Suatu Tinjauan Filsafat Hindu - E

advertisement
I Nyom Suyasa : Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
KONSEP PEMELIHARAAN SUMBER AIR
(Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
I Nyom Suyasa
ABSTRACT
Water has become a very serious environmental problems related to basic needs
for all living beings. This paper will discuss the concept of maintenance of water
resources in terms of Hindu philosophy. The qualitative research design. Data
collection methods with the documentation, observations and interviews. Methods
of analysis using a combination of deductive method, descriptive and verstehen
hermeneutics. From the study it is found that Hindu Nyaya Philosophy as a way of
life is reflected in all its activities and religious customs, in the form of interaction,
integration, participation and a strong orientation became a distinctive
characteristic of the Hindu society in villages or cities as well. The concept of
water sustainment according to Hindu philosophy is the maintenance the balance
of nature, man and Brahman towards the achievement of the goal of human life is
Catur Purusa Artha. With descriptive analysis can be stated that there is a strong
relationship between the concept of maintenance of water sources with Hindu
philosophy. Pattern of public attitudes with the concept of water resources
maintenance in the implementation of the arrangement embodied in the form of
yard pattern, the physical manifestation of religious symbols, patterns of behavior
and various structure of ceremony and ritual, people's behavior for the balance of
nature and social order .
Keywords : Water maintenance, Water Resources, Natural Balance
PENDAHULUAN
Salah satu persoalan lingkungan dewasa ini adalah krisis air,”Jika perangperang abad ini banyak diakibatkan oleh persengketaan minyak maka perang masa
depan akan dipicu oleh air”, (Ismail Seralgedin dalam Sudiarsa,2004:7). Krisis air
dunia akan memberikan dampak yang menggenaskan, tak hanya membangkitkan
epidemi penyakit yang dapat merenggut nyawa, krisis air juga akan menghadirkan
kelaparan, (Laporan World Water Assesment Programme dikutip kembali oleh
Sudiarsa, 2004: 9). Air merupakan permasalahan lingkungan yang sangat serius
kebutuhan pokok mahkluk hidup. Manusia, hewan, dan tumbuhan akan mati jika
tidak ada air. Pengaruh air sangat luas bagi kehidupan dan perkembangan
peradaban manusia.
Sumber air tanah di Kabupaten Lombok barat, seperti di dusun Ranget,
Dusun Suranadi dan Dusun Lingsar oleh umat Hindu dipandang sebagai kawasan
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
47
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
suci karena berada di dalam kawasan Pura dan merupakan sarana sembahyang
yang penting. Ada dua fungsi air yang dipakai dalam sembahyang yaitu untuk
membersihkan mulut dan tangan, serta sebagai air suci yang disebut Tirta.
Tirta bukanlah air biasa. Tirta adalah benda materi yang sakral, yang mampu
menumbuhkan perasaan dan pikiran suci, (Wiana.2007:106). Istilah lain adalah
“wangsuh pada”, yaitu untuk menyebutkan air suci yang dimohon di suatu pura
atau pelinggih. Secara rokhaniah kesucian dapat diperoleh dengan jalan memantrai,
menaruh disuatu pelinggih, atau mengambil disuatu tempat dengan cara yang
khusus, membawa banten tertentu. Sedangkan secara lahiriah agar diusahakan
mempergunakan alat alat baru/bersih (anyar). Demikian pula air yang akan dipakai
hendaknya baru diambil dari sumbernya, (Titib.2001:138). Air juga punya nilai
ekonomi yang tinggi misalnya mata air di Dusun Ranget di kelola oleh PDAM.
Mata air tertentu di dusun Suranadi diyakini sebagai air suci Tirta, air suci
Pelukatan, air suci Pangentas dan air suci Pabersihan. Dusun Suranadi berkembang
pesat menjadi kawasan pariwisata. Di dusun Gondawari terdapat mata air yang
diyakini punya khasiat awet muda kepada orang yang meminumnya, dusun
Gondawari berkembang menjadi ikon pariwisata NTB .
Seiring dengan meningkatnya angka pertambahan penduduk, meningkat pula
kebutuhan masyarakat pada perumahan dan pertumbuhan ekonomi meningkatkan
daya beli masyarakat, hal ini dengan cepat merubah daerah persawahan menjadi
perumahan, perkantoran dan pertokoan. Di dusun Peraba dijumpai kawasan hutan
menjadi persawahan, ladang atau perumahan. Permasalahan penduduk, pertanian
yang boros air dan air hujan yang belum dikelola dengan optimal, akan berakibat
pada mata air di kabupaten Lombok Barat terancam kering. Untuk itu harus ada
upaya nyata dari semua pihak agar acaman mengeringnya mata air tanah dapat
dicegah. Pertentangan antara kenyataan pemeliharaan sumber air dengan kenyataan
ancaman mengeringnya sumber air dari mata air, menggugah kami untuk meneliti
Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu).
KONSEP PEMELIHARAAN SUMBER AIR DITINJAU DARI FILSAFAT
HINDU
1. Isvara
Tuhan sebagai penyebab efisien dunia, demikian juga Tuhan
merupakan penyebab direktif tindakan-tindakan semua makhluk hidup, tidak
ada makhluk hidup di dunia ini yang bebas dari kerja, ia secara relatif bebas,
yaitu tindakan-tindakannya dilakukan oleh dia dibawah direksi dan arahan
Tuhan. Seperti halnya dengan seorang ayah yang arif dan pemurah
mengarahkan anak-anaknya mengerjakan suatu aktivitas, menurut hadiahhadiah, kapasitas dan pencapaiannya sebelumnya ; jadi demikian juga Tuhan
mengarahkan semua makhluk hidup melakukan tindakan-tindakan.
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
48
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
Yayurveda XXXVI.17
Artinya : Ya, Tuhan Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian di langit,
damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan,
damai pada pepohonan, damai bagi para dewata, damailah Brahma, damailah
alam
semesta.
Semogalah
kedamaian
senantiasa
dating
pada
kami.(Titib,1998:700)
Nyaya menyebutnya sebagai Penggerak Pertama atom-atom pembentuk
alam ini. Nyaya membeberkan bukti kosmologis: dunia adalah akibat.
Sementara bukti teleologis adalah tertib alam dan gerak. Dengan demikian,
Tuhan adalah pencipta dan pemelihara. Tuhan adalah Jiwa (atau Kesadaran)
Tertinggi: Paramatman. Tentang jiwa indvidu. Jiwa orang per orang adalah
jivatman yang selalu terikat dengan karma-nya. Tuhan adalah penyebab
tertinggi penciptaan, pemeliharaan dan peleburan dunia. Ia tidak menciptakan
dunia dari ketiadaan tetapi dari atom-atom eternal ; ruang, waktu, ether, pikiran
(manas) dan jiwa-jiwa. Penciptaan dunia berarti penataan entitas-entitas
eternal yang koeksis dengan Tuhan menjadi dunia material. Terjadinya alam
semesta menurut sistem filsafat Waisasika memiliki kesamaan dengan ajaran
Nyaya yaitu dari gabungan atom-atom catur bhuta (tanah, air, cahaya dan udara)
ditambah dengan lima substansi yang bersifat universal seperti akasa, waktu,
ruang, jiwa dan manas. Lima substansi universal ini tidak memiliki atom-atom,
maka itu ia tidak dapat memproduksi sesuatu di dunia ini. Cara penggabungan
atom-atom itu dimulai dari dua atom (dwynuka), tiga atom (Triyanuka), dan
tiga atom ini saling menggabungkan diri dengan cara yang bermacam-macam,
maka terwujudlah alam semesta beserta isinya. Bila gabungan atom-atom dalam
Catur Bhuta ini terlepas satu dengan lainnya maka lenyaplah alam beserta
isinya. Gabungan dan terpisahnya gerakan atom-atom itu tidaklah dapat terjadi
dengan sendirinya, mereka digerakkan oleh suatu kekuatan yang memiliki
kesadaran dan kemahakuasaan. Sesuatu yang memiliki kesadaran dan kekuatan
yang maha dahsyat itu menurut Waisasika adalah Tuhan Yang Maha Esa.
2. Epistemologi
a. Pratyaksa Pramana
Pratyaksa adalah pengamatan. Cara kerjanya seperti ini. Segala sesuatu yang
eksis di luar kita (manusia) bisa diamati keberadaannya selama ia dicerap
panca indera. Di sini kita bisa lihat bahwa Nyaya betul-betul realis-empiris.
Pandangan seperti ini belakangan baru berkembang di Barat beberapa abad
setelah Masehi, tepatnya pada filsafat Empirisme-nya David Hume.
Pratyaksa ada yang bersifat tidak-ditentukan (nirwikalpa) dan ada yang pula
ditentukan (sawikalpa). Jika kita mengamati sebuah objek sambil lalu, itu
adalah Nirwikalpa; kita belum mengetahui sepenuhnya objek tersebut karena
yang kita tahu hanyalah bahwa ia ada, titik. Seperti pendapat tokoh agama
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
49
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
dari Awang Madya yang menyatakan tanda-tanda krisis air sudah nyata
didepan mata.(I Wayan Wirta). Dan untuk sampai ke pemahaman yang
menyeluruh tentang objek tersebut, kita mesti mengamatinya dengan
seksama — apa-apa saja yang khas menyangkut objek tersebut — dan ini
adalah Sawikalpa
b. Anumana Pramana
Konsep dasarnya adalah bahwa antara subjek yang mengamati dan
objek yang diamati mesti terdapat sesuatu antara. Ini sangat berbeda dengan
silogisme Aristoteles. Sillogisme Nyaya tetap berdasarkan realitas, dan
perantara antara subjek dan objek yang diamati tersebut juga bersifat
empiris. Contohnya gunung yang mengeluarkan asap. Bagaimana kita bisa
sampai pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi? Gunung adalah
objek; kita mengamatinya dan kita melihat ada asap. Sebelum kita tiba pada
kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi, di titik ini kita mesti menyelidiki
perantara-nya yang empiris. Bahwa kita pernah membakar sampah,
memasak dan lain sebagainya. Dari pengalaman ini, kita menyaksikan
bahwa sebelum sampah itu terbakar, mesti lebih dulu ada asap. Dengan kata
lain, kesimpulan yang diambil (anumana) menurut Nyaya tidaklah abstrak,
tetapi nyata bahwa kita pernah menyaksikan bahwa asap selalu disusul oleh
api atau sebaliknya. Dan ketika kita melihat gunung yang mengeluarkan
asap, karena pengalaman-pengalaman yang pernah kita saksikan dan alami
berkata seperti itu, maka di saat itu pula kita langsung menyimpulkan bahwa
gunung itu adalah gunung berapi, karena setiap ada asap pasti ada api
walaupun di puncak gunung tersebut apinya belum tampak. Yang disebut
Drawya (substansi) adalah katagori yang bebas dan tidak tergantung pada
katagori yang lain, bahkan Drawya (substansi) mendasari katagori yang lain.
Drawya (substansi) juga disebut sebagai kekuatan dan kegiatan zat-zat yang
terdapat pada lapisan alam yang paling bawah. Tanpa Drawya (substansi)
katagori-katagori yang lain tidak dapat menjelmakan dirinya. Selain dari itu,
Drawya (substansi) mempunyai sifat sebagai sebab yang melekat dalam
artian, telah telah ada di dalam sesuatu yang dihasilkan oleh katagorikatagori yang lain. Ada sembilan jenis Drawya (substansi) yaitu : tanah
(prthiwi), air (apah), api (tejah), udara (vayu), ether (akasa), waktu (kala),
ruang (dis), roh (jiva) dan pikiran (manas). Kesembilan Drawya (substansi)
ini bersama-sama membentuk alam semesta, baik yang bersifat jasmani
maupun rohani. Menurut Wiana, jumlah penduduk yang makin meningkat
dan tidak dibarengi sikap hidup hemat, membuat sumber air makin langka.
Prof.Dr Emil Salim, menyatakan bahwa tahun 2000 jumlah penduduk
sudah mencapai 6,1 miliar. Gaya hidup mereka pun makin boros. Mencuci
mobil dengan menggunakan air tanpa memperhitungkan jumlahnya.
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
50
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
Untuk itu, jika ingin menyelamatkan air, langkah utama adalah membina
manusianya agar bisa memanfaatkan air sesuai dengan kebutuhan bukan
keinginan. Air berada di kulit bumi. Kulit bumi yang ideal adalah kulit bumi
yang ditutupi tujuh lapisan bumi. Dalam ajaran Agama Hindu, tujuh lapisan
tersebut disebut sapta patala. Jika sapta patala memiliki eksistensi yang
seimbang dan diperlakukan secara wajar, maka air akan selalu tersimpan di
dalam kulit bumi. Untuk menjaga kualitas air, kulit bumi harus selalu dijaga
dari kerusakan. Jika kulit bumi rusak tak terpelihara, misalnya tak ada
pohon-pohonan, maka air tidak bisa tersimpan dengan baik. Pohon-pohon
penyerap air di Bali disebut tanam tuwuh. Jika tak ada pohon yang bisa
menyimpan air, akan berdampak pada kerusakan lingkungan.
c. Agama Pramana.
Masyarakat adalah sekumpulan orang-orang yang satu dengan yang lainnya
mempunyai hubungan dan saling pengaruh mempengaruhi. Sehubungan hal
ini maka agama didalam masyarakat mempengaruhi hubungan antara
seorang dengan seseorang, antara golongan dengan golongan dan
sebagainya. Pengaruh agama di dalam masyarakat dapat dilihat dari gerak
langkah masyarakat itu sendiri. Jadi masyarakat sebagai penganut agama
penuh dengan kepercayaan dalam melaksanakan ajaran Agamanya. Agama
Hindu mengajarkan agar umat manusia bijak memelihara tiga ratna bumi
yaitu air, tumbuh-tumbuhan, dan kata-kata bijak. Dalam Weda disebutkan
bahwa kejahatan yang paling kejam tatkala merusak udara, air, dan tumbuhtumbuhan. Ini membuktikan ajaran agama Hindu pun mengajarkan agar
manusia bisa menghargai air sebagai sumber kehidupan. Dalam Bhagawad
Gita III.14 disebutkan bahwa makhluk berkembang karena makanan.
Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berkembang
karena air hujan yang muncul berkat yadnya. Yadnya itu adalah karma. Di
Dususn Suranadi, Lingsar, Montong galur dan Punitan, penghematan air
sudah mulai diterapkan melalui beberapa tradisi kearifan lokal. “Seng dadi
mecarikan, pang de mati siap pe, jangan membuang makanan agar ayamnya
tidak mati”. Ungkapan itu membuktikan ajaran-ajaran penghematan sudah
diterapkan nenek moyang kita. Resi Canakya dalam pustaka Canakya
Nitisastra pun pernah menyatakan bahwa air sebagai salah satu dari tiga
ratna permata bumi. Dua lainnya tumbuh-tumbuhan yang berfungsi sebagai
bahan makanan serta obat-obatan dan subha sita yang merupakan kata-kata
bijak para resi sebagai hasil dari mempelajari Weda. Manawa Dharmasastra
IV.56 menegaskan bahwa meludah, membuang air kencing atau kotoran ke
sungai tidak dibolehkan, tak terkecuali melemparkan kata-kata yang tidak
suci ke sungai.
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
51
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
POLA HUBUNGAN PRILAKU MASYARAKAT DENGAN KONSEP
PEMELIHARAAN SUMBER AIR
1. Pola Prilaku beryadnya (Tinjauan Filsafat Yadnya).
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Panca Yajnya sebaiknya diadakan
pertimbangan terlebih dahulu kepada para sulinggih atau pihak yang berwenang
dan pihak yang memang bertugas manangani masalah ini, karena sesuatu akan
terlaksana dengan baik, apabila ada kerja sama/ mufakat dari Sang Tri
Manggalaning Yajnya antara lain:
- Sang Yajamana adalah orang yang memiliki kerja atau yajnya.
Peran Yajamana adalah memilih bahan-bahan upacara yang tidak
menggangu keseimbangan alam, menghemat pemakaian air dan memikirkan
limbah dari pelaksanaan upacara agar tidak mencemari lingkungan
- Sang Widya/Sarathi adalah orang yang membuat Banten (Tukang Banten).
Dalam hal pemeliharaan sumber air sarathi berperan penting dalam
menghemat pemakaian sarana tumbuhan untuk membuat banten.
- Sang Sadaka adalah para sulinggih yang akan menyelesaikan yadnya tersebut
(Muput Karya).
Sang Sadaka berperan dalam mensucikan alam bhur,Bwah Swah dan
melakukan sosialisasi dalam menjaga kawasan yang sudah disucikan ini.
Terutama Air, Hutan dan tanah. Mengingat pelaksanaan yajnya memiliki
dampak yang sangat komplek. maka ketentuan pemeliharaan sumber alam
patutlah dituruti. Melalui pelaksanaan yajnya umat hindu dididik untuk
meningkatkan srdha dan bhaktinya kepada yang maha pencipta, dengan sarana.
Momen hari raya yang masih dirayakan hingga kini oleh umat Hindu di dusun
Suranadi, Lingsar, Narmada dan Ranget, yang telah berlangsung secara turun
temurun mengingatkan agar tetap menjaga dan merawat bumi ini dengan
sebaik-baiknya. Tujuan para leluhur telah mewariskan begitu banyak perayaan (
misalnya, Pagerwesi, Sabuh Emas, Tumpek, Nyepi, Ciwaratri) adalah sebagai
tuntunan yang mengarahkan generasi penerusnya untuk bisa menjalani
kehidupan ini dengan tenang dan damai.
a. Sabuh Emas
Perayaan Sabuh Mas yang jatuh setiap Anggara Wage Sinta. Pada
kesempatan itu, umat Hindu memuja Dewa Mahadewa yang merupakan
dewa kekayaan. Di samping membutuhkan makanan dan minuman, dalam
menjalani kehidupan manusia juga sangat tergantung dengan kekayaan alam
seperti logam mulia untuk perhiasan dan benda-benda seni maupun materialmaterial lain untuk mendukung pembangunan seperti batu-batuan, pasir dan
bahan tambang minyak bumi yang umumnya terkandung di ''perut'' bumi.
Umat manusia harus bijaksana memanfaatkan kekayaan alam itu alias tidak
mengeksploitasinya secara membabi buta. Jangan semuanya dikuras habis.
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
52
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
Jika keserakahan telah membutakan mata hati manusia, maka alam akan
murka. Maka, terjadi bencana maha dahsyat seperti kasus Lapindo dan
sejenisnya yang akhirnya membuat umat manusia terpuruk dalam
kesengsaraan hidup yang berkepanjangan.
b. Hakikat Tumpek
Perayaan Tumpek Uduh jatuh setiap Saniscara Kliwon Wariga pada
hekikatnya merupakan aktivitas yang sangat pro-lingkungan. Pada hari itu,
umat Hindu memuja Dewa Sangkara yakni sinar suci Tuhan yang
merupakan dewa dari segala jenis tumbuh-tumbuhan. Esensi dari ritual ini,
mendoakan segala jenis tumbuhan bisa tumbuh berkembang dengan subur
sehingga memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Konsepsi ini
tercantum dalam Lontar Sundarigama. Agar tumbuh-tumbuhan itu bisa
memberikan manfaat optimal bagi kehidupan manusia, prosesi ritual itu
tentu saja harus disertai dengan aksi nyata di mana manusia harus menjaga
dan merawat tumbuh-tumbuhan itu dengan sebaik-baiknya. Bukan
sebaliknya, membabat habis tumbuh-tumbuhan. Tumpek Uduh itu
diimplementasikan dalam bentuk wana kerthi seperti kegiatan pelestarian
hutan atau segala jenis tumbuh-tumbuhan agar tetap lestari. Bisa juga
berbentuk kegiatan reboisasi atau penanaman kembali hutan-hutan yang
telah gundul akibat illegal logging maupun kegiatan perusakan hutan
lainnya. Dalam tataran yang lebih sempit, wujud wana kerthi itu bisa
dilaksanakan oleh masing-masing keluarga dengan menanami pekarangan
rumahnya dengan tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat. Wana kerthi sangat
terkait dengan pelaksanaan danu kerthi dan samudra kerthi yang merupakan
implementasi pelestarian sumber-sumber air seperti danau, sungai dan
lautan. Ditegaskan, sumber air yang merupakan sumber kehidupan umat
manusia jelas akan kritis jika ekosistem hutan dan lahan terbuka hijau tidak
lestari lagi. Daerah resapan air itu akan kehilangan fungsinya sehingga
kucuran air yang menghidupi manusia juga kering-kerontang.
Tumpek Kandang jatuh setiap Saniscara Kliwon Uye. Pada momen
ini, umat Hindu memuja Dewa Siwa dalam wujud Sang Hyang Rare Angon.
Dalam konteks ini, umat manusia dituntut bisa hidup berdampingan secara
harmonis dengan binatang. Dalam aksi nyata, kita dituntut memelihara
binatang dengan sebaik-baiknya karena mereka akan mempermudah hidup
manusia. Binatang juga sebagai sumber nutrisi yang akan menjaga
kelangsungan hidup manusia,sehingga manusia diwajibkan menjaga habitat
hidup binatang dengan sebaik-baiknya. Misalnya, habitat ikan di laut jangan
dirusak dengan potasium, ledakan bom dan sejenisnya. Jika habitat ikan-ikan
itu rusak, maka kelangsungan hidup ikan-ikan itu pun terancam yang berarti
juga mengancam sumber nutrisi umat manusia.
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
53
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
c. Hari Raya Pagerwesi, Siwaratri, Nyepi dan Saraswati
Perayaan Pagerwesi, Saraswati, Nyepi menuntun umat Hindu untuk
senantiasa introspeksi, Mulat sarira, merenungi kesejatian kehidupan yang
sangat tergantung dengan alam lingkungan. Jika alam lingkungan di dunia
ini rusak berantakan karena eksplorasi yang tak terkendali, maka manusia
pula yang harus menanggung akibat dari perbuatan nya, seperti suhu bumi
meningkat, permukaan air laut naik dan sejumlah bencana dahsyat lainnya.
Sesungguhnya telah ada berbagai kearifan lokal yang menuntun manusia
untuk memperlakukan alam dengan bijaksana. Makna yang terkandung
dalam perayaan hari-hari besar keagamaan Hindu kini terkesan dimaknai
secara tidak utuh. Acapkali, kesuksesan sebuah perayaan hari besar
keagamaan hanya ditakar oleh baik atau tidaknya upacara ritual keagamaan
atau yadnya itu berlangsung. Sementara dimensi kerthi yang terwujud dalam
aksi nyata terkesan kurang diberikan ruang bahkan terabaikan sama sekali.
Di satu sisi begitu suntuk melakukan upacara yadnya untuk mendoakan
keselamatan bumi ini. Namun, di sisi lain jarang sekali melakukan aksi nyata
untuk menyelamatkan bumi ini, bahkan justru terlibat dalam tindakan
perusakan lingkungan. Yadnya tanpa kerthi atau ritual tanpa disertai
perbuatan nyata jelas tidak akan membuahkan suatu hasil yang optimal
2. Pola Prilaku Sehari-hari
a. Tinjauan Hukum Karma
Hukum karma adalah hukum konservasi nilai-nilai moral, baik (mulia)
maupun buruk (rendah) perbuatan manusia. Hukum konservasi nilai-nilai
moral ini berarti, bahwasanya tidak ada hasil kerja yang hilang begitu saja
(Krita pranasa) dan tidak ada apa-apa yang terjadi pada seseorang akibat
perbuatannya sendiri (akritabhyupagama) . Karena aliran filsafat Hindu
(Sankhya, Yoga,Nyaya, Vaisesika, Mimamsa, Vedanta) yang orthodoks,
termasuk pula aliran Buddha dan Jaina, menerima konsep Hukum Karma ini.
Bentuk hukum karma yang paling sederhana adalah segala perbuatan,
baik atau buruk, membuahkan akibatnya masing-masing pada hidup
seseorang yang melakukan perbuatan tersebut, asalkan perbuatan dimaksud
dilakukan dengan keinginan untuk memperoleh hasilnya. Hukum karma ini
membantu untuk menerangkan, mengapa individu-individu manusia berbeda
satu sama lain dan tidak ada yang sama, yang tidak bisa dijelaskan dengan
keadaan kehidupan yang ada. Sering kita jumpai, bahwa orang-orang yang
terlahir dalam keadaan yang sama dan dibesarkan dalam lingkungan yang
sama, tetapi sangat berbeda dalam kesenangan dan sukses hidupnya : ada
yang bahagia ada yang sengsara, ada yang pandai ada yang bodoh, ada yang
kaya ada yang miskin, ada yang baik ada yang jahat dan seterusnya. Banyak
yang tidak dapat diterangkan berdasarkan perbuatan-perbuatan mereka
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
54
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
selama hidup ini. Yang terang-terang berbuat kejahatan yang tidak
ketulungan namun masih mendapat kedudukan dan sementara disegani
orang lain. Sebaliknya yang senantiasa berbuat kebaikan membantu
masyarakat yang tertimpa musibah ketidakadilan justru mesti bernasib jelek
memikul berbagai tuduhan yang direkayasa penguasa menyebabkan yang
bersangkutan terkucil dan menderita terus menerus.
Hukum karma menjelaskan bahwasanya semua perbuatan di masa
lalu, kini dan nanti pasti membuahkan hasil yang wajar, baik dalam masa
hidup sekarang ini, maupun kehidupan nanti . Prinsip waktu memegang
peranan penting dalam filsafat Hindu sebagai saksi-saksi dalam sejarah
hidup manusia . Waktu adalah waktu, waktu adalah peristiwa, waktu adalah
sejarah . Hanya waktu yang dapat mengisahkan masa lalu, masa kini dan
masa yang akan datang . Hukum karma bergulir bersama-sama waktu. Para
Rsi merumuskan bahwa Karma terbagi atas : yang belum mulai memberikan
hasil disebut Anarabdha Karma, yang sudah memberikan hasil disebut
Arabdha atau Prarabdha Karma. Anarabdha Karma dibagi lagi menjadi dua
: akumulasi dari hidup masa lampau Praktana atau Sancita Karma. Yang
dikumpulkan dalam hidup sekarang ini, Kriyamana atau Sancityamana
Karma.
Status hukum karma ini menurut beberapa aliran (seperti Nyaya,
Vaisiseka ) ada dibawah pengawasan dan kontrol Tuhan Yang Maha Kuasa,
sedangkan aliran-aliran filsafat lainnya (seperti Jaina, Baudha, Sankhya,
Mimamsa) memandang bahwa hukum karma ini otonom sifatnya dan
bekerja bebas dari kehendak Tuhan . Namun betapapun status hukum karma
ini didudukkan, ia berlaku atas dunia perbuatan yang dilakukan berdasarkan
pengaruh nafsu dan keinginan hidup duniawi yang biasa yang diuraikan
seperti berikut : segala perbuatan yang bermotif keinginan akan memperoleh
hasil dalam hidup ini dan hidup nanti terkena oleh hukum karma ini.
Perbuatan yang dilakukan tanpa motif keinginan akan hasilnya dan
tanpa nafsu, tidak memberi hasil yang mengikat, seperti biji bibit yang
digoreng tidak bisa tumbuh . Hukum karma ini mengajarkan orang agar
bekerja tanpa mementingkan diri sendiri, yang menyebabkan ia tidak saja
terbebas dari ikatan hasil perbuatannya, tetapi juga memusnahkan akumulasi
hasil-hasil perbuatannya di masa lampau : Ia terbebas dari pengaruh yang
mengikat, terbebas dari rasa senang dan benci, harapan dan kecemasan, yang
membawa ia menuju ke kecemasan. Orang yang mencapai kelepasan tidak
lagi terikat oleh hukum karma. Hukum karma ini membuat manusia menjadi
penguasa tujuan hidupnya sendiri. Hukum karma membuat manusia berpikir
tentang kejelekkannya sekarang sebagai akibat perbuatanya sendiri dan
mengharapkan masa depan yang lebih baik dengan jalan memperbaiki
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
55
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
perbuatannya sendiri. Selain hukum karma, pandangan yang umum diterima
oleh aliran-aliran dalam filsafat Hindu, yaitu tentang hakekat bahwasanya
ketidaktahuanlah yang menyebabkan manusia terbelenggu oleh
kesengsaraan yang berkepanjangan. Belenggu ini adalah proses lahir dan
lahir kembali (Numitis = Inkarnasi) serta konsekuensi kesengsaraan-nya
yang mengikat seseorang. Maka itu manusia harus berusaha untuk mencapai
kelepasan (Mukti atau Moksa) . Ini berarti berhentinya proses lahir dan lahir
kembali.
Ketidaktahuan manusia harus dile-nyapkan untuk mencapai kelepasan
. Oleh karena itu diperlukan ilmu pengetahuan. Tetapi hanya teori tentang
ilmu pengetahuan itu tidaklah cukup. Ilmu pengetahuan ini harus dicapai
dengan jalan disiplin, konsentrasi dan meditasi, (diuraikan dalam aliran
Yoga) dan perdebatan atau argumentasi yang filosofis tidaklah cukup.
Pengendalian diri sendiri (Samyama) sangat diperlukan dalam merenungkan
ilmu pengetahuan tetang kebenaran . Sebab ilmu pengetahuan saja tentang
apa yang benar tidaklah cukup kalau tidak disertai dengan perbuatan yang
benar. Tetapi perbuatan yang benar tidak bisa lahir tanpa adanya
pengendalian diri sendiri, sebab perkataan dan perbuatan kita tidak
selamanya mengikuti keyakinan intelektual kita, didorong oleh degupan rasa
(impuls), seperti rasa cinta dan benci (Raga dan Dvesa), yang merupakan
pendorong otomatis perbuatan kita. Indera kita selalu menjadi alat yang buta
dari degupan rasa ini.Maka itu, indra (pikiran, pendengaran, penglihatan,
penciuman, pencicipan, dan penyentuhan) harus selalu terkontrol dengan
upaya yang terus menerus, diulang-ulang menuju yang benar (Abhyasa).
Jro Mangku Remuk menyatakan secara duniawi upaya penghijauan
adalah usaha nyata umat manusia untuk menjaga kelestarian hutan dan
sekaligus menjamin ketersediaan air karena tanah dan pohon saling
bergantungan (perlukan), tak kalah pentingnya dengan usaha penghijauan
pelaksanaan hukum yang konsisten, mengatasi kemiskinan,singkatnya
seluruh rakyat dan aparat harus bersatu padu menjaga kelestarian hutan.
Secara rohani janganlah lupa untuk melaksanakan yajna seperti ritual
tumpek uduh, Danu Kertih, Wana Kertih, Segara Kertih, santih mantra dan
yakin terhadap hukum karma. Di Banjar Montong Galur, masalah
kelangkaan air berpotensi menimbulkan benturan antar etnis, hal mana telah
sering terjadi tapi dapat diselesaikan dengan komunikasi antar tokoh
masyarakat setempat. Terkecuali aliran carvaka, semua aliran filsafat Hindu
percaya pada adanya kemungkinan kelepasan (Mukti atau Moksa) sebagai
kebijakan yang tertinggi, dimana kesengsaraan yang dibawakan oleh hidup
di dunia ini dapat dimusnahkan seluruhnya, dan hukum karma tidak berlaku
lagi.
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
56
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
b. Pemeliharaan Sumber Air Dalam Persfektiv Materialisme Hindu
Dalam Sarasamuscaya 135 ada dinyatakan bahwa sebelum
menyelenggarakan empat tujuan hidup terlebih dahulu lakukanlah Bhuta
Hita. Bhuta Hita artinya mensejahterakan kehidupan alam lingkungan. Di
dunia ini ada tiga tujuan hidup yang harus disukseskan yaitu Dharma, Artha
dan Kama. Kalau tiga tujuan hidup itu sudah dapat diwujudkan dengan
sukses maka hal itulah yang menjadi landasan untuk mencapai tujuan hidup
yang tertinggi di dunia Niskala yang disebut Moksha. (I Nyoman Kadjeng,
2005, 110). Mewujudkan tiga tujuan hidup di dunia itu membutuhkan
sumber daya untuk diinvestasikan sebagai landasan mencapai tujuan hidup
tersebut. Kalau tidak bersikap seimbang dalam mewujudkan tujuan hidup
tersebut akan dapat merusak salah satu unsur dari sumber daya yang
dijadikan landasan mencapai tujuan hidup itu. Dalam Sloka Sarasamuscaya
tersebut di atas yang paling harus dijaga adalah kelestarian sumber daya
alam. Bahkan menurut Sarasamuscaya tersebut sumber daya alam ini yang
pertama-tama harus dilindungi kelestariannya. Karena sumber daya alam ini
sangat sulit diperbaharui. Misalnya kerusakan hutan. Kalau sudah terlanjur
rusak sungguh sangat berat untuk mengembalikannya. Karena untuk
membuat pohon besar, rindang dengan akar-akarnya sebagai penyerap air
dalam waktu singkat tidak mudah. Tokoh Masyarakat Banjar Montong
Galur, I Nyoman Nata berpendapat Masyarakat Banjar Montong Galur tidak
berani melakukan pencurian kayu dihutan karena hukumannya berat juga
menyadari hutan sebagai sumber kehidupan artinya selama hutan terpelihara
maka air akan selalu mengalir kedusun terpencil ini. Demikian juga
kerusakan pantai yang telanjur abrasi. Sungguh tidak gampang
mengembalikannya. Udara kota yang penuh polusi juga sungguh berat
mengembalikan pada keadaan yang bersih. Sungai dengan kalinya yang
sudah rusak karena disalahfungsikan. Daerah resapan yang sudah tidak
berfungsi lagi sehingga air bawah tanah menjadi sesuatu yang langka.
Kerusakan alam seperti itu umumnya karena ulah manusia yang ingin
mendapatkan keuntungan sesaat dalam mengelola alam.
d. Pemeliharaan Sumber Air Dalam persfektif Wariga
Wariga dan dewasa merupakan dua istilah yang umum diperhatikan
umat hindu. Kedua ilmu tersebut merupakan salah satu cabang ilmu agama
yang dihubungkan dengan Ilmu Astronomi.(Jyotisa Sastra), sebagai salah
satu bagian dari Wedangga. Dalam Pengantar Agama Hindu Disebutkan “
Wedangga atau Sad Angga Weda itu merupakan batang tubuh weda yang
terdiri atas enam bidang weda, salah satu diantaranya adalah Jyotisa” (I
Gede Wijaya, th 1981,hal 23). Walaupun wariga dan dewasa sebagai satu
cabang ilmu weda, namun pendalamannya tidak banyak diketahui kecuali
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
57
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
untuk tujuan praktis sehubungan dengan usaha yang dilakukan, mengingat
hari atau waktu dalam kepercayaan masyarakat Hindu di pengaruhi oleh
unsur-unsur kekuatan tertentu.
Secara sistematis petunjuk padewasaan dimaksud dapat disimpulkan
dengan rumusan ucapan kata sloka: Wepatangsada, yang mengandung
makna sebagai berikut:
wewaran alah dening pawukon, pawukon alah dening tanggal/
panglong, tanggal /panglong alah dening sasih, sasih alah dening dawuh,
dawuh alah dening Sang Hyang Trayodasa Saksi.
Yang dimaksud dengan Sang Hyang Trayodasa Saksi adalah:
Aditya (Matahari), Candra (Bulan), Anila (angin), Agni (Api), Apah
(Air), Akasa (Langit), Pratiwi (Tanah), Atma (Atma), Yama (Sabda), Ahas
(Rahina), Ratri (Malam), Sandhyakala (Senja) dan Dwaya (Semeng).
“ Ingkel Taru, aywa nepeg mwang nekung, bwat mati, gelis mati alania.
Ingkel Buku, aywa nepeg tihing, tebu, glagah/sarwa mabuku, doyan
kelangan, mati alania. (Wariga Bhagawan Gargha, 1980: 15).
Artinya:
Ingkel Taru, jangan menebang pohon/kayu akan mengakibatkan cepat mati,
apalagi kayu itu dipakai bahan bangunan. Ingkel Buku, jangan menebang
bambu, tebu, glagah, akan mengakibatkan kehilangan atau musnah
sehingga tidak ada tumbuh lagi.
Dari uraian diatas, semuanya mengungkapkan suatu pantangan atau larangan
yang tidak boleh dilanggar , ditentang oleh manusia sehubungan dengan
kegiatan/usaha yang dianggap penting, misalnya menebang kayu untuk
mendirikan rumah sebab jika piteket ini dilanggar akan membawa akibat
buruk pada bangunan dan diri orang itu, jadi nasihat ini patutlah dituruti .
e. Pemeliharaan sumber air dalam persfektif Tri Hita Karana.
TRI HITA KARANA merupakan falsafah hidup dan juga konsep
kosmologi orang Bali yang bermukim di Pulau Lombok. Suatu falsafah
yang mengandung ide tentang pelestarian keaneka ragaman budaya dan
lingkungan. Hakikat ajaran tri hita karana menekankan tiga hubungan
dalam kehidupan ini yang meliputi hubungan dengan sesama manusia,
hubungan dengan alam sekeliling, dan hubungan dengan ke Tuhanan yang
saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup
menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus
seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai,
manusia akan hidup dengan berkecukupan. Hubungan antara manusia
dengan alam lingkungan perlu terjalin secara harmonis, bilamana
keharmonisan tersebut terganggu, niscaya akan menimbulkan masalah.
Konsepsi Tri Hita Karana memberi penekanan pada terwujudnya nilai
dan azas keseimbangan dalam kehidupan, untuk mencapai tujuan agama,
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
58
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
terciptanya kedamaian, dan tercapainya kesejahteraan hidup bagi umat
manusia. Hakekat dasar dari konsepsi ini adalah kesadaran manusia untuk
mewujudkan azas keseimbangan dalam kehidupannya, dengan wujud polapola hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan-nya, dengan
alam lingkungannya dan dengan sesamanya. Tiga wujud pola hubungan
yang disebut dengan Parhyangan, Palemahan, Pawongan; adalah
manifestasi dari kehidupan dunia dengan segala isinya yang dibedakan
antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Dengan berlandaskan pada
tujuan kehidupan beragama, yaitu menyatunya Atman dengan Paramaatman,
dalam suatu bentuk penciptaan hubungan yang serasi dengan nilai
keseimbangan dari hubungan antar ketiga unsur tersebut pada kehidupan.
