Bab Enam PENGALAMAN PEDAGANG DENGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH Pasar Akediri : Berkat Buat Pedagang, Petaka Siapa? Menelusuri kehadiran pedagang di Akediri yang pada akhirnya membentuk sebuah kawasan perdagangan baru di pedalaman Jailolo, tentu tidak terpisahkan dari latar belakang konflik baik di Jailolo maupun Maluku Utara pada umumnya. Menurut Roni Muluwere, cikal bakal pasar Akediri, bermula dari masuknya dua perempuan pedagang ikan dari Jailolo pante yang beragama muslim. Mereka ini masuk melalui pengawalan tentara dan awalnya berjualan di dalam Kompi ‘B’ Akediri, diperkirakan sejak Maret 2000. Waktu itu lanjut Roni Muluwere, situasi masih tegang, masih terjadi serang menyerang antar kedua kelompok masa yang bertikai. Ditengah situasi itu terjadilah pertemuan antara para pedangang ikan tersebut, dengan tiga orang perempuan kristen yang sebelum rusuh berprofesi sebagai ‘dibo-dibo’1, dari pertemuan itu akhirnya terjalin kembali hubungan diantara mereka. Melalui aktivitas dagang inilah akhirnya terbangun kembali hubungan yang terputus antara kedua pihak yang bertikai. Dalam perkembangan kemudian kerja sama di antara mereka diwujudkan sebagai berikut, pedagang muslim menyuplai ikan ke tempat pengungsian, sebaliknya para ‘dibo-dibo’ mencari hasil-hasil Roni Muluwere, adalah ketua posko pengungsi kristen yang ada di Akediri ketika konflik. Ia juga tergabung dalam Tim Rekonsiliasi di Jailolo sebagai Sekertaris tim. Untuk penataan aktifitas perdagangan yang ada di Akediri ketika itu tidak terlepas dari partisipasi tim posko pengungsi, pemerintah desa dan bersama-sama dengan aparat keamanan Kompi ‘B’. Peneliti mewawancarainya, pada 10 Desember 2012. 1 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat kebun berupa, ubi-ubian, sayur, rica dan tomat, dan kemudian diambil oleh para pedagang ikan untuk dijual ke Jailolo atau ke Ternate. Karena aktifitas ini makin hari makin meningkat, akhirnya terjadi pergeseran tempat dagang mereka, yang berada di dalam Kompi ‘B’, akhirnya dipindahkan ke pinggiran jalan depan Kompi berderet sampai depan depan gereja Kalvari yang masih berada dekat dengan markas tentara itu. Dari aktifitas perdagangan ikan dan Barito (Bawang, Rica, dan Tomat) dan hasil-hasil kebun itulah akhirnya menarik para pedagang sembako, pakaian maupun pedagang peralatan rumah tangga yang kian hari bertambah jumlahnya. Pada Agustus 2000 aktifitas perdagangan sudah makin ramai. Demikian kata Roni Muluwere (Wawancara,10 Desember 2012). Kehadiran koperasi Kompi yang terlihat memainkan peran sebagai suplier berbagai kebutuhan pokok khususnya sembako terhadap para pedagang yang ada, menjadikan pasar ini semakin ramai di kunjungi. Tidak hanya para pengungsi di Akediri, melainkan penduduk dan pengungsi yang ada di wilayah sahu pun cenderung lebih memilih berbelanja di Akediri ketimbang di wilayah mereka. Kata Roni Muluwere (Wawancara, 10 Desember 2012). Cerita ini juga di benarkan oleh Atus Sandiang, salah satu staf pemerintah desa Akediri. Menurutnya, pasar di Akediri adalah pasar sejarah, sebab lewat pertemuan para pedagang ikan dan ‘dibo-dibo’ itulah maka lahir pasar ini. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa justru cikal bakal rekonsiliasi di Jailolo lahir dari aktifitas pasar Akediri, sebab di sinilah kelompok muslim dan nasrani bertemu sehingga disitulah komunikasi tercipta lewat transaksi berbagai kebutuhan, kata Atus Sandiang (Wawancara, 01 November 2012). Hal yang sama juga ditegaskan oleh om Yon Flory. Menurutnya pasar ini juga memegang peran penting ketika konflik, sebab pada waktu itu aktifitas perdagangan lumpuh termasuk layanan pemerintah. 146 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Dari inisiatif para pedagang-pedagang inilah akhirnya terjalin kerjasama baik dengan aparat keamanan maupun pengusaha lain di Manado maupun Bitung, sehingga dapat memasok berbagai kebutuhan demi memenuhi keperluan ribuan pengungsi yang ada di Akediri, termasuk di wilayah lain yang berdekatan, seperti kecamatan Sahu, tutur om Yon Flory pada peneliti (Wawancara, 23 Januari 2013). Saat ini jumlah pedagang di Pasar Akediri berjumlah 155 pelaku usaha. Kategori masing-masing usaha dan jumlah pelaku usaha terdapat pada dalam tabel berikut ini : Tabel 4 Data Pengusaha Dan Kegiatan Usaha NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14. 15. 16 17. 18. 19. 20. 21. 22. Status Tempat Usaha Hak Milik Kontrak Pelaku Usaha Jumlah Usaha Pedagang Sembako (sembilan bahan pokok) pedagang Pakaian Jadi, Sepatu,Sandal Pedagang Peralatan Rumah Tangga Pedagang Barito (bawang,rica dan tomat) Pedagang Ikan Jasa Penjahit Pakaian Pedagang Meubel Counter HP Pedagang Gorengan Jasa Rumah Makan Jasa Rental CD Usaha Permainan Bilyard Pedagang Accesoris Mainan Counter Instal Komputer Usaha Foto Copy Dan Alat-Alat Kantor Pedagang Peralatan Elektronik Pedagang Bahan Bangunan Apotik Pedagang Bakso Pedagang Kue Cuonter Furnitur HP/Pulsa Cuonter Mainan Game 16 36 8 30 32 3 1 3 2 4 2 1 3 2 2 1 1 1 3 1 1 2 16 36 8 30 32 3 1 3 2 4 2 1 3 2 2 1 1 1 3 1 1 2 11 9 5 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 5 27 3 28 32 2 1 2 2 3 1 3 2 1 1 3 1 1 Jumlah Total 155 155 37 118 Jenis Usaha Data DISPERINDAG Halbar dan hasil penelitian, diolah 2013 147 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Bercerita Dari Pengalaman : Merasakan Getirnya Kebijakan Ilegalisasi Pasar Akediri Aktifitas berdagang di pasar Akediri kini, terasa makin tidak nyaman dijalani oleh para pelaku usaha. Keresahan itu salah satunya tampak dari cerita om Yon Flory, Ia mengatakan bahwa berjualan di pasar Akediri kini makin tidak aman, sebab tidak ada kepastian berusaha. Lebih lanjut om Yon menegaskan bahwa, pada suatu pertemuan antara pemerintah daerah dengan pedagang pasar Akediri, dalam kaitan sosialisasi rencana relokasi pedagang. Disampaikan bahwa berdasarkan perda tata ruang Halmahera Barat yang ada, Akediri tidak tepat dijadikan sebagai wilayah pasar. kata om Yon Flory (Wawancara, 26 Januari 2013). Nampaknya dari perspektif inilah dapat dipahami bahwa mengapa pedagang di pasar Akediri tidak leluasa mengembangkan usahanya, dan terkesan tidak memiliki kepastian berusaha seperti dikemukakan oleh om Yon. Pembatasan aktivitas di pasar Akediri karena pasar tersebut terbentur pada dua persoalan utama yakni desain tata ruang wilayah, dan perda tata ruang wilayah Halmahera Barat. Dari apa yang dikemukakan oleh om Yon Flory, kemudian keesokan harinya wawancara dilanjutkan kepada, bapak Ismail Arifin2 Kadis Perindag Halbar. Dari beliulah di ketahui bahwa rancangan tata ruang wilayah Halmahera Barat baru mendapat persetujuan kementrian PU dua tahun silam yakni pada 2010, sedangkan rancangan detail tata ruang baru dirampungkan pada tahun yang sama. Lambatnya memiliki dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kabupaten Halmahera Barat yang baku, menyebabkan rancangan RTRW dan RDTR Halmahera Barat belum di Perdakan hingga kini, demikian kata Pak Ismail Arifin (Wawancara. 27 Januari 2013). Pak Ismail Arifin, adalah Kepala Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Kab. Halmahera Barat, sebelum menjabat sebagai Kadis Perindag pada pertengahan tahun 2012, Ia menjabat sebagai Kepala Bappeda Halbar. Ia di Wawancarai pada, 27 Desember 2012. 2 148 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Lebih lanjut Ia menuturkan bahwa, dari sisi perencanaan kebijakan pemerintah daerah telah menyepakati bahwa untuk pasar tradisional yang ada di Halmahera Barat, hanya boleh dibangun satu kecamatan satu pasar tradisional, tidak boleh ada dua atau tiga pasar tradisional. Karena Akediri merupakan bagian dari wilayah pemerintahan Jailolo, dengan demikian tidak mungkin untuk dibangun satu pasar tradisional, jika mengacu pada kebijakan tersebut. Memang kata Pak Ismail, pemerintah mengakui bahwa pasar itu tumbuh dengan sendirinya dan dibiarkan oleh pemerintah sebagai wadah rekonsiliasi paskah kerusuhan. Tetapi Ia juga menegaskan bahwa adanya pasar tersebut bukanlah karena kebijakan pemerintah daerah. Karena itu sampai hari ini aktifitas pedagang di pasar Akediri tidak diatur dalam bentuk regulasi apapun oleh pemerintah daerah, malah sebaliknya kata Pak Ismail Arifin dalam suatu rapat pimpinan SKPD (satuan kerja perangkat daerah), ditegaskan untuk tidak melakukan pungutan apapun terhadap pedagang di pasar Akediri. Ilegalisasi pasar Akediri oleh pemerintah daerah, pertama-tama didasarkan pada aspek regulasi yang merujuk pada RTRW dan RDTR Kabupaten Helmahera Barat, dimana Akediri tidak dimasukan sebagai salah satu kawasan pengembangan perdagangan di kota Jailolo. Penolakan pasar Akediri sebagai salah satu pasar tradisional, juga tidak dapat dipisahkan dari perencanaan kebijakan pemerintah daerah yang membatasi jumlah pasar tradisional dalam satu wilayah kecamatan, kebijakan tersebut hanya memperbolehkan satu kecamatan memiliki satu pasar tradisional. Alasan mendasar lainya dibalik penolakan Akediri sebagai salah satu wilayah perdagangan adalah, karena desa ini tidak memiliki lahan untuk membangun infrastruktur pasar, keterbatasan lahan telah menyebabkan keberadaan pasar tersebut membaur dengan permukiman penduduk. Kemungkinan lain yang dapat ditempuh pemerintah daerah adalah melalui penetapan kawasan-kawasan perdagangan di luar pasar tradisional, kata Pak Ismail (Wawancra. 27 Januari 2013). 