tssN 1693. 1238 r18910ff, J01Jnflff VOLUME 6 NOMOR 3 SEPTEMBER . . . . . 2OO8 CYSTICERCUS CELLULOSAE AND BRAIN.NEURO CYSTICERCOSIS Erina Yatmasari CONSUMPTION OF FORMULA MILK CAUSED INFANT'S GREATER BODY WEIGHT AND UPPER ARM CIRCUMFERENCE Puji Lestyaningsihl, Myrtati D. Aftaria2 AUTOIMUNITAS PADA ORGAN SPESIFIK Sulistiana Prabowo MEMBRAN SEL Herin Setianingsih SCHISTOSOMA JAPONICUM Prawesty Diah Utami HANG TUAH M. J. Vol.6 No.3 Hal. 117 - 153 Surabaya September 2008 ISSN 1693 - 1238 AUTOIMT]NTTAS PADA ORGAN SPESIT'IK Sulistiana Prabowo ABSTRACT : The characteristic feature of organ specific autoimmune disease is the target selective to one organ or one cell type, whereas there is no abnormality of general immune system. Organ specific autoimmune disease is often considered caused by tolerance induction mechanism disturbances that cause failure to eliminate or inactivate selfreactive lymphocytes. The role of autoantigens in this condition that is responsible to tolerance disturbances to self antigen is not much known. Molecular mimicry and Thl lymphocytes have important roles in organ spesific autoimmune disease. Thl lymphocytes have important effects in insulin dependent diabetes mellitus. Passive transfer of Thl lymphocytes, but not Th2 lymphocSrtes, can induce such autoimmune disease. Cyokines can influence lymphooytes that mediate and control organ specific autoimmune diseases. Thl and Th2 Keywords : autoimmtmity, organ specific, lynphocytes, cytokines Corespondence : Department of Immunolory Faculty of Medicine Hang Tuah University, Jl.Gadung No.l Surabaya60244 PENDAHULUAN Penyakit autoimun dibagi menjadi dua, yaitu penyakit autoimun pada organ spesifik (misalnya pankreas, otak, tiroid, dan saluran pencernaan), dan penyakit autoimun yang tidak spesifik pada organ tertentu (misalnya SLE dan artritis rematoid). Pembagian tersebut tergantung pada apakah respons autoimun yang terbentuk hanya terbatas pada suatu organ tertentu, atau terbentuk respons autoimun terhadap autoantigen yang tersebar luas di seluruh tubuh. Gambaran khas dari penyakit autoimun yang spesifik pada organ tertentu adalah target yang selektif pada satu organ atau satu jenis sel, di mana tidak terjadi abnormalitas dari sistem imun secara umum. Tetapi perlu diingat bahwa pembagian tersebut bersifat artifisial, dan tetap dimungkinkan bahwa penyakit autoimun sistemik dan penyakit autoimun spesifik pada organ tertentu memiliki mekanisme yang sama. Kenyataannya, pada manusia dan binatang, satu penyakit autoimun pada organ tertentu dapat terjadi bersama-sama dengan penyakit autoimun pada organ yang lain, misalnya diabetes terjadi bersama dengan Penyakit autoimun pada organ spesifik seringkali dianggap disebabkan oleh gangguan mekanisme induksi toleransi, yang mengakibatkan kegagalan untuk menghilangkan atau menginaktivasi limfosit yang reaktif terhadap self antigen Peran autoantigen dalam kejadian yang bertanggung jawab untuk gangguan toleransi terhadap self antigen masih sedikit dimengerti (Shev ach, 1999 ; Cohen, I 999; Goldsby et aI,2000). Mimikri Molekuler Dalam Autoimunitas Pada Organ SpesiJik Banyak penelitian klinik dan epidemiologik pada penyakit autoimun manusia dan model hewan coba menunjukkan bahwa infeksi memiliki peran penting pada induksi autoimunitas. Tetapi ketidakmampuan untuk mendeteksi patogen pada jaringan target membawa pada konsep mimikri molekuler sebagai mekanisme tentang bagaimana reaktivias terhadap patogen asing dapat menyebar kepada self antigen Banyak virus memiliki komponen memegang peranan penting pada induksi patologi antigenik yang sama dengan komponen yang normal dari sel host. Adanya antibodi monoklonal yang bereaksi terhadap konstituen host dan virus, diduga bahwa virus memiliki potensi untuk mendorong respons autoimun dan menyebabkan dari keduajenis autoimunitas tersebut (Shevach, 1999; Cohen, 1999). penyakit. Penelitian pada 600 antibodi monoklonal terhadap l1 virus yang berbeda, gastritis dan tiroiditis. Kenyataan ini meningkatkan kemungkinan bahwa faktor imunologik, genetik dan lingkungan yang sama t23 didapatkan bahwa 3 % dmtantibodi tersebut juga bereaksi terhadap jaringan