Agrowisata Dalam Upaya Konservasi Tanah dan Air Lilis Sudarmanah. Abstrak Lahan sebagai sumberdaya alam mempunyai peranan diantaranya sebagai penghasil komoditi pertanian dan kehutanan. Meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pokok telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan areal pertanian yang lebih luas dan diusahakan lebih intensif. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi Agroforestri merupakan sistem tersendiri dan bukan sekedar campuran tanaman pertanian-kehutanan-peternakan. Keberhasilan pemapanan agroforestri tergantung pada ketepatan memilih bentuk dan menentukan sasaran menurut kebutuhan setempat dan ketergabungannya dengan kebiasaan petani setempat. Ini berarti bahwa agroforestri merupakan suatu penyelesaian suatu penyelesaian baik menurut tempat maupun waktu. Agroforestri memiliki banyak manfaat Manfaat secara ekologi adalah dengan adanya sistem agroforestri diharapkan dapat memenuhi kaidah pengawetan tanah dan air. Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, kita bisa meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya. Agrowisata atau wisata pertanian merupakan sebuah alternatif untuk meningkatkan pendapatan dan menggali potensi ekonomi petani kecil dan masyarakat pedesaan. Saat ini, agrowisata semakin dikembangkan sebagai bentuk pelestarian lingkungan dan sumber daya lahan pertanian. Selain perkebunan menjadi sektor ekonomi yang dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat, perkebunan juga mampu menjadi daya tarik wisata bagi wisatawan. Kata kunci : Air, Erosi, kesuburan,tanah. wisata 1 A. Pendahuluan Wisatawan tidak hanya dapat melihat hamparan perkebunan, namun juga dapat melihat proses berkebun yang dilakukan oleh petani lokal. Bahkan tidak jarang beberapa agrowisata melibatkan wisatawan dalam proses perkebunan yang ada sehingga wisatawan dapat merasakan secara langsung kegiatan yang dilihat. Potensi objek wisata dapat dibedakan menjadi objek wisata alami dan buatan manusia. Objek wisata alami dapat berupa kondisi iklim (udara bersih dan sejuk, suhu dan sinar matahari yang nyaman, kesunyian), pemandangan alam dan sumber air kesehatan (air mineral, air panas). Objek wisata buatan manusia dapat berupa falitas atau prasarana, peninggalan sejarah dan budidaya, pola hidup masyarakat dan taman-taman untuk rekreasi atau olah raga. Objek agrowisata yang telah berkembang dan tercatat dalam basis data Direktorat Jenderal Pariwisata 1994/1995 terdapat delapan propinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Objek agrowisata umumnya masih berupa hamparan suatu areal usaha pertanian dari perusahaan-perusahaan besar yang dikelola secara modern/ala Barat dengan orientasi objek keindahan alam dan belum menonjolkan atraksi keunikan/spesifikasi dari aktivitas lokal masyarakat. Dalam latar belakang tersebut, maka dibuatlah makalah ini yang menjelaskan mengenai agroforestry dan agrowisata. 1. Pengertian Agroforestri Dalam Bahasa Indonesia, kata Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Agroforestry merupakan system penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadangkadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya (Huxley 1999). Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan 2 mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestri dalam mepertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Hairiah dan Utami 2002); (Subandi dan Humanisa, 2011). Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang- kacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dibahas di Jawa adalah tumpangsari. Sistem ini, dalam versi Indonesia, dikenal dengan “taungya” yang diwajibkan di areal hutan jati di Jawa dan dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman semusim diambil oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan semua pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani. Bila pohon telah menjadi dewasa, tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim karena adanya masalah naungan dari pohon. Jenis pohon yang ditanam khusus untuk menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja, sehingga akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati monokultur. 3 Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya kendala alam, misalnya tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di pantai Sumatera. Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah berpenduduk padat, seperti pohon-pohon randu yang ditanam pada pematangpematang sawah di daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau siwalan dengan tembakau di Sumenep–Madura. Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan ubikayu di antara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium). Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest (ICRAF, 1996). Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistim agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan „agroforest‟, yang biasanya disebut „hutan‟ yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta, 2000). Contohnya „hutan damar‟ di daerah Krui, Lampung Barat atau „hutan karet‟ di Jambi. Nair (1989) menyebutkan bahwa agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan dan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palma, bambu dan sebagainya) ditanam secara bersamaan dengan tanaman pertanian, dan/atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan didalamya terdapat interaksi ekologi dan ekonomi diantara komponen yang bersangkutan. Dalam praktiknya, pemanfaatan luas lahan yang terbatas memberikan inovasiinovasi pola yang secara bebas memberikan ruang pilihan kepada petani. Pola 4 agroforestri-tumpangsari menggunakan jenis-jenis yang mempunyai prospek pasar yang menjanjikan (Sabarnurdin et al. 2011) petani memiliki tujuan menanam, yaitu: petani memperoleh manfaat sosial dari tumpangsari tanaman semusim seperti jagung, singkong, pisang, serta rumput gajah bagi petani yang memelihara ternak; manfaat ekonomi berupa hasil kayu untuk industri dengan pemasaran lokal maupun ekspor. Salah satu alternatif sistem penggunaan lahan untuk tujuan produksi dan konservasi adalah sistem agroforestri, yaitu pengelolaan komoditas pertanian, peternakan dan atau perikanan dengan komoditas kehutanan berupa pohon-pohonan. Agroforestri merupakan salah satu sistem pengelolaan lahan hutan dengan tujuan untuk mengurangi kegiatan perusakan/perambahan hutan sekaligus meningkatkan penghasilan petani secara berkelanjutan (Hairiah et al., 2000; de Foresta et el., 2000). Menurut (Sabarnurdin, 2002) Peluang bagi digunakannya sistem agroforestry dalam pengelolaan lahan juga disebabkan karena: 1. Agroforestry adalah metode biologis untuk konservasi dan pemeliharaan penutup tanah sekaligus memberikan kesempatan menghubungkan konservasi tanah dengan konservasi air. 2. Dengan agroforestry yang produktif dapat digunakan untuk memelihara dan meningkatkan produksi bersamaan dengan tindakan pencegahan erosi. 3. Kegiatan konservasi yang produktif memperbesar kemungkinan diterimanya konservasi oleh masyarakat sebagai kemauan mereka sendiri. Digunakannya tehnik diagnostik dan designing untuk merumuskan pola tanam secara partisipatif merupakan kelebihan dari tehnik agroforestry.(Subandi, 2012b) Pemikiran tentang pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam sistem pertanian sejak pertama kali aktivitas bercocok tanam dan memelihara ternak dikembangkan. Sekitar tahun 7000 SM terjadi perubahan budaya manusia dalam mempertahankan eksistensinya dari pola berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam dan beternak. Sebagai bagian dari proses ini mereka menebang pohon, membakar serasah dan selanjutnya melakukan budidaya tanaman. Dari sini lahirlah pertanian tebas bakar yang merupakan awal agroforestry (Subandi, 2012c) Tradisi pemeliharaan pohon dalam bentuk kebun pada areal perladangan, pekarangan dan tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat tradisional itu dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia hidup dalam hutan. 5 Menurut Hariah (2003) pada akhir abad XIX, pembangunan hutan tanam menjadi tujuan utama. Agroforestry dipraktekkan sebagai sistem pengelolaan lahan. Pada pertengahan 1800-an dimulai penanaman jati di sebuah daerah di Birma oleh Sir Dietrich Brandis. Penanaman jati dilakukan melalui taungya, diselang-seling atau dikombinasikan dengan tanaman pertanian. Kelebihan systemini bukan hanya dapat menghasilkan bahan pangan, tetapi juga dapat mengurangi biaya pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman yang memang sangat mahal. Selanjutnya taungya dikenal di Indonesia sebagai tumpangsari. Banyak ahli yangberpendapat bahwa sistem taungya adalah cikal bakal agroforestri modern. Agroforestry klasik atau tradisional sifatnya lebih polikultur dan lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat dibandingkan agroforestry modern. Agroforestry modern hanya melihat komuninasi antara tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Dalam agroforestry modern, tidak terdapat lagi keragaman kombinasi yang tinggi dari pohon yang bermanfaat atau juga satwa liar yang menjadi terpadu dari sistem tradisional (Hariah K et al, 2003). Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu : kehutanan, pertanian, dan peternakan. Masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Menurut Sa‟ad (2002) Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi yakni: 1. Agrosilvikultur merupakan kombinasi tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertaniandan kehutanan. 2. Silvopastura merupakan kombinasi padang rumput (makanan ternak dan pohon), pengelolaan lahan hutan yang memproduksi hasil kayu dengan, dan sekaligus pemeliharaan ternak. 3. Agrosilvopastural merupakan kombinasi tanaman, padang rumput (makanan ternak dan pohon) pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak. 4. Silvofishery merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dan perikanan. 5. Apiculture merupakan budi daya lebah madu yang dilakukan pada komponen kehutanan. 6 6. Sericulture merupakan budi daya ulat sutra yang dilakukan pada komponen kehutanan. Dalam bahasa Indonesia , kata agroforestry dikenal dengan istilah wana tani yang artinya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De foresta dan Michon (dalam Hariah et al.) agroforestry dapat dikelompokkanmenjadi dua sistem yakni : 1. Agroforestry sederhana merupakan sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lainnya misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. 2. Agroforestry kompleks merupakan sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan, contohnya hutan dan kebun. Agroforestry merupakan bentuk dari sistem pertanian yang orisinil di daerahdaerah yang semula lahannya berupa hutan. Sistem agroforestry memiliki peluang yang menjanjikan dengan produksi tanaman semusim dan tahunan, tetapi juga mengintegrasikan usaha peternakan. Secara ekologis agronomis, ternyata dapat menunjukkan banyak manfaat yang tidak dijumpai pada sistem agroforestry maka secara umum pohon-pohon akan menyediakan struktur pemanenan di atas dan di bawah tanah bagi sistem tanam (Arief, 2001). Sebagaimana pemanfatan lahan lainnya, agroforestry dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan sering kali sifatnya mendesak. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan sistem agroforestry menurut Von Maydell (dalam Hariah et al.) yakni : menjamin dan memperbaiki kebutuhan pangan, memperbaiki penyediaan energi lokal 7 khususnya produksi kayu bakar, meningkatkan dan memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi bahan mentah kehutanan maupun pertanian, memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai, memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat (Hariah et al , 2003). 2. Pengertian Agrowisata Pengertian agrowisata dalam Surat Keputusan (SK) bersama antara Menteri Pertanian dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi No. 204/KPTS/HK/050/4/1989 dan No. KM.47/PW.DOW/MPPT/89 Tentang Koodinasi Pengembangan Wisata Agro, didefinisikan sebagai bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, perjalanan, rekreasi, dan hubungan usaha di bidang pertanian (Subandi, 2012d). . Sutjipta (2001) mendefinisikan, agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan yang terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata sekaligus pertanian, dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan, peningkatan kesajahteraan masyarakat petani. Di Indonesia, Agrowisata atau agroturisme didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (http://database.deptan.go.id) Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism), yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan (Deptan, 2005). Menurut Tirtawinata dan Fachruddin (1999:4-5), agrowisata diberi batasan sebagai wisata yang memanfaatkan objek di bidang pertanian. Adanya kegiatan agrowisata haruslah menjamin kelestarian lingkungan khususnya sumber daya hayati 8 sehingga mampu menjamin kesejahteraan masyarakat di kawasan agrowisata. Pengembangan agrowisata pada konsep universal dapat ditempuh melalui diversifikasi dan peningkatan kualitas sesuai dengan persyaratan yang diminta konsumen dan pasar global. Sedangkan pada konsep uniqueness, konsumen ditawarkan kepada produk spesifik yang bersifat unik. B. Peran Agroforestri dalam Konservasi Tanah dan Air Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis. Secara de facto tipe hutan ini memiliki kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah tersusun oleh partikel lempung yang bermuatan negatif rendah seperti kaolinite dan illite. Kondisi tanah asam ini memungkinkan besi dan almunium menjadi aktif di samping kadar silikanya memang cukup tinggi, sehingga melengkapi keunikan hutan ini. Namun dengan pengembangan struktur yang mantap terbentuklah salah satu fungsi yang menjadi andalan utamanya yaitu “siklus hara tertutup” (closed nutrient cycling) dan keterkaitan komponen tersebut, sehingga mampu mengatasi berbagai kendala/keunikan tipe hutan ini (Withmore, 1975): (Subandi, 2012). . Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih fungsi lahan tersebut dan sekaligus untuk mengatasi masalah ketersediaan pangan. Agar dapat meningkatkan produktivitas lahan terutama lahan pertanian di Indonesia saat ini, maka juga berkaitan dengan faktor kesuburan tanah pada lahan tersebut. Dalam sistem agroforestri terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara komponen-komponen yang berbeda. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi matahari, meminimalkan hilangnya unsurhara di dalam sistem, mengoptimalkan efesiensi penggunaan air dan meminimalkan runoff serta erosi. Dengan demikian mempertahankan manfaat-manfaat yang dapat diberikan oleh tumbuhan berkayu tahunan (perennial) setara dengan tanaman pertanian konvensional dan juga memaksimalkan keuntungan keseluruhan yang dihasilkan dari lahan sekaligus mengkonservasi dan menjaganya. 9 Kondisi tanah hutan ini juga menunjukkan keunikan tersendiri. Aktivitas biologis tanah lebih bertumpu pada lapisan tanah atas (top soil). Aktivitas biologis tersebut sekitar 80% terdapat pada top soil saja. Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hutan tropika basah merupakan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem), karena setiap komponen tidak bisa berdiri sendiri. Disamping itu dijumpai pula fenomena lain yaitu adanya ragam yang tinggi antar lokasi atau kelompok hutan baik vegetasinya maupun tempat tumbuhnya (Marsono, 1991): Subandi, M. (2012b). . Dalam sistem agroforestri terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara komponenkomponen yang berbeda. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi matahari, meminimalkan hilangnya unsur hara di dalam sistem, mengoptimalkan efesiensi penggunaan air dan meminimalkan runoff serta erosi. Dengan demikian mempertahankan manfaat-manfaat yang dapat diberikan oleh tumbuhan berkayu tahunan (perennial) setara dengan tanaman pertanian konvensional dan juga memaksimalkan keuntungan keseluruhan yang dihasilkan dari lahan sekaligus mengkonservasi dan menjaganya. Menurut Young dalam Suprayogo et al (2003); Subandi, M. (2012c). ada empat keuntungan terhadap tanah yang diperoleh melalui penerapan agroforestri antara lain adalah: 1) memperbaiki kesuburan tanah, 2) menekan terjadinya erosi, 3) mencegah perkembangan hama dan penyakit, 4) menekan populasi gulma. Peran utama agroforestri dalam mempertahankan kesuburan tanah, antara lain melalui empat mekanisme: 1) mempertahankan kandungan bahan organik tanah, 2) mengurangi kehilangan hara ke lapisan tanah bawah, 3) menambah N dari hasil penambatan N bebas dari udara, 4) memperbaiki sifat fisik tanah, Teknik konservasi tanah dan air pada daerah berlereng dilakukan dengan pembuatan terasering atau melakukan penanaman mengikuti garis kontur di dalam lorong dengan menggunakan tanaman penyangga berupa campura tanaman tahunan (perkebunan, buahbuahan, polong-polongan dan tanama industri) sayuran dan rumput untuk pakan ternak. 10 Sistem penamaman agroforestri pada daerah berlereng dapat menggunakan Sistem Sloping Agricultural Land Technology (SALT), suatu bentuk Alle Cropping (tanaman lorong). Sistem SALT diselenggarakan dalam suatu proyek di Mindanao Baptist Rural Life Center Davao Del Sur. Dalam proyek ini, dapat ditunjukkan bahwa cara bercocok tanam dan pengaturan letak tanaman terutama di daerah berlereng, sangat berperan dalam konservasi tanah dan air serta produksi hasil pertaniannya. Penggunaan mulsa lamtoro (Leucaenleucocephala) dapat meningkatkan kesuburan tanah dan pendapatan petani sedangkan bahaya erosi dapat diperkecil. Pendapatan para petani dapat meningkat dua kali setelah mengikuti semua aturan yang ditentukan selama empat tahun. Pokok-pokok aturan dalam penyelenggaraan SALT adalah sebagai berikut: 1. Penanaman lamtoro dua baris pada tanah yang telah diolah secara baik, dengan antara 0,5 meter. Setelah tingginya 3 – 4 meter dipangkas satu meter di atas tanah. Daun dan ranting lamtoro diletakkan di bawah tanaman tahunan atau areal / lajur tanaman pangan. 2. Jarak barisan tanaman lamtoro 4 – 6 meter, tergantung pada kemiringan lahan. 3. Tanaman keras ditanam bersamaan dengan lamtoro dengan cara cemplongan, jarak 4 – 7 meter. 4. Tanaman pangan dimulai setelah batang lamtoro sebesar jari. Penerapan sistem agroforestri sebagai pemanfaatan lahan memberi manfaat ekologi melalui penggunaan lahan yang diterapkan. Manfaat ekologi yang dapat dirasakan melalui sistem agroforestri secara tidak langsung akan melindungi pepohonan kehutanan dari perambahan masyarakat sekitar, sehingga fungi ekologi dari tegakan pohon tersebut tetap berfungsi dengan baik. Pohon tersebut akan menghalangi air hujan turun langsung ke permukaan tanah, sehingga energi kinetik dari air hujan menjadi lebih kecil saat turun di atas permukaan tanah. Tajuk tersebut juga akan menghambat air hujan turun semua ke permukaan tanah melalui proses intersepsi. Pada proses intersepsi, air hujan yang tertahan di tajuk pohon akan diuapkan kembali ke atmosfer. Selain itu, dengan adanya tanaman sela seperti tanaman pertanian akan mengurangi energi kinetik yang lepas dari tajuk pohon. Adanya penutupan lahan yang optimal oleh serasah daun pohon maupun tanaman pertanian akan mengurangi laju aliran permukaan (surface run off). Menurunnya laju surface run off akan melindungi bahan organik atau lapisan top soil yang ada di atas permukaan tanah. Dengan demikian, laju erosi pun dapat diperkecil. 11 Pada daerah dengan topogarfi miring, konservasi tanah tidak hanya memerhatikan penutupan tanah, tetapi juga metode penanaman yang digunakan. Lahan dengan topografi miring lebih rentan terhadap surface run off dan erosi, sehinggga diperlukan adanya guludan. Guludan tersebut akan menghambat lapisan tanah yang dapat terbawa oleh aliran permukaan. Pembuatan guludan dapat dilakukan dengan jarak 5 meter atau dapat disesuaikan dengan kemiringan lereng. Oleh karena rentannya erosi pada topografi miring dan pengelolaan tanah, maka diperlukan jenis yang dipanen adalah hasilnya seperti kopi, coklat, maupun buah-buahan, terutama jika faktor erodibilitas tanahnya tinggi. Selain sistem agroforestri dapat mengkonservasi tanah, agroforestri juga dapat mengkonservasi air. Vegetasi yang menutupi tegakan akan menyimpan air hujan dan menahan air limpasan yang turun ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Seperti yang diungkapkan oleh Murdiyarso dan Kurnianto 2007, banjir akan bisa menjadi lebih besar jika penyimpan air (water saving) tidak bisa menahan air limpasan. Hal ini bisa terjadi ketika hutan yang berfungsi sebagai daya simpan air tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Hutan dapat mengatur fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi. Strata pohon yang ada pada sistem agroforestri menyerupai strata yang ada pada hutan, sehingga lahan tetap mampu menyimpan air oleh vegetasi yang ada. Menurut Michon dan Deforestra 1995 dalam Michon dan Deforesta 2000 menyebutkan bahwa salah satu manfaat dari sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan model agroforestry ialah konservasi tanah dan air. Seperti halnya hutan alam, agroforestry juga memiliki sistem stratifikasi tajuk yang dari segi konservasi tanah dan air akan lebih berdampak pada pengaturan tata air dan hujan tidak secara langsung jatuh ke tanah sehingga dapat mencegah erosi permukaan. Hal ini terlihat dari komposisi jenis dan pola tanam, jenis pohon di ladang, dan hutan rakyat. Sebagai contoh peran pohon dalam peresapan air seperti Calliandra callothyrsus 56%, Parkia javanica 63,9%, dan Dalbergia latifolia 73,3% (Pudjiharta 1990). Di dalam ekosistem, hubungan tanah, tanaman, hara dan air merupakan bagian yang paling dinamis. Tanaman menyerap hara dan air dari dalam tanah untuk dipergunakan dalam proses-proses metabolisme dalam tubuhnya. Sebaliknya tanaman memberikan masukan bahan organik melalui serasah yang tertimbun di permukaan tanah berupa daun dan ranting serta cabang yang rontok. Bagian akar tanaman memberikan masukan bahan 12 organik melalui akar-akar dan tudung akar yang mati serta dari eksudasi akar. Di dalam sistem agroforestri sederhana, misalnya sistem budidaya pagar, pemangkasan cabang dan ranting tanaman pagar memberikan masukan bahan organik tambahan. Bahan organik yang ada di permukaan tanah ini dan bahan organik yang telah ada di dalam tanah selanjutnya akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi dan melepaskan hara tersedia ke dalam tanah. Dengan kata lain, adanya pohon dalam agroforestry memberi manfaat terhadap lingkungan yakni terjadinya siklus hara yang efisien sehingga akan mendukung produktivitas lahan melalui penyuburan oleh berkembangnya mikroba tanah. Tersedianya konsentrasi bahan organik, C, dan N tanah dari serasah akan berpengaruh pada biomasa mikroba tanah, termasuk mikoriza yang aktif menyerap dan menyediakan unsur mikro P, N, Zn, Cu, dan S kepada tumbuhan inang, sehingga siklus hara pada agroforestry bersifat efisien dan tertutup (Riswan et al., 1995). Pohon memberikan pengaruh positif terhadap kesuburan tanah, antara lain melalui: (a) peningkatan masukan bahan organik (b) peningkatan ketersediaan N dalam tanah bila pohon yang ditanam dari keluarga leguminose, (c) mengurangi kehilangan bahan organik tanah dan hara melalui perannya dalam mengurangi erosi, limpasan permukaan dan pencucian, (d) memperbaiki sifat fisik tanah seperti perbaikan struktur tanah, kemampuan menyimpan air (water holding capacity), (e) dan perbaikan kehidupan biota. Beberapa proses yang terlibat dalam perbaikan kesuburan tanah oleh pohon dalam sistem agroforestri sebagai berikut: Lewat proses-proses dalam tanah (Subandi, 2014) sebagaiberikut:. 1) Mengurangi erosi tanah. 2) Mempertahankan kandungan bahan organik tanah 3) Memperbaiki dan mempertahankan sifat fisik tanah (lebih baik dibanding tanaman semusim). 4) Menambah jumlah kandungan N tanah melalui fiksasi N dari udara oleh tanaman legume 5) Sebagai jaring penyelamat hara yang tercuci di lapisan tanah bawah, dan menciptakan daur ulang ke lapisan tanah atas melalui mineralisasi seresah yang jatuh di permukaan tanah. 6) Membentuk kurang lebih sistem ekologi yang tertutup (yaitu menahan semua, atau hampir semua, atau sebagian besar unsur hara di dalam sistem) 13 7) Mengurangi kemasaman tanah (melalui pelepasan kation dari hasil mineralisasi seresah) 8) Mereklamasi tanah yang terdegradasi 9) Memperbaiki kesuburan tanah lewat masukan biomass dari sistem perakaran pohon dan kontribusi dari bagian atas pohon 10) Memperbaiki aktivitas biologi tanah dan mineralisasi N lewat naungan pohon 11) Memperbaiki asosiasi mikoriza lewat interaksi tanaman dan pohon Lewat interaksi biofisik 1) Memperbaiki penyerapan hujan, cahaya dan nutrisi mineral, sehingga meningkatkan produksi 2) Biomass. 3) Memperbaiki efisiensi penyerapan hujan, cahaya dan nutrisi mineral yang dipakai. Terhindar dari penyebaran dan kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit Apabila terjadi perubahan sistem agroforestry akan mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh timbulnya erosi tanah dan degradasi lahan. Hal ini menyebabkan punahnya komponen-komponen penting agroforestry seperti fungsi tata air, penghasil serasah dan humus, habitat satwa liar, perlindungan varietas dan jenis tumbuhan lokal sehingga banyak tumbuhan lokal sebagai sumber pangan buah buahan, bahan bangunan, kayu bakar, dan bahan baku obat-obatan sudah sangat langka. Di lain pihak, usaha budidaya jenis-jenis yang terancam punah tersebut sangat minim (Setyawati dan Bismark, 2002). C. Ruang Lingkup dan Potensi Agrowisata Secara umum, ruang lingkup dan potensi agrowisata dapat dikembangkan sebagai berikut. 1. Perkebunan Kegiatan usaha perkebunan meliputi perkebunan tanaman keras dan tanaman lainnya yang dilakukan oleh perkebunan besar swasta nasional ataupun asing, BUMN, dan perkebunan rakyat. 2. Tanaman pangan dan hortikultura Lingkup kegiatan wisata tanaman pangan yang meliputi usaha tanaman padi dan palawija serta hortikultura berupa bunga, buah, sayur, dan jamu-jamuan. Berbagai proses kegiatan mulai dari prapanen, pascapanen berupa pengolahan hasil, sampai kegiatan pemasarannya dapat dijadikan objek agrowisata. 14 3. Perikanan Ruang lingkup kegiatan wisata perikanan dapat berupa kegiatan budidaya perikanan sampai proses pascapanen. Daya tarik perikanan sebagai sumber daya wisata seperti pola tradisional dalam perikanan (Subandi, 2012d). 4. Peternakan Daya tarik peternakan sebagai sumberdaya wisata antara lain pola beternak, cara tradisional dalam peternakan, serta budidaya hewan ternak. Kehutanan Dalam beberapa literatur tentang wisata alam ekowisata, objek wisata kehutanan termasuk dalam golongan ekowisata yang hakekatnya merupakan wisata alam. 1. Bentuk-Bentuk Agrowisata Pada era ini, manusia di bumi hidupnya dipenuhi dengan kejenuhan, rutinitas dan segudang kesibukan. Untuk kedepan, prospek pengembangan agrowisata diperkirakan sangat cerah. Pengembangan agrowisata dapat diarahkan dalam bentuk ruangan tertutup (seperti museum), ruangan terbuka (taman atau lansekap), atau kombinasi antara keduanya. Tampilan agrowisata ruangan tertutup dapat berupa koleksi alat-alat pertanian yang khas dan bernilai sejarah atau naskah dan visualisasi sejarah penggunaan lahan maupun proses pengolahan hasil pertanian. Agrowisata ruangan terbuka dapat berupa penataan lahan yang khas dan sesuai dengan kapabilitas dan tipologi lahan untuk mendukung suatu sistem usahatani yang efektif dan berkelanjutan. Komponen utama pengembangan agrowisata ruangan terbuka dapat berupa flora dan fauna yang dibudidayakan maupun liar, teknologi budi daya dan pascapanen komoditas pertanian yang khas dan bernilai sejarah, atraksi budaya pertanian setempat, dan pemandangan alam berlatar belakang pertanian dengan kenyamanan yang dapat dirasakan. Agrowisata ruangan terbuka dapat dilakukan dalam dua versi/pola, yaitu alami dan buatan. Selanjutnya agrowisata ruangan terbuka dapat dikembangkan dalam dua versi/pola, yaitu alami dan buatan, yang dapat dirinci sebagai berikut: 2. Agrowisata Ruang Terbuka Alami Objek agrowisata ruangan terbuka alami ini berada pada areal di mana kegiatan tersebut dilakukan langsung oleh masyarakat petani setempat sesuai dengan kehidupan keseharian mereka. Masyarakat melakukan kegiatannya sesuai dengan apa 15 yang biasa mereka lakukan tanpa ada pengaturan dari pihak lain. Untuk memberikan tambahan kenikmatan kepada wisatawan, atraksi-atraksi spesifik yang dilakukan oleh masyarakat dapat lebih ditonjolkan, namun tetap menjaga nilai estetika alaminya. Sementara fasilitas pendukung untuk kenyamanan wisatawan tetap disediakan sejauh tidak bertentangan dengan kultur dan estetika asli yang ada, seperti sarana transportasi, tempat berteduh, sanitasi, dan keamanan dari binatang buas. Contoh agrowisata terbuka alami adalah kawasan Suku Baduy di Pandeglang dan Suku Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat; Suku Tengger di Jawa Timur; Bali dengan teknologi subaknya; dan Papua dengan berbagai pola atraksi pengelolaan lahan untuk budi daya umbi-umbian. 3. Agrowisata Ruang Terbuka Buatan Kawasan agrowisata ruang terbuka buatan ini dapat didesain pada kawasankawasan yang spesifik, namun belum dikuasai atau disentuh oleh masyarakat adat. Tata ruang peruntukan lahan diatur sesuai dengan daya dukungnya dan komoditas pertanian yang dikembangkan memiliki nilai jual untuk wisatawan. Demikian pula teknologi yang diterapkan diambil dari budaya masyarakat lokal yang ada, diramu sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan produk atraksi agrowisata yang menarik (Subandi dan Abdelwahab. 2014). Fasilitas pendukung untuk akomodasi wisatawan dapat disediakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, namun tidak mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada. Kegiatan wisata ini dapat dikelola oleh suatu badan usaha, sedang pelaksana atraksi parsialnya tetap dilakukan oleh petani lokal yang memiliki teknologi yang diterapkan. Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat didunia (WTO, 2000), melibatkan 657 juta kunjungan wisata di tahun 1999 dengan US $ 455 Milyar penerimaan ke seluruh dunia. Apabila kondisi tetap stabil, pada tahun 2010 jumlah kunjungan antar negara ini diperkirakan meningkat mencapai 937 juta. Pariwisata atau turisme adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi atau liburan. Seorang wisatawan atau turis adalah seseorang yang melakukan perjalanan paling tidak sejauh 80 km (50 mil) dari rumahnya dengan tujuan rekreasi, merupakan definisi oleh Organisasi Pariwisata Dunia. 4. Jenis-jenis pariwisata (Pariwisata yang di Kenal) 16 Jenis-jenis pariwisata ini muncul dikarenakan di setiap daerah maupun suatu negara umumnya dapat menyajikan berbagai atraksi wisata agar dapat menarik para wisatawan untuk berkunjung kedaerah tersebut. Sehingga tujuan diperkenalkannya berbagai macam jenis pariwisata ini adalah untuk pengembangan dan pemanfaatan SDA dan budaya daerah masing-masing, untuk kepentingan rekreasi, kebudayaan, pendidikan dan untuk kepentingan masyarakat local. Dari hal tersebut, maka terdapat beberapa jenis pariwisata, antara lain: a. Pariwisata untuk menikmati perjalanan (Pleasure Tourism) Pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk berlibur, untuk mendapatkan ketenangan di luar kota atau sebaliknya untuk menikmati hiburan di kota besar. Jenis pariwisata ini menyangkut berbagai unsur yang sifatnya berbeda. Hal ini disebabkan karena pengertian pleasure sendiri mempunyai kadar yang berbeda, sesuai dengan karakter, cita rasa, latar belakang kehidupan serta sifat dari masing-masing individu. b. Pariwisata untuk rekreasi (recreationtourism) Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang yang menghendaki pemanfaatan hari libur untuk beristirahat, melepaskan segala keletihan dan kelelahannya, dengan mengunjungi tempat-tempat yang dianggap dapat menjamin tujuan rekreasi mereka, seperti tepi pantai atau pegunungan, dengan tujuan untuk menemukan kenikmatan yang mereka perlukan. c. Pariwisata untuk kebudayaan (cultural tourism) Jenis pariwisata ini ditandai dengan adanya rangkaian motivasi seperti keinginan untuk belajar di pusat riset, mempelajari adat istiadat, mengunjung monumen bersejarah, dan lain-lain (Subandi, 20007). d. Pariwisata untuk olahraga (Sports tourism) Jenis pariwisata ini dibagi menjadi dua: 1) Big Sports Events, yaitu peristiwa olahraga besar seperti Olimpiade, yang menarik perhatian tidak hanya untuk olahragawan sendiri, tetapi juga ribuan penonton 2) Sporting Tourism of the Practitioners, yaitu pariwisata olahraga bagi mereka yang ingin berlatih dan mempraktekkan sendiri, seperti pendakian gunung, memancing (Subandi,Tita., Siti Afni., Hanny,2017). e. Pariwisata untuk urusan usaha dagang (business tourism) 17 Banyak kontroversi yang muncul terkait jenis pariwisata ini. Beberapa ahli teori beranggapan bahwa perjalanan untuk keperluan usaha tidak dapat dianggap sebagai perjalanan wisata karena unsur voluntary atau sukarela tidak terlibat. Menurut para ahli, perjalanan usaha ini adalah bentuk professional travel atau perjalanan karena ada kaitannya dengan pekerjaan yang tidak memberikan pilihan bagi pelaku untuk menentukan daerah tujuan atau waktu perjalanan. f. Pariwisata untuk berkonvensi (Convention tourism) Banyaknya konvensi atau konferensi nasional maupun internasional membuat banyak negara berusaha untuk menyiapkan dan mendirikan tempat atau membangun pusat-pusat konferensi yang lengkap dan menggunakan teknologi mutakhir yang menjamin efisiensi operasi konferensi. Hal ini dikarenakan mereka mulai menyadari besarnya potensi yang dihasilkan dari jenis pariwisata ini, dimana ribuan peserta yang hadir dalam konferensi tersebut terkadang tinggal untuk beberapa hari di negara penyelenggara. Usia, status sosial tingkat ekonomi juga mempengaruhi seseorang untuk memilih bentuk dan jenis – jenis kegiatan wisata apa yang diminati atau yang memuhi selera mereka. Dari sinilah lahir berbagai bentuk pariwisata. 5. Bentuk wisata dari segi jumlahnya Wisata perorangan Wisata keluarga Wisata rombongan 6. Bentuk wisata dari segi maksud dan tujuannya Wisata libura Wisata pengenalan Wisata pendidikan dan pengetahuan Wisata spiritual Wisata Perburuan Wisata Olahraga 7. Bentuk wisata dari segi pengaturannya Wisata berencana Wisata paket Wisata khusus 18 8. Bentuk Wisata dari Segi Penyelenggaraannya Wisata safari Wisata remaja Wisata bahar D. SIMPULAN Agroforestry menurut Huxley (dalam Suharjito et al.) merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu: kehutanan, pertanian, dan peternakan. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan yang terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata sekaligus pertanian, dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan, peningkatan kesajahteraan masyarakat petani. Di Indonesia, Agrowisata atau agroturisme didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Peran agroforestri dalam konservasi tanah dan air yaitu : mempertahankan kandungan bahan organik tanah, mengurangi kehilangan hara ke lapisan tanah bawah, menambah N dari hasil penambatan N bebas dari udara, dan memperbaiki sifat fisik tanah. Ruang lingkup agrowisata yaitu perkebunan, tanaman pangan dan hortikultura, perikanan, peternakan dan kehutanan. Referensi : de Foresta,H.A. Kusworo, G. Michon dan W.A. Djatmiko. 2000. Ketika kebun berupa hutan: Agroforest kahas Indonesia, sebuah sumbangan masyarakat. ICRAF, Bogor. Deptan, 2005. “Agrowisata Meningkatkan Pendapatan Petani”,http://www.database.deptan.go.id (diakses tanggal 2 April 2017) 19 Hairiah K., S.R. Utami, D. Suprayogo, Widianto, S.M. Sitompul, Sunaryo, B. Lusiana, R. Mulia, M. van Noordwijk and G. Cadish. 2000. Agroforestry on acid soils in humid tropics: managing tree-soil-crop interactions. ICRAF, Bogor. Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestry. The Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Rilla, 1999, http//www.database.deptan.go.id (diakses tanggal 2 April 2017) Sabarnurdin, M. Sambas. 2002. Agroforestry: Konsep, Prospek Dan TantanganPresentasi Workshop Agroforestry 2002, Fakultas Kehutanan, UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta Subandi, M. (2012). Developing Islamic Economic Production. Sci., Tech. and Dev., 31 (4): 348-358. Subandi, M. (2012b). The Effect of Fertilizers on the Growth and the Yield of Ramie (Boehmeria nivea L. Gaud). Asian Journal of Agriculture and Rural Development, 2(2), pp. 126-135 Subandi, M. (2012c). Some Notes of Islamic Scientific Education Development. International Journal of Asian Social Science, 2(7), pp. 1005-1011. Subandi, M. (2012d). Several Scientific Facts as Stated in Verses of the Qur‟an. International Journal of Basic and Applied Science. Vol. 01 (01): 60-65. Subandi, M . and Abdelwahab M. Mahmoud. 2014. Science As A Subject of Learning in Islamic University. Jurnal Pendidikan Islam. December 2014 M/1436 H. . Vol. 1, No. 2, Subandi, M (20007). Scholars in The Islamic Golden Ages in Revealing Scientific Information in the Qur‟an. Dialektika Budaya Journal of Islamic Culture, History and Language. Vol XIV/No.2/November 2007, Faculty of Adab and Humanity . State Islamic University of Bandung. Subandi, M., Humanisa, H. H., (2011). Science and Technology. Some Cases in Islamic Perspective. Bandung: RemajaRosadakarya. Subandi, M (2011) .BudidayaTanaman Perkebunan. BukuDaras. GunungDjati Press. Subandi, M (2014). Mikrobiologi, Kajian dalam Perspektif Islam. Edisi Revisi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Pp.234+xxvi Subandi, M., Tita, T.T., Siti Afni, A., Hanny, H.H. (2017). English for Specific Purposes. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Pp. 140+vii Sutjipta, 2001, http//www.google.co.id/Sutjipta/ekowisata_agrowisata.html (diakses tanggal 2 April 2017) Suprayogo. D, K Hairiah, N Wijayanto, Sunaryo dan M Noordwijk. 2003. Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestri sebagai Kunci Keberhasilan atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan Indonesia. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor, Indonesia 20 U.S. Konggres OTA , 1992, http://www.database.deptan.go.id (diakses tanggal 2 April 2017) Zulrasdi. Noer, Sjofjendi, 2005. Pertanian di Daerah aliran Sungai Lembaga Informasi Pertanian. BPPT Sumatra Barat 21