149 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Jika pemerintah daerah lebih menekankan keberadaan suatu pasar pada aspek legalitas formalnya, justru para pedagang memaknai pasar sebagai suatu aktifitas. Seperti om Yon Flory misalnya, Ia mengatakan bahwa pasar itu dimana ada dua orang bertemu dan terjadi transaksi antar pembeli dan penjual itulah pasar. Menurut om Yon pasar Akediri tidak bisa hanya dilihat dari perspektif regulasi semata, pasar ini adalah pasar yang memiliki sejarah yang harus dipertimbangkan. Melalui pasar ini proses rekonsiliasi paskah konflik Jailolo perlahan mencair dan mendapat titik temu lewat aktifitas perdagangan. Kemudian dengan letak kedudukan Akediri yang strategis membuat pasar ini diakses oleh masyarakat dari beberapa kecamatan, seperti Sahu, ibu maupun mereka dari Jailolo sendiri datang berjualan dan berbelanja di pasar ini (Wawancara, 26 Januari 2013). Keberatan yang sama juga di kemukakan oleh ibu Rohani M Ahmad, Ia mengatakan bahwa tanah-tanah yang dipakai oleh para pedagang adalah tanah-tanah masyarakat yang dikontrak kepada pedagang, bukan tanah milik pemerintah. Tetapi karena pijakan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pembangunan pasar berpegang pada prinsip legalitas formal semata, menyebabkan hubungan-hubungan sosial yang terbentuk dalam suatu realita kehidupan aktifitas pedagang di pasar Akediri terabaikan atau tidak diperhitungkan sebagai suatu modal pembangunan (Wawancara, 25 Januari 2013). Ilegalisasi pasar Akediri oleh pemerintah daerah, tidak sertamerta meniadakan aktifitas perdagangan di pasar tersebut, dasar argumentasi pemerintah menolak keberadaan pasar ini ternyata mendapat tanggapan serius oleh para pedagang termasuk pemerintah desa. Berikut ini mereka menceritakan terobosan-terobosan yang dilakukan untuk mengatasi persoalan keterbatasan lahan, sebagai salah satu dasar penolakan pasar Akediri. Lagi-lagi cerita ini datangnya dari om Yon Flory, Ia menuturkan bahwa ketika mereka mengetahui pasar ini tidak diakui 150 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah oleh pemerintah karena keterbatasan lahan, akhirnya mereka berinisiatif mendesak pemerintah desa untuk bersama-sama meyikapi persoalan itu. Karena desakan para pedagang akhirnya pemerintah desa mengutus salah seorang purnawirawan AURI kini TNI-AU yakni bapak Maendels A. Nayoan untuk menghadap Komandan Lanud di pulau Morotai terkait rencana penggunaan sebagian lahan milik TNIAU yang ada di Akediri. Hasil dari pertemuan dengan pihak TNI-AU ialah, mereka hanya mengijinkan pinjam pakai lahan untuk pembangunan pasar, dan tidak boleh dibangun permanen, dengan ketentuan jika pihak TNI-AU membutuhkan lahan tersebut, harus bersedia untuk mengembalikannya. Menurut Om Yon Flory, bukan saja lahan milik TNI-AU yang mereka ajukan kepada Pemerintah daerah. Melainkan ada juga satu bidang tanah seluas satu setengah hektare milik bu Damis Pasuma, dimana yang bersangkutan bersedia untuk dipakai oleh pemerintah (Wawancara, 26 Januari 2013). Pengusulan penggunaan lahan untuk pembangunan pasar oleh pedagang bersama pemerintah desa itu, dibenarkan oleh bu Damis Pasuma sebagai pemilik lahan. Menurutnya Ia bersedia memberikan lahannya jika pemerintah mau membangun pasar di Akediri, sekalipun mekanisme pembayaran lahan dilunasi secara bertahap, bahkan di bawa harga yang berlaku sekalipun (Wawancara, 10 Mei 2012). Cerita yang dikemukakan baik oleh om Yon Flory maupun oleh bu Damis Pasuma, juga terdengar dari tuturan pa Marthen Tuli3 Kepala desa Akediri. Ia mengatakan bahwa benar karena keluhan masyarakat khusunya pedagang, yang resah ketika mengetahui bahwa mereka tidak dapat bertahan berdagang di Akediri. Karena itu sebagai kepala desa ini sangat dilematis, sebab pada satu sisi sebagai kepala desa Ia adalah wakil rakyat, tetapi dilain pihak Ia juga adalah wakil pemerintah yang ada di desa. 3 Wawancarai pada, 1 November 2012 151 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Karena itu sebagai wakil rakyat langkah untuk mencarikan lahan-lahan alternatif untuk diusulkan kepada pemerintah daerah merupakan bentuk pertanggungjawabnya moril sebagai wakil dari rakyat yang Ia pimpin. Namun sejalan dengan itu Ia juga menyadari bahwa pada tingkatan tertentu Ia terbatas, dan hanya dapat menyampaikan usulan-usulan tersebut kepada pemerintah daerah, sebagai pemberi mandat pelaksanaan urusan pemerintahan di desa. Terobosan yang dilakukan oleh pedagang bersama-sama dengan pemerintah desa, pada akhirnya tidak berdampak mempengaruhi sikap dan keputusan pemerintah daerah terhadap status pasar Akediri. Membatasi Ijin Usaha : Jerat untuk siapa? Kemunculan pasar Akediri yang jauh sebelum terjadinya pemekaran daerah Kabupaten Halmahera Barat pada tahun 2003, dikemudian hari memunculkan masalah yang serius ketika aktifitas perdagangan di pasar ini dipandang tak layak dari sisi peruntukan ruang dan wilayah. Rancangan tata ruang dan wilayah (RTRW) kabupaten yang baru diakui kementrian PU pada 2010, dan disusul dengan rampungnya penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR) pada tahun yang sama akhirnya makin memposisikan keberadaan pasar tersebut sebagai ilegal. Karena dipandang tidak sesuai dengan peruntukan wilayah, menyebabkan pemerintah lepas tangan dalam penataan pasar tersebut. Menurut Pak Ismail Arifin selaku kepala Dinas Perindag bahwa, pemerintah daerah sampai hari ini belum membuat regulasi apapun untuk mengatur pasar Akediri. Bahkan dilarang untuk menarik retribusi maupun pajak dari aktifitas pedagang di pasar Akediri. Kemudian Ia juga menegaskan bahwa dari sisi perijinan pemerintah tidak akan mengeluarkan ijin terkait aktifitas perdagangan di pasar ini (Wawancara,27 Januari 2013). 152 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Dari ketujuh informan yang diwawancarai hanya tiga pedagang yang tidak memiliki ijin usaha yakni, om Aba, Alimin dan tante Ratna. Alasan mendasar mereka bertiga tidak mengurus ijin usahanya, karena tempat usaha atau lahanya bukan milik pribadi melainkan hanya dikontrak, selain itu mereka juga beralasan bahwa usahanya masih tergolong usaha kecil. Ketiganya menyadari bahwa dengan memiliki ijin usaha, tentu berimplikasi pada kewajiban pajak dan retribusi daerah maupun negara. Seperti tante Ratna misalnya, Ia mengatakan bahwa tempat usahanya hanya berkategori kios, bukan suatu tokoh besar yang sudah memiliki nama usaha. Lanjut katanya bahwa, kalau kiosnya sudah besar dan memiliki nama usaha, tentu sudah bisa mengurus ijin usaha, dan wajib dikenakan pajak daerah maupun pajak negara. Kalau pemerintah daerah beralasan untuk tidak melegalkan pasar Akediri, haya karena persoalan tata ruang wilayahnya yang tidak memungkinkan, dimana letak pasar dan aktifitasnya berbaur dengan permukiman penduduk, sehingga legalitas usaha tidak diberikan oleh pemerintah daerah. Dalam realita dilapangan hal tersebut jauh berbeda ibarat jauh panggang dari api. Buktinya om Yon Flory, ibu Safiani Ode, bu Damis dan ibu Rohani M. Ahmat maupun sesama pedagang lainya yang usahanya sudah terbilang besar mereka dapat memiliki ijin usaha. Pada hal tempat usaha mereka berada dalam satu wilayah yang diklaim pemerintah daerah tidak layak untuk aktifitas suatu pasar. Ada cerita menarik dari om Yon Flory, dan ibu Safiani Ode terkait ijin usaha mereka berdua. Menurut ibu Safiani Ode, tempat usaha maupun lahanya belum menjadi miliknya, Ia masih mengontrak tempat usaha maupun lahan. Ketika diwawancarai ibu Safiani menceritakan bahwa tempat usahanya masih milik ko Nyong salah satu pedagang yang mengontrak lahan milik penduduk setempat dan mendirikan tempat usaha tersebut. Karena itu tempat usaha Ia kontrak dari ko Nyong, dan kemudian melanjutkan kontrak lahan dengan pemilik tanah. 153 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Secara khusus kontrak lahan dengan tuan tanah sudah diikat dalam perjanjian selama sepuluh tahun pada Desember 2012, dimana pada awal kontrak di tahun 2008 sampai november 2012 biayanya baru satu juta rupiah pertahun. Tetapi pada Desember 2012 mereka meminta perpanjang kontrak menjadi sepuluh tahun, kemudian menaikan biayanya kontrak menjadi dua juta rupiah pertahun, jadi baik tempat usaha maupun lahan ini belum menjadi milik pribadi, tegas ibu Safiani Ode (Jailolo, 25 Januari 2013). Jika melihat data pedagang yang dimiliki Dinas Perindag Halmahera Barat, pada pendataan Desember 2012, status kepemilikan tempat usaha ibu Safiani Ode, dengan jelas tertera milik sendiri. Fakta tersebut berbeda dengan ibu Safiani ketika diwawancarai, Ia sendiri tidak pernah mengatakan bahwa tempat usahanya sudah merupakan miliknya, ketika pendataan pada Desember 2012. Menurutnya dalam pendataan tersebut petugas Disperindag hanya mengacu pada kepemilikan ijin usaha, sedangkan status tempat usaha tidak ditanyakan. Lain lagi dengan proses kepemilikan ijin usaha, Ia mengaku didatangi oleh petugas Disperindag dan langsung menanyakan kepemilikan ijin usahanya. Karena belum memiliki ijin, akhirnya ibu Safiani ditawari untuk mengurus ijin tersebut jika Ia ingin usahanya memiliki ijin usahanya. Karena ditawari akhirnya ibu Safiani menyerahkan sepenuhnya pengurusan ijin tersebut kepada petugas Disperindag, Ia hanya melengkapi dokumen terkait dan menyediakan biaya administrasinya. Apa yang terjadi pada ibu Safiani Ode, tak jauh berbeda dengan kisah om Yon Flory terkait pengurusan ijin usahanya. Dari ceritanya diketahui bahwa lahan yang Ia pakai membangun tempat usaha, belum menjadi miliknya. Lahan tersebut dikontrak dari penduduk setempat yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Hal yang biasa terjadi perihal kontrak lahan adalah, pemilik lahan cenderung memperpanjang kontrak di tengah jalan sebelum sampai pada batas waktu yang disepakati. 154 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Inilah yang terjadi dengan om Yon, karena desakan biaya pendidikan kuliah anaknya, akhirnya pemilik lahan meminjam uang padanya dalam jumlah yang cukup besar. Berdasarkan hal tersebut om Yon memandang bahwa, kemungkinan pemilik lahan sudah tidak dapat menggembalikan uang yang mereka pinjam. Karena itu om Yon berani mengatakan bahwa bisa dikatakan bahwa ini sudah merupakan aset miliknya, walaupun secara hukum belum sah menjadi miliknya, demikian kata om Yon ketika diwawancarai (Wawancara, 26 Januari 2013). Terlepas dari persoalan tersebut, nyatanya om Yon Flory telah memiliki ijin usaha, sekalipun lahan tempat Ia berdagang belum menjadi miliknya. Ketika ditelusuri proses pengurusan ijin usahanya, om Yon menyatakan bahwa semua urusan yang menyangkut dengan ijin usahanya Ia serahkan sepenuhnya kepada petugas Disperindag untuk mengurusnya. Sedangkan Ia sendiri hanya bertugas melengkapi persyaratan dan menyiapkan biaya administrasi, selanjutnya diproses oleh petugas, dan om Yon tinggal menerima suratnya. Seperti ibu Safiani dengan status tempat usaha yang dikeluarkan oleh Disperindag Halmahera Barat, merupakan milik sendiri, demikian juga terjadi pada om Yon Flory. Status tempat usaha yang tercantum dalam daftar pedagang yang dikeluarkan oleh Disperindag Halbar hasil pendataan Desember 2012, mencantum bahwa tempat usaha milik om Yon adalah milik sendiri. Memang secara umum menurut pa Adnan4 Kabid Perdagangan Disperindag Halbar, pemerintah daerah tidak mewajibkan pelaku usaha makro untuk mengurus ijin usaha, kecuali mereka membutuhkan. Biasanya ijin di buat karena terkait dengan upaya penambahan modal usaha. Tetapi tidak dengan pedagang di pasar Akediri, baik Pak Adnan maupun Pak Ismail keduanya menegaskan hal yang sama, bahwa pemerintah daerah tidak akan mengeluarkan ijin usaha kepada pedagang yang berjualan di pasar Akediri. 