normal. Agen mikrobial memiliki determinan yang sama dengan protein host, dan respons imun yang dihasilkan oleh hostterhadap determinan dari agen infeksius mungkin dapat bereaksi silang dengan determinan dari jaringan host, sehingga dapat menimbulkan keradangan, kerusakan jaringan, dan autoimunitas. Proses imunopatologik dapat berlanjut secara kronik setelah agen yang merangsang hilang, atau dimulai kembali oleh infeksi virus yang berulang. Faktor genetik host juga memegang peranan, karena gen host mengendalikan respons imun terhadap berbagai macam patogen, memegang peranan dalam ekspresi reseptor seluler, serta dapat mempengaruhi replikasi dari agen infeksius" Kesulitan utama dalam menentukan korelasi antara kejadian yang memicu, seperti misalnya infeksi virus, dengan terjadinya penyakit autoimun pada umumnya adalah terdapatjangka waktu yang lama sebelum terjadi penyakit autoimun. Saat ini, mimikri molekuler dianggap berperan dalam patogenesis dari beberapa penyakit pada manusia, termasuk diabetes melitus yang tergantung pada insulin, ankylosing spondylitis, sindroma Guillain-Barce, primary biliory cirrhosis, dan sklerosis multipel. Tetapi faktor yang memulai penyakit autoimun ini belum diketahui dengan jelas. Hipotesis dari konsep mimikri molekuler menawarkan suatu penj elasan fi siologik untuk gangguan toleransi imunologik Mimikri jawab untuk molekuler diduga bertanggung kematian karena kegagalan fungsi hati. terjadinya antibodi antimitokondria pada PBC. Hal ini disebabkan karena terjadi homologi antara subunit E2 dari ensim mitokondrial mamalia dengan subunit E2 dari kompleks piruvat dehidrogenase pada Eschericia coli. Di samping itu, rantai a dari HLA-DRyang secara abnormal diekspresi pada permukaan sel epitel saluran empedu pada PBC, juga memiliki kesamaan dengan epitop E2. Suatu kaskade kejadian yang kompleks mungkin terlibat dalam proses patogenik dari penyakit ini (Shevach, 1999). Autoimunitas hanya terjadi bila peptida mikrobial dan determinan host yang bereaksi silang cukup berbeda, untuk dapat mematahkan toleransi imunologik. Kerusakan jaringan dapat terjadi tanpa infeksi virus yang memulai respons imun. Replikasi virus juga tidak diperlukan. Respons autoimun sendiri dapat menyebabkan kerusakan jaringan, dan selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan pelepasan self antigen, dan siklus ini berlangsung terus. Virus yang tetap ada dapat mengekspresi antigen terus menerus atau secara siklik. Bahkan tanpa adanya replikasi, produksi determinan dan daerah imunodominan yang sama dengan yang dimiliki host tetap dapat berlanjut. Antigen yang dihasilkan dipresentasikan secara tepat, dan Mimikri molekuler terjadi pada primary biliary cirrhosis (PBC), suatu penyakit hati kholestatik kronik autoimun yang terutama menyerang perempuan dan menyebabkan mungkin dapat membangkitkan respons imun terhadap antigen jaringan yang bereaksi silang, sehingga akan terjadi penyakit kronik dan progresif. Mimikri molekuler mungkin juga memiliki keuntungan untuk virus. Dengan memiliki epitop yang menyerupai tempat atau daerah yang mirip dengan molekui host yang menginduksi toleransi atau supresi respons imun, virus dianggap sebagai self dantidak dieliminasi oleh respons imun. Kerusakan imunologikdapat terjadi setelah hilangnya agen infeksius. Pada saat timbul respons imun terhadap agen infeksius, dapat terjadi kerusakan jaringan host sehingga dilepaskan self antigen yang dapat melanjutkan rangsangan pada respons imun sehingga akan dihasilkan kerusakan j aringan yang selanj utnya. Hal ini mungkin dapat terjadi pada ensefalopati virus yang terjadi setelah campak, gondong, vaccinia, dan infeksi virus herpes zoster kerusakan saluran empedu intrahepatik dan (Shevach, 1999). tarhadapself antigendalarnautoimunitas.Epitop mikobial yang mirip dengan self pada patogen antigen harus cukup berbeda den gan selfantigen sehingga dapat membangkitkan respons imun terhadap patogen tersebut, dengan akibat yang terjadi kerusakan dari patogen. Tetapi kemiripan epitop tersebut dengan self antigen dapat menyebabkan gangguan toleransi terhadap self antigen, sehingga terjadi resPons autoimun terhadap self determinant yxng mirip dengan epitop dari patogen (Shevach, I 999; Cohen, I 999; Goldsby et al, 2000). 124 Virus yang menyebabkan infeksi laten dan I atau persisten mungkin menyebabkan rangsangan antigenik kronik dari populasi sel yang autoreaktif. Berdasarkan pada kebutuhan struktural untuk pengikatan MHC kelas II dan pengenalan reseptor sel T kepada suatu peptida WBP ftryelin basic protein) yang imunodominan, kriteria untuk pencarian data dasar dikembangkan, di mana diperhatikan rantai samping asam amino yang dibutuhkan untuk pengikatan dengan molekul MHC kelas II dan konservasi dari mereka yang dibutuhkan untuk aktivasi sel T. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa beberapa reseptor sel Ttidak hanya mengenal satu peptida tunggal, tetapi mengenal sejumlah peptida yang terbatas, dengan struktur yang berhubungan, yang berasal dari antigen yang berbeda Pengenalan ini tidak hanya mewakili suatu reaksi silang minor, karena peptida ini mengaktivasi klon yang spesifik terhadap MBP secara efisien. Peptida yang bersifat mimikri tidak hanya terbatas pada kemiripan susunan primer, dan reaksi silang tidak dapat diramalkan berdasarkan penjajaran yang sederhana antara MBP dan antigen virus. Sifat yang luas dari peptida virus yang merangsang klon sel T yang spesifik terhadap MBB menunjukkan bahwa bukan satu virus tunggal yang bertanggung jawab untuk memulai autoimunitas pada sklerosis multipel. Kelihatannya, satu kelompok dari patogen viral yang sama, terutama famili virus herpes (EBV virus herpes simpleks, dan cytomegalovirus), virus influenza, dan virus papilom4 dapatterlibat dalam memulai proses autoimun. Telah dipercayai secara luas bahwa pengenalan reseptor sel T bersifat sangat spesifik, karena penggantian sedikit dari suatu epitop untuk sel T akan negatif pada timus dan toleransi perifer melalui delesi klonal atau induksi anergi (Shevach, 1999; Cohen, 1999; Goldsby et aI,2000). aran D eter minan Pada Organ Spesifik Pe ny eb D alam A uto imunitas Sebagian besar usaha untuk mengidentifikasi autoantigen target, bahkan pada stadium awal dari perjalanan penyakit autoimun, seperti pada diabetes melitus yang tergantung pada insulin, menunjukkan bahwa terdapat banyak autoantigen yang mungkin dikenal oleh sel T spesifik. Penelitian tentang respons imun terhadap antigen asing menunjukkan bahwa terdapat dua kelas dari epitop antigenik, yaitu epitop dominan dan epitop sekunder atau epitop yang tersembunyi (epitop kriptik). Epitop dominan adalah epitop, di mana kepada epitop tersebut individu pertama kali berespon bila dirangsangoleh suatu protein atau agen infeksius. Respons terhadap epitop lain pada suatu antigen, yang muncul kemudian pada hiperimunisasi, disebut epitop sekunder atau epitop kriptik. Suatu respons imun yangmemiliki target satu atau dua epitop dominan pada suatu agen infeksius seringkali tidak cukup, sehingga sistem imun mengembangkan suatu mekanisme untuk meningkatkan sejumlah epitop target selama infeksi. Hal ini menyebabkan munculnya respons terhadap epitop kiptilq tetapi juga meningkatkan kemungkinan bahwa beberapa respons terhadap epitop kriptik ini bereaksi silang dengan autoantigen (Shevach, 1999; Cohen, 1999; Goldsby et al,2000). Determinan kriptik dari self antigen mungkin tidak dihasilkan sama sekali, atau dihasilkan dalam jumlah yang sangat sedikit selama pemrosesan antigen. Karena induksi menurunkan atau menghilangkan aktivasi sel T. Tetapi, suatu penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terjadi juga suatu reaktivitas silangyang bermakna. Salah satu komplikasi dari kebutuhan repertoire sel T yang sangat besar untuk berurusan dengan epitop patogen yang mungkin terbebas dari delesi dan terdapat pada repertoire sel T normal. Walaupun mekanisme selalu berubah, adalah kebutuhan bahwa sejumlah yangbertanggungjawab untuk memicu sel Tyang tertentu dari reseptor sel T juga memiliki spesifik terhadap epitop kriptik belum dapat didefinisikan, telah diterima secara luas bahwa sel T yang pada awalnya mengenal epitop self, akan menginduksi kaskade inflamasi pada organ reativitas terhadap self dalam derajat tertentu. Sel T yang autoreaktif tersebut biasanya memiliki afinltas rendah, sehingga terbebas dari seleksi toleransi sel Tterhadap self antigen selama proses seleksi negatif di.dalam timus membutuhkan derajattertentu dari ekspresi antigen peptida, sel T yang spesifik terhadap epitop kriptik ini t2s target, dan menyebabkan kerusakan jaringan. Debris jaringan akan ditangftap oleh makrofag, sel dendritik, atau sel B, dan dipresentasikan kepada sel T spesifik yang naif pada jaringan, dan bila set T tersebut sekali telah diaktifkan, akan meneruskan proses keradangan. Presentasi mungkin akan dipermudah karena peningkatan sintesis molekul MHC kelas II dan peningkatan ekspresi molekul adesi dan molekul costimulatory, yang terjadi selama proses keradangan. Sel B yang spesifik terhadap antigen, yang merupakan APC yang sangat efisien, mungkin memegang peranan penting dalam diversifikasi dari respons imun. Antibodi dapat meningkatkan efi siensi dari penangkapan antigen oleh sel B spesifik dan APC yang memiliki reseptor Fc. Antibodi juga dapat memodulasi pemrosesan antigen sehingga produksi dari beberapa epitop dapat ditingkatkan, sedangkan produksi beberapa epitop yang lain diturunkan. Produksi sitokin selama respons keradangan dapat menyebabkan peningkatan produksi ensim tortentu yang terlibat dalam pemrosesan antigen, yang juga dapat meningkatkan produksi dari epitop minor. Pengenalan determinan self yang baru, yang terjadi selama proses penyakit autoimun. disebut dengan penyebaran determinan. Experimental allergic encephalomyelitis (EAE) kronik adalah contoh dari penyakit autoimun kronik, di mana penyebaran determinan memegang peranan penting dalam proses patologik yang terjadi. Penyebaran epitop juga terjadi pada diabetes melitus yang tergantung pada insulin (Shevach, 1999; Cohen,1999; Goldsby et al, 2000). Helper-l dan Sel T Helper2 DalamAutoimunitas Pada Organ Spesiftk Karena reaksi imunologik dasar yang mengendalikan respons imun terhadap antigen Keseimbangan Sel T asing juga berlangsung pada pengenalan antigen sefselama perjalanan penyakit autoimun, fenotip sel Thl dan sel Th2 juga akan memberikan karakterisasi dari autoimunitas. Sel Thl akan mendorong perkembangan penyakit autoimun pada organ spesifik, sedangkan sel Th2 akan mendorong perkembangan penyakit autoimun sistemik yang diperantarai oleh antibodi, seperti misalnya pada SLE. Sel Thl memegangperanan t26 penting pada pada penyakit autoimun pada organ spesifik, termasuk diabetes melitus yang tergantung pada insulin dan EAE. Transfer pasif dari populasi sel Thl, dan tidak pada transfer sel Th2, dapat menginduksi terjadinya penyakit tersebut (Shevach, 1999; Cohen,1999; Goldsby et al, 2000). Regulasi dari produksi sitokin selama perjalanan penyakit EAE telah banyak diteliti. Keradangan yang tedadi pada EAE mirip dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (DTH). Terdapat hubungan yang kuat antara perkembangan EAE dengan respons DTH terhadap myelin. Selama kekambuhan dari EAE, IFN-y merupakan sitokin yang dominan di dalam otah tetapi kemudian diikuti dengan peningkatan yang tinggi dari ekspresi mRNA'dari IL-10 selama penyembuhan, yang disertai dengan penurunan elspresi sitokin sel Thl. Kadar mRNA IL- 1 0 tetap meningkat selama fase penyembuhan. Peningkatan IL-4 dan IL-10 di dalam otak yang paralel dengan penyembuhan spontan, juga ditemukan pada penelitian lain yang menggunakan metoda imunohistologik. IL-2, TNF-cr, dan IFN-7 didapatkan pada j aringan otak selama proses penyakit. Tetapi selama penyembuhan, kadar IFN-y menjadi lebih rendah dan didominasi oleh IL4, IL- 10, dan TGF-p. Dari penelitian ini diduga bahwa IL-4 atau IL-10 mungkin berguna dalam pengobatan EAE (Shevach, 1999; Cohen, 1999; Goldsby et al, 2000). Ling h ang an S itokin D alam A utoimunitas Pada Organ Spesilik Sitokin dapat mempengaruhi perkembangan sel Thl dan Th2 yang memperantarai dan mengendalikan penyakit autoimun'pada organ spesifik. Ekspresi yang berlebihan dari IL-2 pada pankreas mencit transgenik C57BLl6 menyebabkan respons keradangan masif yang ditujukan kepada sel B pankreas, destruksi pulau Langerhans, dengan akibat terjadi diabetes melitus. Transfer adoptif dan transplantasi pulau Langerhans menunjukkan bahwa destruksi sel p pada mencit transgenik tidak disebabkan oleh imunitas spesifik terhadap antigen, karena ekspresi IL-2 pada mencit nu/nu dan mencit dengan severe combined immunodeficiency (SCID) iugamenunjukkan suatu induksi respons keradangan dan diabetes. Jadi produksi lokal dari ll-2 pada pulau Langerhans diperantarai oleh pengumpulan dan aktivasi sel yang mampu merusak pulau Langerhans melalui mekanisme yang tidak spesifik terhadap antigen. Penelitian ini memberikan kemungkinan bahwa ekspresi lokal dari lL-2 dapatmeningkatkan aktivitas dari sel T efektor yang telah diaktifkan dengan cara yang lain. Terjadinya dan progresivitas dari autoimunitas munglcin tergantung pada aviditas sel T autoreaktif, dan mungkin dipengaruhi oleh IL-2 eksogen yang dapat diperoleh dengan cara parakrin selama terjadi infeksi kronik. Sel dengan aviditas tinggi dapat memproduksi IL-2 sendiri dan berespon dengan tidak tergantung pada pertolongan sel T CD4* (Shevach, 1999), Setelah infeksi virus dan sekresi sitokin lokal, reaktivitas imun mungkin dapat mengalami disregulasi pada jaringan target spesifik pada individu dengan predisposisi genetik. Faktor regional pada jaringan tertentu mungkin juga penting. Ekspresi lokal dari IFN-7 pada pulau Langerhans dari pankreas dapat mematahkan toleransi terhadap antigen pulau Langerhans. Sel T yang diaktifkan oleh [FN-y, tetapi tidak pada respons antibodi, bila diekspresi pada pulau Langerhans akan menyebabkan kerusakan jaringan. Tetapi bila IFN-y diekspresi pada motor end plate akan menyebabkan pembentukan antibodi terhadap motor end plate dengan akibat terjadi penyakit yang secara klinik mirip dengan myasthenia gravis, Dengan demikian, faktor spsifik pada jaringan menentukan patogenisitas dari respons imun lokal. Faktor lokal dapat membuat sel target lebih mudah terlihat oleh sistem imun aktif. Bila mencit telah dilakukan timektomi pada hari ke tiga, mereka akan mengalami gastritis autoimun, dan yang merupakan antigen target adalah ensim H/K adenosin trifosfatase (ATPase), yang diekspresi pada sel parietal lambung. Bila antigen diekspresi oleh pulau Langerhans dan pada rnencit dilakukan timektomi pada hari ke 3, mencit akan mengalami gastritis dan periinsulitis, tetapi tidak menderita diabetes. Tidak terjadinya diabetes walaupun terjadi periinsulitis, diduga kuat karena antigen target dipresentasikan dengan cara yang berbeda oleh sel parietal lambung dan sel pulau Langerhans dari pankreas (Shevach, 1999). Kerja dari sitokin proinflamasi dan sitokin anti-inflamasi tidak dapat diramalkan bila diekspresi secara individual di dalam jaringan dari mencit transgenik. TNF-a adalah suatu mediator keradangan yang poten, yang mengaktifkan sel endotel pada in yilro untuk mengekspresi sejumlah molekul adesi lekosit, termasuk E-selectin, VCAM-1, dan ICAM-1, serta meningkatkan ekspresi MHC kelas I pada sel pulau Langerhans. Ekspresi TNF-cr atau TNFp pada latar belakang mencit C57BL|6 yang resisten menyebabkan insulitis yang masif, tetapi mencit tidak menderita diabetes, bahkan setelah lebih dari satu tahun pengamatan. Kerusakan jaringan pada mencit tersebut hanya terbatas pada pulau Langerhans, yang meliputi insulitis limfositik, perubahan sel endotel, reaksi fi brotik, dan disorganisasi sel endokin. Pada insulitis yang terjadi, terdapat sel T CD4* dan sel T CD8*, dan tidak terlihat infiltrasi sel polimorfonuklear. Infiltrat keradangan tersebut tidak cukup untuk menyebabkan penyakit autoimun. Ekspresi IL-4, yang merupakan sitokin anti-inflamasi dari sel Th2, pada pulau Langerhans dari mencit NOD (model hewan coba untuk diabetes yang tergantung pada insulin), melindungi mencit secara lengkap terhadap insulitis dan diabetes melitus. Tetapi hasil yang sangat berbeda terjadi bila IL- I 0, yang merupakan sitokin anti-inflamasi utama dari sel Th2, diekspresi pada sel Langerhans. Mencit transgenik yang mengekspresi IL-l 0 pada pulau Langerhans dari strain mencit yang tidak cenderung menderita diabetes, akan mengalami periinsulitis, tetapi tidak pernah mengalami progresi menjadi insulitis dan diabetes. Sedangkan mencit NOD transgenik IL-10 akan lebih cepat menderita diabetes. Ekspresi tL-10 akan mendorong pola sitokin sel Th2. Walaupun fakta ini sesuai dengan observasi bahwa sekresi IL-I0 oleh sel Th2 dapat memperantarai diabetes yang tergantung pada insulin, faktor genetik lain juga memegang peranan penting. Sebagai contoh, ekspresi transgenik dari IL-10 pada sel F dari mencit BALB/c menyebabkan keradangan periinsulitis yangtidak pernah berlanjut menjadi insulitis atau diabetes (Shevach, 1999; Goldsby et aI,2000). CD95 (Fas) dan ligannya (CD95L) adalah anggota famili protein reseptor TNF-nerve growth t27 factor dan TNF. Hasil penelitian pada mencit presentasi antigen dengan tanpa kostimulasi. yang kekurangan perforin menduga keras bahwa Untuk menilai pentingnya keadaan tanpa destruksi sel p pankreas oleh sel T CD8* kostimulasi pada induksi dari toleransi perifer, diperantarai oleh pengenalan langsung dari target pada sel P, dan hal ini memerlukan kontak sel Tsel p, dan adalah mungkin bahwa kedekatan sel T aktif dengan sel p dapat menyebabkan kematian sel tersebut. Sel T CD4* mengenal antigen yang dilepaskan oleh sel F yang telah dirusak oleh sel dibuat mencit transgenik yang tidak peka terhadap T CD8*. Sel T CD4* mungkin dapat juga membunuh sel p yang lain dengan cara kematian sel yang diperantarai oleh Fas/FasL, melalui produksi mediator sitotoksik yang larut, atau melalui aktivasi makrofag yang dapat membunuh sel. Walaupun ekspresi FasL oleh sel B mungkin dapat menyebabkan destruksi sel T autoreaktif aktif yang mengekspresi FasL, sehingga melindungi pulau Langerhans, tetapi binatang tansgenik FasL menunjukkan diabetes dengan derajat yang lebih tinggi, serta lebih sensitif terhadap sel T diabetogenik (Shevach, 1999). Peran Kostimulasi Dalam Aktivasi Dan Inaktivasi Dari Sel TAutoreaktif Aktivasi sel T CD4* membutuhkan dua signal, yaitu signal I melalui reseptor sel T, diabetes, yang secara spesifik mengekspresi molekul B7-1 (CD80) pada pulau Langerhans. Setelah ekspresi molekul B7-1, sel B pankreas menjadi imunogenik terhadap sel T pada in vivo dan in vitro, tetapi mencit transgenik yang mengekspresi molekul B7-l pada pulau Langerhans jarang menjadi diabetes. Adalah mungkin bahwa faktortambahan lain dibutuhkan untuk induksi autoimunitas, dan inflamasi lokal dibutuhkan menarik limfosit ke jaringan non I imfoid. Walaupun mencit transgenik TNF-cl mengalami infiltrasi sel T yang masif pada pulau Langerhans, tetapi mereka tidak menjadi diabetes. Mencit transgenik ganda yang mengekspresi molekul B7-l dan TNF-a pada pulau Langerhans, akan cepat mengalami kerusakan jaringan dan menderita diabetes. Jadi, kostimulasi saja, atau pengumpulan sel T saja ke dalam jaringan, tidak cukup untuk menyebabkan autoimunitas. Tetapi, pengumpulan sel T pada jaringan yang memiliki kapasitas untuk mendorong ekspansi dan aktivasi sel T signal 2 menyebabkan sel T yang tidak responsif autoreaktif, adalah cukup untuk menyebabkan autoimunitas. Adalah beralasan untuk menganggap ekspresi lokal dari TNF-a sebagai atau anergi. Karena kostimulasi kelihatannya memiliki peran penting dalam menentukan pengganti kejadian alamiah yang memulai proses keradangan lokal, seperti misalnya infeksi virus. apakah pengenalan antigen oleh sel T menyebabkan aktivasi sel T atau anergi, telah toleransi terhadap antigen perifer terjadi karena sedangkan signalZ berasal dari kostimulasi. Pada penelitian invitro, adanya signal I tanpa disertai Hasil ini sesuai dengan pandangan bahwa dihipotesiskan mengenai peran kostimulasi dalam immunologic ignorance dan bukan karena perkembangan respons autoimun. Walaupun penelitian pada model mencit transgenik telah memberikan dukungan terhadap konsep T-cell igtorance, terdapat hipotesis alternatif bahwa pengenalan autoantigen pada APC jaringan yang dalam keadaan istirahat dengan tanpa adanya molekul kostimulasi, menyebabkan induksi dan mempertahankan toleransi dari sel Tterhadap self antigen. Sebaliknya, ekspresi yang abnormal dari kostimulator padaAPC akan mengaktifkan sel T autoreaktif, dengan akibat terjadi autoimunitas (Shevach, 1999; Goldsby et aI,2000). Penelitian pada mencit transgenik menyediakan suatu cara untuk menguji hipotesis di mana toleransi perifer disebabkan oleh specific unresponsiveness. Karena sel T 128 autoreaktif naif mencapai j aringan limfoid dalam jumlah yang terbatas, sangatlah tidak mungkin bahwa mereka mengalami keadaan anergik melalui pengenalan terhadap antigen spesifik pada jaringan dengan tanpa signal kostimulasi (Shevach, 1999; Goldsby et aI,2000). Spesifisitas kostimulasi yang terdapat pada tempat lokal dari keradangan pada penyakit autoimun memegang peranan penting dalam terjadinya penyakit kronik yang sering kambuh. Pada mencit normal, molekul B7-2 diekspresi terutama pada makrofag limpa, sel B, dan sel dendritik, sedangkan ekspresi molekul B7-l tidak dapatdideteksi. Selama fase akut dan remisi dari EAE, terjadi peningkatan dari ekspresi molekul B7-l pada makrofag limpa dan sel B, sedangkan pada susunan sarafpusat (SSP) ekspresi molekul B7-l sangat meningkat terutama pada sel mononuklear yang menginfi ltrasi. Kekambuhan secara klinik akan menurun bila binatang diberikan fragmen Fab dari antibodi anti-B7-I, yang dimulai pada fase penyembuhan dari episode akut. Tetapi, pemberian antibodi anti-B72 pada waktu yang sama tidak memberikan pengaruh yang bermakna pada incidence dan keparahan kekambuhan klinik, bila diberikan selama fase remisi. Pemeriksaan histologik dari SSP menunjukkan bahwa pemberian fragmen Fab dari antibodi anti-B7-1 menurunkan respons keradangan dan demyelinasi. Hasil ini konsisten dengan model di mana molekul B7-l mungkin berfungsi sebagai molekul kostimulasi yang dominan dalam presentasi antigen kepada sel efe*for lokal dari EAE pada SSR dan dalam pengumpulan sel T naif yang spesifik terhadap peptida myelin sekunder yang terpapar selama episode klinik pertama (Shevach, 1999). Molekul 87-l dan 97-Z mungkin mengaktivasi jalur sel T helper yang berbeda, dan pada jalur ini memodulasi penyakit autoimun. Pemberian anti-B7-l pada hewan dengan EAE akan menurunkan incidence dari penyakit, sedangkan pemberian anti-B7-2 akan meningkatkan keparahan dari penyakit. Tidak satupun dari antibodi tersebut mempengaruhi f, tetapi kelihatannya mereka memodifikasi pola sitokin yang diinduksi. Pencegahan sekresi awal dari IL-4 akan menghilangkan efek protektif dari anti-B7-1. Molekul B7-l terutama bekerja sebagai molekul rangsangan pada sel kostimulasi selektif untuk pembentukan sel Th I , sedangkan molekul B7-2 melakukan kostimulasi dan menginduksi sel Th2. Jadi, penghambatan rnolekul 87- I akan menghambat pembentukan sel Thl, sedangkan penghambatan molekul B7-2 akan menghambat pembentukan sel Th2. Adalah mungkin bahwa antibodi anti-B7 berikatan silang dengan antigen target mereka pada permukaan sel T, makrofag, dan sel dendritik, yang mengakibatkan produksi sitokin spesifi k, seperti misalnya lL-12, dan perubahan sitokin pada lingkungan mikro dapat menyebabkan polarisasi dari respons sel Th. Altematif lain, antibodi anti- B7-l dan antiBT -2 mungkin menghambat secara berbeda interaksi ligan target mereka dengan CD28 dan CTLA4, sehingga mempengaruhi kekuatan keseluruhan dari respons autoreaktif (Shevach, 1999; Goldsby et al,2000). Penghambatan interaksi moiekul 87-l dengan CD28 dan molekulBT -2 dengan CTLA4, dapat memiliki pengaruh yang kompleks pada manifestasi akhir dari penyakit autoimun. Pencegahan ekspansi klonal dari efektor autoreaktif dengan akibat penghambatan tanda klinik dari penyakit, dapat terjadi pada kondisi tertenfu, terutama selama permulaan penyakit. CTLA4 telah muncul sebagai regulator negatif utama dari fungsi autoimun sel T pada in vivo dan in vitro. Penghambatan interaksi CTLA4 dengan ligannya menghasilkan penguatan dari setiap fungsi sel T efektor, dengan akibat akhir terjadi peningkatan kemampuan untuk mempertahankan penyakit autoimun yang telah terjadi, serta peningkatan incidence dan keparahan dari kekambuhan. Fungsi inhibisi yang diperantarai CTLA4 mungkin penting selama aktivasi awal dari sel T autoreaktif, pada saat mereka mengekspresi sedikit CTLA4, dan setelatr ekspansi klonal, pada saat sel T aktif mengekspresi lebih banyak CTLA4 (Shevach, 1999; Goldsby et al, 2000). Ekspresi molekul kostimulasi dari CD80 dan CD86 telah dipelajari pada lesi sklerosis multipel. Peningkatan ekspresi CD80 meningkat pada lesi sklerosis multipel akut, tetapi peningkatan tersebut tidak terjadi pada infark keradangan. Pengecatan CD80 terutama terdapat pada limfosit dalam daerah keradangan di sekitar venula, tetapi tidak didapatkan pada parenkhima. CD86 terutama diekspresi oleh makrofag dalam lesi sklerosis multipel dengan berbagai umur, serta pada infark keradangan. Ekspresi CD86 tidak spesifik pada lesi sklerosis multipel, tetapi juga terjadi pada keradangan yang bukan autoimun, danjuga pada keradangan yang dlperantarai oleh virus. Bahkan peningkatan ekspresi CD80 dapat merupakan kejadian sekunder dari infeksi virus pada SSP, dan tidak selalu menunjukkan adanya patogenesis autoimun (Shevach, 1999; Goldsby et al, 2000). 129 PENUTT'P Penyakitautoimun dibagi menjadi duq yaitu penyakit autoimun pada organ spesifik (misalnya pankreas, otak, tiroid, dan saluran pencernaan), dan penyakit autoimun yang tidak spesifik pada organ tertentu (misalnya SLE dan artritis rematoid) Banyak penelitian klinik dan epidemiologik pada penyakit autoimun manusia dan model Aktivasi sel T CD4* membutuhkan dua signal, yaitu signal I melalui reseptor sel T, hewan coba menunjukkan bahwa infeksi memiliki peran penting pada induksi dihipotesiskan mengenai peran kostimulasi dalam perkembangan respons autoimun. autoimunitas. Banyak virus memiliki komponen antigenik yang sama dengan komponen yang normal dari sel host. Autoimunitas hanya terjadi bila peptida mikrobial dan determinan host yang bereaksi silang cukup berbeda, untuk dapat mematahkan toleransi imunologik. Kerusakan jaringan dapat terjadi tanpa infeksi virus yang memulai respons imun. Sebagian besar usaha untuk mengidentifikasi autoantigen target, bahkan pada stadium awal dari perjalanan penyakit autoimun, seperti pada diabetes melitus yang tergantung pada insulin, menunjukkan bahwa terdapat banyak autoantigen yang mungkin dikenal oleh sel T spesifik. Penelitian tentang respons imun terhadap antigen asing menunjukkan bahwa terdapat dua kelas dari epitop antigenik, yaitu epitop dominan dan epitop sekunder atau epitop yang tersembunyi (epitop kriptik). Karena reaksi imunologik dasar yang mongendalikan respons imun terhadap antigen asing j uga berlan gsung pada pengen alan ant i gen sefselama perjalanan penyakit autoimun, fenotip sel Thl dan sel Th2 juga akan memberikan karakterisasi dari autoimunitas. Sel Thl akan mendorong perkembangan penyakit autoimun pada organ spesifik, sedangkan sel Th2 akan mendorong perkembangan penyakit autoimun sistemik yang diperantarai oleh antibodi, seperti misalnya pada SLE. Sitokin dapat mempengaruhi perkembangan sel Thl dan Th2 yang memperantarai dan mengendalikan penyakit autoimun pada organ sedangkan signal2 berasal dari kostimulasi. Pada penelitian invito,adanya signal I tanpa disertai signal 2 menyebabkan sel T yang tidak responsif atau anergi. Karena kostimulasi kelihatannya memiliki peran penting dalam menentukan apakah pengenalan antigen oleh sel T menyebabkan aktivasi sel T atau anergi, telah DAFTAR PUSTAI(A Cohen PL, 1999. Systemic autoimmunity. In (Paul WD, ed). Fundamental immunology. Fourth edition, Philadelphia : LippincottRaven Publishers, pp 1067-1088. Goldsby RA, Thomas JK, Osborbe BA, 2000. Kuby Immunology. Fourth edition, New York: W.H. Freeman and Company, pp 4975 15. M,1997. Immunobiology. The immune system in health and disease. Third edition, London : Current Biology Limited, pp l2.l-12.25. Kavanaugh AF, Lipsky R 1999. Rheumatoid arthritis. In (Gallin JI, Snyderman R, eds.) Inflammation. Basic principle and clinioal correlates. Third edition, Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, pp : l0l7- Janeway CA, Travers B Hunt S, Walport 1037. Roitt [, 1988. Essential immunology. Fourth edition, Oxford : Blackwell Scientific Publications, pp 23 8-27 3 . EM, 1999. Organ-specific autoimmunity. In (Paul WD, ed). Shevach Fundamental immunology. Fourth edition, Philadelphia : Lippincott'Raven Publishers, pp 1089-1126. Theofi lopoulos Al.l. Autoimmunity. In (Stites DR Stobo JD, Wells JY eds). Basic & clinical immunology. Sixth edition, Norwalk : Appleton & Lange, pp.128-158. spesifik. 130