27 - Portal Garuda

advertisement
SISTEM KEPERCAYAAN ORANG SASAK
[Sebuah Telaah Etno-History]
Ahmad Fauzan
Abstrak: Artikel ini berbicara tentang inti kepercayaan penganut Wetu
Telu secara garis besar merentang pada tiga hal mendasar sebagai berikut:
pertama, meyakini tiga jenis mekanisme reproduksi mahluk hidup; kedua,
perlunya menjaga keseimbangan kosmos melalui hubungan yang harmonis
antara jagad besar dengan jagad kecil; dan ketiga, iman kepada Allah, Adam,
dan Hawa. Berdasarkan konsepsi ini, bahwa kepercayaan Wetu Telu sebagai
reduksi terhadap tata cara ibadah wajib dalam agama Islam menjadi serba tiga
adalah tindakan yang kurang tepat, karena dapat mendistorsi makna intrinsik
konsep kosmologi Wetu Telu (Budiwanti, 2000: 139). Satu komponen
penting yang turut membangun konsepsi kosmologi Wetu Telu lainnya yang
penting dijelaskan di sini adalah tentang kepercayaan terhadap dunia roh. Jiwa
akan menyatu kembali dengan tubuh ketika manusia terjaga dari tidurnya.
Keyakinan para penganut Wetu Telu terhadap keabadian arwah leluhurnya
yang sudah meninggal tersebut merupakan konsekuensi dari ajaran yang
mereka yakini tentang kehidupan di dunia ini yang terbagi menjadi dua, yaitu
alam kasar (dunia material) dan alam halus (dunia arwah). Mereka meyakini
bahwa arwah leluhur dapat menjadi perantara antara orang yang masih hidup
dengan Sang Pencipta. Untuk itu, hubungan baik dengan para leluhur harus
dijaga secara terus-menerus agar arwah leluhur tidak marah dan memutus
rantai hubungan antara orang yang masih hidup dengan Sang Pencipta.
Kata kunci: Sasak, Kepercayaan, Arwah, Wetu Telu, Islam, Hindu, Buda
Pendahuluan
Setiap manusia mempercayai atau
meyakini adanya sesuatu kekuatan lain
di luar kekuatan dirinya. Kekuatan itu
bersifat gaib yang dapat mempengaruhi
kehidupan maka kekuatan gaib itu
disembah, diberikan korban dan
dimintai pertolongan. Adanya sistem
persembahan dalam hubungan manusia
dengan kekuatan gaib di luar dirinya ini
merupakan formulasi adanya kepercayaan
kepada Yang Maha Kuasa.
Pada mulanya manusia hanya memikirkan
sebatas diri dan lingkungannya, kemudian
diciptakan suatu cara berhubungan dengan
sesama dan lingkungannya dalam suatu
tatanan menjadi sistem nilai. Sistem nilai yang
dilestarikan dalam suatu tatanan normatif
untuk berhubungan dengan sesama dan
lingkungannya ini menjadi sistem sosial.
Volume 6, Nomor 2, Desember 2014
|
27
Kemudian bobot penalaran manusia
mulai meningkat bukan saja terbatas pada
memikirkan diri dan lingkungan, melainkan
sampai memikirkan yang menciptakan diri
dan lingkungan. Untuk memenuhi tuntutan
spiritualnya ini manusia mulai memikirkan
cara berhubungan dengan pencipta dalam
suatu wujud upacara yang bersifat religius
magis yang melahirkan kepercayaan sebagai
sistem budaya. Sistem budaya serta berbagai
wujud budaya masih tetap dipertahankan oleh
masyarakat pendukungnya. Nilai dan sistem
budaya tradisional serta wujud budaya di
kalangan masyarakat Bayan tampak berbagai
kegiatan upacara. Karena itu bagi mereka
wujud budaya adalah adat istiadat yang
mereka istilahkan adat lembaga (Depdikbud,
1995/1996: 21).
Wujud budaya sebagai sistem sosial
merupakan komplek aktivitas kelakuan
berpola menjadi norma-norma kehidupan
manusia bermasyarakat dalam hubungannya
dengan nilai-nilai ekstrinsik dan kehidupan
bersama yang diwujudkan dlam bentuk
kegiatan berbagai upacara ini menunjukkan
adanya daya serap yang berbeda dari kekuatan
tradisi setempat di dalam penganutan agama.
Ini berarti leluhur kita pernah hidup dalam
suatu kebiasaan primitif. Di antaranya
me­lakukan suatu rangkaian upacara ma­
gis, mempercayai mitos-mitos tentang
keperkasaan leluhur terdahulu atau kesaktian
para pendiri sebuah desa, tempat dimana
mereka tinggal kala itu. Wujud mitologi itu,
sekarang masih dapat dijumpai dalam bentuk
petilasan keramat pada daerah atau desa
tertentu. Di samping penghormatan kepada
arwah leluhur, mereka juga mempercayai
28
|
Komunitas
adanya makhluk halus yang memiliki daya
kekuatan sehingga dapat dijadikan tempat
berkeluh-kesah. Makhluk halus juga ada yang
menguasai tempat-tempat tertentu, yang
sering dijuluki sebagai siluman. Dalam perilaku
kesehariannya, manusia primitif berusaha
melakukan hubungan dengan daya kekuasaan
tersebut. Mereka menjalin hubungan mistis
semata-mata demi terciptanya keselarasan
dengan makhluk tanpa bentuk itu (Pranoto,
2000: 150).
Dalam
berikut:
penjelasan
Arzaki
sebagai
“Bahwa sebelum menganut agama Islam,
orang Sasak menganut kepercayaan
animisme dan dinamis­me yang kemudian
tumbuh dan ber­kembang dalam darah
daging ke­yakin­an orang Sasak secara
umum1”
Umumnya penduduk Indonesia awal
mempercayai bahwa roh seperti gunung,
pohon, dan arwah nenek-moyang bisa
menimbulkan perasaan takut, menyebabkan
penyakit, dan membawa kematian (Shihab,
1997: 4). Dari kepercayaan ini mereka
kemudian melakukan pemujaan terhadap
nenek-moyang dan arwah, kepercayaan ini
yang kemudian dinamakan kepercayaan
animisme.
