Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015

advertisement
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
I
II
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Jurnal Dewan Pers
Edisi No. 11, Desember 2015
STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN
Sumbangannya Bagi Peningkatan
Profesionalisme Wartawan
DEWAN PERS
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
III
IV
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Jurnal Dewan Pers
Edisi No. 11, Desember 2015
STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN
Penanggung Jawab: Bagir Manan
Redaktur: Ninok Leksono, Ray Wijaya, Imam Wahyudi
Editor: Samsuri, Winarto
Desain sampul dan tata letak: Dedy M Kholik
Sekretariat: Lumongga Sihombing, SE
Dra. Deritawati, MSi
Drs. Hartono
Sri Lestari
Watini
Tim Peneliti PR2MEDIA:
Rahayu
Puji Rianto
Wisnu Martha Adiputra
Amir Effendi Siregar
Cetakan Pertama, Desember 2015
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
XV + 98 halaman, 17 X 23 cm
ISSN: 2085-6199
DEWAN PERS
Sekretariat Dewan Pers:
Gedung Dewan Pers, Lantai 7-8, Jl. Kebon Sirih 34, Jakarta 10110
Telp. (021) 3521488, 3504877, 3504874-75, Faks. (021) 3452030
E-mail: [email protected]
Website: www.dewanpers.or.id
Twitter: @dewanpers
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
V
VI
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
DAFTAR ISI
Pengantar Dewan Pers ........................................................................ | IX
Pengantar PR2MEDIA ........................................................................
| XI
Bab I
Pendahuluan ...........................................................................................
|1
Bab II
Metodologi..............................................................................................
| 15
Bab III
Gambaran Umum Uji Kompetensi Wartawan Indonesia........................
| 21
Bab IV
Gambaran Umum Wartawan Bersertifikat Indonesia.............................. | 27
Bab V
Uji Kompetensi, Profesionalisme Dan Kinerja....................................... | 41
Bab VI
Evaluasi Wartawan Atas Uji Kompetensi................................................ | 55
Bab VII
Evaluasi Wartawan Atas Uji Kompetensi................................................ | 75
Bab VIII
Penutup.................................................................................................... | 89
Daftar Pustaka......................................................................................... | 95
Daftar Tabel............................................................................................. | 96
Daftar Grafik........................................................................................... | 98
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
VII
VIII Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Pengantar
Kompetensi Wartawan Sebuah Keniscayaan
Selama ini, jagad pers nasional memandang kebebasan pers sebagai mahkota. Hal itu
bisa dimengerti, mengingat sejak kemerdekaan, Pemerintahan di Indonesia menerapkan
sistem politik yang acap bertindak keras terhadap pers. Pembredelan pers, dan – selama
era Orde Baru – rejim SIUPP juga tidak kalah menghantui dunia pers.
Semenjak tahun 1999, kondisi telah berubah dengan terbitnya Undang-undang Pers
Nomor 40 tahun 1999. Komunitas pers dalam banyak hal tidak saja bisa memberitakan
secara bebas, tetapi juga bahkan bisa mengatur dirinya sendiri.
Kita akui, bahwa kebebasan pers masih belum sempurna, masih belum bisa
diperlakukan taken for granted. Kita sering dikejutkan oleh tindakan kekerasan yang
dilakukan terhadap wartawan saat melakukan tugasnya. Lalu di era pemilihan presiden,
pers tidak sepenuhnya bebas karena adanya intervensi pemilik, langsung maupun tidak
langsung, sedikit atau banyak.
Hal lain yang muncul seiring dengan Reformasi adalah eksplosi media, baik cetak
maupu elektronik, dan terakhir media sosial. Hal ini berimplikasi pada menggelembungnya
jumlah wartawan. Jika selama era Orde Baru jumlah wartawan diperkirakan hanya
6.000, sekarang ini ada yang memperkirakan jumlah tersebut membengkak lebih dari
1000 persennya, hingga di Indonesia ada sekitar 70.000 wartawan.
Mengantisipasi masalah yang akan timbul dari ekses profesi ini, sejak akhir dekade
pertama tahun 2000-an Dewan Pers sudah menggagas perlunya Standar Kompetensi
Wartawan (SKW), dan hal ini kemudian dituangkan melalui Peraturan Dewan Pers No.
1/2010. Gagasan SKW juga digemakan dalam Piagam Palembang seiring berlangsungnya
Hari Pers Nasional 9 Februari 2010 di ibukota Provinsi Sumatera Selatan ini.
Sebagai salah satu latar belakangnya disebutkan, bahwa bebas mengutarakan ide
dan masalah, juga menjadi seorang wartawan, memang merupakan bagian dari hak
asasi. Namun tanpa disertai kompetensi, sementara yang disebar-luaskan adalah
informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum, maka bisa terjadi salah paham,
atau kekisruhan luas akibat berita keliru atau tidak akurat.
Kita juga menggaris-bawahi perlunya SKW mengingat dewasa ini banyak
permasalahan nasional, atau dunia, yang semakin kompleks. Guru jurnalistik Bill
Kovach dalam bukunya “Blur” menyinggung semakin sulitnya menemukan kebenaran
di tengah banjir informasi.
Tak bisa lain, wartawan semakin dituntut makin profesional.
Pada sisi lain kita juga mengetahui, bahwa diperlukan usaha keras, mengingat
jumlah wartawan banyak dan tersebar di berbagai penjuru Tanah Air. Dalam kaitan ini
lah Dewan Pers mendorong organisasi kewartawanan, organisasi perusahaan pers, dan
perguruan tinggi, untuk turut ambil bagian dalam penegakan kompetensi bagi wartawan.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
IX
Dari aktivitas yang dilakukan oleh mitra dan konstituen Dewan Pers ini, kini sudah
ada sekitar 7.000-an wartawan yang sudah terakreditasi, artinya wartawan tersebut
sudah mencapai SKW. Namun tentu saja, 10 persen belum angka yang cukup banyak.
Untuk memotret seluk-beluk pelaksanaan SKW ini lah Dewan Pers telah meminta
PR2MEDIA di bawah arahan Bapak Amir Effendi Siregar untuk meneliti topik ini.
Diharapkan hasil yang diperoleh bisa menambah wawasan kita tentang masalah
SKW, dan di lingkungan pers menambah tekad untuk bergegas menerapkan SKW di
lingkungan masing-masing.
Urgensi untuk ini ada, karena sekarang ini banyak keluhan di antara pengguna media
yang menilai wartawan sering salah kutip, berita tidak akurat, atau bahkan memelintir
berita.
Dewan Pers yakin, bahwa meski ada sejumlah hal yang perlu disempurnakan dalam
sistem SKW, juga apakah biayanya bisa ditekan, atau modulnya dibuat lebih simpel,
sebagai satu prinsip, SKW baik dan tepat untuk dilanjutkan.
Semoga penelitian yang Anda baca saat ini menambah keyakinan Anda bahwa
wartawan kompeten adalah sosok yang kita butuhkan saat ini.
Jakarta, 14 Desember 2015
Ninok Leksono
Ketua Komisi Pengembangan Profesi Wartawan,
Penelitian dan Pendataan Perusahaan Pers
X
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Pengantar PR2MEDIA
Meningkatkan Profesionalisme Wartawan:
Bekerja Untuk Publik dengan Obyektif,
Independen dan Netral
Oleh Amir Effendi Siregar
Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)
Studi dan penelitian “Standar Kompetensi Wartawan: Sumbangannya Bagi
Profesionalisme Wartawan” ini adalah studi ke-dua yang dilakukan Pemantau Regulasi
dan Regulator Media (PR2MEDIA) atas permintaan Dewan Pers. Studi pertama adalah
“Menakar Independensi dan Netralitas Jurnalisme dan Media di Indonesia” yang
laporan lengkapnya telah disampaikan kepada Dewan Pers pada Januari 2014. Kedua
studi tersebut saling terkait karena menyangkut profesionalisme wartawan.
Untuk meningkatkan profesionalisme wartawan Dewan Pers menetapkan standar
kompetensi wartawan dan menyelenggarakan uji kompetensi bagi kalangan jurnalis
di Tanah Air. Program ini telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir bekerjasama
dengan organisasi pers dan wartawan serta lembaga pendidikan. Usaha dan kegiatan
yang baik ini tentu perlu diukur, dievaluasi agar dapat diperbaiki dan ditingkatkan.
Itulah sebabnya studi dan penelitian ini dilakukan oleh PR2MEDIA atas permintaan
Dewan Pers.
Jumlah media baik cetak maupun elektronik saat ini tumbuh pesat demikian juga
dengan jumlah wartawan dan atau jurnalis. Anggota Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) diperpikran mencapai 15.000 orang, sedangkan yang tergabung dalam Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) sekitar 2000 orang, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia ( IJTI)
sekitar 1000 orang. Belum lagi dengan anggota organisasi wartawan lainnya.
Jumlah media juga tumbuh pesat. Media cetak seperti suratkabar dan majalah
jumlahnya 1.324. Total sirkulasinya 23,3 juta dengan 9, 4 juta eksemplar suratkabar
harian untuk 240 juta penduduk (Serikat Perusahaan Pers, 2013). Stasiun televisi sekitar
400 di luar lembaga penyiaran publik televisi seperti TVRI. Selain itu, terdapat 1.178
stasiun radio, terdiri dari 775 radio komersial, dan sisanya adalah radio publik lokal,
komunitas. Juga terdapat sekitar 80 stasiun RRI.
Penguna internet 28 persen atau sekitar 71 juta penduduk (APJII, 2014). Peranan
media sangat penting untuk pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia. Untuk itu
memang sangat diperlukan wartawan atau jurnalis yang mempunyai kompetensi
memadai. Bila tidak, media justru akan merusak pembangunan kesejahteraan sosial,
politik dan ekonomi Indonesia.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
XI
Profesionalisme Jurnalis : Menjalankan Ideologi Jurnalisme
Peningkatan kompetensi, itu berarti peningkatan profesionalisme wartawan dan atau
jurnalis. Wartawan dan jurnalis menjalankan pekerjaan jurnalisme. Jurnalisme adalah
paham tentang kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan media.
Dalam jurnalisme terkandung idealisme. Ada ideologi, yaitu usaha memberikan
informasi untuk pemberdayaan masyarakat.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan bahwa tujuan utama jurnalisme
adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan publik agar mereka bisa hidup merdeka
dan mengatur diri sendiri. Dalam menjalan tugas itu, terdapat 9 elemen antara lain :
Kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran. Berupaya membuat yang penting
menarik dan relevan. Loyalitas pertama pada publik/warga. Disiplin dalam verifikasi.
Menjaga independensi terhadap nara sumber. Jurnalisme harus berlaku sebagai
pemantau kekuasaan. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun
dukungan warga. Harus menjaga berita agar komprehensif dan proporsional. Para
praktisi diperbolehkan mengikuti nurani mereka .
Dalam penyajiannya jurnalis harus memperhatikan kode etik jurnalistik. Dalam
hubungan dengan kegiatan jurnalistik, undang-undang pers menyatakan bahwa pers
adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi baik dengan menggunakan media cetak, media elektronik
dan segala jenis saluran yang tersedia. Inilah yang dijadikan dasar oleh banyak pihak
untuk menyatakan kegiatan mereka adalah jurnalistik. Padahal jurnalistik yang benar
mengandung ideologi sebagaimana juga tercantum undang-undang pers.
Ideologi ini menuntun informasi apa yang harus dicari dan untuk apa. Dalam UU
Pers terdapat azas, fungsi dan peranan yang menyatakan antara lain bahwa pers nasional
melaksanakan peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan
nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak azasi manusia,
melakukan pengawasan dan kritik dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran (Pasal 6). Undangundang pers juga secara jelas menyatakan bahwa wartawan memiliki dan menaati kode
etik jurnalistik (KEJ). Mukadimah KEJ secara jelas merumuskan ideologi jurnalisme.
Dengan demikian, jurnalisme bukan hanya sesuatu yang bersifat teknis penyajian,
tapi memuat idealisme. Jurnalistik adalah bentuk implementasi dari ideologi jurnalisme.
Sering juga kita mendengar bahwa ada yang disebut dengan jurnalisme kuning, sebuah
penyajian teknis jurnaslitik namun isinya tak ada hubungan dengan kepentingan publik.
Tidak bermanfaat dan tidak memberdayakan masyarakat. Isinya mengeksploitasi
masalah pribadi dan kehidupan seks objek yang diliput. Lebih bersifat hiburan dan
sensasional yang menyajikan selera rendah masyarakat dan seringkali melanggar
XII
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
kode etik jurnalistik. Jurnalisme semacam ini disebut sebagai jurnalisme kuning atau
jurnalisme got.
Demikian juga kita mengenal jurnalisme partisan, yaitu jurnalisme yang mengabdi
kepada kepentingan pribadi atau kelompok politik tertentu. Jurnalisme semacam ini
bukanlah jurnalisme seperti yang dimaksud oleh Undang-undang Pers dan Bill Kovach,
dan tidak layak mendapat privilege (keistimewaan) sebagaimana yang dimaksud oleh
UU Pers.
UU Pers memberikan keistimewaan bagi pers yang menjalankan fungsi dan tugas
secara benar, untuk kepentingan publik. Untuk kepentingan bangsa dan negara. Ini
adalah perintah undang-undang. Dengan demikian bila terdapat kekeliruan pemberitaan
dapat diperbaiki dengan hak koreksi dan hak jawab.
Obyektif, Independen dan Netral
Dalam jurnalisme dan kegiatan jurnalistik antara lain terdapat prinsip independensi
dan netralitas yang harus dipegang teguh. Saya berpendapat, independensi dan netralitas
itu memang berbeda tapi merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bila
ingin menjadi media yang baik, kedua prinsip itu harus dijalankan. Dalam hubungan
ini Westertahl sebagaimana dikutip oleh Mc Quail (1992) mengatakan, bahwa kegiatan
penting jurnalisme antara lain adalah mengungkapkan peristiwa secara objektif.
Objektivitas terdiri dari dua dimensi yaitu pertama faktualitas dan kedua adalah
impartialitas. Faktualitas terdiri atas usaha mencari kebenaran (truth) yakni antara
lain kelengkapan dalam pemberitaan, akurat dan cermat. Unsur faktualitas beikutnya
adalah bahwa berita itu harus relevance dengan pembaca, mempunyai nilai berita.
Sementara itu imparsialitas mengacu pada praktek jurnalistik yang mengedepankan
balance/non-partisanship dan neutral presentation. Balance berarti ada unsur keadilan
dan kesimbangan dalam pemberitaan. Selanjutnya netralitas berarti tidak berpihak dan
tidak membangun opini untuk kepentingan pihak tertentu.
Rahayu dan kawan-kawan (Tim peneliti Dewan Pers) dalam buku Menyingkap
Profesionalisme Kinerja Suratkabar di Indonesia ( 2006) mengutip dan merangkum
buku Media Performance (1992) karya Denis Mc Quail atas permintaan Dewan Pers
kemudian mengukur kinerja media melalui unsur-unsur 1. Factualness yang dapat
dilihat dari main point, nilai informasi, redability dan checkability; 2. Akurasi dilihat dari
verifikasi terhadap fakta, relevansi sumber berita, akurasi penyajian; 3. Completeness;
4. Relevance melihat ada tidaknya nilai berita. 5. Balance sebagai keseimbangan dalam
pemberitaan atau tidak berpihak. McQuail membedakan balance dari netralitas. Balance
berhubungan dengan seleksi dan substansi berita, sedangkan netralitas berkaitan dengan
presentasi berita tersebut; 6. Neutrality sering disamakan dengan balance dalam arti
tidak berpihak namun bedanya netralitas berkaitan dengan aspek presentasi. Netralitas
ini terdiri dari sensationalism, stereotype, juxtaposition dan linkages.
Kode Etik Jurnalistik dirumuskan dengan sangat bagus berdasarkan prinsip tersebut.
Independensi dan netralitas dirumuskan dalam satu tarikan nafas: “Wartawan Indonesia
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 XIII
bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad
buruk“. Penafsirannya sangat jelas bahwa prinsip independensi dan netralitas harus
dilaksanakan (Pasal 1).
Sementara itu Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS)
yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia juga juga menyatakan dalam satu tarikan
nafas: “Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran
dalam setiap program siaran “ (Pasal 11 ayat 2 P3) . Bahkan dalam SPS diatur secara
lebih detil dan tegas bahwa independensi dan netralitas harus dijaga dengan antara
lain menyatakan bahwa program siaran wajib dimanfaatkan untuk pentingan publik,
tidak untuk kelompok tertentu dan dilarang untuk kepentingan pribadi pemilik dan
kelompoknya. (Pasal 11 SPS). Selanjutnya ditegaskan, program jurnalistik harus akurat,
adil, berimbang, tidak berpihak dan mengikuti prinisp jurnalistik lainnya. (Pasal 40
SPS).
Terdapat beberapa pihak yang mengatakan bahwa bahwa media tidak bisa independen
dan netral dengan demikian tidak bisa obyektif. Pendapat ini tentu saja sah berdasarkan
perspektif tertentu, misalnya perspektif propaganda. Atau mereka yang menganggap
berita adalah sebuah hasil konstruksi sosial, hasil sebuah konstruksi, jadi tidak mungkin
obyektif. Kemudian termasuk yang mengatakan bahwa media itu bisa independen tapi
tidak mungkin netral. Ini adalah pernyataan yang tidak konsisten. Netralitas adalah
turunan dari obyektivitas dan independensi.
Pernyataan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinisp jurnalisme yang dianut
undang-undang pers dan kode etik jurnalistik serta pedoman perilaku penyiaran yang
juga terdapat dalam banyak buku teks tentang jurnalisme. Indonesia telah menentukan
pers dan jurnalisme yang dianut melalui ketentuan undang-undang pers, undangundang penyiaran, kode etik jurnalistik dan pedoman perilaku penyiaran sebagaimana
juga telah dirumuskan oleh Mc Quail, Kovach dan banyak ahli lainnya.
Bila tidak objektif dengan demikian tidak independen dan tidak netral, media akan
kehilangan kemampuan membentuk opini publik. Sebagian pembaca dan penonton
akan lari. Khusus untuk media cetak akan dapat memperoleh sanksi etik dan sosial.
Media penyiaran akan bisa memperoleh tidak hanya sanksi etik dan sosial tapi juga
hukum. Namun seringkali sanksi etik dan sosial lebih berat dari sanksi hukum.
Obyektivitas dalam jurnalisme memang tidak mungkin mencapai tingkat yang
sempurna misalnya 100 persen. Namun semakin tinggi derajat obyektivitas, independensi
dan netralitasnya, semakin tinggi kredibilitasnya, semakin dapat dipercaya, semakin
sering dan disukai pembaca yang menjadi segmentasinya, semakin mempunyai
kemampuan tinggi untuk membentuk opini publik. Itulah sebabnya tingkat kompetensi
dan profesionalitas wartawan harus terus dijaga dan ditingkatkan.
Dalam usaha meningkatkan kompetensi wartawan, profesionalisme jurnalis, Dewan
Pers telah melakukan program peningkatan kompetensi wartawan lewat pendidikan
maupun pemberian sertifikasi lewat ujian khusus. Penelitian kali ini bertujuan untuk
XIV
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
melihat : Apakah pelaksanaan uji kompetensi wartawan oleh sejumlah lembaga penguji
telah memenuhi tujuan-tujuan dibuatnya Standar Kompetensi Wartawan? Dalam
konteks kerja wartawan, sejauh mana uji kompetensi meningkatkan kinerja mereka?
Apakah wartawan yang telah mengikuti sertifikasi bekerja lebih baik dibanding yang
belum mengikuti sertifikasi? Jawaban terhadap hal tersebut diperlukan untuk perbaikan
program Dewan Pers akan datang agar wartawan dan jurnalis Indonesia menjadi lebih
baik lagi. Dengan demikian wartawan dapat bekerja lebih baik lagi untuk kepentingan
publik, bangsa dan negara. Semoga penelitian ini bermanfaat buat berbagai dan banyak
pihak. *
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
XV
XVI
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Penelitian
Keberadaan media dan wartawan yang
profesional adalah prasyarat penting bagi
demokrasi. Demokrasi membutuhkan
informasi demi keterlibatan publik. Oleh
karena itu, di negara-negara demokrasi
kemerdekaan pers dijamin karena hanya
dengan memiliki kemerdekaan, pers bisa
berperan optimal dalam mengumpulkan,
mengolah, dan menyebarkan informasi
dengan baik. Dalam arti, sesuai kebutuhan
warga negara dalam sistem demokrasi.
Sebaliknya, pers yang dikekang
atau disensor tidak mampu mencari,
mengumpulkan, dan menyiarkan berita
dan informasi kepada masyarakat dengan
baik. Masyarakat yang terinformasi
dengan baik (well-informed) juga akan
mampu memilih para pemimpin yang
jujur, paling cerdas dan paling bijaksana
(lihat McNair, 2011).
Namun, kemerdekaan pers saja
tidak cukup untuk menjadikan media
dan wartawan melaksanakan fungsinya
dengan baik. Lebih dari itu, media dan
wartawan harus bekerja secara profesional,
dalam arti mampu menyiarkan berita dan
informasi secara objektif, menjunjung
tinggi etika, kebenaran, dan berorientasi
pada publik. Di sini, dibutuhkan wartawan
yang mempunyai kompetensi tinggi.
Sebagaimana dirumuskan Dewan Pers
(cetakan ketiga Oktober 2010), pekerjaan
wartawan sangat berhubungan dengan
kepentingan publik karena wartawan
adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran
dan keadilan, pemuka pendapat,
pelindung hak-hak pribadi masyarakat,
musuh penjajahan kemanusiaan seperti
koruptor dan politisi busuk. Oleh
karena itu, menurut Dewan Pers, dalam
melaksanakan tugasnya wartawan harus
memiliki standar komptensi yang tinggi,
yang disepakati oleh masyarakat pers.
Standar kompetensi ini menjadi alat ukur
profesionalitas pers.
Ada enam tujuan diberlakukannya
standar kompetensi wartawan, yakni (1)
Meningkatkan kualitas dan profesionalitas
wartawan; (2) Menjadi acuan sistem
evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan
pers; (3) Menegakkan kemerdekaan
pers berdasarkan kepentingan publik;
(4) Menjaga harkat dan martabat
kewartawanan sebagai profesi khusus
penghasil karya intelektual; (5)
Menghindarkan penyalahgunaan profesi
wartawan; (6) Menempatkan wartawan
pada kedudukan strategis dalam industri
pers.
Salah satu cara yang bisa digunakan
untuk menjawab pertanyaan apakah
tujuan-tujuan diberlakukannya standar
kompetensi wartawan tercapai adalah
melalui penelitian. Suatu penelitian yang
hati-hati dengan melibatkan beragam
metode akan mampu menjawab pertanyaan
di atas, yakni sejauh mana tujuan tujuan
diberlakukannya standar kompetensi
wartawan telah dipenuhi dengan baik.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
1
Penelitian juga akan mampu menangkap
kendala dan beragam persoalan yang
dihadapi terkait implementasi standar
kompetensi wartawan di lapangan.
Untuk mewujudkan wartawan yang
mempunyai kompetensi, berbagai
lembaga ditunjuk oleh Dewan Pers –
melalui berbagai persyaratan yang harus
dipenuhi – guna menguji kompetensi
wartawan. Di antara lembaga penguji
adalah LPDS, PWI, LKBN ANTARA,
AJI, Harian Fajar, Harian Bali Post,
dan London School of Public Relations.
Dari berbagai hasil uji kompetensi yang
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
tersebut hingga 4 Juli 2014 terdapat 4.486
wartawan yang telah diuji, dan memegang
sertifikat kompetensi wartawan dalam
beragam tingkatan.
Uji Kompetensi Wartawan beserta
implikasi serta dampak-dampaknya
bagi media, kerja wartawan, dan juga
masyarakat secara umum merupakan
proses yang kompleks. Ia melibatkan
institusi media, wartawan, masyarakat,
dan bahkan sistem sosial, ekonomi, dan
politik secara keseluruhan. Namun, di
antara banyak isu dan persoalan yang
layak dikaji adalah hubungan antara uji
kompetensi wartawan pada satu sisi, dan
tercapainya tujuan-tujuan uji kompetensi
di sisi lain sebagaimana telah disinggung
di awal. Isu ini penting, relevansi uji
kompetensi dan standar kompetensi
wartawan adalah apakah ada peningkatkan
kinerja wartawan dan media. Jika uji
kompetensi dan standar kompetensi
gagal meningkatkan kinerja wartawan
dan media maka pertanyaannya apakah
masalahnya ada pada uji kompetensi
2
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
dan standar kompetensi wartawan itu
sendiri ataukah pada faktor-faktor lain.
Di sinilah, suatu penelitian yang hati-hati
layak dilakukan.
B. Pertanyaan Penelitian
Seperti telah disinggung dalam latar
belakang, ada enam tujuan yang hendak
dicapai terkait diberlakukannya standar
kompetensi wartawan. Dalam kaitan ini,
pertanyaan utama yang diajukan dalam
penelitian ini adalah apakah pelaksanaan
uji kompetensi wartawan oleh sejumlah
lembaga penguji telah memenuhi tujuantujuan dibuatnya Standar Kompetensi
Wartawan. Dalam konteks kerja wartawan,
sejauh mana uji kompetensi wartawan
meningkatkan kinerja mereka? Dalam hal
ini, apakah ada perbedaan setelah mereka
mendapatkan sertifikat kompetensi
wartawan disbanding sebelumnya?
Kemudian, persoalan apa yang dihadapi
oleh jurnalis dalam menghadapi sertifikasi
wartawan dan bagaimana kebijakan yang
harus diambil terkait persoalan tersebut?
A. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini diantaranya
adalah sebagai berikut.
1. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana uji
kompetensi wartawan telah meraih
tujuan-tujuan diberlakukannya
standar uji kompetensi wartawan.
2. Secara spesifik, penelitian
berusaha mengetahui sejauh mana
pemberlakuan standar kompetensi
wartawan mampu meningkatkan
kinerja wartawan dalam mencari,
mengumpulkan, mengolah, dan
3.
4.
1.
2.
3.
menyebarkan informasi kepada
masyarakat.
Dari sisi kemanfaatan, penelitian
ini dilakukan untuk mengetahuai
kemanfaatan pemberlakukan
standar kompetensi wartawan
baik bagi wartawan itu sendiri dan
perusahaan pers.
Adapun manfaat yang diharapkan
dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Bagi Dewan Pers, penelitian
ini diharapkan bisa menjadi
referensi untuk melihat efektivitas
diberlakukannya Standar
Kompetensi Wartawan bagi
peningkatan kinerja media dan
wartawan dalam rangka menjaga
demokratisasi politik. Di samping
itu, penelitian ini diharapkan
akan memberikan rekomendasi
yang berguna bagi Dewan Pers
terutama dalam rangka merancang
regulasi yang tepat dan proses uji
kompetensi.
Bagi lembaga penguji, penelitian
ini diharapkan bermanfaat sebagai
rujukan untuk memperbaiki proses
uji kompetensi.
Bagi perusahaan dan wartawan,
penelitian ini diharapkan
memberikan
gambaran
menyangkut kontribusi standar
kompetensi wartawan bagi
perbaikan kinerja wartawan dan
perusahaan pers.
C. Kerangka Pemikiran
1. P ro f e s i o n a l i s m e Wa r t a w a n :
Paham, Dimensi dan Praktik
Profesionalisme merupakan nilainilai inti jurnalisme yang lahir dalam
konteks negara demokrasi liberal yang
menjunjung tinggi kebebasan berekspresi
dan persaingan gagasan. Profesionalisme
dianggap penting, karena komponenkomponen profesionalisme merujuk
pada peran-peran yang diharapkan publik
dari media, khususnya dari media yang
melakukan kegiatan produksi berita.
Peran yang menonjol dalam hal ini adalah
media berita menjadi pilar ke-empat
demokrasi yang mampu memantau kinerja
pemerintah dan menyampaikan aspirasi
masyarakat dalam konteks pengambilan
kebijakan publik. Nilai-nilai ini kemudian
berkembang menjadi paham dominan
yang tidak hanya berlaku di negaranegara penganut demokrasi liberal, seperti
Amerika Serikat, namun juga di berbagai
negara lain dengan tingkat pluralitas
masyarakat yang relatif tinggi terutama
dari aspek sosial budaya, ekonomi, dan
kepentingan politik, seperti di Brazil,
Tanzania, Hong Kong, dan Indonesia.
Definisi profesionalisme sendiri
mengacu pada seperangkat nilai-nilai,
perilaku dan hubungan yang mendasari
kepercayaan (Tartakow, April/May,
2011). Membangun dan memelihara
kepercayaan adalah tujuan yang paling
penting dari profesionalisme. Jika
profesionalisme ini dihubungkan dengan
wartawan maka inti gagasannya berkaitan
dengan sikap wartawan yang independen
dengan keterampilan teknis memadai
sehingga dapat melayani masyarakat
secara baik. Independensi ini terwujud jika
wartawan terikat dan mengaktualisasikan
seperangkat nilai-nilai, norma dan kode
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
3
etik dalam pekerjaan mereka. Menurut
McQuail (1992), nilai, norma dan kode
etik yang dianut oleh wartawan (dalam
kerja jurnalistik) akan terlihat dari
objektivitas berita.
Objektivitas berita meliputi dua
dimensi utama (McQuail, 1992), yaitu
faktualitas dan imparsialitas. Berdasarkan
dua dimensi inilah seharusnya jurnalisme
bekerja.
Faktualitas merujuk pada proses kerja
jurnalistik yang mengedepankan tiga
unsur penting, yaitu: truth atau kebenaran,
yakni kelengkapan dalam pemberitaan,
akurasi (tepat dan cermat), dan tujuan
yang tidak bermaksud untuk menekankan
atau menyesatkan apa yang relevan.
Relevance (relevansi), berkaitan dengan
proses penyeleksian apa yang penting
menurut penerima dan atau masyarakat
dan informativeness, yakni memberikan
informasi yang mudah dipahami dan
dimengerti oleh audience. Sementara,
imparsialitas mengacu pada praktik
jurnalistik yang mengedepankan aspek
balance/nonpartisanship dan netralitas.
Balance atau berimbang berarti ada
unsur keadilan dan keseimbangan dalam
pemberitaan baik dari unsur alokasi waktu,
tempat dan penekanan suatu isu ketika
diberitakan. Secara garis besar berimbang
berartibertindak adil dan perilaku tidak
diskriminatif terhadap sumber atau objek
yang diberitakan.Netralitas berarti tidak
berpihak pada salah satu pihak dan tidak
membangun opini atas kepentingan pihak
tertentu. Netralitas juga berarti tidak ada
unsur dramatisasi dan penghakiman oleh
pers dalam berita.
4
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Pandangan McQuail di atas selaras
dengan gagasan Denis dan Merrill, tentang
pemberitaan, seperti tertuang dalam
“Basic Issues in Mass Communication”
(1984). Denis menandaskan bahwa
objektivitas pemberitaan hanya akan
dapat dicapai jika ada pemisahan antara
fakta dan opini, ada penyajian berita tanpa
disertai dimensi emosional, dan media
mampu bersikap jujur dan seimbang
terhadap semua pihak. Sementara,
Entman (1989) dan Nelkin (1987)
sepakat bahwa objektivitas jurnalisme
dibangun di atas dua komponen, yakni
depersonalisasi (depersonalization) dan
keseimbangan (balance). Depersonalisasi
berarti wartawan seharusnya tidak
mengekspresikan pandangan, evaluasi,
dan keyakinan pribadinya dalam
pemberitaan. Sedangkan keseimbangan
berarti wartawan mampu menghadirkan
pandangan yang mewakili kedua belah
pihak yang ‘berseteru’ tanpa condong
pada salah satunya.
Begitu besarnya perhatian dan
harapan publik terhadap profesionalisme
wartawan, mendorong gagasan
profesionalisme ini menjadi bagian yang
integral dalam kurikulum pendidikan
jurnalistik di negara-negara demokrasi
seperti Amerika Serikat. Perguruan tinggi
dan pusat-pusat pelatihan jurnalisme
mempromosikan profesionalisme ini
sebagai paradigma dalam menjalankan
profesi wartawan. Industri media pun
menerima gagasan profesionalisme ini
sebagai budaya jurnalisme organisasi.
Komitmen dan tradisi yang kuat dalam
menjalankan nilai-nilai profesionalisme
ini menjadi parameter atau acuan pokok
untuk menilai kualitas kinerja media,
termasuk kualitas pemberitaan.
Walaupun proses internalisasi paham
profesionalisme terus berlangsung, dalam
kenyataannya aktualisasi dan kualitas
profesionalisme ini dipengaruhi oleh
sejumlah faktor (So & Chan, 2007).
Kompetisi atau persaingan antar-media
yang semakin ketat menyebabkan
perusahaan media harus berjuang dalam
memperebutkan kue iklan yang laju
pertumbuhannya tidak sebanding dengan
laju pertumbuhan media. Oleh karena
perebutan kue iklan ini mensyaratkan
popularitas media maka tidak jarang
wartawan atau perusahaan media
“menjual” sensasionalisme sebagai cara
meraih perhatian audiens. Akibatnya,
kepercayaan publik terhadap media
menurun dan status wartawan professional
pun menjadi korban.
Perubahan kepemilikan juga
menjadikan profesionalisme terhambat.
Di Hong Kong misalnya, banyak media
berpindah tangan, seperti Sing Tao
Daily, Standard, South China Morning
Post, Ming Pao Daily News, Hong Kong
Jurnal Ekonomi dan ATV. Sebagian
besar pemilik baru memiliki kepentingan
bisnis (keuangan) di daratan Tiongkok.
Banyak pemilik media di Hong Kong
telah terkooptasi secara politis di bawah
pengaruh pemerintah Tiongkok sebagai
upaya untuk memenangkan kepentingan
pribadi. Ketertundukan pemilik media ini
telah menyuburkan praktik selfcensorship
yang membuat media bersikap lunak
pada pemerintahan. Faktor penting
lain yang berpengaruh pada tegaknya
profesionalisme adalah budaya politik
yang berlaku di suatu negara, yaitu
sejauh mana sistem media dibangun
dan diarahkan untuk menempati posisi
sebagai watchdog dan menjadi platform
bagi masyarakat untuk menyampaikan
aspirasinya.
Di samping itu, profesionalisme
sebagai ideologi jurnalisme akhir-akhir
ini mendapatkan tantangan serius dari
paham lain, yaitu jurnalisme advokasi.
Berlawanan dengan paham jurnalisme
profesional, jurnalisme advokasi
mengedepankan keberpihakan dan
peran aktif wartawan atau media sebagai
pembela dari kelompok-kelompok
tertentu. Paham jurnalisme ini dikritik
oleh penganut profesionalisme karena
keberpihakan menjadikan media
tidak dapat berperan maksimal dalam
memfasilitasi kepentingan publik dalam
menyampaikan opininya yang cenderung
beragam.
2.
Relasi Profesionalisme Wartawan
dan Kinerja Media
Ku alitas , p refes io n alitas d an
kompetensi wartawan merupakan konsepkonsep yang sering dirancukan dalam
membahas persoalan kewartawanan. Oleh
karena itu, peneliti merasa perlu melakukan
klarifikasi konsep-konsep tersebut untuk
menghindari kesalahpahaman.
Dalam literatur-literatur yang
membahas journalist dan journalism,
pemakaian istilah kualitas wartawan
(quality of journalist) sangat terbatas.
Literatur yang tersedia umumnya
menghubungkan kualitas ini dengan
jurnalisme (quality of journalism) atau
jurnalistik (journalistic quality), yang
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
5
pengertiannya tidak hanya berkaitan
dengan produk jurnalistik (kualitas berita)
namun juga mengacu pada keseluruhan
fungsi kegiatan jurnalistik (Picard, 2000).
Meskipun istilah ini tidak cukup
populer, tidak berarti kualitas wartawan
tidak memiliki penjelasan konsep yang
jelas. Peneliti memahami konsep kualitas
wartawan ini sebagai kualitas individu.
