Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 I II Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Jurnal Dewan Pers Edisi No. 11, Desember 2015 STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN Sumbangannya Bagi Peningkatan Profesionalisme Wartawan DEWAN PERS Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 III IV Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Jurnal Dewan Pers Edisi No. 11, Desember 2015 STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN Penanggung Jawab: Bagir Manan Redaktur: Ninok Leksono, Ray Wijaya, Imam Wahyudi Editor: Samsuri, Winarto Desain sampul dan tata letak: Dedy M Kholik Sekretariat: Lumongga Sihombing, SE Dra. Deritawati, MSi Drs. Hartono Sri Lestari Watini Tim Peneliti PR2MEDIA: Rahayu Puji Rianto Wisnu Martha Adiputra Amir Effendi Siregar Cetakan Pertama, Desember 2015 Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) XV + 98 halaman, 17 X 23 cm ISSN: 2085-6199 DEWAN PERS Sekretariat Dewan Pers: Gedung Dewan Pers, Lantai 7-8, Jl. Kebon Sirih 34, Jakarta 10110 Telp. (021) 3521488, 3504877, 3504874-75, Faks. (021) 3452030 E-mail: [email protected] Website: www.dewanpers.or.id Twitter: @dewanpers Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 V VI Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 DAFTAR ISI Pengantar Dewan Pers ........................................................................ | IX Pengantar PR2MEDIA ........................................................................ | XI Bab I Pendahuluan ........................................................................................... |1 Bab II Metodologi.............................................................................................. | 15 Bab III Gambaran Umum Uji Kompetensi Wartawan Indonesia........................ | 21 Bab IV Gambaran Umum Wartawan Bersertifikat Indonesia.............................. | 27 Bab V Uji Kompetensi, Profesionalisme Dan Kinerja....................................... | 41 Bab VI Evaluasi Wartawan Atas Uji Kompetensi................................................ | 55 Bab VII Evaluasi Wartawan Atas Uji Kompetensi................................................ | 75 Bab VIII Penutup.................................................................................................... | 89 Daftar Pustaka......................................................................................... | 95 Daftar Tabel............................................................................................. | 96 Daftar Grafik........................................................................................... | 98 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 VII VIII Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Pengantar Kompetensi Wartawan Sebuah Keniscayaan Selama ini, jagad pers nasional memandang kebebasan pers sebagai mahkota. Hal itu bisa dimengerti, mengingat sejak kemerdekaan, Pemerintahan di Indonesia menerapkan sistem politik yang acap bertindak keras terhadap pers. Pembredelan pers, dan – selama era Orde Baru – rejim SIUPP juga tidak kalah menghantui dunia pers. Semenjak tahun 1999, kondisi telah berubah dengan terbitnya Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999. Komunitas pers dalam banyak hal tidak saja bisa memberitakan secara bebas, tetapi juga bahkan bisa mengatur dirinya sendiri. Kita akui, bahwa kebebasan pers masih belum sempurna, masih belum bisa diperlakukan taken for granted. Kita sering dikejutkan oleh tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap wartawan saat melakukan tugasnya. Lalu di era pemilihan presiden, pers tidak sepenuhnya bebas karena adanya intervensi pemilik, langsung maupun tidak langsung, sedikit atau banyak. Hal lain yang muncul seiring dengan Reformasi adalah eksplosi media, baik cetak maupu elektronik, dan terakhir media sosial. Hal ini berimplikasi pada menggelembungnya jumlah wartawan. Jika selama era Orde Baru jumlah wartawan diperkirakan hanya 6.000, sekarang ini ada yang memperkirakan jumlah tersebut membengkak lebih dari 1000 persennya, hingga di Indonesia ada sekitar 70.000 wartawan. Mengantisipasi masalah yang akan timbul dari ekses profesi ini, sejak akhir dekade pertama tahun 2000-an Dewan Pers sudah menggagas perlunya Standar Kompetensi Wartawan (SKW), dan hal ini kemudian dituangkan melalui Peraturan Dewan Pers No. 1/2010. Gagasan SKW juga digemakan dalam Piagam Palembang seiring berlangsungnya Hari Pers Nasional 9 Februari 2010 di ibukota Provinsi Sumatera Selatan ini. Sebagai salah satu latar belakangnya disebutkan, bahwa bebas mengutarakan ide dan masalah, juga menjadi seorang wartawan, memang merupakan bagian dari hak asasi. Namun tanpa disertai kompetensi, sementara yang disebar-luaskan adalah informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum, maka bisa terjadi salah paham, atau kekisruhan luas akibat berita keliru atau tidak akurat. Kita juga menggaris-bawahi perlunya SKW mengingat dewasa ini banyak permasalahan nasional, atau dunia, yang semakin kompleks. Guru jurnalistik Bill Kovach dalam bukunya “Blur” menyinggung semakin sulitnya menemukan kebenaran di tengah banjir informasi. Tak bisa lain, wartawan semakin dituntut makin profesional. Pada sisi lain kita juga mengetahui, bahwa diperlukan usaha keras, mengingat jumlah wartawan banyak dan tersebar di berbagai penjuru Tanah Air. Dalam kaitan ini lah Dewan Pers mendorong organisasi kewartawanan, organisasi perusahaan pers, dan perguruan tinggi, untuk turut ambil bagian dalam penegakan kompetensi bagi wartawan. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 IX Dari aktivitas yang dilakukan oleh mitra dan konstituen Dewan Pers ini, kini sudah ada sekitar 7.000-an wartawan yang sudah terakreditasi, artinya wartawan tersebut sudah mencapai SKW. Namun tentu saja, 10 persen belum angka yang cukup banyak. Untuk memotret seluk-beluk pelaksanaan SKW ini lah Dewan Pers telah meminta PR2MEDIA di bawah arahan Bapak Amir Effendi Siregar untuk meneliti topik ini. Diharapkan hasil yang diperoleh bisa menambah wawasan kita tentang masalah SKW, dan di lingkungan pers menambah tekad untuk bergegas menerapkan SKW di lingkungan masing-masing. Urgensi untuk ini ada, karena sekarang ini banyak keluhan di antara pengguna media yang menilai wartawan sering salah kutip, berita tidak akurat, atau bahkan memelintir berita. Dewan Pers yakin, bahwa meski ada sejumlah hal yang perlu disempurnakan dalam sistem SKW, juga apakah biayanya bisa ditekan, atau modulnya dibuat lebih simpel, sebagai satu prinsip, SKW baik dan tepat untuk dilanjutkan. Semoga penelitian yang Anda baca saat ini menambah keyakinan Anda bahwa wartawan kompeten adalah sosok yang kita butuhkan saat ini. Jakarta, 14 Desember 2015 Ninok Leksono Ketua Komisi Pengembangan Profesi Wartawan, Penelitian dan Pendataan Perusahaan Pers X Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Pengantar PR2MEDIA Meningkatkan Profesionalisme Wartawan: Bekerja Untuk Publik dengan Obyektif, Independen dan Netral Oleh Amir Effendi Siregar Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA) Studi dan penelitian “Standar Kompetensi Wartawan: Sumbangannya Bagi Profesionalisme Wartawan” ini adalah studi ke-dua yang dilakukan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA) atas permintaan Dewan Pers. Studi pertama adalah “Menakar Independensi dan Netralitas Jurnalisme dan Media di Indonesia” yang laporan lengkapnya telah disampaikan kepada Dewan Pers pada Januari 2014. Kedua studi tersebut saling terkait karena menyangkut profesionalisme wartawan. Untuk meningkatkan profesionalisme wartawan Dewan Pers menetapkan standar kompetensi wartawan dan menyelenggarakan uji kompetensi bagi kalangan jurnalis di Tanah Air. Program ini telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir bekerjasama dengan organisasi pers dan wartawan serta lembaga pendidikan. Usaha dan kegiatan yang baik ini tentu perlu diukur, dievaluasi agar dapat diperbaiki dan ditingkatkan. Itulah sebabnya studi dan penelitian ini dilakukan oleh PR2MEDIA atas permintaan Dewan Pers. Jumlah media baik cetak maupun elektronik saat ini tumbuh pesat demikian juga dengan jumlah wartawan dan atau jurnalis. Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) diperpikran mencapai 15.000 orang, sedangkan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sekitar 2000 orang, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia ( IJTI) sekitar 1000 orang. Belum lagi dengan anggota organisasi wartawan lainnya. Jumlah media juga tumbuh pesat. Media cetak seperti suratkabar dan majalah jumlahnya 1.324. Total sirkulasinya 23,3 juta dengan 9, 4 juta eksemplar suratkabar harian untuk 240 juta penduduk (Serikat Perusahaan Pers, 2013). Stasiun televisi sekitar 400 di luar lembaga penyiaran publik televisi seperti TVRI. Selain itu, terdapat 1.178 stasiun radio, terdiri dari 775 radio komersial, dan sisanya adalah radio publik lokal, komunitas. Juga terdapat sekitar 80 stasiun RRI. Penguna internet 28 persen atau sekitar 71 juta penduduk (APJII, 2014). Peranan media sangat penting untuk pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia. Untuk itu memang sangat diperlukan wartawan atau jurnalis yang mempunyai kompetensi memadai. Bila tidak, media justru akan merusak pembangunan kesejahteraan sosial, politik dan ekonomi Indonesia. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 XI Profesionalisme Jurnalis : Menjalankan Ideologi Jurnalisme Peningkatan kompetensi, itu berarti peningkatan profesionalisme wartawan dan atau jurnalis. Wartawan dan jurnalis menjalankan pekerjaan jurnalisme. Jurnalisme adalah paham tentang kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan media. Dalam jurnalisme terkandung idealisme. Ada ideologi, yaitu usaha memberikan informasi untuk pemberdayaan masyarakat. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan bahwa tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan publik agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri. Dalam menjalan tugas itu, terdapat 9 elemen antara lain : Kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran. Berupaya membuat yang penting menarik dan relevan. Loyalitas pertama pada publik/warga. Disiplin dalam verifikasi. Menjaga independensi terhadap nara sumber. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. Harus menjaga berita agar komprehensif dan proporsional. Para praktisi diperbolehkan mengikuti nurani mereka . Dalam penyajiannya jurnalis harus memperhatikan kode etik jurnalistik. Dalam hubungan dengan kegiatan jurnalistik, undang-undang pers menyatakan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Inilah yang dijadikan dasar oleh banyak pihak untuk menyatakan kegiatan mereka adalah jurnalistik. Padahal jurnalistik yang benar mengandung ideologi sebagaimana juga tercantum undang-undang pers. Ideologi ini menuntun informasi apa yang harus dicari dan untuk apa. Dalam UU Pers terdapat azas, fungsi dan peranan yang menyatakan antara lain bahwa pers nasional melaksanakan peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak azasi manusia, melakukan pengawasan dan kritik dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran (Pasal 6). Undangundang pers juga secara jelas menyatakan bahwa wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik (KEJ). Mukadimah KEJ secara jelas merumuskan ideologi jurnalisme. Dengan demikian, jurnalisme bukan hanya sesuatu yang bersifat teknis penyajian, tapi memuat idealisme. Jurnalistik adalah bentuk implementasi dari ideologi jurnalisme. Sering juga kita mendengar bahwa ada yang disebut dengan jurnalisme kuning, sebuah penyajian teknis jurnaslitik namun isinya tak ada hubungan dengan kepentingan publik. Tidak bermanfaat dan tidak memberdayakan masyarakat. Isinya mengeksploitasi masalah pribadi dan kehidupan seks objek yang diliput. Lebih bersifat hiburan dan sensasional yang menyajikan selera rendah masyarakat dan seringkali melanggar XII Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 kode etik jurnalistik. Jurnalisme semacam ini disebut sebagai jurnalisme kuning atau jurnalisme got. Demikian juga kita mengenal jurnalisme partisan, yaitu jurnalisme yang mengabdi kepada kepentingan pribadi atau kelompok politik tertentu. Jurnalisme semacam ini bukanlah jurnalisme seperti yang dimaksud oleh Undang-undang Pers dan Bill Kovach, dan tidak layak mendapat privilege (keistimewaan) sebagaimana yang dimaksud oleh UU Pers. UU Pers memberikan keistimewaan bagi pers yang menjalankan fungsi dan tugas secara benar, untuk kepentingan publik. Untuk kepentingan bangsa dan negara. Ini adalah perintah undang-undang. Dengan demikian bila terdapat kekeliruan pemberitaan dapat diperbaiki dengan hak koreksi dan hak jawab. Obyektif, Independen dan Netral Dalam jurnalisme dan kegiatan jurnalistik antara lain terdapat prinsip independensi dan netralitas yang harus dipegang teguh. Saya berpendapat, independensi dan netralitas itu memang berbeda tapi merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bila ingin menjadi media yang baik, kedua prinsip itu harus dijalankan. Dalam hubungan ini Westertahl sebagaimana dikutip oleh Mc Quail (1992) mengatakan, bahwa kegiatan penting jurnalisme antara lain adalah mengungkapkan peristiwa secara objektif. Objektivitas terdiri dari dua dimensi yaitu pertama faktualitas dan kedua adalah impartialitas. Faktualitas terdiri atas usaha mencari kebenaran (truth) yakni antara lain kelengkapan dalam pemberitaan, akurat dan cermat. Unsur faktualitas beikutnya adalah bahwa berita itu harus relevance dengan pembaca, mempunyai nilai berita. Sementara itu imparsialitas mengacu pada praktek jurnalistik yang mengedepankan balance/non-partisanship dan neutral presentation. Balance berarti ada unsur keadilan dan kesimbangan dalam pemberitaan. Selanjutnya netralitas berarti tidak berpihak dan tidak membangun opini untuk kepentingan pihak tertentu. Rahayu dan kawan-kawan (Tim peneliti Dewan Pers) dalam buku Menyingkap Profesionalisme Kinerja Suratkabar di Indonesia ( 2006) mengutip dan merangkum buku Media Performance (1992) karya Denis Mc Quail atas permintaan Dewan Pers kemudian mengukur kinerja media melalui unsur-unsur 1. Factualness yang dapat dilihat dari main point, nilai informasi, redability dan checkability; 2. Akurasi dilihat dari verifikasi terhadap fakta, relevansi sumber berita, akurasi penyajian; 3. Completeness; 4. Relevance melihat ada tidaknya nilai berita. 5. Balance sebagai keseimbangan dalam pemberitaan atau tidak berpihak. McQuail membedakan balance dari netralitas. Balance berhubungan dengan seleksi dan substansi berita, sedangkan netralitas berkaitan dengan presentasi berita tersebut; 6. Neutrality sering disamakan dengan balance dalam arti tidak berpihak namun bedanya netralitas berkaitan dengan aspek presentasi. Netralitas ini terdiri dari sensationalism, stereotype, juxtaposition dan linkages. Kode Etik Jurnalistik dirumuskan dengan sangat bagus berdasarkan prinsip tersebut. Independensi dan netralitas dirumuskan dalam satu tarikan nafas: “Wartawan Indonesia Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 XIII bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk“. Penafsirannya sangat jelas bahwa prinsip independensi dan netralitas harus dilaksanakan (Pasal 1). Sementara itu Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia juga juga menyatakan dalam satu tarikan nafas: “Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran “ (Pasal 11 ayat 2 P3) . Bahkan dalam SPS diatur secara lebih detil dan tegas bahwa independensi dan netralitas harus dijaga dengan antara lain menyatakan bahwa program siaran wajib dimanfaatkan untuk pentingan publik, tidak untuk kelompok tertentu dan dilarang untuk kepentingan pribadi pemilik dan kelompoknya. (Pasal 11 SPS). Selanjutnya ditegaskan, program jurnalistik harus akurat, adil, berimbang, tidak berpihak dan mengikuti prinisp jurnalistik lainnya. (Pasal 40 SPS). Terdapat beberapa pihak yang mengatakan bahwa bahwa media tidak bisa independen dan netral dengan demikian tidak bisa obyektif. Pendapat ini tentu saja sah berdasarkan perspektif tertentu, misalnya perspektif propaganda. Atau mereka yang menganggap berita adalah sebuah hasil konstruksi sosial, hasil sebuah konstruksi, jadi tidak mungkin obyektif. Kemudian termasuk yang mengatakan bahwa media itu bisa independen tapi tidak mungkin netral. Ini adalah pernyataan yang tidak konsisten. Netralitas adalah turunan dari obyektivitas dan independensi. Pernyataan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinisp jurnalisme yang dianut undang-undang pers dan kode etik jurnalistik serta pedoman perilaku penyiaran yang juga terdapat dalam banyak buku teks tentang jurnalisme. Indonesia telah menentukan pers dan jurnalisme yang dianut melalui ketentuan undang-undang pers, undangundang penyiaran, kode etik jurnalistik dan pedoman perilaku penyiaran sebagaimana juga telah dirumuskan oleh Mc Quail, Kovach dan banyak ahli lainnya. Bila tidak objektif dengan demikian tidak independen dan tidak netral, media akan kehilangan kemampuan membentuk opini publik. Sebagian pembaca dan penonton akan lari. Khusus untuk media cetak akan dapat memperoleh sanksi etik dan sosial. Media penyiaran akan bisa memperoleh tidak hanya sanksi etik dan sosial tapi juga hukum. Namun seringkali sanksi etik dan sosial lebih berat dari sanksi hukum. Obyektivitas dalam jurnalisme memang tidak mungkin mencapai tingkat yang sempurna misalnya 100 persen. Namun semakin tinggi derajat obyektivitas, independensi dan netralitasnya, semakin tinggi kredibilitasnya, semakin dapat dipercaya, semakin sering dan disukai pembaca yang menjadi segmentasinya, semakin mempunyai kemampuan tinggi untuk membentuk opini publik. Itulah sebabnya tingkat kompetensi dan profesionalitas wartawan harus terus dijaga dan ditingkatkan. Dalam usaha meningkatkan kompetensi wartawan, profesionalisme jurnalis, Dewan Pers telah melakukan program peningkatan kompetensi wartawan lewat pendidikan maupun pemberian sertifikasi lewat ujian khusus. Penelitian kali ini bertujuan untuk XIV Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 melihat : Apakah pelaksanaan uji kompetensi wartawan oleh sejumlah lembaga penguji telah memenuhi tujuan-tujuan dibuatnya Standar Kompetensi Wartawan? Dalam konteks kerja wartawan, sejauh mana uji kompetensi meningkatkan kinerja mereka? Apakah wartawan yang telah mengikuti sertifikasi bekerja lebih baik dibanding yang belum mengikuti sertifikasi? Jawaban terhadap hal tersebut diperlukan untuk perbaikan program Dewan Pers akan datang agar wartawan dan jurnalis Indonesia menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian wartawan dapat bekerja lebih baik lagi untuk kepentingan publik, bangsa dan negara. Semoga penelitian ini bermanfaat buat berbagai dan banyak pihak. * Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 XV XVI Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Penelitian Keberadaan media dan wartawan yang profesional adalah prasyarat penting bagi demokrasi. Demokrasi membutuhkan informasi demi keterlibatan publik. Oleh karena itu, di negara-negara demokrasi kemerdekaan pers dijamin karena hanya dengan memiliki kemerdekaan, pers bisa berperan optimal dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan informasi dengan baik. Dalam arti, sesuai kebutuhan warga negara dalam sistem demokrasi. Sebaliknya, pers yang dikekang atau disensor tidak mampu mencari, mengumpulkan, dan menyiarkan berita dan informasi kepada masyarakat dengan baik. Masyarakat yang terinformasi dengan baik (well-informed) juga akan mampu memilih para pemimpin yang jujur, paling cerdas dan paling bijaksana (lihat McNair, 2011). Namun, kemerdekaan pers saja tidak cukup untuk menjadikan media dan wartawan melaksanakan fungsinya dengan baik. Lebih dari itu, media dan wartawan harus bekerja secara profesional, dalam arti mampu menyiarkan berita dan informasi secara objektif, menjunjung tinggi etika, kebenaran, dan berorientasi pada publik. Di sini, dibutuhkan wartawan yang mempunyai kompetensi tinggi. Sebagaimana dirumuskan Dewan Pers (cetakan ketiga Oktober 2010), pekerjaan wartawan sangat berhubungan dengan kepentingan publik karena wartawan adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, musuh penjajahan kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk. Oleh karena itu, menurut Dewan Pers, dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki standar komptensi yang tinggi, yang disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi ini menjadi alat ukur profesionalitas pers. Ada enam tujuan diberlakukannya standar kompetensi wartawan, yakni (1) Meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan; (2) Menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers; (3) Menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik; (4) Menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual; (5) Menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan; (6) Menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers. Salah satu cara yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah tujuan-tujuan diberlakukannya standar kompetensi wartawan tercapai adalah melalui penelitian. Suatu penelitian yang hati-hati dengan melibatkan beragam metode akan mampu menjawab pertanyaan di atas, yakni sejauh mana tujuan tujuan diberlakukannya standar kompetensi wartawan telah dipenuhi dengan baik. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 1 Penelitian juga akan mampu menangkap kendala dan beragam persoalan yang dihadapi terkait implementasi standar kompetensi wartawan di lapangan. Untuk mewujudkan wartawan yang mempunyai kompetensi, berbagai lembaga ditunjuk oleh Dewan Pers – melalui berbagai persyaratan yang harus dipenuhi – guna menguji kompetensi wartawan. Di antara lembaga penguji adalah LPDS, PWI, LKBN ANTARA, AJI, Harian Fajar, Harian Bali Post, dan London School of Public Relations. Dari berbagai hasil uji kompetensi yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut hingga 4 Juli 2014 terdapat 4.486 wartawan yang telah diuji, dan memegang sertifikat kompetensi wartawan dalam beragam tingkatan. Uji Kompetensi Wartawan beserta implikasi serta dampak-dampaknya bagi media, kerja wartawan, dan juga masyarakat secara umum merupakan proses yang kompleks. Ia melibatkan institusi media, wartawan, masyarakat, dan bahkan sistem sosial, ekonomi, dan politik secara keseluruhan. Namun, di antara banyak isu dan persoalan yang layak dikaji adalah hubungan antara uji kompetensi wartawan pada satu sisi, dan tercapainya tujuan-tujuan uji kompetensi di sisi lain sebagaimana telah disinggung di awal. Isu ini penting, relevansi uji kompetensi dan standar kompetensi wartawan adalah apakah ada peningkatkan kinerja wartawan dan media. Jika uji kompetensi dan standar kompetensi gagal meningkatkan kinerja wartawan dan media maka pertanyaannya apakah masalahnya ada pada uji kompetensi 2 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 dan standar kompetensi wartawan itu sendiri ataukah pada faktor-faktor lain. Di sinilah, suatu penelitian yang hati-hati layak dilakukan. B. Pertanyaan Penelitian Seperti telah disinggung dalam latar belakang, ada enam tujuan yang hendak dicapai terkait diberlakukannya standar kompetensi wartawan. Dalam kaitan ini, pertanyaan utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah pelaksanaan uji kompetensi wartawan oleh sejumlah lembaga penguji telah memenuhi tujuantujuan dibuatnya Standar Kompetensi Wartawan. Dalam konteks kerja wartawan, sejauh mana uji kompetensi wartawan meningkatkan kinerja mereka? Dalam hal ini, apakah ada perbedaan setelah mereka mendapatkan sertifikat kompetensi wartawan disbanding sebelumnya? Kemudian, persoalan apa yang dihadapi oleh jurnalis dalam menghadapi sertifikasi wartawan dan bagaimana kebijakan yang harus diambil terkait persoalan tersebut? A. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana uji kompetensi wartawan telah meraih tujuan-tujuan diberlakukannya standar uji kompetensi wartawan. 2. Secara spesifik, penelitian berusaha mengetahui sejauh mana pemberlakuan standar kompetensi wartawan mampu meningkatkan kinerja wartawan dalam mencari, mengumpulkan, mengolah, dan 3. 4. 1. 2. 3. menyebarkan informasi kepada masyarakat. Dari sisi kemanfaatan, penelitian ini dilakukan untuk mengetahuai kemanfaatan pemberlakukan standar kompetensi wartawan baik bagi wartawan itu sendiri dan perusahaan pers. Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Bagi Dewan Pers, penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi untuk melihat efektivitas diberlakukannya Standar Kompetensi Wartawan bagi peningkatan kinerja media dan wartawan dalam rangka menjaga demokratisasi politik. Di samping itu, penelitian ini diharapkan akan memberikan rekomendasi yang berguna bagi Dewan Pers terutama dalam rangka merancang regulasi yang tepat dan proses uji kompetensi. Bagi lembaga penguji, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai rujukan untuk memperbaiki proses uji kompetensi. Bagi perusahaan dan wartawan, penelitian ini diharapkan memberikan gambaran menyangkut kontribusi standar kompetensi wartawan bagi perbaikan kinerja wartawan dan perusahaan pers. C. Kerangka Pemikiran 1. P ro f e s i o n a l i s m e Wa r t a w a n : Paham, Dimensi dan Praktik Profesionalisme merupakan nilainilai inti jurnalisme yang lahir dalam konteks negara demokrasi liberal yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan persaingan gagasan. Profesionalisme dianggap penting, karena komponenkomponen profesionalisme merujuk pada peran-peran yang diharapkan publik dari media, khususnya dari media yang melakukan kegiatan produksi berita. Peran yang menonjol dalam hal ini adalah media berita menjadi pilar ke-empat demokrasi yang mampu memantau kinerja pemerintah dan menyampaikan aspirasi masyarakat dalam konteks pengambilan kebijakan publik. Nilai-nilai ini kemudian berkembang menjadi paham dominan yang tidak hanya berlaku di negaranegara penganut demokrasi liberal, seperti Amerika Serikat, namun juga di berbagai negara lain dengan tingkat pluralitas masyarakat yang relatif tinggi terutama dari aspek sosial budaya, ekonomi, dan kepentingan politik, seperti di Brazil, Tanzania, Hong Kong, dan Indonesia. Definisi profesionalisme sendiri mengacu pada seperangkat nilai-nilai, perilaku dan hubungan yang mendasari kepercayaan (Tartakow, April/May, 2011). Membangun dan memelihara kepercayaan adalah tujuan yang paling penting dari profesionalisme. Jika profesionalisme ini dihubungkan dengan wartawan maka inti gagasannya berkaitan dengan sikap wartawan yang independen dengan keterampilan teknis memadai sehingga dapat melayani masyarakat secara baik. Independensi ini terwujud jika wartawan terikat dan mengaktualisasikan seperangkat nilai-nilai, norma dan kode Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 3 etik dalam pekerjaan mereka. Menurut McQuail (1992), nilai, norma dan kode etik yang dianut oleh wartawan (dalam kerja jurnalistik) akan terlihat dari objektivitas berita. Objektivitas berita meliputi dua dimensi utama (McQuail, 1992), yaitu faktualitas dan imparsialitas. Berdasarkan dua dimensi inilah seharusnya jurnalisme bekerja. Faktualitas merujuk pada proses kerja jurnalistik yang mengedepankan tiga unsur penting, yaitu: truth atau kebenaran, yakni kelengkapan dalam pemberitaan, akurasi (tepat dan cermat), dan tujuan yang tidak bermaksud untuk menekankan atau menyesatkan apa yang relevan. Relevance (relevansi), berkaitan dengan proses penyeleksian apa yang penting menurut penerima dan atau masyarakat dan informativeness, yakni memberikan informasi yang mudah dipahami dan dimengerti oleh audience. Sementara, imparsialitas mengacu pada praktik jurnalistik yang mengedepankan aspek balance/nonpartisanship dan netralitas. Balance atau berimbang berarti ada unsur keadilan dan keseimbangan dalam pemberitaan baik dari unsur alokasi waktu, tempat dan penekanan suatu isu ketika diberitakan. Secara garis besar berimbang berartibertindak adil dan perilaku tidak diskriminatif terhadap sumber atau objek yang diberitakan.Netralitas berarti tidak berpihak pada salah satu pihak dan tidak membangun opini atas kepentingan pihak tertentu. Netralitas juga berarti tidak ada unsur dramatisasi dan penghakiman oleh pers dalam berita. 4 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Pandangan McQuail di atas selaras dengan gagasan Denis dan Merrill, tentang pemberitaan, seperti tertuang dalam “Basic Issues in Mass Communication” (1984). Denis menandaskan bahwa objektivitas pemberitaan hanya akan dapat dicapai jika ada pemisahan antara fakta dan opini, ada penyajian berita tanpa disertai dimensi emosional, dan media mampu bersikap jujur dan seimbang terhadap semua pihak. Sementara, Entman (1989) dan Nelkin (1987) sepakat bahwa objektivitas jurnalisme dibangun di atas dua komponen, yakni depersonalisasi (depersonalization) dan keseimbangan (balance). Depersonalisasi berarti wartawan seharusnya tidak mengekspresikan pandangan, evaluasi, dan keyakinan pribadinya dalam pemberitaan. Sedangkan keseimbangan berarti wartawan mampu menghadirkan pandangan yang mewakili kedua belah pihak yang ‘berseteru’ tanpa condong pada salah satunya. Begitu besarnya perhatian dan harapan publik terhadap profesionalisme wartawan, mendorong gagasan profesionalisme ini menjadi bagian yang integral dalam kurikulum pendidikan jurnalistik di negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat. Perguruan tinggi dan pusat-pusat pelatihan jurnalisme mempromosikan profesionalisme ini sebagai paradigma dalam menjalankan profesi wartawan. Industri media pun menerima gagasan profesionalisme ini sebagai budaya jurnalisme organisasi. Komitmen dan tradisi yang kuat dalam menjalankan nilai-nilai profesionalisme ini menjadi parameter atau acuan pokok untuk menilai kualitas kinerja media, termasuk kualitas pemberitaan. Walaupun proses internalisasi paham profesionalisme terus berlangsung, dalam kenyataannya aktualisasi dan kualitas profesionalisme ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor (So & Chan, 2007). Kompetisi atau persaingan antar-media yang semakin ketat menyebabkan perusahaan media harus berjuang dalam memperebutkan kue iklan yang laju pertumbuhannya tidak sebanding dengan laju pertumbuhan media. Oleh karena perebutan kue iklan ini mensyaratkan popularitas media maka tidak jarang wartawan atau perusahaan media “menjual” sensasionalisme sebagai cara meraih perhatian audiens. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap media menurun dan status wartawan professional pun menjadi korban. Perubahan kepemilikan juga menjadikan profesionalisme terhambat. Di Hong Kong misalnya, banyak media berpindah tangan, seperti Sing Tao Daily, Standard, South China Morning Post, Ming Pao Daily News, Hong Kong Jurnal Ekonomi dan ATV. Sebagian besar pemilik baru memiliki kepentingan bisnis (keuangan) di daratan Tiongkok. Banyak pemilik media di Hong Kong telah terkooptasi secara politis di bawah pengaruh pemerintah Tiongkok sebagai upaya untuk memenangkan kepentingan pribadi. Ketertundukan pemilik media ini telah menyuburkan praktik selfcensorship yang membuat media bersikap lunak pada pemerintahan. Faktor penting lain yang berpengaruh pada tegaknya profesionalisme adalah budaya politik yang berlaku di suatu negara, yaitu sejauh mana sistem media dibangun dan diarahkan untuk menempati posisi sebagai watchdog dan menjadi platform bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Di samping itu, profesionalisme sebagai ideologi jurnalisme akhir-akhir ini mendapatkan tantangan serius dari paham lain, yaitu jurnalisme advokasi. Berlawanan dengan paham jurnalisme profesional, jurnalisme advokasi mengedepankan keberpihakan dan peran aktif wartawan atau media sebagai pembela dari kelompok-kelompok tertentu. Paham jurnalisme ini dikritik oleh penganut profesionalisme karena keberpihakan menjadikan media tidak dapat berperan maksimal dalam memfasilitasi kepentingan publik dalam menyampaikan opininya yang cenderung beragam. 2. Relasi Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Media Ku alitas , p refes io n alitas d an kompetensi wartawan merupakan konsepkonsep yang sering dirancukan dalam membahas persoalan kewartawanan. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu melakukan klarifikasi konsep-konsep tersebut untuk menghindari kesalahpahaman. Dalam literatur-literatur yang membahas journalist dan journalism, pemakaian istilah kualitas wartawan (quality of journalist) sangat terbatas. Literatur yang tersedia umumnya menghubungkan kualitas ini dengan jurnalisme (quality of journalism) atau jurnalistik (journalistic quality), yang Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 5 pengertiannya tidak hanya berkaitan dengan produk jurnalistik (kualitas berita) namun juga mengacu pada keseluruhan fungsi kegiatan jurnalistik (Picard, 2000). Meskipun istilah ini tidak cukup populer, tidak berarti kualitas wartawan tidak memiliki penjelasan konsep yang jelas. Peneliti memahami konsep kualitas wartawan ini sebagai kualitas individu. Kualitas ini memiliki kaitan dengan konsep yang diperkenalkan oleh Picard (2000), yaitu “knowledge and mental processes”. Picard (2000) menjelaskan bahwa faktor yang menentukan kualitas jurnalistik bukan hanya berasal dari mekanisme pencarian dan pemrosesan informasi, namun juga pengetahuan dan aktivitas mental. Menurut Picard (2000), wartawan seharusnya merupakan sosok individual berpengetahuan luas yang memiliki keinginan kuat untuk terus belajar dan berpikiran terbuka dalam melihat perubahan-perubahan di masyarakat. Pengetahuan ini juga berkaitan dengan nilai-nilai jurnalisme seperti akurasi, kelengkapan, keluasan dan kontekstualisasi isu. Pengetahuan ini dinilai dapat membantu wartawan dalam menciptakan nilai (nilai tambah) dalam konten berita, penyajian cerita, pilihan gambar, dan sebagainya. Pengetahuan lain yang tidak kalah penting dalam membentuk kualitas wartawan adalah etika. Etika merupakan “pengetahuan yang membahas ukuran kebaikan atau kesusilaan perilaku manusia dalam masyarakat” (Ashadi, 1987). Etika secara praktis memberikan orientasi bagaimana seseorang harus bertindak. Pengetahuan etika ini dapat terwujud 6 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 dalam tindakan etis, jika individu memiliki kesadaran hati nurani. Walaupun ada perdebatan dalam melihat apakah wartawan itu profesi atau bukan, untuk dapat menjaga martabat dirinya, seorang wartawan perlu memposisikan dirinya sebagai bagian dari anggota profesi. Sebagai seorang profesional posisi wartawan adalah berbeda dari seorang teknisi yang sekedar mengumpulkan informasi dan menulis berita (Hodges, 1986). Profesionalitas wartawan mengacu pada ideologi atau suatu model yang memuat komponen sikap profesional. Hall (1966) pernah mengonseptualisasi atribut sikap yang bersifat umum yang dimiliki oleh profesional, yaitu: (1) penggunaan organisasi profesi (baik formal maupun informal) sebagai rujukan utama atau sebagai sumber utama ide-ide dan penilaian dalam bekerja, (2) keyakinan dalam pelayanan publik dan komitmen bahwa pekerjaan yang dilakukan memiliki manfaat baik untuk publik maupun praktisi, (3) kepercayaan pada selfregulation bahwa cara terbaik untuk dapat melakukan penilaian tentang pekerjaan adalah berdasarkan penilaian rekan atau asosiasi profesional, (4) memiliki dedikasi yang tinggi dalam menggeluti pekerjaan, dan (5) otonom dalam arti profesional tidak dapat diintervensi oleh pihak eksternal, misalnya dari klien atau organisasi yang mempekerjakannya, yang bukan anggota profesinya. Untuk dapat disebut sebagai profesional, wartawan seharusnya memenuhi sifat-sifat umum tersebut. Seperti telah disinggung di depan, profesionalisme wartawan juga berhubungan dengan nilai-nilai jurnalisme. Ini menunjukkan bahwa profesionalisme wartawan tidak cukup hanya dicirikan oleh sifat-sifat umum namun juga sifatsifat khusus yang erat berkaitan dengan prinsip-prinsip jurnalisme. Berdasarkan pada Kode Etik Jurnalistik (2006), prinsip-prinsip jurnalistik ini antara lain meliputi: bersikap independen menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk; menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik; menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah; tidak membuat berita bohong dan fitnah; tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan; tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap; berhak menolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitasnya maupun embargo, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan; tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi; menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik; segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai permintaan maaf kepada pembaca, pendengar dan atau pemirsa; dsb. Dalam melihat profesi wartawan, Ashadi Siregar (1987) mengingatkan untuk memilah bagian-bagian yang menjadi tanggung jawab wartawan dan institusi media tempat wartawan bekerja. Menurut Ashadi kedudukan profesi wartawan: “kedudukan profesi jurnalistik dalam masyarakat bersifat dua sisi. Pertama, hubungan pelaku profesi dengan orangorang dalam masyarakat. Ini terjadi pada tahap pengumpulan informasi. Kedua, hubungan institusi pers dengan masyarakat, melalui informasi yang disampaikannya. Pada tahap kedua ini, pelaku profesi sudah tidak berhubungan lagi dengan masyarakat, sebab yang dihadapi masyarakat adalah institusinya” (Ashadi, 1987). Berdasarkan paparan tersebut, kedudukan profesi wartawan ditentukan oleh dua sisi, yaitu bagaimana pelaku profesi menyiapkan informasi, dan bagaimana informasi itu disampaikan oleh institusi media masing-masing. Dengan kata lain, hubungan langsung antara pelaku profesi jurnalistik dengan masyarakat hanya dalam hal menyiapkan informasi dan setelah menjadi informasi yang didistribusikan, hubungan yang berlangsung adalah antara institusi dengan masyarakat. Dalam konteks ini Ashadi Siregar memperingatkan personel redaksional dalam kapasitasnya masing-masing untuk mengetahui aturan perilaku profesi, yakni agar dalam menyiapkan informasi sejak dini sudah menyeleksi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai kriteria etis. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 7 Walaupun profesionalitas sering digunakan secara bergantian dengan kompetensi, pada dasarnya kompetensi sendiri memiliki arti lebih spesifik yang merujuk pada kemampuan profesional dalam bekerja, yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan atau keahlian dan sikap kerja. Di sini peneliti melihat bahwa kompetensi wartawan merupakan refleksi dari kualitas individu dan profesionalisme. Salah satu persyaratan untuk dapat disebut profesional adalah adanya pendidikan atau pelatihan yang dapat mendukung pelaksanaan pekerjaan. Di Indonesia, seperti disampaikan oleh Dewan Pers dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan, pilihan pekerjaan sebagai wartawan adalah hak bagi masyarakat dan ini merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sementara itu, latar belakang pendidikan wartawan tidak selalu berkaitan dengan jurnalisme. Berbeda dari profesi dokter, seseorang dapat mengemban profesi tersebut jika dia telah lulus dari sekolah kedokteran. Dalam dunia jurnalistik, pekerjaan wartawan adalah mengumpulkan informasi dan menghadirkan kebenaran sebagai tujuan dari pekerjaannya. Amir Effendi Siregar mengungkapkan bahwa lingkup pekerjaan wartawan mencakup dua aktivitas utama, news gathering dan news writing (2012). Aktivitas utama ini dimulai dari aktivitas memilih narasumber, melakukan kontak, wawancara, hingga menulis dan mengedit berita. Sementara, Dewan Pers (2010) menyebutkan wartawan adalah sebagai profesi khusus 8 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 penghasil karya intelektual. Untuk dapat melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baik, wartawan memerlukan pendidikan jurnalisme yang mengajarkan mereka bagaimana melakukan news gathering dan news writing. Menurut Rest, seperti dikutip Coleman dan Wilkins (2002), pendidikan jurnalisme menentukan perkembangan moral jurnalis. Dalam pendidikan, wartawan diperkenalkan dengan tata nilai yang tumbuh dari kehidupan bersama yang mengatur ukuran baik dan buruk (standar moral) serta sanksi-sanksi pelanggaran terhadap tata nilai tersebut (Siregar, 1987). Di sini ada proses penanaman etika. Pendidikan ini juga menjadi landasan penting bagi lahirnya produk jurnalistik yang berkualitas. Oleh karena latar belakang pendidikan wartawan di Indonesia yang beragam, Dewan Pers menyelenggarakan ujian untuk dapat melakukan standarisasi kompetensi wartawan. Uraian tentang topik ini akan dipaparkan lebih lanjut pada Bab II. Salah satu isu penting dalam membahas persoalan uji kompetensi ini adalah melihat dampaknya pada kinerja. Apakah uji kompetensi wartawan berpengaruh pada kinerja? Jika kinerja di sini dikaitkan dengan output berita dalam kaitannya dengan pelayanan publik (kepentingan publik) maka tidak hanya uji kompetensi yang dapat mempengaruhi kinerja, namun juga faktor organisasi dan lingkungan, seperti persaingan bisnis media dan perubahan politik, perlu dikaji lebih mendalam (So & Chan, 2007). 3. Kontribusi Faktor Lingkungan pada Profesionalisme dan Kinerja Media Jika manifestasi dari profesionalisme dan kinerja media adalah kualitas karya jurnalistik atau berita, faktor yang menentukan kualitas tersebut tidak hanya berasal dari individu wartawan sebagai pekerja media. Berdasarkan pandangan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese yang dituangkan dalam Theories of influence On Mass Media Content (2011) kualitas isi media dipengaruhi oleh individu pekerja media (individual level), rutinitas media (media routine level), organisasi media (organizational level), hal di luar media (outside media level), dan ideologi (idology level). Individu pekerja media memiliki kontribusi dalam menghasilkan kualitas berita karena individu terlibat dalam proses produksi berita, baik dalam lingkup news gathering maupun news writing atau reporting. Faktor individu yang mempengaruhi proses tersebut antara lain: latar belakang dan karakteristik wartawan, nilai atau kepercayaan yang dianut oleh seorang wartawan, dan orientasi mereka dalam bekerja. Latar belakang terutama terkait dengan pendidikan dan asal wartawan dari kalangan mana (kelompok sosial mana) wartawan berasal. Faktor pendidikan membentuk suatu struktur pengetahuan, pengalaman dan keterampilan seorang wartawan. Faktor ini menjadikannya berbeda dalam melihat isu dan memberitakan isu tersebut dari wartawan yang tidak berpendidikan cukup. Misalnya dalam mengangkat kasus kelaparan yang terjadi di suatu wilayah tertentu, wartawan yang tidak berpendidikan mungkin hanya sebatas memberitakan tentang adanya kasus kelaparan. Sedangkan wartawan berpendidikan mungkin tidak hanya berhenti di sana, namun mencari latarbelakang mengapa kasus tersebut terjadi. Wartawan berpendidikan mungkin mengembangkan isi berita dengan melihat berbagai persoalan terkait, misalnya kondisi infrastruktur yang mungkin menghambat distribusi pangan, kebijakan pemerintah terkait dengan persoalan pangan, persediaan dan akses masyarakat pada bahan pangan, dsb. Faktor asal wartawan, misalnya, di sini etnis dan strata sosial. Wartawan yang berasal dari kelompok masyarakat kelas sering bersikap elitis dan kurang peka terhadap persoalan masyarakat berstrata rendah. Faktor individu yang lain berkaitan dengan nilai atau kepercayaan yang dianut oleh seorang wartawan. Nilai di sini termasuk etika dan pandangan mereka terhadap isu tertentu misalnya kebenaran, keadilan, equality, dsb. Nilai ini yang diasumsikan mempengaruhi angle bagaimana wartawan menentukan isu pemberitaan, mencari informasi/fakta, dan menyajikannya. Faktor terakhir berkaitan dengan orientasi mereka bekerja. Ada wartawan yang bekerja semata-mata karena uang. Namun ada juga wartawan yang bekerja karena panggilan jiwa atau keinginan yang besar terjun ke profesi ini untuk tujuan yang lebih idealis. Ini mempengaruhi bagaimana seseorang menghayati tugas dan tanggung jawabnya sebagai wartawan. Rutinitas media merupakan aktivitas Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 9 keseharian atau kebiasaan perusahaan atau organisasi media. Berkaitan dengan produksi berita, aktivitas keseharian ini merujuk pada kerja redaksional, mulai dari rapat redaksi menentukan topik, pembagian kerja reporter, pencarian atau pengumpulan informasi, penulisan dan distribusi berita. Rutinitas ini terbentuk dari relasi antara tiga unsur, yaitu: sumber berita yang berkedudukan sebagai suppliers, organisasi media lebih tepatnya redaksi (departemen pemberitaan) yang melakukan aktivitas processor, dan audiens yang menjadi target produksi atau consumers. Relasi dengan sumber berita kemungkinan berdampak pada berita yang diproduksi. Sumber berita yang bersikap terbuka dan melayani wartawan dalam mencari informasi kemudian menjadi “media darling”. Dalam konteks yang lebih luas, supplier dalam perusahaan media dapat merupakan pengiklan, content provider, kantor berita, bahkan audiens atau user yang ikut memberi kontribusi dalam produksi konten, dsb. Aktivitas processor dalam komunikasi dikenal sebagai fungsi gate keeper yang mengolah informasi menjadi berita. Di sini redaktur pelaksana memastikan operasi sehari-hari berjalan lancar, termasuk memastikan informasi yang diperoleh reporter dari lapangan memenuhi deadline yang ditetapkan. Di sini pula redaktur memegang kendali dalam menentukan prioritas berita yang layak untuk diterbitkan dan pemimpin redaksi mengontrol proses produksi berita berjalan sesuai standar yang berlaku. Meski kerja redaksi memiliki persamaan dalam setiap 10 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 jenis media, rutinitas di perusahaan surat kabar memiliki perbedaan dengan televisi. Tidak ada keharusan bagi wartawan media cetak untuk memberitakan suatu peristiwa secara langsung seperti halnya yang dilakukan oleh wartawan elektronik (televisi dan radio). Sementara itu, audiens dalam bisnis media memiliki arti ekonomis terutama potensinya mendatangkan iklan atau pemasukan bagi perusahaan media. Kebutuhan untuk meningkatkan jumlah audiens menyebabkan media berfokus pada konten-konten yang memenuhi kesenangan orang banyak dan kurang perhatian pada kelompok-kelompok minoritas. Level organisasi berkaitan dengan struktur manajemen organisasi, kebijakan dan peraturan yang diterapkan dan juga tujuan perusahaan atau organisasi media. Dibandingkan dengan kedua faktor di atas, yaitu individu dan rutinitas media, level organisasi paling berpengaruh pada kualitas konten media. Dalam perspektif ekonomi, struktur manajemen dan kebijakan serta peraturan perusahaan mengarah pada tujuan perusahaan untuk mencapai profit yang maksimal. Kepentingan pemilik media atau pemodal pada profit mempengaruhi bagaimana aktivitas produksi berita berjalan dan bagaimana standar kualitas isi siaran dicapai. Faktor ekonomi pula yang mendorong perusahaan untuk memprioritaskan advertorial daripada produksi berita. Kedekatan atau kepentingan politik pemilik media atau pemodal juga sangat berpengaruh pada orientasi konten berita, terutama jika para pemilik ini tidak memiliki sense atau rasa tanggung jawab pada kepentingan publik. Ada tiga tingkatan struktur organisasi media yang menurut Shoemaker dan Reese mempengaruhi isi berita. Tingkatan pertama terdiri dari para pekerja lapangan seperti reporter atau tim kreatif. Tingkatan kedua terdiri dari manajer, pemimpin redaksi, dan produser (tv/ radio) yang berperan mengoperasionalkan kebijakan. Tingkatan ketiga adalah korporasi yang terdiri dari jajaran direktur yang berwenang membuat kebijakan dan keputusan pada sebuah perusahaan media. Berdasarkan kebijakan dan keputusan ini, roda organisasi digerakkan. Pengaruh dari luar media (outside media level) berkaitan dengan faktor sosial, politik, ekonomi, dan teknologi. Faktor sosial misalnya saja nilai atau norma tertentu yang dianut oleh masyarakat mendorong tim kreatif media untuk selalu berpikir tentang kelayakan atau kepantasan konten media yang akan diproduksinya. Faktor politik seperti misalnya intervensi pemerintah terhadap media juga membatasi aktivitas media. Kebijakan sensor juga menyebakan pihak media tidak cukup leluasa dalam melakukan produksi konten. Kebijakan regulator media yang mengatur pembatasan kepemilikan dan persaingan usaha media juga mempengaruhi dinamika internal perusahaan media. Faktor ekonomi seperti misalnya kemampuan daya beli konsumen, harga kertas, kondisi perekonomian nasional ikut menentukan kehidupan media. Kondisi perekonomian nasional misalnya berimplikasi pada budget iklan yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan mempengaruhi besar kue iklan yang dapat diraup oleh perusahaan media. Aspek teknologi juga tidak bisa diabaikan perannya. Teknologi yang memfasilitasi cara-cara baru manusia berkomunikasi telah menyebabkan media melakukan inovasi untuk melakukan konvergensi dalam distribusi konten produksinya. Di samping itu, gerakan sosial yang aktif melakukan monitoring terhadap konten dan aktivitas media juga punya pengaruh yang cukup besar bagi media. Peran asosiasi jurnalis dan lembaga etik seperti Dewan Pers dalam menanamkan nilai-nilai profesionalisme dan kinerja juga punya kontribusi dalam menentukan aktivitas internal perusahaan dan tentu saja kualitas berita. Pengaruh ideologi (idology level) ini berkaitan dengan nilai-nilai filsafat atau kepercayaan yang dianut oleh seseorang (terutama di sini regulator media) dan kemudian diterapkan untuk mengatur sistem media. Bagaimana regulator melihat kepentingan publik atau nilainilai kepublikan akan mempengarui orientasi kebijakan yang mereka buat. Sebagai contoh, para penganut ideologi utilitarianism atau majoritarian memandang bahwa kepentingan publik merujuk pada nilai-nilai dan preferensi individual. Negara dituntut mampu memaksimalkan keuntungan yang bersifat individual dengan merujuk pada suara mayoritas. Dalam konteks pengaturan penyiaran, pemenuhan kepentingan publik dapat dilakukan dengan memberikan banyak kebebasan untuk kekuatan pasar media (media market forces). Para penganut unitary mendasarkan Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 11 kepentingan publik pada kewajiban moral kolektif yang melampaui kepentingan tertentu seperti halnya kepentingan bisnis. Pendekatan ini menempatkan kepentingan kolektif di atas individu. Di sini, kepentingan individu, jika perlu, harus dikorbankan untuk memenuhi kepentingan kolektif yang lebih besar atau ideal. Dalam konteks pengaturan penyiaran, kepentingan publik ditentukan dengan mengacu pada beberapa nilai atau ideologi dominan. Sementara itu, penganut common interest melihat kepentingan publik bukan merupakan agregasi kepentingan individu, tetapi merupakan kepentingan bersama dengan sedikit ruang untuk munculnya sengketa preferensi. Dalam pengaturan penyiaran, pendekatan ini menempatkan aspek ‘common good’ (kebaikan bersama) sebagai hal penting daripada pilihan atau preferensi individu. Paham-paham inilah yang mempengaruhi cara berpikir pengambil kebijakan yang seterusnya berimplikasi hingga pada kualitas konten media. Dengan melihat banyaknya faktor yang memberikan kontribusi pada kualitas berita maka tidak cukup adil jika persoalan rendahnya kualitas berita hanya difokuskan pada profesionalitas dan kinerja individual wartawan. Untuk dapat memberikan gambaran yang utuh tentang rendahnya kualitas ini perlu kajian yang komprehensif menyangkut faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. 4. Uji kompetensi dan Kinerja Wartawan Salah satu persyaratan untuk dapat 12 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 disebut profesional adalah adanya pendidikan atau pelatihan yang dapat mendukung pelaksanaan pekerjaan. Di Indonesia, seperti disampaikan oleh Dewan Pers dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan, pilihan pekerjaan sebagai wartawan adalah hak bagi masyarakat dan ini merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sementara itu, latar belakang pendidikan wartawan tidak selalu berkaitan dengan jurnalisme. Berbeda dari profesi dokter, seseorang dapat mengemban profesi tersebut jika dia telah lulus dari sekolah kedokteran. Dalam dunia jurnalistik, pekerjaan wartawan adalah mengumpulkan informasi dan menghadirkan kebenaran sebagai tujuan dari pekerjaannya. Amir Effendi Siregar (20120 mengungkapkan bahwa lingkup pekerjaan wartawan mencakup dua aktivitas utama, news gathering dan news writting. Aktivitas utama ini dimulai dari aktivitas memilih narasumber, melakukan kontak, wawancara, hingga menulis dan mengedit berita. Sementara, Dewan Pers (2010) menyebutkan, wartawan adalah profesi khusus penghasil karya intelektual. Untuk dapat melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baik, wartawan memerlukan pendidikan jurnalisme yang mengajarkan mereka bagaimana melakukan news gathering dan news writing. Menurut Rest, seperti dikutip oleh Coleman dan Wilkins (2002), pendidikan jurnalisme menentukan perkembangan moral jurnalis. Dalam pendidikan, wartawan diperkenalkan dengan tata nilai yang tumbuh dari kehidupan bersama yang mengatur ukuran baik dan buruk (standar moral) serta sanksi-sanksi pelanggaran terhadap tata nilai tersebut (Siregar, 1987). Di sini ada proses penanaman etika. Pendidikan ini juga menjadi landasan penting bagi lahirnya produk jurnalistik yang berkualitas. Oleh karena latar belakang pendidikan wartawan di Indonesia yang beragam, Dewan Pers melakukan uji kompetensi untuk dapat melakukan standarisasi kompetensi wartawan. Uraian tentang topik ini akan dipaparkan lebih lanjut pada Bab III. Salah satu isu penting dalam membahas persoalan uji kompetensi ini adalah melihat dampaknya pada kinerja. Apakah uji kompetensi berpengaruh pada kinerja wartawan? Jika kinerja di sini dikaitkan dengan output berita dalam kaitannya dengan pelayanan publik (kepentingan publik) maka tidak hanya uji kompetensi yang dapat mempengaruhi kinerja, namun juga faktor organisasi dan lingkungan, seperti persaingan bisnis media dan perubahan politik, perlu dikaji lebih mendalam (So & Chan, 2007). D. Kerangka Konsep dan Operasional Seperti telah dibahas di awal, dalam penelitian ini, kompetensi wartawan dikaitkan dengan kualitas dan profesionalisme wartawan, yaitu sejauh mana wartawan memiliki pengetahuan yang luas (termasuk di sini pengetahuan tentang etika) dan berpegang pada nilainilai inti jurnalisme dalam pekerjaannya. Dewan Pers berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/ II/2010 mendefinisikan kompetensi wartawan sebagai kemampuan untuk memahami, menguasai, dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan (memutuskan) sesuatu di bidang kewartawanan. Hal itu menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi ini diasumsikan memiliki kontribusi dalam menentukan kinerja wartawan dan media. Kinerja, dalam penelitian ini, dihubungkan dengan kualitas jurnalime (kualitas berita), yaitu sejauh mana berita yang dihasilkan memenuhi syarat jurnalisme termasuk etika. Di samping itu, untuk menghindari kesalahpaman definisi konsep-konsep penting lainnya yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti merasa perlu untuk membatasinya berdasarkan penjelasan dari Dewan Pers (Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan). Konsepkonsep penting yang dimaksud meliputi: 1. Standar adalah patokan baku yang menjadi pegangan ukuran dan dasar. Standar juga berarti model bagi karakter unggulan. 2. Kompetensi adalah kemampuan tertentu yang menggambarkan tingkatan khusus menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan. 3. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 13 gambar, suara, dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran lainnya. 4. Standar kompetensi wartawan. Standar kompetensi wartawan adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/ keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan kewartawanan. 14 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Bab II Metodologi A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan triangulasi, dengan memadukan survei, focus group discussion dan analisis isi. Pendekatan ini digunakan untuk dapat memahami persoalan penelitian secara lebih baik, memberikan bukti-bukti yang lebih komprehensif dan memungkinkan peneliti melakukan verifikasi data dengan cara melakukan compare-contrast terhadap temuan-temuan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan triangulasi ini termasuk dalam mixedmethods yang mengombinasikan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Para peneliti menggunakan pendekatan triangulasi karena menilai pendekatan ini memungkinkan mereka menjawab variasi pertanyaan penelitian yang tidak mungkin dapat dijawab hanya dari satu metode saja. Peneliti juga beranggapan pendekatan ini juga mengisi kekurangan dan kelemahan dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif. Selama ini kuantitatif dianggap kurang menyajikan paparan konteks, sementara kualitatif kurang mampu menyajikan variasi data yang luas. B. Metode Penelitian 1. Survei Penelitian survei ini dilakukan terutama untuk mengetahui profil wartawan bersertifikat, pengalaman kerja sebagai jurnalis, sikap atau penilaian jurnalis tentang program sertifikasi dan untuk mengetahui dampak uji kompetensi terhadap kinerja mereka. Survei dilakukan dengan menyebarkan kuisioner kepada jurnalis di tiga kota, yaitu: Jakarta (DKI Jakarta), Surabaya (Jawa Timur), dan Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta). DKI Jakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena di provinsi ini jumlah wartawan bersertifikat adalah paling banyak di Indonesia. Berdasarkan data Dewan Pers (dapat diakses di http://www.dewanpers.or.id), terdapat 822 wartawan yang memegang sertifikat kompetensi tersebut. Di samping itu, DKI Jakarta juga dipilih karena konsentrasi media terjadi di sini. Sekitar 60% media terkonsentrasi di Jakarta begitu pula konten pemberitaan dominan Jakarta (PR2Media, 2014; Nugroho, dkk., 2013; Heychael & Wibowo, 2014). Provinsi Jawa Timur dipilih karena jumlah wartawan bersertifikat adalah kedua terbanyak di Indonesia setelah DKI Jakarta. Berdasarkan data Dewan Pers terdapat 315 wartawan yang memegang sertifikat. Di provinsi ini, jumlah media pun berada di nomor urut kedua setelah Jakarta dan sebagian besar media tersebut berada atau berkantor pusat di Surabaya. Yogyakarta dalam penelitian ini dipilih untuk dapat merepresentasikan Jawa (Jawa bagian tengah) dan karena alasan efisiensi pelaksanaan penelitian. Sampel penelitian ini adalah jurnalisJurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 15 jurnalis yang telah memiliki sertifikat uji kompetensi dalam beragam jenjang baik muda, madya maupun utama. Pada awalnya, peneliti menetapkan jumlah sampel 100 orang dengan asumsi jumlah tersebut cukup memadai untuk margin of error sebesar 10% (de Vaus, 1991: 7172). Peneliti juga merencanakan teknik mengambilan sample dengan stratified sampling dengan tujuan dapat mengambil sampel secara proporsional di setiap strata, (yaitu kota, jenis media dan jenjang/kategori kewartawanan). Dalam realisasinya peneliti berhasil menjangkau sampel sebanyak 88 orang dengan teknik sampling convenience sampling. Jumlah 88 orang memang memiliki tingkat margin of error lebih sebesar dari 10%, yaitu 10,65%, namun jumlah ini masih dapat diterima dalam penelitian survei dengan jumlah populasi yang cukup terbatas. Berbagai kendala dihadapi peneliti terkait dengan data rujukan yang kurang valid, mobilitas wartawan yang tinggi, dan adanya resistensi wartawan mengisi kuesioner. Peneliti dalam menentukan sampel sangat bergantung pada data Dewan Pers. Sayangnya data di sini kurang valid karena cukup banyak wartawan yang pindah tempat kerja, jenjang kewartawanan yang tidak sesuai, dan sejumlah wartawan telah pensiun. Sebagai akibatnya, daftar sampel yang telah peneliti susun berdasarkan asumsi stratified sampling tidak dapat diterapkan. Mobilitas wartawan juga menjadi kendala karena wartawan yang ada di dalam daftar sering tidak ada di tempat dan sulit dihubungi. Beberapa wartawan secara terbuka juga menolak mengisi kuesioner 16 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 karena merasa tidak berkepentingan. Kesulitan ini kemudian disikapi oleh peneliti dengan mengubah teknik sampling dari stratified sampling menjadi convenience sampling. Teknik ini dipilih dengan alasan kemudahan akses dan alasan praktis terutama waktu penelitian yang terbatas. Teknik pengambilan data dilakukan dengan kuesioner. Ada tiga jenis kuesioner yang dibagikan untuk kategori wartawan muda, madya dan utama. Kuesioner ini perlu dibedakan karena lingkup kerja dan tanggung jawab yang berbeda di antara keduanya. Pertanyaan atau pernyataan kuesioner dibagi ke dalam lima kelompok, yaitu: profil responden, penilaian umum responden terhadap program sertifikasi/standar kompetensi wartawan Indonesia, penilaian diri terhadap kualitas/profesionalitas wartawan, penilaian wartawan tentang kontribusi uji kompetensi dalam meningkatkan kinerja, dan penilaian wartawan tentang kondisi institusi tempat mereka bekerja. Untuk lebih jelasnya ketiga tipe kuesioner ini dapat diperiksa dalam lampiran. Kuesioner disebar dengan mengontak secara langsung wartawan yang bersangkutan atau menghubungi redaksi untuk dapat memediasi pertemuan dengan wartawan. Data penelitian dianalisis dengan menghitung distribusi frekuensi, crosstabulations, dan uji varians. Distribusi frekuensi dimaksudkan untuk mengetahui data frekuensi dan persentase (descriptive analysis). Crosstabulations digunakan untuk melihat hubungan antara kategori wartawan dengan pengalaman, sikap atau penilaian responden terhadap sertifikasi. Uji varians diterapkan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai mean yang merepresentasikan kecenderungan persepsi wartawan atas profesionalisme, persepsi dan refleksi wartawan terhadap dampak uji kompetensi, penilaian wartawan tentang dukungan perusahaan pada sertifikasi wartawan, dan penilaian wartawan terhadap pelaksanaan uji kompetensi. 