SISTEM KEPERCAYAAN ORANG SASAK [Sebuah Telaah Etno-History] Ahmad Fauzan Abstrak: Artikel ini berbicara tentang inti kepercayaan penganut Wetu Telu secara garis besar merentang pada tiga hal mendasar sebagai berikut: pertama, meyakini tiga jenis mekanisme reproduksi mahluk hidup; kedua, perlunya menjaga keseimbangan kosmos melalui hubungan yang harmonis antara jagad besar dengan jagad kecil; dan ketiga, iman kepada Allah, Adam, dan Hawa. Berdasarkan konsepsi ini, bahwa kepercayaan Wetu Telu sebagai reduksi terhadap tata cara ibadah wajib dalam agama Islam menjadi serba tiga adalah tindakan yang kurang tepat, karena dapat mendistorsi makna intrinsik konsep kosmologi Wetu Telu (Budiwanti, 2000: 139). Satu komponen penting yang turut membangun konsepsi kosmologi Wetu Telu lainnya yang penting dijelaskan di sini adalah tentang kepercayaan terhadap dunia roh. Jiwa akan menyatu kembali dengan tubuh ketika manusia terjaga dari tidurnya. Keyakinan para penganut Wetu Telu terhadap keabadian arwah leluhurnya yang sudah meninggal tersebut merupakan konsekuensi dari ajaran yang mereka yakini tentang kehidupan di dunia ini yang terbagi menjadi dua, yaitu alam kasar (dunia material) dan alam halus (dunia arwah). Mereka meyakini bahwa arwah leluhur dapat menjadi perantara antara orang yang masih hidup dengan Sang Pencipta. Untuk itu, hubungan baik dengan para leluhur harus dijaga secara terus-menerus agar arwah leluhur tidak marah dan memutus rantai hubungan antara orang yang masih hidup dengan Sang Pencipta. Kata kunci: Sasak, Kepercayaan, Arwah, Wetu Telu, Islam, Hindu, Buda Pendahuluan Setiap manusia mempercayai atau meyakini adanya sesuatu kekuatan lain di luar kekuatan dirinya. Kekuatan itu bersifat gaib yang dapat mempengaruhi kehidupan maka kekuatan gaib itu disembah, diberikan korban dan dimintai pertolongan. Adanya sistem persembahan dalam hubungan manusia dengan kekuatan gaib di luar dirinya ini merupakan formulasi adanya kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa. Pada mulanya manusia hanya memikirkan sebatas diri dan lingkungannya, kemudian diciptakan suatu cara berhubungan dengan sesama dan lingkungannya dalam suatu tatanan menjadi sistem nilai. Sistem nilai yang dilestarikan dalam suatu tatanan normatif untuk berhubungan dengan sesama dan lingkungannya ini menjadi sistem sosial. Volume 6, Nomor 2, Desember 2014 | 27 Kemudian bobot penalaran manusia mulai meningkat bukan saja terbatas pada memikirkan diri dan lingkungan, melainkan sampai memikirkan yang menciptakan diri dan lingkungan. Untuk memenuhi tuntutan spiritualnya ini manusia mulai memikirkan cara berhubungan dengan pencipta dalam suatu wujud upacara yang bersifat religius magis yang melahirkan kepercayaan sebagai sistem budaya. Sistem budaya serta berbagai wujud budaya masih tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya. Nilai dan sistem budaya tradisional serta wujud budaya di kalangan masyarakat Bayan tampak berbagai kegiatan upacara. Karena itu bagi mereka wujud budaya adalah adat istiadat yang mereka istilahkan adat lembaga (Depdikbud, 1995/1996: 21). Wujud budaya sebagai sistem sosial merupakan komplek aktivitas kelakuan berpola menjadi norma-norma kehidupan manusia bermasyarakat dalam hubungannya dengan nilai-nilai ekstrinsik dan kehidupan bersama yang diwujudkan dlam bentuk kegiatan berbagai upacara ini menunjukkan adanya daya serap yang berbeda dari kekuatan tradisi setempat di dalam penganutan agama. Ini berarti leluhur kita pernah hidup dalam suatu kebiasaan primitif. Di antaranya me­lakukan suatu rangkaian upacara ma­ gis, mempercayai mitos-mitos tentang keperkasaan leluhur terdahulu atau kesaktian para pendiri sebuah desa, tempat dimana mereka tinggal kala itu. Wujud mitologi itu, sekarang masih dapat dijumpai dalam bentuk petilasan keramat pada daerah atau desa tertentu. Di samping penghormatan kepada arwah leluhur, mereka juga mempercayai 28 | Komunitas adanya makhluk halus yang memiliki daya kekuatan sehingga dapat dijadikan tempat berkeluh-kesah. Makhluk halus juga ada yang menguasai tempat-tempat tertentu, yang sering dijuluki sebagai siluman. Dalam perilaku kesehariannya, manusia primitif berusaha melakukan hubungan dengan daya kekuasaan tersebut. Mereka menjalin hubungan mistis semata-mata demi terciptanya keselarasan dengan makhluk tanpa bentuk itu (Pranoto, 2000: 150). Dalam berikut: penjelasan Arzaki sebagai “Bahwa sebelum menganut agama Islam, orang Sasak menganut kepercayaan animisme dan dinamis­me yang kemudian tumbuh dan ber­kembang dalam darah daging ke­yakin­an orang Sasak secara umum1” Umumnya penduduk Indonesia awal mempercayai bahwa roh seperti gunung, pohon, dan arwah nenek-moyang bisa menimbulkan perasaan takut, menyebabkan penyakit, dan membawa kematian (Shihab, 1997: 4). Dari kepercayaan ini mereka kemudian melakukan pemujaan terhadap nenek-moyang dan arwah, kepercayaan ini yang kemudian dinamakan kepercayaan animisme. Animisme berasal dari perkataan Latin, anima, animae artinya “nyawa”. Di dalam animisme terdapat suatu susunan keagamaan yang harus diartikan sebagai suatu rangkaian upacara-upacara, tanggapan-tanggapan, mite dan sebagainya yang religius-magis dan yang melukiskan adanya makhluk-makhluk halus Wawancara di Monjok Culik Mataram pada tanggal 16 April 2009. 