Pembelajaran Geometri Bidang Datar di Sekolah Dasar Berorientasi

advertisement
Jurnal Dikma Vol. 4 No. 2, Oktober 2016
PEMBELAJARAN GEOMETRI BIDANG DATAR
DI SEKOLAH DASAR BERORIENTASI TEORI BELAJAR PIAGET
Mursalin
Dosen Prodi Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Malikussaleh
E-mail: [email protected]
ABSTRAK : Pembelajaran geometri di Sekolah Dasar dapat memberikan kontribusi bagi
kepentingan siswa dalam belajar matematika, baik untuk pembentukan sikap dan pola pikir,
untuk keperluan mempelajari ilmu pengetahuan yang lain, dan untuk keperluan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penguasaan konsep dan keterampilan geometri adalah
sangat penting dalam mendukung keberhasilan siswa belajar. Teori perkembangan intelektual
Piaget cocok diterapkan dalam pembelajaran matematika, khususunya pembelajaran konsep
geometri bidang datar.
Kata kunci: Penggunaan Media, Banner Pohon Faktor, Hasil Belajar
Tingkat perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai berbagai ilmu pengetahuan
dan teknologi dewasa ini tidak lepas dari peranan matematika. Matematika bukan hanya
untuk keperluan kalkulasi, tetapi lebih dari itu matematika telah banyak digunakan untuk
pengembangan berbagai ilmu pengetahuan lain, seperti yang dikemukakan oleh Soedjadi
bahwa matematika sebagai salah satu ilmu dasar, baik aspek terapannya maupun aspek
penalarannya mempunyai peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi
(Soedjadi, 2004: 28).
Mengingat peranan matematika yang begitu besar, maka matematika perlu dikuasai
oleh segenap warga Indonesia dalam bentuk penerapannya maupun pola pikirnya. Untuk
mewujudkan hal di atas, matematika diajarkan sebagai salah satu mata pelajaran di setiap
jenjang pendidikan. Matematika dikenal sebagai matematika sekolah (school mathematics).
Menurut Soedjadi (2004:28) matematika sekolah adalah unsur-unsur atau bagian-bagian
matematika yang dipilih atas dasar makna kependidikan yaitu untuk mengembangkan
kemampuan dan kepribadian peserta didik, dan tuntutan perkembangan yang nyata dari
lingkungan hidup yang senantiasa berkembangan seiring dengan kemajuan ilmu dan
teknologi. Sesuai dengan pengertian ”matematika sekolah”, sasaran pengajaran matematika
sekolah diupayakan tidak hanya siswa terampil menggunakan matematika tetapi juga harus
ada peningkatan pada aspek kognitif dan aspek afektifnya.
Geometri merupakan salah satu pokok bahasan matematika sekolah. Dalam geometri
dibahas objek-objek yang berhubungan dengan ruang dari berbagai dimensi. Disamping
menonjol pada objek yang abstrak dan struktur berpola deduktif, geometri juga menonjol
250
Jurnal Dikma Vol. 4 No. 2, Oktober 2016
pada teknik-teknik geometri yang efektif dalam membantu penyelesaian problema dari
banyak cabang matematika, sehingga sering dikatakan bahwa geometri esensial bagi setiap
pokok bahasan matematika sekolah pada setiap jenjang pendidikan.
Sesuai dengan pengajaran matematika, tujuan pengajaran geometri di setiap jenjang
pendidikan dasar mengacu pada penataan nalar dan pembentukan sikap, juga pada penerapan
dan keterampilan geometri. Dengan kata lain, tujuan pengajaran geometri adalah
menumbuhkembangkan lima kemampuan dasar siswa, yaitu: visual, verbal, menggambar,
berlogika dan penerapan.
Pengenalan geometri di sekolah dasar (SD) mempunyai tujuan dasar untuk
memberikan suatu kesempatan kepada murid untuk menganalisis lebih jauh dunia tempat
hidupnya, serta memberikan sejak dini landasan berupa konsep-konsep dasar dan
peristilahan yang diperlukan untuk studi lebih lanjut. Pemahaman konsep dasar sangat
menentukan keberhasilan belajar selanjutnya.
