Membangun Usaha Pasca Konflik

advertisement
Bab Enam
PENGALAMAN PEDAGANG DENGAN KEBIJAKAN
PEMERINTAH
Pasar Akediri : Berkat Buat Pedagang, Petaka Siapa?
Menelusuri kehadiran pedagang di Akediri yang pada akhirnya
membentuk sebuah kawasan perdagangan baru di pedalaman Jailolo,
tentu tidak terpisahkan dari latar belakang konflik baik di Jailolo
maupun Maluku Utara pada umumnya.
Menurut Roni Muluwere, cikal bakal pasar Akediri, bermula
dari masuknya dua perempuan pedagang ikan dari Jailolo pante yang
beragama muslim. Mereka ini masuk melalui pengawalan tentara dan
awalnya berjualan di dalam Kompi ‘B’ Akediri, diperkirakan sejak
Maret 2000.
Waktu itu lanjut Roni Muluwere, situasi masih tegang, masih
terjadi serang menyerang antar kedua kelompok masa yang bertikai.
Ditengah situasi itu terjadilah pertemuan antara para pedangang ikan
tersebut, dengan tiga orang perempuan kristen yang sebelum rusuh
berprofesi sebagai ‘dibo-dibo’1, dari pertemuan itu akhirnya terjalin
kembali hubungan diantara mereka. Melalui aktivitas dagang inilah
akhirnya terbangun kembali hubungan yang terputus antara kedua
pihak yang bertikai.
Dalam perkembangan kemudian kerja sama di antara mereka
diwujudkan sebagai berikut, pedagang muslim menyuplai ikan ke
tempat pengungsian, sebaliknya para ‘dibo-dibo’ mencari hasil-hasil
Roni Muluwere, adalah ketua posko pengungsi kristen yang ada di Akediri ketika
konflik. Ia juga tergabung dalam Tim Rekonsiliasi di Jailolo sebagai Sekertaris tim.
Untuk penataan aktifitas perdagangan yang ada di Akediri ketika itu tidak terlepas dari
partisipasi tim posko pengungsi, pemerintah desa dan bersama-sama dengan aparat
keamanan Kompi ‘B’. Peneliti mewawancarainya, pada 10 Desember 2012.
1
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
kebun berupa, ubi-ubian, sayur, rica dan tomat, dan kemudian diambil
oleh para pedagang ikan untuk dijual ke Jailolo atau ke Ternate.
Karena aktifitas ini makin hari makin meningkat, akhirnya
terjadi pergeseran tempat dagang mereka, yang berada di dalam Kompi
‘B’, akhirnya dipindahkan ke pinggiran jalan depan Kompi berderet
sampai depan depan gereja Kalvari yang masih berada dekat dengan
markas tentara itu. Dari aktifitas perdagangan ikan dan Barito (Bawang,
Rica, dan Tomat) dan hasil-hasil kebun itulah akhirnya menarik para
pedagang sembako, pakaian maupun pedagang peralatan rumah tangga
yang kian hari bertambah jumlahnya.
Pada Agustus 2000 aktifitas perdagangan sudah makin ramai.
Demikian kata Roni Muluwere (Wawancara,10 Desember 2012).
Kehadiran koperasi Kompi yang terlihat memainkan peran
sebagai suplier berbagai kebutuhan pokok khususnya sembako
terhadap para pedagang yang ada, menjadikan pasar ini semakin ramai
di kunjungi. Tidak hanya para pengungsi di Akediri, melainkan
penduduk dan pengungsi yang ada di wilayah sahu pun cenderung
lebih memilih berbelanja di Akediri ketimbang di wilayah mereka.
Kata Roni Muluwere (Wawancara, 10 Desember 2012).
Cerita ini juga di benarkan oleh Atus Sandiang, salah satu staf
pemerintah desa Akediri. Menurutnya, pasar di Akediri adalah pasar
sejarah, sebab lewat pertemuan para pedagang ikan dan ‘dibo-dibo’
itulah maka lahir pasar ini.
Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa justru cikal bakal
rekonsiliasi di Jailolo lahir dari aktifitas pasar Akediri, sebab di sinilah
kelompok muslim dan nasrani bertemu sehingga disitulah komunikasi
tercipta lewat transaksi berbagai kebutuhan, kata Atus Sandiang
(Wawancara, 01 November 2012). Hal yang sama juga ditegaskan oleh
om Yon Flory. Menurutnya pasar ini juga memegang peran penting
ketika konflik, sebab pada waktu itu aktifitas perdagangan lumpuh
termasuk layanan pemerintah.
146
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
Dari inisiatif para pedagang-pedagang inilah akhirnya terjalin
kerjasama baik dengan aparat keamanan maupun pengusaha lain di
Manado maupun Bitung, sehingga dapat memasok berbagai kebutuhan
demi memenuhi keperluan ribuan pengungsi yang ada di Akediri,
termasuk di wilayah lain yang berdekatan, seperti kecamatan Sahu,
tutur om Yon Flory pada peneliti (Wawancara, 23 Januari 2013).
Saat ini jumlah pedagang di Pasar Akediri berjumlah 155
pelaku usaha. Kategori masing-masing usaha dan jumlah pelaku usaha
terdapat pada dalam tabel berikut ini :
Tabel 4
Data Pengusaha Dan Kegiatan Usaha
NO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13
14.
15.
16
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Status Tempat Usaha
Hak Milik
Kontrak
Pelaku
Usaha
Jumlah
Usaha
Pedagang Sembako (sembilan bahan pokok)
pedagang Pakaian Jadi, Sepatu,Sandal
Pedagang Peralatan Rumah Tangga
Pedagang Barito (bawang,rica dan tomat)
Pedagang Ikan
Jasa Penjahit Pakaian
Pedagang Meubel
Counter HP
Pedagang Gorengan
Jasa Rumah Makan
Jasa Rental CD
Usaha Permainan Bilyard
Pedagang Accesoris Mainan
Counter Instal Komputer
Usaha Foto Copy Dan Alat-Alat Kantor
Pedagang Peralatan Elektronik
Pedagang Bahan Bangunan
Apotik
Pedagang Bakso
Pedagang Kue
Cuonter Furnitur HP/Pulsa
Cuonter Mainan Game
16
36
8
30
32
3
1
3
2
4
2
1
3
2
2
1
1
1
3
1
1
2
16
36
8
30
32
3
1
3
2
4
2
1
3
2
2
1
1
1
3
1
1
2
11
9
5
2
1
1
1
1
1
2
1
1
1
5
27
3
28
32
2
1
2
2
3
1
3
2
1
1
3
1
1
Jumlah Total
155
155
37
118
Jenis Usaha
Data DISPERINDAG Halbar dan hasil penelitian, diolah 2013
147
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Bercerita Dari Pengalaman : Merasakan Getirnya Kebijakan
 Ilegalisasi Pasar Akediri
Aktifitas berdagang di pasar Akediri kini, terasa makin tidak
nyaman dijalani oleh para pelaku usaha. Keresahan itu salah satunya
tampak dari cerita om Yon Flory, Ia mengatakan bahwa berjualan di
pasar Akediri kini makin tidak aman, sebab tidak ada kepastian
berusaha. Lebih lanjut om Yon menegaskan bahwa, pada suatu
pertemuan antara pemerintah daerah dengan pedagang pasar Akediri,
dalam kaitan sosialisasi rencana relokasi pedagang.
Disampaikan bahwa berdasarkan perda tata ruang Halmahera
Barat yang ada, Akediri tidak tepat dijadikan sebagai wilayah pasar.
kata om Yon Flory (Wawancara, 26 Januari 2013). Nampaknya dari
perspektif inilah dapat dipahami bahwa mengapa pedagang di pasar
Akediri tidak leluasa mengembangkan usahanya, dan terkesan tidak
memiliki kepastian berusaha seperti dikemukakan oleh om Yon.
Pembatasan aktivitas di pasar Akediri karena pasar tersebut terbentur
pada dua persoalan utama yakni desain tata ruang wilayah, dan perda
tata ruang wilayah Halmahera Barat.
Dari apa yang dikemukakan oleh om Yon Flory, kemudian
keesokan harinya wawancara dilanjutkan kepada, bapak Ismail Arifin2
Kadis Perindag Halbar. Dari beliulah di ketahui bahwa rancangan tata
ruang wilayah Halmahera Barat baru mendapat persetujuan
kementrian PU dua tahun silam yakni pada 2010, sedangkan rancangan
detail tata ruang baru dirampungkan pada tahun yang sama.
Lambatnya memiliki dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang
Wilayah), dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kabupaten
Halmahera Barat yang baku, menyebabkan rancangan RTRW dan
RDTR Halmahera Barat belum di Perdakan hingga kini, demikian kata
Pak Ismail Arifin (Wawancara. 27 Januari 2013).
Pak Ismail Arifin, adalah Kepala Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Kab.
Halmahera Barat, sebelum menjabat sebagai Kadis Perindag pada pertengahan tahun
2012, Ia menjabat sebagai Kepala Bappeda Halbar. Ia di Wawancarai pada, 27
Desember 2012.
2
148
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
Lebih lanjut Ia menuturkan bahwa, dari sisi perencanaan
kebijakan pemerintah daerah telah menyepakati bahwa untuk pasar
tradisional yang ada di Halmahera Barat, hanya boleh dibangun satu
kecamatan satu pasar tradisional, tidak boleh ada dua atau tiga pasar
tradisional. Karena Akediri merupakan bagian dari wilayah
pemerintahan Jailolo, dengan demikian tidak mungkin untuk dibangun
satu pasar tradisional, jika mengacu pada kebijakan tersebut.
Memang kata Pak Ismail, pemerintah mengakui bahwa pasar
itu tumbuh dengan sendirinya dan dibiarkan oleh pemerintah sebagai
wadah rekonsiliasi paskah kerusuhan. Tetapi Ia juga menegaskan
bahwa adanya pasar tersebut bukanlah karena kebijakan pemerintah
daerah.
Karena itu sampai hari ini aktifitas pedagang di pasar Akediri
tidak diatur dalam bentuk regulasi apapun oleh pemerintah daerah,
malah sebaliknya kata Pak Ismail Arifin dalam suatu rapat pimpinan
SKPD (satuan kerja perangkat daerah), ditegaskan untuk tidak
melakukan pungutan apapun terhadap pedagang di pasar Akediri.
Ilegalisasi pasar Akediri oleh pemerintah daerah, pertama-tama
didasarkan pada aspek regulasi yang merujuk pada RTRW dan RDTR
Kabupaten Helmahera Barat, dimana Akediri tidak dimasukan sebagai
salah satu kawasan pengembangan perdagangan di kota Jailolo.
Penolakan pasar Akediri sebagai salah satu pasar tradisional,
juga tidak dapat dipisahkan dari perencanaan kebijakan pemerintah
daerah yang membatasi jumlah pasar tradisional dalam satu wilayah
kecamatan, kebijakan tersebut hanya memperbolehkan satu kecamatan
memiliki satu pasar tradisional.
Alasan mendasar lainya dibalik penolakan Akediri sebagai
salah satu wilayah perdagangan adalah, karena desa ini tidak memiliki
lahan untuk membangun infrastruktur pasar, keterbatasan lahan telah
menyebabkan keberadaan pasar tersebut membaur dengan
permukiman penduduk. Kemungkinan lain yang dapat ditempuh
pemerintah daerah adalah melalui penetapan kawasan-kawasan
perdagangan di luar pasar tradisional, kata Pak Ismail (Wawancra. 27
Januari 2013).
149
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Jika pemerintah daerah lebih menekankan keberadaan suatu
pasar pada aspek legalitas formalnya, justru para pedagang memaknai
pasar sebagai suatu aktifitas. Seperti om Yon Flory misalnya, Ia
mengatakan bahwa pasar itu dimana ada dua orang bertemu dan terjadi
transaksi antar pembeli dan penjual itulah pasar.
Menurut om Yon pasar Akediri tidak bisa hanya dilihat dari
perspektif regulasi semata, pasar ini adalah pasar yang memiliki sejarah
yang harus dipertimbangkan. Melalui pasar ini proses rekonsiliasi
paskah konflik Jailolo perlahan mencair dan mendapat titik temu lewat
aktifitas perdagangan. Kemudian dengan letak kedudukan Akediri
yang strategis membuat pasar ini diakses oleh masyarakat dari beberapa
kecamatan, seperti Sahu, ibu maupun mereka dari Jailolo sendiri
datang berjualan dan berbelanja di pasar ini (Wawancara, 26 Januari
2013).
Keberatan yang sama juga di kemukakan oleh ibu Rohani M
Ahmad, Ia mengatakan bahwa tanah-tanah yang dipakai oleh para
pedagang adalah tanah-tanah masyarakat yang dikontrak kepada
pedagang, bukan tanah milik pemerintah. Tetapi karena pijakan
pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pembangunan pasar
berpegang pada prinsip legalitas formal semata, menyebabkan
hubungan-hubungan sosial yang terbentuk dalam suatu realita
kehidupan aktifitas pedagang di pasar Akediri terabaikan atau tidak
diperhitungkan sebagai suatu modal pembangunan (Wawancara, 25
Januari 2013).
Ilegalisasi pasar Akediri oleh pemerintah daerah, tidak sertamerta meniadakan aktifitas perdagangan di pasar tersebut, dasar
argumentasi pemerintah menolak keberadaan pasar ini ternyata
mendapat tanggapan serius oleh para pedagang termasuk pemerintah
desa. Berikut ini mereka menceritakan terobosan-terobosan yang
dilakukan untuk mengatasi persoalan keterbatasan lahan, sebagai salah
satu dasar penolakan pasar Akediri.
Lagi-lagi cerita ini datangnya dari om Yon Flory, Ia
menuturkan bahwa ketika mereka mengetahui pasar ini tidak diakui
150
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
oleh pemerintah karena keterbatasan lahan, akhirnya mereka
berinisiatif mendesak pemerintah desa untuk bersama-sama meyikapi
persoalan itu. Karena desakan para pedagang akhirnya pemerintah desa
mengutus salah seorang purnawirawan AURI kini TNI-AU yakni
bapak Maendels A. Nayoan untuk menghadap Komandan Lanud di
pulau Morotai terkait rencana penggunaan sebagian lahan milik TNIAU yang ada di Akediri.
Hasil dari pertemuan dengan pihak TNI-AU ialah, mereka
hanya mengijinkan pinjam pakai lahan untuk pembangunan pasar, dan
tidak boleh dibangun permanen, dengan ketentuan jika pihak TNI-AU
membutuhkan
lahan
tersebut,
harus
bersedia
untuk
mengembalikannya.
Menurut Om Yon Flory, bukan saja lahan milik TNI-AU yang
mereka ajukan kepada Pemerintah daerah. Melainkan ada juga satu
bidang tanah seluas satu setengah hektare milik bu Damis Pasuma,
dimana yang bersangkutan bersedia untuk dipakai oleh pemerintah
(Wawancara, 26 Januari 2013).
Pengusulan penggunaan lahan untuk pembangunan pasar oleh
pedagang bersama pemerintah desa itu, dibenarkan oleh bu Damis
Pasuma sebagai pemilik lahan. Menurutnya Ia bersedia memberikan
lahannya jika pemerintah mau membangun pasar di Akediri, sekalipun
mekanisme pembayaran lahan dilunasi secara bertahap, bahkan di
bawa harga yang berlaku sekalipun (Wawancara, 10 Mei 2012).
Cerita yang dikemukakan baik oleh om Yon Flory maupun
oleh bu Damis Pasuma, juga terdengar dari tuturan pa Marthen Tuli3
Kepala desa Akediri. Ia mengatakan bahwa benar karena keluhan
masyarakat khusunya pedagang, yang resah ketika mengetahui bahwa
mereka tidak dapat bertahan berdagang di Akediri. Karena itu sebagai
kepala desa ini sangat dilematis, sebab pada satu sisi sebagai kepala desa
Ia adalah wakil rakyat, tetapi dilain pihak Ia juga adalah wakil
pemerintah yang ada di desa.
3
Wawancarai pada, 1 November 2012
151
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Karena itu sebagai wakil rakyat langkah untuk mencarikan
lahan-lahan alternatif untuk diusulkan kepada pemerintah daerah
merupakan bentuk pertanggungjawabnya moril sebagai wakil dari
rakyat yang Ia pimpin. Namun sejalan dengan itu Ia juga menyadari
bahwa pada tingkatan tertentu Ia terbatas, dan hanya dapat
menyampaikan usulan-usulan tersebut kepada pemerintah daerah,
sebagai pemberi mandat pelaksanaan urusan pemerintahan di desa.
Terobosan yang dilakukan oleh pedagang bersama-sama
dengan pemerintah desa, pada akhirnya tidak berdampak
mempengaruhi sikap dan keputusan pemerintah daerah terhadap status
pasar Akediri.
 Membatasi Ijin Usaha : Jerat untuk siapa?
Kemunculan pasar Akediri yang jauh sebelum terjadinya
pemekaran daerah Kabupaten Halmahera Barat pada tahun 2003,
dikemudian hari memunculkan masalah yang serius ketika aktifitas
perdagangan di pasar ini dipandang tak layak dari sisi peruntukan
ruang dan wilayah.
Rancangan tata ruang dan wilayah (RTRW) kabupaten yang
baru diakui kementrian PU pada 2010, dan disusul dengan rampungnya
penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR) pada tahun yang sama
akhirnya makin memposisikan keberadaan pasar tersebut sebagai
ilegal.
Karena dipandang tidak sesuai dengan peruntukan wilayah,
menyebabkan pemerintah lepas tangan dalam penataan pasar tersebut.
Menurut Pak Ismail Arifin selaku kepala Dinas Perindag bahwa,
pemerintah daerah sampai hari ini belum membuat regulasi apapun
untuk mengatur pasar Akediri. Bahkan dilarang untuk menarik
retribusi maupun pajak dari aktifitas pedagang di pasar Akediri.
Kemudian Ia juga menegaskan bahwa dari sisi perijinan pemerintah
tidak akan mengeluarkan ijin terkait aktifitas perdagangan di pasar ini
(Wawancara,27 Januari 2013).
152
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
Dari ketujuh informan yang diwawancarai hanya tiga pedagang
yang tidak memiliki ijin usaha yakni, om Aba, Alimin dan tante Ratna.
Alasan mendasar mereka bertiga tidak mengurus ijin usahanya, karena
tempat usaha atau lahanya bukan milik pribadi melainkan hanya
dikontrak, selain itu mereka juga beralasan bahwa usahanya masih
tergolong usaha kecil. Ketiganya menyadari bahwa dengan memiliki
ijin usaha, tentu berimplikasi pada kewajiban pajak dan retribusi
daerah maupun negara.
Seperti tante Ratna misalnya, Ia mengatakan bahwa tempat
usahanya hanya berkategori kios, bukan suatu tokoh besar yang sudah
memiliki nama usaha. Lanjut katanya bahwa, kalau kiosnya sudah
besar dan memiliki nama usaha, tentu sudah bisa mengurus ijin usaha,
dan wajib dikenakan pajak daerah maupun pajak negara.
Kalau pemerintah daerah beralasan untuk tidak melegalkan
pasar Akediri, haya karena persoalan tata ruang wilayahnya yang tidak
memungkinkan, dimana letak pasar dan aktifitasnya berbaur dengan
permukiman penduduk, sehingga legalitas usaha tidak diberikan oleh
pemerintah daerah. Dalam realita dilapangan hal tersebut jauh berbeda
ibarat jauh panggang dari api. Buktinya om Yon Flory, ibu Safiani
Ode, bu Damis dan ibu Rohani M. Ahmat maupun sesama pedagang
lainya yang usahanya sudah terbilang besar mereka dapat memiliki ijin
usaha.
Pada hal tempat usaha mereka berada dalam satu wilayah yang
diklaim pemerintah daerah tidak layak untuk aktifitas suatu pasar.
Ada cerita menarik dari om Yon Flory, dan ibu Safiani Ode
terkait ijin usaha mereka berdua. Menurut ibu Safiani Ode, tempat
usaha maupun lahanya belum menjadi miliknya, Ia masih mengontrak
tempat usaha maupun lahan. Ketika diwawancarai ibu Safiani
menceritakan bahwa tempat usahanya masih milik ko Nyong salah
satu pedagang yang mengontrak lahan milik penduduk setempat dan
mendirikan tempat usaha tersebut. Karena itu tempat usaha Ia kontrak
dari ko Nyong, dan kemudian melanjutkan kontrak lahan dengan
pemilik tanah.
153
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Secara khusus kontrak lahan dengan tuan tanah sudah diikat
dalam perjanjian selama sepuluh tahun pada Desember 2012, dimana
pada awal kontrak di tahun 2008 sampai november 2012 biayanya baru
satu juta rupiah pertahun. Tetapi pada Desember 2012 mereka
meminta perpanjang kontrak menjadi sepuluh tahun, kemudian
menaikan biayanya kontrak menjadi dua juta rupiah pertahun, jadi
baik tempat usaha maupun lahan ini belum menjadi milik pribadi,
tegas ibu Safiani Ode (Jailolo, 25 Januari 2013).
Jika melihat data pedagang yang dimiliki Dinas Perindag
Halmahera Barat, pada pendataan Desember 2012, status kepemilikan
tempat usaha ibu Safiani Ode, dengan jelas tertera milik sendiri. Fakta
tersebut berbeda dengan ibu Safiani ketika diwawancarai, Ia sendiri
tidak pernah mengatakan bahwa tempat usahanya sudah merupakan
miliknya, ketika pendataan pada Desember 2012. Menurutnya dalam
pendataan tersebut petugas Disperindag hanya mengacu pada
kepemilikan ijin usaha, sedangkan status tempat usaha tidak
ditanyakan.
Lain lagi dengan proses kepemilikan ijin usaha, Ia mengaku
didatangi oleh petugas Disperindag dan langsung menanyakan
kepemilikan ijin usahanya. Karena belum memiliki ijin, akhirnya ibu
Safiani ditawari untuk mengurus ijin tersebut jika Ia ingin usahanya
memiliki ijin usahanya. Karena ditawari akhirnya ibu Safiani
menyerahkan sepenuhnya pengurusan ijin tersebut kepada petugas
Disperindag, Ia hanya melengkapi dokumen terkait dan menyediakan
biaya administrasinya.
Apa yang terjadi pada ibu Safiani Ode, tak jauh berbeda dengan
kisah om Yon Flory terkait pengurusan ijin usahanya. Dari ceritanya
diketahui bahwa lahan yang Ia pakai membangun tempat usaha, belum
menjadi miliknya. Lahan tersebut dikontrak dari penduduk setempat
yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Hal yang
biasa terjadi perihal kontrak lahan adalah, pemilik lahan cenderung
memperpanjang kontrak di tengah jalan sebelum sampai pada batas
waktu yang disepakati.
154
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
Inilah yang terjadi dengan om Yon, karena desakan biaya
pendidikan kuliah anaknya, akhirnya pemilik lahan meminjam uang
padanya dalam jumlah yang cukup besar. Berdasarkan hal tersebut
om Yon memandang bahwa, kemungkinan pemilik lahan sudah tidak
dapat menggembalikan uang yang mereka pinjam.
Karena itu om Yon berani mengatakan bahwa bisa dikatakan
bahwa ini sudah merupakan aset miliknya, walaupun secara hukum
belum sah menjadi miliknya, demikian kata om Yon ketika
diwawancarai (Wawancara, 26 Januari 2013). Terlepas dari persoalan
tersebut, nyatanya om Yon Flory telah memiliki ijin usaha, sekalipun
lahan tempat Ia berdagang belum menjadi miliknya.
Ketika ditelusuri proses pengurusan ijin usahanya, om Yon
menyatakan bahwa semua urusan yang menyangkut dengan ijin
usahanya Ia serahkan sepenuhnya kepada petugas Disperindag untuk
mengurusnya. Sedangkan Ia sendiri hanya bertugas melengkapi
persyaratan dan menyiapkan biaya administrasi, selanjutnya diproses
oleh petugas, dan om Yon tinggal menerima suratnya.
Seperti ibu Safiani dengan status tempat usaha yang
dikeluarkan oleh Disperindag Halmahera Barat, merupakan milik
sendiri, demikian juga terjadi pada om Yon Flory. Status tempat usaha
yang tercantum dalam daftar pedagang yang dikeluarkan oleh
Disperindag Halbar hasil pendataan Desember 2012, mencantum
bahwa tempat usaha milik om Yon adalah milik sendiri.
Memang secara umum menurut pa Adnan4 Kabid Perdagangan
Disperindag Halbar, pemerintah daerah tidak mewajibkan pelaku
usaha makro untuk mengurus ijin usaha, kecuali mereka
membutuhkan. Biasanya ijin di buat karena terkait dengan upaya
penambahan modal usaha. Tetapi tidak dengan pedagang di pasar
Akediri, baik Pak Adnan maupun Pak Ismail keduanya menegaskan hal
yang sama, bahwa pemerintah daerah tidak akan mengeluarkan ijin
usaha kepada pedagang yang berjualan di pasar Akediri.
4
Wawancara pada, 10 April 2012.
155
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Terkait perijinan bagi pedagang di pasar Akediri, terlontar satu
pernyataan yang cukup mengejutkan disampaikan oleh Kadis Perindag
Halmahera Barat bapak Ismail Arifin. Katanya :
…“Ia tidak tahu secara siluman, tetapi secara resmi tidak
ada” (Wawancara,27 Januari 2013).
Melihat apa yang terjadi pada om Yon Flory dan ibu Safiani
Ode, jika disandingkan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh
Kadis Perindag Halmahera Barat Pak Ismail Arifin. Kelihatan bahwa
antara kebijakan dengan kenyataan tak lagi bersesuaian di lapangan,
karena itu pernyataan antisipatif yang keluar dari Pak Ismail Arifin,
bukan tidak mungkin Ia juga mengetahui bahwa sebenarnya telah
terjadi penyimpangan kebijakan.
 Menahan Dukungan Modal Usaha: Dibebaskan tak cukup, dicekik
tak menemui ajal
Ketika pemerintah daerah menyatakan bahwa pasar Akediri
tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan dan dikembangkan sebagai
suatu wilayah perdagangan, hal itu tidak saja berdampak pada
pembatasan perijinan, tetapi juga mencakup bantuan permodalan bagi
pedagang di Pasar tersebut. Pengalaman pengajuan permohonan
bantuan modal usaha kepada pemerintah daerah melalui Dinas
Koperasi Dan UMK, seperti dituturkan oleh bu Damis Pasuma berikut
ini.
Pada tahun 2010, bu Damis menceritakan bahwa waktu itu Ia
untuk pertama kalinya mengajukan permohonan bantuan ke Dinas
Koperasi dan UKM.
Informasi tentang dana bantuan tersebut Ia ketahui dari temateman pedagang lainya, dan secara bersama-sama mereka mengajukan
permohonan pada November 2010. Namun berselang sebulan
kemudian Ia tidak mendapat tanggapan apapun terkait
permohonannya. Karena mendesak akhirnya Ia menerima tawaran
pinjaman modal usaha dari bank Danamon yang ketika itu
menawarkan pinjaman kepada pegusaha.
156
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
Hanya berselang seminggu dari waktu pengajuan kredit,
permohonan pinjaman tersebut sudah dicairkan, sebesar dua ratus lima
puluh juta rupiah sesuai permohonan dana yang diajukan
(Wawancara,10 Mei 2012).
Lain halnya dengan om Yon Flory, Ia tidak pernah mengajukan
bantuan dana ke Dinas Koperasi dan UKM untuk usahanya, Ia menilai
bahwa dengan dana lima jutan rupiah itu terlalu kecil jika ingin
memperbesar usaha. Selain membutuhkan waktu yang lama, pengajuan
bantuan dana ke Dinas Koperasi dan UKM Halbar juga tidak dijamin
kepastiannya.
Hal itu Ia alami ketika membantu dua saudarahnya
mengajukan permohonan bantuan dana ke Dinas Koperasi dan UKM,
berturut-turut pada tahun 2004 dan 2005, namun permohonannya
tidak dijawab, demikian kata om Yon Flory dengan nada kesalnya.
Menurut om Yon, bantuan dana dari Dinas Koperasi dan UKM
arahnya lebih kuat kepada kopesari simpan pinjam, dan melalui badan
usaha tersebut kemudian dipinjamkan kepada masyarakat termasuk
pelaku usaha (Wawancara, 26 Januari 2013).
Terlepas dari apa yang dikemukakan oleh bu Damis dan om
Yon Flory, persoalan bantuan modal usaha kepada pedagang yang ada
di pasar Akedir, sudah jelas sikap pemerintah daerah terhadap mereka.
Seperti yang dikemukakan oleh Kadis Perindag Pak Ismail Arifin,
bahwa pemerintah tidak memberikan ijin usaha, karena pasar tersebut
tidak memenuhi aspek tata ruang suatu wilayah perdagangan.
Asas prinsipil lainya yang mengganjal ialah, lahan yang
digunakan pedagang kebanyakan bukanlah milik pribadi, melainkan
tanah-tanah pekarangan milik masyarakat yang dikontrak. Karena
pasar tersebut berada di tengah-tengah permukiman penduduk, hal itu
tak terelakan menjadi alasan untuk menghambat aktifitas pedagang di
pasar Akediri yang dinyatakan tak layak oleh pemerintah daerah.
Selain persoalan legalitas, ketersedian dana bantuan modal
usaha pada Dinas Koperasi dan UKM mengalami pasang surut. Tidak
hanya karena jumlahnya kecil, melainkan sering tidak terdanai dalam
157
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
APBD. Menurut Kabid Pembiaya Koperasi dan UKM Kabupaten
Halbar Nasarudin Syaifudin5, sejak Kabupaten ini terbentuk
pengalokasian dana bantuan terhadap Koperasi dan UKM tidak rutin
teralokasikan dalam rancangan APBD, misalnya pada tahun 2005
terdanai Rp 200.000.000, tahun 2006 Rp 300.000.000, tahun 2007
Rp 1.800.000.000, tahun 2008 Rp 2.100.000.000, dan tahun 2009 hanya
Rp 595.000.000.
Sedangkan pada tahun 2010-2011 pemerintah daerah tidak
mengalokasikan bantuan dana modal usaha. Lebih lanjut Ia
mengatakan bahwa, pada tahun Anggaran 2012 pihaknya kembali
mengajukan pengalokasian bantuan dana untuk Koperasi dan UKM
kepada pemerintah daerah melalui APBD sebesar satu miliar rupiah.
Dengan pasang surut ketersedian dana bantuan modal usaha
yang demikian, sangat sulit untuk melakukan pembinaan kepada 160
Koperasi, dan 300 UKM yang ada di Halmahera Barat sejak daerah ini
dimekarkan, kata pa Matius Dode6 Kabid Bina Lembaga Dinas Koperasi
dan UKM. Keterbatasan dana membuat pihaknya memprioritaskan
bantuan modal usaha diarahkan kepada usaha-usaha yang benar-benar
sudah berjalan.
Karena itu volume bantuan diberikan berdasarkan kondisi riil
besar kecilnya aktifitas suatu usaha, dengan nominal terrendah lima
juta rupiah, hingga ratusan juta rupiah untuk kategori Koperasi.
Contohnya Primkopad Yon 732 Banau, untuk tahun anggaran 2009
tunggal terdanai Rp 595.000.000.
Berangat dari kondisi yang demikian tanpa ditekan pun dana
bantuan modal usaha yang disediakan pemerintah daerah bagi pelaku
usaha tidak mencukupi untuk membantu pelaku usaha kecil di
Halmahera Barat. Sebaliknya ketika pemerintah menekan untuk tidak
memberikan bantuan modal usaha bagi pedagang pasar Akediri, justru
mereka di danai oleh lembaga keuangan lain, seperti bank maupun
koperasi simpan pinjam.
5
6
Wawancara, 21 Maret 2012.
Wawancara pada, 21 Maret 2012.
158
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pembatasan bantuan modal usaha mungkin untuk
sementara menyulitkan, tetapi tidak sampai membuat usaha mereka
menemui ajalnya, kecuali mereka sendiri yang memilih untuk
mengakhiri usahanya.
 Pembebasan Pajak Dan Retribusi
Kedudukan pasar Akediri yang berada di tengah-tengah
permukiman penduduk, serta keterbatasan lahan untuk pengembangan
pasar tersebut, merupakan alasan mendasar yang melatari kebijakan
untuk tidak melegalkan pasar Akediri.
Selain kebijakan pembatasan ijin usaha, dan bantuan modal
usaha, bagi pedagang yang bertahan di pasar Akediri. Pemerintah
daerah juga mengeluarkan kebijakan untuk tidak menarik pajak dan
retribusi bagi pedagang yang ada di pasar Akediri. Alasan mendasar
dikeluarkan kebijakan tersebut ialah, karena pemerintah tidak
melegalkan pasar tersebut, sebab mereka hanya mengontrak
pekarangan penduduk, dan bukan milik pribadi kata Pak Ismail Arifin
kepala Dinas Perindag Kabupaten Halmahera Barat.
Lebih lanjut Ia menuturkan bahwa tidak mungkin pemerintah
menarik pajak dan retribusi dari pedagang yang hanya mengontrak
tempat usaha, dari lahan-lahan pekarangan milik warga. Itukan sudah
membebani mereka, begutu kata Pak Ismail Arifin (Wawancara, 26
Januari 2013).
Kebijakan yang ditempuh pemerintah daerah ternyata memilik
kesan tersendiri bagi para pedagang di pasar Akediri. Memang bagi
mereka yang belum memiliki ijin usaha, tidak dikenakan wajib pajak
daerah (reklame) maupun pajak negara, namun tidak dengan retribusi
daerah, kata tante Ratna.
Hal itu tidak sepenuhnya benar terjadi, sebab nyatanya
retribusi sampah dipungut merata, baik yang memiliki ijin maupun
yang tidak memiliki ijin usaha.
Memang retribusi pasar non sampah tidak dipungut oleh
pemerintah daerah, tetapi tidak dengan retribusi sampah. Mengapa,
sebab pungutan retribusi sampah yang dilakukan oleh petugas
159
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
persampahan Kantor Tata kota, berlaku merata baik mereka yang
memiliki ijin maupun yang tidak memiliki ijin usaha. Demikian tante
Ratna menceritakan pengalamanya (Wawancara, 25 Januari 2013).
Cerita yang sama tentang pengalaman kebijakan tersebut juga
dikemukakan oleh Alimin Sabri, yang juga tidak memiliki ijin usaha
tetapi dikenakan retribusi sampah persatu pengusaha lima belas ribu
rupiah perbulannya (Wawancara, 26 Januari 2013).
Memang bagi mereka yang memiliki ijin usaha, ketika
mengurus ijin tersebut biaya retribusi persampahan sudah dikenakan
selama kurun waktu satu tahun, kata ibu Rohani M. Ahmat. Sehingga
setelah tahun kedua dan ketiga, barulah mereka membayar biaya
retribusi sampah perbulan sebesar lima belas ribu rupiah untuk satu
orang pedagang. Tenggang waktu pembayaran retribusi tersebut,
mengikuti masa berlakuknya ijin usaha yakni tiga tahun bagi mereka
yang memiliki ijin usaha (Wawancara, 25 Januari 2013).
Demikianlah kisah-kisaah para pedagang yang mereka
tuturkan ketika di wawancarai, tentang pengalaman bagaimana mereka
menghadapi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Kebijakakebijakan tersebut tidak hanya terkesan dan dirasakan membatasi
aktifitas para pedagang, tetapi ada juga sisi baik yang menguntungkan
mereka, walaupun sifatnya hanya sementara.
 Relokasi Pedagang Pasar Akediri : Memikul kesalahan siapa?
Ketika pemerintah daerah tidak melegalkan pasar Akediri,
kebijakan tersebut disusul dengan pembatasan ijin usaha, pembatasan
bantuan modal usaha, dan pelarangan pemungutan pajak maupun
retribusi daerah kepada para pedagang pasar Akediri. Nampaknya
langkah pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan-kebijakan
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tersirat tujuan untuk merelokasi
para pedagang dari pasar Akediri yang dinyatakan tidak layak.
Upaya relokasi pedagang pasar Akediri ternyata telah
dilakukan sejak paskah rekonsiliasi, maupun setelah pemekaran daerah
yang berjalan tersendat-sendat dan tak menentu hingga kini.
160
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
Dari cerita Roni Muluwere diketahui bahwa ketika upaya
rekonsiliasi terjadi pada April 2001, sebulan kemudian pihak militer
yang bertugas di Jailolo berinisiatif membangun satu pasar perdamaian
atau dikenal sebagai pasar rekonsiliasi di desa Hatebicara. Pasar
tersebut diresmikan oleh Pejabat Gubernur Maluku Utara. Pasar yang
dibangun itu bertujuan untuk mempercepat pemulihan trauma konflik
antar kedua komunitas yang bertikai di Jailolo, sehingga cepat terjadi
pembauran antara kedua komunitas yang terlibat konflik itu
(Wawancara,10 Desember 2012).
Namun pasar ini tidak berjalan sebagaimana di harapkan,
karena pihak nasrani belum berani berjualan di pasar yang dibangun
pada wilayah yang dikuasai pihak muslim. Kebijakan relokasi yang
dimotori oleh pihak militer itu, dibenarkan baik oleh bu Damis
Pasuma (Wawancara,10 Mei 2013), maupun oleh om Yon Flory
(Wawancara, 26 Januari 2013).
Menurut mereka berdua waktu itu kondisinya belum aman,
masih terjadi penyerangan dan gangguan keamanan. Sehingga
sekalipun dijaga oleh Satgas 401 Banteng Raider Kodam Ponegoro,
mereka belum merasa nyaman berjualan di Hatebicara. Karena itu
setelah peresmian pasar itu para pedagang pasar Akediri baik yang
nasrani maupun muslim perlahan hari demi hari menarik diri dari
pasar rekonsiliasi yang ada di Hatebicara itu.
Dengan demikian tak lebih sebulan terjadi aktifitas, akhirnya
pasar tersebut ditinggal pedagang hingga akhirnya terkubur dengan
sendirinya.
Namun upaya relokasi pedagang pasar Akediri tidak terhenti
sampai disitu saja. Pada tahun 2003 pemerintah kecamatan Jailolo
bersama Komandan Kodim 501 Maluku Utara Kol. Inf. Peter O.
Sianturi, kembali merelokasi pedagang pasar Akediri ke pasar induk di
pusat kecamatan Jailolo.
Melalui mekanisme undi untuk mendapatkan tempat
berjualan, tujuh puluh nama pedagang pasar Akediri yang turut diundi
tidak satupun nama mereka keluar. Selain nama mereka tidak keluar
161
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
ketika diundi, keterbatasan tempat jualan maupun lahan kosong
disekitar pasar untuk ditempati, menjadi alasan bagi mereka kembali ke
tempat semula di Akediri.
Situasi yang memprihatinkan bagi para pedagang itu ialah,
lapak yang sudah dibongkar untuk dipindahkan ke Jailolo akhirnya di
angkut kembali untuk dipasang di tempat semula di Akediri. Demikian
kata om Atus Sandiang Kaur Pemerintahan Desa bersama Marthen Tuli
Kepala desa Akediri (Wawancara, 01 November 2012), om Yon
(Wawancara,26 Januari 2013), bu Damis (Wawancara,10 Mei 2012) om
Titirloby (Wawancara,11 Desember 2012).
Selain karena keterbatasan lahan dan tempat usaha, persoalan
yang dihadapi oleh pedagang pasar Akediri yang turut dalam relokasi
ke pasar Jailolo, mereka diperhadapkan dengan kenyataan bahwa
tempat-tempat tersebut juga diperjual-belikan oleh orang-orang
tertentu, kata om Yon Flory (Wawancara,26 Januari 2013). Itulah
kondisi-kondisi yang menyebabkan upaya relokasi pedagang pasar
Akediri ke pasar induk Jailolo, oleh Pemerintah kecamatan Jailolo dan
Komandan Kodim kandas di tengah jalan.
Setelah terjadi pemekaran daerah pada awal tahun 2003, dan
Jailolo menjadi pusat ibu kota kabupaten Halmahera Barat nama baru
dari kabupaten induk Maluku Utara yang dipindahkan kewilayah
Halmahera Bagian Barat itu. Pada tahun 2007 pemerintah daerah
kembali lagi mencoba merelokasi pedagang pasar Akediri ke pasar
Agrolpolitan di desa Akelamo kecamatan Sahu ketika itu.
Pasar ini dibangun oleh pemerintah propinsi sebelum
kabupaten Halmahera Barat terbentuk, kata Bambang Bassay7
(Wawancara,28 Januari 2013). Namun kebijakan tersebut tidak
menunjukan hasil baik, alias gagal. Posisi pasar yang terisolir dari
permukiman penduduk, serta memiliki keterbatasan sarana
Bambang Bassay, adalah salah satu warga masyarakat Akelamo, dimana sebagian
lahanya dipakai untuk membangun pasar Agropolitan, sebagaimana informasi yang Ia
dapat ketika dilibatkan dalam sosialisasi program pembangunan pasar tersebut.
7
162
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
penerangan, dan juga air bersih menyebabkan pasar ini tak diminati
pedagang termasuk pengunjung.
Selain itu pasar Akelamo berada di daerah yang mudah
digenangi air apabila hujan lebat dan sungai Akelamo meluap. Kondisi
ini pernah dialami ketika relokasi pada tahun 2007 sejumlah barang
milik pedagang tergenang air ketika sungai Akelamo meluap, tutur om
Yon Flori (Wawancara, 26 Januari 2013), Atus Sandiang (Wawancara,
1 November 2012), bu Damis (Wawancara,10 Mei 2012), dan juga
tante Ratna (Wawancara,25 Januari 2013).
Cerita pengalaman dari mereka yang turut dalam rombongan
yang direlokasi itu terdengar sangat memilukan. Seperti bu Damis dan
istrinya, mereka berdua menceritakan bahwa, berjualan dimingguminggu pertama ketika berada di pasar Akelamo masih terbilang baik,
bisa mencapai Rp 300.000 sampai Rp 500.000 dalam sehari.
Tetapi pada minggu-minggu berikut di bulan selanjutnya
pendapatan kian menurun, kata mereka jika sehari mendapat
Rp 50.000 itu sudah beruntung, bahkan ada yang tidak sama sekali
(Wawancara,10 Mei 2013).
Karena pendapatan mereka demikian, akhirnya mereka
memilih keluar dari pasar tersebut dan berjualan di perempatan jalur
utama desa Akelamo. Tetapi di tempat yang barupun hal yang sama
kembali terjadi. Minggu-minggu pertama berjualan pendapatan mereka
mencapai Rp 400.000 sampai Rp 500.000. Tetapi tidak dengan mingguminggu selanjutnya pada bulan berikutnya, hari-hari itu merupakan
kekelaman bagi mereka.
Pendapatan kian merosot dari hari ke hari, bahkan kembali
terpuruk sampai pada kisaran Rp 100.000 hingga Rp 150.000 sehari.
Walau kondisi demikian mereka mencoba bertahan selama dua
tahun berdagang di Akelamo, baru kembali ke Akediri dengan kondisi
usaha yang memprihatinkan. Kata bu Damis, jika mereka tidak
mengambil langkah untuk kembali ke Akediri, mungkin usahanya
akan bangkrut. Betapa tidak lanjut mereka berdua, bahwa banyak
barang yang tidak terjual karena kurangnya pengunjung.
163
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Contohnya seperti saos tomat, kalau masih di Akediri satu dus
itu tidak sampai sebulan sudah habis terjual, tetapi ketika di Akelamo,
sampai balik ke Akediri pun belum habis terjual (Wawancara, 10 Mei
2013).
Persoalannya, karena masih ada sebagian besar pedagang yang
bertahan di pasar Akediri, mereka itu adalah pengusaha-pengusaha
yang memiliki toko permanen dan memiliki ijin usaha yang tidak
direlokasi. Sehingga sekalipun sudah ada pedagang yang berjualan di
pasar Akelamo, Akediri masih tetap menjadi tujuan orang berbelanja
tegas bu Damis Pasuma dan Istrinya (Wawancara,10 Mei 2012).
Apa yang di Alami oleh bu Damis dan istrinya ketika berjualan
di pasar Akelamo, juga di alami oleh tante Ratna. Ketika terjadi relokasi
dari Akediri ke pasar Akelamo, tante Ratna dan suaminya pun turut
dalam rombongan itu. Mereka pindah ke Akelamo dengan stok barang
yang cukup banyak. Bahkan menurut Usi Teker tante Ratna
mempunyai barang-barang dagangan lebih banyak dari mereka, ketika
pindah ke pasar Akelamo (Wawancara,10 Mei 2012).
Memang pendapatan ketika berjualan di minggu pertama
hasilnya baik, mereka bisa mencapai Rp 500.000 sampai Rp 800.000
dalam sehari, namun hal itu hanya terjadi di awal-awal saja ketika baru
sampai di pasar Akelamo, kata tante Ratna (Wawancara,25 Januari
2013).
Pengunjung pasar yang makin berkurang, karena letaknya yang
jauh dari jalur utama, dan masih banyaknya pedagang kecil dan bersar
yang masih bertahan di Akediri. Menyebabkan konsumen yang berada
di wilayah Sahu Timur dan Sahu, tetap berbelanja ke Akediri walau
sudah ada mereka yang berjualan di pasar Akelamo.
Situasi itu berdampak terhadap pendapatan mereka, yang terus
bergerak turun. Menurut tante Ratna, awalnya sehari pendapatan
tertinggi bisa mencapai Rp 800.000, namun bergerak turun hingga
Rp 150.000, bahkan sampai pada nominal terendah Rp 50.000. Bukan
saja pendapatan yang menurun melainkan barang-barang mereka pun
beranjak berkurang, hal itu bukan karena laku terjual melainkan
164
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
dikonsumsi sendiri dan sebagian lagi dibuang karena telah melampaui
masa jual.
Menyikapi kondisi itu akhirnya tante Ratna juga melakukan
hal yang sama dengan bu Damis, yakni merelokasi sendiri usaha
mereka dari pasar Akelamo dan ke perempatan jalan Akelamo dan
membuat kios baru di sana. walau sudah berpindah ke pinggiran jalan
utama, Nampak langkah tersebut tidak membantu meningkatkan
pendapatan mereka, kondisinya tidak berbeda jauh ketika masih berada
di Dalam Pasar. Diminggu-minggu pertama pendapatan masih
terbilang baik bisa mencapai Rp 800.000. sampai Rp 1.000.000.
Tetapi pada minggu-minggu selanjutnya justru berbalik turun
hingga mencapai Rp 150.000 sampai Rp 200.000 sehari. Sehingga
menurut tante Ratna, mereka terus merugi dan makan modal
(Wawancara, 25 Januari 2013).
Untuk menghindari kebangkrutan akhirnya tante Ratna
memutuskan kembali ke Akediri, setelah bertahan setahun empat
bulan berjualan di Akelamo, keluh tante Ratna kepada peneliti
(Wawancara,25 Januari 2013).
Nasip sama juga dialami oleh ibu Safiani Ode ketika pindah ke
pasar Akelamo. Ia bertahan selama empat bulan berjualan di pasar
Akelamo. Karena pendapatan rendah, sehari hanya bisa mencapai Rp
100.000 sampai Rp 300.000, itupun hanya di minggu-minggu pertama.