1 Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam sakti yang ada kepribadiannya. “Pribadi” disini diartikan sebagai makhluk-makhluk halus yang mempunyai kehendak dan yang menjalankan kehendak (Honing, 1994: 53). Animisme merupakan kepercayaan adanya berbagai macam roh yang melingkupi sekeliling mereka. Dalam kamus Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa animisme adalah suatu bentuk kepercayaan terhadap bermacam-macam roh dan makhluk halus yang menempati alam sekitar tempat tinggal manusia, terutama yang sepi sehingga terkesan angker. Bentuk kepercayaan semacam ini menyebabkan adanya aktivitas untuk menghormati atau memuja roh dan makhluk halus dengan cara berdoa, memberi sesaji atau persembahan, karena diyakini bahwa roh dan makhluk halus berasal dari jiwa manusia yang sudah meninggal (Ensiklopedi Nasional, jilid 2, 1988: 110). Animisme, sebagaimana yang digunakan dan dipahami oleh E.B. Tylor seperti yang dikutip Dhavamony (1995: 66), mempunyai dua arti. Pertama, dia dapat dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan dimana manusia religius, khususnya orang-orang primitif, membubuhkan jiwa pada manusia dan juga pada semua makhluk hidup dan benda mati. Arti kedua, animisme dapat dianggap sebagai teori bahwa ide tentang jiwa manusia merupakan akibat dari pemikiran mengenai beberapa pengalaman psikis, terutama mimpi, dan ide tentang makhluk-makhluk berjiwa diturunkan dari ide tentang jiwa manusia. Ada empat karakteristik penganut animisme: pertama, selalu melakukan upacaraupacara dan bentuk-bentuk sesembahan yang menggambarkan adanya makhluk halus, roh- roh dan jiwa-jiwa yang mempunyai keinginan dan kehendak. Kedua, ada semacam kepercayaan bahwa roh-roh dan makhlukmakhluk halus berada di sekitar manusia dan di semua tempat, terutama yang sepi, sehingga mendorong lahirnya penghormatan dalam waktu-waktu tertentu terhadap pohon atau kayu-kayu besar, gunung, dan sungai yang dianggap angker. Ketiga, bersikap ambivalen terhadap roh-roh dan makhluk halus, sebab pada satu sisi ditakuti sementara pada sisi lain manusia berusaha melakukan kontak secara khusus melalui cara tertentu. Keempat, rohroh dan makhluk halus diposisikan sebagai sesuatu yang melebihi kemampuan manusia dan diyakini sangat mempengaruhi dan menentukan keselamatan hidup manusia (Nadjamuddin, 2002: 16). Sebagai fenomena religius, animisme tampaknya bersifat universal, terdapat dalam semua agama, bukan pada orang-orang primitif saja, meskipun penggunaan populer dari istilah itu sering dikaitkan dengan agama-agama “primitif ” atau masyarakat Indonesia. Animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan pada makhlukmakhluk adikodrati yang dipersonalisasikan. Manifestasinya adalah dari roh yang Maha Tinggi hingga pada roh halus yang tak terhitung banyaknya, roh leluhur, roh dalam objek-objek alam (Nadjamuddin, 2002: 67). Sebelum Islam masuk ke pulau Lombok, sukubangsa Sasak menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, yaitu sebuah bentuk kepercayaan terhadap bermacammacam roh dan makhluk hidup yang menempati alam sekitar-tempat tinggal manusia-dan merupakan sistem kepercayaan Volume 6, Nomor 2, Desember 2014 | 29 bahwa segala sesuatu di alam semesta ini mempunyai kekuatan dan daya (Wacana, et al., 1988: 15). Dalam pandangan animismenya suku­ bangsa Sasak percaya bahwa tidak saja benda hidup terdapat makhluk halus atau nyawa, tetapi juga pada tanaman-tanaman seperti pohon beringin dan benda-benda mati misalnya batu, gunung, tombak dan lainnya. Arwah itu dapat dibedakan antara yang baik dan yang buruk, yang baik selalu diingat dan bila diperlukan dipanggil dan diundang di dalam pesta atau perayaan, seperti halnya upacara perang ketupat yang mengundang tamu agung yang berada di gunung Rinjani yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para leluhur. Adapun dinamisme berasal dari perkatan Yunani dynamis, artinya: kekuasaan, ke­ kuatan, khasiat. Apa yang dinamakan dinamisme ialah sejenis faham dan perasaan keagamaan yang terdapat di berbagai belahan bagian dunia pada berjenis-jenis bangsa dan yang menunjukkan banyak persamaan. Dinamisme adalah kepercayaan kepada suatu daya kekuatan atau kekuasaan yang keramat dan tidak berpribadi, yang dianggap halus maupun berjasad, semacam fluidum, yang dapat dimiliki mapun tidak dapat dimiliki oleh benda, binatang, dan manusia (Honing, 1994: 34). Dapat dipahami bahwa istilah “keramat” dalam dinamisme ialah sesuatu yang mengandung daya, yang mendatangkan keselamatan. Jadi dalam dinamisme itu ada “kotor” dan “keramat” adalah dua belah sisi dari hal yang sama. Jika sesuatu mengandung daya, ada kemungkinan hal itu dipandang 30 | Komunitas “kotor”, karena dianggap berbahaya, tetapi dapat juga dikatakan “keramat” karena daya yang tersembunyidi dalamnya dianggap mendatangkan keselamatan (Honing, 1994: 35). Pandangan dinamisme sukubangsa Sasak mempercayai bahwa orang-orang cemas, misalnya wanita hamil bero’ (anak yang lahir