14 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari upaya

advertisement
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari upaya proses demetilasi kinin diperoleh suspensi berupa cairan berwarna coklat tua
(fase cair) dan lengketan coklat (fase padat). Ekstraksi cair-cair dilakukan pada masingmasing produk untuk memisahkan senyawa hasil reaksi. Fase cair diekstraksi dengan
pelarut metilen klorida (MTC), sedangkan fase padat yang berupa lengketan coklat
dilarutkan dalam etil asetat, kemudian diektraksi dengan air. Berdasarkan hasil penelitian
terlihat bahwa senyawa dalam filtrat fase cair lebih memilih larut dalam fasa organik,
MTC, yang kerapatannya lebih besar daripada air (ρ = 1,32 g/L), sehingga MTC berwarna
merah tua sedangkan fasa air berwarna kuning. Hal ini dikarenakan kinin yang digunakan
bersifat basa dan sedikit larut dalam air. Pelarut MTC kemudian diberi karbon aktif dan
disaring melalui magnesium sulfat anhidrat, diperoleh filtrat MTC berwarna merah terang.
Senyawa dalam filtrat fase padat lebih memilih larut dalam etil asetat yang kerapatannya
lebih rendah daripada air, sehingga etil asetat berwarna merah-kecoklatan dan air berwarna
kuning keruh. Dengan perlakuan yang sama seperti filtrat fase cair, diperoleh filtrat fase
padat dalam etil asetat berwarna merah tua.
Asam asetat glassial berfungsi sebagai pelarut yang membantu menyediakan energi reaksi,
menjaga ketersediaan H+, dan sekaligus sebagai pemberi suasana asam dalam proses
demetilasi. Temperatur yang digunakan adalah titik didih asam hidroiodida yaitu 127oC,
yang dipilih berdasarkan titik didih pereaksi yang digunakan namun tidak melampaui titik
didih kinin. Oleh karena kinin memiliki jarak lebur yang tinggi yaitu 173-175oC, maka
reaksi kimia pada kinin dapat tetap berlangsung dan kinin tidak mengalami penguraian /
rusak.
Hasil refluks yang diperoleh diatur pH-nya menjadi sekitar 5-6. Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga kestabilan produk reaksi yang terbentuk, karena diduga produk tersebut sangat
labil dan mudah teroksidasi. Pada kondisi pH yang terlalu basa, gugus –OH pada kinin
akan terionisasi sehingga dapat mengganggu kesempurnaan reaksi demetilasi dan produk
fenol yang terbentuk akan lebih mudah teroksidasi memberikan produk berwarna coklat.
Pada pH yang terlalu asam, produk yang diperoleh tetap berada di fasa air.
14
15
Hasil uji reaksi warna dengan larutan besi (III) klorida sesuai dengan Gambar 4.1.
1
2
3
4
Gambar 4.1. Reaksi warna dengan larutan besi (III) klorida : 1. Kinin dalam
CHCl3, 2. Asam salisilat dalam MTC, 3. Filtrat fase cair dalam
MTC, 4. Filtrat fase padat dalam etil asetat.
Ion besi (III) dapat membentuk kompleks berwarna dengan beberapa senyawa organik,
termasuk fenol. Warna kompleks yang dihasilkan bervariasi dari senyawa yang satu
dengan yang lain. Reaksi dengan larutan besi (III) klorida dapat digunakan untuk menguji
keberadaan gugus fenol. Asam salisilat memiliki gugus fenol dalam strukturnya dan akan
bereaksi dengan larutan besi (III) klorida membentuk warna ungu tua. Kinin tidak memiliki
gugus fenol dalam strukturnya, sehingga memberikan hasil kompleks berwarna kuningoranye. Pada saat larutan besi (III) klorida diteteskan ke dalam filtrat fase cair dan padat,
tetesan terlihat berwarna ungu tua, namun segera berubah menjadi warna merah-kecoklatan
untuk filtrat fase cair, dan kuning-coklat tua untuk filtrat fase padat. Endapan berwarna
ungu muda yang mengerak pada dasar pelat tetes terjadi pada filtrat fase cair, sedangkan
pada filtrat fase padat endapan berwarna kuning-coklat tua. Dengan demikian diduga
bahwa kedua filtrat memiliki gugus fenol di dalam strukturnya, namun sifatnya tidak stabil
dan mudah teroksidasi.
Dalam waktu kira-kira tujuh hari, filtrat fase padat menjadi berwarna coklat dan timbul
kristal tipis yang berwarna ungu-kehitaman yang dapat larut dalam CHCl3 – EtOH (1:1).
Pelarut MTC dalam filtrat fase cair diuapkan dan diperoleh lengketan coklat sebanyak 7,97
gram. Filtrat fase padat yang diperoleh sebanyak ± 100 mL, dan kristal ungu-kehitaman
yang diperoleh sebanyak 1,09 gram. Jadi, dalam reaksi demetilasi kinin ini diperoleh tiga
macam sampel yang akan dipantau lebih lanjut dengan teknik kromatografi lapis tipis
(KLT), yaitu filtrat fase cair dalam MTC sebagai sampel no 1, filtrat fase padat bagian
cairan dalam etil asetat sebagai sampel no 2, dan filtrat fase padat bagian kristal dalam
CHCl3 – EtOH (1:1) sebagai sampel no 3.
Untuk mengetahui adanya kelebihan ion iodida, masing-masing sampel direaksikan dengan
larutan amilum. Hasil uji reaksi warna dengan larutan amilum sesuai dengan Gambar 4.2.
16
1
2
3
Gambar 4.2. Reaksi warna dengan larutan amilum : 1. Sampel no 1, 2. Sampel no 2,
3. Sampel no 3.
Dalam larutan asam, iodida dioksidasi menjadi iod. Dengan adanya jumLah sedikit iod
akan terjadi senyawa iod-amilum yang berwarna biru tua. Pewarnaan biru amilum-iod
disebabkan oleh terbentuknya suatu senyawa dalam dari amilosa-amilum dan atom iod.
Dari hasil penelitian tidak terbentuk warna biru, sehingga dapat dipastikan bahwa di dalam
masing-masing sampel sudah tidak ada kelebihan ion iodida yang dapat mengganggu tahap
reaksi selanjutnya.
Hasil pemantauan reaksi demetilasi kinin menggunakan asam hidroiodida dapat dilihat
pada Gambar 4.3.
3 4
1
2
3 4
B
B
A
A
1 2
3 4
a
1
2
3 4
b
Gambar 4.3. Kromatogram hasil pemantauan reaksi demetilasi kinin dengan fase gerak
etanol – etil asetat – larutan amoniak 25% (5:13:2) : a. Pada sinar UV 254
nm, b. Pada sinar UV 366 nm, 1 = Pembanding kinin basa anhidrat (PT
SIL); 2 = sampel no 1; 3 = sampel no 2; 4 = sampel no 3.
Noda A diduga sebagai produk utama karena memberikan fluoresensi berwarna hijau yang
paling kuat dibanding noda yang lain. Noda B dipilih sebagai salah satu dari produk
sampingan yang akan diisolasi karena diduga memiliki gugus fungsi yang sama dengan
produk utama, namun memiliki gugus yang berlainan posisi di dalam strukturnya.
17
Asam hidroiodida dipilih sebagai pereaksi nukleofilik (basa Lewis) yang akan menyerang
karbokation gugus metil dalam struktur kinin, karena asam hidroiodida memberikan laju
reaksi yang paling cepat. Asam hidrobromida dapat bertindak sama pada suhu yang lebih
tinggi, yaitu 200oC (Wagner, 1963). Sifat keasaman asam hidroiodida lebih kuat dibanding
asam hidrobromida (Ka HI = ~1011; Ka HBr = ~109), kenukleofilan anion dan reaktivitas
terhadap gugus eter meningkat, yang berpengaruh pada terjadinya peningkatan laju reaksi.
Selain itu, adanya ikatan rangkap alifatik pada kinin memungkinkan terjadinya reaksi adisi.
Asam hidroiodida dapat bereaksi dengan sangat mudah untuk mengadisi ikatan rangkap
alifatis pada kinin. Asam hidroiodida memiliki polaritas ikatan H-X yang tinggi, sehingga
ikatan tersebut dapat dengan mudah putus untuk menghasilkan sebuah proton dan ion
halida (Walter, 1996).
Berdasarkan noda-noda kromatogram KLT pada Gambar 4.3. terlihat bahwa selain produk
utama, dihasilkan pula banyak produk sampingan reaksi yang tidak dikehendaki, yang
dapat menurunkan rendemen isolat utama dan bahkan dapat menjadi pengotor yang
signifikan bagi produk yang diinginkan. Produk samping mungkin terbentuk sebagai akibat
adanya ikatan rangkap C=C yang reaktif untuk tempat terjadinya reaksi adisi dan oksidasi
yang dapat menghasilkan produk yang tidak stabil.
Dalam penelitian ini telah dilakukan pemurnian noda A dan noda B secara KLT preparatif
menggunakan silika gel GF254 yang dilapisi pada pelat kaca sebagai fase diam, dan etanol–
etil asetat–larutan amoniak 25% (5:13:2) sebagai fase gerak. Kromatogram hasil
pemisahan dan pemurnian noda A dan noda B dapat dilihat pada Gambar 4.4.
B
A
B
A
a
b
Gambar 4.4. Kromatogram hasil pemisahan dan pemurnian noda A dan noda B dengan
fase gerak etanol – etil asetat – larutan amoniak 25% (5:13:2) : a. Pada
sinar UV 254 nm, b. Pada sinar UV 366 nm.
18
Pemantauan hasil pemurnian masing-masing pita seperti terlihat pada Gambar 4.5.
a
b
Gambar 4.5. Kromatogram hasil pemurnian pita A dan B dengan fase gerak etanol – etil
asetat – larutan amoniak 25% (5:13:2) : a. Kromatogram noda A, b.
Kromatogram noda B.
Pada penampak bercak sinar UV 366 nm, kinin memberikan fluoresensi berwarna biru,
noda A berwarna hijau terang, sedangkan noda B berwarna hijau-kebiruan. Nilai Rf
masing-masing senyawa secara berurutan adalah 0,88; 0,65; dan 0,75. Masing-masing
senyawa kemudian diuji kemurniannya secara KLT dua dimensi menggunakan dua sistem
pengembang yang berbeda, yakni etanol – etil asetat – larutan amoniak 25% (5:13:2)
sebagai sistem pengembang pertama, dan metanol – aseton – larutan amoniak 25% (5:13:2)
sebagai sistem pengembang kedua. Kromatogram hasil uji kemurnian dapat dilihat pada
Gambar 4.6. dan Gambar 4.7.
a
b
c
Gambar 4.6. Kromatogram hasil uji kemurnian isolat A : a. Pada sistem pengembang
pertama, b. Pada sistem pengembang kedua, c. Pada uap iodin, pada lampu
UV 366 nm, dan sinar tampak setelah disemprot dengan H2SO4 10%.
19
a
b
c
Gambar 4.7. Kromatogram hasil uji kemurnian isolat B : a. Pada sistem pengembang
pertama, b. Pada sistem pengembang kedua, c. Pada uap iodin, pada lampu
UV 366 nm, dan sinar tampak setelah disemprot dengan H2SO4 10%.
Berdasarkan hasil uji kemurnian isolat A dan B, dapat disimpulkan bahwa senyawa yang
diduga produk utama (isolat A) dan salah satu produk sampingan yang mirip dengan
produk utama (isolat B) yang diisolasi adalah murni. Isolat A yang diperoleh sebanyak 5,1
mg (0,05% teoritis), sedangkan isolat B yang diperoleh sebanyak 2,6 mg (0,02% teoritis).
Penampak bercak uap iodin digunakan untuk mengetahui kemurnian senyawa yang
diperoleh terhadap senyawa lain yang memiliki ikatan rangkap. Karena uap iodin tidak
bersifat destruktif / merusak pelat KLT, maka pelat tersebut masih dapat digunakan untuk
pengujian kemurnian selanjutnya, yaitu penampak bercak universal H2SO4 10% dalam
metanol yang berpotensi untuk menampakkan semua senyawa organik.
Karakterisasi struktur dilakukan dengan menginterprestasikan data dari spektrum
inframerah, ultraviolet-sinar tampak, dan fluoresensi digunakan untuk menentukan struktur
molekul dari senyawa hasil sintesis. Data-data ultraviolet (UV), fluoresensi, dan spektrum
inframerah (IR) hasil uji kemurnian dapat dilihat pada Gambar 4.8.
2
1
1
3
2
3
a
b
20
1
3
2
c
Gambar 4.8 Berbagai spektrum hasil uji kemurnian isolat A dan B : a. Spektrum IR
dalam cakram KBr, b. Spektrum UV dalam etanol 95%, c. Spektrum
fluoresensi dalam etanol 95%, 1 = Pembanding kinin basa anhidrat sebelum
didemetilasi dengan asam hidroiodida, 2 = isolat A, 3 = isolat B.
Dari hasil pengukuran panjang gelombang (λ) UV dalam etanol, isolat A mempunyai λmaks
= 371 nm, isolat B mempunyai λmaks = 419 dan 441 nm, sedangkan λmaks pembanding kinin
= 332 nm, menunjukkan adanya pergeseran λ ke arah yang lebih besar (pergeseran
batokromik). Kromofor pada isolat A dan B lebih panjang dibanding kromofor pada kinin,
karena adanya gugus -OH fenolik pada kedua isolat memungkinkan elektron pada atom O
gugus -OH fenolik dapat beresonansi ke dalam sehingga dapat menambah panjang kromofor
yang akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang.
Spektrum IR kedua isolat menunjukkan adanya sinyal –OH fenolik pada bilangan
gelombang sekitar 3430 cm-1 (Silverstein and Webster, 1998). Hilangnya sinyal ikatan
rangkap dua C=C alifatis pada bilangan gelombang sekitar 1590 cm-1 (Silverstein and
Webster, 1998) menunjukkan telah terjadi proses adisi pada isolat noda B, namun pada
isolat A sinyal ikatan rangkap dua C=C ini masih muncul, yang ditandai adanya vibrasi
rentang tajam pada bilangan gelombang 1619 cm-1. Hal ini didukung oleh munculnya
sinyal alkil halogen (C – I) pada bilangan gelombang sekitar 500 cm-1 pada spektrum isolat
B (Silverstein and Webster, 1998). Dari spektrum IR kedua isolat dapat diketahui bahwa
gugus –OH fenolik sudah terbentuk tetapi sebagian sudah terurai, ikatan rangkap dua C=C
pada isolat B sudah hilang sempurna digantikan oleh iodida, sedangkan ikatan rangkap dua
C=C pada isolat A tidak teradisi dengan sempurna.
21
Tabel 4.1 Hasil Serapan IR Isolat A
Gugus fungsi
Bilangan gelombang (cm-1)
Intensitas
3428
Kuat, melebar
2923
Kuat, tajam
2854
Sedang atau kuat
2368
Sedang atau lemah
1619
Sedang, tajam
466
Kuat, tajam
Rentang –OH fenolik
Rentang –CH metilena
Rentang –CH metil
Rentang –CN
Rentang –CH metilena
Tekukan C-I
(Silverstein and Webster, 1998)
Tabel 4.2 Hasil Serapan IR Isolat B
Bilangan gelombang (cm-1)
Intensitas
Rentang –OH fenolik
3451
Kuat, melebar
Rentang –CH metilena
2923
Kuat, tajam
Rentang –CH metil
2857
Sedang atau kuat
Rentang –CN
2368
Sedang atau lemah
Rentang –CH metilena
1631
Sedang, tajam
462
Kuat, tajam
Gugus fungsi
Tekukan C-I
(Silverstein dan Webster, 1998)
Tabel 4.3 Hasil Serapan IR Pembanding Kinin
Bilangan gelombang (cm-1)
Intensitas
Rentang –OH alkoholik
3170
Kuat, melebar
Rentang –CH metilena
2931
Kuat, tajam
Rentang –CH metil
2865
Sedang atau kuat
Gugus fungsi
22
Tabel 4.3 Hasil Serapan IR Pembanding Kinin (Lanjutan)
Gugus fungsi
Bilangan gelombang (cm-1)
Intensitas
1623
Sedang, tajam
1238
Kuat, tajam
Rentang –CH metilena
Tekukan –C-O-C
(Silverstein dan Webster, 1998)
Dari spektrum fluoresensi diperoleh spektrum emisi kinin pada λmaks = 360 nm, isolat A
pada λmaks = 440 nm, dan isolat B pada λmaks = 465 nm. Kinin memberikan fluoresensi
berwarna biru terang ketika diberi sinar radiasi, isolat A berwarna biru-hijau, sedangkan
isolat B berwarna hijau terang. Hal ini sesuai dengan posisi sinar biru yang memiliki energi
lebih besar daripada sinar hijau, sehingga memiliki panjang gelombang yang lebih pendek.
