LAPORAN PENELITIAN IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DALAM PARIWISATA DI BALI (Studi Kasus Hotel-Hotel di Ubud, Gianyar) Peneliti: Ketua Tim : Dewa Ayu Made Lily Dianasari, ST., M.Si. Anggota : 1. Ni Ketut Sekarti, S.Pd., M.Par. 2. Luh Yusni Wiarti, A.Par.,S.E., M.Par. 3. IB. Putra Negarayan, ST., M.M. Dibiayai dari Dana DIPA Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali Tahun Anggaran 2013 SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki kearifan tradisional dan perikehidupan adat istiadat yang beranekaragam dari Sabang sampai Merauke. Kearifan tradisional dan adat istiadat tersebut dapat menjadi sarana masyarakat untuk secara aktif melakukan upaya pengelolaan lingkungan dalam konteks pembangunan ekonomi yang sedang digiatkan oleh Pemerintah Indonesia sehingga dapat belajar dari kekeliruan pola pembangunan Negara-negara maju. Pembangunan ekonomi Indonesia tidak hanya meliputi satu sector saja melainkan berbagai sector yaitu salah satunya dari sector pariwisata. Sehingga dari sector pariwisata juga nantinya dapat menjaga kelestarian lingkungan. Bali sebagai salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kearifan tradisional dan adat istiadat serta sangat terkenal dalam bidang pariwisatanya. Seluruh masyarakat Bali sepakat bahwa pembangunan di Bali didasarkan atas nilai-nilai kearifan lokal yang telah dikenal secara universal dalam konsep Tri Hita Karana. Keharmonisan manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungan menjadi modal utama berkembangnya pariwisata di Bali. Oleh karena itu, perkembangan pariwisata yang terjadi saat ini dan yang akan datang tidak membuat keharmonisan hubungan tersebut melemah bahkan saling tercabut dari akarnya. Pariwisata adalah kegiatan yang memiliki dampak ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Beberapa dampak dapat dikontrol namun sebagian tidak dapat dikontrol. Pengelolaan yang baik akan meminimilkan dampak negative dari kegiatan 1 pariwisata. Upaya menjamin bahwa pariwisata tidak menimbulkan dampak negative terhadap sumberdaya alam dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas kehidupan social masyarakat serta membangun pariwisata berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Prinsip dasar dari pembangunan yang berkelanjutan adalah keseimbangan intergenerasi; pembangunan akan berkelanjutan apabila pemenuhan kebutuhan saat ini tidak mengurangi kebutuhan generasi yang akan datang (Pearce et al., 1989). Begitu halnya juga pembangunan pariwisata harus menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep keberlanjutan sering sekali dipertentangkan dengan konsep persaingan (competitiveness) sehingga dapam sebuah perencanaan pembangunan pariwisata harus mempertimbangkan hal-hal, yaitu: (1) global environment, (2) competitive environment dan (3) the big picture (Richie, 2004 dalam Berata Asrama et al., 2007). Global environment menjelaskan bahwa merencanakan pariwisata harus mempertimbangkan kondisi global. Sehingga membangun pariwisata tidak dapat hanya dilakukan temprer dan mengabaikan aspek spasial melainkan harus dilakukan secara terus menerus, berkesinambungan dan holistik. Konsep persaingan (competition) menunjukkan bahwa pariwisata didasari oleh lingkungan yang ketat dimana stakeholder harus mampu membangun kerjasama untuk mampu memenangkan persaingan. The global picture maksudnya bahwa pembangunan dan pengembangan pariwisata tidak cukup dengan memperbaiki infrastuktur dan suprastruktur fisik, namun menguatkan budaya dan etika moral masyarakat. Sehingga 2 pariwisata membutuhkan kesiapan yang menyeluruh , peran serta masyarakat, komitmen pemerintahserta kerjasama pihak swasta. Ubud Bali, sebuah kecamatan yang sangat terkenal semejak tahun 1930-an terletak di Kabupaten Gianyar, kabupaten yang banyak memiliki seniman dan dapat dikatakan merupakan pusat budaya seni di Bali, khusus seni lukis dan ukiran. Desa Ubud dari airport Denpasar berjarak kurang lebih 40 kilometer, dan dengan mobil anda akan menempuh waktu selama satu setengah jam. Desa Ubud daerah seni yang sangat sering disebut sebagai desa bertaraf internasional. Semua orang yang telah mengenal Ubud pasti mengatakan Ubud memang pantas untuk menyandang predikat desa internasional. Sebagian besar dipinggir jalan di kawasan ubud terdapat restaurant, hotel, galeri dan toko-toko yang menjual kerajinan local. Ubud sangat terkenal terkenal baik di Indonesia maupun ke mancanegara, kecamatan yang memiliki lokasi yang terletak di antara persawahan dan kawasan hutan diapit oleh jurang-jurang dengan sungai, yang membuat lokasi ini menggambarkan alam yang sangat indah. Selain karena kondisi alam, Ubud juga terkenal karena seni dan budaya Bali dan sangat berkembang dari tahun ketahun. Sebagian masyarakat Ubud kehidupan sehari-hari mereka tidak lepas dari unsur seni dan budaya. Juga sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai seniman. Baik seniman lukis, seniman kerajinan tangan ataupun seniman tari. Jika anda mencari galeri-galeri seni, maka anda harus datang ke Ubud, karena di sini terdapat banyak galeri-galeri tentang seni, serta pementasan seni musik dan seni tari yang dipentaskan setiap malam bergiliran di segala penjuru. 3 Selain itu di Ubud juga terdapat hotel-hotel berbintang untuk para wisatawan menginap. Selain hotel berbintang, di Ubud juga banyak terdapat penginapan dengan harga yang murah. Beberapa hotel di Ubud telah mengiplementasikan konsep Tri Hita Karana demi terwujudnya hotel ramah lingkungan dan pariwisata berkelanjutan, namun tidak semua hotel mengikuti Tri Hita Karana Awards and Accreditation. 1.2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Parahyangan? 2. Bagaimanakah implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Pawongan? 3. Bagaimanakah implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Palemahan? 1.3. BATASAN MASALAH Agar topik tidak meluas maka penelitian ini akan dibatasi sebagai berikut : 1.3.1. Parahyangan, hubungan manusia dengan lingkungan spiritual meliputi beberapa variabel (variabel terlampir dalam kuesioner). 4 1.3.2. Pawongan, hubungan manusia dengan sesamanya meliputi beberapa variable (variabel terlampir dalam kuesioner). 1.3.3. Palemahan, hubungan manusia dengan lingkungan alamiah meliputi beberapa variable (variabel terlampir dalam kuesioner). 1.3.4. Hotel- hotel yang menjadi sampel adalah hotel-hotel di Ubud yang mengikuti Tri Hita Karana Awards and Accreditations 1.4. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian adalah 1. Mengidentifikasi dan mengetahui implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Parahyangan. 2. Mengidentifikasi dan mengetahui implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Pawongan. 3. Mengidentifikasi dan mengetahui implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Palemahan. 1.5. MANFAAT PENELITIAN Kegunaan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai masukan atau bahan pertimbangan kepada pihak hotel dalam terwujudnya pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Memahami Tri Hita Karana Seperti dalam kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu dikenal adanya konsep Tri Hita Karana (THK), yaitu tiga penyebab kesejahteraan yang berasal dari Bahasa Sansekerta Tri (tiga), hita (sejahtera), karana (sebab). Ketiga penyebab kesejahteraan/kebahagiaan itu adalah Parahyangan (lingkungan spiritual), Pawongan (lingkungan social), Palemahan (lingkungan alamiah) yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hubungan yang seimbang dan harmonis antar ketiga unsure tersebut diyakini membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia lahir bathin. Sebaliknya hubungan yang tidak seimbang dapat mengancam kesejahteraan hidup manusia. 1. Aspek Parahyangan Aspek Parahyangan merupakan ekspresi dari hubungan manusia dengan lingkungan spiritual sekaligus merupakan refleksi dari hakikat manusia sebagai makhluk homo religious, yaitu makhluk yang memiliki keyakinan akan adanya kekuasaan adikodrati atau super natural. Sebaga salah satu mencapai kesejahteraan hidup, manusia senantiasa berusaha menjaga interaksi yang harmonis dengan lingkungan spiritual. Berbagai bentuk interaksi manusia dengan lingkungan spiritual ini membentuk system religi atau agama. 6 Dominasi nilai religi di Bali adalah Agama Hindu dalam konfigurasi budaya Bali mempengaruhi citra lingkungan masyarakatnya. Soemarwoto (1994), citra lingkungan merupakan anggapan orang mengenai struktur lingkungan, bagaimana lingkungan berfungsi, reaksinya terhadap tindakan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. 2. Aspek Pawongan Aspek Pawongan merupakan ekspresi hubungan manusia dengan sesamanya, yang sekaligus refleksi dari hakikat manusia sebaga makhluk social. Manusia tidak dapat hidup sendiri, melainkan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, dan menjadi bagian dari system sosialnya.Untuk mencapai kesejahteraan hidupnya, manusia yang satu senantiasa menjaga hubungan yang harmonis dengan manusia lainnya. Ekspresi dari interaksi antara orang Bali dan lingkungan social, antara lain melahirkan Basa Bali (Bahasa Bali), norma-norma, peraturan-peraturan, hukum, pranata social seperti kekerabatan dan pranata kemasyarakatan, dsb. 3. Aspek Palemahan Aspek Palemahan merupakan ekspresi dari hubungan manusia dengan lingkungan alamiah. Untuk mencapai kesejahteraan hidupnya, manusia senantiasa berusaha menjaga interaksi yang harmonis dengan lingkungan alamiah. Terkadang arogansi manusia dalam bentuk eksploitasi sumberdaya alam tanpa memperdulikan kelestariannya adalah merupakan bentuk interaksi yang kurang harmonis dengan lingkungannya. 7 Sebagai upaya untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan alamiah dijumpai berbagai bentuk pranata yang befungsi sebagai mekanisme control terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Pranata tersebut sesungguhnya mencerminkan kearifan-kearifan ekologi. Ekspresi dari interaksi orang Bali dengan lingkungan fisik antara lain melahirkan suatu pengetahuan tentang alam seperti penanggalan sasih, pawukon, dan sebagainya. 2.2. Pariwisata Berwawasan Tri Hita Karana Pariwisata Bali dilandasi oleh konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana telah dipahami sebatas konsep namun belum dipaami secara operasional. Nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam konsep Tri Hita Karana dapat diharapkan menjadi alat untuk menyaring dampak-dampak kemajuan pariwisata sehingga dampak positif akan lebih dominan dibandingkan dengan dampak negatifnya. Kekamjuan teknologi juga mempengaruhi pola hidup dan budaya masyarakat. Interkasi antar masyarakat Bali dengan wisatawan yang akan dating ke Bali memang member warna yang membuat Bali menjadi semakin menarik. Pengakuan terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas pariwisata terhadap perilaku dan kelembagaan masyarakat di Bali perlu disikapi dengan bijaksana. Tri Hita Karana sebagai dasar pembangunan kepariwisataan Bali menyebabkan keunikannya tertap terjaga. Tri Hita Karana akan memberikan landasan yang kuat bagi pembangunan kepariwisataan di Bali sehingga pembangunan tersebut tidak menyebabkan masyarakat tercerabut dari akar budaya yang ada. Selain 8 dasar yang kuat, pembangunan pariwisata juga membutuhkan tiang-tiang penyangga yang kokoh, sesai dengan karakteritik produk pariwisata tersebut. Implementasi THK dalam pembangunan pariwisata pada dasarnya mengontrol libido kapitalisme industri pariwisata dengan menanamkan kesadaran moral dan etika keagamaan (Parahyangan), kemanusiaan (Pawongan) dan lingkungan (Palemahan). Dengan demikian diharapkan pariwista tidak sekedar mengejar keuntungan ekonomi semata, tetapi juga mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya serta konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Pengejewantahan aspek Parahyangan dalam pengelolaan industry pariwisata yang berimplikasi kepada revitalisasi nilai-nilai religi local, tidak saja penting artinya bagi kesejahteraan batiniah manusia, tetapi juga member corak dan nuansa tersendiri bagi pariwisata itu sendiri. Pengejewantahan aspek Pawongan dalam pengelolaan pariwisata memposisikan pranata-pranata social masyarakat local sebagai acuan bagi pola-pola hubungan baik antar sesame pelaku pariwisata maupun antara pelaku pariwisata dengan lingkungan social setempat. Hal ini tidak saja berimplikasi kepada terciptanya hubungan yang harmonis antarsesama manusia sebagai makhluk social, tetapi sekaligus merupakan revitalisasi terhadap tatanan social masyarakat setempat. Pengejewantahan aspek Palemahan dalam pengelolaan pariwisata menjunjung tinggi kearifan-kearifan ekologis masyarakat setempat. Kearifan ekologis merupakan segala tindakan manusia yang selaras dengan lingkungannya dan merupakan manifestasi dari system kepercayaan yang dianut. Krisis ekologi global yang mencuat, keberadaan aspek-aspek kebudayaan tradisional dengan system 9 pengetahuan dan kepercyaan tradisional dipandang sebagai bentuk-bentuk kearifan ekologi yang berfungsi cukup efektif sebagai mekanisme kontrol bagi pengelolaan lingkungan.Sehingga pengelolaan pariwisata dengan menghormati kearifan ekologi masyarakat setempat merupakan salah satu upaya menuju pembangunan pariwisata berkelanjutan. 2.3. THK dan Pariwisata Berkelanjutan Pariwisata berkelanjutan adalah kegiatan kepariwisataan yang mampu lestari dalam jangka panjang, serta mampu memberikan manfaat ekonomi, social, lingkungan alam dan budaya masyarakat. Kenikmatan yang harus dirasakan dari sector pariwisata kini haruslah tidak mengurangi kenikmatan yang harus dirasakan oleh generasi yang akan datang (Debudpar, 2004; dan Shandy, 1991). Menyimak pemahaman dan definisi tersebut, dapat dinayatakn bahwa pariwisata berkelanjutran, selain harus mendapat komitmen positif dari pemerintah, harus juga mendapatkan simpati dan dukungan positif dari masyarakat luas, Dukungan kuat masyarakat terhadap sebuah konsep disebutkan oleh McGinnis (1999) dalam Windia (2005) sebagai good governance. Good governance artinya sebuah sitauasi sosial yang masalahnya diketahui persis oleh masyarakat sendiri, dan tahu persisi apa yang harus dikerjakan untuk memecahkan masalah itu. Kondisi yang harmonis dalam suatu rasa kebersamaan merupakan hakikat yang paling universal dari implementasi konsep THK yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh komponen kepariwisataan di Bali melalui pelaksanaan THK Awards. Dengan timbulnya niat 10 secara internal untuk melaksanakan konsep THK di sector pariwisata, akan merupakan pertanda yang signifikan bahwa sector pariwisata Bali akan berlanjut. Secara teoritis dapat disebutkan bahwa hotel dan sector pariwisata akan diputuskan untuk dibangun melalui suatu analisis yang cermat. Dalam proses operasional, pihak pengelola umumnya akan melaksanakan analisis SWOT (untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dari perusahaan yang bersangkutan) agar asset yang itu dapat beroperasi secara maksimal. Selanjutnya, supaya asset di sector itu mampu menemukan nilai-nilai harmoni dan kebersamaan. Hanya dengan kondisi yang harmonis dan dalam suasana kebersamaan suatu asset di sector pariwisata akan dapat berlanjut. Konflik di sector pariwisata (baik internal dan juga pihak eksternal) akan menyebabkan wisatawan enggan untuk dating. Hal ini akan berakibat sector ini tidak akan berlanjut. THK Awards mengusung konsep keberlanjutan, maka harus disadari oleh semua pihak, khususnya komponen kepariwisataan di Bali, agar tidak terlalu mengharap mendapatkan manfaat yang instan. Secara khusus kiranya diperlukan dukungan yang positif dari pemerintah dan pihak legislatif. Tentu juga dari pihak komponen kepariwisataan agar kegiatan THK Awards ini menajdi kegiatan yang memiliki karisma tinggi di sector kepariwisataan di Bali. Hanya dengan cara-cara seperti inilah sector pariwisatadi Bali akan berlanjut dan pelaksanaan THK Awards adalah suatu lompatan awal yang besar bagi keberlanjutan dunia kepariwisataan di Bali. 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi : 1. Desk Study Desk study adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi umum mengenai implementasi Tri Hita Karana baik bidang Parahyangan, Pawongan dan Palemahan dalam bidang pariwisata khususnya hotel. 2. Obeservasi/Survey Lapangan Metode ini digunakan untuk mengamati situasi dan kondisi di lokasi terpilih secara langsung, melakukan diskusi partisipatif dengan para manager hotel atau dengan tim Tri Hita Karana Hotel. Hasil observasi akan membantu melengkapi kebutuhan data yang belum tercover dalam data sekunder (desk study). 3. Kuesioner Kuesioner merupakan alat pengukuran data yang berupa serangkaian pertanyaan untuk dijawab responden (Triton, 2007:61). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner untuk memperoleh data tentang implementasi Tri Hita Karana di bidang Parahyangan, Pawongan dan Palemahan hotel-hotel di Ubud. 3.2. Metoda Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 12 1. Identifikasi dan Inventarisasi Hotel yang menerapkan Tri Hita Karana di Ubud yang mengikuti Tri Hita Karana Award and Accreditations Tahun 2013. 2. Penilaian hotel-hotel di Ubud di bidang Parahyangan, Pawongan dan Palemahan. 