UJI TRANSPORTASI IKAN MASKOKI

advertisement
UJI TRANSPORTASI IKAN MASKOKI (Carassius
auratus Linnaeus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN
PERLAKUAN SUHU DAN PENURUNAN
KONSENTRASI OKSIGEN
BHAYU SUFIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
x
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: “Uji
Transportasi Ikan Maskoki (Carassius auratus Linnaeus) Hidup Sistem
Kering dengan Perlakuan Suhu dan Penurunan Konsentrasi Oksigen” adalah
karya saya sendiri dengan pengarahan dari komisi pembimbing dan belum pernah
dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini. Hasil penelitian atau gambar boleh dikutip untuk kepentingan non
komersial dengan menyebutkan sumbernya.
Bogor, Mei 2008
Bhayu Sufianto
F051040121
ix
RINGKASAN
BHAYU SUFIANTO. Uji Transportasi Ikan Maskoki (Carassius auratus
Linnaeus) Hidup Sistem Kering dengan Perlakuan Suhu dan Penurunan
Konsentrasi Oksigen. Dibimbing oleh SAM HERODIAN dan RIDWAN
AFFANDI.
Ikan hias merupakan komoditas perikanan yang juga ikut menyumbang
banyak devisa, nilai ekspornya sangat besar dan cenderung meningkat dari tahun
ke tahun. Ikan maskoki (Carassius auratus) termasuk salah satu jenis ikan hias
yang non-temporer, peluang pasarnya selalu stabil bahkan menunjukkan
peningkatan. Pada pengangkutan ikan hias dengan media air untuk tujuan ekspor
dinilai kurang effisien, karena berat air yang yang digunakan sebagai media juga
ikut membebani biaya pengangkutan. Sistem pengangkutan ikan hidup tanpa
media air dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi biaya angkut dan
memungkinkan jumlah ikan yang diangkut lebih besar.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan berbagai faktor (waktu
pemingsanan, suhu pemingsanan, suhu penyimpanan, penurunan konsentrasi O2,
dan lama transportasi) yang optimum terhadap kelulusan hidup (survival rate)
ikan selama transportasi (statis) sistem kering. Pada penelitian ini juga dilakukan
uji toksisitas, pengukuran densitas kamba dan daya serap air terhadap media
pengisi; pengukuran efisiensi kemasan; serta pengamatan terhadap kondisi ikan
maskoki selama proses pemingsanan, pengemasan, pembongkaran, dan
penyadaran.
Setelah dilakukan uji toksisitas selama 24 jam, dinyatakan bahwa busa
yang digunakan sebagai media pengisi pada penelitian ini aman bagi ikan
maskoki. Busa tersebut mempunyai daya serap air yang baik, yaitu sebesar
57.32% berat basah atau 135.23% berat kering. Busa tersebut juga mempunyai
densitas kamba yang rendah, yaitu 0.074 gram/cm3, sehingga busa lebih ringan
jika digunakan sebagai media pengisi, kapasitas angkutnya lebih besar, dan
kandungan udara di dalam rongga busa tersebut lebih besar. Jenis kemasan rak
biasa yang dapat memuat 30 ekor ikan dengan busa lembab sebagai media pengisi
mempunyai efisiensi kemasan sebesar 56%. Sedangkan pada jenis kemasan rak
berisi udara yang dapat memuat 60 ekor ikan dengan busa lembab sebagai media
pengisi, mempunyai efisiensi kemasan sebesar 46%.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa waktu pemingsanan selama
8 jam, suhu pemingsanan pada 60C, suhu simpan pada 180C, dengan penurunan
konsentrasi O2 sebesar 0% di dalam kemasan (konsentrasi O2 di dalam kemasan
±21%) dapat mempertahankan hidup ikan maskoki dengan nilai SR 100% selama
24 jam waktu transportasi (statis) sistem kering. Semakin lama waktu
pemingsanan yang dilakukan sebelum pengemasan, dapat memperbesar kelulusan
hidup (SR) ikan maskoki selama transportasi sistem kering. Dengan
diturunkannya konsentrasi O2 di dalam kemasan, tidak dapat memperbesar
kelulusan hidup (SR) ikan maskoki selama transportasi sistem kering.
xii
ABSTRACT
BHAYU SUFIANTO. Examination of Dry System Transportation of Live
Goldfish (Carassius auratus Linnaeus) with temperature and reduced oxygen
concentration Treatments. Under Supervision of SAM HERODIAN and
RIDWAN AFFANDI.
This research aimed to discover the optimum factors (sedation rate, sedation
temperature, storage temperature, reduced O2 concentration, and period of
transportation) influenced to survival rate during dry system transportation (static)
of live goldfish. Observation on fish condition during sedation, packaging,
unpacking, and refreshing process; toxicity test on filler; bulk density
measurement on filler; water absorption of filler; and container efficiency were
also performed. The results showed that the optimum sedation temperature is at
60C, the optimum storage temperature is at 180C, the best sedation rate is eight
hours from normal temperature (± 270C) down to 60C, the best reduced O2
concentration is 0 % reduction in O2 concentration (package which was contained
±21% O2 concentration), and the longest period of transportation (static) is 24
hours by normal atmosphere packaging. The filler was known harmless for live
goldfish after 24 hours of toxicity test. The bulk density of filler is 0.074
gram/cm3 and the capacity of water absorption of filler is 57.32% wet weight or
135.23% dry weight.
Keywords: Dry system transportation, goldfish, sedation, temperature, reduced O2
concentration
ix
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang – undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
xiv
UJI TRANSPORTASI IKAN MASKOKI (Carassius
auratus Linnaeus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN
PERLAKUAN SUHU DAN PENURUNAN
KONSENTRASI OKSIGEN
BHAYU SUFIANTO
Testis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr
xvi
Judul Tesis
: Uji Transportasi Ikan Maskoki (Carassius auratus
Linnaeus) Hidup Sistem Kering dengan Perlakuan Suhu
dan Penurunan Konsentrasi Oksigen
Nama
: Bhayu Sufianto
NRP
: F051040121
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA.
Anggota
Dr. Ir. Sam Herodian, MS.
Ketua
Diketahui,
Ketua Program Studi
Teknologi Pascapanen
Dr. Ir. Wayan Budiastra, MAgr.
Tanggal Ujian : 18 April 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
ix
PRAKATA
Puji sukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan karya ilimiah ini.
Karya ilmiah ini merupakan sebagian kecil dari nikmat dan kasih sayang-Nya
yang diberikan kepada penulis. Judul yang dipilih pada karya ilimiah ini adalah
“Uji Transportasi Ikan Maskoki (Carassius auratus Linnaeus) Hidup Sistem
Kering dengan Perlakuan Suhu dan Penurunan Konsentrasi Oksigen”.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda R. A Sofyan, MPH.
Mkes yang telah banyak berkorban dan bersabar dalam mendukung kemajuan
studi penulis, Ibunda Dra. Suwarni (Alm.), Utari, dan Dhanu yang selalu
memberikan kasih sayang, dukungan, dan do’a yang membuat penulis ter-support
untuk menyelesaikan kuliah dan karya ilmiah ini dengan sebaik-baiknya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sam Herodian, MS dan
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA yang telah bersedia memberikan bimbingan dan
arahan yang sangat bermanfaat untuk pengembangan wawasan penulis, juga
kepada Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr selaku dosen penguji yang telah memberikan
masukkan demi kesempurnaan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Pak Suyaden dan Udin Reza, Spi yang telah banyak memberi bantuan dan
berkenan meminjamkan kepada penulis peralatan – peralatan yang sangat
dibutuhkan, Pak Parma dan Mas Andri atas segala bantuannya. Terima kasih
kepada teman – teman: Riksan THH’36 dan Fajar BDP’37 atas pinjaman
motornya, Yandra dan Cha2 TEP’40 atas bantuan serta ide – idenya, Agung
‘Jagung’ BDP’38 atas resep treatment on freshwater fish parasite, Asep Horti’40
atas pinjaman printernya, Ubay TPP’05, Rahman STP’38, Hendro MSP’38, teman
– teman TPP’04 atas segala dukungan dan bantuannya.
Dengan kerendahan hati, semoga karya ilmiah ini memberi manfaat bagi
yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2008
Bhayu Sufianto
xviii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada Tanggal
14 Februari 1981. Anak pertama dari tiga bersudara dari
Ayahanda R. A. Sofyan MPH. Mkes dan ibunda
Dra. Suwarni (Alm.). Penulis menamatkan pendidikan
S1 pada Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor
pada Tahun 2004. Pada Tahun yang sama, penulis
melanjutkan studinya pada Program Studi Teknologi Pascapanen, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada Tahun 2008.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ............................................................................................
iii
ABSTRACT ...............................................................................................
iv
PRAKATA .................................................................................................
vii
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiii
I. PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1. Latar Belakang..................................................................................
1
1.2. Tujuan ..............................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
4
2.1. Ikan Maskoki (Carassius auratus Linnaeus)..................................
4
2.1.1. Biologi ikan maskoki ...........................................................
2.1.2. Morfologi ikan maskoki ......................................................
4
6
22. Metabolisme Ikan ...........................................................................
9
23. Respirasi Ikan .................................................................................
10
2.4. Transportasi Ikan Hidup ...............................................................
23
2.4.1. Sistem basah .......................................................................
2.4.2. Sistem kering ......................................................................
24
27
2.5. Kemasan Transportasi ...................................................................
33
2.6. Media Pengisi Kemasan ................................................................
35
x
III. METODE PENELITIAN .................................................................
37
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................
37
3.2. Bahan dan Alat .............................................................................
37
3.2.1. Bahan .................................................................................
3.2.2. Alat .....................................................................................
37
43
3.3. Tahapan dan Prosedur Penelitian .................................................
47
3.3.1. Pengujian toksisitas media pengisi ..................................
3.3.2. Daya serap air media pengisi ...........................................
3.3.3. Densitas kamba media pengisi .........................................
3.3.4. Efisiensi kemasan ............................................................
3.3.5. Pemingsanan ikan ............................................................
3.3.6. Menentukan suhu pemingsanan optimum .......................
3.3.7. Menentukan suhu penyimpanan optimum .......................
3.3.8. Pengaruh waktu pemingsanan terhadap SR .....................
3.3.9. Pengaruh penurunan konsentrasi O2 terhadap SR ...........
3.3.10. Menentukan waktu transportas (statis) optimum .............
50
50
51
51
52
54
54
55
56
58
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................
59
4.1. Pengujian Toksisitas Media Pengisi ............................................
59
4.2. Daya Serap Air Media Pengisi .....................................................
60
4.3. Densitas Kamba Media Pengis ....................................................
66
4.4. Efisiensi Kemasan ........................................................................
68
4.5. Pemingsanan Ikan Maskoki .........................................................
70
4.6. Suhu Pemingsanan Optimum .......................................................
73
4.7. Suhu Penyimpanan Optimum ......................................................
77
4.8. Pengaruh Waktu Pemingsanan terhadap SR ................................
79
4.9. Pengaruh Penurunan Konsentrasi O2 terhadap SR ......................
82
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
87
5. 1. Kesimpulan ..................................................................................
87
5. 2. Saran ............................................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
89
LAMPIRAN ..............................................................................................
94
xi
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Sifat – sifat styrofoam sebagai bahan insulasi ....................................
34
2. Kondisi ikan maskoki pada pengujian toksisitas media pengisi .........
59
3. Daya serap air media pengisi busa ......................................................
60
4. Daya serap air beberapa media pengisi (Prasetyo, 1993) ...................
61
5. Daya serap air beberapa media pengisi (Muslih, 1996) .....................
62
6. Daya serap air media pengisi rumput laut (Muslih, 1996) .................
62
7. Hasil pengamatan terhadap bau media pengisi (Prsetyo, 1993) .........
64
8. Hasil pengamatan terhadap bau media pengisi (Muslih, 1996) ..........
65
9. Densitas kamba media pengisi busa ...................................................
66
10. Kondisi ikan maskoki selama proses pemingsanan ............................
72
11. Kondisi ikan maskoki pada proses penyadaran ..................................
73
12. Penentuan suhu pemingsanan optimum ..............................................
74
13. Penentuan suhu penyimpanan optimum .............................................
77
14. Hasil pengaturan volume air terhadap waktu pemingsanan ...............
80
15. Pengaruh lama waktu pemingsanan terhadap SR ...............................
80
16. Pengaruh penurunan konsentrasi O2 terhadap SR ..............................
83
xii
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Morfologi ikan maskoki (Liviawaty dan Afrianto, 1999) ..................
8
2. Proses pertukaran gas (Affandi dan Tang, 2002) ...............................
12
3. Hubungan antara temperatur dengan laju konsumsi O2
aktif dan standar pada ikan maskoki (Fry dan Hart, 1948) .................
16
4. Kecepatan renang ikan Perca flavescens yang berhubungan
dengan temperatur dan kandungan O2 di dalam air (Fry, 1957) .........
17
5. Efek dari kandungan O2 dan temperatur terhadap
tingkat konsumsi O2 pada ikan Perca flavescens (Fry, 1957) ............
18
6. Perbedaan tipe kecepatan konsumsi O2 pada
tiga spesies ikan yang berbeda pada suhu 200C (Fry, 1957) ..............
20
7. Pengaruh kandungan O2 terlarut di media terhadap
tingkat konsumsi O2 oleh ikan (Affandi dan Tang, 2002) ..................
21
8. Kurva hubungan antara kadar CO2 dan tingkat
konsumsi O2 oleh ikan (Affandi dan Tang, 2002) ..............................
23
9. Ikan maskoki (carassius auratus Linnaeus) .......................................
37
10. Rak pada jenis kemasan rak biasa ......................................................
38
11. Rak pada jenis kemasan rak berisi udara.............................................
39
12. Kemasan rak biasa ..............................................................................
40
13. Kemasan rak berisi udara.....................................................................
40
14. Busa tempat diletakkannya ikan .........................................................
41
15. Busa untuk menutupi ikan ..................................................................
42
16. Tabung – tabung gas O2, CO2, dan N2 ................................................
42
17. Water chiller .......................................................................................
43
18. Bak pemingsanan ikan ........................................................................
44
19. Peti kemas ...........................................................................................
44
20. Gases mixer ........................................................................................
45
21. Chinorecorder .....................................................................................
46
22. Akuarium, aerator 180 Watt, dan aerator 60 Watt ..............................
46
23. Proses aklimatisasi pada ikan .............................................................
48
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Bagan alir tahapan – tahapan penelitian .............................................
94
2. Proses pengujian toksisitas media pengisi ..........................................
95
3. Sketsa jenis kemasan rak biasa ...........................................................
96
4. Sketsa jenis kemasan rak berisi udara .................................................
98
5. Pola lapisan busa-ikan-busa pada setiap
rak di dalam kemasan rak biasa ..........................................................
100
6. Pengemasan ikan di dalam kemasan rak biasa ...................................
101
7. Pola lapisan busa-ikan-busa pada setiap rak
di dalam kemasan rak berisi udara .....................................................
103
8. Pengemasan ikan di dalam kemasan
rak berisi udara ...................................................................................
104
9. Ikan yang mati dengan insang berdarah
dan bercak darah pada busa ................................................................
108
10. Ikan yang mati dalam keadaan kaku
dengan mulut terbuka .........................................................................
109
11. Pola kenaikan suhu media pengisi dari
suhu 30C, 40C, 50C, dan 60C mencapai
suhu simpan (salah satu contoh: 100C) ...............................................
110
12. Data hasil pada tahap menentukan
suhu pemingsanan optimum ...............................................................
111
13. Data hasil pada tahap menentukan
suhu penyimpanan optimum ..............................................................
113
14. Data hasil pengaruh waktu pemingsanan terhadap SR ......................
115
15. Data hasil pengaruh penurunan konsentrasi O2 terhadap SR ............
117
1
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Ikan hias merupakan komoditas perikanan air tawar yang juga ikut
menyumbangkan banyak devisa, nilai ekspornya sangat besar dan cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, jumlah ikan hias yang diekspor
dari Bogor pada tahun 2003 mencapai 6.4 juta ekor dengan nilai nominal kira –
kira Rp. 3 milyar lebih. Sedangkan pada tahun 2004, tercatat sebanyak 6.8 juta
ekor ikan hias yang diekspor dari Bogor, dengan nilai nominal Rp. 4.25 milyar
(Pikiran Rakyat, 2004). Pada tahun 2000, 2001, dan 2003 nilai ekspor ikan hias
nasional masing – masing adalah US$ 3.917; 4.623; dan 5.835 juta atau setara
dengan Rp. 35.253; 41.607; dan 52.515 milyar (Kompas, 2003). Sedangkan
menurut Sekda Jabar, Lex Laksamana, pada tahun 2004 nilai ekspor ikan hias
nasional mencapai US$ 7,3 juta dan 60% dari jumlah tersebut dikontribusi oleh
Jawa Barat (Pemda Jabar, 2006). Ikan maskoki (Carassius auratus) termasuk
salah satu jenis ikan hias yang non-temporer, peluang pasarnya selalu stabil
bahkan menunjukkan peningkatan. Sebagai contoh, produksi ikan maskoki di
Jakarta Selatan mengalami peningkatan dari tahun 2000 sampai 2004, yaitu dari
512.365 ekor meningkat hingga 798.428 ekor (Pemkot Jaksel, 2005).
Ikan hias yang siap untuk dijual biasanya diangkut dengan wadah yang
berisikan air. Ada dua model pengangkutan ikan hias yang biasanya dilakukan,
yaitu pengangkutan sistem terbuka dan sistem tertutup. Pada sistem terbuka
memungkinkan tetap terjadinya kontak antara udara luar dan media pengangkut
(air). Pada sistem tertutup tidak memungkinkan terjadinya kontak antara udara
luar dan media pengangkut (air), sehingga perlu diberi tambahan gas O2. Sistem
pengangkutan terbuka biasanya dilakukan jika jumlah ikan yang diangkut relatif
sedikit, jarak tempuhnya dekat, serta dalam waktu yang relatif singkat. Sistem
pengangkutan tertutup biasa dilakukan untuk mengirim ikan dalam jumlah yang
relatif banyak, pada jarak yang jauh, dan waktu yang relatif lama, misalnya pada
waktu pengiriman ikan hias untuk ekspor (Daelami, 2001).
2
Ikan yang diangkut dengan media air sistem tertutup biasanya menggunakan
kantung plastik sebagai alat angkut. Menurut Liviawaty dan Afrianto (1999),
kantung plastik yang baik untuk digunakan dalam pengangkutan ikan mempunyai
ukuran lebar 50 cm dan ketebalan 0.03 mm. Kantung plastik yang biasa
digunakan untuk pengangkutan ikan maskoki mempunyai panjang 1 meter. Pada
1/3 bagian dari volume kantung plastik tersebut diisi dengan air bersih, kemudian
ikan – ikan yang akan diangkut dimasukkan ke dalamnya. Sisa volume yang kira
– kira 2/3 bagian dari volume kantung plastik tersebut, kemudian diisi dengan gas
O2. Jumlah ikan maskoki, dengan ukuran panjang baku (kepala sampai pangkal
ekor) ± 5 cm, yang diangkut dengan cara ini dapat mencapai 100 ekor.
Sistem pengangkutan ikan hias dengan media air untuk tujuan ekspor dinilai
kurang effisien, karena berat air yang digunakan sebagai media juga ikut
membebani biaya pengangkutan. Katung plastik dengan panjang 1 meter dan
lebar
50 cm, yang kemudian diisi dengan air hingga 1/3 bagian dari volume
kantung plastik tersebut, maka jika ditimbang bobotnya akan mencapai berat ± 5
kg (berat ikan 100 ekor dan udara 2/3 bagian dari volume kantung diabaikan).
Ikan maskoki dengan ukuran panjang baku ± 5 cm yang berjumlah 100 ekor,
mempunyai bobot total ± 1150 gram. Sehingga Ikan maskoki dengan jumlah 100
ekor (bobot total ± 1150 gram) yang dikemas di dalam kantung plasik yang berisi
air hingga 1/3 bagian dari volume kantung plastik tersebut, jika diukur hanya
mempunyai efisiensi kemasan sebesar 23%.
Sistem pengangkutan ikan hias tanpa media air dapat menjadi salah satu
alternatif untuk mengurangi biaya pengangkutan dan memungkinkan jumlah ikan
yang dapat diangkut lebih besar. Pada sistem pengangkutan ini, ikan diangkut
pada media pengangkut yang bukan air. Ikan yang diangkut dengan sistem ini
harus dalam keadaan pingsan atau imotil. Ikan dapat dipingsankan dengan
senyawa – senyawa kimia, suhu rendah, dan arus listrik. Media pengangkut ikan
harus lembab dan dapat mempertahankan dingin sesuai suhu penyimpanan masing
– masing ikan.
3
Media pengangkut yang biasa digunakan pada sistem pengangkutan ini
adalah serbuk gergaji, serutan kayu, kertas koran, atau bahan karung goni
(Wibowo, 1993). Udang windu tambak (Paneus monodon Fab.) dengan bobot
2000 gram (2 kg), setelah dipingsankan dan dikemas ke dalam boks styrofoam
bermedia pengisi/pengangkut serbuk gergaji lembab (sistem pengangkutan tanpa
media air/sistem kering), mempunyai efisiensi kemasan sebesar 50% (Karnila,
1998).
1. 2. Tujuan Penelitian
Penelitan ini bertujuan untuk menentukan berbagai faktor (waktu
pemingsanan, suhu pemingsanan, suhu penyimpanan, penurunan konsentrasi O2,
dan lama waktu transportasi) yang optimum terhadap kelulusan hidup (survival
rate) ikan maskoki selama transportasi (statis) sistem kering. Pada penelitian ini
juga dilakukan uji toksisitas terhadap media pengisi; pengukuran densitas kamba
dan daya serap air media pengisi; serta pengamatan terhadap kondisi ikan
maskoki
selama
penyadaran.
proses
pemingsanan,
pengemasan,
pembongkaran,
dan
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Ikan Maskoki (Carassius auratus Linnaeus)
2. 1. 1. Biologi ikan maskoki
Ikan maskoki yang terdapat di seluruh panjuru dunia ini dapat dipastikan
berasal dari negeri Cina dan disebut goldfish dalam bahasa Inggris. Nenek
moyang ikan maskoki adalah ikan Crucian carp, sejenis ikan karper yang tidak
bermisai/berkumis. Ikan Crucian carp ini sangat mirip dengan ikan karper/ikan
mas yang ada di Indonesia, tetapi ukurannya lebih kecil dan warnanya menarik.
Perbedaan yang mencolok antara ikan Crucian carp dengan ikan karper (Cyprinus
carpio) adalah pada ikan karper terdapat sepasang kumis pada mulutnya,
sedangkan pada ikan Crucian carp tidak terdapat kumis sama sekali (Lingga dan
Susanto, 1999).
Secara genetik atau berdasarkan kromosomnya, ikan maskoki berhubungan
dekat dengan Crucian carp yang tersebar luas di seluruh penjuru Jepang dan Cina
(Kafuku dan Ikenoue, 1983). Namun demikian, secara fenotip keduanya dapat
dibedakan karena ikan maskoki memiliki sisik yang lebih sedikit (29 – 30)
dibandingkan ikan Crucian carp (32 – 33) (Huet, 1994).
Pada awalnya ikan maskoki diberi nama Cyprinus auratus, yang artinya
“ikan dengan warna emas dengan tiga lapis ekor”. Tetapi rupanya perkembangan
ilmu pengetahuan dalam taksonomi ikan yang pesat, menghasilkan nama biologi
yang baru untuk ikan maskoki, yaitu Carrasius auratus. Sedangkan sekelompok
ahli dari lembaga internasional yang mengatur tentang penamaan zoologi,
memberikan nama untuk ikan Crucian carp yaitu Carrasius carrasius (Budhiman
dan Lingga, 1999).
Dal Vesco et al. (1975) menyatakan bahwa ikan maskoki jarang mencapai
panjang 30 cm, sedangkan di aquarium ikan maskoki jarang mencapai ukuran 10
cm. Secara alami, ikan maskoki menyukai habitat kolam berlumpur, bendungan,
sungai, atau danau dengan pakan alami berupa zooplankton dan serangga air
(Stickney, 1979).
5
Ikan maskoki betina dapat matang telur pada umur satu tahun, sedangkan
yang jantan telah matang gonad pada usia yang lebih muda lagi. Telur ikan
maskoki memiliki diameter berukuran 0.7 – 0.5 mm dan dapat melekat pada
benda – benda di dalam air, misalnya rumput atau tanaman air. Makanan ikan
maskoki bermacam – macam dan tidak pilih – memilih makanan. Selain suka
dengan makanan alami seperti plankton dan organisme dasar perairan, ikan
maskoki juga suka dengan pelet buatan manusia. Para ahli biologi ikan
menggolongkan ikan maskoki termasuk ke dalam ikan omnivora (Budhiman dan
Lingga, 1999).
Taksonomi/klasifikasi ikan maskoki menurut Axelrod dan Schultz (1983)
adalah sebagai berikut :
Filum
:
Chordata
Subfilum
:
Craniata
Superkelas
:
Gnathostomata
Kelas
:
Ostheichthyes
Subkelas
:
Actinopterygii
Superordo
:
Teleostei
Ordo
:
Ostariophysoidei
Subordo
:
Cyprinoidea
Famili
:
Cyprinidae
Genus
:
Carassius
Spesies
:
Carassius auratus Linnaeus
6
2. 1. 2. Morfologi ikan maskoki
Berbeda dengan ikan karper, ikan maskoki tidak dimakan sebagai hidangan
yang lezat. Ikan maskoki ini dimanfaatkan seratus persen sebagai ikan hias yang
disukai di berbagai penjuru dunia, karena mempunyai bentuk dan warna yang
unik dan menarik, serta menciptakan pesona yang indah bagi penggemarnya.
Bentuk luar tubuh ikan maskoki hampir menyerupai ikan karper, yaitu sama
– sama mempunyai sirip yang lengkap seperti sirip punggung, sirip dada, sirip
perut, sirip anal/dubur, dan sirip ekor. Selain itu juga ikan maskoki mempunyai
sisik yang berderet rapih. Walau pun ikan maskoki hampir menyerupai ikan
karper, terdapat banyak pula perbedaannya. Perbedaan tersebut terletak pada
bentuk badan, bentuk kepala, bentuk sisik, bentuk sirip, dan bentuk mata. Bentuk
badan ikan maskoki pendek dan gemuk, sehingga gerakan tubuhnya sangat
menarik saat berenang.
Sirip ikan maskoki berfungsi sebagai alat gerak. Sirip perut dan sirip dada
yang bekerja sama dengan gelembung udara, berfungsi sebagai kontrol terhadap
gerakan ke atas dan ke bawah. Jika di dalam gelembung udara penuh berisi udara,
maka sirip dada akan bergerak dan secara otomatis ikan maskoki akan muncul ke
permukaan air. Tetapi sebaliknya jika gelembung udara kosong dan mengecil,
maka sirip perut yang akan bergerak dan ikan maskoki akan menyelam ke bagian
dalam air.
