LAST Buku PIRACY FINAL_backup Jakarta

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
Konsep keamanan (Security) yang ada selama ini telah
berkembang sejak pasca perang dingin dan berlanjut pada era
globalisasi dewasa ini. Konsep ini telah diperluas tidak hanya
terfokus
pada hal-hal yang bersifat militeristik, tetapi telah
berkembang mengarah pada berbagai aspek seperti perlindungan
lingkungan, hak asasi manusia, perluasan perdagangan dan
investasi,
pemberantasan
kejahatan
internasional,
atau
perdagangan barang terlarang.
Dalam dunia kemaritiman, keamanan maritim juga telah
meluas tidak hanya
konsep pertahanan laut terhadap ancaman
militer dari negara lain tetapi juga termasuk pertahanan terhadap
ancaman non militer antara lain perlindungan terhadap kelestarian
alam, jalur perdagangan, pemberantasan aksi ilegal di laut, dan lainlain.
Sebaliknya, karakter maritim telah menjadi faktor yang
memberikan pengaruh kuat pada aspek keamanan, strategi dan
kerjasama maritim regional. Sebagai konsekuensinya, keamanan
dalam dunia maritim, secara umum menjadi tanggungjawab dari
semua negara untuk menjaganya dari segala bentuk ancaman.
Semakin luas wilayah perairan laut suatu negara, semakin besar
pula tugas dan tanggung-jawab pemerintah dari negara tersebut.
Tanggung jawab ini bukan hanya secara nasional, tetapi juga
secara internasional.
1
Keamanan laut/maritim bukan hanya menyangkut penegakan
hukum di laut semata, kemanan laut dalam arti yang luas adalah
laut menjadi wilayah yang aman digunakan oleh pengguna dan
bebas dari ancaman atau gangguan terhadap berbagai aktifitas
penggunaan dan pemanfaatan laut, yaitu:
1.
Laut yang bebas dari ancaman kekerasan, termasuk ancaman
penggunaan kekuatan bersenjata yang dinilai mempunyai
kemampuan
untuk
mengganggu
dan
membahayakan
kedaulatan negara.
2.
Laut yang bebas dari ancaman terhadap navigasi, yaitu
ancaman
yang
ditimbulkan
oleh
kondisi
geografi dan
hidrogagrafi, yang membahayakan keselamatan pelayaran.
3.
Laut yang bebas dari pencemaran dan perusakan ekosistem,
yaitu
ancaman
terhadap
kelestarian
lingkungan
yang
dampaknya merugikan bagi masyarakat sekitar dan juga
generasi penerus.
4.
Laut yang
pelanggaran
bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu
terhadap
ketentuan
internasional yang berlaku seperti
hukum
nasional
dan
illegal logging, illegal
fishing dan lain-lain. 1
Pemahaman terhadap keamanan laut tersebut di atas
sangatlah penting guna menciptakan suatu pendekatan yang
komprehensif dan secara
integral dalam hal penanganannya.
1
“
Keamanan Laut dan Tnaggung Jawab Indonesia: Tantangan dan Kendala”, makalah TNI-AL yang
disampaikan pada Lokakarya Hukum Laut Internasional, Yogyakarta, 13-15 Desember 2004
2
Adapun salah satu isu keamanan laut/maritim yang akhir-akhir ini
menjadi perhatian besar dari berbagai negara adalah aktivitas ilegal
di laut, salah satunya yaitu perompakan di laut. Kegiatan ini telah
meningkat dalam lingkup, intensitas dan kompleksitasnya sehingga
mengancam kondisi sosial, ekonomi dan politik suatu negara dan
kawasan sekitar.
Sesuai
dengan
kondisi-kondisi
tersebut
di
atas,
dan
perkembangan yang terjadi di dunia maritim, ada dua tantangan
yang paling utama dalam dunia maritim, khususnya di Asia:

Jaminan terhadap jalur laut dalam rangka kelancaran arus
barang dan sumber daya alam