2. Focus Group Discussion (FGD) Focus Group Discussion (FGD) diterapkan untuk mendapatkan insight dari para pemimpin redaksi dan redaktur (selaku pimpinan ruang redaksi) serta penyelenggara uji kompetensi tentang penilaian mereka terhadap sertifikasi dan kualitas jurnalis yang memegang sertifikat kompetensi wartawan. FGD merupakan diskusi dalam kelompok kecil mengenai suatu isu tertentu (Irwanto, 2006; Krueger dan Casey, 2007; Stokes, 2007). FGD memungkinkan peneliti untuk mendengarkan dan mengumpulkan informasi mengenai penilaian, perasaan, dan pengalaman jurnalis terkait sertifikasi wartawan. FGD juga memungkinkan peneliti untuk mendapatkan konteks atas penilaian, perasaan, dan pengalamanpengalaman wartawan terkait sertifikasi kompetensi dan penyelenggara terkait dengan proses dan kriteria pengujian. FGD ini dilaksanakan di dua tempat, yaitu Yogyakarta pada tanggal 3 November 2014 dan Jakarta pada tanggal 17 November 2014. Kriteria peserta FGD adalah pemimpin redaksi dan/atau redaktur dan pimpinan di lembaga penyelenggara uji kompetensi wartawan. Mereka dipilih untuk mewakili perusahaan atau institusi media tempat mereka bekerja. Adapun pemilihan media ditentukan berdasarkan dua jenis lembaga media, yaitu lembaga media publik dan privat (swasta). Lembaga media publik di sini adalah TVRI dan RRI, sedangkan lembaga media privat adalah perusahaan media yang masuk dalam daftar market leader, berdasarkan data Neilson. Asumsi market leader di sini penting artinya untuk melihat sejauh mana komitmen perusahaan pada profesionalitas wartawan dan kinerja media melandasi pelayanan publik. Sementara itu, pemilihan Lembaga penguji hanya difokuskan pada pada PWI dan AJI karena lembaga ini menjadi rujukan utama wartawan untuk melakukan uji kompetensi. Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti menyusun daftar target peserta FGD dan menghubungi mereka melalui telepon dan surat melalui email dan/atau fax. Secara umum target peserta FGD dapat memenuhi undangan, meskipun beberapa peserta mewakilkannya ke kolega. Beberapa target tidak dapat hadir karena jadwal FGD bentrok dengan jadwal kegiatan lain. Jumlah peserta di Yogyakarta adalah 5 orang dari 8 partisipan yang ditargetkan. Sementara di Jakarta ada 14 orang dari 15 partisipan yang ditargetkan. Partisipan yang hadir terdiri dari pemimpin redaksi, redaktur, dan pimpinan di lembaga penyelenggara uji kompetensi. Selengkapnya daftar peserta FGD dapat dilihat dalam lampiran. Dalam proses FGD, dua anggota peneliti berfungsi sebagai moderator diskusi (fasilitator) dan co-facilitator yang Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 17 membantu moderator dalam melontarkan beberapa pertanyaan kunci dan mengatur jalannya diskusi. Dua anggota tim peneliti yang lain mencatat proses diskusi dan juga dialog. Di samping melakukan pencatatan langsung terkait dengan proses, tim peneliti juga merekam dialog tersebut dan membuat transkripnya. Ada tiga pertanyaan kunci yang disampaikan dalam forum ini, yaitu: (1) sejauh mana uji kompetensi meningkatkan kinerja?, (2) apakah wartawan yang mempunyai sertifikasi bekerja lebih baik dibandingkan dengan yang tidak?, (3) apakah kontribusi uji kompetensi bagi jurnalis dan perusahaan pers? Masingmasing peserta mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan pendapat atau pandangannya terkait dengan pertanyaan tersebut. Proses diskusi dilakukan kurang lebih 3 jam, baik di Yogyakarta maupun Jakarta. Data hasil FGD, berupa transkrip dan catatan proses dari penliti, kemudian dianalisis. Dalam proses analisis, peneliti melakukan pengklasifikasian data berdasarkan tema-tema jawaban responden. Tema-tema ini kemudian disusun berdasarkan kategori pertanyaan yang dilontarkan oleh peneliti. Dalam klasifikasi tersebut, peneliti juga membuat penggolongan berdasarkan klasifikasi jawaban untuk dapat memilah pihak-pihak mana saja yang memiliki pandangan yang sama tentang suatu isu dengan pihak-pihak lain yang memiliki pandangan berbeda. Jawaban atau pandangan yang disampaikan dalam forum ini diukur validasinya dengan memperhatikan konsistensi jawaban yang diberikan 18 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 oleh responden dalam kaitannya dengan suatu isu yang sama. Dalam analisis ini peneliti juga berupaya menghubungkan pandangan partisipan dengan konteks atau situasi yang memengaruhi posisi mereka. Tema-tema yang tidak secara langsung berhubungan dengan pertanyaan penelitian, namun masih memiliki kaitan dengan tema penelitian, disusun dalam klasifikasi tersendiri untuk dapat menjelaskan isu-isu di seputar persoalan penelitian. Berdasarkan klasifikasi tersebut, peneliti membuat sintesa yang menghubung-hubungkan pandangan responden melalui penyusunan paragraf dan juga mencantumkan atau mengutip beberapa pernyataan yang relevan untuk dapat memberikan penjelasan secara mendalam dan reflektif tentang pertanyaan atau persoalan penelitian. 3. Analisis Isi Analisis isi dilakukan untuk mengetahui aspek imparsialitas dalam pemberitaan. Aspek ini merupakan salah satu kriteria utama dalam melihat kualitas berita (McQuail, 1992). Dalam penelitian ini, analisis isi diposisikan sebagai data pelengkap untuk dapat menjelaskan persoalan kinerja wartawan. Di sini peneliti menyadari bahwa berita bukan merupakan produk individual wartawan, namun produk yang dilahirkan oleh tim redaksi dan wartawan. Kualitas berita merepresentasikan komitmen bersama antara redaksi, wartawan dan juga perusahaan media. C. Analisis Data Triangulasi Dalam penelitian ini, peneliti menempatkan data survei sebagai data utama. Data ini dianalisis terlebih dahulu, lalu dikomparasikan dan dikontraskan dengan hasil analisis data FGD dan analisis isi untuk melihat konsistensi sekaligus perbedaan-perbedaan yang mungkin muncul. Pola penyajian ini dipilih untuk memberikan bukti-bukti yang lebih komprehensif dan penjelasan yang lebih lengkap terkait persoalan penelitian. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 19 20 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Bab III Gambaran Umum Uji Kompetensi Wartawan Indonesia A. Dasar Penyelenggaraan Dasar pelaksanaan uji Komptensi Wartawan adalah Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Peraturan ini dibuat karena belum ada kebijakan yang mengatur tentang standar untuk dapat menilai profesionalitas wartawan. Di samping itu, kebutuhan standarisasi ini mendesak untuk dapat merespon harapan publik terhadap kerja profesional wartawan dan persoalan kualitas berita. B. Latar Belakang Penyelenggaraan Uji Kompetensi Di Indonesia, pekerjaan wartawan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik yang telah memiliki pendidikan atau keterampilan jurnalistik maupun belum atau tidak memilikinya. Dalam pandangan Dewan Pers, pelaksanaan uji standar kompetensi ini memiliki arti penting karena pilihan menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara. Tidak ada ketentuan yang dapat membatasi hak seorang warga negara untuk menjalani profesi tersebut. Sementara itu, pekerjaan wartawan sangat berhubungan dengan kepetingan publik karena wartawan adalah “bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan sepereti koruptor dan politisi busuk” (Peraturan Dewan Pers Nomor 1/ Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan). Melihat posisi wartawan yang sangat strategis, Dewan Pers mempertimbangkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi ini menjadi alat ukur profesionalitas wartawan. Dengan demikian, standar kompetensi wartawan diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan. Dewan Pers mengatur perihal standar kompetensi ini dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Dewan Pers memandang kompetensi wartawan berkaitan dengan kemampuan intelektual dan pengetahuan umum. Di dalam kompetensi wartawan melekat pem ah am an t en t an g p en t i n g n y a kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Lebih lanjut Dewan Pers mengungkapkan bahwa kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam hal yang terakhir ini juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti juga kemampuannya yang bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 21 mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, serta membuat dan menyiarkan berita. Dewan Pers merekomendasikan, untuk mencapai standar kompetensi tersebut, seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi Dewan Pers. Lembaga tersebut adalah perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik. Wartawan yang belum mengikuti kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar komptensi wartawan Indonesia. C. Model dan Kategori Kompetensi Dewan Pers merancang rumusan komptensi wartawan menggunakan model dan katagori kompetensi, mencakup elemen: 1. Kesadaran (awareness) yang mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. 2. Pengetahuan (knowledge) yang mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus. 3. Keterampilan (skill): mencakup kegiatan 6 M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi), serta melakukan riset/investigasi, analisis/prediksi, serta menggunakan alat dan teknologi informasi. Kompetensi wartawan yang dirumuskan ini merupakan hal-hal mendasar yang harus dipahami, dimiliki, 22 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 dan dikuasai oleh seorang wartawan. D. Perangkat Uji Kompetensi Perangkat uji kompetensi disusun berdasarkan tingkatan wartawan muda, madya dan utama yang mencakup aspek kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Perangkat uji kompetensi ini bersifat terbuka, serta dapat dilihat oleh peserta, penguji dan pengamat. Perangkat uji ini terdiri dari: materi (soal uji) dan metode pengujian. Perangkat pengujian ini diklasifikasi menjadi tiga level mengikuti jenjang kewartawanan, yaitu: Wartawan muda, Wartawan Madya dan Wartawan Utama. Materi uji mencakup tiga elemen kompetensi wartawan, yaitu: Kompetensi umum, yakni kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh semua orang yang bekerja sebagai wartawan. Kompetensi inti yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugastugas umum. Kompetensi khusus, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas khusus jurnalistik. Materi pengujian ini diberikan sesuai jenjang kewartawanan. Dalam kaitan ini, Dewan Pers menetapkan elemen unjuk kerja sebagai acuan dalam memberikan materi pengujian. Elemen unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan proses kerja pada setiap elemen kompetensi. Elemen kompetensi disertai dengan kriteria unjuk kerja harus mencerminkan aktivitas aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Tabel 3.1 berikut memberikan gambaran tentang elemen unjuk kerja yang dimaksudkan di sini: Elemen Kompetensi Wartawan Elemen Kompetensi Muda Wartawan Madya a. Mengusulkan dan merencanakan liputan b. Menerima dan melaksanakan penugasan c. Mencari bahan liputan, termasuk informasi dan referensi d. Melaksanakan wawancara e. Mengolah hasil liputan dan menghasilkan karya jurnalistik f. Mendokumentasika nn hasil liputan dann memmbangun basis data pribadi g. Membangun dan memelihara jejaring dan hobi. a. Menyunting karya jurnalistik wartawan. b. Mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik. c. Memublikasikan berita layak siar. d. Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi. e. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan berkedalaman (indepth reporting). f. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan investigasi (investigative reporting). g. Menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi di bidangnya. h. Melakukan evaluasi pemberitaan di bidangnya. i. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi. j. Memiliki jiwa kepemimpinan. Elemen Kompetensi Wartawan Utama a. Menyunting karya jurnalistik wartawan. b. Mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik. c. Memublikasikan berita layak siar. d. Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi. e. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan berkedalaman (indepth reporting). f. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan investigasi (investigative reporting). g. Menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi. h. Melakukan evaluasi pemberitaan. i. Memiliki kemahiran manajerial redaksi. j. Mengevaluasi seluruh kegiatan pemberitaan. k. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi. l. Berpandangan jauh ke depan/visioner. m. Memiliki jiwa kepemimpinan. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 23 Di samping itu, untuk mengukur tingkat atau derajat kesulitan dalam mencapai unit kompetensi tertentu, Dewan Pers mengintroduksi 11 kompetensi kunci yang harus dikuasai baik oleh wartawan muda, madya dan utama. Kesebelas komptensi kunci ini meliputi: 1. Memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik. 2. Mengidentifikasi masalah yang terkait dan memiliki nilai berita. 3. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi. 4. Menguasai bahasa. 5. Mengumpulkan dan menganalisis informasi berupa fakta dan data bahan berita. 6. Menyusun berita. 7. Menyunting berita. 8. Merancang rubrik atau kanal halaman pemberitaan dan atau slot program pemberitaan. 9. Manajemen redaksi. 10. Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan. 11. Menggunakan peralatan teknologi informasi pemberitaan. Sebagai ilustrasi, kompetensi “memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik” pada wartawan muda tercermin dari kemampuannya melakukan liputan dan menyajikan berita sesuai Kode Etik Jurnalistik. Pada wartawan madya, memahami penerapam Kode Etik Jurnalistik dalam menentukan pilihan liputan. Pada wartawan utama, mampu menafsirkan filosofi Kode Etik Jurnalistik serta memutuskan liputan yang sesuai Kode Etik Jurnalistik agar wartawan dan kepentingan publik terlindungi. Sementara kompetensi “mengidentifikasi masalah yang terkait dan memiliki nilai berita” pada wartawan muda tercermin dari kemampuannya mengusulkan dan merencanakan liputan. Wartawan madya, mengidentifikasi, meneliti dan menyaring masalah yang terkait dan memiliki nilai berita serta mengoordinasikan rencana liputan. Wartawan utama, mengevaluasi rencana liputan dan menentukan arah pemberitaan.1 Motode yang diterapkan untuk menguji kompetensi meliputi berbagai alternatif pilihan. Pilihan-pilihan metode pengujian sangat bergantung pada lembaga pelaksana uji kompetensi, dalam hal ini Dewan Pers tidak melakukan pembatasan. Metode tersebut antara lain: a. Uji lisan atau wawancara b. Peragaan c. Praktik d. Studi kasus e. Jawaban tertulis f. Pilihan berganda g. Pemeriksaan produk h. Referensi i. Dokumentasi hasil kerja j. Pengamatan k. Metode lain yang terkait Sebagai ilustrasi, untuk menguji wartawan muda dalam merencanakan atau mengusulkan liputan/pemberitaan, 1. Untuk selengkapnya, penjelasan ini dapat diperoleh dari dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan, halaman 25-28. 24 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 uji kompetensi dilakukan dengan simulasi dan ujian lisan (wawancara). Berdasarkan simulasi ini, penguji melakukan pengamatan bagaimana wartawan merencanakan liputan dan memeriksa hasil rencana liputan. Penguji juga memberikan penilaian atas hasil uji lisan. Contoh yang lain, untuk menguji wartawan muda dalam menulis berita, prosedur pengujian adalah dengan melakukan simulasi. Di sini peserta diminta untuk mengumpulkan data dan informasi, dan menulis berita dengan materi yang diperoleh. Penguji dapat menetapkan penilaian dengan mengamati simulasi itu, memeriksa karya tulis dan penilaian pada hasil kerja/produk dengan melakukan kegiatan simulasi. Wartawan dinilai kompeten jika memperoleh hasil minimal 70 dari skala penilaian 10-100. Dalam lembar penilaian tercantum identitas peserta dan media, tanggal pelaksanaan, unit kompetensi, identitas penilai dan lembaga penguji, nilai dan catatan penilaian, hasil uji. Wartawan yang belum lolos uji memiliki kesempatan untuk melakukan tes ulang. Namun sayangnya, sejauh ini Dewan Pers belum membuat keputusan apakah sertifikasi ini perlu diuji kembali untuk suatu periode tertentu atau berlaku seumur hidup. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 25 26 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Bab IV Gambaran Umum Wartawan Bersertifikat Indonesia A. Distribusi Frekuensi Wartawan Bersertifikat Selama tiga tahun berjalannya uji kompetensi wartawan (mulai 2011 hingga 2014) Dewan Pers dalam situs resminya, http//www.dewanpers.or.id, mencatat 4.669 orang wartawan yang telah melakukan uji kompetensi (Uji Kompetensi Wartawan/UKW).2 Angka ini nampaknya perlu diralat karena berdasarkan penghitungan peneliti ada sejumlah nama yang sama di dalamnya. Angka peneliti adalah 4.632. Dari total tersebut (4.632), wartawan muda ada sebanyak 1.919 orang, wartawan madya 1.361 orang dan utama 1.352 orang. Berdasarkan angka ini dapat dilihat dengan jelas, jumlah wartawan muda paling banyak jumlahnya. Tabel 4.1 Jenjang Kewartawanan di Indonesia NO KATEGORI JUMLAH 1 MUDA 1919 2 MADYA 1361 3 UTAMA 1352 Jika dilihat dari periode waktu, maka jumlah wartawan bersertifikat paling banyak dijumpai di tahun 2012. Ada 2.110 orang yang bersertifikat di tahun tersebut. Tabel 4.2 memberikan gambaran tetang hal ini. Tabel 4.2 Rentang Tahun Wartawan Mendapatkan Sertifikasi NO TAHUN JUMLAH 1 2010 7 2 2011 928 3 2012 2110 4 2013 1474 5 2014 97 Sejak Dewan Pers mengeluarkan Surat Keputusan tentang Uji Kompetensi Wartawan pada tahun 2010, uji kompetensi menjadi semacam “kewajiban” bagi para wartawan. Uji kompetensi adalah salah satu cara untuk meningkatkan profesionalisme wartawan karena posisinya sebagai garda depan dalam memberikan informasi bagi masyarakat. Seperti diakui oleh 2. Tim peneliti melakukan penghitungan ulang jumlah wartawan yang telah melakukan uji kompetensi dan nampaknya jumlahnya berbeda dari yang ada website dewanpers.or.id. Jumlah wartawan menurut penghitungan kami adalah 4.632 orang sedangkan menurut Dewan Pers adalah 4669 orang. Perbedaan ini salah satu alasannya adalah adanya beberapa nama wartawan yang diinput dua kali dalam daftar wartawan bersertifikat. Akses terhadap website dilakukan tanggal 1 Desember 2014. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 27 Habsul Nurhadi, seorang wartawan utama, bahwa uji kompetensi ini tidak sekedar meningkatkan kualitas seorang wartawan, namun juga untuk menekan penyalahgunaan profesi wartawan oleh pihak yang mengaku-ngaku diri sebagai wartawan.3 Dilihat dari tempat kerja, wartawan bersertifikat yang bekerja di media cetak berjumlah sekitar 3.248 orang. Jumlah ini terbesar dibanding dengan jumlah wartawan yang bekerja di media lain. Jumlah tersebut disusul oleh wartawan yang bekerja di radio dan televisi, dengan jumlah sekitar 700 orang. Sementara itu, wartawan yang bekerja di media online 291 orang dan selebihnya bekerja di kantor berita, seperti Antara, berjumlah 237 orang. Jumlah tokoh pers yang selama ini dianggap berjasa dalam memajukan dunia pers ada 33 orang. Tabel 4.3 menunjukan distribusi data yang dimaksud. terbanyak ada di Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah 822. Sementara itu, jumlah wartawan bersertifikat yang paling sedikit ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tabel 4.4 menyajikan sebaran jumlah wartawan bersertifikat berdasarkan provinsi. Menurut data tersebut, jumlah wartawan bersertifikat paling banyak berada di Pulau Jawa, yaitu 1.979. Hal ini paralel dengan banyaknya jumlah perusahaan media di sini. Jika daerah penyebaran wartawan bersertifikat di Pulau Jawa dilihat lebih detil, maka dapat diketahui, Jakarta memiliki jumlah wartawan bersertifikat paling banyak, yaitu 822. Sementara Banten memiliki jumlah yang relatif sedikit, yaitu 136. Tabel 4.5 menunjukkan penyebaran wartawan bersertifikat berdasarkan wilayah di Pulau Jawa dan jenis media tempat mereka bekerja. Tabel 4.3 Jenis Media Tempat Wartawan Bekerja NO JENIS MEDIA JUMLAH 1 CETAK 3248 2 ELEKTRONIK 700 3 ONLINE 291 KANTOR BERITA 4 237 Tabel 4.4 Distribusi Wartawan Bersertifikat di Indonesia 5 TOKOH PERS 33 Jumlah peserta UKW di setiap daerah cukup beragam. Berdasarkan data Dewan Pers, jumlah wartawan bersertifikat 3. 28 No. 1 2 PROPINSI ACEH BALI 3 4 5 6 7 8 BANTEN BENGKULU GORONTALO JAMBI JAWA BARAT JAWA TENGAH TOTAL 82 220 139 55 23 91 280 252 Nabsul Nurhadi adalah mantan peneliti LP3ES dan bekerja sebagai wartawan senior di Tabloid Detak, telah mendapatkan sertifikasi wartawan utama pada tahun 2011. http://media.kompasiana.com/ mainstreammedia/2014/06/07/menyongsong-era-wartawan-kompeten-657196.html. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 JAWA TIMUR KALBAR KALSEL KALTENG KALTIM KEP BANGKA BELITUNG KEP RIAU LAMPUNG MALUKU UTARA MALUKU NTB NTT PAPUA BARAT PAPUA RIAU SULBAR SULSEL SULTENG SULTRA SULUT SUMBAR SUMSEL JAKARTA SUMUT JOGJA TOTAL 314 8 119 106 188 3 123 254 42 63 73 2 55 69 112 6 203 34 70 69 139 226 822 218 172 4.632 di wilayah Jakarta terdapat 111 media cetak yang terdiri dari surat kabar harian, tabloid dan majalah. Di lokasi ini cukup banyak media yang menjangkau distribusi nasional, seperti Kompas dan Tempo dan sejumlah institusi penyiaran. Tidak mengherankan jika jumlah wartawan bersertifikat di sini paling banyak. Di Jakarta, jumlah wartawan bersertifikat paling banyak bekerja di LKBN Antara, dengan total 95 orang wartawan. LKBN Antara adalah kantor berita yang berfungsi menyediakan berita atau informasi untuk media massa di Indonesia. LKBN Antara sendiri adalah salah satu lembaga yang mendapat hak dari Dewan Pers untuk menyelenggarakan uji kompetensi wartawan. Jumlah wartawan bersertifikat ini nampaknya memiliki kaitan erat dengan jumlah perusahaan media yang berada di lokasi tersebut. Sebagai contoh, merujuk pada data Media Directory 2012/2013, Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 29 Tabel 4.5 Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Jawa NO WILAYAH CETAK ELEKTRONIK ONLINE KANTOR BERITA TOKOH PERS TIDAK ADA TIDAK BERGABUNG DGN MEDIA MANAPUN 1 BANTEN 124 8 5 2 0 0 0 139 TOTAL 2 JAWA BARAT 244 18 10 3 2 1 2 280 3 JAWA TENGAH 186 43 11 11 0 0 1 252 4 YOGYAKARTA 132 31 3 3 1 2 0 172 5 JAWA TIMUR 197 50 43 19 0 3 2 314 6 JAKARTA 510 123 46 112 20 2 9 822 TOTAL 1393 273 118 150 23 8 14 1979 Jawa Timur dan Jawa Barat adalah dua propinsi yang juga memiliki perusahaan pers terbanyak setelah DKI Jakarta. Di Jawa Timur, ada grup Jawa Pos yang banyak memiliki anak-anak perusahaan. Sesuatu yang wajar jika wartawan bersertifikat banyak yang berasal atau bekerja di Jawa Pos grup. Jumlah wartawan bersertifikat di grup ini tercatat 36 orang wartawan. Mereka tersebar di harian Jawa Pos dan harian Radar yang ada di seluruh Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat, wartawan bersertifikat paling banyak bekerja di harian Pikiran Rakyat. Di perusahaan ini tercatat jumlah wartawan bersertifikat ada sebanyak 79 orang. Di Sumatera jumlah total wartawan bersertifikat adalah 1.172. Jumlah ini tersebar di seluruh provinsi. Sumatera Selatan memiliki jumlah wartawan bersertifikat paling banyak, yaitu 226 orang, disusul di Sumatera Utara, 218 orang, dan Sumatera Barat, 139 orang. Dari jumlah total wartawan bersertifikat ini, sebagian bekerja di media cetak, yaitu berjumlah 961, dilanjutkan di media elektronik, online dan kantor berita. Tabel 4.6 menunjukkan hasil tersebut. Tabel 4.6 Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Sumatra NO WILAYAH CETAK ELEKTRONIK ONLINE KANTOR BERITA TOKOH PERS TIDAK DI MEDIA MANAPUN TAK ADA KATEGORI TOTAL 1 ACEH 56 11 12 3 0 0 0 82 2 JAMBI 61 16 10 2 0 0 2 91 3 KEP RIAU 107 4 7 4 0 0 1 123 4 BENGKULU 40 12 0 3 0 0 0 55 5 RIAU 97 5 4 1 0 4 1 112 6 SUMBAR 118 7 12 2 0 0 0 139 30 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 7 SUMSEL 174 27 7 7 0 7 4 226 8 SUMUT 199 13 0 3 2 1 0 218 9 KEP BANGKA BELITUNG 10 2 0 0 1 0 0 0 3 KEP RIAU 107 4 7 4 0 0 1 123 TOTAL 961 99 59 30 2 12 9 1172 Seperti yang terjadi di Jawa, jumlah wartawan bersertifikat di provinsi Sumatera juga paralel dengan jumlah institusi media di lokasi tersebut. Sebagai contoh, Sumatera Utara memiliki jumlah wartawan bersertifikat terbanyak dan di wilayah ini berdiri tidak kurang dari 74 perusahaan media. Sumatra Barat yang juga memiliki banyak wartawan bersertifikat, memiliki jumlah media yang banyak pula, yaitu 27 media cetak dan 10 media online. Jumlah total wartawan bersertifikat di Kalimantan dan Sulawesi tidak jauh berbeda. Di Kalimantan ada 421 wartawan bersertifikat dan di Sulawesi ada 405 wartawan. Di Kalimantan, nampaknya jumlah wartawan bersertifikat ini tidak cukup berimbang. Di Kalimantan Barat misalnya, jumlah wartawan bersertifikat sangat sedikit, yaitu 8 orang. Sementara di provinsi lainnya jumlah wartawan bersertifikat rata-rata di atas 100 orang. Tabel 4.7 memberikan gambaran distribusi di wilayah ini. Tabel 4.7 Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Kalimantan TOKOH PERS TIDAK DI MEDIA MANAPUN TIDAK JELAS KATEGORINYA WILAYAH CETAK ELEKTRONIK ONLINE KANTOR BERITA 1 KALBAR 7 0 0 1 0 0 0 8 2 KALSEL 60 51 2 5 0 1 0 119 3 KALTENG 55 19 11 8 0 11 2 106 4 KALTIM 119 35 14 11 0 1 8 188 TOTAL 241 105 27 25 0 13 10 421 NO Di Sulawesi, ada kesenjangan jumlah wartawan bersertifikat di beberapa lokasi. Seperti misalnya di Sulawesi Selatan, jumlah wartawan bersetifikasi paling banyak, yaitu 203 orang. Sementara di TOTAL Sulawesi, jumlah wartawan bersertifikat paling sedikit, hanya 6 orang. Tabel 4.8 memberikan gambaran tentang jumlah wartawan bersertifikat di setiap daerah. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 31 Tabel 4.8 Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Sulawesi NO WILAYAH CETAK ELEKTRONIK ONLINE KANTOR BERITA TOKOH PERS TIDAK BERGABUNG DGN MEDIA MANAPUN 1 GORONTALO 6 11 2 4 0 0 0 23 2 SULBAR 3 2 1 0 0 0 0 6 3 SULSEL 142 30 12 4 0 1 14 203 4 SULTENG 20 11 2 1 0 0 0 34 5 SULTRA 48 12 6 4 0 0 0 70 6 SULUT 23 5 9 2 0 30 0 69 TOTAL 242 71 32 15 0 31 14 405 Banyaknya jumlah wartawan bersertifikat di Sulawesi Selatan memiliki kaitan erat dengan jumlah media di sana. Sebagai gambaran, di Makassar, terdapat 76 media cetak yang terdiri dari 8 surat kabar harian, 33 (media cetak) mingguan dan 32 bulanan. Selain media cetak, Makassar memiliki 28 media elektronik dan tiga televisi lokal.4 Di wilayah ini, wartawan bersertifikat paling banyak TIDAK JELAS KATEGORINYA TOTAL bekerja di Harian Fajar. Surat kabar yang pendiriannya dimotori oleh Jusuf Kalla ini memiliki 47 orang wartawan bersertifikat. Sementara itu, penyebaran wartawan bersertifikat di Bali dan Nusa Tenggara juga tidak sama. Bali memiliki banyak wartawan bersertifikat yaitu 220 orang. Nusa Tenggara Timur memiliki hanya 2 wartawan bersertifikat. Tabel 4.9 Persebaran Wartawan Bersertifikat di Bali-Nusa Tenggara NO WILAYAH 1 BALI 2 NTB 3 4. 32 ELEKTRONIK ONLINE KANTOR BERITA TOKOH PERS 129 66 15 4 6 60 8 1 2 CETAK TDK BERGABUNG DNG MEDIA MANAPUN TIDAK ADA KATEGORINYA TOTAL 0 0 220 2 0 0 73 NTT 1 0 0 1 0 0 0 2 TOTAL 190 74 16 7 8 0 0 295 Sulsel Miliki 76 Media Cetak, 28 Radio dan 3 Televisi Lokal, http://pwi-sulsel.blogspot.com/, diakses 7 Desember 2014. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Ada perbedaan data antara Dewan Pers dan PWI NTT terkait jumlah wartawan bersertifikat. Di situs Dewan Pers, hanya terdaftar dua nama wartawan yang sudah bersertifikat. Namun menurut catatan PWI NTT, terdapat sembilan wartawan yang lulus uji kompetensi5. Perbedaan data juga nampak pada jumlah wartawan bersertifikat di Bali. Di website, Dewan Pers menyebutkan bahwa di Bali ada 220 orang wartawan bersertifikat. Angka ini berbeda dari berita yang ditulis oleh salah satu portal berita yang ada di Bali, yang menyebutkan bahwa wartawan bersertifikat ada 150 orang6. Jumlah wartawan bersertifikat di Maluku dan Papua relatif lebih bagus dibanding beberapa provinsi di Kalimantan dan Sulawesi. Di Papua Barat misalnya, ada sebanyak 55 orang wartawan bersertifikat. Tabel 4.7 menunjukkan komposisi jumlah wartawan di daerah ini . Tabel 4.10 Persebaran Wartawan Bersertifikat di Maluku dan Papua NO WILAYAH CETAK ELEKTRONIK ONLINE KANTOR BERITA TOKOH PERS TIDAK BERGABUNG DNG MEDIA MANAPUN 6. TOTAL 1 MALUKU UTARA 38 4 0 0 0 0 0 42 2 MALUKU 46 8 4 2 0 2 1 63 3 PAPUA BARAT 35 19 1 0 0 0 0 55 4 PAPUA 47 10 8 4 0 0 0 69 TOTAL 166 41 13 6 0 2 1 229 B. Profil Data Responden Salah satu tujuan menggunakan metode survei dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui profil wartawan bersertifikat yang terjaring dalam sampel penelitian. Beberapa hal yang digali dalam survei ini adalah: latar belakang umur, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan rata-rata jenis media tempat media bekerja, tahun lolos uji kompetensi, lembaga penguji yang 5. TIDAK ADA KATEGORI memberikan sertifikat, alasan memilih lembaga penguji, lama bekerja sebagai wartawan, jabatan struktural yang diampu wartawan, dan jenjang kewartawanan. Paparan berikut akan menyajikan satu per satu distribusi responden berdasarkan unsur-unsur tersebut. 1. Distribusi umur dan jenis kelamin Jumlah responden yang berhasil peneliti Wartawan NTT Lulus Uji Kompetensi. http://pwintt.blogspot.com/2013/01/9-wartawan-ntt-lulusujikompetensi.html. Diakses 7 Desember 2014. 