Selain oleh bentuk sirip yang menarik, keelokan ikan maskoki banyak
dipengaruhi oleh deretan – deretan sisik yang rapih seperti genteng yang menutupi
atap rumah. Di bawah deretan – deretan sisik ini terdapat kelenjar lendir yang
berfungsi sebagai pelindung tubuh dari gesekan dan mencegah infeksi karena
luka. Sisik – sisik ini mempunyai warna yang gelap karena mengandung bahan
guanine yang membentuk kristal (C5H5N5O) di dalam sisik, misalnya warna
merah pada ikan maskoki varietas Wakin dan Ryukin. Jika di dalam sisik ikan
tersebut tidak terdapat guanine, maka sisik ikan tidak akan bewarna alias
transparan. Sisik yang di dalamnya tidak terdapat guanine, dapat ditemui seperti
pada ikan maskoki varietas Calico dan Shubunkin. Pada umumnya sisik ikan
maskoki mempunyai warna dasar hitam, merah, kuning, dan putih. Warna sisik
7
tersebut tergantung pada pigmen pembawa warna yang terdapat pada masing –
masing varietas/ras ikan maskoki.
Keindahan warna dari ikan maskoki juga tergantung kepada tersedianya
bahan pemantul cahaya yang terdapat di dalam lapisan sisik. Sering dijumpai ikan
maskoki yang berwarna kuning pucat, tetapi juga sering bewarna merah, karena
tergantung kepada bahan pemantul cahaya tersebut. Selain dipengaruhi oleh
guanine dan ada atau tidaknya bahan pemantul cahaya, keindahan ikan maskoki
juga sangat dipengaruhi oleh kadar bahan kimia di dalam air, cahaya, suhu air,
makanan, dan tentu saja faktor genetiknya.
Bentuk kepala ikan makoki juga tidak kalah menariknya, karena bentuknya
yang indah seperti pada varietas ikan maskoki Ranchu, Oranda, dan Pompon.
Kepala ikan makoki pada varietas Ranchu dan Oranda/Spenser ditutupi oleh
jaringan daging yang menebal, yaitu pada bagian atas kepala dan pipinya. Pada
varietas Ranchu, penebalan jaringan ini hampir menutupi seluruh bagian kepala
yang tampak seperti singa, karena itu varietas ikan maskoki ini sering pula disebut
“si kepala singa”. Lain halnya pada varietas Oranda, pada ikan ini mempunyai
kepala yang berjambul, sedangkan pada varietas Pompon mempunyai tambahan
hidung yang menyembul keluar, yang sewaktu – waktu hidung tersebut dapat
bergerak bila terhembus udara saat mengeluarkan nafas.
Bentuk mata ikan maskoki pada umumnya sama dengan sebagian besar
hewan vertebrata lainnya, yaitu iris matanya tidak dapat membuka dan menutup.
Lensa mata ikan maskoki tidak dapat berkontraksi luas, oleh karena itu ikan
maskoki mempunyai pandangan mata yang dekat dan terbatas. Dalam mencari
makanan, ikan maskoki lebih tergantung kepada penciumannya dari pada
penglihatannya. Walau bagaimana pun juga, bentuk mata pada ikan maskoki
menandakan varietas – varietas tertentu. Ada empat tipe bentuk mata pada
varietas ikan maskoki, yaitu mata yang normal seperti lazimnya bentuk mata ikan
karper, mata teleskop, mata teleskop yang mengarah ke atas seperti pada ikan
celestial, dan mata yang berbentuk balon (Budhiman dan Lingga, 1999). Bentuk
tubuh luar (morfologi) ikan maskoki, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 1 di bawah ini.
8
Gambar 1. Morfologi ikan maskoki (Liviawaty dan Afrianto, 1999)
Ikan maskoki memiliki bentuk yang beragam terutama pada bagian mata
dan sirip (Huet, 1994). Ikan ini juga memiliki variasi warna seperti merah, kuning,
putih – jingga dengan atau tanpa bintik hitam (Dal vesco et al., 1975). Hingga saat
ini, varietas ikan maskoki sudah cukup banyak jumlahnya (Axelrod dan
Vorderwinkler, 1986). Varietas/jenis yang terkenal antara lain adalah Wakin
(common goldfish), Ryukin (fantail), Rancha (lionhead), Oranda, Jikin
(peacocktail), Demekin (telescop-eye), Kaliko, Kaliko oranda, Shubunkin, Komet
(Kafuku dan Ikenoue, 1983). Budhiman dan Lingga (1999) menambahkan
terdapat vaeritas yang lainnya, yang juga sangat digemari, seperti Kokitosa
(veiltail), Sisik mutiara (pearlscale), Mata balon (bubble-eye), Nirwana
(celestial), Pompon, dan Blackmoor.
Ikan maskoki varietas Tosa atau Kokitosa (veiltail) marupakan varietas yang
paling sering dijumpai pada setiap pedagang dan peternak ikan maskoki. Tidak
jelas dari mana asal – muasal nama Tosa atau Kokitosa ini. Sementara nama
veiltail jelas muncul dari bentuk ekor yang panjang dan kembar (twintail)
sehingga tampak seperti menjuntai (merumbai). Ikan maskoki varietas Tosa
memiliki sirip sebanyak 6 buah, yaitu dua buah sirip dada, dua buah sirip anus,
sebuah sirip ekor, dan sebuah lagi sirip punggung. Ukuran sirip ini umumnya
cukup panjang. Karena bentuk tubuhnya yang bulat dan gemuk, gerakan ikan
maskoki varietas Tosa ini umumnya sangat lamban.
9
Karena siripnya yang panjang dan lemah gemulai, maka setiap kali ikan
tersebut berenang, sirip – siripnya akan ikut bergerak sehingga menyuguhkan
pemandangan yang menarik seperti layaknya gerakan seorang penari balet.
Keindahan ikan maskoki varietas Tosa dikatakan sempurna manakala ikan
tersebut memiliki tubuh yang bulat dan gemuk, sirip ekornya menjuntai melebihi
panjang tubuhnya, sirip punggung tinggi (setinggi tubuhnya atau lebih) dan
berdiri tegak, kondisi tubuhnya mulus, serta warnanya merah metalik atau kuning
(Budhiman dan Lingga, 1999).
2. 2. Metabolisme Ikan
Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh mahluk
hidup, yang terdiri atas anabolisme (proses sintesis senyawa kimia kecil menjadi
molekul yang lebih besar) dan katabolisme (proses penguraian molekul besar
menjadi molekul kecil). Laju/kecepatan metabolisme cenderung dihubungkan
dengan jumlah kalori yang dapat dihasilkan, sehingga pengukuran laju
metabolisme secara tidak langsung dapat dengan mudah diukur menggunakan
kalorimetri. Akan tetapi untuk pengukuran laju metabolisme yang secara lengkap
dari suatu mahluk hidup, membutuhkan juga pengukuran terhadap besarnya
konsumsi O2, besarnya CO2 yang dihasilkan, dan besarnya jumlah nitrogen yang
diekskresikan (dibuang) bersamaan dengan pendugaan besarnya nilai kalori dari
sisa hasil buangan (kotoran).
Sesungguhnya laju konsumsi O2 sendiri dapat digunakan untuk mengetahui
secara umum intensitas dari metabolisme pada mahluk hidup aerobik. Pengukuran
terhadap laju konsumsi O2 juga digunakan untuk mengetahui kemampuan dari
suatu mahluk hidup aerobik untuk mengambil O2 ketika berada dalam berbagai
kondisi lingkungan, termasuk berbagai perubahan tekanan parsial O2 itu sendiri,
yang merupakan salah satu dari indikasi - indikasi paling penting untuk
mengetahui perubahan – perubahan yang terjadi di dalam suatu perairan.
Pengukuran laju metabolisme berdasarkan pengukuran laju konsumsi O2 dapat
dibagi berdasarkan dua katagori, yaitu laju konsumsi O2 minimum yang
merupakan laju konsumsi O2 terendah yang dibutuhkan suatu mahluk hidup hanya
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya saja, dan laju konsumsi O2
10
maksimum yang merupakan laju konsumsi O2 tertinggi yang dapat dicapai suatu
mahluk hidup untuk beraktifitas secara maksimum.
Laju konsumsi O2 minimum dan laju konsumsi O2 maksimum masing –
masing biasa disebut dengan laju konsumsi O2 standar (laju metabolisme standar)
dan laju konsumsi O2 aktif (laju metabolisme aktif). Sesuatu hal yang menarik
dari pola konsumsi O2 pada ikan yaitu adalah laju konsumsi O2 aktif pada ikan
biasanya hanya beberapa kali lipat dari pada laju konsumsi O2 standarnya. Pada
manusia diketahui laju konsumsi O2 aktifnya adalah sebesar 20 kali lipat dari pada
laju konsumsi O2 standarnya, ketika sedang bekerja keras. Sedangkan laju
konsumsi O2 aktif pada serangga dapat terjadi sebesar seratus kali lipat dari pada
laju konsumsi O2 standarnya (Fry, 1957).
2. 3. Respirasi Ikan
Respirasi atau pernafasan adalah proses pengikatan O2 dan pengeluaran CO2
oleh darah melalui permukaan alat pernafasan. Proses pengikatan O2 tersebut
selain dipengaruhi oleh struktur alat pernafasan, juga dipengaruhi oleh perbedaan
tekanan parsial O2 di dalam perairan dengan di dalam darah. Perbedaan tekanan
tersebut menyebabkan gas – gas berdifusi ke dalam darah atau ke luar darah.
Oksigen sebagai bahan pernafasan dibutuhkan oleh sel untuk berbagai reaksi
metabolisme. Oleh sebab itu, kelangsungan hidup ikan sangat ditentukan oleh
kemampuannya memperoleh O2 yang cukup dari lingkungannya. Berkurangnya
O2 terlarut di dalam perairan akan mempengaruhi fisiologi respirasi dan
metabolisme ikan tersebut.
Pengertian mengenai tekanan parsial merupakan suatu langkah penting
menuju pemahaman difusi O2 dari perairan ke dalam darah melalui insang.
Tekanan parsial gas – gas dalam suatu campuran ditunjukkan dengan istilah yang
sama seperti yang digunakan untuk menunjukkan tekanan di dalam cairan, yaitu
P O2, P CO2, P N2, P He, dan sebagainya. Dari teori kinetik gas kita dapat
mengetaui bahwa tekanan pada membran apa pun atau pada permukaan lain apa
pun ditentukan oleh jumlah molekul yang membentur suatu satuan luas membran
pada saat tertentu dikalikan dengan energi kinetik rata – rata dari molekul
tersebut. Oleh karena itu, tekanan parsial suatu gas dalam suatu campuran
11
sebenarnya merupakan jumlah kekuatan tubrukan molekul seketika itu juga dari
gas tertentu pada permukaan tersebut.
Kerena setiap gas di dalam suatu campuran gas menimbulkan tekanan
parsialnya sendiri yang sebanding dengan konsentrasi molekulnya. Bila gas dari
suatu campuran larut di dalam suatu cairan dan berada dalam keadaan seimbang
dengan fase gas dari campuran itu., maka tekanan tiap gas terlarut sama dengan
tekanan parsial gas yang sama di dalam campuran gas tersebut. Dengan perkataan
lain, tiap – tiap gas tidak bergantung kepada gas lain dalam kemampuannya untuk
melarut di dalam suatu cairan. Prinsip ini juga berlaku untuk larutan gas di dalam
darah. Jadi peningkatan jumlah CO2 yang terlarut di dalam cairan tubuh tidak
mempengaruhi secara berarti jumlah O2 yang dapat dilarutkan di dalam cairan
yang sama, akan tetapi berbagai gas yang terlarut sering saling menggangu reaksi
kimianya, misalnya reaksi O2 dan CO2 dengan hemoglobin dalam darah (Fujaya,
2004).
Pada ikan proses pernafasan terjadi karena adanya pertukaran gas pada
insang secara difusi. Pada proses difusi terjadi suatu aliran molekul gas dari
lingkungan/ruang yang konsentrasi gasnya tinggi ke lingkungan/ruang yang
konsentrasi gasnya rendah. Persyaratan untuk dapat terjadinya pertukaran gas
pada proses pernafasan ikan yaitu: 1) dinding membran dalam insang harus tipis
dan lembab; 2) harus terdapat perbedaan tekanan parsial gas antara lingkungan
luar dengan lingkungan dalam pada tubuh ikan (Affandi dan Tang, 2002). Untuk
lebih jelasnya, proses pertukaran gas yang terjadi pada membran sel di dalam
insang ikan, dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
12
Membran sel
Lingkungan luar
(perairan bebas)
O2 tinggi
CO2 rendah
Lingkungan dalam
(kapiler darah)
O2 rendah
CO2 tinggi
Gambar 2. Proses pertukaran gas (Affandi dan Tang, 2002)
Banyak peneliti yang telah membuktikan bahwa kecepatan pengambilan
atau konsumsi O2 oleh ikan dan kebanyakan mahluk hidup yang bernafas di dalam
air akan menurun seiring dengan menurunnya kandungan O2 di dalam air. Oleh
karena itu, fenomena tersebut secara umum dijuluki “pernafasan yang tergantung
(respiratory dependence)”. Ada pun secara teknis dapat dipahami, tetapi masih
banyak terjadi kebingungan yang berhubungan dengan istilah tersebut. Penurunan
pengambilan O2 tersebut tidak dapat diinterpretasikan sebagai indikasi dari
penurunan proses – proses tubuh yang bersifat fital. Hal tersebut telah diketahui
dengan jelas bahwa fenomena “respiratory dependence” berhubungan erat dengan
kecepatan metabolisme aktif Ketika ikan berada pada lingkungan perairan dengan
kandungan O2 yang terbatas, penurunan kecepatan respirasi yang terjadi seiring
dengan penurunan kandungan O2 di lingkungan perairan tersebut, disebabkan
karena penurunan dari aktifitas ikan tersebut dan bukan disebabkan karena
penurunan metabolisme dasar (standar) pada ikan tersebut (Fry, 1957).
13
Kondisi kandungan O2 yang rendah bagi kehidupan suatu organisme pada
suatu lingkungan tertentu disebut hypoxia. Pengaruh dari hypoxia terhadap
kecepatan pengambilan O2 dan pelepasan CO2 telah dipelajari pada ikan trout dan
ikan mas. Pengaruh penurunan kandungan O2 di dalam suatu perairan pada
temperatur yang tetap/sama pada ikan trout mengakibatkan laju pernafasan serta
amplitudonya meningkat, laju detak jantungnya menurun, akan tetapi terdapat
peningkatan pada volume darah yang dipompa oleh jantungnya. Kerja jantung
sedikit bervariasi, akan tetapi perbandingan antara tingkat ventilasi dan perfusi
terhadap air (ventilation – perfusion ratio ) meningkat, yang dikarenakan oleh
meningkatnya aliran air yang melewati insang.
Peningkatan kerja komponen – komponen yang berpengaruh terhadap
pertukaran gas (transfer factor) pada insang menyebabkan penurunan pada rata –
rata gradien tekanan gas O2 yang terdapat di antara darah dan air yang melewati
insang. Tekanan parsial O2 yang terdapat di dalam pembuluh darah menurun
seiring dengan penggunaan oleh ikan terhadap cadangan O2 yang terdapat pada
pembuluh darah tersebut. Akibat terakhir dari meningkatnya kerja transfer factor
dan ventilation – perfusion ratio, dan disertai dengan penurunan kandungan O2 di
dalam pembuluh darah adalah suatu usaha pengambilan O2 yang cukup oleh ikan
pada awal menurunnya kandungan O2 pada suatu perairan.
Pengambilan/konsumsi O2 oleh ikan akan menurun seiring dengan
menurunnya tingkat kandungan O2 pada suatu perairan, dan bersamaan dengan
hal tersebut pula akan terjadi peningkatan asam laktat pada tubuh ikan. Tingkatan
yang tepat kandungan O2 yang rendah di suatu perairan ketika terjadi penurunan
pengambilan oksigen oleh ikan, bervariasi tergantung pada setiap jenis ikan. Jenis
ikan teleostei diketahui lebih dapat mengatur pengambilan O2 pada suatu perairan
dengan berbagai tingkatan kandungan O2 yang lebih luas. Sedangkan jenis ikan
elasmobranchi diketahui lebih tidak dapat mengatur pengambilan O2 pada suatu
perairan dengan berbagai tingkatan kandungan O2. Akan tetapi kedua jenis ikan
tersebut akan menjadi lebih aktif pada kondisi perairan yang rendah O2 dan
kemudian segera berusaha untuk keluar dari lingkungan perairan yang rendah O2
tersebut.
14
Peningkatan pada volume ventilasi yang berhubungan dengan penurunan
laju detak jantung, diketahui merupakan suatu dampak (response) yang umum
pada ikan ketika berada pada kondisi lingkungan yang rendah O2 (hypoxia).
Peningkatan pada volume ventilasi memberikan distribusi O2 yang cukup kepada
permukaan lapisan alat pernafasan ketika tingkat kandungan O2 di dalam perairan
menurun. Laju detak jantung (dalam mengambil O2) yang menurun dapat di atasi
dengan peningkatan volume darah yang dipompa oleh jantung pada ikan trout,
sehingga hal tersebut hanya mengakibatkan perubahan yang kecil pada kerja
jantung. Selama ikan berada dalam pada kondisi lingkungan yang rendah O2
(hypoxia) mengakibatkan pola aliran darah pada ikan tersebut berubah,
dibandingkan dengan kerja dari jantung ikan tersebut. Perubahan pola aliran darah
yang mengalir melewati insang selama kondisi hypoxia mungkin terjadi untuk
memperbesar terjadinya pertukaran gas (gas exchange).
Pengaruh yang utama dari temperatur terhadap respirasi ikan adalah
merubah pola kebutuhan O2 pada ikan. Perubahan temperatur air dari suhu 100C
menjadi 200C dapat meningkatkan konsumsi O2 standar pada ikan maskoki hingga
254%. Akan tetapi tingkat kandungan O2 di dalam air tersebut hanya menurun
18%, hal tersebut disebabkan karena tingkat viskositas (kekentalan) pada air
tersebut menurun sehingga laju difusi gas –gas akan terjadi lebih cepat. Koefisien
pada persamaan Krogh akan meningkat 1% setiap kenaikan 10C. Sistem
pernafasan pada ikan harus dapat beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan O2 yang
meningkat seiring dengan meningkatnya suhu.
Telah terdapat banyak hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh dari
temperatur terhadap konsumsi O2 oleh ikan pada saat sedang aktif dan
beristirahat. Peningkatan konsumsi O2 seiring dengan meningkatnya temperatur
berkenaan dengan meningkatnya kerja jantung dan volume ventilasi. Segala
sesuatu yang menghambat aliran darah akan berkurang/menurun seiring dengan
meningkatnya temperatur, penurunan jumlah beban kerja jantung sangat
diperlukan untuk mendukung kerja jantung seiring dengan meningkatnya suhu.
15
Kecepatan penyerapan O2 melalui insang dipengaruhi baik dari kelancaran
aliran darah dan air yang mengalir melewati permukaan dari sistem pernafasan,
mau pun dari besarnya kinerja komponen – komponen yang berpengaruh terhadap
pertukaran gas (transfer factor) pada insang untuk menyerap O2. Tingkat
maksimum yang terlihat pada aktifitas dari ikan salmon pada temperatur di atas
150C, ternyata masih dapat ditingkatkan lagi dengan cara menjenuhkan
kandungan O2 terlarut pada perairan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa
selain dipengaruhi oleh kelancaran aliran darah dan air yang mengalir melewati
permukaan sistem pernafasan, mau pun oleh besarnya kinerja komponen –
komponen pada insang yang berpengaruh terhadap pertukaran gas (transfer
factor), kecepatan penyerapan O2 oleh ikan juga dipengaruhi oleh kandungan O2
yang terlarut pada perairan tersebut (Randall, 1970).
Tingkat
metabolisme
standar/basal
(tingkat
konsumsi
O2
standar)
merupakan tingkat di mana energi yang dihasilkan hanya untuk dapat
mempertahankan kelangsungan hidup ikan saja, sedangakan tingkat metabolisme
yang dapat menghasilkan energi yang memungkinkan ikan dapat beraktifitas
secara maksimum disebut tingkat metabolisme aktif (tingkat konsumsi O2 aktif).
Hubungan antara temperatur dengan tingkat metabolisme standar dan tingkat
metabolisme aktif pada ikan maskoki (Carassius auratus) dapat dilihat pada
Gambar 3 di bawah ini.
16
Gambar 3. Hubungan antara temperatur dengan laju konsumsi O2
aktif dan standar pada ikan maskoki (Fry dan Hart, 1948)
Pada Gambar 3 di atas memperlihatkan bahwa laju konsumsi O2 standar
(laju metabolisme standar) ikan maskoki meningkat seiring dengan kenaikan suhu
perairan hingga tercapainya suhu tertinggi di mana ikan maskoki akan memasuki
suhu letalnya. Hal tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tidak terjadi
kerusakan atau melemahnya fungsi enzim pernafasan yang berkenaan dengan laju
metabolisme standar hingga pada suhu 350C. Tetapi sebaliknya, laju metabolisme
aktif terlihat tidak mengalami perubahan kecepatan (kecepatannya stabil) setelah
melewati suhu 300C. Kecepatan yang tetap pada laju metabolisme aktif setelah
melewati suhu 300C tersebut mungkin disebabkan karena terjadinya kerusakan
enzim pada suhu yang tinggi, sehingga menyebabkan keseimbangan antara efek
17
dari peningkatan tenperatur dengan kemampuan organisme tersebut untuk
memberikan respon (Fry dan Hart, 1948)..
Telah diketahui bahwa meningkatnya aktifitas ikan berkorelasi kuat dengan
temperatur dan tingkat kandungan O2 pada perairan tempat ikan tersebut berada.
Temperatur perairan yang tinggi menyebabkan aktifitas ikan yang tinggi pula,
sehingga tingkat konsumsi O2 oleh ikan menjadi tinggi akibat tingginya aktifitas
ikan (Fry, 1957). Pada Gambar 4 di bawah ini menunjukkan suatu hasil penelitian
yang menggambarkan tingkat aktifitas ikan yang berhubungan dengan temperatur
dan tingkat kandungan O2 di dalam suatu perairan.
Gambar 4. Kecepatan renang ikan Perca flavescens yang berhubungan
dengan temperatur dan kandungan O2 di dalam air (Fry,
1957)
18
Efek yang disebabkan dari kombinasi antara kandungan O2 dan temperatur,
yang berkenaan dengan laju konsumsi O2 dan kecepatan metabolisme ikan, dapat
dilihat pada Gambar 5 di bawah ini. Pada gambar tersebut, gambar bagian sebelah
kiri menunjukkan kecepatan standar konsumsi O2, kecepatan maksimum
konsumsi O2 pada kondisi udara jenuh, serta kecepatan konsumsi O2 pada kondisi
ketika kandungan O2 terlarut terbatas pada beberapa konsentrasi. Sedangkan pada
gambar bagian sebelah kanan, garis vertikal paling kanan merupakan kecepatan
metabolisme standar pada beberapa temperatur dan menunjukkan seberapa jauh
kecepatan konsumsi O2 secara aktif meningkat pada berbagai temperatur dan pada
beberapa konsentrasi kandungan O2 terlarut.
Gambar 5. Efek dari kandungan O2 dan temperatur terhadap tingkat
konsumsi O2 pada ikan Perca flavescens (Fry, 1957)
19
Pada bagian sebelah kiri Gambar 5 di atas menunjukkan bahwa pada ikan
P. Flavescens, penurunan kandungan O2 di dalam air hingga mencapai 4 mg/l,
dapat mengurangi kecepatan metabolisme aktif dan kemudian dapat mengurangi
tingkat aktifitas ikan tersebut pada beberapa temperatur yang diujikan. Penurunan
lebih lanjut terhadap kandungan O2 hingga di bawah 4 mg/l, tentunya
mengakibatkan penurunan yang lebih jauh pada kecepatan metabolisme aktif pada
ikan tersebut. Penurunan kandungan O2 hingga mencapai 1 mg/l pada temperatur
yang lebih tinggi, dapat mengakibatkan penurunan kecepatan metabolisme aktif
hingga tingkat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme standar
(metabolisme basal). Penurunan kandungan O2 seperti itu dapat mengakibatkan
kondisi yang fatal bagi kehidupan ikan tersebut.
Ketika kondisi penurunan tingkat aktifitas ikan terus berlanjut dan juga ikut
disertai dengan meningkatnya temperatur, maka pada temperatur yang lebih tinggi
tingkat aktifitas ikan tersebut juga menjadi sangat tertekan, seperti yang telah
ditunjukan pada bagian sebelah kanan Gambar 5 di atas. Dari hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa ketika kandungan O2 di dalam air rendah, maka kondisi yang
optimum bagi ikan adalah pada kondisi temperatur air tersebut yang juga rendah
(Fry, 1957).
Pada temperatur yang tetap, peningkatan kecepatan konsumsi O2 seiring
dengan meningkatnya kandungan O2 terlarut di dalam air akan terhenti dan
kecepatan konsumsi O2 tersebut oleh ikan akan stabil pada kecepatan tertentu,
walau pun kandungan O2 di dalam air terus bertambah (Fry, 1957). Perbedaan tipe
peningkatan kecepatan konsumsi O2 yang terjadi pada tiga spesies ikan yang
berbeda, dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.
20
Gambar 6. Perbedaan tipe kecepatan konsumsi O2 pada tiga spesies ikan
yang berbeda pada suhu 200C (Fry, 1957)
Pada Gambar 6 di atas ditunjukkan bahwa dengan meningkatnya kandungan
O2 di dalam air pada suhu yang tetap, peningkatan kecepatan konsumsi O2 pada
ikan Carassius auratus (ikan maskoki) lebih cepat terhenti dan stabil pada
kecepatan tertentu dibandingkan dengan dua jenis ikan lainnya. Pada ikan Perca
flavescens, peningkatan kecepatan konsumsi O2 seiring meningkatnya kandungan
O2 di dalam air terjadi lebih lama dibandingkan pada ikan Carassius auratus,
tetapi lebih cepat terhenti dan stabil pada kecepatan tertentu dibandingkan dengan
ikan Salvelinus fantinalis. Pada ikan Salvelinus fantinalis, peningkatan kecepatan
konsumsi O2 seiring meningkatnya kandungan O2 di dalam air terjadi lebih lama
dan stabil pada kecepatan tertentu setelah kandungan O2 di dalam air jauh lebih
tinggi dari pada kandungan O2 ketika kecepatan komsumsi O2 pada ikan
Carassius auratus dan Perca flavescens mengalami kestabilan pada kecepatan
tertentu.