4 Wawancara pada, 10 April 2012. 155 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Terkait perijinan bagi pedagang di pasar Akediri, terlontar satu pernyataan yang cukup mengejutkan disampaikan oleh Kadis Perindag Halmahera Barat bapak Ismail Arifin. Katanya : …“Ia tidak tahu secara siluman, tetapi secara resmi tidak ada” (Wawancara,27 Januari 2013). Melihat apa yang terjadi pada om Yon Flory dan ibu Safiani Ode, jika disandingkan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Kadis Perindag Halmahera Barat Pak Ismail Arifin. Kelihatan bahwa antara kebijakan dengan kenyataan tak lagi bersesuaian di lapangan, karena itu pernyataan antisipatif yang keluar dari Pak Ismail Arifin, bukan tidak mungkin Ia juga mengetahui bahwa sebenarnya telah terjadi penyimpangan kebijakan. Menahan Dukungan Modal Usaha: Dibebaskan tak cukup, dicekik tak menemui ajal Ketika pemerintah daerah menyatakan bahwa pasar Akediri tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan dan dikembangkan sebagai suatu wilayah perdagangan, hal itu tidak saja berdampak pada pembatasan perijinan, tetapi juga mencakup bantuan permodalan bagi pedagang di Pasar tersebut. Pengalaman pengajuan permohonan bantuan modal usaha kepada pemerintah daerah melalui Dinas Koperasi Dan UMK, seperti dituturkan oleh bu Damis Pasuma berikut ini. Pada tahun 2010, bu Damis menceritakan bahwa waktu itu Ia untuk pertama kalinya mengajukan permohonan bantuan ke Dinas Koperasi dan UKM. Informasi tentang dana bantuan tersebut Ia ketahui dari temateman pedagang lainya, dan secara bersama-sama mereka mengajukan permohonan pada November 2010. Namun berselang sebulan kemudian Ia tidak mendapat tanggapan apapun terkait permohonannya. Karena mendesak akhirnya Ia menerima tawaran pinjaman modal usaha dari bank Danamon yang ketika itu menawarkan pinjaman kepada pegusaha. 156 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Hanya berselang seminggu dari waktu pengajuan kredit, permohonan pinjaman tersebut sudah dicairkan, sebesar dua ratus lima puluh juta rupiah sesuai permohonan dana yang diajukan (Wawancara,10 Mei 2012). Lain halnya dengan om Yon Flory, Ia tidak pernah mengajukan bantuan dana ke Dinas Koperasi dan UKM untuk usahanya, Ia menilai bahwa dengan dana lima jutan rupiah itu terlalu kecil jika ingin memperbesar usaha. Selain membutuhkan waktu yang lama, pengajuan bantuan dana ke Dinas Koperasi dan UKM Halbar juga tidak dijamin kepastiannya. Hal itu Ia alami ketika membantu dua saudarahnya mengajukan permohonan bantuan dana ke Dinas Koperasi dan UKM, berturut-turut pada tahun 2004 dan 2005, namun permohonannya tidak dijawab, demikian kata om Yon Flory dengan nada kesalnya. Menurut om Yon, bantuan dana dari Dinas Koperasi dan UKM arahnya lebih kuat kepada kopesari simpan pinjam, dan melalui badan usaha tersebut kemudian dipinjamkan kepada masyarakat termasuk pelaku usaha (Wawancara, 26 Januari 2013). Terlepas dari apa yang dikemukakan oleh bu Damis dan om Yon Flory, persoalan bantuan modal usaha kepada pedagang yang ada di pasar Akedir, sudah jelas sikap pemerintah daerah terhadap mereka. Seperti yang dikemukakan oleh Kadis Perindag Pak Ismail Arifin, bahwa pemerintah tidak memberikan ijin usaha, karena pasar tersebut tidak memenuhi aspek tata ruang suatu wilayah perdagangan. Asas prinsipil lainya yang mengganjal ialah, lahan yang digunakan pedagang kebanyakan bukanlah milik pribadi, melainkan tanah-tanah pekarangan milik masyarakat yang dikontrak. Karena pasar tersebut berada di tengah-tengah permukiman penduduk, hal itu tak terelakan menjadi alasan untuk menghambat aktifitas pedagang di pasar Akediri yang dinyatakan tak layak oleh pemerintah daerah. Selain persoalan legalitas, ketersedian dana bantuan modal usaha pada Dinas Koperasi dan UKM mengalami pasang surut. Tidak hanya karena jumlahnya kecil, melainkan sering tidak terdanai dalam 157 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat APBD. Menurut Kabid Pembiaya Koperasi dan UKM Kabupaten Halbar Nasarudin Syaifudin5, sejak Kabupaten ini terbentuk pengalokasian dana bantuan terhadap Koperasi dan UKM tidak rutin teralokasikan dalam rancangan APBD, misalnya pada tahun 2005 terdanai Rp 200.000.000, tahun 2006 Rp 300.000.000, tahun 2007 Rp 1.800.000.000, tahun 2008 Rp 2.100.000.000, dan tahun 2009 hanya Rp 595.000.000. Sedangkan pada tahun 2010-2011 pemerintah daerah tidak mengalokasikan bantuan dana modal usaha. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa, pada tahun Anggaran 2012 pihaknya kembali mengajukan pengalokasian bantuan dana untuk Koperasi dan UKM kepada pemerintah daerah melalui APBD sebesar satu miliar rupiah. Dengan pasang surut ketersedian dana bantuan modal usaha yang demikian, sangat sulit untuk melakukan pembinaan kepada 160 Koperasi, dan 300 UKM yang ada di Halmahera Barat sejak daerah ini dimekarkan, kata pa Matius Dode6 Kabid Bina Lembaga Dinas Koperasi dan UKM. Keterbatasan dana membuat pihaknya memprioritaskan bantuan modal usaha diarahkan kepada usaha-usaha yang benar-benar sudah berjalan. Karena itu volume bantuan diberikan berdasarkan kondisi riil besar kecilnya aktifitas suatu usaha, dengan nominal terrendah lima juta rupiah, hingga ratusan juta rupiah untuk kategori Koperasi. Contohnya Primkopad Yon 732 Banau, untuk tahun anggaran 2009 tunggal terdanai Rp 595.000.000. Berangat dari kondisi yang demikian tanpa ditekan pun dana bantuan modal usaha yang disediakan pemerintah daerah bagi pelaku usaha tidak mencukupi untuk membantu pelaku usaha kecil di Halmahera Barat. Sebaliknya ketika pemerintah menekan untuk tidak memberikan bantuan modal usaha bagi pedagang pasar Akediri, justru mereka di danai oleh lembaga keuangan lain, seperti bank maupun koperasi simpan pinjam. 5 6 Wawancara, 21 Maret 2012. Wawancara pada, 21 Maret 2012. 158 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Kebijakan pembatasan bantuan modal usaha mungkin untuk sementara menyulitkan, tetapi tidak sampai membuat usaha mereka menemui ajalnya, kecuali mereka sendiri yang memilih untuk mengakhiri usahanya. Pembebasan Pajak Dan Retribusi Kedudukan pasar Akediri yang berada di tengah-tengah permukiman penduduk, serta keterbatasan lahan untuk pengembangan pasar tersebut, merupakan alasan mendasar yang melatari kebijakan untuk tidak melegalkan pasar Akediri. Selain kebijakan pembatasan ijin usaha, dan bantuan modal usaha, bagi pedagang yang bertahan di pasar Akediri. Pemerintah daerah juga mengeluarkan kebijakan untuk tidak menarik pajak dan retribusi bagi pedagang yang ada di pasar Akediri. Alasan mendasar dikeluarkan kebijakan tersebut ialah, karena pemerintah tidak melegalkan pasar tersebut, sebab mereka hanya mengontrak pekarangan penduduk, dan bukan milik pribadi kata Pak Ismail Arifin kepala Dinas Perindag Kabupaten Halmahera Barat. Lebih lanjut Ia menuturkan bahwa tidak mungkin pemerintah menarik pajak dan retribusi dari pedagang yang hanya mengontrak tempat usaha, dari lahan-lahan pekarangan milik warga. Itukan sudah membebani mereka, begutu kata Pak Ismail Arifin (Wawancara, 26 Januari 2013). Kebijakan yang ditempuh pemerintah daerah ternyata memilik kesan tersendiri bagi para pedagang di pasar Akediri. Memang bagi mereka yang belum memiliki ijin usaha, tidak dikenakan wajib pajak daerah (reklame) maupun pajak negara, namun tidak dengan retribusi daerah, kata tante Ratna. Hal itu tidak sepenuhnya benar terjadi, sebab nyatanya retribusi sampah dipungut merata, baik yang memiliki ijin maupun yang tidak memiliki ijin usaha. Memang retribusi pasar non sampah tidak dipungut oleh pemerintah daerah, tetapi tidak dengan retribusi sampah. Mengapa, sebab pungutan retribusi sampah yang dilakukan oleh petugas 159 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat persampahan Kantor Tata kota, berlaku merata baik mereka yang memiliki ijin maupun yang tidak memiliki ijin usaha. Demikian tante Ratna menceritakan pengalamanya (Wawancara, 25 Januari 2013). Cerita yang sama tentang pengalaman kebijakan tersebut juga dikemukakan oleh Alimin Sabri, yang juga tidak memiliki ijin usaha tetapi dikenakan retribusi sampah persatu pengusaha lima belas ribu rupiah perbulannya (Wawancara, 26 Januari 2013). Memang bagi mereka yang memiliki ijin usaha, ketika mengurus ijin tersebut biaya retribusi persampahan sudah dikenakan selama kurun waktu satu tahun, kata ibu Rohani M. Ahmat. Sehingga setelah tahun kedua dan ketiga, barulah mereka membayar biaya retribusi sampah perbulan sebesar lima belas ribu rupiah untuk satu orang pedagang. Tenggang waktu pembayaran retribusi tersebut, mengikuti masa berlakuknya ijin usaha yakni tiga tahun bagi mereka yang memiliki ijin usaha (Wawancara, 25 Januari 2013). Demikianlah kisah-kisaah para pedagang yang mereka tuturkan ketika di wawancarai, tentang pengalaman bagaimana mereka menghadapi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Kebijakakebijakan tersebut tidak hanya terkesan dan dirasakan membatasi aktifitas para pedagang, tetapi ada juga sisi baik yang menguntungkan mereka, walaupun sifatnya hanya sementara. Relokasi Pedagang Pasar Akediri : Memikul kesalahan siapa? Ketika pemerintah daerah tidak melegalkan pasar Akediri, kebijakan tersebut disusul dengan pembatasan ijin usaha, pembatasan bantuan modal usaha, dan pelarangan pemungutan pajak maupun retribusi daerah kepada para pedagang pasar Akediri. Nampaknya langkah pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan-kebijakan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tersirat tujuan untuk merelokasi para pedagang dari pasar Akediri yang dinyatakan tidak layak. Upaya relokasi pedagang pasar Akediri ternyata telah dilakukan sejak paskah rekonsiliasi, maupun setelah pemekaran daerah yang berjalan tersendat-sendat dan tak menentu hingga kini. 160 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Dari cerita Roni Muluwere diketahui bahwa ketika upaya rekonsiliasi terjadi pada April 2001, sebulan kemudian pihak militer yang bertugas di Jailolo berinisiatif membangun satu pasar perdamaian atau dikenal sebagai pasar rekonsiliasi di desa Hatebicara. Pasar tersebut diresmikan oleh Pejabat Gubernur Maluku Utara. Pasar yang dibangun itu bertujuan untuk mempercepat pemulihan trauma konflik antar kedua komunitas yang bertikai di Jailolo, sehingga cepat terjadi pembauran antara kedua komunitas yang terlibat konflik itu (Wawancara,10 Desember 2012). Namun pasar ini tidak berjalan sebagaimana di harapkan, karena pihak nasrani belum berani berjualan di pasar yang dibangun pada wilayah yang dikuasai pihak muslim. Kebijakan relokasi yang dimotori oleh pihak militer itu, dibenarkan baik oleh bu Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2013), maupun oleh om Yon Flory (Wawancara, 26 Januari 2013). Menurut mereka berdua waktu itu kondisinya belum aman, masih terjadi penyerangan dan gangguan keamanan. Sehingga sekalipun dijaga oleh Satgas 401 Banteng Raider Kodam Ponegoro, mereka belum merasa nyaman berjualan di Hatebicara. Karena itu setelah peresmian pasar itu para pedagang pasar Akediri baik yang nasrani maupun muslim perlahan hari demi hari menarik diri dari pasar rekonsiliasi yang ada di Hatebicara itu. Dengan demikian tak lebih sebulan terjadi aktifitas, akhirnya pasar tersebut ditinggal pedagang hingga akhirnya terkubur dengan sendirinya. Namun upaya relokasi pedagang pasar Akediri tidak terhenti sampai disitu saja. Pada tahun 2003 pemerintah kecamatan Jailolo bersama Komandan Kodim 501 Maluku Utara Kol. Inf. Peter O. Sianturi, kembali merelokasi pedagang pasar Akediri ke pasar induk di pusat kecamatan Jailolo. Melalui mekanisme undi untuk mendapatkan tempat berjualan, tujuh puluh nama pedagang pasar Akediri yang turut diundi tidak satupun nama mereka keluar. Selain nama mereka tidak keluar 161 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat ketika diundi, keterbatasan tempat jualan maupun lahan kosong disekitar pasar untuk ditempati, menjadi alasan bagi mereka kembali ke tempat semula di Akediri. Situasi yang memprihatinkan bagi para pedagang itu ialah, lapak yang sudah dibongkar untuk dipindahkan ke Jailolo akhirnya di angkut kembali untuk dipasang di tempat semula di Akediri. Demikian kata om Atus Sandiang Kaur Pemerintahan Desa bersama Marthen Tuli Kepala desa Akediri (Wawancara, 01 November 2012), om Yon (Wawancara,26 Januari 2013), bu Damis (Wawancara,10 Mei 2012) om Titirloby (Wawancara,11 Desember 2012). Selain karena keterbatasan lahan dan tempat usaha, persoalan yang dihadapi oleh pedagang pasar Akediri yang turut dalam relokasi ke pasar Jailolo, mereka diperhadapkan dengan kenyataan bahwa tempat-tempat tersebut juga diperjual-belikan oleh orang-orang tertentu, kata om Yon Flory (Wawancara,26 Januari 2013). Itulah kondisi-kondisi yang menyebabkan upaya relokasi pedagang pasar Akediri ke pasar induk Jailolo, oleh Pemerintah kecamatan Jailolo dan Komandan Kodim kandas di tengah jalan. Setelah terjadi pemekaran daerah pada awal tahun 2003, dan Jailolo menjadi pusat ibu kota kabupaten Halmahera Barat nama baru dari kabupaten induk Maluku Utara yang dipindahkan kewilayah Halmahera Bagian Barat itu. Pada tahun 2007 pemerintah daerah kembali lagi mencoba merelokasi pedagang pasar Akediri ke pasar Agrolpolitan di desa Akelamo kecamatan Sahu ketika itu. Pasar ini dibangun oleh pemerintah propinsi sebelum kabupaten Halmahera Barat terbentuk, kata Bambang Bassay7 (Wawancara,28 Januari 2013). Namun kebijakan tersebut tidak menunjukan hasil baik, alias gagal. Posisi pasar yang terisolir dari permukiman penduduk, serta memiliki keterbatasan sarana Bambang Bassay, adalah salah satu warga masyarakat Akelamo, dimana sebagian lahanya dipakai untuk membangun pasar Agropolitan, sebagaimana informasi yang Ia dapat ketika dilibatkan dalam sosialisasi program pembangunan pasar tersebut. 7 162 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah penerangan, dan juga air bersih menyebabkan pasar ini tak diminati pedagang termasuk pengunjung. Selain itu pasar Akelamo berada di daerah yang mudah digenangi air apabila hujan lebat dan sungai Akelamo meluap. Kondisi ini pernah dialami ketika relokasi pada tahun 2007 sejumlah barang milik pedagang tergenang air ketika sungai Akelamo meluap, tutur om Yon Flori (Wawancara, 26 Januari 2013), Atus Sandiang (Wawancara, 1 November 2012), bu Damis (Wawancara,10 Mei 2012), dan juga tante Ratna (Wawancara,25 Januari 2013). Cerita pengalaman dari mereka yang turut dalam rombongan yang direlokasi itu terdengar sangat memilukan. Seperti bu Damis dan istrinya, mereka berdua menceritakan bahwa, berjualan dimingguminggu pertama ketika berada di pasar Akelamo masih terbilang baik, bisa mencapai Rp 300.000 sampai Rp 500.000 dalam sehari. Tetapi pada minggu-minggu berikut di bulan selanjutnya pendapatan kian menurun, kata mereka jika sehari mendapat Rp 50.000 itu sudah beruntung, bahkan ada yang tidak sama sekali (Wawancara,10 Mei 2013). Karena pendapatan mereka demikian, akhirnya mereka memilih keluar dari pasar tersebut dan berjualan di perempatan jalur utama desa Akelamo. Tetapi di tempat yang barupun hal yang sama kembali terjadi. Minggu-minggu pertama berjualan pendapatan mereka mencapai Rp 400.000 sampai Rp 500.000. Tetapi tidak dengan mingguminggu selanjutnya pada bulan berikutnya, hari-hari itu merupakan kekelaman bagi mereka. Pendapatan kian merosot dari hari ke hari, bahkan kembali terpuruk sampai pada kisaran Rp 100.000 hingga Rp 150.000 sehari. Walau kondisi demikian mereka mencoba bertahan selama dua tahun berdagang di Akelamo, baru kembali ke Akediri dengan kondisi usaha yang memprihatinkan. Kata bu Damis, jika mereka tidak mengambil langkah untuk kembali ke Akediri, mungkin usahanya akan bangkrut. Betapa tidak lanjut mereka berdua, bahwa banyak barang yang tidak terjual karena kurangnya pengunjung. 163 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Contohnya seperti saos tomat, kalau masih di Akediri satu dus itu tidak sampai sebulan sudah habis terjual, tetapi ketika di Akelamo, sampai balik ke Akediri pun belum habis terjual (Wawancara, 10 Mei 2013). Persoalannya, karena masih ada sebagian besar pedagang yang bertahan di pasar Akediri, mereka itu adalah pengusaha-pengusaha yang memiliki toko permanen dan memiliki ijin usaha yang tidak direlokasi. Sehingga sekalipun sudah ada pedagang yang berjualan di pasar Akelamo, Akediri masih tetap menjadi tujuan orang berbelanja tegas bu Damis Pasuma dan Istrinya (Wawancara,10 Mei 2012). Apa yang di Alami oleh bu Damis dan istrinya ketika berjualan di pasar Akelamo, juga di alami oleh tante Ratna. Ketika terjadi relokasi dari Akediri ke pasar Akelamo, tante Ratna dan suaminya pun turut dalam rombongan itu. Mereka pindah ke Akelamo dengan stok barang yang cukup banyak. Bahkan menurut Usi Teker tante Ratna mempunyai barang-barang dagangan lebih banyak dari mereka, ketika pindah ke pasar Akelamo (Wawancara,10 Mei 2012). Memang pendapatan ketika berjualan di minggu pertama hasilnya baik, mereka bisa mencapai Rp 500.000 sampai Rp 800.000 dalam sehari, namun hal itu hanya terjadi di awal-awal saja ketika baru sampai di pasar Akelamo, kata tante Ratna (Wawancara,25 Januari 2013). Pengunjung pasar yang makin berkurang, karena letaknya yang jauh dari jalur utama, dan masih banyaknya pedagang kecil dan bersar yang masih bertahan di Akediri. Menyebabkan konsumen yang berada di wilayah Sahu Timur dan Sahu, tetap berbelanja ke Akediri walau sudah ada mereka yang berjualan di pasar Akelamo. Situasi itu berdampak terhadap pendapatan mereka, yang terus bergerak turun. Menurut tante Ratna, awalnya sehari pendapatan tertinggi bisa mencapai Rp 800.000, namun bergerak turun hingga Rp 150.000, bahkan sampai pada nominal terendah Rp 50.000. Bukan saja pendapatan yang menurun melainkan barang-barang mereka pun beranjak berkurang, hal itu bukan karena laku terjual melainkan 164 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah dikonsumsi sendiri dan sebagian lagi dibuang karena telah melampaui masa jual. Menyikapi kondisi itu akhirnya tante Ratna juga melakukan hal yang sama dengan bu Damis, yakni merelokasi sendiri usaha mereka dari pasar Akelamo dan ke perempatan jalan Akelamo dan membuat kios baru di sana. walau sudah berpindah ke pinggiran jalan utama, Nampak langkah tersebut tidak membantu meningkatkan pendapatan mereka, kondisinya tidak berbeda jauh ketika masih berada di Dalam Pasar. Diminggu-minggu pertama pendapatan masih terbilang baik bisa mencapai Rp 800.000. sampai Rp 1.000.000. Tetapi pada minggu-minggu selanjutnya justru berbalik turun hingga mencapai Rp 150.000 sampai Rp 200.000 sehari. Sehingga menurut tante Ratna, mereka terus merugi dan makan modal (Wawancara, 25 Januari 2013). Untuk menghindari kebangkrutan akhirnya tante Ratna memutuskan kembali ke Akediri, setelah bertahan setahun empat bulan berjualan di Akelamo, keluh tante Ratna kepada peneliti (Wawancara,25 Januari 2013). Nasip sama juga dialami oleh ibu Safiani Ode ketika pindah ke pasar Akelamo. Ia bertahan selama empat bulan berjualan di pasar Akelamo. Karena pendapatan rendah, sehari hanya bisa mencapai Rp 100.000 sampai Rp 300.000, itupun hanya di minggu-minggu pertama. Tetapi pada bulan berikutnya pendapatan makin merosot jauh, syukursyukur bisa dapat Rp 50.000 sampai Rp 100.000 sehari, kadang tidak sama sekali, hal ini berdampak pada modal usaha, kata ibu Safiani Ode (Wawancara,25 Januari 2013). Mempertimbangkan situasi tersebut akhirnya ibu Safiani memutuskan untuk keluar dari pasar tersebut, dan membangun tempat usaha baru dengan biayanya sendiri untuk bisa berjualan di pinggiran jalan utama desa Akelamo. Tetapi, lagi-lagi keputusan itu menurut ibu Safiani, tidak sesuai apa yang di harapkan yakni dapat menaikan pendapatanya. Justru sebaliknya pendapatannya tak berbeda ketika masih di dalam pasar 165 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Akelamo. Ketika Ia merelokasi tempat usaha ke perempatan jalan sehari ia bisa mencapai Rp 150.000 sampai Rp 350.000 sehari. Namun itupun hanya pada minggu-minggu pertama, selanjutnya beranjak turun sampai Rp 150.000, bahkan Rp 100.000 sehari. Melihat usahanya makin menurun dan masih mengandalkan sokongan orang tua yang makin melemah, akhirnya Ia memutuskan untuk kembali ke Akediri setelah bertahan delapan bulan berjualan di pinggiran jalan uatama, demikian ibu Safiani menuturkan kisahnya kepada peneliti (Wawancara, 25 Januari 2013). Dampak relokasi pedagang yang sangat memilukan dirasakan juga oleh om Aba, nama panggilan untuk bapak Ibrahim. Ketika pemerintah daerah memutuskan untuk merelokasi pedagang dari kompleks militer dan memindahkan mereka ke pasar Akelamo, tak luput om Aba pun termasuk dalam rombongan pedagang itu. Sebagai pedagang pakaian Ia merasa benar-benar sulit ketika menghadapi kenyataan sepinya pengunjung di pasar Akelamo. Menurutnya untung-untung lah kalau pakaian itu laku satu atau dua lembar kaos, tetapi kalau hanya Rp 50.000 sampai Rp 70.000 sehari, itu tidak cukup untuk makan sehari, kata om Aba (Wawancara. 26 Januari 2013). Karena kondisi makin memprihatinkan, akhirnya Ia memutuskan untuk bertani menanam rica dan tomat, dengan menyewa lahan milik om Au Bassay, salah satu pedagang di desa Akelamo. Sedangkan bisnis pakaian tetap dijalankan oleh istrinya. Tak tahan berjualan di pasar Akelamo, akhinya om Aba memutuskan untuk keluar ke pinggiran jalur utama mengikuti temateman mereka yang lebih duluan keluar dari pasar tersebut. sayangnya usaha itu tidak membantu meningkatkan pendapatannya. Kondisi makin memprihatinkan, kian hari terasa berat Ia rasakan. Ditempat yang barupun pendapatannya tak beranjak naik lebih dari Rp 50.000 sampai Rp 70.000 sehari, itupun hanya pada hari-hari pertama ketika berada dipinggiran jalan. 166 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Pada hari-hari selanjutnya terkadang sehari tidak terjual satu potongpun pakaiannya. Dalam kondisi ketidak stabilan pendapatan itulah, Ia dilanda duka, dimana orang tua mantunya meninggal di Manado dan istrinya harus kembali. Sejak itulah om Aba berpisah dengan istrinya, hingga kini. Karena bisnis pakaian semakin terpuruk, akhirnya om Aba mengalihkan keuntungan dari penjualan pakaian yang Ia sisipkan dan dijadikan modal usaha penanaman cabai dan tomat. Baik untuk pembelian bibit, obat-obatan dan pupuk. Redupnya binis pakaian menyebabkan om Aba tidak bisa melunasi pinjama kredit usaha di Unit bank BRI Jailolo hingga kini. Setelah bisnis pakaian tak lagi menjanjikan pendapatan yang menguntungkan, akhirnya Ia fokus pada penanaman cabai dan tomat hingga kini. Dalam usaha penanaman cabai dan tomat, om Aba melakukan patungan modal dengan salah satu anggota TNI-AD. Tetapi panen yang besar dan menguntungkan itu dialami ketika Ia masih di Akelamo, setelah istrinya pulang ke Manado. Dari sepuluh ribu lebih pohon tomat yang Ia tanam menghasilkan uang sebanyak Rp 118.000.000, namun sayangnya keuntungan itu hanya sekalai saja, dan itu menjadi momen perpecahan kongsi usaha dengan onum tentara, kata om Aba (Wawancara,26 Januari 2013). Dengan pendapatan dari penjualan tomat yang Ia dapatkan, om Aba kemudian mencoba untuk mengembalikan istirinya dari Manado, tetapi hal itu tidak berhasil, karena istrinya sudah memantapkan hati untuk berpisah dengannya. Sejak itulah Ia benar-berpisah dengan istrinya. Kata om Aba : “Begitu sudah kalau kita laki-laki sudah tidak mempunyai apa-apa pasti perempuan juga mengeluh, jadi mau bilang apa kondisi waktu itu memang sulit, bisnis pakaian tidak laris karena kesepian pengunjung, sedangkan tanaman cabai dan tomat belum menghasilkan. Ketika ada uang dan saya memintanya kembali Ia sudah tidak mau kembali, jadi begitulah ceritanya” (Wawancara, 26 Januari 2013). 167 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Kini om Aba telah menetap di Akediri, setelah bertahan setahun di pasar Akelamo, dan setahun lagi berjualan di pinggiran jalan utama desa Akelamo. Sekalipun kembali ke Akediri Ia sudah tidak mampu melanjutkan usaha dagangnya di Akediri, saat ini om Aba hanya membantu saudara perempuanya yang masih berjualan pakaian di pasar Akediri. Selain membantu berjualan dagangan saudaranya, om Aba juga menanam rica dan tomat bersama istri barunya. Menurutnya, Ia akan kembali berjualan di pasar Akelamo jika pasar itu benar-benar sudah ramai, karena itu menanam rica dan tomat adalah upaya untuk mendapatkan modal usaha, demikian kata om Aba (Wawancara,26 Januari 2013). Tak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh bu Damis, om Aba, tante Ratna, juga om Yon Flory. Ibu Safiani Ode juga mengalami kesulitan di pasar Akelamo. Bisnis yang baru Ia jalani dan masih bergantung pada sokongan orang tua, terasa mengacam kelangsungan usahanya, ketika pendapatan di pasar Akelamo hanya sekali mencapai pendapatan tertinggi Rp 300.000. Hal itu kebetulan Ia dihampiri oleh mahasiswa STT Dian Halmahera yang mencari perlengkapan untuk persiapan kuliah praktek ke Bacan, tegas bu Safiani (Wawancara,25 Januari 2013). Di luar dari itu, pendapatan hanya berkisar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 sehari. Setelah bertahan empat bulan di pasar Akelamo, akhirnya ibu Safiani merelokasi usahanya ke pinggiran perempatan jalan utama desa Akelamo. Di tempat yang baru itu Ia harus menyewah lahan dan membangun kembali lapaknya dengan biaya sendiri. Setelah bertahan selama delapan bulan di pinggiran perempatan jalan desa Akelamo, Ia merasakan bahwa bisnisnya tidak berkembang dan situasi makin tidak menentu, akhirnya mereka memutuskan untuk menyuarakan aspirasi ke pemerintah Halmahera Barat. Ketika desakan terhadap pemerintah daerah agar semua pedagang direlokasi ke pasar Akelamo, seperti yang dijanjikan pemerintah tidak mendapat tanggapan serius, akhirnya Ia memutuskan 168 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah kembali ke Akediri untuk menyelamatkan usahanya. Demikian cerita ibu Safiani Ode kepada peneliti (Wawancara,25 Januari 2013). Jika Pengalaman-pengalaman inilah yang membuat para pedagang pasar Akediri merasa trauma berjualan di pasar Akelamo. Baik mereka yang pernah mengalami maupun yang belum pernah merasakan berjualan di pasar tersebut, setelah mendengar cerita-cerita yang memilukan itu. Kini pedagang pasar Akediri benarbenar dibuat resah. Keresahan itu muncul karena pemerintah daerah kembali merencanakan relokasi pedagang pasar Akediri ke pasar Akelamo pada Januari 2013, setelah mencapai kesepakatan dengan pedagang pada Desember 2012. Kebijakan membatasi ijin usaha, bantuan modal usaha maupun pembebasan pajak dan retribusi yang dilakukan pemerintah daerah, bukan saja karena pasar tersebut tidak layak, melainkan kebijakankebijakan tersebut merupakan prasyarat untuk merelokasi para pedagang pasar Akediri. Hal itu terlihat dari kriteria mendasar yang dipakai pemerintah untuk melakukan relokasi. Kebijakan relokasi pedagang yang direncanakan pada Januari 2013, selain menyasar pedagang yang belum memiliki ijin usaha, kebijakan tersebut juga ditujukan kepada pedagang yang masih mengontrak tempat usaha atau lahan dan tempat usaha belum menjadi miliknya. Dampak rencana kebijakan tersebut sudah terlihat, walaupun sampai saat ini masih terjadi tarik ulur pelaksanaan relokasi oleh pemerintah daerah, sudah ada pedagang yang menutup usahanya. Seperti tante Ratna, karena adanya rencana tersebut Ia akhirnya memilih untuk berhenti berdagang. Menurutnya lebih baik menutup usaha, dari pada harus pindah ke Akelamo. Memang kondisi dagang tante Ratna ketika kembali dari Akelamo semakin menurun, hal lain yang turut mempengaruhi turunya semangat berdagangnya ketika ditinggal pergi almarhum om Agus Salondo pada pertengahan 2012. Selain itu 169 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat menurut usi Teker istrinya bu Damis Pasuma, kondisi usaha tante Ratna terlihat makin menurun ketika kembali dari Akelamo. Untuk memulihkan usahanya tante Ratna sempat menggunakan dana koperasi simpan pinjam, kata usi Teker (Wawancara,10 Mei 2012). Namun usahanya terlihat tidak secemerlang dahulu, sebelum mereka pindah ke pasar Akelamo. Tidak hanya tante Ratna yang risau dengan rencana relokasi pedagang pasar Akediri. Alimin Sabri juga merasa kebingungan dengan rencana kebijakan tersebut. Di satu sisi desakan pemerintah, tetapi pada lain pihak Ia ketakutan ketika mendengar cerita dari teman-teman mereka yang pernah gagal berjualan di pasar Akelamo. Dengan aset dagangan yang sepenuhnya bukan miliknya, Ia dilematis menghadapi kebijakan relokasi, kata Alimin Sabri (Wawancara, 26 Januari 2013). Menurutnya jika Ia harus ke Akelamo dan daganganya tidak laku, tentu hal itu tidak hanya berdampak pada ekonomi keluarga, melainkan setoran kepada majikannya akan tertunda. Pendapatan yang rendah akan menyebabkan pemanfaatan modal usaha untuk menopang kebutuhan hidup ketimbang diputar dalam usaha, kata Alimin Sabri (Wawancara, 26 Januari 2013). Rencana relokasi pedagang pasar Akediri ternyata tidak hanya merisaukan pedagang yang tidak memiliki ijin usaha dan yang mengontrak tempat usaha, melainkan mereka yang memiliki ijin usaha dan tempat usaha-pun dibuat risau. Seperti bu Damis misanya, Ia memang meiliki ijin dan tempat usaha sudah menjadi miliknya, tetapi ketika ditanya oleh petugas Disperindag, Ia mengiyakan untuk ikut pindah ke Akelamo. Tetapi dalam hati katanya : “ biarkan saja yang lain duluan ke Akelamo, nanti kalau sudah ramai baru mereka menyusul kemudian” (Wawancara,10 Mei 2012). 