BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya pada praktiknya bukanlah persoalan yang sederhana kita harus memproses dan memahami pesan dengan strategi tertentu sehingga pesan-pesan tersebut dapat diterima dan direspon dengan baik pula oleh orang lain yang berinteraksi dengan kita. Untuk mewujudkan komunikasi yang baik dan efektif dengan latar belakang budaya yang berbeda, tidak sesulit yang kita bayangkan dan tidak semudah anggapan banyak orang. Untuk berhubungan serta berkomunikasi dalam budaya yang berbeda, banyak hal yang harus diperhatikan dan banyak juga kemungkinan terjadinya kesalahpahaman di dalamnya. Dalam berkomunikasi antarbudaya yang ideal kita berharap banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi budaya, tetapi karakter budaya berkecenderungan memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang berbeda. Ketika individu memasuki suatu hubungan sosial, mereka berkecenderungan merasa asing dengan lingkungan budaya baru (new culture) yang ada, sehingga mereka dituntut untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri (dalam Bahfriarti, 2012: 92). Keadaan ini dapat dilihat melalui fenomena interaksi antarbudaya pelajar-pelajar asing yang berkuliah di Indonesia, salah satunya pelajar-pelajar Belanda yang menempuh program double degree di Universitas Kristen Petra (UK Petra) Surabaya. Dalam melakukan interaksi antarbudaya, pelajar Belanda ini menyesuaikan diri dengan cara mempelajari bahasa Indonesia dan mengamati berbagai keadaan, serta kebiasaan yang ada di lingkungan budaya sekitar mereka. Hal ini juga mereka lakukan dalam rangka meminimalisir kesalahpahaman dalam berlangsungnya komunikasi antarbudaya, serta lebih toleransi terhadap perbedaan budaya yang ada (Wijaya, 2013: 8). Dorongan pelajar asing untuk menjalin komunikasi dan hubungan yang positif dengan pelajar Indonesia juga diperlihatkan oleh peserta Indonesia- 1 Poland Cross Cultural Program (IPCCP). Pelajar-pelajar Polandia ini menunjukan minat yang besar untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan yang sinergis dengan pelajar Indonesia melalui keinginan mereka dalam mempelajari budaya yang ada. Mereka juga menyadari perbedaan budaya yang ada di sekitar mereka, sehingga menghormati dan menghargai perbedaan tersebut (Mas’udah, 2014: 173). Selain itu, faktor yang cenderung terjadi pada tahap awal dalam benak dan pikiran pelajar asing yang memasuki lingkungan budaya baru adalah timbulnya pemikiran yang bersifat stereotipe, prasangka (prejudise), munculnya ketidakpastiaan (uncertainty), kecemasan (anxiety), atau merasa adanya sikap diskriminasi (racism) dari budaya baru terhadap dirinya (Samovar, et al, 2007: 316). Hal ini pada akhirnya membuat mereka mencari tahu pola karakteristik dari budaya baru, bahasa, adat istiadat, makanan serta makna-makna simbol yang digunakan oleh budaya tersebut. Keadaan tersebut tercermin dari penelitian yang dilakukan oleh Bahfiarti (2012) pada mahasiswa-mahasiswa Malaysia di Makasar. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan jika persamaan akar budaya melayu dan tipografi wilayah yang sama ternyata tetap memunculkan perasaan gegar budaya. Perbedaan latar belakang budaya pada kenyataannya memunculkan ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety) dalam diri mahasiswa Malaysia sebagai pendatang di Kota Makassar (Bahfiarti, 2012: 97). Mahasiswa asal Malaysia yang menempuh perkuliahan di Universitas Sumatera Utara (USU) merupakan salah satu contoh dari kasus memasuki suatu lingkungan budaya baru. USU merupakan universitas di Kota Medan dengan jumlah mahasiswa asing (Malaysia) terbanyak. Mahasiswa Malaysia ini secara mayoritas tersebar di dua fakultas, yakni Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) (Aje, 2011). Melalui data yang peneliti peroleh, mulai tahun 2010-2014 terdapat 760 mahasiswa Malaysia yang sedang dan telah melanjutkan studi pada kedua fakultas tersebut, dengan porsi masing-masing sebanyak 517 orang pada Fakultas Kedokteran dan 243 orang pada Fakultas Kedokteran Gigi. Dengan jumlah 2 ini setidaknya dapat dipahami adanya ketertarikan pelajar-pelajar Malaysia yang cukup besar untuk menempuh pendidikan di Indonesia, khususnya di USU. Tabel 1: Data jumlah mahasiswa Malaysia di USU NO Fakultas 2010 2011 2012 2013 2014 1 Fakultas Kedoteran 127 140 111 98 41 2 Fakultas Kedoteran Gigi 21 67 54 61 40 Sumber: Bagian akademik Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU Selain itu, Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi destinasi utama bagi mahasiswa Malaysia untuk melanjutkan pendidikan mereka. Penasihat pelajar Malaysia, Encik Burhanuddin Idjab (1993) menyebutkan bahwa Indonesia, khususnya kota Medan merupakan salah satu kota yang menjadi tujuan utama bagi mahasiswa Malaysia untuk melanjutkan pendidikan mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti, biaya pendidikan dan biaya hidup rendah, bahasa yang hampir sama, pergaulan sesuai, jarak Medan dengan Malaysia dekat, serta adanya infrastruktur komunikasi yang mendukung (Idjab, dalam Amir, 1993). Ketertarikan peneliti untuk meneliti mahasiswa Malaysia yang berada di USU juga dikarenakan pengalaman dan pengamatan yang telah peneliti alami selama beberapa tahun menjadi salah satu mahasiswa USU (Program strata 1). Selain berkuliah di departemen ilmu komunikasi, peneliti tak jarang juga berinteraksi dengan temanteman di fakultas lain, seperti FK dan FKG. Berawal dari intensitas interaksi ini pula peneliti banyak mengamati dan menemukan fakta-fakta menarik yang berlangsung dalam proses interaksi antara mahasiswa Malaysia dan Indonesia. Dalam konteks ini, mahasiswa Malaysia adalah sojourner yang pergi meninggalkan negara asal mereka untuk suatu tujuan, yakni menuntut pendidikan. Dengan latar belakang budaya yang sudah begitu melekat pada diri mereka, kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan baru dengan variasi latar belakang budaya yang tentunya berbeda, membuat mereka menjadi layaknya orang asing di 3 lingkungan itu. Ketika untuk pertama kalinya memasuki lingkungan budaya baru, setiap individu cenderung memiliki perasaan cemas, ragu, bahkan stress terhadap karakteristik lingkungan budaya yang ia datangi. Perasaan tersebut diyakini dapat menghambat penyesuaian diri serta kemampuan individu dalam menjalin hubungan dengan lingkungan budaya yang ada (Oberg, dalam Pyvis & Chapman, 2005: 23). Demikian pula halnya dengan mahasiswa-mahasiswa asal Malaysia ini, dari 56 mahasiswa Malaysia Semester I Fakultas Kedokteran Gigi USU, sebanyak 26.8% atau 15 orang mengalami stres rendah, 67.9% atau 38 orang mengalami stres sedang dan 5.4% atau 3 orang mengalami stres tinggi (Hussain & Irfah, 2014). Akibat perasaan tersebut, tidak sedikit dari mahasiswa Malaysia yang pada akhirnya memiliki kecenderungan untuk bersifat lebih tertutup, dengan mempertahankan identitas budaya mereka, seperti perasaan stereotipe, prasangka (Prejudice), sikap etnosentrisme, rasa kepemilikan, serta evaluasi positif pada kelompok etnis mereka (Arifah Armi Lubis; 2010, Samovar; 2010). Selain merasa stress terhadap karakteristik lingkungan budaya yang ada, mahasiswa-mahasiswa Malaysia tak jarang juga mengalami beberapa hambatan ketika hendak berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia. Perasaan tersebut seperti; perbedaan gaya bahasa, dialek, serta intonasi yang ada pada mahasiswa lokal. Selain itu, perbedaan budaya juga terjadi pada proses belajar mengajar, makanan, hingga keteraturan lalu lintas yang ada di Medan. Terkait proses belajar mengajar, mahasiswa Malaysia menyebutkan bahwasanya hal tersebut terjadi karena penggunaan bahasa Indonesia oleh para dosen ketika menyampaikan materi perkuliahan. Kenyataan tersebut amat berbeda ketika mereka menempuh pendidikan di negara asal mereka (Malaysia), dimana staf pengajar atau dosen menggunakan bahasa Inggris dan Melayu sebagai bahasa utama dalam proses belajar mengajar1. Hal ini pula yang menyebabkan banyak mahasiswa Malaysia pada awal perkuliahan (khususnya semester 1) cenderung bersikap apatis terhadap proses perkuliahan yang berlangsung di kelas. Mereka lebih memilih untuk membahas materi yang 1 Argument di atas diperoleh melalui wawancara peneliti dengan salah seorang mahasiswa Malaysia (pra penelitian). 4 disampaikan dosen di kos masing-masing dengan menggunakan slide atau modul yang diberikan dosen pengampuh mata kuliah. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang mahasiswa Indonesia di FKG bahwa; Beberapa mahasiswa Malaysia sepertinya terlihat malas untuk belajar, bagaimana tidak, saya pernah melihat di antara mereka banyak yang bermain handphone dan bahkan tidur di kelas pada saat proses belajarmengajar sedang berlangsung2 Senada dengan pernyataan di atas, seorang mahasiswa Malaysia menyebutkan pada awal proses perkuliahan mereka menganggap bahwa tidak sedikit mahasiswa Indonesia yang terlihat menghindar dari mereka. Hal ini salah satunya dapat dilihat ketika dosen mengarahkan seluruh mahasiswa untuk membentuk kelompok dalam mengerjakan tugas belajar, dan kami (mahasiswa Malaysia) cenderung tidak dipilih oleh mahasiswa Indonesia untuk bergabung pada satu kelompok yang sama. Mungkin mereka beranggapan bahwa mahasiswa Malaysia kebanyakan main-mainnya ketimbang belajar, dan tidak terlalu pintar dibandingkan mereka. Selain itu, jika mahasiswa Malaysia ikut bergabung satu kelompok dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia, mahasiswa Malaysia tidak banyak dilibatkan dalam proses pengerjaan tugas tersebut3. Perbedaan budaya kerap menyulitkan mahasiswa Malaysia untuk berinteraksi dan menjalin hubungan dekat dengan mahasiswa lokal karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada di lingkungan budaya mereka sebelumnya. Meskipun secara geografis Indonesia dan Malaysia berada dalam satu rumpun, tetapi tetap perlu dipahami bahwa perbedaan-perbedaan budaya tersebut pasti ada. Hal ini dapat dilihat dari intensitas konflik yang terjadi di antara kedua negara, sehingga dapat menegaskan bahwa pada dasarnya kesatuan di antara kedua negara tersebut seutuhnya belum ada. 2 Data diperoleh peneliti pada saat pra penelitian, tepatnya ketika penyelesaian tugas akhir mata kuliah Komunikasi Antar Budaya pada semester II tahun ajaran 2014-2015. 3 Data diperoleh peneliti pada saat pra penelitian, tepatnya ketika penyelesaian tugas akhir mata kuliah Komunikasi Antar Budaya pada semester II tahun ajaran 2014-2015. 5 Perbedaan budaya menyebabkan individu sulit menyesuaikan diri, sehingga dapat menghambat kompetensi komunikasi antarbudaya individu tersebut. Demikian halnya dengan mahasiswa asal Malaysia ini. Emma Violita Pinem (2011) menyebutkan bahwa tidak sedikit informan dalam penelitiannya (mahasiswa Malaysia) yang mengalami beberapa masalah adaptasi dengan lingkungan budaya yang ada di Medan, khususnya USU. Keadaan tersebut seperti merasa diperlakukan berbeda dalam berinteraksi dengan penduduk lokal, tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, dan kurang nyaman dengan perbedaan budaya yang ada. Perbedaan budaya kerap kali menghambat berlangsungnya proses komunikasi yang efektif di antara orang asing (strangers) dengan masyarakat lokal (in-group). Terhambatnya komunikasi efektif tersebut terjadi akibat adanya perbedaan dalam perilaku komunikasi yang pada akhirnya dapat menimbulkan perbedaan persepsi. Melalui serangkaian proses penyesuaian diri yang baik, interaksi antarbudaya yang positif di antara individu yang berbeda latar belakang budaya dapat tercipta. Keadaan seperti ini menuntut individu untuk berperan aktif dalam memahami berbagai informasi mengenai lingkungan budaya baru agar dapat melakukan interaksi antarbudaya dengan lebih baik, sehingga dapat menghasilkan komunikasi yang efektif dengan lingkungan budaya baru tersebut (Gudykunst & Mody, 2002: 43). Tetapi yang perlu diingat adalah seberapa baiknya interaksi tersebut amat bergantung pada motivasi dan kemauan masing-masing individu dalam menyikapi, memahami, memproses, serta merespon setiap rangsangan komunikasi yang diterima dari lingkungan barunya (Gundykunst & Kim, 2003: 276-292). Jika individu mampu melakukan hal tersebut dengan baik, maka secara tidak langsung akan menghasilkan pemahaman kognitif yang mengarah pada kompetensi komunikasi antarbudaya. Hal demikian terjadi karena telah terciptanya komunikasi yang positif dengan lingkungan budaya baru (Deardorff, 2006: 256). Jika ingin memperoleh kompetensi komunikasi antarbudaya, mahasiswa asing membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan perlunya komunikasi antarbudaya yang baik pada mahasiswa asing, 6 seperti kesadaran dan keinginan untuk mengetahui, mempelajari, memahami, serta menyikapi setiap fenomena interaksi budaya yang ada (Covert, 2014: 175). Ulasan di atas memberikan gambaran umum bahwasanya mahasiswa asing, yang dalam konteks ini adalah mahasiswa Malaysia dituntut untuk melakukan penyesuaian diri. Hal ini dilakukan agar dapat menghilangkan perasaan dan pemikiran negatif yang dapat menghambat mereka ketika hendak berinteraksi dengan lingkungan budaya yang ada. Seperti yang diungkapkan oleh Kim, bahwa komunikasi antarbudaya yang kompeten dapat tercipta apabila individu memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola faktor-faktor penghambatan komunikasi antarbudaya, seperti karakteristik lingkungan budaya yang tidak familiar, serta pengalamanpengalaman lainnya yang dapat menyebabkan individu menjadi stres (Kim, dalam Samovar et al, 2010: 384). Sejauh ini, peneliti belum menemukan bagaimana kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki oleh mahasiswa Malaysia, khususnya di lingkungan USU. Secara konseptual, kompetensi komunikasi antarbudaya adalah kemampuan yang secara efektif dan tepat mampu melaksanakan tindakan komunikasi dalam rangka memperoleh respon yang positif dalam sebuah lingkungan budaya tertentu (Wiemann, dalam Chen, 1998: 247). Dengan demikian, kompetensi komunikasi antarbudaya adalah kemampuan individu dalam mengelola setiap perbedaan budaya yang ada, agar menghasilkan interaksi antarbudaya yang efektif dengan lingkungan budaya baru. Dari definisi tersebut dapat dipahami pula bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya memegang peranan yang cukup krusial bagi setiap individu ketika memasuki lingkungan budaya yang ada di sekitar mereka, dalam rangka menjalin komunikasi dan berbaur dengan lingkungan sekitarnya. Berangkat dari konsep ini, tidak berlebihan apabila peneliti menganggap kompetensi komunikasi antarbudaya memiliki ketertarikan sendiri untuk dikaji dan diteliti lebih jauh. Ketertarikan peneliti ini juga didorong oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang telah banyak mengupas fenomena interaksi antarbudaya mahasiswa Malaysia di lingkungan USU, seperti fenomena gegar budaya. Penelitian sebelumnya lebih 7 berfokus pada bentuk-bentuk gegar budaya yang dialami oleh mahasiswa Malaysia selama menjalani proses perkuliahan di USU. Sejauh ini peneliti belum menemukan bagaimana gambaran kompetensi komunikasi antarbudaya yang mereka miliki setelah mereka menetap dalam kurun waktu yang cukup lama (dua tahun) di lingkungan Medan, khususnya USU. Mengingat dalam waktu tersebut intensitas kontak antarbudaya yang berlangsung di antara mereka (mahasiswa Malaysia) dan masyarakat lokal (mahasiswa Indonesia) sudah terjalin. Selain itu, penelitian sebelumnya juga lebih berfokus pada mahasiswa Malaysia secara umum, meskipun pada kenyataannya terdapat tiga etnis mahasiswa Malaysia yang berkuliah di USU, yakni etnis Melayu, Tionghoa dan India. Peneliti belum menemukan penjelasan yang komprehensif di antara ketiga etnis keturunan Malaysia tersebut, terkait kompetensi komunikasi antarbudaya yang mereka miliki. Peneliti memiliki asumsi bahwa ketiga etnis tersebut memilki pengalaman dan penafsiran yang berbeda ketika melakukan interaksi antarbudaya, yang pada akhirnya memberikan gambaran terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya yang mereka miliki. Asumsi itu tentunya didukung oleh pengamatan yang sebelumnya telah peneliti lakukan pada ketiga etnis mahasiswa Malaysia tersebut ketika berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia. Berdasarkan pengamatan peneliti pada ketiga etnis tersebut, mahasiswa Malaysia etnis Melayu secara garis besar memiliki kedekatan personal yang lebih baik dengan mahasiswa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan mahasiswa Malaysia dan mahasiswa Indonesia yang telah menetap bersama pada satu rumah, dan intensitas mereka bertemu, seperti melaksanakan agenda belajar dan makan bersama. Di sisi lain, mahasiswa Malaysia etnis Tamil dan Tionghoa masih memiliki keengganan untuk menjalin hubungan, karena tidak banyak dari mereka yang menunjukan keterbukaannya dengan mahasiswa Indonesia. Perbedaan lainnya yang mewarnai ketiga etnis ini juga terletak pada perbedaan kultural yang mereka pegang. Suku melayu merupakan suku asli Malaysia dan biasanya menggunakan bahasa Melayu dan Inggris ketika berinteraksi. Mayoritas mahasiswa etnis melayu tersebut memeluk agama Islam, sehingga mereka diharapkan 8 untuk memakai baju kurung (tertutup) dan kerudung yang berhubungan dengan Muslim. Masyarakat Malaysia etnis Melayu sangat menekankan pada perilaku yang baik, toleransi, dan kekeluargaan (Tsui, dalam Sihite, 2012). Mahasiswa Malaysia etnis India lebih menggunakan bahasa Tamil dan Inggris dalam pergaulan mereka sehari-hari. Penggunaan bahasa Tamil baik secara tulisan dan lisan amat ditekankan untuk melestarikan kebudayaan mereka. Masyarakat India amat menghargai hubungan keluarga, mempertahankan nilai-nial dan tradisi kebudayaan mereka, serta terbuka dan sangat peduli dengan lingkungan (Verma, dalam Frandawati, 2010). Namun, berdasarkan observasi yang sebelumnya telah peneliti lakukan, sebagian besar mahasiswa India tersebut lebih menggunakan bahasa Inggris ketika berinteraksi dengan mahasiswa Malaysia yang beretnis Melayu dan Tionghoa, sedangkan penggunaan bahasa Tamil digunakan ketika mereka berkomunikasi degan sesama mahasiswa yang beretnis India. Ketika berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia, mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan gabungan bahasa Inggris, khususnya apabila mereka menemukan istilah-istilah yang kurang mereka pahami dalam bahasa Indonesia. Mahasiswa Malaysia etnis Tionghoa biasanya menggunakan bahasa Hokkien, Hakka, dan Kanton. Ketiga bahasa ini biasanya mereka gunakan dalam setting formal atau informal. Dalam setting publik mahasiswa beretnis Tionghoa ini biasanya menggunakan bahasa Mandarin. Sedangkan dalam pergaulan sehari-hari, mereka pada umumnya menggunakan bahasa Mandarin atau Hokkien ketimbang bahasa melayu. Norma sosial dalam masyarakat Tionghoa adalah hubungan keluarga, komunitas dan kewirausahaan. Norma sosial yang menjunjung tinggi komunitas membuat mereka dinilai lebih tertutup dibandingkan dengan kategori etnis lainnya di Malaysia (Verma, dalam Frandawati, 2010). Berdasarkan pengamatan peneliti, mahasiswa Malaysia etnis Tionghoa cenderung menggunakan bahasa Inggris ketika berinteraksi dengan sesama mahasiswa Malaysia, khususnya mahasiswa etnis Melayu dan India. Penggunaan bahasa Hokkien sendiri umumnya mereka gunakan ketika berinteraksi dengan sesama etnis Tionghoa. Di sisi lain, bahasa Indonesia mereka 9 gunakan apabila berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia, meskipun tidak jarang pula diselingi dengan bahasa Inggris apabila ada istilah yang kurang mereka pahami. Pemaparan di atas menjelaskan, meskipun ketiga etnis mahasiswa tersebut sama-sama berasal dari Malaysia, tidak berarti mereka memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya yang sama pula. Hal ini didasari pada kebiasaan dan latar belakang kultural yang berbeda, seperti bahasa dan nilai-nilai sosial budaya yang mereka pegang. Atas dasar itu pula, maka peneliti melihat permasalahan ini melalui ketiga etnis mahasiswa Malaysia tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Secara umum, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui “Bagaimana Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara?” Namun secara khusus penelitian ini dibagi kepada beberapa pertanyaan penelitian: 1 “Bagaimana Kompetensi Motivasi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Malaysia Etnis Melayu, India, dan Tionghoa di Universitas Sumatera Utara?” 2 “Bagaimana Kompetensi Pengetahuan Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Malaysia Etnis Melayu, India, dan Tionghoa di Universitas Sumatera Utara?” 3 “Bagaimana Kompetensi Keterampilan Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Malaysia Etnis Melayu, India, dan Tionghoa di Universitas Sumatera Utara?” 1.3 Pembatasan Masalah Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti merasa perlu untuk membuat pembatasan masalah yang lebih spesifik dan jelas. Adapun yang menjadi pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini adalah penelitian studi kasus deskriptif kualitatif yang mengkaji kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa Malaysia etnis Melayu, Tionghoa, dan India. 2. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Malaysia yang melanjutkan studi atau kuliah di USU. Subyek penelitian juga dibatasi kepada mahasiswa asal 10 Malaysia (Melayu, Tionghoa, dan India) yang telah berkuliah di USU minimal dua tahun, yakni mahasiswa Malaysia angkatan 2012/2013. Pembatasan ini dilakukan agar dapat dilihat tindakan-tindakan komunikasi antarbudaya seperti apa saja yang selama ini telah mereka lakukan, sehingga nantinya dapat dilihat kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa Malaysia tersebut. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki oleh masing-masing etnis mahasiswa Malaysia yang berkuliah di USU, yakni etnis Melayu, India dan Tionghoa. Hal ini bertujuan agar diperoleh pemahaman yang spesifik serta komprehensif dari ketiga etnis tersebut, karena sejauh ini penelitian-penelitian sebelumnya lebih mengupas interaksi antarbudaya mahasiswa Malaysia secara umum. Penelitian ini nantinya juga dapat melihat apakah setelah dua tahun lebih berkuliah di USU, mahasiswa Malaysia dari ketiga etnis ini telah memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya yang memadai, atau malah sebaliknya. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Secara Teoretis, temuan-temuan empiris dari penelitian ini sekiranya menjadi sumbangan berharga sekaligus sebagai pengkayaan materi dalam pengembangan khazanah keilmuan komunikasi, khususnya komunikasi antarbudaya. 2. Secara Praktis, penelitian ini sekiranya dapat dijadikan bahan rujukan atau pedoman bagi mahasiswa Malaysia lainnya, khususnya bagi mereka yang baru diterima menjadi mahasiswa USU untuk bersikap dan berperilaku dalam rangka menciptakan interaksi yang positif dengan lingkungan budaya baru mereka, khususnya dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia. 3. Terakhir, penelitian ini juga dapat dijadikan referensi bagi peneliti berikutnya yang tertarik untuk meneliti kajian komunikasi antarbudaya, khususnya dalam konteks kompetensi komunikasi antarbudaya. 11 1.6 Kerangka Pemikiran Kegiatan berkomunikasi merupakan kegiatan yang sudah biasa dilakukan oleh siapa saja, namun tidak banyak dari kita yang telah menguasai kompetensi komunikasi. Seseorang yang kompeten dalam komunikasi antarbudaya dapat dikategorikan sebagai orang yang mampu berkomunikasi secara efektif dan berhasil. Kompetensi komunikasi antarbudaya menurut Wiemann (1977) adalah suatu kemampuan yang secara efektif dan tepat mampu melaksanakan tindakan komunikasi dalam rangka memperoleh respon yang positif dalam sebuah lingkungan budaya (Wiemann, dalam Chen, 1990: 247). Sehingga kompetensi komunikasi antarbudaya adalah sebuah konsep yang berfokus pada tindakan komunikasi efektif. Strategi agar kompeten dalam melakukan interaksi antarbudaya adalah dengan cara mencari dan memperoleh informasi budaya yang kita perlukan, serta sesuai dengan lingkungan budaya yang akan dituju. Paige dan Goode menjelaskan bahwa komunikasi antarbudaya dapat terjalin dengan efektif apabila individu yang akan melakukan kontak antarbudaya dibekali atau difasilitasi dengan pembelajaranpembelajaran khusus mengenai karakteristik budaya yang akan ditempati (Paige dan Goode, 2009: 334). Namun fenomena yang ditemui, tidak sedikit pula para profesional atau mahasiswa-mahasiswa yang akan melakukan kontak antarbudaya tidak diberikan pembelajaran budaya oleh pihak perguruan tinggi, sehingga banyak mahasiswa yang pada akhirnya tidak memiliki pemahaman memadai mengenai interaksi antarbudaya, khususnya mengenai lingkungan budaya yang hendak mereka datangi. Root dan Ngampornchai (2012) juga mengungkapkan bahwa banyak universitas atau program studi di berbagai negara yang mengabaikan pentingnya pelatihan awal bagi setiap mahasiswa-mahasiswa baru yang akan menempuh pendidikan di luar negara asal mereka (Root dan Ngampornchai, 2012: 515). Berdasarkan temuan di atas dapat dipahami bahwa perkembangan kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa asing secara umum adalah sebuah proses yang berlangsung secara individual, sehingga mahasiswa-mahasiswa asing memiliki strategi tersendiri dalam menyikapi rangsangan komunikasi antarbudaya. Keadaan ini 12 pula yang pada akhirnya merefleksikan bahwasanya kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki oleh mahasiswa asing berbeda-beda, tergantung bagaimana strategi yang mereka tempuh dalam melakukan aktifitas antarbudaya. Kompetensi komunikasi antarbudaya dapat membantu setiap orang yang melakukan kontak antarbudaya agar memperoleh apa yang mereka inginkan dari lingkungan budaya. Model kompetensi komunikasi antarbudaya tersebut diantaranya dipaparkan oleh Gudykunst (2003), Deardorff (2006), dan Samovar (2010). Gudykunst (2003) menyebutkan terdapat tiga komponen mendasar kompetensi komunikasi antarbudaya, yakni: motivasi komunikasi antarbudaya, pengetahuan komunikasi antarbudaya, dan keterampilan komunikasi antarbudaya. Motivasi dipahami sebagai keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan individu lain. Motivasi dibagi menjadi; kebutuhan, konsep diri, serta keterbukaan. Komponen pengetahuan dibagi menjadi pengetahuan mengenai bagaimana mengumpulkan informasi, pengetahuan tentang perbedaan dan kesamaan pribadi, serta pengetahuan terhadap aturan dan norma yang berlaku. Sementara komponen keterampilan dimulai dari keterampilan untuk bertoleransi terhadap perbedaan budaya, keterampilan untuk berempati, dan keterampilan untuk membuat penjelasan dan prediksi yang akurat (Gundykunst & Kim, 2003: 278-292). Deardorf (2006) dimulai pada tingkat sikap individu. Sikap yang dimaksud adalah pada kapasitas individu dalam membedakan dan menghargai setiap perbedaan budaya, dengan bersifat terbuka, serta mempunyai rasa ingin tahu pada lingkungan budaya. Tingkatan berikutnya adalah kompetensi afektif. Pada tingkatan ini, individu harus mempunyai pengetahuan mengenai karakteristik budaya dan mempunyai kesadaran terhadap perbedaan budaya. Kompetensi afektif secara tidak langsung menghasilkan pemahaman kognitif yang mengarah pada adaptasi dan empati. Proses ini diyakini dapat meningkatkan kompetensi individu dalam melakukan komunikasi antarbudaya yang positif (Deardorff, 2006: 256). Samovar (2010), menyebutkan terdapat lima komponen kompetensi komunikasi antarbudaya, yakni: Motivasi. Motivasi sendiri dibagi menjadi kebutuhan 13 dan keinginan untuk berbaur dengan lingkungan budaya. Pengetahuan, dibagi menjadi harapan yang besar untuk memperoleh informasi, serta pengetahuan terhadap nilai dan aturan yang ada. Keterampilan dibagi menjadi keterampilan untuk menganalisis dan menginterpretasikan rangsangan komunikasi dari lingkungan budaya. Sensitivitas, dibagi menjadi toleransi terhadap perbedaan dan rasa empati dengan lingkungan budaya. Karakter, dibagi menjadi keterbukaan terhadap lingkungan budaya dan memiliki kepercayaan yang baik (Samovar et al, 2010: 385386). Pada model ini, dua komponen kompetensi komunikasi (karakter dan sensitivitas) merupakan komponen yang masing-masing elemennya sama dengan komponen keterampilan dan motivasi pada model Gudykunst (2003) dan Deardorff (2006). Seperti keterbukaan dan kepercayaan (karakter) yang terdapat pada elemen motivasi dan sikap, serta empati dan toleransi (sensitivitas) pada keterampilan. Jika dilihat dari ketiga model kompetensi komunikasi antarbudaya yang digagas oleh Gudykunst (2003), Deardorff (2006) dan Samovar (2010) dapat dilihat kesamaan di antara ketiganya. Ketiga model tersebut dalam menggambarkan kompetensi komunikasi antarbudaya berfokus pada aspek motivasi, pengetahuan dan keterampilan. Seperti yang diungkapkan oleh Spitzberg (1989) bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya pada setiap orang amat bergantung pada sikap dan motivasi untuk berkomunikasi, pengetahuan tentang proses komunikatif, serta keterampilan dalam melaksanakan motif dan pengetahuan (Spitzberg, 1989: 250). Tabel 2: Komponen kompetensi komunikasi antarbudaya NO Gudykunst (2003) Deardorf (2006) Samovar (2010) 1 Motivasi Motivasi/Sikap Motivasi 2 Pengetahuan Pengetahuan Pengetahuan 3 Keterampilan Keterampilan Keterampilan 4 - - Sensitivitas 5 - - Karakter Sumber: Diolah dari Gudykunst (2003), Deardorf (2006), Samovar (2010) 14 1.7 Model Penelitian Kompetensi A. Motivasi Komunikasi & Sikap Komunikasi Antarbudaya 1 2 3 4 Kebutuhan dan keinginan yang dimiliki mahasiswa Malaysia untuk berinteraksi dan menjalin hubungan baik dengan mahasiswa lokal. Cara mahasiswa Malaysia menarik perhatian dan minat mahasiswa lokal berinteraksi dengan mereka (atraksi). Keyakinan dan kepercayaan yang dimiliki mahasiswa Malaysia untuk melakukan komunikasi dan menjalin hubungan baik dengan mahasiswa lokal. Keterbukaan (ketersediaan) mahasiswa Malaysia menanggapi rangsangan komunikasi dari mahasuswa lokal. Kompetensi Pengetahuan Komunikasi Antarbudaya 1. Harapan positif mahasiswa Malaysia dalam memperoleh pengetahuan budaya baru. 2. Pengetahuan mahasiswa Malaysia terhadap aturan dan nilai-nilai yang berlaku pada lingkungan budaya. 3. Pengetahuan mahasiswa Malaysia dalam memahami kesamaan dan perbedaan budaya yang ada di lingkungan mereka sebelumnya dan lingkungan mereka sekarang 4. Berbagi informasi/pengetahuan dengan mahasiswa lokal dalam meningkatkan perasaan saling ketergantungan. Kompetensi Keterampilan Komunikasi Antarbudaya 1. Keterampilan mahasiswa Malaysia dalam merasakan apa yang sedang dirasakan oleh mahasiswa lokal (empati). 2. Keterampilan mahasiswa Malaysia dalam menghargai dan menjunjung tinggi setiap perbedaan yang ada pada lingkungan budaya (toleransi). 3. Keterampilan mahasiswa Malaysia dalam menganalisis dan memprediksi karakteristik lingkungan budaya. Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Malaysia Penilaian mahasiswa Indonesia terhadap kompetensi komunikasi mahasiswa Malaysia Penilaian pengurus (dosen) terhadap kompetensi komunikasi mahasiswa Malaysia 15 Kebutuhan dan keinginan yang dimaksud dalam penelitian adalah keadaan yang menggerakkan mahasiswa Malaysia dalam beraktifitas dan berusaha. Dengan adanya keinginan untuk menjalin hubungan baik dengan lingkungan budaya baru, individu akan berusaha sebaik mungkin untuk mencapai hal tersebut. Atraksi adalah sikap yang dimiliki mahasiswa Malaysia dalam menarik perhatian dan minat orang lain untuk berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia. Daya tarik tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa Malaysia ketika hendak berinteraksi. Kepercayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu sikap yang dapat mendorong mahasiswa Malaysia dalam melakukan interaksi antarbudaya. Jika mereka memiliki keyakinan yang besar untuk berinteraksi, maka kepercayaan muncul. Jika keyakinan tidak ada maka keraguan muncul pada diri mahasiswa Malaysia, dan pada akhirnya menghambat kemampuan mereka dalam melakukan interaksi antarbudaya. Keterbukaan adalah kemauan dan ketersediaan mahasiswa Malaysia dalam menanggapi dengan terbuka rangsangan komunikasi yang mereka terima, seperti kesediaan untuk memulai komunikasi. Harapan positif adalah bentuk kepercayaan dan upaya mahasiswa Malaysia terhadap sesuatu hal positif yang ingin diperoleh. Harapan positif ini dapat membantu mahasiswa Malaysia dalam memperoleh informasi yang sesuai dengan yang mereka inginkan. Harapan positif menjadi pemicu bagi mereka untuk melakukan interaksi antarbudaya dengan lebih baik. Pengetahuan mengenai aturan dan nilai-nilai budaya adalah suatu pengetahuan yang dimiliki mahasiswa Malaysia dalam memahami dan mengikuti setiap aturan maupun nilai-nilai yang selama ini berlaku di lingkungan budaya sekitar. Komunikasi yang efektif dapat tercipta apabila dalam melakukan interaksi antarbudaya, setiap individu menjunjung tinggi dan menghargai kebudayan yang ada. 16 Pengetahuan tentang kesamaan dan perbedaan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan kesamaan budaya dan perbedaan budaya yang ada pada diri mereka dan lingkungan budaya sekitar. Kategori sosial ini pada akhirnya dapat membantu mereka untuk memahami kesamaan dirinya dengan orang asing. Berbagi informasi adalah tindakan yang dilakukan mahasiswa Malaysia dalam memberikan informasi-informasi yang bermanfaat kepada mahasiswa lainnya. Individu yang sering berbagi informasi mempunyai penilaian yang positif dari orang lain, karena dianggap tidak bergantung pada orang lain dalam memperoleh informasi, tetapi sebaliknya malah menjadi sumber informasi. Empati adalah kemampuan yang dimiliki mahasiswa Malaysia dalam mengidentifikasi dirinya memiliki perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain. Kemampuan ini dipandang sebagai kunci dalam meningkatkan intensitas dan kedalaman hubungan dengan orang lain. Kemampuan dalam menghargai dan menjunjung tinggi setiap perbedaan adalah suatu tindakan yang dilakukan mahasiswa Malaysia dalam menghargai dan menjunjung tinggi setiap perbedaan yang terdapat di lingkungan budaya. Perbedaan tersebut seperti, agama, ras, suku, bangsa, dan kategori lainnya. Apabila mahasiswa Malaysia memiliki toleransi yang baik, maka mereka dapat diterima dengan lebih baik dan terbuka. Kemampuan untuk menganalisis dan memprediksi adalah tindakan yang dilakukan mahasiswa Malaysia untuk sadar dan bersedia dalam menganalisis dan memperkirakan karakteristik lingkungan budaya baru yang ada di sekitar mereka. Hal ini dilakukan agar mereka dapat memahami dengan lebih baik karakteristik lingkungan budaya dan karakteristik pribadi orang-orang yang ada di sekitar mereka. Kemampuan ini dapat membantu mahasiswa Malaysia meningkatkan keterampilan mereka dalam mempelajari dan memahami karakteristik budaya yang baru yang mereka tempati sekarang. 17 1.8 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus deskriptif sebagai cara pandang peneliti dalam menganalisis kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa Malaysia di USU. Data kualitatif menyediakan kedalaman yang terperinci melalui pengutipan secara langsung dan deskripsi yang teliti mengenai kejadian, orang, interaksi, dan perilaku yang diamati (Patton, 2009: 5-6). Studi kasus menjadi berguna terutama ketika peneliti ingin melihat dan memahami suatu masalah atau situasi tertentu dengan komprehensif, dan tentunya dengan dukungan yang cukup besar dari beberapa argumen dan fenomena yang nyata. Penelitian studi kasus umumnya bernilai karena mampu menelisik perbedaan individu atau variasi unik dari suatu latar permasalahan (Patton, 2009: 23-24). Dalam hal ini, peneliti menelisik permasalahan kompetensi komunikasi antarbudaya berlandaskan pada fenomena-fenomena nyata serta dukungan dari penelitianpenelitian sebelumnya. Fenomena yang peneliti temukan di lapangan, tidak sedikit mahasiswa Malaysia yang masih saja merasa bingung dengan karakteristik budaya baru mereka, sehingga tidak sedikit pula dari mereka yang cenderung memilih untuk berbaur dan berkelompok dengan sesama mereka mahasiswa Malaysia. Di sisi lain, peneliti juga kerap kali melihat secara langsung mahasiswa-mahasiswa Malaysia yang memiliki kedekatan personal cukup baik dengan mahasiswa Indonesia. Keadaan ini dapat dilihat dari kebersamaan mereka pada saat ikut merayakan ulang tahun mahasiswa Indonesia, maupun pada saat pergi keluar bersama, seperti makan bersama ataupun mengerjakan tugas perkuliahan bersama. Fenomena di atas menjelaskan bahwasanya mahasiswa Malaysia memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya yang bervariatif, apalagi mereka berasal dari latar belakang etnis yang berbeda pula, yakni etnis Melayu, Tionghoa, dan India. Belum lagi peneliti sampai saat ini belum menemukan penelitian yang membahas kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa Malaysia yang berkuliah di USU, karena penelitian sebelumnya lebih berfokus pada gegar budaya dan bentuk-bentuk 18 adaptasi yang mereka lakukan di USU. Atas dasar itu pula kasus ini memiliki ketertarikan sendiri untuk diteliti lebih jauh. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik yang bermakna dari perstiwa-peristiwa kehidupan nyata, seperti siklus kehidupan seseorang, perubahan lingkungan sosial, hingga proses-proses organisasional (Yin, 2006: 4). Dalam perkembangannya, fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan kajiannya pada individu dan kelompok. 1.8.1 Informan Penelitian: Dalam membahas dan menjawab pertanyaan pada penelitian ini, peneliti dibantu oleh sepuluh informan yang diyakini dapat memberikan data-data dalam menjawab pertanyaan penelitian. Sepuluh informan tersebut dibagi kepada enam informan mahasiswa Malaysia, tiga informan mahasiswa Indonesia, dan satu informan dari dosen USU. Enam informan mahasiswa Malaysia merupakan angkatan 2012/2013, dan telah mewakili mahasiswa Malaysia dari ketiga etnis yang ada. Penentuan mahasiswa Malaysia angkatan 2012/2013 sebagai informan penelitian dikarenakan keberadaan mereka yang sudah cukup lama di lingkungan USU, yakni lebih dari dua tahun, sehingga dapat dilihat strategi yang mereka lakukan dalam merefleksikan kemampuan atau kompetensi komunikasi antarbudaya yang mereka miliki hingga saat ini. Pemilihan keenam informan ini juga didasari pada kesediaan mereka untuk diwawancara dan dihubungi lebih lanjut oleh peneliti apabila dibutuhkan informasi atau data tambahan. Hal ini terkait dengan kesediaan mahasiswa asing yang tidak seluruhnya bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancara. Keenam informan ini juga telah memberikan data-data yang maksimal dalam menggambarkan kompetensi komunikasi antarbudaya yang mereka miliki. Selain itu, data yang diperoleh melalui keenam informan mahasiswa Malaysia juga didukung dan diperkaya oleh temuan-temuan yang diperoleh melalui ketiga informan mahasiswa Indonesia serta satu orang informan dari dosen USU. Ketiga informan 19 mahasiswa Indonesia pada penelitian ini memiliki kedakatan personal yang baik dengan peneliti, sehingga memudahkan peneliti dalam memperoleh informasi atau data tambahan yang diperlukan dalam berlangsungnya proses penelitian. Selain itu, ketiga informan mahasiswa Indonesia ini juga berada pada satu stambuk dengan keenam informan mahasiswa Malaysia, yakni angkatan 2012/2013. Adapun informan yang dipilih pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.8.1.1 Mahasiswa Malaysia 1. Nama : Putri Qistina Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Suku : Melayu/Malaysia Usia : 22 Tahun Daerah Asal Di Malaysia : Selangor Fakultas : Fakultas Kedokteran Gigi Stambuk/Angkatan : 2012/2013 2. Nama : Syaza Nor Amaliena Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Suku : Melayu/Malaysia Usia : 23 Tahun Daerah Asal Di Malaysia : Subang Fakultas : Fakultas Kedokteran Gigi Stambuk/Angkatan : 2012/2013 3. Nama : Khoo Lee Lee Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Budha 20 Suku : Tionghoa/Malaysia Usia : 24 Tahun Daerah Asal Di Malaysia : Johor Fakultas : Fakultas Kedokteran Stambuk/Angkatan : 2012/2013 4. Nama : Joey Wong Joe Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Budha Suku : Tionghoa/Malaysia Usia : 21 Tahun Daerah Asal Di Malaysia : Selangor Fakultas : Fakultas Kedokteran Gigi Stambuk/Angkatan : 2012/2013 5. Nama : Arswini Periyasamy Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Hindu Suku : India/Malaysia Usia : 23 Tahun Daerah Asal Di Malaysia : Perak Fakultas : Fakultas Kedokteran Stambuk/Angkatan : 2012/2013 6. Nama : Kanmeni Arumugham Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Budha Suku : India/Malaysia Usia : 22 Tahun 21 Daerah Asal Di Malaysia : Kuala Lumpur Fakultas : Fakultas Kedokteran Gigi Stambuk/Angkatan : 2012/2013 1.8.1.2 Mahasiswa Indonesia 1. Nama : Haizil Fuadi Nasution Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Suku : Batak/Indonesia Fakultas : Fakultas Kedokteran Stambuk/Angkatan : 2012/2013 2. Nama : Fawzia Rachmi Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Suku : Aceh/Indonesia Fakultas : Fakultas Kedokteran Gigi Stambuk/Angkatan : 2012/2013 3. Nama : Jesslyn Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Suku : Tionghoa/Indonesia Fakultas : Fakultas Kedokteran Gigi Stambuk/Angkatan : 2012/2013 1.8.1.3 Dosen 1. Nama Jenis Kelamin : Sumadhi : Laki-laki 22 1.8.2 Agama : Islam Suku : Jawa/Indonesia Fakultas : Fakultas Kedokteran Gigi Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, seperti melalui wawancara langsung dengan informan (mahasiswa Malaysia), serta melalui draft pertanyaan yang diberikan dan diisi langsung oleh informan (mahasiswa Indonesia dan Dosen). Pada tahap wawancara, peneliti menggunakan beberapa alat bantu yang mendukung berlangsungnya proses penelitian, seperti smartphone. Hal ini dilakukan agar peneliti lebih rileks dan berkonsentrasi pada perkataan informan selama proses wawancara berlangsung. Wawancara ini dilakukan selama bulan Agustus – September 2015, dengan rincian sebagai berikut; 1. Joey Wong Joe : 25 Agustus 2015 2. Putri Qistina : 31 Agustus 2015 3. Syaza Nor Amaliena : 1 September 2015 4. Khoo Lee Lee : 3 September 2015 5. Kanmeni Arumagham : 5 September 2015 6. Arswini Periyasamy : 11 September 2015. Dalam proses wawancara, peneliti melakukannya pada tempat yang berbedabeda, tergantung kehendak informan. Proses wawancara dengan Joey Wong Joe dilakukan di rumah kontrakannya sekitar pukul 20:30 WIB. Wawancara dengan Putri Qistina dilakukan di kos tempat dia tinggal sekitar pukul 16:30 WIB. Wawancara dengan Syaza Nor Amaliena dilakukan di kos tempat dia tinggal sekitar pukul 16:00 WIB. Wawancara dengan Khoo Lee Lee dilakukan di kantin Fakultas Kedokteran USU sekitar pukul 12:00 WIB. Wawancara dengan Kanmeni Arumagham dilakukan di kos tempat dia tinggal sekitar pukul 10:30 WIB. Terakhir wawancara dengan Arswini Periyasamy dilakukan di kantin Fakultas Kedokteran USU sekitar pukul 23 12:00 WIB. Selama proses wawancara berlangsung, peneliti dibantu dan ditemani oleh dua orang mahasiswa Indonesia, keduanya berasal dari dua Fakultas yang berbeda, yakni Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi. Hal ini dilakukan agar dapat menjembatani (memperkenalkan) peneliti dengan informan-informan Malaysia yang notabene adalah teman kuliah mereka. Sementara itu, pemberian draft pertanyaan digunakan untuk memperoleh datadata yang diharapkan dapat memperkaya temuan-temuan riset. Data ini diperoleh melalui mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang selama ini telah berinteraksi dan melakukan kontak secara langsung dengan mahasiswa Malaysia. Dalam memperoleh data tersebut, peneliti menggunakan electronic mail (E-mail). E-mail digunakan sebagai medium dalam memberikan serta menerima kembali draft pertanyaan yang telah dijawab oleh informan. E-mail ini juga digunakan apabila peneliti membutuhkan data-data tambahan, sehingga dapat membantu peneliti apabila peneliti sedang tidak berada di Medan, atau informan yang terkait tidak berada di Indonesia. Pemberian dan pengembalian draft pertanyaan dilakukan selama bulan Desember 2015 – Januari 2016, dengan rincian sebagai berikut: 1. Jesslyn : Diberikan 7 Desember 2015, dikembalikan 7 Desember 2015 2. Fawzia Rachmi :Diberikan 14 November 2015, dikembalikan 5 Desember 2015 3. Haizil Fuadi : Diberikan 14 November 2015, dikembalikan 16 Januari 2016 4. Dosen : Diberikan 5 Januari 2016, dikembalikan 12 Januari 2016. Secara umum, peneliti tidak terlalu banyak menemui kesukaran dalam proses pengumpulan data, dikarenakan kemampuan mereka yang sudah cukup memadai dalam memahami setiap perkataan dan pertanyaan yang peneliti ajukan. Informaninforman Malaysia juga amat terbuka selama proses wawancara berlangsung. Kendala umumnya hanya terletak pada penentuan waktu wawancara yang kerap kali terbentur oleh aktivitas mereka, apakah itu perkuliahan atau urusan pribadi lainnya. 24 Teknik berikutnya adalah Studi pustaka (library research). Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan berbagai sumber bacaan yang relevan, termasuk di dalamnya teori-teori komunikasi antarbudaya maupun temuan-temuan penelitian sebelumnya yang dapat mendukung serta memperkaya riset. Hal ini dilakukan agar temuan-temuan yang diperoleh peneliti di lapangan dapat dielaborasi dengan teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. 1.8.3 Teknik Analisis Data Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan perangkat metode studi kasus. Selanjutnya, analisis data yang digunakan pada penelitian ini ialah: 1. Reduksi data, dalam hal ini data masih bersifat tumpang tindih, sehingga perlu direduksi dan dirangkum. Proses tersebut secara rinci dipaparkan dalam langkah-langkah berikut ini: Langkah 1: Menulis hasil wawancara (transkrip wawancara) dan mengumpulkan, serta merangkum draft pertanyaan yang telah diisikan dan dikembalikan oleh informan. Langkah ini merupakan proses pengumpulan semua data atau informasi yang diperoleh dari informan penelitian, baik dari mahasiswa Malaysia, mahasiswa Indonesia dan dosen. Langkah 2: Menyusun data kasus. Langkah ini adalah kondensasi data mentah kasus ke dalam beberapa bagian yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat, sehingga dapat memudahkan peneliti dalam mengelolah dan menganalisis data dengan lebih spesifik. Langkah 3: Menulis kajian kasus secara naratif; pada langkah ini data-data yang telah diperoleh, diolah, serta dianalisis oleh peneliti dapat dibaca dengan mudah oleh pembaca. Pada langkah ini, kajian kasus disajikan secara komprehensif mengenai permasalahan yang diangkat. 25 2. Menarik kesimpulan, yakni proses untuk penarikan kesimpulan dari ulasan data yang telah direduksi dan disajikan untuk menuju pada kesimpulan akhir yang mampu menjawab, dan menerangkan permasalahan penelitian. 26