ADVERSITY QUOTIENT DAN PSYCHOLOGICAL CAPITAL DALAM MENENTUKAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN Fensi Arintia Ekaputri Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya, Surabaya Alamat: Green Semanggi Mangrove, Cluster Osbornia, Blok E1-05, Jl. Wonorejo Timur, Surabaya 60296 Telepon: +6281 23093480 / +62 31 2981303 / Fax: +62 31 2981301 [email protected] Abstrak Permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi menuntut untuk diperhatikan, sebab secanggih apapun teknologi yang dipergunakan, tetap karyawan dalam organisasilah yang akhirnya menjalankannya. SDM sebagai prediktor dalam keterikatan kerja memiliki andil yang besar pada organisasi. Ketika karyawan memiliki kondisi mental yang positif dan merasa puas akan pekerjaannya, selanjutnya akan muncul semangat, dedikasi, dan penghayatan. Kenyataannya, ketika seorang karyawan dalam menjalankan tugasnya, ia mengalami banyak sekali tantangan. Adversity Quotient (AQ) mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi persoalan hidup. Tantangan yang dihadapinya terkadang membuat ingin menyerah dalam bekerja. Psychological capital (PsyCap) adalah hal positif individu yang ditandai self efficacy, optimism, hope, dan resilience. PsyCap penting bagi karyawan, karena dalam bekerja, ia tidak lepas dari masalah individual yang dapat berakibat negatif pada pekerjaannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, penulis ingin mengamati dan menganalisis karyawan di sebuah sekolah tinggi. Penelitian ini akan dilakukan secara deskriptif dan korelasional. Pengambilan sampel akan ditentukan dengan teknik purposive random sampling. Alat pengumpul data dalam penelitian ini menggunakan skala AQ, PsyCap, dan keterikatan kerja yang diharapkan dapat mengungkap AQ dan PsyCap pada karyawan di sekolah tinggi. Manfaat penulisan ini adalah sebagai masukan bagi karyawan sekolah tinggi dalam upaya meningkatkan kinerjanya dan sebagai feedback bagi sekolah tingginya dalam meningkatkan keterikatan kerja. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui profil dan hubungan AQ dan PsyCap dengan keterikatan kerja pada karyawan sekolah tinggi. Kata Kunci: Adversity quotient, keterikatan kerja, pegawai sekolah tinggi, psychological capital. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 223 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persepsi terhadap dukungan organisasi adalah salah satu sumber daya yang mendukung kerja pegawai menuju arah yang lebih baik. Dengan kata lain sumber daya yang rendah akan berakibat pada rendahnya keterikatan kerja (Schaufeli, 2007). Pada sekolah tinggi selaku organisasi yang bergerak di bidang jasa, dipastikan perlu untuk memperhatikan persepsi terhadap dukungan organisasi yang dirasakan oleh pegawainya, yang dalam hal ini adalah karyawan. Seorang karyawan diharapkan memiliki persepsi yang baik dalam meningkatkan keterikatan kerja yang tujuannya untuk mencapai performa kerja yang lebih baik lagi. Permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya manusia dalam suatu organisasi menuntut untuk diperhatikan, sebab secanggih apapun teknologi yang dipergunakan dalam suatu organisasi serta sebesar apapun modal organisasi, tetap karyawan dalam organisasilah yang akhirnya menjalankannya. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa dukungan dari karyawan dalam melaksanakan tugasnya, keberhasilan organisasi akan sulit tercapai. Konstribusi karyawan pada suatu organisasi jelas dapat menentukan langkah dari organisasi tersebut. Sumber daya manusia sebagai prediktor dalam keterikatan kerja memiliki andil yang sangat besar pada organisasi. Ketika karyawan memiliki kondisi mental yang positif dan merasa puas akan pekerjaannya, menurut Bakker dan Demerouti (2008), akan muncul semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan penghayatan (absorbtion). Semangat disini lebih mengacu pada perasaan penuh energi ketika bekerja. Dedikasi mengarah pada adanya keterlibatan yang kuat pada suatu pekerjaan dan merasakan suatu pengalaman yang antusias, menginspirasi, membanggakan, dan penuh tantangan. Sedangkan penghayatan dipahami dengan penuh konsentrasi dan ketika bekerja, pekerja merasa bahwa waktu berjalan dengan cepat sehingga mengalami kesulitan untuk lepas dari pekerjaan. Stoltz memperkenalkan konsep Adversity Quotient (AQ), dimana seseorang dapat diukur kemampuannya dalam menghadapi masalah atau persoalan hidup. Definisi AQ menurut Stoltz (2000), adalah nilai yang menunjukkan kemampuan seseorang dalam mengatasi dan bertahan dalam kesulitan yang dihadapi. Orang dengan AQ tinggi diharapkan akan mampu membantu dirinya dalam meningkatkan daya saing, produktivitas, kreativitas dan inovasi, juga motivasi. Stoltz (2000) juga menambahkan bahwa control, origin and ownership, reach, dan endurance (CO2RE) sebagai aspek-aspek dari AQ, mengungkapkan tentang bagaimana seseorang dalam mengendalikan peristiwa yang menimbulkan kesulitan dan berkaitan dengan cara merespon dan menangani kesulitan tersebut, sehingga ketika menalani pekerjaannya, individu tersebut merasa mendapatkan kepuasan. Dan orang tersebut menurut Stoltz termasuk dalam salah satu pendaki kesuksesan atau climber dan tergolong sebagai orang yang memiliki AQ tinggi. Kenyataannya, ketika seorang karyawan dalam menjalankan tugasnya, ia mengalami banyak sekali tantangan. Tantangan-tantangan yang dihadapinya itu tidak jarang membuat ia ingin menyerah dan berhenti mengerjakan pekerjaannya. Hal itu juga yang melatarbelakangi besarnya turnover pada perusahaan/organisasi tersebut. Karakteristik manusia sebagai sumber daya yang positif, akhir-akhir ini banyak diteliti. Psikologi adalah salah satu bidang ilmu yang mencoba menelaah hal tersebut, yang pada akhirnya memunculkan istilah psikologi positif. Salah satu bentuk psikologi positif adalah Psychological Capital (PsyCap) atau modal psikologis. Menurut Luthans, et al. (2007), PsyCap adalah hal positif pada individu yang ditandai oleh self efficacy, optimism, hope, dan resilience. PsyCap ini sangat penting bagi seorang karyawan, karena dalam melaksanakan pekerjaannya, tentunya ia tidak akan lepas dari masalah individual yang dapat berakibat negatif pada pekerjaannya. Masalah individual disini misalnya; masalah dengan keluarga atau teman yang terkadang hal tersebut terbawa ketika bekerja dan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada customer. Pada kasus ini, akan lebih baik apabila seorang karyawan di sebuah sekolah tinggi, memiliki aspek-aspek pada PsyCap tersebut, karena akan sangat membantu dan mempermudah dalam mengatur dirinya pada saat memberikan pelayanan kepada mahasiswa atau rekan kerjanya. 224 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk 1.2. Tujuan Tujuan dari penulisan Paper Gagasan Pemikiran ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui profil AQ dan PsyCap dengan keterikatan kerj pada karyawan di Sekolah Tinggi. b. Untuk memaparkan karakter karyawan di Sekolah Tinggi. c. Untuk memaparkan analisis psikologis dalam sikap menghadapi suatu permasalahan dalam bekerja (berpikir positif). d. Untuk mengetahui hubungan antara AQ dan PsyCap dengan keterikatan kerja. 1.3. Rumusan Masalah Sesuai dengan uraian pada latar belakang dan tujuan masalah diatas, maka peneliti merumuskan permasalahan yaitu: a. Apakah AQ dan PsyCap berhubungan erat dengan keterikatan kerja pada pegawai Sekolah Tinggi? b. Bagaimana sikap pegawai ketika menghadapi suatu permasalahan dalam bekerja? 1.4. Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: a. Manfaat teortitis Dapat memberi masukan yang berarti bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi industri, sesuai dengan bagaimana karyawan pada sekolah tinggi mampu bertahan dari permasalahan dalam pekerjaannya dan bagaimana ia mengoptimalkan hal-hal positif dari dirinya untuk mencapai keterikatan kerja yang tinggi. b. Manfaat praktis Sebagai masukan bagi karyawan pada sekolah tinggi dalam upaya meningkatkan kinerjanya. Dapat juga sebagai feedback bagi sekolah tinggi tempat pegawai tersebut bekerja dalam membantu meningkatkan keterikatan kerja. 2. METODE 2.1. Metode Pengumpulan Data Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 225 Metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah menggunakan metode angket terbuka dan angket tertutup, yang terdiri angket AQ, angket PsyCap, dan angket keterikatan kerja. Angket AQ yang digunakan adalah angket asli diperoleh dari Adversity Response Profile (ARP) Quicktake dibuat oleh Stoltz (2000), yang akan digunakan untuk menggali dimensi-dimensi AQ yaitu CO2RE. Angket tertutup dimaksudkan untuk mengontrol dan membatasi jawaban subjek agar tidak terlalu luas, sehingga respon subjek dapat diarahkan pada permasalahan. Sedangkan angket terbuka digunakan untuk menggali informasi lain yang terkait dengan keterikatan kerja dan mengetahui identitas subjek secara lengkap, seperti nama (disamarkan dengan inisial agar subjek merasa aman), jenis kelamin, dan lain-lain. Kedua angket tersebut disusun menurut skala model Likert (method of summated ratings) yang telah dimodifikasi, yaitu suatu metode pernyataan sikap yang menggunakan respon subjek sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Pernyataan (butir pernyataan) yang dibedakan menjadi dua, yaitu pernyataan yang mendukung dan pernyataan tidak mendukung. Menurut skala model Likert, setiap butir pertanyaan dilengkapi dengan 5 pilihan alternatif jawaban, namun peneliti hanya menggunakan 4 pilihan alternatif jawaban, dengan tidak mencantumkan alternatif jawaban raguragu karena seringkali memiliki arti ganda, menimbulkan kecenderungan menjawab ke tengah, dan tidak dapat menunjukkan kecenderungan jawaban subjek kearah setuju atau tidak setuju sehingga banyak data dan informasi penelitian yang tidak dapat ditangkap oleh peneliti. Keempat alternatif pilihan jawaban tersebut adalah: - Sangat Sesuai (SS) - Sesuai (S) - Tidak Sesuai (TS) - Sangat Tidak Sesuai (STS) Jenis pernyataan yang digunakan dalam angket ini adalah menggubakan pernyataan yang mendukung variabel yang diteliti (favourable) dan yang tidak mendukung variabel yang diteliti (unfavourable). Untuk mengatasi kesalahan pada pembuatan aitem, maka sebelum penyusunan aitem terlebih dahulu dibuat kerangka teoretik mengenai hal-hal yang ingin diungkapkan. Kerangka teoretik ini biasanya dikenal dengan blueprint. 2.2. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini keseluruhan analisis data dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 18.00 for Windows. Selanjutnya dilakukan Uji Instrumen untuk mengukur validitas alat ukur yang menggunakan teknik analisis korelasi product moment dari Pearson. Dengan teknik ini dapat ditemukan konsistensi internal item dalam suatu alat ukur dengan mengkorelasikan skor item dengan skor totalnya (Azwar, 2004). Reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini diuji dengan teknik alpha cronbach, karena teknik ini lebih mudah digunakan dan tidak terlalu dibatasi oleh aturan-aturan tertentu seperti jumlah butir yang standar dan tingkat kesulitan butir yang seimbang. Selain itu juga dapat diterapkan pada penilaian jawaban kosong atau kasusnyadapat digugurkan. Kemudian dilakukan pula uji asumsi untuk mengukur uji normalitas dan uji linearitas, dan yang terakhir adalah dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan teknik Korelasi Product Moment Pearson, dengan kriteria penarikan kesimpulan: p ≤ 0,05 = signifikan. 3. PEMBAHASAN 226 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk 3.1. Keterikatan Kerja Pada Karyawan Menurut Bakker & Demerouti (2008), keterikatan kerja diartikan sebagai kondisi mental yang positif, puas, dan berhubungan dengan pekerjaan yang dikarakteristikkan dengan semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan penghayatan (absorbtion). Semangat mengacu pada perasaan penuh dengan energi dan kegembiraan mental yang tinggi dalam pekerjaan, kerelaan untuk memberikan usaha pada suatu pekerjaan, dan tetap tekun walaupun menghadapi kesulitan. Dedikasi mengarah pada adanya keterlibatan yang kuat pada suatu pekerjaan dan merasakan suatu pengalaman yang antusias, menginspirasi, membanggakan, dan penuh tantangan. Penghayatan dipahami dengan penuh konsentrasi dan terpikat secara senang dengan pekerjaan, pekerja merasa bahwa waktu berjalan dengan cepat sehingga mengalami kesulitan untuk lepas dari pekerjaan. Semangat dan dedikasi merupakan dimensi inti dari keterikatan kerja. Kahn (dalam Saks, 2006) mendefinisikan enggagement sebagai penggunaan keanggotaan organisasi terhadap kinerja individu; dalam engagament, individu mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif maupun emosional selama dia bekerja. Sedangkan disengagement merujuk pada tidak adanya keterikatan antara diri pekerja dengan pekerjaannya; dalam disengagement, individu akan cenderung menarik diri dan membatasi dirinya untuk terlibat secara fisik, kognitif maupun emosional dengan pekerjaannya. Berdasar definisi yang dikemukakan oleh Kahn tersebut, bekerja. Menurut Maslach et al. (dalam Saks, 2006), engagement dikarakteristikkan dengan adanya energi, keterlibatan diri (involvement), dan perasaan mampu (efficacy) dalam melakukan suatu pekerjaan. Engagement merupakan lawan dari 3 dimensi burnout, yakni exhaustion, cyniscism, dan inefficacy. Sebuah penelitian mengenai burnout dan engagement mengungkapkan bahwa dimensi utama burnout (exhaustion dan cyniscm) berlawanan satu sama lain dengan dimensi engagement (vigor dan dedication) (Gonzalez-Roma et al. dalam Saks, 2006). Berdasarkan uraian definisi sebelumnya, penulis memilih untuk menggunakan pengertian Bakker dan Demerouti (2008) dan menyimpulkan bahwa keterikatan kerja adalah kondisi mental yang positif, puas, dan berhubungan dengan pekerjaan yang dikarakteristikkan dengan semangat, dedikasi, dan penghayatan. Pengertian ini dipilih karena merupakan perspektif yang mencakup seluruh pengertian dari keterikatan kerja. Ketika karyawan sekolah tinggi memiliki keterikatan kerja yang kuat dengan pekerjaannya, maka jelas akan menguntungkan organisasinya, dan tentu saja dirinya sendiri. Karyawan tersebut akan terus menerus menghasilkan sesuatu yang secara parallel dapat meningkatkan potensinya yang belum atau sudah tergali, dan menerapkannya ketika bekerja. Menurut Schaufeli et al. (2002) dengan membangun engagement, sinergi terbentuk di antara karyawan sebagai individu dan organisasi sebagai sebuah kesatuan, yang berarti bahwa outcomes yang optimal ada pada keduanya. Bagi engaged employee, bentuk dari keterikatan tersebut meliputi: 1. Perilaku positif yang berhubungan dengan pekerjaan dan identifikasi yang kuat tentang pekerjaannya. 2. Kesehatan mental yang bagus, meliputi emosi yang positif dan resiko burnout yang rendah. 3. Prestasi kerja yang bagus. 4. Motivasi intrinsik yang meningkat. 5. Penambahan sumber-sumber kerja dan sumber-sumber pribadi, terutama dalam self efficacy. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 227 Salanova et al. (2011) menambahkan bahwa emosi positif seperti antusiasme, kepuasan, dan kenyamanan dapat memprediksi kinerja dan keterikatan kerja. Sebaliknya, Fredrickson et al. (dalam Ouweneel et al., 2012) menemukan dalam studi eksperimennya bahwa emosi positif tidak berakibat langsung pada kesejahteraan, bahkan hubungan antara emosi positif dan kesejahteraan telah dimediasi oleh sumber daya yaitu hope (harapan). Berdasarkan studi terakhir Fredrickson, akan lebih masuk akal untuk menyimpulkan bahwa emosi positif akan mengarahkan pada keterikatan kerja melalui sumber daya personal, seperti harapan. 3.3. Psychological Capital PsyCap sendiri merupakan keadaan positif psikologis seseorang yang terdiri dari karakteristik adanya kemampuan diri (self efficacy) dalam semua tugas, optimisme, harapan (hope), serta kemampuan untuk bertahan dan maju ketika dihadapkan pada sebuah masalah (resiliency) (Luthans et al., 2007). Psikologi positif berkaitan dengan kekuatan individu (bukan kelemahan dan disfungsi) dan bagaimana mereka dapat tumbuh dan berkembang (bukan diperbaiki atau dipertahankan). Positive organizational behavior (perilaku organisasi positif), atau disebut dengan POB, menempatkan psikologi positif pada tempat kerja. Sejalan dengan kriteria perkembangan POB, Bandura (1997, dalam Avey et al., 2009) telah menunjukkan bahwa self efficacy dapat ditingkatkan dalam empat cara yang sangat spesifik. Pertama, keberhasilan yang dikembangkan ketika pekerja mengalami kesuksesan. Kedua, keberhasilan karyawan dapat dikembangkan ketika mereka belajar bagaimana melakukan sesuatu dengan mengamati orang lain (modeling) di kelompok pembanding mereka relevan menyelesaikan tugas dan dihargai. Ketiga, keyakinan dikembangkan ketika menerima umpan balik positif dari orang lain yang dihormati. Keempat, yaitu keyakinan yang dikembangkan dan ditingkatkan melalui fisiologis. Kompetensi dan PsyCap yang positif akan mengarahkan karyawan untuk berprestasi unggul, dengan didorong oleh keyakinan diri yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas yang menantang, memiliki atribusi positif tentang makna sukses di masa yang akan datang, berusaha agar selalu mengarah pada tujuan, dan ketika dihadapkan pada kesulitan, ia dapat bertahan. Tidak semua orang memiliki daya tahan yang tinggi dalam menghadapi tantangan, sehingga banyak dari mereka yang putus asa, bahkan tidak bersemangat untuk menggapai tujuan kerja, bahkan tidak berdedikasi pada apa yang dikerjakannya. PsyCap itu diyakini mampu berkontribusi positif dalam diri seseorang sehingga ia dapat berkinerja optimal. 3.4. Adversity Quotient AQ adalah suatu kecerdasan yang dimiliki seseorang di dalam mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup (Stoltz, 2000). Selanjutnya, menurut Stoltz (2000), AQ dapat digunakan untuk mengakselerasi perubahan, mengurangi turnover, sebagai penguat dalam sebuah kelompok, dan merubah individu campers (menetap/tidak berubah) menjadi individu yang climbers (mendaki). Berdasar definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa AQ merupakan nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai ukuran pada bagaimana suatu individu dapat atau mampu bertahan dan mengatasi setiap masalah yang muncul dalam dirinya. Aspek-aspek dalam AQ adalah control, origin and ownership, reach, dan endurance. Oleh karena itu, individu yang memiliki AQ yang tinggi akan cenderung memeluk perubahan dan bertahan dalam menjalani proses perubahan, mampu membantu meningkatkan daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, dan ketekunan 228 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang muncul sampai akhirnya dapat mengatasi permasalahannya tersebut dengan sukses. 3.5. Dimensi dan Tipe Orang Berdasar Tingkat Adversity Quotient Dimensi-dimensi AQ menurut Stoltz (2000) adalah control, origin and ownership, reach, dan endurance, atau lebih dikenal dengan CO2RE. Dimensi-dimensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Control (kendali) Menjelaskan tentang bagaimana keyakinan karyawan dalam mengendalikan suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan yang berkaitan dengan bagaimana ia berespon pada kesulitan dan menangani kesulitannya. Karyawan dengan kendali yang baik, akan dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, karena ia selalu berpandangan positif pada tiap permasalahan yang dihadapinya. b. Origin and Ownership (asal-usul dan pengakuan) Membahas tentang asal-usul atau penyebab munculnya permasalahan dan keberanian untuk mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut. Karyawan dengan AQ yang rendah selalu menempatkan diri sebagai semua sumber permasalahan yang dihadapinya, selalu melemparkan kesalahan pada orang lain, atau berpura-pura tidak terjadi apa-apa. c. Reach (jangkauan) Reach dapat diartikan sebagai batasan-batasan yang harus dibangun saat permasalahan itu muncul, dengan tujuan agar tidak menjangkau atau mempengaruhi aspek lain dalam kehidupan. Karyawan yang memiliki AQ rendah, akan melihat suatu peristiwa buruk tersebut sebagai suatu bencana dan akan mempengaruhi semua aspek dalam kehidupannya. Sedangkan karyawan dengan AQ yang tinggi, dapat dengan mudah membatasi pada setiap permasalahan yang muncul sehingga masalah tersebut tidak sampai mengganggu aspek lain dalam kehidupannya. d. Endurance (daya tahan) Daya tahan disini meliputi daya tahan fisik (kondisi tubuh yang sehat) dan psikis (mental yang sehat). Karyawan yang mempunyai daya tahan yang rendah akan selalu beranggapan bahwa permasalahan dan penyebabnya akan selalu ada dan membuat karyawan tersebut menjadi malas untuk mencoba, takut untuk berusaha, dan merasa kalah atau merasa tidak mampu dalam mengatasi tiap permasalahannya sebelum mencoba terlebih dahulu. Saat karyawan berhadapan dengan kesulitan, maka dengan segera harus mempunyai solusi atas permasalahannya tersebut, sehingga karyawan tersebut dapat dengan segera keluar dari masalah dan tidak sampai pada dampak-dampak yang dimunculkan akibat dari kesulitannya. Respon yang diberikan setiap orang menurut Stoltz (2000), berasal dari pembelajaran yang mereka dapatkan sebelumnya. Ketika seseorang terkondisi untuk pesimistis, atau merasa kurang mampu dalam memandang permasalahan, maka ia akan cenderung kurang ulet dalam menyelesaikan masalahnya. Sebenarnya, respon yang diberikan lebih disebabkan karena persepsi negatif terhadap kemampuan diri dalam menghadapi permasalahan, dan hal ini disebut dengan learned helplessness. Karyawan yang menghadapi kesulitan, harus mempunyai respon dan persepsi yang positif atas dirinya. karyawan tersebut pada dasarnya harus memandang bahwa kesulitan tersebut dapat diatasi. Menurut Stoltz (2000), bila seseorang sudah pernah gagal, maka akan lebih baik bila lebih peka dalam melihat faktor-faktor kegagalan di masa lalu dan berusaha untuk meminimalkan risiko Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 229 kegagalan di masa datang. Terlebih lagi, ia harus memandang bahwa dirinyalah yang mampu mengatasi kesulitan yang ia hadapi. Singkatnya, ia harus mempunyai locus of control internal dalam menghadapi sutatu masalah dan mampu memotivasi diri dalam mengatasinya sehingga ia akan mempunyai optimisme yang tinggi dalam menghadapi setiap kesulitan. Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa ada sifat-sifat mental tertentu yang dimiliki oleh orang-orang yang mampu meraih kesuksesan. Kehidupan dianalogikan oleh Stoltz sebagai suatu pendakian dan setiap orang memiliki perilaku yang berbeda-beda dalam pendakian tersebut. Seseorang yang belum melakukan suatu usaha namun ia sudah menyerah terlebih dahulu, atau mungkin ia melihat suatu pendakian tersebut adalah hal yang mustahil dilakukan. Orang tersebut cenderung akan berhenti di tengah jalan ketika pesaingnya terus berlari tanpa henti. Tipe orang yang demikian ini adalah tipe orang quitter. Ada pula yang melakukan pendakian, namun belum sampai pada puncak yang dituju, orang tersebut sudah merasa puas atas hasil yang dicapainya, karena merasa tempat berhentinya tersebut adalah tempat yang cukup nyaman untuk ditempati. Orang ini dapat dimasukkan pada tipe camper dan biasanya orang tersebut masih memiliki sejumlah inisiatif, semangat, dan usaha. Sedangkan orang-orang yang sukses, kebanyakan termasuk dalam tipe climber, ia selalu merasa tidak puas dan selalu berusaha untuk mencapai puncak, menyambut baik tantangan, motivasi diri tinggi, tidak menghiraukan hambatan yang akan menghadangnya karena ia menganggap hambatan tersebut sebagai suatu yang dapat ditaklukkan dan bukan dihindari, juga selalu ingin meraih hasil yang lebih tinggi dari orang lain. Pada dasarnya AQ seseorang dapat ditingkatkan dengan menggunakan beberapa pelatihan. Salah satu pelatihan yang paling banyak digunakan adalah LEAD (listen, explore, analyze, dan do). Rangkaian LEAD didasarkan pada pengertian bahwa kita dapat mengubah keberhasilan kita dengan mengubah terlebih dahulu kebiasaan berpikir kita dan secara sadar membentuk pola-pola baru. 3.6. Karyawan pada Sekolah Tinggi Karyawan sekolah tinggi disini adalah merupakan tenaga kependidikan, yaitu karyawan atau staff administrasi pendidikan. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana. 4. KESIMPULAN 230 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk Dari penjelasan sebelumnya diatas, tampak bahwa terdapat hubungan positif dan kuat antara AQ dan PsyCap dengan keterikatan kerja karyawan. Dimana ketika ketangguhan kerja karyawan tersebut baik, maka ia akan berusaha untuk menunjukkan kemampuannya untuk mencapai tujuan organisasi, yang nantinya bila tujuan tersebut tercapai, ia dapat menunjukkan kondisi mental yang baik pula, bersemangat, berdedikasi dan memberi penghayatan lebih pada pekerjaannya. Diharapkan, dengan AQ pada masing-masing pegawai, dapat merespon kesulitankesulitan yang terjadi, dalam hal ini adalah kesulitan yang terjadi dalam menjalankann pekerjaan sebagai pegawai pada sekolah tinggi. Menurut model teoritis, ada hubungan antara adversity quotient dan psychological capital dengan keterikatan kerja. Dimana bila seorang karyawan yang memiliki ketangguhan kerja yang kurang atau bahkan cenderung rendah, maka ia akan menghasilkan keterikatan kerja yang rendah pula. Sebaliknya, bila seorang karyawan memiliki AQ tinggi, maka ia akan berusaha untuk menunjukkan keterikatan kerja yang baik pula, dan oleh karenanya ia dapat menunjukkan kondisi mental yang positif di tempat kerja, bersemangat, berdedikasi dan memberi penghayatan lebih pada pekerjaannya. PsyCap yang kuat akan membuat para karyawan berkomitmen kuat pada pekerjaannya. Komitmen ini dicirikan dengan kemauan bekerja keras dan tidak menyerah pada kesulitankesulitan, keterlibatan penuh pada pekerjaan, antusiasme dan berkonsentrasi penuh dalam bekerja. Karyawan yang berkomitmen dengan pekerjaannya akan bekerja dengan sungguh-sungguh, tekun, persisten dengan serius, bahkan terlihat tanpa beban. Berdasar penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bila individu merasa optimis dalam menghadapi masalah yang sedang atau akan dihadapinya, maka ia akan memiliki motivasi yang tinggi dalam menghadapi segala kesulitan yang datang padanya dan mereka akan merespon kesulitan tersebut sebagai suatu peluang dengan tujuan tertentu dan dapat sepenuhnya memegang kendali dirinya atas kesulitan tersebut, sehingga menimbulkan keterikatan kerja yang tinggi. Rencana pengembangan penelitian ini nantinya akan dilanjutkan dengan penelitian lapangan, dengan menyebarkan angket kepada subjek, mengolah data, dan mendapatkan hasil riil dari asumsi yang dikemukakan oleh peneliti. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 231 5. DAFTAR PUSTAKA [1] Avey, James B., Luthans, F., Jensen, Susan M. (2009). Psychological Capital: A Positive Resource for Combating Employee Stress and Turnover. Human Resource Management, September–October 2009, Vol. 48, No. 5, Pp. 677–693. Wiley Periodicals, Inc. [2] Azwar, S. (2004). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. [3] Bakker, A. B., Demerouti, E. (2008). Towards A Model of Work Engagement. Career Development International, 13 (3), 209-223. [4] Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J. (2007). Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge. New York: Oxford University Press. [5] Ouweneel, E., Le Blanc, P., Schaufeli, W. B., & Van Wijhe, C. (2012). Good morning, good day: A diary study on positive emotions, hope, and work engagement. Human Relations, 65, 1129–1154. [6] Saks, A. M. (2006). Antecendent and Consequences of Employee Engagement. Journal of Managerial Psycholog, Vol.21 No.7, 2006. [7] Salanova, M., Lorens S., and Schaufeli W. B. (2011). Yes, I can, I feel good, and I just do it! On gain cycles and spirals of efficacy beliefs, affect, and engagement. Applied Psychology: An International Review 60(2): 255–285. [8] Schaufeli, W. B., Salanova, M., Gonzalez-Roma, V., & Bakker, A. B. (2002). The measurement of engagement and burnout: A confirmative analytic approach. Journal of Happiness Studies, 3, 71–92. [9] Stoltz, Paul G. (2000). Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT. Grasindo. [10] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara. 232 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk