BUDAYA DALAM IKLAN: ANALISIS SEMIOTIK IKLAN SO NICE VERSI ’SLANK RAME-RAME’ CULTURE IN ADVERTISING: SEMIOTIC ANALYSIS OF ‘SO NICE SLANK RAME-RAME VERSION’ Christiany Juditha Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BBPPKI) Makassar Jalan Prof. Dr. Abdurahman Basalamah II No. 25 Makassar, 90123 Telepon 0411-4460084, Faksimile 0411-4460084 Pos-el: [email protected] Handphone: 085242094231 Diterima: 25 Februari 2015; Direvisi: 31 Maret 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT Now, so many produced the themed of culture advertising and shown on television. The goal to maintaining cultural values and to protect it’s from claims of other countries. It’s just that sometimes the cultural values of commodities used by the company to boost sales of products and earn SUR¿W This study aimed to get an overview of the representation of cultural heritage in the advertisement ‘So Nice version Slank Rame-Rame’. The method used is semiotic content analysis of Roland Barthes’ (connotation, denotation and linguistic). The research concludes that cultural representations in this advertising are so quite thick, which displays traditional house and clothings from Sabang to Merauke. The scene has shown mutually work together (denotation) which is characteristic of the Indonesian nation since time immemorial, but now began to erode because of the rise of HWKQLFFRQÀLFW (connotation). The advertising also uses words both orally and in writing (linguistic message). One text of the song Slank “Makan So Nice rame rame! Sambil gotong royong rame rame. Semua makan So Nice, Sabang sampe Merauke!”In these sentences the meaning of the message contained both denotation and connotation. Keywords: culture, advertising, semiotics. ABSTRAK Iklan bertema budaya kini marak ditayangkan ditelevisi. Tujuannya selain menjaga nilai-nilai budaya juga untuk melindunginya dari klaim negara lain. Hanya saja seringkali nilai budaya dijadikan komoditas oleh perusahaan untuk mendongkrak penjualan produk dan mendapatkan keuntungan semata. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang representasi budaya Nusantara dalam iklan So Nice versi’Slank Rame-Rame’. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis isi semiotik dengan pendekatan Roland Barthes yaitu pesan ikonik konotasi, ikonik denotasi dan linguistik. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa representasi budaya dalam iklan ini cukup kental, di mana menampilkan rumah adat dan busana tradisional dari Sabang sampai Merauke. Adegan yang ditampilkan saling bergotong royong (denotasi) yang adalah ciri khas bangsa Indonesia sejak dulu QDPXQNLQLPXODLWHUNLNLVDNLEDWPDUDNQ\DNRQÀLNDQWDUVXNXNRQRWDVL,NODQLQLMXJDPHQJJXQDNDQNDOLPDW baik lisan maupun tulisan (pesan linguistik) di antaranya teks lagu yang dinyanyikan Slank “Makan So Nice rame rame! Sambil gotong royong rame rame. Semua makan So Nice, Sabang sampe Merauke!” Dalam kalimat ini terkandung makna pesan baik denotasi maupun konotasi. Kata kunci: budaya, iklan, semiotik. PENDAHULUAN Iklan sebagai salah satu produk komunikasi sebetulnya telah dimulai sejak zaman Romawi kuno, pada saat itu iklan lebih dikenal sebagai pesan berantai atau dari mulut ke mulut. Pesan berantai ini dilakukan untuk membantu kelancaran jual beli di dalam masyarakat, yang pada waktu itu belum mengenal huruf, hanya mengenal sistem barter dalam aktivitas jual belinya. Sejarah iklan mengalami perkembangan yang cukup cepat, hingga sampai pada menggunaan selebaran dan media massa seperti surat kabar, majalah, radio televisi dan kini media online. Banyak kalangan menilai iklan melalui 169 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 169—182 televisi dianggap paling jitu dalam memasarkan sebuah produk. Televisi dinilai memiliki banyak kelebihan dibanding dengan media massa lainnya, karena sifatnya yang audio visual. Media televisi merupakan kombinasi dari pernyataan pesan yang didengar sekaligus dilihat, sehingga terasa lebih hidup, realistis dan merangsang indera. Di samping itu televisi mampu mencapai khalayak dalam jumlah besar dan dapat digunakan untuk mengajarkan banyak subjek, jangkauan sangat luas, penayangan seketika, gabungan gambar, suara dan warna, khalayak bebas menentukan waktu penayangan dan lebih mudah. Ini terlihat juga dari survei yang dilakukan Nielsen tahun 2014 di mana belanja iklan televisi tumbuh sebesar 19% menyusul iklan di surat kabar tumbuh sebesar 9% dari tahun sebelumnya. Belanja iklan dikuartal pertama tahun 2014 secara total mengalami pertumbuhan sebesar 15% dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2013, dari Rp23,3 Triliun menjadi Rp26,7 Triliun (Lubis, 2014:1). Iklan televisi memiliki kelebihan yang unik bila dibandingkan beriklan melalui media lainnya. Kelebihan unik dari iklan televisi tersebut adalah mempunyai dampak yang kuat terhadap konsumen dengan penekanan pada dua indera sekaligus yaitu telinga dan mata, serta mampu mendemonstrasikan produk yang diiklankan serta membangun ingatan yang kuat tentang produk atau jasa yang diiklankan dibenak konsumen. Sehingga Iklan televisi merupakan salah satu bentuk strategi media yang dianggap paling efektif dalam proses pemasaran produk dalam menarik konsumen. Budaya Nusantara merupakan warisan berharga dari nenek moyang yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Tetapi keberadaannya kini, semakin terabaikan bahkan terancam hilang akibat pengaruh globalisasi. Apalagi dalam beberapa kasus pengakuan sepihak (claim) dari negara asing atas warisan budaya Indonesia ini dapat menyebabkan krisis identitas bangsa. Karena itu, saat ini iklan yang mengangkat budaya dan pesona alam bangsa mulai banyak bermunculan. Website Marketing.co.id menuliskan asalkan iklan budaya tersebut dapat menunjang citra merek, ada baiknya dicoba. Tujuannya antara lain selain peduli dengan nilai-nilai budaya juga untuk 170 melindungi budaya nasional dari klaim negara lain, seperti banyak kasus di mana beberapa kekayaan budaya bangsa Nusantara justru diklaim milik negara tetangga Malaysia. Beberapa produk yang diiklankan televisi berupaya memiliki citra culture friendly sudah mulai banyak bermunculan akhir-akhir ini. Di mana banyak merek menampilkan kesenian dari berbagai daerah. Masyarakat periklanan boleh berbangga bahwa inisiatif untuk menjaga warisan leluhur bangsa Indonesia bisa muncul dari para pengiklan. Perilaku negara tetangga yang kadang mengklaim beberapa budaya Nusantara menjadi salah satu pemicu mengapa para pengiklan mempergunakan tema budaya dalam iklan. Di samping itu, masyarakat juga sedang memasuki fase di mana rasa bangga terhadap negeri ini mulai tumbuh Menampilkan budaya bangsa ini bagi merek sendiri, juga merupakan bagian memperkuat ekuitas merek tersebut sebagai merek asli Indonesia. Kalaupun bukan merek asli Indonesia, merek ini adalah merek yang sesuai dengan nilainilai budaya yang ada di Indonesia. Sehingga iklan tersebut bekerja di dua sisi, mendukung budaya Nusantara sekaligus meningkatkan citra di konsumen. Beberapa di antaranya seperti iklan Kuku Bima Ener-G, Sido Muncul dianggap sukses menyampaikan pesan bahwa perusahaan ini peduli pada budaya Indonesia. Tampilannya yang mengangkat budaya dan banyak wilayah eksotik di negeri ini juga bisa memicu orang untuk berwisata di dalam negeri (Fisamawati dan Mahribi, 2012:1). Hanya saja di balik tujuan mulia sebuah iklan budaya ini, muncul juga permasalahan baru, di mana seringkali penggunaan tema-tema tentang nilai budaya, tradisi, bahasa daerah atau lokal digunakan oleh perusahaan hanya untuk mendongkrak penjualan produk saja. Nilai budaya, tradisi serta bahasa dijadikan komoditas oleh perusahaan yang disertakan melalui iklan-iklan yang mengusung tema-tema nilai budaya, tradisi serta bahasa. Tanda-tanda komodifikasi yang paling mudah bisa dilihat adalah dari keotentikan REMHN 2EMHN \DQJ WHODK GLNRPRGL¿NDVL VHGLNLW banyak akan mengalami perubahan dari versi aslinya termasuk objek budaya. Budaya dalam Iklan: ... Christiany Juditha Iklan So Nice versi’Slank Rame-Rame’ diluncurkan 2015 dan mulai disiarkan di berbagai stasiun televisi. Iklan ini juga merupakan salah satu iklan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur budaya. Sehingga menarik untuk diteliti dari segi semiotikanya. Tema multi etnis Nusantara yang ada di dalam iklan tersebut jika dihubungkan dengan analisa semiotika merupakan hal yang tepat. Semiotik sendiri berarti ‘tanda’. Sehingga yang dikaji dalam penelitian ini adalah berbagai unsur ‘tanda’ budaya dalam tayangan ikan So Nice versi’Slank Rame-Rame’. Alasan pemilihan iklan ini karena baru kali ini produk makanan ini menggunakan tema budaya dalam iklan mereka. Di samping itu menyertakan grup band musik Slank di dalamnya juga merupakan keunikan tersendiri, karena grup ini identik dengan grup musik rock dengan banyak fans dan mewakili kehidupan masyarakat modern dengan budaya modern. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi budaya Nusantara dalam iklan So Nice versi ’Slank Rame-Rame’? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengganalisis iklan So Nice versi ’Slank Rame-Rame’ dengan analisis semiotik dalam ragka mendapatkan gambaran tentang representasi budaya Nusantara dalam iklan. Penelitian tentang iklan budaya telah banyak dilakukan khususnya budaya Indonesia. Satu di antaranya yang dilakukan Yusanto (2009:15) berjudul “Kode Budaya Indonesia pada Iklan Televisi ’Cahaya Asa’ (Studi Semiotika Iklan Televisi PT. Gudang Garam, Tbk yang bertemakan Rumahku Indonesiaku). Penelitian ini mengkaji tanda-tanda dalam iklan Cahaya Asa yang dibagi dalam 3 kelompok, yaitu artefak EXGD\D ¿JXU PDQXVLD VHUWD setting. Hasilnya menyimpulkan bahwa pada tingkat jenis tanda, DUWHIDNVHWWLQJVHUWD¿JXUPDQXVLDGDODPLNODQ Cahaya Asa telah merepresentasikan ikon, indeks dan simbol dari budaya Indonesia. Analisa pada makna tanda, menunjukkan bahwa seluruh artefak dan setting dari objek iklan telah mendenotasikan artefak dan setting yang sebenarnya di Indonesia. Pada analisa sistem tanda, jika dikaji secara terpisah, maka beberapa artefak, settingGDQ¿JXU manusia hanya merepresentasikan pada tingkatan jenis tanda (ikon, indeks, simbol), serta makna tanda (denotasi dan konotasi). Sedangkan pada tingkatan sistem tanda, makna pada sebuah artefak yang telah dikonvesikan oleh suatu masyarakat tertentu, dalam tampilan artefak pada iklan, tidak dapat merepresentasikan makna tersebut. Penelitian lain berjudul “Representasi Budaya Indonesia pada Iklan Kopi Kapal Api (Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia pada Iklan Kopi Kapal Api versi ‘Secangkir Semangat untuk Indonesia’ di Televisi Swasta)” dilakukan oleh Wulandari (2013:ii). Hasil penelitian ini menemukan bahwa iklan Kopi Kapal Api menunjukkan keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia. Segmentasi pasar minuman kopi ini adalah seluruh lapisan masyarakat dari kalangan menengah kebawah sampai kalangan atas juga dapat menikmati secangkir kopi. Di iklan tersebut juga menampilkan dan menyuguhkan setiap ragam budaya yang dimilki di Indonesia. Baik dalam sebuah tarian, kesenian dan ciri khas dari tiap-tiap budaya. Pesan yang disampaikan pembuat iklan adalah berupa cara menikmati kopi yang beragam dan menonjolkan keragaman budaya agar masyarakat Indonesia tidak melupakan keragaman budaya yang dimilki oleh Bangsa Indonesia. Dwimalia (2009:1) juga pernah melakukan penelitian dengan judul “Representasi Warisan Budaya Indonesia (Kajian Semiologi Representasi Warisan Budaya sebagai Identitas Indonesia dalam Iklan Televisi Tolak Angin versi ‘Truly Indonesia’). Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan, bahwa iklan ini mengungkapkan dua jenis pesan sebagai iklan komersial untuk mempromosikan produk inovatif jamu Tolak Angin Cair dan sebagai iklan institusional yang berperan dalam upaya pelestarian warisan budaya Indonesia. Manifestasi warisan budaya ini, memiliki wujud fisik dan non fisik yang mengandung unsur-unsur kebudayaan Indonesia berupa kehidupan spiritual, kesusastraan, kesenian, sejarah serta ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang bersifat tradisional maupun kontemporer. Warisan budaya juga mencerminkan identitas bangsa Indonesia yang terdiri dari identitas budaya lokal, dan 171 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 169—182 budaya nasional. Penelitian-penelitian yang dilakukan di atas semuanya menggunakan analisis semiotik sebagai analisis yang cocok untuk melihat tanda-tanda budaya meskipun dengan isi iklan yang berbeda. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan sekarang, terletak pada jenis iklan, di mana iklan So Nice merupakan produk makanan yang berbeda dengan yang telah dikaji sebelumnya dan iklan versi ini belum pernah diteliti, sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan. Representasi Budaya Nusantara di Televisi Saat ini perkembangan media semakin pesat. Setiap orang dapat mengakses berbagai informasi dari banyak sumber mulai dari media cetak, media elektronik hingga media online. Salah satu media yang juga makin pesat perkembangan dengan tayangan-tayangannya adalah televisi. Televisi memiliki andil yang besar dalam membentuk dan membangun stereotip dalam pikiran masyarakat melalui tayangan-tayangan yang merepresentasikan kehidupan sekitar masyarakat. Penyampaian yang dikemas sedemikian bagus sehingga terkadang tidak menyadari bahwa sebenarnya itulah fakta yang terjadi di lingkungan sekitar. Penggambaran kejahatan dan tindak kriminal misalnya sudah menjadi teman makan siang setiap hari yang tanpa sadari meracuni pikiran penonton dan memahami jika dunia ini bukan lagi tempat yang aman (Malik, dkk. 2013:1). Konsep representasi akan selalu berkaitan dengan media massa khususnya televisi. Karena televisi berperan membangun sebuah konstruksi melalui repersentasi tersebut sehingga menimbulkan pemahaman tertentu terhadap sebuah realitas. Barker (2004: 8) menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Cultural Study memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri. Representasi menurut Hartley (2010:265) berarti menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu secara bermakna, atau mempresentasikan pada orang lain. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, dan lain sebagainya 172 yang mewakili ide, emosi, fakta, dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau sistem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda ‘mewakili’ yang kita tahu dan mempelajari realitas Jika representasi dikaitkan dengan media televise, maka McQuail (1992:161-168) berpendapat bahwa media diyakini sebagai cermin \DQJ PHUHÀHNVLNDQ UHDOLWDV VRVLDO VHKLQJJD DSD yang disaksikan merupakan gambaran yang sebenarnya atas realitas. Media juga dipandang WLGDN KDQ\D PHUHÀHNVLNDQ UHDOLWDV WHWDSL MXJD merepresentasikan realitas. Realitas sosial yang dihadirkan kembali melalui media lewat proses representasi dengan mengolah kembali realitas tersebut sehingga hadir dengan kemasan yang baru sehingga menjadi realitas media. Inilah yang disebut media massa telah melakukan konstruksi atas realitas. Hall (2003:16) mengungkapkan bahwa budaya merupakan sebuah cara di mana manusia bisa memahami dan memberikan makna pada dunia. Konsep budaya mempunyai peran yang penting dalam proses representasi. Budaya merupakan pengalaman berbagi di mana manusia bisa saling berbagi pengalaman, simbol kebudayan, mengenal bahasa, hingga mendapatkan konsep yang sama tentang budaya yang dimaknai bersama tersebut. Beberapa unsur budaya yang paling berpengaruh dalam merepresentasikan sebuah objek, peristiwa, atau simbol antara lain bahasa, baju adat, rumah adat, adat istiadat dan lain sebagainya. Unsur-unsur budaya ini adalah sebuah medium yang menjadi perantara manusia dalam memaknai sesuatu, memproduksi, dan mengubah makna. Melaluinya (simbol, kata tertulis, kata lisan, atau gambar) dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide tentang sesuatu. Makna sesuatu hal itu sangat tergantung dari cara manusia merepresentasikannya. Representasi budaya dalam konteks media massa berkaitan dengan industri budaya yang dikonsumsi secara massal oleh penikmat budaya tersebut. Representasi budaya berkaitan dengan bagaimana seseorang memaknai atau Budaya dalam Iklan: ... Christiany Juditha mengkonstruksi budaya yang diproduksi dan dikonsumsi secara massal oleh media massa. Dalam industri budaya, hal-hal yang direpresentasikan adalah artefak-artefak budaya YLVXDOVHSHUWL¿OPLNODQGDQYLGHRNOLSGDQODLQ sebagainya (Hall, 2003:16). Budaya Nusantara dalam Iklan Televisi Iklan adalah bagian dari promosi. Iklan diartikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat sebuah media (Kasali,1995:9). Mulyana (1990:68) menjelaskan bahwa dalam komunikasi periklanan, iklan tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar dengan citra bergerak, warna dan bunyi-bunyi di mana perpaduan keseluruhan akan menghasilkan komunikasi periklanan yang efektif. Sobur (2006:116) menjelaskan bahwa iklan disampaikan melalui dua saluran media massa yaitu media cetak (surat kabar, majalah, brosur dan papan iklan/billboard dan media elektronik (radio, televisi dan film). Khusus televisi dianggap memegang peran penting dalam pemasaran karena dapat membangun dan mengembangkan citra positif bagi suatu perusahaan dan produk yang dihasilkan, melalui proses sosialisasi yang terencana dan tertata dengan baik. Televisi mampu membentuk publik opini yang positif terhadap sebuah produk serta dapat mengembangkan kepercayaan masyarakat terhadap produk konsumsi dan perusahaan yang memproduksinya. Iklan itu sendiri merupakan suatu simbol yang divisualisasikan melalui berbagai aspek tanda komunikasi dan tersusun dalam struktur teks iklan. Tanda-tanda yang terdapat dalam suatu struktur teks iklan merupakan satu kesatuan sistem tanda yang terdiri dari tanda-tanda verbal dan non verbal berupa kata-kata, warna ataupun gambar serta memiliki makna tertentu yang disesuaikan dengan kepentingan produk yang akan dipasarkan atau yang akan diinformasikan. Pengaruh iklan yang begitu besar terhadap alam bawah sadar khalayak dimanfaatkan pengiklan untuk berbagai tujuan, mulai dari mengenalkan produk, meningkatkan penjualan sampai memperkuat citra produk atau perusahaan. Iklan televisi menarik bagi konsumen karena keunggulannya menyajikan audio dan visual secara bersamaan. Televisi sebagai media periklanan, merupakan salah satu media yang paling mudah untuk mempromosikan produk barang dan jasa kepada masyarakat. Televisi sebagai media iklan memberi dukungan yang besar bagi perusahaan dalam mempromosikan produk-produk yang pada akhirnya dapat meningkatkan penjualan untuk memperoleh keuntungan perusahaan (Hereyah, 2012:994). Iklan merupakan salah satu perwujudan kebudayaan massa. Artinya, sebuah kebudayaan yang tidak hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli barang atau jasa, tetapi turut juga mendedahkan nilai tertentu yang terpendam di dalamnya. Karena itulah, iklan yang sehari-hari ditemukan diberbagai media massa dapat dikatakan bersifat simbolik. Di mana iklan tersebut dapat menjadi simbol sejauh imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki. Karena iklan mengemban tugas untuk menyampaikan pesan verbal maupun visual, maka keberadaannya senantiasa dikemas seartistik mungkin. Hal itu dilakukan agar menarik dan mampu membangkitkan rasa tertarik pada masing-masing pribadi, sehingga dapat menimbulkan stimulus dan reaksi untuk memberikan keputusan. Untuk itu, pesan verbal maupun visual yang ditampilkan dalam desain iklan dinyatakan dalam bahasa yang sederhana dan benar. Semua itu menjadi penting agar pesan-pesan tersebut mudah dimengerti oleh pembaca tanpa ada kesalahan interpretasi makna dari pesan tersebut (Tinarbuko, 2008:1). Mulyana, dkk, (1990:19) berpendapat bahwa budaya adalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari. Objek-objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat 173 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 169—182 perang, menyediakan suatu landasan utama bagi kehiduapan sosial. Sehingga jika dihubungkan dengan iklan, maka unsur-unsur budaya tersebut yang dimasukan dalam iklan sebagai daya tarik sebuah produk agar dapat dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat. Tinarbuko (2008:1) berpendapat dengan memanfaatkan potensi budaya lokal dan kesenian tradisional sebagai sumber energi kreatif penciptaan karya desain iklan, maka keunikan yang dimunculkan dari lokalitas budaya lokal berikut masyarakat pendukungnya akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan jagat periklanan Indonesia. Selain itu, ketika para kreator dan desainer iklan Indonesia senantiasa mengedepankan lokalitas budaya lokal semakin membuncahkan ciri khas dan keunikan periklanan Indonesia. Analisis Semiotik untuk Memahami Iklan Budaya Semiotika berasal dari bahasa Yunani: semeion yang berarti tanda. Semiotika adalah model penelitian yang memperhatikan tandatanda. Tanda tersebut mewakili sesuatu objek representatif. Semiotika adalah ilmu tanda atau yang mempelajari tentang berbagai tanda. Van Lonn menegaskan bahwa tanda merupakan konsep utama dalam studi budaya. Sementara Peirce mengatakan bahwa manusia hanya bisa berpikir dengan sarana tanda. Itulah sebabnya tanpa tanda manusia tidak dapat berkomunikasi. Sedangkan semiotika komunikasi menurut Umberto Eco adalah aspek produksi tanda. Sebagai sebuah mesin produksi makna, semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekerja tanda, yang memilih tanda dari bahan baku tanda-tanda yang ada dan mengkombinasikannya dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa bermakna (Sobur, 2006:xxii). Konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau inabsentia antara ‘yang ditandai’ (VLJQL¿HG) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu 174 bentuk penanda (VLJQL¿HU) dengan sebuah ide atau petanda (VLJQL¿HG). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Barthes dalam (Sobur, 2006:63dan 196) berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Barthes kemudian menciptakan lima kode yang ditinjaunya yakni: 1. Kode hermeneutic (kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks; 2. Kode semik (kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi); 3. Kode simbolik (didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses); 4. Kode proaretik (kode tindakan atau lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; 5.Kode gnomic (banyaknya jumlah kode kultural). Barthes kemudian membangun sistem kedua yang disebut dengan konotatif, yang di dalam mytologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem tataran pertama. Kemudian Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley & Janzs, 1999:51). Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika mengenal tanda “singa”, barulah muncul konotasi harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Menurut Barthes (1998: 172) semua objek kultural dapat diolah secara tekstual. Teks di sini dalam arti luas, tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik, namun semiotik dapat meneliti teks GLPDQDWDQGDWDQGDWHUNRGL¿NDVLGDODPVHEXDK sistem. Barthes berpendapat untuk menganalisa iklan berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu Budaya dalam Iklan: ... Christiany Juditha pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan); pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam iklan); dan pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam iklan). Mengkaji iklan dalam perspektif semiotika menurut Sobur, maka yang dikaji adalah sistem tanda yang ada dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan WHOHYLVLUDGLRGDQ¿OP/DPEDQJ\DQJGLJXQDNDQ dalam iklan terdiri dari verbal dan non verbal. Lambang verbal adalah bahasa, lambang non verbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan yang secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Iklan merupakan sarana untuk mempromosikan barang/jasa yang ingin ditawarkan terutama kepada masyarakat, untuk menggait hati para konsumen para pengiklan dituntut kreatif sehingga diharapkan mampu menjadi daya tarik tersendiri. Lebih dari itu sebuah iklan diharapkan mampu menjadi jembatan untuk menanamkan kepercayaan pada masyarakat umumnya dan konsumen produk tersebut khususnya. Jika hal ini tercapai maka sebuah iklan dapat dikatakan berhasil, dengan artian timbulnya sebuah kepercayaan terhadap suatu produk/jasa yang ditawarkan. Berger (Sobur, 2006:117) iklan yang dapat menjadi sampel untuk dianalisa adalah yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut yaitu Penanda dan Petanda; Gambar, indeks, dan simbol; Fenomena sosiologis; Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk; Desain dari iklan; Publikasi yang ditemukan di dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut. METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis semiotik dengan pendekatan kualitatif. Analisis semiotik adalah analisis yang meneliti tentang tanda yang dalam penelitian ini adalah tanda budaya yang terkandung dalam iklan So Nice versi’Slank Rame-Rame’. Objek dalam penelitian ini adalah Iklan So Nice versi’Slank Rame-Rame’ yang disiarkan melalui berbagai televisi swasta. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah yang pertama dokumentasi yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang berupa data-data dari buku teks dalam bentuk teori dan konsep-konsep, video iklan So Nice versi’Slank Rame-Rame’ yang diunduh dari Youtube, serta artikel-artikel pendukung yang diperoleh dari berbagai sumber yang berhubungan dengan pengayaan penelitian ini. Observasi juga dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung melalui media televisi saat iklan tersebut disiarkan. Dalam hal ini, juga dilakukan pengamatan langsung dengan menonton iklan tersebut melalui file video yang sudah didownload. Unit analisis penelitian ini adalah potongan gambar atau teks yang terdapat dalam iklan So Nice versi ’Slank Rame-Rame’ yang berkaitan dengan kategori yang akan diteliti. Sedangkan teknik analisis data adalah setelah data primer dan sekunder terkumpul, data kemudian dikoding GDQ GLNODVL¿NDVL VHVXDL GHQJDQ NDWHJRUL \DQJ diteliti. Setelah itu kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes secara deskriptif. Barthes mengembangkan semiotik menjadi tiga hal di mana untuk menganalisa iklan berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu pesan ikonik yang terkodekan; pesan ikonik tak terkodekan; dan pesan linguistik. Berbagai konsep dan teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka kemudian diturunkan dalam kerangka konsep. Kerangka konsep ini terdiri dari kategori-kategori berdasarkan konsep semiotik Barthes dan Berger yang akan menjadi guide untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. 