Animisme berasal dari perkataan Latin,
anima, animae artinya “nyawa”. Di dalam
animisme terdapat suatu susunan keagamaan
yang harus diartikan sebagai suatu rangkaian
upacara-upacara, tanggapan-tanggapan, mite
dan sebagainya yang religius-magis dan yang
melukiskan adanya makhluk-makhluk halus
Wawancara di Monjok Culik Mataram pada tanggal
16 April 2009.
1
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
sakti yang ada kepribadiannya. “Pribadi”
disini diartikan sebagai makhluk-makhluk
halus yang mempunyai kehendak dan yang
menjalankan kehendak (Honing, 1994: 53).
Animisme merupakan kepercayaan
adanya berbagai macam roh yang melingkupi
sekeliling mereka. Dalam kamus Ensiklopedi
Indonesia disebutkan bahwa animisme
adalah suatu bentuk kepercayaan terhadap
bermacam-macam roh dan makhluk halus
yang menempati alam sekitar tempat tinggal
manusia, terutama yang sepi sehingga terkesan
angker. Bentuk kepercayaan semacam
ini menyebabkan adanya aktivitas untuk
menghormati atau memuja roh dan makhluk
halus dengan cara berdoa, memberi sesaji atau
persembahan, karena diyakini bahwa roh dan
makhluk halus berasal dari jiwa manusia yang
sudah meninggal (Ensiklopedi Nasional, jilid
2, 1988: 110).
Animisme, sebagaimana yang digunakan
dan dipahami oleh E.B. Tylor seperti yang
dikutip Dhavamony (1995: 66), mempunyai
dua arti. Pertama, dia dapat dipahami sebagai
suatu sistem kepercayaan dimana manusia
religius, khususnya orang-orang primitif,
membubuhkan jiwa pada manusia dan juga
pada semua makhluk hidup dan benda
mati. Arti kedua, animisme dapat dianggap
sebagai teori bahwa ide tentang jiwa manusia
merupakan akibat dari pemikiran mengenai
beberapa pengalaman psikis, terutama mimpi,
dan ide tentang makhluk-makhluk berjiwa
diturunkan dari ide tentang jiwa manusia.
Ada empat karakteristik penganut
animisme: pertama, selalu melakukan upacaraupacara dan bentuk-bentuk sesembahan yang
menggambarkan adanya makhluk halus, roh-
roh dan jiwa-jiwa yang mempunyai keinginan
dan kehendak. Kedua, ada semacam
kepercayaan bahwa roh-roh dan makhlukmakhluk halus berada di sekitar manusia dan
di semua tempat, terutama yang sepi, sehingga
mendorong lahirnya penghormatan dalam
waktu-waktu tertentu terhadap pohon atau
kayu-kayu besar, gunung, dan sungai yang
dianggap angker. Ketiga, bersikap ambivalen
terhadap roh-roh dan makhluk halus, sebab
pada satu sisi ditakuti sementara pada sisi lain
manusia berusaha melakukan kontak secara
khusus melalui cara tertentu. Keempat, rohroh dan makhluk halus diposisikan sebagai
sesuatu yang melebihi kemampuan manusia
dan diyakini sangat mempengaruhi dan
menentukan keselamatan hidup manusia
(Nadjamuddin, 2002: 16).
Sebagai fenomena religius, animisme
tampaknya bersifat universal, terdapat dalam
semua agama, bukan pada orang-orang
primitif saja, meskipun penggunaan populer
dari istilah itu sering dikaitkan dengan
agama-agama “primitif ” atau masyarakat
Indonesia. Animisme dapat didefinisikan
sebagai kepercayaan pada makhlukmakhluk adikodrati yang dipersonalisasikan.
Manifestasinya adalah dari roh yang Maha
Tinggi hingga pada roh halus yang tak
terhitung banyaknya, roh leluhur, roh dalam
objek-objek alam (Nadjamuddin, 2002: 67).
Sebelum Islam masuk ke pulau Lombok,
sukubangsa Sasak menganut kepercayaan
animisme dan dinamisme, yaitu sebuah
bentuk kepercayaan terhadap bermacammacam roh dan makhluk hidup yang
menempati alam sekitar-tempat tinggal
manusia-dan merupakan sistem kepercayaan
Volume 6, Nomor 2, Desember 2014
|
29
bahwa segala sesuatu di alam semesta ini
mempunyai kekuatan dan daya (Wacana, et
al., 1988: 15).
Dalam pandangan animismenya suku­
bangsa Sasak percaya bahwa tidak saja
benda hidup terdapat makhluk halus atau
nyawa, tetapi juga pada tanaman-tanaman
seperti pohon beringin dan benda-benda
mati misalnya batu, gunung, tombak dan
lainnya. Arwah itu dapat dibedakan antara
yang baik dan yang buruk, yang baik selalu
diingat dan bila diperlukan dipanggil dan
diundang di dalam pesta atau perayaan,
seperti halnya upacara perang ketupat yang
mengundang tamu agung yang berada di
gunung Rinjani yang dipercaya sebagai
tempat bersemayamnya para leluhur.
Adapun dinamisme berasal dari perkatan
Yunani dynamis, artinya: kekuasaan, ke­
kuatan, khasiat. Apa yang dinamakan
dinamisme ialah sejenis faham dan perasaan
keagamaan yang terdapat di berbagai belahan
bagian dunia pada berjenis-jenis bangsa
dan yang menunjukkan banyak persamaan.
Dinamisme adalah kepercayaan kepada suatu
daya kekuatan atau kekuasaan yang keramat
dan tidak berpribadi, yang dianggap halus
maupun berjasad, semacam fluidum, yang
dapat dimiliki mapun tidak dapat dimiliki
oleh benda, binatang, dan manusia (Honing,
1994: 34).
Dapat dipahami bahwa istilah “keramat”
dalam dinamisme ialah sesuatu yang
mengandung daya, yang mendatangkan
keselamatan. Jadi dalam dinamisme itu ada
“kotor” dan “keramat” adalah dua belah sisi
dari hal yang sama. Jika sesuatu mengandung
daya, ada kemungkinan hal itu dipandang
30
|
Komunitas
“kotor”, karena dianggap berbahaya, tetapi
dapat juga dikatakan “keramat” karena daya
yang tersembunyidi dalamnya dianggap
mendatangkan keselamatan (Honing, 1994:
35).
Pandangan dinamisme sukubangsa Sasak
mempercayai bahwa orang-orang cemas,
misalnya wanita hamil bero’ (anak yang lahir
kembar buncing laki-laki dan perempuan)
dianggap dapat memberi akibat yang tidak
baik bagi masyarakat sekitarnya yang berupa
panas yang berkepanjangan dan penyakit
menular.
Menurut kepercayaan orang-orang Sasak
zaman kuno, bahwa antara zat yang Maha
Kuasa dengan dunia arwah dan alam semesta
beserta isinya tidak terpisah, manusia sebagai
makhluk termasuk didalamnya sebagai bagian
dari alam semesta, perubahan yang terjadi di
alam semesta akan ikut mempengaruhi hidup
dan kehidupan manusia (Ariesta, 1997: 16).
Hindu dan Budha
Masuknya agama Hindu di Indonesia
tidak terlepas dari para pedagang yang berasal
dari India. Seperti yang diketahui bahwa
Indonesia pernah menjadi pusat perdagangan
rempah-rempah. Dari proses perdagangan
ini akulturasi budaya di Indonesia tidak bisa
lepas begitu juga dengan agama, banyak para
pendatang selain melakukan perdagangan
juga melakukan penyebaran agama.
Menurut W.F. Wertheim seperti yang
dikutip Nadjamuddin (2002: 3) bahwa
pengaruh India mengalir lewat beberapa
orang Brahma India yang berpengaruh,
kemudian memberikan dukungan politik
kepada penguasa Indonesia dengan me­
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
nyatakan bahwa mereka secara geneologis
adalah keturunan kasta tertinggi. Penguasapenguasa tertentu yang besar pengaruhnya
diposisikan sebagai inkarnasi dewa-dewa
Hindu seperti Wishnu atau Shiwa. Pemberian
legitimasi semacam ini merupakan ciri utama
Hinduisasi.
Masuknya pengaruh kebudayaan India
di Indonesia memberikan warna bagi ke­
budayaan setempat serta perubahan-per­
ubah­an, namun perubahan itu tidak banyak
perbedaannya. Perbedaan antara keduanya
hanyalah terhadap pada cara pelaksanaan
ritual dan kehidupan sehari-hari.
Pengaruh dari para pedagang yang berasal
dari India yang mayoritas penduduknya
beragama Hindu dapat kita temukan dalam
masyarakat Jawa yang berdasarkan strata.
Agama Hindu di Indonesia diwakili oleh
kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan
terbesar terakhir yang berkuasa di tanah jawa.
Setelah kerajaan Majapahit diruntuhkan oleh
kerajaan-kerajaan jawa yang telah masuk
Islam, banyak penguasanya melarikan diri ke
pulau Bali. Bali tetap Hindu sampai sekarang,
dan di pulau inilah satu-satunya tempat
masyarakat Hindu awal tetap bertahan
hidup.
Sekitar abad ke 5-6 Masehi, migranmigran jawa yang berasal dari kerajaan
Kalingga, Daha, Singosari berdatangan ke
Lombok, dengan membawa faham agama
Syiwa-Budha. Menyusul setelah itu, kerajaan
Hindu Majapahit, Hindu dari Jawa Timur,
masuk ke Lombok pada abad ke 7 dan
memperkenalkan agama Hindu-Budha
dikalangan orang Sasak. Setelah dinasti
Majapahit jatuh, pada abad ke-13 Raja Jawa
Muslim, untuk pertama kali membawa Islam
ke Lombok dari arah timur laut.
Sekitar abad ke 17 kerajaan Bali dari
Karangasem menduduki daerah Lombok,
setelah mengalahkan kerajaan Makasar
pada tahun 1740 M. Kekalahan atas orang
Sasak ini mendorong beberapa orang
pemimpin Sasak Lombok Barat. Kemudian
mengkonsolidasikan kekuasaannya terhadap
seluruh untuk meminta campur tangan
militer Belanda untuk mengusir kerajaan Bali.
Akhirnya Belanda berhasil menaklukkan dan
mengusir Bali dari Lombok pada tahun 1894.
Belanda menjadi penjajah baru terhadap
orang sasak. Penjajahan Belanda bertindak
cukup keji hampir sama dengan penguasa
sebelumya bahkan Belanda mempertajam
perseteruan idiologis Islam antara Islam
murni dengan penganut Islam Wetu Telu
(Arzaki, 2001: 7).
Dibawah raja-raja Karangasem Bali,
banyak memberi corak pergaulan Hindu dan
Islam di Lombok. Pada waktu kekuasaan rajaraja Bali di Lombok selain terdapat kerja sama
yang baik, sekalipun diketahui di sana-sini
terjadi peperangan telah banyak memberikan
sumbangan bagi perkembangan adat istiadat
Lombok di kemudian hari (Depdikbud,
1984: 3).
Pengaruh Hindu di Indonesia tidaklah
merata, begitu pula dengan pengaruhnya di
Lombok, hal ini dapat dilihat dari peninggalanpeninggalan sejarah maupun adat istiadat
masyarakat ini. Pengaruh Hindu di Lombok
bagian Barat, ternyata lebih mendalam
apabila dibandingkan dengan pengaruhnya di
Lombok bagian Timur. Hal ini memungkinkan
karena letak yag berdekatan dengan Pulau
Volume 6, Nomor 2, Desember 2014
|
31
Bali dengan penduduk mayoriatas menganut
agama Hindu. Pengaruh Hindu yang terjadi
di Lombok tidak terlepas dari gelombang
migrasi pada abad ke-5 hingga abad ke-6 dari
pulau Jawa ke Bali terus ke Lombok, menyusul
runtuhnya kerajaan Daha dan Kalingga
(Kompas, Selasa 13 Desember 2005).
Penganut agama Hindu pada umumnya
adalah turunan orang-orang Bali yang
menyeberang ke Lombok pada akhir abad ke17. Mereka tersebar disekitar Cakranegara,
Mataram, Narmada dan Tanjung. Pura mereka
yang tersebar ialah pura Meru di Cakranegara
yang dibangun pada abad ke-18 oleh kerajaan
Karangasem Sasak.
Ajaran Hindu-Bali dibawa langsung
oleh pemeluknya, para imigran dari Pulau
Bali. Hindu-Bali adalah sinkretisasi ajaran
Hindu-Budha, yang juga disebut SiwaBudha. Menurut Sartono Kartodirjo dalam
buku Sejarah Nasional Indonesia seperti
yang dikutip Zakaria (1998: 17) mengatakan
dalam proses sinkretisasi Hindu-Budha itu
maka,
“…ada yang dipengaruhi secara dominan
oleh unsur Hindu, atau sebaliknya oleh
unsur Budha. Mana unsur-unsur di antara
keduanya yang lebih dominan, kita harus
hati-hati menelitinya sekalipun dalam
kenyataannya, keduanya tumbuh dalam
bentuk sinkretis Siwa-Budha itu.”
