalah perjanjian pembebanan jaminan seperti perjanjian gadai, hak tanggungan, dan fidusia.62 Sri Soedewi dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan di Indonesia menyatakan bahwa dalam praktek perbankan perjanjian pokoknya itu berupa perjanjian pemberian kredit atau perjanjian membuka kredit oleh bank, dengan kesanggupan memberikan jaminan berupa pembebanan hak tanggungan pada suatu objek benda tertentu yang mempunyai tujuan sebagai penjaminan kekuatan dari perjanjian pokonya. 63 Selain hak tanggungan, adapula fidusia, gadai, borgtocht, dan lain-lain. Perjanjian penjaminan sendiri mempunyai kedudukan sebagai perjanjian tambahan atau perjanjian accesoir yang dikaitkan dengan perjanjian 62 pokok tersebut. kedudukan perjanjian penjaminan yang Ibid, hal. 23. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, C.V. Bina Usaha, Yogyakarta, hal. 37. 63 63 dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir itu memberikan kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditur. 2.2.2 Subjek dan Objek Hak Tanggungan Subjek hak tanggungan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, yaitu menurut Pasal 8 ayat (1) UUHT “Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.” Pada Pasal 9 UUHT menyebutkan bahwa: “Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.” Sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek hak tanggungan merupakan pemberi dan pemegang hak tanggungan yaitu para pihak yang mempunyai kepentingan berkaitan dengan perjanjian utang piutang yang dijamin pelunasanya. Objek hak tanggungan terdapat pada Pasal 4 ayat (1) UUHT yaitu hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai Atas Tanah Negara. Hak-hak tersebut menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Selain hak-hak atas tanah tersebut dalam Pasal 4 ayat (2) yang dapat juga dibebani hak tanggungan juga berikut hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Pasal 4 ayat 4 UUHT menyatakan bahwa hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka nada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan 64 yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dinyatakan secara tegas dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang bersangkutan. Suatu objek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang dan peringkatnya masing-masing hak tanggungan tersebut ditentukan sesuai dengan tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. Dalam hal apabila didaftarkan dengan tanggal yang sama maka melihat pada Akta Pembebanan Hak Tanggungan, dan apabila suatu objek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan sehingga terdapat pemegang hak tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua, dan seterusnya.64 2.2.3 Asas-Asas Hak Tanggungan Apabila dilihat dalam UUHT maka Hak Tanggungan mempunyai asasasas sebagai berikut: 1. Hak tanggungan memberikan hak preferent (droit de preference) yaitu kedudukan yang diutamakan atau mendahului. (Pasal 1 ayat (1)); 2. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2); 3. Hak tanggungan mempunyai sifat Droit de Suite (Pasal 7); 4. Hak tanggungan mempunyai sifat accesoir; 5. Hak tanggungan untuk menjamin utang yang telah ada maupun yang akan ada; 6. Hak tanggungan dapat menjamin lebih dari satu hutang; 7. Hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah saja; 8. Hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda diatasnya dan dibawah tanah; 9. Hak tanggungan berisi hak untuk melunasi utang dari hasil penjualan benda jaminan dan tidak memberikan hak bagi kreditur untuk memiliki benda jaminan; 10. Hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial; 11. Hak tanggungan mempunyai sifat spesisalitas dan publiksitas.65 64 M. Bahsan, 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 28. 65 Salim, HS II, op.cit. hal. 102. 65 Menurut Salim H.S artinya bahwa pemegang hak tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan terhadap kreditor tertentu sehingga kreditor satu mempunyai kedudukan yang lebih diutamakan dibandingkan dengan kreditor lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan objek jaminan kredit yang diikat dengan hak tanggungan tersebut. Apabila debitur cidera janji, maka kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum objek hak jaminan dalam hal ini adalah tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lainnya. Kreditor pemegang hak tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek hak tanggungan. Kedudukan sebagai kreditor yang mempunyai hak didahulukan dari kreditor lain (kreditor preferen). Jadi hak mendahulukan dimaksudkan adalah bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan asas Hak Tanggungan yang kedua yaitu tidak dapat di bagibagi sebagaimana dalam Pasal 2 UUHT artinya Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Didalam penjelasan Pasal 2 UUHT menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek hak tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang telah dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak 66 Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas yang ditetapkan pada ayat (1) untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan, antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang semula menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh kompleks dan kemudian akan dijual kepada pemakai satu persatu, sedangkan untuk membayarnya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumah yang bersangkutan. Sesuai ketentuan ayat ini apabila Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Sehingga pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.Kemudian sifat droit de suite atau zaaksgelovg mempunyai arti bahwa pemegang hak tanggungan mempunyai hak mengikuti objek hak tanggungan meskipun objek hak tanggungan telah berpindah dan menjadi milik pihak lain. Penjelasan Pasal 7 menyatakan bahwa sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang hak tanggungan. Walaupun objek hak tanggungan sudah berpindahtangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi jika debitur cidera janji. Misalnya apabila ada objek hak tanggungan (tanah dan bangunan) telah dijual dan menjadi milik pihak lain, maka kreditur sebagai pemegang jaminan tersebut tetaplah mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas jaminan tersebut apabila debitur cidera janji meskipun tanah dan bangunan tersebut telah beralih dari milik debitur menjadi milik pihak lain. Hal ini merupakan perwujudan dari Pasal 7 yang menyatakan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada dan objek tersebut tetap terbeban hak tanggungan 67 walaupun di tangan siapapun benda itu berada. Hak tanggungan juga bersifat accesoir yang artinya hak tanggungan yang berarti bahwa hak tanggungan bukanlah hak yang berdiri sendiri tetapi eksistensinya tergantung pada perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang lainnya. Lahirnya ditentukan oleh piutang yang dijamin pelunasannya begitu juga hapusnya tergantung pada perjanjian pokonya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan utang yang hapusnya disebabkan karena lunasnya kredit atau lunasnya hutang tertentu. Sifat jaminan yang accesoir maka mempunyai sifat antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Adanya tergantung pada perjanjian pokok; Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok; Jika perjanjian pokok batal maka perjanjian accesoir juga batal. Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok; Jika perutangan pokok beralih karena cessi, subrograsi maka ikut beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus.66 Selain itu hak tanggungan diperuntukkan untuk menjamin utang yang telah ada maupun yang akan ada sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UUHT yaitu: a. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit biasanya merupakan jumlah maksimum atau plafond; b. Utang yang aka nada telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu. Utang ini merupakan utang yang akan ada karena terjadinya dimasa akan dating tetapi jumlahnya sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar Bank Garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajiban kepada penerima Bank Garansi; c. Utang yang akan ada tetapi jumlahnya pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-pitang. Sedangkan Pasal 3 ayat (2) UUHT menyatakan bahwa hak tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau 66 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, loc.cit. 68 untuk satu atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum. Sehingga pemberian hak tanggungan dapat diberikan untuk: a. Satu atau lebih kreditur yang memberikan kredit kepada satu debitur berdasarkan perjanjian masing-masing secara bilateral antara krediturkreditur dengan debitur. b. Beberapa kreditur secara bersama-sama memberikan kredit kepada satu debitur berdasarkan satu perjanjian. Hak tanggungan juga dapat menjamin lebih dari satu hutang. Hak tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UUHT. Penjelasan Pasal 3 antara lain adalah bahwa utang yang dijamin dengan hak tanggungan dapat berupa utang yang sudah ada maupun yang belum ada, tetapi sudah diperjanjikan, misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan bank garansi. Jumlahnya juga dapat ditentukan secara tetap didalam perjanjian yang bersangkutan dan dapat pula ditentukan dikemudian hari berdasarkan cara perhitungan yang telah ditentukan didalam perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan. Misalnya utang bunga atas pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian. Suatu onjek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan dari satu hutang. Peringkat masing-masing hak tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya di kantor pertanahan, suatu objek hak 69 yanggungan yang dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan tersebut menimbulkan pemegang hak tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua, dan seterusnya. Hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah saja yaitu asas yang merupakan perwujudan dari sistem tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Secara yuridis formal asas yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada diatur dalam : Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda diatasnya dan dibawah tanah. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UUHT yaitu Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.Berdasarkan ketentuan 70 Pasal 4 ayat (4) di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan jaminan selain benda-benda yang berkaitan dengan tanah, juga benda-benda yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut. Hak tanggungan berisi hak untuk melunasi utang dari hasil penjualan benda jaminan dan tidak memberikan hak bagi kreditur untuk memiliki benda jaminan. Asas ini merupakan perlindungan terhadap debitur. Melihat dari tujuan hak tanggungan tersebut adalah untuk menjamin pelunasan utang apabila debitur atau si berhutang cidera janji dengan cara mengambil dari hasil penjualan benda jaminan itu bukan untuk dikuasai atau dimiliki kreditor sebagai pemegang hak tanggungan. Salah satu tujuan dari asas ini yaitu melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang dari kreditor sebagai pemegang hak tanggungan. Asas selanjutnya adalah hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang artinya bahwa kreditor sebagai pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan apabila debitur cidera janji. Apabila debitur wanprestasi yaitu tidak melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan kepada kreditor, maka kreditor yang bersangkutan akan melakukan eksekusi atas objek jaminan yang diikuti hak tanggungan. Pencantuman asas Hak Tanggungan ini berkaitan untuk mencegah terjadinya cedera janji yang dilakukan pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual obyek Hak Tanggungan.67 Hal ini sesuai dengan Pasal 6 UUHT, dengan mengacu pada Pasal 6 tersebut maka apabila debitur cidera janji, hal ini 67 Supriadi, 2012, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 185. 71 dapat dimintakan untuk melaksanakan eksekusi atau yang biasa disebut parate eksekusi. Oleh karena itu, parate eksekusi yang terdapat didalam hak tanggungan diperjanjikan atau tidak diperjanjikan hak itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan. Sertifikat hak tanggungan yang merupakan tanda bukti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”, mempunyai kekuatan eksekutorian yang sama kuatnya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hak tanggungan juga mempunyai sifat spesisalitas dan publiksitas, yaitu uraian yang jelas dan terperinci mengenai obyek hak tanggungan yang meliputi rincian mengenai sertifikat ha katas tanah misalnya hak atas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha, tanggal penerbitannya, tentang luasnya, letaknya, batas-batasnya dan lain sebagainya. Jadi di dalam akta Hak Tanggungan harus diuraikan secara spesifik mengenai hak atas tanah yaitu dibebani hak tanggungan. Seperti tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT yang menentukan bahwa “Didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. Uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan adalah uraian mengenai sertifikat ha katas tanah seperti disebutkan di atas.” Sedangkan sifat Publiksitas hak tanggungan adalah bahwa hak tanggungan haruslah didaftarkan di Kantor Pertanahan dimana tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut berada, sehingga apabila ada pihak ketiga yang merasa dirugikan dapat melakukan tindakan karena telah melihat adanya pendaftaran tersebut, dan hanya dengan pencatatan 72 pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah. 2.2.4 Pemberian Hak Tanggungan Tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 17 UUHT yang menyatakan bahwa: Bentuk dan isi akta pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tata cara pemberian dan pendaftaran hak tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Tata cara pemberian Hak Tanggungan merupakan prosedur tata cara proses pelimpahan kepada pihak ketiga, karena di dalamnya terdapat janji pelunasan utang. Tata cara ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) UUHT yang dinyatakan sebagaimana berikut: Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersama dengan permohonan pendaftaran ha katas tanah yang bersangkutan. Dari penjelasan Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa sesuai dengan sifat hak tanggungan yaitu accesoir maka pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum 73 utang-piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang dapat menimbulkan utang piutang ini dapat dibuat dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta autentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dalam hal hubungan utang-pitang itu timbul dari perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit, perjanjian tersebut dapat dibuat didalam maupun di luar negeri dan pihak-pihak yang bersangkutan dapat perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentungan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia.68 Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan cara pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PPAT), hal ini telah tercantum di dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT. Dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, M. Bahsan menjelaskan Pasal 10 ayat (3) yaitu bahwa apabila objek hak tanggungan tersebut berupa hak atas tanah yang berasal dari konvensi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan, tetapi pendaftarannya belum dilakukan, maka pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Hak lama dalam hal ini artinya hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada tetapi proses administrasi dalam konvensinya belum selesai dilaksanakan, dan syaratsyarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.69 68 69 Ibid, hal. 30. Ibid, hal. 31. 74 Proses yang dijalani dalam pembebanan hak tanggungan antara lain:70 1. Perjanjian Kredit Dalam hal ini para pihak, yaitu kreditor (bank) dan debitur membuat perjanjian kredit. Perjanjian kredit ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: a. Perjanjian kredit di bawah tangan, yaitu perjanjian kredit yang dibuat antara debitur sebagai peminjam dengan kreditor sebagai pemberi pinjaman atau kredit. b. Perjanjian kredit notariil, yaitu perjanjian kredit yang dibuat dihadapan Notaris. Hal ini perlu dilakukan apabila jumlah pinjaman yang diberikan sangat besar. 2. Pembebanan Hak Tanggungan Keberadaan Hak Tanggungan tersebut ditentukan melalui pemenuhan tata cara pembebanan yang meliputi dua tahap kegiatan, yaitu: a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan: 1. Untuk keperluan pembebanan hak tanggungan, pertama debitur harus menyerahkan kepada bank sertifikat hak atas tanah (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah Negara) yang akan dibebani hak tanggungan. Sertifikat hak atas tanah tersebut dapat atas nama debitur sendiri atau atas nama pihak ketiga. 70 Adrian Sutedi, op.cit. hal. 91-93. 75 2. Disamping harus menyerahkan sertifikat hak atas tanah debitur atau pemilik tanah juga harus mengusahakan atau menyerahkan kepada bank, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dan Kantor Pertanahan setempat, dapat pula langsung dimintakan oleh bank kepada Kantor Pertanahan. Adapun yang dimaksud dengan SKPT adalah Surat Keterangan yang memuat keterangan mengenai: i. Keabsahan dari sertifikat hak atas tanah; ii. Status tanah tersebut dalam sengketa atau diletakkan sita oleh pengadilan atau tidak; iii. Tanah sudah atau belum dibebani hak tanggungan, dan lain-lain yang berkaitan dengan pendaftaran tanah. 3. Demi menjamin keamanan, selain informasi yang diperoleh dari SKPT, kreditur (bank) seharusnya mencari informasi lainnya, antara lain dengan cara: Melihat rencana tanah kota, untuk melihat peruntukkan tanah tersebut di masa yang akan datang. 4. Memeriksa lokasi tanah. Setelah penelitian kreditor (bank) dianggap cukup, kemudian pihak bank dan pemilik tanah datang ke PPAT yang wewenangnya meliputi daerah dimana tanah tersebut terletak, 76 untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Pemberian hak tanggungan ini dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah itu Akta Pemberian Hak Tanggungan itu ditandatangani oleh pemilik tanah selaku pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan, yaitu pihak bank, dua orang saksi, dan PPAT sendiri. b. Kantor pertahanan tersebut kemudian akan melakukan hal-hal sebagai berikut: Membuat buku tanah hak tanggungan Mencatat di buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan Mencatat pembebanan hak tanggungan tersebut dalam sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan Mendaftar dalam daftar buku tanah hak tanggungan Menurut Pasal 13 ayat (4) UUHT, tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya, yang merupakan saat lahirnya sertifikat hak tanggungan. 77 c. Sertifikat hak tanggungan dan sertifikat hak atas tanah kemudian diserahkan kepada kreditur selaku pemegang hak tanggungan untuk disimpan. 2.2.5 Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan Hak tanggungan dinyatakan lahir pada tanggal buku tanah hak tanggungan yaitu pada hari ketujuh setelah Kantor Pertanahan menerima secara lengkap suratsurat yang diperlukan bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Hari dan tanggal lahirnya hak tanggungan menandai atau membuktikan lahirnya hak preferent atau hak diutamakan bagi kreditur sebagai pemegang hak tanggungan sehingga kreditur yang memegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang diutamakan atas jaminan yang dipegangnya. Apabila kreditur sebagai pemegang hak tanggungan yang memiliki hak preferent maka Undang-Undang memberikan perlindungan dan kekuatan hukum yang khusus bagi pemegang hak tanggungan tersebut. Tanda bukti ada atau lahirnya hak tanggungan, Kantor Pertanahan setempat menerbitkan sertifikat hak tanggungan sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUHT. Dengan kata lain, sertifikat hak tanggungan merupakan bukti ada atau lahirnya hak tanggungan, yang kelahiran ditentukan pada saat pendaftaran benda yang menjadi objek hak tanggungan tersebut dalam buku tanah hak tanggungan. Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUHT menyebutkan bahwa sertifikat hak tanggungan dimaksud memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh 78 kekuatan hukum tetap dan dapat berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotek sepanjang hak atas tanah. Pada Pasal 13 ayat (1) UUHT diatur mengenai pemberian hak tanggungan yaitu wajib didaftarkan pada kantor pertanahan, kemudian di dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan mengenai bagaimana cara pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Menurut St. Remy Sjahdeni, tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:71 a. Setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh para pihak, PPAT mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan oleh kantor pertanahan. Pengiriman tersebut wajib dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan. b. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah uang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. c. Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran nya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Sedangkan hapusnya hak tanggungan diatur pada Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 UUHT, yang dimaksud dengan hapusnya hak tanggungan adalah tidak berlaku lagi hak tanggungan. Ada empat sebab hapusnya hak tanggungan, yaitu: 1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan; 2. Dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan; 3. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; 4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. 71 Sutan Remy Sjahdeni, 1999, Hak Tanggungan Asas-Asas, KetentuanKetentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, hal. 110. 79 Sudikno Mertokusumo mengemukakan 6 (enam) cara berakhirnya atau hapusnya hak tanggungan yaitu: 1. Dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara sukarela oleh debitur. Disini tidak terjadi cedera janji atau sengketa; 2. Debitur tidak memenuhi tepat pada waktu, yang berakibat debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur dengan sukarela, sehingga dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian utang piutang berakhir; 3. Debitur cidera janji. Dengan adanya cidera janji tersebut, maka debitur dapat melakukan parate executie dengan menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan lelang tersebut. Dengan demikian, perjanjian utang piutang berakhir; 4. Debitur cidera janji, maka kreditur dapat mengajykan sertifikat hak tanggungan ke pengadilan ke pengadilan untuk dieksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR yang diikuti pelelangan umum. Dengan dilunasi utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang pitang berakhir. Disini tidak terjadi gugatan. 5. Debitur cidera janjidan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur digugat oleh kreditur, yang kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang memenangkan kreditur. Putusan tersebut dapat dieksekusi secara sukarela seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan dipenuhinnya prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum dan dengan demikian perjanjian utang piutang berakhir. 6. Debitur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur dan mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir.72 Pasal 22 UUHT menyatakan bahwa setelah hak tanggungan hapus maka Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Penghapusan hak tanggungan dilakukan dengan cara pencoretan catatan atau roya hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan tersebut ditarik dan bersama-sama dengan buku tanah hak tanggungan yang dinyatakan 72 Sudikno Mertokusumo, 1996, Eksekusi Objek Hak Tanggungan Permasalahan dan Hambatan, Yogyakarta, hal. 35. 80 tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. Lahirnya hak tanggungan pada saat buku tanah hak tanggungan yaitu pada hari ketujuh setelah kantor pertanahan menerima secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran, sedangkan untuk hapusnya hak tanggungan telah jelas tertulis pada Pasal 18 dan Pasal 19 UUHT. 81 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PEMBELI LELANG EKSEKUSI 3.1 Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank Asal mula terbentuknya bank salah satunya adalah untuk menopang kegiatan usaha dalam masyarakat yaitu dengan cara pemberian bantuan berupa dana yang akan dipergunakan untuk kegiatan usaha. Bank merupakan penyalur dana untuk masyarakat dalam bentuk pemberian kredit disamping lembaga keuangan lainnya. Di dalam UU Perbankan terdapat dua jenis bank yaitu Bank Umum dan Bank Pengkreditan Rakyat. Kedua jenis bank ini mempunyai tujuan komersial yaitu melakukan kegiatan usaha berupa pemberian kredit. Menurut Pasal 1 Angka 2 UU Perbankan pengertian Bank antara lain: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Melihat dari pengertian bank di dalam peraturan perundang-undangannya maka dapat disimpulkan bahwa kredit merupakan salah satu bentuk kegiatan usaha dari bank dengan tujuan untuk menyalurkan dana kepada masyarakat. Bank selain menyalurkan dana kepada masyarakat dalam eksistensinya bank juga merupakan sebagai penghimpun dana dalam masyarakat. Pasal 1 Angka 11 UU 81 82 Perbankan menyatakan bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Sehingga dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa bank sebagai pihak penyedia dana dengan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam yang dibuat antara pihak bank dengan pihak debitur, selain itu juga ada kewajiban untuk melunasi hutang yang dimiliki oleh debitur sehingga debitur wajib melakukan pembayaran pelunasan kredit sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan termuat dalam perjanjian kredit. Adanya jaminan sebagai perjanjian accesoir yang melekat dengan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya memiliki dasar pemikiran bahwa jika terhadap kredit yang diberikan berjalan dengan baik dan debitur melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit, maka hubungan usaha antara bank dengan debitur menjadi berakhir dan semuanya berjalan dengan baik karena hak dan kewajiban antara masing-masing pihak tersebut telah dipenuhi, namun adapula kemungkinan resiko terjadinya kredit bermasalah yang dapat terjadi dan dapat menyebabkan bank mengalami kerugian maka di dalam penjaminan utang tersebut dilekatkan pula perjanjian pembebanan hak tanggungan yang akan termuat dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan. Jaminan kredit sebagai pengamanan pelunasan kredit yang dibuat oleh bank karena bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada debitur 83 wajib membuat upaya pengamanan agar kredit yang diberikannya dapat dilunasi oleh debitur yang bersangkutan. Sesuai dengan salah satu prinsip bank yaitu prinsip kehati-hatian maka pengamanan kredit merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan bank karena apabila debitur tidak melunasi kredit maka hal itu merupakan kerugian bagi bank dan dapat mempengaruhi tingkat kesehatan bank sehingga sekecil apapun jumlah kredit debitur maka bank tetap membuat jaminan kredit guna untuk memberikan keamanan. Sehingga apabila debitur ingkar janji dan tidak melunasi utangnya maka bank dapat melakukan penjualan atas objek jaminan kredit yang bersangkutan, dan hasil dari pencairan jaminan kredit tersebut dapat diperhitungkan oleh bank sebagai pelunasan kredit debitur yang disebut kredit macet. Jaminan kredit dapat dibebankan kepada 3 (tiga) kelompok objek yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak, dan jaminan perorangan. Barang bergerak misalnya perhiasan, surat berharga, kendaraan bermotor, perlengkapan kantor, barang persediaan, barang dagangan, dan sebagainya. Sedangkan barang tidak bergerak berupa tanah dan benda-benda yang melekat dengan tanah seperti rumah tinggal, gedung kantor, gudang, hotel, dan lain sebagainya. Barang tidak berwujud dapat berupa tagihan, piutang, dan sejenisnya. Penanggungan utang dapat berupa jaminan pribadi (personal guaranty) dan jaminan perusahaan (company/corporate guaranty). Jaminan kredit dapat diikat dengan gadai yaitu penguasaan barang jaminan tersebut berpindah pada kreditur, biasanya dibebankan kepada barang bergerak namun adapula fidusia yaitu barang jaminan tersebut tetap berada pada kekuasaan 84 debitur tetapi hanya surat-suratnya yaitu hak jamiannanya saja yang berada dalam kekuasaan kreditur misalnya kendaraan bermotor sehingga masih dapat digunakan oleh debitur. Adapula untuk jaminan barang tidak bergerak diikat dengan hak tanggunganmisalnya untuk tanah dan bangunan. Pengikatan atas objek hak jaminan kredit bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi bank dalam menerima pelunasan kredit dengan cara menguasai objek jaminan kredit. Pengikatan objek jaminan yang sempurna diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi bank yang dapat dilakukan melalui lembaga jaminan. Tiap-tiap benda yang dijaminkan mempunyai lembaga jaminan yang berbeda-beda dan hal ini tergantung pada bentuk jaminan yang diserahkan kepada bank, adapula lembaga jaminan yang digunakan untuk mengikat objek jaminan kredit dapat berupa gadai, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia. Pemenuhan pengikatan objek jaminan kredit dari masing-masing lembaga jaminan tersebut mempunyai satu tujuan utama yaitu memberikan kepastian hukum kepada bank dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Hak tanggungan digunakan untuk jaminan kredit pada bank yang berupa barang tidak bergerak yaitu untuk tanah dan bangunan sesuai dengan Pasal 20 UUHT bahwa cara mencairkan objek hak tanggungan yang diikat dengan hak tanggungan yaitu dapat melalui eksekusi dan juga melalui penjualan dibawah tangan. Bank sebagai kreditur dapat mendapatkan pengembalian utang oleh debitur melalui lembaga hukum yang tersedia. Lembaga hukum yang dapat dipergunakan dan berfungsi untuk menyelesaikan masalah kredit macet, adalah : 85 a. Pengadilan Negeri, apabila kredit macet yang terjadi merupakan tagihantagihan dari bank swasta. b. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL), berfungsi untuk menyelesaikan masalah kredit macet yang merupakan tagihan-tagihan dari bank pemerintah. Pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri selama ini hanya terhadap tagihan bank, yang oleh pihak kreditor sebelumnya telah mengajukan permohonan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana hak tanggungan itu berada. Setelah debitor yang ingkar janji dipanggil dan diberi tenggang waktu untuk membayar hutangnya dengan sukarela, namun tetap lalai untuk membayar, maka obyek hak tanggungan disita dengan sita eksekutorial. Jika setelah disita tetapi debitor tetap lalai untuk membayar, maka obyek hak tanggungan tersebut akan dilelang secara umum. Proses pelaksanaan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang dilakukan oleh pihak kreditor, sebenarnya tidaklah sulit. Karena disamping sertifikat Hak Tanggungan berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dimana pada sertifikat tersebut dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'', yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pemegang Hak Tanggungan pertama juga mempunyai hak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap obyek Hak Tanggungan yang dijadikan sebagai 86 jaminan kredit, apabila debitur ingkar janji. Hal mana didasarkan pada kuasa yang diberikan oleh debitor maupun oleh undang-undang kepada pihak kreditor. Sri Soedewi dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan di Indonesia menyatakan bahwa dalam praktek perbankan perjanjian pokoknya itu berupa perjanjian pemberian kredit atau perjanjian membuka kredit oleh bank, dengan kesanggupan memberikan jaminan berupa pembebanan hak tanggungan pada suatu objek benda tertentu yang mempunyai tujuan sebagai penjaminan kekuatan dari perjanjian pokonya. 73 Selain hak tanggungan, adapula fidusia, gadai, borgtocht, dan lain-lain. Perjanjian penjaminan sendiri mempunyai kedudukan sebagai perjanjian tambahan atau perjanjian accesoir yang dikaitkan dengan perjanjian pokok tersebut. kedudukan perjanjian penjaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir itu memberikan kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditur. Hak tanggungan juga bersifat accesoir yang artinya hak tanggungan yang berarti bahwa hak tanggungan bukanlah hak yang berdiri sendiri tetapi eksistensinya tergantung pada perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang lainnya. Lahirnya ditentukan oleh piutang yang dijamin pelunasannya begitu juga hapusnya tergantung pada perjanjian pokonya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan utang yang hapusnya disebabkan karena lunasnya kredit atau lunasnya hutang tertentu. Sifat jaminan yang accesoir maka mempunyai sifat antara lain: 1. Adanya tergantung pada perjanjian pokok; 2. Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok; 73 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, loc.cit. 87 3. Jika perjanjian pokok batal maka perjanjian accesoir juga batal. 4. Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok; 5. Jika perutangan pokok beralih karena cessi, subrograsi maka ikut beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus.74 Menurut Undang-Undang Hak Tanggungan mengandung hak untuk pelaksanaan pemenuhan piutangnya terhadap benda jaminan, manakala piutang tersebut telah jatuh tempo dan sudah dapat ditagih, namun ternyata debitur tidak sanggup untuk melunasinya sehingga dapat dinyatakan bahwa debitur telah wanprestasi. Kreditur mempunyai kewenangan untuk melakukan eksekusi secara langsung terhadap benda yang menjadi jaminan tanpa perantaraan hakim. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian Hak Tanggungan terdapat titel eksekutorial yang berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan pasti seperti kekuatan putusan pengadilan. Dengan kata lain telah mempunyai kekuatan eksekutorial, yang mempunyai dampak dapat dilakukannya eksekusi secara langsung terhadap benda yang dijaminkan tersebut dengan jalan benda jaminan tersebut dapat dijual dimuka umum dan hasilnya diperhitungkan untuk pelunasan piutangnya.Selain itu karena ada janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri, maka kreditur dapat menjual benda yang dijaminkan oleh debitur tersebut dimuka umum atas dasar parate eksekusi. Jika debitur wanprestasi, setelah mendapat peringatan beberapa kali tetap tidak memenuhi maka pihak bank tidak melakukan eksekusinya sendiri melainkan meminta campur tangan Panitia Urusan Piutang Negara (selanjutnya disingkat 74 Ibid. 88 PUPN) atau pengadilan. 75 Namun untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi seringkali pihak debitur lebih memilih menjual sendiri barang jaminannya tersebut guna melunasi hutangnya dan dapat menerima kembali apabila ada sisa uang dari hasil penjualannya tersebut setelah digunakan untuk melunasi hutangnya pada kreditur karena apabila melalui penjualan umum akan memberatkan debitur karena barang akan dijual dengan harga yang jauh lebih murah. Objek hak tanggungan terdapat pada Pasal 4 ayat (1) UUHT yaitu hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai Atas Tanah Negara. Hak-hak tersebut menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Selain hak-hak atas tanah tersebut dalam Pasal 4 ayat (2) yang dapat juga dibebani hak tanggungan juga berikut hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Pasal 4 ayat 4 UUHT menyatakan bahwa hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka nada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dinyatakan secara tegas dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang bersangkutan. Tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 17 UUHT yang menyatakan bahwa: Bentuk dan isi akta pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tata cara 75 Ibid, hal. 35. 89 pemberian dan pendaftaran hak tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Tata cara pemberian Hak Tanggungan merupakan prosedur tata cara proses pelimpahan kepada pihak ketiga, karena di dalamnya terdapat janji pelunasan utang. Tata cara ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) UUHT yang dinyatakan sebagaimana berikut: Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersama dengan permohonan pendaftaran ha katas tanah yang bersangkutan. Dari penjelasan Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa sesuai dengan sifat hak tanggungan yaitu accesoir maka pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang dapat menimbulkan utang piutang ini dapat dibuat dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta autentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Selain itu pemberian hak tanggungan dilakukan dengan cara pembuaatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PPAT), hal ini telah tercantum di dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT. Selain itu pemberian hak tanggungan dilakukan dengan cara pembuaatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya 90 disingkat PPAT), hal ini telah tercantum di dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT. Dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, M. Bahsan menjelaskan Pasal 10 ayat (3) yaitu bahwa apabila objek hak tanggungan tersebut berupa hak atas tanah yang berasal dari konvensi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan, tetapi pendaftarannya belum dilakukan, maka pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Pada penjelasan Pasal 10 ayat (3) menyebutkan bahwa pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah tersebut dimungkinkan asalakan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut. Dengan kata lain memberikan kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit. Dengan adanya ketentuan ini berarti penggunaan tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis masih dimungkinkan sebagai angunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Menurut Undang-Undang Hak Tanggungan mengandung hak untuk pelaksanaan pemenuhan piutangnya terhadap benda jaminan, manakala piutang tersebut telah jatuh tempo dan sudah dapat ditagih, namun ternyata debitur tidak sanggup untuk melunasinya sehingga dapat dinyatakan bahwa debitur telah wanprestasi. Kreditur mempunyai kewenangan untuk melakukan eksekusi secara langsung terhadap benda yang menjadi jaminan tanpa perantaraan hakim. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian Hak Tanggungan terdapat titel eksekutorial yang berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga 91 mempunyai kekuatan yang mengikat dan pasti seperti kekuatan putusan pengadilan. Dengan kata lain telah mempunyai kekuatan eksekutorial, yang mempunyai dampak dapat dilakukannya eksekusi secara langsung terhadap benda yang dijaminkan tersebut dengan jalan benda jaminan tersebut dapat dijual dimuka umum dan hasilnya diperhitungkan untuk pelunasan piutangnya.Selain itu karena ada janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri, maka kreditur dapat menjual benda yang dijaminkan oleh debitur tersebut dimuka umum atas dasar parate eksekusi. Menurut Undang-Undang Hak Tanggungan mengandung hak untuk pelaksanaan pemenuhan piutangnya terhadap benda jaminan, manakala piutang tersebut telah jatuh tempo dan sudah dapat ditagih, namun ternyata debitur tidak sanggup untuk melunasinya sehingga dapat dinyatakan bahwa debitur telah wanprestasi. Kreditur mempunyai kewenangan untuk melakukan eksekusi secara langsung terhadap benda yang menjadi jaminan tanpa perantaraan hakim. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian Hak Tanggungan terdapat titel eksekutorial yang berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan pasti seperti kekuatan putusan pengadilan. Dengan kata lain telah mempunyai kekuatan eksekutorial, yang mempunyai dampak dapat dilakukannya eksekusi secara langsung terhadap benda yang dijaminkan tersebut dengan jalan benda jaminan tersebut dapat dijual dimuka umum dan hasilnya diperhitungkan untuk pelunasan piutangnya.Selain itu karena ada janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri, maka kreditur dapat 92 menjual benda yang dijaminkan oleh debitur tersebut dimuka umum atas dasar parate eksekusi. Jika debitur wanprestasi, setelah mendapat peringatan beberapa kali tetap tidak memenuhi maka pihak bank tidak melakukan eksekusinya sendiri melainkan meminta campur tangan Panitia Urusan Piutang Negara (selanjutnya disingkat PUPN) atau pengadilan. Namun untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi seringkali pihak debitur lebih memilih menjual sendiri barang jaminannya tersebut guna melunasi hutangnya dan dapat menerima kembali apabila ada sisa uang dari hasil penjualannya tersebut setelah digunakan untuk melunasi hutangnya pada kreditur karena apabila melalui penjualan umum akan memberatkan debitur karena barang akan dijual dengan harga yang jauh lebih murah. 3.2 Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan Hak tanggungan timbul karena adanya adanya kesepakatan antara kedua belah pihakdengan memberikan hak tanggungan dengan bentuksuatu perjanjian, Rumusan Pasal 10 ayat (1) UUHT menyatakan bahwa “Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut”. Salah satu ciri dari hak tanggungan adalah pelaksanaannya yaitu apabila kreditur melakukan cidera janji makatelah diatur dalam Undang-Undang tentang eksekusinya serta hak-hak istimewa yang terdapat di dalam hak tanggungan tersebut yang lebih ditujukan 93 kepada penerima hak tanggungan. Keistimewaan tersebut terdapat dalam salah satu asas hak tanggungan yaitu memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada krediturnya. Hal ini berarti bahwa kreditur pemegang hak tanggungan diberikankedudukan untuk didahulukan terhadappara kreditur lainnya dalam mendapatkan pelunasan piutangnya atas hasil penjualan benda yang dibebani dengan hak tanggungan. Pelelangan objek Hak Tanggungan oleh bank memiliki dua prosedur eksekusi hak tanggungan, yaitu berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan dengan menjual langsung atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) dan juga berdasarkan Pasal 14 ayat (2) jo. Pasal 26 Undang-undang Hak Tanggungan berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan sebagai title eksekutorial yaitu eksekusi dengan perantaraan pengadilan. Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial, di dalam UUHT dijelaskan bahwa adanya landasan hukum untuk langsung melakukan eksekusi jaminan melakukan eksekusi atau penjualan jaminan hutang melalui pelelangan umum tanpa fiat pengadilan yaitu berdasarkan Pasal 14 ayat (2) jo. Pasal 26yang memberikan penegasan bahwa sertifikat hak tanggungan memiliki titel eksekutorial yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Objek yang 94 dibebankan atas hak tanggungan berada di bawah kekuasaan penerima hak tanggungan. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada kreditur apabila debitur cidera janji. Jika terjadi cidera janji oleh kreditur karena disengaja maupun kealpaan maka benda yangdijaminkan dengan hak tanggungan akan dijual untuk melunasi utang debitur yang dijamin tersebut. Kekuatan hukum pemegang hak tanggungan sangat jelas diberikan dalam hukum hak tanggungan karena memberikan keutamaan haknya. Pelelangan dari aspek eksekusi merupakan pelelangan yang dilaksanakan berdasarkan atas dasar adanya putusan pengadilan. Penggolongan lelang dari aspek eksekusi ini dibagi menjadi 2 macam antara lain yaitu: a. Pelelangan non eksekusi; b. Pelelangan eksekusi. Pelelangan non eksekusi merupakan pelelangan tanpa adanya putusan hakim sedangkan pelelangan eksekusi yaitu pelaksanaan lelang berdasarkan dari adanya putusan hakim atau yang memiliki titel eksekutorial.Sehingga dengan adanya titel eksekutorial maka apabila debitur cidera janji maka kreditor dapat langsung melakukan eksekusi jaminan tanpa harus melakukan gugatan perdata kepada debitur melalui Pengadilan Negeri. Hal ini dapat memberikan kemudahan eksekusi sehingga eksekusi dapat berjalan dengan mudah dan pasti apabila debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya yang mana telah diperjanjikan sebelumnya. Eksekusi objek hak tanggungan terdapat pada Pasal 20 UUHT yaitu pemegang Hak Tanggungan diberikan pilihan eksekusi sebagai berikut: 1. Pasal 6 UUHT yang menyatakan bahwa: Apabila debitor cidera janji, 95 pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Apabila debitor melakukan cidera janji maka berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan atau dengan Pasal 14 UUHT ayat 2 yang menyatakan bahwa Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Titel eksekutorial yang terdapat didalam sertifikat hak tanggungan tersebut mempunyai akibat bahwa objek hak tanggungan dapat dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan guna untuk melunasi piutang pemegang hak tanggungan dengan mendapatkan hak mendahului daripada kreditorkreditor lainnya. 2. Penjualan objek hak tanggungan dapat dilaksanakan dengan penjualan dibawah tangan berdasarkan atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan dan akan dicari harga yang paling tinggi sehingga dapat menguntungkan para pihak. 3. Pelaksanaan penjualan guna untuk pelunasan kredit macet tersebut yang dimaksud dapat menjual dibawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan harus diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) 96 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. 4. Setiap janji melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) maka akan batal demi hukum. 5. Pada saat pengumuman lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindari dengan pelunasan utang yang dijamin dengan hak tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan. Adanya jenis eksekusi di dalam Pasal 20 UUHT tersebut bertujuan untuk mencari jalan bagaimana caranya agar debitor bersedia memenuhi kewajibannya, maka kreditor menahan sesuatu yang berharga dari debitor tersebut sehingga apabila debitor menginginkannya kembali maka debitor harus terlebih dahulu memenuhi kewajibannya yaitu dengan cara membayar utang yang telah diperjanjikan sebelumnya, apabila debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya yang telah diperjanjikan sebelumnya tersebut dalam kurun waktu yang telah disepakati maka itu berarti debitor telah cidera janji. Demi kepentingan kreditor yang kemungkinan besar akan dirugikan tersebut maka diperlukan perlindungan hukum yang jelas dalam rangka pelunasan piutang dan cara itu telah ditetapkan sesuai dalam Pasal 20 UUHT. Terdapat tiga cara untuk melakukan eksekusi Hak Tanggungan: a Parate Eksekusi (Pasal 6 dan Pasal 11 huruf c UUHT) - Pasal 6 UUHT mengatakan Parate Eksekusi demi hukum. 97 - Pasal 11 huruf c UUHT Parate Eksekusi karena diperjanjikan Parate Eksekusi adalah eksekusi tanpa proses pengadilan dan tanpa titel eksekutorial. Parate eksekusi dapat terjadi berdasarkan Pasal 6 UUHT yang mengatakan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Ketentuan Pasal 6 UUHT ini berarti tanpa ada janjipun sudah mengikat. Eksekusi jaminan dapat dilakukan dengan parate eksekusi, parate eksekusi memberikan hak kepada kreditur untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri seolah-olah objek jaminan yang dijaminkan oleh debitur adalah miliknya sendiri dengan tanpa melibatkan debitur itu sendiri. Pelaksanaan parate eksekusi dianggap sederhana karena tidak melibatkan debitur, pengadilan maupun prosedur hukum acara. Pelaksanaannya hanya digantungkan pada syarat debitur wanprestasi, padahal kreditur sendiri baru membutuhkannya kalau debitur wanprestasi.kewenangan seperti itu tampak sebagai hak eksekusi yang selalu siap ditangan kalau dibutuhkan, itulah sebabnya eksekusi yg demikian disebut sebagai parate eksekusi. b Eksekusi melalui Pengadilan UUHT memberikan kemungkinan pelaksanaan eksekusi melalui proses pengadilan. Proses peradilan, memakan waktu dan biaya, maka 98 dalam praktek yang dilakukan adalah eksekusi melalui suatu gugatan. Apabila terjadi gugatan lewat pengadilan, benda objek jaminan akan dilelang di muka umum dan hasilnya dipakai untuk melunasi hutang debitur. c Penjualan objek jaminan secara di bawah tangan (Pasal 20 UUHT angka 3) Penjualan di bawah tangan adalah penjualan yang dilakukan tidak melalui lelang di muka umum. Penjualan di bawah tangan akan lebih menguntungkan kedua belah pihak karena biasanya apabila terjadi penjualan melalui lelang harga mungkin turun dan debitur maupun kreditor dapat dirugikan. UUHT memberikan fasilitas kepada kreditor apabila debitor cidera janji sehingga pelaksanaan eksekusi berjalan dengan mudah dan pasti. Didalam penjelasan Pasal 6 UUHT menyebutkan bahwa: “Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan ini lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Artinya bahwa hak untuk menjual hak tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah salah satu bentuk perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai pemegang hak tanggungan. UUHT memberikan landasan hukum untuk 99 langsung melakukan eksekusi jaminan melakukan eksekusi atau penjualan jaminan hutang melalui pelelangan umum tanpa fiat pengadilan yaitu berdasarkan Pasal 14 yang memberikan penegasan bahwa sertifikat hak tanggungan memiliki titel eksekutorial yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Selain itu di dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf e menyatakan bahwa "Untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji ini" yang artinya bahwa hak dari pemegang hak tanggungan tersebut yang digunakan untuk melaksanakan haknya berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT harus mempunyai landasan berdasarkan hak yang diberikan oleh Undang-Undang, tetapi sebelumnya juga haruslah diperjanjikan dulu oleh para pihak yang akan tertulis didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Berdasarkan Pasal 6 UUHT dengan menjual langsung atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) dan juga berdasarkan Pasal 14 ayat (2) jo. Pasal 26 UUHT berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan sebagai title eksekutorial yaitu eksekusi dengan perantaraan pengadilan. Objek yang ditanggungkan dapat dijual jika debitur cidera janji berdasarkan sertifikat hak tanggungan yang memiliki title eksekutorial yang berirah-irah “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang bersifat mengeksekusi meskipun diperjanjikan atau tidak diperjanjikan. Sehingga dengan kata lain apabila tidak ada perjanjian yang dilakukan terlebih dahulu maka kreditor tidak mempunyai hak 100 untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, akan tetapi eksekusinya harus dilakukan melalui titel eksekutorial sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, maka dapat disimpulkan bahwa maksud pembentuk Undang-Undang mencantumkan alternatif penyelesaianbagi kreditor atau pemegang hak tanggungan. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUHT, penjualan objek hak tanggungan dapat dilakukan melalui penjualan umum pelelangan yang penjualan barang yang disita umum melalui perantara pejabat yang berwenang. Lelang sebagai suatu alternatif cara penjualan barang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KP2LN) yang bertujuan untuk menentukan harga yang wajar bagi suatu barang dan merupakan bagian dari sistem hukum perdata nasional mempunyai berbagai sifat yang baik dan memiliki keunggulan dibandingkan dengan cara penjualan lainnya, seperti keterbukaan, bebas, dapat dipertanggungjawabkan, memberikan kepastian hukum, cepat, dan efisien. Tujuan dari penjualan melalui lelang adalah menjual secara umum harta kekayaan tergugat yang disita, dan dari hasil penjualan uangnya akan dibayarkan kepada pihak penggugat sebesar yang ditetapkan dalam putusan. Dalam hal permohonan lelang sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan No.93 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang menganut beberapa persyaratan yaitu : 1. Penjual/Pemilik Barang yang bermaksud melakukan penjualan barang secara lelang melalui KP2LN. 101 2. Permohonan harus mengajukan surat permohonan lelang secara tertulis kepada Kepala KP2LN untuk dimintakan jadwal pelaksanaan lelang. 3. Permohonan disertai dokumen persyaratan lelang sesuai dengan jenis lelangnya. Seorang penawar lelang sebelum melaksanakan perjanjian jual beli di pelelangan harus memperhatikan beberapa kriteria dari pelelangan. Adapun kriterianya yaitu : 1. Pembeli harus mengetahui persis barang yang akan ia beli. 2. Pembeli harus mengetahui status hukum barang yang akan ia beli. 3. Pembeli harus benar-benar siap membeli, dalam arti bahwa ia akan mengajukan penawaran sesuai dengan kemampuannya dan akan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh kantor lelang Negara. Adanya aturan yang jelas mengenai Hak Tanggungan dan kekuatan eksekutorialnya seharusnya telah memberikan perlindungan hukum yang sangat jelas sehingga aspek tujuan hukum yaitu kepastian hukum dan perlindungan hukum dapat tercapai. Dalam praktiknya, pemberian kredit sering mengalami resiko emacetan kredit. Maka untuk mengatasi hal tesebut perlu adanya perjanjian pinjam meminjam antara kreditur dengan debitur yang diikat dengan jaminan. Tujuan dari pengikatan jaminan adalah untuk memberikan kepastian dan keamanan atas pelaksanaan kredit tersebut jika terjadi wanprestasi yang diakibatkan oleh debitur. Oleh karena itu hak debitor sebagai pemberi pinjaman dan kewajiban kreditor sebagai pihak peminjam telah jelas tercantum dalam 102 Undang-Undang. Hal ini dapat memudahkan pelaksanaan pemberian kredit karena posisi kreditor sebagai peminjam telah terlindungi dengan baik. Jika debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji maka kreditur dapat mengambil pelunasannya melalui pelelangan umum yang berdasarkan irahirah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang tercantum dalam sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan memiliki titel eksekutorial yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan. 3.3 Perlindungan Hukum Pembeli Lelang Eksekutorial Hak Tanggungan Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan Pembeli lelang sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Petunjuk Pelaksanaan Lelang Pasal 1 Angka 22 bahwa: Pembeli adalah orang atau badan hukum/badan usaha yang mengajukan penawaran tertinggi dan disahkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang. Pembeli lelang barulah dapat dinyatakan sebagai pemenang lelang apabila terjadi peralihan hak milik. Peralihan hak milik tersebut akan beralih sepenuhnya apabila memenuhi syarat lelang yaitu pembayaran harga dan pejabat lelang mengesahkan lelang dengan dikeluarkannya risalah lelang. Pada Pasal 1365 KUHPerdata mengatur bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Perbuatan melanggar hukum atau “onrechmatige daad” dapat diartikan secara sempit dan secara luas. Perbuatan melanggar hukum dalam arti sempit adalah 103 hanya mengenai perbuatan yang secara langsung melanggar suatu peraturan hukum, sedangkan perbuatan melanggar hukum dalam arti luas adalah berkembangnya pengertian perbuatan pelanggat hukum tersebut yaitu dapat diartikan sebagai berbuat tidak berbuat sesuatu yang memperkosa hak orang lain atau yang bertentangan dengan suatu kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat terhadap diri atau benda orang lain. Perbuatan melawan hukum dapat dijelaskan antara lain: 1. Melanggar hak orang lain; 2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat; 3. Bertentangan dengan kesusilan yang baik, bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain. Menurut Rosa Agustina, konsep perbuatan melawan hukum tidak saja setiap perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis yaitu bersifat bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar hak subjektif orang lain tetapi juga suatu perbuatan yang melangar kaidah tidak tertulis yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.76 Perbuatan melawan hukum mempunyai akibat yaitu membawa kerugian kepada pihak yang bersangkutan. Pasal 1365 KUHPerdata memberikan syarat akan adanya perbuatan melawan hukum yakni haruslah ada kesalahan, kesalahan yang dinyatakan 76 Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum,Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 326-327. 104 mencangkup kesengajaan maupun kelalaian dan merujuk pada tanggung jawab atas suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata pihak yang dirugikan cukup membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya adalah akibat dari perbuatan melawan hukum. Gugatan melawan hukum pada lelang memintakan majelis hakim menyatakan perbuatan akan atau telah melelang objek perkara sebagai perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan lelang digugat dengan dalil perbuatan melawan hukum karena memenuhi unsurunsur: 1. Perbuatan melawan hukum Gugatan dalam lelang biasanya didasarkan pada perbuatan melawan hukum yang dikarenakan pelanggaran pada suatu peraturan hukum. Gugatan atas perbuatan melawan hukum dalam lelang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Setiap prosedur dalam lelang mempunyai aturan yang menjadi dasar hukumnya, , perbuatan melawan hukum dalam arti sempit mencangkup segala hal yang berhubungan dengan dokumen persyaratan lelang yang menimbulkan akibat adanya cacat hukum dalam pembuatan dokumen karena langsung melanggar peraturan hukum tertulis. Sedangkan dalam arti luas berkaitan dengan kewajiban hukum penjual dalam mengoptimalkan harga lelang misalnya memberikan harga terlalu rendah sehingga bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat. 105 2. Kesalahan (Schuld) Unsur kedua adalah unsur kesalahan, adanya kesalahan kemungkinan terdapat pada persyaratan lelang atau di dalam pelaksanaan lelang baik karena kealpaan ataupun kesengajaan yang mengakibatkan kerugian. 3. Kerugian (Scade) Pada pelaksanaan lelang apabila ada perbuatan melawan hukum maka akan menyebabkan adanya kerugian bagi pihak tertentu. Kerugian dapat berupa immaterial (moril) antara lain berupa kerugian yang timbul karena pengumuman lelang yang telah menjatuhkan harga diri kerugian yang timbul karena pelaksaan lelang telah mencemarkan nama baik. 4. Antara hubungan kausal (oorzakelijk verband) antara kerugian dengan perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam lelang. Kerugian yang ditimbulkan harus mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan melawan hukum yang terjadi di dalam lelang. Adanya lembaga hukum lelang adalah untuk melaksanakan putusan peradilan atau lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan undang-undang dalam rangka penegakan hukum. Lelang dilakukan untuk pelaksanaan penyelesaian kredit macet oleh Pengadilan Negeri atau PUPN atau bank kreditor. Kuasa yang diberikan berdasarkan undang-undang dan bukan atas keinginan dari pemilik barang sehingga seringkali dalam lelang terjadi gugatan dari pemilik barang maupun dari pihak ketiga pemilik barang. 106 Putusan pengadilan dari gugatan-gugatan perkara perdata baik dalam tingkat pertama, banding, maupun kasasi ada dua yaitu lelang mempunyai kekuatan hukum yang sah dan lelang dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum sehingga lelang dinyatakan batal demi hukum atau cacat hukum atau ridak sah atau tidak mempunyai kekuatan mengikat. Menurut Yahya Harahap, putusan pengadilan ada berbagai bentuk yaitu:77 a. Putusan Akhir yang bersifat negatif Dalam putusan akhir yang bersifat negatif, putusan yang diambil Pengadilan Negeri bukan bertitik tolak dari materi pokok perkara (subject matter), tetapi berdasarkan pada alas an formil, yakni gugatan yang diajukan mengandung cacat formil, sehingga amar putusan yang dijatuhkan: menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Beberapa jenis cacat formil yang mengakibatkan putusan: “Menyatakan gugatan tidak dapat diterima”: 1) Gugatan mengandung error in persona; 2) Gugatan yang diajukan berada di luar yurisdiksi atau kompetensi absolut maupun relative pengadilan yang bersangkutan; 3) Gugatan mengandung cacat obscuur libel; 4) Gugatan mengandung cacat ne bis in idem; 5) Gugatan mengandung cacat prematur; 6) Gugatan yang diajukan daluarsa. b. Putusan akhir yang bersifat positif Putusan akhir yang bersifat positif adalah putusan yang dijatuhkan berdasarkan materi pokok perkara. Putusan yang demikian telah menyelesaikan secara tuntas dan menyeluruh sengketa yang diperkarakan sehingga kedudukan dan hubungan hukum antara para pihak maupun dengan objek perkara sudah selesai dan pasti. Bentuk putusan akhir yang bersifat positif menurut hukum terdiri dari: 1) Menolak gugatan penggugat seluruhnya. Putusan berbunyi “Menolak gugatan penggugat seluruhnya” merupakan penegasan mengenai penggugat tidak mempunyai hak dan hubungan hukum yang sah dengan tergugat maupun objek perkara. Putusan menolak gugatan penggugat seluruhnya apabila: Penggugat tidak mampu membuktikan dalil gugatan berdasarkan alat bukti atau alat bukti yang diajukan penggugat dilumpuhkan dengan bukti oleh tergugat. 77 M. Yahya Harahap, 2005, Kekuasaan Pengadilan Tinggi Dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Dalam Tingkat Banding, Sinar Grafika, (selanjutnya disingkatM. Yahya Harahap II), Jakarta, hal. 90-93. 107 2) Mengabulkan gugatan penggugat. Purusan pengabulan gugatan merupakan koreksi terhadap hubungan hukum kearah yang menguntungkan penggugat yang diikuti dengan pembebanan kewajiban hukum kepada tergugat untuk melaksanakan pemenuhan sesuatu dalam bentuk hukuman untuk menyerahkan, mengosongkan, membayar, membagi atau menghentikan suatu perbuatan. Putusan hakim menyatakan lelang sebagai perbuatan hukum yang sah yaitu dengan menyatakan penjualan lelang eksekusi terhadap objek sengketa yang sah menurut hukum yang berlaku dan sah, selain itu risalah lelang adalah sah dan juga kepemilikan pembeli lelang yang sah. Sehingga seharusnya pembeli lelang memperoleh kepastian hukum yang mempunyai hak atas objek yang dibelinya. Namun pada kenyataannya putusan hakim menyatakan lelang sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga lelang seringkali dinyatakan batal demi hukum yang pada akhirnya mempunyai akibat hukum yaitu barang lelang kembali kepada kondisinya semula dan putusan dianggap tidak pernah ada. Barang lelang akan kembali kepada keadaannya semula yaitu menjadi barang jaminan atau sebagai barang milik debitor atau sebagai barang milik pihak ketiga, sehingga kepemilikan pembeli lelang berakhir. Putusan menyatakan lelang batal demi hukum menimbulkan implikasi terhadap pembeli lelang yaitu pembeli lelang menjadi tidak jelas mengenai perlindungan hukumnya sehingga mengakibatkan adanya perubahan hak-hak pembeli lelang atas obyek yang dibelinya melalui lelang. Pembeli lelang yang seharusnya memiliki itikad baik dan teorinya harus dilindungi oleh Undang-Undang pada prakteknya keadaanya menjadi tidak jelas dan tidak ada perlindungan kepastian hukum yang diterimanya. Adanya putusan hakim yang berbeda-beda mengenai pembatalan lelang sehingga seringkali posisi pembeli lelang yang dirugikan dapat disimpulan 108 sebagai berikut yaitu yang pertama adalah norma hukum berupa peraturan perundang-undangan tertulis tidak mengatur secara jelas mengenai barang dan hasil lelang dan mengenai apakah dibatalkan suatu lelang yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. Selain itu adapula dari faktor pembentukan peraturan perundang-undangannya yaitu aturan-aturan mengenai lelang yang sudah ketinggalan, selain itu adapula faktor kedua yaitu aturan-aturan mengenai lelang bertentangan satu dengan yang lain, dan juga aturan-aturan mengenai lelang yang tergantung dan tidak ada aturan pelaksanaannya. Penyelesaian suatu perkara oleh hakim terkadang tidak ditemukan aturan hukumnya dalam hukum positif, karena di dalam hukum tertulis tidak selalu dapat mengikuti keadaan dalam masyarakat yang mana keadaan dalam masyarakat yang dinamis artinya adanya perubahan dalam masyarakat yang selalu bergulir dan berubah-ubah seiring berjalannya waktu, sedangkan peraturan perundangundangannya seringkali tidak dapat memberikan jawaban untuk setiap permasalahan yang timbul, atau peraturan yang ada tidak lengkap sehingga tidak bisa menjamin perlindungan hukum yang haruslah diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Apabila peraturan perundang-undangan tidak ada atau tidak lengkap maka itu merupakan tugas hakim untuk melengkapinya atau menilai dan menentukan apa yang berlaku sebagai hukum yang akan dijalankan oleh kedua belah pihak karena pada asas kekuasaan kehakiman dalam Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, atau memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum 109 tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Sehingga hakim harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, dengan kata lain artinya hakim harus berperan aktif dalam menentukan atau menetapkan walaupun peraturan-perundang-undangan yang ada tidak ada, tidak lengkap, atau tidak jelas. Banyaknya wanprestasi yang dilakukan debitur dalam dunia perbankan menyebabkan pemerintah membentuk suatu lembaga yaitu KP2LN Sehingga lelang merupakan sarana penjualan yang efisien untuk memperoleh pelunasan bagi kreditur. Namun masih banyak kendala-kendala serta masalah yang timbul di dalam pelaksanaanya diantaranya yaitu pemenang lelang yang beritikad baik tidak dapat memperoleh dan menikmati atas barang yang telah dimenangkannya. Hal ini dikarenakan penjualan objek jaminan Hak Tanggungan melalui pelelangan masih terbuka yang akan menyebabkan adanya kemungkinan gugatan dan ketidakpastian atas kepemilikan objek lelang maka langkah pertama dalam hal ini pembeli lelang haruslah mendapatkan perlindungan hukum dari kantor lelang negara, agar ia dapat menguasai dan menikmati barang yang dibelinya apabila barang itu berada dalam kekuasaan pihak ketiga dan pembeli yang beritikad baik tersebut haruslah mempertahankan barang yang telah ia beli secara lelang di muka pengadilan, karena pada saat membeli barang tersebut ia tidak mengetahui tentang adanya cacat/permasalahan-permasalahan yang melekat pada barang yang ia beli secara lelang, serta yang ia ketahui bahwa kantor lelang adalah sebagai perantara 110 penjual yang sah berdasarkan undang-undang dan mengetahui bahwa si pemilik barang tersebut adalah benar-benar pemilik barang yang sah. Meskipun didalam peraturan tidak memberikan dasar hukum bahwa kantor lelang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan namun kantor lelang haruslah memberikan perlindungan kepada pembeli lelang berupa: 1. Pejabat lelang harus meneliti barang yang akan dilelang terlebih dahulu, hal ini berkaitan tentang keabsahan penjual dan barang yang akan dijual, sehingga apabila terdapat permasalahan tentang barang maupun kepemilikan barang tersebut maka antara kantor lelang maupun kepemilikan barang tersebut menyelesaikan segala permasalahan-permasalahan yang melekat pada barang tersebut. Kantor lelang harus lebih cermat melihat dan meneliti apakah ada permasalahan pada objek lelang yang akan dilaksanakan pelalangan, apabila semua permasalahan itu telah selesai baru kemudian terhadap barang tersebut dilakukan penjualan secara umum (lelang). Hal ini dilakukan guna untuk menghindarkan agar objek yang dilelang tersebut tidak mengalami cacat hukum atau tidah sah. 2. Pejabat lelang memberikan perlindungan hukum berupa kesaksian dan barang-barang bukti berupa memberikan surat bukti pembelian lelang (risalah lelang) serta bukti-bukti sertifikat yang sah terhadap barang tersebut (Rumah toko) itu dengan sertifikat Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, serta surat-surat bukti lainnya. Kantor lelang negara juga akan memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa 111 sebelum lelang itu dilaksanakan, terlebih dahulu telah dilakukan pengajuan permintaan penjualan lelang oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pelaksanaan lelang yang ada selama ini kurang memberikan tanggung jawab yang tegas kepada pejabat lelang sehingga KP2LN tidak dapat diminta pertanggung jawaban dalam hal kerugian. Pada dasarnya kantor lelang tidak dapat menolak apa yang dipermohonkan kepadanya sepanjang persyaratan lelang dipenuhi. Pihak kantor lelang tidak bertanggung jawab apabila ada kerugian yang dipikul oleh pemenang lelang. Pada awal pengajuan penawaran pembelian lelang, pembeli telah membuat dan menyetujui surat pernyataan sanggup untuk membeli objek lelang tersebut. Hal ini merupakan perlindungan awal dari kantor lelang untuk pemenang lelang, sehingga pemenang lelang tidak ada yang tidak tahu bagaimana benda yang akan dibelinya karena kantor lelang melakukan semua kegiatan lelang itu secara transparan tidak ada yang ditutuptutupi, dan untuk segala resiko yang timbul akan ditanggung oleh pembeli lelang. Pada dasarnya siapa yang melakukan perbuatan melawan hukum maka ia harus bertanggung jawab terhadap seseorang yang dirugikannya. Namun dalam kenyataannya di dalam peraturan lelang disebutkan bahwa pembeli lelang harus bersedia menanggung segala resiko yang terjadi. Adapula klausula yang tertera dalam Risalah Lelang yaitu: “Apabila tanah dan/atau bangunan yang akan dilelang ini berada dalam keadaan berpenghuni, maka pengosongan bangunan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli. Apabila pengosongan bangunan tersebut tidak dapat dilakukan secara sukarela, maka pembeli berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Pasal 200 HIR 112 dapat meminta bantuan Pengadilan Negeri setempat untuk mengosongkan.” Di dalam klausula tersebut seolah-olah memberikan benteng yang kuat terhadap kantor pelelangan sehingga sulit bagi pihak yang dirugikan untuk meminta pertanggung jawaban apabila didalam proses pelelangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh pembeli lelang. Apabila melihat dari perlindungan hukum dari Philipus M. Hadjon yaitu perlindungan hukum secara preventif dan perlindungan hukum represif dikaitkan dengan perlindungan hukum pembeli lelang maka: 1. Perlindungan hukum preventif artinya ketentuan hukum dapat dihadirkan sebagai upaya pencegahan terhadap tindakan pelanggaran hukum. Upaya ini diimplementasikan dengan membentuk aturan hukum yang bersifat normatif.Perlindungan hukum preventif bagi pemenang lelang sampai saat ini belum ada artinya bahwa perlindungan hukum pembeli lelang sebelum terjadinya pelelangan untuk mencegah adanya tindakan pelanggaran hukum yang dapat merugikan pembeli lelang belum diatur. Hal ini merupakan kelemahan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang lelang karena peraturan perundang-undangan tersebut dapat dikatakan sudah terlalu lama dan membutuhkan adanya pembaharuan hukum karena hukum merupakan sesuatu yang dinamis artinya bahwa hukum harusnya mengikuti perkembangan masyarakat yang ada dimana masyarakat merupakan makhluk yang dinamis yang selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu. Apabila hukum tidak dapat berjalan beriringan dengan 113 masyarakat maka akan terjadi kesenjangan hukum dan masyarakat yang akan menyebabkan kerugian pada masyarakat karena hukum yang tidak dapat melindungi kepentingan masyarakat. 2. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan. Perlindungan hukum yang represif apabila dikaitkan dengan pelaksanaan lelang maka perlindungan hukum represif kepada pembeli lelang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu karena lelang merupakan jual beli seperti jual beli perdata pada umumnya maka upaya hukum yang ada adalah seperti pada upaya hukum pada hukum acara perdata yaitu melalui banding dan kasasi. Peraturan pelaksanaan lelang yang ada selama ini tidak memberikan perlindungan kepada pemenang lelang artinya bahwa hak dari pemenang lelang yang beritikad baik tidak mendapatkan perlindungan hukum yang jelas. Undang-Undang harus memberikan perlindungan hukum terhadap pemenang lelang karena dengan adanya pemenang lelang serta objek hak tanggungan merupakan kunci dalam penyelesaian kredit macet selain itu perlindungan hukum wajib diberikan kepada pemenang lelang agar pemenang lelang mendapatkan kepastian hukum seperti yang tertera pada Yurispudensi Mahkamah Agung Tanggal 28 Agustus 1976 No. 821 K/Sip/1974 bahwa itikad 114 baik memegang peranan penting dalam jual beli dan kepastian hukum haruslah diberikan kepada pembeli yang beritikad baik. 115 BAB IV UPAYA HUKUM TERHADAP PEMBATALAN EKSEKUSI LELANG MELALUI PENGADILAN 4.1 Pembatalan Eksekusi Lelang Melalui Pengadilan Pelelangan objek hak tanggungan mempunyai tujuan yaitu untuk proses pelunasan hutang debitor. Adapun dua jenis Lelang yakni lelang eksekusi dan lelang non eksekusi. Kedua jenis lelang ini dibedakan berdasarkan sebab barang dijual dan penjual dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang. Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum. Contoh, Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 UUHT, Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 Kitab Undangundang Acara Hukum Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fidusia dan Lelang Eksekusi Gadai. Sedangkan Lelang Non Eksekusi dibagi atas 2 jenis yaitu Lelang Non EksekusiWajib, yakni lelang untuk melaksanakanpenjualan barang milik 115 116 negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara atau barang Milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) yang oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk dijual secara lelang termasuk kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama, dan yang kedua yaitu Lelang Non Eksekusi Sukarela, yakni lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik perorangan, kelompok masyarakat atau badan swasta yang dilelang secara sukarela oleh pemiliknya, termasuk dalam hal ini adalah BUMN/D berbentuk persero. Pada umumnya unsur-unsur lelang diatur dalam KUHPerdata sebagaimana halnya dengan jual beli yaitu adanya subjek hukum yaitu pembeli dan penjual. Namun penjualan lelang memiliki identitas dan karakteristik yang khusus yang tercantum dalam pengaturan khusus tentang Lelang yaitu Vendu Reglement dan pada perkembangannya lelang masih memiliki peranan yang penting yaitu sebagai pendukung upaya Law Enforcement pada hukum perdata, hukum pidana, hukum pajak maupun hukum administasi negara yaitu sebagai bagian dari eksekusi suatu putusan. Penjualan lelang tidak secara khusus diatur dalam KUHPerdata tetapi termasuk perjanjian bernama di luar KUHPerdata. Penjualan Lelang dikuasai oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata mengenai jual beli yang diatur dalam KUHPerdata Buku III tentang Perikatan. Pasal 1319 KUHPerdata berbunyi, semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum. Pasal 1319 membedakan perjanjian atas perjanjian bernama (nominaat) dan perjanjian tidak 117 bernama (innominaat). Pasal 1457 KUH Perdata, merumuskan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli. Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut. Lelang mengandung unsur-unsur yang tercantum dalam defenisi jual beli adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli, adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga; adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli. Esensi dari lelang dan jual beli adalah penyerahan barang dan pembayaran harga. Penjualan lelang memiliki identitas dan karakteristik sendiri, dengan adanya pengaturan khusus dalam Vendu Reglement, namun dasar penjualan lelang sebagian masih mengacu pada ketentuan KUHPerdata mengenai jual beli, sehingga penjualan lelang tidak boleh bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata, seperti ditegaskan dalam Pasal 1319. Prosedur pelaksanaan lelang pada dasarnya dikelompokkan menjadi III (tiga) tahap sebagai berikut :78 I. Tahap Pra Lelang/persiapan lelang Persiapan lelang menyangkut mulai dari permohonan lelang, penentuan tempat dan waktu lelang, penentuan syarat lelang, pelaksanaan 78 Purnama Tioria Sianturi, op.cit. hal 82-84. 118 pengumuman, melakukan permintaan Surat Keterangan Tanah dan penyetoran uang jaminan. Pada tahap persiapan lelang hal-hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Menerima surat permohonan lelang dan meneliti surat tersebut berikut lampiran-lampiran yang mendukung (sesuai Pasal 20 Vendu Reglement). 2. Kepala Kantor/pejabat lelang memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan lelang serta meneliti legalitas subjek maupun objek lelang. Jika dokumen persyaratan formal belum terpenuhi, pejabat lelang wajib melengkapi meminta kekurangannya, pejabat lelang harus menyelesaikan terlebih dahulu. Jika dianggap perlu pejabat lelang dapat terlebih dahulu meninjau objek lelang. 3. Kepala kantor/pejabat lelang menetapkan jadwal lelang berupa hari, tanggal, dan pukul serta tempat lelang yang ditunjukkan kepada penjual. 4. Penjual mengumumkan lelang. 5. Kepala kantor lelang memberitahukan kepada penghuni bangunan akan adanya rencana pelaksanaan lelang 6. Kepala Kantor Lelang memintakan Surat Keterangan Tanah ke Kantor Pertanahan setempat. II. Tahap Pelaksanaan Lelang Tahap pelaksanaan lelang menyangkut penentuan peserta lelang, penyerahan nilai limit, pelaksanaan penawaran lelang, penunjukkan 119 pembeli. Pada tahap pelaksanaan lelang hal-hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pejabat lelang mengecek peserta lelang dengan bukti setoran uang jaminan. 2. Pejabat lelang memimpin lelang dengan memulai pembacaan kepada Risalah Lelang. Pembacaan tersebut diikuti dengan Tanya jawab tentang pelaksanaan lelang antara peserta lelang, pejabat penjual, dan pejabat lelang. Pertanyaan yang mengenai barang dijawab oleh penjual, sedang pertanyaan yang mengenai pembayaran, surat-surat penting dan lain-lainnya dijawab oleh pejabat lelang. 3. Peserta lelang mengajukan penawaran lelang, yang dilakukan setelah pejabat lelang membacakan kepala risalah lelang. 4. Cara penawaran: 2. Penawaran lisan dilakukan dengan cara: a. Pejabat lelang menawarkan barang mulai dari nilai limit. b. Melaksanakan penawaran dengan harga naik-naik dengan kelipatan kenaikan ditetapkan oleh pejabat lelang. c. Penawar tertinggi yang telah mencapai atau melampaui nilai limit ditetapkan sebagai pembeli oleh pejabat lelang. 3. Penawaran tertulis dilakukan dengan cara: a. Formulir penawaran lelang yang disediakan oleh Kantor Lelang, dibagikan kepada para peserta lelang. 120 b. Setelah pejabat lelang membacakan kepala risalah lelang peserta lelang diberi kesempatan untuk mengisi dan mengajukan penawaran tertulis kepada pejabat lelang sesuai waktu yang telah ditentukan. c. Pejabat lelang menerima amplop yang berisi nilai limit dari pejabat penjual dan menunjukkan amplop tersebut kepada peserta lelang. Penyerahan harga limit dari pejabat penjual kepada pejabat lelang dalam amplop tertutup. Hal ini tidak berlaku, jika nilai limit telah diketahui lebih dahulu. d. Pejabat lelang membuka surat penawaran bersama-sama degan pejabat penjual e. Pejabat lelang dan pejabat penjual membubuhkan paraf masing-masing pada surat penawaran yang disaksikan oleh peserta lelang dan penawaran tersebut dicatat dalam daftar rekapitulasi penawaran lelang. f. Jika penawaran belum mencapai nilai limit, maka lelang dilanjutkan dengan cara penawaran lisan dengan harga naiknaik. Jika tidak ada penawar yang bersedia menaikkan penawaran secara lisan naik-naik, maka lelang dinyatakan ditahan, barang tidak dijual. g. Jika terdapat dua atau lebih penawaran tertinggi yang sama dan telah mencapai nilai limit, maka untuk menentukan pemenang lelang, para penawar yang mengajukan penawaran tertinggi 121 yang sama tersebut dilakukan penawaran kembali secara lisan untuk menaikkan penawaran lisannya sehingga terdapat satu orang saja penawar tertinggi. Penawar tertinggi tersebut ditunjuk sebagai pemenang lelang/pembeli lelang. Setelah proses penawaran lelang selesai, risalah lelang ditutup dengan ditandatangani oleh pejabat lelang, pejabat penjual. Dalam hal barang yang dilelang barang tetap, pembeli turut menandatangani risalah lelang, tetapi untuk barang bergerak pembeli tidak perlu menandatangani risalah lelang. III. Tahap Pasca Lelang Pasca lelang menyangkut pembayaran harga lelang, penyetoran hasil lelang dan pembuatan risalah lelang. Pada tahap pelaksanaan lelang halhal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pembayaran harga lelang. Waktu pembayaran menurut ketentuan 3x24 jam setelah lelang. Bea lelang pembeli dipungut sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2003 dan uang miskin berdasarkan Pasal 18 Vendu Reglement. Atas pembayaran tersebut pembeli lelang berdasarkan bukti pelunasan yang diterbitkan Kantor Lelang meminta dokumen kepemilikan barang yang dibelinya ke penjual. 2. Penyetoran hasil lelang. Pejabat lelang setelah menerima hasil lelang melakukan penyetoran hasil lelang kepada yang berhak. Bea lelang, 122 uang miskin, pajak penghasilan disetor ke kas negara, sedang harga lelang dikurangi bea lelang penjual disetorkan kepada penjual. 3. Pembuatan risalah lelang. Pejabat lelang membuat risalah lelang berupa minuta salinan, petikan dan grosse risalah lelang. Pejabat lelang memberikan petikan lelang kepada pembeli lelang beserta kuitansi lelang. Petikan risalah lelang khusus barang yang diberikan kepada pembeli, setelah pembeli menunjukkan bukti pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 4. Pengembalian uang jaminan peserta lelang yang tidak menang. Uang jaminan lelang dari peserta yang tidak ditunjuk sebagai pemenang/pembeli lelang, harus dikembalikan kepada penyetor yang bersangkutan selambat-lambatnya satu hari kerja sejak dilengkapinya persyaratan permintaan pengembalian uang jaminan dari peserta lelang. Terkait dengan hak tanggungan maka lelang objek hak tanggungan merupakan lelang eksekusi karena diatur didalam UUHT. Pelelangan objek hak tanggungan oleh bank memiliki dua prosedur eksekusi hak tanggungan yaitu berdasarkan Pasal 6 UUHT dengan menjual lngsung atas kekuasaan sendiri yaitu parate eksekusi dan juga bisa berdasarkan Pasal 14 ayat (2) jo. Pasal 26 UUHT berdasarkan sertifikat hak tanggungan. Dalam sertifikat hak tanggungan terdapat titel eksekutorial yaitu eksekusi dengan perantaraan pengadilan. Pada Pasal 6 UUHT memberikan cara pelunasan untuk debitor yang cidera janji, yaitu pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak 123 tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Proses lelang dapat terjadi melalui Pengadilan yaitu penjualan jaminan perbankan dilakukan melalui pengadilan negeri, melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), maupun melalui Bank sebagai pemegang hak tanggungan dalam proses pelaksanaan lelang berdasarkan titel eksekutorial sertipikat hak tanggungan sesuai dengan Pasal 6 UUHT. Proses lelang melalui pengadilan ini hanya dapat dilakukan apabila jaminan atau barang yang akan dilelang tersebut masih dalam kondisi masih dikuasai oleh pemilik jaminan arau pemilik barang (belum dikosongkan). Kemudian kemungkinan kedua yaitu adanya indikasi perlawanan dari pemilik jaminan atau pemilik barang. Dari segi prosedur dan biaya, lelang melalui pengadilan negeri ini relatif rumit dan cukup memakan biaya karena Bank selaku pemegang hak tanggungan tidak cukup mengajukan hanya permohonan lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri tetapi juga harus mengajukan permohonan sita jaminan (meskipun dari segi kepraktisan, permohonan sita jaminan dan permohonan lelang ini dapat disatukan dalam satu permohonan, sayangnya dalam praktek, banyak Pengadilan yang menghendaki satu persatu permohonan). Jika permohonan lelang disetujui maka Pengadilan akan menerbitkan penetapan lelang yang dikemudian dilanjutkan dengan penetapan sita jaminan. Dengan diterbitkannya sita jaminan, maka Pengadilan akan melakukan penyitaan terhadap objek lelang yang kemudian akan didaftarkan kepada kantor Badan Pertanahan setempat sekaligus mengajukan permohonan SKPT (Surat Keterangan 124 Pendaftaran Tanah). Setelah keluarnya SKPT tersebut, maka Pengadilan Negeri mengajukan kegiatan Taksasi (penaksiran) dengan melibatkan pihak kelurahan dan pihak Dinas Pekerjaan Umum (PU), untuk dapat ditetapkannya berapa nilai atau harga wajar atas jaminan/barang yang akan dilelang. Setelah didapatkannya harga, maka Kepala Pengadilan akan menetapkan harga limit terendah atas jaminan/barang yang akan dilelang tersebut. Bandingkan dengan kegiatan lelang yang dilakukan oleh Balai Lelang Swasta atau KPKNL dimana penjual/ pemegang hak tanggungan yang berhak menentukan harga limit terendah atas objek lelang. Pasal 1 Angka (32) PERMENKEU No. 106/PMK/06/2013 atas perubahan PERMENKEU No. 93/PMK.06/2010tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, risalah lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Hal ini termuat juga didalam Pasal 35 Vendu Reglement bahwa risalah lelang merupakan Akta Otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna serta memuat semua peristiwa yang terjadi dalam prosesi penjualan lelang sebagai bukti otentikasi pelaksanaan lelang. Risalah lelang sesuai dengan Pasal 1870 KUHPerdata menyatakan bahwa risalah lelang memiliki kekuatan pembuktian yang material dan merupakan pembuktian yang sah serta sempurna bagi para pihak yaitu penjual dan pembeli kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Risalah lelang sebagai landasan otentik dalam penjualan lelang, tanpa risalah lelang maka penjualan lelang dianggap tidak sah, dan penjualan lelang yang tidak tercatat dalam risalah lelang tidak dapat memberikan kepastian hukum 125 dan kekuatan hukum tetap. Risalah lelang haruslah menjadi bukti yang sempurna bagi para pihak yaitu penjual dan pembeli lelang, dan risalah lelang juga memberikan fungsi sebagai salah satu bentuk perjanjian yang dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, sehingga persetujuanpersetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak dan harus pula mengedepankan itikad baik sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam proses pelelangan salah satu putusan pengadilan dapat memberikan putusan pembatalan eksekusi lelang karena proses dari tuntutan oleh pihak ketiga melalui pengadilan. Putusan pengadilan menyatakan bahwa lelang tidak sah dan dinyatakan batal demi hukum dan uang lelang yang dibayarkan oleh pembeli lelang akan dikembalikan kepada pembeli lelang. Hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ketidakpastian hukum yaitu putusan perkara Pengadilan Negeri Malang Nomor: 133/Pdt.G/2000/PN.Mlg tanggal 27 Pebruari 2001 dengan pertimbangan hukumnya yang tidak memberikan kepastian hukum yang cukup jelas, pembeli lelangnya pun tidak dinyatakan sebagai pembeli lelang beritikad baik atau tidak dan juga untuk keadaan barangnya juga tidak ditentukan secara jelas apakah kembali ke keadaan semula atau tidak. Hakim dalam memutus suatu perkara yang belum ada atau tidak ada peraturan perundang-undangannya haruslah melihat pada faktor-faktor yang ada dan berkaitan. Hakim juga harus pula memperhatikan adanya itikad baik pembeli lelang yang eksekusi lelangnya dibatalkan oleh pengadilan. Sehingga pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara dapat objektif. Dalam putusan 126 pembatalan eksekusi lelang apabila pembeli lelang mempunyai itikad baik maka sudah seharusnya pembeli lelang mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum. Ukuran itikad baik seorang pembeli lelang memang tidak diatur di dalam hukum positif, tetapi di dalam berbagai putusan hakim sebelumnya telah ada misalnya Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 Agustus 1967 Reg. No. 821 K/Sip/1974, yang menyatakan bahwa pembeli yang membeli suatu barang melalui pelelangan umum oleh Kantor Lelang Negara adalah sebagai pembeli yang beritikad baik dan harus dilindungi oleh Undang-Undang. Seorang pembeli lelang yang beritikad baik harus ada dalam pra kontrak/pelaksanaan lelang adalah seorang yang membeli barang dengan kejujuran penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik barang. Pembeli yang beritikad baik adalah orang yang memiliki kejujuran yang tidak mengetahui adanya cacat yang melekat pada barang yang dibelinya itu dalam artian cacat pada asal usulnya. Pembatalan eksekusi lelang melalui putusan pengadilan berkaitan dengan tidak adanya perlindungan hukum terhadap pemenang lelang yang seharusnya diberikan oleh undang-undang karena pemenang lelang objek hak tanggungan merupakan kunci dalam penyelesaian kredit macet. Padahal pembelian objek jaminan hak tanggungan tersebut kreditor dapat mengambil pelunasaan hutang atas hutang debitor kepada kreditor yang mana pelunasan tersebut merupakan tujuan diadakanya penjualan objek Hak Tanggungan. Kepastian hukum pemenang lelang dalam menguasai objek jaminan harus ditegakan. Jika lelang dibatalkan oleh putusan pengadilan maka tujuan 127 pembebanan hak tanggungan menjadi hal yang sia-sia dikarenakan kreditor tidak dapat mengambil pelunasan atas hutang debitor. Apabila lelang dibatalkan maka penjualan dianggap tidak pernah terjadi dan asas droit de preference tidak terpenuhi dikarenakan kreditor tidak dapat mengambil pelunasan atas hutang debitor.Perlindungan hukum dalam lelang diberikan kepada pembeli lelang yang beritikad baik sehingga mendapat kepastian kepastian hukum atas putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perbuatan lelang adalah sah dan berkekuatan hukum tetap kepada pembeli lelang untuk menguasai objek lelang yang dibelinya melalui pelelangan. 4.2 Akibat Hukum Pembatalan Eksekusi Lelang Lelang memiliki beberapa kelebihan berupa asas dalam pelaksanaannya yang seharusnya mempermudah pelaksanaan lelang. Asas-asas lelang tersebut antara lain: a. Asas Transparansi Asas ini mengandung makna bahwa cara penjualan umum melalui lelang dilakukan dimuka umum. Lelangnya pun harus diumumkan terlebih dahulu, agar masyarakat mengetahui akan adanya lelang dan barang lelangnya cepat terjual. Lelang harus dikontrol ini terbukti dengan adanya sistem lelang yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk memberikan perlindungan/kepastian kepada masyarakat/pembeli mengenai objek lelang tersebut. Oleh karena itu setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan pengumuman lelang. Asas ini juga untuk mencegah terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat, dan tidak memberikan kesempatan adanya 128 praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). b. Asas Akuntabilitas Maksud akuntabilitas adalah lelang dalam pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya akta yang bersifat otentik yaitu Akta Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang dan sistem pelaksanaan lelang sudah diatur oleh Undang-Undang. c. Asas Efisiensi Menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang dilakukan dalam tempat dan waktu yang telah ditentukan dan pembeli disahkan saat itu juga. Pelaksanaan lelang tidak membutuhkan waktu yang lama, tidak perlu mencari-cari pembeli dan tidak perlu bernegosiasi seperti transaksi jual beli pada umumnya. Tidak hanya itu saja, objek lelang pun sebelumnya telah diteliti baik fisik maupun aspek juridisnya oleh pejabat lelang dan transaksi lelang dilakukan pada satu waktu dan pada satu tempat yang telah ditentukan. Penjualannya pun tidak diperkenankan melalui perantara dan pembayarannya bersifat tunai. f. Asas Certainty (kepastian) Kepastian lelang sudah diatur sebagaimana dalam Peraturan Menteri Keuangan Pelaksanaan Lelang, yaitu Lelang di pimpin oleh Pejabat Lelang yang diselenggarakan oleh Kantor Lelang Negara. Tempat, tanggal, waktu dan objek lelang telah ditetapkan sebelumnya dan diumumkan kepada masyarakat. Pelaksanaan lelang tidak mudah untuk ditunda atau dibatalkan kecuali melalui putusan/penetapan pengadilan. 129 g. Asas Keadilan Mengandung pengertian bahwa dalam proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini untuk mencegah terjadinya keberpihakan pejabat lelang kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya kepada kepentingan penjual. Khusus pada pelaksanaan lelang eksekusi, penjual lelang tidak dapat menentukan harga limit secara sewenang-wenang yang berakibat merugikan pihak tereksekusi. Selain asas lelang maka adapula kelebihan penjualan lelang sebagai berikut:79 a. Adil Lelang dilaksanakan secara terbuka (transparan), tidak ada prioritas di antara peserta lelang, kesamaan hak dan kewajiban antara peserta akan menghasilkan pelaksanaan lelang yang objektif. b. Aman Lelang disaksikan, dipimpin dan dilaksanakan oleh Pejabat Lelang selaku pejabat umum yang bersifat independen. Karena itu pembeli lelang pada dasarnya cukup terlindungi. Sistem lelang mengharuskan Pejabat Lelang meneliti lebih dulu secara formal tentang keabsahan penjual dan barang yang akan dijual (subyek dan objek lelang). Bahkan pelaksanaan lelang harus lebih dahulu diumumkan sehingga memberikan kesempatan apabila ada pihak79 F.X. Ngadijarno, Nunung Eko Laksito dan Isti Indri Listiani, 2005, Lelang : Teori dan Praktik, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta, hal. 40. 130 pihak yang ingin mengajukan keberatan atas penjualan tersebut. Oleh karena itu penjualan secara lelang adalah penjualan yang aman. c. Cepat dan efisien Lelang didahului dengan pengumuman lelang, sehingga peserta lelang dapat terkumpul pada saat hari lelang dan pada saat itu pula ditentukan pembelinya, serta pembayarannya secara tunai. Mewujudkan harga yang wajar, karena pembentukan harga lelang pada dasarnya menggunakan sistem penawaran yang bersifat kompetitif dan transparan. d. Memberikan kepastian hukum Setiap pelaksanaan lelang diterbitkan Risalah Lelang yang merupakan akta otentik, yang mempunyai pembuktian sempurna. Lelang mempunyai kelebihan seperti yang telah disebutkan diatas, namun pada prakteknya pelaksanaan lelang sebagai upaya pelunasan hutang masih seringkali mengalami kendala yaitu adanya kemungkinan eksekusi lelang tersebut dibatalkan oleh pengadilan. Akibat hukum dari adanya pembatalan eksekusi lelang antara lain bahwa akibat hukum tentu saja terhadap barang yang dibeli melalui lelang tersebut akan kembali kepada keaadaan semula yaitu dalam kepemilikan penggugat yaitu debitor pemilik barang atau pihak ketiga pemilik barang atau termohon eksekusi pemilik barang. Jika penggugat adalah debitor, dengan putusan yang menyatakan lelang batal atau tidak sah, maka barang akan kembali kepada kepemilikikan debitor, namun tetap menjadi barang jaminan sebagaimana status barang tersebut sebelum terjadinya lelang. Selain itu akibat hukum karena adanya pembatalan lelang juga berpengaruh terhadap hak pembeli 131 lelang atas barang dan hasil lelang. Apabila putusan lelang dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum maka objek lelang akan berakhir baik secara fisiknya maupun secara yuridisnya. Kemudian hasil lelang akan dikembalikan oleh pihak yang menjadi kuasa undang-undang yang mewakili pemilik barang sebagai penjual, diantaranya bank kreditor atau termohon eksekusi atau pemegang hak tanggungan. Pengembalian pokok harga lelang beserta bunga dan biayanya haruslah dikembalikan kepada pembeli lelang agar tidak mengurangi hak-haknya sebagai pembeli lelang yang beritikad baik namun hingga saat ini jangka waktu pengembalian biaya dan bunganya tidak ada diatur dalam undang-undang maupun peraturan manapun. Dalam pasal 1449 KUHPerdata hanya mengatur tentang akibat hukum pembatalan perjanjian menerbitkan kewajiban ganti kerugian, biaya dan bunga tetapi tidak mengatur tentang kewajiban ganti kerugian jika pembatalan perjanjian karena perbuatan melawan hukum. Kemudian akibat pembatalan eksekusi lelang terhadap hak penjual/pihak yang diwakilkan selaku kuasa undangundang terhadap barang dan hasil lelang apabila putusan pengadilan menyatakan bahwa lelang batal atau tidak sah, maka penjual tidak berhak atas pemenuhan perjanjian kredit atau kewajiban-kewajiban tereksekusi lelang atas barang objek lelang, akibatnya penjual lelang harus mengembalikan hasil lelang kepada pembeli lelang. Apabila barang lelang tersebut berasal dari gugatan debitor, maka barang yang dilelang tersebut akan kembali ke dalam status barang semula, apabila lelang berdasarkan perjanjian kredit, maka pembatalan lelang berakibat objek lelang 132 tersebut kembali ke dalam status sebagai barang jaminan. Sedangkan jika lelang berdasarkan hubungan pemohon eksekusi dengan termohon eksekusi, maka pembatalan lelang berakibat objek lelang kembali ke status benda jaminan umum berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata. Dengan demikian putusan yang menyatakan lelang batal atau tidak sah, tidak menghilangkan hak-hak penjual atau pihak yang diwakilinya selaku kuasa undang-undang untuk memperoleh pelunasan hutang-hutang debitor, hanya penundaan untuk memperoleh pemenuhan perjanjian kredit dari pihak debitor atau memenuhi perjanjian dari pihak termohon eksekusi. Jika gugatan berasal dari pihak ketiga maka putusan yang menyatakan lelang batal atau tidak sah, tentunya akan didahului dengan amar putusan yang membatalkan pengikatan atau pemberian jaminan, sehingga berakibat berakhirnya hak-hak pihak yang diwakili penjual atas barang jaminan, tetapi hutang debitor tetaplah ada. Apabila melihat dari berbagai putusan yang ada, maka dapat dilihat bahwa lelang merupakan bentuk jual beli yang tetap memungkinkan adanya bantahan/keberatan/gugatan. Pembeli lelang yang beritikad baik tidaklah mendapatkan perlindungan yang cukup kuat dan absolut setelah adanya jual beli lelang sehingga menimbulkan posisi kedudukan pembeli lelang tidak mempunyai kekuatan hukum yang final meskipun transaksi jual beli lelang telah mendapat risalah lelang yang seharusnya mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan adanya kemungkinan dilakukan bantahan/keberatan/gugatan yang kemudian disertai dengan putusan pengadilan yang mana akan mengakibatkan lelang tidak sah atau batal demi hukum. 133 Implikasi dari putusan menyatakan lelang tidak sah atau batal demi hukum antara lain: 1. Akibat hukum terhadap kepemilikan barang yang dibeli melalui lelang. Dengan adanya pembatalan lelang berdasarkan putusan pengadilan maka akan mempunyai akibat hukum terhadap kepemilikan barang yang dibeli melalui lelang tersebut yaitu status barang tersebut akan kembali kepada keadaan semula yaitu dalam kepemilikan Penggugat (debitor pemilik barang atau pihak ketiga pemilik barang atau termohon eksekusi pemilik barang) Apabila penggugat adalah debitor, dengan putusan yang menyatakan lelang batal atau tidak sah, maka barang kembali tetap pada kepemilikan debitor, namun tetap dalam status barang jaminan sebagaimana sebelum lelang. Apabila penggugat adalah pihak ketiga seperti istri, ahli waris, atau pihak ketiga lainnya yang terbukti bahwa pihak ketiga tersebut merupakan pemilik dari objek lelang, maka barang akan kembali kepada kepemilikan pihak ketiga yang terbukti merupakan pemilik dari objek lelang tersebut, sedangkan status pengikatan atas barang jaminan menjadi tidak sah. Apabila penggugat adalah termohon eksekusi, maka barang yang merupakan objek lelang tersebut akan kembali kepada kepemilikan termohon eksekusi. 2. Akibat hukum terhadap hak pemilik lelang atas barang dan hasil lelang. Akibat hukum terhadap pembeli lelang dapat dilihat dari segi barang objek lelang dan dari segi hasil lelang yang telah disetorkannya. Jika 134 putusan menyatakan lelang batal dan tidak sah, maka hak pembeli lelang atas objek lelang akan menjadi berakhir. Hal ini berlaku sejak jual beli lelang baru pada tahap perjanjian obligatoir yaitu setelah penunjukan pembeli lelang, maupun setelah barang objek lelang telah dilakukan, penyerahan baik penyerahan nyata atau fisik melalui pengosongan maupun penyerahan yuridis melalui balik nama di kantor pertanahan. Sedangkan dari hasil lelangnya maka akan dikembalikan oleh pihak yang menjadi kuasa undang-undang mewakili pemilik barang sebagai penjual, diantaranya bank kreditor atau termohon eksekusi atau pemegang hak tanggungan. Dalam peraturan perundangundangan belum mengatur hasil lelang yang dibayar, sebagai akibat pembatalan lelang apakah menyangkut pokok, bunga dan biaya dan juga jangka waktu untuk pengembaliannya. Pasal 1449 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian yang telah dibuat tidak dengan kesepakatan bebas yaitu yang terjadi karena kekhilafan, paksaan, dan penupuan tersebut dapat dibatalkan berdasarkan sautu tuntutan. Pembatalan perjanjian tersebut menerbitkan kewajiban untuk memberikan ganti kerugian, biaya, dan bunga terhadap pihak yang menurut ketentuan. Dengan kata lain di dalam KUHPerdata hanya mengatur akibat hukum pembatalan perjanjian menerbitkan kewajiban ganti kerugian, biaya, dan bunga, tetapi tidak mengatur kewajiban ganti kerugian jika pembatalan perjanjian karena perbuatan melawan hukumnya. 135 3. Akibat terhadap hak penjual/pihak yang diwakilinya selaku kuasa undang-undang terhadap barang dari hasil lelang. Akibat hukum terhadap penjual lelang dapat dilihat dari segi barang objek lelang dan dari segi hasil lelang. Jika putusan menyatakan lelang batal dan tidak sah, maka penjual tidak berhak atas pemenuhan perjanjian kredit atau kewajiban-kewajiban tereksekusi lelang atas barang objek lelang, sehingga akibatnya penjual lelang harus mengembalikan hasil lelang kepada pembeli lelang, sedangkan dari segi barang jika gugatan berasal dari debitor, maka barang kembali ke dalam status barang semula. Dalam hal ini lelang yang berasal dari perjanjian kredit maka pembatalan lelang akan mengakibatkan objek lelang kembali ke status barang jaminan. 4. Kewajiban debitor atau termohon eksekusi yang menjadi dasar untuk pelaksanaan lelang akan dianggap kembali kepada keadaan semula. Akibat hukum atas pembatalan eksekusi lelang karena putusan pengadilan akan mengakibatkan pelaksanaan lelang dan hasil lelang dianggap tidak pernah ada karena kewajiban debitor untuk memenuhi perjanjian sebagai dasar pelaksanaan lelang, apabila putusan menyatakan lelang batal dan tidak sah, maka barang akan kembali kepada keadaan semula. Jika gugatan berasal dari debitor, putusan menyatakan lelang batal dan tidak sah mengembalikan kepemilikan barang objek lelang pada kepemilikan debitor. Jika gugatan berasal dari termohon eksekusi dalam perkara yang menjadi dasar lelang, putusan 136 menyatakan lelang batal dan tidak sah mengakibatkan kepemilikan objek lelang kembali ke termohon eksekusi tetapi kewajiban termohon eksekusi tetap pada posisi semula. Dari keempat faktor diatas maka akibat terhadap pembeli lelang atas barang dan hasil lelang tidak jelas, sehingga terlihat bahwa hak-hak pembeli dalam lelang kurang terlindungi. 4.3 Upaya Hukum Atas Pembatalan Eksekusi Lelang Adanya pembebanan hak tanggungan dapat dikaitan dengan teori kepastian hukum dimana agar proses pemberian kredit dengan jaminan hak atas tanah mempunyai kepastian hukum akan kedudukan para pihak. Sehingga apabila di suatu hari nanti terjadi sengketa antara pihak yang bersangkutan, para pihak mempunyai kepastian hukum maka dari itu diwajibkan untuk melakukan pembebanan hak tanggungan dalam proses pemberian kredit. Dalam kaitannya dengan tanah sebagai barang jaminan dalam pemberian kredit, Bank Pemerintah telah meletakkan persyaratan pembebanan hak tanggungan yang memberikan hak istimewa bagi pihak bank (kreditor) dalam perjanjian kredit dengan debitur. Upaya hukum pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan disetiap putusan hakim. Suatu putusan hakim tidak selamanya mutlak adil dan benar namun adapula kemungkinan-kemungkinan atau faktor-faktor tertentu yang menyebakan putusan hakim tidak mewujudkan keadilan dan kebenaran, kemungkinan untuk terjadi kekeliruan pasti ada dan tidak menutup kemungkinan pula untuk bersifat memihak. Maka dari itu dimungkinkan adanya kesempatan pada setiap putusan hakim untuk diperiksa ulang agar kekeliruan atau 137 kekhilafan yang ada dapat diperbaiki. Kesempatan untuk memeriksa ulang pada setiap putusan hakim ialah dengan cara upaya hukum, upaya hukum yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Dalam proses mengajukan upaya hukum maka haruslah mempunyai syarat memberikan dasar hukum didalamnya, dalam hal ini adalah para pihak yang bersangkutan yang mengajukan upaya hukum haruslah menambahkan dasar hukum yang berkaitan dengan apa yang diajukannya. Upaya hukum terhadap suatu putusan pengadilan dimungkinkan karena hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak menutup kemungkinan bagi hakim dapat bersifat memihak salah satu pihak yang berperkara. Oleh karena itu, demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yang berfungsi sebagai alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam setiap putusan. Upaya hukum yang dapat dilakukan atas pembatalan eksekusi lelang antara lain adalah banding dan kasasi. Banding adalah suatu upaya yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata apabila pihak tersebut tidak menerima suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya tidak dapat terpenuhi atau menganggap putusan tersebut kurang benar atau kurang adil. Permohonan banding dapat diajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulang. Di dalam peradilan mempunyai asas peradilan dalam dua tingkat itu berdasarkan pada 138 keyakinan bahwa putusan pengadilan dalam tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi. Permohonan banding dilakukan setelah dijatuhkannya putusan oleh Pengadilan Negeri, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (selanjutnya disingkan UU Kehakiman) menyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan banding adalah pihak yang bersangkutan, artinya permohonan banding tidak dapat dilakukan oleh pihak yang tidak berkepentingan karena mengingat bahwa upaya banding merupakan upaya hukum untuk memperoleh perbaikan putusan yang lebih menguntungkan dan juga bahwa banding tidak selayaknya disediakan bagi pihak yang dimenangkan, maka upaya banding hanya disediakan untuk pihak yang dikalahkan atau merasa dirugikan. Putusan banding hanya dapat menguntungkan pihak yang mengajukan banding, sehingga dalam pemeriksaan tingkat banding bagian gugatan penggugat atau terbanding yang tidak dikabulkan tidak akan ditinjau kembali. Permohonan banding dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diucapkan, atau setelah diberitahukan, dalam hal putusan tersebut diucapkan diluar hadir. Jika dalam batas waktu 14 hari dalam mana hak yang bersangkutan boleh menyatakan naik banding itu sudah lewat tetapi baru diajukan permohonan banding maka hakim tidak boleh menolaknya kemudian menyerahkan ke Pengadilan Tinggi, sebab yang boleh menolak atau menerima permohonan banding adalah Pengadilan Tinggi. 139 Pasal 9 Undang-Undnag Nomor 20 Tahun 1947 menyatakan bahwa yang dapat dimohonkan banding hanyalah putusan akhir saja. Putusan yang bukan putusan akhir hanya dapat dimohonkan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Pembatalan lelang atas dasar putusan pengadilan dimungkinkan adanya upaya hukum yaitu melalui upaya hukum yang sama dalam acara perdata yaitu pihak yang merasa dirugikan atau tidak mendapatkan haknya atau merasa tidak adil dapat mengajukan permohonan yaitu permohonan banding melalui Pengadilan Tinggi agar hakim dapat memeriksa ulang perkara dan memberikan kemungkinan diwujudkannya putusan pengadilan yang lebih adil. Apabila upaya banding telah dilakukan namun belum juga mendapatkan putusan yang dirasanya adil, maka pihak yang bersangkutan dapat mengajukan upaya hukum yang lebih tinggi yaitu upaya hukum kasasi. Pasal 22 UU Kehakiman menyatakan bahwa Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Upaya hukum kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan terakhir dan diberikan dalam tingkat akhir oleh Mahkamah Agung. Prosedur pengajuan upaya hukum perdata di Pengadilan Negeri sebagai berikut: a. Tata cara/alur perkara perdata di tingkat Banding80 80 Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2007, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, Jakarta, hal 4-7. 140 1. Berkas perkara diserahkan pada Panitera Muda Perdata sebagai petugas pada meja/loket pertama, yang menerima pendaftaran terhadap permohonan banding. 3. Permohonan banding dapat diajukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan diucapkan atau setelah diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja berikutnya. 4. Terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut diatas tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan panitera bahwa permohonan banding telah lampau. 5. Panjar biaya banding dituangkan dalam SKUM, dengan peruntukan: a. Biaya pencatatan pernyataan banding; b. Biaya banding yang ditetapkan oleh ketua Pengadilan Tinggi ditambah biaya pengiriman ke rekening Pengadilan Tinggi; c. Ongkos pengiriman berkas; d. Biaya pemberitahuan (BP): i. Biaya pemberitahuan akta banding; ii. Biaya pemberitahuan memori banding; iii. Biaya pemberitahuan kontra memori banding; iv. Biaya pemberitahuan untuk memeriksa berkas bagi 141 pembanding; v. Biaya pemberitahuan untuk memeriksa berkas bagi terbanding; vi. Biaya pemberitahuan putusan bagi pembanding; vii. Biaya pemberitahuan putusan bagi terbanding; 5. SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat dalam rangkap tiga: a. lembar pertama untuk pemohon; b. lembar kedua untuk kasir; c. lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas permohonan. 6. Menyerahkan berkas permohonan banding yang dilengkapi dengan SKUM kepada yang pihak bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada pemegang kas Pengadilan Negeri. 7. Pemegang kas setelah menerima pembayaran menandatangani, membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM. 8. Pemegang kas kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara. 9. Pernyataan banding dapat diterima apabila panjar biaya perkara banding yang ditentukan dalam SKUM oleh meja pertama telah dibayar lunas. 10. Apabila panjar biaya banding yang telah dibayar tunas maka Pengadilan wajib membuat akta pemyataan banding dan mencatat permohonan banding tersebut dalam register induk perkara perdata dan register permohonan banding. 11. Permohonan banding dalam waktu 7 hari kalender harus telah disampaikan 142 kepada lawannya, tanpa perlu menunggu diterimanya memori banding. 12. Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding harus dicatat dalam buku register induk perkara perdata dan register permohonan banding, kemudian salinannya disampaikan kepada masing-masing lawannya dengan membuat relaas pemberitahuan/penyerahannya. 13. Sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi harus diberikan kesempatan kepada kedua belah untuk mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan dituangkan dalam Relaas. 14. Dalam waktu 30 hari sejak permohonan banding diajukan, berkas banding berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi. 15. Biaya perkara banding untuk Pengadilan Tinggi harus disampaikan melalui Bank pemerintah/ kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan. 16. Pencabutan permohonan banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pembanding (harus diketahui oleh prinsipal apabila permohonan banding diajukan oleh kuasanya) dengan menyertakan akta panitera. 17. Pencabutan permohonan banding harus segera dikirim oleh Panitera ke Pengadilan Tinggi disertai akta pencabutan yang ditandatangani oleh Panitera. b. Tata Cara/ Alur Perkara Perdata di Tingkat Kasasi.81 1. Berkas perkara diserahkan pada Panitera Muda Perdata sebagai petugas 81 Ibid. hal. 7-10. 143 pada meja/loket pertama, yang menerima pendaftaran terhadap permohonan Kasasi. 2. Permohonan Kasasi dapat diajukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan Pengadilan Tinggi diberitahukan kepada para pihak. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja berikutnya. 3. Permohonan Kasasi yang melampaui tenggang waktu tersebut di atas tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan Penetapan Ketua Pengadilan (Pasal 45 A UU No. 5/2004). 4. Ketua Pengadilan Negeri menetapkan panjar biaya Kasasi yangdituangkan dalam SKUM, yang diperuntukkan: a. Biaya pencatatan pernyataan Kasasi; b. Besarnya biaya Kasasi yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung ditambah biaya pengiriman melalui bank ke rekening Mahkamah Agung; c. Biaya pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung; d. Biaya Pemberitahuan (BP): i. BP pernyataan Kasasi; ii. BP memori Kasasi; iii. BP kontra memori Kasasi; iv. BP untuk memeriksa kelengkapan berkas (inzage) bagi 144 pemohon; v. BP untuk memeriksa kelengkapan berkas (inzage) bagi termohon; vi. BP amar putusan Kasasi kepada pemohon; vii. BP amar putusan Kasasi kepada termohon. 5. 6. SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat dalam rangkap tiga: a. lembar pertama untuk pemohon; b. lembar kedua untuk kasir; c. lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas perkara; Menyerahkan SKUM kepada pihak yang bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada pemegang kas Pengadilan Negeri. 7. Pemegang kas setelah menerima pembayaran menandatangani dan membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM. 8. Pernyataan Kasasi dapat diterima apabila panjar biaya perkara Kasasi yang ditentukan dalam SKUM telah dibayar lunas. 9. Pemegang kas kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara. 10. Apabila panjar biaya Kasasi telah dibayar lunas maka pengadilan pada hari itu juga wajib membuat akta pernyataan Kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara dan mencatat permohonan Kasasi tersebut dalam register induk perkara perdata dan register permohonan Kasasi. 145 11. Permohonan Kasasi dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender harus telah disampaikan kepada pihak lawan. 12. Memori Kasasi harus telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak keesokan hari setelah pernyataan Kasasi. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja berikutnya. 13. Panitera wajib memberikan tanda terima atas penerimaan memori Kasasi dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender salinan memori Kasasi tersebut disampaikan kepada pihak lawan. 14. Kontra memori Kasasi harus telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender sesudah disampaikannya memori Kasasi. 15. Sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung harus diberikan kesempatan kepada kedua belah untuk mempelajari/ memeriksa kelengkapan berkas perkara (inzage) dan dituangkan dalam akta. 16. Dalam waktu 65 (enam puluh lima) hari sejak permohonan Kasasi diajukan, berkas Kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung. 17. Biaya permohonan Kasasi untuk Mahkamah Agung harus dikirim oleh pemegang kas melalui Bank BRI Cabang Veteran - Jl. Veteran Raya No. 8 Jakarta Pusat; Rekening Nomor 31.46.0370.0 dan bukti pengirimannya dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan. 146 18. Tanggal penerimaan memori dan kontra memori Kasasi harus dicatat dalam buku register induk perkara perdata dan register permohonan Kasasi. 19. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung wajib dikirim ke Mahkamah Agung. 20. Pencabutan permohonan Kasasi diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pemohon Kasasi. Apabila pencabutan permohonan Kasasi diajukan oleh kuasanya maka harus diketahui oleh principal. 21. Pencabutan permohonan Kasasi harus segera dikirim oleh Panitera ke Mahkamah Agung disertai akta pencabutan permohonan Kasasi yang ditandatangani oleh Panitera. Lelang mempunyai karakter hukum yang sama dengan jual beli dengan kata lain bahwa hukum lelang sama dengan jual beli antara individu. Status penjual lelang dengan status penjual individu adalah sama. Lelang yang diatur dalam Vendu Reglement tidak mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab penjual. Untuk itu berlakulah ketentuan umum hukum jual beli dalam KUHPerdata. Kewajiban menyerahkan barang oleh penjual terdapat dalam pasal 1474 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penjual barang berkewajiban untuk menyerahkan barangnya dan menanggungnya, selain itu Penjual memiliki dua kewajiban dalam pasal 1491 KUHPerdata yaitu menjamin penguasaan benda secara aman dan tentram dan terhadap adanya cacat yang tersembunyi. Hal ini berkaitan pula dengan upaya hukum pembatalan lelang eksekusi berdasarkan 147 putusan pengadilan, maka upaya hukum yang dapat dilakukan dalam proses pelelangan sama dengan upaya hukum dalam proses hukum acara perdata karena pembatalan lelang eksekusi melalui putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan melalui pengadilan sehingga upaya hukum yang dapat diajukan sama pula dengan upaya hukum putusan perdata pada umumnya yaitu melalui banding yang dilakukan dengan cara mengajukan kepada Pengadilan Tinggi dan kasasi yang dilakukan dengan cara mengajukan kepada Mahkamah Agung. Adanya upaya-upaya hukum yang disediakan mempunyai tujuan agar putusan pengadilan dalam proses pelelangan dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya yang dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak. 148 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1. Peraturan pelaksanaan lelang yang ada selama ini tidak memberikan perlindungan hukumsecara preventif kepada pemenang lelang artinya bahwa Vendu Reglement yang menjadi dasar hukum utama lelang di Indonesia, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentangPerubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang belum ditemukan adanya perlindungan hukum kepada pemenang lelang eksekusi hak tanggungan. Risalah lelang tidak memberikan perlindungan hukum kepada pemenang lelang atas penguasaan objek lelang. Perlindungan hukum secara represif diberikan oleh HIR dalam hal pengosongan objek lelang dapat meminta bantuan Pengadilan Negeri dan apabila terjadi bantahan pemenang lelang dapat mengajukan upaya hukum berupa banding dan kasasi. 2. Lelang merupakan bentuk jual beli yang masih terbuka terhadap bantahan/keberatan/gugatan dari pihak ketiga. Jika terjadi bantahan akibat gugatan yang diajukan oleh pihak ketiga yang pada akhirnya gugatan tersebut masuk ke pengadilan dan putusan pengadilan memenangkan gugatan pihak ke tiga tersebut, maka pemenang lelang dapatmengajukanupaya hukum ke 148 149 pengadilan tinggi untuk menyelesaikan persoalan yaitu melalui Banding dan melalui Mahkamah Agung untuk Kasasi. Hal ini dikarenakan penjualan melalui lelang termasuk dalam penjualan perdata dan upaya hukum yang dapat dilakukan adalah upaya hukum dalam ruang lingkup hukum acara perdata. 5.2 Saran-Saran 1. Guna untuk mewujudkan perlindungan hukum terutama bagi pembeli lelang, maka diperlukan adanya pembaharuan peraturan lelang oleh pemerintah yaitu dengan cara melakukan perombakan terhadap norma-norma dalam Vendu Reglementkarena norma-norma didalamnya sudah tidak relevan lagi dalam perkembangan hukum yang pesat saat ini, juga peraturan teknis pelaksanaan lelang agar tidak menimbulkan celah hukum yang merugikan bagi pihak debitur, kreditur, pemenang lelang, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Untuk menunjang perlindungan hukum secara preventif yang masih belum ada maka pejabat lelang dan pembeli lelang harus lebih cermat, teliti dan berhati-hati dalam proses pelaksanaan lelang terutama dalam hal keabsahan dokumen-dokumen terkait obyek lelang. 2. Adanya upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan telah memberikan celah untuk adanya bantahan/gugatan/keberatan meskipun risalah lelang seharusnya telah mempunyai kekuatan hukum tetap namun dalam prakteknya pembeli lelang eksekusi hak tanggungan dapat dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain yang merasa dirugikan atas 150 penjualan lelang tersebut. Upaya hukum yang telah disediakan untuk kedua belah pihak telah disediakan dan jelas, hal ini untuk menunjang tercapainya tujuan hukum yaitu keadilan dan juga kepastian hukum tidak hanya pada sisi pembeli lelang namun juga untuk sisi penjual lelang maupun pihak ketiga yang dirugikan. 151 DAFTAR PUSTAKA a. Buku Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung Agung Tbk, Jakarta. Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Allen, Carleton Kemp, 1978, Law in the Making, Oxford, Clarendon Press. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anderson, Jill Pride, 1987, Lender Liability for Breach of Obligation of Good Faith Performance, Emory Law Journal, Vol 36. AZ, Lukman Santoso, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka Yustisia, Jakarta. Bahsan, M., 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Coing, Helmut, 1987, Analysis of Moral Values by Case Law, Washington University Law Quarterly, Vol 65, hal. 713. Dharmajaya, Aryo, 2009, Tinjauan Hukum Terhadap Lelang Atas Tanah dan Bangunan yang Tidak Dapat Dimiliki oleh Pemenang Lelang (Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 158k/Pdt/2005), Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Effendi, Lutfi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publising, Malang. Farnsworth, E. Allan, 1963, Good Faith Performance and Commercial Reasonableness under the Uniform Commercial Code, The University of Chicago Law Review, Vol 30. Fuady, Munir, 2011, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung. 151 152 Hadi, Moeljo, 2001, Dasar-Dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Juru Sita Pajak Pusat dan Daerah, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hadjon, Philipus M.,1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya. Harahap, M. Yahya, 2005, Kekuasaan Pengadilan Tinggi Dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Dalam Tingkat Banding, Sinar Grafika, (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap II), Jakarta. _______, 2007, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet. 3., ed. 2, Sinar Grafika, Jakarta. Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cet. XII, Djambatan, Jakarta. Hessenlink, Martin Willem, 1999, De Redelijkheid en Billijkheid in het Europease Privaatrecht, Kluwer, Deventer. HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. HS, Salim, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______, 2008, Hukum Kontrak ; Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta. Hutabarat, Samuel M.P. 2010, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian, PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Kelsen, Hans, 2006, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa & Nusamedia, Bandung. _______, 2013, General Theory Of Law And State, Teori Umum Hukum Dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta Kenotariatan, Magister, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Universitas Udayana, Denpasar. Latvinoff, Saul, 2000, Good Faith, Tulane Law Review, Vol 71 No. 6, January 2000. 153 Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2007, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, Jakarta. Mantayborbir, S., Imam Jauhari, dan Agus Hari Widodo, 2002, Hukum Piutang dan Lelang Negara, Pustaka Bangsa Press, Medan. Marbun, S.F., 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 1996, Eksekusi Objek Hak Tanggungan Permasalahan dan Hambatan, Yogyakarta. Muchsin, 2003, “Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia”, Tesis, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Mukti, Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ngadijarno, F.X., Nunung Eko Laksito dan Isti Indri Listiani, 2005, Lelang : Teori dan Praktik, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta. Oliver, Dawn dan Gavin Drewry, 1996, Public Service Reform, Issues Of Accountability And Public Law, Reader In Public Law, King’s College, University Of London. Rajagukguk, Erman, et. Al., 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, CV Mandar Maju, Bandung. Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Di Daerah Yogyakarta, FH UII Press. Yogyakarta. Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta. Setiono, 2004, “Rule of Law (Supremasi Hukum)”, Tesis, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sianturi, Purnama Tioria, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, CV. Mandar Maju, Bandung. Sinungan, Muchdarsyah, 1984, Dasar-dasar dan Teknik Management Kredit, PT Bina Aksara, Jakarta, Cet. II. 154 Sjahdeini, Remy Sutan, 1999, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan, Alumni, Bandung. Soekanto, Soerjono, 1999, Penegakkan Hukum, Binacipta, Bandung. _______dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemitro, Rochmat, Peraturan dan Instruksi Lelang, Eresco, Bandung. Soemitro, Ronny Hanitijo, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia PokokPokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, C.V. Bina Usaha, Yogyakarta. Sommermeijer, W, 2003, Tanggung Jawab Hukum, Pusat Studi Hukum Universitas Parahyangan, Bandung. Supriadi, 2012, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta Surata, I Gede, 2010, “Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Dijabat Oleh Camat Dalam Penetapan Akta Tanah”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta Rahardjo, Satjipto, 2012, Ilmu hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Rajagukguk, Erman, et. al. 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, CV Mandar Maju, Bandung. Rasjidi, Lili dan I. B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung. Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Di Daerah, FH UII Press. Yogyakarta. Zimmerman, Reinhard dan Simon Whittaker, eds, Good Faith in European Contract Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2000. b. Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 155 Garner, Bryan A. 2004, Black’s Law Dictionary, eight Edition, United Stated of America. c. Peraturan Perundang-Undangan Burgerlijk Wetboek Stb,1847 Nomor 23 (terjemahan R. Soebekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.) ReglementBuitengewesten (RBG Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura) Stb. 1927 Nomor 227 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR/RIBReglemen Indonesia yang diperbaharui) Stb, 1941 Nomor 44 Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stbl. 1908 Nomor 189) Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stbl. 1908 Nomor 190) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK/06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.06/2013 tentang Pejabat Lelang Kelas I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.06/2013 tentang Pejabat Lelang Kelas II Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.06/2013 tentang Balai Lelang. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.