175 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 169—182 Kategori Semiotik Iklan So Nice versi’Slank Rame-Rame’ Pesan Ikonik yang terkodekan Unit Analisis Konotasi yang muncul dalam iklan Pesan Ikonik tak terkodekan Denotasi dalam iklan Pesan Linguistik Semua kata dan kalimat dalam iklan Tabel 1. Kategori Semiotik Iklan So Nice versi’Slank Rame-Rame’ Setelah semua pesan dan tanda dikoding, hasilnya kemudian dihubungkan dengan fenomena sosiologi, sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk, desain dari iklan, publikasi yang ditemukan dalam iklan serta khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut. seorang pemuda yang masih berusia remaja duduk di sebuah kursi. Pemuda tersebut mengenakan pakaian berwarna merah dengan penutup kepala juga berwarna merah. Konotasi dari pakaian ini merupakan baju adat suku Aceh. PEMBAHASAN Iklan So Nice versi ‘Slank Rame-Rame’ merupakan iklan perusahaan PT. So Good Food yang bergerak dalam bidang produksi daging olahan berkualitas tinggi. Adapun agency yang memproduksi iklan ini adalah CV. Cipta Agung Nusantara. Durasi iklan ini adalah 30 detik. Informasi di website manajemen Slank menjelaskan bahwa 2014 lalu, Slank melangsungkan proses shooting iklan untuk TVC So Nice yang berlokasi di Kampung ArtisCipayung, Jakarta Timur. Pengambilan gambar ini diarahkan oleh Johar Prayudi selaku sutradara (Slan, 2015:1). Pesan Konotasi, Denotasi dan Lingustik pada Iklan So Nice versi ‘Slank Rame-Rame’ Pesan ikonik yang terkodekan adalah konotasi yang muncul dalam elemen-elemen visual yang digunakan untuk menarik calon konsumen dengan kaitan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat. Mengangkat konotasi dari suatu tatanan elemen visual yang dapat diterjemahkan audiens. Iklan berdurasi 30 detik ini banyak mengusung pesan-pesan konotasi, yang pertama diawal tayangan diperlihatkan sebuah rumah yang dominan berwarna kuning dan hijau. Menandakan bahwa rumah tersebut merupakan rumah adat masyarakat Betawi. Gambar berikutnya adalah 176 Foto 1. Beberapa klip pesan Konotasi dalam iklan So Nice versi ‘Slank Rame-Rame’ (Sumber: youtube.com) Gambar ketiga pun demikian, seorang remaja mengenakan pakaian dengan rumbairumbai di kedua tangan dan bagian bawah (rok) disertai ikat kepala yang bercirikan pakaian adat orang Papua. Ada pula klip yang menunjukkan beberapa anak kecil yang berdiri di depan rumah, gambar sedang bergotong ronyong dengan menggunakan pakaian adat yang berasal dari Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi dan lain sebagainya. Pesan ikonik yang tidak terkodekan adalah denotasi yang muncul dalam elemen-elemen visual yang digunakan untuk menarik calon konsumen dengan pemahaman langsung dari gambar dan pesan tanpa pertimbangan kode. Mengarah pada pemahaman langsung atas gambar dan pesan iklan, tanpa mempertimbangkan kode sosial yang lebih luas. Pesan denotasi dalam iklan antara lain tercermin dengan dipilihnya model iklan yang Budaya dalam Iklan: ... Christiany Juditha berhubungan dengan reputasi yang baik profesi maupun kehidupan pribadinya. Figur tersebut juga dipilih untuk dapat menggiring citra positif produk di mata masyarakat. Dalam iklan So Nice kali ini menggunakan grup band Slank. Grup ini dikenal sebagai band yang memiliki fans fanatik yang biasa disebut dengan Slankers. Grup ini juga memiliki lagu-lagu rock yang hits dan dikenal luas di masyarakat Indonesia. Termasuk lagu yang digunakan untuk iklan ini merupakan lagu milik Slank dengan judul Rame-Rame. Foto 3. Beberapa klip pesan linguistik dalam iklan So Nice versi ‘Slank Rame-Rame‘ (Sumber: youtube.com) Foto 2. Beberapa klip pesan Denotasi dalam iklan So Nice versi ‘Slank Rame-Rame’ (Sumber: youtube.com) Linguistik adalah ilmu tentang tata bahasa. Jika dikaitkan dengan iklan, pesan linguistik adalah kata-kata atau bahasa yang dibuat sedemikian mungkin untuk menarik minat orang atau calon konsumen agar tertarik membeli produk yang ditawarkan oleh pihak produsen. Dalam memunculkan sebuah pesan seringkali berangkat dari tanda-tanda yang dapat dibaca atau didengar audiens lewat keseluruhan kata. Memahami sebuah kredo/jargon sebuah produk, dapat menggiring audiens pada pemaknaan tertentu pada kelompok usia tertentu dalam peta psikologi sosial. Hasil pengkajian iklan So Nice versi ‘Slank Rame-Rame’ menemukan beberapa kata atau kalimat yang terlontarkan (bunyi) dalam iklan ini yaitu: suara burung di pagi hari, suara seorang remaja yang sedang menguap, suara keriuhan banyak orang, kalimat: “So Nice Enak Bermutu”, “SMS: Slankers Makannya So Nice” dan sepanjang iklan, grup band Slank menyanyikan lagu yang bait-bait sebagai berikut: “Makan So Nice rame rame! Sambil gotong royong rame rame! Semua makan So Nice, Sabang sampe Merauke! Semua makan So Nice, Sabang sampe Merauke!”. Serta sebuah tulisan di kaos seorang personil Slank : Nge-Slank Rame-Rame. Representasi Budaya Nusantara dalam Iklan So Nice versi ’Slank Rame-Rame’ Representasi budaya Nusantara dalam iklan So Nice versi Slank Rame-Rame cukup kental, meski durasi iklan ini sangat singkat namun bisa menampilkan sisi-sisi budaya Nusantara, di antaranya rumah adat Betawi. Rumah Tradisional Betawi kini sangat sulit ditemukan lagi, tidak hanya di seluruh kawasan Betawi saja tetapi juga di daerah yang dikatakan sebagai cagar budaya Betawi sendiri seperti Condet, keberadaan rumah ini sudah semakin langka. Rumah adat Betawi yang ditampilkan dalam iklan So Nice ini, merupakan rumah adat yang ada di Kampung Artis TMII, Cipayung Jakarta Timur. Lokasi ini memang dikenal sebagai area lokasi shooting untuk berbagai VLQHWURQGDQ¿OP,QGRQHVLD.DPSXQJ$UWLVVHQGLUL memiliki sekitar 40 bangunan untuk keperluan setting di antaranya rumah tradisional seperti rumah Betawi dan rumah Joglo. Lokasi ini juga dikenal sebagai tempat pariwisata yang banyak dikunjungi turis mancanegara. Dewasa ini orang mulai menengok kembali rumah tradisional Betawi karena mengkhawatirkan akan keberadaan rumah ini. karena itu, pemerintah juga membuat cagar budaya Betawi di tempat lain (di kawasan Bale Kambang), dan beberapa orang yang mencintai kebudayaan Betawi malah dengan sengaja membuat rumah “Tradisional Betawi”, yaitu rumah yang dibangun dengan menggunakan 177 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 169—182 “pakem” rumah tradisional Betawi tetapi dengan memasukkan unsur modern ke dalamnya, seperti penggunaan material lantai modern (keramik) ataupun material dinding bata (Kania, 2006:21). Berdasarkan bentuknya, rumah Betawi dapat dikelompokan atas Rumah Gudang (berdenah empat persegi panjang, dapur hanya merupakan tambahan, beratap pelana memanjang dari depan kebelakang, sedangkan atap bagian dapur sering hanya berupa atap tambahan, dengan bagian tertinggi menempel ke dinding ruang dalam, dan miring ke arah belakang; Rumah Joglo, denah berbentuk bujur sangkar, bentuk atap dipengaruhi oleh bentuk atap rumah Jawa, namun tidak seperti Joglo murni, karena pada rumah Betawi ditambah dengan tekukan; Rumah Bapang/Kebaya, denah berbentuk empat persegi panjang, atap rumah berbentuk pelana yang dilipat dengan memiliki dua sudut kemiringan (Harun,dkk, 1991:8). Ciri khas rumah ini adalah teras rumahnya yang luas di sanalah ruang tamu dan bale tempat santai pemilik rumah berada, semi terbuka. Dinding rumah juga dominan di cat warna kuning dan hijau. Depan dan sekeliling rumah adalah halaman rumah yang luas baru pagar paling luar dari rumah tersebut. Bentuknya sederhana dan terbuat dari kayu berukiran khas betawi dengan bentuk rumah kotak (Adewaych, 2012:1). Unsur budaya Nusantara lainnya yang ada pada iklan So Nice versi Slank Rame-Rame adalah meggunakan baju-baju adat. Hasil perolehan data di atas terdapat busana-busana tradisional yang berasal dari Sabang hingga Merauke. Terlihat bahwa model-model iklan menggunakan busana adat seperti Aceh, Sunda, Jawa, Dayak, Sulawesi dan Papua. Sesuai dengan penggalan bait lagu Slank dalam iklan ini: “Makan So Nice rame rame! Sambil gotong royong rame rame! Semua makan So Nice, Sabang sampe Merauke! Semua makan So Nice, Sabang sampe Merauke!”. Suparlan (1999:4) mengemukakan bahwa Indonesia sendiri adalah negara yang masyarakatnya terdiri dari beragam etnis (suku bangsa) yang majemuk terpencar di 33 provinsi yang berbeda mulai dari Sabang hingga Merauke. Mereka menempati wilayah sebagai daerah asal dan memiliki budaya masing-masing sebagai identitas yang membedakan suatu etnis dengan 178 etnis-etnis lainnya. Perbedaan yang ada di antara kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di Indonesia pada hakekatnya disebabkan oleh perbedaan sejarah perkembangan kebudayaan dan adaptasi terhadap lingkungan masing-masing. Kelompokkelompok etnik ini merupakan himpunan manusia karena kesamaan rasa, agama, asal usul bangsa atau kombinasi dari kategori-kategori tersebut. Identitas etnik ini bisa diwujudkan melalui atributatribut budaya seperti bahasa, pakaian tradisional, upacara adat, tari-tarian dan sebagainya. Hingga di sini, agen iklan dan produsen produk So Nice memanfaatkan unsur-unsur kekayaan budaya Nusantara sebagai nilai tambah dalam penjualan produk mereka. Apalagi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (1997:10) ditemukan adanya fenomena bahwa iklan yang menggunakan identitas etnik ini lebih cepat diterima dan diingat oleh masyarakat. Di samping itu media juga turut berpengaruh dalam menentukan besar kecilnya dampak iklan karena hasil penelitian juga menunjukkan bahwa iklan yang ditayangkan di televisi lebih cepat diketahui oleh masyarakat, selain lebih luas jangkauannya dalam arti mencapai segala lapisan masyarakat. Hal ini juga senada seperti yang diungkapkan oleh Aitchison (2002:402) bahwa kebanyakan iklan-iklan Asia yang efektif dan kreatif menggunakan pendekatan local content (isi lokal) sesuai dengan kebudayaan masingmasing, serta menggunakan unsur humor dalam iklannya. Sementara itu, peneliti (Wells, 2003:99) menyimpulkan bahwa dari tiap-tiap karakter kebudayaan yang ada, memiliki persamaan nilai yang secara umum yang dimiliki oleh seluruh kebudayaan, yaitu perasaan memiliki dan dimiliki (sense of belonging); semangat (excitement); kesenangan dan (fun and enjoyment); hubungan yang hangat (warm relationship); pembuktian diri (VHOIIXO¿OOPHQW); penghargaan dari orang lain (respect from others); perasaan (a sense of accomplishment); keamanan (security); dan menghargai diri sendiri (self respect). Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa dari sisi pemasang iklan, representasi budaya Nusantara digunakan sebagai daya tarik dalam pesan iklannya yang membedakannya dengan Budaya dalam Iklan: ... Christiany Juditha iklan yang lain. Atribut budaya tradisional dimaksudkan untuk aspek keindahan selain terkait dengan kepentingan produk yang ditawarkan. Iklan ini juga menggunakan strategi yang mengkaitkan nilai-nilai budaya yang erat dengan suatu etnik demi kepentingan pesan iklan produk mereka. Penggunaan identitas etnik tidak sebatas GD\DWDULN¿VLNVDMDQDPXQMXJDPHPSXQ\DLQLODL yang ingin disampaikan kepada khalayak. Jadi, identitas etnik melalui atribut budaya tradisional GDSDWEHUIXQJVLVHEDJDLDWULEXW¿VLNGDQDWULEXW nilai (Rohmiati, 2010:46). Beberapa klip dalam iklan ini menunjukkan model-model iklan yang menggunakan baju adat Nusantara dan saling bekerja sama, bergotong royong, saling bahu-membahu dalam membersihkan lingkungan. Gambaran ini merupakan arti pesan denotasi namun jika ditinjau dari arti pesan konotasi, nilai budaya yang ingin ditampilkan adalah ciri khas bangsa Indonesia yang sejak dahulu kala sering bekerja sama ‘gotong royong’ sebagai nilai budaya yang saat ini PXODLWHUNLNLVDNLEDWPDUDNQ\DNRQÀLNDQWDUVXNX Terlepas dari tujuan iklan adalah sebagai media pemasaran, namun dapat juga dikatakan bahwa iklan juga merupakan media yang paling baik dalam menyampaikan nilai-nilai positif kepada masyarakat khususnya nilai budaya yang berguna bagi masyarakat banyak. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Mardiyati (2010: v) berjudul “Iklan sebagai Media Komunikasi Lintas Budaya: Studi Analisis Semiotik Iklan Minuman Energi Kratingdaeng versi Project Pop Berpakaian Adat Daerah.” Penelitian ini menyimpulkan bahwa iklan berisi penggambaran proses komunikasi lintas budaya. Dalam hal ini setiap adegan, dialog, body language sampai property yang dipakai aktor dalam iklan ini menggambarkan proses komunikasi lintas budaya. Termasuk di dalamnya backsound berupa intro musik alunan alat musik angklung dan gendang dari iklan tersebut juga menggambarkan kekayaan budaya Indonesia dan mencerminkan komunikasi lintas budaya. Model yang digunakan dalam iklan So Nice kali ini adalah Slank. Iklan ini memiliki motto SMS. Dari iklan-iklan terdahulu SMS diartikan ‘Semua Makan So Nice’, namun kali ini, meski masih menggunakan kata SMS dengan kepanjangan baru yaitu: ‘Slankers Makannya So Nice’. Secara kebetulan SMS itu masih saja bisa dihubungankan dengan kata Slankers (fans dari Slank). Sebelumnya iklan makanan ini, juga memasang model-model artis terkenal, boyband, pelawak dan bintang-bintang olahraga, dan kini band rock legendaris Indonesia dengan tagline ‘Slankers Makannya Sonice’. Dalam hal ini pesan verbal maupun visual yang ditampilkan dalam desain iklan dinyatakan dalam bahasa yang sederhana dan benar. Semua itu menjadi penting agar pesan-pesan tersebut mudah dimengerti oleh khalayak tanpa ada kesalahan interpretasi makna dari pesan tersebut (Tinarbuko, 2008:1). Selain itu, pesan-pesan yang dihasilkan ini harus sangat familiar dan melekat dalam ingatan khalayak. Hal yang menarik dalam iklan ini adalah perpaduan dua budaya, yang pertama unsurunsur budaya tradisional yang diwakili oleh model-model iklan yang menggunakan busana adat Nusantara disertai lokasi rumah yang sangat kental dengan budaya Betawi. Unsur kedua adalah budaya modern di mana diwakili oleh grup band Slank yang berpenampilan modern dengan gaya anak muda jaman sekarang. Kemeja putih, kaos oblong tanpa lengan, blue jeans, kacamata hitam, topi coboy dan asesoris lainnya yang menunjukkan budaya modern. Hal yang lain yang bisa dikaji bahwa produk makanan ini adalah sosis siap makan. Sosis pertama kali dikenali dari dokumen Yunani yang ditulis sekitar tahun 500 SM. Dan dalam perkembangannya sosis menjadi makanan yang mendunia, dengan negara Jerman sebagai kiblatnya. Sosis bagi orang Jerman adalah termasuk makanan primer dengan lebih dari 1200 macam sosis diproduksi (Malindofood, 2015:1). Belakangan makanan ini pun mulai dikenal di Indonesia namun masih dipadankan dengan makanan seperti hot dog yang merupakan makanan ‘impor’. Menarik dan unik karena sosis bisa juga diproduksi di Indonesia dan diiklankan dengan menggunakan latar belakang budaya Indonesia. Inilah yang disebut bahwa iklan merupakan salah satu perwujudan kebudayaan massa. Artinya, sebuah kebudayaan yang tidak hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli barang atau jasa, 179 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 169—182 tetapi turut juga mendedahkan nilai tertentu yang terpendam di dalamnya. Karena itulah, iklan yang sehari-hari ditemukan diberbagai media massa dapat dikatakan bersifat simbolik. Di mana iklan tersebut dapat menjadi simbol sejauh imaji yang GLWDPSLONDQQ\D PHPEHQWXN GDQ PHUHÀHNVLNDQ nilai hakiki. Tinarbuko (2008:1) berpendapat bahwa iklan mengemban tugas untuk menyampaikan pesan verbal maupun visual, maka keberadaannya senantiasa dikemas seartistik mungkin. Termasuk di dalamnya menyertakan model-model yang sedang hits di tanah air seperti Slank. Hal itu dilakukan agar menarik dan mampu membangkitkan rasa tertarik pada masing-masing pribadi, sehingga dapat menimbulkan stimulus dan reaksi untuk memberikan keputusan. Jika menyaksikan parade iklan di televisi, akan ditemukan begitu banyak ragam iklan, apalagi produk-produk yang ditawarkan juga tidak sedikit. Sehingga tim kreatif perusahaan iklan mau tidak mau harus bekerja keras untuk menemukan ide-ide yang menarik sehingga sebuah produk dapat diiklankan serta dapat diingat oleh masyarakat. Dan setelah itu masyarakat juga dapat terketuk hatinya untuk ikut membeli produk-produk yang diiklankan. Sebagai media komunikasi visual, maka keberadaan iklan menjadi media yang sangat efektif. Dengan demikian iklan mampu membawa masyarakat untuk berkomunikasi secara berbudaya dan dialogis, selanjutnya dimotivasi untuk melakukan suatu tindakan positif atas pengaruh komunikasi tersebut. Iklan budaya di televisi kini mulai marak diproduksi. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjaga warisan budaya sekaligus menghindari perilaku klaim dari negara lain terhadap budaya Nusantara. Iklan budaya yang disiarkan di televisi Indonesia dari tahun ke tahun semakin banyak dan beragam mulai dari ragam budaya Nusantara hingga keindahan alam negeri ini ikut digarap. Dan jejak-jejak kebudayaan peninggalan nenek moyang yang terdiri dari arsitektur, heritage, adat istiadat, dan beragam jenis upacara tradisional layak dieksplorasi secara positif dan dikembangkan sesuai dengan zamannya. Pemanfaatan potensi budaya lokal 180 dan kesenian tradisional sebagai sumber energi kreatif penciptaan karya desain iklan, maka keunikan yang dimunculkan dari lokalitas budaya lokal berikut masyarakat pendukungnya akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan jagat periklanan Indonesia. Selain itu, ketika para kreator dan desainer iklan Indonesia senantiasa mengedepankan lokalitas budaya lokal semakin membuncahkan ciri khas dan keunikan periklanan Indonesia. Neil French menyatakan bahwa iklan yang bertema local content dapat lebih menunjukkan identitas kebudayaan suatu negara, dan justru keanekaragaman budaya itulah yang membuat dunia menjadi menarik (Aitchison, 2001:403). Marcello Serpa, seorang ikon kreatif internasional dari Brazil yang telah memenangkan Grand Prix Cannes di usia 28 tahun, menyatakan bahwa dirinya tidak pernah berusaha membuat iklan yang terlihat ‘internasional’ atau global. Serta menyatakan dengan suatu perumpamaan bahwa semakin India seorang India, maka ia akan dapat membawa keluar sesuatu dari India yang dapat diterima secara relevan di seluruh dunia (Aitchison, 2001:403). Sebuah penelitian dengan metode survei berjudul “Analisis Efektivitas Iklan-Iklan TV bertema Local Content di Indonesia Tahun 2004” (Maer dkk, 2007:57) juga semakin mengukuhkan bahwa iklan TV bertema konten lokal telah terbukti efektif dan memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Namun hal yang paling penting adalah kandungan budaya yang ditampilkan dalam iklan tersebut agar sesuai dengan target khalayak agar iklan budaya lokal dapat benarbenar efektif. PENUTUP Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa representasi budaya Nusantara dalam iklan So Nice versi Slank Rame-Rame cukup kental, meski durasi iklan ini terbilang singkat namun bisa menampilkan sisi-sisi budaya Nusantara, di antaranya rumah adat Betawi yang kini sangat sulit ditemukan lagi. Unsur budaya Nusantara lainnya yang ada pada iklan ini yaitu busanaEXVDQDWUDGLVLRQDO\DQJGLNHQDNDQSDUD¿JXUDQ Budaya dalam Iklan: ... Christiany Juditha iklan yang seperti dari Aceh, Sunda, Jawa, Dayak, Sulawesi hingga Papua. Beberapa klip dalam iklan ini menunjukkan model-model iklan yang menggunakan baju adat Nusantara dan saling bekerja sama, bergotong royong, saling bahu-membahu dalam membersihkan lingkungan (pesan ikonik denotasi). Sedangkan arti konotasi dari pesan ini adalah ciri khas bangsa Indonesia yang sejak dahulu kala sering bekerja sama ‘gotong royong’ sebagai nilai budaya yang saat ini mulai terkikis DNLEDWPDUDNQ\DNRQÀLNDQWDUVXNX Iklan ini juga menggunakan kata dan kalimat baik yang berbunyi maupun yang tertulis dalam iklan (pesan linguistik). Salah satu di antaranya adalah teks lagu yang dinyanyikan oleh Slank yang berbunyi Makan So Nice rame rame! Sambil gotong royong rame rame. Semua makan So Nice, Sabang sampe Merauke! Di dalam kalimat-kalimat ini terkandung makna pesan baik denotasi maupun konotasi. Rekomendasi dari penelitian ini adalah iklan bertema budaya Indonesia merupakan salah satu cara untuk bisa tetap melestarikan serta menjaganya dari klaim negara lain. Karena itu, iklan-iklan budaya semestinya tetap selalu diproduksi dengan lebih mengeksplor warisan kekayaan budaya Nusantara. Dalam membuat iklan bertema budaya lokal harus disertai dengan pemahaman yang mendalam mengenai konsep dan kebudayaan yang hendak diangkat sehingga sesuai dengan karakter target khalayak yang dituju sehingga dapat diterima dan relevan bagi khalayak. Dengan demikian, iklan jenis ini dapat menjadi sarana yang benar-benar efektif dalam menyampaikan pesan. Penelitian lanjutan dapat dikembangkan dengan meneliti faktor lain yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian sebuah produk misalnya faktor budaya yang terkandung dalam isi iklan. DAFTAR PUSTAKA Adewaych. J2012. “Rumah Adat Betawi”. http:// adewaych.blogspot.com/p/rumah-adatbetawi.html. Diakses tanggal 2 Februari 2015. Aitchison, Jim. 2001. “Cutting Edge Commercials”. Singapore: Prentice Hall. Hlm.403. Aitchison, Jim. 2002. “How Asia Advertises.” Singapore: Wiley. Barker, Chris. 2004. “Cultural Studies: Teori & Praktik.” Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bertens, K. 2001. “Pengantar Etika Bisnis”. Jakarta: Kanisius. Cobley, Paul & Jansz, Litzza. 1999. “Introducing Semiotics.” NY: Totem Books. Dewi, Cut Meutia Sandra.1997. “Interpretasi K h a l a y a k Te r h a d a p I k l a n Ya n g Menggunakan Identitas Etnik Di Indonesia”. ( Tesis, pasca Sarjana Bidang Ilmu Sosial. Universitas Indonesia Jakarta) . Dwimalia, Pytha. 2009. “Representasi Warisan Budaya Indonesia (Kajian Semiologi Representasi Warisan Budaya sebagai Identitas Indonesia dalam Iklan televisi Tolak Angin versi “Truly Indonesia”)”. FISIP UNS Surakarta. Fisamawati dan M. Agus Mahribi. 2012. Marketing.co.id. 2012. “Iklan Bertema Budaya Memberi Roh Pada Merek Budaya Indonesia dalam Iklan”. http:// webcache. googleusercontent.com/ search? q=cache:Il9Fhndg57gJ:www.marketing. co.id/iklan-bertema-budaya-memberiroh-pada-merek/+ budaya+ indonesia+d alam+iklan&cd=8&hl=en&ct=clnk, diakses tanggal 27 Januari 2015. Hall, Stuart. 2003. “Representation: Cultural Representation and Sygnifying Practices”. London: Sage Publications. Hartley, John. 2010. “Communication, Cultural and Media Studies.” Yogyakarta: Jalasutra. Harun, Ismet B, dkk.1991. “Rumah Tradisional Betawi.” Jakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. +HUH\DK<R\RK ³.RPRGL¿NDVL %XGD\D Lokal dalam Iklan: Analisis Semiotik pada Iklan Kuku Bima Energi Versi Tari Sajojo.” Prosiding Seminar Nasional Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal. Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman. http://komunikasi.unsoed.ac.id/ VLWHVGHIDXOWILOHV\R\RKKHUH\DK XPE¿QDOSGI., diakses tanggal 28 Januari 2015. Kania, Tjandra. 2006. “Arsitektur Rumah Tradisional Betawi ‘Keturunan’” 181 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 169—182 dalam Jurnal IImiah Arsitektur UPH, Vol. 3, No. 1, 2006 : 21 – 33. Kasali, Rhenald. 1995. “Manajemen Periklanan”. -DNDUWD3XVWDND*UD¿WL Lubis, Miladinne. 2014. “Pertumbuhan Belanja Iklan Berjalan Perlahan.” http://www. nielsen.com/id/en/press-room/2014/ nielsen-pertumbuhan-belanja-iklanberjalan-perlahan.html, diakses tanggal 27 Januari 2015. Maer, Bernadette Dian Arini, Bing Bedjo Tanudjaja, Baskoro Suryo Banindro. 2007. “Analisis Efektivitas Iklan-Iklan TV Bertema Local Content di Indonesia Tahun 2004” dalam Jurnal Nirmana, Vol.9, No. 2, Juli 2007: 57-68. http:// nirmana.petra.ac.id/index.php/dkv/article/ download/17673/17584, diakses tanggal 2 Februari 2014. Malik, Yusuf, dkk. 2013. “Representasi Budaya”. https://sosiologibudaya.wordpress. com/2013/03/18/representasi-budaya-2/, diakses tanggal 28 Januari 2015. Malindo Food. “Sosis”. http://www.malindofood. com/gallery/sunnygold_3.html, diakses tanggal 3 Februari 2015. Mardiyati, Nanik.2010. “Iklan sebagai Media Komunikasi Lintas Budaya: Studi Analisis Semiotik Iklan Minuman Energi Kratingdaeng versi Project Pop Berpakaian Adat Daerah”. Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Ilmu Komunikas. http:// digilib.uinsby.ac.id/8642/, diakses tanggal 2 Februari 2015. McQuail, Dennis. 1992. “Media Performance: Mass Communication and The Public Interest.” London: Sage Publications. Mulyana, Deddy & Jalaluddin Rakhmat. 1990. “Komunikasi Antarbudaya.” Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rohmiati. 2010. “Penggunaan Identitas Etnik dalam Iklan Televisi” dalam Jurnal ISIP. http://www.iisip.ac.id/sites/default/ 182 files/CETAK_JURNAL_ROHMIATI_ JANUARI_2010.pdf, diakses tanggal 2 Februari 2015. Slank.com. 2015. “Shooting TVC So Nice”. http:// slank.com/slankdiary/shooting-tvc-nice/, diakses tanggal 30 Januari 2015. Sobur, Alex. 2006. “Semiotika Komunikasi”. Bandung: PT Remaja Yosdakarya. Suparlan, Parsudi. 1999. “Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan” dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 58 Thn 1999. Tinarbuko, Sumbo. 2008. “Lokalitas Budaya Lokal dalam Desain Iklan.” //dgi-indonesia. com/lokalitas-budaya-lokal-dalam-desainiklan/, diakses tanggal 28 Januari 2015. Wells, Burnett Moriarty. 2003. “Advertising Principles and Practice.” New Jersey: Prentice Hall. Wulandari, Putri. 2013. “Representasi Budaya Indonesia Pada Iklan Kopi Kapal Api (Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia pada Iklan Kopi Kapal Api Versi ‘Secangkir Semangat Untuk Indonesia’ di Televisi Swasta)”. (Skripsi. Departemen Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara). http:// repository. usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/ 35185/7/ Cover.pdf, diakses tanggal 26 Januari 2015. Youtube. 2015. “So Nice versi Slank RameRame”. https://www.youtube.com/ watch?v=nj0ESi2_Wmk, diakses tanggal 29 Januari 2015. Yusanto, Freddy. 2008. “Kode Budaya Indonesia pada Iklan Televisi Cahaya Asa (Studi Semiotika Iklan Televisi PT. Gudang Garam, Tbk yang Bertemakan Rumahku Indonesiaku).” (Tesis. Program Studi Magister Desain Magister Desain – FSRD ITB). http://www.fsrd.itb.ac.id/wp-content/ uploads/kode-budaya-indonesia.pdf, diakses tanggal 28 Januari 2015.