170 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Sikap tersebut tidak terlepas dari pengalaman yang pernah mereka alami ketika berjualan di pasar Akelamo. Kata usi Teker, berjualan di Akelamo ketika itu anggaplah mereka merugi, sebab hanya makan modal dan banyak barang yang dibuang karena telah lewat waktu jual. Lain halnya dengan om Yon Flory, Ia bersedia pindah sekalipun memiliki ijin usaha. Langkah itu Ia ambil selain untuk menunjukan kepatuhannya kepada pemerintah, ternyata hal itu juga merupakan strategi untuk mengantisipasi perkembangan yang dapat saja terjadi di pasar Akelamo. Sejalan dengan itu, om Yon juga berharap pemerintah tidak melarangnya untuk tetap membuka usaha di Akediri, tempat dimana Ia membangun kios dagangannya. Om Yon mengatakan demikian, karena Ia mengacu pada pedagang besar yang sudah memiliki ijin dan tempat usaha yang permanen. Mereka itu kata om Yon, dihimbau juga oleh pemerintah untuk bisa berinfestasi di pasar Akelamo. Pada hal kalau dilihat kebijakan relokasi ini nampaknya hanya menggusur mereka pedagangpedagang kecil yang tidak mempunyai ijin, dan masih mengontrak tempat usaha. Sedangkan mereka yang besar-besar aman berdagang di Akediri, kata om Yon Flory (Wawancara. 23 Januari 2013). Jadi kalau hanya menggusur yang kecil-kecil ini lanjut om Yon, dan pengusaha besar dibiarkan tetap ada di Akediri, mana bisa pasar Akelamo akan ramai dikunjungi. Mengapa demikian karena pedagang yang besar-besar ini memiliki banyak langganan dan itu saling terkait, misalnya mereka petani kelapa, sebelum kopranya dijual mereka sudah duluan mengambil barang dan ongkos kerja. Setelah kopranya matang, mereka akan membawa ke langganannya yakni ke pedagang besar, dengan demikian mereka akan berbelanja di situ dan tidak lagi ke pedagang kecil. Inilah kondisi yang terjadi ketika relokasi pertama kali ke Akelamo. Sehingga kebijakan tersebut gagal, tegas om Yon Flory (Wawancara,26 Januari 2013). Karena masih ada pedagang kecil dan semua pedagang besar tetap bertahan di Akediri, sehingga menyebabkan arus pengunjung 171 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat pasar yang berada di wilayah Sahu dan Sahu Timur lebih memilih berbelanja ke Akediri, sekalipun sudah ada pedagang yang berjualan di pasar Akelamo (Wawancara, 23 Januari 2013). Apa yang dikemukakan oleh om Yon, memang dibenarkan oleh Pak Ismail Arifin Kadis Perindag Halmahera Barat. Menurut Pak Ismail, benar bahwa pemerintah dalam rencana relokasi pada Januari 2013, diprioritaskan kepada mereka yang tidak memiliki ijin usaha, dan pedagang yang masih mengontrak lahan tempat berdagang. Terhadap pedagang yang memiliki ijin usaha dan telah memiliki lahan sendiri, tempat dimana mereka membangun tokonya, tentu tidak direlokasi. Kebijakan tersebut juga mentolelir penduduk setempat yang berdagang dilahan miliknya. Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa pemerintah juga membuka kesempatan kepada pedagang besar yang ada di Akediri, untuk berinvestasi di pasar Akelamo jika mereka tertarik ke sana. Dengan begitu pasar tersebut akan semakin bergairah dan kompetitif, tegas Pak Ismail Arifin (Wawancara, 27 Januari 2013). Untuk mendorong jalannya relokasi pedagang pasar Akediri kata om Yon Flory, tak segan-segan pemerintah menggunakan tekanan terhadap pedagang. Hal itu nampak dari pernyataan Kadis Perindag Pak Ismail Arifin, ketika Ia melakukan sosialisasi rencana relokasi bersama pedagang pasar Akediri pada desember 2012. Melalui pertemuan itu Pak Ismail menegaskan bahwa jika para pedagang ini tidak mau direlokasi ke pasar Akelamo, Ia akan meminta Kadis Koperasi dan UKM untuk tidak memberikan bantuan modal usaha. Kalau pemerintah daerah membebaskan pungutan pajak dan retribusi daerah, bagi pedagang pasar Akediri, karena beralasan lahan tempat mereka berdagang bukan milik pribadi dan masih mengontrak. Karena itu jika pemerintah melakukan pungutan pajak dan retribusi, itu adalah tidak rasional dan mendidik. Sebab mereka diberi beban ganda, membayar ke tuan tanah juga ke pemerintah daerah, kata Pak Ismail Arifin (Wawancara, 27 Januari 2013). 172 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Namun dari kesaksian tante Ratna dan Alimin Sabri, diketahui bahwa pemerintah daerah tidak konsisten dengan kebijakan tersebut. Dalam realita dilapangan ternyata terjadi penarikan retribusi sampah merata pada semua pedagang yang ada di pasar Akediri, baik yang memiliki ijin maupun yang tidak memiliki ijin usaha. Inilah dilema yang dihadapi pedagang pasar Akediri. Dalam konsdisi demikian mereka terus berusaha, sekalipun menghadapi situasi yang tidak menentu. Menurut Marthen Tuli Kepala desa Akediri, Ia dan para pedagang ini bukan bermasud melawan pemerintah daerah untuk menahan pasar Akediri, melainkan mereka hanya berusaha untuk “batahang (bertahan) hidup” di pasar Akediri (Wawancara, 01 November 2012). Menyetujui Atau Tergusur : Dilema menghadapi nilai Kontrak lahan yang terus melambung Awal terbentuknya aktifitas pedagang pasar Akediri, bermula di lingkungan militer angkatan darat Kompi ‘B’ 732 Banau. Mengingat karena kondisi keamanan yang belum kondusif, sehingga lingkungan satu-satunya yang steril adalah markas militer. Karena itu markas militer di Akediri selain sebagai pusat pengungsian, juga diijinkan untuk menjadi pasar alternatif ketika itu. Ketika tangsi militer disterilkan dari aktifitas perdagangan pada tahun 2004, akhirnya para pedagang keluar dan menempati kintalkintal rumah di pinggiran jalan penduduk Akediri yang masih berdekatan dengan markas militer tersebut. Menurut Roy Bermula sekertaris desa Akediri, pada awalnya penggunaan kintal-kintal rumah penduduk itu belum ada nilai kontraknya. Waktu itu para tuan tanah “ mereka bilang tidak usah bayar, yang penting torang (kita) baku bawa bae-bae saja (hidup berdampingan dan baik-baik saja) (Wawancara. 10 Desember 2013). Seiring waktu berjalan, kebutuhan lahan untuk membangun tempat usaha kian bertambah, akhirnya nilai atas tanah yang dipakai untuk membangun tempat usaha mulai diperhitungkan secara material. 173 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Menurut ibu Safiani ode lahan yang Ia kontrak pada awalnya dinilai setahun sebesar satu juta rupiah pada tahun 2008. Tetapi pada perpanjangan kontrak di tahun 2012, yang bersamaan dengan rencana relokasi pedagang pada Desember 2012, namun ditunda pelaksanaannya pada Januari 2013. Pemilik lahan sudah menaikan nilai kontrak lahan seluas 3 X 4 M persegi itu menjadi dua juta rupiah pertahun, bahkan Ia diminta untuk mengontrak selama sepuluh tahun. Karena membutuhkan tempat itu, akhirnya ibu Safiani menyanggupi nilai kontrak dengan waktu yang ditawarkan oleh pemilik lahan. Biasanya perpanjangan kontrak di tengah jalan, terjadi pada bulan Desember seiring tingginya kebutuhan perayaan Natal dan pesta tahun baru, dan itulah yang terjadi dengan ibu Safiani Ode. Selain kebutuhan Natal dan perayaan tahun baru, pemilik lahan juga kerap meminjam uang atau memperpanjang kontrak lahan tempat usaha, karena desakan kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. Situasi ini dialami oleh om Yon Flory, dimana karena kebutuhan pendidikan anaknya, pemilik tanah akhirnya meminjam uang kepada om Yon dalam jumlah besar, sebelum waktu perpanjangan kontrak lahan diperbaharui. Karena itu om Yon cenderung mengakui kalau lahan yang Ia tempati adalah miliknya, sekalipun secara hukum belum beralih kepemilikan. Asumsinya sederhana ketika om Yon mengatakan seperti itu, Ia beranggapan bahwa tidak mungkin pemilik tanah dapat menggantikan sejumlah uang yang telah mereka pinjam untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Situasi dilematis seperti inilah yang dihadapi oleh pedagang pasar Akediri, yakni memilih memperpanjang kontrak atau kehilangan tempat usaha. Tetapi ketika kontrak telah diperpanjang, dan relokasi terjadi, sangat tidak mungkin uang sisa waktu kontrak dikembalikan oleh tuan tanah, atau diminta kembali oleh pedagang. Pada hal dengan jelas para pedagang pasar Akediri mengetahui bahwa jika mereka direlokasi, pemerintah daerah tidak memberikan 174 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah kompensasi pengganti biaya kontrak yang sudah mereka keluarkan. Kompensasi pembebasan sementara biaya kontrak tempat yang dijanjikan pemerintah daerah, hanya diberikan kepada pedagang yang menempati pasar Akelamo yang dibangun oleh pemerintah propinsi dan daerah. Strategi Menghadapi Hambatan Kebijakan : Bertahan Di Masa Sulit Mematenkan Lokasi Tempat Usaha : Cekatan meloloskan diri dari kebijakan relokasi Ketidak layakan pasar yang ada di Akediri, pertama-tama adalah karena kedudukanya yang berhimpitan dengan permukiman penduduk, dan berdekatan dengan markas militer yang dipandang pemerintah daerah merupakan wilayah yang harus terjaga keamanannya. Selain itu keterbatasan lahan alternatif lain yang ada di Akediri, telah menyebabkan pemerintah daerah tidak memasukan pasar ini dalam rencana detail tata ruang kota Jailolo. Sehingga pasar tersebut tidak termasuk dalam salah satu wilayah pengembangan perdagangan kota Jailolo. Aktifitas perdagangan yang terjadi di Akediri tidak dipandang menguntungkan baik masyarakat, pedagang termasuk Pemerintah Daerah. Keterbatasan lahan menyebabkan aktifitas berdagang berlangsung dalam keseharian hidup aktifitas masyarakat setempat, dari segi estetika permukaiman penduduk telah terhalang oleh toko, kios maupun lapak para pedagang yang berderet di depan kintal rumah mereka. Bangunan toko, kios atau lapak milik pedagang itu, memiliki status kepemilikan yang beragam. Selain sebagai milik pribadi karena penduduk setempat, ada juga yang berusaha untuk memiliki hak milik atas tempat tersebut dengan cara membeli, tetapi ada juga pedagang yang hanya mampu mengontrak lahan-lahan dimana mereka membangun tempat usahanya. 175 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Jika melihat kriteria pedagang yang berhak direlokasi yakni mereka yang tidak memiliki ijin usaha dan yang mengontrak tempat usaha, tentu hal itu akan menimbulkan polemik di antara sesama pedagang. Karena kebijakan tersebut, akhirnya menguntungkan pedagang besar yang ada di Akediri yang mampu secara materi, akan berusaha membeli lahan tersebut dan mengupayakan ijin usahanya. Inilah yang terjadi di pasar Akediri. Belajar dari kasus tersebut, akhirnya bu Damis Pasuma, dan ibu Rohani M. Ahmat, mereka berdua berusaha untuk mematenkan lahan tempat usahanya dengan cara membeli dan kemudian mengurus ijin usaha. Cara itu ditempuh mereka, karena ada celah dari kebijakan yang memungkinkan pengusaha besar lolos dari upaya relokasi pedagang di pasar Akediri, dimana mereka ini kebanyakan ada di Akediri setelah konflik terjadi. Contohnya Ci Hoa dahulu ia berada di Gufasa pusat ibukota kecamatan, ia ada di Akediri setelah konflik reda. Begitu juga dengan Ci Fani sebelum rusuh ia berjualan di desa Tuada, ketika konflik terjadi mereka mengungsi dan akhirnya berdagang di Akediri. Lain halnya dengan Ibu Safiani Ode dan om Yon Flory, melalui kontrak lahan dalam waktu yang panjang dan penggunaan uang yang cukup besar oleh tuan tanah, mereka berharap suatu saat akan dapat memiliki tempat tersebut, ketika tuan tanah terbelit dengan pinjamannya atau terdesak dalam masalah yang sama yakni kebutuhan uang kontan dalam waktu mendesak. Kalau pemerintah daerah keberatan dengan pasar Akediri karena persoalan lahan, nampaknya hal itu bertentangan dengan kebijakan relokasi yang mengacu pada kepemilikan lahan dan ijin usaha. Karena itu satu-satunya cara untuk lolos dari ancaman relokasi, para pedagang berusaha untuk mendapatkan lahan dimana mereka membangun tempat usahanya. Baik dengan cara membeli secara langsung, mengontrak dalam jangka waktu yang panjang untuk mendapatkan tempat tersebut, atau memberi pinjaman dalam jumlah besar, dan berharap pemilik tanah tidak mampu mengembalikan uang mereka. Sehingga dengan begitu ia 176 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah melepaskan lahanya. Cara-cara inilah yang dilakukan baik oleh bu Damis, ibu Safiani, om Yon Flory maupun sejumlah pedagang besar lainnya yang berusaha untuk memiliki lahan sendiri, sehingga dapat lolos dari kebijakan relokasi pedagang yang ada di Akediri. Menambah Tempat Usaha Dan Konversi Usaha Menghadapi pasang surut kebijakan pemerintah daerah, masing-masing pedagang memiliki cara yang berbeda-beda, meskipun ada juga kesamaannya. Misalnya ibu Rohani M.Ahmat. Untuk mengantisipasi relokasi pasar Akediri, Ia telah memperluas usahanya ke wilayah lain. Selain di Akediri Ia juga memiliki satu unit toko dirumah kediamanya dan satu tempat usaha lagi di wilayah Ibu tempat suaminya bertugas sebagai anggota Koramil (Komando Rayon Militer) kecamatan Ibu. Selain memperbanyak tempat usaha ibu Rohani juga menambah jenis usaha. Selain usaha penjualan sembako dan bisnis kopra yang digeluti ibu Rohani di Jailolo, Ia juga telah merambah ke bisnis material bahan bangunan, dan pembelian kopra di kecamatan Ibu tempat suaminya bertugas sebagai anggota Koramil (Komando rayon militer). Pengembangan usaha bukan saja sebagai antisipasi terjadinya relokasi pasar, tetapi karena ada peluang usaha dan desakan konsumen, seperti di kecamatan ibu, kata ibu Rohani M. Ahmad (Wawancara,25 Jjanuari 2013). Lain halnya dengan bu Damis, sekalipun tidak memperbanyak tempat usaha, namun bu Damis Pasuma telah menamba jenis usahanya. Kalau pada awalnya bisnis yang digeluti bu Damis hanyalah sembako, dan pembelian kopra, kini Ia telah merambah ke bisnis jasa angkutan barang. Secara riil bu Damis hanya memiliki satu tempat usaha di Akediri, sedangkan bisnis kopra yang Ia jalin bersama pemilik modal, Ia lebih memilih untuk tidak menampung kopra ditempatnya. Tetapi kopra-kopra dari langganannya ditimbang dan dibawah langsung ke 177 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat gudang penampungan, sehingga Ia tidak memerlukan tempat penyimpanan. Setelah kopra-kopra itu dibawa kegudang dan ditimbang bu Damis hanya mengumpulkan nota timbanganya. Hal inilah yang membuat bisnis kopra yang Ia jalani tidak nampak di permukaan, seperti usaha lain atau seperti pengusaha besar lain yang memiliki gudang penampungan kopra. Selanjutnya jika dipandang cukup dan mereka membutuhkan uang, nota timbangan kopra tersebut kemudian diperhitungkan bersama pemilik modal yang menampung kopra darinya. Selain usaha sembako dan bisnis kopra, bu Damis kemudian mengembangkan usahanya ke bisnis jasa angkutan barang dan terbilang sukses. Setidaknya di bidang usaha ini Ia telah memiliki tiga truk angkut, dan ketiganya sudah dibayar lunas (Wawancara, 10 Mei 2012). Upaya untuk mengkonversi usaha memang pernah dilakukan oleh om Yon Flori. Menurutnya selain berdagang sembako, Ia juga menggeluti bisnis kopra dan jasa angkut barang. Ia juga membangun kemitraan dengan para kontraktor bangunan, sebagai subkontrak pekerjaan dari mereka kontraktor besar pemenang tender di beberapa bangunan milik pemerintah. Tetapi langkah untuk mengembangkan usaha ternyata tidak memberikan hasil baik bagi om Yon. Bisnis kopra, usaha jasa angkut barang, maupun kemitraan dengan kontraktor, hanya tinggal kenangan dalam kelana membangun usaha, kata om Yon Flori. Bisnis kopra dan angkutan barang yang melibatkan anggota keluarga lainya, ternyata tidak berjalan muslus. Bahkan menurut om Yon kegagalan dalam kedua usaha tersebut, tidak lepas dari perilaku menyimpang dari kerabatnya yang terlibat dalam bisnis-bisnia yang Ia jalani, demikian kata om Yon dengan raut wajah yang tak menggembirakan (Wawancara, 26 Januari 2013). Kini Ia hanya fokus pada bisnis sembako sebagai satu-satunya usaha yang Ia geluti. 178 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah Menggunakan Modal Pihak Lain : Tak ada rotan, masih ada pohon yang lain Berbicara tentang sumber modal finances yang dipergunakan oleh para informan untuk membangun usahanya, pada umunya mereka menggunakan modal pribadi. Modal tersebut ada yang diperoleh dengan cara menggadaikan perhiasan, maupun uang simpanan mereka. Seperti bu Damis Pasuma, untuk mendapatkan modal usaha mereka menggadaikan perhiasan milik istrinya. Dengan uang tujuh ratus limas puluh ribu rupiah tersebut, mereka kemudian membelanjakan barang-barang jualan secara bertahap. Menurut usi Teker istrinya bu Damis, awalnya mereka membelanjakan barangbarang dagangan seperti sabun dan supermi secara bertahap, yakni satu dua lusin atau satu dua dos supermi. Dari keuntungan yang didapat kemudian baru ditingkatkan kuota belanja barang, tentu disesuaikan dengan keuangan dan kebutuhan konsumen (Wawancara, 10 Mei 2012). Tetapi untuk meningkatkan usaha, bu Damis mempunyai pengalaman mengajukan permohonan bantuan dana kepada Dinas Koperasi dan UKM Halmahera Barat. Menurutnya proses penentuan bantuan dana yang terjadi Dinas Koperasi dan UKM terlalu lama dan tidak ada kepastian. Hal itu berbeda ketika Ia mengajukan kredit ke bank Danamon, pelayanan simpel, ada kepastian dan hanya membutuhkan waktu seminggu kredit modal usaha yang Ia ajukan sudah dicairkan. Untuk mendapatkan kredit modal usaha yang ditawarkan oleh bank Danamon, bu Damis hanya menjaminkan setrifikat rumah dan 1 BPKB truk yang sudah menjadi miliki mereka, tututr bu Damis (Wawancara, 10 Mei 2012). Ketidak pastian pendanaan bantuan modal usaha pada Dinas Koperasi dan UKM Halmahera Barat, juga dikemukan oleh om Yon Flory. Ia memang tidak mengajukan permohonan bantuan dana ke instansi pemerintah itu, melainkan dua proposal yang Ia masukan pada tahun 2004 dan 2005 milik dua saudaranya tidak terdanai. 179 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Bercermin dari pengalaman itu, om Yon berpendapat bahwa jika ingin membesarkan usaha sebaiknya bermitra dengan bank, karena ada kepastian, tinggal bagaimana aset dan usaha yang kita miliki. Kecilnya bantuan modal usaha yang disediakan oleh pemerintah lewat Dinas Perindag dan UKM, yakni hanya lima juta rupiah untuk usaha kecil, di mata om Yon tidak berarti apa-apa pada kondisi usaha saat ini. Untuk meningkatkan usahanya akhirnya om Yon mengajukan pinjaman ke Bank Danamon yang terbilang lebih simple pelayanannya dan ada kepastian, kata om Yon (Wawancara, 26 Januari 2013). Keputusan menggunakan modal bank sebetulnya tidak lahir dari inisiatif om Yon Flory, tetapi karena salah satu ponakanya bekerja di bank Danamon. Sebagai pegawai yang membidangi perkreditan, ia mengejar pertumbuhan angka kredit usaha yang tinggi. Karena itu Ia menawarkan pinjaman modal usaha. Desakannya kepada om Yon, katanya, kalau pencapaian angka kreditnya tinggi hal itu meningkatkan kredit pointnya upaya pemasaran pinjaman modal usaha kepada nasabah. Tawaran dan alasan dari pegawai bank, yang menggunakan pendekatan keluarga karena memang masih memiliki hubungan kekerabatan, membuat om Yon luluh dan tergerak untuk menggunakan modal usaha dari perbankkan. Sebab menurutnya sebenarnya Ia sudah tidak mau menggunakan modal bank, karena kalau menggunakan modal usaha dari bank, itu berarti kita mengutang. Hal ini membuat kita dipacu terus menerus untuk berusaha, agar usaha tetap berkembang sehingga dapat melunasi utang tersebut. Intinya kalau berhutang di bank kita tidak bias tidur ‘sono’ demikian tegas om Yon Flori (Wawancara,26 Januari 2013). Demi meningkatkan angka kredit point ponakannya itu, akhirnya om Yon mengajukan kredit modal usaha ke bank Danamon, kelakarnya kepada pegawai bank, berapa yang bisa kamu berikan kepada tua8, katanya dua ratus juta. Mendengar itu akhirnya om Yon Tua, adalah sapaan lokal yang menunjuk pada seseorang yang lebih tua dalam silsilah keluarga yakni dari keluarga ibu atau bapak. Biasanya kata ini disandingkan dengan 8 180 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah setujuh untuk mengajukan kredit ke bank Danamon, dan benar terdanai seperti yang dijanjikan ponakannya yakni, sebanyak Rp 200.000.000. Dalam dua tahun perjalanan mengangsur pinjamannya, pihak bank kembali menawarkan perpanjangan kredit dengan om Yon dan hal itu disetujuinya. Kini om Yon sudah masuk pada termin kedua pengagunaan modal bank, dengan akumulasi pinjaman yang sama dengan pinjaman pada termin pertama, sehingga secara keseluruhan dalam kurun waktu tiga tahun, 2010-2013 om Yon Telah menggunakan modal usaha dari bank sebanyak Rp 400.000.000. Anggunan yang disertakan untuk mendapatkan pinjaman modal usaha adalah sertifikat rumah, bagi om Yon ini adalah seni dalam hidup, katanya bahwa tidak ada orang yang tidak pernah berhutang, negara sendiri juga berhutang, karena itu jika mau mengembangkan usaha, sebaiknya bermitra dengan bank tegas om Yon Flory (Wawancara, 26 Januari 2013). Seperti bu Damis dan om Yon, yang akhirnya menggunakan modal bank, demikian juga dengan ibu Rohani M. Ahmad. Memang untuk bisnis sembako Ia tidak menggunakan modal bank, tetapi modal pribadinya. Namun ketika Ia merambah ke bisnis kopra Ia akhirnya menggunakan modal bank. Menurutnya bisnis kopra membutuhkan uang kontan dan itu dalam jumlah besar, sebab terjadi transaksi langsung, dan dalam jangka tiga sampai enam bulan baru di jual ke Manado. Jadi jika ingin memperoleh hasil yang besar, dibutuhkan modal yang besar pula, kata ibu Rohani (Wawancara,25 Januari 2013). Jika mencermati apa yang dikemukan oleh Pak Ismail Arifin Kadis Perindag Halmahera Barat, tentu sudah jelas terlihat bagaimana sikap pemerintah daerah terhadap pasar maupun pedagang yang ada di Akediri. Pemerintah tidak saja mengilegalkan pasar, melainkan juga membatasi bantuan modal usaha maupun ijin usaha bagi pedagang kata bapa atau mama, sehingga menjadi bapa tua, atau mama tua, dan dalam bentuk singkat disebut Tua, yang menunjuk pada keduan figur tersebut. 181 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat yang mengontrak tempat usahanya, juga memiliki ijin usaha (wawancara,27 Januari 2013). Konversi Usaha, Swa Relokasi Tempat Dan Mengakhiri Usaha Kebijakan pemerintah daerah merelokasi pedagang pasar Akediri ke pasar Akelamo, tidak hanya berdampak menurunkan pendapatan mereka. Tetapi ketika pendapatan tidak lagi berimbang dengan konsumtif mereka, hal itu tentu mempengaruhi modal. Dari tujuh informan yang diwawancarai, dua orang diantaranya sudah melakukan konversi usaha jauh sebelum relokasi ke pasar Jailolo maupun Akelamo. Mereka itu adalah bu Damis dan ibu Rohani. Sedangkan lima orang lainya tidak melakukan konversi usaha. Ketika direlokasi ke pasar Akelamo, hanya ibu Rohani dan Alimin yang tidak turut serta dalam relokasi tersebut. Sebab ketika itu Alimin Sabri belum berjualan di Akediri, sedangkan ibu Rohani sudah memiliki hak milik tempat dan ijin usaha, sehingga Ia sudah membangun toko yang permanen di Akediri. Kebijakan relokasi yang memprioritaskan pedagang yang masih mengontrak tempat (lahan) dan tidak memiliki ijin usaha, tak terhindarkan menyebabkan, om Aba, Damis Pasuma, tante Ratna, ibu Safiani Ode, dan om Yon Flory tidak dapat bertahan di Akediri. Namun ketika direlokasi om Yon tidak bertahan lama di Akelamo, tak lebih dari sebulan Ia langsung kembali ke Akediri, tutur om Yon Flory (Wawancara,26 Januari 2013). Secara khusus dalam bagian ini akan menyoroti tindakan mengkonversi usaha, sewa relokasi, dan keputusan mengakhiri usaha yang dilakukan oleh informan. Sikap tidak melegalkan pasar Akediri oleh pemerintah daerah, kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan untuk merelokasi pedagang ke pasar Akelamo di Sahu Timur. Keputusan akhirnya menempatkan mereka pada kondisi rentan, baik om Aba, tante Ratna, dan juga sesama pedagang yang turut direlokasi ke pasar Akelamo. Dengan bisnis pakaian yang dijalani om Aba, Ia merasa kesulitan ketika 182 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah hanya satu atau dua kaos yang laku terjual dalam sehari, berbeda dengan usaha Sembako jika barang tidak laku terjual barang tersebut bisa dimakan kata om Aba (Wawancara, 26 Januari 2014). Menurutnya jika sehari Ia hanya bisa mendapat Rp 50.000 sampai Rp 70.000 itu sudah beruntung, tetapi dalam realita kadang sehari tidak satu potong pakaian pun laku terjual. Menghadapi kondisi tersebut akhirnya, selain tetap bertahan menjalani usaha dagang pakaian di pasar Akelamo, akhirnya om Aba melakukan konversi usaha, dan arena itu Ia memutuskan untuk terjun ke ladang untuk menanam cabai dan tomat. Pilihan usaha penanaman cabai dan tomat sebagai usaha alternatif lain, disamping bisnis pakaian, selain karena bisnis pakaian tidak dapat diandalkan sebagai tumpuan utama pendapatan rumah tangga, juga karena om Aba mempunyai pengalaman di bidang usaha tersebut. Kata om Aba : …“ Menanam rica dan tomat, mengerjakan sawah, menjadi tukang baik tukang kayu, atau tukang batu, hal itu merupakan pekerjaan yang biasa Ia lakukan ketika masih di Gorontalo (Wawancara,26 Januari 2013). Sehingga keuntungan dari berdagang pakaian, tidak Ia investasikan untuk bisnis pakaian, melainkan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagian lagi di investasikan ke usaha tanam rica dan tomat. Dengan hanya memiliki modal dua sampai tiga juta rupiah, bagi om Aba tidak mungkin Ia dapat berbelanja pakaian ke Manado, baginya bisnis pakaian membutuhkan biaya besar dan harus mengikuti perkembangan kebutuhan konsumen. Persaingan di bisnis pakaian kata om Aba sangat ketat, karena itu siapa kalah modal dan model Ia akan ketinggalan, tutur om Aba (Wawancara,26 Januari 2013). Selain terjun ke ladang, dan bertahan dengan bisnis pakaian yang makin memprihatinkan, akhirnya om Aba merelokasi kembali usahanya keluar ke perempatan jalan utama desa Akelamo kecamatan Sahu Timur. Di tempat yang baru itu, Ia harus membangun lapak dengan biayanya sendiri, setelah Ia bertahan selama satu tahun di dalam pasar Akelamo. 183 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Sekalipun om Aba telah berupaya merelokasi usahanya ke luar dari pasar Akelamo ke pinggiran perempatan jalan utama desa Akelamo, hal itu tidak berhasil mempertahankan bisnis pakaiannya. Pendapatan ketika berjualan di pinggiran jalan perempatan desa Akelamo, tak jauh berbeda saat berada di dalam pasar Akelamo. Pendapata rata-rata hanya berkisar Rp 70.000 sampai Rp 100.000 perhari. Pendapatan yang demikian mana cukup untuk berbelanja ke Manado, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja hampir tidak mencukupi, kata om Aba (Wawancara,26 Januari 2013). Selain menghadapi kenyataan bahwa Ia tidak dapat mempertahankan bisnis pakaiannya, ketidak stabilan usaha yang berimbas pada pendapatan yang tidak pasti, juga merupakan salah satu sebab Ia berpisah dengan istrinya, Katanya : …“Begitu sudah kalau kita laki-laki sudah tidak mempunyai apa-apa pasti perempuan juga mengeluh, jadi mau bilang apa kondisi waktu itu memang sulit, bisnis pakaian tidak laris karena kesepian pengunjung, sedangkan tanaman rica dan tomat belum menghasilkan. Ketika ada uang dan saya memintanya kembali Ia sudah tidak mau kembali, jadi begitulah ceritanya” (Wawancara, 26 Januari 2013). Kini om Aba menetap di Akediri dan terus menanam cabai dan tomat bersama istri barunya, sebagai usaha alternatif yang Ia pilih ketika menutup dagangan pakaiannya, dan sesekali meluangkan waktu membantu saudara perempuanya berdagang di pasar Akediri. Kalau om Aba turun ke ladang untuk menanam rica dan tomat, sebagai langkah pengalihan usaha ketika bisnis pakaian tak lagi menjadi tumpuan pendapatan keluarga. Hal itu berbeda dengan tante Ratna. Kalau dilihat perjalanan usahanya, ketika mereka ikut dalam relokasi pedagang ke pasar Akelamo, awalnya kondisi usaha mereka terbilang baik, bahkan menurut usi Teker kalau mau diukur dari 184 Pengalaman Pedagang Dengan Kebijakan Pemerintah keadaan barang, lebih banyak milik tente Ratna dibandingkan barang miliki mereka (wawancara, 10 Mei 2012). Tetapi karena kurangnya pengunjung pasar Akelamo, ditambah lokasi pasar yang terisolir dari permukiman penduduk, tak terelakan berdampak pada pendapatan mereka. Sekalipun hari-hari pertama berjualan di pasar Akelamo menunjukan hasil baik, dimana bisa mencapai Rp 500.000 sampai Rp 800.000 dalam sehari. Namun kondisi itu tidak bertahan lama, pendapatan tante Ratna tidak bergerak naik, malah manukik turun tak terkendalikan. Dari pendapatan tertinggih Rp 800.000 beranjak turun pada kisaran Rp 150.000, hingga Rp 50.000. Situasi tersebut ketika masih bertahan di dalam pasar Akelamo. Begitu sebaliknya ketika Ia berusaha merelokasi usahanya ke perempatan pinggiran jalan utama desa Akelamo. Awalnya baik-baik saja, sehari bisa mencapai Rp 800.000 sampai Rp 1.000.000, tetapi pada hari-hari selanjutnya, kembali terpuruk, pendapatan mereka malah bergerak turun hingga sehari hanya bisa mencapai Rp 100.000 sampai Rp 150.000, begitu kata tante Ratna (Wawancara,26 Januari 2013). Karena makin merugi akhirnya tante Ratna memutuskan kembali ke Akediri. Upaya untuk memulihkan kondisi usaha terus dilakukan oleh tante Ratna ketika kembali ke Akediri, menurut usi Teker istrinya bu Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012), tante Ratne dan suaminya mencoba untuk menggunakan modal dari koperasi simpan pinjam sebagai pilihan alternatif untuk menyokong usaha mereka. Tetapi langkah tersebut tak terlihat manjur. Jika awalnya dagangan utama tante Ratna adalah Sembako (sembilan bahan pokok), kini beranjak turun hingga bertahan pada dagangan Barito (bawang, rica, tomat) dengan campuran sayuran-sayuran dan bumbu dapur seadanya. Pada titik inilah ketika pemerintah daerah kembali merencanakan untuk merelokasi kembali pedagang pasar Akediri ke pasar Akelamo, tante Ratna berencana untuk berhenti berdagang. 185 Membangun Usaha Paska Konflik: studi Terhadap Pedagang Kecil di Pasar Akediri Kab. Halmahera Barat Baginya, Akelamo merupakan tempat dimana mereka pernah merasakan masa-masa suram dalam berdagang. Jika melihat kesiapan kondisi pasar tersebut, tak jauh bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya, kendati telah mengalami perbaikan infrastruktur, kata tante Ratna (Wawancara,26 Januari 2013). Menurut Cherli9, kini tante Ratna sudah tidak berdagang atau telah menutup usahanya. Cherli Namotemo adalah salah satu informan yang dilibatkan untuk mengumpulkan informasi, dari informan kunci ketika peneliti sudah kembali ke Salatiga. Komunikasi melalui Handphon, 12 Maret 2013. 9 186