Kualitas ini memiliki kaitan dengan
konsep yang diperkenalkan oleh Picard
(2000), yaitu “knowledge and mental
processes”. Picard (2000) menjelaskan
bahwa faktor yang menentukan kualitas
jurnalistik bukan hanya berasal dari
mekanisme pencarian dan pemrosesan
informasi, namun juga pengetahuan
dan aktivitas mental. Menurut Picard
(2000), wartawan seharusnya merupakan
sosok individual berpengetahuan luas
yang memiliki keinginan kuat untuk
terus belajar dan berpikiran terbuka
dalam melihat perubahan-perubahan
di masyarakat. Pengetahuan ini juga
berkaitan dengan nilai-nilai jurnalisme
seperti akurasi, kelengkapan, keluasan
dan kontekstualisasi isu. Pengetahuan ini
dinilai dapat membantu wartawan dalam
menciptakan nilai (nilai tambah) dalam
konten berita, penyajian cerita, pilihan
gambar, dan sebagainya.
Pengetahuan lain yang tidak kalah
penting dalam membentuk kualitas
wartawan adalah etika. Etika merupakan
“pengetahuan yang membahas ukuran
kebaikan atau kesusilaan perilaku manusia
dalam masyarakat” (Ashadi, 1987). Etika
secara praktis memberikan orientasi
bagaimana seseorang harus bertindak.
Pengetahuan etika ini dapat terwujud
6
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
dalam tindakan etis, jika individu memiliki
kesadaran hati nurani.
Walaupun ada perdebatan dalam
melihat apakah wartawan itu profesi
atau bukan, untuk dapat menjaga
martabat dirinya, seorang wartawan perlu
memposisikan dirinya sebagai bagian
dari anggota profesi. Sebagai seorang
profesional posisi wartawan adalah
berbeda dari seorang teknisi yang sekedar
mengumpulkan informasi dan menulis
berita (Hodges, 1986).
Profesionalitas wartawan mengacu
pada ideologi atau suatu model yang
memuat komponen sikap profesional. Hall
(1966) pernah mengonseptualisasi atribut
sikap yang bersifat umum yang dimiliki
oleh profesional, yaitu: (1) penggunaan
organisasi profesi (baik formal maupun
informal) sebagai rujukan utama atau
sebagai sumber utama ide-ide dan
penilaian dalam bekerja, (2) keyakinan
dalam pelayanan publik dan komitmen
bahwa pekerjaan yang dilakukan memiliki
manfaat baik untuk publik maupun
praktisi, (3) kepercayaan pada selfregulation bahwa cara terbaik untuk dapat
melakukan penilaian tentang pekerjaan
adalah berdasarkan penilaian rekan
atau asosiasi profesional, (4) memiliki
dedikasi yang tinggi dalam menggeluti
pekerjaan, dan (5) otonom dalam arti
profesional tidak dapat diintervensi oleh
pihak eksternal, misalnya dari klien atau
organisasi yang mempekerjakannya, yang
bukan anggota profesinya. Untuk dapat
disebut sebagai profesional, wartawan
seharusnya memenuhi sifat-sifat umum
tersebut.
Seperti telah disinggung di depan,
profesionalisme wartawan juga
berhubungan dengan nilai-nilai jurnalisme.
Ini menunjukkan bahwa profesionalisme
wartawan tidak cukup hanya dicirikan
oleh sifat-sifat umum namun juga sifatsifat khusus yang erat berkaitan dengan
prinsip-prinsip jurnalisme.
Berdasarkan pada Kode Etik Jurnalistik
(2006), prinsip-prinsip jurnalistik ini
antara lain meliputi: bersikap independen
menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk;
menempuh cara-cara yang profesional
dalam melaksanakan tugas jurnalistik;
menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampuradukkan
fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga tak bersalah;
tidak membuat berita bohong dan fitnah;
tidak menyebutkan dan menyiarkan
identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyebutkan identitas anak yang menjadi
pelaku kejahatan; tidak menyalahgunakan
profesi dan tidak menerima suap; berhak
menolak untuk melindungi narasumber
yang tidak bersedia diketahui identitasnya
maupun embargo, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang,
dan off the record sesuai kesepakatan;
tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi;
menghormati hak narasumber tentang
kehidupan pribadinya, kecuali untuk
kepentingan publik; segera mencabut,
meralat, dan memperbaiki berita yang
keliru dan tidak akurat disertai permintaan
maaf kepada pembaca, pendengar dan
atau pemirsa; dsb.
Dalam melihat profesi wartawan,
Ashadi Siregar (1987) mengingatkan
untuk memilah bagian-bagian yang
menjadi tanggung jawab wartawan dan
institusi media tempat wartawan bekerja.
Menurut Ashadi kedudukan profesi
wartawan:
“kedudukan profesi jurnalistik dalam
masyarakat bersifat dua sisi. Pertama,
hubungan pelaku profesi dengan orangorang dalam masyarakat. Ini terjadi
pada tahap pengumpulan informasi.
Kedua, hubungan institusi pers dengan
masyarakat, melalui informasi yang
disampaikannya. Pada tahap kedua ini,
pelaku profesi sudah tidak berhubungan
lagi dengan masyarakat, sebab yang
dihadapi masyarakat adalah institusinya”
(Ashadi, 1987).
Berdasarkan paparan tersebut,
kedudukan profesi wartawan ditentukan
oleh dua sisi, yaitu bagaimana pelaku
profesi menyiapkan informasi, dan
bagaimana informasi itu disampaikan
oleh institusi media masing-masing.
Dengan kata lain, hubungan langsung
antara pelaku profesi jurnalistik dengan
masyarakat hanya dalam hal menyiapkan
informasi dan setelah menjadi informasi
yang didistribusikan, hubungan yang
berlangsung adalah antara institusi
dengan masyarakat. Dalam konteks
ini Ashadi Siregar memperingatkan
personel redaksional dalam kapasitasnya
masing-masing untuk mengetahui
aturan perilaku profesi, yakni agar
dalam menyiapkan informasi sejak dini
sudah menyeleksi informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai kriteria
etis.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
7
Walaupun profesionalitas sering
digunakan secara bergantian dengan
kompetensi, pada dasarnya kompetensi
sendiri memiliki arti lebih spesifik yang
merujuk pada kemampuan profesional
dalam bekerja, yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan atau keahlian
dan sikap kerja. Di sini peneliti melihat
bahwa kompetensi wartawan merupakan
refleksi dari kualitas individu dan
profesionalisme.
Salah satu persyaratan untuk dapat
disebut profesional adalah adanya
pendidikan atau pelatihan yang dapat
mendukung pelaksanaan pekerjaan. Di
Indonesia, seperti disampaikan oleh
Dewan Pers dalam Peraturan Dewan Pers
Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang
Standar Kompetensi Wartawan, pilihan
pekerjaan sebagai wartawan adalah
hak bagi masyarakat dan ini merupakan
bagian dari hak asasi manusia. Sementara
itu, latar belakang pendidikan wartawan
tidak selalu berkaitan dengan jurnalisme.
Berbeda dari profesi dokter, seseorang
dapat mengemban profesi tersebut jika dia
telah lulus dari sekolah kedokteran.
Dalam dunia jurnalistik, pekerjaan
wartawan adalah mengumpulkan
informasi dan menghadirkan kebenaran
sebagai tujuan dari pekerjaannya. Amir
Effendi Siregar mengungkapkan bahwa
lingkup pekerjaan wartawan mencakup
dua aktivitas utama, news gathering dan
news writing (2012). Aktivitas utama ini
dimulai dari aktivitas memilih narasumber,
melakukan kontak, wawancara, hingga
menulis dan mengedit berita. Sementara,
Dewan Pers (2010) menyebutkan
wartawan adalah sebagai profesi khusus
8
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
penghasil karya intelektual. Untuk dapat
melaksanakan pekerjaan tersebut dengan
baik, wartawan memerlukan pendidikan
jurnalisme yang mengajarkan mereka
bagaimana melakukan news gathering
dan news writing.
Menurut Rest, seperti dikutip Coleman
dan Wilkins (2002), pendidikan jurnalisme
menentukan perkembangan moral
jurnalis. Dalam pendidikan, wartawan
diperkenalkan dengan tata nilai yang
tumbuh dari kehidupan bersama yang
mengatur ukuran baik dan buruk (standar
moral) serta sanksi-sanksi pelanggaran
terhadap tata nilai tersebut (Siregar, 1987).
Di sini ada proses penanaman etika.
Pendidikan ini juga menjadi landasan
penting bagi lahirnya produk jurnalistik
yang berkualitas.
Oleh karena latar belakang pendidikan
wartawan di Indonesia yang beragam,
Dewan Pers menyelenggarakan ujian
untuk dapat melakukan standarisasi
kompetensi wartawan. Uraian tentang
topik ini akan dipaparkan lebih lanjut
pada Bab II.
Salah satu isu penting dalam
membahas persoalan uji kompetensi
ini adalah melihat dampaknya pada
kinerja. Apakah uji kompetensi wartawan
berpengaruh pada kinerja? Jika kinerja
di sini dikaitkan dengan output berita
dalam kaitannya dengan pelayanan publik
(kepentingan publik) maka tidak hanya
uji kompetensi yang dapat mempengaruhi
kinerja, namun juga faktor organisasi
dan lingkungan, seperti persaingan bisnis
media dan perubahan politik, perlu dikaji
lebih mendalam (So & Chan, 2007).
3. Kontribusi Faktor Lingkungan
pada Profesionalisme dan Kinerja
Media
Jika manifestasi dari profesionalisme
dan kinerja media adalah kualitas karya
jurnalistik atau berita, faktor yang
menentukan kualitas tersebut tidak hanya
berasal dari individu wartawan sebagai
pekerja media. Berdasarkan pandangan
Pamela J. Shoemaker dan Stephen D.
Reese yang dituangkan dalam Theories
of influence On Mass Media Content
(2011) kualitas isi media dipengaruhi oleh
individu pekerja media (individual level),
rutinitas media (media routine level),
organisasi media (organizational level),
hal di luar media (outside media level),
dan ideologi (idology level).
Individu pekerja media memiliki
kontribusi dalam menghasilkan kualitas
berita karena individu terlibat dalam
proses produksi berita, baik dalam lingkup
news gathering maupun news writing
atau reporting. Faktor individu yang
mempengaruhi proses tersebut antara lain:
latar belakang dan karakteristik wartawan,
nilai atau kepercayaan yang dianut oleh
seorang wartawan, dan orientasi mereka
dalam bekerja.
Latar belakang terutama terkait dengan
pendidikan dan asal wartawan dari
kalangan mana (kelompok sosial mana)
wartawan berasal. Faktor pendidikan
membentuk suatu struktur pengetahuan,
pengalaman dan keterampilan seorang
wartawan. Faktor ini menjadikannya
berbeda dalam melihat isu dan
memberitakan isu tersebut dari wartawan
yang tidak berpendidikan cukup. Misalnya
dalam mengangkat kasus kelaparan yang
terjadi di suatu wilayah tertentu, wartawan
yang tidak berpendidikan mungkin
hanya sebatas memberitakan tentang
adanya kasus kelaparan. Sedangkan
wartawan berpendidikan mungkin tidak
hanya berhenti di sana, namun mencari
latarbelakang mengapa kasus tersebut
terjadi. Wartawan berpendidikan mungkin
mengembangkan isi berita dengan melihat
berbagai persoalan terkait, misalnya
kondisi infrastruktur yang mungkin
menghambat distribusi pangan, kebijakan
pemerintah terkait dengan persoalan
pangan, persediaan dan akses masyarakat
pada bahan pangan, dsb.
Faktor asal wartawan, misalnya, di sini
etnis dan strata sosial. Wartawan yang
berasal dari kelompok masyarakat kelas
sering bersikap elitis dan kurang peka
terhadap persoalan masyarakat berstrata
rendah. Faktor individu yang lain
berkaitan dengan nilai atau kepercayaan
yang dianut oleh seorang wartawan. Nilai
di sini termasuk etika dan pandangan
mereka terhadap isu tertentu misalnya
kebenaran, keadilan, equality, dsb. Nilai
ini yang diasumsikan mempengaruhi
angle bagaimana wartawan menentukan
isu pemberitaan, mencari informasi/fakta,
dan menyajikannya.
Faktor terakhir berkaitan dengan
orientasi mereka bekerja. Ada wartawan
yang bekerja semata-mata karena uang.
Namun ada juga wartawan yang bekerja
karena panggilan jiwa atau keinginan yang
besar terjun ke profesi ini untuk tujuan
yang lebih idealis. Ini mempengaruhi
bagaimana seseorang menghayati tugas
dan tanggung jawabnya sebagai wartawan.
Rutinitas media merupakan aktivitas
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
9
keseharian atau kebiasaan perusahaan
atau organisasi media. Berkaitan dengan
produksi berita, aktivitas keseharian ini
merujuk pada kerja redaksional, mulai
dari rapat redaksi menentukan topik,
pembagian kerja reporter, pencarian atau
pengumpulan informasi, penulisan dan
distribusi berita. Rutinitas ini terbentuk
dari relasi antara tiga unsur, yaitu:
sumber berita yang berkedudukan sebagai
suppliers, organisasi media lebih tepatnya
redaksi (departemen pemberitaan) yang
melakukan aktivitas processor, dan
audiens yang menjadi target produksi atau
consumers.
Relasi dengan sumber berita
kemungkinan berdampak pada berita yang
diproduksi. Sumber berita yang bersikap
terbuka dan melayani wartawan dalam
mencari informasi kemudian menjadi
“media darling”. Dalam konteks yang
lebih luas, supplier dalam perusahaan
media dapat merupakan pengiklan,
content provider, kantor berita, bahkan
audiens atau user yang ikut memberi
kontribusi dalam produksi konten, dsb.
Aktivitas processor dalam komunikasi
dikenal sebagai fungsi gate keeper yang
mengolah informasi menjadi berita. Di sini
redaktur pelaksana memastikan operasi
sehari-hari berjalan lancar, termasuk
memastikan informasi yang diperoleh
reporter dari lapangan memenuhi
deadline yang ditetapkan. Di sini pula
redaktur memegang kendali dalam
menentukan prioritas berita yang layak
untuk diterbitkan dan pemimpin redaksi
mengontrol proses produksi berita berjalan
sesuai standar yang berlaku. Meski kerja
redaksi memiliki persamaan dalam setiap
10
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
jenis media, rutinitas di perusahaan surat
kabar memiliki perbedaan dengan televisi.
Tidak ada keharusan bagi wartawan
media cetak untuk memberitakan suatu
peristiwa secara langsung seperti halnya
yang dilakukan oleh wartawan elektronik
(televisi dan radio).
Sementara itu, audiens dalam bisnis
media memiliki arti ekonomis terutama
potensinya mendatangkan iklan atau
pemasukan bagi perusahaan media.
Kebutuhan untuk meningkatkan jumlah
audiens menyebabkan media berfokus
pada konten-konten yang memenuhi
kesenangan orang banyak dan kurang
perhatian pada kelompok-kelompok
minoritas.
Level organisasi berkaitan dengan
struktur manajemen organisasi, kebijakan
dan peraturan yang diterapkan dan juga
tujuan perusahaan atau organisasi media.
Dibandingkan dengan kedua faktor di
atas, yaitu individu dan rutinitas media,
level organisasi paling berpengaruh pada
kualitas konten media.
Dalam perspektif ekonomi, struktur
manajemen dan kebijakan serta peraturan
perusahaan mengarah pada tujuan
perusahaan untuk mencapai profit yang
maksimal. Kepentingan pemilik media
atau pemodal pada profit mempengaruhi
bagaimana aktivitas produksi berita
berjalan dan bagaimana standar kualitas
isi siaran dicapai. Faktor ekonomi pula
yang mendorong perusahaan untuk
memprioritaskan advertorial daripada
produksi berita. Kedekatan atau
kepentingan politik pemilik media atau
pemodal juga sangat berpengaruh pada
orientasi konten berita, terutama jika para
pemilik ini tidak memiliki sense atau rasa
tanggung jawab pada kepentingan publik.
Ada tiga tingkatan struktur organisasi
media yang menurut Shoemaker dan
Reese mempengaruhi isi berita.
Tingkatan pertama terdiri dari para pekerja
lapangan seperti reporter atau tim kreatif.
Tingkatan kedua terdiri dari manajer,
pemimpin redaksi, dan produser (tv/
radio) yang berperan mengoperasionalkan
kebijakan. Tingkatan ketiga adalah
korporasi yang terdiri dari jajaran direktur
yang berwenang membuat kebijakan dan
keputusan pada sebuah perusahaan media.
Berdasarkan kebijakan dan keputusan ini,
roda organisasi digerakkan.
Pengaruh dari luar media (outside
media level) berkaitan dengan faktor
sosial, politik, ekonomi, dan teknologi.
Faktor sosial misalnya saja nilai
atau norma tertentu yang dianut oleh
masyarakat mendorong tim kreatif media
untuk selalu berpikir tentang kelayakan
atau kepantasan konten media yang akan
diproduksinya. Faktor politik seperti
misalnya intervensi pemerintah terhadap
media juga membatasi aktivitas media.
Kebijakan sensor juga menyebakan
pihak media tidak cukup leluasa dalam
melakukan produksi konten. Kebijakan
regulator media yang mengatur
pembatasan kepemilikan dan persaingan
usaha media juga mempengaruhi dinamika
internal perusahaan media. Faktor
ekonomi seperti misalnya kemampuan
daya beli konsumen, harga kertas, kondisi
perekonomian nasional ikut menentukan
kehidupan media. Kondisi perekonomian
nasional misalnya berimplikasi pada
budget iklan yang dikeluarkan oleh suatu
perusahaan mempengaruhi besar kue iklan
yang dapat diraup oleh perusahaan media.
Aspek teknologi juga tidak bisa diabaikan
perannya. Teknologi yang memfasilitasi
cara-cara baru manusia berkomunikasi
telah menyebabkan media melakukan
inovasi untuk melakukan konvergensi
dalam distribusi konten produksinya.
Di samping itu, gerakan sosial yang
aktif melakukan monitoring terhadap
konten dan aktivitas media juga punya
pengaruh yang cukup besar bagi media.
Peran asosiasi jurnalis dan lembaga etik
seperti Dewan Pers dalam menanamkan
nilai-nilai profesionalisme dan kinerja
juga punya kontribusi dalam menentukan
aktivitas internal perusahaan dan tentu
saja kualitas berita.
Pengaruh ideologi (idology level) ini
berkaitan dengan nilai-nilai filsafat atau
kepercayaan yang dianut oleh seseorang
(terutama di sini regulator media) dan
kemudian diterapkan untuk mengatur
sistem media. Bagaimana regulator
melihat kepentingan publik atau nilainilai kepublikan akan mempengarui
orientasi kebijakan yang mereka buat.
Sebagai contoh, para penganut ideologi
utilitarianism atau majoritarian
memandang bahwa kepentingan publik
merujuk pada nilai-nilai dan preferensi
individual. Negara dituntut mampu
memaksimalkan keuntungan yang bersifat
individual dengan merujuk pada suara
mayoritas. Dalam konteks pengaturan
penyiaran, pemenuhan kepentingan publik
dapat dilakukan dengan memberikan
banyak kebebasan untuk kekuatan pasar
media (media market forces).
Para penganut unitary mendasarkan
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
11
kepentingan publik pada kewajiban moral
kolektif yang melampaui kepentingan
tertentu seperti halnya kepentingan
bisnis. Pendekatan ini menempatkan
kepentingan kolektif di atas individu. Di
sini, kepentingan individu, jika perlu,
harus dikorbankan untuk memenuhi
kepentingan kolektif yang lebih besar
atau ideal. Dalam konteks pengaturan
penyiaran, kepentingan publik ditentukan
dengan mengacu pada beberapa nilai
atau ideologi dominan. Sementara itu,
penganut common interest melihat
kepentingan publik bukan merupakan
agregasi kepentingan individu, tetapi
merupakan kepentingan bersama dengan
sedikit ruang untuk munculnya sengketa
preferensi. Dalam pengaturan penyiaran,
pendekatan ini menempatkan aspek
‘common good’ (kebaikan bersama)
sebagai hal penting daripada pilihan
atau preferensi individu. Paham-paham
inilah yang mempengaruhi cara berpikir
pengambil kebijakan yang seterusnya
berimplikasi hingga pada kualitas konten
media.
Dengan melihat banyaknya faktor
yang memberikan kontribusi pada
kualitas berita maka tidak cukup adil jika
persoalan rendahnya kualitas berita hanya
difokuskan pada profesionalitas dan
kinerja individual wartawan. Untuk dapat
memberikan gambaran yang utuh tentang
rendahnya kualitas ini perlu kajian yang
komprehensif menyangkut faktor-faktor
yang telah disebutkan di atas.
4. Uji kompetensi dan Kinerja
Wartawan
Salah satu persyaratan untuk dapat
12
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
disebut profesional adalah adanya
pendidikan atau pelatihan yang dapat
mendukung pelaksanaan pekerjaan. Di
Indonesia, seperti disampaikan oleh
Dewan Pers dalam Peraturan Dewan Pers
Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010
tentang Standar Kompetensi Wartawan,
pilihan pekerjaan sebagai wartawan adalah
hak bagi masyarakat dan ini merupakan
bagian dari hak asasi manusia. Sementara
itu, latar belakang pendidikan wartawan
tidak selalu berkaitan dengan jurnalisme.
Berbeda dari profesi dokter, seseorang
dapat mengemban profesi tersebut jika dia
telah lulus dari sekolah kedokteran.
Dalam dunia jurnalistik, pekerjaan
wartawan adalah mengumpulkan
informasi dan menghadirkan kebenaran
sebagai tujuan dari pekerjaannya. Amir
Effendi Siregar (20120 mengungkapkan
bahwa lingkup pekerjaan wartawan
mencakup dua aktivitas utama, news
gathering dan news writting. Aktivitas
utama ini dimulai dari aktivitas memilih
narasumber, melakukan kontak,
wawancara, hingga menulis dan mengedit
berita. Sementara, Dewan Pers (2010)
menyebutkan, wartawan adalah profesi
khusus penghasil karya intelektual. Untuk
dapat melaksanakan pekerjaan tersebut
dengan baik, wartawan memerlukan
pendidikan jurnalisme yang mengajarkan
mereka bagaimana melakukan news
gathering dan news writing.
Menurut Rest, seperti dikutip oleh
Coleman dan Wilkins (2002), pendidikan
jurnalisme menentukan perkembangan
moral jurnalis. Dalam pendidikan,
wartawan diperkenalkan dengan tata nilai
yang tumbuh dari kehidupan bersama
yang mengatur ukuran baik dan buruk
(standar moral) serta sanksi-sanksi
pelanggaran terhadap tata nilai tersebut
(Siregar, 1987). Di sini ada proses
penanaman etika. Pendidikan ini juga
menjadi landasan penting bagi lahirnya
produk jurnalistik yang berkualitas.
Oleh karena latar belakang pendidikan
wartawan di Indonesia yang beragam,
Dewan Pers melakukan uji kompetensi
untuk dapat melakukan standarisasi
kompetensi wartawan. Uraian tentang
topik ini akan dipaparkan lebih lanjut
pada Bab III.
Salah satu isu penting dalam
membahas persoalan uji kompetensi ini
adalah melihat dampaknya pada kinerja.
Apakah uji kompetensi berpengaruh pada
kinerja wartawan? Jika kinerja di sini
dikaitkan dengan output berita dalam
kaitannya dengan pelayanan publik
(kepentingan publik) maka tidak hanya
uji kompetensi yang dapat mempengaruhi
kinerja, namun juga faktor organisasi
dan lingkungan, seperti persaingan bisnis
media dan perubahan politik, perlu dikaji
lebih mendalam (So & Chan, 2007).
D. Kerangka Konsep dan Operasional
Seperti telah dibahas di awal,
dalam penelitian ini, kompetensi
wartawan dikaitkan dengan kualitas dan
profesionalisme wartawan, yaitu sejauh
mana wartawan memiliki pengetahuan
yang luas (termasuk di sini pengetahuan
tentang etika) dan berpegang pada nilainilai inti jurnalisme dalam pekerjaannya.
Dewan Pers berdasarkan Peraturan
Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/
II/2010 mendefinisikan kompetensi
wartawan sebagai kemampuan untuk
memahami, menguasai, dan menegakkan
profesi jurnalistik atau kewartawanan
serta kewenangan untuk menentukan
(memutuskan) sesuatu di bidang
kewartawanan. Hal itu menyangkut
kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.
Kompetensi ini diasumsikan memiliki
kontribusi dalam menentukan kinerja
wartawan dan media. Kinerja, dalam
penelitian ini, dihubungkan dengan
kualitas jurnalime (kualitas berita), yaitu
sejauh mana berita yang dihasilkan
memenuhi syarat jurnalisme termasuk
etika.
Di samping itu, untuk menghindari
kesalahpaman definisi konsep-konsep
penting lainnya yang digunakan dalam
penelitian ini, peneliti merasa perlu untuk
membatasinya berdasarkan penjelasan
dari Dewan Pers (Peraturan Dewan Pers
Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang
Standar Kompetensi Wartawan). Konsepkonsep penting yang dimaksud meliputi:
1. Standar adalah patokan baku yang
menjadi pegangan ukuran dan
dasar. Standar juga berarti model
bagi karakter unggulan.
2. Kompetensi adalah kemampuan
tertentu yang menggambarkan
tingkatan khusus menyangkut
kesadaran, pengetahuan, dan
keterampilan.
3. Wartawan adalah orang yang
secara teratur melaksanakan
kegiatan jurnalistik berupa
mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara,
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
13
gambar, suara, dan gambar,
serta data dan grafik, maupun
dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran
lainnya.
4. Standar kompetensi wartawan.
Standar kompetensi wartawan
adalah rumusan kemampuan
kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan/
keahlian, dan sikap kerja yang
relevan dengan pelaksanaan
kewartawanan.
14
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Bab II
Metodologi
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
triangulasi, dengan memadukan survei,
focus group discussion dan analisis isi.
Pendekatan ini digunakan untuk dapat
memahami persoalan penelitian secara
lebih baik, memberikan bukti-bukti yang
lebih komprehensif dan memungkinkan
peneliti melakukan verifikasi data dengan
cara melakukan compare-contrast
terhadap temuan-temuan penelitian
kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan
triangulasi ini termasuk dalam
mixedmethods yang mengombinasikan
penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Para peneliti menggunakan pendekatan
triangulasi karena menilai pendekatan ini
memungkinkan mereka menjawab variasi
pertanyaan penelitian yang tidak mungkin
dapat dijawab hanya dari satu metode saja.
Peneliti juga beranggapan pendekatan ini
juga mengisi kekurangan dan kelemahan
dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Selama ini kuantitatif dianggap kurang
menyajikan paparan konteks, sementara
kualitatif kurang mampu menyajikan
variasi data yang luas.
B. Metode Penelitian
1. Survei
Penelitian survei ini dilakukan
terutama untuk mengetahui profil
wartawan bersertifikat, pengalaman kerja
sebagai jurnalis, sikap atau penilaian
jurnalis tentang program sertifikasi
dan untuk mengetahui dampak uji
kompetensi terhadap kinerja mereka.
Survei dilakukan dengan menyebarkan
kuisioner kepada jurnalis di tiga kota,
yaitu: Jakarta (DKI Jakarta), Surabaya
(Jawa Timur), dan Yogyakarta (Daerah
Istimewa Yogyakarta). DKI Jakarta
dipilih sebagai lokasi penelitian karena di
provinsi ini jumlah wartawan bersertifikat
adalah paling banyak di Indonesia.
Berdasarkan data Dewan Pers (dapat
diakses di http://www.dewanpers.or.id),
terdapat 822 wartawan yang memegang
sertifikat kompetensi tersebut. Di samping
itu, DKI Jakarta juga dipilih karena
konsentrasi media terjadi di sini. Sekitar
60% media terkonsentrasi di Jakarta
begitu pula konten pemberitaan dominan
Jakarta (PR2Media, 2014; Nugroho,
dkk., 2013; Heychael & Wibowo, 2014).
Provinsi Jawa Timur dipilih karena
jumlah wartawan bersertifikat adalah
kedua terbanyak di Indonesia setelah DKI
Jakarta. Berdasarkan data Dewan Pers
terdapat 315 wartawan yang memegang
sertifikat. Di provinsi ini, jumlah media
pun berada di nomor urut kedua setelah
Jakarta dan sebagian besar media tersebut
berada atau berkantor pusat di Surabaya.
Yogyakarta dalam penelitian ini dipilih
untuk dapat merepresentasikan Jawa
(Jawa bagian tengah) dan karena alasan
efisiensi pelaksanaan penelitian.
Sampel penelitian ini adalah jurnalisJurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
15
jurnalis yang telah memiliki sertifikat
uji kompetensi dalam beragam jenjang
baik muda, madya maupun utama. Pada
awalnya, peneliti menetapkan jumlah
sampel 100 orang dengan asumsi jumlah
tersebut cukup memadai untuk margin
of error sebesar 10% (de Vaus, 1991:
7172). Peneliti juga merencanakan
teknik mengambilan sample dengan
stratified sampling dengan tujuan dapat
mengambil sampel secara proporsional di
setiap strata, (yaitu kota, jenis media dan
jenjang/kategori kewartawanan). Dalam
realisasinya peneliti berhasil menjangkau
sampel sebanyak 88 orang dengan teknik
sampling convenience sampling. Jumlah
88 orang memang memiliki tingkat margin
of error lebih sebesar dari 10%, yaitu
10,65%, namun jumlah ini masih dapat
diterima dalam penelitian survei dengan
jumlah populasi yang cukup terbatas.
Berbagai kendala dihadapi peneliti
terkait dengan data rujukan yang kurang
valid, mobilitas wartawan yang tinggi,
dan adanya resistensi wartawan mengisi
kuesioner. Peneliti dalam menentukan
sampel sangat bergantung pada data
Dewan Pers. Sayangnya data di sini
kurang valid karena cukup banyak
wartawan yang pindah tempat kerja,
jenjang kewartawanan yang tidak sesuai,
dan sejumlah wartawan telah pensiun.
Sebagai akibatnya, daftar sampel yang
telah peneliti susun berdasarkan asumsi
stratified sampling tidak dapat diterapkan.
Mobilitas wartawan juga menjadi kendala
karena wartawan yang ada di dalam
daftar sering tidak ada di tempat dan sulit
dihubungi. Beberapa wartawan secara
terbuka juga menolak mengisi kuesioner
16
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
karena merasa tidak berkepentingan.
Kesulitan ini kemudian disikapi oleh
peneliti dengan mengubah teknik
sampling dari stratified sampling menjadi
convenience sampling. Teknik ini dipilih
dengan alasan kemudahan akses dan
alasan praktis terutama waktu penelitian
yang terbatas.
Teknik pengambilan data dilakukan
dengan kuesioner. Ada tiga jenis kuesioner
yang dibagikan untuk kategori wartawan
muda, madya dan utama. Kuesioner ini
perlu dibedakan karena lingkup kerja dan
tanggung jawab yang berbeda di antara
keduanya. Pertanyaan atau pernyataan
kuesioner dibagi ke dalam lima kelompok,
yaitu: profil responden, penilaian
umum responden terhadap program
sertifikasi/standar kompetensi wartawan
Indonesia, penilaian diri terhadap
kualitas/profesionalitas wartawan,
penilaian wartawan tentang kontribusi uji
kompetensi dalam meningkatkan kinerja,
dan penilaian wartawan tentang kondisi
institusi tempat mereka bekerja. Untuk
lebih jelasnya ketiga tipe kuesioner ini
dapat diperiksa dalam lampiran. Kuesioner
disebar dengan mengontak secara
langsung wartawan yang bersangkutan
atau menghubungi redaksi untuk dapat
memediasi pertemuan dengan wartawan.
Data penelitian dianalisis dengan
menghitung distribusi frekuensi,
crosstabulations, dan uji varians.
Distribusi frekuensi dimaksudkan untuk
mengetahui data frekuensi dan persentase
(descriptive analysis). Crosstabulations
digunakan untuk melihat hubungan antara
kategori wartawan dengan pengalaman,
sikap atau penilaian responden terhadap
sertifikasi. Uji varians diterapkan untuk
mengetahui tinggi rendahnya nilai mean
yang merepresentasikan kecenderungan
persepsi wartawan atas profesionalisme,
persepsi dan refleksi wartawan terhadap
dampak uji kompetensi, penilaian
wartawan tentang dukungan perusahaan
pada sertifikasi wartawan, dan penilaian
wartawan terhadap pelaksanaan uji
kompetensi.
2. Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD)
diterapkan untuk mendapatkan insight
dari para pemimpin redaksi dan redaktur
(selaku pimpinan ruang redaksi) serta
penyelenggara uji kompetensi tentang
penilaian mereka terhadap sertifikasi
dan kualitas jurnalis yang memegang
sertifikat kompetensi wartawan. FGD
merupakan diskusi dalam kelompok kecil
mengenai suatu isu tertentu (Irwanto,
2006; Krueger dan Casey, 2007; Stokes,
2007). FGD memungkinkan peneliti
untuk mendengarkan dan mengumpulkan
informasi mengenai penilaian, perasaan,
dan pengalaman jurnalis terkait sertifikasi
wartawan. FGD juga memungkinkan
peneliti untuk mendapatkan konteks atas
penilaian, perasaan, dan pengalamanpengalaman wartawan terkait sertifikasi
kompetensi dan penyelenggara terkait
dengan proses dan kriteria pengujian.
FGD ini dilaksanakan di dua
tempat, yaitu Yogyakarta pada tanggal
3 November 2014 dan Jakarta pada
tanggal 17 November 2014. Kriteria
peserta FGD adalah pemimpin redaksi
dan/atau redaktur dan pimpinan di
lembaga penyelenggara uji kompetensi
wartawan. Mereka dipilih untuk mewakili
perusahaan atau institusi media tempat
mereka bekerja. Adapun pemilihan media
ditentukan berdasarkan dua jenis lembaga
media, yaitu lembaga media publik dan
privat (swasta). Lembaga media publik
di sini adalah TVRI dan RRI, sedangkan
lembaga media privat adalah perusahaan
media yang masuk dalam daftar market
leader, berdasarkan data Neilson. Asumsi
market leader di sini penting artinya
untuk melihat sejauh mana komitmen
perusahaan pada profesionalitas wartawan
dan kinerja media melandasi pelayanan
publik. Sementara itu, pemilihan
Lembaga penguji hanya difokuskan pada
pada PWI dan AJI karena lembaga ini
menjadi rujukan utama wartawan untuk
melakukan uji kompetensi.
Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti
menyusun daftar target peserta FGD dan
menghubungi mereka melalui telepon dan
surat melalui email dan/atau fax. Secara
umum target peserta FGD dapat memenuhi
undangan, meskipun beberapa peserta
mewakilkannya ke kolega. Beberapa
target tidak dapat hadir karena jadwal
FGD bentrok dengan jadwal kegiatan
lain. Jumlah peserta di Yogyakarta adalah
5 orang dari 8 partisipan yang ditargetkan.
Sementara di Jakarta ada 14 orang dari
15 partisipan yang ditargetkan. Partisipan
yang hadir terdiri dari pemimpin
redaksi, redaktur, dan pimpinan di
lembaga penyelenggara uji kompetensi.
Selengkapnya daftar peserta FGD dapat
dilihat dalam lampiran.
Dalam proses FGD, dua anggota
peneliti berfungsi sebagai moderator
diskusi (fasilitator) dan co-facilitator yang
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
17
membantu moderator dalam melontarkan
beberapa pertanyaan kunci dan mengatur
jalannya diskusi. Dua anggota tim peneliti
yang lain mencatat proses diskusi dan
juga dialog. Di samping melakukan
pencatatan langsung terkait dengan
proses, tim peneliti juga merekam dialog
tersebut dan membuat transkripnya. Ada
tiga pertanyaan kunci yang disampaikan
dalam forum ini, yaitu: (1) sejauh
mana uji kompetensi meningkatkan
kinerja?, (2) apakah wartawan yang
mempunyai sertifikasi bekerja lebih baik
dibandingkan dengan yang tidak?, (3)
apakah kontribusi uji kompetensi bagi
jurnalis dan perusahaan pers? Masingmasing peserta mendapatkan kesempatan
untuk mengungkapkan pendapat atau
pandangannya terkait dengan pertanyaan
tersebut. Proses diskusi dilakukan kurang
lebih 3 jam, baik di Yogyakarta maupun
Jakarta.