21
Affandi dan Tang (2002) juga menyatakan bahwa kandungan O2 terlarut di
perairan akan mempengaruhi tingkat konsumsi O2 oleh ikan. Pada kisaran
toleransi, tingkat (kecepatan) konsumsi O2 meningkat dengan meningkatnya
kandungan O2 di perairan dan mencapai nilai maksimum ketika dicapai
konsentrasi optimum. Di atas konsentrasi optimum tersebut, tingkat konsumsi O2
oleh ikan relatif konstan. Sebelum tercapainya konsentrasi O2 optimum tersebut,
di mana tingkat konsumsi O2 meningkat dengan meningkatnya kandungan O2 di
perairan, di sebut zona dependence atau “pernafasan yang tergantung” menurut
Fry (1957). Setelah tercapainya konsentrasi O2 optimum, di mana tingkat
konsumsi O2 oleh ikan relatif konstan, disebut zona independence. Untuk lebih
jelasnya, pengaruh O2 terlarut di dalam air terhadap tingkat konsumsi O2 oleh
ikan, dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.
K O2
Zona dependence
Zona independence
(mg O2/kg/jam)
Maksimum
Optimum
Gambar 7. Pengaruh kandungan O2 terlarut di media terhadap tingkat
konsumsi O2 oleh ikan (Affandi dan Tang, 2002)
22
Peningkatan tekanan parsial gas CO2 di dalam perairan telah diketahui dapat
mengakibatkan penurunan kecepatan konsumsi O2 oleh ikan. Ikan rainbow trout
memberikan reaksi/respon yang nyata kira – kira pada tekanan parsial CO2
10 mm.Hg, sedangkan kecepatan konsumsi O2 oleh belut tidak terpengaruh meski
pun tekanan parsial CO2 mencapai kira – kira 40 mm.Hg. Terdapat suatu
penelitian kecil yang mengujikan efek dari CO2 bebas terhadap kecepatan
konsumsi O2 secara aktif oleh ikan. Data awal yang diperoleh pada penelitian
terhadap ikan Salvelinus fantinalis yang diujikan pada suhu 100C, menunjukkan
bahwa semua tekanan pasial CO2 bebas dapat mengakibatkan penurunan pada
kecepatan konsumsi O2 secara aktif tergantung pada besarnya tekanan parsial CO2
bebas itu sendiri, serta kecepatan konsumsi O2 secara aktif dapat mengalami
penurunan sampai batas yang dibutuhkan untuk terjadinya proses metabolisme
basal pada tekanan parsial CO2 kira – kira sebesar 25 mm.Hg (Fry, 1957).
Data hasil pengujian terhadap ikan umbra limi menunjukkan bahwa
kecepatan konsumsi O2 secara aktif tidak menunjukkan adanya tanda – tanda
mengalami penurunan hingga tercapai tekanan parsial CO2 yang telah melebihi
100 mm.Hg. Pada kebanyakan karakteristik dari spesies ikan, memberikan respon
yang sangat kecil terhadap CO2. Data hasil pengujian kecepatan konsumsi O2
pada tiga jenis ikan Indian carp, Catla catla, Labeo rohita, dan Cirrhina mrigala,
bersamaan dengan ikan maskoki, menunjukkan bahwa ikan – ikan tersebut tidak
mengalami akibat yang fatal terhadap tekanan parsial CO2 hingga mencapai
100 mm.Hg. Pada kondisi lingkungan yang sesungguhnya yang terjadi di alam,
berbagai tingkat tekanan parsial dari CO2 mempunyai dampak yang kecil terhadap
kecepatan konsumsi O2 oleh ikan (Fry, 1957).
Affandi dan Tang (2002) juga menyatakan bahwa kadar CO2 di perairan
akan mempengaruhi laju konsumsi oksigen oleh ikan. Hubungan antara kadar
CO2 di perairan dengan tingkat/kecepatan/laju konsumsi O2 pada ikan dapat
dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.
23
K. O2
(mgO2/kg/jam)
[ CO2 ]
Gambar 8. Kurva hubungan antara kadar CO2 dan tingkat konsumsi O2
oleh ikan (Affandi dan Tang, 2002)
Semakin tinggi kadar CO2 di perairan, maka akan semakin rendah tingkat
konsumsi O2 oleh ikan. Hal tersebut terjadi karena pada saat kadar CO2 di
perairan tinggi maka CO2 yang diikat oleh Hb (butir darah merah) sulit dilepaskan
ke luar tubuh melalui insang. Seperti yang telah dipaparkan di awal, syarat
terjadinya pelepasan CO2 dari tubuh (insang) ikan ke media lingkungan (ke
perairan) adalah jika tekanan parsial (konsentrasi) CO2 di perairan lebih rendah
dari pada tekanan CO2 yang terdapat di dalam kapiler darah pada lamela sekunder
insang. Akibat dari minimumnya CO2 yang dilepaskan oleh Hb, maka O2 yang
dapat diikat oleh Hb pun menjadi sedikit pula, hal tersebut ditunjukkan oleh
rendahnya tingkat konsumsi O2 oleh ikan tersebut (Affandi dan Tang, 2002).
2. 4. Transportasi Ikan Hidup
Transportasi ikan hidup merupakan tindakan memindahkan ikan dalam
keadaan hidup yang di dalamnya diberikan tindakan – tindakan untuk menjaga
agar derajat kelulusan hidup (survival rate) ikan tinggi atau ikan tetap berada
dalam kondisi hidup setelah sampai di tempat tujuan. Pengangkutan ikan hidup
pada dasarnya adalah memaksa ikan untuk ditempatkan di dalam suatu
lingkungan yang berlainan dengan lingkungan asalnya dan disertai dengan
perubahan – perubahan sifat lingkungan yang mendadak (Wibowo et al., 1994).
Menurut Wibowo (1993), transportasi ikan hidup dapat dilakukan dengan dua
24
cara, yaitu pengangkutan ikan dengan media air (sistem basah) dan tanpa media
air (sistem kering).
2. 4. 1. Sistem basah
Transportasi ikan hidup dengan media air dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu sistem terbuka dengan pemberian aerasi terus – menerus dan sistem tertutup
dengan aerasi yang terbatas. Pada transportasi dengan media air sistem terbuka,
ikan diangkut dalam wadah terbuka yang kedap panas yang biasanya dipasang
pada kendaraan roda empat. Pada transportasi dengan media air sistem terbuka,
suplai O2 diberikan secara terus – menerus dengan pemberian aerasi selama
perjalanan. Transportasi dengan media air sistem terbuka biasanya dilakukan jika
jumlah ikan yang diangkut relatif sedikit, jarak tempuhnya dekat, serta dalam
waktu yang relatif singkat (Daelami, 2001).
Wadah terbuka yang paling umum digunakan untuk pengangkutan ikan
maskoki adalah keramba. Keramba merupakan wadah yang terbuat dari bambu
yang dianyam membentuk keranjang. Pada seluruh lapisan bagian dalam dan luar
keramba dilapisi dengan ter untuk mencegah kebocoran air. Umunya keramba
mempunyai ukuran 80 x 70 cm di bagian dasarmya dan tinggi 22 cm. Tinggi air
yang digunakan dalam pengangkutan ikan maskoki dengan keramba adalah
10 cm. Jumlah ikan maskoki yang dapat diangkut dengan keramba relatif sedikit.
Dua buah keramba hanya mampu mengangkut 100 – 150 ekor ikan maskoki yang
mempunyai ukuran 5 cm. Bila untuk mengangkut induk maskoki, dua buah
keramba hanya mampu menampung 20 – 30 ekor saja.
Keramba hanya dapat digunakan untuk pengangkutan ikan maskoki dalam
jarak dekat atau waktu tempuh yang relatif singkat. Sebagai sumber O2 bagi ikan
yang diangkut dengan keramba adalah berasal dari kontak yang terjadi antara
permukaan air dan udara di sekeliling keramba saja. Oleh karena itu, supaya
kandungan O2 yang terlarut di dalam air selalu memadai, selama dalam
pengangkutan petani sering menggerak – gerakkan air di dalam keramba atau
memanfaatkan getaran yang berasal dari kendaraan bermotor yang mengangkut
keramba tersebut (Liviawaty dan Afrianto, 1999).
25
Pada transportasi dengan media air sistem tertutup, ikan diangkut dalam
wadah yang tertutup dengan pemberian gas O2 dalam jumlah terbatas yang telah
diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan selama pengangkutan. Transportasi
dengan media air sistem tertutup biasanya dilakukan untuk mengirim ikan dalam
jumlah yang relatif banyak, pada jarak yang jauh, dan waktu yang relatif lama,
misalnya pada waktu pengiriman ikan hias untuk ekspor (Daelami, 2001).
Wadah yang digunakan pada transportasi dengan media air sistem tertutup
dapat berupa kantung plastik atau kemasan lain yang ditutup rapat. Kepadatan
ikan yang diangkut tergantung volume air, bobot dan ukuran ikan, jarak dan lama
pengangkutan, suplai O2, dan temperatur (Sunyoto, 1993). Pada transportasi
dengan media air sistem terutup, wadah yang biasa atau paling sering digunakan
untuk mengangkut ikan maskoki adalah kantung plastik.
Kantung plastik yang baik digunakan untuk pengangkutan ikan mempunyai
ukuran lebar 50 cm dan ketebalan 0.03 mm. Ada pun cara membuat kantung
plastik tersebut sangat mudah. Lembaran plastik dipotong hingga sepanjang 2 m,
kemudian dilipat menjadi dua bagian yang sama. Bagian lipatan ini selanjutnya
dibuat ikatan (dibundel). Salah satu bagian plastik kemudian dibalik, sehingga
membentuk sebuah kantung rangkap dua.
Pada 1/3 bagian dari volume kantung plastik tersebut diisi dengan air bersih
dan disusul dengan memasukkan ikan – ikan yang akan ditransportasi. Sebelum
diisi gas O2, sebaiknya udara yang terdapat di dalam kantung plastik tersebut
dikeluarkan terlebih dahulu. Volume gas O2 yang diisikan harus mencapai 2/3
bagian dari volume kantung palstik tersebut atau 2 kali volume air. Jumlah ikan
maskoki yang dapat diangkut dengan cara ini jauh lebih banyak. Untuk ikan
maskoki yang berukuran 5 cm dapat diangkut hingga sebanyak 100 ekor. Tetapi
bila untuk mengangkut induk ikan maskoki, jumlahnya tidak boleh melebihi 50
ekor.
Penggunaan kotak karton pada pengangkutan ikan dengan kantung plastik,
sebaiknya pada lapisan dalam karton diberi lapisan atau kemasan dalam (inner
packaging) berupa styrofoam yang agak tebal. Hal tersebut dimaksudkan untuk
mengurangi kontak yang terjadi antara air di dalam kantung dengan temperatur
lingkungannya yang relatif lebih panas. Untuk pengangkutan pada jarak yang
26
lebih jauh, sebaiknya di dalam kemasan styrofoam tersebut diberi potongan –
potongan es batu yang dibungkus dalam kantung plastik kecil. Hal tersebut
bertujuan untuk mencegah peningkatan temperatur air di dalam kantung yang
terlalu cepat. Penggunaan kantung plastik kecil untuk membungkus es bertujuan
agar es yang mencair tidak membasahi kemasan. Jumlah es yang digunakan
sebaiknya tidak melebihi 10% dari berat air dalam kantung plastik tempat ikan.
Untuk meningkatkan daya tahan ikan dan agar kondisi ikan setelah
ditransportasi masih tetap bugar dan sehat, maka sebelum dilakukannya
transportasi dilakukan pemberokan terhadap ikan tersebut. Pemberokan adalah
membiarkan ikan selama beberapa waktu di suatu kolam tanpa diberi pakan.
Tujuan pemberokan adalah untuk mengosongkan makanan yang ada di dalam
lambung dan usus ikan. Dengan demikian, selama dalam pengangkutan, aktivitas
metabolisme ikan akan tetap rendah dan efek keracunan yang disebabkan karena
penimbunan kotoran hasil metabolisme makanan menjadi berkurang.
Penimbunan kotoran hasil metabolisme makanan dapat mengalami proses
pembusukan oleh organisme pengurai. Proses ini selain dapat meracuni ikan itu
sendiri, juga banyak membutuhkan O2, sehingga kandungan O2 di dalam wadah
pengangkutan akan cepat berkurang. Keadaan ini akan sangat membahayakan,
sebab ikan dapat menjadi lemas karena keracunan atau kekurangan O2 sehingga
akhirnya dapat menyebabkan kematian. Untuk pengangkutan jarak jauh, biasanya
ikan diberok terlebih dahulu di dalam kolam khusus selama 1 – 2 hari (Liviawaty
dan Afrianto, 1999).
Salah satu faktor yang banyak mengakibatkan kematian ikan selama
pengangkutan yaitu stres yang umumnya ditimbulkan oleh kepanikkan. Untuk
mengurangi stres, selama dalam wadah pengangkutan sebaiknya ikan dibuat pasif
(Jangkaru, 2003). Masalah yang dihadapi dalam transportasi ikan hidup adalah
bagaimana menekan aktifitas metabolisme ikan agar kebutuhan O2 maupun hasil
metabolismenya sekecil mungkin. Dengan menekan aktifitas metabolisme
serendah mungkin, maka ikan dapat mempertahankan hidupnya lebih lama
(Tseng, 1987).
27
Kandungan O2 terlarut sangat dipengaruhi sekali oleh stres, suhu air, pH,
konsentrasi CO2, dan metabolisme lain. Kadungan O2 terlarut di atas 5 mg/l dapat
menjamin ikan tidak akan mengalami stres dan kandungan O2 terlarut dalam
media pengangkut harus lebih besar dari 7 mg/l dan lebih kecil dari tingkat jenuh
(Piper et al., 1982). Amoniak dan hasil metabolisme ikan lainnya dapat mengubah
nilai pH air media pengangkutan. Nilai pH air yang ideal bagi kehidupan ikan
adalah 6.5 sampai 8.5, namun pH optimal untuk pengangkutan ikan hidup adalah
6 – 7, sedangkan pH yang lebih kecil dari 4 dan lebih besar dari 9 akan
membunuh ikan. Tetapi dalam kondisi pengangkutan, pH air dapat mencapai
antara 5.5 – 6.5 tanpa ada kematian (Wardoyo dan Jokosetyani, 1988). Kadar CO2
terlarut lebih dapat ditoleransi oleh ikan dibandingkan dengan amoniak. Kadar
CO2 sebesar 50 – 100 mg/l dapat membunuh ikan dalam waktu relatif lama dan
kadar CO2 antara 300 – 600 mg/l akan membahayakan ikan dalam transportasi
(Fry dan Norris, 1962).
2. 4. 2. Sistem kering
Transportasi ikan hidup tanpa media air merupakan sistem pengangkutan
ikan hidup dengan media pengangkutan bukan air. Karena tidak menggunakan air,
ikan dibuat dalam kondisi tenang atau akifitas respirasi dan metabolismenya
rendah. Kondisi tersebut dapat dicapai apa bila ikan dalam kondisi pingsan
(imotil) (Wibowo, 1993).
Pemingsanan ikan merupakan suatu tindakan yang membuat kondisi dimana
tubuh ikan kehilangan kemampuan untuk merasa (insensibility). Pada proses
pemingsanan, ikan akan mengalami perubahan fisiologis dari keadaan hidup aktif
menjadi dorman/pingsan. Ketika ikan dalam keadaan pingsan, metabolismenya
berada pada tingkat yang paling rendah dari metabolisme basal, sehingga
kelulusan hidup di luar media air tinggi (Setiabudi et al., 1995).
Pemingsanan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa –
senyawa kimia, suhu dingin, arus listrik, dan penyakit (Anonim, 1980).
Pemingsanan ikan untuk pengangkutan dapat menurunkan laju konsumsi O2,
tingkat laju eksresi karbondioksida, amoniak, dan sisa buangan lainnya (Jhingran
dan Pulin, 1985). Pada pemingsanan udang dengan suhu rendah, udang telah
28
berada pada keadaan pingsan pada suhu 150C. Pada kondisi pingsan tersebut, laju
respirasi udang adalah sebesar 0.02 mg O2/kg/menit. Sedangkan ketika berada
pada kondisi normal atau pada kondisi udang masih dapat bergerak aktif pada
suhu 270C, laju respirasi udang sebesar 0.45 mg O2/kg/menit (Nitibaskara et al.
1997).
Pemingsanan dengan suhu rendah dapat dibagi menjadi dua katagori, yaitu
pemingsanan dengan penurunan suhu secara bertahap dan pemingsanan dengan
suhu rendah secara langsung. Pemingsanan udang dengan penurunan suhu secara
bertahap dilakukan dengan cara menurunkan suhu dengan kecepatan 50C/jam
higga mencapai suhu 150C, dan pada suhu ini udang dipertahankan selama 15
menit. Pemingsanan udang dengan penurunan suhu secara bertahap ini
menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 90% setelah udang tersebut
ditransportasi kering di dalam media serbuk gergaji lembab dingin (140C) selama
22 jam. Pada pemingsanan udang dengan suhu rendah secara langsung dilakukan
dengan cara memasukkan udang secara langsung ke dalam air dingin bersuhu
180C selama 15 menit.
Pemingsanan udang dengan suhu rendah secara langsung ini menghasilkan
tingkat kelulusan hidup sebesar 40% setelah udang tersebut ditransportasi kering
di dalam media serbuk gergaji lembab dingin (140C) selama 22 jam . Dari hasil
penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pemingsanan udang dengan penurunan
suhu secara bertahap menghasilkan tingkat kelulusan hidup lebih baik dari pada
pemingsanan udang dengan suhu rendah secara langsung untuk transportasi udang
hidup tanpa media air (sistem kering) (Nitibaskara et al. 1997).
Kelebihan dalam transportasi ikan hidup tanpa media air antara lain adalah:
1) tidak diperlukan wadah transportasi yang besar, karena ikan yang pingsan tidak
bergerak atau berenang, 2) tidak terjadi kematian akibat kelelahan atau stres
karena getaran dan kebisingan, 3) tidak terjadi kehilangan berat, dan 4) tidak
membuang kotoran dan melakukan aktivitas makan selama pingsan (Ditjen
Perikanan, 1993 dalam Jailani, 2000). Ikan hidup yang akan ditransportasi
dipersyaratkan dalam kondisi sehat atau tidak cacat. Ikan yang kurang sehat atau
lemah mempunyai daya tahan hidup yang rendah dan peluang untuk mati selama
pemingsanan dan pengangkutan lebih besar. Karena itu pemeriksaan kondisi
29
kesehatan ikan selalu dilakukan untuk mengurangi kemungkinan mortalitas yang
tinggi. Sedangkan adanya cacat seperti cacat sirip, mata, kulit rusak, dan
sebagainya dapat menurunkan harga jual.
Pada pengangkutan sistem kering diperlukan media pengisi sebagai
pengganti air. Bahan pengisi tersebut harus dapat ditempatkan di antara ikan
hidup dalam kemasan untuk menahan ikan dalam posisinya. Bahan pengisi
tersebut juga harus mampu menjaga suhu ruang penyimpanan agar tetap rendah
sehingga ikan tetap immotil serta memberi kelembaban yang memadai untuk
kelangsungan hidupnya (Wibowo, 1993).
Proses pertukaran gas secara difusi oleh ikan juga dapat terjadi di dalam
media lingkungan dingin dan lembab yang bukan air. Hal tersebut memungkinkan
karena media bukan air yang lembab memberikan suasana lembab dan basah di
daerah sekitar insang, sehingga titik – titik air yang menempel pada insang
menjadi media pertukaran gas secara difusi dengan lingkungan sekitar.
Pada penelitian Irania (2003), dilakukan pengukuran laju penurunan
konsentrasi O2 pada media serbuk gergaji dingin dan lembab yang mengemas ikan
mas, ikan patin, ikan lele, dan udang windu di dalam beberapa kotak styrofoam
yang berbeda. Ikan mas, ikan patin, ikan lele, dan udang windu yang dikemas di
dalam kotak styrofoam bermedia pengisi serbuk gergaji dingin dan lembab
tersebut, telah berada dalam keadaan pingsan. Suhu media serbuk gergaji dingin
merupakan suhu yang terbaik untuk penyimpanan dari masing – masing jenis ikan
yang diperoleh dari hasil pengujian sebelumnya.
Ikan mas yang telah berada dalam kondisi pingsan, di kemas di dalam
kemasan boks styrofoam berisi media serbuk gergaji dingin (140C) dan lembab,
kemudian boks styrofoam tersebut didiamkan pada suhu kamar selama 5 jam.
Hasil pengukuran menunjukkan laju penurunan konsentrasi O2 yang terjadi di
dalam kemasan boks styrofoam adalah sebesar 0.082% per jam. Pada kondisi
tersebut, setelah penyimpanan selama 5 jam, tingkat kelulusan hidup ikan mas
hanya 59.83%. Sedangkan bila kemasan boks styrofoam berisi ikan mas tersebut
disimpan di dalam peti kemas yang suhu ruangnya relatif stabil pada 140C, maka
laju penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan boks styrofoam hanya sebesar
30
0.022% per jam, dan kelulusan hidup ikan yang dihasilkannya cukup tinggi yaitu
sebesar 93.3%.
Ikan patin yang telah berada dalam kondisi pingsan, di kemas di dalam
kemasan boks styrofoam berisi media serbuk gergaji dingin (170C) dan lembab,
kemudian boks styrofoam tersebut didiamkan pada suhu kamar selama 3 jam.
Hasil pengukuran menunjukkan laju penurunan konsentrasi O2 yang terjadi di
dalam kemasan boks styrofoam adalah sebesar 0.1% per jam. Pada kondisi
tersebut, setelah penyimpanan selama 3 jam, tingkat kelulusan hidup ikan patin
hanya sebesar 33.3%. Sedangkan bila kemasan boks styrofoam berisi ikan patin
tersebut disimpan di dalam peti kemas yang suhu ruangnya relatif stabil pada
170C, maka laju penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan boks styrofoam
hanya sebesar 0.036% per jam, dan kelulusan hidup ikan yang dihasilkannya lebih
tinggi yaitu sebesar 90.6%.
Ikan lele yang telah berada dalam kondisi pingsan, di kemas di dalam
kemasan boks styrofoam berisi media serbuk gergaji dingin (140C) dan lembab,
kemudian boks styrofoam tersebut didiamkan pada suhu kamar selama 15 jam.
Hasil pengukuran menunjukkan laju penurunan konsentrasi O2 yang terjadi di
dalam kemasan boks styrofoam adalah sebesar 0.2% per jam. Pada kondisi
tersebut, setelah penyimpanan selama 15 jam, tingkat kelulusan hidup ikan lele
sebesar 87.5%. Sedangkan bila kemasan boks styrofoam berisi ikan lele tersebut
disimpan di dalam peti kemas yang suhu ruangnya relatif stabil pada 140C, maka
laju penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan boks styrofoam hanya sebesar
0.015% per jam, dan kelulusan hidup ikan yang dihasilkannya juga lebih tinggi
yaitu sebesar 93.33%.
Udang windu yang telah berada dalam kondisi pingsan, di kemas di dalam
kemasan boks styrofoam berisi media serbuk gergaji dingin (170C) dan lembab,
kemudian boks styrofoam tersebut didiamkan pada suhu kamar selama 15 jam.
Hasil pengukuran menunjukkan laju penurunan konsentrasi O2 yang terjadi di
dalam kemasan boks styrofoam adalah sebesar 0.15% per jam. Pada kondisi
tersebut, setelah penyimpanan selama 15 jam, tingkat kelulusan hidup udang
windu hanya sebesar 60%. Sedangkan bila kemasan boks styrofoam berisi udang
windu tersebut disimpan di dalam peti kemas yang suhu ruangnya relatif stabil
31
pada 170C, maka laju penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan boks styrofoam
hanya sebesar 0.012% per jam, dan kelulusan hidup ikan yang dihasilkannya juga
lebih tinggi yaitu sebesar 84.17%.
Pola suhu kemasan sangat dipengaruhi oleh suhu awal bahan pengisi dan
suhu lingkungan. Menurut Setyowati (1995), jika perbedaan antara suhu kemasan
dan suhu lingkungan terlalu besar, maka kenaikan suhu kemasan lebih cepat
terjadi. Kelulusan hidup ikan selama transportasi sistem kering sangat dipengaruhi
oleh suhu ruang penyimpanan, termasuk suhu media pengisi.
Irania (2003) melaporkan bahwa ikan lele dengan berukuran 6 ekor/kg yang
dipingsankan secara bertahap hingga suhu 100C, lalu diteletakkan dalam kemasan
styrofoam tipe rak bermedia pengisi serbuk gergaji dan ditransportasi (statis)
selama 10 jam dalam peti kemas bersuhu ruang 120C, menghasilkan tingkat
kematian sebesar 86% dan hampir semua ikan lele yang mati menunjukkan kulit
yang pucat dan tubuh berwarna merah karena pecahnya pembuluh darah.
Sedangkan pada suhu ruang penyimpanan 140C dan 150C menghasilkan tingkat
kelulusan hidup 100%.
Pada ikan patin dengan ukuran 5 ekor/kg yang dipingsankan secara bertahap
hingga suhu 130C, lalu diletakkan dalam kemasan styrofoam tipe rak bermedia
pengisi serbuk gergaji dan ditransportasi (statis) selama 3 jam, menghasilkan
kelulusan hidup sebesar 30% di dalam peti kemas bersuhu ruang 140C. Pada peti
kemas bersuhu ruang 170C, menghasilkan kelulusan hidup sebesar 92.3%.
Sedangkan Pada peti kemas bersuhu ruang 180C menghasilkan kelulusan hidup
sebesar 48.2%.
Pada ikan mas dengan ukuran 5 ekor/kg yang dipingsankan secara bertahap
hingga suhu 7.70C, lalu diletakkan dalam kemasan styrofoam tipe rak bermedia
pengisi serbuk gergaji dan ditransportasi (statis) selama 5 jam, menghasilkan
kelulusan hidup sebesar 25% dalam peti kemas bersuhu ruang 130C. Pada peti
kemas bersuhu ruang 140C menghasilkan kelulusan hidup sebesar 92.3%.
Sedangkan pada peti kemas bersuhu ruang 150C menghasilkan kelulusan hidup
sebesar 50%.
32
Dari hasil penelitian Syuaib (2002) didapatkan bahwa ikan lele berukuran
3 ekor/kg yang dipingsankan secara bertahap hingga suhu 100C, lalu diteletakkan
dalam kemasan styrofoam tipe rak bermedia pengisi serbuk gergaji dan
ditransportasi (statis) selama 2 jam dalam peti kemas bersuhu ruang 170C
menghasilkan tingkat kelulusan 80%. Sedangkan untuk transportasi (statis) pada
suhu ruang 150C selama 10 jam menghasilkan tingkat kelulusan 100%.
Ikan patin dengan ukuran 3 ekor/kg yang dipingsankan secara bertahap
hingga suhu 130C, lalu diteletakkan dalam kemasan styrofoam tipe rak bermedia
pengisi serbuk gergaji lembab dan dingin (130C), kemudian ditransportasi (statis)
selama 16 jam dalam peti kemas bersuhu ruang 150C, menyebabkan seluruh ikan
(7 ekor) mati dalam keadaan kulit pucat, kaku, dan sirip berwarna merah. Pada
transportasi selama 3 jam dengan suhu ruang 170C dan suhu serbuk gergaji 150C
menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 77.78% dari 9 ekor yang
digunakan, tetapi dalam kondisi yang sangat lemah.
Prasetyawati (1994) juga melaporkan bahwa ikan gurame dengan ukuran
500 – 600 gram/ekor yang telah ditenangkan pada suhu 200C selama 6 jam, lalu
dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap sampai suhu 120C,
mempunyai tingkat kelulusan hidup 100% setelah ditransportasi selama 2 jam,
58.34% setelah ditransportasi selama 4 jam, dan 33.33% setelah ditransportasi
selama 6 jam. Ikan gurame tersebut dikemas dalam kotak styrofoam yang terdiri
dari kotak inner dan outer. Ikan gurame yang pingsan diletakkan berlapis – lapis
dengan media serutan kayu lembab bersuhu 120C, lalu diantara kotak inner dan
outer diisi serutan kayu dan hancuran es batu.
Dari hasil penelitian Jailani (2000) dilaporkan bahwa ikan mas berukuran
125 – 200 gram/ekor yang dipingsankan dengan suhu rendah secara bertahap
sampai 80C, lalu ikan tersebut dibungkus dengan pelepah pisang dan dikemas
dalam kotak styrofoam yang terlebih dulu alasnya diberi lapisan es dan pelepah
pisang, menghasilkan kelulusan hidup 100% setelah ditransportasi (statis) selama
6 jam. Suhu ruang yang terukur dalam kemasan tersebut adalah ±140C.
33
2. 5. Kemasan Transportasi
Para petani ikan di Indonesia mengawetkan ikan dengan es di dalam kotak
pendingin (cool box). Pengawetan dengan cool box ini menggunakan insulator
dari bahan plastik busa putih atau styrofoam setebal 2.5 cm (sigit, 1986). Sifat
insulator dari styrofoam ini terjadi karena konduktifitas dari styrofoam yang relatif
rendah jika dibandingkan dengan bahan – bahan yang lain, yaitu sebesar 0.433
W/moK (Geankoplis, 1987).
Faktor yang memegang peranan penting dalam mempertahankan mutu ikan
adalah konstruksi peti kemas dan bahan isolasi yang dipakai untuk menyimpan
dan mengangkut ikan. Masing – masing sisi peti terdiri atas tiga lapis bahan yang
berbeda – beda. Lapisan luar dapat terbuat dari lembaran plastik, papan kayu, plat
logam (seng atau alumunium), atau kombinasi dari bahan – bahan tersebut.
Lapisan isolasi tengah berupa isolator seperti polystyrena atau styrofoam. Lapisan
dalam atau lining terbuat dari lembaran plastik, pelat logam, seng, atau
alumunium.
Untuk tujuan pengangkutan, wadah berisolasi ini dapat dibuat berbentuk peti
(cool box) yang tidak terlalu berat dan terlalu besar. Tinggi peti dibuat sedemikian
rupa sehingga tinggi tumpukan ikan dan es di dalamnya tidak melebihi 50 cm.
Sedangkan untuk tujuan penyimpanan, cool box, dapat dibuat dari peti kayu
berisolasi yang lebih besar karena peti ini biasanya tidak dipindah – pindahkan.
Selain itu lapisan isolasinya harus lebih tebal, yaitu kurang lebih 10 cm
(soeseno, 1983).
Pada pengangkutan ikan hidup sistem kering digunakan kotak styrofoam
sebagai kemasan dalam (inner packaging), kemudian kotak styrofoam tersebut
dilapisi kotak karton sebagai kemasan luarnya (outter packaging). Lapisan paling
bawah diisi serbuk gergaji yang telah didinginkan, lalu ikan yang telah
dipingsankan disusun di atasnya, dan kemudian ikan tersebut ditutupi dengan
serbuk gergaji yang sama. Hal tersebut terus dilakukan sampai kotak styrofoam
penuh (Tseng, 1987).
34
Tipe kemasan dengan rak merupakan tipe yang bagus untuk kemasan dingin
ikan hidup yang terdiri atas dinding kemasan dari kotak styrofoam dan kotak
karton berukuran 30 x 30 x 50 cm3. Isi kotak terdiri atas ikan, bahan pengisi, dan
rak plastik. Efisiensi kemasan tersebut 70% dan biaya materi kemasan 5% dari
harga ikan hidup yang dikemas (Soekarto dan Wibowo, 1993).
Dari seleksi susunan dan kontruksi kemasan terhadap kemasan bertingkat,
kemasan berlapis, dan kemasan rak, ternyata kemasan yang paling optimum untuk
pengemasan ikan hidup adalah kemasan rak, dengan efisiensi kemasan sebesar
44.25% dan kapasitas panasnya sebesar 122.6 KJ. Kemasan bertingkat meski pun
memiliki kapasitas panas yang tinggi (150.8 KJ), tetapi mempunyai efisiensi
paling rendah (31.19%), sedangkan kemasan berlapis mempunyai nilai efisiensi
kemasan paling tinggi (50%), tetapi nilai kapasitas panasnya paling rendah (103.9
KJ), sehingga kedua konstruksi kemasan ini kurang efektif digunakan sebagai
pengemas (Prasetyo, 1993).
Kotak styrofoam dapat digunakan sebagai kemasan primer (kemasan dalam)
dalam pengangkutan ikan hidup, untuk menghindari penetrasi panas yang dapat
merubah suhu di dalam kotak pengemas (Prasetyo, 1993). Istilah teknis styrofoam
adalah foamed polystyrene (FPS) atau expanded polystyren. Sifat insulator dari
styrofoam ini terjadi karena konduktifitas dari styrofoam tersebut yang relatif
rendah jika dibandingkan dengan bahan – bahan yang lain (Ilyas, 1983). Sifat –
sifat penting dari styrofoam sebagai bahan insulasi dapat dilihat pada Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1. Sifat – sifat styrofoam sebagai bahan insulasi
Sifat styrofoam
Nilai
3
Densitas (Kg/m )
15 – 30
0
Konduktifitas panas (kkal/m jam C)
0.030
Ketahanan terhadap masuknya air
Baik
Ketahanan terhadap api
Jelek
3
Kekuatan kompresi (Kg/m )
Sumber: Ilyas (1983)
2000
35
2. 6. Media Pengisi Kemasan
Media pengisi kemasan adalah bahan yang dapat ditempatkan di antara ikan
hidup dalam kemasan untuk menahan atau mencekal ikan dalam posisinya. Media
pengisi kemasan berfungsi untuk menahan ikan agar tidak bergeser di dalam
kemasan, menjaga suhu lingkungan di dalam kemasan tetap rendah agar ikan tetap
berada dalam kondisi pingsan, serta memberi lingkungan udara dan RH yang
memadai untuk kelangsungan hidupnya.
Media pengisi kemasan atau bahan pengisi yang biasa digunakan dalam
pengemasan adalah serbuk gergaji, serutan kayu, kertas koran, sekam padi,
rumput laut Gracilaria tambak, Gracilaria laut, rumput laut Euchema, atau
bahkan karung goni. Namum penggunaan karung goni sudah ditinggalkan karena
hasilnya kurang bagus. Jenis serbuk gergaji atau serutan kayu yang digunakan
tidak spesifik, tergantung bahan yang tersedia. Dari berbagai jenis bahan pengisi
tersebut, ternyata sekam padi dan serutan kayu merupakan media kemasan yang
terbaik untuk ikan yang dikemas hidup karena memiliki karakteristik berongga,
kuat mencekal ikan dalam kemasan, mempunyai kapasitas panas yang memadai,
tidak beracun, dan memberi lingkungan RH tinggi. Stabilitas suhu isi kemasan
dengan bahan pengisi sekam padi dapat mencapai 16 jam.
Sekam padi dan serbuk gergaji adalah media pengisi kemasan yang paling
efektif dan efisien untuk pengemasan ikan hidup. Hal tersebut disebabkan karena
teksturnya yang baik (seragam) dan nilai ekonomisnya yang rendah. Bahan
pengisi kemasan serutan kayu kurang efektif, karena dapat menimbulkan
kerusakan fisik pada ikan selama pengemasan, sedangkan rumput laut Gracilaria
dan Euchema kurang efektif digunakan sebagai bahan pengisi karena dapat
menimbulkan lendir dan bau basi setelah 46 jam digunakan (Soekarto dan
Wibowo, 1993).
Menurut Prasetyo (1993), bahan pengisi yang paling baik adalah sekam padi
dan serbuk gergaji karena teksturnya seragam dan nilai ekonomisnya rendah.
Serutan kayu dinilai kurang efektif karena dapat menimbulkan kerusakan fisik,
sedangkan rumput laut dapat menimbulkan lendir atau bau basi setelah 48 jam
digunakan. Keunggulan media serbuk gergaji terutama terlihat pada performa
mempertahankan suhu. Serbuk gergaji mampu mempertahankan suhu rendah
36
sampai 9 jam tanpa bantuan es dan tanpa beban di dalamnya. Kondisi ini
ditampilkan oleh serbuk gergaji yang dilembabkan dengan air laut dengan
perbandingan 4 : 3 (serbuk gergaji : air) (Utomo et al., 1998).
Dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Prasetyo (1993), diketahui
bahwa nilai panas jenis dan nilai kapasitas panas terbesar dimiliki oleh kemasan
dengan bahan pengisi serbuk gergaji, yaitu 2942.6 J/Kg 0C untuk panas jenis dan
3156.6 KJ untuk nilai kapasitas panas. Hal tersebut terjadi karena kadar air serbuk
gergaji yang tinggi. Kecilnya partikel – partikel serbuk gergaji menyebabkan
molekul air yang terikat pada permukaan partikel serbuk gergaji semakin besar.
Pada sekam padi, jika dibandingkan dengan serutan kayu, meski pun nilai
panas jenisnya lebih rendah (2313.1 J/Kg 0C) jika dibandingkan dengan panas
jenis dari serutan kayu (2670.7 J/Kg 0C), tetapi karena densitas kamba dari sekam
padi lebih besar dari serutan kayu, maka berat sekam padi yang dikemas pun
menjadi lebih besar dari pada berat berat serutan kayu yang dikemas. Hal tersebut
mempengaruhi nilai kapasitas panas yang dihasilkan, sehingga kemasan dengan
bahan pengisi sekam padi mempunyai nilai kapasitas panas yang lebih besar yaitu
1134.6 KJ, jika dibandingkan dengan serutan kayu yang mempunyai nilai sebesar
949.7 KJ.
Pada pengukuran yang dilakukan oleh Prasetyo (1993) tersebut, panas jenis
dari masing – masing bahan pengisi yang diukur, diperbesar oleh panas jenis air
yang terserap selama perendaman. Mohsein (1980) menyatakan bahwa nilai dari
panas jenis bahan hasil pertanian lebih banyak dipengaruhi oleh kadar air dan
struktur fisik dari bahan tersebut, dari pada pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu.
37
III. METODE PENELITIAN
3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ergonomika dan Elektronik,
Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Darmaga Bogor.
Penelitian ini dilaksanakan mulai pada bulan Januari 2007 sampai pada bulan
Januari 2008.
3. 2. Bahan dan Alat
3. 2. 1. Bahan
3. 2. 1. 1. Ikan maskoki
Pada penelitian ini digunakan ikan maskoki yang merupakan varietas Tosa
atau Kokitosa (veiltail). Ikan maskoki ini diperoleh dari pedagang ikan hias di
kawasan pasar Parung, Kabupaten Bogor. Ikan yang digunakan dipilih yang
kondisinya sehat dan tidak cacat. Ukuran ikan yang digunakan mempunyai pajang
baku ± 5 cm (panjang dari kepala hingga pangkal ekor) dengan berat 11 – 12
gram per ekornya.
Gambar 9. Ikan maskoki (carassius auratus Linnaeus)
38
3. 2. 1. 2. Kemasan dan media pengisi
Bahan yang digunakan untuk membuat kemasan adalah busa styrofoam.
Terdapat dua jenis kemasan styrofoam yang dibuat untuk digunakan pada
penelitian ini, yaitu kemasan rak biasa dan kemasan rak berisi udara. Pada kedua
jenis kemasan tersebut terdapat sirip – sirip dengan tebal 3 cm pada setiap sisi –
sisinya. Sirip – sirip tersebut berfungsi untuk memberi ruang di antara tumpukan tumpukan/susunan – susunanan kemasan di dalam peti kemas, agar udara dingin
dari sistem refrigrasi peti kemas dapat menjangkau setiap sisi tumpukan tumpukan/susunan – susunanan kemasan tersebut.
Di dalam kedua jenis kemasan tersebut terdapat susunan rak – rak styrofoam
yang dapat memuat busa (media pengisi) dan ikan. Pada bagian alas setiap rak
tersebut terdapat lubang – lubang kecil yang berfungsi untuk mengeluarkan
tetesan – tetesan air dari busa yang lembab. Tetesan – tetesan air yang keluar dari
busa lembab pada setiap rak tersebut, ditampung pada ruang yang disebut “drip
space” yang terdapat pada bagian paling bawah pada kedua jenis kemasan
tersebut.
Rak – rak yang terdapat pada jenis kemasan rak biasa, mempunyai ukuran
dimensi ( p x l x t) dalam: 26 x 20 x 6.5 (cm3) dan ukuran dimensi luar: 30 x 20 x
8.5 (cm3). Bentuk rak tersebut dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
Gambar 10. Rak pada jenis kemasan rak biasa
39
Rak – rak yang digunakan pada kemasan rak berisi udara, pada kedua
sisinya terdapat penyanggah dari styrofoam yang memiliki lubang – lubang kecil.
Sisi penyanggah ini berfungsi untuk mencegah jatuhnya ikan dan busa keluar dari
rak, karena di dalam kemasan rak berisi udaraterdapat celah yang berisi udara
dengan komposisi O2 yang telah diatur. Sedangkan lubang – lubang kecil pada
penyanggah tersebut berfungsi sebagai celah/tempat untuk keluar – masuknya
aliran gas yang terdapat di dalam kemasan ke dalam rak Rak – rak yang terdapat
pada jenis kemasan rak berisi udaramempunyai ukuran dimensi ( p x l x t) dalam:
26 x 20 x 6.5 (cm3) dan ukuran dimensi luar: 30 x 24 x 8.5 (cm3). Bentuk rak
tersebut dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini.
Gambar 11. Rak pada jenis kemasan rak berisi udara
Kemasan rak biasa mempunyai ukuran dimensi luar: 36 x 25.5 x 28 (cm3)
dan ukuran dimensi dalam: 30 x 20 x 21 (cm3). Kemasan ini dapat memuat dua
susun rak, yang mana masing – masing rak dapat memuat 10 ekor ikan. Sehingga
sebuah kemasan rak biasa dapat memuat 20 ekor ikan. Pada penelitian ini
digunakan tiga buah kemasan rak biasa untuk sekali ulangan. Bentuk luar
kemasan rak biasa tersebut dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah ini.
40
Gambar 12. Kemasan rak biasa
Kemasan rak berisi udara mempunyai ukuran dimensi luar: 36 x 35 x 68
(cm 3) dan ukuran dimensi dalam: 30 x 30 x 65 (cm3). Kemasan ini dapat memuat
enam susun rak, masing – masing rak memuat 10 ekor ikan. Sehingga sebuah
kemasan rak berisi udara dapat memuat 60 ekor ikan. Lain halnya dengan jenis
kemasan rak biasa, jenis kemasan rak berisi udara mempunyai ruang kosong atau
celah pada bagian dalamnya setelah diisi penuh dengan rak. Ruang kosong ini
berfungsi sebagai tempat untuk udara yang sengaja dimasukkan ke dalam
kemasan, yang mana komposisi O2 pada udara tersebut telah diatur sebelumnya.
Pada penelitian ini digunakan satu buah kemasan rak berisi udara untuk sekali
ulangan. Bentuk luar kemasan rak berisi udara dapat dilihat pada Gambar 13 di
bawah ini. Sketsa jenis kemasan rak biasa dan kemasan rak berisi udara dapat
dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.
Gambar 13. Kemasan rak berisi udara
41
Media pengisi yang digunakan adalah busa dengan berat ± 0.031 gram per
cm3. Busa yang digunakan sebagai media pengisi mempunyai dimensi 25 x 19 x
1 cm3. Terdapat dua jenis busa yang digunakan sebagai media pengisi pada setiap
susunan rak di dalam setiap kemasan. Dua jenis busa tersebut mempunyai ukuran
dimensi yang sama. Jenis busa yang pertama berfungsi sebagai alas tempat di
mana ikan yang telah pingsan diletakkan dan jenis busa yang kedua berfungsi
untuk menutupi ikan yang terdapat pada setiap rak di dalam kemasan.
Busa yang digunakan sebagai alas tempat diletakkannya ikan mempunyai
sekat – sekat dengan tinggi 1 cm. Sekat – sekat ini berfungsi untuk mencegah
menumpuknya ikan di dalam kemasan. Busa merupakan media pengisi yang dapat
mempertahankan dingin dan kelembaban dengan baik, karena mempunyai daya
serap air yang baik. Selain itu busa tersebut mempunyai bobot yang ringan
sehingga akan memperbesar nilai efisiensi kemasan. Sebelum digunakan, busa
tersebut dicuci sampai bersih lalu dikeringkan. Kemudian busa tersebut
didinginkan dan dilembabkan sesuai dengan suhu penyimpanan, sebelum
digunakan sebagai media pengisi.
Busa yang digunakan pada penelitian ini, diperoleh dari penjual busa jok di
daerah Empang, Sukasari, Bogor. Bentuk busa yang digunakan sebagai tempat
diletakkannya ikan dapat dlihat pada gambar 14 dan bentuk busa yang digunakan
sebagai penutup di mana ikan diletakkan, dapat dilihat pada Gambar 15 di bawah
ini.
Gambar 14. Busa tempat diletakkannya ikan
42
Gambar 15. Busa untuk menutupi ikan
3. 2. 1. 3. Gas O2, CO2, N2 murni
Pada jenis kemasan rak berisi udara, di dalam kemasannya diisikan dengan
udara yang mana komposisi gas O2, CO2, dan N2 pada udara tersebut telah diatur
sebelumnya. Sebelum udara dengan komposisi gas O2, CO2, dan N2 tertentu
tersebut dimasukkan, udara awal yang terdapat di dalam kemasan dikeluarkan
(divakumkan) terlebih dulu. Gas N2 merupakan gas inert yang berfungsi untuk
mengatur konsentrasi gas O2 dan CO2 yang dimasukkan ke dalam kemasan rak
berisi udara. Gas – gas O2, CO2, dan N2 tersebut diperoleh dari tabung – tabung
seperti pada Gambar 16 di bawah ini.
Gambar 16. Tabung – tabung gas O2, CO2, dan N2
43
3. 2. 2. Alat
3. 2. 2. 1. Water chiller
Water chiller berfungsi sebagai alat untuk memingsankan ikan dengan shok
suhu rendah. Pada water chiller ini terdapat pompa untuk menghisap air melalui
selang dari bak pemingsanan berisi ikan menuju ke dalam evaporator di dalam
water chiller tersebut, lalu air yang telah didinginkan dikeluarkan lagi melalui
selang lainnya menuju ke dalam bak berisi ikan. Pada water chiller juga terdapat
thermostat yang dapat mengatur pada suhu berapa kerja kompresor harus berhenti
sehingga penurunan suhu dapat dikontrol. Bentuk dari pada Water chiller dapat
dilihat pada Gambar 17 di bawah ini.
Gambar 17. Water chiller
3. 2. 2. 2. Bak pemingsanan ikan
Bak pemingsanan berfungsi sebagai tempat menampung ikan ketika ikan
tersebut dipingsankan. Bak ini terbuat dari bahan stainless steel untuk mencegah
terjadinya karat pada bak tersebut. Bahan stainless steel tersebut juga dapat
meratakan suhu dingin di bagian dalam bak. Pada bagian luar bak tersebut dilapisi
oleh lembaran styrofoam yang berfungsi untuk mencegah penetrasi panas dari
lingkungan di sekeliling bagian luar bak ke dalam bagian bak, karena stainless
steel merupakan bahan konduktor yang baik. Bentuk dari pada bak pemingsanan
ikan dapat dilihat pada Gambar 18 di bawah ini.
44
Gambar 18. Bak pemingsanan ikan
3. 2. 2. 3. Peti kemas
Peti kemas berfungsi untuk memuat kemasan – kemasan styrofoam berisi
ikan yang telah dipingsankan. Selama dilakukannya transportasi (statis) pada
selang waktu tertentu, kemasan – kemasan styrofoam berisi ikan tersebut
disimpan di dalam peti kemas ini. Peti kemas ini terbuat dari alumunium dengan
lapisan styrofoam di antara lapisan alumunium tersebut. Peti kemas ini
mempunyai dimensi dalam berukuran: 130 x 90 x 90 (cm3). Peti kemas ini
dilengkapi oleh sistem refrigrasi yang dapat menjaga suhu di dalam peti kemas
tersebut tetap rendah. Kestabilan suhu di dalam peti kemas ini diatur oleh alat
yang disebut thermostat. Bentuk dari pada peti kemas dapat dilihat pada Gambar
19 di bawah ini.
Gambar 19. Peti kemas
45
3. 2. 2. 4. Gases mixer
Gases mixer berfungsi untuk mengatur konsentrasi gas O2 yang masuk ke
dalam kemasan rak berisi udara, setelah udara awal yang terdapat dalam kemasan
tersebut dikeluarkan (divakumkan). Konsentrasi gas O2 diatur dengan cara
mengatur konsentrasi gas CO2 dan N2 yang ikut masuk ke dalam kemasan
tersebut. Bentuk dari pada gases mixer dapat dilihat pada Gambar 20 di bawah ini.
Gambar 20. Gases mixer
3. 2. 2. 5. Chinorecorder
Chinorecorder berfungsi untuk mencatat data suhu di dalam kemasan
selama ikan ditransportasi (statis). Pada chinorecorder ini terdapat kabel – kabel
yang dihubungkan ke beberapa titik di dalam kemasan dan satu titik di dalam peti
kemas. Kabel – kabel tersebut merupakan sensor suhu yang disebut thermocopel.
Thermocopel tersebut mengambil data suhu dari titik tengah media pengisi busa
yang merupakan alas tempat peletakan ikan di dalam rak – rak pada setiap
kemasan. Thermocopel tersebut juga mengambil data suhu ruang di dalam peti
kemas selama waktu transportasi. Data – data suhu yang diambil thermocopel
tersebut kemudian diterima dan dicatat oleh chinorecorder dalam bentuk plot titik
– titik suhu dengan jedah waktu pencatatan 25 mm per detik. Setiap data suhu
yang dicatat dari titik – titik thermocopel yang berbeda, ditandai dengan warna
plot titik – titik yang berbeda pula pada chart pada chinorecorder. Bentuk dari
pada chinorecorder dapat dilihat pada Gambar 21 di bawah ini.
46
Gambar 21. Chinorecorder
3. 2. 2. 6. Akuarium dan aerator
Akuarium digunakan sebagai tempat pemeliharaan ikan selama penelitian
berlangsung. Pada penelitian ini juga dibutuhkan dua buah aerator, masing –
masing aerator 180 Watt dan 60 Watt. Aerator 180 Watt digunakan untuk
menggerakkan sistem filtrasi air secara sirkulasi dan berfungsi sebagai penyedia
O2 terlarut pada air di tempat pemeliharaan ikan. Sedangkan aerator 60 Watt
digunakan sebagai perata suhu dan penyedia O2 terlarut pada air di dalam bak
pemingsanan ikan. Bentuk dari pada akuarium dan kedua buah aerator tersebut
dapat dilihat pada Gambar 22 di bawah ini.
Gambar 22. Akuarium, aerator 180 Watt, dan aerator 60 Watt
47
3. 3. Tahapan dan Prosedur Penelitian
Sebelum penelitian dilaksanakan, persiapan terhadap ikan maskoki terlebih
dulu dilakukan. Ikan maskoki yang terdapat pada pedagang ikan, telah
ditempatkan di dalam kantung – kantung plastik yang berisi O2. Pengangkutan
ikan maskoki ke laboratorium dilakukan dengan cara membawa katung – katung
plastik tersebut. Sesampainya di laboratorium, ikan diaklimatisasi dan ditampung
di akuarium untuk penyesuaian dan pemulihan kondisi. Aklimatisasi merupakan
proses pengadaptasian oleh ikan terhadap beberapa variabel di lingkungan yang
berbeda atau baru, misalnya suhu, salinitas, kekeruhan, kandungan O2, kandungan
amoniak, dan sebagainya.
Respon fisiologis suatu organisme untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan beberapa faktor lingkungan disebut dengan istilah aklimatisasi,
sedangkan respon fisiologis suatu organisme untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan satu faktor lingkungan disebut dengan istilah aklimasi (Rankin dan
Jensen, 1993).
Aklimatisasi diawali dengan cara menaruh kantung plastik yang masih berisi
ikan di atas air yang terdapat di akuarium. Setelah 6 jam, kantung tersebut dibuka
dan digulung. Kemudian biarkan air dari akuarium sedikit demi sedikit bercampur
dengan air yang ada di dalam kantung, hingga ikan yang terdapat di dalam
kantung tersebut keluar dengan sendirinya ke dalam akuarium.
Air yang terdapat di dalam akuarium tersebut diberikan aerasi yang cukup
selama dilakukannya proses aklimatisasi. Aerasi tersebut selain berfungsi untuk
mencukupi pasokan O2 pada air di dalam akuarium, juga berfungsi untuk
mencampurkan sedikit – demi sedikit air yang terdapat di dalam akuarium dengan
air yang terdapat di dalam kantung plastik ikan. Bercampurnya air yang terdapat
di dalam akuarium dengan air yang terdapat di dalam kantung plastik ikan sedikit
– demi sedikit, membuat ikan dapat beradaptasi secara perlahan - lahan dengan
kondisi air yang terdapat di dalam akuarium, sehingga tidak menimbulkan shok
dan stres pada ikan tersebut. Untuk lebih jelasnya, proses aklimatisasi ini dapat
dilihat pada Gambar 23 di bawah ini.
48
Gambar 23. Proses aklimatisasi pada ikan
Air yang digunakan pada penelitian ini, baik untuk menampung ikan atau
pun yang digunakan pada setiap tahapan perlakuan, diperoleh dari air sumur yang
ditampung di dalam tandon – tandon yang terdapat pada gedung Fateta. Air yang
terdapat pada tandon tersebut diambil pada saat malam hari atau pagi hari. Hal
tersebut dilakukan untuk mencegah terbawanya partikel – partikel terlarut yang
dapat menyebabkan kekeruhan, saat pengambilan air. Karena pada saat malam
hari atau pagi hari, pompa yang menghisap air dari sumur tidak sedang bekerja,
sehingga pada saat tersebut partikel – partikel yang terlarut di dalam air sumur
mengendap di dalam tandon dan air yang diambil pada saat tersebut pun bersih
dan jernih. Air tesebut kemudan ditampung di dalam bak – bak alumunium.
49
Air yang telah ditampung di dalam bak – bak alumunium tersebut belum
dapat langsung digunakan. Air tersebut terlebih dahulu harus diberi obat
(malachyte green – formaline) sebanyak 5 ppm. Malachyte green – formaline
tersebut digunakan untuk membunuh bakteri, parasit, virus, bahkan spora bakteri
dan spora parasit. Setelah diberi malachyte green – formaline, air tampungan
tersebut harus diaerasi kuat minimal selama 1 x 24 jam sebelum digunakan.
Pemberian aerasi tersebut dilakukan untuk mendapatkan oksigen terlarut yang
cukup sebelum digunakan.
Daelami (2002) menyatakan bahwa formaline (formaldehid murni/pro
analisis) sebanyak 25 mg/l atau 2.5 ml formaline dicampur dengan 100 l air bersih
sangat ampuh untuk membunuh parasit lerneae pada stadia nauplius mau pun
lerneae dewasa. Sedangkan malachyte green pada konsentrasi sebesar 0.15 ppm
atau 150 mg malachyte green yang dicampurkan ke dalam 1000 l air bersih,
sangat ampuh untuk membunuh parasit jamur. Terdapat dua genus jamur yang
paling dikenal sebagai parasit ikan, yaitu jamur Achlya dan Saprolegnia.
Akuarium yang digunakan untuk penampungan ikan dilengkapi dengan
sistem filtrasi, sehingga air pada akuarium tersebut selalu terjaga kebersihannya.
Air yang terdapat di dalam akuarium tersebut juga selalu diberikan airasi yang
cukup. Selama di penampungan, ikan diberi pakan pelet dua kali dalam sehari.
Sebelum digunakan dalam penelitian, ikan dipuasakan terlebih dulu selama 24
jam agar metabolismenya rendah ketika dipingsankan dan ditransportasi.
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yang dilakukan untuk:
1) menentukan suhu pemingsanan optimum, 2) menentukan suhu penyimpanan
optimum, 3) mengetahui pengaruh waktu pemingsanan terhadap nilai SR, 4)
mengetahui pengaruh penurunan konsentrasi O2 terhadap nilai SR, dan 5)
menentukan waktu transportasi (statis) optimum. Setiap perlakuan pada tahapan –
tahapan penelitian tersebut terdiri dari tiga kali ulangan, dan setiap ulangannya
digunakan 60 ekor ikan. Sebelum tahapan – tahapan penelitian tersebut dilakukan,
terlebih dulu dilakukan pengujian toksisitas terhadap media pengisi, perhitungan
terhadap daya serap air oleh media pengisi, perhitungan terhadap densitas kamba
media pengisi, dan perhitungan terhadap efisiensi kemasan. Bagan alir (flow
chart) tahapan – tahapan dari penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
50
3. 3. 1. Pengujian toksisitas media pengisi
Pengujian toksisitas media pengisi terhadap kelangsungan hidup ikan sangat
penting dilakukan, mengingat bahan busa belum pernah digunakan sebagai media
pengisi pada penelitian – penelitian sebelumnya. Metode pengujian ini cukup
sederhana, yaitu dengan prosedur sebagai berikut:
1) Ikan maskoki sebanyak 20 ekor dimasukkan ke dalam bak yang berisi 20 l air.
2) Kemudian potongan – potongan busa bersih berukuran 2 x 2 x 1.5 (cm3)
dimasukkan ke dalam bak yang telah berisi ikan. Media pengisi busa tersebut
sengaja dibuat potongan – potongan yang berukuran kecil untuk memperbesar
luas permukaan busa tersebut. Dengan semakin luas permukaan busa yang
dapat kontak dengan air bak yang berisi ikan tersebut, maka diharapkan proses
pengujian toksisitas busa terhadap kehidupan ikan maskoki dapat berjalan
dengan efektif.
3) Setelah potongan – potongan busa dimasukkan ke dalam bak, kemudian
dilakukan pengamatan terhadap tingkah – laku atau kondisi ikan setiap 8 jam
selama 1 x 24 jam.
Jika dalam 1 x 24 jam terdapat ikan dengan tingkah – laku seperti keracunan
(berenang limbung, tidak seimbang, atau terlihat mabok), tubuh ikan berlendir,
atau terdapat ikan yang mati, maka busa tersebut tidak dapat digunakan sebagai
media pengisi. Proses pengujian toksisitas terhadap busa sebagai media pengisi,
dapat dilihat pada Lampiran 2.
3. 3. 2. Daya serap air media pengisi
Daya serap air oleh media pengisi merupakan kemampuan untuk mengikat
kolom air di dalam matriks serat media pengisi (busa). Daya serap air merupakan
persentase dari ratio antara selisih berat basah dan berat kering media pengisi
dengan berat basah atau berat kering suatu media pengisi tersebut. Berat basah ini
merupakan berat basah media pengisi yang telah diperas atau ditiriskan terlebih
dulu sebelum ditimbang. Semakin tinggi daya serap air oleh suatu media pengisi
maka semakin tinggi kapasitas panas (Cp) media pengisi tersebut. Perhitungan
daya serap air dirumuskan sebagai berkut:
51
Daya serap air (%Berat basah) =
Berat basah - Berat kering
× 100
Berat basah
Daya serap air (%Berat kering) =
Berat basah - Berat kering
× 100
Berat kering
3. 3. 3. Densitas kamba media pengisi
Desitas kamba media pengisi merupakan perbandingan antara berat media
pengisi (basah) dengan volumenya. Densitas kamba menunjukkan sifat berongga
bahan pengisi. Jika densitas kamba suatu bahan rendah, bahan tersebut bersifat
voluminuous sehingga jika digunakan sebagai media transportasi akan lebih
ringan, kapasitas angkut lebih besar, dan kandungan udara di dalam rongga media
pengisi lebih besar (Utomo et al., 1998). Densitas kamba diukur pada busa
berdimensi 18.5 x 12 x 1.8 cm3 (p x l x t) dengan tiga kali ulangan. Persamaan
perhitungan densitas kamba suatu bahan adalah sebagai berikut:
Densitas kamba =
Berat bahan (gram)
Volume Bahan (cm3 )
3. 3. 4. Efisiensi kemasan
Efisiensi kemasan dilihat dari rasio antara bobot total ikan yang dapat
dimuat dengan bobot total kemasan yang sudah berisi. Semakin besar nilai rasio,
menunjukkan semakin tinggi efisiensi isi dari kemasan tersebut (Karnila, 1998).
Persamaan perhitungan dari efisiensi kemasan adalah sebagai berikut:
Efisiensi kemasan =
Bobot total ikan
× 100
Bobot total kemasan
52
3. 3. 5. Pemingsanan ikan
Pemingsanan ikan dilakukan dengan metode pemingsanan secara bertahap,
yaitu dengan cara menurunkan suhu air media ikan dengan kecepatan tertentu
(bertahap/gradually) hingga tercapai suhu yang dapat membuat ikan berada dalam
keasaan pingsan. Pada beberapa titik – titik suhu tertentu dalam proses
pemingsanan, secara umum ikan mengalami beberapa fase sebelum ikan tersebut
pingsan.
Pada awal penurunan suhu, kondisi ikan masih terlihat normal dan beberapa
saat kemudian ikan terlihat lebih tenang, tidak banyak berenang, dan respon
menurun. Semakin menurunnya suhu air, pada beberapa titik suhu tertentu ikan
bergerak tidak tentu arah, terkejut – kejut, dan terlihat kehilangan keseimbangan
(limbung). Ikan yang berada dalam kondisi tersebut menunjukkan ikan telah
memasuki fase panik. Menurut Nitibaskara et al. (1997) kepanikan tersebut terjadi
karena adanya gangguan pada saat dalam kondisi yang tertekan. Apabila
kepanikan tersebut reda, maka ikan akan menjadi tenang kembali.
Pada beberapa titik suhu di bawahnya, ikan kembali tenang, berenang pasif,
dan respon sangat berkurang atau sangat lemah. Pada saat ini ikan lebih sering
berdiam diri di dasar atau di tengah ketinggian air. Kerena responnya yang sangat
lemah, maka jika ada rangsangan fisik dari luar ikan hanya bergerak sedikit
dengan hanya menggoyangkan bagian ekor dan kepalanya saja. Pada kondisi
seperti ini ikan sudah tidak mampu untuk berenang atau bergerak dengan
mengatur gerakan sirip – siripnya. Pada kondisi tersebut, ikan dinyatakan telah
melewati fase panik dan berada dalam fase pingsan ringan (light sedation).
Pada beberapa titik suhu di bawahnya setelah ikan mengalami fase pingsan
ringan, ikan berada dalam keadaan tergeletak di dasar air dan reaktifitas terhadap
rangsangan fisik dari luar tidak ada, sehingga bila disentuh dan diangkat dari
dalam air ikan hanya diam. Pada kondisi tersebut, ikan telah berada dalam fase
pingsan berat (deep sedation). Fase pingsan berat merupakan kondisi yang tepat
untuk pengangkutan ikan, karena pada kondisi ini aktifitas ikan relatif terhenti.
Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak adanya respon terhadap rangsangan dari
luar. Pada kondisi ini konsumsi O2 dari tiap – tiap ikan hanya berada pada kadar
53
yang terendah dari metabolisme basal, yang dibutuhkan ikan hanya untuk
kelangsungan hidupnya saja (bukan untuk beraktifitas) (Mc Farland, 1959).
Dalam kondisi pingsan, laju konsumsi O2 pada ikan berada dalam keadaan
yang terendah dari laju konsumsi O2 standar atau laju metabolisme basal. Ketika
dalam keadaan laju metabolisme basal, dihasilkan sejumlah energi yang hanya
cukup untuk menggerakkan fungsi organ – organ fital seperti pada jantung, alat
pernafasan, otak dan sistem syaraf yang berelaksasi, hati, dan ginjal. Laju
metabolisme basal terjadi ketika suatu mahluk hidup sedang beristirahat dan alat
pencernaan dalam keadaan kosong (sistem pencernaan sedang tidak aktif bekerja),
tetapi dalam keadaan sadar (Winkipedia, 2008).
Laju metabolisme basal (BMR) atau energi metabolime basal (EMB)
merupakan jumlah energi minimum yang dibutuhkan untuk melakukan prosesproses tubuh vital, di mana tanpa berlangsungnya kegiatan tersebut tidak mungkin
terjadi kehidupan, karena metabolisme itu sendiri merupakan kehidupan.
Pengeluaran energi basal termasuk pengeluaran untuk pernafasan, sirkulasi,
kegiatan kelenjar (thyroid, adrenal, pancreas dan pituitary), dan tonus otot. Laju
metabolisme basal dapat diukur ketika sistem pencernaan tidak sedang bekerja
(keadaan post-absorpsi), istirahat mental dan fisik, dan dalam keadaan sadar (tidak
tidur). Pada manusia (umumnya pada orang dewasa) laju metabolisme basal pada
waktu tidur 10% lebih rendah dibandingkan dengan laju metabolisme basal pada
waktu istirahat dengan posisi berbaring (Williams, 1988).
Pada penelitian ini, ikan yang telah dipingsankan kemudian ditempatkan di
rak – rak styrofoam yang tersusun di dalam kotak styrofoam. Pada setiap rak – rak
styrofoam tersebut, ikan dialasi dan ditutupi oleh busa yang lembab dan dingin.
Sehingga di dalam kotak styrofoam terdapat susunan rak dan di setiap rak tersusun
lapisan busa – ikan – busa. Setiap rak tersebut terdapat 10 ekor ikan. Pola
penempatan dan penyusanan ikan di dalam kemasan kotak styrofoam, dapat
dilihat pada Lampiran 5 hingga Lampiran 8.
54
3. 3. 6. Menentukan suhu pemingsanan optimum
Suhu pemingsanan optimum adalah suhu yang dapat menyebabkan ikan
berada dalam kondisi pingsan, tetapi tidak menyebabkan kematian ketika
ditransportasi menggunakan kontainer pendingin. Kemasan yang digunakan pada
tahap ini adalah kemasan rak biasa.
Untuk menentukan suhu pemingsanan optimum, maka ditentukan beberapa
titik suhu setelah ikan diperkirakan telah memasuki fase pingsan ringan. Pada
tahap ini dilakukan prosedur sebagai berikut:
1) Ikan dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap selama 1 jam dari
suhu normal hingga tercapai suatu titik suhu pemingsanan ikan (3, 4, 5, dan
6).
2) Setelah tercapai suhu pemingsanan, ikan ditahan selama 5 menit pada suhu
pemingsanan tersebut.
3) Pada kondisi pingsan, ikan dengan cepat dikemas ke dalam kemasan rak biasa
bermedia pengisi busa lembab dan dingin, lalu kemasan tersebut dimasukkan
ke dalam peti kemas. Suhu di dalam kemasan dipertahankan pada suhu 100C.
4) Ikan kemudian ditransportasi (statis) selama 1 jam. Suhu pemingsanan yang
menghasilkan nilai SR paling tinggi setelah ikan disadarkan, maka suhu
tersebut ditetapkan sebagai suhu pemingsanan optimum.
5) Jika dari perlakuan diatas dapat dihasilkan nilai SR 100%, maka lama waktu
transportasinya dinaikkan mulai dari 3 jam. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui seberapa lama nilai SR 100% dapat dipertahankan pada saat ikan
ditranportasi.
3. 3. 7. Menentukan suhu penyimpanan optimum
Suhu
penyimpanan
merupakan
suhu
dalam
kemasan
yang
tetap
dipertahankan stabil selama dilakukannya transportasi. Suhu penyimpanan
optimum adalah suhu yang dapat mempertahankan ikan tetap dalam kondisi
pingsan, namun tidak menyebabkan kematian pada ikan tersebut. Kemasan yang
digunakan pada tahap ini adalah kemasan rak biasa.
Untuk menentukan suhu ruang penyimpanan optimum, maka akan dilakukan
prosedur sebagai berikut:
55
1) Ikan dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap selama 1 jam dari
suhu normal hingga tercapai suhu pemingsanan optimum.
2) Setelah tercapai suhu pemingsanan, ikan ditahan selama 5 menit pada suhu
pemingsanan tersebut.
3) Pada kondisi pingsan, ikan dengan cepat dikemas ke dalam kemasan rak biasa
bermedia pengisi busa lembab dan dingin, lalu kemasan tersebut dimasukkan
ke dalam peti kemas. Jika suhu penyimpanan 100C dengan lama traportasi 3
jam (tahap sebelumnya) tidak menghasilkan nilai SR 100%, maka suhu
penyimpanannya dinaikkan menjadi 120C, 140C, 160C, 180C, dan 200C.
4) Jika terdapat nilai SR 100% setelah suhu penyimpanannya dinaikkan, maka
lama waktu transportasinya dinaikkan mulai dari 6 jam. Suhu penyimpanan
yang menghasilkan nilai SR paling tinggi merupakan suhu penyimpanan
optimum.
3. 3. 8. Pengaruh waktu pemingsanan terhadap nilai SR
Waktu pemingsanan merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan
suhu air dari suhu normal (± 270C) sampai pada suhu pemingsanan ikan. Tahap
ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai waktu pemingsanan (2, 4, 6,
dan 8 jam) terhadap tingkat kelulusan hidup (Survival Rate/SR) ikan maskoki
selama transportasi (statis) sistem kering.
Lama waktu pemingsanan yang berbeda – beda tersebut diatur dengan cara
mengatur volume media air yang terdapat di dalam bak pemingsanan ikan.
Dengan volume air yang berbeda – beda, maka beban panas pada air yang
terdapat di dalam bak pemingsanan ikan juga berbeda – beda pula. Dengan beban
panas yang berbeda – beda tersebut, maka lama waktu yang dibutuhkan alat water
chiller untuk mencapai suhu pingsan ikan akan berbeda – beda pula. Sehingga
dengan mengatur volume air yang terdapat di dalam bak pemingsanan ikan,
lamanya waktu pemingsanan ikan dapat dikontrol sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan.
56
Kemasan yang digunakan pada tahap ini adalah kemasan rak biasa. Untuk
megetahui pengaruh berbagai waktu pemingsanan terhadap nilai SR, maka
dilakukan prosedur sebagai barikut:
1) Ikan dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai
waktu pemingsanan (2, 4, 6, dan 8 jam) hingga tercapai suhu pemingsanan
optimum.
2) Setelah tercapai suhu pemingsanan, ikan ditahan selama 5 menit pada suhu
pemingsanan tersebut.
3) Pada kondisi pingsan, ikan dengan cepat dikemas ke dalam kemasan rak biasa
bermedia pengisi busa lembab dan dingin, lalu kemasan tersebut dimasukkan
ke dalam peti kemas. Suhu di dalam kemasan merupakan suhu penyimpanan
optimum.
4) Pengaruh berbagai waktu pemingsanan terhadap nilai SR dapat diketahui
setelah ikan ditransportasi (statis) selama 6 jam. Waktu pemingsanan yang
menghasilkan nilai SR tertinggi merupakan waktu pemingsanan optimum.
3. 3. 9. Pengaruh penurunan konsentrasi O2 terhadap SR
Laju konsumsi O2 oleh ikan akan menurun seiring dengan menurunnya
kandungan O2 terlarut di dalam air, sehingga akan menurunkan laju
metabolismenya (Fry, 1957). Penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan
diharapkan dapat mengurangi laju metabolisme ikan yang dikemas di dalamnya.
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai penurunan konsentrasi
O2 (menjadi 21% (kontrol), 15%, 10%, dan 5%) di dalam kemasan terhadap
tingkat kelulusan hidup (nilai SR) ikan maskoki selama transportasi (statis) sistem
kering. Kemasan yang digunakan pada tahap ini adalah jenis kemasan rak berisi
udara.
Konsentrasi O2 dapat diatur dengan mengatur konsentrasi CO2 dan N2 dalam
volume suatu ruang. Pada penelitian ini penurunan konsentrasi O2 di dalam
kemasan dilakukan dengan cara menaikkan konsentrasi N2 di dalam kemasan,
sedangkan konsentrasi CO2 dibiarkan tetap pada kisaran 0.03% (konsentrasi
normal). Sehingga bila konsentrasi O2 di dalam kemasan diturunkan menjadi
15%, maka konsentrasi N2 di dalam kemasan naik menjadi 84.97% dan
57
konsentrasi CO2 tetap pada kisaran 0.03%. Begitu pula bila konsentrasi O2 di
dalam kemasan turun menjadi 10%, maka konsentrasi N2 naik menjadi 89.97%
dan konsentrasi CO2 tetap pada kisaran 0.03%. Pada penurunan konsentrasi O2 di
dalam kemasan menjadi 5%, maka konsentrasi N2 naik menjadi 94.97% dan
konsentrasi CO2 tetap pada kisaran 0.03%. Sedangkan untuk kontrol, konsentrasi
O2 di dalam kemasan tidak diturunkan atau tetap pada kisaran 21%, sehingga
konsentrasi N2 dan CO2 di dalam kemasan tersebut pun tidak berubah atau tetap
pada konsentrasi 78% dan 0.03% (konsentrasi normal).
Pengaturan konsentrasi O2 di dalam kemasan dilakukan dengan cara
memasukkan udara dengan konsentrasi O2 yang telah diatur sebelumnya, setelah
udara awal di dalam kemasan disedot keluar (divakumkan terlebih dahulu).
Pengaturan konsentrasi O2 pada udara yang akan dimasukkan ke dalam kemasan
dilakukan dengan menggunakan gases mixer. Udara dengan konsentrasi O2 yang
telah diatur tersebut, dimasukkan ke dalam kemasan sebanyak ±10 l. Kemasan
yang digunakan pada tahap ini adalah kemasan rak berisi udara.
Untuk mengetahui pengaruh berbagai penurunan konsentrasi O2 di dalam
kemasan, maka dilakukan prosedur sebagai berikut:
1) Ikan dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap dengan lama
waktu pemingsanan optimum.
2) Setelah tercapai suhu pemingsanan, ikan ditahan selama 5 menit pada suhu
pemingsanan tersebut.
3) Pada kondisi pingsan, ikan dengan cepat dikemas ke dalam kemasan rak berisi
udara bermedia pengisi busa lembab dan dingin. Setelah udara awal di dalam
kemasan disedot keluar, udara dengan konsentrasi O2 yang telah diatur
dimasukkan ke dalam kemasan sebanyak ±10 l. Kemasan yang telah diisi
udara tersebut lalu dimasukkan ke dalam peti kemas. Suhu di dalam kemasan
merupakan suhu penyimpanan optimum.
4) Pengaruh berbagai berbagai penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan
terhadap nilai SR dapat diketahui setelah ikan ditransportasi (statis) selama
6 jam. Tingkat penurunan konsentrasi O2 yang menghasilkan nilai SR
tertinggi merupakan tingkat penurunan konsentrasi O2 optimum.
58
3. 3. 10. Menentukan waktu transportasi (statis) optimum
Pada tahap - tahap sebelumnya diperoleh perlakuan – perlakuan optimum,
seperti: suhu pemingsanan optimum, suhu penyimpanan optimum, waktu
pemingsanan optimum, serta tingkat penurunan konsentrasi O2 optimum. Tahap
ini dilakukan untuk mengetahui seberapa lama ikan dapat ditransportasikan
dengan tingkat kelulusan hidup (nilai SR) tertinggi, setelah diberi perlakuan –
perlakuan optimum tersebut. Untuk mengetahui waktu transportasi optimum,
maka dilakukan prosedur sebagai berikut:
1) Ikan dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap dengan lama
waktu pemingsanan optimum.
2) Setelah tercapai suhu pemingsanan, ikan ditahan selama 5 menit pada suhu
pemingsanan tersebut.
3) Pada kondisi pingsan, ikan dengan cepat dikemas ke dalam kemasan rak berisi
udara bermedia pengisi busa lembab dan dingin. Kemasan tersebut kemudian
diisi udara sebanyak ±10 l dengan tingkat penurunan konsentrasi O2 optimum.
Gas tersebut diisi setelah udara awal pada kemasan tersebut dikeluarkan
(divakumkan). Kemasan yang telah diisi gas tersebut lalu dimasukkan ke
dalam peti kemas. Suhu di dalam kemasan merupakan suhu penyimpanan
optimum.
4) Ikan kemudian ditransportasikan (statis) selama beberapa selang waktu
tertentu (6, 12, 18, 24, 28 jam). Selang waktu transportasi yang dapat
menghasilkan nilai SR paling tinggi, merupakan waktu transportasi optimum
pada transportasi ikan maskoki hidup sistem kering.
59
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. Pengujian Toksisitas Media Pengisi
Hasil pengamatan terhadap kondisi ikan pada pengujian toksisitas media
pengisi selama 1 x 24 jam disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Kondisi ikan maskoki pada pengujian toksisitas media pengisi
Jam ke-
Kondisi ikan
0
Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir
8
Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir
16
Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir
24
Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir
Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel 2, menunjukkan
bahwa tidak ada ikan yang berlendir, sekarat, atau mati selama waktu
pengamatan. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa busa tersebut tidak bersifat
toksik bagi ikan ketika digunakan sebagai media pengisi. Menurut Berka (1986),
ikan yang dalam keadaan sehat dan baik mempunyai tanda – tanda diantaranya
yaitu ikan dapat berenang normal, bergerak aktif terhadap ransangan fisik dari
luar, dan tidak terdapat luka pada tubuhnya.
Menurut Affandi dan Tang (2002), ketika suatu bahan pencemar (polutan)
baik yang berupa senyawa organik atau pun senyawa anorganik dalam bentuk
padat atau cair, yang masuk ke dalam suatu perairan dalam jumlah tertentu, maka
akan mempengaruhi kondisi kualitas air. Kondisi kualitas air tersebut akan
mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di perairan tersebut, yang
direfleksikan oleh adanya perubahan baik pada tingkat sel maupun pada tingkat
organisme. Jika suatu bahan pencemar terdeteksi oleh sistem sensori (reseptor)
dari ikan yang berada pada perairan yang tercemar, dan bahan pencemar tersebut
dikenal ikan sebagai hal yang berbahaya, maka ikan tersebut akan segera keluar
dari kawasan tersebut dan melarikan diri menuju perairan yang bebas dari bahan
pencemar tersebut. Namun apabila ikan tersebut tidak memungkinkan untuk
keluar dari kawasan tersebut, maka ikan tersebut akan berupaya memperkecil
60
kontak permukaan luar tubuhnya dengan cara memproduksi mukus (lendir) yang
banyak dan berusaha menyelimuti tubuhnya termasuk bagian insangnya.
Adanya bahan toksik di media hidup ikan dalam waktu yang singkat (dalam
hitungan menit hingga beberapa hari) dapat menyebabkan terjadinya perubahan –
perubahan biokimia di dalam tubuhnya (misalnya: aktivitas enzim, sintesis
protein, sistem lemak, dan lain – lain). Jika penurunan kualitas air tersebut
berjalan terus dan berada pada kondisi kronis, maka akan menyebabkan gangguan
fisiologis yang berujung pada penurunan laju pertumbuhan dan keberhasilan
reproduksi pada tingkat individu. Penurunan kualitas air yang berujung pada
perubahan kondisi ekologis dapat menyebabkan penurunan populasi, komposisi
komunitas, dan bahkan mungkin dapat menyebabkan perubahan fungsi ekosistem
perairan.
4. 2. Daya Serap Air Media Pengisi
Hasil pengukuran terhadap daya serap oleh air busa sebagai media pengisi,
dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Daya serap air media pengisi busa
Ulangan ke-
Berat kering
(gram)
Berat basah
(gram)
1
12.46
2
3
Daya serap air
% Berat kering
(Bk)
% Berat basah
(Bb)
25.7
106.3
51.5
12.55
32.6
159.8
61.5
12.52
30.5
139.6
58.95
135.23
57.32
Rata - rata
Berdasarkan hasil pengukuran yang disajikan pada Tabel 3 di atas, diketahui
daya serap air oleh busa sebagai media pengisi adalah rata – rata 135.23% berat
kering dan 57.32% berat basah. Dari hasil pengukuran Prasetiyo (1993) diketahui
bahwa daya serap air oleh sekam padi adalah 75% berat kering dan 42.9% berat
basah, serbuk gergaji adalah 113% berat kering dan 53.1% berat basah,
61
serutan kayu adalah 75% berat kering dan 42.9% berat basah, sedangkan
Gracilaria laut adalah 290% berat kering dan 74.4% berat basah.
Untuk lebih jelasnya, hasil pengukuran Prasetiyo (1993) terhadap daya serap
air pada beberapa media pengisi tersebut, dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Daya serap air beberapa media pengisi (Prasetiyo, 1993)
No.
Jenis bahan pengisi
Daya serap air
% Bk
% Bb
1
Sekam padi
75
42.9
2
3
4
Serbuk gergaji
Serutan kayu
Gracilaria laut
113
75
290
53.1
42.9
74.4
Pada penelitian yang dilakukan oleh Muslih (1996), pengukuran daya serap
air terhadap sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu sebagai bahan pengisi,
dilakukan dengan cara menambahkan/memberikan air laut sebanyak 100% dari
bobot kering sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu tersebut. Dari hasil
pengukuran tersebut diketahui bahwa daya serap air oleh sekam padi sebesar
49.44% berat basah, serbuk gergaji sebesar 50.60% berat basah, dan serutan kayu
sebesar 42.22% berat basah.
Sedangkan pengukuran daya serap air terhadap rumput laut Gracilaria sp.
dan Gelidium sp. dilakukan dengan cara merendam rumput laut tersebut hingga
beberapa jam. Dari hasil pengukuran tersebut didapatkan bahwa rumput laut
Gracilaria sp yang direndam selama 12 jam dan kemudian dilakukan penirisan
selama 1 jam, memiliki kadar air yang paling tinggi dari pada perlakuan waktu
perendaman dan waktu penirisan yang lainnya. Sedangkan rumput laut Gelidium
sp yang direndam selama 4 jam dan kemudian dilakukan penirisan selama 1 jam,
memiliki kadar air yang paling tinggi dari pada perlakuan waktu perendaman dan
waktu penirisan yang lainnya. Kadar air paling tinggi pada rumput laut Gracilaria
sp. adalah sebesar 85.06% berat basah, sedangkan kadar air paling tinggi pada
rumput laut Gelidium sp. adalah sebesar 70.43% berat basah.
62
Untuk lebih jelasnya, hasil pengkuran Muslih (1996) terhadap daya serap
air sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu dapat dilihat pada Tabel 5.
Sedangkan hasil pengukuran terhadap daya serap air rumput laut Gracilariasp.
dan Gelidium sp. dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 5. Daya serap air beberapa media pengisi (Muslih, 1996)
Kadar air media pengisi (% Bb)
Penambahan
air laut (%)*
Sekam padi
Serbuk gergaji
Serutan kayu
100
49.44
50.60
42.22
* Persentase dari bobot kering
Tabel 6. Daya serap air media pengisi rumput laut (Muslih, 1996)
Kadar air (% Bb)
Lama perendaman
(jam)
Lama penirisan
(jam)
Gracilaria sp.
Gelidium sp.
0
0
13.45
11.22
4
1
2
3
4
83.57
82.79
84.22
83.01
70.76
68.96
67.53
64.95
8
1
2
3
4
83.35
84.11
83.17
82.15
70.35
67.94
66.96
62.87
12
1
2
3
4
85.06
84.46
83.73
83.06
70.43
69.00
66.17
65.85
16
1
2
3
4
84.27
84.12
83.28
83.92
69.93
39.38
66.89
63.99
20
1
2
3
4
84.46
83.69
83.48
83.35
70.01
69.87
66.56
66.73
63
Dari data – data yang diperoleh pada Tabel 5 dan 6 di atas, ditunjukkan
bahwa busa yang merupakan media pengisi yang digunakan pada penelitian ini,
memiliki daya serap air yang lebih tinggi dari pada sekam padi, serbuk gergaji,
dan serutan kayu seperti yang terlihat pada data – data hasil pengukuran oleh
Prasetiyo (1993) dan Muslih (1996). Sehingga berdasarkan daya serap airnya,
busa memiliki kapasitas panas yang lebih besar dari pada sekam padi, serbuk
gergaji, dan serutan kayu. Busa yang telah dilembabkan dan didinginkan tersebut
akan mampu mempertahankan suasana lembab dan dingin lebih lama dari pada
bahan pengisi sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu yang telah
dilembabkan dan didinginkan.
Daya serap air oleh media pengisi berhubungan erat dengan karakteristik
fisik media pengisi tersebut. Karakteristik fisik busa yang memiliki pori – pori
kecil yang sangat banyak, sangat halus, dan homogen di seluruh lapisan pada
setiap satuan dimensinya, memungkinkan menyerap air lebih banyak dan
menahannya lebih baik. Air yang terserap pada busa dapat tertahan di dalam busa
tersebut karena adanya tegangan permukaan dari setiap butiran – butiran air yang
terperangkap pada setiap pori – pori kecil yang terdapat pada busa tersebut.
Serbuk gergaji juga mempunyai daya serap air yang baik karena bentuknya yang
berupa partikel – partikel kecil yang relatif halus sehingga memiliki permukaan
yang luas untuk menyerap dan menahan air. Serutan kayu memiliki karakteristik
fisik berupa lembaran – lembaran yang menyebabkan penyerapan dan pengikatan
air kurang sempurna.
Luas permukaan serutan kayu lebih kecil dibandingkan dengan serbuk
gergaji, sehingga menyebabkan kemampuannya untuk menyerap dan menahan air
lebih kecil dari pada serbuk gergaji. Sedangkan karakteristik fisik pada sekam
padi yang berbentuk menyerupai kantong dapat berfungsi untuk menyimpan air,
meski pun hanya sementara. Sekam padi mempunyai luas permukaan yang lebih
besar dibandingkan dengan serutan kayu, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan
serbuk gergaji, sehingga air yang dapat diserap dan ditahan oleh sekap padi
tersebut lebih besar dari pada serutan kayu dan lebih kecil dari pada serbuk
gergaji.
64
Akan tetapi data – data di atas juga menunjukkan bahwa daya serap air oleh
rumput lebih besar dari pada daya serap air oleh busa. Sehingga rumput laut yang
telah dilembabkan dan didinginkan tersebut memiliki kapasitas panas yang lebih
besar dan mampu mempertahankan suasana lembab dan dingin lebih lama dari
pada bahan pengisi busa. Daya serap air rumput laut yang besar tersebut
dipengaruhi oleh komponen kimiawi penyusunnya. Komponen penyusun utama
rumput laut adalah polisakarida yang mempunyai banyak sekali gugus hidroksil
yang bertanggung jawab atas afinitas air dan berpotensi tinggi membentuk ikatan
hidrogen (Angka dan Suhartono, 2000). Hal tersebut yang menyebabkan rumput
laut dapat bersifat higrokopis, sehingga dapat menyerap dan menahan air lebih
banyak dari pada busa.
Pada penelitian yang dilakukan Prasetiyo (1993), pengamatan terhadap
media pengisi menunjukkan bahwa setelah pengemasan, Gracilaria sp. mulai
menimbulkan bau basi dan berlendir setelah 48 jam digunakan. Sedangkan bau
khas ketiga media pengisi lainnya telah berkurang setelah dilakukan pengemasan.
Seperti pada sekam padi, bau khas sekam berkurang setelah dilakukan
pengemasan. Begitu pula pada serbuk gergaji dan serutan kayu, bau khas
damarnya telah berkurang setelah dilakukan pengemasan. Hasil pengamatan
Prasetiyo (1993) terhadap bau yang ditimbulkan oleh media pengisi setelah
pengemasan, lebih jelas dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Hasil pengamatan terhadap bau media pengisi (Prasetiyo, 1993)
Bau
No.
Jenis bahan
pengisi
Sebelum
direndam
Setelah
direndam
Setelah
dikemas
kerusakan
1.
Sekam padi
Bau khas
sekam
Bau sekam
kurang
Bau sekam
kurang
-
2.
Serbuk gergaji
Bau khas
damar
Bau damar
kurang
Bau damar
kurang
-
3.
Serutan kayu
Bau khas
damar
Bau damar
kurang
Bau damar
kurang
-
4.
Gracilaria sp.
Bau khas
rumput laut
Bau khas
rumput laut
Bau basi
Berlendir
65
Pada penelitian yang dilakukan Muslih (1996), pengamatan terhadap media
pengisi menunjukkan bahwa setelah pengemasan selama 15 jam, media pengisi
Gracilaria sp. mengeluarkan/tercium bau asam (basi) dan pada media pengisi
Gelidium sp. mengeluarkan/tercium aroma golongan senyawa alkohol. Sedangkan
pada media pengisi sekam padi, setelah pengemasan selama 15 jam, masih
terdapat bau khas sekam dengan intensitas yang sama seperti sebelum dilakukan
pengemasan. Begitu pula dengan media pengisi serbuk gergaji dan serutan kayu,
masih terdapat bau khas terpentin dengan intensitas yang sama seperti sebelum
dilakukan pengemasan. Hasil pengamatan Muslih (1996) terhadap bau yang
ditimbulkan oleh media pengisi, lebih jelas dilihat pada Tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8. Hasil pengamatan terhadap bau media pengisi (Muslih, 1996)
Bau media pengisi
Jenis media pengisi
Sebelum dikemas
Setelah dikemas (15 jam)
Sekam padi
Bau khas sekam
Bau khas sekam
Serbuk gergaji
Bau khas terpentin
Bau khas terpentin
Serutan kayu
Bau khas terpentin
Bau khas terpentin
Gracilaria sp.
Bau khas rumput laut
Bau asam/basi
Gelidium sp.
Bau khas rumput laut
Aroma alkohol
Menurut pengamatan Prsetiyo (1993), timbulnya bau basi dan lendir pada
media pengisi Gracilaria sp. setelah pengemasan disebabkan karena kondisi
lingkungan dalam kemasan yang lembab (basah) dan suhu yang terus meningkat
sehingga mikroorganisme yang semula inaktif menjadi aktif kembali dan
menyebabkan Gracilaria sp. menjadi basi. Selain itu komponen terbesar dari
Gracilaria sp. adalah karbohidrat seperti agar – agar, alginat, dan karagenan yang
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Sedangkan menurut
pengamatan Muslih (1996), timbulnya aroma golongan senyawa alkohol pada
media pengisi Gelidium sp. setelah pengemasan, diakibatkan karena terjadinya
proses fermentasi selama media pengisi Gelidium sp. tersebut dikemas. Asam –
asam organik dan senyawaan alkohol umunya merupakan produk – produk
fermentasi anaerob atau anaerob fakutatif (Prave et al., 1987).
66
Media pengisi busa yang digunakan pada penelitian ini, setelah dicuci,
direndam, dan ditiriskan, tidak mempunyai bau seperti apa pun (bau netral).
Begitu pula setelah media pengisi busa lembab tersebut dikemas dan disimpan
selama 8 jam, tidak terdapat bau apa pun yang muncul dari busa tersebut. Hal
tersebut mungkin disebabkan karena busa yang digunakan sebagai media pengisi
tersebut terbuat dari serat sintetis yang merupakan senyawa anorganik. Sehingga
bahan pada busa tersebut tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang
menghasilkan senyawa volatil penyebab timbulnya bau, sekali pun bahan busa
tersebut dalam keadaan lembab dan berada pada suhu ruang. Meski pun rumput
laut memiliki daya serap air yang lebih baik dari pada busa, tetapi jika digunakan
sebagai media pengisi, lendir yang dihasilkan oleh rumput laut tersebut dapat
menghalangi difusi O2 dari lingkungan dalam kemasan ke dalam insang ikan,
sehingga daya tahan ikan selama dilakukannya transportasi sistem kering akan
menurun.
4. 3. Densitas Kamba Media Pengisi
Hasil pengukuran terhadap densitas kamba media pengisi (busa) lembab,
disajikan pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9. Densitas kamba media pengisi (busa)
Ulangan
ke-
Volume
(cm3)
Berat basah
(gram)
Densitas kamba
(gram/cm3)
1
399.6
25.7
0.064
2
3
399.6
399.6
Rata – rata
32.6
30.5
0.082
0.076
0.074
67
Berdasarkan hasil pengukuran yang disajikan pada Tabel 9 di atas, dapat
diketahui bahwa media pengisi busa lembab memiliki nilai rata – rata densitas
kamba sebesar 0.074 gram/cm3. Pada penelitian yang dilakukan oleh Prasetiyo
(1993), hasil pengukuran terhadap densitas kamba media pengisi sekam padi
lembab adalah sebesar 0.19 gram/cm3, serbuk gergaji lembab sebesar 0.44
gram/cm3, serutan kayu lembab sebesar 0.12 gram/cm3, dan Gracilaria sp. lembab
sebesar 0.32 gram/cm3. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Muslih
(1996), hasil pengukuran terhadap densitas kamba media pengisi sekam padi
lembab adalah sebesar 178.23 Kg/m3 (0.18 gram/cm3), serbuk gergaji lembab
sebesar 346.75 Kg/m3 (0.35 gram/cm3), serutan kayu lembab sebesar 85 Kg/m3
(0.085 gram/cm3), Gracilaria sp. lembab sebesar 444.64 Kg/m3 (0.44 gram/cm3),
dan Gelidium sp. lembab sebesar 217.29 Kg/m3 (0.22 gram/cm3).
Dari data – data tersebut di atas dapat diketahui bahwa media pengisi busa
memiliki densitas kamba paling kecil dibandingkan dengan media pengisi lainnya
yang telah diukur oleh Prasetiyo (1993) dan Muslih (1996). Berdasarkan data –
data yang diperoleh dari hasil pengukuran Prasetiyo (1993), densitas kamba media
pengisi yang lebih besar dari densitas kamba busa lembab adalah serutan kayu
lembab, kemudian diikuti dengan sekam padi lembab, Gracilaria sp. lembab, dan
serbuk gergaji lembab. Sedangkan berdasarkan data – data yang diperoleh dari
hasil pengukuran Muslih (1996), densitas kamba media pengisi yang lebih besar
dari densitas kamba busa adalah serutan kayu lembab, kemudian diikuti dengan
sekam padi lembab, Gelidium sp. lembab, serbuk gergaji lembab, dan Gracilaria
sp. lembab.
Menurut Soekarto dan Wibowo (1993), densitas kamba menunjukkan sifat
berongga dari suatu bahan (media pengisi). Semakin kecil densitas kamba suatu
media pengisi, maka akan semakin besar rongga atau ruang kosong yang terdapat
pada media pengisi tersebut, sehingga kemampuan media pengisi tersebut untuk
memasok udara (O2) bebas juga akan semakin besar. Utomo et al. (1998) juga
menyatakan bahwa jika densitas kamba suatu bahan rendah, bahan tersebut
bersifat voluminuous sehingga jika digunakan sebagai media transportasi akan
lebih ringan, kapasitas angkut lebih besar, dan kandungan udara di dalam rongga
media pengisi lebih besar.
68
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa media pengisi busa lembab
memiliki rongga udara atau ruang kosong yang lebih banyak, sehingga
kemampuan media pengisi tersebut untuk memasok udara (O2) bebas juga lebih
besar dibandingkan dengan media pengisi lembab lainnya yang telah diukur oleh
Prasetiyo (1993) dan Muslih (1996). Berdasarkan pernyataan Utomo et al. (1998),
media pengisi busa lembab tersebut bersifat voluminuous sehingga jika digunakan
sebagai media transportasi akan lebih ringan dan kapasitas angkutnya lebih besar.
Sedangkan media pengisi yang memiliki rongga udara paling buruk (paling
sedikit) adalah media pengisi yang memiliki densitas kamba paling besar.
Berdasarkan hasil pengukuran Prasetiyo (1993), media pengisi yang memiliki
rongga udara paling baik adalah serutan kayu dan yang paling buruk adalah
serbuk gergaji. Sedangkan hasil pengukuran Muslih (1996), media pengisi yang
memiliki rongga udara paling baik adalah serutan kayu dan yang paling buruk
adalah Gracilaria sp.
4. 4. Efisiensi Kemasan
Efisiensi kemasan dapat diketahui dari rasio antara bobot total ikan yang
dapat dimuat di dalam kemasan dengan bobot total kemasan yang telah berisikan
ikan. Semakin besar nilai rasio yang dihasilkan, maka semakin tinggi efisiensi
kemasan tersebut. Semakin tingginya efisiensi suatu kemasan, maka jumlah ikan
yang dapat dimuat di dalam kemasan juga semakin banyak. Semakin banyaknya
ikan yang dapat dimuat di dalam suatu kemasan, maka akan semakin ekonomis
nilai kemasan tersebut, sehingga jika digunakan dalam pengangkutan ikan akan
sangat menguntungkan.
Pada kemasan rak biasa, bobot total ikan (20 ekor) yang dapat dimuat di
dalam kemasan tesebut adalah sebesar 234 gram. Sedangkan bobot total kemasan
rak biasa yang telah berisi 20 ekor ikan adalah sebesar 415 gram. Sehingga
efisiensi kemasannya adalah:
Efisiensi kemasan =
234 gram
x 100 = 56%
415 gram
69
Pada kemasan rak berisi udara, bobot total ikan (60 ekor) yang dapat dimuat
di dalam kemasan tesebut adalah sebesar 690 gram. Sedangkan bobot total
kemasan rak berisi udarayang telah berisi 60 ekor ikan adalah sebesar 1500 gram.
Sehingga efisiensi kemasannya adalah:
Efisiensi kemasan =
690 gram
x 100 = 46%
1500 gram
Pada penelitian Prasetiyo (1993), dilakukan pengukuran nilai efisiensi
terhadap beberapa jenis rancangan kemasan yang digunakan untuk pengangkutan
ikan lele. Pada jenis rancangan kemasan bertingkat memiliki nilai efisiesi sebesar
31.19%, jenis rancangan berlapis memiliki nilai efisiesi sebesar 50%, dan jenis
rancangan kemasan berrak memiliki nilai efisiesi sebesar 44.25%. Sedangkan
pada penelitian Karnila (1998), hanya dilakukan pengukuran nilai efisiensi
terhadap jenis rancangan kemasan berrak dan tanpa rak yang digunakan untuk
pengangkutan udang windu. Jenis rancangan kemasan tanpa rak merupakan
kemasan di mana udang disusun berlapis dengan media pengisi (serbuk gergaji)
tanpa menggunakan sekat – sekat penyangga/rak. Hasil pengukuran terhadap dua
jenis kemasan tersebut menunjukkan nilai efisiensi pada kemasan berrak adalah
sebesar 50%, sedangkan nilai efisiensi pada kemasan tanpa rak adalah sebesar
21.05%.
Berdasarkan dari data – data yang tertera di atas, kemasan yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu kemasan rak biasa dan kemasan rak berisi udara,
termasuk memiliki nilai efisiensi yang tinggi, yaitu kurang – lebih sekitar 50%.
Oleh karena itu, kedua jenis kemasan rak yang digunakan dalam penelitian ini
tergolong ekonomis untuk digunakan sebagai kemasan pengangkut ikan hidup
sistem kering, jika dilihat dari segi efisiensi kemasan.
70
4. 5. Pemingsanan Ikan Maskoki
Ketika dalam proses pemingsanan, ikan maskoki menunjukkan pola tingkah
laku yang berbeda – beda secara jelas seiring dengan semakin turunnya suhu. Pola
tingkah laku ikan maskoki selama proses pemingsanan tesebut dapat dibagi ke
dalam beberapa kelompok, yaitu kelompok yang berada dalam kisaran suhu
27 – 210C, 20 – 180C, 17 – 140C, 13 – 100C, 9 - 70C, 60C, 5 – 40C, dan 30C.
Pada kisaran suhu 27 - 210C, akitifitas dan kondisi ikan relatif tidak berubah.
Ikan masih berenang normal dan sangat lincah, sangat responsif terhadap
rangsangan dari luar, terutama bila didekatkan dengan suatu benda. Gerakan –
gerakan anggota badan (insang, sirip dorsal, ventral, dan sirip ekor) bergerak
dengan aktif. Bila diangkat dari dalam air, ikan meronta dengan kuat dan
operkulumnya bergerak dengan cepat. Bila dilepaskan kembali ke dalam air, ikan
langsung berenang dengan gesit.
Pada kisaran suhu 20 – 180C, aktivitas ikan mulai menurun. Hal ini
ditunjukkan dengan sebagian besar ikan sudah mulai tenang, kurang aktif
berenang, tetapi masih responsif terhadap rangsangan fisik dari luar. Bila diangkat
dari dalam air, ikan meronta dengan kuat dan operkulumnya bergerak dengan
cepat. Bila dilepaskan kembali ke dalam air, ikan langsung berenang dengan gesit
dan tidak lama kemudian ikan kembali berenang dengan tenang.
Pada kisaran suhu 17 – 140C, ikan mulai berenang dengan lemah (lamban),
kurang aktif berenang, dan kurang responsif terhadap rangsangan fisik dari luar.
Beberapa ikan diam dan kurang aktif berenang di dasar bak pemingsanan. Pada
kisaran suhu ini, ikan mulai mudah ditangkap Bila diangkat dari dalam air, ikan
masih meronta dan operkulumnya bergerak agak cepat. Bila dilepaskan kembali
ke dalam air, ikan langsung berenang, tetapi tidak segesit pada kisaran suhu
sebelumnya, dan tidak lama kemudian ikan kembali berenang dengan tenang.
Pada kisaran suhu 13 – 100C, ikan berenang dengan sangat lamban, tidak
aktif berenang, dan kurang responsif terhadap rangsangan fisik dari luar. Sebagian
ikan diam dan kurang aktif berenang di dasar bak pemingsanan. Pada kisaran suhu
ini, ikan mudah ditangkap. Bila diangkat, ikan meronta dengan lemah dan
operkulumnya bergerak dengan lambat. Bila dilepaskan kembali ke dalam air,
ikan langsung berenang, tetapi tidak gesit dan terlihat lemah untuk berenang.
71
Pada kisaran suhu 9 - 70C, ikan mulai terlihat berenang dengan limbung,
hilang keseimbangan, dan beberapa saat bergerak panik. Ikan yang terlihat
limbung dan hilang keseimbangan mulai sulit untuk mempertahankan posisi tegak
dan berenang dengan posisi miring dan terbalik – balik. Pada kisaran suhu ini,
ikan sangat lemah untuk berenang, sehingga ikan terombang – ambing oleh arus
dari pompa water chiller. Sesekali ikan terlihat panik, kondisi ini ditandai dengan
gerakan ikan yang terkejut - kejut dengan tiba – tiba untuk beberapa saat.
Sebagian ikan juga terlihat diam dengan posisi tegak dan tidak aktif berenang di
bagian dasar bak pemingsanan. Respon ikan sangat lemah terhadap rangsangan
fisik dari luar, hal tersebut ditunjukkan pula dengan sangat mudahnya ikan untuk
ditangkap. Bila diangkat dari dalam air, ikan meronta dengan lemah dan
operkulumnya bergerak dengan lambat. Bila dilepaskan kembali ke dalam air,
ikan berenang dengan limbung dan terlihat sangat lemah. Pada kisaran suhu ini,
ikan maskoki diperkirakan telah memasuki fase panik.
Pada suhu 60C, hampir semua ikan mulai berada dalam keadaan diam
dengan posisi tegak dan bergerombol di dasar bak. Beberapa ikan masih terlihat
limbung dan terbawa arus. Pada suhu ini, ikan tidak merespon terhadap
rangsangan fisik dari luar, sehingga pada kondisi ini ikan dapat dengan mudah
diambil dari dalam air. Bila diangkat dari dalam air, ikan hanya sedikit bergerak
dengan lemah dan operkulumnya pun bergerak dengan lambat. Bila dilepaskan
kembali ke dalam air, ikan berenang dengan limbung, lalu kembali diam di dasar
bak atau berenang terbawa arus. Pada suhu ini, ikan maskoki diperkirakan telah
berada dalam fase pingsan ringan (light sedation).
Pada suhu 5 – 40C, sebagian besar ikan dalam keadaan diam dengan posisi
tegak dan bergerombol di dasar bak. Beberapa ikan mulai berada dalam kondisi
tergeletak miring di dasar bak. Respon ikan terhadap rangsangan fisik dari luar
pada kisaran suhu ini juga tidak ada, sehingga ikan dapat dengan mudah diambil
dari dalam air. Bila diangkat dari dalam air, ikan juga sedikit bergerak dengan
lemah dan operkulumnya pun bergerak dengan lambat. Bila dilepaskan kembali
ke dalam air, ikan berenang dengan limbung lalu diam atau tergeletak kembali di
dasar bak.
72
Pada suhu 30C, hampir semua ikan berada dalam keadaan tegeletak miring
dan bergerombol di dasar bak. Pada suhu ini, ikan tidak merespon terhadap
rangsangan fisik dari luar, sehingga ikan juga dapat dengan mudah diambil dari
dalam air. Bila diangkat dari dalam air, tubuh ikan tidak bergerak sama sekali dan
operkulumnya pun tidak terlihat bergerak. Bila dilepaskan kembali ke dalam air,
ikan langsung jatuh ke dasar bak lalu berada dalam posisi tergeletak. Pada suhu
ini, ikan maskoki diperkirakan telah berada dalam fase pingsan berat (deep
sedation). Ikan maskoki yang berada dalam fase pingsan berat ini, telah siap untuk
dikemas.Untuk lebih jelasnya, kondisi ikan maskoki selama proses pemingsanan
yang terbagi dalam beberapa kelompok kisaran suhu, dapat dilihat pada Tabel 10
di bawah ini.
Tabel 10. Kondisi ikan maskoki selama proses pemingsanan
Suhu
(0C)
27 - 21
20 – 18
17 – 14
Kondisi Ikan Maskoki
Ikan aktif berenang (normal) dan responsif
Ikan mulai tenang (kurang aktif) dan masih responsif
Ikan lamban, kurang aktif, dan kurang responsif
13 – 10
Ikan sangat lamban, tidak aktif berenang, dan kurang responsif.
Diangkat meronta lemah
9-7
Ikan mulai limbung, hilang keseinbangan, dan panik. Respon lemah.
6
Ikan diam dan bergerombol di dasar. Beberapa limbung dan terbawa
arus. Diangkat hampir tidak meronta
5–4
Ikan diam dan bergerombol di dasar. Beberapa dalam posisi
tergeletak miring. Diangkat bergerak dengan sangat lemah.
3
Hampir semua ikan dalam posisi tegeletak miring dan bergerombol
di dasar. Diangkat tidak bergerak sama sekali.
Dari data – data pada proses pemingsanan di atas, ikan maskoki
diperkirakan telah berada dalam keadaan pingsan berat pada suhu 30C. Untuk
mengetahui pada suhu 30C ikan tersebut masih dalam keadaan pingsan dan tidak
mati, maka dilakukan proses penyadaran. Proses penyadaran dilakukan dengan
cara memasukkan ikan yang telah berada dalam keadaan pingsan berat tersebut ke
73
dalam air yang bersuhu normal (± 270C) dengan aerasi yang cukup. Kondisi ikan
selama proses penyadaran tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.
Tabel 11. Kondisi ikan maskoki pada proses penyadaran
Menit ke-
Kondisi Ikan
1
Beberapa ikan langsung panik dan limbung, lainnya masih
tergeletak di dasar
3
Beberapa ikan baru mulai panik dan limbung, sebagian besar baru
menggerakkan operkulum, sedikit sudah tenang
5
Sebagian besar ikan masih berenang limbung, beberapa panik
8
Semua ikan sudah tenang, tetapi belum aktif berenang
10
Beberapa ikan mulai aktif berenang
15
Semua ikan sudah aktif berenang (normal)
Dari Tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa ikan maskoki yang telah berada
dalam keadaan pingsan berat dapat kembali berenang dengan normal setelah
proses penyadaran selama 15 menit. Ikan yang telah disadarkan tersebut dapat
berenang dengan lincah dan sangat responsif terhadap rangsangan fisik dari luar.
Gerakan – gerakan anggota badan (insang, sirip dorsal, sirip ventral, dan sirip
ekor) ikan juga sudah kembali bergerak dengan aktif. Hal tersebut ditunjukkan
pula dengan sulitnya menangkap kembali ikan – ikan yang telah disadarkan
tersebut.
4. 6. Suhu Pemingsanan Optimum
Dari hasil pengamatan selama proses pemingsanan telah diketahui bahwa
ikan maskoki berada dalam keadaan pingsan berat setelah tercapai suhu 30C. Ikan
maskoki yang berada dalam keadaan pingsan berat tersebut telah siap untuk
dikemas. Untuk mengetahui apakah suhu 30C merupakan suhu pemingsanan
optimum, maka dilakukan percobaan dengan hasil seperti yang disajikan pada
Tabel 12 di bawah ini.
74
Tabel 12. Penentuan suhu pemingsanan optimum
No.
Tp
(0C)
Ts
(0C)
∆tp
(Jam)
∆ts
(Jam)
SR*
(%)
DC
1
3
10
1
1
14.5
68% Insang berdarah**
2
4
10
1
1
47.2
49% Insang berdarah**
3
5
10
1
1
86.7
42% Insang berdarah**
4
6
10
1
1
100
-
5
6
10
1
3
86.7
46% Insang berdarah**
* Rataan dari 3 kali ulangan
** Persentase dari total ikan yang mati
Keterangan :
Tp
= Suhu pingsan
Ts
= Suhu simpan
∆ts = Lama waktu penyimpanan/waktu tranportasi
∆tp = Lama waktu pemingsanan/waktu pemingsanan
DC = Dead Condition (Kondisi ikan yang mati)
SR
= Survival Rate (Tingkat kelulusan hidup/ikan yang dapat
bertahan hidup setelah diberikan perlakuan)
Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 12 di atas, dapat
diketahui bahwa ikan yang dipingsankan hingga tercapai suhu pingsan 30C atau
yang dikemas dalam keadaan pingsan berat, hanya mempunyai nilai SR 14.5%
setelah dilakukan transportasi (statis). Dari jumlah total ikan yang mati, 68% di
antaranya mengalami pendarahan pada insang. Hal tesebut dapat diketahui dari
keluarnya darah ketika bagian luar operkulum sedikit ditekan dan terdapatnya
bercak darah pada busa media pengisi yang berasal dari insang yang berdarah. Hal
tersebut menunjukkan bahwa suhu pingsan 30C bukan merupakan suhu
pemingsanan optimum, karena menyebabkan kematian selama dilakukannya
transportasi. Sehingga ikan tidak ideal atau tidak tepat untuk dikemas ketika
berada dalam keadaan pingsan berat.
75
Pendarahan pada insang tersebut terjadi karena pecahnya pembuluh darah
kapiler pada insang. Di dalam operkulum insang terdapat beberapa filamen, yang
mana tiap – tiap filamen tersebut terdiri atas banyak lamela. Lamela tersebut
merupakan tempat pertukaran gas, tugas ini ditunjang oleh struktur lamela yang
tersusun atas sel – sel epitel yang tipis pada bagian luar, membran dasar, dan sel –
sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamela yang tidak
menempel pada lengkung insang sangat tipis, ditutupi oleh epitelium. Pada lamela
tersebut banyak mengandung jaringan pembuluh darah kapiler. Pada proses
respirasi, air akan dilewatkan melalui permukaan yang tipis dari lamela tersebut
untuk memungkinkan terjadinya pertukaran gas secara difusi. (Fujaya, 2004).
Pada saat dilakukannya proses pemingsanan ikan dengan suhu rendah, suhu
air yang melewati permukaan lamela juga ikut mempengaruhi suhu cairan yang
ada di dalam sel – sel epitel lamela dan pembuluh darah kapiler. Semakin rendah
suhu air akan mengakibatkan densitas cairan pada sel – sel epitel lamela dan
pembuluh darah kapiler insang semakin rendah, sehingga akan mengakibatkan
volume cairan pada sel – sel epitel lamela dan pembuluh darah kapiler insang
tersebut akan semakin besar. Bertambah besarnya volume cairan tersebut hingga
dapat melampaui batas daya elastisitas dari sel – sel epitel lamela dan pembuluh
darah kapiler insang, akan menyebabkan pecahnya struktur lamela hingga
merusak filamen – filamen pada insang. Rusaknya filamen – filamen pada insang
tersebut dapat memungkinkan darah keluar dari insang.
Ikan mas koki yang dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap
hingga mengalami pingsan berat pada suhu 30C dan dipertahankan pada suhu
tersebut selama 5 menit, ketika langsung disadarkan di dalam air yang bersuhu
normal (± 270C) dengan aerasi yang cukup, tidak ada satu pun ikan yang
mengalami pendarahan pada insangnya. Pendarahan pada insang terjadi setelah
ikan disimpan di dalam kemasan pada suhu yang dipertahankan 100C selama 1
jam. Ketika ikan langsung disadarkan di dalam air yang bersuhu normal (± 270C)
setelah mengalami pingsan berat pada suhu 30C dan dipertahankan pada suhu
tersebut selama 5 menit, air yang bersuhu normal (± 270C) tersebut dapat dengan
cepat menaikkan densitas cairan yang ada di dalam sel – sel epitel lamela dan
76
pembuluh darah kapiler, sehingga volume cairan tersebut tidak mengakibatkan
pecahnya struktur lamela yang mengakibatkan pendarahan pada insang.
Suhu awal media pengisi (busa) sama dengan suhu pemingsanan ikan.
Ketika ikan maskoki dipingsankan hingga suhu 30C, maka suhu awal dari media
pengisi tersebut juga 30C. Pola kenaikan suhu media pengisi di dalam kemasan
ketika suhu penyimpanan dipertahankan 100C selama waktu transportasi, dapat
dilihat pada Lampiran 11. Dari Lampiran 11 dapat diketahui bahwa kenaikan suhu
media pengisi hingga stabil pada 100C membutuhkan waktu hampir 11 menit.
Suhu pemingsanan dan suhu awal media pengisi pada 30C, serta kenaikan hingga
suhu 100C selama 11 menit, kemudian dipertahankan pada suhu 100C hingga
1 jam dari awal penyimpanan (transportasi), mungkin masih menyebabkan cairan
yang ada di dalam sel – sel epitel lamela dan pembuluh darah kapiler mempunyai
densitas yang rendah, sehingga volume cairan tersebut mengakibatkan pecahnya
struktur lamela dan menyebabkan pendarahan pada insang pada saat ikan
ditransportasi (statis).
Pada Tabel 12 di atas dapat terlihat bahwa ketika ikan dikemas pada suhu
pingsan yang lebih tinggi, maka jumlah ikan yang mengalami pendarahan
semakin berkurang. Hingga pada ikan dikemas pada suhu pingsan 60C, tidak
terdapat lagi ikan yang mati (SR 100%) dan mengalami pendarahan pada insang,
setelah dilakukan transportasi pada suhu penyimpanan dan dengan lama waktu
transportasi yang sama. Kondisi ikan tersebut kembali normal setelah dilakukan
proses penyadaran selama 15 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa setelah
tercapainya suhu pingsan 60C merupakan saat yang ideal atau tepat bagi ikan
untuk dilakukan pengemasan setelah proses pemingsanan. Suhu 60C merupakan
suhu di mana ikan mengalami pingsan ringan pada proses pemingsanan dengan
penurunan suhu secara bertahap. Sehingga saat yang ideal atau tepat bagi ikan
untuk dilakukan pengemasan setelah proses pemingsanan adalah pada saat ikan
berada dalam keadaan pingsan ringan.
Untuk mengetahui apakah dengan suhu pingsan 60C dapat mempertahankan
nilai SR 100% lebih dari 1 jam waktu transportasi, maka lama waktu
transportasinya diperpanjang hingga 3 jam. Dari hasil percobaan pada Tabel 12 di
atas menunjukkan bahwa jika lama waktu tranportasinya diperpanjang hingga
77
3 jam menyebabkan nilai SR ikan turun menjadi 86.7% dan terdapat kembali 46%
ikan yang berdarah insangnya dari jumlah total ikan yang mati. Persentasi ikan
yang berdarah ini bahkan lebih besar dari ikan yang dikemas pada suhu pingsan
50C. Hal tersebut diperkirakan terjadi karena volume cairan yang ada di dalam sel
– sel epitel lamela dan pembuluh darah kapiler mengembang hingga merusak
struktur lamela yang mengakibatkan pendarahan pada insang selama waktu
penyimpanan 3 jam pada suhu simpan 100C. Dari hal tersebut dapat diketahui
bahwa suhu simpan 100C masih terlalu dingin untuk penyimpanan ikan maskoki
selama 3 jam. Oleh kerena itu pada tahap selanjutnya, dilakukan percobaan untuk
menetapkan suhu penyimpanan optimum. Ikan yang mengalami pendarahan pada
insang serta bercak darah yang terdapat pada busa media pengisi, dapat dilihat
pada Lampiran 9.
4. 7. Suhu Penyimpanan Optimum
Dari tahap sebelumnya diketahui bahwa suhu simpan 100C diperkirakan
masih terlalu rendah untuk waktu transportasi selama 3 jam. Oleh kerena itu pada
tahap ini digunakan suhu simpan yang lebih tinggi. Hasil percobaan pada tahap ini
yang dilakukan untuk memperoleh suhu penyimpanan optimum, disajikan pada
Tabel 13 di bawah ini.
Tabel 13. Penentuan suhu penyimpanan optimum
∆tp
∆ts
(Jam) (Jam)
1
3
SR*
(%)
100
1
Tp
(0C)
6
Ts
(0C)
12
2
6
12
1
6
28.9
67% Insang berdarah**
3
6
14
1
6
55.6
75% Insang berdarah**
4
6
16
1
6
82.8
Insang tidak berdarah, tidak kaku
5
6
18
1
6
82.8
Insang tidak berdarah, tidak kaku
6
6
20
1
6
76.1
Insang tidak berdarah, 40%
kaku**
No.
* Rataan dari 3 kali ulangan
** Persentase dari total ikan yang mati
DC
-
78
Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 13 di atas dapat
diketahui bahwa suhu simpan yang dinaikkan menjadi 120C dapat meningkatkan
nilai SR hingga menjadi 100% untuk waktu transportasi selama 3 jam. Untuk
mengetahui apakah dengan naiknya suhu simpan menjadi 120C dapat
mempertahankan nilai SR 100% lebih dari 3 jam waktu transportasi, maka lama
waktu transportasinya diperpanjang hingga menjadi 6 jam.
Dari hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 13 di atas, terlihat bahwa
dengan diperpanjangnya waktu transportasi menjadi 6 jam, menyebabkan
turunnya nilai SR hingga menjadi 28.9% pada ikan yang ditranportasi dengan
suhu simpan 120C. Waktu transportasi selama 6 jam juga menyebabkan 67% dari
jumlah total ikan yang mati mengalami pendarahan pada insangnya. Hal tersebut
diduga karena suhu simpan 120C masih terlalu rendah untuk waktu transportasi
selama 6 jam, oleh kerena itu pada proses transportasi selanjutnya dicobakan
dengan mengunakan suhu simpan yang lebih tinggi.
Dari hasil pada Tabel 13 di atas ditunjukkan bahwa kenaikan suhu simpan
hingga 200C tidak dapat meningkatkan nilai SR hingga menjadi 100% pada waktu
transportasi selama 6 jam. Pada suhu simpan 160C dan 180C terjadi kenaikan nilai
SR hingga 82.8%, akan tetapi nilai SR menurun hingga menjadi 76.1% pada suhu
simpan 200C. Terlihat pula pada Tabel 13 di atas, masih terdapat insang yang
berdarah sebanyak 75% dari jumlah total ikan yang mati pada suhu simpan 140C.
Hal tersebut diduga karena suhu simpan 140C juga masih terlalu rendah untuk
waktu transportasi selama 6 jam. Pada suhu simpan 160C dan 180C, kondisi ikan
yang mati tidak menunjukkan perubahan apa pun (tidak berdarah dengan kondisi
tubuh yang lentur) setelah dilakukannya transportasi. Sedangkan pada suhu
simpan 200C, 40 % dari jumlah total ikan yang mati menunjukkan kondisi tubuh
yang kaku, seperti mulut terbuka dan tubuh mengeras. Hal tersebut diperkirakan
karena suhu simpan 200C dapat menaikkan metabolisme basal dari ikan yang
berada dalam keadaan pingsan, sehingga ikan yang terdapat di dalam kemasan
tersebut terbangun/tersadar. Ikan yang tersadarkan tersebut dapat menyebabkan
kandungan O2 di dalam kemasan habis dengan cepat, sehingga dapat
menyebabkan ikan mati dalam keadaan kaku.Ikan yang mati dalam keadaan kaku
dengan mulut terbuka dapat dilihat pada Lampiran 10.
79
Dari hasil percobaan pada tahap ini, tidak tercapainya nilai SR 100% (nilai
SR optimum) pada waktu transportasi selama 6 jam diperkirakan disebabkan oleh
terlalu singkatnya lama waktu pemingsanan yang dilakukan sebelum ikan
ditransportasi, yang pada tahap ini hanya dilakukan selama 1 jam. Dari hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa waktu pemingsanan selama 1 jam dapat
menghasilkan nilai SR 100% hanya dalam waktu transportasi selama 3 jam,
dengan suhu simpan 120C. Sehingga pada tahap selanjutnya, sebelum dilakukan
transportasi,
terlebih dulu
dilakukan pemingsanan
ikan
dengan
waktu
pemingsanan yang lebih lama (lebih dari 1 jam).
4. 8. Pengaruh Waktu Pemingsanan terhadap SR
Dari tahap sebelumnya diketahui bahwa untuk waktu transportasi selama
6 jam, peningkatan suhu simpan sampai dengan pada suhu 200C, tidak dapat
mencapai nilai SR 100% (nilai SR optimum). Bahkan pada suhu simpan 200C
tersebut, nilai SR yang dihasilkan lebih kecil dari pada nilai SR yang dihasilkan
pada suhu simpan 160C dan 180C. Hal tersebut diperkirakan disebabkan karena
waktu pemingsanan yang hanya selama 1 jam. Pada tahap ini dilakukan percobaan
untuk mengetahui pengaruh lama waktu pemingsanan terhadap nilai SR yang
dihasilkan setelah ikan ditransportasi.
Sebelum dipaparkannya hasil dari percobaan yang menunjukkan pengaruh
lama waktu pemingsanan terhadap nilai SR, maka pada tabel 14 di bawah ini
ditunjukkan hasil dari pengaturan berbagai volume air yang terdapat di dalam bak
pemingsanan ikan untuk mendapatkan lama waktu pemingsanan yang telah
ditetapkan sebagai perlakuan, yaitu: 2, 4, 6, dan 8 jam. Debit air yang masuk dan
keluar (bersirkulasi) dari mesin water chiller ke bak pemingsanan ikan adalah
0.038 liter/detik.
80
Tabel 14. Hasil pengaturan volume air terhadap waktu pemingsanan
Q = 0.038 liter/detik
Volume air (liter)
Waktu pemingsanan (jam)
100
2
200
300
4
6
400
8
Pada tabel 14 di atas ditunjukkan bahwa dengan debit air 0.038 liter/detik
yang bersirkulasi dari bak pemingsanan masuk ke water chiller, perbedaan
volume air yang terdapat di dalam bak pemingsanan dapat menghasilkan waktu
pemingsanan yang berbeda pula. Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa setiap
kenaikan 100 liter air yang terdapat di dalam bak pemingsanan mengakibatkan
waktu pemingsanan yang dihasilkan lebih lama 2 jam dari pada volume air
sebelumnya. Hasil percobaan yang menunjukkan pengaruh lama waktu
pemingsanan terhadap nilai SR yang dihasilkan setelah ikan ditransportasi,
disajikan pada Tabel 15 di bawah ini.
Tabel 15. Pengaruh lama waktu pemingsanan terhadap SR
SR*
(%)
DC
6
37.2
65% Insang berdarah**
4
6
64.4
72% Insang berdarah**
12
6
6
84.4
Insang tidak berdarah, tidak kaku
6
12
8
6
100
-
5
6
12
8
12
76.7
33% Insang berdarah**
6
6
14
8
12
76.1
Insang tidak berdarah, tidak kaku
7
6
16
8
12
83.9
Insang tidak berdarah, tidak kaku
8
6
18
8
12
88.3
Insang tidak berdarah, tidak kaku
9
6
20
8
12
83,9
Insang tidak berdarah, 52% kaku**
No.
Tp
(0C)
Ts
( C)
1
6
12
2
2
6
12
3
6
4
0
∆tp
∆ts
(Jam) (Jam)
* Rataan dari 3 kali ulangan
** Persentase dari total ikan yang mati
81
Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 15 di atas dapat
diketahui bahwa dengan lama waktu pemingsanan yang semakin panjang dapat
meningkatkan nilai SR dalam waktu transportasi selama 6 jam. Pada Tabel 15 di
atas terlihat bahwa waktu pemingsanan selama 8 jam dengan suhu simpan 120C
dapat menghasilkan nilai SR 100% dalam waktu transportasi selama 6 jam. Pada
waktu pemingsanan selama 2 jam dan 4 jam, terdapat ikan mati yang insangnya
berdarah. Sedangkan pada waktu pemingsanan selama 6 jam tidak terdapat insang
yang berdarah pada ikan yang mati, padahal masing – masing dari perlakuan
tersebut ikan ditransportasi pada suhu simpan yang sama, yaitu pada suhu 120C.
Hal tersebut diperkirakan karena ikan yang dipingsankan dengan waktu
pemingsanan selama 2 jam dan 4 jam, secara fisiologi, masih terlalu cepat untuk
teradaptasi dengan suhu simpan 120C selama 6 jam waktu transportasi, sehingga
masih terjadi pendarahan pada insang. Sedangkan ikan yang dipingsankan dengan
waktu pemingsanan selama 6 jam, secara fisiologi masih belum teradaptasi
dengan benar dan masih lemah untuk ditransportasi selama 6 jam, sehingga tidak
tercapai nilai SR 100%.
Untuk mengetahui apakah waktu pemingsanan selama 8 jam dengan suhu
simpan 120C dapat mempertahankan nilai SR 100% lebih dari 6 jam waktu
transportasi, maka lama waktu transportasinya diperpanjang hingga menjadi 12
jam. Dari hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 15 di atas, terlihat bahwa
dengan diperpanjangnya waktu transportasi menjadi selama 12 jam, menyebabkan
turunnya nilai SR hingga menjadi 76.7% pada ikan yang ditranportasi dengan
suhu simpan 120C. Perpanjangan waktu transportasi tersebut menyebabkan pula
33% dari ikan yang mati mengalami pendarahan. Hal tersebut diperkirakan karena
suhu 120C masih terlalu rendah untuk waktu transportasi selama 12 jam.
Pada Tabel 8 di atas juga ditunjukkan bahwa dengan ditingkatkannya suhu
simpan hingga 200C tidak dapat meningkatkan nilai SR hingga menjadi 100%
pada waktu transportasi selama 12 jam. Hal ini diperkirakan karena pada waktu
pemingsanan selama 8 jam, secara fisiologi, ikan masih belum teradaptasi dengan
benar, sehingga kondisinya masih lemah untuk ditransportasi selama 12 jam.
Bahkan pada suhu simpan 200C terdapat ikan yang mati kaku sebanyak 52% dari
total ikan yang mati. Sama dengan perlakuan pada tahap sebelumnya, suhu
82
simpan 200C dapat menyababkan ikan yang terdapat di dalam kemasan
terbangun/tersadar, sehingga dapat menyebabkan ikan mati dalam keadaan kaku
karena kekurangan O2.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kenaikan waktu pemingsanan
menjadi selama 8 jam dapat menghasilkan nilai SR 100% hanya dalam waktu
transportasi selama 6 jam, dengan suhu simpan 120C. Sehingga untuk
mendapatkan nilai SR 100% pada waktu transportasi selama 12 jam, maka
diperkirakan lama waktu pemingsanan ikan harus lebih dari 8 jam. Akan tetapi
pada penelitian ini, variabel waktu pemingsanan yang diujikan untuk mengetahui
pengaruh lama waktu pemingsanan terhadap nilai SR yang dihasilkan setelah ikan
ditransportasi, adalah selama 2, 4, 6, dan 8 jam.
Pada waktu transportasi selama 12 jam, nilai SR yang dihasilkan pada suhu
simpan 140C lebih rendah dari pada nilai SR yang dihasilkan pada suhu simpan
120C. Akan tetapi nilai SR yang dihasilkan pada suhu simpan 160C dan 180C lebih
tinggi dari pada nilai SR yang dihasilkan pada suhu simpan 120C, dan nilai SR
yang dihasilkan pada suhu simpan 180C lebih tinggi dari pada nilai SR yang
dihasilkan pada suhu simpan 160C. Pada suhu simpan 200C nilai SR kembali
menurun dan nilainya sama dengan nilai SR yang dihasilkan pada suhu simpan
120C.
4. 9. Pengaruh Penurunan Konsentrasi O2 terhadap SR
Percobaan pada tahap ini didasarkan pada hasil penelitian yang
menyimpulkan bahwa laju konsumsi O2 oleh ikan menurun seiring dengan
menurunnya kandungan O2 terlarut di dalam air, sehingga akan menurunkan laju
metabolismenya (Fry, 1957). Penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan
diharapkan dapat mengurangi laju metabolisme ikan yang dikemas di dalamnya,
sehingga ikan dapat ditransportasikan lebih lama. Hasil percobaan untuk
mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi O2 terhadap tingkat SR selama
transportasi sistem kering, disajikan pada Tabel 16 di bawah ini.
83
Tabel 16. Pengaruh penurunan konsentrasi O2 terhadap SR
No.
Tp
(0C)
Ts
(0C)
∆tp
(jam)
∆ts
(jam)
[O2]
(%)
SR*
(%)
DC
1
6
12
8
6
15
100
-
2
6
12
8
6
10
100
-
3
6
12
8
6
5
100
-
4
6
12
8
12
15
96.1
Insang tidak berdarah,
tidak kaku
5
6
14
8
12
15
100
-
6
6
14
8
18
15
94.4
Insang tidak berdarah,
tidak kaku
7
6
16
8
18
15
100
-
8
6
16
8
24
15
90
Insang tidak berdarah,
tidak kaku
9
6
18
8
24
15
93.3
Insang tidak berdarah,
tidak kaku
10
6
20
8
24
15
80
Insang tidak berdarah,
42% kaku**
11
6
18
8
20
15
100
-
12
6
18
8
20
10
90
Insang tidak berdarah,
tidak kaku
13
6
18
8
20
5
75.6
Insang tidak berdarah,
43% kaku**
14
6
18
8
24
21
100
-
15
6
18
8
28
21
88.9
Insang tidak berdarah,
tidak kaku
16
6
20
8
28
21
73.3
Insang tidak berdarah,
52% kaku**
* Rataan dari 3 kali ulangan
** Persentase dari total ikan yang mati
84
Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 16 di atas dapat
diketahui bahwa ketiga konsentrasi O2 yang berbeda yaitu sebesar 15%, 10%, dan
5% yang terdapat di dalam kemasan, dapat menghasilkan nilai SR 100% pada
waktu transportasi selama 6 jam dengan suhu simpan 120C. Waktu transportasi
selama 6 jam dengan suhu simpan 120C ini digunakan karena pada tahap
sebelumnya dapat menghasilkan nilai SR 100% untuk lama waktu pemingsanan
ikan 8 jam. Untuk mengetahui apakah ketiga konsentrasi O2 tersebut dapat
mempertahankan nilai SR 100% lebih dari 6 jam waktu transportasi, maka lama
waktu transportasinya diperpanjang lebih dari 6 jam.
Pada Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa, pada kemasan yang
mengandung konsentrasi O2 15% mengalami penurunan nilai SR ketika lama
waktu transportasinya terus diperpanjang. Akan tetapi ketika suhu simpannya ikut
dinaikkan, maka nilai SRnya kembali meningkat. Kondisi tersebut berlanjut
sampai pada suhu simpan 160C dengan waktu transportasi selama 18 jam. Waktu
transportasi selama 24 jam tidak dapat menghasilkan nilai SR hingga menjadi
100%, meski pun suhu simpannya terus dinaikkan. Bahkan ketika suhu simpannya
dinaikkan menjadi 200C, nilai SRnya lebih kecil dari pada nilai SR yang
dihasilkan pada suhu simpan 180C.
Oleh karena pada kemasan dengan konsentrasi O2 15% tidak dapat
menghasilkan nilai SR 100% pada waktu transportasi selama 24 jam, meski pun
suhu simpannya telah terus dinaikkan, maka waktu transportasinya diperpendek
hingga menjadi 20 jam. Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa kemasan dengan
konsentrasi O2 15% pada suhu simpan 180C dapat menghasilkan nilai SR 100%
setelah ditransportasi selama 20 jam. Suhu simpan 180C yang digunakan tersebut
diacukan dari suhu simpan yang menghasilkan nilai SR tertinggi pada waktu
transportasi selama 24 jam.
Setelah kemasan dengan konsentrasi O2 15% pada suhu simpan 180C dapat
menghasilkan nilai SR 100% setelah ditransportasi selama 20 jam, maka
selanjutnya kemasan dengan konsentrasi O2 10% dan 5% pada suhu simpan 180C,
juga ditransportasi selama 20 jam untuk membandingkan nilai SR yang
dihasilkannya. Hasil pada Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa kemasan dengan
85
konsentrasi O2 10% dan 5% pada suhu simpan 180C, masing – masing hanya
menghasilkan nilai SR 90% dan 75.6% setelah ditransportasi selama 20 jam.
Kemasan dengan konsentrasi O2 normal yaitu sebesar ± 21%, diujikan
sebagai kontrol untuk membandingkan nilai SR yang dihasilkannya dengan nilai
SR kemasan dengan konsentrasi O2 15%, 10%, dan 5%. Hasil pada Tabel 16 di
atas menunjukkan bahwa kemasan dengan konsentrasi O2 normal (21%) pada
suhu simpan 180C dapat menghasilkan nilai SR 100% setelah ditransportasi
selama 24 jam. Akan tetapi ketika waktu transportasinya diperpanjang hingga
menjadi 28 jam, nilai SRnya mengalami penurunan, meski pun suhu simpannya
telah ikut dinaikkan. Bahkan ketika suhu simpannya dinaikkan menjadi 200C,
nilai SRnya lebih kecil dari pada nilai SR yang dihasilkan pada suhu simpan 180C.
Sehingga untuk kemasan dengan konsentrasi normal, ikan tidak dapat
ditransportasi lebih dari 24 jam, karena nilai SRnya akan terus menurun.
Dari data – data tersebut di atas menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi
O2 yang terdapat di dalam kemasan dapat mengakibatkan penurunan nilai SR
setelah ikan ditransportasi dalam jangka waktu yang sama. Sebaliknya, jika
konsentrasi O2 yang terdapat di dalam kemasan berada pada konsentrasi normal
(±21%), maka dapat menghasilkan kenaikkan nilai SR setelah ikan ditransportasi
dalam jangka waktu sama pula. Hal tersebut diperkirakan disebabkan karena pada
keadaan pingsan, laju metabolisme ikan berada pada keadaan basal, sehingga laju
konsumsi O2 oleh ikan tersebut telah berada pada tingkat yang paling rendah.
Oleh karena ikan yang pingsan tersebut telah berada pada tingkat laju konsumsi
O2 yang paling rendah, penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan tidak akan
berpengaruh untuk menurunkan lagi laju konsumsi O2 seperti yang terjadi pada
ikan yang masih sadar/tidak pingsan. Oleh karena ikan yang pingsan laju
konsumsi O2-nya berada pada kecepatan yang stabil, yaitu pada tingkat kecepatan
yang paling rendah, maka ikan (dalam keadaan pingsan) yang berada di dalam
kemasan yang mengandung konsentrasi O2 paling tinggi (yang pada penelitian ini
pada konsentrasi O2 normal) yang dapat bertahan hidup lebih lama.
86
Pada awal dari hasil tahap ini telah diketahui bahwa pada ketiga konsentrasi
O2 yang berbeda yaitu sebesar 15%, 10%, dan 5% yang terdapat di dalam
kemasan, dapat menghasilkan nilai SR 100% pada waktu transportasi selama 6
jam dengan suhu simpan 120C. Hal tersebut diperkirakan dapat terjadi karena
kebutuhan konsumsi O2 oleh ikan mas koki yang berada pada tingkat laju
konsumsi O2 paling rendah tersebut (dalam keadaan pingsan), masih dapat
dipenuhi di dalam kemasan yang mengandung konsentrasi O2 5% selama 6 jam
waktu transportasi pada suhu simpan 120C, hingga menghasilkan nilai SR 100%.
Oleh karena itu, sudah pasti bahwa kemasan yang mengandung konsentrasi O2
15% dan 10% juga dapat mempertahankan kehidupan ikan maskoki hingga
menghasilkan nilai SR 100% dalam waktu transportasi selama 6 jam dengan suhu
simpan 120C.
Pada waktu transportasi selama 20 jam dengan suhu simpan 180C, telah
diketahui bahwa hanya kemasan yang mengandung konsentrasi O2 15% saja yang
dapat mempertahankan kehidupan ikan hingga menghasilkan nilai SR 100%.
Sedangkan kemasan yang mengandung konsentrasi O2 10% dan 5% masing –
masing hanya menghasilkan nilai SR 90% dan 75.6%. Hal tersebut diperkirakan
dapat terjadi karena kebutuhan konsumsi O2 oleh ikan mas koki yang berada pada
tingkat laju konsumsi O2 paling rendah tersebut (dalam keadaan pingsan), sudah
tidak dapat dipenuhi di dalam kemasan yang mengandung konsentrasi O2 10%
dan 5% selama 20 jam waktu transportasi pada suhu simpan 180C, sehingga tidak
lagi dapat mempertahankan kehidupan ikan maskoki hingga menghasilkan nilai
SR 100%. Ketika konsentrasi O2 di dalam kemasan tersebut tidak dikurangi
sedikit pun (berada pada konsentrasi normal), ternyata dapat memepertahankan
kehidupan ikan maskoki hingga menghasilkan nilai SR 100% selama 24 jam
waktu transportasi pada suhu simpan 180C.
87
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan
a. Busa yang digunakan sebagai media pengisi dalam pengemasan ikan maskoki
hidup, terbukti tidak berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan maskoki. Busa
tersebut diketahui memiliki daya serap air yang baik dan juga memiliki
densitas kamba yang kecil. Selain itu busa yang lembab tidak mengeluarkan
bau apa pun.
b. Efisiensi kemasan pada jenis kemasan rak biasa dan jenis kemasan rak berisi
udara, termasuk memiliki nilai efisiensi yang tinggi, yaitu kurang – lebih
sekitar 50%.
c. Suhu pingsan optimum untuk pemingsanan ikan maskoki dengan penurunan
suhu secara bertahap adalah pada suhu 60C.
d. Waktu pemingsanan optimum untuk pemingsanan ikan maskoki dengan
penurunan suhu secara bertahap adalah selama 8 jam.
e. Suhu penyimpanan optimum dalam transportasi ikan maskoki hidup sistem
kering adalah pada suhu 180C.
f. Penurunan konsentrasi O2 optimum di dalam kemasan adalah konsentrasi O2
yang diturunkan 0% (kemasan dengan konsentrasi O2 21% (kontrol)).
g. Waktu transportasi (statis) optimum pada transportasi ikan maskoki hidup
sistem kering adalah selama 24 jam dengan kondisi sebagai berikut: suhu
pingsan ikan 60C, waktu pemingsanan secara bertahap selama 8 jam, suhu
penyimpanan 180C, dan konsentrasi O2 di dalam kemasan 21%.
5. 2. Saran
a. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut tetang rancangan kemasan yang murah
dan dapat mempertahankan sendiri suhu di dalamnya, sehingga tidak
memerlukan peti kemas (container) dengan mesin pendingin.
88
b. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut tetang pengaruh penggunaan kemasan
yang berisi udara dengan konsentrasi O2 di atas konsentrasi O2 normal
terhadap tingkat kelulusan hidup (nilai SR) ikan maskoki pada transportasi
sistem kering.
c. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut tetang pola selisih antara suhu pingsan
optimum dengan suhu penyimpanan optimum pada setiap jenis ikan yang
berbeda.
d. Perlu dilakukan pengkajian secara mendetail terhadap perubahan fisiologi
yang terjadi pada ikan maskoki selama proses pemingsanan, transportasi
(penyimpanan), serta penyadaran kembali.
89
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R. dan Tang, U. M. 2002. Fisiologi Hewan Air. Badan Penerbit
Universitas Riau. Pekanbaru. Riau.
Angka, S. L. Dan M. T. Maggy. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Penerbit Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.
Anonim. 1980. Encyclopedia Americana. Volume ke-1. USA: Americana
Corporation. International Headquaters. Denbury, Connecticut. 06816.
Anonim. 2003. Ekspor Ikan Hias RI tergantung Singapura. http: // www. kompas.
Com / kompas-cetak / 0308 / 14 / ekonom / 491804.htm. Edisi tanggal
14/08/2003.
Anonim. 2004. Terminal Ikan Hias Pertama di Indonesia. http: // www.pikiranrakyat.com / cetak / 0103 / 07 / 0606.htm. Edisi tanggal 07/01/2004.
Anonim. 2005. Produksi Ikan Hias di Kotamadya Jakarta Selatan. Suku Dinas
Peternakan dan Perikanan Kotamadya Jakarta Selatan.
Anonim. 2006. Ikan Hias Andalan Perekonomian Jabar. http: // www. jabar. go. Id
/ lang / user / berita.jsp?id=1813&type=C. Edisi tanggal 30/10/2006.
Anonim. 2008. Basal Metabolic Rate. Wikipedia. http: // en. wikipedia. org / wiki
/ Basal_Metabolic_Rate. Edisi tanggal 26/04/2008.
Axelrod, H. R. dan W. Vorderwinkler. 1986. Encyclopedia of Tropical Aquarium
Fishes. T. F. H. Publications, Inc. Neptune, New Jersey.
Berka, R. 1986. The Transport of Live Fish. EIFAC Tech. Pap., FAO, (48): 52.
Budhiman, A. A. dan P. Lingga. 1999. Maskoki. Penerbit Penebar Swadaya.
Jakarta.
Daelami, D. A. S. 2001. Usaha Pembenihan Ikan Hias Air Tawar. Penerbit
Penebar Swadaya . Jakarta.
Daelami, D. A. S. 2002. Agar Ikan Sehat. Penerbit Penebar Swadaya . Jakarta.
90
Dal vesco, V., W. Klausewitz, B. Peyronel, dan E. Tortonese. 1975. Aquarium
Life. Chartwell Books, Inc. Secaucos, New Jersey.
Fry, F. E. J. and Hart, J. S. 1948. The relation of temperature to oxygen
consumption in the goldfish. Bio/. Bull., Woods Hole, 94, 66.
Fry, F. E. J. 1957. The Aquatic Respiration of Fish. In: The Physiology of Fishes
Vol. I. M. E. Brown (ed). Academic Press Inc. Publisher. New York
Fry, F. E. J. and K. S. Norris. 1962. The Transportation of Live Fish. In: Fish as
Food Vol. II. G. Borgstrom (ed). Academic Press Inc. Publisher. New
York.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan, Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Penerbit
Rineka Cipta. Jakarta.
Geankoplis, C. J. 1987. Transport Processes and Unit Operation. Allyn and Bacon
Inc. Landon.
Huet, M. 1994. Textbook of Fish Culture: Breeding and Cultivation of Fish. 2nd
Edition. Fishing News Books, Ltd. England.
Ilyas, S. 1983. Teknologi Refrigrasi hasil Perikanan Jilid I: Teknik Pendinginan
Ikan. Penerbit CV. Paripurna. Jakarta.
Inaba, A., Y. Kubo, and R. Nakamura. 1989. Automated Microcomputer System
for Measurment of O2 Uptake, CO2 Output, and C2H4 Evolution by
Fruit and Vegetable. J. Jspan. Soc. Hort. Sci. 58(2). Okayama.
Irania, Y. 2003. Mempelajari Suhu Optimal dan Pola Penurunan Kadar O2 Ruang
Kemasan pada Transportasi Udang dan Ikan Sistem Kering. Skripsi.
Jurusan Teknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jailani. 2000. Mempelajari Pengaruh Penggunaan Pelepah Pisang sebagai Bahan
Pengisi terhadap Tingkat Kelulusan Hidup Ikan Mas (Cyprinus
carpio). Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Jangkaru, Z. 2003. Memelihara Ikan di Kolam Tadah Hujan. Penerbit Penebar
Swadaya. Jakarta.
91
Jhingran, V. G. and R. S. V. Pulin. 1985. A Hatchery Manual for The Common
Carp, Chinese, and Indian Major. ICLARM Studies and Reviews II.
Asian Development Bank.
Kafuku, T. Dan H. Ikenoue. 1983. Modern Method of Aquaculture in Japan.
Kodansha, Ltd. Tokyo.
Karnila, R. 1998. Penenganan dan Transportasi Udang Windu Tambak (Peneus
monodon Fab.) Hidup dengan Sistem Kering. Thesis. Program Studi
Teknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lingga, P. dan H. Susanto. 1999. Ikan Hias Air Tawar. Penerbit Penebar
Swadaya. Jakarta.
Liviawaty, E. dan E. Afrianto. 1999. Maskoki, Budidaya dan Pemasarannya.
Penerbit Kanisius. Jakarta.
Mc Farland. 1959. A Study of The Effects of Anasthetic on Behavior and
Physiology of Fishes. Publ. Inst. Mar. Univ. Texas.
Mohsein, N. W. 1980. Thermal Properties of Food and Agricultural Material.
Gordon and Breach Science Publishing. New York.
Muslih, I. 1996. Rancangan Media Pengisi Kemasan untuk Transportasi Udang
Windu Tambak (Penaeus monodon FAB.) Hidup dalam Media Bukan
Air. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Nitibaskara, R. R., S. Wibowo, dan R. Affandi. 1997. Pengembangan Teknologi
Penanganan dan Transportasi Udang Hidup untuk Peningkatan Ekspor.
Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Piper, R. G., Ivan, B., Mc Elwain, Leo, and E. Orme. 1982. Fish Hatchery
Management. United States Department of Interior Fish and Wild Life
Service. Washington D. C.
Prasetiyo. 1993. kajian Kemasan Dingin untuk transportasi Udang Hidup secara
Kering. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fateta IPB. Bogor.
Prasetyawati, R. 1994. Studi Penenangan dan Pemingsanan Ikan Gurame
(Osphronemus gouramy Lac.) untuk Transportasi Hidup dalam Media
tanpa Air. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
92
Prave, P., Faust, W. Sitting, and D. A. Sukatch. 1987. Fudamental of
Biotechnology. UCH Verlagsgesellschaft mbH, D – 6940 Weinheim.
Randall, D. J. 1970. Gas Exchange in Fish. In: Fish Physiology Vol. IV. W. S.
Hoar and D. J. Randall (ed). Academic Press Inc. Publisher. New
York.
Rankin, J. B. and Jensen, F. B. 1993. Fish Ecophysiology. 1st ed. Chapman and
Hall Publisher. London.
Soekarto, S. T. dan S. Wibowo. 1993. Cara Penangaan Udang Hidup di luar Air
untuk Transportasi Tujuan Export. Makalah Seminar Hasil – hasil
Penelitian IPB. Bogor, 9 Februari 1993.
Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang dalam Tambak. Kerjasama antara
Pemerintah Daerah DKI Jakarta dengan Gramedia. Jakarta.
Setyowati, U. 1995. Mempelajari Tingkat Mortalitas Lobster Hijau (Panelirus
homarus) dalam Kemasan Dingin Bahan Pengisi Serbuk Gergaji dan
Koran sebagai Pembungkus. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil
Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Stickney R. R. 1979. Principles of Warmwater Aquaculture. John Wiley and Son,
Inc. New York.
Sunyoto, P. 1993. Pembesaran Kerapu dengan Keramba Jaring Apung. Penerbit
Penebar Swadaya. Jakarta.
Syuaib, L. R. 2002. Penentuan Suhu Pemingsanan Beberapa Jenis Ikan dan Uji
Performasi Peti Kemas Transportasi Sistem Kering. Skripsi. Jurusan
Teknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tseng, W. Y. 1987. Shrimp Mariculture A Practical Manual. Port Moresby.
Departement of Papua Nuguinea.
Utomo, B. S. B., Suryaningrum, T. D., Sari A., dan Wibowo, S. 1998. Intisari
Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Slipi.
Jakarta.
Wardoyo, S. T. H. dan D. Jokosetyani. 1988. Pengelolaan Kualitas Air Tambak
Udang. Prosiding Seminar Memacu Keberhasilan dan Pengembangan
Usaha Pertambakan. Bogor, 16 – 17 September 1988.
93
Wibowo, S. 1993. Penerapan Teknologi Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup
di Indonesia. Sub Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi. Jakarta.
Wibowo, S., E. Setiabudi, D. Suryaningrum, dan Y. Sudradjat. 1994. Pengaruh
Penurunan Suhu terhadap Aktifitas Lobster Hijau (Panulirus
hamarus). Balai Penelitian Perikanan Laut.. Balai penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
94
Lampiran 1. Bagan alir tahapan – tahapan penelitian
Pengujian toksisitas media pengisi (busa)
20 l air + 20 ikan + busa
24 jam
Daya serap air oleh media pengisi
(% berat basah dan % berat kering)
Densitas kamba media pengisi
Efisien kemasan
Menentukan suhu pemingsanan optimum
(3, 4, 5, dan 60C)
Menentukan suhu penyimpanan optimum
(10, 12, 14, 16, 18, dan 200C)
Pengruh waktu pemingsanan terhadap nilai SR
(2, 4, 6, dan 8 jam)
Pengaruh penurunan konsentrasi O2 terhadap SR
(21 (kontrol), 15, 10, dan 5%)
Menentukan waktu transportasi (statis) optimum
(6, 12, 18, 24, dan 28 jam)
95
Lampiran 2. Proses pengujian toksisitas media pengisi
Potongan busa (2 x 2 x 1.5 cm3) + 20 L air + 20 ekor ikan
96
Lampiran 3. Sketsa jenis kemasan rak biasa
1
2
3
5
4
6
8
7
Kemasan rak biasa tampak samping
1
2
3
4
5
Kemasan rak biasa tampak depan
97
Keterangan :
1 = Tutup kemasan
2 = Lembaran styrofoam
3 = Penyanggah rak
4 = Alas rak berpori
5 = Kotak styrofoam
6 = Ruang tempat peletakan lapisan busa dan ikan
7 = Drip space
8 = Kaki penyanggah rak bawah
98
Lampiran 4. Sketsa jenis kemasan rak berisi udara
1
2
3
4
5
6
9
7
8
10
Kemasan rak berisi udaratampak samping
1
2
3
4
5
6
7
11
8
Kemasan rak berisi udaratampak depan
99
Keterangan :
1
=
Tutup kemasan
2
=
Kantung udara
3
=
Udara dengan komposisi O2, CO2, dan N2 yang telah
diatur
4
=
Lembaran styrofoam berpori
5
=
Penyanggah rak
6
=
Alas rak berpori
7
=
Kemasan styrofoam
8
=
Kaki penyanggah rak bawah
9
=
Ruang tempat peletakan lapisan busa dan ikan
10
=
Drip space
11
=
Sekat berpori pada sisi rak
100
Lampiran 5. Pola lapisan busa-ikan-busa pada setiap rak di dalam kemasan rak
biasa
Kemasan rak biasa tampak samping
101
Lampiran 6. Pengemasan ikan di dalam kemasan rak biasa
Ikan yang telah pingsan diletakkan di atas alas busa
yang dingin dan lembab pada setiap rak dalam kemasan
Ikan yang telah disusun pada setiap rak dalam
kemasan, kemudian ditutupi dengan busa penutup yang
dingin dan lembab
102
Lapisan rak paling atas di dalam kemasan
ditutupi dengan lembaran styrofoam
Kemasan kemudian ditutup dengan penutup styrofoam
dan siap untuk dimasukkan ke dalam kontainer
103
Lampiran 7. Pola lapisan busa-ikan-busa pada setiap rak di dalam kemasan rak
berisi udara
Kemasan rak berisi udaratampak samping
104
Lampiran 8. Pengemasan ikan di dalam kemasan rak berisi udara
Ikan yang telah pingsan diletakkan di atas alas busa
yang dingin dan lembab pada setiap rak dalam kemasan
Ikan yang telah disusun pada setiap rak dalam
kemasan, kemudian ditutupi dengan busa penutup
yang dingin dan lembab
105
Lapisan rak paling atas di dalam kemasan
ditutupi dengan lembaran styrofoam
Udara yang terdapat di dalam kemasan disedot
keluar (divakumkan)
106
Setelah kemasan divakumkan, kemudian kemasan diisi dengan udara
yang komposisi O2, CO2, dan N2 nya telah diatur
Setelah terisi udara kira – kira 10 l, kantung udara
dalam kemasan kemudian diikat dengan karet
107
Kemasan kemudian ditutup dengan penutup styrofoam
dan siap untuk dimasukkan ke dalam kontainer
108
Lampiran 9. Ikan yang mati dengan insang berdarah dan bercak darah pada busa
109
Lampiran 10. Ikan yang mati dalam keadaan kaku dengan mulut terbuka
110
Lampiran 11. Pola kenaikan suhu media pengisi dari suhu 30C, 40C, 50C, dan 60C
mencapai suhu simpan (salah satu contoh: 100C)
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
suhu 3
suhu 4
suhu 5
suhu 6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Suhu (Celcius)
Kenaikan Suhu dalam Kemasan
Waktu (menit)
111
Lampiran 12. Data hasil pada tahap menentukan suhu pemingsanan optimum
No.
1
2
3
4
5
Σ
Tp Ts
∆tp
∆ts Ulangan
ikan
(0C) (0C) (Jam) (Jam)
kemati
3
4
5
6
6
10
10
10
10
10
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
1
50
2
56
3
48
1
41
2
32
3
22
1
10
2
5
3
9
1
2
3
0
0
0
1
9
2
7
3
8
DC
35 ikan insang
berdarah
44 ikan insang
berdarah
27 ikan insang
berdarah
19 ikan insang
berdarah
17 ikan insang
berdarah
11 ikan insang
berdarah
4 ikan insang
berdarah
3 ikan insang
berdarah
3 ikan insang
berdarah
5 ikan insang
berdarah
3 ikan insang
berdarah
4 ikan insang
berdarah
Σ ikan
hidup
SR
10
16.7
4
6.7
12
20
19
31.7
28
46.7
38
63.3
50
83.3
55
92
51
85
60
60
60
100
100
100
51
85
53
88.3
52
87
112
Ketetarangan :
Tp
= Suhu pingsan
∆ts = Lama waktu penyimpanan/waktu tranportasi
Ts
= Suhu simpan
∆tp = Lama waktu pemingsanan/waktu pemingsanan
DC = Dead Condition (Kondisi ikan yang mati)
SR
= Survival Rate (Tingkat kelulusan hidup/ikan yang dapat
bertahan hidup setelah diberikan perlakuan)
113
Lampiran 13. Data hasil pada tahap menentukan suhu penyimpanan optimum
No.
1
2
3
4
1
2
3
Σ
ikan
mati
-
1
47
2
42
3
39
1
25
2
37
3
18
1
13
2
10
3
8
Tp Ts
∆tp
∆ts Ulangan
(0C) (0C) (Jam) (Jam)
ke6
6
6
6
12
12
14
16
1
1
1
1
3
6
6
6
DC
Σ ikan
hidup
SR
(%)
-
60
60
60
100
100
100
13
22
18
30
21
35
35
58
23
38.3
42
70
47
78.3
50
83.3
52
87
32 ikan
insang
berdarah
28 ikan
insang
berdarah
26 ikan
insang
berdarah
19 ikan
insang
berdarah
26 ikan
insang
berdarah
15 ikan
insang
berdarah
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
114
No.
5
6
Tp
Ts
∆tp
∆ts Ulangan
0
0
( C) ( C) (Jam) (Jam)
ke-
6
6
18
20
1
1
6
6
Σ ikan
mati
1
10
2
12
3
9
1
15
2
11
3
17
DC
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
6 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
4 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
7 ikan kaku
Σ ikan
hidup
SR
(%)
50
83.3
48
80
51
85
45
75
49
82
43
72
115
Lampiran 14. Data hasil pengaruh waktu pemingsanan terhadap SR
No.
1
2
3
4
5
Tp Ts
∆tp
∆ts Ulangan
(0C) (0C) (Jam) (Jam)
ke-
6
6
6
6
6
12
12
12
12
12
2
4
6
8
8
6
6
6
6
12
Σ ikan
mati
1
38
2
40
3
35
1
30
2
18
3
16
1
10
2
10
3
8
1
2
3
-
1
15
2
13
3
14
DC
25 ikan insang
berdarah
27 ikan insang
berdarah
21 ikan insang
berdarah
23 ikan insang
berdarah
13 ikan insang
berdarah
10 ikan insang
berdarah
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
6 ikan insang
berdarah
3 ikan insang
berdarah
5 ikan insang
berdarah
Σ ikan
hidup
SR
(%)
22
37
20
33.3
25
42
30
50
42
70
44
73.3
50
83.3
50
83.3
52
87
60
60
60
100
100
100
45
75
47
78.3
46
77
116
No.
6
7
8
9
Tp Ts
∆tp
∆ts Ulangan
0
0
( C) ( C) (Jam) (Jam)
ke-
6
6
6
6
14
16
18
20
8
8
8
8
12
12
12
12
Σ ikan
mati
1
14
2
16
3
13
1
10
2
11
3
8
1
9
2
5
3
7
1
9
2
12
3
8
DC
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
5 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
6 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
4 ikan kaku
Σ ikan
hidup
SR
(%)
46
77
44
73.3
47
78.3
50
83.3
49
82
52
87
51
85
55
92
53
88.3
51
85
48
80
52
87
117
Lampiran 15. Data hasil pengaruh penurunan konsentrasi O2 terhadap SR
No.
1
Tp
Ts
∆tp
∆ts [O2] Ulangan Σ ikan
kemati
(0C) (0C) (jam) (jam) (%)
1
6
12
8
6
15
2
3
-
-
Σ ikan
hidup
60
60
60
SR
(%)
100
100
100
DC
2
6
12
8
6
10
1
2
3
3
6
12
8
6
5
1
2
3
-
-
60
60
60
100
100
100
1
2
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
58
97
2
3
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
57
95
3
2
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
58
97
1
2
3
-
-
60
60
60
100
100
100
1
4
56
93.3
2
4
56
93.3
3
2
58
97
1
2
3
-
60
60
60
100
100
100
4
5
6
7
6
6
6
6
12
14
14
16
8
8
8
8
12
12
18
18
15
15
15
15
-
-
60
60
60
100
100
100
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
-
118
No.
8
9
10
11
12
Tp
Ts
∆tp
∆ts [O2] Ulangan Σ ikan
0
0
kemati
( C) ( C) (jam) (jam) (%)
6
6
6
6
6
16
18
20
18
18
8
8
8
8
8
24
24
24
20
20
15
15
15
15
10
1
6
2
5
3
7
1
4
2
3
3
5
1
9
2
15
3
12
1
2
3
-
1
8
2
6
3
4
DC
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
4 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
6 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
5 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Σ ikan
hidup
SR
(%)
54
90
55
92
53
88.3
56
93.3
57
95
55
92
51
85
45
75
48
80
60
60
60
100
100
100
52
87
54
90
56
93.3
119
Tp
Ts
∆tp
∆ts [O2] Ulangan Σ ikan
0
0
kemati
No. ( C) ( C) (jam) (jam) (%)
13
14
15
16
6
6
6
6
18
18
18
20
8
8
8
8
20
24
28
28
5
21
21
21
1
16
2
13
3
15
1
2
3
-
1
6
2
5
3
9
1
16
2
18
3
14
DC
Insang tidak
berdarah,
9 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
4 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
6 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
tidak kaku
Insang tidak
berdarah,
8 ikan kaku
Insang tidak
berdarah,
11 ikan
kaku
Insang tidak
berdarah,
6 ikan kaku
Σ ikan
hidup
SR
(%)
44
73.3
47
78.3
45
75
60
60
60
100
100
100
54
90
55
92
51
85
44
73.3
42
70
46
77
Download