2015 Wartawan Harus Bersertifikat UKW. http://www.rekamkejadian.koranjuri.com/?PWI%3A_2015_Wartawan_Harus_Bersertifikat_UKW. Diakses 7 Desember 2014 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 33 terbanyak, yaitu 8 orang. Usia yang lain terdistribusi hampir merata. Dilihat dari sisi jenis kelamin, sebagian besar responden adalah laki-laki. Ada sebanyak 65 orang (73,9%) laki-laki, 22 orang (25%) peremupuan, dan 1 orang tidak menyebutkan identitasnya. Angka ini nampaknya tidak jauh berbeda dari realitas wartawan Indonesia yang libatkan dalam penelitian berjumlah 88 dirinya sebagai wartawan tetap di suatu didominasi oleh laki-laki. orang. Umur responden berkisar antara perusahaan. Sebanyak 5 orang (5,67%) 24 hingga 55 tahun. Rentang usia ini menyatakan dirinya wartawan lepas memiliki targetKewartawanan responden (freelance) dan sisanya “missing” yang 2. kaitan Statusdengan dan Jenjang yang berada dalam jenjang kewartawanan berarti tidak mau menunjukkan status muda, madya dan utama.hasil Wartawan kewartawanannya. Lama menyatakan mereka bekerja Berdasarkan survei,muda 57 orang wartawan (64,77%) dirinya sebagai umumnya dicirikan oleh anak-anak muda sebagai wartawan berkisar antara 2 hingga wartawan tetap di suatu perusahaan. 5 orang (5,67%) dirinya wartawan yang baru mengawali karirnya di bidangSebanyak 28 tahun. Rentang waktumenyatakan yang cukup lebar jurnalistik. Sementara dan wartawan ini merupakan konsekuensi target lepas (freelance) sisanyautama, “missing” yang berarti tidak maudarimenunjukkan status didominasi oleh wartawan senior yang sampel yang mencakup wartawan muda, kewartawanannya. Lama mereka bekerja sebagai wartawan berkisar antara 2 hingga 28 tahun. umumnya sudah lebih lama menekuni madya dan utama. Rentang waktu yang cukup lebar ini30 merupakan targetresponden, sampel yang mencakup profesi jurnalis. Wartawan dengan usia Darikonsekuensi total 88 dari orang puluh tahun merupakn jumlah terbanyak, sebagian besar merupakan wartawan wartawan muda, madya dan utama. yaitu 8 orang. Usia yang lain terdistribusi muda (36,36% atau 32 responden), diikuti hampir merata. oleh wartawan madya (34,09% atau 30 totalsisi 88 orang merupakan wartawan muda DilihatDari dari jenis responden, kelamin, sebagian orang) besar dan wartawan utama (29,54% atau(36,36% atau sebagian besar responden adalah laki- madya 26 orang). 32 responden), diikuti oleh wartawan (34,09% atau 30 orang) dan wartawan utama laki. Ada sebanyak 65 orang (73,9%) laki(29,54% atau 26 orang). laki, 22 orang (25%) peremupuan, dan 1 3. Jenis media tempat bekerja orang tidak menyebutkan identitasnya. Hasil survei di Jakarta, Surabaya dan media tempat bekerja Angka 3. ini Jenis nampaknya tidak jauh berbeda Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian dari realitas wartawan Indonesia yang responden bekerja di media cetak, yaitu survei di Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian didominasiHasil oleh laki-laki. 71,59%, disusul di televisi, sebanyak di media online 6,81%. responden bekerja di media cetak, yaitu 18,8%, 71,59%, dan disusul di televisi, sebanyak 18,8%, dan di 2. Status dan Jenjang Kewartawanan Komposisi ini menyerupai komposisi asli media online 6,81%. Komposisi ini menyerupai di bekerja mana wartawan Berdasarkan hasil survei, 57 orang di manakomposisi wartawanasli yang di media yang bekerja wartawan (64,77%) cetakdengan jauh lebih banyak dibandingkan di media cetak jauh lebihmenyatakan banyak dibandingkan televisi dan online. dengan televisi dan online. 71.59% Surat Kabar 18.18% TV Online missing 6.81% 3.40% Surat Kabar TV Online missing Grafik 4.1 Jenis Media Tempat Bekerja Responden 34 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Grafik 4.1 Jenis Media Tempat Bekerja Responden 4. Pendidikan 4. Pendidikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pendidikan selalu menjadi perbincangan hangat dalam menilai profesionalitas dan P e n d i d i k a n s e l a l u m e n j a d i sebagian besar responden yang terlibat kinerja wartawan. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan juga untuk mengetahui distribusi perbincangan hangat dalam menilai dalam penelitian ini tamat pendidikan sampel berdasarkan latar belakang pendidikannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian profesionalitas dan kinerja wartawan. terakhir S1/sarjana strata-1. Ada beberapa Oleh karena itu penelitian ini diarahkan wartawan bahkan terakhir lulus S1/sarjana S2. Namun besar responden yang terlibat dalam penelitian ini tamat pendidikan strata-1. juga untuk mengetahui distribusi sampel sayangnya, meskipun kecil persentasenya, Ada beberapa wartawan bahkan lulus S2. Namun sayangnya, meskipun kecil persentasenya, berdasarkan latar belakang pendidikannya. masih ada wartawan yang lulus SLTA. masih ada wartawan yang lulus SLTA. 82.95% SLTA Diploma 2.27% 7.95% 5.68% S1 1.13% S2 missing Grafik 4.24.2 Grafik Pendidikan Terakhir Wartawan Pendidikan Terakhir Wartawan Dari wartawan yang menyelesaikan sarjana ilmu komunikasi/media. Temuan Dari wartawan menyelesaikan 1, merupakan sebagian besarsebuah bukan merupakan sarjana ilmu strata 1, sebagian besaryang bukan merupakanstrataini ironi. Departemen sarjana komunikasi/media, ilmu komunikasi/media, umumnya jurnalisme yaitu 56 orangyaitu (63,63%).yang Sementara hanya 27mengajarkan orang (30,68) yang menyatakn 56 orangdirinya (63,63%). Sementara hanya 27 justru tidak banyak lulusannya yang sarjana ilmu komunikasi/media. Temuan ini merupakan sebuah ironi. Departemen yang orang (30,68) yang menyatakn dirinya bekerja sebagai jurnalis. umumnya mengajarkan jurnalisme justru tidak banyak lulusannya yang bekerja sebagai jurnalis. Lulusan Jurusan Ilmu komunikasi/media 63.63% Tidak 30.68% Ya 5.68% Tidak Ya missing missing Grafik 4.3 Jurusan Lulusan Jurusan Komunikasi/Media Grafik 4.3 Lulusan IlmuIlmu Komunikasi/Media Meskipun kebanyakan wartawan bukan dari ilmu komunikasi/media tidak berarti mereka tidak paham jurnalisme karena pendidikan dan latihan memberikan kontribusi dalam membangun pengetahuan dan keterampilan jurnalistik. Berdasarkan hasil survei, 35 dari Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 lebih setengah jumlah responden (48 orang) menyatakan pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Beberapa pelatihan yang pernah diikuti responden antara lain: Banking Journalist Academy Meskipun kebanyakan wartawan yang mereka dapat, variasi penghasilan bukan dari ilmu komunikasi/media tidak cukup beragam. Hal ini mungkin saja berarti mereka tidak paham jurnalisme berkaitan dengan jenjang wartawan yang karena pendidikan dan latihan memberikan berbeda (muda, madya, dan utama). kontribusi dalam membangun pengetahuan Penghasilan ini berkisar antara kurang dan keterampilan jurnalistik. Berdasarkan dari 1 juta rupiah per bulan hingga 11 hasil survei, lebih dari setengah jumlah juta rupiah per bulan. Sebagian besar responden (48 orang) menyatakan pernah wartawan muda memiliki penghasilan mengikuti pendidikan dan pelatihan. antara kurang dari 1 juta hingga 6 juta Beberapa pelatihan yang pernah diikuti rupiah. Sebagian besar wartawan madya responden antara lain: Banking Journalist memiliki penghasilan antara 2 juta hingga Academy 2014, Conference on the Asia 9 juta rupiah. Namun ada 3 responden Jounalism Fellowship Programme, menyatakan berpenghasilan di atas 11 pelatihan wartawan jurnalisme damai, juta rupiah. Sementara itu, sebagian besar pelatihan reportase HIV/AIDS, Karya wartawan utama berpenghasilan antara latih wartawan (PWI), pelatihan 4 juta hingga 11 juta rupiah. Bahkan 11 jurnalisme anggaran (AJI), pelatihan orang menyatakan berpenghasilan mereka indepth reporting (AJI), online Journalism di atas 11 juta rupiah per bulan. Training-Hilversum dan Jurnalisme Dalam menilai penghasilan mereka, Sastrawi-Pantau, pelatihan jawaban responden nampak berbedaEditor dan Pelatihan kode etik beda pula. Ada 44,3% wartawan yang jurnalistik, Pelatihan Jurnalistik Lembaga menyatakan bahwa penghasilannya sebagianpelatihan besar wartawan utama berpenghasilan 4 juta hingga 11 juta rupiah. Bahkan 11 Pers Dr. Sutomo, membaca sebagai antara wartawan cukup. Namun orang menyatakan berpenghasilan di atas 11 juta rupiah per2,3% bulan. responden laporan keuangan perusahaan, pelatihan mereka demikian, sebanyak video jurnalistik, pelatihan melacak menyatakan sangat tidak cukup, 21,6% Dalam menilai penghasilan jawaban responden pula. Ada investasi bodong, pelatihan menulis berita mereka, menyatakan kurang nampak cukupberbeda-beda dan 26,1% 44,3% wartawan penghasilannya sebagai wartawan Grafik cukup. Namun pengenalan harga saham, yang dan menyatakan masih bahwa responden menyatakan pas-pasan. banyak jenis pelatihan yang lain. 4.4 memberikan gambaran tentang kurang demikian, sebanyak 2,3% responden menyatakan sangat tidak cukup, 21,6% menyatakan penilaian tentang penghasilan ini. cukup dan 26,1% responden menyatakan pas-pasan. Grafik 4.4 memberikan gambaran tentang 5. Penghasilan penilaian tentang penghasilan ini. Sehubungan dengan penghasilan Penilaian Responden atas Penghasilan Mereka 2.3 21.6 26.1 sangat tidak cukup 44.3 kurang cukup 5.7 pas-pasan cukup sangat cukup Grafik 4.4 Penilaian Responden atas Penghasilan 36 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Grafik 4.4 Penilaian Responden atas Penghasilan Ada suatu pandangan yang menarik tentang gaji ini yang pernah disampaikan oleh Ada suatu pandangan yang menarik 6. Tahun mendapatkan sertifikat tentang gaji ini yang pernah disampaikan Sebagian besar responden oleh seorang peserta uji kompetensi di mendapatkan sertifikat uji komptensi Medan Mei 2012 kepada (lulus ujian) pada tahun 2013. Pada tahun PWI. Peserta ini mengatakan tersebut 46,59% wartawan menyatakan “ K a l a u b i s a j a n g a n l a h h a n y a mendapatkan sertifikat. Pada tahun 2010 kemampuan jurnalistiknya yang makin hanya ada 5,68% responden menerima profesional, kesejahteraan wartawan sertifikat, pada tahun 2011 ada 22,73% pun harus ditingkatkan sesuai dengan dan 2012 sebanyak 20,45%. Jika dibuat k o m p e t e n s i n y a . ” 7 S t a t e m e n i n i perbandingan antarjenjang kewartawanan, 6. Tahun mendapatkan sertifikat menandakan harapan wartawan bahwa maka pada tahun 2013, jumlah wartawan seharusnya uji kompetensi berkontribusi muda yang menerima sertifikat lebih Sebagian besar responden mendapatkan sertifikat uji komptensi (lulus ujian) pada pada peningkatan gaji mereka. banyak daripada wartawan madya dan tahun 2013. tersebut 46,59% wartawan menyatakan mendapatkan sertifikat. Pada Menanggapi halPada ini, tahun Henry CH Bangun utama. Meskipun demikian, pada tahun tahun 2010 hanya ada 5,68% responden menerima sertifikat, pada tahun 2011 ada 22,73% dan (Sekjen PWI), menyatakan bahwa masih tersebut jumlah wartawan utama yang banyak perusahaan pers yang belumperbandingan bisa menerima sertifikat tidak selisih jauh 2012 sebanyak 20,45%. Jika dibuat antarjenjang kewartawanan, maka pada tahun memenuhi aturan tentang UMP yang dari wartawan muda. Selengkapnya data 2013, jumlah wartawan muda yang menerima sertifikat lebih banyak daripada wartawan madya ditetapkan dalam Peraturan Dewan Pers. disajikan dalam grafik 4.5. dan utama. Meskipun demikian, pada tahun tersebut jumlah wartawan utama yang menerima Apalagi ketentuan AJI yang menerapkan sertifikat tidak selisih jauhminimal dari wartawan muda. Selengkapnya data disajikan dalam grafik 4.5. besar gaji wartawan adalah 3 kali lipat dari UMP. 46.88% 43.33% 42.31% 34.38% 23.08% 26.67% wartawan muda wartawan madya 19.23% 13.33% 12.50% 6.25% 7.69% 6.67% 10.00% 7.69% wartawan utama 0.00% 2010 2011 2012 2013 missing Grafik 4.5 Tahun Sertifikasi Lolos Ujiberdasarkan Kompetensi Grafik 4.5 Tahun Sertifikasi Lolos Uji Kompetensi Kategori Sertifikasi 7. Lembaga penguji berdasarkan Kategori Sertifikasi Lembaga penguji yang paling banyak dirujuk oleh responden untuk melaksanakan uji kompetensi adalah PWI. Sebanyak 34 responden (38,64%) melakukan ujian di PWI. Setelah PWI, lembaga penguji yang dirujuk oleh responden adalah LPDS. Sebanyak 26 responden 7. Opini ditulismelakukan oleh Henryujian CH di Bangun (Sekjen PWI) danberikutnya bisa dilihat lebihAJI lanjut http://media. (29,55%) lembaga ini. Lembaga adalah dandiDewan Pers. kompasiana.com/mainstream-media/2012/05/19/ukw-gaya-medan-463372.html. Diakses 7 Desember Grafik 4.6 berikut memberikan gambaran temuan yang dimaksud. 2014. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 37 7. Lembaga penguji Lembaga penguji yang paling banyak dirujuk oleh responden untuk melaksanakan uji kompetensi adalah PWI. Sebanyak 34 responden (38,64%) melakukan ujian di PWI. Setelah PWI, lembaga penguji yang dirujuk oleh responden adalah LPDS. Sebanyak 26 responden (29,55%) melakukan ujian di lembaga ini. Lembaga berikutnya adalah AJI dan Dewan Pers. Grafik 4.6 berikut memberikan gambaran temuan yang dimaksud. 38.64% 29.55% AJI PWI 11.38% 10.22% 10.22% LPDS Dewan Pers Missing AJI PWI LPDS Dewan Pers Missing GrafikGrafik 4.6 4.6 Lembaga Penguji yang Memberikan Sertifikasi Lembaga Penguji yang Memberikan Sertifikasi Semenjak dikeluarkannya Peraturan Sutomo), dan LKBN (Lembaga Kantor dikeluarkannya Peraturan Dewan Pers Nomor 1/PeraturanDP/II/2010 tentang Dewan Semenjak Pers Nomor 1/PeraturanDP/ Berita Nasional) Antara. II/2010 Standar Kompetensi PWI termasuk yang paling Standar tentang Kompetensi Wartawan sejak 2010, beberapa lembaga penguji terkait produktif gencar melakukan Wartawan sejak 2010, beberapa lembaga melaksanakan uji kompetensi wartawan. sosialisasi ke beberapa daerah di Indonesia. Hingga saat ini tercatat ada 25 lembaga penguji penguji terkait gencar melakukan Kelebihan lain dari PWI adalah, mereka kompetensi wartawandaerah yang di terdiri dari organisasi jurnalis, institusiujipendidikan, perusahaan sosialisasi ke beberapa Indonesia. tak hanya melakukan kompetensidan untuk Hingga saat ini tercatat ada 25 lembaga anggota PWI propinsi saja. Media-media pers. Namun dari 25 lembaga tersebut, yang terhitung cukup produktif dalam melaksanakan uji penguji kompetensi wartawan yang besar seperti Republika, Pikiran Rakyat, kompetensi hanya limajurnalis, lembaga, yaitu Dewan Pers, AJI Gatra, (Aliansi Fajar Jurnalisdan Independen), PWI terdiri dari organisasi institusi Warta Kota, masih pendidikan, perusahaan pers. Namun banyakPers lagiDokter lainnya mempercayakan (Persatuan dan Wartawan Indonesia), LPDS (Lembaga Sutomo), dan LKBNuji (Lembaga dari 25 lembaga tersebut, yang terhitung kompetensi wartawannya kepada PWI. Kantor Berita Nasional) Antara. cukup produktif dalam melaksanakan Lembaga kedua yang paling banyak PWI termasuk paling produktif memberikan melaksanakansertifikasi uji kompetensi uji kompetensi hanyayang lima lembaga, padawartawan. respondenKelebihan yaitu AJImereka (Aliansi adalah uji LPDS. Lembaga inianggota sejak lama lain Dewan dari PWIPers, adalah, takJurnalis hanya melakukan kompetensi untuk PWI propinsi Independen), PWI (Persatuan Wartawan berpengalaman memberikan pendidikan saja. Media-media besar seperti Rakyat, Warta Kota, Gatra, Fajar dan masih Indonesia), LPDS (Lembaga PersRepublika, Dokter Pikiran jurnalistik. Sementara AJI diperhitungkan banyak lagi lainnya mempercayakan uji kompetensi wartawannya kepada PWI. Lembaga kedua 38yangJurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 paling banyak memberikan sertifikasi pada responden adalah LPDS. Lembaga ini sejak lama berpengalaman memberikan pendidikan jurnalistik. Sementara AJI diperhitungkan karena karena didirikan atas semangat perlawanan kredibilitas lembaga penguji dan karena terhadap rezim Orde Baru dan juga kantor mengarahkan uji kompetensi dimotori oleh wartawan-wartawan muda ke lembaga tertentu. Kedua alasan ini yang tentu lebih kritis dalam menyikapi nampak sangat menonjol dibanding berbagai isu yang terkait dengan dunia alasan-alasan lain seperti lokasi ujian yang jurnalis. Wartawan-wartawan ini merujuk mudah dijangkau dan waktu ujian yang AJI sebagai lembaga penguji. sesuai. Grafik 4.7 berikut menggambarkan ini nampak menonjol dibanding alasan-alasan Alasanalasan paling banyaksangat muncul dalam temuan ini. lain seperti lokasi ujian yang mudah menentukan lembaga penguji adalah dijangkau dan waktu ujian yang sesuai. Grafik 4.7 berikut menggambarkan temuan ini. Grafik 4.7 Alasan Memilih Lembaga untuk Kompetensi Grafik 4.7 Alasan Memilih Lembaga untuk UjiUjiKompetensi 8. Keterlibatan dalam Asosiasi yang terlibat dalam penelitian ini tergabung dalam asosiasi berjumlah cukup 8. KeterlibatanResponden dalam Asosiasi besar, yaitu 47 orang (53,40%).dalam Mereka umumnya tergabung dalam AJI, IJTI, PFI, dan PWI. Di Responden yang terlibat mereka hanyadalam 10 orangasosiasi (11,36%) menjadi pengurus. penelitianantara ini tergabung berjumlah cukup besar, yaitu 47 orang (53,40%). Mereka umumnya tergabung dalam AJI, IJTI, PFI, dan PWI. Di antara mereka hanya 10 orang (11,36%) menjadi pengurus. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 39 40 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Bab V Uji Kompetensi, Profesionalisme dan Kinerja Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, salah satu tujuan dilakukannya uji kompetensi adalah meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. Selain itu, uji kompetensi juga bertujuan sebagai bahan evaluasi terhadap kinerja wartawan. Kedua hal itu baik secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan persepsi wartawan tentang ukuran-ukuran profesionalitas kerja wartawan. Oleh karena itu, pada bab ini, akan dipaparkan persepsi wartawan atas profesionalitas dirinya serta persepsi dan refleksi wartawan terhadap uji kompetensi. Persepsi wartawan atas profesionalitas penting dikaji karena persepsi mempengaruhi kinerja. Sebagai contoh, jika wartawan mempersepsi jurnalis sekedar sebagai pekerjaan, maka etika menjadi kurang penting karena kaidahkaidah etis biasa termaktub dalam pekerjaan profesional. Begitu pula, persepsi wartawan terhadap orientasi kinerja. Dalam hal ini, apakah wartawan bekerja untuk publik ataukah demi pemilik modal atau kelompok-kelompok tertentu akan mempengaruhinya kerja wartawan dalam memilih dan menampilkan realitas menjadi berita. A. P e r s e p s i Wa r t a w a n A t a s Profesionalitas Dirinya Untuk mengetahui persepsi wartawan atas profesionalitas dirinya, kepada masing-masing wartawan baik muda, madya maupun utama diajukan beberapa pertanyaan terkait persepsi mereka mengenai, misalnya, apakah sebagai jurnalis mereka selalu mempertimbangkan publik dalam melakukan pekerjaannya? Total pertanyaan untuk mengetahui persepsi wartawan ini beragam. Untuk wartawan muda, ada kurang lebih 28 pertanyaan yang ditujukan untuk mengidentifikasi persepsi wartawan muda terhadap profesionalitas dirinya, dan masing-masing sebanyak 29 dan 21 item pertanyaan untuk wartawan madya dan wartawan utama. Paparan berikut akan diawali dengan menyajikan skor mean untuk mengetahui kecenderungan persepsi responden atas makna profesionalitas wartawan. Tabel 5.1 memperlihatkan secara gamblang persepsi wartawan atas profesionalitas tersebut. Baik wartawan muda, madya ataupun utama tampak bahwa persepsi profesionalitas atas dirinya relatif bagus. Ini ditunjukkan oleh angka mean dari masing-masing tingkatan wartawan yang berada di atas nilai kritis mean yang ditetapkan oleh peneliti. Untuk nilai kritis mean wartawan muda, misalnya, adalah 56 yang merupakan nilai Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 41 tengah (mean) dari angka minimal (0) dan angka maksimal 1121. Untuk wartawan muda, nilai mean 73,53 (std. deviation 12,15) menunjukkan bahwa persepsi wartawan muda atas profesionalisme dirinya relatif bagus. Begitu pula, jika dilihat mean dari wartawan madya dan utama. Nilai mean untuk wartawan madya adalah 81,9 (std. deviation 11,718), sedangkan wartawan utama adalah 59,96 (std. deviation 11,718). Perlu dicatat bahwa meskipun wartawan utama nilai mean-nya paling kecil, tidak berarti bahwa hal itu menunjukkan persepsi mengenai profesionalitasnya lebih buruk dibandingkan dengan wartawan lainnya. Ini karena nilai pembandingnya (nilai mean) berbeda. Nilai mean untuk wartawan utama adalah 42, sedangkan wartawan madya dan wartawan muda masing-masing 58 dan 56. Perbandingan ketiganya bisa dilihat dengan membandingkan selisih mean ketiganya. Dari sini, bisa dilihat bagaimana nilai mean wartawan muda punya selisih 17,53 poin, wartawan madya 23,9 poin, dan wartawan utama 17,96 poin. Dengan demikian, persepsi wartawan madya menjadi yang paling bagus dibandingkan dengan persepsi wartawan muda ataupun utama dalam hal profesionalitas diri mereka karena nilai mean mereka jauh di atas nilai mean dari rerata nilai maksimal dan nilai minimal yang bisa ditentukan untuk masing-masing jenjang wartawan. Tabel 5.1 Persepsi wartawan Atas profesionalitas Wartawan Muda Mean Std. Wartawan Madya Mean Std. deviasi Wartawan Utama Mean Std. deviasi deviasi Persepsi wartawan atas 73,53 12,147 81,9 11,718 59,96 11,718 profesionalitas dirinya 1. 42 Nilai minimal dan maksimal untuk wartawan muda: 0-112(nilai kritis mean 56). Nilai minimal dan maksimal untuk wartawan madya: 0-116 (nilai kritis mean 58). Nilai minimal dan maksimal untuk wartawan utama: 0-84 (nilai kritis mean 42). Nilai mean di bawah nilai kritis ini dianggap buruk. Perbedaan mean disebabkan oleh jumlah pertanyaan di masing-masing kuesioner untuk setiap kategori wartawan berbeda (28 pertanyaan untuk muda, 29 madya dan 21 utama –untuk perhitungan nilai ini). Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Dalam penelitian ini, persepsi wartawan atas profesionalitas dirinya dijabarkan dalam dalam beberapa dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan persepsi mereka atas pelayanan publik. Dimensi kedua tentang usaha mereka dalam memberikan informasi terbaru kepada publik secara cepat. Dimensi ketiga tentang pengetahuan wartawan atas Undang-Undang Pers dan Kode Etik. Temuan penelitian tentang persepsi ini bisa dipaparkan sebagai berikut. 1. Persepsi bahwa Wartawan Harus Melayani Publik Pelayanan terhadap publik merupakan kata kunci dalam merumuskan jurnalisme. Kovach dan Rosenstiel menyebutnya sebagai loyalitas utama jurnalisme. Sebagai sebuah ideologi, jurnalisme memang harus selalu mengabdi kepada kepentingan publik, dan itu pula sebenarnya yang menjadi alasan utama dijaminnya kemerdekaan pers, yakni agar media bisa melayani warga negara. Oleh karena itu, mengetahui persepsi wartawan bahwa jurnalis harus mengabdi atau melayani publik sangatlah penting. Jika persepsi jurnalis mengenai pelayanan terhadap publik ini sangat kuat maka output jurnalismenya pun akan senantiasa mengedepankan kepentingan publik, demikian sebaliknya. Tabel 5.2 memberikan informasi yang lengkap mengenai persepsi wartawan terkait dengan pelayanan publik. Untuk wartawan muda, dari 32 responden yang mengisi kuisioner, sebanyak 20 responden (62.50%) menyatakan setuju dan 7 responden (21.88%) menyatakan sangat setuju. Jika responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ini digabung maka angkanya mencapai 84%. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa ada responden yang menyatakan kurang setuju jika wartawan harus melayani publik. Angkanya cukup besar, yakni mencapai 15.63%. Ini tentu harus mendapatkan perhatian karena pelayanan terhadap publik mestinya memang harus menjadi kewajiban utama wartawan. Kewajiban lainnya seperti melayani perusahaan demi mendapatkan keuntungan atau lebih-lebih melayani pemilik media harus berada di bawah tugas melayani publik. Persepsi bahwa wartawan harus melayani publik ini semakin bagus untuk kategori wartawan madya dan utama. Meskipun masing-masing jenjang wartawan masih menyisakan responden yang menyatakan tidak setuju, tapi total persentase responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju jauh lebih besar dibandingkan dengan wartawan muda untuk jenjang wartawan madya dan utama. Untuk jenjang wartawan madya, masing-masing sebesar 56,7% menyatakan setuju dan 33.3% menyatakan sangat setuju sehingga total mencapai 90.0%. Sementara itu, untuk wartawan utama, ada sebesar 65.38% yang menyatakan setuju dan sebanyak 30.77% yang menyatakan sangat setuju sehingga total keduanya mencapai 91.16%. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa persepsi wartawan mengenai keharusan melayani publik untuk jenjang wartawan madya dan utama sudah sangat bagus. Wartawan muda yang kemudian harus lebih mendapatkan perhatian karena masih menyisakan masalah. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 43 Tabel 5.2 Persepsi Responden bahwa Wartawan Harus Melayani Publik Wartawan Harus Melayani Publik Jenjang kewartawanan wartawan muda frekuensi % wartawan madya frekuensi % wartawan utama frekuensi % Kurang setuju 5 15.63% 2 6.7% 1 3.85% Setuju 20 62.50% 17 56.7% 17 65.38% Sangat setuju 7 21.88% 10 33.3% 8 30.77% Missing 0 0.00% 1 Total 32 100.00% 30 2. Persepsi Wartawan untuk Selalu Berusaha Memberikan Informasi Terbaru kepada Publik Secara Cepat Terkait keharusan untuk melayani publik, persepsi berikutnya yang tidak kalah penting yaitu bahwa wartawan harus selalu berusaha memberikan informasi secara cepat. Media-media yang profesional selalu berusaha menyampaikan informasi yang up to date atau aktual. Oleh karena itu, wartawan perlu mempunyai persepsi positif mengenai pelayanan informasi yang aktual ini. Bahkan, dalam kerangka mengukur media performance, McQuail (1992) memasukan aktualitas sebagai salah satu dimensi yang sangat penting. Khalayak juga sangat mengharapkan berita-berita yang tidak hanya faktual, tapi juga aktual. Tabel 5.3 menunjukkan informasi lengkap mengenai persepsi bahwa wartawan harus selalu berusaha merilis informasi terbaru kepada publik secara cepat. Untuk wartawan muda, dari 32 responden yang berada pada jenjang ini, ada 21 responden (65.63%) yang 44 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 3.33% 100.00% 0 26 0.00% 100.00% menyatakan setuju dan 7 responden (21.88%) yang menyatakan sangat setuju. Sementara untuk wartawan madya dan utama, masing sebanyak 17 responden (56.67%) dan 12 responden (46.15%) yang menyatakan sangat setuju. Untuk kedua jenjang ini, ada sebanyak 9 responden (30.00%) dan 8 responden (30.77%) yang menyatakan sangat setuju. Tidak berbeda jauh dari persepsi wartawan atas keharusan melayani publik, wartawan muda juga masih mengandung masalah. Untuk jenjang wartawan muda, ada 1 responden (3.13%) yang mengatakan kurang setuju dan 3 responden (9.38%) yang menyatakan tidak tahu. Ini tentu menjadi masalah karena prinsip dasar kerja media sangat mengedepankan aktualitas sehingga menjadi sangat bermasalah jika ada wartawan yang menyatakan tidak tahu atau bahkan tidak setuju. Tabel 5.3 Persepsi Responden Bahwa Wartawan Harus Selalu Berusaha Memberikan Informasi Terbaru kepada Publik Wartawan selalu berusaha memberikan informasi terbaru kepada publik secara cepat Jenjang kewartawanan wartawan muda frekuensi % wartawan madya frekuensi % wartawan utama frekuensi % Sangat tidak setuju 0 0.00% 0 0.00% 1 3.85% Kurang setuju 1 3.13% 0 0.00% 0 0.00% Tidak tahu 3 9.38% 1 3.33% 0 0.00% Setuju 21 65.63% 17 56.67% 12 46.15% Sangat setuju 7 21.88% 9 30.00% 8 30.77% Missing 0 0.00% 3 10.00% 5 19.23% Total 32 100.00% 3. Pengetahuan Wartawan Atas UndangUndang Pers dan Kode Etik Undang-undang pers menjadi sandaran hukum bagi kerja wartawan, sekaligus harus memberi batas-batas atas kemerdekaan yang diberikan kepadanya. Ini karena dalam undang-undang pers juga termaktub prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh seorang jurnalis dalam menulis dan menyiarkan berita. Undangundang juga menegaskan kode etik. Di sini, etika merupakan “pengetahuan yang membahas ukuran kebaikan atau kesusilaan perilaku manusia dalam masyarakat” (Ashadi, 1986). Etika secara praktis memberikan orientasi bagaimana seseorang harus bertindak. Oleh karena itu, undang-undang dan kode etik menjadi semacam 30 100.00% 26 100.00% ‘panduan’ bagi kerja wartawan dalam mencari, mengolah, dan menyiarkan berita. Terkait dengan hal itu, tabel 5.4 memberikan informasi yang lengkap mengenai persepsi wartawan bahwa mereka seharusnya mengetahui dengan baik UU Pers dan Kode Etik. Jenjang wartawan muda tetap mempunyai persentase tinggi dibandingkan dengan jenjang lainnya dalam hal ketidaksetujuan mengenai hal ini. Meskipun persentase terbesar adalah wartawan yang mengatakan setuju (68.75%), wartawan yang mengatakan tidak setuju cukup signifikan yakni 4 responden atau 12.05%. Ini tentu saja merupakan masalah besar bahkan dibandingkan dengan persepsi wartawan atas kewajiban melayani publik dan juga persepsi bahwa wartawan harus memberi Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 45 informasi yang aktual. Ini karena profesiapapun jenisnya-selalu mensyaratkan kode etik. Dengan kata lain, suatu pekerjaan dikatakan sebagai profesi jika mempunyai kode etik. Ketidaksetujuan wartawan atas hal ini, terlebih yang telah mendapatkan sertifikasi tentu saja menjadi masalah krusial. Apalagi jika dilihat bahwa hal itu juga terjadi untuk jenjang wartawan madya dan utama. Singkatnya, bagaimana mungkin kedua jenjang wartawan ini tidak setuju terhadap pernyataan bahwa seorang wartawan harus memahami Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Itu berarti bahwa wartawan yang bersangkutan menolak pekerjaannya dianggap sebagai profesi, dan bahwa yang bersangkutan juga tidak berusaha memahami hak dan kewajibannya sebagai jurnalis sebagaimana digariskan undangundang. Padahal, pekerjaan jurnalis selalu terkait dengan orang lain. Tanpa pengetahuan atas undang-undang mereka akan mendapati kesulitan ketika harus berhadapan dengan hukum. Tabel 5.4 Pengetahuan Wartawan Atas UU Pers dan Kode Etik Wartawan mengetahui dengan baik UU pers dan kode etik Jenjang kewartawanan wartawan muda frekuensi % 46 % wartawan utama frekuensi % Sangat tidak setuju 0 0.00% 0 0.00% 1 3.85% Kurang setuju 4 12.50% 1 3.33% 1 3.85% Tidak tahu 1 3.13% 1 3.33% 0 0.00% Setuju 22 68.75% 22 73.33% 15 57.69% Sangat setuju 5 15.63% 6 20.00% 8 30.77% Missing 0 0.00% 0 0.00% 1 3.85% Total 32 100.00% 30 100.00% 26 100.00% B. Persepsi dan Refleksi Wartawan terhadap Dampak Uji Kompetensi Bagaimana wartawan melihat dampak uji kompetensi itu bagi peningkatan profesionalitas dirinya? Jawaban atas pertanyaan ini tergambar dalam tabel 5.5. Dari tabel tersebut, terlihat bahwa nilai 2. wartawan madya frekuensi mean untuk persepsi dan refleksi wartawan atas dampak uji kompetensi relatif bagus. Untuk wartawan muda, nilai mean-nya adalah 48.12 jauh di atas angka nilai kritis mean yang ditetapkan oleh peneliti2 dari nilai minimal dan maksimalnya, yakni 32. Begitu juga dengan jenjang wartawan Nilai minimal dan maksimal untuk wartawan muda: 0-64 (nilai kritis mean 32). Nilai minimal dan maksimal untuk wartawan madya: 0-64 (nilai kritis mean 32). Nilai minimal dan maksimal untuk wartawan utama: 0-96 (nilai kritis mean 48). Nilai mean di bawah nilai kritis ini dianggap buruk. Perbedaan ini disebabkan oleh jumlah pertanyaan di masing-masing kuesioner untuk setiap kategori wartawan berbeda (16 pertanyaan untuk muda, 16 madya dan 24 utama –untuk perhitungan nilai ini). Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 madya dan utama. Nilai mean kedua jenjang wartawan ini masih di atas nilai mean nilai tertinggi dan terendah untuk masing-masing kategori. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah tingginya angka deviasi yang menunjukkan bahwa ada persebaran angka ketidaksepakatan di antara responden. Dengan kata lain, responden banyak yang tidak sepakat mengenai dampak-dampak uji kompetensi ini bagi peningkatan profesionalitas wartawan. Ketidaksepakatan semacam itu juga tercermin dalam sesi FGD, terutama di Jakarta. Tabel 5.5 Persepsi dan Refleksi Wartawan terhadap Dampak Uji Kompetensi Wartawan Muda Wartawan Madya Wartawan Utama Mean Mean Std. Mean Std. 47,57 deviasi 17,186 68,46 deviasi 20,438 Persepsi 48,12 dan refleksi Std. deviasi 8,769 wartawan terhadap dampak uji kompetensi Selama sesi FGD di Yogyakarta dan Jakarta, tidak ditemukan satu pernyataan yang sifatnya tegas dalam menentukan dampak-dampak uji kompetensi bagi kualitas kerja wartawan. Beberapa usulan bahkan mengemukakan bahwa kontributif tidaknya uji kompetensi bagi peningkatan kerja jurnalis harus ditanyakan kepada jurnalis itu sendiri. Ada benarnya pernyataan ini, tapi kontribusi uji kompetensi mestinya bisa diukur dari banyak faktor, termasuk pengamatanpengamatan yang dilakukan oleh atasan mereka. Seorang jurnalis, mestinya, bisa diamati kinerjanya oleh redaktur yang menjadi atasan tempat dia bekerja sehingga, dari situ, bisa dilihat seberapa besar kontribusi uji kompetensi bagi peningkatan kerja atau profesionalisme wartawan. Berdasarkan atas pandangan semacam ini, kiranya, kontribusi uji kompetensi tetap bisa dilihat. Sihono HT, Pemimpin Redaksi Minggu Pagi, tabloid mingguan dalam kelompok Kedaulatan Rakyat, mengemukakan penilaiannya terkait kontribusi uji kompetensi bagi peningkatan kerja jurnalis sebagai berikut. “Yang saya rasakan UKW mampu meningkatkan kualitas wartawan, tapi belum menjadi acuan sistem evaluasi kinerja oleh perusahaan. Jadi, belum digunakan oleh perusahaan untuk menentukan posisi seseorang di media atau redaksi. Saat ini, wartawan Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 47 belum mempunyai posisi strategis di perusahaan. Meskipun demikian, kami merasakan peningkatan untuk wartawan muda, madya, dan utama. Wartawan muda yang sudah mendapatkan sertifikasi lebih aktif mengusulkan rencana liputan. Untuk wartawan madya, mereka lebih aktif memberikan masukan dalam rapat redaksi, sedangkan yang utama lebih aktif memberikan pengarahan [kepada wartawan muda dan madya] sesuai dengan kebijakan redaksi.” Selain peningkatan semacam itu, menurut Sihono, uji kompetensi juga meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya rapat redaksi. “Dulu, kelihatannya ogah-ogahan, tapi sekarang sudah muncul kesadaran pentingnya rapat redaksi, selain kesadaran meningkatkan jejaring dan lobi.” Di Minggu Pagi, ada delapan wartawan, dan dari jumlah itu hanya satu yang belum mengikuti uji kompetensi. Pengamatan-pengamatan semacam itu juga terjadi dalam banyak praktik media lainnya di luar Minggu Pagi. Bahkan, penguji juga memberikan catatancatatan menarik terkait kontribusi uji kompetensi bagi peningkatan kinerja dan profesionalisme jurnalis seperti dikemukakan Warief D. Basorie berikut. “Sejak 2010, LPDS sudah melaksanakan 53 kali uji kompetensi. Dari pengamatan luas, dari mereka yang ikut di awal, ada kepercayaan diri yang meningkat. Sebagai contoh, ujian tahun 2010. Seorang wartawan 48 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 dari jenjang muda dari Antara dan ketika diuji bagus, maka ketika kembali ke institusinya para seniornya memberikan apresiasi yang bagus. Dua jempol untuk wartawan ini. Untuk yang utama, dua tahun lalu, JPNN, mengkontak LPDS guna mengadakan UKW dengan wartawan mereka hingga tiga gelombang. Di situ, ada kemauan untuk membuktikan diri sebagai contoh bagi yang lain ketika menjalani proses uji kompetensi.” Sementara itu, menurut Hendrawan, uji kompetensi memberikan penajaman akan perspektif dan etika. “Efeknya adalah begitu lulus, ia lebih mempunyai perspektif dan etika karena uji kompetensi dites [atau diuji] atas kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari. [Uji Kompetensi] memberikan perspektif tertentu dalam liputan dibandingkan dengan yang lain [wartawan yang belum melakukan uji kompetensi]. Ini karena tidak semua jurnalis di media mendapatkan pelatihan. Untungnya, saya pernah dididik teknis liputan, tapi etika belum terserap dengan baik. Pembelajaran [etika] dilakukan secara informal.” Arfi Bambani mengemukakan bahwa etika mestinya menjadi bagian dari uji kompetensi wartawan. Ini menunjukkan pentingnya perspektif etis dalam setiap liputan, dan etika karenanya menjadi penting dalam setiap liputan berita. Terlepas dari keberatan-keberatan itu, dalam perspektif yang paling minimal, kontribusi uji kompetensi adalah memberikan ruang pembelajaran bagi jurnalis. Maria Andriana, wartawan Antara dan pengajar di LPDS, mengemukakan proses pembelajaran yang dimaksud sebagai berikut. “Jika evaluasi dari proses ujian, justru dari testimoni peserta maka bagi yang tidak mendapatkan pelatihan jurnalistik maka merasa mengalami proses pembelajaran. Kemudian, dalam konteks rapat redaksi, tidak semua media mempunyai rapat redaksi sehingga ujian menjadi sesuatu yang baru.” Profesi jurnalis merupakan profesi terbuka yang siapa pun bisa masuk ke dalam profesi ini. Dengan demikian, pengetahuan dan perspektif yang mereka bawa pun beragam. Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri adanya kenyataan bahwa terdapat ketimpangan yang luas antara media-media di pusat dan di daerah. Meskipun media-media mainstream telah mempunyai sistem pendidikan, pelatihan, dan uji kompetensi yang mapan, tapi banyak kenyataan media-media lokal dan banyak diantaranya juga di pusat tidak mendapatkan pelatihan yang memadai. Oleh karena itu, bagi jurnalis yang bekerja di media-media relatif kecil dengan sumber daya lebih terbatas, uji kompetensi menjadi sangat penting dalam meningkatkan kinerja dan profesionalisme mereka. Bahkan, seperti dikemukakan oleh Hendrawan dan juga Arfi Bambani, uji kompetensi memberikan perspektif dan etika dalam liputan jurnalis karena materi uji kompetensi meliputi hal itu. “Etik mestinya menjadi bagian dari kompetensi. Bahan uji sudah diberikan sebulan sebelum uji kompetensi sehingga mereka (peserta) pasti sudah membaca bahan seperti hukum media, etika, dan lain sebagainya,” demikian menurut Arfi Bambani. Namun, seperti dikemukakan sebelumnya, kontribusi itu hanya dinilai sejauh pengamatan. Peserta FGD di Jakarta dan Yogyakarta mengemukakan bahwa tidaklah mudah untuk melihat sejauh mana kontribusinya bagi pekerjaan jurnalis. Sihono HT mengemukakan, “Untuk mengukur apakah uji kompetensi punya kontribusi tidak mudah. Namun, sejauh yang dirasakan ada peningkatan kinerja.” Sementara itu, jurnalis dari kantor berita 68 H, Heru Hendratmoko, lebih pesimis lagi dalam menilai uji kompetensi wartawan sebagaimana ia kemukakan sebagai berikut. “Dari sisi pragmatis, cukup ada gunanya. Di 68H, seratus persen lulus meskipun jika saya yang menguji mungkin lima puluh persen tidak lulus karena [menurut saya] membuat laporan masih belepotan. Kedua, di KBR, ada evaluasi rutin setiap enam bulan sekali. Ini terkait dengan kenaikan gaji ataupun promosi jabatan. Evaluasi meliputi reporter, editor, manajer, hingga pemred. Pertanyaan apakah punya pengaruh langsung pada kualitas pemberitaan? Saya justru menjawab tidak karena ini, menurut saya, merupakan proses. Uji kompetensi, tidak berbeda dengan ujian SIM, dan [hal itu tetap] tidak menjamin kemampuan berlalu lintas. Saya kira juga banyak Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 49 terjadi pelanggaran di media. Jadi, apakah justru tidak wishful thinking jika hendak mengetahui kontribusi uji kompetensi bagi kinerja jurnalis.” Paparan hasil FGD di atas kiranya meneguhkan temuan-temuan survei mengenai ketidaksepakatan yang cenderung melebar dalam melihat dampak uji kompetensi bagi wartawan. Meskipun persentase yang menyatakan setuju mempunyai dampak positif, tapi nilai standar deviasi yang relatif tinggi menunjukkan adanya ketidaksepakatan yang cukup luas atas hal itu. Selanjutnya, dengan melihat hasil FGD, dan dengan mempertimbangkan dua sudut pandang tadi, kontribusi uji kompetensi bagi jurnalis terletak pada perspektif yang digunakan, dan ukuran-ukuran untuk melihat besaran kontribusinya. Barangkali, bagi jurnalisjurnalis di daerah seperti dikemukakan Sihono ataupun Hendrawan, dan pengalaman-pengalaman empiris LPDS, uji kompetensi memberikan kontribusi signifikan. Namun, ketika ukuran-ukuran diperluas ke dalam derajat ‘kesempurnaan’ kerja jurnalis bahwa jurnalis harus 100% profesional maka mengharapkan uji kompetensi akan meningkatkan kinerja mungkin benarbenar menjadi wishful thinking. Suatu angan-angan belaka yang sulit dicari kenyataan empirisnya di lapangan. Kemudian, jika dilihat dari latar belakang jurnalis dan kontribusinya dalam uji kompetensi maka ditemukan data sebagai berikut. Seperti ditunjukkan oleh grafik 5.1 yang merupakan hasil crosstabulation antara latar belakang 50 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 pengetahuan dan kontribusinya bagi uji kompetensi dengan jenjang kewartawanan, maka tampak bahwa persentase terbesar menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa latar belakang pendidikan dan pelatihan kewartawanan sangat membantu dalam uji kompetensi. Untuk wartawan muda, jumlah responden yang menyatakan setuju sebanyak 62.5% dan sebanyak 25.0% menyatakan sangat setuju. Untuk wartawan madya, persentase yang menyatakan setuju lebih tinggi, yakni sebesar 66.7% dan yang menyatakan sangat setuju lebih sedikit, yakni 20%. Terakhir, untuk wartawan utama, sebanyak 57.7% menyatakan setuju dan 23.1% menyatakan sangat setuju. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan sebelumnya dan training kewartawanan tidak melenceng jauh dari uji kompetensi. Meskipun demikian, ada persentase yang cukup signifikan dari jenjang wartawan muda yang menyatakan kurang setuju, yakni sebesar 12.5%. Untuk jenjang wartawan madya, persentasenya juga cukup signifikan, yakni 6.7%. Tingginya persentase wartawan yang mengatakan kurang setuju ini disebabkan dua faktor. Pertama, konsekuensi dari wartawan sebagai profesi terbuka sehingga beragam pendidikan di luar jalur komunikasi dan jurnalistik bisa masuk. Kedua, langkanya pendidikan atau training jurnalis yang memadai yang didapatkan oleh wartawan. Ini terefleksi dari pengalaman-pengalaman biro di daerah yang reporternya tidak mendapatkan training cukup memadai. 66.7% 62.5% 57.7% Wartawan Muda Wartawan Madya 25.0% 23.1% 20.0% Wartawan Utama 12.5% 6.7% 7.7% 3.8% 3.3% 3.8% 3.8% 3.3% 0.0% 0.0% 0.00.0 % % Sangat Setuju Setuju Tidak Tahu Kurang Setuju Sangat Tidak SetujuMissing Grafik 5.1 Grafik 5.1 Pendapat bahwa Latar Belakang Pendidikan/Pelatihan PendapatWartawan Wartawan bahwa Latar Belakang Pendidikan/Pelatihan yang Dimiliki sangat yang Dimiliki sangatUjiMembantu Membantu Kompetensi Uji Kompetensi Terkait pengetahuan dan keterampilan uji kompetensi Terkait pengetahuan dan keterampilan yang dimilikitinggi. wartawan sebelum uji kompetensi, yang dimiliki wartawan sebelum uji Untuk wartawan muda,pada persentasenya crosstabulation memberikan hasil sebagai berikut. Seperti bisa dilihat grafik 5.2, sebagian kompetensi, crosstabulation memberikan mencapai 71.9% yang menyatakan setuju besar responden dalam beragam jenjang wartawan menyatakan bahwa sebelum uji kompetensi hasil sebagai berikut. Seperti bisa dilihat dan 3.1% yang menyatakan sangat setuju. mereka merasa telah mempunyai pengetahuan keetrampilanmadya cukup untuk pada grafik 5.2, sebagian besar responden Untukdanwartawan dan menjadi utama,seorang dalam beragam jenjangini wartawan danwartawan 73.1% telah wartawan. Temuan bisa dimaknai masing-masing dalam dua hal. sebesar Pertama, 66.7% sebagian menyatakan bahwa sebelum uji kompetensi yang menyatakan setuju serta 26.7% mendapatkan pengetahuan dan pendidikan yang cukup di tempat bekerjanya masing-masing. mereka merasa telah mempunyai dan 15.4% yang menyatakan sangat Artinya, meskipun wartawan merupakan profesi terbuka, proses pendidikan dan pelatihan di pengetahuan dan keetrampilan cukup setuju. Data ini juga mengindikasikan tempatnya bekerja memberinya bekal kebenaran pengetahuan hipotesis untuk menjadi jurnalis.terkait Ini terutama untuk menjadi seorang wartawan. Temuan pertama ini bisa dimaknai Pertama, proses pembelajaran disudah media masingterungkapdalam selamadua sesihal. FGD, terutama untuk media-media yang relatif mapan. Oleh karena sebagian itu, wartawan masing. karena semakin tinggi dan menjadi telah tidak mendapatkan mengherankan jika wartawanInimengatakan bahwa pengetahuan pengetahuan dan pendidikan yang cukup jenjang pendidikan, semakin tinggi keterampilan sebelum uji kompetensi tinggi. di tempat bekerjanya masing-masing. pula pandangan mereka bahwa mereka Untukwartawan wartawan muda, persentasenya mencapai 71.9% yang menyatakan setujudan dan 3.1% Artinya, meskipun merupakan telah mendapatkan pengetahuan yang menyatakan sangat setuju. Untuk keterampilan wartawan madya dan utama,untuk masing-masing profesi terbuka, proses pendidikan cukup menjadisebesar dan pelatihan di tempatnya bekerja wartawan sebelum uji kompetensi. Untuk sangat 66.7% dan 73.1% yang menyatakan setuju serta 26.7% dan 15.4% yang menyatakan memberinya bekal pengetahuan untuk wartawan muda, yang terjadi sebaliknya. setuju. Data ini juga mengindikasikan kebenaran hipotesis pertama terkait proses pembelajaran di menjadi jurnalis. Ini terutama terungkap Meskipun jumlah responden yang masuk media masing-masing. Ini karena tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi pula selama sesi FGD, terutama untuk media-semakin ke dalam kategori ini dan menyatakan pandangan mereka mendapatkan dan menyatakan keterampilan cukup media yang relatifmereka sudah bahwa mapan. Olehtelahsetuju cukuppengetahuan besar, yang karena itu, menjadi tidak mengherankan sangat setuju jauh di bawah wartawan jika wartawan mengatakan bahwa madya dan utama. Sebaliknya, persentase pengetahuan dan keterampilan sebelum responden yang menyatakan kurang setuju Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 51 mencapai 21.9%. Ini menunjukkan proses pembelajaran yang terus berlangsung bagi jurnalis. Selain proses belajar yang cukup di tempat kerjanya masing-masing, data pada grafik 5.2 juga membawa makna kedua, yakni bahwa uji kompetensi pada dasarnya lebih pada ujian pengetahuan dan pengalaman wartawan. Proses pembelajaran yang selama ini telah mereka dapatkan kemudian diuji melalui uji kompetensi. Oleh karena itu, menjadi sangat tampak bahwa semakin tinggi jenjang kewartawan semakin kuat persepsinya bahwa mereka telah mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menjadi wartawan. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa self evaluation semacam itu mempunyai kelemahan karena sangat subjektif. Oleh karena itu, temuan FGD perlu diperhatikan terutama terkait persepsi wartawan itu sendiri terhadap profesi jurnalis. 71.9% Seperti terungkap selama FGD di Yogyakarta, ada indikasi bahwa wartawan cenderung memandang pekerjaannya sebagai suatu pekerjaan yang mudah sehingga tidak perlu proses belajar. Hendrawan, misalnya, mengemukakan, “Wartawan tv biasanya malas dan menganggap bahwa jurnalis bisa dilakukan dengan learning by doing.” Hal yang kurang lebih sama disampaikan oleh Arief, wartawan TVRI Yogyakarta, “Sampai saat ini, di media televisi, banyak yang learning by doing.” Pandangan semacam ini tentu berimbas pada kebutuhan akan pengetahuan dan keterampilan yang seharusnya dimiliki. Jika wartawan menganggap sebagai suatu pekerjaan yang mudah, maka sekecil apapun pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki sudah dianggap mencukupi. Sebaliknya, ia dianggap sebagai suatu pekerjaan profesional dengan standar pengetahuan dan keterampilan yang tinggi maka syaratsyarat pengetahuan dan keterampilan pun menjadi naik atau lebih sulit. 73.1% 66.7% Wartawan Muda Wartawan Madya 26.7% 15.4% 6.7% 3.8% 3.1% 3.1% Sangat Setuju Wartawan Utama 21.9% Setuju Tidak Tahu 3.8% 0.0% Kurang Setuju 3.8% 0.0%0.0% Missing Grafik 5.2 Wartawan Merasa telah Mendapatkan Pengetahuan dan Ketrampilan yang Grafik 5.2 Wartawan Merasa telah Uji Mendapatkan Cukup Sebelum Kompetensi Pengetahuan dan Ketrampilan yang Cukup Sebelum Uji Kompetensi 52 C. Analisis Kualitatif Berita Jurnal Dewan Persbagian No.11, Desember Pada sebelumnya2015 bab ini, telah dipaparkan persepsi wartawan mengenai profesionalitas dirinya dan dampak uji kompetensi. Pada bagian ini, akan dipaparkan hasil analisis kualitatif atas output kerja wartawan dalam bentuk berita. Analisis ini penting dilakukan C. Analisis Kualitatif Berita Pada bagian sebelumnya bab ini, telah dipaparkan persepsi wartawan mengenai profesionalitas dirinya dan dampak uji kompetensi. Pada bagian ini, akan dipaparkan hasil analisis kualitatif atas output kerja wartawan dalam bentuk berita. Analisis ini penting dilakukan karena analisis sebelumnya didasarkan atas persepsi wartawan. Analisis atas hasil kerja wartawan ini diharapkan akan memberi gambaran lebih dalam atas profesionalitas wartawan ketika menulis berita, pada satu sisi, sekaligus menjadi pembanding bagi temuan sebelumnya pada sisi yang lain. Dari keseluruhan berita yang coba dianalisis secara kualitatif, ada beberapa catatan terkait berita tersebut, terutama jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah jurnalisme profesional yang menjunjung tinggi objektivitas dan netralitas. Meskipun beberapa berita sudah dikemas dengan sangat baik, misalnya, berita di Kedaulatan Rakyat tanggal 2 November 2014 yang ditulis relatif bagus karena menghadirkan beragam narasumber atau berita Kontan tanggal 3-9 November yang menyajikan laporan feature yang sangat bagus, beberapa berita masih mengandung sejumlah persoalan. Pertama, terkait dengan nilai relevansinya bagi publik. Pada bagian sebelumnya, telah dipaparkan bahwa wartawan harus melayani publik. Konsep pelayanan dalam hal ini bisa diterjemahkan ke dalam kemampuan wartawan dalam memilih berita yang relevan bagi khalayak (lihat McQuail, 1992). Semakin signifikan berita yang disajikan dalam melayani kebutuhan khalayak, maka semakin besar wartawan tersebut melayani publik. Di sini, muncul masalah karena terdapat wartawan yang sepertinya gagal dalam memahami konsep ini. Dalam berita yang disiarkan beritajatim.com, misalnya, ada berita yang ditulis oleh wartawan bersertifikat yang menuliskan pemberian penghargaan terhadap dirinya sebagai best of the best anugerah jurnalistik Pertamina. Di sini, persoalannya adalah apa signifikansi berita itu bagi publik terlebih berita itu ditulis oleh wartawan penerima anugerah itu sendiri? Dengan ditulis oleh wartawan penerima anugerah itu sendiri, justru yang muncul bahwa berita digunakan untuk publisitas dirinya sendiri, dan bukannya demi melayani kepentingan publik akan informasi. Jika event itu yang ingin diliput, maka bukan siapa yang meraih anugerah, tapi lebih pada apa kontribusi event itu bagi publik. Manfaat apa yang bisa diambil dari publik terkait event yang diselenggarakan oleh Pertamina tersebut. Persoalan kedua menyangkut bias narasumber. Sebuah berita mestinya ditampilkan dengan menghadirkan beragam narasumber atau setidaknya cover both side. Itu menjadi salah satu indikator profesionalitas wartawan, dan yang paling banyak dirujuk hingga saat ini. Namun, dari beberapa berita yang dianalisis, terdapat berita yang ditulis oleh wartawan dengan hanya menyandarkan pada satu narasumber. Hal itu bisa dilihat dalam berita yang dipublikasikan oleh harian Surya. Dalam berita dengan judul “Kemenag Kesulitan Tertibkan Travel Haji Nakal”, berita hanya bersandarkan Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 53 pada satu narasumber yakni Sekjen Kemenag, Nur Syam. Dalam berita sepanjang enam paragraf dan mengambil tiga kolom berita itu, keseluruhan bercerita dari sudut pandang Sekjen Kemenag. Berita tidak menghadirkan pihak lain, misalnya, pihak travel. Akibatnya, berita mengandung source bias dan ketidakimbangan. Pada akhirnya, wartawan juga terjebak ke dalam kesimpulan yang kurang tepat. Dari sini, tampak bahwa meskipun sebagian besar wartawan mempunyai persepsi yang bagus mengenai profesionalitas dirinya, masih mengandung beberapa masalah jika dilihat dari output beritanya. Ini kiranya yang masih perlu mendapatkan perhatian. 54 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Bab VI Dukungan Perusahaan Pada Profesionalitas dan Kinerja Wartawan Perusahaan memiliki kontribusi cukup besar dalam pencapaian profesionalitas dan kinerja wartawan. Dalam posisinya sebagai karyawan wartawan terikat dengan kebijakan dan peraturan perusahaan. Kebijakan perusahaan merupakan keputusan bersama yang diambil oleh pimpinan perusahaan. Kebijakan ini menjadi landasan bagi penyusunan peraturan dan keputusankeputusan yang diambil oleh manajemen. Peraturan perusahaan memuat prosedur kerja, tata tertib perusahaan, hak dan kewajiban perusahaan dan manajemen, sanksi dan hukuman, dan sebagainya. Peraturan ini bersifat mengikat seluruh pihak baik manajemen maupun karyawan. Kebijakan dan peraturan perusahaan ini merupakan instrumen bagaimana perusahaan mengontrol perilaku karyawan dan juga manajemen. Melalui peraturan ini, pimpinan perusahaan mendefinisikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh wartawan dan memberikan sanksi dan hukuman bagi yang melanggarnya. Di dunia jurnalistik kebijakan dan peraturan perusahaan ini antara lain berkaitan dengan prosedur atau mekanisme produksi berita, ketentuan promosi dan gaji, dan kebijakan terhadap pemberian dari narasumber. Di samping itu, iklim kerja atau kondisi lingkungan pekerjaan juga memiliki kontribusi pada profesionalitas dan kinerja wartawan. Karyawan pada umumnya mengharapkan lingkungan kerja yang baik dan kondusif untuk mendukung pekerjaannya. Robbins (1996) mengungkapkan bahwa lingkungan kerja penting bagi karyawan untuk kenyamanan pribadi. Karyawan, termasuk di sini wartawan, mungkin saja memegang teguh profesionalisme dalam bekerja. Namun jika mereka tidak mendapatkan lingkungan kerja yang sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut, kemungkinan profesionalisme ini akan terdistorsi atau mereka akan keluar dari perusahaan. Secara umum karyawan, termasuk juga wartawan, mengharapkan lingkungan kerja yang dapat memberi mereka kesempatan untuk menggunakan kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki. Karyawan pun menghendaki keberadaan pimpinan dan rekan sekerja yang mendukung. Karyawan umumnya merasa puas jika pimpinan perusahaan dan rekan sekerja bersifat ramah dan dapat memahami mereka, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukkan minat pribadi mereka pada profesi. Kepuasan ini dinyatakan oleh Robbins, berefek pada kinerja karyawan (Robbins, 181-182). Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 55 Ada enam unsur yang digali dalam penelitian ini untuk melihat bagaimana kebijakan dan peraturan perusahaan serta iklim kerja dinilai oleh wartawan (responden). Keenam unsur ini meliputi: (1) penilaian responden tentang penghargaan dan dukungan pada sertifikasi, (2) penilaian responden tentang prosedur atau mekanisme kerja, (3) penilaian responden tentang impersonality, (4) penilaian responden tentang presence of rules terutama terkait kebijakan atau aturan pemberian narasumber, (5) penilaian responden tentang hirarki atau otoritas dan (6) penilaian responden tentang kompetensi pekerjaan. Penilaian responden terhadap keenam unsur ini memiliki arti penting untuk dapat memprediksi profesionalitas dan kinerja wartawan. Peneliti dalam hal ini memaknai bahwa semakin positif penilaian terhadap unsur-unsur tersebut berarti semakin besar dukungan perusahaan dalam upaya meningkatkan derajat profesionalitas dan kinerja seorang wartawan. Paparan berikut menyajikan temuan penelitian tentang keenam unsur tersebut. A. Penghargaan dan Dukungan Perusahaan pada Sertifikasi Wartawan Sertifikasi wartawan merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh Dewan Pers untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja wartawan Indonesia. Oleh karena sebagian besar wartawan bekerja dalam suatu perusahaan, maka seharusnya perusahaan memberikan dukungan terhadap pelaksanaan sertifikasi ini. Hasil survei menunjukkan, 56 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 rata-rata penilaian wartawan terhadap penghargaan dan dukungan perusahaan pada sertifikasi wartawan cukup baik. Hal ini nampak dari nilai mean sebesar 15,03 (std. deviation 3,3). Nilai mean ini lebih besar dari nilai kritis yang ditetapkan dalam penelitian ini, yaitu 12. Namun nilai mean tersebut masih cukup jauh dari nilai maksimum yang ditetapkan, yaitu 24, yang berarti penilaian tentang penghargaan dan dukungan perusahaan pada sertifikasi wartawan masih belum terlalu baik. Jika penilaian wartawan atas dukungan perusahaan ini dibandingkan antarkategori wartawan, penilaian wartawan utama paling positif dibandingkan penilaian wartawan muda dan madya. Sementara, penilaian wartawan madya paling rendah skornya jika dibandingkan kedua kategori yang lain. Tabel 6.1 berikut menunjukkan perbedaan ketiganya. Tabel 6.1 Nilai Mean Penilaian Penghargaan dan Dukungan Sertifikasi Wartawan Wartawan Muda Mean Wartawan Madya Std. Mean deviasi Penilaian tentang 14,62 penghargaan dan dukungan pada sertifikasi wartawan Std. Wartawan Utama Mean deviasi 3,26 14,5 Untuk memberi paparan detil tentang penghargaan dan dukungan perusahaan pada sertifikasi wartawan, penelitian ini juga telah melakukan investigasi terkait pandangan responden tentang berbagai persoalan, yaitu: dorongan perusahaan kepada wartawan untuk melakukan uji standar kompetensi, dukungan perusahaan dalam menanggung biaya dan memberikan keleluasaan waktu kepada wartawan untuk mengikuti uji standar kompetensi, perhatian perusahaan pada pentingnya sertifikasi untuk wartawan, keistimewaan perlakuan perusahaan pada wartawan bersertifikat, pertimbangan sertifikasi dalam mempromosikan jabatan 3,501 Std. deviasi 16,15 2,935 (kenaikan karir), dan peningkatan gaji dan fasilitas kepada wartawan bersertifikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dorongan perusahaan kepada wartawan untuk melakukan uji standar kompetensi nampaknya ditanggapi secara berbeda oleh wartawan yang menjadi responden penelitian ini. Sebagian besar menyatakan setuju bahwa perusahaan tempat mereka bekerja telah mendorong wartawan melakukan uji standar kompetensi, namun sebagian berpendapat kurang setuju. Ini menandakan tidak semua perusahaan memberi dukungan yang memadai untuk melakukan uji standar kompetensi uji. Grafik 6.1 menggambarkan persoalan ini. 65.6% 61.5% 50.0% Wartawan Muda 33.3% Wartawan Madya 23.1% 18.8% 11.5% 10.0% 6.2% 3.3%3.8% 3.3% 0.0% 0.0% 9.4% Sangat Setuju Setuju Tidak Tahu Kurang Setuju Wartawan Utama Missing Grafik 6.1 Penilaian wartawan bahwa perusahaan mendorong wartawan untuk melakukan uji standar Grafik 6.1kompetensi Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Penilaian wartawan bahwa perusahaan mendorong wartawan untuk melakukan uji standar kompetensi 57 Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa penilaian wartawan atas dukungan perusahaan dalam menanggung biaya dan memberikan keleluasaan waktu kepada wartawan untuk mengikuti uji standar kompetensi cukup bervariasi. Sebagian besar menyatakan setuju dan bahkan sangat setuju, namun ada juga yang kurang setuju. Hal ini menandakan belum maksimalnya perusahaan membantu wartawan dalam melakukan uji kompetensi. Temuan yang menarik di sini adalah adanya indikasi perbedaan pemberian dukungan untuk wartawan muda dan untuk wartawan utama dan madya. Pada grafik 6.2 terlihat bahwa persentase wartawan muda yang setuju (40,6%) relatif lebih rendah dari persentase wartawan utama (73,1%) dan madya (60%). Sementara persentase wartawan muda yang memberikan jawaban kurang setuju dan tidak tahu lebih banyak dibanding wartawan utama dan madya. “Missing” dalam penelitian ini berarti wartawan tidak bersedia menyampaikan penilaian terkait persoalan ini. Idealnya perusahaan memberi dukungan yang sama kepada semua jenjang kewartawanan. Kurangnya dukungan pada wartawan muda amat berisiko pada kinerja mereka. Perlu diingat bahwa wartawan muda ini memiliki peran krusial sebagai garda terdepan dalam proses produksi berita. Mereka menjalankan perannya dalam news gathering. Kualitas data/informasi di tahap ini selanjutnya akan menentukan kualitas berita yang dihasilkan di meja redaksi. 73.1% 60.0% 40.6% 26.7%26.9% Wartawan Muda Wartawan Madya 25.0% 6.7% 0.0% Sangat Setuju Wartawan Utama 18.8% 15.6% Setuju Tidak Tahu 3.3% 0.0% Kurang Setuju 3.3% 0.0% 0.0% Missing Grafik6.2 6.2 Penilaian Penilaian wartawan bahwa perusahaan menanggung biaya dan memberikan Grafik wartawan bahwa perusahaan menanggung biaya keleluasaan waktu kepada wartawan untuk mengikuti uji standar kompetensi dan memberikan keleluasaan waktu kepada wartawan untuk mengikuti uji standar kompetensi Di samping itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian wartawan atas perhatian perusahaan pada arti penting sertifikasi juga menunjukkan kecenderungan positif. Sebesar 59,4% wartawan wartawan madya, 58 Jurnalmuda, Dewan 51,7% Pers No.11, Desember 2015 dan 57,7% wartawan muda menilai perusahaan tempat mereka bekerja memiliki perhatian terhadap arti penting sertifikasi. Meskipun demikian, terdapat 12.5% (4 orang) wartawan muda yang menyatakan tidak setuju dan 12,5% (4 orang) yang Grafik 6.2 Penilaian wartawan bahwa perusahaan menanggung biaya dan memberikan keleluasaan waktu kepada wartawan untuk mengikuti uji standar kompetensi Di samping itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian wartawan atas per Di samping itu, hasil penelitian memiliki perhatian terhadap arti penting perusahaan padabahwa arti penting sertifikasi menunjukkan kecenderungan positif. Sebesar menunjukkan penilaian wartawanjugasertifikasi. Meskipun demikian, terdapat atas perhatian perusahaan padamadya, arti dan 12.5% (4 orang) wartawan muda yang wartawan muda, 51,7% wartawan 57,7% wartawan muda menilai perusahaan penting sertifikasi juga menunjukkan menyatakan tidak setuju dan 12,5% (4 mereka bekerja memiliki terhadaporang) arti penting demikian, te kecenderungan positif. perhatian Sebesar 59,4% yang sertifikasi. menyatakanMeskipun tidak tahu. wartawan muda, 51,7% wartawan madya, Grafik 6.3 memberikan gambaran temuan 12.5% (4 orang) wartawan muda yang menyatakan tidak setuju dan 12,5% (4 orang) dan 57,7% wartawan muda menilai ini. perusahaantidak tempat mereka6.3bekerja menyatakan tahu. Grafik memberikan gambaran temuan ini. 59.4% 57.7% 51.7% 37.9%34.6% Wartawan Muda Wartawan Madya 15.6% Sangat Setuju 12.5%10.3% 12.5% 7.7% 0.0%0.0% Setuju Tidak Tahu Wartawan Utama Kurang Setuju Grafik 6.3 Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja menaruh perha menaruh perhatian serius seriuspada padapentingnya pentingnyasertifikasi sertifikasiuntuk untukwartawan wartawan Hasil FGD pun pun menunjukkan variasivariasi Sementara itu, Peserta berkaitan Hasil FGD menunjukkan penilaian ini. FGDdengan di Yogyakarta penilaian ini. Peserta FGD di Yogyakarta p e r l a k u k a n t e r h a d a p w a r t a w a n mewakili RRI melihat lembaga ada semacam kesepakatan pemimpin r yang mewakili RRI bahwa melihatdibahwa di ini bersertifikat, sebagian besar bahwa wartawan lembaga ini ada semacam kesepakatan menilai bahwa tidak ada perlakukan yang bahwa pemimpin redaksi seharusnya berbeda yang diberikan oleh perusahaan wartawan utama. Kesepakatan ini yang pada wartawan yang telah mengantongi kemudian mendorong RRI menyambut sertifikat yang berarti telah lolos uji standar baik penyelenggaraan uji kompetensi. Lain kompetensi, dengan wartawan yang belum lagi dengan peserta dari TVRI. Peserta ini bersertifikat. Namun demikian, beberapa berpandangan bahwa uji kompetensi tidak responden (wartawan muda 5 orang atau cukup populer dan kurang diperhitungkan 15,6%, wartawan madya 4 orang atau di kalangan mereka karena institusinya 13,8% dan wartawan utama 6 orang atau selama ini telah memiliki program diklat 23,1%) menyatakan tidak setuju. Tabel untuk membangun kompetensi wartawan. 6.2 menyajikan temuan ini. Hal ini berarti ada indikasi bahwa ada perusahaan yang Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 59 telah menerapkan perlakukan berbeda antara wartawan bersertifikat, namun ada pula yang tidak. Persamaan perlakukan ini menyebabkan sejumlah wartawan kurang bersemangat mengikuti uji kompetensi. Tabel 6.2 Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat wartawan bekerja memiliki perlakuan yang sama antara wartawan bersertifikat dengan yang tidak. Jenjang Kewartawanan Wartawan Muda Frequency Sangat Setuju Setuju 2 Percent Wartawan Madya Frequency Percent 6,2% 1 3,3% Wartawan Utama Frequency Percent 3 11,5% 18 56,2% 15 50,0% 13 50,0% Tidak Tahu 6 18,8% 7 23,3% 4 15,4% Kurang Setuju 5 15,6% 4 13,3% 6 23,1% Sangat Tidak Setuju 1 Missing Total 0 32 3,1% 0,0% 100,0% Dalam forum FGD sebagian besar partisipan menyayangkan kondisi ini. Perusahaan seharusnya memberi perlakukan berbeda, dalam bentuk kenaikan gaji, promosi jabatan, atau pemberian fasilitas, atau penghargaan lainnya kepada wartawan bersertifikat untuk dapat memacu mereka mengikuti uji kompetensi. Terkait promosi jabatan, sebagian besar responden menjawab tidak tahu, kurang setuju dan sangat tidak setuju bahwa perusahaan tempat wartawan bekerja mempertimbangkan wartawan bersertifikat dalam mempromosikan jabatan (kenaikan karir). Jawaban “tidak tahu” merupakan jawaban yang paling banyak diberikan oleh responden (50% oleh wartawan muda, 36,7% wartawan madya, dan 30,8% wartawan utama). Hal ini mengindikasikan adanya 60 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 2 1 30 6,7% 3,3% 100,0% 0 0,0% 0 26 0,0% 100,0% perusahaan yang kurang transparan dalam menentukan kriteria promosi atau kenaikan jabatan sehingga berakibat ketidaktahuan wartawan. Jawaban kurang setuju dan sangat tidak setuju yang juga berjumlah banyak menunjukkan sertifikasi tidak berhubungan dengan promosi jabatan. Temuan lain yang dipaparkan pada bagian selanjutnya menunjukkan bagaimana promosi jabatan ini cenderung ditentukan oleh hubunganhubungan personal daripada merujuk pada hasil evaluasi kriteria kinerja yang diukur secara objektif. Sementara itu, jawaban kurang setuju dan sangat tidak setuju menunjukkan pandangan bahwa sertifikasi tidak membantu wartawan dalam promosi jabatan. Tabel 6.3 menunjukkan temuan ini. Tabel 6.3 Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat wartawan bekerja mempertimbangkan wartawan bersertifikat dalam mempromosikan jabatan (kenaikan karir) Jenjang Kewartawanan Wartawan Muda Frequency Percent Wartawan Madya Frequency Wartawan Utama Percent Frequency Percent Sangat Setuju 1 3,1% 1 3,3% 0 0,0% Setuju 7 21,9% 6 20,0% 10 38,5% Tidak Tahu 16 50,0% 11 36,7% 8 30,8% Kurang Setuju 7 21,9% 8 26,7% 8 30,8% Sangat Tidak Setuju 1 3,1% 3 10,0% 0 0,0% Missing 0 0,0% 1 3,3% 0 0,0% 32 100,0% 30 100,0% 26 100,0% Total Hasil survei ini mendapatkan konfirmasi dari hasil FGD. Seperti disampaikan oleh Sihono pemimpin redaksi Minggu Pagi. Sebagai pemimpin redaksi MP, salah satu penerbitan pers KR Group, saya belum pernah diajak rapat oleh manajemen (direksi) untuk menentukan pimpinan redaksi di lingkungan PT BP Kedaulatan Rakyat, berdasarkan kompetensi wartawan. Ini membuktikan bahwa, UKW belum mampu menempatkan wartawan pada posisi strategis di perusahaan pers. Karena penempatan posisi atau jabatan, belum berdasarkan hasil UKW atau kompetensi wartawan. menghargainya. Sertifikasi nampaknya juga tidak membawa pengaruh pada peningkatan gaji dan fasilitas yang diterima wartawan bersertifikat. Seperti nampak pada tabel 6.5 di bawah ini, hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar wartawan menjawab tidak tahu, kurang setuju dan sangat tidak setuju bahwa perusahaan meningkatkan gaji dan fasilitas kepada wartawan bersertifikat. Temuan ini kembali menguatkan indikasi kurangnya penghargaan dan apresiasi perusahaan terhadap wartawan bersertifikat. Realitas ini tentu menyedihkan, di satu sisi wartawan berupaya mendapatkan pengakuan kompetensi yang dimilikinya, di sisi lain perusahaan kurang Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 61 Tabel 6.5 Penilaian wartawan bahwa perusahaan meningkatkan gaji dan fasilitas kepada wartawan bersertifikat Jenjang Kewartawanan Wartawan Muda Frequency Percent Wartawan Madya Frequency Wartawan Utama Percent Frequency Percent Sangat Setuju 4 12,5% 0 0,0% 2 7,7% Setuju 7 21,9% 2 6,7% 8 30,8% Tidak Tahu 11 34,4% 11 36,7% 6 23,1% Kurang Setuju 7 21,9% 10 33,3% 8 30,8% Sangat Tidak Setuju 3 9,4% 6 20,0% 2 7,7% Missing 0 0,0% 1 3,3% 0 0,0% 32 100,0% 30 100,0% 26 100,0% Total Berdasarkan temuan-temuan di atas terlihat perusahaan masih belum maksimal dalam memberikan penghargaan dan dukungan kepada wartawan. Temuan juga menunjukkan tidak adanya hubungan antara sertifikasi dengan peningkatan kesejahteraan wartawan. Namun demikian, fakta ini perlu dianalisis lebih mendalam dengan mempertimbangkan temuan dari hasil FGD. Berdasarkan hasil FGD di Jakarta, beberapa perusahaan memiliki mekanisme tersendiri dalam mengukur standar kompetensi wartawannya, misalnya yang dilakukan oleh Kompas, Jakarta Post, dan Tempo. Mekanisme ini bahkan lebih detil dan kompleks dibanding dengan mekanisme yang dibuat atau dikembangkan oleh Dewan Pers dan lembaga penguji standar kompetensi wartawan lainnya. Perusahaan-perusahaan tersebut bahkan telah menghubungkan mekanisme standar kompetensi 62 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 yang dimilikinya dengan kriteria profesionalitas dan kinerja yang harus dimiliki oleh wartawan di setiap jenjang. Di Kompas, jenjang kewartawanan lebih detil dibanding dengan jenjang yang dibuat oleh Dewan Pers. Jika di Dewan Pers jenjang ini meliputi 3 level, yaitu: wartawan muda, madya, dan utama, maka jenjang wartawan di Kompas meliputi 7 level, yaitu: wartawan/reporter mula, reporter muda, reporter madya, reporter utama, redaktur muda, redaktur madya dan redaktur utama. Masing-masing jenjang tersebut memiliki kriteria standar kompetensi sendiri-sendiri. Berdasarkan kriteria standar dan pencapaian wartawan pada kriteria tersebut, perusahaan seperti Kompas membuat keputusan promosi jabatan, kenaikan gaji dan pemberian fasilitas kepada wartawan. Di sini perusahaan tidak bergantung pada hasil sertifikasi versi Dewan Pers atau lembaga lainnya. B. Prosedur kerja Prosedur atau mekanisme kerja berkaitan dengan proses kerja yang ditetapkan oleh perusahaan. Suatu prosedur atau mekanisme kerja yang jelas akan memberi kemudahan bagi karyawan, dalam hal ini wartawan, dalam menyelesaikan pekerjaannya. Prosedur atau mekanisme ini juga berfungsi memberi pedoman tentang standar kerja dan kinerja perusahaan. Namun demikian, prosedur atau mekanisme ini tidak selalu paralel dengan derajat profesionalitas dan kinerja. Mungkin saja terjadi, prosedur atau mekanise kerja mengandung nilai atau prinsip yang berlawanan dengan nilai-nilai profesionalisme dan kinerja wartawan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami persoalan prosedur atau mekanisme kerja ini peneliti hanya berfokus pada persoalan yang memiliki kaitan dengan profesionalitas dan kinerja. Hasil survei menunjukkan bahwa penilaian wartawan terhadap prosedur atau mekanisme kerja yang diterapkan oleh perusahaan cenderung positif. Nilai mean sebesar 11,77 (std. deviation 2,42) menunjukkan hasil yang mengarah pada kecenderungan positif. Walaupun demikian nilai mean ini masih jauh di bawah nilai maksimum yang ditetapkan, yaitu 16. Hal ini berarti ada indikasi bahwa prosedur dan mekanisme kerja yang ditetapkan perusahaan masih dirasakan oleh wartawan belum cukup baik. Jika dibandingkan penilaian tersebut antara wartawan muda, madya dan utama, maka penilaian wartawan utama yang paling positif atau baik. Tabel 6.6 Nilai Mean Prosedur Kerja Wartawan Muda Wartawan Madya Wartawan Utama Mean Mean Mean Std. deviasi Prosedur/mekanisme kerja 10,84 2,81 Untuk dapat mengetahui penilaian responden terhadap prosedur atau mekanisme kerja, peneliti mengaitkannya dengan empat aspek, yaitu: distribusi kerja yang dalam hal ini dihubungkan dengan pelaksanaan pekerjaan sesuai posisi masing-masing karyawan ketentuan tentang kesiapan redaktur atau wartawan dengan usulan sebelum rapat redaksi; Std. deviasi 12,1 2,23 Std. deviasi 12,54 1,7 kebijakan redaksi dalam menyikapi isu tertentu; dan prosedur dalam mengangkat suatu topik pemberitaan. Keempat aspek ini dinilai memberikan kontribusi pada profesionalitas dan kinerja wartawan. Distribusi kerja merupakan salah satu indikator yang menunjukkan sejauh mana perusahaan mampu mengelola sumberdaya manusia yang dimilikinya. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 63 Kemampuan ini memiliki kaitan erat dengan pencapaian output atau target pekerjaan. Dalam menilai distribusi kerja, penelitian ini menghubungkannya dengan pelaksanaan pekerjaan sesuai posisi masing-masing karyawan. Temuan penelitian tentang hal ini menunjukkan kecenderungan positif. 76.7% 68.8% Mayoritas responden baik pada jenjang wartawan muda, madya maupun utama menunjukkan sikap yang relatif sama. Temuan ini merupakan indikasi baik yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola sumberdayanya. Grafik 6.4 menunjukkan hasil yang dimaksud. 73.1% Wartawan Muda Wartawan Madya 19.2% 13.3% 9.4% Sangat Setuju 12.5% 6.2%3.3%7.7% 3.3% 3.3% 3.1%0.0% 0.0% 0.0%0.0% 0.0% Setuju Tidak Tahu Kurang Setuju Sangat Tidak Setuju Wartawan Utama Missing Grafik 6.4 Penilaian responden bahwa ditempat mereka bekerja, Grafik 6.4mengerjakan Penilaian responden bahwa ditempat merekamasing-masing bekerja, setiap orang setiap orang pekerjaan sesuai posisinya mengerjakan pekerjaan sesuai posisinya masing-masing Selanjutnya berhubungan dengan redaksi mungkin disikapi sebagai rutinitas Selanjutnya dengan pertanyaan tentang kesiapan redaktur atau wartawan pertanyaan tentangberhubungan kesiapan redaktur belaka daripada forum strategis dalam atau wartawan dengan usulan sebelum mendiskusikan gagasan. dengan usulan sebelum rapat redaksi, sebagian besar responden menyatakan setuju. Ada rapat redaksi, sebagian besar responden sebanyak 23 orang (71,9%) wartawan muda, menyatakan setuju. Ada sebanyak 23 19 orang (63,3%) wartawan madya dan 21 orang orang 19 setuju. Namun anehnya, ada beberapa responden (80,8%)(71,9%) wartawanwartawan utama yangmuda, menyatakan orang (63,3%) wartawan madya dan 21 yang menyatakan tidak tahu dan kurang setuju. Temuan ini mengindikasikan tidak adanya orang (80,8%) wartawan utama yang persiapan suatu gagasan dalam rapat redaksi. Rapat redaksi mungkin disikapi sebagai rutinitas menyatakan setuju. Namun anehnya, ada beberapa responden yang menyatakan belaka daripada forum strategis dalam mendiskusikan gagasan. tidak tahu dan kurang setuju. Temuan ini Tabel 6.7 mengindikasikan tidak adanya persiapan Setiap Redaktur atau Wartawan Siap dengan suatu gagasan dalam rapat redaksi. Rapat Usulan Sebelum Rapat Redaksi Dimulai 64 Jenjang Kewartawanan Jurnal Dewan Pers No.11, Desember Wartawan Muda 2015Wartawan Madya Frequency Percent Sangat Setuju 3 9,4% Frequency Percent 10 33,3% Wartawan Utama Frequency Percent 5 19,2% Tabel 6.7 Setiap Redaktur atau Wartawan Siap dengan Usulan Sebelum Rapat Redaksi Dimulai Jenjang Kewartawanan Wartawan Muda Frequency Sangat Setuju Setuju Percent Wartawan Madya Frequency Percent Wartawan Utama Frequency Percent 3 9,4% 10 33,3% 5 19,2% 23 71,9% 19 63,3% 21 80,8% Tidak Tahu 3 9,4% 0 0,0% 0 0,0% Kurang Setuju 3 9,4% 1 3,3% 0 0,0% 32 100,0% 30 100,0% 26 100,0% Total Nampaknya persoalan ini juga tercermin dari penilaian responden tentang keberadaan prosedur yang ketat yang diterapkan untuk mengangkat suatu topik pemberitaan. Meskipun sebagian besar responden menjawab setuju dan bahkan tidak setuju, namun terdapat 9 orang (28,1%) wartawan muda, 5 orang (16,7%) wartawan madya dan 1 orang (3,8%) wartawan utama yang menyatakan kurang setuju. Tabel 6.8 memberikan gambaran temuan ini. Tabel 6.8 Tanggapan Responden terhadap Keketatan Prosedur yang Diterapkan untuk Mengangkat Suatu Topik Berita Jenjang Kewartawanan Wartawan Muda Frequency Sangat Setuju Setuju Tidak Tahu Kurang Setuju Total Percent Wartawan Madya Frequency Percent Wartawan Utama Frequency Percent 4 12,5% 7 23,3% 7 26,9% 17 53,1% 18 60,0% 17 65,4% 2 6,2% 0 0,0% 1 3,8% 9 28,1% 5 16,7% 1 3,8% 32 100,0% 30 100,0% 26 100,0% Persepsi responden berkaitan dengan keberadaan kebijakan redaksi yang jelas dalam menyikapi isu tertentu juga memiliki kecenderungan positif. Sebanyak 22 orang (68,8%) wartawan muda, 18 orang (60%) wartawan madya, dan 19 orang (73,1%) wartawan utama menjawab setuju. Bahkan sejumlah responden menjawab sangat setuju. Namun demikian 5 orang (15,6%) wartawan muda, 4 orang (13,3%) wartawan madya dan 1 orang (3,8%) wartawan yang memberikan Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 65 jawaban kurang setuju. Kebijakan redaksi yang jelas dalam menyikapi isu tertentu memberikan petunjuk bagi wartawan untuk menyusun prioritas pemberitaan dan menentukan angle yang tepat. Jika kebijakan ini memiliki kesesuaian dengan kepentingan publik dan prinsip-prinsip jurnalisme, maka kualitas berita dapat diharapkan dari mekanisme ini. Namun jika kejelasan sikap ini berkaitan dengan kepentingan pemilik media, maka output berita bias dan tidak berkualitas akan lahir dari mekanisme ini. C. Impersonality Impersonality memiliki kaitan dengan perhatian perusahaan terhadap karyawan atau individu-individu yang bekerja. Perhatian ini terkait dengan sejauh mana keputusan-keputusan manajemen atau perusahaan mempertimbangkan atau memperhitungkan efek-efek hasilnya pada anggota organisasi. Konsep ini berhubungan erat dengan orientasi rasa keadilan, hak-hak individu, dan toleransi. Perusahaan yang lebih menekankan pada pentingnya output biasanya cenderung kurang memperhatikan individu-individu. Sementara perusahaan yang berorientasi pada proses biasanya menaruh perhatian lebih besar pada individu-individu. Perusahaan yang menaruh perhatian besar pada individu-individu (karyawan) akan berusaha mewujudkan rasa keadilan dalam bentuk-bentuk apa pun. Sebagai contoh, perusahaan memberikan penghargaan dan dukungan pada apa yang menjadi hak-hak karyawannya termasuk memberikan toleransi terhadapnya. 66 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Perusahaan media yang melakukan produksi berita, banyak mengandalkan usahanya pada pengetahuan, intelektualitas, kecerdasam dan kreativitas wartawan. Tidak seperti industri manufaktur yang banyak mengaplikasikan mesin untuk kegiatan produksinya. Kebergantungan pada wartawan ini seharusnya diimbangi dengan perhatian terhadap individu wartawan terutama menyangkut otonomi profesional dan peningkatan kesejahteraan. Ada dua jenis otonomi yang perlu dipisahkan di sini, yaitu otonomi fungsi atau tugas dan otonomi profesional. Perusahaan boleh melakukan intervensi terhadap otonomi fungsi/tugas agar wartawan menjalankan tugasnya dengan baik. Otonomi fungsi atau tugas ini dapat dibatasi karena yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan adalah hanya orang-orang tertentu, misalnya manajemen dan bukan wartawan. Namun perusahaan seharusnya menghargai dan memberikan otonomi yang luas bagi profesionalisme. Otonomi profesional di sini antara lain berkaitan dengan freedom to investigate dan write dan kepatuhan wartawan dalam menjalankan kode etik jurnalistik. Hasil survei memberikan gambaran bahwa penilaian responden berkaitan dengan unsur-unsur impersonalitas cenderung biasa saja, tidak terlalu positif maupun negatif. Nilai mean yang menunjukkan penilaian ini adalah 5,70 (std. deviation 1,43) dari nilai maksimal yang ditetapkan oleh peneliti sebesar 12. Sementara itu, ketika nilai mean ini dibandingkan antarkatagori wartawan hasilnya juga tidak terlalu berbeda. Nilai mean untuk wartawan muda 5,72, wartawan madya 5,73 dan wartawan utama 5,65. Tabel 6.9 Nilai Mean Impersonality Wartawan Muda Wartawan Madya Wartawan Utama Mean Mean Mean Std. deviasi 5,65 1,413 Std. deviasi Impersonality 5,72 1,53 Std. deviasi 5,73 Perhatian terhadap individu penting bagi perusahaan media. Namun perhatian ini seharusnya juga memenuhi rasa keadilan mereka. Seperti misalnya dalam promosi jabatan, wartawan bersertifikat perlu mendapatkan prioritas daripada wartawan yang tidak bersertifikat. Di sini pengakuan dan penghargaan terhadap sertifikasi yang diberikan perusahaan dapat dilihat aktualisasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cukup banyak responden yang menilai bahwa perusahaan tempat wartawan bekerja melihat kedekatan-kedekatan hubungan personal dalam mempromosikan jabatan (kenaikan karir). Sebanyak 34,4% wartawan muda, 33,3% wartawan madya, dan 15,4% wartawan utama menyatakan setuju. Sebagian responden menjawab tidak tahu yang mengindikasikan mereka tidak familiar dengan acuan yang dipakai perusahaan dalam promosi jabatan. Grafik 6.5 memberikan gambaran temuan ini. Grafik 6.5 Perusahaan Melihat Kedekatan Hubungan Personal dalam Mempromosikan Jabatan (Kenaikan Karir) 1,39 Kecenderungan adanya kedekatankedekatan hubungan ini nampaknya juga berhubungan dengan suasana tempat kerja wartawan yang ramah. Sebanyak 19 orang wartawan muda (59,4%), 17 orang wartawan madya (56,7%) dan 17 orang wartawan utama (65,4%) menyatakan kurang setuju dalam menilai pernyataan kuesioner “tempat wartawan bekerja tidak sangat ramah”. Meskipun dinilai ramah tempat kerja wartawan, pelanggaran hukum diterapkan dengan tidak pandang bulu. Sebanyak 19 orang wartawan muda (59,4%), 23 orang wartawan madya (76,7%), dan 16 orang wartawan utama (61,5%) menilai setuju hal ini. Temuan tentang promosi jabatan yang cenderung ditentukan oleh hubungan personal daripada profesional ini pun mendapatkan dukungan dari hasil FGD. Beberapa responden mengakui praktik ini. Meski demikian, hasil FGD pun menunjukkan bahwa perusahaan media besar dan lebih mapan seperti Kompas, Tempo dan Jakarta Post memiliki ukuran atau parameter objektif untuk melakukan promosi jabatan. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 67 D. Presence of rules Dalam menggali pengetahuan tentang presence of rules yang berlaku di perusahaan, sikap perusahaan terhadap pemberian dari narasumber dan pemberlakukan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik menjadi fokus perhatian penelitian ini. Dua persoalan ini memiliki kontribusi besar dalam mempengaruhi sikap dan perilaku profesional wartawan. Hasil survei mengungkapkan bahwa sebagian besar responden memiliki kecenderungan positif dalam menilai presence of rules tersebut. Hasil mean 8,83 (std. deviation 2,2) menunjukkan hasil positif meskipun belum terlalu baik. Nilai mean maksimal yang menjadi rujukan di sini adalah 12. Jika nilai mean ini dibandingkan antar-jenjang wartawan, wartawan utama memiliki penilaian lebih positif dibanding wartawan madya dan muda. Tabel 6.10 Penilaian Responden terhadap Presence of Rules Wartawan Muda Wartawan Madya Wartawan Utama Mean Mean Mean Std. deviasi Presence of Rules 8,22 2,106 Untuk mengetahui lebih dalam sikap responden terkait presence of rules ini, peneliti menelusuri tanggapan responden tentang aturan perusahaan menyangkut pemberian dari narasumber, mekanisme pengembalian pemberian dari narasumber, penggunaan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik sebagai pegangan redaksi. Temuan penelitian menunjukkan fakta sebagai berikut. Sebagian besar responden menyatakan sangat setuju dan setuju dalam menjawab pertanyaan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja memiliki sikap atau aturan perusahaan terkait pemberian dari narasumber. Namun, masih ada sejumlah responden yang menyatakan tidak tahu. Jawaban tidak tahu ini menunjukkan kemungkinan tidak adanya aturan atau 68 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Std. deviasi 8,97 1,903 Std. deviasi 9,42 2,517 kurangnya sosialisasi perihal pemberian dari narasumber. Sementara itu, jawaban kurang setuju dan sangat tidak setuju juga cukup banyak. Hal ini mengindikasikan ketidaktegasan perusahaan dalam menyikapi pemberian dari narasumber. Grafik 6.6 menggambarkan temuan ini. tidak tahu. Jawaban tidak tahu ini menunjukkan kemungkinan tidak adanya aturan atau kurangnya sosialisasi perihal pemberian dari narasumber. Sementara itu, jawaban kurang setuju dan sangat tidak setuju juga cukup banyak. Hal ini mengindikasikan ketidaktegasan perusahaan dalam menyikapi pemberian dari narasumber. Grafik 6.6 menggambarkan temuan ini. 53.1% 46.2% 46.7% 38.5% Wartawan Muda 23.3% 18.8% 18.8% 13.3% 9.4% 7.7% Wartawan Madya 13.3% 0.0% Sangat Setuju Setuju Tidak Tahu Wartawan Utama 7.7% Kurang Setuju 0.0% 0.0% Sangat Tidak Setuju 3.3% 0.0% 0.0% Missing Grafik 6.6 Penilaian Responden bahwa Perusahaan Mempunyai Sikap yang Grafik 6.6 Penilaian Responden bahwa Perusahaan Mempunyai Sikap yang Jelas terkait Jelas terkait Pemberian Narasumber Pemberian Narasumber Temuan ini nampaknya paralel dengan mekanisme pengembalian pemberian temuan tentang aturaniniatau mekanisme ditetapkan Temuan nampaknya paralel narasumber dengan temuanyang tentang aturan atau oleh mekanisme pengembalian pemberian narasumber. perusahaan. Namun,responden temuan survei juga sangat pengembalian pemberian narasumber. Sebagian besar jawaban menyatakan Sebagian besar jawaban responden menunjukkan adanya sikap tidak tahu dan setuju dan setuju. Di kalangan wartawan muda ada sebanyak 5 orang (15,6%), wartawan madya menyatakan sangat setuju dan setuju. Di bahkan kurang setuju. Ini menandakan 6 orang (20%) muda dan wartawan utama 13 orang (50%)perusahaan yang menyatakan Temuan ini kalangan wartawan ada sebanyak adanya yangsangat tidak setuju. memiliki 5 orangmenunjukkan (15,6%), wartawan madya 6 mekanisme yang jelasmekanisme terkait dengan bahwa wartawan mengetahui dengan baik adanya pengembalian orang (20%) dan wartawan utama 13 pengembalian pemberian narasumber. pemberian narasumber yang ditetapkan oleh perusahaan. Namun, temuan survei juga orang (50%) yang menyatakan sangat Tabel 6.11 menunjukkan secara detil menunjukkan adanya sikap tidak tahu dan bahkan kurang setuju. Temuan ini menunjukkan bahwa temuan tentang ini.setuju. Ini menandakan adanya wartawan mengetahui baik adanya perusahaan yangdengan tidak memiliki mekanisme yang jelas terkait dengan pengembalian pemberian narasumber. Tabel 6.11 menunjukkan secara detil temuan tentang ini. Tabel 6.11 Penilaian Wartawan bahwa Media Tempat Bekerja Memiliki Aturan atau Mekanisme Pengembalian Pemberian Narasumber Jenjang Kewartawanan Wartawan Muda Frequency Percent Wartawan Madya Frequency Percent Wartawan Utama Frequency Percent Sangat Setuju 5 15,6% 6 20,0% 13 50,0% Setuju 17 53,1% 18 60,0% 8 30,8% Tidak Tahu 6 18,8% 5 16,7% 3 11,5% Kurang Setuju 4 12,5% 1 3,3% 2 7,7% Total 32 100,0% 30 100,0% 26 100,0% Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 69 Meskipun sebagian besar responden (34,4%) wartawan muda dan sebanyak mengetahui aturan tentang pengembalian 8 orang (26,7%) wartawan madya yang pemberian narasumber, ada beberapa menyatakan melaporkan pemberian wartawan (wartawan muda 15 orang atau narasumber ke kantor. Sementara itu, ada 46% dan 13 orang atau 43,3%) yang masih 6 orang (18,8%) wartawan muda dan 5 merasa kesulitan menolak pemberian dari orang (16,7%) yang tidak melaporkannya narasumber ketika sedang melakukan ke kantor. peliputan. Ada beberapa kemungkinan Hasil penelitian juga menunjukkan hal ini terjadi. Kemungkinan pertama, penilaian yang cenderung positif perusahaan tidak memberikan sanksi berkaitan dengan penggunaan Undangatau hukuman terhadap pelanggaran Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik aturan. Kemungkinan kedua, wartawan sebagai pegangan redaksi. Tetapi masih tidak memahami atau menyangkal kode ada beberapa wartawan yang menyatakan etik bahwa pemberian dari narasumber tidak tahu, kurang setuju, dan sangat ketika sedang melakukan peliputan tidak setuju terkait dengan pernyataan adalah termasuk perbuatan tidak etis. tersebut. Temuan ini mengindikasikan Dalam menyikapi pemberian narasumber, adanya perusahaan yang tidak sungguhsikap wartawan ternyata juga berbeda- sungguh menjadikan peraturan dan kode beda. Ada wartawan yang melaporkan etik tersebut sebagai acuan bekerja. Grafik terkait dengan pernyataan tersebut. Temuan ini mengindikasikan adanya perusahaan yang pemberiansetuju narasumber ke kantor ada 6.7 menunjukkan temuan ini. menjadikan pula yang tidak tidak.sungguh-sungguh Ada sebanyak 11 orang peraturan dan kode etik tersebut sebagai acuan bekerja. Grafik 6.7 menunjukkan temuan ini. 71.9% 63.3% 50.0% Wartawan Muda 33.3%34.6% Wartawan Madya Wartawan Utama 9.4% 6.2% 7.7% 12.5% 3.3% 0.0% 3.8% 0.0% 3.8% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% Sangat Setuju Setuju Tidak Tahu Kurang Setuju Sangat Tidak Setuju Missing Grafik 6.7 Undang-Undang Pers dan Kode Etik Wartawan Menjadi Pegangan Redaksi Grafik 6.7 Undang-Undang Pers dan Kode Etik Wartawan Menjadi Pegangan Redaksi 70 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 E. Hirarki otoritas E. Hirarki otoritas Hirarki otoritas menggambarkan suatu struktur dan bentuk kekuasaan yang dimiliki seseorang yang menduduki jabatan dalam perusahaan atau organisasi. Hirarki otoritas juga merujuk pada jangkauan kontrol yang dimiliki seseorang berhubungan lingkup kerja dan jumlah karyawan di bawahnya. Hirarki otoritas bisa tinggi dan bisa juga melebar. Hirarki otoritas yang tinggi umumnya ditandai oleh span of control yang sempit, kurang fleksibel dan cenderung kaku. Hirarki otoritas yang melebar umumnya ditandai oleh span of control yang lebih pendek, lebih fleksible, dan cenderung dicirikan oleh kedekatan hubungan pimpinan dan karyawan. Sulit melihat mana yang lebih baik di antara hirarki otoritas yang tinggi atau melebar bagi suatu perusahaan. Persoalan terpenting di sini bagaimana hal itu membantu organisasi atau perusahaan memenuhi visi, misi dan tujuannya. Hasil survei menunjukkan kecenderungan penilaian responden yang positif terkait hirarki otoritas yang berlaku dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Meskipun demikian, nilai mean yang didapat yaitu 5,1 (std. deviation 1,08), masih jauh dari nilai maksimal yang menjadi patokan yaitu 8. Temuan ini menandakan meski ada indikasi kearah positif penilaian responden terhadap hirarki otoritas perusahaan tersebut masih belum terlalu baik. Dalam hal ini penilaian wartawan muda relatif lebih rendah dibandingkan wartawan madya dan utama. Tabel 6.12 Nilai Mean Hirarki otoritas Wartawan Muda Wartawan Madya Wartawan Utama Mean Mean Mean Std. deviasi Hirarki otoritas 4,88 1,04 Hirarki otoritas dalam penelitian ini berfokus pada penilaian responden tentang kekuasaan eksekutif dalam memutuskan segala sesuatunya di perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara responden yang menyatakan “setuju” dan “kurang setuju” hampir sebanding. Selain itu cukup banyak yang menyatakan “tidak tahu”. Grafik 6.8 menyajikan temuan tersebut. Responden yang menjawab setuju berarti mengonfirmasi bahwa selama ini eksekutif di tempat wartawan bekerja Std. deviasi 5,23 1,073 Std. deviasi 5,23 1,142 selalu memutuskan segala sesuatunya. Dengan kata lain, eksekutif memegang kendali penuh dalam membuat keputusan. Namun cukup banyak responden yang tidak setuju. Mungkin saja di tempat mereka bekerja pembuatan keputusan tidak semata-mata dibuat oleh eksekutif namun dilakukan oleh tim, misalnya berdasarkan hasil rapat. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 71 Grafik 6.9 Eksekutif Di Tempat Wartawan Bekerja Selalu Memutuskan Segala Sesuatunya 46.9% 42.3% 42.3% 33.3% 25.0%23.3% 7.7% 6.2%6.7% Sangat Setuju 26.7% 21.9% 7.7% Setuju Tidak Tahu Wartawan Muda Wartawan Madya 6.7% Wartawan Utama 3.3% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% Kurang Setuju Sangat Tidak Setuju Missing Grafik 6.9 Eksekutif Di Tempatdengan Wartawan Bekerja Selalu Memutuskan Segala Sesuatunya Berkaitan isu yang bersifat kontroversial dan pemberitaan yang akan dibuat, Berkaitan dengan isu yang menyatakan bersifat setuju wartawan kurangdi tempat sebagian besar responden bahkanmuda sangatyang setujumenjawab bahwa pimpinan kontroversial dan pemberitaan yang setuju. Meskipun berjumlah kecil, wartawan bekerja selalu berdialog sebelum mengambil keputusan. Tetapi yaitu ada beberapa akan dibuat, sebagian besar responden 4 orang (12,5%) yang menjawab kurang responden menjawab tahu. setuju Mungkindan saja1mereka menjawab tidak tahu ini menyatakan setuju yang bahkan sangattidak setuju orang yang (3,1%) menjawab memang tidak atau tidak menjumpai praktik dialog tentang hal ini di tempat kerja bahwa pimpinan di mengetahui tempat wartawan sangat tidak setuju, fakta ini menunjukkan bekerja mereka. selaluSementara berdialog sebelum bahwa terhadap pengangkatan itu, ada juga responden dari keputusan wartawan muda yang menjawab kurang setuju. mengambil keputusan. Tetapi ada beberapa isu kontroversial dalam berita mungkin Meskipun berjumlah kecil, yaitu 4 orang (12,5%) yang menjawab kurang setuju dan 1 orang responden yang menjawab tidak tahu. tidak melalui proses dialog. menjawabyang sangat tidak setuju, fakta ini menunjukkan bahwaDikeputusan Mungkin(3,1%) saja mereka menjawab Tabel 6.13 Pimpinan Tempatterhadap tidak tahupengangkatan ini memang mengetahui Wartawan Bekerja Berdialog isutidak kontroversial dalam berita mungkin tidak melaluiSelalu proses dialog. atau tidak menjumpai praktik dialog Dalam Menentukan Pemberitaan atas Isu tentang hal ini di tempat kerja mereka. Kontroversial Sementara itu, ada juga responden dari Tabel 6.13 Pimpinan Di Tempat Wartawan Bekerja Selalu Berdialog Dalam Menentukan Pemberitaan atas Isu Kontroversial Jenjang Kewartawanan Wartawan Muda Frequency Sangat Setuju Setuju Tidak Tahu Kurang Setuju Frequency Percent Wartawan Utama Frequency Percent 2 6,2% 8 26,7% 5 19,2% Tabel 6.13 Pimpinan Di Tempat Wartawan Bekerja Selalu Berdialog Dalam Menentukan 18 56,2% 21 70,0% 18 69,2% Pemberitaan atas Isu Kontroversial 7 21,9% 1 3,3% 3 11,5% Jenjang Kewartawanan 4 12,5% 0 0,0% 0 0,0% Sangat Tidak Setuju 1 Total 32 72 Percent Wartawan Madya 3,1% 100,0% Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 0 30 0,0% 100,0% 0 26 0,0% 100,0% Kompetensi pekerja merujuk pada kapasitas dan kemampuan seseorang atau wartawan dalam bekerja. Berkaitan dengan penilaian terhadap kompetensi pekerja, sebagian besar responden memiliki penilaian yang biasa saja dalam arti tidak terlalu positif dan juga negatif. Nilai mean yang dihasilkan adalah 5,31 (std. deviation 1,74) dari nilai maksimal yang ditetapkan, yaitu 8. Temuan ini menunjukkan adanya indikasi persoalan tentang kompetensi pekerjaan ini. Ketika hasil mean ini dibandingkan antarjenjang wartawan tidak ada perbedaan cukup signifikan di antara ketiganya. Tabel 6.14 memberikan gambaran ini. Tabel 6.14 Nilai Mean Penilaian Wartawan atas Kompetensi Pekerja Wartawan Muda Wartawan Madya Wartawan Utama Mean Mean Mean Std. Std. deviasi Kompetensi pekerja 5,12 1,497 Untuk memeriksa lebih detil persoalan ini, peneliti menginvestigasi pandangan responden terkait kualitas eksekutif yang bekerja dalam perusahaan. Temuan penelitian menunjukkan sebagian besar responden menyatakan setuju dan bahkan sangat setuju bahwa di tempat wartawan bekerja, eksekutif memenuhi syarat untuk pekerjaan yang dilakukannya. Namun, cukup banyak juga responden yang Std. deviasi 5,23 1,888 deviasi 5,62 1,856 menyatakan kurang setuju dan sangat tidak setuju. Tabel 6.15 menunjukkan temuan penelitian. Temuan ini mengindikasikan bahwa ada eksekutif yang tidak cukup kompeten menduduki jabatannya. Hal ini terjadi karena kemungkinan promosi jabatan mengandalkan hubunganhubungan personal dan bukan atas dasar kriteria objektif kemampuan seseorang. Tabel 6.15 Eksekutif Memenuhi Syarat untuk Pekerjaan/Posisinya Jenjang Kewartawanan Wartawan Muda Frequency Percent Sangat Setuju Setuju Wartawan Madya Wartawan Utama Frequency Percent Frequency Percent 2 6,2% 4 13,3% 4 15,4% 16 50,0% 16 53,3% 19 73,1% Tidak Tahu 8 25,0% 4 13,3% 1 3,8% Kurang Setuju 5 15,6% 5 16,7% 1 3,8% Sangat Tidak Setuju 1 3,1% 0 0,0% 0 0,0% Missing Total 0 0,0% 1 3,3% 1 3,8% 32 100,0% 30 100,0% 26 100,0% Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 73 Bukan hanya menyangkut eksekutif, penelitian ini juga mencari tahu bagaimana orang-orang diangkat atau dipekerjakan dalam perusahaan. Temuan penelitian menunjukkan sebagian besar responden menjawab setuju dan bahkan sangat setuju bahwa orang-orang yang diangkat atau dipekerjakan dalam perusahaan karena memiliki kemampuan. Namun demikian ada juga responden yang menilai tidak tahu dan tidak setuju bahkan sangat setuju. Data ini mengindikasikan adanya orangorang di perusahaan yang bekerja tidak sesuai kemampuannya. Di sini sulit bagi perusahaan mengharapkan tercapainya profesionalitas dan kinerja yang baik dari wartawan jika wartawan yang bekerja tidak punya kompetensi. Tabel 6.16 Penialaian terhadap Kompetensi Wartawan yang Bekerja Di Perusahaan Jenjang Kewartawanan Wartawan Muda Sangat Setuju Setuju Wartawan Madya Wartawan Utama Frequency Percent Frequency Percent Frequency Percent 3 9,4% 4 13,3% 5 19,2% 21 65,6% 19 63,3% 15 57,7% Tidak Tahu 4 12,5% 1 3,3% 1 3,8% Kurang Setuju 4 12,5% 5 16,7% 3 11,5% 0 0,0% 1 3,3% 0 0,0% Sangat Tidak Setuju Missing Total 74 0 0,0% 0 0,0% 2 7,7% 32 100,0% 30 100,0% 26 100,0% Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Bab VII Evaluasi Wartawan Atas Uji Kompetensi Wartawan adalah subyek dari uji kompetensi. Dengan demikian wartawan dapat memaknai dan melakukan penilaian atas uji kompetensi yang dilakukannya. Uji kompetensi sendiri paling tidak memiliki tiga elemen yang bisa dievaluasi, yaitu lembaga penguji, materi yang diujikan, dan kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah wartawan yang mendapatkan sertifikasi relatif terbuka dan jelas. Lembaga penguji uji kompetensi wartawan misalnya, apakah sudah cukup banyak jumlahnya sehingga wartawan yang ingin disertifikasi tidak kesulitan mendapatkan lembaga penguji bila dirinya berasal dari perusahaan media yang tidak terlalu besar. Begitu juga dengan materi yang menjadi substansi dalam uji kompetensi, apakah sudah benar-benar dapat memotret kemampuan wartawan sesuai jenjangnya dan juga dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cepat. Elemen yang terakhir adalah kriteria uji kompetensi dan kesesuaiannya dengan kategorisasi wartawan, apakah kriteriakriteria tersebut valid, terbuka, dan dapat diverifikasi dengan baik. Di dalam pelaksanaanya yang sudah menginjak tahun keempat, uji kompetensi wartawan memang dianggap masih memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan yang tentunya terus diperbaiki agar benar-benar menjadi mekanisme yang solid bagi peningkatan kualitas jurnalisme di Indonesia. Lebih luas lagi, peran Dewan Pers dan perusahaan media tempat wartawan bekerja juga dapat dievaluasi berkaitan dengan pelaksanaan uji kompetensi yang terus menerus diperbaiki. Dewan Pers berperan besar untuk terus mendorong uji kompetensi dan memperbaiki pelaksanaannya. Sementara itu, perusahaan atau institusi media berperan dalam mengaitkan jenjang kompetensi dan jenjang karir di dalam perusahaan atau institusi media tempat wartawan bekerja. Sebelum memaparkan dan menganalisis data lebih mendalam akan dijelaskan dulu persepsi wartawan terhadap kredibilitas penguji, yang meliputi materi uji, penguji, dan prosedur atau metode uji kompetensi. Tabel 7.1 menunjukkan semua kategori wartawan, yaitu wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama menilai bahwa evaluasi atas uji kompetensi, yang mencakup kredibilitas penguji, materi uji, dan prosedur relatif bagus. Hal ini ditunjukkan oleh angka mean dari masingmasing tingkatan wartawan yang berada di atas nilai kritis mean yang ditetapkan oleh peneliti. Untuk wartawan muda, nilai mean 18,88 (std. Deviation 4,225) menunjukkan bahwa persepsi wartawan muda atas kredibilitas penguji relatif bagus. Nilai mean di sini berada di atas nilai kritis mean yang ditetapkan, yaitu 14 yang dihitung dari angka minimal (0) dan angka maksimal 28. Demikian pula bila kita melihat jenjang wartawan yang lain. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 75 Nilai mean untuk wartawan madya adalah 20,43 (std. deviation 5,001), sedangkan wartawan utama adalah 17 (std. deviation 5,657). Tabel 7.1 Evaluasi Wartawan atas Pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan Muda Wartawan Madya Wartawan Utama Mean Mean Mean Std. deviasi Evaluasi 18,88 4,225 Std. deviasi 20,43 5,001 Std. deviasi 17 5,657 Wartawan atas Uji Kompetensi Paparan selanjutkan akan lebih detil meninjau penilaian wartawan atas uji kompetensi yang meliputi: penilaian terhadap lembaga penguji, kapasitas penguji, kesesuaian materi uji, dan ketepatan prosedur atau teknik pengujian. A. Kredibilitas Lembaga Penguji Uji Kompetensi Menurut data hasil survei, sebagian besar responden menyatakan bahwa lembaga penyelenggara uji kompetensi memiliki kredibilitas yang tinggi untuk melakukan uji kompetensi. Pendapat tersebut memiliki kemiripan pada setiap jenjang kewartawanan. Sebanyak 78,1% responden yang merupakan wartawan muda setuju dan sangat setuju dengan pernyataan bahwa lembaga yang selama ini menjadi penyelenggara uji kompetensi memiliki kredibilitas yang tinggi. Begitu juga dengan kedua jenjang wartawan yang lain, yaitu sebanyak 80% responden yang merupakan wartawan madya dan 92,3% responden yang merupakan wartawan madya setuju dengan pendapat tersebut. 76 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Walau begitu, terdapat juga responden yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut, yaitu sebanyak 15,6% responden yang merupakan wartawan muda dan 10% responden yang merupakan wartawan madya. Lembaga penyelenggara uji kompetensi menurut beberapa wartawan masih belum kredibel, terutama bila keahlian penguji tidak sesuai dengan wartawan yang diuji. Lembaga penguji kebanyakan berfokus kepada media cetak, sementara wartawan yang mengikuti uji kompetensi lebih variatif. Seringkali ketidaksesuaian itu sulit diatasi, misalnya saja wartawan televisi yang tidak ingin diuji oleh wartawan televisi dari perusahaan media yang lain karena berkaitan dengan “rahasia dapur” media yang bersangkutan. Hal ini disampaikan oleh Maria dalam focus group discussion yang dilaksanakan di Jakarta. Tabel lengkap yang mendeskripsikan pendapat bahwa lembaga lembaga penyelenggara uji kompetensi memiliki kredibilitas yang tinggi: Tabel 7.2 Lembaga Penyelenggara Uji Kompetensi Memiliki Kredibilitas Tinggi Lembaga penyelenggara uji kompetensi memiliki kredibilitas yang tinggi Jenjang kewartawanan wartawan muda frekuensi % wartawan madya frekuensi % wartawan utama frekuensi % Kurang setuju 4 12.5% 2 6.7% 0 0.0% Setuju 18 56.2% 15 50.0% 14 53.8% Sangat setuju 7 21.9% 9 30.0% 10 38.5% Sangat tidak setuju 1 3.1% 1 3.3% 0 0.0% Tidak tahu 2 6.2% 2 6.7% 1 3.8% Missing 0 Total 32 0.0% 100.00% B. Kapasitas Para Penguji dalam Uji Kompetensi Hal serupa juga muncul ketika wartawan yang menjadi responden menjawab pertanyaan apakah para penguji yang melakukan uji standar kompetensi memiliki kapasitas yang layak. Sebagian besar responden memberikan jawaban setuju dan sangat setuju bahwa para penguji dalam uji standar kompetensi memiliki kapasitas yang layak. Sebagian besar responden yang merupakan wartawan muda (87,6%), setuju dengan pernyataan tersebut. Begitu juga dengan 90% responden yang merupakan wartawan madya dan 92,3% responden yang merupakan wartawan utama, setuju bahwa penguji dalam uji standar kompetensi wartawan memiliki kapasitas yang layak. Walau demikian, masih terdapat responden yang menilai bahwa penguji dalam uji standar kompetensi belum memiliki kapasitas yang layak. Ada sebanyak 3,1% wartawan muda dan masing-masing 3,3% untuk wartawan 1 30 3.3% 100.00% 1 26 3.8% 100.00% madya dan wartawan utama yang menyatakan demikian. Hal ini sejalan dengan informasi yang didapatkan dari diskusi kelompok terfokus para wartawan di dua kota bahwa kapasitas penguji masih merupakan salah satu kekurangan dari pelaksanaan uji standar kompetensi wartawan. Penguji dalam uji kompetensi adalah elemen terdepan dalam sertifikasi, yang akan melihat kemampuan wartawan dengan mendalam. Dengan demikian, penilaian yang diberikan penguji mesti terbuka dan dapat diverfikasi oleh berbagai pihak sehingga kompetensi yang disertifikasi dapat lebih dipertanggungjawabkan. Secara kuantitas jumlah penguji juga dapat diperbanyak dengan lebih melibatkan kampus dan penggiat jurnalisme warga di masyarakat. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 77 Tabel 7.3 Penialaian Wartawan atas Para Penguji Para penguji yang melakukan uji standar kompetensi memiliki kapasitas yang layak Jenjang kewartawanan wartawan muda frekuensi % frekuensi % wartawan utama frekuensi % Sangat setuju 6 18.8% 6 20.0% 8 30.8% Setuju 22 68.8% 21 70.0% 16 61.5% Tidak tahu 3 9.4% 2 6.7% 0 0.0% Kurang setuju 1 3.1% 1 3.3% 1 3.8% Missing 0 0.0% 0 0.0% 1 3.8% Total 32 100.00% 30 C. Kesesuaian Materi Uji dalam Uji Kompetensi dengan Kategori Wartawan Aspek lain yang juga diamati dalam evaluasi atas uji kompetensi adalah materi uji. Menurut wartawan yang menjadi responden di dalam riset ini, materi ujian dalam uji standar kompetensi memiliki kesesuaian dengan kategori wartawan. Sebagian besar responden dari tiga jenjang kewartawanan setuju bahwa materi uji sudah sesuai kategori atau jenjang wartawan yang ada di Indonesia. Sebanyak 81,2% responden yang merupakan wartawan muda menyatakan setuju dan sangat setuju. Sementara itu, 83,3% responden yang merupakan wartawan madya dan 76,9% responden yang merupakan wartawan utama setuju dengan pernyataan tersebut. Walau begitu terdapat sebagian responden yang tidak setuju dengan pernyataan bahwa materi uji dalam uji standar kompetensi sudah 78 wartawan madya Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 100.00% 26 100.00% sesuai kategori wartawan. Terdapat 12,5% responden yang merupakan wartawan muda yang kurang setuju dan bahkan terdapat 6,2% yang sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Ketidaksetujuan bahwa materi uji dalam uji kompetensi sesuai dengan kategori wartawan antara lain karena materi uji lebih dekat dengan jurnalisme cetak. Materi uji juga mesti diperkuat dengan jurnalisme radio, jurnalisme televisi, dan jurnalisme online. Selain itu, faktor pengalaman wartawan juga berperan diharapkan menjadi bagian yang diujikan. Persoalan utamanya kemudian adalah bagaimana menerjemahkan aspek pengalaman menulis berita dengan materi yang diujikan. Grafik 7.1 menunjukkan bahwa responden sebagian besar menyatakan bahwa terdapat kesesuaian antara materi yang diujikan dalam uji kompetensi dengan jenjang kewartawanan: 65.6% 60.0% 65.4% Wartawan Muda Wartawan Madya 23.3% 15.6% 16.7% 15.4% 12.5% 11.5% 0.0% 0.0% Sangat Setuju Setuju 6.2% 3.8% Tidak Tahu Wartawan Utama 0.0% 3.8% 0.0% 0.0%0.0% Kurang Setuju Sangat Tidak Setuju Missing Grafik 7.1 Materi Ujian dalam Uji Standar Kompetensi Memiliki Kesesuaian dengan Kategori WartawanGrafik 7.1 Materi Ujian dalam Uji Standar Kompetensi Memiliki Kesesuaian dengan Kategori D. Ketepatan Prosedur Ujian yang diselesaikan oleh Dewan Pers dan seluruh Wartawan Diterapkan insan pers di Indonesia. Berikut ini Menjawab pertanyaan apakah grafik yang menunjukkan secara lengkap prosedur atau treatment dalam uji pendapat wartawan pada setiap jenjang standar kompetensi sudah tepat untuk mengenai prosedur dan metode yang mengukur profesionalitas wartawan, D. Ketepatan Prosedur Ujian yangditerapkan Diterapkandalam uji kompetensi sudah sebagian besar responden menjawab tepat dalam mengukur profesionalitas setuju dengan pernyataan tersebut. wartawan. Menjawab pertanyaan apakah prosedur atau treatment dalam uji standar kompete Sebanyak 75% responden setuju bahwa sudahdan tepat untuk mengukur profesionalitas wartawan, sebagian besar responden menjaw prosedur langkah-langkah uji standar kompetensi sudah tepat dalam mengukur setuju dengan pernyataan tersebut. Sebanyak 75% responden setuju bahwa prosedur profesionalitas wartawan. Sementara langkah-langkah uji standar kompetensi sudah tepat dalam mengukur profesionalitas wartaw itu 80% wartawan madya dan 80,7% wartawan utama responden Sementara ituyang 80%menjadi wartawan madya dan 80,7% wartawan utama yang menjadi responden j juga menyatakan hal yang sama. menyatakan hal yang sama. Walau begitu, dalam focus group Walau begitu, di dalam focus group discussion yang dilakukan di Jakarta masih terda discussion yang dilakukan Jakarta masih terdapat debat mengenai prosedur dan juga debat mengenai prosedur dan juga materi uji yang dianggap belum mampu mengu materi uji yang dianggap belum mampu profesionalitas wartawan. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan oleh Dew mengukur profesionalitas wartawan. Hal ini menjadi rumah yang mesti Pers danpekerjaan seluruh insan pers di Indonesia. Berikut ini grafik yang menunjukkan secara leng pendapat wartawan pada setiap jenjang mengenai prosedur danDesember metode 2015 yang diterapkan da 79 Jurnal Dewan Pers No.11, uji kompetensi sudah tepat dalam mengukur profesionalitas wartawan. 65.6% 60.0% 61.5% Wartawan Muda 20.0%19.2% 20.0% 12.5% 9.4% 11.5% 3.8% % 3.10.0 % %0.0%0.0%0.03.8 0.0% % 9.4% Sangat Setuju Setuju Tidak Tahu Kurang Setuju Sangat Tidak Setuju Wartawan Madya Wartawan Utama Missing Grafik7.2 7.2Prosedur Prosedur atau Treatment Ujian Diterapkan Uji Kompetensi Sudah Grafik atau Treatment Ujian yangyang Diterapkan dalamdalam Uji Standar Standar Kompetensi SudahTepat Tepatuntuk untuk Mengukur Profesionalitas Wartawan Mengukur Profesionalitas Wartawan E. Wartawan Memiliki Pengalaman Jawa prosedurnya bisa sedikit berbeda, Lulus Uji Kompetensi yaitu diadakan semacam diskusi terlebih Menurut data hasil riset, tidak ada dahulu dengan peserta uji kompetensi, responden yang memiliki pengalaman terutama berkaitan dengan informasi tidak lulus uji kompetensi wartawan. Hal umum mengenai uji kompetensi dan E. Wartawan Memiliki Pengalamankriteria Lulus kelulusan Uji Kompetensi ini mengindikasikan bahwa wartawan dari uji kompetensi. yang terpilih menjadi responden di dalam Menurut data hasil riset, tidak adaF. responden yang memiliki pengalaman riset ini sudah menyiapkan diri sebelumnya Ada Tidaknya Kendala untuktidak lulus uj atau yang paling mungkin adalah sebagian Mendapatkan kompetensi wartawan. Hal ini mengindikasikan bahwa Sertifikasi wartawan yang terpilih menjad besar responden merupakan wartawan Sebagian besar wartawan, yaitu 94.32% responden di dalam risetyang ini sudah menyiapkan diri sebelumnya atau yang paling mungkin adalah yang memiliki kapasitas memadai responden, tidak mengalami kendala sehingga tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti sertifikasi. Hanya empat sebagian besar responden merupakan wartawan yang memiliki kapasitas yang memadai sehingga dalam mengikuti standar uji kompetensi orang wartawan yang mengalami kendala. tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti standar uji kompetensi wartawan. wartawan. Walau begitu masih terdapat Meski jumlahnya kecil, kenyataan iniWalau begitu 4,6% responden mengalami menunjukkan keadaan untuk yang mendapatkan unik karena sertifikasi. masih terdapatyang 4,6%merasa responden yang merasa mengalami kendala kendala untuk mendapatkan sertifikasi. semestinya kendala tersebut bisa diatasi Hal yang berbeda kemungkinan terjadi luar Jawa. Wartawan yang akan mengalam Hal yang berbeda kemungkinan dengandi melibatkan perusahaan media terjadi di luar Jawa. Wartawan yang akan kemungkinan tempat wartawan bekerjabanyak. denganHal lebih kendala dalam mendapatkan sertifikasi akan semakin ini disampaikan mengalami kendala dalam mendapatkan intens. Kendala-kendala yang dihadapi oleh beberapa informan akan dalamsemakin focus group discussion di mana kondisi yang berbeda terjadi d sertifikasi kemungkinan wartawan tersebut relatif beragam dan banyak. HalDengan ini disampaikan olehuji bersumber semua pihak. luar Jawa. demikian, ketika kompetensidari diadakan di luar Jawa prosedurnya bisa beberapa informan dalam focus group Kendala-kendala yang dirasakan oleh sedikit berbeda, diadakan semacam responden diskusi terlebih dengan sertifikasi peserta uji kompetensi discussion di manayaitu kondisi yang berbeda untukdahulu mendapatkan terjadi di luar Jawa. dengan Denganinformasi demikian, cukup beragam, yaitu: kriteria terutama berkaitan umum mengenai uji kompetensi dankelulusan kriteria kelulusan dar ketika uji kompetensi diadakan di luar uji materi yang tidak jelas, ketersediaan uji kompetensi. 80 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 waktu untuk mengikuti uji kompetensi, uji kompetensi tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan, kelangkaan lembaga penguji kompetensi, dan biaya uji kompetensi yang terlampau besar. Ragam kendala ini juga muncul dalam diskusi kelompok terfokus yang diselenggarakan di dua kota, yaitu Yogyakarta dan Jakarta. Masih ada beberapa kendala lain, namun kendala-kendala yang sudah disebutkan di atas adalah kendala yang lebih sering muncul dari diskusi. Kendala pertama, kriteria kelulusan uji materi yang tidak jelas, berasal dari karakter berita yang diproduksi oleh ragam institusi media juga berbeda. Untuk berita radio dan televisi misalnya, belum cukup terakomodir dalam uji standar kompetensi wartawan yang dianggap lebih mengakomodir berita cetak. Dengan beragamnya jenis berita sebaiknya materi dan kriteria kelulusan juga diperbaiki dan diperjelas. Selain itu, keterkaitan kriteria dan jenjang kewartawanan juga mesti diperjelas karena seringkali ditemukan wartawan yang dianggap belum kompeten namun lulus uji standar kompetensi dan berada dalam jenjang wartawan yang tidak tepat. Kendala berikutnya adalah ketersediaan waktu untuk mengikuti uji kompetensi yang mungkin tidak dimiliki oleh sebagian wartawan karena beban dan rutinitas pekerjaan dan juga kesesuaian jadwal kerja wartawan dengan jadwal uji standar kompetensi yang diselenggarakan. Kendala ini bisa diatasi dengan penentuan jadwal yang jauh lebih awal dari pelaksanaan uji standar kompetensi. Begitu juga dengan kebijakan perusahaan media yang memberikan waktu yang fleksibel kepada wartawannya untuk mengikuti uji standar kompetensi karena terbatasnya waktu untuk uji kompetensi. Hal lain yang juga dianggap menjadi kendala dalam uji standar kompetensi wartawan adalah anggapan bahwa uji standar kompetensi tidak berpengaruh pada tngkat kesejahteraan wartawan. Pada bagian selanjutnya akan dibahas kendala ini. Walau begitu, beberapa perusahaan media sudah merumuskan keterkaitan sertifikasi dengan kesejahteraan wartawan. Kerjasama yang sinergis antara perusahaan media dan Dewan Pers harus dirumuskan dengan memadai agar sertifikasi tidak hanya berpengaruh pada profesionalisme tetapi juga kesejahteraan wartawan. Uji kompetensi dinilai belum berkaitan langsung dengan karir dan kesejahteraan wartawan walaupun di beberapa instutusi media telah diupayakan mengaitkan uji kompetensi dan kesinambungan karir. Upaya mengaitkan uji kompetensi dengan karir dan juga gaji wartawan sedang direncanakan oleh Jogja TV, seperti yang disampaikan oleh Wendy. Di Jogja TV menurut Wendy untuk posisi redaktur atau produser minimal merupakan wartawan madya dan kompetensi diikuti dengan penyetaraan gaji sesuai dengan kompetensinya. Bila memang kompetensi sudah melebihi kenaikan gaji juga dimungkinkan. Selain itu, sebagai sebuah institusi Jogja TV mendorong wartawannya untuk mengikuti uji kompetensi dan merencanakan paling tidak lima wartawan mengikuti uji kompetensi setiap tahun. Hal yang senada Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 81 W disampaikan oleh Atang Basuki bahwa keterkaitan antara keikutsertaan pada uji kompetensi dan jenjang karir mesti sejalan karena melalui uji kompetensi seorang wartawan akan tahu kemampuannya dan sejauh apa posisi yang bisa didapatkan. Hal yang berbeda terjadi di suratkabar Kedaulatan Rakyat, menurut Sihono belum ada keterkaitan antara uji kompetensi dengan posisi dan penggajian wartawan. Uji kompetensi wartawan belum dipakai untuk mengevaluasi wartawan, bahkan wartawan belum menempati posisi yang strategis di redaksi. Walau begitu, selain meningkatkan kinerja wartawan dan memperbaiki kualitas wartawan, uji kompetensi secara kelembagaan meningkatkan kedekatan dalam pengorganisasian liputan. Sementara itu di RRI, Atang Basuki menyatakan bahwa uji kompetensi diupayakan untuk diselaraskan dengan pendidikan dan pelatihan wartawan yang dilakukan oleh RRI Pusat Jakarta. Dari hasil pelatihan tersebut pihak yang berwenang, kepala stasiun misalnya, akan memberikan penilaian agar wartawan bisa ditempatkan pada posisi tertentu. Hal serupa terjadi di TVRI, Arif dari TVRI stasiun Yogyakarta melihat bahwa di institusi tempatnya bekerja banyak pelatihan yang dilakukan, ada pelatihan untuk wartawan dan juga untuk camera person walau kemungkinan tidak semua pelatihan tersebut memiliki keterkaitan dengan uji kompetensi yang didorong oleh Dewan Pers. Walau begitu, menurutnya kemampuan seorang wartawan tidak berhubungan langsung dengan posisinya di kantor karena misalnya ada dua 82 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 wartawan yang sama lama waktunya menjalani peran sebagai wartawan, satu wartawan masih membawa-bawa kamera dan meliput, satu lagi telah menjadi atasan atau redaktur. Menurutnya belum ada indikator yang jelas mengenai penempatan posisi seseorang di institusi tempatnya bekerja. Menurut Hendrawan di TV One biro Yogya perencanaan para wartawan yang mengikuti uji kompetensi telah dilakukan. Wartawan yang mengikuti uji kompetensi diusahakan bergantian agar kantor tidak kosong karena jumlah personel memang terbatas untuk sebuah biro. Bila ada penyelenggaraan uji kompetensi wartawan di Yogyakarta Hendrawan meminta wartawannya untuk mengikutinya. Selain itu uji kompetensi mesti dilengkapi perluasan perspektif dengan mengikuti beragam diskusi. Hal ini yang didorong oleh Hendrawan kepada rekan-rekannya sesama wartawan karena dia juga aktif di AJI yang menilai pelibatan wartawan pada beragam aktivitas sosial sangat diperlukan. Belum masuknya uji kompetensi wartawan sebagai bagian dari perkembangan karir wartawan menurut Hendrawan harus diperhatikan oleh Dewan Pers. Dewan Pers dapat memberikan masukan dan juga tekanan agar institusi media menerapkan dan mendorong uji kompetensi wartawan. Linkage antara wartawan dengan institusi media dalam mengikuti uji kompetensi mesti didorong oleh Dewan Pers. Banyak juga informan yang berpendapat bahwa pelaksanaan uji kompetensi wartawan mestinya dikaitkan dengan kebijakan dan tekanan pada institusi media tempat wartawan bekerja. Bila para wartawan memiliki kepedulian mengikuti uji kompetensi namun tidak ada perhatian dari institusi media tempatnya bekerja, implementasi yang bagus berkaitan dengan uji kompetensi tidak akan terwujud. Selain itu, secara sosial mesti didorong agar wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi merasa malu di depan rekan-rekan wartawan dan juga masyarakat. Menurut Hendrawan hal ini yang penting dimunculkan agar para wartawan mendorong rekan-rekannya untuk mengikuti uji kompetensi sehingga menjadi bola salju agar semakin banyak wartawan yang semakin profesional. Sementara itu menurut Atang Basuki, uji kompetensi harus menggali kemampuan sebenarnya wartawan yang bersangkutan dan bisa dibuktikan secara sosial. Kendala keempat adalah langkanya lembaga penguji kompetensi. Hal ini disadari dan muncul dalam perbincangan dalam diskusi kelompok terfokus. Bukan hanya jumlah lembaga penguji tidak banyak, tetapi juga diungkapkan bahwa sebagian besar dari lembaga-lembaga penguji yang ada belum melakukan uji kompetensi. Selain itu, Dewan Pers belum sepenuhnya memonitor dan memverifikasi kembali lembaga-lembaga penguji. Sosialisasi bagi lembaga-lembaga yang akan menjadi penguji juga belum dilakukan secara memadai sehingga terjadi kelangkaan lembaga penguji selama sekitar empat tahun pelaksanaan uji standar kompetensi wartawan ini. Kendala yang terakhir adalah biaya uji kompetensi yang dianggap mahal oleh sebagian wartawan. Sebenarnya kendala ini relatif mudah diatasi bila perusahaan media memberikan fasilitas dan biaya bagi wartawannya untuk mengikuti uji standar kompetensi yang memang merupakan kewajiban dari perusahaan media. Kendala ini baru sangat terasa bagi wartawan freelance yang tidak berafiliasi dengan perusahaan media atau juga jurnalis warga yang tidak memiliki motif ekonomi dalam menjalankan profesinya. G. Arti Penting Program Sertifikasi untuk Mengukur Standar Kompetensi wartawan Indonesia Secara umum dari hasil focus group discussion yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa uji kompetensi dinilai memiliki kontribusi positif bagi kinerja wartawan dan pada kualitas berita yang dihasilkannya. Menurut Hendrawan yang merupakan ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta dan Kepala Biro TV One Yogyakarta, wartawan yang sudah lulus uji kompetensi lebih memiliki perspektif ketika menulis berita. Selain itu, wartawan yang sudah lulus uji kompetensi memahami etika jurnalistik lebih memadai karena etika dan pengetahuan teknis belum mampu diserap sepenuhnya sewaktu pelatihan yang diselenggarakan oleh perusahaan. Hendrawan juga mengatakan bahwa kualitas berita yang ditulis oleh para wartawannya juga meningkat. Hal tersebut ditandai oleh keluhan dari audiens cukup berkurang selama beberapa waktu terakhir. Pendapat senada disampaikan oleh Wendy Binarto dari Jogja TV bahwa uji kompetensi memberi manfaat Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 83 menyamakan persepsi di redaksi karena latar belakang anggota redaksi yang berbeda-beda. Tidak semua anggota redaksi memiliki latar belakang pendidikan yang mempelajari jurnalisme. Manfaat yang lebih jauh dari uji kompetensi adalah lebih mudah dalam memimpin para wartawan yang menjadi rekan kerja karena lebih memahami jurnalistik dan manajemen redaksi. Wendy juga melihat ada perbaikan kualitas dari berita yang dihasilkan oleh para wartawannya dalam lima tahun terakhir. Personel redaksi di Jogja TV ada tiga puluh tiga orang namun yang sudah lulus uji kompetensi baru tujuh orang. Jumlah yang masih sedikit tersebut menyebabkan perencanaan keikutsertaan dan upaya mendorong wartawan untuk mengikuti uji kompetensi semakin penting. Walau demikian, menurut Wendy terdapat beberapa wartawan yang tidak mau mengikuti uji kompetensi dengan berbagai alasan. Namun pada akhirnya mereka mengikuti uji kompetensi karena memang diperlukan dan menunjukkan profesi sebagai wartawan memang berat bila tanpa uji kompetensi. Atang Basuki Kepala Pemberitaan Radio Republik Indonesia Stasiun Yogyakarta juga melihat bahwa uji kompetensi memiliki arti penting untuk mengingatkan kembali akan hak dan kewajiban bagi wartawan dalam menjalankan tugas. Persoalan yang sederhana dalam tugas jurnalistik seperti menghubungi narasumber menjadi memiliki arti yang lebih penting ketika para wartawan RRI mengikuti uji kompetensi. Paling tidak, melalui uji kompetensi para wartawan di RRI menyadari bahwa 84 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 profesi wartawan itu sulit untuk menjadi profesional bila tidak serius menjalaninya. Pada titik ini uji kompetensi bisa dilihat bukan hanya sebagai prosedur untuk mengetahui kompetensi wartawan melainkan juga memberikan pengetahuan kepada wartawan atas aktivitas dan profesi yang mereka jalani. Sementara itu, menurut Maria Andriana dari LKBN Antara sekaligus pengajar di LPDS, salah satu lembaga penguji uji kompetensi, manfaat uji kompetensi sudah nyata, terutama untuk wartawan daerah dan yang bukan berasal dari media besar. Para wartawan tersebut belajar banyak hal mengenai jurnalisme melaui uji kompetensi wartawan. Hal lain yang mereka pelajari dari uji kompetensi adalah menyelenggarakan rapat redaksi. Ternyata tidak semua institusi media menjalankan rapat redaksi dalam merencanakan dan menulis beritanya. Menguatkan pendapat-pendapat sebelumnya, Endi Bayuni dari Jakarta Post mengatakan, bahwa Jakarta Post mengikuti standar yang diminta dalam uji kompetensi wartawan walaupun di institusi media berbahasa Inggris ini sendiri pelatihan dilakukan lebih panjang dan lebih mendalam bila dibandingkan dengan uji kompetensi wartawan yang didorong oleh Dewan Pers. Menurutnya, penilaian yang paling penting bagi kompetensi wartawan adalah yang berasal dari masyarakat walau melalui uji kompetensi wartawan kondisi jurnalisme sudah membaik. Penilaian masyarakat lebih penting bila dibandingkan dengan penilaian diri sendiri oleh insan pers. Walau dinilai baik belum tentu masyarakat menilainya baik pula. Endi merujuk pada pemberitaan di seputar pemilu 2014. Arfi Bambani dari AJI Indonesia melihat bahwa uji kompetensi berguna sekali bagi wartawan. Walau begitu mesti diperkuat antara uji kompetensi yang didorong oleh Dewan Pers dan uji kompetensi yang diselenggarakan oleh AJI. Pelaksanaan uji kompetensi versi AJI melingkupi materi yang lebih banyak dan melibatkan fasilitator yang lebih banyak sehingga persiapannya mesti lebih panjang. Selama bertahuntahun wartawan tidak mengenal semacam pendidikan atau pengujian dan tiba-tiba lahir uji kompetensi. Hal ini menurutnya adalah sangat berguna. Kesan secara umum uji kompetensi wartawan yang dijalankan selama ini sudah baik. Hal tersebut terlihat dari kesankesan wartawan yang pernah mengikuti uji kompetensi wartawan dan juga para pengujinya, yang dibukukan. Tiga puluh enam orang tersebut menyatakan bahwa uji kompetensi wartawan adalah hal yang positif. Pendapat ini dinyatakan oleh Usman Yatim, pengurus pusat Persatuan Wartawan Indonesia dan juga pengajar di LPDS. Menurutnya lagi, hal yang paling penting dari uji kompetensi wartawan adalah munculnya kesadaran kepada wartawan bahwa wartawan adalah sebuah profesi dan pada setiap profesi pasti ada standarnya. Tri Agung dari Kompas menunjukkan bahwa uji kompetensi memiliki arti penting dan Kompas sudah melakukannya sejak tahun 2000. Cukup jauh dari uji kompetensi wartawan yang didorong oleh Dewan Pers yang baru berjalan empat tahun. Bila uji kompetensi wartawan yang difasilitasi oleh Dewan Pers memiliki tiga kategori, uji kompetensi yang dimiliki oleh Kompas memiliki tujuh kategori. Selain itu proses tersebut dilembagakan dengan diuji dan diawasi oleh dewan kompetensi. Dewan kompetensi terdiri dari dua belas orang yang ikut menguji kompetensi pada setiap tingkatan. Berdasarkan data yang diperoleh, menurut wartawan yang menjadi responden dari riset ini, uji kompetensi wartawan membuat kualitas dan profesionalitas wartawan semakin baik selama sekitar empat tahun perangkat ini diimplementasikan. Sebagian besar responden pada tiap jenjang wartawan setuju dan sangat setuju bahwa uji kompetensi telah membuat kualitas dan profesionalitas wartawan semakin baik. Sebanyak 84,4% responden yang merupakan wartawan muda setuju dengan pernyataan tersebut. Sementara itu 90% responden yang merupakan wartawan madya dan 34,6% juga setuju pada pernyataan tersebut. Pendapat berbeda disampaikan oleh Heru Hendratmoko dari KBR. Menurutnya tidak ada korelasi langsung antara uji kompetensi wartawan dengan kinerja wartawan dan kualitas berita yang dihasilkannya. Dia menganalogikan sertifikasi kompetensi dengan SIM yang bisa saja didapatkan tanpa melalui ujian. Dengan demikian bisa banyak wartawan bersertifikat namun tidak berhubungan dengan kualitas berita yang dihasilkannya. Hal ini bisa dibuktikan dengan pemberitaan media Indonesia saat ini, terutama pada media online. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 85 Tabel 7.4 Program Sertifikasi adalah Penting untuk Mengukur Standar Kompetensi Wartawan Indonesia Program sertifikasi adalah penting untuk mengukur standar kompetensi wartawan Indonesia Jenjang kewartawanan wartawan muda frekuensi % frekuensi % wartawan utama frekuensi % Sangat setuju 11 34.4% 12 40.0% 8 30.8% Setuju 19 59.4% 15 50.0% 15 57.7% Tidak tahu 0 0.0% 0 0.0% 2 7.7% Kurang setuju 2 6.2% 3 10.0% 0 0.0% Missing 0 0.0% 0 0.0% 1 3.8% Total 32 30 100.00% 26 100.00% Walau begitu, sebagian besar responden menyatakan bahwa program sertifikasi adalah penting untuk mengukur kompetensi wartawan Indonesia. Sebagian besar responden yang berasal dari jenjang wartawan yang berbeda menyatakan bahwa program sertifikasi tetap penting untuk mengukur kompetensi wartawan Indonesia. Berikut ini persentase responden berdasarkan jenjang wartawan yang setuju dan sangat setuju dengan pernyataan tersebut, yaitu wartawan muda sebanyak 93,8%, wartawan madya sebesar 90%, dan wartawan utama sebanyak 88,5%. Walau begitu masih terdapat 6,2% responden yang merupakan wartawan muda dan 10% wartawan madya yang kurang setuju dengan pernyataan tersebut karena berdasarkan diskusi kelompok terfokus didapatkan bahwa sebagian informan merasa bahwa masih ada perangkat lain yang dapat digunakan untuk mengukur kompetensi wartawan Indonesia. 86 wartawan madya Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 100.00% H. Uji Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan Pendapat terakhir yang diminta dari wartawan pada bagian ini adalah pernyataan bahwa uji kompetensi membuat wartawan Indonesia menjadi profesional. Sebagian wartawan dari berbagai jenjang kewartawanan menyatakan setuju dan sangat setuju dengan pernyataan tersebut walau responden yang tidak menjawab juga memiliki persentase yang besar. Wartawan muda yang setuju dan sangat setuju bahwa uji kompetensi menjadikan wartawan profesional sebanyak 46,9%. Sementara itu, wartawan madya yang setuju dan sangat setuju dengan pernyataan bahwa uji kompetensi menjadikan wartawan profesional adalah sebanyak 66,7% dan wartawan utama sebesar 26,9%. Tabel 7.5 Uji Kompetensi Membuat Wartawan Menjadi Profesional Uji kompetensi membuat wartawan menjadi profesional Jenjang kewartawanan wartawan muda frekuensi % wartawan madya frekuensi % wartawan utama frekuensi % Sangat setuju 3 9.4% 5 16.7% 1 3.8% Setuju 12 37.5% 15 50.0% 6 23.1% Tidak tahu 0 0.0% 4 13.3% 1 3.8% Kurang setuju 1 3.1% 2 6.7% 0 0.0% Missing 16 50.0% 4 13.3% 18 69.2% Total 32 100.00% 30 100.00% 26 100.00% Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 87 88 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Bab VIII Penutup A. Kesimpulan Persoalan utama yang ingin dijawab penelitian ini, yaitu: apakah uji kompetensi wartawan telah meraih tujuan-tujuan yang ditetapakn. Ada enam tujuan diberlakukannya standar kompetensi wartawan, yakni (1) Meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan; (2) Menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers; (3) Menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik; (4) Menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual; (5) Menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan; (6) Menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan di sini bahwa uji kompetensi wartawan telah meraih tujuan-tujuan yang ditetapkan meski belum maksimal. Dalam kaitannya dengan meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan, responden mempersepsikan bahwa uji kompetensi berdampak pada peningkatan kualitas dan profesionalitas mereka. Responden juga menilai dirinya cukup profesional dalam bekerja. Persepsi ini penting untuk diketahui karena memprediksi kinerja aktual. Namun, beberapa kasus menunjukkan persepsi ini tidak selalu konsisten dengan realitas di lapangan. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun wartawan telah lolos uji kompetensi masih ada sejumlah responden yang tidak setuju dan tidak tahu bahwa ada keharusan bagi mereka untuk melayani kepentingan publik. Ada juga responden yang kurang setuju pada kewajiban mereka memberikan informasi yang up to date kepada masyarakat. Beberapa responden bahkan tidak mengetahui dan memahami Undang-Undang Pers dan kode etik. Dampak uji kompetensi juga belum nampak jelas dalam kualitas konten berita. Persoalan impartialism yaitu netralitas dan balance ditemukan di beberapa contoh karya jurnalistik yang diserahkan oleh responden kepada peneliti. Dalam melihat dampak uji kompetensi ini, hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan pandangan di antara responden. Dalam FGD misalnya, para pimpinan media telah merasakan bahwa uji kompetensi memiliki pengaruh pada profesionalitas wartawan. Namun sejumlah partisipan menyatakan tidak tahu dan menganjurkan pelaksanaan observasi untuk mengetahui bagaimana wartawan bersertifikat menjalankan pekerjaannya. Partisipan memandang cara ini yang dapat membuktikan dampak tersebut secara lebih akurat. Di antara partisipan juga ada ketidaksepakatan dalam melihat dampak uji kompetensi wartawan, misalnya apa yang dimaksud dengan dampak dan apa Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 89 indikatornya. Oleh karena itu, barangkali perlu ada mekanisme evaluasi yang lebih jelas untuk melihat dampak uji kompetensi. Dalam melihat dampak uji kompetensi terhadap kinerja wartawan perlu kiranya memperhitungkan latar belakang pengetahuan, pendidikan, nilai yang dianut oleh wartawan dan motivasi mereka dalam bekerja. Kualitas individu wartawan sebelum mengikuti uji kompetensi perlu dikaji untuk mengetahui apakah profesionalitas dan kinerja mereka setelah itu benar-benar merupakan dampak uji kompetensi. Di samping itu, faktor lain seperti rutinitas perusahaan, kebijakan organisasi, peran asosiasi wartawan dan faktor-faktor eksternal perusahaan seperti lingkungan industri, ideologi serta kebijakan dan regulasi perlu juga diperhatikan karena juga berpotensi mempengaruhi kinerja. Berhubungan dengan tujuan kedua, apakah uji kompetensi menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers, hasil penelitian ini kurang memberikan dukungan terhadapnya. Hasil survei menunjukkan, responden mengakui bahwa uji kompetensi penting bagi peningkatan profesionalitas dan kinerja wartawan. Hasil FGD juga menunjukkan kesimpulan yang sama, bahwa uji kompetensi penting tidak hanya berkaitan dengan profesionalitas dan kinerja namun juga mengatasi penyalahgunaan profesi wartawan. Sayangnya, perusahaan masih terbatas dalam melihat arti penting uji kompetensi ini. Temuan yang cukup menonjol terkait hal ini adalah perusahaan tidak selalu mempertimbangkan hasil uji 90 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 kompetensi dalam melakukan promosi jabatan atau peningkatan karir. Hasil survei dan FGD memperlihatkan adanya kasus bahwa promosi jabatan lebih berorientasi pada hubungan personal daripada ukuran-ukuran objektif kinerja. Temuan penelitian juga menunjukkan bahwa meskipun umumnya responden menyatakan dukungan besar yang diberikan oleh perusahaan terhadap pelaksanaan uji kompetensi, level dukungan perusahaan tidak berlaku sama antara wartawan muda, madya dan utama. Menurut hasil survei masih cukup banyak wartawan muda yang merasa kurang mendapat dukungan untuk mengikuti uji kompetensi, terutama berkaitan dengan biaya dan keleluasaan waktu mengikuti ujian. Temuan juga mengungkap tidak adanya hubungan antara sertifikasi dengan peningkatan kesejahteraan wartawan. Sebagian besar wartawan di semua jenjang masih merasakan kurangnya dampak dari uji kompetensi bagi kesejahteraan mereka. Kecenderungan seperti ini berisiko terhadap motivasi wartawan mengikuti uji kompetensi karena wartawan yang telah bersertifikat merasa kurang dihargai. Kecenderungan ini juga berpotensi mempengaruhi profesionalitas dan kinerja wartawan yang telah memegang sertifikat. Penelitian ini juga mendapati adanya overlapping dan juga dikotomi dalam hal uji standar kompetensi. Dikotomi di sini adalah antara ‘uji kompetensi Dewan Pers’ dengan ‘uji kompetensi yang dilaksanakan secara internal oleh perusahaan’. Hasil FGD menunjukkan bahwa sebelum Dewan Pers mengatur uji kompetensi, beberapa perusahaan media besar telah memiliki sistem uji kompetensi internal. Bahkan beberapa partisipan menyatakan uji kompetensi ini jauh lebih detil dan komprehensif dibanding yang dilakukan Dewan Pers atau lembaga-lembaga penguji standar kompetensi. Sementara ada kewajiban para wartawan di beberapa perusahaan besar ini mengikuti uji kompetensi versi Dewan Pers untuk mendapatkan pengakuan kompetensinya. Dalam konteks ini sejumlah responden menyatakan Dewan Pers perlu mendukung dan mengakomodasi perusahaan yang telah memiliki mekanisme internal untuk standarisasi kompetensi. Dewan Pers bila perlu dapat menjadikannya model untuk membangun kompetensi wartawan. Bagi perusahaan tertentu, kewajiban wartawan untuk mengikuti uji standar kompetensi yang dilaksanakan oleh organisasi lain di luar perusahaan mungkin tidak diperlukan, karena standar uji yang dilakukan secara internal sudah cukup memadai. Dewan Pers hanya perlu melakukan pengawasan untuk menjamin bahwa uji kompetensi benar-benar dilaksanakan dengan baik oleh perusahaan. Di sisi lain, Dewan Pers perlu memberlakukan uji standar kompetensi dengan ketat bagi wartawan yang bekerja di perusahaan yang tidak memiliki mekanisme internal uji kompetensi dan mendorong perusahaan tersebut untuk memiliki perlakuan yang berbeda terhadap wartawan bersertifikat. Berdasarkan hasil FGD pula diketahui bahwa selama ini tidak ada mekanisme pemantauan atau evaluasi terhadap wartawan-wartawan yang telah menerima sertifikat uji kompetensi. Baik perusahaan maupun Dewan Pers belum melakukan evaluasi ini. Beberapa responden menyatakan perlu monitoring dan evaluasi ini dilakukan untuk menjamin konsistensi wartawan bertindak profesional. Mereka pun mengusulkan perlunya pencabutan sertifikat jika wartawan terbukti melanggar etika dan prinsip-prinsip profesionalisme. Apakah uji kompetensi telah menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik? Tujuan ini masih belum sepenuhnya terpenuhi. Di depan telah disinggung bahwa responden penelitian ini tidak sepenuhnya setuju bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melayani kepentingan publik. Sebagian responden juga masih menerima pemberian dari narasumber dan juga tidak melaporkan pemberian ini ke perusahaan. Di samping itu, berdasarkan penilaian responden, ada perusahaan yang tidak menggunakan Undang-Undang Pers dan kode etik sebagai pedoman kerja redaksi. Adalah wajar jika kemudian ada wartawan yang tidak mengetahui undangundang dan kode etik tersebut. Hal-hal ini berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Dalam melihat persoalan ini, peneliti berpandangan bahwa persoalan penegakan kemerdekaan pers tidak cukup adil jika hanya bertumpu pada uji kompetensi. Temuan penelitian ini misalnya, ada andil perusahaan yang cukup besar dalam mempengaruhi profesionalitas wartawan. Sebagai contoh, menyangkut prosedur atau mekanisme kerja, ada perusahaan yang tidak memiliki kebijakan atau aturan yang jelas tentang pemberian narasumber atau pengembalian pemberian tersebut. Berhubungan dengan apakah uji Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 91 kompetensi telah mampu menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual, nampaknya juga masih jauh dari harapan. Kurangnya apresiasi yang diberikan perusahaan kepada wartawan bersertifikat menunjukkan belum diakuainya wartawan ini sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual. Salah satu dari persyaratan profesi adalah pendidikan yang memadai. Sebagian besar responden penelitian ini adalah sarjana, sebagian lagi berpendidikan SLTA. Sejumlah responden juga tidak mengikuti program pendidikan dan pelatihan jurnalistik. Fakta lain yang cukup menyedihkan, cukup besar responden yang berpenghasilan di bawah upah minimum regional. Bahkan beberapa bergaji sangat kecil di bawah 1 juta rupiah. Persoalan kesejahteraan ini berisiko penyalahgunaan profesi. Tujuan uji standar kompetensi yang lain adalah menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers. Pencapaian tujuan ini masih jauh juga dari harapan. Bagaimana mungkin wartawan memiliki kedudukan strategis dalam industri pers jika di dalam perusahaan sendiri profesionalitasnya atau kompetensinya masih kurang didukung dan diakui? Uji kompetensi secara umum dinilai sudah relatif bagus oleh sebagian besar responden. Penilaian yang bagus tersebut meliputi lembaga penguji, penguji, prosedur uji kompetensi, materi uji dan kriteria kelulusan dalam uji kompetensi. Meskipun demikian ada beberapa responden yang masih melihat materi uji kompetensi bias pada media cetak dan 92 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 kurang memperhatikan media ektronik seperti radio, televisi dan online. Hal yang unik adalah justru responden yang merupakan wartawan utama cenderung skeptis dengan uji kompetensi padahal wartawan utama diharapkan memberi kontribusi positif bagi perkembangan dan revisi uji kompetensi wartawan yang dikembangkan dalam empat tahun terakhir ini. Lembaga penguji adalah elemen di dalam uji kompetensi yang perlu dielaborasi dengan mendalam. Melalui focus group discussion dan juga survei didapatkan informasi bahwa kuantitas dan kualitas lembaga penguji belum memadai. Hal ini sangat disayangkan mengingat lembaga penguji dan penguji adalah elemen terdepan dalam melaksanakan uji kompetensi. Beberapa lembaga yang sudah ditunjuk menjadi lembaga penguji belum pernah melaksanakan uji kompetensi wartawan. Selain itu, kampus-kampus yang menjadi lembaga penguji juga kurang dilibatkan dan diberdayakan dengan sebaik-baiknya dalam uji kompetensi. Berdasarkan data sekunder, yaitu data tentang wartawan bersertifikat, ditemukan juga fakta bahwa sebaran wartawan bersertifikat masih belum merata. Sebagian besar wartawan bersertifikat masih terkonsentrasi di Jawa. Dewan Pers dan lembaga penguji perlu kerja keras mewujudkan pemerataan. B. Rekomendasi 1. Dewan Pers perlu membuat suatu gerakan, kebijakan atau apapun namanya agar uji kompetensi wartawan benar-benar menjadi dasar bagi perusahaan: dalam penempatan posisi wartawan dalam mengisi struktur jabatan dan menjadikan acuan bagi usaha meningkatkan kesejahteraan wartawan. Pada penempatan posisi wartawan dalam mengisi struktur jabatan, kebijakan ditujukan untuk mendorong perusahaan pers agar, misalnya, pemimpin redaksi setidaknya diisi oleh wartawan utama, dan seterusnya sesuai jenjang kewartawanan. Untuk itu, Dewan Pers perlu melakukan publikasi berkala secara luas yang ditujukan kepada publik terkait media-media yang menempatkan jurnalis terutama yang tidak sesuai kompetensinya. Informasi ini penting dilakukan bagi publik untuk mengetahui apakah mediamedia yang mereka baca dikelola oleh orang-orang yang mempunyai standar kompetensi. Ini menjadi hak publik karena kemerdekaan pers sejatinya untuk publik, dan bukan untuk perusahaan pers. Publikasi ini dimaksudkan juga untuk memberikan tekanan sosial bagi perusahaan yang mengabaikan profesionalisme wartawan. Dewan Pers kiranya perlu mendorong suatu usaha yang sungguh-sungguh bagi perusahaan pers untuk memberikan penghargaan wartawan sesuai kompetensinya. Uji kompetensi berarti pula uji profesionalitas sehingga mestinya mereka dihargai pula secara profesional. Ini untuk menegaskan bahwa uji kompetensi penting bagi wartawan, dan memberikan nilai positif kepada mereka. 2. Sinkronisasi antara uji kompetensi yang diprakarsai oleh lembagalembaga uji kompetensi di bawah ‘koordinasi’ Dewan Pers dengan uji internal yang telah dilakukan oleh sejumlah perusahaan. Pada institusi media yang sudah mapan, uji kompetensi ternyata jauh lebih berat dan complicated dibandingkan dengan uji kompetensi lembaga penguji. Dalam situasi semacam ini, harus dipikirkan apakah wartawan yang sudah menjalani uji internal di media masing-masing dan dinyatakan lulus berarti telah tersertifikasi ataukah tetap harus mengikuti uji kompetensi seperti wartawan lainnya. Oleh karena itu, perlu dipikirkan sinkronisasi antara keduanya. Dewan Pers juga perlu bekerjasama dan melakukan konsolidasi dengan institusi pers Indonesia agar pendidikan dan uji kompetensi wartawan yang dipergunakan mengukur kinerja wartawan juga dipergunakan untuk penilaian dan peningkatan karir wartawan di institusi atau lembaga pers bersangkutan. 3. Pemetaan atas sumber daya pers di seluruh Indonesia secara berkala terkait jumlah wartawan dan kualifikasi profesionalitasnya. Dewan Pers harus melakukan Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 93 survei secara berkala menyangkut SDM yang dimiliki oleh media di seluruh Indonesia untuk mengetahuai: (1) Jumlah dan karakteristik SDM di media dan (2) apakah posisi-posisi tertentu telah diisi oleh SDM yang sesuai kompetensinya. Survei ini akan menjadi dasar bagi Dewan Pers untuk melakukan publikasi berkala sesuai rekomendasi sebelumnya bahwa Dewan Pers harus mempublikasikan media-media yang tidak menempatkan wartawan laras dengan kompetensinya. 4. Dewan Pers perlu bekerjasama dengan institusi media besar dan lembaga pendidikan yang sudah sering melakukan uji kompetensi wartawan untuk melakukan evaluasi dan merumuskan kembali secara bersama program pendidikan dan latihan apa yang tepat untuk para wartawan Indonesia, sekaligus merumuskan instrumen baru uji kompetensi. 5. Dewan Pers perlu mengadakan pendidikan dan pelatihan secara reguler dan meluas tentang posisi wartawan sebagai profesional yang menjalankan ideologi jurnalisme. Bahan penting utama yang perlu diulas secara mendalam, baik menyangkut filsafat jurnalisme maupun implementasi adalah: Undang-Undang Pers, UndangUndang Penyiaran, Regulasi terkait dan Kode Etik Jurnalistik serta prinsip dasar dan kerja jurnalisme yang telah dipilih di Indonesia dan 94 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 mendapat perlindungan hukum. Ini adalah pelatihan yang sangat penting dan mendasar dalam menjalankan pekerjaan profesional para wartawan atau jurnalis. 6. Memberikan penghargaan lewat penelitian mendalam terhadap media yang telah menjalankan prinsip-prinsip jurnalisme secara baik dan benar. Pemberian penghargaan ini diberikan setiap tahun baik media elektronik maupun cetak. Tingkat nasional maupun lokal. Hal ini dimaksudkan agar Dewan Pers dapat mendorong dan meningkatkan pekerjaan profesional wartawan. 7. Dewan Pers memiliki dan memperbaiki sistem database wartawan Indonesia yang sudah men g ik u ti u ji k o mp eten s i wartawan dan memerbaruinya secara berkala. Database ini harus bersifat terbuka agar publik dapat mengakses data tersebut dan melakukan verifikasi status seorang wartawan. Hal ini penting untuk mengatasi penyalahgunaan wewenang. Daftar Pustaka Coleman, R. dan Wilkins, L. (2002), Searching for the Ethical Journalist: An Exploratory Study of the Moral Development of News Workers. Journal of Mass Media Ethics: Exploring Questions of Media Morality 17(3), 209225. Dennis, E.E. dan Merrill, J.C. (1984). Basic issues in mass communication: A Debate. New York: Macmillan. Entman, R.M. (1989), Democracy without citizens: Media and the decay of American politics. New York: Oxford University Press. Hall, Richard H. (1966), The profesionalization and Bureaucratization. American Sociological Review, 33, 93. Hodges, L.W. (1986), The journalist and profesionalism. Journal of mass media ethic: Exploring questions of media morality 1(2), 32-36. Irwanto (2006). Focus Group Discussion, Jakarta: Yayasan Obor. Krueger, Richard A dan Mary Anne Casey (2000), Focus Groups: Practical Guide for Applied Research. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc. McNair, B. (2011), An introduction to political commmunication. Taylor & Francis. McQuail, D. (1992), Media performance: Mass communication and the public interest. London: Sage Publications. Nelkien, D. (1987), The culture of science journalisme. Soceity 24(6), 17-25. Picard, R.G. (2000), Measuring quality by jurnalistic activity. In R.G. Picard (Ed.). Measuring media content, quality and diversity: Approaches and issues in content research. (p. 97-101). Turku: Media Economics, Content Diversity Project and Media Group, Business Research and Development Centre, Turku School of Economics and Business Administration. Robbins, S. (1996), Perilaku Organisasi: Konsep, Konstroversi dan Aplikasi. Edisi Indonesia. Jakarta: PT Prehallindo. Shoemaker, P., & Reese, S.D. (2011), Mediating the message. Routledge. Siregar, Amir. (19 Agustus 2012), “Demokratisasi media: Memahami media, perkembangan dan tantangannya.” Makalah. Disampaikan pada kuliah umum di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fisipol-UGM. Siregar, Ashadi. (14 Oktober 1987), “Kode etik jurnalistik.” Makalah. Disampaikan pada program promosi keanggotaan, Persatuan Wartawan Indonesia, Cabang Yogyakarta. So, C.K. dan Chan, J. M. (2007), Professionalism, Politics and Market Force: Survey Studies of Hong Kong Journalists 1996–2006. Asian Journal of Communication 17(2), 148-158 Stokes, Jane (2007). How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, Yogyakarta: Bentang. Tartakow, D.J. (April/May, 2011). “A look at professionalism,” Artikel. Ortho Tribune. Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 95 Daftar Tabel Tabel 3.1 : Elemen Unjuk Kerja Tabel 4.1 : Jenjang Kewartawanan di Indonesia Tabel 4.2 : Rentang Tahun Wartawan Mendapatkan Sertifikasi Tabel 4.3 : Jenis Media Tempat Wartawan Bekerja Tabel 4.5 : Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Jawa Tabel 4.6 : Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Sumatra Tabel 4.7 : Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Kalimantan Tabel 4.8 : Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Sulawesi Tabel 4.9 : Persebaran Wartawan Bersertifikat di Bali-Nusa Tenggara Tabel 4.10 : Persebaran Wartawan Bersertifikat di Maluku dan Papua Tabel 5.1 : Persepsi wartawan Atas profesionalitas Tabel 5.2 : Persepsi Responden bahwa Wartawan Harus Melayani Publik Tabel 5.3 : Persepsi Responden Bahwa Wartawan Harus Selalu Berusaha Memberikan Informasi Terbaru kepada Publik Tabel 5.4 : Pengetahuan Wartawan Atas UU Pers dan Kode Etik Tabel 5.5 : Persepsi dan Refleksi Wartawan terhadap Dampak Uji Kompetensi Tabel 6.1 : Nilai Mean Penilaian Penghargaan dan Dukungan Sertifikasi Wartawan Tabel 6.2 : Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat wartawan bekerja memiliki perlakuan yang sama antara wartawan bersertifikat dengan yang tidak. Tabel 6.3 : Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat wartawan bekerja mempertimbangkan wartawan bersertifikat dalam mempromosikan jabatan (kenaikan karir) Tabel 6.5 : Penilaian wartawan bahwa perusahaan meningkatkan gaji dan fasilitas kepada wartawan bersertifikat Tabel 6.6 : Nilai Mean Prosedur Kerja Tabel 6.7 : Setiap Redaktur atau Wartawan Siap dengan Usulan Sebelum Rapat Redaksi Dimulai Tabel 6.8 : Tanggapan Responden terhadap Keketatan Prosedur yang Diterapkan untuk Mengangkat Suatu Topik Berita Tabel 6.9 : Nilai Mean Impersonality Tabel 6.10 : Penilaian Responden terhadap Presence of Rules Tabel 6.11 : Penilaian Wartawan bahwa Media Tempat Bekerja Memiliki Aturan atau Mekanisme Pengembalian Pemberian Narasumber Tabel 6.12 : Nilai Mean Hirarki otoritas 96 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Tabel 6.13 : Pimpinan Di Tempat Wartawan Bekerja Selalu Berdialog Dalam Menentukan Pemberitaan atas Isu Kontroversial Tabel 6.14 : Nilai Mean Penilaian Wartawan atas Kompetensi Pekerja Tabel 6.15 : Eksekutif Memenuhi Syarat untuk Pekerjaan/Posisinya Tabel 6.16 : Penialaian terhadap Kompetensi Wartawan yang Bekerja Di Perusahaan Tabel 7.1 : Evaluasi Wartawan atas Pelaksanaan Uji Kompetensi Tabel 7.2 : Lembaga Penyelenggara Uji Kompetensi Memiliki Kredibilitas yang Tinggi Tabel 7.3 : Penialaian Wartawan atas Para Penguji Tabel 7.4 : Program Sertifikasi adalah Penting untuk Mengukur Standar Kompetensi Wartawan Indonesia Tabel 7.5 : Uji Kompetensi Membuat Wartawan Menjadi Profesional Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 97 Daftar Grafik Grafik 4.1 Grafik 4.2 Grafik 4.3 Grafik 4.4 Grafik 4.5 Grafik 4.6 Grafik 4.7 Grafik 5.1 Grafik 5.2 Grafik 6.1 Grafik 6.2 Grafik 6.3 Grafik 6.4 Grafik 6.5 Grafik 6.6 Grafik 6.7 Grafik 6.9 Grafik 7.1 98 : Jenis Media Tempat Bekerja Responden : Pendidikan Terakhir Wartawan : Lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi/Media : Penilaian Responden atas Penghasilan : Tahun Sertifikasi Lolos Uji Kompetensi berdasarkan Kategori Sertifikasi : Lembaga Penguji yang Memberikan Sertifikasi : Alasan Memilih Lembaga untuk Uji Kompetensi : Pendapat Wartawan bahwa Latar Belakang Pendidikan/Pelatihan yang Dimiliki sangat Membantu Uji Kompetensi : Wartawan Merasa telah Mendapatkan Pengetahuan dan Ketrampilan yang Cukup Sebelum Uji Kompetensi : Penilaian wartawan bahwa perusahaan mendorong wartawan untuk melakukan uji standar kompetensi : Penilaian wartawan bahwa perusahaan menanggung biaya dan memberikan keleluasaan waktu kepada wartawan untuk mengikuti uji standar kompetensi : Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja menaruh perhatian serius pada pentingnya sertifikasi untuk wartawan : Penilaian responden bahwa ditempat mereka bekerja, setiap orang mengerjakan pekerjaan sesuai posisinya masing-masing : Perusahaan Melihat Kedekatan Hubungan Personal dalam Mempromosikan Jabatan (Kenaikan Karir) : Penilaian Responden bahwa Perusahaan Mempunyai Sikap yang Jelas terkait Pemberian Narasumber : Undang-Undang Pers dan Kode Etik Wartawan Menjadi Pegangan Redaksi : Eksekutif Di Tempat Wartawan Bekerja Selalu Memutuskan Segala Sesuatunya : Materi Ujian dalam Uji Standar Kompetensi Memiliki Kesesuaian dengan Kategori Wartawan Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 99 100 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 101