Dalam pelaksanaannya oleh masyarakat, konsepsi Tri Hita Karana
diwujudkan dalam bentuk pola penataan pekarangan, perwujudan simbolsimbol fisik keagamaan, pola tingkah laku berupacara dan berbagai penataan
perilaku masyarakat untuk terciptanya keseimbangan dan keteraturan sosial.
Pada kenyataannya, dalam kehidupan masyarakat sebagai anggota banjar
dikota dimana heterogenitas masyarakat juga ikut berperan, maka berbagai
aspek yang menentukan keberadaan banjar juga mempengaruhi pola
pelaksanaan konsepsi tersebut. Kesadaran manusia akan hakekat kehidupan,
tentang adanya proses penciptaan, prinsip kebersamaan, dan hakekat
perbuatan dalam hubungannya dengan waktu; mengarahkan manusia pada
pola kehidupan yang berusaha untuk mewujudkan pemberian nilai dan
pengembangan azas keseimbangan pada setiap aspek kehidupannya.
f. Aspek-aspek Disiplin Pemeliharaan Sumber Air.
Aspek-aspek disiplin pemeliharaan sumber air adalah adanya larangan dan
anjuran. Sebagai larangan seperti yang tercantum dalam Manawa
Dharmasastra IV.56 menegaskan bahwa meludah, membuang air kencing
atau kotoran ke sungai tidak dibolehkan, tak terkecuali melemparkan katakata yang tidak suci ke sungai. Dalam Lontar Siwagama disebutkan tentang
bahayanya kerusakan alam ini. Bahulu kala pada saat tanah tidak mampu
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, Air sedemikian kotor hingga tidak
mampu membasahi. Udara kotor dan menjadi sumber berbagai penyakit.
Manusia pun hidupnya sengsara. Bhagawan Manu melakukan tapa barata
memohon anugrah Hyang Widhi. Doa yang tulus dari bhagawan Manu
terkabulkan dengan diutusnya Hyang Tri Murti turun ke dunia untuk
menyelamatkan alam dan makhluk hidup lainnya. Bhatara Brahma turun
menjadi Naga Ananta Bhoga dan masuk ke dalam tanah mengembalikan
fungsi tanah. Tanah pun menjadi Ananta Bhoga artinya sumber makanan
yang tidak putus putusnya, Bhatara Wisnu turun menjadi Naga Basuki.
Kepalanya menjadi laut ekornya menjadi gunung. Laut menguapkan airnya
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
59
I Nyom Suyasa, Konsep Pemeliharaan Sumber Air (Suatu Tinjauan Filsafat Hindu)
menjadi mendung. Mendung jatuh menjadi hujan. Hujan pun ditampung oleh
ekor Naga Basuki dalam wujud gunung dengan hutannya yang lebat. Hutan
lebat itu perwujudan dari sisik ekor Naga Basuki. Dari proses itulah timbul
danau, sungai dan sumber-sumber air lainnya. Karena itu sangat dilarang
merusak laut, gunung dengan hutan, sungai danau dan sumber-sumber air
lainnya. Karena semuanya itu perwujudan Naga Basuki yang tiada lain
Bhatara Wisnu sendiri. Naga dalam bahasa Sansekerta di samping berarti
ular besar juga berarti bumi. Basuki artinya selamat atau rahayu. Jadinya
Naga Basuki artinya alam sebagai penyelamat. Bhatara Iswara turun sebagai
Naga Taksaka yaitu Naga bersayap terbang menyucikan udara. Mitologi ini
sesungguhnya sebagai suatu ilustrasi pendidikan untuk mendidik umat
manusia agar jangan merusak sumber-sumber daya alam tersebut.
PENUTUP
Hasil penelitian adalah Filsafat Hindu Nyaya sebagai pandangan hidup
tercermin dalam segenap aktivitas adat dan keagamaan, dalam bentuk interaksi,
integrasi, partisipasi dan orientasi yang kuat kemudian menjadi ciri yang khas dari
kehidupan masyarakat Hindu, baik didesa atau dikota. Konsep pemeliharaan
sumber air menurut Filsafat Hindu adalah mewujudkan keseimbangan alam,
manusia dan Brahman dalam rangka menuju tercapainya tujuan hidup manusia
yaitu Catur Purusa Artha. Dengan Analisis Deskritif dapat dinyatakan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara konsep pemeliharaan sumber air dengan
filsafat Hindu. Pola hubungan prilaku masyarakat dengan konsep pemeliharaan
sumber air yang dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk pola penataan
pekarangan, perwujudan simbol-simbol fisik keagamaan, pola tingkah laku
berupacara dan berbagai penataan perilaku masyarakat untuk terciptanya
keseimbangan alam dan keteraturan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Djuretna A Imam Muhni. 1994. Moral dan Religi menurut Emile Durkheim dan
Henri Bergson. Yogyakarta : kanisius
Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu. Surabaya : Paramita
Kadjeng, I Nyoman. 2005. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita
Pudja, Gde. 2005. Bhagavadgita (Pancama Weda). Surabaya : Paramitha.
Sudibya, I Gde. 1997. Hindu Budaya Bali. Denpasar : Bunga Rampai Pemikiran
Sudiarsa. I Wayan. 2004. Air Untuk Masa Depan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Titip. I Made. 2001. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya :
Paramita.
Tresna Sastrawan A. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
60
Download