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa masih banyak ditemui penguasaan
geometri siswa baik di SD maupun di sekolah menengah. Hal ini disebabkan kesulitan siswa
dalam memahami konsep/prinsip geometri dan pemahaman konsep yang masih
mengandung miskonsepsi. Miskonsepsi adalah Ketidaksesuaian antara pengetahuan awal
siswa tentang suatu konsep dengan konsep yang akan dipelajarinya. Miskonsepsi siswa yang
keliru sering ditemukan dalam geometri di SD antara lain persegi disebut kubus, bangun
jajar genjang dianggap sebagai persegi dan sebagainya. Ini terjadi karena ketidakmampuan
siswa dalam mengenal konsep bangun datar segiempat dan terbatasnya pengetahuan siswa
tentang konsep segiempat itu sendiri.
Banyak faktor yang dijadikan sebagai penyebab rendahnya penguasaan siswa tentang
fakta dan konsep geometri. Salah satu faktor penyebabnya menurut Soejono adalah
kemampuan intelektual siswa (2010: 14). Selanjutnya berdasar pada teori Piaget, menurut
Orthon (1993: 65) mengatakan bahwa anak tidak siap menerima matematika jika ia belum
mencapai tahap perkembangan intelektual yang sesuai dengan tuntutan materi yang akan
dipelajarinya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, berikut ini dibahas tentang penerapan teori Piaget
dalam pembelajaran geometri bangun datar. Bahasan yang dikemukakan meliputi konsep
dalam matematika, teori belajar dari Piaget, dan penerapan teori Piaget terhadap
pembelajaran geometri bangun datar di sekolah dasar.
251
Jurnal Dikma Vol. 4 No. 2, Oktober 2016
KAJIAN PUSTAKA
Konsep Dalam Matematika
Pembelajaran matematika itu terdiri dari membangun pemahaman terhadap konsepkonsep yang telah dipahami sebelumnya. Walaupun para ahli psikologi menyadari akan
pentingnya konsep-konsep, namun suatu definis tentang konsep dianggap belum dapat
memberikan pengertian yang paling tepat. Kemudian Orthon (1993: 65) juga
mengemukakan definisi tentang konsep sebagai berikut: ”concept describe some rularity or
relationship within a group for fact and designated by some sigin or symbol.” Secara khusus,
definisi tentang konsep dalam matematika dikemukakan oleh Gagne sebagai berikut:”a
concept in mathematics is an abstract ide which enables people classify objects or Evens
and to specify whether the objects and events an examples or non examples of the abstract
ide.
Berdasarkan definisi Gagne tersebut memperlihatkan bahwa seseorang dikatakan telah
belajar konsep ”A” dalam matematika, bila ia telah dapat mengklasifikasikan objek-objek
atau kejadian-kejadian dan menentukan apakah objek-objek atau kejadian-kejadian itu
merupakan contoh atau bukan contoh dari ”A”. Misalnya seorang siswa dikatakan telah
memiliki konsep segiempat bila ia telah dapat mengklasifikasikan himpunan bangun-bangun
geometri ke dalam kelompok segiempat dan kelompok bukan segiempat.
Suatu konsep dapat dipelajari melalui definisi, observasi atau memperkenalkan secara
langsung objek konkritnya. Memperkenalkan secara langsung objek konkrit suatu bangun
geometri umumnya dapat dilakukan terhadap siswa sekolah dasar. Sedangkan konsep
melalui definisi akan lebih mudah jika diberikan kepada siswa yang tahap berpikirnya telah
tergolong pada ”operasi formal.” Seseorang telah belajar konsep, jika orang itu telah mampu
memisahkan antara contoh konsep dan bukan contoh konsep (Roebyanto, 2001: 10)
Teori Belajar Piaget
Jean Piaget berpendapat bahwa ada tiga aspek pertumbuhan intelektual, yaitu: (1)
struktur yang merupakan organisasi mental tingkat tinggi, (2) isi, ialah pola perilaku anak
yang khas tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah yang
dihadapinya, (3) fungsi, yaitu cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan
intelektual (Dahar, 2011: 166).
252
Jurnal Dikma Vol. 4 No. 2, Oktober 2016
Perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi.
Adaptasi adalah cara mendapatkan pengetahuan dengan menyesuaikan diri pada lingkungan.
Adaptasi dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi
seseorang menggunakan struktur yang sudah ada dalam mengadakan respon terhadap
tantangan lingkungan, sedangkan proses akomodasi adalah proses memodifikasi
(menstrukturkan kembali) mental sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru. Jadi, belajar tidak hanya menerima informasi dan
pengalaman baru saja, tetapi juga terjadi penstrukturan kembali informasi pengalaman
lamanya untuk mengakomodasikan informasi dan pengalaman yang baru.
Proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir
intelektual konkrit ke abstrak menurut Piaget melalui empat periode berikut: (1) periode
sensorik motor (0–2 tahun), karakterisktik periode ini merupakan gerakan-gerakan sebagai
akibat reaksi langsung dari rangsangan. Rangsangan itu timbul karena anak melihat dan
meraba objek-objek. (2) periode pra-operasional (2–7 tahun). Pada periode ini berpikir anak
secara kualitatif lebih maju jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Perbedaan yang
jelas dengan periode sebelumnya adalah kemampuannya menggunakan simbol. Walaupun
demikian, anak-anak pada periode ini belum bisa memusatkan perhatian pada dua dimensi
yang berbeda secara nyata, tetapi proses berpikirnya didasarkan atas keputusan yang dapat
dilihat seketika. (3) periode operasi konkret (7– 11/12 tahun). Periode ini ditandai dengan
permulaan berpikir matematika logis.
Berpikir logis didasarkan atas manipulasi fisik terhadap objek-objek. Dengan kata lain,
periode operasi konkret adalah suatu transisi antara periode pra-operasional dengan periode
operasi formal. Anak-anak pada periode operasi konkrit mulai dapat menerima pandangan
orang lain, bahasa yang digunakan sudah komunikatif, sanggup melakukan transformasi.
Anak pada masa ini telah mengembangkan tiga macam proses yang disebut operasi-operasi,
yaitu: (a) reversibilitas merupakan kriteria utama untuk berpikir operasional, (b) asosiativitas
yaitu kombinasi antara dua unsur atau lebih dapat dipertukarkan urutan pengerjaannya, (c)
identitas, adalah suatu operasi dimana diantara unsur-unsur suatu kelompok terdapat suatu
unsur nol.
Dengan menggunakan operasi-operasi tersebut, anak pada operasi konkret dapat
mengembangkan prinsip-prinsip konservasi yang berkenaan dengan kesadaran bahwa
kuantitas seperti massa, berat, luas dan volume adalah tetap, tanpa menghiraukan perubahan
253
Jurnal Dikma Vol. 4 No. 2, Oktober 2016
dalam segala aspek dari kuantitas itu. Prinsip konservasi bidang telah dimiliki pada usia 1011 tahun, sehingga bagaimanapun bentuk dan posisi bangun telah mempengaruhi konsepsi
siswa tentang suatu bangun. (4) periode operasi formal (11 atau 12 tahun ke atas). Periode
ini disebut juga periode operasi hipotek deduktif yang merupakan tahap tertinggo dalam
perkembangan intelektual (Hudoyo, 1999: 160).
Tahap-tahap berpikir yang dikemukakan oleh Piaget itu adalah pasti dan spontan.
Namun umur kronologis yang diberikan itu fleksibel, terutama selama masa transisi dari
periode satu ke periode berikutnya. Dengan kata lain, setiap anak pasti akan melalui setiap
periode walaupun dengan kecepatan yang berbeda-beda. Misalnya, anak yang berumur 5
tahun mungkin telah ada pada tahun operasional konkrit, sedangkan barangkali ada anak
yang sudah berumur 7 tahun masih berada pada tahap pra-operasional. Namun demikian
urutan tahap-tahap perkembangan intelektual yang dilalui sama untuk semua anak.
Agar seseorang berkembang dari satu periode ke periode berpikir yang lebih tinggi,
Piaget mengemukakan bahwa ada 5 faktor yang mempengaruhi transisi ini, yaitu:
kedewasaan, pengalaman fisik, pengalaman logika matematika, transmisi sosial dan proses
keseimbangan (Dahar, 2011: 157).
Berdasarkan penelitiannya tentang bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan,
Piaget mengatakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. Peningkatan
pengetahuan memerlukan tindakan peserta didik dan interaksinya dengan lingkungan,
namun harus melalui konstruksi anak itu sendiri melalui operasi-operasi (Orthon, 1993: 67).
Salah satu cara untuk membangun operasi ialah dengan ekuilibrasi.