Data hasil FGD, berupa transkrip dan
catatan proses dari penliti, kemudian
dianalisis. Dalam proses analisis,
peneliti melakukan pengklasifikasian
data berdasarkan tema-tema jawaban
responden. Tema-tema ini kemudian
disusun berdasarkan kategori pertanyaan
yang dilontarkan oleh peneliti. Dalam
klasifikasi tersebut, peneliti juga membuat
penggolongan berdasarkan klasifikasi
jawaban untuk dapat memilah pihak-pihak
mana saja yang memiliki pandangan yang
sama tentang suatu isu dengan pihak-pihak
lain yang memiliki pandangan berbeda.
Jawaban atau pandangan yang
disampaikan dalam forum ini diukur
validasinya dengan memperhatikan
konsistensi jawaban yang diberikan
18
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
oleh responden dalam kaitannya dengan
suatu isu yang sama. Dalam analisis ini
peneliti juga berupaya menghubungkan
pandangan partisipan dengan konteks
atau situasi yang memengaruhi posisi
mereka. Tema-tema yang tidak secara
langsung berhubungan dengan pertanyaan
penelitian, namun masih memiliki
kaitan dengan tema penelitian, disusun
dalam klasifikasi tersendiri untuk dapat
menjelaskan isu-isu di seputar persoalan
penelitian. Berdasarkan klasifikasi
tersebut, peneliti membuat sintesa yang
menghubung-hubungkan pandangan
responden melalui penyusunan paragraf
dan juga mencantumkan atau mengutip
beberapa pernyataan yang relevan untuk
dapat memberikan penjelasan secara
mendalam dan reflektif tentang pertanyaan
atau persoalan penelitian.
3. Analisis Isi
Analisis isi dilakukan untuk
mengetahui aspek imparsialitas dalam
pemberitaan. Aspek ini merupakan salah
satu kriteria utama dalam melihat kualitas
berita (McQuail, 1992). Dalam penelitian
ini, analisis isi diposisikan sebagai data
pelengkap untuk dapat menjelaskan
persoalan kinerja wartawan. Di sini
peneliti menyadari bahwa berita bukan
merupakan produk individual wartawan,
namun produk yang dilahirkan oleh tim
redaksi dan wartawan. Kualitas berita
merepresentasikan komitmen bersama
antara redaksi, wartawan dan juga
perusahaan media.
C. Analisis Data Triangulasi
Dalam penelitian ini, peneliti
menempatkan data survei sebagai data
utama. Data ini dianalisis terlebih dahulu,
lalu dikomparasikan dan dikontraskan
dengan hasil analisis data FGD dan analisis
isi untuk melihat konsistensi sekaligus
perbedaan-perbedaan yang mungkin
muncul. Pola penyajian ini dipilih untuk
memberikan bukti-bukti yang lebih
komprehensif dan penjelasan yang lebih
lengkap terkait persoalan penelitian.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
19
20
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Bab III
Gambaran Umum Uji Kompetensi
Wartawan Indonesia
A. Dasar Penyelenggaraan
Dasar pelaksanaan uji Komptensi
Wartawan adalah Peraturan Dewan Pers
Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang
Standar Kompetensi Wartawan. Peraturan
ini dibuat karena belum ada kebijakan
yang mengatur tentang standar untuk
dapat menilai profesionalitas wartawan.
Di samping itu, kebutuhan standarisasi
ini mendesak untuk dapat merespon
harapan publik terhadap kerja profesional
wartawan dan persoalan kualitas berita.
B. Latar Belakang Penyelenggaraan
Uji Kompetensi
Di Indonesia, pekerjaan wartawan dapat
dilakukan oleh siapa saja, baik yang telah
memiliki pendidikan atau keterampilan
jurnalistik maupun belum atau tidak
memilikinya. Dalam pandangan Dewan
Pers, pelaksanaan uji standar kompetensi
ini memiliki arti penting karena pilihan
menjadi wartawan merupakan hak asasi
seluruh warga negara. Tidak ada ketentuan
yang dapat membatasi hak seorang warga
negara untuk menjalani profesi tersebut.
Sementara itu, pekerjaan wartawan sangat
berhubungan dengan kepetingan publik
karena wartawan adalah “bidan sejarah,
pengawal kebenaran dan keadilan,
pemuka pendapat, pelindung hak-hak
pribadi masyarakat, musuh penjahat
kemanusiaan sepereti koruptor dan politisi
busuk” (Peraturan Dewan Pers Nomor 1/
Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar
Kompetensi Wartawan).
Melihat posisi wartawan yang sangat
strategis, Dewan Pers mempertimbangkan
bahwa dalam melaksanakan tugasnya
wartawan harus memiliki standar
kompetensi yang memadai dan disepakati
oleh masyarakat pers. Standar kompetensi
ini menjadi alat ukur profesionalitas
wartawan. Dengan demikian, standar
kompetensi wartawan diperlukan untuk
melindungi kepentingan publik dan hak
pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk
menjaga kehormatan pekerjaan wartawan
dan bukan untuk membatasi hak asasi
warga negara menjadi wartawan. Dewan
Pers mengatur perihal standar kompetensi
ini dalam Peraturan Dewan Pers Nomor
1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar
Kompetensi Wartawan.
Dewan Pers memandang kompetensi
wartawan berkaitan dengan kemampuan
intelektual dan pengetahuan umum. Di
dalam kompetensi wartawan melekat
pem ah am an t en t an g p en t i n g n y a
kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa
dan bernegara yang demokratis. Lebih
lanjut Dewan Pers mengungkapkan
bahwa kompetensi wartawan meliputi
kemampuan memahami etika dan hukum
pers, konsepsi berita, penyusunan dan
penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam
hal yang terakhir ini juga menyangkut
kemahiran melakukannya, seperti juga
kemampuannya yang bersifat teknis
sebagai wartawan profesional, yaitu
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
21
mencari, memperoleh, menyimpan,
memiliki, mengolah, serta membuat
dan menyiarkan berita. Dewan Pers
merekomendasikan, untuk mencapai
standar kompetensi tersebut, seorang
wartawan harus mengikuti uji kompetensi
yang dilakukan oleh lembaga yang telah
diverifikasi Dewan Pers. Lembaga tersebut
adalah perusahaan pers, organisasi
wartawan, perguruan tinggi atau lembaga
pendidikan jurnalistik. Wartawan yang
belum mengikuti kompetensi dinilai
belum memiliki kompetensi sesuai standar
komptensi wartawan Indonesia.
C. Model dan Kategori Kompetensi
Dewan Pers merancang rumusan
komptensi wartawan menggunakan model
dan katagori kompetensi, mencakup
elemen:
1. Kesadaran (awareness) yang
mencakup kesadaran tentang etika
dan hukum, kepekaan jurnalistik,
serta pentingnya jejaring dan lobi.
2. Pengetahuan (knowledge) yang
mencakup teori dan prinsip
jurnalistik, pengetahuan umum,
dan pengetahuan khusus.
3. Keterampilan (skill): mencakup
kegiatan 6 M (mencari,
memperoleh,
memiliki,
menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi), serta
melakukan riset/investigasi,
analisis/prediksi,
serta
menggunakan alat dan teknologi
informasi.
Kompetensi wartawan yang
dirumuskan ini merupakan hal-hal
mendasar yang harus dipahami, dimiliki,
22
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
dan dikuasai oleh seorang wartawan.
D. Perangkat Uji Kompetensi
Perangkat uji kompetensi disusun
berdasarkan tingkatan wartawan muda,
madya dan utama yang mencakup aspek
kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Perangkat uji kompetensi ini bersifat
terbuka, serta dapat dilihat oleh peserta,
penguji dan pengamat. Perangkat uji ini
terdiri dari: materi (soal uji) dan metode
pengujian. Perangkat pengujian ini
diklasifikasi menjadi tiga level mengikuti
jenjang kewartawanan, yaitu: Wartawan
muda, Wartawan Madya dan Wartawan
Utama.
Materi uji mencakup tiga elemen
kompetensi wartawan, yaitu: Kompetensi
umum, yakni kompetensi dasar yang
dibutuhkan oleh semua orang yang
bekerja sebagai wartawan. Kompetensi
inti yakni kompetensi yang dibutuhkan
wartawan dalam melaksanakan tugastugas umum. Kompetensi khusus, yakni
kompetensi yang dibutuhkan wartawan
dalam melaksanakan tugas-tugas khusus
jurnalistik. Materi pengujian ini diberikan
sesuai jenjang kewartawanan. Dalam
kaitan ini, Dewan Pers menetapkan
elemen unjuk kerja sebagai acuan dalam
memberikan materi pengujian. Elemen
unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan
yang menggambarkan proses kerja pada
setiap elemen kompetensi. Elemen
kompetensi disertai dengan kriteria unjuk
kerja harus mencerminkan aktivitas aspek
pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja. Tabel 3.1 berikut memberikan
gambaran tentang elemen unjuk kerja
yang dimaksudkan di sini:
Elemen Kompetensi Wartawan Elemen Kompetensi
Muda
Wartawan Madya
a. Mengusulkan dan
merencanakan liputan
b. Menerima dan
melaksanakan
penugasan
c. Mencari bahan liputan,
termasuk informasi dan
referensi
d. Melaksanakan
wawancara
e. Mengolah hasil liputan
dan menghasilkan
karya jurnalistik
f. Mendokumentasika
nn hasil liputan
dann memmbangun
basis data pribadi
g. Membangun dan
memelihara jejaring
dan hobi.
a. Menyunting karya
jurnalistik wartawan.
b. Mengompilasi bahan
liputan menjadi karya
jurnalistik.
c. Memublikasikan
berita layak siar.
d. Memanfaatkan sarana
kerja berteknologi
informasi.
e. Merencanakan,
mengoordinasikan
dan melakukan
liputan berkedalaman
(indepth reporting).
f. Merencanakan,
mengoordinasikan
dan melakukan
liputan
investigasi
(investigative
reporting).
g. Menyusun peta berita
untuk mengarahkan
kebijakan redaksi di
bidangnya.
h. Melakukan evaluasi
pemberitaan di
bidangnya.
i. Membangun dan
memelihara jejaring
dan lobi.
j.
Memiliki jiwa
kepemimpinan.
Elemen
Kompetensi
Wartawan Utama
a. Menyunting
karya
jurnalistik wartawan.
b. Mengompilasi bahan
liputan menjadi karya
jurnalistik.
c. Memublikasikan
berita layak siar.
d. Memanfaatkan
sarana
kerja
berteknologi
informasi.
e. Merencanakan,
mengoordinasikan
dan
melakukan
liputan berkedalaman
(indepth reporting).
f.
Merencanakan,
mengoordinasikan
dan
melakukan
liputan
investigasi
(investigative
reporting).
g. Menyusun peta berita
untuk mengarahkan
kebijakan redaksi.
h. Melakukan evaluasi
pemberitaan.
i. Memiliki kemahiran
manajerial redaksi.
j. Mengevaluasi
seluruh
kegiatan
pemberitaan.
k. Membangun dan
memelihara jejaring
dan lobi.
l. Berpandangan jauh
ke depan/visioner.
m. Memiliki
jiwa
kepemimpinan.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
23
Di samping itu, untuk mengukur
tingkat atau derajat kesulitan dalam
mencapai unit kompetensi tertentu, Dewan
Pers mengintroduksi 11 kompetensi kunci
yang harus dikuasai baik oleh wartawan
muda, madya dan utama.
Kesebelas komptensi kunci ini
meliputi:
1. Memahami dan menaati Kode Etik
Jurnalistik.
2. Mengidentifikasi masalah yang
terkait dan memiliki nilai berita.
3. Membangun dan memelihara
jejaring dan lobi.
4. Menguasai bahasa.
5. Mengumpulkan dan menganalisis
informasi berupa fakta dan data
bahan berita.
6. Menyusun berita.
7. Menyunting berita.
8. Merancang rubrik atau kanal
halaman pemberitaan dan atau slot
program pemberitaan.
9. Manajemen redaksi.
10. Menentukan kebijakan dan arah
pemberitaan.
11. Menggunakan peralatan teknologi
informasi pemberitaan.
Sebagai ilustrasi, kompetensi
“memahami dan menaati Kode Etik
Jurnalistik” pada wartawan muda
tercermin dari kemampuannya melakukan
liputan dan menyajikan berita sesuai
Kode Etik Jurnalistik. Pada wartawan
madya, memahami penerapam Kode Etik
Jurnalistik dalam menentukan pilihan
liputan. Pada wartawan utama, mampu
menafsirkan filosofi Kode Etik Jurnalistik
serta memutuskan liputan yang sesuai
Kode Etik Jurnalistik agar wartawan
dan kepentingan publik terlindungi.
Sementara kompetensi “mengidentifikasi
masalah yang terkait dan memiliki nilai
berita” pada wartawan muda tercermin
dari kemampuannya mengusulkan dan
merencanakan liputan. Wartawan madya,
mengidentifikasi, meneliti dan menyaring
masalah yang terkait dan memiliki nilai
berita serta mengoordinasikan rencana
liputan. Wartawan utama, mengevaluasi
rencana liputan dan menentukan arah
pemberitaan.1
Motode yang diterapkan untuk menguji
kompetensi meliputi berbagai alternatif
pilihan. Pilihan-pilihan metode pengujian
sangat bergantung pada lembaga
pelaksana uji kompetensi, dalam hal ini
Dewan Pers tidak melakukan pembatasan.
Metode tersebut antara lain:
a. Uji lisan atau wawancara
b. Peragaan
c. Praktik
d. Studi kasus
e. Jawaban tertulis
f. Pilihan berganda
g. Pemeriksaan produk
h. Referensi
i. Dokumentasi hasil kerja
j. Pengamatan
k. Metode lain yang terkait
Sebagai ilustrasi, untuk menguji
wartawan muda dalam merencanakan
atau mengusulkan liputan/pemberitaan,
1. Untuk selengkapnya, penjelasan ini dapat diperoleh dari dalam Peraturan Dewan Pers
Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan, halaman 25-28.
24
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
uji kompetensi dilakukan dengan simulasi
dan ujian lisan (wawancara). Berdasarkan
simulasi ini, penguji melakukan
pengamatan bagaimana wartawan
merencanakan liputan dan memeriksa hasil
rencana liputan. Penguji juga memberikan
penilaian atas hasil uji lisan. Contoh
yang lain, untuk menguji wartawan muda
dalam menulis berita, prosedur pengujian
adalah dengan melakukan simulasi. Di
sini peserta diminta untuk mengumpulkan
data dan informasi, dan menulis berita
dengan materi yang diperoleh. Penguji
dapat menetapkan penilaian dengan
mengamati simulasi itu, memeriksa karya
tulis dan penilaian pada hasil kerja/produk
dengan melakukan kegiatan simulasi.
Wartawan dinilai kompeten jika
memperoleh hasil minimal 70 dari skala
penilaian 10-100. Dalam lembar penilaian
tercantum identitas peserta dan media,
tanggal pelaksanaan, unit kompetensi,
identitas penilai dan lembaga penguji,
nilai dan catatan penilaian, hasil uji.
Wartawan yang belum lolos uji memiliki
kesempatan untuk melakukan tes ulang.
Namun sayangnya, sejauh ini Dewan
Pers belum membuat keputusan apakah
sertifikasi ini perlu diuji kembali untuk
suatu periode tertentu atau berlaku seumur
hidup.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
25
26
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Bab IV
Gambaran Umum Wartawan Bersertifikat
Indonesia
A. Distribusi Frekuensi Wartawan
Bersertifikat
Selama tiga tahun berjalannya uji
kompetensi wartawan (mulai 2011
hingga 2014) Dewan Pers dalam situs
resminya, http//www.dewanpers.or.id,
mencatat 4.669 orang wartawan yang
telah melakukan uji kompetensi (Uji
Kompetensi Wartawan/UKW).2 Angka
ini nampaknya perlu diralat karena
berdasarkan penghitungan peneliti ada
sejumlah nama yang sama di dalamnya.
Angka peneliti adalah 4.632.
Dari total tersebut (4.632), wartawan
muda ada sebanyak 1.919 orang,
wartawan madya 1.361 orang dan utama
1.352 orang. Berdasarkan angka ini dapat
dilihat dengan jelas, jumlah wartawan
muda paling banyak jumlahnya.
Tabel 4.1 Jenjang Kewartawanan di
Indonesia
NO
KATEGORI
JUMLAH
1
MUDA
1919
2
MADYA
1361
3
UTAMA
1352
Jika dilihat dari periode waktu, maka
jumlah wartawan bersertifikat paling
banyak dijumpai di tahun 2012. Ada 2.110
orang yang bersertifikat di tahun tersebut.
Tabel 4.2 memberikan gambaran tetang
hal ini.
Tabel 4.2 Rentang Tahun Wartawan
Mendapatkan Sertifikasi
NO
TAHUN
JUMLAH
1
2010
7
2
2011
928
3
2012
2110
4
2013
1474
5
2014
97
Sejak Dewan Pers mengeluarkan Surat
Keputusan tentang Uji Kompetensi
Wartawan pada tahun 2010,
uji kompetensi menjadi semacam
“kewajiban” bagi para wartawan. Uji
kompetensi adalah salah satu cara
untuk meningkatkan profesionalisme
wartawan karena posisinya sebagai garda
depan dalam memberikan informasi
bagi masyarakat. Seperti diakui oleh
2. Tim peneliti melakukan penghitungan ulang jumlah wartawan yang telah melakukan uji
kompetensi dan nampaknya jumlahnya berbeda dari yang ada website dewanpers.or.id.
Jumlah wartawan menurut penghitungan kami adalah 4.632 orang sedangkan menurut
Dewan Pers adalah 4669 orang. Perbedaan ini salah satu alasannya adalah adanya beberapa
nama wartawan yang diinput dua kali dalam daftar wartawan bersertifikat.
Akses terhadap website dilakukan tanggal 1 Desember 2014.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
27
Habsul Nurhadi, seorang wartawan
utama, bahwa uji kompetensi ini tidak
sekedar meningkatkan kualitas seorang
wartawan, namun juga untuk menekan
penyalahgunaan profesi wartawan oleh
pihak yang mengaku-ngaku diri sebagai
wartawan.3
Dilihat dari tempat kerja, wartawan
bersertifikat yang bekerja di media cetak
berjumlah sekitar 3.248 orang. Jumlah
ini terbesar dibanding dengan jumlah
wartawan yang bekerja di media lain.
Jumlah tersebut disusul oleh wartawan
yang bekerja di radio dan televisi, dengan
jumlah sekitar 700 orang. Sementara itu,
wartawan yang bekerja di media online
291 orang dan selebihnya bekerja di kantor
berita, seperti Antara, berjumlah 237
orang. Jumlah tokoh pers yang selama ini
dianggap berjasa dalam memajukan dunia
pers ada 33 orang. Tabel 4.3 menunjukan
distribusi data yang dimaksud.
terbanyak ada di Provinsi DKI Jakarta
dengan jumlah 822. Sementara itu, jumlah
wartawan bersertifikat yang paling sedikit
ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tabel 4.4 menyajikan sebaran jumlah
wartawan bersertifikat berdasarkan
provinsi.
Menurut data tersebut, jumlah
wartawan bersertifikat paling banyak
berada di Pulau Jawa, yaitu 1.979. Hal
ini paralel dengan banyaknya jumlah
perusahaan media di sini. Jika daerah
penyebaran wartawan bersertifikat di
Pulau Jawa dilihat lebih detil, maka
dapat diketahui, Jakarta memiliki jumlah
wartawan bersertifikat paling banyak,
yaitu 822. Sementara Banten memiliki
jumlah yang relatif sedikit, yaitu 136.
Tabel 4.5 menunjukkan penyebaran
wartawan bersertifikat berdasarkan
wilayah di Pulau Jawa dan jenis media
tempat mereka bekerja.
Tabel 4.3 Jenis Media Tempat Wartawan
Bekerja
NO
JENIS MEDIA
JUMLAH
1
CETAK
3248
2
ELEKTRONIK
700
3
ONLINE
291
KANTOR BERITA
4
237
Tabel 4.4 Distribusi Wartawan
Bersertifikat di Indonesia
5
TOKOH PERS
33
Jumlah peserta UKW di setiap daerah
cukup beragam. Berdasarkan data Dewan
Pers, jumlah wartawan bersertifikat
3.
28
No.
1
2
PROPINSI
ACEH
BALI
3
4
5
6
7
8
BANTEN
BENGKULU
GORONTALO
JAMBI
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
TOTAL
82
220
139
55
23
91
280
252
Nabsul Nurhadi adalah mantan peneliti LP3ES dan bekerja sebagai wartawan senior di Tabloid
Detak, telah mendapatkan sertifikasi wartawan utama pada tahun 2011. http://media.kompasiana.com/
mainstreammedia/2014/06/07/menyongsong-era-wartawan-kompeten-657196.html.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
JAWA TIMUR
KALBAR
KALSEL
KALTENG
KALTIM
KEP BANGKA
BELITUNG
KEP RIAU
LAMPUNG
MALUKU
UTARA
MALUKU
NTB
NTT
PAPUA BARAT
PAPUA
RIAU
SULBAR
SULSEL
SULTENG
SULTRA
SULUT
SUMBAR
SUMSEL
JAKARTA
SUMUT
JOGJA
TOTAL
314
8
119
106
188
3
123
254
42
63
73
2
55
69
112
6
203
34
70
69
139
226
822
218
172
4.632
di wilayah Jakarta terdapat 111 media
cetak yang terdiri dari surat kabar harian,
tabloid dan majalah. Di lokasi ini cukup
banyak media yang menjangkau distribusi
nasional, seperti Kompas dan Tempo
dan sejumlah institusi penyiaran. Tidak
mengherankan jika jumlah wartawan
bersertifikat di sini paling banyak. Di
Jakarta, jumlah wartawan bersertifikat
paling banyak bekerja di LKBN Antara,
dengan total 95 orang wartawan. LKBN
Antara adalah kantor berita yang berfungsi
menyediakan berita atau informasi
untuk media massa di Indonesia. LKBN
Antara sendiri adalah salah satu lembaga
yang mendapat hak dari Dewan Pers
untuk menyelenggarakan uji kompetensi
wartawan.
Jumlah wartawan bersertifikat ini
nampaknya memiliki kaitan erat dengan
jumlah perusahaan media yang berada di
lokasi tersebut. Sebagai contoh, merujuk
pada data Media Directory 2012/2013,
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
29
Tabel 4.5 Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Jawa
NO
WILAYAH
CETAK
ELEKTRONIK
ONLINE
KANTOR
BERITA
TOKOH
PERS
TIDAK
ADA
TIDAK
BERGABUNG
DGN MEDIA
MANAPUN
1
BANTEN
124
8
5
2
0
0
0
139
TOTAL
2
JAWA BARAT
244
18
10
3
2
1
2
280
3
JAWA TENGAH
186
43
11
11
0
0
1
252
4
YOGYAKARTA
132
31
3
3
1
2
0
172
5
JAWA TIMUR
197
50
43
19
0
3
2
314
6
JAKARTA
510
123
46
112
20
2
9
822
TOTAL
1393
273
118
150
23
8
14
1979
Jawa Timur dan Jawa Barat adalah dua
propinsi yang juga memiliki perusahaan
pers terbanyak setelah DKI Jakarta. Di
Jawa Timur, ada grup Jawa Pos yang
banyak memiliki anak-anak perusahaan.
Sesuatu yang wajar jika wartawan
bersertifikat banyak yang berasal atau
bekerja di Jawa Pos grup. Jumlah
wartawan bersertifikat di grup ini tercatat
36 orang wartawan. Mereka tersebar di
harian Jawa Pos dan harian Radar yang
ada di seluruh Jawa Timur. Sedangkan
di Jawa Barat, wartawan bersertifikat
paling banyak bekerja di harian Pikiran
Rakyat. Di perusahaan ini tercatat jumlah
wartawan bersertifikat ada sebanyak 79
orang.
Di Sumatera jumlah total wartawan
bersertifikat adalah 1.172. Jumlah ini
tersebar di seluruh provinsi. Sumatera
Selatan memiliki jumlah wartawan
bersertifikat paling banyak, yaitu 226
orang, disusul di Sumatera Utara, 218
orang, dan Sumatera Barat, 139 orang.
Dari jumlah total wartawan bersertifikat
ini, sebagian bekerja di media cetak,
yaitu berjumlah 961, dilanjutkan di media
elektronik, online dan kantor berita. Tabel
4.6 menunjukkan hasil tersebut.
Tabel 4.6
Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Sumatra
NO
WILAYAH
CETAK
ELEKTRONIK
ONLINE
KANTOR
BERITA
TOKOH
PERS
TIDAK DI
MEDIA
MANAPUN
TAK ADA
KATEGORI
TOTAL
1
ACEH
56
11
12
3
0
0
0
82
2
JAMBI
61
16
10
2
0
0
2
91
3
KEP RIAU
107
4
7
4
0
0
1
123
4
BENGKULU
40
12
0
3
0
0
0
55
5
RIAU
97
5
4
1
0
4
1
112
6
SUMBAR
118
7
12
2
0
0
0
139
30
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
7
SUMSEL
174
27
7
7
0
7
4
226
8
SUMUT
199
13
0
3
2
1
0
218
9
KEP
BANGKA
BELITUNG
10
2
0
0
1
0
0
0
3
KEP RIAU
107
4
7
4
0
0
1
123
TOTAL
961
99
59
30
2
12
9
1172
Seperti yang terjadi di Jawa, jumlah
wartawan bersertifikat di provinsi
Sumatera juga paralel dengan jumlah
institusi media di lokasi tersebut. Sebagai
contoh, Sumatera Utara memiliki jumlah
wartawan bersertifikat terbanyak dan
di wilayah ini berdiri tidak kurang dari
74 perusahaan media. Sumatra Barat
yang juga memiliki banyak wartawan
bersertifikat, memiliki jumlah media yang
banyak pula, yaitu 27 media cetak dan 10
media online.
Jumlah total wartawan bersertifikat
di Kalimantan dan Sulawesi tidak jauh
berbeda. Di Kalimantan ada 421 wartawan
bersertifikat dan di Sulawesi ada 405
wartawan. Di Kalimantan, nampaknya
jumlah wartawan bersertifikat ini tidak
cukup berimbang. Di Kalimantan Barat
misalnya, jumlah wartawan bersertifikat
sangat sedikit, yaitu 8 orang. Sementara
di provinsi lainnya jumlah wartawan
bersertifikat rata-rata di atas 100 orang.
Tabel 4.7 memberikan gambaran distribusi
di wilayah ini.
Tabel 4.7
Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Kalimantan
TOKOH
PERS
TIDAK DI
MEDIA
MANAPUN
TIDAK JELAS KATEGORINYA
WILAYAH
CETAK
ELEKTRONIK
ONLINE
KANTOR
BERITA
1
KALBAR
7
0
0
1
0
0
0
8
2
KALSEL
60
51
2
5
0
1
0
119
3
KALTENG
55
19
11
8
0
11
2
106
4
KALTIM
119
35
14
11
0
1
8
188
TOTAL
241
105
27
25
0
13
10
421
NO
Di Sulawesi, ada kesenjangan jumlah
wartawan bersertifikat di beberapa lokasi.
Seperti misalnya di Sulawesi Selatan,
jumlah wartawan bersetifikasi paling
banyak, yaitu 203 orang. Sementara di
TOTAL
Sulawesi, jumlah wartawan bersertifikat
paling sedikit, hanya 6 orang. Tabel 4.8
memberikan gambaran tentang jumlah
wartawan bersertifikat di setiap daerah.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
31
Tabel 4.8
Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Sulawesi
NO
WILAYAH
CETAK
ELEKTRONIK
ONLINE
KANTOR
BERITA
TOKOH PERS
TIDAK
BERGABUNG
DGN MEDIA
MANAPUN
1
GORONTALO
6
11
2
4
0
0
0
23
2
SULBAR
3
2
1
0
0
0
0
6
3
SULSEL
142
30
12
4
0
1
14
203
4
SULTENG
20
11
2
1
0
0
0
34
5
SULTRA
48
12
6
4
0
0
0
70
6
SULUT
23
5
9
2
0
30
0
69
TOTAL
242
71
32
15
0
31
14
405
Banyaknya jumlah wartawan
bersertifikat di Sulawesi Selatan memiliki
kaitan erat dengan jumlah media di sana.
Sebagai gambaran, di Makassar, terdapat
76 media cetak yang terdiri dari 8 surat
kabar harian, 33 (media cetak) mingguan
dan 32 bulanan. Selain media cetak,
Makassar memiliki 28 media elektronik
dan tiga televisi lokal.4 Di wilayah ini,
wartawan bersertifikat paling banyak
TIDAK JELAS
KATEGORINYA
TOTAL
bekerja di Harian Fajar. Surat kabar yang
pendiriannya dimotori oleh Jusuf Kalla ini
memiliki 47 orang wartawan bersertifikat.
Sementara itu, penyebaran wartawan
bersertifikat di Bali dan Nusa Tenggara
juga tidak sama. Bali memiliki banyak
wartawan bersertifikat yaitu 220 orang.
Nusa Tenggara Timur memiliki hanya 2
wartawan bersertifikat.
Tabel 4.9
Persebaran Wartawan Bersertifikat di Bali-Nusa Tenggara
NO
WILAYAH
1
BALI
2
NTB
3
4.
32
ELEKTRONIK
ONLINE
KANTOR
BERITA
TOKOH
PERS
129
66
15
4
6
60
8
1
2
CETAK
TDK
BERGABUNG
DNG MEDIA
MANAPUN
TIDAK ADA
KATEGORINYA
TOTAL
0
0
220
2
0
0
73
NTT
1
0
0
1
0
0
0
2
TOTAL
190
74
16
7
8
0
0
295
Sulsel Miliki 76 Media Cetak, 28 Radio dan 3 Televisi Lokal, http://pwi-sulsel.blogspot.com/, diakses
7 Desember 2014.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Ada perbedaan data antara Dewan Pers
dan PWI NTT terkait jumlah wartawan
bersertifikat. Di situs Dewan Pers, hanya
terdaftar dua nama wartawan yang sudah
bersertifikat. Namun menurut catatan
PWI NTT, terdapat sembilan wartawan
yang lulus uji kompetensi5. Perbedaan
data juga nampak pada jumlah wartawan
bersertifikat di Bali. Di website, Dewan
Pers menyebutkan bahwa di Bali ada
220 orang wartawan bersertifikat. Angka
ini berbeda dari berita yang ditulis oleh
salah satu portal berita yang ada di Bali,
yang menyebutkan bahwa wartawan
bersertifikat ada 150 orang6.
Jumlah wartawan bersertifikat
di Maluku dan Papua relatif lebih
bagus dibanding beberapa provinsi di
Kalimantan dan Sulawesi. Di Papua Barat
misalnya, ada sebanyak 55 orang wartawan
bersertifikat. Tabel 4.7 menunjukkan
komposisi jumlah wartawan di daerah ini .
Tabel 4.10
Persebaran Wartawan Bersertifikat di Maluku dan Papua
NO
WILAYAH
CETAK
ELEKTRONIK
ONLINE
KANTOR
BERITA
TOKOH PERS
TIDAK
BERGABUNG
DNG MEDIA
MANAPUN
6.
TOTAL
1
MALUKU UTARA
38
4
0
0
0
0
0
42
2
MALUKU
46
8
4
2
0
2
1
63
3
PAPUA BARAT
35
19
1
0
0
0
0
55
4
PAPUA
47
10
8
4
0
0
0
69
TOTAL
166
41
13
6
0
2
1
229
B. Profil Data Responden
Salah satu tujuan menggunakan metode
survei dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui profil wartawan bersertifikat
yang terjaring dalam sampel penelitian.
Beberapa hal yang digali dalam survei ini
adalah: latar belakang umur, jenis kelamin,
pendidikan, penghasilan rata-rata jenis
media tempat media bekerja, tahun lolos
uji kompetensi, lembaga penguji yang
5.
TIDAK ADA
KATEGORI
memberikan sertifikat, alasan memilih
lembaga penguji, lama bekerja sebagai
wartawan, jabatan struktural yang diampu
wartawan, dan jenjang kewartawanan.
Paparan berikut akan menyajikan satu
per satu distribusi responden berdasarkan
unsur-unsur tersebut.
1. Distribusi umur dan jenis kelamin
Jumlah responden yang berhasil peneliti
Wartawan NTT Lulus Uji Kompetensi. http://pwintt.blogspot.com/2013/01/9-wartawan-ntt-lulusujikompetensi.html. Diakses 7 Desember 2014.
2015 Wartawan Harus Bersertifikat UKW. http://www.rekamkejadian.koranjuri.com/?PWI%3A_2015_Wartawan_Harus_Bersertifikat_UKW. Diakses 7
Desember 2014
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
33
terbanyak, yaitu 8 orang. Usia yang lain terdistribusi hampir merata.
Dilihat dari sisi jenis kelamin, sebagian besar responden adalah laki-laki. Ada sebanyak
65 orang (73,9%) laki-laki, 22 orang (25%) peremupuan, dan 1 orang tidak menyebutkan
identitasnya. Angka ini nampaknya tidak jauh berbeda dari realitas wartawan Indonesia yang
libatkan dalam penelitian berjumlah 88 dirinya sebagai wartawan tetap di suatu
didominasi
oleh laki-laki.
orang.
Umur responden
berkisar antara perusahaan. Sebanyak 5 orang (5,67%)
24 hingga 55 tahun. Rentang usia ini menyatakan dirinya wartawan lepas
memiliki
targetKewartawanan
responden (freelance) dan sisanya “missing” yang
2. kaitan
Statusdengan
dan Jenjang
yang berada dalam jenjang kewartawanan berarti tidak mau menunjukkan status
muda, madya
dan utama.hasil
Wartawan
kewartawanannya.
Lama menyatakan
mereka bekerja
Berdasarkan
survei,muda
57 orang
wartawan (64,77%)
dirinya sebagai
umumnya dicirikan oleh anak-anak muda sebagai wartawan berkisar antara 2 hingga
wartawan
tetap di suatu
perusahaan.
5 orang
(5,67%)
dirinya wartawan
yang
baru mengawali
karirnya
di bidangSebanyak
28 tahun.
Rentang
waktumenyatakan
yang cukup lebar
jurnalistik.
Sementara dan
wartawan
ini merupakan
konsekuensi
target
lepas (freelance)
sisanyautama,
“missing”
yang berarti
tidak maudarimenunjukkan
status
didominasi oleh wartawan senior yang sampel yang mencakup wartawan muda,
kewartawanannya. Lama mereka bekerja sebagai wartawan berkisar antara 2 hingga 28 tahun.
umumnya sudah lebih lama menekuni madya dan utama.
Rentang
waktu
yang cukup
lebar
ini30
merupakan
targetresponden,
sampel yang mencakup
profesi
jurnalis.
Wartawan
dengan
usia
Darikonsekuensi
total 88 dari
orang
puluh tahun merupakn jumlah terbanyak, sebagian besar merupakan wartawan
wartawan muda, madya dan utama.
yaitu 8 orang. Usia yang lain terdistribusi muda (36,36% atau 32 responden), diikuti
hampir merata.
oleh wartawan madya (34,09% atau 30
totalsisi
88 orang
merupakan
wartawan
muda
DilihatDari
dari
jenis responden,
kelamin, sebagian
orang) besar
dan wartawan
utama
(29,54%
atau(36,36% atau
sebagian
besar responden
adalah
laki- madya
26 orang).
32 responden),
diikuti oleh
wartawan
(34,09% atau 30 orang) dan wartawan utama
laki. Ada sebanyak 65 orang (73,9%) laki(29,54% atau 26 orang).
laki, 22 orang (25%) peremupuan, dan 1 3. Jenis media tempat bekerja
orang tidak menyebutkan identitasnya.
Hasil survei di Jakarta, Surabaya dan
media tempat
bekerja
Angka 3.
ini Jenis
nampaknya
tidak jauh
berbeda Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian
dari realitas wartawan Indonesia yang responden bekerja di media cetak, yaitu
survei di Jakarta, Surabaya
dan Yogyakarta
menunjukkan
bahwa sebagian
didominasiHasil
oleh laki-laki.
71,59%,
disusul di televisi,
sebanyak
di media
online
6,81%.
responden bekerja di media cetak, yaitu 18,8%,
71,59%, dan
disusul
di televisi,
sebanyak
18,8%, dan di
2. Status dan Jenjang Kewartawanan
Komposisi ini menyerupai komposisi asli
media
online 6,81%.
Komposisi
ini menyerupai
di bekerja
mana wartawan
Berdasarkan
hasil survei,
57 orang
di manakomposisi
wartawanasli
yang
di media yang bekerja
wartawan
(64,77%)
cetakdengan
jauh lebih
banyak
dibandingkan
di media cetak
jauh lebihmenyatakan
banyak dibandingkan
televisi
dan online.
dengan televisi dan online.
71.59%
Surat Kabar
18.18%
TV
Online
missing
6.81%
3.40%
Surat
Kabar
TV
Online
missing
Grafik 4.1 Jenis Media Tempat Bekerja Responden
34
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Grafik 4.1 Jenis Media Tempat Bekerja Responden
4. Pendidikan
4. Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Pendidikan selalu menjadi perbincangan hangat dalam menilai profesionalitas dan
P e n d i d i k a n s e l a l u m e n j a d i sebagian besar responden yang terlibat
kinerja wartawan. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan juga untuk mengetahui distribusi
perbincangan
hangat dalam menilai dalam penelitian ini tamat pendidikan
sampel berdasarkan
latar belakang
pendidikannya.
Hasil
penelitian menunjukkan
bahwa
sebagian
profesionalitas
dan kinerja
wartawan.
terakhir
S1/sarjana
strata-1. Ada
beberapa
Oleh karena
itu penelitian
ini diarahkan
wartawan
bahkan terakhir
lulus S1/sarjana
S2. Namun
besar responden
yang terlibat
dalam penelitian
ini tamat pendidikan
strata-1.
juga untuk
mengetahui
distribusi
sampel
sayangnya,
meskipun
kecil
persentasenya,
Ada beberapa wartawan bahkan lulus S2. Namun sayangnya, meskipun kecil persentasenya,
berdasarkan latar belakang pendidikannya. masih ada wartawan yang lulus SLTA.
masih ada wartawan yang lulus SLTA.
82.95%
SLTA
Diploma
2.27%
7.95%
5.68%
S1
1.13%
S2
missing
Grafik
4.24.2
Grafik
Pendidikan Terakhir Wartawan
Pendidikan Terakhir Wartawan
Dari wartawan yang menyelesaikan sarjana ilmu komunikasi/media. Temuan
Dari wartawan
menyelesaikan
1, merupakan
sebagian besarsebuah
bukan merupakan
sarjana ilmu
strata 1, sebagian
besaryang
bukan
merupakanstrataini
ironi. Departemen
sarjana komunikasi/media,
ilmu komunikasi/media,
umumnya
jurnalisme
yaitu 56 orangyaitu
(63,63%).yang
Sementara
hanya 27mengajarkan
orang (30,68) yang
menyatakn
56 orangdirinya
(63,63%).
Sementara
hanya
27
justru
tidak
banyak
lulusannya
yang
sarjana ilmu komunikasi/media. Temuan ini merupakan sebuah ironi. Departemen yang
orang (30,68) yang menyatakn dirinya bekerja sebagai jurnalis.
umumnya mengajarkan jurnalisme justru tidak banyak lulusannya yang bekerja sebagai jurnalis.
Lulusan Jurusan Ilmu komunikasi/media
63.63%
Tidak
30.68%
Ya
5.68%
Tidak
Ya
missing
missing
Grafik 4.3 Jurusan
Lulusan Jurusan
Komunikasi/Media
Grafik 4.3 Lulusan
IlmuIlmu
Komunikasi/Media
Meskipun kebanyakan wartawan bukan dari ilmu komunikasi/media tidak berarti
mereka tidak paham jurnalisme karena pendidikan dan latihan memberikan kontribusi dalam
membangun pengetahuan dan keterampilan
jurnalistik.
Berdasarkan
hasil survei,
35 dari
Jurnal
Dewan Pers
No.11, Desember
2015 lebih
setengah jumlah responden (48 orang) menyatakan pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan.
Beberapa pelatihan yang pernah diikuti responden antara lain: Banking Journalist Academy
Meskipun kebanyakan wartawan yang mereka dapat, variasi penghasilan
bukan dari ilmu komunikasi/media tidak cukup beragam. Hal ini mungkin saja
berarti mereka tidak paham jurnalisme berkaitan dengan jenjang wartawan yang
karena pendidikan dan latihan memberikan berbeda (muda, madya, dan utama).
kontribusi dalam membangun pengetahuan Penghasilan ini berkisar antara kurang
dan keterampilan jurnalistik. Berdasarkan dari 1 juta rupiah per bulan hingga 11
hasil survei, lebih dari setengah jumlah juta rupiah per bulan. Sebagian besar
responden (48 orang) menyatakan pernah wartawan muda memiliki penghasilan
mengikuti pendidikan dan pelatihan. antara kurang dari 1 juta hingga 6 juta
Beberapa pelatihan yang pernah diikuti rupiah. Sebagian besar wartawan madya
responden antara lain: Banking Journalist memiliki penghasilan antara 2 juta hingga
Academy 2014, Conference on the Asia 9 juta rupiah. Namun ada 3 responden
Jounalism Fellowship Programme, menyatakan berpenghasilan di atas 11
pelatihan wartawan jurnalisme damai, juta rupiah. Sementara itu, sebagian besar
pelatihan reportase HIV/AIDS, Karya wartawan utama berpenghasilan antara
latih wartawan (PWI), pelatihan 4 juta hingga 11 juta rupiah. Bahkan 11
jurnalisme anggaran (AJI), pelatihan orang menyatakan berpenghasilan mereka
indepth reporting (AJI), online Journalism di atas 11 juta rupiah per bulan.
Training-Hilversum dan Jurnalisme
Dalam menilai penghasilan mereka,
Sastrawi-Pantau, pelatihan
jawaban responden nampak berbedaEditor dan Pelatihan kode etik beda pula. Ada 44,3% wartawan yang
jurnalistik, Pelatihan Jurnalistik Lembaga menyatakan bahwa penghasilannya
sebagianpelatihan
besar wartawan
utama berpenghasilan
4 juta hingga
11 juta rupiah.
Bahkan 11
Pers Dr. Sutomo,
membaca
sebagai antara
wartawan
cukup.
Namun
orang menyatakan
berpenghasilan
di atas 11 juta
rupiah per2,3%
bulan. responden
laporan keuangan
perusahaan,
pelatihan mereka
demikian,
sebanyak
video jurnalistik, pelatihan melacak menyatakan sangat tidak cukup, 21,6%
Dalam menilai
penghasilan
jawaban responden
pula. Ada
investasi bodong, pelatihan
menulis
berita mereka,
menyatakan
kurang nampak
cukupberbeda-beda
dan 26,1%
44,3% wartawan
penghasilannya
sebagai
wartawan Grafik
cukup. Namun
pengenalan harga
saham, yang
dan menyatakan
masih bahwa
responden
menyatakan
pas-pasan.
banyak jenis pelatihan
yang lain.
4.4 memberikan
gambaran
tentang kurang
demikian, sebanyak
2,3% responden menyatakan
sangat tidak cukup,
21,6% menyatakan
penilaian
tentang
penghasilan
ini.
cukup dan 26,1% responden menyatakan pas-pasan. Grafik 4.4 memberikan gambaran tentang
5. Penghasilan
penilaian tentang penghasilan ini.
Sehubungan dengan penghasilan
Penilaian Responden atas Penghasilan Mereka
2.3
21.6
26.1
sangat tidak cukup
44.3
kurang cukup
5.7
pas-pasan
cukup
sangat cukup
Grafik 4.4 Penilaian Responden atas Penghasilan
36
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Grafik 4.4
Penilaian Responden atas Penghasilan
Ada suatu pandangan yang menarik tentang gaji ini yang pernah disampaikan oleh
Ada suatu pandangan yang menarik 6. Tahun mendapatkan sertifikat
tentang gaji ini yang pernah disampaikan
Sebagian besar responden
oleh seorang peserta uji kompetensi di mendapatkan sertifikat uji komptensi
Medan Mei 2012 kepada
(lulus ujian) pada tahun 2013. Pada tahun
PWI. Peserta ini mengatakan tersebut 46,59% wartawan menyatakan
“ K a l a u b i s a j a n g a n l a h h a n y a mendapatkan sertifikat. Pada tahun 2010
kemampuan jurnalistiknya yang makin hanya ada 5,68% responden menerima
profesional, kesejahteraan wartawan sertifikat, pada tahun 2011 ada 22,73%
pun harus ditingkatkan sesuai dengan dan 2012 sebanyak 20,45%. Jika dibuat
k o m p e t e n s i n y a . ” 7 S t a t e m e n i n i perbandingan antarjenjang kewartawanan,
6. Tahun
mendapatkan
sertifikat
menandakan
harapan
wartawan
bahwa maka pada tahun 2013, jumlah wartawan
seharusnya uji kompetensi berkontribusi muda yang menerima sertifikat lebih
Sebagian besar responden mendapatkan sertifikat uji komptensi (lulus ujian) pada
pada peningkatan gaji mereka. banyak daripada wartawan madya dan
tahun 2013.
tersebut
46,59% wartawan
menyatakan
mendapatkan
sertifikat.
Pada
Menanggapi
halPada
ini, tahun
Henry
CH Bangun
utama.
Meskipun
demikian,
pada tahun
tahun
2010
hanya
ada
5,68%
responden
menerima
sertifikat,
pada
tahun
2011
ada
22,73%
dan
(Sekjen PWI), menyatakan bahwa masih tersebut jumlah wartawan utama yang
banyak
perusahaan
pers yang
belumperbandingan
bisa menerima
sertifikat
tidak
selisih
jauh
2012
sebanyak 20,45%.
Jika dibuat
antarjenjang
kewartawanan,
maka
pada tahun
memenuhi
aturan
tentang
UMP
yang
dari
wartawan
muda.
Selengkapnya
data
2013, jumlah wartawan muda yang menerima sertifikat lebih banyak daripada wartawan madya
ditetapkan dalam Peraturan Dewan Pers. disajikan dalam grafik 4.5.
dan utama. Meskipun demikian, pada tahun tersebut jumlah wartawan utama yang menerima
Apalagi ketentuan AJI yang menerapkan
sertifikat
tidak selisih
jauhminimal
dari wartawan
muda. Selengkapnya data disajikan dalam grafik 4.5.
besar gaji
wartawan
adalah
3 kali
lipat dari UMP.
46.88%
43.33%
42.31%
34.38%
23.08%
26.67%
wartawan muda
wartawan madya
19.23%
13.33%
12.50%
6.25% 7.69%
6.67%
10.00%
7.69%
wartawan utama
0.00%
2010
2011
2012
2013
missing
Grafik
4.5 Tahun
Sertifikasi
Lolos Ujiberdasarkan
Kompetensi
Grafik
4.5 Tahun
Sertifikasi
Lolos Uji Kompetensi
Kategori Sertifikasi
7. Lembaga penguji
berdasarkan Kategori Sertifikasi
Lembaga penguji yang paling banyak dirujuk oleh responden untuk melaksanakan uji
kompetensi adalah PWI. Sebanyak 34 responden (38,64%) melakukan ujian di PWI. Setelah
PWI, lembaga penguji yang dirujuk oleh responden adalah LPDS. Sebanyak 26 responden
7. Opini
ditulismelakukan
oleh Henryujian
CH di
Bangun
(Sekjen
PWI) danberikutnya
bisa dilihat
lebihAJI
lanjut
http://media.
(29,55%)
lembaga
ini. Lembaga
adalah
dandiDewan
Pers.
kompasiana.com/mainstream-media/2012/05/19/ukw-gaya-medan-463372.html. Diakses 7 Desember
Grafik 4.6 berikut memberikan gambaran temuan yang dimaksud.
2014.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
37
7. Lembaga penguji
Lembaga penguji yang paling
banyak dirujuk oleh responden untuk
melaksanakan uji kompetensi adalah
PWI. Sebanyak 34 responden (38,64%)
melakukan ujian di PWI. Setelah PWI,
lembaga penguji yang dirujuk oleh
responden adalah LPDS. Sebanyak 26
responden (29,55%) melakukan ujian di
lembaga ini. Lembaga berikutnya adalah
AJI dan Dewan Pers. Grafik 4.6 berikut
memberikan gambaran temuan yang
dimaksud.
38.64%
29.55%
AJI
PWI
11.38%
10.22%
10.22%
LPDS
Dewan Pers
Missing
AJI
PWI
LPDS
Dewan
Pers
Missing
GrafikGrafik
4.6 4.6
Lembaga Penguji yang Memberikan Sertifikasi
Lembaga Penguji yang Memberikan Sertifikasi
Semenjak dikeluarkannya Peraturan Sutomo), dan LKBN (Lembaga Kantor
dikeluarkannya
Peraturan Dewan
Pers Nomor
1/PeraturanDP/II/2010 tentang
Dewan Semenjak
Pers Nomor
1/PeraturanDP/
Berita Nasional)
Antara.
II/2010
Standar
Kompetensi
PWI termasuk
yang paling
Standar tentang
Kompetensi
Wartawan
sejak 2010, beberapa
lembaga penguji
terkait produktif
gencar melakukan
Wartawan sejak 2010, beberapa lembaga melaksanakan uji kompetensi wartawan.
sosialisasi ke beberapa daerah di Indonesia. Hingga saat ini tercatat ada 25 lembaga penguji
penguji terkait gencar melakukan Kelebihan lain dari PWI adalah, mereka
kompetensi
wartawandaerah
yang di
terdiri
dari organisasi
jurnalis,
institusiujipendidikan,
perusahaan
sosialisasi
ke beberapa
Indonesia.
tak hanya
melakukan
kompetensidan
untuk
Hingga
saat
ini
tercatat
ada
25
lembaga
anggota
PWI
propinsi
saja.
Media-media
pers. Namun dari 25 lembaga tersebut, yang terhitung cukup produktif dalam melaksanakan uji
penguji kompetensi wartawan yang besar seperti Republika, Pikiran Rakyat,
kompetensi
hanya limajurnalis,
lembaga,
yaitu Dewan
Pers,
AJI Gatra,
(Aliansi Fajar
Jurnalisdan
Independen),
PWI
terdiri
dari organisasi
institusi
Warta
Kota,
masih
pendidikan,
perusahaan
pers. Namun
banyakPers
lagiDokter
lainnya
mempercayakan
(Persatuan dan
Wartawan
Indonesia),
LPDS (Lembaga
Sutomo),
dan LKBNuji
(Lembaga
dari 25 lembaga tersebut, yang terhitung kompetensi wartawannya kepada PWI.
Kantor Berita Nasional) Antara.
cukup produktif dalam melaksanakan Lembaga kedua yang paling banyak
PWI termasuk
paling
produktif memberikan
melaksanakansertifikasi
uji kompetensi
uji kompetensi
hanyayang
lima
lembaga,
padawartawan.
respondenKelebihan
yaitu
AJImereka
(Aliansi
adalah uji
LPDS.
Lembaga
inianggota
sejak lama
lain Dewan
dari PWIPers,
adalah,
takJurnalis
hanya melakukan
kompetensi
untuk
PWI propinsi
Independen), PWI (Persatuan Wartawan berpengalaman memberikan pendidikan
saja. Media-media
besar seperti
Rakyat,
Warta Kota,
Gatra, Fajar dan masih
Indonesia),
LPDS (Lembaga
PersRepublika,
Dokter Pikiran
jurnalistik.
Sementara
AJI diperhitungkan
banyak lagi lainnya mempercayakan uji kompetensi wartawannya kepada PWI. Lembaga kedua
38yangJurnal
Dewan Pers No.11, Desember 2015
paling
banyak memberikan sertifikasi pada responden adalah LPDS. Lembaga ini sejak
lama berpengalaman memberikan pendidikan jurnalistik. Sementara AJI diperhitungkan karena
karena didirikan atas semangat perlawanan kredibilitas lembaga penguji dan karena
terhadap rezim Orde Baru dan juga kantor mengarahkan uji kompetensi
dimotori oleh wartawan-wartawan muda ke lembaga tertentu. Kedua alasan ini
yang tentu lebih kritis dalam menyikapi nampak sangat menonjol dibanding
berbagai isu yang terkait dengan dunia alasan-alasan lain seperti lokasi ujian yang
jurnalis. Wartawan-wartawan ini merujuk mudah dijangkau dan waktu ujian yang
AJI sebagai lembaga penguji.
sesuai. Grafik 4.7 berikut menggambarkan
ini nampak
menonjol
dibanding
alasan-alasan
Alasanalasan
paling
banyaksangat
muncul
dalam
temuan
ini. lain seperti lokasi ujian yang mudah
menentukan
lembaga
penguji
adalah
dijangkau dan waktu ujian yang sesuai. Grafik 4.7 berikut menggambarkan temuan ini.
Grafik 4.7
Alasan Memilih
Lembaga
untuk
Kompetensi
Grafik 4.7 Alasan
Memilih
Lembaga
untuk
UjiUjiKompetensi
8. Keterlibatan dalam Asosiasi
yang terlibat dalam penelitian ini tergabung dalam asosiasi berjumlah cukup
8. KeterlibatanResponden
dalam Asosiasi
besar, yaitu
47 orang
(53,40%).dalam
Mereka umumnya tergabung dalam AJI, IJTI, PFI, dan PWI. Di
Responden
yang
terlibat
mereka hanyadalam
10 orangasosiasi
(11,36%) menjadi pengurus.
penelitianantara
ini tergabung
berjumlah cukup besar, yaitu 47 orang
(53,40%). Mereka umumnya tergabung
dalam AJI, IJTI, PFI, dan PWI. Di antara
mereka hanya 10 orang (11,36%) menjadi
pengurus.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
39
40
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Bab V
Uji Kompetensi, Profesionalisme dan
Kinerja
Seperti telah dikemukakan pada
bab sebelumnya, salah satu tujuan
dilakukannya uji kompetensi adalah
meningkatkan kualitas dan profesionalitas
wartawan. Selain itu, uji kompetensi juga
bertujuan sebagai bahan evaluasi terhadap
kinerja wartawan. Kedua hal itu baik
secara langsung maupun tidak langsung
terkait dengan persepsi wartawan tentang
ukuran-ukuran profesionalitas kerja
wartawan. Oleh karena itu, pada bab ini,
akan dipaparkan persepsi wartawan atas
profesionalitas dirinya serta persepsi dan
refleksi wartawan terhadap uji kompetensi.
Persepsi wartawan atas profesionalitas
penting dikaji karena persepsi
mempengaruhi kinerja. Sebagai contoh,
jika wartawan mempersepsi jurnalis
sekedar sebagai pekerjaan, maka etika
menjadi kurang penting karena kaidahkaidah etis biasa termaktub dalam
pekerjaan profesional. Begitu pula,
persepsi wartawan terhadap orientasi
kinerja. Dalam hal ini, apakah wartawan
bekerja untuk publik ataukah demi pemilik
modal atau kelompok-kelompok tertentu
akan mempengaruhinya kerja wartawan
dalam memilih dan menampilkan realitas
menjadi berita.
A. P e r s e p s i Wa r t a w a n A t a s
Profesionalitas Dirinya
Untuk mengetahui persepsi wartawan
atas profesionalitas dirinya, kepada
masing-masing wartawan baik muda,
madya maupun utama diajukan beberapa
pertanyaan terkait persepsi mereka
mengenai, misalnya, apakah sebagai
jurnalis mereka selalu mempertimbangkan
publik dalam melakukan pekerjaannya?
Total pertanyaan untuk mengetahui
persepsi wartawan ini beragam. Untuk
wartawan muda, ada kurang lebih
28 pertanyaan yang ditujukan untuk
mengidentifikasi persepsi wartawan muda
terhadap profesionalitas dirinya, dan
masing-masing sebanyak 29 dan 21 item
pertanyaan untuk wartawan madya dan
wartawan utama. Paparan berikut akan
diawali dengan menyajikan skor mean
untuk mengetahui kecenderungan persepsi
responden atas makna profesionalitas
wartawan.
Tabel 5.1 memperlihatkan secara
gamblang persepsi wartawan atas
profesionalitas tersebut. Baik wartawan
muda, madya ataupun utama tampak
bahwa persepsi profesionalitas atas
dirinya relatif bagus. Ini ditunjukkan oleh
angka mean dari masing-masing tingkatan
wartawan yang berada di atas nilai kritis
mean yang ditetapkan oleh peneliti.
Untuk nilai kritis mean wartawan muda,
misalnya, adalah 56 yang merupakan nilai
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
41
tengah (mean) dari angka minimal (0) dan
angka maksimal 1121. Untuk wartawan
muda, nilai mean 73,53 (std. deviation
12,15) menunjukkan bahwa persepsi
wartawan muda atas profesionalisme
dirinya relatif bagus. Begitu pula, jika
dilihat mean dari wartawan madya dan
utama. Nilai mean untuk wartawan madya
adalah 81,9 (std. deviation 11,718),
sedangkan wartawan utama adalah 59,96
(std. deviation 11,718).
Perlu dicatat bahwa meskipun wartawan
utama nilai mean-nya paling kecil, tidak
berarti bahwa hal itu menunjukkan
persepsi mengenai profesionalitasnya
lebih buruk dibandingkan dengan
wartawan lainnya. Ini karena nilai
pembandingnya (nilai mean) berbeda.
Nilai mean untuk wartawan utama adalah
42, sedangkan wartawan madya dan
wartawan muda masing-masing 58 dan
56. Perbandingan ketiganya bisa dilihat
dengan membandingkan selisih mean
ketiganya. Dari sini, bisa dilihat bagaimana
nilai mean wartawan muda punya selisih
17,53 poin, wartawan madya 23,9 poin,
dan wartawan utama 17,96 poin. Dengan
demikian, persepsi wartawan madya
menjadi yang paling bagus dibandingkan
dengan persepsi wartawan muda ataupun
utama dalam hal profesionalitas diri
mereka karena nilai mean mereka jauh di
atas nilai mean dari rerata nilai maksimal
dan nilai minimal yang bisa ditentukan
untuk masing-masing jenjang wartawan.
Tabel 5.1 Persepsi wartawan Atas profesionalitas
Wartawan Muda
Mean
Std.
Wartawan
Madya
Mean
Std.
deviasi
Wartawan Utama
Mean
Std.
deviasi
deviasi
Persepsi
wartawan atas
73,53
12,147
81,9
11,718
59,96
11,718
profesionalitas
dirinya
1.
42
Nilai minimal dan maksimal untuk wartawan muda: 0-112(nilai kritis mean 56). Nilai minimal dan
maksimal untuk wartawan madya: 0-116 (nilai kritis mean 58). Nilai minimal dan maksimal untuk
wartawan utama: 0-84 (nilai kritis mean 42). Nilai mean di bawah nilai kritis ini dianggap buruk.
Perbedaan mean disebabkan oleh jumlah pertanyaan di masing-masing kuesioner untuk setiap kategori
wartawan berbeda (28 pertanyaan untuk muda, 29 madya dan 21 utama –untuk perhitungan nilai ini).
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Dalam penelitian ini, persepsi
wartawan atas profesionalitas dirinya
dijabarkan dalam dalam beberapa dimensi.
Dimensi pertama berhubungan dengan
persepsi mereka atas pelayanan publik.
Dimensi kedua tentang usaha mereka
dalam memberikan informasi terbaru
kepada publik secara cepat. Dimensi
ketiga tentang pengetahuan wartawan
atas Undang-Undang Pers dan Kode Etik.
Temuan penelitian tentang persepsi ini
bisa dipaparkan sebagai berikut.
1. Persepsi bahwa Wartawan Harus
Melayani Publik
Pelayanan terhadap publik merupakan
kata kunci dalam merumuskan jurnalisme.
Kovach dan Rosenstiel menyebutnya
sebagai loyalitas utama jurnalisme.
Sebagai sebuah ideologi, jurnalisme
memang harus selalu mengabdi kepada
kepentingan publik, dan itu pula
sebenarnya yang menjadi alasan utama
dijaminnya kemerdekaan pers, yakni
agar media bisa melayani warga negara.
Oleh karena itu, mengetahui persepsi
wartawan bahwa jurnalis harus mengabdi
atau melayani publik sangatlah penting.
Jika persepsi jurnalis mengenai pelayanan
terhadap publik ini sangat kuat maka
output jurnalismenya pun akan senantiasa
mengedepankan kepentingan publik,
demikian sebaliknya.
Tabel 5.2 memberikan informasi yang
lengkap mengenai persepsi wartawan
terkait dengan pelayanan publik. Untuk
wartawan muda, dari 32 responden yang
mengisi kuisioner, sebanyak 20 responden
(62.50%) menyatakan setuju dan 7
responden (21.88%) menyatakan sangat
setuju. Jika responden yang menyatakan
setuju dan sangat setuju ini digabung
maka angkanya mencapai 84%. Namun,
yang perlu diperhatikan bahwa ada
responden yang menyatakan kurang setuju
jika wartawan harus melayani publik.
Angkanya cukup besar, yakni mencapai
15.63%. Ini tentu harus mendapatkan
perhatian karena pelayanan terhadap
publik mestinya memang harus menjadi
kewajiban utama wartawan. Kewajiban
lainnya seperti melayani perusahaan demi
mendapatkan keuntungan atau lebih-lebih
melayani pemilik media harus berada di
bawah tugas melayani publik.
Persepsi bahwa wartawan harus
melayani publik ini semakin bagus
untuk kategori wartawan madya dan
utama. Meskipun masing-masing jenjang
wartawan masih menyisakan responden
yang menyatakan tidak setuju, tapi total
persentase responden yang menyatakan
setuju dan sangat setuju jauh lebih besar
dibandingkan dengan wartawan muda untuk
jenjang wartawan madya dan utama. Untuk
jenjang wartawan madya, masing-masing
sebesar 56,7% menyatakan setuju dan
33.3% menyatakan sangat setuju sehingga
total mencapai 90.0%. Sementara itu, untuk
wartawan utama, ada sebesar 65.38% yang
menyatakan setuju dan sebanyak 30.77%
yang menyatakan sangat setuju sehingga
total keduanya mencapai 91.16%. Dengan
demikian, bisa disimpulkan bahwa persepsi
wartawan mengenai keharusan melayani
publik untuk jenjang wartawan madya dan
utama sudah sangat bagus. Wartawan muda
yang kemudian harus lebih mendapatkan
perhatian karena masih menyisakan
masalah.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
43
Tabel 5.2 Persepsi Responden bahwa Wartawan Harus Melayani Publik
Wartawan
Harus
Melayani Publik
Jenjang kewartawanan
wartawan muda
frekuensi
%
wartawan madya
frekuensi
%
wartawan utama
frekuensi
%
Kurang setuju
5
15.63%
2
6.7%
1
3.85%
Setuju
20
62.50%
17
56.7%
17
65.38%
Sangat setuju
7
21.88%
10
33.3%
8
30.77%
Missing
0
0.00%
1
Total
32
100.00%
30
2. Persepsi Wartawan untuk Selalu
Berusaha Memberikan Informasi
Terbaru kepada Publik Secara Cepat
Terkait keharusan untuk melayani
publik, persepsi berikutnya yang tidak
kalah penting yaitu bahwa wartawan
harus selalu berusaha memberikan
informasi secara cepat. Media-media
yang profesional selalu berusaha
menyampaikan informasi yang up to date
atau aktual. Oleh karena itu, wartawan
perlu mempunyai persepsi positif
mengenai pelayanan informasi yang aktual
ini. Bahkan, dalam kerangka mengukur
media performance, McQuail (1992)
memasukan aktualitas sebagai salah satu
dimensi yang sangat penting. Khalayak
juga sangat mengharapkan berita-berita
yang tidak hanya faktual, tapi juga aktual.
Tabel 5.3 menunjukkan informasi
lengkap mengenai persepsi bahwa
wartawan harus selalu berusaha merilis
informasi terbaru kepada publik secara
cepat. Untuk wartawan muda, dari 32
responden yang berada pada jenjang
ini, ada 21 responden (65.63%) yang
44
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
3.33%
100.00%
0
26
0.00%
100.00%
menyatakan setuju dan 7 responden
(21.88%) yang menyatakan sangat setuju.
Sementara untuk wartawan madya dan
utama, masing sebanyak 17 responden
(56.67%) dan 12 responden (46.15%) yang
menyatakan sangat setuju. Untuk kedua
jenjang ini, ada sebanyak 9 responden
(30.00%) dan 8 responden (30.77%)
yang menyatakan sangat setuju. Tidak
berbeda jauh dari persepsi wartawan atas
keharusan melayani publik, wartawan
muda juga masih mengandung masalah.
Untuk jenjang wartawan muda, ada 1
responden (3.13%) yang mengatakan
kurang setuju dan 3 responden (9.38%)
yang menyatakan tidak tahu. Ini tentu
menjadi masalah karena prinsip dasar kerja
media sangat mengedepankan aktualitas
sehingga menjadi sangat bermasalah jika
ada wartawan yang menyatakan tidak
tahu atau bahkan tidak setuju.
Tabel 5.3 Persepsi Responden Bahwa Wartawan Harus Selalu Berusaha
Memberikan Informasi Terbaru kepada Publik
Wartawan selalu
berusaha memberikan informasi
terbaru kepada
publik secara
cepat
Jenjang kewartawanan
wartawan muda
frekuensi
%
wartawan madya
frekuensi
%
wartawan utama
frekuensi
%
Sangat tidak
setuju
0
0.00%
0
0.00%
1
3.85%
Kurang setuju
1
3.13%
0
0.00%
0
0.00%
Tidak tahu
3
9.38%
1
3.33%
0
0.00%
Setuju
21
65.63%
17
56.67%
12
46.15%
Sangat setuju
7
21.88%
9
30.00%
8
30.77%
Missing
0
0.00%
3
10.00%
5
19.23%
Total
32
100.00%
3. Pengetahuan Wartawan Atas UndangUndang Pers dan Kode Etik
Undang-undang pers menjadi
sandaran hukum bagi kerja wartawan,
sekaligus harus memberi batas-batas atas
kemerdekaan yang diberikan kepadanya.
Ini karena dalam undang-undang pers
juga termaktub prinsip-prinsip yang harus
dipegang oleh seorang jurnalis dalam
menulis dan menyiarkan berita. Undangundang juga menegaskan kode etik. Di
sini, etika merupakan “pengetahuan
yang membahas ukuran kebaikan atau
kesusilaan perilaku manusia dalam
masyarakat” (Ashadi, 1986). Etika secara
praktis memberikan orientasi bagaimana
seseorang harus bertindak. Oleh karena
itu, undang-undang dan kode etik menjadi
semacam
30
100.00%
26
100.00%
‘panduan’ bagi kerja wartawan dalam
mencari, mengolah, dan menyiarkan
berita. Terkait dengan hal itu, tabel 5.4
memberikan informasi yang lengkap
mengenai persepsi wartawan bahwa
mereka seharusnya mengetahui dengan
baik UU Pers dan Kode Etik.
Jenjang wartawan muda tetap
mempunyai persentase tinggi
dibandingkan dengan jenjang lainnya
dalam hal ketidaksetujuan mengenai
hal ini. Meskipun persentase terbesar
adalah wartawan yang mengatakan setuju
(68.75%), wartawan yang mengatakan
tidak setuju cukup signifikan yakni
4 responden atau 12.05%. Ini tentu
saja merupakan masalah besar bahkan
dibandingkan dengan persepsi wartawan
atas kewajiban melayani publik dan juga
persepsi bahwa wartawan harus memberi
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
45
informasi yang aktual. Ini karena profesiapapun jenisnya-selalu mensyaratkan kode
etik. Dengan kata lain, suatu pekerjaan
dikatakan sebagai profesi jika mempunyai
kode etik. Ketidaksetujuan wartawan atas
hal ini, terlebih yang telah mendapatkan
sertifikasi tentu saja menjadi masalah
krusial. Apalagi jika dilihat bahwa hal
itu juga terjadi untuk jenjang wartawan
madya dan utama. Singkatnya, bagaimana
mungkin kedua jenjang wartawan ini
tidak setuju terhadap pernyataan bahwa
seorang wartawan harus memahami
Undang-Undang Pers dan Kode Etik
Jurnalistik. Itu berarti bahwa wartawan
yang bersangkutan menolak pekerjaannya
dianggap sebagai profesi, dan bahwa
yang bersangkutan juga tidak berusaha
memahami hak dan kewajibannya sebagai
jurnalis sebagaimana digariskan undangundang. Padahal, pekerjaan jurnalis
selalu terkait dengan orang lain. Tanpa
pengetahuan atas undang-undang mereka
akan mendapati kesulitan ketika harus
berhadapan dengan hukum.
Tabel 5.4 Pengetahuan Wartawan Atas UU Pers dan Kode Etik
Wartawan mengetahui
dengan baik UU pers dan
kode etik
Jenjang kewartawanan
wartawan muda
frekuensi
%
46
%
wartawan utama
frekuensi
%
Sangat tidak setuju
0
0.00%
0
0.00%
1
3.85%
Kurang setuju
4
12.50%
1
3.33%
1
3.85%
Tidak tahu
1
3.13%
1
3.33%
0
0.00%
Setuju
22
68.75%
22
73.33%
15
57.69%
Sangat setuju
5
15.63%
6
20.00%
8
30.77%
Missing
0
0.00%
0
0.00%
1
3.85%
Total
32
100.00%
30
100.00%
26
100.00%
B. Persepsi dan Refleksi Wartawan
terhadap Dampak Uji Kompetensi
Bagaimana wartawan melihat dampak
uji kompetensi itu bagi peningkatan
profesionalitas dirinya? Jawaban atas
pertanyaan ini tergambar dalam tabel 5.5.
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa nilai
2.
wartawan madya
frekuensi
mean untuk persepsi dan refleksi wartawan
atas dampak uji kompetensi relatif bagus.
Untuk wartawan muda, nilai mean-nya
adalah 48.12 jauh di atas angka nilai kritis
mean yang ditetapkan oleh peneliti2 dari
nilai minimal dan maksimalnya, yakni
32. Begitu juga dengan jenjang wartawan
Nilai minimal dan maksimal untuk wartawan muda: 0-64 (nilai kritis mean 32). Nilai minimal dan
maksimal untuk wartawan madya: 0-64 (nilai kritis mean 32). Nilai minimal dan maksimal untuk
wartawan utama: 0-96 (nilai kritis mean 48). Nilai mean di bawah nilai kritis ini dianggap buruk.
Perbedaan ini disebabkan oleh jumlah pertanyaan di masing-masing kuesioner untuk setiap kategori
wartawan berbeda (16 pertanyaan untuk muda, 16 madya dan 24 utama –untuk perhitungan nilai ini).
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
madya dan utama. Nilai mean kedua
jenjang wartawan ini masih di atas nilai
mean nilai tertinggi dan terendah untuk
masing-masing kategori. Hanya saja,
yang perlu diperhatikan adalah tingginya
angka deviasi yang menunjukkan bahwa
ada persebaran angka ketidaksepakatan
di antara responden. Dengan kata lain,
responden banyak yang tidak sepakat
mengenai dampak-dampak uji kompetensi
ini bagi peningkatan profesionalitas
wartawan. Ketidaksepakatan semacam itu
juga tercermin dalam sesi FGD, terutama
di Jakarta.
Tabel 5.5
Persepsi dan Refleksi Wartawan terhadap Dampak Uji Kompetensi
Wartawan Muda
Wartawan Madya
Wartawan Utama
Mean
Mean
Std.
Mean
Std.
47,57
deviasi
17,186
68,46
deviasi
20,438
Persepsi
48,12
dan refleksi
Std.
deviasi
8,769
wartawan
terhadap
dampak uji
kompetensi
Selama sesi FGD di Yogyakarta dan
Jakarta, tidak ditemukan satu pernyataan
yang sifatnya tegas dalam menentukan
dampak-dampak uji kompetensi bagi
kualitas kerja wartawan. Beberapa usulan
bahkan mengemukakan bahwa kontributif
tidaknya uji kompetensi bagi peningkatan
kerja jurnalis harus ditanyakan kepada
jurnalis itu sendiri. Ada benarnya
pernyataan ini, tapi kontribusi uji
kompetensi mestinya bisa diukur dari
banyak faktor, termasuk pengamatanpengamatan yang dilakukan oleh atasan
mereka. Seorang jurnalis, mestinya,
bisa diamati kinerjanya oleh redaktur
yang menjadi atasan tempat dia bekerja
sehingga, dari situ, bisa dilihat seberapa
besar kontribusi uji kompetensi bagi
peningkatan kerja atau profesionalisme
wartawan. Berdasarkan atas pandangan
semacam ini, kiranya, kontribusi uji
kompetensi tetap bisa dilihat.