Penghindaran
konflik-konflik
antar
negara
dalam
hal
persaingan/perebutan perdagangan dan sumber daya alam
di kawasan2.
Disamping
itu,
seiring
dengan
semakin
meningkatnya
hubungan ekonomi, termasuk perdagangan antar negara,
semakin
meningkat pula frekuensi lalu lintas
maka
transportasi yang
membawa manusia dan barang. Sektor perhubungan dalam hal ini
berfungsi sebagai penunjang utama, bahkan memiliki peranan
sangat penting dalam meningkatkan perekonomian suatu negara
karena sektor perhubungan akan mempunyai kekuatan untuk
mendorong
sektor-sektor
produksi.
transportasi yang saat ini diangggap
Salah
satu
bentuk
alat
relatif murah dan dapat
mengangkut kapasitas dalam jumlah besar dengan jarak yang
cukup jauh adalah transportasi laut. Dijadikannya transportasi laut
sebagai penghubung perdagangan antar negara ini juga didukung
2
Joshua Ho, “
The Shifting of Maritime Power and the Implications for Maritime Security in East Asia”
,
Institute of Defence and Strategic Studies Singapore, June 2004
3
dengan
kemajuan
teknologi
dan
komunikasi
yang
telah
memperpendek waktu yang ditempuh di laut.
Negara-negara
di
Asia
Timur
mempunyai kontribusi yang cukup besar
...... karakter maritim
dalam
telah menjadi faktor
kegiatan
Banyaknya
perdagangan dunia.
pelabuhan besar di dunia
yang memberikan
berada di Asia Timur dan pertumbuhan
pengaruh kuat pada
perekonomian yang relatif tinggi serta
aspek keamanan,
dinamis
menyebabkan
frekuensi
strategi dan
transportasi laut melalui Selat Malaka
kerjasama maritim
dan Selat Singapura juga semakin
regional.
meningkat.
Sebagaimana
diketahui
bahwa 6 dari 25 pelabuhan kontainer terbesar berada di Asia
Tenggara, yaitu Singapura, Port Kelang (Malaysia), Tanjung Priok
(Indonesia), Tanjung Pelepas (Malaysia), Laem Chabang (Thailand)
dan Manila,3 dan hampir separuh dari kapal-kapal dagang dunia
dimiliki oleh negara-negara Asia. Pertumbuhan ini juga didukung
dengan semakin majunya industri kapal di Asia.
Melihat perkembangan di atas, keamanan Selat Malaka dan
Selat
Singapura, sebagai wilayah yang sangat strategis secara
ekonomi dan politis, menjadi faktor penting tidak hanya bagi pihakpihak yang menggunakan jalur tersebut tetapi juga bagi negaranegara pantai serta kawasan sekitarnya. Isu keamanan di kedua
Selat tersebut
yang berkembang saat ini meliputi ancaman aksi
kejahatan terhadap kapal-kapal, ancaman terhadap keselamatan
navigasi, ancaman sumber daya alam, ancaman kedaulatan dan
3
Tamara Rhenee See, “
Maritime Piracy in Southeast Asia: Challange and Opportunities for Intra –
ASEAN
Cooperation”
, ISEAS 2004
4
hukum. Isu keamanan di kedua selat ini memiliki implikasi gangguan
terhadap hubungan internasional negara-negara pantai dimaksud.
Singapura, Malaysia dan Indonesia, sebagai littoral states
dari Selat Malaka dan Selat Singapura, adalah negara-negara yang
sangat berkepentingan terhadap keamanan dan stabilitas selat-selat
ini. Singapura sebagai “
trading country”
telah diuntungkan secara geografis dan
... Pemahaman
selat-selat ini merupakan jantung bagi
terhadap keamanan
perekonomiannya.
laut tersebut di atas
Sementara
Indonesia juga mempunyai kepentingan
sangatlah penting
terhadap stabilitas dan keamanan selat-
guna menciptakan
selat
suatu Pendekatan
tersebut,
mengingat
selat
ini
merupakan salah satu pintu masuk jalur
yang komprehensif
perdagangan dari Eropa, Afrika, Timur
dan secara integral
Tengah dan Asia Selatan. sehingga
dalam hal
Indonesia
juga
memperoleh
penanganannya.
keuntungan secara ekonomi.
Menurut data di IMB, presentase kejadian perompakan di
laut
secara global cenderung meningkat. Peningkatan signifikan
terjadi di wilayah-wilayah tertentu, seperti Laut Cina Selatan, Selat
Malaka dan Selat Singapura, bahkan sebagian besar dari kejadian
perompakan di dunia yang dilaporkan terjadi di perairan Asia Timur
tersebut. Beberapa kasus perompakan di laut ini juga mulai masuk
ke dalam dan terjadi di wilayah teritorial
suatu negara, dimana
mereka memanfaatkan lemahnya pengamanan laut
tersebut.
5
negara
Aksi kejahatan di laut tersebut pada awalnya dan pada
umumnya adalah dilatarbelakangi oleh faktor-faktor ekonomi.
Namun pada perkembangannya
dan
dalam situasi dewasa ini,
fenomena perompakan perlu dipertimbangkan dalam konteks
tindakan kekerasan di laut yang lebih luas. Hal ini mengingat
semakin dimungkinkannya ancaman aksi terorisme di kedua Selat
ini yang dilatarbelakangi masalah non ekonomi (ideologi), dimana
sangat dimungkinkan bahwa aksi-aksi tersebut juga dilakukan di
laut, serta terhadap kapal-kapal di laut. Kekhawatiran akan adanya
tindakan terorisme di Selat Malaka dan Selat Singapura ini
didasarkan pada strategisnya jalur ini tidak hanya bagi littoral states,
tetapi juga bagi negara pengguna selat, serta adanya jaringan
terorisme yang berkembang di Asia Tenggara.
Masalah aksi kejahatan terhadap kapal-kapal perompakan di
Selat Malaka dan Selat Singapura saat ini menjadi masalah yang
sangat pelik bagi littoral states khususnya Indonesia, Malaysia dan
Singapura. Selama ini Selat Malaka dan Selat Singapura sudah
dianggap “
surga”dan tempat yang sangat ideal untuk melakukan
kegiatan kejahatan di laut, mengingat jalur tersebut sangat ramai
dilintasi oleh kapal-kapal besar dan kecil, dan juga digunakan
sebagai jalur pengapalan energi dan perdagangan bagi negaranegara maju.
Kalangan pengamat maritim internasional memperkirakan
apabila penanganan pemberantasan aksi kejahatan di Selat Malaka
dan Singapura ini tidak segera diantisipasi, maka masalah ini akan
semakin
kompleks,
seiring
dengan
kemungkinan
terorisme di berbagai wilayah termasuk di Asia Tenggara.
6
ancaman
Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan baik secara
sepihak, bilateral maupun multilateral dalam rangka penanganan
terhadap aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura oleh
littoral states. Termasuk adanya upaya dari user states untuk
berpartisipasi dengan berbagai kepentingan yang berbeda dan
dalam berbagai cara dalam upaya pengamanan di kedua selat
tersebut.
Namun upaya ini belum cukup memadai untuk menekan
jumlah aksi kejahatan yang terjadi di kawasan ini. Dalam
pelaksanaannya masih terdapat beberapa hambatan-hambatan dan
perbedaan-perbedaan yang belum dapat dijembatani. Hambatanhambatan ini terjadi tidak hanya di lapangan antar otoritas terkait,
tetapi juga di tingkat pengambil keputusan yang lebih tinggi, dimana
masih adanya perbedaan kepentingan yang lebih besar diantara
pihak-pihak yang terkait tersebut.
Buku ini akan mencoba memberikan gambaran mengenai
ancaman aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura
sebagai jalur perdagangan dunia terhadap negara-negara pantai.
Buku ini akan memfokuskan pandangan dari 2 negara, yaitu
Indonesia dan Singapura, karena kedua negara tersebut, selain
berbatasan langsung baik di Selat Malaka maupun di Selat
Singapura, Indonesia dan Singapura juga merepresentasikan dua
negara yang mempunyai kepentingan yang sangat besar terhadap
keamanan di kedua Selat tersebut namun masing-masing masih
mempunyai
sudut
pandang
yang
penanganannya.
7
berbeda
dalam
upaya
BAB 2
NILAI STRATEGIS SELAT MALAKA DAN SELAT SINGAPURA
Selat Malaka merupakan wilayah perairan yang sebagian besar
terbentang antara Indonesia dan Malaysia, memanjang antara Laut
Andaman di barat laut dan Selat Singapura di tenggara sejauh kurang
lebih 520 mil laut dengan lebar yang bervariasi sekitar 11-200 mil laut.
Sedangkan Selat Singapura yang terapit antara Indonesia dan
Singapura terbentang menurut arah Barat-Timur sejauh 30 mil laut
dengan lebar sekitar 10 mil laut. Daerah yang tersempit dari jalur ini
adalah Phillips Channel yang berada di Selat Singapura, yaitu hanya
mempunyai lebar 1.5 mil laut.
Selat Malaka selama ini selalu terkait dengan masalah
internasional secara politis maupun ekonomi karena jalur tersebut
digunakan oleh berbagai kapal untuk berbagai kepentingan, terutama
kepentingan
niaga.
Dari
perspektif
posisi
maupun
historis
perdagangan di Selat Malaka sudah lama menjadi sentra ekonomi
bisnis. Sejarah telah mencatat keberhasilan dan kejayaan dari
kerajaan-kerajaan yang tumbuh di sekitar Selat Malaka yang
diantaranya Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Malaka dimana
perekonomiannya sangat berkembang dengan pesat. Kejayaan
mereka pada masa itu,
dikarenakan selain karena lokasinya yang
sangat strategis, juga karena penguasaan mereka terhadap Selat
Malaka dan sekitarnya. Nilai strategis Selat Malaka ini juga menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan bangsa Eropa, terutama Inggris,
Belanda dan Portugis berlomba-lomba melakukan ekspansi ke
wilayah ini.
8
Kedua Selat ini merupakan jalur yang relatif singkat dan murah
dalam menghubungkan Samudera Indonesia ke Laut Cina Selatan
atau sebaliknya4, yang sekaligus merupakan jalur penghubung antara
benua Eropa, Asia Selatan dan Asia Timur serta menghubungkan tiga
negara berpenduduk terbesar di dunia, yaitu India, Indonesia dan
China. Hal ini menyebabkan Selat Malaka dan Selat Singapura,
sebagai satu kesatuan, menjadi jalur yang padat dan mempunyai arti
sangat strategis bagi pelayaran internasional.
Lebih dari
seperempat perdagangan dunia dan separuh dari
perdagangan minyak serta LNG menggunakan perlintasan Selat
Malaka dan Selat Singapura. Perlintasan minyak di Selat Malaka
mencapai tiga kali lebih besar
melintasi Terusan Suez
dibandingkan dengan apa yang
dan lima belas kali lebih besar dari pada
perlintasan minyak melalui Terusan Panama. Apabila dibandingkan
dengan Selat Hormuz yang memisahkan Arabian Sea dan Indian
Ocean, Selat Malaka dan Selat Singapura keduanya mempunyai nilai
strategis yang hampir sama, yaitu merupakan jalur perdagangan
energi dunia, namun Selat Malaka dan Selat Singapura mempunyai
kelebihan, yaitu selain menjadi jalur pedagangan energi, juga menjadi
jalur utama perdagangan non-energi.
Bagi negara-negara pengguna Selat, Selat Malaka dan Selat
Singapura
merupakan
lifeline
yang
menopang
perekonomian
negaranya, antara lain Jepang, Korea Selatan dan China. Sejumlah
80% dari pasokan minyak di Jepang dan China diangkut melalui jalur
4
Mary Ann Palma, “
Legal and Political Responses to Maritime Security Challanges in the Straits of Malacca
and Singapore”, Institute of International Legal Studies University of the Philippines Law Center, March 2003
9
Selat Malaka5. Sebanyak 50.000 kapal ukuran besar menggunakan
koridor ini setiap tahun, membawa 25% dari barang perdagangan
dunia, 2/3 dari LNG dunia, dan jalur minyak 11 juta
barrels perhari
serta 14% dari kebutuhan sehari-hari dunia.6 Disamping itu, lebih dari
400 jalur transportasi laut dan 700 pelabuhan di dunia sangat
tergantung pada Selat Malaka dan Selat Singapura.
Potensi ekonomi ini menjadi lebih bermakna dan bernilai
strategis, seiring dengan kenyataan bahwa pusat kegiatan ekonomi
dunia sejak akhir abad-20 sebenarnya telah bergeser dari Poros
Atlantik ke Poros Asia-Pasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia
berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik. Sementara itu,
lebih
dari
75%
dari
barang-barang
yang
diperdagangkannya
ditransportasikan melalui laut, terutama melalui Selat Malaka, Selat
Lombok, Selat Makasar, dan laut-laut Indonesia lainnya. Sebagian
besar arus perdagangan tersebut melalui Selat Malaka
dan Selat
Singapura.
Selain nilai strategis secara ekonomi,
Selat Malaka juga
mempunyai nilai strategis dalam hal politik dan keamanan, yang tidak
hanya bagi negara pantai tetapi juga bagi user states. Salah satu
contoh bahwa Selat Malaka mempunyai nilai strategis secara politik
dan keamanan adalah bagi negara-negara yang mempunyai kekuatan
laut yang besar seperti Amerika Serikat,
merupakan jalur utama bagi
kedua Selat tersebut
mobilitas armada-armadanya dalam
melakukan patroli di Samudera Pasifik, Laut Hindia dan Timur
5
Michael Richardson, P. Mukundan, “
Political and Security Outlook 2004: Maritime Terrorism and Piracy”
,
Trends in Southeast Asia Series: 3 (2004)
6
Amita Agarwal, “
Hazards of Piracy, Tankers, Oil Spills and Marine Pollution in the Straits of Malacca”
,
ISEAS 2004
10
Tengah.7 Armada AS tersebut tidak hanya melewati Selat Malaka dan
Selat Singapura saja, tetapi secara tidak langsung sekaligus
merupakan
upaya
AS
untuk
menjaga
kepentingan
AS
dan
memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Nampaknya, selain
penguasaan secara de jure, penguasaan secara de facto terhadap
kedua Selat tersebut akan meningkatkan posisi tawar secara politis
dan ekonomi bagi pihak-pihak yang dapat memanfaatkannya.
Sebagai perlintasan jalur internasional (international maritime
passage)
Selat Malaka dan Selat Singapura
pelabuhan-pelabuhan
telah menjadikan
laut di sekitarnya seperti Batam, Bintan,
Singapura, Tanjung Pelepas, Johor berkembang dengan pesat secara
ekonomi dibandingkan daerah lainnya. Kondisi geografi Selat Malaka
dan Selat Singapura yang sangat strategis ini
telah mendorong
negara-negara dan wilayah-wilayah tersebut menjalin kerjasama
dalam mengembangkan perekonomian di kawasan, salah satunya
adalah pembentukan segitiga pertumbuhan Singapura-Johor-Riau.
Adapun tujuan dari kerjasama-kerjasama ini adalah keinginan untuk
mengambil manfaat sebesar-besarnya dari jalur perdagangan yang
sangat vital ini.
Mengingat arti pentingnya Selat Malaka dan Selat Singapura ini,
keamanan dan keselamatan pelayaran di kedua Selat tersebut telah
sekian lama menjadi perhatian dan menjadi kepentingan banyak
pihak, mencakup negara-negara yang berbatasan langsung, yakni
Indonesia,
Malaysia
dan
Singapura,
negara-negara
pengguna,
misalnya AS, Jepang, RRC dan Korea Selatan, dan lain-lain serta
pihak industri pelayaran internasional. Potensi gangguan keamanan
7
Mak Joon Num, “
Unilateral and Regionalism: Working Together and Alone in the Malacca Straits”
, ISEAS
2004
11
dan keselamatan terhadap pelayaran di Selat Malaka dan Selat
Singapura sangat besar sebagaimana tercermin dari naik turunnya
jumlah aksi perompakan bersenjata dan kecelakaan kapal laut yang
terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Risiko kerugian secara ekonomi
akan
dihadapi
terganggunya
sebagai
kegiatan
akibat
di
strategis secara
kedua selat tersebut, dan juga risiko
ekonomi, Selat
bencana lingkungan
pelayaran
... Selain nilai
laut yang
dapat
Malaka juga
ditimbulkan dari kecelakaan kapal-kapal
tanker
yang
melintas
dan
kemudian
mempunyai nilai
strategis dalam hal
menumpahkan muatannya berupa minyak
politik dan keamanan,
dan gas alam cair. Sesuatu kejadian yang
yang tidak hanya bagi
mengakibatkan terganggunya lalu lintas
negara pantai tetapi
laut
atau
penutupan
terhadap
Selat
juga bagi user states.
Malaka akan menyebabkan penggunaan
jalur pelayaran alternatif
yang lebih jauh,
dimana hal ini akan
meningkatkan biaya pengapalan, biaya asuransi dan biaya-biaya lain
terkait secara signifikan.
Seperti dijelaskan sebelumnya, dari besarnya arus perdagangan
dunia yang melintasi Selat Malaka dan kemudian melintasi juga Selat
Singapura
ataupun
melakukan
transit
di
Singapura,
bisa
diperhitungkan besarnya pemasukan keuangan bagi Singapura dari
antara lain jasa kepelabuhanan yang disediakan oleh pelabuhanpelabuhan laut negara tersebut.
Singapura sampai saat ini
merupakan pelabuhan tersibuk di dunia, pelabuhan kontainer kedua
terbesar, dan merupakan lokasi industri oil refinery ketiga terbesar di
12
dunia, disamping itu lebih dari 135.000 kapal laut berlabuh di
Singapura pada tahun 20038. Berdasarkan data pada Juli 2003, sektor
maritim telah menyumbang sekitar 6% GDP Singapura dengan nilai
S$ 9 milyar.
Menyadari peran penting Selat Malaka dan Selat
Singapura bagi pelayaran internasional, pemerintah Singapura terus
berupaya memperkuat bisnis jasa pelayaran dan kepelabuhanannya
untuk menjadi “
the International Maritime Center”dan memperkuat
lebih lanjut perannya sebagai “
regional transportation hub” di
kawasan.
Dari sisi politik, lokasi keberadaan pelabuhan Singapura yang
sangat strategis yang kemungkinan besar hanya dapat
disaingi
oleh pelabuhan Tanjung Pelepas Malaysia, telah memberikan posisi
tawar
secara
signifikan
kepada
Singapura
dalam
hubungan
bilateralnya dengan negara-negara lain, khususnya negara-negara
pengguna Selat Malaka dan Selat Singapura. Posisi tawar yang
demikian ini
secara tidak langsung menjadi salah satu sebab
Singapura memiliki peran yang diperhitungkan di dunia intenasional.
Berdasarkan fakta di atas, Singapura dengan segala daya dan
upaya berkepentingan mengamankan pelayaran di perairan kedua
Selat tersebut dengan melakukan langkah-langkah antisipasi terhadap
setiap ancaman bahaya dan gangguan terhadap kebebasan dan
keamanan navigasi di Selat Malaka dan Selat Singapura, baik ketika
ancaman itu masih berujud potensi dan risiko maupun apabila telah
menjadi ancaman nyata.
8
Tamara, Op.Cit.
13
Berbagai
upaya
yang
dilakukan
oleh
Singapura
untuk
melindungi kepentingannya di Selat Malaka dan Selat Singapura
adalah9 :
-
meningkatkan kemampuan militernya terutama di laut dan
udara;
-
melakukan kerjasama keamanan dengan negara pantai lainnya;
-
membuka fasilitas pelabuhannya untuk perawatan dalam rangka
perawatan dan perbaikan kapal-kapal militer AS, terutama yang
tergabung pada Armada VII10;
-
membuka wacana tentang peluang bagi AS untuk berpartisipasi
dalam melakukan patroli di Selat Malaka. Kehadiran Angkatan
Laut AS itu dapat dipandang sebagai "jaminan keamanan" bagi
negara pulau tersebut;
Setelah Konvensi PBB tentang United Nation Convention on the
Law of the Sea (UNCLOS) 1982 diratifikasi oleh Indonesia dengan UU
RI Nomor 17 tahun 1985
dimana konvensi tersebut diberlakukan
sebagai hukum positif pada tanggal 16 Nopember 1994, maka status
Indonesia sebagai negara kepulauan diakui secara de jure oleh dunia.
Pengakuan dunia dalam hukum intenasional tersebut berarti Indonesia
memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi
wilayah darat, laut dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia
mempunyai kedaulatan
dan
kewenangan untuk menjaga dan
mempertahankan integritas wilayah perairan kepulauan.
9
Col Kwek Siew Jin, “
The Maritime Priorities of Singapore”
, ISEAS
Mark Valencia, “
The Politics of Anti-Piracy and Anti-Terrorism Responses in South Asia”
, ISEAS 2004
10
14
Dalam konteks Selat Malaka dan Selat Singapura dan dengan
adanya pengakuan dunia tersebut di atas,
Indonesia berpeluang
besar menjadikan kedua Selat tersebut sebagai suatu faktor yang
bermanfaat secara ekonomi dan politik. Semua negara dapat
menggunakan jalur perairan strategis di wilayah tersebut, baik untuk
kepentingan perlintasan kapal-kapal niaga maupun kapal-kapal
perang. Namun demikian upaya untuk memperoleh manfaat dari
peluang ini akan terwujud apabila adanya suatu kondisi yang aman
dan terkendali di kawasan laut dimaksud.
Selama ini kegiatan perdagangan dan transportasi internasional
melalui Sea Lane of Communication (SLOC) di perairan Indonesia
terus meningkat. Sebagai jalur pelayaran
kapal
Malaka
penumpang
internasional,
menghubungkan
Selat
…. Dari sisi politik,
dari
lokasi keberadaan
tujuan
Sumatera dan pulau-pulau berdekatan
pelabuhan Singapura
lainnya menuju Singapura dan Malaysia.
yang sangat
Departemen Perhubungan memperkirakan
strategis, telah
kepadatan lalu lintas laut di Selat Malaka
memberikan posisi
menuju pelabuhan-pelabuhan di Indonesia
tawar secara
akan mencapai 256 kapal setiap bulan
signifikan kepada
pada tahun 200711. Aktivitas
Singapura dalam
pelayaran
yang meningkat tersebut menempatkan
hubungan bilateral
laut memegang peranan yang sangat
dengan negara lain
penting bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia
sebagai
negara kepulauan di masa mendatang.
11
Data Departemen Perhubungan yang disampaikan Conference on the Straits of Malacca, Building a
Comprehensive Security Environment, Kuala Lumpur, 11-13 Oktober 2004
15
Selain melakukan kerjasama dengan Malaysia
dan Singapura
dalam rangka kerjasama Sijori yang bertujuan memberikan nilai
tambah secara ekonomi terhadap kawasan Selat, secara terbatas,
Indonesia juga telah mengembangkan wilayah Barelang (Batam,
Rempang dan Galang) di kepulauan Riau sebagai wilayah berikat dan
pengembangan Sabang sebagai salah satu pelabuhan bebas guna
mengambil manfaat ekonomi dari keberadaan Selat Malaka dan Selat
Singapura tersebut.
Khusus untuk rencana penyempurnaan status
Batam dari kawasan berikat (bonded zone) menjadi Free Trade Zone
memiliki nilai strategis bagi Indonesia untuk memaksimalkan posisi
Batam di Selat Malaka. Selain itu, sejalan dengan era otonomi daerah
di
Indonesia,
Pemerintah-pemerintah
Daerah
yang
daerahnya
berbatasan dengan Selat Malaka dan Selat Singapura juga telah
menyadari peluang-peluang dimaksud dan mulai membuka diri
dengan melakukan kerjasama dengan negara-negara tetangga.
Dalam
profil
pembangunan
bidang
kelautan
Indonesia,
Pemerintah telah menjabarkan ke dalam lima tujuan yang harus
dicapai,
yaitu:
(1)
meningkatnya
kesejahteraan masyarakat pesisir, (2)
Indonesia berpeluang
meningkatnya
besar menjadikan
peran
sektor
kelautan
sebagai sumber pertumbuhan ekonomi,
kedua selat tersebut
(3) peningkatan gizi masyarakat melalui
sebagai suatu faktor
peningkatan daya dukung konsumsi ikan,
yang bermanfaat
dan (4) pemeliharaan serta kualitas
secara ekonomi dan
lingkungannya, (5) peningkatan peran
politik.
laut sebagai pemersatu bangsa.12 Melihat nilai strategisnya, maka
Selat Malaka dalam profil pembangunan kelautan Indonesia tersebut
12
Wawancara Prof Dr. Ir. Rokhimin Dahuri mengenai “Reorientasi Pembangunan Berbasis Kelautan”oleh
TokohIndonesia.Dotcom
16
telah memenuhi syarat sebagai salah satu sumber daya alam yang
dapat menciptakan kesejahteraan bangsa secara berkelanjutan (on a
sustainable basis).
BAB 3
AKSI KEJAHATAN DI LAUT : SUATU ANCAMAN
NEGARA-NEGARA PANTAI DI SELAT MALAKA DAN
SELAT SINGAPURA
17
3.1. Perompakan (Piracy) dan Perampokan Bersenjata (Armed
Robbery) di Laut
Aksi kejahatan terhadap kapal-kapal laut termasuk aksi
kejahatan tertua yang telah ada
sejak ribuan tahun yang lalu.
Namun penggunaan istilah pirate/peirato digunakan pertama kali
pada sekitar 140 SM oleh Ahli Sejarah Roma Polybius. Istilah
piracy kemudian untuk pertama kali didefinisikan oleh ahli sejarah
Yunani Plutarch pada
tahun
100, yaitu
orang-orang
yang
menyerang tanpa dasar hukum tidak hanya terhadap kapal tetapi
juga maritime cites.13
Dalam perkembangannya, istilah piracy yang diterjemahkan
sebagai perompakan/pembajakan di laut mulai didefinisikan dalam
konteks hukum yang lebih jelas dan dibedakan pengertiannya
dengan tindakan armed robbery (perampokan bersenjata terhadap
kapal di laut), dimana perbedaan dari kedua aksi kejahatan di laut
tersebut
berdampak
pada
cara
dan
tanggungjawab
pada saat
dihubungkannya
penanganannya.
Permasalahan kemudian timbul
penggunaan istilah antara aksi perompakan (“
piracy”
) - istilah yang
banyak digunakan akhir-akhir ini - dan perampokan bersenjata
terhadap kapal-kapal (“
armed
robbery against ships”
) dengan
pembahasan tentang aksi kejahatan di laut yang terjadi di Selat
Malaka dan Selat Singapura.
13
www. piratesinfo.com
18
Menurut
pasal 101 UNCLOS 1982, dijelaskan
bahwa
perompakan di laut dapat disebut piracy apabila memenuhi unsurunsur:
-
merupakan tindak kekerasan yang tidak sesuai hukum;
-
untuk tujuan pribadi;
-
yang dilakukan kepada awak atau penumpang dari private ship
atau private aircraft;
-
terjadi di laut bebas (high seas) atau di tempat lain di luar
yurisdiksi nasional suatu negara.
Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa perompakan yang
diatur dalam Konvensi ini adalah merupakan tindakan kejahatan di
laut yang terjadi di laut bebas. Namun sebaliknya kegiatan
pelanggaran terhadap kapal-kapal di dalam laut teritorial tidak dapat
dianggap sebagai perompakan menurut hukum internasional. Namun
pada kenyataannya justru sebagian besar insiden “
pembajakan”di
laut terjadi di laut teritorial suatu negara.
Sementara itu, International Maritime Organization (IMO) juga
membedakan istilah piracy dan armed robbery against ship tersebut
berdasarkan locus delicti dari aksi kejahatan tersebut. Perompakan
(Piracy) menurut IMO adalah “
unlawful acts as defined in article 101
14
of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea”
.
Sedangkan berdasarkan pasal 2.2 dari IMO MSC Circular No. 984
tentang the Draft Code of Practice for the Investigation of the Crimes
of Piracy and Armed Robbery Against Ships, Armed robbery against
ship didefinisikan pada sebagai berikut:
14
IMO Draft Code of Practice
19
“
Armed robbery against ships” means any unlawful act of
violence or detention or any act of depredation, or threat thereof,
other than an act of piracy”
, directed against a ship or against
persons or property on board such a ship, within a State’
s
jurisdiction over such offenses. 15
Dalam dua definisi yang dijelaskan oleh IMO di atas semakin
mempertegas perbedaan dari aksi piracy maupun armed robbery
dimana tindak kejahatan di laut dapat dikatakan armed robbery
apabila dilakukan di dalam wilayah jurisdiksi suatu negara, sedangkan
aksi piracy dilakukan di luar jurisdiksi suatu negara.
Namun, International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi
piracy yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982
pasal 101. Dalam laporan IMB dikatakan bahwa piracy hendaknya
diartikan sebagai:
“
act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any
other crime and with the intent or capability to use force in the
furtherance thereof”
.16
Konsekuensinya segala tindakan atapun itikad untuk melakukan
tindakan kejahatan di laut wilayah maupun di perairan kepulauan
suatu negara dianggap sebagai tindakan piracy. Definisi ini juga
berlaku bagi kapal-kapal yang sedang berada di pelabuhan untuk
maksud bongkar muat. Lebih luasnya definisi piracy yang digunakan
oleh IMB dapat dipahami, mengingat IMB sebagai suatu organisasi
maritim (non government) yang didirikan oleh International Chambers
of Commerce (ICC) dan didukung oleh suatu industri maritim yang
15
IMO Draft Code of Practice
Robert C. Beckmean, “
Combatting Piracy and Armed Robbery Against Ships in Southeast Asia: The Way
Forward”
, Ocean Development & International Law, 2002
16
20
mempunyai kepentingan besar terhadap keselamatan pelayaran di
laut. Sehingga walaupun masalah definisi ini masih ada perbedaan
satu sama lain, data-data IMB selalu dijadikan rujukan di dunia maritim
internasional.
Perbedaan definisi atau pengartian istilah “
piracy” di atas,
kemudian menimbulkan permasalahan mengenai tanggung jawab dan
cara penanganannya ketika diterapkan pada wilayah laut dimana
terdapat beberapa wilayah laut teritorial dari beberapa negara yang
berhimpitan dan digunakan sebagai jalur internasional yang padat,
seperti Selat Malaka dan Selat Singapura.
Disamping itu, dalam penulisan beberapa literatur dan beberapa
pengamat yang dirujuk dalam penulisan buku ini selalu menggunakan
istilah Piracy secara umum yang dimana didalamnya mencakup juga
aksi
armed
robbery.
Penulisan
seperti
ini
biasanya
hanya
menekankan aspek-aspek penanganan dari aksi kejahatan tersebut
secara teknis dan umum, sehingga mengabaikan aspek hukum yang
melatarbelakangi aksi-aksi tersebut.
Pada kenyataannya, kerancuan penggunaan istilah antara
piracy dan armed robbery against ships yang dibedakan berdasarkan
faktor di mana tindak kejahatan di laut dilakukan (locus delicti) tidak
menghilangkan adanya masalah serius tentang tindak kejahatan
terhadap kapal-kapal di perairan Selat Malaka dan Selat Singapura
yang perlu diatasi bersama. Namun demikian, perbedaan definisi ini
menjadi permasalahan yang cukup rumit bagi negara-negara pesisir
Selat
Malaka
dan
Selat
Singapura,
terutama
dalam
rangka
menegakkan hukum di wilayahnya. Perbedaan ini pula yang
21
menyebabkan data-data yang dikeluarkan oleh IMB, IMO dan otoritas
kelautan suatu negara tidak ada keseragaman. Perbedaan definisi
dan data-data ini dikhawatirkan akan menimbulkan gambaran yang
tidak akurat dan akan melahirkan kesimpulan dan solusi yang kurang
tepat.
Menurut Jayant Abhyankar, perompakan di laut sendiri dapat
dikelompokan dalam empat jenis kategori17:

Asian Piracy, yaitu perompakan dilaut
dengan melakukan
pencurian barang-barang berharga, uang yang terdapat pada
kapal atau yang dimiliki oleh anak buah kapal. Perompakan jenis
ini banyak dilakukan di Selat Malaka dan Selat Singapura.

South American and West African Piracy,
yaitu perompakan
dilaut yang dilakukan dengan cara yang lebih brutal untuk
mendapatkan barang-barang berharga di kapal.

Perompakan yang dilatarbelakangi masalah politik. Perompakan
ini dapat berupa political piracy, atau berupa maritime terrorism
yang saat ini dikhawatirkan akan menjadi ancaman serius di
masa yang akan datang. Sedangkan Political Piracy, yaitu aksi
kejahatan di laut dengan tujuan mencari dana untuk membiayai
dan mendukung perjuangan ideologi dan politik mereka

Perompakan di laut dengan cara mengambil alih kapal dan
mengambil seluruh muatan kapal. Perompakan jenis ini juga
mulai dilakukan di perairan Asia Tenggara.
17
Jayant Abhyankar, “
Piracy, Armed Robbery and Terrorism at Sea in Southeast Asia: a Global and Regional
Outlook”
, Workshop on Maritime Security, Maritime Terrorism and Piracy in Asia, 23-24 September 2004.
22
Dalam
perkembangannya
banyak
faktor-faktor
yang
menyebabkan maraknya kegiatan aksi kejahatan di laut. Faktor-faktor
ini sedemikian kompleks karena saling berkaitan satu sama lain dan
melibatkan banyak pihak terkait. Adapun faktor-faktor utama tersebut
yang dianggap mempunyai peranan besar untuk memicu terjadinya
perompakan dan perampokan bersenjata di laut adalah:
-
Situasi ekonomi di kawasan sekitar
Situasi ekonomi di suatu kawasan, terutama kawasan
pesisir dapat berpengaruh pada perilaku dari kelompok-kelompok
masyarakat tersebut, terutama dalam hal bagaimana cara mereka
mempertahankan hidup. Masyarakat pesisir selama ini selalu
dikaitkan dengan kemiskinan, kurang berpendidikan, tradisional
dan hidupnya sangat tergantung dengan kondisi alam karena
rata-rata mereka hidup dengan memanfaatkan hasil laut atau
sebagai nelayan.
Sementara itu tidak jauh dari daerah mereka, berbagai
kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia yang membawa berbagai
jenis muatan berlayar melalui jalur-jalur yang dapat dikatakan
“
dikuasai”oleh masyarakat pesisir tersebut. Dengan didorong
dengan kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan dengan
latar belakang pendidikan yang rendah, hal ini pada akhirnya
menimbulkan suatu peluang untuk memperoleh jalan pintas dalam
upaya mempertahankan hidup.
Sebagai contoh, krisis ekonomi di Asia 1997-1998 telah
menjadi salah satu pemicu meningkatnya aksi kejahatan
di
kawasan Selat Malaka dan Selat Singapura. Sekelompok orang
23
tertentu berusaha mencari uang dengan berbagai cara termasuk
melakukan aksi kejahatan di laut. Hal ini terlihat kenaikan yang
cukup signfikan sejak tahun 1996 upaya-upaya aksi kejahatan di
perairan Asia.
-
Lemahnya kontrol pemerintahan terhadap permasalahan di
dalam negeri
Pemerintahan yang tidak dapat mengontrol permasalahan
dan perkembangan yang terjadi di dalam negerinya, akan
menimbulkan peluang bagi sekelompok orang untuk melakukan
tindakan sepihak yang menguntungkan dirinya. Kontrol ini dapat
secara efektif dilakukan apabila Pemerintah mempunyai political
will dan kemampuan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.
Karena dari sudut hukum tata negara, Pemerintah adalah badan
hukum publik yang bertugas melayani dan melindungi rakyat.
Sedangkan
masalah-masalah
publik
seperti
pemenuhan
kebutuhan pokok rakyat adalah merupakan tugas Pemerintah.
Masalah aksi kejahatan di laut yang terjadi saat ini, masih
dinilai sebagai aksi kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok
orang dengan dengan dilatar belakangi oleh masalah ekonomi.
Banyak diantara mereka
melakukan aksi-aksi ini hanya untuk
mempertahankan hidup dan mereka menganggap Pemerintah
tidak cukup memberi perhatian bagi kebutuhan mereka. Dalam
hal
ini,
ketidakmampuan
kewajiban-kewajiban
bijaksana
Pemerintah
melindungi
akan mendorong
untuk
kepentingan
sekelompok
melaksanakan
umum
masyarakat untuk
melakukan tindakan untuk kepentingan kelompoknya.
24
secara
Disinilah, diperlukan perhatian dan peranan yang besar dari
Pemerintah untuk dapat memberikan jalan keluar yang lebih baik
kepada masyarakatnya.
-
Rendahnya kemampuan para penegak hukum dan
sarana pendukungnya
Penegakan hukum di bidang maritim terdiri dari penegakan
hukum di laut, penegakan hukum di kapal dan penegakan hukum
di pelabuhan. Semua unsur tersebut seyogyanya saling terkait
satu sama lain dan lemahnya salah satu dari unsur penegakan
hukum tersebut dapat melemahkan sistem penegakan hukum di
laut
secara
keseluruhan,
sehingga
berakibat
memberi
kesempatan atau peluang aksi kejahatan di laut. Untuk itu, segala
kelalaian dari petugas pelabuhan, pengusaha kapal,
aparat
terkait serta tindakan kriminal dari para pelaku kejahatan di laut
seyogyanya harus dianggap suatu pelanggaran yang serius.
Rendahnya kemampuan para penegak hukum, baik yang
bertugas di darat maupun di laut, untuk mengamankan wilayah
laut
yang sangat luas merupakan peluang bagi para pelaku
kejahatan untuk lebih leluasa melakukan tindak kriminal. Selain itu
aksi-aksi kejahatan tersebut bukan hanya dilatarbelakangi tidak
adanya pengawasan dari aparat terhadap suatu wilayah, tetapi
juga karena tidak adanya penegakan hukum (law enforcement)
yang dilakukan secara profesional oleh para penegak hukum
tersebut terhadap para pelaku-pelaku aksi perompakan di laut
tersebut.
25
Rendahnya kemampuan para aparat hukum ini dapat dilihat
dan dinilai dari latar belakang individunya (latar belakang
pendidikan,
moral,
komitmen,
dll)
maupun
kelengkapan-
kelengkapan pendukung. Pada akhirnya, kelemahan kemampuan
para penegak hukum ini akan berdampak pada pendekatan yang
dilakukan oleh penegak hukum dalam hal tindakan pencegahan,
pengawasan maupun penindakan terhadap aksi-aksi kejahatan di
laut yang kadangkala tidak
sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Selain itu, kurangnya koordinasi antar penegak hukum
terkait menyebabkan lambatnya
penangkapan.
Kurangnya
tindakan pencegahan dan
koordinasi
juga
mengakibatkan
lamanya waktu yang diperlukan sejak laporan diterima sampai
dengan tindakan. Koordinasi dan kerjasama antar aparat terkait
ini sangat diperlukan mengingat perompakan di laut ini adalah
suatu bentuk kejahatan yang mempunyai lingkup luas bahkan
terkait tidak hanya
hukum nasional tetapi juga hukum
internasional, dan penanganannya juga melibatkan tidak saja
angkatan laut dan kepolisian, tetapi juga aparat di pelabuhan.
Sehingga kecepatan dan ketepatan dalam melakukan koordinasi
adalah sesuatu hal yang mutlak.
Dalam kasus penegakan hukum di perairan Indonesia,
apabila dibandingkan dengan luas wilayah perairan Indonesia
yang menjadi wilayah sasaran tugas pengamanan dan penegakan
hukum dilaut, maka tidak ada keseimbangan antara luas wilayah
dengan sarana dan prasarana yang ada. Sedangkan peralatan
26
yang dimiliki oleh para pelaku aksi kejahatan sudah sedemikian
majunya.
-
Lemahnya kerjasama negara-negara kawasan
Aksi
kejahatan
di
laut
dapat
dikategorikan
sebagai
kejahatan lintas negara, khususnya di wilayah-wilayah perairan
sempit seperti di Selat Malaka dan Selat Singapura. Dengan
mobilitas pelaku kejahatan yang sangat tinggi, serta target aksi
kejahatan di laut juga dapat dengan mudah berpindah dari satu
wilayah ke wilayah lainnya, bahkan antar negara. Hal ini
menjadikan aksi kejahatan ini tidak lagi dapat ditangani hanya
oleh satu negara, tetapi diperlukan suatu kerjasama dengan
negara di kawasan.
Ada kecenderungan bahwa para perompak memanfaatkan
keterbatasan aparat suatu negara dalam melakukan pengawasan
dan pengejaran, khususnya apabila pengejaran tersebut sudah
mengarah ke wilayah perairan negara lain. Sebagaimana
diketahui, pengejaran kapal-kapal patroli terhadap para pelaku
kejahatan di laut yang masuk ke dalam wilayah teritori negara
lain,
justru
akan
menimbulkan
protes
dari
negara
yang
bersangkutan, apabila dilakukan tanpa adanya koordinasi.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
pada
pelaksanaannya,
kerjasama secara konkrit negara-negara kawasan saat ini selalu
terbentur pada isu-isu yang terkait dengan kedaulatan dan isu
perbatasan. Dalam kondisi seperti ini, sangat diperlukan suatu
kerjasama tidak hanya dalam melakukan suatu pengawasan
terhadap aksi-aksi kejahatan laut, tetapi juga kerjasama dalam
27
melakukan koordinasi terhadap pengejaran di lapangan dan
penegakan hukum.
-
Lemahnya sistem hukum di bidang maritim
Selama ini persoalan penegakan hukum dan peraturan di
laut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan
konflik antar institusi dan aparat pemerintah, serta konflik
horizontal
antar
masyarakat.
Oleh
karenanya
dibutuhkan
perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin interaksi
antar sektor yang saling menguntungkan dan menciptakan
hubungan yang optimal.
Selain harus dapat menjamin interaksi dan terciptanya
koordinasi yang harmonis dan optimal, sistem hukum yang harus
ditegakkan saat ini seyogyanya tidak bisa lagi memandang para
pelaku kejahatan di laut merupakan tindakan kriminal biasa,
mengingat dampak yang diakibatkan dari aksi-aksinya tersebut.
Seyogyanya aksi kejahatan
di Selat yang sangat strategis ini
dikenai hukuman yang seberat-beratnya, karena tindakannya
akan membahayakan perekonomian dan keamanan negara.
Sebagai ilustrasi beberapa hukum nasional yang digunakan
dan dijadikan rujukan oleh Indonesia dalam penegakan hukum di
laut masih terjadi ketidak sinkronan satu sama lain18, selain itu
juga masih mengacu pada hukum Belanda (1939) yang tentunya
tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Peratuan perundang-
18
“
Peranan Polri dalam Menegakkan Hukum di Laut (Suatu Refleksi Pelaksanaan Hukum di Laut yang telah
dilakukan oleh Polri), makalah yang disampaikan pada Lokakarya Hukum Laut Internasional Deplu,
Yogyakarta, 13-15 Desember 2004.
28
undangan nasional yang dijadikan dasar dalam hal penegakan
hukum maritim adalah:
 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 Stbl
442 tentang Ketentuan-ketentuan Menegakkan Ketertiban dan
Keamanan dalam Daerah Laut RI.
 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Stbl No.
525/1935 tentang Kepolisian di Laut.
 Undang-Undang
No.
8
tahun
1981
Tentang
Kitab
UndangUndang Acara Pidana.
 Undang-Undang No 21 tahun 1992 tentang Pelayaran.
 Keppres RI No 65 tahun 1980 tentang Konvensi International
tentang Keselamatan Jiwa di Laut.
 Undang-Undang No 17 tahun 1985 tentang Hukum laut
Internasional (1982 United Convention on the Law of the Sea).
-
Kondisi Geografis
Kondisi geografis suatu wilayah dapat menjadi faktor
pemicu suburnya aksi-aksi kejahatan di laut. Para perompak
dalam melalukan aksinya tentunya telah mempertimbangkan dan
memperhitungkan sarana, sasaran serta tempat persembunyian
yang ideal.
Dengan kemampuan kapal yang terbatas yang
digunakan, tentunya para pelaku kejahatan akan memilih jalur
perdagangan yang sempit dan ramai, bukannya di perairan
lepas/terbuka. Sementara itu pulau-pulau yang tersebar, seperti
di Selat Malaka dan Selat Singapura, merupakan tempat yang
ideal untuk bersembunyi atau melarikan diri. Sehingga kehadiran
mereka setelah melakukan kejahatan akan sulit terdeteksi oleh
aparat.
29
3.2. Aksi Kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura
Sejak ratusan tahun silam aksi kejahatan di Selat Malaka dan
Selat Singapura telah ada dan tidak henti-hentinya mengundang