Berdasarkan teori Piaget tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengajar
matematika perlu memperhatikan faktor kesiapan siswa. Disisi lain, anak dikatakan siap
apabila keterampilan berpikir dan pengetahuan yang dimilikinya telah sesuai dengan
tuntutan materi yang akan dipelajarinya. Dengan demikian, mengajar bukan hanya sebagai
proses dimana gagasan-gagasan guru dipindahkan pada siswa melainkan sebagai proses
untuk mengubah gagasan siswa yang mungkin ”salah” melalui konstruksi anak itu sendiri.
Disamping itu juga dipertimbangkan adanya kesempatan bertukar pikiran dan bekerja sama
antara siswa, sebab siswa tidak akan pernah sampai kepada pembentukan operasi yang saling
bersangkut paut yang menjadi suatu keseluruhan bila mereka tidak saling bekerja sama
(Hudoyo, 1999: 98).
254
Jurnal Dikma Vol. 4 No. 2, Oktober 2016
Penerapan Teori Piaget Pada Pembelajaran Geometri di Sekolah Dasar
Pada kurikulum sekolah dasar, pokok bahasan geometri sub pokok bahasan bangun
datar dicantumkan pada kelas III. Di Indonesia, anak SD kelas III usianya 8-11 tahun,
sehingga apabila dikaitkan dengan tahap berpikir yang dikemukakan oleh Piaget, tingkat
perkembangan intelektual mereka dapat dimasukkan pada tahap operasi konkrit.
Untuk melaksanakan proses belajar mengajar yang sesuai dengan teori Piaget di
sekolah dasar disarankan melalui beberapa prinsip sebagai berikut: (a) siapkan benda-benda
nyata untuk digunakan para siswa, (b) pilih pendekatan yang sesuai dengan tingkat
perkembangan anak, (c) perkenalkan kegiatan yang layak, menarik dan berilah para siswa
kebebasan untuk menolak saran-saran guru. (d) Tekankan penciptaan pertanyaan-pertanyaan
dan masalah-masalah sekaligus pemecahan-pemecahannya. (e) anjurkan para siswa untuk
saling berinteraksi. (f) Hindari istilah-istilah teknis dan tekankan berpikir. (g) anjurkan siswa
untuk berpikir dengan cara mereka sendiri. (h) perkenalkan ulang materi dan kegiatan yang
sama setelah beberapa tahun.
Berdasarkan saran tersebut diatas, pembelajaran geometri bangun segiempat di kelas
III Sekolah Dasar dapat disusun sebagai berikut: (1) Tujuan khusus pembelajaran yaitu agar
siswa dapat; (a) mengklasifikasikan bangun segiempat dan bukan segiempat; (b)
mengungkapkan ciri-ciri atau sifat-sifat bangun segiempat; (c) mengungkapkan pengertian
bangun segiempat; dan (d) memberikan alasan suatu bangun bukan merupakan bangun
segiempat. (2) Pembelajaran dimulai dengan tanya jawab antara guru dan siswa tentang
segiempat dengan tujuan mengetahui lebih jelas tentang konsepsi awal siswa dan melatih
agar siswa mau berbicara atau mengungkapkan pendapatnya tentang suatu konsep.
Pertanyaan yang dapat diajukan guru antara lain sebagai berikut:
G
: Pada pertemuan ini kita akan mempelajari tentang segiempat. Pernahkah
kamu mendengar kata segiempat ?
S:......
G
: Menurut kamu apakah bangun segiempat itu ?
S:......
G
: Dari benda-benda yang ada di kelas ini manakah yang berbentuk segiempat
?
S: ....
G
: Mengapa ?
255
Jurnal Dikma Vol. 4 No. 2, Oktober 2016
Selanjutnya siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan diberikan lembaran yang
berisi gambar-gambar bangun datar, misalnya seperti pada gambar berikut :
Gambar 1. Contoh Bangun Geometri
(3) Siswa diminta untuk mengamati gambar tersebut, selanjutnya siswa diminta untuk
mengklasifikasikan mana yang merupakan bangun segiempat dan bukan segiempat. (4) Agar
siswa terlibat langsung dengan pembelajaran siswa diminta menggambar, mengkonstruk
atau mengkreasi bangun dengan peragaan baik yang merupakan contoh maupun non contoh.