Sihono HT, Pemimpin Redaksi Minggu
Pagi, tabloid mingguan dalam kelompok
Kedaulatan Rakyat, mengemukakan
penilaiannya terkait kontribusi uji
kompetensi bagi peningkatan kerja
jurnalis sebagai berikut.
“Yang saya rasakan UKW mampu
meningkatkan kualitas wartawan, tapi
belum menjadi acuan sistem evaluasi
kinerja oleh perusahaan. Jadi, belum
digunakan oleh perusahaan untuk
menentukan posisi seseorang di
media atau redaksi. Saat ini, wartawan
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
47
belum mempunyai posisi strategis
di perusahaan. Meskipun demikian,
kami merasakan peningkatan
untuk wartawan muda, madya, dan
utama. Wartawan muda yang sudah
mendapatkan sertifikasi lebih aktif
mengusulkan rencana liputan. Untuk
wartawan madya, mereka lebih aktif
memberikan masukan dalam rapat
redaksi, sedangkan yang utama lebih
aktif memberikan pengarahan [kepada
wartawan muda dan madya] sesuai
dengan kebijakan redaksi.”
Selain peningkatan semacam itu,
menurut Sihono, uji kompetensi juga
meningkatkan kesadaran mengenai
pentingnya rapat redaksi. “Dulu,
kelihatannya ogah-ogahan, tapi sekarang
sudah muncul kesadaran pentingnya rapat
redaksi, selain kesadaran meningkatkan
jejaring dan lobi.” Di Minggu Pagi, ada
delapan wartawan, dan dari jumlah itu
hanya satu yang belum mengikuti uji
kompetensi.
Pengamatan-pengamatan semacam itu
juga terjadi dalam banyak praktik media
lainnya di luar Minggu Pagi. Bahkan,
penguji juga memberikan catatancatatan menarik terkait kontribusi uji
kompetensi bagi peningkatan kinerja
dan profesionalisme jurnalis seperti
dikemukakan Warief D. Basorie berikut.
“Sejak 2010, LPDS sudah
melaksanakan 53 kali uji kompetensi.
Dari pengamatan luas, dari mereka
yang ikut di awal, ada kepercayaan
diri yang meningkat. Sebagai contoh,
ujian tahun 2010. Seorang wartawan
48
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
dari jenjang muda dari Antara dan
ketika diuji bagus, maka ketika
kembali ke institusinya para seniornya
memberikan apresiasi yang bagus.
Dua jempol untuk wartawan ini. Untuk
yang utama, dua tahun lalu, JPNN,
mengkontak LPDS guna mengadakan
UKW dengan wartawan mereka
hingga tiga gelombang. Di situ, ada
kemauan untuk membuktikan diri
sebagai contoh bagi yang lain ketika
menjalani proses uji kompetensi.”
Sementara itu, menurut Hendrawan,
uji kompetensi memberikan penajaman
akan perspektif dan etika.
“Efeknya adalah begitu lulus, ia lebih
mempunyai perspektif dan etika
karena uji kompetensi dites [atau
diuji] atas kegiatan yang mereka
lakukan sehari-hari. [Uji Kompetensi]
memberikan perspektif tertentu dalam
liputan dibandingkan dengan yang lain
[wartawan yang belum melakukan
uji kompetensi]. Ini karena tidak
semua jurnalis di media mendapatkan
pelatihan. Untungnya, saya pernah
dididik teknis liputan, tapi etika belum
terserap dengan baik.
Pembelajaran [etika] dilakukan secara
informal.”
Arfi Bambani mengemukakan bahwa
etika mestinya menjadi bagian dari uji
kompetensi wartawan. Ini menunjukkan
pentingnya perspektif etis dalam setiap
liputan, dan etika karenanya menjadi
penting dalam setiap liputan berita.
Terlepas dari keberatan-keberatan itu,
dalam perspektif yang paling minimal,
kontribusi uji kompetensi adalah
memberikan ruang pembelajaran bagi
jurnalis. Maria Andriana, wartawan Antara
dan pengajar di LPDS, mengemukakan
proses pembelajaran yang dimaksud
sebagai berikut.
“Jika evaluasi dari proses ujian, justru
dari testimoni peserta maka bagi
yang tidak mendapatkan pelatihan
jurnalistik maka merasa mengalami
proses pembelajaran. Kemudian,
dalam konteks rapat redaksi, tidak
semua media mempunyai rapat redaksi
sehingga ujian menjadi sesuatu yang
baru.”
Profesi jurnalis merupakan profesi
terbuka yang siapa pun bisa masuk ke
dalam profesi ini. Dengan demikian,
pengetahuan dan perspektif yang mereka
bawa pun beragam. Di sisi lain, tidak
bisa dipungkiri adanya kenyataan bahwa
terdapat ketimpangan yang luas antara
media-media di pusat dan di daerah.
Meskipun media-media mainstream telah
mempunyai sistem pendidikan, pelatihan,
dan uji kompetensi yang mapan, tapi
banyak kenyataan media-media lokal dan
banyak diantaranya juga di pusat tidak
mendapatkan pelatihan yang memadai.
Oleh karena itu, bagi jurnalis yang
bekerja di media-media relatif kecil
dengan sumber daya lebih terbatas, uji
kompetensi menjadi sangat penting dalam
meningkatkan kinerja dan profesionalisme
mereka. Bahkan, seperti dikemukakan
oleh Hendrawan dan juga Arfi Bambani,
uji kompetensi memberikan perspektif
dan etika dalam liputan jurnalis karena
materi uji kompetensi meliputi hal itu.
“Etik mestinya menjadi bagian dari
kompetensi. Bahan uji sudah diberikan
sebulan sebelum uji kompetensi sehingga
mereka (peserta) pasti sudah membaca
bahan seperti hukum media, etika, dan
lain sebagainya,” demikian menurut Arfi
Bambani.
Namun, seperti dikemukakan
sebelumnya, kontribusi itu hanya dinilai
sejauh pengamatan. Peserta FGD di
Jakarta dan Yogyakarta mengemukakan
bahwa tidaklah mudah untuk melihat
sejauh mana kontribusinya bagi pekerjaan
jurnalis. Sihono HT mengemukakan,
“Untuk mengukur apakah uji kompetensi
punya kontribusi tidak mudah. Namun,
sejauh yang dirasakan ada peningkatan
kinerja.” Sementara itu, jurnalis dari
kantor berita 68 H, Heru Hendratmoko,
lebih pesimis lagi dalam menilai uji
kompetensi wartawan sebagaimana ia
kemukakan sebagai berikut.
“Dari sisi pragmatis, cukup ada
gunanya. Di 68H, seratus persen lulus
meskipun jika saya yang menguji
mungkin lima puluh persen tidak lulus
karena [menurut saya] membuat laporan
masih belepotan. Kedua, di KBR, ada
evaluasi rutin setiap enam bulan sekali.
Ini terkait dengan kenaikan gaji ataupun
promosi jabatan. Evaluasi meliputi
reporter, editor, manajer, hingga pemred.
Pertanyaan apakah punya pengaruh
langsung pada kualitas pemberitaan? Saya
justru menjawab tidak karena ini, menurut
saya, merupakan proses. Uji kompetensi,
tidak berbeda dengan ujian SIM, dan [hal
itu tetap] tidak menjamin kemampuan
berlalu lintas. Saya kira juga banyak
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
49
terjadi pelanggaran di media. Jadi, apakah
justru tidak wishful thinking jika hendak
mengetahui kontribusi uji kompetensi
bagi kinerja jurnalis.”
Paparan hasil FGD di atas kiranya
meneguhkan temuan-temuan survei
mengenai ketidaksepakatan yang
cenderung melebar dalam melihat
dampak uji kompetensi bagi wartawan.
Meskipun persentase yang menyatakan
setuju mempunyai dampak positif, tapi
nilai standar deviasi yang relatif tinggi
menunjukkan adanya ketidaksepakatan
yang cukup luas atas hal itu. Selanjutnya,
dengan melihat hasil FGD, dan dengan
mempertimbangkan dua sudut pandang
tadi, kontribusi uji kompetensi bagi jurnalis
terletak pada perspektif yang digunakan,
dan ukuran-ukuran untuk melihat besaran
kontribusinya. Barangkali, bagi jurnalisjurnalis di daerah seperti dikemukakan
Sihono ataupun Hendrawan, dan
pengalaman-pengalaman empiris LPDS,
uji kompetensi memberikan kontribusi
signifikan. Namun, ketika ukuran-ukuran
diperluas ke dalam derajat
‘kesempurnaan’ kerja jurnalis bahwa
jurnalis harus 100% profesional maka
mengharapkan uji kompetensi akan
meningkatkan kinerja mungkin benarbenar menjadi wishful thinking. Suatu
angan-angan belaka yang sulit dicari
kenyataan empirisnya di lapangan.
Kemudian, jika dilihat dari latar
belakang jurnalis dan kontribusinya
dalam uji kompetensi maka ditemukan
data sebagai berikut. Seperti ditunjukkan
oleh grafik 5.1 yang merupakan hasil
crosstabulation antara latar belakang
50
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
pengetahuan dan kontribusinya
bagi uji kompetensi dengan jenjang
kewartawanan, maka tampak bahwa
persentase terbesar menyatakan setuju
dan sangat setuju bahwa latar belakang
pendidikan dan pelatihan kewartawanan
sangat membantu dalam uji kompetensi.
Untuk wartawan muda, jumlah
responden yang menyatakan setuju
sebanyak 62.5% dan sebanyak 25.0%
menyatakan sangat setuju. Untuk
wartawan madya, persentase yang
menyatakan setuju lebih tinggi, yakni
sebesar 66.7% dan yang menyatakan
sangat setuju lebih sedikit, yakni 20%.
Terakhir, untuk wartawan utama,
sebanyak 57.7% menyatakan setuju
dan 23.1% menyatakan sangat setuju.
Ini menunjukkan bahwa pengetahuan
sebelumnya dan training kewartawanan
tidak melenceng jauh dari uji kompetensi.
Meskipun demikian, ada persentase yang
cukup signifikan dari jenjang wartawan
muda yang menyatakan kurang setuju,
yakni sebesar 12.5%. Untuk jenjang
wartawan madya, persentasenya juga
cukup signifikan, yakni 6.7%. Tingginya
persentase wartawan yang mengatakan
kurang setuju ini disebabkan dua faktor.
Pertama, konsekuensi dari wartawan
sebagai profesi terbuka sehingga beragam
pendidikan di luar jalur komunikasi dan
jurnalistik bisa masuk. Kedua, langkanya
pendidikan atau training jurnalis yang
memadai yang didapatkan oleh wartawan.
Ini terefleksi dari pengalaman-pengalaman
biro di daerah yang reporternya tidak
mendapatkan training cukup memadai.
66.7%
62.5%
57.7%
Wartawan Muda
Wartawan Madya
25.0% 23.1%
20.0%
Wartawan Utama
12.5%
6.7%
7.7%
3.8% 3.3% 3.8%
3.8%
3.3%
0.0%
0.0%
0.00.0
% %
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Tahu Kurang Setuju
Sangat Tidak SetujuMissing
Grafik 5.1
Grafik 5.1
Pendapat
bahwa
Latar
Belakang
Pendidikan/Pelatihan
PendapatWartawan
Wartawan bahwa
Latar
Belakang
Pendidikan/Pelatihan
yang Dimiliki sangat
yang Dimiliki
sangatUjiMembantu
Membantu
Kompetensi Uji Kompetensi
Terkait pengetahuan
dan keterampilan
uji kompetensi
Terkait pengetahuan
dan keterampilan
yang dimilikitinggi.
wartawan sebelum uji kompetensi,
yang dimiliki
wartawan
sebelum
uji
Untuk
wartawan
muda,pada
persentasenya
crosstabulation memberikan hasil sebagai berikut. Seperti bisa dilihat
grafik 5.2, sebagian
kompetensi, crosstabulation memberikan mencapai 71.9% yang menyatakan setuju
besar responden dalam beragam jenjang wartawan menyatakan bahwa sebelum uji kompetensi
hasil sebagai berikut. Seperti bisa dilihat dan 3.1% yang menyatakan sangat setuju.
mereka
merasa telah
mempunyai
pengetahuan
keetrampilanmadya
cukup untuk
pada grafik
5.2, sebagian
besar
responden
Untukdanwartawan
dan menjadi
utama,seorang
dalam beragam
jenjangini wartawan
danwartawan
73.1% telah
wartawan. Temuan
bisa dimaknai masing-masing
dalam dua hal. sebesar
Pertama, 66.7%
sebagian
menyatakan
bahwa
sebelum
uji
kompetensi
yang
menyatakan
setuju
serta
26.7%
mendapatkan pengetahuan dan pendidikan yang cukup di tempat bekerjanya masing-masing.
mereka merasa telah mempunyai dan 15.4% yang menyatakan sangat
Artinya, meskipun wartawan merupakan profesi terbuka, proses pendidikan dan pelatihan di
pengetahuan dan keetrampilan cukup setuju. Data ini juga mengindikasikan
tempatnya
bekerja
memberinya
bekal kebenaran
pengetahuan hipotesis
untuk menjadi
jurnalis.terkait
Ini terutama
untuk menjadi
seorang
wartawan.
Temuan
pertama
ini bisa dimaknai
Pertama,
proses
pembelajaran
disudah
media
masingterungkapdalam
selamadua
sesihal.
FGD,
terutama untuk
media-media
yang relatif
mapan.
Oleh karena
sebagian itu,
wartawan
masing.
karena semakin
tinggi dan
menjadi telah
tidak mendapatkan
mengherankan jika
wartawanInimengatakan
bahwa pengetahuan
pengetahuan dan pendidikan yang cukup jenjang pendidikan, semakin tinggi
keterampilan sebelum uji kompetensi tinggi.
di tempat bekerjanya masing-masing. pula pandangan mereka bahwa mereka
Untukwartawan
wartawan muda,
persentasenya
mencapai
71.9% yang menyatakan
setujudan
dan 3.1%
Artinya, meskipun
merupakan
telah
mendapatkan
pengetahuan
yang menyatakan
sangat
setuju. Untuk keterampilan
wartawan madya dan
utama,untuk
masing-masing
profesi terbuka,
proses
pendidikan
cukup
menjadisebesar
dan pelatihan
di
tempatnya
bekerja
wartawan
sebelum
uji
kompetensi.
Untuk sangat
66.7% dan 73.1% yang menyatakan setuju serta 26.7% dan 15.4% yang menyatakan
memberinya bekal pengetahuan untuk wartawan muda, yang terjadi sebaliknya.
setuju. Data ini juga mengindikasikan kebenaran hipotesis pertama terkait proses pembelajaran di
menjadi jurnalis. Ini terutama terungkap Meskipun jumlah responden yang masuk
media
masing-masing.
Ini karena
tinggi jenjang
pendidikan,
semakin tinggi pula
selama sesi
FGD,
terutama untuk
media-semakin
ke dalam
kategori
ini dan menyatakan
pandangan
mereka
mendapatkan
dan menyatakan
keterampilan cukup
media yang
relatifmereka
sudah bahwa
mapan.
Olehtelahsetuju
cukuppengetahuan
besar, yang
karena itu, menjadi tidak mengherankan sangat setuju jauh di bawah wartawan
jika wartawan mengatakan bahwa madya dan utama. Sebaliknya, persentase
pengetahuan dan keterampilan sebelum responden yang menyatakan kurang setuju
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
51
mencapai 21.9%. Ini menunjukkan proses
pembelajaran yang terus berlangsung bagi
jurnalis.
Selain proses belajar yang cukup di
tempat kerjanya masing-masing, data
pada grafik 5.2 juga membawa makna
kedua, yakni bahwa uji kompetensi pada
dasarnya lebih pada ujian pengetahuan
dan pengalaman wartawan. Proses
pembelajaran yang selama ini telah
mereka dapatkan kemudian diuji
melalui uji kompetensi. Oleh karena
itu, menjadi sangat tampak bahwa
semakin tinggi jenjang kewartawan
semakin kuat persepsinya bahwa mereka
telah mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan yang cukup untuk menjadi
wartawan. Meskipun demikian, perlu
diperhatikan bahwa self evaluation
semacam itu mempunyai kelemahan
karena sangat subjektif. Oleh karena itu,
temuan FGD perlu diperhatikan terutama
terkait persepsi wartawan itu sendiri
terhadap profesi jurnalis.
71.9%
Seperti terungkap selama FGD di
Yogyakarta, ada indikasi bahwa wartawan
cenderung memandang pekerjaannya
sebagai suatu pekerjaan yang mudah
sehingga tidak perlu proses belajar.
Hendrawan, misalnya, mengemukakan,
“Wartawan tv biasanya malas dan
menganggap bahwa jurnalis bisa dilakukan
dengan learning by doing.” Hal yang
kurang lebih sama disampaikan oleh Arief,
wartawan TVRI Yogyakarta, “Sampai
saat ini, di media televisi, banyak yang
learning by doing.” Pandangan semacam
ini tentu berimbas pada kebutuhan akan
pengetahuan dan keterampilan yang
seharusnya dimiliki. Jika wartawan
menganggap sebagai suatu pekerjaan yang
mudah, maka sekecil apapun pengetahuan
dan keterampilan yang mereka miliki
sudah dianggap mencukupi. Sebaliknya,
ia dianggap sebagai suatu pekerjaan
profesional dengan standar pengetahuan
dan keterampilan yang tinggi maka syaratsyarat pengetahuan dan keterampilan pun
menjadi naik atau lebih sulit.
73.1%
66.7%
Wartawan Muda
Wartawan Madya
26.7%
15.4%
6.7% 3.8%
3.1%
3.1%
Sangat Setuju
Wartawan Utama
21.9%
Setuju
Tidak Tahu
3.8%
0.0%
Kurang Setuju
3.8%
0.0%0.0%
Missing
Grafik 5.2 Wartawan Merasa telah Mendapatkan Pengetahuan dan Ketrampilan yang
Grafik 5.2 Wartawan Merasa
telah Uji
Mendapatkan
Cukup Sebelum
Kompetensi Pengetahuan
dan Ketrampilan yang Cukup Sebelum Uji Kompetensi
52
C. Analisis Kualitatif Berita
Jurnal Dewan
Persbagian
No.11, Desember
Pada
sebelumnya2015
bab ini, telah dipaparkan persepsi wartawan mengenai
profesionalitas dirinya dan dampak uji kompetensi. Pada bagian ini, akan dipaparkan hasil
analisis kualitatif atas output kerja wartawan dalam bentuk berita. Analisis ini penting dilakukan
C. Analisis Kualitatif Berita
Pada bagian sebelumnya bab ini,
telah dipaparkan persepsi wartawan
mengenai profesionalitas dirinya dan
dampak uji kompetensi. Pada bagian ini,
akan dipaparkan hasil analisis kualitatif
atas output kerja wartawan dalam bentuk
berita. Analisis ini penting dilakukan
karena analisis sebelumnya didasarkan
atas persepsi wartawan. Analisis atas
hasil kerja wartawan ini diharapkan akan
memberi gambaran lebih dalam atas
profesionalitas wartawan ketika menulis
berita, pada satu sisi, sekaligus menjadi
pembanding bagi temuan sebelumnya
pada sisi yang lain.
Dari keseluruhan berita yang coba
dianalisis secara kualitatif, ada beberapa
catatan terkait berita tersebut, terutama
jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah
jurnalisme profesional yang menjunjung
tinggi objektivitas dan netralitas.
Meskipun beberapa berita sudah dikemas
dengan sangat baik, misalnya, berita di
Kedaulatan Rakyat tanggal 2 November
2014 yang ditulis relatif bagus karena
menghadirkan beragam narasumber atau
berita Kontan tanggal 3-9 November yang
menyajikan laporan feature yang sangat
bagus, beberapa berita masih mengandung
sejumlah persoalan.
Pertama, terkait dengan nilai
relevansinya bagi publik. Pada bagian
sebelumnya, telah dipaparkan bahwa
wartawan harus melayani publik.
Konsep pelayanan dalam hal ini bisa
diterjemahkan ke dalam kemampuan
wartawan dalam memilih berita yang
relevan bagi khalayak (lihat McQuail,
1992). Semakin signifikan berita yang
disajikan dalam melayani kebutuhan
khalayak, maka semakin besar wartawan
tersebut melayani publik. Di sini, muncul
masalah karena terdapat wartawan yang
sepertinya gagal dalam memahami
konsep ini. Dalam berita yang disiarkan
beritajatim.com, misalnya, ada berita
yang ditulis oleh wartawan bersertifikat
yang menuliskan pemberian penghargaan
terhadap dirinya sebagai best of the best
anugerah jurnalistik Pertamina. Di sini,
persoalannya adalah apa signifikansi
berita itu bagi publik terlebih berita itu
ditulis oleh wartawan penerima anugerah
itu sendiri? Dengan ditulis oleh wartawan
penerima anugerah itu sendiri, justru yang
muncul bahwa berita digunakan untuk
publisitas dirinya sendiri, dan bukannya
demi melayani kepentingan publik akan
informasi. Jika event itu yang ingin
diliput, maka bukan siapa yang meraih
anugerah, tapi lebih pada apa kontribusi
event itu bagi publik. Manfaat apa yang
bisa diambil dari publik terkait event yang
diselenggarakan oleh Pertamina tersebut.
Persoalan kedua menyangkut bias
narasumber. Sebuah berita mestinya
ditampilkan dengan menghadirkan
beragam narasumber atau setidaknya
cover both side. Itu menjadi salah satu
indikator profesionalitas wartawan, dan
yang paling banyak dirujuk hingga saat
ini. Namun, dari beberapa berita yang
dianalisis, terdapat berita yang ditulis oleh
wartawan dengan hanya menyandarkan
pada satu narasumber. Hal itu bisa dilihat
dalam berita yang dipublikasikan oleh
harian Surya. Dalam berita dengan judul
“Kemenag Kesulitan Tertibkan Travel
Haji Nakal”, berita hanya bersandarkan
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
53
pada satu narasumber yakni Sekjen
Kemenag, Nur Syam. Dalam berita
sepanjang enam paragraf dan mengambil
tiga kolom berita itu, keseluruhan
bercerita dari sudut pandang Sekjen
Kemenag. Berita tidak menghadirkan
pihak lain, misalnya, pihak travel.
Akibatnya, berita mengandung source
bias dan ketidakimbangan. Pada akhirnya,
wartawan juga terjebak ke dalam
kesimpulan yang kurang tepat. Dari sini,
tampak bahwa meskipun sebagian besar
wartawan mempunyai persepsi yang
bagus mengenai profesionalitas dirinya,
masih mengandung beberapa masalah jika
dilihat dari output beritanya. Ini kiranya
yang masih perlu mendapatkan perhatian.
54
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Bab VI
Dukungan Perusahaan Pada Profesionalitas
dan
Kinerja Wartawan
Perusahaan memiliki kontribusi cukup
besar dalam pencapaian profesionalitas
dan kinerja wartawan. Dalam posisinya
sebagai karyawan wartawan terikat
dengan kebijakan dan peraturan
perusahaan. Kebijakan perusahaan
merupakan keputusan bersama yang
diambil oleh pimpinan perusahaan.
Kebijakan ini menjadi landasan bagi
penyusunan peraturan dan keputusankeputusan yang diambil oleh manajemen.
Peraturan perusahaan memuat prosedur
kerja, tata tertib perusahaan, hak dan
kewajiban perusahaan dan manajemen,
sanksi dan hukuman, dan sebagainya.
Peraturan ini bersifat mengikat seluruh
pihak baik manajemen maupun karyawan.
Kebijakan dan peraturan perusahaan
ini merupakan instrumen bagaimana
perusahaan mengontrol perilaku karyawan
dan juga manajemen. Melalui peraturan
ini, pimpinan perusahaan mendefinisikan
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
oleh wartawan dan memberikan sanksi
dan hukuman bagi yang melanggarnya. Di
dunia jurnalistik kebijakan dan peraturan
perusahaan ini antara lain berkaitan dengan
prosedur atau mekanisme produksi berita,
ketentuan promosi dan gaji, dan kebijakan
terhadap pemberian dari narasumber.
Di samping itu, iklim kerja atau
kondisi lingkungan pekerjaan juga
memiliki kontribusi pada profesionalitas
dan kinerja wartawan. Karyawan pada
umumnya mengharapkan lingkungan
kerja yang baik dan kondusif untuk
mendukung pekerjaannya. Robbins
(1996) mengungkapkan bahwa
lingkungan kerja penting bagi karyawan
untuk kenyamanan pribadi. Karyawan,
termasuk di sini wartawan, mungkin
saja memegang teguh profesionalisme
dalam bekerja. Namun jika mereka tidak
mendapatkan lingkungan kerja yang
sesuai dengan nilai-nilai yang mereka
anut, kemungkinan profesionalisme ini
akan terdistorsi atau mereka akan keluar
dari perusahaan. Secara umum karyawan,
termasuk juga wartawan, mengharapkan
lingkungan kerja yang dapat memberi
mereka kesempatan untuk menggunakan
kemampuan dan pengetahuan yang mereka
miliki. Karyawan pun menghendaki
keberadaan pimpinan dan rekan sekerja
yang mendukung. Karyawan umumnya
merasa puas jika pimpinan perusahaan
dan rekan sekerja bersifat ramah dan dapat
memahami mereka, menawarkan pujian
untuk kinerja yang baik, mendengarkan
pendapat karyawan, dan menunjukkan
minat pribadi mereka pada profesi.
Kepuasan ini dinyatakan oleh Robbins,
berefek pada kinerja karyawan (Robbins,
181-182).
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
55
Ada enam unsur yang digali dalam
penelitian ini untuk melihat bagaimana
kebijakan dan peraturan perusahaan
serta iklim kerja dinilai oleh wartawan
(responden). Keenam unsur ini meliputi: (1)
penilaian responden tentang penghargaan
dan dukungan pada sertifikasi, (2)
penilaian responden tentang prosedur atau
mekanisme kerja, (3) penilaian responden
tentang impersonality, (4) penilaian
responden tentang presence of rules
terutama terkait kebijakan atau aturan
pemberian narasumber, (5) penilaian
responden tentang hirarki atau otoritas
dan (6) penilaian responden tentang
kompetensi pekerjaan.
Penilaian responden terhadap keenam
unsur ini memiliki arti penting untuk dapat
memprediksi profesionalitas dan kinerja
wartawan. Peneliti dalam hal ini memaknai
bahwa semakin positif penilaian terhadap
unsur-unsur tersebut berarti semakin
besar dukungan perusahaan dalam upaya
meningkatkan derajat profesionalitas
dan kinerja seorang wartawan. Paparan
berikut menyajikan temuan penelitian
tentang keenam unsur tersebut.
A. Penghargaan dan Dukungan
Perusahaan pada Sertifikasi
Wartawan
Sertifikasi wartawan merupakan salah
satu upaya yang ditempuh oleh Dewan
Pers untuk meningkatkan profesionalitas
dan kinerja wartawan Indonesia. Oleh
karena sebagian besar wartawan bekerja
dalam suatu perusahaan, maka seharusnya
perusahaan memberikan dukungan
terhadap pelaksanaan sertifikasi ini.
Hasil survei menunjukkan, 56
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
rata-rata penilaian wartawan terhadap
penghargaan dan dukungan perusahaan
pada sertifikasi wartawan cukup baik. Hal
ini nampak dari nilai mean sebesar 15,03
(std. deviation 3,3). Nilai mean ini lebih
besar dari nilai kritis yang ditetapkan
dalam penelitian ini, yaitu 12. Namun nilai
mean tersebut masih cukup jauh dari nilai
maksimum yang ditetapkan, yaitu 24, yang
berarti penilaian tentang penghargaan dan
dukungan perusahaan pada sertifikasi
wartawan masih belum terlalu baik.
Jika penilaian wartawan atas dukungan
perusahaan ini dibandingkan antarkategori
wartawan, penilaian wartawan utama
paling positif dibandingkan penilaian
wartawan muda dan madya. Sementara,
penilaian wartawan madya paling rendah
skornya jika dibandingkan kedua kategori
yang lain. Tabel 6.1 berikut menunjukkan
perbedaan ketiganya.
Tabel 6.1 Nilai Mean Penilaian Penghargaan dan Dukungan Sertifikasi Wartawan
Wartawan Muda
Mean
Wartawan Madya
Std.
Mean
deviasi
Penilaian tentang 14,62
penghargaan
dan dukungan
pada sertifikasi
wartawan
Std.
Wartawan Utama
Mean
deviasi
3,26
14,5
Untuk memberi paparan detil tentang
penghargaan dan dukungan perusahaan
pada sertifikasi wartawan, penelitian ini
juga telah melakukan investigasi terkait
pandangan responden tentang berbagai
persoalan, yaitu: dorongan perusahaan
kepada wartawan untuk melakukan
uji standar kompetensi, dukungan
perusahaan dalam menanggung biaya dan
memberikan keleluasaan waktu kepada
wartawan untuk mengikuti uji standar
kompetensi, perhatian perusahaan pada
pentingnya sertifikasi untuk wartawan,
keistimewaan perlakuan perusahaan pada
wartawan bersertifikat, pertimbangan
sertifikasi dalam mempromosikan jabatan
3,501
Std.
deviasi
16,15
2,935
(kenaikan karir), dan peningkatan gaji dan
fasilitas kepada wartawan bersertifikat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dorongan perusahaan kepada wartawan
untuk melakukan uji standar kompetensi
nampaknya ditanggapi secara berbeda
oleh wartawan yang menjadi responden
penelitian ini. Sebagian besar menyatakan
setuju bahwa perusahaan tempat mereka
bekerja telah mendorong wartawan
melakukan uji standar kompetensi, namun
sebagian berpendapat kurang setuju. Ini
menandakan tidak semua perusahaan
memberi dukungan yang memadai untuk
melakukan uji standar kompetensi uji.
Grafik 6.1 menggambarkan persoalan ini.
65.6%
61.5%
50.0%
Wartawan Muda
33.3%
Wartawan Madya
23.1%
18.8%
11.5%
10.0%
6.2% 3.3%3.8%
3.3%
0.0% 0.0%
9.4%
Sangat
Setuju
Setuju
Tidak Tahu
Kurang
Setuju
Wartawan Utama
Missing
Grafik 6.1 Penilaian wartawan bahwa perusahaan mendorong
wartawan untuk melakukan uji standar
Grafik 6.1kompetensi
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Penilaian wartawan bahwa perusahaan mendorong wartawan untuk melakukan uji standar
kompetensi
57
Hasil penelitian juga mengungkapkan
bahwa penilaian wartawan atas dukungan
perusahaan dalam menanggung biaya
dan memberikan keleluasaan waktu
kepada wartawan untuk mengikuti uji
standar kompetensi cukup bervariasi.
Sebagian besar menyatakan setuju dan
bahkan sangat setuju, namun ada juga
yang kurang setuju. Hal ini menandakan
belum maksimalnya perusahaan
membantu wartawan dalam melakukan
uji kompetensi. Temuan yang menarik
di sini adalah adanya indikasi perbedaan
pemberian dukungan untuk wartawan
muda dan untuk wartawan utama dan
madya. Pada grafik 6.2 terlihat bahwa
persentase wartawan muda yang setuju
(40,6%) relatif lebih rendah dari persentase
wartawan utama (73,1%) dan madya
(60%). Sementara persentase wartawan
muda yang memberikan jawaban kurang
setuju dan tidak tahu lebih banyak
dibanding wartawan utama dan madya.
“Missing” dalam penelitian ini berarti
wartawan tidak bersedia menyampaikan
penilaian terkait persoalan ini. Idealnya
perusahaan memberi dukungan yang sama
kepada semua jenjang kewartawanan.
Kurangnya dukungan pada wartawan
muda amat berisiko pada kinerja mereka.
Perlu diingat bahwa wartawan muda ini
memiliki peran krusial sebagai garda
terdepan dalam proses produksi berita.
Mereka menjalankan perannya dalam
news gathering. Kualitas data/informasi
di tahap ini selanjutnya akan menentukan
kualitas berita yang dihasilkan di meja
redaksi.
73.1%
60.0%
40.6%
26.7%26.9%
Wartawan Muda
Wartawan Madya
25.0%
6.7%
0.0%
Sangat
Setuju
Wartawan Utama
18.8%
15.6%
Setuju
Tidak Tahu
3.3%
0.0%
Kurang
Setuju
3.3%
0.0% 0.0%
Missing
Grafik6.2
6.2 Penilaian
Penilaian wartawan
bahwa
perusahaan
menanggung
biaya dan
memberikan
Grafik
wartawan
bahwa
perusahaan
menanggung
biaya
keleluasaan waktu kepada wartawan untuk mengikuti uji standar kompetensi
dan memberikan keleluasaan waktu kepada wartawan untuk mengikuti
uji standar kompetensi
Di samping itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian wartawan atas perhatian
perusahaan pada arti penting sertifikasi juga menunjukkan kecenderungan positif. Sebesar 59,4%
wartawan
wartawan
madya,
58
Jurnalmuda,
Dewan 51,7%
Pers No.11,
Desember
2015 dan 57,7% wartawan muda menilai perusahaan tempat
mereka bekerja memiliki perhatian terhadap arti penting sertifikasi. Meskipun demikian, terdapat
12.5% (4 orang) wartawan muda yang menyatakan tidak setuju dan 12,5% (4 orang) yang
Grafik 6.2 Penilaian wartawan bahwa perusahaan menanggung biaya dan memberikan
keleluasaan waktu kepada wartawan untuk mengikuti uji standar kompetensi
Di samping itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian wartawan atas per
Di samping itu, hasil penelitian memiliki perhatian terhadap arti penting
perusahaan
padabahwa
arti penting
sertifikasi
menunjukkan
kecenderungan
positif. Sebesar
menunjukkan
penilaian
wartawanjugasertifikasi.
Meskipun
demikian, terdapat
atas perhatian
perusahaan
padamadya,
arti dan
12.5%
(4 orang)
wartawan
muda yang
wartawan
muda, 51,7%
wartawan
57,7%
wartawan
muda menilai
perusahaan
penting sertifikasi juga menunjukkan menyatakan tidak setuju dan 12,5% (4
mereka
bekerja memiliki
terhadaporang)
arti penting
demikian, te
kecenderungan
positif. perhatian
Sebesar 59,4%
yang sertifikasi.
menyatakanMeskipun
tidak tahu.
wartawan
muda,
51,7%
wartawan
madya,
Grafik
6.3
memberikan
gambaran
temuan
12.5% (4 orang) wartawan muda yang menyatakan tidak setuju dan 12,5% (4 orang)
dan 57,7% wartawan muda menilai ini.
perusahaantidak
tempat
mereka6.3bekerja
menyatakan
tahu. Grafik
memberikan gambaran temuan ini.
59.4%
57.7%
51.7%
37.9%34.6%
Wartawan Muda
Wartawan Madya
15.6%
Sangat
Setuju
12.5%10.3%
12.5%
7.7%
0.0%0.0%
Setuju
Tidak Tahu
Wartawan Utama
Kurang
Setuju
Grafik 6.3 Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja menaruh perha
menaruh perhatian serius
seriuspada
padapentingnya
pentingnyasertifikasi
sertifikasiuntuk
untukwartawan
wartawan
Hasil
FGD
pun pun
menunjukkan
variasivariasi Sementara
itu, Peserta
berkaitan
Hasil
FGD
menunjukkan
penilaian ini.
FGDdengan
di Yogyakarta
penilaian ini. Peserta FGD di Yogyakarta p e r l a k u k a n t e r h a d a p w a r t a w a n
mewakili
RRI melihat
lembaga
ada semacam
kesepakatan
pemimpin r
yang mewakili
RRI bahwa
melihatdibahwa
di ini
bersertifikat,
sebagian
besar bahwa
wartawan
lembaga ini ada semacam kesepakatan menilai bahwa tidak ada perlakukan yang
bahwa pemimpin redaksi seharusnya berbeda yang diberikan oleh perusahaan
wartawan utama. Kesepakatan ini yang pada wartawan yang telah mengantongi
kemudian mendorong RRI menyambut sertifikat yang berarti telah lolos uji standar
baik penyelenggaraan uji kompetensi. Lain kompetensi, dengan wartawan yang belum
lagi dengan peserta dari TVRI. Peserta ini bersertifikat. Namun demikian, beberapa
berpandangan bahwa uji kompetensi tidak responden (wartawan muda 5 orang atau
cukup populer dan kurang diperhitungkan 15,6%, wartawan madya 4 orang atau
di kalangan mereka karena institusinya 13,8% dan wartawan utama 6 orang atau
selama ini telah memiliki program diklat 23,1%) menyatakan tidak setuju. Tabel
untuk membangun kompetensi wartawan. 6.2 menyajikan temuan ini. Hal ini berarti
ada indikasi bahwa ada perusahaan yang
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
59
telah menerapkan perlakukan berbeda
antara wartawan bersertifikat, namun ada
pula yang tidak. Persamaan perlakukan ini
menyebabkan sejumlah wartawan kurang
bersemangat mengikuti uji kompetensi.
Tabel 6.2 Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat wartawan bekerja
memiliki perlakuan yang sama antara wartawan bersertifikat dengan yang tidak.
Jenjang Kewartawanan
Wartawan Muda
Frequency
Sangat Setuju
Setuju
2
Percent
Wartawan Madya
Frequency Percent
6,2%
1
3,3%
Wartawan Utama
Frequency
Percent
3
11,5%
18
56,2%
15
50,0%
13
50,0%
Tidak Tahu
6
18,8%
7
23,3%
4
15,4%
Kurang Setuju
5
15,6%
4
13,3%
6
23,1%
Sangat Tidak
Setuju
1
Missing
Total
0
32
3,1%
0,0%
100,0%
Dalam forum FGD sebagian besar
partisipan menyayangkan kondisi
ini. Perusahaan seharusnya memberi
perlakukan berbeda, dalam bentuk
kenaikan gaji, promosi jabatan, atau
pemberian fasilitas, atau penghargaan
lainnya kepada wartawan bersertifikat
untuk dapat memacu mereka mengikuti
uji kompetensi.
Terkait promosi jabatan, sebagian
besar responden menjawab tidak tahu,
kurang setuju dan sangat tidak setuju
bahwa perusahaan tempat wartawan
bekerja mempertimbangkan wartawan
bersertifikat dalam mempromosikan
jabatan (kenaikan karir). Jawaban
“tidak tahu” merupakan jawaban yang
paling banyak diberikan oleh responden
(50% oleh wartawan muda, 36,7%
wartawan madya, dan 30,8% wartawan
utama). Hal ini mengindikasikan adanya
60
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
2
1
30
6,7%
3,3%
100,0%
0
0,0%
0
26
0,0%
100,0%
perusahaan yang kurang transparan
dalam menentukan kriteria promosi atau
kenaikan jabatan sehingga berakibat
ketidaktahuan wartawan. Jawaban kurang
setuju dan sangat tidak setuju yang
juga berjumlah banyak menunjukkan
sertifikasi tidak berhubungan dengan
promosi jabatan. Temuan lain yang
dipaparkan pada bagian selanjutnya
menunjukkan bagaimana promosi jabatan
ini cenderung ditentukan oleh hubunganhubungan personal daripada merujuk pada
hasil evaluasi kriteria kinerja yang diukur
secara objektif. Sementara itu, jawaban
kurang setuju dan sangat tidak setuju
menunjukkan pandangan bahwa sertifikasi
tidak membantu wartawan dalam promosi
jabatan. Tabel 6.3 menunjukkan temuan
ini.
Tabel 6.3 Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat wartawan bekerja
mempertimbangkan wartawan bersertifikat dalam mempromosikan jabatan
(kenaikan karir)
Jenjang Kewartawanan
Wartawan Muda
Frequency
Percent
Wartawan Madya
Frequency
Wartawan Utama
Percent
Frequency
Percent
Sangat Setuju
1
3,1%
1
3,3%
0
0,0%
Setuju
7
21,9%
6
20,0%
10
38,5%
Tidak Tahu
16
50,0%
11
36,7%
8
30,8%
Kurang Setuju
7
21,9%
8
26,7%
8
30,8%
Sangat Tidak
Setuju
1
3,1%
3
10,0%
0
0,0%
Missing
0
0,0%
1
3,3%
0
0,0%
32
100,0%
30
100,0%
26
100,0%
Total
Hasil survei ini mendapatkan
konfirmasi dari hasil FGD. Seperti
disampaikan oleh Sihono pemimpin
redaksi Minggu Pagi.
Sebagai pemimpin redaksi MP, salah
satu penerbitan pers KR Group,
saya belum pernah diajak rapat
oleh manajemen (direksi) untuk
menentukan pimpinan redaksi di
lingkungan PT BP Kedaulatan Rakyat,
berdasarkan kompetensi wartawan.
Ini membuktikan bahwa, UKW belum
mampu menempatkan wartawan
pada posisi strategis di perusahaan
pers. Karena penempatan posisi atau
jabatan, belum berdasarkan hasil UKW
atau kompetensi wartawan.
menghargainya.
Sertifikasi nampaknya juga tidak
membawa pengaruh pada peningkatan
gaji dan fasilitas yang diterima wartawan
bersertifikat. Seperti nampak pada tabel
6.5 di bawah ini, hasil penelitian
menunjukkan, sebagian besar wartawan
menjawab tidak tahu, kurang setuju dan
sangat tidak setuju bahwa perusahaan
meningkatkan gaji dan fasilitas kepada
wartawan bersertifikat. Temuan ini
kembali menguatkan indikasi kurangnya
penghargaan dan apresiasi perusahaan
terhadap wartawan bersertifikat.
Realitas ini tentu menyedihkan, di
satu sisi wartawan berupaya mendapatkan
pengakuan kompetensi yang dimilikinya,
di sisi lain perusahaan kurang
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
61
Tabel 6.5
Penilaian wartawan bahwa perusahaan meningkatkan gaji dan fasilitas kepada
wartawan bersertifikat
Jenjang Kewartawanan
Wartawan Muda
Frequency Percent
Wartawan Madya
Frequency
Wartawan Utama
Percent
Frequency
Percent
Sangat Setuju
4
12,5%
0
0,0%
2
7,7%
Setuju
7
21,9%
2
6,7%
8
30,8%
Tidak Tahu
11
34,4%
11
36,7%
6
23,1%
Kurang Setuju
7
21,9%
10
33,3%
8
30,8%
Sangat Tidak Setuju
3
9,4%
6
20,0%
2
7,7%
Missing
0
0,0%
1
3,3%
0
0,0%
32
100,0%
30
100,0%
26
100,0%
Total
Berdasarkan temuan-temuan di atas
terlihat perusahaan masih belum maksimal
dalam memberikan penghargaan dan
dukungan kepada wartawan. Temuan juga
menunjukkan tidak adanya hubungan
antara sertifikasi dengan peningkatan
kesejahteraan wartawan. Namun
demikian, fakta ini perlu dianalisis lebih
mendalam dengan mempertimbangkan
temuan dari hasil FGD.
Berdasarkan hasil FGD di Jakarta,
beberapa perusahaan memiliki
mekanisme tersendiri dalam mengukur
standar kompetensi wartawannya,
misalnya yang dilakukan oleh Kompas,
Jakarta Post, dan Tempo. Mekanisme
ini bahkan lebih detil dan kompleks
dibanding dengan mekanisme yang dibuat
atau dikembangkan oleh Dewan Pers
dan lembaga penguji standar kompetensi
wartawan lainnya. Perusahaan-perusahaan
tersebut bahkan telah menghubungkan
mekanisme standar kompetensi
62
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
yang dimilikinya dengan kriteria
profesionalitas dan kinerja yang harus
dimiliki oleh wartawan di setiap jenjang.
Di Kompas, jenjang kewartawanan lebih
detil dibanding dengan jenjang yang
dibuat oleh Dewan Pers. Jika di Dewan
Pers jenjang ini meliputi 3 level, yaitu:
wartawan muda, madya, dan utama, maka
jenjang wartawan di Kompas meliputi
7 level, yaitu: wartawan/reporter mula,
reporter muda, reporter madya, reporter
utama, redaktur muda, redaktur madya
dan redaktur utama. Masing-masing
jenjang tersebut memiliki kriteria standar
kompetensi sendiri-sendiri. Berdasarkan
kriteria standar dan pencapaian wartawan
pada kriteria tersebut, perusahaan seperti
Kompas membuat keputusan promosi
jabatan, kenaikan gaji dan pemberian
fasilitas kepada wartawan. Di sini
perusahaan tidak bergantung pada hasil
sertifikasi versi Dewan Pers atau lembaga
lainnya.
B. Prosedur kerja
Prosedur atau mekanisme kerja
berkaitan dengan proses kerja yang
ditetapkan oleh perusahaan. Suatu
prosedur atau mekanisme kerja yang
jelas akan memberi kemudahan bagi
karyawan, dalam hal ini wartawan, dalam
menyelesaikan pekerjaannya. Prosedur
atau mekanisme ini juga berfungsi
memberi pedoman tentang standar kerja
dan kinerja perusahaan. Namun demikian,
prosedur atau mekanisme ini tidak selalu
paralel dengan derajat profesionalitas dan
kinerja. Mungkin saja terjadi, prosedur
atau mekanise kerja mengandung nilai
atau prinsip yang berlawanan dengan
nilai-nilai profesionalisme dan kinerja
wartawan. Oleh karena itu, untuk dapat
memahami persoalan prosedur atau
mekanisme kerja ini peneliti hanya
berfokus pada persoalan yang memiliki
kaitan dengan profesionalitas dan kinerja.
Hasil survei menunjukkan bahwa
penilaian wartawan terhadap prosedur
atau mekanisme kerja yang diterapkan
oleh perusahaan cenderung positif. Nilai
mean sebesar 11,77 (std. deviation 2,42)
menunjukkan hasil yang mengarah
pada kecenderungan positif. Walaupun
demikian nilai mean ini masih jauh di
bawah nilai maksimum yang ditetapkan,
yaitu 16. Hal ini berarti ada indikasi bahwa
prosedur dan mekanisme kerja yang
ditetapkan perusahaan masih dirasakan
oleh wartawan belum cukup baik. Jika
dibandingkan penilaian tersebut antara
wartawan muda, madya dan utama, maka
penilaian wartawan utama yang paling
positif atau baik.
Tabel 6.6
Nilai Mean Prosedur Kerja
Wartawan Muda
Wartawan Madya
Wartawan Utama
Mean
Mean
Mean
Std.
deviasi
Prosedur/mekanisme
kerja
10,84
2,81
Untuk dapat mengetahui penilaian
responden terhadap prosedur atau
mekanisme kerja, peneliti mengaitkannya
dengan empat aspek, yaitu: distribusi
kerja yang dalam hal ini dihubungkan
dengan pelaksanaan pekerjaan sesuai
posisi masing-masing karyawan ketentuan
tentang kesiapan redaktur atau wartawan
dengan usulan sebelum rapat redaksi;
Std.
deviasi
12,1
2,23
Std.
deviasi
12,54
1,7
kebijakan redaksi dalam menyikapi isu
tertentu; dan prosedur dalam mengangkat
suatu topik pemberitaan. Keempat aspek
ini dinilai memberikan kontribusi pada
profesionalitas dan kinerja wartawan.
Distribusi kerja merupakan salah
satu indikator yang menunjukkan sejauh
mana perusahaan mampu mengelola
sumberdaya manusia yang dimilikinya.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
63
Kemampuan ini memiliki kaitan erat
dengan pencapaian output atau target
pekerjaan. Dalam menilai distribusi
kerja, penelitian ini menghubungkannya
dengan pelaksanaan pekerjaan sesuai
posisi masing-masing karyawan.
Temuan penelitian tentang hal ini
menunjukkan kecenderungan positif.
76.7%
68.8%
Mayoritas responden baik pada jenjang
wartawan muda, madya maupun utama
menunjukkan sikap yang relatif sama.
Temuan ini merupakan indikasi baik yang
menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam mengelola sumberdayanya. Grafik
6.4 menunjukkan hasil yang dimaksud.
73.1%
Wartawan Muda
Wartawan Madya
19.2%
13.3%
9.4%
Sangat
Setuju
12.5%
6.2%3.3%7.7%
3.3%
3.3%
3.1%0.0%
0.0%
0.0%0.0% 0.0%
Setuju
Tidak
Tahu
Kurang
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
Wartawan Utama
Missing
Grafik 6.4 Penilaian responden bahwa ditempat mereka bekerja,
Grafik
6.4mengerjakan
Penilaian responden
bahwa
ditempat
merekamasing-masing
bekerja, setiap orang
setiap
orang
pekerjaan
sesuai
posisinya
mengerjakan pekerjaan sesuai posisinya masing-masing
Selanjutnya berhubungan dengan redaksi mungkin disikapi sebagai rutinitas
Selanjutnya
dengan pertanyaan
tentang kesiapan
redaktur atau
wartawan
pertanyaan
tentangberhubungan
kesiapan redaktur
belaka daripada
forum strategis
dalam
atau
wartawan
dengan
usulan
sebelum
mendiskusikan
gagasan.
dengan usulan sebelum rapat redaksi, sebagian besar responden menyatakan setuju. Ada
rapat redaksi, sebagian besar responden
sebanyak 23 orang
(71,9%)
wartawan muda,
menyatakan
setuju.
Ada sebanyak
23 19 orang (63,3%) wartawan madya dan 21 orang
orang
19 setuju. Namun anehnya, ada beberapa responden
(80,8%)(71,9%)
wartawanwartawan
utama yangmuda,
menyatakan
orang (63,3%) wartawan madya dan 21
yang menyatakan tidak tahu dan kurang setuju. Temuan ini mengindikasikan tidak adanya
orang (80,8%) wartawan utama yang
persiapan suatu
gagasan
dalam
rapat redaksi.
Rapat redaksi mungkin disikapi sebagai rutinitas
menyatakan
setuju.
Namun
anehnya,
ada
beberapa
responden
yang
menyatakan
belaka daripada forum strategis dalam mendiskusikan gagasan.
tidak tahu dan kurang setuju. Temuan ini
Tabel 6.7
mengindikasikan tidak adanya persiapan
Setiap
Redaktur
atau Wartawan
Siap dengan
suatu
gagasan
dalam
rapat redaksi.
Rapat Usulan Sebelum Rapat Redaksi Dimulai
64
Jenjang Kewartawanan
Jurnal Dewan Pers
No.11, Desember
Wartawan
Muda 2015Wartawan Madya
Frequency Percent
Sangat Setuju
3
9,4%
Frequency Percent
10
33,3%
Wartawan Utama
Frequency Percent
5
19,2%
Tabel 6.7
Setiap Redaktur atau Wartawan Siap dengan Usulan Sebelum Rapat Redaksi Dimulai
Jenjang Kewartawanan
Wartawan Muda
Frequency
Sangat Setuju
Setuju
Percent
Wartawan Madya
Frequency
Percent
Wartawan Utama
Frequency
Percent
3
9,4%
10
33,3%
5
19,2%
23
71,9%
19
63,3%
21
80,8%
Tidak Tahu
3
9,4%
0
0,0%
0
0,0%
Kurang Setuju
3
9,4%
1
3,3%
0
0,0%
32
100,0%
30
100,0%
26
100,0%
Total
Nampaknya persoalan ini juga
tercermin dari penilaian responden
tentang keberadaan prosedur yang ketat
yang diterapkan untuk mengangkat suatu
topik pemberitaan. Meskipun sebagian
besar responden menjawab setuju dan
bahkan tidak setuju, namun terdapat 9
orang (28,1%) wartawan muda, 5 orang
(16,7%) wartawan madya dan 1 orang
(3,8%) wartawan utama yang menyatakan
kurang setuju. Tabel 6.8 memberikan
gambaran temuan ini.
Tabel 6.8
Tanggapan Responden terhadap Keketatan Prosedur yang Diterapkan untuk
Mengangkat Suatu Topik Berita
Jenjang Kewartawanan
Wartawan Muda
Frequency
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Tahu
Kurang Setuju
Total
Percent
Wartawan Madya
Frequency
Percent
Wartawan Utama
Frequency
Percent
4
12,5%
7
23,3%
7
26,9%
17
53,1%
18
60,0%
17
65,4%
2
6,2%
0
0,0%
1
3,8%
9
28,1%
5
16,7%
1
3,8%
32
100,0%
30
100,0%
26
100,0%
Persepsi responden berkaitan dengan
keberadaan kebijakan redaksi yang
jelas dalam menyikapi isu tertentu juga
memiliki kecenderungan positif. Sebanyak
22 orang (68,8%) wartawan muda, 18
orang (60%) wartawan madya, dan 19
orang (73,1%) wartawan utama menjawab
setuju. Bahkan sejumlah responden
menjawab sangat setuju. Namun demikian
5 orang (15,6%) wartawan muda, 4 orang
(13,3%) wartawan madya dan 1 orang
(3,8%) wartawan yang memberikan
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
65
jawaban kurang setuju. Kebijakan redaksi
yang jelas dalam menyikapi isu tertentu
memberikan petunjuk bagi wartawan
untuk menyusun prioritas pemberitaan
dan menentukan angle yang tepat. Jika
kebijakan ini memiliki kesesuaian dengan
kepentingan publik dan prinsip-prinsip
jurnalisme, maka kualitas berita dapat
diharapkan dari mekanisme ini. Namun
jika kejelasan sikap ini berkaitan dengan
kepentingan pemilik media, maka output
berita bias dan tidak berkualitas akan lahir
dari mekanisme ini.
C. Impersonality
Impersonality memiliki kaitan dengan
perhatian perusahaan terhadap karyawan
atau individu-individu yang bekerja.
Perhatian ini terkait dengan sejauh mana
keputusan-keputusan manajemen atau
perusahaan mempertimbangkan atau
memperhitungkan efek-efek hasilnya
pada anggota organisasi. Konsep ini
berhubungan erat dengan orientasi rasa
keadilan, hak-hak individu, dan toleransi.
Perusahaan yang lebih menekankan pada
pentingnya output biasanya cenderung
kurang memperhatikan individu-individu.
Sementara perusahaan yang berorientasi
pada proses biasanya menaruh perhatian
lebih besar pada individu-individu.
Perusahaan yang menaruh perhatian
besar pada individu-individu (karyawan)
akan berusaha mewujudkan rasa
keadilan dalam bentuk-bentuk apa pun.
Sebagai contoh, perusahaan memberikan
penghargaan dan dukungan pada apa yang
menjadi hak-hak karyawannya termasuk
memberikan toleransi terhadapnya.
66
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Perusahaan media yang melakukan
produksi berita, banyak mengandalkan
usahanya pada pengetahuan,
intelektualitas, kecerdasam dan kreativitas
wartawan. Tidak seperti industri
manufaktur yang banyak mengaplikasikan
mesin untuk kegiatan produksinya.
Kebergantungan pada wartawan ini
seharusnya diimbangi dengan perhatian
terhadap individu wartawan terutama
menyangkut otonomi profesional dan
peningkatan kesejahteraan. Ada dua
jenis otonomi yang perlu dipisahkan di
sini, yaitu otonomi fungsi atau tugas dan
otonomi profesional. Perusahaan boleh
melakukan intervensi terhadap otonomi
fungsi/tugas agar wartawan menjalankan
tugasnya dengan baik. Otonomi fungsi
atau tugas ini dapat dibatasi karena yang
memiliki kewenangan untuk membuat
keputusan adalah hanya orang-orang
tertentu, misalnya manajemen dan
bukan wartawan. Namun perusahaan
seharusnya menghargai dan memberikan
otonomi yang luas bagi profesionalisme.
Otonomi profesional di sini antara lain
berkaitan dengan freedom to investigate
dan write dan kepatuhan wartawan dalam
menjalankan kode etik jurnalistik.
Hasil survei memberikan gambaran
bahwa penilaian responden berkaitan
dengan unsur-unsur impersonalitas
cenderung biasa saja, tidak terlalu
positif maupun negatif. Nilai mean yang
menunjukkan penilaian ini adalah 5,70
(std. deviation 1,43) dari nilai maksimal
yang ditetapkan oleh peneliti sebesar
12. Sementara itu, ketika nilai mean ini
dibandingkan antarkatagori wartawan
hasilnya juga tidak terlalu berbeda.
Nilai mean untuk wartawan muda 5,72,
wartawan madya 5,73 dan wartawan
utama 5,65.
Tabel 6.9
Nilai Mean Impersonality
Wartawan Muda
Wartawan Madya
Wartawan Utama
Mean
Mean
Mean
Std. deviasi
5,65
1,413
Std.
deviasi
Impersonality
5,72
1,53
Std.
deviasi
5,73
Perhatian terhadap individu penting
bagi perusahaan media. Namun perhatian
ini seharusnya juga memenuhi rasa
keadilan mereka. Seperti misalnya dalam
promosi jabatan, wartawan bersertifikat
perlu mendapatkan prioritas daripada
wartawan yang tidak bersertifikat. Di sini
pengakuan dan penghargaan terhadap
sertifikasi yang diberikan perusahaan
dapat dilihat aktualisasinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
cukup banyak responden yang menilai
bahwa perusahaan tempat wartawan
bekerja melihat kedekatan-kedekatan
hubungan personal dalam mempromosikan
jabatan (kenaikan karir). Sebanyak 34,4%
wartawan muda, 33,3% wartawan madya,
dan 15,4% wartawan utama menyatakan
setuju. Sebagian responden menjawab
tidak tahu yang mengindikasikan mereka
tidak familiar dengan acuan yang dipakai
perusahaan dalam promosi jabatan. Grafik
6.5 memberikan gambaran temuan ini.
Grafik 6.5 Perusahaan Melihat
Kedekatan Hubungan Personal dalam
Mempromosikan Jabatan (Kenaikan
Karir)
1,39
Kecenderungan adanya kedekatankedekatan hubungan ini nampaknya juga
berhubungan dengan suasana tempat
kerja wartawan yang ramah. Sebanyak 19
orang wartawan muda (59,4%), 17 orang
wartawan madya (56,7%) dan 17 orang
wartawan utama (65,4%) menyatakan
kurang setuju dalam menilai pernyataan
kuesioner “tempat wartawan bekerja tidak
sangat ramah”. Meskipun dinilai ramah
tempat kerja wartawan, pelanggaran
hukum diterapkan dengan tidak pandang
bulu. Sebanyak 19 orang wartawan muda
(59,4%), 23 orang wartawan madya
(76,7%), dan 16 orang wartawan utama
(61,5%) menilai setuju hal ini.
Temuan tentang promosi jabatan yang
cenderung ditentukan oleh hubungan
personal daripada profesional ini pun
mendapatkan dukungan dari hasil FGD.
Beberapa responden mengakui praktik
ini. Meski demikian, hasil FGD pun
menunjukkan bahwa perusahaan media
besar dan lebih mapan seperti Kompas,
Tempo dan Jakarta Post memiliki ukuran
atau parameter objektif untuk melakukan
promosi jabatan.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
67
D. Presence of rules
Dalam menggali pengetahuan
tentang presence of rules yang berlaku
di perusahaan, sikap perusahaan
terhadap pemberian dari narasumber
dan pemberlakukan Undang-Undang
Pers dan Kode Etik Jurnalistik menjadi
fokus perhatian penelitian ini. Dua
persoalan ini memiliki kontribusi besar
dalam mempengaruhi sikap dan perilaku
profesional wartawan.
Hasil survei mengungkapkan bahwa
sebagian besar responden memiliki
kecenderungan positif dalam menilai
presence of rules tersebut. Hasil mean
8,83 (std. deviation 2,2) menunjukkan
hasil positif meskipun belum terlalu
baik. Nilai mean maksimal yang menjadi
rujukan di sini adalah 12. Jika nilai mean
ini dibandingkan antar-jenjang wartawan,
wartawan utama memiliki penilaian lebih
positif dibanding wartawan madya dan
muda.
Tabel 6.10
Penilaian Responden terhadap Presence of Rules
Wartawan Muda
Wartawan Madya
Wartawan Utama
Mean
Mean
Mean
Std.
deviasi
Presence of Rules
8,22
2,106
Untuk mengetahui lebih dalam sikap
responden terkait presence of rules ini,
peneliti menelusuri tanggapan responden
tentang aturan perusahaan menyangkut
pemberian dari narasumber, mekanisme
pengembalian pemberian dari narasumber,
penggunaan Undang-Undang Pers dan
Kode Etik Jurnalistik sebagai pegangan
redaksi. Temuan penelitian menunjukkan
fakta sebagai berikut.
Sebagian besar responden menyatakan
sangat setuju dan setuju dalam menjawab
pertanyaan bahwa perusahaan tempat
mereka bekerja memiliki sikap atau
aturan perusahaan terkait pemberian dari
narasumber. Namun, masih ada sejumlah
responden yang menyatakan tidak tahu.
Jawaban tidak tahu ini menunjukkan
kemungkinan tidak adanya aturan atau
68
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Std.
deviasi
8,97
1,903
Std.
deviasi
9,42
2,517
kurangnya sosialisasi perihal pemberian
dari narasumber. Sementara itu, jawaban
kurang setuju dan sangat tidak setuju juga
cukup banyak. Hal ini mengindikasikan
ketidaktegasan perusahaan dalam
menyikapi pemberian dari narasumber.
Grafik 6.6 menggambarkan temuan ini.
tidak tahu. Jawaban tidak tahu ini menunjukkan kemungkinan tidak adanya aturan atau
kurangnya sosialisasi perihal pemberian dari narasumber. Sementara itu, jawaban kurang setuju
dan sangat tidak setuju juga cukup banyak. Hal ini mengindikasikan ketidaktegasan perusahaan
dalam menyikapi pemberian dari narasumber. Grafik 6.6 menggambarkan temuan ini.
53.1%
46.2%
46.7%
38.5%
Wartawan Muda
23.3%
18.8%
18.8%
13.3%
9.4% 7.7%
Wartawan Madya
13.3%
0.0%
Sangat
Setuju
Setuju
Tidak Tahu
Wartawan Utama
7.7%
Kurang
Setuju
0.0%
0.0%
Sangat
Tidak
Setuju
3.3%
0.0% 0.0%
Missing
Grafik 6.6 Penilaian Responden bahwa Perusahaan Mempunyai Sikap yang
Grafik 6.6 Penilaian Responden bahwa Perusahaan Mempunyai Sikap yang Jelas terkait
Jelas terkait Pemberian
Narasumber
Pemberian Narasumber
Temuan ini nampaknya paralel dengan mekanisme pengembalian pemberian
temuan tentang
aturaniniatau
mekanisme
ditetapkan
Temuan
nampaknya
paralel narasumber
dengan temuanyang
tentang
aturan atau oleh
mekanisme
pengembalian
pemberian
narasumber.
perusahaan.
Namun,responden
temuan survei
juga sangat
pengembalian
pemberian
narasumber. Sebagian
besar jawaban
menyatakan
Sebagian besar jawaban responden menunjukkan adanya sikap tidak tahu dan
setuju dan setuju. Di kalangan wartawan muda ada sebanyak 5 orang (15,6%), wartawan madya
menyatakan
sangat setuju dan setuju. Di bahkan kurang setuju. Ini menandakan
6 orang
(20%) muda
dan wartawan
utama 13 orang
(50%)perusahaan
yang menyatakan
Temuan ini
kalangan
wartawan
ada sebanyak
adanya
yangsangat
tidak setuju.
memiliki
5 orangmenunjukkan
(15,6%), wartawan
madya
6 mekanisme
yang
jelasmekanisme
terkait dengan
bahwa wartawan
mengetahui
dengan baik
adanya
pengembalian
orang (20%) dan wartawan utama 13 pengembalian pemberian narasumber.
pemberian narasumber yang ditetapkan oleh perusahaan. Namun, temuan survei juga
orang (50%) yang menyatakan sangat Tabel 6.11 menunjukkan secara detil
menunjukkan
adanya sikap tidak
tahu dan
bahkan
kurang
setuju. Temuan
ini menunjukkan
bahwa
temuan
tentang
ini.setuju. Ini menandakan adanya
wartawan
mengetahui
baik adanya
perusahaan
yangdengan
tidak memiliki
mekanisme yang jelas terkait dengan pengembalian pemberian
narasumber. Tabel 6.11 menunjukkan secara detil temuan tentang ini.
Tabel 6.11 Penilaian Wartawan bahwa Media Tempat Bekerja Memiliki Aturan atau
Mekanisme Pengembalian Pemberian Narasumber
Jenjang Kewartawanan
Wartawan Muda
Frequency
Percent
Wartawan Madya
Frequency
Percent
Wartawan Utama
Frequency
Percent
Sangat Setuju
5
15,6%
6
20,0%
13
50,0%
Setuju
17
53,1%
18
60,0%
8
30,8%
Tidak Tahu
6
18,8%
5
16,7%
3
11,5%
Kurang Setuju
4
12,5%
1
3,3%
2
7,7%
Total
32
100,0%
30
100,0%
26
100,0%
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
69
Meskipun sebagian besar responden (34,4%) wartawan muda dan sebanyak
mengetahui aturan tentang pengembalian 8 orang (26,7%) wartawan madya yang
pemberian narasumber, ada beberapa menyatakan melaporkan pemberian
wartawan (wartawan muda 15 orang atau narasumber ke kantor. Sementara itu, ada
46% dan 13 orang atau 43,3%) yang masih 6 orang (18,8%) wartawan muda dan 5
merasa kesulitan menolak pemberian dari orang (16,7%) yang tidak melaporkannya
narasumber ketika sedang melakukan ke kantor.
peliputan. Ada beberapa kemungkinan
Hasil penelitian juga menunjukkan
hal ini terjadi. Kemungkinan pertama, penilaian yang cenderung positif
perusahaan tidak memberikan sanksi berkaitan dengan penggunaan Undangatau hukuman terhadap pelanggaran Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik
aturan. Kemungkinan kedua, wartawan sebagai pegangan redaksi. Tetapi masih
tidak memahami atau menyangkal kode ada beberapa wartawan yang menyatakan
etik bahwa pemberian dari narasumber tidak tahu, kurang setuju, dan sangat
ketika sedang melakukan peliputan tidak setuju terkait dengan pernyataan
adalah termasuk perbuatan tidak etis. tersebut. Temuan ini mengindikasikan
Dalam menyikapi pemberian narasumber, adanya perusahaan yang tidak sungguhsikap wartawan ternyata juga berbeda- sungguh menjadikan peraturan dan kode
beda. Ada wartawan yang melaporkan etik tersebut sebagai acuan bekerja. Grafik
terkait dengan pernyataan tersebut. Temuan ini mengindikasikan adanya perusahaan yang
pemberiansetuju
narasumber
ke kantor ada 6.7 menunjukkan temuan ini.
menjadikan
pula yang tidak
tidak.sungguh-sungguh
Ada sebanyak 11
orang peraturan dan kode etik tersebut sebagai acuan bekerja.
Grafik 6.7 menunjukkan temuan ini.
71.9%
63.3%
50.0%
Wartawan Muda
33.3%34.6%
Wartawan Madya
Wartawan Utama
9.4%
6.2% 7.7%
12.5%
3.3%
0.0% 3.8% 0.0% 3.8%
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
Sangat
Setuju
Setuju
Tidak Tahu
Kurang
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
Missing
Grafik 6.7 Undang-Undang Pers dan Kode Etik Wartawan Menjadi
Pegangan Redaksi
Grafik 6.7 Undang-Undang Pers dan Kode Etik Wartawan Menjadi Pegangan Redaksi
70
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
E. Hirarki otoritas
E. Hirarki otoritas
Hirarki otoritas menggambarkan
suatu struktur dan bentuk kekuasaan
yang dimiliki seseorang yang menduduki
jabatan dalam perusahaan atau organisasi.
Hirarki otoritas juga merujuk pada
jangkauan kontrol yang dimiliki seseorang
berhubungan lingkup kerja dan jumlah
karyawan di bawahnya. Hirarki otoritas
bisa tinggi dan bisa juga melebar. Hirarki
otoritas yang tinggi umumnya ditandai
oleh span of control yang sempit, kurang
fleksibel dan cenderung kaku. Hirarki
otoritas yang melebar umumnya ditandai
oleh span of control yang lebih pendek,
lebih fleksible, dan cenderung dicirikan
oleh kedekatan hubungan pimpinan dan
karyawan. Sulit melihat mana yang lebih
baik di antara hirarki otoritas yang tinggi
atau melebar bagi suatu perusahaan.
Persoalan terpenting di sini bagaimana hal
itu membantu organisasi atau perusahaan
memenuhi visi, misi dan tujuannya.
Hasil survei menunjukkan
kecenderungan penilaian responden
yang positif terkait hirarki otoritas yang
berlaku dalam perusahaan tempat mereka
bekerja. Meskipun demikian, nilai mean
yang didapat yaitu 5,1 (std. deviation
1,08), masih jauh dari nilai maksimal
yang menjadi patokan yaitu 8. Temuan ini
menandakan meski ada indikasi kearah
positif penilaian responden terhadap
hirarki otoritas perusahaan tersebut
masih belum terlalu baik. Dalam hal ini
penilaian wartawan muda relatif lebih
rendah dibandingkan wartawan madya
dan utama.
Tabel 6.12 Nilai Mean Hirarki otoritas
Wartawan Muda
Wartawan Madya
Wartawan Utama
Mean
Mean
Mean
Std.
deviasi
Hirarki otoritas
4,88
1,04
Hirarki otoritas dalam penelitian ini
berfokus pada penilaian responden tentang
kekuasaan eksekutif dalam memutuskan
segala sesuatunya di perusahaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
antara responden yang menyatakan
“setuju” dan “kurang setuju” hampir
sebanding. Selain itu cukup banyak yang
menyatakan “tidak tahu”.
Grafik 6.8 menyajikan temuan tersebut.
Responden yang menjawab setuju
berarti mengonfirmasi bahwa selama ini
eksekutif di tempat wartawan bekerja
Std.
deviasi
5,23
1,073
Std.
deviasi
5,23
1,142
selalu memutuskan segala sesuatunya.
Dengan kata lain, eksekutif memegang
kendali penuh dalam membuat keputusan.
Namun cukup banyak responden yang
tidak setuju. Mungkin saja di tempat
mereka bekerja pembuatan keputusan
tidak semata-mata dibuat oleh eksekutif
namun dilakukan oleh tim, misalnya
berdasarkan hasil rapat.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
71
Grafik 6.9
Eksekutif Di Tempat Wartawan Bekerja Selalu Memutuskan Segala Sesuatunya
46.9%
42.3%
42.3%
33.3%
25.0%23.3%
7.7%
6.2%6.7%
Sangat
Setuju
26.7%
21.9%
7.7%
Setuju
Tidak Tahu
Wartawan Muda
Wartawan Madya
6.7%
Wartawan Utama
3.3%
0.0% 0.0% 0.0% 0.0%
Kurang
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
Missing
Grafik 6.9
Eksekutif Di
Tempatdengan
Wartawan
Bekerja
Selalu
Memutuskan
Segala Sesuatunya
Berkaitan
isu yang
bersifat
kontroversial
dan pemberitaan
yang akan dibuat,
Berkaitan
dengan
isu yang menyatakan
bersifat setuju
wartawan
kurangdi tempat
sebagian
besar responden
bahkanmuda
sangatyang
setujumenjawab
bahwa pimpinan
kontroversial
dan
pemberitaan
yang
setuju.
Meskipun
berjumlah
kecil,
wartawan bekerja selalu berdialog sebelum mengambil keputusan. Tetapi yaitu
ada beberapa
akan dibuat, sebagian besar responden 4 orang (12,5%) yang menjawab kurang
responden
menjawab
tahu. setuju
Mungkindan
saja1mereka
menjawab
tidak tahu ini
menyatakan
setuju yang
bahkan
sangattidak
setuju
orang yang
(3,1%)
menjawab
memang tidak
atau tidak menjumpai
praktik
dialog
tentang
hal ini di tempat kerja
bahwa pimpinan
di mengetahui
tempat wartawan
sangat tidak
setuju,
fakta
ini menunjukkan
bekerja mereka.
selaluSementara
berdialog
sebelum
bahwa
terhadap
pengangkatan
itu, ada
juga responden
dari keputusan
wartawan muda
yang menjawab
kurang setuju.
mengambil keputusan. Tetapi ada beberapa isu kontroversial dalam berita mungkin
Meskipun berjumlah kecil, yaitu 4 orang (12,5%) yang menjawab kurang setuju dan 1 orang
responden yang menjawab tidak tahu. tidak melalui proses dialog.
menjawabyang
sangat
tidak setuju, fakta
ini menunjukkan
bahwaDikeputusan
Mungkin(3,1%)
saja mereka
menjawab
Tabel
6.13 Pimpinan
Tempatterhadap
tidak tahupengangkatan
ini memang
mengetahui
Wartawan
Bekerja
Berdialog
isutidak
kontroversial
dalam berita
mungkin tidak
melaluiSelalu
proses dialog.
atau tidak menjumpai praktik dialog Dalam Menentukan Pemberitaan atas Isu
tentang hal ini di tempat kerja mereka. Kontroversial
Sementara itu, ada juga responden dari
Tabel 6.13 Pimpinan Di Tempat Wartawan Bekerja Selalu Berdialog Dalam
Menentukan Pemberitaan atas Isu Kontroversial
Jenjang Kewartawanan
Wartawan Muda
Frequency
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Tahu
Kurang Setuju
Frequency
Percent
Wartawan Utama
Frequency
Percent
2
6,2%
8
26,7%
5
19,2%
Tabel 6.13 Pimpinan Di Tempat Wartawan Bekerja Selalu Berdialog Dalam Menentukan
18
56,2%
21
70,0%
18
69,2%
Pemberitaan atas Isu Kontroversial
7
21,9%
1
3,3%
3
11,5%
Jenjang Kewartawanan
4
12,5%
0
0,0%
0
0,0%
Sangat Tidak Setuju
1
Total
32
72
Percent
Wartawan Madya
3,1%
100,0%
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
0
30
0,0%
100,0%
0
26
0,0%
100,0%
Kompetensi pekerja merujuk pada
kapasitas dan kemampuan seseorang
atau wartawan dalam bekerja. Berkaitan
dengan penilaian terhadap kompetensi
pekerja, sebagian besar responden
memiliki penilaian yang biasa saja dalam
arti tidak terlalu positif dan juga negatif.
Nilai mean yang dihasilkan adalah 5,31
(std. deviation 1,74) dari nilai maksimal
yang ditetapkan, yaitu 8. Temuan ini
menunjukkan adanya indikasi persoalan
tentang kompetensi pekerjaan ini. Ketika
hasil mean ini dibandingkan antarjenjang
wartawan tidak ada perbedaan cukup
signifikan di antara ketiganya. Tabel 6.14
memberikan gambaran ini.
Tabel 6.14 Nilai Mean Penilaian Wartawan atas Kompetensi Pekerja
Wartawan Muda
Wartawan Madya
Wartawan Utama
Mean
Mean
Mean
Std.
Std.
deviasi
Kompetensi pekerja
5,12
1,497
Untuk memeriksa lebih detil persoalan
ini, peneliti menginvestigasi pandangan
responden terkait kualitas eksekutif
yang bekerja dalam perusahaan. Temuan
penelitian menunjukkan sebagian besar
responden menyatakan setuju dan bahkan
sangat setuju bahwa di tempat wartawan
bekerja, eksekutif memenuhi syarat untuk
pekerjaan yang dilakukannya. Namun,
cukup banyak juga responden yang
Std.
deviasi
5,23
1,888
deviasi
5,62
1,856
menyatakan kurang setuju dan sangat tidak
setuju. Tabel 6.15 menunjukkan temuan
penelitian. Temuan ini mengindikasikan
bahwa ada eksekutif yang tidak cukup
kompeten menduduki jabatannya. Hal
ini terjadi karena kemungkinan promosi
jabatan mengandalkan hubunganhubungan personal dan bukan atas dasar
kriteria objektif kemampuan seseorang.
Tabel 6.15 Eksekutif Memenuhi Syarat untuk Pekerjaan/Posisinya
Jenjang Kewartawanan
Wartawan Muda
Frequency Percent
Sangat Setuju
Setuju
Wartawan Madya
Wartawan Utama
Frequency
Percent
Frequency
Percent
2
6,2%
4
13,3%
4
15,4%
16
50,0%
16
53,3%
19
73,1%
Tidak Tahu
8
25,0%
4
13,3%
1
3,8%
Kurang Setuju
5
15,6%
5
16,7%
1
3,8%
Sangat Tidak Setuju
1
3,1%
0
0,0%
0
0,0%
Missing
Total
0
0,0%
1
3,3%
1
3,8%
32
100,0%
30
100,0%
26
100,0%
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
73
Bukan hanya menyangkut eksekutif,
penelitian ini juga mencari tahu bagaimana
orang-orang diangkat atau dipekerjakan
dalam perusahaan. Temuan penelitian
menunjukkan sebagian besar responden
menjawab setuju dan bahkan sangat setuju
bahwa orang-orang yang diangkat atau
dipekerjakan dalam perusahaan karena
memiliki kemampuan. Namun demikian
ada juga responden yang menilai tidak
tahu dan tidak setuju bahkan sangat setuju.
Data ini mengindikasikan adanya orangorang di perusahaan yang bekerja tidak
sesuai kemampuannya. Di sini sulit bagi
perusahaan mengharapkan tercapainya
profesionalitas dan kinerja yang baik dari
wartawan jika wartawan yang bekerja
tidak punya kompetensi.
Tabel 6.16 Penialaian terhadap Kompetensi Wartawan yang Bekerja Di Perusahaan
Jenjang Kewartawanan
Wartawan Muda
Sangat Setuju
Setuju
Wartawan Madya
Wartawan Utama
Frequency
Percent
Frequency
Percent
Frequency
Percent
3
9,4%
4
13,3%
5
19,2%
21
65,6%
19
63,3%
15
57,7%
Tidak Tahu
4
12,5%
1
3,3%
1
3,8%
Kurang Setuju
4
12,5%
5
16,7%
3
11,5%
0
0,0%
1
3,3%
0
0,0%
Sangat Tidak Setuju
Missing
Total
74
0
0,0%
0
0,0%
2
7,7%
32
100,0%
30
100,0%
26
100,0%
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Bab VII
Evaluasi Wartawan Atas Uji Kompetensi
Wartawan adalah subyek dari uji
kompetensi. Dengan demikian wartawan
dapat memaknai dan melakukan
penilaian atas uji kompetensi yang
dilakukannya. Uji kompetensi sendiri
paling tidak memiliki tiga elemen yang
bisa dievaluasi, yaitu lembaga penguji,
materi yang diujikan, dan kriteria yang
digunakan untuk menentukan apakah
wartawan yang mendapatkan sertifikasi
relatif terbuka dan jelas. Lembaga
penguji uji kompetensi wartawan
misalnya, apakah sudah cukup banyak
jumlahnya sehingga wartawan yang ingin
disertifikasi tidak kesulitan mendapatkan
lembaga penguji bila dirinya berasal
dari perusahaan media yang tidak terlalu
besar. Begitu juga dengan materi yang
menjadi substansi dalam uji kompetensi,
apakah sudah benar-benar dapat memotret
kemampuan wartawan sesuai jenjangnya
dan juga dapat mengikuti perkembangan
masyarakat yang semakin cepat.
Elemen yang terakhir adalah kriteria uji
kompetensi dan kesesuaiannya dengan
kategorisasi wartawan, apakah kriteriakriteria tersebut valid, terbuka, dan dapat
diverifikasi dengan baik.
Di dalam pelaksanaanya yang
sudah menginjak tahun keempat, uji
kompetensi wartawan memang dianggap
masih memiliki beberapa kekurangan.
Kekurangan yang tentunya terus diperbaiki
agar benar-benar menjadi mekanisme
yang solid bagi peningkatan kualitas
jurnalisme di Indonesia. Lebih luas lagi,
peran Dewan Pers dan perusahaan media
tempat wartawan bekerja juga dapat
dievaluasi berkaitan dengan pelaksanaan
uji kompetensi yang terus menerus
diperbaiki. Dewan Pers berperan besar
untuk terus mendorong uji kompetensi
dan memperbaiki pelaksanaannya.
Sementara itu, perusahaan atau institusi
media berperan dalam mengaitkan jenjang
kompetensi dan jenjang karir di dalam
perusahaan atau institusi media tempat
wartawan bekerja.
Sebelum memaparkan dan
menganalisis data lebih mendalam
akan dijelaskan dulu persepsi wartawan
terhadap kredibilitas penguji, yang
meliputi materi uji, penguji, dan prosedur
atau metode uji kompetensi. Tabel 7.1
menunjukkan semua kategori wartawan,
yaitu wartawan muda, wartawan madya,
dan wartawan utama menilai bahwa
evaluasi atas uji kompetensi, yang
mencakup kredibilitas penguji, materi
uji, dan prosedur relatif bagus. Hal ini
ditunjukkan oleh angka mean dari masingmasing tingkatan wartawan yang berada
di atas nilai kritis mean yang ditetapkan
oleh peneliti. Untuk wartawan muda,
nilai mean 18,88 (std. Deviation 4,225)
menunjukkan bahwa persepsi wartawan
muda atas kredibilitas penguji relatif
bagus. Nilai mean di sini berada di atas
nilai kritis mean yang ditetapkan, yaitu 14
yang dihitung dari angka minimal (0) dan
angka maksimal 28. Demikian pula bila
kita melihat jenjang wartawan yang lain.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
75
Nilai mean untuk wartawan madya adalah
20,43 (std. deviation 5,001), sedangkan
wartawan utama adalah 17 (std. deviation
5,657).
Tabel 7.1
Evaluasi Wartawan atas Pelaksanaan Uji Kompetensi
Wartawan Muda
Wartawan Madya
Wartawan Utama
Mean
Mean
Mean
Std.
deviasi
Evaluasi
18,88
4,225
Std.
deviasi
20,43
5,001
Std.
deviasi
17
5,657
Wartawan atas Uji
Kompetensi
Paparan selanjutkan akan lebih detil
meninjau penilaian wartawan atas uji
kompetensi yang meliputi: penilaian
terhadap lembaga penguji, kapasitas
penguji, kesesuaian materi uji, dan
ketepatan prosedur atau teknik pengujian.
A. Kredibilitas Lembaga Penguji Uji
Kompetensi
Menurut data hasil survei, sebagian
besar responden menyatakan bahwa
lembaga penyelenggara uji kompetensi
memiliki kredibilitas yang tinggi untuk
melakukan uji kompetensi. Pendapat
tersebut memiliki kemiripan pada setiap
jenjang kewartawanan. Sebanyak 78,1%
responden yang merupakan wartawan
muda setuju dan sangat setuju dengan
pernyataan bahwa lembaga yang selama
ini menjadi penyelenggara uji kompetensi
memiliki kredibilitas yang tinggi. Begitu
juga dengan kedua jenjang wartawan yang
lain, yaitu sebanyak 80% responden yang
merupakan wartawan madya dan 92,3%
responden yang merupakan wartawan
madya setuju dengan pendapat tersebut.
76
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Walau begitu, terdapat juga responden
yang tidak setuju dengan pernyataan
tersebut, yaitu sebanyak 15,6% responden
yang merupakan wartawan muda dan 10%
responden yang merupakan wartawan
madya.
Lembaga penyelenggara uji
kompetensi menurut beberapa wartawan
masih belum kredibel, terutama bila
keahlian penguji tidak sesuai dengan
wartawan yang diuji. Lembaga penguji
kebanyakan berfokus kepada media cetak,
sementara wartawan yang mengikuti uji
kompetensi lebih variatif. Seringkali
ketidaksesuaian itu sulit diatasi,
misalnya saja wartawan televisi yang
tidak ingin diuji oleh wartawan televisi
dari perusahaan media yang lain karena
berkaitan dengan “rahasia dapur” media
yang bersangkutan. Hal ini disampaikan
oleh Maria dalam focus group discussion
yang dilaksanakan di Jakarta. Tabel
lengkap yang mendeskripsikan pendapat
bahwa lembaga lembaga penyelenggara
uji kompetensi memiliki kredibilitas yang
tinggi:
Tabel 7.2
Lembaga Penyelenggara Uji Kompetensi Memiliki Kredibilitas Tinggi
Lembaga penyelenggara
uji kompetensi memiliki
kredibilitas yang tinggi
Jenjang kewartawanan
wartawan muda
frekuensi
%
wartawan madya
frekuensi
%
wartawan utama
frekuensi
%
Kurang setuju
4
12.5%
2
6.7%
0
0.0%
Setuju
18
56.2%
15
50.0%
14
53.8%
Sangat setuju
7
21.9%
9
30.0%
10
38.5%
Sangat tidak setuju
1
3.1%
1
3.3%
0
0.0%
Tidak tahu
2
6.2%
2
6.7%
1
3.8%
Missing
0
Total
32
0.0%
100.00%
B. Kapasitas Para Penguji dalam Uji
Kompetensi
Hal serupa juga muncul ketika
wartawan yang menjadi responden
menjawab pertanyaan apakah para penguji
yang melakukan uji standar kompetensi
memiliki kapasitas yang layak. Sebagian
besar responden memberikan jawaban
setuju dan sangat setuju bahwa para
penguji dalam uji standar kompetensi
memiliki kapasitas yang layak. Sebagian
besar responden yang merupakan
wartawan muda (87,6%), setuju dengan
pernyataan tersebut. Begitu juga dengan
90% responden yang merupakan
wartawan madya dan 92,3% responden
yang merupakan wartawan utama,
setuju bahwa penguji dalam uji standar
kompetensi wartawan memiliki kapasitas
yang layak.
Walau demikian, masih terdapat
responden yang menilai bahwa penguji
dalam uji standar kompetensi belum
memiliki kapasitas yang layak. Ada
sebanyak 3,1% wartawan muda dan
masing-masing 3,3% untuk wartawan
1
30
3.3%
100.00%
1
26
3.8%
100.00%
madya dan wartawan utama yang
menyatakan demikian. Hal ini sejalan
dengan informasi yang didapatkan dari
diskusi kelompok terfokus para wartawan
di dua kota bahwa kapasitas penguji
masih merupakan salah satu kekurangan
dari pelaksanaan uji standar kompetensi
wartawan.
Penguji dalam uji kompetensi adalah
elemen terdepan dalam sertifikasi, yang
akan melihat kemampuan wartawan
dengan mendalam. Dengan demikian,
penilaian yang diberikan penguji mesti
terbuka dan dapat diverfikasi oleh
berbagai pihak sehingga kompetensi
yang disertifikasi dapat lebih
dipertanggungjawabkan. Secara kuantitas
jumlah penguji juga dapat diperbanyak
dengan lebih melibatkan kampus dan
penggiat jurnalisme warga di masyarakat.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
77
Tabel 7.3 Penialaian Wartawan atas Para Penguji
Para penguji yang
melakukan uji
standar
kompetensi memiliki
kapasitas yang layak
Jenjang kewartawanan
wartawan muda
frekuensi
%
frekuensi
%
wartawan utama
frekuensi
%
Sangat setuju
6
18.8%
6
20.0%
8
30.8%
Setuju
22
68.8%
21
70.0%
16
61.5%
Tidak tahu
3
9.4%
2
6.7%
0
0.0%
Kurang setuju
1
3.1%
1
3.3%
1
3.8%
Missing
0
0.0%
0
0.0%
1
3.8%
Total
32
100.00%
30
C. Kesesuaian Materi Uji dalam
Uji Kompetensi dengan Kategori
Wartawan
Aspek lain yang juga diamati dalam
evaluasi atas uji kompetensi adalah materi
uji. Menurut wartawan yang menjadi
responden di dalam riset ini, materi ujian
dalam uji standar kompetensi memiliki
kesesuaian dengan kategori wartawan.
Sebagian besar responden dari tiga
jenjang kewartawanan setuju bahwa
materi uji sudah sesuai kategori atau
jenjang wartawan yang ada di Indonesia.
Sebanyak 81,2% responden yang
merupakan wartawan muda menyatakan
setuju dan sangat setuju. Sementara
itu, 83,3% responden yang merupakan
wartawan madya dan 76,9% responden
yang merupakan wartawan utama setuju
dengan pernyataan tersebut. Walau begitu
terdapat sebagian responden yang tidak
setuju dengan pernyataan bahwa materi
uji dalam uji standar kompetensi sudah
78
wartawan madya
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
100.00%
26
100.00%
sesuai kategori wartawan. Terdapat 12,5%
responden yang merupakan wartawan
muda yang kurang setuju dan bahkan
terdapat 6,2% yang sangat tidak setuju
dengan pernyataan tersebut.
Ketidaksetujuan bahwa materi uji
dalam uji kompetensi sesuai dengan
kategori wartawan antara lain karena
materi uji lebih dekat dengan jurnalisme
cetak. Materi uji juga mesti diperkuat
dengan jurnalisme radio, jurnalisme
televisi, dan jurnalisme online. Selain
itu, faktor pengalaman wartawan juga
berperan diharapkan menjadi bagian yang
diujikan. Persoalan utamanya kemudian
adalah bagaimana menerjemahkan aspek
pengalaman menulis berita dengan materi
yang diujikan.
Grafik 7.1 menunjukkan bahwa
responden sebagian besar menyatakan
bahwa terdapat kesesuaian antara materi
yang diujikan dalam uji kompetensi
dengan jenjang kewartawanan:
65.6% 60.0% 65.4%
Wartawan Muda
Wartawan Madya
23.3%
15.6%
16.7% 15.4%
12.5%
11.5%
0.0%
0.0%
Sangat
Setuju
Setuju
6.2%
3.8%
Tidak Tahu
Wartawan Utama
0.0% 3.8%
0.0% 0.0%0.0%
Kurang
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
Missing
Grafik 7.1
Materi Ujian dalam Uji Standar Kompetensi Memiliki Kesesuaian dengan
Kategori WartawanGrafik 7.1
Materi Ujian dalam Uji Standar Kompetensi Memiliki Kesesuaian dengan Kategori
D. Ketepatan Prosedur Ujian yang diselesaikan oleh Dewan Pers dan seluruh
Wartawan
Diterapkan
insan pers di Indonesia. Berikut ini
Menjawab pertanyaan apakah grafik yang menunjukkan secara lengkap
prosedur atau treatment dalam uji pendapat wartawan pada setiap jenjang
standar kompetensi sudah tepat untuk mengenai prosedur dan metode yang
mengukur
profesionalitas
wartawan,
D. Ketepatan
Prosedur
Ujian yangditerapkan
Diterapkandalam uji kompetensi sudah
sebagian besar responden menjawab tepat dalam mengukur profesionalitas
setuju dengan
pernyataan
tersebut.
wartawan.
Menjawab
pertanyaan
apakah prosedur
atau treatment dalam uji standar kompete
Sebanyak 75% responden setuju bahwa
sudahdan
tepat
untuk mengukur
profesionalitas wartawan, sebagian besar responden menjaw
prosedur
langkah-langkah
uji standar
kompetensi
sudah tepat
dalam mengukur
setuju dengan
pernyataan
tersebut. Sebanyak 75% responden setuju bahwa prosedur
profesionalitas wartawan. Sementara
langkah-langkah uji standar kompetensi sudah tepat dalam mengukur profesionalitas wartaw
itu 80% wartawan madya dan 80,7%
wartawan
utama
responden
Sementara
ituyang
80%menjadi
wartawan
madya dan 80,7% wartawan utama yang menjadi responden j
juga menyatakan hal yang sama.
menyatakan hal yang sama.
Walau begitu, dalam focus group
Walau
begitu, di
dalam
focus
group discussion yang dilakukan di Jakarta masih terda
discussion yang
dilakukan
Jakarta
masih
terdapat
debat
mengenai
prosedur
dan
juga
debat mengenai prosedur dan juga materi uji yang dianggap belum mampu mengu
materi uji yang dianggap belum mampu
profesionalitas
wartawan.
Hal ini menjadi
pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan oleh Dew
mengukur
profesionalitas
wartawan.
Hal
ini menjadi
rumah
yang
mesti
Pers danpekerjaan
seluruh insan
pers
di Indonesia.
Berikut ini grafik yang menunjukkan secara leng
pendapat wartawan pada setiap jenjang mengenai
prosedur
danDesember
metode 2015
yang diterapkan
da
79
Jurnal Dewan
Pers No.11,
uji kompetensi sudah tepat dalam mengukur profesionalitas wartawan.
65.6%
60.0%
61.5%
Wartawan Muda
20.0%19.2%
20.0%
12.5%
9.4% 11.5%
3.8%
%
3.10.0
% %0.0%0.0%0.03.8
0.0%
%
9.4%
Sangat
Setuju
Setuju
Tidak Tahu
Kurang
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
Wartawan Madya
Wartawan Utama
Missing
Grafik7.2
7.2Prosedur
Prosedur
atau
Treatment
Ujian
Diterapkan
Uji Kompetensi Sudah
Grafik
atau
Treatment
Ujian
yangyang
Diterapkan
dalamdalam
Uji Standar
Standar Kompetensi SudahTepat
Tepatuntuk
untuk
Mengukur
Profesionalitas
Wartawan
Mengukur
Profesionalitas
Wartawan
E. Wartawan Memiliki Pengalaman Jawa prosedurnya bisa sedikit berbeda,
Lulus Uji Kompetensi
yaitu diadakan semacam diskusi terlebih
Menurut data hasil riset, tidak ada dahulu dengan peserta uji kompetensi,
responden yang memiliki pengalaman terutama berkaitan dengan informasi
tidak lulus uji kompetensi wartawan. Hal umum mengenai uji kompetensi dan
E. Wartawan Memiliki
Pengalamankriteria
Lulus kelulusan
Uji Kompetensi
ini mengindikasikan
bahwa wartawan
dari uji kompetensi.
yang terpilih menjadi responden di dalam
Menurut
data hasil
riset, tidak adaF.
responden
yang memiliki
pengalaman
riset ini sudah
menyiapkan
diri sebelumnya
Ada Tidaknya
Kendala
untuktidak lulus uj
atau yang paling mungkin adalah sebagian
Mendapatkan
kompetensi wartawan. Hal ini mengindikasikan
bahwa Sertifikasi
wartawan yang terpilih menjad
besar responden merupakan wartawan
Sebagian besar wartawan, yaitu 94.32%
responden
di dalam
risetyang
ini sudah
menyiapkan
diri sebelumnya
atau yang paling
mungkin adalah
yang
memiliki
kapasitas
memadai
responden,
tidak mengalami
kendala
sehingga
tidak
mengalami
kesulitan
untuk
mengikuti
sertifikasi.
Hanya
empat
sebagian besar responden merupakan wartawan yang memiliki kapasitas yang memadai sehingga
dalam mengikuti standar uji kompetensi orang wartawan yang mengalami kendala.
tidak mengalami
kesulitan
dalam
mengikuti
standar
uji kompetensi
wartawan.
wartawan.
Walau begitu
masih
terdapat
Meski
jumlahnya
kecil, kenyataan
iniWalau begitu
4,6%
responden
mengalami
menunjukkan
keadaan untuk
yang mendapatkan
unik karena sertifikasi.
masih
terdapatyang
4,6%merasa
responden
yang merasa
mengalami kendala
kendala untuk mendapatkan sertifikasi.
semestinya kendala tersebut bisa diatasi
Hal yang
berbeda
kemungkinan terjadi
luar Jawa. Wartawan
yang
akan mengalam
Hal yang
berbeda
kemungkinan
dengandi melibatkan
perusahaan
media
terjadi
di luar
Jawa.
Wartawan yang
akan kemungkinan
tempat wartawan
bekerjabanyak.
denganHal
lebih
kendala
dalam
mendapatkan
sertifikasi
akan semakin
ini disampaikan
mengalami kendala dalam mendapatkan intens. Kendala-kendala yang dihadapi
oleh beberapa
informan akan
dalamsemakin
focus group
discussion
di mana
kondisi
yang berbeda
terjadi d
sertifikasi
kemungkinan
wartawan
tersebut
relatif
beragam
dan
banyak.
HalDengan
ini disampaikan
olehuji bersumber
semua pihak.
luar Jawa.
demikian, ketika
kompetensidari
diadakan
di luar Jawa prosedurnya bisa
beberapa informan dalam focus group
Kendala-kendala yang dirasakan oleh
sedikit berbeda,
diadakan
semacam responden
diskusi terlebih
dengan sertifikasi
peserta uji kompetensi
discussion
di manayaitu
kondisi
yang berbeda
untukdahulu
mendapatkan
terjadi
di luar
Jawa. dengan
Denganinformasi
demikian,
cukup
beragam,
yaitu: kriteria
terutama
berkaitan
umum
mengenai
uji kompetensi
dankelulusan
kriteria kelulusan dar
ketika uji kompetensi diadakan di luar uji materi yang tidak jelas, ketersediaan
uji kompetensi.
80
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
waktu untuk mengikuti uji kompetensi, uji
kompetensi tidak berpengaruh terhadap
tingkat kesejahteraan, kelangkaan
lembaga penguji kompetensi, dan biaya uji
kompetensi yang terlampau besar. Ragam
kendala ini juga muncul dalam diskusi
kelompok terfokus yang diselenggarakan
di dua kota, yaitu Yogyakarta dan Jakarta.
Masih ada beberapa kendala lain, namun
kendala-kendala yang sudah disebutkan
di atas adalah kendala yang lebih sering
muncul dari diskusi.
Kendala pertama, kriteria kelulusan
uji materi yang tidak jelas, berasal dari
karakter berita yang diproduksi oleh
ragam institusi media juga berbeda. Untuk
berita radio dan televisi misalnya, belum
cukup terakomodir dalam uji standar
kompetensi wartawan yang dianggap
lebih mengakomodir berita cetak. Dengan
beragamnya jenis berita sebaiknya materi
dan kriteria kelulusan juga diperbaiki dan
diperjelas. Selain itu, keterkaitan kriteria
dan jenjang kewartawanan juga mesti
diperjelas karena seringkali ditemukan
wartawan yang dianggap belum kompeten
namun lulus uji standar kompetensi dan
berada dalam jenjang wartawan yang
tidak tepat.
Kendala berikutnya adalah
ketersediaan waktu untuk mengikuti uji
kompetensi yang mungkin tidak dimiliki
oleh sebagian wartawan karena beban dan
rutinitas pekerjaan dan juga kesesuaian
jadwal kerja wartawan dengan jadwal uji
standar kompetensi yang diselenggarakan.
Kendala ini bisa diatasi dengan penentuan
jadwal yang jauh lebih awal dari
pelaksanaan uji standar kompetensi.
Begitu juga dengan kebijakan perusahaan
media yang memberikan waktu yang
fleksibel kepada wartawannya untuk
mengikuti uji standar kompetensi karena
terbatasnya waktu untuk uji kompetensi.
Hal lain yang juga dianggap menjadi
kendala dalam uji standar kompetensi
wartawan adalah anggapan bahwa uji
standar kompetensi tidak berpengaruh
pada tngkat kesejahteraan wartawan. Pada
bagian selanjutnya akan dibahas kendala
ini. Walau begitu, beberapa perusahaan
media sudah merumuskan keterkaitan
sertifikasi dengan kesejahteraan
wartawan. Kerjasama yang sinergis
antara perusahaan media dan Dewan Pers
harus dirumuskan dengan memadai agar
sertifikasi tidak hanya berpengaruh pada
profesionalisme tetapi juga kesejahteraan
wartawan.
Uji kompetensi dinilai belum berkaitan
langsung dengan karir dan kesejahteraan
wartawan walaupun di beberapa instutusi
media telah diupayakan mengaitkan uji
kompetensi dan kesinambungan karir.
Upaya mengaitkan uji kompetensi dengan
karir dan juga gaji wartawan sedang
direncanakan oleh Jogja TV, seperti yang
disampaikan oleh Wendy. Di Jogja TV
menurut Wendy untuk posisi redaktur
atau produser minimal merupakan
wartawan madya dan kompetensi
diikuti dengan penyetaraan gaji sesuai
dengan kompetensinya. Bila memang
kompetensi sudah melebihi kenaikan gaji
juga dimungkinkan. Selain itu, sebagai
sebuah institusi Jogja TV mendorong
wartawannya untuk mengikuti uji
kompetensi dan merencanakan paling
tidak lima wartawan mengikuti uji
kompetensi setiap tahun. Hal yang senada
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
81
W
disampaikan oleh Atang Basuki bahwa
keterkaitan antara keikutsertaan pada uji
kompetensi dan jenjang karir mesti sejalan
karena melalui uji kompetensi seorang
wartawan akan tahu kemampuannya dan
sejauh apa posisi yang bisa didapatkan.
Hal yang berbeda terjadi di suratkabar
Kedaulatan Rakyat, menurut Sihono
belum ada keterkaitan antara uji
kompetensi dengan posisi dan penggajian
wartawan. Uji kompetensi wartawan
belum dipakai untuk mengevaluasi
wartawan, bahkan wartawan belum
menempati posisi yang strategis di redaksi.
Walau begitu, selain meningkatkan
kinerja wartawan dan memperbaiki
kualitas wartawan, uji kompetensi secara
kelembagaan meningkatkan kedekatan
dalam pengorganisasian liputan.
Sementara itu di RRI, Atang Basuki
menyatakan bahwa uji kompetensi
diupayakan untuk diselaraskan dengan
pendidikan dan pelatihan wartawan
yang dilakukan oleh RRI Pusat Jakarta.
Dari hasil pelatihan tersebut pihak yang
berwenang, kepala stasiun misalnya, akan
memberikan penilaian agar wartawan
bisa ditempatkan pada posisi tertentu.
Hal serupa terjadi di TVRI, Arif dari
TVRI stasiun Yogyakarta melihat bahwa
di institusi tempatnya bekerja banyak
pelatihan yang dilakukan, ada pelatihan
untuk wartawan dan juga untuk camera
person walau kemungkinan tidak semua
pelatihan tersebut memiliki keterkaitan
dengan uji kompetensi yang didorong oleh
Dewan Pers. Walau begitu, menurutnya
kemampuan seorang wartawan tidak
berhubungan langsung dengan posisinya
di kantor karena misalnya ada dua
82
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
wartawan yang sama lama waktunya
menjalani peran sebagai wartawan, satu
wartawan masih membawa-bawa kamera
dan meliput, satu lagi telah menjadi
atasan atau redaktur. Menurutnya belum
ada indikator yang jelas mengenai
penempatan posisi seseorang di institusi
tempatnya bekerja.
Menurut Hendrawan di TV One biro
Yogya perencanaan para wartawan yang
mengikuti uji kompetensi telah dilakukan.
Wartawan yang mengikuti uji kompetensi
diusahakan bergantian agar kantor tidak
kosong karena jumlah personel memang
terbatas untuk sebuah biro. Bila ada
penyelenggaraan uji kompetensi wartawan
di Yogyakarta Hendrawan meminta
wartawannya untuk mengikutinya. Selain
itu uji kompetensi mesti dilengkapi
perluasan perspektif dengan mengikuti
beragam diskusi. Hal ini yang didorong
oleh Hendrawan kepada rekan-rekannya
sesama wartawan karena dia juga aktif
di AJI yang menilai pelibatan wartawan
pada beragam aktivitas sosial sangat
diperlukan.
Belum masuknya uji kompetensi
wartawan sebagai bagian dari
perkembangan karir wartawan menurut
Hendrawan harus diperhatikan oleh Dewan
Pers. Dewan Pers dapat memberikan
masukan dan juga tekanan agar institusi
media menerapkan dan mendorong uji
kompetensi wartawan. Linkage antara
wartawan dengan institusi media dalam
mengikuti uji kompetensi mesti didorong
oleh Dewan Pers. Banyak juga informan
yang berpendapat bahwa pelaksanaan uji
kompetensi wartawan mestinya dikaitkan
dengan kebijakan dan tekanan pada
institusi media tempat wartawan bekerja.
Bila para wartawan memiliki kepedulian
mengikuti uji kompetensi namun tidak
ada perhatian dari institusi media
tempatnya bekerja, implementasi yang
bagus berkaitan dengan uji kompetensi
tidak akan terwujud.
Selain itu, secara sosial mesti
didorong agar wartawan yang belum
mengikuti uji kompetensi merasa malu
di depan rekan-rekan wartawan dan juga
masyarakat. Menurut Hendrawan hal
ini yang penting dimunculkan agar para
wartawan mendorong rekan-rekannya
untuk mengikuti uji kompetensi sehingga
menjadi bola salju agar semakin banyak
wartawan yang semakin profesional.
Sementara itu menurut Atang Basuki, uji
kompetensi harus menggali kemampuan
sebenarnya wartawan yang bersangkutan
dan bisa dibuktikan secara sosial.
Kendala keempat adalah langkanya
lembaga penguji kompetensi. Hal ini
disadari dan muncul dalam perbincangan
dalam diskusi kelompok terfokus. Bukan
hanya jumlah lembaga penguji tidak
banyak, tetapi juga diungkapkan bahwa
sebagian besar dari lembaga-lembaga
penguji yang ada belum melakukan uji
kompetensi. Selain itu, Dewan Pers
belum sepenuhnya memonitor dan
memverifikasi kembali lembaga-lembaga
penguji. Sosialisasi bagi lembaga-lembaga
yang akan menjadi penguji juga belum
dilakukan secara memadai sehingga
terjadi kelangkaan lembaga penguji
selama sekitar empat tahun pelaksanaan
uji standar kompetensi wartawan ini.
Kendala yang terakhir adalah biaya
uji kompetensi yang dianggap mahal oleh
sebagian wartawan. Sebenarnya kendala
ini relatif mudah diatasi bila perusahaan
media memberikan fasilitas dan biaya
bagi wartawannya untuk mengikuti
uji standar kompetensi yang memang
merupakan kewajiban dari perusahaan
media. Kendala ini baru sangat terasa bagi
wartawan freelance yang tidak berafiliasi
dengan perusahaan media atau juga
jurnalis warga yang tidak memiliki motif
ekonomi dalam menjalankan profesinya.
G. Arti Penting Program Sertifikasi
untuk Mengukur Standar
Kompetensi wartawan Indonesia
Secara umum dari hasil focus
group discussion yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa uji kompetensi dinilai
memiliki kontribusi positif bagi kinerja
wartawan dan pada kualitas berita yang
dihasilkannya. Menurut Hendrawan
yang merupakan ketua Aliansi Jurnalis
Independen Yogyakarta dan Kepala Biro
TV One Yogyakarta, wartawan yang
sudah lulus uji kompetensi lebih memiliki
perspektif ketika menulis berita. Selain itu,
wartawan yang sudah lulus uji kompetensi
memahami etika jurnalistik lebih
memadai karena etika dan pengetahuan
teknis belum mampu diserap sepenuhnya
sewaktu pelatihan yang diselenggarakan
oleh perusahaan. Hendrawan juga
mengatakan bahwa kualitas berita yang
ditulis oleh para wartawannya juga
meningkat. Hal tersebut ditandai oleh
keluhan dari audiens cukup berkurang
selama beberapa waktu terakhir.
Pendapat senada disampaikan oleh
Wendy Binarto dari Jogja TV bahwa
uji kompetensi memberi manfaat
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
83
menyamakan persepsi di redaksi karena
latar belakang anggota redaksi yang
berbeda-beda. Tidak semua anggota
redaksi memiliki latar belakang pendidikan
yang mempelajari jurnalisme. Manfaat
yang lebih jauh dari uji kompetensi
adalah lebih mudah dalam memimpin
para wartawan yang menjadi rekan kerja
karena lebih memahami jurnalistik dan
manajemen redaksi. Wendy juga melihat
ada perbaikan kualitas dari berita yang
dihasilkan oleh para wartawannya dalam
lima tahun terakhir. Personel redaksi di
Jogja TV ada tiga puluh tiga orang namun
yang sudah lulus uji kompetensi baru tujuh
orang. Jumlah yang masih sedikit tersebut
menyebabkan perencanaan keikutsertaan
dan upaya mendorong wartawan untuk
mengikuti uji kompetensi semakin
penting. Walau demikian, menurut Wendy
terdapat beberapa wartawan yang tidak
mau mengikuti uji kompetensi dengan
berbagai alasan. Namun pada akhirnya
mereka mengikuti uji kompetensi karena
memang diperlukan dan menunjukkan
profesi sebagai wartawan memang berat
bila tanpa uji kompetensi.