Kinin memiliki %T sebesar 39%, isolat A sebesar 44%, dan isolat B sebesar 24%. Adanya
substitusi gugus –OH fenolik pada struktur isolat A dan B menyebabkan peningkatan tahap
transisi π → π‫ ٭‬berenergi rendah sehingga geseran maksimum absorpsi menjadi lebih besar
dibanding kinin. Di lain pihak, adanya substitusi gugus halogen seringkali menurunkan
efisiensi fluoresensi. Fluoresensi isolat B lebih rendah dibanding isolat A karena adanya
pengaruh substitusi iod yang meningkatkan laju pelintasan antarsistem ke tingkat triplet.
Pada atom halogen bernomor lebih besar seperti iod, antaraksi antara gerakan spin dan
gerakan orbital menjadi besar yang dapat menyebabkan perubahan pada spin yang
berakibat menurunnya fluoresensi. Masing-masing isolat tetap dapat berfluoresensi
menunjukkan adanya kekakuan struktur dalam molekulnya. Tidak adanya kekakuan pada
suatu molekul mungkin menyebabkan peningkatan laju konversi internal dan
bertambahnya kemungkinan untuk deaktivasi tak-beradiasi. Satu bagian yang tidak kaku
dari suatu molekul dapat mengalami vibrasi frekuensi yang rendah terhadap bagian
lainnya. Gerakan yang demikian dapat menyebabkan hilangnya energi yang berakibat
menurunnya efisiensi fluoresensi. Dari hasil pengukuran fluoresensi ini dapat disimpulkan
bahwa isolat A memiliki kemampuan berfluoresensi paling tinggi dibanding kinin dan
isolat B, yang ditandai perolehan %T sebesar 44%.
Hasil uji reaksi warna pada isolat A dan B menggunakan larutan besi (III) klorida dan air
iod 0,1 N dapat dilihat pada Gambar 4.9. dan 4.10.
23
a
b
Gambar 4.9. Reaksi warna dengan larutan besi (III) klorida : 1. Asam salisilat
dalam etanol, 2. Kinin dalam etanol, 3. Isolat A dalam etanol, 4. Isolat B dalam
etanol, a. Sesaat setelah FeCl3 diteteskan, b. 5 menit setelah FeCl3 diteteskan.
1
2
3
Gambar 4.10. Reaksi warna dengan air iod 0,1 N : 1. Kinin dalam etanol, 2.
Isolat A dalam etanol, 3. Isolat B dalam etanol.
Dari hasil reaksi dengan larutan besi (III) klorida, proses visualisasi gugus fenol terlihat
jelas setelah reaksi berlangsung selama 5 menit. Isolat A menghasilkan kompleks berwarna
coklat-ungu. Isolat B memiliki warna oranye yang lebih intens dibanding kinin. Hal ini
mungkin terjadi karena gugus fenol yang sudah terurai pada isolat B sehingga memberikan
reaksi yang tidak sama seperti isolat A. Dari hasil reaksi dengan air iod, isolat A
memberikan warna coklat muda yang hampir sama dengan kinin sedangkan isolat B
menghasilkan warna coklat seperti warna air iod. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa reaksi adisi masih dapat terjadi pada isolat A menandakan bahwa dalam struktur
isolat A masih terdapat ikatan rangkap C=C alifatis yang dapat bereaksi dengan iodida
menghasilkan dekolorasi warna air iod. Dalam struktur isolat B, ikatan rangkap C=C
alifatis sudah tidak ada sehingga reaksi adisi dengan iodida tidak terjadi, tidak terjadi
dekolorasi warna air iod.
Download