(5) Kegiatan selanjutnya siswa diminta mendaftarkan semua ciri-ciri dari bangun segiempat
berdasarkan pengamatannya terhadap unsur-unsur bangun yaitu banyak rusuk, bentuk serta
banyak sudut.
Dari jawaban siswa yang diberikan, guru dapat melihat apakah siswa sudah memahami
konsep segiempat atau masih mengalami miskonsepsi. Jika siswa masih mengalami
miskonsepsi, maka guru mengarahkan siswa untuk mendiskusikan gagasan tersebut baik
dengan teman sekelompoknya, dengan guru maupun dengan kelompok lain. Pada tahap ini,
guru menunjukkan kembali bangun-bangun (berupa benda konkret atau gambar) yang
merupakan contoh maupun non contoh tanpa menjelaskan mengapa bangun tersebut
merupakan segiempat atau bukan segiempat. (6) Selanjutnya siswa mendiskusikan kembali
gagasan yang mereka tulis dengan jawaban yang sesuai dengan pengetahuan guru. Dengan
bimbingan guru seperlunya siswa membangun sendiri gagasan atau pengetahuan baru sesuai
dengan konsep yang dipelajarinya. (7) Guru menguatkan kembali gagasan siswa atau konsep
256
Jurnal Dikma Vol. 4 No. 2, Oktober 2016
yang mereka peroleh dengan memberikan umpan balik. Pada langkah ini diharapkan siswa
dapat mengubah konsep awal mereka sesuai dengan konsep atau pengetahuan baru. (8)
Untuk mengakhiri kegiatan pembelajaran, siswa diarahkan untuk membuat rangkuman
tentang konsep segiempat.
Hal serupa juga dilakukan pada pembelajaran untuk kelompok bangun segiempat
seperti persegi dan persegi panjang. Dari susunan pembelajaran tersebut di atas, siswa dapat
terlibat secara aktif dan pengetahuan yang diperolehnya merupakan hasil dari
pengkonstruksiannya sendiri. Dalam benak siswa terjadi proses asimilasi dan akomodasi
yaitu misalnya pada saat siswa mendapatkan informasi baru tentang segiempat yang
langsung menyatu dengan konsep awal yang dimilikinya maka terjadi proses asimilasi. Jika
informasi baru tersebut tidak sesuai dengan konsep awal yang dimilikinya (terjadi
miskonsepsi) maka pada benak siswa terjadi penstrukturan kembali kognitif yang telah
dimiliki karena informasi baru tadi, ini berarti terjadi akomodasi.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas, dapat dibuat simpulan sebagai berikut.
Teori perkembangan intelektual Piaget cocok diterapkan dalam pembelajaran matematika
khususnya pembelajaran konsep geometri bangun datar di sekolah dasar. Pembelajaran
geometri bangun datar berdasarkan teori Piaget harus memperhatikan faktor kesiapan
intelektual siswa. Anak sekolah dasar menurut Piaget masih berada dalam tahap operasi
konkret, oleh sebab itu dalam pembelajaran, anak harus dilibatkan dengan benda-benda
konkrit. Agar bangun datar dapat dipahami dengan baik dalam benak siswa dan juga harus
terjadi proses asimilasi dan akomodasi. Pembelajaran dengan membentuk kelompok kecil
memungkinkan siswa dapat bekerja sama dengan teman yang lain sehingga dapat terjadi
interaksi satu dengan yang lain sehingga terjadi pembentukan operasi yang saling bersangkut
paut menjadi suatu keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, F.H. 1978. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). Iowa: Wm.C.
Brown.
Dahar, R.W. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hudoyo, H. 1999. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK.
257
Jurnal Dikma Vol. 4 No. 2, Oktober 2016
Orthon, A. 1993. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom Practices. New
York: Cambridge University Press.
Roebyanto, G. 2001. Upaya Meningkatkan Pemahaman Siswa kelas V SD terhadap Operasi
Perkalian Pecahan Desimal. Tesis tidak diterbitkan. PPs Universitas Negeri Malang
(UM).
Soedjadi, R. 2004. ”Pokok-Pokok Pikiran tentang Orientasi Masa Depan Matematika
Sekolah di Indonesia.” Media Pendidikan Matematika Nasional No.2 Tahun 1 hlm.
28-42. Surabaya: PPs IKIP Surabaya.
Soejono. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial Matematika.
Jakarta : P2LPTK.
258
Download