masalah bagi para penguasa pada saat itu. Namun demikian isu
keamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura belum menonjol
karena frekuensi aksi kejahatan laut masih dianggap relatif kecil dan
tidak
terlalu
signifikan.
Namun
sejalan
dengan
semakin
meningkatnya frekuensi pelayaran sejak tahun 1990, aksi kejahatan
di laut semakin meningkat. Kondisi ini yang menyebabkan pada
tahun 1991 dan 1992 negara-negara littoral States melakukan
kerjasama coordinated patrol di Selat Malaka dan Selat Singapura.
Kerjasama ini pada saat itu cukup efektif dalam menekan aksi-aksi
kejahatan di laut tersebut.
Seiring dengan berlakunya UNCLOS 1982 pada tahun 1994,
terjadi perubahan persepsi wilayah laut di Asia Tenggara dan juga
terjadi penambahan wilayah, yang sebelumnya 3 mil laut diukur dari
titik terluar menjadi 12 mil laut. Namun penambahan wilayah laut
yang diatur dalam UNCLOS 1982
ini tidak diikuti dengan
peningkatan kemampuan untuk melakukan penegakan hukum di laut
yang memadai terhadap aksi-aksi kejahatan tersebut yang sebagian
besar
dilakukan di dalam area 12 mil laut.19 Sehingga, hal ini
memberi konsekuensi meningkatnya aksi–aksi kejahatan di perairan
Asia Tenggara.
Berdasarkan data IMB yang mengartikan istilah perompakan
secara berbeda dengan istilah dalam UNCLOS 1982, hampir
19
Tamara Renee, op.cit
30
setengah dari aksi kejahatan di seluruh dunia yang dilaporkan
adalah terjadi Asia Tenggara dan jumlah laporan tersebut meningkat
dari 170 kejadian pada tahun 2002 menjadi 189 kejadian pada tahun
2003. Sebagian aksi kejahatan tersebut terjadi Selat Malaka dan
Selat Singapura, dimana antara tahun 2002 dan 2003 terjadi
peningkatan serangan perompakan di Selat Malaka yang cukup
signifikan sehingga Selat tersebut dianggap sebagai perairan yang
paling rawan terhadap aksi perompakan.
Sebagai gambaran oleh IMB, pada tahun 2002 telah terjadi
serangan perompak di Selat Malaka sebanyak 16 kali, sedangkan
pada tahun 2003 meningkat menjadi 28 kali. Sementara Selat
Singapura terjadi penurunan dari 5 kali menjadi hanya 2 kali.
Sedangkan pada pertengahan
pertama tahun 2004
aksi
perompakan di Selat Malaka sudah mencapai 20 kejadian, dan di
Selat Singapura 7 kejadian. Peningkatan pada paruh pertama tahun
2004 sebesar 33% dari tahun sebelumnya. Sementara itu,
perompakan yang terjadi di perairan Indonesia tercatat sebanyak
121 serangan pada tahun 2003, meningkat cukup tinggi dibanding
tahun sebelumnya yaitu 103 kejadian20.
Namun demikian, walaupun beberapa unsur-unsurnya (pasal
101 UNCLOS) terpenuhi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
sebagian besar aksi kejahatan di Selat Malaka dan Singapura ini,
sesuai dengan UNCLOS 1982, tidak dapat dikatakan sebagai
“
piracy”mengingat di Selat Malaka yang terbentang sepanjang 520
mil laut hampir tidak terdapat laut bebas. Perairan Selat Malaka
merupakan bagian dari wilayah perairan nasional yang tunduk pada
20
ICC-IMB, Piracy and Armed Robbery Against Ships Annual Report 2003 dan Report 1 January 2004-30 Juni
2004
31
kedaulatan negara-negara pesisirnya (littoral States), Indonesia,
Malaysia dan Singapura. Sedangkan untuk sebagian besar tindak
kejahatan yang terjadi di Selat Malaka yang akhir-akhir ini banyak
dimuat dalam pemberitaan, tulisan-tulisan dan IMB, istilah yang tepat
adalah “
armed robbery against ships”
, karena terjadi di laut teritorial.
Aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura dilakukan
dalam bentuk
pencurian isi kapal, pencurian kapal, pembunuhan
awak kapal, penyanderaan, dan penculikan awak kapal. Aksi-aksi ini
dilakukan tidak hanya pada saat kapal melintas tetapi juga terhadap
kapal yang
sedang berlabuh. Pola yang digunakan oleh pelaku
kejahatan di laut adalah menyerang kapal dengan naik ke dek kapal
di malam hari.
Mereka tidak hanya menyerang
kapal-kapal bermuatan kecil tetapi juga
kapal-kapal
tanker,
kargo,
bahkan
kapal-kapal yang bermuatan bahanbahan berbahaya. Dalam
beberapa
kasus political piracy, aksi-aksi tersebut
mencakup tindak kejahatan
terhadap
kapal-kapal dan penculikan terhadap
awaknya
untuk
kemudian
meminta
.....sebagian besar
tindak kejahatan yang
terjadi di Selat Malaka
yang akhir-akhir ini
banyak dimuat dalam
pemberitaan, tulisantulisan dan IMB,
istilah yang tepat
adalah “armed
21
uang tebusan dengan jumlah tertentu.
Antara Januari sampai Juni 2003, Selat
robbery
against ships”,......
Malaka berada pada posisi pertama
dalam hal terjadinya piracy dengan menggunakan senjata api (50,9%
dari jumlah global), posisi pertama atas insiden yang menggunakan
21
Disarikan dari berbagai sumber literatur mengenai aksi kejahatan dilaut di Selat Malaka
32
pisau (31,3% dari jumlah global) dan
juga
posisi pertama atas
insiden dengan menggunakan “
other weapon”l (23% dari jumlah
global).22
Dari gambaran di atas, International Maritime Bureau membuat
suatu laporan dalam bentuk tabel mengenai perbandingan jumlah
kejahatan laut di 4 wilayah (perairan Indonesia, perairan Malaysia,
Selat Malaka dan Selat Singapura) dimana untuk Selat Malaka dan
Selat Singapura menunjukan peningkatan kejadian yang cukup
signifikan pada tahun 2003-2004.
TABEL :
Aksi kejahatan di laut diparuh pertama tahun 2003 dan 2004
Wilayah
2003
2004
Perairan
64
50
Selat Malaka
15
20
Perairan
5
5
0
7
Indonesia
Malaysia
Selat
Singapura
Sumber : ICC-IMB, Piracy and Armed Robbery Against Ships Annual
Report 2003 dan Report 1 January 2004-30 Juni 2004
Sebagai gambaran, dibawah ini disampaikan beberapa kasus
aksi kejahatan laut yang terjadi di Selat Malaka dan sekitarnya:
22
Graham Gererd Ong, “
Ship Can Be Dangerous Too: Coupling Piracy and Maritime Terrorism in Southeast
Asia’
s Maritime Security Framework”
, ISEAS Working Paper: International Politics & Security Issues Series
No.1 (2004)
33
-
Pada bulan Juli 2003, sebuah upaya pembajakan terjadi 3 kali
berturut-turut di perairan Selat Malaka terhadap kapal tanker
bermuatan LPG, kapal tanker bermuatan gas, dan kapal tanker
bermuatan minyak.
Penyerang menembakkan senapan mesin,
namun berhasil digagalkan.
-
Pada tanggal 26 Maret 2003, terjadi serangan terhadap kapal
bernama Dewi Madrim, sebuah kapal yang mengangkut bahan kimia
berukuran kecil, di sebelah timur Propinsi Riau. Sekitar 10 orang
Perompak bersenjata api dan pisau menaiki kapal tersebut dan
memotong jalur komunikasi kapal tersebut, dan mengikat para awak
kapal.23 Para pelaku tersebut kemudian mengambil alih navigasi
kapal dan membawa kapal dengan kecepatan rendah. Setelah
beberapa saat para perompak tersebut meninggalkan kapal dan
membawa uang, peralatan dan barang-barang milik awak kapal.
-
Pada tanggal
8 April 2003, Kapal Trimanggada (Cargo) dalam
perjalanannya di Selat Malaka diapit oleh oleh 3 buah kapal motor
dan dipaksa untuk segera mematikan mesin. Para pelaku bersenjata
api tersebut kemudian menaiki kapal dan menyandera dan menculik
kapten kapal dan 1 orang krunya untuk kemudian meminta uang
tebusan kepada pemilik kapal.
-
Pada tanggal 5 Januari 2004, kapal Tanker Cherry 201 diserang
dan dibajak oleh
orang-orang bersenjata
di Selat Malaka. Para
pembajak kemudian menyandera 13 anak buah kapal. Setelah 1
bulan melakukan negosiasi, para pembajak kemudian menembak
mati 4 ABK, dan sisanya melompat ke laut.
23
Stefan Eklof, Op.Cit
34
3.3. Maritime Terrorism: Suatu Potensi Ancaman di Selat Malaka
dan Selat Singapura
Berdasarkan data dan analisa diatas, menunjukan bahwa Selat
Malaka dan Selat Singapura merupakan jalur perdagangan yang
sangat strategis tetapi sangat rentan terhadap gangguan-gangguan
dari ekternal maupun internal. Maraknya gangguan aksi bersenjata
terhadap kapal-kapal yang melintas, menunjukan bahwa sistem
pengamanan di wilayah tersebut sangatlah lemah. Apabila hal ini
tidak ditangani dengan serius maka dikhawatirkan dapat membuka
peluang bagi jaringan teroris melakukan aksinya di wilayah ini.
Negara-negara Asia Timur dan negara-negara Barat pada
umumnya masih sangat tergantung pada komoditi minyak dalam
menjalankan perekonomiannya. Permintaan dunia untuk komoditi ini
cenderung meningkat setiap tahunnya (peningkatan 2 juta barrel
untuk tahun 2004). Sebagian besar dari eksportir minyak adalah
negara-negara Timur Tengah. Dari semua jalur-jalur kapal di dunia,
Selat Malaka merupakan kemungkinan target yang paling vital bagi
teroris mengingat sepertiga jalur perdagangan dunia, termasuk
minyak melalui Selat tersebut.
Sebagai
gambaran,
apabila
terjadi
serangan
yang
mengakibatkan ledakan pada kapal tanker di Selat Malaka, maupun
Selat Singapura diperkirakan dapat memutuskan jalur perdagangan
tersebut dalam waktu yang cukup lama. Sejarah membuktikan
bahwa embargo minyak Arab pada tahun 1973 telah meningkatkan
harga minyak 3 kali lipat dan mengakibatkan gangguan terhadap
perekonomian global. Penutupan Selat ini juga akan memperpanjang
35
jalur pelayaran beberapa hari dengan alternatif melalui Selat Lombok
maupun Selat Sunda. Semakin tingginya resiko keamanan di laut
dan semakin panjangnya jalur pelayaran, sebagai konsekuensinya,
akan menambah biaya operasional maupun asuransi24.
Beberapa preseden sudah terjadi, bahwa kegiatan-kegiatan
terorisme yang terjadi akhir-akhir ini, sudah melakukan segala cara
demi tercapai kepentingan politiknya, antara lain penyerangan
terhadap gedung World Trade Centre di AS, peledakan bom di tepat
umum, pembajakan pesawat dan berbagai bom bunuh diri. Pada
tahun 2000 Al Qaeda juga telah melakukan serangan terhadap kapal
perang Amerika USS Cole di Yaman. Pada tahun 2002, Kapal tanker
Perancis, Limburg yang membawa minyak di perairan Yaman juga
diserang oleh sekelompok teroris dengan menggunakan kapal
bermuatan bahan peledak. Informasi mengenai rencana-rencana Al
Qaeda untuk menggunakan kapal laut sebagai media, atau target
aksi mereka juga diperoleh dari hasil investigasi mantan kepala
operasi Al Qaeda yang ditangkap di Yaman tahun 2002.
Walaupun pada
perkembangannya sampai saat ini belum
dapat dibuktikan keterkaitan langsung antara perompakan (piracy)
dan aksi terorisme, kemungkinan adanya kerjasama tersebut adalah
sesuatu yang
masuk akal. Para perompak, karena keahlian dan
pengalaman mereka,
dapat digunakan oleh para terroris untuk
membajak
untuk
kapal
kemudian
digunakan
melakukan
penyelundupan, atau dijadikan sebagai floating bomb. Mereka
24
Asia Times Online, “Malacca Strait: Target for Terror”
, 11 Agustus 2004
36
memanfaatkan lemahnya pengawasan keamanan di laut untuk
menyerang ke target-target yang telah ditentukan25.
Dalam kasus beberapa aksi kejahatan di laut yang dilakukan
oleh Moro National Liberation Front (MNLF) dan Abu Sayyaf di
wilayah perairan Philipina Selatan,
yang dikategorikan
sebagai
Political Piracy, menunjukan bahwa pelaku-pelaku aksi kejahatan di
laut tersebut tidak hanya dilakukan oleh individu atau sekelompok
orang saja tetapi juga dilakukan oleh jaringan-jaringan dari kelompok
yang lebih terorganisir dan mempunyai tujuan politik tertentu di suatu
negara.
Kelompok-kelompok tersebut
mempunyai kemampuan
membuat bahan peledak dan mempunyai pusat pelatihan bagi para
sukarelawannya. Berdasarkan fakta di atas, maka terlihat adanya
“
benang merah” antara maritime terrorism
dengan piracy/aksi
kejahatan di laut yang harus diwaspadai.
Piracy/armed robbery dan maritime terrorism sesungguhnya
mempunyai keterkaitan satu sama lain yang memiliki
persamaan
dan perbedaan yang mendasar, yaitu:

Keduanya melakukan tindakan kejahatan di laut dengan kapal
sebagai sasaran.

Keduanya mempunyai persamaan dalam hal modus operandi
yang digunakan.

Keduanya merupakan ancaman terhadap stabilitas ekonomi
dan politik di kawasan.
25
Michael Richardson, Op.Cit.
37

Piracy dan armed robbery dilatarbelakangi oleh masalah
ekonomi, sedangkan terrorism dilatar belakangi oleh masalah
politik dan ideologi.

Maritime terrorism diperkirakan mempunyai dampak yang lebih
luas dan besar dari pada piracy/armed robbery, karena salah
satu tujuannya adalah menarik
perhatian dunia, sehingga
semaksimal mungkin mengusahakan agar serangan-serangan
yang dilakukan dapat berakibat serius dan fatal.26 Sedangkan
aksi piracy/armed robbery cenderung dilakukan diam-diam dan
tanpa mengundang perhatian.27
Adapun serangan terorisme di laut dapat dilakukan dalam 2
bentuk
yaitu,
pertama, melakukan
serangan
terhadap
kapal
penumpang dan kapal kargo/tanker, dan yang kedua melakukan
serangan dari laut, termasuk menggunakan kapal terhadap targettarget di darat/pelabuhan.28
Kedua serangan tersebut tentunya
hanya dapat dilakukan apabila didukung dengan persenjataan dan
sistem komunikasi yang cukup canggih. Walaupun ancaman
terorisme di Selat Malaka dan Selat Singapura masih berupa
skenario-skenario
pengamatan
yang
dikembangkan
dari beberapa
dari
investigasi
dan
pakar dan sumber, Singapura dan
beberapa negara-negara pengguna Selat saat ini mengkhawatirkan
skenario tersebut dapat menjadi kenyataan,
terutama dengan
adanya jaringan teroris yang merupakan turunan dari Al Qaeda yang
disebut kelompok Jemaah Islamiyah
di wilayah Asia Tenggara.
Kekhawatiran ini semakin berkembang, seiring dengan berbagai
26
Ibid
Mark Valencia, The Politics of Anti-Piracy and Anti –Terrorism Responses in Southeast Asia, ISEAS 2004
28
Stefan Eklof, Op.Cit.
27
38
aksi-aksi terorisme di Indonesia dan semakin besarnya inisiatif dan
pengaruh AS di wilayah ini.
Mengingat Selat Malaka dan Selat Singapura mempunyai
kerentanan yang cukup tinggi terhadap
berbagai
aksi
dikhawatirkan
kejahatan
di
laut
kelemahan-kelemahan
Adanya “benang
merah”antara
pengamanan dan nilai strategis dari
maritime terrorism
kedua Selat ini akan dimanfaatkan oleh
dengan piracy/aksi
jaringan terorisme. Kondisi ini menjadi
kejahatan di laut yang
salah satu sebab AS dan beberapa
harus diwaspadai.
negara lainnya berupaya memperoleh
“
pembenaran” untuk
berpartisipasi
dalam pengamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura.
Pengamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura tersebut
tidak hanya dalam rangka pengamanan kawasan
terhadap
serangan terorisme, tetapi juga mencegah digunakan Selat sebagai
jalur penyelundupan atau transportasi bahan-bahan kimia yang
berbahaya yang digunakan oleh jaringan terorisme. Pakar terorisme
di Amerika, Asia dan Eropa telah memperingatkan bahwa dalam
melakukan tindakannya, teroris akan melakukan penyerangan
dengan menggunakan bahan kimia dan biologi yang berbahaya29.
Dalam kaitan ini, AS secara aktif memperkenalkan dan
mensosialisasikan konsep-konsep mulai dari tindakan pencegahan
sampai dengan tindakan yang lebih ekstrem, yaitu penggelaran
Angkatan Lautnya di wilayah ini. Beberapa konsep yang diajukan
29
Michael Richardson, Op.Cit.
39
tersebut adalah dalam rangka tindakan berusaha mencari dukungan
tentang konsep interdiksi di laut dalam rangka kebijakan nonproliferasi Weapon of Mass Destruction (WMD), dimana perlunya
dilakukan pemeriksaan terhadap kapal-kapal
dari negara-negara
tertentu. Untuk ini, pada bulan April 2004
AS telah pula
menggulirkan gagasan Regional Maritime Security Initiative untuk
kawasan Asia Tenggara dalam rangka menerapkan Proliferation
Security Initiative (PSI) dengan melakukan tukar menukar informasi
dan melakukan tindakan pengawasan, identifikasi dan pencegahan
kapal-kapal di laut teritorial maupun di laut internasional. Gagasan ini
awalnya akan memfokuskan pada wilayah Selat Malaka.30 Gagasan
ini
kemudian
dikaitkan
dengan
pernyataannya
mengenai
kemungkinan penggelaran Angkatan Laut AS di perairan Selat
Malaka (oleh Admiral Thomas Fargo)31. Dalam hal in, AS
berpendapat bahwa adanya kemungkinan dalam aksi “
perompakan”
(piracy), kapal laut akan digunakan sebagai living bomb untuk
menghancurkan kapal-kapal laut lainnya.
Dalam
perkembangannya,
Singapura
telah
menyatakan
persetujuannya terhadap gagasan AS di Selat Malaka tersebut.
Sedangkan Indonesia dan Malaysia menolaknya
dan beralasan
bahwa sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982, tanggung jawab
keamanan maritim Selat Malaka sepenuhnya merupakan tanggung
jawab bersama littoral States. Berbagai alasan dan keberatan
diwacanakan, termasuk argumentasi bahwa keberadaan kekuatan
AS di Selat Malaka justru dapat menyulut ekstrimisme dan militansi
gerakan terorisme. Namun demikian disadari bahwa, kerjasama
dengan AS atau pihak ketiga lainnya tetap diperlukan tidak hanya
30
31
Mark J. Valensia, Op.Cit.
“
Indonesia Menolak Tegas Bantuan AS Untuk Mengamankan Selat Malaka”
, Kompas Rabu, 14 April 2004
40
dalam upaya penangkalan aksi terorisme, tetapi juga aksi kejahatan
maritim lainnya, terhadap keamanan selat sepanjang hal itu sejalan
dengan Pasal 43 dan Pasal 100 UNCLOS. Bantuan atau kerjasama
tersebut dapat dilakukan dalam bentuk
bantuan peningkatan
kemampuan negara-negara pantai, pertukaran informasi/ intelijen,
dan bantuan dana.
3.4. Dampak Aksi Kejahatan di Selat Singapura dan Selat Malaka
a. Dampak Secara Politik
Kemajuan teknologi telekomunikasi dan transportasi telah
mendorong
perubahan
dalam
berbagai
aspek
kehidupan
manusia, dengan terbentuknya masyarakat dunia yang semakin
terbuka. Keterbukaan tersebut memberi peluang terjadinya
penetrasi terhadap informasi yang kurang tepat
atau kurang
akurat serta mempunyai sudut pandang yang berbeda sehingga
membentuk suatu opini atau pandangan, bahkan solusi yang tidak
sesuai dengan permasalahannya. Saling ketergantungan antar
negara atau bangsa
dalam berbagai bidang tidak jarang
berkembang menjadi suatu kompetisi yang ketat maupun dalam
hal perebutan pengaruh baik pada lingkup global maupun
regional.
Dalam
konteks strategis,
diperkirakan ancaman dan
gangguan terhadap kepentingan Indonesia di masa datang dapat
berupa
kejahatan lintas negara, terorisme dan bentuk-bentuk
kejahatan terorganisasi lainnya serta gangguan keamanan laut
seperti pembajakan dan perompakan32.
32
Buku Putih Departemen Pertahanan RI, 2003
41
Gangguan-gangguan
tersebut saat ini telah menjadi ancaman yang nyata bagi
Indonesia dan beberapa negara lainnya. Ancaman ini semakin
nyata bagi Indonesia mengingat selama ini kelautan Indonesia
tidak diadministrasikan berdasarkan sistem pemerintahan maritim
yang baik.
Saat ini masalah kejahatan maritim dan kekhawatiran
adanya aksi terorisme di Selat Malaka menjadi isu yang mulai
menjadi perhatian di dunia internasional. Berdasarkan data dari
IMB, Indonesia memang menjadi tempat yang paling banyak
terjadi perampokan di laut, khususnya di Selat Malaka dan Selat
Singapura. Bahkan isu ini menjadi berkembang dengan adanya
dugaan bahwa gerakan separatis di Aceh (GAM) menjadi salah
satu pelaku dari aksi-aksi kriminal di Selat Malaka tersebut33.
Kondisi ini menyebabkan semakin buruknya citra
mengenai
Selat
ketidakmampuan
Malaka
Indonesia
serta
direfleksikan
melakukan
pengamanan di laut teritoralnya, yang
Indonesia
sebagai
pengawasan
dan
pada akhirnya dapat
dimanfaatkan oleh negara tetangga dan negara di luar kawasan
untuk memperjuangkan kepentingan politis dan ekonominya di
kawasan tersebut.
Dalam
konteks
hubungan
antara
negara
pantai,
semaraknya aksi kejahatan di laut ini, dapat memicu suatu
hubungan yang kurang baik di antara mereka, mengingat kondisi,
latar belakang dan kepentingan yang berbeda di negara-negara
pantai tersebut. Hal ini dapat tercipta apabila suatu negara
menginginkan suatu tindakan yang tegas dan serius dalam
33
Mark J Valencia, Op.Cit.
42
penanganannya,
sementara
itu
negara
lain
mempunyai
keterbatasan dan kelemahan dalam melakukan penanganannya.
Kegagalan dalam menunjukkan komitmen yang serius dari salah
satu negara pantai dapat berakibat melemahnya semangat
kerjasama yang sudah terbentuk, dan pada akhirnya mendorong
adanya aksi sepihak dari negara-negara tetangga.
Kehadiran AS di kawasan ini, termasuk juga negara-negara
maju lainnya telah menunjukkan besarnya kepentingan mereka
terhadap stabilitas keamanan, politik dan ekonomi di kawasan ini.
Namun di sisi lain, kehadiran pihak ketiga tersebut, dengan alasan
ingin berpartisipasi dalam hal pengamanan di Selat Malaka dan
Selat Singapura tersebut, dapat menjadi suatu ancaman dalam
bentuk lain, terutama bagi negara-negara pantai.
Kehadiran
beberapa negara maju ini justru dapat menimbulkan kesan
ketidakmampuan
negara-negara
pantai
dalam
melakukan
kerjasama pengamanan di Selat dan dalam jangka panjang dapat
memancing pemikiran dan upaya-upaya dari pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mewujudkan kehadiran pihak-pihak selain
littoral states di Selat Malaka di masa yang akan datang.
Namun sesungguhnya kehadiran negara adidaya seperti
AS, di kawasan ini juga tidak akan menjamin terjadinya stabilitas
keamanan yang menyeluruh di kawasan ini. Kehadiran negara
adidaya tersebut justru akan dapat mengundang ancaman yang
lebih besar, yaitu ancaman terorisme. Sebagaimana diketahui, Al
Qaeda dan jaringannya selama ini telah menargetkan sasaransasaran yang menjadi kepentingan AS dan negara-negara
sekutunya seperti yang terjadi di beberapa tempat. Kehadiran
43
negara-negara adidaya tersebut justru dapat memecahkan
semangat kerjasama yang selama ini terbentuk di antara negara
pantai. Semakin besar perbedaan-perbedaan mendasar yang ada
diantara negara-negara pantai, semakin besar peluang negaranegara maju tersebut untuk ikut serta berpartisipasi dalam
melakukan penegakan hukum di kawasan tersebut.
Aksi kejahatan di laut
juga akan memperlemah stabilitas
politik dalam negeri suatu negara dimana apabila aksi kejahatan
di laut ini tidak segera diantisipasi, maka akan menciptakan
ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemerintahan suatu
negara,
tidak
hanya
oleh
masyarakat
tetapi
juga
dunia
internasional. Faktor penegakan hukum dalam hal ini, menjadi
sangat penting untuk menunjukkan wibawa hukum nasional tidak
hanya dimata masyarakat di dalam negeri tetapi juga di luar
negeri.
b. Dampak Secara Ekonomi
Dari
berbagai
literatur
mengenai
kemaritiman
dunia,
perairan (laut) nusantara (archipelagic waters) merupakan salah
satu primadona di muka bumi. Dengan garis pantai sepanjang
81.000 km dan terbentangnya landas kontinen yang begitu luas,
perairan Indonesia mempunyai potensi sumber daya laut hayati
dan nonhayati yang sangat besar. Dipandang dari segi estetika,
perairan Indonesia memiliki nilai yang sangat tinggi bagi
pariwisata bahari. Dari sisi ekonomi dan industri, perairan
Indonesia sangat menguntungkan bagi alur transportasi laut dan
44
daerah penangkapan ikan serta sumber daya laut lainnya yang
sangat menjanjikan.
Mengingat sebagian Selat Malaka
berada dalam lintasan
kelautan wilayah Indonesia, hal Ini berarti segala bentuk ancaman
atau gangguan yang terjadi di wilayah tesebut, berarti juga
merupakan ancaman terhadap keamanan dan stabilitas nasional
Indonesia. Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti pada Ulang Tahun Ke-30 Otorita Batam, 28
Oktober 2001, mengatakan, bahwa menjaga dan memanfaatkan
Selat Malaka bukan hanya sekadar menjaga kedaulatan negara.
Lebih dari itu, Selat Malaka mempunyai perspektif ekonomi
seperti kerajaan-kerajaan masa lalu, seperti kerajaan MalakaRiau-Lingga yang memanfaatkannya sebagai jalur perdagangan
ke berbagai belahan dunia. Jika wilayah-wilayah tersebut mampu
memanfaatkan Selat Malaka menjadi pusat-pusat pertumbuhan,
bukan tidak mungkin krisis ekonomi yang dialami Indonesia saat
ini akan teratasi.34
Dalam era otonomi daerah, propinsi-propinsi di Pulau
Sumatera yang mempunyai wilayah berbatasan dengan Selat
Malaka ataupun Selat Singapura akan sangat berpeluang
mengambil keuntungan dari faktor kedekatan tersebut, seperti
Batam, Bintan, dan wilayah
berkembang cukup pesat.
Riau lainnya, yang saat ini
Pelabuhan-pelabuhan di wilayah
tersebut, dalam jangka panjang telah dijadikan sebagai pelabuhan
bebas (free zone) dan dapat dijadikan alternatif
34
“
Selat Malaka di Tengah Ancaman”Kompas , Senin 24 Mei 2004
45
pelabuhan selain pelabuhan Singapura. Dengan demikian, ketidak
stabilan keamanan akibat gangguan para pelaku kejahatan di
Selat Malaka dan Selat Singapura, dikhawatirkan menghambat
pembangunan ekonomi di kawasan ini.
Dalam konteks yang lebih luas, ancaman ekonomi akibat
aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura dapat
mengganggu jalur energi dan perdagangan Asia. Asia saat ini
telah bangkit kembali setelah mengalami krisis di akhir abad 20.
Pembangunan ekonomi di Asia Timur dan
Asia Selatan
berkembang pesat diiringi dengan kebutuhan energi yang amat
besar. Sampai dengan 2020,
Asia akan mengkonsumsi dua
…. kehadiran pihak
kali labih banyak dari pada
ketiga di Selat Malaka
saat ini, sementara Amerika
dengan alasan ingin
Serikat akan mengkonsumsi
berpartisipasi dalam hal
25%
pengamanan di Selat
lebih
banyak
dari
kebutuhan saat ini. Sehingga
Malaka dan Selat
kebutuhan energi Asia akan
Singapura tersebut
sama
dapat menjadi suatu
energi
dengan
AS
kebutuhan
dan
Eropa.
Kebutuhan energi ini dapat
ancaman dalam bentuk
lain,
dalam bentuk gas, minyak,
batu bara yang dipasok dari
berbagai wilayah a.l. Timur Tengah dan Rusia, dimana sebagian
besar kebutuhan tersebut akan dibawa dengan menggunakan
transportasi laut.
46
Aspek
lain
yang
harus
diperhatikan
adalah
aspek
pencemaran lingkungan. Aspek pencemaran lingkungan ini juga
mempunyai nilai politis dan
ekonomi,
… Mengingat sebagian
karena
pencemaran
Selat Malaka berada
lingkungan
dalam lintasan kelautan
berdampak sangat luas dan
batas
wilayah Indonesia, hal ini
wilayah. Banyaknya
kapal
berarti segala bentuk
tanker
yang
ancaman atau gangguan
tanpa
mengenal
raksasa
melintasi Selat
dan
Selat
sempit
Malaka
dan
menimbulkan
yang terjadi di wilayah ini,
Singapura
yang
berarti juga merupakan
padat
ancaman terhadap
keamanan dan stabilitas
kerawanan
nasional Indonesia.
terjadinya tabrakan dan juga
dapat
dijadikan
target
peledakan oleh teroris. Segala tindakan aksi kejahatan atau
terorisme di laut yang berdampak pada kebocoran LNG/
tumpahan minyak akan mengancam lingkungan (environment) di
kedua
Selat
tersebut.
Tercemarnya
lingkungan
laut akan
merupakan bencana berkepanjangan bagi ekosistem di laut dan
lingkungan hidup yang memanfaatkan laut tersebut
aktifitas
ekonomi
termasuk
di daerah–daerah pantai yang berdekatan.
Dalam hal ini, pengelolaan lingkungan laut bukan saja berarti
melindungi perairan dari pencemaran laut seperti tumpahan
minyak namun juga meliputi koordinasi dengan berbagai pihak
agar perairan ini aman dari kemungkinan gangguan keamanan
(aksi kejahatan di laut, penyelundupan dan pencurian ikan) yang
sangat merugikan Indonesia.
47
Singapura, karena wilayahnya yang sangat terbatas, dapat
secara terpadu memfokuskan perhatiannya pada Selat Malaka
dan Selat Singapura, dimana perairannya yang dalam hanya
terdapat sumber daya laut dan juga dimanfaatkan sebagai
pelabuhan.
Sedangkan
baik
Indonesia
maupun
Malaysia
mempunyai wilayah perairan yang lebih luas, khususnya di Selat
Malaka, di mana selain terdapat sumber daya laut, juga
didalamnya terkandung sumber daya alam (minyak dan gas) yang
belum dieksploitasi.
Disamping itu, bagi Indonesia dan Malaysia
masih terdapat batas-batas laut yang belum ditetapkan secara
bilateral dan diakui secara internasional. Oleh karena itu
Indonesia dan Malaysia menganggap Selat Malaka tidak hanya
strategis sebagai jalur internasional tetapi juga strategis karena
berkaitan dengan kedaulatan dan hak berdaulat di wilayah
tersebut.
Dari berbagai ilustrasi dan penjelasan di atas, maka
peningkatan gangguan dan ancaman diatas akan memberikan
dampak negatif yang cukup serius bagi kedaulatan negara,
keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Apabila hal ini tidak
ditangani dengan tepat, kiranya dapat menjadi isu keamanan
nasional dan internasional.
48
BAB 4
KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENANGANAN AKSI
KEJAHATAN DI SELAT MALAKA DAN SELAT SINGAPURA
4.1. Penanganan
Aksi
Kejahatan
di
Selat
Malaka
dan
Selat
Singapura
Aksi Kejahatan di laut adalah salah satu dari isu-isu keamanan
non-tradisional pasca era perang dingin. Sebagaimana diketahui
bahwa isu-isu keamanan non tradisional merupakan bentuk aksi
kejahatan yang bersifat multi-dimensi dan mengancam keamanan
lebih dari satu negara, yang tidak dapat hanya diatasi dengan
pendekatan militer saja. Upaya penanganan dalam memerangi aksi
kejahatan di laut akan dapat dilakukan secara efektif apabila
penyebab
atau
faktor
pemicu
dari
tindakan
tersebut
dapat
diidentifikasi dan ditangani dengan tepat serta dilakukan secara
komprehensif dengan melibatkan stakeholders.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya sumber/akar
permasalahan aksi kejahatan di laut adalah berasal
dari adanya
permasalahan yang timbul dan berkembang di daratan. Wilayah laut
hanyalah tempat operasi kejahatan, sehingga dengan memfokuskan
peningkatan keamanan di laut dengan berbagai bentuk cara, tidak
akan berjalan efektif dan hanya akan bersifat sementara saja, jika
permasalahan pokok di daratan tidak ditangani dengan baik.
Akar-akar permasalahan tersebut saat ini masih dihadapi oleh
Indonesia dan penanganannya sendiri masih belum dilakukan secara
menyeluruh,
karena masih adanya berbagai konflik kepentingan
sebagai akibat dari berbagai keterbatasan a.l. anggaran, infrastruktur
49
dan sumber daya manusia yang mengakibatkan penanganan yang
tidak maksimal. Dalam hal ini tentunya diperlukan komitmen yang
kuat dari Pemerintah dan aparatnya untuk menyelesaikan akar-akar
permasalahan tersebut.
Selain melakukan penanganan di dalam negeri, upaya-upaya
internasional dalam rangka melawan aksi kejahatan di laut juga perlu
dikembangkan. Upaya-upaya tersebut dapat dilaksananakan dalam
dua perspektif yaitu dalam kerangka hukum/konvensi internasional
dan dalam rangka kerjasama internasional. Dalam penanganannya,
terutama dalam melawan aksi kejahatan
di Selat Singapura dan Selat Malaka,
implementasi
dari
kedua
tersebut memerlukan
politik
dari
perspektif
suatu inisiatif
negara-negara
pantai.
Inisiatif politik ini sangat diperlukan untuk
memberikan
dukungan
pelaksanaan
terhadap
ketentuan-ketentuan
hukum internasional, baik yang telah
ada
maupun
yang
akan
dibentuk.
..bahwa
sesungguhnya
sumber/ akar
permasalahan aksi
kejahatan di laut
adalah berasal dari
adanya
permasalahan yang
Sementara itu, legal responses dari
timbul dan
semua pihak juga sangat diharapkan
berkembang
untuk
mengikat
komitmen-komitmen
di daratan
politik dari negara-negara tersebut pada
tahap implementasi. Kerjasama internasional dalam hal ini dapat
dilakukan
antar
negara,
badan/organisasi
perusahaan privat yang terkait.
50
internasional,
dan
4.1.1.Dalam Kerangka Konvensi Internasional
Selain diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 100-107,
ketentuan dan penanganan mengenai piracy juga telah
disampaikan oleh IMO dalam bentuk edaran (circular) kepada
semua negara anggota IMO. IMO telah menerbitkan sejumlah
edaran untuk membantu negara-negara dalam melakukan
pemberantasan terhadap aksi kejahatan di laut, yaitu:

Circular no. 622, Recomendations to Governments for
Preventing and Suppressing Piracy and Armed Robery
Against Ship, yang merekomendasikan:
- pembentukan national action plans;
- pengaturan
operasional
dan
infrastruktur
yang
dianggap perlu;
- sistem komando terpadu;
- manajemen yang efektif dan informasi yang akurat;
- rencana keamanan kapal;
- kegiatan patroli bersama;
- penyesuaian peraturan & hukum nasional untuk
- mengakomodasikan bentuk kerjasama ini.
Meskipun Circular 622 ini sangat berguna bagi negara
untuk menangani masalah ini, pada pelaksanaannya
tidak
akan
berjalan efektif tanpa
disertai dengan
kerjasama antar negara dan political will dari negaranegara tersebut untuk memberantas aksi kejahatan di
laut.
51

Circular no 984, Draft Code of Practice for the
Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery
Against Ship memberikan arahan /strategi untuk tujuan
penyelidikan
kasus-kasus
yang
berkaitan
dengan
perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal.

Circular No. 967, Directives
for Maritime Rescue
Coordination Center, memberikan pedoman kepada SAR
dan MRCC nasional mengenai bagaimana mengatasi
ancaman serangan piracy dan armed robbery.

Circular Note No. 623 Guidance to Shipowners and Ship
Operators, Shipmasters, and Crews on Preventing and
Suppressing Acts of Piracy and Armed Robbery Against
Ship. Edaran ini merupakan pengakuan IMO bahwa
industri perkapalan sangat memegang peranan dalam
melakukan
pencegahan
terjadinya
perompakan,
sehingga diharapkan dapat dilakukan kerjasama dengan
Pemerintah.
Namun demikian, walaupun Edaran-edaran ini telah
disampaikan
kepada
seluruh
anggota
IMO,
kekuatan
penerapan dari edaran-edaran IMO tersebut tergantung pada
konsistensi dari pelaksanaannya. Selain itu edaran-edaran ini
perlu ditindaklanjuti dengan ketentuan-ketentuan yang lebih
teknis.
Dalam pelaksanaannya, ketentuan UNCLOS
1982
dalam hal ini juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:
52
sesuai dengan Pasal 100, negara-negara diharapkan untuk
melakukan kerjasama dalam pemberantasan perompakan di
high seas atau wilayah lain diluar jurisdiksi dari suatu negara.
Dengan demikian, kerjasama internasional ini hanya dapat
diimplementasikan
di
laut
lepas
sedangkan
pada
perkembangannya, aksi kejahatan di Selat Malaka justru terjadi
di laut teritorial. Kelemahan lain dari UNCLOS 1982 adalah
struktur organisasi, dimana tidak adanya suatu badan atau
organisiasi
yang
didirikan
untuk
tujuan
memberantas
perompakan. Implementasi UNCLOS 1982 saat ini sangat
tergantung pada sistem kerja dan mekanisme IMO35.
UN General Assembly Resolution A/55/7 tanggal 30
Oktober 2000 juga telah menetapkan sebuah resolusi dimana
negara harus mengambil segala tindakan untuk bekerjasama di
tingkat regional termasuk untuk saling mendukung kegiatan
investigasi
dan
kerjasama
dengan
IMO
dalam
hal
penyampaian laporan kejadian. Resolusi ini juga mendorong
agar semua anggota PBB menjadi pihak pada Convention for
the Suppression of
Unlawful Acts Against the Safety of
Maritime Navigation (SUA Convention).
Secara umumnya SUA Convention menyatakan hal-hal
sebagai berikut36:
1. Negara-negara
yang
menjadi
pihak
setuju
untuk
bekerjasama dan menjamin bahwa individu-individu yang
melakukan pelanggaran tertentu yang membahayakan
35
John Mo, Options to Combat Maritime Piracy in Southeast Asea, Ocean Development & Internastional Law,
2002
36
SUA Convention 1988
53
pelayaran laut internasional akan ditangkap dan didakwa
bila individu-individu tersebut memasuki wilayah negara
manapun yang menjadi pihak konvensi.
2. Konvensi ini berisi daftar tindakan-tindakan yang dianggap
membahayakan keamanan navigasi, termasuk diantaranya
pengambilalihan kendali
kapal secara paksa maupun
dengan
melakukan
terhadap
ancaman
anak
atau
kapal37.
buah
tindakan
Konvensi
kriminal
ini
tidak
menyebutkan istilah piracy, tetapi hanya memperluas ruang
lingkup
punishable
offence,
termasuk
didalamnya
pembajakan kapal laut dan armed robbery.
3. Pelanggaran-pelanggaran
tersebut
diantaranya,
bila
seseorang secara melanggar hukum dan secara sengaja:
 menghentikan atau mengambil alih suatu kapal dengan
kekerasan atau jenis ancaman apapun atau dengan
bentuk intimidasi apapun, atau
 melakukan tindakan kejahatan terhadap seseorang di
atas
kapal
dan
bila
tindakan
tersebut
dapat
membahayakan keselamatan pelayaran kapal tersebut 38
4. Konvensi berlaku dimanapun tindak kejahatan dilakukan,
apakah di laut wilayah, perairan negara kepulauan, zona
ekonomi eksklusif, ataupun di laut bebas.
5. Negara-negara yang menjadi pihak dari konvensi diwajibkan
untuk melakukan peradilan terhadap pelanggaran yang
37
38
SUA Convention, Pasal 3
SUA Convention, Pasal 3
54
memang merupakan jurisdiksi peradilan negara dimaksud,
bila pelanggaran dilakukan:
 terhadap atau di atas suatu kapal negara tersebut,
 di dalam wilayah atau laut wilayah negaranya,
 oleh seseorang berkebangsaan negaranya,
 oleh seseorang yang berada di wilayah negaranya.39
6. Bila para pelanggar berada di wilayahnya, negara pihak dari
konvensi
wajib
menyerahkan
mendakwa
melakukan
para
para
penahanan
pelanggar
pelanggar
di
ke
negara
pengadilan
dan
lain
dapat
atau
negaranya
sendiri.40
7. Konvensi
mempunyai
ketentuan-ketentuan
yang
memudahkan penyerahan seseorang yang telah melakukan
pelanggaran terhadap konvensi dari satu negara ke negara
lain walaupun tanpa adanya perjanjian ekstradisi antara
kedua negara41.
8. Negara yang menjadi pihak konvensi diwajibkan untuk
mengadakan kerjasama satu sama lain dalam penanganan
proses hukum dari tindak kejahatan tersebut42.
9. Negara yang menjadi pihak pada konvensi juga diwajibkan
untuk
bekerjasama
dalam
upaya
pencegahan
tindak
pelanggaran seperti yang tertera di dalam konvensi,
terutama dengan cara:
39
SUA Convention, Pasal 6
SUA Convention Pasal 7 dan 10
41
SUA Convention, Pasal 11
42
SUA Convention, Pasal 12
40
55
 mengambil
tindakan
yang
dianggap
perlu
untuk
mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran di dalam
maupun di luar wilayahnya, dan
 saling tukar menukar informasi dengan cara yang diatur
oleh hukum nasionalnya dan melakukan koordinasi
maupun bentuk kerjasama lain yang perlu dilakukan
untuk mencegah terjadinya pelanggaran.43
Menghadapi kelemahan ketentuan UNCLOS 1982 dalam
mengantisipasi penyerangan terhadap kapal-kapal di Selat
Malaka dan Selat Singapura, SUA Convention dalam hal ini
dapat dijadikan rujukan untuk melakukan antisipasi terhadap
kemungkinan aksi-aksi penyerangan terhadap kapal laut
apabila negara-negara kawasan atau pun littoral states menjadi
pihak pada Konvensi ini.
Namun demikian, ketentuan SUA Convention dalam hal
ini juga mempunyai beberapa kelemahan.
SUA Convention
dianggap hanya memfokuskan aksi-aksi kejahatan di laut yang
berdampak pada keamanan navigasi internasional, antara lain
upaya aksi kejahatan terhadap kapal-kapal yang sedang
melintas, dimana pengambilalihan kontrol kapal oleh para
pelaku kejahatan dapat mengganggu lalu lintas laut di kawasan
tersebut.
Namun sebaliknya SUA Convention ini sulit
diterapkan pada aksi kejahatan terhadap kapal-kapal yang
berlabuh (anchorage) di wilayah teritorial suatu negara. Apabila
aksi kejahatan
di kapal-kapal tesebut
hanya melakukan
pencurian barang-barang berharga dari anak buah kapal
43
SUA Convention, Pasal 13
56
maupun muatan kapal, maka tentunya tidak memberikan
dampak secara langsung
apapun terhadap keamanan
navigasi di laut. Dalam hal ini tentunya hukum nasional negara
dimana kapal tersebut berlabuh yang harus diterapkan44.
4.1.2.Dalam
Kerangka
Kerjasama
Bilateral,
Regional
dan
Multilateral
Secara
khusus,
kerjasama
terdapat
meningkatkan
tiga
keamanan
prinsip
menyangkut
dan
keselamatan
pelayaran di Selat Malaka dan Selat Singapura yaitu (i)
tanggung jawab utama bagi keamanan dan keselamatan atas
Selat Malaka dan Selat Singapura berada pada littoral states
(Indonesia, Malaysia dan Singapura); (ii) ada peran bagi
semua stakeholders dalam kerjasama mengenai keamanan
dan keselamatan maritim (negara pengguna, industri angkutan
laut
dan
organisasi
internasional);
dan
(iii)
kerjasama
berdasarkan konsultasi dan sesuai dengan ketentuan Hukum
Internasional45. Kerjasama internasional untuk meningkatkan
keamanan dan keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan
Selat
Singapura
dilakukan
dengan
tetap
menghormati
kedaulatan dan integritas teritorial littoral states.
Dalam
kerangka
kerjasama
internasional
tersebut,
Singapura, Indonesia dan negara-negara pantai lainnya secara
bersama-sama telah menjalin kerjasama baik dalam lingkup
kecil (bilateral/trilateral) maupun dalam lingkup yang lebih luas
44
John Mo, Options to Combat Maritime Piracy in Southeast Asea, Ocean Development & Internastional Law,
2002
45
Pidato pembukaan oleh Mr. Teo Chee Hean, Menteri Pertahanan Singapura, pada Pertemuan ASEAN
Regional Forum, “
Regional Cooperation in Maritime Security, 2-4 Maret 2005 di Singapura.
57
(ASEAN atau dengan negara diluar kawasan). Adapun bentukbentuk kerjasama tersebut antara lain:
 Memorandum of Understanding on Port State Control in the
Asia-Pacific Region (Tokyo MoU). MoU ini secara politis
mendorong kerjasama dan harmonisasi antar port state
untuk meningkatkan keamanan di laut serta melindungi
lingkungan laut. Namun MoU ini tidak mengikat secara
hukum, sehingga dibutuhkan komitmen politik
yang kuat
dari negara-negara penandatangan, termasuk Indonesia,
Malaysia dan Singapura untuk melaksanakannya.
 ASEAN tetap menjadi salah satu pilar pendekatan ketiga
negara
dalam rangka menjaga keamanan maritim Asia
Tenggara. Dalam hal ini, negara-negara ASEAN sangat
menyadari
bahwa
kestabilan
kawasan
akan
sangat
tergantung pada kestabilan aspek politik, ekonomi, sosbud
dan keamanan. Namun dalam aspek kestabilan keamanan
kawasan, negara-negara ASEAN masih memerlukan waktu
untuk mengevaluasi kembali
komitmen dan strategi
kerjasamanya, khususnya untuk masalah keamanan di laut
ini, mengingat masih banyaknya perbedaan kepentingan
diantara negara-negara anggota. Adapun komitmen hukum
dan politik yang
telah dilakukan oleh negara-negara
ASEAN adalah:
- Kerjasama maritim antara negara-negara ASEAN telah
dinyatakan dalam KTT ASEAN 2003 dan ditegaskan
kembali pada Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di
58
Jakarta
2004,
yang
menyatakan
bahwa
“
maritim
cooperation is vital to the evolution of the ASEAN
Security Community”
- The ASEAN Declaraction on Transnastional Crime.
Deklarasi ini merupakan kesepakatan dari negara-negara
ASEAN
untuk
memperkuat
kerjasama
regional
menghadapi terorisme, penyelundupan, pencucian uang,
dan peredaran obat bius.
-
Manila Declaration on the Prevention and Control of
Transnastional
Crime.
Deklarasi
ini
bertujuan
mengembangkan strategi dalam rangka memberantas
organisasi kriminal dan jaringannya, di mana masingmasing negara ASEAN didorong untuk segera mengkaji
ulang, mengharmonisasikan dan menciptakan peraturanperaturan dan melakukan penegakan hukum.
-
The ASEAN Plan of Action to Combat Transnational
Crime
yang
ditetapkan
pada
pertemuan
Menteri
Kehakiman ASEAN, Mei 2002,
-
Dalam rangka menciptakan hubungan yang kuat di
antara
negara
ASEAN, maka
dibentuklah
ASEAN
Community yang terdiri dari ASEAN Security Community,
ASEAN
Economic Community, dan ASEAN Socio-
Cultural Community. Dalam konsep ASEAN Security
Community (ASC) ini diharapkan dapat tercipta suatu
keamanan kawasan yang komprehensif dan terpadu,
59
dimana dalam salah satu butir dari plan of action dari
ASC tersebut negara-negara ASEAN sepakat untuk
meningkatkan
kerjasama
pada
masalah-masalah
keamanan non-traditional dan keamanan maritim.
-
ASEAN juga telah mengadakan kerjasama di bidang
keamanan laut dengan Uni Eropa melalui ASEAN-EU
Experts Group Meeting on Maritime Security. Adapun
tujuan dari pertemuan ini adalah forum tukar pikiran
antara penegak hukum dan aparat terkait dalam hal
masalah maritime security.
-
Kerjasama
ASEAN-AS:
“
Joint
Declaration
for
Cooperation to Combat International Terrorism”
, Agustus
2002, yang kemudian ditindaklanjuti dengan lokakarya
ASEAN-AS tentang “
Joint Workshop on Enhancing
Maritime Anti-Piracy and Counter Terrorism Cooperation
in the ASEAN Region”
, April 2004. ASEAN dan AS dalam
hal ini akan membentuk skema kerja anti terorisme di
mana AS akan membantu melindungi pelayaran di Selat
Malaka dan berbagi informasi intelijen
-
Selain mengadakan pertemuan-pertemuan rutin
membahas
yang
kerjasama regional dalam hal keamanan
maritim, ASEAN dan negara mitra yang tergabung dalam
ARF telah menandatangani Statement on Cooperation
Against Piracy and Other Threats to Maritime Security.
60
 Singapura dan Indonesia mempunyai pengaturan bersama
(1992) untuk melakukan patroli terkoordinasi dan hot pursuit
guna memerangi piracy dan armed robbery di laut. Namun
pada perkembangan terakhir mengenai hal ini, Indonesia
berkeinginan untuk memperluas konteks kerjasama ini baik
dari sisi pihak-pihak terkait (seperti Bea Cukai) maupun
wilayah
yang
dicakup
dalam
melakukan
patroli
terkoordinasi. Singapura sampai saat ini belum menanggapi
usulan tersebut.
 Dalam skema kerjasama patroli terkoordinasi, Singapura,
Indonesia
dan
Malaysia
telah
melakukan
patroli
terkoordinasi secara teratur di Selat Malaka dan Selat
Singapura
untuk
meningkatkan
pengamanan
di
jalur
transportasi laut terpadat di dunia itu. Dalam kerjasama
patroli terkoordinasi itu,
masing-masing
negara
akan
memberikan informasi tentang kejadian-kejadian yang ada
di Selat Malaka secara real time. TNI/Angkatan-Laut sejak
Juli 2004 telah melakukan patroli terkoordinasi dengan
Angkatan Laut Malaysia dan Singapura di perairan Selat
Malaka dalam upaya mengantisipasi dan membasmi para
perompak laut dan teroris. Kerjasama ini masih dianggap
belum efektif karena masing-masing angkatan laut belum
dapat leluasa melakukan pengejaran, terutama
apabila
pengejaran tersebut masuk ke wilayah negara lain.
 Dalam kerangka “
Regional Cooperation Agreement on
Combating Piracy and Armed Robbery against Ship in Asia”
yang melibatkan negara-negara ASEAN, Korsel, Jepang,
61
India, Bangladesh, Srilanka, dan China,
telah disepakati
perlunya dibentuk suatu Information Sharing Center (ISC).
ISC ini adalah suatu pusat informasi yang bertujuan untuk
saling tukar menukar informasi mengenai hal-hal yang
berkaitan
dengan
aksi
kejahatan
di
perairan
Kerjasama yang disponsori oleh Jepang ini,
Asia.
merupakan
salah satu bentuk perhatian yang besar dari user states
terhadap keamanan laut di Asia yang menjadi jalur-jalur
perdagangan mereka. Namun dalam perkembangannya,
pada pertemuan tanggal 11 Nopember 2004 di Tokyo,
setelah melalui proses perdebatan yang panjang, telah
diputuskan secara voting bahwa Singapura menjadi tuan
rumah Information Sharing Center. Dalam hal ini Indonesia
sangat keberatan dengan cara pengambilan keputusan
tersebut karena tidak dilakukan secara konsensus. Namun
demikian
hal ini tidak mengurangi komitmen Indonesia
untuk tetap menjaga kemananan di Selat Malaka bersama
littoral states lainnya.
 Setelah terjadinya serangan 11 September 2001, IMO telah
mengeluarkan International Ship and Port Security (ISPS)
Code dan mulai berlaku 1 Juli 2004. ISPS Code merupakan
ketentuan yang komprehensif dan wajib dipenuhi dalam
pengoperasian
kapal
dan
pelabuhan.
Ketentuan
ini
bertujuan membentuk suatu sistem yang standard dan
konsisten dalam hal mengantisipasi resiko dan memastikan
bahwa
tindakan
semua negara anggota telah melakukan segala
pencegahan
kegiatan-kegiatan
ilegal
yang
membahayakan keamanan baik di kapal maupun di
62
pelabuhan. Semua kapal/pelabuhan diwajibkan memenuhi
persyaratan a.l. adanya ship/port security plans, ship/port
security officers, dan peralatan-peralatan tertentu yang
harus tersedia, persyaratan komunikasi antara kapal dan
pelabuhan, standar dan prosedur keamanan kapal dan
pelabuhan serta melakukan pelatihan mengenai prosedur
dan rencana keamanan. Namun demikian
permasalahan
yang akan dihadapi adalah pelaksanaan dari ISPS Code ini
tergantung dari kesungguhan dari aparat yang berwenang
dari
masing-masing
melaksanakan
dan
negara
untuk
mematuhi
secara
ketentuan
konsisten
yang
telah
ditetapkan.
 Masih menyangkut peran IMO, Indonesia akan menjadi tuan
rumah dan sekaligus sebagai co-sponsor bersama-sama
dengan
IMO
dalam
penyelenggaraan
pertemuan
internasional yang direncanakan pada September 2005
untuk membicarakan cara-cara meningkatkan keamanan,
keselamatan dan proteksi lingkungan laut di Selat Malaka
dan Selat Singapura.
Selain
adanya
internasional,
untuk
upaya-upaya
melalui
kerjasama
Pemerintah Indonesia juga telah berupaya
melakukan
pembenahan
dan
penyesuaian
agar
kerjasama-kerjasama internasional tersebut dapat berjalan
efektif. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan mengkaji
kemungkinan pembentukan Coast Guard dimana prosesnya
saat
ini
masih
dalam
proses
pembahasan.
Selama
pembahasan pembentukan institusi ini belum terbentuk, telah
63
dilakukan peningkatan koordinasi melalui penyempurnaan
BAKORKAMLA yang dibentuk pada 19 Desember 1972.
Penyempurnaan
BAKORKAMLA
ini
diharapkan
dapat
mensinergikan upaya pengawasan dan penegakan hukum
nasional secara terpadu oleh instansi Pemerintah. Indonesia
juga telah membentuk Pusat Komando dan Pengendalian
(Puskodal) di Batam, yang dilengkapi dengan Unit Anti
Perompak.46
4.2. Hambatan-Hambatan Dalam Pemberantasan Aksi Kejahatan di
Selat Malaka dan Selat Singapura
Indonesia, Singapura dan Malaysia telah berupaya baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama melakukan koordinasi untuk
menekan dan memberantas perompakan di kedua selat tersebut.
Berbagai upaya seperti patroli bersama, latihan bersama antar
aparat keamanan telah dilakukan secara berkala. Namun demikian
ada beberapa hambatan yang perlu diperhatikan sebagai berikut:
a.
Adanya konflik antara kepentingan publik dan kepentingan
privat
Kepentingan publik yang diatur oleh negara dalam hal
penanganan aksi kejahatan di laut atau dalam melindungi
keselamatan dan keamanan
kapal serta penumpangnya
seringkali tidak efektif atau bertentangan dengan kepentingan
privat dari individu atau pelaku di industri perkapalan. Dalam
rangka penegakan hukum untuk penanganan aksi kejahatan
di laut, prosesnya dipandang berbelit-belit dan membutuhkan
biaya besar, terutama dari sisi pemilik kapal, pemilik barang
46
Kerjasama ASEAN dalam meningkatkan Keamanan di Laut Dengan Memerangi Pembajakan dan
Perompakan, Ditjen Kerjasama ASEAN, Departemen Luar Negeri 2003
64
maupun perusahaan asuransi. Untuk itu pihak-pihak tersebut
pada akhirnya berupaya menghindari proses hukum yang
berkepanjangan sehingga menyulitkan aparat untuk melakukan
law enforcement. Demikian juga dalam
hal penerapan
persyaratan kelengkapan kapal yang harus dipenuhi oleh para
pengusaha
kapal,
sering
diabaikan
dengan
alasan
membutuhkan biaya yang cukup besar. Sementara itu, untuk
melindungi diri dari serangan pelaku kejahatan di laut, para
pemilik kapal juga mengharapkan agar awak kapal mereka
dapat dipersenjatai, padahal disisi lain tindakan tersebut justru
akan menimbulkan masalah keamanan di teritori suatu negara.
b.
Adanya konflik prioritas kepentingan publik suatu negara
Negara-negara pantai dalam hal ini sangat menyadari
ancaman-ancaman yang berasal dari aksi kejahatan di laut,
sehingga mereka dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan
guna melindungi kepentingan mereka, antara lain peningkatan
sumber daya manusia dan sarana yang belum mendukung
untuk melakukan pengawasan dan pengamanan di wilayah
laut, termasuk
jumlah dan kondisi kapal-kapal pengawas
pantai serta kesiapan dari para aparat di pelabuhan dalam
melakukan kontrol terhadap kapal-kapal yang melintas.
Kondisi
ini sangat membutuhkan biaya yang cukup
besar, sementara masing-masing negara mempunyai prioritas
penanganan isu-isu nasional
yang berbeda sesuai dengan
anggaran yang tersedia. Sehingga
untuk beberapa negara
tertentu, tuntutan untuk melakukan pengamanan, baik di dalam
atau di luar wilayah perairannya menjadi beban yang cukup
65
berat, karena masih adanya kepentingan lain yang lebih
mendesak.
c.
Konflik kepentingan antar littoral states
Dalam hal penanganan
Selat Malaka dan Selat
Singapura, Singapura Indonesia dan Malaysia, mempunyai
kepentingan yang berbeda. Konflik ini dapat ditimbulkan karena
masih adanya rasa tidak percaya atau kecurigaan diantara
negara-negara tersebut atau adanya perbedaan dalam skala
urutan prioritas mengenai penyelesaian masalah tersebut.
Sedangkan pertentangan antara negara-negara pantai
dan negara pengguna (user states) juga menjadi penghambat
kerjasama
penanganan
masalah
keamanan
ini.
Dalam
hubungan ini, user states mengedepankan faktor kebebasan
navigasi melalui laut, termasuk Selat Malaka sebagai strait
used for international navigation dan negara-negara pantai
yang
berpendirian
bahwa
kebebasan
pelayaran
tanpa
pembatasan hanya akan mengkompromikan kepentingan
keamanan nasional dan mengancam lingkungan maritim
mereka.
Walaupun sudah berlangsung lama, masalah keamanan
di Selat Malaka dan Selat Singapura saat ini belum terlalu
dianggap sebagai isu global, dibandingkan dengan isu-isu lain
seperti: terorisme, penghancuran senjata pemusnah massal,
wabah SAR atau AIDS. Semakin intensnya pembahasan
mengenai Selat Malaka dan Selat Singapura saat ini sematamata karena semakin meningkatnya ancaman terorisme dan
66
kekhawatiran terjadinya maritime terrorism. Selain itu, dampak
dari aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura ini
belum terlalu dirasakan sebagai kerugian besar oleh negaranegara pengguna jalur laut.
Isu kedaulatan di laut dan perbatasan bagi masingmasing littoral states masih sangat menonjol, sehingga
kerjasama pengamanan di laut menjadi tidak berjalan secara
efektif. Selain itu, Indonesia, Singapura dan Malaysia masih
perlu menyepakati garis batas di beberapa wilayah tertentu di
Selat Malaka dan Selat Singapura.
d.
Konflik antara kewajiban internasional suatu negara dan
kepentingan nasional.
Belum adanya persamaan definisi mengenai “
piracy”
,
sehingga menyulitkan penanganan oleh masing-masing negara
terhadap masalah ini. Pada akhirnya baik negara-negara
pantai maupun negara pengguna selat
mempunyai sudut
pandang yang berbeda mengenai penanganannya, termasuk
penanganan aksi kejahatan
yang terjadi di laut teritorial.
Akibatnya kewajiban internasional untuk melakukan keamanan
dan keselamatan wilayah Selat juga diartikan berbeda satu
sama lain.
Indonesia dan Malaysia belum menjadi pihak pada
Convention for the Suppresion of Unlawful Acts Against the
Safety of Maritime Navigation (SUA), walaupun PBB sudah
mengeluarkan Resolusi agar negara-negara anggotanya ikut
serta pada keanggotaan Konvensi ini. Sedangkan Singapura,
67
dan beberapa negara ASEAN lainnya telah menjadi pihak pada
SUA Convention ini. Indonesia dan Malaysia saat ini tetap
berposisi bahwa pelaksanaan ketentuan UNCLOS 1982, belum
secara
maksimal
melakukan
diterapkan,
pengamanan
mengembangkan kerjasama
negara-negara pengguna Selat.
68
di
terutama
dalam
konteks
Selat,
yaitu
dengan
antara
littoral states dengan
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, terlihat
bahwa Selat Malaka dan Selat Singapura mempunyai nilai yang
sangat strategis bagi littoral states dan negara-negara pengguna
kedua selat tersebut. Demikian pula dengan masalah keamanan
Selat Malaka dan Selat Singapura telah mendapat perhatian yang
cukup luas dari masyarakat internasional, terutama setelah
terjadinya serangan 9/11 dan beberapa serangan teror lainnya
yang membuat ancaman di laut tidak hanya berupa tindakan aksi
kejahatan di laut tetapi kemungkinan juga dapat berupa maritime
terrorism. Dengan berbagai bentuk ancaman aksi kejahatan di laut
tersebut, Selat Malaka dan Selat Singapura saat ini menjadi
wilayah yang cukup rawan bagi industri perkapalan, eksportir,
importir, industri asuransi, dan pengakutan laut. Ancaman ini
dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas tidak hanya di kawasan
ini, tetapi juga stabilitas politik dan ekonomi bagi littoral states dan
user states.
Walaupun sudah banyak perangkat hukum maupun bentuk
kerjasama yang bertujuan melindungi dan menangani keamanan
di Selat Malaka dan Selat Singapura dari aksi kejahatan di laut,
upaya tersebut dirasakan masih belum berjalan secara efektif. Hal
ini karena kerjasama baik antara littoral states maupun dengan
negara pengguna selat terlihat mempunyai muatan politis yang
perlu diatasi dan masih terlihat banyaknya kendala-kendala teknis,
non teknis serta dalam hal-hal tertentu, masih kurangnya
69
komitmen dari littoral states untuk mewujudkan dan melaksanakan
kesepakatan-kesepakatan hukum tersebut.
Kendala-kendala yang berkaitan dengan kerjasama tersebut
terdiri dari masalah internal di masing-masing negara dan juga
masalah pelaksanaan dari kerjasama antara negara baik antar
littoral states maupun kemungkinan kerjasama dengan negara
pengguna Selat. Masih kentalnya sensitifitas masalah kedaulatan
di laut, penentuan batas laut, serta hak-hak masing-masing littoral
states dalam pemanfaatan laut tersebut, yang belum terselesaikan
menimbulkan situasi dimana negara-negara tersebut cenderung
sangat berhati-hati dalam membangun suatu kerjasama yang lebih
luas dan komprehensif.
Sementara itu, penanganan-penanganan tersebut sampai
saat ini masih belum menyentuh akar permasalahan penyebab
dari maraknya aksi kejahatan di laut, yaitu masalah ekonomi.
Dengan mengedepankan pendekatan kemakmuran (prosperity
approach) yang diwujudkan melalui peningkatan pembangunan
sosial dan ekonomi yang berkesinambungan di daerah-daerah
pesisir
dan
perbatasan,
kiranya
hal
itu
akan
membantu
mengurangi aksi-aksi kejahatan di laut.
Oleh
karena
perangkat/instrumen
ditingkatkan
terlebih
itu,
sebelum
upaya
dikembangkannya
kerjasama antar negara, hendaknya perlu
dahulu
kondisi
dalam
negeri
berupa
koordinasi antara pihak terkait di Pemerintah Pusat maupun
Daerah, penegakan hukum dengan menerapkan hukum nasional
70
secara konsisten, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar wilayah Selat.
Walaupun belum ada bukti kuat mengenai keterkaitannya,
aksi terorisme di wilayah ini tetap dimungkinkan terjadi apabila
penanganan terhadap kejahatan laut di wilayah ini tidak segera
diantisipasi atau tidak tertangani dengan baik. Aksi kejahatan di
laut dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk
menjalankan misinya, mengingat keduanya mempunyai cara-cara
dan obyek yang relatif sama.
Indonesia
dan
Singapura
pada
dasarnya
mempunyai
persepsi yang sama mengenai pentingnya kedua Selat tersebut.
Bahkan keduanya sepakat untuk melakukan dan meningkatkan
kerjasama, termasuk kerjasama dengan negara-negara lainnya
untuk mengatasi masalah keamanan di Selat Malaka dan Selat
Singapura. Namun Indonesia dan Singapura mempunyai prioritas
dan persepsi yang berbeda terhadap cara penanganan di kedua
Selat tersebut. Perbedaan ini diakibatkan karena perbedaan
kondisi geografis, kondisi dalam negeri, jumlah sumber daya
manusia, kemampuan anggaran yang berbeda.
Indonesia merupakan negara dengan wilayah laut yang
sangat luas yang terdiri dari perairan kepulauan, laut teritorial dan
ZEE, jauh lebih luas dibandingkan dengan wilayah laut Singapura.
Perairan Selat Malaka merupakan sebagian kecil dari keseluruhan
luas perairan Indonesia yang perlu diamankan.
Sementara itu,
Indonesia tidak saja menghadapi kejahatan di laut, seperti piracy
atau armed robbery , tetapi juga illegal fishing, keamanan bagi Alur
71
Laut
Kepulauan
Indonesia,
penyelundupan
manusia,
penyelundupan senjata dan barang. Sehingga berdasarkan
kapasitas yang dimiliki dalam perbandingannya dengan cakupan
laut dan tantangan yang dihadapi, publikasi ketidakmampuan
Indonesia untuk menjaga keamanan Selat Malaka terlihat tidak
proposional.
Mengingat nilai kedua Selat ini sangat strategis secara
ekonomi dan politik, maka analisa mengenai adanya persaingan
secara politik dan ekonomi di Selat Malaka dan Selat Singapura
perlu
dicermati oleh
Pemerintah
Indonesia. Setiap
bentuk
kerjasama antar negara-negara pantai tersebut dapat berkembang
dalam suatu kompetisi dan perebutan pengaruh baik pada lingkup
global
maupun
regional.
Selain
itu,
upaya-upaya
untuk
menginternasionalisasikan tanggungjawab atas keamanan selat ini
hendaknya dapat dihindari. Meskipun tidak dipungkiri bahwa selat
ini merupakan jalur internasional, Indonesia, Malaysia dan
Singapura tetap mempunyai kedaulatan secara hukum atas
wilayah tersebut dan seyogyanya pengawasan dan pengamanan
selat ini merupakan tanggungjawab dari littoral states tersebut.
Dalam rangka menciptakan sebuah rejim, prinsip-prinsip,
dan norma serta peraturan dan prosedur dalam rangka menjawab
tantangan keamanan maritim, diperlukan penyesuaian satu sama
lain antara Indonesia, Singapura dan Malaysia. Membangun
kerangka kerjasama
baik secara politik maupun hukum yang
komprehensif adalah elemen yang sangat siginifikan
untuk
menciptakan keefektifan kerjasama di Selat Malaka dan Selat
72
Singapura. Untuk itu ada beberapa saran yang dapat dilakukan
antara lain:
 Secara ideal, negara-negara tersebut dapat mengikat diri
pada sebuah perjanjian sebagai dasar/payung kerjasama dan
diimplementasikan dengan beberapa kerjasama teknis untuk
menciptakan Selat Malaka dan Selat Singapura menjadi
wilayah yang aman dan kondusif.
 Ketentuan IMO dan resolusinya perlu segera dikaji dan
dipertimbangkan manfaatnya untuk diadopsi kedalam hukum
nasional
masing-masing
konvensi-konvensi
negara,
internasional
termasuk
yang
meratifikasi
berkaitan
dengan
kemanan dan keselamatan di laut.
 Memformulasi kebijakan bersama yang dapat mencegah dan
mengontrol serta menetralisir kegiatan transnational crime.
 Memperkuat
dan
melakukan
tindakan
pengawasan
di
pelabuhan-pelabuhan, terutama terhadap kapal-kapal yang
akan masuk, dan barang-barang yang diduga merupakan
hasil kejahatan.
 Memperberat hukuman bagi pelaku-pelaku kejahatan di laut
dengan dakwaan melakukan kegiatan yang mengancam
keamanan dan mengganggu perekonomian negara.
 Kemajuan teknologi komunikasi dan navigasi serta peralatan
keamanan di laut perlu ditingkatkan dan distandarisasikan.
73
Terutama untuk kapal-kapal ukuran kecil yang seringkali
menjadi sasaran tindak kejahatan di laut. Sistem keamanan
kapal dan peningkatan kemampuan Anak Buah Kapal juga
harus ditingkatkan.
 Indonesia, Singapura dan Malaysia perlu terus meningkatkan
level kerjasama patroli dari “
coordinated” patrol
memungkinkan
ketiga
negara
dapat
secara
guna
maksimal
melakukan pengejaran terhadap kapal-kapal pelaku kejahatan
di wilayahnya apabila kapal-kapal pelaku kejahatan tersebut
memasuki wilayah negara lain. Pengembangan kerjasama
yang lebih komprehensif, dengan melibatkan semua unsur
yang terkait (polisi, bea cukai, angkatan laut, dan pelabuhan)
kiranya merupakan upaya yang perlu terus dikembangkan
dimasa mendatang.
Kerjasama ini harus berangkat dari
persepsi bahwa Selat Malaka dan Selat Singapura adalah
kawasan yang menjadi tanggungjawab littoral states sebagai
jalur internasional. Namun mengingat Selat ini merupakan
Selat sempit dan isu batas maritim masih merupakan hal
yang cukup sensitif, dengan tetap menghormati kedaulatan
masing-masing negara, dalam mengadakan pengawasan dan
pengamanan kawasan ini
perlu adanya fleksibilitas
yang
tinggi dan saling koordinasi antar negara.
 Keterlibatan pihak luar, khususnya negara pengguna Selat,
telah diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 100 UNCLOS, dengan
demikian kerjasama keselamatan dan keamanan kedua selat
tersebut dapat dikembangkan dan dimaksimalkan, khususnya
bantuan dalam bentuk teknologi,
74
peralatan dan informasi,
sharing intelligence, latihan, dan peningkatan kemampuan
aparat terkait.
 Littoral States harus mengembangkan kerjasama tidak hanya
dengan organisasi maritim seperti IMB dan IMO, melalui tukar
menukar informasi tetapi juga meningkatkan kerjasama
dengan perusahaan pelayaran, terutama dalam memberikan
panduan dan informasi mengenai antisipasi aksi kejahatan di
laut, serta dengan perindustrian kapal, mengenai kelengkapan
standard yang harus dimiliki oleh kapal-kapal yang melintas di
Selat-selat tersebut.
 Mengenai pertemuan intenasional tentang Selat Malaka dan
Selat Singapura atas co-sponsor Indonesia dan IMO di
Indonesia
pada
September
2005,
untuk
kesuksesan
pertemuan tersebut, pertemuan itu harus memberikan hasilhasil yang dapat mengedepankan kepentingan dan menjawab
keprihatinan littoral states dan pada saat yang sama hasilhasil dimaksud dapat memberikan manfaat bagi negaranegara
ataupun
pihak-pihak
lainnya,
termasuk
negara
pengguna, industri angkutan laut dan organisasi internasional.
 Komitmen dan inisiatif untuk memberantas aksi kejahatan di
laut temasuk terorisme hendaknya timbul dan diupayakan
dari negara-negara ASEAN sendiri, khususnya littoral states.
Inisiatif yang berasal dari pihak luar tidak akan bertahan lama
dan hanya akan bersifat sementara karena kepentingan pihakpihak tersebut dapat berubah tergantung pada situasi dan
kondisi di kawasan.
75
76
77
Download