3.3. Teknik Analisis Data Pengumpulan data menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu metode yang digunakan untuk memaparkan data yang telah diketahui melalui pengumpulan data yang diperoleh sesuai dengan kenyataan. Teknik analisis ini digunakan untuk menjelaskan atau memaparkan data yang didapatkan baik data kualitatif maupun data kuantitatif. (Kusmayadi, Sugiarto 2000:29). Fungsi dari analisis deskriptif adalah memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh (www.inparametric.com). Hasil analisis deskriptif berguna untuk mendukung interpretasi terhadap hasil analisis dengan teknik lainnya. 13 3.4. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian akan dilakukan selama 4 bulan untuk pengambilan data primer maupun data sekunder. Penelitian ini dilakukan bulan Agustus sampai bulan November 2013 di Daerah Ubud Kabupaten Gianyar Bali. Septem Agustus No Kegiatan November Oktober ber 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 1 Penyusunan Proposal 2 Pengajuan Proposal 3 Perbaikan Proposal 4 Pengumpulan Data 5 Pengolahan Data 6 Penyiapan Laporan 7 Penyerahan Hasil 8 Perbaikan Laporan 4 14 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Riwayat/ Sejarah Singkat Berdirinya Ubud Dalam perjalanan sejarah Guru Suci Mpu Markandya dari Gunung Raung Jawa ke Bali, dalam proses penyebaran Agama Hindu beliau tiba disebuah lereng atau bukit kecil yang memanjang kearah utara dan selatan. Bukit ini diapit oleh dua buah sungai yang berliku yang mirip seperti dua ekor naga. Sungai yang berada disebalah barat bernama Sungai Wos Barat, sedangkan yang berada disebelah timur Sungai Wos Timur. Mpu Markendya mendirikan sebuah permukiman yang disebut “Sarwa Ada” yang terletak disekitar desa Taro. Kedua sungai Wos barat dan Wos Timur bertemu menjadi satu disebuah lokasi yang disebut dengan campuhan. Di Campuhan inilah Mpu Markendya mengadakan tempat pertapaan dan beliau mulai merambas hutan untuk membuat pemukiman dan membagikan tanah pertanian bagi pengikutnya. Dengan demikian sempurnalah Yoga Sang Resi, dengan ditandai dengan mulainya kehidupan masyarakat di Desa ini dengan dianugrahinya tanah untuk pertanian sebagai sumber kehidupan. Sebutan Wos untuk kedua sungai yang telah bercampur dan melekat menjadi nama desa/pemukiman pada jaman itu. Sedangkan nama sungai ini sesuai dengan maknanya. Sesuai dengan isi lontar Markandya Purana,Wos ngaran “Usadi”, Usad ngaran “Usada”, dan Usada ngaran “Ubad”. Dari kata ubad ini ditranskripsikan menjadi UBUD. 15 Selain tersebut di atas, Kelurahan Ubud juga memiliki sejarah kepemimpnan Kepala Desa. Keperbekelan Desa di Ubud dimulai tahun 1922 yang dipimpin oleh seorang perbekel pada waktu itu bernama Pan Grya. Wilayah Ubud waktu itu meliputi Sambahan, Junjungan, Bentuyung, Ubud, Kutuh, dan Nagi. Pan Grya kemudian digantikan oleh A.A Gde Kerempeng yang menambah lagi wilayahnya ke Taman Kaja, Padangtegal dan Tegallantang. Sejak tanggal 31 Desember 1980 Keperbekelan Ubud berubah status menjadi Kelurahan, dan perbekelnya Tjokorda Gde Rai Darmawan diangkat menjadi Kepala Kelurahan Ubud.(lahirnya Kelurahan Ubud tanggal 1 Januari tahun 1981). Sejak jaman perang kemerdekaan putra-putri Ubud telah banyak yang ikut memberi andil demi kemajuan Bangsa dan Negara, seperti I wayan Suweta, Nyoman Sunia, Ida Tjokorda Putra Sudarsana, Nombrong dan Made Kajeng. Demikian juga di jaman pembangunan ini salah seorang putra Ubud, yaitu: DR. Ir. Tjokorda Raka Sukawati juga telah memberikan andil yng sangat berharga bagi kemajuan bangsa dan Negara kita, khususnya dalam bidang pembangunan fisik, berupa penciptaan sebuah teknik pembangunan yang dinamakan “Sosrobahu” dalam pembuatan jalan layang di Jakarta. Selanjutnya Ubud terus berkembang mengikuti perkembangan Pariwisata yang semakin hari semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan Domestik maupun wisatawan Mancanegara termasuk seniman-seniman lukis Asing berdatangan ke Kelurahan Ubud bahkan ada yang menetap di sana. Demikian sejarah singkat terbentuknya Kelurahan Ubud dan kondisi terkini yang sedang berkembang di wilayah tersebut. Sebuah wilayah yang begitu inspiratif bagi 16 orang luar Ubud, seperti Desmond Tutu, seorang peraih Nobel Perdamaian Dunia, yang menyebut Ubud sebagai “Pusat Kebudayaan Dunia”atau “Ubud Capital of Culture For the World”. Seiring ketenaran nama Ubud di dunia internasioanal karena seni, budaya dan agamanya yang seolah-olah menyatu dalam kehidupan kesehariannya disertai keramahan penduduknya merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang mengunjungi Kelurahan Ubud. Banyak wisatawan asing yang mengunjungi Ubud tertarik untuk menetap di sana, terutama para seniman musik dan lukis seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Antonio Blanco, Han Senel, dan yang lainlainnya. 4.2. Kondisi Fisik Ubud 4.2.1. Letak Geografis Ubud merupakan salah satu dari kecamatan yang ada di Kabupaten Gianyar, terletak antara 8o 27' 17" - 8o 34' 43" Lintang Selatan 115o 13' 45,7" - 115o 16' 51,7" Bujur Timur. Terletak pada ketinggian 75 – 325 m, dan jarak dari pusat Kota Gianyar adalah 9,75 km dengan luas wilayah 42,38 km2 yaitu 11,52 persen dari luas keseluruhan Kabupaten Gianyar dan 0,75 persen luas Pulau Bali. Seperti umumnya keadaan musim di daerah lainnya, Kecamatan Ubud dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Keadaan ini berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup di kawasan Indonesia. Pada bulan Januari sampai Desember arus angin yang berhembus banyak membawa uap air kerena melewati Samudra Pasifik 17 dan beberapa lautan di sekeliling luar Indonesia, sehingga mengakibatkan musim yang tidak menentu dan sering terjadi hujan lebat disertai angin besar. Curah hujan antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan letak stasiun pengamat. Sejak tahun 2006 pencatatan curah hujan dilakukan pada tiap-tiap kecamatan dengan masing-masing ada 1 buah tempat pencatatan curah hujan. Berdasarkan hasil pencatatan curah hujan bahwa sepanjang tahun 2011 curah hujan di Kabupaten Ubud berkisar antara 10 – 560 mm. Kecamatan dengan total curah hujan tertinggi adalah kecamatan Payangan yaitu sebesar 2380 mm, tempat kedua Kecamatan Ubud dengan total curah hujan 2106 mm sedangkan kecamatan dengan curah hujan terkecil adalah Kecamatan Gianyar dengan total curah hujan 1431 mm. Bulan Agustus merupakan bulan terkering selama tahun 2011 dengan curah hujan berkisar 10 - 23 mm. 4.2.2. Topografi dan Geologi Kecamatan Ubud termasuk kawasan dengan batuan induk yang berasal dari abu vulkan intermedier. Tanah yang terbentuk dari batuan ini adalah jenis tanah regosol coklat kekuningan dan regosol berhumus. Jenis tanah ini memiliki kepekaan terhadap erosi yang cukup tinggi karena 18 dalam proses pembentukannya masih tergolong muda dan belum mengalami pelapukan secara sempurna sehingga cenderung bersifat porus. 4.2.3. Hidrologi Hidrologi wilayah dapat ditinjau dari keberadaan sumber-sumber air, baik itu dari air permukaan maupun air bawah tanah. Ketersediaan air di wilayah penelitian didukung oleh air permukaan yang bersumber dari air sungai seperti Sungai Ayung dan Sungai Wos yang mempunyai aliran kontinyu sepanjang tahun atau disebut sungai perennial. Jenis air permukaan juga bisa berasal dari mata air dengan potensi yang berbeda dan penyebarannya tidak sama. Kapasitas air sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologi, iklim, daerah tangkapan, vegetasi, dan struktur geologi. 4.2.4. Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang dalam wilayah penelitian menggambarkan penggunaan lahan pada saat ini. Penggunaan lahan didominasi oleh tanah sawah seluas 1.903 Ha dan kedua terbesar adalah berupa lahan tegal/kebun seluas 1.110 Ha. Selanjutnya merupakan lahan pemanfaatan pekarangan rumah 981 Ha dan diikuti pemanfaatan lainnya seluas 205 Ha serta dimanfaatkan untuk hutan rakyat dan tanaman perkebunan masingmasing 10 Ha dan 7 Ha. 19 4.3 Sosial dan Budaya 4.3.1. Demografi Berdasarkan data Gianyar Dalam Angka Tahun 2012, jumlah penduduk di Kecamatan Ubud yaitu 70.408 jiwa dimana 35.586 jiwa penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan 34.821 jiwa penduduk berjenis kelamin perempuan. Dan jumlah warga negara asing di Kecamatan Ubud menempati paling tinggi diantara kecamatan lainnya di Kabupaten Gianyar yaitu 38 jiwa yaitu 24 jiwa berada di daerah perkotaan dan 14 jiwa berada di daerah pedesaan. 4.3.2. Pendidikan Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan suatu penduduk secara umum berkorelasi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkannya. Peningkatan SDM melalui pendidikan bisa dilakukan karena pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran dan interaksi sosial. Melalui pendidikan proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terjadi. Pendidikan juga merupakan instrument utama dalam internalisasi, adaptasi, akulturasi, pewarisan 48 nilai-nilai antar generasi dan penciptaan budaya baru tanpa meninggalkan karakteristik budaya setempat. Dilihat dari perspektif ekonomi, pendidikan dapat memacu pertumbuhan suatu wilayah. Peningkatan kualitas pendidikan akan meningkatkan produktivitas yang berimbas pada peningkatan pendapatan, menurunya kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. 20 4.3.3 Perhotelan dan Kepariwisataan Kepariwisataan diharapkan menjadi sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, mengkatrol sektor lain yang terkait, membuka lapangan kerja dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan masyarakat daerah. Potensi Kepariwisataan daerah Kabupaten Gianyar adalah obyek wisata berupa keindahan alam dan seni budaya yang bersumber dari agama Hindu. Berdasarkan hasil pendataan akhir tahun 2010 banyaknya Hotel/Penginapan di Kabupaten Gianyar 395 buah, diantaranya 13 buah dengan katagori Hotel berbintang, 378 hotel non bintang dan 4 penginapan lainnya. Dari seluruh akomodasi Hotel/Penginapan tersebut tercatat kapasitas kamarnya adalah 3.746 buah dan tempat tidur 5.006 buah. Hampir seluruh Hotel/ Penginapan berlokasi di Kecamatan Ubud yaitu 338 buah, di Kecamatan Sukawati 16, Kecamatan Blahbatuh 12, Kecamatan Payangan 9, Kecamatan Tegallalang 8, Kecamatan Gianyar dan Tampaksiring masingmasing 6 buah akomodasi. Tingkat hunian kamar hotel untuk hotel berbintang pada tahun 2011 sebesar 50,25 % dan untuk hotel non bintang sebesar 32,84 %. 21 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hotel yang ikut serta dalam Tri Hita Karana Awards and Accreditation Hotel dan penginapan yang berada di Kecamatan Ubud berdasarkan data statistik Kabupaten Gianyar tahun 2013 adalah 338 buah. Dari 338 buah hotel dan penginapan yang ada di Ubud hanya 15 hotel yang mengikuti penilaian Tri Hita Karana Awards and Accreditation. Hotel- hotel tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1. Tabel 5.1 Daftar Hotel Peserta Tri Hita Karana Awards and Accreditation Di Ubud, Gianyar Tahun 2013 No Nama Hotel Kategori Alamat 1 Alaya Ubud Boutique 2 Alila Ubud Bintang 4 Ds. Melinggih Kelod PayanganGianyar Bintang 5 Br. Kutuh, Desa Sayan-Ubud Melati Jl. Raya Campuhan Ubud 4 Fourseason Resort at Sayan Ubud Hotel Tjampuhan & Spa 5 Kamandalu Resort & Spa Bintang 5 Jl. Andong, Banjar Nagi Ubud 6 Maya Ubud Resort & Spa Bintang 5 Jl. Gunung Sari Peliatan Ubud 7 Pita Maha A Tjampuhan Resort & Spa Ubud Bali – Boutique Privacy Boutique Jl. Raya Sanggingan Campuhan Ubud-Gianyar Bali 8 Puri Sebatu Resort Bintang 2 Banjar Abangan, Ubud-Bali 9 Puri Sunia Resort Melati Jl. Tirta Tawar, Br. Abangan, Tegalalang-Ubud Bali Bintang 5 Jl. Penestanan 9, Sayan-Ubud Boutique Jl. Raya Kedewatan Ubud-Gianyar 3 11 The Mansion Resort Hotel & Spa The Royal Pitamaha Resort 12 The Samaya Ubud Boutique Br. Baung Desa Sayan-Ubud 13 Ubud Green Resort Villas Boutique Jl. Sri Wedari No. 8 Ubud 14 Wapa Di Ume Resort & Spa Boutique Jl. Suweta, Bre. Batuyung, Ubud-Bali 10 15 Warwick Ibah Luxury Bintang 4 Sumber : Tim THK Awards and Accreditation 2013 Jl. Raya Tjampuhan-Gianyar 22 Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa hotel dan penginapan yang mengikuti penilaian Tri Hita Karana Awards and Accreditation adalah 4 buah hotel dengan kelas bintang 5, 2 buah hotel dengan kelas bintang 4, 6 buah hotel kelas boutique dan sisanya kelas bintang 2 dan melati. Hal ini menunjukkan bahwa sedikit sekali hotel yang dengan sukarela mengikuti penilaian ini yaitu hanya 4,44% hotel yang mengikuti penilain dari jumlah keseluruhan hotel yang ada di Ubud. 5.2 Implementasi Tri Hita Karana di Hotel Penilaian Tri Hita Karana meliputi tiga aspek yaitu Parahyangan, Pawongan dan Palemahan di masing-masing hotel. 5.2.1 Parahyangan Aspek Parahyangan dalam penilaian Tri Hita Karana mencakup didalamnya yaitu penggunaan simbol sakral, tempat pemujaan, kontribusi perusahaan terhadap keagamaan, pelestarian dan pengembangan tradisi keagamaan, keagamaan bagi karyawan, pengenalan konsep THK pada tamu, program ritual keagamaan, letak tempat pemujaan, penanggung jawab keagamaan, perpustakaan THK, pemeliharaan tempat pemujaan, pengunaan bahan bangunan sebagai tempat suci, pemberian nama pada bangunan dan ruangan dan dharma wacana. 1. Penggunaan simbol sakral Simbol-simbol sakral dalam tradisi Hindu memiliki aturan sendiri dalam hal penggunaan dan penempatannya. Penempatan simbol sakral ini tidak hanya dilihat indahnya namun ketepatan penempatannya. 23 Berdasarkan hasil penelitian lapangan seluruh (100%) hotel di Ubud yang ikut berpartisipasi dalam THK tidak menggunakan simbol-simbol sakral di tempat-tempat yang tidak sesuai. Dalam arti lain simbol-simbol tersebut ditempatkan sesuai dengan aturannya. 2. Tempat Pemujaan Setiap hotel idealnya memiliki tempat pemujaan, dan 100 persen hotel yang berpartisipasi dalam THK memiliki tempat pemujaan. Walaupun terkadang tidak memiliki tempat pemujaan yang lengkap sesuai kaidah Hindu. 38 persen memiliki tempat pemujaan lengkap, 30 persen memiliki hanya 4 tempat pemujaan, dan 30 persen hanya memiliki 3 tempat pemujaan. Lengkapnya suatu tempat pemujaan dalam hal ini dalah memiliki pelinggih, padma, tugu, piyasan, bale pemujaan, penunggun karang dan dibatasi tembok penyengker. Gambar 5.1 Tempat Pemujaan di The Samaya,Ubud (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 24 3. Kontribusi dalam kegiatan keagamaan di pura sekitarnya Dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan umat di sekitarnya dapat di lihat dari sejauh mana perhatian hotel kepada kegiatan umat di tempat pemujaan sekitar objek. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sumbangan baik materiil maupun imateriil. Berdasarkan hasil penelitian bahwa 92,31 persen hotel memberikan sumbangan sukarela di masing-masing pura sekitar hotel tiap ada upacara keagamaan, dan hanya 7,69 persen hanya memberikan sumbangan sekali dalam setahun. 4. Pelestarian dan Pengembangan Tradisi Agama Pelestarian kegiatan kebudayaan keagamaan dilakukan oleh hotel seyogyanya membuat perencanaan yang matang. Sebesar 61,54% pihak hotel memiliki program tertulis dengan jelas dan memberikan fasilitas pelatihan serta pembinaan untuk melestarikan tradisi keagamaan, 30,77% pihak hotel hanya memberikan fasilitas dan pelatihan pelestarian tradisi keagamaan dan 7,69% hotel sama sekali tidak menyediakan fasilitas, namun karyawan diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan di luar hotel. 5. Sosialisasi THK kepada tamu hotel Setiap hotel idealnya memiliki program untuk mensosialisasikan THK kepada tamu baik melalui karyawan ataupun wujud symbol dan adanya buku-buku tentang THK. Sebanyak 76,93% hotel menyatakan bahwa setiap karyawan diwajibkan untuk mengenalkan konsep THK kepada 25 wisatawan yang menginap di hotelnya. Sedangkan hanya 15,38% menyatakan bahwa karyawan hotel hanya memperkenalkan konsep tersebut dan hanya 7,69% menyatakan bahwa karyawan akan menjelaskan bila karyawan bertanya tentang konsep THK. 6. Tata Letak dan pemeliharaan tempat pemujaan Pemanfaatan tata ruang dalam budaya Hindu di Bali memiliki latar belakang filosofi dalam dimensi yang cukup dalam dan luas. Idealnya dimana letak pemujaan didirikan, dibagi menjadi tiga denga merujuk konsep Tri Mandala. Hampir 69,23% hotel di Ubud menggunakan konsep Tri Mandala yang dapat menampung seluruh karyawan melaksanakan persembahyangan dengan nyaman dan 30,73% menyatakan bahwa tempat pemujaan di hotel tidak sesuai dengan konsep Tri Mandala namun masih dapat memberikan rasa nyaman kepada karyawan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Selain itu tempat pemujaan juga harus dijaga kebersihannya. Seratus persen hotel menyatakan bahwa tempat pemujaan harus bersih dan terpelihara dengan baik, ada tanaman yang tertata dengan rapi sehingga tampak asri. 26 Gambar 5.2 Kondisi dan keberadaan Pura di Hotel Pita Maha Tjampuhan,Ubud (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 7. Penanggung jawab keagamaan Kegiatan keagamaan di hotel seyogyanya memiliki organisasi dengan kelembagaan yang kuat, seperti adanya pemangku (penanggung jawab pelaksanaan ritual) di pura dan harus ada kepastian kewajiban dan hak yang transparan yang diatur dalam suatu ketentuan tertulis. Sebesar 30,77% pihak hotel memiliki penanggung jawab pelaksanaan upacara sehari-hari yang berasal dari luar hotel (bukan status sebagai karyawan hotel), sebanyak 15,38% hotel menyerahkan kepada karyawan secara bergantian untuk melaksanakan upacara agama sehari-hari dan 53,85% pihak hotel memiliki seorang penanggung jawab tetap (pemangku di pura hotel) dalam melaksanakan upacara sehari-hari. 27 8. Perpustakaan THK Perpustakaan THK dimaksudkan adalah perpustakaan khusus tentang kebudayaan Bali dengan THK-nya dan berbagai sarana promosi THK yang berbentuk elektrik (kaset, CD, Video, VCD dan DVD), gambargambar dan bentuk lainnya. 15,38% pihak hotel memiliki bukubuku/video dokumentasi yang berkaitan dengan THK lebih dari 25 judul buku dan lebih dari 25 video, 7,69% pihak hotel hanya memiliki buku dan video antara 15 – 20 judul buku dan video, 7,69% memiliki antara 5 – 10 judul buku dan video, 23,08% pihak hotel memiliki buku ataupun video tentang THK kurang dari 5 judul buku sedangkan yang paling tertinggi persentasenya adalah memiliki antara 10 – 15 judul buku dan video tentang THK yaitu sebesar 46,16%. 9. Pemberian nama pada bangunan dan ruangan Pemberian nama pada bangunan dan ruangan disesuaikan dengan budaya local Bali, misalnya menggunaka nama-nama bunga yang ada di Bali, atau menggunakan nama tokoh Pewayangan dalam Mahabaratha atau Ramayana. Penamaan nama-nama tersebut agar disesuaikan dengan norma-norma penggunaan budaya Bali. Sehingga tidak melanggar norma etika budaya Bali. Sebesar 30,77% menyatakan semua nama ruangan atau bangunan yang ada di hotel telah dengan kontektual budaya local dan di tulis dengan dengan huruf lokal (Bali) dan huruf latin, 38,46% menyatakan semua menggunakan nama budaya local Bali namun hanya menggunakan huruf 28 latin saja, 7,69% menyatakan hanya berkisar antara 50-90% ruangan dan bangunan menggunakan nama budaya local dan dengan huruf latin saja, 7,69% menyatakan hanya 25-49% ruangan dan bangunan menggunakan nama budaya local dan ditulis hanya dengan huruf latin saja. Seperti misalnya di The Samaya Ubud, seluruh kamar dan villa diberi nama sesuai dengan pohon yang ada di dalam villa seperti kelapa, jati, manggis, dsb. Gambar 5.3 Penamaan kamar di The Samaya,Ubud sesuai dengan tumbuhan yang ada (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 10. Dharma Wacana Seyogyanya di setiap hotel ada Dharma Wacana tentang udaya Bali terutama tentang THK secara periodic dengan program dengan pendalaman THK, dan adanya tenaga khusus yang menangani sehingga dapat berkesinambungan dan tidak membosankan. Hanya 7,69% pihak hotel melaksanakan Dharma wacana rutin tiap tiga bulan dan ada piodalan di pura hotel dengan melibatkan karyawan, 46,18% hotel melaksanakan 29 dharma wacana saat piodalan dan melibatkan karyawan hotel, 23,08% pihak hotel hanya melaksanakan dharma wacana setiap tahun sekali sesuai dengan program, 7,69% pihak hotel melaksanakannya setahun sekali namun tidak memiliki program dan melibatkan karyawan tertentu saja dan 15,38% hotel sama sekali tidak memiliki program dharma wacana. 5.2.2 Pawongan Aspek Pawongan dalam penilaian Tri Hita Karana mencakup di dalamnya adalah aspek internal, eksternal dan semuanya menekankan pada harmoni. Aspek ini meliputi kegiatan sosial hotel terhadap lingkungan sekitarnya, program dan kegiatan koperasi/simpan pinjam hotel, buku kesan dan pesan wisatawan. 1. Kegiatan sosial hotel terhadap lingkungan sekitarnya Kegiatan social yang dimaksud dalam hal ini adalah program pengembangan organisasi sosial di sekitar hotel, kegiatan pelestarian budaya Bali, pemberdayaan organisasi tradisional di sekitar hotel dan kepedulian terhadap masalah social di sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa sebanyak 76,92% pihak hotel melaksanakan program tersebut dan dilampirkan dengan bukti-bukti pelaksanaan program, sedangnyan 23,08% menyatakan tidak memiliki program dan tidak memiliki bukti pelaksanaannya (pada gambar 5.4). 30 Gambar 5.4 Kegiatan gotong royong di desa sekitarnya (Sumber: Foto Alila Ubud) Alila Ubud mempunyai program tertulis dan ada bukti pelaksanaannya seperti latihan menari anak-anak dari desa sekitar hotel yang dilakukan setiap sore pada hari Selasa dan Minggu yang dilakukan warga Banjar Bayad di Cabana Lounge / Pool area Alila Ubud dimana tamu bisa menyaksikan secara langsung yang ditunjukkan pada Gambar 5.5. Gambar 5.5 Kegiatan Sosial Pelestarian Budaya Bali di Alila, Ubud (Sumber: Foto Alila Ubud) Sedangkan untuk kegiatan pemberdayaan seniman local di hotel, sebesar 69,24% pihak hotel menyatakan bahwa ada program tertulis dan 31 disertai dengan bukti tentang memberdayakan seniman local di hotelnya, 15,38% menyatakan tidak memiliki program namun memiliki bukti-bukti pelaksanaannya dan sebesar 15,38% menyatakan tidak memiliki program, tidak memiliki bukti namun pihak hotel sependapat bahwa kegiatan itu penting dilaksanakan. Gambar 5.6 Pemberdayaan Seniman Lokal di Alila, Ubud (Sumber: Foto Alila Ubud) 2. Konflik Konflik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah konflik/perselisihan yang terjadi antara pihak manajemen hotel dengan karyawannya maupun pihak hotel dengan masyarakat sekitarnya. Hampir semua hotel (100%) menyatakan bahwa tidak pernah terjadi konflik antara manajemen hotel dengan karyawannya atau dengan masyarakat sekitarnya. 3. Program mempekerjakan penderita cacat Idealnya hotel mempunyai program mempekerjakan penderita cacat, dari hasil penelitian bahwa sebesar 38,46% hotel memiliki program 32 tertulis mempekerjakan penderita cacat dan ada bukti, 7,69% hotel memiliki program tertulis/kesepakatan manajemen/komitmen mempekerjakan penderita cacat namun belum ada penderita cacat yang dipekerjakan, 7,69% hotel tidak memiliki program, tidak mempekerjakan namun memberikan pelatihan kepada penderita cacat untuk beberapa keterampilan yang dibutuhkan hotel dan 46,16% pihak hotel tidak memiliki program namun sependapat tentang perlunya membantu penderita cacat untuk bekerja di hotel. 4. Menampung produksi masyarakat local Pada idealnya hotel bersedia menampung hasil produksi masyarakat lokal. Produksi masyarakat lokal yang dimaksud disini adalah masyarakat yang berdomisili di Bali dan lebih diutamakan dari masyarakat sekitarnya. Hasil produksi yang dimaksudkan adalah produksi yang dikembangkan di Bali. Berdasarkan hasil penelitian lebih dari lima puluh persen yaitu 84,62% pihak hotel menampung produksi masyarakat lokal untuk mensupply kebutuhan hotel disertai dengan kesepakatan antara pihak hotel masyarakat, dan 25,38% hotel tidak memiliki kesepakatan antar dua belah pihak namun diyakini mereka menampung produksi masyarakat lokal. 33 Gambar 5.7 Pemanfaatan produk lokal masyarakat di Pita Maha Tjampuhan,Ubud. (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 5. Tenaga Kerja Dalam hal tenaga kerja, idealnya pihak hotel menyerap semaksimal tenaga kerja lokal dan sedikit menyerap tenaga asing. Dari hasil penelitian yang dilakukan sebesar 84,62% pihak hotel menggunakan tenaga kerja lokal yaitu antara 85-100%, dan sisanya 15,38% pihak hotel menyatakan menggunakan tenaga kerja lokal antara 70 – 84%. Untuk penyerapan tenaga asing sebesar 53,85% pihak hotel tidak menggunakan warga negara asing sebagai tenaga kerja, 30,77% pihak hotel menggunakan 1 orang tenaga kerja asing, 7,69% hotel menggunakan 2 orang tenaga asing dan 7,69% pihak hotel menggunakan 3 orang tenaga asing sebagai tenaga kerja. Pita Maha Tjampuhan Ubud menerapkan 100 persen menggunakan tenaga local khususnya di daerah Ubud dan masih menggunakan sistem 34 kekeluargaan (Gambar 5.8). Sedangkan proporsi karyawan lokal Alila Ubud adalah 85-100%. Laporan Data Karyawan Alila Ubud periode September 2013 adalah 73% karyawan lokal daerah Bayad dan sekitarnya. Dan 97 % merupakan WNI. WNA yang bekerja di Alila Ubud awalnya berjumlah 3 orang, namun mulai bulan September 2013 kita memakai 2 orang tenaga kerja asing . Gambar 5.8 Tenaga kerja lokal di Hotel Pita Maha Tjampuhan,Ubud (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 6. Fasilitas wisatawan cacat Fasilitas wisatawan cacat yang dimaksudkan adalah seluruh fasilitas yang ada dihotel seperti jalan untuk kursi roda, toilet khusus dan kamar untuk tamu yang cacat fisik. 30,77% pihak hotel memiliki sarana dan prasarana yang lengkap untuk tamu yang cacat fisik, 46,15% pihak hotel belum mempunyai fasilitas yang dimaksudkan dan akan segera 35 merealisasikan dan diprogramkan oleh pihak manajemen, dan 23,08% pihak hotel belum memiliki sarana serta tidak ada program tersebut. Seperti pada Gambar 5.8 yang menyediakan kursi roda dan jalan khusus untuk wisatawan cacat , serta ditempatkan pada kamar yang dekat dengan lobby. Gambar 5.9 Jalan khusus wisatawan cacat (Sumber : Foto Alila Ubud) 7. Guest comment Guest comment ini biasanya selalu ada dalam setiap hotel dan dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana kinerja pegawai hotel dan keadaan hotel. Hampir 92,31% pihak hotel menyatakan bahwa guest comment yang ada dinyatakan very good dan excellent melebihi dari 75% dan hanya 7,69% dari guest comment yang ada menyatakan very good dan 36 excellent minimal 75%. Dari guest comment ini hotel dapat meningkatkan kinerja dan pelayanan pegawai yang dilakukan pada tamu. 8. Repeater guest Idealnya hotel memiliki repeater guest yaitu tamu yang sama intensitas menginapnya di sebuah hotel dapat lebih dari satu kali menginap. 46,15% hotel memiliki repeater guest ≥ 20%, 23,08% hotel memiliki repeater guest antara 15 – < 20%, 7,69% pihak hotel memiliki repeater guest antara 10 – < 15%, 15,38% hotel memiliki repeater guest antara 5 - < 10%, dan 7,7% hotel memiliki repeater guest < 5%. 9. Proporsional gaji Dalam hal ini sangat diharapkan sekali distribusi gaji harus proporsional antara manajemen puncak (top), menengah (middle) dan bawah (low). Sehingga dengan adanya gaji yang proporsional tidak menimbulkan konflik dan kesenjangan antar karyawan. 15,38% pihak hotel menyatakan bahwa proporsional gaji antara manajemen ada kesenjangan (gap) agak tinggi dan sisanya sebesar 84,62% pihak hotel menyatakan bahwa gaji karyawan kesenjangannya tidak tinggi. Dengan tidak tingginya kesenjangan ini akan dapat menjaga keharmonisan antar karyawan. 10. Length of stay Length of stay yang dimaksudkan disini adalah lama tamu menginap di sebuah hotel. Idealnya seorang tamu menginap lebih dari 12 hari pada sebuah hotel. 15,38% hotel memiliki tamu dengan tingkat length of stay 8 37 hari, 53,85% hotel memiliki length of stay 4 – 8 hari, dan 30,77% hotel memiliki length of stay 1 – 3 hari. Tidak ada satupun hotel dalam penelitian ini memiliki tamu dengan tingkat length of stay lebih dari 12 hari. 11. Turn over karyawan Turn over karyawan yang dimaksudkan disini adalah perpindahan karyawan dari hotel semula ke hotel lain karena menemukan posisi yang lebih baik atau karena alasan tertentu dalam satu tahun. Diharapkan tidak adanya turn over karyawan ke perusahaan lain karena ketidakpuasan. 38,46% pihak hotel karyawannya tidak ada yang pindah, 38,46% pihak hotel karyawannya ada yang pindah maksimal sebanyak 3 orang dalam setahun dan ada 23,08% pihak hotel yang karyawannya pindah maksimal 6 orang dalam setahun. Perpindahan karyawan ini dikarenakan karena menemukan posisi yang lebih bagus dibandingkan karena ketidakpuasan. 12. Pemeriksaan karyawan Pemeriksaan karyawan yang dimaksudkan disini adalah khususnya di bagian food and beverage service dilakukan pemeriksaan rectal swab yaitu pemeriksaan bakteri E.Coli setiap enam bulan sekali pada Dinas Kesehatan yang ditunjuk dengan menunjukkan piagam atau sertifikat yang menyatakan bahwa karyawannya bebas dari bakteri E. Coli. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa 15,38% pihak hotel tidak memeriksakan karyawannya dan 84,62% hotel telah melakukan 38 pemeriksaan karyawan pada dinas kesehatan yang ditunjuk dan melampirkan surat atau piagam yang menunjukkan hasil tes. Alila Ubud melakukan cek E.Coli tiap enam bulan sekali, terbukti dengan adanya Surat Keterangan LAIK SEHAT HOTEL oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar tanggal 4 Agstus 2013 dan Hasil Terbaru Rectal Swab yang di adakan pada 10-11 September 2013. Serta Plakat Hygiene yang telah di tandatangani oleh Dinas Kesehatan yang berlaku sejak tanggal 06 September 2013 sampai dengan 05 Maret 2014. 13. Program K3 Program K3 adalah Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja, dimana setiap hotel atau perusahaan memiliki program ini dan melaksanakan pelatihan secara periodik kebijakan K3. Sebesar 61,54% hotel memiliki program tertulis dan latihan secara periodic, 23,08% hotel tidak memiliki program tertulis namun melakukan latihan secara periodic, dan 15,38% pihak hotel tidak memiliki program K3 dan latihan hanya sewaktu-waktu saja. Seperti yang dilakukan di Alila Ubud yaitu melakukan Pengujian berkala kepada Instalasi Fire Hydrant System, Instalasi Listrik dan Instalasi Fire Alarm System dan Training Fire Drill tahun 2013 akan diadakan bulan Nopember 14. Penghargaan pada karyawan Dalam setiap perusahaan/hotel biasanya karyawan diberikan award sebagai bentuk terima kasih atas prestasi kerja yang dilakukan kepada pihak perusahaan. Award ini dapat diberikan berupa materiil maupun 39 imateriil yang biasanya di nilai dalam kurun waktu satu tahun. Sebanyak 69,23% pihak hotel memberikan penghargaan kepada karyawannya dan dilengkapi dengan bukti berupa dokumentasi sedangkan 30,77% hotel hanya menyatakan setuju memberikan penghargaan pada karyawan namun tidak melaksanakannya. Gambar 5.10 Penghargaan karyawan (Sumber : Foto Alila Ubud) 15. Koperasi karyawan Idealnya hotel memiliki koperasi karyawan yang dapat digunakan untuk kesejahteraan karyawan. Selain itu juga pihak hotel memberikan fasilitas bagi pengembangan koperasi misalnya memberikan kepada koperasi untuk memasok (sebagai supplier) kebutuhan hotel, membantu karyawan dan membantu ruang kerja dengan fasilityasnya (listrik, AC, dll) secara gratis. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa 53,85% hotel memiliki koperasi dan semuanya memenuhi criteria dalam checklist, 7,69% hotel memiliki koperasi namun tidak mendapatkan fasilitas dari pihak hotel, 40 23,08% pihak hotel menyatakan tidak memiliki koperasi namun ada kegiatan bersama berupa simpan pinjam, dan 15,38% hotel menyatakan tidak memiliki koperasi dan tidak ada kegiatan namun mereka menyadari hal ini penting untuk dilakukan. Alila Ubud mempunyai Koprasi karyawan yang dikelola oleh karyawan sejak tahun2008. Gambar 5.11 Koperasi karyawan (Sumber : Foto Alila Ubud) 16. Fasilitas cuti, jaminan kesehatan dan bonus karyawan Idealnya hotel memiliki fasilitas cuti bagi karyawan dan memberikan jaminan bagi karyawan yang sakit yang termuat dalam peraturan kerja bersama (PKB) atau kesepakatan kerja bersama (KKB) atau peraturan perusahaan yang mengatur hak dan kewajiban karyawan. Seluruh hotel yang diteliti memiliki aturan yang disebutkan diatas yang tercantum dala KKB/PKB hotel. Dan seluruh karyawan mendapatkan bonus dan tunjangan hari raya secara proporsional. 41 Alila Ubud memberikan jaminan kesehatan kepada karyawan dengan mengikutsertakan seluruh karyawan Alila Ubud dalam Yanthy Associates dimana premi nya dibayar penuh oleh Alila Ubud. 17. Fasilitas olahraga bagi karyawan Idealnya hotel menyediakan fasilitas olahraga bagi karyawan hotel seperti, voli, basket, bulu tangkis dan sejenisnya. 38,46 persen pihak hotel menyediakan fasilitas tersebut di kawasan hotel, 46,15persen hotel tidak menyediakan fasilitas tersebut di kawasan hotel, namun hotel membiayai setiap kegiatan olahraga karyawan yang dilakukan di luar hotel, 7,69 persen hotel tidak menyediakan fasilitas olahraga namun membiaya kegiatan olahraga karyawan pada hari-hari tertentu dan terakhi adalah hotel tidak memiliki fasilitas dan tidak membiayai kegiatan olahraga karyawan sebesar 7,69 persen. Alila Ubud tidak menyediakan fasilitas olahraga bagi karyawan di kawasan hotel, namun kami membiaya setiap kegiatan olahraga karyawan yang dilakukan di luar hotel. Misalnya : Futsal, Bulutangkis dan turut berpartisipasi baik dalam hal kegiatan maupun pemberian donasi dalam berbagai kegiatan olahraga yang dilakukan oleh karyawan. 18. Pemberdayaan SDM internal Pemberdayaan sumberdaya manusia internal yang dimaksudkan adalah melakukan kegiatan in house training yang menggunakan SDM hotel sendiri. Hanya 7,69 persen pihak hotel tidak memiliki program in house training dan memberdayakan SDM internal sedangkan 92,31 persen 42 memberdayakan SDM internal dan sangat aktif melakukan in house training bagi karyawan baik bagi karyawan yang baru maupun yang lama. Gambar 5.12 Pemberdayaan SDM Internal (Sumber : Foto Alila Ubud) 19. Keberadaan Serikat Pekerja Pariwisata Hotel diharapkan menjamin keberadaan serikat pekerja pariwisata (SP Par) dan memiliki pengurus serta kantor. Dari 13 hotel yang ikut dalam THK Awards hanya 30,77% yang sudah ada organisasi SP Par serta memiliki kantor dan pengurus, 38,46% ada organisasi dan pengurus namun tidak memiliki kantor sedangkan 30,77% belum memiliki organisasi namun menganggap hal itu sangat perlu untuk dibentu. Alila Ubud memiliki organisasi SP Par SPF.SPSI Alila Ubud dan Bipartit “Welfare Committee”, terdapat pengurusnya dan mempunyai kantor serta melakukan meeting secara rutin. Alila Ubud mengadakan 43 Welfare Commitee Meeting Dan General Meeting secara berkala. Hal ini tertuang dalam Buku KKB Alila Ubud. 5.2.3 Palemahan Aspek Palemahan dalam penilaian Tri Hita Karana mencakup tentang komitmen hotel terhadap kualitas lingkungan. Penerapan arsitektur Bali, pelestarian dan pengembangan ekosistem, pengelolaan limbah (cair, padat dan gas), partisipasi hotel terhadap lingkungan, penghematan energy dan sumberdaya alam, penamaan ruangan, bangunan sesuai dengan budaya Bali, melakukan pemantauan lingkungan secara berkala. 1. Penanganan Sampah Sampah adalah sisa-sisa kegiatan yang tidak dimanfaatkan lagi dan pihak hotel idealnya mampu menangani sampah dengan baik dan meminimalkan produksi sampah yang dibuang ke lingkungan. Sampah yang di buang ke lingkungan sebaiknya dilakukan pemisahan baik yang berupa sampah organic maupun sampah unorganic. Dimana sampah yang anorganik ini dipisahkan kembali menjadi kaleng, kertas, botol maupun plastic yang selanjutnya dilakukan proses (reduce, reuse dan recycle). Sedangkan sampah yang organic sebagian dimanfaatkan dan dikomposkan. Hanya 76,92 persen hotel melaksanakan seluruh penanganan sampah yang telah disebutkan yaitu dari pemilahan sampah dan mengomposan 44 sampah, dan 15,38 persen pihak hotel melakukan pemilahan namun tidak melakukan pengomposan pada sampah organiknya. Sedangkan 7,69 persen hotel melakukan pemilahan dan tidak melakukan pengomposan dan sebagain sampahnya di kelola oleh perusahaan lain. Gambar 5.13 Tempat pemilahan sampah di The Samaya,Ubud (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) Selain adanya pemilahan sampah terhadap yang organic dan anorganik juga diharapkan adanya proses lebih lanjut terhadap sampah organic yaitu berupa pengomposan sampah sehingga sampah yang dibuang ke lingkungan dapat diminimalkan. Bentuk pengomposan dapat dilihat pada gambar 5.6. 45 Gambar 5.14 Pengomposan sampah organik di The Samaya,Ubud (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 2. Zonasi Hotel Hotel idealnya mempunyai zonasi sesuai dengan konsep tradisional tri mandala (utama, madya dan nista mandala), dimana ketiga zona ini sangat jelas batas-batasnya. Terutama pada utama mandala yaitu tempat pemujaan (pura) dibatasi dengan tembok penyengker. 15,38 persen hotel menyatakan bahwa memiliki zonasi yang lengkap namun tidak dibatasi dengan tempok penyengker sedangkan sisanya 84,62 persen memiliki zonasi yang lengkap dan zonasi tersebut dibatasi dengan tembok penyengker. 3. Proporsional Lahan Proporsional lahan yang dimaksud adalah mada masing-masing zonasi memiliki luas lahan yang proporsional sesuai dengan konsep sanga mandala, dimana pemanfaatan untuk utama mandala (1/9 minimal), 46 madya mandala (5/9) dan nista mandala (3/9). 92,31 persen hotel yang ada di Ubud pemanfaatan lahannya proporsional dan hanya 7,69% hanya salah satu yang tidak proporsional. Hal ini disebabkan hotel yang ada di Ubud lebih menjual pada pemandangan alamnya sehingga lebih banyak ruang terbuka hijau dibandingkan bangunan fisiknya. Gambar 5.15 Pemanfaatan lahan di Hotel Pita Maha Tjampuhan,Ubud (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 4. Struktur Bangunan Hotel Struktur bangunan yang dimaksudkan adalah penerapan tri angga yaitu struktur atap hotel berupa limas, terdapat badan atau dinding serta ada kaki/fondasi/bataran. Dari hotel-hotel yang adanya hanya 76,92 persen hotel dimana semua (100%) fasilitas dan sarana yang dimiliki menerapkan konsep tri angga, 15,38persen hotel menerapkan tri angga 75 – 99% dan 7,69 persen hotel menerapkan konsep tri angga 50 – 74%. 47 Gambar 5.16 Struktur Bangunan di The Samaya,Ubud (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 5. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Setiap hotel wajib memiliki IPAL/STP (sewage treatment plan) karena hotel pasti akan menghasilkan limbah terutama limbah cair dan harus diproses sebelum di buang ke lingkungan. Dan STP ini harus berfungsi dengan baik dan hasil olahannya harus memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hotel-hotel yang ada di Ubud tidak memiliki pengolahan yang besar seperti yang ada di Nusa Dua. Hanya 61,54 persen hotel di Ubud memiliki IPAL/STP dengan kapasitas yang memadai dan berfungsi baik dimana hasil test memenuhi baku mutu dan hasil tesnya memenuhi syarat minimal 70% dari sampel yang dianalisis, 15,38 persen hotel memiliki IPAL dengan kapasitas memadai dan hasil tes memenuhi syarat baku mutu 50 – 69%, 7,69 persen hotel memiliki IPAL tidak memadai dan tidak di tes 48 secara rutin sedangkan hanya 15,38 persen hotel hanya memiliki septic tank dan tidak dilakukan pengetesan secara rutin. 6. Program Penyelamatan dan Pelestarian Lingkungan Program penyelamatan dan pelestarian lingkungan dimaksudkan adalah pihak hotel memiliki program penyelamatan dan pelestarian lingkungan dan konsekuen melaksakan program tersebut secara periodik baik internal maupun eksternal dan memiliki evaluasi terhadap program tersebut. Dari 15 hotel yang mengikuti THK awards hanya 13 hotel yang memiliki program dan melaksanakan progam penyelamatan lingkungan dan itu periodic dilakukan hampir tiap tiga bulan sekali atau enam bulan sekali serta melakukan evaluasi terhadap program tersebut, dan 2 hotel memiliki program dan melaksanakan secara periodic namun tidak melaksanakan evaluasi sedangkan 1 hotel memiliki program yang baik, berpartisipasi sering tapi tidak periodik. 7. Efisiensi Lahan Efisiensi lahan di hotel dimaksudkan adalah pihak hotel memanfaatkan lahan secara efisien dan melakukan konservasi lahan dengan baik dengan mengikuti aturan tata ruang, koefisien dasar bangunan, konservasi lahan, dan pemanfaatannya konsekuen sesuai dengan jenis tanah. 86,67 persen hotel di Ubud melaksanakan efisiensi terhadap lahan seperti yang telah disebutkan diatas seperti pada gambar 5.9 dan hanya 13,37 persen hotel hanya sesuai dengan koefisien bangunan dan melaksanakan prinsip konservasi lahan. 49 Gambar 5.17 Efisiensi lahan di The Samaya,Ubud (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 8. Konflik Konflik dalam bidang palemahan yang dimaksudkan adalah konflik di bidang lingkungan baik dari segi padat, cair, gas dan suara. Seluruh hotel yang ada di Ubud tidak pernah memiliki konflik baik di lingkungan hotel terutama dengan tamu maupun dengan masyarakat sekitar tentang lingkungan yang dimaksudkan. 9. Sanitasi dan Hygien Hotel idealnya memiliki sanitasi dan hygiene lingkungan yang baik yang meliputi aspek air, food handler, bahan baku, ruangan dan peralatan produksi, serta memiliki system manajemen sanitasi dan hygiene. Dari hotel yang menjadi penelitian semuanya memiliki sanitasi dan hygiene yang baik sesuai dengan kelima aspek tersebut. 50 10. Keanekaragaman Flora Hotel yang asri dan sejuk tentu akan menjadi nilai tambah bagi pihak hotel, dimana hal ini ditandai dengan memiliki keaneragaman flora yang tinggi dalam areal hotel dan melestarikan tanaman yang langka/dilindungi. Hanya 10 hotel dengan tingkat keaneragaman floranya sangat tinggi dan memiliki tanaman langka lebih dari 7 jenis tumbuhan, 2 hotel dengan tingkat keragaman flora tinggi dan memiliki 6 – 7 jenis tumbuhan langka, 1 hotel dengan tigkat keragaman sedang dan memiliki 4 – 5 jenis tumbuhan langka sedangkan 2 hotel dengan tingkat keragaman flora rendah dan memiliki 2 – 3 jenis tumbuhan langka. 11. Pemanfaatan bahan kimia dan Pengelolaan Limbah B3 Idealnya hotel memanfaat bahan kimia yang ramah terhadap lingkungandan di tes secara rutin. Bahan kimia yang dimaksudkan dapat berupa bahan untuk kolam renang, laundry, pembersih lantai maupun porselin. 38,46 persen hotel menggunakan total 100 persen biodegradable/ramah terhadap lingkungan dan dilakukan tes, 30,77 persen hotel menggunakan bahan kimia(cleaning chemical) yang biodegradable 75 – 100%, 23,08 persen hotel menggunakan bahan kimia dengan biodegradable 50 – 75% dan 7,69 persen dengan tingkat biodegradable 25 – 50%. Dari bahan kimia yang digunkan tentu akan menghasilkan limbah yang sifatnya bahan beracun berbahaya akan sangat merugikan jika tidak dikelola dengan baik dan di buang ke lingkungan. Jadi idealnya hotel 51 mampu menangani limbah bahan beracun berbahaya yang dimilikinya dengan baik. Limbah ini dapat berupa baterei, accu, oli dan bahan kimia lainnya yang mengandung racun. 69,23 persen hotel memiliki penyimpanan limbah B3 tertata dengan baik dan dilengkapai dengan MSDS, 23,08 persen memiliki penyimpanan khusus tertata dengan baik namun tidak tidak memiliki MSDS dan 7,69 persen tidak memiliki tempat penyimpanan khusus. Gambar 18 Tempat penyimpanan limbah B3 di The Samaya,Ubud (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 52 12. Efisiensi Air dan Energi Sumberdaya air dan energy di saat sekarang sangatlah langka, untu itu perlu adanya efisiensi sumberdaya air dan energy. Sumberdaya air hotel dapat diperoleh melalui PDAM dan sumur bor, maka idealnya hotel hemat menggunakan air. 15,38 persen hotel penggunaan airnya sekitar 651 – 900 liter/orang/hari dan sisanya 84,62 persen hotel menggunakan air maksimal 650 liter/orang/hari. Selain sumberdaya air, energu juga santa penting untuk dilakukan efisiensi. Efisiensi energy di hotel dengan menggunakan alat yang hemat energy (berupa lampu LED, AC ataupun kulkas). Seluruh peralatan hemat energy ini tercatat dan dilakukan evaluasi rutin. Seluruh hotel menggunakan alat-alat yang hemat energy walaupun ada beberapa alat di hotel masih menggunakan alat yang tidak hemat energy namun itu tidak berdampak signifikan. Selain itu hotel juga mengajak tamu yang menginap untuk melakukan hemat energy dengan diberikan tanda-tanda di kamar hotel atau sejenis kampanye kepada tamu untuk melakukan efisiensi energy. Salah satu bentuk kampanye/ajakan manajemen hotel pada tamu dapat dilihat pada Gambar 5.19. 53 Gambar 5.19 Sign Tag Efisiensi Energy di The Samaya,Ubud (Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013) 13. Kelengkapan Dokumen Dokumen yang dimaksud adalah dokumen tentang lingkungan yang lengkap dan dilaksanakan/diterapkan di hotel tersebut. Dokumen ini dapat berupa dokumen ijin prinsip, ijin lokasi, AMDAL/UKL/UPL. Dari dokumen tersebut ada pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan dilakukan eview secara rutin pelaksanaannya. Hampir semua hotel yang diteliti memiliki dokumen yang lengkap dan dilakukan pemantauan scara rutin namun hanya 1 hotel yang hanya memiliki ijin prinsip dan ijin lokasi. 54 5.3. Persepsi Hotel Terhadap Tri Hita Karana Agama Hindu sangat kaya akan kearifan local seperti symbol-simbol dalam penampilan indah, menarik dan penuh dengan makna. Disamping kaya akan symbol, Hindu juga memiliki banyak ajaran yang sifatnya universal salah satunya Tri Hita Karana. Menurut Wiana (2004) dalam Pujaastawa (2005) istilah Tri Hita Karana mulai diperkenalkan secara umum sejak tahun 1966 oleh I Wayan Mertha Suteja dalam rangka kegiatan Badan Perjuangan Umat Hindu Bali. Dalam perkembangan berikutnya Tri Hita Karana semakin banyak dibicarakan dalam berbagai seminar dan diskusi terbatas hingga pada akhirnya menyasar hotel-hotel sebagi wujud dari implementasi dari THK melalui kompetisi dan akreditasi tahunan pariwisata ramah lingkungan dalam perspektif Tri Hita Karana. Dengan adanya kompetisi dan akreditasi ini tidak hanya hotel saja yang mendapatkan manfaat dari THK, tapi masyrakat sekitarnya juga diuntungkan serta bagi kelangsungan pariwisata Bali pada umumnya. Manfaat yang didapat hotel dari THK seperti yang diungkapkan oleh beberapa narasumber hotel seperti menurut Bapak Dewa Wiryanata (HRD Manager The Samaya, Ubud) mengatakan: “THK di hotel-hotel sangat bermanfaat karena ajaran ini tidak lepas dari perikehidupan masyarakat Bali sehingga sangat perlu di lestarikan tidak saja pada kehidupan sehari-hari masyarakat, namun juga aktifitas karyawan di hotel dan segala operasional hotel. Dengan diterapkannya THK di hotel dapat melestarikan budaya Bali yang saat ini sudah mulai memudar.” The Samaya Ubud ikut dalam kompetisi dan akreditasi THK sejak tahun 2012 dan mendapatkan infomasi dan sosialisasi tim THK melalui email dan seminar. 55 Tahun 2012 The Samaya untuk pertama kalinya mengikuti kompestisi ini dan mendapatkan tropi emas. Atas prestasi yang di peroleh The Samaya Ubud mendorong semangat pihak hotel untuk melestarikan dan menerapkan ajaran THK pada kehidupan sehari-hari dari setiap lapisan yang ada di hotel baik dari top manajemen sampai lower manajemen. Hal serupa juga disampaikan oleh Bapak Agung Sudiana (Operasional Manager Pita Maha Tjampuhan,Ubud) dimana “adanya THK di hotel sangat bagus ke depannya untuk melestarikan budaya Bali. Seluruh aspek dalam THK sudah dapat diimplementasikan di hotel, hal ini nantinya akan mengurangi konflik antara pihak hotel dengan masyarakat, atau bahkan antar karyawan sendiri.” Berdasarkan atas data pemerintah Kabupaten Gianyar, di Ubud terdapat 338 hotel baik berbintang maupun non bintang namun hanya 15 hotel yang ikut dalam kompetisi dan akreditasi THK, hal ini disebabkan karena kriteria yang di tetapkan dalam penilaian THK sangat tinggi sehingga banyak hotel merasa tidak mampu untuk menerapkan seluruh aspek yang ditetapkan namun mereka pada prinsipnya sudah menerapkan konsep THK walaupun ada pada tahap yang masih biasa. Hal ini disampaikan oleh beberapa hotel non bintang yang ada di Ubud. 56 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada Bab V, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Parahyangan bahwa hampir seluruh hotel yang menjadi sampel penelitian memiliki tempat pemujaan dan tempat suci yang terpelihara dengan baik dan dijaga kebersihannya sebagai tempat untuk melakukan persembahyangan. Pihak hotel tidak menggunakan simbol-simbol yang disakralkan dalam ajaran Hindu serta pihak hotel khususnya karyawan hotel aktif dalam acara keagamaan di hotel dan turut dalam acara keagamaaan masyarakat sekitar serta berkontribusi pada kegiatan pura sekitar hotel. 2. Implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Pawongan adalah sebagian besar hotel melaksanakan kegiatan social di daerah sekitar hotel, masih menggunakan produk local masyarakat sekitar dan menerapkan system tenaga kerja local baik permanen maupun tenaga harian sehingga akan mengurangi konflik pada masyarakat. Hotel menerapkan system kerja sesuai dengan KKB/PKB yang ditetapkan bersama. 3. Implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Palemahan adalah seluruh hotel menerapkan sistem pemilahan sampah organic dan anorganik serta melakukan pengomposan walau hanya 57 dengan menggunakan sistem yang sangat sederhana. Hanya sebagian hotel memiliki instalasi pengolahan limbah (Seewage treatment plan) dan sebagian masih menggnakan sistem septic tank yang di pantau rutin. Seluruh hotel di daerah Ubud memanfaatkan lahan sesuai dengan konservasi lahan dan memiliki keanekaragam flora yang tinggi, hotel juga sudah mulai mengkonservasi tanaman yang dianggap langka saat ini. Pihak hotel tidak pernah memiliki konflik dengan masyarakat sekitar dari bidang lingkungan. Seluruh hotel menerapkan sistem efisiensi energi dan air walau terkadang tingkat penggunaan energi dan air tinggi pada saat-saat tertentu hal itu disebabkan karena tingkat occupancy hotel yang tinggi. Untuk dokumen yang berhubungan dengan ijin serta sistem manajemen lingkungan lengkap di miliki oleh hotel-hotel yang ada di Ubud. 58 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Gianyar dalam Angka. Pemerintah Kabupaten Gianyar Bali. _______. 2013. Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations. Denpasar: Bali Travel Newspaper. Ardika, I Wayan. 2002, Komponen Budaya Bali Sebagai Daya Tarik Wisata, Makalah Pada Seminar Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Universitas Udayana, Denpasar. Daldjoeni, N. dan A. Soeyitno. 1978. Pedesaan, Lingkungan, dan Pembangunan. Bandung : Alumni. Pujaastawa, I.B.G. 2001. Pola Pengembangan Priwisata Terpadu Bertumpu pada Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Bali Tengah. KerjasamaKementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Unud, Denpasar. Pujaastawa, I.B.G. 2001. “Tri Hita Karana”, Nilai-nilai Lokal dalam Konteks Global. Brahma Carya Unikahidha University Brawijaya Edisi II 2001/2002. Surabaya : Paramita. Pujaastawa, I.B.G. 2002. “Kearifan Ekologi dalam Kebudayaan Tradisional di Indonesia”. Dalam Bumi Lestari; Jurnal Lingkungan Hidup. Volume 2, Nomor 2, Agustus 2002. Halaman 29 – 36. Denpasar: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Unud. Pujaastawa, I.B.G. 2005. “Pariwisata Berwawasan THK”. Dalam Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations. Denpasar: Pelawa Sari. Raka Dalam, A.A.G., Wardi, I.N., Suarna, I.W., dan Sandi Adnyana, I.W. 2007. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana. Windia, I.W. 2005. “THK dan Pariwisata Berkelanjutan”. Dalam Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations. Denpasar: Pelawa Sari. http://www.rentalmobilbali.net/wisata-ubud-bali/ di akses pada tanggal 20 agustus 2013