Atang Basuki Kepala Pemberitaan
Radio Republik Indonesia Stasiun
Yogyakarta juga melihat bahwa uji
kompetensi memiliki arti penting
untuk mengingatkan kembali akan hak
dan kewajiban bagi wartawan dalam
menjalankan tugas. Persoalan yang
sederhana dalam tugas jurnalistik seperti
menghubungi narasumber menjadi
memiliki arti yang lebih penting ketika para
wartawan RRI mengikuti uji kompetensi.
Paling tidak, melalui uji kompetensi
para wartawan di RRI menyadari bahwa
84
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
profesi wartawan itu sulit untuk menjadi
profesional bila tidak serius menjalaninya.
Pada titik ini uji kompetensi bisa dilihat
bukan hanya sebagai prosedur untuk
mengetahui kompetensi wartawan
melainkan juga memberikan pengetahuan
kepada wartawan atas aktivitas dan profesi
yang mereka jalani.
Sementara itu, menurut Maria Andriana
dari LKBN Antara sekaligus pengajar
di LPDS, salah satu lembaga penguji
uji kompetensi, manfaat uji kompetensi
sudah nyata, terutama untuk wartawan
daerah dan yang bukan berasal dari media
besar. Para wartawan tersebut belajar
banyak hal mengenai jurnalisme melaui
uji kompetensi wartawan. Hal lain yang
mereka pelajari dari uji kompetensi adalah
menyelenggarakan rapat redaksi. Ternyata
tidak semua institusi media menjalankan
rapat redaksi dalam merencanakan dan
menulis beritanya.
Menguatkan pendapat-pendapat
sebelumnya, Endi Bayuni dari Jakarta
Post mengatakan, bahwa Jakarta Post
mengikuti standar yang diminta dalam
uji kompetensi wartawan walaupun di
institusi media berbahasa Inggris ini
sendiri pelatihan dilakukan lebih panjang
dan lebih mendalam bila dibandingkan
dengan uji kompetensi wartawan yang
didorong oleh Dewan Pers. Menurutnya,
penilaian yang paling penting bagi
kompetensi wartawan adalah yang
berasal dari masyarakat walau melalui uji
kompetensi wartawan kondisi jurnalisme
sudah membaik. Penilaian masyarakat
lebih penting bila dibandingkan dengan
penilaian diri sendiri oleh insan pers.
Walau dinilai baik belum tentu masyarakat
menilainya baik pula. Endi merujuk pada
pemberitaan di seputar pemilu 2014.
Arfi Bambani dari AJI Indonesia
melihat bahwa uji kompetensi berguna
sekali bagi wartawan. Walau begitu
mesti diperkuat antara uji kompetensi
yang didorong oleh Dewan Pers dan
uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh AJI. Pelaksanaan uji kompetensi
versi AJI melingkupi materi yang lebih
banyak dan melibatkan fasilitator yang
lebih banyak sehingga persiapannya
mesti lebih panjang. Selama bertahuntahun wartawan tidak mengenal semacam
pendidikan atau pengujian dan tiba-tiba
lahir uji kompetensi. Hal ini menurutnya
adalah sangat berguna.
Kesan secara umum uji kompetensi
wartawan yang dijalankan selama ini
sudah baik. Hal tersebut terlihat dari kesankesan wartawan yang pernah mengikuti
uji kompetensi wartawan dan juga para
pengujinya, yang dibukukan. Tiga puluh
enam orang tersebut menyatakan bahwa
uji kompetensi wartawan adalah hal yang
positif. Pendapat ini dinyatakan oleh
Usman Yatim, pengurus pusat Persatuan
Wartawan Indonesia dan juga pengajar di
LPDS. Menurutnya lagi, hal yang paling
penting dari uji kompetensi wartawan
adalah munculnya kesadaran kepada
wartawan bahwa wartawan adalah sebuah
profesi dan pada setiap profesi pasti ada
standarnya.
Tri Agung dari Kompas menunjukkan
bahwa uji kompetensi memiliki arti
penting dan Kompas sudah melakukannya
sejak tahun 2000. Cukup jauh dari uji
kompetensi wartawan yang didorong oleh
Dewan Pers yang baru berjalan empat
tahun. Bila uji kompetensi wartawan yang
difasilitasi oleh Dewan Pers memiliki tiga
kategori, uji kompetensi yang dimiliki
oleh Kompas memiliki tujuh kategori.
Selain itu proses tersebut dilembagakan
dengan diuji dan diawasi oleh dewan
kompetensi. Dewan kompetensi terdiri
dari dua belas orang yang ikut menguji
kompetensi pada setiap tingkatan.
Berdasarkan data yang diperoleh,
menurut wartawan yang menjadi
responden dari riset ini, uji kompetensi
wartawan membuat kualitas dan
profesionalitas wartawan semakin baik
selama sekitar empat tahun perangkat
ini diimplementasikan. Sebagian besar
responden pada tiap jenjang wartawan
setuju dan sangat setuju bahwa uji
kompetensi telah membuat kualitas
dan profesionalitas wartawan semakin
baik. Sebanyak 84,4% responden yang
merupakan wartawan muda setuju dengan
pernyataan tersebut. Sementara itu 90%
responden yang merupakan wartawan
madya dan 34,6% juga setuju pada
pernyataan tersebut.
Pendapat berbeda disampaikan
oleh Heru Hendratmoko dari KBR.
Menurutnya tidak ada korelasi langsung
antara uji kompetensi wartawan dengan
kinerja wartawan dan kualitas berita
yang dihasilkannya. Dia menganalogikan
sertifikasi kompetensi dengan SIM
yang bisa saja didapatkan tanpa melalui
ujian. Dengan demikian bisa banyak
wartawan bersertifikat namun tidak
berhubungan dengan kualitas berita yang
dihasilkannya. Hal ini bisa dibuktikan
dengan pemberitaan media Indonesia saat
ini, terutama pada media online.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
85
Tabel 7.4 Program Sertifikasi adalah Penting untuk Mengukur Standar Kompetensi
Wartawan Indonesia
Program sertifikasi
adalah penting untuk
mengukur standar
kompetensi wartawan Indonesia
Jenjang kewartawanan
wartawan muda
frekuensi
%
frekuensi
%
wartawan utama
frekuensi
%
Sangat setuju
11
34.4%
12
40.0%
8
30.8%
Setuju
19
59.4%
15
50.0%
15
57.7%
Tidak tahu
0
0.0%
0
0.0%
2
7.7%
Kurang setuju
2
6.2%
3
10.0%
0
0.0%
Missing
0
0.0%
0
0.0%
1
3.8%
Total
32
30
100.00%
26
100.00%
Walau begitu, sebagian besar
responden menyatakan bahwa program
sertifikasi adalah penting untuk mengukur
kompetensi wartawan Indonesia. Sebagian
besar responden yang berasal dari jenjang
wartawan yang berbeda menyatakan
bahwa program sertifikasi tetap penting
untuk mengukur kompetensi wartawan
Indonesia. Berikut ini persentase
responden berdasarkan jenjang wartawan
yang setuju dan sangat setuju dengan
pernyataan tersebut, yaitu wartawan
muda sebanyak 93,8%, wartawan madya
sebesar 90%, dan wartawan utama
sebanyak 88,5%. Walau begitu masih
terdapat 6,2% responden yang merupakan
wartawan muda dan 10% wartawan madya
yang kurang setuju dengan pernyataan
tersebut karena berdasarkan diskusi
kelompok terfokus didapatkan bahwa
sebagian informan merasa bahwa masih
ada perangkat lain yang dapat digunakan
untuk mengukur kompetensi wartawan
Indonesia.
86
wartawan madya
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
100.00%
H. Uji Kompetensi dan Profesionalitas
Wartawan
Pendapat terakhir yang diminta
dari wartawan pada bagian ini adalah
pernyataan bahwa uji kompetensi membuat
wartawan Indonesia menjadi profesional.
Sebagian wartawan dari berbagai jenjang
kewartawanan menyatakan setuju dan
sangat setuju dengan pernyataan tersebut
walau responden yang tidak menjawab
juga memiliki persentase yang besar.
Wartawan muda yang setuju dan sangat
setuju bahwa uji kompetensi menjadikan
wartawan profesional sebanyak 46,9%.
Sementara itu, wartawan madya
yang setuju dan sangat setuju dengan
pernyataan bahwa uji kompetensi
menjadikan wartawan profesional adalah
sebanyak 66,7% dan wartawan utama
sebesar 26,9%.
Tabel 7.5 Uji Kompetensi Membuat Wartawan Menjadi Profesional
Uji kompetensi membuat wartawan menjadi
profesional
Jenjang kewartawanan
wartawan muda
frekuensi
%
wartawan madya
frekuensi
%
wartawan utama
frekuensi
%
Sangat setuju
3
9.4%
5
16.7%
1
3.8%
Setuju
12
37.5%
15
50.0%
6
23.1%
Tidak tahu
0
0.0%
4
13.3%
1
3.8%
Kurang setuju
1
3.1%
2
6.7%
0
0.0%
Missing
16
50.0%
4
13.3%
18
69.2%
Total
32
100.00%
30
100.00%
26
100.00%
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
87
88
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Bab VIII
Penutup
A. Kesimpulan
Persoalan utama yang ingin dijawab
penelitian ini, yaitu: apakah uji kompetensi
wartawan telah meraih tujuan-tujuan
yang ditetapakn. Ada enam tujuan
diberlakukannya standar kompetensi
wartawan, yakni (1) Meningkatkan
kualitas dan profesionalitas wartawan;
(2) Menjadi acuan sistem evaluasi
kinerja wartawan oleh perusahaan
pers; (3) Menegakkan kemerdekaan
pers berdasarkan kepentingan publik;
(4) Menjaga harkat dan martabat
kewartawanan sebagai profesi khusus
penghasil karya intelektual; (5)
Menghindarkan penyalahgunaan profesi
wartawan; (6) Menempatkan wartawan
pada kedudukan strategis dalam industri
pers.
Berdasarkan hasil penelitian dan
analisis data dapat disimpulkan di sini
bahwa uji kompetensi wartawan telah
meraih tujuan-tujuan yang ditetapkan
meski belum maksimal. Dalam kaitannya
dengan meningkatkan kualitas dan
profesionalitas wartawan, responden
mempersepsikan bahwa uji kompetensi
berdampak pada peningkatan kualitas
dan profesionalitas mereka. Responden
juga menilai dirinya cukup profesional
dalam bekerja. Persepsi ini penting
untuk diketahui karena memprediksi
kinerja aktual. Namun, beberapa kasus
menunjukkan persepsi ini tidak selalu
konsisten dengan realitas di lapangan.
Penelitian menunjukkan bahwa meskipun
wartawan telah lolos uji kompetensi
masih ada sejumlah responden yang
tidak setuju dan tidak tahu bahwa ada
keharusan bagi mereka untuk melayani
kepentingan publik. Ada juga responden
yang kurang setuju pada kewajiban
mereka memberikan informasi yang up
to date kepada masyarakat. Beberapa
responden bahkan tidak mengetahui
dan memahami Undang-Undang Pers
dan kode etik. Dampak uji kompetensi
juga belum nampak jelas dalam kualitas
konten berita. Persoalan impartialism
yaitu netralitas dan balance ditemukan
di beberapa contoh karya jurnalistik
yang diserahkan oleh responden kepada
peneliti.
Dalam melihat dampak uji kompetensi
ini, hasil penelitian menunjukkan
ada perbedaan pandangan di antara
responden. Dalam FGD misalnya, para
pimpinan media telah merasakan bahwa
uji kompetensi memiliki pengaruh
pada profesionalitas wartawan. Namun
sejumlah partisipan menyatakan tidak tahu
dan menganjurkan pelaksanaan observasi
untuk mengetahui bagaimana wartawan
bersertifikat menjalankan pekerjaannya.
Partisipan memandang cara ini yang dapat
membuktikan dampak tersebut secara
lebih akurat. Di antara partisipan juga ada
ketidaksepakatan dalam melihat dampak
uji kompetensi wartawan, misalnya apa
yang dimaksud dengan dampak dan apa
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
89
indikatornya. Oleh karena itu, barangkali
perlu ada mekanisme evaluasi yang
lebih jelas untuk melihat dampak uji
kompetensi.
Dalam melihat dampak uji kompetensi
terhadap kinerja wartawan perlu kiranya
memperhitungkan latar belakang
pengetahuan, pendidikan, nilai yang
dianut oleh wartawan dan motivasi
mereka dalam bekerja. Kualitas individu
wartawan sebelum mengikuti uji
kompetensi perlu dikaji untuk mengetahui
apakah profesionalitas dan kinerja mereka
setelah itu benar-benar merupakan
dampak uji kompetensi. Di samping itu,
faktor lain seperti rutinitas perusahaan,
kebijakan organisasi, peran asosiasi
wartawan dan faktor-faktor eksternal
perusahaan seperti lingkungan industri,
ideologi serta kebijakan dan regulasi perlu
juga diperhatikan karena juga berpotensi
mempengaruhi kinerja.
Berhubungan dengan tujuan kedua,
apakah uji kompetensi menjadi acuan
sistem evaluasi kinerja wartawan oleh
perusahaan pers, hasil penelitian ini kurang
memberikan dukungan terhadapnya. Hasil
survei menunjukkan, responden mengakui
bahwa uji kompetensi penting bagi
peningkatan profesionalitas dan kinerja
wartawan. Hasil FGD juga menunjukkan
kesimpulan yang sama, bahwa uji
kompetensi penting tidak hanya berkaitan
dengan profesionalitas dan kinerja namun
juga mengatasi penyalahgunaan profesi
wartawan. Sayangnya, perusahaan masih
terbatas dalam melihat arti penting uji
kompetensi ini. Temuan yang cukup
menonjol terkait hal ini adalah perusahaan
tidak selalu mempertimbangkan hasil uji
90
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
kompetensi dalam melakukan promosi
jabatan atau peningkatan karir. Hasil
survei dan FGD memperlihatkan adanya
kasus bahwa promosi jabatan lebih
berorientasi pada hubungan personal
daripada ukuran-ukuran objektif kinerja.
Temuan penelitian juga menunjukkan
bahwa meskipun umumnya responden
menyatakan dukungan besar yang
diberikan oleh perusahaan terhadap
pelaksanaan uji kompetensi, level
dukungan perusahaan tidak berlaku sama
antara wartawan muda, madya dan utama.
Menurut hasil survei masih cukup banyak
wartawan muda yang merasa kurang
mendapat dukungan untuk mengikuti uji
kompetensi, terutama berkaitan dengan
biaya dan keleluasaan waktu mengikuti
ujian. Temuan juga mengungkap tidak
adanya hubungan antara sertifikasi dengan
peningkatan kesejahteraan wartawan.
Sebagian besar wartawan di semua jenjang
masih merasakan kurangnya dampak dari
uji kompetensi bagi kesejahteraan mereka.
Kecenderungan seperti ini berisiko
terhadap motivasi wartawan mengikuti
uji kompetensi karena wartawan yang
telah bersertifikat merasa kurang dihargai.
Kecenderungan ini juga berpotensi
mempengaruhi profesionalitas dan kinerja
wartawan yang telah memegang sertifikat.
Penelitian ini juga mendapati adanya
overlapping dan juga dikotomi dalam hal
uji standar kompetensi. Dikotomi di sini
adalah antara ‘uji kompetensi Dewan Pers’
dengan ‘uji kompetensi yang dilaksanakan
secara internal oleh perusahaan’. Hasil
FGD menunjukkan bahwa sebelum
Dewan Pers mengatur uji kompetensi,
beberapa perusahaan media besar telah
memiliki sistem uji kompetensi internal.
Bahkan beberapa partisipan menyatakan
uji kompetensi ini jauh lebih detil dan
komprehensif dibanding yang dilakukan
Dewan Pers atau lembaga-lembaga
penguji standar kompetensi. Sementara
ada kewajiban para wartawan di beberapa
perusahaan besar ini mengikuti uji
kompetensi versi Dewan Pers untuk
mendapatkan pengakuan kompetensinya.
Dalam konteks ini sejumlah responden
menyatakan Dewan Pers perlu mendukung
dan mengakomodasi perusahaan yang
telah memiliki mekanisme internal untuk
standarisasi kompetensi. Dewan Pers bila
perlu dapat menjadikannya model untuk
membangun kompetensi wartawan. Bagi
perusahaan tertentu, kewajiban wartawan
untuk mengikuti uji standar kompetensi
yang dilaksanakan oleh organisasi lain di
luar perusahaan mungkin tidak diperlukan,
karena standar uji yang dilakukan secara
internal sudah cukup memadai. Dewan
Pers hanya perlu melakukan pengawasan
untuk menjamin bahwa uji kompetensi
benar-benar dilaksanakan dengan baik
oleh perusahaan. Di sisi lain, Dewan
Pers perlu memberlakukan uji standar
kompetensi dengan ketat bagi wartawan
yang bekerja di perusahaan yang
tidak memiliki mekanisme internal uji
kompetensi dan mendorong perusahaan
tersebut untuk memiliki perlakuan yang
berbeda terhadap wartawan bersertifikat.
Berdasarkan hasil FGD pula diketahui
bahwa selama ini tidak ada mekanisme
pemantauan atau evaluasi terhadap
wartawan-wartawan yang telah menerima
sertifikat uji kompetensi. Baik perusahaan
maupun Dewan Pers belum melakukan
evaluasi ini. Beberapa responden
menyatakan perlu monitoring dan evaluasi
ini dilakukan untuk menjamin konsistensi
wartawan bertindak profesional. Mereka
pun mengusulkan perlunya pencabutan
sertifikat jika wartawan terbukti melanggar
etika dan prinsip-prinsip profesionalisme.
Apakah uji kompetensi telah
menegakkan kemerdekaan pers
berdasarkan kepentingan publik? Tujuan
ini masih belum sepenuhnya terpenuhi. Di
depan telah disinggung bahwa responden
penelitian ini tidak sepenuhnya setuju
bahwa mereka memiliki kewajiban
untuk melayani kepentingan publik.
Sebagian responden juga masih menerima
pemberian dari narasumber dan juga tidak
melaporkan pemberian ini ke perusahaan.
Di samping itu, berdasarkan penilaian
responden, ada perusahaan yang tidak
menggunakan Undang-Undang Pers
dan kode etik sebagai pedoman kerja
redaksi. Adalah wajar jika kemudian ada
wartawan yang tidak mengetahui undangundang dan kode etik tersebut. Hal-hal
ini berpotensi mengancam kemerdekaan
pers.
Dalam melihat persoalan ini, peneliti
berpandangan bahwa persoalan penegakan
kemerdekaan pers tidak cukup adil jika
hanya bertumpu pada uji kompetensi.
Temuan penelitian ini misalnya, ada
andil perusahaan yang cukup besar dalam
mempengaruhi profesionalitas wartawan.
Sebagai contoh, menyangkut prosedur
atau mekanisme kerja, ada perusahaan
yang tidak memiliki kebijakan atau aturan
yang jelas tentang pemberian narasumber
atau pengembalian pemberian tersebut.
Berhubungan dengan apakah uji
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
91
kompetensi telah mampu menjaga harkat
dan martabat kewartawanan sebagai
profesi khusus penghasil karya intelektual,
nampaknya juga masih jauh dari harapan.
Kurangnya apresiasi yang diberikan
perusahaan kepada wartawan bersertifikat
menunjukkan belum diakuainya
wartawan ini sebagai profesi khusus
penghasil karya intelektual. Salah satu
dari persyaratan profesi adalah pendidikan
yang memadai. Sebagian besar responden
penelitian ini adalah sarjana, sebagian
lagi berpendidikan SLTA. Sejumlah
responden juga tidak mengikuti program
pendidikan dan pelatihan jurnalistik. Fakta
lain yang cukup menyedihkan, cukup
besar responden yang berpenghasilan di
bawah upah minimum regional. Bahkan
beberapa bergaji sangat kecil di bawah 1
juta rupiah. Persoalan kesejahteraan ini
berisiko penyalahgunaan profesi.
Tujuan uji standar kompetensi yang
lain adalah menempatkan wartawan
pada kedudukan strategis dalam industri
pers. Pencapaian tujuan ini masih jauh
juga dari harapan. Bagaimana mungkin
wartawan memiliki kedudukan strategis
dalam industri pers jika di dalam
perusahaan sendiri profesionalitasnya atau
kompetensinya masih kurang didukung
dan diakui?
Uji kompetensi secara umum dinilai
sudah relatif bagus oleh sebagian besar
responden. Penilaian yang bagus tersebut
meliputi lembaga penguji, penguji,
prosedur uji kompetensi, materi uji dan
kriteria kelulusan dalam uji kompetensi.
Meskipun demikian ada beberapa
responden yang masih melihat materi uji
kompetensi bias pada media cetak dan
92
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
kurang memperhatikan media ektronik
seperti radio, televisi dan online. Hal
yang unik adalah justru responden yang
merupakan wartawan utama cenderung
skeptis dengan uji kompetensi padahal
wartawan utama diharapkan memberi
kontribusi positif bagi perkembangan
dan revisi uji kompetensi wartawan
yang dikembangkan dalam empat tahun
terakhir ini.
Lembaga penguji adalah elemen
di dalam uji kompetensi yang perlu
dielaborasi dengan mendalam. Melalui
focus group discussion dan juga survei
didapatkan informasi bahwa kuantitas dan
kualitas lembaga penguji belum memadai.
Hal ini sangat disayangkan mengingat
lembaga penguji dan penguji adalah
elemen terdepan dalam melaksanakan
uji kompetensi. Beberapa lembaga
yang sudah ditunjuk menjadi lembaga
penguji belum pernah melaksanakan
uji kompetensi wartawan. Selain itu,
kampus-kampus yang menjadi lembaga
penguji juga kurang dilibatkan dan
diberdayakan dengan sebaik-baiknya
dalam uji kompetensi. Berdasarkan data
sekunder, yaitu data tentang wartawan
bersertifikat, ditemukan juga fakta bahwa
sebaran wartawan bersertifikat masih
belum merata. Sebagian besar wartawan
bersertifikat masih terkonsentrasi di Jawa.
Dewan Pers dan lembaga penguji perlu
kerja keras mewujudkan pemerataan.
B. Rekomendasi
1. Dewan Pers perlu membuat suatu
gerakan, kebijakan atau apapun
namanya agar uji kompetensi
wartawan benar-benar menjadi
dasar bagi perusahaan: dalam
penempatan posisi wartawan
dalam mengisi struktur jabatan
dan menjadikan acuan bagi usaha
meningkatkan kesejahteraan
wartawan.
Pada penempatan posisi wartawan
dalam mengisi struktur jabatan,
kebijakan ditujukan untuk
mendorong perusahaan pers agar,
misalnya, pemimpin redaksi
setidaknya diisi oleh wartawan
utama, dan seterusnya sesuai
jenjang kewartawanan. Untuk
itu, Dewan Pers perlu melakukan
publikasi berkala secara luas yang
ditujukan kepada publik terkait
media-media yang menempatkan
jurnalis terutama yang tidak
sesuai kompetensinya. Informasi
ini penting dilakukan bagi publik
untuk mengetahui apakah mediamedia yang mereka baca dikelola
oleh orang-orang yang mempunyai
standar kompetensi. Ini menjadi
hak publik karena kemerdekaan
pers sejatinya untuk publik, dan
bukan untuk perusahaan pers.
Publikasi ini dimaksudkan juga
untuk memberikan tekanan sosial
bagi perusahaan yang mengabaikan
profesionalisme wartawan.
Dewan Pers kiranya perlu
mendorong suatu usaha yang
sungguh-sungguh bagi perusahaan
pers untuk memberikan
penghargaan wartawan sesuai
kompetensinya. Uji kompetensi
berarti pula uji profesionalitas
sehingga mestinya mereka dihargai
pula secara profesional. Ini untuk
menegaskan bahwa uji kompetensi
penting bagi wartawan, dan
memberikan nilai positif kepada
mereka.
2. Sinkronisasi antara uji kompetensi
yang diprakarsai oleh lembagalembaga uji kompetensi di bawah
‘koordinasi’ Dewan Pers dengan
uji internal yang telah dilakukan
oleh sejumlah perusahaan. Pada
institusi media yang sudah
mapan, uji kompetensi ternyata
jauh lebih berat dan complicated
dibandingkan dengan uji
kompetensi lembaga penguji.
Dalam situasi semacam ini, harus
dipikirkan apakah wartawan
yang sudah menjalani uji internal
di media masing-masing dan
dinyatakan lulus berarti telah
tersertifikasi ataukah tetap harus
mengikuti uji kompetensi seperti
wartawan lainnya. Oleh karena
itu, perlu dipikirkan sinkronisasi
antara keduanya. Dewan Pers juga
perlu bekerjasama dan melakukan
konsolidasi dengan institusi pers
Indonesia agar pendidikan dan
uji kompetensi wartawan yang
dipergunakan mengukur kinerja
wartawan juga dipergunakan
untuk penilaian dan peningkatan
karir wartawan di institusi atau
lembaga pers bersangkutan.
3. Pemetaan atas sumber daya
pers di seluruh Indonesia secara
berkala terkait jumlah wartawan
dan kualifikasi profesionalitasnya.
Dewan Pers harus melakukan
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
93
survei secara berkala menyangkut
SDM yang dimiliki oleh media
di seluruh Indonesia untuk
mengetahuai: (1) Jumlah dan
karakteristik SDM di media dan
(2) apakah posisi-posisi tertentu
telah diisi oleh SDM yang sesuai
kompetensinya. Survei ini akan
menjadi dasar bagi Dewan Pers
untuk melakukan publikasi berkala
sesuai rekomendasi sebelumnya
bahwa Dewan Pers harus
mempublikasikan media-media
yang tidak menempatkan wartawan
laras dengan kompetensinya.
4. Dewan Pers perlu bekerjasama
dengan institusi media besar dan
lembaga pendidikan yang sudah
sering melakukan uji kompetensi
wartawan untuk melakukan
evaluasi dan
merumuskan
kembali secara bersama program
pendidikan dan latihan apa
yang tepat untuk para wartawan
Indonesia, sekaligus merumuskan
instrumen baru uji kompetensi.
5. Dewan Pers perlu mengadakan
pendidikan dan pelatihan secara
reguler dan meluas tentang posisi
wartawan sebagai profesional yang
menjalankan ideologi jurnalisme.
Bahan penting utama yang perlu
diulas secara mendalam, baik
menyangkut filsafat jurnalisme
maupun implementasi adalah:
Undang-Undang Pers, UndangUndang Penyiaran, Regulasi terkait
dan Kode Etik Jurnalistik serta
prinsip dasar dan kerja jurnalisme
yang telah dipilih di Indonesia dan
94
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
mendapat perlindungan hukum.
Ini adalah pelatihan yang sangat
penting dan mendasar dalam
menjalankan pekerjaan profesional
para wartawan atau jurnalis.
6. Memberikan penghargaan lewat
penelitian mendalam terhadap
media yang telah menjalankan
prinsip-prinsip jurnalisme secara
baik dan benar. Pemberian
penghargaan ini diberikan setiap
tahun baik media elektronik
maupun cetak. Tingkat nasional
maupun lokal. Hal ini dimaksudkan
agar Dewan Pers dapat mendorong
dan meningkatkan pekerjaan
profesional wartawan.
7. Dewan Pers memiliki dan
memperbaiki sistem database
wartawan Indonesia yang sudah
men g ik u ti u ji k o mp eten s i
wartawan dan memerbaruinya
secara berkala. Database ini
harus bersifat terbuka agar publik
dapat mengakses data tersebut
dan melakukan verifikasi status
seorang wartawan. Hal ini penting
untuk mengatasi penyalahgunaan
wewenang.
Daftar Pustaka
Coleman, R. dan Wilkins, L. (2002), Searching for the Ethical Journalist: An Exploratory
Study of the Moral Development of News Workers. Journal of Mass Media Ethics:
Exploring Questions of Media Morality 17(3), 209225.
Dennis, E.E. dan Merrill, J.C. (1984). Basic issues in mass communication: A Debate.
New York: Macmillan.
Entman, R.M. (1989), Democracy without citizens: Media and the decay of American
politics. New York: Oxford University Press.
Hall, Richard H. (1966), The profesionalization and Bureaucratization. American
Sociological Review, 33, 93.
Hodges, L.W. (1986), The journalist and profesionalism. Journal of mass media ethic:
Exploring questions of media morality 1(2), 32-36.
Irwanto (2006). Focus Group Discussion, Jakarta: Yayasan Obor.
Krueger, Richard A dan Mary Anne Casey (2000), Focus Groups: Practical Guide for
Applied Research. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.
McNair, B. (2011), An introduction to political commmunication. Taylor & Francis.
McQuail, D. (1992), Media performance: Mass communication and the public interest.
London: Sage Publications.
Nelkien, D. (1987), The culture of science journalisme. Soceity 24(6), 17-25.
Picard, R.G. (2000), Measuring quality by jurnalistic activity. In R.G. Picard (Ed.).
Measuring media content, quality and diversity: Approaches and issues in content
research. (p. 97-101). Turku: Media Economics, Content Diversity Project and Media
Group, Business Research and Development Centre, Turku School of Economics
and Business Administration.
Robbins, S. (1996), Perilaku Organisasi: Konsep, Konstroversi dan Aplikasi. Edisi
Indonesia. Jakarta: PT Prehallindo.
Shoemaker, P., & Reese, S.D. (2011), Mediating the message. Routledge.
Siregar, Amir. (19 Agustus 2012), “Demokratisasi media: Memahami media,
perkembangan dan tantangannya.” Makalah. Disampaikan pada kuliah umum di
Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fisipol-UGM.
Siregar, Ashadi. (14 Oktober 1987), “Kode etik jurnalistik.” Makalah. Disampaikan
pada program promosi keanggotaan, Persatuan Wartawan Indonesia, Cabang
Yogyakarta.
So, C.K. dan Chan, J. M. (2007), Professionalism, Politics and Market Force: Survey
Studies of Hong Kong Journalists 1996–2006. Asian Journal of Communication
17(2), 148-158
Stokes, Jane (2007). How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk
Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, Yogyakarta: Bentang.
Tartakow, D.J. (April/May, 2011). “A look at professionalism,” Artikel. Ortho Tribune.
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
95
Daftar Tabel
Tabel 3.1
: Elemen Unjuk Kerja
Tabel 4.1
: Jenjang Kewartawanan di Indonesia
Tabel 4.2
: Rentang Tahun Wartawan Mendapatkan Sertifikasi Tabel 4.3
: Jenis Media Tempat Wartawan Bekerja Tabel 4.5
: Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Jawa Tabel 4.6
: Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Sumatra Tabel 4.7
: Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Kalimantan Tabel 4.8
: Persebaran Wartawan Bersertifikat di Pulau Sulawesi Tabel 4.9
: Persebaran Wartawan Bersertifikat di Bali-Nusa Tenggara Tabel 4.10
: Persebaran Wartawan Bersertifikat di Maluku dan Papua Tabel 5.1
: Persepsi wartawan Atas profesionalitas Tabel 5.2
: Persepsi Responden bahwa Wartawan Harus Melayani Publik
Tabel 5.3
: Persepsi Responden Bahwa Wartawan Harus Selalu Berusaha Memberikan Informasi Terbaru kepada Publik Tabel 5.4
: Pengetahuan Wartawan Atas UU Pers dan Kode Etik
Tabel 5.5
: Persepsi dan Refleksi Wartawan terhadap Dampak Uji Kompetensi
Tabel 6.1
: Nilai Mean Penilaian Penghargaan dan Dukungan Sertifikasi Wartawan
Tabel 6.2
: Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat wartawan bekerja memiliki perlakuan yang sama antara wartawan bersertifikat dengan yang tidak.
Tabel 6.3
: Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat wartawan bekerja mempertimbangkan wartawan bersertifikat dalam mempromosikan jabatan (kenaikan karir)
Tabel 6.5
: Penilaian wartawan bahwa perusahaan meningkatkan gaji dan fasilitas
kepada wartawan bersertifikat
Tabel 6.6
: Nilai Mean Prosedur Kerja
Tabel 6.7
: Setiap Redaktur atau Wartawan Siap dengan Usulan Sebelum Rapat Redaksi Dimulai
Tabel 6.8
: Tanggapan Responden terhadap Keketatan Prosedur yang Diterapkan
untuk Mengangkat Suatu Topik Berita
Tabel 6.9
: Nilai Mean Impersonality
Tabel 6.10
: Penilaian Responden terhadap Presence of Rules
Tabel 6.11
: Penilaian Wartawan bahwa Media Tempat Bekerja Memiliki Aturan atau Mekanisme Pengembalian Pemberian Narasumber Tabel 6.12
: Nilai Mean Hirarki otoritas
96
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Tabel 6.13
: Pimpinan Di Tempat Wartawan Bekerja Selalu Berdialog Dalam
Menentukan Pemberitaan atas Isu Kontroversial
Tabel 6.14
: Nilai Mean Penilaian Wartawan atas Kompetensi Pekerja
Tabel 6.15
: Eksekutif Memenuhi Syarat untuk Pekerjaan/Posisinya
Tabel 6.16
: Penialaian terhadap Kompetensi Wartawan yang Bekerja Di Perusahaan
Tabel 7.1
: Evaluasi Wartawan atas Pelaksanaan Uji Kompetensi Tabel 7.2
: Lembaga Penyelenggara Uji Kompetensi Memiliki Kredibilitas yang Tinggi
Tabel 7.3
: Penialaian Wartawan atas Para Penguji Tabel 7.4
: Program Sertifikasi adalah Penting untuk Mengukur Standar Kompetensi Wartawan Indonesia Tabel 7.5
: Uji Kompetensi Membuat Wartawan Menjadi Profesional Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
97
Daftar Grafik
Grafik 4.1
Grafik 4.2
Grafik 4.3
Grafik 4.4
Grafik 4.5
Grafik 4.6
Grafik 4.7
Grafik 5.1
Grafik 5.2
Grafik 6.1
Grafik 6.2
Grafik 6.3
Grafik 6.4
Grafik 6.5
Grafik 6.6
Grafik 6.7
Grafik 6.9
Grafik 7.1
98
: Jenis Media Tempat Bekerja Responden : Pendidikan Terakhir Wartawan : Lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi/Media : Penilaian Responden atas Penghasilan : Tahun Sertifikasi Lolos Uji Kompetensi berdasarkan Kategori Sertifikasi : Lembaga Penguji yang Memberikan Sertifikasi : Alasan Memilih Lembaga untuk Uji Kompetensi : Pendapat Wartawan bahwa Latar Belakang Pendidikan/Pelatihan yang Dimiliki sangat Membantu Uji Kompetensi : Wartawan Merasa telah Mendapatkan Pengetahuan dan Ketrampilan yang Cukup Sebelum Uji Kompetensi : Penilaian wartawan bahwa perusahaan mendorong wartawan untuk melakukan uji standar kompetensi
: Penilaian wartawan bahwa perusahaan menanggung biaya dan memberikan keleluasaan waktu kepada wartawan untuk mengikuti uji
standar kompetensi
: Penilaian wartawan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja
menaruh perhatian serius pada pentingnya sertifikasi untuk
wartawan
: Penilaian responden bahwa ditempat mereka bekerja, setiap orang
mengerjakan pekerjaan sesuai posisinya masing-masing
: Perusahaan Melihat Kedekatan Hubungan Personal dalam
Mempromosikan Jabatan (Kenaikan Karir) : Penilaian Responden bahwa Perusahaan Mempunyai Sikap yang Jelas
terkait Pemberian Narasumber : Undang-Undang Pers dan Kode Etik Wartawan Menjadi Pegangan
Redaksi : Eksekutif Di Tempat Wartawan Bekerja Selalu Memutuskan Segala
Sesuatunya
: Materi Ujian dalam Uji Standar Kompetensi Memiliki Kesesuaian
dengan Kategori Wartawan Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
99
100 Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015
Jurnal Dewan Pers No.11, Desember 2015 101
Download