kembar buncing laki-laki dan perempuan) dianggap dapat memberi akibat yang tidak baik bagi masyarakat sekitarnya yang berupa panas yang berkepanjangan dan penyakit menular. Menurut kepercayaan orang-orang Sasak zaman kuno, bahwa antara zat yang Maha Kuasa dengan dunia arwah dan alam semesta beserta isinya tidak terpisah, manusia sebagai makhluk termasuk didalamnya sebagai bagian dari alam semesta, perubahan yang terjadi di alam semesta akan ikut mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia (Ariesta, 1997: 16). Hindu dan Budha Masuknya agama Hindu di Indonesia tidak terlepas dari para pedagang yang berasal dari India. Seperti yang diketahui bahwa Indonesia pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah. Dari proses perdagangan ini akulturasi budaya di Indonesia tidak bisa lepas begitu juga dengan agama, banyak para pendatang selain melakukan perdagangan juga melakukan penyebaran agama. Menurut W.F. Wertheim seperti yang dikutip Nadjamuddin (2002: 3) bahwa pengaruh India mengalir lewat beberapa orang Brahma India yang berpengaruh, kemudian memberikan dukungan politik kepada penguasa Indonesia dengan me­ Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam nyatakan bahwa mereka secara geneologis adalah keturunan kasta tertinggi. Penguasapenguasa tertentu yang besar pengaruhnya diposisikan sebagai inkarnasi dewa-dewa Hindu seperti Wishnu atau Shiwa. Pemberian legitimasi semacam ini merupakan ciri utama Hinduisasi. Masuknya pengaruh kebudayaan India di Indonesia memberikan warna bagi ke­ budayaan setempat serta perubahan-per­ ubah­an, namun perubahan itu tidak banyak perbedaannya. Perbedaan antara keduanya hanyalah terhadap pada cara pelaksanaan ritual dan kehidupan sehari-hari. Pengaruh dari para pedagang yang berasal dari India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dapat kita temukan dalam masyarakat Jawa yang berdasarkan strata. Agama Hindu di Indonesia diwakili oleh kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan terbesar terakhir yang berkuasa di tanah jawa. Setelah kerajaan Majapahit diruntuhkan oleh kerajaan-kerajaan jawa yang telah masuk Islam, banyak penguasanya melarikan diri ke pulau Bali. Bali tetap Hindu sampai sekarang, dan di pulau inilah satu-satunya tempat masyarakat Hindu awal tetap bertahan hidup. Sekitar abad ke 5-6 Masehi, migranmigran jawa yang berasal dari kerajaan Kalingga, Daha, Singosari berdatangan ke Lombok, dengan membawa faham agama Syiwa-Budha. Menyusul setelah itu, kerajaan Hindu Majapahit, Hindu dari Jawa Timur, masuk ke Lombok pada abad ke 7 dan memperkenalkan agama Hindu-Budha dikalangan orang Sasak. Setelah dinasti Majapahit jatuh, pada abad ke-13 Raja Jawa Muslim, untuk pertama kali membawa Islam ke Lombok dari arah timur laut. Sekitar abad ke 17 kerajaan Bali dari Karangasem menduduki daerah Lombok, setelah mengalahkan kerajaan Makasar pada tahun 1740 M. Kekalahan atas orang Sasak ini mendorong beberapa orang pemimpin Sasak Lombok Barat. Kemudian mengkonsolidasikan kekuasaannya terhadap seluruh untuk meminta campur tangan militer Belanda untuk mengusir kerajaan Bali. Akhirnya Belanda berhasil menaklukkan dan mengusir Bali dari Lombok pada tahun 1894. Belanda menjadi penjajah baru terhadap orang sasak. Penjajahan Belanda bertindak cukup keji hampir sama dengan penguasa sebelumya bahkan Belanda mempertajam perseteruan idiologis Islam antara Islam murni dengan penganut Islam Wetu Telu (Arzaki, 2001: 7). Dibawah raja-raja Karangasem Bali, banyak memberi corak pergaulan Hindu dan Islam di Lombok. Pada waktu kekuasaan rajaraja Bali di Lombok selain terdapat kerja sama yang baik, sekalipun diketahui di sana-sini terjadi peperangan telah banyak memberikan sumbangan bagi perkembangan adat istiadat Lombok di kemudian hari (Depdikbud, 1984: 3). Pengaruh Hindu di Indonesia tidaklah merata, begitu pula dengan pengaruhnya di Lombok, hal ini dapat dilihat dari peninggalanpeninggalan sejarah maupun adat istiadat masyarakat ini. Pengaruh Hindu di Lombok bagian Barat, ternyata lebih mendalam apabila dibandingkan dengan pengaruhnya di Lombok bagian Timur. Hal ini memungkinkan karena letak yag berdekatan dengan Pulau Volume 6, Nomor 2, Desember 2014 | 31 Bali dengan penduduk mayoriatas menganut agama Hindu. Pengaruh Hindu yang terjadi di Lombok tidak terlepas dari gelombang migrasi pada abad ke-5 hingga abad ke-6 dari pulau Jawa ke Bali terus ke Lombok, menyusul runtuhnya kerajaan Daha dan Kalingga (Kompas, Selasa 13 Desember 2005). Penganut agama Hindu pada umumnya adalah turunan orang-orang Bali yang menyeberang ke Lombok pada akhir abad ke17. Mereka tersebar disekitar Cakranegara, Mataram, Narmada dan Tanjung. Pura mereka yang tersebar ialah pura Meru di Cakranegara yang dibangun pada abad ke-18 oleh kerajaan Karangasem Sasak. Ajaran Hindu-Bali dibawa langsung oleh pemeluknya, para imigran dari Pulau Bali. Hindu-Bali adalah sinkretisasi ajaran Hindu-Budha, yang juga disebut SiwaBudha. Menurut Sartono Kartodirjo dalam buku Sejarah Nasional Indonesia seperti yang dikutip Zakaria (1998: 17) mengatakan dalam proses sinkretisasi Hindu-Budha itu maka, “…ada yang dipengaruhi secara dominan oleh unsur Hindu, atau sebaliknya oleh unsur Budha. Mana unsur-unsur di antara keduanya yang lebih dominan, kita harus hati-hati menelitinya sekalipun dalam kenyataannya, keduanya tumbuh dalam bentuk sinkretis Siwa-Budha itu.” Masuknya Islam di Lombok Kedatangan Islam sejak abad ke-7 sampai abad ke-12 di beberapa daerah di Asia Tenggara dapat dikatakan baru pada tahap pembentukan komunitas muslim yang terutama terdiri dari para pedagang. Abad 32 | Komunitas ke-13 sampai abad ke-16, terutama dengan mulai munculnya kerajaan bercorak Islam, merupakan kelanjutan dari penyebaran Islam. Pada saat kedatangannya, Islam dihadapi oleh masyarakat kerajaan yang bercorak HinduBudha yang masyarakatnya masih memiliki struktur pemerintahan semacam desa dengan kepercayaan animisme dan dinamisme (Taufik (ed.), 2002: 12). Islam mulai masuk ke daratan Asia Tenggara pada abad ke-11, untuk kemudian berkembang pesat sepanjang satu millenium berikutnya hingga masuknya kebudayaan Barat. Meskipun demikian, proses Islamisasi kebudayaan lokal Indonesia yang amat beragam mengakibatkan munculnya jenisjenis ketaatan kepada Islam yang juga beragam (Shihab, 1998: 1). Kedatangan Islam ke Asia Tenggara, tidak kurang terdapat orang-orang muslim yang dapat disebut dengan shari’ahminded, yang menolak kompromi dengan adat dan tradisi lokal dan mempertahankan ortodoksi (Azra, 1989: Xxii). Awal perkembangan Islam di Pulau Lombok diliputi ketidakjelasan, sekabur perkembangan Islam di Nusantara. Dalam hal ini, Bartholomew (2001: 93) melihat ada dua tema penting yang melembari sejarah masuknya Islam ke Lombok. Pertama, pulau yang seolah-olah tidur dan terbelakang ini merupakan situs dari bermacam-macam inkursi yang mempengaruhi praktik-praktik dan kepercayaan Sasak. Kedua, ada seruan periodik namun konsisten terhadap purifikasi agama. Perubahan-perubahan sosial akibat dari inkursi-inkursi ini memberikan stimulus perasaan akan kebutuhan untuk memperbaharui agama. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Selanjutnya, ada dua teori yang berkembang tentang masuknya Islam ke pulau Lombok, yaitu yang menyatakan bahwa Islam masuk dari arah Timur, dan teori yang menyatakan Islam masuk dari arah Barat, yakni pulau Jawa. Teori pertama menyatakan bahwa Islam masuk bersamaan dengan datangnya para pedagang dari Gujarat ke Perlak, Samudera Pasai, datang pula seorang mubalig dari Arab yang bernama Syaikh Nurul Rasyid, kemudian yang dikenal dengan nama Gauz Abdul Razaq dengan tujuan berdakwah. Teori ini bersesuaian dengan teori Gujarat, yang dikonstruksi oleh Snouck Hourgronge tentang pembumian Islam di Nusantara. Teori ini berpandangan bahwa Islam membumi ke Nusantara melalui Gujarat. Berdasarkan data historis, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin dan inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dan Gujarat. Teori kedua, menyebutkan bahwa orang yang membawa Islam masuk ke pulau Lombok adalah Pangeran Sangopati dan atau Sunan Prapen. Teori ini lebih banyak dibuktikan dengan fakta adanya kesamaan bahasa atau budaya Lombok dengan Jawa. Misalnya, dua kalimat syahadat yang diartikan dalam bahasa Jawa, sering dipergunakan di dalam upacara pernikahan komunitas Sasak Desa Bayan (Athar, 2005: 71). Berbeda dengan teori di atas, dalam literatur yang lain dikatakan bahwa agama Islam masuk di pulau Lombok diperkirakan pada awal abad ke-16. para penyebarnya terkenal antara lain Sunan Prapen putera Sunan Giri, Al Fadal, Sangopati dan lain-lain. Agama ini masuk dari dua arah yaitu: 1. Melalui utara (Bayan) yang disebarkan oleh Sunan Penggiring dari Jawa Tengah. Ajarannya yang banyak adalah sufi yang mengarah kepada sinkretisme Hindu— Islam. Karenanya mudah diterima secara sukarela oleh masyarakat yang kemudian golongan ini dikenal dengan Wetu Telu. 2. Dari arah timur (Lombok Timur) yang disebarkan oleh pendatang terutama pelaut-pelaut dari Makasar dan para pedagang dari Jawa. Sebagaimana diketahui bahwa pusat kerajaan Selaparang Islam semula di Labuhan Lombok sekarang yang kemudian dipindahkan ke bekas ibukota kerajaan Selaparang Hindu yaitu Watu Parang, “batu yang keras”. Dari sinilah agama ini oleh raja Rangke Sari disebarkan ke seluruh Lombok. Dan dari daerah Lombok Timur ini pulalah muncul ahli agama (Islam) dengan sekolah dan perguruannya (Depdikbud, 1984: 21). Versi lain agak berbeda dengan yang di atas, seperti yang dikatakan oleh Wacana penulis buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, menurutnya Islam masuk setelah Majapahit runtuh. Riwayat mengatakan, Majapahit menyerbu Lombok pada 1357. Sebelumnya, di Lombok sudah berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang rakyatnya menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ketika itu ada satu kerajaan yang paling besar, yakni Selaparang (Tempo, 27 April 1991: 61 via Sirnopati, 2006: 32). Pada mulanya Islam masuk melalui adat Hindu yang dibawa oleh para wali dari Volume 6, Nomor 2, Desember 2014 | 33 Jawa, dengan bahasa pengantar bahasa Jawa Kuno. Ternyata cara yang ditempuh para wali dapat diterima masyarakat di Lombok dan disambut dengan baik. Sekitar abad ke-16, Islam masuk di Lombok sesudah runtuhnya Majapahit. Al-Qur’an ditulis dengan tangan dan memakai tinta cina, demikian juga kitabkitab agama dari bahasa Arab disalin dalam bahasa Jawa Kuno dan memakai tembang, misalnya: “Bismillah, hamba manah Hanebut namaning Allah Kang murah ing dunya reko Ingkang asih tan pegat Tan ana Ratu Lian Agung Satuhune amung Allah”. (Lukman, 2004: 7) Agama Islam yang disebarkan pada abad ke-16 ini lebih diperkuat lagi dengan beberapa hal, diantaranya: 1. Seperti yang disebutkan diatas, bahwa dua kalimat syahadat diartikan dalam bahasa Jawa yang sering dipergunakan dalam upacara pernikahan. 2. Adanya sebutan peralatan agama yang diambil dari bahasa Jawa, seperti: Ketib, Modin, dan Lebe. 3. Adanya lontar kesusteraan (takepan) yang ditulis dalam huruf dan bahasa Jawa. 4. Adanya seperangkat gamelan sebagai instrumental pengiring kesenian tra­di­si­ onal masyarakat sasak sering diperguna­ kan pada upacara-upacara keluarga seperti nyunatang, ngurisang, ngawinang (khitanan, goresan/mencukur, pernikahan). 34 | Komunitas Suku-bangsa Sasak mempunyai suatu sistem tulisan, yang dikenal sebagai jejawen, tulisan jejawen diperkirakan berasal dari Jawa. Tulisan jejawen masih banyak dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari terutama di kalangan tua. Tulisan tersebut misalnya dalam kitab lontar tentang sastra, peringatan dan kitab agama dari orang Lombok (Depdikbud, 1977: 31). Ada tiga faktor utama yang dapat mem­ percepat proses penyebaran Islam dan usaha-usaha Islamisasi di Lombok ataupun Mataram. Pertama, karena ajaran Islam tersebut menekankan pentingnya prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya, suatu prinsip yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Allah yang Yang Maha Tunggal. Pada gilirannya, ajaran ini memberikan pegangan yang kuat bagi para pemeluknya untuk membebaskan diri dari ikatan kekuatan apapun selain Allah. Kedua, karena daya lentur ajaran Islam, dalam hal sebagai kodifikasi nilai-nilai universal, maka Islam tidak secara serentak menggantikan seluruh tata nilai yang telah berkembang di dalam kehidupan masyarakat sebelum datangnya Islam. Ketiga, Islam dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan kekuasaan apapun yang ada dihadapnya yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketauhidan yang diyakini (Zakaria, 1998: 15). Tipe Islam yang pertama kali dipraktek­ kan di sukubangsa Sasak adalah campuran antara kepercayaan-kepercayaan Austronesia dengan Islam. Sebenarnya banyak sarjana yang bekerja di Lombok berpendirian Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam bahwa konversi awal kepada Islam tidak membutuhkan penerimaan secara kese­ luruhan dari kepercayaan-kepercayaan baru tersebut karena agama baru diterima ini cocok dengan, dan tidak mengancam strukturstruktur sosial serta kepercayaan-kepercayaan yang ada (Bartholomew, 2001: 95). Dari beberapa uraian tentang Pra Islam dan lahirnya Islam sendiri di Lombok, ada tiga kelompok sukubangsa Sasak menurut agama atau kepercayaannya antara lain orang Sasak yang beraga Islam yang sempurna atau sering disebut dengan Wetu Lima (Waktu Lima), orang Islam Wetu Telu, dan orangorang Sasak yang berkepercayaan Boda yang kemudian pada tahun 1973 mengakui dirinya beragama Budha (Depdikbud, 1977: 22). Seperti agama Hindu di Bali, mereka memuja Trimurti, dewa Brahma, dewa Wisnu dan dewa Siwa. Disamping itu masing mengenal bermacam-macam dewa disamping yang lain, juga meraka sangat menghormati dewa Gunung Rinjani. Setiap tahun mereka naik ke Gunung Rinjani untuk mengadakan upacara Pujawali yang dipimpin oleh Pedanda. Dan untuk menghormati Dewi yang memberikan kesuburan yang bersemayam di Gunung Rinjani sekali setahun pada tiap bulan enam mereka mengadakan upacara perang ketupat di Pura Lingsar (Depdikbud, 1977: 35). Selain menganut Hindu-Budha, sukubangsa Sasak juga memeluk sebuah kepercayaan yang disebut dengan Boda yang merupakan kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada waktu itu menganut kepercayaan ini, kepercayaan ini juga disebut sebagai agama Sasak-Boda. Agama Boda dari orang Sasak asli ditandai oleh animisme dan pantaeisme. Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek keagaman Sasak-Boda (Budiwanti, 2000: 8). Orang-orang Boda sangat menghormati dewa-dewa yang disebut Betara. Di kalangan orang-orang Boda, dewa-dewa yang sangat terkenal adalah Betara Guru, Betara Gangga, Idadari Sakti, Idadari Jeneng, Betara Sakti dan Betara Jeneng. Mereka tidak mempunyai pengetahuan yang terperinci tentang dewadewa mereka misalnya bagaimana sifatsifatnya, batas-batas kekuasaannya dan sebagainya (Depdikbud, 1977: 110). Dari penganut-penganut agama yang ada di Nusa Tenggara Barat, orang-orang Wetu Telu, orang Hindu Bali (sekarang Hindu Dharma) serta orang-orang Boda masih percaya kepada dewa-dewa. Kekuatankekuatan besar masih dipercaya baik oleh orang-orang Islam Wetu Telu, Hindu atau orang-orang Sasak Boda. Mereka menyebut para dewa dengan sebutan Betara. Betara tersebut menguasai pulau Lombok, bersemayam di Lingsar, Gunung Rinjani. Berdasarkan cerita Lontar, atas keyakinan itulah hingga sekarang mata air Lingsar tetap dihormati oleh mereka yang beragama Hindu, Wetu Telu dan Boda di Lombok (Depdikbud, 1977: 109). Orang-orang Sasak Boda dan orangorang Islam Wetu Telu serta orang-orang Bali di Lombok Barat mempunyai tempattempat upcara yang ada hubungan dengan kepercayaan mereka. Tempat-tempat tersebut berupa bangunan-bangunan tetap seperti Volume 6, Nomor 2, Desember 2014 | 35 masjid dan gereja pada orang-orang agama Islam dan Kristen (Depdikbud, 1977: 118). Dalam upacara keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang Boda, pimpinan upacara meliputi tua’ loka’, mangku, penghulu dan belian. Ketiga pejabat agama dan adat tersebut mempunyai bagian-bagian tugas yang telah berlaku sejak dahulu. Misalnya mangku penghulu menentukan kapan upcara dilakukan, tua’ loka’ memimpin gundem yang dihadiri oleh anggota-anggota banjar atau para ketua terdiri dari para mangku, tua’ loka’, belian, keeling gama dan lain-lain. Upacara menurunkan gong suci dilakukan di bawah pimpinan mangku, jerujing. Belian2 memimpin pembuatan persembahan agung dibantu oleh beberpa orang gadis. Keliang gama yang secara kebetulan dirangkap oleh ketua kampu, bertindak sebagai pengerahan massa dalam segala kegiatan upacara dan persiapannya (Depdikbud, 1977: 121). Ketika Islam pertama kali diperkenalkan ke Lombok pada ke-16 dan 17, maka sebagian terbesar dari penduduk Lombok mungkin jarang mempraktekkan keimanan yang sama dengan keyakinan Hindu-Budha Majapahit, meskipun dengan variasi lokal yang signifikan. Orang Sasak Boda yang sekarang tinggal khususnya di pegununganpegunungan dan wilayah-wilayah Lombok yang terasing, pada tingkat tertentu umumnya dianggap melanjutkan sistem kepercayaan aslinya. Sebagian besar orang–orang Sasak Boda sekarang ini secara resmi dicacat oleh Belian dalam bahasa Sasak diartikan sebagai dukun beranak dan tabib yang fungsinya untuk menyembuhkan atau membebaskan seseorang dari pengaruh guna-guna dan sihir (wawancara di Mapak Dasan Lombok Barat dengan Amaq Adji, tanggal 15 April 2009). 2 36 | Komunitas pemerintah sebagai pemeluk Budha, salah satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah (Bartholomew, 2001: 94). Tetapi ada yang berpendapat bahwa sebenarnya Sasak Boda itu merupakan agama Siwa-Budha (Asnawi, 2005: 6). Proses Islamisasi dan akomodasi kultural berhubungan dengan tiga kondisi penting. Pertama, proses Islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan kebudayaan Islam berhadapan dengan aneka warna kebudayaan lokal, tradisi dan adat lokal. Interaksi Islam dengan sistem n ilai lokal pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk respons dan reaksi. Kedua, Islam merupakan “pendatang baru” di dalam masyarakat di kepulauan Indonesia. Sebelum Islam masuk, telah ada sistem keyakinan, kepercayaan, keagamaan, atau setidaknya tradisi spiritualitas yang dianut komunitas lokal—yang dulu pernah disebut oleh antropolog sebagai kepercayaan asli—serta agama Hindu-Buddha. Kepercayaan lokal dan tradisi Hindu-Buddha ini tidak lagi berdiri secara sendiri-sendiri, tetapi telah bercampur membentuk suatu sistem kepercayaan yang sinkretik. Ketiga, Islam bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan atau sistem yang ada dalam masyarakat Indonesia karena selain kepercayaan lokal dan Hindu-Buddha, belakangan muncul pula pengaruh budaya Eropa (Barat) yang mulai berkembang dalam waktu bersamaan dengan kedatangan dan penjajahan bangsa Eropa di Asia (Taufik (ed.), 2002: 29). Dalam komunitas Wetu Telu, tidak semua orang memiliki otoritas untuk menafsirkan ajaran yang mereka yakini. Menurut Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam keyakinan mereka, agama adalah sesuatu yang esoterik, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kapasitas untuk memberikan penjelasan tentangnya. Terkait hal ini, ada beberapa sumber otoritaritatif yang dijadikan rujukan para penganut Wetu Telu di Lombok, yaitu Pemangku Adat Bayan Agung, Pemangku Karangbajo, Pemangku Karangsalah, dan Penghulu yang dipandang sebagai pemilik dan penjaga pengetahuan yang terpercaya (Budiwanti, 2000: 139). Pihak-pihak itulah yang juga memiliki otoritas untuk membuat wacana mengenai konsepsi sistem pandangan dunia penganut Wetu Telu yang benar di tengah maraknya penafsiran yang diskriminatif dari kelompok Islam mayoritas (Waktu Lima). Jika para penganut Islam Waktu Lima menafsirkan Wetu Telu sebagai reduksi terhadap seluruh tata cara peribadatan menjadi tiga, maka para pemangku menolak dengan tegas tuduhan tersebut, karena mereka memiliki model penafsiran yang berbeda. Istilah telu sering dikonotasikan dengan waktu oleh penganut Islam mayoritas, sehingga Wetu Telu dianggap sebagai sistem kepercayaan yang mereduksi segala sesuatu ke dalam tiga kategori. Padahal tidak demikian. Menurut para pemangku adat, wetu berasal dari kata metu, yang berarti muncul atau datang dari, sedangkan telu artinya tiga. Secara harfiah, istilah tersebut merujuk pada tiga tahap dalam siklus reproduksi, yaitu menganak atau melahirkan seperti manusia dan mamalia, menteluk atau bertelur seperti burung, dan mentiuk atau tumbuh seperti bijian-bijian, sayuran, buahbuahan, pepohonan, dan tumbuh-tumbuhan secara umum. Manusia dan hewan lahir dan bertelur, sedangkan tumbuhan berasal dari biji. Semua makhluk yang tercipta melalui tiga hal tersebut memiliki caranya masingmasing untuk menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Masyarakat adat Wetu Telu menyadari hal ini, sehingga muncul keyakinan bahwa manusia dapat hidup secara nyaman di dunia asalkan mampu menjaga keharmonisan hubungan dengan mahlukmahluk hidup lainnya (Budiwanti, 2000; 136137). Sedangkan jika dilihat secara maknawi, istilah Wetu Telu memiliki makna yang lebih rumit. Wetu Telu tidak hanya menunjuk pada tiga macam sistem reproduksi, tetapi juga menunjuk pada kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk berkembang biak melalui mekanisme reproduksi tersebut. Dengan demikian, Wetu Telu juga menjelaskan tentang ketergantungan mahluk hidup satu sama lain. Untuk menjelaskan hal ini, pemangku adat membagi wilayah kosmologi menjadi dua kategori, yaitu jadag besar (mayapada) dan jagad kecil. Jagad besar, atau alam raya terdiri dari dunia, matahari, bulan, bintang, dan planet-planet lainnya. Sedangkan jagad kecil merujuk pada manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya yang sepenuhnya tergantung kepada alam semesta. Ketergantungan ini menyatukan dua dunia tersebut dalam sebuah kondisi homeostatis atau keseimbangan–dan melalui keseimbangan tersebut tatanan alam semesta bekerja. Satu hal penting yang harus diketahui juga adalah bahwa keseimbangan alam semesta tersebut dapat terwujud karena kemahakuasaan Tuhan. Volume 6, Nomor 2, Desember 2014 | 37 Ketergantungan kehidupan (jagad kecil) kepada jagad besar tercermin dalam ke­­­ butuhan mutlak jagad kecil atas sumber daya penting yang dimiliki jagad besar, seperti tanah, udara, mineral, api, dan sinar matahari. Ketergantungan ini berlaku bagi jagad besar yang tergantung dengan jagad kecil dalam bentuk pemeliharaan dan pelestarian. Dalam konteks ini, peran manusia sangat vital, apabila manusia sebagai komponen penting dari jagad kecil menuruti nafsunya dalam bentuk eksploitasi yang berlebihan terhadap jagad besar, maka keseimbangan kosmos akan terganggu. Rusaknya harmoni kosmos secara langsung dapat dilihat dari seringnya terjadi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan sebagainya, karena manusia tidak bertanggung jawab atas pemeliharaan alam semesta. Sebuah ilustrasi menarik tentang pentingnya menjaga keseimbangan kosmos disampaikan oleh Pemangku Adat Bayan dalam kalimat seperti ini: “Sebagai manusia kita membutuhkan tanah di mana kita bisa menyemai dan menumbuhkan benih-benih yang kita tanam, air untuk menguncupkan dan mengembangkan benih tersebut, dan sinar matahari untuk mematangkan padi dan buah” (Budiwanti, 2000: 138). Selain penjelasan tentang ketiga jenis mekanisme reproduksi dan kointer­ dependensi antara jagad besar dengan jagad kecil, komponen kepercayaan kosmologi Wetu Telu juga menjelaskan unsur-unsur penting lainnya sebagai berikut: Rahasia atau Asma yang mewujud dalam panca indra manusia. Simpanan Ujud Allah yang termanifestasi­ kan dalam sosok Adam dan Hawa. Secara 38 | Komunitas simbolis Adam merepresentasikan garis ke­ turunan ayah atau laki-laki, sedangkan Hawa merepresentasikan garis keturunan ibu atau perempuan. Masing-masing menyebarkan empat organ pada tubuh manusia. Kodrat Allah atau kombinasi antara 5 indra yang berasal dari Allah dan 8 organ yang diwarisi dari Adam dan Hawa. Masingmasing kodrat Allah dapat ditemukan dalam setiap lubang yang ada di tubuh manusia –dari mata hingga anus. (Budiwanti, 2000: 139). Kesimpulan Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa inti kepercayaan penganut Wetu Telu secara garis besar merentang pada tiga hal mendasar sebagai berikut: pertama, meyakini tiga jenis mekanisme reproduksi mahluk hidup; kedua, perlunya menjaga keseimbangan kosmos melalui hubungan yang harmonis antara jagad besar dengan jagad kecil; dan ketiga, iman kepada Allah, Adam, dan Hawa. Berdasarkan konsepsi ini, bahwa kepercayaan Wetu Telu sebagai reduksi terhadap tata cara ibadah wajib dalam agama Islam menjadi serba tiga adalah tindakan yang kurang tepat, karena dapat mendistorsi makna intrinsik konsep kosmologi Wetu Telu (Budiwanti, 2000: 139). Satu komponen penting yang turut membangun konsepsi kosmologi Wetu Telu lainnya yang penting dijelaskan di sini adalah tentang kepercayaan terhadap dunia roh. Meskipun pandangan terhadap dunia ruh relatif terpisah dari kepercayaan inti Wetu Telu, tetapi hal ini sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari para penganut Wetu Telu. Dalam kepercayaan Wetu Telu, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam kehidupan ibarat sebuah aliran yang bersifat kontinyu –di mana kehidupan itu sendiri digerakkan oleh kekuatan yang disebut spirit atau jiwa. Selama manusia masih hidup, jiwa menyatu dengan tubuh, meskipun dalam kondisi tertentu jiwa meninggalkan tubuh untuk sementara waktu ketika manusia sedang tertidur. Jiwa akan menyatu kembali dengan tubuh ketika manusia terjaga dari tidurnya. Setelah manusia meninggal, jiwa akan terpisah selamanya dari tubuh, namun ia tetap eksis karena sifatnya yang abadi. Jiwa memang telah meninggalkan dunia menuju alam yang lain, namun ia dapat kembali ke dunia ini dalam waktu-waktu tertentu dan dapat berinteraksi dengan keluarganya yang masih hidup di dunia. Bahkan, jiwa atau roh orang yang sudah meninggal dapat marah dan menghukum orang yang masih hidup ketika eksistensinya diganggu (Cederroth, 1996 via Fadly, 2008: 28). Untuk itu, bagi para penganut Wetu Telu, menjalin hubungan yang harmonis dengan arwah leluhur adalah kewajiban, karena ketika hubungan itu terganggu akan berdampak buruk bagi kehidupan orang yang masih hidup. Upaya menjaga hubungan antara orang yang masih hidup dengan arwah leluhur agar tetap harmonis tersebut diimplementasikan dalam ritual-ritual paska kematian –yang secara lebih lengkap akan dijelaskan di bagian selanjutnya. material) dan alam halus (dunia arwah). Alam kasar adalah dunia yang dapat dipersepsi oleh indra manusia, sedangkan alam halus adalah dunia yang tidak dapat dipersepsi oleh indra manusia. Hanya orang-orang tertentu saja, yaitu para pemangku adat yang dapat mengetahui dan merasakan alam halus ini. Dengan kata lain, alam kasar adalah tempat bagi manusia yang masih hidup, sedangkan alam halus adalah tempat bersemayam bagi arwah para leluhur penganut Wetu Telu (Fadly, 2008: 46; Budiwanti, 2000: 145146). Keyakinan para penganut Wetu Telu terhadap keabadian arwah leluhurnya yang sudah meninggal tersebut merupakan konsekuensi dari ajaran yang mereka yakini tentang kehidupan di dunia ini yang terbagi menjadi dua, yaitu alam kasar (dunia Para penganut Wetu Telu di Bayan meyakini bahwa leluhur mereka yang sudah tinggal di alam halus mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan Sang Pencipta. Mereka meyakini bahwa arwah leluhur dapat menjadi perantara antara orang yang Kematian adalah transisi dari alam kasar menuju alam halus. Jiwa berpindah ke tahap yang lebih tinggi, tetapi tidak mempunyai bentuk. Jiwa yang mendiami alam halus ini bersifat abadi dan suci. Jiwa yang demikian selanjutnya disebut roh halus. Ketika manusia masih hidup, jiwa masih menyatu dengan raga, dan bersatunya antara jiwa dan raga itu disebut sebagai alam pertama. Alam yang kedua adalah kematian, ketika jiwa terpisah dari raga. Untuk mencapai alam yang ketiga, yaitu alam halus, orang yang sudah meninggal harus mengalami ritualritual paskakematian (gawe pati) beberapa kali setelah kematiannya. Rangkaian ritual tersebut dilaksanakan oleh anggota keluarga yang masih hidup agar orang yang sudah meninggal jiwanya mendapat tempat di alam halus (Budiwanti, 2000: 146). Volume 6, Nomor 2, Desember 2014 | 39 masih hidup dengan Sang Pencipta. Karena keyakinan tersebut, orang Bayan tidak boleh melupakan leluhurnya karena hal itu adalah pantangan (pemalik) yang jika dilanggar dapat menimbulkan malapetaka bagi anak turun yang masih hidup. Untuk itu, hubungan baik dengan para leluhur harus dijaga secara terusmenerus agar arwah leluhur tidak marah dan memutus rantai hubungan antara orang yang masih hidup dengan Sang Pencipta. Daftar Pustaka Ariesta, D., 1997, Islamisasi di Pulau Lombok, Skripsi, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Yogayakarta. Arzaki, D., et.al., 2001, Nilai-Nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat (Sebuah Kajian Antropologis-Sosiologis-Agamis), Munzirin (ed.), Mataram: Pokja REDAM. Asnawi, 2005, Respons Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam, Mataram: IAIN Ulumuna: vol.IX, edisi 15. Athar, Z.Y., 2005, Kearifan lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok, Mataram: IAIN Ulumuna: vol.IX, edisi 15. Kepercayaan di Nusa Tenggara Barat, Mataram: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Nusa Tenggara Barat. 1984, Sejarah Pendidikan Daerah NTB, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai Budaya. 1988, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai Budaya. 1995/1996, Wujud, Arti dan Fungsi Puncakpuncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah Nusa Tenggara Barat: Sumbangan Kebudayaan Daerah terhadap Kebudayaan Nasional, Mataram: Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dhavamony, M., 1995, Fenomenologi Agama, Terj. Yogyakarta: Kanisius. Fadly, M.A., 2008, Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak, Lombok Tengah: STAIIQH Press. Honing, 1994, Ilmu Agama, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Kompas, Edisi Selasa 13 Desember 2005. Bartholomeuw, J.R., 2001, Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta: Tiara Wacana. Nadjamuddin & Lukman, 2002, Dari Animisme ke Monoteisme, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. Budiwanti, E., 2000, Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS. Sirnopati, R., 2006, Rasionalitas Keberagamaan Penganut Islam Wetu Telu Di Bayan Lombok Barat, Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijaga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984, Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Alam dan 40 | Komunitas Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam