BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya pada praktiknya bukanlah
persoalan yang sederhana kita harus memproses dan memahami pesan dengan
strategi tertentu sehingga pesan-pesan tersebut dapat diterima dan direspon dengan
baik pula oleh orang lain yang berinteraksi dengan kita. Untuk mewujudkan
komunikasi yang baik dan efektif dengan latar belakang budaya yang berbeda, tidak
sesulit yang kita bayangkan dan tidak semudah anggapan banyak orang. Untuk
berhubungan serta berkomunikasi dalam budaya yang berbeda, banyak hal yang harus
diperhatikan dan banyak juga kemungkinan terjadinya kesalahpahaman di dalamnya.
Dalam berkomunikasi antarbudaya yang ideal kita berharap banyak persamaan dalam
pengalaman dan persepsi budaya, tetapi karakter budaya berkecenderungan
memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang berbeda.
Ketika individu memasuki suatu hubungan sosial, mereka berkecenderungan
merasa asing dengan lingkungan budaya baru (new culture) yang ada, sehingga
mereka dituntut untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri (dalam Bahfriarti, 2012:
92). Keadaan ini dapat dilihat melalui fenomena interaksi antarbudaya pelajar-pelajar
asing yang berkuliah di Indonesia, salah satunya pelajar-pelajar Belanda yang
menempuh program double degree di Universitas Kristen Petra (UK Petra) Surabaya.
Dalam melakukan interaksi antarbudaya, pelajar Belanda ini menyesuaikan diri
dengan cara mempelajari bahasa Indonesia dan mengamati berbagai keadaan, serta
kebiasaan yang ada di lingkungan budaya sekitar mereka. Hal ini juga mereka
lakukan dalam rangka meminimalisir kesalahpahaman dalam berlangsungnya
komunikasi antarbudaya, serta lebih toleransi terhadap perbedaan budaya yang ada
(Wijaya, 2013: 8). Dorongan pelajar asing untuk menjalin komunikasi dan hubungan
yang positif dengan pelajar Indonesia juga diperlihatkan oleh peserta Indonesia-
1
Poland Cross Cultural Program (IPCCP). Pelajar-pelajar Polandia ini menunjukan
minat yang besar untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan yang sinergis dengan
pelajar Indonesia melalui keinginan mereka dalam mempelajari budaya yang ada.
Mereka juga menyadari perbedaan budaya yang ada di sekitar mereka, sehingga
menghormati dan menghargai perbedaan tersebut (Mas’udah, 2014: 173).
Selain itu, faktor yang cenderung terjadi pada tahap awal dalam benak dan
pikiran pelajar asing yang memasuki lingkungan budaya baru adalah timbulnya
pemikiran yang bersifat stereotipe, prasangka (prejudise), munculnya ketidakpastiaan
(uncertainty), kecemasan (anxiety), atau merasa adanya sikap diskriminasi (racism)
dari budaya baru terhadap dirinya (Samovar, et al, 2007: 316). Hal ini pada akhirnya
membuat mereka mencari tahu pola karakteristik dari budaya baru, bahasa, adat
istiadat, makanan serta makna-makna simbol yang digunakan oleh budaya tersebut.
Keadaan tersebut tercermin dari penelitian yang dilakukan oleh Bahfiarti (2012) pada
mahasiswa-mahasiswa
Malaysia
di
Makasar.
Hasil
penelitian
tersebut
mengungkapkan jika persamaan akar budaya melayu dan tipografi wilayah yang
sama ternyata tetap memunculkan perasaan gegar budaya. Perbedaan latar belakang
budaya
pada
kenyataannya
memunculkan
ketidakpastian
(uncertainty)
dan
kecemasan (anxiety) dalam diri mahasiswa Malaysia sebagai pendatang di Kota
Makassar (Bahfiarti, 2012: 97).
Mahasiswa asal Malaysia yang menempuh perkuliahan di Universitas
Sumatera Utara (USU) merupakan salah satu contoh dari kasus memasuki suatu
lingkungan budaya baru. USU merupakan universitas di Kota Medan dengan jumlah
mahasiswa asing (Malaysia) terbanyak. Mahasiswa Malaysia ini secara mayoritas
tersebar di dua fakultas, yakni Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran
Gigi (FKG) (Aje, 2011). Melalui data yang peneliti peroleh, mulai tahun 2010-2014
terdapat 760 mahasiswa Malaysia yang sedang dan telah melanjutkan studi pada
kedua fakultas tersebut, dengan porsi masing-masing sebanyak 517 orang pada
Fakultas Kedokteran dan 243 orang pada Fakultas Kedokteran Gigi. Dengan jumlah
2
ini setidaknya dapat dipahami adanya ketertarikan pelajar-pelajar Malaysia yang
cukup besar untuk menempuh pendidikan di Indonesia, khususnya di USU.
Tabel 1: Data jumlah mahasiswa Malaysia di USU
NO
Fakultas
2010
2011
2012
2013
2014
1
Fakultas Kedoteran
127
140
111
98
41
2
Fakultas Kedoteran Gigi
21
67
54
61
40
Sumber: Bagian akademik Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU
Selain itu, Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi
destinasi utama bagi mahasiswa Malaysia untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Penasihat pelajar Malaysia, Encik Burhanuddin Idjab (1993) menyebutkan bahwa
Indonesia, khususnya kota Medan merupakan salah satu kota yang menjadi tujuan
utama bagi mahasiswa Malaysia untuk melanjutkan pendidikan mereka. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor seperti, biaya pendidikan dan biaya hidup rendah,
bahasa yang hampir sama, pergaulan sesuai, jarak Medan dengan Malaysia dekat,
serta adanya infrastruktur komunikasi yang mendukung (Idjab, dalam Amir, 1993).
Ketertarikan peneliti untuk meneliti mahasiswa Malaysia yang berada di USU juga
dikarenakan pengalaman dan pengamatan yang telah peneliti alami selama beberapa
tahun menjadi salah satu mahasiswa USU (Program strata 1). Selain berkuliah di
departemen ilmu komunikasi, peneliti tak jarang juga berinteraksi dengan temanteman di fakultas lain, seperti FK dan FKG. Berawal dari intensitas interaksi ini pula
peneliti banyak mengamati dan menemukan fakta-fakta menarik yang berlangsung
dalam proses interaksi antara mahasiswa Malaysia dan Indonesia.
Dalam konteks ini, mahasiswa Malaysia adalah sojourner yang pergi
meninggalkan negara asal mereka untuk suatu tujuan, yakni menuntut pendidikan.
Dengan latar belakang budaya yang sudah begitu melekat pada diri mereka,
kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan baru dengan variasi latar belakang
budaya yang tentunya berbeda, membuat mereka menjadi layaknya orang asing di
3
lingkungan itu. Ketika untuk pertama kalinya memasuki lingkungan budaya baru,
setiap individu cenderung memiliki perasaan cemas, ragu, bahkan stress terhadap
karakteristik lingkungan budaya yang ia datangi. Perasaan tersebut diyakini dapat
menghambat penyesuaian diri serta kemampuan individu dalam menjalin hubungan
dengan lingkungan budaya yang ada (Oberg, dalam Pyvis & Chapman, 2005: 23).
Demikian pula halnya dengan mahasiswa-mahasiswa asal Malaysia ini, dari 56
mahasiswa Malaysia Semester I Fakultas Kedokteran Gigi USU, sebanyak 26.8%
atau 15 orang mengalami stres rendah, 67.9% atau 38 orang mengalami stres sedang
dan 5.4% atau 3 orang mengalami stres tinggi (Hussain & Irfah, 2014). Akibat
perasaan tersebut, tidak sedikit dari mahasiswa Malaysia yang pada akhirnya
memiliki kecenderungan untuk bersifat lebih tertutup, dengan mempertahankan
identitas budaya mereka, seperti perasaan stereotipe, prasangka (Prejudice), sikap
etnosentrisme, rasa kepemilikan, serta evaluasi positif pada kelompok etnis mereka
(Arifah Armi Lubis; 2010, Samovar; 2010).
Selain merasa stress terhadap karakteristik lingkungan budaya yang ada,
mahasiswa-mahasiswa Malaysia tak jarang juga mengalami beberapa hambatan
ketika hendak berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia. Perasaan tersebut seperti;
perbedaan gaya bahasa, dialek, serta intonasi yang ada pada mahasiswa lokal. Selain
itu, perbedaan budaya juga terjadi pada proses belajar mengajar, makanan, hingga
keteraturan lalu lintas yang ada di Medan. Terkait proses belajar mengajar,
mahasiswa Malaysia menyebutkan bahwasanya hal tersebut terjadi karena
penggunaan bahasa Indonesia oleh para dosen ketika menyampaikan materi
perkuliahan. Kenyataan tersebut amat berbeda ketika mereka menempuh pendidikan
di negara asal mereka (Malaysia), dimana staf pengajar atau dosen menggunakan
bahasa Inggris dan Melayu sebagai bahasa utama dalam proses belajar mengajar1. Hal
ini pula yang menyebabkan banyak mahasiswa Malaysia pada awal perkuliahan
(khususnya semester 1) cenderung bersikap apatis terhadap proses perkuliahan yang
berlangsung di kelas. Mereka lebih memilih untuk membahas materi yang
1
Argument di atas diperoleh melalui wawancara peneliti dengan salah seorang mahasiswa Malaysia
(pra penelitian).
4
disampaikan dosen di kos masing-masing dengan menggunakan slide atau modul
yang diberikan dosen pengampuh mata kuliah. Seperti yang dikatakan oleh salah
seorang mahasiswa Indonesia di FKG bahwa;
Beberapa mahasiswa Malaysia sepertinya terlihat malas untuk belajar,
bagaimana tidak, saya pernah melihat di antara mereka banyak yang
bermain handphone dan bahkan tidur di kelas pada saat proses belajarmengajar sedang berlangsung2
Senada dengan pernyataan di atas, seorang mahasiswa Malaysia menyebutkan
pada awal proses perkuliahan mereka menganggap bahwa tidak sedikit mahasiswa
Indonesia yang terlihat menghindar dari mereka. Hal ini salah satunya dapat dilihat
ketika dosen mengarahkan seluruh mahasiswa untuk membentuk kelompok dalam
mengerjakan tugas belajar, dan kami (mahasiswa Malaysia) cenderung tidak dipilih
oleh mahasiswa Indonesia untuk bergabung pada satu kelompok yang sama. Mungkin
mereka beranggapan bahwa mahasiswa Malaysia kebanyakan main-mainnya
ketimbang belajar, dan tidak terlalu pintar dibandingkan mereka. Selain itu, jika
mahasiswa Malaysia ikut bergabung satu kelompok dengan mahasiswa-mahasiswa
Indonesia, mahasiswa Malaysia tidak banyak dilibatkan dalam proses pengerjaan
tugas tersebut3.
Perbedaan budaya kerap menyulitkan mahasiswa Malaysia untuk berinteraksi
dan menjalin hubungan dekat dengan mahasiswa lokal karena telah terbiasa dengan
hal-hal yang ada di lingkungan budaya mereka sebelumnya. Meskipun secara
geografis Indonesia dan Malaysia berada dalam satu rumpun, tetapi tetap perlu
dipahami bahwa perbedaan-perbedaan budaya tersebut pasti ada. Hal ini dapat dilihat
dari intensitas konflik yang terjadi di antara kedua negara, sehingga dapat
menegaskan bahwa pada dasarnya kesatuan di antara kedua negara tersebut
seutuhnya belum ada.
2
Data diperoleh peneliti pada saat pra penelitian, tepatnya ketika penyelesaian tugas akhir mata kuliah
Komunikasi Antar Budaya pada semester II tahun ajaran 2014-2015.
3
Data diperoleh peneliti pada saat pra penelitian, tepatnya ketika penyelesaian tugas akhir mata kuliah
Komunikasi Antar Budaya pada semester II tahun ajaran 2014-2015.
5
Perbedaan budaya menyebabkan individu sulit menyesuaikan diri, sehingga
dapat menghambat kompetensi komunikasi antarbudaya individu tersebut. Demikian
halnya dengan mahasiswa asal Malaysia ini. Emma Violita Pinem (2011)
menyebutkan bahwa tidak sedikit informan dalam penelitiannya (mahasiswa
Malaysia) yang mengalami beberapa masalah adaptasi dengan lingkungan budaya
yang ada di Medan, khususnya USU. Keadaan tersebut seperti merasa diperlakukan
berbeda dalam berinteraksi dengan penduduk lokal, tidak menguasai bahasa
Indonesia dengan baik, dan kurang nyaman dengan perbedaan budaya yang ada.
Perbedaan budaya kerap kali menghambat berlangsungnya proses komunikasi
yang efektif di antara orang asing (strangers) dengan masyarakat lokal (in-group).
Terhambatnya komunikasi efektif tersebut terjadi akibat adanya perbedaan dalam
perilaku komunikasi yang pada akhirnya dapat menimbulkan perbedaan persepsi.
Melalui serangkaian proses penyesuaian diri yang baik, interaksi antarbudaya yang
positif di antara individu yang berbeda latar belakang budaya dapat tercipta. Keadaan
seperti ini menuntut individu untuk berperan aktif dalam memahami berbagai
informasi mengenai lingkungan budaya baru agar dapat melakukan interaksi
antarbudaya dengan lebih baik, sehingga dapat menghasilkan komunikasi yang
efektif dengan lingkungan budaya baru tersebut (Gudykunst & Mody, 2002: 43).
Tetapi yang perlu diingat adalah seberapa baiknya interaksi tersebut amat
bergantung pada motivasi dan kemauan masing-masing individu dalam menyikapi,
memahami, memproses, serta merespon setiap rangsangan komunikasi yang diterima
dari lingkungan barunya (Gundykunst & Kim, 2003: 276-292). Jika individu mampu
melakukan hal tersebut dengan baik, maka secara tidak langsung akan menghasilkan
pemahaman kognitif yang mengarah pada kompetensi komunikasi antarbudaya. Hal
demikian terjadi karena telah terciptanya komunikasi yang positif dengan lingkungan
budaya baru (Deardorff, 2006: 256). Jika ingin memperoleh kompetensi komunikasi
antarbudaya, mahasiswa asing membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Hal ini
dikarenakan perlunya komunikasi antarbudaya yang baik pada mahasiswa asing,
6
seperti kesadaran dan keinginan untuk mengetahui, mempelajari, memahami, serta
menyikapi setiap fenomena interaksi budaya yang ada (Covert, 2014: 175).
Ulasan di atas memberikan gambaran umum bahwasanya mahasiswa asing,
yang dalam konteks ini adalah mahasiswa Malaysia dituntut untuk melakukan
penyesuaian diri. Hal ini dilakukan agar dapat menghilangkan perasaan dan
pemikiran negatif yang dapat menghambat mereka ketika hendak berinteraksi dengan
lingkungan budaya yang ada. Seperti yang diungkapkan oleh Kim, bahwa komunikasi
antarbudaya yang kompeten dapat tercipta apabila individu memiliki kemampuan
yang baik dalam mengelola faktor-faktor penghambatan komunikasi antarbudaya,
seperti karakteristik lingkungan budaya yang tidak familiar, serta pengalamanpengalaman lainnya yang dapat menyebabkan individu menjadi stres (Kim, dalam
Samovar et al, 2010: 384).
Sejauh ini, peneliti belum menemukan bagaimana kompetensi komunikasi
antarbudaya yang dimiliki oleh mahasiswa Malaysia, khususnya di lingkungan USU.
Secara konseptual, kompetensi komunikasi antarbudaya adalah kemampuan yang
secara efektif dan tepat mampu melaksanakan tindakan komunikasi dalam rangka
memperoleh respon yang positif dalam sebuah lingkungan budaya tertentu
(Wiemann, dalam Chen, 1998: 247). Dengan demikian, kompetensi komunikasi
antarbudaya adalah kemampuan individu dalam mengelola setiap perbedaan budaya
yang ada, agar menghasilkan interaksi antarbudaya yang efektif dengan lingkungan
budaya baru. Dari definisi tersebut dapat dipahami pula bahwa kompetensi
komunikasi antarbudaya memegang peranan yang cukup krusial bagi setiap individu
ketika memasuki lingkungan budaya yang ada di sekitar mereka, dalam rangka
menjalin komunikasi dan berbaur dengan lingkungan sekitarnya. Berangkat dari
konsep ini, tidak berlebihan apabila peneliti menganggap kompetensi komunikasi
antarbudaya memiliki ketertarikan sendiri untuk dikaji dan diteliti lebih jauh.
Ketertarikan peneliti ini juga didorong oleh penelitian-penelitian sebelumnya
yang telah banyak mengupas fenomena interaksi antarbudaya mahasiswa Malaysia di
lingkungan USU, seperti fenomena gegar budaya. Penelitian sebelumnya lebih
7
berfokus pada bentuk-bentuk gegar budaya yang dialami oleh mahasiswa Malaysia
selama menjalani proses perkuliahan di USU. Sejauh ini peneliti belum menemukan
bagaimana gambaran kompetensi komunikasi antarbudaya yang mereka miliki
setelah mereka menetap dalam kurun waktu yang cukup lama (dua tahun) di
lingkungan Medan, khususnya USU. Mengingat dalam waktu tersebut intensitas
kontak antarbudaya yang berlangsung di antara mereka (mahasiswa Malaysia) dan
masyarakat lokal (mahasiswa Indonesia) sudah terjalin. Selain itu, penelitian
sebelumnya juga lebih berfokus pada mahasiswa Malaysia secara umum, meskipun
pada kenyataannya terdapat tiga etnis mahasiswa Malaysia yang berkuliah di USU,
yakni etnis Melayu, Tionghoa dan India. Peneliti belum menemukan penjelasan yang
komprehensif di antara ketiga etnis keturunan Malaysia tersebut, terkait kompetensi
komunikasi antarbudaya yang mereka miliki. Peneliti memiliki asumsi bahwa ketiga
etnis tersebut memilki pengalaman dan penafsiran yang berbeda ketika melakukan
interaksi antarbudaya, yang pada akhirnya memberikan gambaran terhadap
kompetensi komunikasi antarbudaya yang mereka miliki. Asumsi itu tentunya
didukung oleh pengamatan yang sebelumnya telah peneliti lakukan pada ketiga etnis
mahasiswa Malaysia tersebut ketika berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia.
Berdasarkan pengamatan peneliti pada ketiga etnis tersebut, mahasiswa
Malaysia etnis Melayu secara garis besar memiliki kedekatan personal yang lebih
baik dengan mahasiswa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan mahasiswa
Malaysia dan mahasiswa Indonesia yang telah menetap bersama pada satu rumah,
dan intensitas mereka bertemu, seperti melaksanakan agenda belajar dan makan
bersama. Di sisi lain, mahasiswa Malaysia etnis Tamil dan Tionghoa masih memiliki
keengganan untuk menjalin hubungan, karena tidak banyak dari mereka yang
menunjukan keterbukaannya dengan mahasiswa Indonesia.
Perbedaan lainnya yang mewarnai ketiga etnis ini juga terletak pada
perbedaan kultural yang mereka pegang. Suku melayu merupakan suku asli Malaysia
dan biasanya menggunakan bahasa Melayu dan Inggris ketika berinteraksi. Mayoritas
mahasiswa etnis melayu tersebut memeluk agama Islam, sehingga mereka diharapkan
8
untuk memakai baju kurung (tertutup) dan kerudung yang berhubungan dengan
Muslim. Masyarakat Malaysia etnis Melayu sangat menekankan pada perilaku yang
baik, toleransi, dan kekeluargaan (Tsui, dalam Sihite, 2012).
Mahasiswa Malaysia etnis India lebih menggunakan bahasa Tamil dan Inggris
dalam pergaulan mereka sehari-hari. Penggunaan bahasa Tamil baik secara tulisan
dan lisan amat ditekankan untuk melestarikan kebudayaan mereka. Masyarakat India
amat menghargai hubungan keluarga, mempertahankan nilai-nial dan tradisi
kebudayaan mereka, serta terbuka dan sangat peduli dengan lingkungan (Verma,
dalam Frandawati, 2010). Namun, berdasarkan observasi yang sebelumnya telah
peneliti lakukan, sebagian besar mahasiswa India tersebut lebih menggunakan bahasa
Inggris ketika berinteraksi dengan mahasiswa Malaysia yang beretnis Melayu dan
Tionghoa, sedangkan penggunaan bahasa Tamil digunakan ketika mereka
berkomunikasi degan sesama mahasiswa yang beretnis India. Ketika berkomunikasi
dengan mahasiswa Indonesia, mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan
gabungan bahasa Inggris, khususnya apabila mereka menemukan istilah-istilah yang
kurang mereka pahami dalam bahasa Indonesia.
Mahasiswa Malaysia etnis Tionghoa biasanya menggunakan bahasa Hokkien,
Hakka, dan Kanton. Ketiga bahasa ini biasanya mereka gunakan dalam setting formal
atau informal. Dalam setting publik mahasiswa beretnis Tionghoa ini biasanya
menggunakan bahasa Mandarin. Sedangkan dalam pergaulan sehari-hari, mereka
pada umumnya menggunakan bahasa Mandarin atau Hokkien ketimbang bahasa
melayu. Norma sosial dalam masyarakat Tionghoa adalah hubungan keluarga,
komunitas dan kewirausahaan. Norma sosial yang menjunjung tinggi komunitas
membuat mereka dinilai lebih tertutup dibandingkan dengan kategori etnis lainnya di
Malaysia (Verma, dalam Frandawati, 2010). Berdasarkan pengamatan peneliti,
mahasiswa Malaysia etnis Tionghoa cenderung menggunakan bahasa Inggris ketika
berinteraksi dengan sesama mahasiswa Malaysia, khususnya mahasiswa etnis Melayu
dan India. Penggunaan bahasa Hokkien sendiri umumnya mereka gunakan ketika
berinteraksi dengan sesama etnis Tionghoa. Di sisi lain, bahasa Indonesia mereka
9
gunakan apabila berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia, meskipun tidak jarang
pula diselingi dengan bahasa Inggris apabila ada istilah yang kurang mereka pahami.
Pemaparan di atas menjelaskan, meskipun ketiga etnis mahasiswa tersebut
sama-sama berasal dari Malaysia, tidak berarti mereka memiliki kompetensi
komunikasi antarbudaya yang sama pula. Hal ini didasari pada kebiasaan dan latar
belakang kultural yang berbeda, seperti bahasa dan nilai-nilai sosial budaya yang
mereka pegang. Atas dasar itu pula, maka peneliti melihat permasalahan ini melalui
ketiga etnis mahasiswa Malaysia tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Secara umum, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
“Bagaimana Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Malaysia di
Universitas Sumatera Utara?” Namun secara khusus penelitian ini dibagi kepada
beberapa pertanyaan penelitian:
1
“Bagaimana
Kompetensi
Motivasi
Komunikasi
Antarbudaya
Mahasiswa
Malaysia Etnis Melayu, India, dan Tionghoa di Universitas Sumatera Utara?”
2
“Bagaimana Kompetensi Pengetahuan Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa
Malaysia Etnis Melayu, India, dan Tionghoa di Universitas Sumatera Utara?”
3
“Bagaimana Kompetensi Keterampilan Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa
Malaysia Etnis Melayu, India, dan Tionghoa di Universitas Sumatera Utara?”
1.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat
mengaburkan penelitian, maka peneliti merasa perlu untuk membuat pembatasan
masalah yang lebih spesifik dan jelas. Adapun yang menjadi pembatasan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini adalah penelitian studi kasus deskriptif kualitatif yang mengkaji
kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa Malaysia etnis Melayu,
Tionghoa, dan India.
2. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Malaysia yang melanjutkan studi atau
kuliah di USU. Subyek penelitian juga dibatasi kepada mahasiswa asal
10
Malaysia (Melayu, Tionghoa, dan India) yang telah berkuliah di USU
minimal dua tahun, yakni mahasiswa Malaysia angkatan 2012/2013.
Pembatasan ini dilakukan agar dapat dilihat tindakan-tindakan komunikasi
antarbudaya seperti apa saja yang selama ini telah mereka lakukan, sehingga
nantinya dapat dilihat kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa
Malaysia tersebut.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kompetensi komunikasi
antarbudaya yang dimiliki oleh masing-masing etnis mahasiswa Malaysia yang
berkuliah di USU, yakni etnis Melayu, India dan Tionghoa. Hal ini bertujuan agar
diperoleh pemahaman yang spesifik serta komprehensif dari ketiga etnis tersebut,
karena sejauh ini penelitian-penelitian sebelumnya lebih mengupas interaksi
antarbudaya mahasiswa Malaysia secara umum. Penelitian ini nantinya juga dapat
melihat apakah setelah dua tahun lebih berkuliah di USU, mahasiswa Malaysia dari
ketiga etnis ini telah memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya yang memadai,
atau malah sebaliknya.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Secara Teoretis, temuan-temuan empiris dari penelitian ini sekiranya menjadi
sumbangan
berharga
sekaligus
sebagai
pengkayaan
materi
dalam
pengembangan khazanah keilmuan komunikasi, khususnya komunikasi
antarbudaya.
2. Secara Praktis, penelitian ini sekiranya dapat dijadikan bahan rujukan atau
pedoman bagi mahasiswa Malaysia lainnya, khususnya bagi mereka yang baru
diterima menjadi mahasiswa USU untuk bersikap dan berperilaku dalam
rangka menciptakan interaksi yang positif dengan lingkungan budaya baru
mereka, khususnya dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia.
3. Terakhir, penelitian ini juga dapat dijadikan referensi bagi peneliti berikutnya
yang tertarik untuk meneliti kajian komunikasi antarbudaya, khususnya dalam
konteks kompetensi komunikasi antarbudaya.
11
1.6 Kerangka Pemikiran
Kegiatan berkomunikasi merupakan kegiatan yang sudah biasa dilakukan oleh
siapa saja, namun tidak banyak dari kita yang telah menguasai kompetensi
komunikasi. Seseorang yang kompeten dalam komunikasi antarbudaya dapat
dikategorikan sebagai orang yang mampu berkomunikasi secara efektif dan berhasil.
Kompetensi komunikasi antarbudaya menurut Wiemann (1977) adalah suatu
kemampuan yang secara efektif dan tepat mampu melaksanakan tindakan komunikasi
dalam rangka memperoleh respon yang positif dalam sebuah lingkungan budaya
(Wiemann, dalam Chen, 1990: 247). Sehingga kompetensi komunikasi antarbudaya
adalah sebuah konsep yang berfokus pada tindakan komunikasi efektif.
Strategi agar kompeten dalam melakukan interaksi antarbudaya adalah dengan
cara mencari dan memperoleh informasi budaya yang kita perlukan, serta sesuai
dengan lingkungan budaya yang akan dituju. Paige dan Goode menjelaskan bahwa
komunikasi antarbudaya dapat terjalin dengan efektif apabila individu yang akan
melakukan kontak antarbudaya dibekali atau difasilitasi dengan pembelajaranpembelajaran khusus mengenai karakteristik budaya yang akan ditempati (Paige dan
Goode, 2009: 334). Namun fenomena yang ditemui, tidak sedikit pula para
profesional atau mahasiswa-mahasiswa yang akan melakukan kontak antarbudaya
tidak diberikan pembelajaran budaya oleh pihak perguruan tinggi, sehingga banyak
mahasiswa yang pada akhirnya tidak memiliki pemahaman memadai mengenai
interaksi antarbudaya, khususnya mengenai lingkungan budaya yang hendak mereka
datangi. Root dan Ngampornchai (2012) juga mengungkapkan bahwa banyak
universitas atau program studi di berbagai negara yang mengabaikan pentingnya
pelatihan awal bagi setiap mahasiswa-mahasiswa baru yang akan menempuh
pendidikan di luar negara asal mereka (Root dan Ngampornchai, 2012: 515).
Berdasarkan temuan di atas dapat dipahami bahwa perkembangan kompetensi
komunikasi antarbudaya mahasiswa asing secara umum adalah sebuah proses yang
berlangsung secara individual, sehingga mahasiswa-mahasiswa asing memiliki
strategi tersendiri dalam menyikapi rangsangan komunikasi antarbudaya. Keadaan ini
12
pula yang pada akhirnya merefleksikan bahwasanya kompetensi komunikasi
antarbudaya yang dimiliki oleh mahasiswa asing berbeda-beda, tergantung bagaimana
strategi yang mereka tempuh dalam melakukan aktifitas antarbudaya. Kompetensi
komunikasi antarbudaya dapat membantu setiap orang yang melakukan kontak
antarbudaya agar memperoleh apa yang mereka inginkan dari lingkungan budaya.
Model kompetensi komunikasi antarbudaya tersebut diantaranya dipaparkan oleh
Gudykunst (2003), Deardorff (2006), dan Samovar (2010).
Gudykunst
(2003)
menyebutkan
terdapat
tiga
komponen
mendasar
kompetensi komunikasi antarbudaya, yakni: motivasi komunikasi antarbudaya,
pengetahuan komunikasi antarbudaya, dan keterampilan komunikasi antarbudaya.
Motivasi dipahami sebagai keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif
dengan individu lain. Motivasi dibagi menjadi; kebutuhan, konsep diri, serta
keterbukaan. Komponen pengetahuan dibagi menjadi pengetahuan mengenai
bagaimana mengumpulkan informasi, pengetahuan tentang perbedaan dan kesamaan
pribadi, serta pengetahuan terhadap aturan dan norma yang berlaku. Sementara
komponen keterampilan dimulai dari keterampilan untuk bertoleransi terhadap
perbedaan budaya, keterampilan untuk berempati, dan keterampilan untuk membuat
penjelasan dan prediksi yang akurat (Gundykunst & Kim, 2003: 278-292).
Deardorf (2006) dimulai pada tingkat sikap individu. Sikap yang dimaksud
adalah pada kapasitas individu dalam membedakan dan menghargai setiap perbedaan
budaya, dengan bersifat terbuka, serta mempunyai rasa ingin tahu pada lingkungan
budaya. Tingkatan berikutnya adalah kompetensi afektif. Pada tingkatan ini, individu
harus mempunyai pengetahuan mengenai karakteristik budaya dan mempunyai
kesadaran terhadap perbedaan budaya. Kompetensi afektif secara tidak langsung
menghasilkan pemahaman kognitif yang mengarah pada adaptasi dan empati. Proses
ini diyakini dapat meningkatkan kompetensi individu dalam melakukan komunikasi
antarbudaya yang positif (Deardorff, 2006: 256).
Samovar (2010), menyebutkan terdapat lima komponen kompetensi
komunikasi antarbudaya, yakni: Motivasi. Motivasi sendiri dibagi menjadi kebutuhan
13
dan keinginan untuk berbaur dengan lingkungan budaya. Pengetahuan, dibagi
menjadi harapan yang besar untuk memperoleh informasi, serta pengetahuan terhadap
nilai dan aturan yang ada. Keterampilan dibagi menjadi keterampilan untuk
menganalisis dan menginterpretasikan rangsangan komunikasi dari lingkungan
budaya. Sensitivitas, dibagi menjadi toleransi terhadap perbedaan dan rasa empati
dengan lingkungan budaya. Karakter, dibagi menjadi keterbukaan terhadap
lingkungan budaya dan memiliki kepercayaan yang baik (Samovar et al, 2010: 385386). Pada model ini, dua komponen kompetensi komunikasi (karakter dan
sensitivitas) merupakan komponen yang masing-masing elemennya sama dengan
komponen keterampilan dan motivasi pada model Gudykunst (2003) dan Deardorff
(2006). Seperti keterbukaan dan kepercayaan (karakter) yang terdapat pada elemen
motivasi dan sikap, serta empati dan toleransi (sensitivitas) pada keterampilan.
Jika dilihat dari ketiga model kompetensi komunikasi antarbudaya yang
digagas oleh Gudykunst (2003), Deardorff (2006) dan Samovar (2010) dapat dilihat
kesamaan di antara ketiganya. Ketiga model tersebut dalam menggambarkan
kompetensi komunikasi antarbudaya berfokus pada aspek motivasi, pengetahuan dan
keterampilan. Seperti yang diungkapkan oleh Spitzberg (1989) bahwa kompetensi
komunikasi antarbudaya pada setiap orang amat bergantung pada sikap dan motivasi
untuk berkomunikasi, pengetahuan tentang proses komunikatif, serta keterampilan
dalam melaksanakan motif dan pengetahuan (Spitzberg, 1989: 250).
Tabel 2: Komponen kompetensi komunikasi antarbudaya
NO
Gudykunst (2003)
Deardorf (2006)
Samovar (2010)
1
Motivasi
Motivasi/Sikap
Motivasi
2
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
3
Keterampilan
Keterampilan
Keterampilan
4
-
-
Sensitivitas
5
-
-
Karakter
Sumber: Diolah dari Gudykunst (2003), Deardorf (2006), Samovar (2010)
14
1.7 Model Penelitian
Kompetensi
A. Motivasi Komunikasi & Sikap
Komunikasi Antarbudaya
1
2
3
4
Kebutuhan dan keinginan yang dimiliki
mahasiswa Malaysia untuk berinteraksi
dan menjalin hubungan baik dengan
mahasiswa lokal.
Cara mahasiswa Malaysia menarik
perhatian dan minat mahasiswa lokal
berinteraksi dengan mereka (atraksi).
Keyakinan dan kepercayaan yang dimiliki
mahasiswa Malaysia untuk melakukan
komunikasi dan menjalin hubungan baik
dengan mahasiswa lokal.
Keterbukaan (ketersediaan) mahasiswa
Malaysia
menanggapi
rangsangan
komunikasi dari mahasuswa lokal.
Kompetensi Pengetahuan Komunikasi
Antarbudaya
1. Harapan positif mahasiswa Malaysia
dalam memperoleh pengetahuan budaya
baru.
2. Pengetahuan
mahasiswa
Malaysia
terhadap aturan dan nilai-nilai yang
berlaku pada lingkungan budaya.
3. Pengetahuan mahasiswa Malaysia dalam
memahami kesamaan dan perbedaan
budaya yang ada di lingkungan mereka
sebelumnya dan lingkungan mereka
sekarang
4. Berbagi informasi/pengetahuan dengan
mahasiswa lokal dalam meningkatkan
perasaan saling ketergantungan.
Kompetensi Keterampilan Komunikasi
Antarbudaya
1. Keterampilan mahasiswa Malaysia
dalam merasakan apa yang sedang
dirasakan oleh mahasiswa lokal
(empati).
2. Keterampilan mahasiswa Malaysia
dalam menghargai dan menjunjung
tinggi setiap perbedaan yang ada pada
lingkungan budaya (toleransi).
3. Keterampilan mahasiswa Malaysia
dalam menganalisis dan memprediksi
karakteristik lingkungan budaya.
Kompetensi Komunikasi
Antarbudaya Mahasiswa
Malaysia
Penilaian mahasiswa Indonesia
terhadap kompetensi
komunikasi mahasiswa Malaysia
Penilaian pengurus (dosen)
terhadap kompetensi
komunikasi mahasiswa Malaysia
15
Kebutuhan dan keinginan yang dimaksud dalam penelitian adalah
keadaan yang menggerakkan mahasiswa Malaysia dalam beraktifitas dan berusaha.
Dengan adanya keinginan untuk menjalin hubungan baik dengan lingkungan budaya
baru, individu akan berusaha sebaik mungkin untuk mencapai hal tersebut.
Atraksi adalah sikap yang dimiliki mahasiswa Malaysia dalam menarik
perhatian dan minat orang lain untuk berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia. Daya
tarik tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa
Malaysia ketika hendak berinteraksi.
Kepercayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu sikap yang
dapat mendorong mahasiswa Malaysia dalam melakukan interaksi antarbudaya. Jika
mereka memiliki keyakinan yang besar untuk berinteraksi, maka kepercayaan
muncul. Jika keyakinan tidak ada maka keraguan muncul pada diri mahasiswa
Malaysia, dan pada akhirnya menghambat kemampuan mereka dalam melakukan
interaksi antarbudaya.
Keterbukaan adalah kemauan dan ketersediaan mahasiswa Malaysia dalam
menanggapi dengan terbuka rangsangan komunikasi yang mereka terima, seperti
kesediaan untuk memulai komunikasi.
Harapan positif adalah bentuk kepercayaan dan upaya mahasiswa Malaysia
terhadap sesuatu hal positif yang ingin diperoleh. Harapan positif ini dapat membantu
mahasiswa Malaysia dalam memperoleh informasi yang sesuai dengan yang mereka
inginkan. Harapan positif menjadi pemicu bagi mereka untuk melakukan interaksi
antarbudaya dengan lebih baik.
Pengetahuan mengenai
aturan
dan nilai-nilai
budaya
adalah suatu
pengetahuan yang dimiliki mahasiswa Malaysia dalam memahami dan mengikuti
setiap aturan maupun nilai-nilai yang selama ini berlaku di lingkungan budaya
sekitar. Komunikasi yang efektif dapat tercipta apabila dalam melakukan interaksi
antarbudaya, setiap individu menjunjung tinggi dan menghargai kebudayan yang ada.
16
Pengetahuan tentang kesamaan dan perbedaan adalah suatu tindakan yang
dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan kesamaan budaya dan
perbedaan budaya yang ada pada diri mereka dan lingkungan budaya sekitar.
Kategori sosial ini pada akhirnya dapat membantu mereka untuk memahami
kesamaan dirinya dengan orang asing.
Berbagi informasi adalah tindakan yang dilakukan mahasiswa Malaysia dalam
memberikan informasi-informasi yang bermanfaat kepada mahasiswa lainnya.
Individu yang sering berbagi informasi mempunyai penilaian yang positif dari orang
lain, karena dianggap tidak bergantung pada orang lain dalam memperoleh informasi,
tetapi sebaliknya malah menjadi sumber informasi.
Empati adalah kemampuan yang dimiliki mahasiswa Malaysia dalam
mengidentifikasi dirinya memiliki perasaan atau pikiran yang sama dengan orang
lain. Kemampuan ini dipandang sebagai kunci dalam meningkatkan intensitas dan
kedalaman hubungan dengan orang lain.
Kemampuan dalam menghargai dan menjunjung tinggi setiap perbedaan
adalah suatu tindakan yang dilakukan mahasiswa Malaysia dalam menghargai dan
menjunjung tinggi setiap perbedaan yang terdapat di lingkungan budaya. Perbedaan
tersebut seperti, agama, ras, suku, bangsa, dan kategori lainnya. Apabila mahasiswa
Malaysia memiliki toleransi yang baik, maka mereka dapat diterima dengan lebih
baik dan terbuka.
Kemampuan untuk menganalisis dan memprediksi adalah tindakan yang
dilakukan mahasiswa Malaysia untuk sadar dan bersedia dalam menganalisis dan
memperkirakan karakteristik lingkungan budaya baru yang ada di sekitar mereka. Hal
ini dilakukan agar mereka dapat memahami dengan lebih baik karakteristik
lingkungan budaya dan karakteristik pribadi orang-orang yang ada di sekitar mereka.
Kemampuan ini dapat membantu mahasiswa Malaysia meningkatkan keterampilan
mereka dalam mempelajari dan memahami karakteristik budaya yang baru yang
mereka tempati sekarang.
17
1.8 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus
deskriptif sebagai cara pandang peneliti dalam menganalisis kompetensi komunikasi
antarbudaya mahasiswa Malaysia di USU. Data kualitatif menyediakan kedalaman
yang terperinci melalui pengutipan secara langsung dan deskripsi yang teliti
mengenai kejadian, orang, interaksi, dan perilaku yang diamati (Patton, 2009: 5-6).
Studi kasus menjadi berguna terutama ketika peneliti ingin melihat dan memahami
suatu masalah atau situasi tertentu dengan komprehensif, dan tentunya dengan
dukungan yang cukup besar dari beberapa argumen dan fenomena yang nyata.
Penelitian studi kasus umumnya bernilai karena mampu menelisik perbedaan
individu atau variasi unik dari suatu latar permasalahan (Patton, 2009: 23-24). Dalam
hal ini, peneliti menelisik permasalahan kompetensi komunikasi antarbudaya
berlandaskan pada fenomena-fenomena nyata serta dukungan dari penelitianpenelitian sebelumnya. Fenomena yang peneliti temukan di lapangan, tidak sedikit
mahasiswa Malaysia yang masih saja merasa bingung dengan karakteristik budaya
baru mereka, sehingga tidak sedikit pula dari mereka yang cenderung memilih untuk
berbaur dan berkelompok dengan sesama mereka mahasiswa Malaysia. Di sisi lain,
peneliti juga kerap kali melihat secara langsung mahasiswa-mahasiswa Malaysia
yang memiliki kedekatan personal cukup baik dengan mahasiswa Indonesia. Keadaan
ini dapat dilihat dari kebersamaan mereka pada saat ikut merayakan ulang tahun
mahasiswa Indonesia, maupun pada saat pergi keluar bersama, seperti makan
bersama ataupun mengerjakan tugas perkuliahan bersama.
Fenomena di atas menjelaskan bahwasanya mahasiswa Malaysia memiliki
kompetensi komunikasi antarbudaya yang bervariatif, apalagi mereka berasal dari
latar belakang etnis yang berbeda pula, yakni etnis Melayu, Tionghoa, dan India.
Belum lagi peneliti sampai saat ini belum menemukan penelitian yang membahas
kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa Malaysia yang berkuliah di USU,
karena penelitian sebelumnya lebih berfokus pada gegar budaya dan bentuk-bentuk
18
adaptasi yang mereka lakukan di USU. Atas dasar itu pula kasus ini memiliki
ketertarikan sendiri untuk diteliti lebih jauh. Studi kasus memungkinkan peneliti
untuk mempertahankan karakteristik holistik yang bermakna dari perstiwa-peristiwa
kehidupan nyata, seperti siklus kehidupan seseorang, perubahan lingkungan sosial,
hingga proses-proses organisasional (Yin, 2006: 4). Dalam perkembangannya, fokus
studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup
individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan. Dalam penelitian ini,
peneliti memfokuskan kajiannya pada individu dan kelompok.
1.8.1
Informan Penelitian:
Dalam membahas dan menjawab pertanyaan pada penelitian ini, peneliti
dibantu oleh sepuluh informan yang diyakini dapat memberikan data-data dalam
menjawab pertanyaan penelitian. Sepuluh informan tersebut dibagi kepada enam
informan mahasiswa Malaysia, tiga informan mahasiswa Indonesia, dan satu
informan dari dosen USU. Enam informan mahasiswa Malaysia merupakan angkatan
2012/2013, dan telah mewakili mahasiswa Malaysia dari ketiga etnis yang ada.
Penentuan mahasiswa Malaysia angkatan 2012/2013 sebagai informan penelitian
dikarenakan keberadaan mereka yang sudah cukup lama di lingkungan USU, yakni
lebih dari dua tahun, sehingga dapat dilihat strategi yang mereka lakukan dalam
merefleksikan kemampuan atau kompetensi komunikasi antarbudaya yang mereka
miliki hingga saat ini. Pemilihan keenam informan ini juga didasari pada kesediaan
mereka untuk diwawancara dan dihubungi lebih lanjut oleh peneliti apabila
dibutuhkan informasi atau data tambahan. Hal ini terkait dengan kesediaan
mahasiswa asing yang tidak seluruhnya bersedia meluangkan waktunya untuk
diwawancara. Keenam informan ini juga telah memberikan data-data yang maksimal
dalam menggambarkan kompetensi komunikasi antarbudaya yang mereka miliki.
Selain itu, data yang diperoleh melalui keenam informan mahasiswa Malaysia juga
didukung dan diperkaya oleh temuan-temuan yang diperoleh melalui ketiga informan
mahasiswa Indonesia serta satu orang informan dari dosen USU. Ketiga informan
19
mahasiswa Indonesia pada penelitian ini memiliki kedakatan personal yang baik
dengan peneliti, sehingga memudahkan peneliti dalam memperoleh informasi atau
data tambahan yang diperlukan dalam berlangsungnya proses penelitian. Selain itu,
ketiga informan mahasiswa Indonesia ini juga berada pada satu stambuk dengan
keenam informan mahasiswa Malaysia, yakni angkatan 2012/2013. Adapun informan
yang dipilih pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.8.1.1 Mahasiswa Malaysia
1. Nama
: Putri Qistina
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Suku
: Melayu/Malaysia
Usia
: 22 Tahun
Daerah Asal Di Malaysia
: Selangor
Fakultas
: Fakultas Kedokteran Gigi
Stambuk/Angkatan
: 2012/2013
2. Nama
: Syaza Nor Amaliena
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Suku
: Melayu/Malaysia
Usia
: 23 Tahun
Daerah Asal Di Malaysia
: Subang
Fakultas
: Fakultas Kedokteran Gigi
Stambuk/Angkatan
: 2012/2013
3. Nama
: Khoo Lee Lee
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Budha
20
Suku
: Tionghoa/Malaysia
Usia
: 24 Tahun
Daerah Asal Di Malaysia
: Johor
Fakultas
: Fakultas Kedokteran
Stambuk/Angkatan
: 2012/2013
4. Nama
: Joey Wong Joe
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Budha
Suku
: Tionghoa/Malaysia
Usia
: 21 Tahun
Daerah Asal Di Malaysia
: Selangor
Fakultas
: Fakultas Kedokteran Gigi
Stambuk/Angkatan
: 2012/2013
5. Nama
: Arswini Periyasamy
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Hindu
Suku
: India/Malaysia
Usia
: 23 Tahun
Daerah Asal Di Malaysia
: Perak
Fakultas
: Fakultas Kedokteran
Stambuk/Angkatan
: 2012/2013
6. Nama
: Kanmeni Arumugham
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Budha
Suku
: India/Malaysia
Usia
: 22 Tahun
21
Daerah Asal Di Malaysia
: Kuala Lumpur
Fakultas
: Fakultas Kedokteran Gigi
Stambuk/Angkatan
: 2012/2013
1.8.1.2 Mahasiswa Indonesia
1. Nama
: Haizil Fuadi Nasution
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Suku
: Batak/Indonesia
Fakultas
: Fakultas Kedokteran
Stambuk/Angkatan
: 2012/2013
2. Nama
: Fawzia Rachmi
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Suku
: Aceh/Indonesia
Fakultas
: Fakultas Kedokteran Gigi
Stambuk/Angkatan
: 2012/2013
3. Nama
: Jesslyn
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Suku
: Tionghoa/Indonesia
Fakultas
: Fakultas Kedokteran Gigi
Stambuk/Angkatan
: 2012/2013
1.8.1.3 Dosen
1. Nama
Jenis Kelamin
: Sumadhi
: Laki-laki
22
1.8.2
Agama
: Islam
Suku
: Jawa/Indonesia
Fakultas
: Fakultas Kedokteran Gigi
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, seperti melalui
wawancara langsung dengan informan (mahasiswa Malaysia), serta melalui draft
pertanyaan yang diberikan dan diisi langsung oleh informan (mahasiswa Indonesia
dan Dosen). Pada tahap wawancara, peneliti menggunakan beberapa alat bantu yang
mendukung berlangsungnya proses penelitian, seperti smartphone. Hal ini dilakukan
agar peneliti lebih rileks dan berkonsentrasi pada perkataan informan selama proses
wawancara berlangsung. Wawancara ini dilakukan selama bulan Agustus –
September 2015, dengan rincian sebagai berikut;
1. Joey Wong Joe
: 25 Agustus 2015
2. Putri Qistina
: 31 Agustus 2015
3. Syaza Nor Amaliena
: 1 September 2015
4. Khoo Lee Lee
: 3 September 2015
5. Kanmeni Arumagham
: 5 September 2015
6. Arswini Periyasamy
: 11 September 2015.
Dalam proses wawancara, peneliti melakukannya pada tempat yang berbedabeda, tergantung kehendak informan. Proses wawancara dengan Joey Wong Joe
dilakukan di rumah kontrakannya sekitar pukul 20:30 WIB. Wawancara dengan Putri
Qistina dilakukan di kos tempat dia tinggal sekitar pukul 16:30 WIB. Wawancara
dengan Syaza Nor Amaliena dilakukan di kos tempat dia tinggal sekitar pukul 16:00
WIB. Wawancara dengan Khoo Lee Lee dilakukan di kantin Fakultas Kedokteran
USU sekitar pukul 12:00 WIB. Wawancara dengan Kanmeni Arumagham dilakukan
di kos tempat dia tinggal sekitar pukul 10:30 WIB. Terakhir wawancara dengan
Arswini Periyasamy dilakukan di kantin Fakultas Kedokteran USU sekitar pukul
23
12:00 WIB. Selama proses wawancara berlangsung, peneliti dibantu dan ditemani
oleh dua orang mahasiswa Indonesia, keduanya berasal dari dua Fakultas yang
berbeda, yakni Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi. Hal ini dilakukan
agar dapat menjembatani (memperkenalkan) peneliti dengan informan-informan
Malaysia yang notabene adalah teman kuliah mereka.
Sementara itu, pemberian draft pertanyaan digunakan untuk memperoleh datadata yang diharapkan dapat memperkaya temuan-temuan riset. Data ini diperoleh
melalui mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang selama ini telah berinteraksi dan
melakukan kontak secara langsung dengan mahasiswa Malaysia. Dalam memperoleh
data tersebut, peneliti menggunakan electronic mail (E-mail). E-mail digunakan
sebagai medium dalam memberikan serta menerima kembali draft pertanyaan yang
telah dijawab oleh informan. E-mail ini juga digunakan apabila peneliti
membutuhkan data-data tambahan, sehingga dapat membantu peneliti apabila peneliti
sedang tidak berada di Medan, atau informan yang terkait tidak berada di Indonesia.
Pemberian dan pengembalian draft pertanyaan dilakukan selama bulan Desember
2015 – Januari 2016, dengan rincian sebagai berikut:
1. Jesslyn
: Diberikan 7 Desember 2015, dikembalikan 7 Desember 2015
2. Fawzia Rachmi :Diberikan 14 November 2015, dikembalikan 5 Desember 2015
3. Haizil Fuadi
: Diberikan 14 November 2015, dikembalikan 16 Januari 2016
4. Dosen
: Diberikan 5 Januari 2016, dikembalikan 12 Januari 2016.
Secara umum, peneliti tidak terlalu banyak menemui kesukaran dalam proses
pengumpulan data, dikarenakan kemampuan mereka yang sudah cukup memadai
dalam memahami setiap perkataan dan pertanyaan yang peneliti ajukan. Informaninforman Malaysia juga amat terbuka selama proses wawancara berlangsung.
Kendala umumnya hanya terletak pada penentuan waktu wawancara yang kerap kali
terbentur oleh aktivitas mereka, apakah itu perkuliahan atau urusan pribadi lainnya.
24
Teknik berikutnya adalah Studi pustaka (library research). Teknik ini
dilakukan dengan mengumpulkan berbagai sumber bacaan yang relevan, termasuk di
dalamnya teori-teori komunikasi antarbudaya maupun temuan-temuan penelitian
sebelumnya yang dapat mendukung serta memperkaya riset. Hal ini dilakukan agar
temuan-temuan yang diperoleh peneliti di lapangan dapat dielaborasi dengan teori
dan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
1.8.3 Teknik Analisis Data
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan perangkat metode studi
kasus. Selanjutnya, analisis data yang digunakan pada penelitian ini ialah:
1. Reduksi data, dalam hal ini data masih bersifat tumpang tindih, sehingga perlu
direduksi dan dirangkum. Proses tersebut secara rinci dipaparkan dalam
langkah-langkah berikut ini:
Langkah 1: Menulis hasil wawancara (transkrip wawancara) dan
mengumpulkan, serta merangkum draft pertanyaan yang telah diisikan
dan dikembalikan oleh informan. Langkah ini merupakan proses
pengumpulan semua data atau informasi yang diperoleh dari informan
penelitian, baik dari mahasiswa Malaysia, mahasiswa Indonesia dan
dosen.
Langkah 2: Menyusun data kasus. Langkah ini adalah kondensasi
data mentah kasus ke dalam beberapa bagian yang sesuai dengan
permasalahan yang diangkat, sehingga dapat memudahkan peneliti
dalam mengelolah dan menganalisis data dengan lebih spesifik.
Langkah 3: Menulis kajian kasus secara naratif; pada langkah ini
data-data yang telah diperoleh, diolah, serta dianalisis oleh peneliti
dapat dibaca dengan mudah oleh pembaca. Pada langkah ini, kajian
kasus disajikan secara komprehensif mengenai permasalahan yang
diangkat.
25
2. Menarik kesimpulan, yakni proses untuk penarikan kesimpulan dari ulasan
data yang telah direduksi dan disajikan untuk menuju pada kesimpulan akhir
yang mampu menjawab, dan menerangkan permasalahan penelitian.
26
Download