BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari upaya proses demetilasi kinin diperoleh suspensi berupa cairan berwarna coklat tua (fase cair) dan lengketan coklat (fase padat). Ekstraksi cair-cair dilakukan pada masingmasing produk untuk memisahkan senyawa hasil reaksi. Fase cair diekstraksi dengan pelarut metilen klorida (MTC), sedangkan fase padat yang berupa lengketan coklat dilarutkan dalam etil asetat, kemudian diektraksi dengan air. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa senyawa dalam filtrat fase cair lebih memilih larut dalam fasa organik, MTC, yang kerapatannya lebih besar daripada air (ρ = 1,32 g/L), sehingga MTC berwarna merah tua sedangkan fasa air berwarna kuning. Hal ini dikarenakan kinin yang digunakan bersifat basa dan sedikit larut dalam air. Pelarut MTC kemudian diberi karbon aktif dan disaring melalui magnesium sulfat anhidrat, diperoleh filtrat MTC berwarna merah terang. Senyawa dalam filtrat fase padat lebih memilih larut dalam etil asetat yang kerapatannya lebih rendah daripada air, sehingga etil asetat berwarna merah-kecoklatan dan air berwarna kuning keruh. Dengan perlakuan yang sama seperti filtrat fase cair, diperoleh filtrat fase padat dalam etil asetat berwarna merah tua. Asam asetat glassial berfungsi sebagai pelarut yang membantu menyediakan energi reaksi, menjaga ketersediaan H+, dan sekaligus sebagai pemberi suasana asam dalam proses demetilasi. Temperatur yang digunakan adalah titik didih asam hidroiodida yaitu 127oC, yang dipilih berdasarkan titik didih pereaksi yang digunakan namun tidak melampaui titik didih kinin. Oleh karena kinin memiliki jarak lebur yang tinggi yaitu 173-175oC, maka reaksi kimia pada kinin dapat tetap berlangsung dan kinin tidak mengalami penguraian / rusak. Hasil refluks yang diperoleh diatur pH-nya menjadi sekitar 5-6. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kestabilan produk reaksi yang terbentuk, karena diduga produk tersebut sangat labil dan mudah teroksidasi. Pada kondisi pH yang terlalu basa, gugus –OH pada kinin akan terionisasi sehingga dapat mengganggu kesempurnaan reaksi demetilasi dan produk fenol yang terbentuk akan lebih mudah teroksidasi memberikan produk berwarna coklat. Pada pH yang terlalu asam, produk yang diperoleh tetap berada di fasa air. 14 15 Hasil uji reaksi warna dengan larutan besi (III) klorida sesuai dengan Gambar 4.1. 1 2 3 4 Gambar 4.1. Reaksi warna dengan larutan besi (III) klorida : 1. Kinin dalam CHCl3, 2. Asam salisilat dalam MTC, 3. Filtrat fase cair dalam MTC, 4. Filtrat fase padat dalam etil asetat. Ion besi (III) dapat membentuk kompleks berwarna dengan beberapa senyawa organik, termasuk fenol. Warna kompleks yang dihasilkan bervariasi dari senyawa yang satu dengan yang lain. Reaksi dengan larutan besi (III) klorida dapat digunakan untuk menguji keberadaan gugus fenol. Asam salisilat memiliki gugus fenol dalam strukturnya dan akan bereaksi dengan larutan besi (III) klorida membentuk warna ungu tua. Kinin tidak memiliki gugus fenol dalam strukturnya, sehingga memberikan hasil kompleks berwarna kuningoranye. Pada saat larutan besi (III) klorida diteteskan ke dalam filtrat fase cair dan padat, tetesan terlihat berwarna ungu tua, namun segera berubah menjadi warna merah-kecoklatan untuk filtrat fase cair, dan kuning-coklat tua untuk filtrat fase padat. Endapan berwarna ungu muda yang mengerak pada dasar pelat tetes terjadi pada filtrat fase cair, sedangkan pada filtrat fase padat endapan berwarna kuning-coklat tua. Dengan demikian diduga bahwa kedua filtrat memiliki gugus fenol di dalam strukturnya, namun sifatnya tidak stabil dan mudah teroksidasi. Dalam waktu kira-kira tujuh hari, filtrat fase padat menjadi berwarna coklat dan timbul kristal tipis yang berwarna ungu-kehitaman yang dapat larut dalam CHCl3 – EtOH (1:1). Pelarut MTC dalam filtrat fase cair diuapkan dan diperoleh lengketan coklat sebanyak 7,97 gram. Filtrat fase padat yang diperoleh sebanyak ± 100 mL, dan kristal ungu-kehitaman yang diperoleh sebanyak 1,09 gram. Jadi, dalam reaksi demetilasi kinin ini diperoleh tiga macam sampel yang akan dipantau lebih lanjut dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT), yaitu filtrat fase cair dalam MTC sebagai sampel no 1, filtrat fase padat bagian cairan dalam etil asetat sebagai sampel no 2, dan filtrat fase padat bagian kristal dalam CHCl3 – EtOH (1:1) sebagai sampel no 3. Untuk mengetahui adanya kelebihan ion iodida, masing-masing sampel direaksikan dengan larutan amilum. Hasil uji reaksi warna dengan larutan amilum sesuai dengan Gambar 4.2. 16 1 2 3 Gambar 4.2. Reaksi warna dengan larutan amilum : 1. Sampel no 1, 2. Sampel no 2, 3. Sampel no 3. Dalam larutan asam, iodida dioksidasi menjadi iod. Dengan adanya jumLah sedikit iod akan terjadi senyawa iod-amilum yang berwarna biru tua. Pewarnaan biru amilum-iod disebabkan oleh terbentuknya suatu senyawa dalam dari amilosa-amilum dan atom iod. Dari hasil penelitian tidak terbentuk warna biru, sehingga dapat dipastikan bahwa di dalam masing-masing sampel sudah tidak ada kelebihan ion iodida yang dapat mengganggu tahap reaksi selanjutnya. Hasil pemantauan reaksi demetilasi kinin menggunakan asam hidroiodida dapat dilihat pada Gambar 4.3. 3 4 1 2 3 4 B B A A 1 2 3 4 a 1 2 3 4 b Gambar 4.3. Kromatogram hasil pemantauan reaksi demetilasi kinin dengan fase gerak etanol – etil asetat – larutan amoniak 25% (5:13:2) : a. Pada sinar UV 254 nm, b. Pada sinar UV 366 nm, 1 = Pembanding kinin basa anhidrat (PT SIL); 2 = sampel no 1; 3 = sampel no 2; 4 = sampel no 3. Noda A diduga sebagai produk utama karena memberikan fluoresensi berwarna hijau yang paling kuat dibanding noda yang lain. Noda B dipilih sebagai salah satu dari produk sampingan yang akan diisolasi karena diduga memiliki gugus fungsi yang sama dengan produk utama, namun memiliki gugus yang berlainan posisi di dalam strukturnya. 17 Asam hidroiodida dipilih sebagai pereaksi nukleofilik (basa Lewis) yang akan menyerang karbokation gugus metil dalam struktur kinin, karena asam hidroiodida memberikan laju reaksi yang paling cepat. Asam hidrobromida dapat bertindak sama pada suhu yang lebih tinggi, yaitu 200oC (Wagner, 1963). Sifat keasaman asam hidroiodida lebih kuat dibanding asam hidrobromida (Ka HI = ~1011; Ka HBr = ~109), kenukleofilan anion dan reaktivitas terhadap gugus eter meningkat, yang berpengaruh pada terjadinya peningkatan laju reaksi. Selain itu, adanya ikatan rangkap alifatik pada kinin memungkinkan terjadinya reaksi adisi. Asam hidroiodida dapat bereaksi dengan sangat mudah untuk mengadisi ikatan rangkap alifatis pada kinin. Asam hidroiodida memiliki polaritas ikatan H-X yang tinggi, sehingga ikatan tersebut dapat dengan mudah putus untuk menghasilkan sebuah proton dan ion halida (Walter, 1996). Berdasarkan noda-noda kromatogram KLT pada Gambar 4.3. terlihat bahwa selain produk utama, dihasilkan pula banyak produk sampingan reaksi yang tidak dikehendaki, yang dapat menurunkan rendemen isolat utama dan bahkan dapat menjadi pengotor yang signifikan bagi produk yang diinginkan. Produk samping mungkin terbentuk sebagai akibat adanya ikatan rangkap C=C yang reaktif untuk tempat terjadinya reaksi adisi dan oksidasi yang dapat menghasilkan produk yang tidak stabil. Dalam penelitian ini telah dilakukan pemurnian noda A dan noda B secara KLT preparatif menggunakan silika gel GF254 yang dilapisi pada pelat kaca sebagai fase diam, dan etanol– etil asetat–larutan amoniak 25% (5:13:2) sebagai fase gerak. Kromatogram hasil pemisahan dan pemurnian noda A dan noda B dapat dilihat pada Gambar 4.4. B A B A a b Gambar 4.4. Kromatogram hasil pemisahan dan pemurnian noda A dan noda B dengan fase gerak etanol – etil asetat – larutan amoniak 25% (5:13:2) : a. Pada sinar UV 254 nm, b. Pada sinar UV 366 nm. 18 Pemantauan hasil pemurnian masing-masing pita seperti terlihat pada Gambar 4.5. a b Gambar 4.5. Kromatogram hasil pemurnian pita A dan B dengan fase gerak etanol – etil asetat – larutan amoniak 25% (5:13:2) : a. Kromatogram noda A, b. Kromatogram noda B. Pada penampak bercak sinar UV 366 nm, kinin memberikan fluoresensi berwarna biru, noda A berwarna hijau terang, sedangkan noda B berwarna hijau-kebiruan. Nilai Rf masing-masing senyawa secara berurutan adalah 0,88; 0,65; dan 0,75. Masing-masing senyawa kemudian diuji kemurniannya secara KLT dua dimensi menggunakan dua sistem pengembang yang berbeda, yakni etanol – etil asetat – larutan amoniak 25% (5:13:2) sebagai sistem pengembang pertama, dan metanol – aseton – larutan amoniak 25% (5:13:2) sebagai sistem pengembang kedua. Kromatogram hasil uji kemurnian dapat dilihat pada Gambar 4.6. dan Gambar 4.7. a b c Gambar 4.6. Kromatogram hasil uji kemurnian isolat A : a. Pada sistem pengembang pertama, b. Pada sistem pengembang kedua, c. Pada uap iodin, pada lampu UV 366 nm, dan sinar tampak setelah disemprot dengan H2SO4 10%. 19 a b c Gambar 4.7. Kromatogram hasil uji kemurnian isolat B : a. Pada sistem pengembang pertama, b. Pada sistem pengembang kedua, c. Pada uap iodin, pada lampu UV 366 nm, dan sinar tampak setelah disemprot dengan H2SO4 10%. Berdasarkan hasil uji kemurnian isolat A dan B, dapat disimpulkan bahwa senyawa yang diduga produk utama (isolat A) dan salah satu produk sampingan yang mirip dengan produk utama (isolat B) yang diisolasi adalah murni. Isolat A yang diperoleh sebanyak 5,1 mg (0,05% teoritis), sedangkan isolat B yang diperoleh sebanyak 2,6 mg (0,02% teoritis). Penampak bercak uap iodin digunakan untuk mengetahui kemurnian senyawa yang diperoleh terhadap senyawa lain yang memiliki ikatan rangkap. Karena uap iodin tidak bersifat destruktif / merusak pelat KLT, maka pelat tersebut masih dapat digunakan untuk pengujian kemurnian selanjutnya, yaitu penampak bercak universal H2SO4 10% dalam metanol yang berpotensi untuk menampakkan semua senyawa organik. Karakterisasi struktur dilakukan dengan menginterprestasikan data dari spektrum inframerah, ultraviolet-sinar tampak, dan fluoresensi digunakan untuk menentukan struktur molekul dari senyawa hasil sintesis. Data-data ultraviolet (UV), fluoresensi, dan spektrum inframerah (IR) hasil uji kemurnian dapat dilihat pada Gambar 4.8. 2 1 1 3 2 3 a b 20 1 3 2 c Gambar 4.8 Berbagai spektrum hasil uji kemurnian isolat A dan B : a. Spektrum IR dalam cakram KBr, b. Spektrum UV dalam etanol 95%, c. Spektrum fluoresensi dalam etanol 95%, 1 = Pembanding kinin basa anhidrat sebelum didemetilasi dengan asam hidroiodida, 2 = isolat A, 3 = isolat B. Dari hasil pengukuran panjang gelombang (λ) UV dalam etanol, isolat A mempunyai λmaks = 371 nm, isolat B mempunyai λmaks = 419 dan 441 nm, sedangkan λmaks pembanding kinin = 332 nm, menunjukkan adanya pergeseran λ ke arah yang lebih besar (pergeseran batokromik). Kromofor pada isolat A dan B lebih panjang dibanding kromofor pada kinin, karena adanya gugus -OH fenolik pada kedua isolat memungkinkan elektron pada atom O gugus -OH fenolik dapat beresonansi ke dalam sehingga dapat menambah panjang kromofor yang akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang. Spektrum IR kedua isolat menunjukkan adanya sinyal –OH fenolik pada bilangan gelombang sekitar 3430 cm-1 (Silverstein and Webster, 1998). Hilangnya sinyal ikatan rangkap dua C=C alifatis pada bilangan gelombang sekitar 1590 cm-1 (Silverstein and Webster, 1998) menunjukkan telah terjadi proses adisi pada isolat noda B, namun pada isolat A sinyal ikatan rangkap dua C=C ini masih muncul, yang ditandai adanya vibrasi rentang tajam pada bilangan gelombang 1619 cm-1. Hal ini didukung oleh munculnya sinyal alkil halogen (C – I) pada bilangan gelombang sekitar 500 cm-1 pada spektrum isolat B (Silverstein and Webster, 1998). Dari spektrum IR kedua isolat dapat diketahui bahwa gugus –OH fenolik sudah terbentuk tetapi sebagian sudah terurai, ikatan rangkap dua C=C pada isolat B sudah hilang sempurna digantikan oleh iodida, sedangkan ikatan rangkap dua C=C pada isolat A tidak teradisi dengan sempurna. 21 Tabel 4.1 Hasil Serapan IR Isolat A Gugus fungsi Bilangan gelombang (cm-1) Intensitas 3428 Kuat, melebar 2923 Kuat, tajam 2854 Sedang atau kuat 2368 Sedang atau lemah 1619 Sedang, tajam 466 Kuat, tajam Rentang –OH fenolik Rentang –CH metilena Rentang –CH metil Rentang –CN Rentang –CH metilena Tekukan C-I (Silverstein and Webster, 1998) Tabel 4.2 Hasil Serapan IR Isolat B Bilangan gelombang (cm-1) Intensitas Rentang –OH fenolik 3451 Kuat, melebar Rentang –CH metilena 2923 Kuat, tajam Rentang –CH metil 2857 Sedang atau kuat Rentang –CN 2368 Sedang atau lemah Rentang –CH metilena 1631 Sedang, tajam 462 Kuat, tajam Gugus fungsi Tekukan C-I (Silverstein dan Webster, 1998) Tabel 4.3 Hasil Serapan IR Pembanding Kinin Bilangan gelombang (cm-1) Intensitas Rentang –OH alkoholik 3170 Kuat, melebar Rentang –CH metilena 2931 Kuat, tajam Rentang –CH metil 2865 Sedang atau kuat Gugus fungsi 22 Tabel 4.3 Hasil Serapan IR Pembanding Kinin (Lanjutan) Gugus fungsi Bilangan gelombang (cm-1) Intensitas 1623 Sedang, tajam 1238 Kuat, tajam Rentang –CH metilena Tekukan –C-O-C (Silverstein dan Webster, 1998) Dari spektrum fluoresensi diperoleh spektrum emisi kinin pada λmaks = 360 nm, isolat A pada λmaks = 440 nm, dan isolat B pada λmaks = 465 nm. Kinin memberikan fluoresensi berwarna biru terang ketika diberi sinar radiasi, isolat A berwarna biru-hijau, sedangkan isolat B berwarna hijau terang. Hal ini sesuai dengan posisi sinar biru yang memiliki energi lebih besar daripada sinar hijau, sehingga memiliki panjang gelombang yang lebih pendek. Kinin memiliki %T sebesar 39%, isolat A sebesar 44%, dan isolat B sebesar 24%. Adanya substitusi gugus –OH fenolik pada struktur isolat A dan B menyebabkan peningkatan tahap transisi π → π ٭berenergi rendah sehingga geseran maksimum absorpsi menjadi lebih besar dibanding kinin. Di lain pihak, adanya substitusi gugus halogen seringkali menurunkan efisiensi fluoresensi. Fluoresensi isolat B lebih rendah dibanding isolat A karena adanya pengaruh substitusi iod yang meningkatkan laju pelintasan antarsistem ke tingkat triplet. Pada atom halogen bernomor lebih besar seperti iod, antaraksi antara gerakan spin dan gerakan orbital menjadi besar yang dapat menyebabkan perubahan pada spin yang berakibat menurunnya fluoresensi. Masing-masing isolat tetap dapat berfluoresensi menunjukkan adanya kekakuan struktur dalam molekulnya. Tidak adanya kekakuan pada suatu molekul mungkin menyebabkan peningkatan laju konversi internal dan bertambahnya kemungkinan untuk deaktivasi tak-beradiasi. Satu bagian yang tidak kaku dari suatu molekul dapat mengalami vibrasi frekuensi yang rendah terhadap bagian lainnya. Gerakan yang demikian dapat menyebabkan hilangnya energi yang berakibat menurunnya efisiensi fluoresensi. Dari hasil pengukuran fluoresensi ini dapat disimpulkan bahwa isolat A memiliki kemampuan berfluoresensi paling tinggi dibanding kinin dan isolat B, yang ditandai perolehan %T sebesar 44%. Hasil uji reaksi warna pada isolat A dan B menggunakan larutan besi (III) klorida dan air iod 0,1 N dapat dilihat pada Gambar 4.9. dan 4.10. 23 a b Gambar 4.9. Reaksi warna dengan larutan besi (III) klorida : 1. Asam salisilat dalam etanol, 2. Kinin dalam etanol, 3. Isolat A dalam etanol, 4. Isolat B dalam etanol, a. Sesaat setelah FeCl3 diteteskan, b. 5 menit setelah FeCl3 diteteskan. 1 2 3 Gambar 4.10. Reaksi warna dengan air iod 0,1 N : 1. Kinin dalam etanol, 2. Isolat A dalam etanol, 3. Isolat B dalam etanol. Dari hasil reaksi dengan larutan besi (III) klorida, proses visualisasi gugus fenol terlihat jelas setelah reaksi berlangsung selama 5 menit. Isolat A menghasilkan kompleks berwarna coklat-ungu. Isolat B memiliki warna oranye yang lebih intens dibanding kinin. Hal ini mungkin terjadi karena gugus fenol yang sudah terurai pada isolat B sehingga memberikan reaksi yang tidak sama seperti isolat A. Dari hasil reaksi dengan air iod, isolat A memberikan warna coklat muda yang hampir sama dengan kinin sedangkan isolat B menghasilkan warna coklat seperti warna air iod. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa reaksi adisi masih dapat terjadi pada isolat A menandakan bahwa dalam struktur isolat A masih terdapat ikatan rangkap C=C alifatis yang dapat bereaksi dengan iodida menghasilkan dekolorasi warna air iod. Dalam struktur isolat B, ikatan rangkap C=C alifatis sudah tidak ada sehingga reaksi adisi dengan iodida tidak terjadi, tidak terjadi dekolorasi warna air iod.