Tetapi pada bulan berikutnya pendapatan makin merosot jauh, syukursyukur bisa dapat Rp 50.000 sampai Rp 100.000 sehari, kadang tidak
sama sekali, hal ini berdampak pada modal usaha, kata ibu Safiani Ode
(Wawancara,25 Januari 2013).
Mempertimbangkan situasi tersebut akhirnya ibu Safiani
memutuskan untuk keluar dari pasar tersebut, dan membangun tempat
usaha baru dengan biayanya sendiri untuk bisa berjualan di pinggiran
jalan utama desa Akelamo.
Tetapi, lagi-lagi keputusan itu menurut ibu Safiani, tidak sesuai
apa yang di harapkan yakni dapat menaikan pendapatanya. Justru
sebaliknya pendapatannya tak berbeda ketika masih di dalam pasar
165
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Akelamo. Ketika Ia merelokasi tempat usaha ke perempatan jalan
sehari ia bisa mencapai Rp 150.000 sampai Rp 350.000 sehari. Namun
itupun hanya pada minggu-minggu pertama, selanjutnya beranjak
turun sampai Rp 150.000, bahkan Rp 100.000 sehari.
Melihat usahanya makin menurun dan masih mengandalkan
sokongan orang tua yang makin melemah, akhirnya Ia memutuskan
untuk kembali ke Akediri setelah bertahan delapan bulan berjualan di
pinggiran jalan uatama, demikian ibu Safiani menuturkan kisahnya
kepada peneliti (Wawancara, 25 Januari 2013).
Dampak relokasi pedagang yang sangat memilukan dirasakan
juga oleh om Aba, nama panggilan untuk bapak Ibrahim. Ketika
pemerintah daerah memutuskan untuk merelokasi pedagang dari
kompleks militer dan memindahkan mereka ke pasar Akelamo, tak
luput om Aba pun termasuk dalam rombongan pedagang itu.
Sebagai pedagang pakaian Ia merasa benar-benar sulit ketika
menghadapi kenyataan sepinya pengunjung di pasar Akelamo.
Menurutnya untung-untung lah kalau pakaian itu laku satu atau dua
lembar kaos, tetapi kalau hanya Rp 50.000 sampai Rp 70.000 sehari, itu
tidak cukup untuk makan sehari, kata om Aba (Wawancara. 26 Januari
2013).
Karena kondisi makin memprihatinkan, akhirnya Ia
memutuskan untuk bertani menanam rica dan tomat, dengan
menyewa lahan milik om Au Bassay, salah satu pedagang di desa
Akelamo. Sedangkan bisnis pakaian tetap dijalankan oleh istrinya.
Tak tahan berjualan di pasar Akelamo, akhinya om Aba
memutuskan untuk keluar ke pinggiran jalur utama mengikuti temateman mereka yang lebih duluan keluar dari pasar tersebut. sayangnya
usaha itu tidak membantu meningkatkan pendapatannya. Kondisi
makin memprihatinkan, kian hari terasa berat Ia rasakan. Ditempat
yang barupun pendapatannya tak beranjak naik lebih dari Rp 50.000
sampai Rp 70.000 sehari, itupun hanya pada hari-hari pertama ketika
berada dipinggiran jalan.
166
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
Pada hari-hari selanjutnya terkadang sehari tidak terjual satu
potongpun pakaiannya. Dalam kondisi ketidak stabilan pendapatan
itulah, Ia dilanda duka, dimana orang tua mantunya meninggal di
Manado dan istrinya harus kembali. Sejak itulah om Aba berpisah
dengan istrinya, hingga kini.
Karena bisnis pakaian semakin terpuruk, akhirnya om Aba
mengalihkan keuntungan dari penjualan pakaian yang Ia sisipkan dan
dijadikan modal usaha penanaman cabai dan tomat. Baik untuk
pembelian bibit, obat-obatan dan pupuk. Redupnya binis pakaian
menyebabkan om Aba tidak bisa melunasi pinjama kredit usaha di Unit
bank BRI Jailolo hingga kini.
Setelah bisnis pakaian tak lagi menjanjikan pendapatan yang
menguntungkan, akhirnya Ia fokus pada penanaman cabai dan tomat
hingga kini. Dalam usaha penanaman cabai dan tomat, om Aba
melakukan patungan modal dengan salah satu anggota TNI-AD. Tetapi
panen yang besar dan menguntungkan itu dialami ketika Ia masih di
Akelamo, setelah istrinya pulang ke Manado. Dari sepuluh ribu lebih
pohon tomat yang Ia tanam menghasilkan uang sebanyak
Rp 118.000.000, namun sayangnya keuntungan itu hanya sekalai saja,
dan itu menjadi momen perpecahan kongsi usaha dengan onum
tentara, kata om Aba (Wawancara,26 Januari 2013).
Dengan pendapatan dari penjualan tomat yang Ia dapatkan, om
Aba kemudian mencoba untuk mengembalikan istirinya dari Manado,
tetapi hal itu tidak berhasil, karena istrinya sudah memantapkan hati
untuk berpisah dengannya. Sejak itulah Ia benar-berpisah dengan
istrinya. Kata om Aba :
“Begitu sudah kalau kita laki-laki sudah tidak mempunyai
apa-apa pasti perempuan juga mengeluh, jadi mau bilang
apa kondisi waktu itu memang sulit, bisnis pakaian tidak
laris karena kesepian pengunjung, sedangkan tanaman cabai
dan tomat belum menghasilkan. Ketika ada uang dan saya
memintanya kembali Ia sudah tidak mau kembali, jadi
begitulah ceritanya” (Wawancara, 26 Januari 2013).
167
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Kini om Aba telah menetap di Akediri, setelah bertahan
setahun di pasar Akelamo, dan setahun lagi berjualan di pinggiran jalan
utama desa Akelamo. Sekalipun kembali ke Akediri Ia sudah tidak
mampu melanjutkan usaha dagangnya di Akediri, saat ini om Aba
hanya membantu saudara perempuanya yang masih berjualan pakaian
di pasar Akediri. Selain membantu berjualan dagangan saudaranya, om
Aba juga menanam rica dan tomat bersama istri barunya.
Menurutnya, Ia akan kembali berjualan di pasar Akelamo jika
pasar itu benar-benar sudah ramai, karena itu menanam rica dan tomat
adalah upaya untuk mendapatkan modal usaha, demikian kata om Aba
(Wawancara,26 Januari 2013).
Tak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh bu Damis, om
Aba, tante Ratna, juga om Yon Flory. Ibu Safiani Ode juga mengalami
kesulitan di pasar Akelamo. Bisnis yang baru Ia jalani dan masih
bergantung pada sokongan orang tua, terasa mengacam kelangsungan
usahanya, ketika pendapatan di pasar Akelamo hanya sekali mencapai
pendapatan tertinggi Rp 300.000. Hal itu kebetulan Ia dihampiri oleh
mahasiswa STT Dian Halmahera yang mencari perlengkapan untuk
persiapan kuliah praktek ke Bacan, tegas bu Safiani (Wawancara,25
Januari 2013).
Di luar dari itu, pendapatan hanya berkisar Rp 50.000 sampai
Rp 100.000 sehari. Setelah bertahan empat bulan di pasar Akelamo,
akhirnya ibu Safiani merelokasi usahanya ke pinggiran perempatan
jalan utama desa Akelamo. Di tempat yang baru itu Ia harus menyewah
lahan dan membangun kembali lapaknya dengan biaya sendiri.
Setelah bertahan selama delapan bulan di pinggiran perempatan jalan
desa Akelamo, Ia merasakan bahwa bisnisnya tidak berkembang dan
situasi makin tidak menentu, akhirnya mereka memutuskan untuk
menyuarakan aspirasi ke pemerintah Halmahera Barat.
Ketika desakan terhadap pemerintah daerah agar semua
pedagang direlokasi ke pasar Akelamo, seperti yang dijanjikan
pemerintah tidak mendapat tanggapan serius, akhirnya Ia memutuskan
168
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
kembali ke Akediri untuk menyelamatkan usahanya. Demikian cerita
ibu Safiani Ode kepada peneliti (Wawancara,25 Januari 2013).
Jika Pengalaman-pengalaman inilah yang membuat para
pedagang pasar Akediri merasa trauma berjualan di pasar Akelamo.
Baik mereka yang pernah mengalami maupun yang belum
pernah merasakan berjualan di pasar tersebut, setelah mendengar
cerita-cerita yang memilukan itu. Kini pedagang pasar Akediri benarbenar dibuat resah. Keresahan itu muncul karena pemerintah daerah
kembali merencanakan relokasi pedagang pasar Akediri ke pasar
Akelamo pada Januari 2013, setelah mencapai kesepakatan dengan
pedagang pada Desember 2012.
Kebijakan membatasi ijin usaha, bantuan modal usaha maupun
pembebasan pajak dan retribusi yang dilakukan pemerintah daerah,
bukan saja karena pasar tersebut tidak layak, melainkan kebijakankebijakan tersebut merupakan prasyarat untuk merelokasi para
pedagang pasar Akediri. Hal itu terlihat dari kriteria mendasar yang
dipakai pemerintah untuk melakukan relokasi.
Kebijakan relokasi pedagang yang direncanakan pada Januari
2013, selain menyasar pedagang yang belum memiliki ijin usaha,
kebijakan tersebut juga ditujukan kepada pedagang yang masih
mengontrak tempat usaha atau lahan dan tempat usaha belum menjadi
miliknya.
Dampak rencana kebijakan tersebut sudah terlihat, walaupun
sampai saat ini masih terjadi tarik ulur pelaksanaan relokasi oleh
pemerintah daerah, sudah ada pedagang yang menutup usahanya.
Seperti tante Ratna, karena adanya rencana tersebut Ia akhirnya
memilih untuk berhenti berdagang.
Menurutnya lebih baik menutup usaha, dari pada harus
pindah ke Akelamo. Memang kondisi dagang tante Ratna ketika
kembali dari Akelamo semakin menurun, hal lain yang turut
mempengaruhi turunya semangat berdagangnya ketika ditinggal pergi
almarhum om Agus Salondo pada pertengahan 2012. Selain itu
169
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
menurut usi Teker istrinya bu Damis Pasuma, kondisi usaha tante
Ratna terlihat makin menurun ketika kembali dari Akelamo.
Untuk memulihkan usahanya tante Ratna sempat
menggunakan dana koperasi simpan pinjam, kata usi Teker
(Wawancara,10 Mei 2012). Namun usahanya terlihat tidak
secemerlang dahulu, sebelum mereka pindah ke pasar Akelamo.
Tidak hanya tante Ratna yang risau dengan rencana relokasi
pedagang pasar Akediri. Alimin Sabri juga merasa kebingungan
dengan rencana kebijakan tersebut. Di satu sisi desakan pemerintah,
tetapi pada lain pihak Ia ketakutan ketika mendengar cerita dari
teman-teman mereka yang pernah gagal berjualan di pasar Akelamo.
Dengan aset dagangan yang sepenuhnya bukan miliknya, Ia dilematis
menghadapi kebijakan relokasi, kata Alimin Sabri (Wawancara, 26
Januari 2013).
Menurutnya jika Ia harus ke Akelamo dan daganganya tidak
laku, tentu hal itu tidak hanya berdampak pada ekonomi keluarga,
melainkan setoran kepada majikannya akan tertunda. Pendapatan yang
rendah akan menyebabkan pemanfaatan modal usaha untuk menopang
kebutuhan hidup ketimbang diputar dalam usaha, kata Alimin Sabri
(Wawancara, 26 Januari 2013).
Rencana relokasi pedagang pasar Akediri ternyata tidak hanya
merisaukan pedagang yang tidak memiliki ijin usaha dan yang
mengontrak tempat usaha, melainkan mereka yang memiliki ijin usaha
dan tempat usaha-pun dibuat risau.
Seperti bu Damis misanya, Ia memang meiliki ijin dan tempat
usaha sudah menjadi miliknya, tetapi ketika ditanya oleh petugas
Disperindag, Ia mengiyakan untuk ikut pindah ke Akelamo. Tetapi
dalam hati katanya :
“ biarkan saja yang lain duluan ke Akelamo, nanti
kalau sudah ramai baru mereka menyusul kemudian”
(Wawancara,10 Mei 2012).
170
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
Sikap tersebut tidak terlepas dari pengalaman yang pernah
mereka alami ketika berjualan di pasar Akelamo. Kata usi Teker,
berjualan di Akelamo ketika itu anggaplah mereka merugi, sebab
hanya makan modal dan banyak barang yang dibuang karena telah
lewat waktu jual.
Lain halnya dengan om Yon Flory, Ia bersedia pindah
sekalipun memiliki ijin usaha. Langkah itu Ia ambil selain untuk
menunjukan kepatuhannya kepada pemerintah, ternyata hal itu juga
merupakan strategi untuk mengantisipasi perkembangan yang dapat
saja terjadi di pasar Akelamo. Sejalan dengan itu, om Yon juga berharap
pemerintah tidak melarangnya untuk tetap membuka usaha di Akediri,
tempat dimana Ia membangun kios dagangannya.
Om Yon mengatakan demikian, karena Ia mengacu pada
pedagang besar yang sudah memiliki ijin dan tempat usaha yang
permanen. Mereka itu kata om Yon, dihimbau juga oleh pemerintah
untuk bisa berinfestasi di pasar Akelamo. Pada hal kalau dilihat
kebijakan relokasi ini nampaknya hanya menggusur mereka pedagangpedagang kecil yang tidak mempunyai ijin, dan masih mengontrak
tempat usaha. Sedangkan mereka yang besar-besar aman berdagang di
Akediri, kata om Yon Flory (Wawancara. 23 Januari 2013).
Jadi kalau hanya menggusur yang kecil-kecil ini lanjut om Yon,
dan pengusaha besar dibiarkan tetap ada di Akediri, mana bisa pasar
Akelamo akan ramai dikunjungi. Mengapa demikian karena pedagang
yang besar-besar ini memiliki banyak langganan dan itu saling terkait,
misalnya mereka petani kelapa, sebelum kopranya dijual mereka sudah
duluan mengambil barang dan ongkos kerja.
Setelah kopranya matang, mereka akan membawa ke
langganannya yakni ke pedagang besar, dengan demikian mereka akan
berbelanja di situ dan tidak lagi ke pedagang kecil. Inilah kondisi yang
terjadi ketika relokasi pertama kali ke Akelamo. Sehingga kebijakan
tersebut gagal, tegas om Yon Flory (Wawancara,26 Januari 2013).
Karena masih ada pedagang kecil dan semua pedagang besar
tetap bertahan di Akediri, sehingga menyebabkan arus pengunjung
171
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
pasar yang berada di wilayah Sahu dan Sahu Timur lebih memilih
berbelanja ke Akediri, sekalipun sudah ada pedagang yang berjualan di
pasar Akelamo (Wawancara, 23 Januari 2013).
Apa yang dikemukakan oleh om Yon, memang dibenarkan
oleh Pak Ismail Arifin Kadis Perindag Halmahera Barat. Menurut Pak
Ismail, benar bahwa pemerintah dalam rencana relokasi pada Januari
2013, diprioritaskan kepada mereka yang tidak memiliki ijin usaha, dan
pedagang yang masih mengontrak lahan tempat berdagang.
Terhadap pedagang yang memiliki ijin usaha dan telah
memiliki lahan sendiri, tempat dimana mereka membangun tokonya,
tentu tidak direlokasi. Kebijakan tersebut juga mentolelir penduduk
setempat yang berdagang dilahan miliknya. Lebih lanjut Ia
menegaskan bahwa pemerintah juga membuka kesempatan kepada
pedagang besar yang ada di Akediri, untuk berinvestasi di pasar
Akelamo jika mereka tertarik ke sana. Dengan begitu pasar tersebut
akan semakin bergairah dan kompetitif, tegas Pak Ismail Arifin
(Wawancara, 27 Januari 2013).
Untuk mendorong jalannya relokasi pedagang pasar Akediri
kata om Yon Flory, tak segan-segan pemerintah menggunakan tekanan
terhadap pedagang. Hal itu nampak dari pernyataan Kadis Perindag
Pak Ismail Arifin, ketika Ia melakukan sosialisasi rencana relokasi
bersama pedagang pasar Akediri pada desember 2012. Melalui
pertemuan itu Pak Ismail menegaskan bahwa jika para pedagang ini
tidak mau direlokasi ke pasar Akelamo, Ia akan meminta Kadis
Koperasi dan UKM untuk tidak memberikan bantuan modal usaha.
Kalau pemerintah daerah membebaskan pungutan pajak dan
retribusi daerah, bagi pedagang pasar Akediri, karena beralasan lahan
tempat mereka berdagang bukan milik pribadi dan masih mengontrak.
Karena itu jika pemerintah melakukan pungutan pajak dan retribusi,
itu adalah tidak rasional dan mendidik. Sebab mereka diberi beban
ganda, membayar ke tuan tanah juga ke pemerintah daerah, kata Pak
Ismail Arifin (Wawancara, 27 Januari 2013).
172
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
Namun dari kesaksian tante Ratna dan Alimin Sabri, diketahui
bahwa pemerintah daerah tidak konsisten dengan kebijakan tersebut.
Dalam realita dilapangan ternyata terjadi penarikan retribusi sampah
merata pada semua pedagang yang ada di pasar Akediri, baik yang
memiliki ijin maupun yang tidak memiliki ijin usaha.
Inilah dilema yang dihadapi pedagang pasar Akediri. Dalam
konsdisi demikian mereka terus berusaha, sekalipun menghadapi
situasi yang tidak menentu. Menurut Marthen Tuli Kepala desa
Akediri, Ia dan para pedagang ini bukan bermasud melawan
pemerintah daerah untuk menahan pasar Akediri, melainkan mereka
hanya berusaha untuk “batahang (bertahan) hidup” di pasar Akediri
(Wawancara, 01 November 2012).
Menyetujui Atau Tergusur : Dilema menghadapi nilai Kontrak
lahan yang terus melambung
Awal terbentuknya aktifitas pedagang pasar Akediri, bermula
di lingkungan militer angkatan darat Kompi ‘B’ 732 Banau. Mengingat
karena kondisi keamanan yang belum kondusif, sehingga lingkungan
satu-satunya yang steril adalah markas militer. Karena itu markas
militer di Akediri selain sebagai pusat pengungsian, juga diijinkan
untuk menjadi pasar alternatif ketika itu.
Ketika tangsi militer disterilkan dari aktifitas perdagangan pada
tahun 2004, akhirnya para pedagang keluar dan menempati kintalkintal rumah di pinggiran jalan penduduk Akediri yang masih
berdekatan dengan markas militer tersebut. Menurut Roy Bermula
sekertaris desa Akediri, pada awalnya penggunaan kintal-kintal rumah
penduduk itu belum ada nilai kontraknya. Waktu itu para tuan tanah “
mereka bilang tidak usah bayar, yang penting torang (kita) baku bawa
bae-bae saja (hidup berdampingan dan baik-baik saja) (Wawancara. 10
Desember 2013).
Seiring waktu berjalan, kebutuhan lahan untuk membangun
tempat usaha kian bertambah, akhirnya nilai atas tanah yang dipakai
untuk membangun tempat usaha mulai diperhitungkan secara material.
173
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Menurut ibu Safiani ode lahan yang Ia kontrak pada awalnya dinilai
setahun sebesar satu juta rupiah pada tahun 2008. Tetapi pada
perpanjangan kontrak di tahun 2012, yang bersamaan dengan rencana
relokasi pedagang pada Desember 2012, namun ditunda
pelaksanaannya pada Januari 2013.
Pemilik lahan sudah menaikan nilai kontrak lahan seluas 3 X 4
M persegi itu menjadi dua juta rupiah pertahun, bahkan Ia diminta
untuk mengontrak selama sepuluh tahun. Karena membutuhkan
tempat itu, akhirnya ibu Safiani menyanggupi nilai kontrak dengan
waktu yang ditawarkan oleh pemilik lahan. Biasanya perpanjangan
kontrak di tengah jalan, terjadi pada bulan Desember seiring tingginya
kebutuhan perayaan Natal dan pesta tahun baru, dan itulah yang
terjadi dengan ibu Safiani Ode.
Selain kebutuhan Natal dan perayaan tahun baru, pemilik
lahan juga kerap meminjam uang atau memperpanjang kontrak lahan
tempat usaha, karena desakan kebutuhan pendidikan anak-anak
mereka. Situasi ini dialami oleh om Yon Flory, dimana karena
kebutuhan pendidikan anaknya, pemilik tanah akhirnya meminjam
uang kepada om Yon dalam jumlah besar, sebelum waktu
perpanjangan kontrak lahan diperbaharui.
Karena itu om Yon cenderung mengakui kalau lahan yang Ia
tempati adalah miliknya, sekalipun secara hukum belum beralih
kepemilikan. Asumsinya sederhana ketika om Yon mengatakan seperti
itu, Ia beranggapan bahwa tidak mungkin pemilik tanah dapat
menggantikan sejumlah uang yang telah mereka pinjam untuk
membiayai kebutuhan pendidikan anak-anaknya.
Situasi dilematis seperti inilah yang dihadapi oleh pedagang
pasar Akediri, yakni memilih memperpanjang kontrak atau kehilangan
tempat usaha. Tetapi ketika kontrak telah diperpanjang, dan relokasi
terjadi, sangat tidak mungkin uang sisa waktu kontrak dikembalikan
oleh tuan tanah, atau diminta kembali oleh pedagang.
Pada hal dengan jelas para pedagang pasar Akediri mengetahui
bahwa jika mereka direlokasi, pemerintah daerah tidak memberikan
174
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
kompensasi pengganti biaya kontrak yang sudah mereka keluarkan.
Kompensasi pembebasan sementara biaya kontrak tempat yang
dijanjikan pemerintah daerah, hanya diberikan kepada pedagang yang
menempati pasar Akelamo yang dibangun oleh pemerintah propinsi
dan daerah.
Strategi Menghadapi Hambatan Kebijakan : Bertahan Di Masa
Sulit
 Mematenkan Lokasi Tempat Usaha : Cekatan meloloskan diri dari
kebijakan relokasi
Ketidak layakan pasar yang ada di Akediri, pertama-tama
adalah karena kedudukanya yang berhimpitan dengan permukiman
penduduk, dan berdekatan dengan markas militer yang dipandang
pemerintah daerah merupakan wilayah yang harus terjaga
keamanannya. Selain itu keterbatasan lahan alternatif lain yang ada di
Akediri, telah menyebabkan pemerintah daerah tidak memasukan
pasar ini dalam rencana detail tata ruang kota Jailolo. Sehingga pasar
tersebut tidak termasuk dalam salah satu wilayah pengembangan
perdagangan kota Jailolo.
Aktifitas perdagangan yang terjadi di Akediri tidak dipandang
menguntungkan baik masyarakat, pedagang termasuk Pemerintah
Daerah. Keterbatasan lahan menyebabkan aktifitas berdagang
berlangsung dalam keseharian hidup aktifitas masyarakat setempat,
dari segi estetika permukaiman penduduk telah terhalang oleh toko,
kios maupun lapak para pedagang yang berderet di depan kintal rumah
mereka.
Bangunan toko, kios atau lapak milik pedagang itu, memiliki
status kepemilikan yang beragam. Selain sebagai milik pribadi karena
penduduk setempat, ada juga yang berusaha untuk memiliki hak milik
atas tempat tersebut dengan cara membeli, tetapi ada juga pedagang
yang hanya mampu mengontrak lahan-lahan dimana mereka
membangun tempat usahanya.
175
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Jika melihat kriteria pedagang yang berhak direlokasi yakni
mereka yang tidak memiliki ijin usaha dan yang mengontrak tempat
usaha, tentu hal itu akan menimbulkan polemik di antara sesama
pedagang. Karena kebijakan tersebut, akhirnya menguntungkan
pedagang besar yang ada di Akediri yang mampu secara materi, akan
berusaha membeli lahan tersebut dan mengupayakan ijin usahanya.
Inilah yang terjadi di pasar Akediri. Belajar dari kasus tersebut,
akhirnya bu Damis Pasuma, dan ibu Rohani M. Ahmat, mereka berdua
berusaha untuk mematenkan lahan tempat usahanya dengan cara
membeli dan kemudian mengurus ijin usaha. Cara itu ditempuh
mereka, karena ada celah dari kebijakan yang memungkinkan
pengusaha besar lolos dari upaya relokasi pedagang di pasar Akediri,
dimana mereka ini kebanyakan ada di Akediri setelah konflik terjadi.
Contohnya Ci Hoa dahulu ia berada di Gufasa pusat ibukota
kecamatan, ia ada di Akediri setelah konflik reda. Begitu juga dengan
Ci Fani sebelum rusuh ia berjualan di desa Tuada, ketika konflik terjadi
mereka mengungsi dan akhirnya berdagang di Akediri. Lain halnya
dengan Ibu Safiani Ode dan om Yon Flory, melalui kontrak lahan
dalam waktu yang panjang dan penggunaan uang yang cukup besar
oleh tuan tanah, mereka berharap suatu saat akan dapat memiliki
tempat tersebut, ketika tuan tanah terbelit dengan pinjamannya atau
terdesak dalam masalah yang sama yakni kebutuhan uang kontan
dalam waktu mendesak.
Kalau pemerintah daerah keberatan dengan pasar Akediri
karena persoalan lahan, nampaknya hal itu bertentangan dengan
kebijakan relokasi yang mengacu pada kepemilikan lahan dan ijin
usaha. Karena itu satu-satunya cara untuk lolos dari ancaman relokasi,
para pedagang berusaha untuk mendapatkan lahan dimana mereka
membangun tempat usahanya.
Baik dengan cara membeli secara langsung, mengontrak dalam
jangka waktu yang panjang untuk mendapatkan tempat tersebut, atau
memberi pinjaman dalam jumlah besar, dan berharap pemilik tanah
tidak mampu mengembalikan uang mereka. Sehingga dengan begitu ia
176
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
melepaskan lahanya. Cara-cara inilah yang dilakukan baik oleh bu
Damis, ibu Safiani, om Yon Flory maupun sejumlah pedagang besar
lainnya yang berusaha untuk memiliki lahan sendiri, sehingga dapat
lolos dari kebijakan relokasi pedagang yang ada di Akediri.
 Menambah Tempat Usaha Dan Konversi Usaha
Menghadapi pasang surut kebijakan pemerintah daerah,
masing-masing pedagang memiliki cara yang berbeda-beda, meskipun
ada juga kesamaannya. Misalnya ibu Rohani M.Ahmat. Untuk
mengantisipasi relokasi pasar Akediri, Ia telah memperluas usahanya
ke wilayah lain. Selain di Akediri Ia juga memiliki satu unit toko
dirumah kediamanya dan satu tempat usaha lagi di wilayah Ibu tempat
suaminya bertugas sebagai anggota Koramil (Komando Rayon Militer)
kecamatan Ibu.
Selain memperbanyak tempat usaha ibu Rohani juga
menambah jenis usaha. Selain usaha penjualan sembako dan bisnis
kopra yang digeluti ibu Rohani di Jailolo, Ia juga telah merambah ke
bisnis material bahan bangunan, dan pembelian kopra di kecamatan
Ibu tempat suaminya bertugas sebagai anggota Koramil (Komando
rayon militer). Pengembangan usaha bukan saja sebagai antisipasi
terjadinya relokasi pasar, tetapi karena ada peluang usaha dan desakan
konsumen, seperti di kecamatan ibu, kata ibu Rohani M. Ahmad
(Wawancara,25 Jjanuari 2013).
Lain halnya dengan bu Damis, sekalipun tidak memperbanyak
tempat usaha, namun bu Damis Pasuma telah menamba jenis usahanya.
Kalau pada awalnya bisnis yang digeluti bu Damis hanyalah sembako,
dan pembelian kopra, kini Ia telah merambah ke bisnis jasa angkutan
barang.
Secara riil bu Damis hanya memiliki satu tempat usaha di
Akediri, sedangkan bisnis kopra yang Ia jalin bersama pemilik modal,
Ia lebih memilih untuk tidak menampung kopra ditempatnya. Tetapi
kopra-kopra dari langganannya ditimbang dan dibawah langsung ke
177
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
gudang penampungan, sehingga Ia tidak memerlukan tempat
penyimpanan.
Setelah kopra-kopra itu dibawa kegudang dan ditimbang bu
Damis hanya mengumpulkan nota timbanganya. Hal inilah yang
membuat bisnis kopra yang Ia jalani tidak nampak di permukaan,
seperti usaha lain atau seperti pengusaha besar lain yang memiliki
gudang penampungan kopra.
Selanjutnya jika dipandang cukup dan mereka membutuhkan
uang, nota timbangan kopra tersebut kemudian diperhitungkan
bersama pemilik modal yang menampung kopra darinya. Selain usaha
sembako dan bisnis kopra, bu Damis kemudian mengembangkan
usahanya ke bisnis jasa angkutan barang dan terbilang sukses.
Setidaknya di bidang usaha ini Ia telah memiliki tiga truk angkut, dan
ketiganya sudah dibayar lunas (Wawancara, 10 Mei 2012).
Upaya untuk mengkonversi usaha memang pernah dilakukan
oleh om Yon Flori. Menurutnya selain berdagang sembako, Ia juga
menggeluti bisnis kopra dan jasa angkut barang. Ia juga membangun
kemitraan dengan para kontraktor bangunan, sebagai subkontrak
pekerjaan dari mereka kontraktor besar pemenang tender di beberapa
bangunan milik pemerintah.
Tetapi langkah untuk mengembangkan usaha ternyata tidak
memberikan hasil baik bagi om Yon. Bisnis kopra, usaha jasa angkut
barang, maupun kemitraan dengan kontraktor, hanya tinggal kenangan
dalam kelana membangun usaha, kata om Yon Flori. Bisnis kopra dan
angkutan barang yang melibatkan anggota keluarga lainya, ternyata
tidak berjalan muslus.
Bahkan menurut om Yon kegagalan dalam kedua usaha
tersebut, tidak lepas dari perilaku menyimpang dari kerabatnya yang
terlibat dalam bisnis-bisnia yang Ia jalani, demikian kata om Yon
dengan raut wajah yang tak menggembirakan (Wawancara, 26 Januari
2013). Kini Ia hanya fokus pada bisnis sembako sebagai satu-satunya
usaha yang Ia geluti.
178
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
 Menggunakan Modal Pihak Lain : Tak ada rotan, masih ada pohon
yang lain
Berbicara tentang sumber modal finances yang dipergunakan
oleh para informan untuk membangun usahanya, pada umunya mereka
menggunakan modal pribadi. Modal tersebut ada yang diperoleh
dengan cara menggadaikan perhiasan, maupun uang simpanan mereka.
Seperti bu Damis Pasuma, untuk mendapatkan modal usaha
mereka menggadaikan perhiasan milik istrinya. Dengan uang tujuh
ratus limas puluh ribu rupiah tersebut, mereka kemudian
membelanjakan barang-barang jualan secara bertahap. Menurut usi
Teker istrinya bu Damis, awalnya mereka membelanjakan barangbarang dagangan seperti sabun dan supermi secara bertahap, yakni
satu dua lusin atau satu dua dos supermi.
Dari keuntungan yang didapat kemudian baru ditingkatkan
kuota belanja barang, tentu disesuaikan dengan keuangan dan
kebutuhan konsumen (Wawancara, 10 Mei 2012).
Tetapi untuk meningkatkan usaha, bu Damis mempunyai
pengalaman mengajukan permohonan bantuan dana kepada Dinas
Koperasi dan UKM Halmahera Barat. Menurutnya proses penentuan
bantuan dana yang terjadi Dinas Koperasi dan UKM terlalu lama dan
tidak ada kepastian. Hal itu berbeda ketika Ia mengajukan kredit ke
bank Danamon, pelayanan simpel, ada kepastian dan hanya
membutuhkan waktu seminggu kredit modal usaha yang Ia ajukan
sudah dicairkan.
Untuk mendapatkan kredit modal usaha yang ditawarkan oleh
bank Danamon, bu Damis hanya menjaminkan setrifikat rumah dan 1
BPKB truk yang sudah menjadi miliki mereka, tututr bu Damis
(Wawancara, 10 Mei 2012).
Ketidak pastian pendanaan bantuan modal usaha pada Dinas
Koperasi dan UKM Halmahera Barat, juga dikemukan oleh om Yon
Flory. Ia memang tidak mengajukan permohonan bantuan dana ke
instansi pemerintah itu, melainkan dua proposal yang Ia masukan pada
tahun 2004 dan 2005 milik dua saudaranya tidak terdanai.
179
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Bercermin dari pengalaman itu, om Yon berpendapat bahwa
jika ingin membesarkan usaha sebaiknya bermitra dengan bank, karena
ada kepastian, tinggal bagaimana aset dan usaha yang kita miliki.
Kecilnya bantuan modal usaha yang disediakan oleh pemerintah lewat
Dinas Perindag dan UKM, yakni hanya lima juta rupiah untuk usaha
kecil, di mata om Yon tidak berarti apa-apa pada kondisi usaha saat ini.
Untuk meningkatkan usahanya akhirnya om Yon mengajukan
pinjaman ke Bank Danamon yang terbilang lebih simple pelayanannya
dan ada kepastian, kata om Yon (Wawancara, 26 Januari 2013).
Keputusan menggunakan modal bank sebetulnya tidak lahir
dari inisiatif om Yon Flory, tetapi karena salah satu ponakanya bekerja
di bank Danamon. Sebagai pegawai yang membidangi perkreditan, ia
mengejar pertumbuhan angka kredit usaha yang tinggi. Karena itu Ia
menawarkan pinjaman modal usaha. Desakannya kepada om Yon,
katanya, kalau pencapaian angka kreditnya tinggi hal itu
meningkatkan kredit pointnya upaya pemasaran pinjaman modal usaha
kepada nasabah.
Tawaran dan alasan dari pegawai bank, yang menggunakan
pendekatan keluarga karena memang masih memiliki hubungan
kekerabatan, membuat om Yon luluh dan tergerak untuk
menggunakan modal usaha dari perbankkan. Sebab menurutnya
sebenarnya Ia sudah tidak mau menggunakan modal bank, karena
kalau menggunakan modal usaha dari bank, itu berarti kita mengutang.
Hal ini membuat kita dipacu terus menerus untuk berusaha, agar usaha
tetap berkembang sehingga dapat melunasi utang tersebut. Intinya
kalau berhutang di bank kita tidak bias tidur ‘sono’ demikian tegas om
Yon Flori (Wawancara,26 Januari 2013).
Demi meningkatkan angka kredit point ponakannya itu,
akhirnya om Yon mengajukan kredit modal usaha ke bank Danamon,
kelakarnya kepada pegawai bank, berapa yang bisa kamu berikan
kepada tua8, katanya dua ratus juta. Mendengar itu akhirnya om Yon
Tua, adalah sapaan lokal yang menunjuk pada seseorang yang lebih tua dalam silsilah
keluarga yakni dari keluarga ibu atau bapak. Biasanya kata ini disandingkan dengan
8
180
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
setujuh untuk mengajukan kredit ke bank Danamon, dan benar
terdanai seperti yang dijanjikan ponakannya yakni, sebanyak
Rp 200.000.000.
Dalam dua tahun perjalanan mengangsur pinjamannya, pihak
bank kembali menawarkan perpanjangan kredit dengan om Yon dan
hal itu disetujuinya. Kini om Yon sudah masuk pada termin kedua
pengagunaan modal bank, dengan akumulasi pinjaman yang sama
dengan pinjaman pada termin pertama, sehingga secara keseluruhan
dalam kurun waktu tiga tahun, 2010-2013 om Yon Telah
menggunakan modal usaha dari bank sebanyak Rp 400.000.000.
Anggunan yang disertakan untuk mendapatkan pinjaman
modal usaha adalah sertifikat rumah, bagi om Yon ini adalah seni
dalam hidup, katanya bahwa tidak ada orang yang tidak pernah
berhutang, negara sendiri juga berhutang, karena itu jika mau
mengembangkan usaha, sebaiknya bermitra dengan bank tegas om Yon
Flory (Wawancara, 26 Januari 2013).
Seperti bu Damis dan om Yon, yang akhirnya menggunakan
modal bank, demikian juga dengan ibu Rohani M. Ahmad. Memang
untuk bisnis sembako Ia tidak menggunakan modal bank, tetapi modal
pribadinya. Namun ketika Ia merambah ke bisnis kopra Ia akhirnya
menggunakan modal bank.
Menurutnya bisnis kopra membutuhkan uang kontan dan itu
dalam jumlah besar, sebab terjadi transaksi langsung, dan dalam jangka
tiga sampai enam bulan baru di jual ke Manado. Jadi jika ingin
memperoleh hasil yang besar, dibutuhkan modal yang besar pula, kata
ibu Rohani (Wawancara,25 Januari 2013).
Jika mencermati apa yang dikemukan oleh Pak Ismail Arifin
Kadis Perindag Halmahera Barat, tentu sudah jelas terlihat bagaimana
sikap pemerintah daerah terhadap pasar maupun pedagang yang ada di
Akediri. Pemerintah tidak saja mengilegalkan pasar, melainkan juga
membatasi bantuan modal usaha maupun ijin usaha bagi pedagang
kata bapa atau mama, sehingga menjadi bapa tua, atau mama tua, dan dalam bentuk
singkat disebut Tua, yang menunjuk pada keduan figur tersebut.
181
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
yang mengontrak tempat usahanya, juga memiliki ijin usaha
(wawancara,27 Januari 2013).
 Konversi Usaha, Swa Relokasi Tempat Dan Mengakhiri Usaha
Kebijakan pemerintah daerah merelokasi pedagang pasar
Akediri ke pasar Akelamo, tidak hanya berdampak menurunkan
pendapatan mereka. Tetapi ketika pendapatan tidak lagi berimbang
dengan konsumtif mereka, hal itu tentu mempengaruhi modal.
Dari tujuh informan yang diwawancarai, dua orang
diantaranya sudah melakukan konversi usaha jauh sebelum relokasi ke
pasar Jailolo maupun Akelamo. Mereka itu adalah bu Damis dan ibu
Rohani. Sedangkan lima orang lainya tidak melakukan konversi usaha.
Ketika direlokasi ke pasar Akelamo, hanya ibu Rohani dan Alimin yang
tidak turut serta dalam relokasi tersebut.
Sebab ketika itu Alimin Sabri belum berjualan di Akediri,
sedangkan ibu Rohani sudah memiliki hak milik tempat dan ijin usaha,
sehingga Ia sudah membangun toko yang permanen di Akediri.
Kebijakan relokasi yang memprioritaskan pedagang yang masih
mengontrak tempat (lahan) dan tidak memiliki ijin usaha, tak
terhindarkan menyebabkan, om Aba, Damis Pasuma, tante Ratna, ibu
Safiani Ode, dan om Yon Flory tidak dapat bertahan di Akediri.
Namun ketika direlokasi om Yon tidak bertahan lama di
Akelamo, tak lebih dari sebulan Ia langsung kembali ke Akediri, tutur
om Yon Flory (Wawancara,26 Januari 2013).
Secara khusus dalam bagian ini akan menyoroti tindakan
mengkonversi usaha, sewa relokasi, dan keputusan mengakhiri usaha
yang dilakukan oleh informan.
Sikap tidak melegalkan pasar Akediri oleh pemerintah daerah,
kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan untuk merelokasi
pedagang ke pasar Akelamo di Sahu Timur. Keputusan akhirnya
menempatkan mereka pada kondisi rentan, baik om Aba, tante Ratna,
dan juga sesama pedagang yang turut direlokasi ke pasar Akelamo.
Dengan bisnis pakaian yang dijalani om Aba, Ia merasa kesulitan ketika
182
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
hanya satu atau dua kaos yang laku terjual dalam sehari, berbeda
dengan usaha Sembako jika barang tidak laku terjual barang tersebut
bisa dimakan kata om Aba (Wawancara, 26 Januari 2014).
Menurutnya jika sehari Ia hanya bisa mendapat Rp 50.000
sampai Rp 70.000 itu sudah beruntung, tetapi dalam realita kadang
sehari tidak satu potong pakaian pun laku terjual. Menghadapi kondisi
tersebut akhirnya, selain tetap bertahan menjalani usaha dagang
pakaian di pasar Akelamo, akhirnya om Aba melakukan konversi
usaha, dan arena itu Ia memutuskan untuk terjun ke ladang untuk
menanam cabai dan tomat.
Pilihan usaha penanaman cabai dan tomat sebagai usaha
alternatif lain, disamping bisnis pakaian, selain karena bisnis pakaian
tidak dapat diandalkan sebagai tumpuan utama pendapatan rumah
tangga, juga karena om Aba mempunyai pengalaman di bidang usaha
tersebut. Kata om Aba :
…“ Menanam rica dan tomat, mengerjakan sawah, menjadi
tukang baik tukang kayu, atau tukang batu, hal itu
merupakan pekerjaan yang biasa Ia lakukan ketika masih
di Gorontalo (Wawancara,26 Januari 2013).
Sehingga keuntungan dari berdagang pakaian, tidak Ia
investasikan untuk bisnis pakaian, melainkan dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan sebagian lagi di investasikan ke usaha
tanam rica dan tomat. Dengan hanya memiliki modal dua sampai tiga
juta rupiah, bagi om Aba tidak mungkin Ia dapat berbelanja pakaian ke
Manado, baginya bisnis pakaian membutuhkan biaya besar dan harus
mengikuti perkembangan kebutuhan konsumen.
Persaingan di bisnis pakaian kata om Aba sangat ketat, karena
itu siapa kalah modal dan model Ia akan ketinggalan, tutur om Aba
(Wawancara,26 Januari 2013). Selain terjun ke ladang, dan bertahan
dengan bisnis pakaian yang makin memprihatinkan, akhirnya om Aba
merelokasi kembali usahanya keluar ke perempatan jalan utama desa
Akelamo kecamatan Sahu Timur. Di tempat yang baru itu, Ia harus
membangun lapak dengan biayanya sendiri, setelah Ia bertahan selama
satu tahun di dalam pasar Akelamo.
183
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Sekalipun om Aba telah berupaya merelokasi usahanya ke luar
dari pasar Akelamo ke pinggiran perempatan jalan utama desa
Akelamo, hal itu tidak berhasil mempertahankan bisnis pakaiannya.
Pendapatan ketika berjualan di pinggiran jalan perempatan desa
Akelamo, tak jauh berbeda saat berada di dalam pasar Akelamo.
Pendapata rata-rata hanya berkisar Rp 70.000 sampai Rp 100.000
perhari.
Pendapatan yang demikian mana cukup untuk berbelanja ke
Manado, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja hampir tidak
mencukupi, kata om Aba (Wawancara,26 Januari 2013).
Selain menghadapi kenyataan bahwa Ia tidak dapat
mempertahankan bisnis pakaiannya, ketidak stabilan usaha yang
berimbas pada pendapatan yang tidak pasti, juga merupakan salah satu
sebab Ia berpisah dengan istrinya, Katanya :
…“Begitu sudah kalau kita laki-laki sudah tidak mempunyai
apa-apa pasti perempuan juga mengeluh, jadi mau bilang
apa kondisi waktu itu memang sulit, bisnis pakaian tidak
laris karena kesepian pengunjung, sedangkan tanaman rica
dan tomat belum menghasilkan. Ketika ada uang dan saya
memintanya kembali Ia sudah tidak mau kembali, jadi
begitulah ceritanya” (Wawancara, 26 Januari 2013).
Kini om Aba menetap di Akediri dan terus menanam cabai dan
tomat bersama istri barunya, sebagai usaha alternatif yang Ia pilih
ketika menutup dagangan pakaiannya, dan sesekali meluangkan waktu
membantu saudara perempuanya berdagang di pasar Akediri.
Kalau om Aba turun ke ladang untuk menanam rica dan tomat,
sebagai langkah pengalihan usaha ketika bisnis pakaian tak lagi
menjadi tumpuan pendapatan keluarga. Hal itu berbeda dengan tante
Ratna.
Kalau dilihat perjalanan usahanya, ketika mereka ikut dalam
relokasi pedagang ke pasar Akelamo, awalnya kondisi usaha mereka
terbilang baik, bahkan menurut usi Teker kalau mau diukur dari
184
Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah
keadaan barang, lebih banyak milik tente Ratna dibandingkan barang
miliki mereka (wawancara, 10 Mei 2012).
Tetapi karena kurangnya pengunjung pasar Akelamo, ditambah
lokasi pasar yang terisolir dari permukiman penduduk, tak terelakan
berdampak pada pendapatan mereka. Sekalipun hari-hari pertama
berjualan di pasar Akelamo menunjukan hasil baik, dimana bisa
mencapai Rp 500.000 sampai Rp 800.000 dalam sehari.
Namun kondisi itu tidak bertahan lama, pendapatan tante
Ratna tidak bergerak naik, malah manukik turun tak terkendalikan.
Dari pendapatan tertinggih Rp 800.000 beranjak turun pada kisaran
Rp 150.000, hingga Rp 50.000. Situasi tersebut ketika masih bertahan
di dalam pasar Akelamo. Begitu sebaliknya ketika Ia berusaha
merelokasi usahanya ke perempatan pinggiran jalan utama desa
Akelamo.
Awalnya baik-baik saja, sehari bisa mencapai Rp 800.000
sampai Rp 1.000.000, tetapi pada hari-hari selanjutnya, kembali
terpuruk, pendapatan mereka malah bergerak turun hingga sehari
hanya bisa mencapai Rp 100.000 sampai Rp 150.000, begitu kata tante
Ratna (Wawancara,26 Januari 2013). Karena makin merugi akhirnya
tante Ratna memutuskan kembali ke Akediri.
Upaya untuk memulihkan kondisi usaha terus dilakukan oleh
tante Ratna ketika kembali ke Akediri, menurut usi Teker istrinya bu
Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012), tante Ratne dan suaminya
mencoba untuk menggunakan modal dari koperasi simpan pinjam
sebagai pilihan alternatif untuk menyokong usaha mereka.
Tetapi langkah tersebut tak terlihat manjur. Jika awalnya
dagangan utama tante Ratna adalah Sembako (sembilan bahan pokok),
kini beranjak turun hingga bertahan pada dagangan Barito (bawang,
rica, tomat) dengan campuran sayuran-sayuran dan bumbu dapur
seadanya. Pada titik inilah ketika pemerintah daerah kembali
merencanakan untuk merelokasi kembali pedagang pasar Akediri ke
pasar Akelamo, tante Ratna berencana untuk berhenti berdagang.
185
Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang
Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat
Baginya, Akelamo merupakan tempat dimana mereka pernah
merasakan masa-masa suram dalam berdagang. Jika melihat kesiapan
kondisi pasar tersebut, tak jauh bedanya dengan tahun-tahun
sebelumnya, kendati telah mengalami perbaikan infrastruktur, kata
tante Ratna (Wawancara,26 Januari 2013). Menurut Cherli9, kini tante
Ratna sudah tidak berdagang atau telah menutup usahanya.
Cherli Namotemo adalah salah satu informan yang dilibatkan untuk mengumpulkan
informasi, dari informan kunci ketika peneliti sudah kembali ke Salatiga. Komunikasi
melalui Handphon, 12 Maret 2013.
9
186
Download