Masuknya Islam di Lombok
Kedatangan Islam sejak abad ke-7
sampai abad ke-12 di beberapa daerah di
Asia Tenggara dapat dikatakan baru pada
tahap pembentukan komunitas muslim yang
terutama terdiri dari para pedagang. Abad
32
|
Komunitas
ke-13 sampai abad ke-16, terutama dengan
mulai munculnya kerajaan bercorak Islam,
merupakan kelanjutan dari penyebaran Islam.
Pada saat kedatangannya, Islam dihadapi oleh
masyarakat kerajaan yang bercorak HinduBudha yang masyarakatnya masih memiliki
struktur pemerintahan semacam desa dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme
(Taufik (ed.), 2002: 12).
Islam mulai masuk ke daratan Asia
Tenggara pada abad ke-11, untuk kemudian
berkembang pesat sepanjang satu millenium
berikutnya hingga masuknya kebudayaan
Barat. Meskipun demikian, proses Islamisasi
kebudayaan lokal Indonesia yang amat
beragam mengakibatkan munculnya jenisjenis ketaatan kepada Islam yang juga beragam
(Shihab, 1998: 1). Kedatangan Islam ke Asia
Tenggara, tidak kurang terdapat orang-orang
muslim yang dapat disebut dengan shari’ahminded, yang menolak kompromi dengan
adat dan tradisi lokal dan mempertahankan
ortodoksi (Azra, 1989: Xxii).
Awal perkembangan Islam di Pulau
Lombok diliputi ketidakjelasan, sekabur
perkembangan Islam di Nusantara. Dalam
hal ini, Bartholomew (2001: 93) melihat ada
dua tema penting yang melembari sejarah
masuknya Islam ke Lombok. Pertama, pulau
yang seolah-olah tidur dan terbelakang ini
merupakan situs dari bermacam-macam
inkursi yang mempengaruhi praktik-praktik
dan kepercayaan Sasak. Kedua, ada seruan
periodik namun konsisten terhadap purifikasi
agama.
Perubahan-perubahan
sosial
akibat dari inkursi-inkursi ini memberikan
stimulus perasaan akan kebutuhan untuk
memperbaharui agama.
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
Selanjutnya, ada dua teori yang
berkembang tentang masuknya Islam ke
pulau Lombok, yaitu yang menyatakan
bahwa Islam masuk dari arah Timur, dan
teori yang menyatakan Islam masuk dari
arah Barat, yakni pulau Jawa. Teori pertama
menyatakan bahwa Islam masuk bersamaan
dengan datangnya para pedagang dari Gujarat
ke Perlak, Samudera Pasai, datang pula
seorang mubalig dari Arab yang bernama
Syaikh Nurul Rasyid, kemudian yang dikenal
dengan nama Gauz Abdul Razaq dengan
tujuan berdakwah.
Teori ini bersesuaian dengan teori
Gujarat, yang dikonstruksi oleh Snouck
Hourgronge tentang pembumian Islam di
Nusantara. Teori ini berpandangan bahwa
Islam membumi ke Nusantara melalui
Gujarat. Berdasarkan data historis, hubungan
dagang Indonesia-India telah lama terjalin
dan inskripsi tertua tentang Islam yang
terdapat di Sumatera memberikan gambaran
hubungan antara Sumatera dan Gujarat.
Teori kedua, menyebutkan bahwa orang
yang membawa Islam masuk ke pulau Lombok
adalah Pangeran Sangopati dan atau Sunan
Prapen. Teori ini lebih banyak dibuktikan
dengan fakta adanya kesamaan bahasa atau
budaya Lombok dengan Jawa. Misalnya, dua
kalimat syahadat yang diartikan dalam bahasa
Jawa, sering dipergunakan di dalam upacara
pernikahan komunitas Sasak Desa Bayan
(Athar, 2005: 71).
Berbeda dengan teori di atas, dalam
literatur yang lain dikatakan bahwa agama
Islam masuk di pulau Lombok diperkirakan
pada awal abad ke-16. para penyebarnya
terkenal antara lain Sunan Prapen putera
Sunan Giri, Al Fadal, Sangopati dan lain-lain.
Agama ini masuk dari dua arah yaitu:
1. Melalui utara (Bayan) yang disebarkan
oleh Sunan Penggiring dari Jawa Tengah.
Ajarannya yang banyak adalah sufi yang
mengarah kepada sinkretisme Hindu—
Islam. Karenanya mudah diterima secara
sukarela oleh masyarakat yang kemudian
golongan ini dikenal dengan Wetu Telu.
2. Dari arah timur (Lombok Timur) yang
disebarkan oleh pendatang terutama
pelaut-pelaut dari Makasar dan para
pedagang dari Jawa. Sebagaimana
diketahui bahwa pusat kerajaan
Selaparang Islam semula di Labuhan
Lombok sekarang yang kemudian
dipindahkan ke bekas ibukota kerajaan
Selaparang Hindu yaitu Watu Parang,
“batu yang keras”. Dari sinilah agama
ini oleh raja Rangke Sari disebarkan
ke seluruh Lombok. Dan dari daerah
Lombok Timur ini pulalah muncul
ahli agama (Islam) dengan sekolah dan
perguruannya (Depdikbud, 1984: 21).
Versi lain agak berbeda dengan yang di atas,
seperti yang dikatakan oleh Wacana penulis
buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat,
menurutnya Islam masuk setelah Majapahit
runtuh. Riwayat mengatakan, Majapahit
menyerbu Lombok pada 1357. Sebelumnya,
di Lombok sudah berdiri kerajaan-kerajaan
kecil yang rakyatnya menganut kepercayaan
animisme dan dinamisme. Ketika itu ada satu
kerajaan yang paling besar, yakni Selaparang
(Tempo, 27 April 1991: 61 via Sirnopati,
2006: 32).
Pada mulanya Islam masuk melalui
adat Hindu yang dibawa oleh para wali dari
Volume 6, Nomor 2, Desember 2014
|
33
Jawa, dengan bahasa pengantar bahasa Jawa
Kuno. Ternyata cara yang ditempuh para wali
dapat diterima masyarakat di Lombok dan
disambut dengan baik. Sekitar abad ke-16,
Islam masuk di Lombok sesudah runtuhnya
Majapahit. Al-Qur’an ditulis dengan tangan
dan memakai tinta cina, demikian juga kitabkitab agama dari bahasa Arab disalin dalam
bahasa Jawa Kuno dan memakai tembang,
misalnya:
“Bismillah, hamba manah
Hanebut namaning Allah
Kang murah ing dunya reko
Ingkang asih tan pegat
Tan ana Ratu Lian Agung
Satuhune amung Allah”.
(Lukman, 2004: 7)
Agama Islam yang disebarkan pada abad
ke-16 ini lebih diperkuat lagi dengan beberapa
hal, diantaranya:
1. Seperti yang disebutkan diatas, bahwa
dua kalimat syahadat diartikan dalam
bahasa Jawa yang sering dipergunakan
dalam upacara pernikahan.
2. Adanya sebutan peralatan agama yang
diambil dari bahasa Jawa, seperti: Ketib,
Modin, dan Lebe.
3. Adanya lontar kesusteraan (takepan)
yang ditulis dalam huruf dan bahasa
Jawa.
4. Adanya seperangkat gamelan sebagai
instrumental pengiring kesenian tra­di­si­
onal masyarakat sasak sering diperguna­
kan pada upacara-upacara keluarga
seperti nyunatang, ngurisang, ngawinang
(khitanan,
goresan/mencukur,
pernikahan).
34
|
Komunitas
Suku-bangsa Sasak mempunyai suatu
sistem tulisan, yang dikenal sebagai jejawen,
tulisan jejawen diperkirakan berasal dari Jawa.
Tulisan jejawen masih banyak dipergunakan
dalam pergaulan sehari-hari terutama di
kalangan tua. Tulisan tersebut misalnya dalam
kitab lontar tentang sastra, peringatan dan
kitab agama dari orang Lombok (Depdikbud,
1977: 31).
Ada tiga faktor utama yang dapat mem­
percepat proses penyebaran Islam dan
usaha-usaha Islamisasi di Lombok ataupun
Mataram. Pertama, karena ajaran Islam
tersebut menekankan pentingnya prinsip
ketauhidan dalam sistem ketuhanannya,
suatu prinsip yang secara tegas menekankan
ajaran untuk mempercayai Allah yang Yang
Maha Tunggal. Pada gilirannya, ajaran ini
memberikan pegangan yang kuat bagi para
pemeluknya untuk membebaskan diri dari
ikatan kekuatan apapun selain Allah.
Kedua, karena daya lentur ajaran Islam,
dalam hal sebagai kodifikasi nilai-nilai
universal, maka Islam tidak secara serentak
menggantikan seluruh tata nilai yang telah
berkembang di dalam kehidupan masyarakat
sebelum datangnya Islam. Ketiga, Islam
dianggap sebagai suatu institusi yang amat
dominan untuk menghadapi dan melawan
kekuasaan apapun yang ada dihadapnya
yang bertentangan dengan kaidah-kaidah
ketauhidan yang diyakini (Zakaria, 1998:
15).
Tipe Islam yang pertama kali dipraktek­
kan di sukubangsa Sasak adalah campuran
antara kepercayaan-kepercayaan Austronesia
dengan Islam. Sebenarnya banyak sarjana
yang bekerja di Lombok berpendirian
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
bahwa konversi awal kepada Islam tidak
membutuhkan penerimaan secara kese­
luruhan dari kepercayaan-kepercayaan baru
tersebut karena agama baru diterima ini cocok
dengan, dan tidak mengancam strukturstruktur sosial serta kepercayaan-kepercayaan
yang ada (Bartholomew, 2001: 95).
Dari beberapa uraian tentang Pra Islam
dan lahirnya Islam sendiri di Lombok, ada
tiga kelompok sukubangsa Sasak menurut
agama atau kepercayaannya antara lain orang
Sasak yang beraga Islam yang sempurna atau
sering disebut dengan Wetu Lima (Waktu
Lima), orang Islam Wetu Telu, dan orangorang Sasak yang berkepercayaan Boda yang
kemudian pada tahun 1973 mengakui dirinya
beragama Budha (Depdikbud, 1977: 22).
Seperti agama Hindu di Bali, mereka
memuja Trimurti, dewa Brahma, dewa
Wisnu dan dewa Siwa. Disamping itu masing
mengenal bermacam-macam dewa disamping
yang lain, juga meraka sangat menghormati
dewa Gunung Rinjani. Setiap tahun mereka
naik ke Gunung Rinjani untuk mengadakan
upacara Pujawali yang dipimpin oleh
Pedanda. Dan untuk menghormati Dewi yang
memberikan kesuburan yang bersemayam
di Gunung Rinjani sekali setahun pada tiap
bulan enam mereka mengadakan upacara
perang ketupat di Pura Lingsar (Depdikbud,
1977: 35).
Selain
menganut
Hindu-Budha,
sukubangsa Sasak juga memeluk sebuah
kepercayaan yang disebut dengan Boda yang
merupakan kepercayaan asli orang Sasak.
Orang Sasak pada waktu itu menganut
kepercayaan ini, kepercayaan ini juga disebut
sebagai agama Sasak-Boda. Agama Boda dari
orang Sasak asli ditandai oleh animisme dan
pantaeisme. Pemujaan dan penyembahan
roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal
lainnya merupakan fokus utama dari praktek
keagaman Sasak-Boda (Budiwanti, 2000: 8).
Orang-orang Boda sangat menghormati
dewa-dewa yang disebut Betara. Di kalangan
orang-orang Boda, dewa-dewa yang sangat
terkenal adalah Betara Guru, Betara Gangga,
Idadari Sakti, Idadari Jeneng, Betara Sakti
dan Betara Jeneng. Mereka tidak mempunyai
pengetahuan yang terperinci tentang dewadewa mereka misalnya bagaimana sifatsifatnya, batas-batas kekuasaannya dan
sebagainya (Depdikbud, 1977: 110).
Dari penganut-penganut agama yang
ada di Nusa Tenggara Barat, orang-orang
Wetu Telu, orang Hindu Bali (sekarang
Hindu Dharma) serta orang-orang Boda
masih percaya kepada dewa-dewa. Kekuatankekuatan besar masih dipercaya baik oleh
orang-orang Islam Wetu Telu, Hindu atau
orang-orang Sasak Boda. Mereka menyebut
para dewa dengan sebutan Betara. Betara
tersebut menguasai pulau Lombok,
bersemayam di Lingsar, Gunung Rinjani.
Berdasarkan cerita Lontar, atas keyakinan
itulah hingga sekarang mata air Lingsar tetap
dihormati oleh mereka yang beragama Hindu,
Wetu Telu dan Boda di Lombok (Depdikbud,
1977: 109).
Orang-orang Sasak Boda dan orangorang Islam Wetu Telu serta orang-orang
Bali di Lombok Barat mempunyai tempattempat upcara yang ada hubungan dengan
kepercayaan mereka. Tempat-tempat tersebut
berupa bangunan-bangunan tetap seperti
Volume 6, Nomor 2, Desember 2014
|
35
masjid dan gereja pada orang-orang agama
Islam dan Kristen (Depdikbud, 1977: 118).
Dalam upacara keagamaan yang
dilakukan oleh orang-orang Boda, pimpinan
upacara meliputi tua’ loka’, mangku, penghulu
dan belian. Ketiga pejabat agama dan adat
tersebut mempunyai bagian-bagian tugas
yang telah berlaku sejak dahulu. Misalnya
mangku penghulu menentukan kapan upcara
dilakukan, tua’ loka’ memimpin gundem
yang dihadiri oleh anggota-anggota banjar
atau para ketua terdiri dari para mangku,
tua’ loka’, belian, keeling gama dan lain-lain.
Upacara menurunkan gong suci dilakukan di
bawah pimpinan mangku, jerujing. Belian2
memimpin pembuatan persembahan agung
dibantu oleh beberpa orang gadis. Keliang
gama yang secara kebetulan dirangkap oleh
ketua kampu, bertindak sebagai pengerahan
massa dalam segala kegiatan upacara dan
persiapannya (Depdikbud, 1977: 121).
Ketika Islam pertama kali diperkenalkan
ke Lombok pada ke-16 dan 17, maka
sebagian terbesar dari penduduk Lombok
mungkin jarang mempraktekkan keimanan
yang sama dengan keyakinan Hindu-Budha
Majapahit, meskipun dengan variasi lokal
yang signifikan. Orang Sasak Boda yang
sekarang tinggal khususnya di pegununganpegunungan dan wilayah-wilayah Lombok
yang terasing, pada tingkat tertentu umumnya
dianggap melanjutkan sistem kepercayaan
aslinya. Sebagian besar orang–orang Sasak
Boda sekarang ini secara resmi dicacat oleh
Belian dalam bahasa Sasak diartikan sebagai dukun
beranak dan tabib yang fungsinya untuk menyembuhkan
atau membebaskan seseorang dari pengaruh guna-guna
dan sihir (wawancara di Mapak Dasan Lombok Barat
dengan Amaq Adji, tanggal 15 April 2009).
2
36
|
Komunitas
pemerintah sebagai pemeluk Budha, salah satu
dari lima agama yang diakui oleh pemerintah
(Bartholomew, 2001: 94). Tetapi ada yang
berpendapat bahwa sebenarnya Sasak Boda
itu merupakan agama Siwa-Budha (Asnawi,
2005: 6).
Proses Islamisasi dan akomodasi
kultural berhubungan dengan tiga kondisi
penting. Pertama, proses Islamisasi dalam
hubungannya
dengan
pembentukan
kebudayaan Islam berhadapan dengan aneka
warna kebudayaan lokal, tradisi dan adat
lokal. Interaksi Islam dengan sistem n ilai
lokal pada gilirannya melahirkan berbagai
bentuk respons dan reaksi. Kedua, Islam
merupakan “pendatang baru” di dalam
masyarakat di kepulauan Indonesia. Sebelum
Islam masuk, telah ada sistem keyakinan,
kepercayaan, keagamaan, atau setidaknya
tradisi spiritualitas yang dianut komunitas
lokal—yang dulu pernah disebut oleh
antropolog sebagai kepercayaan asli—serta
agama Hindu-Buddha. Kepercayaan lokal dan
tradisi Hindu-Buddha ini tidak lagi berdiri
secara sendiri-sendiri, tetapi telah bercampur
membentuk suatu sistem kepercayaan yang
sinkretik. Ketiga, Islam bukan merupakan
satu-satunya sumber pengetahuan atau sistem
yang ada dalam masyarakat Indonesia karena
selain kepercayaan lokal dan Hindu-Buddha,
belakangan muncul pula pengaruh budaya
Eropa (Barat) yang mulai berkembang dalam
waktu bersamaan dengan kedatangan dan
penjajahan bangsa Eropa di Asia (Taufik
(ed.), 2002: 29).
Dalam komunitas Wetu Telu, tidak semua
orang memiliki otoritas untuk menafsirkan
ajaran yang mereka yakini. Menurut
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
keyakinan mereka, agama adalah sesuatu
yang esoterik, sehingga hanya orang-orang
tertentu saja yang memiliki kapasitas untuk
memberikan penjelasan tentangnya. Terkait
hal ini, ada beberapa sumber otoritaritatif
yang dijadikan rujukan para penganut Wetu
Telu di Lombok, yaitu Pemangku Adat Bayan
Agung, Pemangku Karangbajo, Pemangku
Karangsalah, dan Penghulu yang dipandang
sebagai pemilik dan penjaga pengetahuan
yang terpercaya (Budiwanti, 2000: 139).
Pihak-pihak itulah yang juga memiliki
otoritas untuk membuat wacana mengenai
konsepsi sistem pandangan dunia penganut
Wetu Telu yang benar di tengah maraknya
penafsiran yang diskriminatif dari kelompok
Islam mayoritas (Waktu Lima). Jika para
penganut Islam Waktu Lima menafsirkan
Wetu Telu sebagai reduksi terhadap seluruh
tata cara peribadatan menjadi tiga, maka para
pemangku menolak dengan tegas tuduhan
tersebut, karena mereka memiliki model
penafsiran yang berbeda.
Istilah telu sering dikonotasikan dengan
waktu oleh penganut Islam mayoritas,
sehingga Wetu Telu dianggap sebagai
sistem kepercayaan yang mereduksi segala
sesuatu ke dalam tiga kategori. Padahal tidak
demikian. Menurut para pemangku adat,
wetu berasal dari kata metu, yang berarti
muncul atau datang dari, sedangkan telu
artinya tiga. Secara harfiah, istilah tersebut
merujuk pada tiga tahap dalam siklus
reproduksi, yaitu menganak atau melahirkan
seperti manusia dan mamalia, menteluk atau
bertelur seperti burung, dan mentiuk atau
tumbuh seperti bijian-bijian, sayuran, buahbuahan, pepohonan, dan tumbuh-tumbuhan
secara umum. Manusia dan hewan lahir dan
bertelur, sedangkan tumbuhan berasal dari
biji. Semua makhluk yang tercipta melalui
tiga hal tersebut memiliki caranya masingmasing untuk menyelaraskan diri dengan
lingkungannya. Masyarakat adat Wetu
Telu menyadari hal ini, sehingga muncul
keyakinan bahwa manusia dapat hidup secara
nyaman di dunia asalkan mampu menjaga
keharmonisan hubungan dengan mahlukmahluk hidup lainnya (Budiwanti, 2000; 136137). Sedangkan jika dilihat secara maknawi,
istilah Wetu Telu memiliki makna yang lebih
rumit. Wetu Telu tidak hanya menunjuk
pada tiga macam sistem reproduksi, tetapi
juga menunjuk pada kemahakuasaan Tuhan
yang memungkinkan makhluk hidup untuk
berkembang biak melalui mekanisme
reproduksi tersebut.
Dengan demikian, Wetu Telu juga
menjelaskan tentang ketergantungan mahluk
hidup satu sama lain. Untuk menjelaskan
hal ini, pemangku adat membagi wilayah
kosmologi menjadi dua kategori, yaitu jadag
besar (mayapada) dan jagad kecil. Jagad
besar, atau alam raya terdiri dari dunia,
matahari, bulan, bintang, dan planet-planet
lainnya. Sedangkan jagad kecil merujuk pada
manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya
yang sepenuhnya tergantung kepada alam
semesta. Ketergantungan ini menyatukan
dua dunia tersebut dalam sebuah kondisi
homeostatis
atau
keseimbangan–dan
melalui keseimbangan tersebut tatanan alam
semesta bekerja. Satu hal penting yang harus
diketahui juga adalah bahwa keseimbangan
alam semesta tersebut dapat terwujud karena
kemahakuasaan Tuhan.
Volume 6, Nomor 2, Desember 2014
|
37
Ketergantungan kehidupan (jagad kecil)
kepada jagad besar tercermin dalam ke­­­
butuhan mutlak jagad kecil atas sumber daya
penting yang dimiliki jagad besar, seperti
tanah, udara, mineral, api, dan sinar matahari.
Ketergantungan ini berlaku bagi jagad besar
yang tergantung dengan jagad kecil dalam
bentuk pemeliharaan dan pelestarian. Dalam
konteks ini, peran manusia sangat vital,
apabila manusia sebagai komponen penting
dari jagad kecil menuruti nafsunya dalam
bentuk eksploitasi yang berlebihan terhadap
jagad besar, maka keseimbangan kosmos akan
terganggu. Rusaknya harmoni kosmos secara
langsung dapat dilihat dari seringnya terjadi
bencana alam seperti banjir, tanah longsor,
kekeringan, dan sebagainya, karena manusia
tidak bertanggung jawab atas pemeliharaan
alam semesta. Sebuah ilustrasi menarik tentang
pentingnya menjaga keseimbangan kosmos
disampaikan oleh Pemangku Adat Bayan
dalam kalimat seperti ini: “Sebagai manusia
kita membutuhkan tanah di mana kita bisa
menyemai dan menumbuhkan benih-benih
yang kita tanam, air untuk menguncupkan
dan mengembangkan benih tersebut, dan
sinar matahari untuk mematangkan padi dan
buah” (Budiwanti, 2000: 138).
Selain penjelasan tentang ketiga
jenis mekanisme reproduksi dan kointer­
dependensi antara jagad besar dengan jagad
kecil, komponen kepercayaan kosmologi
Wetu Telu juga menjelaskan unsur-unsur
penting lainnya sebagai berikut:
Rahasia atau Asma yang mewujud dalam
panca indra manusia.
Simpanan Ujud Allah yang termanifestasi­
kan dalam sosok Adam dan Hawa. Secara
38
|
Komunitas
simbolis Adam merepresentasikan garis ke­
turunan ayah atau laki-laki, sedangkan Hawa
merepresentasikan garis keturunan ibu atau
perempuan. Masing-masing menyebarkan
empat organ pada tubuh manusia.
Kodrat Allah atau kombinasi antara 5
indra yang berasal dari Allah dan 8 organ
yang diwarisi dari Adam dan Hawa. Masingmasing kodrat Allah dapat ditemukan dalam
setiap lubang yang ada di tubuh manusia –dari
mata hingga anus. (Budiwanti, 2000: 139).
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan
bahwa inti kepercayaan penganut Wetu
Telu secara garis besar merentang pada tiga
hal mendasar sebagai berikut: pertama,
meyakini tiga jenis mekanisme reproduksi
mahluk hidup; kedua, perlunya menjaga
keseimbangan kosmos melalui hubungan
yang harmonis antara jagad besar dengan
jagad kecil; dan ketiga, iman kepada Allah,
Adam, dan Hawa. Berdasarkan konsepsi ini,
bahwa kepercayaan Wetu Telu sebagai reduksi
terhadap tata cara ibadah wajib dalam agama
Islam menjadi serba tiga adalah tindakan
yang kurang tepat, karena dapat mendistorsi
makna intrinsik konsep kosmologi Wetu Telu
(Budiwanti, 2000: 139).
Satu komponen penting yang turut
membangun konsepsi kosmologi Wetu
Telu lainnya yang penting dijelaskan di sini
adalah tentang kepercayaan terhadap dunia
roh. Meskipun pandangan terhadap dunia
ruh relatif terpisah dari kepercayaan inti
Wetu Telu, tetapi hal ini sangat berpengaruh
dalam kehidupan sehari-hari para penganut
Wetu Telu. Dalam kepercayaan Wetu Telu,
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
kehidupan ibarat sebuah aliran yang bersifat
kontinyu –di mana kehidupan itu sendiri
digerakkan oleh kekuatan yang disebut spirit
atau jiwa. Selama manusia masih hidup, jiwa
menyatu dengan tubuh, meskipun dalam
kondisi tertentu jiwa meninggalkan tubuh
untuk sementara waktu ketika manusia
sedang tertidur. Jiwa akan menyatu kembali
dengan tubuh ketika manusia terjaga dari
tidurnya. Setelah manusia meninggal, jiwa
akan terpisah selamanya dari tubuh, namun
ia tetap eksis karena sifatnya yang abadi. Jiwa
memang telah meninggalkan dunia menuju
alam yang lain, namun ia dapat kembali ke
dunia ini dalam waktu-waktu tertentu dan
dapat berinteraksi dengan keluarganya yang
masih hidup di dunia. Bahkan, jiwa atau roh
orang yang sudah meninggal dapat marah
dan menghukum orang yang masih hidup
ketika eksistensinya diganggu (Cederroth,
1996 via Fadly, 2008: 28). Untuk itu, bagi
para penganut Wetu Telu, menjalin hubungan
yang harmonis dengan arwah leluhur
adalah kewajiban, karena ketika hubungan
itu terganggu akan berdampak buruk bagi
kehidupan orang yang masih hidup. Upaya
menjaga hubungan antara orang yang masih
hidup dengan arwah leluhur agar tetap
harmonis tersebut diimplementasikan dalam
ritual-ritual paska kematian –yang secara
lebih lengkap akan dijelaskan di bagian
selanjutnya.
material) dan alam halus (dunia arwah). Alam
kasar adalah dunia yang dapat dipersepsi
oleh indra manusia, sedangkan alam halus
adalah dunia yang tidak dapat dipersepsi oleh
indra manusia. Hanya orang-orang tertentu
saja, yaitu para pemangku adat yang dapat
mengetahui dan merasakan alam halus ini.
Dengan kata lain, alam kasar adalah tempat
bagi manusia yang masih hidup, sedangkan
alam halus adalah tempat bersemayam bagi
arwah para leluhur penganut Wetu Telu
(Fadly, 2008: 46; Budiwanti, 2000: 145146).
Keyakinan para penganut Wetu Telu
terhadap keabadian arwah leluhurnya yang
sudah meninggal tersebut merupakan
konsekuensi dari ajaran yang mereka yakini
tentang kehidupan di dunia ini yang terbagi
menjadi dua, yaitu alam kasar (dunia
Para penganut Wetu Telu di Bayan
meyakini bahwa leluhur mereka yang sudah
tinggal di alam halus mempunyai hubungan
yang lebih dekat dengan Sang Pencipta.
Mereka meyakini bahwa arwah leluhur
dapat menjadi perantara antara orang yang
Kematian adalah transisi dari alam kasar
menuju alam halus. Jiwa berpindah ke tahap
yang lebih tinggi, tetapi tidak mempunyai
bentuk. Jiwa yang mendiami alam halus ini
bersifat abadi dan suci. Jiwa yang demikian
selanjutnya disebut roh halus. Ketika
manusia masih hidup, jiwa masih menyatu
dengan raga, dan bersatunya antara jiwa dan
raga itu disebut sebagai alam pertama. Alam
yang kedua adalah kematian, ketika jiwa
terpisah dari raga. Untuk mencapai alam
yang ketiga, yaitu alam halus, orang yang
sudah meninggal harus mengalami ritualritual paskakematian (gawe pati) beberapa
kali setelah kematiannya. Rangkaian ritual
tersebut dilaksanakan oleh anggota keluarga
yang masih hidup agar orang yang sudah
meninggal jiwanya mendapat tempat di alam
halus (Budiwanti, 2000: 146).
Volume 6, Nomor 2, Desember 2014
|
39
masih hidup dengan Sang Pencipta. Karena
keyakinan tersebut, orang Bayan tidak boleh
melupakan leluhurnya karena hal itu adalah
pantangan (pemalik) yang jika dilanggar dapat
menimbulkan malapetaka bagi anak turun
yang masih hidup. Untuk itu, hubungan baik
dengan para leluhur harus dijaga secara terusmenerus agar arwah leluhur tidak marah dan
memutus rantai hubungan antara orang yang
masih hidup dengan Sang Pencipta.
Daftar Pustaka
Ariesta, D., 1997, Islamisasi di Pulau Lombok,
Skripsi, Fakultas Adab IAIN Sunan
Kalijaga, Yogayakarta.
Arzaki, D., et.al., 2001, Nilai-Nilai Agama
dan Kearifan Budaya Lokal Suku
Bangsa Sasak dalam Pluralisme
Kehidupan Bermasyarakat (Sebuah
Kajian Antropologis-Sosiologis-Agamis),
Munzirin (ed.), Mataram: Pokja
REDAM.
Asnawi, 2005, Respons Kultural Masyarakat
Sasak Terhadap Islam, Mataram: IAIN
Ulumuna: vol.IX, edisi 15.
Athar, Z.Y., 2005, Kearifan lokal dalam Ajaran
Islam Wetu Telu di Lombok, Mataram:
IAIN Ulumuna: vol.IX, edisi 15.
Kepercayaan di Nusa Tenggara Barat,
Mataram: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah
Nusa Tenggara Barat.
1984, Sejarah Pendidikan Daerah NTB,
Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Pembinaan Nilai Budaya.
1988, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat,
Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Pembinaan Nilai Budaya.
1995/1996, Wujud, Arti dan Fungsi Puncakpuncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi
Masyarakat Pendukungnya di Daerah
Nusa Tenggara Barat: Sumbangan
Kebudayaan
Daerah
terhadap
Kebudayaan Nasional, Mataram: Bagian
Proyek Pengkajian dan Pembinaan
Nilai-nilai Budaya Propinsi Nusa
Tenggara Barat.
Dhavamony, M., 1995, Fenomenologi Agama,
Terj. Yogyakarta: Kanisius.
Fadly, M.A., 2008, Islam Lokal: Akulturasi
Islam di Bumi Sasak, Lombok Tengah:
STAIIQH Press.
Honing, 1994, Ilmu Agama, Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia.
Kompas, Edisi Selasa 13 Desember 2005.
Bartholomeuw, J.R., 2001, Alif Lam Mim,
Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Nadjamuddin & Lukman, 2002, Dari
Animisme ke Monoteisme, Yogyakarta:
Yayasan Untuk Indonesia.
Budiwanti, E., 2000, Islam Sasak: Wetu Telu
Versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS.
Sirnopati, R., 2006, Rasionalitas Keberagamaan
Penganut Islam Wetu Telu Di Bayan
Lombok Barat, Yogyakarta: Skripsi UIN
Sunan Kalijaga.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1983/1984, Upacara Tradisional dalam
Kaitannya dengan Peristiwa Alam dan
40
|
Komunitas
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
Download